Kaji-Tindak Partisipatif Modifikasi Tradisi Neno Bo’ha untuk Peningkatan Gizi Ibu dan Bayi di Kecamatan Mollo Tengah, TTS – NTT Ferry Ferry Karwur1,2, Venti Agustina1, Kristiani Desimina Tauho1, Dhanang Puspita1,2, Sanfia Tesabela Messakh1, Rosiana Eva Rayanti1, R.N.L.K Retno Trihandhini1, Herman Sudiman3, 1
Fakultas Ilmu Kesehatan-Universitas Kristen Satya Wacana Program Studi Magister Biologi-Universitas Kristen Satya Wacana 3 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Alamat kontak:
[email protected] 2
Abstrak Persoalan kematian ibu dan anak di NTT merupakan concern provinsi dan nasional. Faktor penting yang memberikan kontribusi pada keadaan ini adalah faktor kemiskinan yang merupakan hasil dari bekerjanya sejumlah variabel secara simultan: ekonomi, sosial kultural, demografi dan daya dukung lingkungan fisik, serta tentu faktor kebijakan. Tradisi Neno Bo’ha adalah tradisi 40 hari melahirkan dengan sejumlah komponennya. Upaya Kaji-tindak partisipatif dengan modifikasi tradisi Neno Bo’ha khususnya modifikasi makanan Jagung Bose dengan penambahan bahan makanan yang meningkatkan nilai gizi makanan. Birokrat dan pemangku adat merespos secara positif atas upaya kaji-tindak partisipatif modifikasi Jagung Bose yang dipraktikkan dalam tradisi Neno Bo’ha. Sebelas ibu melahirkan berpartisipasi dalam kaji-tindak ini dan melaksanakan kegiatan memodifikasi makanan yang dimakan selama 40 hari. Modifikasi ini meningkatkan keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi dengan kisaran keanekaragaman 4–6 jenis bahan makanan per hari, meningkatkan nilai gizi makanan yang dikonsumsi. Dari kesebelas ibu yang berpartisipasi, status gizi ibu dalam keadaan status gizi normal. Kata kunci: Jagung-Bose, Neno-Boha, Mollo Tengah.
Abstract Child and maternal death in Nusa Tenggara Timur are of provincial and national concerns. Important factor contributing to this condition is poverty resulted from some underlying factors that works simultaneously. They are economy, socio-cultural, demography, physical supports and developmental policy factors. Neno Bo’ha is a tradition of 40 days of delivering baby and caring of mother and baby practicing by the people of Atoin Meto in Timor Island. This participatory action-research aimed at modifying the tradition especially their tradition to consume pen bose during 40 days postpartum period. The focus of the intervention was on modifying kind of food, the way they are prepared, and the way they are consumed by the mothers who give baby; with the purpose increasing nutritious value of consumed food. Formal leaders (bureaucrates), cultural leaders, health workers at village level and at Primary Heath Care at Central in Mollo Subdistrict gave positive responses and took part actively in the research. Eleven mother took part as the participants in this research. They were involved in modifying the pen bose by adding other food sources and kind, amount, way of cooking, and consumptions during 40 days of Neno Bo’ha practices. This intervention increased food diversity with an average of 4 to 6 food sources per day. It also increased food quality and consumption comparing to consumming pen bose alone. Measuring mother nutritious status, all 11 mothers are in normal nutrition status. Key words: Neno Bo’ha, Mollo Tengah, Pen Bose, Action Research
1
Pendahuluan Gizi kurang di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu persoalan penting di Indonesia. Hasil penelitian Riskesdas (2013) menempatkan NTT sebagai provinsi dengan status gizi balita terjelek menurut indikator beratbadan per umur (BB/U) dan tinggi-badan per umur (TB/U), kecuali jika menggunakan indikator berat-badan per tinggi badan (BB/TB) yang menempatkan NTT pada urutan 5 terakhir setelah Riau, Aceh, Maluku, dan Kalbar. Permasalahan gizi di NTT terjadi hampir merata di semua kabupaten/kota. Di 15 kabupaten, persoalan gizi berada pada status akut dan kronis (Riskesdas, 2007). Persoalan gizi dimaksudkan terjadi terutama pada ibu, bayi, dan anak-anak, sebagaimana tergambar dalam indikator status gizi berikut: bayi berat lahir rendah (BBLR), kekurangan energi kronik (KEK), anemia (kekurangan zat besi), kekurangan yodium dan kekurangan vitamin A. Presentasi tertinggi yaitu KEK pada ibu 21,6%, ibu hamil dengan resiko tinggi 13, 2% dan BBLR 4,6% (Depkes, 2012). Akibat-akibat lanjut dari gizi kurang dan apalagi buruk menyebabkan sejumlah persoalan tumbuh-kembang anak (Schroeder, 2008; Semba & Victora, 2008; Supariasa, dkk. 2010; Manongga, 2011), penurunan kekebalan tubuh dan meningkatkan kejadian infeksi serta kematian bayi (Christian, 2008; Lanata & Black, 2008). Gizi yang buruk juga terkait dengan perkembangan kognitif yang tidak mencapai maksimal (Brown & Pollitt, 1996). Kekurangan gizi di masa kanak-kanak dapat merupakan potensi munculnya penyakit kardiometabolik di usia lanjut (Trifty hypothesis) (Hales & Barker, 2001). Persoalan gizi masyarakat di NTT terutama dipengaruhi oleh faktor-faktor kuantitas dan kualitas konsumsi pangan keluarga (Karwur et al., 2007), faktor sosial (termasuk pendidikan) dan ekonomi (Riskesdas Propinsi NTT, 2008), serta faktor budaya (Karwur et al., 2012). Rendahnya kuantitas dan kualitas konsumsi pangan keluarga ditentukan oleh faktor-faktor kompleks kemiskinan, serta rendahnya sumberdaya pertanian. Faktor sosial (termasuk pendidikan) dan faktor ekonomi memberi sumbangan pada persoalan gizi di NTT. Penelitian Fangidae dkk (belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa kurang gizi pada anak-anak di daerah Amanuban Selatan TTS, antara lain disebabkan karena buruknya pola asuh anak, termasuk pola makan, di dalam keluarga. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan ibu tentang gizi yang masih rendah, yang berimbas pada praktek pengasuhan kesehatan dan pemberian makan pada anak, perilaku kesehatan sehari-hari, sanitasi lingkungan rumah, pendidikan ayah dan ibu tentang gizi, serta rendahnya pengetahuan ibu dalam pemanfaatan layanan kesehatan. Hal ini diperburuk oleh keterbatasan air bersih. Sejumlah persoalan budaya dan tradisi yang terkait gizi ikut menyumbangkan pada persoalan gizi keluarga di NTT. Persoalan-persoalan tradisi dimaksudkan antara lain tradisi Neno Bo’ha dan konsumsi Jagung Bose selama periode 40 hari, membeli pinang dan siri ketimbang mengalokasian sumberdaya ke konsumsi ibu dan bayi, dan beberapa keyakinan akan efek negatif dari makanan pada ibu menyusui dan ibu hamil (Martianto dkk , 2008).
2
MASALAH Dalam tradisi Neno Bo’ha, ibu akan melahirkan di dalam rumah bulat dan selama 40 hari ibu dan bayi akan melalui proses perawatan. Tradisi ini diakhiri pada hari ke-40. Pada hari tersebut, bayi untuk pertama kalinya keluar dari Ume Kbubu, dibawa ke Rumah Ibadah untuk didoakan. Setelahnya, bayi sudah diberi makan telur, pisang ataupun bubur. Aktivitas-aktivitas perawatan masa nifas di Rumah Bulat (Ume Kbubu) yang terkait tradisi Neno Bo’ha mencakup:(a) tindakan menyusui, (b) kegiatan kompres panas (tatobi) pada ibu yang melahirkan (c) kegiatan panggang (se’i) tubuh dengan panas dari bara api yang diletakkan di bawah tempat tidur ibu, serta (d) mengonsumsi Jagung Bose (pen bose). Salah satu persoalan penting adalah nilai gizi makanan yang dikonsumsi selama 40 hari di Ume Kbubu, yaitu konsumsi jagung bose. Dalam perkembangan kontemporernya, ada sejumlah ibu menyusui yang mengkonsumsi Jagung Bose pada hari pertama sampai hari ke-7 tidak menambahkan makanan lain; dan sisa waktu sampai 40 hari mengkonsumsi Jagung Bose yang telah dicampur dengan bahan makanan lain. Dalam tradisi Neno Bo’ha, selama 40 hari sejak melahirkan ibu biasanya hanya mengkonsumsi Jagung Bose (terutama 7 hari pertama), yakni makanan yang terdiri dari pipilan jagung yang telah dikeluarkan kulit arinya, dan dimasak tanpa garam, sehingga berbentuk bak bubur jagung (walaupun buliran jagungnya masih kelihatan) (Liufeto, 2011). Dengan alasan takut diare, atau bahkan meninggal karena perut masih terluka, atau supaya darah kotor keluar dengan lancar. Ibu pasca melahirkan perutnya masih terluka dan makanan berlemak serta pedas membuat luka akan sukar sembuh. Ibu menyusui memiliki pantangan berbagai makanan berlemak dan cabe. Pemahaman masyarakat tersebut beberapa diantaranya merugikan karena dapat mengakibatkan gizi kurang pada ibu pasca melahirkan seperti ibu yang hanya boleh makan Jagung Bose, tidak boleh makan buah pepaya (buah di sayur). Apa yang menjadi praktek pangan dalam tradisi Neno Bo’ha sejalan dengan konteks pangan di Masyarakat Timor. Sumber pangan yang dikonsumsi oleh penduduk Atoni Meto didominasi oleh pangan sumber karbohidrat seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Sumber pangan protein dan vitamin seperti kacangkacangan dan buah-buahan konsumsi masih relatif rendah. Secara lebih spesifik, studi yang dilakukan oleh Nuban dan Karwur, 2015; belum dipublikasikan) pada ibu yang mengikuti tradisi Neno Bo’ha menemukan bahwa ibu menyusui/pasca melahirkan selama 40 hari dalam tradisi Neno Bo’ha didominasi oleh sumber karbohidrat dengan defisit protein, lemak, mineral dan vitamin yang signifikan. Situasi konsumsi yang jelek ini terjadi dalam kurun waktu 40 hari tersebut. Dengan demikian maka menjadi pertanyaan ialah: “Apa dan bagaimana memperbaiki asupan gizi pada ibu melahirkan di TTS dalam tradisi Neno Bo’ha?” Tujuan dari upaya kaji tindak partisipatif ini adalah melakukan kaji-tindak partisipatoris intervensi atau modifikasi tradisi Neno Bo’ha untuk meningkatkan asupan gizi ibu selama 40 hari. METODE PELAKSANAAN Upaya kaji tindak partisipatif ini dilakukan di Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel’ekam Kecamatan Mollo Tengah, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang berlangsung dari bulan Juli 2015 hingga bulan November 2015. Desa 3
Binaus merupakan desa tempat pusat administrasi Kecamatan Mollo Tengah. Kantor desa Binaus letaknya berdekatan dengan Kantor Kecamatan Mollo Tengah. Di desa ini berdiri pula Puskesmas Mollo Tengah, Kantor Penyuluh Pertanian, Sekolah Dasar, Sekolah Tingkat Menengah Pertama, dan Taman Kanak-Kanak. Desa Oelbubuk berada 4 km dari pusat Kecamatan Mollo Tengah. Jalan ke kantor desa Oelbubuk adalah jalan aspal yang baik namun sebagiannya masih terbuat dari tanahdan masih dapat dilalui oleh sepeda motor. Sementara itu, Desa Oel’ekam berada 10 km dari desa Binaus. Akses jalan ke desa Oel’ekam setengahnya adalah jalan aspal yang kondisinya baik karena sejalan menuju lokasi pariwisata “Oehala” dan setengahnya lagi adalah jalan yang terbuat dari semen dan tanah putih serta kerikil-kerikil.
Gambar 1. Peta Kecamatan Mollo Tengah Upaya kaji-tindak partispatif (participatory action research) melibatkan pihak sasaran dan unsur subjektif mereka untuk ikut terlibat dalam mendesain bersama-sama anggota masyarakat rancangan intervensi modifikasi Jagung Bose dengan penambahan bahan makanan, baik yang diberikan pihak luar maupun pihak keluarga. Pelaksana upaya kaji tindak partisipatif ialah akademisi dari FIKUKSW, peneliti dari Litbangkes Kemenkes RI pendamping institusi lokal untuk meminta pertimbangan-pertimbangan tertentu soal hubungan kelembagaan dan masyarakat, pihak otoritas pemerintahan: Bupati TTS, Bappeda, Kepala Camat Mollo Tengah, Kepala Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel’ekam, Tokoh adat dan masyarakat di Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel’ekam, Ibu paska melahirkan di Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel’ekam, Kader posyandu sebagai pendamping ibu paska melahirkan selama 40 hari di Desa Binaus, Oelbubuk dan Oel’ekam. Variabel utama dalam kaji-tindak partisipatif ini adalah modifikasi Jagung Bose yang dikonsumsi oleh ibu-ibu yang melahirkan dalam tradisi 40 hari (tradisi Neno Bo’ha). Modifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas makanan yang dikonsumsi ibu selama 40 hari dalam hal jumlah, keanekaragaman, dan kualitas gizi. Penggunaan metode kaji-tindak partispatif memberi ruang kepada masyarakat sasaran terlibat dalam memodifikasi kebudayaannya sendiri, dan oleh sebab itu modifikasi yang mungkin berkonsekuensi pada risiko yang muncul akibat modifikasi tersebut dapat diantisipasi dan dapat berterima.
4
Persiapan Sosial Isu Intervensi: Rencana Aksi
Tradisi Neno Bo’ha: Tradisi makan pen bose Refleksi
Dokumentasi Proses
Output: 1. Peningkatan partisipasi dan rasa memiliki program intervensi. 2. Peningkatan kesadaran (Aparat, Kader Posyandu, dan Keluarga Partisipan) akan pentingnya gizi yang baik untuk ibu dan bayi. 3. Perbaikan in-take protein dan zat gizi lain 4. Peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan berprotein (nabati dan hewani).
Gambar 2. Kerangka Konsep Kaji Tindak Partisipatif
1. Prakondisi Sosial dan Kelembagaan Aspek kritis keberhasilan kaji-tindak partisipatif adalah dukungan pemangku kepentingan dimana persoalan yang akan dipecahkan bergantung kepada kehendak para pihak untuk berubah. Dalam hal ini, prakondisi sosial dan kelembagaan dilakukan dengan membawa pokok persoalan ke dalam pembahasan dan persetujuan pihak pemangku kepentingan. Pelaksanaan prakondisi sosial dan kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut: a. Menjalin hubungan dengan pihak otoritas Kabupaten Timor Tengah Selatan, dengan memastikan komunikasi yang baik dengan Bupati TTS dan unit-unit yang relevan, yaitu BAPPEDA dan Dinas Kesehatan. Sementara itu, pemerolehan ijin diperoleh dari Kesbangpolinmas TTS, Nusa Tenggara Timur. b. Memperoleh Persetujuan dan Pelibatan Otoritas Kecamatan dan Desa c. Pembicaraan dan Persetujuan dengan Pihak Pemerintahaan Desa d. Pelibatan Puskesmas sebagai lembaga pelaksana kesehatan masyarakat di Wilayah Kec. Mollo Tengah. Bentuk dukungan Kepala Puskesmas yaitu penetapan 2 orang tenaga gizi sebagai narasumber dalam pelatihan gizi bagi kader, Ibu hamil dan keluarga Ibu bersalin serta salah satu bidan desa sebagai narasumber materi Ibu hamil, bersalin dan Ibu nifas pada saat kegiatan pendidikan kesehatan yang diselenggarakan oleh peneliti dengan kerja sama Puskesmas Mollo Tengah. Bidan Desa di Puskesmas Mollo Tengah, Ketua Kader Posyandu dan Kader Posyandu, karena peran fungsional mereka, adalah pihak-pihak penting yang diminta keterlibatannya dalam pemantauan kehamilan dan dan kelahiran Ibu-Ibu di masing-masing desa. Bidan Desa juga berpartisipasi dalam memberikan data Ibu hamil di semua desa Kecamatan Mollo Tengah beserta dengan HPL-nya (Hari Persangkaan
5
Lahir) dan menginformasikan kepada tim peneliti jika ada Ibu yang melahirkan di Puskesmas Mollo Tengah atau di RSUD Soe. e. Pelibatan Kader Desa dan Kepada keluarga Ibu Hamil. Ketua Kader Posyandu dan Kader adalah pihak-pihak penting yang diminta keterlibatannya dalam pemantauan kehamilan dan dan kelahiran Ibu-Ibu di masing-masing desa. Berdasarkan data kehamilan dan prakiraan waktu melahirkan dari Bidan Desa maka dilakukan pendekatan kepada keluarga Ibu hamil dan kader desa di masingmasing desa baik melalui pertemuan Posyandu maupun pembicaraan dengan keluarga masing-masing serta meminta persetujuan untuk ikut serta dalam upaya memodifikasi makanan yang dikonsumsi Ibu pasca melahirkan selama mengikuti tradisi Neno Bo’ha. f. Memperoleh persetujuan sosial-kultural atas intervensi yang direncanakan kepentingan di tiap desa melalui musyawarah dengan pemangku kepentingan di tingkat desa pada masing-masing desa. Perolehan persetujuan sosial-kultural atas intervensi yang direncanakan di tiap desa diperoleh melalui musyawarah dengan pemangku kepentingan di tingkat desa pada masing-masing desa. Musyawarah di Oelbubuk pada tgl 3 Juli 2015, Oel-ekam tgl 9 Juli, dan di Binaus tanggal 13 Juli 2015. Pelaksanaan musyawarah melibatkan Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur Desa, dan tua-tua adat, Ibu Kepala Desa, semua Kader Posyandu, Bidan Desa, semua Ibu hamil yang ada di masing-masing desa. 2. Intervensi Modifikasi Makanan dalam Tradisi Neno Boha Intervensi dilakukan berdasarkan prinsip peningkatan makanan berprotein tinggi dari pangan lokal, peningkatan keanekaragaman pangan dari pangan lokal, penyiapan makanan yang bergizi dan seimbang serta peningkatan pemahaman dan kesadaran para pihak relevan yang relevan dalam Keluarga, Kader Posyandu, Tokoh Masyarakat dan Aparat Pemerintah Formal. Proses intervensi secara partisipatif adalah sebagai berikut: a) Menggali Pemahaman Ibu-Ibu Terhadap Konsumsi Jagung bose dalam Tradisi Neno Bo’ha b) Pemberian penjelasan mengenai pengertian mengenai zat gizi jagung bose dan kekurangannya dan persetujuan keluarga untuk memodifikasi jagung bose. c) Pelatihan bagaimana mengisi buku recall makan yang berisi jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari dan porsi makan dalam URT d) Mengadakan pembicaraan tiap keluarga dan memperoleh persepakatan antara peneliti dgn Ibu mengenai bahan makanan yang dapat disediakan oleh Ibu dan yang ditambahkan oleh peneliti e) Kegiatan penyuluhan dan pengolahan/masak bersama bahan makanan yang dicampurkan ke Jagung bose pada 3 Desa, melibatkan peran Tenaga Gizi Puskesmas Mollo Tengah. f) Pemberian bahan makanan untuk pemerkayaan jagung bose (jumlah dan ragam). Bahan-bahan tersebut adalah: kacang tanah (300 gr), kacang hijau (300 gr), ikan teri (300 gr),telur (1/2 kg), daging ayam ras, tempe, tahu,
6
daging sapi, pisang, & ikan teri kering. Pemberian setiap kali kunjungan, yakni 2 kali sehari. g) Pemantauan Pengukuran status gizi ibu dan bayi yang terdiri dari pengukuran Berat badan, LILA bagi ibu (tiap minggu) dan pengukuran Berat badan, LILA, Panjang badan bagi bayi (tiap 2 hari sekali). h) Peningkatan income capacity building keluarga untuk membangun model perbaikan gizi ibu dan anak dalam tradisi Neno Boha. Hasil FGD: (a) Pemberian stimulan usaha ayam kampung; dan (b) Menanam sayur yang membutuhkan air terbatas 3. Dokumentasi Proses Dokumentasi proses merupakan tindakan pendokumentasian proses-proses esensial dalam setiap tahapan tindakan partisipatoris dan merupakan masukkan penting dalam tahapan reflection dan planning.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jagung Bose merupakan makanan pokok bagi masyarakat Timor dan sudah menjadi bagian tradisi lokal untuk dikonsumsi setiap hari di samping beras. Bahkan budaya yang berkembang jaman dulu, ibu hamil diharuskan mengkonsumsi Jagung Bose selama 40 hari tanpa dicampur apa-apa karena Jagung Bose yang dikonsumsi ibu pasca bersalin dapat memberi tenaga yang lebih sehingga mempercepat pemulihan ibu, mempercepat proses penyembuhan luka pasca persalinan dan juga Jagung Bose dipercaya meningkatkan produksi ASI. Namun seiring perkembangan jaman, sudah terjadi perubahan pemikiran sehingga ibu pasca bersalin yang hanya mengkonsumsi Jagung Bose saja selama 40 hari sudah jarang jika masih adapun hanya 1 atau 2 ibu, hal ini dikarenakan masih adanya pengaruh nenek atau kakek sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam keluarga tersebut. Modifikasi modifikasi Jagung Bose yang dikonsumsi oleh ibu-ibu yang melahirkan dalam tradisi 40 hari (tradisi Neno Bo’ha) dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas makanan yang dikonsumsi ibu selama 40 hari dalam hal jumlah, keanekaragaman, dan kualitas gizi. Berikut adalah aspek “action” [dari daur reflection, plan, action] upaya kaji-tindak dalam rangka perbaikan gizi ibu yang mengikuti tradisi Neno Bo’ha. Dilakukan pembagian kebutuhan bahan makanan yang diberikan selama 40 hari dalam 6 minggu dan didistribusikan setiap 2 hari sekali kepada masing-masing-masing ibu. Kebutuhan bahan makanan untuk 2 hari pertama diberikan saat pertama ibu sudah pulang dari Puskesmas atau Rumah Sakit selanjutnya peneliti atau kader atau keluarga dari ibu mengambil bahan makanan ke rumah peneliti lapangan atau ke kader yang mendampingi di tiap-tiap desa. Pemberian bahan makanan ini dibuat berbeda variasinya setiap minggunya yaitu minggu I bahan makanan yang diberikan jenis kacang-kacangan, minggu II bahan makanan yang ditambahkan telur, minggu III ditambahkan daging sapi/daging ayam, minggu IV ditambahkan ikan teri atau ikan kembung, minggu V ditambahkan daging sapi, minggu VI ditambahkan telur lagi. Ditemukan bahwa semua ibu bersalin melakukan modifikasi pangan dengan melakukan penambahan bahan pangan, baik yang diusakan sendiri atau yang diadakan pihak peneliti. Tindakan menambahkan jenis bahan makanan tambahan
7
pada Jagung Bose diikuti oleh penambahan bahan makanan lain oleh pihak keluarga memberi implikasi pada peningkatan keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi. Banyaknya zat gizi primer yang dikonsumsi umumnya berada di atas angka kebutuhan, namun masih ada sejumlah kejadian dalam 40 hari yang masih mengalami kekurangan. Ada Ibu tertentu yang kekurangannya lebih sering dan ada ibu yang lain.
Gambar 3. Jagung bose yang dimodifikasi
Analisis kecukupan nilai zat gizi pada 11 ibu post partum, diperoleh melalui metode recall makanan 40 x 24 jam dan disesuaikan dengan nilai kecukupan gizi ibu pasca melahirkan. Kandungan dan nilai zat gizi yang direkomendasikan yakni: kalori untuk (2580 kkal), karbohidrat (354 g), protein (78 g), lemak (71 g). Selanjutnya nilai kandungan zat gizi lain yang direkomendasi untuk ke-11 ibu yakni: kalsium (1400 mg), fosfor (700 mg), zat besi (32 mg), vitamin A (850 mcg), vitamin B1 (1,4) dan vitamin C (100). Status gizi ibu setelah 40 hari melakukan kaji-tindak partisipatif berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) ialah bahwa 10 dari 11 ibu yang melahirkan memiliki IMT normal, kecuali 1 Ibu yang pada minggu pertama tergolong normal, berubah menjadi gemuk. IMT Ibu-ibu umumnya meningkat pada setiap minggu. Pada bayi, status gizi normal berdasarkan BB/TB; namun menunjukkan deviasi negative ke arah pendek berdasarkan criteria TB/U. Intervensi pemberian bahan pangan dan pengolahan, pada ibu dan keluarga partisipan dalam kaitan dengan ini yang menarik untuk dibahas adalah dalam kenyataannya tradisi Neno Bo’ha di dalam komponennya terdapat variasi-variasi yang tinggi. Pencampuran bahan makanan, jenisnya, dapat berbeda satu dengan lain warga. Ada pula yang dalam pelaksanaan 40 hari Neno Bo’ha dilaksanakan secara ketat dan ada pula yang memodifikasinya. Kehadiran praktek budaya lain (Rote, dan Flores dan suku lain), banyak atau sedikit kenyataannya mempengaruhi atau menambah variasi pemahaman dan praktek-praktek Neno Bo’ha dan khususya praktek konsumsi Jagung Bose. Temuan menarik dari segi jenis makanan yang dikonsumsi, bahwa selain pemerkayaan yang diberikan melalui tim peneliti, tetapi warga/keluarga sendiri menambahkan bahan pangan yang mereka miliki sejak hari pertama kelahiran. Hal ini menandakan bahwa Jagung Bose bukanlah satu-satunya makanan yang dimakan. Nampaknya pencampuran bahan makanan sudah dipraktekkan walaupun tidak selamanya secara eksplisit diungkapkan.
8
Catatan lain yang penting adalah soal kualitas makanan yang dikonsumsi dan status gizi menunjukkan adanya perbaikan baik itu dari segi keanekaragaman bahan pangan yang ditambahan, maupun yang dikonsumsi. Pada tindakan modifikasi Jagung Bose melalui kaji-tindak ini, paling tidak memberi ruang intervensi lebih jauh pada kuantitas dan kualitas protein yang dikonsumsi. Walaupun demikian, masih diperlukan peningkatan konsumsi protein pada ibuibu sebelum melahirkan (atau masa kehamilan). Hal ini penting mengingat sejumlah bayi menunjukkan berat badan yang cenderung gemuk tetapi tinggi badan yang tergolong pendek.
KESIMPULAN DAN SARAN Upaya kaji-tindak partisipatif modifikasi tradisi mengonsumsi Jagung Bose dengan melakukan pemerkayaan bahan makanan dan olahan Jagung Bose yang dikonsumsi ibu-ibu pasca melahirkan yang mempraktekkan tradisi Neno Bo’ha, tradisi 40 hari di 3 desa (Binaus, Oelbubuk, dan Oel’ekam) di Kecamatan Mollo Tengah memperoleh tanggapan positif. Semua keluarga 11 Ibu yang melakukan modifikasi pangan dengan melakukan penambahan bahan pangan, baik yang diusakan sendiri atau yang diadakan pihak peneliti. Status gizi ibu dari perhitungan Indeks Massa Tubuh menunjukkan pertambahan setiap minggunya. Demikian juga dengan status gizi bayi yang normal. Tindakan menambahkan jenis bahan makanan tambahan pada Jagung Bose diikuti oleh penambahan bahan makanan lain oleh pihak keluarga memberi implikasi pada peningkatan keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2009 (Cetakan ke-2) (2007). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Propinsi Nusa Tenggara Timur. Brown J.L., & Pollitt E., (1996). Malnutrition Poverty and Intellectual Development. Scientific American: 38-43. Christian, P., (2008). Infant Mortality. Nutrition and Health: Nutrition and Health in Developing Countries, Second Edition.Humana Press:87-111. Ginsberg, M., 1934 (Reprinted 1963). Sociology. Oxford University Press, London, 253p. Hales,C.N., & Barker.D.J.P., 2001.The Thrifty Phenotype Hypothesis. British Medical Bulletin 60:5-20. Helen S. Fangidae H. S, Therik W. M. A., dan Karwur, F. F., (submited). (2012). Gizi Buruk, Kondisi Kesehatan dan Lingkungan Batita di Amanuban Selatan. Fakultas Ilmu Kesehatan, UKSW. Karwur F., Tanaem, Radja Pono S.O., Palekahelu D., and Manongga B., (2007). Food Security and Rural Development in South Central Timor Based On Case Studies in Pollen and Kualin Subdistricts. In: Djoeroemana, S., Myers, B., Russell-Smith, J., Blyth, M. and Salean, I.E.T. (eds) 2007. Integrated rural development in East Nusa Tenggara, Indonesia. Proceedings of a Workshop to Identify Sustainable Rural Livelihoods, Held in Kupang, Indonesia, 5–7 April 2006. ACIAR Proceedings No. 126.
9
Karwur F., Suharmiati, Batubara, S.O., Tauho E., (2012). Riset Operasional Intervensi Kesehatan Ibu dan Anak Berbasis Budaya Lokal: Kaji Tindak Partisipatif Proses Modifikasi Tradisi Melahirkan Atoni Meto untuk Meningkatkan Kesehatan Maternal dan Bayi Di Desa Binaus, Kec. Mollo Tengah, Kab. Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Penerbit: Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI, 113 Hal. Liufeto, O., (2011). Ekologi Manusia: 40 Hari di Rumah Bulat Timor pada Suku Amanuban Di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi Program Studi Biologi Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, 2011. Manongga SP., Palekahelu DP., Radjapono SR., Karwur, FF., (2008). Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat Pollen di Timor Tengah Selatan. Kritis 20(2):135-155. Manongga S.P., Raja Pono S.O., Palekahelu D., dan Karwur F, (2008). Habisnya Persediaan Pangan Tahunan pada Aras Keluarga di Kecamatan Pollen, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kritis 3:170-188. Nuban, Christiana E.H., (2013). Konsumsi dan Status Gizi Ibu Menyusui yang Mengikuti Tradisi Neno Bo’ha pada Orang Timor. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW. Lanata, C.F. & Black, R.E., (2008). Acute Lower Respiratory Infections. Nutrition and Health: Nutrition and Health in Developing Countries, Second Edition.Humana Press:179- 214. Martianto, Drajat, Hadi Riyadi, Dwi Hastuti, Mien Ratu Oedjoe, Edi Djoko Sulistijo, dan Ahmad Saleh. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kerjasama Fakultas Ekologi Manusia IPB dengan Schroeder, D.G., (2008). Malnutrition. Nutrition and Health: Nutrition and Health in Developing Countries, Second Edition.Humana Press:341-376. Semba R.D., & Victoria,C.G., (2008). Low Birth Weight and Neonatal Mortality. Nutrition and Health: Nutrition and Health in Developing Countries, Second Edition. Humana Press:63-86. Supariasa, I. D. N., Bakri, B., & Fajar, I., (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
10