KAJIAN DAMPAK PENGGUNAAN ALAT TANGKAP IKAN DI TERUMBU KARANG KELURAHAN PULAU ABANG, KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM.
CICIK KURNIAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Dampak Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Terumbu Karang Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2009
Cicik Kurniawati, S.Pi C 252070274
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RINGKASAN CICIK KURNIAWATI. Kajian Dampak Penggunaan Alat Tangkap Ikan Di Terumbu Karang Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan BUDY WIRYAWAN. Penelitian tentang Kajian Dampak Penggunaan Alat Tangkap Ikan Di Terumbu Karang Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Juni 2009. Tujuan penelitian ini adalah 1) Mengetahui status penutupan terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang Kota Batam 2) Mengevaluasi jenis – jenis alat tangkap yang dioperasikan di kawasan terumbu karang Kelurahan Pulau Abang Kota Batam 3) Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap di terumbu karang 4) Menyusun arahan tehnik penggunaan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan untuk dikembangkan khususnya di kawasan terumbu karang Pulau Abang Kota Batam. Penelitian ini menggunakan metode LIT (line intercept transect) untuk pengamatan terumbu karang dan metode yang dilakukan untuk pengamatan ikan karang adalah metode UVC (Underwater Visual Census) menggunakan garis transek 50 m pada kolom air dengan jarak pandang 5m ke kiri dan ke kanan.Pengamatan terhadap dampak penggunaan alat tangkap ikan dilakukan dengan pengamatan secara visual dengan mengamati operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Aktivitas perikanan dianalisis dengan metode deskriptis melalui wawancara mendalam, pengisian kuesioner serta observasi langsung di lapangan. Pembuatan rencana strategi dan rencana program besera prioritasnya dalam penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan di terumbu karang dilakukan dengan metode A-WOT merupakan gabungan AHP dan SWOT. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kondisi terumbu karang di lokasi penelitian di perairan Kelurahan Pulau Abang dalam keadaan bagus (rata-rata persentase hard coral 67 %). Jenis yang banyak ditemukan adalah NonAcropora. Keberadaan ikan karang ditemukan (17 famili dan 50 spesies) dengan indek keanekaragaman (semua lokasi 1,9). Pengoperasian alat tangkap kelong pantai di terumbu karang mempunyai dampak paling besar terhadap kerusakan terumbu karang maupun ikan. Strategi pengelolaan perikanan di terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang lebih ditekankan pada sub sektor budidaya dan wisata bahari bukan dari sub sektor perikanan tangkap. Berdasarkan prioritas yang dihasilkan melalui proses AHP bahwa program yang diinginkan masyarakat setempat maupun unsur pemerintah daerah baru sebatas nilai ekonomi saja. Dari urutan prioritas sangat jelas bahwa mereka belum terpikir untuk mengarahkan kebijakan kearah perikanan yang ramah lingkungan atau penjagaan kelestarian lingkungan. Kata kunci : alat tangkap ikan, dampak, terumbu karang, rencana strategi, rencana program, Pulau Abang
ABSTRACT CICIK KURNIAWATI. Impact Assessment of Fishing Gears Application in Coral Reef Area of Abang Islands Batam. Under direction of ARIO DAMAR and BUDY WIRYAWAN. Study on Impact Assessment of Fishing Gears Application in Coral Reef Area was carried out in Abang Islands, Batam Regency from April to June 2009. Abang islands are groups of small islands possess reef fish resources that have not been utilized optimally. However, this resource condition has attracted many fishermen to utilize the resources using destructive fishing technique.This research was aimed 1) to evaluate condition of coral reef and reef fish, 2) to evaluate kind of fishing gears application in coral reef area, 3) to evaluate Impact of fishing gears application in coral reef area and 4) to extend fishing technique directive in Abang Islands. This information is used to propose the coral reef fishing gears application and to identify strategy plan with finally to be implemented into program plan. The method of analysis consisted of inventory of life cover coral from 6 stations using LIT (Line Intersect Transect), analysis reef fishes using UVC (Underwater Visual Census), analysis of impact of fishing gears application and the fisheries activity using descriptive method. An A-WOT method has been applied to determine alternative strategy for extending fishing technique directive of coral reef fisheries. The result showed that the percentages of life cover coral was around 67.03%. Generally, the type of corals that is mostly found is Non-Acropora. The Acropora type is rarely found. Approximately 17 family and 50 species reef fish target are found. Generally coral reef and reef fish in Abang islands were still in a good condition. Kelong pantai is the fishing gear that has the highest damage on coral reef. This condition must be maintained for sustainability of small scale coral reef fisheries in Abang Islands. The strategy to increase economic value of coral reef and reef fish are by providing opportunities for mariculture and marine tourisms in this region. However, to maintain coral reef area was needed surveillance, human education and provisions instrument friendly fishing gears as first priority. Key Words : fishing gears, impact, coral reef , Abang islands, Batam,
KAJIAN DAMPAK PENGGUNAAN ALAT TANGKAP IKAN DI TERUMBU KARANG KELURAHAN PULAU ABANG, KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM.
CICIK KURNIAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
:
Nama
:
Kajian Dampak Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Terumbu Karang Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam Cicik Kurniawati
NIM
:
C252070274
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Ario Damar, M.Si Ketua
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 13 Oktober 2009
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tulungagung, Jawa Timur pada tanggal 20 Juli 1971 sebagai anak keempat dari enam bersaudara, pasangan Bapak Fauzan Dwijowijono (Alm) dan Ibu Fatimah. Pendidikan S-1 diselesaikan tahun 1995 di Universitas Brawijaya Malang Fakultas Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan, Program Studi Manajemen Sumber daya Perairan. Pada tahun 2005, penulis mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kota Batam hingga saat ini. Penulis saat ini bekerja sebagai staf di Dinas Kelautan Perikanan Pertanian dan Kehutanan Kota Batam. Pada tahun 2007 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor atas beasiswa COREMAP II. Penulis memilih Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan (SPL) dan menyelesaikannya pada Oktober 2009.
PRAKATA
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul ”Kajian Dampak Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Terumbu Karang Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari Tesis ini maasih banyak kekurangan sehingga kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1.
Bapak Dr Ir. Ario Damar M.Si dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc, yang telah memberi bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan tesis ini.
2.
Bapak Dr Ir. Mukhlis Kamal M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dari Ketua Program Studi yang telah berkenan menjadi dosen penguji.
3.
COREMAP II yang telah memberikan kesempatan belajar melalui program beasiswa 2007.
4.
Rekan – rekan seperjuangan di lokasi Penelitian Dondy Arafat, Panji Nugraha. Jurianto, Bang Wan, Budy Hartono, dan Harlym atas kerjasama yang kompak selama pengambilan data di lapangan.
5.
Teristimewa Suamiku (Heru Sujarwo) dan Putriku (Bella) yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi dalam penyelesaian studi ini.
6.
Kepada orang tuaku dan kakak-adikku yang telah memberikan doa serta dukungan yang tak pernah surut.
7.
Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi SPL SANDWICH, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, 13
Oktober 2009
Cicik Kurniawati
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA .....................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ........................................ .................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiiii 1
2
3
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang ................................................................................ Perumusan Masalah ........................................................................ Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ Kerangka Pemikiran ……………………………………………….
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
6
2.1 Terumbu Karang .............................................................................. 2.2 Alat tangkap ikan di terumbu karang .............................................. 2.2.1 Kelong Pantai ( trap) ………………………………………. 2.2.2 Bubu (Trap) ……………………………………………….. 2.2.3 Pancing ( Handline) ……………………………………….. 2.3 Dampak Penggunaan Alat Tangkap di Terumbu Karang ................ 2.4 Teknik penangkapan ikan ...............................................................
6 8 8 9 12 12 16
METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
18
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
18 20 20 21 22 22 23 24 24 25 25 26 26 27
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... Alat yang digunakan ........................................................................ Jenis dan Sumber data ..................................................................... Pengumpulan Data .......................................................................... Metode Analisis Data ...................................................................... 3.5.1 Pengamatan tutupan karang..................................................... 3.5.2 Pengamatan Ikan karang ....................................................... 3.5.2.1 Kelimpahan ............................................................. 3.5.2.2 Keanekaragaman .................................. ................. 3.5.2.3 Keseragaman ........................................................... 3.5.2.4 Dominansi ....................... ....................................... 3.5.3 Evaluasi Alat Penangkapan Ikan ........................................... 3.5.4 Dampak penggunaan Alat Tangkap Ikan ............................. 3.5.5 Arahan Strategi Penggunaan alat tangkapdi Terumbu karang
4
HASIL PENELITIAN ..........................................................................
31
4.1 Gambaran umum lokasi penelitian .................................................. 4.1.1 Keadaan administrasi ............................................................ 4.2.2 Sosial Ekonomi ..................................................................... 4.2.2.1 Mata pencaharian masyarakat ................................. 4.2.2.2 Pendapatan ............................................................... 4.2.2.3 Pemasaran dan Pasca panen .................................... 4.2 Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang .................................... 4.2.1 Kondisi Terumbu karang ..................... ............................ 4.2.1.1 Stasiun I ..... ......................................................... 4.2.1.2 Stasiun II .......................... .................................... 4.2.1.3 Stasiun III ..................................... ........................ 4.2.1.4 Stasiun IV .............................. ................................ 4.2.1.5 Stasiun V ................................................................. 4.2.1.6 Stasiun VI .................................... ......................... 4.2.2. Keberadaan Ikan di terumbu Karang ............. .................... 4.3 Evaluasi pengoperasian jenis – jenis alat tangkap ikan ................... 4.3.1 Kelong Pantai ............... ...................................................... 4.3.2 Bubu ................................ ................................................... 4.3.3 Pancing ................................................................................ 4.3.4 Musim dan Daerah Penangkapan ............. .......................... 4.3.4 Isu dan Permasalahan dalam Penangkapan ikan .................. 4.4 Dampak kegiatan penangkapan ikan di terumbu karang ................. 4.5 Hasil Analisis SWOT dan AHP .......................................................
31 31 32 32 33 34 35 35 36 36 37 38 38 39 42 46 47 48 48 49 52 52 54
PEMBAHASAN ....................................................................................
61
5.1 Kondisi Terumbu Karang …………………………………………. 5.2 Keberadaan ikan …………………………………………………. 5.3 Dampak kegiatan Penangkapan ikan di Terumbu Karang………… 5.3.1 Pancing …… ………………………………………………. 5.3.2 Bubu ……………………………….………………………. 5.3.3 Kelong Pantai …………………… …..…………………… 5.4 Strategi Penggunaan alat tangkap di terumbu karang ……………. 5.4.1 Strategi Kelemahan Peluang ………….. ………………… 5.4.2 Strategi Kekuatan Ancaman ……………………………… 5.5 Prioritas Pengelolaan Sumberdaya Perikanan …………………….
61 64 67 67 69 71 73 74 75 77
KESIMPULAN .....................................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
83
LAMPIRAN . ..................................................................................................
90
5
6
DAFTAR TABEL Halaman 1
Alat yang digunakan dalam Pengambilan data .......................................... 20
2
Data Primer dan sekunder yang dikumpulkan…………………………... 21
3
Jumlah responden......................................................................................
22
4
Klasifikasi indeks Shanon.........................................................................
24
5
Klasifikasi indeks keseragaman................................................................
25
6
Bentuk matrik IFAS dan EFAS dalam analisis SWOT............................. 29
7
Bentuk matrik SWOT................................................................................ 29
8
Jenis mata pencaharian dan persentase di Kelurahan Pulau Abang..........
9
Pedapatan masyarakat Kelurahan Pulau Abang......................................... 33
10
Persen tutupan karang di semua lokasi penelitian.....................................
41
11
Rerata jumlah individu ikan per transek...................................................
42
12
Hasil data pengamatan keberadaan ikan...................................................
44
13
Kelimpahan ikan karang............................................................................
44
14
Indeks keberadaan ikan.............................................................................. 45
15
Jenis alat tangkap yang dioperasikan di Pulau Abang............................... 46
16
Musim Penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Abang............................... 50
17
Dampak penggunaan alat tangkap ikan.....................................................
18
Matrik External Factor Analysis Summary EFAS...................................... 54
19
Matrik internal Factor Analysis Summary IFAS....................................... 55
20
Matrik SWOT............................................................................................. 56
33
53
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir perumusan masalah ..............................................................
5
2
Kelong Pantai di Perairan Kelurahan Pulau Abang ...................................
9
3
Pengoperasian bubu ( Trap) kawat di Kelurahan Pulau Abang ................. 10
4
Peta Lokasi penelitian ................................................................................ 19
5
Lokasi fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang............................ 40
6
Rata-rata tutupan Karang berdasarkan jenis alat tangkap .......................... 41
7
Pola sebaran ikan dan prosentase tutupan karang ..................................... 43
8
Grafik Kelimpahan ikan di setiap stasiun pengamatan .............................. 45
9
Kerangka Analitical Hierarchi Process (AHP) .......................................... 57
10
Bobot kriteria SWOT ................................................................................. 58
11
Bobot sub kriteria peluang ......................................................................... 59
12
Bobot Prioritas strategi pengelolaan perikanan ......................................... 60
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Foto – foto Kondisi Terumbu Karang di Stasiun I ................................
90
2
Foto – foto Kondisi Terumbu Karang di Stasiun II ...............................
91
3
Foto – foto Kondisi Terumbu Karang di Stasiun III ..............................
92
4
Foto – foto Kondisi Terumbu Karang di Stasiun IV......................... ......
93
5
Foto – foto Kondisi Terumbu Karang di Stasiun V ........................ ......
94
6
Foto – foto Kondisi Terumbu Karang di Stasiun VI ....................... ......
95
7
Data pengamatan frekuensi keberadaan ikan di terumbu karang..………
96
8
Kelimpahan individu ikan karang .............................................................. 98
9
Hasil kuesioner .......................................................................................... 99
10
Hasil Analisis AHP .................................................................................. 101
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau – pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan / pendapatan yang lain kecuali dari hasil laut. Salah satu wilayah laut yang merupakan daerah penangkapan ikan bagi masyarakat pulau – pulau kecil atau pesisir adalah perairan ekosistem terumbu karang (Dahuri, 2003). Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO3), dihasilkan oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan alga zooxantella (Barness 1999; Nyibakken, 1992). Terumbu karang mempunyai nilai penting antara lain fungsi biologis (tempat memijah, bersarang, mencari makan dan tempat pembesaran berbagai biota laut); fungsi kimia (sumber nuftah bahan obat-obatan); fungsi fisik (sebagai pelindung pantai dari abrasi); dan fungsi sosial (sumber mata pencaharian nelayan dan objek wisata bahari) (Supriharyono, 2007). Kelurahan Pulau Abang merupakan salah satu kelurahan yang dimiliki Kota Batam yang terdiri darai beberapa pulau kecil dari keseluruhan yang berjumlah 325 pulau (Dinas Kelautan Kota Batam 2007). Sebagian besar mata pencaharian penduduk Pulau Abang adalah sebagai nelayan. Tujuan penangkapan utama nelayan di daerah ini adalah jenis–jenis ikan karang yang terdapat di hampir semua perairan Kelurahan Pulau Abang. Berdasarkan informasi nelayan Pulau Abang bahwa pada tahun 2005 hasil tangkapan mereka mulai menurun, hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya kerusakan terumbu karang di perairan sekitar Pulau Abang. Berdasarkan hasil penelitian LIPI tahun 2004 di Pulau Abang, menerangkan bahwa prosentase tutupan karang hidup 0.00 – 55.86 % dengan rerata tutupan karang hidup 20.30 % atau mencakup 3.7214 Km² yang meliputi P.Abang Besar, P. Abang Kecil, P. Petong, P. Dedap dan P. Pengelap dan pulau – pulau kecil diantaranya.
2
Semakin meningkatnya permintaan ikan karang dengan harga yang tinggi mengakibatkan tingkat eksploitasi di daerah sekitar terumbu karang juga semakin meningkat. Apabila kondisi ini terus menerus dibiarkan, maka beberapa tahun mendatang dapat menyebabkan sebagian besar terumbu karang di wilayah Kelurahan Pulau Abang akan mengalami kerusakan yang serius dan akan berdampak pada menurunnya produktifitas perairan tangkap di sekitar terumbu karang. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh beberapa faktor : (1) sifat biologis seperti predasi, kompetisi dan ledakan phytoplankton, (2) mekanis seperti arus yang kuat, sedimentasi, vulkanik dan perubahan temperatur yang tinggi , dan (3) aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan terumbu karang diantaranya adalah aktivitas penangkapan ikan menggunakan bahan peledak atau sianida (Supriharyono, 2007). Di Kota Batam penyebab utama kerusakan dan penurunan kualitas terumbu karang diduga paling banyak berasal dari penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, penambangan karang dan sedimentasi. Penangkapan ikan dengan cara yang merusak meliputi penggunaan dinamit sebagai alat pengebom, penggunaan sianida sebagai racun, teknik muro-ami dan jaring penangkap ikan merusak. Pengeboman terumbu karang dengan maksud mendapatkan ikan merupakan praktek yang umum di seluruh laut Indonesia. Sianida sebagai racun sering digunakan untuk menangkap ikan-ikan ornamental (untuk hiasan akuarium laut) di banyak wilayah di Indonesia. Aktivitas kapal dari nelayan dan kegiatan olah raga air serta wisata bahari juga menyebabkan kerusakan terumbu karang, pembuangan jangkar kapal dan aktivitas berjalan-jalan di atas karang, coral cleaning (menangkap ikan pada waktu air surut di kawasan terumbu karang) dan kegiatan wisata bahari. Dampak yang dirasakan masyarakat nelayan setempat adalah semakin jauhnya daerah penangkapan ikan yang dulunya berada di sekitar pulau yang mereka tempati ke pulau – pulau lain yang kondisi karangnya masih cukup baik. Bercermin dari fenomena dunia perikanan Indonesia dan kaitannya dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, maka gagasan untuk melahirkan suatu teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan menjadi sebuah keniscayaan. Karena, hal ini akan
3
menjadi solusi alternatif untuk menengahi problem dilematis Indonesia ( Dahuri et al, 1996). Menurut Sarmintohadi (2002) agar usaha penangkapan ikan di sekitar terumbu karang tetap terjaga dan berkesinambungan , maka kondisi ekosistem terumbu karang yang ada harus tetap dipertahankan. Dengan mengacu pada konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang yang ada maka perlu dikembangkan penggunaan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan, sehingga ekosistem terumbu karang tetap terjaga dan usaha penangkapan yang merupakan mata pencaharian utama mayarakat dapat berkesinambungan.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, rumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1 Bagaimana status penutupan terumbu karang di Pulau Abang ? 2 Bagaimana pengoperasian alat tangkap di terumbu karang Pulau Abang? 3 Adakah dampak
kegiatan
penangkapan terhadap kerusakan terumbu
karang? 4 Bagaimana tehnik penggunaan alat – alat tangkap ikan ramah lingkungan yang dapat diimplementasikan di terumbu karang? Diagram alir perumusan masalah seperti pada gambar 1.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Mengetahui status penutupan terumbu karang dan keberadaan ikan karang di Kelurahan Pulau Abang Kota Batam. 2. Mengevaluasi jenis – jenis alat tangkap yang dioperasikan di kawasan terumbu karang Kelurahan Pulau Abang Kota Batam. 3. Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap di terumbu karang. 4. Menyusun arahan tehnik penggunaan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan untuk dikembangkan khususnya di kawasan Pulau Abang Kota Batam.
terumbu karang
4
Manfaat penelitian adalah ; 1. Memberikan informasi tentang kondisi penutupan terumbu karang, keberadaan ikan dan dampak alat tangkap yang digunakan
di kawasan
terumbu karang Pulau Abang Kota Batam. 2. Sebagai bahan dan informasi terbaru bagi pemerintah daerah setempat untuk menyusun program kerja perikanan di Kelurahan Pulau Abang.
1.4 Kerangka Pemikiran Ekosistem terumbu karang di perairan pesisir merupakan salah satu ekosistem
penting
penyumbang
kegiatan
sektor
perikanan.
Tingginya
produktifitas perikanan di daerah terunbu karang, mengakibatkan daerah ini mendapatkan tekanan penangkapan yang tinggi. Selain itu ekosistem ini merupakan habitat bagi beberapa jenis sumberdaya laut yang berharga tinggi baik di pasar lokal maupun pasar ekspor. Banyak nelayan yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam jangka pendek tanpa memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya dan dampak yang ditimbulkan terhadap habitat itu. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di indonesia , dan semakin langkanya sumberdaya di daratan, maka semakin banyak masyarakat yang mengalihkan mata pencahariannya ke sektor kelautan terutama sektor perikanan di wilayah terumbu karang. Kenyataan ini menyebabkan tingkat ekploitasi ikan di daerah terumbu karang juga semakin meningkat, sehingga dampak yang terjadi terhadap habitat terumbu karang juga semakin tinggi. Di Batam, kerusakan ekosistem terumbu karang diduga akibat aktifitas penangkapan yang bersifat destruktif semakin meningkat. Kondisi ini diperparah lagi dengan semakin maraknya penggunaan bahan peledak dan sianida untuk aktivitas penangkapan ikan. Dalam manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan hal yang perlu dipertimbangkan adalah dampak aktifitas penangkapan terhadap lingkungan dan aspek keberlanjutan usaha penangkapan terutama di daerah terumbu karang. Hal ini dilakukan karena ekosistem terumbu karang sangat rentan terhadap gangguan dari luar. Tingginya permintaan ikan karang dengan harga yang tinggi
5
mengakibatkan tekanan eksploitasi terhadap terumbu karang juga semakin meningkat. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di ekosistem terumbu karang harus mengacu pada pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah terhadap lingkungan serta memperhatikan aspek sumberdaya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak aktifitas penangkapan terhadap ekosistem terumbu karang adalah menggunakan jenis alat tangkap yang mempunyai dampak kecil terhadap ekosistem sehingga, aktifitas penangkapan di daerah terumbu karang dapat dilakukan secara berkesinambungan
Perairan Pulau Abang sebagai kawasan konservasi
Masyarakat Pulau Abang
Aktivitas Nelayan
Perubahan kondisi terumbu karang di pulau Abang
Fokus Penelitian
Evaluasi jenis alat tangkap ikan dan dampak yang ditimbulkan
Tehnik penggunaan alat penangkap ikan yang ramah lingkungan
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terumbu karang Terumbu karang (coral reef) merupakan salah satu ekosistem yang paling subur di dunia dan sangat mengagumkan, karena tumbuh dan berkembang dengan baik pada linkungan perairan yang memilki kondisi yang gersang. Ekosistem ini dibangun oleh berbagai organisme penghasil zat kapur
baik dari kelompok
tumbuhan maupun hewan (Thamrin, 2006). Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang unik yang terdapat di perairan tropis, umumnya ditandai dengan kekayaan jenis biota yang tinggi. Terumbu karang juga memiliki produktifitas yang tinggi di banding ekosistem yang lain (Nybakken, 1982). Istilah “karang” merupakan nama popular untuk anggota filum Antozoa dan Hidrozoa. Secara umum karang dapat dibedakan menjadi dua taksa yaitu karang keras yang terdiri dari Scleractinia dan Madreporaria, karang lunak filum Antozoa dan hidrokarang filum Hydrozoa. Kelas Scleractinian merupakan jenis hermitipik coral yang menyusun terumbu karang secara berkoloni.
Kelas ini dicirikan
dengan adanya skeleton keras dan simbiosis zooxantela (Frank dan Mokady, 2002; Schuhmacher, H. dan Zibrowius, H. 1985). Secara deskriptif terumbu karang merupakan kelompok kehidupan (komunitas) yang paling produktif dan paling beraneka ragam di muka bumi dan banyak dijumpai di laut tropis yang hangat, jernih, dan dangkal. Melalui simbiosis dengan alga bersel tunggal (zooxantellae), karang menjadi sumber produktifitas primer dalam komunitas terumbu karang (Pearse dan Muscatine 1971; Richmond, 1993). Pada kondisi lingkungan yang tidak normal, zooxanthellae dapat mengalami ekspulsi (keluar dari jaringan karang) sebagai
indikator stress pada karang.
Penelitian mengenai hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang telah banyak dilaporkan oleh beberapa author. Peristiwa pemutihan karang (bleaching) sebagai konsekuensi keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip karang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu, perubahan salinitas,
7
limbah panas, masukan lumpur, polusi minyak (Brown dan Howard, 1985), serta short-term sedimentasi (Philipp dan Fabricius, 2003). Terumbu karang memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai pelindung pantai dan sebagai habitat ikan karang. Ikan karang terdiri dari ikan konsumsi dan ikan hias. Sebagai habitat ikan karang, ekosistem ini merupakan tempat mencari makan tempat berlindung dan sabagai tempat asuhan. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antar ikan dan terumbu karang (Sukarno et al., 1981 ). Sumich (1992) menyebutkan pengelompokkan tipe-tipe terumbu karang berdasarkan tahap pembentukan formasi dari yang termuda, fringing reef, kemudian barrier reef, hingga yang terakhir atoll . 1.
Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.
2.
Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman 40 – 70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai.
3.
Atoll, merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang.memiliki terumbu Terumbu karang tersebar di laut dangkal baik daerah tropis maupun
subtropis, yaitu antara 35o LU dan 32o LS mengelilingi bumi. Garis lintang tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh. Dari berbagai belahan dunia, terdapat tiga daerah besar terumbu karang yaitu: laut Karibia, laut Hindia, dan Indo-pasifik. Di laut Karibia terumbu karang tumbuh di tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Di laut Hindia sebaran karang meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, teluk Aden, teluk Persia, teluk Oman. Sebaran karang di laut Pasifik meliputi laut Cina Selatan sampai pantai timur Australia, pantai Panama sampai pantai selatan teluk California (Suharsono, 1996). Namun menurut Connel (1978) tingginya keaneka ragaman jenis karang umumnya berada dalam kondisi yang tidak seimbang, yang mana apabila ada gangguan keaneka ragamannya akan turun. Keaneka ragaman
8
jenis karang yang tumbuh pada suatu area sangat dipengaruhi oleh kondisi dan tekanan lingkungan serta faktor-faktor pembatas lainnya. Sebaran karang tidak hanya terdapat secara horisontal, tetapi juga secara vertikal. Pertumbuhan, penutupan, dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan ekosistem terumbu karang antara lain: suhu, salinitas, cahaya, sedimentasi, arus dan gelombang (Suharsono, 1996).
2.2 Alat tangkap ikan di terumbu karang Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang telah lama dilakukan oleh manusia. Menurut sejarah sekitar 100.000 tahun yang lalu manusia telah melakukan penangkapan dengan menggunakan berbagai alat yang masih sangat tradisional yang terbuat dari berbagai jenis bahan seperti, batu, kayu, tulang dan tanduk (Sudirman, 2004). Menurut Ayodhyoa (1981), alat penangkap ikan bermacam-macam diantaranya adalah pancing, bubu dan trawl dasar. Jenis alat tangkap pada saat ini sudah mengalami perkembangan, sebagai contohnya untuk menangkap ikan karang alat tangkap ikan yang digunakan diantaranya adalah bubu, rawai dasar, handline (pancing ulur) dan bahan bahan beracun dan muroami. Beberapa tahun terkhir ini banyak ditemukan nelayan yang menggunakan bahan peledak dan bahan beracun untuk menangkap ikan karang. Cara menangkap ikan yang terakhir di sebutkan sangat berbahaya baik bagi kelestarian sumberdaya ikan karang, keselamatan habitat terumbu karang, maupun diri nelayan itu sendiri.
2.2.1 Kelong pantai (Trap) Kelong pantai juga disebut ” banjang”, ”bila”, ” belat”, ”sero”. Pada prinsipnya alat tangkap ini terdiri empat bagian penting yang masing –masing disebut : penajo(main fence), sayap (wing), badan (body) dan bunuhan (crib). Badan tersebut terdiri atas kamar – kamar. Banyaknya kamar- kamar bervariasi, tergantung dari ukuran kelong (Subani dan Barus, 1989) Sifat ikan umumnya berenang menelusuri pantai dan bila berpapasan dengan panajo ia cenderung akan membelok dan berenang menelusuri panajo ke
9
arah tempat yang lebih dalam dan akhirnya terperangkap masuk ke perangkap . Untuk kelong yang dipergunakan di pulau –pulau, pemasangan panajo tidak diletakkan secara tegak lurus dengan pantai tetapi justru sejajar dengan pantai (Subani dan Barus, 1989). Pemasangan kelong dapat dilakukan ditempat-tempat yang relatif dangkal artinya pada waktu air pasang tergenang air , sedang waktu surut tidak tergenang air dan dalam kesempatan ini sekaligus digunakan untuk mengambil hasil tangkapannya (Subani dan Barus, 1989).
Gambar 2. Kelong pantai di Perairan Pulau Abang Kota Batam 2.2.2 Bubu (Trap) Bubu merupakan alat tangkap dengan cara memerangkap ikan dengan atau tanpa bantuan umpan dan ikan masuk ke dalam perangkap secara sukarela dan tidak dapat meloloskan diri. Alat ini dirancang sedemikian rupa sehingga pintu masuk merupakan “pintu satu arah”, sehingga ikan bisa masuk tapi tidak mungkin keluar. Bubu bisa dibuat dari berbagai material seperti kayu, bambu, kawat besi (Von Brandt 1984). Bubu yang umum dipakai di perairan Indonesia adalah jenis bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakan bubu disela-sela karang atau tempat hunian ikan. Bubu merupakan alat tangkap pasif, tradisional yang berupa perangkap ikan dari bambu, rotan, kawat, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar (Martasuganda 2008).
10
Pengoperasian bubu dilakukan secara berkala beberapa hari di lokasi yang sama dan kemudian berpindah tempat selama beberapa hari dan seterusnya. Nelayan secara berkala pula, setiap hari mengangkat bubu untuk mengambil ikan dan mengganti umpan. Sebelum alat tangkap bubu dimasukkan kedalam perairan maka terlebih dahulu dilakukan penentuan daerah penangkapan. Daerah penangkapan tersebut didasarkan pada tempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan demersal, yang biasanya ditandai dengan banyaknya terumbu karang atau pengalaman dari nelayan (Sudirman 2004). Bubu dapat dioperasikan hampir disemua jangkauan kedalaman perairan, baik di perairan pedalaman, estuaria atau di perairan pantai, hingga di perairan dengan kedalaman beberapa ratus meter untuk tipe-tipe tertentu. Gambar (3)
Gambar 3. Pengoperasian bubu kawat di Perairan Pulau Abang Untuk menangkap ikan karang, bubu harus ditanam di karang. Itu artinya ada bagian karang yang harus dibongkar. Setelah beberapa waktu, bubu yang dipasang di tempat itu diangkat kembali. Akibatnya, rumah ikan tersebut jadi rusak (Sudirman 2004) Berdasarkan cara operasi penangkapan, bubu dibagi menjadi 3 jenis yaitu, bubu dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish pots) dan bubu hanyut (drift fish pots). Bubu yang paling banyak digunakan dalam perikanan Indonesia adalah bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakan bubu diela-sela karang atau tempat hunian ikan. Sesuai dengan namanya, ikan yang tertangkap dengan alat ini adalah ikan dasar, ikan karang (termasuk kerapu dan kakap merupakan ikan-ikan demersal) dan udang (Subani dan Barus 1989).
11
Subani dan Barus (1989), menyatakan bahwa Bentuk dari bubu bermacammacam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjakan (kubus), atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lain-lainnya. Secara garis besar bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel) berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan bagaian tempat pengambilan hasil tangkapan. Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, bubu dipasang secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu bubu dengan satu pelampung. Cara kedua dipasang secara bergandengan (umumnya bubu ukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tali utama, sehingga cara ini dinamakan “longline trap”. Untuk cara kedua ini dapat dioperasikan beberapa bubu sampai puluhan bahkan ratusan bubu. Biasanya dioperasikan dengan menggunakan kapal yang bermesin serta dilengkapi dengan katrol. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang- karang atau bebatuan (Subani dan Barus 1989). Bubu sendiri dalam operasionalnya untuk laut dalam (bubu dasar) sering dipakai benda berupa umpan untuk menarik perhatian ataupun dilepas tanpa menggunakan umpan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tertarik oleh bau umpan, dipakai untuk tempat berlindung, sebagai tempat istirahat sewaktu ikan bermigrasi dan karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri (Monintja dan Martasuganda 1991). Monintja dan Martasuganda (1991) mengemukakan bahwa bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan, antara lain : (1) pembuatan bubu mudah dan murah; (2) mudah dalam pengoperasiannya; (3) hasil tangkapan diperoleh dalam keadaan segar; (4) tidak merusak sumberdaya, baik secara ekologi maupun teknik; (5) biasanya dioperasikan di tempat-tempat yang ada tangkap lain
12
Selain merancang dan melakukan penyediaan teknologi kelautan yang berhubungan dengan nelayan, sebagai langkah awal menuju perbaikan sector kelautan dan perikanan adalah melalui peningkatan wadah kelembagaan masyarakat pesisir. Teknologi yang diintroduksi adalah bubu besi yang dilengkapi dengan, perahu motor, tali, katrol dan pelampung tanda, kesemuanya ini untuk peningkatan usaha nelayan dan pendapatan, (Monintja dan Martasuganda 1991).
2.2.3 Pancing (handline) Pancing merupakan alat penangkap ikan yang umum digunakan oleh nelayan di Indonesia. Berbagai modifikasi dilakukan yang disesuaikan dengan lokasi dan tujuan penangkapannya. Alat penangkap ikan karang yang biasa digunakan oleh nelayan adalah pancing ulur atau handline. Pancing merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang terdiri atas rankaian tali temali yang bercabang dan pada tiap ujungnya diikatkan sebuah pancing. Karena diopeasikan di dasar perairan, maka jenis rawai ini dinamakan rawai dasar (Sadhori 1985) Pancing (handline) adalah tipe pancing yang digunakan untuk menangkap ikan yang hidup didasar perairan, sehingga bentuk pancing ini agak berbeda dengan rawai tuna. Perbedaaannya adalah jenis bahan yang digunakan dan cara pengoperasiannya (Sudirman 2004). Pancing perairan karang digunakan pada perairan yang dasarnya terdapat karang, atau terumbu karang yang memungkinkan mata pancing mudah tersangkut atau terbelit di karang. Pada pancing perairan karang terdapat modifikasi pada bahan tali cabang, yaitu tali cabang dibungkus dengan bahan kuralon sehingga posisi tali cabang tegak secara vertikal. Modifikasi ini dapat mengurangi peluang tersangkutnya mata pancing pada terunbu (Subani dan Barus 1988).
2.3 Dampak Penggunaan Alat Tangkap di terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis. Keberadaannya dibatasi oleh parameter suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan (Mawardi 2003).
13
Kawasan terumbu karang Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar dilihat dari produktifitas, keanekaragaman biota dan estetikanya. Sumberdaya ini dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan keberlanjutannya dan kelestariannya. Upaya pemanfaatan yang optimal perlu dilakukan agar dapat menunjang pembangunan secara berkelanjutan, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan negara (Mawardi 2003). Kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini terancam rusak dan sebagian besar bahkan sudah rusak karena operasi penangkapan ikan yang tidak berwawasan lingkungan, pemanenan yang berlebihan, Limbah cair, sampah, pengendapan lumpur dari sungai, budidaya pertanian, pertambangan dan polusi industri, aktivitas tourism, konstruksi pantai dan pemanasan global (Mawardi 2003). Di pesisir dan lautan, kegiatan manusia seperti penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak, pengerukan di sekitar terumbu karang, penangkapan ikan dengan bahan peledak (Bengen D.G 2001), lalulintas pelayaran, pertambakan dan lainnya telah menimbulkan masalah besar bagi kerusakan terumbu karang. Sebagai contoh kegiatan pelayaran di Teluk Jakarta, Selat Malaka, Semarang, Surabaya, Lhokseumawe dan Balikpapan sudah memprihatinkan. Konsentrasi logam berat Hg di perairan Teluk Jakarta pada tahun 1977-1978 berkisar antara 0.002-0.35 ppm (Dahuri R.et al. 1996). Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida) mengakibatkan ikan pingsan, mematikan ikan tanpa dikriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang. Penangkapan ikan dengan ba-han peledak akan memati-kan karang dan biota avertebrata. (Bengen D.G. 2001), Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun sianida, dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan. pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi tanah akibat meningkatnya erosi dari lahan atas. Kegiatan perikanan destruktif ini tidak hanya dilakukan oleh nelayan tradisional, tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan juga nelayan
14
asing yang melakukan kegiatan pencurian ikan di perairan nusantara (Mastra 2003). Faktor internal yang mempunyai dampak terhadap terumbu karang diantaranya adalah penggunaan teknologi, alat dan bahan tangkap yang merusak. Armada dan alat tangkap yang digunakan berkembang cukup pesat, terutama setelah adanya akses transportasi, khususnya laut, Terbukanya akses ini menandai dimulainya transaksi ekonomi, khususnya penjualan hasil produksi perikanan yang memberikan kemampuan bagi nelayan untuk membeli dan mengembangkan armada dan alat tangkap (Mastra 2003). Mulanya nelayan hanya menggunakan armada dan alat tangkap yang sangat sederhana, yaitu perahu dayung dan beberapa perahu motor dengan alat yang utama, yaitu: pancing, bubu dan jaring (serok). Dengan terbukanya akses transportasi dan pasar, maka semakin banyak nelayan yang membeli dan/atau menguasai armada tangkap dengan teknologi dan kapasitas yang lebih tinggi, seperti motor tempel dan kapal motor. Demikian juga dengan alat tangkap dan bahan yang digunakan semakin bervariasi, seperti: bom, berbagai jenis pancing, jaring dan bagan. Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak
Bom Meskipun penggunaan bom ikan telah dilarang, tetapi disinyalir praktek penangkapan dengan alat dan bahan ini masih berlangsung. Menurut narasumber pemakaian bom mulai berkurang yang diindikasikan bunyi ledakan bom sudah tidak terdengar lagi di kampung-kampung yang berdekatan. Tetapi bukan berarti bahwa perairan ini sudah bebas dari kegiatan pengeboman. Kegiatan ini masih ada, tetapi sudah sangat berkurang dan sulit diidentifikasi karena semakin jauh dari permukiman dan wilayah tangkap nelayan lokal. Kegiatan pengeboman ikan masih dilakukan oleh nelayan dari luar, seperti nelayan dari Madura dan Jawa. Menurut Mc.Collan et al (2008) bahwa kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh bom merupakan salah satu penyebab kerusan terumbu karang terbesar di wilayah Asia Tenggara. Selain itu bom juga menyebabkan banyaknya rubble di ekosistem terumbu karang sehingga merusak tutupan karang (Raymundo et al. 2007).
15
Penggunaan bom di perikanan karang di Indonesia sudah merebak, sudah seharusnya mempertimbangkan penggunaan alat tangkap tradisional untuk menjaga kelestarian terumbu karang (Erdmann 1995).
Potas Sebagian kecil nelayan masih menggunakan racun potas untuk menangkap ikan. Potas terutama digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang yang mempunyai harga jual tinggi. Meskipun penggunaan potas sulit untuk dideteksi, menurut beberapa nelayan lokal, mereka kadangkala melihat nelayan luar menggunakan potas di perairan.
Bubu Bubu adalah alat untuk menangkap ikan-ikan karang. Penggunaan alat tangkap bubu dapat merusak terumbu karang, karena sebagian alat ini diletakkan di sekitar karang dan diberi pemberat yang juga berasal dari batu karang. Faktor eksternal yang mempunyai dampak terhadap terumbu karang antara
lain adalah meningkatnya permintaan, lemahnya pengawasan dan adanya konflik kepentingan. Permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap jenis-jenis ikan karang hidup secara tidak langsung juga memicu kerusakan terumbu karang bisnis yang sangat menguntungkan ini, apabila tidak dipantau akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekologis. Pemanfaatan sumber daya laut di wilayah perairan melibatkan berbagai pihak. Berbagai stakeholders, dengan kepentinganya masingmasing terlibat dalam pemanfaatan sumber daya laut di wilayah ini. Dalam kegiatan pemanfaatan oleh para stakeholders tersebut tidak hanya menimbulkan persaingan antar mereka, tetapi juga memicu adanya konflik. Konflik tersebut muncul tidak hanya dikarenakan oleh adanya persaingan karena mempunyai kepentingan yang sama, tetapi juga dikarenakan perbedaan kepentingan yang mencolok (Mastra 2003). Dari berbagai rilis penelitian dan beberapa analisa lapangan, tergambar bahwa laut dan utamanya terumbu karang telah lama menjadi media sosial, budaya dan ekonomi. Selain fungi sosial budaya, seperti aturan budaya sasi di Maluku, laut atau terumbu karang juga menyimpan nilai ekonomi yang sangat besar. Penggunaan bahan peledak, racun sianida dan pengambilan batu karang,
16
hanya akan memberikan keuntungan jangka pendek pada beberapa orang pengusaha bermodal besar saja, tetapi merugikan seluruh masyarakat pada masa datang (Aziz 2008). Penangkapan ikan dengan bius memberikan manfaat sebesar 33.000 dolar AS per kilometer persegi terumbu karang dalam jangka waktu analisis sekitar 25 tahun. Tetapi kerugian yang ditimbulkan akibat penurunan hasil tangkapan dan pariwisata sebesar 43.000 - 476.000 dolar AS per tahun perkilo meter persegi. Manfaat yang didapat perorangan dari penangkapan dengan bahan peledak hanya 15.000 dolar AS, tetapi kerugiannya mencapai 98.000-761.000 dolar AS per kilometer perseginya, karena fungsi daya dukung perikanan menurun, fungsi perlindungan pantai hilang dan fungsi pariwisata habis (Aziz 2008). 2.4 Teknik Penangkapan ikan Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang telah lama dilakukan oleh manusia. Menurut sejarah sekitar 100.000 tahun yang lalu manusia telah melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan tangan kemudian profesi ini berkembang terus secara perlahan-lahan dengan menggunakan berbagai alat yang masih sangat tradisional yang terbuat dari berbagai jenis bahan seperti batu, kayu, tulang dan tanduk (Sudirman 2004). Jenis alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan di daerah terumbu karang diantaranya adalah bubu, pancing, dan muroami. Beberapa tahun terakhir banyak ditemukan nelayan yang menggunakan bahan peledak dan bahan – bahan beracun untuk menangkap ikan karang. Cara menangkap ikan yang demikian sangat berbahaya baik bagi kelestarian sumberdaya ikan karang, keselamatan habitat terumbu karang, maupun diri nelayan itu sendiri (Sarmintohadi 2002). Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu banyak dilakukan dihampir seluruh dunia mulai dari yang skala kecil, menengah sampai sampai dengan yang skala besar. Untuk skala kecil dan menengah banyak dilakukan di perairan pantai hampir di seluruh Negara yang masih belum maju system perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan di Negara yang sudah maju system perikanannya. Perikanan bubu skala kecil ditujukan untuk
17
menangkap kepiting, udang, keong dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam (Martasuganda 2008). Menurut
Martasuganda
(2008)
bahwa
yang
dimaksud
teknologi
penangkapan ikan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap yang dipergunakan untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan. Agar usaha penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan dapat berjalan secara berkesinambungan setiap orang yang menjalankan usaha penangkapan wajib mengelola lingkungan secara terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan pengawasan, pengendalian dan pemulihan. Sarmintohadi (2002) mengungkapkan bahwa hal yang dipertimbangkan dalam manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama di daerah terumbu karang adalah dampak aktifitas penangkapan terhadap lingkungan dan aspek keberlanjutan usaha penangkapan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak aktifitas penangkapan terhadap ekosistem terumbu karang adalah menggunakan jenis alat tangkap yang mempunyai dampak yang kecil terhadap ekosistem, sehingga aktifitas penangkapan di daerah terumbu karang dapat dilakukan secara berkesinambungan. Menurut Monintja (1996) dan Arimoto, et al. (1999), penangkapan ikan ramah lingkungan memiliki beberapa ciri antara lain: a. Memiliki selektivitas yang tinggi. b. Tidak merusak habitat/ekosistem, misalnya ekosistem terumbu karang. c. Tidak membahayakan keanekaragaman hayati dan tidak menangkap spesies yang dilindungi. d. Tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target. e. Tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di perairan Kelurahan Pulau Abang dan sekitarnya Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Cakupan wilayah penelitian terdiri dari satu kelurahan yang terletak di beberapa pulau, yaitu Pulau Abang kecil, Pulau Lintah, Pulau Dedap, Pulau Karang hantu, Pulau Sepintu, Pulau Elong dan Pulau Pengelap (Gambar 4). Pengambilan data di perairan terdiri dari 6 stasiun penelitian, dimana setiap stasiun mewakili kondisi lapangan yang sesuai dengan kebutuhan data. Lokasi penelitian tiap titik mewakili tempat fishing ground alat tangkap yang berbeda. Setiap satu jenis alat tangkap diambil datanya di dua lokasi. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Posisi titik stasiun penelitian adalah sebagai berikut : 1)
Stasiun I terletak di dekat Pulau Lintah pada posisi 00º28.885’ LU dan 104º16.553’BT.
2)
Stasiun II terletak di dekat Pulau Hantu pada posisi 00º32.167’ LU dan 104º15.196’ BT.
3)
Stasiun III terletak di dekat Pulau Dedap dan Pulau Pengelap pada posisi 00º30.081’ LU dan 104º16.980 BT.
4)
Stasiun IV terletak di dekat Pulau Abang kecil pada posisi 00º32.286’ LU dan 104º14.321’ BT
5)
Stasiun V terletak di dekat Pulau Hantu pada posisi 00º31.984’ LU dan 104º15.170’ BT.
6)
Stasiun VI terletak di dekat Pulau Sepintu pada posisi 00º31.466’ LU dan 104º14.132’ BT. Peta lokasi penelitian di Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota
Batam secara lengkap disajikan pada gambar 4. Pengambilan data penelitian berlangsung dari bulan April 2009 sampai dengan bulan Juni 2009. Analisa dan sekaligus penyusunan laporan tesis dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2009.
Sumber : data primer
Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Kelurahan Pulau Abang Kota Batam 19
20
3.2 Alat yang digunakan Alat- alat yang digunakan selama pengambilan data di lapangan seperti terlihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Alat- alat yang digunakan selama pengambilan data No 1.
Alat
Alat selam ( SCUBA)
Fungsi Alat bantu untuk pengamatan terhadap karang dan ikan karang
2.
GPS
Mengetahui posisi titik/stasiun pengamatan
3.
Line Transek
Mengamati terumbu karang
4.
Alat tulis anti air
Alat tulis selama menyelam
5.
Tali
Sarana Penunjang
6.
Pelampung
Tanda posisi pengamatan di permukaan air
7.
Buku identifikasi ikan
Pengamatan jenis ikan karang
8.
Kamera
Dokumentasi
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data dalam pengamatan di lokasi penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Secara garis besar sumber data primer yang diambil ada dua yaitu data kondisi tutupan karang serta jenis ikan karangnya dan data jenis alat tangkap yang digunakan nelayan di perairan karang. Data sekunder yang diambil meliputi kondisi umum lokasi dan data demografi penduduk. Data primer dan data sekunder diperoleh baik secara langsung (data primer) maupun tidak langsung (data sekunder). Data primer dikumpulkan melalui estimasi visual, pengamatan atau observasi, pengisian kuisioner, serta wawancara mendalam (indeep interview) secara langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari penelusuran pustaka, jurnal atau laporan penelitian, serta data statistik perikanan dari Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan Kota Batam, data dari kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh proyek COREMAP II yang terbaru. Secara lengkap data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
21
Tabel 2 Data primer dan data sekunder yang dikumpulkan saat penelitian No
Data Primer
Data Sekunder
1.
Penutupan terumbu karang
Data demografi masyarakat
2.
Pengamatan kelimpahan jenis ikan
Data wilayah administrasi
3.
Metode dan Jenis alat tangkap ikan
Data kondisi Perikanan
4.
Dampak penangkapan ikan
3.4 Pengumpulan data Metode penentuan titik stasiun untuk sumber data kondisi tutupan karang dilakukan secara purposive sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu. Pertimbangan – pertimbangan yang diambil antara lain : (1) titik stasiun penelitian merupakan daerah penangkapan ikan karang (fishing ground) oleh nelayan setempat, (2) cakupan lokasi penelitian yang cukup luas, yaitu berupa gugusan pulau dimana jarak antar pulau berjauhan sehingga faktor transportasi, waktu dan biaya merupakan hal yang harus diperhatikan, (3) disesuaikan dengan lokasi COREMAP. Metode penarikan contoh responden nelayan penangkap ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam dilakukan secara acak sederhana. Metode penarikan contoh secara acak sederhana dilakukan karena mayoritas penduduk Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam bekerja sebagai nelayan sehingga data responden yang didapat relatif homogen. Pemilihan responden juga dilakukan terhadap tokoh masyarakat serta para pakar yang berkompeten di bidang perikanan dan yang mengetahui keadaan perikanan di lokasi studi untuk analisis SWOT dan AHP. Hal tersebut bertujuan agar semua stakeholder dari semua lapisan dapat terwakili (aparat pemerintah, akademisi atau ahli, swasta, tokoh masyarakat dan nelayan). Pemilihan responden untuk analisis SWOT dan AHP dilakukan secara purposive sampling. Jumlah nelayan sebanyak 30 orang, menurut J Supranto bahwa jumlah responden minimal untuk penelitian kualifikasi, sedangkan untuk SWOT dan AHP masing –masing 8 orang, meliputi responden dari guru, kepala sekolah, lurah, pihak swasta dan nelayan. Secara lengkap jumlah responden terdapat pada table 3 dibawah ini.
22
Tabel 3 Jumlah responden (orang) pada saat penelitian di kelurahan Pulau Abang. Nelayan
Responden SWOT
Responden AHP
15 orang dari P. Abang kecil 2 guru
1 Kepala Dinas Perikanan
9 orang dari P. Petong
1 kepala sekolah
2 Kabid Dinas Perikanan
6 orang dari P Air saga
1 lurah
2 orang pihak swasta
2 staf kelurahan
3 Akademisi / LSM
2 pihak swasta Jumlah : 30
jumlah : 8
jumlah : 8
3.5 Analisa Data 3.5.1 Pengamatan Tutupan Karang Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode LIT (line intercept transect). Metode ini mempunyai keuntungan yang lebih dalam hal mencatat
semua
jenis
(termasuk
yang
tersembunyi)
dan
mengurangi
terabaikannya pencatatan beberapa koloni. Pada titik stasiun yang telah ditetapkan data dicatat dengan menggunakan metode ”Line Intercept Transect” (LIT) mengikuti English et al. (1997), dengan beberapa modifikasi. Untuk memudahkan pekerjaan di bawah air, seorang penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 50 m sejajar garis pantai atau tegak lurus garis pantai pada kedalaman 5 m karena disesuaikan dengan kondisi di lapangan yang kedalamannya antara 7-8 m. Posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga ke sentimeter. Dari data transek garis tersebut bisa dihitung nilai persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat yang berada di bawah garis transek. Persentase tutupan karang batu dihitung dengan rumus : tutupan karang (cm2) Persentasetutupan karang
=
ukuran transek (cm2)
Persentase total tutupan karang hidup yang diperoleh selanjutnya dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988), sebagai berikut ; a)
0 – 24.9%
:
penutupan karang kategori buruk
23
b)
25 – 49.9%
:
penutupan karang kategori sedang
c)
50 – 74.9%
:
penutupan karang kategori baik dan
d)
75 – 100%
:
penutupan karang kategori sangat baik.
3.5.2 Pengamatan ikan karang Metode yang dilakukan dalam pengamatan ikan karang adalah underwater visual census. Selama melakukan pengamatan Peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan karang, pengamatan terhadap ikan karang lebih difokuskan pada kelompok species target (ikan konsumsi), ikan indicator dan ikan mayor. Pengamatan ikan karang ditunjang dengan buku identifikasi ikan karang dari Steene dan Allen (1994) ; Allen et al. (1996); Lieske and Meyers (1997). Pengamatan dilakukan sepanjang garis transek 50 m pada kolom air dengan jarak pandang 5m ke kiri dan ke kanan. Pengamatan ikan karang dilakukan dengan cara menyelam. Hal tersebut bertujuan agar peneliti dapat memperoleh data yang lebih valid. Keberadaan ikan karang yang ditemui sepanjang garis transek selanjutnya langsung dicatat dengan menggunakan kertas anti air. Jenis keanekaragaman ikan karang yang didapat melalui pengamatan di lapangan selanjutnya dibandingkan dengan hasil wawancara nelayan setempat mengenai jenis ikan karang yang pernah mereka tangkap. Kegiatan aktivitas perikanan diperoleh melalui wawancara dengan nelayan Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam dan pengamatan langsung di lapangan, serta pengisian kuisioner yang secara lengkap terdapat dalam lampiran 9. Data yang diambil dalam aktivitas perikanan yang dilakukan oleh nelayan penangkap ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang adalah sebagai berikut : a)
Aktivitas penangkapan ikan karang : membahas semua kegiatan penangkapan mulai dari penentuan daerah penangkapan (fishing ground) kapan mereka melakukan kegiatan penangkapan.
b)
Metode penangkapan : bagaimana cara menangkap, alat tangkap apa saja yang digunakan, serta kapal yang dipakai nelayan setempat,
c)
Teknik penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
d)
Perolehan hasil ikan dan harga ikan yang berlaku.
24
3.5.2.1 Kelimpahan Kelimpahan ikan didefinisikan sebagai banyaknya ikan per luas daerah pengambilan contoh dan dapat dihitung dengan rumus:
∑
Ni = Keterangan
Ni = ∑ni = A =
:
kelimpahan ikan jenis ke-i (ind/m2) jumlah individu dari jenis i luas daerah pengambilan contoh (m2)
3.5.2.2 Keanekaragaman Keanekaragaman dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon – Wiener n
H' = − ∑ Pi ln Pi
(Ikan Karang dan Plankton)
i =1
Keterangan
:
H׀ Pi ni N s i
=
Indeks Keanekaragaman Shannon – Wiener
= = = = =
ni / N Jumlah individu spesies/genera ke-i Jumlah total individu Jumlah spesies/genera 1,2,3,...,n
Tabel 4. Klasifikasi Indeks Shanon – Wiener (untuk ikan karang dan plankton) Nilai Indeks (H`)
Kriteria
<1
Keanekaragaman kecil, penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah, kestabilan komunitas rendah, tekanan ekologi besar
1–3
Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang, kestabilan komunitas sedang, tekanan ekologi sedang
>3
Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi, kestabilan komunitas tinggi, tekanan ekologi rendah
Sumber : Odum (1992)
25
3.5.2.3 Keseragaman Nilai keseragaman makrozoobentos dihitung dengan menggunakan indeks keseragaman: E=
Keterangan
H' H ' maks
E H׀ H ׀maks S
= = = =
Indeks keseragaman Indeks Keanekaragaman 3,3219 log10 S Jumlah spesies/genera yang ditemukan
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 sampai 1. Makin kecil nilai E menunjukkan penyebaran individu tiap spesies/genera tidak sama dan ada kecenderungan bahwa satu genus mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya, semakin besar nilai keseragaman maka populasi akan menunjukkan keseragaman yaitu jumlah individu setiap spesies/genera dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda (Odum, 1992). Untuk
menilai
keseragaman
ikan
karang
dan
plankton,
menggunakan kisaran Indeks Keseragaman. Tabel 5. Klasifikasi Indeks Keseragaman (untuk ikan karang dan plankton) Nilai Indeks Keseragaman (E)
Kondisi Komunitas
0.00 – 0.50
Tertekan/Rendah
0.51 – 0.75
Labil/Sedang
0.75 – 1.00
Stabil/Tinggi
3.5.2.4 Dominansi Nilai dominansi dihitung dengan menggunakan rumus :
D =∑ Keterangan
: D ni N S
2
= Indeks Dominansi Simpson = Jumlah individu ke-i = Jumlah total individu = Jumlah spesies/genera
maka
26
Kisaran nilai indeks dominansi adalah 0 – 1, jika nilainya mendekati 0 (0 – 0.50) berarti hampir tidak ada spesies/genera yang mendominasi dan apabila nilai indeks dominansi mendekati 1 (0.51 – 1) berarti ada salah satu spesies/genera yang mendominasi populasi (Odum, 1992). 3.5.3. Evaluasi Alat tangkap ikan Metode yang dilakukan untuk pengamatan jenis alat tangkap yang digunakan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang adalah metode observasi secara langsung. Dalam mengevaluasi alat tangkap ikan Peneliti melakukan pengamatan yang meliputi hal-hal seperti dibawah ini : -
Pengamatan jenis alat tangkap Untuk mengetahui jenis-jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan
Kelurahan Pulau Abang dilakukan melalui wawancara dan melihat langsung kondisi alat tangkap tersebut. Dari hasil identifikasi jenis selanjutnya pengamatan cara pengoperasiannya. -
Cara pengoperasiannya di kawasan terumbu karang Untuk mengetahui cara pengoperasian alat tangkap, peneliti mengikuti trip
penangkapan nelayan. Semua kegiatan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap dari atas kapal sampai di dalam laut selanjutnya dicatat dan diambil gambarnya(diphoto). Pengambilan gambar dilakukan di 6 stasiun pengamatan yang mewakili 3 alat tangkap yaitu bubu, kelong dan pancing. -
Menghitung jumlah alat tangkapa dan ukurannya. Untuk menghitung jumlah alat tangkap dilakukan pencacahan langsung ke
ketua RT atau RW Kelurahan Pulau Abang. Data- data pendukung lainnya diperoleh melalui wawancara, pengamatan langsung di lapangan, serta pengisian kuesioner yang secara lengkap terdapat dalam lampiran 4. 3.5.4. Pengamatan terhadap dampak penggunaan alat tangkap ikan. Metode yang dilakukan untuk pengamatan dampak dari alat tangkap yang digunakan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang adalah metode observasi secara langsung. Selama melakukan pengamatan Peneliti hanya melakukan
27
pengamatan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh alat tangkap di kawasan terumbu karang melalui pembuktian secara visual (photografi). Hasil pengamatan di lapangan yang berupa photo – photo tersebut selanjutnya dianalisa dengan cara mengamati ciri-ciri kerusakannya dan disesuaikan dengan ciri-ciri yang ada di literatur. Dalam menganalisa dampak penggunaan alat tangkap di terumbu karang berdasakan pada indicator kerusakannya. Menurut Sukmara et al (2001) indikator – indikator kerusakan terumbu karang diantaranya : - Karang menjadi patah/ hancur - Meninggalkan bekas lubang di terumbu karang - Karang mengalami kematian - Karang rusak di sekitarnya banyak bongkahan karang mati - Karang menjadi habis yang tersisa hanya pasir serta patahan karang kecilkecil.
3.5.5. Arahan Strategi penggunaan alat tangkap di terumbu karang Rencana strategi penggunaan alat tangkap ikan di kawasan terumbu karang dilakukan dengan metode A-WOT. Metode tersebut merupakan gabungan antara AHP dengan SWOT. Penentuan faktor internal (kekuatan – kelemahan) dan factor eksternal (peluang – ancaman) dilakukan menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) melalui teknik wawancara mendalam dan pengisian kuisioner terhadap responden nelayan tokoh masyarakat, maupun dari pejabat pemerintah. Metode ini secara umum berdasarkan keterlibatan langsung dari pendapat dan aspirasi masyarakat setempat yang dipadukan dengan pendapat para ahli yang lebih berkompeten serta dari pendapat peneliti sendiri. Metode yang digunakan bertujuan agar hasil dari penjaringan dan penilaian terhadap faktor SWOT tidak bersifat subyektif. Program yang dijalankan sedapat mungkin digali dari aspirasi masyarakat setempat sebagai pelaku dalam sebuah pengelolaan sumber daya perikanan di terumbu karang. Berdasarkan Rangkuti (2004) tahapan analisis SWOT dalam penyusunan rencana strategi suatu pengelolaan terdiri dari empat tahapan, yaitu :
28
1)
Tahap pengumpulan data : terdiri dari data internal meliputi kekuatan dan kelemahan yang dibuat dalam bentuk matrik internal factor Analisis Summary (IFAS), sera data eksternal berupa peluang dan ancaman yang dibuat dalam matrik external Factor analisis summary (EFAS).
2)
Tahapan analisis : menganalisis IFAS dan EFAS dengan memberi bobot nilai pada factor internal dan eksternal dengan selang skala 0 - 1 dengan ketentuan nilai 1 jika faktor tersebut sangat penting sampai nilai 0 jika faktor tersebut tidak penting dalam membuat rencana stategi pengeloalaan. Tahap berikutnya memberi rating nilai dengan selang skala 0 – 4 dimana penilaian tersebut berdasarkan pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kondisi nyata (Riil) yang terjadi di kelurahan Pulau Abang Kota Batam. Semakin mendekati kenyataan terhadap faktor SWOT nilainya semakin besar untuk kekuatan dan peluang, dan semakin kecil untuk faktor kelemahan dan ancaman.
3)
Setelah pemberian nilai pada bobot dan rating, selanjutnya ditentukan nilai skor dengan mengalikan antara bobot dengan rating. Hasil dari total skor menunjukkan informasi sebagai berikut : Matrik IFAS : Total skor 1
: situasi internal masyarakat Kelurahan Pulau Abang dalam pengelolaan perikanan sangat buruk
Total skor 2–3
: situasi internal masyarakat Kelurahan Pulau Abang dalam pengelolaan perikanan pada tingkat rata–rata.
Total skor >3
: situasi internal masyarakat Kelurahan Pulau Abang dalam pengelolaan perikanan sangat baik.
Matrik EFAS : Total skor 1
: masyarakat tidak mampu memanfaatkan peluang untuk menghindari ancaman
Total skor 2 – 3 : masyarakat mampu merespon situasi eksternal secara rata – rata Total skor 4
:
masyarakat telah sangat baik sekali peluang untuk menghindari ancaman
memanfaatkan
29
Bentuk matrik IFAS dan EFAS adalah seperti pada table 5 dibawah ini: Tabel 6 Bentuk matrik IFAS dan EFAS dalam analisis SWOT Faktor Internal / Eksternal
Bobot
Rating
Skor
Kekuatan - Kelemahan Peluang – Ancaman Total 4)
Tahapan selanjutnya adalah pengambilan keputusan untuk perumusan strategi dengan menggunakan matrik SWOT dari data analisis IFAS dan EFAS. Matrik tersebut menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi seperti terlihat pada tabel 7 berikut ini.
Tabel 7 Bentuk matrik SWOT IFAS EFAS
Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Strategi SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Ancaman
Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
Rencana strategi yang dihasilkan dari analisis SWOT kemudian dilanjutkan dengan analisis AHP. Tujuan dari analisis ini untuk menentukan prioritas rencana strategi yang terbaik berdasarkan kerangka AHP yang dibangun. Analisis AHP tersebut bertujuan agar prioritas strategi yang didapat bersifat konsisten dan berurut dari tujuan – criteria – sub criteria – serta alternative strategi (bersusun secara hierarki) (Saaty, 1991). Penilaian untuk analis AHP ini berdasarkan daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden untuk selanjutnya dilakukan penilaian terhadap tingkat
30
prioritasnya. Hasil dari pengisian kuesioner/wawancara tersebut selanjutnya diproses dengan menggunakan software AHP Expert Choise (2000) Penilaian prioritas tersebut berdasarkan pada konsistensi responden terhadap strategi yang dibuat.
4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan Administrasi Kelurahan Pulau Abang merupakan salah satu wilayah di Kecamatan Galang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Kota Batam secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis yaitu terletak di jalur pelayaran internasional. Kota Batam berdasarkan PERDA NO 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 – 2014, terletak antara 0º25’29” - 1º15’00” Lintang Utara dan 103º34’35” – 104º26’04” Bujur Timur dengan total luas wilayah darat dan wilayah laut 3 990.00 Km² (Bappeko Kota Batam 2007) dan berbatasan dengan : - Sebelah Utara
: Singapura dan Malaysia
- Sebelah Selatan
: Kabupaten Lingga
- Sebelah Barat
: Kabupaten Karimun dan laut internasional
- Sebelah Timur
: Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang
Lokasi yang menjadi subyek pengamatan adalah kawasan perairan Pulau Abang Kecil yang termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Kelurahan ini terdapat tiga dusun yaitu Dusun Pulau Abang, Air Saga dan Dusun Pulau Petong dengan pusat kelurahannya terletak di Pulau Abang Kecil. Dusun–dusun tersebut berada di Kecamatan Galang yang secara geografis terletak pada 0º25’ – 1º08’ Lintang Utara, 104º00’ – 104º24’ Bujur Timur . Kelurahan Pulau Abang berbatasan dengan: - Sebelah Utara
: Pulau Setokok Kecamatan Bulang
- Sebelah Selatan
: Subang Mas
- Sebelah Barat
: Selat Malaka
- Sebelah Timur
: Subang Mas
Pulau Abang Kecil mempunyai luas lebih kurang 6.003 Km² dengan variasi perbukitan, tanah terdiri dari batu granit dan liat. Pulau ini dikelilingi oleh beberapa pulau kecil seperti Pulau Petong, Pulau Dedap, Pulau Hantu, Pulau Pengelap, Pulau Kelapa dan Pulau Abang Besar. Sebagian kecil pantai masih
32
dijumpai ekosistem mangrove, terutama di bagian utara. Pemukiman penduduk di Dusun Pulau Abang yang terletak di bagian barat lebih padat jika dibandingkan dengan Dusun Air Saga yang terletak di bagian utara. Topografi yang terjal di Pulau Abang Kecil, menyebabkan sebagian besar lokasi perumahan penduduk terletak di sekitar pantai. Pola pemukiman ini berbentuk memanjang (linier) mengikuti garis pantai. Pulau Abang Kecil merupakan pusat Kelurahan Pulau Abang yang dapat ditempuh ± 60 menit dari ibukota Kecamatan Galang dengan menggunakan transportasi berupa perahu motor tempel (pompong). Iklim di Kelurahan Pulau Abang secara umum tidak berbeda dengan iklim Kota Batam yang beriklim tropis. Temperatur rata-rata berkisar antara terendah 29 ºC dan tertinggi sekitar 30 ºC dengan kelembaban sekitar 80-90%. Dalam satu tahun terdapat dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Desember merupakan bulan dengan curah hujan paling tinggi dan bulan Mei dengan curah hujan terendah. Dipengaruhi oleh empat musim angin,yaitu angin utara, timur, selatan dan barat. Musim utara berlangsung dari bulan Desember sampai Februari, musim angin timur mulai Maret hingga Juni. Sedangkan selatan dari Juli sampai Agustus dan musim barat dari bulan September hingga November dengan sesekali sering terjadi pergeseran waktu.
4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi 4.1.2.1 Mata Pencaharian Masyarakat Berdasarkan data monografi kelurahan 2008, ternyata sebagian besar mata pencaharian masyarakat Kelurahan Pulau Abang adalah usaha menangkap ikan, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap perairan laut sangat tinggi. Sekitar 86.90% mata pencaharian tetap masyarakat Kelurahan Pulau Abang adalah usaha menangkap ikan di laut (nelayan), dan sekitar 5.75% petani, 4.02% buruh, 1.61% pengusaha/tauke dan 1.15% pegawai negeri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 8.
33
Tabel 8. Jenis mata pencaharian dan persentase di Kelurahan Pulau Abang NO Pekerjaan
Jumlah
Persentase
756
8.90
1
Nelayan
2
Petani
50
5.75
3
Buruh
35
4.02
4
Pengusaha
14
1.61
5
Pegawai Negeri
10
1.15
6
Angkatan Laut
4
0.46
7
Babinsa
1
0.11
Jumlah
870
100
Sumber : COREMAP Batam
4.1.2.2 Pendapatan Pendapatan masyarakat Kelurahan Pulau Abang beragam, secara pasti sangat sulit untuk ditentukan, karena mereka selalu hanya mengatakan kira-kira. Namun dari hasil wawancara dapat diperkirakan besarnya pendapatan mereka berkisar antara Rp 350.000.00 sampai > Rp 2.000.000.00 per bulan.Pada dasarnya pendapatan mereka tiap musim berbeda dengan musim lainnya. Sehingga nilai yang diperoleh merupakan nilai rata-rata yang didapat selama satu tahun. Untuk lebih mengetahui besarnya pendapatan masyarakat di Kelurahan Pulau Abang dapat dilihat pada tabel 9 : Tabel 9. Pendapatan masyarakat di Kelurahan Pulau Abang. No
Kategori pendapatan (Rp)
Jumlah responden KK
(%)
1
350 000 – 500 000
210
38.04
2
500 000 – 750 000
120
21.74
3
750 000 – 1 000 000
110
19.93
4
1 000 000 – 2 000 000
82
14,86
5
> 2 000 000
30
5.43
552
100
Total Sumber : COREMAP Batam
34
4.1.2.3 Pemasaran dan Pasca Panen Pada umumnya hasil tangkapan nelayan dijual dalam keadaan segar kepada tauke dengan harga yang ditentukan oleh tauke. Cara pembayaran biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) dibayar tunai dengan mengangsur atau tidak mengangsur hutang dan 2) dibayar beberapa hari sekali dengan mengangsur atau tidak mengangsur hutang. Dalam pemasaran hasil tangkapan, hampir seluruhnya dikuasai oleh tauke. Hal ini tidak terlepas dari adanya keterikatan batin antara nelayan dan tauke yang telah berjalan cukup lama. Di samping itu, tauke dapat memberikan jaminan pasar, bantuan modal usaha, fasilitas pendukung (cold storage, es dll), termasuk kebutuhan sehari-hari nelayan, menyebabkan unsur keterikatan batin ini menjadi semakin kuat. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebanyak 100 % nelayan menjual hasil tangkapannya ke tauke di wilayahnya dalam keadaan mati segar/basah atau masih hidup. Mereka tidak ada yang menjual dalam bentuk ikan asin maupun ikan kering. Sebelum dijual ikan–ikan tersebut terlebih dahulu disortir atau dipilih berdasarkan jenis maupun ukurannya. Ikan–ikan yang tidak mempunyai nilai ekonomis tinggi biasanya dimanfaatkan sendiri oleh nelayan untuk lauk anggota keluarganya. Harga ikan di tauke bervarisi tergantung jenisnya. Untuk ikan kerapu sunu yang masih hidup dan ukurannya sekitar setengah kilogram di hargai sampai Rp 70.000.00 – 100.000.00 /kg. Untuk ikan–ikan kecil lain seperti ekor kuning harganya perkilogram sampai Rp 20.000.00. Hasil tangkapan nelayan yang tak kalah penting di Kelurahan Pulau Abang adalah cumi–cumi. Rata–rata nelayan menangkap cumi–cumi hanya menggunakan serok dengan mengandalkan lampu petromak yang oleh nelayan disana dikenal dengan istilah” nyomek”. Sekali turun nyomek nelayan mendapatkan cumi–cumi ± 10 kg pada hari –hari biasa. Harga cumi–cumi rata-rata Rp 20.000/kg. Pada waktu musim cumi nelayan Pulau Abang membawa semua anggota keluarganya untuk membantu menangkap cumi sehingga hasil yang didapatkan bisa mencapai ± 30 kg per harinya. Proses penangkapan ikan masih sangat sederhana. Nelayan dalam melakukan penangkapan selama satu kali trip antara 7 – 10 jam dengan hasil
35
tangkapan rata–rata ± 5–10kg/ hari untuk alat pancing, kurang dari 5 kg untuk satu alat tangkap bubu dan diatas 10 kg untuk cumi-cumi dengan cara nyomek. Secara umum tidak ada patokan harga yang ditentukan oleh pemerintah (Dinas Kelautan setempat) sehingga mayoritas harga ikan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara nelayan dan tauke (pedagang pengumpul). Para Tauke selanjutnya menjual ikan ke Kota Batam untuk kualitas biasa, untuk ikan hidup dan memenuhi syarat kualitas ekspor dijual langsung ke Singapura. Tauke di Kelurahan Pulau Abang biasanya seminggu 2-3 kali mengirim ikan langsung ke Singapura melaui laut, ikan yang dikirim dalam kondisi segar mati maupun masih hidup. Kegiatan pasca panen yang juga dilakukan nelayan di lokasi berupa pendinginan. Kegiatan pendinginan dilakukan oleh nelayan dengan cara memasukkan ikan hasil tangkapan ke dalam cool box yang telah diberi es terlebih dahulu. Dengan demikian, ikan hasil tangkapan tetap dalam keadaan segar sampai dijual kepada tauke. Oleh tauke, ikan ini setelah diseleksi dimasukkan ke dalam cool box yang berukuran lebih besar dan diberi tanda khusus sehingga siap untuk dipasarkan baik domestik (Tanjung Pinang dan Batam) maupun diekspor ke Singapura.
4.2
Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang
4.2.1
Kondisi Terumbu Karang Pengukuran kondisi terumbu karang (prosentase tutupan karang)
dilakukan selama enam hari. Pengamatan dilakukan di 6 pulau, yaitu Pulau Lintah, Pulau Abang Kecil, Pulau dedap, Pulau Pengelap, Pulau Hantu dan Pulau Sepintu serta kawasan perairan Pulau Abang. Selama melakukan pengukuran keadaan cuaca cerah hingga mendung dan bertepatan dengan musim timur. Pada musim ini dicirikan dengan gelombang dan angin yang cukup tenang dibandingkan dengan musim utara atau selatan. Berdasarkan wawancara terhadap responden nelayan Kelurahan Pulau Abang diketahui bahwa sebesar 97% mereka mengatakan kondisi terumbu karang di fishing ground mereka masih dalam kondisi baik (lampiran dan 4). Hasil penelitian P2O-LIPI pada tahun 2004 yang menemukan bahwa tutupan karang di kebanyakan stasiun penelitian masih berada
36
di atas 60%. Adapun hasil pengamatan terhadap penutupan karang di lokasi selama penelitian adalah sebagai berikut :
4.2.1.1 Stasiun I (Fishing Ground Kelong Pantai pertama) Perairan sekitar Pulau Abang tepatnya di dekat Pulau Lintah merupakan salah satu fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang yang menggunakan kelong pantai. Nelayan memasang kelong (jaring tancap) untuk menghalau ikan yang lewat sekitar Pulau Lintah agar masuk ke perangkap (trap) yang dipasang di ujung / pertemuan jaring tancap tersebut. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar kelong pantai ini diambil pada posisi 00º28.885’ LU dan 104º16.553’ BT dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Lokasi pengamatan yaitu di depan kelong pantai tepatnya searah dengan garis pantai Pulau Lintah pada kedalaman 5m. Tipe pantai lintah adalah landai berpasir putih. Kecerahan perairan pada saat penelitian mencapai 10m, kondisi cuaca pada saat itu cerah dan keadaan arus tenang. Prosentase tutupan karang keras (hard coral) sebesar 62.32% (tabel 10) dengan jenis –jenis karang antara lain : Porites, Montipora, Helio fungia, Pachiseris, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Biota yang bersimbiose dengan terumbu karang di sekitar stasiun I diantaranya adalah karang mati (dead coral) prosentase tutupan sebesar 20.18 % , alga sebesar (0.64 %), biotik sebesar (2.02 %) dan Abiotik lainnya seperti pasir sebesar 14.8 % .
4.2.1.2 Stasiun II (Fishing Ground Kelong Pantai kedua) Perairan sekitar Pulau Abang tepatnya di dekat Pulau Hantu merupakan salah satu fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang yang menggunakan kelong pantai. Nelayan memasang kelong (jaring tancap) untuk menghalau ikan yang lewat sekitar Pulau Hantu agar masuk ke perangkap (trap) yang dipasang di ujung / pertemuan jaring tancap tersebut. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar kelong pantai ini diambil pada posisi 00º32.167’ LU dan 104º15.196’ BT dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Lokasi pengamatan yaitu di depan kelong pantai tepatnya searah dengan garis pantai Pulau Hantu pada kedalaman 5m. Tipe pantai Pulau Hantu adalah
37
berbatu. Kecerahan perairan pada saat penelitian mencapai 6m kondisi cuaca pada saat itu cerah dan keadaan arus cukup kuat. Prosentase tutupan karang keras (hard coral) sebesar 61.52% (tabel 10) dengan jenis–jenis karang antara lain : Porites, Montipora, Helio fungia, Pachiseris, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Biota yang bersimbiose dengan terumbu karang di sekitar stasiun II diantaranya adalah karang mati (dead coral) prosentase tutupan sebesar 13.44% , alga (7.14%). dan biotik sebesar 5.44%, serta abiotik lainnya seperti pasir sebesar 12.46%.
4.2.1.3 Stasiun III (Fishing Ground bubu) Perairan sekitar Pulau Abang tepatnya di dekat Pulau Dedap dan Pulau Pengelap merupakan salah satu fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang yang menggunakan alat tangkap ikan berupa bubu. Nelayan memasang bubu di dasar perairan sekitar wilayah terumbu karang. Ada beberapa cara nelayan menempatkan bubu di sekitar terumbu karang yakni, dengan menimbun dengan karang-karang disekitarnya ada juga yang diletakkan begitu saja di atas pasir di dekat hamparan terumbu dengan memberi pemberat kayu di sisi-sisi bubu. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar bubu ini diambil pada posisi 00º30.081’ LU dan 104º16.980’ BT dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Lokasi pengamatan yaitu di depan Pulau Dedap dan Pulau Pengelap tepatnya searah dengan garis pantai pada kedalaman 5m. Tipe pantai adalah pantai berbatu. Kecerahan perairan pada saat penelitian mencapai 7m, Kondisi cuaca pada saat itu cerah , berombak dan arus tenang. Prosentase tutupan karang keras (hard coral) sebesar 64.26% (tabel 10) dengan jenis –jenis karang antara lain : Porites, Montipora, Helio fungia, Pachiseris, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Biota yang bersimbiose dengan terumbu karang di sekitar stasiun III diantaranya adalah alga (6.2%). Prosentase tutupan karang mati (dead coral) sebesar 6.26% dan Abiotik lainnya seperti pasir sebesar 16.06%.
38
4.2.1.4 Stasiun IV (Fishing Ground bubu kedua) Perairan sekitar Pulau Abang tepatnya di dekat Pulau Abang kecil merupakan salah satu fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang yang menggunakan bubu. Nelayan memasang bubu di dasar perairan sekitar terumbu karang. Ada beberapa cara nelayan menempatkan bubu yakni, menimbun dengan terumbu karang disekitarnya ada juga yang diletakkan begitu saja di atas pasir di dekat hamparan terumbu karang dengan memberi pemberat kayu di sisi-sisi bubu. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar bubu ini diambil pada posisi 00º32.286’ LU dan 104º14.321’ BT dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Lokasi pengamatan yaitu di depan dermaga Pulau Abang kecil tepatnya tegak lurus dengan garis pantai pada kedalaman 5m. Tipe pantai adalah pantai berpasir. Kecerahan perairan pada saat penelitian mencapai 7m, Kondisi cuaca pada saat itu cerah , berombak dan arus tenang. Prosentase tutupan karang keras (hard coral) sebesar 65,94% (tabel 10) dengan jenis –jenis karang antara lain : Porites, Montipora, Helio fungia, Pachiseris, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Biota yang bersimbiose dengan terumbu karang di sekitar stasiun IV diantaranya adalah alga (2%). Prosentase tutupan karang mati (dead coral) sebesar 20% dan Abiotik lainnya seperti pasir sebesar 11 %.
4.2.1.5 Stasiun V (Fishing Ground Pancing pertama) Perairan sekitar Pulau Abang tepatnya di dekat Pulau Hantu merupakan salah satu fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang yang menggunakan pancing. Nelayan memancing di sekitar Pulau Hantu dengan menggunakan pancing ulur. Pulau Hantu merupakan daerah fishing ground ikan karang karena sekitar Pulau ini terdapat terumbu karang yang kondisinya baik menurut nelayan. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar fishing ground pancing ini diambil pada posisi 00º31.984’ LU dan 104º16.980’ BT dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Lokasi pengamatan yaitu di depan Pulau Hantu tepatnya searah dengan garis pantai pada kedalaman 5m. Tipe pantai Hantu adalah berbatu Kecerahan perairan
39
pada saat penelitian mencapai 6.6m (100%), kondisi cuaca pada saat itu cerah dan keadaan arus tenang. Prosentase tutupan karang keras (hard coral) sebesar 84.76% (tabel 10) dengan jenis –jenis karang antara lain : Porites, Montipora, Helio fungia, Pachiseris, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Biota yang bersimbiose dengan terumbu karang di sekitar stasiun III diantaranya adalah alga (0.60%). Prosentase tutupan karang mati (dead coral) sebesar 9.48% dan Abiotik lainnya seperti pasir sebesar 1.48% serta biotik sebesar 3.48%.
4.2.1.6 Stasiun VI (Fishing Ground Pancing kedua) Perairan sekitar Pulau Abang tepatnya di dekat Pulau Sepintu merupakan salah satu fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang yang menggunakan pancing. Nelayan memancing di sekitar Pulau Sepintu dengan menggunakan pancing ulur. Pulau Sepintu merupakan daerah fishing ground ikan karang karena sekitar pulau ini terdapat terumbu karang yang kondisinya bagus menurut nelayan. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar fishing ground pancing ini diambil pada posisi 00º31.466’ LU dan 104º14.132’ BT dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect). Lokasi pengamatan yaitu di depan Pulau Sepintu tepatnya tegak lurus dengan garis pantai pada kedalaman 5m. Tipe pantai Sepintu adalah berbatu Kecerahan perairan pada saat penelitian mencapai 6m (100%), Kondisi cuaca pada saat itu cerah dan keadaan arus tenang. Prosentase tutupan karang keras sebesar 63.40% (tabel 10) dengan jenis– jenis karang antara lain : Porites, Montipora, Helio fungia, Pachiseris, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Biota yang bersimbiose dengan terumbu karang di sekitar stasiun VI diantaranya adalah alga (8.78 %). Prosentase tutupan karang mati (dead coral) sebesar 11.8 % dan abiotik lainnya seperti pasir sebesar 6.16% serta biotik sebesar 9.86 %. Lokasi fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang dari hasil pengamatan dapat dilihat pada gambar 5 berikut.
Fishing ground pancing
fishing ground bubu
fishing ground kelong pantai
Gambar 5 lokasi fishing ground nelayan Kelurahan Pulau Abang 40
41
Tabel 10. Persentase penutupan karang di semua stasiun pengamatan
STASIUN
POSISI
I Kelong II Kelong III BUBU IV BUBU V Pancing
LU 00º28.885’ 00º32.167’ 00º30.081’ 00º32.286’ 00º31.984’
BT 104º16.553’ 104º15.196’ 104º16.980’ 104º14.321’ 104º16.980’
VI Pancing
00º31.466’ 104º14.132’
PERSEN PENUTUPAN KARANG HC DC A B AB 62.32 20.18 0.64 2.02 14.84 61.52 13.44 7.14 5.44 12.46 64.26 6.26 6.2 7.22 16.06 65.94 20.34 2.5 0 11.22 84.76 9.48 0.6 3.68 1.48 63.4
1.,80
8.78
9.86
6.16
Rata- rata keseluruhan 67.03 11.62 2.85 4.70 10.37 Sumber : data primer Keterangan : HC(hard coral), DC(dead coral), A (alga), B(biotik), AB(abiotik). Keseluruhan lokasi pengamatan (stasiun I – stasiun VI) yang merupakan fishing ground nelayan kelurahan Pulau Abang dapat kita lihat pada gambar 8. Rata – rata persentase tutupan karang berdasarkan jenis alat tangkap dari semua lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 6.
. 100% 90% 80% 70% AB
60%
B
50%
A
40%
DC
30%
HC
20% 10% 0% kelong
bubu
pancing
Sumber : data primer
Keterangan : HC(hard coral), DC(dead coral), A (alga), B(biotik), AB(abiotik). Gambar 6 Persentase rata- rata tutupan karang berdasarkan jenis alat tangkap
42
4.2.2 Keberadaan ikan di terumbu karang. Pengamatan terhadap keberadaan ikan di terumbu karang dilakukan di tempat yang sama terhadap pengukuran prosentase penutupan karang, yaitu pada enam titik stasiun (stasiun I – stasiun VI). Dari hasil identifikasi diketahui jumlah family dan jumlah spesies ikan yang ditemui pada waktu pengamatan di setiap stasiun dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan setempat semua responden (100%) mengindikasi bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi penurunan terhadap jumlah tangkapan, jenisnya maupun dari ukuran ikan karang yang ditangkap (lampiran 5) . Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian LIPI (2008) menunjukkan adanya penurunan jumlah ikan di transek lokasi pengamatan. (tabel 11).
Tabel 11. Rerata jumlah individu ikan per transek (12 stasiun transek) hasil pengamatan, tahun 2004, 2007 dan 2008 di perairan Pulau Abang, Kota Batam. Kelompok/waktu
Jumlah Individu per transek 2004
2007
2008
Ikan Major
865.83
649.00
489.08
Ikan Target
179.67
102.83
93.92
25.75
21.17
28.08
Ikan Indikator
Total 1071.25 Sumber : LIPI 2008
773.00
611.08
Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti selama observasi di lapangan diperoleh data jumlah family dan spesies dari tiap-tiap stasiun pengamatan seperti pada gambar 7 dan tabel 12 berikut ini. Keberadaan family dan spesies di enam stasiun hampir sama. Jenis spesies ikan yang ditemukan dalam pengamatan meliputi ikan spesies target, ikan mayor dan ikan minor. Jumlah ikan spesies target lebih sedikit ditemukan pada waktu pengamatan. Selanjutnya diikuti oleh ikan mayor dan minor. Selain itu pada waktu pengamatan juga ditemukan ikan indicator jenis kepe-kepe (Chaetodon).
Sumber : data primer (diolah) Gambar 7 Pola sebaran ikan dan prosentase tutupan karang di lokasi penelitian 43
44
Tabel 12. Hasil data pengamatan keberadaan ikan di terumbu karang POSISI
STASIUN LS
JUMLAH BT
Famili
Spesies
I Kelong
00º28.885’
104º16.553’
6
22
II Kelong
00º32.167’
104º15.196’
9
25
III Bubu
00º30.081’
104º16.980’
7
24
IV Bubu
00º32.286’
104º14.321’
10
24
V Pancing
00º31.984’
104º15.170’
11
25
VI Pancing
00º31.867’
104º13.681’
11
25
Sumber : data primer Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa jumlah family dan spesies ikan karang tertinggi di stasiun V dan VI (fishing ground pancing I, II) yaitu di Pulau Hantu dan Pulau Sepintu (11 Family dan 25 Spesies), sedangkan jumlah terkecil terdapat pada stasiun I (fishing ground kelong I) yaitu di perairan dekat pulau Lintah yang ditemukan 6 Family dan 22 Spesies. Tabel 13. Kelimpahan ikan pertransek penelitian. No
Stasiun
Jumlah Individu
Luas Transek (m²)
Kelimpahan (indvidu/m²)
1
I Kelong
626
250
2.504
2
II Kelong
1254
250
5.016
3
III Bubu
407
250
1.992
4
IV Bubu
766
250
3.056
5
V Pancing
1181
250
4.712
6 VI Pancing 1287 250 5.148 Sumber : data primer Hasil pengamatan di lapangan bahwa keanekaragaman jenis ikan di Kelurahan Pulau Abang setelah dihitung dari indek keanekaragamannya termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang, kestabilan komunitas sedang, tekanan ekologi sedang yaitu pada kisaran 1.5 – 2.3 (tabel 14). Sedangkan untuk jumlah kelimpahan ikan di seluruh stasiun pengamatan diperoleh data seperti yang tertera pada gambar 8.
45
Tabel 14. Index keberadaan ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang Diversity
Similarity
Dominancy
Index (H')
Index (E)
Index (C)
I Kelong
1.5121
0.4892
0.4511
II Kelong
1.8507
0.5750
0.2908
III Bubu
2.2875
0.7198
0.1574
IV Bubu
1.7419
0.5555
0.2815
V Pancing
1.8734
0.5895
0.2466
VI Pancing
1.8549
0.5763
0.2534
STASIUN
Berdasarkan wawancara terhadap nelayan Kelurahan Pulau Abang bahwa di perairan tersebut masih banyak jenis kerapu sunu (Plectropomus leopardus), ikan kakap merah (Snapper),ikan ekor kuning (Caesio spp), ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni), ikan kue (Carang spp), hiu (Carcaritos macloti), pari (Himantura sp), cumi–cumi dan ikan–ikan karang lainnya. Keberadaan ikan ekonomis tinggi (kerapu dan kakap) hanya di temukan di beberapa titik lokasi.
Kelimpahan(individu/m²) 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,000 I Kelong II Kelong III Bubu IV Bubu V PancingVI Pancing
Gambar 8 grafik kelimpahan (individu/m²) ikan di setiap stasiun pengamatan.
46
4.3. Evaluasi pengoperasian alat tangkap ikan di Kelurahan Pulau Abang. Jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan bervariasi sesuai dengan kebiasaan, kesukaan, keterampilan yang dimiliki, kemampuan modal serta musim dan jenis ikan yang ditangkap. Di Kelurahan Pulau Abang satu keluarga nelayan bisa memiliki lebih dari satu jenis alat tangkap. Bahkan ada jenis alat tangkap yang dimiliki oleh seluruh nelayan, misalnya pancing. Nelayan mengoperasikan alat tangkapnya menggunakan armada kapal motor (pompong) berukuran 0.5–1 ton. Sebagian kecil nelayan menggunakan kapal motor berukuran lebih besar dan speed boat kayu. Jenis–jenis alat tangkap ikan yang digunakan di daerah terumbu karang oleh nelayan Kelurahan Pulau Abang diantaranya adalah pancing (Handline), bubu (trap), dan kelong pantai. Alat penangkap ikan tersebut dioperasikan di perairan sekitar terumbu karang dengan tujuan menangkap ikan karang. Hasil estimasi jumlah alat tangkap yang ada di Kelurahan Pulau Abang seperti pada tabel 15. Tabel 15 Jenis alat tangkap yang dioperasikan nelayan Kelurahan Pulau Abang NO
Jenis alat tangkap
Jumlah alat tangkap (unit)
Produksi/Trip (Kg)
1 2
Kelong Bubu
83 190
50 4
3
Pancing
455
10
Jenis Ikan Tangkapan
dingkis Kerapu, ekor kuning Kerapu, kakap
Sumber : data primer
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diperoleh data bahwa hampir keseluruhan nelayan di Pulau Abang menggunakan alat tangkap pancing, tapi banyak juga nelayan yang menggunakan bubu sebesar 27% (lampiran 5) sebagai alat tangkap sampingan karena hasil yang diperoleh dari bubu tidak bisa diambil setiap hari tetapi 2 – 3 hari. Secara umum nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu sekaligus menggunakan pancing secara bersamaan, misalnya setelah menanam bubu mereka menangkap ikan dengan menggunakan pancing. Alat tangkap yang juga digunakan nelayan Pulau Abang adalah kelong pantai. Alat tangkap ini digunakan pada musim–musim tertentu saja yaitu pada musim ikan
47
dingkis (Siganus canaliculatus). Hasil yang diperoleh dari kelong ini cukup besar yaitu sekitar 50 kg/panen pada musimnya. Namun jika tidak musim ikan dingkis, alat tangkap kelong pantai dibiarkan begitu saja. Hanya sekali–kali dilihat, bahkan beberapa nelayan mengangkat jaring dan jebakannya dari kelong pantai. Hanya tiang–tiang pancangnya yang dibiarkan sepanjang tahun di pantai. Spesifikasi alat penangkap ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang pada saat penelitian yang bertepatan dengan musim timur adalah sebagai berikut :
4.3.1 Kelong Pantai Kelong pantai (sero) digolongkan ke dalam kelas perangkap (trap) terbuat dari bahan kawat. Kelong pantai di Kelurahan Pulau Abang terdiri dari 3 bagian utama, yaitu penajo, sayap, dan bunuhan mati (perangkap). Penajo memiliki panjang 70–100 meter, panjang sayap sekitar 15 samapai 25 meter, bunuhan (perangkap) 2-3 meter . Prinsip pengoperasian kelong pantai adalah dengan menghadang arah gerakan ikan dengan menggunakan panajo dan sayap. Alat ini memanfaatkan sifat ikan yang bergerak ke arah perairan yang lebih dalam sehingga ikan tergiring masuk kedalam bunuhan (perangkap) dan akhirnya terjebak. Setelah ikan terjebak nelayan mengambil ikan di dalam perangkap. Penajo dan sayap terbuat dari kayu–kayu yang di pancangkan ke dasar laut dan sepanjang penajo dan sayap dipasang jaring. Setiap sayap kelong pantai di Kelurahan Pulau Abang menghabiskan tiang dari kayu sebanyak 200–300 batang. Jarak antar tiang kayu 50 -75 cm. Beberapa kayu penajo maupun sayap menancap di pasir namun ada juga yang menancap di terumbu karang. Perangkap yang digunakan pada kelong pantai di Kelurahan Pulau Abang menggunakan anyaman besi yang berbentuk balok dengan ukuran panjang 1.5-2 m dan lebar 1.5 m serta dalamnya 1m. Jenis – jenis ikan yang ditangkap dengan kelong pantai ini adalah ikan dingkis (Siganus canaliculatus), ikan ekor kuning (Caesio spp), ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni), ikan kue (Carang spp) dan ikan – ikan karang lainnya.
48
4.3.2 Bubu (trap) Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan, baik karena pengaruh alam maupun manusia seperti kegiatan penangkapan. Kerusakan ekosistem terumbu karang akibat usaha penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan semakin marak. Alat tangkap ikan lain yang digunakan nelayan Kelurahan Pulau Abang adalah bubu. Bubu yang digunakan terbuat dari anyaman kawat (besi). Bagian utama bubu ada 3 bagian yaitu : badan bubu, funnel inlet dan pintu yang berfungsi sebagai tempat mengeluarkan ikan hasil tangkapan. Ukuran bubu yang umum digunakan nelayan Kelurahan Pulau Abang adalah panjang 0.9 meter, lebar 0.7 meter dan tinggi 0.3 meter. Prinsip pengoperasian bubu oleh nelayan Kelurahan Pulau Abang adalah dengan meletakkan bubu di antara terumbu karang, ada yang diletakkan diatas karang, di sela-sela terumbu karang dan ada yang memberi pemberat bubu dengan bongkahan karang. Pengoperasian bubu tidak menggunakan umpan. Kedalaman pemasangan sekitar 3-5 meter bergantung pada kondisi perairan dan ketahanan menyelam nelayan. Satu trip operasi dilakukan 2-3 X 24 jam. Jumlah bubu dalam sekali operasi penangkapan berkisar 2 sampai 5 bubu. Perahu yang digunakan untuk pengoperasian bubu tidak mempunyai spesifikasi khusus. Namun demikian umumnya perahu terbuat dari kayu. Ukuran perahu yang digunakan adalah panjang 8 meter, lebar 0.8 meter dan kedalaman 0.6 meter. Tenaga penggerak yang digunakan adalah menggunakan motor tempel. Jenis – jenis ikan yang ditangkap dengan bubu ini adalah kerapu sunu (Plectropomus leopardus) ikan kakap merah (Snapper), ikan dingkis (Siganus canaliculatus), ikan ekor kuning (Caesio spp), ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni), ikan kue (Carang spp) dan beberapa jenis krustasea.
4.3.3 Pancing (handline) Bagian–bagian utama pancing yang digunakan nelayan Kelurahan Pulau Abang terdiri atas penggulung (Roller), senar dan mata pancing. Roller terbuat dari plastik atau kayu yang berfungsi sebagai gulungan senar. Senar yang
49
digunakan panjangnya sekitar 100 samapi 200 meter dengan nomor benang 200. Mata pancing yang digunakan no 6 dan 7. Selain
tiga
bagian
utama
diatas,
dalam
pengoperasian
pancing,
menggunakan bantuan umpan dan pemberat. Pemberat terbuat dari timah dengan berat sekitar 100 gr, umpan yang digunakan adalah cumi –cumi atau ikan yang dipotong –potong. Prinsip pengoperasian pancing ulur (handline) adalah memikat ikan menggunakan umpan yang dikaitkan pada mata kail. Setelah ikan memakan umpan, maka ikan akan tersangkut pada kail, selanjutnya kail ditarik ke atas perahu untuk melepaskan hasil tangkapan. Demikian seterusnya dilakukan secara berulang. Perahu yang digunakan untuk memancing biasanya berlabuh jangkar di terumbu karang. Jangkar terbuat dari besi mempunyai ukuran yang bervariasi. Berat jangkar biasa mencapai berat 10 kg dengan panjang antara 0.5 m sampai 1 m tergantung dari besar kapal yang digunakan. Jari–jari jangkar yang digunakan sebagai pengait juga bervariasi tergantung kekuatan kapal. Tujuan perahu melego jangkar di terumbu karang adalah agar perahu tidak hanyut terbawa arus maupun gelombang. Jangkar yang menancap di terumbu karang secara otomatis merusak terumbu karang. Adapun kerusakan akibat jangkar kapal untuk memancing yang kelihatan adalah adanya patahan terumbu atau posisi karang yang terbalik dan sebagainya. Akibat pengoperasian jangkar pada saat memancing di terumbu karang dapat kita lihat pada (lampiran 1). Jenis–jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing( handline) ini adalah kerapu sunu (Plectropomus leopardus) ikan kakap merah (Snapper), hiu (Carcaritos macloti), pari (Himantura sp) dan ikan –ikan karang lainnya.
4.3.4 Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Musim penangkapan ikan masyarakat sangat tergantung kepada musim angin. Terdapat empat musim utama yaitu Musim Utara, Timur, Selatan dan Barat. Setiap musim mempunyai karakteristik tersendiri yang menentukan cara dan alat yang digunakan untuk menangkap ikan.
50
Tabel 16. Musim penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Abang Alat tangkap Musim Angin Bubu Jaring udang kara Jaring dingkis Jaring karang Pancing di karang Pancing di rumpon Pancing delah Nyomek Nyanded Kelong pantai
12
1
2
3
4
Bulan 5 6 7
U
U
U
T
T
T
S
S
S
B
B
B
X
X
X
X X
X
X X
X X X X
X
X X
X X X X
X
X X
X
X
X
X X X X X
X X X X X
X X X X
X
X
X
X X
X X
X X
X X
X X
X X
8
9
10
11
X
X
Sumber : data primer Catatan :
pancing handline untuk ikan delah (Cesio spp) pancing untuk cumi-cumi ( Sephia sp) pancing untuk sotong ( Lolygo sp)
Musim Utara merupakan musim dengan angin bertiup kencang, hujan serta gelombang yang besar. Pada kawasan yang berhadapan langsung dengan musim ini biasanya nelayan tidak dapat mencari ikan jauh ke tengah laut, Mereka hanya mencari di sekitar selat dan laut yang terlindung. Nelayan Pulau Abang pada musim ini menangkap ikan di pantai terutama menggunakan kelong pantai dan jarring dingkis. Bagi yang mempunyai rumpon, mereka bisa memanfaatkan rumpon untuk memancing. Dan jika sanggup ke tengah laut, mereka dapat menangkap udang kara menggunakan jaring. Musim Timur merupakan musim kemarau yang panas dan kondisi angin tenang dan laut tidak bergelombang. Pada musim ini nelayan menggunakan pancing untuk menangkap ikan karang dan bubu. Pada malam hari mereka bisa menangkap sotong dengan cara menyomek atau menyandit. Pada musim ini hasil tangkapan melimpah. Di Musim Selatan kondisi angin kencang namun tidak sekencang pada musim Utara. Laut terus bergelombang. Pada musim ini nelayan kesulitan mencari nafkah karena gelombang kuat. Alat tangkap yang umum digunakan adalah jaring karang dan jaring dingkis yang dioperasikan di sekitar pulau. Bagi
51
nelayan yang mempunyai rumpon dan mampu ke laut yang lebih jauh dapat memancing di rumpon dan menangkap udang kara (lobster) serta memasang bubu. Musim ini sering dikatakan musim paceklik oleh nelayan setempat. Pada musim ini hasil tangkapan kurang bagus, yang paling banyak kegiatan dilakukan pada musim ini adalah memacing ikan delah (Caesio spp) di malam hari. Musim Barat merupakan musim yang cukup tenang, namun pada waktu tertentu hujan badai bisa datang tiba-tiba namun setelah itu laut akan tenang kembali. Pada musim ini nelayan kembali memancing di sekitar karang, memasang bubu, menyomek pada malam hari atau memancing ikan delah pada siang hari. Mayoritas nelayan di Kelurahan Pulau Abang melakukan aktifitas penangkapan ikan secara maksimal pada musim barat (September–November) dan musim timur (Maret–Mei) atau masyarakat lokal mengenalnya dengan istilah musim teduh. Pada musim tersebut kondisi perairan relatif tenang, sehingga memudahkan mereka untuk memasang bubu maupun pancing, serta penentuan fishing ground lebih jauh. Kegiatan penangkapan ikan karang mulai berkurang pada musim utara (Desember–Februari) dan musim selatan (Juni–Agustus) yang ditandai oleh adanya angin kencang dan ombak besar. Secara umum nelayannelayan tersebut sudah cukup mengenali kapan musim tersebut akan berlangsung dengan melihat tanda–tanda dari alam misalnya gelombang pasang yang mulai besar, ombak/ buih ombak berwarna putih dengan intensitas relative banyak, serta arah angin yang mengalami perubahan. Adapun matapencaharian alternatif selama kondisi perairan berombak besar adalah mencari udang di sekitar pulau atau kerang–kerangan. Nelayan yang masih melakukan aktifitas penangkapan biasanya hanya melakukannya di sekitar pantai dengan hasil yang tidak terlalu banyak jika dibandingkan saat musim teduh. Nelayan di Kelurahan Pulau Abang dalam menentukan fishing ground tergantung dari kondisi perairan yang banyak ditemui gerombolan ikan yaitu di daerah–daerah yang kondisi terumbu karangnya masih bagus, tetapi pada dasarnya semua perairan di sekitar Pulau Abang merupakan daerah fishing ground bagi mereka.
Berdasarkan wawancara terhadap responden nelayan, hampir
sebagian besar nelayan Pulau Abang melakukan penangkapan ikan di sekitar
52
perairan pulau Abang. Selain letaknya dekat juga bentuk topografi dari perairan tersebut yang landai sehingga memudahkan nelayan dalam menangkap ikan dengan bubu ataupun pancing. Sesuai dengan ukuran perahu/pompong dan alat tangkap ikan yang dimiliki, nelayan di lokasi studi ini umumnya mengoperasikannya alat tangkap ikan di perairan pantai. Pengoperasian alat tangkap ini tidak hanya di desa mereka, tetapi juga di pulau-pulau sekitarnya. Adapun daerah penangkapan ikan (fishing ground) mereka meliputi Pulau Dedap, Pulau Pengelap, Pulau Sepintu, Pulau Sawang, Pulau Cik Dolah, Malang Laut, Malang Orang, dan Terumbu Sebanga.
4.3.5 Isu dan permasalahan dalam penangkapan ikan Ancaman terbesar terhadap kerusakan terumbu karang dan ikan karang di wilayah perairan Kelurahan Pulau Abang adalah aktifitas nelayan dari luar Pulau Abang. Nelayan tersebut berasal dari Kabupaten Bintan dan Lingga. Kebanyakan nelayan dari luar menggunakan alat tangkap bom maupun racun. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa 87% responden mengatakan ancaman kerusakan terumbu karang dilakukan oleh nelayan dari luar (lampiran 5). Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom maupun racun pernah terjadi di perairan agak jauh dari pemukiman nelayan Pulau Abang, daerahnya agak terlindung gugusan pulau–pulau kecil tepatnya di perairan balik pulau yang menghadap ke laut lepas. Sebenarnya nelayan Pulau Abang sudah mulai memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian terumbu karang. Data responden yang menyatakan mereka semua melakukan usaha pelestarian terumbu karang sebesar 100% (lampiran 5). Namun mereka tidak berdaya untuk mengusir nelayan luar yang mengebom secara
sembunyi–sembunyi
ketika nelayan
Pulau
Abang
tidak
sedang
mengadakan kegiatan penangkapan atau pengawasan di daerah tersebut.
4.4. Dampak kegiatan penangkapan ikan di terumbu karang Kegiatan penangkapan ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang dilakukan hampir setiap hari oleh nelayan. Kegiatan ini akan membawa dampak terhadap terumbu karang. Dampak yang ditimbulkan bisa besar ataupun kecil
53
tergantung dari keramahan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Alat tangkap yang sebenarnya ramah lingkungan apabila pengoperasiannya tidak benar dapat merusak terumbu karang yang rata- rata menjadi tujuan fishing ground nelayan di Kelurahan Pulau Abang. Penangkapan yang dilakukan dengan tidak ramah lingkungan akan merugikan nelayan di masa yang akan dating. Kelangsungan ekosistem pesisir dapat terganggu oleh kegiatan yang tidak ramah lingkungan ini. Dari beberapa jenis alat tangkap yang digunakan di terumbu karang mempunyai dampak yang berbeda terhadap terumbu karang. Dampak- dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penangkapan di terumbu karang berbeda sesuai dengan cara pengoperasian alat tangkap di fishing ground tersebut. Tingkat kerusakan yang ditimbulkannya berbeda dari satu alat tangkap dengan alat tangkap lainnya. Pada pengamatan tingkat kerusakan oleh kelong pantai misalnya, sangat tidak sama dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh bubu maupun jangkar pada saat memancing. Jumlah tiang –tiang pada alat tangkap kelong pantai yang banyak yaitu antara 200 sampai 300 batang tiap-tiap kelong sangat merusak terumbu karang. Ciri – ciri dampak yang diakibat pengoperasian alat tangkap di terumbu karang Kelurahan Pulau abang pada saat pengamatan secara langsung seperti pada tabel 17. Gambar secara lengkap tiap stasiun penelitian pada lampiran 1 sampai dengan lampiran 6. Tabel 17. Dampak penggunaan alat tangkap di terumbu karang. No
Jenis Alat Tangkap
Dampak Yang Ditimbulkan
1
Kelong
Pada lokasi tiang pancang yang bertepatan dengan letak terumbu karang menyebabkan lubang pada hamparan terumbu. Ditemukan tiang –tiang pancang yang roboh tepat di hamparan terumbu karang menyebabkan terumbu karang retak hingga patah.
2
Bubu
3
Pancing
Bongkahan karang berserak di sekitar lokasi penempatan bubu, bongkahan karang mati yang bertumpuk – tumpuk juga ada karang patah. Adanya patahan terumbu atau posisi karang yang terbalik pada karang massive dan patahan –patahan kecil pada karang yang berbentuk branching.
54
4.5. Hasil Analisis SWOT dan AHP Hasil perhitungan analisis swot berdasarkan dari data kuisioner yang diisi oleh beberapa responden yang mewakili dari beberapa instansi, masyarakat maupun swasta dan LSM setempat. Secara lengkap perhitungan analisis seperti pada tabel 18 berikut ini. Tabel 18 Matriks Internal Factor Analysis Summary (IFAS)
KEKUATAN
Bobot
Rating
Skor
Sumberdaya pesisir dan laut masih Potensial dikembangkan.
0.14
4
0.56
Masyarakat tidak melakukan kegiatan penangkapan yang merusak
0.12
3
0.36
Alat tangkap yang digunakan masih Sederhana
0.10
4
0.4
Solidaritas antar masyarakat masih tinggi
0.10
3
0.3
Belum ada kegiatan yang menimbulkan Pencemaran
0.14
4
0.56
Wilayahnya pulau-pulau kecil
0.08
3
0.24
Kegiatan pasca penangkapan masih Sederhana
0.07
1
0.07
Pola hidup masyarakat yang masih konsumtif tidak mempunyai niat memperbesar modal usaha
0.07
2
0.14
Tidak ada pilihan terhadap jenis alat tangkap dan spesies target
0.05
1
0.05
SDM masyarakat masih rendah Kondisi daratan pulau berbukit
0.04 0.04
3 1
0.12 0.04
Transportasi masih kurang Jumlah
0.05 1
3
0.15 2.99
KELEMAHAN
55
Berdasarkan nilai Internal factor analysis summary (IFAS) didapatkan hasil sebesar 2.99 (tabel 18) sedangkan eksternal factor summary (EFAS) sebesar 3.23 (tabel 19). Nilai tersebut didapatkan dari perkalian bobot dan rating oleh responden terhadap faktor kekuatan dan kelemahan (IFAS) serta peluang dan ancaman (EFAS).Hasil tersebut merupakan analisis dari banyaknya pendapat yang di kumpulkan oleh responden. Masing masing responden mempunyai pendapat yang berbeda sesuai dengan tingkat pemahaman masing – masing dan besar kepentingan
berdasarkan
persepsi
mereka.
Dari
keseluruhan
responden
menunjukkan pula bahwa untuk sector pendukung ekonomi mendapat prioritas yang tinggi jika dibandingkan dengan faktor lainnya. Namun pada dasarnya beberapa responden masih ada yang mengakui bahwa kondisi perairan merupakan factor penunjang kelangsungan kegiatan perikanan, lihat pada tabel 19. Tabel 19 Matriks External Factor Analysis Summary (EFAS) PELUANG
Bobot
Rating
Skor
Daya beli dan permintaaan terhadap ikan karang masih tinggi
0.25
4
1
Akses yang baik ke Singapura maupun ke Batam
0.25
4
1
Kondisi perairan mendukung kegiatan budidaya dengan pengembangan teknologi dan menejemen lebih baik
0.22
3
0.66
ANCAMAN
Bobot
Rating
Skor
Metode penangkapan yang bersifat merusak masyarakat luar Pulau Abang
0.09
1
0.09
Kebijakan pemerintah kurang menyentuh masyarakat
0.09
2
0.18
Akses pasar dari luar sulit masuk dan kurang berkembang
0.1
3
0.3
Jumlah
1
Sumber : data primer
3.23
56
Tabel 20. Matrik SWOT, Perumusan strategi KEKUATAN
1. Sumberdaya pesisir dan laut masih potensial dikembangkan. 2. Masyarakat tidak melakukan kegiatan penangkapan yang merusak 3. Alat tangkap yang digunakan mempunyai daya ekploitatif rendah 4. Solidaritas antar masyarakat masih tinggi 5. Belum ada kegiatan yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan yang nyata 6. Wilayahnya merupakan pulau – pulau kecil KELEMAHAN
1. Kegiatan pasca penangkapan masih sederhana 2. Pola hidup masyarakat yang masih konsumtif tidak mempunyai niat memperbesar modal usaha 3. Tidak ada pilihan terhadap jenis alat tangkap dan spesies target 4. SDM masyarakat masih rendah 5. Kondisi daratan pulau yang berbukit- bukit 6. Transportasi antar pulau masih kurang
PELUANG
1.Daya beli dan permintaaan terhadap ikan karang masih tinggi 2.Akses yang baik ke Singapura maupun ke Batam 3.Kondisi perairan mendukung kegiatan budidaya dengan pengembangan teknologi dan menejemen lebih baik
ANCAMAN
1.Metode penangkapan yang bersifat merusak masyarakat luar Pulau Abang 2.Kebijakan pemerintah kurang menyentuh masyarakat. 3.Akses pasar dari luar sulit masuk dan kurang berkembang kebutuhan operasional penangkapan yang mahal ( BBM, alat tangkap )
STRATEGI
STRATEGI SO 1. Pengembangan usaha marine culture dan wisata bahari 2. Peningkatan pemasaran antar pulau, nasional maupun ekspor STRATEGI ST 1.Pengawasan wilayah perairan berbasis masyarakat. 2.Pengadaan sarana dan prasarana kegiatan perekonomian.
STRATEGI
STRATEGI WO 1. Peningkatan kualitas produksi perikanan 2. Peningkatan kualitas SDM dan data perikanan berbasis masyarakat STRATEGI WT Pemberdayaan masyarakat pesisir dengan membuat mata pencaharian alternative
57
Gambar 9 AHP
58
Hasil Analytical Hierarchi Process (AHP) Hasil AHP (gambar 9) digunakan untuk menentukan skala prioritas terhadap rencana strategi yang yang telah dibuat dalam matriks SWOT. Analisis ini didasarkan pada tingkat konsistensi responden dalam mengisi daftar pertanyaanpertanyaan yang dibangun untuk membuat strategi pengelolaan perikanan di Kelurahan Pulau Abang Kota Batam. Berdasarkan hasil analisis yang telah diproses dengan menggunakan software AHP (Expert choice 2000) didapatkan bahwa tingkat konsistensi responden kurang dari satu per sepuluh. Hal tersebut mengandung arti bahwa jawaban semua responden dalam analisis ini dapat diterima.
Kelemahan
Ancaman
7,9%
21,1% Persentase
Kekuatan
Peluang
26,8%
44,2%
Sumber : data primer Gambar 10 bobot prioritas kriteria SWOT dalam pengelolaan perikanan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang Berdasarkan hasil analis AHP (gambar 10) urutan prioritas dalam kriteria (faktor SWOT) secara berturut –turut adalah : peluang (44.2%) kekuatan (26.8%), ancaman (21.1%), kelemahan (7.9%), dan. Berdasarkan gambar 10 terlihat bahwa masing –masing keempat kriteria SWOT mempunyai nilai yang sangat berbeda. Jika dilihat urutan prioritas dalam sub kriteria dari kriteria peluang yang merupakan prioritas pertama faktor SWOT berturut – turut akses yang baik ke Singapura maupun ke Batam (53.8%), kondisi perairan mendukung kegiatan
59
budidaya dengan pengembangan teknologi dan menejemen lebih baik (24.4%) serta daya beli dan permintaaan terhadap ikan Karang masih tinggi (21.8%). Dari data diatas terlihat bahwa untuk persentase akses ke Singapura dan Batam masih baik sangat tinggi jika dibandingkan dengan dua kriteria lainnya yaitu sekitar 25 %.
Daya beli dan permintaaan terhadap ikan tinggi Kondisi perairan mendukung kegiatan budidaya Akses yang baik ke Singapura maupun ke Batam
21,8
24,4
53,8
Sumber : data primer Gambar 11 bobot prioritas sub kriteria peluang dalam pengelolaan perikanan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang Berdasarkan gambar 11 urutan peluang dalam menentukan rencana strategi pengelolaan sumberdaya perikanan secara berturut – turut adalah Pengembangan usaha budidaya dan wisata bahari (19.5%), pemberdayaan masyarakat pesisir dengan mata pencaharian alternatif (17.1%), peningkatan kualitas menejemen sumberdaya dan sumber data perikanan (14.8%), Peningkatan kualitas produksi perikanan (12.7%), peningkatan pemasaran antar pulau, nasional, ekspor (12.7%), pengadaan sarana dan prasarana kegiatan perekonomian (12.5%), Pengawasan wilayah Perairan Kelurahan Pulau Abang (10.7%),serta Secara lengkap hasil nalisis AHP dapat dilihat pada lampiran 7. Prioritas pertama rencana strategi pengelolaan sumberdaya perikanan di terumbu karang kelurahan Pulau Abang (Pengembangan usaha budidaya dan wisata bahari) jika dikaitkan dengan kriteria SWOT pada Tabel 20 termasuk dalam straategi strengths-opportunies (SO), yaitu memanfaatkan kekuatan yang ada untuk memanfaatkan segala peluang. Prioritas strategi kedua adalah
60
pemberdayaan masyarakat pesisir dengan mata pencaharian alternative termasuk dalam strategi weakness-threats (WT) yaitu dengan memanfaatkan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman.
Pengawasan wilayah perairan Pulau Abang Pengadaan prasarana dan sarana kegiatan perekonomian Peningkatan kualitas produksi perikanan Peningkatan pemasaran antar pulau, dan nasional Peningkatan kualitas sumberdaya manusia Pemberdayaan masyarakat pesisir dengan mata pencaharian alternatif Pengembangan usaha budidaya dan wisata bahari
10,7% 12,5% 12,7% 12,7% 14,8% 17,1% 19,5%
Gambar 12 bobot prioritas rencana strategi pengelolaan perikanan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang
5 PEMBAHASAN 5.1
Kondisi Terumbu Karang. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, secara umum jenis
terumbu karang yang banyak dijumpai di daerah penelitian adalah jenis karang massive dan sub massive dan serta karang lunak (soft coral). Beberapa jenis terumbu karang yang ditemui diantaranya adalah : Porites, Montipora, Helio fungia, pachyseries, Plerogyra sp. Pectinia sp. Dan Galaxea sp. Data dari penelitian LIPI (2004) di Kelurahan Pulau Abang ditemukan 163 jenis karang batu yang terdiri dari 17 family yaitu Pocilloporidae, Acroporidae, Poritidae, Siderastreidae, Agariciidae, Fungidae, Oculinidae, Pectinidae Mussidae, Merulinidae,
Faviidae,
Caryophilliidae,
Tubiporidae,
Hellioporidae,
Milleporidae, Euphillidae, dan Dendrophylliidae. Hasil pengamatan di lokasi penelitian secara keseluruhan rata-rata penutupan karang hidup untuk jenis hard coral sebesar 67.03 %. Tutupan karang di Kelurahan Pulau Abang termasuk dalam kategori baik menurut Gomez dan Yap (1988) karena letak Pulau Abang cukup jauh dari mainland Kota Batam yang mengalami pembanguna darat secara besar - besaran. Menurut Supriharyono (2006) bahwa aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dapat mengganggu ekosistem terumbu karang. Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembanguna fisik yang mengubah bentangan alam, jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah besar, nutrien dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem pembuangan, selain juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minya dan insktisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat menyebabkan pemutihan (Brown dan Odgen, 1993; Meesters et al. 1998). Selain itu wilayah Kelurahan Pulau Abang tidak terdapat sungai dengan demikian kemungkinan terjadinya erosi sedimen dari darat sangat kecil sehingga tidak membawa dampak terhadap kerusakan karang. Masyarakat Kelurahan Pulau
62
Abang tidak melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak maupun racun (destructive fishing) yang mempunyai andil besar dalam kerusakan ekosistem terumbu karang. Menurut Sukarno (1981) Kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bom dan pukat harimau membuat hasil tangkapan ikan karang di perairan Bangka Selatan turun sampai di atas 50 persen. Pada lokasi penelitian secara keseluruhan rata-rata penutupan karang hidup untuk jenis hard coral sebesar 67,03% (tabel 10). Hasil penelitian LIPI pada tahun 2008 di perairan Kelurahan Pulau Abang pada stasiun pengamatan yang berbeda menunjukkan nilai prosentase tutupan karang hidup berkisar antara 39,10% - 84,90% dari 12 lokasi transek (LIPI 2008). Dengan demikian besarnya tutupan karang pada saat pengamatan dapat diterima mengingat hasil yang diperoleh termasuk dalam kisaran pengamatan LIPI (2008) walaupun sebenarnya jumlah titik pengamatan dan koordinat stasiun yang berbeda. Namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya indikasi bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang dari tahun ke tahun akibat aktivitas manusia. Hal tersebut didukung dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa kondisi terumbu karang yang mengalami kerusakan dalam keadaan patah hingga hancur (lampiran 1-6). English et al (1994)
mengemukakan bahwa terumbu
karang merupakan ekosistem yang kurang stabil sehingga sangat sensitive terhadap kerusakan baik itu secara fisik, kimia maupun biologi. Secara fisik dapat terjadi karena aktifitas penangkapan ikan, wisata, penambangan batu karang, sedimentasi daratan dan badai cyclone. Secara kimia dapat terjadi karena polutan yang masuk ke perairan dari kegiatan industry kimia, sampah, serta efek dari penangkapan ikan dengan menggunkan racun. Secara biologi oleh pemangsaan predator karang bintang seribu (Acanthaster plancii) maupun ikan karang jenis kakatua (Scaras gibbas) dimana dapat mengakibatkan erosi alami terhadap struktur karang (Choat & Bellwood 1994). Berdasarkan tabel 10 keadaan karang secara keseluruhan menunjukkan hasil bahwa di stasiun V dan VI (fishing ground pancing) kondisi tutupan karangnya sangat bagus (rata –rata 82 %). Prosentase tutupan karang di stasiun III dan IV (fishing ground bubu) kondisinya bagus (rata – rata 66%) sedangkan di lokasi I
63
dan II kondisinya juga bagus walaupun ada sedikit kurang dari lokasi III dan IV yaitu (rata – rata 61%). Stasiun V dan VI yang merupakan fishing ground pancing, sehingga kondisinya tidak begitu terpengaruh oleh aktifitas penangkapan ikan. Pada dasarnya aktifitas yang memberi dampak langsung hanya jangkar, berbeda jika dibandingkan dengan alat bubu atau kelong. Jangkar yang digunakan nelayan Kelurahan Pulau Abang hanya bermata satu (seperti besi dibengkokkan) sehingga pengaruh kerusakan yang ditimbulkan tidak begitu besar. Dari hasil pengamatan pada waktu penelitian dampak yang ditimbulkan oleh jangkar adalah patahan– patahan pada terumbu karang massive tempat jangkar tersangkut. Rasdani (2005) menyatakan bahwa alat tangkap ikan yang ramah lingkungan adalah alat tangkap ikan yang selektif dan tidak merusak lingkungan perairan serta habitat sumberdaya ikan itu sendiri. Pada stasiun III dan IV (fishing ground bubu) kondisi tutupan karang berkurang jika dibandingkan dengan stasiun V dan VI (fishing ground pancing) hal ini dikarenakan pengoperasian bubu lebih merusak terumbu karang. Peletakan bubu yang terbuat dari besi dan sisinya diberi pemberat kayu akan merusak karang secara langsung. Dalam pengamatan di lapangan nelayan meletakkan bubu di atas terumbu karang, otomatis terumbu karang tersebut menjadi patah pada saat penarikan bubu. Beberapa nelayan meletakkan bubu dengan memberi pemberat dengan bongkahan karang agar posisi bubu tetap stabil bila terkena arus maupun ombak. Mereka mengambil terumbu karang hidup di sekitar bubu yang akan di pasang. Aktifitas seperti inilah yang memberi dampak terhadap terumbu karang. Menurut Susanti (2005) bahwa operasi penangkapan ikan dengan bubu menyebabkan kerusakan fisik terumbu karang karena penimbunan bubu dengan karang dan penginjakan kaki nelayan. Pada stasiun I dan II (fishing ground kelong) kondisi prosentase penutupan karangnya dalam keadaan paling jelek dibandingkan kedua fishing ground lainnya. Pengoperasian alat penangkap ikan kelong pantai yang menggunakan tiang–tiang pancang untuk memasang jaring maupun peletakan perangkap diatas hamparan terumbu karang memberikan dampak kerusakan terhadap penutupan karang. Tiang–tiang pancang yang jumlahnya antara 200 – 300 batang menancap
64
diatas hamparan terumbu karang, otomatis kerusakan yang tidak sedikit dialami oleh terumbu karang. Hasil pengamatan di lapangan, pada tempat – tempat tiang pancang yang tepat diatas terumbu menyebabkan kerusakan terumbu yaitu terumbu yang berlubang dan akhirnya mati sehingga banyak ditumbuhi alga (tutupan alga di lokasi 7%) di sekitarnya. Di tempat peletakan trap (perangkap) sejumlah terumbu karang tertutupi alat tersebut sehingga menyebabkan kematian terumbu karang tepat di bawah perangkap. Menurut Burke L, Seliq E, Spalding M (2002) bahwa wilayah terumbu karang di Asia tenggara yang terancam oleh kegiatan penangkapan yang merusak sebesar 56%. Data tersebut diperoleh dari beberapa bukti yang akurat dan pendapat beberapa ahli terumbu karang. Mereka juga menambahkan bahwa wilayah terumbu karang yang mengalami resiko dari penangkapan yang merusak diestimasikan sebesar 51.000 km² atau 51% dari totak terumbu karang di seluruh wilayah Indonesia.
5.2 Keberadaan Ikan. Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap keberadaan ikan selama observasi di lapangan secara keseluruhan terdapat 16 family ikan yang terdiri dari 50 Spesies ditemukan di 6 stasiun pengamatan (tabel 12). Dari tabel 12 dapat dilihat bahwa family ikan terbanyak dari seluruh stasiun adalah di stasiun V dan Stasiun VI yang merupakan fishing ground pancing. Tingginya jumlah family maupun spesies ikan di stasiun pengamatan ini berkaitan dengan kondisi terumbu karang dilokasi tersebut dalam keadaan baik dan sangat baik. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu banyak menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara keberadaan karang hidup, penutupan karang hidup, serta bentuk pertumbuhan karang (lifeform coral) terhadap jenis dan kelimpahan ikan karang( Wagiyo dan Prahoro. 1994; Gabrie 1998; Hodijah dan Bengen 1999). Menurut Asriningrum W, Wiryawan B, Simbolon D dan Gunawan I (2007) bahwa semakin baik kualitas terumbu dan semakin baik kondisi lingkungan daratan pulau kecil maka semakin baik pula kondisi ikan karangnya. Hasil penelitian LIPI (2008) di Kelurahan Pulau Abang pada koordinat yang berbeda dengan stasiun pengamatan peneliti, ditemukan 3168 ekor ikan dari family Pomacentridae, family ini paling banyak jumlahnya dibanding dengan dari family lainnya.
65
Berdasarkan hasil penelitian LIPI tahun 2008 (lampiran 3) di lokasi penelitian menyatakan bahwa perairan Kelurahan Pulau Abang mempunyai potensi keanekaragaman ikan cukup tinggi (27 family dan 149 spesies). Hasil ini sesuai dengan wawancara dengan nelayan yang dipadukan dengan hasil pengamatan peneliti di lokasi dari hasil identifikasi ikan. Tingginya nilai keanekaragaman ikan di perairan Kelurahan Pulau Abang dikarenakan kondisi terumbu karang sebagai habitat ikan tersebut untuk tumbuh dan berkembang masih dalam keadaan baik (67.03%). Masih sederhananya kegiatan penangkapan ikan (armada dan alat tangkap) oleh nelayan setempat diduga sebagai akibat dari masih mudah untuk mencari ikan di perairan tersebut sehingga tidak terpikirkan oleh mereka untuk menggunakan alat tangkap ikan yang lebih modern. Berdasarkan pola sebaran ikan di lokasi penelitian jika di kaitkan dengan persentasi tutupan karang hidup diketahui bahwa jumlah family dan spesies ikan tertinggi pada stasiun V dan VI (fishing ground pancing) memiliki 11 family dan 25 spesies dengan rata-rata persentasi karang hidup sebesar 74% . Hal tersebut dikarenakan di dekat Pulau Hantu dan Pulau Sepintu kondisi perairannya yang cukup jernih kecerahan sampai dasar sehingga terumbu karang dapat tumbuh dengan baik. Ikan– ikan ekonomis penting cukup banyak ditemukan di wilayah ini, diantaranya ikan famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang). Gabrie (1998) mengemukakan bahwa terumbu karang sebagai tempat berpijah (spawning area) sangat mempengaruhi tingkat survival rate terhadap juvenil –juvenil ikan, dimana semakin bagus tingkat penutupan karang akan semakin tinggi survival rate terhadap juvenile–juvenil ikan di area tersebut. Berdasarkan kriteria pelaksanaan aktifitas penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, juvenile ikan tersebut tetap tidak boleh ditangkap meskipun dalam kategori target utama tangkapan (Matsuoka & Arimoto 1997). Hal ini demi kelangsungan sumberdaya ikan di suatu perairan sehingga stok ikan dapat berlangsung secara lestari. Berdasarkan hasil analisa indek keanekaragam (tabel 14) bahwa kondisi ikan di fishing ground kelong Kelurahan Pulau Abang mempunyai nilai terendah jika
dibandingkan
dengan
lokasi
lainnya
yaitu
sebesar
1.51.
Indek
keanekaragaman ikan di lokasi ini lebih rendah dari pada lokasi yang lain,
66
penyebaran jumlah individu tiap jenis lebih rendah, kestabilan komunitas lebih rendah, tekanan ekologi lebih tinggi jika dibandingkan lokasi penelitian yang lain. Menurut Odum (1992) bahwa jika indeks keanekaragaman antara 1 – 3 tergolong sedang, sehingga tingkat penyebaran individupun termasuk sedang. Hasil pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman ikan di lokasi kelong pantai tidak begitu banyak mengingat lokasi kelong sebagian besar sangat dekat kearah pantai yang cenderung kebanyakan bersustrat pasir bukan terumbu karang seutuhnya. Ikan yang terperangkap ke dalam penaju atau sayap kelong, jenis dan ukuran apapun akan masuk ke daerah bunuhan dan akhirnya tertangkap (Subani dan Barus 1989).
Pengoperasian alat tangkap ikan seperti diatas
menyebabkan turunnya keanekaragaman ikan. Berdasarkan hasil analisa indek dominansi (Tabel 14) bahwa kondisi ikan di fishing ground kelong (Stasiun I) Kelurahan Pulau Abang mempunyai nilai tertinggi jika dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu sebesar 0.45. Hal ini dapat dikatakan bahwa jika nilainya mendekati 0 (0 – 0.50) berarti hampir tidak ada spesies/genera yang mendominasi. Hal ini cukup baik untuk sebuah habitat apabila tidak ada jenis spesies tertentu yang mendominasi karena kestabilan ekologi di wilayah tersebut lebih kuat karena tidak terjadi perebutan ruang maupun makanan sesama jenis spesies. Nilai indeks dominansi di stasiun I tertinggi dibanding dengan stasiun – stasiun yang lain, artinya bahwa di stasiun I dominansi spesiesnya tertinggi sehingga kestabilan ekologi di stasiun I paling rendah dibanding lima stasiun yang lain. Pada saat penelitian banyak ditemukan ikan indikator dari jenis kepe –kepe (Chaetodon octofasciatus). Hal tersebut dikarenakan secara umum jenis ikan ini berasosiasi erat dengan jenis karang branching ataupun acropora branching dimana pada lokasi penelitian banyak di jumpai. Hodijah dan Bengen (1999): Bawole dan Boli (1999): Reese (1981): Markert et al (2003); Aktani (2003) berpendapat bahwa tipe bentuk pertumbuhan (life form) karang menentukan jenis ikan yang berasosiasi di dalamnya.
67
5.3 Dampak Kegiatan Penangkapan Ikan di Terumbu Karang Kegiatan penangkapan ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang dilakukan hampir setiap hari oleh nelayan. Kegiatan penangkapan secara intensif membawa dampak terhadap terumbu karang (tabel 17). Dampak yang ditimbulkan besar ataupun kecil tergantung dari keramahan nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Alat tangkap yang sebenarnya ramah lingkungan apabila pengoperasiannya tidak benar dapat merusak terumbu karang yang rata- rata menjadi tujuan fishing ground nelayan di Kelurahan Pulau Abang. BPP-PSPPL UNRI (2006) menyatakan bahwa adanya pengoperasian alat penangkapan dengan penerapan teknik tertentu sedikit banyak akan menimbulkan akibat bagi lingkungan perairan yang menjadi daerah penangkapan (fishing ground). Dari beragam alat tangkap yang digunakan oleh nelayan, semuanya memberikan tekanan terhadap kerusakan terumbu karang dengan kontribusi berbeda. Alat tangkap bubu, kelong dingkis dan trammel net adalah alat tangkap yang memberikan kerusakan terbesar terhadap terumbu karang, dikerenakan posisi alat, cara operasi dan sasaran penangkapan berada didaerah terumbu karang dan berdampak langsung terhadap ekosistem tersebut (BPP- PSPL UNRI, 2006) Jenis –jenis alat tangkap yang digunakan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang diantaranya adalah bubu, pancing, jarring, dan kelong pantai. Dari beberapa jenis alat tangkap tersebut mempunyai dampak yang berbeda terhadap terumbu karang :
5.3.1 Pancing (handline) Prinsip pengoperasian pancing ulur (handline) adalah memikat ikan menggunakan umpan yang dikaitkan pada mata kail. Setelah ikan memakan umpan, maka
ikan akan tersangkut pada kail ditarik keatas perahu untuk
melepaskan hasil tangkapan. Dan demikian seterusnya dilakukan secara berulang. Pancing yang banyak digunakan nelayan di Kelurahan Pulau Abang adalah jenis pancing ulur (handline). Hasil wawancara dengan nelayan bahwa 100% responden menggunakan alat tangkap ikan yang berupa pancing. Mereka memancing ikan di fishing ground yang merupakan daerah terumbu karang. Nelayan pada saat memancing melego jangkar di terumbu karang. Apabila
68
dihitung jumlah nelayan yang ada di kelurahan tersebut setiap memancing melakukan penjangkaran, maka jumlah terumbu karang yang rusak akan meningkat dari waktu–ke waktu. Hasil pengamatan di lapangan ketika peneliti mengikuti trip nelayan dalam memancing, mendapatkan bukti bahwa walaupun sebenarnya pancing merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan dalam mengoperasikannya, namun masih memberi dampak terhadap terumbu karang. Pada saat mata pancing terkait terumbu karang maka nelayan akan menyentakkan pancingnya agar sangkutan terlepas, hal ini jika mengenai terumbu karang yang rapuh akan menyebabkan kerusakan. Sifat ikan karang sendiri apabila mendapat umpan dari pancing akan membawa mata pancing kita sembunyi di terumbu karang dan apabila nelayan menarik pancingnya dapat merusak terumbu karang. Jangkar yang digunakan nelayan untuk membuang sauh pada wktu memancing terbuat dari besi mempunyai ukuran yang bervariasi. Berat jangkar bias mencapai berat 10 kg dengan panjang antara 0.5 m samapai 1m tergantung dari besar kapal yang digunakan. Jari – jari jangkar yang digunakan sebagai pengait juga bervariasi tergantung kekuatan kapal. Penurunan jangkar kapal atau perahu dapat merusak ekosistem terumbu karang. Cara yang mereka lakukan yaitu dengan melempar jangkar dari atas perahu.Jangkar umumnya diturunkan pada daerah yang memiliki celah untuk menyangkutkan jangkar. Hal ini sesuai dengan pendapat Allison, W. (1996) bahwa jangkar perahu menyebabkan kerusakan terumbu karang. Tujuan perahu melego jangkar diterumbu karang adalah agar perahu tidak hanyut terbawa arus maupun gelombang. Pada saat jangkar ditancapkan ke terumbu dan penarikan jangkar selesai berlabuh di situlah kegiatan yang menyebabkan kerusakan. Adapun kerusakan akibat jangkar kapal untuk memancing dampak yang ditimbulkan mempunyai cirri –ciri adanya patahan terumbu atau posisi karang yang terbalik pada karang massive dan patahan –patahan kecil pada karang yang berbentuk branching. Menurut Mastra bahwa kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun sianida, dan juga aktivitas
69
penambangan karang untuk bahan bangunan. pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi tanah akibat meningkatnya erosi dari lahan atas. Nelayan melakukan penjangkaran hanya pada saat tiba di daerah fishing ground yang dituju. Penjangkaran tidak dilakukan hanya satu kali setiap kegiatan memancing, hal ini disebabkan nelayan akan berpindah – pindah tempat apabila tidak mendapakan hasil di daerah tersebut. Sehingga kerusakan karang yang terjadi tidak di satu tempat saja dalan satu trip memancing. Perkiraan luas kerusakan adalah sebesar ukuran jangkar yang digunakan. Menurut Susanti (2005) bahwa penurunan jangkar kapal atau perahu dapat merusak ekosistem terumbu karang. Jangkar umumnya diturunkan ke daerah yang mempunyai celah untuk menyangkutkan jangkar. Daerah yang umum dipilih adalah daerah terumbu karang. Kerusakan karang yang diakibatkan oleh penjangkaran pada saat memancing dapat dihentikan dengan penggunaan mooring buoy (Sukmara et al 2001). Mooring buoy atau pelampung jangkar adalah alat yang berhubungan dengan jangkar untuk menjaga kapal pada posisi tertentu tanpa menyebabkan kerusakan karang. Sifat apung
mooring buoy membuat jangkar jatuh pada
kedalaman tertentu tanpa menyentuh dasar perairan.
5.3.2 Bubu ( trap) Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan, baik karena pengaruh alam maupun manusia seperti kegiatan penangkapan. Kerusakan ekosistem terumbu karang akibat usaha penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan semakin marak. Bubu adalah perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat ke beberapa daerah penangkapan dengan mudah, dengan atau tanpa perahu (Rumajar 2002). Von Brandt (1984) menambahkan lagi bahwa bubu adalah semacam perangkap yang memudahkan ikan untuk memasukinya dan menyulitkan ikan untuk keluar, alat ini sering diberi nama fishing pots atau fising basket. Pengoperasian bubu oleh nelayan Kelurahan Pulau Abang adalah dengan meletakkan bubu diantara terumbu karang, diatas karang,dan meletakkannya
70
disela-sela terumbu karang. Dalam meletakkan bubu ada beberapa nelayan yang memberi pemberat bubu dengan bongkahan karang, ada juga yang memberi pemberat bubu dengan kayu atau bamboo di sekililing sisi bubu. Kedalaman pemasangan sekitar 3-5 meter bergantung pada kondisi perairan dan ketahanan menyelam nelayan. Nelayan meletakkan bubu di terumbu karang memberi dampak terhadap habitat karang apabila dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Dampak dari pengoperasian bubu di terumbu karang Pulau Abang secara visual dapat dilihat beberapa bongkahan karang berserak di sekitar lokasi penempatan bubu, juga ada karang patah karena terinjak oleh penyelam pada saat menarik bubu, juga gesekan bubu yang mengenai terumbu karang pada saat ditarik ke atas. Menurut BPP-PSPL UNRI (2006) bahwa alat tangkap bubu, adalah alat tangkap yang memberikan kerusakan terbesar terhadap terumbu karang, dikerenakan posisi alat, pengoperasian dan sasaran penangkapan berada di daerah terumbu karang dan berdampak langsung terhadap ekosistem tersebut. Menurut Sukmara et al (2001) Dampak yang ditimbulkan oleh alat tangkap bubu yaitu karang menjadi rusak dan terdapat bongkahan karang mati yang bertumpuk – tumpuk pada beberapa tempat (terutama jenis porites) karang – karang tersebut digunakan untuk menutupi bubu (baik sebagai pemberat maupun untuk menyamarkan bubu). Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang merusak daerah karang selain bom dan sianida. Kerusakan terumbu karang akibat pengoperasian bubu disebabkan oleh kegiatan penjangkaran, penimbunan bubu dengan batu karang, penginjakan karang oleh nelayan dan jejak kapal atau perahu nelayan. Kegiatan – kegiatan ini memberikan pengaruh langsung bagi kerusakan fisik terumbu karang (Susanti 2005). Penimbunan bubu dengan karang dilakukan karena beberapa hal. Bubu ditimbun dengan karang agar bubu berada pada posisi diam. Arus yang kuat dapat menghanyutkan bubu jika bubu disimpan tanpa ditimbun. Karang digunakan sebagai pemberat bubu. Penimbunan bubu dengan karang juga berfungsi sebagai kamuflase sebuah karang. Karang merupakan tempat hidup beberapa ikan – ikan tertentu yang hidup pada daerah karang (gua – gua karang) dan sekitar terumbu
71
karang) akan tertarik pada tumpukan karang yang sebenarna merupakan tumpukan bubu (Ikawati et al 2001). Penginjakan karang oleh nelayan dilakukan saat akan berjalan dari satu bubu ke bubu lainnya. Ketika berjalan nelayan umumnya akan mencari jalan yang tidak berterumbu. Hal ini dilakukan bukan karena adanya kesadaran nelayan akan kemungkinan rusaknya terumbu karang tetapi karena alasan praktis untuk memudahkan nelayan berjalan. Jika nelayan dihadapkan pada daerah berkarang yang masih dapat dilewati, nelayan akan menginjak karang tersebut. Penginjakan karang oleh nelayan memberi dampak bagi kelestarian ekosistem karang. Karang- karang dari jenis yang rapuh bila terinjak akan mengalami kerusakan dan akibat yang lebih parah akan terjadi kematian bagi karang tersebut. Kelestarian ekosistem terumbu karang akan terancam jika frekuensi penginjakan dilakukan secara terus menerus. Kesadaran nelayan untuk tidak menginjak karang dapat membantu mengurangi kerusakan pada terumbu karang. Kerusakan karang yang terjadi akibat pengoperasian bubu tidak memberikan efek kerusakan yang besar dibandingkan dengan penggunan bom. Namun demikian kerusakan ini akan menjadi besar dengan pengoperasian bubudalam jumlah yang besar dan frekuensi yang tinggi pada suatu daerah penangkapan (fishing ground). Kerusakan terumbu karang akibat pengoperasian bubu jika diperhitungkan dalam jumlah bubu yang diganakan dan periode waktu tertentu akan menjadi kerusakan besar. Pengoperasian alat tangkap ini masih berlangsung dan mengancam kelestarian ekosistem karang di Kelurahan Pulau Abang. Kerusakan karang akan terus terjadi jika metode pengoperasian bubu di Kelurahan Pulau Abang dilakukan dengan cara yang sama.
5.3.3 Kelong Pantai Kelong pantai (sero) digolongkan ke dalam kelas perangkap (trap). Bentuk kelong pantai di Kelurahan Pulau Abang terdiri atas penajo, sayap dan bunuhan. Penajo dan sayap terbuat dari kayu–kayu yang di pancangkan ke dasar laut, sepanjang penajo dan sayap dipasang jaring dan meletakkan perangkap diujung
72
penajo dan sayap. Perangkap yang digunakan pada kelong pantai di Kelurahan Pulau Abang menggunakan anyaman besi yang berbentuk balok dengan ukuran panjang 1.5-2 m dan lebar 1.5 m serta dalamnya 1m. Perangkap biasanya di letakkan di atas pasir atau terumbu karang di ujung penajo dan sayap. Prinsip pengoperasian kelong pantai adalah dengan menghadang arah gerakan ikan dengan menggunakan panajo dan sayap. Alat ini memenfaatkan sifat ikan yang bergerak ke arah perairan yang lebih dalam sehingga ikan tergiring masuk kedalam bunuhan (perangkap) dan akhirnya terjebak. Setelah ikan terjebak nelayan mengambil ikan di dalam perangkap ( Subani dan Barus, 1989). Dampak dari pengoperasian kelong pantai di perairan sekitar terumbu karang Kelurahan Pulau Abang secara visual yang terlihat adalah kayu – kayu pancang untuk penajo dan sayap yang dipasang di terumbu karang dan pasir sekitar terumbu (tabel 17). Pada lokasi tiang pancang yang bertepatan dengan letak terumbu karang menyebabkan lubang pada hamparan terumbu (lampiran 1). Selain itu juga ditemukan tiang –tiang pancang yang roboh tepat di hamparan terumbu karang menyebabkan terumbu karang retak
hingga patah. Menurut
direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan (2005) untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan perlu juga dilihat dari penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan yaitu dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan, daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang bertanggungjawab. Kerusakan karang yang terjadi akibat pengoperasian kelong pantai tidak memberikan efek kerusakan yang besar dibandingkan dengan penggunan bom. Namun demikian kerusakan ini akan menjadi besar dengan pengoperasian kelong pantai dalam jumlah yang besar pada suatu daerah penangkapan (fishing ground). Kerusakan terumbu karang akibat pengoperasian kelong pantai jika diperhitungkan dalam jumlah kelong pantai yang diganakan dan periode waktu tertentu akan menjadi kerusakan besar. Pengoperasian alat tangkap ini masih berlangsung dan mengancam kelestarian ekosistem karang di Kelurahan Pulau Abang. Kerusakan karang akan terus terjadi jika metode pengoperasian kelong panatai di Kelurahan Pulau Abang dilakukan dengan cara yang sama.
73
5.4 Strategi Penggunaan alat Tangkap ikan yang Ramah Lingkungan di Terumbu Karang Kelurahan Pulau Abang Hasil analisa SWOT berdasarkan Tabel 20 jumlah skor pembobotan pada matrik IFAS menunjukkan nilai sebesar 2.99. Nilai tersebut mengandung arti bahwa reaksi masyarakat Kelurahan Pulau Abang terhadap faktor–faktor internal menunjukkan hasil pada tingkat rata–rata. Hal tersebut mengandung arti masih ada kesempatan memperbaiki manajemen serta kualitas sumber daya manusia di Kelurahan Pulau Abang untuk mengurangi kelemahan yang ada di wilayah tersebut jika dilakukan dengan sungguh – sungguh dan kerjasama antar semua pihak. Jumlah skor pembobotan matrik EFAS menunjukkan nilai sebesar 3.23 (tabel 19). Nilai tersebut mengandung arti bahwa kondisi masyarakat Kelurahan Pulau Abang mampu merespon situasi eksternal secara rata–rata. Artinya kemampuan masyarakat Kelurahan Pulau Abang memanfaatkan peluang yang dimiliki untuk menghindari ancaman yang dating dari luar dalam kisaran rata– rata. Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS secara keseluruhan dapat dilihat bahwa masyarakat Kelurahan Pulau Abang mampu merespon segala kegiatan yang nantinya akan dilaksanakan asal diimbangi dengan pelaksanaan pendampingan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kerjasama tersebut lebih bersifat kemitraan bukan bersifat top down.
Sebuah pengelolaan perikanan yang baik dan berbasis masyarakat
diharapkan dapat menghapus segala bentuk kelemahan dan ancaman yang terjadi di wilayah Kelurahan Pulau Abang. Setelah memperhatikan segala potensi sumber daya dan aktifitas perikanan di Kelurahan Pulau Abang dan digabungkan dengan faktor internal dan eksternal dengan analisis SWOT yang terdapat di Kelurahan Pulau Abang, selanjutnya disusun rencana strategi pengelolaan perikanan di terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Rencana strategi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam rencana program agar pengelolaannya dapat dilakukan dengan lebih spesifik dan terfokus berikut ini :
74
5.4.1 Strategi “kelemahan – peluang” Strategi ini dibuat dengan meminimalkan semua kelemahan yang dimiliki Kelurahan Pulau Abang untuk memanfaatkan peluang yang sudah ada. Secara umum kelemahan tersebut adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Hal tersebut dikarenakan Kelurahan Pulau Abang yang berupa pulau – pulau kecil dengan segala keterbatasan teknologi, informasi serta pendidikan membuat masyarakat setempat kurang mengetahui metode dan asupan teknologi untuk meningkatkan nilai produk mereka. Hal inilah yang membuat mayoritas nelayan penangkap ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi tersebut sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan para pedagang pengumpul (Tauke) yang lebih unggul dalam hal informasi, fasilitas serta pendidikan dari nelayan kecil.Usaha yang dilakukan dalam membuat rencana strategi tersebut dititikberatkan terhadap peningkatan kualitas hasil penangkapan sehingga harganya bisa lebih tinggi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia serta manajemen sumberdaya alam. Hal tersebut dimaksudkan agar sumber daya ikan di terumbu karang dapat dimanfaatkan secara optimal dalam arti secara sosial ekonomi dapat meningkatkan pendapatan nelayan kecil dan menciptakan pemerataan kesejahteraan antara nelayan tangkap dengan pedagang pengumpul dan secara ekologi kegiatan tersebut tidak mengancam stok ikan di wilayah Kelurahan Pulau Abang. Kegiatan yang dilakukan dalam rencana strategi adalah perbaikan manajemen sumberdaya manusia dan potensi perikanan berbasis partisipasi masyarakat. Untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan Kelurahan pulau Abang khususnya para nelayan kecil perlu adanya perbaikan manajemen baik itu dalam metode penangkapan, pasca penangkapan, sampai ke pemasaran sehingga nelayan Kelurahan Pulau Abang dapat menjadi nalayan yang mandiridan tidak tergantung seutuhnya pada potensi sumber daya perairan. Perbaikan manajemen juga dilakukan dalam hal pendataan hasil perikanan di wilayah tersebut agar nantinya dapat digunakan dalam pembuatan kebijakan perikanan yang sesuai. Langkah-langkah untuk memperbaiki manajemen sumberdaya manusia dan potensi perikanan dilakukan melalui rencana program sebagai berikut :
75
¾ Pelatihan-pelatihan mengenai peningkatan manajemen sumber daya manusia yang berkaitan dengan cara – cara menangkap ikan yang ramah lingkungan. ¾ Perbaikan data statistik sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Abang secara berkelanjutan dan up to date sehingga potensi Sumber daya dapat dimonitor setiap saat, ¾ Pengadaan numerator dalam bidang perikanan (dapat diambil lulusan SMA penduduk setempat yang tidak melanjutkan sekolah) kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Batam. ¾ Pembentukan koperasi nelayan atau pengumpul ikan,
5.4.2 Strategi “ kekuatan - ancaman” Rencana strategi yang dibuat adalah dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki Kelurahan Pulau Abang untuk mengatasi ancaman dari luar. Ancaman terbesar dalam pemanfaatan sumber daya ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang adalah kegiatan penangkapan dengan metode yang merusak dari nelayan luar pulau Abang seperti nelayan dari Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Nelayan dari luar ini biasanya melakukan operasinya di pulau – pulau yang tidak berpenghuni
dan
jauh
dari
pemukiman
masyarakat
Kelurahan
Pulau
Abang.Kegiatan tersebut apabila tidak segera diatasi dapat mengancam keberadaan sumber daya alam yang berupa penurunan stok ikan dan kerusakan terumbu karang di perairan tersebut. Kurang keberpihakan di bidang perikanan yang datang dari pemerintah mengakibatkan kegiatan perikanan di Kelurahan Pulau Abangkurang menghasilkan nilai tinggi dikarenakan kurangnya asupan teknologi tinggi dan pengetahuan nelayan setempat.Rencana strategi dalam hal ini lebih difokuskan kepada pengawasan wilayah perairan Kelurahan Pulau Abang terhadap nelayan dari luar yang merusak serta menumbuhkan kembali kegiatan perikanan melalui pembangunan fasilitas didaerah tersebut oleh pemerintah. Kegiatan tersebut diharapkan nantinya dapat menghidupkan kegiatan ekonomi khususnya di bidang perikanan yang nantinya dapat membuka peluang investasi di Kelurahan Pulau Abang. Rencana strategis yang dibuat adalah sebagai berikut : 1) Pengawasan wilayah perairan Kelurahan Pulau Abang berbasis masyarakat.
76
Untuk menjaga agar stok sumber daya di perairan Kelurahan Pulau Abangdapat di manfaatkan secara optimal oleh masyarakat setempat, maka perlu adanya penjagaan kawasan perairan mereka terhadap pelaku – pelaku penangkapan dengan metode yang merusak. Pengawasan tersebut akan lebih efektif dan efisien jika melibatkan masyarakat setempat secara langsung dalam hal ini masyarakat diajak ikut serta dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Langkah – langkah yang diperlukan dalam pengawasan di wilayah Kelurahan Pulau Abang tertuang dalam rencana program berikut ini : ¾ Pengadaan pos- pos penjagaan di wilayah perairan yang rawan terhadap penangkapan dengan metode merusak. ¾ Lebih mengaktifkan lagi kelompok Siswasmas untuk melakukan pengawasan wilayahnya. ¾ Penguatan kearifan lokal untuk melindungi sumber daya pesisir dan Kelautan Kelurahan Pulau Abang yang disepakati semua anggota masyarakat dan dijadikan perda.
2) Pengadaan sarana dan prasarana kegiatan perikanan Agar sektor perikanan dapat memberi kontribusi yang berarti bagi perekonomian di wilayah Batam maka pemerintah perlu membangun dan mengadakan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan perikanan di wilayah Kelurahan Pulau Abang. Diharapkan dengan pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan tersebut dapat meningkatkan produktivitas nelayan. Lewat sarana dan prasarana yang dibangun para nelayanpun akan lebih mudah melakukan kegiatan perikanan, misalnya dengan menyediakan sarana transportasi yang kontinyu ke Kelurahan Pulau Abang akan memeperlancar perekonomian masyarakat Pulau Abang keluar kecamatan. Pengadaan fasilitas juga dapat meningkatkan iklim investasi di wilayah ini. Rencana program di bidang perikanan tangkap yang dapat diiplementasikan dalam melestarikan terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang adalah sebagai berikut : ¾ Pembuatan tambatan apung (mooring buoy) di fishing ground yang berterumbu karang.
77
¾ Pengadaan alat tangkap ikan sejenis kelong pantai yang tidak merusak terumbu karang. ¾ Pengadaan alat tangkap bubu yang ramah lingkungan. ¾ Perbaikan pelabuhan atau dermaga
5.5 Prioritas Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berdasarkan hasil analisis AHP didapatkan bahwa prioritas pertama yang harus diperhatikan dalam criteria SWOT adalah factor peluang (gambar7). Hal tersebut mengandung arti bahwa untuk membuat sebuah pengelolaan sumber daya perikanan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang hal pertama yang harus diperhatikan adalah peluang yang ada. Diharapkan dengan memanfaatkan peluang dengan sebaik – baiknya maka akan dapat meningkatkan nilai pendapatan di sektor perikanan dengan tidak merusak ekosistem terumbu karang di perairan tersebut. Faktor akses yang baik ke Singapura maupun ke Batam merupakan prioritas pertama yang harus diperhatikan karena letak Kelurahan Pulau Abang sangat dekat ke Singapura jika ditempuh dengan transportasi laut dan ke Kota Batam juga sangat mudah melalui jalur darat dengan akses transportasi yang sudah lancar. Menurut haasil penelitian dari LIPI (2007) bahwa masyarakat Kelurahan Pulau Abang untuk menjual hasil perikanannya tujuan utamanya adalah Singapura. Dengan memanfaatkan akses yang relative mudah diharapkan nelayan di Kelurahan dapat meningkatkan produksi ikan dengan usaha budidaya mengingat kondisi perairan di Kelurahan Pulau Abang masih mendukung asalkan dibarengi dengan pengembangan teknologi dan manajemen yang baik untuk memenuhi permintaan pasar di Batam dan Singapura yang masih tinggi. Prioritas pertama dalam rencana strategi pengelolaan sumber daya perikanan di terumbu karang kelurahan Pulau Abang adalah pengembangan usaha budidaya dan wisata bahari. Usaha perikanan tangkap di daerah terumbu karang merupakan usaha yang sangat riskan terhadap kerusakan karang di suatu perairan. Pengelolaan dan kebijakan yang salah dapat merusak lingkungan dan stok sumber daya di perairan tersebut (Nikijuluw 2002). Status perikanan di Kelurahan Pulau Abang yang masih dalam kategori usaha kecil dengan alat tangkap sederhana haruslah tetap dipertahankan agar terjadi kelestarian sumberdaya di terumbu
78
karang. Oleh karena itu untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat Kelurahan Pulau Abang terhadap potensi perikanannya perlu dilakukan strategi usaha budidaya dan wisata bahari. Usaha budidaya ikan dapat dilakukan dengan membuat daerah percontohan terlebih dahulu yang melibatkan partisipasi langsung masyarakat setempat. Kegiatan tersebut lebih diprioritaskan untuk wilayah–wilayah yang kondisi terumbu karangnya mengalami penurunan. Berdasarkan wawancara dengan nelayan setempat bahwa sebagian besar nelayan enggan melakukan usaha budidaya karena kurangnya modal dan pengetahuan. Hal ini terbukti bahwa usaha budidaya yang ada di Kelurahan pulau Abang baru sebatas contoh yang dikelola oleh beberapa kelompok masyarakat dalam kegiatan proyek COREMAP II KOTA BATAM. Mayoritas nelayan melakukan budidaya hanya untuk usaha sampingan tatkala mereka tidak melaut ada musim utara maupun selatan (LIPI, 2007). Usaha budidaya yang mereka lakukan sebatas menanmpung ikan ekonomis penting yang tertangkap hidup tetapi ukurannya belum mencapai barat yang diminati konsumen. Usaha Budidaya harus didukung terlebih dahulu oleh pemerintah maupun pihak swasta baik dalam pemodalan maupun pengetahuan melalui program kemitraan. Potensi wisata bahari dapat dilakukan di Sekitar Kelurahan Pulau Abang karena kondisi terumbu karang dan ikan yang masih dalam kondisi bagus dan mempunyai keanekaragaman yang lumayan untuk dilihat. Kegiatan menyelam ataupun snorkeling dapat dilakukan karena kondisi perairan yang cukup jernih ,kecerahan dapat mencapai dasar perairan, dan kadar kualitas air masih dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Standar Baku Mutu kualitas air (LIPI, 2004) sehingga memudahkan wisatan yang ingin melakukan kegiatan snorkeling tanpa harus menyelam ke dasar. Wisata snorkeling lebih aman untuk terumbu karang, karena kemungkinan untuk menginjak – injak karang saat melakukan snorkeling lebih kecil jika dibandingkan aktivitas menyelam. Potensi ini juga diperkuat oleh karakteristik sosial dan budaya yang memiliki kekhasan, misalnya penduduknya yang ramah dengan sifat kekeluargaan yang tinggi, bentuk rumah di Kelurahan Pulau Abang sebagian besar merupakan rumah pantai yang memiliki keunikan tersendiri (LPM-UIB, 2005). Kegiatan tersebut harus diimbangi dengan promosi
79
wisata ke luar (misalnya Singapura, Malaysia) dan penyediaan sarana prasarana yang memadai serta mempersiapkan sumber daya manusia sebagai pemandu wisata atau pemandu selam. Prioritas strategi selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah pemberdayaan masyarakat pesisir dengan mata pencaharian alternatif. Untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang secara terus menerus melalui usaha penangkapan perlu adanya alternative mata pencaharian di Kelurahan Pulau Abang. Mata pencaharian alternative juga dapat dimanfaatkan sebagai penolong pada musim gelombang besar yaitu bertepatan dengan musim utara dan selatan. Bentuk – bentuk usaha yang sesuai adalah usaha sederhana yang memanfaatkan sumber daya yang ada di kelurahan Pulau Abang untuk diolah sehingga menghasilkan produk yang mempunyai nilai tinggi. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan untuk melatih dan membina masyarakat setempat yaitu dengan menghidupkan kembali kelompok – kelompok wanita nelayan melalui kegiatan PKK, mengadakan pelatihan melalui pengiriman nelayan keluar Kota Batam (study banding) dan pelatihan secara intensif kepada wanita – wanita nelayan untuk membuat produk – produk perikanan (baso ikan, abon ikan, kerupuk kulit ikan dodol dan manisan dari rumput laut, kerajinan tangan dari limbah perikanan) sebagai oleh – oleh khas Kelurahan Pulau Abang. Hasil penelitian LIPI (2007) tentang BME (Batam Monitoring Ecology) sesi sosial ekonomi bahwa pada tahun 2007 telah terjadi penurunan jumlah nelayan yang melakukan usaha penangkapan dari (80%) tahun 2005 sekarang menjadi (76%). Menurut hasil penalitian tersebut penurunan terjadi karena masyarakat Kelurahan Pulau Abang banyak beralih ke mata pencaharian alternative. Prioritas ketiga yang tidak kalah penting juga dalam strategi pengelolaan perikanan di terumbu karang adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan potensi perikanan berbasis partisipasi masyarakat. Kegiatan tersebut dimulai dengan memperbaiki data perikanan khususnya di Kelurahan Pulau Abang dan Kota batam secara keseluruhan secara up to date dengan melibatkan enumerator dari wilayah setempat. Data tersebut dapat digunakan untuk membuat sebuah kebijakan dalam pemanfaatan ikan di terumbu karang di Kota Batam. Menurut hasil penelitian BPP-PSPL UNRI (2006) bahwa tingkat pendidikan rata-rata di
80
Kelurahan Pulau Abang 17% tidak tamat SD, 50% tamat SD dan tamat SMP hanya 9%. Program selanjutnya adalah pelatihan manajemen kewirausahaan baik di bidang perikanan maupun wisata bahari. Prioritas keempat adalah Peningkatan Pemasaran keluar Pulau Maupun ke skala nasional. Kegiatan peningkatan pemasaraan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Selama ini nelayan kelurahan pulau Abang hanya menjual ikannya ke Singapura untuk jenis yang memenuhi kualitas ekspor (LIPI, 2007) sedangkan untuk ikan yang tidak masuk kualitas hanya dijual ke Kota Batam. Dengan adanya permintaan pasar yang tinggi dari daerah lain, diharapkan mampu mendorong masyarakat pulau abang untuk meningkatkan teknologi atau usaha budidaya untuk peningkatan produksi. Prioritas kelima adalah pengadaan prasarana dan sarana kegiatan perekonomian. Hasil penelitian BPP- PSPL UNRI (2006) bahwa pada saat ini untuk sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi di Kelurahan Pulau Abang belum ada sama sekali baik itu sekedar pasar harian, maupun TPI. Kehaditan pasar harian diharapkan mampu menggeliatkan sector ekonomi di Kelurahan tersebut. Masyarakat Pulau Abang untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari harus ke Kota Batam untuk berbelanja. Program yang mendesak untuk disediakan untuk mendukung strategi ini adalah pendirian pasar dan TPI. Dengan adanya pasar dan TPI diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Prioritas keenam adalah Peningkatan kualitas produksi perikanan. Hasil penelitian BPP- PSPL UNRI (2006) bahwa pada saat ini untuk sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi terutama penanganan hasil tangkapan, di Kelurahan Pulau Abang hanya memiliki 2 pabrik es untuk menyuplai nelayan selutuh Kelurahan Pulau Abang. Prasarana penunjang yang lain belum tersedia. Program
yang bisa dilakukan oleh pemerintah misalnya menyediakan cold
storage agar hasil tangkapan nelayan tidak cepat turun kualitasnya sehingga mempunyai nilai jual yang tinggi. Prioritas terakhir adalah pengawasan wilayah perairan Pulau Abang. Hasil dari wawancara dengan mayarakat Kelurahan Pulau Abang bahwa masih ada masyarakat dari luar pulau abang yang melakukan usaha penangkapan dengan cara yang merusak. Menurut hasil laporan RPTK (Rencana Pengelolaan Terumbu
81
Karang) tahun 2007, untuk mengadakan pengawasan perairan mereka telah membentuk kelompok pengawasan (POKMASWAS). POKMASWAS adalah kelompok masyarakat yang melakukan pengawasan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan dan mempunyai jaringan pengawasan dengan kelompokkelompok pengawas lainnya dan atau aparat pengawas (PPNS, Satpol AIR dan TNI-AL). Berdasarkan prioritas yang dihasilkan melalui proses AHP bahwa program yang diinginkan masyarakat setempat maupun unsur pemerintah daerah baru sebatas nilai ekonomi saja. Dari urutan prioritas sangat jelas bahwa mereka belum terpikir untuk mengarahkan kebijakan kearah perikanan atau penjagaan kelestarian lingkungan. Sebagai contoh adalah kriteria pengawasan mendapat prioritas terakhir, padahal pengawasan sangat penting untuk menjaga ekosistem terumbu karang agar tidak rusak akibat dampak dari kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun nelayan dari luar. Demikian juga peningkatan kualitas sumberdaya manusia seharusnya mendapat prioritas yang utama karena kualitas sumberdaya masyarakat sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat yang nantinya akan membawa mereka ke tahapan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap ekosistem terumbu karang. Apabila sumberdaya manusia ditingkatkan dalam pengetahuan tentang teknik penanggunaan alat tangkap ditembu karang yang ramah lingkungan, ekosistem terumbu karang akan terjaga kelestariannya. Seharusnya pemerintah setempat dan LSM gencar mengadakan pelatihan-pelatihan tentang tata cara menangkap ikan yang ramah di terumbu karang. Prioritas ketiga yang seharusnya diutamakan adalah pengadaan srana dan prasarana penunjang kegiatan penangkapan ikan di terumbu karang yang tidak merusak lingkungan. Sebagai contohnya adalah pembangunan tambatan apung ( mooring buoy), penggunaan alat tangkap sejenis kelong pantai yang ramah lingkungan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan akhir dari suatu pengelolaan perikanan di kawasan terumbu karang susah seharusnya dapat diharapkan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, namun demikian kelestarian lingkungan terumbu karang dan kelestarian lingkungan pesisir pada umumnya sudah seharusnya mendapat perhatian yang serius.
6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kelurahan Pulau Abang dalam keadaan bagus (rata-rata persentase hard coral 67.03%). Prosentase tutupan terumbu karang bagus karena nelayan menangkap ikan di daerah tersebut tidak menggunakan alat tangkap bom dan racun, letak Pulau Abang cukup jauh dari mainland Kota Batam yang mengalami pembangunan darat secara besar – besaran, dan wilayah Kelurahan Pulau Abang tidak terdapat sungai dengan demikian kemungkinan terjadinya erosi sedimen dari darat sangat kecil. Keberadaan ikan karang masih dapat di kategorikan sedang (17 famili dan 50 spesies) dengan indek keanekaragaman (dari semua lokasi 1.9). Kondisi perikanan di terumbu karang dapat dipertahankan dengan cara menangkap ikan dengan alat yang ramah lingkungan dan tidak melakukan penangkapan dengan cara yang merusak (destructive fishing). Pengoperasian alat tangkap ikan mempunyai dampak terhadap kondisi terumbu karang, namun demikian alat tangkap ikan jenis kelong pantai mempunyai dampak paling besar terhadap kerusakan terumbu karang maupun ikan. Tancapan tiang – tiang untuk membuat kelong pantai menyebabkan lubang – lubang di terumbu karang sehingga banyak karang yang mati. Arahan teknik penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu dengan membangun sarana prasarana penangkapan di daerah terumbu karang yang bisa mengurangi dampak dari penggunaan alat tangkap ikan misalnya membangun tambatan apung (mooring buoy).
6.2. Saran Diperlukan pengaturan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan di terumbu karang di Kelurahan Pulau Abang yaitu dengan mewajibkan nelayan yang memancing di terumbu karang menggunakan sistem penjangkaran mooring buoy, pembuatan kelong pantai dengan tiang pancang yang menghindari ekosistem terumbu karang dan mengoperasikan bubu tidak diatas terumbu karang atau tidak menggunakan karang untuk menutupi bubu.
DAFTAR PUSTAKA Aktani U. 2003. Fish Communities as Related to Substrate Characteristic in the Coral Reefs of Kepulauan Seribu, Marine National Park, Indonesia, Five Years After Stopping Blast Fishing Practices. Desertation. Bremen University. Jerman. Allison, W. 1996. Snorkeler damage to reef corals in the Maldive islands. Coral Reefs 15: 215-218. Asriningrum, W. Wiryawan, B. Simbolon D. Gunawan I. 2007. Pemodelan Klasifikasi Terumbu Berbasis Geomorfologi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang. Buletin PSP. Volume XVI. NO. 3 Ayodhya. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sari. 97 Hlm Allen G. et al. 2004. Handy Pocket guide to tropical Coral Reef Fishes of Indonesia. Singapore: Periplus 64 p Aziz, K. 2008. Memutus Mata Rantai Pengeboman Ikan. Google [21 Januari 2008] Barnes DJ, Lough JM. 1999. Porites Growth Characteristics In A Changed Environment: Misima Island, Papua New Guinea. Coral Reef (18): 213 – 218. Bappeko Kota Batam . 2007. Batam dalam Angka . Batam. Pemerintah Kota Batam. Bawole R, Boli P. 1999. Asosiasi Ikan Chaetodontidae dengan Bentuk Pertumbuhan Karang di Pulau Lemon Manokwari, Irian Jaya. Di dalam : Soemodiharjo et al., editor Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu karang Indonesia, Jakarta 22 -23 Nopember 1999. Jakarta : COREMAP. Hlm 222 -228 Bell JD & Galzin R. 1984. Influence of Life Coral Cover on Coral Reef-Fish Communities. Marine Ecology Progress Series. 15:265-274. Bengen, D.G, Tahir, A., Wiryawan, B. 2003. Program Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Bogor: PKSPL IPB. 44 hlm. Bengen D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor. 62 p. Bouchon-Navaro Y, & C. Bouchon. 1989. Correlations between chaetodontid fishes and coral communities of the Gulf of Aqaba (Red Sea). Environmental Biology of Fishes (25): 47-60
84
BPP-PSPL UNRI. 2006. Studi Penyiapan Kawasan MMA di Kec. Galang Kota Batam, PSPL UNRI.
Brown, B.E. 1993. “Worldwide death of corals-natural cyclical events or manmade pollution”. Marine Pollution Bulletin, 18 : 9-13. Brown, B.E.. and Howard, L.S. 1999 Assessing the effect of ‘stress’ on coral reefs. Adv. Mar. Biol. 22: 1-63. Burke, L. Seliq, E. Spalding, M. 2002. Reef at Risk in Southeast Asia. Washington DC. Worl Resources Institute. Choat J, Bellwood D. 1994. Wrasse and Parrotfishes. Di dalam : Paxton J. Escmeyer W, editor. Encyclopedia of fihes. Hongkong: UNSW. Clark, C.W. 1985. Bioeconomic Modelling of Fisheries Management. John Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. COREMAP KOTA BATAM. 2005. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Terumbu karang. Batam.95 hlm. COREMAP KOTA BATAM. 2006. Renstra Pengelolaan Terumbu karang. Batam.64 hlm. Connell, D.W. 1978. “Protecting the Great Barrier Reef”. Marine Pollution Bulletin, 1 : 51-52. LIPI - COREMAP II. 2008. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Batam tahun 2008, Jakarta : LIPI.67 hlm. LIPI - CRITC COREMAP II. 2007. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Batam tahun 2007, Jakarta : LIPI. 57 hal. LIPI - CRITC. 2005. Study Baseline Ekologi Batam tahun 2004, Jakarta : LIPI.143 hlm. Dahuri, R., Jais, J, J., Ginting, P., Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. 328 hlm. Dahuri, R.. 1998. Strategi Dasar Pembangunan Kelautan Di indonesia. Bogor: PKSPL. Institut Pertanian Bogor. Dahuri, R.. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.412 hlm.
85
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Batam . 2007. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Batam . Batam. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2002. Profil Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta: DKP.157 hal. DKP[Departemen Kelautan dan Perikanan].2004 Pedomam Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Jakarta: DKP Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Hlm 33 English S, Wilkinson C and Baker V. 1994. Survei Manual for Tripical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia. ERDMANN, M. 1995. Destructive fishing practices in the Pulau Seribu Archipelago. In: UNESCO Reports in Marine Science, Proceedings of the UNESCO Coral Reef Evaluation Workshop, Jakarta, Sept. 1995. Fahrudin, A. 1997. Metode Penelitian dan Analisis Data Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove. PKSPLIPB. Bogor. FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Department (online). Accessed 9 Juli 2002: 24 pp. Frank Uri., O. Mokady. 2002. Coral Biodiversity and Evolution: recent molecular contribution. Can. J. Zool. 80:1723-1734 (2002). Gabrie C. 1998. State of Coral Reefs: in French Overseas Departement and Territoris ministry of Spatial Planning and Development. Perancis: State Scretariat for Overseas Affairs, Gomez, E.D, Alino P.M. Yap H.T. and Licuanan W.Y. 1994. A Review of The Status of Philiphina Reef . Marine Pollution Bulletin 29 (1 – 3): 62 -68 PP. Hodijah SN, Bengen DG.1999. Asosiasi antara komonitas Ikan Karang dan Bentuk Pertumbuhan Karang (lifeform) Karang di Taman Laut 17 Pulau Riung, Ngada, Flores, NTT [Abstrak] Di dalam : Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu karang Indonesia, Jakarta 22 -23 Nopember 1999. Jakarta : COREMAP. Hlm 222 -228 Ikawati Y, Hanggarawati PS, Parlan H, Handini H, Siswodiharjo B. 2001. Terumbu karang di Indonesia. Jakarta: MAPPIPTEK. 198 hlm. Lieske E, Myers R. 1997. Reef Fishes of the World. Thailand : Periplus. 400p LPM-UIB, LIPI. 2005. Studi Pengembangan Ekowisata Bahari di Kelurahan Pulau Abang. Batam. LIPI – COREMAP II.
86
Martasuganda.S. 2008. Bubu (Traps). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Markert BA, Breure AM, Zechmeister HG, editor. 2003. Bioindicators & Biomonitors: Principles, Concepts, and Applications. Amsterdam: Elsevier xviii+997pp Mastra,R.R. 2003. Penggunaan Citra Untuk Memantau Perubahan Dan Kerusakan Kawasan Pantai. Proseding makalah. Matsuoka T. 1995. A Method to Calculate Selectivity of Gillnet with a Probability Model Based on Variation of Body Girths, [tidak dipublikasikan]. Japan: Kagoshima University Faculty of Fisheries, 21p. Mawardi, W. 2003. Ekosistem Terumbu Karang Peranan, Kondisi Dan Konservasinya. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. McClellan, Kate, and John Bruno. ( 2008). Coral degradation through destructive fishing practices. In: Encyclopedia of Earth. Eds. Cutler J. Cleveland Washington, D.C.: Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment. Meesters EH, Bak RPM, Westmacott S, Ridgley M, dan Dullar S. 1998. A Fuzzylogic Model to Predict Coral Reef Development Under Nutrient and Sediment Stress Biol Conserv 12:957-965. Monintja, D.R. dan S. Martasuganda. 1991. Teknologi Pemanfaatan Sumber daya Hayati Laut II ( tidak diperjualbelikan) proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai. Jakarta : COFISH Project. Nikijuluw V. 2002. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Jakarta: P3R. Nontji. A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 351 hlm. NSW Department of Primary Industries. 2006. Fishery Management Strategy for NSW Ocean Trap and Line Fishery. NSW Department of Primary Industries. Cronulla NSW. 104p. Nybakken, J.W. 1982. Marine Biology: An Ecological Approach. Edisi Bahasa Indonesia ( Terjemahan oleh : M. Eidman, Koesbiono, D.G. Bengen, M Hutomo dan Sukristijono). Jakarta: P.T. Gramedia. 459 hlm. Odum, E.P. 1992. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders Company. Philadelphia. 574p.
87
Palupi, R.D. 2006. Pengelolaan Perikanan Karang di Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Panayotou, T. 1982. Management Concept for Small-scale Fisheries : Economic and Social Aspect. FAO-UN. Rome. 53p. Pauly, D. 1979. Theory and management of tropical multispecies stocks, with emphasis on the Southeast Asian demersal fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. 35 p. Pearse, V.B. and Muscatine, L. (1971). Role of symbiotic algae (zooxanthelalae) in coral calcification. Biol. Bull. 141: 350-363. Pemerintah Kota Batam. 2007. Data Batam dalam Angka Tahun 2006. Batam. 203 hlm. Philip, E and Fabricius K.E. 2003. Photophysiological Stress In Sclerectinian Corals In Response To Short Term Sedimentation. Jurnal of Experimental Marine Biology and Ecology (287): 57 – 78. Pielou, E.C. 1966. The measurement of diversity ini different types of biological collections. J. Theoret. Biol. 13 : 131-144. Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.Jakarta: PT Gramedia.188 hlm. Rasdani M. 2005. Usaha Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab. Di dalam Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Semarang : BPPI dan DKP. Raymundo L.J.,A.P. Maypa, E.D. Gomez and Pablina Cadiz. 2007. Can dynamite-blasted reefs recover? A novel, low-tech approach to stimulating natural recovery in fish and coral populations. Marine pollution 54: 1009-1019. Reese ES. 1981. Predation on corals by fishes of the family Chaetodontidae: Implication for conservation and management of coral reef ecosystems. Bulletin of Marine Science (31): 594-604. Richmond, R.H., C.L. Hunter. 1990. Reproduction and recruitment of corals:comparisons among the Carribean, The Tropical Pasific and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol 60: 185-203. Richmond, A. 1988. “Spirulina.” In Macro-Algae Biotechnology (M.A. Borowitzka and L.J. Borowitzka, Eds.). Cambridge University Press, Australia.
88
Rounsefell, G.A. 1983. Fishery Science its Methods and Aplication. John Willey and Sons, Inc, New York. London. 4444p. Rumanjar TP. 2001. Pendekatan Sistem untuk Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Karang dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya Kab. Donggala [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hlm 16-18 Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (terjemahan) Jakarta. Pustaka Binaman Presindo. Sadhori, N. 1985. Teknis Penangkapan Ikan . Bandung: Angkasa. 182 hlm.. Sarmintohadi, 2002, Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang berwawasan lingkungan di Perairan Pesisir Pulau Dulah Laut Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara [Tesis]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. Schleyer, M., and B. Tomalin. 2000. Damage on South African coral reefs and an assessment of their sustainable diving capacity using a fisheries approach. Bulletin of Marine Science 67: 1025- 1042. Schuhmacher, H. and Zibrowius, H. 1985. What is Hermatipic? A redefinition of ecological group in corals and other organisms. Coral Reefs 4: 1-9. Shannon, C.E. 1948. A mathematical theory of communication. Bell System Tech. J. 27 : 379-423, 623-656. Subani, W. Dan H. R. Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta: Balai Perikanan Laut .248 hlm. Sudirman, H. , Mallawa, A. 2004. Teknik Penangkapan ikan. Jakarta: Rineka Cipta. 168 hlm. Suharsono. 1996. Jenis- jenis karang yang umum dijumpai di Perairan Indonesia. Jakarta: LIPI. Sukarno, M. Hutomo, M.K. Mosa dan P. Darsono. 1981. Terumbu Karang di Indonesia : Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumber daya Alam Indonesia. Jakarta: Lembaga Oseanografi Nasional – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi..8 -25 hlm. Sukmara A, Siahainenia A, Ratinsulu C. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan Metode Manta Tow. Jakarta: Proyek Pesisir- CRMP Indonesia. Sumich, J.L. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm.C.Brown Publisher. USA.
89
Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem terumbu Karang. Djambatan, Jakarta. Cetakan kedua (edisi revisi). 129 hlm.
Penerbit
Steene R, Allen G. 1994. Indo- Pasific Coral Reef field Guide. Singapore: Tropical Reef Research. Thamrin, 2006. Karang : Biologi Reproduksi dan Ekologi. Pekan Baru: Minnamandiri. 260 hlm. TERANGI. 2005. Buku Panduan Pelestarian Terumbu Karang. Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Terangi The Indonesian Caral Reef Foundation. Jakarta: TERANGI. 113 hlm. Veron, J.E.N. 1995. Corals in Space and Time. The Biography and Evolution of The Scleractinia. UNSW Press. Sydney NSW Australia.321p. Von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of The words. Fishing News(books) Ltd. England. 418p. Wagiyo K, Prahoro P. 1994. Pengaruh Kondisi Karang Terhadap Komunitas Ikan Hias di Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (92). 1994. Jakarta : BPPL. Hlm 27 – 36.
LAMPIRAN Lampiran 1 Foto – foto kondisi terumbu karang di stasiun I
a
b
c
d
e
f
91
Lampiran 2 Foto – foto kondisi terumbu karang di stasiun II
a
b
c
d
e
f
92
Lampiran 3 Foto – foto kondisi terumbu karang di stasiun III
a
b
c
d
e
f
93
Lampiran 4 Foto – foto kondisi terumbu karang di stasiun IV
a
b
c
d
e
f
94
Lampiran 5 Foto – foto kondisi teruumbu karangg di stasiun V L
a
b
c
d
e
f
95
Lampiran 6 Foto – foto kondisi terumbu karang di stasiun VI
a
b
c
d
e
f
96
Lampiran 7 Hasil data pengamatan frekuensi keberadaan ikan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang Ikan Spesies Apogon sealei Cheilodipterus quinquelineatus Apogon compressus Caesio teres Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Coradion chrysozonus Platax teira Diploprion bifasciatum Plectorhinchus chaetodonoides Choerodon anchorago Hemigymnus melapterus Cheilinus fasciatus Halichoeres melanurus Halichoeres leucurus Halichoeres dussumieri Halichoeres chloropterus Lutjanus kasmira Lutjanus sp Acreichthys tomentosus Siderea thyrsoidea Scolopsis ciliata Scolopsis margaritifer Pentapodus bifasciatus Pomacanthus sexstriatus Pomacanthus annularis Chaetodontoplus mesoleucus Amphiprion frenatus Amphiprion ocellaris Neopomacentrus filamentosus Chromis ternatensis Neopomacentrus anabatoides Neoglyphidodon nigroris Dischistodus prosopotaenia Neopomacentrus bankieri Pomacentrus moluccensis Abudefduf bengalensis Abudefduf sexfasciatus Neopomacentrus cyanomos
Famili Apogonidae Apogonidae Apogonidae Caesionidae Chaetodontidae Chaetodontidae Chaetodontidae Ephippidae Grammistidae Haemulidae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Labridae Lutjanidae Lutjanidae Monacanthidae Muraenidae Nemipteridae Nemipteridae Nemipteridae Pomacanthidae Pomacanthidae Pomacanthidae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae Pomacentridae
LI
L II
Frekuensi L III L IV
LV
L VI
39
23
-
-
-
-
10
42
-
-
-
14
37 3 -
43 629 33 7 3 -
64 16 7 2
315 30 8 -
13 69 65 8 2 -
35 42 5 8 -
-
-
-
1
1
-
2 8 2 13 1 2 1 7 11 10
4 10 30 5 97 3 1 2 5 2
1 2 3 16 1 2 10 14
1 1 6 27 5 3 2 21 4
3 1 21 36 17 2 3 2 18 -
2 10 35 14 9 1 3 1 1 14 -
415
204
46
246
448
247
27 5 4 -
5 22 -
185 -
10 27 -
12 353 2 -
555 206 1 1
-
-
-
-
14
-
97
Lampiran 7 Lanjutan ….
Frek
Ikan Spesies
L1
famili
Pomacentrus littoralis Pomacentrus simsiang Scarus sp Cephalopholis boenak Plectropomus oligacanthus Siganus canaliculatus Siganus virgatus Siganus javus Siganus guttatus Sphyraena obtusata Sumber : data primer
Pomacentr idae Pomacentridae Scaridae Serranidae Serranidae Siganidae Siganidae Siganidae Siganidae Sphyraenidae
9 11 3 -
L2
L3
L4
L5
L6
60 3 5 5 -
9 5 -
38 4 3 5 1 2 2
69 13 3 3 3
54 8 7 9 5 -
98
Lampiran 8 Kelimpahan individu ikan karang berdasarkan dominansi suku, hasil monitoring dengan metode UVC di perairan Pulau Abang dan sekitarnya, Kota Batam, 2008. No.
Family
1 Pomacentridae 2 Apogonidae 3 Labridae 4 Chaetodontidae 5 Caesionidae 6 Scolopsidae 7 Lutjanidae 8 Serranidae 9 Sphyraenidae 10 Scaridae 11 Siganidae 12 Pomacanthidae 13 Mullidae 14 Nemipteridae 15 Gerridae 16 Carangidae 17 Lethrinidae 18 Haemulidae 19 Holocentridae 20 Centropomidae 21 Bleniidae 22 Centriscidae 23 Gobiidae 24 Dasyatidae 25 Monacanthidae 26 Sauridae 27 Echenidae Sumber : LIPI (2008)
Rata-rata Kelimpahan pertransek (individu/4200m²) (individu/350m²) 264 3168 190 2279 32 384 28 337 27 325 25 195 11 136 8 95 6 66 4 43 3 38 3 30 2 27 1 17 1 15 1 14 1 13 1 10 1 8 1 7 1 6 1 6 0 5 0 3 0 3 0 2 0 1
99
Lampiran 9 Hasil kuisioner dari responden nelayan Kelurahan Pulau Abang NO
Daftar pertanyaan
jumlah persen responden
1 Status nelayan pemilik pemilik sekaligus pekerja buruh 2 alat tangkap yang digunakan pancing pancing dan bubu lainnya 3 Berapa lama waktu tiap trip kurang dari 7jam/hari 7 - 10 jam/hari lebih dari 10 jam/hari 4 Jenis armada kapal ( GT & kekuatan) tanpa motor 1 -5 PK lebih dari 5 PK 5 Apa saja jenis ikan yang ditangkap ikan karang saja semua ikan yang ditemui 6 Berapa kg rata-rata ikan yang didapat tiap trip kurang dari 5 kg/ hari 5- 10 kg/ hari lebih dari 10 kg/hari 7 Dimana tempat menjual hasil tangkapannya tauke pasar lainnya 8 Tempat fishing ground sekitar pulau abang luar pulau abang 9 Bagaimana kondisi terumbu karang dPulauAbang buruk sedang bagus
0 28 2
0 93 7
16 8 6
53 27 20
15 13 2
50 43 7
2 11 17
7 36 57
0 30
0 100
2 19 9
7 63 30
30 0 0
100 0 0
30 0
100 0
0 1 29
0 3 97
100
Lampiran 9 Lanjutan …. No 10 11 12 13 14 15
DAftar pertanyaan Responden Bagaimana kondisi hasil tangkapan saat ini jika dibandingkan 5 lalu 0 tetap 30 berkurang 0 bertambah Bagaimana kondisi hasil tangkapan 5 tahun yang akan datang 6 tetap 24 berkurang 0 bertambah Apakah ada usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup 5 ada 25 tidak Apakah pernah mendapat bantuan dari pemerintah 17 tidak 13 pernah Adakah tindakan nelayan untuk menjaga kelesta rian terumbu karang 30 ada 0 tidak Adakah konflik yang dialami nelayan untuk menjaga kelestarian terumbu karang 26 ada 4 tidak
Persen 0 100 0 20 80 0 17 83 57 43 100 0 87 13
Lampian 10 Hasil penilaianAnalitycal hierarchi process (AHP) Bobot Responden Faktor 7
8
Rata rata (%)
Prioritas
1
2
3
4
5
6
Pengelolaan SD Perikanan di terumbu karang Kelurahan Pulau Abang Peluang
0.565
0.262
0.565
0.262
0.565
0.176
0.27
0.619
44.2
P1
Kekuatan
0.262
0.055
0.118
0.565
0.118
0.603
0.558
0.22
26.8
P2
Ancaman
0.118
0.565
0.262
0.118
0.262
0.149
0.102
0.109
21.1
P3
Kelemahan
0.055
0.118
0.055
0.055
0.055
0.072
0.07
0.052
7.9
P4
Masyarakat tidak melakukan kegiatan penangkapan yang merusak
0.571
0.262
0.565
0.565
0.118
0.118
0.262
0.565
37.1
P1
Sumberdaya pesisir dan laut masih potensial
0.257
0.118
0.118
0.262
0.565
0.565
0.565
0.262
33.8
P2
Solidaritas antar masyarakat masih tinggi Alat tangkap yang digunakan masih sederhana Kelemahan Kegiatan pasca penangkapan masih sederhana
0.226 0.062
0.11 0.055
0.565 0.055
0.118 0.055
0.262 0.055
0.262 0.055
0.118 0.055
0.118 0.055
22.6 6.6
P3 P4
0.637
0.105
0.105
0.637
0.637
0.637
0.637
0.637
41.1
P1
SDM masyarakat masih rendah
0.258
0.258
0.637
0.258
0.105
0.258
0.258
0.258
32.8
P2
Tidak ada kelembagaan di bidang perikanan
0.105
0.637
0.258
0.637
0.258
0.105
0.105
0.105
26.2
P3
Kekuatan
101
Lampiran 10 lanjutan …. Bobot Responden
Faktor 1
Rata -
2
3
4
5
6
7
8
Prioritas
rata %
Peluang Akses yang baik ke Singapura maupun ke Batam
0.637
0.258
0.637
0.637
0.637
0.637
0.105
0.637
53.8
P1
Kondisi perairan mendukung kegiatan budidaya
0.258
0.105
0.258
0.258
0.105
0.105
0.637
0.258
24.4
P2
Daya beli dan permintaaan terhadap ikan Karang masih tinggi Ancaman
0.105
0.637
0.105
0.105
0.258
0.258
0.258
0.105
21.8
P3
Metode penangkapan yang bersifat merusak
0.637
0.637
0.637
0.127
0.637
0.637
0.105
0.637
48.9
P1
Kebijakan pemerintah kurang menyentuh masyrkat
0.258
0.258
0.105
0.651
0.258
0.258
0.637
0.258
34.1
P2
Akses pasar dari luar sulit masuk dan kurang berkembang
0.105
0.105
0.258
0.223
0.105
0.105
0.258
0.105
17
P3
0.148
0.315
0.158
0.289
0.173
0.15
0.117
0.202
19.5
P1
0.2
0.103
0.113
0.091
0.311
0.204
0.195
0.308
17.1
P2
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia
0.093
0.143
0.137
0.196
0.119
0.137
0.226
0.107
14.8
P3
Peningkatan pemasaran antar pulau, dan nasional
0.166
0.078
0.175
0.108
0.106
0.085
0.067
0.111
12.7
P4
Pengadaan prasarana dan sarana kegiatan ekonomi
0.133
0.078
0.123
0.094
0.114
0.102
0.184
0.108
12.7
P5
Peningkatan kualitas produksi perikanan
0.155
0.178
0.21
0.14
0.093
0.111
0.063
0.086
12.5
P6
Pengawasan wilayah perairan Pulau Abang
0.105
0.101
0.084
0.082
0.084
0.212
0.147
0.079
10.7
P7
dengan pengembangan teknologi dan menejemen lebih baik
masyarakat luar Pulau Abang
Prioritas strategi Pengembangan usaha budidaya dan wisata bahari Pemberdayaan masy pesisir dengan mata pencaharian alternatif
102