KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON UNTUK DESINFEKSI AIR
Oleh : M Putra Siburian F 34102105
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON UNTUK DESINFEKSI AIR
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : M Putra Siburian F 34102105
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON UNTUK DESINFEKSI AIR
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : M Putra Siburian F 34102105
Dilahirkan pada tanggal 24 November 1984 di Tapanuli Utara
Tanggal lulus : 12 September 2006
Disetujui oleh : Bogor,
Oktober 2006
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing Dosen Pembimbing
M. Putra Siburian. F 34102105. Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air. Di bawah bimbingan Suprihatin.
RINGKASAN Saat ini teknologi pengolahan air sudah berkembang dengan pesat. Sudah cukup banyak instansi-instansi yang membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, mendirikan instalasi pengolahan air bersih mandiri untuk melepas ketergantungan dari PDAM. Pengolahan air secara mandiri ini dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi penyaringan air bersih yang sudah ada, tentunya juga dipengaruhi dengan kemampuan dari instansi tersebut baik dari segi ketersediaan teknologi dan segi finansial. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (benda-benda yang tercampur dan tidak larut), (2) pengolahan kedua (bahan-bahan organik), dan (3) pengolahan ketiga (padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik). Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penggunaan membran sebagai desinfektan. Polisulfon sebagai pemurni air dengan mengambil sampel pada Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga. Sampel air yang diambil adalah air yang telah mengalami proses pengolahan sampai menjadi air yang sudah memenuhi standar baku pemerintah, namun belum mengalami proses desinfeksi. Formulasi membran yang digunakan adalah membran polisulfon 12% dengan variasi ketebalan membran 0.05 mm, 0.10 mm dan 0.15 mm dan sebagai perbandingan digunakan membran Mikrofiltrasi hollow fiber komersial dan referensi kinerja membran ultrafiltrasi komersial. Karakteristik air bahan baku dan hasil penyaringan membran meliputi pH, warna, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) dan total mikroba (total coliform dan total E.coli). Penelitian dilakukan dengan mensirkulasikan air sampel selama 360 menit dengan menggunakan 3 tingkat tekanan yaitu 0.7 bar (120 menit pertama). 1.4 bar (120 menit kedua) dan 2.1 bar (120 menit ketiga). Tahapan penelitian yang dilakukan adalah analisa terhadap air feed, lalu dilakukan sirkulasi air melalui membran dan air hasil sirkulasi (permeat) diuji dengan uji yang sama dengan feed. Ketiga nilai hasil pengukuran fluks air pada membran polisulfon menunjukkan penurunan hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena air sampel hasil olahan yang masih mengandung pengotor, baik itu padatan organik maupun non-organik. Membran polisulfon dengan ketebalan 0.05 memiliki kisaran fluks tertinggi yaitu sekitar 165 L/m2.jam pada tingkat tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar. Hasil analisis karakterisasi permeat membran yang dilakukan menunjukkan bahwa membran polisulfon memberikan efektifitas yang baik untuk desinfeksi air dimana analisis mikroba menunjukkan zero kontaminasi, dan rata-rata TSS mencapai 0.0 mg/l, warna 2 dan 1 Tcu, kekeruhan 1 NTU, pH 7.01-7.10. Karakterisasi air setelah penyaringan menunjukkan nilai yang sangat memuaskan, nilai TSS, TDS, warna, kekeruhan, pH dan total mikroba (total coliform dan E.coli) jauh dibawah baku mutu yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai syarat air minum. Seluruh hasil analisa air menunjukkan bahwa setiap
ketebalan yang diuji memberikan kinerja yang serupa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran polisulfon dapat bekerja efektif dalam pemurnian air hasil olahan dan membran terbaik untuk pemurnian air adalah membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm dengan tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar dilihat secara kinerja membran (fluks air 165 L/m2.jam) dan secara ekonomik. .
M. Putra Siburian. F 34102105. Study of polisulfone Membranes Efectivity for Water Desinfection. Supervised by Suprihatin.
SUMMARY Nowadays water treatment technology has improved very fast. A lot of institutions, who needs clean water in a large quantity, build their own water treatment installation, so they don’t have to depend on government’s supply for clean water. Water treatments installation that builds by institution usually depends on the ability of the institutions; either it’s the technology resources or the financial ability. Water treatments are needed to be done in three steps, which is (1) first treatment (colloidal and not suspended), (2) second treatment (organic compound), (3) third treatment (suspended solid, organic and non-organic). Membrane filtration is to separate suspended particles in the water through pores media or material and produce good water quality. The purpose of this research is to study the efectivity of Polysulfone membrane in water purification by taking sample from IPB Ciapus River Water Installation. Sample that used for the research has already being pre-treatment until it achieve government standard for drink water, but it hasn’t sterilized with disinfectant. The membrane formulation that used for this research is polisulfone membrane with thickness variation 0.05 mm, 0.10 mm and 0.15 mm, and as comparation used commercial microfiltration hollow fiber membrane and ultrafiltration membrane references. The feed and permeate characterization is using pH, color, turbidity, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) and microbe total (coliform and E.coli total). This research is done by circulating water sample for 360 minutes in three step pressure which is 0.7 bar (first 120 minutes), 1.4 bar (second 120 minutes) and 2.1 bar (third 120 minutes). The research starts by characterizing the feed water, and then sample is circulated through membrane, after that permeate is characterized. Polisulfone membrane shows a decreasing pattern, this is because of the water sample is still containing colloidal, either its organic or non-organic. Polisulfone membrane with 0.05 mm thickness has the highest fluks which is approximate 165 L/m2.hour. The membrane permeate characterization shows that polisulfone membrane gives a good efectivity as water refining with zero contaminant for microbe, with zero TSS, 2 and 1 TCU for color, 1 NTU for turbidity, pH 7.01-7.10. Water characterization after membrane filtration shows a very good efectivity, TSS, TDS, color, turbidity, pH and microbe total (coliform and E.coli) far under the government standard for drink water. The water analysis shows that every thickness variation gives the same efectivity to water purification. So polisulfone membrane can work effectively in water desinfecting and 0.15 mm polisulfone membrane with 0.7 bar or 1.4 bar of pressure shows the best function by having the highest fluks until 165 L/m2.hour.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas rujukannya.
Bogor, September 2006 Yang Menyatakan Pernyataan
Nama : M Putra Siburian Nrp : F34102105
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian dan menyusun laporan skripsi dengan judul Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Mama, Kakak-kakak saya Marta dan Marlinang serta adik-adik saya Glory dan Marsudi atas dukungan, nasehat, doa dan kasih sayangnya, yang sangat berharga bagi penulis. 2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing sebagai dosen pembimbing akademik atas dorongan dan saran yang diberikan mulai dari persiapan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi. 4. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi. 5. Paulina Rosari Sinaga dan Eko Purwanto selaku teman – teman satu penelitian atas kerjasama dan kebersamaan selama penelitian. 6. Teman – teman baik penulis selama kuliah, Adriel, Samuel, Diena. 7. Teman-teman Agriaswara, Budi, Helmy, Ary, Hesty, Hilma. 8. Ibu Ega, Pak Gunawan dan para laboran di laboratorium TIN. 9. Rekan – rekan TIN angkatan 39 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
i
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis menerima dengan senang hati segala kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkannya.
Bogor, September 2006
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR..............................................................................................
i
DAFTAR TABEL ...................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................
vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................
1
A. Latar Belakang ...........................................................................................
1
B. Tujuan .........................................................................................................
4
C. Ruang Lingkup ...........................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
5
A. Air Bersih ....................................................................................................
5
1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus.................................................
5
2. Karakteristik dan Kualitas Air ...............................................................
9
3. Pengolahan Air Konvensional ...............................................................
15
B. Pencemaran Air .........................................................................................
17
1. Definisi Pencemaran Air .......................................................................
17
2. Indikator Pencemaran Air ......................................................................
18
3. Komponen Pencemaran Air ...................................................................
19
4. Dampak Pencemaran Air ......................................................................
20
5. Penanggulangan Pencemaraan Air .......................................................
20
C. Membran ....................................................................................................
21
1. Denifisi Membran ..................................................................................
21
2. Klasifikasi Membran ..............................................................................
21
Karakterisasi Membran .........................................................................
24
3. Proses Pemisahan Membran ..................................................................
25
4. Material Pembuat membran ...................................................................
30
5. Peristiwa Fouling ...................................................................................
31
III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................
33
A. Bahan dan Alat ...........................................................................................
33
B. Tahapan Penelitian ...................................................................................
33
iii
Halaman C. Metode .........................................................................................................
34
1. Persiapan .................................................................................................
34
2. Filtrasi Air ................................................................................................
35
3. Karakterisasi Air ....................................................................................
35
D. Rancangan Percobaan ...............................................................................
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................
37
A. Kinerja Membran ......................................................................................
37
1. Fluks .......................................................................................................
38
2. Rejeksi Polutan. ......................................................................................
41
B. Karakteristik Air ........................................................................................
41
1. Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS)...............
42
2. Warna dan Kekeruhan ............................................................................
45
3. pH ...........................................................................................................
47
4. Mikrobiologi (total coliform dan total E.coli) .........................................
48
C. Membran Terbaik ………………………………………………………...
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
51
A. Kesimpulan ..................................................................................................
51
B. Saran ............................................................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
52
LAMPIRAN .............................................................................................................
56
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Beberapa penyakit bawaan air dan agennya ...............................................
2
Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ....................................
14
Tabel 3. Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk...................................
24
Tabel 4. Selang fluks dan tekanan ............................................................................
28
Tabel 5. Hasil uji feed air …………………………………………………...……...
37
Tabel 6. Nilai rata-rata karakteristik air sebelum (feed) dan sesudah (permeat) .......................................................................................
42
Tabel 7. Perubahan hasil uji mikrobiologi air………………………...........……….
49
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. E.coli dalam pembesaran 10.000 kali …………………..........….…….
12
Gambar 2. Membran waterfine berbentuk hollow fiber ..........................................
22
Gambar 3. Klasifikasi membran ..............................................................................
22
Gambar 4. Simulasi kinerja proses membran filtrasi ..............................................
26
Gambar 5. Simulasi cara kerja membran hollow fiber ............................................
26
Gambar 6. Prinsip operasi membran .......................................................................
27
Gambar 7. Sistem crossflow …………………………………………..........…......
29
Gambar 8. Perbandingan sistem desain operasi .......................................................
30
Gambar 9. Struktur molekul polisulfon ...................................................................
30
Gambar 10.Penurunan fluks pada filtrasi .................................................................
31
Gambar 11.Faktor – faktor yang mempengaruhi fluks .............................................
32
Gambar 12.Diagram alir penelitian ...........................................................................
34
Gambar 13.Fluks membran polisufon selama filtrasi air …………...........………...
40
Gambar 14.TSS dan TDS air sebelum dan sesudah penyaringan pada masing-masing membran ..............................................................
44
Gambar 15.Membran polisulfon setelah penyaringan ………………...............…...
45
Gambar 16.Penurunan kadar warna sebelum dan sesudah penyaringan pada masing-masing membran.........................................................…...
46
Gambar 17.Grafik perubahan pH air sebelum dan sesudah penyaringan pada masing-masing membran ……………...........…......
vi
47
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Instalasi pengolahan air sungai ciapus kampus IPB Darmaga Bogor ………………………………………………..
56
Lampiran 2.
Perangkat pompa................................................................................
57
Lampiran 3.
Spesifikasi teknik unit mikrofiltrasi ..................................................
58
Lampiran 4.
Data fluks air hasil penyaringan dengan menggunakan membran ...........................................................................................
59
Lampiran 5.
Analisa keragaman data fluks air ......................................................
63
Lampiran 6.
Karakteristik air sebelum dan sesudah penyaringan menggunakan membran ...................................................................
Lampiran 7.
66
Analisis keragaman karakteristik warna air pada membran polisulfon ..........................................................................
68
Lampiran 8.
Persentase perubahan parameter pada membran ..............................
69
Lampiran 9.
Penentuan laju alir ............................................................................
70
Lampiran 10. Prosedur analisis karakteristik air .....................................................
72
Lampiran 11. Baku mutu air minum KepMenKes ..................................................
75
vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Air adalah sumber kehidupan. Air adalah senyawa sederhana (H2O) tetapi manfaatnya tak terperi. Air bersih dan air murni merupakan bahan yang semakin penting dan juga langka dengan semakin majunya IPTEK, masyarakat dan peradaban industri. Sebaliknya berkat perkembangan IPTEK mutu air pun semakin dapat diperbaiki. Keberadaan air bagi manusia sangat penting di setiap harinya. Di Indonesia kebutuhan air untuk setiap orang mencapai 40 – 120 liter setiap harinya. Namun persediaan air dari berbagai sumber air bersifat terbatas dan tersebar secara tidak merata secara ruang dan waktu, diakibatkan adanya perbedaan iklim dan kemampuan tanah menyimpan air. Selain itu, semakin meluasnya wilayah pencemaran air, akan mengurangi daya dukung air bersih bagi kehidupan manusia, karena ketersediaan air seringkali tidak mencukupi kebutuhan manusia akan air bersih. Saat ini perkembangan pengolahan air sudah berkembang dengan pesat. sudah cukup banyak instansi-instansi yang membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, mendirikan instalasi pengolahan air bersih mandiri untuk melepas ketergantungan dari PDAM. Pengolahan air secara mandiri ini dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi penyaringan air bersih yang sudah ada, tentunya juga dipengaruhi dengan kemampuan dari instansi tersebut baik dari segi ketersediaan teknologi dan segi finansial. IPB, sudah mengembangkan instalasi pengolahan air secara mandiri sejak tahun 1970an, diantaranya adalah Instalasi Penjernihan Air Bersih (IPA) Sungai Cihideung dan IPA Sungai Ciapus. Instalasi pengolahan air ini memiliki tanggung jawab yang penting karena menyediakan air untuk kebutuhan akademik kampus termasuk juga mahasiswa asrama TPB, asrama-asrama IPB lain dan komplek perumahan dosen, untuk itu perlu keseriusan dalam menjaga agar kualitas air yang dihasilkan dapat terus dalam kondisi yang baik dan memenuhi standard kualitas.
2 Menurut Darmono (2001), air yang telah tercemar, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan masyarakat. Apabila dipergunakan akan menimbulkan akibat yang segera tampak (akut) dan akibat yang tampak secara perlahan-lahan atau dalam waktu yang lama (kronis). Sedangkan Azwar (1983), dan Slamet (1996), menyatakan air berperan dalam terjadinya penyebaran penyakit yaitu; air sebagai penyebar bakteri patogen, air sebagai sarang insekta penyebar penyakit, jumlah air bersih yang tersedia tidak mencukupi, dan air sebagai sarang sementara penyakit. Jenis mikroba yang dapat menyebar melalui air yaitu; virus, bakteri, protozoa dan metazoa. Penyakit bawaan air yang banyak terdapat di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Penyakit Bawaan Air dan Agennya Agen Penyakit Virus : Diare pada anak Rotavirus Hepatitis A Virus hepatitis A Polio (myelitis anterior acuta) Virus poliomyelitis Bakteri : Kolera Vibiro cholerae Diare atau disentri Escherichia coli enteropatogenik Tipus abdominalis Salmonella typhi Paratipus Salmonella paratyphi Disentri Shigella dysenteriae Protozoa : Disentri amoeba Entamoeba histolytica Balantidiasis Balantidia coli Giardiasis Giardia lambia Metazoa : Ascariasis Ascaris lumbricoides Clonorchiasis Clonorchis sinensis Dipilobothriasis Dyphyllobothrium latum Taenia saginata dan T. solium Teaniasis Schistosomiasis Schistomasoma Sumber : Slamet (1996) Menurut Sugiharto (1987), proses pengolahan air bertujuan untuk mengurangi kadar bahan pencemar (BOD, partikel tercampur, serta membunuh organisme patogen) dan diperlukan tambahan pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi,
3 komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat didegradasi agar konsentrasinya menjadi rendah. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (primer), (2) pengolahan kedua (sekunder), dan (3) pengolahan ketiga (tersier). pengolahan pertama bertujuan untuk membersihkan air limbah dari benda-benda yang tercampur dan tidak larut (benda-benda padat, gemuk dan bendabenda yang terapung) dengan cara pengendapan ataupun pengapungan. Pengolahan kedua merupakan proses biologis dengan tujuan untuk mengurangi bahan-bahan organik melalui mikroorganisme yang ada di dalamnya. Pengolahan ketiga merupakan pengolahan secara khusus sesuai dengan kandungan zat yang terbanyak dalam air limbah dan bertujuan untuk memisahkan padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik (senyawa-senyawa fosfat, nitrat dan bahanbahan lainnya). Pengolahan dilakukan dengan menggunakan saringan (membran) dan proses penyerapan (adsorption) serta proses osmosis balik, sehingga air yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik. Membran yang digunakan pada proses filtrasi umumnya dibuat dari (i) polimer alami dan modifikasinya, (ii) polimer sintetis, (iii) dan bahan inorganik. Pemilihan bahan baku pembentuk membran penting dilakukan karena jenis bahan baku dapat berpengaruh terhadap karakteristik membran yang dihasilkan. Membran polisulfon adalah membran yang berbahan dasar polisulfon. Beberapa sifat yang dapat menempatkan polisulfon sebagai membran terkemuka adalah mempunyai temperatur gelas (Tg = 195oC), stabil terhadap panas dan oksidasi, tahan terhadap perubahan pH, tidak meregang meski pada temperatur tinggi, memiliki fleksibilitas dan kekuatan sangat tinggi. Penelitian ini merupakan lanjutan dari rangkaian penelitian sebelumnya mengenai produksi dan karakterisasi membran berbahan dasar polisulfon. Formulasi membran terbaik yang berhasil dilakukan pada penelitian sebelumnya digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Formulasi membran yang digunakan adalah membran polisulfon 12% dengan variasi ketebalan kering 0,05 mm, 0,10 mm dan 0,15 mm dan sebagai
4 perbandingan digunakan membran mikrofiltrasi komersial referensi membran ultrafiltrasi. Pada penelitian ini dilakukan pengujian kinerja membran polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,05 mm, polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,10 mm, polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,15 mm, dan membran mikrofiltrasi komersial dalam aplikasi pengolahan air bersih sehingga diperoleh hasil kinerja masing-masing membran dan ketebalan membran polisulfon terbaik dalam menghasilkan air yang murni dan bebas mikroba. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif teknologi untuk proses desinfeksi air.
B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efektifitas penerapan membran polisulfon dengan
tiga taraf ketebalan dalam aplikasi untuk pemurnian air dan penyaring
mikroba.
C. RUANG LINGKUP Penelitian ini merupakan aplikasi dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran polisulfon dalam menyaring air terutama dalam aplikasinya sebagai penyaring mikroorganisme yang terdapat di dalam air. Penelitian mengambil studi kasus Instalasi Penjernihan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga Bogor.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. AIR BERSIH Slamet (1996), menyatakan air diperlakukan untuk melarutkan berbagai jenis zat yang diperlukan tubuh. Segala reaksi yang terjadi di dalam tubuh manusia terlaksana dalam lingkungan air. Dalam segala fungsi kehidupan manusia, seperti bereaksi terhadap gangguan, tumbuh, bermetabolisme, dan bereproduksi, air selalu memegang peranan penting. Apabila terjadi pencemaran terhadap badan air oleh limbah domestik (rumah tangga), industri, pertanian, dan transportasi, maka badan air menjadi kotor dan berbau, yang dapat menimbulkan penyakit (pernapasan, kulit dan saluran pencernaan) pada masyarakat penggunanya. Penyakit yang disebarkan oleh air secara langsung dinyatakan sebagai penyakit bawaan air (water borne disease). Penyebaran penyakit terjadi apabila mikroba penyebabnya berada dalam badan air yang digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya adalah kesehatan masyarakat menjadi terganggu atau terjadi penurunan kesehatan sehingga akan dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat.
1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus Menurut Chapman (1977), sungai merupakan sumber air bersih (air segar) paling penting bagi manusia. Perkembangan sosial, ekonomi dan politik sejak dulu telah banyak berkaitan dengan keberadaan serta pendistribusian air segar dari sistem aliran sungai. Beberapa penggunaan utama air adalah sebagai sumber persediaan air minum, irigasi lahan pertanian, persediaan air industri dan kota, tempat pembuangan limbah industri dan kota, pelayaran, tempat memancing, berkapal, rekreasi penduduk, serta memberikan nilai keindahan. Pada daerah tropis, sungai mempunyai sedikit perbedaan serta relatif sedikit mengandung garam. Sumber air ini, umumnya dicemari oleh tinja dalam jumlah besar karena berdekatan dengan pemukiman. Kualitas air dapat berbeda sesuai dengan turunnya air hujan, tetapi kekeruhan selalu terjadi sepanjang waktu. Aliran sungai
6 yang lambat (tenang) mengandung sejumlah bahan organik (Mann dan Williamson, 1976). Instalasi Penjernihan Air IPB cabang Asrama TPB dibangun dan dirancang oleh PT. Wijaya Kusuma Emindo pada tahun 2001. Bahan air baku yang diolah oleh IPA ini berasal dari Sungai Ciapus. Hasil pengolahan IPA Sungai Ciapus ini digunakan untuk penyediaan air bersih penghuni asrama TPB IPB baik putri maupun putra. Instalasi didisain untuk menghasilkan air bersih yang memenuhi satandar air bersih, dengan pengoperasian yang sederhana. Instalasi ini mempunyai kapasitas output 10 liter/detik dan menghasilkan 864.000 liter sehari pada 24 jam kerja. Bagan pengolahan air bersih (Package Water Treatment) dapat dilihat di Lampiran 1. Sumber air yang diambil dari sungai dipompakan ke tangki pengendap (clarifier), sebelumnya air diberikan Alum sulphate untuk coagulant dan Soda ash yang berguna untuk koreksi pH awal. Air yang sudah bercampur dengan bahan kimia tersebut dialirkan dengan pipa inlet tegak lurus vertikal ke bagian dasar clarifier yang berbentuk konus. Dengan adanya kecepatan yang dikombinasikan dengan perubahan arah aliran maka terjadilah proses flokulasi. Kemudian airnya akan naik ke atas melalui sludge blanket dan mengalir secara grafitasi ke dalam tangki filter. Sisa flok-flok halus yang masih terbawa oleh air akan disaring oleh filter, sehingga air yang keluar dari filter adalah air bersih yang dialirkan secara grafitasi ke dalam tangki reservoir. Pada tangki reservoir, air dibubuhi dengan Calsium hypochorite (kaporit) yang berfungsi sebagai desinfectant/ sterilisasi (Anonim, 2001).
Clarification Disain dari tangki clarifier ini direncanakan sedemikian rupa sehingga merupakan HOPPER BOTTOM tank (tangki dengan bagian dasar berbentuk konus atau kerucut terbalik) dan dibagian atasnya berbentuk silinder tegak (Vertical Square). Standart Treatment Process ini diaplikasi dengan sistem sludge blanket, dimana pembubuhan koagulan Alum sulphate diinjeksikan pada aliran air baku dalam pipa sebelum Tangki clarifier; berikutnya dengan soda ash untuk pH correction; dimana
7 akibat hydraulic jump dan turbulensi serta dengan diarahkannya aliran air kebawah (down flow) terhadap dasar tangki hopper; dengan adanya kecepatan yang dikombinasikan dengan perubahan arah aliran air (downflow menjadi upflow) serta perlambatan kecepatan akibat dari bentuk tangki yang konus, maka akan terjadi kondisi agitasi yang ideal untuk flokulasi awal yang terbentuk pada bagian konus tangki, yang secara upflow dilanjutkan sampai di sludge blanket. Air mengalir ke atas dari bagian hopper ke bagian vertikal dengan kecepatan yang makin lama makin berkurang secara steady melalui partikel-partikel yang melayang dan partikel-partikel suspended solid mengalami penurunan kecepatan; sehingga memungkinkan terjadinya proses akumulasi. Akibat dari proses akumulasi tersebut dan bersamaan dengan aliran yang naik ke atas, maka coagulated partikel-partikel yang lebih kecil akan menggumpal menjadi partikel-partikel yang lebih besar (secara kontinyu) dan disebut sludge blanket yang mampu mempertahankan posisinya dengan melayang dalam tangki. Partikel-partikel yang lebih kecil akan bergabung atau tersedimentasi pada partikel-partikel yang lebih besar (stationery) pada sludge blanket tersebut. Partikel-partikel yang lebih berat akan terendapkan/ terkonsentrasi pada dasar tangki hopper yang kemudian secara periodik dibuang (desludging). Untuk menjaga balance dari sludge blanket maka dilengkapi dengan sludge cones yang merupakan sludge concentrator yang kemudian secara kontinu atau intermittent melalui pipa pembuangannya; sludge yang berlebih dikeluarkan dari sludge cone tersebut (sludge bleeding) dengan mengatur pembukaan valve-nya. Aliran air yang keluar menembus sludge blanket secara upflow akan mengalir melalui decanting trough/ talang (clarified water) dan secara grafitasi mengalir ke tangki filter. Rise rate dari hopper bottom clarifier ini didisain dari 2 s/d 3 m3/m2/jam dan retention time 80 menit, berdasarkan standar normal coagulant. Bila digunakan coagulant aid, rise rate dapat ditingkatkan menjadi 6 m3/m2/jam. Kesemuanya tergantung dari variasi karakteristik air baku. Air baku umumnya mengandung kotoran-kotoran halus dan coloidal berwarna. Untuk memisahkan kotoran-kotoran ini tidak dapat dicapai hanya dengan
8 pengendapan secara alamiah karena akan membutuhkan waktu yang lama dan bak yang besar, sehingga tidak ekonomis. Alum mempunyai kemampuan untuk saling mengikat dengan natural alkalinity dari air; pada umumnya digunakan galatinous precipitate dari isoluble alumunium hydroxide. Precipitate ini akan secara cepat mengendapkan dan mengikat kotoran-kotoran (partikel-partikel) yang ada dan unsurunsur koloidal. Pencampuran antara kotoran-kotoran dan hydroxide disebut “floc”. Efektivitas koagulasi dari alum terbatas pada range pH tertentu, sekitar 6,7 – 7,3 serta tergantung pada natural alkalinity yang ada. Jika natural alkalinity tidak cukup, maka diperlukan penambahan koagulation aid, yaitu jenis alkali supaya bereaksi dengan alum. Soda ash adalah alkali yang paling banyak digunakan untuk ini. Nilai pH dari air dapat diketahui dengan pH test kits (comparator pH), gunanya untuk mengetahui kadar alkali dan keasaman dari air. Bila pH lebih besar dari 7, maka air akan bersifat basa (alkaline); bila pH lebih kecil dari 7, air bersifat asam (acidic) dan bila pH=7 berarti air bersifat netral. Air bersifat corrosive bila pH lebih kecil dari 7, sehingga diusahakan pH antara 7,2 sampai dengan 7,4 yaitu dengan menambahkan Soda ash atau lime, agar air tidak bersifat korosif (Anonim, 2001).
Filtration dan Backwashing Maksud dari filter adalah untuk menyaring floc-floc halus yang masih terbawa dalam air yang keluar dari tangki clarifier. Filter ini adalah jenis filter cepat dengan grafitasi dan mempunyai kecepatan yang bervariasi untuk memenuhi kapasitas yang diinginkan. Sistem backwashing menggunakan wash water dari air yang tersedia pada bagian atas tangki filter dengan cara self washing. Filter berisi pasir silika kasar setebal 115 mm dengan diameter 2,4-4,8 mm dan pasir silika halus setebal 685 mm dengan diameter butiran 0,6 mm – 1,2 mm. Pasirpasir ini berada di atas plat beton yang telah dilengkapi dengan pipa lateral dan polypropylene nozzle. Clarified water dari clarifier masuk ke tangki secara grafitasi dan disaring melalui media pasir melalui filter nozzles, lateral pipe ke dasar tangki. Kemudian secara grafitasi melalui pipa dialirkan menuju tangki reservoir.
9 Floc-floc halus disaring dan tertinggal di pasir, sehingga hanya air bersih saja yang keluar. Dianjurkan pasir filter harus dicuci (backwash) setiap 24 jam untuk membuang lumpur dan mencegah tumbuhnya lumut. Backwash dengan self washing menggunakan air pencucian pada tangki filter bagian atas; dengan cara membuka dan menutup valve, sehingga floc-floc yang tertahan pada pasir media akan terhanyut bersamaan ke saluran pembuangan (Anonim, 2001).
Desinfection Filter Water yang masuk ke dalam tangki reservoir diberikan pembubuhan kaporit. Pembubuhan kaporit adalah sebagai desinfectant dari filter water melalui reservoir untuk selanjutnya dialirkan dengan pompa ke distribusi yang dituju (Anonim, 2001).
2. Karakteristik dan kualitas air Air mempunyai sifat unik dan khas, karena secara kimia hanya terdiri dari atom H dan O, karena disebabkan adanya ikatan hidrogen antara molekul air. Oleh karena sifatnya yang khas tersebut, maka banyak sekali senyawa ionis berdisosiasi dalam air. Air merupakan pelarut yang sangat baik bagi sebagian besar bahan sehingga air merupakan alat pencuci yang baik dan air merupakan media transport utama bagi zatzat makanan dan sampah yang dihasilkan selama proses kehidupan (Saeni,1989). Menurut Saeni (1989), air yang merupakan cairan biologis , yaitu air terdapat di dalam tubuh semua organisme. Di alam terdiri dari tiga bentuk, yaitu bentuk padat sebagai es, cair sebagai air, dan gas sebagai uap air. Bentuk air tergantung pada tempat dan tekanan barometris (P) dan keadaan cuaca atau suhu (t). Densitas atau kerapatan air akan meningkat dengan menurunnya suhu, sampai tercapai suhu maksimum 40C. Air mempunyai kapasitas kalor yang tinggi bila dibandingkan dengan cairan lainnya di alam yaitu sebesar 1 kkal, dengan titik didih 1000C pada tekanan 1 atmosfir. Titik didih ini mempunya suhu yang berbeda tergantung pada ketinggian tempat (tekanan udara). Selain itu, air bersih mempunyai kisaran pH netral (pH 7) dan oksigen terlarut (DO) jenuh pada 9 mg/l, serta diversitas (perbandingan
10 antara jumlah spesies dengan jumlah individu atau organisme) yang sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, aliran, musim dan lain-lainnya. Diversitas ini merupakan ukuran penting untuk menilai kualitas air atau meneliti dampak berbagai kegiatan terhadap lingkungan air. Air murni di alam tidak dapat ditemukan, karena kondensasi air di atmosfer jatuh ke bumi sebagai air hujan, dalam perjalanannya akan menyerap gas-gas seperti CO2, O2 dan lainnya. Setelah mencapai permukaan tanah, segera terkena pencemaran zat organik dan kemungkinan air tersebut akan menyerap CO2 dan N2 dari tumbuhan ataupun bahan lainnya hasil penguraian bahan organik di tanah dan kemudian menyatu dengan air sungai. Air sungai akan mengandung sejumlah suspensi bahan seperti lempung, pasir dan sebagainya.Air tanah yang diserap ke dalam tanah akan disaring oleh lapisan tanah ataupun batuan yang dilaluinya dan menyatu dengan air tanah pada lapisan bumi, dan selama perjalanan yang dilalui akan melarutkan zat-zat lainnya pada lapisan tanah yang mempengaruhi kualitas air tanah (Saeni,1989). Kualitas perairan merupakan alat praktis untuk menduga dan mengevaluasi terjadinya perubahan lingkungan. Kualitas suatu perairan dinyatakan baik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai peruntukannya, seperti bahan baku air minum, keperluan industri, pertanian, perikanan dan rekreasi (Saeni, 1991). Menurut Saeni (1989), indeks pencemaran air menunjukkan tingkat pencemaran air pada suatu badan air. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin tinggi tingkat pencemarannya. Istilah ini penggunaannya sering tertukar dengan indeks mutu air, semakin tinggi nilai indeks mutu air, maka kualitas air menjadi semakin baik. Kualitas air pada suatu perairan sangat ditentukan oleh konsentrasi bahan pencemar pada perairan tersebut. Dalam Peraturan Pemerintahan RI nomor 82 tahun 2001, tentang pengelolaan kualitas pencemaran air, disebutkan bahwa pencemaran air selalu berarti turunnya kualitas air sampai batas tingkat tertentu, yang mengakibatkan air tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pada peraturan pemerintah tersebut menggolongkan air menurut peruntukkannya serta diikuti dengan kriteria kualitas air dengan golongan atau kelas.
11 Penggolongan air dalam peraturan pemerintahan tersebut ditetapkan sebagai berikut : Golongan 1 : Air yang dapat dipergunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu. Golongan 2 : Air yang dapat dipergunakan sebagai air baku air minum
(harus
dengan pengolahan terlebih dahulu). Golongan 3 : Air yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan perikanan dan peternakan. Golongan 4 : Air yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan pembangkit tenaga listrik. Kekeruhan Kekeruhan terutama disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang bervariasi dari ukuran koloid sampai disperse kasar. Kekeruhan di suatu sungai tidak selalu sama setiap tahun, air akan sangat keruh pada musim penghujan karena larian air maksimum dan adanya erosi dari daratan. Kekeruhan ini terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan. Pada daerah pemukiman kekeruhan dapat ditimbulkan oleh buangan penduduk dan buangan industri baik yang telah diolah maupun yang belum mengalami pengolahan. Selain disebabkan oleh bahan-bahan tersebut, kekeruhan juga disebabkan oleh liat dan lempung, buangan industri dan mikroorganisme (Saeni,1989). Pengaruh utama dari kekeruhan adalah terjadinya penurunan penetrasi cahaya matahari secara tajam. Penurunan ini akan mengakibatkan aktivitas fotosintesis dari fitoplankton menurun (Koessoebiono, 1979).
Padatan tersuspensi dan terlarut Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap langsung. Besarnya kandungan padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air, sehingga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis. Menurut Wardoyo
12 (1975), akibat yang ditimbulkan oleh padatan tersuspensi adalah pengurangan daya pemurnian air secara alami dengan berkurangnya proses fotosintesis dan menutupi organisme dasar.
Mikroorganisme dalam perairan Jenis mikroorganisme yang sangat mempengaruhi kualitas air adalah bakteri Escherichia coli (E.coli). Bakteri ini adalah salah satu yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan. Oleh karena itu bakteri ini disebut juga koliform fecal (Saeni, 1989). Menurut
Fardiaz
(1992),
keberadaan E.coli merupakan
indikator
yang
menunjukkan bahwa suatu perairan sudah tercemar oleh kotoran manusia maupun hewan. Dalam Peraturan Pemerintah No 20 tahun 1990 (tentang pengendalian pencemaran air), dinyatakan bahwa air yang dapat digunakan sebagai bahan baku air minum (golongan B) adalah air yang memiliki kandungan maksimum E.coli yang diperbolehkan 2000 individu / 100 ml contoh air. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/MenKes/Per/IX/1990, kandungan E.coli untuk air yang akan digunakan sebagai air minum harus sama dengan nol.
Gambar 1. E.coli dalam pembesaran 10.000 kali (http://www.wikipedia.com)
13 pH (derajat kemasaman) Nilai pH menyatakan intensitas kemasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya, pH tidak mengukur seluruh kemasaman atau seluruh alkalinitas (Soemarwoto, 1987). Menurut Saeni (1989), nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat, hidroksida, dan bikarbonat menaikkan kebasaan air. Sedangkan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. Perairan yang bersifat asam lebih banyak dibandingkan dengan perairan alkalis. Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya unsur hara, serta toksitas dari unsur-unsur renik. Secara langsung organisme perairan membutuhkan kondisi air dengan tingkat kemasaman tertentu. Air dengan pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mematikan mikroorganisme, demikian pula dengan perubahannya. Umumnya organisme perairan dapat hidup pada kisaran pH 6,7 – 8,5. Penambahan suatu senyawa ke perairan hendaknya tidak menyebabkan perubahan pH menjadi lebih kecil dari 6,7 atau lebih besar dari 8,8 (Kusnoputranto,1997). Selanjutnya Saeni (1989), mengemukakan nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil, maka penentuan pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak diawetkan. Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophila mampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6. Pengaruh nilai pH pada komunitas biologi perairan dapat dilihat pada Tabel 2.
14 Tabel 2. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan Nilai pH Pengaruh Umum 6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan 5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti 3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral 5,0 – 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton danbentos semakin besar 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat 4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton dan bentos semakin besar 2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat Sumber : Modifikasi Baker et al., 1990 dalam Efendi, 2003 Warna Menurut Fardiaz (1992), warna air terdiri dari dua macam yaitu; warna sejati (true color) yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut, dan warna semu (apparent color), selain disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut, juga disebabkan oleh adanya bahan-bahan tersuspensi, termasuk diantaranya yang bersifat koloid. Warna air di alam sangat bervariasi, misalnya air di rawa-rawa berwarna kuning, coklat atau kehijauan. Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena mengandung lumpur. Sedangkan air buangan yang mengandung besi dan tanin dalam jumlah tinggi berwarna coklat kemerahan. Warna air yang tidak normal, biasanya menunjukkan adanya pencemaran terhadap air tersebut. Baku mutu air adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya. Baku mutu air ini ditetapkan
15 pemerintah
berdasarkan
peraturan
undang-undang
dengan
mencantumkan
pembatasan konsentrasi dari berbagai parameter kualitas air. Baku mutu air berlaku untuk lingkungan perairan suatu badan air, sedangkan baku mutu limbah berlaku untuk limbah cair yang akan masuk ke perairan.
3. Pengolahan air konvensional Penyaringan adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori-pori, sehingga menghasilkan kualitas air yang lebih baik. Medium atau bahan penyaring yang digunakan dapat berupa pasir, tanah liat, kerikil, antrasit, arang aktif, granit, zeolit, ijuk, resin dan campurannya. Proses penyaringan ini dapat menyaring warna yang mengganggu, kekeruhan, bakteri dan mengurangi konsentrasi logam yang terdapat dalam air (Saeni, 1986). Menurut Darmono (2001), penyaringan penting artinya dalam usaha penjernihan air, menjadi air yang sesuai dengan kebutuhan. Penyaringan merupakan proses pertukaran ion yang dalam air buangan dengan ion yang ada dalam saringan. Menurut Sugiharto (1987), penyaringan merupakan proses penyaringan lumpur yang tercampur dan pertikel koloid dari air limbah dengan melewatkan air pada media yang porous. Kedalaman penyaringan menentukan derajat kebersihan air yang akan disaring pada pengolahan air yang sesuai dengan kebutuhan. Penyaringan memisahkan zat padat dan zat kimia terlarut serta bakteri yang terkandung dalam air limbah. Bardasarkan hasil percobaan yang dilakukan di Singapura mempergunakan bahan penyaring sabut kelapa, alang-alang, serbuk gergaji, spon, pasir dan kerikil, diperoleh hasil yang baik terhadap padatan tersuspensi, dengan keefektifan berkisar 65 %, dan terhadap BOD berkisar 40 %. Bila bahan-bahan penyaringnya ditambah dengan pasir dibawahnya, terjadi keefektifan rata-rata terhadap nilai-nilai padatan tersuspensi, BOD dan organisme koliform sampai 80 %, dengan kecepatan penyaringan 6 m3/m2jam (Chin dan Chen, 1978). Penyaringan dengan bahan penyaring pasir telah lama dilakukan, dan dikenal dua jenis saringan pasir, yaitu saringan pasir lambat yang diperkenalkan di London pada
16 tahun 1829, dan saringan pasir cepat yang diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1893. Pada saringan pasir lambat, aliran air berdasarkan gaya tarik bumi (gravitasi), sedangkan pada saringan pasir cepat perlu dipergunakan tekanan. Untuk saringan pasir cepat perlu dilakukan pengolahan air sebelumnya, misalnya dengan penambahan zat koagulan (Saeni, 1986).
Saringan Pasir Lambat (Slow Sand Fitration) Saringan ini terdiri dari lapisan kerikil dengan ketebalan 0,3 m dan pasir dengan tebal 0,6-1,2 m dengan diameter pasir berkisar 0,2-0,354 mm. Dari penyaringan ini akan dihasilkan kecepatan pengaliran 0,034-0,10 liter/detik. Apabila air limbah sudah mulai menggenang sedalam 1,5-3 m maka air limbah tersebut perlu dikeringkan dan permukaan pasir perlu dilakukan pengerukan sedalam 2,5-5 cm dari atas permukaan pasir dan pasir dibongkar, dibersihkan dan dikeringkan. Waktu pembersihan ini dilakukan setiap 30-150 hari, tergantung pada waktu terjadinya pengotoran media pasir oleh kotoran, akibat dari proses penyaringan air limbah (Sugiharto, 1987). Saringan pasir ini sangat efektif untuk menyaring padatan tersuspensi, tanah liat dan padatan koloid lainnya. Selain itu, saringan ini mampu memisahkan 85-99% bakteri, tergantung dari jumlah bakteri awal, dapat mengurangi kekeruhan dari 50 ppm SiO2, sampai dengan 5 ppm SiO2, disamping itu dapat pula mengurangi warna tertentu yang ada, tergantung pada ukuran butiran pasir dan kecepatan penyaringannya (Wagner and Lanoix, 1959).
Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filtration) Saringan ini terdiri dari pasir dengan ketebalan 0,4-0,7 m dengan diameter 0,4-0,8 mm dan kerikil setebal 0,3-0,6 m. Kecepatan aliran penyaringan yang dihasilkan sebesar 1,3-2,7 liter/detik. Pasir saringan cepat ini pencuciannya dilakukan dengan pengaliran kembali setelah penyaringan berlangsung selama 6-24 jam, dengan lama pencucian berkisar 5-10 menit (Sugiharto, 1987). Saringan pasir cepat efektif untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan biasanya didahului dengan proses koagulasi kimia, karena tanpa proses koagulasi
17 kimia penyaringan hanya efektif untuk beberapa macam air saja (Weber, 1972). Saringan pasir lambat maupun saringan pasir cepat, merupakan suatu bentuk penyaringan yang hanya memanfaatkan dua macam media saja, seperti pasir dan kerikil ataupun pasir dan antrasit. Secara berangsur-angsur teknologi saringan pasir lambat dan mengalami perubahan yang sangat cepat, dengan terciptanya teknologi saringan pasir campuran yang mampu menahan bakteri sampai dengan 98% (Culp, 1980). Teknologi saringan ini dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan proses penyaringan air untuk memperoleh air bersih dengan cara tradisional dan konvensional, sampai dengan penggunaan teknologi sederhana, selanjutnya dengan saringan media campuran, precoalfilter, mikrostaining, vacum filter dan semakin berkembang lagi dengan adanya pemanfaatan deionisasi menggunakan membran atau resin.
B. PENCEMARAN AIR 1. Definisi Pencemaran Air Istilah pencemaran air atau polusi air dapat dipersepsikan berbeda oleh satu orang dengan orang lainnya mengingat banyak pustaka acuan yang merumuskan definisi istilah tersebut, baik dalam kamus atau buku teks ilmiah. Pengertian pencemaran air juga didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan hidup yang didefinisikan dalam undang-undang. Dalam praktek operasionalnya, pencemaran lingkungan hidup tidak pernah ditunjukkan secara utuh, melainkan sebagai pencemaran dari komponen-komponen lingkungan hidup, seperti pencemaran air, pencemaran air laut, pencemaran air tanah dan pencemaran udara. Dengan demikian, definisi pencemaran air mengacu pada definisi lingkungan hidup yang ditetapkan dalam UU tentang lingkungan hidup yaitu UU No. 23/1997. Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan
18 manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Setiawan, 2001). Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair. Aspek pelaku/penyebab dapat disebabkan oleh alam atau oleh manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi pemerintah tetap harus menanggulangi pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan kualitas air sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat tertentu dalam definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat tak-cemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas air yang telah sampai ke batas atau melewati batas). Ada standar baku mutu tertentu untuk peruntukan air. Sebagai contoh adalah pada UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 ayat 3 terkandung makna bahwa air minum yang dikonsumsi masyarakat, harus memenuhi persyaratan kualitas maupun kuantitas, yang persyaratan kualitas tertuang dalam Peraturan Mentri Kesehatan No. 146 tahun 1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air. Sedangkan parameter kualitas air minum/air bersih yang terdiri dari parameter kimiawi, fisik, radioaktif dan mikrobiologi, ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 (Achmadi, 2001).
2. Indikator Pencemaran Air Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi :
19 Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan pH Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen seperti coliform. Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD) dan kandungan total koliform tinja (E.coli) (Achmadi, 2001).
3. Komponen Pencemaran Air Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000 zat kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang ke badan air atau air tanah. Sebagai contoh adalah pestisida yang biasa digunakan di pertanian, industri atau rumah tangga, detergen yang biasa digunakan di rumah tangga yang biasa digunakan pada alat-alat elektronik (Wardhana, 1995). Erat kaitannya dengan masalah indikator pencemaran air, ternyata komponen pencemaran air turut menentukan bagaimana indikator tersebut terjadi. Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air dapat dikelompokkan sebagai bahan buangan: 1. Padat 2. Organik dan olahan bahan makanan 3. Anorganik 4. Cairan berminyak 5. Berupa panas 6. Zat kimia.
20 4. Dampak pencemaran air Pencemaran air dapat berdampak sangat luas, misalnya dapat meracuni air minum, meracuni makanan hewan, menjadi penyebab ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam dsb. Di badan air, sungai dan danau, nitrogen dan fosfat dari kegiatan pertanian telah menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali yang disebut eutrofikasi (eutrofication). Ledakan pertumbuhan tersebut menyebabkan oksigen yang seharusnya digunakan bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air tersebut mati, dekomposisinya menyedot lebih banyak oksigen. Akibatnya ikan akan mati dan aktivitas bakteri akan menurun. Dampak pencemaran air pada umumnya dibagi dalam 4 kategori (KLH, 2004) - dampak terhadap kehidupan biota air - dampak terhadap kualitas air tanah - dampak terhadap kesehatan - dampak terhadap estetika lingkungan
5. Penanggulangan pencemaran air Pada prinsipnya ada 2 (dua) usaha untuk menanggulangi pencemaran, yaitu penanggulangan secara non-teknis dan secara teknis. Penanggulangan secara nonteknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi sehingga tidak terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini hendaknya dapat memberikan Gambaran secara jelas tentang kegiatan industri yang akan dilaksanakan, misalnya meliputi AMDAL, pengaturan dan pengawasan kegiatan dan menanamkan perilaku disiplin. Sedangkan penanggulangan secara teknis bersumber pada perlakuan industri terhadap perlakuan buangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola limbah atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran. Sebenarnya penanggulangan pencemaran air dapat dimulai dari diri kita sendiri. Dalam keseharian, kita dapat mengurangi pencemaran air dengan cara mengurangi
21 produksi sampah (minimize) yang kita hasilkan setiap hari. Selain itu, kita dapat pula mendaur ulang (recycle) dan mendaur pakai (reuse) sampah tersebut. Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar. Dari segi kebijakan atau peraturan pun mengenai pencemaran air ini telah ada. Bila kita ingin benar-benar hal tersebut dapat dilaksanakan, maka penegakan hukumnya harus dilaksanakan pula. Pada akhirnya, banyak pilihan baik secara pribadi ataupun sosial (kolektif) yang harus ditetapkan, secara sadar maupun tidak, yang akan mempengaruhi tingkat pencemaran dimanapun kita berada. Walaupun demikian, langkah pencegahan lebih efektif dan bijaksana. Melalui penanggulangan pencemaran ini diharapkan bahwa pencemaran akan berkurang dan kualitas hidup manusia akan lebih ditingkatkan, sehingga akan didapat sumber air yang aman, bersih dan sehat.
C. MEMBRAN 1. Denifisi Membran Membran adalah selaput semi permeabel yang melewatkan spesi tertentu dan menahan spesi yang lain berdasarkan ukuran spesi yang akan dipisahkan. Spesi yang berukuran besar akan tertahan dan yang ukurannya lebih kecil akan dilewatkan (Mulder, 1996).
2. Klasifikasi Membran Mulder (1996) dan Wenten (1999) menyatakan bahwa membran dapat diklasifikasikan berdasarkan keberadaan (eksistensi), morfologi, fungsi, dan bentuk. Berdasarkan keberadaannya membran dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : (1) membran alamiah yang terdapat di dalam jaringan tubuh organisme, berfungsi melindungi isi sel dari pengaruh lingkungan dan membantu proses metabolisme, (2) membran sintetik yang dibuat secara sengaja untuk kebutuhan dan disesuaikan dengan sifat membran alamiah. Membran sintetik dapat dibuat dari polimer seperti polikarbonat, polipropilen, polietilen, poliamida, nilon, selulosa asetat dan polisulpon.
22 Bahan-bahan lain yang dapat digunakan antara lain keramik, gelas, logam, dan lainlain.
Gambar 2. Membran waterfine berbentuk Hollow Fiber. Membran juga dapat dibagi berdasarkan morfologinya menjadi dua golongan yaitu : (1) membran asimetrik yang mempunyai struktur pori yang tidak seragam, dan (2) membran simetrik yang mempunyai struktur pori yang seragam. Berdasarkan fungsinya membran dapat dibagi menjadi : (1) membran mikrofiltrasi, (2) membran ultrafiltrasi, (3) membran osmosa balik, (4) membran dialisa, dan (5) membran elektrodialisis
Gambar 3. Klasifikasi membran (http://www.kochmembranesystems.com)
23 Membran mikrofiltrasi (MF) adalah membran yang memisahkan partikel berukuran mikron atau submikron (makromolekul > 500.000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0,1-10 μm). Lazimnya berbentuk cartridge, gunanya untuk menghilangkan partikel dari air bersih (telah diberi pralakuan) yang berukuran 0,04 sampai 100 mikron, asalkan kandungan TSS (total suspended solid) tidak melebihi 100 ppm (Mulder, 1996). Membran ultrafiltrasi (UF), ialah proses pemisahan (menggunakan) membran untuk menghilangkan berbagai zat terlarut BM (berat molekul) tinggi , aneka koloid, mikroba sampai padatan tersuspensi dari air/cairan. Membran semipermeabel dipakai untuk memisahkan makromolekul (makromolekul > 5.000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0,001-0,1 μm) dari larutan. Ukuran dan bentuk molekul terlarut merupakan faktor penting retensinya (Mulder, 1996). Membran berdasarkan bentuknya dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu : (1) membran datar yang mempunyai penampang lintang dan bentuknya melebar dan (2) membran tubular yang berbentuk pipa memanjang. Membran datar dapat terbagi menjadi tiga macam : (1) membran datar yang terdiri dari satu lembar saja, (2) membran datar bersusun, dan (3) membran spiral bergulung. Membran tubular dibagi menjadi tiga macam : (1) membran berongga dengan diameter < 0,5 mm, (2) membran kapiler dengan diameter 0,5-5,0 mm, dan (3) membran tubular dengan diameter > 5 mm (Mulder, 1996). Menurut Mulder (1996), membran juga dibedakan berdasarkan ukuran porinya, yaitu (1) makropori, yaitu membran dengan ukuran pori yang lebih besar dari 50 nm, (2) mesopori, yaitu ukuran pori berkisar 2-50 nm, dan (3) mikropori, yaitu ukuran pori yang lebih kecil dari 2 nm. Membran berdasarkan gaya penggeraknya dapat dibedakan atas 4 kelompok, yaitu gaya penggerak berupa (1) perbedaan tekanan (∆P), (2) perbedaan konsentrasi (∆C), (3) perbedaan temperatur (∆T), dan (4) perbedaan potensial kimia. (Kaseno, 1999). Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk dapat dilihat pada Tabel 3.
24 Tabel 3. Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk Karakteristik Biaya Packing Density
Spiral-Wound Rendah Tinggi
Pressure Capability
Tinggi
Pilihan bahan polimer Resisten terhadap fouling
Banyak Rata – rata
Kemampuan dibersihkan kembali
Baik
DESAIN Fibers Tubular Rendah Tinggi UF-Tinggi Rendah RO-Sangat tinggi UF-Rendah UF-Rendah RO-Tinggi RO-Rata - rata Sedikit Sedikit UF-Baik Sangat baik RO-Tidak baik UF-Sangat baik Sangat baik RO-Tidak baik
Datar Tinggi Rata – rata
Tinggi Banyak Rata – rata Baik
Sumber : Paulson,1995
3. Karakterisasi Membran Kinerja (performance) membran dalam pemisahan terutama dipengaruhi oleh karakteristik membran yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh disain proses, dan aspek teknik kimianya. Penilaian terhadap karakteristik membran meliputi struktur dan ukuran pori serta sifat fisik mekanik dan kimia membran (Brocks, 1983). Sifat-sifat kimia membran yang penting antara lain (1) sifat hidrofilik atau hidrofobik, (2) ada atau tidaknya muatan ion, (3) ketahanan terhadap suhu tinggi dan zat-zat kimia tertentu, serta (4) daya tarik terhadap partikel dalam umpan. Selain itu menurut Brocks (1983), kandungan mineral yang terdapat dalam membran dan zat yang dapat larut dalam larutan yang dipisahkan perlu diperhatikan. Sifat-sifat kimia membran terutama dipengaruhi oleh bahan yang digunakan untuk pembuatan membran. Beberapa sifat mekanik membran yang penting meliputi kekuatan tarik (tensile strength) dan elongasi. Selain itu dapat juga dilakukan pengujian terhadap kekuatan lentur, kekuatan patah, dan modulus elastisitas terutama untuk keperluan operasi secara fabrikasi. Sifat-sifat mekanik membran dapat diperbaiki dengan beberapa cara antara lain pemanasan (annealing) dan dengan cara meningkatkan derajat kristalinitas bahan yang digunakan (Brocks, 1983).
25 Karakteristik membran dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan memban tersebut. Membran yang dibuat dari selulosa dan turunannya pada umumnya mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi dari membran polimer sintetis. Sebaliknya membran polimer sintetis umumnya lebih tahan terhadap pH umpan dibandingkan membran selulosa. Masing-masing membran mempunyai kelebihan dan kekurangan (Brocks, 1983). Parameter utama yang digunakan dalam penilaian kinerja membran filtrasi adalah harga fluks dan rejeksi (Wenten, 1999). Secara umum nilai fluks dinyatakan sebagai permeabilitas hidraulik (hydraulic transmembrane flux) yang dihitung sebagai aliran cairan yang melalui unit luas permukaan membran pada tekanan tertentu.
4. Proses Pemisahan Membran Proses pemisahan dengan menggunakan membran mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan. Menurut Wenten (1999) secara umum proses pemisahan dengan menggunakan membran mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan proses pemisahan yang lain, diantaranya adalah : (1) konsumsi energi relatif kecil, karena tidak terjadi perubahan fase dalam proses pemisahannya, (2) biaya operasi relatif rendah karena tidak menggunakan bahan kimia, (3) tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena dalam prosesnya tidak memerlukan aditif, (4) proses dapat berlangsung secara kontinu, dan (5) tidak memerlukan ruang instalasi yang besar. Kelemahan proses pemisahan dengan menggunakan membran hanyalah mudah timbulnya polarisasi konsentrasi di permukaan membran yang dapat menurunkan fluks zat yang dipisahkan.
26
Gambar 4. Simulasi kinerja proses membran filtrasi (http://www.geocities.com)
(a) (b) Gambar 5. (a) dan (b) Simulasi cara kerja membran Hollow fiber (http://www.geocities.com) Menurut Mulder (1996), umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih campuran molekul atau partikel yang akan dipisahkan, permeat adalah bagian-bagian yang dilewatkan oleh membran dan rentetat adalah bagian yang ditahan oleh membran. Prinsip pemisahan dapat dilihat pada Gambar 4. Menurut Wenten (1999), proses perpindahan suatu molekul atau partikel di dalam membran disebabkan kerena adanya gaya yang bekerja pada molekul atau partikel di
27 dalam membran. Gaya dorong (driving force) didefinisikan sebagai besarnya beda potensial pada membran (∆X) dibagi dengan ketebalan membran (l ). Driving force = ∆X/ l, [N/mol] Menurut Mulder (1996), gaya-gaya pendorong ini dapat berasal dari gradien tekanan, gradien konsentrasi, gradien potensial listrik atau gradien temperatur antara dua sub sistem yang dipisahkan.
Umpan
Rentetat
((feed) Permeat ∆P,∆C,∆E,∆T Keterangan : ∆P = perbedaan tekanan
∆E = perbedaan potensial listrik
∆C = perbedaan konsentrasi
∆T = perbedaan temperatur
Gambar 6. Prinsip operasi membran (Mulder, 1996) Menurut Mulder (1996), kinerja dan efisiensi membran ditentukan oleh dua parameter yaitu permeat atau fluks dan selektivitas atau rejeksi. Fluks adalah jumlah permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan luas permukaan membran dan per satuan waktu. Fluks volume dapat dinyatakan sebagai berikut :
28 J= V A.t Dimana :
Jv = fluks volume (l/m2.jam)
T = waktu (jam)
A = luas permukaan membran (m2) V = volume permeat (l) Kisaran fluks dan tekanan yang dibutuhkan oleh beberapa jenis membran filtrasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Selang fluks dan tekanan Proses membran Selang tekanan (bar) Mikrofiltrasi 0,1-2,0
Selang fluks (l.m-2.h-1) >50
Ultrafiltrasi
1,0-5,0
10-50
Nanofiltrasi
5,0-20
1,4-12
Reverse osmosis
10-100
0,02-1,4
Sumber : Mulder (1996) Parameter membran yang penting lainnya adalah selektivitas atau rejeksi. Selektivitas merupakan kemampuan untuk
memilih zat yang harus tersaring.
Selektivitas membran terhadap campuran ditentukan dengan parameter tahanan (Mulder, 1996). Rejeksi adalah kemampuan membran untuk menahan suatu komponen agar tidak melewati membran (Wenten, 1999). Menurut Wenten (1999) nilai rejeksi suatu solute dinyatakan sebagai berikut : CM1 (permeat) RM1 (%) =1 -
x 100% CM1 (feed)s
Dimana : R M1
= persentasi tahanan
CM1 (permeat) = konsentrasi partikel dalam permeat CM1 (feed)
= konsentrasi partikel dalam umpan
29 Nilai R tidak tergantung pada satuan konsentrasi. Nilai R bervariasi antara 0 100%. Nilai R 100% artinya pemisahan partikel sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal dan nilai R sama dengan 0% artinya seluruh partikel larutan melewati membran secara bersama sama. Beberapa industri manufaktur menggunakan konsep moleculer weight cut off (MWCO) untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi. MWCO didefinisikan sebagai berat molekul yang 90 % direjeksi oleh membran. Nilai cut off 40000 berarti lebih dari 90 % zat terlarut dengan berat molekul 40000 akan direjeksi oleh membran. Wenten (1999) menyatakan bahwa terdapat empat jenis desain membran yaitu dead- end, cross- flow, hibrid dead-end cross-flow, dan cascade. Perbedaan aliran pada sistem dead-end dan cross-flow diilustrasikan pada Gambar 8. Pada sistem dead-end , arah aliran tegak lurus terhadap membran. Sistem ini mempunyai kelemahan yaitu cenderung mengakibatkan fouling yang sangat tinggi karena terbentuknya cake
di permukaan membran pada sisi umpan. Sistem
crossflow, umpan dialirkan dengan arah aksial (sejajar) dengan permukaan membran. Karena aliran seperti itu, pembentukan cake terjadi sangat lambat karena tersapu oleh gaya geser yang disebabkan oleh aliran crossflow umpan. Pada aplikasi dalam industri, operasi secara crossflow lebih disukai.
Gambar 7. Sistem Crossflow (http://www.pcims.com)
30 Umpan Umpan
Retentate
Retentate
Permeat
Permeat
(a) (b) Gambar 8. Perbandingan sistem desain operasi (a) dead-end, (b) cross-flow
5. Material Pembuat membran Membran dapat diproduksi dari bahan organik maupun anorganik. Membran anorganik terdiri dari 4 macam tipe yaitu (i) membran keramik, (ii) membran gelas, (iii) membran metal (termasuk karbon), dan (iv) membran ziolit. Sedangkan membran yang dihasilkan dari bahan organik diantaranya adalah selulosa asetat (CA), selulosa triasetat (CTA), regenerated selulosa (RA), poliakrilonitril (PAL), polivinilidinedifluoride
(PVDF),
PTFE,
poliamida
(PA),
polisulfon
(PS),
polietersulfon (PES), sulfonated polietersulfon (PSS) dan poliolefin (PO) (Wenten, 1999). Polisulfon Membran polisulfon banyak digunakan untuk ultrafiltrasi. Polisulfon merupakan polimer dari diphenil sulfon. Cincin phenilen membuat molekul stabil dan kuat, sedangkan gugus phenil eterdan phenil sulfon menyebabkan molekul tahan panas dan tidak mudah teroksidasi.
CH3 C
O
SO2
CH3 Gambar 9. Struktur molekul polisulfon (Mulder, 1996)
O
31 Beberapa sifat yang dapat menempatkan polisulfon sebagai membran terkemuka adalah mempunyai temperatur gelas (Tg = 195oC), stabil terhadap panas dan oksidasi, tahan terhadap perubahan pH, tidak meregang meski pada temperatur tinggi, memiliki fleksibilitas dan kekuatan sangat tinggi, menunjukkan struktur amorf pada keadaan seperti gelas, sifat kimia yang menonjol yaitu tidak larut atau rusak oleh asam-asam encer maupun alkali. Sifat lain dari polisulfon adalah rusak dalam asam sulfat pekat karena rantai polimer terdegradasi dan terjadinya sulfonasi, mempunyai kelarutan rendah dalam medium alifatik dan hanya kadang-kadang larut oleh senyawa-senyawa polar, dan larut dalam hampir semua pelarut-pelarut aromatik polar dan senyawa-senyawa terklorinasi tinggi (Mulder, 1996).
6. Peristiwa Fouling Salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan penggunaan membran berpori adalah fouling. Fouling adalah perubahan yang bersifat irreversible yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara membran dan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan. Membran fouling diidentikkan dengan penurunan fluks permeat dan perubahan selektivitas pada membran. Perubahan ini dapat berlangsung selama proses dan membutuhkan penanganan yang serius dan mahal termasuk penggantian membran (Wenten, 1999). Proses penurunan fluks selama filtrasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Fluks
Fluks δ (tebal cake) δ(tebal cake) J (Fluks)
(a)
Waktu
J (Fluks) (b)
Waktu
Gambar 10. Penurunan fluks pada filtrasi dead-end (a) dan crossflow (b)
32 Menurut Wenten (1999), kata irreversible pada peristiwa fouling bersifat relatif. Perubahan sifat-sifat membran dapat dikembalikan dengan melakukan backflushing, penggunaan laju alir silang yang tinggi atau metode pembersihan secara kimiawi.
Laju alir
Konsentrasi
Suhu
Tekanan
Gambar 11. Faktor – faktor yang mempengaruhi fluks (Mulder, 1996)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan-bahan dan alat yang digunakan adalah air hasil olahan Instalasi Penjernihan Air Sungai Ciapus IPB Darmaga cabang Asrama TPB IPB yang belum mendapat campuran kaporit, membran polisulfon 12 % dengan ketebalan 0.05 mm; 0.10 mm; dan 0.15 mm dan membran mikrofiltrasi komersil, media Lactose Broth, kertas saring dan akuades. Membran polisulfon yang digunakan mempunyai karakteristik berupa membran datar (flat) berbentuk lingkaran (A=0.002462 m2), serta membran mikrofiltrasi dengan luas permukaan 0.5 m2. Alat-alat yang digunakan adalah pompa dengan sistem modul crossflow (gambar peralatan dapat dilihat pada Lampiran 2 ), spektrofotometer, lempeng kaca, bak koagulasi, erlenmeyer, alumunium foil, gunting, plastik kulkas, oven, cawan abu, cawan alumunium, pH meter dan alat-alat lain. Membran mikrofiltrasi yang digunakan adalah membran komersil yang berbentuk hollow fiber yang memiliki kerapatan penjejalan (packing density) sekitar 10,0000 – 30,0000. Modul ini terdiri dari susunan serat kapiler yang halus yang disusun menjadi suatu bundle dalam shell silindris, dimana satu bundle terdiri dari sekitar 4,000 serat. Diameter luar serat berada dalam kisaran 1 – 2 mm dengan ketebalan dinding sekitar 50 µm. Spesifikasi alat mikrofiltrasi dapat dilihat pada Lampiran 3.
B. Tahapan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian lanjutan yang mengambil hasil penelitian terdahulu sebagai dasar awal penelitian. Pada penelitian terdahulu dilakukan aplikasi membran pada pemurnian nira dan raw sugar, sementara penelitian ini mengaplikasikan membran pada pengolahan air bersih. Pengambilan air dilakukan secara aseptis, dan langsung dilakukan pengukuran pH awal air. Air yang diperoleh sudah dapat langsung disaring menggunakan membran ultrafiltrasi karena sudah melalui proses filtrasi dan sedimentasi terlebih dahulu. Sementara untuk pembandingan dilakukan penyaringan dengan menggunakan
34 membran mikrofiltrasi dan referensi membran ultrafiltrasi komersil. Secara umum diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.
Air Sebelum Penambahan Kaporit
Dikarakterisasi
Air Sebelum Penambahan Kaporit
Data Penyaringan dengan membran
Dikarakterisasi
Air murni
Data
Selesai
Keterangan : Semua Prosedur dilakukan secara aseptis
Gambar 12. Diagram alir penelitian
C. Metode 1. Persiapan Seluruh proses penelitian dilakukan dengan keadaan aseptis, karena akan dilakukan uji yang meliputi karakteristik mikrobiologi air. Persiapan pengambilan sampel dilakukan dengan terlebih dahulu membilas tempat sampel (jirigen) dengan
35 air panas dan dibiarkan selama 30 menit lalu dibiarkan kering dengan keadaan tertutup. Pengambilan sampel dilakukan dengan menjaga lingkungan sampling tetap dalam keadaan aseptis, yaitu dengan menggunakan alkohol 95 % yang disemprotkan di sekitar tempat sampling. Untuk penerapan membran, sistem modul dibersihkan dengan cara pembilasan menggunakan air destilata dengan suhu 50 oC selama 10 menit untuk menghilangkan residu pada alat dan menjaga alat dalam keadaan aseptis.
2. Filtrasi Air Percobaan dilakukan dengan mensirkulasikan air sampel selama 360 menit dengan menggunakan 3 tingkat tekanan yaitu 0.7 bar, 1.4 bar dan 2.1 bar (10 psi, 20 psi dan 30 psi). Membran yang digunakan terdiri dari (i) membran polisulfon 12 % ketebalan 0.05 mm, (ii) membran polisulfon 12 % ketebalan 0.10 mm, (iii) membran polisulfon 12 % ketebalan 0.15 mm serta membran mikrofiltrasi hollow fiber. Penentuan fluks air oleh berbagai jenis membran dilakukan untk mengetahui kemampuan membran dalam melewatkan sejumlah volume air dan membandingkan kemampuan berbagai jenis membran tersebut.
3. Karakterisasi Air Karakteristik air bahan baku dan hasil penyaringan menggunakan membran meliputi pH, warna, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) dan total mikroba (total coliform dan total E.coli). Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 10.
D. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktor Tunggal (Complete Random Design) dengan taraf perlakuan proses pemurnian menggunakan tiga membran yang berbeda, yaitu :
36 1. Membran polisulfon 12% dengan ketebalan membran 0.05 mm 2. Membran polisulfon 12% dengan ketebalan membran 0.10 mm 3. Membran polisulfon 12% dengan ketebalan membran 0.15 mm Setiap perlakuan diulang dua kali. Model linier aditif rancangan percobaan adalah Yij = μ + τi + εij ;
i
= 1,2,3
j
= 1,2
dimana : Yij
= pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= rataan umum
i
= pengaruh perlakuan ke-i
εij
= galat percobaan
Jika hasil yang diperoleh pada uji Fhitung berbeda nyata, maka keragaman perlakuan terhadap variabel respon diuji dengan menggunakan Uji Perbandingan Berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test, DMRT) pada taraf 5% (Gomez,1995), dengan persamaan : 2 Sd = √ 2s r
dimana : Sd
= galat baku beda rataan
s2
= kuadrat tengah galat
r
= banyak ulangan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KINERJA MEMBRAN Membran adalah teknologi yang dikembangkan oleh ilmuan saat ini untuk menggantikan teknologi konvensional yang sudah berkembang lama. Penerapan membran pada penelitian ini adalah untuk menggantikan proses penjernihan air secara konvensional yakni proses dengan menggunakan teknologi pengolahan air secara fisik dan fisikokimia. Pengolahan air secara fisik hanya dipergunakan untuk menyaring air baku yang sifat-sifat fisiknya tidak memenuhi syarat. Sedangkan pengolahan air secara fisiko-kimiawi penggunaannya lebih luas yaitu untuk menjernihkan air yang sifat-sifat fisik, kimia dan mikrobiologisnya dalam batas-batas tertentu tidak memenuhi syarat karena telah terkontaminasi atau tercemar. Bahanbahan yang umumnya dipakai dalam cara pengolahan ini adalah kerikil, pasir, ijuk, arang aktif, zat-zat koagulan dan zat-zat desinfektan. Filter water yang dipakai sebagai air baku penelitian diperkirakan masih mengandung sejumlah padatan tersuspensi, padatan terlarut dan senyawa mikrobiologis karena filter water ini hanya melewati perlakuan untuk pemisahan koloid dan belum mengalami proses desinfeksi (penambahan kaporit atau Calsium hypochorite). Hasil pengujian awal menunjukkan bahwa feed (air baku atau filterwater) masih mengandung padatan terlarut dan tersuspensi dan senyawa mikrobiologis (Tabel 6). Tabel 6. Hasil uji feed air Parameter TSS (mg/L) TDS (mg/L) Warna (TCU) Kekeruhan (NTU) E.coli (/100ml) coliform (/100ml)
Feed 757.0 33.9 8 1 10 20
Baku mutu 0 ≤1000 ≤ 15 ≤5 negatif negatif
Hasil uji diatas memang masih berada dalam standar kelayakan air minum Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2002, namun dengan pengolahan membran diharapkan didapat air yang berkualitas lebih tinggi. Penelitian ini menggunakan
38 membran polisulfon dengan ketebalan berbeda, yakni (i) membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm; (ii) membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.10 mm; (iii) membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.15 mm dan pembanding membran mikrofiltrasi hollow fiber komersil skala laboratorium. Referensi kinerja membran ultrafiltrasi digunakan untuk membandingkan kinerja membran polisulfon sebagai membran ultrafiltrasi. Membran polisulfon 12% digunakan berdasarkan hasil penelitian terdahulu tentang karakteristik membran (Sembiring, 2005), sedangkan pemilihan tiga tipe ketebalan yang dipakai yaitu 0.05; 0.10; dan 0.15 mm adalah sebagai perlakuan kinerja membran untuk ketebalan yang berbeda.
1. Fluks Penggunaan membran untuk pengolahan air ini dilakukan dengan menggunakan sistem crossflow, air hasil filtrasi (filter water sebelum dilakukan penambahan kaporit dan masuk ke dalam reservoir) disirkulasikan ke dalam modul selama enam jam dengan tiga tingkat tekanan yang berbeda yaitu (i) dua jam pertama bertekanan 0.7 bar (10 psi); (ii) dua jam kedua bertekanan 1.4 bar (20 psi) dan (iii) dua jam ketiga 2.1 bar (30 psi). Rentang tekanan yang dipilih adalah berdasarkan hasil rujukan pada penelitian terdahulu mengenai karakteristik membran polisulfon dengan berbagai konsentrasi dan penerapan pada tekanan yang bervariasi yang menunjukkan bahwa tekanan yang paling baik bagi kinerja membran polisulfon 12% adalah pada tekanan 0.7 bar; 1.4 bar dan 2.1 bar (Sembiring, 2005). Sistem crossflow yang digunakan bertujuan untuk mengurangi fouling yang mungkin terjadi selama proses penyaringan air, sehingga diharapkan penurunan fluks air dapat diminimalisir. Penerapan sistem perubahan tekanan dilakukan pada membran yang sama bertujuan untuk mengetahui pengaruh tekanan terhadap fluks air pada sistem crossflow tanpa adanya perbedaan karakteristik membran yang digunakan, karena pada pembuatan membran datar akan sulit didapatkan karakteristik membran yang serupa, namun secara umum memberikan karakteristik yang tidak jauh berbeda.
39 Pengukuran fluks air dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran melewatkan air sebagai refining pada air olahan. Pada Gambar 13 terlihat bahwa fluks air pada membran polisulfon dengan ketebalan 0.05 memiliki kisaran fluks tertinggi yaitu sekitar 95 - 323 L/m2.jam, sedangkan membran polisulfon dengan ketebalan 0.10 mm dan 0.15 mm memiliki nilai fluks yang lebih rendah yaitu 76 156 L/m2.jam dan 79 - 221 L/m2.jam. Ketiga nilai hasil pengukuran fluks air pada membran menunjukkan penurunan, hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena air sampel hasil olahan yang masih mengandung pengotor baik itu padatan organik maupun nonorganik. Perubahan tekanan yang dilakukan yaitu dari 0.7 bar kemudian 1.4 bar sampai 2.1 bar menunjukkan penurunan nilai fluks, hal ini diperkirakan karena adanya faktor waktu yang mempengaruhi kinerja pada membran, dimana membran tersumbat oleh kotoran berupa padatan yang masih terdapat pada air sampel sehingga menimbulkan fouling pada membran.
p = 1.4 bar
p = 0.7 bar
p = 2.1 bar
350
300
Fluks (L/m2.jam)
250
200
membran 0.05 membran 0.10
150
membran 0.15
100
50
0 0
30
60
90
120
150
180
210
240
270
300
Waktu (menit)
Gambar 13. Fluks membran polisufon selama filtrasi air
330
360
40 Fluks air membran polisulfon 0.05 mm pada tekanan 0.7 bar dimulai pada 323 L/m2.jam kemudian dengan menaikkan tekanan 1.4 bar fluks air mencapai 210 L/m2.jam dan saat tekanan dinaikkan menjadi 2.1 bar fluks air menjadi 141 L/m2.jam. Penurunan nilai ini disebabkan oleh adanya peristiwa fouling yang menyebabkan penurunan seiring dengan waktu penyaringan. Peristiwa fouling ini disebabkan oleh kotoran-kotoran yang masih terkandung dalam feed dan terdorong oleh tekanan yang ada sehingga dapat menyebabkan tertutupnya pori pada membran dan menyebabkan penurunan fluks. Peristiwa fouling yang terjadi pada membran polisulfon 0.05 mm juga terjadi pada penyaringan membran polisulfon 0.10 mm dan polisulfon 0.15 mm. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa ketebalan membran tidak memberikan pengaruh nyata pada fluks air (Lampiran 5). Menurut Sembiring (2005), nilai fluks air membran polisulfon 12% pada tiga tingkat tekanan adalah 374 L/m2.jam (tekanan 0.7 bar), 397 L/m2.jam (tekanan 1.4 bar), dan 391 L/m2.jam (tekanan 2.1 bar). Nilai fluks nira pada polisulfon 12% (28 – 33 L/m2.jam) lebih kecil bila dibandingkan dengan fluks air. Air yang diasumsikan tidak mengandung pengotor lebih mudah melewati membran (fluks tinggi), nira yang masih banyak mengandung pengotor dapat menyumbat pori-pori membran sehingga menghambat proses filtrasi membran (fluks kecil). Nilai fluks air yang dihasilkan pada membran polisulfon 12% ini lebih rendah (tertinggi 323 L/m2.jam) dari nilai fluks air murni pada penelitian Sembiring (2005) (tertinggi 374 L/m2.jam). Seiring peningkatan tekanan yang dilakukan terjadi penurunan fluks, dimana pada awal tekanan 1.4 bar nilai fluks air sampel menurun (tertinggi 219 L/m2.jam), sedangkan fluks air murni (penelitian Sembiring, 2005) mengalami peningkatan (397 L/m2.jam). Pada tekanan 2.1 bar pun terjadi penurunan yang sama pada sampel air (141 L/m2.jam), sedangkan fluks air murni (penelitian Sembiring, 2005) juga mengalami penurunan (391 L/m2.jam) namun tidak terlalu signifikan. Penurunan fluks air tidak terjadi pada membran mikrofiltrasi, hal ini diperkirakan terjadi karena besar pori yang dimiliki oleh membran mikrofiltrasi lebih besar dari pori membran polisulfon sehingga padatan yang menjadi penyebab fouling pada
41 membran polisulfon tidak menyebabkan fouling pada membran mikrofiltrasi. Padatan ini tidak menimbulkan fouling dikarenakan ukuran partikel padatan yang sangat kecil dan lebih kecil dari besar pori yang dimiliki oleh membran mikrofiltrasi (100,000 daltons/ makromolekul > 500,000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0.1-10 μm). Berdasarkan Gambar 3 dan definisi membran ultrafiltrasi, membran yang termasuk pada membran ultrafiltrasi memiliki besar pori yang dapat menyaring makromolekul > 5,000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0.001-0.1 μm dari larutan. Maka dapat disimpulkan bahwa padatan yang tergolong pada TSS pasti akan tersaring (karena masih memiliki molekul yang cukup besar), sedangkan nilai TDS akan menunjukkan nilai yang kecil karena padatan yang lebih besar dari 0.001 μm pasti akan tersaring oleh membran. Feed yang dipakai adalah air yang telah diproses terlebih dahulu dengan menggunakan penyaringan secara bertahap menggunakan proses fisiko-kimiawi, sehingga pengotor berupa padatan yang terlarut pada air adalah padatan sangat kecil, termasuk pada padatan terlarut dan tersuspensi. Data pada Lampiran 6 menunjukkan nilai TSS permeat mikrofiltrasi lebih tinggi dibandingkan nilai TSS membran polisulfon, sehingga dapat disimpulkan bahwa padatan dan pengotor yang terdapat pada air feed berukuran lebih besar dari ukuran pori membran polisulfon (ultrafiltrasi) namun lebih kecil dari ukuran pori membran mikrofiltrasi.
2. Rejeksi polutan Rejeksi padatan pada proses pemurnian air ini dapat dilihat dari kadar total padatan tersuspensi yang terkandung dalam permeat membran polisulfon. Nilai ini menunjukkan kemampuan membran dalam merejeksi polutan yang terkandung dalam air, semakin besar nilai rejeksi yang dihasilkan maka kinerja membran dapat digolongkan semakin baik dalam merejeksi polutan dalam air. Data hasil analisis padatan tersuspensi yang terkandung dalam permeat membran pada Tabel 6 memberikan hasil kandungan TSS mencapai nol, sehingga nilai rejeksi membran terhadap padatan tersuspensi dalam air mencapai 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa membran polisulfon dapat memberikan efektifitas yang sangat
42 baik dalam pemurnian air. Pembanding mikrofiltrasi menujukkan kinerja yang tidak sebaik membran polisulfon, yaitu rejeksi membran hanya mencapai 38%, karena kadar TSS permeat yang masih cukup tinggi mencapai 470,0 mg/L. Hal ini juga terlihat pada hasil uji permeat yang menunjukkan nilai yang menurun tajam baik pada nilai TSS, warna, dan pH yang semakin netral (Tabel 6). Menurut Herlambang (2005), teknologi ultrafiltrasi bermanfaat untuk mengurangi bahan polutan di dalam air. Ukuran alat ini 2/100 mikron atau 0.02 mikron, sementara ukuran bakteri patogen adalah 0.5 mikron. Penggunaan teknologi ultrafiltrasi dan membran untuk pengolahan air minum merupakan upaya terkini menghilangkan bahan berbahaya yang berukuran cukup kecil termasuk bakteri patogen.
B. Karakteristik Air Berdasarkan hasil uji karakteristik pada feed didapatkan bahwa masih terdapat padatan
terlarut maupun tersuspensi dan masih terdapat mikroba (E.coli dan
coliform) dalam koloni besar. Untuk dapat melihat keefektifan dan manfaat membran sebagai pemurni air dan desinfektant maka dilakukan beberapa karakterisasi air yang meliputi (i) Total Suspended Solid (TSS), (ii) Total Dissolved Solid (TDS), (iii) warna, (iv) kekeruhan,(v) pH, (vi)total mikroba (total coliform) dan (vii) total E.coli.
Tabel 6. Nilai rata-rata karakteristik air sebelum(feed) dan sesudah penyaringan (permeat) P 0.05 mm Karakteristik
P 0.10 mm
P 0.15mm
MF
Feed
Permeat
Feed
Permeat
Feed
Permeat
Feed
Permeat
TSS
757.0 ± 114.9
0.0
757.0±114.9
0.0
757.0±114.9
0.0
757.0±114.9
470 ± 0.1
TDS
33.9 ± 2.0
6.0 ± 2.0
33.9± 2.0
0.0
33.9± 2.0
2.1 ±2.2
33.9 ±2.0
31 ± 0.5
Warna (TCU) Kekeruhan (NTU)
8
1
8
1
8
1
8
3
1
1
1
1
1
1
1
1
E.coli
10
negatif
10
negatif
10
negatif
10
negatif
Coliform
20
negatif
20
negatif
20
negatif
20
negatif
6.48 ± 0.07
7.01
6.75 ± 0.04
7.32 ± 0.13
pH
7.05 ± 0.05
7.10 ± 0.05
7.05 ± 0.05
7.05 ± 0.05
43 1. Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS) Dalam air alam dan buangan ditemui dua kelompok zat padat yaitu zat terlarut dan zat tersuspensi yang dibedakan berdasarkan ukuran/ diameter partikel-partikel tersebut. Total Suspended Solid (TSS) atau total padatan tesuspensi adalah total padatan yang terkandung dalam air dan memiliki diameter/ ukuran yang cukup besar. Padatan tersuspensi adalah jenis padatan yang menyebabkan adanya perubahan kekeruhan secara kasat mata (dapat terlihat oleh mata). Sedangkan Total Dissolved Solid (TDS) atau total padatan terlarut adalah jumlah total padatan yang terlarut dalam air, dimana partikelnya berukuran sangat kecil, dan tidak dapat dipisahkan melalui proses penyaringan biasa. Hasil uji TSS dan TDS yang dilakukan terhadap air sebelum dan sesudah penyaringan dapat dilihat pada Lampiran 6. Penurunan TSS pada setiap membran dapat tergambarkan secara jelas pada Gambar 14. Penurunan kadar TSS sampai pada nilai nol menunjukkan bahwa besar pori yang dimiliki membran polisulfon lebih kecil dari besar molekul padatan yang tersuspensi pada air. Hasil uji kadar TDS pada feed air berada di dalam baku mutu air Menteri Kesehatan 2002, yaitu dibawah 1,000 mg/L. Pengujian nilai TDS dibawah angka 1,000 mg/L memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi, karena kadar TDS ini sudah sangat bias. Untuk itu nilai yang didapat tidak perlu dijadikan parameter utama, karena sudak berada didalam baku mutu (dibawah 1,000 mg/L). Penyaringan membran polisulfon yang dilakukan menghasilkan air dengan kadar TSS sama dengan nol, hal ini menunjukkan kinerja membran yang sangat baik sebagai membran ultrafiltrasi bahkan memberikan efektifitas yang sama dengan membran ultrafiltrasi komersial. Membran mikrofiltrasi memberikan kinerja yang masih kurang baik karena masih terdapat padatan tersupensi yaitu sebanyak 470.0 mg/L. Hal ini diakibatkan oleh karena perbedaan besar pori membran yang dimiliki oleh membran mikrofiltrasi jauh lebih besar dari membran ultrafiltrasi.
44 800,0 700,0
TSS (mg/l)
600,0 500,0 400,0 300,0 200,0 100,0 0,0 P 0,05 mm
P 0,10 mm
P 0,15mm
MF
keterangan : P 0.05 mm = Polisulfon 12% ketebalan 0.05mm P 0.10 mm = Polisulfon 12% ketebalan 0.10mm P 0.15 mm = Polisulfon 12% ketebalan 0.15mm MF = Mikrofiltrasi Gambar 14. TSS dan TDS air sebelum dan sesudah penyaringan pada masing-masing membran
Dengan demikian dapat dibuat kesimpulan bahwa membran polisulfon dengan variasi ketebalan 0.05mm; 0.10mm; dan 0.15mm dapat memberikan permeat air yang memiliki kadar TSS yang sangat baik. Nilai ini mencapai TSS 0.0 mg/L yang sebelum pengolahan masih tergolong cukup tinggi (757.0 ± 11.9 mg/L). Berdasarkan baku mutu air minum KepMenKes
No.907/MENKES/SK/VII/2002 nilai TDS yang
dimiliki harus tidak melebihi 1,000 mg/L, maka dapat disimpulkan bahwa membran polisulfon dapat memberikan efektifitas untuk pemurnian air dengan sangat baik. Efektifitas membran polisulfon bila dibandingkan dengan membran ultrafiltrasi menujukkan kinerja yang sama baiknya. Sedangkan untuk mikrofiltrasi hollow fiber komersil, juga dapat menurunkan kadar TSS dalam air namun kadarnya masih cukup tinggi dibandingkan dengan permeat membran polisulfon. Nilai yang dihasilkan mencapai TSS 470±0.1 mg/L. Nilai ini memang masih lebih besar dari nilai TSS polisulfon, namun masih dapat memenuhi baku mutu yang dikehendaki. Sehingga
45 dapat disimpulkan pula bahwa, membran polisulfon dapat mengurangi kadar TSS jauh lebih baik dari membran mikrofiltrasi komersial tipe hollow fiber.
Gambar 15. Membran polisulfon setelah penyaringan
2. Warna dan Kekeruhan Warna air disebabkan oleh bahan organik (misalnya asam humik) dan logamlogam (misalnya Fe dan Mn). Standar baku mutu air minum Peraturan Menteri Kesehatan adalah maksimal 15 TCU (True Color Unit). Tingginya konsentrasi dapat menyebabkan warna terlihat dengan jelas dan petunjuk bahwa air tersebut cenderung tidak aman untuk diminum. Penyebab kekeruhan air adalah padatan tersuspensi seperti koloid dan mikroba. Air minum yang baik memiliki kekeruhan sebesar 5 NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Peraturan Menteri Kesehatan ,2002). Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai warna feed air bernilai 8 yang sudah memenuhi baku mutu yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan tahun 2002, sementara itu hasil penyaringan membran yang dilakukan dapat menghasilkan nilai warna mencapai 2 dan 1 yang berarti nilai ini sangat baik hampir mencapai warna air yang murni. Demikian juga dengan nilai kekeruhan yang dicapai yaitu 1 yang berada dibawah nilai baku mutu yang diharuskan. Penurunan nilai Warna ini terjadi karena padatan terlarut, padatan tersuspensi dan mikroba (bahan-bahan organik) yang terdapat di dalam air tertahan oleh membran. Padatan terlarut, padatan tersuspensi dan mikroba tersebut tidak melewati membran karena ukuran partikelnya lebih besar dari pori membran, seperti terjelaskan pada
46 pembahasan penurunan kadar TSS permeat. Demikian juga halnya yang menyebabkan nilai kekeruhan tetap bernilai satu. Nilai ini tidak berubah, karena kadar kekeruhan pada feed dan pada permeat masih tergolong pada rentang kadar kekeruhan bernilai satu. Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa warna dan kekeruhan air yang diperoleh setelah penyaringan menggunakan membran mencapai nilai yang sangat baik dan memberikan tingkat kualitas air yang sangat aman untuk dikonsumsi.
10 Warna (TCU)
8 6 4 2 0
P 0,05 mm
P 0,10 mm
P 0,15mm
MF
Feed
8
8
8
8
Permeat
2
1
1
1
Gambar 16. Penurunan kadar warna sebelum dan sesudah penyaringan pada masing-masing membran
3. pH Nilai pH air pada awal mencapai nilai 6.7. Nilai pH ini masih merupakan pH yang dapat memberikan kemungkinan adanya pertumbuhan mikroba (karena belum mencapai nilai netral 7.0). Nilai pH yang sesuai pada Peraturan Menteri kesehatan (2002) adalah 6.5-8.5, namun bila nilai pH dapat mencapai Netral (7.0) maka kualitas air dapat dikatakan sangat baik karena air dapat dikatakan tidak mengandung padatan atau pengotor lainnya. Nilai pH air tergantung pada kondisi bahan-bahan yang terlarut dalam air. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, yaitu menyaring kembali air
47 olahan dengan membran polisulfon dan mikrofiltrasi, didapati bahwa kandungan TSS air sangat menurun drastis. Penurunan ini sangat mempengaruhi nilai pH, dimana semakin murni air maka nilai pH akan cenderung semakin netral. Kandungan padatan pada permeat menunjukkan angka yang sangat kecil yaitu TSS 0.0 mg/L untuk permeat polisulfon dan TSS 470±0.1 mg/L (lebih besar dari permeat polisulfon) untuk permeat mikrofiltrasi. Kandungan mikrobiologi pada air juga mempengaruhi pH air, dimana bila tidak terdapat unsur organik pada air maka air juga akan semakin murni. Permeat yang dihasilkan pada penyaringan membran polisulfon memiliki pH 7.017.10 yang cenderung netral. Demikian juga nilai pH pada permeat mikrofiltrasi yang mencapai 7.05±0.5. Dengan demikian peranan membran polisulfon untuk memurnikan air sangat besar, karena air berada dalam rentang yang tidak jauh dari pH netral (Gambar 17).
7,4
pH
7,2 7,0 6,8 6,6 6,4 6,2 6,0
P 0,05 mm
P 0,10 mm
P 0,15mm
MF
Feed
6,48
6,75
7,05
7,05
Permeat
7,01
7,32
7,1
7,05
Gambar 17. Grafik perubahan pH air sebelum dan sesudah penyaringan pada masing-masing membran
4. Mikrobiologi (total coliform dan total E.coli) Keberadaan mikroba pada air sangat menentukan kualitas air, karena dapat mempengaruhi kekeruhan, warna dan pH air. Penyaringan menggunakan membran baik polisulfon maupun mikrofiltrasi dapat memberikan hasil penyaringan mikroba yang cukup baik. Untuk membran polisulfon (Tabel 7) tidak ditemukan mikroba baik
48 coliform ataupun E.coli pada air permeat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena besar pori yang terdapat pada membran polisulfon sangat kecil mencapai 0.001-0.1 μm. Sedangkan besar molekul mikroba baik coliform ataupun E.coli diperkirakan lebih besar dari pori membran polisulfon yaitu sekitar panjang 1-2 μm dan diameter 0.1-0.5 μm. Hal ini juga sesuai dengan referensi membran ultrafiltrasi yang mangatakan bahwa besar pori membran ultrafiltrasi sangat kecil (mencapai 0.001-0.1 μm) sehingga mikroba yang ada tidak akan dapat menembus membran, dengan demikian total mikroba hasil pengolahan membran ultrafiltrasi pasti menghasilkan zero kontaminan. Sementara untuk membran mikrofiltrasi, total coliform ataupun E.coli yang terdapat pada permeat juga nol. Bila merujuk pada keterangan bahwa besar mikroba E.coli mencapai panjang 1-2 μm dan diameter 0.1-0.5 μm Sementara besar pori membran mikrofiltrasi mencapai 0.1-10 μm, maka dapat diperkirakan bahwa mikroba dapat menembus membran dan muncul pada air permeat. Namun, hal ini mungkin terjadi karena mikroba yang terdapat pada air feed berukuran lebih besar dari pori membran mikrofiltrasi.
Tabel 7. Perubahan hasil uji Mikrobiologi air Polisulfon 0.05 Polisulfon 0.10 Polisulfon 0.15 Mikrofiltrasi
Feed 10 10 10 10
E.coli Permeat negatif negatif negatif negatif
coliform Feed Permeat 20 negatif 20 negatif 20 negatif 20 negatif
Hasil uji mikrobiologis ini menunjukkan bahwa membran polisulfon memiliki efektifitas yang sangat baik sebagai pemisah air dengan mikroba atau bisa disamakan dengan istilah desinfektan. Maka dengan demikian membran dapat berperan sebagai pengganti kaporit yang selama ini berfungsi sebagai desinfektan (sterilitator). Penggunaan membran sebagai sterilitator memiliki keuntungan dibandingkan mnggunakan kaporit. Penggunaan kaporit sebagai desinfektant harus berdasarkan
49 dosis tertentu, karena bila dosis yang digunakan tidak sesuai dapat menyebabkan kerugian. Bila kadar kaporit kurang, maka mikroba dalam air dapat tetap hidup dan membahayakan pengkonsumsi air, sedangkan penggunaan kaporit yang berlebihan dapat menyebabkan air tidak jernih dan air juga terkontaminasi kaporit. Dengan menggunakan membran, jumlah mikroba yang terkandung dalam air tidak menjadi masalah dalam penyaringan, karena membran akan tetap menyaring mikroba yang ada dalam air berapa pun jumlahnya.
C. MEMBRAN TERBAIK Hasil karakteristik permeat air setiap membran polisulfon menunjukkan nilai yang baik. Setiap parameter berada dibawah baku mutu air dan menunjukkan kinerja membran yang tinggi untuk setiap ketebalan membran. Membran polisulfon dengan ketebalan 0.05mm, 0.10mm dan 0,15mm menghasilkan karakteristik permeat yang berada didalam baku mutu Menteri Kesehatan tahun 2002 terutama pada kandungan mikroba yang dihasilkan. Dengan demikian penentuan membran terbaik dilakukan berdasarkan nilai fluks optimal pada setiap membran dengan tiga tingkat tekanan yang digunakan. Nilai fluks optimal membran dihasilkan pada menit ke 90 sampai 120. Pada Gambar 13 fluks air pada menit 90 – 120 menunjukkan nilai yang stabil pada setiap ketebalan membran dan pada setiap tingkatan tekanan. Membran dengan ketebalan 0.05mm memiliki fluks tertinggi (sekitar 165 L/m2.jam) pada tingkat tekanan 0.7 bar, sedangkan membran 0.10mm (sekitar 97 L/m2.jam) dan 0.15mm (sekitar 94 L/m2.jam) memiliki fluks lebih rendah pada tingkat tekanan yang sama. Pada tingkat tekanan 1.4 bar, membran dengan ketebalan 0.05mm mengalami penurunan nilai fluks (sekitar 164 L/m2.jam), demikian juga dengan membran 0.10mm (sekitar 97 L/m2.jam) dan membran 0.15mm (sekitar 86 L/m2.jam). Pada tingkat tekanan 2.1 bar fluks tertinggi pada membran 0.05mm (sekitar 95 L/m2.jam), pada membran 0.10mm (sekitar 78 L/m2.jam) dan pada membran 0.15mm (sekitar 78 L/m2.jam).
50 Fluks paling stabil dihasilkan oleh membran dengan ketebalan 0.05mm pada tekanan 0.7 bar (sekitar 165 L/m2.jam) dan 1.4 bar (sekitar 164 L/m2.jam). Fluks yang dihasilkan mengalami penurunan pada peningkatan tekanan 2.1 bar (sekitar 95 L/m2.jam), sehingga fluks yang terbaik adalah pada tingkat tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar. Secara ekonomis membran 0.05mm juga lebih menguntungkan karena bila dibandingkan dengan membran yang ketebalannya lebih tinggi, bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat membran lebih rendah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Membran polisulfon menunjukkan keefektifitasan yang tinggi sebagai pemurni air. Setiap membran yang dipakai menghasilkan fluks yang sangat baik, membran polisulfon 0.05mm mencapai sekitar 165 L/m2.jam pada tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar sedangkan membran polisulfon dengan ketebalan 0.10 mm (sekitar 97 L/m2.jam) dan 0.05 mm (sekitar 86 – 94 L/m2.jam) memiliki nilai fluks yang lebih rendah pada tekanan yang sama. Membran mikrofiltrasi yang digunakan sebagai pembanding memiliki fluks yang stabil dan meningkat seiring peningkatan tekanan karena besar pori yang lebih besar dari partikel pada air sehingga partikel dapat menembus membran dan fouling yang terjadi sangat kecil. Nilai TSS permeat membran polisulfon ketiga ketebalan mencapai rata-rata TSS 0.0 mg/l, warna 1 TCU, kekeruhan 1 NTU, rata-rata pH 7.01-7.10, dan kandungan mikroba baik coliform ataupun E.coli
bernilai nol (tidak ditemukan adanya
kontaminasi). Karakterisasi air setelah penyaringan menunjukkan nilai yang sangat memuaskan, nilai TSS, TDS, warna, kekeruhan, pH dan total mikroba (total coliform dan E.coli) jauh dibawah baku mutu yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai syarat air minum. Seluruh hasil analisa air menunjukkan bahwa setiap ketebalan yang diuji memberikan kinerja yang serupa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran polisulfon dapat bekerja efektif untuk desinfeksi air hasil olahan dan membran terbaik untuk pemurnian air adalah membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm dengan tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar dilihat secara kinerja membran (fluks air 165 L/m2.jam) dan secara ekonomik.
B. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mencakup analisis finansial dalam penerapan sistem refining atau pemurni air olahan dengan menggunakan membran, baik dalam skala industri maupun skala rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fachmi. 2001. Peranan Air Dalam Peningkatan Kesehatan Masyarakat, http://www.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/ 200104/lapperananair.pdf., dikunjungi 5/8/2006. Anonim. 2001. Manual Operation IPA Sungai Ciapus Kampus IPB. PT. Wijaya Kusuma Emindo, Bogor Alaerts, G. dan S.S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya. Azwar, A. 1983. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara, Jakarta. Brocks, T. D.., 1983. Membran Filtration : A User’s Guide and Reverence Manual. Science Tech. Ins. Madison. Chanlett, E.T.1973. Environmental Protection. McGraw Hill Series in Water Resources and Environmental Engineering, New York. Chapman, D. 1977. Water Quality Assessments. E&FN SPON An Imprit of Routledge, London. Chin, K.K. and Chen. 1978. Some Usefull Filtration Media in E.A.R.Quano (Ed) Water Pollution Control in Developing Countries. Asia Institute of Technology, Bangkok. Culp, G.L., G.Wesner and R. Williams. 1980. Wastewater of Man’s Environment. VOA. Forum Lectures. USIS., Washington. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pncemaran. Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Universitas Indonesia, Jakarta. Effendi, Hefni, 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius, Jakarta. Gutman, R. G. 1987. Membrane Filtration, The Rheological of Pressure Driven Crossflow Process. IOP Publishing Ltd., England.
53 Herlambang, Arie. 2005. Ultrafiltrasi Saring Zat Berbahaya dalam Air Minum. http://www.mediaindo.co.id.(artikel online). Jackson, A.R.W. and J.M. Jackson. 1996. Environmental Science. The Natural Environment and Human Impact. Longman Group (Pte)Ltd. Singapore. Jaya, I., P.S. Vincentius, M.F. Sondia dan Y Rustandi. 1994. Pedoman Analisis Kualitas Air dan Tanah Sedimen Perairan Payau. Balai Budidaya Air Payau. Jakarta Jorgensen, S.E. and I. Johsen. 1989. Principles of Environmental Sciences and Technology. Elsevier Science B.V. Netherland. Kementerian Lingkungan Hidup, 2004, Pengendalian Pencemaran Air, Jakarta. Koesoebiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Kusnoputranto, H. 1997. Air Limbah dan Ekskreta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, Jakarta. Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Mann, H.T. dan D. Williamson. 1976. Water Treatment and Sanitation. Revised Edition. Intermediate Technology Productions, London. Mangunwidjaja,D.,Darnoko. 1991. Diktat Teknologi Membran Pada Bioproses. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Mulder, M., 1996. Basic Principles of Membrane Technology. Kluwer Academic Publishers, Nederland. Muslimin, L.W. 1995. Mikrobiologi Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, Jakarta. Nebel, B.J. and E.J. Kormondy. 1981. Environmental Science. The Way The World Works. Prentice Hall Inc. New Jersey. Prochaska, C.A. and A.I. Zouboulis. 2003. Performance of Intermittently Operated Sand Filters: A Comparable Study, Treating Wastewater of Different Origins. Water, Air, and Soil Pollution. Rogers, P. L. 1987. Why Does Biotechnology Need Membranes? Di dalam Paterson, S. dan Fane, T. (ed.). Membrane Technology in Biotechnology. School of Chemical Engineering and Industrial Chemistry and Department of Biotechnology, Faculty of Applied Science, University of New South Wales, Australia.
54 Saeni, M.S. 1986. Kemampuan Saringan Pasir, Ijuk dan Arang Dalam Peningkatan Kualitas Fisik dan Kimia Air DAS Ciliwung. Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud. Dan PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor. Saeni, M.S. 1991. Dampak Pada Kualitas Air. Kursus Dasar dan Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Scott, K. dan R. Hughes. 1996. Industrial Membran Separation Technology. Blackie Academic and Proffesionals, London. Setiawan, Hendra. 2001, Pengertian Pencemaran Air Dari Perspektif Hukum, http://www.menlh.go.id/airnet/Artikel01.htm, dikunjungi 7/7/2006. Sembiring, R.S. 2005. Preparasi dan Karakterisasi Membran Berbahan Dasar Polisulfon Menggunakan Pelarut DMAc. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sidharta. 1997. Rekayasa Lingkungan. Penerbit Gunadarma, Jakarta. Slamet, J.S. 1996. Kesehatan Lingkungan. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Soemarwoto, O. 1987. Djambatan,Jakarta.
Ekologi,
Lingkungan
Hidup
Dan
Pembangunan.
Sugiharto.1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press, Jakarta. Sutrisno, C.T. dan E. Suciatuti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta, Jakarta. Wagner, W.J. and J.N. Lannoix. 1959. Water Supply for Rural Areas and Small Communities. WHO. Geneva. Wardhana, Wisnu Aria, 1995, Dampak Pencemaran Lingkungan, Penerbit Andi Offset Jogyakarta, Jogyakarta. Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. IPB, Bogor. Warlina, Lina, 1985, Pengaruh Waktu Inkubasi BOD Pada Berbagai Limbah, FMIPA Universitas Indonesia, Jakarta. Weber, W.J. 1972. Physicochemical Process For Water Quality Control. Willey-Inter Science, a Division of Jhon Wiley & Sons Inc. New York.
55 Wenten, I.G. 1999. Teknologi Membran Industrial. Teknik Kimia. ITB. Bandung. Yunarwanto, S. dan A. Slamet. 2001. Uji reduksi ammonia pada pengolahan air baku untuk air minum menggunakan model fixed granular bed. Jurnal Furifikasi. 2(5):238-288.
56 Lampiran 1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga Bogor
Keterangan : 1 = Pompa air baku 2 = Butterfly valve 3 = Gate valve/ ball valve 4 = Flow indicator 5 = Pompa distribusi 6 = Pompa distribusi
57 Lampiran 2.
Perangkat peralatan percobaan
(a) Membran Polisulfon
(b) Membran Mikrofiltrasi
58 Lampiran 3. Spesifikasi teknik unit mikrofiltrasi No URAIAN/JENIS MATERIAL Modul membran mikrofiltrasi 1 Brand : GDP Filter Material : Polypropylene MWCO : 100.000 daltons Membrane area : 0,5 m2 Working pressure : 0 – 2 bar Housing dimension : Dia 40 mm x L 300 mm 2
3
4
5
Filter Pump Type Maximum capacity Maximum pressure Power
JUMLAH 1 unit
1 unit : Diaphragm Pump : 180 liter/jam : 6 kg/cm2 : 96 W/48 DC V/2.0 A
Piping and Accessories 3.1 Tubing Type : Flexible hose Material : Poly Urethane Diameter : 6 mm 3.2 Accessories Pressure gauge Brand : SELLERY Pressure range : 0 – 4 bar Connection : NPT 1/4'” Regulator valve Type : Ball valve Material : Stainless steel Solenoide valve Type : Needle valve Material : Plastic PP Fiting/Connection Material : Polyprophylene
1 lot
2 unit
1 unit
2 unit
8 pcs
1 lot
Frame Material Dimensi
: Painted carbon steel & acrylic : 40 cm x 38 cm x 38 cm
Control box Model Including
: Adjustable : Timer, relay, circuit breaker
1 set
59 Lampiran 4. Data fluks air hasil penyaringan dengan menggunakan membran 1. Membran polisulfon dengan ketebalan 0,05 mm Tekanan (bar) 0.7
1.4
2.1
Menit ke 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120
Fluks air ulanganI (L/m2.jam) 319 295 253 239 229 222 207 203 187 166 165 162 200 200 197 195 194 188 183 177 172 168 163 158 136 129 122 119 115 113 108 106 104 97 94 93
Fluks air ulangan2 (L/m2.jam) 327 307 263 244 224 217 207 203 188 164 166 162 219 214 210 207 207 202 200 195 172 166 166 159 146 141 136 134 129 122 119 99 104 95 96 97
Rata-rata fluks (L/m2.jam) 323 301 258 241 227 219 207 203 188 165 165 162 210 207 203 201 200 195 191 186 172 167 164 158 141 135 129 127 122 118 114 102 104 96 95 95
Sd
Nilai
4 6 5 2 2 2 0 0 1 1 0 0 10 7 6 6 7 7 9 9 0 1 1 1 5 6 7 7 7 4 5 4 0 1 1 2
323 ± 4 301 ± 6 258 ± 5 241± 2 227 ± 2 219 ± 2 207 203 188 ± 1 165 ± 1 165 162 210 ± 10 207 ± 7 203 ± 6 201 ± 6 200 ± 7 195 ± 7 191 ± 9 186 ± 9 172 167 ± 1 164 ± 1 158 ± 1 141 ± 5 135 ± 6 129 ± 7 127 ± 7 122 ± 7 118 ± 4 114 ± 5 102 ± 4 104 96 ± 1 95 ± 1 95 ± 2
60 2. Membran polisulfon dengan ketebalan 0,10 mm Tekanan (bar) 0.7
1.4
2.1
Menit ke 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120
Fluks air ulanganI (L/m2.jam) 180 161 161 156 156 144 132 126 119 113 110 104 141 132 127 122 112 107 105 104 97 95 88 84 85 80 80 78 78 76 75 71 73 69 67 66
Fluks air ulangan2 (L/m2.jam) 132 124 122 115 106 108 105 95 92 92 84 80 127 122 119 115 113 107 102 106 99 97 89 86 110 105 105 100 100 97 95 93 92 91 88 87
Rata-rata fluks (L/m2.jam) 156 143 141 135 131 126 118 110 106 102 97 92 134 127 123 118 113 107 104 105 98 96 89 85 97 93 92 89 89 87 85 82 82 80 78 76
Sd
Nilai
24 18 19 21 25 18 13 15 14 11 13 12 7 5 4 4 1 0 1 1 1 1 1 1 12 12 12 11 11 11 10 11 9 11 10 10
156 ± 24 143 ± 18 141 ± 19 135 ± 21 131 ± 25 126 ± 18 118 ± 13 110 ± 15 106 ± 14 102 ± 11 97 ± 13 92 ± 12 134 ± 7 127 ± 5 123 ± 4 118 ± 4 113 ± 1 107 104 ± 1 105 ± 1 98 ± 1 96 ± 1 89 ± 1 85 ± 1 97 ± 12 93 ± 12 92 ± 12 89 ± 11 89 ± 11 87 ± 11 85 ± 10 82 ± 11 82 ± 9 80 ± 11 78 ± 10 76 ± 10
61 3. Membran polisulfon dengan ketebalan 0,15 mm Tekanan (bar) 0.7
1.4
2.1
Menit ke 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120 5 10 15 20 30 40 50 60 75 90 105 120
Fluks air ulanganI (L/m2.jam) 230 179 160 147 136 123 116 107 101 98 95 94 136 119 93 100 109 108 102 90 105 102 92 81 112 102 97 88 93 100 107 94 90 81 80 84
Fluks air ulangan2 (L/m2.jam) 213 177 152 139 125 119 108 102 102 96 90 89 117 110 110 100 105 92 89 88 86 84 80 81 100 94 94 90 94 88 85 85 78 74 75 74
Rata-rata fluks (L/m2.jam) 221 178 156 143 131 121 112 105 102 97 92 91 127 115 101 100 107 100 96 89 95 93 86 81 106 98 96 89 93 94 96 90 84 78 77 79
Sd
Nilai
9 1 4 4 6 2 4 2 1 1 3 3 10 5 9 0 2 8 7 1 10 9 6 0 6 4 2 1 1 6 11 4 6 4 2 5
221 ± 9 178 ± 1 156 ± 4 143 ± 4 131 ± 6 121 ± 2 112 ± 4 105 ± 2 102 ± 1 97 ± 1 92 ± 3 91 ± 3 127 ± 10 115 ± 5 101 ± 9 100 107 ± 2 100 ± 8 96 ± 7 89 ± 1 95 ± 10 93 ± 9 86 ± 6 81 10 ± 6 98 ± 4 96 ± 2 89 ± 1 93 ± 1 94 ± 6 96 ± 11 90 ± 4 84 ± 6 78 ± 4 77 ± 2 79 ± 5
62 4. Membran Mikrofiltrasi komersil (tipe hollow fiber) Tekanan (bar) 0.7
1.4
2.1
Menit ke 5 10 15 20 30 40 50 60 5 10 15 20 30 40 50 60 5 10 15 20 30 40 50 60
Fluks air ulanganI (L/m2.jam) 98 98 98 98 98 98 98 98 150 149 150 150 150 150 150 150 193 192 192 191 192 191 192 191
Fluks air ulangan2 (L/m2.jam) 98 118 98 98 98 98 98 98 150 150 150 150 150 150 150 150 193 193 192 193 192 192 192 191
Rata-rata fluks (L/m2.jam) 98 108 98 98 98 98 98 98 150 150 150 150 150 150 150 150 193 193 192 192 192 192 192 191
Sd
Nilai
0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
98 108 ± 10 98 98 98 98 98 98 150 150 150 150 150 150 150 150 193 193 192 192 ± 1 192 192 192 191
63 Lampiran 5. Analisa keragaman data fluks air 1. Tekanan 0.7 bar Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Total Nilai tengah Sumber keragaman Membran Galat Total
P 0.05 319 295 253 239 229 222 207 203 187 166 165 162 327 307 263 244 224 217 207 203 188 164 166 162 2647.8 220.7 Jumlah kuadrat 29226.13 1533175 1562401
Membran P 0.10 P 0.15 180 230 161 179 161 160 156 147 156 136 144 123 132 116 126 107 119 101 113 98 110 95 104 94 132 213 124 177 122 152 115 139 106 125 108 119 105 108 95 102 92 102 92 96 84 90 80 89 1660.8 1587.3 138.4 132.3
db 2 69 71
Kuadrat tengah 14613.06 22219.92
5896.0 163.8
f hitung 0.657656tn
f tabel 0.05 3.15
f tabel 0.01 4.98
64 2. Tekanan 1.4 bar Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Total Nilai tengah Sumber keragaman Membran Galat Total
P 0.05 200 200 197 195 194 188 183 177 172 168 163 158 210 207 203 201 200 195 191 186 172 167 164 158 2193.8 182.8 Jumlah kuadrat 23541.02 1021679 1045220
Membran P 0.10 P 0.15 141 136 132 119 127 93 122 100 112 109 107 108 105 102 104 90 97 105 95 102 88 92 84 81 127 117 122 110 119 110 115 100 113 105 107 92 102 89 106 88 99 86 97 84 89 80 86 81 1313.9 1237.4 109.5 103.1
db 2 69 71
Kuadrat tengah 11770.51 14806.94
4745.1 131.8
f hitung 0.794932tn
f tabel 0.05 3.15
f tabel 0.01 4.98
65 3. Tekanan 2.1 bar Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Total Nilai tengah Sumber keragaman Membran Galat Total
P 0.05 136 129 122 119 115 113 108 106 104 97 94 93 146 141 136 134 129 122 119 99 104 95 96 97 1337.5 111.5 Jumlah kuadrat 4019.591 539118.8 543138.4
Membran P 0.10 P 0.15 85 112 80 102 80 97 78 88 78 93 76 100 75 107 71 94 73 90 69 81 67 80 66 84 110 100 105 94 105 94 100 90 100 94 97 88 95 85 93 85 92 78 91 74 88 75 87 74 898.5 1128.8 74.9 94.1
db 2 69 71
Kuadrat tengah 2009.796 7813.316
3364.7 93.5
f hitung 0.257227tn
* : berbeda nyata tn : tidak berbeda nyata Keterangan : P 0,05 : Membran Polisulfon 12% dengan ketebalan 0,05 mm P 0,10 : Membran Polisulfon 12% dengan ketebalan 0,10 mm P 0,15 : Membran Polisulfon 12% dengan ketebalan 0,15 mm
f tabel 0.05 3.15
f tabel 0.01 4.98
66 Lampiran 6. Karakteristik air sebelum dan sesudah penyaringan menggunakan membran 1. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Polisulfon 12% ketebalan 0,05mm Karakteristik TSS (mg/l) TDS (mg/l) Warna (TCU) Kekeruhan (NTU) E.coli Coliform pH
0,7 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 6.9 ± 1.0 8 3
1,4 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 5.0 ± 3.0 8 2
2,1 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 6.0 ± 2.0 8 2
1 10 20 6.48 ± 0.07
1 10 20 6.75 ± 0.04
1 10 20 7.05 ± 0.05
1 (-) (-) 6.83 ± 0.12
1 (-) (-) 7.02 ± 0.02
1 (-) (-) 7.01 ± 0.00
2. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Polisulfon 12% ketebalan 0,10mm Karakteristik TSS (mg/l) TDS (mg/l) Warna (TCU) Kekeruhan (NTU) E.coli Coliform pH
0,7 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 4.0 ± 0.0 8 1
1,4 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 0.0 8 1
2,1 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 0.0 8 1
1 10 20 7.09 ± 0.04
1 10 20 7.39 ± 0.09
1 10 20 7.6 ± 0.05
1 (-) (-) 7.34 ± 0.16
1 (-) (-) 7.44 ± 0.09
1 (-) 1 7.32 ± 0.13
3. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Polisulfon 12% ketebalan 0,15mm Karakteristik TSS (mg/l) TDS (mg/l) Warna (TCU) Kekeruhan (NTU) E.coli Coliform pH
0,7 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 3.9 ± 0.0 8 1
1,4 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 3.9 ± 3.9 8 1
2,1 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 0.0 33.9 ± 2.0 2.1 ± 2.1 8 1
1 10 20 6.73 ± 0.02
1 10 20 6.90 ± 0.05
1 10 20 7.05 ± 0.05
1 (-) (-) 6.84 ± 0.02
1 (-) (-) 6.96 ± 0.05
1 (-) (-) 7.10 ± 0.05
67 4. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Mikrofiltrasi komersil tipe hollow fiber Karakteristik TSS (mg/l) TDS (mg/l) Warna (TCU) Kekeruhan (NTU) E.coli Coliform pH
0,7 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 450 ± 1.2 33.9 ± 2.0 30 ± 0.0 8 1 1 10 20 6.70
1 (-) (-) 6.86 ± 0.01
1,4 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 460 ± 1.2 33.9 ± 2.0 31 ± 0.1 8 1 1 10 20 6.85
1 (-) (-) 6.95 ± 0.05
Keterangan : TSS : Total Padatan Tersuspensi (total suspended solid) TDS : Total Padatan Terlarut (total dissolved solid)
2,1 bar Feed Permeat 757.0 ± 114.9 470 ± 0.1 33.9 ± 2.0 31 ± 0.5 8 1 1 10 20 7.03 ± 0.02
1 (-) (-) 7.05 ± 0.05
68 Lampiran 7. Analisis keragaman karakteristik Warna air pada membran Polisulfon 1. Tekanan 0.7 bar P 0.05 Ulangan 1 Ulangan 2 Total Nilai tengah Sumber keragaman Membran Galat Total
3 2 5.0 2.5 Jumlah kuadrat
Membran P 0.10 P 0.15 1 1 1 1 2.0 2.0 1.0 1.0 Kuadrat tengah
db 3 0.5 3.5
2 3 5
1.5 0.166667
9.0 1.5 f hitung 9 tn
f tabel 0.05 9.55
f tabel 0.01 30.82
f tabel 0.05 9.55
f tabel 0.01 30.82
f tabel 0.05 9.55
f tabel 0.01 30.82
2. Tekanan 1.4 bar P 0.05 Ulangan 1 Ulangan 2 Total Nilai tengah Sumber keragaman Membran Galat Total
2 2 4.0 2.0 Jumlah kuadrat 1.333333 0 1.333333
Membran P 0.10 P 0.15 1 1 1 1 2.0 2.0 1.0 1.0
db 2 3 5
Kuadrat tengah 0.666667 0
8.0 1.3 f hitung 0 tn
3. Tekanan 2.1 bar P 0.05 Ulangan 1 Ulangan 2 Total Nilai tengah Sumber keragaman Membran Galat Total
2 2 4.0 2.0 Jumlah kuadrat 1.333333 0 1.333333
tn : tidak berbeda nyata * : berbeda nyata
Membran P 0.10 P 0.15 1 1 1 1 2.0 2.0 1.0 1.0
db 2 3 5
Kuadrat tengah 0.666667 0
8.0 1.3 f hitung 0 tn
69 Lampiran 8. Persentase perubahan parameter pada membran 1. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Polisulfon 12% ketebalan 0,05mm Parameter Karakteristik Warna (%) Kekeruhan (%) E.coli (%) Coliform (%) TSS TDS
Tekanan 0,7 bar 37.5 100 0 0 0 20.8
Tekanan 1,4 bar 25 100 0 0 0 15.3
Tekanan 2,1 bar 25 100 0 0 0 18.1
Ratarata 29.16667 100 0 0 0 18.1
2. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Polisulfon 12% ketebalan 0,10mm Parameter Karakteristik Warna (%) Kekeruhan (%) E.coli (%) Coliform (%) TSS TDS
Tekanan 0,7 bar 12.5 100 0.0 0.0 0.0 11.8
Tekanan 1,4 bar 12.5 100 0.0 0.0 0.0 0.0
Tekanan 2,1 bar 12.5 100 0.0 0.0 0.0 0.0
Ratarata 12.5 100 0.0 0.0 0.0 3.9
3. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Polisulfon 12% ketebalan 0,15mm Parameter Karakteristik Warna (%) Kekeruhan (%) E.coli (%) Coliform (%) TSS TDS
Tekanan 0,7 bar 12.5 100 0.0 0.0 0.0 11.8
Tekanan 1,4 bar 12.5 100 0.0 0.0 0.0 12.5
Tekanan 2,1 bar 12.5 100 0.0 0.0 0.0 6.9
Ratarata 12.5 100 0.0 0.0 0.0 10.4
4. Sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran Mikrofiltrasi komersil tipe "hollow fiber" Parameter Karakteristik Warna (%) Kekeruhan (%) E.coli (%) Coliform (%) TSS TDS
Tekanan 0,7 bar 12.5 100 0.0 0.0 60.6 89.2
Tekanan 1,4 bar 12.5 100 0.0 0.0 62.1 91.3
Tekanan 2,1 bar 12.5 100 0.0 0.0 63.5 91.3
Ratarata 12.5 100 0.0 0.0 62.1 90.6
70 Lampiran 9. Penentuan laju alir
1. Luas bidang aktif diketahui : diameter permukaan aktif membran (D) = 4.3 cm = 0.043 m ditanyakan : luas permukaan aktif ? jawab : luas permukaan aktif membran = (3.14 * d2)/4 = (3.14 * 0.0432)/4 = 0.002462 m2
2. Penentuan luas bidang interaksi diketahui : diameter dalam modul = 4.3 cm tinggi dalam modul
= 2 cm
ditanyakan : luas bidang interaksi di titik tengah ? jawab : luas bidang interaksi (A) di titik tengah = 4.3 cm * 2 cm = 8.6 cm2 = 0.000086 m2
2 cm 4.3 cm
3. Penetuan laju alir • Pada tekanan 0.7 bar diketahui : debit (Q) air = 358 ml/ 10 detik ditanyakan : laju alir (v) ? jawab : v = Q/A = 360 ml
10 detik
= 0.42 m/s
0.000086 m2
1L 1000 ml
1000 m3 1L
71 • Pada tekanan 1.4 bar diketahui : debit (Q) air = 355 ml/ 10 detik ditanyakan : laju alir (v) ? jawab : v = Q/A =
355 ml 10 detik
2
0.000086 m
1L 1000 ml
1000 m3 1L
= 0.41 m/s • Pada tekanan 2.1 bar diketahui : debit (Q) air = 358 ml/ 10 detik ditanyakan : laju alir (v) ? jawab : v = Q/A 358 ml
= 10 detik = 0.42 m/s
2
0.000086 m
1L 1000 ml
1000 m3 1L
72 Lampiran 10. Prosedur analisis karakteristik air
1. Fluks (Wenten, 1999) Fluks (J) merupakan jumlah filtrat yang keluar (L) per satuan luas (A) per waktu (t) yang dapat ditulis rumusnya sebagai berikut : J= V/ (Axt) J= fluks (l/m-2jam-1) V= volume permeat (l) A= luas permukaan membran (m2) t = waktu (jam) 2. Total padatan terlarut (Total Dissolved Solid)(TDS) (Nutabonis, 2004) a. Alat penyaring milipore dan pompa vakumnya disiapkan. b. Kertas saring milipore dikeringkan dalam oven 103 – 105 0C dan kemudian didinginkan dalam desikator serta ditimbang beratnya. c. Kemudian sejumlah contoh air disaring dan dicatat volumenya. d. Cawan bersih dipanaskan dalam tungku pemanas dalam 550 0C selama 1 jam. Selanjutnya cawan didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator serta ditimbang. Cawan disimpan dalam desikator hingga siap untuk dipakai. e. Filtrat air contoh sebanyak 100 mL dituang ke dalam cawan kemudian diuapkan hingga kering pada oven 103 – 105 0C. f. Setelah kering filtrat mengalami pemanasan lebih lanjut selama 1 jam. g. Cawan didinginkan dalam desikator untuk kemudian ditimbang. Pemanasan dan penimbangan ini dilakukan berulang kali sehingga diperoleh berat yang konstan. h. Perhitungan : mg/l padatan terlarut total =
( A – B) x 1000 ml contoh
A = berat cawan + residu B = berat cawan contoh
73 3. Total padatan tersuspensi (Total Susspended Solid)(TSS) (Nutabonis, 2004) a. Alat penyaring milipore dan pompa vakumnya disiapkan. b. Kertas saring milipore dikeringkan dalam oven 103 – 105 0C dan kemudian didinginkan dalam desikator serta ditimbang beratnya. c. Kemudian sejumlah contoh air disaring dan dicatat volumenya. d. Kertas saring berikut residu yang diperoleh dalam oven pada 103 – 105 0C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. e. Perhitungan : mg/l padatan tersuspensi total =
( A – B) x 1000 ml contoh
A = berat kertas saring + residu B = berat kertas saring contoh
4. Kekeruhan (Nutabonis, 2004) Sebanyak 25 ml blanko (air akuabides) dan sampel air dituangkan ke dalam botol kaca spektrofotometer. Alat DR2000 kemudian dihidupkan. Selanjutnya kode program pemeriksaan kekeruhan (750) dimasukkan ke spektrofotometer alat DR2000 dan panjang gelombang diatur pada 860 nm. Setiap kali pembacaan kekeruhan sampel, pembacaan blanko dilakukan terlebih dahulu. Hasil kekeruhan yang didapat dalam satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
5. Warna (Nutabonis, 2004) Sebanyak 25 ml blanko (air akuabides) dan sampel air dituangkan ke dalam botol kaca spektrofotometer. Alat DR2000 kemudian dihidupkan. Selanjutnya kode program pemeriksaan warna (120) dimasukkan ke spektrofotometer alat DR2000 dan panjang gelombang diatur pada 455 nm. Setiap kali pembacaan kekeruhan sampel, pembacaan blanko dilakukan terlebih dahulu. Hasil kekeruhan yang didapat dalam satuan Pt Co Scale (Platina Cobalt Scale).
6. Mikrobiologi (Total E.Coli dan Total Coliform) (Nutabonis, 2004) Penghitungan jumlah total coliform dan E.coli menggunakan prinsip yang sama, namun menggunakan media agar dan suhu inkubasi yang berbeda. Total
74 coliform diinkubasi pada suhu 35 oC dengan medium M-Endo, sedangkan total E.coli diinkubasi dengan menggunakan suhu 44,5 oC dengan medium M-FC.
7. pH (Nutabonis, 2004)
suhu air diukur dan diset pengatur suhu pH meter.
pH meterdinyalakan dan dibiarkan sampai stabil (15 – 30 menit)
elektroda dibilas dengan air
elektroda dicelupkan ke dalam larutan air
elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil
pH air dapat dicatat.
75 Lampiran 11. Baku Mutu Air Minum KepMenKes No.907/MENKES/SK/VII/2002 No Parameter FISIKA 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bau Rasa Warna Total Padatan Terlarut (TDS) Kekeruhan Suhu KIMIA
Satuan
Persyaratan
Teknik Pengujian
TCU mg/l
tidak berbau normal maks.15 maks. 1000
Organoleptik Organoleptik Spektrofotometri Gravimetri
NTU o C
maks. 5 Suhu udara ± 3oC
Spektrofotometri Termometer
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Besi (Fe) Kesadahan sebagai CaCO3 Klorida (Cl) Mangan (Mn) pH Seng (Zn) Sulfat (SO4) Tembaga (Cu) Klorin (Cl2) Amonium (NH4) KIMIA ANORGANIK
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
maks 0.3 maks. 500 maks 250 maks 0.1 6.5 - 8.5 maks. 8 maks 250 maks. 1 maks. 5 maks 0.15
AAS Titrimetri Argentometri AAS pH meter AAS Spektrofotometri AAS Titrimetri Spektrofotometri (Nesler)
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Arsen (As) Fluorida (F) Krom heksavalen (Cr6+) Kadnium (Cd) Nitrat (NO3) Nitrit (NO2) Sianida (CN) Timbal (Pb) Raksa (Hg) MIKROBIOLOGI
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
maks. 0.01 maks 1.5 maks 0.05 maks. 0.003 maks 50 maks 3 maks 0.07 maks. 0.01 maks 0.001
AAS Spektrofotometri AAS AAS Spektrofotometri (Brusin) Spektrofotometri (NED) Destilasi AAS AAS
APM/100ml APM/100ml
negatif negatif
24. E. Coli 25. Total Bakteri Koliform
MPN MPN