KAJIAN ATAS : “ PENGARUH PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH” DEDDY SUHARDI Abstrak Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transfaran dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Dana perimbangan keuangan ini memenuhi porsi yang sangat besar antara 80% - 90% dari APBD sebagai pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam pelaksanaannya hampir 60% -75% bahkan sampai ada yang 80% lebih digunakan untuk belanja pegawai, tanpa dibarengi dengan kualitas atau kompetensi pegawainya; sehingga untuk belanja pembangunan atau untuk pelayanan kepada masyarakat dalam rangka mesejahterakan masyarakat hanya 40% -25% bahkan mungkin riilnya dibawah 25%. Kondisi tersebut tanpaknya menjadi tidak begitu besar pengaruh dari dana perimbangan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan didaerah, ditambah pula dengan kompetensi atau kemampuan pengelolaan keuangan yang belum dapat memamfaatkan dana tersebut secara optimum; sehingga mengakibatkan pula dana perimbangan tersebut tidak proporsional dengan urusan kewenangan yang diterima oleh daerah otonom. Hal ini dapat dilihat dari porsi dana perimbangan keuangan non belanja pegawai dibandingkan dengan total APBD; dari 42 urusan, 33 urusan memproleh dibawah 0,5%, 4 urusan memperoleh1%-2%, 3 urusan memperoleh 2%-3%, 1 urusan (pendidikan) memperoleh 5, 47% dan yang cukup besar 11,31% urusan fasilitas umum (Pekerjaan Umum). Jadi rata-rata memperoleh dana sangat sangat kecil sekali, kiranya bisa kita bayangkan bagaimana pelayanan kepada masyarakat melalui urusan-urusan yang diserahkan tersebut akan dapat terlaksana dengan baik. Kata kunci : Dana Perimbangan Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, penyelenggaraan pemerintah daerah (melalui urusan-urusan yang diserahkan)
Abstract Financial Balance Central Government and Local Government is a system of government financing within the framework of a unitary state, which includes financial sharing between the Central Government and the Regions and equity between regions proportionally, democratic, fair and transparent with regard to the potential, conditions and needs of the region, in line with obligations and the distribution of authority as well as the procedure for the organization of such authority , including financial nanagement and supervision. Financial balance meets a very large portion of between 80% - 90% of the budget as the financing of
regional autonomy. In the implementation of nearly 60% - 75% even until there are 80% more used for personnel expenditure, without coupled with the quality or competence of its employees, so far shopping development or services to the community in order to improve the life of society is only 40% - 25% real maybe even below 25%. The condition seems to be not so much influence on the balance of funds in the implementation of the governance area, coupled with the competence or the ability of the financial management of these funds have not bean able to capitalize upon its optimum; resulting in the balance of the funds is not proportional to the affairs of the authority received by the autonomous region. It can be seen from the portion of non financial balance personnel expenditures compared to the total budget, 42 affairs, 33 affairs gained under 0,5%, 4 affairs gained 1%2%, 3 affairs gained 2% - 3%, 1 affairs (education) earn 5,47% and 11,31% sizable business facilities public (Public works). So on average, funds are very small, presumably we can imagine how the public service through the affairs that are submitted will be done well. Keywords : Fund balance The Central government and local government, the organization of local authorities (through the affairs submitted)
A. P E N D A H U L U A N Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah merupakan konsekwensi logis bagi daerah adanya kesiapan daya dukung sumberdaya keuangan. Adapun sumber daya keuangan ini adalah terutama pembagian sumber keuangan antara pusat dan daerah yang selama ini diatur secara sentralisasi baik besarnya dimana pusat selalu menguasai lebih besar, maupun kewenangan penggunaannya, maka timbul tuntutan terhadap sumber keuangan ini mencuat ke permukaan. Tuntutan terhadap pembagian sumber dana atau keuangan ini tidak lagi sekedar wacana, akan tetapi sudah disertai dengan ancaman dari berbagai daerah terutama daerah penghasil sumber daya alam untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu pembagian sumber keuangan ini ramai dibicarakan dan memang sangat penting dan relevan untuk dibahas. Selama 32 tahun ketentuan perimbangan keuangan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, yaitu berjalan secara tersentralisasi, tidak proporsional dan jauh dari keinginan dan harapan daerah, hal ini sebagaimana dikemukanan oleh SUPARMOKO (1987 : 307) dan MACHFUD SIDIK (1999 : 16) menggambarkan bahwa pada Tahun 1970 Indonesia memiliki derajat sentralisasi yang tertinggi, yaitu 83,8% pendapatan negara berasal dari pendapatan pemerintah pusat ; dan 90,1% dari pendapatan daerah berasal dari pemerintah pusat serta hanya 1,6% pendapatan yang berasal dari pendapatan asli daerah. Salah satu alasan sentralisasi keuangan ini disebabkan hampir sebagian besar daerah memiliki sumber daya alam yang terbatas. Konsekwensi logis dan merupakan salah satu permasalahan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah sumber dana. Kemampuan sumber dana ini seperti dikemukanan oleh PAMUDJI (Kaho, 1988 : 124) yaitu “ pemerintah daerah tidak
akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan”, yang menurut ERMAYA
(1988 : 117) “salah satu persyaratan minimal keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah memiliki sumber keuangan, terutama sumber keuangan sendiri” . Demikian pula BINTORO (1981 : 96) mengemukanan “bahwa pemerintah daerah
akan menjalankan fungsinya dengan baik, bila menerima cukup sumber-sumber keuangan untuk melaksanakan fungsinya”.
Adalah wajar apabila Pemerintah Pusat disamping dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah, juga dikeluarkan dan diberlakukan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kemudian disempurnakan dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No, 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tinggal sekarang bagaimana pelaksanaannya ? Apakah Pemerintah Pusat akan konsekwen, kosisten dan transparansi ? Demikian juga, apakah daerah sanggup dan siap melaksanakan kedua kebijakan tersebut dengan baik ? Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, kajian terhadap masalah yang menyangkut “Pengaruh Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah ” menjadi penting untuk dikaji. Penulis mencoba mengkaji dari beberapa aspek yang mungkin akan menjadi permasalahan, yaitu : 1. Seberapa besar pengaruh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terhadap penyelenggaraan otonomi daerah ?; 2. Apakah Pemerintah Daerah mampu memanfaatkan besarnya dana yang diterima atau yang tersedia beserta kewenangan penggunaannya yang proporsional dengan luas kewenangan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas pemerintah di daerah ?; 3. Apakah dana perimbangan keuangan telah proporsional dengan jumlah urusan atau kewenangan yang diserahkan atau dilaksanakan ?. B. OTONOMI DAERAH 1. Konsep Otonomi Daerah. Sebagai konsekwensi dianutnya desentralisasi, maka dalam pelaksanaannya dikenal adanya daerah otonomi, yaitu daerah yang diberi hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sejalan dengan itu maka terjadilah hubungan kekuasaan/kewenangan, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah otonom. Istilah otonomi secara etimologi berasal dari Bahasa Latin “Autos” yang artinya sendiri dan “Nomos” yang artinya aturan. Dari asal kata ini kemudian beberapa sarjana memberi arti Otonomi sebagai “Zelwetgeving” atau mengundangkan sendiri sesuai dengan, atau perundangan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri atau pemerintahan sendiri. ERMAYA (1988 : 113) mengemukakan pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ajaran catur praja Van Vollenhoven (ERMAYA ; 1993 : 50) bahwa otonomi mencakup aktivitas : (1) membentuk perundangan sendiri (Zelfwetgeving) ; (2) melaksanakan sendiri (Zelfuitvoering) ; (3) melakukan peradilan sendiri (Zelfrechtpraak) ; (4) melakukan tugas kepolisian sendiri (Zelf-politie). Ajaran
Catur Praja Van Vollenhoven tentang otonomi tersebut, cakupannya ternyata sangat luas. Selain meliputi empat bagian tersebut, tugas lain yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dilakukan juga oleh daerah otonomi adalah menyelenggarakan pengurusan rumah tangganya dan melaksanakan kesejahteraan rakyat suatu daerah sesuai dengan batas wilayah yang bersangkutan. Aktivitas otonomi tergantung pada kebijaksanaan dan penyerahan urusan sesuai dengan kondisi sosial politik dan sistem pemerintahan negara yang bersangkutan. Masih banyak lagi perumusan yang dikemukakan para ahli tentang apa yang dimaksud dengan otonomi daerah yang pada pokoknya selalu otonomi itu yang sebagai suatu hak atau kewenangan dari suatu daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Mengenai dimensi batasan luas atau besarnya dari suatu otonomi yang diberikan kepada suatu daerah, ERMAYA (1998 : 121) mengemukakan 2 aturan batasan sebagai berikut : a. Secara teritorium, yaitu luasnya kekuasaan otonomi suatu daerah otonomi terbatas sampai wilayahnya saja, di luar batas wilayahnya daerah tidak mempunyai kekuasaan, meskipun terhadap seorang penduduknya sendiri ; b. Secara materi, isi dan luas rumah tangga daerah itu tergantung pada sistem rumah tangga yang dipergunakan oleh suatu pemerintah. Menurut KAHO (1990 : 16, 18, 72) berdasarkan sejarah pemerintah daerah di Indonesia pernah dianut beberapa sistem; sistem otonomi materiel dianut pada masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1948, sistem otonomi riil dianut semasa berlakunya UU No. 1 Tahun 1957 dan UU No. 18 Tahun 1965. Kemudian prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya ini baru berakhir sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1974. UU yang terakhir ini menganut prinsip otonomi yang nyata, bertanggung jawab dan dinamis, yang sebenarnya secara teori merupakan variasi prinsip otonomi riil. Selanjutnya apabila melihat UU No. 22 Tahun 1999, tampaknya prinsip otonomi daerah akan kembali pada variasi otonomi riil, ditambah dengan istilah luas dan bertanggung jawab ; hal ini dapat dikaji dari prinsip-prinsip otonomi sebagaimana penjelasan UU tersebut, yaitu dalam penjelasan umum, nomor 1 huruf I, poin (2) bahwa : “Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab: dan poin (3) “Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedangkan otonomi daerah Provinsi merupakan otonomi yang terbatas”. Mengenai cara penyerahan urusan yang diberikan pada suatu daerah terutama dalam hal ini kepada Daerah Tingkat II, menurut KAHO (1990 : 95) dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1. Penyerahan urusan secara langsung, yaitu pemerintah pusat menyerahkan kepada daerah-daerah tingkat II. Urusan-urusan tertentu untuk diselenggarakannya secara langsung tanpa melalui pemerintah daerah tingkat I. Penyerahan urusan ini, kemudian menurut ERMAYA (1998 :32) dilakukan pada waktu pembentukan daerah otonom yang bersangkutan dan disebut sebagai “kewenangan pangkal” dengan diatur oleh Undang-undang pembentukannya, dilakukan sekaligus/bebarengan dengan penyerahan urusan bagi daerah tingkat I. Pada umumnya kewenangan pangkal meliputi beberapa urusan, misalnya urusan umum, tata usaha , urusan lingkup pertanian, urusan kesehatan, urusan pekerjaan umum, urusan sosial, urusan pendidikan dasar dan lain-lain. hanya terkadang urusan yang merupakan kewenangan pangkal tersebut kurang
dikembangkan oleh pemerintah daerah, sehingga urusan otonomi dirasakan menjadi sangat statis. 2. Penyerahan tidak langsung atau penyerahan bertingkat, yaitu pemerintah pusat menyerahkan urusan-urusan tertentu lebih dahulu kepada daerah tingkat I dan kemudian pemerintah daerah tingkat I menyerahkan urusan-urusan tersebut kepada daerah-daerah tingkat II dalam lingkungannya. Jadi pada penyerahan urusan tidak langsung ini dilakukan tidak bersamaan, akan tetapi urusan diserahkan terlebih dahulu pada daerah tingkat I, baru kemudian kepada daerah tingkat II dalam lingkungannya. Menurut hasil penelitian KAHO (1990 : 96) disamping telah dilimpahkannya urusan pangkal, di Indonesia selama ini telah pula diserahkan 18 – 19 jenis urusan kepada daerah-daerah tingkat I di seluruh Indonesia, namun demikian untuk daerah-daerah tingkat II dalam lingkungan setiap daerah tingkat I diatas tidak berarti juga mempunyai isi otonomi (jumlah urusan) dan luas kewenangan yang sama dengan daerah tingkat I di atasnya. Pada umumnya isi Otonomi Daerah Tingkat II jauh lebih sedikit dibandingkan dengan isi Otonomi Daerah Tingkat I. Demikian juga wewenang dalam menyelenggarakan setiap urusan lebih sempit dari wewenang Daerah Tingkat I dalam menyelenggarakan urusan yang sama, misalnya kepada Daerah-daerah Tingkat II tidak diberikan wewenang untuk mengkoordinasikan, dan mengawasi daerah otonom bawahan serta wewenang untuk mengadakan penelitian dan percobaan, wewenang tersebut senantiasa berada dalam tangan pemerintah Daerah Tingkat I. Adapun urusan-urusan yang akan diserahkan oleh pemerintah pusat dapat dilihat dalam undang-undang pembentukannya, biasanya tergantung pada sistem rumah tangga yang dianut, misalnya dengan sistem rumah tangga materiil, maka akan tampak urusan-urusan diperinci satu persatu secara limitatif. Dari jumlah urusan (isi otonomi) dan luas kewenangan dapat terlihat dan tergambar apa yang menjadi tugas dan fungsi pemerintah daerah. Berdasarkan UU No.22/1999 )dan atau UU No.32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah, daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahannya penuh berdasarkan azas desentralisasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) bahwa kewenangan daerah kabupaten/kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan. Selanjutnya berdasarkan ketentuan tersebut tiap kabupaten/ kota (dalam hal ini Kabupaten Subang) memiliki kewenangan melaksanakan 32 urusan wajib dan 9 urusan pilihan, yang dilaksanakan melalui 72 Satuan kerja perangkat daerah (29 Dinas, 8 Bagian, 4 kantor dan 30 Kecamatan) 2. Tujuan Pemberian Otonomi Daerah RONDINELLI dan SMITH (Made Suwandi : 1998 : 1) mengemukakan pendapat bahwa tujuan dibentuknya Pemerintah Daerah adalah untuk mencapai dua tujuan utama, yaitu tujuan politis dan tujuan ekonomis atau administratif. Apabila dilihat dari uraian tentang otonomi daerah, maka tujuan pemberian otonomi adalah sebagai berikut : a. Agar memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan ;
b. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksana-an pembangunan, maka titik berat otonomi berada pada daerah, dengan pertimbangan daerah-lah yang langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat ; c. Agar daerah ikut melancarkan jalannya pembangunan pemerintahan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. 3. Unsur-unsur yang mempengaruhi Otonomi Daerah Untuk mewujudkan penyelenggaraan otonomi daerah yang benar-benar sehat, sehingga dapat mewujudkan kesesuaian antara prinsip dan praktek penyelenggaraan otonomi daerah seperti yang tercermin dari upaya penyempurnaan berbagai produk perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, maka terdapat beberapa unsur yang perlu diperhatikan. Kaho (1983 : 60) mengemukakan unsur atau faktor yang mempengaruhi atau yang menjadi syarat pelaksanaan otomi daerah pada umumnya, adalah :1). Manusia pelaksana harus baik, 2). Keuangan harus cukup dan baik, 3). Peralatannya harus cukup dan baik, dan 4). Organisasi dan manajemen harus baik. Salah satu kriteria yang penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, sehingga dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau uang. Pentingnya faktor keuangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah disadari oleh pemerintah, demikian pula cara alternatif untuk mendapatkan keuangan secara memadai telah pula dipertimbangkan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat. Hal ini dapat dilihat, bahwa ketika diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, diterbitkan dan diberlakukannya pula UU No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Secara esensial dengan berlakunya otonomi daerah, disertai dengan berlakunya perimbangan keuangan, dimaksudkan agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka kepada daerah diberikan sumbersumber pembiayaan yang cukup. Dengan demikian jelaslah faktor keuangan merupakan esensial dalam setiap kegiatan pemerintahan, makin besar jumlah dana yang tersedia, makin banyak pula kegiatan yang dapat dilaksanakan dan juga semakin baik pengelolaannya semakin berdaya guna dan berhasil guna pemakaian dana tersebut. C. PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH 1. Sumber Keuangan Daerah Faktor keuangan mengandung arti setiap hal yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang cukup dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Faktor keuangan sangat penting dalam setiap kegiatan pemerintah, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan yang dapat
dilaksanakan. Demikian juga semakin baik pengelolaan, semakin berdaya guna (efisien) pemakaian uang tersebut. PAMUDJI (KAHO ; 1988 : 124) menegaskan pentingnya aspek keuangan, yaitu : “Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan.... dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”. Mengenai sumber keuangan daerah KJ. DAVEY (AMANULLAH, Dkk ; 1988 : 25--) mengemukakan sebagai berikut : a. Transfer atau alokasi dari pemerintah pusat antara lain meliputi : 1) Anggaran Pusat (Votes) ; 2) Bantuan Pusat (Grants) ; 3) Bagi Hasil Pajak ; 4) Pinjaman ; 5) Penyertaan Modal. b. Perpajakan Pemerintah Daerah dapat memperoleh sumber pendapatan dari perpajakan dengan 3 cara, yaitu : Pertama, Pembagian hasil pajak yang dikenakan dan dipungut oleh pusat. Kedua, Pemerintah Daerah dapat memungut tambahan pajak di atas suatu pajak yang dipungut dan dikumpulkan pusat. Para wajib pajak di daerah umumnya membayar pungutan tambahan beserta pajak-pajaknya kepada pemerintah pusat, yang pada gilirannya membayarkan pendapatan opsen tersebut kepada pemerintah daerah. Ketiga, yaitu pajak yang pemungutannya dan pengumpulannya ditahan oleh pemerintah daerah sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat. c. Retribusi (Charging) Pajak biasanya harus diabayar oleh anggota masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum, tanpa pertimban gan apakah secara pribadi mendapat manfaat atau tidak dari pelayanan yanjg mereka biayai. Sebaliknya retribusi dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan dan biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya pelayanan. d. Pinjaman Pemerintah daerah disamping memperoleh alokasi dana dari sumber lain, termasuk badan-badan Internasional dan Luar Negeri, dana kredit yang dikelola oleh pemerintah pusat, Bank-bank komersial, Lembaga-lembaga keuangan dan sebagainya. Pinjaman ini biasanya untuk memenuhi, antara lain : 1) Membiayai defisit persediaan uang tunai ; 2) Membelanjai investasi yang diharapkan menghasilkan pendapatan. 3) Membiayai pembangunan proyek jangka panjang. e. Perusahaan (Badan Usaha Milik Daerah), yaitu sumber pendapatan yang diperoleh dari laba perusahaan milik Pemerintah Daerah. f. Pemerintah Daerah Tingkat Ganda, yaitu adanya pembagian pendapatan antar pemerintah daerah. Adapun berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, Pasal 79 dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Dearah, Pasal 3, bahwa Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas : 1) Pendapatan Asli Daerah ; 2) Dana Perimbangan ; 3) Pinjaman Daerah ; dan 4) Lain-lain pendapatan yang syah. 2. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Dari uraian Sumber Keuangan Pemerintah Daerah, tampak jelas memiliki keterkaitan, ketergantungan dan hubungan dengan keuangan Pemerintah Pusat. Hubungan keuangan ini terkait dengan fungsi Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan bentuk atau Type atau Asas Penyelenggaraan Pemerintah sebagaimana penulis uraikan sebelumnya. Selanjutnya hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimaksud dalam penulisan ini adalah Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan keuangan atau Perimbangan Keuangan ini menurut KJ. DAVEY (AMANULLAH, Dkk ; 1988 : 33) memiliki ciri-ciri pendekatan atau sistem-sistem sebagai berikut : a. Pendekatan pertama adalah Kapitalisasi (Penyertaan Modal) Kepada Pemerintah Daerah diberikan sejumlah modal untuk ditanamkan sehingga dapat menghasilkan pendapatan untuk menutupi pengeluaran atau mungkin membayar kembali modal ; b. Pendekatan kedua adalah Pemberian Sumber-sumber Pendapatan. Kepala Daerah diberikan sumber-sumber pendapatan tertentu (terutama pajak) atau suatu bagian tertentu dari penerimaan pajak pusat untuk dimanfaatkan ; c. Pendekatan ketiga adalah Pendekatan Pengeluaran Kepala Daerah diberikan pendapatan didasarkan perkiraan pengeluaran atas biaya pelaksanaan fungsi tertentu pada suatu tingkat tertentu. Contohnya adalah bantuan, votes, pinjaman dan alokasi lainnya. d. Pendekatan keempat, yaitu Pendekatan Menyeluruh atau defisit. Sumber penerimaan diberikan kepada Pemerintah Daerah, tanggung jawabnya juga dialokasikan dengan asumsi mengenai implikasi pengeluarannya. Bantuan dapat dibayarkan untuk menutup perbedaan antara sumber penerimaan dengan kebutuhan pengeluarannya. Pendekatan atau sistem mana yang digunakan harus diperhatikan kondisi dari suatu daerah yaitu ada yang besar–kecil, kaya dan benar-benar miskin, dilihat mengenai kelembagaannya, dan mengenai perekonomiannya. Berdasarkan kondisi suatu daerah yang berbeda, maka menurut DAVEY (AMANULLAH, Dkk ; 1988 : 15) harus diperhatikan tujuan bagi kerangka hubungan keuangan pusat daerah, sebagai berikut : Pertama, sistem tersebut seharusnya memberikan suatu distribusi kekuasaan di antara berbagai tingkat pemerintahan mengenai pemungutan dan pengeluaran sumber daya pemerintah. Jadi sistem tersebut harus menjamin pertanggung jawaban kepada masyarakat mengenai penggunaan sumber daya, serta menentukan tingkat pengeluaran seharusnya dalam menghadapi konsekwensi penarikan pajak dari masyarakat. Kedua, sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber daya masyarakat secara keseluruhan, bagi fungsi-fungsi pemerintahan – pelayanan rutin dan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. “Memadai” tentu saja adalah sebuah konsep yang kabur dan
relatif. Sebaliknya keadaan “tidak memadai” biasanya dapat diungkapkan dan bisa dinyatakan dalam bentuk kesengajaan kasar antara tingkat pelayanan yang diselenggarakan pemerintah, atau dalam bentuk sekurang-kurangnya prasarana setempat yang nyata dapat dilihat. Ketiga, sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara merata diantara daerah-daerah. Dampak kumulatif dari pemusatan pembangunan sepanjang sejarah di daerah tertentu dan dari keberadaan sumber daya yang berbeda tidak bisa diperbaiki dalam semalam atau secara tuntas. Sistem keuangan harus peka terhadap hal-hal tersebut, sejauh mungkin dan sekurang-kurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu, seperti pendidikan. Keempat, akhirnya pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi beban pengeluaran pemerintah atas masyarakat, sebagai keseluruhan, terutama yang menjadi persoalan bagi warga adalah seluruh beban pajaknya, apakah pajak-pajak yang dibayarkan masuk pemerintah pusat atau daerah, merupakan masalah kepentingan kedua baginya. Dengan memperhatikan keempat tujuan tersebut diharapkan dapat mencegah timbulnya permasalahan di dalam perimbangan keuangan terutama yang menimbulkan ketimpangan antar daerah atau minimalnya pembagian keuangan tersebut dapat dilaksanakan secara proporsional dengan urusan yang diserahkan kepada daerah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 25 Pasal 1 ayat (1) bahwa arti dan tujuan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah adalah : “Suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transfaran dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya”.
Selanjutnya disamping itu, besarnya sumber penerimaan yang tersedia dalam suatu daerah belumlah cukup, apabila di dalam pengelolaannya kurang baik, karena semakin baik pengelolaannya semakin berdaya guna pemakaian uang tersebut. Suatu pengelolaan keuangan yang baik tidak dapat dilihat hanya dari satu aspek saja, tetapi harus dilihat dari berbagai aspek yang saling terkait dan terintegrasi dalam suatu sistem. Oleh karena itu dalam pengelolaan keuangan ini memerlukan suatu sistem yang disebut dengan administrasi keuangan daerah. Administrasi keuangan atau pengelolaan keuangan daerah memiliki tujuan yang dapat menunjang organisasi pemerintahan, sebagaimana dikemukakan oleh DEVAS (1989 : 279) bahwa tujuan utama dari pengelolaan keuangan pemerintah daerah adalah sebagai berikut : (1) Tanggung jawab (Accountability). Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah, yaitu pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur-unsur penting tanggung jawab mencakup : keabsahan, yaitu setiap transaksi keuangan harus berpangkal pada kewenangan hukum tertentu. Pengawasan yaitu tata cara yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang, mencegah penghamburan dan
penyelewengan dan memastikan semua pendapatan yang sah benar-benar terpungut, jelas sumber daya dan tepat penggunaannya ; (2) Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang ; (3) Kejujuran. Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur dan kesempatan untuk berbuat curang diperkecil ; (4) Hasil guna (Effectiveness) dan daya guna (Effeciency) kegiataan daerah. Tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya serendah-rendahnya daan waktu secepat-cepatnya ; (5) Pengendalian. Petugas keuangan pemerintah daerah, DPRD dan putugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut di atas tercapai ; mereka harus mengusahakan agar selalu mendapat informasi yang diperlukan untuk memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran dan untuk membandingkan antara rencana dan sasaran. Selanjutnya menurut DEVAS (1989 : 281) untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut, suatu pengelolaan keuangan yang baik memiliki ciri-ciri atau syarat sebagai berikut : (1) Sederhana ; (2) Lengkap ; (3) Berhasil guna ; (4) Berdaya guna ; (5) Mudah disesuaikan. D. IMPLEMENTASI PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah mulai diberlakukan tahun 1999 dengan terbitnya UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, selanjutnya dari UU tersebut, sebagai pelaksanaannya berturut-turut dikeluarkan Peraturan Pemerintah, mulai dari PP No. 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; PP No. 104 Tahun 2000 Jo PP No. 84 Tahun 2001 tentang Dana Perimbangan; PP No. 115 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan OPDN dan PPh Pasal 21 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; terakhir kemudian sebagai pelaksaan UU no. 33 Tahun 2004, diterbitkan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tercermin dari Dana Perimbangan yang merupakan dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan menurut UU No. 25 Tahun 1999, terdiri dari : a. Bagian Daerah 90 % dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 80 % dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (SDA) dari sektor Kehutanan, Perikanan dan Pertambangan umum 80 % untuk Daerah. Penerimaan dari SDA sektor Pertambangan Minyak bumi 15 % dan dari SDA Gas sebesar 30%.
b. Dana Alokasi Umum (DAU), ditetapkan sekurang-kurangnya 25 % dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan APBN, kemudian DAU untuk Propinsi dan Daerah Kabupaten/kota masing-masing 10% dan 90%. c. Dana Alokasi Khusus (DAK), dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membiayai kebutuhan khusus dangan memperhatikan tersedianya dana. Kemudian UU No. 33 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan UU No.25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pamerintah Daerah; PP No. 55 Tahun 2005 Dana Perimbangan sebagai berikut : a) Dana Bagi Hasil (DBH), berupa DBH Pajak dan DBH sumber Daya Alam. DBH Pajak terdiri dari : - DBH PBB, 10 % Pusat dan 90 % daerah (64,8 % untuk Kabupaten/kota) - DBH BPHTB, 20 % Pusat dan 80 % Daerah (64% Kabupaten/kota) - DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21, 20% dibagikan kepada daerah (8% Provinsi dan 12 % Kabupaten/Kota : 8,4 % Kab/kota tempat wajib pajak dan 3,4% untuk seluruh Kabupaten/Kota). DBH Sumber Daya Alam terdiri dari : 1) Kehutanan; dari IIUPH 80% (64% daerah penghasil, 16% Provinsi), dari PSDH 80% (16 % Provinsi, 32% Daerah Penghasil dan 32 % kab/kota lain di Provinsi ybs), dari Dana Reboisasi 40% ke Kab/Kota untuk dana reboisasi. 2) Pertambangan Umum; dari iuran tetap berasal dari wilayah Kabupaten 80 % (64% Kabupaten/kota penghasil, 16% Provinsi), dari iuran eksplorasi/eksploitasi 80% (16% Provinsi, 32% daerah Penghasil dan 32% daerah lainnya), iuran tetap dari wilayah Provinsi 80% (26 % Provinsi dan 54% Kabupaten/kota Provinsi ybs) 3) Perikanan; dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan, 80% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten/Kota. 4) Pertambangan Minyak Bumi; 15,5% yg berasal dari penerimaan SDA pertambangan minyak bumi di kabupaten/kota yang bersangkutan (3,1% provinsi, 6,2% Daerah peghasil dan 6,2% dibagikan pada Kab/Kota provinsi ybs). 5) Pertambangan Gas Bumi; 30,5% yang berasal dari penerimaan SDA pertambangan gas bumi dari wilayah Kabupaten/kota ybs (6,1% provinsi, 12,2% Kabupaten/kota penghasil dan 12,2% dibagi keseluruh Kab/Kota provinsi ybs) 6) Pertambangan Panas Bumi, 80% untuk daerah (16% Provinsi, 32% Kabupaten/kota pengahasil, dan 32% dibagi ke kab/Kota provinsi ybs). b) Dana Alokasi Umum, ditetapkan 26% dari pendapatan dalam negeri neto, kemudian dibagi untuk provinsi 10% dan untuk Kabupaten/Kota 90% c) Dana Alokasi Khusus, dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khususyang merupakan bagian program yang menjadi prioritas nasional. Terdapat perubahan antara UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahum 2004 antara lain : a) Adanya penerimaan baru yang dibagikan atau yang dimasukan dalam dana perimbangan yaitu Bagi Hasil Pajak PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21, yang semula terpisah dari ketentuan ini.
b) Adanya kenaikkan tambahan alokasi DAU sebesar 1% dan DBH SDA minyak Bumi dan Gas Alam sebesar 0,5%, namun tambahan tersebut terutama dari migas diprioritaskan untuk program pendidikan dasar. Adapun dana perimbangan secara fisiknya turun atau disalurkan ke Pemerintah Daerah dimulai pada tahun 2001. Sejak dimulainya dana perimbangan tersebut diluncurkan, banyak riak-riak ketidak-puasan dari berbagai daerah terhadap perhitungan perimbangan keuangan yang dianggap kurang adil, tidak cukup dan belum proporsional dengan urusan yang diserahkan. Hal ini dapat dilihat dari komposisi jumlah perimbangan keuangan hampir 60% sampai 75% untuk belanja pegawai atau terutama gaji, sehingga sisanya hanya 25% hingga 40% untuk belanja operasional pelaksanaan pemerintahan atau pelaksanaan pembangunan (Sumber : APBD 2008 Pemerintah Kabupaten Subang, APBD 2011 Pemerintah Kota Semarang) . Apalagi akhir-akhir ini (tahun 2004 – 2009) Pemerintah membuka penerimaan pegawai (CPNS) baik untuk tenaga kerja kontrak maupun dari pelamar umum, sehingga menambah pembelanjaan gaji sekitar 15 -25 % dari jumlah semula. Dengan jumlah yang kecil untuk belanja operasional pemerintahan atau belanja pembangunan, kiranya akan menghambat tugas dan fungsi pemerintahan daerah dalam pelaksanaan otonomi. Kondisi dana perimbangan yang sebagian besar untuk menutupi gaji, maka dana perimbangan ini “pengaruhnya tidak signifikan” terhadap pelaksanaan otonomi; tapi hanya sekedar perpindahan pengelolaan gaji, yang semula dikelola dan dibayar oleh Pemerintah Pusat sekarang dikelola dan dibayar oleh Pemerintah Daerah melalui dana perimbangan. Permasalahan ini nampak disebabkan belum begitu baiknya pada sistem perimbangan keuangan, seperti dikemukakan oleh Davey (1988 : 15) bahwa suatu sistem perimbangan keuangan yang baik harus dapat memenuhi beberapa kriteria, yang salah satunya sebagai berukut : “Sistem keuangan seharusnya menjamin bahwa penyerahan kewenangan atas
sumberdaya keuangan konsisten dengan pelimpahan tanggungjawab pada umumnya. Misalnya, orang tidak dapat memukul-ratakan ketentuan tentang berapa banyak kewenangan yang harus dimiliki oleh suatu pemerintahan provinsi atau kabupaten/kotamadya dalam megalokasikan dan bagi pertanian atau pendidikan. Dan sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara merata diantara daerah-daerah. Sejauh mungkin dan sekurangkurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu”.
Sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata bidang keuanganpun terjadi adanya implementasi gap dalam kebijakannya, dimana salah satunya disebabkan faktor tingkah laku atau sikap dari badan-badan pelaksana yang belum konsisten dan transparan. Banyak pemerintah daerah baik secara terbuka maupun diam-diam melobi pemerintah pusat untuk menambah jumlah bagian perimbangan keuangan terutama pada Dana Alokasi Umum (DAU). Kondisi tersebut mengundang tanggapan dari pemerintah pusat, dengan menyempurnakan UU No. 25 Tahun 1999 menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ini jelas
mencerminkan bahwa : ” sistem Perimbangan Keuangan belum baik, karena belum
menjamin terhadap penyerahan kewenangan atas sumberdaya keuangan dengan tanggungjawab pada umumnya”. Atau rumusan itu kurang bermamfaat dan kalah
oleh cara melobi, karena hasil masih tetap mengundang ketidakpuasan yang berlanjut. Misalnya terbukti dengan adanya Asosiasi Pemerintah Daerah Panghasil Migas, sebagai wadah pemerintah daerah dalam menyalurkan ketidak puasan atas pembagian pendapatan dari migas. Dari kondisi keuangan tersebut, menimbulkan pertanyaan apakah akan dapat pemerintah daerah melaksanakan fungsinya ?. Padahal Pemerintah daerah akan menjalankan fungsinya dengan baik, bila menerima cukup sumber-sumber keuangan untuk melaksanakan fungsinya (Bintoro, 1981 : 96). Oleh karena itu apabila kita perhatikan pendapat Bintoro tersebut di atas tentang cukupnya sumber dana dalam penyelengaraan pemerintahan di daerah, maka konsep “cukup” berarti tidak kekurangan, berarti pula tidak terlalu berlebihan; terjadinya kekurangan dana jelas tidak akan terpenuhi dalam melaksanakan fungsi pemerintahan di daerah, akan tetapi berlebihan danapun belum tentu terpenuhi, apalagi apabila penggunaannya tidak efesien dan efektif. Konsep cukup ini diistilahkan oleh Davey (1988 :15) dengan “memadai”, seperti dikemukakan olehnya, bahwa :
Sistem keuangan daerah (regional) seharusnya menyajikan suatu bagian yang “memadai” dari sumber-sumber daya masyarakat secara keseluruhan bagi fungsifungsi pemerintahan – pelayanan rutin dan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah regional. “Memadai” tentu saja adalah sebuah konsep yang kabur dan relatif. Sebaliknya keadaan “tidak memadai” biasanya dapat diungkapkan – bisa dinyatakan dalam bentuk kesengajaan kasar antara tingkat pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau dalam bentuk kekurangan-kekurangan prasarana setempat yang nyata dapat dilihat, berupa ketelantaran regional dan berupa kegaduhan tuntutan para kreditor. Di dalam konsep cukup atau memadai ini tersirat bahwa besarnya sumber keuangan belumlah menjamin cukup terpenuhinya kebutuhan untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan, apabila pemerintah daerah tidak mampu mengatur dan mememfaatkannya secara baik, seperti dikemukakan Nick Devas, et Al (1989 : iii) bahwa :” Pemerintah daerah juga perlu memiliki kecakapan mengelola keuangan, baik dari sudut menata usaha penerimaannya maupun mengelola pengeluarannya “, atau dengan kata lain tergantung pula bagaimana kemampuan pengelolaan keuangannya; artinya pula bagaimana Pemerintah Daerah melalui kemampuan pengelolaan keuangan dapat “memamfaatkan dana Perimbangan yang diterima”. Kemampuan pengeloaan keuangan ini, dapat dilihat dari sistem pengelolaannya terutama “penganggaran”nya dan “besaran dana yang tersedia”, serta “pertanggungjawaban Keuangan yang dikelolanya”. Kekurangan mampuan kemungkinan :
dalam
sistem
penganggaran,
terdapat
beberapa
Kemungkinan pertama, apakah daerah tidak konsisten atau melanggar terhadap sistem anggaran yang di anut ?. Suatu sistem anggaran yang berlaku dan
diharuskan pada era otonomi ini adalah sistem anggaran kinerja (Performance Budget). Pada sistem ini diperlukan rencana atau program yang matang, agar sasaran yang dicapai sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah. Ternyata dalam pelaksanaannya apabila kita lihat ketika kebijakan otonomi ini mulai dilaksanakan, pada umumnya pemerintah daerah belum atau kurang memahami sistem tersebut, sehingga dalam menetapkan rencana atau program yang dibuat dalam melaksanakan pemerintahan maupun pembangunan “kurang matang”. Kemungkinan kedua, diperparah pula dengan penggunaan dananya yang belum efektif dan efesien. Tidak efektif dan efesiennya penggunaan dana ini, menurut beberapa pengamat hampir 40% dari dana perimbangan digunakan pemerintah daerah tidak memenuhi sasaran. Walaupun beberapa daerah membatahnya, tidak menutup mata kondisi inefesiensi tersebut memang kenyataan, diantaranya masih terdapat pengeluaran yang duplikasi, tumpang tindih dan ketidak sinambungan; hal ini persis pada masa sentralisasi keuangan dulu, melalui proyek-proyek sektoral yang diperoleh dari pusat, sebagaimana dikemukakan oleh Moeljarto (Mubyarto, dkk, 1987 : 66), bahwa : “ salah satu bentuk inefesiensi di dalam pemerintahan adalah adanya duplikasi, tumpang tindih dan ketidak sinambungan pada berbagai proyek sektoral “, hanya saja bedanya sekarang ini proyek tersebut bukan sektoral lagi, tapi dibiayai dari sumber dana yang tersedia di daerah. Kondisi tersebut ditunjang oleh euphoria pemerintah daerah terhadap pelaksanaan kebijakan otonomi yang juga melanda terhadap kebebasan penggunaan dana yang selama ini harus selalu diarahkan pemerintah pusat, sehingga apapun bentuk penggunaan dana merupakan hak atau kebijakan daerah, terutama kebijakan yang disetujui atau diinginkan oleh legislatif dan sebagaimana kita maklum pendulum kekuasaan sekarang sedang berpihak pada pelaksana politik bukan lagi pada birokrasi. Diperparah pula dengan kandidat kepala daerah terpilih, yang nota bene keterwakilan dari partai politik. Hanya saja keberpihakan ini tidak didukung oleh idealisme reformasi yang digembar gemborkan misalnya pemberantasan KKN, yang dalam prakteknya, apakah benar ?, atau mungkin sebaliknya ?, sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto dan Edy Suandi Hamid (Mubyarto dkk; 1987 : 1) bahwa salah satu terjadinya inefesiensi yang bersumber dan melekat pada masing-masing pelaku, contohnya : kemampuan manajemen yang kurang, keterbatasan ketrampilan dan atau sosio cultural misalnya sifat malas, tidak menghargai waktu, tidak cermat, tidak jujur dan lain sebagainya. Kondisi tersebut di atas mempengaruhi atau memperburuk pertanggungjawaban dalam pengelolaan keuangan, yang pada akhirnya secara keseluruhan memperburuk dalam pengelolaan keuangan daerah. Buruknya kondisi Pengelolaan Keuangan di Pemerintah Daerah ini sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Harian Kompas, 12 Agustus 2009) : “
Bahwa Pengelolaan Keuangan oleh Pemerintah daerah mengarah pada kondisi yang membahayakan keuangan negara secara keseluruhan. Padahal, sekitar 60% atau Rp. 600 Trilyun dari anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN disalurkan ke daerah. Pengelolaan yang membahayakan ini karena Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapat Opini terburuk da-ri Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin bertambah, sebaliknya jumlah LKPD dengan Opini terbaik dari BPK terus merosot. “
Oleh karena itu untuk memecahkan masalah tersebut harus ada aturan atau koridor sebagai suatu sistem yang dibuat berdasarkan komitmen bersama yang mengikat terhadap masing-masing pelaku disertai dengan terus menerus adanya pembelajaran terhadap sistem atau aturan tersebut. Selanjutnya aspek terbatasnya sumber pendapatan daerah, terutama pendapatan asli daerah (PAD) yang merupakan permasalahan di dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Sebagian besar pemerintah daerah memiliki kontribusi sumber PAD ini berkisar antara 5% hingga 20% dari APBD, jumlah tersebut sampai saat ini belum beranjak, bahkan dengan adanya komposisi perimbangan keuangan yang makin besar kontribusi PAD semakin kecil (Sumber : APBD 2008 Pemerintah Kabupaten Subang, APBD 2011 Pemerintah Kota Semarang, Lampiran I) . Kaho (1988 : 177) menyimpulkan dalam hasil penelitiannya, bahwa :” secara umum daerah-daerah belum atau tidak memiliki kesanggupan yang memadai dalam hal keuangan, karena sumber-sumber keuangan/pendapatan aslinya belum cukup memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah”. Pada bagian lain Kaho mengemukakan beberapa kendala yang menyebabkan kecilnya kontribusi PAD, antara lain : 1) Terutama untuk pajak, obyeknya kurang atau tidak ada di daerah, dan dibatasi oleh aturan, disamping itu sering terjadi hasil pungutannya jauh lebih kecil dari biaya pumungutannya ; 2) Peraturannya belum ada, dan sering terjadi penyimpangan dari aturan yang lebih tinggi atau adanya larangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang merupakan obyek pajak. 3) Untuk retribusi, banyak retribusi yang memiliki prosfek yang negatif atau berumur pendek, disamping adanya ketidakmampuan penyediaan jasa ; 4) Pemahaman yang kurang terhadap manajemen, seperti terhadap azas-azas organisasi, kedisiplinan dan terhadap pengawasan yang efektif; 5) Belum dapat diandalkannya dinas-dinas daerah; 6) Potensi ekonomi daerah dan kondisi perekonomian pada umumnya (Machfud Sidik; 1999 : 12). Disamping permasalahan tersebut di atas juga mungkin masalah kemampuan sumberdaya manusianya yang kurang kreatif dan inisiatif, sasaran penggunaan serta kecilnya dari dana yang tersedia terutama dalam pembangunan secara umum belum berpengaruh terhadap peningkatan PAD. Berdasarkan uraian tersebut di atas tampaknya sumber PAD belum dapat diandalkan dalam waktu cepat atau dalam beberapa tahun kemudian, tetapi memerlukan waktu yang cukup. Hal ini bukan berarti menutup peluang bagi daerah untuk meningkatkan PAD , banyak cara yang dapat dilakukan oleh daerah dan yang penting adalah meningkatkan kemampuan aparatur agar dapat berkreasi, inovatif dan berinisiatif, dikembangkan pola partisipasi masyarakat melalui kemitraan dan didukung pula oleh pembangunan terhadap penyediaan jasa. Akhirnya dengan dua kondisi “tidak signifikannya pengaruh dana perimbangan” dan “tidak mampunya memamfaatkan dana yang diterima”, maka mungkin akan terjadi dana perimbangan kauangan ini “ tidak akan proporsional” dengan urusan atau kewenangan yang diserahkan.
Tidak proporsionalnya perimbangan keuangan dengan urusan atau kewenangan ini dapat digambarkan sebagai berikut : ( Sumber : APBD Pemerintah Kabupaten Subang Tahun 2008, Lampiran III) 1). Dana Perimbangan hampir 60% - 75% digunakan untuk belanja pegawai, sehingga hanya 25% - 40% untuk pembangunan atau untuk pelayanan masyarakat dalam rangka mensejahterakanan masyarakat. Bahkan Taufik Rachman (Republik Online, www.Republik.co.id, Desember 2011) mengemukakan disinyalir 44 daerah otonom yang mengalokasikan anggaran 80% dari APBDnya untuk Belanja Pegawai. 2). Dari 25% -40% tersebut dibagikan ke dalam 33 urusan wajib dan 9 urusan pilihan yang melibatkan 72 satuan kerja , bilamana dibandingkan dengan total belanja APBD, maka 33 urusan memperoleh porsi belanja dibawah 0,50% , 4 urusan dibawah 1% s/d 1,5% , 1 urusan 1,92% (kesehatan), 2 urusan dibawah 3% (Pemeritahan umum 2,95% dan RSU 2,48%), Pendidikan memperoleh 5,47% dan PU untuk sarana /infratruktur memperoleh porsi terbesar 11,71%. Kiranya dari perangkaan tersebut di atas bagaimana mungkin urusan-urusan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat memenuhi sasaran secara efektif. Atau seperti dikemukan Taufik Rachman di atas sisanya 20%, bisa dibayangkan betapa rendahnya alokasi untuk belanja modal atau pelayanan publik, sehingga sulit diharapkan daerah yang bersangkutan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Banyak daerah otonom yang gagal mewujudkan mimpi mesejahterakan masyarakat, bahkan muncul tudingan bahwa daerah otonom baru justru menciptakan kantong-kantong baru penduduk miskin. (Republik Online, www.Republik.co.id, Desember 2011) 3). Sebagai perbandingan dengan uraian di atas dan sekaligus mengemukakan kondisi riel pada umumnya tentang Perimbangan Keuangan dan Pengelolaan Keuangan Daerah, kiranya relevan penulis kemukakan hasil pemeriksaan BPK atas “Penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan oleh Pemerintah Pusat” pada semester II tahun anggaran 2007, dengan hasil pemeriksaan yang signifikan dan perlu segera ditindaklanjuti adalah sebagai berikut : (htt:/www.dpr.go.id/id/berita/lain-lain/0000/00/00/444/bpk-serahkan-hasilpemeriksaan-laporan-keuangan-pemerintah-pusat) a. Tidak ada harmonisasi dan konsistensi antara Peraturan Presiden No, 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dengan Peraturan yang lebih tinggi, sehingga beberapa daerah mendapat alokasi DAU lebih dari seharusnya sebesar Rp. 168,46 milyard. b. Penghitungan DAU tidak seluruhnya didasarkan pada data dasar yang jelas. Diantaranya Data dasar berupa luas wilayah yang digunakan untuk menghitung DAU belum sepenuhnya mengacu pada PP No. 55 tahun 2005. c. Perhitungan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak mengikuti kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis yang ditetapkan, sehingga alokasi DAK tahun 2006 sebesar Rp. 1,42 trilyun dan tahun 2007 sebesar Rp, 1,07 Trilyun tidak mempunyai dasar. d. Terdapat kesalahan penghitungan alokasi DAK, sehingga 21 daerah kurang alokasi sebesar Rp. 4,22 milyard dan 15 daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp.1,26 milyard.
e. Pencairan DAK tahun anggaran 2006 tidak sesuai ketentuan dan pada akhir tahun anggaran 2006 dana tersebut menumpuk pada Kas Daerah atau Kas Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), sehingga berpotensi digunakan di luar tujuan semula. f. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) terlambat disalurkan sebesar Rp. 1,15 Trilyun dan realisasi DBH SDA Minyak bumi Triwulan I tahun 2007 yang merupakan hak Provinsi/Kabupaten/kota di Kalimantan Timur kurang disalurkan sebesar Rp. 71, 99 Milyard. g. Penerimaan Dana Perimbangan pada 45 pemerintah daerah senilai Rp. 1,54 Trilyun, dilakukan tanpa melalui kas daerah, diantaranya sebesar Rp.71,18 milyard digunakan secara langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan sebesar Rp. 149,34 milyard belum disetor ke Kas Daerah. h. Penerimaan dan Pengelolaan Upah Pajak Bumi dan Bangunan/ Bea Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan pada 90 pemerintah daerah senilai Rp. 120,88 milyard dilakukan di luar mekanisme APBD dan diantaranya digunakan langsung sebesar Rp.90,77 milyard dan sebesar Rp.19,27 milyard belum disetor ke Kas daerah.
E. PENUTUP Dengan kondisi yang telah disebutkan di atas, nampaknya kemungkinankemungkinan yang terjadi dari dana perimbangan pada saat ini tidak terlalu berpangaruh dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena sebagian besar dana tersebut hanya untuk menutupi gaji pegawai; yang akan mengakibatkan pula tidak atau belum proporsionalnya dana perimbangan tersebut dengan urusan yang diserahkan, karena terlalu sedikitnya dana dalam melaksanakan operasional dan pembangunan atau pelayanan kepada masyarakat ; ditambah dengan belum atau ketidakmampuan Pemerintah Daerah dalam memamfaatkan besarnya dana perimbangan yang diterima, sebagai akibat ketidak-mampuan didalam pengelolaan keuangan daerah Tanpa mengabaikan aspek atau permasalahan lainnya, maka dari seluruh uraian tersebut di atas jelaslah, bahwa di dalam melaksanakan kebijakan otonomi dan kemampuan keuangan guna menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan di daerah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Suatu sistem perimbangan keuangan dikatakan baik, apabila besaran dana proporsional dan menjamin terhadap penyerahan kewenangan atas sumberdaya keuangan dengan tanggungjawab pada umumnya. Di sini diperlukan konsistensi dan transparansi dari pemerintah pusat. b. Pemerintah daerah harus dapat mengatur dan memamfaatkan secara efektif dan efesien dari sumber-sumber dana yang tersedia atau diperoleh, malalui : 1). Kesiapan, kecakapan dan konsistensinya terhadap sistem pengelolaan keuangan; 2). Adanya koridor atau aturan yang dibuat berdasarkan komitmen bersama yang mengikat terhadap masing-masing pelaku kebijakan dan pengguna dana; dan 3). Moral dan kejujuran. c. Pemerintah daerah harus dapat memilih dan memilah urusan-urusan bagi terciptanya pelayanan yang dibutuhkan dan sesuai dengan keadaan atau kondisi
kemampuan saat ini; yang penting dan harus diingat bahwa kebijakan otonomi daerah bertujuan agar mendekatkan dan lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu kewenangan atau urusan yang diserahkan adalah untuk memperlancar terhadap tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam rangka pelayanan itu sendiri. d. Kembali pada konsisten dan konsekwensinya pemerintah pusat terhadap makna otonomi daerah, melalui pemberian yang seimbang terhadap kewenangan daerah dalam menggali PAD dengan pembatasan yang tidak terlalu ketat. Bagi daerah sendiri diperlukan kemapuan, kreatif dan inovatif dalam menggali sumber pendapatan .
DAFTAR PUSTAKA Admosudirdjo, Prajudi, 1989, Dasar Dasar Adiministrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia. Arsjad Nurdjaman, et. Al, 1992, Keuangan Negara, Jakarta, intermedia. Abdurrahman,et.al, 1987, Beberapa Pemikiran tentang Otonomi Daerah, Jakarta, Melton Putra. Abduh, Muhammad,1990, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Makalah disajikandalam kuliah Kursus Keuangan Daerah, Jakarta, Universitas Indonesia. Abdul Wahab Solichin,1997, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara. Baswir, Revrisond,1993, Akuntansi Pemerintahan Indonesia, Jogyakarta, BPFE Benveniste, Guy, 1994, B i r o k r a s i, Terjemahan Sahat Simamora, Jakarta, Raja Grafindo Persad. Davey, K.J, 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Terjemahan Amnullah dkk, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Djamaluddin, M Arief, 1982, Sistem Perencanaan Pembuatan Program dan Anggaran, Jakarta, Ghalia Indonesia. Due.John. F, 1985, Keuangan Negara, Terjemahan Iskandarsyah dan Arief Janin, Jakarta, UI Press.
Devas Nick,et al, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Terjemahan Masri Maris, Jakarta, UI Press. Dimock & Dimock, 1992, Administrasi Negara, Terjemahan Husni Thamrin Pane, Jakarta, Rineka Cipta. Hoorgerwerf, 1983, Ilmu Pemerintahan, Terjemah R.L.L. Tobing, Jakarta, Erlangga. Kaho. Josef. Riwu, 1997, Prosfek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada. ---------------------, 1990, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta. Kansil CST, 1984, Pokok pokok Pemerintahan di Daerah, Jakarta, Aksara Baru Kristiadi, 1999, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Konteks Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Makalah disajikan dalam Seminar Pokok Pokok Pemikiran tentang Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah dalam kerangka Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta. Mubyarto et al,1986, Meningkatkan Efesiensi Nasional, Jogyakarta, BPFE Mac. Andrews, et al, 1983, Hubungan Pusat – Daerah Dalam Pembangunan, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Pakpahan T arlen, 1999, Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Ditinjau dari Aspek Perpajakan (Tingkat Daerah), Makalah disampaikan dalam Seminar Pokok pokok Pemikiran tentang Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta. Soejito, Irawan, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah , Jakarta, rineka Cipta. Suwandi, Made, 1998, Pembenahan Birokrasi Pemerintah Daerah Dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Masyarakat, Subang, Makalah disajikan dalam rangka Wisuda dan Dies Natalis ke XVI STIA Kutawaringin. Suparmoko,1997, Keuangan Negara dalam teori dan praktek, Jogyakarta,BPFE. Sidik, Machfud, 1999, Hubungan Keuangan Pusat – Daerah Studi Empiris dan Rekomendasi Kebijakan Bagi Indonesia, Makalah disajikan dalam Seminar Pokok pokok Pemikiran tentang Perimbangan Keuangan Pusat – Daerah dalam rangka NKRI, Jakarta. Syafrudin. Ateng, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Indonesia, Bandung, Transito. Suradinata Ermaya, 1998, Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Bandung, Ramadan.
Undang –Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah Undang – Undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang – Undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Undang – Undang No. 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005, tentang Dana Perimbangan Republik Online (www.repubikonline.co.id)
Lampiran I APBD Kabupaten Subang Tahun 2008 dan 2011 (!.000.000) URAIAN I. PENDAPATAN 1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan 3. Lain- lain Pendapatan
II. BELANJA 1. Belanja 2. Belanja 3. Belanja 4. Belanja
Pegawai Barang/Jasa * Modal * Bantuan-bantuan
Perbandingan Belanja Pegawai dengan Dana Perimbangan
APBD 2008
%
APBD 2011
%
61.201 7,04 83.265 6,37 869.553 87,06 1.034.449 79,09 19.255 5,9 190.214 14,54 ---------------------------------------------------------- -----998.791 100 1.307.927 100 ================================ 580.702 53,75 752.170 57,41 127.859 11,83 193.195 14,75 201.901 18,69 212.223 16,20 169.978 15,73 152.589 11,64 -----------------------------------------------------------1.080.440 100 1.310.178 100 ============================== 581 : 869 X 100%= 752 : 1034 X 100% = 66,78 72,71
Keterangan * : Dalam belanja Barang/jasa dan modal masih ada unsur belanja pegawai, misalnya honor untuk panitia pelelangan, honor penerima dan pemeriksa barang (meskipun mereka dapat pula tunjangan daerah); sehingga jumlah prosentase akan lebih besar
Lampiran II. APBD Kota Semarang Tahun 2011 (!.000.000) URAIAN I. PENDAPATAN 1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan 3. Lain- lain Pendapatan
II. BELANJA 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang/Jasa *
APBD 2011
%
427.312 24,94 953.040 55,62 333.229 19,44 ---------------------------------------------------------- -----1.713.581 100 ================================ 1.007.975 49,87 505.882 25,03
3. Belanja Modal * 4. Belanja Bantuan-bantuan
Perbandingan Belnaja Pegawai dengan Dana Perimbangan
338.248 16,74 168.997 8,36 -----------------------------------------------------------2.021.102 100 ============================== 1.007.975 : 953.040 X 100% = 105,76 %
Lampiran III Belanja berdasarkan Fungsi (non gaji) 2008 Kabupaten Subang (Dlm Rp.!.000.000) Berdasarkan Fungsi
1). Pelayanan Umum a. Pemerintahan Umum b. Perencanaan Pembangunan c. Bappeda d Perhubungan (DLAJR) e Kependudukan/Casip f. Keluarga Berencana g. Kepegawaian h BPMD i. Arsip j. Sekretaris DPRD k. Sekretaris daerah l Bawasda m. KDH/Wakil n. Keuangan o Pendapatan daerah p Kecamatan-kecamatan q. Infokom Jumlah 1 2). Ketertiban dan Ketentraman a. Pol PP b. Kesatuan Bangsa c. Perlindungan Masyarakat Jumlah 2 3). Ekonomi a. Koperasi & UKM b. Tenaga Kerja c. Penanaman Modal & Perijinan d. Pertanian e. Kehutanan f. Energi & SD Mineral g. Kelautan dan Perikanan h. Perindustrian & Perdagangan
Nilai
%
% dari Total U r u s- % dari Total APBD Blnja Operasi an Rp. 1.080.440 (non B. Modal)
31.826 9,04 3.638 1,03 1.279 0,36 716 0,20 735 0,21 2.689 0,76 2.609 0,74 1.154 0,33 368 0,10 11.543 3,28 11.438 3,25 317 0,09 927 0,26 1.317 0,37 744 0,21 5.542 1,57 384 0,11 77.226 21,94
3,63 0,41 0,14 0,08 0,08 0,31 0,30 0,13 0,04 1,32 1,30 0,04 0,11 0,15 0,08 0,63 0,04 8,81
616 0,18 0,07 1.476 0,42 0,17 207 0,06 0,02 2.299 0,65 0,26 1.248 819 805 4.612 1.036 1.318 3.363 758
0,36 0,23 0,22 1,31 0,29 0,37 0,96 0,21
0,14 0.09 0,09 0,53 0,12 0,15 0,38 0,08
wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib wajib pilihan pilihan pilihan pilihan pilihan
2,95 0,34 0,12 0,06 0,07 0,25 0,24 0,11 0,03 1,07 1,06 0,02 0,09 0,12 0,07 0,51 0,04 7,15 0.06 0,14 0,02 0,21 0,12 0,08 0,07 0,43 0,10 0,12 0,31 0,07
j. Penyuluhan 1.383 0,39 0,16 pilihan 0,13 Jumlah 3 17.500 4,97 1,99 1,62 4). Lingkungan Hidup 1.007 0,29 0,11 wajib 0,09 5). Perumahan dan Fasilitas Umum a. Fasilitas umum (DPU) 126.539 35,95 14,43 wajib 11,71 b. Bina Marga 15.817 4,49 1,80 wajib 1,46 c. Perumahan 2.061 0,58 0,23 wajib 0,19 d. Tata ruang 771 0,21 0,09 wajib 0,07 Jumlah 5 145.188 42,25 16,55 13,44 6) Kesehatan a. Kesehatan 20.738 5,89 2,36 wajib 1,92 b. RSU Subang 26.832 7,62 3,06 wajib 2,48 Jumlah 6 47.570 13,51 5,42 4,40 7). Pariwisata & Budaya 602 0,17 0,07 pilihan 0,06 8). Pendidikan a. Pendidikan 59.150 16,80 6,74 wajib 5,47 b. Akper 214 0,06 0,02 pilihan 0,02 c. Perpustakaan 9 0,00 0,00 pilihan 0,00 Jumlah 8 59.373 16,87 6,77 5,49 9) Perlindungan Sosial 1.227 0,35 0,14 wajib 0,11 ----------------------------------------------------------------------------Jumlah Total 351.992 100,00 40,13 32,58 =====================================
ANALISA TERHADAP KONDISI PEROLEHAN PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DAN KONDISI PENGGUNAANNYA DI DAERAH. Sebagai gambaran bahwa kondisi yang “tidak terlalu berpengaruh”, “belum proporsionalnya” dan “daerah belum memamfaatkan secara optimal” dari “dana perimbangan keuangan” yang diterima daerah, dapat dijelaskan melalui analisa pada struktur APBD Tahun 2008 dari suatu Kabupaten X , sebagai berikut : I. PENDAPATAN Dari
jumlah
pendapatan
sebesar
Rp.
982.898.324.980,-,
sebesar
Rp
923.546.789.886,- atau 93,97 % dari Perimbangan dan Lain-lain pendapatan yang sah (Pendapatan lain-lain yang sah ini sebagian besar merupakan bagi hasil dan daerah,
oleh
karena
itu
penulis
menganggap
pendapatan
ini
merupakan
perimbangan keuangan juga), sehingga 6,03 % yang diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PADS) yang merupakan ukuran kemampuan daerah; bahkan bila ditelusuri lagi dalam PADs seesar Rp 59.251.535.094 (6,03%) tersebut terkandung pendapatan dari RSU sebesar Rp. 23,459.345.712,- yang harus dikembalikan lagi ke RSU seluruhnya, maka besarnya PADS ini hanya Rp 35.792.189.382 atau 3,64 %.
Kemudian penulis mencoba menelaah APBD tahun 2011, kondisinya tidak jauh berbeda meskipun PADS naik menjadi Rp 83.264.827.165, tapi tetap hanya memberikan
konstribusi
sebesar
6,37
%
dari
total
pendapatan
Rp
1.307.927.222.126, selebihnya merupakan pendapatan dari perimbangan dan transfer sebesar 93,63 %. Juga dari konstribusu sebesar 6,37% tersebut termasuk di dalamnya penghasilan dari RSU yang harus dikembalikan, sehingga kontribusi dari PAD ini terhadap total APBD hanya kurang lebih 4% saja. Kondisi tersebut, jelas sangat memprihatinkan. Kemampuan daerah tidak ada perubahan secara signifikan, padahal kita ketahui pelaksanaan otonomi daerah sudah berjalan hampir 12 tahun sejak terbitnya UU no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
II. BELANJA. Jumlah Belanja dalam APBD 2008 diluar belanja bantuan sosial, hibah dan belanja tidak terduga sebesar Rp. 952,692.089.824,- , dari jumlah tersebut untuk belanja pegawai sebesar Rp 568.416.866.127,- atau 59,66%, sisanya sebesar Rp.384.275.223.697,- atau 40,34 % merupakan belanja langsung berupa belanja operasional kegiatan dan belanja modal. Dari jumlah belanja langsung tersebut bila ditelaah pada belanja masing-masing dinas atau SKPD (terutama skpd yang menyerap APBD paling besar yaitu :Diknas, DinKes, PU dan Pemerintahan umum yang jumlahnya hampir 62,84 % dari APBD), maka pada umumnya hampir 20 % belanja operasi kegiatan dan belanja modal untuk keperluan aparatur, sisanya untuk belanja kepentingan publik; dengan demikian belanja langsung (baik untuk operasi maupun untuk belanja modal) untuk keperluan publik hanya Rp 307.420.178.957,(80% dari Rp 384.275.223.697), atau apabila dibandingkan dengan total belanja hanya 32,27 %. Jadi dengan demikian dari total belanja, hampir 67,73 % untuk keperluan belanja aparatur yang berupa gaji dan belanja langsung aparatur, dan sisanya 32,27% merupakan belanja langsung yang menyentuh kepentingan publik. Pada uraian belanja tersebut di atas, penulis tidak memasukan belanja bantuan sosial, hibah dan belanja tidak terduga, karena di dalam belanja tersebut terdapat
unsur dana dari pusat atau provinsi, dan sebagian besar cenderung memiliki atau dipengaruhi suasana politik dari aktor-aktor politik baik dari kepala daerah maupun anggota legislatif. Demikian pula pada anggaran 2011, tampaknya tidak jauh berbeda dengan anggaran tahun 2008, dari total belanja tanpa belanja bantuan sosial, hibah dan belanja tidak terduga untuk belanja pegawai sebesar Rp 752.170.039.610,- atau dari adapun yang menyentuh kepentingan publik antara 30 – 40 % saja dari total belanja. Selanjutnya penulis mencoba menguraikan belanja berdasarkan belanja “urusan wajib” dan “urusan pilihan”. Berdasarkan data anggaran tahun 2008, belanja berdasarkan “urusan wajib” (termasuk belanja pegawai/gaji) yang dibandingkan dengan total belanja, maka terdapat 4 (empat) urusan wajib yang menyerap anggaran yang cukup besar, yaitu : Belanja Pendidikan 44,04 %, Pekerjaan Umum 15,95 %, Pemerintahan Umum 12,25% dan belanja Kesehatan 10,85%. Sisanya 20 urusan wajib memperoleh belanja berkisar antara 0,14 % s/d 2,44%, dimana 2 urusan wajib di atas 2% yaitu kepegawaian dan perumahan rakyat (2,14 %), adapun yang 18 urusan wajib ratarata di bawah 1% antara 0,14% s/d 0,87%. Sedangkan urusan pilihan rata-rata menelan belanja antara 0,18% s/d 1,05%, yang paling besar adalah urusan pilihan pertanian (1,05%). Selanjutnya apabila belanja urusan wajib tersebut tanpa gaji, maka belanja yang terbesar adalah Pekerjaan Umum 44,46%, Pendidikan 18,47%, Kesehatan 14,85% dan Pemerintahan Umum 10,13%. 20 urusan wajib dengan belanja di atas 1% adalah Bappeda 1,54%, kependudukan/Casip 1,07% dan sisanya 18 urusan wajib dibawah 1% yaitu 0,12% s/d 0,84%. Dari uraian perangkaan tersebut di atas menjelaskan kepada kita bahwa : 1.
Perimbangan
keuangan
“belum
atau
tidak
terlalu
berpengaruh/mendukung terhadap penyelenggaraan otonomi daerah”, hal ini ditandai dengan jumlah PADS yang memberikan konstribusi hanya sebesar 6% dari total pendapatan. PADS ini merupakan salah satu indikator dari kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonominya (Kaho, 1988 :177). Jadi ketergantungan Daerah kepada pemerintah pusat masih sangat tinggi,
padahal pelaksanaan otonomi sudah berjalan 12 tahun. Sementara itu dana perimbangan itu sendiri, hampir 60% -70% untuk belanja pegawai (gaji), sehingga perimbangan keuangan ini hanya sekedar perpindahan daji yang semula (sebelum otonomi) dilaksanakan oleh pemerintah pusat. 2. Perimbangan
keuangan
“belum
proporsional
diserahkan”, hal ini ditandai dengan besarnya
dengan
urusan
yang
belanja pada masing-masing
urusan wajib. Dari 24 urusan wajib, terdapat empat urusan wajib yang menyerap belanja paling besar yaitu Pendidikan, kesehatan, Pekerjaan umum dan Pemerintahan umum yang besarnya antara 10% s/d 45% dari total belanja, sisanya 20 urusan wajib hanya menyerap belanja dibawah 2% (2 urusan wajib) atau bahkan dibawah 1% (16 urusan wajib). Terlepas dari terukurnya atau tidaknya sasaran utama pada empat urusan wajib tersebut di atas, tanpak urusan wajib lainnya terkesan dipaksakan masuk dalam pembentukan kelembagaan di daerah, meskipun sebenarnya belum saatnya urusan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, atau urusan tersebut dapat dilaksanakan melalui lembaga atau unit kerja yang lebih kecil, tidak perlu berbentuk Dinas. 3. Belum
mampu
atau
Daerahmemamfaatkanbesarnya
ketidakmampuan dana
perimbangan
Pemerintah yang
diterima,
sebagai akibat ketidakmampuan didalam pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Kompetensi sumber daya manusia
di bidang pengelolaan keuangan
merupakan kendala atau hambatan utama hampir seluruh pemerintah daerah, pada umumnya baik kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia terbatas bahkan mungkin kurang, sehingga pemperburuk dalam pengelolaan keuanagn. Buruknya pengelolaan keuangan ini tercermin dari hasil pemeriksaan BPK yang mengundang keprihatinan Menteri Keuangan Sri Mulyani, betapa tidak dalam rentang 5 tahun yaitu dari 2004 hingga tahun 2007/2008, dari 324 LKPD yang diperiksa BPK 98,3% memiliki LKPD yang kurang baik atau mungkin pula buruk.Kompentensi
ini
bukan
saja
kepintaran
(profesionalisme)
atau
kemamuan (skill) tapi juga disertai moral, Nunuy (2004 : 26) mengemukakan pendapat dari Baban Sobandi,
empat karakteristik etika tersebut (Sidiq,
amanah, tabligh dan fathonah) yang lebih menegaskan, bahwa bukan hanya kompentensi berdimensi keahlian dan ketrampilan y ang diperlukan dalam pengembangan
aparatur
pemerintah
daerah,
namun
juga
etika
yang
berdasarkan moralitas profetik (sifat yang dimiliki para nabi dan rosul), sehingga ada keseimbangan antara profesonalisme dan moralitas. b. Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan keuangan selalu berubah Sebagaimana diuraikan di atas 70 – 75% APBD adalah untuk Belanja pegawai (gaji), sehingga hanya 25 – 30% untuk belanja pembangunan dan kemasyarakatan atau untuk belanja publik. Dari jumlah 25 – 30 % tersebut, hampir sebagian besar atau 88,91%-nya untuk anggaran 4 (empat) Dinas/skpd/urusan (yaitu : PUK, Pendidikan, Kesehatan , dan Pemerintahan Umum), jadi sisanya 24 urusan atau setara dengan 30 dinas/skpd/satker hanya memperoleh 11,09% anggaran
belanja
Penyebabnya
pembangunan
adalah;
pertama
atau
kemasyarakatan.(belanja
pembentukan,
pengembangan organisasi /lembaga /dinas/unit kerja
penambahan
publik). atau
yang mengakibatkan
jumlah struktur jabatan bertambah, penambahan PNS terutama dari pemutihan kontrak kerja (secara bertahap dari tahun 2003 s/d 2009); kedua hal tersebut kurang matang diperhitungkan dan sekaligus juga mengakibatkan pengeluaran belanja pegawai membengkak (apakah di sini peran bidang keuangan dilibatkan ?).