BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Konsep Negara Hukum Negara Hukum menurut Abdul Aziz Hakim1 adalah, negara berlandaskan atas
hukum dan keadilan bagi warganya. Artinya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum sehingga dapat mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. Pengertian lain negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum yang berarti segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan oleh penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum. Menurut Prof. Wirjono Projadikoro2 dalam buku yang sama bahwa, penggabungan kata-kata Negara dan Hukum, yaitu istilah “Negara Hukum” berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya meliputi; 1. Semua alat-alat perlengkapan negara, khususnya alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dan 1
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, 2011, Celeban Timur (Yogyakarta), hlm. 8 2
Ibid, hlm. 9
9
2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturanperaturan hukum yang berlaku. Sementara itu, Prof Sudargo Gautama mengemukakan3, ada tiga ciri atau unsurunsur Negara Hukum, yakni: a. terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, maksudnya adalah negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi oleh hukum, individu mempunyai hak terdapat negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa. b. Asas Legalitas Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparatnya. c. Pemisahan Kekuasaan. Pendapat diatas diperkuat pula oleh F.J. Stahl4 yang mengemukakan elemen dari negara hukum antara lain : 1. Adanya jaminan atau hak dasar manusia 2. Adanya pembagian kekuasaan 3. Pemerintah berdasarkan peraturan hukum 4. Adanya peradilan administrasi negara
3
Lihat. Abdul Aziz Hakim, hlm. 10
4
Ibid
10
Konsep Negara Hukum dalam Anglo Saxon, dikemukakan Albert Van Dicey5 salah seorang pemikir Inggris yang juga seorang penulis buku mengemukakan, ada tiga (3) unsur utama the rule of law, yakni; 1. Supremacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ialah hukum (kedaulatan hukum). 2. Equality before the law ; kesamaan bagi kedudukan di depan hukum untuk semua warga negara, baik selaku pribadi maupun sebagai pejabat negara 3. Constitution based on individual right; konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia diletakan dalam konstitusi itu hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi. Selain disebutkan di atas, terdapat pula konsep Negara Hukum yang berasal dari pemikiran Benua Eropa (Eropa Continental), dikemukakan oleh Frederich Julius Stahl berupa unsur-unsur utamanya yaitu; 1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia 2. Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan Negara haruslah berdasarkan theory atau konsep trias politica. 3. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang. 4. Apabila dalam melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi, maka ada pengadilan administrasi yang mengadilinya. Berdasarkan konsep Stahl, dapat diperoleh kesimpulan bahwa negara hukum
5
Ibid, hlm. 13
11
bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan membatasi kekuasaan terhadapnya. Namun, konsep ini hanya mendahulukan aspek formal yang hasilnya membawa persamaan pada aspek politik dan sosial saja, tetapi penyelenggaraan ekonomi dan kesejahteraan rakyat memberi kesempatan bersaing secara bebas, artinya yang terkuat dialah pemilik keuntungan sebesar-besarnya.
B.
Demokrasi Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, yang diartikan oleh Abraham Lincoln Presiden Amerika Serikat ke-16 sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pengertian demokrasi di atas dapat pula dijabarkan sebagai sebuah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Makna lainnya adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Namun
tentu
saja
demokrasi
akan
menjadi
sesuatu
yang
sulit
diwujudkanmanakalapenyelenggara kurang tekun dalam melaksanakan hal tersebut yang terkadang menimbulkan ketegangan dan pertentangan antara pelaku hukum dalam hal ini pemerintah6.
6
Lihat.Abdul Aziz, hlm. 13
12
Lebih lanjut dijelaskan Abraham terdapat ciri demokrasi yakni pertama, adanya ruang politik (polical space), yang memungkinkan rakyat untuk bisa berkembang secara wajar dan aman. Suatu politik yang terbuka, mengandaikan adanya kebijakan publik yang mendukung dan adanya penerimaan atas prinsip-prinsip pluralisme. Ruang politik yang bebas dan aman, tidak selalu bermakna legal-formal, melainkan harus nyata (sosiologis). Kedua, berkembangnya proses partisipasi rakyat yang murni dan progresif. Maksudnya adalah suatu kondisi dimana rakyat, menjadi aktor utama dalam proses politik, dan bukan sekedar penyumbang suara dalam pemilu. Partisipasi yang paling tinggi adalah ketika rakyat ikut mengambil keputusan politik yang penting (hak inisiatif), dan tidak sekedar menjadi tenaga-tenaga dari proyek-proyek pemerintahan. Ketiga, pemerintah adalah pihak mayoritas, dengan tidak mengabaikan pihak minoritas. Memberi tempat dan kesempatan pada mayoritas, bermakna penghormatan atas suara rakyat. Menurut para ahli, diantaranya Joseph A. Schmeter mengungkapkan bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Selain itu, Sidnet Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan bahwa, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas 13
tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih7. Berdasarkan pendapat beberapa ahli, diperoleh kesimpulan bahwa hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat, baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Demokrasi sendiri menurut Hans Kelsen8 berarti bahwa “kehendak” yang dinyatakan dalam tatanan hukum negara identik dengan kehendak dari para subyek hukum. Demokrasi langsung adalah demokrasi dengan derajat relatif paling tinggi dan ditandai oleh fakta bahwa pembuatan undang-undang dan juga fungsi eksekutif dan yudikatif yang utama dilaksanakan oleh rakyat di dalam pertemuan akbar atau rapat umum, sehingga demokrasi ini pula dapat dikata merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara yang dijalankan pemerintah negara tersebut.
7
http://phicumbritz.blogspot.com/2010/06/pengertian-demokrasi-menurut-para-ahli.html
8
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Penerbit Nusa Media dan Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 402-409
14
William Andrews9 mengatakan, negara demokrasi modern berdiri berdiri di atas basis kesepakatan umum mayoritas rakyat tentang bangunan negara yang di idealkan. Organisasi negara diperlukan agar kepentingan mereka dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme negara. Bentuk demokrasi modern dewasa ini, sistem kekuasaan dalam kehidupan bersama biasa dibedakan dalam tiga wilayah atau dominan, yaitu negara (state), pasar (Market), dan masyarakat (civil society). Ketiga domain kekuasaan tersebut memiliki logika dan hukumnya sendiri-sendiri. ketiganya harus berjalan seiring dan sejalan, sama-sama kuat dan sama-sama mengendalikan satu sama lain, tetapi tidak boleh saling mencampuri atau dicampuradukan. Jika kekuasaan negara terlalu dominan, demokrasi tidak akan tumbuh karena selalu didikte dan dikendalikan oleh negara dimana yang berkembang adalah otoritarianisme. Jika kekuasaan pasar terlalu kuat, melampaui kekuatan “civil society“ dan negara, berarti kekuatan modal (kapital) dan kaum kapitalis yang menentukan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Demikian pula jika kekuasaan yang dominan adalah “civil society“ sedangkan negara dan pasar lemah, maka yang akan terjadi adalah situasi “goverment-less”, tanpa arah yang jelas. C.
Otonomi Daerah Istilah otonomi daerah secara etimologis dapat diartikan sebagai pemerintahan
9
Prof. Jimly Asshddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, hlm. 398-399
15
sendiri. Istilah otonomi menurut Syafrudin,10 bahwa kebebasan atau kemandirian tetapi bukan berarti kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. UU Nomor 32 Tahun 2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan serta kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Hak, wewenang dan kewajiban dimaksud secara tegas dinyatakan dalam ketentuan pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang menyatakan bahwa : “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum, mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Pada dasarnya otonomi daerah dapat dilaksanakan oleh negara yang
menerapkan
asas
desentralisasi,
yakni
penyerahan
sebagian
urusan
pemerintahan dari pusat kepada daerah dalam mengurus rumah tangganya secara mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi pemerintah pusat. Dikemukakan Logemann tentang pengertian otonomi daerah, bahwa kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonom berarti memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya untuk mengurus kepentingan umum. Meskipun demikian, dalam
10
Ateng Syafrudin Op. Cit, hlm.23
16
mengatur segala kepentingan harus pula berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah setelah perubahan kedua UUD 1945, disebutkan pada pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 semula berbunyi bahwa, “pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam Sistem Pemerintahan Negara, dan hak asal-usul dalam Daerah yang bersifat istimewa”, saat ini diubah menjadi : 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. 2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4. Gubernur, Bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten dan kota yang dipilih secara Demokratis. 5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan 17
Pemerintahan Pusat. 6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. D.
Good Governance Istilah ini lazim disebut dengan pemerintahan yang baik dan merupakan konsep
yang belakangan digunakan dalam ilmu politik maupun administrasi publik. Dikemukakan Prof. Murtir Jeddawi,11 dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma ini menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan
pelayanan
yang
berkualitas
kepada
masyarakat,
mendorong
meningkatkan ekonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik dan diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih dari korupsi. Lebih lanjut Murtir mengungkapkan,
istilah governance disini diartikan
sebagai mekanisme, praktik maupun tata cara pemerintah dan warga mengatur sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah publik. Perbedaan paling pokok antara konsep “government”dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan 11
Murtir Jeddawi, Negara Hukum, Good Governance dan Korupsi Di Daerah, Penerbit Total Media, 2011, Yogyakarta, hlm. 23-26
18
suatu bangsa, sedangkan “pemerintahan” berarti peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaraan berbagai otoritas dimaksud. Sementara dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Adapun unsur transparansi dan keterbukaan dalam konsep good governance yang dikemukakan Murtir, merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Transparansi dan keterbukaan perbuatan hukum publik oleh badan atau pejabat administrasi negara merupakan bentuk perlindungan hukum bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena dalam hal badan atau pejabat administrasi negara membuat suatu kebijakan atau keputusan administrasi negara maka rakyat yang mempunyai kepentingan atas kebijakan atau keputusan tersebut harus mengetahui secara transparan atau terbuka. Dikemukakan pula oleh Philipus dan kawan-kawan12 bahwa, good governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu; 1. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat. 2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat. 3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya dengan kehendak rakyat. Dijelaskan pula bahwa konsep governance dalam masyarakat sering dirancukan dengan konsep government, padahal keduanya memiliki perbedaan. Konsep yang 12
PhilipusHadjon dkk, Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, 2010, Jakarta, hlm.9
19
pertama (governance) lebih inklusif daripada government. Konsep
“government”
menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah), sedangkan “governance” melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, akan tetapi pihak yang terlibat sangat luas. Penjelesan di atas diberi pula penekanan oleh Crince Le Roy13, yang mengemukakan sebelas asas umum pemerintahan yang baik dalam lapangan hukum administrasi dan praktik pemerintahan di Belanda meliputi; 1. Asas kepastian hukum 2. Asas keseimbangan 3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan 4. Asas bertindak cermat 5. Asas motivasi dalam setiap keputusan 6. Asas larangan mencampuradukkan kewenangan 7. Asas permainan yang layak 8. Asas keadilan atau kewajaran 9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar 10.
Asas meniadakan akibat keputusan yang batal
11.
Asas perlindungan atas pandangan Kuntjoro Purbopranoto14 melengkapi ke sebelas asas umum pemerintahan yang
13
Lihat.Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Penerbit Erlangga, 2010, Jakarta, hlm.158 14
Ibid, hlm. 158-159
20
baik yang dikemukakan di atas dengan menambah asas lain dalam rangka mengadaptasi asas-asas umum pemrintahan. Kedua asas tambahan tersebut adalah asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum. E.
Konsep Peraturan Daerah Kata “peraturan daerah” atau yang disingkat dengan Perda merupakan
gabungan dari dua kata yakni Peraturan dan Daerah. Istilah “Peraturan” berasal dari kata dasar “atur” yang mendapat awalan “per” dan akhiran “an”. Kata “atur” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “disusun dengan baik, rapi dan tertib. Sementara kata “Peraturan” itu sendiri dalam Kamus Bahasa Indonesia ialah “tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur”. Menurut Perundang-undangan yang berlaku, perda adalah peraturan daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Konsep lain menurut Jazim Hamidi15bahwa Perda sebagai bentuk kewenangan yang diberikan tidak sebatas melihat ketentuan UU yang mengatur Pemerintah Daerah saja, melainkan juga menjadi amanat konstitusi yang dijalankan dengan tidak melanggar ketentuan yang diberikan, antara lain dengan memperhatikan susunan dan tata cara peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum sehingga menuntut pengetahuan yang cukup dari pembuat maupun penyusunnya.
15
Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, Legislative Drafting (Seri Naskah Akademik Perda), Penerbit Total Media, Yogyakarta, 2011, hlm.5
21
Rozali Abdullah16 berpendapat, bahwa dalam proses pembentukan Perda menyangkut tiga (3) aspek penting, yaitu 1. Aspek Prosedural yakni menyangkut tata cara dan prosedur pembentukan Peraturan Daerah yang secara normatif telah diatur dalam Tata Tertib DPRD masing-masing. 2. Aspek substansial menyangkut isi atau materi pokok yang diatur dalam Peraturan Daerah (latar belakang, tujuan dan objek dibuatnya Peraturan Daerah). 3. Aspek Teknis menyangkut masalah bentuk dan teknis penyusunan Peraturan Daerah (diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden). Dapat pula dilihat pada Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membatasi materi muatan sebuah perda, yaitu bahwa Perda tidak boleh memuat urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat seperti: a. politik luar negeri, b. pertahanan dan keamanan, c. yustisi, 16
Rozali Abdullah, Produk Hukum Daerah, Pusat Studi dan Hukum Perudang-undangan Universitas Jambi, Jambi, 2000. hlm.3
22
d. moneter dan fiskal nasional, dan e. agama. Kewenangan pembentukan peraturan daerah itu berada pada Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Dalam kerangka Otonomi Daerah pula, pelaksanaan kewenangan pembentukan perda telah ditetapkan juga ke dalam beberapa aturan yang meliputi; Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ tanggal 25 Juli 2006 perihal Tertib Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah sebagai konsekuensi adanya pelimpahan kekuasaan dalam Otonomi Daerah. Penjelasan di atas memberikan penegasan pula bahwa, pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diberikan pemerintah pusat, betapapun luasnya cakupan otonomi daerah itu Perda yang merupakan produk lokal tidak boleh mengatur permasalahan yang menyimpang dan merusak prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. F.
Konsep Transparansi Transparansi adalah suatu proses keterbukaan para pengelola manajemen publik
untuk membangun akses dalam proses pengelolaannya, sehingga arus informasi 23
keluar dan masuk dapat berimbang. Konsep Transparansi menurut Peraturan Daerah (Perda) adalah, keadaan dimana setiap orang dapat mengetahui proses pembuatan dan pengambilan keputusan oleh pemerintah. Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pemerintahan berarti lembaga atau orang yang bertugas mengatur dan memajukan negara dengan rakyatnya. Tujuan transparansi pemerintahan adalah terjaminnya akses masyarakat dalam berpartisipasi, terutama dalam proses pengambilan keputusan bersama untuk kemajuan pembangunan. Smith yang dikutip dalam Disertasi Arifin T17 mengemukakan, bahwa proses transparansi meliputi : 1.
Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur), bahwa proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan kebutuhan masyarakat. 2.
Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara pemerintah dan masyarakat
3.
Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya korupsi.
17
Lihat.Arifin T, Analisis Implementasi Kebijakan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintah Kota Gorontalo (Disertasi), Universitas Negeri Makassar, Makassar, 2010, hlm. 3
24
Dalam Good Gevernance18, transparansi merupakan salah satu prinsip Good Governance. Pengertian transparansi disini adalah segala keputusan yang diambil dan penerapannya dibuat serta dilaksanakan sesuai koridor hukum dan peraturan yang berlaku.
Sementara
dalam
hhtp.www.transparansi.or.id19Jurnal
Masyarakat
Transparansi mengemukakan, bahwa transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan serta informasi tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau semua orang sebagai bentuk pertanggung jawaban secara tidak langsung. Diberi pengertian pula bahwa transparansi adalah keadaan dimana segala bentuk aktifitas yang dilakukan dalam tataran pemerintahan bersifat terbuka dan memberi kebebasan kepada semua pihak demi kemajuan, serta terpenuhinya hak masyarakat dalam memberikan pendapat, saran dan kritikan membangun yang dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara dalam buku yang diterbitkan Bappenas dan Depdagri20, bahwa Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang 18
Lihat.Arifin T,Ibid, hlm.5
19
Jurnal Masyarakat,hhtp.www.transparansi.or.id
20
Lihat. Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan Depdagri, 2002, hlm.18
25
dicapai. Pengertian ini menunjukkan bahwa transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan serta tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik serta proses pembentukannya. Adanya ketersediaan informasi seperti ini, masyarakat dapat sekaligus mengawasi kebijakan publik yang ditetapkan sehingga memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi yang menguntungkan kelompok tertentu secara tidak proporsional. Pada dasarnya prinsip transparansi meliputi 2 aspek, yaitu : (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Transparansi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti : a. mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi semua prosesproses pelayanan publik. b. mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses di dalam sektor publik. c. mekanisme
yang
memfasilitasi
pelaporan,
penyebaran
informasi
dan
penyimpangan tindakan aparat publik dalam kegiatan melayani keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik. G.
Konsep Informasi Publik Tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2008, bahwa pengertian Informasi adalah
keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna,
26
dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini serta informasi lain berkaitan dengan kepentingan publik. Selanjutnya diberi makna pula bahwa, informasi publik merupakan sebuah bentuk layanan yang diberikan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan akan informasi yang ingin didapat guna mencapai suatu tujuan tertentu. H.
Tata Urutan/hirarki Peraturan Perundang-Undangan Pengaturan tentang tata urutan perundang-undangan dulunya diatur dalam Tap
MPRS No. XX Tahun 1966 dimana bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia terdiri dari: 1. UUD RI 1945 2. Ketetapan MPR 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden dan
27
6. Peraturan-peraturanPelaksanaan lainnya seperti: -
Peraturan Menteri;
-
Instruksi Menteri;
-
dan lain-lainnya.
Diubah ke dalam Tap MPR No. III Tahun 2000 yang memuat tata urutan Perundang-undangan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI 3. Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) 5. Peraturan Pemerintah 6. Keputusan Presiden Tap MPR No. III Tahun 2000 itu pun mengalami perubahan menjadi UU Nomor 10 Tahun 2004 yang bentuk dan susunannya terdiri dari : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Keputusan Presiden 5. Peraturan Daerah Provinsi
28
Saat ini hierarki perundang-undangan yang berlaku adalah UU Nomor 12 tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yang tata urutannya adalah: 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.
Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Keputusan Presiden
6.
Peraturan Daerah Provinsi
7.
Peraturan Daerah Kabupaten / Kota Teori yang paling banyak mendapat perhatian dalam membahas mengenai
hirarki perundang-undangan adalah teori Hans Kelsen. Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Melalui teori tersebut dapat memudahkan dalam memahami hirarki struktur hukum di Indonesia dari aspek hukum Indonesia. Hirarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi21. Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang dikemukakan Hans Kalsen dapat dimaknai sebagai beriikut.
21
http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kalsenhans-nawiaski-di.html 29
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh minyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Terkait dengan subtansi norma dasar, Hans Kalsen membedakan dua jenis norma atau sistem norma. Keduanya adalah sistem norma statis (the static system of norm) dan sistem norma dinamis (the dinamic system of norm). Sistem norma statis adalah sistem yang melihat suatu norma dari segi isi atau materi muatan norma itu sendiri. Isinya menunjukan kualitas yang terbukti secara langsung menjamin validitasnya. Sedangkan, sistem norma dinamis adalah sistem yang melihat suatu norma yang pembentukannya sesuai dengan prosedur oleh yang ditentukan konstitusi. Dengan perkataan lain norma dalam perspektif sistem norma dinamis adalah norma yang dilahirkan oleh pihak yang berwenang untuk membentuk norma tersebut yang tentu saja bersumber dari norma yang lebih tinggi. Teori Nawisaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah: 1. Norma fundamental negara 2. Aturan dasar negara 3. Undang-undang formal. dan 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom. 30
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Teori Nawiasky tersebutdapat dibandingkan dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Melalui perbandingan antara kedua teori tersebut menunjukkan bahwa struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky adalah: 1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945). 2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. 3. Formell gesetz: Undang-Undang. 4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota. Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan 31
hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. I.
Landasan dan Azas Pembentukan Perda Menurut M.Solly Lubis,22, ada tiga (3) landasan pembuatan peraturan
perundang-undangan, yakni; (a) landasan filosofis yaitu dasar filsafat, pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara . (b) landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan, dan (c) landasan politis, ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan dan pengarahan ketata-laksanaan pemerintahan negara. Sama halnya dengan pendapat M. Solly Lubis, Rosjidi Ranggawidjaja23 berpendapat bahwa, suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurangkurangnya harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis
22
Lihat.Suprin Na’a, Perda dalam Perspektif Ilmu Perundang-undangan, Tadulako University Press, 2004, Palu, hlm.75-76 23
Suprin Na’A, Loc.Cit
32
dan landasan yuridis, yang diuraikan sebagai berikut; a) Landasan filosofis (filosofis grondslag), yakni filsafat atau pandangan hidup (way of life) suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. b) Landasan sosiologis (sociologische), yakni sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat, agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat dan tidak hanya menjadi huruf-huruf mati belaka. c) Landasan yuridis (juridische gelding), yakni landasan hukum (juridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Sementara itu Amiroeddin Syaif24 menegaskan, bahwa dalam perundangundangan dikenali atas 5 (lima) asas yakni; 1) asas tingkatan hirarki, 2) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, 3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis), 4) Undang-undang tidak berlaku surut, 5) Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (lex posteriori derogat lex priori). Berkenaan dengan asas-asas peraturan perundang-undangan ini, Purnadi
24
Ibid, hlm.79
33
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto25 pun memperkenalkan pula enam (6) asas perundang-undangan yaitu; (a) Undang-undang tidak berlaku surut, (b) Undang-undang yang di buat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula, (c) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat generali), (d) Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat lex priori), (e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dan (f), Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan/pelestarian (asas welvaarstaat). Tercantum dalam buku yang diterbitkan Dirjen Peraturan Perundang-undangan (DEPHUMKAM)26 bahwa dalam pembentukan Peraturan Daerah selain didasarkan pada Pancasila yang menjadi sumber segala hukum dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-
25
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundangan-undangan dan Yurisprudensi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.7-12 26
Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah,Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Kuningan, Jakarta Selatan2009, hlm.13-15
34
undangan, juga tertuang dalam Pasal 5 UU No 12 tahun 2011 yang meliputi beberapa asas yakni; a. Kejelasan tujuan; artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; artinya bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk
Peraturan
Perundang-undangan
yang
berwenang.
Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenan. c. Kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan; artinya setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya. d. Dapat dilaksanakan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. f. Kejelasan rumusan; bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
35
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Keterbukaan; bahwa dalam setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Patut pula diperhatikan pasal 138 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menetapkan bahwa materi muatan perda mengandung asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dijelaskan melalui buku panduan Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan
36
Daerah
27
bahwa terdapat pula peran serta masyarakat dalam proses penyusunan
peraturan daerah, yaitu memperhatikan prinsip partisipasi. Mengenai partisipasi dalam Undang-undang No 12 Tahun 2011 diatur secara tegas dalam Pasal 96 yang menyatakan bahwa, (1) masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (2) masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Partisipasi masyarakat dalam tahap pembahasan di tingkat legislatif dapat dilakukan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Melalui akses partisipasi memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau menyumbangkan pemikirannya terhadap suatu kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah Daerah.
27
Ibid, hlm.16.
37