Kaidah Fiqih Kubro
القواعد الفقهية الكبرى
الأمور مبلاضدىا اميلني ال يزول ابمشم املشلة جتوة امخيسري ال رضر وال رضار امؾادت م حمَّكة اؼامل امالكم بأوىل من اىامهل
Ammi Nur Baits
1
ثسم هللا امرمحن امرحمي انوّيم يرس وبأؼن Pengertian Kaidah berasal dari kata kata [ يقعد- ]قعودا – قعدyang artinya: الثبات واالستقرار artinya: tetap, terpancang. Secara istilah
األمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كثرية Aturan-aturan yang bersifat umum, yang dapat diterapkan pada beberapa bagian. Gabungan dua kata: Kaidah Fiqih, secara istilah didefinisikan sebagai, األمر الشرعي العملي الذي ينطبق عليه أحكام جزئياته Aturan-aturan yang bersifat umum dalam masalah fiqh, yang dapat diterapkan pada beberapa masalah-masalah fiqh. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh) Apa itu Kaidah Fiqh Kubro? Kaidah fiqh kubro berarti kaidah fiqih terbesar. Disebut demikian karena kaidah ini berlaku dalam di hampir semua bab fiqih. Dilihat dari cakupannya, kaidah fiqh dibagi menjadi 3 tingkatan: Pertama, Qawaid Kulliyah Kubro Kaidah fiqh ini memiliki cakupan paling luas, hampir semua bab fiqh. Seperti 6 kaidah yang akan dibahas di makalah ini. Kedua, Qawaid yang cakupannya lebih sempit dari pertama Kaidah pada tingkata ini ada 2:
2
[1] Turunan dari kaidah yang pertama Seperti kadiah,
امرضوراث ثخيح احملغوراث ‚Kondisi dharurat membolehkan hal yang terlarang‛ Ini merupakan turunan dari kaidah,
املشلة جتوة امخيسري ‚Setiap kesulitan, mengharuskan adanya kemudahan.‛ [2] Bukan turunan dari kaidah pertama,
الاجهتاد ال ينلظ ابالجهتاد ‚Ijthad tidak gugur dengan adanya ijtihad yang baru.‛ Ketiga, Dhawabith Itulah Kaidah fiqh yang cakupannya hanya untuk satu masalah. Seperti kaidah yang hanya berlaku dalam bab bersuci,
لك ما خرج من امسخيوني انكظ اموضوء ‚Semua yang keluar dari dua jalan (dubur dan qubul) bisa membatalkan wudhu.‛ Atau yang berlaku dalam masalah kaffarah,
لك نفارت سخهبا مؾطية فيي ؽىل امفور ‚Semua kaffarah yang sebabnya maksiat, wajib disegerakan.‛
Fungsi Kaidah Fiqh Al-Qarrafi pernah mengatakan,
لك فلو مل خيرج ؽىل املواؽد فويس ثيشء 3
‚Setiap kesimpulan fiqh yang tidak didasari qaidah, bukan fiqh yang kuat.‛ (ad-Dzakhirah). Diantara manfaat memahami qawaid fiqh, 1. Mengelompokkan bagian-bagian yang terpisah dalam fiqh, untuk disatukan dalam suatu aturan yang universal dan menyeluruh. 2. Memudahkan menghafal permasalahan-permasalahan fiqh yang begitu luasnya. Karena dengan menguasai kaidah fiqh sesorang dapat menguasai banyak masalah-masalah fiqh. Al-Qarafi mengatakan, "Siapa yang menguasai kaidah fiqh dia akan dengan mudah menguasai permasalahn fiqh yang jumlahnya ratusan ribu." 3. Memahami kaidah fiqh membantu seorang pakar fiqh untuk memahami metoda berfatwa dan memudahkannya untuk mencari hukum permasalahan yang baru. 4. Memahami kaidah fiqh dapat membantu seorang pakar fiqh terhindar dari kontradiksi dalam masalah fiqh. 5. Memahami kaidah fiqh dapat membantu seorang ahli fiqh memahami maqhasid As Syariah Kaidah Fiqh Vs Ushul Fiqh
Perbedaan antara Kaidah Fiqh dengan Ushul Fiqh dapat disimak di tabel berikut: Ushul Fiqh
Kaidah Fiqh
Datang lebih dahulu daripada fiqh, karena ushul fiqh merupakan metode seorang mujtahid mengeluarkan hukum fiqh dari sumber (dalil) quran sunnah dst.
Datang setelah fiqh, karena kaidah fiqh merupakan pengelompokkan beberapa masalah fiqh dalam satu aturan yang universal
4
Tidak bisa diterapkan Bisa diterapkan langsung ke langsung ke kasus kasus Hukum fiqh yang dihasilkan Hukum fiqh yang dihasilkan dari ushul fiqh haruslah dari kaidah fiqh langsung tanpa melalui perantara. perantara. Contoh: Kaidah ( اههني يلذيض فساد املهنيContoh: Kaidah (" )امرضر يزالHal-hal " )ؼنوSetiap kalimat larangan yang mendatangkan mudharat menunjukkan hukum tidak harus dihapuskan". sahnya perbuatan yang Dari kaidah ini dapat diambil dilarang. hukum bahwa boleh memaksa Dari kaidah ini tidak dapat diambil hukum akad Asuransi tidak sah. Akan tetapi harus ada perantara lainnya
penjual untuk menerima kembali barang cacat yang dijualnya. Yang dinamakan dengan khiyar 'aib.
Sumber-sumber Terbentuknya Kaidah Fiqh Pertama, al-Quran. Contoh: firman Allah,
َو َما َج َؾ َل ؽَوَ ْي ُ ْنك ِِف ِّال ِين ِم ْن َح َر ٍج "Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al Hajj: 78( Berdasarkan kaidah ini dibolehkan gharar yang berkaitan dengan hajat orang banyak seperti dalam jual-beli umbi-umbian yang masih berada di dalam tanah. Ibnu Taimiyah berkata, "madharat gharar di bawah riba, oleh karena itu diberi rukhsah (keringanan) jika dibutuhkan oleh orang banyak, karena jika diharamkan madharatnya lebih besar daripada dibolehkan"
5
Kedua, Hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Contoh: kaidah dalam Khiyar majlis yaitu sabda Nabi:
امْ َح ِ ّي َؾ ِان ِابمْ ِخ َي ِار َما مَ ْم ي َ ْف َ َِتكَا "Penjual dan pembeli dibenarkan melakukan khiyar selagi mereka berada dalam satu majelis dan belum berpisah." (HR. Bukhari-Muslim). Sabda Nabi tentang hak kepemilikan laba,
بَ من امْ َخ َر َاج ِابمضم َم ِان "Keuntungan adalah milik orang yang menanggung barang yang dibeli." (HR. Abu Daud dan Tirmizi, dan dihasankan oleh Al-Albani). Sabda Nabi,
مَي َْس ِم ِؾ ْر ِق َعا ِم ٍم َحق "Orang yang telah berbuat kezaliman (dengan cara mendapatkan barang tanpa keridhaan pihak kedua) keringatnya (usahanya mengembangkan barang tersebut) sama sekali tidak memiliki nilai yang patut dibayar." (HR. Muslim) Ketiga, Teks ucapan para ulama mujtahid Seperti perkataan Imam Syafi'i dalam jual beli anggur basah dengan anggur kering tidak dibolehkan dan tidak dapat diqiyaskan dengan hukum bolehnya menjual kurma kering dengan kurma basah:
امرخص ال يُخؾدمى هبا مواضؾيا "Rukhsah (keringanan) tidak dapat diqiyaskan." Imam Ahmad berkata:
لك ما جاز تيؾو جاز رىنو "Setiap sesuatu yang boleh dijadikan objek dalam jual-beli boleh di hadiahkan, disedekahkan dan digadaikan".
6
Keempat, Kaidah yang hasilkan oleh para ulama dari analisis istiqra' (induksi) dengan mengumpulkan beberapa masalah-masalah fiqh dalam sebuah kaidah fiqh. Dan kebanyakan kaidah fiqh dihasilkan dari sumber ini. Contoh kaidah, "Setiap benda yang suci boleh dijadikan objek transaksi ." Kaidah ini dihasilkan dari kesimpulan beberapa permasalahan dengan hukum yang sama, seperti tidak boleh menjual kotoran ternak, tidak boleh menjual khamr, tidak boleh menjual anjing buruan, tidak boleh menjual babi dan turunannya, tidak boleh menjual bangkai, tidak boleh menjual najis dst. Kelima, Kaidah yang dihasilkan oleh para ulama melalui takhrij (ijtihad), diantaranya qiyas (analogi). Dimana mereka menemukan suatu kaidah fiqh dan dari kaidah tersebut dapat diqiyaskan hal yang lain maka mereka buat sebuah kaidah baru. Dengan kata lain, menurunkan satu kaidah menjadi kaidah yang lain berdasarkan analogi. Seperti kaidah:
املؾروف ؼرف ًا اكملرشوط رشط ًا "yang telah ditetapkan melalui pemahaman masyarakat statusnya sama dengan syarat yang ditetapkan". Kaidah ini adalah turunan dari kaidah:
امؾادت حمَّكة Adat dan kebiasaan bisa menjadi sandaran hukum
Metode Qiyas dalam Menetapkan Kaidah Terkadang ada kaidah yang diturunkan dari kaidah lain, berdasarkan metode qiyas tertentu, diantaranya,
7
Pertama, Qiyas berdasarkan metoda qiyas awlawiy (qiyas, dengan keadaan illat yang diqiyaskan lebih utama). Seperti kaidah, "Suatu benda yang dilarang untuk diperjual-belikan lebih dilarang lagi untuk diwakilkan". Kedua, Dengan cara istishhab. Istishhab adalah menetapkan hukum untuk sesuatu berdasarkan ketetapan hukum pada waktu sebelumnya dikarenakan tidak ada hal yang menyebabkan hukum itu berubah. Seperti kaidah: "Hukum sesuatu ditetapkan berdasarkan hukumnya pada waktu sebelumnya". Ketiga, Qiyas dengan cara talazum 'aqly. Talazum 'aqly yaitu hukum yang terkait dengan hukum lain, karena itu bagian dari konsekuensinya. Seperti kaidah: "Siapa yang memiliki sesuatu, berarti ia memiliki sesuatu fasilitas pelengkapnya". Keempat, Melalui cara tarjih. Tarjih berarti mendahulukan hukum yang lebih penting dan lebih kuat. Seperti kaidah, "Mudharat yang akan menimpa individu boleh dipertahankan untuk menolak mudharat bagi orang banyak".
Sejarah Ringkas Kaidah Fiqh Munculnya kaidah fiqh, terkait erat kegiatan ijtihad para ulama. Termasuk ijtihad yang ulama’nya ulama, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau memberikan beberapa kaidah dalam menentukan hukum amaliyah. Dari hadis-hadis beliau, muncul beberapa kaidah fiqh kubra (induk) sebagaimana yang telah disebutkan.
8
Pada masa sahabat juga ditemukan beberapa atsar yang sekarang dijadikan sebagai kaidah fiqh. Seperti perkataan Umar bin Khattab,
ِ امرش وط ِ ا من َملَا ِط َػ امْ ُح ُل ُ وق ِؼ ْندَ ر ِ
"Hak-hak seseorang dalam muamalat sesuai dengan persyaratan yang dibuat." (HR. Bukhari) Ini kaidah yang sangat penting dalam persyaratan. Beliau juga menyampaikan kaidah tentang masalah ijtihad,
َ ْ ِث َو َى ِذ ِه ؽَ َىل َما كَضَ ْينَا، ْل ؽَ َىل َما كَضَ ْينَا Itu keputusan kami dulu, dan ini keputusan kami sekarang (HR. AdDarimi).
Ucapan Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf:
امنا امغمن ابمغرم "Orang yang ikut mendapatkan laba, ia tidak wajib menjamin kerugian." Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dalam akad musyarakah dan mudharabah.
Pada masa tabiin, juga ditemukan beberapa atsar yang dijadikan sebagai kaidah fiqh oleh ulama sekarang. Seperti ucapan Syuraih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari:
رش َط ؽَ َىل ه َ ْف ِس ِو َطائِ ًؾا غَ ْ َري ُم ْك َر ٍه فَي َْو ؽَوَ ْي ِو َ َ َم ْن "Siapa yang mensyaratkan sesuatu atas dirinya tanpa dipaksa maka dia wajib memenuhinya."
9
Kaidah ini merupakan landasan dibolehkannya klausul penalty dalam kontrak apabila pihak pemberi jasa tidak berbuat maksimal. Pada masa-masa ulama mazhab telah kita lihat sebelumnya ucapan mereka yang dapat dijadikan kaidah fiqh. Pada abad ke 4 hijriyah Abu Hasan Al Karkhi (wafat 340H) mengumpulkan 39 kaidah fiqh mazhab Hanafi dalam salah satu buku kecil yang sebelumnya dikumpulkan oleh Abu Thahir Ad-Dabbas. Lalu diikuti oleh Abu Zaid Addabusi (wafat 430H) dalam bukunya yang dikenal dengan "Ta'sis An-Nazhar". Dalam mazhab Syafii, Abu Sa'ad al Harawi (wafat 488H) menukil 5 kaidah induk dari Abu Thahir Ad-Dabbas. Dari sini para ulama dari setiap mazhab berlomba untuk menulis serta mengembangkan kaidah-kaidah fiqh dalam mazhab mereka masingmasing.
Bersama Ulama Pelit Ilmu Al-Qodhi Abu Said al-Harawi menceritakan, Seorang ulama Hanafiyah di daerah Harah menyampaikan informasi kepadannya bahwa Imam Abu Thahir ad-Dabbas – seorang ulama hanafiyah – yang tinggal di seberang sungai, bisa menyimpulkan semua pendapat Abu Hanifah ke dalam 17 kaidah. Mendengar info ini, al-Qodhi Abu Said langsung melakukan safar untuk menemui Imam Abu Thahir ad-Dabbas. Imam Abu Thahir adalah seorang yang buta. Dan beliau memiliki kebiasaan mengulang-ulang 17 kaidah fiqih itu setiap malam di masjid setelah shalat isya. Hanya saja ada yang unik dari Imam Abu Thahir. Beliau dikenal ulama yang sangat pelit ilmu. Beliau tidak ingin orang lain bisa dengan mudah mendapatkan ilmu dari hasil penelitian yang beliau lakukan. Karena itu, beliau tidak ingin ada seorangpun yang mendengarnya 17 kaidah yang selalu beliau baca setiap malam.
10
Sehingga kaidah ini baru beliau baca setelah semua jamaah masjid pulang ke rumah. Mengetahui hal ini, al-Qadhi Abu Said al-Harawi tidak patah arang. Beliaupun ikut shalat jamaah isya di masjid itu. Seusai shalat, beliau tidak keluar masjid, namun beliau bersembunyi dengan berselimut karpet masjid. Setelah di rasa sepi, Abu Thahir menutup pintu masjid dan beliau mulai mengulang hafalan 17 kaidah tersebut dengan suara cukup keras, sehingga bisa didengar seisi masjid. Hingga seusai beliau membacakan 7 kaidah, al-Harawi yang berselimut karpet tadi batuk. Abu Thahir kaget, ternyata ada yang mencuri dengar hafalan kaidahnya. Beliau langsung mendekati suara batuk itu, dan memukul al-Harawi serta menyuruhnya keluar masjid. Kemudian beliau menghentikan kegiatan mengulang hafalan kaidah lanjutannya di malam itu. Selanjutnya, pulanglah Abu Said al-Hawari menemui temantemannya. Dan beliau menyampaikan 7 kaidah yang telah beliau dapatkan. Diantara ulama yang mengambil 7 kaidah ini adalah Imam al-Qodhi Husain. Salah seorang ulama besar madzhab Syafiiyah. (al-Asybah wa an-Nadzair, hlm. 7) Mereka tidak rela jika ilmunya dibawa oleh orang awam agama, sehingga bisa disalah gunakan.
11
Kaidah Fiqh Kubro Kaidah Pertama,
ا ألمور مبلاضدىا
‚Segala urusan sesuai dengan niatnya‛ Makna Kaidah: Bahwa semua amalan yang dilakukan mukallaf, baik ucapan maupun perbuatan, nilainya dan hukum yang berlaku baginya, berbeda-beda sesuai perbedaan tujuan pelaku, yang melatar belakangi amal itu. Contoh Kaidah: 1. Orang yang membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syariat, memiliki beberapa hukum, tergantung niatnya. Bisa dihukumi qathl ‘amd, khatha, atau syibhul ‘amd. 2. Orang yang berkata kepada orang lain: ‚Ambil uang 100 ribu ini.‛ Jika niatnya cuma-cuma, statusnya hibah. Jika tidak, statusnya utang yang wajib dikembalikan, atau amanah yang wajib dia jaga. Jika hilang, dia menanggung ganti rugi. Kalimatnya sama, namun konsekuensinya berbeda. 3. Orang yang menemukan barang: jika dia mengambilnya untuk dimiliki sendiri, statusnya ghasab. Dia wajib ganti jk barang itu rusak. Namun jika dia berniat untuk mengumumkan dan mengembalikannya kepada pemilik, statusnya orang yang mendapatkan amanah. Dan dia tidak nanggung ganti rugi jika rusak di luar kesengajaan. Kaidah Turunan Pertama, Kaidah dalam masalah akad 12
امؾربت ِف امؾلود ابمللاضد واملؾاين ال اب ألمفاظ واملحاين Inti akad berdasarkan maksud dan makna akad, bukan berdasarkan lafadz dan kalimat Misal: 1. Seseorang membeli makanan, dia mengatakan kepada penjual: ’Pak, saya minta dibungkus dua..’ statusnya beli, sekalipun kalimatnya minta. 2. Kantin kejujuran. Sekalipun tidak ada ucapan akad apapun, tetap sah sebagai jual beli. Termasuk jual beli mu'athah. 3. Pembeli mengatakan ke penjual: Tolong bawa dulu hp saya, ini amanah. Tunggu sampai saya ambil uangnya. Status barang ini adl rahn, meskipun dia bilangnya amanah. Karena amanah bisa diambil pemiliknya kapanpun. Sementara hp ini tidak. Kedua, kaidah dalam masalah sumpah
ىل امنية ختطص انوفظ امؾام بأو ثؾمم انوفظ اخلاص؟ Apakah niat, mengkhususkan lafadz yang umum, ataukah membuat umum lafadz yang khusus Contoh kalimat pertama, Seorang siswa bersumpah: ‘Demi Allah, saya tidak akan bicara kepada siapapun.’ Maksud dia, temannya yang ada di kelasnya. Kalimatnya umum, namun karena maksud dia hanya teman di kelasnya, maka dia boleh bicara dg orang yg tidak ada di kelas itu. Contoh kalimat kedua, Seorang bersumpah, ‚Demi Allah, saya tidak akan menerima sumbangan uang darinya.‛ 13
Secara teks, dia hanya menolak sumbangan dalam bentuk uang. Namun jika dia bermaksud semua bentuk sumbangan, maka mencakup umum. Ketiga, Kaidah dalam masalah diminta bersumpah
ىل اهميني ؽىل هية احلامف بأو ؽىل هية املس خحوف؟
Apakah sumpah itu mengikuti niat orang yang bersumpah atau niat orang yang meminta sumpah? Ulama berbeda pendapat: 1. Malikiyah & Syafiiyah berpendapat: sumpah itu mengikuti niat orang yang mengambil sumpah (qadhi), ketika dia diminta bersumpah dalam semua hukum. Sehingga tidak boleh ada tauriyah maupun istitsna’ 2. Hambali: Sumpah mengikuti niat orang yang besumpah, selama masih memungkinkan dipahami dari lafadz, dan dia bukan sebagai pihak yang dzalim.
14
Kaidah kedua
اميلني ال يزول ابمشم ‚Yakin tidak bisa gugur dengan keraguan‛ Diantara dalil yang mendukung kaidah ini Firman Allah,
ًاحلق شيئا ُ وما يد َ ِد ُػ أب ِ نرثُه اال عن ًا ا من امغن ال يغين من
Kebanyakan mereka hanya mengikuti prasangka. Padahal prasangka sama sekali tidak menunjukkan kebenaran. (QS. Yunus: 36) Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
اذا وجد بأحدمك ِف تطنو شيئ ًا فبأشلك ؽويو بأخرج منو يشء بأم ال؟ فال خيرجن من املسجد حىت يسمػ ضو ًات بأو جيد رحي ًا
Apabila ada perasaan tertentu dalam perut seseorang yang membuat dia ragu, apakah kuntut ataukah tidak, maka jangan dia batalkan shalatnya hingga dia mendengar suara kentut atau mencium baunya. Kemudian hadis dari Abdullah bin Zaid, tentang orang yang mengadu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali seolah-olah dia ngentut ketika shalat. Kemduian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ال ينرصف حىت يسمػ ضو ًات بأو جيد رحي ًا
Jangan dia batalkan, sampai dia mendengar suara atau mencium baunya. (HR. Bukhari & Muslim) Kemudian hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan orang yang lupa jumlah rakaat ketika shalat, 15
اذا شم بأحدمك ِف ضالثو فمل يدر مك ضىل بأزال ًاث بأم بأرتؾ ًا! فويطرح امشم ومينب ؽىل ما اسديلن Jika kalian ragu ketika shalat, sehingga lupa berapa rakaat yang telah dia kerjakan, 3 ataukah 4 rakaat, hendaknya dia buang keraguan itu dan dia pilih yang meyakinkan. (HR. Muslim) Makna Kaidah Syak menurut ulama ahli fiqh: keraguan terhadap status perbuatan, apakah telah dilakukan ataukah belum. Karena itu, jika ada satu kasus yang itu secara yakin benar-benar telah terjadi, kemudian muncul keraguan tentang keberadaannya, maka dipertahankan apa yang meyakinkan sampai dipastikan ada sebab yang menghilangkan keyakinan itu. Contoh 1. Orang yang yakin telah bersuci, ketika dia ragu apakah telah muncul hadats, maka dia tetap dinilai telah bersuci, menurut 3 imam: Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ahmad. Sementara Imam Malik berpendapat, ‘Orang yang ragu dalam bersuci, dia wajib wudhu, berdasarkan kadiah: Ragu dalam syarat menjadi penghalang terwujudnya apa yang disyaratkan.’ 2. Jika ada sepasang suami istri melakukan akad nikah yang sah, kemduian muncul keraguan apakah pernah terjadi talak ataukah tidak, maka nikahnya dipertahankan. Karena talak yang statusnya keraguan, muncul di tengah keadaan yang lebih meyakinkan, yaitu nikah, sehingga wajib dibuang. sementara Ibnu Qudamah mengatakan, ‘yang lebih wara’, dinilai jatuh talak.’ 16
Kedudukan Kaidah Sebagian ulama menyebut, kadiah ini mencakup ¾ masalah Fiqh. Turunan Kaidah Pertama, kaidah hukum asal
ا ألضل تلاء ما اكن ؽىل ما اكن
Hukum asal: mempertahankan apa yang sudah ada, sebagaimana sedia kala. Artinya, sesuatu yang pernah terjadi di suatu masa, dihukumi tetap ada, selama tidak dijumpai adanya indikator yang bertentangan dengannya. Kaidah ini disebut ’Dalil al-Istishhab’ (mempertahankan kondisi awal) Contoh 1. Siapa yang yakin dia telah bersuci, kemudian muncul keraguan hadats, maka dia tetap dinilai telah bersuci. Sebaliknya, siapa yang yakin telah hadats, kemudian ragu apakah tadi sudah bersuci atau belum, maka dia dinilai berhadats. 2. Ada air suci yang berubah warna, dan diragukan, apa yang menyebabkan berubah warna. Hukum asalnya mempertahankan status sucinya. 3. Orang yang makan menjelang maghrib tanpa memperhatikan matahari atau jam, sementara dia belum yakin telah terbenam matahari, maka puasanya batal. Karena hukum asalnya, belum masuk malam. Kedua, kadiah tidak ada tanggungan 17
ا ألضل جراءت اذلمة Hukum asal, bara’atu dzimmah (bebas tanggungan) Artinya: pada asalnya semua manusia terbebas dari tanggungan maupun kewajiban. Hingga ada bukti, dia punya tanggungan. Baik terkait masalah ibadah maupun muamalah. Contoh 1. Si A wajib melakukan amalan x, agar selamat di akhirat, sementara tidak ada dalil. Kewajiban ini tidak berlaku. 2. Muwada’ (orang yang dititipi) mengklaim telah mengembalikan barang titipannya. Sementara muwaddi’ (orang yang titip) mengingkarinya. Yang dikuatkan adalah perkataan muwada’, karena dia berpegang dengan hukum asal, tidak memiliki tanggungan terhadap barang. Ketiga, Memilih yang lebih yakin
ما زخت تيلني ال يرثفػ اال تيلني Yang terjadi dengan yakin, tidak bisa dihilangkan kecuali dengan yakin pula Mana yang lebih meyakinkan, itulah yang dipilih. Contoh 1. Siapa yang ragu, apakah dia sudah melakukan suatu pekerjaan ataukah belum, hukum asalnya, dia belum melakukannya. 2. Orang yang beramal, sementara dia ragu mengenai jumlah, maka dia pilih yang lebih sedikit, karena ini yang lebih meyakinkan. 18
3. Orang yang punya utang sementara dia ragu dengan jumlahnya, dia harus keluarkan dalam jumlah yang membuat dia yakin telah menggugurkan kewajibannya. 4. orang yang ragu apakah telah menceraikan istrinya ataukah belum, tidak jatuh talak. Karena nikahnya yakin, sementara talaknya meragukan. Keempat, hukum asal belum ada
ا ألضل امؾدم
Hukum asal adalah tidak ada Artinya, hukum asal dalam sifat, maupun perkara yang baru adalah tidak ada. Contoh 1. Ada orang yang beli mobil, sudah diserahkan dalam kondisi normal, selang sekian hari pembeli mengaku ada yang cacat, sementara penjual mengklaim semua normal, dan keduanya tidak memiliki bukti, maka yang diterima perkataan penjual disertai sumpah. Karena normal itu kondisi asal, sementara hukum asal, tidak ada cacat. 2. Dua orang melakukan transaksi mudharabah. Pemodal meminta bagi hasil sementara mudharib mengklaim tidak ada untung. Yang diterima perkataan mudharib dengan sumpah, karena dia di posisi sesuai hukum asal. 3. Peminjam mengklaim telah mengembalikan uang, sementara pemilik uang mengklaim tidak pernah menerima pengembalian itu. Smeua tidak ada bukti. ….
19
Kaidah Ketiga
املشلة جتوة امخيسري
Masyaqqah menharuskan adanya kemudahan Makna kaidah Masyaqqah secara bahasa artinya capek atau kesusahan. Diantara nikmat Allah untuk manusia, Allah ciptakan binatang yang berfungsi mengangkut barang mereka ke tempat jauh. Andai tidak ada binatang tunggangan, tentu manusia harus tidak mampu melakukannya kecuali dengan susah payah yang melelahkan. Allah berfirman,
ثشق ا أله ُفس ِ وحت ِم ُل بأزلامَ ُنك اىل ت ٍدل مل حكوهوا اب ِمغيو اال
Binatang memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesulitan (yang memayahkan) diri.. (an-Nahl: 7). Batasan Masyaqqah Syaikh Abdullah al-Fauzan menjelaskan,
املشلة امزائدت اميت ال ميكن نوملكف أبن يس متر ؽىل حتمويا ؽادت اال- ىنا- واملراد ابملشلة حبير ثؤدي اىل وكوع امرضر بأو ا ألذى ِف، وال متكن املداومة ؽوهيا، تحذل بأكىص اجليد امنفس بأو املال
Yang dimaksud masyaqqah dalam kaidah ini adalah masyaqqah tambahan, di mana seorang mukallaf tidak mungkin untuk terus-menerus menanggungnya, kecuali dengan menguras banyak tenaga. Sehingga tidak mungkin dia selalu bertahan di sana, karena ini akan membahayakan dirinya atau hartahya. (Jam’u al-Mahsul). Dalil Kaidah 20
Dalil yang menyebutkan kaidah ini banyak. Terutara dalil umum yang menjelaskan bahwa syariat meniadakan adanya unsur haraj (kesulitan) di dalamnya. Allah berfirman,
َو َما َج َؾ َل ؽَوَ ْي ُ ْنك ِِف ِّال ِين ِم ْن َح َر ٍج
Allah tidak menjadikan adanya kesulitan dalam agama (QS. alHajj: 78) Allah juga menegaskan, bahwa Dia hanya menghendaki kemudahan,
رس ُ ُي ِريدُ م َ ْ ُرس َوال ُي ِريدُ ِج ُ ُنك امْ ُؾ َ ْ اَّلل ِج ُ ُنك امْي
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Dia tidak menghendaki kesulitan. (QS. al-Baqarah: 185). As-Syathibi mengatakan,
ان ا ألدةل ؽىل رفػ احلرج ؼن ىذه ا ألمة توغت مدوؿ املطػ
Bahwa dalil yang menunjukkan peniadaan kesulitan dari umat ini, statusnya qath’i (absolut). (al-Muwafaqat, 1/231) Diantara bukti bahwa syariat meniadakan adanya al-haraj, 1. Syariat memberikan adanya rukhshah 2. Syariat membedakan antara aturan yang berlaku dalam kondisi normal dan aturan dalam kondisi terpaksa. Muslim harus bisa membedakan. Ibnul Wazir menulis,
ومن مل يفرق تني حايل الاخذيار والاضطرار؛ فلد هجل املؾلول واملنلول Orang yang tidak bisa membedakan antara kondisi ikhtiyari dan kondisi dharuri, berarti cara berpikirnya rendah dan banyak tidak tahu dalil. (al-Awashim wa al-Qawashim, 8/174) 3. Syariat membedakan anturan untuk orang normal dengan ahlul a’dzar (orang yang memiliki udzur).
21
4. Syariat membedakan sebagian aturan yang berlaku untuk lelaki dan wanita Macam-macam Keringanan Syariat Keringan Syariat ada 2: Pertama, keringan yang datang sejak awal dari syariat, dan ini terjadi pada hampir semua aturan syariat. Seperti: shalat hanya 5 rakaat, tidak 50 rakaat, ada syariat sahur untuk puasa, haji hanya bagi yang mampu, dst. Kedua, keringanan yang diberikan oleh syariat karena adanya udzur dan beban berat yang dialami seseorang, yang diistilahkan denga rukhshah. Keringanan jenis inilah yang dimasukkan dalam pembahasan kaidah ini. Karena itu, kaidah al-Masyaqqah mengharuskan adanya kemudahan, berkaitan dengan masalah rukhshah dengan berbagai jenisnya. Masih dalam lingkup kaidah terkait kondisi dharurat. Contoh Penerapan Kaidah Berikut beberapa contoh kasus penerapan kaidah ini, 1. Bolehnnya memanfaatkan barang milik orang lain dalam batas yang diizinkan. Karena jika manusia hanya boleh memanfaatkan barang yang hanya milik pribadinya, tentu dia akan mengalami masyaqqah yang besar. Bisa dipastikan, tidak semua yang dia manfaatkan milik pribadinya. Ada diantaranya milik umum, bahkan milik ornag lain. Untuk itu, adanya transaksi sewa, pinjam, dst, bagian dari peniadaan masyaqqah bagi umat 2. Syariat juga membolehkan transaksi yang serah terimanya tidak sama. Meskipun sepadan menurut yang melakukan transaksi. Syariat memboehkan adanya hawalah, rahn, 22
kafalah, menggugurka sebagian utang sebagai bentuk sulh, menebus sumpah, dst. Karena jika semua harus sama, tentu akan menimbulkan masyaqqah. 3. Adanya wasiat, sehingga seseorang bisa memberika hartanya kepada orang lain setelah dia meninggal. Dalam rangka menghilangkan unsur masyaqqah. 4. Peniadaan dosa bagi mujtahid karena kesalahan ijtihad. Sehebat apapun manusia, dia tidak akan lepas dari dosa dan kesalahan. 5. Syariat membolehkan berdalil dengan dzan rajih (dugaan kuat). Tidak harus semuanya pada derajat yakin dan absolut. 6. Syariat menbolehkan melihat wanita yang bukan mahram, bagi dokter, saksi, atau orang yang melamar. 7. Bolehnya menikahi 4 wanita. Untuk meringankan beban para wanita. 8. Adanya aturan cerai dalam pernikahan. Orang yang menikah tidak diwajibkan mempertahankan pernnikahannya sampai akhir hayat. 9. Adanya kaffarah dalam zihar dan sumpah. Memudahkan bagi mukallaf. 10. Adanya pilihan dalam melaksanakan haji. Agar mereka bisa menyesuaikan sesuai kondisi masing-masing. 11. Bolehnya bai’ salam, padahal ini termasuk bai’ ma’dum (menjual barang yg belum di tangan).
23
Makna Rukhshah Secara bahasa artinya as-suhulah ( )امسيوةلkemudahan, kelembutan, dan memberikan keloggaran. Lawan dari keras. Harga murah disebut rakhis. (al-Misbah al-Munir). Secara istilah
ثوسؾ ًا ِف امضيق،تناء ؽىل ا ألؽذار مػ كيام الميل احملرم ً يه ا ألحاكم اميت زحدت مرشوؼيهتا
Hukum yang berlaku karena adanya udzur, semetara terdapat dalil yang melarangnya, dalam rangka memberi kelonggaran untuk situasi mendesak. (al-Wajiz fi Qawaid Fiqh). Macam-macam Bentuk Rukhshah Para ulama menyebutkan ada 7 macam bentuk rukhshah; Pertama, rukhshah isqath (menggugurkan). Syriat menggugurkan sebagian kewajiban ibadah bagi orang yang memiliki udzur Kedua, rukhshah tanqish (pengurangan). Syriat mengurangi sebagian ibadah bagi ahli udzur. Misalnya adanya syariat qashar shalat, bolehnya shalat sambil duduk bila sakit, dst Ketiga, rukhshah ibdal (penggantian) Mengganti satu ibadah dengan ibadah lain. Wudhu dan mandi besar diganti tayammum, bagi yang udzur. Mengganti berdiri dengan duduk ketika shalat. Mengganti gerakan rukuk sujud dengan isyarat. Keempat, rukhshah taqdim (mendahulukan) Seperti jamak taqdim, atau mendahulukan zakat sebelum haul, atau mendahulukan zakat fitrah sebelum waktu fitri ramadhan. Kelima, rukhshah ta’khir (menunda) Adanya Jamak ta’khir, menunda pelaksanaan puasa ramadhan karena safar, haid, atau nifas. Mengkahirkan shalat karena udzur. 24
Keenam, rukhshah idhtirar (terpaksa) Keinganan melanggar yang haram, karena ada masalahat lebih besar atau untuk menghindari bahaya lebih besar. Seperti; Melihat aurat pasien yang dibutuhkan dokter, nadzar wanita yang dikhitbah, makan bangkai karena kelaparan, dst. Ketujuh, rukhshah taghyir (perubahan tata cara) Keringanan yang berlaku untuk shalat khauf. Turunan Kaidah Kaidah pertama,
اذا ضاق ا ألمر اجسػ واذا اجسػ ا ألمر ضاق
Jika ada masalah sempit maka dilonggarkan dan jika terlalu longgar disempitkan Contoh kaidah 1. Larangan menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari, kemudian dinasakh menjadi boleh menyimpan daging kurban tanpa batas. 2. Jika seorang wanita tidak memiliki seorangpun lelaki yang bisa menjadi walinya dalam safar, dia boleh menyerahkan hak walinya kepada lelaki lain, menurut pendapat as-Syafii. 3. Diterimanya persaksian anak-anak dan wanita di tempattempat yang tidak mungkin dikunjungi lelaki dewasa. 4. Diterimanya persaksian seorang wanita terait masalah persusuan. 5. Bolehnya menggaji orang yang melakukan ibadah sosial keagamaan, seperti imam shalat, muadzin, atau takmir, dalam rangka menjaga syiar islam. Kaidah Kedua,
امرضوراث ثلدر تلدرىا 25
Dharurat itu dibatasi sesuai kebutuhannya Contoh penerapan kaidah 1. Orang yang tidak bisa rukuk dan sujud, namun bisa berdiri, dia tetap wajib berdiri. Rukuk dan sujudnya menggunakan isyarat. 2. Orang yang terpaksa hanya boleh makan bangkai yang cukup untuk menahan kelaparannya, sehingga menyelamatkan dia dari ancaman kematian 3. Dokter boleh melihat aurat hanya sebatas untuk kebutuhan pengobatan 4. Sumpah dusta tidak boleh dilakukan dalam kondisi dharurat. Yang dibolehkan hanya ta’ridh, untuk megnhindari darurat 5. Pembalut luka tidak boleh menutupi bagian yang tidak ada hubungannya dengan luka, sehingga menghalangi sampainya air ketika wudhu atau mandi. Kaidah ketiga,
ما جاز مؾذر تطل جزواهل Sesuatu yang dibolehkan karena udzur, menjadi hilang dengan hilangnya udzur itu Contoh penerapan: 1. Orang yang tayamum menjadi wajib wudhu atau mandi jika mendapatkan air 2. Orang yang memakai sutera karena gatal, atau luka, wajib melepasnya jika lukanya sudah membaik 3. Orang yang makan bangkai karena kelaparan, tidak boleh lagi makan jika menemukan makanan yang halal 26
Kaidah keempat,
احلاجة ثزنل مزنةل امرضورت ؽامة اكهت بأو خاضة
Hajah bisa berstatus sebagaimana darurat, baik hajah umum maupun khusus Yang dimaksud dengan hajah adalah kebutuhan manusia di bawah kondisi darurat. Dimana jika dia tidak terpenuhi, tidak mengancam keselamatan nyawa atau badan seseorang, hanya saja, kehidupannya menjadi tidak normal. Contoh Penerapan Kaidah 1. Dibolehkannya transaksi jualah, hawalah, dan salam. Padahal ini bertabrakan dengan syarat transaksi yang sah. Namun manusia sangat membutuhkan semua transaksi ini. Namun ini semua dibolehkan karena hajah. 2. Foto manusia, hukum asalnya tidak diperbolehkan. Apalagi berisi aurat. Di zaman ini, komoditas utama tidak mungkin bisa lepas dari semua ini. Kaidah kelima,
الاضطرار ال يحطل حق امغري Darurat tidak membatalkan hak orang lain Kaidah ini seolah menjadi batasan untuk kaidah ‘Darurat membolehkan hal yang terlarang’ Sekalipun boleh melanggar larangan karena darurat, namun tidak boleh melanggar hak orang lain. Contoh Kaidah:
27
1. Jika ada orang yang terpaksa makan makanan orang lain, dia wajib mengganti rugi. 2. Jika ada hewan milik orang lain yang menyerang, dia boleh dibunuh. Dan menurut hanafiyah, wajib ganti rugi. Kecuali jika hewan ini terkenal suka ganggu dan pemilim sudah diingatkan, namun tetap teledor. Dalam hal ini tidak ada gnti rugi. 3. Jika perahu kelebihan beban, dia boleh membuang harta orang lain tanpa izin, namun wajib ganti rugi. Kaidah Keenam
اذا ثؾذر ا ألضل يطار اىل امحدل
Jika tidak bisa melakukan yang asal, harus berpindah kepada penggantinya. Yang dimaksud asal: aturan baku yang harus dipenuhi. Sedangkan badal adalah rukhshahnya.
28
Kaidah Keempat,
ال رضر وال رضار Tidak boleh ada bahaya untuk diri sendiri maupun orang lain, baik disengaja maupun tanpa sengaja. (Fath al-Qowi) Atau
امرضر يزال Segala yang membahayakan harus dihilangkan Kalimat pertama disebutkan dalam hadis dari Sa’d bin Malik alKhudri radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadis ini statusnya hasan. Penjelasan Umum Kaidah ini termasuk salah satu rukun dalam syariat. Terdapat banyak dalil dari al-Quran maupun hadis yang menjelaskan kaidah ini. Kaidah ini menjadi landasan banyak bab fiqh, seperti mengembalikan barang yang memiliki aib, adanya hak khiyar, pemboikotan dengan segala ragamnya, masalah syuf’ah, qishas, hukuman had, kaffarah, ganti rugi barang yang rusak, dan pemaksaan dalam menunaikan hak. Termamuk bagian dalam aturan penentuan qadhi dan hakim. Karena itu, memberikan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat, tidaklah bertentangan dengan kaidah ini, meskipun dalam penerapannya terdapat dharar yang dialami bagi orang yang dihukum. Karena pemberian had merupakan bentuk keadilan dan dalam rangka mencegah bahaya yang lebih besar. Macam-macam Dharar Memberikan Dharar kepada Orang lain ada 2: 29
Pertama, memberikan dharar kepada orang lain tanpa ada manfaat sedikitpun bagi orang yang melakukan tindakan dharar. Sehingga tujuannya hanya untuk menyakiti sasaran. Ini termasuk tindakan jahat yang bernilai dosa besar. Contoh: Memberikan dharar dalam wasiat. Orang yang meninggal mewasiatkan sebagian besar hartanya dengan maksud agar ahli waris tidak mendapatkan warisan. Allah berfirman,
ِمن تَؾ ِد وض مي ٍة يُوىص هبِ ا بأو د ٍَين غَ ْ ِري ُمضَ ٍار
‛Ditunaikan sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (QS. an-Nisa: 12) Demikian pula, merujuk istri dalam rangka mendzalimi istri. Allah berfirman,
ٍ ٍ مبؾروف وال ث ُِمس ُكوى مُن سحوى مُن غن بأ َجوَي مُن فبأ ِمس ُكوى مُن ُ واذا ِ ّ َ مبؾروف بأو َ َساء فدَو َ طولُت ام ِن ِرضارًا مخَ ْؾخدُ وا
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.. (QS. alBaqarah: 231) Kedua, memberikan dharar karena tujuan pribadi yang dibenarkan. Seperti si A menggunakan barangnya untuk tujuan pribadi, namun ternyata mengganggu si B. Atau menghalangi si B untuk memanfaatkan barangnya, yang menyebabkan si B mendapatkan madharat. 30
Dalam kasus ini, ulama membaginya menjadi dua: 1. Si A menggunakan barangnya di luar kondisi normal (Ghairul Mu’tad), seperti orang yang menyalakan api di tanahnya di musim kering, sehingga membakar harta tetangganya. Si A dihukumi merusak barang orang lain dan wajib ganti rugi 2. Si A menggunakan barangnya sesuai standar (ala wajh alMu’tad), apakah dia harus dilarang jika mengganggu tetangganya? Ada 2 pendapat: a. Dia wajib dilarang, karena mengganggu orang lain. Ini pendapat Ahmad dan Malik. b. Dia tidak boleh dilarang, karena dia menggunakan barang milik pribadinya. Ini pendapat Abu Hanifah dan as-Syafii. Contoh: orang yang ternak ayam, yang menimbulkan bau bagi tetangganya. Makna Tidak Ada Dhirar Diantara makna dhirar adalah membahayakan orang lain sebagai bentuk membalas dharar yang diberikan orang lain. Memberikan madharat kepada orang lain, sekalipun dengan tujuan membalas dibatasi dalam syariat. Hanya boleh dilakukan dalam kondisi sangat ketat. Orang yang merusak harta temannya, tidak boleh dibalas dengan merusak hartanya. Karena ini sama dengan melebarkan dharar tanpa manfaat. Sehingga dialihkan dengan mengganti rugi barang yang dirusak. Ini berbeda dengan tindak kriminal terhadap fisik, ada syariat qishas. Karena tindak kriminal tidak ada cara untuk menghentikannya selain hukuman yang semisal.
31
Contoh Penerapan Kaidah Jika masa sewa lahan pertanian telah usai sebelum masa panen, maka sewa harus diperpanjang dengan biaya normal sampai masa panen, agar tidak ada dharar yang menimpa penyewa dengan memindahkan tanaman di lahan tersebut. Orang yang menjual barang yang cepat rusak, (misalnya buah), namun penjual tidak bisa ditemui sementara buah cepat busuk, dan belum dibayar tunai, maka penjual bisa membatalkan akad sepihak untuk dijual ke orang lain. Dalam rangka menghilangkan dharar. Boleh menahan orang yang dikenal suka membuat onar di masyarakat, sampai dia bertaubat. Meskipun dia sama sekali tidak melakukan tindak kriminal tertentu. Turunan Kaidah Kaidah pertama,
امرضر يدفػ تلدر االماكن Dharar harus dihilangkan sebisa mungkin. Artinya: segala bentuk dharar harus dihilangkan. Jika memungkinkan, dicegah dengan cara yang tidak menimbulkan dharar baru. Jika tidak, bisa digunakan cara yang bahayanya seminimal mungkin. Kaidah ini merupakan landasan wajibnya mencegah dharar sebelum terjadi dengan cara apapun yang paling ringan madharatnya. Dalam rangka mewujudkan maslahah mursalah. Sehingga kaidah ini bagian dari prinsip mencega lebih baik dari pada mengobati. Dalilnya firman Allah,
ِ وبَ ِؽ ردوا مَيُم ما اس َخ َط ْؾ ُُت من كُ مو ٍت و ِمن ِر ِ ون ِت ِو ؽَدُ موا هللا وؽَدُ مو ُ ْمك َ ابط اخلَ ْيلِ ُح ْر ِى ُح 32
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu (QS. Al-Anfal: 60) Contoh pencegahan untuk kemaslahatan umum 1. Adanya syariat jihad untuk menghalangi kejahatan musuh 2. Adanya hukuman untuk menghentikan kriminal dan menjaga keamanan Contoh pencegahan untuk kemaslahatan khusus Adanya syariat syuf’ah untuk mencegah terjadinya dharar kepada orang terdekat. Adanya anjuran boikot jual beli bagi orang yang tidak tahu uang. Untuk mencegah dharar dalam bentuk kerugian ketika jual beli Adanya syariat karantina bagi orang yang bangkrut banyak utang. Untuk melindungi hak para kreditor Kaidah Kedua
امرضر يزال Dharar harus dihilangkan Kaidah ini memberi pelajaran wajibnnya menghilangkan dharar setelah hal itu terjadi. Contoh: 1. Jika ada barang orang lain yang menganggu jalan umum dan orang lewat, harus dihilangkan. Demikian pula ketika bangunan orang mengganggu orang yang lewat, harus dihilangkan. 33
2. Orang yang merusak barang orang lain, wajib ganti rugi. Karena dharar yang dia lakukan. 3. Jika dahan tanaman tetangga mengganggu rumah orang lain, maka pemilik diwajibkan memotongnya. 4. Adanya hak khiyar dalam sebagian akad, tujuannya untuk menghilangkan dharar.
Kaidah Ketiga,
امرضر ال يزال مبثهل Dharar tidak boleh dihilangkan dengan yang semisal Uangkapan lain:
امرضر ال يزال ابمرضر Dharar tidak boleh dihilangkan dengan dharar Kaidah ini memberi batas bagi kaidah-kaidah sebelumnya. Karena sekallipun dharar wajib dihilangkan, tidak boleh dengan cara yang menimbulkan dharar berikutnya. Contoh: 1. Orang yang kelaparan, tidak boleh mengambil makanan orang lain yang juga kelaparan 2. Orang yang dipaksa untuk membunuh, tidak boleh mewujudkan paksaannya 3. Jika ada cacat pada barang sebelum dipegang pembeli, kemudian setelah di tangan pembeli ada cacat baru lagi, maka barang tidak boleh dikembalikan dengan alasan cacat lama, karena ini memberikan dharar kepada penjual. Kecuali jika penjual ridha. Jika tidak, yang dilakukan adalah menjual membayar arsy. 34
Kaidah Keempat,
خيخار بأخف امرضرين
Dipilih solusi yang dhararnya paling ringan Dalam teks yang lain,
امرضر ا ألشد يزال ابمرضر ا ألخف
Dharar yang lebih berat dihilangkan dengan dharar yang lebih ringan Atau
اذا ثؾارض مفسداتن روؼ بأخفيام رضر ًا
Apabila ada 2 mafsadah, maka diperhatikan mana yang lebih ringan dhararnya Contoh: 1. Jika ada orang punya luka, ketika sujud menyebabkan kotorannya keluar, maka dia boleh berisyarat dan shalat sambil duduk. Karena tidak sujud sempurna, lebih ringan dhararnya dari pada keluar najis ketika shalat. 2. Jika orang shalat sambil berdiri menyebabkan banyak auratnya terlihat, maka dia shalat sambil duduk. Karena tidak berdiri, dhararnya lebih ringan. 3. Jika ada ayam yang menelan mutiara milik orang lain, maka pemilik mutiara boleh membeli ayam itu untuk disembelih. 4. Jika kapal kelebihan beban, boleh membuang barang yang ada di dalamnya. Dengan ganti rugi. 5. Boleh membelah perut ibu yang meninggal, untuk menyelamatkan janin yang hidup di dalamnya, jika masih ada harapan untuk hidup. 6. Jika kaum muslimin tdk bisa menghadapi kekuatan musuh, boleh berdamai dengan membayar upeti ke mereka. Karena dharar harta lebih ringan. 35
Kaidah Kelima,
يخحمل امرضر اخلاص لفػ رضر ؽام Membiarkan dharar yang dampaknya terbatas, untuk menghilangkan dharar yang dampaknya lebih luas Syariat melindungi dharuriyat al-khams (5 kebutuhan dasar). Sehingga semua tindakan yang menyebabkan tidak terwujudnya salah satu dari 5 hal pokok ini, statusnya madharat yang harus dihilangkan. Untuk mewujudkan maqashid syariah ini, dharar ‘am harus dihilangkan sekalipun melanggar dharar khas. Karena itulah, syariat menetapkan 1. had potong tangan, dalam rangka melindungi harta 2. had zina dan qadzaf, dalam rangka melindungi kehormatan 3. hukuman peminum khamr, untuk melindungi akal 4. qishas untuk melindungi nyawa, dan 5. membunuh orang murtad untuk melindungi agama. Untuk itu pula, syariat mengarahkan hukuman bunuh untuk penyihir, karena dia menjadi sumber fitnah. Dan membunuh orang kafir yang suka menyesatkan, karena dia mengajak manusia melakukan kesyirikan. Maka dharar khas dibiarkan untuk menolak dharar ’am. Contoh penerapan: 1. Bolehnya menembak orang kafir yang berlindung di tengah tawanan kaum muslimin, atau anak-anak, atau wanita. 2. Boikot untuk dokter yang suka mal-praktek, dalam rangka menjaga nyawa pasien 36
3. Boleh menetapkan harga untuk barang yang ditimbun dan memaksa menjualnya, dalam rangka meghilangkan dharar di masyarakat Kaidah Keenam,
درء املفاسد بأوىل من جوة املطاحل
Menolak mafsadah lebih diutamakan dari pada mendapatkan maslahat Dalil kaidah ini adalah firman Allah,
ِ ُون من ُدو ِن هللا ؽَدْ و ًا ِتغ ْ َِري ِؽ ْ ٍمل َ هللا فَيَ ُس رحوا َ وال ج َ ُس ُحوا م ِاذل َين يَدْ ؼ
Janganlah kalian menghina berhala yang mereka sembah, karena mereka akan membalasnya dengan menghina Allah tanpa ilmu.. (al-An’am: 108) Menghina berhala orang kafir, ada maslahatnya, yaitu merendahkan agama mereka. Namun ini dilarang karena bisa berdampak mafsadah, dalam bentuk mereka balas dendam dengan menghina Allah. Kaidah ini bagian dari prinsip lebih mengedepankan sisi yang mengharamkan dibandingkan sisi yang menghalalkan. Sebagaimana dinyatakan,
اذا اجمتػ احلالل واحلرام بأو املحيح واحملرم غوّة احلرام
Jika halal dan haram berkumpul, maka lebih didominankan sisi yang haram. Karena memenangkan sisi haram, dalam rangka dar-ul mafasid (menghilangkan mafsadah).
37
Kaidah Kelima,
امؾادت م حمَّكة
Adat diperlakukan sebagai penentu Banyak hal dalam syariat, Allah mengembalikan standar sesuatu kepada adat dan urf yang berlaku di masyarakat. Cara menuntut hak diyat, Allah ajarkan agar dilakukan sesuai urf
ِ فَاثْحِاعٌ ِابمل َ ْؾ ُر وف وبأدَا ٌء امَ ْي ِو ِاب ْح َس ٍان ِ ِ pema'afan dari saudaranya,
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). (QS. al-Baqarah: 178).
Dalam masalah wasiat, juga Allah kembalikan kepada standar urf:
ِ رض بَ َحدَ ُمكُ امْ َم ْو ُث ا ْن حَ َركَ خ ْ ًَريا امْ َو ِض مي ُة نِوْ َو ِ َال ْي ِن َو ْ َال ْك َرت َِني ِابمْ َم ْؾ ُر وف َ َ ُنخِ َة ؽَوَ ْي ُ ْنك ا َذا َح ِ ِ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibubapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. (QS. al-Baqarah: 180).
Allah juga perintahkan agar suami mempergauli istri dengan cara yang sesuai estándar masyarakat,
ِ ارشوى مُن ِابمْ َم ْؾ ُر وف ُ ِ ََوؽ
Pergauli istrimu dengan cara yang makruf (QS. An-Nisa: 19). Demikian pula yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam masalah nafkah, beliau memberi hak istri utk mengambil sesuai urf,
خذي ما يكفيم وولك ابملؾروف 38
‚Ambillah nafkah itu yang cukup untukmu dan anakmu dengan cara makruf.‛ (HR. Bukhari, Nasai, Abu Daud dan yang lainnya). Pengertian ‘Adah dan Urf Adat secara bahasa berasal dari kata: ‘ada – ya’udu yang artinya mengulang. ‘Adah merupakan isim untuk menunjukkan perbuatan yang berulang. Sedangkan Urf dari kata makruf. Kata makruf adalah kata yang digunakan untuk menyebut sesuatu yang dikenal baik secara logika dan syariat. Kebalikannya adalah munkar. Al-Jurjani mengatakan,
امؾرف ما اس خلر ِف امنفوس ثشيادت امؾلول وثولذو امطحائػ ابملدول Urf adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa, karena sesuai akal, dan diterima oleh tabiat baik manusia. (at-Ta’rifat) Makna Kaidah Bahwa adat dna urf dalam pandangan syariat bisa menjadi penentu untuk hukum-hukum terkait muamalah sesama manusia. Selama di sana tidak ada dalil tegas yang bertentangan dengan adat tersebut. Adat & Adat Vs Dalil Syariat Pertama, jika ada adat yang sesuai dengan dalil syariat, wajib untuk diperhatikan dan diterapkan. Karena mempraktekkan hal ini hakekatnya mempraktekkan dalil dan bukan semata adat. Contoh: memuliakan tamu. Kedua, jika adat bertentangan dengan dalil syariat, ada beberapa rincian keadaan sebagai berikut, Keadaan pertama, adat bertentangan dengan dalil dari segala sisi. Menggunakan adat otomatis akan meninggalkan dalil. 39
Dalam kondisi ini adat sama sekali tidak berlaku. Misalnya: tradisi koperasi simpan pinjam berbunga. Keadaan kedua, adat bertentangan dengan dalil dalam sebagian aspek. Dalam kondisi ini, bagian yang bertentanga dengan dalil, wajib tidak diberlakukan. Misalnya: Dropshipping dengan cara terutang. Kedaan ketiga, dalil yang bertentangan dengan Urf, dibatasi dengan latar belakang adat yang terjadi ketika itu. Misalnya, larangan membiarkan api penerangan menyala di malam hari. Atau larangan minum air dari mulut botol. Syarat Adat dan Urf bisa Diberlakukan Ada 3 syarat, dimana adat dan urf boleh diberlakukan, Pertama, menyeluruh (ittirad) Artinya kebiasaan itu terus-menerus dilakukan dalam setiap waktu dan keadaan, bukan sesekali. Kedua, dominan (ghalabah) Adat dan kebiasaan ini terjadi pada umumnya masyarakat dan umumnya kejadian. Ketiga, tersebar (Syuyu’) Artinya, tersebar secara meluas ke semua masyarakat, sehingga hampir tidak ada satupun yang tidak mengenalnya. Catatan: Kaidah ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menentukan: 1. Hukum baru 2. Anjuran melakukan ibadah baru Karena dua hal di atas, semuanya harus berdasarkan dalil. Kaidah ini berlaku ketika ada rincian hukum yang standarnya dikembalikan kepada adat dan urf masyarakat.
40
Contoh Penerapan kaidah 1. Fatwa larangan bagi wanita mengendarai mobil sendiri. 2. Fatwa bolehnya menggaji muadzin atau imam masjid atau tokoh agama yang menghabiskan waktunya untuk berkhidmat bagi umat. 3. Provokator dikenakan hukuman denda karena kerusakan yang ditimbulkan dari provokasinya. Meskipun yang merusak orang lain. Ini bertentangan dengan kaidah: 4. [’ ]امضامن ؽىل املحارش دون املدسخةGanti rugi dibebankan kepada yang bertindak langsung, bukan kepada penyebab’ 5. Berlakunya ucapan talak 3 kali berturut-turut sebagai talak 3 Itu semua bisa jadi mengalami perubahan hukum, mengikuti urf yang ada di masyarakat. Turunan Kaidah Kaidah Pertama,
اس خؾامل امناس جحة جية امؾمل هبا Standar masyarakat bisa menjadi hujjah yang wajib dipraktekkan Urf dan estándar yang berlaku di masyarakat, selama tidak bertentangan dengan dalil bisa dijadikan hujjah. Jika stándar ini berlaku umum, maka dia menjadi hujjah untuk umum. Jika standar ini hanya berlaku di wilayah tertentu, mayoritas ulama hanafiyah dan syafiiyah berpendapat ini tidak termasuk hujjah yang bisa mengkhususkan nash yang umum.
41
Misal: 1. Jika si A titip kepada si B untuk membelikan barang x di pasar, setelah mendapat barang, si B minta upah Rp 30.000. Apakah si A wajib memberinya? Kembali kepada standar yang berlaku di masyarakat. adakah upah itu, dan berapa nilai normalnya? 2. Si A meminta si B menjadi karyawan. Tidak ada perjanjian di muka mengenai gaji. Berapa gaji yang harus diterima si B? Kembali kepada standar masyarakat. 3. Si A meminta si B memperbaiki rumah yang butuh waktu sepekan. Berapa jam sehari si B harus bekerja?, kembali ke standar masyarakat. Kaidah Kedua,
امؾربت نوغامة امشائػ ال نونادر Yang menjadi acuan adalah yang dominan dan tersebar, bukan yang jarang terjadi Semakna dengan,
ال ؽربت ابمؾرف امطارئ Tidak bisa dijadikan acuan, urf yang baru datang. Kaidah ini menjadi batas syarat berlakunya urf untuk bisa dijadikan acuan. Urf itu berlaku jika dia menyeluruh, dominan, dan masyhur. Demikian pula, urf harus mendahului hukum. Contoh Kata ‘Sabilillah’ dalam ayat zakat berlaku untuk hal yang terkait kemaslahatan jihad dan kegiatan sosial keagamaan. Di masa sekarang kata ‘sabilillah’ digunakan untuk masjid.
42
Untuk kasus ini, kata ‘Sabilillah’ tetap berlaku sebagaimana makna yang berlaku di masa silam, karena tidak bisa dijadikan acuan untuk urf yang thari’. Kaidah Ketiga,
احلليلة ثَتك تدالةل امؾادت Hakikat lughawiyah ditinggalkan untuk makna adat Kaidah ini berlaku ketika bahasa bertentangan dengan urf, maka yang diberlakukan adalah urf dan bukan makna bahasa. Contoh: Jika ada orang bersumpah, ‘Saya tidak akan naik honda’ makna kata honda kembali kepada urf.
Kaidah Keempat,
امكذاة اكخلطاة Tulisan sebagaimana ucapan. Kalimat yang tertulis, statusnya sebagaimana ucapan. Meskipun penulis sama sekali tidak pernah mengucapkannya. Contoh: 1. Kantin kejujuran, tertulis ’Semua Rp. 1000’ maka semua yang beli bisa bayar meskipun tdk ada akad 2. Undangan nikah melalui surat undangan. Kaidah Kelima
املؾروف ؼرفا اكملرشوط رشطا Ketentuan yang menjadi Urf, statusnya sebagaimana syarat
43
Apa yang berlaku dan menjadi standar masyarakat, statusnya menjadi batas setiap muamalah yang dilakukan manusia, sekalipun dia tidak menyebutkannya. - Seorang tukang berhak mendapatkan upah satu pekan 600rb. Sekalipun dia tidak kerja sehari, karena libur. - Hadiah ketika pelunasan utang termasuk riba jika itu termasuk kebiasaan di masyarakat. Karena kebiasaan statusnya sperti syarat.
44
Kaidah Keenam
اؼامل امالكم بأوىل من اىامهل
Menggunakan kalam lebih didahulukan dari pada membuang kalam Kaidah ini jarang disinggung para penulis yang membahas qawaid fiqhiyah kubro. Padahal kaidah ini cakupannya sangat luas. Sehingga sebagian ulama yang memasukkannya ke dalam kaidah fiqh kubro. Diantaranya, kaidah ini banyak digunakan dalam memahami teks dalil, pembahasan tafsir, memahami hadis, dan kajian Ushul Fiqh. Salah satu kaidah yang berlaku dalam ushul fiqh, Yang merupakan bagian dari penerapan kaidah di atas,
ادلػ ملدم ؽىل امَتجيح Kompromi lebih didahulukan dari pada tarjih.. Disamping itu, kaidah ini juga digunakan untuk memahami ucapan manusia dalam muamalah mereka. Makna Kaidah Orang yang berakal, dalam kondisi penting, dia akan memikirkan setiap apa yang dia ucapkan. Sehingga setiap pembicaraannya ada konsekuensinya. Sehingga ucapan orang yang berakal, dalam situasi tertentu, teranggap, terlindungi dan tidak boleh disia-siakan. Kecuali jika sama sekali tidak mungkin bisa dipahami. Dalam kondisi ini, ucapannya boleh dibuang. Contoh Penerapan Kaidah: 45
1. Orang yang bersumpah, ‘Demi Allah, saya sama sekali tidak akan menyentuh barangmu!’ kemudian dia memakai sepedanya, maka statusnya melanggar sumpah. 2. Orang mengatakan, ‘Semua yang ada di ruangan ini silahkan dipake di tempat’ berarti dia mengizinkan untuk memanfaatkan semua barang di ruangan itu tanpa terkecuali. Jika ada ucapan yang sama sekali tidak mungkin bisa dipahami, baik secara hakiki maupun majaz, maka ucapan ini tidak dihiraukan. Misalnya: Seorang suami mengatakan tentang istrinya: ‚Ini putriku.‛ Ini tidak perlu dihiraukan, karena tidak bisa dipahami dengan pendekatan apapun. Sehingga tidak mengubah status nasab. Dan kalimat ini juga tidak bisa dipahami talak, karena tidak ada kalimat majaz dengan menyebut istri sebagai anak. Tuunan Kaidah Kaidah pertama,
ا ألضل ِف امالكم احلليلة
Hukum asal ucapan adalah sesuai makna hakiki Makna hakiki artinya makna yang dipahami sesuai penggunaannya dalam bahasa dan bukan majaz. Contoh penerapan, Jika si A mengatakan kepada si B, ‘Aku hibahkan tanah ini untukmu.’ Jika si A minta uang tanah kepada si B, dengan alasan, kalimat hibah itu majaz, dengan maksud jual, maka tidak diterima. 46
Karena makna hakiki dari hibah adalah pemberian tanpa bayaran. Sementara si A dengan tegas menyatakan hibah. Kadiah kedua,
اذا ثؾذر اؼامل امالكم هيمل Ketika ucapan tidak memungkinkan untuk dipahami, maka dia dianggap tidak ada. Ketika ucapan tidak bisa dipahami, baik secara makna hakiki atau majaz, maka dianggap tidak ada. Misalnya ada orang yang belllum menikah. Ketika hendak meninggal, dia mengatakan: Kuberikan rumah ini untuk anak kandungku. Karena jelas tidak punya anak kandung, rumah ini jatuh waris ke saudaranya. Sementara ucapan orang itu dianggap tidak ada. Kadiah ketiga,
ذهر تؾظ ما ال يخجزبأ نذهر لكو
Menyebutkan sebagian benda yang tidak bisa dibagi, seperti menyebutkan keseluruhan. Misalnya orang mengatakan, ‚Aku infakkan setengah motorku.‛ Motor tidak mungkin bisa dibagi. Sehingga yang berlaku, diinfakkan semua motornya. Allahu a’lam
Semoga bermanfaat
47