KAJIAN FEMINISME NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU
Oleh Everhard Markiano Solissa* Indrakusuma Aswin Ampoa** * Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura ** Alumni Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Pattimura
Abstrak: Karya
sastra dipandang sebagai cermin kehidupan manusia karena permasalahan manusialah yang diangkat menjadi sebuah model dunia kehidupan dalam karya sastra. Dunia baru tersebut adalah hasil perpaduan pengalaman, imajinasi dan ideologi pengarang sehingga bukan lagi tiruan kehidupan nyata tetapi menjadi dunia imajinatif. Hasil kreatif-imajinatif itu dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah feminisme. Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran tentang pemikiran dan perjuangan kaum feminis tentang kebebasan dan keadilan serta harkat dan martabat manusia. Dengan model analisis interaktif, ditemukan bahwa pemikiran dan perjuangan kaum feminis adalah 1) keadilan dan kebebasan individu, 2) menentang pelecehan terhadap perempuan,3) seks adalah seni bukan sebuah rutinitas, 4) kepuasan batin bukan kepuasan lahiriah, dan 5) menentang monopoli dan keegoisan laki-laki.
Kata-kata kunci: Karya Feminisme, Jender, Seks.
Sastra,
PENDAHULUAN Sastra merupakan ungkapan pribadi berupa pengalaman, ide, semangat dan keyakinan dalam suatu gambaran konkrit yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Karena itu, dengan membaca sebuah karya sastra pembaca dapat merasakan apa yang dirasakan tokoh-tokoh cerita tersebut. Selain itu, dapat mempertajam penalaran, keterampilan dan juga kepekaan perasaan dan pendalaman wawasan hidup. Salah satu persoalan yang banyak disoroti dalam karya satra (novel) adalah emansipasi dan kesetaraan jender. Emansipasi sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan tehadap hak dan martabat perempuan telah diperjuangkan selama bertahuntahun. Kini, apa yang diinginkan oleh kaum perempuan tersebut sudah berhasil. Persamaan hak dengan kaum laki-laki telah menjadi kenyataan. Perempuan yang dahulu hanya ditempatkan di belakang, kini bebas menempati ruang di mana saja yang ia sukai. Saat ini kaum perempuan telah bekerja di bidang pendidikan, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Dalam tulisan ini novel Nayla dipilih untuk dikaji dengan alasan bahwa novel tersebut memiliki kekhasan yaitu mencerminkan sisi kehidupan manusia (dalam hal ini wanita) yang berkaitan dengan keretakan rumah tangga dan akibatnya
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
1
pada kekerasan terhadap anak. Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang wanita (tokoh Nayla) yang sangat sarat dengan penderitaan sejak ia masih kecil sampai dewasa. Tokoh Nayla adalah seorang anak gadis yang hidup di bawah kerasnya aturan seorang ibu dan aturan panti asuhan. Sang ayah telah meninggalkannya dan sang ibu memilih memasukannya ke panti asuhan. Setelah itu ia melarikan diri dari panti asuhan dan memilih hidup di jalanan bersama teamntemannya. Di sinilah awal sisi kelam kehidupan Nayla sampai pada puncaknya ia menghadapi sebuah kenyataan hidup yang haus akan kasih sayang, terutama pada saat ia dihadapkan dengan pilihan antara mencintai kehidupan ataukah memilih untuk mengikuti sahabatnya yang mencintai teman sejenis (lesbian). Novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu memiliki ciri khas yakni pada cara penulisannya. Novel ini ditulis dalam beberapa bentuk; bentuk e-mail, sms, telepon, surat, catatan harian, headline, dan interview. Bentukbentuk inilah yang membedakan novel ini dengan novel-novel lain. Secara tersurat, novel ini menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dibaca, dicerna oleh pembaca sehingga tidak menyulitkan pembaca dalam memahaminya. Akan tetapi, secara tersirat novel ini sarat akan makna yang mendalam yang dapat menggugah hati pembaca untuk turut terlibat di dalamnya. Djenar Maesa Ayu adalah seorang pengarang wanita yang sangat kreatif dan produktif. Cerpencerpennya telah tersebar di berabagai media massa Indonesia seperti Kompas, the Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, majalah Cosmopolitan, dan Lampung Post. Bukunya yang
pertama berjudul Mereka Bilang Saya Monyet, saya Monyet! Telah cetak ulang delapan kali dan masuk dalam nominasi sepluh besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003. Selain itu juga akan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Cerpen Waktu Nayla mendapat predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen Asmoro dalam antologi cerpen pilihan kompas itu. Sementara cerpen Menyusun Ayah menjadi Cerpen terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul Suckling Father untuk dimuat kembali dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris, edisi kolaborasi karya terbaik Jurnal Perempuan. Penelitian ini termasuk peneletian kualitatif, mengingat sumber data adalah naskah karya sastra itu sendiri (Kutha Ratna, 2006:47). Penulisan ini bersifat deskriptif kualitatif karena dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris (Semi, 1993: 23). Untuk mendapatkan data, penulis menggunakan teknik membaca kritis dan pencatatan. Penulis membaca secara berulang-ulang novel Nayla kemudian mencatat setiap kata, frasa atau kalimat yang berkaitan dengan kehidupan tokoh Nayla yang mengungkapkan sisi feminisme. Teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif yang terdiri atas 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) npenyajian data, dan 4) penarikan kesimpulan (Milles dan Huberman, 1992:20). Dengan demikian reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan menjadi gambaran keberhasilan secara
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
2
berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang susul-menyusul. Jika interpretasi dianggap kurang memadai, dilakukan kembali pengumpulan dan penganalisisan data sampai menghasilkan simpulan yang benarbenar memadai.
Sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realita kehidupan, sastra juga bisa menjadi wakil dari zamannya. Dengan demikian sastra pada dasarnya juga merupakan kegiatan kebudayaan maupun peradaban dari setiap situasi, masa, ataupun zaman saat sastra itu dilahirkan (Aminuddin, 1998:63).
LANDASAN TEORI Pengertian Sastra Secara etimologis kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, asal kata sas, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, member petunjuk atau instruksi, akhiran kata tra biasanya menunjukan alat, sarana; awalan su berarti baik, indah sehingga sastra dapat dibandingkan dengan belles letter (Teeuw dalam Atmazaki, 1990:17). Hal ini menunjukan bahwa sesuatu yang dihhasilkan lewat media bahasa yang baik dan indah menjadi belles letter (tulisan yang indahh) yang dinamakan sastra. Lebih lanjut Wellek dan Warren (1993:3), mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatifitas, sebuah karya seni. Hal tersebut dipertegas oleh Effendi (dalam Watkaat 1991:4), bahwa sastra ialah segala sesuatu yang diciptakan manusia yang dapat menimbulkan rasa kebagusan dan perasaan lain yang berhubungan dengan lubuk hati pembaca, pelihat, dan pendengar. Oleh karena itu, sastra harus mengandung nilai-nilai keindahan agar keberadaanya sebagai karya seni dapat memberikan kepuasaan bagi penikmatnya seperti pendapat (Budiman dalam Atmazaki, 1990:48), bahwa sesuatu yang indah haruslah sesuatu yang berarti bagi publiknya.
Pengertian Feminisme Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, feminisme diartikan sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Maggie Humm (dalam Sumiarni, 2004:5) mengartikan feminisme sebagai istilah yang digunakan dalam budaya dan diperlukan oleh feminis untuk deskripsi ideologi superior lakilaki. Feminisme merupakan penggabungan doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan (gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak-hak wanita) dan suatu ideologi transformasi sosial untuk menciptakan suatu keadaan persamaan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan dengan laki-laki di masyarakat. Timbul berbagai upaya mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula kesetaraan hak dengan laki-laki di segala bidang, sesuai potensi mereka sebagai manusia. Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan (1) mencari cara penataan ulang mengenai nilainilai dengan kesamaan jender (jenis kelamin), (2) menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin, (3) mengahapuskan hak-hak istimewa
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
3
atau pemabatasan tertentu atas dasar jenis kelamin, (4) berjuang membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan. Feminisme lahir sebagai upaya penyelamatan terhadap keberadaan kaum perempuuan. Dalam bidang sastra pun perempuan digambarkan tidak memiliki kompetensi dalam melahirkan karya sastra. Selain itu, perempuan sering disoroti sebagai makhluk yang memiliki status sosial yang inferior, tertindas, serta tidak memiliki kepandaian apapun. Namun, kemudian terbukti bahwa perempuan dalam kedudukannya mampu menunjukkan kemampuan dalam melahirkan karya sastra seperti Marga T dan NH Dini. Mereka ini kemudian menjadi semangat baru bagi perjuangan feminisme. Selain itu, salah satu usaha awal para kritkikus sastra feminis adalah menggali dan mengkaji kembali tulisantulisan penulis wanita yang sudah dilupakan karena dianggap sebagai karya yang kurang penting, kurang popular, dan tidak lama bertahan (Sumiarni, 2004:40).
Bentuk-Bentuk Kajian Feminsime Dalam kajian feminisme ada beberapa ragam kritik sastra, yaitu: 1. Ragam ideologis adalah kritik yang melibatkan wanita khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Adapun yang menjadi sasaran dalam ragam kritik ini yaitu citra serta stereotype wanita dalam karya sastra, serta kepedulian terhadap wanita tentang persoalan mengapa, dan kenapa. Wanita sering tidak diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan dalam
2.
3.
4.
5.
kritik sastra. Ragam ideologis juga menitikberatkan pada interprestasi atau penafsiran suatu teks. Ragam ginokritik, yaitu ragam kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita. Ragam kritik ini sedikit berbeda dengan ragam lain karena yang lebih banyak dikaji adalah masalah perbedaan, dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaanpertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan tulisan laki-laki. Ragam sosialis/marxiz, yaitu ragam kritik yang menyoroti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pada ragam ini sasaran kritikus feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Ragam psikoanalitik. Ragam ini lebih banyak ditetapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasi dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada si tokoh wanita, dengan mengkaji perasaanperasaan efektif, empatik, serta dampaknya terhadap perasaanperasaan wanita. Ragam lesbian. Seperti ragam psikoanalitik, ragam lesbian hanya meneliti penulis dan tokoh wanita saja. Ragam kritik ini masih sangat terbatas. Ragam ini dan pelaksanaannya mengalami banyak kontroversi namun pada akhirnya tujuan utamanya yaitu untuk memberikan gambaran terhadap kritikus sewaktu menilai apakah seorang penulis itu lesbian, dan apakah suatu karya mengandung ciri-ciri lesbian.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
4
6. Ragam ras/etnik. Ragam kritik ini bertujuan mengenal suatu ras/etnik yang digambarkan oleh penulis. 7. Ragam liberal menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik. Masyarakat beranggapan bahwa perempuan karena dipengaruhi kondisi alamiah yang dimilikinya kurang memilik intelektualitas dan kemampuan fisik dibandingkan lakilaki. Karena itu, perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik. Anggapan inilah yang disangkal oleh feminis liberal. Menurut mereka, perempuan dan laki-laki diciptkan sama dan mempunyai hak yang sama, dan harus pula mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan diri. 8. Ragam radikal merupakan reaksi terhadap anggapan bahwa keadaan biologis perempuan berbeda daripada laki-laki adalah kehendak alam, tidak dapat diubah, merupakan takdir atau kodrat. Feminisme radikal berpendapat bahwa keteraturan alamiah tidak perlu dipertahankan karena itu hanya akan menghambat kemajuan perempuan. Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik baik cerita rekaan, lakon, maupun sajak.
Feminisme Lesbian Feminisme lesbian merupakan sebuah ideologi terapan yang berasal dari dua ideologi yang telah berkembang terlebih dahulu yaitu feminisme dan lesbian. Tahun 1960-an merupakan awal reformasi dalam
kehidupan kaum lesbian di Amerika. Hal ini ditandai dengan adanya upayadari kaum lesbian untuk menampakan diri menjadi aktivisaktivis gerakan yang secara terbuka terus menggambarkan eksistensi mereka di tengah masyarakat Amerika. Kaum feminisme berupaya menuangkan idealisme mereka dalam bentuk tulisan-tulisan yang diterbitkan dalam berbagai harian, jurnal, ataupun dalam bentuk buku. Ini dilakukan atas dasar tekanan dan penindasan yang mereka rasakan selama ini, yaitu adanya supremasi laki-laki, baik di dalam lingkungan keluarga, di tengah masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Menurut Phelan (dalam Ahdiati, 2007:24-25), Lesbian adalah seorang perempuan yang memiliki ikatan emosional-erotis dan seksual terutama dengan perempuan atau yang melihat dirinya terutama sebagai bagian dari komunitas yang mengidentifikasi –diri lesbian yang memiliki ikatan emosional-erotis dan seksual dengan perempuan; dan yang mengidentifikasikan-dirinya seorang lesbian. Sehubungan dengan itu, Phelan (dalam Ahdiati, 2007: 59-80) lebih jauh menambahkan bahwa baik perempuan yang bisekual maupun yang selibat dapat diidentifikasikan sebagai kaum lesbian sepanjang mereka mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai lesbian dan memilik identifiaksi emosional yang utama dengan suatu komunitas yang terdiri dari „Self-defined lesbians’. Namun defenisi itu sendiri sangat politis, dan bukan merupakan akurasi yang bersifat akademis ataupun permulaan dari studi yang baru. Oleh karena itu, feminisme lesbian itu sendiri lebih diperuntukan
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
5
bagi kepentingan-kepentingan politis para pelakunya. Pada mulanya feminisme lesbian bersifat universal yang bisa eksis diberbagai tempat di seluruh dunia. Namun pada perkembangannya, feminisme lesbian yang berkembang di tempat menjadi unik dan berbeda dibandingkan dengan feminisme lesbian yang berkembang di tempat lain. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam perkembangannya gerakan feminisme lesbian sangat bergantung pada kebudayaan setempat yang berarti juga sangat bergantung pada kondisi tempat itu sendiri baik dari segi sosial, politik, ekonomi, hokum, maupun budaya. Namun menjelang akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an, kaum feminis lesbian memasuki masa stagnan karena mereka mengalami krisis kepercayaan diri. Krisis yang disebabkan oleh hilangnya kepercayaan diri kaum feminis lesbian akibat fragmentasi dalam tubuh mereka sendiri ditambah serangan balik dari kelompok konservatif yang dipicu oleh maraknya isu HIV/AIDS di Amerika menyebabkan terjadinya perhentian perjuangan mereka. Pada akhirnya perjuangan kaum feminisme lesbian mendapat legitimasi dalam bidang sosial politik.
PEMBAHASAN Pemikiran dan Perjuangan Kaum Feminis dalam Novel Nayla 1) Keadilan dan Kebebasan Individu Nayla adalah seorang perempuan yang menginginkan perlakuan yang adil dari orang lain. Ia ingin berteriak bahwa seorang perempuan juga memiliki kemampuan
yang sama dengan laki-laki, bahwa tidak selamanya seorang perempuan harus identik dengan mencuci, menyetrika, megepel lantai dan menyapu. Seorang perempuan juga memiliki kepandaian dan keahlian yang sama yang dimiliki oleh laki-laki. Senang sekali rasanya saya sudah kembali menghirup udara kebebasan. Hampir tiga bulan saya terkurung di dalam barak itu, hanya melakukan upacara pagi, menjahit, mencuci, mengepel, dan menyapu. Heran, kenapa cuma ketrampilan itu yang mereka bekali kepada perempuan. Tanpa diajari pun kami pasti bisa melakukannya (Maesa Ayu, 2005: 21). Selain keinginan yang bergejolok di dalam hati Nayla, ia juga menginginkan suatu kemerdekaan hidup, tidak di atur oleh siapa pun termasuk kedua orang tuanya. Nayla merasa bahwa hanya ia yang berhak atas kehidupannya bukan orang lain. Hidup tanpa tekanan dan cambur tangan orang lain, hidup yang biasa Nayla impikan. Hal ini nampak pada kutipan di bawah ini. saya pun punya kehidupan sendiri, walaupun saya anak dari Ayah dan Ibu. Hidup saya bukan hidup mereka. Pilihan saya bukan pilihan mereka (Maesa Ayu, 2005: 176). 2) Menentang Pelecehan Terhadap Perempuan Persoalan biologis adalah persoalan perbedaan jenis kelamin yang secara alamiah tidak bisa diubah karena merupakan pemberian Tuhan. Namun terkadang ada pemikiran yang
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
6
sangat menyesatkan dan dianggap sebagai bentuk pembodohan masal. Hal ini secara vulgar dikritik oleh Maesa Ayu lewat pernyataanpernyataan yang sangat ekstrim berikut ini. Tidak hanya sampai di situ pembodohan masal yang terpaksa, mau tak mau, harus diterima oleh perempuan sebagai kebenaran absolut, yaitu mitos tentang enak atau tidaknya alat kelamin perempuan ditentukan oleh kekencangan otot vagina dan tidak banyaknya cairan. Banyak mitos-mitos berkembang tentang etnis-etnis tertentu yang alat kelaminnya sudah mewakili ataupun tidak mewakili standar ideal yang diciptakan oleh lakilaki. Biasanya perempuan berkulit putih kelebihan cairan. Tidak enak. Becek. Yang berkulit hitam, selain tidak kelebihan cairan, otot vaginanya pun lebih alot. Pelecehan semacam ini sering dialami oleh tokoh Nayla sebagai seorang perempuan. Peerempuan sering dipandang sebagai makhluk yang memiliki keberadaan inferior dalam status sosial. Perempuan harus dipaksa untuk menerima setiap kenyataan yang menjadi wujud nyata pandangan kaum laki-laki terlebih dalam hubungan seks. Dalam konsep seksualitas perempuan menjadi objek klasifikasi, misalnya perempuan dengan warna kulit tertentu, dengan bagian tubuh (bentuk alat vital tertentu) dipandang sebagai objek seksualitas yang menarik sehingga perempuan hanya dianggap sebagai alat pemuas hasrat kaum laki-laki.
Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan kaum feminisme yang melihat konsep seksualitas bukan sebagai bagian yang memuaskan. Di sisi lain, pandangan feminisme meintikberatkan kedudukan perempuan dalam masyarakat sama dan sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya kaum laki-laki menurut pandangan feminisme adalah sosok yang hanya ingin menang sendiri. Apabila mereka salah mereka tidak ingin ditegur oleh pasangan hidupnya (istri/pacar) malah lebih cenderung melihat kesalahan hanya pada kaum perempuan yang dipandang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tokoh Nayla dalam novel ini menentang pasangannya (Ben) untuk tidak mengatur jalan hidupnya. “Kenapa kamu marah-marah besar kalau aku jalan sama cantik, sementara kamu sudah berulang kali jalan dengan lakilaki lain. Tapi aku maafin!” “Heh saya bilang berkali-kali kalau saya jalan sama semua laki-laki itu waktu kita putus! Putus! Putus!”, (Maesa Ayu, 2005: 148-149). Perempuan dalam status sosial menjadi model persepsi masyarakat (kaum laki-laki) yang cenderung menganggap perempuan bukan sebagai pendamping melainkan sebagai objek pelampiasan kebutuhan seksualitas. Persepsi masyarakat inilah yang secara universal akan sangat menguntungkan pihak laki-laki dari pada perempuan. Hal seperti ini tidak manusiawi terhadap kaum perempuan yang hanya menerima konsekwensi, diberikan beban moralitas dalam menjalani suatu hubungan. Sedangkan
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
7
laki-laki tidak pernah disoroti akan apa yang dilakukannya. “Mitos ini juga mengakibatkan perempuan tak kuasa mempertahankan kesehatan alat kelaminnya sendiri. Laki-laki banyak yang menghindari pemakaian kondom dengan alasan, tidak enak karena terlalu licin. Akhirnya tak banyak risiko terkena penyakit kelamin saja, tapi juga risiko kehamilan. Sementara, yang menanggung akibat kehamilan ini hanyalah perempuan. Bukan laki-laki” (Maesa Ayu, 2005: 80). Selain dianggap sebagai objek pelampiasan keinginan seksual, perempuan nuga sering menerima segala konsekuensi terhadap apa yang terjadi pada dirinya. Perempuan sering dicela, dihina bahkan dianggap tidak layak untuk hidup dalam suatu masyarakat. Bukan hanya sampai di situ. Perempuan terkadang tidak dapat lagi melanjutkan hubungan dengan orang lain, apabila dirinya tidak lagi suci seperti yang diinginkan laki-laki pada umumnya. Bagi kaum feminisme hal ini justru sangat keliru. Sebab perempuan adalah sosok pribadi yang sama dengan laki-laki yang memiliki kedudukan dan status sosial yang sama. Mengapa hanya keberadaan seorang perempuan yang mendapatkan aib yang menjadi bahan ejekan masyarakat? Sedangkan yang terjadi pada dirinya tidaklah menjadi keinginan diri pribadi? Mengapa justru dirinya yang dianggap hina atas apa yang terjadi? Mengapa bukan orang lain? Apakah seorang perempuan tidak layak mendapat kehidupan yang sempurna? Pertanyaan seperti ini
kerap muncul pada pikiran kaum Feminisme yang menentang sikap radikal kaum laki-laki. “Bagaimana jika seorang perempuan mengalami pelecehan seksual, terutama yang sampai merusak keperawanan, sementara sejak kecil kepala sudah dibombardir dengan informasi bahwa perempuan mutlak perawan dan jika tidak, berarti dia tidak akan laku? Mereka tidak berani mengaku. Selain mendapat ancaman dari pelaku, mereka sudah terancam oleh informasi atau syarat perempuan ideal yang berlaku. Bagi yang mengaku, tak jarang yang didapat bukan dukungan melainkan penghinaan. Baik dari masyarakat luas, maupun dari pihak keluarga terdekat. Masih banyak orang tua yang merasa perkosaan adalah aib bagi si pelaku. Aib harus ditutupi. Kejahatan mereka tutupi. Dan kenyataan ini membuat korban terhina dan lebih terpuruk lagi. Harapan orang tua, niscaya anakanak perempuan mereka tetap suci hingga saatnya disunting oleh mempelai laki-laki. Akibatnya, pelecehan seksual anak-anak di bawah umur banyak dilakukan justru oleh lingkungan terdekatnya sendiri. Anak-anak perempuan di bawah umur yang tidak diberi pembelajaran tentang seks dan tidak pernah mengetahui fungsi alat kelamin, dengan mudah ditipu oleh pelaku pelecahan seksual dengan mengatakan penisnya adalah permen loli. Vagina adalah neraka dan penis adalah setan. Jika penis dimasukan ke dalam vagina, berarti setan tengah dimasukan ke dalam neraka. Dan
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
8
sebagainya, dan sebagainya, yang sayangnya, kebanyakan baru diketahui setelah semuanya terlambat. Semua baru terbongkar setelah anak-anak tertentu mengeluh sakit saat buang air kecil, atau panas tinggi akibat vaginanya infeksi,” (Maesa Ayu, 2005: 85) Kutipan novel di atas memberikan gambaran tentang realitas seorang perempuan yang harus menanggung segala konsekwensi hidup yang tidak pernah sedikitpun diinginkan perempuan secara umum. Apa yang sebenarnya terjadi dan dilakukan oleh orang lain hanya akan membawa penderitaan, dan itu hanya menjadi bagian yang pahit dalam kehidupan perempuan.
3) Seks Adalah Seni Bukan Sebuah Rutinitas Persepsi kaum Feminisme memiliki perbedaan dengan persepsi masyarakat pada umumnya dan kaum laki-laki pada khususnya tentang arti kebebasan seksualitas. Kaum feminisme menganggap seks bukanlah suatu kesenangan atau suatu rutinitas melainkan sebuah seni dari salah satu bagian kehidupan manusia yang dibutuhkan tanpa harus sering dilakukan. Anda pasti pernah ditanya, “Mana yang lebih penting, kualitas atau kuantitas” anda mungkin menjawab kuantitas. Anda mungkin menjawab kualitas. Tapi bisa jadi anda tidak bisa menjawab. Karena anda tidak tahu. Kenapa bisa tidak tahu? Karena kalau perempuan tidak tahu? Karena
alat kelamin perempuan tidak seperti alat kelamin laki-laki. Tanpa perlu belajar tentang mana yang enak dan mana yang tidak enak, laki-laki lebih mudah memahami kebutuhan kelaminnya sendiri. Mereka mengalami tanda-tanda yang dapat segera dirasakan dan dikenali (Maesa Ayu, 2005:7778). Seorang perempuan dikatakan ideal apabila ia masih memiliki selaput darah (keperawanan) ketika pertama kali berhubungan dengan pasangannya. Selain itu, ia memiliki otot yang kencang pada alat kelaminnya (vagina) serta keadaan alat kelamin yang tidak memiliki cairan seperti yang dipaparkan pada penggalan novel di bawah ini. Hal ini sangatlah berbeda dengan kaum Feminisme yang menganggap bahwa seks tidak hanya dengan cara memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, melainkan ada cara lain yakni dengan cara saling berciuman. Laki-laki menciptakan mitos perempuan ideal. Perempuan ideal adalah perawan. Alat kelamin perempuan yang ideal adalah tidak kelebihan cairan dan otot vaginanya kencang (Maesa Ayu, 2005: 78). Hal semacam ini kemudian menjadikan perempuan sebagai objek pembodohan yang bisa dijadikan oleh kaum laki-laki seperti sebuah boneka kehidupan yang di bawah kendali mereka. Perempuan hanya memiliki pengetahuan dan kebebasan yang dibatasi dan dikendalikan oleh kaum laki-laki. Perempuan hanya memiliki
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
9
kebutuhan yang terbatas dan lebih banyak dibekali oleh pengetahuan tentang cara-cara menjalani sebuah kehidupan rumah tangga, keterampilan untuk mendapatkan laki-laki. Bagi kaum feminisme seorang perempuan layak mendapat perlakuan yang sama seperti laki-laki. Apabila seorang wanita bisa
mempertahankan
kehormatan
dirinya sampai tiba waktu perkawinan,
lagi suci. Namur, apakah mereka pernah menyadari keberadaan mereka? Bagaimana jika kesucian juga dituntut dari mereka? Apakah istri-istri juga mendapatkan keperjakaan mereka? Hal ini justru menjadi sesuatu yang sangat menggelikan hati, dengan sendirinya bisa menimbulkan sebuah konklusi yang sederhana bahwa seorang laki-laki cenderung egois. “yang, kamu kan udah punya aku. Kenapa sih masih kepikiran masa lalu”(Maesa Ayu, 2005: 88).
telah menjadi suatu kebanggan yang selama ini bersarang dalam pikiran
4) Kepuasan Batin bukan Kepuasan Lahiriah
setiap orang tua. Mereka dianggap dapat mengangkat martabat keluarga dan
menjadi
kebanggan
kepada
masyarakat secara umum terhadap hasil didikan orang tuanya. Ini nampak pada penggalan novel di bawah ini. Harapan orang tua, anak-anak perempuan tetap suci hingga dipersunting mempelai (Maesa Ayu, 2005: 86).
niscaya mereka saatnya laki-laki
Pemikiran di atas berbeda seratus delatan puluh derajat dengan pandangan kaum Feminisme yang tidak memberikan penilaian terhadap seorang perempuan atas kehormatan mereka. Menurut kaum feminisme apa yang terjadi pada masa lampau tidak mempengaruhi keberadaan pasangannya. Lain halnya dengan kaum laki-laki yang tidak bisa menerima keberadaan istri yang tidak
Saling memberi adalah hal wajar dan tidak harus dibayar kembali dengan cara apapun karena mencintai berarti menerima apa adanya keadaan pasangan hidup. Cinta sejati adalah memberi dengan tulus hati .Hal inilah yang diinginkan oleh tokoh Nayla dalam novel ini. Pacar Nayla menginginkan respons balik terhadap segala yang diberikannya kepada Nayla selama ini. Namun, bagi Nayla segala yang menyangkut perasaan tidak bisa identik dengan materi. Hal ini justru menjadikan Nayla muak terhadap sikap pacarnya yang selama ini menginginkan Nayla untuk membalas segala kebaikannya dengan cara memberikan perhatian yang lebih. Hal inilah yang kemudian menginspirasi Nayla untuk memilih Juli pasangan sesama jenisnya yang tidak banyak menuntut. Masyarakat pada umumnya merasa bahwa persoalan saling mencintai antara sesama jenis merupakan hal yang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Namur, hal ini justru berbeda dengan pandangan
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
10
kaum feminisme yang menitikberatkan bahwa perasaan tersebut adalah hal yang biasa. Apalagi kaum Lesbian menganggap tidak ada yang berbeda antara perasaan suka dan mencintai baik sesama jenis maupun berlawanan jenis. Di sisi lain, kaum feminisme beranggapan bahwa menjalin hubungan antara lawan jenis akan sangat merugikan antara salah satu pihak (laki-laki) dengan pihak yang lain (pertempuran), juga sebaliknya. Kerugian ini hanya dialami oleh perempuan yang menjadi objek pelampiasan hasrat seksualitas. Tokoh Nayla dalam novel ini memberikan perbedaan rasa cintanya terhadap pacaranya Ben atau pun kaum laki-laki pada umumnya dengan Juli atau kaum perempuan. Nayla lebih memilih Juli karena ia dianggap dapat menjadi figur seorang ibu yang selama ini dibanggakannya. Saya juga punya pacar. Bukan laki-laki, tapi perempuan. Yang laki-laki cuma untuk bit and run. Mereka benar-benar makhluk yang menyebalkan, sekaligus menggiurkan. Tapi untuk urusan perasaan, saya lebih merasa nyaman dengan perempuan. Entah sala atau benar, saya menemukan ibu di dalam dirinya (Maesa Ayu, 2005:54-55). Perasaan cinta sesama jenis bagi kaum feminisme tidak hanya berdasarkan atas hubungan seksualitas yang pada umumnya menjadi konsep dasar pemikiran seperti yang dipikirkan orang salama ini. Kaum feminisme lesbian lebih menghendaki rasa memiliki dan diperlakukan dengan penuh casi sayang oleh orang lain yang kemudian
menjadikan mereka menjadi bagian yang integral dalam kehidupannya. Bukan kehadiran laki-laki yang Nayla inginkan melainkan kehadiran Juli sajalah yang bisa merealisasikan gejolak perasaannya. Bagi Nayla kehangatan yang didapatkannya dari Juli berbeda dengan yang didapatkannya dari laki-laki yang memberikan kepuasan kelamin. Ketika bersama Juli, Nayla merasa tenang dan mendapatkan kepuasan batin. Semua berjalan cepat. Kami bercinta dalam waktu singkat. Maka, dalam waktu sesingkat itu tak ada satu orangpun yang bisa memuaskan saya seperti Juli, tetapi memang bukan sekedar kepuasan kelamin yang saya cari (Maesa Ayu, 2005: 101). Hidup berdampingan dengan Juli membuat Nayla seakan-akan mendapatkan apa yang selama ini dicarinya. Sehingga ketika Juli dengan sengaja meninggalkan Nayla karena pertimbangan lain yang menurut Juli menguntungkan bagi Nayla, Nayla merasa ada yang hilang dari hidupnya. Nayla begitu merindukan kehadiran kekasihnya Juli. Rindu keparat itu menyerbu tanpa ampun. Memohon kehadiran Juli. Merintih untuk cinta Juli. Begitu ingin saya memintanya kembali (Maesa Ayu, 2005: 105). Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan batinlah yang dicari oleh tokoh Nayla bukan kesenangan atau kepuasan seks. Selama ini secara lahiriah ia mendapatkan kekerasan fisik oleh ibunya yang egois bahkan pacar ibunya tega merampas kesuciannya.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
11
Kelembutan dan kasih sayang yang ia cari karena ia telah bosan dengan hidup yang penuh kekerasan dan keegoisan yang ditunjukkan oleh kaum laki-laki.
5) Menentang Monopoli dan Keegoisan Laki-laki Kehidupan masa lalu yang begitu kelam membuat Nayla dendam dan benci terhadap laki-laki. Betapa tidak, hidupnya seakan tidak berarti oleh perbuatan laki-laki yang lebih pantas menjadi ayahnya. Om Indra adalah orang yang menjadikan hidup Nayla tidak berarti, dialah yang telah merenggut kesucian Nayla. Bukan hanya sampai di situ kebencian Nayla. Kamu tak akan pernah tahu, anakku, seberapa dalam ayahmu menyakiti hatiku. Ia menyakiti kita dengan tidak mengakui janin yang kukandung adalah keturunannya. Ia meninggalkan kita begitu saja tanpa mengurus atau mendiskusikan terlebih dulu masalah perceraian (Maesa Ayu, 2005: 6). Perbuatan ayahnya yang meninggalkan ibunya menjadikan ia seorang anak yang hidup dengan sejumlah beban yang tidak selayaknya harus ditanggung oleh anak seumur Nayla. Ini kemudian membuat Nayla memandang laki-laki tidak lebih baik dari makhluk yang tidak memiliki perasaan. Tak pernah saya mencintai satu pun laki-laki. Tidak sebagai ayah, tidak sebagai kekasih (Maesa Ayu, 2005:5).
Akibat perbuatan laki-laki (tokoh ayah dan Om Indra) membuat hidup Nayla hancur. Ia tidak lagi memiliki kesucian yang seharusnya ada pada dirinya yang hanya bisa diberikan kepada orang yang kelak menjadi suaminya. Nayla menjalani hidup yang yang liar, hidup yang tidak seharusnya ia jalani kalau saja ayah dan om Indra bisa menjalankan tugas mereka dengan baik. Cinta bagi Nayla adalah sesuatu yang tidak bermakna apa-apa. Mengapa cinta harus diakhiri dengan menjalani kehidupan yang serba hancur? Mengapa orang yang dianggap sebagai ayahnya tega merusak dan mengambil kesuciannya? Setelah apa yang telah dialaminya, bagi Nayla laki-laki tidak lain hanyalah makhluk yang menyebalkan, makhluk yang tidak berperasaan seperti pada kutipan novel di bawah ini: Mabuk itulah belahan jiwa Nayla. Dan malam bagi Nayla, adalah belahan jiwa mabuk. Mabuk kehidupan, maupun mabuk minuman, asal samasama mabuk. Asal sama-sama bukan mabuk cinta! Bahkan ibunya yang mengaku sudah sedemikian cantik, sedemikian terkenal, sedemikian tegar, sedemikian mapan, dan sedemikian pandai pun bisa terkecoh hanya karena cinta. Terkecoh hingga tgak menyadari jika pacar yang yang dicintainya itu tak lebih dari seorang pengeretan dan pemerkosa anak kandungnya. Cinta biadap! Umpat Nayla dalam hatinya, (Maesa Ayu, 2005:142). Yang laki-laki cuma untuk hit and run mereka benar-benar
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
12
makhluk yang menyebalkan (Maesa Ayu, 2005:54). Bagi Nayla hidup bahagia dengan laki-laki bukan sesuatu yang mudah setelah apa yang dialaminya semasa kecil. Apa yang dialaminya sekarang telah menjadi sesuatu yang akan tetap dipertahankannya sampai kapan pun. Nayla tidak pernah lagi membiarkan orang lain mengambil apa yang menjadi miliknya. Bahkan, ia tidak pernah mau direndahkan oleh siapa pun, seperti yang dilakukan oleh pacaranya Ben yang membeberkan apa yang pernah dialami oleh Nayla. Ini membuat Nayla marah dan berusaha menyerang pacarnya karena merasa tidak menghargai perasaannya sebagai seorang perempuan. “ya udah!! Enough… jangan kamu pikir yang punya masa lalu itu cuma kamu doang. Memangnya cuma gara-gara kamu pernah diperkosa, lantas kamu merasa punya hak injekinjek orang seenaknya?” Anjing lu!! Bangsaaaaat!! Nayla menerkam Ben. Menghajar mukanya. Menjambak rambutnya (Maesa Ayu, 2005: 88-89). Hal ini menujukkan bahwa Nayla sebagai tokoh utama tidak menginginkan masa lalunya diungkitungkit karena setiap orang mempunyai masa lalu baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Karena itu, biarlah masa lalu tetap berlalu dan yang ada saat ini adalah menjalani hidup apa adanya tanpa tekanan, monopoli dan keegoisan.
KESIMPULAN Sebagai sebuah karya sastra (novel) menawarkan berbagai kenyataan kehidupan manusia dengan segala persoalannya. Salah satu persoalan itu adalah keretakan rumah tangga yang mengakibatkan persoalan lain pada kehidupan seorang anak. Dari sisi feminisme, hal ini sangat menarik untuk dikaji karena masalah dalam novel ini menitikberatkan pada kehidupan perempuan. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa beberapa hal yang diperjuangkan oleh penulis yang mewakili kaum feminis, yaitu 1) keadilan dan kebebasan individu, 2) menentang pelecehan terhadap perempuan, 3) seks adalah seni bukan sebuah rutinitas, 4) kepuasan batin bukan kepuasan lahiriah, dan 5) menentang monopoli dan keegoisan laki-laki. Hal ini sengaja ditampilkan sebagai pencerahan bagi pembaca yang selama ini memiliki pemikiran “miring” terhadap perempuan dan kaum feminis (lesbian). Kajian feminisme bukanlah hal baru dalam studi sastra. Karena itu, dapat dijadikan sebagai salah satu model analisis karya sastra. Berkaitan dengan hal itu, maka saran penulis adalah: 1. Pendekatan dan teori feminisme dapat dipakai sebagai salah satu alat analisis karya sastra terutama novel. Karena itu, bagi pembaca dapat menggunakannnya dalam menganalisis karya sastra lain seperti drama dan puisi. 2. Pemikiran dan perjuangan kaum feminis yang telah dikaji dalam novel ini dapat menjadi bahan ajar bagi guru di sekolah sehingga menambah wawasan peserta didik menyangkut tata nilai dan martabat manusia.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
13
Sumber Rujukan Ahdiati, Triana. 2007. Gerakan Feminisme Lesbian. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Aminuddin. 1998. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung. Sinar Baru Algensidno. Atmazaki. 1990. Sastra dan Teori Sastra. Bandung. Sinar Baru Algensidno. Kutha Ratna, Nyoman. 2006. Metodologi Penulisan Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remadja Rosdakarja. Maesa Ayu, Djenar. 2005. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Milles, B.M, A.M Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: IU-Press. Semi, M. Atar. 1993. Metode Penulisan Sastra. Bandung. Angkasa. Sumiarni, Endang. 2004. Jender dan Feminisme. Jogjakarta: Wonderful Publishing Company. Watkaat, J.M. 1991. Kapita Selekta Sastra Daerah. Ambon. SILUnpatti. Wellek Rene, Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-4, Cetakan ke-10 .
14