KAJIAN KOMPARATIF PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA DI PROPINSI RIAU (Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002)
SKRIPSI
Khairul Saleh B01498080
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
JUDUL SKRIPSI
NAMA MAHASISWA NOMOR POKOK
: KAJIAN KOMPARATIF PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA DI PROPINSI RIAU (Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002) : KHAIRUL SALEH : B01498080
Telah diperiksa dan disetujui oleh
Dr. Iman Supriatna Pembimbing
Mengetahui
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan I
Pada tanggal
:
RINGKASAN
KHAIRUL SALEH B01498080. Kajian Komparatif Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan dan Tingkat Keberhasilannya di Propinsi Riau Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002. (Dibawah bimbingan Dr. Iman Supriatna). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB di Propinsi Riau dan juga untuk melihat profil reproduksi dari beberapa kabupaten sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan inseminasi buatan daerah untuk evaluasi kinerja program dan personalia pelaksana inseminasi buatan sebagai gambaran pelaksanaan dan pengembangan inseminasi buatan di Propinsi Riau pada masa mendatang. Gambaran pelaksanaan inseminasi buatan di Propinsi Riau dapat diketahui dari keberhasilan yang terlihat dari hasil evaluasi program pelayanan inseminasi buatan kabupaten sebagai wilayah SP-IB II. Di Propinsi Riau terdapat 11 SP-IB II yang tersebar di 15 kabupaten/kota. Dalam evaluasi tingkat keberhasilan dan efektifitas pelaksanaan program pelayanan inseminasi buatan di Propinsi Riau dapat dilakukan dengan melihat nilai faktor peubah efisiensi reproduksi empat kabupaten yang diambil berdasarkan kepadatan populasi sapi, jumlah akseptor, organisasi pelayanan IB dan persentase angka kelahiran. Keempat kabupaten percontohan yang dianggap dapat mewakili Propinsi Riau secara keseluruhan
tersebut terdiri dari Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hulu,
Kabupaten Kepulauan Riau dan Kabupaten Rokan Hulu. Perkembangan kegiatan Inseminasi Buatan
di Pripinsi Riau selama empat tahun
terakhir telah menunjukkan peningkatan apabila dilihat dari segi lokasi/SP-IB dan jumlah akseptor. Akan tetapi jika diperhatikan kinerja pelaksanaan IB secara keseluruhan yang ditunjukkan dari hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir cenderung menurun. Pada tahun 1999 realisasi inseminasi mencapai 54.17% tetapi pada tahun 2001 hanya mencapai 29.07%. Demikian juga dengan angka kelahiran, jika tahun 2000 tercapai 35% dari target, pada tahun 2001 hanya 20.47% dari nilai yang ditargetkan.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batang Samo pada tanggal 31 Agustus 1980 anak dari Bapak H. Jaharuddin Lubis dan Ibu Hj. Nurhani Nasution, merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara. Jenjang pendidikan yang penulis lalui yaitu Sekolah Dasar Negeri 008 Batangsamo dari tahun 1986 sampai dengan tahun 1992, melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri I Pasirpengaraian dari tahun 1992 sampai dengan 1995, kemudin melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri I Pasirpengaraian dari tahun 1995 sampai dengan tahun 1998, dan masuk IPB melalui jalur USMI di Fakultas Kedokteran Hewan tahun 1998.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT, serta shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan Hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada Bapak
Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr Iman Supriatna sebagai pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, juga rasa terimakasih yang tak terhingga beriring hormat kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan segala perhatian, biaya, dorongan semangat dan kiriman do’a, untuk adikadik ku tersayang, Ovi dan Ikmal yang selalu memberikan kritik, saran dan dorongan semangat, juga pada seluruh anggota keluarga besar di Batang Samo dan Hasahatan atas segala perhatian dan do’anya. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat ku, Hakim atas segala bantuan dan sarannya, Agus atas segala saran dan nasehat-nasehatnya, Ikas dan seluruh penghuni wisma Catlea atas segala bantuan dan keramahannya, juga untuk uda Boy atas segala bantuan dan masukannya, terimakasih kepada rekan-rekan angkatan 35 FKH IPB atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis menyerahkan semuanya pada kehendak Allah SWT, penulis juga menyadari bahwa kesempurnaan mutlak menjadi milik yang menguasai segala jiwa. Skripsi ini pun jauh dari sempurna sehingga penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran untuk perbaikan dalam waktu yang akan datang. Bogor, Desember 2005 Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................
vi
PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
Latar Belakang...................................................................................................
1
Gambaran Potensi Wilayah ...............................................................................
2
Tujuan ................................................................................................................
6
Manfaat ............................................................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................
7
Inseminasi Buatan..............................................................................................
7
Pola Pelaksanaan IB di Propinsi Riau ...............................................................
7
Conception Rate ...............................................................................................
9
Service per Conception .....................................................................................
9
Teknik Inseminasi..............................................................................................
10
Teknik Pelaksanaan Pemeriksaan Kebuntingan ................................................
10
BAHAN DAN METODE .......................................................................................
13
Tempat dan Waktu Kegiatan ...........................................................................
13
Metode Pengkajian ..........................................................................................
13
Evaluasi dan Analisa .......................................................................................
14
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................
21
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................
27
Kesimpulan ........................................................................................................
27
Saran ..................................................................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
28
DAFTAR TABEL Halaman 1 Populasi sapi potong di propinsi Riau Tahun 2000.................................................
2
2 Bagan Organisasi kegiatan pelayanan IB Dinas Peternakan Propinsi Riau ............
3
3 Perkembangan lokasi kegiatan IB per SP-IB selama Tahun 1999-2002.................
4
4 Perkembangan Akseptor IB tahun 1999-2002.........................................................
4
5 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II di Propinsi Riau ...............................................
5
6 Batasan dan criteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau...................................
8
7 Acuan tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB II .......................................
9
8 Perkembangan lokasi kegiatan IB dari tahun 1999-2002.......................................
14
9
Rekapitulasi jumlah akseptor..................................................................................
15
10 Rekapitulasi target IB dan realisasi IB ...................................................................
15
11 Persentase realisasi IB ............................................................................................
15
12 Target lahir dan realisasi lahir ................................................................................
16
13 Persentase realisasi lahir dari jumlah kelahiran......................................................
18
14 Persentase realisasi lahir dari target kelahiran........................................................
19
15 Nilai S/C dan CR dari tahun 1999-2002.................................................................
21
DAFTAR GAMBAR 1 Histogram banding nilai profil reproduksi nilai service per conception(s/c) .........
23
2 Histogram banding nilai profil reproduksi untuk nilai conception rate (cr) ...........
24
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan Propinsi Riau.......................
29
Lampiran 2 Batasan dan kriteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau ...................
31
Lampiran 3 Tolok ukur keberhasilan petugas IB ........................................................
32
Lampiran 4 Tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB tingkat II......................
33
Lampiran 5 Target IB per SP-IB II tahun anggaran 2001 ...........................................
34
Lampiran 6 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II tahun anggaran 2001 .........................
35
Lampiran 7 Struktur organisasi IB di Propinsi Riau ...................................................
36
Lampiran 8 Contoh Kartu Sapi potong........................................................................
37
Lampiran 9 Contoh kartu catatan kelahiran anak .......................................................
38
Lampiran 10 Contoh kartu kegiatan IB ......................................................................
39
Lampiran 11 Contoh kartu pemeriksaan kebuntingan.................................................
40
Lampiran 12 Contoh kartu rekapitulasi kegiatan inseminasi ......................................
41
Lampiran 13 Contoh laporan bulanan kegiatan IB......................................................
42
PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan pasar terhadap daging terus meningkat sepanjang tahun, sedangkan produksi daging di propinsi Riau hanya dapat menutupi kebutuhan pasar sebesar 30% dan 70% lagi didatangkan dari luar propinsi (Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002). Populasi sapi potong yang ada di Riau saat ini merupakan potensi bagi penyediaan produksi daging. Namun perlu suatu upaya agar potensi yang tersedia dapat ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya sampai pada tingkat optimal. Untuk meningkatkan produksi dan populasi sapi khususnya, dapat dilakukan dengan upaya peningkatan mutu genetik sapi. Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan mutu genetik sapi baik sapi perah maupun sapi potong. Peningkatan populasi dan perbaikan mutu genetik tidak terlepas dari penerapan teknologi dibidang reproduksi yang telah berkembang dengan sangat cepat. Penerapan teknologi reproduksi yang sudah sedemikian maju pada usaha peternakan yang didukung oleh optimalnya faktor-faktor penunjang dapat dipastikan mampu menjawab persoalan yang berkaitan dengan populasi dan mutu genetik ternak. Teknologi reproduksi akan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan populasi dan perbaikan mutu genetik ternak dibandingkan dengan metode reproduksi yang berlangsung secara alamiah atau tradisional yang selama ini dikenal luas oleh peternak. Peningkatan mutu genetik dapat dilakukan dengan introduksi pejantan yang superior yang mempunyai sifat unggul, yang dapat dipakai peningkatan kualitas genetik dari suatu populasi melalui teknologi reproduksi terapan yang dikenal dengan istilah inseminasi buatan (IB). Inseminasi buatan merupakan salah satu teknologi tepat guna untuk meningkatkan mutu dan jumlah ternak dengan memanfaatkan penggunaan pejantan unggul dalam perbaikan mutu ternak. Inseminasi buatan adalah teknik perkawinan dengan memasukkan semen kedalam saluran kelamin ternak betina dengan menggunakan suatu alat berupa pipet atau inseminasi gun.
Pada tahun 2000 populasi ternak sapi potong di daerah Riau mencapai 105 744 ekor. Apabila dari populasi tersebut 44% diantaranya merupakan ternak betina dewasa maka jumlah betina dewasa mencapai 46 528 ekor dan dari jumlah betina dewasa tersebut dapat dijadikan akseptor minimal 50%, maka akan tersedia akseptor lebih kurang sebanyak 23 264 ekor. Saat ini baru 17 240 ekor yang terdaftar sebagai akseptor sehingga sasaran kegiatan IB dimasa yang akan datang dapat ditingkatkan volumenya. Gambaran Potensi Wilayah. Propinsi Riau dengan luas wilayah 94 561.60 km2 terdiri atas 15 kabupaten / kota dengan jumlah penduduk 4 755 176 jiwa. Populasi sapi potong di propinsi Riau pada tahun 2000 dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 1 Populasi sapi potong di Propinsi Riau tahun 2000 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Kabupaten/Kota Pekan Baru Kampar Rokan Hulu Pelalawan Indragiri Hulu Indragiri Hilir Kuantan Singingi Bengkalis Rokan Hilir Dumai Siak Kepulauan Riau Karimun Natuna Batam JUMLAH TOTAL
Dalam melaksanakan pelayanan inseminasi
Jumlah (ekor) 2994 15 843 12 115 1296 22 226 13 954 9432 7884 6301 1581 4288 2608 917 4179 126 105 744 buatan di propinsi Riau, dibentuk
organisasi dengan pola Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SP-IB) yang merupakan kegiatan terpadu dari unsur-unsur/petugas pelayanan teknis peternakan. Hal ini dapat terlihat pada bagan organisasi pelaksana kegiatan inseminasi buatan di propinsi Riau sebagai berikut :
Table 2 Bagan Organisasi kegiatan pelayanan IB Dinas Peternakan Riau
INSTANSI PEMBINA
DISNAK PROPINSI RIAU
DISNAK KABUPATEN/KOTA
CABANG DISNAK KAB/KOTA
ORGANISASI
SP-IB I SUPERVISOR I
SP-IB II SUPERVISOR II
SP-IB ATR
DI KEC. PKB
TENAGA
1 org Supervisor 1 org Sterility Control 1 org Wastu Semen 1-3 Staf Adm IB
1 org Supervisor II 1 org ATR 1-3 Staf Adm IB
1 ATR 1-2 PKB 3-6 Inseminator 12- 24 KPPIB 20-25 org/KPPIB
Inseminator
Lokasi kegiatan inseminsi buatan di propinsi Riau diprioritaskan pada daerah-daerah potensial penyebaran ternak sapi, yaitu lokasi yang selama ini menjadi sentra produksi daging sapi, dimana pada lokasi tersebut telah tumbuh dan berkembang pemeliharaan ternak sapi secara intensif, sehingga memudahkan dalam mendukung kelancaran kegiatan inseminasi buatan. Untuk lebih jelasnya perkembangan lokasi kegiatan inseminasi buatan di propinsi Riau dalam empat tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3 Perkembangan lokasi kegiatan IB per SP-IB selama tahun 1999-2002 No. Lokasi/SPIB II 1999 2000 2001 2002 1. Kampar Ada Ada Ada Ada 2. Indragiri Hulu Ada Ada Ada Ada 3. Indragiri Hilir Ada Ada Ada Ada 4. Bengkalis Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 5. Kepulauan Riau Ada Ada Ada Ada 6. Rokan Hulu Tidak ada Ada Ada Ada 7. Pelalawan Tidak ada Ada Ada Ada 8. Kuantan Singingi Tidak ada Ada Ada Ada 9. Siak Tidak ada Ada Ada Ada 10. Dumai Tidak ada Ada Ada Ada 11. Rokan Hilir Tidak ada Ada Ada Ada 12. Natuna Tidak ada Ada Ada Ada Jumlah / Propinsi 5 11 11 11 Sumber : Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002. Dari tabel tersebut terlihat bahwa lokasi kegiatan inseminasi buatan telah meningkat menjadi 11 SP-IB dari sebelumnya hanya ada 5 SP-IB. Hal ini disebabkan karena sejak tahun 2000 telah terjadi pemekaran kabupaten/kota di propinsi Riau dan juga adanya penambaan jumlah bibit sapi baru melalui pengadaan program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (PEK). Akseptor juga merupakan faktor penting dalam kegiatan inseminasi buatan karena tanpa akseptor (ternak produktif) tidak mungkin dapat melaksanakan kegiatan inseminasi buatan. Perkembangan jumlah akseptor di Propinsi Riau menunjukkan peningkatan seiring dengan penambahan SP-IB dan dengan adanya pemasukan bibit sapi baru melalui program PEK. Perkembangan akseptor IB di Propinsi Riau dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4 Perkembangan akseptor IB selama tahun 1999-2002 Jumlah Akseptor Perkembangan (ekor) (%) 1999 7865 2000 11 000 39.86 2001 17 240 56.73 2002 17 240 0 Sumber : Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002. Tahun
Keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan sangat didukung oleh adanya sumber daya manusia sebagai personalia pelaksanaan SP-IB. Pada tahun 2001 ada sebanyak 27 lokasi pelayanan inseminasi buatan yang tersebar di 11 SP-IB II se-propinsi Riau yang didukung 166 orang pelaksana IB seperti yang tertera pada tabel berikut : Tabel 5 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II di Propinsi Riau tahun 2001 Uraian SP-IB lapangan 1. Supervisor I 2. Supervisor II 3. Sterility Control 4. Wastu semen 5. ATR 6. PKB 7. Inseminator 8. Recorder 9. Distributor sarana dan prasarana 10. Staf Administrasi IB Jumlah Pelaksana IB
PR 1 1 1 2 2 7
RU 3 1 5 10 14 1 1 32
KP 2 1 2 2 5 2 12
PL 4 1 1 2 5 2 13
KS 5 1 2 3 5 2 2 14
HU 5 1 3 5 7 5 2 23
HI 2 1 2 2 10 8 1 24
DU 2 1 2 2 10 8 1 8
RI 1 1 1 2
SS 1 1 2 3 7 1 14
KR 1 1 1 1 3 1 1 8
NT 1 1 2 1 3 3 2 12
JML 27 1 11 1 1 21 30 62 24 2 16 169
Sumber : Petunjuk Teknis Pelayanan IB di Propinsi Riau 2001. Keterangan : PR RU KP PL KS
= = = = =
Pekan Baru Rokan Hulu Kampar Pelalawan Kuantan Singingi
HU HI DU RI SS
= Indragiri Hulu = Indragiri Hilir = Dumai = Rokan Hilir = Siak
KR NT
= Karimun = Natuna
Pelaksanaan kegiatan inseminasi buatan di Propinsi Riau tahun anggaran 2002 ditargetkan sebanyak 30 000 dosis semen beku yang terdiri atas semen beku jenis sapi Bali 6000 dosis, sapi Ongole 6000 dosis, sapi Brahman 6000 dosis, sapi Simental 9000 dosis, sapi Limousin 1500 dosis dan sapi Brangus 1500 dosis. Pengadaan semen beku oleh daerah selama ini dilakukan dengan cara kerja sama operasional (KSO) antara Koperasi Pegewai Negeri “Usaha Bersama “ Dinas Peternakan Propinsi Riau dengan Balai Inseminsi Buatan (BIB) Singosari dan BIB Lembang. Saat ini sedang dijajaki dan direncanakan proyek pembangunan Balai Inseminasi Buatan mini daerah yang terletak di Kulim, Pekan Baru.
Tujuan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB di Propinsi Riau dan juga untuk melihat profil reproduksi dari beberapa kabupaten sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan inseminasi buatan daerah untuk evaluasi kinerja program dan personalia pelaksana inseminasi buatan sebagai gambaran pelaksanaan dan pengembangan inseminasi buatan di Propinsi Riau pada masa mendatang. Manfaat. Kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai data pendukung dalam pelaksanaan program pelayanan IB di propinsi Riau untuk masa yang akan datang dengan mempelajari hasil evaluasi yang telah ada agar dapat diketahui kelemahan dalam pelaksanaan dan penyebabnya sehingga dapat dicari solusi terbaik untuk meningkatkan kinerja pelayanan IB secara keseluruhan sehingga hasil yang diperoleh menjadi lebih baik.
TINJAUAN PUSTAKA Inseminasi Buatan Inseminasi buatan adalah terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya tiruan atau buatan. Insemination berasal dari kata latin , inseminatus. In artinya pemasukan, penyampaian atau deposisi sedangkan semen adalah cairan yang mengandung sel-sel kelamin jantan yang diejakulasikan melalui penis pada waktu kopulasi atau penampungan. Inseminasi buatan atau dikenal dengan istilah kawin suntik digunakan pertama kali pada peternakan kuda di Eropa oleh Repiquet, seorang dokter hewan Prancis pada tahun 1880 (Toelihere 1979), sedangkan inseminasi buatan pada sapi dan domba berhasil dilakukan oleh Elia I. Ivannof, seorang peneliti Rusia tahun 1913 (Partodihardjo 1987). Di Indonesia, inseminasi buatan/kawin suntik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1952 oleh Prof. Borge Seit dari Denmark dan dilaksanakan di lapangan satu tahun kemudian. Pola Pelaksanaan IB di Propinsi Riau Kegiatan inseminasi buatan merupakan rekayasa teknososial ekonomis yang memerlukan waktu untuk proses adaptasi. Untuk itu pelayanan IB dilaksanakan melalui tiga kategori perwilayahan IB atas dasar tahapan pelayanan IB meliputi : tahapan IB introduksi, tahapan IB pengembangan dan tahapan IB swadaya. Pembinaan lokasi IB dirancang dalam satu pola Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SP-IB) dengan pendekatan teknis dan terpadu secara agrobisnis. Sistim pelayanan IB dalam SP-IB mempunyai pengertian terpadu lokasi, terpadu sasaran dan terpadu pelayanan (Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau 2001). Pelayanan IB dilakukan melalui tiga cara yaitu pelayanan aktif (inseminator mendatangi peternak). pelayanan semi aktif (inseminator dan peternak bertemu disuatu tempat) dan pelayanan pasif (petani mendatangi inseminator), Perencanaan sasaran pelayanan IB pada setiap SP-IB dilakukan dengan memperhitungkan hal-hal sebagai berikut : struktur populasi, akseptor, service per conception (S/C), conception rate (CR), tenaga dan sarana yang tersedia. Untuk mempermudah pemahaman terhadap tahapan pelayanan IB oleh masing-masing pelaksana, maka perlu diberikan batasan dan kriteria terhadap tahapan pelayanan IB tersebut, untuk itu dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6 Batasan dan kriteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau Uraian
Kinerja 1.Kemampuan inseminator (ekor/tahun) 2. Service per conception 3. Conception rate (%) Batasan 1. Waktu pelaksanaan IB 2. Wilayah 3.Jumlah akseptor (ekor/thn./ins.) 4.Cakupan wilayah bina (ekor/th.) 5. Sumber dana
Introduksi
Pengembangan
Swadaya
300 3-5 50
500 2-3 70
800 <2 80
< 5 tahun SP-IB > 100 1800 100% APBN
5-10 tahun SP-IB > 200 3600 APBN+APBD
> 10 tahun SP-IB > 400 7200 100% petani
Sumber : Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau tahun 2001.
Sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB tingkat II dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7 Acuan/tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB II Uraian 1. S/C 2. CR (%) 3. Jumlah IB (dosis) 4. Jumlah akseptor (ekor) 5. Kelahiran/tahun (ekor) 6. Kasus reproduksi (%) 7. Penanganan kasus reproduksi (ekor) 8. Pelaporan
Tahapan pelayanan IB Introduksi
Pengembangan
Swadaya
3–5 50 1800 600 480 5-10 > 50 tertib
2–3 70 2400 1200 960 5-10 > 50 tertib
<2 80 3600 2400 1920 5-10 > 50 tertib
Sumber : Petunjuk Teknis Pelayanan IB di Propinsi Riau 2001.
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari usaha peningkatan mutu ternak, sedangkan IB merupakan cara utama yang tepat dan murah untuk mencapai tujuan itu. Karenanya dalam kegiatan IB mutlak diperlukan suatu sistim pencatatan yang rapi, baik dan benar. Sistim pencatatan ini pada garis besarnya meliputi : a. Sistim pencatatan dan laporan kegiatan operasional IB yang mencakup jumlah dosis, akseptor, kebuntingan dan kelahiran ternak hasil IB. b. Sistim pencatatan dan laporan yang mencakup kinerja insminator seperti S/C dan CR. Mekanisme pelaporan menggunakan kartu model dengan jenis sebagai berikut : 1. Kartu Sapi Potong (Model C. II), kegunaannya untuk menilai kemampuan produksi dan reproduksi sapi potong. Kartu ini berada di peternak dan di SP-IB lapangan. 2. Kartu Kegiatan IB (Model C. IV), kegunaannya untuk mencatat kegiatan harian inseminator selama satu bulan, dari kartu ini dapat diketahui jumlah inseminasi, jumlah akseptor, jumlah dosis dan jenis semen beku yang digunakan.
3. Kartu Pemeriksa Kebuntingan (Model C. V), kegunaannya untuk mengetahui jumlah akseptor yang bunting dan mengetahui prestasi inseminator 4. Kartu Rekapitulasi Kegiatan Inseminasi (Model C. VI), kegunaannya untuk menilai kegiatan dan prestasi para inseminator di dalam satu SP-IB II. 5. Kartu Pemakaian Semen (Model VII, VII-a), kegunaannya untuk mencatat penerimaan dan pemakaian semen di SP-IB lapangan dan SP-IB II, juga untuk mengetahui sisa semen dan jumlah semen yang rusak. Selain kartu-kartu tersebut, masih ada buku registrasi yaitu : 1. Buku Registrasi Sapi Betina Akseptor IB (Model D.II). Semua akseptor IB sapi potong dicatat disini. 2. Buku Registrasi pedet (Model D.III). Setiap pedet yang lahir hasil IB dicatat, terutama yang akan dijadikan induk dan pejantan unggul. Conception Rate (CR) Conception rate atau laju kebuntingan merupakan salah satu indikasi untuk mengetahui ukuran dari tingkat keberhasilan inseminsi buatan. CR adalah persentase jumlah ternak yang bunting pada IB pertama dibandingkan dengan jumlah keseluruhan hewan yang di IB pertama kali. Nilai/angka standard CR
dalam profil reproduksi yang dikeluarkan
Ditjenak (1991) adalah 62.50%. Angka CR terbaik adalah 60-70% (Toelihere 1979), untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajemen dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Service per Conception (S/C) Service per conception digunakan untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi antara individu-individu sapi betina yang subur. S/C sering juga digunakan untuk menghitung banyaknya pelayanan yang dilakukan untuk setiap terjadinya konsepsi (Vanderplassche 1982). Nilai S/C dihitung dengan membandingkan jumlah seluruh pelayanan inseminasi buatan dengan jumlah ternak yang bunting. Nilai ideal dari angka perkawinan/kebuntingan adalah sama dengan satu (Sutan 1988). Nilai S/C standar yang dikeluarkan Ditjenak (1991) adalah 1.60, sedangkan menurut Toelihere (1979), nilai S/C yang normal untuk wilayah Indonesia adalah 1.60-2.00. Nilai S/C normal untuk sapi pedaging/potong berkisar antara 2-3 (Achjadi 1992).
Makin rendah nilai S/C makin tinggi tingkat kesuburan ternak betina dalam satu kelompok (Toeliehere 1979). Menurut Partodihardjo (1987), rendahnya nilai S/C disebabkan oleh beberapa faktor seperti pelaporan deteksi berahi yang tidak tepat, rendahnya keterampilan inseminator dan kualitas semen yang digunakan kurang baik. Pengaruh lingkungan terhadap keragaman angka kelahiran lebih besar dari pada faktor genetik ternak (Mc Dowel et al. 1972). Tekhnik Inseminasi Sebelum dilaksanakan fase akhir prosedur pelaksanaan inseminasi, perlu diketahui terlebih dahulu status berahi dari ternak betina yang akan diinseminasi. Deteksi atau observasi berahi pada sapi potong dapat dilakukan dengan mengamati kebiasaan sapi betina yang sedang estrus seperti sapi tersebut diam sewaktu dinaiki oleh sapi lainnya, tetapi apabila sapi betina tersebut yang mencoba menaiki teman sekelompoknya, maka ternak betina tersebut masih berada pada fase menjelang berahi (Toelihere 1979). Ciri-ciri berahi yang mudah untuk diamati adalah warna vagina merah, vagina bengkak dan terasa hangat disertai keluarnya lendir serviks. Pada masa kapasitasi, perlu untuk memperhatikan waktu optimum inseminasi. Proses kapasitasi membutuhkan waktu 2-4 jam di dalam uterus atau Tuba Fallopii. Oleh sebab itu, waktu terbaik untuk inseminasi pada sapi tidak kurang dari 4 jam sebelum ovulasi dan tidak melebihi 6 jam sesudah akhir estrus. Menurut Triberger dan Davis (1943) dalam Toelihere (1979), inseminasi pada sapi antara 8-24 jam khususnya 7-18 jam sebelum ovulasi akan memberikan angka konsepsi yang paling tinggi. Pada sapi potong, dengan kemungkinan periode berahi yang pendek, waktu inseminasi optimal akan lebih singkat sehingga apabila estrus pertama kali terlihat pagi hari harus sudah di inseminasi pada hari yang sama, sedangkan apabila estrus teramati pada sore hari, inseminasi dapat dilakukan hari berikutnya (pagi-siang). Pelaksanaan inseminasi dapat dilakukan dengan metode rektovaginal karena lebih praktis dan lebih efektif (Sullivan et al. 1972). Teknik Pelaksanaan Pemeriksaan Kebuntingan Pemeriksaan kebuntingan pada umumnya menggunakan cara palpasi perektal. Berdasarkan laporan dari inseminator, petugas Pemeriksa Kebuntingan (PKB) melakukan pemeriksaan pada sapi potong yang tidak berahi kembali setelah di IB. Pemeriksaan kebuntingan dengan cara palpasi perektal juga dapat dilakukan atas permintaan peternak atau
Dinas Peternakan setempat untuk mengetahui efisiensi reproduksi sapi suatu wilayah pelayanan inseminasi buatan. Sebelum melakukan palpasi perektal untuk diagnosa kebuntingan perlu diperhatikan keamanan sipemeriksa seperti ternak yang akan diperiksa ditempatkan dikandang jepit dengan posisi pemeriksa berdiri miring menghadap ternak tersebut. Keamanan ternak juga merupakan bagian penting dari proses ini seperti petugas PKB harus berkuku pendek dan tidak tajam, tidak memakai perhiasan dan disarankan menggunakan pelicin sewaktu palpasi. Pemeriksaan kebuntingan di Propinsi Riau umumnya belum dilakukan secara regular, dimana setiap sapi yang telah di IB kembali diperiksa untuk mengetahui keberhasilan proses inseminasi buatan tersebut. Pemeriksaan kebuntingan lebih sering dilakukan secara serentak dan massal di beberapa daerah sentra peternakan sapi potong yang dilaksanakan medio JuliSeptember setiap tahunnya. PKB juga akan dilakukan di lapangan apabila ada permintaan dari Dinas Peternakan kabupaten setempat yang bersifat insidentil, misalnya ketika ada kunjungan kerja ataupun pelatihan dari Dinas Peternakan propinsi maupun pusat. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan oleh petugas pemeriksa kebuntingan dari Dinas Peternakan kabupaten yang telah mendapatkan pelatihan dan diklat. Petugas PKB yang juga merangkap sebagai inseminator ditempatkan di lokasi dengan populasi akseptor tinggi, diharapkan dengan semakin dekatnya tempat petugas berdomisili dengan pemukiman peternak, proses pelayanan IB dan PKB dapat dilaksanakan dengan baik dan kontiniu. Namun kenyataan di lapangan, hasil evaluasi yang diberikan oleh petugas lapangan untuk direkapitulasi sebagai laporan pelaksanaan inseminasi buatan di Dinas Peternakan masih banyak yang belum memenuhi standarisasi sehingga objektifitas penilaian di lapangan menjadi semakin sulit dilakukan. Laporan kebuntingan akseptor yang telah di IB lebih sering diketahui oleh petugas dari berita yang disampaikan oleh pemilik ternak dari pada pengecekan langsung ke lokasi sehingga banyak ternak bunting hasil IB yang tidak terlaporkan. Hal ini disebabkan ternak-ternak sapi potong di propinsi Riau umumnya digunakan untuk membajak sawah sehingga sulit untuk melakukan PKB secara rutin setelah di IB karena ternak tersebut hanya dikandangkan pada malam hari. Keakuratan hasil pemeriksaan tentang umur kebuntingan pada waktu dilaksanakan PKB juga menjadi kendala tersendiri karena petugas PKB sering kesulitan menentukan usia kebuntingan secara pasti terutama pada umur kebuntingan muda, hal ini akan memunculkan pertanyaan baru, apakah akseptor bunting karena IB atau karena kawin alam dalam satu periode setelah IB karena kegagalan IB pertama sebab ternak sapi betina berbaur dengan
ternak sapi jantan dan petani pemilik ternak sering tidak melaporkan adanya sapi betina yang sedang berahi ke petugas karena kurang jeli memperhatikan ciri-ciri berahi atau pada saat munculnya tanda-tanda berahi tenaga sapi tersebut sedang digunakan sehingga petani ternak urung melaporkan keadaan ternaknya ke petugas di lapangan. Evaluasi hasil kebuntingan karena IB juga semakin sulit dilakukan karena mobilisasi akseptor yang diperjual belikan. Petani ternak yang sedang mengalami kesulitan ekonomi sering menjual ternak sapinya walaupun ternak sapi tersebut dalam keadaan bunting tanpa melaporkan ke petugas sehingga data tentang ternak sapi tersebut hilang begitu saja.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Kegiatan. Tempat yang dijadikan lokasi untuk kegiatan adalah daerah yang memiliki ternak sapi dengan kepadatan cukup tinggi, merupakan tempat pelaksanaan program IB yang intensif dan masih memerlukan pengembangan. Selain itu pemilihan tempat juga berdasarkan pada aspek pasar di mana daerah tersebut bukan merupakan sentra peternakan karena populasi sapi yang tidak begitu tinggi tapi merupakan daerah strategis secara ekonomi untuk pemasaran hasil produksi peternakan seperti daging dan sebagainya, daerah yang dekat dengan ibu kota propinsi dengan penduduk relative konsumtif terhadap hasil ternak. Pemilihan daerah juga dapat dilihat berdasarkan lokasi/wilayah, di mana daerah tersebut belum dikembangkan peternak sapi secara intensif tapi merupakan daerah potensial untuk peternak ditinjau dari luas wilayah dan ketesediaan pakan alami. Lokasi pengkajian tersebut yaitu empat kabupaten dari 15 kabupaten/kota yang terdapat di propinsi Riau yaitu: 1) kabupaten Indragiri Hulu, 2) kabupaten Kampar, 3) kabupaten Rokan Hulu, 4) kabupaten Kepulauan Riau. Data pengkajian telah terkoleksi dan tersedia di Dinas Peternakan Propinsi Riau yang terekam dari tahun 1999 sampai dengan 2002. Data yang tersedia tersebut dikumpulkan melalui survey dari tanggal 17 Juli - 12 Agustus 2002. Metode Pengkajian Pengkajian ini dilakukan dengan metode survey. Jenis data yang diperlukan adalah data sekunder yang telah tersedia di Dinas Peternakan propinsi Riau, yang merupakan rekapitulasi data laporan dan catatan rutin hasil pelaksanaan program IB. Parameter yang dijadikan data untuk evaluasi adalah: a. Variabel keberhasilan pelaksanaan program IB seperti: 1. Perkembangan lokasi kegiatan IB. 2. Peningkatan populasi akseptor. 3. Peningkatan penggunaan dosis semen beku dan realisasi IB. 4. Peningkatan jumlah kelahiran pedet. b. Profil reproduksi yaitu nilai cr dan s/c.
Evaluasi dan Analisa Data sekunder berupa parameter keberhasilan program IB dan profil reproduksi yang telah terkumpulkan dievaluasi menggunakan analisa deskriptif. Analisa deskriptif dipergunakan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan program IB dan menentukan keberhasilnnya dengan cara membandingkan parameter profil reproduksi
dari empat kabupaten contoh
dengan nilai baku profil reproduksi yang telah ditetapkan oleh Direktorat Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian (1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan lokasi kegiatan IB di ke empat kabupaten contoh tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 8 Perkambangan lokasi kegiatan IB per SPIB II selama tahun 1999-2002 Kabupaten 1999 2000 2001 Indragiri Hulu Ada Ada Ada Kampar Ada Ada Ada Kepri Ada Ada Ada Rokan Hulu Ada Ada
2002 Ada Ada Ada Ada
Lokasi kegiatan IB di propinsi Riau diprioritaskan pada daerah-daerah potensial untuk penyebaran dan pengembangan ternak sapi. Daerah tersebut memiliki wilayah yang luas dan ketersediaan pakan alami yang cukup yang didukung dengan adanya alokasi dana APBD yang dianggarkan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk pengembangan peternakan. Di wilayah kabupaten Rokan Hulu pada tahun 1999 sebenarnya sudah ada lokasi kegiatan IB, tetapi kabupaten tersebut baru resmi berdiri setelah adanya pemekaran kabupaten/kota di propinsi Riau pada tahun 2000, di mana Rokan Hulu sebelumnya merupakan bagian dari kabupaten Kampar. Perkambangan lokasi kegiatan inseminasi juga terjadi karena adanya penambahan bibit sapi baru melalui pengadaan program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (PEK). Seiring dengan adanya perkembangan lokasi pelayanan program pelaksanaan IB, akseptor sebagai faktor utama dalam kegiatan IB juga mengalami peningkatan. Selain bertambahnya jumlah akseptor karena adanya sapi dara yang sudah memasuki usia produktif, juga disebabkan adanya penambahan populasi sapi baik dari program PEK maupun perdagangan sapi lintas wilayah yang merupakan hasil swadana dari petani ternak sendiri. Rekapitulasi jumlah akseptor di empat kabupaten contoh tersebut dapat dilihat dari Tabel berikut: Tabel 9 Rekapitulasi jumlah akseptor dari tahun 1999-2002 Kabupaten 1999 2000 Indragiri Hulu 2125 2375 Kampar 3740 430 Kepri 400 150 Rokan Hulu 2950
2001 3500 540 350 4350
2002 3500 540 350 4350
Pada tahun 1999 jumlah akseptor terbanyak ada di kabupaten Kampar dan jumlah tersebut berkurang drastis sejalan dengan terbentuknya kabupaten Rokan Hulu yang merupakan pemekaran dari kabupaten Kampar pada tahun 2000. tingginya jumlah akseptor di
kabupaten Rokan Hulu disebabkan daerah tersebut sudah memiliki beberapa lokasi sentra pengembangan peternakan sapi potong yang dikelola secara intensif, didukung dengan luas wilayah yang memadai ditambah lagi dengan adanya program pengembangan daerah transmigrasi sehingga bantuan sapi baik dari APBD lokal maupun APBN lebih dititik beratkan pada daerah tersebut. Penurunan jumlah akseptor yang terjadi pada tahun 2000 di kabupaten Kepulauan Riau disebabkan karena pengembangan daerah berpola industri baru sehingga banyak masyarakat yang tadinya berprofesi sebagai patani peternak beralih fungsi menjadi pelaku industri sehingga sebagian besar sapi dari daerah tersebut dijual. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah populasi sapi yang secara langsung juga manyebabkan berkurangnya jumlah akseptor, ditambah lagi dengan semakin berkurangnya lahan untuk pemeliharaan ternak sapi dan kesulitan dalam mendapatkan pakan alami ternak. Target IB di ke empat kabupaten dapat dilihat dari jumlah target dosis semen beku. Secara umum di propinsi Riau terjadi peningkatan target IB dari tahun 1999-2002. Pada tahun 1999 target IB hanya 16 000 dosis, maka pada tahun 2002 menjadi 30 000 dosis atau meningkat sebesar 87.5%. Meningkatnya target IB ini tidak terlepas dari permintaan peternak yang semakin sadar akan manfaat IB. Namun peningkatan target ini tidak diiringi oleh realisasi IB yang cenderung menurun, yaitu dari 54.17% pada tahun 1999 menjadi 29.07% pada tahun 2002. Hal ini dapat disebabkan dalam proses pelaksanaan IB tidak disertai manajemen yang baik serta sarana dan prasarana yang memadai. Faktor sarana/prasarana pendukung dalam keberhasilan kegiatan IB yang dimaksud seperti container untuk distribusi semen beku dan N2 cair ke lapangan, inseminator kit dan kendaraan bermotor sebagai transportasi petugas lapangan mengingat jangkauan kegiatan IB cukup luas.
Rekapitulasi Target IB dan Realisasi IB di ke empat kabupaten contoh dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 10 Rekapitulasi target IB dan realisasi IB dari tahun 1999-2002. 1999 Kabupaten Inhu Kampar Kepri Rokan Hulu
2000
2001
2002
Target IB
Realisasi IB
Target IB
Realisasi IB
Target IB
Realisasi IB
Target IB
4250 7750 800 -
3916 3308 150 -
3800 1076 300 4490
1563 231 18 2405
4000 1080 700 6960
2750 334 104 2929
4000 1080 700 6960
Reali sasi IB
24 800
Terjadi penurunan yang sangat signifikan target IB di propinsi Indragiri Hulu pada tahun 1999/2000 dari 4250 target dosis menjadi 3800 dosis (turun sebesar 10.5%). Dan kabupaten Kepulauan Riau dari 800 dosis tahun 1999 menjadi 300 dosis pada tahun 2000 (turun sebesar 62.5%). Penurunan target tersebut disesuaikan dengan jumlah realisasi pelaksanaan IB di kabupaten tersebut yang hanya sebesar 3916 ekor (91.14%) di kabupaten Indragiri Hulu dan 150 ekor di kabupaten Kepulauan Riau (18.75%), juga disebabkan adanya penurunan jumlah akseptor di kabupaten Kepulauan Riau. Penurunan target dosis di kabupaten Kampar sejak tahun 2000 disebabkan karena terpisahnya kabupaten Rokan Hulu dari kabupaten Kampar sehingga terjadi penurunan jumlah populasi sapi dan akseptor di kabupaten Kampar yang secara langsung berpengaruh terhadap target dosis IB dan hasil realisasi IB. Target dosis IB meningkat pada tahun 2001 hampir di semua kabupaten dan peningkatan terbesar terjadi di kabupaten Kepulauan Riau dari 300 dosis tahun 2000 menjadi 700 dosis tahun 2001 (meningkat 133.3%). Hal ini disebabkan karena adanya penambahan akseptor di kabupaten kepulauan Riau dari hanya 150 ekor di tahun 2000 menjadi 350 ekor di tahun 2001 (meningkat 133.3%). Di kabupaten Rokan Hulu juga terjadi peningkatan jumlah target dosis sebesar 55% yaitu sebanyak 4490 dosis pada tahun 2000 menjadi 6960 dosis pada tahun 2001. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan jumlah akseptor sebesar 47.5% yaitu dari 2950 pada tahun 2000 menjadi 4350 pada tahun 2001. Peningkatan jumlah akseptor ini terjadi karena adanya pengadaan sapi baru melalui program PEK pada tahun 2001 di kabupaten Rokan Hulu.
Realisasi pelaksanaan IB pada tahun 1999 terbesar adalah kabupaten Indragiri Hulu yaitu 92.14%, tetapi terjadi penurunan pada tahun 2000 yang hanya sebesar 41.1% dan meningkat lagi pada tahun 2001 sebanyak 68.75%. Di kabupaten Kampar pada tahun 1999, IB terlaksana sebanyak 3308 dosis (42.68%) dan menurun tajam pada tahun 2000 menjadi 231 dosis. Di kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2000 terealisasi sebesar 2405 dosis (53.6%) dan meningkat dalam jumlah realisasi pada tahun 2001 (2929 dosis) tetapi berkurang dari segi persentase (42.08%) karena bertambahnya target dosis (dari 4490 pada tahun 2000 manjadi 6960 pada tahun 2001). Di kabupaten Kepulauan Riau relisasi IB menurun dari tahun ke tahun yaitu 18.75% pada tahun 1999 menjadi 6.0% pada tahun 2000 dan terjadi sedikit peningkatan pada tahun 2001 menjadi 14.86%. Padahal jumlah target dosis dan akseptor telah ditambah sampai 133.3%, sehingga di Dinas Peternakan Riau akan dilaksanakan pemangkasan jumlah SPIB dari 11 SPIB II menjadi 9 SP IB II, dan salah satu SP IB II yang dihilangkan tersebut adalah SPIB II kabupaten Kepulauan Riau karena dinilai kurang efisien mengingat jumlah akseptor dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan belum berimbang dengan hasil yang dicapai walaupun daerah tersebut sangat potensial sebagai daerah pemasaran karena letaknya yang strategis dan semakin banyaknya pertumbuhan daerah industri yang akan mempengaruhi pendapatan perkapita masyarakat yang secara tidak langsung akan semakin meningkatkan daya beli dari masyarakat untuk mengkonsumsi pangan hasil ternak terutama daging (baik hasil unggas maupun sapi potong). Persentase Realisasi IB dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 11 Persentase realisasi IB dari tahun 1999-2002 Kabupaten Indragiri Hulu Kampar Kepulauan Riau Rokan Hulu
1999 (%) 92.14 42.68 18.75 -
2000 (%) 41.1 21.5 6 53.6
2001 (%) 68.75 30.39 14.86 42.8
2002 (%) 3 11.49
Rendahnya realisasi IB di propinsi Riau secara umum disebabkan tidak atau belum semua petugas lapangan yang mengirimkan laporan evaluasi IB di lapangan ke SPIB II sehingga keakuratan data lapangan dengan data hasil rekapitulasi yang ada di Dinas Peternakan propinsi menjadi berkurang. Pada tahun 2002, belum semua data di kirim oleh SPIB II ke Dinas Peternakan propinsi dan data untuk kabupaten Kepulauan Riau dan kabupaten Rokan Hulu dihitung sampai pelaporan bulan Mei 2002.
Keberhasilan program pelaksanaan IB ditentukan oleh jumlah ternak lahir hasil IB, target angka kelahiran dan realisasi kelahiran di ke empat kabupaten tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 12. Target lahir dan realisasi kelahiran dari tahun 1999-2002 1999
Kabupaten
Target lahir
Inhu Kampar Kepri Rohul
1360 2394 256 -
2000 Reali sasi lahir
150 548 40 -
Target lahir
1520 275 96 1880
2001 Reali sasi lahir
507 85 93 1517
Target lahir
2240 345 224 2784
2002 Reali sasi lahir
488 87 10 1207
Target lahir
2240 345 224 2784
Reali sasi lahir
510
Angka kelahiran di ke empat kabupaten tersebut sangat rendah, pada tahun 1999 di kabupaten Indragiri Hulu angka kelahiran hanya 150 ekor dari target lahir sebanyak 1360 ekor (11.03%), dan hanya 13.99% dari keseluruhan akseptor yang di IB yang berhasil lahir (realisasi IB sebesar 3916 ekor). Untuk kabupaten Kampar, pada tahun 1999 realisasi lahir sebanyak 548 ekor (22.89% dari target lahir) dan hanya 17.6% dari jumlah akseptor yang di IB. Di kabupaten Kepulauan Riau 15.63% dari 256 ekor target lahir terealisasi lahir (40 ekor), sekitar 26.7% dari keseluruhan ternak yang di IB (150 ekor). Pada tahun 2000, di kabupaten Kampar dengan target kelahiran 275 ekor terealisasi sebesar 30.9% yaitu sebanyak 85 ekor. Kelahiran tertinggi terjadi di kabupaten Rokan Hulu yaitu sebanyak 1517 ekor, angka tersebut 80.7% dari target kelahiran (1880) dan 65.1% dari realisasi dosis IB (2405) berhasil lahir. Di kabupaten Indragiri Hulu angka lelahiran pada tahun 2000 mencapai 507 ekor, sebanyak 33.4% dari target kelahiran dan 32.5% dari keseluruhan pelayanan IB di lapangan. Untuk kabupaten Kepulauan Riau, ternak lahir hanya 3 ekor dari 96 ekor yang ditargetkan lahir, merupakan pencapaian yang sangat rendah mengingat terjadi 40 kali pelayanan IB di lapangan. Hal ini diduga akibat banyaknya ternak sapi betina bunting hasil IB diperjual belikan keluar daerah sebelum melahirkan ataupun dipotong. Pada tahun 2001 terjadi penurunan angka kelahiran hampir di seluruh kabupaten, kelahiran tertinggi tetap di kabupaten Rokan Hulu sebanyak 1207 ekor, 43.35% dari rencana lahir pada tahun tersebut. Untuk kabupaten Kampar ada sebanyak 87 ekor ternak lahir, sebesar 25.2% dari target lahir. 488 ekor ternak lahir di kabupaten Indragiri Hulu, angka ini hannya 21.7% dari kelahiran yang ditargetkan. Peningkatan angka kelahiran terjadi di kabupaten Kepulauan Riau yaitu sebanyak 10 ekor, 9% dari realisasi IB dan 4.5% dari target
kelahiran di daerah tersebut. Tahun 2002, belum semua data dan SP IB ke Dinas Peternakan propinsi terlaporkan sampai pada bulan Agustus, sehingga evaluasi pelayanan IB pada tahun tersebut belum terekapitulasi. Hanya dari kabupaten Rokan Hulu, yaitu sebanyak 510 ekor kelahiran (18.32% dari target) dan dari kabupaten Kepulauan Riau sebanyak 3 ekor (1.34% dari target) dengan penghitungan sampai pada bulan Mei 2002 telah terlaporkan. Persentase realisasi lahir dari target kelahiran yang direncanakan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 13 Persentase realisasi kelahiran dari target kelahiran tahun 1999-2002 Kabupaten Indragiri Hulu Kampar Kepulauan Riau Rokan Hulu
1999 (%) 11.3 22.9 15.63 -
2000 (%) 33.4 30.9 3.1 80.7
2001 (%) 21.7 25.2 4.46 43.35
2002 (%) 1.34 18.32
Persentase realisasi lahir ditinjau dari banyaknya IB yang dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14 Persentase realisasi lahir dari jumlah realisasi IB tahun 1999-2002 Kabupaten Indragiri Hulu Kampar Kepulauan Riau Rokan Hulu
1999 (%) 13.9 17.6 26.7 -
2000 (%) 32.5 36.7 7.5 65.1
2001 (%) 17.7 26 9.6 41.2
2002 (%) 12.5 63.7S
Rendahnya angka kelahiran dari hasil pelayanan IB di lapangan dapat disebabkan masih rendahnya pengatahuan maupun keahlian petugas lapangan dalam melakukan proses pelayanan IB. Selain itu, luasnya wilayah kerja seorang inseminator ditambah lagi kesulitan dalam menjangkau lokasi ternak sapi yang akan di IB (sapi betina produktif yang sedang birahi) karena faktor jalan sebagai sarana transportasi yang masih belum permanen juga sangat mempengaruhi kinerja seorang inseminator. Sering terlambatnya pendistribusian straw ataupun N2 cair kelapangan merupakan faktor penghambat lain sehingga sering inseminator menggunakan straw yang sudah tidak layak karena hanya setengah dan bagian straw tersebut yang masih terendan N2 cair akibat kekurangan stok liquid cair di container inseminator. Kekurangan lain di lapangan yang paling sering dijumpai adalah pada waktu proses pelaksanaan IB, inseminator kurang memperhatikan kesterilan baik alat maupun pekerjaan sehingga ternak yang di IB sering mengalami aborsi dan tidak jarang juga terjadi distokia karena inseminator terpaksa menggunakan straw dengan ukuran/bobot tubuh spesies lebih
besar kepada sapi-sapi spesies kecil karena keterbatasan stok berhubung di propinsi Riau umumnya didominasi oleh ternak sapi Bali. Keberhasilan pelaksanaan program inseminasi buatan untuk satu tahun anggaran di suatu daerah, selain diukur dari presentase kelahiran juga sangat ditentukan oleh profil reproduksi yang parameternya dapat dilihat dari angka service per conception (S/C) dan nilai conception rate (CR). Angka S/C dapat diketahui dari keberhasilan petugas IB dalam melayani akseptor. Service per conception dihitung dengan pembagian jumlah dosis atau pelayanan IB dengan jumlah/angka kebuntingan, sedangkan conception rate (angka kebuntingan) adalah persentase jumlah ternak bunting pada IB pertama (IB I) dibagi dengan jumlah seluruh ternak yang di IB pertama kali, dalam hal ini kebuntingan hasil IB II, IB III dan seterusnya tidak diperhitungkan. Angka service per conception dan conception rate dari ke empat kabupaten contoh tersebut dapat dilihat pada table berikut : Tabel 15 Nilai service per conception dan conception rate dari tahun 1999-2001 1999 2000 2001 Kabupaten CR CR CR S/C S/C S/C (%) (%) (%) Inhu 3.2 25.75 2.75 35.66 4.69 19.51 Kampar 3.89 25.66 2.45 41.05 3.47 28.35 Kepri 3.75 30.66 3.6 16.66 7.42 11.4 Rohul 3.88 26.66 1.74 69.35 2.20 45.30 Nilai S/C pada tahun 1999 di kabupaten Indragiri Hulu merupakan yang terbaik dibandingkan nilai yang didapat oleh kabupaten lainnya yaitu sebesar 3.2 dengan angka CR mencapai 30.66 %. Terjadi peningkatan hasil pada tahun 2000 yaitu nilai S/C sebesar 2.75 sedangkan angka CR 35.66%, tetapi pada tahun 2001 terjadi penurunan nilai yang sangat mencolok dimana nilai S/C hanya 4.69 dengan CR 19.51%. Nilai S/C yang diperoleh kabupaten Kampar tahun 1999 adalah 3.89 dengan CR sebesar 25.66%. Kinerja pelaksanaan IB meningkat pada tahun 2000, hal ini terlihat dari membaiknya nilai S/C menjadi 2.45 dengan CR mencapai angka 41.05%. Akan tetapi pada tahun 2001 terjadi penurunan nilai dengan S/C hanya 3.47 dan CR 28.35%. Tahun 1999, nilai S/C di kabupaten Rokan Hulu (diambil dari data pelaksanaan IB di Dinas Peternakan Pasirpengaraian) adalah sebesar 3.88 dengan angka CR sebesar 25.75%. Hasil evaluasi tahun 2000 menunjukkan peningkatan kinerja pelayanan IB, dapat dilihat dari nilai S/C yang mencapai 1.74 dengan nilai CR sebesar 69.35%. Hampir sama dengan kabupaten lainnya, pada tahun 2001 di kabupaten Rokan Hulu juga terjadi penurunan kinerja pelaksanaan IB, terlihat dari nilai S/C yang turun menjadi 2.20 dengan CR sebesar 45.30%. Kabupaten Kepulauan Riau menjadi sisi negatif kinerja
pelaksanaan program IB di propinsi Riau. Rendahnya frekuensi pelayanan IB dan angka kelahiran menyebabkan nilai parameter profil reproduksi di kabupaten Kepulauan Riau menjadi sangat buruk. Pada tahun 1999, nilai S/C hanya 3.75 dengan CR sebesar 26.66%. Pada tahun 2000, nilai S/C menjadi 3.60 dengan CR 16.66%. Rendahnya nilai CR pada tahun 2000 menunjukkan bahwa keberhasilan inseminator sangat rendah dalam merealisasikan pelayanan IB pada pelaksanaan IB pertama. Tahun 2001 nilai S/C menjadi 7.42 dengan CR hanya 11.40%, merupakan nilai terendah jika dibandingkan dengan perolehan dari kabupaten lainnya. Skala nasional parameter profil reproduksi untuk nilai service per conception adalah 1.6 dengan angka conception rate 62.5%. Apabila angka suatu daerah jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan parameter nasional tersebut, ada banyak kemungkinan yang menjadi penyebab seperti kurang baiknya manajemen pelayanan IB, kualitas semen beku yang didistribusikan ke lapangan yang rendah, kurangnya kemampuan teknis inseminator dan lain sebagainya. Perbandingan profil reproduksi ke empat kabupaten contoh dengan tersebut dengan parameter reproduksi berskala nasional dapat dilihat dari grafik berikut :
8 7
Service per Conception (SC)
6 5
Inhu K am par K e p ri Rohul N a s io n a l
4 3 2 1 0 1999
2000
2001
T ahun Grafik perbandingan nilai profil reproduksi empat kabupaten contoh dengan parameter nasional untuk nilai Service per Conception tahun 1999-2001.
80
Conception Rate (CR)
70 60 Inhu Kampar Kepri Rohul Nasional
50 40 30 20 10 0 1999
2000
2001
Tahun
Grafik perbandingan nilai profil reproduksi empat kabupaten contoh dengan parameter nasional untuk nilai Conception Rate tahun 1999-2001.
Kinerja IB yang ditunjukkan oleh hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir dibandingkan dengan banyaknya dosis inseminasi yang digunakan cenderung sangat rendah apabila mengacu pada parameter reproduksi skala nasional. Nilai CR di keempat kabupaten contoh yang dapat dijadikan ukuran tingkat keberhasilan dan evaluasi kinerja IB di propinsi Riau tersebut memiliki interval perbedaan yang sangat signifikan dengan parameter reproduksi berskala nasional. Hanya hasil di kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2000 dengan nilai CR 69.35% yang dapat dikatakan baik karena angka tersebut lebih besar dari skala nasional (62.5%), sedangkan untuk kabupaten lain jauh di bawah standar nasional. Kecenderungan rendahnya nilai CR ini untuk propinsi Riau sangat dipengaruhi oleh keadaan wilayah dengan luasnya lokasi cakupan pelayanan IB per satu SP-IB II sehingga jangkauan pelaksanaan IB belum terlayani dengan baik. Keterbatasan sarana dan prasarana penunjang terutama jumlah kontainer untuk distribusi semen beku dan Nitrogen cair yang masih kurang sehingga kondisi semen beku di inseminator di lokasi pelayanan IB sering tidak layak lagi untuk di inseminasikan. Proses pengadaan keperluan semen beku yang didatangkan dari BIB Lembang atau BIB Singosari memerlukan waktu yang cukup lama sehingga kerap terjadi kekosongan semen beku di tingkat lapangan. Tidak berbeda jauh dengan nilai CR, angka peubah parameter reproduksi yang dapat dijadikan tolok ukur kesuburan ternak betina dalam suatu kelompok ternak yaitu angka S/C dari ke-empat kabupaten contoh tersebut jika dibandingkan dengan nilai parameter reproduksi berskala nasional untuk S/C (1.6), masih sangat rendah. Beberapa hal yang dapat diduga sebagai faktor penyebab rendahnya nilai S/C di Propinsi Riau seperti masih sangat kurangnya pengetahuan peternak tentang ciri-ciri atau cara mendeteksi berahi sapi yang benar sehingga sering terjadi salah pelaporan waktu optimal inseminasi, masih rendahnya kemampuan inseminator dalam melaksanakan pelayanan IB juga mendukung menurunnya angka kebuntingan ditambah lagi seringnya inseminator menginseminasi sapi yang dilaporkan berahi oleh peternak tampa memperhitungkan waktu awal mulai terlihatnya berahi, hal ini juga berpengaruh terhadap waktu optimal pelaksanaan dan keberhasilan inseminasi. Rendahnya mutu semen beku yang digunakan yang disebabkan oleh seringnya kerterlambatan distribusi semen beku ke lapangan sehingga inseminator tetap atau terpaksa menggunakan semen beku yang sudah lewat masa pakai (kadaluarsa), belum lagi jumlah Nitrogen cair yang didistribusikan ke lapangan kadang tidak mencukupi sehingga semen beku yang tersedia di kontainer inseminator lapangan tidak semuanya terendam dalam Nitrogen cair. Perkembangan kegiatan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau selama empat tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan apabila dilihat dari segi lokasi/SP-IB dan jumlah akseptor. Akan tetapi jika diperhatikan kinerja pelaksanaan IB secara keseluruhan yang ditunjukkan dari hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir cenderung menurun. Pada tahun 1999 realisasi inseminasi mencapai 54.17% tetapi pada tahun 2001 hanya mencapai 29.07%. Demikian juga dengan angka kelahiran, jika tahun 2000 tercapai 35% dari target, pada tahun 2001 hanya 20.47% dari nilai yang ditargetkan. Kecenderungan rendahnya kinerja kegiatan IB tidak terlepas dari manajemen kegiatan dan pelayanan IB yang belum optimal. Artinya pengaturan sumberdaya yang tersedia berupa
kesiapan inseminator, keberadaan akseptor, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, organisasi pengelola IB dan keuangan belum terlaksana secara terpadu, sehingga sumber daya tersebut belum sinergi dan pada akhirnya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Target angka kelahiran yang dihitung dengan asumsi tingkat kelahiran 64 % per tahun yaitu sapi yang di IB 80 % bunting dan 80 % dari ternak bunting hasil IB tersebut lahir. Dari data yang diperoleh realisasi kelahiran sangat fluktuatif, kemungkinan kondisi ini disebabkan karena tidak semua ternak lahir hasil IB dilaporkan dan masih seringnya pemilik ternak menjual ternak dalam keadaan bunting hasil IB sehingga data ternak tersebut tidak lagi diketahui.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terjadi peningkatan perkembangan kegiatan inseminasi buatan di propinsi Riau apabila dilihat dari segi lokasi/SP-IB dan jumlah akseptor, tetapi terjadi penurunan jika diperhatikan dari kinerja pelaksanaan inseminasi secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir, dibuktikan dengan perbedaan yang sangat signifikan antara skala peubah parameter profil reproduksi di propinsi Riau dengan skala parameter nasional. Saran 1. Diperlukan adanya pelatihan keterampilan pelaksana IB secara menyeluruh di propinsi Riau, ditinjau dari seringnya kegagalan proses pelaksanaan IB disebabkan kesalahan tekhnis petugas pelaksana IB di lapangan. 2. Perlu dilakukan penataan ulang terhadap pola pelaksanaan kegiatan IB, jumlah akseptor terdaftar dan objektifitas pelaporan hasil IB dari SP-IB II ke Dinas Peternakan untuk menunjang keakuratan data di lapangan sehingga dapat dicari solusi atau terobosan baru untuk menanggulangi masalah yang terjadi. 3. Perlu dikembangkan Balai Inseminasi Buatan mini di tingkat propinsi guna memperlancar distribusi semen beku ataupun Nitrogen cair ke SP-IB II, juga bisa dimungkinkan untuk menggunakan semen cair.
DAFTAR PUSTAKA Achjadi R K. 1992. Reproduksi Ternak Sapi Potong. Materi pada kegiatan pelatihan dan kunjungan petani dan petugas proyek pengembangan usaha peternakan Kalimantan II. Dinas Peternakan Propinsi Riau. 2002. Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002. Pekanbaru : Dinas Peternakan Propinsi Riau. Dinas Peternakan Propinsi Riau. 2001. Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau. Pekan Baru : Dinas Peternakan Propinsi Riau. Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan Terpadu. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. Mc Dowel L E et al. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. San Fransisco : W H Freeman and company. Partodiharjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya. Payne W J A, Williamson G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan S G N Djiwa Darmaja. Yogyakarta : Gajdah Mada University Press. Sutan S M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, Ongole dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Toelihere M R. 1979. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung : Angkasa. Vandeplassche M. 1982. Produktive Efficiency in Cattle, A Guideline for Projects in Developing Countries. Rome : Food and Agriculture Organization of United Nations (FAO).