KAJIAN DIALEKTOLOGIS DAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF SEBAGAI SARANA MEMETAKAN BAHASA DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR Awaludin Rusiandi Balai Bahasa Jawa Timur
Gambaran
umum
penelitian
kebahasaan
di
lingkungan
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada era 90-an Salah satu tupoksi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa adalah terwujudnya lembaga keilmiahan yang unggul di bidang kebahasaan dan kesastraan. Sebagai sebuah lembaga ilmiah, sudah seyogyanya lembaga tersebut memiliki kegiatan penelitian kebahasaan dan kesastraan. Mengutip penelusuran yang dilakukan oleh Lauder pada tahun 1995 (Lauder, 1999), jenis penelitian kebahasaan yang dirancang oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa gambarannya adalah sebagai berikut: penelitian Struktur Bahasa 67,65%; Sosiolinguistik 3,67%; Dialektologi 9,12%; Sastra 16,46%; dan Pengajaran 3,10%. Dari data yang diperoleh oleh Lauder tersebut kita bisa melihat bahwa yang menempati persentase tertinggi adalah jenis penelitian struktur bahasa, sebanyak 67,65%. Berbeda halnya dengan penelitian yang bersifat struktural kebahasaan, jumlah penelitian yang berfokus pada variasi bahasa cenderung masih sedikit dilaksanakan di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Penelitian yang berusaha mengkaji aspek variasi bahasa dari sudut pandang Dialektologi dan Linguistik Historis Komparatif (LHK) masih sangat jarang dilakukan dan jika dibandingkan dengan penelitian struktur bahasa, kisaran persentasenya kurang dari 10%. Selain menelusuri jenis-jenis penelitian kebahasaan di lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Lauder juga mengidentifikasi cakupan wilayah penelitian yang dilakukan oleh badan tersebut beserta balai dan kantor bahasa yang tersebar di penjuru Indonesia. Berdasarkan wilayah penelitian, 1
gambarannya adalah sebagai berikut: wilayah Sumatra 31,87%; Jawa – Madura 24,76%; Bali - Nusa Tenggara, 8,76%; Kalimantan 11,26%; Sulawesi 18%; Maluku 4,74%; Papua 0,61%. Tidak hanya jenis penelitian saja yang mengalami ketimpangan secara statistik, penggarapan wilayah penelitian kebahasaan juga tidak merata. Area Indonesia bagian barat mendapatkan porsi lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia bagian timur. Seperti terlihat berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Lauder di atas, Sumatra, Jawa, dan Madura merupakan dua wilayah yang paling banyak dikaji aspek kebahasaannya. Di sisi lain, Maluku dan Papua adalah daerah yang paling sedikit dijadikan sebagai lahan penelitian kebahasaan. Gambaran kegiatan penelitian kebahasaan di atas adalah data yang dikumpulkan oleh Lauder di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa --yang dulu masih bernama Pusat Bahasa-- pada era tahun 90-an.
Gagasan Penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia Pada era tahun 90-an Pusat Bahasa menanggapi proposal para linguis yang menekuni bidang Dialektologi dan LHK tentang sebuah penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Pusat Bahasa beranggapan upaya tersebut merupakan sebuah usaha berskala nasional untuk menggali informasi dasar mengenai eksistensi bahasa daerah. Selain itu, data kebahasaan dari berbagai bahasa daerah di Indonesia tidak hanya bisa digunakan untuk pengembangan bidang Dialektologi dan LHK semata, namun dapat juga dimanfaatkan oleh bidang linguistik lainnya. Tidak menampik kemungkinan cabang ilmu selain Linguistik juga dapat memanfaatkan data kebahasaan tersebut, misalnya saja penelusuran peta persebaran penyakit berdasarkan penutur bahasa tertentu. Upaya awal untuk menindaklanjuti terlaksananya penelitian tersebut adalah menyepakati metode dan kriteria yang sama dan seragam untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Selanjutnya, tim peneliti yang terdiri atas linguis
2
bidang Dialektologi dan LHK dari berbagai daerah di Indonesia merancang sebuah kuesioner nasional. Kuesioner tersebut nantinya digunakan untuk menjaring data kebahasaan di seluruh Indonesia sebagai bahan analisis penelitian Dialektologi dan atau LHK. Setelah pembuatan kuesioner nasional selesai, penelitian direncanakan akan selesai dalam jangka waktu selama kurang lebih lima belas tahun, dimulai dari tahun 1992 hingga tahun 2006. Selama kurun waktu 1992 hingga 1999 kegiatan yang dicanangkan adalah pelatihan bagi peneliti dan penjaring data, pengumpulan data, serta pengolahan data. Selanjutnya, pada kurun waktu 2000 sampai 2006 kegiatan yang dilakukan adalah analisis data, penulisan laporan penelitian, dan penerbitan hasil penelitian. Hingga tahun 1997, wilayah di Indonesia yang telah diambil data kebahasaannya meliputi Timtim, NTT, Sulut, Sulsel, Sulteng, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Sumbar, Bengkulu, Riau, Jambi, Aceh, Sumut, Sulsel, Lampung, Sultra, DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, dan NTB. Kegiatan pengambilan data terpaksa dihentikan pada tahun 1997 akibat terjadinya krisis moneter di Indonesia sehingga mengakibatkan keadaan negara tidak stabil. Dua wilayah yang belum terjaring datanya, Maluku dan Papua, berhasil diambil data kebahasaannya pada tahun 2005 dan 2006. Pada era sebelum tahun 2000, Pusat Bahasa bekerja sama dengan Kanwil Dikdasmen Depdikbud menyeleksi guru SMA di seluruh Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai pengambil data di lapangan. Kriteria pengambil data adalah penduduk setempat, pria atau wanita dengan usia di bawah empat puluh tahun, berprofesi sebagai guru SMA di tingkat kecamatan atau kabupaten, berpendidikan S1 linguistik, dan bersedia mengambil data di lapangan selama kurang lebih satu bulan. Sebelum dikirim ke daerah pengamatan untuk mengambil data, mereka terlebih dahulu diberi pelatihan secara intensif dengan tujuan sebagai berikut:
Memahami tujuan penelitian.
Memahami konsep dasar Dialektologi dan LHK. 3
Memahami kuesioner dan teknik wawancara.
Menguasai aksara fonetis.
Melakukan latihan mandiri, latihan berpasangan, dan latihan lapangan.
Melaksanakan tes untuk menentukan apakah mereka dianggap mampu menjaring data dengan baik.
Menentukan titik pengamatan & pembagian tugas bagi mereka yang lulus tes.
Kendala pelaksanaan penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di Provinsi Jawa Timur Setelah Pusat Bahasa memiliki tenaga, berupa guru SMA dari seluruh Indonesia, untuk menjaring data di daerah pengamatan, penelitian kekerabatan dan pemetaan tidak dapat serta merta langsung dilaksanakan karena beberapa kendala. Kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri atas banyak pulau sangat menyulitkan pengambilan data. Data kebahasaan yang terdapat di pulau-pulau terpencil dan dituturkan oleh suku terasing sangat susah dijaring. Untuk mengambil data di pulau-pulau tersebut diperlukan dana yang tidak sedikit dan waktu yang tidak singkat. Selain itu, kebanyakan para penjaring data enggan mengunjungi lokasi yang sangat susah dijangkau dan terisolasi. Kendala selanjutnya yang muncul adalah validitas dan kualitas data yang berhasil diambil oleh tenaga yang berasal dari guru SMA. Tidak semua penjaring data berhasil mengumpulkan data dengan tingkat validitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan penelitian. Kemampuan fonetik yang sangat bagus seharusnya dimiliki oleh pengambil data penelitian Dialektologi dan LHK karena transkripsi fonetis adalah sumber utama penelitian tersebut. Apabila pada saat pengambilan data tidak dapat menghasilkan transkripsi fonetis yang benarbenar akurat, maka dapat dipastikan hasil penelitian tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.
4
Di Provinsi Jawa Timur, kendala yang dihadapi adalah belum didapatnya data bahasa Madura di daerah kepulauan. Bahasa Madura yang dituturkan oleh masyarakat penghuni pulau Bawean dan pulau-pulau di sekitar Madura masih belum terjaring. Pengambil data enggan diberangkatkan ke pulau-pulau tersebut dan lebih memilih untuk ditugaskan mengambil data di pulau Jawa dan Madura. Akibatnya, analisis awal penelitian tidak mencakupi seluruh wilayah di Provinsi Jawa Timur. Masalah lain yang juga terdapat di Jawa Timur adalah kualitas sumber daya manusia para guru SMA selaku pengambil data. Kemampuan mereka yang tidak setara di bidang fonetik mengakibatkan banyak data yang diragukan kesahihannya. Perbedaan pemahaman tentang pentranskripsian bunyi segmental membuat analisis penelitian Dialektologi dan LHK menjadi sulit dilakukan. Selain itu, mereka juga tidak memahami konsep dalam kuesioner sehingga ketika informan kurang mengerti daftar tanyaan mereka tidak dapat menjelaskan. Pemahaman
penjaring
data
yang
tidak
memadai
membuat
informan
memproduksi berian yang tidak sesuai dan mengakibatkan data yang dijaring menjadi tidak sahih. Interpretasi masing-masing penjaring data juga bervariasi sehingga pada saat mereka menjelaskan daftar tanyaan pada informan hasilnya tidak
sama.
Kemampuan
penjaring
data
untuk
memancing
informan
memproduksi berian yang sahih tidak begitu memadai. Mereka cenderung menggiring informan untuk memproduksi berian sesuai atau mirip dengan bahasa yang dikuasai atau dituturkan oleh pengambil data. Akibatnya, ketika dilakukan tahap analisis data, hasil yang didapatkan cenderung memiliki banyak kemiripan persentase antardaerah pengamatan.
Prosedur analisis penelitian kekerabatan dan pemetaan di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Pada tahun 2005 akhirnya kegiatan penelitian yang sebelumnya terbengkalai berusaha dirampungkan oleh Pusat Bahasa. Tenaga yang dimiliki oleh lembaga
5
tersebut tidak sesedikit sebelumnya sehingga kendala penjaring data dapat teratasi. Pegawai teknis di lingkungan balai dan kantor yang terseleksi atau memiliki minat pada bidang Dialektologi dan LHK se-Indonesia dibekali pelatihan di Pusat Bahasa. Tenaga-tenaga baru ini tidak hanya berfungsi sebagai pengambil data melainkan juga sebagai peneliti di balai dan kantor bahasa masing-masing. Oleh sebab itu, pemahaman analisis Dialektologi dan LHK yang sama dan seragam diperlukan karena nantinya analisis dari masing-masing balai dan kantor bahasa akan disatukan. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam analisis data, yaitu bahan yang akan dianalisis serta wujud dari analisis itu sendiri. Untuk jelasnya, berikut ini dipaparkan secara sepintas kedua hal tersebut. 1. Bahan yang dianalisis Bahan yang dianalisis mencakupi: a. Kosa kata dasar Swadesh
200
b. Kosa kata budaya dasar, yang mencakupi: - Bagian Tubuh
52
- Sistem Kekerabatan
25
- Gerak dan Kerja
98
- Kata Tugas
25
Jumlah
200
Total yang Dianalisis
400
2. Wujud analisis Analisis yang bersifat sinkronis berwujud tabulasi data dalam bentuk tabulasi tahap I dan II, serta analisis penentuan status isolek sebagai bahasa atau dialek. Analisis sinkronis diawali dengan membuat tabulasi tahap I dan tahap II, selanjutnya diikuti dengan analisis penentuan status isolek sebagai bahasa atau dialek. a. Tabulasi tahap pertama (I)
6
Berisi data yang akan dianalisis berupa keseluruhan data pada daftar tanyaan, yaitu berikut ini. Tabulasi Data Tahap I Identifikasi Varian dan Daerah Sebarannya TABULASI TAHAP I MADURA No
Kode Glos
Bentuk Realisasi
Daerah Pengamatan
I. KOSA KATA DASAR SWADESH 1
I.1 'abu'
a:bu a:buh abuh abUh abu tOmaG abuh tOmaG bu tOmaG karb] u? arb] u?
59 7 5 21 1, 2, 13-16,63 4, 11, 12 3 58 65
2
I.2 'air'
~a~EG ~aEG a:EG aEG
1, 4 3 7 2, 5, 11-16, 21, 58, 59,63,65
3
1,3 'akar'
rama? ramo? ramO? ramOk ramu?
21 3, 4, 7, 58 1, 2, 5, 59,63,65 13-16 11, 12
4
I.4 'alir' (me)
ag] ili ag] ili: ag] ilih agili g] ili GalElE GelEr
1, 5, 11-16,63 2-4 7 21 14, 16 59 58,65
5
I.5 'anak'
ana? Annak
1-5, 7, 11, 12, 21,58, 63,65 59
7
Anak Buduk budu? bu.duk pOtra
13, 14, 16 13, 14 21 15 5
b. Tabulasi tahap kedua (II) Tabulasi tahap kedua berisi deskripsi perbedaan unsur bahasa yang mencakup perbedaan fonologi dan perbedaan leksikon untuk semua glos yang dianalisis. Hasil dari tabulasi tahap kedua yang berupa perbedaan fonologi dan leksikon tersebut dapat disebut sebagai peta verbal karena sudah mencerminkan distribusi geografis dari setiap unsur yang berbeda. Oleh karena itu, setiap glos dalam tabulasi tahap kedua harus memuat semua bentuk yang menjadi realisasi dari makna (glos) dan memuat semua alternatif pemetaan yang mungkin dibuat untuk setiap glosnya.
Tabulasi Data Tahap II Deskripsi Perbedaan Unsur Bahasa TABULASI TAHAP II MADURA No
Kode Glos
Bentuk Realisasi
I. KOSA KATA DASAR SWADESH a:bu 1 I.1 a:buh 'abu' abuh abUh abu tOmaG abuh tOmaG bu tOmaG karb] u? 1.a
Daerah Pengamatan 59 7 5 21 1, 2, 13-16 4, 11, 12 3 58
kar ~ a: ~ a ~ Ø/ # ― karb] u? a:bu(h) ab(uh,Uh,u) bu
58 7, 59 1, 2, 4, 5, 11--16, 21 3
8
2.a
b] ~ b / # v -― karb] u? a:bu(h),ab(uh,Uh,u)bu ab(uh¸ Uh¸ u) bu
3.a
58 1--4, 5, 7,11--16, 21, 59
u~ U/ ― k # karb] u?, a:bu(h), ab(uh,u), bu abUh
4.a
2
I.2 'air'
1.a
1--4, 5, 7,11--16, 58, 59 21
h~ ?~ Ø / ― # (a:a)buh,abUh karb] u? (a:,a,Ø)bu
4, 5, 7, 11, 12, 21 58 1, 2, 3, 13--16, 59
~a~EG ~aEG a:EG aEG
1, 4 3 7 2, 5, 11-16, 21, 58, 59
~a ~ a: ~ a / # ― ~a(E,~E)G a:EG aEG
2.a
3
1,3 'akar'
1.a
1, 3, 4 7 2, 5, 11-16, 21, 58, 59
~E ~ E / # V ― ~a~EG (~a,a:,a)EG
1, 4 2, 3, 5, 7, 11-16, 21, 58, 59
rama? ramo? ramO? ramOk ramu?
21 3,4,7,58 1,2,5,59 13-16 11-12
a~o~O~u/-k# rama?
21
9
ramo? ram(O?,Ok) ramu? 2.a
4
I.4 'alir' (me)
1.a
3,4,7,58 1, 2, 5,13--16, 59 11-12
?~k/-# ram(a,o,O,u?) ramOk
1--5, 7, 11, 12, 21, 58, 59 13-16
ag] ili ag] ili: ag] ilih agili g] ili GalElE GelEr
1, 5, 11-16 04-Feb 7 21 14, 16 59 58
g] ~g/#ag] il(i,i:,ih), g] ili agili
b
1--5, 7, 11-16 21
al~Ø/#kGalElE GelEr
2.a
59 58
i:~i/-k# ag] ili: (ag] , g] , ag)ili, ag] ilih
b
2--4 1, 5, 7, 11-16, 21
r~Ø/#GalElE GelEr
3.a
59 58
h~Ø/#ag] ilih (ag] , g] , ag)ili, ag] ili:
b
7 1--5, 11-16, 21
r~Ø/#-
10
5
I.5 'anak'
1.a
GalElE GelEr
59 58
ana? annak anak buduk budu? bu.duk pOtra
1-5, 7, 11, 12, 58, 21 59 13, 14, 16 13, 14 21 15 5
n~nn/#van(a?,ak) annak
b
c 2.a
1-5, 7, 11--14, 16, 21, 58 59
d~.d/v-v bud(uk,u?) bu.duk
13, 14, 21 15
pOtra
5
?~k/-# ana? a(nn,n)ak
b
c
1-5, 7, 11, 12, 58, 21 13, 14, 16, 59
?~k/-# budu? bu(d,.d)uk
21 13--15
pOtra
5
3. Penentuan status isolek sebagai bahasa atau dialek Dalam penentuan status bahasa, dialek, subdialek akan digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif difokuskan pada penggunaan metode dialektometri. Namun, perlu diingat bahwa sebelum penggunaan metode dialektometri tahap yang harus 11
dilakukan pertama-tama adalah memilih salah satu dari sejumlah kemungkinan pemetaan yang dapat dilakukan dalam setiap glos. Mengingat bahwa, suatu glos tertentu, memiliki alternatif pemetaan lebih dari satu, sedangkan untuk keperluan analisis data selanjutnya hanya diperlukan satu peta untuk setiap glosnya, maka diperlukan suatu pegangan dalam memilih salah satu dari alternatif pemetaan yang terdapat dalam setiap glosnya. Adapun pegangan dalam memilih salah satu dari keseluruhan alternatif pemetaan itu adalah berikut ini. a. Dari sudut pandang perbedaan fonologis, alternatif peta yang kaidahnya sama dengan kaidah dalam alternatif pemetaan pada glos lainnya diutamakan untuk dipilih. Pengertian sama di sini tidak hanya sama kaidahnya, tetapi sama atau relatif sama daerah yang disatukan oleh kaidah tersebut. Hal ini bermanfaat untuk mengidentifikasi peta yang berupa korespondensi. b. Setelah dilakukan identifikasi seperti langkah (a) di atas, dan ternyata tidak ditemukan alternatif peta yang sama kaidahnya dari semua glos itu, maka langkah selanjutnya, memilih alternatif peta pada glo-glos itu yang secara bersama-sama mempersatukan daerah pengamatan yang sama atau relatif sama. c. Setelah langkah (a) dan (b) dilakukan, maka glos sisanya yang belum ditentukan
alternatif
pemetaannya
mempertimbangkan akan adanya
ditentukan
dukungan
bagi
dengan
tetap
penetapan daerah
pengamatan atau kelompok daerah pengamatan tertentu sebagai daerah pakai isolek
yang
berbeda
dengan
lainnya.
Apabila
langkah
ini
tidak
memungkinkan, alternatif pemilihan pemetaan secara mana suka bisa dilakukan. Patut diingatkan bahwa, langkah-langkah analisis di atas harus dilakukan secara hirarkis, artinya langkah (a) lebih dahulu, setelah itu diikuti langkah (b) dan (c). Selain itu, penerapan metode kuantitatif atau kualitatif baik untuk penentuan status bahasa, dalek, dan sebdialek harus bersumber pada data pemetaan yang dipilih sebagai peta di atas.
12
Setelah tahap-tahap di atas dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah penerapan metode dialektometri dengan rumus sebagai berikut ini. (S x 100) n
= d%
Keterangan : S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak kosa kata dalam prosentase Hasil yang diperoleh adalah persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu. Selanjutnya penentuan hubungan antardaerah pengamatan dilakukan dengan kriteria sebagai berikut. 81% ke atas
: dianggap perbedaan bahasa
51-80%
: dianggap perbedaan dialek
31-50%
: dianggap perbedaan subdialek
21-30%
: diangggap perbedaan wicara
di bawah 20%
: dianggap tidak ada perbedaan
Alasan tidak membedakan antara kategori persentase fonologi dengan persentase leksikon seperti yang diperlihatkan Guiter di atas, karena pembedaan semacam itu tidak cocok dengan realita perubahan bahasa.
Penutup Prosedur analisis di atas digunakan sebagai bahan acuan setiap penelitian Dialektogi dan pemetaan bahasa di Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Penelitian bersifat linguistik terapan dengan menggunakan teori linguistik bandingan secara dialektologis masih tetap dilaksanakan hingga sekarang di balai bahasa. Setiap tahun penelitian tersebut selalu dilaksanakan dengan tujuan pembuatan peta bahasa-bahasa daerah di Jawa Timur. Pada tahun 2008, saat Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta, telah diluncurkan sebuah peta bahasa secara nasional.
13
Akan tetapi, pembaruan data harus tetap dilakukan agar kondisi kebahasaan di Jawa Timur tetap terpantau. Jawa Timur merupakan daerah dengan variasi bahasa terbanyak di pulau Jawa karena sekurang-kurangnya terdapat tiga bahasa yang masih aktif dituturkan. Bahasa Jawa dituturkan di pulau Jawa yang terletak di Provinsi Jawa Timur secara hampir keseluruhan, kemudian bahasa Madura dituturkan di pulau Madura dan pulau-pulau di sekitarnya. Bahasa tersebut juga menjadi bahasa utama di pulau Bawean serta daerah tapal kuda di pulau Jawa. Selain itu, berdasarkan pengambilan data pada tahun 2007 terdapat penutur aktif bahasa Bajo yang tinggal di pulau Sapeken, Madura. Beberapa pulau-pulau di sekitar pulau Madura, seperti pulau Kangean, Sapudi, Sapeken, Raas, dll. telah diambil data kebahasaannya dengan tujuan untuk membuat peta bahasa Madura di Provinsi Jawa Timur. Bahasa Madura dipilih sebagai prioritas penelitian Dialektologi karena bahasa tersebut mayoritas penuturnya terdapat di wilayah Jawa Timur. Selain itu, bahasa itu juga berasal dari pulau Madura yang masuk ke dalam wilayah geografis Provinsi Jawa Timur.
Daftar Pustaka Comrie, Bernard dkk. 2003. The Atlas of Languages: The Orgin and Development of Languages Throughout the World. Singapore: Star Standard. Crystal, David. 2000. Language Death. Great Britain: Cambridge University Press. Lauder, Multamia RMT. 1999. “Derap Perkembangan Linguistik”, dalam Telaah Bahasa & Sastra yang disunting oleh Hasan Alwi dan Dendy Sugono. Jakarta: Pusat Bahasa. Halaman 183—199. Lauder, Multamia RMT. 2004. Optimalisasi Bahasa Indonesia Bebasis Korpus Linguistik. Makalah disajikan pada Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra
14
Indonesia XXVI, di Universitas Muhammadiyah, Purwokerto 4—5 Oktober 2004. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mahsun. 2005. Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Grafindo. Mahsun. 2010. Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar BIODATA PEMAKALAH
Nama
: Awaludin Rusiandi
TTL
: Surabaya, 21 Juli 1979
Alamat
: Jalan Sidotopo Lor 16, Surabaya
Pendidikan
:
-
S1 Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (spesialisasi fonologi bahasa Inggris)
-
S2 Linguistik Indonesia Universitas Gadjah Mada (spesialisasi dialektologi)
Pekerjaan
:
-
Penerjemah Pertama di Balai Bahasa Jawa Timur
-
Pemeta bahasa daerah di Balai Bahasa Jawa Timur
-
Penyedia data pemetaan bahasa daerah di Provinsi Papua (2006 dan 2007)
-
Peneliti dalam Kajian LHK sebagai Sebuah Penelitian Kewilayahan di Indonesia (2014—sekarang)
-
Penyedia data penelitian Budaya Lokal sebagai Bahan Ajar Potensi BIPA di Kepulauan Banda Neira, Ambon (2015)
-
Pemimpin redaksi Jurnal Ilmiah Kebahasaan: Medan Bahasa.
15