KAJIAN BIAYA MANFAAT PROGRAM PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN BRUCELLOSIS DI KABUPATEN BELU DAN KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
YURIKE ELISADEWI RATNASARI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biaya Manfaat Program Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2011
Yurike Elisadewi Ratnasari NRP. B253080021
ABSTRACT
YURIKE ELISADEWI RATNASARI. Cost Benefit Analysis of Brucellosis Control and Eradication Program of Belu Disctrict and Kupang District of East Nusa Tenggara Province. Under direction of AGUSTIN INDRAWATI and RAHMAT HIDAYAT.
Belu district and Kupang district are endemic brucellosis area in East Nusa Tenggara Province. The present study evaluated of brucellosis control and eradication program in those districts using Cost Benefit Analysis. Brucellosis prevalence in Belu district 14,5% and Kupang district 2%. Two brucellosis control alternative programs were analyzed for Belu district: Program A was continuation of the present program (vaccination with average 57% coverage). Program B was intensive vaccination (80% coverage). Both programs were given positive NPV, B/C ratio > 1 and IRR which is higher than discount rate 15% and 20%, but implementation of Program B is more feasible (economic feasibility) than Program A while NPV and B/C ratio of Program B higher than Program A. Program B was also feasible from epidemiology aspect than Program A, because Program B will produce herd immunity that can reduce brucellosis prevalence. In Kupang district, two brucellosis alternative strategies were analyzed: Program A was continuation of the present program and Program B was intensive slaughtering of reactors for 6 years. Implementations of both programs were given positive NPV, B/C ratio > 1 and IRR which is higher than discount rate 15% and 20%. NPV of Program B was greater than Program A, but B/C ratio and IRR of Program A was greater than Program B, because of that, Program A was more economic feasibility than Program B. But, we chosen program which given greater beneficial both financial and non financial, and then by combine economy and epidemiology aspects, Program B was more suitable for Kupang district. Key Words: Brucellosis, Cost Benefit Analysis, Belu, Kupang, East Nusa Tenggara Province
RINGKASAN YURIKE ELISADEWI RATNASARI. Kajian Biaya Manfaat Program Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh AGUSTIN INDRAWATI dan RAHMAT HIDAYAT. Brucellosis merupakan salah satu zoonosis yang penting di dunia. Hampir semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Brucella sp, dan patogen utama pada sapi adalah genus Brucella abortus. Pada sapi, brucellosis disebut juga penyakit Bang (Bang’s disease), contagious abortion, infectious abortion dan enzootic abortion. Pada manusia, penyakit ini disebut juga demam undulant (undulant fever), malta atau mediterranean fever, maltese fever dan Bang’s fever. Infeksi brucella pada hewan dapat menyebabkan abortus, infertilitas, anak lahir lemah, penurunan berat badan dan kepincangan. Hal ini merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan ternak. Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang merupakan 2 daerah dengan potensi peternakan besar di NTT, khususnya sapi bali. Status kedua kabupaten tersebut yang belum bebas dari brucellosis merupakan hambatan tersendiri bagi pengembangan potensi peternakan di daerah tersebut, terutama dalam perdagangan komoditi ternak. Meskipun program pengendalian dan pemberantasan brucellosis sudah dilaksanakan sejak tahun 1993/1994, namun sampai saat ini kedua wilayah tersebut belum terbebas dari brucellosis. Prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu pada tahun 2009 adalah 14,5% dan prevalensi di Kabupaten Kupang adalah 2%. Daerah tertular brucellosis terbagi atas 2 kriteria yaitu daerah tertular ringan dan daerah tertular berat. Daerah tertular ringan yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis ≤ 2% (uji CFT), sedangkan daerah tertular berat yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis > 2% (uji CFT). Dengan demikian saat ini Kabupaten Belu tergolong daerah tertular berat brucellosis dan Kabupaten Kupang tergolong daerah tertular ringan. Kajian biaya manfaat merupakan suatu kajian ekonomi untuk menentukan program/proyek yang memberikan keuntungan yang layak, dengan membandingkan biaya dan manfaatnya. Pada keadaan dimana sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas, maka penghitungan biaya dan manfaat dari berbagai alternatif program sangat diperlukan. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian biaya manfaat dilaksanakannya program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang beserta alternatif strategi pengendalian dan pemberantasannya. Kajian yang dilakukan dikhususkan terhadap brucellosis pada ternak sapi. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar ilmiah bagi pemerintah selaku penentu kebijakan dalam menetapkan strategi pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Indonesia. Data yang digunakan meliputi data primer maupun data sekunder. Data sekunder, antara lain data vaksinasi, data realisasi potong bersyarat, dana pengendalian dan pemberantasan brucellosis, data populasi ternak serta data pendukung lainnya. Kajian biaya manfaat pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu Program A dan Program B. Program A merupakan program yang dilakukan sekarang, yaitu vaksinasi dengan cakupan rata-rata 57% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat (secara terbatas). Program B merupakan
program yang diusulkan, yaitu vaksinasi intensif dengan cakupan rata-rata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat (secara terbatas). Sedangkan untuk Kabupaten Kupang, kajian juga dilakukan terhadap 2 alternatif program. Program A merupakan program yang dilaksanakan saat ini, yaitu potong bersyarat dengan rata-rata realisasi 2,15% dari perkiraan jumlah reaktor. Program B merupakan pelaksanaan potong bersyarat secara intensif dan bertahap selama 6 tahun terhadap seluruh reaktor (100%). Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Belu menunjukkan bahwa pada tahun ke-10 pelaksanaan program, Program A dan Program B masing-masing memberikan NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (15% maupun 20%). Program B memberikan NPV dan B/C ratio yang lebih tinggi dibandingkan Program A baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%, sehingga dapat disimpulkan Program B merupakan alternatif yang paling layak secara ekonomi. Pelaksanaan Program B di Kabupaten Belu juga paling tepat dilaksanakan dari sudut pandang epidemiologi, karena dengan pelaksanaan Program B dapat tercipta populasi ternak yang kebal terhadap brucellosis (herd immunity), yang kemudian akan berdampak pada penurunan prevalensi secara signifikan. Hasil penghitungan biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Kupang menunjukkan bahwa, pada tahun ke-10 pelaksanaan program, kedua program memberikan NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (15% maupun 20%). Program B memberikan NPV yang lebih tinggi dibandingkan Program A pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Akan tetapi, Program B memberikan perbandingan manfaat dan biaya (B/C ratio) yang lebih kecil dibandingkan Program A baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Program B juga memberikan ”return” yang lebih kecil dibandingkan dengan Program A, untuk setiap rupiah yang diinvestasikan. Dengan demikian, secara ekonomi Program A lebih layak dibandingkan Program B. Meskipun demikian, program yang dipilih adalah program yang memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, baik manfaat secara finansial maupun non finansial, dan dengan mengkombinasikan sudut pandang ekonomi dan epidemiologi, Program B adalah yang paling tepat untuk dilaksanakan di Kabupaten Kupang. Kata kunci : kajian biaya manfaat, brucellosis, Kabupaten Belu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.
KAJIAN BIAYA MANFAAT PROGRAM PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN BRUCELLOSIS DI KABUPATEN BELU DAN KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
YURIKE ELISADEWI RATNASARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medik
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Kajian Biaya Manfaat Program Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medik, Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed dan bapak drh. Rahmat Hidayat, M.Si selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis; kepada bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu selaku penguji luar komisi. pada ujian tesis. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur Kesehatan HewanDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana, Kepala Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur beserta staf, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Belu beserta staf, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Kupang beserta staf. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Helen Scot-Orr (Australian Project Leader ACIAR AH 2006 166) dan ibu drh. Noeri Widowati, M.Sc (Koordinator Proyek ACIAR AH 2006 166 untuk Indonesia) dan Bapak Dr. Ian Patrick. Ungkapan terimakasih juga kepada ibu Dr. drh. Maria Geong, Ibu drh. Ani atas segala saran, masukan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami tercinta Edi Darudjati, ananda Rizal Pradana Reswara dan Alya Ghaisani Putri, ibu-bapak, ibu mertua serta seluruh keluarga atas segala do’a, kasih sayang dan pengertian yang telah diberikan. Rasa terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2011 Yurike Elisadewi Ratnasari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1974 dari ayahanda Drs. Sugito dan ibunda Mudjirahayu. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, menikah dengan drh. Edi Darudjati, MSi dan dikaruniai satu orang putra (Rizal Pradana Reswara) dan satu orang putri (Alya Ghaisani Putri). Pendidikan SD ditempuh di SD Negeri II IKIP Yogyakarta lulus pada tahun 1987. Pendidikan SMP ditempuh di SMP Negeri 8 Yogyakarta lulus pada tahun 1990. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 8 Yogyakarta lulus pada tahun 1993. Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada dan gelar Sarjana Kedokteran Hewan diraih pada tahun 1998, sedangkan gelar sebagai dokter hewan diraih pada tahun 1999. Pada tahun 2000 – 2003, penulis bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perunggasan di Yogyakarta. Dan dari tahun 2003 sampai saat ini, penulis bekerja sebagai staf Direktorat Kesehatan HewanDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan beasiswa dari Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR AH 2006 166) untuk melanjutkan studi magister (S2) pada Program Studi Mikrobiologi Medik Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………….
xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….
xiv
PENDAHULUAN ……………………………………………………………. Latar Belakang ………………………………………………………… Perumusan Masalah ………………………………………………….. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………. Hipotesa …………………………………………………………………
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………… Kabupaten Belu ………………………………………………………... Letak Geografis, Topografi dan Iklim ………………………….. Kabupaten Kupang ……………………………………………………. Letak Geografis, Topografi dan Iklim ………………………….. Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan …………………………………………………………………... Brucellosis ……………………………………………………………… Agen Penyakit ……………………………………………………. Transmisi dan Masa Inkubasi ………………………………….. Gejala Klinis ……………………………………………………… Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang ………………………………………………..
4 4 4 5 5 6 8 8 8 10 11
METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………… Tempat dan Waktu ……………………………………………………. Materi dan Metode ……………………………………………………..
15 15 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………. Profil Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang …………………………………………………………………. Prakiraan Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang …………... Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis ……………………………………………………………… Kabupaten Belu ………………………………………………….. Kabupaten Kupang ………………………………………………
19 19
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….
35
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………...
36
LAMPIRAN …………………………………………………………………..
40
22 22 23 28
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan ………..
8
2
Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu ……………….
12
3
Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang ………….
14
4
Daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner) ……………………..
19
5
Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Belu tahun 2005-2009 ……..
23
6
Cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu ……… ……………..
24
7
Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi bali di Kabupaten Belu ………………..
25
8
Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi bali di Kabupaten Belu ……………………………………………………………..
26
9
Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Belu ……………………………………………………………..
28
10
Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Kupang tahun 2008-2009 ….
29
11
Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi bali di Kabupaten Kupang ……………..
31
12
Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi bali di Kabupaten Kupang ..………………………………………………………..
31
13
Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Kupang ………………..………………………………………..
32
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Peta administrasi Provinsi NTT ………………………………………… …
13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Arus kas tanpa program pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu …
40
2
Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program A) di Kabupaten Belu ………………………………………………………………
41
3
Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program B) di Kabupaten Belu ……………………………………………………………..
43
4
Struktur ternak sapi bali di Kabupaten Belu (Tahun ke-1) ………………
45
5
Arus kas tanpa program pengendalian brucellosis di Kabupaten Kupang ……………………………………………………………………….
46
6
Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program A) di Kabupaten Kupang ………………………………………………………….
48
7
Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program B) di Kabupaten Kupang …………………………………………………………..
50
8
Struktur ternak sapi bali di Kabupaten Kupang (Tahun ke-1) ………….
52
9
Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2007 ……………………
53
10
Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2008 …………………...
54
11
Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2009 …………………...
55
12
Populasi ternak sapi di Kabupaten Kupang Tahun 2006-2008 …………
56
13
Anggaran biaya pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu (APBD II) Tahun 2006-2008 ……………………………………………………………
57
14
Alokasi kegiatan pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu sumber dana Pusat dan APBD I …………………………………………………….
57
15
Anggaran biaya pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang Tahun 2009 …………………………………………………………………...
57
16
Biaya pemberantasan brucellosis di Provinsi NTT tahun 2007-2009 …
58
17
Estimasi nilai ekonomis pupuk kandang …………………………………...
59
18
Kuesioner untuk peternak ………………………………………………….
62
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Brucellosis merupakan salah satu zoonosis yang penting di dunia. Hampir semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap infeksi brucella. Infeksi pada hewan dapat menyebabkan abortus, anak lahir lemah, infertilitas, kepincangan, penurunan produksi susu dan penurunan berat badan, yang merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan ternak (Radostits et al. 1986). Di Indonesia, brucellosis merupakan salah satu dari 12 jenis penyakit hewan menular (PHM) strategis berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Peternakan Nomor 59 Tahun 2007. Pemberantasan brucellosis juga merupakan salah satu kegiatan dalam mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Kejadian awal brucellosis di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Menurut Donker-Voet, pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia II, tingkat prevalensi penyakit ini berdasarkan uji serologis di Lembaga Penelitian Penyakit Hewan (LPPH) yang sekarang bernama Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) di Bogor adalah sekitar 5% dengan daerah penyebaran terutama di Pulau Jawa pada sapi perah. Pada tahun 1983, brucellosis diketahui terjadi pada sapi potong di Provinsi Sulawesi Utara yaitu dengan laporan kejadian wabah abortus dan dari hasil penelusuran lebih lanjut diketahui bahwa penyakit tersebut berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan melalui penyebaran ternak sapi bibit. Pada tahun 1986, penyebaran brucellosis diketahui telah meluas di 16 propinsi dan pada tahun 1991 kasus brucellosis dilaporkan terjadi di 26 wilayah propinsi kecuali Provinsi Bali yang masih bebas (Ditkeswan 2001). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah sumber komoditas sapi Bali di Indonesia. Sapi Bali telah diangkat sebagai primadona dalam pengembangan peternakan sapi di Indonesia karena memiliki beberapa keunggulan yaitu daya adaptasi yang tinggi pada lingkungan yang kurang menguntungkan (misalnya pada lahan kering) dan memiliki tingkat fertilitas yang tinggi (Putra et al. 2002). Status Provinsi NTT yang belum terbebas dari brucellosis, merupakan hambatan tersendiri bagi pengembangan peternakan sapi Bali di wilayah tersebut. Brucellosis diperkirakan masuk ke Pulau Timor pada tahun 1975 bersamaan dengan pengembangan sapi di Timor Livestock Company (TIMLICO)
2
di Kecamatan Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara (Disnak Prov. NTT 2008a). Pulau Timor merupakan sentra produksi sapi Bali di NTT. Sekitar 77,1% dari total populasi sapi Bali di NTT berada di Pulau Timor. Ironisnya, saat ini seluruh kabupaten/kota yang ada di Pulau Timor (5 kabupaten/kota) merupakan daerah tertular brucellosis, yaitu Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Belu. Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat (prevalensi >2%)
dan
pengendalian
brucellosis
dengan
vaksinasi.
Pemberantasan
brucellosis di Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan Kabupaten TTS yang merupakan daerah tertular ringan (prevalensi ≤ 2%) dilakukan melalui test and slaughter atau potong bersyarat (Disnak Prov. NTT 2008b). Reaktor brucellosis di NTT pertama kali didiagnosa tahun 1986 di Pulau Timor, kemudian di Pulau Sumba tahun 1992 dan Pulau Flores tahun 1994 (Dartini et al. 2006). Pada tahun 1986, prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang 1,5% dan Kabupaten Belu (uji Rose Bengal Test/RBT) 29,6 % (Disnak Prov. NTT 2009). Hasil survey Eastern Island Veterinary Services Project (EIVSP) tahun 1991 prevalensi (uji RBT) di Kupang 5,0% dan Kabupaten Belu 30% (Christie 1992). Menurut Perwitasari (2010), prevalensi brucellosis pada tahun 2009 di Kabupaten Kupang
2,0 (uji Complement Fixation Test/CFT),
sedangkan prevalensi di Kabupaten Belu menurut Lake (2010) adalah 14,5 (uji CFT). Penghitungan kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena brucellosis pada sapi di Provinsi NTT dan Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Hewan pada tahun 1994 menunjukkan nilai kerugian sejumlah Rp. 170.000.000,- selama 5 tahun setiap desa dengan populasi 2.010 ekor (Ditkeswan 2001).
Disnak Prov. NTT (2009) menyebutkan bahwa kerugian
ekonomi akibat brucellosis pada sapi pada tahun 2008 di Pulau Timor adalah sejumlah 101, 55 milyar rupiah.
Perumusan Masalah Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang merupakan 2 daerah dengan potensi peternakan besar di NTT, khususnya sapi Bali. Status kedua kabupaten tersebut yang belum bebas dari brucellosis merupakan hambatan tersendiri bagi pengembangan potensi peternakan, terutama dalam perdagangan komoditi ternak.
3
Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang telah dilaksanakan sejak tahun 1993 dan saat ini perlu dikaji kembali secara ekonomi, apakah cukup efisien untuk diperoleh manfaatnya dalam kurun waktu 10 tahun mendatang (kajian secara prospektif).
Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Melakukan kajian biaya manfaat dilaksanakannya program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang beserta alternatif strategi pengendaliannya. Kajian yang dilakukan dikhususkan terhadap brucellosis pada ternak sapi.
b. Manfaat Penelitian Dapat
digunakan sebagai
dasar
ilmiah
bagi
pemerintah/penentu
kebijakan dalam menetapkan pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Indonesia.
Hipotesa •
Pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dengan program intensif, yaitu vaksinasi mencakup 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat (secara terbatas), lebih efisien dibandingkan dengan program yang dilaksanakan sekarang.
•
Pengendalian brucellosis di Kabupaten Kupang dengan program intensif, yaitu pemotongan bersyarat seluruh reaktor secara menyeluruh selama 6 tahun berturut-turut lebih efisien dibandingkan dengan program yang dilaksanakan sekarang.
4
TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Belu Letak Geografis, Topografi dan Iklim. Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di daratan Timor di bagian paling timur dan berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Dalam posisi astronomis, wilayah Kabupaten Belu terletak antara koordinat 124º 38’ 33” BT– 125º 11’ 23” BT dan 08º 56’ 30” LS – 09º 47’ 30” LS. Kabupaten Belu secara geografis meliputi wilayah dengan-batas-batas sebagai berikut: - Sebelah utara
::
berbatasan dengan Selat Ombai
- Sebelah selatan
::
berbatasan dengan Laut Timor
- Sebelah timur
::
berbatasan dengan wilayah RDTL
- Sebelah barat
::
berbatasan
dengan
wilayah
Kabupaten
Timor
Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) (Bappeda Kab. Belu 2009) Secara administratif, Kabupaten Belu yang memiliki luas wilayah mencapai 2.240,05 km2, terbagi atas 24 kecamatan serta 208 desa hasil pemekaran ke-2. Keadaan topografi Kabupaten Belu bervariasi antara ketinggian 0 sampai
dengan +1500 m.dpal (meter di atas permukaan laut). Variasi
ketinggian rendah (0-150 m.dpal) mendominasi wilayah bagian selatan dan sebagian kecil di bagian utara. Sementara pada bagian tengah wilayah ini terdiri dari area dengan dataran sedang (200-500 m.dpal). Dataran tinggi di Kabupaten Belu ini hanya menempati kawasan pada bagian timur yang berbatasan langsung dengan RDTL. Zona-zona dataran rendah di bagian selatan ini sebagian besar digunakan sebagai areal pertanian dan kawasan cagar alam hutan mangrove (Bappeda Kab. Belu 2009). Secara umum Kabupaten Belu beriklim tropis, dengan musim hujan yang sangat pendek (Desember – Maret) dan musim kemarau yang panjang (April– Nopember). Temperatur di Kabupaten Belu suhu rata-rata berkisar 27,6º C dengan interval 21,5º - 33,7º C. Temperatur terendah 21,5º C yang terjadi pada bulan Agustus dengan temperatur tertinggi 33,7º C yang terjadi pada bulan Nopember (Bappeda Kab. Belu 2009). Komposisi
penggunaan lahan wilayah Kabupaten Belu saat ini secara
garis besar terbagi atas dua kelompok utama jenis penggunaan, yaitu
5
penggunaan lahan basah/sawah dan penggunaan lahan kering. Penggunaan lahan basah antara lain terdiri dari irigasi teknis setengah teknis, irigasi sederhana, irigasi desa dan sawah tadah hujan. Dari seluruh lahan basah yang ada, komposisi terbesar ditunjukan oleh irigasi setengah teknis dengan prosentase hanya mencapai 1,29% dari luas lahan keseluruhan Kabupaten Belu. Sedangkan untuk penggunaan lahan kering meliputi 11 jenis penggunaan, mulai dari penggunaan lahan pekarangan untuk wilayah terbangun, tegalan/kebun, ladang, padang rumput, rawa, tambak, kolam/empang, tanah kosong, hutan rakyat, hutan negara serta penggunaan lainnya (Bappeda Kab. Belu 2009). Kabupaten Kupang Letak Geografis, Topografi dan Iklim. Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang terletak paling selatan di Indonesia. Secara geografis Kabupaten Kupang terletak pada 121o30’ BT- 214o11’ BT dan 9o19’ LS – 10o57’ LS dengan batas-batas wilayah : - Sebelah utara
::
berbatasan dengan Laut Sawu dan Selat Ombai
- Sebelah selatan
::
berbatasan dengan Samudera Hindia
- Sebelah timur
::
berbatasan
dengan
Kabupaten
Timor
Tengah
Selatan (TTS) dan Ambeno (Timor Leste) - Sebelah barat
::
berbatasan dengan Kabupaten Rote Ndao dan Laut Sawu
(KPDE Kab. Kupang 2007)
Luas wilayah Kabupaten Kupang 53.958,28 km2 yang terdiri dari wilayah daratan seluas 7.178,28 km2 dan wilayah laut seluas 46.780 km2 dengan garis pantai ± 492,4 km.
Topografi kabupaten ini bergunung-gunung dan berbukit
dengan derajat kemiringan sampai 45o. Permukaan tanah kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi, namun pada hamparan dataran rendah merupakan
lahan
yang
subur
dan
luas
dimana
biasanya
penduduk
terkonsentrasi disana (KPDE Kab. Kupang 2007). Kabupaten Kupang umumnya beriklim tropis dan kering yang juga cenderung dipengaruhi oleh angin. Musim hujan sangat pendek yaitu 3-5 bulan, sedangkan lama musim kemarau 7-8 bulan. Kabupaten ini dikategorikan sebagai daerah semi arid karena curah hujan yang relatif rendah dan keadaan vegetasi yang didominasi savana dan stepa. Kondisi iklim tersebut mempengaruhi pola bercocok tanam dan bertani masyarakat, dimana 3% atau sekitar 7.453 ha dari
6
luas wilayah merupakan tanah sawah kering dan 97% atau sekitar 572.365 ha merupakan tanah kering pekarangan atau tegalan. Kabupaten ini mempunyai lahan potensial untuk dijadikan padang penggembalaan seluas 15.465 ha, yang memungkinkan untuk pengembangan peternakan (KPDE Kab. Kupang 2007).
Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Pada umumnya, penyakit yang terjadi pada populasi ternak piaraan (dan kadang-kadang pada hewan yang tidak dipelihara) dapat menurunkan jumlah dan/atau kualitas dari produk ternak tersebut yang digunakan untuk konsumsi manusia. Penyakit dapat meningkatkan biaya produksi menjadi dua kali. Pertama, karena sumber daya yang digunakan menjadi tidak efisien sebagai akibat dari produk yang dihasilkan memerlukan biaya tambahan. Kedua, yaitu biaya tambahan yang dikeluarkan oleh konsumen akibat rendahnya kualitas produk yang dikonsumsi. Ringkasnya, penyakit akan meningkatkan biaya (biaya produksi) dan menurunkan kualitas dari produk (Budiharta dan Suardana 2007). Menurut Morris (1997), efek penyakit terhadap produktivitas ternak antara lain : kematian premature, penurunan nilai ternak dan produk ternak yang dipotong, penurunan hasil dan produk ternak (seperti telur, susu), penurunan berat hidup dan penurunan konversi pakan (feed conversion). Kajian
biaya
manfaat
merupakan
suatu
kajian
ekonomi
untuk
menentukan program/proyek yang memberikan keuntungan yang layak, dengan membandingkan biaya dan manfaatnya (Gittinger 1986). Pada keadaan dimana sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas, maka penghitungan biaya dan manfaat dari berbagai alternatif program sangat diperlukan untuk menghindari pengorbanan sumber-sumber yang langka (Kadariah 1986). Kajian manfaat dari biaya suatu program pengendalian penyakit dapat digunakan sebagai alat untuk membuat keputusan dengan mengacu kepada adanya keterbatasan sumber daya yag dialokasikan (Budiharta dan Suardana 2007). Kajian ekonomi terhadap pengendalian penyakit hewan merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini dipengaruhi oleh keragaman penyakit, epidemiologi, kejadian penyakit dan kegiatan pencegahan dan pengendalian yang dilakukan. Untuk melakukan hal ini, diperlukan kombinasi pengetahuan tentang biologi dan kedokteran hewan dengan pertimbangan-pertimbangan finansial. Dengan demikian, pengetahuan mengenai kedua faktor tersebut, yaitu tentang ekonomi dan non ekonomi sangat diperlukan dalam kajian ekonomi ini (Tisdell 2006).
7
Menurut Gittinger (1986), semua kajian ekonomi terhadap suatu program/proyek menggunakan suatu asumsi. Harga merupakan gambaran dari nilai. Menurut Sudardjat (2004), dengan kajian ekonomi yang tepat, secara obyektif
dapat memberikan gambaran
besarnya
biaya maupun tingkat
keuntungan yang bisa diperoleh dari masing-masing program yang ditawarkan. Kajian ekonomi dapat juga dipakai sebagai dasar argumentasi untuk meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi pengambil keputusan dan bagi pihak pengolah dan penyedia dana. Menghitung keuntungan dari suatu proyek atau program pengendalian penyakit jauh lebih sulit dan lebih rumit dibandingkan dengan menghitung pembiayaannya. Hal ini disebabkan komponen keuntungan yang diperhitungkan terdiri dari kategori-kategori keuntungan finansial dan non finansial, serta keuntungan yang bersifat sosial dan keuntungan lain yang merupakan implikasi langsung dan tidak langsung dari keberhasilan program yang bersangkutan (Sudardjat 2004). Biaya
(kerugian)
ekonomi
suatu
penyakit
hewan
adalah
suatu
pertimbangan yang amat penting untuk membuat suatu program kontrol penyakit hewan. Perhitungan biaya ekonomi suatu penyakit hewan akan memperlihatkan suatu ukuran yang mana biaya kontrol suatu penyakit dapat diperbandingkan, sehingga dapat diidentifikasi program kontrol penyakit hewan yang paling efisien dan efektif dari segi pembiayaannya (Leksmono dan Holden 1994). Total biaya ekonomi dari suatu penyakit hewan dapat diukur sebagai jumlah dari kerugian output/hasil ditambah dengan biaya kontrol. Penurunan terhadap output merupakan suatu kerugian karena keuntungan yang diperoleh menjadi terbuang (tidak maksimal). Disisi lain, biaya untuk input menjadi meningkat dan biasanya terkait dengan biaya kontrol penyakit, seperti biaya untuk dokter hewan dan obat-obatan (Budiharta dan Suardana 2007). Brucellosis Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella sp, Hampir semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap infeksi brucella. Patogen utama pada sapi adalah genus Brucella abortus (Crawford et al. 1990). Pada sapi, brucellosis disebut juga penyakit Bang (Bang’s disease), contagious abortion, infectious abortion dan enzootic abortion. Penyakit ini bersifat zoonosis. Pada manusia, penyakit ini disebut juga demam undulant
8
(undulant fever, malta atau mediterranean fever, maltese fever dan Bang’s fever (Merchant dan Barner 2004). Sapi dapat terinfeksi oleh Brucella melitensis dan Brucella suis ketika merumput atau menggunakan secara bersama-sama peralatan kambing, domba atau babi yang terinfeksi (PAHO 2003). Brucella abortus Biovar 1 terdapat di seluruh dunia dan paling umum ditemukan diantara 7 Biovar yang terdapat di dunia (PAHO 2003). Geong (1999) mengatakan bahwa hanya Biovar 1 yang dapat dikultur dari sapi di Pulau TimorNTT. Cairan higroma merupakan spesimen terbaik untuk mengisolasi dan menemukan Brucella abortus. Sapi seropositif mempunyai proporsi 24,1 kali lebih besar untuk menderita higroma dibandingkan sapi seronegatif (Geong 1999). Pada kondisi ideal, Brucella abortus dapat menetap pada material organik seperti feses, cairan abortus dan susu sampai 6 bulan dan dalam fetus yang diabortuskan dapat bertahan sampai 8 bulan. Bakteri tersebut sangat rentan terhadap pengawetan dan pengeringan serta cahaya langsung. Semua jenis desinfektan standar dapat merusak Brucella sp. (AHA 2005). Tabel 1 di bawah ini menyajikan daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan. Tabel 1
Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan
(Crawford et al. 1990). Kondisi lingkungan Terkena sinar matahari langsung Tanah : tanah kering tanah lembab tanah dingin Air : air minum air tercemar Fetus yang diabortuskan
Daya tahan 4 hari 66 hari 151-185 hari 5-114 hari 30-150 hari 180 hari
Sumber utama infeksi adalah material abortus dari sapi betina abortus yang mencemari lingkungan via fetus, litter dan peralatan yang terkontaminasi. Ingesti pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan brucellosis. Penularan juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang mengandung kuman Brucella atau melalui kontak langsung. Brucella abortus paling sering ditemukan pada kelompok ternak yang bebas brucellosis melalui pemasukan sapi betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari hewan lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan manusia yang terpapar (Blaha 1989).
9
Pada infeksi alam, masa inkubasi sulit ditentukan. Suatu penelitian menunjukkan
bahwa
masa
inkubasi
bervariasi
dan
tergantung
tahap
perkembangan fetus, masa inkubasi terpendek adalah pada hewan dengan usia kebuntingan tua. Jika betina terinfeksi secara oral pada saat masa kawin, masa inkubasi dapat mencapai 200 hari, sedangkan jika betina tersebut terinfeksi 6 bulan setelah masa kawin, maka masa inkubasi kira-kira 2 bulan. Masa “inkubasi serologi” (waktu dari terinfeksi sampai timbulnya antibodi) adalah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Masa inkubasi bervariasi tergantung dari virulensi, dosis bakteri, rute infeksi dan kepekaan hewan (PAHO 2003). Brucella masuk ke tubuh hewan dan berkembang biak mula-mula dalam limponodus regional dan kemudian dibawa oleh cairan limfe dan darah ke organ lainnya. Pada suatu percobaan, bakterimia terdeteksi 2 minggu pasca infeksi dan bakteri dapat diisolasi dalam aliran darah. Bakteri Brucella seringkali ditemukan dalam limponodus, uterus, mammae, limpa, hati dan pada organ genital sapi jantan (PAHO 2003). Penyebaran brucellosis terutama melalui mutasi ternak pembawa (carrier) dari daerah tertular ke daerah bebas. Penyebaran penyakit terjadi dengan cepat pada kawasan dengan sistem peternakan ekstensif. Sedangkan pada daerah dengan sistem peternakan intensif, penyebaran penyakit relatif lambat (Rompis 2002). Faktor yang berperan secara signifikan dalam penyebaran brucellosis adalah manajemen beternak, terutama dalam hal manajemen induk yang melahirkan dan lalu-lintas ternak (Makka 1989). Geong (1999) mengatakan bahwa lalulintas ternak yang seringkali tanpa didahului dengan tes terhadap brucellosis, mempunyai peranan yang signifikan dalam penyebaran brucellosis di daratan Pulau Timor. Transmisi Brucella abortus kemungkinan juga dipermudah oleh sistem peternakan di Pulau Timor yang bersifat ekstensif. Makka (1989) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan prevalensi brucellosis di antara kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan. Infeksi brucellosis lebih sering pada sapi yang digembalakan di dataran tinggi daripada di dataran rendah. Hal ini kemungkinan karena perbedaan kepadatan populasi, jumlah sapi yang digembalakan di dataran tinggi lebih banyak daripada yang di dataran rendah, dimana sapi lebih sering ditambatkan dan dikandangkan. Menurut Crawford et al. (1990), terdapat hubungan antara kepadatan populasi dalam suatu kelompok ternak dan prevalensi penyakit, dimana kepadatan
10
populasi meningkatkan potensi kontak antara ternak yang sehat dengan ternak sakit. Gejala utama brucellosis pada betina bunting adalah abortus, stillbirth (anak mati sesaat setelah dilahirkan) atau kelemahan anak yang dilahirkan. Umumnya, abortus terjadi pada pertengahan kebuntingan, seringkali disertai retensi placenta, yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya metritis ataupun infertilitas permanen. Pada betina yang dinseminasi dengan semen yang terinfeksi, dapat menyebabkan estrus berulang. Pada betina yang tidak bunting, tidak memperlihatkan gejala klinis, dan jika terinfeksi sebelum kawin, seringkali tidak terjadi abortus. Pada pejantan, bakteri Brucella dapat terlokalisir di testis, yang menyebabkan kebengkakan testis, berkurangnya libido dan infertilitas. Kadangkala testis menjadi atropi, adhesi dan fibrosis. Dapat pula terjadi seminal vesikulitis, ampulitis, higroma dan arthritis. (PAHO 2003). Menurut
Gul
dan
Khan
(2007),
terdapat
banyak
faktor
yang
mempengaruhi prevalensi brucellosis, yaitu kondisi iklim, geografi, spesies, jenis kelamin, umur hewan dan tes diagnosa yang digunakan. Berdasarkan penelitian Geong (1999), pada tahun 1996 seroprevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang adalah 3,0% dan secara signifikan lebih rendah daripada di Kabupaten Belu dengan seroprevalensi 29,2%. Bersamaan dengan hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara gejala klinis yang ada dengan seropositif terhadap CFT atau RBT. Di Kupang, 2,3% dari jumlah RBT positif menunjukkan stillbirth (anak mati sesaat setelah dilahirkan), 9,1% infertil (terhitung sudah 4 tahun sampai saat survei dilakukan tidak memproduksi/ menghasilkan anak). Tidak ada laporan abortus pada sapi seropositif, sedangkan 2% dari sapi seronegatif dilaporkan abortus. Kabupaten Belu yang mempunyai seroprevalensi tinggi, sebanyak 32,9% sapi seropositif mengalami abortus, sedangkan sapi seronegatif yang mengalami abortus mencapai 9,1%, infertil mencapai 21,2%, stillbirth mencapai 11,8% dan yang menderita higroma mencapai 2% (Geong 1999). Di Belu, stillbirth, abortus dan higroma secara lebih signifikan dapat dideteksi pada sapi seropositif daripada sapi seronegatif. Sapi yang abortus 9,6 kali lebih besar kecenderungan hasil pemeriksaan serologinya positif daripada sapi yang tidak abortus. Sapi Bali di Belu 5,9 kali lebih cenderung mengalami abortus daripada sapi di Kupang. Sapi di Kupang 13,5 kali lebih cenderung dapat menghasilkan anak yang normal daripada sapi dari Belu (Geong 1999).
11
Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Pada prinsipnya, tujuan dan sasaran program pemberantasan brucellosis pada sapi adalah memperbaiki lingkungan budi daya peternakan sehingga bebas dari brucellosis, meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis 2002). Strategi pemberantasan brucellosis harus disesuaikan dengan kondisi sistem peternakan setempat. Di Indonesia, usaha peternakan sapi kebanyakan dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat. Sistem manajemen peternakan seperti ini sangat mempengaruhi pola penularan penyakit (Rompis 2002). Menurut Ditkeswan (2001), daerah tertular brucellosis terbagi atas 2 kriteria yaitu daerah tertular ringan dan daerah tertular berat. Daerah tertular ringan yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis ≤ 2% (dengan uji CFT), sedangkan daerah tertular berat yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis > 2% (dengan uji CFT). Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dan Belu dimulai sejak ditetapkannya Surat Keputusan Gubernur Nomor 13 Tahun 1993 tentang Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Brucellosis di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Disnak Prov. NTT 2008c). Pencegahan dan pemberantasan brucellosis di Provinsi NTT dilaksanakan melalui survei penyakit, vaksinasi, pengujian ternak, pemotongan bersyarat, pengaturan lalu lintas ternak dan identifikasi ternak (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a). Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat (prevalensi brucellosis >2%) dan kegiatan pemberantasan dilakukan melalui vaksinasi menggunakan vaksin Brucella strain 19. Sapi yang positif terhadap uji RBT diberi cap“S” di pipi kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat. Pengeluaran ternak sapi bibit untuk sementara dihentikan sampai Brucellosis dapat dikendalikan. Pengeluaran ternak sapi potong dari Kabupaten Belu hanya diijinkan melalui Pelabuhan Wini dan Pelabuhan Atapupu (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b). Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu tahun 1986-2009 disajikan pada Tabel 2.
12
Tabel 2 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu Tahun Prevalensi 1986 29,6 1991 30,0 1994 33,4 1996 31,2 2000 20,39 2002 20,6 2003 15,66 2004 14,66 2005 13,44 2006 12,74 2007 15,62 2008 11,24 2009* 14,5 Sumber : Disnak Prov. NTT *Lake PRMT 2010
Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi massal pada daerah tertular berat (prevalensi >2%), dilakukan serentak terhadap seluruh populasi selama 5 tahun berturut-turut. Vaksinasi tahun pertama dilakukan pada semua umur, pada tahun kedua dan seterusnya pada yang umur muda saja dan yang belum tervaksin pada tahun-tahun sebelumnya. Kemudian setelah tahun kelima dilakukan tes prevalensi, dan jika prevalensi sudah ≤ 2 % dilanjutkan dengan test and slaughter sampai tercapai status bebas. Hasil survei Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar di Kabupaten Belu pada tahun 2004, dari 5.066 sampel yang diperiksa dan berasal dari 4 kecamatan (Sasitamean, Malaka Timur, Tasifeto Barat dan Kobalima) sebanyak 395 (7,79%) positif reaktor brucellosis secara CFT, yang mengindikasikan bahwa program vaksinasi telah mampu menekan penyebaran brucellosis di lapangan (Dartini et al. 2004). Vaksin Brucella abortus S19 merupakan jenis vaksin yang paling sering digunakan dalam pengendalian brucellosis dibandingkan jenis vaksin yang lain (OIE 2009). Jenis vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama lebih dari 7 tahun (Pusvetma 2007). Pengendalian dengan vaksinasi massal bertujuan untuk menurunkan
prevalensi
penyakit
serendah-rendahnya.
Di
negara
Chili,
prevalensi brucellosis turun dari 7% menjadi 3% dalam kurun waktu 10 tahun dengan proteksi 72,9%. Sedangkan di Argentina, prevalensi brucellosis turun dari 17% menjadi 13% dalam kurun waktu 10 tahun dengan proteksi 79,4% (Noor 2008). Kabupaten Kupang merupakan daerah tertular brucellosis dengan prevalensi ≤ 2% (tertular ringan), sehingga pengendalian brucellosis melalui
13
potong bersyarat (test and slaughter) terhadap ternak sapi yang positif terhadap uji RBT (ternak reaktor). Ternak reaktor diberikan penandaan cap “S” di pipi kiri (Disnak Prov. NTT 2008b).
Gambar 1. Peta Administrasi Provinsi NTT
Menurut Ditkeswan (2001), test and slaughter dilakukan dengan : (1) Tes RBT pada semua (100%) ternak sapi betina umur 12 bulan atau lebih dengan rincian : a) Tes pertama pada semua desa di unit lokasi sasaran. b) Tes kedua hanya pada desa-desa tertular/positif CFT dari test pertama saja. c) Tes ketiga pada tahun ke-2 dan hanya pada desa-desa yang positif CFT sebelumnya
sampai
tidak
ditemukan
reaktor
brucellosis
(bebas
sementara/provisionally free). (2) Tes CFT pada semua sapi yang positif hasil tes RBT. (3) Pemotongan reaktor pada semua sapi yang positif CFT.
Pada daerah tertular ringan (prevalensi ≤ 2%) jika tidak dilakukan pemberantasan sejak dini, maka dalam 10 tahun mendatang prevalensi akan naik menjadi > 10% bahkan sampai 50-80% (Ditkeswan 2001). Kegiatan pemotongan
bersyarat
terhadap
reaktor
brucellosis
diharapkan
dapat
mengakibatkan penurunan jumlah reaktor/sumber infeksi dari kelompok ternak (minimal 1%), penurunan jumlah desa dengan kategori tertular secara bertahap,
14
perluasan wilayah bebas brucellosis, peningkatan jumlah kelahiran hidup dan penurunan jumlah sapi abortus, higroma dan infertil (Disnak Prov. NTT 2008b). Pemasukan ternak sapi ke wilayah NTT harus disertai surat keterangan uji brucellosis negatif. Pengeluaran ternak sapi bibit harus disertai dengan surat keterangan uji brucellosis negatif (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a). Ternak sapi bibit yang dikeluarkan melalui Pelabuhan Laut harus dilakukan tindak karantina minimal 40 hari dan dilakukan uji RBT sebanyak 2 kali, yaitu pertama di holding ground pemerintah/swasta dan di karantina pelabuhan pengeluaran ternak. Ternak bibit yang positif uji brucellosis tahap I atau tahap II diberi cap “S” di pipi kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b). Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang tahun 1986-2009 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang Tahun Prevalensi (%) 1986 1,5 1991 5,0 1994 3,0 1996 0,7 2000 2002 2003 2004 1,6 2005 1,1 2006 1,98 2007 2008 6,85 2009* 2,0 Sumber : Disnak Prov. NTT *Perwitasari 2010
Noor (2008) mengatakan bahwa pemberantasan brucellosis dengan potong bersyarat dapat memberikan hasil yang sangat nyata apabila prevalensi penyakit rendah. Potong bersyarat harus dilakukan secara ketat untuk menghindarkan reinfeksi. Adapun negara yang menerapkan sistem ini dan berhasil adalah Cekoslovakia dan Swiss.
15
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari - Agustus 2010. Lokasi penelitian di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Belu - Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Materi dan Metode Data-data yang diperlukan dalam melakukan kajian biaya manfaat ini meliputi : 1. Data primer Pengumpulan data primer melalui wawancara peternak menggunakan kuesioner terstruktur. Penentuan sampel peternak menggunakan metode purposive random sampling dengan jumlah peternak yang diwawancarai sejumlah 60 orang (n = 60) untuk masing-masing kabupaten. Penentuan wilayah sampling didasarkan pada kriteria : wilayah kecamatan dengan populasi sapi bali yang tinggi, mempunyai prevalensi brucellosis yang tinggi dan kemudahan akses menuju wilayah tersebut. 2. Data sekunder, antara lain data vaksinasi, data realisasi potong bersyarat, dana pengendalian dan pemberantasan brucellosis, data populasi ternak serta data pendukung lainnya.
Kajian biaya manfaat dilakukan secara prospektif (10 tahun ke depan dari saat
penelitian
dilakukan).
Kajian
biaya
manfaat
pengendalian
dan
pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu Program A dan Program B. Program A merupakan program yang dilakukan sekarang, yaitu vaksinasi dengan cakupan rata-rata 57 % dari populasi ternak betina wajib vaksinasi. Program B merupakan program yang diusulkan, yaitu vaksinasi intensif dengan cakupan rata-rata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi. Sedangkan untuk Kabupaten Kupang, kajian juga dilakukan terhadap 2 alternatif program. Program A merupakan program yang dilaksanakan saat ini, yaitu potong bersyarat dengan rata-rata realisasi 2,15% dari perkiraan jumlah reaktor. Program B merupakan program yang diusulkan, yaitu pelaksanaan
16
potong bersyarat secara intensif dan bertahap selama 6 tahun terhadap seluruh reaktor (100%). Tahap-tahap kajian biaya manfaat : 1. Menetapkan gross margin (laba kotor) 2. Menetapkan variabel-variabel yang berpengaruh, seperti : tingkat kematian (anak & dewasa), tingkat kelahiran anak, harga berat hidup (Rp/kg), pemanfaatan ternak (misal untuk membajak), tingkat diskonto, komisi, biaya pakan tambahan, biaya kesehatan, transpor dan biaya pemasaran. 3. Menghitung
biaya
variabel
yang
diperlukan
untuk
pelaksanaan
pengendalian penyakit dan tahun dimana biaya tersebut dikeluarkan. 4. Menetapkan perkiraan kapan diperoleh manfaat dari pelaksanaan program. 5. Menetapkan dan menghitung biaya infrastruktur. 6. Menetapkan daerah penelitian 7. Menghitung cash-flow “dengan” dan “tanpa program” . 8. Menghitung diskon 9. Membandingkan skenario “dengan” dan “tanpa program” menggunakan Net Present Value (NPV), Benefit/Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). 10. Terdapat 3 kriteria yang digunakan dalam kajian biaya manfaat, yaitu (Putt et al. 1987) : 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) disebut juga Net Present Worth (NPW) atau Nilai Bersih Sekarang, yaitu hasil pengurangan nilai Present Value of Benefit (PVB) – Present Value of Cost (PVC). Secara matematis, nilai NPV disajikan dalam rumus : n NPV =
Σ t=1
B t – Ct (1 + i)t
dengan : C1 = nilai total biaya (cost) pada periode waktu t B1 = nilai total keuntungan (benefit) yang diperoleh pada periode waktu t i
= tingkat diskonto (discount rate)
17
n = berlangsungnya kegiatan proyek (jumlah tahun) Suatu proyek dianggap dapat berjalan jika PVB > PVC atau NPV positif. 2. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) Yaitu perbandingan antara Present Value of Benefit (PVB) dan Present Value of Cost.
B/C =
n
Bt
∑
(1 + i) t
t=1
Bt =
Ct ∑
(1 + i) t
Ct
Proyek dianggap dapat berjalan jika rasio ≥ 1
3. Internal Rate of Return (IRR) Yaitu suatu discount rate dimana PVB = PVC. n IRR = ∑
B t – Ct
t=1
(1 + r )
= 0 1
Suatu proyek dapat diterima apabila i>r, dimana i = discount rate (tingkat diskonto) yang digunakan untuk menghitung PVB dan PVC, sedangkan r = minimum discount rate yang dapat diterima. Jika IRR dari investasi proyek lebih besar dari tingkat harapan sebenarnya, maka proyek secara ekonomis dapat dikerjakan. IRR adalah discount rate yang dapat membuat besarnya NPV proyek = 0 (nol) atau yang membuat B/C ratio = 1 (Kadariah 1986). Proyek yang memberikan nilai IRR tertinggi merupakan alternatif proyek yang paling baik untuk dikerjakan (Martin et al. 1987). Besarnya B/C ratio dipengaruhi oleh tingginya discount rate yang dipakai. Makin tinggi discount rate, makin kecil B/C ratio, dan jika discount rate tinggi sekali, B/C ratio dapat turun sampai <1. Jika dipakai B/C ratio,maka kriteria untuk menerima proyek adalah B/C ratio ≥ 1 (Kadariah 1986). Ukuran-ukuran NPV, B/C ratio dan IRR mencerminkan analisa parsial (partial analysis) yang didasarkan pada asumsi bahwa proyek yang dianalisa
kecil
sekali
dibandingkan
dengan
perekonomian
secara
18
keseluruhan, sehingga tidak mempengaruhi harga-harga. Untuk proyekproyek yang besar sekali, yang dapat mempengaruhi seluruh perekonomian, ukuran-ukuran tersebut tidak cukup. Dalam hal ini diperlukan analisa yang lebih mendalam dan lebih sesuai (Kadariah 1986)
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, pengambilan data primer dilakukan di 3 (tiga) kecamatan dari tiap kabupaten sebagai wilayah sampling. Pemilihan kecamatan didasarkan pada kriteria wilayah dengan populasi ternak yang tinggi, mempunyai tingkat kejadian brucellosis yang tinggi dan kemudahan akses menuju wilayah tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut, kecamatan Tasifeto Barat, Laenmanen dan Malaka Timur merupakan wilayah yang dipilih untuk pengambilan sampel (kuesioner) di Kabupaten Belu, sedangkan di Kabupaten Kupang dilakukan di kecamatan Kupang Timur, Kupang Barat dan Amarasi Barat. Sejumlah 20 orang peternak dari tiap-tiap kecamatan dipilih sebagai responden secara purposif random sampling. Tabel 4 di bawah ini menyajikan daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner).
Tabel 4 Daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner) Kabupaten Belu
Kecamatan Tasifeto Barat Laenmanen
Malaka Timur
Kupang
Total Kupang Timur
Kupang Barat
Amarasi Barat
Total
Desa Naekasa Bakustulama Triumanu Tesa Kapitan Meo Neotroi Nomponi Kusa Merdeka Oesao Naibonat Manusak Nunkurus Oenesu Oenaek Batakte Manulai I Kuanheum Oematnunu Merbaun Niurbaun Teunbaun Erbaun Toobaun
Jumlah (n) 5 15 4 6 7 3 5 15 60 6 1 1 2 10 5 1 1 5 5 3 3 4 3 8 2 60
Profil Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Berdasarkan hasil survei sekitar 81,6% responden (n = 49) di Kabupaten Belu dan 88,3% responden (n = 53) di Kabupaten Kupang menjadikan usaha
20
ternak sapi bali sebagai pekerjaan sampingan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah bertani. Di Kabupaten Belu, 12,06% responden (n=7) tidak pernah menempuh pendidikan formal (sekolah), 55% responden (n=33) mempunyai pendidikan terakhir SD, 18,96% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir SMP, 10,34% responden (n=6) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5,17% responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas. Sedangkan di Kabupaten Kupang, 61,6% responden (n=37) mempunyai pendidikan terakhir SD, 18,3% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir SMP, 15% responden (n=9) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5% responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas. Tujuan utama dari pemeliharaan ternak adalah sebagai investasi/ tabungan. Selain itu, ternak dipelihara untuk keperluan lain seperti : upacara adat, simbol status sosial dan untuk keperluan konsumsi. Pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif. Pada pagi hari ternak digembalakan dan pada siang atau sore hari dibawa kembali ke kandang atau diikat di dekat rumah (untuk peternak yang tidak mempunyai kandang). Kandang umumnya terbuat dari batu yang disusun menyerupai pagar ataupun dari kayu maupun bambu. Perkawinan ternak terjadi secara alami. Pada musim kering, ternak diberikan pakan tambahan berupa rumput atau hijauan yang berasal dari kebun milik peternak sendiri. Kotoran ternak atau pupuk kandang dimanfaatkan oleh peternak sebagai pengganti pupuk buatan untuk memupuk tanaman di lahan kebun atau tegalan yang mereka miliki. Di Kabupaten Belu seluruh responden yang diwawancarai (n = 60) memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. Di Kabupaten Kupang 86,6% responden (n=52) memanfaatkan kotoran ternak untuk memupuk tanaman di ladang, sedangkan 13,3% responden (n=8) memanfaatkan kotoran ternak sebagai biogas penghasil energi listrik. Berdasarkan hasil survei, baik di Kabupaten Belu maupun Kabupaten Kupang, pemanfaatan ternak sebagai tenaga pembajak tidak lagi dilakukan karena umumnya petani peternak sudah mempunyai mesin pembajak sendiri. Penjualan ternak umumnya dilakukan melalui pedagang perantara yang mengambil langsung ke peternak ataupun dengan cara dijual ke pasar pada saat hari pasaran. Kadangkala ternak dijual dengan cara ditukar dengan babi (babi tersebut digunakan untuk upacara adat).
21
Rata-rata tingkat kelahiran sapi bali di Pulau Timor adalah 62,8±10% dengan kisaran 45-89% dan angka kematian anak sapi di bawah umur 1 tahun berkisar antara 3-30% pada lokasi semi intensif. Di lokasi ekstensif, tingkat kelahiran berkisar antara 57,1-77,4% dengan tingkat kematian anak sapi di bawah umur 1 tahun sebesar 3%. Rata-rata jarak beranak pada sapi Bali adalah 15 bulan. Waktu beranak pertama pada lokasi semi intensif adalah 32±5,3 bulan dan di lokasi ekstensif pada umur 47 bulan. Angka kematian sapi Bali dewasa adalah 3,1% dan angka kematian dalam kelompok (herd) adalah 4,9% (Bakry et al. 1994). Thalib (2002) mengatakan bahwa angka kematian prasapih pada sapi Bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 15-50%, sedangkan angka kematian sapi dewasa adalah 1%. Menurut Geong et al. (1994), angka kematian anak sapi Bali di Pulau Timor yang berumur di bawah 6 bulan mencapai 19%. Frekuensi kelahiran sapi bali di NTT tertinggi (41,3±18,9%) terjadi pada bulan April sampai dengan akhir Juni (dari permulaan sampai pertengahan musim kemarau). Kemudian disusul pada permulaan Juli sampai akhir September (dari pertengahan sampai akhir musim kemarau) mempunyai frekuensi kelahiran 39,8±15,9%. Frekuensi kelahiran yang rendah secara signifikan terjadi pada awal Oktober sampai akhir Desember (akhir musim kemarau dan awal musim hujan) yaitu rata-rata 14,0±18,0% dan dari Januari sampai akhir Maret (dari pertengahan sampai akhir musim hujan) yaitu 5,0±5,8% (Bakry et al. 1994). Menurut Geong (1999), pada desa tertular (infected village), jumlah anak yang dilahirkan dari sapi-sapi seropositif lebih sedikit (29,1% pada tahun 1995 dan 25% pada tahun 1996) dibandingkan sapi-sapi seronegatif (48,5% pada tahun 1995 dan 51,6% pada tahun 1996). Pada tahun 1995, secara signifikan lebih sedikit anak (48,6%) yang lahir dari sapi-sapi seronegatif di 10 desa tertular brucellosis (infected village) dibandingkan dari sapi-sapi seronegatif (58,2%) dari 3 desa tidak tertular brucellosis (non infected village). Demikian juga pada tahun 1996, yaitu 51,6% pada desa tertular dan 56,8% desa tidak tertular (Geong 1999). Tidak terdapat perbedaan calving rate yang signifikan antara kelompok yang divaksin dan yang tidak divaksin dari hasil pengamatan pada desa yang berbeda. Calving rate pada kelompok yang divaksinasi antara 38,3 – 68,3% sedangkan pada kelompok yang tidak divaksin antara 39,3-65,8% (Geong 1999).
22
Makka (1989) mengatakan bahwa tingkat kelahiran (calving rate) akibat brucellosis pada sapi potong di Sulawesi Selatan adalah 56,13% sedangkan angka kematian anak sapi (calf mortality rate) adalah 19,79%, tingkat infertilitas mencapai 12,84% dan tingkat abortus 26,5%.
Prakiraan Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang Komponen pupuk kandang terdiri dari faeces, urine, rumput kering atau jerami dan air dengan perbandingan yang sangat beragam. Prakiraan potensi dan nilai ekonomis pupuk kandang dapat memberikan gambaran mengenai potensi pupuk kandang yang dapat digunakan pada lahan-lahan kering, lahan produktif pertanian, areal budidaya tambak dan kontribusi haranya serta jumlah substitusi pupuk buatan yang diperoleh. Dengan demikian dapat diketahui potensi ekonomisnya yang cukup tinggi selain secara tidak langsung telah mendukung pembangunan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan bahan organik (Suharyanto dan Rinaldi 2001). Pupuk kandang tersebut merupakan komponen output yang penting dan untuk menilainya direfleksikan sebagai opportunity cost. Penilaian opportunity cost yaitu dengan menghitung nilai setara pupuk buatan. Penghitungan nilai ekonomis pupuk kandang di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang dengan menggunakan metode penghitungan menurut Suharyanto dan Rinaldi (2001) disajikan pada Lampiran 17. Diketahui nilai ekonomis pupuk kandang pada tahun 2009 di di Kabupaten Belu adalah setara pupuk buatan Rp. 2.150.951.000,- dan di Kabupaten Kupang adalah setara pupuk buatan Rp. 3.361.416.000,Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, maka diketahui bahwa setiap ekor sapi di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang menghasilkan pupuk kandang yang mempunyai nilai ekonomis setara pupuk buatan Rp. 22.152,- per tahun. Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis Metode pengukuran ekonomi yang digunakan dalam kajian biaya manfaat ini menggunakan partial analysis yang dicerminkan dengan ukuran-ukuran NPV, B/C ratio dan IRR. Kajian dilakukan secara prospektif selama 10 tahun. Kajian biaya manfaat terhadap suatu program/proyek dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan asumsi yang digunakan. Asumsi untuk koefisien
23
teknis, yaitu parameter produksi maupun reproduksi dari suatu peternakan seperti tingkat kelahiran (calving rate), tingkat kematian anak (calf mortality rate), tingkat kematian dewasa (adult mortality rate), tingkat afkir (culling rate), prosentase pejantan (terhadap betina) digunakan untuk melakukan proyeksi jumlah populasi ternak. Proyeksi jumlah populasi ternak merupakan unsur pokok dalam menganalisa suatu program/proyek yang berkaitan dengan peternakan (Gittinger 1986). Pada penelitian ini, asumsi yang digunakan merupakan kompilasi dari data primer, data sekunder serta literatur. Kabupaten Belu. Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat (prevalensi > 2%) dan program pengendalian dilakukan dengan vaksinasi dan potong bersyarat. Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi harus dilakukan secara massal dan serentak di semua lokasi sasaran dengan target 100% dari populasi sapi betina wajib vaksinasi sampai prevalensi turun menjadi ≤ 2%. Pada tahun kedua dan seterusnya, vaksinasi hanya dilakukan pada ternak betina muda dan yang belum tervaksin pada tahun sebelumnya. Pengambilan sampel darah untuk pengujian brucellosis dilakukan 2 tahun setelah vaksinasi dan mencakup 100 % populasi dan semua reaktor dilakukan potong bersyarat (Disnak Prov. NTT 2009). Prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu pada tahun 2009 dengan uji CFT adalah 14,5% (Lake 2010) dan populasi sapi betina dewasa sejumlah 43.192 ekor. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah reaktor pada tahun 2009 adalah 6.262 ekor. Tabel 5 di bawah ini menyajikan realisasi potong bersyarat tahun 20052009. Berdasarkan tabel tersebut diketahui belum seluruh reaktor dapat dilakukan potong bersyarat, dan rata-rata realisasi potong bersyarat terhadap reaktor selama 5 tahun (2005-2009) adalah 133 ekor atau 2,12% dari total perkiraan jumlah reaktor dikarenakan keterbatasan dana kompensasi. Tabel 5. Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Belu tahun 2005-2009 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Jumlah Sampel (ekor) 10.727 5.621 5.071 4.000 2.000
Sumber : Disnak Prov. NTT
Jumlah Positif (ekor) 1.125 1.064 792 449 337
Realisasi Potong Bersyarat (ekor) 165 141 144 111 105 133
24
Kajian biaya manfaat pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu :
Program A : Program yang dilakukan sekarang yaitu vaksinasi dengan cakupan rata-rata 57 % dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat (secara terbatas). Vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan sejak tahun 1994, dengan demikian kegiatan vaksinasi yang dilaksanakan sekarang adalah tahap konsolidasi dengan target wajib vaksinasi diasumsikan populasi anak betina dan muda betina. Tabel 6 di bawah ini menyajikan data cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu tahun 2004-2008, dengan rata-rata cakupan vaksinasi sebesar 57%.
Tabel 6. Cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu Tahun
Populasi betina Muda Total 15.154 24.571 15.456 25.062 15.774 25.577 15.611 25.297 15.811 25.623
Anak 2004 9.418 2005 9.606 2006 9.803 2007 9.686 2008 9.812 Rata-rata Sumber : Disnak Kab. Belu, data diolah.
Realisasi (ekor) 10.000 12.000 25.000 15.000 10.000
% Realisasi 41 48 98 59 39 57
Dengan Program A, yaitu dilakukan vaksinasi terhadap 57% populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas terhadap 2,12% reaktor, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Berdasarkan data tahun 2007-2008, rata-rata total biaya pemberantasan untuk Program A adalah Rp. 1.042.735.250,00 dan rata-rata populasi sapi betina adalah 67.803 ekor, sehingga dapat dihitung biaya pemberantasan untuk tiap ekor adalah Rp. 15.378,00
25
Program B : Program Intensif yaitu vaksinasi dengan cakupan ratarata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas. Dengan Program B, yaitu dilakukan vaksinasi dengan cakupan rata-rata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas terhadap 2,12% reaktor, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 2% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Pelaksanaan Program B bertujuan untuk menurunkan prevalensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Berman (1981) bahwa vaksinasi terhadap sekurang-kurangnya 70% dari populasi secara signifikan akan mengurangi prevalensi brucellosis. Erasmus (1995) mengatakan bahwa vaksinasi sekurang-kurangnya 80% dari populasi betina dapat menurunkan prevalensi brucellosis secara signifikan. Perbedaan antara Program A dan Program B terletak pada cakupan vaksinasi (pada Program A cakupan vaksinasi 57%). Berdasarkan data tahun 2007-2008, biaya vaksinasi per ekor adalah Rp. 4.125,00 meliputi biaya pembelian vaksin dan biaya operasional vaksinasi. Populasi sapi betina wajib vaksinasi pada tahun tersebut sejumlah 25.461 ekor. Dengan dilaksanakannya Program B, maka populasi betina wajib vaksinasi adalah sejumlah 20.369 ekor. Pada Program A, populasi betina yang tervaksin sejumlah 14.512 ekor, maka jika dibandingkan dengan Program B terdapat selisih 5.857 ekor dan ini kemudian
diperhitungkan
sebagai
tambahan
biaya
pemberantasan
(Rp. 24.325.125,00). Sehingga total biaya pemberantasan pada Program B adalah Rp. 1.067.060.375,00 dan biaya pemberantasan untuk tiap ekor adalah Rp. 15.737,00 Komponen input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu Asumsi Calving rate
57%
Satuan
Tingkat kematian anak (calf mortality rate) Tingkat kematian dewasa (adult mortality rate) Culling rate
19% 3% 10%
Prosentase pejantan
22%
26
Bobot badan
Jantan
Betina
0-1 tahun 1-2 tahun
83 kg 165 kg
68 kg 128 kg
2-3 tahun >3 tahun
240 kg 300 kg
180 Kg 225 kg
Harga berat hidup Komisi
Rp. 18.000,00/kg 5%
Biaya kesehatan Tenaga kerja
Rp. 15.000,00/ekor Rp. 12.500/hari/10 ekor
Lainnya
Rp. 5.000,00
Dari hasil penghitungan laba kotor (gross margin) yang tersaji pada Tabel 8 diketahui laba kotor peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu pada tahun 2009 sebesar Rp. 14.308.218.218,00. Besarnya laba kotor tersebut untuk tahun berikutnya dapat berubah, yang besarnya tergantung pada parameter produksi yang dipengaruhi oleh program pengendalian yang dilaksanakan. Tabel 8
Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di
Kabupaten Belu USAHA PETERNAKAN
: Sapi Bali (breeding replacements)
Unit Usaha
: 43.192 sapi betina induk
PENDAPATAN
Satuan
Harga Satuan
Jumlah (Rp)
Penjualan Ternak & Produk Asal Ternak -
Jantan muda
9.970,9
2.970.000
-
Dara
1.947,4
2.304.000
-
Afkir jantan (dijual)
950,2
5.400.000
-
Afkir betina induk (dijual)
5.462,5
4.050.000
Tenaga ternak Pupuk kandang
61.354.612.393
0
0
0
97.101
22.152
2.150.981.352
TOTAL PENDAPATAN (A)
63.505.593.745
BIAYA VARIABEL Penggantian Ternak -
Pejantan
-
Betina induk
950,2
2.970.000
0,00
2.304.000
Komisi 5%
2.822.165.280 3.067.730.620
Pemeliharaan -
Biaya kesehatan
-
Tenaga kerja
-
Lain-lain
15.000 5.000/ekor
Pakan Transportasi & pemasaran
43.243.352.628
12.500/hari/10 ekor 0 10.000
64.127.000
TOTAL BIAYA VARIABEL (B)
49.197.375.528
GROSS MARGIN (A-B)
14.308.218.218
27
Kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B dilakukan dengan membandingkan keadaan tanpa program pengendalian. Dengan tidak dilakukannya program pengendalian (tanpa program), calving rate diasumsikan menurun 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57% menjadi 48% pada tahun ke-10. Calf mortality rate diasumsikan meningkat sebesar 0,5 % setiap tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19% menjadi 24% pada tahun ke-10. Tingkat kematian dewasa rate diasumsikan sebesar 3% per tahun. Pada Program A, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Dari sudut pandang epidemiologi, pelaksanaan Program A belum mampu menurunkan
prevalensi
secara
signifikan.
Program
A
hanya
mampu
mempertahankan prevalensi berada pada kisaran tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil survey oleh Dartini et al. (2004), bahwa program vaksinasi di Kabupaten Belu diketahui dapat menekan penyebaran brucellosis di lapangan. Berdasarkan kajian terhadap hasil pelaksanaan Program A tersebut di atas, maka pada penelitian ini Program B yang diusulkan dimaksudkan dapat tercapai penurunan prevalensi yang serendah-rendahnya. Pada Program B, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 2% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Berdasarkan proyeksi arus kas (cash flow) secara prospektif selama 10 tahun pada keadaan tanpa program, laba kotor akan menurun setiap tahun. Pada Program A & Program B, terdapat peningkatan laba kotor sesuai dengan peningkatan populasi sapi dari tahun ke tahun sebagai efek dari peningkatan calving rate dan penurunan calf mortality rate dari masing-masing pelaksanaan program (Program A dan Program B). Dari hasil proyeksi laba kotor kumulatif pada tahun ke-10, Program B mempunyai laba kotor yang lebih tinggi (Rp. 245.042.283.753,00) daripada Program A (Rp. 197.729.835.674,00). Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B disajikan pada Tabel 9. Program A dan Program B masing-masing memiliki nilai NPV
28
positif, B/C ratio > 1 dan nilai IRR yang menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi kedua program layak untuk dilaksanakan.
Tabel 9 Hasil Kajian Biaya Manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Belu Kriteria Net Present Value (NPV) Benefit Cost Ratio B/C ratio Internal Rate of Return (IRR)
Diskonto 15 % 20 % 15 % 20 %
Program A Rp. 40.168.103.518 Rp. 30.455.309.621 3,06 2,80 333%
Program B Rp. 59.124.540.107 Rp. 45.090.376.093 3,88 3,55 476%
Pada tahun ke-10, Program B mempunyai NPV yang lebih besar dibandingkan Program A, yaitu NPV Program B sebesar Rp. 59.124.540.107,00 dan NPV Program A sebesar Rp. 40.168.103.518,00 pada tingkat diskonto 15%. Pada tingkat diskonto 20% pada tahun ke-10, NPV kedua program masih menunjukkan nilai positif, yaitu NPV Program B sebesar Rp. 45.090.376.093,00 dan NPV Program A sebesar Rp. 30.455.309.621,00. B/C ratio Program B (3,88) menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan Program A (3,54) pada tingkat diskonto 15%. B/C ratio masih menunjukkan nilai >1 pada tingkat diskonto 20% yaitu 2,80 pada Program A dan 3,55 pada Program B. Dengan mengkombinasikan antara sudut pandang ekonomi, yaitu hasil penghitungan biaya manfaat (NPV, B/C ratio dan IRR) dan sudut pandang epidemiologi, maka Program B merupakan alternatif yang paling layak dan paling tepat dilaksanakan. Dari sudut pandang ekonomi, Program B memiliki NPV lebih tinggi dan B/C ratio lebih besar dibandingkan Program A, demikian pula untuk IRR. Dari sudut pandang epidemiologi, dengan dilaksanakannya Program B yang memiliki cakupan vaksinasi terhadap brucellosis yang lebih tinggi dibandingkan Program A, diharapkan dapat tercipta populasi ternak yang kebal terhadap brucellosis (herd immunity), sehingga dapat mengurangi transmisi penyakit antar ternak, yang kemudian akan berdampak pada penurunan prevalensi. Kabupaten Kupang. Prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 adalah 2% berdasarkan hasil uji CFT (Perwitasari 2010) dan kegiatan pemberantasan yang dilakukan adalah potong bersyarat (test and slaughter). Perkiraan jumlah reaktor pada tahun 2009 adalah 2% dari populasi
29
sapi betina dewasa. Menurut Disnak Kab. Kupang (2009a), populasi sapi betina dewasa adalah 47,86% dari total populasi sapi. Kajian biaya manfaat pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu : Program A : Program yang dilaksanakan sekarang di Kabupaten Kupang. Jumlah populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 dihitung dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Sudardjat (2004), yaitu dengan menambahkan angka populasi pada tahun 2008 dengan rata-rata kenaikan populasi pada tahun-tahun sebelumnya (tahun 2006 dan tahun 2007) Dengan metode penghitungan tersebut, maka angka populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 adalah 155.398 ekor. Dengan demikian dapat diperkiraan jumlah populasi betina dewasa adalah 74.373 ekor dan perkiraan jumlah reaktor adalah 1.487 ekor. Rata-rata realisasi potong bersyarat pada tahun 2008-2009 adalah 32 ekor yaitu sekitar 2,15% dari total perkiraan jumlah reaktor. Dengan menggunakan data pada Tabel 10, jika program dilaksanakan selama 6 tahun dapat diasumsikan total reaktor yang dipotong adalah 12,9% dari jumlah reaktor keseluruhan. Sehingga pada akhir tahun ke-6, program ini masih menyisakan sekitar 1.295 reaktor (87,1% dari jumlah reaktor) yang harus dipotong. Reaktor yang belum dipotong tersebut merupakan sumber penularan yang potensial.
Tabel 10 Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Kupang tahun 2008-2009 Tahun
Jumlah Sampel (ekor) 2008 2.000 2009 1.000 Rata-rata 1.500 Sumber : Disnak Prov. NTT
Jumlah Positif (ekor) 137 33 85
Realisasi Potong Bersyarat (ekor) 55 9 32
Pada Program A, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 0,5% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 0,5% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Biaya pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang tahun 2009 yang bersumber dari Pusat, APBD I dan APBD II adalah Rp. 198.070.240,00. Dengan
30
demikian, rata-rata biaya pemberantasan untuk tiap ekor sapi pada Program A adalah Rp. 2.663,00
Program B : Program Intensif (pemotongan seluruh reaktor secara bertahap selama 6 tahun ) di Kabupaten Kupang. Program B adalah potong bersyarat terhadap seluruh reaktor (100%). Dengan menggunakan asumsi yang sama pada Program A dimana perkiraan jumlah reaktor secara keseluruhan adalah 1.487 ekor (tahun 2009), maka jika kegiatan potong bersyarat dilakukan selama 6 tahun berturut-turut dan untuk mencapai 0 reaktor pada akhir tahun ke6, maka tiap tahun dilakukan potong bersyarat terhadap 248 ekor (16,5%). Pelaksanaan Program B diharapkan dapat mengurangi jumlah reaktor secara signifikan, sehingga dapat mencegah terjadinya reinfeksi. Pada Program B, pelaksanaan pemotongan bersyarat pada tiap tahun pelaksanaan program (sampai tahun ke-6) lebih tinggi dibandingkan pada Program A, yaitu terdapat selisih 216 ekor. Berdasarkan data dari Disnak Kab. Kupang (2009b), biaya pembelian reaktor adalah Rp. 2.528.750,00 per ekor, sehingga terdapat selisih biaya pemberantasan Rp. 465.290.000,00 yang diperhitungkan sebagai biaya tambahan pemberantasan. Dengan demikian total biaya pemberantasan adalah Rp 744.280.240,00. Dengan demikian dapat dihitung
rata-rata
biaya
pemberantasan
untuk
tiap
ekor
sapi
adalah
Rp. 10.007,00 Keogh et al. (1981) mengatakan bahwa, sejak dimulainya program test and slaughter secara intensif di New South Wales, dan berdasarkan hasil uji terhadap lebih dari 85% populasi pada tahun 1981 prevalensi turun menjadi dibawah 2% dari prevalensi awal pada tahun 1976 sebesar 2,9%. Dengan Program B, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 3% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1,5% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Komponen input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 11.
31
Tabel 11 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang Asumsi
Satuan
Calving rate Calf mortality rate (tingkat kematian anak) Tingkat kematian dewasa
60% 19% 3%
Culling rate Prosentase pejantan
10% 30%
Bobot badan 0-1 tahun
Jantan 83 kg
Betina 68 kg
1-2 tahun 2-3 tahun
165 kg 240 kg
128 kg 181 Kg
>3 tahun Harga berat hidup
300 kg Rp. 18.000,00/kg
225 kg
Komisi Biaya kesehatan
5% Rp. 15.000,00/ekor
Tenaga kerja Lainnya
Rp. 12.500/hari/10 ekor Rp. 5.000,00
Berdasarkan penghitungan laba kotor (Tabel 12), diketahui bahwa peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 mempunyai laba kotor sebesar Rp. 26.286.584.708. Tabel 12
Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di
Kabupaten Kupang USAHA PETERNAKAN Unit Usaha
PENDAPATAN Penjualan Ternak & Produk Asal Ternak -
Jantan muda Dara
: Sapi Bali (breeding replacements) : 74.373 sapi betina induk Satuan
Harga Satuan
Jumlah (Rp)
1.8072,6 4.256,8
2.970.000 2.304.000
63.483.505.302
Culling jantan (dijual) Culling betina induk (dijual) Tenaga ternak
2.231,2 9.406,0 0
5.400.000 4.050.000 0
50.142.657.820
Pupuk kandang TOTAL PENDAPATAN (A)
155.398
22.152
3.442.376.496 117.068.539.618
2.231,2
2.970.000
6.626.634.300
0,00
2.304.000
0
BIAYA VARIABEL Penggantian Ternak Pejantan Betina induk Komisi 5% Pemeliharaan Biaya kesehatan -
Tenaga kerja Lain-lain
5.681.308.156 15.000 12.500/hari/10 ekor 5.000/ekor
78.357.640.454
32
Pakan
0
Transportasi & pemasaran TOTAL BIAYA VARIABEL (B)
10.000
GROSS MARGIN (A-B)
116.372.000 90.781.954.911 26.286.584.708
Kajian biaya manfaat pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dilakukan terhadap 2 alternatif program (Program A dan Program B), dengan calving rate awal
diasumsikan sebesar 60%. Pada keadaan tanpa program,
calving rate diasumsikan terjadi penurunan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan meningkat sebesar 0,5% per tahun dari calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Laba kotor kumulatif untuk Program A pada proyeksi tahun ke-10 adalah Rp. 312.040.814.785,00 sedangkan Program B mempunyai laba kotor yang lebih tinggi yaitu Rp. 404.091.198.677,00. Pada keadaan tanpa program, laba kotor adalah paling rendah yaitu Rp. 173.619.960.536,00. Hasil penghitungan biaya manfaat pelaksanaan Program A dan Program B di Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 13. Dari hasil penghitungan, kedua program memiliki NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (tingkat diskonto 15% maupun 20%). Hal ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi kedua program layak untuk dilaksanakan. Tabel 13 Hasil Kajian Biaya Manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Kupang Kriteria Net Present Value (NPV) Benefit Cost Ratio B/C ratio Internal Rate of Return (IRR)
Diskonto 15 % 20 % 15% 20 %
Program A Rp. 52.849.682.784 Rp. 40.201.535.320 2,80 2,58 671%
Program B Rp.119.793.703.762 Rp. 90.827.190.444 1,58 1,50 272%
Program A memberikan perbandingan manfaat dan biaya (B/C ratio) yang lebih besar dibandingkan Program B baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Program A juga memberikan ”return” yang lebih besar dibandingkan dengan Program B, untuk setiap rupiah yang diinvestasikan. Dalam hal ini, investasi yang ditanamkan pada Program A (Rp. 2.993,00 / ekor betina) lebih kecil daripada investasi yang ditanamkan pada Program B (Rp. 10.007,00 / ekor betina).
33
Meskipun Program B memberikan tingkat pengembalian yang lebih kecil dibandingkan Program A, akan tetapi pada akhir pelaksanaan program, Program B memberikan hasil netto (net benefit) yang lebih besar dibandingkan Program A. Hal ini dikarenakan pelaksanaan Program B memberikan pendapatan yang lebih besar sebagai dampak dari pelaksanaan program yang menaikkan tingkat kelahiran
dan menurunkan tingkat kematian anak. Pada
pelaksanaan program, Program
B mempunyai
NPV
tahun ke-10
yang lebih
tinggi
dibandingkan Program A pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Pada tingkat diskonto 15%, NPV Program A sebesar Rp. 52.849.682.784,00 dan NPV Program B sebesar Rp.119.793.703.762,00. Pada tingkat diskonto 20%, NPV NPV Program A sebesar Rp. 40.201.535.320,00 dan NPV Program B sebesar Rp. 90.827.190.444,00. Dengan mempertimbangkan ketiga kriteria kelayakan program (NPV, B/C ratio dan IRR), maka Program A lebih layak dilaksanakan di Kabupaten Kupang dibandingkan dengan Program B. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Brigham dan Houston (2007) yang mengatakan bahwa adakalanya perbedaan skala program dapat mempengaruhi besarnya NPV maupun IRR, yang mana pada program dengan skala kecil dengan cost of capital yang kecil, dapat mempunyai NPV yang kecil dan IRR yang besar, sedangkan program dengan skala besar dengan cost of capital yang besar, mempunyai NPV yang besar dan IRR yang kecil. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang epidemiologi, pelaksanaan Program A masih menyisakan reaktor yang belum terpotong pada akhir tahun pelaksanaan program. Reaktor yang belum terpotong ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial. Sedangkan pada Program B, pada akhir pelaksanaan program, Program B memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan Program A, baik secara finansial maupun non finansial. Manfaat finansial yaitu meningkatnya pendapatan peternak yang juga akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan manfaat non finansial yaitu terhindarnya masyarakat dari zoonosis karena brucellosis. Putt et al. (1987) mengatakan bahwa segala keputusan yang menyangkut kemungkinan suatu program untuk dilaksanakan, tidak bisa diambil dari segi ekonomi semata-mata, tetapi ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan, misalnya dari segi teknis oleh ahli yang membidangi. Dalam hal yang menyangkut program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan,
34
diperlukan penyesuaian dengan kebijaksanaan dan sasaran yang ditetapkan dalam bidang peternakan pada umumnya dan bidang kesehatan hewan pada khususnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Program B merupakan program yang paling tepat untuk dilaksanakan di Kabupaten Kupang.
35
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pengendalian brucellosis melalui vaksinasi dengan cakupan 80% dari total betina wajib vaksinasi disertai dengan potong bersyarat terhadap reaktor (Program B) adalah yang paling layak dan paling tepat dilaksanakan di Kabupaten Belu. 2. Pemberantasan brucellosis dengan program pemotongan seluruh reaktor secara bertahap selama 6 tahun berturut-turut (Program B) adalah yang paling tepat dilaksanakan di Kabupaten Kupang. Saran 1. Dalam melakukan kajian ekonomi pengendalian penyakit hewan diperlukan ketersediaan data yang akurat dan lengkap. 2. Peningkatan alokasi dana untuk pemotongan bersyarat sangat diperlukan, mengingat reaktor yang belum terpotong merupakan salah satu sumber penularan yang sangat potensial. 3. Kegiatan identifikasi/penandaan terhadap ternak yang divaksinasi ataupun terhadap reaktor perlu lebih ditingkatkan. 4. Dilakukan tindakan isolasi terhadap reaktor dan tidak diperbolehkan untuk dilalulintaskan kecuali untuk keperluan dipotong (potong bersyarat). Hal ini untuk menghindari terjadinya reinfeksi. 5. Memperketat lalu-lintas ternak baik di check point maupun di entry/exit point . Peningkatan kegiatan public awareness untuk meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap
36
DAFTAR PUSTAKA [AHA] Animal Health Australia. 2005. Disease Strategy : Bovine Brucellosis (version 3.0). Australia Veterinary Emergency Plan (AUSVETPLAN). Primary Industries Ministerial Council. Canberra. Bakry WR, Christie BM, Dowsett KF, Muthalib A. 1994. Productivity of Beef Cattle in Nusa Tenggara. CHAPS Book A. Eastern Islands Veterinary Services Project. Collection of papers from the final seminar of the cattle health and productivity survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre Denpasar Bali on May 15-17 1994. [Bappeda Kab. Belu] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Belu. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 20092014. Atambua. Blaha T. 1989. Applied Veterinary Epidemiology. Research Institut for Bacterial Animal Diseases, Jena Academy of Agricultural Sciences of the German Democratic Republic. Berman DT. 1981. Brucellosis. Di dalam : Ristic M and McIntyre I., editor. Diseases of Cattle In The Tropics. Economic and Zoonotic Relevance. Martinus Nijhoff Publishers. The Hague. London. Brigham EF, Houston JF. 2007. The Basics of Capital Budgeting. Di dalam : Essential of Financial Management. Thomson Learning. University of Florida. Budiharta S, Suardana IW. 2007. Buku Ajar Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Penerbit Universitas Udayana. Bali. Crawford RP, Huber JD, Adams BS. 1990. Epidemiology and Surveillance. Di dalam : Nielsen K et al., editor. Animal Brucellosis. Animal Disease Research Institut Agriculture Canada, Ontario. Christie BM. 1992. Annual Report Eastern Islands Veterinary Services Project (Tahun 1991/1992) Nusa Tenggara Timur. Indonesia-Australia Development Cooperation Program. Dartini NL, Suendra IN, Suka IN, Suparta IN. 2004. Evaluasi Pemberantasan Brucellosis dengan Vaksinasi di Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI. Denpasar. http://www.bppv-dps.info/BPPV_PDF/BULETIN%20VOL.XVII%20NO.% 2066%202005/_4_EvaluasiBruNTT_Jun2005.pdf [5 Juli 2010). Dartini NL, Butar Butar RM, Suendra IN, Suka IN. 2006. Laporan Surveilans Brucellosis di Kabupaten Belu dan Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar. [Disnak Kab. Belu] Dinas Peternakan Kabupaten Belu. 2009. Strategi Pengendalian Brucellosis di Kabupaten Belu. Di dalam : Rapat Evaluasi Pemberantasan Brucellosis di Pulau Timor, Atambua 28-29 April 2009.
37
[Disnak Kab. Belu] Dinas Peternakan Kabupaten Belu. 2009. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD) Tahun Anggaran 2009. Pemerintah Kabupaten Belu. Atambua. [Disnak Kab. Kupang] Dinas Peternakan Kabupaten Kupang. 2009a. Pengendalian Brucellosis di Kabupaten Kupang. Di dalam : Lokakarya Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Pulau Timor, Kupang 13-14 Mei 2009. [Disnak Kab. Kupang] Dinas Peternakan Kabupaten Kupang. 2009b. Pembelian Reaktor Positif Kabupaten Kupang Tahun 2009. Kupang. [Disnak Kab. Kupang] Dinas Peternakan Kabupaten Kupang. 2009c. Perbandingan Populasi Ternak Besar Menurut Kecamatan. Kupang. [Disnak Prov. NTT] Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2008a. Situasi Brucellosis dan Upaya Pengendaliannya di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Di dalam : Lokakarya Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Pulau Timor, Kupang 13-14 Mei 2008. [Disnak Prov. NTT] Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2008b. Petunjuk Teknis Test Brucellosis dan Pembelian Reaktor Positif di Kabupaten/Kota Se Daratan Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Provinsi NTT. Kupang. [Disnak Prov. NTT] Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2008c. Produksi Ternak Sapi dan Kerbau di Pulau Timor Provinsi NTT. Di dalam : Lokakarya Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Pulau Timor, Kupang 13-14 Mei 2008. [Disnak Prov. NTT] Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2009. Kerugian Ekonomi Akibat Brucellosis pada Sapi. Di dalam : Rapat Evaluasi Pemberantasan Brucellosis di Pulau Timor, Atambua 28-29 April 2009. [Ditkeswan] Direktorat Kesehatan Hewan. 2001. Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Brucellosis di Indonesia. Jakarta. Erasmus JA. 1995. Bovine Brucellosis in the Highveld Veterinary Region : A Preliminary report on the seroprevalence of brucellosis amongs adult beef cows in the region. Journal of the South African Veterinary Association. Geong M, Locke RH, Saleh A. 1994. A Study of Mortalities in Calves Less than 6 Month of Age in CHAPS Sites in East Nusa Tenggara during 1990-1993. CHAPS Books B. Eastern Islands Veterinary Services Project. Collection Papers from the Final Seminar of the Cattle Health and Animal Productivity Survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre Denpasar Bali on May 15-17 1994. Geong M. 1999. The Epidemiology of Brucellosis in Timor, Indonesia [Thesis]. Division of Veterinary and Biomedical Sciences. Murdoch University. Western, Australia.
38
Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi ke-2. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). Terjemahan dari : Economic Analysis of Agriculture. [Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT] Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur. 1993a. Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaan Pencegahan dan Pemberantasan Brucellosis (Penyakit Keluron Menular) di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang [Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT] Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur. 1993b. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 13 Tahun 1993 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Brucellosis (Penyakit Keluron Menular) di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. Gul ST, Khan A. 2007. Epidemiology and Epizootiology of Brucellosis : A Review.Pakistan Vet. J. 27 (3). Department of Veterinary Pathology. Department of Pathology, University of Agriculture. Faisalabad, Pakistan. Kadariah. 1986. Evaluasi Proyek, Analisa Ekonomis. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Keogh, Johnston, Scott-Orr H. 1981. Submission To The Industries Assistance Commision Inquiry Into Bovine Brucellosis & Tuberculosis Eradication Campaign. New South Wales Department of Agriculture. Sydney. [KPDE Kab. Kupang] Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) Kabupaten Kupang. 2007. Buku Website 2007. (www.kab-kupang.go.id). Kupang. Lake PRMT. 2010. Kajian Lintas Seksional Prevalensi Brucellosis pada Sapi di Kabupaten Kupang [Thesis]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Leksmono CS, Holden SJ 1994. Ekonomi Veteriner Sebagai Alat Pengambilan Keputusan Dalam Bidang Kesehatan Hewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan ODA Animal Health Project Indonesia. Makka D. 1989. The Epidemiology and Economic of Brucellosis of Beef Cattle in South Sulawesi, Indonesia [Thesis]. The Department of Agriculture And Holticulture Veterinary Epidemiology and Economic Research Unit. University of Reading, Britain. Martin SW, Meek AH, Willerberg P. 1987. Veterinary Epidemiology, Principles and Methods. Ames, Iowa : Iowa State University Press. Merchant IA, Barner RD. 2004. Infectious Disease of Domestic Animals. Third edition. Ames, Iowa : Iowa State University Press. Morris RS. 1997. How economically important is animal disease and why? : Di dalam Dijkhuizen AA and Morris RS. Animal Health Economics, principles
39
and applications. Post Graduated Foundation in Veterinary Sciences. University of Sydney. Sydney South, Australia. Noor SM. 2008. Kajian Vaksin untuk Pengendalian Brucellosis. Di dalam : Lokakarya Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Pulau Timor. Kupang 13-14 Mei 2008. [OIE] Office International des Epizooties. 2009. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animal Chapter 2.4.3. Bovine Brucellosis. http : //www.oie.int/eng/normes/mmanual/2009/pdf/2.04.03_BOVINE_BRUCEL Lpdf. [PAHO] Pan American Health Organization. 2003. Zoonoses and Communicable Diseases Common to Man and Animals. Washington : Pan American Sanitary Bureau, Regional Office of the World Health Organization. Perwitasari R. 2010. Prevalensi dan Faktor Penyebab Brucellosis Pada Sapi Potong di Kabupaten Kupang. [Thesis]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pusvetma [Pusat Veterinaria Farma]. 2007. Vademecum Pusat Veterinaria Farma. Pusat Veterinaria Farma. Surabaya. Putra AAG, Arsani NM, Sudianta IW. 2002. Brucellosis, Program dan Evaluasi Pemberantasan : Suatu Model Pemberantasan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI. Denpasar. Putt SNH, Shaw APM, Wood AJ, Tyler I, James AD 1987. Veterinary Epidemiology and Economics in Africa. A manual for use in the design and appraisal of livestock health policy. I.L.C.A. Radostits OM, Gay CC, Blood DC, Hincliff KW. 1986. Veterinary Medicine. London : EBLS Bailliere Tindall. Rompis ALT. 2002. Epidemiologi Bovine Brucellosis dengan Penekanan pada Kejadian di Indonesia. J Vet 2002 3 (4). Laboratorium Bakteriologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar. Bali. Sudardjat S. 2004. Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Yayasan Agribisnis Indonesia Mandiri. Jakarta. Suharyanto, Rinaldi J. 2001. Estimasi Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang di Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Bali ejournal.unud.ac.id/…/(18)%20soca-suharyanto%20dk estimasi% 20 potensi (1).pdf [1 Juni 2010] Talib
C. 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit Pengembangannya. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
dan
Peluang
Tisdell C. 2006. Economy of Controlling Livestock Diseases : Basic Theory. The University of Queensland.
40
Lampiran 1. Arus Kas Tanpa Program Pengendalian Brucellosis di Kabupaten Belu tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
Calving rate
57%
56%
55%
54%
53%
52%
51%
50%
49%
48%
Calf mortality rate Tingkat kematian dewasa
19%
20%
20%
21%
21%
22%
22%
23%
23%
24%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
Pendapatan Penjualan ternak
Afkir
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
Anak
34,100,239,001
32,858,758,387
31,628,667,504
30,409,966,351
29,202,654,929
28,006,733,237
26,822,201,275
25,649,059,044
24,487,306,543
23,552,252,064
Tenaga ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Produk ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Produk samping
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
0 2,150,981,352
Total pendapatan
63,505,593,745
62,264,113,132
61,034,022,249
59,815,321,096
58,608,009,673
57,412,087,981
56,227,556,020
55,054,413,789
53,892,661,288
52,957,606,809
Total pendapatan kumulatif
63,505,593,745
125,769,706,877
186,803,729,126
246,619,050,222
305,227,059,895
362,639,147,877
418,866,703,897
473,921,117,685
527,813,778,973
580,771,385,782
Komisi
3,067,730,620
3,005,656,589
2,944,152,045
2,883,216,987
2,822,851,416
2,763,055,331
2,703,828,733
2,645,171,622
2,587,083,997
2,540,331,273
Pakan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
Jantan
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
Betina
0
0
0
0
0
0
0
0
0
215,308,291
Biaya
Pemeliharaan Penggantian
Total biaya
49,133,248,528
49,071,174,497
49,009,669,953
48,948,734,895
48,888,369,324
48,828,573,240
48,769,346,642
48,710,689,530
48,652,601,905
48,821,157,472
Total biaya kumulatif
49,133,248,528
98,204,423,025
147,214,092,978
196,162,827,873
245,051,197,197
293,879,770,437
342,649,117,079
391,359,806,609
440,012,408,514
488,833,565,986
Total laba kotor
14,372,345,218
13,192,938,635
12,024,352,296
10,866,586,201
9,719,640,349
8,583,514,742
7,458,209,378
6,343,724,259
5,240,059,383
4,136,449,336
Total laba kotor per induk
332,755
305,449
278,393
251,588
225,033
198,729
172,676
146,873
121,320
95,769
Laba kotor kumulatif
14,372,345,218
27,565,283,852
39,589,636,148
50,456,222,349
60,175,862,698
68,759,377,440
76,217,586,818
82,561,311,077
87,801,370,460
91,937,819,796
Laba kotor kumulatif NPV
12,497,691,494
22,473,448,495
30,379,655,314
36,592,661,243
41,425,040,300
45,135,930,593
47,939,747,750
50,013,522,463
51,503,074,382
52,525,541,396
41
Lampiran 2. Arus Kas dengan Program A di Kabupaten Belu
Biaya pengendalian (Rp./ekor)
tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6 15,378
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
15,378
15,378
15,378
15,378
15,378
Calving rate
57%
58%
59%
60%
61%
62%
62%
62%
62%
62%
Calf mortality rate
19%
18%
17%
16%
15%
14%
14%
14%
14%
14%
Tingkat kematian dewasa
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
Pendapatan Penjualan ternak
Afkir
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
Anak
34,100,239,001
35,838,757,293
37,600,055,046
39,384,132,260
41,190,988,935
43,020,625,071
43,020,625,071
43,020,625,071
43,020,625,071
43,020,625,071
Tenaga ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Produk ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
Produk samping ternak
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
0
0
0
0
Total pendapatan
Betina dipotong bersyarat
67,214,058,865
68,952,577,158
70,713,874,911
72,497,952,125
74,304,808,800
76,134,444,936
72,425,979,816
72,425,979,816
72,425,979,816
72,425,979,816
Total pendapatan kumulatif
67,214,058,865
136,166,636,023
206,880,510,935
279,378,463,060
353,683,271,860
429,817,716,796
502,243,696,612
574,669,676,427
647,095,656,243
719,521,636,059
Biaya Biaya pengendalian Komisi Pakan Pemeliharaan
664,206,576
664,206,576
664,206,576
664,206,576
664,206,576
664,206,576
0
0
0
0
3,253,153,876
3,340,079,790
3,428,144,678
3,517,348,539
3,607,691,372
3,699,173,179
3,513,749,923
3,513,749,923
3,513,749,923
3,513,749,923
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
0
0
0
0
Penggantian ternak Jantan
Betina
muda brucco
Total biaya
53,691,343,480
53,778,269,394
53,866,334,282
53,955,538,143
54,045,880,977
54,137,362,783
49,579,267,831
49,579,267,831
49,579,267,831
49,579,267,831
Total biaya kumulatif
53,691,343,480
107,469,612,874
161,335,947,156
215,291,485,299
269,337,366,276
323,474,729,059
373,053,996,890
422,633,264,722
472,212,532,553
521,791,800,384
42
Total laba kotor
13,522,715,386
15,174,307,763
16,847,540,629
18,542,413,982
20,258,927,824
21,997,082,152
22,846,711,984
22,846,711,984
22,846,711,984
22,846,711,984
313,084
351,322
390,062
429,302
469,044
509,286
528,957
528,957
528,957
528,957
Laba kotor kumulatif
13,522,715,386
28,697,023,149
45,544,563,778
64,086,977,761
84,345,905,584
106,342,987,737
129,189,699,721
152,036,411,706
174,883,123,690
197,729,835,674
Laba kotor kumulatif NPV (diskonto 15%)
11,758,882,944
23,232,839,665
34,310,371,105
44,912,056,481
54,984,324,077
64,494,269,721
73,083,194,996
80,551,825,670
87,046,287,126
92,693,644,914
Laba kotor kumulatif NPV (diskonto 20%)
11.268.929.488
21.806.643.213
31.556.377.373
40.498.513.746
48.640.122.471
56.006.900.777
62.382.998.791
67.696.413.803
72.124.259.647
75.814.131.183
Total laba kotor per induk betina
43
Lampiran 3. Arus Kas dengan Program B di Kabupaten Belu
Biaya pengendalian (Rp./ekor)
tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6 15,737
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
15,737
15,737
15,737
15,737
15,737
Calving rate
57%
59%
61%
63%
65%
67%
67%
67%
67%
67%
Calf mortality rate
19%
18%
16%
15%
13%
12%
12%
12%
12%
12%
Tingkat kematian dewasa
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
Pendapatan Penjualan ternak
Afkir
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
27,254,373,393
Anak
34,100,239,001
37,186,385,116
40,340,869,614
43,563,692,494
46,854,853,757
50,214,353,402
50,214,353,402
50,214,353,402
50,214,353,402
50,214,353,402
Tenaga ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Produk ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
2,150,981,352
Produk samping ternak Pemotongan ternak
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
0
0
0
0
Total pendapatan
67,214,058,865
70,300,204,981
73,454,689,479
76,677,512,359
79,968,673,622
83,328,173,267
79,619,708,147
79,619,708,147
79,619,708,147
79,619,708,147
Total pendapatan kumulatif
67,214,058,865
137,514,263,846
210,968,953,325
287,646,465,684
367,615,139,306
450,943,312,573
530,563,020,720
610,182,728,867
689,802,437,014
769,422,145,161
Biaya Biaya pengendalian Komisi Pakan
Pemeliharaan Penggantian ternak Jantan Betina
muda brucco
679,712,504
679,712,504
679,712,504
679,712,504
679,712,504
679,712,504
0
0
0
0
3,253,153,876
3,407,461,181
3,565,185,406
3,726,326,550
3,890,884,613
4,058,859,596
3,873,436,340
3,873,436,340
3,873,436,340
3,873,436,340
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
43,243,352,628
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
2,822,165,280
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
3,708,465,120
0
0
0
0
Total biaya
53,706,849,408
53,861,156,714
54,018,880,938
54,180,022,083
54,344,580,146
54,512,555,128
49,938,954,248
49,938,954,248
49,938,954,248
49,938,954,248
Total biaya kumulatif
53,706,849,408
107,568,006,121
161,586,887,060
215,766,909,142
270,111,489,288
324,624,044,416
374,562,998,664
424,501,952,912
474,440,907,160
524,379,861,407
44
Total laba kotor
13,507,209,458
16,439,048,267
19,435,808,540
22,497,490,277
25,624,093,476
28,815,618,139
29,680,753,899
29,680,753,899
29,680,753,899
29,680,753,899
312,725
380,604
449,986
520,872
593,260
667,152
687,182
687,182
687,182
687,182
Laba kotor kumulatif
13,507,209,458
29,946,257,725
49,382,066,265
71,879,556,542
97,503,650,018
126,319,268,157
156,000,022,056
185,680,775,955
215,361,529,854
245,042,283,753
Laba kotor kumulatif NPV (diskonto 15%)
12,279,281,325
25,865,271,629
40,467,682,253
55,833,770,824
71,744,316,847
88,009,982,065
103,240,901,883
117,087,192,627
129,674,729,667
141,117,945,158
Laba kotor kumulatif NPV (diskonto 20%)
11.256.007.881
22.672.013.623
33.919.588.009
44.769.072.132
55.066.820.603
64.717.112.815
73.000.466.504
79.903.261.245
85.655.590.196
90.449.197.655
Total laba kotor per induk betina
45
Lampiran 4. Struktur Ternak Sapi Bali di Kabupaten Belu (pada tahun ke-1)
Umur betina 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Komposisi Ternak Induk betina Jantan dewasa Afkir Anak Dara Jantan muda Total
Tahun Pertama 9.547,97 8.023,50 6.742,44 6.546,06 6.355,39 6.170,29 5.985,18 5.805,62 5.631,45 5.462,51 Jumlah 43.192,0 9.502,2 5.462,5 24.619,4 8.023,5 0,0 90.799,7
12.309,7 anak jantan
9.970,9 anak jantan disapih
9.970,9 anak dijual
12.309,7 anak betina
9.970,9 anak betina disapih
1.947,37 anak dijual
43.192 induk betina
8.023,50 anak dipertahankan sebagai pengganti
46
Lampiran 5. Arus Kas Tanpa Program Pengendalian Brucellosis di Kabupaten Kupang tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
Calving rate
60%
59%
58%
57%
56%
55%
54%
53%
52%
51%
Calf mortality rate
19%
20%
20%
21%
21%
22%
22%
23%
23%
24%
Tingkat kematian dewasa
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
Pendapatan Penjualan ternak Afkir
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
Anak
63,483,505,302
61,316,361,611
59,168,830,080
57,040,910,709
54,932,603,499
52,843,908,448
50,774,825,557
48,725,354,827
46,695,496,257
44,685,249,846
Tenaga ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Produk ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
Total pendapatan
Produk samping
117,068,539,618
114,901,395,927
112,753,864,396
110,625,945,025
108,517,637,815
106,428,942,764
104,359,859,873
102,310,389,143
100,280,530,573
3,442,376,496 98,270,284,162
Total pendapatan kumulatif
117,068,539,618
231,969,935,546
344,723,799,942
455,349,744,967
563,867,382,782
670,296,325,546
774,656,185,419
876,966,574,562
977,247,105,135
1,075,517,389,298
Komisi
5,681,308,156
5,572,950,972
5,465,574,395
5,359,178,426
5,253,763,066
5,149,328,313
5,045,874,169
4,943,400,632
4,841,907,704
4,741,395,383
Pakan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
Jantan
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
Betina
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Biaya
Pemeliharaan
Penggantian
Total biaya
90,665,582,911
90,557,225,726
90,449,849,149
90,343,453,181
90,238,037,820
90,133,603,068
90,030,148,923
89,927,675,387
89,826,182,458
89,725,670,138
Total biaya kumulatif
90,665,582,911
181,222,808,637
271,672,657,786
362,016,110,967
452,254,148,787
542,387,751,855
632,417,900,779
722,345,576,165
812,171,758,624
901,897,428,761
Total laba kotor
26,402,956,708
24,344,170,201
22,304,015,247
20,282,491,845
18,279,599,994
16,295,339,696
14,329,710,950
12,382,713,756
10,454,348,114
8,544,614,025
Total laba kotor per induk betina
355,007
327,325
299,894
272,713
245,783
219,103
192,674
166,495
140,566
114,889
47
Laba kotor kumulatif
26,402,956,708
50,747,126,909
73,051,142,156
93,333,634,000
111,613,233,995
127,908,573,691
142,238,284,641
154,620,998,397
165,075,346,512
173,619,960,536
Laba kotor kumulatif NPV
22,959,092,789
41,366,782,923
56,032,034,996
67,628,615,537
76,716,807,384
83,761,732,420
89,148,801,537
93,196,732,629
96,168,510,841
98,280,608,747
48
Lampiran 6. Arus Kas dengan Program A di Kabupaten Kupang tahun 1
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
Biaya pengendalian (Rp./ekor)
2,663
2,663
2,663
2,663
2,663
2,663
Calving rate
60%
61%
61%
62%
62%
63%
63%
63%
63%
63%
Calf mortality rate
19%
19%
18%
18%
17%
17%
17%
17%
17%
17%
Tingkat kematian dewasa
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
Pendapatan
Penjualan ternak Afkir
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
Anak
63,483,505,302
65,004,811,817
66,535,924,413
68,076,843,088
69,627,567,843
71,188,098,679
71,188,098,679
71,188,098,679
71,188,098,679
71,188,098,679
Tenaga ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Produk ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 3,442,376,496
Produk samping
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
Betina dipotong bersyarat
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
0
0
0
0
Total pendapatan
123,544,568,593
125,065,875,109
126,596,987,704
128,137,906,379
129,688,631,135
131,249,161,970
124,773,132,995
124,773,132,995
124,773,132,995
124,773,132,995
Total pendapatan kumulatif
123,544,568,593
248,610,443,702
375,207,431,406
503,345,337,785
633,033,968,919
764,283,130,889
889,056,263,884
1,013,829,396,879
1,138,602,529,874
1,263,375,662,869
Biaya Program pengendalian Komisi
Pakan Pemeliharaan
198,055,299
198,055,299
198,055,299
198,055,299
198,055,299
198,055,299
0
0
0
0
6,005,109,605
6,081,174,931
6,157,730,560
6,234,776,494
6,312,312,732
6,390,339,274
6,066,537,825
6,066,537,825
6,066,537,825
6,066,537,825
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
6,476,028,975
0
0
0
0
Penggantian ternak Jantan Betina
muda brucco
Total biaya
97,663,468,633
97,739,533,959
97,816,089,589
97,893,135,523
97,970,671,760
98,048,698,302
91,050,812,579
91,050,812,579
91,050,812,579
91,050,812,579
Total biaya kumulatif
97,663,468,633
195,403,002,592
293,219,092,181
391,112,227,704
489,082,899,464
587,131,597,766
678,182,410,346
769,233,222,925
860,284,035,505
951,334,848,084
49
Total laba kotor
25,881,099,960
27,326,341,149
28,780,898,115
30,244,770,857
31,717,959,374
33,200,463,668
33,722,320,416
33,722,320,416
33,722,320,416
33,722,320,416
347,991
367,423
386,980
406,663
426,471
446,405
453,422
453,422
453,422
453,422
Laba kotor kumulatif
25,881,099,960
53,207,441,109
81,988,339,224
112,233,110,081
143,951,069,455
177,151,533,123
210,873,853,539
244,596,173,954
278,318,494,370
312,040,814,785
Laba kotor kumulatif NPV (diskonto 15%)
22,505,304,313
43,167,944,124
62,091,851,818
79,384,397,718
95,153,829,210
109,507,305,850
122,184,775,167
133,208,661,529
142,794,649,670
151,130,291,531
Laba kotor kumulatif NPV (diskonto 20%)
21.567.583.300
40.544.209.098
57.199.821.433
71.785.455.527
84.532.192.029
95.650.960.137
105.062.240.867
112.904.974.809
119.440.586.427
124.886.929.442
Total laba kotor per induk betina
50
Lampiran 7. Arus Kas dengan Program B di Kabupaten Kupang tahun 1 Biaya pengendalian (Rp./ekor)
tahun 2
tahun 3
tahun 4
tahun 5
tahun 6
tahun 7
tahun 8
tahun 9
tahun 10
10,007
10,007
10,007
10,007
10,007
10,007
Calving rate
60%
63%
66%
69%
72%
75%
75%
75%
75%
75%
Calf mortality rate
19%
18%
16%
15%
13%
12%
12%
12%
12%
12%
Tingkat kematian dewasa
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
3%
Pendapatan Penjualan ternak Afkir
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
50,142,657,820
Anak
63,483,505,302
70,503,847,900
77,700,699,940
85,074,061,420
92,623,932,341
100,350,312,702
100,350,312,702
100,350,312,702
100,350,312,702
100,350,312,702 0
Tenaga ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Produk ternak
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
3,442,376,496
Produk samping ternak
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
0
0
0
0
Total pendapatan
Betina dipotong bersyarat
166,768,296,868
173,788,639,467
180,985,491,506
188,358,852,986
195,908,723,907
203,635,104,269
153,935,347,019
153,935,347,019
153,935,347,019
153,935,347,019
Total pendapatan kumulatif
166,768,296,868
340,556,936,335
521,542,427,841
709,901,280,826
905,810,004,733
1,109,445,109,001
1,263,380,456,020
1,417,315,803,039
1,571,251,150,057
1,725,186,497,076
Biaya Biaya pengendalian Komisi
Pakan Pemeliharaan
744,250,611
744,250,611
744,250,611
744,250,611
744,250,611
744,250,611
0
0
0
0
8,166,296,019
8,517,313,149
8,877,155,750
9,245,823,824
9,623,317,371
10,009,636,389
7,524,648,526
7,524,648,526
7,524,648,526
7,524,648,526
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
78,357,640,454
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
6,626,634,300
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
49,699,757,250
0
0
0
0
143,594,578,634
143,945,595,764
144,305,438,366
144,674,106,440
145,051,599,986
145,437,919,004
92,508,923,281
92,508,923,281
92,508,923,281
92,508,923,281
Penggantian Jantan Betina
muda brucco
Total biaya
51
Total biaya kumulatif
143,594,578,634
287,540,174,398
431,845,612,764
576,519,719,204
721,571,319,190
867,009,238,194
959,518,161,475
1,052,027,084,755
1,144,536,008,036
1,237,044,931,316
23,173,718,234
29,843,043,703
36,680,053,140
43,684,746,546
50,857,123,921
58,197,185,264
61,426,423,738
61,426,423,738
61,426,423,738
61,426,423,738
311,588
401,262
493,190
587,374
683,812
782,504
825,924
825,924
825,924
825,924
Laba kotor kumulatif
23,173,718,234
53,016,761,937
89,696,815,077
133,381,561,622
184,238,685,543
242,435,870,807
303,862,294,545
365,288,718,283
426,715,142,021
488,141,565,759
Laba kotor kumulatif NPV (tingkat diskonto 15%)
20.151.059.334
42.716.687.843
66.834.418.189
91.811.313.809
117.096.292.647
142.256.541.841
165.349.009.754
185.429.416.635
202.890.640.010
218.074.312.509
Laba kotor kumulatif NPV (tingkat diskonto 20%)
19.311.431.862
40.035.767.766
61.262.650.370
82.329.754.222
102.258.211.296
122.258.211.296
139.401.198.817
153.687.021.750
165.591.874.195
175.512.584.566
Total laba kotor
Total laba kotor per induk betina
52
Lampiran 8. Struktur Ternak Sapi Bali di Kabupaten Kupang (pada tahun ke-1)
Umur betina 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Komposisi Ternak Induk betina Jantan dewasa Afkir Anak Dara Jantan muda Total
Tahun Pertama 16.440,80 13.815,80 11.609,91 11.271,76 10.943,46 10.624,71 10.305,97 9.996,79 9.696,89 9.405,98 Jumlah 74.373,0 22.311,9 9.406,0 44.623,8 13.819,8 0,0 164.530,7
22.311,9 anak jantan
18.072,6 anak jantan disapih
18.072,6 anak dijual
22.311,9 anak betina
18.072,6 anak betina disapih
4.256,84 anak dijual
74.373 induk betina
13.815,80 anak dipertahankan sebagai pengganti
Lampiran 9 Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Belu Tahun 2007 No. Kecamatan Populasi (ekor) 1. Lamaknen 6.606 2. Tasifeto Timur dan Lasiolat 7.424 3. Raihat 2.826 4. Tasifeto Barat 13.005 5. Kakuluk Mesak 5.056 6. Kota Atambua 2.592 7. Malaka Timur, Laen Manen dan Raimanuk 5.026 8. Kobalima 9.370 9. Malaka Tengah 7.404 10. Sasitamean 7.337 11. Malaka Barat, Wewiku dan Weliman 8.579 12. Rinhat 6.406 Total 94.499 Seks ratio : Anak jantan = 7.730 ekor (8,18%) Anak betina = 9.686 ekor (10,25%) Muda jantan = 10.073 ekor (10,66%) Muda betina = 15.611 ekor (16,52%) Dewasa jantan = 9.328 ekor (9,87%) Dewasa betina = 42.071 ekor (45%) Sumber : Disnak Kab. Belu
54
Lampiran 10 Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Belu Tahun 2008 No. Kecamatan Populasi (ekor) 1. Lamaknen 2. Tasifeto Timur 3. Lasiolat 4. Raihat 5. Tasifeto Barat 6. Kakuluk Mesak 7. Kota Atambua 8. Malaka Timur 9. Laen Manen 10. Raimanuk 11. Kobalima 12. Malaka Tengah 13. Sasitamean 14. Malaka Barat 15. Wewiku 16. Weliman 17. Rinhat Total Seks ratio : Anak jantan = 7.828 ekor (8,178%) Anak betina = 9.812 ekor (10,251%) Muda jantan = 10.203 ekor (10,659%) Muda betina = 15.811 ekor (16,518%) Dewasa jantan = 9.446 ekor (9,868%) Dewasa betina = 42.615 ekor (44,522%) Sumber : Disnak Kab. Belu
6.690 5.089 2.430 2.862 13.173 5.122 2.626 5.026 7.440 5.656 9.492 7.501 7.432 1.930 3.294 3.463 6.489 95.715
55
Lampiran 11 Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Belu Tahun 2009 No. Kecamatan Populasi (ekor) 1. Lamaknen 3.959 2. Lamaknen Selatan 2.836 3. Tasifeto Timur 5.158 4. Lasiolat 2.476 5. Raihat 2.951 6. Tasifeto Barat 7.887 7. Nanaet Dubesi 5.451 8. Kakuluk Mesak 5.192 9. Kota Atambua 875 10. Atambua Barat 881 11. Atambua Selatan 902 12. Malaka Timur 5.097 13. Laen Manen 7.543 14. Raimanuk 5.732 15. Kobalima 6.138 16. Kobalima Timur 3.555 17. Malaka Tengah 7.587 18. Sasitamean 3.041 19. Io Kufeu 2.645 20. Botin Leo Bele 1.837 21. Malaka Barat 1.953 22. Wewiku 3.334 23. Weliman 3.504 24. Rinhat 6.567 Total 97.101 Seks ratio : Anak jantan = 7.892 ekor (8,13%) Anak betina = 10.017 ekor (10,32%) Muda jantan = 10.301 ekor (10,61%) Muda betina = 16.063 ekor (16,54%) Dewasa jantan = 9.636 ekor (9,92%) Dewasa betina = 43.192 ekor (44,48%) Sumber : Disnak Kab. Belu
56
Lampiran 12 Populasi Ternak Sapi di Kabupaten Kupang Tahun 2006-2008 Kecamatan
Populasi 2007 7.824
2006 Semau 6.894 Semau Selatan Kupang Barat 9.146 9.374 Nekamese Kupang Tengah 6.025 6.176 Taebenu Amarasi 18.316 18.774 Amarasi Barat Amarasi Selatan Amarasi Timur Kupang Timur 33.485 34.322 Amabi Oefeto Timur Amabi Oefeto Sulamu 7.583 7.772 Fatuleo 16.366 16.775 Fatueo Barat Fatuleo Tengah Takari 14.954 15.328 Amfoang 15.664 16.625 Selatan Amfoang Barat Daya Amfoang Utara 16.000 15.074 Amfoang Barat Laut Amfoang Timur Jumlah 144.433 148.044 Sumber : Disnak Kab. Kupang 2009c
Keterangan 2008 8.020
Termasuk Semau Selatan
9.606
Termasuk Nekamese
6.330
Termasuk Taebenu
19.243
Termasuk Amarasi Barat, Selatan dan Timur
35.180
Termasuk Amabi Oefeto Timur
7.966 17.194
15.711 17.042
15.451
151.743
Termasuk Fatuleo Barat dan Tengah
Termasuk Amfoang Barat Daya
Termasuk Amfoang Barat Laut dan Amfoang Tengah
57
Lampiran 13 ANGGARAN BIAYA PENGENDALIAN BRUCELLOSIS DI KABUPATEN BELU (APBD II) TAHUN 2006-2008 Uraian Jumlah biaya Th. 2006
Obat, vaksin dan operasional
Thn. 2007
Thn. 2008
630.635.500 603.750.000 605.450.000
Peralatan medis dan survey
7.997.000
74.960.000
Eliminasi
100.000.000 105.000.000 105.000.000
TOTAL
638.732.500 783.710.000 710.450.000
Sumber : Disnak Kab. Belu 2009
Lampiran 14 ALOKASI KEGIATAN PENGENDALIAN BRUCELLOSIS KABUPATEN BELU SUMBER DANA PUSAT DAN APBD I Tahun Survei Vaksin Pusat Eliminasi Total biaya Pusat (BLM) (dosis) (ekor) (Rp)* 2007 10.000 144 362.580.000 2008 10.000 111 300.448.000 Sumber : Disnak Kab.Belu 2009 *Data diolah Total dana pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu tahun 2009 diasumsikan 1/5 dari total biaya dari Provinsi dan Pusat (Lampiran 16) yaitu Rp. 137.380.040,00
Lampiran 15 ANGGARAN BIAYA PEMBERANTASAN BRUCELLOSIS DI KABUPATEN KUPANG TAHUN 2009 Uraian Pembelian reaktor Transport ternak sapi dari peternak ke holding ground dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Jasa RPH Pembelian sapi reaktor positif sudah termasuk biaya : a. Biaya kerja pembelian sapi b. Biaya kerja pengawasan pemotongan c. Retribusi desa d. Tali, ATK dan pelaporan e. Pembelian sapi reaktor TOTAL Sumber : Disnak Kab. Kupang 2009
Volume
Harga Satuan (Rp.)
Jumlah Biaya (Rp.)
24 ekor
40.000
960.000
24 ekor
10.000
240.000
24 ekor 24 ekor 24 ekor 24 ekor 24 ekor
25.000 25.000 5.000 15.000 2.420.000
600.000 600.000 120.000 360.000 58.080.000 60.690.000
58
Lampiran 16. Biaya Pemberantasan Brucellosis di Provinsi NTT Tahun 20072009 No.
Uraian .
Jumlah biaya (Rp) Th. 2007
Th. 2008
Th. 2009
1
Pengambilan sampel darah
40.000.000
30.000.000
22.500.000
2
Prossesing sampel darah
10.000.000
7.500.000
3.750.000
3
Pemeriksaan sampel darah RBT
50.000.000
37.500.000
18.750.000
4
Pemeriksaan sampel darah CFT
4.000.000
3.000.000
1.500.000
5
Pembelian reaktor positif
630.000.000
688.800.000
512.200.000
6
Tabung venoject
64.000.000
52.500.000
28.500.000
7
Jarum venoject
35.000.000
30.000.000
24.375.000
8
Antigen RBT
9
Vaksin Brucellosis
9.200.000
7.500.000
4.500.000
58.000.000
46.500.000
26.250.000
10
Venoject Holder
300.000
262.500
100.000
11
Rapat Evaluasi
48.973.000
22.104.000
15.689.200
12
Monitoring evaluasi
20.834.000
15.456.000
8.549.000
13
Monitoring penjualan
10.142.000
0
3.537.000
14
Transport ternak dari petani
17.500.000
10.800.000
10.000.000
ke HG dan RPH 15
Jasa RPH
8.750.000
5.400.000
5.000.000
16
Pengiriman bahan dan alat
1.900.000
1.900.000
1.750.000
TOTAL
1.008.599.000
Sumber : Dinas Peternakan Prov. NTT 2009
959.222.500
686.950.200
59
Lampiran 17 : Estimasi nilai ekonomis pupuk kandang (Suharyanto dan Rinaldi 2001) Setiap ekor sapi diperkirakan menghasilkan pupuk kandang 4,5 juta ton/tahun. Jumlah tersebut dianggap berasal dari ternak dewasa dan telah dikurangi dengan susut bobot hingga menjadi pupuk kandang matang . Pupuk kandang yang terkumpul (pupuk kandang matang) ± 80%. Pupuk kandang mengandung hara makro (N, P, K) dan hara mikro (Zn, Bo, Mn, Cu, Mo). Estimasi pupuk kandang didasarkan atas populasi ternak dan kontribusi ternak terhadap produksi pakan. Kontribusi berbagai jenis pupuk kandang terhadap jumlah unsur hara tersedia didasarkan proporsi hara utama (N, P2O5 dan K2O) pada pupuk kandang dan juga mempertimbangkan unsur hara yang menguap dan terkuras. Pupuk kandang padat yang berasal dari kotoran sapi mengandung 0,4% N, 0,2% P2O5 dan 0,1% K2O. Pupuk kandang biasanya tidak langsung digunakan, sehingga disimpan terlebih dahulu. Dalam penyimpanan akan terjadi kehilangan unsur hara. Selama transformasi kehilangan nitrogen dapat mencapai 30%, sedangkan unsur phosphate dan unsur kalium kecil. Jumlah penguapan = kontribusi kotor x 30% (N). Kehilangan akibat pengurasan masing-masing dikalikan 0,1 % N, 0,03% P2O5 dan 0,35% K2O. Jumlah pengurasan tiap unsur = kontribusi kotor x prosentase pengurasan. Jumlah kontribusi bersih = kontribusi kotor – (jumlah penguapan + pengurasan). Reaksi kerja nitrogen di dalam pupuk kandang tidak sama dengan reaksi kerja nitrogen pada pupuk buatan. Perbandingan antara keduanya ditunjukkan dengan faktor kerja (working coefficient). Faktor kerja nitrogen di dalam pupuk kandang berkisar antara 20-40%. Konversi hara pupuk kandang setara pupuk buatan : a) Urea : 45% N b) SP36 : 38% P2O5 c) KCl
: 55% K2O
Nilai unsur hara setara pupuk buatan = kontribusi bersih masing-masing unsur x jumlah kandungan unsur pada masing-masing pupuk. Catatan : unsur Nitrogen terlebih dahulu harus dikalikan dengan faktor kerja sebesar 40 persen
60
Estimasi nilai ekonomi pupuk kandang di Kabupaten Kupang dengan populasi sapi sejumlah 155.398 ekor (tahun 2009). Populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 adalah 155.398 ekor. Produksi pupuk kandang = 4,5 ton x 155.398 ekor = 699.291 ton Susut bobot pupuk kandang segar menjadi pupuk kandang matang = 30% x 699.291 ton = 209.787,3 ton Pupuk kandang matang = 699.291 – 209.787,3 = 489.503,7 ton Kontribusi kotor masing-masing unsur = N = 0,4% x 489.503,7 ton = 1.958,01 ton P = 0,2% x 489.503,7 ton =
979 ton
K = 0,1% x 489.503,7 ton =
489,5 ton
Jumlah penguapan = kontribusi kotor x 30% (untuk N) = 1.958,01 ton x 30% = 587,4 ton Jumlah pengurasan = % pengurasan x kontribusi kotor N = 0,1% x 1.958,01 ton = 1,958 ton P = 0,,03% x 979 ton = 0,29 ton K = 0,35% x 489,5 ton = 1,71 ton
Kontribusi hara nitrogen, phosphate dan kalium yang berasal dari pupuk kandang (asal sapi) di Kabupaten Kupang (dalam ton) : K2O Uraian N P2O5 Kontribusi kotor 1.958,01 979 489,5 Menguap 587,4 Terkuras 1,958 0,29 1,71 Kontribusi bersih 1.368,65 978,71 487,79 Hasil setara pupuk buatan untuk N = kontribusi bersih x faktor kerja = kontribusi bersih x 40% = 1.368,65 ton x 40% = 547,46 ton Hasil setara pupuk buatan dan nilai ekonominya di Kabupaten Kupang : Jenis pupuk Hara setara pupuk Harga satuan Total buatan (kg) (Rp) (Rp) Urea 547.460 1.200 656.952.000 SP-36 978.710 1.600 1.565.936.000 KCl 487.790 2.500 1.219.475.000 Nilai setara pupuk buatan (Rp) 3.442.363.000 Jadi nilai produksi pupuk kandang untuk tiap ekor sapi di Kabupaten Kupang = Rp. 3.442.363.000 : 155.398 = Rp. 22.152,- / ekor dalam 1 tahun.
61
Estimasi nilai ekonomi pupuk kandang di Kabupaten Belu dengan populasi sapi sejumlah 97.101 ekor (tahun 2009). Populasi sapi di Kabupaten Belu pada tahun 2009 adalah 97.101 ekor. Produksi pupuk kandang = 4,5 ton x 97.101 ekor = 436.954,5 ton Susut bobot pupuk kandang segar menjadi pupuk kandang matang = 30% x 436.954,5 ton = 131.086,35 ton Pupuk kandang matang = 436.954,5 – 131.086,35 = 305.868,15 Kontribusi kotor masing-masing unsur = N = 0,4% x 305.868,15 ton = 1.223,47 ton P = 0,2% x 305.868,15 ton = 611,73 ton K = 0,,1% x 305.868,15 ton = 305,86 ton Jumlah penguapan = kontribusi kotor x 30% (untuk N) = 1.223,47 x 3 0% = 367,04 ton Jumlah pengurasan = % pengurasan x kontribusi kotor N = 0,1% x 1.223,47 ton =1,22 ton P = 0,,03% x 611,73 ton = 0,18 ton K = 0,35% x 305,86 ton = 1,07 ton
Kontribusi hara nitrogen, phosphate dan kalium yang berasal dari pupuk kandang (asal sapi) di Kabupaten Kupang (dalam ton) : K2O Uraian N P2O5 Kontribusi kotor 1.223,47 611,73 305,86 Menguap 367,04 Terkuras 1,22 0,18 1,07 Kontribusi bersih 855,21 611,55 304,79 Hasil setara pupuk buatan untuk N = kontribusi bersih x faktor kerja = kontribusi bersih x 40% = 855,21 ton x 40% = 342,08 ton Hasil setara pupuk buatan dan nilai ekonominya di Kabupaten Belu : Jenis pupuk Hara setara pupuk Harga satuan Total buatan (kg) (Rp) (Rp) Urea 342.080 1.200 410.496.000 SP-36 611.550 1.600 978.480.000 KCl 304.790 2.500 761.975.000 Nilai setara pupuk buatan (Rp) 2.150.951.000 Jadi nilai produksi pupuk kandang untuk tiap ekor sapi di Kabupaten Belu = Rp. 2.150.951.000 : 151.743 = Rp. 22.152,- / ekor dalam 1 tahun.
62
Lampiran 18 KUESIONER UNTUK PETERNAK Nomor Kuisioner : .................................................................... Tanggal : .................................................................... Enumerator : .................................................................... -----------------------------------------------------------------------------------------------------------A. LOKASI Dusun Desa/Kel Kecamatan Kabupaten Propinsi
: : : : :
B. DATA/IDENTIFIKASI RESPONDEN 1. N a m a : 2. Pendidikan : a. Tidak pernah sekolah b. Sekolah Dasar c. S M P d. S M A e. Akademi/Universitas 3. Total jumlah anggota keluarga dengan rincian : a. Umur 0-17 tahun b. Umur 17-55 tahun c. Umur 55-65 tahun d. Umur >65 tahun 4. Pekerjaan : a. b. c. d. e. f.
( ( ( ( (
) ) ) ) )
: ………… orang : ………… orang : ………… orang : ………… orang : ………… orang
Petani PNS Swasta Pedagang Pensiunan ……………. Lainnya
5. No telp/hp : C. PEMILIKAN TERNAK & LAHAN PEMELIHARAAN 1. Pemilikan ternak saat pencatatan : Jenis Umur (tahun) Ternak 0-2 2-3 Jantan Betina Jantan Betina Sapi Kerbau Kambing Domba Kuda
Jantan
>3 Betina
63
2. Luas lahan pemeliharaan a. Kandang ( ) m2 b. Padang penggembalaan ( ) m2 c. Luas a + b ( ) m2 d. Lainnya………………………………………. 3. Luas lahan bercocok tanam : a. Lahan sawah irigasi b. Tegalan c. Kebun d. Pekarangan e. Lainnya
: : : :
( ( ( ( (
) m2/ha ) m2/ha ) m2/ha ) m2/ha ) m2/ha
D. MANAJEMEN PETERNAKAN 1. Maksud dan tujuan pemeliharaan ternak a. Investasi/tabungan b. Dimanfaatkan tenaganya c. Lain-lain :...................................................
( (
) )
2. Sistem pemeliharaan ternak a. Dikandangkan b. Dilepas di padang penggembalaan c. Dilepas dan dikandangkan d. Lainnya ....................................................
( ( (
) ) )
3.
Breeding/Perkawinan a. Secara alami ( b. Secara alami dengan pejantan yang telah diseleksi ( c. Inseminasi buatan (IB) ( d. Lainnya ………………………………………
4. Cara penjualan ternak : a. Dijual ke peternak lainnya ( b. Di jual langsung ke pasar ( c. Melalui pedagang perantara ( d. Lainnya............................................ 5. Alasan penjualan a. Harga sedang melonjak b. Saat membutuhkan uang c. Ternak sakit d. Ternak tua e. Majir f. Lainnya........................................... : 6. Pakan tambahan diberikan saat a. Setiap hari b. Pada musim kering
) ) )
( ( ( ( ( (
( (
) )
) ) ) ) ) )
) ) )
64
E. KESEHATAN HEWAN 1. Berapa jumlah ternak betina anda yang bunting dalam 1 tahun terakhir ini? (……). ekor a.
Adakah ternak betina bunting yang mengalami keguguran? Ada / Tidak Kalau ada, berapa jumlahnya? ………. ekor
b. Berapa jumlah ternak betina yang melahirkan? ……… ekor Bagaimana keadaan anak yang dilahirkan? a. Anak yang dilahirkan dalam keadaan hidup …… ekor b. Anak mati segera setelah dilahirkan …… ekor c. Adakah ternak betina yang melahirkan disertai retensi placenta? Ada / Tidak Kalau ada, berapa jumlahnya? ………… ekor Berapa biaya untuk pengobatan/penanganan tsb ternak per ekor ? Rp. ……………… 2. Adakah ternak jantan anda yang menunjukkan gejala radang testis dalam 1 tahun terakhir ini? Ada / Tidak Kalau ada, berapa jumlahnya? ………… ekor Berapa biaya pengobatan untuk ternak tsb per ekor? Rp. ………………… 3. Adakah ternak betina anda yang menunjukkan jarak beranak yang panjang? Ada / Tidak Kalau ada, berapa jumlahnya? ………… ekor Apakah dilakukan pengobatan terhadap ternak tsb? Ya / Tidak Jika Ya, berapa biaya pengobatan untuk ternak per ekor? Rp. ……………… 4. Adakah ternak anda yang menunjukkan gejala majir? Ada / Tidak Kalau ada, berapa jumlahnya? ………… ekor Apakah dilakukan pengobatan terhadap ternak tsb? Ya / Tidak Jila Ya, berapa biaya pengobatan untuk ternak per ekor? Rp. ………………… 5. Adakah ternak betina anda yang menderita kengkak carpal (hygroma)? Ada / Tidak Kalau ada, berapa jumlahnya? ………… ekor Apakah dilakukan pengobatan terhadap ternak tsb? Ya / Tidak Jika Ya, berapa biaya pengobatan untuk ternak tsb per ekor? Rp. ……………
F. BIAYA PRODUKSI 1. Modal yang digunakan : a. Modal sendiri b. Modal pinjaman tingkat bunga
: Rp. ……………………. : Rp …..,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, : ………… %
65
2. Inventaris ternak awal Umur ternak (tahun) 0-2 2-3 3-5 5-8 >8
Jumlah termak Jantan (ekor) Betina (ekor)
Harga/ekor (Rp.)
3. Sistem pemeliharaan menggunakan kandang : a. Biaya untuk pembuatan kandang = Rp ………….. b. Biaya pemeliharaan/perbaikan kandang/tahun = Rp..………….. c. Daya tahan kandang = ………. tahun 4. Biaya listrik per tahun 5. Biaya air per tahun
= Rp. …………… = Rp. ……………
6. Pakan tambahan Jenis Pakan Jml (kg)/hari Rumput Konsentrat 7. Jumlah tenaga kerja : a. Tenaga buruh b. Tenaga kerja keluarga c. Upah (buruh)
Harga/kg
Jumlah biaya /tahun (Rp)
( ) orang ( ) orang : Rp………………..../bulan
8. Barang habis yang diperlukan dalam 1 tahun : Jenis barang Jumlah Harga satuan (Rp.) Ember Sapu lidi Sikat Desinfektan Sabun/deterjen Selang Lain-lain
Total (Rp.)
9. Biaya untuk obat/vitamin dalam setahun : Rp.......................... 10. Biaya untuk dokter hewan, mantri hewan dalam setahun : Rp. ....................... 11. Biaya yang dikeluarkan untuk menjual ternak dalam setahun : a. Transportasi Rp. ……………… b. Komisi penjualan Rp. ……………… 12. Perkembangan ternak (per tahun) a. Jumlah ternak mati b. Jumlah ternak dipotong paksa c. Jumlah anak yang lahir d. Jumlah dihadiahkan e. Jumlah ternak yang dibeli
( ( ( ( (
) ekor ) ekor ) ekor ) ekor ) ekor
66
f. Jumlah ternak yang diterima dari hadiah g. Jumlah ternak yang dicuri h. Jumlah ternak untuk keperluan sendiri
( ( (
) ekor ) ekor ) ekor
13. Biaya pembelian calon induk betina/pejantan baru dalam setahun : Jenis Ternak Jumlah (ekor) Harga per ekor Total harga (Rp.) Induk betina Pejantan 14. Adakah biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan selain biaya yang tersebut di atas? a. Ya Yaitu biaya untuk …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… b. Tidak
G. PRODUKSI/PENJUALAN 1. Hasil produksi Berapa jumlah ternak yang dijual (dalam 1 tahun terakhir) Umur ternak Jumlah termak Harga/ekor (Rp.) (tahun) Jantan (ekor) Betina (ekor) 0-2 2-3 3-5 5-8 >8 2.
Pupuk kandang : Apakah pupuk kandang yang ada dimanfaatkan? Ya / Tidak Jika Ya, : a. Untuk keperluan sendiri : …………………. kg/tahun b. Untuk dijual : …………………. kg/tahun c. Harga pupuk kandang : Rp. …………….. / kg
3. Ternak untuk tenaga kerja a. Jumlah hari kerja ternak per ekor/tahun = ........... hari b. Jika ternak tersebut disewakan untuk tenaga kerja, berapa penghasilan yang diperoleh peternak = Rp. …………../hari = ……………..Rp. ……………./tahun 4. Penjualan susu a. Jumlah susu yang dihasilkan = ……… liter/tahun b. Harga per liter = Rp. ………………
67
5. Inventaris ternak akhir Umur ternak (tahun) 0-2 2-3 3-5 5-8 >8
Jumlah ternak Jantan (ekor) Betina (ekor)
Harga/ekor (Rp.)
6. Apakah terdapat penghasilan lain dari ternak selain yang tersebut di atas? a. Ya Yaitu……………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………… b.
Tidak