xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. 1 Hegel di dalam thesisnya membagi Negara hukum ke dalam dua bentuk, yaitu : Negara hukum dalam arti sempit, dan Negara hukum dalam arti formal. Yang menarik dari pendapat Hegel tersebut adalah pengertian dari Negara hukum dalam arti formil, yaitu Negara boleh ikut campur tangan dalam urusan kemakmuran rakyatnya, akan tetapi dibatasi dengan Undang-Undang, agar supaya Negara tidak berbuat sewenang-wenang. 2 Ciri-ciri khas Negara hukum itu sendiri adalah : 3 a. “Pengakuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan; b. Peradilan yang bebas dari tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga; c. Legalitas dalam arti segala bentuknya”. Hal yang sama mendasari sifat Negara hukum yang dianut oleh Negara Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 terdapat indikasi terhadap Negara hukum. Pada Pembukaan UUD 1945 dijelaskan
1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm. 153 2 Ibid., hlm. 158 3 ibid., hlm. 162
Universitas Sumatera Utara
xiii
mengenai tujuan Negara Indonesia, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur. Tujuan dan arah Pembangunan Nasional Indonesia tertuang kembali dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 yang menetapkan Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 adalah sebagai berikut: 1.
Terwujudnya kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai.
2.
Terwujudnya kehidupan bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan Hak Asasi Manusia, serta;
3.
Terwujudnya kesempatan
perekonomian kerja
dan
yang
mampu
penghidupan
yang
menyediakan layak
serta
memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan Visi Pembangunan Nasional tersebut ditetapkanlah Misi Pembangunan Nasional tahun 2004-2009, yaitu: 1. Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai 2. Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis 3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera Ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia memberi perhatian yang sangat besar untuk menciptakan suatu Negara hukum yang ideal, dimana Negara ikut campur di dalam usahanya menciptakan kemakmuran bagi warga negaranya. Apabila kita melihat kembali ke dalam Batang Tubuh
Universitas Sumatera Utara
xiv
UUD 1945 banyak pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan Negara hukum tersebut, salah satunya terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang berbunyi : 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara 3 Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sangat perlu diatur dan dimonopoli oleh Negara. Hal ini disebabkan, bahwa Negara Indonesia menghendaki adanya kesejahteraan dalam masyarakat, bukan kesejahteraan secara individu. Oleh sebab itu, Negara mempunyai hak lebih untuk menguasai dan mengatur seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat. Bumi dan air yang dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut menggambarkan mengenai kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah Negara, maupun tanah itu sendiri. Pemerintah sebagai agen atau organisasi pekerja Negara, memiliki peranan untuk menguasai (bukan memiliki) kekayaan alam tersebut, sepanjang kekayaan alam tersebut dipergunakan seluas-luasnya demi kepentingan hajat hidup orang banyak. Fungsi dari kekayaan alam itu sendiri adalah sebagai alat atau sarana bagi suatu organisasi Pemerintah untuk mendukung dan menunjang pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan pengawasan dan pengaturan yang ketat mengenai kekayaan alam tersebut.
Universitas Sumatera Utara
xv
Untuk memaksimalkan pemberdayaan kekayaan alam yang dikuasai Negara tersebut, yang berupa kekayaan alam yang dapat dipergunakan bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, maka Pemerintah menyadari perlu membentuk suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mempunyai spesialisasi di setiap bidang usaha masing-masing. Semua Badan Usaha Milik Negara tersebut berkewajiban untuk mengusahakan setiap kekayaan alam yang dimandatkan kepada mereka, misalnya: Pertamina, berkewajiban untuk mengelola aset atau kekayaan Negara berbentuk gas dan minyak bumi (yang terdapat di bawah tanah). Pertamina diwajibkan memaksimalkan pengelolaan atas kekayaan alam tersebut untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Selain kekayaan alam yang berada di bawah tanah yang telah disebutkan di atas, maka terdapat juga kekayaan alam yang juga dimandatkan kepada Pemerintah untuk dipergunakan sebaik-baiknya demi kepentingan hajat hidup orang banyak salah satunya adalah tanah. Bagi bangsa Indonesia, tanah mempunyai pengaruh besar di dalam kehidupan bermasyarakat, diantaranya dipergunakan untuk prasarana permukiman, prasarana jalan dan jembatan, prasarana pendukung di bidang ekonomi, pendidikan, peribadatan, rekreasi, serta keperluan lainnya. Atas dasar ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mendasari Pasal 1 ayat (2) UUPA, dinyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung di dalam wilyah Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi kekayaan nasional. Dalam
Universitas Sumatera Utara
xvi
Pasal 2 UUPA disebutkan, bahwa tanah pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pengertian tanah negara dalam arti sempit menurut Boedi Harsono adalah : 4 “Tanah yang dikuasai oleh departemen-departemen dan lembagalembaga pemerintah non departemen lainnya dengan hak pakai dan hak pengelolaan, yang merupakan aset atau bagian kekayaan negara yang penguasaannya ada pada menteri keuangan”.
Hal ini berarti bahwa setiap Badan Usaha Milik Negara juga memiliki bagian di dalam penguasaan tanah negara tersebut. Penguasaan atas tanah tersebut diberikan oleh Negara untuk memaksimalkan kinerja dari setiap BUMN yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, banyak juga BUMN yang tidak dapat memaksimalkan aset tanah yang dimilki tersebut. Hal ini dikarenakan minimnya sumber daya modal
yang
dimilki
oleh
BUMN
yang
bersangkutan.
Agar
dapat
memaksimalkan pemberdayaan dari aset tanah negara tersebut kepada masyarakat, maka berdasarkan hak menguasai yang dimiliki oleh negara, pemerintah dapat memberikan atau mengalihkan hak-hak atas tanah negara tersebut kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau suatu badan hukum untuk diberdayakan bagi kepentingan masyarakat banyak.
Pemberian
hak
itu
berarti
pemberian
wewenang
untuk
mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur dalam perundangundangan. Dalam hal ini, Hak menguasai yang dimiliki oleh negara tidak
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 275
Universitas Sumatera Utara
xvii
dapat dipindahkan kepada pihak lain, melainkan hanya diberikan dengan suatu hak atas tanah negara kepada kepada pihak lain. Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang atau badan hukum, bukan berarti melepaskan hak menguasai tersebut dari tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut tetap berada di dalam penguasaan Negara. Negara
tidak
melepaskan
kewenangannya
terhadap
tanah
yang
bersangkutan. Pengalihan atas tanah negara yang dimilki oleh sebuah BUMN dapat dilakukan melalui perjanjian. Dalam hal ini, penulis mengambil bahan kajian pengalihan tanah negara yang dimiliki oleh sebuah BUMN, dalam hal ini BULOG, melalui perjanjian tukar guling yang dilakukan dengan PT. Goro Batara Sakti. Dari pihak BULOG sendiri bersedia menukar lahan yang diperuntukkan bagi BULOG dengan luas sekitar kurang lebih 50 Ha yang terdapat di kawasan Kelapa Gading, dengan tanah pengganti seluas kurang lebih 125 Ha yang dimilki oleh PT. Goro Batara Sakti. Akan tetapi di dalam pelaksanaan perjanjian tukar guling tersebut telah terjadi penyimpanganpenyimpangan, diantaranya : bahwa tanah yang ditukar guling tersebut tidak dipergunakan seluas-luasnya bagi kepentingan masyarakat, melainkan untuk kepentingan individu dan negara malah mengalami kerugian sebesar Rp. 95.407.486.000 5 setelah perjanjian tukar guling ini dilaksanakan. Kerugian yang dialami oleh negara disebabkan proses tukar menukar (ruilslag) tanah tersebut pada awalnya memang telah bertentangan dengan
5
Varia Peradilan, “Tindak Pidana Korupsi Kasus Ruislaght Tanah dan Gudang BULOG”, No. 183 Desember 2000, hlm. 8
Universitas Sumatera Utara
xviii
ketentuan ruilslag yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK/03/1994. Ketentuan ruilslag yang telah dilanggar adalah proses ruilslag itu sendiri, yaitu adanya campur tangan Presiden dalam pengambil alihan aset Bulog oleh PT. Goro Batara Sakti; proses ruilslag tidak dijalankan melalui proses tender; aset yang hendak dilepas oleh Bulog telah dipergunakan terlebih dahulu oleh PT. Goro Batara Sakti; dan adanya uang Bulog yang dipakai untuk membeli tanah aset pengganti yang seharusnya disediakan oleh PT. Goro Batara Sakti. Oleh karena itu, pemerintah melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 K/Pid/2000 membatalkan perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, karena akibat dari perjanjian tukar guling tersebut negara telah dirugikan, dan para pihak baik BULOG (dalam hal ini terdakwa Beddu Amang) maupun PT. Goro Batara Sakti (dalam hal ini terdakwa Ricardo Galael dan Tomi Soeharto) telah terbukti dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. Didasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang Pengalihan Hak Milik Atas Kekayaan Negara Melalui Perjanjian Tukar Guling (RUILSLAG) Antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti Dihubungkan Dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2001
Universitas Sumatera Utara
xix
B. Identifikasi Masalah 1. Apakah hak milik atas kekayaan negara yang dikelola oleh BUMN dapat dialihkan atau dikuasai oleh Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia? 2. Bagaimana akibat hukum dibatalkannya Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) antara BULOG dengan PT. Goro Batara Sakti? 3. Bagaimana tanggungjawab pidana pihak BULOG terhadap kerugian negara yang timbul dari Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) tersebut dihubungkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui dan memahami tentang tentang pengalihan hak milik atas kekayaan negara yang dikuasai oleh BUMN atau dikuasai menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. 2. Mengetahui dan memahami akibat hukum dibatalkannya Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti tersebut. 3. Mengetahui dan memahami tentang pertanggungjawaban pidana pihak BULOG terhadap kerugian negara yang timbul dari perjanjian tukar guling (ruilslag) tersebut dengan dihubungkan dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
xx
D. Kegunaan Penelitian 1.
Kegunaan Teoritis a) Diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam berbagai upaya pengembangan ilmu hukum dan pembaharuan hukum nasional khususnya tentang Perjanjian Tukar Guling (ruilslag). b) Diharapkan
dapat
memberikan
bahan
referensi
bagi
kepentingan yang bersifat akademis baik dalam penelaahan hukum secara monodisipliner, maupun multidisipliner dan sebagai tambahan bagi kepustakaan. 2.
Kegunaan Praktis a) Memberikan sekedar informasi bagi pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian tukar guling (ruilslag) khususnya mengenai ketentuan wanprestasi beserta eksistensi dari perjanjian tukar guling itu sendiri. b) Memberikan
masukan
bagi
instansi
pemerintah
atau
departemen yang terkait serta pihak swasta khususnya bagi para pihak yang sedang atau telah melakukan rangkaian proses di dalam mencapai tujuan dari tukar guling ataupun bagi para pihak yang hendak melakukan perjanjian tukar guling dikemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
xxi
E. Kerangka Pemikiran Indonesia sebagai negara
berdasarkan
hukum, seperti yang
termaktub di dalam UUD 1945 telah melakukan amandemen di dalam UUD 1945. Hal ini dilakukan untuk mendukung terciptanya suatu tujuan negara hukum, salah satunya adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur. Hasil dari Amandemen tersebut diantaranya adalah : a. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (dan warga negara); b. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; c. Pemerintah di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis; d. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Untuk menciptakan negara hukum, diperlukan adanya suatu sistem hukum. Suatu sistem hukum memiliki elemen-elemen pendukung untuk terciptanya penegakan hukum itu sendiri, diantaranya adalah : 6 a. Kelembagaan (institutional); b. Kaedah aturan (instrumental); c. Perilaku para subjek hukum yang menunjang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan tersebut (elemen subyektif dan kultural). Pemerintah sebagai organisasi pekerja
Negara (elemen kelembagaan)
memiliki peranan untuk mengatur dan menguasai seluruh kekayaan dan aset-aset negara yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3 6
www.khn.com, 15 April 2006, jam 22.10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
xxii
UUD
1945).
Untuk
itu,
Negara
sebagai
organisasi
kekuasaan
bertanggungjawab untuk mengelola sumber kekayaan alam dan aset-aset tersebut (elemen instrumental). Pengelolaan atas kekayaan negara dan aset-aset tersebut dapat saja dialihkan kepada pihak swasta apabila negara (BUMN) memiliki keterbatasan sumber daya modal untuk mengelolanya, sepanjang pengalihan tersebut dilakukan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Pengalihan atas hak negara untuk mengelola kekayaan dan aset-aset tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian, salah satunya adalah perjanjian tukar guling (ruilslag). Didasarkan
Pasal
2
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
350/KMK.03/1994. tanggal 13 Juli 1994 Tentang Tukar Menukar Barang Milik atau Kekayaan Negara, Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) adalah suatu pengalihan pemilikan dan/atau penguasaan barang tidak bergerak milik negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan negara. 7. Salah satu objek dari perjanjian tukar guling tersebut adalah tanah. Perjanjian tukar guling (ruilslag) merupakan perkembangan dari salah satu bentuk perjanjian yang telah diatur dalam KUH Perdata, yaitu perjanjian tukar-menukar. Pasal 1541 KUH Perdata menyebutkan, yang dimaksud dengan perjanjian Tukar Menukar adalah: “suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain.
7
Munir Fuadi, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 216.
Universitas Sumatera Utara
xxiii
Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar adalah : “suatu perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain.” 8
Selain itu, ada juga yang mendefenisikan perjanjian tukar menukar sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar. 9 Unsur-unsur yang tercantum di dalam defenisi di atas adalah: 10 1. Adanya subjek hukum (individu maupun badan hukum) 2. Adanya kesepakatan subjek hukum; 3. Adanya objek, yaitu barang bergerak dan tidak bergerak (tanah); 4. Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar menukar tersebut. Didasarkan Kepmenkeu No.350/KMK.03/1994, bahwa siapapun dapat melakukan perjanjian tukar guling tersebut, baik departemendepartemen, instansi atau suatu badan usaha milik negara yang mengusai suatu tanah dapat melakukan perjanjian ini dengan pihak swasta manapun dengan ketentuan penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak yang mempunyai nilai tukar yang sama, sehingga tidak menyebabkan keuangan negara mengalami kerugian. Sepanjang perjanjian tersebut dilakukan dengan ketentuan-ketentuan tersebut, maka perjanjian tukar 8
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.57 9 Ibid., hlm.57 10 Ibid., hlm.57
Universitas Sumatera Utara
xxiv
guling tersebut menjadi sah bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tukar guling tersebut. Lahirnya perjanjian tukar guling ini, mengacu kepada salah satu sifat yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yaitu sifat terbuka. Yang dimaksud dengan sifat terbuka ini adalah para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian yang mereka inginkan, selama perjanjian tersebut tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Hal ini tersirat pula di dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.” Seperti telah disebutkan di atas di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut telah menjadi undang-undang bagi setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut. Namun, dalam kenyataannya terjadi penyimpangan-penyimpangan atau dapat dikatakan para pihak di dalam perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena objek yang dipertukarkan dalam perjanjian tukar guling tersebut adalah milik negara dan memberikan kerugian pada negara. Perbuatan melawan hukum sendiri telah di atur di dalam Pasal 1365 KUH Perdata, dimana disebutkan :
Universitas Sumatera Utara
xxv
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) yang dikenal di dalam Hukum Perdata memiliki arti yang sama dengan pengertian perbuatan melawan hukum pada hukum Pidana (wederrechtelijkheid), seperti yang terdapat di dalam makalah yang dibuat oleh Indriyanto Seno Adji, dalam seminar tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, dikatakan oleh
beliau
bahwa
pengertian
onrechtmatigdaad
Hukum
Perdata
mempunyai arti yang sama dengan pengertian wederrechtelijheid Hukum Pidana. 11 Perbuatan
melawan
hukum
(wederrechtelijheid)
sendiri
telah
dituangkan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Hal ini diantaranya dapat kita lihat pada : 12 a. Pasal 406, mengartikan wederrechtelijheid sebagai “tanpa hak sendiri” b. Pasal 333, mengartikan wederrechtelijheid sebagai “bertentangan dengan hukum obyektif” c. Pasal 167 dan Pasal 522 mengartikan wederrechtelijheid sebagai “bertentangan dengan hukum”. Selain itu, Mahkamah Agung sendiri pernah membuat keputusan dalam suatu kasus No. 30 K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1970, dimana disebutkan 11
Indriyanto Seno Adji, “Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dan Masalahnya Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia”, Azas-azas Hukum Pidana Nasional, Hotel Ciputra Semarang, 2004, hlm.1 12 Ibid., hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
xxvi
bahwa
sifat
melawan
hukum
itu
sedemikian
pentingnya
sehingga
ditegaskan, bahwa : 13 1. Dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur “sifat melawan hukum” dari perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan. 2. Walaupun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum, tidak berarti perbuatan (1) yang dituduhkan telah merupakan delik penadahan walaupun sifat melawan hukum tidak ada sama sekali. Jadi dalam hal ini, pembentuk undang-undang menegaskan bahwa undangundang pidana tersebut berisikan hal-hal yang tidak diperkenankan kepada setiap orang. Dan alasan dipergunakannya kata “sifat melawan hukum” atau wederrechtelijheid, karena
pembuat undang-undang mengkhawatirkan
adanya bahaya, yaitu tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang, terutama yang bertentangan dengan undangundang pidana. Indriyanto Seno Aji di dalam seminar tentang Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan melawan hukum formal dan perbuatan melawan hukum materiil.14 Menurut beliau, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum formil, lebih dititikberatkan pada pelanggaran
terhadap
pelanggaran
terhadap
peraturan-peraturan
perundangan yang tertulis, sedangkan perbutan melawan hukum materiil, lebih dititikberatkan kepada perbuatan yang merupakan pelanggaran
13
R. Achmad S. Soema di Praja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi Terjadinya Tindak Pidana, Armico, Bandung, 1983, hlm. 17 14 Indriyanto Seno Adji, op.cit
Universitas Sumatera Utara
xxvii
terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Apabila kita merujuk kembali kepada pendapat Mochtar Kusumaatmadja di dalam bukunya dan telah dikutip ulang oleh Komariah Emong Sapardjaja di dalam bukunya yang berjudul “Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia”, dikatakan bahwa :“Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya” 15 Kaidah-kaidah tersebut dapat menjadi tuntunan orang untuk berperilaku atau menjadi norma-norma perilaku dan selanjutnya kaidah-kaidah tesebut ada yang dikukuhkan menjadi norma hukum oleh negara melalui pembuat undang-undang. 16 Norma hukum tersebut ada yang menjadi bagian dari hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi. Salah satu penerapan norma tersebut dapat kita lihat di dalam perjanjian tukar guling (rischlaght) yang notabene terdapat dalam lingkup hukum perdata, karena dalam hal ini, perjanjian tukar guling tersebut termasuk ke dalam hukum perjanjian. Salah satu bentuk perbuatan melawan hukum yang secara implisit telah disebutkan pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dan ditambah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 ayat (1). (Selanjutnya dalam tulisan ini, penulis akan menyebut UndangUndang tersebut sebagai Undang-Undang Korupsi). 15
Ny. Komariah Emong S., Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 1 16 Ibid., hlm 2-3
Universitas Sumatera Utara
xxviii
Tindak pidana didefenisikan sebagai perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum. 17 Korupsi adalah suatu perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 18 Apabila istilah tersebut digabungkan dengan kata korupsi akan membentuk tindak pidana korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertian Tindak Pidana Korupsi ialah rumusan-rumusan tentang segala perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Korupsi. Undang-Undang tersebut telah merumuskan 44 (empat puluh empat) kategori perbuatan yang dapat dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan dasar-dasar tertentu, tindak pidana korupsi tersebut dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan pembaginya. Salah satu pembagian Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat dibedakan berdasarkan dapat atau tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara. 19 Bagian penjelasan Undang-Undang Korupsi memberikan definisi keuangan negara yang merupakan objek dari Tindak Pidana Korupsi tesebut. Keuangan negara yang dimaksud kedalam objek perbuatan korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan. Termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 17
Jan Remmelink, Hukum Pidana “Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 61 18 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976 19 Chaznawi Adami, hukum Pidana materiil dan formil korupsi di Indoesia, Bayumedia, Malang, 2003, hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
xxix
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. b) Berada dalam pengurusan, pengurusan dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara 20. Objek perjanjian ruilslag antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti merupakan
tanah
negara
yang
berada
dalam
pengurusan
dan
pertanggungjawaban BULOG sebagai Badan Usaha Milik Negara, dimana harus dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat. F.
Metode Penelitian Metode penelitian sangat penting dalam rangka memperoleh hasil
penelitian yang akurat, untuk itu penulis akan melakukan penelitian berdasarkan metode-metode sebagai berikut: 1.
Spesifikasi Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian yang bertujuan memaparkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada. Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan masalah hukum, fakta dengan gejala lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, kemudian menganalisanya sehingga diperoleh suatu gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang permasalahan yang akan diteliti.
20
Indonesia, Undang-Undang No.31/1999 jo Undang-Undang No.20/2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bagian penjelasan.
Universitas Sumatera Utara
xxx
2.
Metode Penelitian Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menginventarisasi, mengkaji dan meneliti data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian ini, dan bagaimana peraturan tersebut diterapkan dalam praktiknya.
3.
Tahap Penelitian Penyusunan skripsi ini melalui 2 (dua) tahapan penelitian yaitu penelitian kepustakaan terhadap sumber data sekunder dan data primer untuk memperoleh fakta-fakta di lapangan melalui wawancara yang dapat menunjang hasil penelitian kepustakaan. Sumber data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan antara lain: a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian, yaitu: 1) Undang-undang Dasar 1945; 2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi; 3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata; 4) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA); 5) Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK.03/1994 tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik atau Kekayaan Negara.
Universitas Sumatera Utara
xxxi
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain adalah beberapa buku-buku serta tulisan-tulisan beberapa ahli yang berhubungan dengan perjanjian dan tindak pidana korupsi. c. Bahan hukum tersier yang menunjang penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain adalah jurnal, majalah, koran, kamus dan data yang diperoleh melalui internet. 4.
Lokasi Penelitian a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jalan Imam Bonjol Nomor 21 Bandung; b. Perpustakaan Universitas Padjadjaran Jalan Dipati Ukur nomor 46 Bandung; c. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat; d. Kantor saksi ahli BPKP yang menangani perkara antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti. e. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
5.
Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode analisa kualitatif. Artinya data yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah terkumpul sebagai penunjang penulisan skripsi ini akan disusun secara sistematis dan lengkap kemudian dianalisa secara kualitatif sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan yang akan diteliti.
Universitas Sumatera Utara
xxxii
G.
Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka sistematika penulisan dibagi menjadi 5 bab. Setiap bab diusahakan akan mengupas lebih dalam mengenai
maksud
dan
tujuan
dari
pembahasan
skripsi
ini
serta
menggambarkan seluruh masalah yang dihadapi. Sistematika penulisan ini terdiri dari: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini akan mengemukakan secara sistematis mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan metode penulisan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Pertama akan membahas pengertian hak milik dalam konteks negara hukum yang berlandaskan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa,
kedua
akan
membahas mengenai hak milik dalam sistem hukum di Indonesia, ketiga membahas tindak pidana dalam pengelolahan kekayaan negara. BAB III
PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG) ANTARA BULOG DAN PT. GORO BATARA SAKTI Pada bab ini akan dibahas mengenai objek penelitian. Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Pertama akan menguraikan
Universitas Sumatera Utara
xxxiii
tentang latar belakang dan terjadinya perjanjian tukar guling, kedua akan menguraikan perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, dan yang ketiga akan membahas indikasi tindak pidana korupsi dalam perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti. BAB IV
TINDAK PIDANA DALAM PENGALIHAN HAK MILIK MELALUI PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG) ANTARA BULOG DAN PT. GORO BATARA SAKTI Bab ini terbagi menjadi dua sub bab. Pertama akan menganalisa terhadap perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, kedua akan menganalisa terhadap indikasi tindak pidana korupsi dalam perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini terbagi menjadi 2 sub bab. Pertama berupa kesimpulan, sedangkan sub bab yang kedua berupa saran.
Universitas Sumatera Utara