KAGEM PARA SUTRISNA SADHEREK PETANI SADAYA ing JAWI TENGAH (saking kula, AntonHartomo) Awas : segera menjelang sekitar masa bunga & buah harus EKSTRA CHECK hama lagi lho. Catat silam hari tatkala penyemaian‐pertumbuhan awal. OK. (semut larva cacing belalang dll)
Name
Pathogen
Symptom
.
Leaf Blight
E.turcicum
Large elongated sp with gray centers and tan-to-Reddish borders.
Target
B.sorghicola
Round-to-elliptical sp leaf sp with reddish purple centers and tan margins.
Anthracnose
C.graminicola
Elliptical-shaped sp that are 1/8"-7/8" in diameter. Tan-to-red with distinct margins.
Gray
C.sorghi
Dark purple sp having a leaf sp grayish cast when pathogen is producing spores. Elongate to round, 1/4" and larger.
Zonate
G.sorghi
Large, irregular-shaped sp leaf sp having a bullseye appearance.
Rough
A.sorghina
Grayish sp that are rough to leaf sp the touch because of raised black fruiting bodies.
Sooty str
R.sorghi
Elongate sp having a sooty appearance because of sclerotia.
di China Hebat! Amerika apalagi, kolosal! India Pakistan jangan tanya, ciamik! Afrika asal usul, so pasti dahsyat dah! Biofuel is number 1 ! Basmi ketergantungan BBM/fossil fuel. INDONESIA : hahihuheho mentri tani berdasinya. Pelo dah kimiane...kecemplung politik sempit, lali rakyate. Pro-Rakyat itu niscaya kok. Tahukah anda (pelibat tani) : yang mana musuh, mana teman ? Hehe. Perhatikan sekitar 60 gambar hewan/serangga/hama berikut!
BERTANI ITU PROFESI SOSIAL BUDAYA DAN IPTEK !
PETANI HARUS MAHIR DAN CINTA MATEMATIK, FISIKA, KIMIA, BIOLOGI, SELAIN SOSIAL‐BUDAYA‐SEJARAH.
PELIBAT PERTANIAN : Harus menguasai KELUASAN dan KEDALAMAN DISIPLIN‐DISIPLIN AGRIBISNIS, KEPEMIMPINAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN, KOMUNIKASI DAN JURNALISTIK PERTANIAN, EKONOMI PERTANIAN, IPTEK PERTANIAN, MANAJEMEN SISTEM PERTANIAN, AGRONOMI, IPTEK HEWAN, BIOKIMIA, IPTEK LINGKUNGAN HAYATI, REKAYASA BIOLOGI DAN PERTANIAN, PENGEMBANGAN MASYARAKAT (KOMUNITAS), IPTEK TERNAK PERAHSUSU, PERBAIKAN EKOLOGIS, ENTOMOLOGI, FLORIKULTUR, IPTEK PANGAN, IPTEK KEHUTANAN, GENETIKA, HORTIKULTUR, IPTEK GIZI, ILMU TANAH TANAMAN DAN LINGKUNGAN, ILMU PETERNAKAN, EKOLOGI DAN MANAJEMEN LAHAN LUAS, ILMU WISATA KEBUN REKREASI, SUMBERDAYA ALAM TERBARUKAN, IPTEK TATA RUANG, IPTEK PERIKANAN DAN KEHIDUPAN, IPTEK PERTANIAN DAN HAYATI, ILMU KEPEMIMPINAN SOSIAL, ARSITEKTUR LANSEKAP, IPTEK KONSTRUKSI, ILMU RANCANGAN LINGKUNGAN, AKUNTANSI PERTANIAN, SISTEM INFORMASI MANAJEMEN, MANAJEMEN RANTAI PASOKAN (SCM), MARKETING (PEMASARAN), IPTEK DAUR ULANG DAN PELESTARIAN ALAM dan banyak lagi. Silakan kontak apabila anda mempunyai masalah. Menjadi petani yang baik dan benar : MUTLAK PINTAR dan JITU dalam IPA maupun IPS. Kedua‐duanya harus dikuasai dan digunakan. Adalah salah besar bila sekolah menyekat‐nyekat IPA dan IPS, ini cermin ketidakpahaman mentri pendidikannya. Pengembangan kurikulum dan silabus kita selama 40 tahun terakhir telah SALAH KAPRAH, menentang filosofi pendidikan nasional KI HADJAR DEWANTARA dan para tokoh pendidik pelahir bangsa Indonesia. Bandingkan dengan KURIKULA di India, China, Brasil, yang masih memelihara SEMANGAT ASIA‐AFRIKA‐ AMERIKA LATIN (nonBlok) sebagaimana diamanatkan para PENDIRI NKRI.
KORAN TEMPO Opini 17 Oktober 2008
Jalan Terjal Menghapus Kelaparan • Anggota Komisi IV (Pertanian, Kehutanan, Kelautan, Perikanan) DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober 2008, diperingati dengan tema "World Food Security: The Challenges Climate Change and Bioenergy". Tema ini dipilih Food and Agriculture Organization (FAO) karena perubahan iklim membuat cuaca sulit diprediksi, sehingga pola tanam, estimasi produksi, dan persediaan pangan sulit diprediksi. Warga miskin di negara-negara miskin, seperti petani gurem dan nelayan, paling terpukul karena daya adaptasi mereka rendah. Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar fosil membuat banyak negara mengkonversi pangan penghasil minyak lemak menjadi bahan bakar nabati (biofuel). Brasil mengkonversi 50 persen produksi tebunya untuk bioetanol. Amerika Serikat, sesuai dengan Policy Energy Act 2005, mentargetkan pemakaian bioetanol 35 miliar galon biofuel per tahun. Ketahanan pangan dunia pun terancam. Pada 1996 pemimpin dunia berkomitmen di Roma untuk menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan global menjadi separuh pada 2015 dari tahun 1990-1992. Ikrar dengan tujuan serupa diulangi dalam Millennium Development Goals (MDGs) pada 2000. Janji tinggal janji. Angka kemiskinan tidak menurun, tapi justru meningkat. Menurut FAO, pada 2001-2003 jumlah manusia yang menderita rawan pangan mencapai 854 juta, kini naik menjadi 920 juta. Dari jumlah itu, 96 persen ada di negara-negara berkembang, dan 61 persen ada di Asia-Pasifik. Inilah realitas global yang harus dihadapi oleh berbagai bangsa di dunia. Dua abad lalu, ketika penduduk Bumi belum 1 miliar jiwa, Malthus pada 1798 mengingatkan bahwa planet kita tidak akan mampu memberi makan. Kini jumlah penduduk bumi 6,647 miliar. Tapi planet Bumi masih mampu memberi makan. Apakah kekeliruan Malthus masih akan tetap berlaku di masamasa mendatang? Lahan pertanian kian sempit, terdesak keperluan nonpertanian. Bagaimana meningkatkan produksi pangan di saat pestisida mencemari sungai, danau, dan air tanah? Bagaimana menggenjot produksi saat genetik punah, salinitas mencemari sawah, air makin sulit, dan cuaca kian kacau? Secara global, suplai pangan sebetulnya cukup memberi makan dua kali jumlah manusia saat ini. Namun, pangan yang melimpah tidak mengalir pada yang memerlukan, melainkan menuju mereka yang berduit. Tata dunia yang menjamin kesejahteraan hidup kepada segenap anggota keluarga manusia masih menggantung sebagai utopia. Alih-alih terjadi pemerataan kesejahteraan, dari waktu ke waktu dunia justru semakin sarat ketimpangan. Globalisasi sebagai model ekonomi yang mendominasi pengambilan kebijakan global sejak Perang Dunia II gagal menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan dunia yang merata. Tesis kaum strukturalis, Paul Baran cs, era-1970-an memperoleh pembenaran: ketergantungan negara berkembang yang kaya bahan mentah terjadi karena eksploitasi negara maju. Lewat lembaga WTO, IMF, dan Bank Dunia, eksploitasi itu jadi sempurna. Dunia pun terbelah dua: utara yang maju dan kaya, dan selatan yang miskin dan tidak berkembang. Secara global, 50 persen warga miskin di dunia kini hanya menikmati 1 persen aset ekonomi. Sebaliknya, 2 persen warga terkaya di dunia justru menguasai 50 persen aset ekonomi dunia (UN, 2007). Ketimpangan juga terjadi di lingkup internal negara. Di AS, misalnya, sejak 1983 hampir tak ada tetesan pertumbuhan ekonomi bagi rata-rata keluarga di sana kecuali peningkatan kekayaan yang menumpuk pada 20 persen penduduk terkaya. Warga di puncak piramida ini menyedot pendapatan dari daerahdaerah pertanian (Wolf and Levy, 2000).
Maka, terjadilah ironi demi ironi. Misalnya, ketika banyak penduduk hidup dengan uang kurang dari US$ 1 per hari, peternak sapi di Uni Eropa menerima subsidi US$ 2 per hari per ekor sapi. Kita juga menyaksikan, tiap tahun negara-negara kaya mengguyurkan subsidi lebih US$ 300 miliar ke sektor pertaniannya. Sementara itu, bantuan negara-negara kaya ke negara-negara miskin nilainya kurang dari US$ 50 miliar (Eagleton, 2005). Padahal, apabila subsidi tersebut dialirkan ke negara-negara miskin, warga miskin akan tercukupi hak pangannya, bahkan mereka berpeluang mengakses pendidikan dan kesehatan secara memadai. Indonesia bukan pengecualian. Dari tahun ke tahun ketimpangan ekonomi kian meningkat. Dalam empat tahun terakhir koefisien gini naik dari 0,32 (2004) menjadi 0,36 (2007). Demikian pula porsi pendapatan 40 persen penduduk paling bawah berkurang dari 20,9 persen (2002) menjadi hanya 19,2 persen (2005). Sebaliknya, 20 persen penduduk berpendapatan paling atas meningkat dari semula 44,7 persen menjadi 45,7 persen. Anggota puncak piramida itu salah satunya adalah Menteri Koordinator Kesra Aburizal Bakrie. Dengan nilai kekayaan mencapai US$ 5,4 miliar, Aburizal menjadi orang terkaya di Indonesia tahun 2007 versi majalah Forbes. Di tengah klaim peningkatan produksi berbagai jenis pangan, porsi rumah tangga rawan di Indonesia masih cukup tinggi (31 persen), 100 kabupaten/kota rawan pangan, dan 18 persen balita kurang gizi, hampir di semua provinsi (Badan Ketahanan Pangan, 2006). Dengan upah besi di bawah kebutuhan fisik minimum, kaum miskin, buruh pabrik, dan pekerja kasar di kota kian sulit memenuhi kebutuhan pokoknya. Ini semua jadi pembenar bagi pemerintah untuk mematok harga pangan murah. Jika kemudian harga pembelian pemerintah (atas gabah dan beras) tidak dinaikkan, itu adalah resultante dari logika ini. Jadi, sesungguhnya para petani, nelayan, dan buruh menyubsidi industri dan orang kaya. Apa sebenarnya yang terjadi? Kelaparan sejatinya bukan karena tidak ada pangan. Di Indonesia, misalnya, tingkat ketersediaan energi dan protein masing-masing sebesar 3.038 kkal per kapita per hari dan 82,37 gr per kapita per hari. Tapi konsumsi energi dan protein hanya 1.849 kkal (83 persen dari tingkat kecukupan) dan 48,7 gr (97,4 persen). Kelaparan terjadi karena soal distribusi dan akses. Sementara ada segelintir warga makan bermewah-mewah untuk memenuhi kebutuhan artifisial mereka, di sisi lain kita melihat ada warga yang mengais-ngais rezeki untuk memenuhi kebutuhan riil mereka dengan menjual makanan sisa hotel. Krisis finansial global saat ini bisa diambil hikmahnya. Selama ini kita terlalu boros dalam konsumsi (pangan dan energi). Krisis mengendurkan permintaan energi, sehingga tekanan konversi pangan untuk bahan bakar juga berkurang. Bagi Indonesia, ini saatnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah memperkuat kembali pangan-pangan lokal. Negeri ini pernah punya tradisi pangan luar biasa ragam-jenisnya: gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Irian Jaya), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusatenggara), cantel/sorgum (Nusatenggara), serta talas dan ubi jalar (Papua). Pola makan unik, khas, dan beragam harus dihidupkan kembali. Lalu dibarengi penataan lumbung pangan, perlindungan lahan dari konversi, peningkatan produktivitas dengan introduksi teknologi, riset bibit unggul lokal, pengembangan teknologi pascapanen, dan perbaikan infrastruktur (irigasi dan jalan desa). Dengan cara itu, tiap-tiap daerah akan jadi lumbung pangan daerah, yang secara agregat akan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Mental Pemburu Tanggal : 21 Aug 2008 Sumber : Koran Tempo Khudori, pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian Dari sejarah, kita mempelajari perilaku dan perkembangan budaya manusia saat berinteraksi dengan lingkungan. Ketika ilmu pengetahuan belum berkembang, manusia hidup nomaden dengan berburu. Masyarakat pemburu banyak yang hidup di wilayah tropis dan subtropis karena alam begitu murah hati. Semua jenis pangan dan keperluan hidup lain tinggal memetik di hutan atau mencari di laut dan sungai. Orang tidak perlu bekerja keras. Cukup tidurtiduran. Saat perut lapar, tinggal pergi ke hutan atau nyamplung ke laut. Tidak ada kelaparan, karena jumlah manusia masih sedikit. Alam begitu bersahabat, maka penutup badan berupa pakaian juga tidak begitu penting. Orang cukup bertelanjang dada. Sebaliknya, manusia yang hidup di daerah dingin harus menutup badan dengan pakaian tebal. Berburu pun tidak mudah. Untuk menangkap seekor beruang, misalnya, orang Eskimo harus berjalan dengan kereta anjingnya selama berjam-jam, bahkan berhari-hari ke habitat beruang. Jadi, untuk memungut saja perlu proses panjang, dari bekal, senjata, hingga peluru. Karena itu, teknologi beternak dan pertanian lebih dulu berkembang di wilayahwilayah yang sumber daya alamnya terbatas dan alamnya kurang bersahabat. Mentalitas peternak dan petani amat berbeda dengan mentalitas pemburu. Mereka masih mengandalkan alam (air, cuaca, musim, iklim), tapi peternak dan petani mengelola serta memanfaatkan alam dengan teknologi yang terus berkembang agar hasil optimal. Mereka memperhitungkan waktu (masa tanam, pembibitan, pemeliharaan, panen, musim hujan, kering, salju, dan angin). Jika peternak dan petani mengalami gagal panen, mereka mencari sumber kegagalan pada diri sendiri, baru kemudian minta tolong kepada Tuhan. Sebaliknya, masyarakat bermental pemburu tidak memperhatikan proses. Jika gagal, mereka mencari sumber masalah dari kekuatan di luar yang mereka namakan "dewa" atau "tuhan", yang bisa berwujud gunung, air terjun, atau pohon beringin. Masyarakat modern lain lagi. Setelah penemuan mesin uap dan tenaga listrik, orang makin tidak bergantung pada alam. Makanan bisa diawetkan, baju bisa dibuat dari bahan sintetis, udara dingin bisa dibuat panas, dan pesawat membuat jarak bukan lagi masalah. Mereka tidak lagi bergantung pada "dewa" atau "tuhan", bahkan agama ditalak. Kini, kita memasuki era pascamodern yang berciri teknologi genome (biologi), nano (fisika), dan informasi. Banyak hal yang dulu dianggap "takdir" sekarang bisa dibuat dan diintervensi, seperti kloning, teknologi ruang angkasa, dan tanaman transgenik (semangka tanpa biji dan padi berselubung vitamin A). Jarak geografis hampir tak ada lagi. Dengan Internet, orang bisa bersapa atau berdagang dengan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Orientasi manusia terhadap waktu pun berubah, tidak lagi bekerja delapan jam, tapi bisa bekerja 24 jam seperti para pedagang valas. Keteraturan hilang. Agar bertahan hidup di era cyber, perlu mentalitas luwes dan inklusif, sehingga mudah beradaptasi tanpa stres.
Sayangnya, sementara dunia beralih ke era cyber, dalam banyak hal, manusia Indonesia masih bermental pemburu, salah satunya manusia pertanian (Sarwono, 2006). Bangsa ini punya catatan sejarah panjang di bidang pertanian, dengan sistem sawah yang canggih, seperti Subak di Bali atau sistem irigasi pada masa Majapahit. Di perkebunan juga demikian. Gula, misalnya. Pada 1930-an pabrik gula kita tercatat paling efisien di dunia dan mengalahkan gula Eropa. Proefstation, lembaga riset gula di Pasuruan yang sekarang bernama P3GI, pernah menghasilkan varietas unggul POJ 2878 dan menjadi solusi krisis gula kala itu. Namun, mentalitas pertanian yang maju itu kini justru mundur lagi ke mentalitas pemburu. Ironisnya, kemunduran itu masih berlangsung ketika usia kemerdekaan mencapai 63 tahun. Ada banyak contoh. Dalam hal pangan, misalnya, perut seluruh bangsa ini bertahan pada pangan beras. Bahkan para elite politik pemimpin negeri ini merekayasa untuk me-nasi-kan seluruh pangan rakyat dari Sabang sampai Serui. Tidak peduli warga makan gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara), sagu (Maluku, Irian Jaya), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar (Irian Jaya) sebagai pangan baku selama bertahun-tahun. Tidak peduli ada budaya "nasi" yang rumit. Kecenderungan beralih ke pangan non-beras amat lambat, termasuk di kalangan elite dan berpendidikan tinggi yang sudah mengenal pasta, bakmi, atau kentang. Hukum Engel dan Bennet, bahwa kian tinggi pendapatan, belanja pangan, terutama umbi-umbian, makin rendah, tidak berlaku di sini. Kita enggan berubah dari pola (pangan) lama, salah satu ciri masyarakat mental pemburu. The Economist (2003) menyusun pemeringkatan 10 komoditas pertanian kita (beras, lada, kopi, cokelat, minyak sawit, karet, lada, dan biji-bijian) menduduki peringkat 1-6 dunia. Tapi apa gunanya posisi 1-6 kalau petani 10 komoditas tersebut miskin, jadi price taker, dan tidak membuat kita sejahtera? Ini terjadi karena kita mengekspor komoditas dalam bentuk mentah, bukan mengolahnya menjadi produk jadi. Kita ingin cepat panen, bukan proses pendalaman, salah satu ciri masyarakat mental pemburu. Sejarah mengajarkan, harga produk primer terus turun, tapi tidak harga produk olahan (dengan teknologi). Potensi pertanian (perikanan, kehutanan, kelautan) negeri ini amat besar dan bisa membuat petani dan bangsa sejahtera. Itu hanya terjadi jika kita meninggalkan mentalitas pertanian pemburu. *
Kaum perempuan menjaga benih suci keaneka-ragaman hayati Green Foundation, yang berkantor di Bangalore, India Selatan, berusaha untuk melestarikan keanekaragaman hayati pertanian yang berdasarkan budaya dan pengetahuan setempat. Kegiatan untuk mengumpulkan, memperkalikan, menggolongkan, melestarikan dan menyebarkan varietas tanaman tradisional seperti cantel berjambul, kacang hijau, miju-miju, padi dan sorgum (sejenis yang termasuk jenis Graminae), dilakukan di 50 kelompok masyarakat yang berbeda. Pusat Pelestarian Keanekaragaman Hayati GREEN berada di Thalli, daerah pedesaan di Karnataka dan di sinilah pertanian subsisten diteliti dan didokumentasi. Aktivitas yang dilakukan antara lain pengolahan bahan pangan, mengadakan pasar benih secara tahunan, latihan kelompok, dokumentasi, penerbitan buku seperti katalog benih, dan penguatan pengetahuan lokal. Makalah ini menyajikan beberapa aspek sistem benih yang tradisional dan rumit, yang masih terdapat di banyak daerah di mana pertanian subsisten masih dominan. Tanaman liar dan tersedianya pangan Sebuah kalender pertanian dibuat ketika diadakan penelitian yang diikuti oleh petani perempuan. Kalender ini dibandingkan dengan adanya pangan musiman, pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan serta upacara yang dilaksanakan. Kalender ini menunjukkan bahwa selama musim hujan cadangan kacang-kacangan dan biji-bijian biasanya kecil dan seluruh masyarakat pertanian tergantung kepada keanekaragaman hayati tanaman liar seperti persediaan buah-buahan, sayur-mayur, akar umbi, dan tunas muda yang dapat dimakan. Bagi petani, keanekaragaman memanifestasikan diri pada pangan yang ditanam maupun pada tanaman liar. Terutama wanita yang mempunyai pengetahuan khusus mengenai tanaman liar. Keanekaragaman pangan terancam manakala bahan genetik tradisional diganti dan sumber alam yang bertindak sebagai cadangan keanekaragaman hayati terpengaruh. Kecenderungan ini merupakan ancaman yang terutama berbahaya bagi orang yang tergantung kepada sumber daya alam untuk mempertahankan kelangsungan hidup selama beberapa bulan setahun. Kaum perempuan memainkan peran utama Penelitian tersebut dengan jelas menggambarkan peran penting yang dimainkan oleh kaum perempuan di dalam proses membudidayakan dan melestarikan benih. Seleksi benih oleh perempuan merupakan aktivitas yang berkelanjutan yang mulai pada saat tanaman mulai mekar. Sambil bekerja di lahan, mereka mengamati tanaman dan memutuskan benih yang mana yang akan diseleksi. Mereka mengidentifikasi tanaman yang berkwalitas tinggi berdasarkan ukurannya, informasi gandum dan daya tahannya terhadap hama dan serangga. Untuk mengurangi risiko pada musim kemarau, mereka menyeleksi jumlah benih yang cukup untuk dua musim. Perempuan juga memutuskan metode pelestarian yang mana akan dilaksanakan. Upacara sangat perlu Benih dianggap pembawa penghidupan yang suci yang perlu dilingkungi dengan upacara. Upacara ini juga ada fungsi praktis. Misalnya, sebelum benih disimpan di gudang, wanita mengadakan upacara yang membangkitkan kekuatan yang perlu untuk mendapatkan tanaman bagus selama musim tanam yang akan datang. Upacara ini adalah bagian yang penting dari pelestarian benih. Dalam upacara ini, air dilambangkan dengan nampan penampi, perlindungan terhadap hama dengan daun tertentu dan kesuburan tanah dengan kotoran sapi. GREEN (Genetic Resource Energy, Ecology & Nutrition), adalah majalah yang diterbitkan oleh GREEN Foundation yang memberikan informasi tentang aktivitas organisasi, kejadian penting dan terbitan. Cultivated Seed Links adalah CD-Rom yang diproduksikan oleh GREEN Foundation yang menggambarkan keanekaragaman hayati dari segi ekologis, ekonomis, jender dan budaya. Dengan cara yang sangat informatif, dengan menggunakan bahan visual dan musik India yang tradisional, orang dapat belajar tentang keanekaragaman dan pekerjaan GREEN Foundation. Terdapat pula keterangan tentang pertentangan antara keanekaragaman pertanian dan pelestarian di lapangan diterangkan pula. Harga US$ 30.
Artikel
Majalah SALAM, nomor 1 tahun 2002 Desember 2002 GREEN Foundation, 839, 23rd main, J.P. Nagar II Phase, Bangalore 560078, India. Tel: +91 80 663 5963 ; Fax: + 91 80 665 1729 ;
Rumput-rumputan liar dilambangkan oleh rumput. Beberapa daun yang digunakan di upacara ini bersifat insektisidal, misalnya daun lakkli (Vitex negundo), yang biasanya digunakan pada saat penyimpanan benih padi dan daun nimba yang digunakan sebagai alternatif jikalau daun lakkli tidak tersedia. Dalam hal tertentu benih padi dicampurkan dengan benih kacang biduk (Dolichus lablab) dan mostar untuk membantu pelestariannya dan Tur dicampurkan dengan pasir untuk alasan yang sama. Kadang-kadang benih disimpan di atas dapur di mana asap membantu untuk mencegah hama. Uji pengecambahan melalui upacara Sebelum menebarkan, dilaksanakan uji pengecambahan atau Negilu Pooje. Di daerah di mana cantel berjambul ditanam, pengujian ini dilaksanakan pada saat Ugadi atau Tahun Baru Hindu. Kombinasi yang tradisional dan suci dari sembilan varietas benih bibit-bibitan, kacang-kacangan dan minyak diletakkan bersama-sama dengan rabuk yang bagus di kerang. Kombinasi ini disembah dan diperiksa setelah tujuh hari. Kalau hanya terdapat beberapa tunas, atau tunas terlalu kecil, benih varietas tertentu itu dianggap tidak cocok untuk musim tanam yang akan datang. Petani kemudian menukar atau meminjam benih untuk menggantikannya. Menurut tradisi pembelian benih dengan uang dianggap hal yang tidak pantas. Menebarkan benih suci Sebelum ditebar, benih dibawa oleh para perempuan ke dewa rumah di mana benih akan disembah. Dalam perjalanan ke lahan, perempuan yang membawa benih mengunjungi dan memberi sesajen ke tujuh dewi desa, yang dikenal sebagai “Tujuh Perempuan Bersaudara”. Mereka juga menyembah hewan tarik dan peralatan pertanian yang digunakan untuk penebaran benih. Upacara di atas tidak dilaksanakan jika benih dari varietas unggul diperoleh dengan cara membeli di pasar. Varietas lokal dianggap suci sedangkan varietas unggul dianggap tidak murni. Benih unggul langsung dibawa ke lahan di mana kaum laki-laki saja yang bertanggungjawab untuk penebarannya. Untuk versi yang lebih lengkap dari makalah ini, lihat COMPAS Newsletter Vol 1-2, Oktober 1999, hal. 24-25.
US Demographics Dec 2008
Bdk.dengan Demografi Indonesia.
Walau SORGHUM tahan kering, tapi HARUS SESEKALI DISIRAM/IRIGASI (hari ke 30, 60, 80) agar hasil maksimal !!!
Diseases of SORGHUM (Jowar) or Penyakit CANTHEL The major area of sorghum in Pakistan lies in Punjab, but the yield per hectare is higher in Sindh. The sorghum plants are drought resistant, but 3-4 irrigations (30-35, 50-60 and 70-80 days after sowing) are compulsory for better yield. In case of sorghum, about 50 diseases are recorded world over but following are important. Grain smut (S.sorghi)
Symptoms: This disease also known as covered or kernel smut. The grains are transformed into white greyish sacs (smut sori), are slightly pointed to oval and filled with black powder (chlamydospores). Most of the grains are found infected. Perpetuation: Perpetuate through contaminated seed. Control: (1) Use healthy seed, (2) Sow seed by broadcasting and water the field immediately thereafter, (3) Treat the seed with any one of the organic mercurial or copper seed dressing fungicides and (4) To collect and burn diseased heads. Long smut (T.ehrenbergii) Symptoms: Individual grains are transformed into large sized smut sori, which are full of solid spores. The diseased grains (smut sori) are found scattered on head. These grains turn into cylindrical and elongated sacs. Mostly upper portions of ear head have higher number of infected grains. Perpetuation: The disease causing fungus is seed, soil and air-borne. Control: (1) Use healthy seed, (2) Seed treatment with organic mercurial, (3) Collect and destroy diseased grains, (4) 2-3 years crop rotation and (5) Cultivate disease resistant or tolerant varieties. Red leaf blight or anthracnose (C.graminicolum) Symptoms: Initially small ovate to irregular red spots appear on leaves. Later on, these increase in number and size to cover larger area of leaf. The infected leaves become reddish brown, show necrosis and become dry. Premature ripening and shrivelling of grains also occur. Perpetuatlon: Plant debris and seeds may serve as source. Control: (1) Use of healthy seeds, (2) Destruction of plant debris and (3) Soak the seed in ordinary water for 4 hours and then dip in 55.5°C hot water for one hour. Red leaf sp (P.sorghina) Symptoms: Small red sp on leaves, stems and grains. These increase in number and size and join up leaves dry 2 write. Perpetuation: Seed-borne or through diseased plant debris Control: Same as recommended for red leaf blight.
HATI-HATI DAN WASPADA MENANAM SORGHUM ! (bandingkan serupa tapi tak sama dengan jagung dan millet!) Untuk penyakit2/hama lain, kontak!
BAGAIMANA SORGHUM TUMBUH Petani pintar : mencatat dan merekam/foto/album, mengevaluasi/analisa, makin maju! Jadilah juara!
PILIH BENIH YANG BAIK, JANGAN ASAL SEBAR. PUPUK SESUAI KONDISI TANAH AGAR HARAPAN PRODUKSI SESUAI. TANAM DI SAAT TEPAT, DENGAN JARAK TANAM SESUAI KONTROL WEED (SIANGI), HAMA, SERANGGA DAN PENYAKIT JAGA KONDISI LEMBAB TANAH YANG SESUAI
PRAKTEKKAN PERTANIAN BERMUTU DENGAN SELALU INGAT KESETIMBANGAN HARA (jangan merasa sudah paling pintar, buktikan dalam karya nyata dan analisa-kesimpulan)
MERANCANG PERCOBA-TANAMAN CANTHEL TANPA KELIRU Ada 10 kesalahkaprahan sekaitan penggunaan cara-cara statistik agronomis TAHAP PERANCANGAN PERCOBAAN (1) Mengabaikan pertimbangan statistik saat perencanaan percobaan (2) Memakai rancang percobaan tak sesuai atau salah-pakai rancangan benar (3) Gagal menerapkan prosedur pengacakan (randomisasi) yang sesuai (4) Menggunakan ukuran percobaan yang tak sesuai (5) Memakai teknik percobaan yang tak memadai
TAHAP ANALISA DAN PENAFSIRAN DATA (6) Memakai suku (ungkap) kesalahan yang tak sesuai untuk menguji atau menghitung kesalahan standar (7) Gagal menyimak pola pada sekumpulan data (8) Berlebihan menyandar pada satu kelas analisa statistik tertentu
TAHAP LAPORAN HASIL PERCOBAAN LAPANGAN (9) Keliru menerapkan prosedur pembanding majemuk / berlipat (misal uji julat jamak Duncan) (10)Gagal melaporkan Rancangan Percobaan dan Prosedur Statistik yang digunakan di bagian Bahan & Cara Laporan Penelitian
Sorghum (Sorghum Bicolor L. Moench) yield compensation processes
under different plant densities and variable water supply Abstract Sorghum, which is tolerant to high temperatures and drought, can be an alternative crop to maize in marginal irrigated areas where the irrigation water supply is limited during crop development. The objective of this work was to study the productive response and the compensation phenomena between the sorghum yield components sown at four densities under variable water supply in the climatic conditions of the Middle Ebro Valley (Spain). The technique of the sprinkler line source was used. This technique produces a continuous and diminishing gradient of water applied. The results showed that the differential irrigation treatments significantly affected the productive parameters and the grain yield of sorghum. Water stress produced a decrease of the seasonal evapotranspiration, total dry matter, grain yield and harvest index. The relationships between the total dry matter, grain yield and harvest index versus the seasonal irrigation water applied was linear in the four sorghum plant densities. The different established plant densities did not significantly affect sorghum aerial dry matter, grain yield and harvest index. The results showed that important yield compensation processes occurred when the sorghum crop was grown under limited conditions of irrigation water and plant population. In fact, a greater tiller production, a greater number of grains per panicle and a higher weight of grains compensated the smaller number of plants per m2 of the lower plant densities. These results indicated that a high plant density did not present productive advantages in the sorghum grain yield.
Bergudang lagi pendalaman materi SORGHUM. Silakan berjejaring. Demi bangsa dan Negara Republik Indonesia : BHINNEKA TUNGGAL IKA, dalam falsafah dan way of life PANCASILA. Amanat proklamator NKRI Æ TRISAKTI : merdeka politis, mandiri ekonomis, budaya berpribadi!