KAIDAH FIKIH AL-YAQIN LA YUZALU BI AL-SYAKK MENURUT ABDUL HAMID HAKIM
SKRIPSI Diajukan guna memenuhi kewajiban dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama dalam Ilmu Hukum Islam
Disusun Oleh MUDHOFAR 211.02.023
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI STAIN SALATIGA 1431 H / 2010 M
DEPARTEMEN GAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar No. 2 Telp. (0298) 323706, 323433 Fax. 323433 Salatiga 50721 NOTA PEMBIMBING Lampiran : 3 eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Tth. Ketua STAIN Salatiga di – Salatiga
Assalamu alaikum Wr. Wb. Setelah diadakan pengarahan, bimbingan, koreksi dan perbaikan seperlunya, maka skripsi saudara:
Nama
: Mudhofar
NIM
: 211.02.023
Judul
: Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk Menurut Abdul Hamid Hakim
Sudah dapat diajukan dalam sidang munaqasyah. Demikian surat ini dibuat, harap menjadikan perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 20 Maulud 1931 H 6 Maret 2010 M Pembimbing
Moh. Khusen, M.Ag., M.A. NIP.197.411.212.999.031.003
ii
DEPARTEMEN GAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar No. 2 Telp. (0298) 323706, 323433 Fax. 323433 Salatiga 50721 PENGESAHAN Judul Skripsi : KAIDAH FIKIH AL-YAQIN LA YUZALU BI AL-SYAKK MENURUT ABDUL HAMID HAKIM Nama
: MUDHOFAR
NIM
: 211.02.023
Telah diuji di depan Sidang Munaqasyah pada tanggal 27 Rabi’ul Awwal 1431 H / 13 Maret 2010 M, dan telah dinyatakan dsapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Agama dalam Ilmu Hukum Islam. Salatiga, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H 13 Maret 2010 M Panitia Munaqasyah Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dr. Imam Sutomo, M.Ag. NIP. 19580827 198303 1 002
Dr. H. Muh. Saerozi, M.Ag. NIP. 19660215 199103 1 001
Penguji I
Penguji II
Drs. Badwan, M.Ag. NIP. 19561202 198003 1 005
Drs. Machfud, M.Ag. NIP. 19610210 198703 1 006 Pembimbing
Moh. Khusen, M.Ag., M.A. NIP. 19741121 299903 1 003
iii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: ⇒ Pon-Pes Al-Manar, Bener, yang telah menggodok aku ⇒ Lembaga STAIN Salatiga, yang telah mempertemukanku dengannya ⇒ Pakku-Makku, dulur-dulurku, atas bantuannya dengan keringat serta do a skripsi ini bisa penulis selesaikan ⇒ Bolo-boloku Al-Manar, Kg. Jum, Salimna, Djasinta, dan semuanya saja yang ada di Al-Manar ⇒ Bolo kampus, Guz Njakkiy, Rebien, Napiz n tak lupa Jeng Kiki sa bolo-bolo angkatanie ⇒ Semua yang bersedia membaca skripsi ini ⇒ Oh yo
my motorcycle
CB
yang telah rela berkorban jadi
kudaku
iv
MOTTO
Ijtihad tidak mengenal ruang dan waktu
v
KATA PENGANTAR
Pujian bagi Allah Tuhan semesta alam, atas limpahan rahmat dan nikmat serta segalanya kepada makhluk-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada panutan seluruh umat, Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya. Berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih, skripsi ini dapat penulis selesaikan meskipun masih banyak kesalahan dan kekurangan. Dalam kesempatan inilah penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan selanjutnya, dan akhirnya penulis mendapat ilmu yang bermanfaat bagi penulis di dunia dan akhirat. Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengakhiri program studi tingkat sarjana (S1) pada Jurusan Syari’ah di STAIN Salaiga, maka penulis mengajukan skripsi yang berjudul: Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk Menurut Abdul Hamid Hakim. Dalam pengerjaan dan penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari Bapak Pembimbing serta Bapak/Ibu Dosen lainnya, oleh sebab itu penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Ketua STAIN Salatiga 2. Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah
vi
3. Bapak Moh. Khusen, M.Ag., M.A., selaku Ketua Progdi al-Akhwal alSyakhshiyyah (AS) sekaligus sebagai pembimbing. 4. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh staff di STAIN Salatiga 5. Rekan-rekan mahasiswa yang sedikit banyak telah memberi masukkan kepada penulis. Akhirnya semoga skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Salatiga, 6 Maret 2010 Penulis
MUDHOFAR
vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO ............................................. iv HALAMAN KATA PENGANTAR............................................................... vi HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................. viii BAB I : Pendahuluan ..................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Penegasan Istilah ................................................................................ 5 C. Rumusan Masalah .............................................................................. 7 D. Tujuan dan Keguanaan ....................................................................... 8 E. Telaah Pustaka ................................................................................... 8 F. Kerangka Teori .................................................................................. 10 G. Metode Penelitian............................................................................... 12 H. Sistematika Penulisan......................................................................... 14 BAB II
: Biografi Abdul Hamid Hakim....................................................... 16 A. Riwayat Hidup Abdul Hamid Hakim ...................................... 16 B. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Abdul Hamid Hakim .... 17 C. Karya-karya Abdul Hamid Hakim........................................... 19
BAB III : Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk Menurut Abdul Hamid Hakim ............................................................................... 29 A. Pengertian dan Sejarah Terbentuknya Kaidah Fikih ................ 29
viii
1. Pengertian Kaidah Fikih.................................................... 29 2. Sejarah Terbentuknya Kaidah Fikih .................................. 34 B. Pemikiran Abdul Hamid Hakim Tentang Kaidah Fikih AlYaqin La Yuzalu Bi al-Syakk ................................................... 39 C. Kaidah-kaidah Turunan dari Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk.............................................................................. 46 BAB IV : Kontribusi Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk Dalam Istinbath Hukum........................................................................... 59 A. Perbandingan Pemikiran Abdul Hamid Hakim dengan Ulama Lain ........................................................................................ 59 1. Jalaluddin Abdurrman al-Suyuthi...................................... 59 2. A. Djazuli ......................................................................... 65 B. Penerapan Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk dalam Perundang-undangan di Indonesia ................................ 70 1. Undang-Undang Perkawinan............................................. 70 2. Undang-Undang Wakaf..................................................... 74 BAB V : Penutup ........................................................................................ 80 A. Kesimpulan............................................................................. 80 B. Saran ...................................................................................... 81 LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, tidak semua ayatnya dapat dipahami oleh umat Islam. Oleh karena diperlukan penafsiran dan penjelasan terhadap ayat-ayatnya yang bersifat global. Pada saat Nabi masih hidup, penjelasan dengan mudah didapatkan oleh para sahabat dengan bertanya kepada Nabi. Jawaban Nabi atas pertanyaan sahabat sudah dapat dipastikan benar dan harus diikuti, karena segala ucapan dan perilaku beliau adalah wahyu, sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam surat Al-Najm ayat 34: 1
ÇÍÈ 4ÓyrqムÖÓórur žwÎ) uqèd ÷bÎ) ÇÌÈ #“uqolù;$# Ç`tã ß,ÏÜZtƒ $tBur
Begitu Rasulullah wafat, berakhirlah wahyu, dan dengan itu - menurut sunny - berarti para sahabat sudah tidak lagi punya tempat bertanya. Sejak saat itu banyak muncul masalah baru yang tidak terdapat jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah. Untuk menyelesaikan masalah itu, di samping dengan meneliti cakupan ayat juga dengan mengembangkan prinsip hukum dalam ayat al-Qur’an dan Sunnah. Usaha penelitian itu dikenal dengan ijtihad. Kebutuhan kepada ijtihad timbul dari karakteristik wahyu dan sunnah yang mesti dihadapkan kepada kenyataan sosial. Tanpa adanya usaha ijtihad 1
Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press, Bandung, t.t., hal. 1066
1
dapat dipastikan akan terdapat kesulitan dalam membuktikan bahwa Islam cocok
untuk
segala
waktu
dan
tempat.
Secara
historis,
dalam
perkembangannya sebagian besar hukum Islam telah dibentuk secara ijtihadi. Produk-produk ijtihad itu telah diakui sepanjang masa, dan telah membentuk tatanan hidup masyarakat Islam. Artinya, bahwa meskipun dalam bobot yang relatif rendah, hasil ijtihad itu telah turut membentuk sejarah umat Islam di samping ajaran yang secara tegas terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah.2 Sebagai satu kegiatan intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntunan wahyu, ijtihad memerlukan seperangkat kaidah atau metode. Metode inilah yang kemudian dikenal dengan ushul fikih. Meskipun ushul fikih sebagai satu disiplin ilmu baru tersusun secara sistematis pada abad kedua, namun dalam praktiknya ia telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya hukum fikih sebagai produk ijtihad.3 Kaidah fikih merupakan bagian dari ilmu ushul fikih yang perlu dipahami secara detail. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih penerapan fikih menjadi lebih arif dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, keadaan, dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu para ahli hukum juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lebih mudah di dalam memberi solusi terhadap problemproblem yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada
2
Murtadha Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengarantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, terj. Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1993, hal. 11 3 Murtadha Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, op.cit., hal. 11
2
kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan hikmah yang terkandung di dalam fikih.4 Salah seorang ulama yang mengkaji kaidah fikih secara khusus adalah Abdul Hamid Hakim (1893-1959). Dia dilahirkan di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Indonesia. Dia telah memberikan sumbangan tiga karya di bidang ushul fikih, yaitu Mabadi Awwaliyyah, al-Sullam dan al-Bayan. Mabadi Awwaliyyh merupakan buku yang membahas berbagai persoalan mendasar dalam ilmu ushul fikih serta beberapa kaidah fikih. Buku kedua adalah al-Sullam, merupakan buku lanjutan dari Mabadi
Awwaliyyah.
Kemudian buku ketiga adalah al-Bayan, yang juga membahas ushul fikih dan kaidah fikih. Buku Mabdi Awwaliyyah, al-Sullam, dan al-Bayan ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagai buku dasar dalam bidang ushul fikih, buku-buku tersebut cukup praktis dan singkat serta mudah dipahami bagi siswa, mahasiswa dan santri karena menggunakan bahasa yang sederhana. Salah satu kaidah fikih yang dibahas oleh Abdul Hamid Hakim adalah kaidah fikih
yang artinya keyakinan itu tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan. Sebagai contoh tindakan yang didasarkan pada kaidah ini adalah bahwa orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam
4
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet. II, 2007, hal. v
3
keadaan suci hanya saja untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya (tajdid al-wudhu).5 Contoh lain, seorang debitor mengaku telah membayar hutangnya kepada kreditor, tetapi si kreditor tidak mengakuinya, maka yang meyakinkan adalah belum ada pembayaran hutang, kecuali ada bukti lain yang meyakinkan pula, seperti adanya kwitansi pembayaran yang sah. Lain lagi halnya dengan kasus misalnya, si A mengaku bahwa si B berhutang kepadanya, tetapi si B menyatakan bahwa dia tidak mempunyai hutang kepada si A. Maka, yang diakui adalah perkataan si B, karena pada asalnya tidak ada hutang piutang antara si A dan si B. Kecuali si A mempunyai bukti yang sah dan meyakinkan bahwa si B mempunyai hutang kepadanya, seperti kwitansi penyerahan uang dari si A kepada si B.6 Dan masih banyak lagi contoh lain dalam kehidupan yang berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Ibadah yang merupakan apresiasi dan pembuktian dalam iman kepada Allah SWT harus dibarengi dengan keyakinan. Karena intisari dari iman adalah keyakinan, maka jika seseorang melakukan praktik ibadah tanpa adanya keyakinan, ibadahnya hanya sia-sia tanpa ada imbalan kepadanya. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan dibekali hati, akal pikiran, nafsu dalam keadaan tertentu akan menjadi bimbang dan ragu terhadap apa yang dia lakukan. Pilihan-pilihan, kejadian-kejadian yang
5 6
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, Sa’adiyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 25 A. Djazuli, op.cit., hal. 42
4
dialami manusia menjadikannya ragu atas hal mana yang benar menurut syari ah. Sebagaimana disebut di atas, Abdul Hamid Hakim merupakan salah satu tokoh pendidikan dan ulama fikih yang memiliki banyak kelebihan dan telah menghasilkan karya berupa buku. Buku-buku Abdul Hamid Hakim dewasa ini agaknya kurang begitu diperhatikan. Padahal bukunya yang membahas ushul fikih dan kaidah fikih sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia karena dia juga berlatar belakang asli orang Indonesia. Hanya sedikit pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang masih menggunakan referensi wajib atas buku-buku Abdul Hamid Hakim. Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai sosok Abdul Hamid Hakim dan teorinya tentang kaidah fikih
yang menurut penulis sangat penting dalam
kehidupan. Disamping itu penulis berharap dapat memberikan inspirasi bagi lembaga
pendidikan
formal
maupun
non-formal,
untuk
dapat
mengembangkan pembelajaran ushul fikih dengan rujukan karya Abdul Hamid Hakim. Karena walaupun karyanya ditulis dengan bahasa Arab, namun tetap mudah dipahami bagi siswa dan mahasiswa.
B. Penegasan Istilah Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalahfahaman, maka penulis kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi ini sebagai berikut: 1. Kaidah Fikih
5
Kaidah adalah perumusan dari asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang tentu, patokan, dalil (dalam ilmu pasti).7 Fikih berasal dari bahasa Arab
yang artinya paham atau
pemahaman yang mendalam.8 Fikih adalah ilmu yang membahas hukumhukum syari at yang putusan hukumnya dengan jalan ijtihad.9 2.
adalah kata dalam berbahasa Arab yang berarti pasti, kuat,
nyata; maksudnya adalah pengetahuan dengan perasaan pasti terhadap sesuatu. Kebalikan dari
adalah
yang berarti, rasa kurang
percaya. Persoalan yakin terkait dengan persoalan keimanan (akidah) dan persoalan dalil hukum dalam syar iat Islam.10 Jadi yakin adalah suatu kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun. ; la merupakan huruf mutasyabihat pada
, yang tugasnya
merafa'kan isim dan menasobkan khobar, dan jika masuk pada fi il maka amalnya mulghoh (tidak bisa beramal) tetapi artinya tetap, yaitu tidak bisa
7
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Revisi, Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hal. 432 8 Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. 9, 1997, hal. 860 9 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, Sa’adiyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 5 10 Azyumardi Azra, et.al., op.ci., hal. 1958
6
atau tidak dapat.11
dalam bahasa Arab adalah kalimat fi il mudhorek
mabni majhul karena adanya kalimat fi il yang menghadapi/bertemu dengan huruf jar, dari fiil madhi zaala mengikut pada wazan fa ala yaf ilu fi lan, yang artinya adalah dihilangkan.12 ;
/ huruf ba' merupakan salah satu huruf jar yang
mempunyai arti badal (kata ganti) yaitu dengan.13 Kemudian
adalah
kata dalam bahasa Arab yang artinya ragu, keraguan atau rasa kurang percaya. 3. Abdul Hamid Hakim Adalah seorang ulama dan tokoh pendidikan Islam Sumatra Barat. Dia dilahirkan di Sumpur Kudus, Sawahlunto-Sijunjung, pada tahun 1893 dan meninggal dunia di Padangpanjang, 7 Muharam 1379/13 Juli 1959.14
C. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah biografi Abdul Hamid Hakim? 2. Bagaimanakah pemahaman Abdul Hamid Hakim tentang kaidah fikih alyaqin la yuzalu bi al-syakk? 11
Ibnu Malik, Ausathul Masalik Li al-Fiyah Ibn Malik, terj. Musthofa Bisri, Menara Kudus, Kudus, t.t, hal. 80 12 Ibid., hal. 127 13 Ibid., hal. 187 14 Azyumardi Azra, et.al., op.cit., hal. 4
7
3. Bagaimanakah penerapan kaidah fikih al-yaqin la yuzalu bi al-syakk dalam istinbath hukum Islam menurut Abdul Hamid Hakim?
D. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui biografi Abdul Hamid Hakim. 2. Mengetahui pemahaman Abdul Hamid Hakim tentang kaidah fikih alyaqin la yuzalu bi al-syakk. 3. Mengetahui penerapan kaidah fikih al-yaqin la yuzalu bi al-syakk dalam istinbath hukum Islam menurut Abdul Hamid Hakim. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam upaya peningkatan pengetahuan tentang kajian hukum-hukum Islam dan juga pengetahuan tentang ilmu ushul fikih, sehingga dapat diketahui bagaimana proses istinbath hukum. Dengan demikian diharapkan setiap individu dalam keadaan tertentu dapat mengambil keputusan hukum yang mendekati kebenaran dan tidak bertentangan dengan syari at Islam secara menyeluruh.
E. Telaah Pustaka Dari telaah pustaka yang penulis lakukan, terdapat beberapa penulis yang telah melakukan penelitian tentang pemikiran tokoh. Mustaqim, STAIN Salatiga, dalam skripsinya yang berjudul Pemikiran Munawir Sadzali Tentang Bunga Bank, secara umum digambarkan bahwa bunga bank bukan termasuk
8
riba karena tidak merugikan pada salah satu pihak. Negara dalam struktur ekonominya membutuhkan bank, maka bank menjadi wajib ada. Hal ini .15
didasarkan pada kaidah fikih
Sugiyanto, STAIN Salatiga, dalam skripsinya yang berjudul Ide Formalisasi Hukum Islam di Indonesia (Studi Komparasi atas Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Amin Rais), secara umum dapat dipahami bahwa inklusivisme pemikiran Gus Dur merupakan produk metode ushul fikih dan kaidah fikih yang secara otomatis dapat menerima gagasaan dari diskursus intelektual modern. Sedangkan Amin Rais berdasar pada ajaran tauhid, sehingga menurutnya, syariah sebagai sistem hukm tepadu dan lengkap hanya bisa diterapkan jika mendapat dukungan negara.16 Dalam skripsinya M. Taufiqillah, STAIN Salatiga, yang berjudul Akad Nikah Via Internet, Telepone & Teleconference (Studi Kritis Teradap Hukum Islam), dijelaskan bahwa Islam dituntut untuk fleksibel. Salah satu kebiasaan masyarakat dewasa ini adalah penggunaan alat telekomunikasi yang beraneka ragam. Didasarkan pada pokok pembahasan dalam ushul fikih,
kaidah fikih
dan
, maka pernikahan melalui alat
15
Lihat. Mustaqim, Pemikiran Munawir Syadzali Tentang Bunga Bank, skripsi Jurusan Syari’ah di STAIN Salatiga, 2003 16 Lihat. Sugiyanto, Ide Formalisasi Hukum Islam di Indonesia (Studi Komparasi atas pemikiran Abdurrahman Wahid dan Amin Rais), skripsi Jurusan Syari’ah di STAIN Salatiga, 2002
9
telekomunikasi tersebut diperbolehkan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.17 Dari hasil telaah pustaka oleh penulis tersebut, kajian pemikiran tokoh dan kajian ushul fikih yang telah diteliti belum ada yang menyinggung pemikiran Abdul Hamid Hakim tentang kaidah fikih
. Oleh
karena itu, penelitian yang penulis lakukan dengan judul Kaidah Fikih AlYaqin La Yuzalu Bi al-Syakk Menurut Abdul Hamid Hakim merupakan sesuatu yang baru dalam kajian pemikiran tokoh dan dalam ilmu ushul fikih.
F. Kerangka Teori Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi dalam salah satu bukunya yang berjudul Al-Asybahu Wa al-Nadzairi Fi Qowaidwi Furu i Fiqhi al-Syafi i mengatakan: Al-Qodhi Abu Sa’id mengembalikan permasalahan fikih kepada empat kaidah, yaitu:
Kemudian
ulama-ulama
terkemuka
muta akhirin
mengumpulkan
menambahkan empat kaidah tersebut satu kaidah lain yaitu
dan .18
Abdul Hamid Hakim mengikut pada keumuman ulama ushul fikih syafi iyah, dengan berpendapat dan menuliskan bahwa kaidah asasiyyah ada lima, yaitu: 17
Lihat. M. Taufiqillah, Akad Nikah Via Internet, Telepone dan Teleconference (Studi Kritis Terhadap Hukum Islam), skripsi Jurusan Syari’ah di STAIN Salatiga, 2005 18 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadzair fi Qowaidi wa Furu i Fiqhi al-Syafi iyah, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t, hal. 7
10
19
.
diinduksikan pada hadis Nabi, yaitu :20
Kaidah fikih
:
21
(
)
Juga pada hadis Nabi yang lain:22
:
:
23
(
)
Abdul Hamid Hakim dalam buku Mabadi Awwaliyyah memberikan contoh-contoh nyata yang merupakan praktik ibadah seseorang. Pada saat orang tersebut shalat dan dia ragu apakah dia shalat tiga atau sudah empat rokaat, maka orang tersebut harus meyakini tiga rokaat, karena jelas tiga
19
Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, Sa’adiyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 52 Abdul Hamid Hakim, op.cit., hal.55 21 Imam Muslim, Shohih Muslim, Bab Dalil Yaqin, Dahlan, Indonesia, t.t., I, hal. 276 22 Abdul Hamid Hakim, op.cit., hal.55 23 Imam Muslim, op.cit., hal. 400. 20
11
rokaat tersebut telah dilaksanakan, sedang rokaat yang keempat mungkin belum dilaksanakan. 24 Selain dari dua hadits di atas, Imam Jalaluddin Abd al-Rahman alSuyuthi dalam kitabnya Al-Asybahu Wa al-Nadzairi Fi Qowaidwi Furu i Fiqhi al-Syafi i mengatakan bahwa kaidah fikih
juga
berdasar pada hadis:
:
:
(
)
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis
penelitian
yang
penulis
lakukan
adalah
penelitian
kepustakaan (library research), karena yang dijadikan obyek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil pemikiran. 2. Sumber Data Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah buku Mabadi Awwaliyah, al-
24 25
Abdul Hamid Hakim, op.cit., hal. 25 Imam Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t, hal.
245
12
Sullam dan al-Bayan karya Abdul Hamid Hakim Padang Panjang Sumatra Barat. Kemudian yang menjadi sumber data sekunder diantaranya adalah Al-Asybahu Wa al-Nadzairi Fi Qowaidwi Furu i Fiqhi al-Syafi i karangan Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidahkaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang praktis) karangan A. Djazuli, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami karangan Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman dan buku-buku yang lain yang bersangkutan dengan obyek pembahasan penulis. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang menjadi sumber data primer dan sekunder. Setelah data terkumpul, maka dilakukan penelaahan secara sistematis dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti, sehingga diperoleh data/informasi untuk bahan penelitian. 4. Teknik Analisis Data Yaitu penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan mengenai halnya. Macam-macam metode yang digunakan dalam menganalisis masalah adalah sebagai berikut: a. Metode Deduktif Yaitu apa saja yang dipandang benar pada suatu peristiwa dalam suatu kelas atau jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang termasuk di dalam jenis itu.
13
b. Metode Induktif Yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwaperistiwa yang kongkrit, kemudian dari peristiwa-peristiwa yang khusus itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum. c. Metode Komparatif Penelitian komparasi bertujuan untuk menemukan persamaanpersamaan dari perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, tentang prosedur, kerja, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ede atau suatu prosedur kerja. Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan pandangan orang, group atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa atau terhadap ide-ide.26 Metode komparasi ini penulis gunakan supaya memperoleh gambaran yang jelas pemikiran Abdul Hamid Hakim tentang kaidah fikih
, yaitu dengan membandingkan tokoh yang
dimaksud dengan tokoh yang lain, yaitu: Jalaluddin Abdurrahman alSuyuthi dan A. Djazuli apakah sama atau berbeda.
H. Sistematika Penulisan Untuk memberikan kesan runtutnya pembahasan dan memberikan kemudahan bagi pembaca nantinya serta untuk menelusuri alur pemikiran yang penulis jabarkan dalam skripsi ini, maka disusunlah pembahasan dalam suatu sistematika sebagai berikut: 26
Suharsini Arikunto, Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal. 197
14
Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, penegasan istilah, telaah pustaka, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab II mengemukakan tentang biografi Abdul Hamid Hakim yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu: pertama, riwayat hidup Abdul Hamid Hakim. Kedua, latar belakang pendidikan dan karir Abdul Hamid Hakim. Ketiga, karya-karya Abdul Hamid Hakim. Bab III adalah tentang Kaidah Fikih Al-yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk menurut Abdul Hamid Hakim. Pada bab ini, penulis membagi dalam tiga sub bab, yaitu: pertama, pengertian dan sejarah kaidah fikih, kedua, pemikiran Abdul Hamid Hakim tentang kaidah fikih al-yaqin la yuzalu bi al-syakk. Sub bab yang ketiga, adalah kaidah-kaidah turunan dari kaidah fikih al-yaqin la yuzalu bi al-syakk. Bab IV, Kontribusi Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk Dalam Istinbath Hukum. Terdiri dari dua sub bab, yaitu: pertama, perbandingan pemikiran Abdul Hamid Hakim dengan ulama lain, yaitu: Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi dan A. Djazuli. Kedua, adalah penerapan kaidah fikih al-yaqin la yuzalu bi al-syakk dalam perundang-undangan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Wakaf. Bab V adalah penutup dari skripsi ini yang berisi kesimpulan dan saran.
15
BAB II BIOGRAFI ABDUL HAMID HAKIM
A. Riwayat Hidup Abdul Hamid Hakim Abdul Hamid Hakim dilahirkan pada tahun 1893 di Sumpur Kudus, Sawahlunto-Sijunjung, termasuk wilayah Minangkabau, Sumatra Barat. Anak ketiga dari enam bersaudara, ayahnya bernama Haji Abdul Hakim dan ibunya bernama Cari. Abdul Hamid Hakim berasal dari sebuah keluarga yang taat beragama. Beliau meniggal dunia pada tanggal 7 Muharram 1379 H atau 13 Juli 1959 M di Padang Panjang Sumatra Barat, dan dimakamkan di sana.27 Minangkabau merupkan daerah yang bersifat matrinieal dalam sistem kekerabatannya. Pada umumnya, seperti yang dikemukakan para ahli antropologi, sistem kekerabatan matrilineal lebih dahulu tumbuh daripada sistem kekerabatan bilateral dan patrilineal, sehingga bila sistem pertama tersebut bertahan masyarakatanya cenderung koservasif sehingga kurang peka terhadap pembaharuan. Di dunia pada umumnya, masyarakat matrilineal seperti yang dijumpai pada beberapa suku di India, Afrika, dan Amerika jauh tertinggal dari masyarakat patrilineal dan parental. Tetapi Minangkabau menujukkan gejala lain. Walaupun Matrilineal, Minangkabau termasuk daerah yang maju di Indonesia; Minangkabau menghasilkan cendekiawan, ulama dan pengusaha yang relatif banyak. Minangkabau juga memberi cap bagi pergerakan nasional dan perkembangan budaya di negeri kita. Pada masa jaya 27
Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. 9, 1997, hal. 4
16
Balai Pustaka pada tahun 20-an dan 30-an, sastrawan Minangkabau pernah mendominasi produksi novelnya.
B. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Abdul Hamid Hakim Ia memulai pendidikannya dari sekolah Rakyat dan belajar al-Qur'an di kampungnya sendiri. Setelah itu, ia melanjutkan palajarannya ke Diniyyah School (Sekolah Agama) yang dipimpin oleh Syekh Muhammad Thaib Umar (1874-1920) di Sungayang, Batusangkar. Di madrasah ini ia mempelajari berbagai ilmu agama, seperti al-Qur'an dan tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih dan ushul fikih. Pada tahun 1910 ia kembali belajar ilmu-ilmu agama kepada Haji Rasul (1879-1945), ayah Prof. Dr. HAMKA di Maninjau. Kemudian pada tahun 1912 Abdul Hamid Hakim bersama gurunya, Haji Rasul, pindah ke Padang. Di Padang ia menuntut ilmu kepada Dr. H. Abdullah Ahmad (18781933).28 Penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu menjadikannya seorang ulama yang disegani, sekalipun umurnya masih relatif muda. Berkat penguasaan ilmu yang luas inilah kemudian ia dipilih oleh Dr. Abdullah Ahmad untuk menjadi guru bantu di Sekolah Adabiah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909. Sejak saat itu, Abdul Hamid Hakim diberi gelar gurunya sebagai Engku Mudo (Guru Muda). Gelar ini menjadi sangat populer dan tetap dipakai sampai akhir hayatnya.29
28 29
Ibid. Ibid.
17
Pada tahun 1914 M Abdul Hamid Hakim pindah ke Padang Panjang sebagai pembantu utama Haji Rasul. Pada tahun 1918, dia dan Haji Rasul mendirikan Perguruan Sumatra Thawalib yang dipimpin langsung oleh Haji Rasul dan Abdul Hamid Hakim diangkat sebagai wakil kepala sekolah. Di samping itu Abdul Hamid Hakim juga bertindak sebagai redaktur majalah alMunir al-Manar yang diterbitkan oleh Perguruan Sumatra Thawalib pada tahun 1918. Di perguruan inilah Abdul Hamid Hakim mengabdikan ilmunya yang luas kepada para muridnya. Di antara murid-muridnya adalah Ahmad Rasyid Sutan Mansur (1895-1985), Zainal Abidin Ahmad (1911-1983), Mansoer Daoed Datuk Palimokayo (1905-1985), Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA, 1908-1981), Mawardi Muhammad (dosen hadis di IAIN Imam Bonjol Padang dan menjadi direktur Perguruan Thawalib Padang Panjang), dan Encik Rahmah El-Yunusiyyah (1900-1969), pendiri Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang pada tahun 1923. Semua murid Abdul Hamid Hakim yang disebutkan di atas kemudian hari menjadi tokoh-tokoh terkenal, da’i di tingkat daerah maupun nasional.30 Setelah Haji Rasul Mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala Perguruan Sumatra Thawalib, Abdul Hamid Hakim langsung diangkat sebagai kepala perguruan tersebut. Di samping itu ia juga aktif menyumbangkan ilmunya melalui dakwah di berbagai tempat dan mengajar di Diniyyah School (Pendidikan Diniyah) yang didirikan oleh Zainuddin Labay El-Yunusy (18901924), di Universitas Islam Darul Hikmah Bukittinggi, dan di Fakultas
30
Ibid.
18
Filsafat dan Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat.31 Atas jasajasanya sebagai tokoh pendidikan di Sumatra Barat, tanggal 17 Agustus 1975 Abdul Hamid Hakim memperoleh penghargaan sebagai pejuang pendidik. Penghargaan ini diberikan gubernur Sumatra Barat, Harun Zain.32
C. Karya-karya Abdul Hamid Hakim Sebagai ulama serta tokoh pendidik yang menguasai berbagai bidang disiplin ilmu keagamaan dan juga merupakan salah satu tokoh pendiri lembaga pendidikan di Padang Panjang, Sumatra Barat, Abdul Hamid Hakim telah berhasil menghasilkan karya-karya yang hingga saat ini manfaatnya masih dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Melihat banyak kitab ushul fikih lain yang telah tersusun saat itu sulit dicerna, dikarenakan banyak ibarat yang sulit dipahami dan tidak adanya contoh-contoh untuk kaidah fikihnya, maka kemudian Abdul Hamid Hakim menulis tiga buku. Pertama buku Mabadi' Awwaliyyah (Dasar-dasar Awal) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1976 oleh Bulan Bintang, Jakarta. Buku kedua adalah al-Sullam (Tangga), yang merupakan buku lanjutan dari buku Mabadi' Awwaliyyah. Kemudian buku ketiga adalah al-Bayan (Penjelasan), yang juga membahas ushul fikih.33 Struktur karya-karya Abdul Hamid Hakim selengkapnya adalah sebagai berikut:
31
Ibid. Ibid., hal. 5 33 Ibid. 32
19
1. Mabadi’ Awwaliyyah Diterbitkan pertama kali oleh PT. Bulan Bintang, Jakarta pada tahun 1976. Buku ini membahas berbagai persoalan mendasar dalam ilmu ushul fikih serta beberapa kaidah fikih. Sebagai buku dasar dalam bidang ushul fikih, buku ini cukup praktis dan singkat serta mudah dipahami.34 Abdul Hamid Hakim mengatakan bahwa sebuah pohon tidak akan bisa berdiri tanpa adanya akar, sebuah rumah juga tidak akan bisa berdiri jika tidak ada pondasi, begitu juga fikih tidak adakan dapat beridiri (berlaku putusan hukumnya) tanpa adanya dasarnya. Dalam buku ini disertakan contoh-contoh yang berkenaan dengan pokok bahasan tersebut karena menurutnya menghafalkan kaidah tanpa mengetahui contoh-contoh nyata dalam kehidupan kita, tidak akan membuahkan hasil (manfaat) dan hanya menghabiskan waktu.35 Buku Mabadi Awwaliyyah dibagi menjadi dua pokok bahasan, yaitu pembahasan pertama tentang ushul fikih dan pembahasan kedua tentang kaidah fikih.36 Dalam pembahasan ushul fikih dalam Mabadi Awwaliyyah, Abdul Hamid Hakim membahas mulai dari pengertian ushul fikih baik secara bahasa maupun istilah, pengertian fikih, hukum-hukum dalam fikih dan hal-hal yang berkaitan dengan keilmuan ushul fikih yaitu pengertian ilmu, jahl, dzonn, wahmun, dan syakk.37
34
Ibid. Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Sa’adiyyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 4 36 Ibid., hal. 5 37 Ibid., hal. 6 35
20
Di samping itu juga dibahas pokok bahasan ilmu ushul fikih sebagaimana buku-buku ushul fikih lainnya. Pokok bahasan ilmu ushul fikih dalam Mabadi Awwaliyyah adalah tentang (1) Amr (perintah), (2) Nahi (larangan), (3) Am (umum), (4) Al-Khos wa al-takhsis (yang khusus dan pengkhususan), (5) Naskh (penghapusan), (6) Mujmal (global), (7) alMuthlaq wa al-muqoyyad (yang menyeluruh dan terbatas), (8) al-Manthuq wa al-mafhum (yang diucap dan dipahami), (9) Fi lu shohibi al-syari ati SAW (tindakan Nabi Muhammad SAW), (10) Iqror shohibi al-syari ah (ketetapan Nabi SAW), (11) Ijma
(kesepakatan ulama), (12) Qiyas
(penjabaran), dan pembahasan terakhir adalah tentang (13) Al-Ijtihad wa al-ittiba wa al-taqlid (usaha memutuskan, mengikuti dengan dasar dan mengikuti tanpa dasar).38 Semua pembahasan dalam buku tersebut oleh Abdul Hamid Hakim diberikan dasar dan contoh yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari kita walaupun masih dalam kapasitas lingkup sempit. Bagian kedua dari buku Mabadi Awwaliyyah adalah pembahasan tentang kaidah-kaidah fikih yang mencakup 40 kaidah. Kaidah-kaidah fikih dalam buku tersebut ditulis beserta dasar-dasarnya dari al-Qur’an dan Hadis, kaidah fikih lain yang bersangkutan dan contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mudah dipahami. Di samping itu, tata urutan penulisan kaidah oleh Abdul Hamid Hakim juga disesuaikan dengan keterkaitan antara kaidah satu dengan kaidah yang lainnya.
38
Ibid., hal. 7-20
21
2. Al-Sullam Sebagaimana Mabadi
Awwlaliyyah, al-Sullam juga diterbitkan
pertama kali oleh PT. Bulan Bintang, Jakarta pada tahun 1976 M.39 Sebenarnya buku ini dikarang dan ditulis setelah Abdul Hamid Hakim menyelesaikan al-Bayan, buku ushul fikihnya yang ketiga. Setelah menyelesaikan buku pertama, Mabadi Awwaliyyah, Abdul Hamid Hakim kemudian menulis buku al-Bayan. Karena kesinambungan kedua buku tersebut dirasa sangat jauh, dan menurut pendapat para pakar saat itu perlu adanya buku yang menjembatani dari keduanya, maka ditulislah buku alSullam yang artinya adalah tangga. Buku ini dimaksudkan untuk menjembatani antara buku Mabadi Awwaliyyah dengan buku al-Bayan yang topik pembahasannya masih seputar ushul fikih.40 Buku al-Sullam dibagi menjadi dua bagian pembahasan, yaitu pembahasan pertama tentang ushul fikih dan pembahasan kedua tentang kaidah fikih. Dalam pembahasan pertama yaitu ushul fikih, Abdul Hamid Hakim memulai dengan muqodimah yang terdiri dari dua pokok bahasan, yaitu: pertama, pembahasan tentang pengertian ushul fikih, fikih, dan halhal yang berkaitan dengannya, obyek ushul fikih yang walaupun hampir sama dengan pembahasan di dalam buku Mabadi Awwaliyyah, namun dalam buku ini pembahasan serta contoh dan dasarnya ada pengembangan dan penambahan.41 Kedua, pembasan tentang yang berhubungan dengan
39
Azyumardi Azra, et.al., op.cit., hal. 5 Abdul Hamid Hakim, Al-Sullam, Sa’adiyyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 4 41 Ibid., hal. 5 40
22
ilmu ushul fikih, yaitu: hukum taklifi, hukum wadh i, hakim, mahkum bih, al-rukhsoh wa al- azimah, dan mahkum alaih.42 Setelah muqodimah, dilanjutkan dengan pembahasan-pembahasan sebagaimana dalam kajian ilmu ushul fikih pada umumnya. Pembahasan yang merupakan penambahan dari buku pertama Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah adalah pembahasan tentang (1) Al-Dzohir wa almu awwal (yang jelas dan dasar), (2) Al-Musytarik (yang bersangkutan), (3) Al-Istidlal (mengambil dasar), (4) Al-Sunnah (anjuran) Al-Kitab (alQur’an), (5) Al-Ta adul wa al-tarjih (yang sama dan lebih unggul).43 Bagian kedua dalam buku al-Sullam adalah pembahasan tentang kaidah-kaidah fikih. Dalam buku ini, kaidah fikih dibagi menjadi dua pembahasan, yaitu: pertama, tentang lima kaidah fikih yang mana semua masalah fikih dikembalikan kepada lima kaidah tersebut.44 Lima kaidah tersebut dibahas sebagaimana yang telah dibahas dalam Mabadi Awwaliyyah, namun dalam buku al-Sullam ada penambahan penjelasan dan penambahan kaidah-kaidah fikih lain, yang merupakan kaidah turunan dari lima kaidah fikih tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa lima kaidah fikih yang didahulukan pembahasannya adalah kaidah fikih induk. Kaidah-kaidah fikih turunan yang ditambahkan dalam al-Sullam, adalah:
( )
( )
( ) 42
Ibid., hal. 7 Ibid., hal. 11-52 44 Ibid., hal. 52 43
23
( ) ( )
( )
( )
( )
( ) 45 46
Kedua,
pembahasan
tentang
kaidah
fikih
kulliy
(umum)
sebagaimana telah dibahas dalam buku Mabadi Awwaliyyah, hanya saja ada dalam buku al-Sullam ada penambahan beberapa pembahasan kaidah fikih kulliy yang lain. Kaidah-kaidah tersebut, adalah:
( )
( )
( )
( )
( )
( ) ( )
( ) (
(
)
( ) (
)
) (
45
Ibid., hal. 56 Ibid., hal. 60 47 Ibid., hal. 62 48 Ibid., hal. 64 49 Ibid., hal. 66 50 Ibid., hal. 67 51 Ibid., hal. 69 52 Ibid., hal. 71 53 Ibid., hal. 72 46
24
)
(
)
( (
) (
( (
) (
)
) (
)
(
)
( ( (
) )
)
)
) .
3. Al-Bayan Diterbitkan pertama kali oleh PT. Bulan Bintang, Jakarta pada tahun 1976 M.60 Dalam pengantar buku al-Bayan, Abdul Hamid Hakim menyatakan bahwa sebagian besar isi buku ini dikutip dari Irsyad alFuhul, kitab ushul fikih yang disusun oleh Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M).61 Sebagaimana buku ushul fikih karya Abdul Hamid Hakim sebelumnya, pembahasan dalam buku al-Bayan yaitu diawali dengan muqodimah yang mencakup dua pokok bahasan. Pokok bahasan yang 54
Ibid., hal. 74 Ibid., hal. 75 56 Ibid., hal. 76 57 Ibid., hal. 77 58 Ibid., hal. 78 59 Ibid., hal. 79 60 Azyumardi Azra, et.al., op.cit., hal. 5 61 Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, Sa’adiyyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 2 55
25
pertama, adalah pembahasan tentang pengertian ushul fikih, objek pembahasannya, manfaat mempelajari ushul fikih dan dasar ilmu ushul fikih.62 Kedua, pembahasan tentang hukum-hukum taklifi, yang disusun dengan beberapa pembahasan yaitu pembahasan tentang hukum, hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih.63 Setelah muqodimah dengan dua pokok bahasan di atas, dalam buku al-Bayan dijelaskan pula pokok bahasan dan kaidah yang berhubungan dengan ushul fikih. Hal ini sebagaimana telah dibahas dalam dua buku Abdul Hamid Hakim, Mabadi membedakan
buku
al-Bayan
Awwaliyyah dan al-Sullam. Yang dengan
buku
sebelumnya,
Mabadi
Awwaliyyah dan al-Sullam adalah bahwa penjelasan tentang pokok pembahasan ilmu ushul fikih dipaparkan secara lebih detail.64 Selain itu, dalam buku al-Bayan, Abdul Hamid Hakim juga menambahkan beberapa kaidah fikih kulliy yang berhubungan dengan ibadah. Kaidah-kaidah kulliy tersebut belum dibahas dalam buku Mabadi Awwaliyah dan al-Sullam, yaitu kaidah:
( ) ( )
( ) ( )
.
62
Ibid., hal. 3 Ibid., hal. 7 64 Ibid., hal. 15 65 Ibid., hal. 186 66 Ibid., hal. 187 63
26
Selain karya dalam ilmu ushul fikih, ada juga karya Abdul Hamid Hakim di bidang fikih yaitu buku al-Mu'in al-Mubin yang terdiri atas empat jilid. Buku ini telah berulang kali dicetak ulang oleh Penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Dalam buku ini, Abdul Hamid Hakim Hakim membahas berbagai persoalan fikih, mulai dari masalah ibadah sampai muamalah kontemporer. Pendapatnya yang akomodatif dan dianggap radikal adalah tentang bunga bank. Menurutnya, bunga bank termasuk dalam kategori riba fadhal, yang boleh dipergunakan (diambil) apabila ada kebutuhan mendesak. Pendapat ini didasarkan pada kaidah fikih yang menyatakan (kebutuhan itu bisa menempati posisi darurat).
Sekalipun di bidang fikih pendapat tersebut bukanlah sesuatu yang baru, bagi ulama Indonesia pendapat tersebut dianggap berani.67 Kemudian, ia juga menyusun buku al-Mu'in al-Mubin fi al-Faraid, yang membahas secara khusus masalah pembagian harta warisan sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Buku lain yang disusun oleh Abdul Hamid Hakim adalah Tahzib al-Akhlaq dalam tiga jilid. Buku ini juga diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta pada tahun 1976. Buku ini lebih banyak berbicara tentang tuntunan Islam dalam masalah akhlak yang mulia. Di samping buku fikih, ushul fikih, dan akhlak, Abdul Hamid Hakim juga menyusun sebuah buku yang berkaitan dengan hadis yaitu al-Hidayah Ila Ma Yanbaghi Min al-Ziyadah 'Ala alBidayah. Buku ini menjelaskan posisi dan status hadis-hadis yang terdapat 67
Azyumardi Azra, et.al., op.cit., hal. 5
27
dalam kitab Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid, kitab fikih yang disusun oleh Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M).68 Meskipun seluruh buku karya Abdul Hamid Hakim ditulis dalam bahasa Arab, namun tetap mudah dipahami oleh santri, siswa dan mahasiswa,
karena
pembahasannya
disesuaikan
dengan
kebutuhan
masyarakat Indonesia. Buku-buku tersebut dijadikan rujukan di berbagai pesantren dan Perguruan Tinggi, antara lain di Pesantren Darussalam Gontor, Pesantren Pabelan, Pesantren Darunnajah Jakarta, Pesantren AlManar Bener, dan Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat.
68
Ibid., hal. 5
28
BAB III KAIDAH FIKIH AL-YAQIN LA YUZALU BI AL-SYAKK MENURUT ABDUL HAMID HAKIM
D. Pengertian dan Sejarah Terbentuknya Kaidah Fikih 1. Pengertian Kaidah Fikih Kaidah fikih berasal dari bahasa Arab yaitu al-qa idah yang artinya dasar dan fondasi sesuatu; al-fiqh artinya paham atau pemahaman yang mendalam.69 Qaidah kata mufrad yang jama nya qawaid; menurut bahasa berarti dasar atau asas, seperti tersebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 127 dan al-Nahl ayat 26.70 Fikih adalah ilmu yang membahas hukumhukum syari at yang putusan hukumnya dengan jalan ijtihad.71 Pengertian kaidah fikih adalah dasar-dasar umum yang diinduksi dari berbagai hukum parsial (furu ) yang dipergunakan untuk mengembangkan cakupan suatu hukum.72 Adapun pengertian kaidah menurut ahli ushul fikih berarti sesuatu yang ghalibnya begitu; maksudnya ketentuan peraturan itu biasanya atau ghalibnya begitu, sehingga menurut ulama ushul fikih kaidah fikih ialah :
69
Azyumardi Azra, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. IX, 1997, hal. 4 70 A. Mu’in, et al., Ushul Fiqh (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad), Jilid II, Departemen Agama RI, Jakarta, 1986, hal. 180 71 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, Sa’adiyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 5 72 Azyumardi Azra, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., hal. 4
29 29
Hukum (aturan) yang kebanyakannya bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya.73 Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara yang bertalian dengan perbuatan mukallaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.74 Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan kaidah fikih secara istilah. Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya, meskipun
substansinya
sama.
Contoh,
Muhammad
Abu
Zahrah
mendefinisikan kaidah fikih:
Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya.75 Sedangkan al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih:
Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.76 Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah fikih:
Sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.77
73
A. Mu’in, op.cit., hal. 181 Ibid. 75 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet. II, 2007, hal. 3 76 Ibid. 77 Ibid. 74
30
Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam Muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-Asybah wa al-Nadzair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah fikih adalah:
Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum.78 Sebagai nama dari suatu cabang ilmu pengetahuan, kaidah fikih didefinisikan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa sebagai:
Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara yang bersifat mencakup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundangundangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.79 Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1563 M), seorang ahli fikih Mazhab Hanafi, mendefinisikan kaidah fikih sebagai hukum kulliy (umum menyeluruh) yang diterapkan pada seluruh juz i (satuan)-nya untuk mengetahui hukum-hukumnya. Menurut al-Hamawi (1179-1229) dan Tajjudin al-Subki ahli fikih Mazhab Maliki, kata-kata “hukum kulliy” dalam definisi Ibnu Nujaim tersebut seharusnya berbunyi “hukum mayoritas”, karena setiap kaidah fikih mempunyai hukum pengecualian; adakalanya suatu kaidah fikih tidak bisa diterapkan pada juz i yang
78 79
Ibid. A. Mu’in, et.al., op.cit., hal. 181
31
dicakupnya secara keseluruhan. Namun demikian, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pengecualian tersebut tidak mempengaruhi keumuman suatu kaidah fikih yang telah disusun. Menurut Ahmad al-Hajj al-Kurdi, ahli fikih dari Universitas Damascus, yang dimaksud Ibnu Nujaim dalam definisinya tersebut memang seperti dijelaskan di atas, karena setiap kaidah harus mempunyai pengecualian. Namun, karena pengecualian dalam setiap kaidah sedikit sekali, maka Ibnu Nujaim tetap menggunakan kalimat “hukum kulliy”. 80 Musthafa Ahmad al-Zarqa, seorang guru besar fikih dari Universitas Amman, Yordania, mendefinisikan kaidah fikih sebagai dasardasar fikih yang bersifat umum yang diungkapkan dalam teks singkat yang bersifat undang-undang (dusturiyyah) dan mengandung hukum-hukum syara
dalam berbagai kasus yang termasuk dalam cakupan kaidah
tersebut. Misalnya, Kaidah fikih
(kesulitan itu
membawa kepada kelapangan kemudahan), memiliki makna apabila suatu perintah
yang
hasus
dilaksanakan
mengalami
kesulitan
dalam
mengerjakannya, maka ketika itu muncul kelapangan. Seorang musafir yang berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan shalat tepat pada waktunya, maka diberi kesempatan untuk melaksanakan shalat qasar atau jama . Contoh lain, seseorang yang mau melaksanakan shalat ternyata
80
Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hal. 860
32
tidak menemukan air untuk berwudhu, maka ia boleh melakukan tayamum. 81 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy kaidah fikih ialah: Qaedah-qaedah hukum bersifat kulliyah yang dipetik dari dalildalil kulliy (yaitu ayat-ayat dan hadiets-hadiets yang menjadi pokok qaedah-qaedah kulliyah yang dapat disesuaikan dengan banyak juz iyah); dan dari maksud-maksud syara meletakkan mukallaf di bawah bebanan taklif; dan dari memahamkan rahasiarahasia tasyrie dan hikmah-hikmahnya.82
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman: Qaidah (kulliyah) fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqhi yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali.83
Kaidah (kulliyah) fiqhiyyah disamping berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid mengembalikan seluruh seluk-beluk masalah fikih, juga sebagai dalil untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh nash dan sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang sanggup menguasai kaidahkaidah fikih niscaya mampu menguasai seluruh bagian masalah fikih dan sanggup menetapkan ketentuan hukum setiap peristiwa yang tidak ada nashnya.84
81
Ibid., hal. 861 Hasbi al-Shiddieqy, Pengantara Hukum Islam, jilid I, Bulan Bintang, Jakarta, cet. VI, 1980, hal. 132 83 Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT. Al-Ma’arif, Bandung, cet. X, 1986, hal. 485 84 Ibid. 82
33
2. Sejarah Terbentuknya Kaidah Fikih Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, fikih muncul lebih dahulu dibandingkan dengan kaidah fikih, karena kaidah fikih disusun berdasarkan hukum-hukum fikih yang bersifat terperinci. Kaidah fikih yang disusun oleh ulama ushul fikih tidak muncul sekaligus, sebagaimana sebuah undang-undang disusun, melainkan secara bertahap melalui proses dan pemahaman terhadap hukum yang dikandung oleh teks suci. Kaidah fikih paling awal ditemukan dalam tulisan dan ungkapan para ulama ushul fikih pada abad ke-2 H. Tidak diketahui siapa penyusun pertama kaidah fikih itu. Adapun kaidah fikih sebagai salah satu disiplin ilmu tersendiri baru muncul pada abad ke-4 H dan tersebar dalam beberapa madzhab fikih.85 Akar-akar kaidah fikih telah ada pada zaman Nabi SAW, karena kaidah fikih merupakan induksi dari berbagai hukum yang ditentukan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Di antara sabda Nabi Muhammad SAW yang diinduksi menjadi kaidah fikih adalah:
86
85 86
(
)
Abdul Azis Dahlan, et al., op.cit., hal. 861 Imam Bukhori, Shohih Bukhori, Juz IV, Toha Putra, Semarang, t.t, hal. 158
34
)
: (
Dari hadis pertama, ulama fikih menyusun kaidah fikih
(segala urusan tergantung pada niat tujuannya). Kaidah ini diterapkan dan berlaku dalam berbagai aspek fikih. Misalnya apabila seseorang mau melaksanakan shalat, maka niat shalat menjadi salah satu rukun yang tidak boleh ditinggalkan karena shalat tanpa niat tidak sah. Contoh lain adalah apabila seseorang mengawini wanita dengan tujuan menganiaya mereka, maka perkawinan itu hukumnya haram.88 Dari hadis kedua, disusun kaidah fikih
harus dihilangkan) atau
(kemudharatan
(tidak boleh memudharatkan orang
lain dan tidak boleh dimudaratkan orang lain). Kaidah fikih ini pun berlaku dalam berbagai bidang fikih. Segala bentuk perbuatan yang menimbulkan mudharat, baik bagi diri pelaku maupun bagi orang lain, tidak dibolehkan. Misalnya seseorang tidak dibolehkan memperbaiki rumahnya di malam hari, karena malam hari merupakan waktu istirahat dan suara tukang yang memperbaiki rumah tersebut akan menganggu ketentraman tetangga, meskipun pemilik rumah sebenarnya tidak pada 87
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz II, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t.,
88
Abdul Azis Dahlan, et al., op.cit., hal. 861
hal. 784
35
milik sendiri.89 Contoh lain, sepasang suami istri, boleh bercerai karena ada ‘aib (cacat) dalam pernikahan itu. Seorang pembeli boleh komplain karena ada ‘aib (cacat) pada barang yang dibelinya.90 Selain dari hadis Nabi, kaidah fikih juga diinduksikan dari alQur’an, kaidah fikih
(kesulitan membawa kepada
kemudahan) diinduksikan diantaranya dari firman Allah SWT dalam surat al-Ma’idah ayat 6, al-Hajj ayat 78, dan al-Baqarah ayat 286.91 Kaidah fikih (adat itu bisa jadi hukum) juga diinduksikan dari firman Allah
SWT, yaitu surat al-Baqarah ayat 228, al-Nisa’ ayat 19 dan al-a’raf ayat 199.92 Kaidah lain yang juga merupakan kaidah fikih adalah kaidah
(keyakinan itu tidak dapat dihapuskan oleh suatu keraguan).
Kaidah ini diinduksikan dari sabda Nabi Muhammad SAW :
93
(
)
Lima kaidah fikih yang diinduksikan dari Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW di atas, merupakan kaidah fikih induk yang kemudian 89
Ibid. Abdul Hamid, Hakim, Mabadi Awwaliyah, Bulan Bintang, Jakarta, t.t., hal. 31 91 Abdul Azis Dahlan, et al., op.cit., hal. 862 92 Ibid. 93 Imam Muslim, Shohih Muslim, Juz I, Bab Dalil Yaqin, Dahlan, Indonesia, tt., hal. 276 90
36
dikembangkan kaidah fikih turunan oleh para ulama fikih sesuai dengan perkembangan permasalahan yang mereka hadapi sehingga kaidah-kaidah fikih semakin banyak dan bertambah luas cakupannya. Pembentukan kaidah fikih sendiri tidak hanya dari hadis yang kemudian diartikan atau dikembangkan begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan dan proses yang lama. Tahapan tersebut sebagaimana dapat dilihat dalam gambar 3.1:
Al-Qur’an Al-Hadis (1)
Ushul Fikih (2)
Fikih (3)
Kaidah Fikih (4)
Kaidah Fikih (6)
Fikih (7)
Qonun (8)
Pengujian Kaidah (5)
Gambar 3.1 Proses Pembentukan Kaidah Fikih Sumber: A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet. II, 2007, hal. 12 Dari gambar di atas, dapat dipahami bahwa proses pembentukan kaidah fikih dimulai dari sumber hukum Islam al-Qur’an dan Hadis. Kemudian muncul ushul fikih sebagai metodologi penarikan hukum (istinbath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fikih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fikih. Dari materi fikih yang banyak,
37
kemudian oleh ulama-ulama
fikih diteliti
persamaannya
dengan
menggunakan pola pikir induktif kemudian dikelompokkan dalam kumpulan masalah-masalah yang serupa, selanjutnya disimpulkan menjadi kaidah-kaidah fikih. Kaidah-kaidah tersebut dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan hadis, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi, maka kaidah fikih tersebut menjadi kaidah fikih yang baku untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Penerapan kaidah-kaidah ini, selanjutnya memunculkan fikihfikih baru. Produk fikih inilah yang kemudian diangkat menjadi hukum positif sebagaimana yang dilakukan oleh kekhalifahan Turki Usmani dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah yang menggunakan 99 kaidah fikih dalam undang-undang tentang akad-akad muamalah dengan 1851 pasal.94 Dengan menggunkan proses seperti digambarkan di atas kemudian muncul kitab-kitab kaidah-kaidah fikih di berbagai madzhab dalam Islam. Oleh karena fikih tumbuh lebih dahulu daripada kaidah-kaidah fikih, maka sering kita temukan kaidah-kaidah itu ada dalam kiab fikih ulama tertentu. Misalnya, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah (w. 751 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab fikihnya
lam al-Muwaqi in
memunculkan kaidah:
94
A. Djazuli., op.cit., hal. 13
38
an Rabb al- Alamin,
Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebiasaan.95 Imam Abu Tahir al-Dibas, tokoh Madzhab Hanafi yang hidup pada akhir abad ke-13-awal abad ke-14 H, telah mengumpulkan kaidah dasar dalam madzhab Hanafi. Dengan demikian, kajian fikih secara sistematis mendahului munculnya kaidah fikih sebagai ilmu.96
E. Pemikiran Abdul Hamid Hakim Tentang Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk Dalam buku Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami yang disusun oleh Mukhtar Yahya dan Fatcurrahman, dijelaskan bahwa kaidah kuliyyah fiqhiyyah tidak lain adalah prinsip-prinsip umum yang harus menampung kebanyakan dari bagian-bagian (juz iyah) yang terperinci. Oleh karena itu, kaidah itu jumlahnya banyak sekali. Ada sebagian ulama yang menetapkan sebanyak 40 kaidah, bahkan ada sebagian yang lain menetapkan lebih dari itu.97 Syaikh Izzudin bin Abdi al-Salam mengatakan bahwa segala masalah fikih itu hanya kembali kepada dua kaidah fikih, yaitu:
95
Ibid., hal. 14 Ibid. 97 Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, op.cit., hal. 485 96
39
Namun demikian, terkadang dia mengembalikan masalah-masalah fikih itu hanya pada kaidah fikih
saja. Karena kaidah
segala yang merusak) itu, sudah termasuk dalam kaidah
(menolak
.98
Di samping itu, beberapa ulama memadatkannya menjadi lima kaidah fikih induk. Kelima kaidah fikih induk tersebut sangat masyhur di kalangan madzhab al-Syafi’i khususnya dan kalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama. Di kalangan madzhab Hanafi kaidah fikih induk tersebut ditambah dengan satu kaidah lagi, yaitu kaidah fikih
.99
Abdul Hamid Hakim dalam karyanya, al-Sullam, menyebutkan bahwa seluruh permasalahan dalam fikih yang berhubungan dengan kaidah fikih dikembalikan kepada lima kaidah induk. Kelima kaidah fikih induk tersebut adalah;
. Kemudian secara terperinci, lima kaidah induk tersebut dibahas satu demi satu dengan kriteria masing-masing. 100
98
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadzair fi Qowaid wa Furu i Fiqhi al-Syafi iyah, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t, hal. 8 99 A. Djazuli, op.cit., hal. 33 100 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 55
40
Kaidah fikih
, dibahas secara ringkas dalam buku
Mabadi Awwaliyah dengan memberikan contoh-contoh perilaku yang terjadi sehari-hari terhadap masing-masing muslim.101 Abdul Hamid Hakim sepakat dengan ulama-ulama ushul fikih madzhab al-Syafi’i bahwa kaidah fikih
merupakan salah satu dari lima kaidah induk yang diinduksikan
dari berbagai nash yang telah ditetapkan oleh ulama ushul fikih. Dari kaidah fikih ini, oleh ulama ushul fikih juga dikembangkan kaidah-kaidah lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kaidah fikih
merupakan
kaidah fikih induk dari beberapa kaidah fikih turunan.102 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Abdul Hamid Hakim dalam menjelaskan kaidah fikih
banyak mengadopsi
pemikiran para ulama ushul fikih terdahulu. Abdul Hamid Hakim juga berfikir sebagaimana ulama-ulama madzhab al-Syafi’i lainnya dengan menempatkan lima kaidah induk sebagai dasar kaidah-kaidah fikih turunan, yang salah satunya adalah kaidah fikih
.
Abdul Hamid Hakim membahas kaidah fikih
dalam
dua bukunya yaitu Mabadi Awwaliyyah dan al-Sullam. Dalam buku Mabadi
101 102
Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, hal. 25 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 55
41
Awwaliyah kaidah fikih
ditulis dalam urutan keenam
diantara 40 kaidah yang dibahas.103 Kaidah tersebut ditulis pada urutan keenam sebagaimana dapat dipahami dalam buku keduanya al-Sullam, karena kaidah-kaidah fikih yang merupakan turunan dari kaidah fikih pertama yaitu kaidah
didahulukan. Di samping itu, juga karena latar
belakangnya sebagai seorang pendidik, sehingga mengetahui kapasitas kemampuan siswa didiknya. Kaidah fikih
dibahas dengan cara diawali
menuliskan hadis:
: (
)
sabagai dasar dari kaidah tersebut. Kemudian dituliskan kaidah dan dijelaskan dengan contoh penerapannya dalam hal yang berkaitan dengan ibadah. Contoh penerapan yang diberikan oleh Abdul Hamid Hakim sebagai penjelas kaidah fikih
adalah:
1. Siapa yang ragu ketika shalat, apakah dia telah shalat tiga atau empat rokaat, maka hendaknya menetapkan tiga rokaat karena itulah yang telah diyakini (jelas telah terjadi). 103 104
Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, hal. 25 Imam Muslim, Shohih Muslim, op.cit., hal. 276
42
2. Siapapun yang merasa yakin dalam keadaan suci kemudian ragu apakah dia telah berhadas atau belum, maka orang tersebut masih suci. 3. Siapa yang telah yakin berhadas kemudian ragu apakah dia dalam keadaan suci, maka orang tersebut berhadas.105 Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa menurut Abdul Hamid Hakim, keyakinan yang telah terbukti dengan tindakan yang dapat diterima oleh akal, tidak dapat diganti dengan keraguan yang datang kemudian tanpa disertai bukti. Dalam contoh pertama, digambarkan bahwa orang yang melaksanakan shalat dan ragu tentang bilangan rokaatnya, maka tiga adalah lebih meyakinkan telah terlaksana daripada empat, karena dalam hitungan bilangan tiga lebih dahulu daripada empat, oleh karenanya rokaat keempat merupakan keraguan yang datang. Sebagaimana contoh pertama, contoh kedua yang diberikan oleh Abdul Hamid Hakim mempunyai penjelasan yang sama. Bahwa orang yang telah yakin suci karena sebelumnya telah bersuci dengan bukti bahwa dia telah melakukan ibadah yang syaratnya harus bersuci terlebih dahulu, kemudian datang keraguan maka dia tetap dalam keadaan suci. Oleh karenanya orang tersebut tidak perlu bersuci lagi ketika akan melaksanakan ibadah. Kemudian dalam buku al-Sullam, Abdul Hamid Hakim menegaskan bahwa kaidah fikih
adalah kaidah kedua dari lima kaidah
induk. Berbeda dengan pembahasan kidah tersebut dalam buku pertamanya, Mabadi Awwaliyah. Dalam Mabadi Awwaliyah Abdul Hamid Hakim tidak 105
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, hal. 25
43
membedakan apakah kaidah tersebut merupakan kaidah fikih induk, kaidah fikih turunan atau kaidah fikih kulliy. Di samping itu, buku al-Sullam ditulis untuk menjembatani antara buku Mabadi Awwaliyah dan al-Bayan, sehingga dalam buku al-Sullam mulai dijelaskan kriteria masing-masing kaidah fikih yang dibahas. Dalam kaitannya dengan penjalasan kaidah fikih
,
Abdul Hamid Hakim menjelaskan bahwa keraguan ada tiga bentuk, yaitu: 1. Keraguan yang terdapat pada sesuatu yang hukum asalnya haram. 2. Keraguan yang datang kemudian atas sesuatu yang hukum asalnya mubah. 3. Keraguan yang tidak diketahui hukum asalnya.106 Contoh dari bentuk keraguan yang pertama adalah bahwa jika seorang muslim menemukan kambing yang hukum asalnya haram karena belum diketahui siapa pemilik kambing tersebut, kemudian ada tanda-tanda kemubahannya
sebagaimana
pendapat
kebanyakan
muslim,
maka
diperbolehkan makan dagingnya dengan dasar pendapat umum yang telah jelas. Selanjutnya contoh untuk keraguan yang datang kemudian pada sesuatu yang hukum asalnya mubah, adalah jika seorang menemukan air yang telah berubah dan boleh jadi perubahan air tersebut disebabkan oleh najis atau karena diam terlalu lama, maka bersuci dengan air tersebut hukumnya adalah boleh karena asal hukum air tersebut adalah suci mensucikan.
106
Ibid., hal. 56
44
Keraguan yang tidak diketahui hukum asalnya mempunyai keputusan hukum yang rumit dalam memutuskannya. Contoh, transaksi seseorang yang kebanyakan dari hartanya adalah harta haram, sesungguhnya dia tidak diharamkan
menggunakan
sebagian
harta
tersebut.
Karena
adanya
kemungkinan bahwa harta yang digunakan saat itu adalah harta yang didapatkannya secara halal. transaksi ini kemudian diputus dengan hukum makruh, karena adanya kekhawatiran penggunaan harta tersebut jatuh pada harta yang haram. Dalam al-Sullam kaidah fikih
juga didasarkan pada
Hadis Nabi, sebagaimana telah dijelaskan dalam buku pertama Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah. Namun dalam buku ini ditambah dengan hadis lain:
:
107
(
:
) Di samping adanya penambahan dasar induksi, dalam buku al-Sullam
kaidah fikih
juga dijelaskan dengan dibahasnya kaidah-
kaidah fikih turunan yang dikembangkan dari kaidah fikih
tersebut, yang jumlahnya ada sebelas kaidah fikih.108
107 108
Ibid., hal. 400. Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 55
45
F. Kaidah-kaidah Turunan dari Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi alSyakk Dari kaidah fikih induk
, dikembangkan kaidah-
kaidah fikih turunan, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim ada sebelas kaidah fikih, yaitu: pertama;
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut. Kaidah tersebut identik dengan dalil istishab yang digunakan oleh ulama ushul fikih, dengan memberlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, sampai ada ketentuan hukum lain yang merubahnya. Berdasarkan kaidah ini jika seseorang menjumpai suatu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diberlakukan hukum yang telah ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ditetapkannya hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ditetapkan lebih dapat diyakini. 110 Sebagai contoh; jika seseorang makan pada akhir malam, kemudian ragu akan terbitnya fajar maka puasanya sah, karena yang telah ditetapkan adalah waktu malam. Berbeda dengan bila seseorang makan pada akhir siang (sore hari) tanpa ber-ijtihad, kemudian ragu apakah sudah masuk waktu maghrib atau belum maka puasanya batal, karena yang telah ditetapkan adalah waktu siang hari (belum maghrib).111 Contoh lain; suami istri yang telah berumah tangga beberapa lama, kemudian istri mengatakan bahwa dia tidak 109
Ibid. A. Mu’in, et al., op.cit., hal. 197 111 Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, hal. 26 110
46
dilindungi dan diberi nafkah, maka perkataan tersebut dibenarkan, karena perlindungan dan pemberian nafkah telah ditetapkan menjadi tanggungan suami. Dalam kehidupan kampus seorang mahasiswa mengatakan kepada dosen, bahwa dia telah mengumpulkan tugas sehingga nilainya harus dikeluarkan. Namun dosen tersebut tidak mengakui adanya pengumpulan tugas dari mahasiswa tersebut. Dalam kasus ini yang dibenarkan adalah perkataan dosen, karena pada asalnya belum ada pengumpulan tugas tersebut, kecuali ada bukti lain yang meyakinkan perkataan mahasiswa. Contoh-contoh lain dalam kehidupan yang berkaitan dengan kaidah tersebut sangat banyak, dari uraian contoh di atas dapat dipahami bahwa hukum asal dari suatu perkara yang telah diyakinkan dengan bukti, akan tetap pada keadaan itu kecuali ada bukti lain menetapkan berbeda dengan ketetapan hukum asal tersebut. Kaidah kedua;
Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab. Pada hakeketnya manusia dilahirkan bebas dari segala hutang, kewajiban dan tanggung jawab. Adanya kewajiban dan tanggung jawab adalah karena ada hak-hak yang kemudian dimiliki, disebabkan oleh hal-hal yang timbul setelah manusia bergaul. 113 Seorang anak kecil lepas dari tanggung jawab untuk melakukan kewajiban sampai datangnya waktu baligh. Tidak ada hak dan 112 113
Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 55 Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, hal. 26
47
kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah. Makan dan minum dibolehkan sampai adanya dalil yang melarang makan makanan dan minuman yang diharamkan.114 Contoh; jika dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, sehingga kerusakan tersebut dibebankan kepada orang yang merusakkannya seperti pembeli barang tersebut, maka yang dimenangkan adalah orang yang dirugikan (penjual). Sebab menurut hukum asalnya orang yang rugi (penjual) tidak dibebani tanggungan tambahan (kerusakan barang).115 Mengenai kaidah tersebut, al-Syafi’i berkata:
"
"
Dasar sesuatu yang aku iqrorkan adalah aku melakukan yang yakin dan aku membuang keraguan dan aku tidak melakukan yang umum saja.” Dari ungkapan al-Syafi’i tersebut, dapat dipahami bahwa keyakinan sangat penting. Sebelum melakukan sesuatu yang berhubungan dengan syari at maka hendaknya dipertimbangkan dengan matang dengan mencari dalil-dalil tetang perbuatan tersebut hingga dapat diyakini dan pantas untuk dilakukan. Kaidah ketiga;
Hukum asal adalah ketiadaan. Pengertian labih lanjut dari kaidah tersebut dimuat dalam kaidah:
114
A. Djazuli, op.cit., hal. 48 Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, hal. 27 116 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 53 117 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 55 115
48
Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada.118 Yang dimaksud sifat aridlah ialah sifat yang tidak terdapat pada asal mulanya. Jika dalam suatu perkara terdapat keraguan karena adanya sifat seperti aridhah, maka ditetapkan hukum sebaimana hukum asalnya, yakni bahwa sifat itu dianggap tidak ada.119 Sebagai contoh; pelaku usaha mengatakan kepada penanam saham bahwa belum ada keuntungan dari usahanya, maka perkataan itu benar karena pada asalnya tidak ada keuntungan.120 Contoh lain; dalam akad jual beli apabila terjadi suatu perselisihan antara kedua belah pihak, dimana satu pihak mengatakan bahwa akad jual beli yang diadakan itu digantungkan dengan syarat tertentu, sedangkan pihak lain mengatakan sebaliknya yaitu bahwa akad jual beli itu tanpa digantungkan dengan syarat. Dalam sengketa ini, dibenarkan adalah pihak yang mengatakan bahwa akad jual beli tanpa digantungkan dengan syarat. Karena penggantungan terhadap syarat adalah sifat yang datang kemudian, dan menurut kaidah
adalah tidak
ada.121 Dalam akad jual beli, jika terjadi sengketa antara penjual dan pembeli, bahwa menurut penjual cacatnya barang yang dijual ada setelah berada pada pembeli. Sedangkan menurut pembeli, cacat barang tersebut ada ketika barang tersebut masih ada pada penjual. Maka yang harus dipercaya adalah perkataan
118
A. Djazuli, op.cit., hal. 49 A. Mu’in, et al., op.cit., hal. 196 120 Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, hal. 27 121 A. Mu’in, et al., op.cit., hal. 197 119
49
penjual, karena perkataan penjual ada pada waktu yang paling dekat terhadap cacatnya barang. Oleh karena itu, jual beli tersebut tidak bisa dibatalkan, kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahwa cacatnya barang ada ketika barang masih barada pada penjual.122 Kaidah keempat;
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Kelengkapan dari kaidah tersebut adalah:
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan haram. Kaidah tersebut adalah kaidah menurut ulama ushul fikih madzhab al-Syafi’i, sedangkan menurut ulama ushul fikih madzhab Hanafi, yang digunakan adalah kaidah;
Hukum asal segala sesuatu adalah haram sampai ada dalil yang menunjukkan boleh. Kaidah fikih
sebagaimana yang digunakan oleh ulama ushul fikih madzhab al-Syafi’i, diinduksikan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
122
A. Djazuli, op.cit., hal. 51 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 56 124 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 60 125 Ibid. 123
50
: ) 126
.(
Maksud dari hadis tersebut adalah bahwa segala sesuatu yang belum ditunjuk oleh dalil yang tegas tentang halal dan haramnya, hendaklah dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu mubah.127 Kaidah fikih
selain
diinduksikan dari hadis di atas, juga diinduksikan dari hadis:
:
128
.(
)
: : 129
Sebagai contoh; binatang yang sulit untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak didapatkan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan pada binatang yang hukumnya haram, adalah halal dimakan. Binatang jerapah
126
Ibid. Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, op.cit., hal. 500 128 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 60 129 Ibid.
127
51
adalah binatang yang halal dimakan, karena tidak memiliki sifat-sifat atau ciriciri yang mengharamkannya (bertaring lagi buas).130 Kemudian oleh para ulama ushul fikih, kaidah-kaidah fikih tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah;
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan haram. 131 hanya berlaku untuk bidang fikih muamalah, sedangkan untuk fikih ibadah digunakan kaidah;
Hukum asal dalam ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkan. 132 Kaidah fikih
, semakna
dengan kaidah;
Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sebelum datangnya syari ah. 133 Dan juga semakna dengan kaidah;
Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan.134 130
Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, op.cit., hal. 500 Ibid. 132 Ibid. 133 Ibid. 131
52
Di samping dari hadis sebagaimana telah dijelaskan, kaidah fikih juga diinduksikan pada al-Qur’an, di antaranya dari
surat al-Jasiyah ayat 12, al-An’am ayat 146, al-A’raf ayat 30 dan al-Ma’idah ayat 5.135 Kaidah kelima:
Hukum asal pada segala peristiwa yang baru terjadi adalah disamakan pada hukum yang waktunya paling dekat. Kaidah fikih tersebut, terdapat dalam kitab-kitab ushul fikih madzhab alSyafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab ushul fikih madzhab Hanafi meskipun substansinya sama, namun uangkapan kaidahnya berbeda, yaitu:
Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada wkatu yang paling dekat padanya. 137 Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut hukum yang waktunya paling dekat pada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang dapat diyakini bahwa peristiwa itu telah terjadi. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu lain yang lebih jauh.138 Contoh; seorang dokter dalam mengoperasi seorang ibu untuk
134
Ibid. Ibid., hal. 53 136 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 56 137 A. Djazuli, op.cit., hal. 50 138 Ibid., hal. 51 135
53
mengeluarkan bayi yang ada dalam rahim berhasil dengan sukses dan bayi tersebut dapat hidup dalam beberapa hari. Namun demikian, seminggu kemudian bayi tersebut meninggal. Dalam peristiwa ini dokter tersebut tidak dapat
diminta
pertanggungjawaban
atas
kematiannya.
Karena
ada
kemungkinan kematian bayi tersebut disebabkan oleh hal lain yang mendekati peristiwa kematiannya.139 Kaidah keenam: 140
Siapapun yang merasa ragu apakah telah mengerjakan sesuatu atau belum, maka menurut hukum asalnya ia belum melakukannya. Sebagai contoh; seseorang yang ragu pada waktu mengerjakan shalat, apakah ia telah mengerjakan
tidal atau belum, maka ia harus mengulang
tidal.
Karena menurut hukum asalnya, ia belum mengerjakan tidal.141 Contoh lain; orang yang ragu apakah dia telah membayar zakat atau belum, maka menurut hukum asalnya orang tersebut belum membayar zakat, karena itulah yang telah diyakini. Kaidah ketujuh: 142
Barang siapa meyakinkan berbuat dan meragukan tentang banyak atau sedikitnya, maka dibawanya kepada yang sedikit.
139
Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, op.cit., hal. 28 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 56 141 Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, op.cit., hal. 502 142 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 56 140
54
Misalnya; seorang debitur berkewajiban mengangsur kepada kreditur sebagaimana telah disepakati bersama. Seorang kreditur yang merasa ragu apakah ia telah mengangsur empat kali atau lima kali, maka menurut kaidah fikih
yang ditetapkan
adalah empat kali karena itulah yang lebih sedikit, dan yang lebih sedikit adalah yang telah diyakini. 143 Menurut Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi kaidah fikih tersebut lengkapnya adalah:
144
.
Siapa yang meyakini telah berbuat sesuatu dan ragu tentang banyak atau sedikitnya, maka dibawa pada yang sedikit karena itulah yang telah diyakini, kecuali jika ada tanggungan yang membebani pada hukum asalnya maka tanggungan tersebut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan keyakinan. Kaidah kedelapan; 145
Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan pula. Contoh; thawaf telah ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang orang tersebut harus menetapkan pada jumlah yang kelima, karena putaran yang kelima
143
Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, op.cit., hal. 502 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 55 145 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 56
144
55
itulah yang meyakinkan.146 Contoh lain; jumlah angsuran pembayaran sepeda motor yang harus dibayar oleh Anton adalah 24 kali. Suatu ketika, Anton lupa berapa angsuran yang sudah ia bayar, apakah sebelas atau dua belas kali. Maka, yang harus ditetapkan Anton adalah sebelas kali, karena jumlah itu telah diyakinkan dengan bukti pembayaran yang sah. Kecuali ada bukti lain yang menyatakan pembayaran ke dua belas, seperti buku catatan pembayaran di Bank. Kaidah kesembilan:
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya. Kaidah ini menetapkan apabila terjadi suatu perselisihan dalam menafsirkan atau mengartikan suatu rangkaian kalimat yang memungkinkan untuk diartikan menurut arti hakikat dan majaz, maka yang dijadikan pedoman adalah penafsiran menurut arti hakikat itu sendiri.148 Contoh; seseorang mewakafkan atau mewasiatkan hartanya kepada anaknya, jika terjadi gugatan dari cucunya untuk menuntut bagian atau agar dapat ikut menikamatinya, maka gugatan itu tidak dapat dibenarkan. Karena menurut arti hakikat perkataan anak itu hanya terbatas kepada anak kandung yang dilahirkan secara langsung oleh orang yang berwakaf atau berwasiat, walaupun dalam arti majaznya kata anak juga mencakup cucunya.149
146
A. Djazuli, op.cit., hal. 48 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 56 148 Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, op.cit., hal. 502 149 Ibid. 147
56
Kaidah tersebut lebih dekat apabila dimasukkan dalam kelompok kaidah ushul fikih daripada kaidah fikih. Karena kaidah tersebut berkenaan dengan bahasa. Dan kaidah-kaidah bahasa berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian, banyak perbuatan mukallaf yang juga disebabkan oleh penggunaan bahasa, oleh sebab itu .150
ditetapkan kaidah fikih
Kaidah kesepuluh: 151
Hukum asal dari kemaluan wanita adalah haram Kaidah tersebut diinduksikan pada firman Allah SWT:
öNåkß]»yJ÷ƒr& ôMs3n=tB $tB ÷rr& öNÎgÅ_ºurø—r& #’n?tã žwÎ) ÇÎÈ tbqÝàÏÿ»ym öNÎgÅ_rã•àÿÏ9 öNèd tûïÏ%©!$#ur 152
ÇÐÈ tbrߊ$yèø9$# ãNèd y7Í´¯»s9'ré'sù y7Ï9ºsŒ uä!#u‘ur 4ÓxötGö/$# Ç`yJsù ÇÏÈ šúüÏBqè=tB çŽö•xî öNåk¨XÎ*sù
Sebagai contoh: jika seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membeli budak
wanita, kemudian orang
tersebut
meninggal dunia
sebelum
menyerahkan budak wanita yang telah dibelinya kepada orang yang mewakilinya. Maka orang yang mewakili tersebut diharamkan menyetubuhi budak wanita tersebut, karena orang yang mewakilkan membeli budak wanita hanya untuk dirinya sendiri.153 150
A. Djazuli, op.cit., hal. 53 Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, hal. 56 152 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press, Bandung, t.t., hal. 663 153 Abdul Hamid Hakim, Mabdi Awwaliyah, hal. 35 151
57
Kaidah kesebelas;
Hukum asal wanita yang telah dinikahi dan dimiliki (budak) adalah halal. Kaidah tersebut juga diinduksikan pada surat Al-Mu’minun ayat 5-7, sebagaimana kaidah fikih
. Obyek pembahasan dan
cakupan kaidah fikih
sama dengan kaidah
fikih sebelumnya, yaitu tentang hukum kemaluan wanita. Dapat pula dipahami bahwa kaidah fikih
ini merupakan
kesinambungan dari kaidah fikih
, yang sifatnya
menegaskan pada kaidah fikih turunan sebelumnya.
154
Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, hal. 56
58
BAB IV KONTRIBUSI KAIDAH FIKIH AL-YAQIN LA YUZALU BI AL-SYAKK DALAM ISTINBATH HUKUM
A. Perbandingan Pemikiran Abdul Hamid Hakim dengan Ulama Lain 1. Jalaluddin Abdurrman al-Suyuthi Dalam salah satu bukunya yang berjudul Al-Asybah Wa al-Nadzair Fi Qowaidi Wa Furu i Fiqhi al-Syafi i, Jalaluddin Abdurrahman alSuyuthi mengatakan sebagaimana pendapat al-Qadhi al-Subki, bahwa semua ulama madzhab al-Syafi’i mengembalikan permasalahan fikih pada empat kaidah fikih induk. Empat kaidah fikih induk tersebut adalah: pertama;
keempat;
, kedua;
.155
Kemudian
, ketiga;
sebagaian
menambahkan satu kaidah fikih induk lagi yaitu kaidah
ulama
,
terkemuka
.156
Yang berbeda antara Abdurrahman Jalaluddin al-Suyuthi dengan Abdul Hamid Hakim, dalam bukunya al-Sullam adalah urutan penyebutan terhadap lima kaidah induk tersebut. Bahwa Jalaluddin Abdurrahman alSuyuthi sebagaimana telah dijelaskan di atas, menyebutkan kaidah fikih
155
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadzair fi Qowaidi wa Furu i Fiqhi al-Syafi iyah, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t, hal. 7 156 Ibid., hal. 8
59
pada urutan pertama.157 Sedangkan Abdul Hamid
induk
Hakim menyebutkannya pada urutan kedua. Namun demikian, urutan pembahasan kaidah fikih induk
adalah sama yaitu pada
urutan kedua.158 Kaidah fikih induk
menurut Jalaluddin
Abdurrahman al-Suyuthi diinduksikan dari dua hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim.159 Namun demikian, Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi menambahkan satu hadis lain,160 yaitu;
:
:
:
: :
. 161
(
).
Menurut Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, dari kaidah fikih induk
dikembangkan sebelas kaidah fikih turunan,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim. Namun demikian, ada beberapa kaidah fikih turunan yang berbeda. Menurut Abdurrahman 157
Ibid., hal. 7 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, Sa’adiyyah Putra, Jakarta, t.t., hal. 55 159 Ibid. 160 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, op.it., hal. 51 161 Imam Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t., hal. 158
243
60
Jalaluddin al-Suyuthi, kaidah fikih
dan kaidah fikih
adalah
kaidah fikih turunan, dari kaidah fikih
yang juga merupakan kaidah turunan dari kaidah fikih induk
.162 Berbeda dengan Abdul Hamid Hakim yang menjelaskan
bahwa kaidah fikih
dan kaidah fikih
, adalah kaidah fikih
turunan tersendiri dari kaidah induk
sebagaimana
kaidah fikih turunan lainnya.163 Menurut analisa penulis, perbedaan pendapat antara Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi dan Abdul Hamid Hakim mengenai kaidahkaidah fikih tersebut disebabkan oleh pemahaman bahasa tulisan pada kaidah fikih
. Penulis sepakat
dengan Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi yang mengatakan bahwa kaidah fikih 162 163
adalah
Jalaludin Abdurrahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 55 Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 55
61
kaidah fikih turunan dari kaidah fikih
yang berfungsi untuk menjelaskan kaidah fikih tersebut. Karena yang
dimaksud keraguan yang kemudian datang, adalah ada pada ukuran pelaksanaan sesuatu, bukan pada pelaksanaan yang telah diayakini. Yang harus diyakini dari banyak atau sedikitnya pelaksanaan sesuatu tersebut adalah yang sedikit karena yang banyak adalah tindakan belum dilaksanakan. Pendapat penulis berdasar pada ihtiyath (kehati-hatian) dan kaidah fikih
.
Sebagai contoh, seseorang mengangsur pembayaran sepeda motor sudah lima kali angsuran. Pada waktu jatuh tempo angsurang keenam, orang tersebut ragu apakah sudah membayar angsuran atau belum, maka yang ditetapkan adalah belum adanya pembayaran angsuran keenam. Karena yang lebih sedikit yaitu lima kali angsuran adalah yang telah diyakini dan yang lebih banyak yaitu angsuran keenam adalah keraguan yang kemudian datang. Untuk kaidah fikih
, penulis sepakat
dengan Abdul Hamid Hakim yang menyebutkan bahwa kaidah fikih tersebut, bukan merupakan kaidah fikih turunan dari kaidah fikih
. Dengan asalan, bahwa sesuatu yang telah
62
ditetapkan tentu disertai dengan bukti agar dapat diyakini. Jika sudah diyakini maka tidak dapat dianggap bahwa ketetapan tersebut belum terlaksana kecuali ada bukti yang menunjukkan bahwa ketetapan tersebut belum dapat diyakini. Sebagai contoh, seorang wanita yang telah dilamar seorang laki-laki dengan adanya bukti yang menyakinkan, tidak boleh dilamar laki-laki lain karena lamaran pertama sudah ditetapkan dan diyakini. Selain kaidah fikih
dan kaidah fikih
, masih ada kaidah
fikih turunan yang menurut Abdul Hamid Hakim dan Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi berbeda. Yaitu bahwa Abdul Hamid Hakim menyebutkan kaidah fikih
sebagai kaidah
fikih turunan dari kaidah fikih induk
,164 sedangkan
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi tidak menyebutkannya. Penulis sepakat dengan Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi yang tidak menyebutkan kaidah fikih
sebagai
kaidah turunan dari kaidah induk
164
Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, hal. 55
63
. Karena kaidah fikih
menurut penulis merupakan kaidah
turunan yang menjelaskan kaidah turunan lain, yaitu kaidah fikih turunan . Karena dengan kaidah fikih turunan tersebut
sudah dapat dipahami bahwa setelah adanya perkawinan atau pembelian budak wanita, hukum yang asalnya haram sudah berubah menjadi halal seihngga istri atau budak wanita boleh disetubuhi oleh suami atau tuan pemilik budak wanita. Selain itu, Abdul Hamid Hakim tidak menyebutkan kaidah fikih ,
sedangkan Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi menyebutkannya dengan menjelaskan bahwa kaidah tersebut merupakan qoul al-Syaif i. Dan juga merupakan kaidah yang dikembangkan dari kaidah
.165
Alasan Abdul Hamid Hakim tidak menyertakan kaidah sebagai kaidah fikih turunan dari kaidah fikih induk
menurut penulis,
adalah bahwa kaidah tersebut diinduksikan dari kaidah fikih turunan lain, yaitu kaidah fikih
, sebagaimana telah dijelaskan oleh
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi. 166
165 166
Jalaludin Abdurrahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 53 Ibid.
64
Mengenai penjelasan kaidah fikih induk
yang
dibahas oleh Abdul Hamid Hakim dan Jalaluddin Abdurrahman alSuyuthi, tidak jauh berbeda. Kedua ulama tersebut menjelaskan dengan menyebutkan contoh-contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari baik yang berkaitan dengan ibadah ataupun muamalah. Namun demikian, Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi lebih luas dalam menjelaskan masingmasing kaidah dan lebih sulit dipahami, dibanding dengan penjelasan Abdul Hamid Hakim yang lebih ringkas dan mudah dipahami bagi pembaca yang kurang mampu berbahasa Arab.
2. A. Djazuli Dalam buku Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis) A. Djazuli membahas lima kaidah fikih induk dengan urutan sebagaimana yang telah dibahas oleh Abdul Hamid Hakim. Kaidah fikih
dibahas dalam urutan kedua dari lima kaidah induk tersebut. Kaidah fikih dibahas dengan cara dituliskan kaidahnya, contoh-
contoh penerapan dalam kehidupan dan hadis yang diinduksi menjadi kaidah fikih tersebut.167 Berbeda dengan Abdul Hamid Hakim yang
167
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet. II, 2007, hal. 42
65
membahas
dengan menuliskan dasar yang diinduksi,
kaidah fikih tersebut dan penjelasannya. Namun demikian, pembahasan dari kedua ulama tersebut pada substansinya tetap sama. Hadis yang diinduksi menjadi kaidah fikih
menurut A. Djazuli adalah sebagaimana dibahas oleh Abdul Hamid Hakim. Namun, oleh A. Djazuli ditambahkan beberapa hadis, yaitu:
168
(
) 169
(
)
Menurut penulis, perbedaan antara A. Djazuli dan Abdul Hamid Hakim pada dasar yang diinduksi menjadi kaidah fikih
tidak mengurangi validitas kaidah fikih tersebut sebagai pedoman ijtihad dalam fikih. Karena walaupun berbeda, namun maksud dari semua hadis tersebut adalah sama yaitu tentang keyakinan dan keraguan. Kaidah fikih tersebut, sama dengan asas praduga tak bersalah
(presumption of innocent) dalam hukum Barat. Selain itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu dzan (berprangsangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.
168 169
Ibid., hal. 44 Imam Tirmidzi, op.cit., hal. 365
66
Menurut A. Djazuli yang dimaksud dengan al-yaqin (keyakinan) adalah sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan pancaindra atau dengan adanya dalil. Juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi. 170 Kemudian yang dimaksud dengan al-syakk (keraguan) adalah sesuatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tenang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya.171 Abdul Hamid Hakim tidak menjelaskan pengertian al-yaqin (keyakinan) dan al-syakk (keraguan) dalam pembahasan kaidah fikih induk
, namun istilah al-syakk (kergauan) telah
dijelaskan pada awal buku ushul fikihnya yaitu Mabadi’ Awwaliyah, alSullam dan al-Bayan. Pengertian tentang al-syakk menurut Abdul Hamid Hakim adalah sebagaimana dijelaskan oleh A. Djazuli, yang dijelaskan dengan contoh, sehingga dapat dibedakan antara al-syakk, al-dzonn dan alwahmu.172 Selain itu, Abdul Hamid Hakim juga menjelaskan bentukbentuk keraguan sedangkan A. Djazuli tidak menjelaskannya. Selanjutnya A. Djazuli membahas kaidah-kaidah fikih turunan yang diinduksikan dari kaidah fikih induk
, yaitu dengan
membahas sebelas kaidah fikih turunan. Ada beberapa perbedaan pada 170
A. Djazuli, op.cit., hal. 44 Ibid., hal. 45 172 Abdul Hamid Hakim, al-Bayan, hal. 5 171
67
kaidah-kaidah fikih turunan yang dibahas oleh A. Djazuli dengan yang telah dibahas oleh Abdul Hamid Hakim. Kaidah-kaidah turunan yang berbeda adalah kaidah:
( ) 174
( ) 173
( ) ( ) 175
176
Perbedaan tersebut menurut penulis, mungkin karena Abdul Hamid Hakim dalam membahas kaidah fikih induk
disesuaikan
dengan madzhab al-Syafi’i. Sedangkan A. Djazuli dalam membahas kaidah tersebut, tidak disesuaikan kepada salah satu madzhab walaupun penjelasannya juga sesuai dengan pembahasan ulama-ulama madzhab alSyafi’i. Menurut analisa penulis, Abdul Hamid Hakim tidak menetapkan kaidah fikih turunan
sebagai kaidah turunan dari
kaidah fikih induk
adalah karena substansi kaidah
fikih tersebut sama dengan kaidah fikih turunan
. Namun demikian, A. Djazuli menyendirikan pembahasan kedua
173
A. Djazuli, op.cit., hal. 47 Ibid., hal. 53 175 Ibid., hal. 53 176 Ibid., hal. 54 174
68
kaidah tersebut. Kaidah
dan kaidah fikih
sebagaimana dijelaskan A. Djazuli adalah kaidah yang
berkaitan dengan kaidah fikih induk
menurut Qadhi
Abd al-Wahab al-Maliki. Menurut analisa penulis, Abdul Hamid Hakim tidak membahas kaidah tersebut, karena tujuan penulisan buku ushul fikihnya adalah diperuntukkan bagi pelajar Indonesia, yang mayoritas mengikut madzhab al-Syafi’i. Mengenai kaidah fikih
, sebagaimana dijelaskan A. Djazuli adalah kaidah yang semakna
dengan kaidah fikih
. Abdul Hamid Hakim
juga telah membahas kaidah fikih turunan
,
oleh sebab itu, menurut analisa penulis Abdul Hamid Hakim tidak perlu lagi menyendirikan pembahasan kaidah fikih turunan
tersebut.
Penjelasan kaidah fikih pokok
oleh Abdul
Hamid Hakim dan A. Djazuli, tidak jauh berbeda. Oleh masing-masing
69
ulama, kaidah tersebut tersebut dijelaskan dengan menyebutkan contoh penerapan dalam kehidupan sehari-hari baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah. Penulis lebih sepakat dengan penjelasan Abdul Hamid Hakim, karena penjelasan pada kaidah-kaidah turunan dari kaidah fikih induk
disertai dengan dasar penginduksian kaidah-
kaidah turunan tersebut sedang A. Djazuli tidak menjelaskan dasar induksi dari kaidah-kaidah fikih turunan yang dibahasnya.
B. Penerapan Kaidah Fikih Al-Yaqin La Yuzalu Bi al-Syakk dalam Perundang-undangan di Indonesia 1. Undang-Undang Perkawinan Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hukum Islam (fikih) yang berkembang di Indonesia bercorak Syafi’iyyah sebagaimana ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah di antaranya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV M. Melalui kerajaan itu, hukum Islam madzhab Syafi’i disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan Nusantara. 177 Perkawinan adalah salah satu materi kajian fikih, berasal dari bahasa Arab yang disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi dan al-dhammu yang berarti bersetubuh dan berkumpul. Selanjutnya, 177
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), Prenada Media Group, Jakarta, cet. III, 2006, hal. 3
70
pengertian nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya persetubuhan seorang laki-laki dengan seorang wanita, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan.178 Kaidah fikih
melalui kaidah turunannya
(hukum asal kemaluan wanita adalah haram) adalah dasar
adanya perkawinan. Dengan adanya perkawinan, vagina seorang wanita yang hukum asalnya haram menjadi halal, sebagimana didasarkan pada kaidah fikih
(hukum asal wanita yang
telah dinikahi dan budak wanita aadalah halal). Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974. Di dalam UndangUndang tersebut Bab I Pasal 1; perkawinan didefinisikan sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa.” Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat dipahami bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, 178
Ibid., hal. 38
71
kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur rohani. Sebagian besar pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang ditetapkan di Indonesia juga diadopsi dari hukum Islam. Hukum Islam dibentuk dengan metode ijtihad, yang juga didasarkan pada kaidah fikih. Salah satu dari lima kaidah fikih induk adalah
, yang
sangat berpengaruh terhadap hasil ijtihad, karena hampir seluruh permasalahan fikih dikembalikan pada kaidah tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa kaidah fikih
juga diterapkan dalam
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Penerapan lain kaidah fikih
adalah sebagaimana
ketetapan dalam Bab I Pasal 3 ayat 1; “Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyi seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”
Ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa seorang suami tidak dibolehkan beristri lebih dari seorang (poligami). Sebagaimana dalam kaidah fikih yang merupakan kaidah turunan dari kaidah
fikih
, maka hukum berpoligami adalah tidak boleh.
Namun, dalam kaidah fikih
, dijelaskan
72
dengan lanjutannya
(kecuali ada bukti yang
menunjukkan lain). Karena adanya bukti yang menunjukkan lain, maka perlu dibentuk aturan sebagaimana dimuat dalam pasal 3 ayat 2; “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Sebab
yang
menujukkan
dibolehkannya
seorang
suami
berpoligami, adalah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4: (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dpat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembukan. c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
73
Sebab selain yang dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan, tidak dapat dijadikan dalil sehingga dikecualikan dari ketetapan pasal 3 ayat 1. Karena yang telah diyakini adalah ketetapan sebagaimana dalam pasal 3 ayat 1, dan ketetapan-ketetapan dalam pasal selanjutnya adalah disebabkan keraguan yang kemudian datang. Seorang warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, bisa melangsungkan perkawinan di negara tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih
(hukum asal sesuatu adalah
mubah) yang merupakan kaidah turunan dari kaidah fikih induk
. Dalam Undang-Undang Perkawinan kebolehan melangsungkan
perkawinan di luar Indonesia juga telah diatur, sebagaimana telah ditetapkan dalam Bab XII Ketentuan-Ketentuan Lain Pasal 56 ayat 1: Perkawinan yang dilangsukan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalh sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.
2. Undang-Undang Wakaf Menurut bahasa, wakaf berasal darri kata bahasa Arab waqofa yang berarti menahan atau berhenti di tempat. Menurut istilah, wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk
74
mendapatkan
keridhaan
Allah.
Secara
harfiah,
wakaf
bermakna
pembatasan atau larangan. Sehingga kata wakaf digunakan dalam Islam untuk maksud pemilikan dan pemeliharaan harta benda tertentu untuk kemanfaatan sosial tertentu yagn ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf tersebut di luar tujuan khusus yang telah ditetapkan tersebut.179 Ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang wakaf, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 267 dan ali-Imran ayat 92. Selain itu, terdapat beberapa hadis yang dijadikan dasar perwakafan, di antaranya adalah:
.
: :
:
: :
:
.
.
. (
)
Jumhur ulama berpendapat bahwa wakaf hukumnya sunnah, akan tetapi madzhab Hanafi berpendapat bahwa wakaf hukumnya mubah karena wakaf orang kafir pun hukumnya sah. Namun demikian, para 179
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf & Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 2007, hal. 29 180 Imam Muslim, Shohih Muslim, Juz III, Dar Ihya’ al-Turos al-Arabiy, Beirut, t.t., hal. 1255
75
ulama juga menetapkan bahwa suatu ketika wakaf dapat menjadi wajib, manakala wakaf itu menjadi obyek Nadzar seseorang.181 Dengan dasar pendapat jumhur ulama bahwa wakaf hukumnya sunnah dan mengingat keutamaan wakaf, banyak warga negara Indoensia yang beragama Islam untuk mewakafkan sebagian harta mereka. Sehubungan dengan adanya wakaf yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka harus ada undang-undang yang mengatur tentang perwakafan. Hukum, syarat, tata cara dan segala hal yang berkaitan dengan wakaf, telah diatur dalam hukum Islam (fikih). Di Indonesia perwakafan diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang disahkan di Jakarta pada tangal 27 Oktober 2004. Adapun sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut, peraturan kelembagaan dan pengelolaan wakaf di Indonesia berada di bawah Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang UUPA. Sehingga kemauan yang kuat dari umat Islam untuk memaksimalkan peran wakaf mengalami kendala-kendala formil. 182 Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tetang Wakaf, diadopsi dari fikih yang telah menjelaskan tentang wakaf. Salah satu dasar pengambilan putusan dalam fikih adalah kaidah fikih induk
. Oleh
sebab itu, kidah fikih tersebut juga berperan dalam penetapan perundang-
181
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf & Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), op.cit., hal. 36 182 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf & Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), op.cit., hal. 94
76
undangan yang mengatur tentang wakaf yaitu Undang-Undang No. 41 tahun 2004. Penerapan kaidah fikih induk
dalam undang-
undang tersebut adalah sebagaimana ditetapkan pada Bab II pasal 3; “Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.” Pasal 3 tersebut, diinduksikan dari kaidah fikih turunan
fikih turunannya
yaitu kaidah
(segala yang telah
ditetapkan dengan keyakinan tidak dapat dihilangkan kecuali dengan keyaninan lain). Jika ada pembatalan pada wakaf yang telah diiqrarkan sebagaimana telah diatur dalam pasal 2 undang-undang ini, maka hal tersebut tidak dapat disahkan. Karena Iqrar wakaf adalah yang telah diyakini, dan pembatalan iqrar tersebut adalah bentuk keraguan yang kemudian datang. Di samping kaidah fikih
pasal 3 sebagaimana telah disebutkan, juga diinduksikan dari kaidah fikih turunan lain, yaitu kaidah fikih
(hukum asal
sesuatu adalah tetapnya sesuatu atas ketetapan sesuatu tersebut). Iqrar adalah ketetapan yang sudah dapat diyakini, oleh sebab itu ketetapan dengan iqrar tersebut tidak bisa dicabut/dibatalkan.
77
Kaidah fikih induk
juga diterapkan dalam pasal
26; (1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah pewasiat yang bersangkutan meninggal dunia. (2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai kuasa wakif. (3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan sesuai dengan tata cara perwakafan yagn diatur dalam undang-undang ini. Penerapan kaidah
tersebut, adalah melalui kaidah
turunannya yaitu kaidah fikih
(hukum asal dari suatu
kalimat adalah arti yang sebenarnya). Sehingga dapat dipahami bahwa dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 yang dimaksud penerima wasiat yang berhak menjadi kuasa wakif adalah orang yang diberi wasiat oleh pewasiat. Bukan merupakan orang lain seperti anak dari orang yang diwasiati, istri, dan juga bukan keluarga lainnya. Jika terjadi gugatan dari pihak lain, seperti anak penerima wasiat wakaf bahwa harta yang diwakafkan adalah juga haknya untuk mewakafkan atau memiliki harta tersebut, maka gugatan tersebut tidak dibenarkan. Karena yang diyakini adalah orang yang menerima wasiat dengan ketentuan disaksikan dua orang sebagaimana diatur dalam undangundang ini. Ketika orang yang menerima wasiat wakaf tidak melaksanakan wasiat tersebut, ahli waris berhak memohon kepada pengadilan untuk
78
melaksanakan wakaf tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 27; “Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, atas permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat.” Menurut pasal ini, ahli waris wakif tidak berhak untuk melaksanakan wakaf tersebut karena bukan merupakan orang yang menerima wasiat sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih
.
Demikian contoh penerapan kaidah fikih induk
dalam
perundang-undangan
di
Indonesia,
yaitu
Undang-Undang
Perkawinan dan Undang-Undang Wakaf. Selain dari undang-undang tersebut, kaidah fikih tersebut baik langsung maupun melalui kaidahkaidah fikih turunannya, dapat diterapkan pada perundang-undangan di Indonesia yang merupakan hasil adopsi dari hukum Islam. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang diadopsi dari hukum Islam tentu tidak lepas dari kaidah fikih.
79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis sebagaimana dalam bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan: 1. Abdul Hamid Hakim adalah berasal dari daerah Sumatra Barat. Ia belajar dari Sekolah Rakyat, Sekolah Agama di Batusangkar dan kepada Haji Rasul. Penguasaan dalam berbagai bidang ilmu, menjadikannya seorang ulama yang disegani. Karirnya dimulai dari menjadi guru bantu dan mendapat gelar Engku Mudo, hingga menjadi kepala Perguruan Sumatra Thawalib, selain aktif berdakwah. Para muridnya banyak menjadi tokoh terkenal, da’i di tingkat daerah maupun nasional. Abdul Hamid Hakim juga menghasilkan karya di bidang ushul fikih dengan tiga buku, yaitu: Mabadi Awwaliyah, al-Sullam, al-Bayan dan karya-karya di bidang lain. Hampir seluruh karyanya dijadikan buku pembelajaran, baik di Indonesia maupun manca negara. Pada tanggal 17 Agustus 1975 Abdul Hamid Hakim memperoleh penghargaan sebagai Pejuang Pendidik. 2. Menurut Abdul Hamid Hakim,
adalah salah satu dari
lima kaidah fikih induk. Sebagaimana telah dibahas, dari kaidah fikih tersebut dikembangkan sebelas kaidah fikih turunan. Kaidah fikih
adalah kaidah yang mencakup seluruh permasalahan yang
80
timbul dalam fikih, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muamalah. 3. Kaidah fikih
dapat diterapkan dalam segala bidang
fikih. Adanya perkawinan, didasarkan pada kaidah turunan dari kaidah fikih tersebut yaitu kaidah fikih
. Kaidah fikih
dapat juga diterapkan dalam perundang-undangan di
Indonesia, di antaranya adalah Undang-Undang Perakwinan dan UndangUndang Wakaf. Undang-Undang yang diadopsi dari hukum Islam tentu juga didasarkan pada kaidah fikih tersebut baik langsung maupun melalui kaidah turunannya.
B. Saran Peran kaidah fikih
dan semua kaidah turunannya,
sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah maupun transaksi. Oleh karena itu, hendaknya siswa dan mahasiswa yang belajar di bidang agama Islam hendaknya bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan menerapkan kaidah fikih tersebut. Untuk mencapai pembelajaran kaidah fikih yang memuaskan, hendaknya lembaga-lembaga pendidikan agama Islam menyediakan banyak literatur yang membahas tentang kaidah fikih.
81
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok al-Qur’an dan Tafsir Agama RI, Departemen, Al-Qur an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press, Bandung, t.t. B. Kelompok al-Hadis Bukhori, al-Imam, Shohih Bukhori, jilid IV, Toha Putra, Semarang, t.t. Ekabakti E-Hadith (software), Sunan Abi Daud E-Book, Kitab al-Aqdhiyah. Al-Muslim, al-Imam Abu Husain Ibn Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shohih Muslim, Dahlan, Indonesia, t.t. Al-Muslim, al-Imam, Shohih Muslim, Juz III, Dar Ihya’ al-Turos al-Arabiy, Beirut, t.t. Al-Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, jilid II, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t. Turmudzi, al-Imam, Sunan al-Turmudzi, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t. C. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh Abdurrahman al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asybah wa al-Nadzair fi Qowaidi wa Furu i Fiqhi al-Syafi iyah, Darul Qutbi al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, t.t. al-Shiddieqy, Hasbi, Prof., Pengantara Hukum Islam, jilid I, Bulan Bintang, Jakarta, cet. VI, 1980 Djazuli, A., Prof., Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet. II, 2007. Hamid Hakim, Abdul, As-Sullam, Sa’adiyah Putra, Jakarta, t.t. Hamid Hakim, Abdul, Mabadi Awwaliyah, Sa’adiyyah Putra, Jakarta, t.t. Hamid Hakim, Abdul, al-Bayan, Sa’adiyyah Putra, Jakarta, t.t. Hamid Hakim, Abdul, al-Mu in al-Mubin, Sa’adiyyah Putra, Jakarta, t.t.
Muthahhari, Murtadha, Prof., dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengarantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, terj. Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad, Pengantar oleh Satria Efendi M. Zein, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1993. Mu'in, A., Drs. H. dkk., Ushul Fiqh, Departemen Agama, 1986. Nuruddin, Amiur, Dr., dan Dr. Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), Prenada Media Group, Jakarta, cet. III, 2006 Rahman, Asjmuni A., Prof., Qa'idah-Qa'idah Fiqih (Qawaidul Fiqhiyyah), Bulan Bintang, Jakarta, 1976. Sunarta, SH., M.Hum., H., Kapita Selekta Hukum Islam, Mahameru Press, Yogyakarta, 2008. _____, Kompilasi Hukum Islam, Fokusmedia, Bandung, cet. II, 2007 Yahya, Muchtar, Dr., Prof., dan Fatchurrahman, Drs., Prof., Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT. Al-Ma’arif, Bandung, cet. X, 1986 Wadjdy, Farid, Drs., H. dan Mursyid, M.SI., Wakaf & Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 2007 D. Kelompok Kamus dan Ensiklopedi Azra, Azyumardi, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. 9, 1997. Azis Dahlan, Abdul, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Revisi, Balai Pustaka, Jakarta, 1982. Yunus, Mahmud, Drs., Kamus Arab Indonesia, Hida Karya Agung, Jakarta, 1990. E. Kelompok Buku Lain Arikunto, Suharsini, Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta, 1989. Malik, Ibnu, Ausathu al-Masalik Li Al-fiyah Ibn Malik, terj. Musthofa Bisri, Menara Kudus, Kudus, t.t.
2