M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
KAJIAN ARKEOLOGI KEWILAYAHAN PAPUA: HASIL-HASIL, STRATEGI DAN PROSPEK M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto (Balai Arkeologi Jayapura)
Abstract Based on the results achieved demonstrate the scope of the research and development of archaeological studies covering seven themes, namely: (i) human and cultural end of the Pleistocene, (ii) human and Austronesian culture, (iii) the early history of civilization, (iv) the influence of Islamic civilization (v) the influence of colonial civilization, (vi) assessment of public archeology, and (vii) maritime archeology. Jayapura Archeology do four step strategy of dividing the focal areas of research, establish policy follows national archaeological assessment, which consists of nine themes, conduct integrated research, mapping the research level typology of three types: (i) basic research / pure research (ii) research applied (iii) ad hoc research. In addition to research in rural areas also need to be conducted in the coastal areas tertama outer islands of Papua. Key word: archaeology research, papua island, prospect Pendahuluan Penelitian kewilayahan di Papua telah menjadi kebijakan dalam kerangka sembilan tema kajian arkeologi Indonesia. Pemetaan enam wilayah kajian Balai Arkeologi Jayapura sejak 2008 merupakan langkah awal strategi implementasi konsep dan teori penelitian kewilayahan. Kawasan kajian yang telah dipetakan sudah diketahui ada sembilan pulau terluar berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 yang berbatasan dengan negara Palau, Australia, dan Papua New Guinea. Dengan pemetaan tersebut, telah diidentifikasi sejumlah kultur area yang berhubungan dengan proses interaksi dua ras Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012
1
M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
besar (Austronesia-Melanesia) dengan mengungkap puluhan situs baru yang potensial dikembangkan untuk kepentingan penguatan karakter dan integrasi bangsa, pengenalan asal-usul manusia, dan kebudayaannya, serta destinasi wisata (ekonomi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari masa akhir plestosen, diperkirakan okupasi awal di Papua paling tua 40.000 tahun yang lalu (Simanjuntak, 1997:1). Sejumlah bukti arkeologisnya sudah ditemukan meski masih perlu lebih penelitian lanjutan. Penelitian ke depan berkaitan dengan masa akhir pleistosen berupa hunian di kawasan Kepala Burung, Teluk Cenderawasih, dan Teluk Bintuni; ceruk dan gua dengan rock-art beserta artefak lainnya di hampir semua kawasan pantai Papua, terutama Biak, Supiori, Kaimana, Fak-Fak, Teluk Bintuni dan lain-lain. Ekspansi Austronesia sejak 2000 tahun silam, juga ditemukan jejaknya di pantai utara (Danau Sentani) dan Kepala Burung (Danau Ayamaru). Namun hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa nampak Papua tidak mudah ditembus karena di pedalaman hampir merata ditemukan berkembangnya pertanian non biji-bijian secara mandiri (Bellwood, 2000: 445), Bentang alam yang menyebabkan pengaruh Austronesia tidak sampai di Pegunungan Tengah, ditunjukkan hasil studi arkeologi di Pegunungan Bintang dan Jayawijaya dan etno-arkeologi di Paniai, Deiyai dan Tolikara. Pengaruh Hindu/Budha masa berikutnya tidak tampak sama sekali, sementara pengaruh Islam baru pada abad XVII Masehi dapat menjangkau Papua sebagai akibat dari ekspansi Kesultanan Ternate dan Tidore, namun hanya dapat menjangkau kawasan Kepala Burung, pantai baratdaya beserta pulau-pulaunya. Blokade alam baru berhasil ditembus ke hampir semua pusat kebudayaan Papua - sampai pedalaman Pegunungan Tengah - ketika Belanda pada akhir abad XIX dan awal abad XX melakukan kolonisasi dengan membawa pengaruh peradaban Eropa dengan ciri bangunan Indis-nya yang menjadi cikal-bakal kota pemerintahan, terutama di Jayapura, Manokwari, Biak, Sorong, Merauke, Fak-Fak, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Kaimana, dan Boven Digul. Kendala dalam penelitian arkeologi di Papua adalah medan yang cukup sulit dan transportasi yang kurang memadai. Dalam tulisan ini akan didiskusikan pula prospek tindak lanjut kajian yang mengarah ke aspek pengembangan (arkeologi publik) pasca penemuan situs dalam suatu kawasan, konsep prioritas kegiatan jangka menengah, serta pengembangan pengelolaan data dan informasi hasil penelitian untuk memenuhi kebutuhan stakeholders. Hasil yang dicapai masih jauh dari ukuran potensi yang dimiliki 2
Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012
M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
Papua. Oleh karena itu tulisan ini akan menggambarkan hasil-hasil yang telah dicapai dan strategi. Hasil Penelitian Sejak 1996 Balai Arkeologi Jayapura telah melaksanakan penelitian yang menjangkau 27 kabupaten. Berdasarkan hasil-hasil yang dicapai memperlihatkan lingkup kajian penelitian dan pengembangan arkeologi, yaitu: (i) Manusia dan budaya akhir Pleistosen, kajian dalam lingkup ini meliputi migrasi nenek moyang orang Papua, situs gua maupun situs terbuka yang menjadi tempat okupasi penghuni pertama Papua. Situs di Papua yang memiliki pertanggalan yaitu Situs Gua Toe dan Situs Gua Kria di Kepala Burung yang bertarikh 26.000 BP (Pasveer, 2003). Situs-situs arkeologis yang pernah diteliti Balai Arkeologi Jayapura berkaitan lingkup kajian ini terdapat di Kabupaten Jayawijaya, Fak-Fak dan Biak. Pada gua dan ceruk tersebut ditemukan alat serpih, alat tulang, alat kerang dan rock art. (ii) Manusia dan budaya berpenutur Austronesia diperkirakan bermigrasi 3500 tahun yang lalu. Penelitian yang menghasilkan ciri-ciri berpenutur Austronesia terdapat di pesisir Papua. Situs-situs yang pernah diteliti oleh Balai Arkeologi Jayapura diantaranya Danau Sentani, Pulau Misool, Pulau Batanta, Fak-Fak, Biak, dan Kaimana. Temuantemuannya berupa fragmen gerabah berwarna merah, rock painting, gelang kerang, benteng, meja batu, menhir, dan fragmen tulang manusia (Tim Penelitian, 2010a). (iii) Peradaban Awal Sejarah, ditemukan pada beberapa situs arkeologi di pesisir Papua misalnya situs-situs di Kawasan Danau Sentani, Kawasan Danau Ayamaru, dan Pulau Batanta Raja Ampat. Temuan berupa gerabah, kapak perunggu, perhiasan perunggu, manik-manik, gelang kerang, benteng, batu asah, menhir, batu meja, dan tulang manusia (Tim Penelitian, 2010b). (iv) Peradaban pengaruh Islam ditemukan pada situs-situs di wilayah pesisir Kepala Burung, yang secara geografis memiliki kedekatan dengan wilayah Maluku. Penelitian arkeologi pengaruh Islam di Papua meliputi kawasan Kabupaten Raja Ampat, Fak-fak, Kaimana dan Sorong Selatan. Temuan-temuannya berupa makam, mimbar, masjid, naskah-naskah kuno, dan meriam.
Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012
3
M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
(v) Peradaban pengaruh kolonial ditemukan pada situs-situs di Kabupaten Merauke, Pulau Doom Kota Sorong dan Teluk Bintuni dan Boven Digul. Temuannya berupa gereja, rumah sakit, rumah bulat, pelabuhan, benteng pertahanan, bandara, asrama kesusteran, perumahan pegawai, sumur, tangki minyak, gudang logistik, pos jaga, dan rumah tahanan (Tim Penelitian, 2010c). (vi) Etnoarkeologi, tradisi masa lalu masih berlangsung hingga saat ini pada beberapa etnik di Papua. Hal ini terdapat pada Suku Marind-Anim di Okaba Merauke, Suku Moi di Sorong, Suku Mee di Paniai, Suku Hattam di Manokwari, Suku Dani di Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya, Suku Biak di Kabupaten Biak, Suku Lani di Lanyjaya, Suku Serui di Yapen, Suku Inanwatan di Sorong Selatan, Suku Biak di Kabupaten Supiori, Suku Dani di Kabupaten Tolikara, dan Etnis Tionghoa di Kabupaten Yapen, Suku Asmat di Kabupaten Asmat. Hasil penelitian berupa alat batu, alat tulang, alat berburu, alat musik, alat penokok sagu, patung totem dan simbol, alat perang, alat pembuat api tradisional, alat memasak, alat bercocok tanam, dan kapak batu. Berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi yang dicapai memperlihatkan bahwa dari sembilan lingkup kajian arkeologi, hanya ada tujuh yang memiliki prospek dalam penelitian dan pengembangan di Papua ke depan, yaitu: (i) manusia dan budaya akhir plestosen; (ii) manusia dan budaya berpenutur Austronesia; (iii) peradaban awal sejarah; (iv) peradaban pengaruh Islam; (v) peradaban pengaruh kolonial; (vi) kajian arkeologi publik; dan (vii) arkeologi maritim. Lingkup kajian yang belum dilaksanakan penelitian oleh Balai Arkeologi Jayapura adalah arkeologi publik dan arkeologi maritim, untuk itu pada tahun-tahun mendatang perlu dilakukan penelitian arkeologi publik dan arkeologi maritim. Strategi Penelitian Wilayah Papua yang luas dan kondisi geografi yang sulit dijangkau serta sarana transportasi yang kurang memadai, serta potensi arkeologi yang banyak, Balai Arkeologi Jayapura melakukan empat langkah strategi. Pertama, pembagian fokus wilayah penelitian. Strategi ini terkait dengan populasi situs yang banyak, sehingga mungkin saja ada kabupaten yang mewakili karakteristik budaya yang lain. Disamping itu, pada 4
Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012
M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
tahun-tahun mendatang perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif di daerah-daerah pedalaman dan kabupaten baru hasil pemekaran. Hal ini bertujuan untuk memperoleh jumlah situs yang potensial untuk dikembangkan oleh pemerintah daerah, Balai Arkeologi Jayapura dan instansi terkait. Kabupaten-kabupaten yang perlu dilakukan penelitian di tahun-tahun mendatang diantaranya, Kabupaten Ndunga, Dogiyai, Pegunungan Arfak, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Yalimo, Yahukimo, Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, Mappi, Sorong Selatan, dan Tambrau. Strategi kedua, menetapkan mengikuti kebijakan kajian arkeologi nasional, yang terdiri dari sembilan tema. Meskipun demikian untuk wilayah Papua hanya menerapkan tujuh tema. Pada tahun 2011 Balai Arkeologi Jayapura melakukan penelitian di sepuluh kabupaten, yang berkaitan dengan tujuh lingkup kajian arkeologi nasional. Kabupaten yang dijadikan sebagai lokasi penelitian 2011 adalah Sentani, Kabupaten Jayapura (peradaban awal sejarah), Biak (manusia dan budaya berpenutur Austronesia), Kaimana (CRM), Raja Ampat (CRM), Teluk Wondama (peradaban pengaruh kolonial), Keerom (prasejarah), Pegunungan Bintang (prasejarah), Waropen (prasejarah), Nabire (prasejarah), dan Fakfak (Islam). Balai Arkeologi Jayapura tahun 2012 belum melakukan kajian maritim, karena sumberdaya manusia belum memadai dan peralatan yang dibutuhkan belum tersedia. Oleh karena itu diperlukan pelatihan yang berkaitan dengan pendidikan dan latihan selam, pengadaan peralatan yang dibutuhkan untuk kajian-kajian tersebut. Pengembangan studi maritim di masa akan datang diperlukan karena Papua memiliki prospek dengan penemuan-penemuan bukti kontak luar dengan pelayaran jarak jauh, Asia Tenggara, Pasifik, dari jaman prasejarah hingga kolonial. Strategi ketiga, mengadakan penelitian terpadu. Penelitian terpadu bertujuan untuk berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain dan institusi yang berbeda dan melibatkan masyarakat. Strategi keempat, melakukan pemetaan tipologi tingkatan penelitian tiga jenis: (i) basic research/penelitian murni (ii) penelitian terapan (iii) penelitian ad hoc. Basic researh berupa survei, eksplorasi, dan ekskavasi yang bertujuan untuk mengetahui potensi tinggalan arkeologi di suatu daerah, terutama dilakukan di kabupaten/kota di Papua yang belum pernah dilakukan penelitian arkeologi. Sementara penelitian terapan merupakan kajian Cultural Resource Management (CRM), berdasarkan pengelolaan dan pengembangan hasil penelitian. Penelitian ad hoc dilakukan jika ada masalah-masalah Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012
5
M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
mendesak yang harus ditangani, laporan penduduk, perlu dilakukan penelitian bersama dalam bentuk kemitraan. Strategi kelima, pendayagunaan pokja penelitian. Dalam menjalankan strategi ini mula-mula pokja peneliti menerbitkan Standar Operasional Prosedur Penelitian (SOP), yang berisi langkah-langkah, dan aturan-aturan yang harus ditaati oleh staf Balai Arkeologi Jayapura dalam melakukan penelitian. Mulai dari tingkat perencanaan penelitian hingga seminar hasil penelitian. Penelitian-penelitian yang dilakukan sejak 2008 sudah termasuk kajian kawasan dengan dengan pembagian wilayah kajian. Sampai tahun 2010, Balai Arkeologi Jayapura baru melakukan basic research, mulai 2011 melakukan kajian lebih analitis dan arkeologi terapan sesuai dengan kebijakan arkeologi Badan Pengembangan Sumberdaya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Selain penelitian di daerah pedalaman juga perlu dilakukan di daerah pesisir tertama pulau-pulau terluar Papua yang belum dilakukan penelitian adalah Pulau Yos Sudarso di Merauke, pulau-pulau kecil di sekitar Pasifik yang berbatasan dengan Philipina, Papua New Guinea dan Australia. Hanya saja untuk wilayah Papua terdapat kendala transportasi yang sangat mahal untuk menjangkau pulau-pulau terluar. Kendala lainnya dalam penelitian arkeologi di Papua adalah belum adanya dating dan tenaga ahli yang untuk mengetahui kronologi. Selain itu masih diperlukan pengembangan analisis untuk mengetahui ras manusia perlu dilakukan analisis tulang secara lebih mendalam dan analisis pertanggalan karbon. Demikian pula untuk mengetahui jenis binatang yang ditemukan di situs maka perlu dilakukan analisis tulang binatang di laboratorium. Rekomendasi - Perlu dukungan Dirjen Kebudayaan dan Pusat Arkeologi Nasional atas model penelitian kawasa]n yang bersifat tematis tanpa dibatasi wilayah administrasi, kabupaten/kota. Misalnya, kajian Austronesia dapat menjangkau daerah administrasi terkait dengan manajemen teknis dan pembagian tim ke berbagai wilayah berdasarkan data dasar yang sudah dimiliki Balai Arkeologi Jayapura. - Perlu Pusat Arkeologi Nasional mengembangkan laboratorium yang dapat memberi dukungan analisis data arkeologi terutama analisis sedimen, pertanggalan baik dating c-14, polen, potassium argon, dan lain-lain. 6
Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012
M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
- Perlu kebijakan yang dapat menghimbau pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota agar memberi dukungan kebijakan penelitian dan pengembangan hasil-hasil penelitian arkeologi dalam bentuk peraturan menteri, dan lain-lain. - Perlu Balai Arkeologi terlibat dalam penguatan pengetahuan masyarakat lokal atas sumber-sumber dan warisan budayanya melalui workshop karena banyak daerah yang sulit dijangkau dan membutuhkan informasi awal dari masyarakat. - Perlu Balai Arkeologi lebih mendaya gunakan hasil-hasil penelitian untuk kepentingan pengembangan destinasi pariwisata. - Perlu Balai Arkeologi Jayapura meningkatkan pemanfaatan hasil penelitian dalam berbagai bentuk media. - Permasalahan yang menyangkut kepentingan masyarakat perbatasan, antara lainnya danya fenomena degradasi kesadaran kebangsaan, khususnya di wilayah perbatasan, tidak adanya kepastian hukum disebabkan kurangnya informasi yang ada di masyarakat terutama tentang peraturan perundang-undangan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, untuk mengatasi persoalan ini perlu ada workshop lintas stakeholder dan melibatkan masyarakat yang tinggal di perbatasan.
DAFTAR PUSTAKA Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pasveer, Juliette. 2003. The Djief hunter. 26.000 year old lowland rainforest exploitation on the Bird’s Head of Papua, Indonesia. Rijksuniversiteit Groningen (diss). Simanjuntak, Harry Truman. 1997. “Review of The Prehistory of Irian Jaya” dalam Jelle Miedema. Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia. Proceedings of the Conference. Leiden, 13-17 October. Soejono, R.P. 1994. “Prasejarah Irian Jaya” dalam Koentjaraningrat (ed.). Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Djambatan. Suroto, Hari. 2010. Prasejarah Papua. Denpasar: Udayana University Press.
Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012
7
M. Irfan Mahmud dan Hari Suroto Kajian Arkeologi Kewilayahan Papua
Tim Penelitian. 2010a. Penelitian Arkeologi Prasejarah di Pulau Misool, Raja Ampat. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Tidak Terbit Tim Penelitian. 2010b. Penelitian Arkeologi Prasejarah di Danau Sentani. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Tidak Terbit. Tim Penelitian. 2010c. Penelitian Arkeologi Kolonial di Kota Merauke. Laporan Penelitian Balai Arkeologi Jayapura. Tidak Terbit.
8
Papua TH. IV NO. 1 / Juni 2012