Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
ISSN 2355-6218
KAJIAN BENTUK DAN FUNGSI UNSUR DESAIN PADA POSTER WWF “ BE RESPONSIBLE OUT THERE ” Ngurah Adhi Santosa Dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual Sekolah Tinggi Desain Bali
[email protected] ABSTRAK Kerusakan lingkungan adalah salah satu wacana yang sering kita dengar saat ini. Berbagai alasan, menjadi penyebab terjadinya kerusakan alam. Keinginan manusia yang semakin kompleks dan tak terbendung dalam mengeksploitasi alam, serta perilaku yang tidak menjaga lingkungan dikatakan salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Namun seiring dengan semakin banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi karena perilaku manusia, tidak sedikit juga bermunculan orang – orang yang peduli terhadap masalah tersebut. Salah satunya adalah World Wide Fund for Nature (WWF) sebuah internasional yang menangani masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan. Dalam mengkampanyekan informasi dan ide penyelamatan lingkungan, WWF selalu menggunakan cara kreatif sebagai upaya menarik perhatian masyarakat, melalui pemanfaatan media komunikasi visual poster. Poster WWF kebanyakan menggunakan ilustrasi unik yang begitu merepresentasikan tema dari poster, dan pesan sederhana yang menuntut audience untuk memahami maksud dari poster tersebut. Salah satu poster WWF berjudul “Be Responsible Out There”, menyampaikan informasi tentang kebakaran hutan yang marak terjadi. Pembahasan menggunakan metode deskriptif kualitatif tentang bentuk dan fungsi unsur desain.Penggunaan unsur desain, mulai dari ilustrasi daun kering sebagai ikon api, ilustrasi batang korek api, pemilihan headline“Be Responsible Out There”, tipografi serif untuk teks, hingga penggunaan warna orange, putih, abu dan hitam sudah tepat untuk menyampaikan pesan perlunya tanggung jawab kita saat menggunakan api dalam kehidupan sehari – hari, baik untuk sesuatu yang positif, maupun negatif seperti membuka lahan. Sehingga desain yang terlihat sederhana seperti itu, memiliki makna dan pesan yang penting untuk di ketahui oleh masyarakat. Kata Kunci: Kerusakan, Lingkungan, WWF ABSTRACT Environmental destruction is one of the popular issues nowadays. Many reasons arise as a source of the destruction. Human's desire are getting complex and can not be stopped in exploiting nature resources. Besides, most people are not responsible in taking cares their environment. So nature destruction is increasing rapidly. However, the increasing of nature destruction also makes more people aware about the issue. One of them is World Wide Fund for Nature (WWF) an international organization concerned about environment's conservation, research, and restoration. In their information's and ideas campaign about the environment rescue, WWF always uses their creative ways as efforts to gain people's attention, using visual aids as poster. Most of the WWF posters use unique 39
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
ISSN 2355-6218
illustration that present the theme obviously, also simple meaningful message which pursue audience to understand the meaning. One of the poster entitled "Be Responsible Out There" gives information about forest fires which often occur. The discussion uses qualitative method about shape and elements' function of the design. The uses of elements' designs, starts from the dry leave as a representative of fire, match sticks illustration, headline's selection of " Be Responsible Out There", serif typography for the text, until the uses of colors as orange, grey, white, and black, are already precise and suitable to represent the message of how important in being responsible when using fire in our daily life either in positive or negative way as clearing land. So that, the design looked as simple as it is, containing meaningful message to be informed to the society. Keyword: Destruction, Environment, WWF PENDAHULUAN Kerusakan lingkungan adalah salah satu wacana yang sering kita dengar saat ini. Hampir tiap hari, baik di pemberitaan elektronik, media cetak, maupun pembicaraan masyarakat, isu ini adalah salah satu yang cukup banyak dibahas dan mendapatkan perhatian. Berbagai alasan, menjadi penyebab terjadinya kerusakan alam, diantaranya adalah perilaku dari manusia. Keinginan manusia yang semakin kompleks dan tak terbendung dalam mengeksploitasi alam, serta perilaku yang tidak menjaga lingkungan dikatakan salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Padahal jika dicermati, perilaku tersebut akan menyebabkan kerugian bagi lingkungan, ekosistem didalamnya dan manusia itu sendiri. Namun seiring dengan semakin banyaknya kerusakan lingkungan yang terjadi yang disebabkan oleh perilaku manusia, tidak sedikit juga bermunculan orang – orang yang peduli terhadap masalah tersebut. Jika diperhatikan saat ini, banyak organisasi non profit yang bermunculan untuk memberikan pengetahuan tentang dampak pengerusakan lingkungan serta meningkatkan kesadaran kita sebagai manusia untuk menjaga lingkungan. Salah satu diantaranya adalah World Wide Fund for Nature (WWF) sebuah
organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan. Misi WWF adalah untuk melestarikan alam dan mengurangi ancaman yang paling mendesak untuk keanekaragaman kehidupan di Bumi (available at http://www.wwf.org.uk). WWF menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan melalui aksi sosial dan kampanye – kampanye yang rutin mereka lakukan sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat untuk melindungi kehidupan alam liar, termasuk satwa liar dan habitatnya serta seluruh ekosistem penting di planet Bumi. Dalam mengkampanyekan informasi dan ide penyelamatan lingkungan, WWF selalu menggunakan cara kreatif sebagai upaya menarik perhatian masyarakat untuk memperhatikan dan menangkap informasi yang diberikan. Salah satu cara yang digunakan, yaitu melalui pemanfaatan media komunikasi visual, yaitu poster. Poster yang diciptakan oleh WWF dalam upaya mengkampanyekan informasi tetang pengerusakan lingkungan dan cara penanggulangannya, dapat dikatakan selalu unik dan menarik untuk diperhatikan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa poster WWF yang sudah banyak tersebar di masyarakat, baik itu melalui poster yang tercetak ataupun
40
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
bersifat digital.Poster WWF kebanyakan menggunakan ilustrasi unik yang begitu merepresentasikan tema dari poster, dan penggunaan pesan sederhana yang begitu menuntut audience untuk memahami maksud dari poster tersebut. Inilah salah satu cara kreatif yang WWF lakukan untuk dalam menyebarluaskan informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak kerusakan lingkungan. Beranjak dari hal tersebut, sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia desain komunikasi visual , mendorong penulis untuk meninjau sejauh mana bentuk dan fungsi dari unsur desain yang ada pada karya poster WWF berjudul “Be Responsible Out There”karya Maxwell A. Davis, dalam menyampaikan informasi tentang kebakaran hutan yang beberapa waktubelakangan ini sempat marak terjadi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa WWF selalu menggunakan ilustrasi menarik dan pesan yang sederhana, dalam poster ini WWF juga mengkemas pesan tentang kewaspadaan akan kebakaran hutan dengan sangat sederhana dan menarik. Diharapkan dari ini, dapat diperoleh pemahaman yang jelas tentang bentuk dan fungsi dari penggunaan unsur desain pada poster WWF berjudul “Be Responsible Out There”. PEMBAHASAN World Wide Fund For Nature (WWF) World Wide Fund for Nature (WWF) adalah sebuah organisasi nonpemerintah internasional yang menangan masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan, yang pada awalnya bernama World Wildlife Fund dan masih menjadi nama resmi di Kanada dan Amerika Serikat. Grup ini memiliki misi menghalangi dan memutar balikkan penghancuran lingkungan kita. Saat ini, sebagian besar tugas mereka terfokus pada konservasi tiga bioma yang berisikan sebagian besar keragaman hayati dunia, yaitu hutan, ekosistem air
ISSN 2355-6218
tawar, dan samudera atau pantai. Selain itu, WWF juga menangani masalah spesies terancam punah, polusi dan perubahan iklim (available at www.wwf.org.uk ). Misi WWF adalah untuk melestarikan alam dan mengurangi ancaman yang paling mendesak untuk keanekaragaman kehidupan di bumi. Selain itu WWF memiliki visi untuk membangun masa depan di mana orang hidup dalam harmoni dengan alam.
Gambar 1 Logo WWF Sumber:http://www.wwf.org.uk
Poster Poster merupakan salah satu media yang sering digunakan dalam suatu kegiatan promosi yang memuat unsur teks dan ilustrasi.Visualisasi setiap unsurnya lebih rinci, jelas, realis, sederhana dan singkat dengan warna mencolok sesuai misinya (Pujiriyanto, 2005 ; 17). Poster memiliki beberapa jenis yaitu: a. Informational poster ( poster untuk memberi informasi) b. Educational poster ( poster untuk mempromosikan suatu produk ) c. Propaganda poster (poster yang bertujuan untuk mempengaruhi, biasanya untuk kepentingan politik) d. Teaser poster ( poster yang bertujuan memberikan rasa penasaran). Sebagai sebuah lembaga sosial, dalam mengkampanyekan informasi – informasinya WWF lebih banyak menggunakan informational poster atau 41
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
poster untuk memberi informasi tentang hal – hal yang terkait dengan kerusakan alam, baik itu berupa data kerusakan alam, maupun cara penanggulangannya yang dikemas dengan kreatif, menarik, dan disebar luaskan pula melalui media internet. Berikut adalah beberapa contoh poster dari WWF yang telah di publikasikan dan memiliki keunikan dalam penyajian pesannya.
ISSN 2355-6218 The Par 200.000 Trees Sumber: http://graphicdesignjunction.com
Gambar 4 Poster WWF Before It’s Too Late Sumber: http://graphicdesignjunction.com
Gambar 2 Poster WWF It’s Becoming Harder to See Sumber:http://www.pinterest.com
Bentuk dan Fungsi Unsur Desain Komunikasi Visual Dalam Poster WWF “ Be Responsible Out There”. Dalam membentuk sebuah karya desain komunikasi visual, dibutuhkan unsur pembentuk desain komunikasi visual sebagai sarana menyampaikan informasi secara visual, yaitu diantaranya: a. Ilustrasi Ilustrasi dapat diartikan sebagai salah satu elemen dalam desain komunikasi visual yang membantu menjelaskan suatu hal melalui bahasa visual / gambar. Sesuai dengan salah satu definisi tentang ilustrasi, yaitu ilustrasi berasal dari bahasa latin yaitu ilustrare yang berarti menerangkan. Ilustrasi dapat berupa gambar, simbol, relief, musik yang tujuannya untuk mengkomunikasikan atau menjelaskan sesuatu (Santosa,2002:57). Berdasarkan teknik pembuatan, ilustrasi dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, diantaranya ilustrasi handrawing, fotografi, dan ilustrasigabungan. b.
Gambar 3 Poster WWF
Teks Teks merupakan salah satu aspek desain komunikasi visual yang sangat penting selain ilustrasi karena juga memberikan segala informasi yang
42
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
dibutuhkan konsumen. Teks dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, diantaranya Baris Utama atau Judul (Headline), Sub Judul (Sub Headline), Naskah (Body Copy), Slogan, dan Penutup (Closing Word). (Pujiriyanto, 2005:38). Penyusunan teks dalam sebuah media komunikasi visual, hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana, singkat, jelas, dan menarik perhatian pembaca. c. Tipografi Tipografi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari dan berkenaan dengan huruf (Rustan, 2011: 16).Typografi dalam desain komunikasi visual berperan mengolah huruf –huruf pada karya desain agar dapat membantu memaksimalkan pemahaman pesan dan menjadi daya tarik dalam desain. Tipografi dapat diklasifikasikan menurutjenis hurufnya, antara lain sebagai berikut : 1) Berdasarkan kaitnya, huruf dapat dibedakan menjadi 2 yaitu Serif(berkait) dan Sans Serif ( tidak berkait ) 2) Berdasarkan anatomi hurufnya, bahwa terdapat beberapa jenis huruf berdasarkan anatominya antara lain huruf Roman, Gothic, Text, Block, Script, dan Italic(Kusrianto, 2004 : 26-29). d. Warna Warna adalah salah satu unsur visual yang memiliki peran penting dalam sebuah desain.Warna dalam lingkaran warna dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut(Pujiriyanto, 2005 :45). : 1) Warna Primer, yaitu warna yang menjadi pedoman setiap orang untuk menggunakannya yang terdiri dari warna merah, kuning dan biru. Disebut juga sebagai warna primer, karena warna ini tidak dapat dibentuk oleh warna lainnya.
ISSN 2355-6218
2) Warna sekunder merupakan percampuran antara warna primer. Warna sekunder antara lain ungu, orange, dan hijau. 3) Warna tersier merupakan pencampuran antara warna primer dengan sekunder Selain membuat tampilan menjadi lebih menarik, warna juga dapat berperan dalam menyampaikan pesan.Warna juga memiliki sifat dan pengaruh kepada psikologi yang berbeda –beda, tergantung dari jenis warna tersebut, yang dikenal sebagai psikologi warna (Kusrianto, 2007 : 47) 1) Warna jingga / oranye memiliki arti ber-energi, keseimbangan, dankehangatan. 2) Warna Putih memiliki arti kesucian, kebersihan, ketepatan, ketidaksalahan, steril, tanpa dosa dan kematian. 3) Warna Abu – abu memiliki arti bijaksana, tenang, netral, seimbang. 4) Warna hitam memiliki arti kekuatan, seksualitas, kecanggihan, kematian, kemewahan, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan dan keanggunan. Selain sebagai pembentuk desain, beberapa unsur desain komunikasi visual diatas juga berperan sebagai tanda dalam sebuah desain. Tanda dalam desain, merupakan suatu hal penting yang tidak bisa dihilangkan keberadaannya sebagai suatu cara penyampaian pesan. Dalam dunia desain komunikasi visual, terdapat disiplin yang umum digunakan untuk membahas segala hal tentang tanda, yaitu semiotika. Ada berbagai macam bahasan tanda dalam semiotika, diantaranya tentang ikon, indeks, dan simbol. Ikon merupakan tanda memiliki kemiripan dengan objek yang ditandainya, indeks adalah tanda yang memiliki hubungan sebab – akibat dengan objek yang ditandainya, sedangkan simbol adalah tanda yang didasari oleh suatu konvensi
43
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
atau kesepakatan bersama (Tinarbuko, 2009:17). Poster WWF yang berjudul “Be Responsible Out There” karya Maxwell A. Davis, mengangkat tema tentang kerusakan alam yang sebabkan oleh kebakaran hutan yang sering terjadi saat ini yang berdampak pada berkurangnya lahan hijau sebagai paru – paru dunia dan habitat bagi satwa – satwa liar. Di dalam poster ini terdapat beberapa unsur visual yang difungsikan untuk penyampaian informasi, diantaranya :
ISSN 2355-6218
photo daun kering sebagai ikon dari nyala api didasari oleh bentuk dari daun kering memiliki kemiripan bentuk dengan bentuk nyala api yang dihasilkan dari korek api batang. Daun kering dikatakan sebagai ikon dari bentuk api, karena penempatan dari ilustrasi daun kering diposisikan di bagian atas batang korek api, sama seperti posisi api yang menyala dari batang korek api. Selain itu daun kering juga memiliki kedekatan dengan objek api, karena daun kering merupakan salah satu benda di dalam hutan yang mudah tersulut oleh api, sehingga dapat menyebabkan kebakaran.
Gambar 6 Ilustrasi Daun kering Sumber: http://pinterest.com
Gambar 5 Poster WWF Be Responsible Out There Sumber: http://pinterest.com
a.
Ilustrasi : Poster ini menggunakan ilustrasi yang sangat sederhana yaitu ilustrasi photo daun kering yang berwarna kekuningan dan sebatang korek api yang sudah terbakar. Terkait dengan tema yang diangkat dalam poster ini, penggunaan photo daun kering sebagai ilustrasi memiliki fungsi sebagai ikon nyala api. Penggunaan
Gambar 7 Nyala Api pada Korek Api Sumber: http://sadistic.pl
Ilustrasi lainnya adalah photo sebatang korek api yang sudah terbakar, berfungsi sebagai ikon korek api. Terkait dengan tema dan pesan yang ditulis di dalam poster, penggunaan photo batang korek api tersebut berfungsi memberikan 44
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
pesan bahwa batang korek api selain berfungsi sebagai penghasil nyala api, juga dapat menjadi suatu hal yang menimbulkan bahaya apabila kita kurang waspada dan bertanggungjawab menggunakannya. Batang korek api itu dianggap penting sebagai ilustrasi, karena kita kerap kali meremehkan hal yang terjadi dari kebiasaan kita membuang sembarangan batang korek api yang tanpa kita sadari masih mengandung nyala api. Kebiasan yang sering diremehkan tersebut sejatinya yang dapat menimbulkan efek yang berbahaya, salah satunya adalah kebakaran. Selain sebagai ikon, photo batang korek api yang sudah terbakar juga dapat berfungsi sebagai indeks dalam poster ini. Photo batang korek api yang sudah terbakar berfungsi dalam memperlihatkan kesan bahwa ada nyala api yang dihasilkan oleh aktvitas menyulut batang korek api, karena jika terdapat nyala api yang dihasilkan oleh korek api batang, maka akan ada bagian dari batang korek api yang terbakar atau menjadi puntung.
Gambar 8 Batang Korek api yang Terbakar Sumber: http:/pinterest.com
Poster ini terdapat pula simbol WWF yaitu gambar seekor panda. Simbol WWF ini berfungsi menjelaskan pada masyarakat bahwa poster ini merupakan poster yang dibuat oleh WWF.
ISSN 2355-6218
Gambar 9 Logo WWF dalam Poster Be Responsible Out There Sumber: http:/pinterest.com
b.
Teks Teks dalam poster WWF ini sangat sederhana, yaitu sebuah headline yang bertuliskan “Be Responsible Out There” yang jika diIndonesiakan memiliki arti “bertanggung jawab di luar sana”. Teks tersebut berfungsi sebagai kalimat yang mengingatkan kita untuk lebih bertanggung jawab akan apa yang kita lakukan. Seperti yang dikutip, bahwa “penggunaan api dalam proses pembabatan atau pembukaan lahan masih banyak dilakukan oleh manusia sendiri karena tergolong cara yang mudah dan murah untuk diterapkan” (available at http://wwf.panda.org/). Diharapkan dengan adanya kampanye ini, manusia dapat lebih bijaksana dan bertanggung jawab dalam memilih api sebagai cara untuk membuka lahan hutan. Karena selama ini, kebakaran hutan yang terjadi sering kali meluas dan berakibat fatal, disebabkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan api sebagai suatu cara membabat atau membuka hutan sebagai lahan tempat tinggal ataupun kebutuhan lainnya. Karena pada dasarnya, sangat sulit untuk mengontrol nyala api, terlebih lagi di alam bebas seperti hutan yang ditumbuhi oleh kayu
45
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
dan rerumputan yang mudah terbakar. Selain itu, nyala api di alam bebas juga dipengaruhi oleh faktor cuaca dan angin, sehingga akan sangat sulit mengontrol nyala api yang ada. Hal ini diharapkan dapat dipahami oleh masyarakat, guna menghindari bencana yang lebih besar, yang diakibatkan oleh kurang waspada dan bijaksananya kita dalam menggunakan api sebagai cara untuk membuka lahan. c. Tipografi Tipografi yang digunakan dalam poster ini juga tergolong sederhana, yaitu tipografi jenis serif yang memiliki kesan formal dan rapi.Namun terdapat sedikit perbedaan dari font serif yang memiliki kesan rapi pada umumnya, dalam poster ini font jenis serif yang digunakan adalah font dengan tampilan agak kotor karena ketebalan huruf yang tidak seragam. Jika diperhatikan jenis huruf serif yang digunakan, terinspirasi oleh teks yang dihasilkan oleh mesin ketik manual, yang umumnya menggunakan jenis huruf serif, kualitas ketikan yang dihasilkan terkadang kurang rapi, dan memiliki ketebalan tinta yang terkadang tidak sama.
Gambar 10 penggunaan Tipografi Jenis Serif Sumber: http:/pinterest.com
Gambar 11 Contoh teks proklamasi hasil ketikan mesin ketik manual Sumber: http:/ artikelsiana.com
ISSN 2355-6218
Penerapan tipografi seperti ini bertujuan untuk memberikan kesan berhati – hati dan bertanggung jawab dalam melakukan sesuatu.Seperti yang diketahui, bahwa membuat naskah menggunakan mesin ketik manual membutuhkan ketelitian dalam menyusun huruf demi huruf untuk menghasilkan kata dan kalimat. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya cara untuk memperbaiki kesalahan yang dihasilkan oleh kekeliruan kita dalam mengetik, kecuali dengan mengulang ketikan tersebut dari awal. Sama halnya, jika kita tidak berhati – hati dalam menggunakan api yang dapat menghanguskan segala sesuatu di sekitar kita. d. Warna Warna yang digunakan dalam poster ini terdiri dari 4 warna yaitu orange pada ilustrasi daun kering, putih pada background logo, dan batang korek api, abu – abu pada text serta warna hitam pada background. Penggunaan warna orange pada ilustrasi daun kering berfungsi untuk menampilkan kesandaun kering seperti pada umumnya. Namun selain itu, warna ini juga merepresentasikan warna dari nyala api, didukung juga oleh sifat dari warna ini yaitu memberikan kesan kehangatan. Penggunaan warna putih pada background logo WWF berfungsi sebagai kontras dari warna background, sehingga logo WWF menjadi lebih jelas terlihat. Adanya warna putih yang kontras dengan background, secara tidak langsung juga berfungsi untuk mengarahkan pandangan pembaca pada logo dan text yang ditempatkan disebelah warna putih tersebut. Penggunaan warna abu – abu untuk teks “Be Responsible Out There” yang jika diIndonesiakan memiliki arti “ lebih bertanggung jawab di luar sana ”, berfungsi untuk mengajak kita untuk lebih bijaksana dalam menggunakan api,
46
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
khususnya sebagai alat untuk membuka lahan. Dengan lebih bijaksana dalam menimbang dampak positif dan negatif dari sesuatu yang akan dilakukan, diharapkan dapat meminimalisir akibat buruk yang dapat ditimbulkan oleh sesuatu yang akan dilakukan. Terakhir adalah penggunaan warna hitam pada background berfungsi untuk memberikan kesan kegelapan dan ketakutan yang merupakan efek dari sebuah bencana, dalam hal ini khususnya kebakaran hutan. Dengan terjadinya kebakaran hutan akan mengakibatkan sisi gelap dan ketakutan, baik itu bagi manusia maupun bagi habitat yang hidup di hutan tersebut. Selain ituwarna hitam juga berfungsi untuk memfokuskan pesan yang terdapat pada poster tersebut pada ilustrasi dan teks yang ditampilkan. PENUTUP Setelah melakukan pemaparan terhadap penggunaan bentuk dan fungsi unsur desain pada poster WWF “Be Responsible Out There”, dapat disimpulkan bahwa penggunaanunsur desain, mulai dari ilustrasi daun kering sebagai ikon api, ilustrasi batang korek api, pemilihan headline“Be Responsible Out There”, tipografi serif untuk teks, hingga penggunaan warna orange, putih, abu dan hitamsudah tepat untuk menyampaikan pesan tentang perlunya tanggung jawab kita saat menggunakan api dalam kehidupan sehari – hari, baik itu untuk sesuatu yang positif, maupun yang negatif seperti untuk membuka lahan. Tiap unsur yang digunakan memiliki fungsi masing – masing dalam menjelaskan pesan yang ingin disampaikan, sehingga dari desain yang terlihat sederhana seperti itu, memiliki
ISSN 2355-6218
makna dan pesan yang penting untuk diketahui oleh masyarakat. Daftar Pustaka Kusrianto, Adi. 2007. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: CV. Andi Pujiriyanto. 2005. Desain Grafis Komputer (Teori Grafis Komputer). Yogyakarta: CV. Andi Offset Rustan, Surianto. 2010. Huruf Font Tipografi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Santosa, Sigit. 2002. Advertising Guide Book. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : Jalasutra http://www.artikelsiana.com/2015/07/isiteks-proklamasi-kemerdekaanRI.html/ diakses tanggal 23 Juni 2016 pukul 17.00 http://graphicdesignjunction.com / diakses tanggal 19 Juni 2016 pukul 15.00 http://www.pinterest.com/ diakses tanggal 20 Juni 2016 pukul 20.00 http://www.sadistic.pl/diakses tanggal 20 Juni 2016 pukul 20.17 http://www.wwf.org.uk/about_wwf/histor y/ diakses tanggal 20Juni 2016 pukul 18.00
47
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
ISSN 2355-6218
JALINAN TEKS VISUAL MANGKU MURIATI DALAM SENI RUPA KONTEMPORER Dewa Gede Purwita Dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual Sekolah Tinggi Desain Bali
[email protected]
ABSTRAK Kekontemporeran Mangku Muriati dapat dilihat dari karya-karya terbarunya yang berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan “Wanita Karir”, di dalamnya terselip jalinan intertekstualitas dan pengaplikasian ikonografi wayang Kamasan. Mangku Muriati secara sadar menempuh jalur keseni rupaan dengan landasan lokalitas kuat dengan isu-isu kekinian sehingga tidak diragukan lagi eksistensinya dalam komunitas seni lukis wayang Kamasan. Kajian ini mempergunakan kajian deskriptif kualitatif dengan penjabaran analitik. Hasil dari penelitian ini menunjukan intektekstualitas yang terjalin antara Mangku Muriati dalam karya “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dengan karya Pieneman dan karya Raden Saleh yang memiliki teks yang sama yaitu penangkapan seorang Pangeran oleh De Kock, khususnya Mangku Muriati dengan bahasa ungkap khas wayang Kamasan. Selain itu, karya “Wanita Karir”nya pun memiliki nilai-nilai perjuangan gender, wanita tidak hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga akan tetapi mampu juga berkarir seperti pria. Selain intertekstualitas ada pula ikonografi yang menganalisa ikon-ikon wayang dengan merujuk kepada sifat-sifatnya, seperti wayang dengan tokoh protagonis memiliki ikonnya tersendiri begitu juga sebaliknnya. Kata kunci: Mangku Muriati, Lukis, Intertekstual, Ikonografi, Kamasan ABSTRACT Contemporary of Mangku Mariati can be seen from her latest works entitled “Capture of Prince Diponegoro” and “Career Woman”, in which tucked fabric of intertextuality and application of iconography of Kamasan Puppets. Mangku Muriati consciously takes the path of art with a strong foundation locality with contemporary issues that no doubt his existence in the community of Kamasan puppet painting. This study uses qualitative descriptive study with analytic elaboration. The results of this study indicate that exists between intertextuality Mangku Muriati in the works "Capture of Prince Diponegoro" with Pieneman works and works of Raden Saleh which has the same text that the arrest of a Prince by De Kock, Mangku Muriati especially with the language typical Kamasan puppet said. In addition, the work of "Career Woman" was also values the struggle of gender, women not only works as a housewife but were also able to careers like men. In addition there is also intertextuality analyze iconographic movie icons by reference to its properties, such as movies with protagonists have their own icons and vice versa.
48
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
ISSN 2355-6218
Keyword : Mangku Muriati, Painting, intertextual, Iconography, Kamasan PENDAHULUAN Klungkung dalam Bingkai Sejarah Seni Rupa Bali dapat dikatakan menempati posisi di periode klasik. Hal ini mengacu kepada tinggalan seni lukis yang hingga kini masih dapat dilihat tersebar di wilayah Desa Gelgel yaitu Kamasan. Gelgel sebagai bekas dari Swecalingarsa Pura atau Kerajaan Gelgel pada masa pertengahan (abad XIV – XVIII) tercatat sebagai zaman keemasan dari Kerajaan Bali yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong, pada masa ini pula oleh sejarawan dikatakan sebagai zaman keemasan Bali dan berbarengan dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit. Orang-orang yang tidak setuju dengan penguasa baru di Tanah Jawa memilih untuk ke Bali serta merta membawa kebudayaannya hingga berkembang di Bali, sebagaimana yang dicatat dalam sejarah oleh Ardika, dkk menjelaskan bahwa sejak runtuhnya kerajaan Majapahit (1489 M) terlebih lagi “terhapusnya” Majapahit dalam peta sejarah (1527 M) banyak warga Jawa Majapahit mengungsi ke Bali dengan memindahkan segala yang dapat dibawa, termasuk seni budaya dengan seni tarinya. Kemudian seni tari ini berkembang dengan suburnya terutama zaman keemasan pemerintahan Dalem Waturenggong (1460 – 1550). Hal ini disebabkan raja menaruh perhatian besar dan memberikan pengayom terhadap perkembangan kesenian. 1 Dalam Peranannya sebagai sebuah pusat kerajaan atau ibu kota Bali pada masanya, Gelgel memiliki ragam kesenian yang berkembang sangat baik. Hingga kini salah satu artefak tersebut masih eksis di Desa Kamasan, kemudian 1
Ardika,dkk. Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press. 2013. Hlm, 338.
dikenal sebagai seni lukis klasik wayang Kamasan. Sebagaimana orang mengenalnya, lukisan di Desa Kamasan memiliki ciri khas yaitu lukisan-lukisan wayang yang pada umumnya banyak berdasar pada narasi epik Mahabharata maupun Ramayana. Walaupun tema-tema lukisannya mengacu kepada dua narasi besar tersebut, berkembang juga narasi lokal Nusantara yaitu lukisan bercerita tentang kisah malat 2, selain kisah Malat juga berkembang tema lukisan Sutasoma sebagai patron dan kini masih bisa dilihat di Balai Kambang kompleks Kertha Gosa Klungkung, dan banyak lagi kisah-kisah carangan maupun visual kalender Tika 3. Setelah periode Gelgel seni lukis wayang Kamasan tetap eksis dan justru mendapatkan perhatian yang lebih dari penguasa penerus dinasti Dalem Waturenggong yaitu Dewa Agung Klungkung dengan mengaplikasikannya kembali di lingkungan pusat baru yaitu Smarajaya (Klungkung). 4 Sejalan dengan 2
Cerita Malat umumnya didefinisikan sebagai cerita Panji yang berkembang pada zaman Majapahit, secara khusus juga dari sisi visual wayang memiliki atribut yang berbeda dengan dua narasi besar (Mahabharata dan Ramayana). Caranganya banyak sekali seperti kisah Tantri, Panji Semirang. 3 Kalender Tradisional Bali 4 padahal dalam catatan sejarah Gelgel pernah hancur karena adanya perebutan kekuasaan kembali setelah pemberontakan Gusti Agung Maruti, kehancuran pusat di Gelgel akibat adanya persekutuan antara Dewa Jambe putra dari Dalem Dimade (Raja Gelgel terakhir yang diberontak oleh Gusti Agung Maruti) dengan kerajaan Badung, Buleleng, dan Sidemen. Penyerangan ini mengakibatkan kekalahan Agung Maruti dan kehancuran Gelgel, sehingga penerus dinasti Dalem yaitu Dewa Jambe tidak mau tinggal lagi di Gelgel dan memindahkan pusat kekuasaan di sebelah barat Gelgel yaitu ke Smarajaya (Klungkung-di kompleks bangunan Kerta Gosa, Balai Kambang, Kori Agung dan 49
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
penjelasan Vickers dalam bukunya Balinese Art memaparkan bahwa Kamasan artists traditionally attended directly on their ruler. Kamasan’s senses of tradition remained strong becauses the artists’ patron was the highest rangking king of Bali, the Dewa Agung of Klungkung. Artist had worked for him on a kind of apanage basis. 5 Jadi para pelukis-pelukis wayang kamasan setelah era Gelgel yaitu era Klungkung pun memiliki tempat khusus yang dinaungi oleh Kedaton Smarajaya. 6 Sederetan nama-nama pelukis terkenal wayang di Kamasan yang hingga kini masih dikenal 7 oleh masyarakat adalah Kaki Rambung yang menurunkan Nyoman Dogol hingga generasinya kini adalah pelukis I Nyoman Mandra, selain mandra juga ada I wayan Sumantra yang juga murid dari Mandra, Ni Wayan Sri Wedari. Selain nama-nama tersebut, dalam tradisi oral masyarakat Kamasan tercata pula nama Kaki Tangi sebagai
Museum Smarajaya sekarang) kemudian diangkat sebagai raja sesuhunan Bali dan Lombok dengan gelar Ida I Dewa Agung Jambe (lebih dikenal sebagai Dewa Agung Klungkung). 5 Vickers, Adrian. Balinese Art: Painting and Drawings of Bali 1800-2010. Hongkong: Tuttle Publishing. 2012, hlm 70-71. 6 Istilah Kedaton ini mengacu kepada istilah Jawa Kuno yang memiliki arti Keratuan-Keraton yang dalam pemahaman Indonesia berarti sebuah Kerajaan. Di Bali Kedaton atau Keraton memiliki arti wilayah pusat sebuah kerajaan yang dalam terminologi lokal Bali awalnya dinamai Jero, istilah Jero sendiri adalah ungkapan lokal khas kebudayaan Bali Kuno yang berarti “dalam” atau “yang dihormati”, sebagai tempat penguasa utama biasanya istilah Jero ini berpadanan dengan kata Agung atau Gede yang merujuk kepada tempat tinggal penguasa seperti dalam Babad Dalem Anom Pemayun menyebutkan Jero Agung ring Smarapura yang berarti tempat tinggal raja di Klungkung. Pada masa kolonial istilah Puri (Rumah Berbenteng dalam arti Sansekerta) menjadi populer di Bali. 7 Dalam konteks ini adalah pelukis yang tercatat di akhir abad 19 sampai abad 20.
ISSN 2355-6218
turunan Sangging Agung 8, ada juga nama I Wayan Gereha yang dikenal sebagai Sangging Modara, hingga pelukis yang lahir dari luar lingkup turunan pelukis legendaries tersebut seperti Mangku Mura dan penerusnya kini Mangku Muriati. Selain nama-nama ini ada juga nama beberapa seniman yang karyanykaryanya menghias bale Kertha Gosa di bekas Kedaton Smarajaya, seperti Rambug yang memimpin pelukisan kembali tahun 1918 diikuti oleh Laya termasuk Pan Remi, Pan Sempreg dan Kaki Merta. Tahun 1933 restorasi terjadi lagi yang melukis waktu itu tercatat adalah anaknya Kaki Rianta yaitu Pan Ngales atau I Kamasan, I Nyoman Dogol anak dari Kaki Rambug, Pan Seken adalah keponakan dari Pan Sempreg dan I Wayan Kayun. Dalam ulasan Vickers diketahui bahwa bale yang selamat ketika puputan Klungkung terjadi ditahun 1908 ternyata menampilkan lukisan asli dari abad ke-19 kemudian setelah perang puputan dilukis kembali pada tahun 1918, hal ini dimungkinkan terjadi karena gempa besar Bali tahun 1917 terjadi. Kemudian tahun 1933 lukisan wayang Kamasan tersebut direstorasi dan tahun 1963 juga mengalami restorasi dan restorasi terakhir dilakukan pada tahun 1980an. Generasi kini para pelukis wayang Kamasan yang dikenal melakukan inovasi adalah Mandra dan Mangku Mura kemudian mewariskannya kepada anaknya yaitu Mangku Muriati. Mangku Muriati adalah penerus Mangku Mura yang dalam sistem pengajarannya menerapkan sistem pewarisan, sistem pewarisan ini dikenal sebagai sistem yang diturunkan dari pendahulu langsung kepada anak-anaknya yang berbeda dengan sistem cantrik yaitu pola 8
Istilah sangging merupakan sebuah gelar yang diperuntukan bagi mereka yang pandai dalam menciptakan hiasan-hiasan yang diaplikasikan dalam ornament-ornamen Bali baik dengan teknik ukiran, tatahan maupun lukisan. 50
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
pengajaran yang dilakukan oleh orang tua kepada orang lain sebagai muridnya. Mangku Mura memiliki bahasa ungkap yang khas dalam karya lukisnya, ia sering mengungkapkan karyanya melalui figur yang agak kekarikaturan dengan banyak layer, lukisannya yang terkenal adalah “Puputan Klungkung”. Mangku Muriati juga ternyata memiliki bahasa ungkap personal dalam memvisualkan karyanya, ia kerapkali menghadirkan kebaruan dengan mamsukkan unsur-unsur kekinian seperti halnya ikonik figur polisi, orang asing dan guru yang notabene merupakan ciri dari modernism. Terlebih dalam pamerannya bersama Teja Astawa di Sudakara Artspace, Sanur dengan tajuk “Eternal Line” yang dikuratori oleh Wayan Seriyoga Parta pada 3 Desember 2015 Mangku Muriati diantara sederetan karyanya justru dua karya yaitu “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan “Wanita Karir” yang ternyata didalamnya tercermin intertekstualitas. 9 Lukisan dipandang sebagai teks yang berkaitan dengan teks lain. Hubungan inteteks yang digunakan dengan tidak memperhatikan prinsip diakronis dan sinkronis karena gerakan intertekstualitas tanpa batas. Prinsip utama yang dipegang adalah kesamaan tema teks. 10 Selain wacana tentang intertekstualitas yang dapat dilihat dalam karya Mangku Muriati, pemahamannya mengenai cerita dan ikonografi wayang Bali menjadikannya sangat lihai menentukan karakteristik tiap figur wayang selain itu tentu saja pemahamnya tentang bahasa rupa memberikan nilai yang lebih dalam hadirnya kekhasan dalam karyanya.
ISSN 2355-6218
Dalam konteks karya yang dipamerkan ini, pada dasaranya Mangku Muriati ditantang oleh kurator dan manajemen galeri untuk berani menciptakan sebuah karya (interteks) dari karya Raden Saleh yang terkenal yaitu “Penangkapan Pangeran Diponegoro”, dari sudut pandang ini Mangku Muriati menyetujui dan ternyata hasilnya menakjubkan, bukan hanya satu lukisan yang memiliki interteks akan tetapi ada lukisan lain juga yang unik yaitu “Wanita Karir” hadir dengan nafas inovatif. Hal ini mengingatkan kepada bingkaian seni rupa kontemporer oleh Hardiman yang menyatakan bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Eropa-Amerika adalah sebuah wacana yang di dalamnya memiliki pemikiran estetik, kontemporer tersebut juga dipandang sebagai sebuah pradigma dengan kecenderungan tertentu. Dengan jelas Hardiman menyatakan, sebagaimana yang terjadi pada masamasa lampau, di Indonesia dalam merespon pengaruh yang datang dari luar tersebut, salah satu ciri yang menonjol adalah hadirnya posisi tarik-menarik antara lokalitas dan globalitas. 11 Posisi di antara inilah yang kemudian menjadi suatu identitas kekontemporeran Indonesia yang juga merujuk kepada karya-karya Mangku Muriati sebagai seorang pelukis yang dapat dikatakan menempuh “jalan pedang” 12 ditengah riuhnya pandangan ketradisionalannya dalam ungkapan visual nan repetitif (penuh pengulangan) namun sejatinya memiliki ideologi kuat. Dari penjabaran di atas maka dapat ditarik sebuah pertanyaan perihal bagaimanakah intertekstualitas dalam
9
Meskipun sejatinya didalam semua lukisan tercermin intertekstualitas, namun dua karya ini dalam segi visual cukup menarik. Oleh karena itu dipilih dua karya saja dalam pembahasan ini. 10 Intertekstualitas oleh I Wayan Artika dalam makalah bedah buku Eksplo(ra)si Tubuh oleh Hardiman tanggal 21 Maret 2016 di Rumah Jabatan Bupati Buleleng.
11
Hardiman dalam tulisan kuratorialnya tentang “The Front Line” di tahun 2008. Katalog pameran “Paintings and Drawings: Works by ten contemporary masters.” Hlm. 7 12 Sebuah jalan sunyi, yang dalam konsepsi dunia seni rupa diasosiasikan sebagai jalan pertarungan estetik. 51
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
karya “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan “Wanita Karir”? Kemudian bagaimana Mangku Muriati menyatakan ikonografi khas wayang Bali dalam bahasa ungkapnya? Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran terhadap khalayak luas mengenai wacana identitas kelokalan Bali dalam posisinya di wilayah seni rupa kontemporer, terlebih dari itu juga sebagai usaha untuk memberikan suatu kajian mengenai intertekstualitas dan Ikonografi dalam karya Mangku Muriati yang berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan “Wanita Karir”. Dalam dunia desain juga bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai banyaknya ikon mapun simbol-simbol tradisi nan unik yang tercecer pada lanskap dunia seni rupa Bali sebagai bahan penciptaan motif baru ataupun kajian motif dari sisi desain. METODE PENELITIAN Analisis mengenai intertekstualitas dan ikonografi pada karya lukis Mangku Muriati tahun 2015 mempergunakan metode penelitian Deskriptif Kulaitatif. Deskriptif adalah suatu penelitian yang tertuju pada pemecahan masalah masa sekarang. Sedangakan Kualitatif menurut Anselm Strauss dan Juliet Corbin menyatakan penelitian kulitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. 13 Deskriptif pada konteks karya seni lukis Mangku Muriati ini adalah bagaimana mendeskripsikan tentang temuan terkait analisis intertekstual dan ikonografi yang khas dan unik serta pemaknaannya yang multilapis. Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi, 13
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata langkah dan Teknikteknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007, hlm. 4
ISSN 2355-6218
pencatatan dokumen, kepustakaan. Observasi serta pencatatan dokumen dilakukan untuk mendapatkan data riil dilapangan, observasi dilakukan pada saat penulis ikut mewawancarai Mangku Muriati dalam rangka pra-pameran di Sudakara Artspace bersama Wayan Seriyogaparta (kurator) dan Armi (manajemen galeri), selain itu pencatatan dokumen dilakukan melalui hasil analisis data foto yang didapat sewaktu observasi. Metode kepustakaan diterapkan pada penelitian ini untuk mencari dan menganalisa data-data terkait intertekstualitas, ikonografi, Mangku Muriati dan wayang Kamasan dalam kepustakaan seperti buku, makalah diskusi, tulisan-tulisan kuratorial dalam katalog pameran seni rupa yang tentu saja relevan dengan penelitian terhadap karya kekinian Mangku Muriati. Hasil penelitian kemudian diwujudkan dalam tulisan jurnal akademik yang memaparkan perihal hasil analisis dari kajian karya Mangku Muriati. Di dalamnya akan dipaparkan mengenai hasil analisa mengenai intertekstualitas yang terdapat dalam karya “Penangkapan Pangeran Diponegoro” serta “Wanita Karir” dan analisa ikonografi dalam figur wayangnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagaimana rumusan seni rupa kontemporer oleh Hardiman yang telah ditulis sebelumnya, kekaryaan Mangku Muriati, khususnya tiga karya yang berjudul “Penangkapan Diponogoro” dan “Wanita Karir” memiliki benang merah dengan gejala kekontemporeran di Indonesia. Karyanya berada dalam kekentalan nafas lokalitas namun tersisip pula unsur globalitas, nampaknya beranjak dari sini Mangku Muriati memunculkan ide-ide kreatifnya dan membongkar pradigma ketradisionalan itu yang dituding sebagai seni kekunoan. Padahal jika dirujuk dalam konsepsi
52
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
kreativitas, perubahan itu justru menjadi sesuatu yang mutlak, dengan catatan ia merespon keadaan disekitarnya yang dipadu-padankan dengan kearifan lokalnya, jadi tidak memberangus secara brutal, dan Mangku Muriati menyadari hal itu. Gejala seni rupa kontemporer yang kini menyusup kedalam urat kreativitas seniman, khususnya Mangku Muriati dapat ditilik melalui artefakartefak yang kini masih tetap eksis di tanah Nusantara salah satunya adalah peninggalan berupa candi. Yudoseputro menjelaskan dalam Hardiman bahwa karya seni Indonesia-Hindu yang berpusat di Sumatra, Jawa, dan Bali meskipun bersifat serba seni India, tetapi mempunyai corak yang khas yang tidak dapat dicari persamaannya kembali di India. Baik pahatan cerita Ramayana maupun Buddha dari Candi Borobudur adalah suatu pernyataan seni yang hidup dan dirangsang oleh pikiran dan alam Indonesia. Karya seni ini memperlihatkan suatu pencapaian yang terdorong oleh proses dan tantangan kebudayaan baru yang, kendatipun bersumber dari luar, mengalami suatu proses filterisasi dan kompromi terhadap khasanah lokal. 14 Jadi dapat dikatakan bahwa akar yang menjadikan tipikal kebudayaan visual seniman Indonesia sejatinya dapat dirunut dari peristiwa-peristiwa konstruksi budaya kerupaan dalam ranah ritual masa lampau, nenek moyang bangsa Indonesia terbiasa dengan adanya kompromi budaya baru dengan budaya lokal sehingga terjadinya proses filterisasi yang melahirkan wujud-wujud baru nan unik dan hanya ada di Indonesia. Kebiasaan inilah yang hingga kini masih nampak dalam jiwa kreatif Mangku Muriati, ia mendapat bimbingan langsung Mangku Mura (ayahnya) yang dikatakan sebagai seniman pionir yang
ISSN 2355-6218
mendobrak hingga luar batas-batas tradisi kamasan. Vickers memaparkan mengenai Mura (Mangku Mura) came from outside the main painters area of Kamasan, but studied with Lui and Ngales. Mura pushed the limit of the Kamasan traditional toward a style that was almost caritatured. Just as he invented Indiosyncratic new narratives and variations on narratives. Lebih lanjut pula dipaparkan while other artist wearing towards single scene works and simpler composition, Mangku Mura created newer and more complex layering of scenes. In later works, he followed Pan Seken’s lead and added detail text to his painting. 15 Mangku Muriati yang pada sistem pewarisan mendapat bimbingan langsung oleh ayahnya, proses belajarnya dimulai dari membatu menyelesaikan karya-karya ayahnya bersama saudaranya 16, entah bagaimana ceritanya, diakhir hayat ayahnya kemudian menunjuk Mangku Muriati sebagai pengganti ayahnya menjalankan ritual pemangku di pura keluarganya sehingga Mangku Muriati menjadi pemangku wanita.
Gambar 1. Mangku Muriati (Foto: Arsip 2015, Dewa Gede Purwita)
15 14
Hardiman. Eksplo(ra)si Tubuh: Esai-esai Kuratorial Seni Rupa. Singaraja: Mahima Institute Indonesia. 2015. Hlm, 4.
Vickers, op.cit, hlm 87-88. Dalam konteks seni rupa kontemporer pembantu seniman sering disebut sebagai Artisan dan seniman sendiri disebut Artist.
16
53
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
Menjalankan profesi sebagai pengayah 17 ternyata tidak menyurutkan niat Mangku Muriati untuk melukis, mungkin hal ini merupakan pengaruh kuat latar belakang akademisnya sejalan dengan Yoga Parta menjelaskan bahwa: Mangku Muriati adalah generasi penerus seni lukis wayang Kamasan; ia dengan penuh kesadaran mewarisi sistim visual dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Muriati telah mempelajari seni lukis wayang Kamasan sejak kecil dari ayahnya Mangku Mura (19201999), salah satu pelukis wayang tersohor di desa Kamasan. Dengan dukungan penuh penuh sang ayah, ia pun mengenyam pendidikan seni rupa akademismodern-seni rupa di PSSRD Unud tahun 1987-1993. 18 Namun selepas dari mengenyam pendidikan formal, ia justru membenamkan penguasaan teknik dan wawasan modern yang diserapnya, kemudian kembali menekuni seni lukis wayang hingga kini, sungguh sebuah pilihan yang menarik, dan tentu didasari konsepsi kuat yang bersumber dari dalam nuraninya sebagai pewaris kesenian yang adiluhung. 19 Jadi dapat dipahami bahwa proses kreatif Mangku Muriati dilatarbelakangi oleh konsep kesenian yang jelas, ia secara sadar memahami betul persoalan teknis 17
Sebagai orang yang bekerja dengan ikhlas tanpa mengharap upah 18 Yang kemudian bergabung menjadi ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar tahun 2004. 19 Catatan kuratorial Wayan Seriyoga Parta dalam pameran “Eternal Line” Mangku Muriati dan Teja Astawa di Sudakara Art Space, Sanur. Pembukaan pameran dilakukan dengan jalan diskusi dan selain Yoga, bahan diskusi ini ditulis juga oleh IB. Agastya, dan M. Rain Rosidi. Tanggal 3 Desember 2015.
ISSN 2355-6218
tradisi maupun modern, pun dengan narasi wayang maupun cerita yang banyak mempunyai carangan 20, selain itu kebiasaannya mendengar cerita-cerita melalui radio maupun melihat dari tayangan televisi juga kerap kali menjadi pendulum dalam kreativitasnya. Sejalan dengan Vickers memaparkan Mangku Muriati (1966-) is one of many present day Balinese painters who seeks to explore new ways to convey religious meaning in her works. In some cases her painting take on the aspect of magical diagrams of the world or of key places in Bali, wich have resonance with the inner world in each human being. 21 Proses pembuatan karya “Penangkapan Diponegoro” versi wayang Kamasan karya Mangku Muriati ini berlangsung sewaktu penulis mendampingi Wayan Seriyoga Parta selaku kurator dan Armi selaku pihak manajemen galeri Sudakara Art Space mengunjungi namun lebih tepatnya adalah observasi ke rumah Mangku Muriati di Kamasan, Klungkung. Disela-sela diskusi pihak kurator bersama manajemen menyodorkan ide untuk menggarap versi karya wayang Kamasan dengan mengambil narasi sejarah tentang penangkapan Pangeran Diponegoro. Sebagai patron karya, disodorkanlah foto karya Raden Saleh, sejenak Mangku Muriati mengamati detail foto karya Raden Saleh tersebut dan beberapa minggu kemudian kurator bersama pihak manajemen galeri kembali ke rumahnya dibuat tercengan dengan sketsa Mangku Muriati, ternyata dengan pengamatan singkatnya beberapa minggu lalu ia telah mampu membuat versi wayang Kamasan dari karya “Penangkapan Diponegoro”nya Raden Saleh, tentu saja 20
Cerita yang bersumber dari babon aslinya dan di Bali banyak berkembang cerita-cerita carangan baik dalam dua narasi besar Epik Ramayana dan Mahabharata, cerit a Malat Panji, Calonarang, maupun folklore. 21 Vickers. Op.cit, hlm. 204. 54
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
lengkap dengan Kamasan. 1.1 Leksikon Diponogoro
ikonografi
khas
Penangkapan
Karya “Penangkapan Pangeran Diponegoro” oleh Mangku Muriati tentu saja dalam segi visual berbeda dengan karya yang dibuat oleh Raden Saleh, namun dari sisi gagasannya visualnya memiliki kedekatan pemaknaan. Sebelumnya ada baiknya jika diuraikan mengenai karya Raden Saleh tentang Diponogoro yang dilukis setelah karya “Penaklukan Diponegoro” yang dicatata dalam visual oleh Pieneman. Karya Pieneman dibuat lebih awal dari lukisan Raden Saleh, Nicolas Pieneman disebut belum pernah mengunjungi HindiaBelanda untuk mengadakan riset yang cermat bagi lukisannya ungkap Winaya dalam Achmad, 22 hal tersebut dapat dilihat dalam karyanya Pieneman yang tentu saja bukan sekedar mengabadikan lewat catatan maupun visual kekaryaan , akan tetapi pada masa kolonial, kepentingan-kepentingan tersebut terselip dalam karya Pieneman. Catatan visual Pieneman yang berjudul “De Onderwerping van Diepo Negoro aan luitenat-general De Kock, 28 Maart 1830” yang dalam alih bahasanya menjadi “Takluknya Diponegoro kepada Letnan-Jendral De Kock, 28 Maret 1830” jelas menghadirkan kepentingan kolonial, ada narasi atau teks yang kemudian diterjemahkan oleh Pieneman seolah-olah peristiwa dalam karya lukis Pieneman mengesankan kemenangan Belanda dan Kehebatan Jenderal De Kock yang dianggap pahlawan oleh negerinya. Hal tersebut dapat dilihat dari visual yang dihadirkan oleh Pieneman. 23 22
ISSN 2355-6218
Achmad, Katherina. Raden Saleh: Perlawanan Simbolik Seorang Inlander. Yogyakarta: Penerbit NARASI.2012, hlm. 230. 23 Analisis tersebut banyak diuraikan dalam kajian Katherina Achmad yang dikemas dalam buku
Gambar 2. Catatan Visual Pieneman Nicolaas (1830) dengan judul “De Onderwerping van Diepo Negoro aan liutenat-general De Kock 28 Maart 1830” dalam lukisan ini disebutkan oleh Achmad (2012:234) sebagai lukisan yang menampilkan suasana penuh kekalah dan kepasrahan.
Bahasa ungkap yang berbeda dapat dilihat dalam karya Raden Saleh tahun 1857 memberikan sebuah gambaran yang berbeda atas dialektika Pieneman. Raden Saleh justru menghadirkan simbol-simbol perlawanan dalam karyanya yang berjudul “De Gevangenneming van Prins Diponegoro door Generaal De Kock” atau “Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock” berukuran 112cm x 178cm dan karya ini kemudian dihadiahkan kepada Raja Willem III. Dalam hal ini nampaknya melalui jalan seniman Raden Saleh ingin menunjukan simbol perlawanannya dengan cara membuat visual yang berbeda dari Pienaman kemudian diberikan kepada Raja Willem III bahwa orang pribumi tidak pernah gentar dalam peperangan maupun tindakan licik kolonial. Hal tersebut terbukti dalam bahasa ungkapnya, Raden Saleh justru menggambarkan gestur Diponegoro dengan sikap menantang De Kock yang sudah memperdayanya dengan licik, Raden Saleh; Perlawanan Simbolik Seorang Inlander. 2012. 55
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
lebih dari itu proporsi orang-orang Belanda dibuat lebih kerdil sehingga terlihat aneh. Apabila dirujuk terhadap kemampuan Raden Saleh, hal ini sangat mustahil karena Raden Saleh sangat piawai dalam corak SureyalismeRomantik dan teknik realisnya, para ahli dan pakar seni rupa menilai proporsi tubuh De Kock beserta orang Belanda lainnya dibuat demikian adalah sebagai bahasa perlawanan Raden Saleh.
Gambar 3. “Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock” (1857) karya Raden Saleh. Achmad (2012:242) menjelaskan bahwa perbedaannya dengan karya Pienaman adalah ekspresi wajah Diponegoro yang menantang, sosok De Kock yang tidak proporsional, bendera dan lambing kerajaan Belanda yang tidak dicantumkan, adalah sebagian dari pesanpesan simbolik yang hendak Raden Saleh sampaikan.
Dalam karya Mangku Muriati, nampaknya ada persamaan persepsi mengenai penokohan yang dibuat oleh Raden Saleh dengan karya Mangku Muriati. Kusumo dalam Achmad menjelaskan pandangannya bahwa ada kemungkinan Raden Saleh membaca Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta yang dalam hal ini Raden Saleh sangat piawai dalam tulisan Jawa. Karena dalam Babad Diponegoro para petinggi Belanda diceritakan sebagai raksasa pewayangan seperti Buto Rambut Geni (raksasa berambut api) atau Buto Terong (raksasa berhidung terong), karena itu
ISSN 2355-6218
dalam lukisannya Raden Saleh juga menggambarkan petinggi Belanda proporsi kepalanya terlalu besar. 24 Tradisi pewayangan selalu mempergunakan pakem-pakem visual yang terwarisi hingga kini, semisal para punakawan, tokoh protagonis, tokoh antagonis memiliki karakteristiknya yang khas, ikonografinyalah yang kemudian menentukan bahwa tokoh ini adalah antagonis atau protagonist bahkan sebagai punakawan. Seodarso Sp (1997:16) dalam Purwita mengatakan bahwa, bentuk bentuk badan dan wajah (wayang kulit Bali) seperti hidung, mata, mulut juga tidak begitu jelas seperti wayang kulit Jawa, dan macamnya pun tidak terlalu banyak. Mata sumpe untuk tokoh-tokoh halus seperti Arjuna atau Rama, mata dedeling untuk tokoh-tokoh gagahan seperti Bima atau Raksasa, pata pijak untuk Drona dan mata guling khusus untuk Twalen. 25 Dalam wayang kamasan, tokohtokoh protagonis selalu digambarkan dengan wata sipit atau sumpe dalam istilah Jawa, walaupun ada tokoh protagonis dengan karakter yang keras seperti Bima, namun warnanya kemudian masih menentukan dia sebagai karakter protagonis keras, lain halnya dengan tokoh antagonis yang selalu dihadirkan dengan warna yang cenderung menyala seperti merah, coklat kemerahan, dengan mata dedeling (melotot), terkadang berimbuh taring. Ikonografi serupa juga dapat dilihat dalam karya Mangku Muriati. Tokoh Pangeran Diponegoro dapat dilihat dalam posisi sentral, diapit oleh serdadu dan De Kock. Sang Jendral divisualkan dengan gaya berbusana berbeda dari prajurit, walaupun dalam konteks ikonografi, mata jendral Belanda 24
Ibid, Achmad, 2012. Hlm, 242. Purwita, Dewa Gede. “Tokoh Twalen Wayang Kulit Buleleng Sebuah Kajian Ikonografi” (Tesis). Program Pascasarjana, Magister Seni Rupa. Institut Seni Indonesia Denpasar. 2015, hlm. 21.
25
56
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
tidak dibuat dedeling untuk menunjukan keantagonisannya, justru keantagonisannya dapat dari warna kulitnya, dari topinya, dari gesturnya. Sedangkan prajuritnya dilihat dari pakaiannya. Raden Saleh dilukiskan sebagai peran protagonis lengkap dengan sorbannya, Mangku Muriati menuturkan bahwa sorban kepala tersebutlah yang kemudian sebagai ciri dari Pangeran Diponegoro. Seriyoga Parta dalam tulisan kuratorialnya menyatakan bahwa orangorang Belanda digambarkannya sebagai tokoh-tokoh berkarangker keras dengan mata bulat, mulut yang menonjol dan memakai topi, sedangkan Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai tokoh halus (tokoh bangsawan) dengan mata sipit dan memakai serban.
Gambar 4. Penangkapan Pangeran Diponegoro, Mangku Muriati 2015 Pencil, ink, acrillyc, ochre, cinnabar on cotton cloth 60cm x 80cm (foto: Arsip 2015, Dewa Gede Purwita)
Dengan hanya melihat tokohnya kita sudah paham bahwa tokoh sentral dalam karya ini adalah Pangeran Diponegoro yang tertangkap oleh Jendral De Kock bersama serdadu Belanda. Dibawah kaki Pangeran nampaknya Mangku Muriati tidak ingin meninggalkan tokoh perempuan dalam karya ini. Serupa dengan Raden Saleh dalam tulisannya Achmad memaparkan
ISSN 2355-6218
fakta bahwa selain memasukkan dua sosok dirinya dalam lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” kebebasan berekspresi dalm berkesenian dilakukan Raden Saleh saat menampilkan istri Diponegoro, Raden Ayu Ratnaningsih. Pada kenyataannya, saat peristiwa itu terjadi, Ratnaningsih sudah wafat pada 19 Februari 1828. Belum ada sumber yang membuktikan bahwa salah seorang istri Diponegoro hadir dalam peristiwa penangkapan di Karesidenan Magelang itu. 26 Mangku Muriati menggubah keseluruhan visual menjadi rasa Bali dengan dialek wayang Kamasan. Karyanya hadir sebagai tanda bahwa intertekstualitas tersebut hadir dan terkait antara Pieneman ditahun 1830, Raden Saleh tahun 1857 dan Mangku Muriati 2015, sebuah rentangan ruang dan waktu yang terlampau jauh, akan tetapi teks dalam maksud karya seni adalah apa yang dihadirkan (bahasa ungkap) mempunyai relasi terhadap teks pada tiga masa seniman ini. Mangku Muriati. Sebagaimana sebuah arus perubahan, cara mengungkapkan atau membahasakannya saja yang berbeda. Mangku Muriati kurang lebih memiliki sudut pandang yang sama dengan Raden Saleh, jika Raden Saleh membuat figur De Kock beserta orang Belanda dalam karyanya memiliki proporsi tubuh yang aneh, begitu juga Mangku Muriati yang menafsirkan orang-orang kolonial sebagai pribadi yang antagonis, keras, berwatak raksasa dan hal ini pula sejalan dengan apa yang dinarasikan dalam Babad Diponegoro miliki Keraton Surakarta. 3.1 Reposisi dan Rebranding Seni Rupa Kontemporer Asia Mangku Muriati dalam seni rupa Bali oleh sebagian besar dipandang berada dalam garis tradisional, 26
Achmad. Op.cit, 2012. Hlm, 270. 57
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
pandangan tersebut nampaknya ditujukan terhadap cara berkaya atau teknis kekaryaannya, padahal dalam seni rupa kontemporer, teknik tidak lagi menjadi tolok ukur penilaian. Sebagaimana Hardiman yang menyatakan seni rupa kontemporer Indonesia berada ditengahtengah antara kelokalannya dan globalitas maka Mangku Muriati juga masuk ke dalam wacana kontemporer. Ditilik dari wimbanya dalam bahasa rupa diasosiasikan sebagai image maka di bedakan menjadi dua yaitu isi wimba dan cara wimba, isi wimba adalah objek yang digambar kemudian cara wimba aadalah cara objek itu 27 digambarkan. Isi wimba dalam konteks kekaryaan Mangku Muriati memiliki kecenderungan kekontemporeran karena adanya dua unsu kelokalan maupun modern-global. Jika pada hakekatnya seni lukis wayang Kamasan terpaku pakem wayang tradisional, Mangku Muriati berhasil bebas mengembangkannya sehingga terdapu dua unsur khas wayang kamasan dan unsur modern. Cara wimbanya tentu saja diungkapkan dengan wujud wayang Kamasan. Keunikannya, meskipun masuk kedalam tema-tema diluar tema besar seperti Ramayana, Mahabarata, Malat, kebaruan tersebut justru luluh dalam ungkapan wayang. Jadi adanya kompromi budaya visual didalamnya.
ISSN 2355-6218
Gambar 5. Wanita Karir Mangku Muriati 2015 Pencil, ink, acrillyc, ochre, cinnabar on cotton cloth 60cm x 80cm (foto: Arsip 2015, Dewa Gede Purwita)
Karya lukis berjudul “Wanita Karir” tahun 2015 misalnya, mewakili sudut pandanganya terhadap peran wanita masa kini dan masa lalu yang diprakarsai oleh R.A Kartini, ia dalam karyanya menyatakan bahwa wanita kekinian bukan lagi bertugas sebagai ibu rumah tangga semata, hanya berdiam di rumah dengan segala kegiatan rumahnya, akan tetapi wanita kekinian dalam norma kesusilaan selain sebagai ibu rumah tangga namun juga ikut berperan dalam kenegaraan seperti menjadi polisi wanita, menjadi guru, menjadi pemimpin. Mangku Muriati kembali menegaskan wacana tentang gender dalam konteks multilapis salah satunya adalah perempuan perupa Bali. Dalam karya ini figur perempuan dalam ikonografinya tetap menghadirkan wajah sebagaimana rupa wayang Kamasan dengan tokoh putri atau figur perempuan yang khas dalam ikonografi wayang Kamasan adalah rambut yang panjang terurai dan mata sipit dengan cekungan (garis lengkungnya dibawah). 28 28
27
Lihat Tambrani, Primadi. Bahasa Rupa. Bandung: Penerbit Kelir. 2012. Hlm, 112.
Berbeda dengan tokoh protagonis atau lembut dalam wayang kamasan, matanya yang sipit digambar dengan mata sipit, posisi garisnya matanya cembung atau lengkungannya di atas. 58
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
Profesi-profesi ditunjukan oleh seragam atau atribut busana yang notabene modern dipadankan dengan gesturegestur wayang klasik, inilah yang kemudian menjadi unsur paduan dalam visual antara lokalitas dan global. Jika dalam arus besar seni rupa Indonesia terdapat tiga wilayah utama adalah Bandung, Yogyakarta dan Bali dan me-rebranding serta memposisikan seni rupa Bali dari pemikiran kontemporer Asia oleh Nyoman Erawan maka seharusnya perupa atau penulis pun orang-orang yang berada dalam lingkaran kesenian di Indonesia seharusnya tidak melulu berbicara tentang pertarungan tiga wilayah itu, bukan juga pertarungan antara seni rupa Asia Tenggara namun bersama-sama mem-branding diri berada dalam kawasan benua yaitu Asia, sehingga terjalinlah ragam seni kontemporer dengan ragam nafas yang seharusnya menguatkan. Bandung, Yogyakarta, Bali hanya sebagian kecil dari arus seni rupa kontemporer Asia, dapat dibayangkan ketika seni rupa Cina, Jepang, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Bali Khususnya berdiri di atas seni rupa kontemporer Asia maka hal ini dipandang cukup relevan untuk mampu terbaca dalam arus besar seni rupa dunia yang selama ini getol mewacanakan seni rupa Eropa dan Amerika. 29 PENUTUP Wacana tentang kesenian dan ideologi berkarya mutlak diproduksi oleh perupa atau seniman, permasalahannya kini adalah bagaimana seorang perupa mengemasnya dan konsiten mewacanakannya. Mangku Muriati salah satu perupa yang dalam lingkaran kuat 29
Hal yang sama juga diungkapkan Purwita (penulis) dari wawancara dengan Nyoman Erawan dan ditulis dalam esay “Nyoman Erawan dalam Arus Manifesto” dimuat oleh rubrik Koran Art Culture Tribun Bali 2016 minggu 22 Mei. Hlm, 19.
ISSN 2355-6218
tradisi perupa Kamasan mendobrak batas-batas ketradisian dengan mengcampurkannya dalam gaya bahasanya sendiri. Tentu saja kemudian terbaca tidak hanya pada wilayah tradisi namun juga di wilayah kontemporer. Karya-karya terbarunya seperti “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan “Wanita Karir” menunjukan adanya hubungan intertekstualitas antara pendahulunya yaitu Raden Saleh maupun R.A Kartini dengan teks visual Mangku Muriati, meskipun terjadinya penambahan maupun gubahan pada karyanya, akan tetapi Mangku Muriati masih tetap memainkan ikonografi wayang Kamasan sebagai kekhasan bahasa ungkapnya. DAFTAR PUSTAKA Achmad, Katherina. Raden Saleh: Perlawanan Simbolik Seorang Inlander. Yogyakarta: Penerbit NARASI. 2012. Ardika,dkk. Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press. 2013. Artika, I Wayan. “Interteks dan Pledoi” (makalah bedah buku Eksplo(ra)si Tubuh oleh Hardiman) tanggal 21 Maret 2016 di Rumah Jabatan Bupati Buleleng. Hardiman. Eksplo(ra)si Tubuh: Esai-esai Kuratorial Seni Rupa. Singaraja: Mahima Institute Indonesia. 2015. ________. “Paintings and Drawings: Works by ten contemporary masters.” Sub tulisan “The Front Line” (katalog pameran). Kendra Contemporary Art Gallery. 2008. Purwita, Dewa Gede. “Tokoh Twalen Wayang Kulit Buleleng Sebuah Kajian Ikonografi” (Tesis).
59
Jurnal STD Bali Vol. IV No. 1Agustus 2016
ISSN 2355-6218
Program Pascasarjana, Magister Seni Rupa. Institut Seni Indonesia Denpasar. 2015. _________________. “Nyoman Erawan dalam Arus Manifesto” (rubrik Art Culture Koran Tribun Bali). Minggu 22 Mei 2016 halaman 19. Seriyoga Parta, Wayan. IB. Agastya., Rain Rosidi. “Eternal Line: Mangku Muriati dan Teja Astawa” (makalah diskusi). Sudakara Art Space, Sanur. 2015. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Tambrani, Primadi. Bahasa Rupa. Bandung: Penerbit Kelir. 2012. Vickers, Adrian. Balinese Art: Painting and Drawings of Bali 1800-2010. Hongkong: Tuttle Publishing. 2012.
60