TEMU ILMIAH IPLBI 2013
Kajian Keterkaitan Subyek Wanita dalam Konsep Jaringan Pemukiman Asli: Nagari, Tatakam dan Banua Indah Widiastuti, Himasari Hanan Sejarah Teori dan Kritik Arsitektir, Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan kebijakan, Institut Teknologi Bandung.
Abstrak Artikel ini membahas tiga konsep pemukiman di Asia, banua, tatakam dan nagari. Artikel ini mencoba menjelajahi pengaruh wanita sebagai subyek pada pembentukan pemukiman, kestabilan struktur jaringan desa, yang berintikan pada organisasi sosial-spasial komunal. Acuan untuk mengkaji konsep adalah kajian ilmiah yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dan didukung oleh pengamatan yang dilakukan penulis. Artikel ini belum ditujukan untuk memberi kesimpulan yang solid, namun sekedar menawarkan sebuah kerangka konseptual-argumentatif mengenai keterkaitan subyek wanita dan konsep jaringan desa. Kata-kunci: tatakam, banua, nagari, desa, desham, matrilineal, wanita, lansekap sacral, pertanian padi, arsitektur tropis.
Artikel ini ditulis berdasarkan eksplorasi terhadap tiga konsep pemukiman asli di Sumatera Barat, Kerala, India Selatan dan Baliaga di Bali. Kajian ini diawali kajian terhadap penelitian terdahulu. antara lain: kajian NM Nampoothiri mengenai tattakam (1988), kajian Thomas Reuter tentang banua (2005) dan kajian penulis sendiri mengenai tattakam dan nagari (widiastuti, 2011). Kajian tersebut dilengkapi dengan pengamatan lapangan yang dilakukan di desa Bayung Gede, kabupaten Bangli, Bali; Puthiankam desham, kabupaten Alathur, Kerala, India; dan Nagari Sungayang, kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Kajian ini didorong oleh fakta bahwa ketiga konsep desa tersebut membentuk jaringan desa, karakter komunal dari masyarakatnya, pertanian sawah, visualisasi tipikal lansekap tropis dengan hamparan padi dan kelapa. Kasus tattakam dan nagari sudah memastikan korelasi yang dekat antara konsep pemukiman dan subyek wanita lewat organisasi kekerabatan matrilineal. Keberadaan Jero Kahyangan atau “dewan ibu” di Bayung Gede juga menjadi indikasi pentingnya posisi wanita dalam masyarakat Baliaga. Atas
dasar fakta-fakta ini kajian ini dilakukan untuk memahami representasi subyek wanita dalam konsep pembentukan dan pemaknaan pemukiman asli pada ketiga konsep pemukiman pramodern Asia tersebut, untuk memahami wujud dan mekanisme dari peran sosial-kultural wanita dalam ruang dari arsitektur dan pemukiman. Artikel ini merupakan awal dari sebuah kajian yang lebih besar. Hasil kajian awal ini akan dihadirkan sebagai sebuah kesimpulan sementara yang pada gilirannya dapat lebih diperdalam dan dilengkapi lagi. Pengantar: Konsep Arsitektur-Pemukiman Konsep Arsitektur-Pemukiman dicetuskan oleh Nold Egenter, sebagai upaya menyusun kerangka ilmiah untuk memahami arsitektur vernakuler dengan cara mensintesakan azaz penelitian arsitektur dan antropologi. Konsep Arsitektur-Pemukiman mengasumsikan adanya sebuah karakter inti yang terkandung dalam sebuah habitat, dan karakter ini berulang di semua skala unit habitat tersebut, mulai dari unit hunian, unit kelompok hunian, hingga unit pemukiman dan dan bahkan lansekap, atau keProsiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 31
Kajian Keterkaitan Subyek Wanita dalam Konsep Jaringan Pemukiman Asli: Nagari, Tatakam dan Banua
lompok pemukiman. Dengan kata lain karakter ini dapat menjelaskan perilaku desain dan organisasi dari sebuah hunian dan pemukiman secara integral. Konseptualisasi Arsitektur-Pemukiman merupakan kritik terhadap ungkapan arsitektural seperti bangunan, pemukiman, dan lansekap yang sering dipandang secara mekanis terpisah, karena pada kenyataanya hubungan antara ketiganya bersikap kontinum. Levi Strauss menyebut-nya “House-Society”. Salah satu dampaknya, istilah "rumah" bagi masyarakat Nusantara bisa digunakan untuk menyebut satu bangunan tempat tinggal atau kelompoknya; atau habitasi keluarga yang bisa berupa keluarga ini, keluarga besar atau komunitas. Istilah desa bisa digunakan untuk menyebut satu unit pemukiman, bisa pula lansekap yang meliputi beberapa desa. Konsep Pemukiman Asli: Nagari, Tatakam dan Banua
Tattakam secara harfiah adalah sebuah “area imajiner yang dianggap berada dalam jangkauan penglihatan Bhagavaty” (dewi ibu masyarakat Kerala India Selatan). Jangkauan penglihatan bhagavaty ini bisa dalam lingkup rumah, kelompok rumah, pemukiman atau himpunan pemukiman, atau bahkan lansekap. Representasinya bisa dalam bentuk ruang bagi bangunan, tempat ibadah bagi komunitas atau tempat ibadah utama bagi komunitas. Satu-satunya kajian khusus mengenai tattakam dikaji secara mendalam oleh seorang sarjana sastra, N.M Nampoothiri, yang diawalinya dari kajian mengenai toponim nama-nama desa di Calicut kerala (Nampoothiri, 1988). Akhirnya ia mendapati bahwa nama-nama tempat tersebut saling mengacu satu sama lainya dalam sebuah jaringan antar tempat yang mengacu padanama dewi ibu. Banua adalah jaringan desa- desa yang satu sama lainya terikat oleh ritual yang sama yang berpusat pada kuil “Bale Agung”. Lingkupnya juga bisa lebih dari hanya satu desa. Kajian mendalam mengenai jaringan ritual yang dijadikan acuan di sini adalah kajian dari Thomas Reuter. (Reuter, 2005) Nagari memiliki dua pengertianan, teritorial dan sosial-kultural. Nagari secara sosial-kultural adalah gabungan dari
D - 32 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
beberapa unit suku independen yang memiliki atau mewarisi sejarah dan legenda komunitas yang sama. Lingkupnya bahkan bisa tersebar di banyak tempat bahkan di luar pulau, dan karenanya mereka memiliki konsep rantau. Kajian mendalam tentang aspek ini dilakukan sendiri dalam kajian mengenai Nagari dan tara (Widiastuti, 2011). Dari definisi di atas nampak bahwa pada hakikatnya Istilah tattakam, banua dan nagari bersifat sosial dan tak harus berkonotasi teritorial. Teritorialisasi diduga muncul belakangan setelah pengelompokan hunian secara alami yang solid terbentuk. Pada akhirnya pengertian inipun seolah ditenggelamkan oleh perspektif arsitektural dan kolonial yang selalu menekankan kerangka batas dan teritori. Dan transformasi ini tidak hanya terjadi pada masa kolonialisme Belanda, namun sejak pengaruh luar tiba dengan kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Secara historis, konsep tattakam kemudian beralih menjadi desham (desa) pada abad ke 10 ketika kesatuan budaya masyarakat kerala yang matrilineal itu harus berhadapan dengan kolonisasi Brahmanisme dari Tamil dan kemudian kolonisasi Inggris di abad 18. Pada masa ini unit tattakam mengalami teritorialisasi dan kemudian bertransformasi menjadi desham atau ansham. Kini unit unit desa modern di Kerala disebut sebagai panchayat, atau desa administrative yang sebagian besar acuan teritorinya adalah wilayah desham juga.
nagari memiliki dua konotasi, konotasi teritorial administratif dan sosial kultural. Dan nampaknya pengertian teritorial lebih banyak dipahami bagi konteks Nagari modern. Konsep nagari di Minangkabau mengalami perubahan radikal se-jak kolonisasi Belanda, inggris mulai memetak metak bumi tempat berhuni dalam unit unit teritorial, dan bahkan menyisipkan otoritas kolonial. Lebih jauh lagi pada tahun 1974 bahkan format nagari ini diubah menjadi desa ala Jawa oleh pemerintah NKRI sendiri.
Banua adalah jaringan kuil dari sekelompok desa yang memiliki hubungan ritual dan sejarah lelu-
Indah Widiastuti
hur. Thomas Reuter melakukan penelitian yang mendalam mengenai fenomena ini. Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa tidak semua masyarakat mengenal konsep banua ini. Teritorialisasi banua terjadi lewat konseptualisasi negara yang dugaan sementara masuk lewat pengaruh Majapahit pada abad ke 13 dari Jawa. Di abad 18-an kolonialisme Belanda pula yang menyebabkan pengertian teritorial desa lebih dikenal daripada banua itu sendiri. Tattakam, banua dan nagari adalah konsep pemukiman arsitektur tradisional dan vernakuler dengan ciri khas yang sama, antara lain: Sangat bergantung pada organisasi komunal dengan unit terkecil organisasi yaitu keluarga. Karena itulah maka pernikahan menjadi modus pembentukan jaringan dan sebagai konsekuensinya pernikahan adalah mekanisme yang diatur secara komunal. Unit organisasi solid sebagai elemen organisasi sosial-spasial pemukiman adalah klan, atau himpunan keluarga yang mengakui satu sejarah keluarga yang sama, yang disebut taravad dan tara di kerala, suku di minangkabau dan dadia di bali. Klan-klan ini bisa terkelompokan dalam area yang sama, dan hisa tersebar. Leluhur menjadi sangat penting, dan karenanya di setiap rumah dari masyarakatnya akan selalu memiliki ruang atau tempat untuk menyimpan relik leluhur. Rumah bagi masyarakat Kerala disebut sebagai veedu, dan di dalamnya terdapat ara atau lumbung dalam rumah tempat relik leluhur diletakan. Rumah Gadang pada Minangkabau memiliki bilik-tengah sebagai ruang yang dikonsepkan sebagi tempat menyimpan warisan dan relik leluhur. Uma pada Masyarakat Bali memiliki sanggah di sebelah Timur Laut rumahnya untuk meletakan relik- relik ritual dari kuil kuil yang wajib ia kunjungi. Ketiga konsep habitasi ini memiliki latar belakan lingkungan dan mata pencaharian yang sama yaitu lingkungan tropis, subur dan secara tradisional berada dekat dengan sumber air, dan pertanian sawah yang dikelola secara mandiri oleh masing masing unit sosial.
Subyek Wanita dan Konsep Jaringan Desa Sifat yang umum dari semua desa itu adalah organisasi komunal yang menempatkan wanita dan pria secara relatif setara. Yang menarik ingin diangkat dalam arguman ini adalah poisisi wanita dalam organisasi sosial yang tinggi. Artikulasi spasialnya juga sangat jelas. Sekalipun dalam kenyataanya posisi yang tinggi ini tidak berkorelasi dengan kemerdekaan wanita seperti dalam pengertian modern. Kasus tattakam di Kerala dan nagari di Minangkabau adalah kasus dari masyarakat berkekerabatan matrilineal. Masyarakat mengakui adanya dewan ibu (bundo kanduang) sedangkan semua keputusan masyarakat Kerala harus disahkan oleh dewi ibu yang diwakili oleh ritual tehadap Bhagavaty dan direpresentasikan lewat restu dari ibu. Masyarakat Baliaga di Bali sekalipun disinyalir mengakui garis keturunan patrilineal dalam kerangka kekerabatan bilateralnya, menempatkan wanita secara berdampingan dengan pria. Desa bayung gede bahkan dalam organisasi sosialnya mengenali konsep jero kahyangan yang menyerupai konsep bundo kandung di Minangkabau. Keberadaan "dewan ibu" dan posisi pemgambilan keputusan sang ibu dalam keluarga. Hal tersebut penulis angkat sebagai topik penelitian mengenai pengaruh posisi dan peran wanita dalam dalam pembentukan jaringan sosial spasial tattakam, banua dan nagari. Sebagai sampel awal digunakanlah kasus berikut: Nagari Sungayang di Kabuoaten Tanah Datar di Sumatera Barat, Puthiamkam Desham di kabupaten Palakkad Kerala dan Desa Bayung Gede di Kapupaten Bangli Bali. Adapun eksplorasi dilakukan lewat pertanyaan berikut: 1) Pertanyaan sosial bersifat mempertanyakan peran dan posisi wanita dalam keputusan organisasi sosial komunitas masya-rakatnya; aturan pernikahan bagi komunitas dan wanita; dan sejauh apa kemerdekaan wanita dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. 2) Pertanyaan spasial bersifat mempertanyakan apakah ada ruang-ruang tertentu yang khusus diperuntukan bagi wanita dan karakter wanita; dan apakah ada asosiasi-asosiasi khusus yang Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 33
Kajian Keterkaitan Subyek Wanita dalam Konsep Jaringan Pemukiman Asli: Nagari, Tatakam dan Banua
berhubungan dengan wanita, femininitas, kesuburan dan ibu pada artefak artefak obyek dan arsitektural tertentu. Hasil Pengamatan Desa Bayung Gede merupakan induk dari sejumlah desa-desa kuno lainnya di Bangli seperti Penglipuran, Sekardadi, Bonyoh dan beberapa desa lainnya, yang semuanya mengacu pada gunung Batur. Awalnya, menurut Reuters, desa-desa tersebut merupakan himpunan rumah-rumah sementara (pondok) dari masyarakat Desa Bayung Gede yang asli ketika tengah bertani. Desa-desa tersebut berasal dari kelompok orang yang bertempat tinggal di kebun (pondok) yang didirikan agak jauh dari desa dan telah lama tumbuh menjadi daerah hunian tetap dan desa adat yang mandiri. Reuter menyatakan bahwa desa-desa tersebut membentuk organisasi supra-desa atau banua yang disebutnya sebagai “Gebog Satak”. Sekalipun mangku Sriman, selaku salah satu anggota dewan adat tidak mengenali konsep tersebut namun ia mengakui adanya jaringan yang mengikat desa-desa tersebut. Desa Bayung Gede sendiri memiliki dua sub-desa, yaitu Banjar Bayung Gede dan Banjar Peludi. Organisasi komunitas mereka dikelola dengan struktur organisasi yang disebut sebagai sistem ulu-apad, yang organisasinya dipegang oleh komite berjumlah 16 orang yang dikenal dengan istilah Paduluan Saih Nem Belas. Ke 16 orang ini dibagi ke dalam 4 pokja yang hirarkinya diatur berdasarkan senioritas dan nomor urut perkawinan. Divisi dalam paduluan masing-masing diketuai oleh seorang Jero. Paralel terhadap 16 orang ini adalah dewan para ibu yang merupakan istri-istri dari anggota paduluan saih nem belas, yang disebut sebagai Jero Kahyangan. Segala keputusan kampung harus mendapat restu dari dewan ibu ini. Ada sebuah tempat yang disakralkan di ujung Timur Laut desa yang disebut Tegalan, berupa lapangan tempat upacara yang hanya boleh dilakukan oleh jero kahyangan ini. Fungsi Jero Kahyangan ini tidak disebut dalam berbagai ulasan, bahkan tidak pula oleh Reuter. Di desa Bayung Gede. Selain kelengkapan ritual Hindu lainya, desa Bayung Gede memiliki dewi ibu yang disemayamkan di
D - 34 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
dalam Kuil Dadia. Kuil Dadia sendiri ternyata berisi semua relik dari suku-suku atau kelompok kekerabatan yang ada dan berkait dengan desa Bayung Gede. Satu bagian Legenda masyarakat Bayung Gede, menyebutkan ketika lokasi tempat tinggal yang diungkap oleh Mangku Sriman juga menyatakan bahwa Batara Sakti Mahameru, tokoh ilahiah dalam legenda tersebut, meminta para undagi dan kera putih itu menemukan tempat dengan tanah yang berbau perempuan. Puthiankam desham di Kerala adalah induk dari sejumlah desa-desa lainya di kabupaten Alathur. Berbeda halnya dengan desa di Bayung Gede, budaya kasta masih sangat berpengaruh dan menjadi dasar struktur hirarki dari desa desa tersebut dengan posisi Puthiankam dan Kattisery desham sebagai dua desa utama yang berada di pucuk orgnanisasi. Kedua desa ini biasanya adalah para pemilik tanah yang akan dikelola oleh warga dari desa yang lain dengan sistem bagi hasil. Desa-desa ini terikat dalam tradisi ritual festival tahunan panen yang disebut sebagai “Velakooraidal”. Secara spiritual jalur ritual “Velakooraidal” yang meliputi kesatuan desa-desa ini mengacu pada satu kuil dewi ibu utama yang bernama Phutukulangara Devi Temple. Masing-masing desa dan sub desa memiliki kuil dewi ibu komunitas mereka masing-masing. Kuil-kuil komunitas itu akan mengacu pada Kuil utama. Yang menarik adalah bahwa antara satu dewi ibu ke dewi ibu yang lain atau Bhagavaty ini terdapat hubungan mitos kekerabatan – persaudarian Bhagavaty. Dan jaringan persaudarian inilah yang membentuk tattakam. Secara kekerabatan persebaran persaudarian ini sangat ditentukan oleh figur tavazhi atau keturunan wanita yang menikah. Dimanapun tavazhi ini tinggal atau berpindah berpotensi berkembang sebagai pemukiman. Bahkan upaya ekspansi tanah dari sebuah keluarga dilakukan dengan menempatkan anak wanita mereka yang sudah menikah tersebut di lahan baru bersama suami dan didampingi masyarakat dari kasta di bawahnya. Secara sosial dalam lingkup ini anggota warganya akan saling membantu sesuai dengan kelas dan kasta masing-masing. Skala desham dan tattakam adalah sama, sekalipun yang satu
Indah Widiastuti
adalah teritori yang yang lainya adalah spiritual sphere. Secara historis relevansi lingkup nya terus bertransformasi sesuai dengan kekuasaan yang berlangsung. Organisasi komunitas mereka dipegang oleh dewan komunitas yang disebut sebagai nattukutam, yang beranggotakan keluarga keluarga utama pemilik tanah, atau taravad, dan seorang pemimpin kuil yang menjadi “presiden” dari dewan ini. Masyarkat Puthiankam desham adalah masyarakat matrilineal, dimana seluruh keputusan penting dan kepemilikan properti ada ditangan para ibu-ibu (amma) dan wanitawanita menikah (tavazhi) mereka. Dalam nattukutam, mereka direpresentasikan oleh manajer keluarga yang disebut karanvar. Se-hingga semua keputusan yang diambil nattuku-tam sekalipun tanpa adanya institusi seperti “bundo kanduang” pada masyarakat Minangkabau di Sumatera barat- tidak boleh menyalahi kehendak dan keputusan amma dan tavazhi dari masing-masing keluarga. Semua kuil-kuil di desa Puthiankam ini mewujudkan persaudarian dewi ibu Puthukulangara Bhagavaty. Di rumah masing-masing tempat-tempat para wanita diletakan dekat dengan tempat ritual keluarga. Nagari Sungayang di Sumatera Barat merupakan konfederasi dari beberapa desa yang terikat oleh satu legenda, sejarah dan sistem kekerabatan. Desa-desa ini (atau yang disebut sebagai jorong) terdiri dari 5 buah yang berawal dari Jorong Gelanggang Tengah. Para pemilik tanah utama dan pemuka nagari pun hingga kini ada di jorong ini. Perlahan-lahan seiring perkembangan jorong, penghuni desa ini menyebar dan membentuk pengelompokan rumah yang baru yang menjadi bakal dari jorongjorong yang lain. Pernah ada masa di mana Nagari Sungayang membentuk konfederasi yang lebih besar dengan Nagari Baruah-Bukit, seperti halnya Puthiankan desham berkoalisi dengan Kattisery desham. Namun kemudian koalisi tersebut pecah. Organisasi komunitas Nagari Sungayang dipegang oleh dewan orang-orang yang dituakan (ninik-mamak) yang beranggotakan manajer keluarga (penghulu) dengan seorang “presiden” yang disebut sebagai wali nagari. Seperti halnya
masyarakat berkekerabatan matrilineal di Puthiankam desham, ibu dan wanita menikah memiliki peran pengambilan keputusan yang penting. Hanya saja untuk kasus nagari, seperti halnya di Nagari Sungayang organisasi sosial mereka mengenal “dewan ibu” yang disebut sebagai bundo kanduang. Berbagai keputusan penting diputuskan atas restu bundo kanduang. Seperti halnya di Puthiankam desham, Kerala, di Nagari Sungayang, wanita yang sudah menikah (saparuik) merupakan agen dari ekspansi properti keluarga. Sawah bagi masyarakat Nagari Sungayang adalah properti dengan spirit wanita, karenanya penyemaian dan panen hanya boleh dilakukan oleh para wanita. Para pria hanya mengelolanya saat masa perkembanganya. Konsep teritori masuk ke dalam ketiga konsep jaringan desa tersebut lewat masuknya pengaruh kekuasaan sentral. Semenjak itu, jaringan yang bersifat dinamis dan dapat berkembang dan mengempis secara organik tersebut terpetak dalam teritori. Di Bayung Gede situasi ini terjadi seiring masuknya pengaruh kerajaan Hindu-Majapahit yang berpusat di Bangli. Di Puthiankan Ansham situasi ini terjadi semenjak masuknya pengaruh ekonomi dari sebuah keluarga kaya keturunan kerajaan, yaitu keluarga Kalavara Moopil. Modus seperti ini terjadi di Nagari Sungayang ketika masuknya pengaruh aliansi dengan kerajaan Pagaruyuang. Dalam kehidupan sosial sehari-hari masyarakat di ketiga desa tersebut memang menunjukan kemerdekaan yang tinggi dari kaum wanitanya. Hanya saja untuk aspek pernikahan biasanya para wanita ini tidak memiliki banyak kebebasan. Signifikansi mereka sangatlah tinggi terhadap konsep jaringan pemukiman, status spiritual dan ekonomi tanah, translasi spasial dari suku, keluarga dan komunitas. Ketiga kasus desa tersebut memiliki preferensi khusus dari desa asal calon pasangan anggota masyarakat mereka. Secara umum bahkan pernikahan adalah sesuatu yang harus diputuskan secara komunal. Analisis dan Interpretasi Wanita memiliki posisi dan peran yang penting selain sebagai untuk tujuan reproduksi, juga berkaitan dengan preservasi properti, preservasi Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 35
Kajian Keterkaitan Subyek Wanita dalam Konsep Jaringan Pemukiman Asli: Nagari, Tatakam dan Banua
jaringan desa. Modus reproduksinya adalah modus perkembangan teritori, baik secara langsung lewat kekerabatan matrilineal atau tidak langsung lewat pengaruhnya dalam pengambilan keputusan. Posisi wanita juga memiliki representase spasial pada bangunan relijius. Ketiga desa memiliki kuil dewi ibu yang ternyata merupakan penanda nenek moyang. Ketiga desa juga memiliki ruang-ruang fungsional dan simbolik khusus yang diperuntukan bagi wanita, baik dalam skala pemukiman maupun hunian. Keterkaitan yang dibangun dari relasi yang bersifat feminin ini mawujud lewat narasi - Desa sebagai sebuah narasi. Tattakam adalah jaringan ritual yang diidiomkan sebagai persaudarian dewi ibu - sisterhood of bhagavaty. Banua dinarasikan sebagai jaringan kuil yang diidomkan sebagai jaringan nenek moyang pendiri kampung. Nagari dinarasikan sebagai jaringan suku- suku kekerabatan matrilineal – yang dinarasikan secara literal dalam hikayat nagari yang disebut sebagai tambo. Organisasi komunitasnya mengenal dua bentuk modus organisasi- 1) dewan tetua adat dan dewan ibu yang pembagian tugasnya diatur lewat norma pernikahan dan kekerabatan, 2) musyawarah adat. yang tiap konsep memiliki bentuk penekananya masing-masing. Nagari dan tatakkam menekankan peran kekerabatan sebagai struktur dasar organisasi komunal. Banua menekankan pada musyawarah adat. Ketiga desa tersebut merupakan wujud dari sebuah budaya asli masyarakat petani padi yang akarnya tidak ditentukan oleh karakter agama besar apapun. Sekalipun Nagari bernuansi islam dan Puthiankam dan Bayung Gede, Hindu, nampak bahwa agama besar bukanlah kerangka dasar yang mendasari organisasi spasialnya penyebab utama. Posisi wanita yang dijunjung tinggi tidak terlalu sejalan dengan konsep patriarki dari agama besar tersebut. Puthiankam dan Bayung Gede menganggap dirinya sebagai budaya Pra-Hindu. Kesimpulan Subyek wanita berkorelasi dengan sifat komunal dari komunitasnya, karena adanya permbagian
D - 36 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
tugas antara pria dan wanita, sehingga tak ada pemusatan kekuasaan pada satu individu. Karenanya secara spasial gagasan mengenai pusat pada sebuah habitasi dalam konteks atau skala manapun adalah representasi dari komunitas, bukanya individu. Subyek wanita juga berkorelasi dengan karakter sedentary ketika karakfter feminin seolah berperan “menancapkan” komunitas pada tanah tempatnya berpijak. Akibatnya perpindahan komunitas tidak sematamata proses translasi spasial dari satu titik ke titik lainya, namun pembentukan jaringan dari sebuah titik awal ke titik lainya. Subyek wanita adalah referensi dari kesuburan dan secara spasial merupakan agen reproduksi spasial jaringan dan place-making. Subyek wanita menjadikan jaringan desa sebagai narasi historis dari sebuah habitasi. Dalam struktur jaringan dan narasi inilah negosiasi dan konsolidasi sosial-kultural- ekonomi dan spasial terjadi. Ucapan terimakasih Tim observasi: Elya Santa Bukit, Rofianisa Nurdiansyah, Dwinik Winawangsari, Wanita Subadra ABioso, Sotya Dr. N.M. Nampoothiri dari Trivandrum, Mangku Sriman dari desa Bayung Gede, Bangli, Bali
Daftar Pustaka Thomas Anton Reuter (2002), Custodians of the Sacred Mountains: Culture and Society in the Highlands of Bali, Hawai: University of Hawai press. N.M. Nampoothiri (2011), The Legacy of Bharathapuzha, A research project, Dept of Malayalam - Oriental Research Centre, Sree Neelakanta Government Sanskrit College, Pattambi, diunduh dari widiastuti, Indah & Ranee vedamuthu (2009), A Comparative Study of Vernacular Settlement and Dwelling Culture: A Case Study in Kerala, South India, and Minangkabau in Sumatra, Indonesia, Jurnal of Interdisciplinary Social Science, Melbourne: CG Publisher