TESIS
EFEKTIFITAS PENERAPAN ANCAMAN SANKSI PIDANA TAMBAHAN GUNA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)
KADEK KRISNA SINTIA DEWI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
EFEKTIFITAS PENERAPAN ANCAMAN SANKSI PIDANA TAMBAHAN GUNA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)
KADEK KRISNA SINTIA DEWI NIM : 1190561024
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
EFEKTIFITAS PENERAPAN ANCAMAN SANKSI PIDANA TAMBAHAN GUNA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
KADEK KRISNA SINTIA DEWI NIM : 1190561024
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 3 JUNI 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof.Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum. NIP. 19461231 197602 1 001
Dr. I Gede Artha, SH.,MH NIP. 19580127 198503 1 002
Mengetahui
Ketua Program Studi
Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LL.M NIP. 196111011986012001
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP.19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 3 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1448/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 2 Juni 2014
Ketua
:
Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum.
Sekretaris
:
Dr. I Gede Artha, SH., MH.
Anggota
:
1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS. 2. Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Kadek Krisna Sintia Dewi
Program studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Efektifitas Tambahan
Penerapan
Ancaman
Sanksi
Pidana
Guna Pengembalian Kerugian Keuangan
Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar). Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 7 Mei 2014 Yang menyatakan
Kadek Krisna Sintia Dewi
UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastiastu, Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kertha wara nugraha-Nya Tesis dengan judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN
ANCAMAN
SANKSI
PIDANA
TAMBAHAN
GUNA
PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI
DENPASAR” ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi dalam menyusun tesis ini, penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan juga selaku Pembimbing Akademik, yang telah bersedia membimbing, memberikan masukan, arahan, motifasi serta waktu yang sangat tidak terbatas dalam penyusunan Tesis ini.
2.
Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan membantu menemukan ide-ide baru dalam penyusunan Tesis ini.
3.
Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., yang merupakan Rektor Universitas Udayana.
4.
Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., yang merupakan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.
5.
Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6.
Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LL.M., yang merupakan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
7.
Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum., yang merupakan Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
8.
Bapak Sugeng Riyono, SH., M.Hum., yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, atas izin untuk melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar.
9.
Bapak Hasoloan Sianturi, SH.,MH yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia menjadi informan serta membantu, membuka wawasan, berbagi ilmu yang sangat bermanfaat bagi penelitian Tesis ini.
10. Bapak I Gede Ketut Rantam, SH., yang merupakan Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Denpasar, Bapak I Made Suardana, SH yang merupakan Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Denpasar dan seluruh staf serta pegawai Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menyediakan data-data bagi penelitian Tesis ini. 11. Bapak Jaya Kesuma, SH.MH yang merupakan Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar, atas izin untuk melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Denpasar.
12. Bapak Romulus Halolongan, SH.MH, yang merupakan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar, Ibu I Wayan Yusmawati, SH yang merupakan Kabsubsi Penuntutan Pidsus Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini. 13. Bapak I Gede Agus Suraharta, SH yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis ini dan seluruh Staf serta Pegawai di Kejaksaan Negeri Denpasar, atas semua bantuannya menyediakan data-data bagi penelitian ini. 14. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan pelayanan administrasi selama penulis menempuh kuliah di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 15. Kedua orang tua penulis, Bapak I Nyoman Suarsana, SH., Ibu Ni Made Wartini, S.Pd.,SD, kakak tercinta Ni Putu Arisna Noviyanti, SE, kakak ipar I Made Dodi Purwakanta, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan baik moril dan materiil, doa,
serta kepercayaan dalam
menyelesaikan Tesis ini. 16. Sahabat hati penulis Putu Rustayadi, sahabat terbaik penulis yaitu Ni Made Dwi Kristiani, Eva Ditayani Antari, Arya Prima Dewi, Budi Prasetyo, Manik Istarini, Gusti Ayu Eka Pertiwi, Kade Richa Ananta dan teman-teman konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana serta seluruh teman-teman Magister Ilmu Hukum Angkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satupersatu, terima kasih atas kebersamaan, persahabatan, semangat serta pengalaman yang telah diberikan selama ini.
Meskipun Tesis ini telah selesai, namun didalamnya masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan yang penulis miliki. Maka dari itu diharapkan adanya kritik, saran, bimbingan dan petunjuk dari semua pihak sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan Tesis ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak dan semoga Tesis ini dapat diterima serta bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Om Shanti, Shanti, Shanti Om. Denpasar, 7 April 2014
Penulis
ABSTRAK Penelitian mengenai efektifitas penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana korupsi (studi kasus pada Pengadilan Negeri Denpasar) bertujuan untuk mendeskripsikan serta menganalisis lebih dalam mengenai efektifitas pidana tambahan berupa pengembalian kerugian negara tindak pidana korupsi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui serta mengkaji kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang membahayakan stabilitas dan keamanan serta pembangunan ekonomi Indonesia. Sebagai tindak pidana yang berdampak pada kerugian negara, yang menjadi esensi terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah menyangkut pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal tersebut muncul pertanyaan apakah penerapan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian negara dapat berlaku secara efektif berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode yang digunakan dalamm penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris dengan sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan sekunder dengan teknik studi dokumen dan wawancara serta sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang ada. Penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling yaitu purpose sampling dalam menentukan sample penelitian. Adapun keseluruhan data yang telah didapat, dianalisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa penerapan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian negara telah diterapkan namun belum dapat berlaku efektif dalam upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi serta menekan jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar. Hal ini berdasarkan data perkara korupsi tahun 2012 sebanyak 20 kasus meningkat menjadi 25 kasus pada tahun 2013. Pengembalian kerugian negara pada tahun 2012-2013 adalah sebesar Rp.871.273.192 yang merupakan perkara korupsi tahun 2010-2011. Sedangkan untuk perkara korupsi tahun 2012-2013 hingga saat ini belum ada tercatat pengembalian kerugian negara. Adapun kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian negara adalah harta terpidana yang telah berpindah tangan, administrasi kependudukan ganda, serta lamanya proses peradilan hingga putusan mempunyai kekuatan hukum tetap agar dapat dilakukan eksekusi. Kata Kunci: efektifitas, pidana tambahan, pengembalian kerugian negara, korupsi
ABSTRACT Research on the effectiveness and the application of criminal sanctions and punishment in addition to return financial losses caused by corruption ( case study at the Denpasar District Court ) aims to describe and analyze deeply, about the effectiveness of additional punishment, including the return of financial loss caused by corruption. In addition, this study also aims to determine and assess the constraints in the implementation of court decisions related to the return of financial loss. It is inevitable that at current time, corruption is one of the remarkable ( extra ordinary crime ) that endanger the stability and security as well as economic development in Indonesia. As a crime that affects the losses to the state , which is the most important essence in the eradication of corruption is the return of state losses due to corruption. Based on this articles, the question that is whether the application of additional criminal sanction and punishment, including the return of state losses can be effective pursuant to the provisions of Article 18 of Law No. 31 Year of 1999 on Eradication of Corruption Jo . Law No. 20 year of 2001 on the Amendment of the Law No. 31 Year of 1999 on Eradication of Corruption. The method used in this research is the method of empirical juridical legal research of the descriptive research using primary and secondary data sources by document studying and interview techniques as well as articles related to the issues. This study used a non -probability sampling technique that determines the purpose of sampling in the study sample. The overall data that has been obtained by the above method will be analyzed qualitatively known as qualitative descriptive analysis. Based on the research that has been done, it can be seen that the application of the additional sanction and punishment, including the return of state losses have applied but unfortunately have not been able to be effective in the aim of recovery effort of state losses due to corruption, and reduce the amount of corruption that occurred in the Denpasar District Court Jurisdiction . It is based on the data corruption cases in the year of 2012 increased from 20 cases to 25 cases in 2013. Returns of state losses in 2012 - 2013 amounted Rp.871.273.192 which is the corruption amount cases in the year of 2010 - 2011 . While the corruption cases in the year of 2012 – 2013, until recent time there are no recorded return of state losses. The constraints in the implementation of the court decisions related to the return of state losses, is convicted assets and property that has been transfered, multiple population administration, and duration of the judicial process to verdict and binding execution to be carried out . Keywords : effectiveness , additional sanction and punishment , the return loss, corruption
RINGKASAN
Tesis ini membahas mengenai efektifitas penerapan ancaman pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar serta kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian keuangan negara. Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab yaitu bab I adalah pendahuluan, bab II tinjauan umum, bab III dan IV adalah pembahasan, serta bab V adalah penutup. Bab I menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya permasalahan dalam penelitian ini. Banyak nya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia khususnya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar merupakan masalah yang serius. Mengingat korupsi berdampak sangat luas terhadap stabilitas negara. Sebagai salah satu program utama pemerintah, pemberantasan korupsi tidak hanya bertujuan untuk menghukum para koruptor namun esensi penting penanggulangan
korupsi
adalah
upaya
semaksimal
mungkin
terhadap
pengembalian kerugian keuangan negara. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam bab ini juga menguraikan rumusan masalah, ruang lingkup permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka berfikir, hipotesis dan metode penelitian. Bab II menguraikan tinjauan umum mengenai sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi yang terdiri dari 3 sub bab. Sub bab pertama adalah pengertian dan jenis sanksi pidana. Sub bab kedua adalah pengertian korupsi dari para sarjana serta tindak pidana korupsi. Sub bab ketiga adalah mengenai apa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara. Bab III menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang pertama dalam penelitian ini yang terdiri dari 2 bagian yaitu pertama adalah membahas mengenai dasar hukum penerapan sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi, bagian kedua adalah membahas mengenai efektifitas penerapan sanksi pidana tambahan
guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar. Bab IV menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua dalam penelitian ini yang terdiri dari 3 bagian yaitu pertama adalah tata cara pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara, bagian kedua membahas mengenai kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi serta bagian ketida membahas mengenai upaya yang dapat dilakukan guna memaksimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Bab V merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dari hasil pembahasan yaitu penerapan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara telah diterapkan namun belum dapat berlaku efektif dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi serta menekan jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar. Hal ini berdasarkan data perkara korupsi tahun 2012 sebanyak 20 kasus meningkat menjadi 25 kasus pada tahun 2013. Pengembalian kerugian keuangan negara pada tahun 2012-2013 adalah sebesar Rp.871.273.192 yang merupakan perkara korupsi tahun 2010-2011. Sedangkan untuk perkara korupsi tahun 2012-2013 hingga saat ini belum ada tercatat pengembalian kerugian keuangan negara. Adapun kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian keuangan negara adalah harta terpidana yang telah berpindah tangan, administrasi kependudukan ganda, serta lamanya proses peradilan hingga putusan mempunyai kekuatan hukum tetap agar dapat dilakukan eksekusi. Agar pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan maksimal, maka perlu adanya pembaharuan terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 khususnya dalam Pasal 18 guna memberikan kejelasan mengenai sistem pembayaran uang pengganti. Agar semua lembaga dan aparat penegak hukum bersatu dan berkordinasi dalam menjalankan tugas masingmasing agar dapat memberantas serta memperoleh kembali kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................. ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI................................................ iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................... vi HALAMAN ABSTRAK ................................................................................... x HALAMAN ABSTRACT ................................................................................. xi RINGKASAN .................................................................................................... xii DAFTAR ISI...................................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 17 1.3 Ruang Lingkup Masalah ................................................................... 17 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 18 a. Tujuan Umum ............................................................................... 18 b. Tujuan Khusus .............................................................................. 18 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 19 a. Manfaat Teoritis ............................................................................ 19 b. Manfaat Praktis ............................................................................. 19
1.6 Orisinalitas Penelitian ....................................................................... 21 1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ........................................ 24 1.7.1 Landasan Teoritis ..................................................................... 24 1.7.2 Kerangka Berpikir .................................................................... 46 1.8 Hipotesis ........................................................................................... 48 1.9 Metode Penelitian ............................................................................. 49 1.9.1 Jenis Penelitian......................................................................... 49 1.9.2 Sifat Penelitian ......................................................................... 49 1.9.3 Sumber Data............................................................................. 50 1.9.4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 51 1.9.5 Teknik Penentuan Sampel........................................................ 52 1.9.6 Teknik Analisis Data................................................................ 52 BAB II Tinjauan Umum Tentang Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi................................................................................... 54 2.1 Pengertian sanksi dan jenis sanksi pidana...................................... 54 2.2 Tindak pidana korupsi .................................................................... 59 2.3 Kerugian keuangan negara ............................................................. 85 BAB III Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi ..................................................................... 90 3.1 Dasar hukum penerapan sanksi pidana dalam tindak pidana korupsi ................................................................................ 90
3.2 Efektifitas penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar .................. 118 BAB IV Kendala Dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terkait Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian keuangan negara Dalam Tindak Pidana Korupsi .......................... 130 4.1 Tata cara pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara .. 130 4.2 Kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian keuangan negara ..................................... 141 4.3 Upaya yang dapat dilakukan guna memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi ................................................................................ 146 BAB V PENUTUP ........................................................................................... 151 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 151 5.2 Saran .............................................................................................. 152 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor
1
Judul
Daftar Perkara Tindak Pidana Korupsi
Halaman
120
Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2012
2
Daftar Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 2013
121
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebagai mahluk sosial yang hidup saling berdampingan antara satu dengan
yang lain, manusia senantiasa hidup secara berkelompok sebagai suatu kesatuan yang saling membutuhkan. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia seringkali tidak menyadari bahwa telah terjadi suatu sistem sosial yang sangat kompleks yang menyangkut beberapa aspek yakni politik, ekonomi dan sosial budaya. Perkembangan kehidupan masyarakat sangat mempengaruhi timbulnya berbagai macam kejahatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini banyak kejahatan inkonvensional yang timbul akibat reaksi sosial masyarakat. Salah satu kejahatan inkonvensional tersebut adalah yang saat ini kita kenal dengan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan curang yaitu dengan menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara yang dimaksudkan untuk memperkaya diri seseorang yang dapat merugikan negara. Umumnya, tindak pidana korupsi dilakukan secara rahasia, melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidak selalu berupa uang.1 Tindak pidana korupsi mendapat perhatian lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai negara. Hal ini karena tindak pidana korupsi
1
Aziz Syamsuuddin, 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hal.15
dapat menimbulkan dampak negatif yang meluas di suatu negara. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi menyangkut berbagai aspek kehidupan. Korupsi membahayakan
merupakan stabilitas
masalah dan
serius,
keamanan
tindak
pidana
masyarakat,
ini
dapat
membahayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.2 Korupsi di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Luasnya lingkup korupsi yang memasuki seluruh kehidupan masyarakat, menyebabkan kerugian keuangan negara karena korupsi kini sudah sistematis dan terorganisir. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Transparency International (TI) Indonesia kembali meluncurkan Corruption Perception Index (CPI), yaitu sebuah indeks pengukuran tingkat korupsi global. Indeks yang dirilis tiap tahun ini mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara dan politisi. Sejak dirilis pertama kali pada tahun 1995, Indeks ini digunakan oleh banyak pihak sebagai referensi untuk melihat sebuah gambaran umum mengenai situasi korupsi di suatu negara. Secara umum, peringkat 5 terbaik indeks korupsi ditempati oleh negara Denmark (peringkat 1 atau terbersih dari korupsi), Finlandia (2), Selandia Baru (2), Swedia (4) dan Singapura (5). Sementara itu, peringkat terburuk indeks korupsi dipegang oleh Myanmar (172), Sudan (180), Afghanistan (180), Korea Utara (182) dan Somalia (peringkat 182, atau paling buruk dalam hal korupsi).
2
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.1
Lantas bagaimana indeks korupsi di Indonesia pada tahun 2012? Tahun ini, skor Indonesia adalah 32, atau bercokol pada urutan 118 dari 182 negara yang diukur. Hal ini berarti, kondisi buruk korupsi di Indonesia masih belum banyak berubah dari tahun ke tahun. Jika diperbandingkan dengan negaranegara lain di dunia, maka posisi korupsi Indonesia sejajar dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir dan Madagaskar dengan skor yang sama, yakni 32. Sementara itu, pada tingkat regional ASEAN, peringkat korupsi Indonesia jauh di bawah Singapura (peringkat 5), Brunei Darussalam (46), Malaysia (54) dan Thailand (88). Indonesia hanya lebih baik bila dibandingkan dengan Vietnam (123), Laos (160) dan Myanmar (172). Kesan apa yang diperoleh dengan gambaran peringkat korupsi Indonesia dibandingkan negara-negara lainnya itu? Hmm.. ternyata, dalam hal urusan korupsi, negeri ini masih menjadi salah satu “jawara”, baik di tingkat regional maupun di dunia.3 Korupsi di negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi politik. Kondisi Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, karena korupsi telah menyerang dunia politik serta perekonomian bangsa. Korupsi politik dilakukan oleh orang atau institusi yang memiliki kekuasaan politik atau oleh konglomerat yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang kekuasaan.4 Tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari beberapa tindak pidana khusus yang diatur juga diluar KUHP. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur yang dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.5 Banyak sebab terus meningkatnya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh B. Soedarso, yang menyatakan antara lain : 3
Srie, 2012, Peringkat Korupsi 2012: Indonesia Masih Jawara di Dunia, file://localhost/D:/Krisna/Documents/Downloads/korupsi%202012.mht (diakses tanggal 13 Mei 2013) 4 Evi Hartanti, Op.Cit, hal.3 5 Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT.Alumni, Bandung, hal.3
“Pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan misalnya kurang gaji pejabat-pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang berliku-liku dan sebagainya”.6 Tidak dapat dipungkiri bahwa latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia merupakan salah satu sumber atau sebab meluasnya korupsi. Saat ini masyarakat Indonesia lebih cenderung untuk mengikuti orang yang melakukan korupsi, dibandingkan untuk memberantas korupsi tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas yang menyebutkan “bahwa mayoritas rakyat
yang tidak
melakukan korupsi seharusnya berpartisipasi dalam
memberantas korupsi yang dilakukan oleh minoritas. Cara ini disebut Siskamling (Sistem Keamanan Keliling)”.7 Penyebab korupsi lainnya adalah manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien yang didukung pula oleh modernisasi yang membawa perubahan-perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Sebagai salah satu jenis kejahatan yang sangat mempengaruhi stabilitas negara, perang terhadap korupsi bukan hanya dilakukan di Inonesia namun juga di negara-negara di dunia. Mengingat hal tersebut, PBB sebagai organisasi negaranegara dunia mengadakan konvensi anti korupsi. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruptions (UNCAC) 2003) mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional telah melemahkan institusi, nilai-nilai 6
Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.12 (selanjutnya disebut Andi Hamzah I) 7 Ibid, hal.16
demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.8 Dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional.9 Kongres PBB ke-8 mengenai “Prevention Of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Government” di Hanava tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa : 1. Korupsi dikalangan Pejabat publik (corrupt activities of public official) : a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental progremmes”). b. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”) c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”).10 Banyak negara di dunia yang mengalami masalah perekonomian dan stabilitas negara yang disebabkan oleh korupsi. Dari sekian banyak negara tersebut diantaranya adalah Malaysia yang masih merupakan negara serumpun Indonesia yang juga menjadi negara jajahan sehingga walaupun sudah merdeka namun sisa-sisa sistem feodal masih tersisa seperti kebiasaan adanya upeti yang menjadi salah satu faktor tumbuhnya korupsi.11 Dalam rangka membangun negara modern yang bebas korupsi, sejak tahun 1961 Malaysia memiliki Undang-undang anti korupsi yaitu :
8
Lilik Mulyadi, Loc.Cit. Ibid, hal.5 10 Ibid. 11 Andi Hamzah, 2008, Perbandingan Pemberantasan Korupsi, Di Berbagai Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal.38 (selanjutnya disebut Andi Hamzah II) 9
1. Prevention of Corruption Act 1961 (Act 57) 2. Emergency (Essential Power) Ordinance No.22, 1970 3. Anti Corruption Agency Act 1982 (Act 271)12 Saat ini di Malaysia berlaku Anti Corruption Act Tahun 1997 yang disingkat
menjadi
ACA
yang
menggabungkan
ketiga
Undang-undang
sebelumnya. Berdasarkan Anti Corruption Agency Act 1982, dibentuklah BPR (Badan Pencegah Rasuah) yang mempunyai visi untuk mewujudkan masyarakat Malaysia yang bebas dari gejala Korupsi. Thailand juga memiliki Undang-undang anti korupsi namun lebih banyak mengatur tentang segi preventif dan acara pidana korupsi yang juga mengenal semacam pembuktian terbalik terbatas. Khusus mengenai hukum pidana materiil menyangkut korupsi tetap dituntut berdasakan KUHP (The Thai Penal Code 1956).13 Oleh 4 orang pejabat tinggi Thailand, akhirnya tercipta Undang-undang pemberantasan korupsi yang disebut Counter Corruption Act 1975. Berdasarkan Counter Corruption Act 1975, maka dibentuklah Counter Corruption Commision disingkat CCC yang bertanggung jawab terhadap pemberantasan korupsi. Karena dirasa perannya kurang efektif karena berdasarkan Counter Corruption Act 1975, maka diciptakanlah Undang-undang baru pada tanggal 8 November 1999 (Buddhist Era 2542) dengan nama Organic Act on Counter Corruption. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang tersebut dibentuklah komisi antikorupsi
12
Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hal.27 (selanjutnya disebut Andi Hamzah III) 13 Ibid, hal.35
yang diberi nama The National Counter Corruption Commision, yang terdiri atas ketua dan 8 anggota yang diangkat oleh raja dan nasihat senat. Bukan saja di kedua negara tersebut, pemerintah Indonesia terus berbenah untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sangat mengancam stabilitas negara, di Indonesia juga upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan oleh pemerintah sejak Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang dijabat oleh AH Nasution menciptakan suatu peraturan untuk memberantas korupsi. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C 13/1958 disertai dengan peraturan pelaksanaannya oleh Penguasa Perang Pusat Angkatan Laut Nomor Prt/Z.1./1/7 tanggal 17 April 1958. Peraturan ini memiliki keistimewaan yaitu terdapat sistem pendaftaran harta benda pejabat oleh Badan Penilik Harta Benda dan peraturan tentang pengajuan gugatan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum bagi seseorang yang memiliki harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya, tetapi tidak dapat dibuktikan dengan pidana.14 Pada tahun 1960 dibentuk Undang-undang Nomor 24 (prp) tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini dibentuk guna menggantikan Peraturan Penguasa Perang Pusat yang bersifat darurat, temporer dan berlandaskan Undang-undang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal peraturan tersebut perlu dicabut dan
14
Andi Hamzah II, Op.Cit, hal.78
dibutuhkan peraturan tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus yang lebih baik dan berbentuk Undang-undang.15 Berlakunya Undang-undang Nomor 4 (Prp) tahun 1960, secara otomatis mengambil alih perumusan delik yang ada dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut. Dengan sedikit perubahan yakni pada ketentuan pasal 1 ayat (1) sub a dan b hanya kata “perbuatan” diganti dengan “tindakan”, oleh karenanya Undang-undang ini memakai istilah Tindak Pidana Korupsi. 16 Hilangnya jalur preventif dan gugatan
perdata dalam Undang-undang
nomor 4 (Prp) tahun 1960 membuat Undang-undang ini tidak efektif sama sekali dalam memberantas korupsi. Pada tahun 1971 dibentuk Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti dari Undang-undang nomor 4 (Prp) tahun 1960. Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 telah muncul upaya pembagian sistem pembuktian yaitu merupakan suatu asas yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan ketidaksalahannya dengan tidak menutup kemungkinan jaksa melakukan hal yang sama untuk membuktikan kesalahan terdakwa.17 Dalam perkembangannya, ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap kurang efektif baik dari segi perumusan, penindakan serta implementasinya yang menimbulkan reformasi hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga lahirlah TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang
15
Andi Hamzah I, Op.Cit., hal.53 Ibid. 17 Lilik Mulyadi, Op.Cit. hal.24
16
Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.18 Dalam Kabinet Habibie dimana Muladi menjadi Menteri Kehakiman tahun 1998, dicanangkan untuk mempercepat penciptaan Undang-undang. Penciptaan Undang-undang yang diutamakan antara lain perubahan atau penggantian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap telah merangkum seluruh aturan hukum guna memberantas dan menggulangi tindak pidana korupsi. Namun, hanya berselang waktu 2 tahun dilakukan perubahan-perubahan atas beberapa pasal di dalam Undang undang nomor 31 Tahun 1999 dengan Undang - undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, secara substantif mengandung materi muatan dengan konsepsi yang berbeda dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan mengenai korupsi sebelumnya. Hal tersebut oleh Romli Atmasasmita dikatakan sebagai karakteristik khusus
dari
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , di
antaranya : 1. Undang-undang ini telah merumuskan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, bukan delik materiel, sehingga pengembalian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa, melainkan hanya merupakan faktor yang meringankan pidana; 18
Ibid.
2. Undang-undang ini mencantumkan korporasi, di samping perorangan sebagai subyek hukum; 3. Undang-undang ini mencantumkan sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang (balanced burden of proof); 4. Undang-undang ini mencantumkan yurisdiksi ke luar batas teritorial atau extrateritorial jurisdiction; 5. Undang-undang ini mencantumkan ancaman pidana minimum di samping ancaman pidana maksimum; 6. Undang-undang ini mencantumkan ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan dalam hal-hal tertentu seperti negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, tindak pidana korupsi dilakukan sebagai pengulangan tindak pidana atau negara dalam keadaan krisis ekonomi; 7. Undang-undang ini mengatur tentang pembekuan rekening tersangka/terdakwa (freezing) yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan (seizure); 8. Undang-undang ini mencantumkan tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan atas saksi pelapor lebih optimal; dan 9. Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang independen, terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.19 Guna memberantas korupsi yang telah mendarah daging dalam kehidupan warga masyarakat, partisipasi segenap masyarakat sangat penting baik berupa penyampaian bukti dan informasi.20 Tanpa adanya partisipasi dan dukungan penuh terhadap usaha pemerintah, aparatur penegak hukum ataupun komisikomisi yang dibentuk pemerintah untuk memberantas korupsi akan gagal total, terutama dalam upaya menyelamatkan keuangan negara.21
19
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, hal.19-20. 20 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana, Horizon Baru Pasca Refrmasi,PT. Raja Grafindo Persda, Jakarta, hal.210 (selanjutnya disebut Teguh Sulista I) 21 Teguh Sulistia, 2003, Penegakan Hukum Terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Suatu Konsep Efektif Dalam Memberantas KKN di Indonesia), Jurnal Delicty Vol I/Juli, FHAL.Unand, Padang, hal.71 (selanjutnya disebut Teguh Sulistia II)
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam 3 tahapan yaitu elitis, endemic dan sistemik. Pada tahap Elitis, korupsi dianggap sebagai patologi yang khas dikalangan elite. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Lalu ditahap kritis korupsi menjadi sistemik dimana setiap individu dapat terjangkit penyakit yang serupa.22 Korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang dianggap extraordinary crime, karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan menimbulkan kerugian keuangan negara, maka untuk menanggulanginya diperlukan cara-cara yang luar biasa pula. Bagi Indonesia, korupsi merupakan suatu ancaman bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara karena kerugian yang dialami sangat besar dengan perbuatan para koruptor yang nyaris membuat bangkrut perekonomian negara, terutama ketika terjadi krisis moneter yang diikuti pula dengan krisis ekonomi pada tahun 1997.23 Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan saja hanya persoalan hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial dan sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum, sehingga wajib dibenahi negara secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan
22
Ermansjah Djaja, 2010, Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Implikasi Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006, Sinar Grafika, Jakarta, hal.11 (selanjutnya disebut Ermansjah DjajaII) 23 Teguh Sulistia I, Op.Cit., 206-207
kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit untuk disembuhkan.24 Pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang bertumpu pada jalur represif semata, karena bila hanya dengan menyeret para koruptor ke Pengadilan tidak mungkin dapat menekan laju perkembangan tindak pidana korupsi. Tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi bukan hanya memenjarakan pelaku namun yang lebih penting adalah upaya untuk mengajak orang-orang untuk tidak bersikap koruptif serta mengembalikan kerugian keuangan negara melalui uang pengganti, harta yang disita dirampas untuk negara, dan denda. Begitu banyaknya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sehingga sangat menyengsarakan rakyat, seperti yang disampaikan oleh Abraham Samad dalam kuliah umum basic studi skill di Universitas Hasanudin,
yang
menyatakan
bahwa
korupsi
di
Indonesia
semakin
memperihatinkan, bukan saja meningkatkan kemiskinan rakyat, memicu bertambahnya penggangguran, illegal loging yang sarat akan korupsi sehingga menyebabkan kerusakan hutan semakin meluas dan yang tidak dapat dihindari adalah menumpuknya hutang luar negeri. 25
24
Romli Atmasasmita, 2002, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, hal.48 (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II) 25 Abraham Samad, 2012, Pembangunan Karakter Mahasiswa Melawan Korupsi, http://www.google.com/#sclient=psyab&q=pembangunan+karakter+mahasiswa+melawan+korups i&oq=pembangunan+karakter+mahasiswa+melawan+kor&gs_l=hp.1.0.33i21.6168.11544.1.13828 .12.12.0.0.0.1.571.3418.0j2j6j3j0j1.12.0...0.0...1c.1.17.psyab.x0b0mP4XXuE&pbx=1&bav=on.2, or.r_qf.&bvm=bv.47810305,d.bmk&fp=8fffc725ee49c795&biw=1366&bih=638 (diakses pada tanggal 12 Juni 2013)
Besarnya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh korupsi sangat tidak sebanding
besar pengembalian keuangan negara akibat korupsi.
Pengembalian kerugian keuangan negara tersebut harus dilakukan dengan cara apa pun yang dapat dibenarkan menurut hukum agar dapat diupayakan seoptimal mungkin. Prinsipnya, hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat. Kenyataan dalam prakteknya, salah satunya adalah angka pengembalian kerugian keuangan negara pada tahun 2011 sangat jauh dari besar kerugian yang dialami negara akibat korupsi. Jumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan dengan adanya tindak pidana korupsi terus mengalami peningkatan, hal ini berdasarkan data yang dihimpun oleh Tama S. Lakun (Peneliti Devisi Investigasi Indonesia Corruption Watch) yakni di tahun 2010 kerugian keuangan negara adalah sebesar 2,1 trilyun. Awal Januari sampai Desember 2013 meningkat menjadi 7,4 trilyun. Bahkan pada 2011 sempat mencapai 10 trilyun lebih, karena ada kasus century. Jadi sebetulnya jika dilihat dari prospektif penanganan perkara
baik di KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan mengalami peningkatan. Ketua KPK Abraham Samad menyatakan bahwa selama tahun 2013 KPK telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 1,196 Trilyun. "Pengembalian PNBP dari penanganan tindak pidana korupsi dan gratifikasi sebesar Rp 1,196 Trilyun. Samad menambahkan, total penyelamatan uang negara selama 2013 lebih besar dari 2012 yang hanya sebesar Rp 113,8 Milyar. 26
26
Voice Of Amerika, 2014, ICW : Pemberantasan Korupsi Indonesia Dalam 3 Tahun Terakhir Meningkat, http://www.voaindonesia.com/content/icw-pemberantasan-korupsi-diindonesia-dalam-3-tahun-terakhir-meningkat/1847983.html, (diakses tanggal 12 Mei 2014)
Apabila dilihat dari besarnya perbandingan antara besarnya kerugian keuangan negara dengan jumlah pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi yang disetorkan ke kas negara, dapat digambarkan sebagai berikut : TAHUN 2011
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA* + 10 triliun
PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Rp.138.062.072.084
2012
+ 9,7 triliun
Rp. 121.655.680.319
2013
+ 7,4 triluin
Rp. 122.047.032.257
*besar kerugian keuangan negara di peroleh dari hasil peneletian ICW terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam tahun yang bersangkutan
Jumlah pengembalian kerugian keuangan negara dari tabel diatas, merupakan laporan tahunan KPK dari tahun 2011 hingga 2013. Berdasarkan data tersebut, perbandingan antara besarnya dugaan kerugian keuangan negara akibat korupsi dengan pengembalian keuangan negara yang telah di capai oleh KPK masih menunjukkan ketimpangan yang sangan besar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi harus ditingkatkan. Sejalan dengan hal tersebut, dari laporan tahunan KPK pada tahun 2011 masih tercatat adanya denda, uang pengganti serta biaya perkara yang masih dapat ditagih pada tahun 2011 yang berasal dari perkara pada tahun 2006 hingga 2011 (laporan tahun 2011 halaman 55), sehingga hal ini menunjukan bahwa upaya memaksimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi masih mengalami berbagai hambatan. Sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan khusus dalam penanganan kasus korupsi, tidak dapat dipungkiri bahwa KPK juga
mengalami banyak kendala. Sehingga, dapat disadari bahwa upaya pemberantasan korupsi dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi di daerah juga menemui banyak hambatan. Salah satu nya adalah penanganan kasus korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar, sebagai upaya peningkatan kinerja lembaga penegak hukum mengingat semakin maraknya kasus korupsi yang terjadi di Bali, maka pada tahun 2012 dibangunlah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bali, yang dibawahi oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Pengadilan Tipikor Bali ini memerikasa dan memutus semua kasus korupsi yang berasal dari 8 Kabupaten yang ada di Bali. Sehingga dengan kata lain, seluruh kasus korupsi sejak tahun 2012 yang terjadi di Bali, terpusat di Pengadilan Tipikor Denpasar. Pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi juga tidak serta merta dapat begitu saja dilakukan. Selain menunggu pembayaran uang pengganti dari para terpidana kasus korupsi yang memerlukan waktu yang lama, pengembalian uang pengganti ke kas negara tidak dapat langsung dilakukan. Hal ini diakibatkan harus ada prosedur birokrasi yang dilewati, sehingga membutuhkan waktu untuk mengembalikan
kerugian
keuangan negara ke kas negara agar dapat segera digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Ancaman pidana dalam ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 terhadap koruptor adalah dapat berupa pidana penjara dan juga pidana denda. Sebagai upaya untuk semaksimal mungkin memperoleh kembali keuangan negara yang dikorupsi oleh para koruptor, maka dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juga mengetengahkan konsep “upaya pengembalian kerugian keuangan
negara” yakni dalam ketentuan Pasal 18 sebagai salah satu pidana tambahan. Hal ini juga telah diamanatkan dalam ketentuan Bab V UNCAC 2003 tentang Asset Recovery yang telah di sah kan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003). Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Bali memerlukan perhatian lebih. Mengingat Bali merupakan salah satu daerah yang menjadi perhatian Nasional, tetapi juga parameter dunia Internasional. Oleh sebab itu, perlu adanya penanganan khusus dalam menanggulangi kasus korupsi di Bali. Salah satu contoh kasus yang menyita perhatian masyarakat Bali adalah korupsi yang dilakukan oleh Mantan Bupati Buleleng yaitu DR.Drs. PUTU BAGIADA, MM yang diduga merugikan negara sebesar Rp. 1.657.970.038,- ( satu miliar enam ratus lima puluh tujuh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu tiga puluh delapan rupiah).
Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Denpasar
Nomor
:
19/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps, menjatuhan pidana penjara selama 2 tahun, pidana denda Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta) dan pidana tambahan sebesar Rp.574.709.326 (lima ratus tujuh puluh empat juta tujuh ratus sembilan ribu tiga ratus dua puluh enam rupiah). Namun, hingga saat ini, pidana tambahan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar kepada Terdakwa Putu Bagiada belum dapat ditagihkan untuk diselanjutnya ke kas negara. Upaya memberantas serta menanggulangi maraknya tindak pidana korupsi dengan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
masih dipertanyakan efektifitasnya. Selain itu, untuk mengoptimalkan putusan pengadilan yang menerapkan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara masih menemui banyak kendala. Berdasarkan latar belakang diatas,
tesis
PENERAPAN
ini
nantinya
akan
membahas
mengenai
ANCAMAN SANKSI PIDANA
“EFEKTIFITAS
TAMBAHAN GUNA
PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI
(STUDI
KASUS
DI
PENGADILAN
NEGERI
DENPASAR).
1.2
Rumusan masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka terdapat dua
permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu : 1. Bagaimanakah penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi? 2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Untuk mengurangi atau membatasi uraian agar tidak terlalu melebar dari
masalah yang akan dibahas, maka dalam uraian akan dibatasi hanya dalam hal : efektifitas penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi, serta faktor-faktor yang
menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.
1.4
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah sesuai dengan
rumusan masalah diatas baik yang dituangkan dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut : a. Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UURI Nomor 31 Tahun 1999. b. Tujuan Khusus Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : − Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. − Untuk mengetahui dan menganalisis yang menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait sanksi pidana tambahan guna
pengembalian
kerugian keuangan negara dengan uang pengganti
dalam tindak pidana korupsi.
1.5
Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis adalah manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian
sebuah karya ilmiah dengan pengembangan wawasan keilmuan peneliti, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberi masukan yang dianggap berguna dan bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu hukum terkait dengan penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi sebagai pidana tambahan yang hingga saat ini berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, serta apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. b. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini bukan hanya ditujukan bagi penulis sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya hakim dan juga bermanfaat bagi kalangan masyarakat termasuk mahasiswa, khususnya mahasiswa fakultas hukum dalam mendalami hukum pidana terkait hal pemidanaan. Bagi
institusi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan sumbangan pemikiran guna pengembangan studi di bidang hukum pidana, khususnya terkait dengan penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi, sebagai salah satu jenis pidana tambahan yang tercantum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaksanaan putusan pengadilan terkait sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi oleh Jaksa perlu ditinjau lagi mengingat masih banyak kendala dalam hal proses pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk membantu penulis mengetahui, memahami serta mengkaji lebih dalam mengenai penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi serta mengetahui faktorfaktor yang menjadi kendala pengembalian kerugian keuangan negara oleh para terpidana kasus korupsi.
Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini nantinya
diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan pengetahuan yang berkitan dengan ancaman sanksi pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi yakni terpidana kasus korupsi tidak hanya dapat dijatuhi pidana penjara namun juga dapat dapat dipidana dengan pengembalian kerugian keuangan negara, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1.6
Orisinalitas Penelitian Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang penulis ajukan,
merupakan hasil dari pemikiran penulis sendiri, berdasarkan adanya sanksi pidana guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia yang juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai salah satu pidana tambahan, pidana menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara sangat penting dalam penanggulanangan serta pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Oleh sebab itu, Hakim sebagai pembuat putusan di
Pengadilan sangat memiliki peranan penting dalam hal menjatuhkan pidana yang tepat kepada seorang Terdakwa, termasuk penjatuhan sanksi pidana
guna
pengembalian kerugian keuangan negara kepada para koruptor. Penulis menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki bahasan hampir sama dengan penelitian yang nantinya akan penulis lakukan baik tulisan ilmiah dari Universitas Udayana ataupun beberapa Universitas lainnya, yaitu berkaitan dengan tindak pidana korupsi secara umum, maupun menyangkut pidana pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi secara khusus, antara lain: a.
Judul Penelitian
: Kebijakan Hukum Pidana Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Penulis
: A.A.Ngr. Oka Yudisthira Darmadi
Universitas
: Universitas Udayana (2013)
Hal yang dikaji
:
1. Berkaitan
dengan
implikasi
ratifikasi
UNCAC 2003 dalam pengembalian aset tindak pidana terhadap kebijakan peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi. 2. Berkaitan dengan kebijakan hukum dalam rangka memperkuat sistem hukum pidana pengembalian aset tindak pidana korupsi di Indonesia. b.
Judul Penelitian
: Peradilan
In
Absentia
Dalam
Upaya
Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Penulis
: Riesa Susanti
Universitas
: Universitas Indonesia (2011)
Hal yang dikaji
:
1. Berkaitan dengan konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hal asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi? 2. Berkaitan dengan penerapan hukum peradilan in absensia
dalam
UU
TPK
dalam
upaya
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi? 3. Berkaitan dengan peranan peradilan in absensia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi?
c.
Judul Penelitian
: Kajian Perumusan Pidana Dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No.20 Tahun 2001 Mengenai Tindak Pidana Korupsi
Penulis
: Anak Agung Gede Yadnya Wijaya
Universitas
: Universitas Udayana (2004)
Hal yang dikaji
: 1.
Berkaitan dengan perumusan pidana dalam tindak pidana korupsi menurut Hukum Positif.
2.
Berkaitan dengan perumusan pidana dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan ide tujuan pemidanaan.
3.
Berkaitan dengan perumusan pidana dalam tindak pidana korupsi dimasa yang akan datang.
d.
Judul Penelitian
: Kajian Normatif Terhadap Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi
Penulis
: I Wayan Gede Wiryawan
Universitas
: Universitas Udayana
Hal yang dikaji
: 1. Berkaitan
pengaturan
terhadap
sistem
pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. 2.
Berkaitan pembuktian
dengan
formulasi
terbalik
dalam
kebijakan proses
pembuktian tindak pidana korupsi yang akan datang.
1.7
Landasan teoritis dan kerangka berfikir
1.7.1
Landasan Teoritis Penelitian terhadap efektifitas penerapan sanksi pidana tambahan guna
pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi, dapat ditunjang oleh beberapa asas, konsep, doktrin serta teori hukum yang nantinya dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji serta menganalisis masalah dalam penelitian ini. Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum.27 Asas hukum yang berkaitan dengan penelitian ini adalah asas legalitas dan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, merumuskan adagium Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali yang saat ini lebih dikenal dengan asas legalitas. Dimana disebutkan bahwa tidak ada tindak pidana tanpa didasarkan atas peraturan perundang-undangan tertulis dan tidak dapat dipidana seseorang kecuali didasarkan pada sanksi pidana yang ditentukan oleh aturan perundang-undangan. Asas legalitas mempunyai 2 fungsi, yaitu : 1. Instrumental, tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut. 2. Melindungi, tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar Undang-undang.28 Dalam hukum acara pidana asas ini harus dimaknai bahwa berjalannya sistem peradilan pidana dan penyelenggaraan peradilan pidana termasuk 27
M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, hal. 56. 28 D.Schaffmeister, dkk, 2007, Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.7
didalamnya segala kewenangan yang dijalankan oleh penegak hukum harus didasarkan kepada aturan perundang-undangan yang berjalan. Sehingga, dalam hal menjatuhkan pidana mengenai pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan Pasal 4 serta Pasal 18 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UURI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terkait asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld) untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut. Setiap orang yang dijatuhi pidana harus terbukti melakukan suatu kesalahan sehingga penjatuhan pidana dapat secara proporsional diterapkan sesuai dengan kesalahannya. Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang memiliki pengaruh besar terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara; pendapatpendapat para pakar dalam bidangnya masing-masing yang berpengaruh”.29 Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio yang berarti penyuapan. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption dan corrupt (Inggris), corruption (Prancis), dan corruptie (korruptie)(Belanda).30 Saat ini kata korupsi yang dipergunakan di Indonesia adalah berasal dari bahasa Belanda (corruptie). Doktrin mengenai pengertian korupsi sangat beragam dari masing-masing sarjana. Oleh Huntington menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari public oficial atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh
29 30
Ibid., hal. 176. Aziz Syamsuddin, Op.Cit., hal.137
keuntungan-keuntungan pribadi.31 Dalam pemahaman masyarakat umum, kata korupsi menurut Leden Marpaung adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram).32 Tujuan penjatuhan pidana terkait tidak pidana korupsi, bukan saja untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku serta sebagai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi, namun hal terpenting dari penjatuhan pidana tersebut adalah upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidan korupsi. Dalam konteks pengembalian kerugian keuangan negara di dalam tindak pidana korupsi, maka pemikiran Mochtar Kusumaatmadja menjadi penting untuk disimak lebih lanjut. Mochtar Kusumaatmajda : “Efektifnya produk perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak saja memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dan masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institusions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.33 Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi khususnya dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara menjadi sangat penting guna tegaknya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Implementasi terhadap Undang-undang Tindak Pidana Korupsi sangat penting untuk membawa pengaruh yang signifikan dalam pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
31
Chaerudin,dkk, 2009, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, hal.2 32 Leden Marpaung, 1992, Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal.149 (selanjutnya disebut Laden Marpaung I ) 33 Muhamad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal.22
Dasar hukum yang dijadikan landasan atau pedoman dalam penelitian ini adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KUHAP, Undang - undang nomor 31 Tahun 1999 dengan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang - undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pentingnya peranan penegak hukum dalam memberantas suatu tindak pidana adalah berdasarkan konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system. Oleh Frakfuther, Pound. Moley dan Warner membentuk National Commision on Crime and Criminal Justice yang bertujuan untuk menyusun suatu mekanisme administrasi peradilan pidana yang mendukung tujuan pencegahan dan pemberantasan kejahatan.34 Dalam sistem peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan dan mencakup subsistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana, sebagai berikut : 1. Kepolisian, dengan tugas utama :menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 2. Kejaksaan dengan tugas pokok, menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan. 3. Pengadilan berkewajiban mrenegakkan hukum dan keadilan, melindungi hakhak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan putusan 34
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, hal.9
pengadilan yang adil dan berdasar hukum, dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan di tingkat ini. 4. Lembaga pemasyarakatan berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan berupa pemenjaraan, memastikan terlindunginya hak-hak narapidan, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana, dan mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat. 5. Pengacara dengan fungsi melakukan pembelaan bagi klien dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.35
Oleh Frank Remington memperkenalkan rekayasa administrasi sistem peradilan pidana melalui pendekatan sistem yang kemudian lebih dikenal dengan criminal justice system. Adapun ciri pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana adalah : a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan). b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana. c. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efektifitas penyelesaian perkara. d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administration of justice”.36 Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembagalembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.37 Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu
35
Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang,
hal.219-220 36 37
Ibid., hal. 9-10 Ibid, hal.14
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.38 Adapun tujuan sistem peradilan pidana adalah : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.39 Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Teori Sistem Hukum Teori sistem hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M.Friedman yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu : a) Substansi hukum (Legal Substance) “The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”.40 (substansi tersusun dari peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana institusiistitusi harus berperilaku/bertindak. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan atau norma hukum. b) Struktur Hukum (Legal Structure) “Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the legal system……The structure of a system is its skeletal fremework, it is the 38
Ibid, hal.15 Ibid. 40 Laurence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspektive, Russell Sage Foundation, New York, hal.14 39
elements shape, the institutional body of the system.” (Struktur adalah satu dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem hukum). Dalam hal ini yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan hukum. c) Budaya Hukum (Legal Culture) “Legal culture refers,then, to those parts of general culture, customs, opinion, ways of doing and thinking, that bend social forces toward or away from the law and in particular ways.”(Budaya hukum merupakan bagian dari budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu). Dalam hal ini yang dimaksud dengan budaya hukum adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati. Dengan ketiga komponen dalam sistem hukum tersebut dapat digunakan untuk mengkaji efektifitas penerapan suatu sanksi dalam suatu aturan hukum. Kata efektif berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur atau mujarab, dapat
membawa hasil atau berhasil guna, mulai berlaku).41 Efektifitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.42 Meneliti efektifitas hukum pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Hukum menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh para subjek hukum, dan hukum akan semakin efektif apabila peranan yang dijalankan oleh para subjek hukum semakin mendekati apa yang telah dilakukan dalam hukum. Efektifitas dalam konteks dengan hukum diartikan bahwa hukum itu benar-benar hidup dan berlaku, baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis.43
Orang mengakatakan
bahwa kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.44 Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interprestasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus kongkret.45
41
Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.59 42 Ibid. 43 Ibid 44 J.J.HAL.Bruggink, ahli bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.149 45 Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Cetakan Keempat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.378
Menurut Soerjono Soekanto adalah ada 5 faktor yang mempengaruhi efektif tidaknya keberlakukan suatu hukum yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku atau diterapkan e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup46 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum. 47 2. Teori Bekerjanya Hukum / Berlakunya Hukum Teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh Robert B.Siedman yang dimuat dalam bukunya yang berjudul The State, Law and Development pada bahasan mengenai a model of law and development.
Pada intinya teori
berlakunya hukum yang dikemukakan oleh Robert B. Siedman dijabarkan dalam 4 proposisi yaitu : 1. We can meet that objection, however, by substituting for the judge the processes of government concerned with implementation, that is, with inducing desired activity (the bureaucracy, the police, state corporations and so fort). (Kita bisa mencapai tujuan tersebut dengan cara menggantikan peran hakim. Proses-proses dari implementasi yang
46
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal.8 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I) 47 Ibid, hal.9
menjadi perhatian pemerintah yaitu dengan mendorong aktifitas yang menjadi tujuan implementasi (birokrasi, polisi, perusahaan pemerintah dan semua yang dapat dijadikan benteng) 2. Broaden the concept of the norm addressed to the role – occupant to include exhortation or other sort of prescription, indicated by a wavy line. I indicate the role addressed to the role – occupant by a straight line. I indicate the exhortation by a wavy line. (Memperluas cakupan konsep
aturan/norma
kepada
warga
Negara
dilakukan
dengan
memasukkan nasihat maupun deskripsi lain yang ditandai dengan suatu garis yang bergelombang. Saya menegaskan aturan dengan garis yang tegas dan garis yang bergelombang yang ditujukan untuk semua warga). 3. Any law, once passed, changes from the day of passage, either by format amendment, or by the way the bureaucracy acts. It changes because the arena of choice changes. Feedback constitutes the most important explanation of those changes. Citizens express their reactions to a particular law or programme to law-makers or to bereaucrats, who in turn communicate to law - makers. In addition, various sorts of formal and informal monitoring devices teach law – makers and bereaucrats about the rule’s relative success, thus affecting decisions about the law. (Setiap aturan, sekali saja terlewati, perubahan dari saat yang dilanggar, baik berdasarkan amandemen, ataupun karena perilaku birokrat.Aturan berubah seiring dengan ruang lingkup hukum itu sendiri. Yang paling penting adalah adanya penjelasan dari konstitusi dasar perubahan
tersebut. Warga Negara memberikan reaksi mereka terhadap aturan tertentu ataupun program tertentu kepada pembuat aturan ataupun para birokrat, yang akan diteruskan/dokomunikasikan dengan para pembuat aturan/hukum tersebut. Sebagai tambahan, berbagai macam perangkat monitor secara formal maupun informal, memberikan pelajaran bagi para pembuat aturan dan para birokrat tentang kesuksesan pelaksanaan aturan itu sendiri secara relatif, yang akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil terkait aturan itu sendiri). 4. The categories ‘law – makers’ and ‘judge’ must be replaced by ‘law – making processes’ and ‘law-implementing processes’.48 (Katagori para pembuat aturan dan hakim, seharusnya digantikan dengan proses pembuatan aturan dan proses implementasi aturan). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, ada empat proposisi yang menggambarkan teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman, yakni : 1. Adanya proses dari pemerintah terkait dengan pelaksanaan atau penerapan hukum, yaitu, dengan mendorong atau mempengaruhi kegiatan atau aktivitas yang diinginkan (birokrasi, polisi, perusahaan negara, dan sebagainya). Peraturan hukum menjadi sebuah sarana dalam mendorong atau mempengaruhi kegiatan yang diinginkan. Dalam hal ini, setiap peraturan hukum akan memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran (Rule Occupant) itu diharapkan bertindak. 48
Robert B. Seidman, 1978, The State, Law, and Development, ST. Martin’s Press, New York, hal. 74-75.
2. Memperluas konsep norma yang ditujukan kepada pemegang peran untuk memasukkan atau menyertakan peringatan/desakan/ketentuan petunjuk, ditunjukkan dengan garis bergelombang. Robert B. Seidman menunjukkan/mengusulkan peraturan ditujukan kepada pemegang peran dengan garis lurus dan desakan/peringatan dengan garis bergelombang. Hal ini menunjukkan bagaimana pemegang peran akan bertindak, sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhn kompleks kekuatan politik, sosial, dan lain-lainnya mengenai dirinya. 3. Perubahan hukum dapat terjadi karena arena pilihannya berubah. Timbal balik (feedback) merupakan penjelasan yang paling penting dari perubahan-perubahan tersebut. Masyarakat mengungkapkan reaksi mereka terhadap hukum tertentu atau program untuk pembuat hukum atau para birokrat, yang bergiliran berkomunikasi dengan pembuat hukum. Selain itu, berbagai macam perangkat monitoring formal dan informal mengajarkan pembuat hukum dan birokrat tentang peraturan yang relatif berhasil, sehingga mempengaruhi keputusan-keputusan tentang hukum. Hal ini menunjukkan bagaimana lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan politik,
sosial, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran. 4. Kategori-kategori pembuat hukum dan hakim harus diganti dengan proses-proses pembuatan hukum dan proses-proses penerapan atau pelaksanaan hukum. Berdasarkan hal ini dapat diketahui mengenai bagaimana peran pembuat Undang-undang itu akan bertindak yang merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, politik, ideologis, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.49 Robert B. Seidman juga menjelaskan mengenai perilaku pemegang peran dalam menghadapi peraturan yang ditujukan kepada mereka oleh pembuat hukum. Hal ini juga dapat dijadikan indikator dalam pengkajian pengimplementasian hukum. Dapat diketahui pula bahwa, hukum dapat mempengaruhi perilaku pemegang peran sebagaimana yang dinyatakan oleh Robert B. Seidman bahwa, “Law as a device to structure choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behaviour, and its importance as the principal instrument that government has to influence behaviour”.50 (Hukum sebagai alat untuk struktur pilihan mengekspresikan sekaligus hukum marginalitas biasa dalam mempengaruhi perilaku, dan pentingnya sebagai instrumen utama pemerintah untuk mempengaruhi perilaku).
49
Amiruddin dan HAL. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 46-47. 50 Robert B.Siedman, Op.Cit., hal. 77.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa hukum adalah sarana yang penting, sebagai instrumen utama pemerintah untuk mempengaruhi perilaku. 3. Teori Pemidanaan Pidana merupakan suatu penderitaan yang dikenakan kepada seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana. Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Nestapa itu bukanlah tujuan yang dicita-citakan masyarakat. Nestapa hanya tujuan terdekat.51 Dalam sistem hukum Eropa Kontinental teori pemidanaan yang lazim dikenal adalah teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Pembagian teori pemidanaan yang demikian berbeda dengan teori pemidanaan yang dikenal di dalam sistem hukum Anglo Sexon, yaitu teori retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan dan teori rehabilitasi.52 Dimana Herbert L. Packer menyatakan dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda, yaitu: 1. Pandangan Retributif (retributive view), mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat. Pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moral masingmasing. Pandangan ini berorientasi ke belakang. 2. Pandangan Utilitarian (utilitarian view), melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya, dan yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan pada pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
51
Praja, Juhaya S. 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan Pertama, CV Pustaka Setia, Bandung, hal.188 52 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.187 (Selanjutnya ddisebut Mahrus Ali I)
kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.Pandangan ini berorientasi ke depan dan sekaligus bersifat pencegahan. 53 Teori pemidanaan yang diantut di Indonesia adalah teori pemidanaan yang sesuai dengan sistem hukum eropa kontinental, adapun teori tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Teori ini muncul pada akhir abad ke-18 yang dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sarjana hukum Islam yang mendasarkan teorinya pada ajaran kisas dalam Al Quran.54 Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban.55 Dasar pemikiran teori ini ialah pembalasan. Inilah yang menjadi dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.56 Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat membuat penderitaan bagi orang lain.57Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.58 Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern.59 53
Juhaya S. Praja, Op.Cit., hal. 190. Andi hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 17. (selanjutnya disebut Andi Hamzah IV) 55 Ibid. 56 Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.157 57 Ibid. 58 Ibid, hal.158 59 Mahrus Ali I, Op.Cit.,hal.187 54
Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu : a. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan) b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan). 60 Menurut Johannes Andenaes, tujuan (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice),
sedangkan
pengaruh-pengaruhnya
yang
menguntungkan
adalah
sekunder.61 Karl O. Kristiansen mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori absolut, yaitu : a. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat. c. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku. e. Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi si pelaku. 62 Tindakan pembalasan tersebut dilakukan berdasarkan pada beberapa pertimbangan atau pandangan, antara lain : a)
60
Pertimbangan dari Sudut Ketuhanan, adanya pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui Pemerintahan Negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia. Oleh karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.158 Mahrus Ali I, Loc.Cit. 62 Ibid, hal.188 61
b)
c)
d)
e)
f)
wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya. Pandangan ini dianut oleh Thomas Van Aquino, Stahl, dan Rambonet. Pandangan dari Sudut Etika, dimana tiap kejahatan haruslah diikuti oleh suatu pidana. Pembalasan melalui penjatuhan pidana harus dilakukan pada setiap pelanggar hukum walaupun tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang bersangkutan. Hal tersebut didasarkan pada etika. Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant. Pandangan Alam Pikiran Dialektika, dimana pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan. Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan. Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum. Oleh karena itulah, harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan terhadap pelakunya untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum. Pandangan ini berasal dari Hegel. Pandangan Aesthetica, berpokok pangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan rasa ketidakpuasan pada masyarakat, sehingga harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya. Pandangan ini berasal dari Herbart. Pandangan dari Heymans, yaitu pidana yang berupa pembalasan didasarkan pada niat pelaku. Akan tetapi, apabila niat tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan maka layak diberikan kepuasan, sedangkan apabila niat tersebut bertentangan dengan kesusilaan maka tidak perlu diberikan kepuasan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pandangan ini tidak sepenuhnya pembalasan tetapi lebih bersifat pencegahan. Pandangan dari Kranenburg, yaitu didasarkan pada asas keseimbangan. 63 Sejalan dengan teori absolut (pembalasan) dalam pemidanaan, oleh
Andrew Von Hirsch dan Andrew Asworth mengemukakan Desert Theory atau yang dalam bahasa Indonesia dapat disebut teori ganjaran. Teori “desert” banyak merupakan teori yang menggambarkan pemikiran tentang proporsionalitas dalam pemidanaan. Dalam buku yang berjudul Proportionate Sentencing : Explorate Principle, Desert theory diterjemahkan sebagai “the dessert rational rest on the idea that penal sanction should fairly reflectthe degree of reprehensibleness (that
63
Ibid., hal. 159.
is, the harmfulness and culpability) of the actor conduct”.64 (Pandangan ini menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan kesalahan dari pelaku). Teori ini amat berkolerasi dengan adagium “only the guilty ought to be punished” atau dalam literatur hukum pidana Indonesia dikenal sebagai asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld). 65 Karenanya adalah terlarang untuk menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak bersalah. Dan penjatuhan pidana pun harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh seorang pelaku tindak pidana.66 Desert theory mensyaratkan adanya perimbangan antara kesalahan dan hukuman. Sungguh sulit menilai kesalahan karena hal itu merupakan suatu yang abstrak. Ukuran yang dipakai untuk menimbang besar kecilnya kesalahan sangat erat kaitannya dengan jenis pidana yang dilakukannya.67 Secara umum ukuran untuk menyatakan suatu tindak pidana masuk dalam katagori berat atau ringan bergantung kepada beberapa hal, antara lain diantaranya : a. Nilai kerugian materiil yang ditimbulkan sebagai akibat dari tindak pidana yang terjadi b. Pandangan atau penilaian masyarakat terhadap suatu perbuatan pada saat waktu tertentu. c. Dampak dari perbuatan pelaku terhadap korbannya.
64
Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung, Bandung, hal.38 65 Ibid , hal.39 66 Ibid 67 Ibid
d. Modus operandi tindak pidana yang dilakukan pelaku.68 Dengan adanya Desert Theory (teori ganjaran) sangat mempengaruhi disparits penerapan sanksi pidana dalam Tindak Pidana Korupsi. Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Disparitas pidana dapat pula terjadi pada pemidanaan terhadap mereka yang secara bersama melakukan delik.69 Sehingga berlakunya hukum yang tajam kebawah tumpul keatas dapat dihindari. b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya.70 Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu
68
I Gede Artha, 2012, Disertasi : Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya Bagi Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.201 69 Barda Nawawi, 2010, Kebijakan Legislatif, Genta Publishing, Yogjakarta, hal.248 70 Mahrus Ali, Op.Cit.,hal.190
diperlukan pidana.71 Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.72Untuk mencapai ketertiban masyarakat, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu : 1) Bersifat menakut-nakuti 2) Bersifat memperbaiki 3) Bersifat membinasakan73 Teori relatif menekankan pada kemampuan pemidanaan sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime) khususnya bagi terpidana. Oleh karena itu, implikasinya dalam praktik pelaksanaan pidana sering kali bersifat out of control sehingga sering terjadi kasus-kasus penyiksaan terpidana secara berlebihan oleh aparat dalam rangka menjadikan terpidana jera untuk selanjutnya tidak melakukan kejahatan lagi.74 Teori ini dilandasi oleh tujuan sebagai berikut : a. Menjerakan Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie)serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, maka akan mengalami hukuman yang serupa (general preventie) b. Memperbaiki pribadi terpidana Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.
71
Adami Chazawi, Op.Cit.,hal.162 Ibid,. 73 Ibid, 74 Mahrus Ali I. Op.Cit.,hal.191 72
c. Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup. 75 Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif ini sebagai berikut : 1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) 2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih yaitu kesejahteraan masyarakat. 3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana. 4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan 5) Pidana melihat kedepan (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasant idak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 76 c. Teori Gabungan Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, dapat menimbulkan aliran yang ketiga yang berdasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun pada semua unsur yang ada.77
75
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta, hal.4 (selanjutnya disebut Leden Marpaung II) 76 Ibid. 77 Bambang Poernomo, 1999, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.30-31
Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat didalam teori absolut dan teori relatif. Disamping mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.78 Teori gabungan mendasarkan pidana atas asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.79 Teori gabungan ini dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu : 1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.80 Menurut Muladi, yang menyebut teori gabungan sebagai teori retributif – teleologis yang memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan.81 Teori ini mengandung 2 karakter yakni karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dan menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa kritik moral tersebut yaitu suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari.
78
Ibid, hal.192 Adami Chazawi, Op.Cit, hal.166 80 Ibid, 81 Zainal Abidin, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal.9 (selanjutnya disebut Zainal Abidin I ) 79
Ketentuan mengenai tujuan pemidanaan dalam RKUHP Tahun 2012 dalam pasal 54 yang menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan : 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. 2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
Dalam hal menjatuhkan suatu ketentuan pidana sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana, oleh Francis Bacon telah memperkenalkan adagium “moneat lex, priusquam feriat” yang berarti Undang-undang harus memperingatkan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung didalamnya. 82 Hal ini kira nya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegah, menghukum dapat dibenarkan.83 1.7.2
Kerangka Berfikir Berdasarkan landasan teoritis yang digunakan untuk membahas masalah
penelitian, dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut :
82
Fajrimei. A. Gofar, 2005, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hal.9 83 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008,Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.4
1.
1. Bagaimanakah penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi ? Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Denpasar)
1. Teori Pemidanaan a. Absolut -desert theory b. Relatif c. Gabungan 2. Teori Bekerjanya
data
Hukum
2. Apakah yang menjadi kendala pelaksanaan putusan pengadilan terkait pidana tambahan pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?
data Teori Sistem Hukum
Penerapan ancaman sanksi pidana guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi khususnya di Pengadilan Negeri Denpasar belum efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari masih ada tuntutan jaksa penunutut umum yang belum mencantukan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara sehingga mempengaruhi putusan hakim. Selain itu, jumlah kasus korupsi yang terjadi juga mengalami peningkatan serta upaya pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti masih jauh dari jumlah pidana yang jatuhkan oleh Hakim.
2. Adapun faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait pengembalian kerugian data keuangan negara adalah faktor penegak hukum dan budaya hukum masyarakat.
1.8
Hipotesis Hipotesis pada dasarnya adalah merupakan pernyataan tentang sesuatu
yang untuk sementara waktu dianggap benar. Dikaitkan dengan penelitian, hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang umumnya dinyatakan dalam bentuk pertanyaan.84 Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan di atas, maka terhadap permasalahan-permasalahan yang diajukan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: 1. Penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi khususnya di Pengadilan Negeri Denpasar sudah diterapkan namun belum dapat dikatakan efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari masih ada tuntutan jaksa penunutut umum yang belum mencantukan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara sehingga mempengaruhi putusan hakim. Selain itu, jumlah kasus korupsi yang terjadi juga mengalami peningkatan serta upaya pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti masih jauh dari jumlah pidana yang jatuhkan oleh Hakim. 2. Adapun faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi faktor penegak hukum serta budaya hukum masyarakat.
84
J.Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.198
1.9
Metode Penelitian
1.9.1
Jenis Penelitian Dalam penelitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis penelitian
diantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang berujuan untuk mengidentifikasi hukum yang hidup.85 Penelitian hukum yuridis empiris terdiri dari 4 komponen yaitu 1) penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis) 2) penelitian terhadap efektifitas hukum, 3)penelitian perbandingan hukum, dan penelitian sejarah hukum.86 Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum yuridis empiris yang khusus meneliti mengenai efektifitas hukum yang membahas mengenai bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.87 1.9.2
Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif. Menurut Moh.
Nazir, penelitian deskriptif adalah penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasisituasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari satu fenomena.88 Penelitian deskriptif juga bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
85
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal.42 86 HAL.Zainuddin Ali,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, hal.30-45 87 Ibid, hal.31 88 Soejono dan HAL. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 21.
masyarakat89. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi serta yang menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan pengadilan terkait sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. 1.9.3
Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan untuk mendukung penulisan
penelitian ini didapat dari dua sumber, yaitu : 1.
Sumber Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama
yakni perilaku warga masyarakat melalui penelitian.90 Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari
data yang diperoleh langsung dari sumber pertama
dilapangan baik berupa data menyangkut putusan Pengadilan khususnya putusan yang mencantumkan sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dan data yang diperoleh dari hasil wawancara dari informan. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, bukubuku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.91 Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini disebutkan dalam sumber bacaan. 89
Amiruddin dan HAL. Zainal Asikin, Op.Cit, hal. 25. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta, hal.12 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto IV) 91 Ibid., 90
1.9.4
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu :
1.
Teknik Studi Dokumen Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum
(baik normatif maupun sosiologis), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.92 Dalam hal ini dengan mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian, yaitu dengan cara membaca dan mencatat kembali data yang kemudian dikelompokkan secara sistematis. 2.
Teknik Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.93 Dalam hal ini data diperoleh melalui proses interview atau wawancara kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian di lapangan yaitu wawancara kepada Hakim Pengadilan Negeri Denpasar khususnya yang pernah memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi, serta Jaksa Penuntut Umum terkait kasus korupsi untuk memperoleh informasi dan data yang pasti dan akurat. 1.9.5
Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam kaitannya dengan penentuan sampel, maka terdapat 2 (dua) cara
atau teknik yang dapat dipergunakan yaitu teknik probability sampling dan teknik
92
Amiruddin dan HAL. Zainal Asikin, Op.it., hal.68. Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta, hal. 95. 93
non probability sampling. Penelitian ini mempergunakan teknik non probability sampling, yaitu purposive sampling. Dimana penentuan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.94 Sampel yang dimaksud adalah beberapa hakim khususnya yang pernah memeriksa, mengadili dan memutus perkara korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar, dan Jaksa yang terkait dengan perkara korupsi tersebut. 1.9.6
Teknik analisis data Proses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema
dan merumuskan hipotesa-hipotesa, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasti untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa, hanya saja analisis data tema dan hipotesa tersebut lebih diperdalam dengan menggabungkannya dengan sumber-sumber data yang ada.95 Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Dimana keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis secara sistematis yang dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian yang berhubungan dengan teori ataupun asas hukum yang terdapat dalam Hukum Pidana sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.
94
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali,, hal. 74-75. 95 Ibid., hal. 66.
BAB II Tinjauan Umum Tentang Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi
2.1
Pengertian Sanksi dan Jenis Sanksi Pidana Norma sering disebut dengan istilah anggapan-anggapan yang dapat
menjadi petunjuk bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak berbuat. Norma selalu diikuti oleh nilai (value) yang merupakan dasar bagi norma. Nilai juga merupakan ukuran yang baik disadari maupun tidak disadari oleh suatu masyarakat guna menentukan apa yang benar dan yang salah. Agar norma yang mengandung
nilai
suatu
masyarakat
dapat
dipatuhi
maka
diperlukan
sanksi.96 Dalam konteks hukum, sanksi diartikan sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Umumnya sanksi itu muncul dalam bentuk pemidanaan, pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum.97 Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang.98 Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana.
96
Soedarto, 1986, Hukum Dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal.19-21 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.7 98 Andi Hamzah IV, Op.Cit., hal.1 97
Sebagai suatu pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.99 Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Soedarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.100 Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku delik itu.101 Berdasarkan pengertian pidana diatas, dapat diketahui unsur-unsur dan ciriciri yang terkandung dalam istilah pidana, yaitu : 1. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) 3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang 4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.102
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.103 Sanksi pidana merupakan suatu pembalasan penderitaan) yang dijatuhkan penguasa 99
terhadap seseorang tertentu yang
Ibid,. Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.109-110 101 Mahrus Ali, Op.Cit, hal.186 102 Ibid. 103 Ibid, hal.193 100
(berupa
dianggap bertindak secara salah melanggar aturan perilaku yang pelanggaran terhadapnya diancamkan dengan pidana.104 Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.105 Pengertian sanksi pidana menurut Herbert L.Packer dalam bukunya yang berjudul The Limits of Criminal Sanction adalah : “Criminal punishment means simply any particular disposition or the range or permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorizes) in cases of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal law to be quilty of crime”.106 Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketentraman (atau keamanan) dan pengaturan (kontrol) lebih baik dari masyarakat. Pada dasarnya sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan
(perbuatan
pidana) melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.107
104
Jan Remmelink, Loc.Cit,. Mahrus Ali, Op.Cit.,hal.194 106 Herbert L.Packer, 1968, The Limits Of The Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, hal. 35 107 Ibid,.hal.195 105
a. Jenis Sanksi Pidana : Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Bentuk-bentuk sanksi pidana sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok dan pidana berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan.108 Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan Undangundang itu menyimpang. Jenis pidana dibedakan menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam pidana pokok terdiri dari 5 jenis pidana yaitu : 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim
108
Ibid, hal.193-194
Selain jenis pidana pokok dan pidana tambahan yang tercantum dalam KUHP, terdapat pula beberapa jenis pidana tambahan yang saat ini berlaku dalam hukum pidana Indonesia. Salah satunya adalah jenis pidana tambahan yang berlaku
berdasarkan
Undang-undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 khususnya huruf 1,3 dan 4 yaitu pidana berupa perampasan barang bergerak berwujud dan tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari hasil korupsi, pembayaran uang pengganti, penutupan seluruh atau sebagaian perusahaan serta pencabutan seluruh atau sebagian hakhak tertentu. Dalam penelitian ini pidana tambahan yang dimaksudkan adalah pidana tambahan dalam ketentuan pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyangkut pidana tambahan dengan pembayaran uang pengganti. Uang pengganti dalam konteks pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi merupakan sejumlah uang yang harus dibayarkan seorang terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum berdasarkan atas putusan pengadilan, oleh karena perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
2.2
Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana sering disebut dengan istilah strafbaarfeit, namun tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. Dalam bahasa Belanda strafbaarfeit terdiri dari dua kata, yaitu straafbaar dan feit. Straafbaar berarti dapat dihukum dan feit berarti sebagian dari kenyataan, sehingga secara umum strafbaarfeit diartikan sebagai sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.109 Menurut Simons strafbaarfeit adalah “tindakan melanggar hukum yang yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.110 Pompe merumuskan strafbaarfeit sebagai pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.111 Vos merumuskan strafbare feit adalah suatu kelakuan manusia yang dilarang oleh Undang-undang diancam dengan pidana.112 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan seseorang yang dirumuskan
109
Evi Hartanti, Op.Cit, hal. 5 Ibid, 111 Ibid, 112 Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edi Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indie Publishing, Depok-Jawa Barat, hal.77 110
dalam Undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.113 Oleh beberapa sarjana Indonesian pengklasifikasian mengenai terjemahan dari istilah strafbare feit masih belum memperoleh pandangan yang sama. Menurut Moelijatno dan Ruslan Saleh mengemukakan istilah
strafbare feit
adalah sebuah perbuatan pidana karena menurut beliau cakupan perbuatan lebih luas dibandingkan dengan tindak pidana, karena kata “tindak” menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang kongkrit.114 Jika dikaitkan dengan alasan yuridisnya, penggunaan istilah perbuatan pidana adalah dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan “suatu perbuatan bisa dipidana….dst…..jika ditunjau dari segi ini, jelas bahwa penerapan kata perbuatan pidana digunakan dalam KUHP. E Utrech menggunakan istilah strafbare feit
sebagai peritiwa pidana
karena yang ditinjau adalah feit (peristiwa) dari sudut hukum pidana, penggunaan istilah peristiwa pidana ini sering kita jumpai dalam KUHAP.115 Istilah strafbare feit menurut Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai tindak pidana yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.116
113
Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.27 114 Ibid., hal.78 115 Ibid, 116 Ibid.
Terkait dengan unsur tindak pidana, menurut Lamintang secara umum membedakan antara unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melakat pada diri pelaku atau berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk didalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya.117 Adapun yang termasuk unsur subjektif dari suatu tindak pidana yaitu : 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) 2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP) 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana pencurian. 4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP. 118
Unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu didalam keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dalam tindak pidana meliputi : 1. Sifat melanggar hukum 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP. 3. Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.119 Tindak pidana yang ada di Indonesia saat ini berdasarkan atas sumber nya ada 2 jenis yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Yang dimaksud dengan tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam
117
Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana¸Ummpres, Malang, hal 33 Ibid. 119 Ibid., hal.33-34 118
KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III KUHP). Sedangkan pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi tersebut misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana teroris dan sebagainya. Dengan semakin berkembangnya kriminalitas di Indonesia mendorong lahirnya berbagai macam Undang-undang Tindak Pidana Khusus yang berkedudukan sebagai pelengkap dari hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam KUHP. Munculnya Undang-undang yang mengatur berbagai macam jenis tindak pidana diluar KUHP pada dasarnya selain karen munculnya berbagi macam jenis kejahatan maupun tindak pidana, namun juga telah disebutkan dalam ketentuan pasal 103 KUHP yang pada intinya menyatakan tentang kemungkinan adanya Undang-undang Pidana diluar KUHP. Menurut Andi Hamzah, ada 2 faktor yang mempengaruhi timbulnya Undang-undang tersendiri diluar KUHP, yaitu : •
•
Adanya ketentuan lain dluar KUHP : Pasal 103 KUHP yang memungkinkan pemberlakuan ketentuan pidana dan sanksinya terhadap suatu perbuatan pidana yang menurut Undang-undang dan peraturan-peraturan lain diluar KUHP diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang, dan Adanya pasal 1 s.d. pasal 85 KUHP (Buku I) tentang ketentuan umum yang memungkinkan penerapan aturan-aturan pidana umum bagi perbuatanperbuatan pidana yang ditentukan diluar KUHP, kecuali peraturan tersebut menyimpang. 120 Pengaturan terhadap tindak pidana khusus bertujuan untuk mengisi
kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP, namun
120
Aziz Syamsudin, Op.Cit, hal.10
dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materiil.121 Dengan kata lain, penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generalis, yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang bersifat lebih umum.122 Menurut K. Wantjik Saleh, latar belakang timbulnya tindak pidana khusus adalah : “Apa yang tercantum dalam KUH Pidana pasti tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Selalu timbul berbagai perbuatan yang tidak disebut oleh KUHPidana sebagai suatu perbuatan yang merugikan masyarakat dan melawan hukum, maka Penguasa/Pemerintah dapat mengeluarkan suatu peraturan atau Undang-undang yang menyatakan bahwa suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Berhubung tindak pidana tersebut tidak berada di dalam KUHPidana, maka disebut Tindak Pidana diluar KUHPidana.123
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yang “corruptio” “corruption” (Inggris) dan “corruptie” (Belanda) arti harafiahnya merujuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur, yang dikaitkan dengan keuangan. 124 Dalam Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dari pihak-pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
121
Ibid, hal.11 Ibid. 123 Ibid, hal. 13 124 Chaerudin, dkk, Op.Cit.,hal.2 122
untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hakhak dari pihak-pihak lain.125 Berdasarkan
Undang-undang
Nomor
31
tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 2 dan Pasal 3 mendefinisikan korupsi sebagai berikut : 1. Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Definisi korupsi dalam Kamus lengkap Webster’s Third New Internatonal Dictionary adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbanganpertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.126 Definisi lain korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang
125
Ibid., HAL. Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara) , Sinar Grafika, Jakarta, hal.4 126
yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar peraturan-peraturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.127 Korupsi dapat diartikan memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi adalah tidak melalukan tugas karena lalai atau sengaja.128 Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.129 Secara umum korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.130
Selain itu,
korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.131
127
Ibid., Ibid, hal.5 129 Ibid. 130 Ibid. 131 Ibid. 128
Gejala korupsi itu muncul kata Soerjono Soekanto ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum atau norma-norma lainnya.132 Menurut A.S Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes) serta kebusukan atau keburukan (decay).133 David L. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi dan menyangkut bidang kepentingan umum.134 Dalam sejarah hukum pidana Indonesia, istilah korupsi pertama kali disebutkan dalam Peraturan Penguasa Militer Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsiderannya, yang antara lain menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.135 Sulitnya mendefinisikan istilah korupsi, menimbulkan banyak pandangan mengenai korupsi itu sendiri. Demikian pula yang dikemukakan oleh Wertheim bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi adalah bila ia
132
Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan Isu-isu Aktual Dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi, Referensi, Jakarta, hal.5 (Selanjutnya disebut Marwan Effendi III). 133 HAL. Elwi Danil, 2012, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasaanya), PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.4 134 Ibid., 135 Ibid., hal.5
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar mengambil keputusan yang menguntungan kepentingan si pemberi hadiah.136 Helbert Edelherz menggunakan istilah white collar crime untuk menyebut korupsi. Perbuatan korupsi disebutkan sebagai berikut : White collar crime an illegal act or service of illegal acts commited by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid the payment or lost of money or property, to obtain bussiness or personal advantage. (kejahatan kerah putih : suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat illegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulu/terselubung untuk memperoleh uang atau harta kekayaan dengan menghindari
pembayaran
uang
atau
kekayaan
serta
memperoleh
bisnis/kepentingan pribadi.137 David H. Baley memberikan pengertian yang lebih luas tentang makna korupsi. Menurutnya korupsi sementara dikaitkan dengan penyuapan adalah suatu istilah umum yang meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pertimbangan keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang. Batasan yang luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang memungkinkan dimasukkannya penyuapan, pemerasan, penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi, dan nepotisme kedalam korupsi.138
Dalam perkembangannya terdapat penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abose of power) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi. Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah 136
Ibid., Helbert Edelherz, 1977, The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies, Us Department of Justice, Office og Regional Operation, Law Enforcement Assistance Administration, hal.4 138 Ibid., hal.6 137
perilaku menyimpang dari public official atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.139 Vinto Tanzi mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik, keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.140 Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi yaitu subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaranpelanggaran norma-norma, tugas dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang di derita oleh masyarakat. (singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi).141
Menurut Mugiharjo, bahwa korupsi yang terjadi di negara-negara berkembang, karena ada penyalahgunaan kekauasaan
dan wewenang yang
dilakukan oleh petugas atau pejabat negara.142 Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang dapat terjadi dinegara-negara berkembang, sebab pengertian demokrasi lebih banyak ditafsirkan dan ditentukan oleh pemikir dinegara-negara berkembang tersebut.143
139
Chaerudin, Op.Cit, hal.2 Ibid. 141 Ibid. 142 Marwan Effendy, 2013, Korupsi & Strategi Nasional (Pencegahan Serta Pemberantasannya), Referensi (GP Press Group), Jakarta, hal.19 (selanjunya disebut Marwan Effendy I) 143 Ibid. 140
Lubis dan Scott berpandangan tentang korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.144 Korupsi menurut Gurnal Myrdal, “To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence of attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers” (korupsi adalah merupakan kegiatan-kegiatan yang tidak patut serta berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas pemerintahan, atau usaha tertentu guna memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan.145 Dalam suatu tulisannya, Gede Pasek Suardika menyatakan bahwa korupsi dalam bahasa sederhananya adalah tindakan melawan hukum yang menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh orang atau kelompok yang mengakibatkan kesempatan rakyat mendapatkan anggaran pembangunan itu jadi hilang, minimal berkurang.146 Pengertian tindak pidana korupsi Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor
144
HAL. Jawade Hafidz Arsyad, Op.Cit., hal.6 Gurnal Myrdal, 1968, Asia Drama Volume II, Patheon, New York, , hal.973 146 Gupta& Rekan, 2012, Korup&Orup, Sinarpada, Badung, hal.83 145
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah : 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2) 2. Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3) 3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, dan pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. 4. Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13) 5. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini (Pasal 14) 6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15) 7. Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16). H. Baharuddin lopa (1997:6), mengemukakan: “ Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan manipulasi dan perbuatanperbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil, sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau campur tangan yang mempengaruhi kebebasan
memilih komersiliasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif dibidang pelaksanaan pemerintah”.147
Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat efektivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang pegawai negeri atau istimewa yang dipunyai seseorang didalam jabatan umum yang patut atau menguntungkan
diri
sendiri
maupun
orang
yang
menyuap
sehingga
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidana acaranya.148 Tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang pejabat negara (pegawai negeri) maupun korporasi dengan niat jahat atau curang guna memperkaya diri sendiri serta memperoleh kepentingan pribadi maupun kelompok yang menimbulkan kerugian keuangan negara serta perekonomian negara. Korupsi dalam Kamus ilmiah populer
mengandung pengertian
kecurangan, penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri, serta pemalsuan.149 Beberapa pengertian korupsi lainnya, antara lain : 1. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar Jacob van Klaveren mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor atau instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaannya akan diusahakan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin. 147
Siti Maryam, 2012, Pengertian Tindak Pidana Korupsi, http://sitimaryamnia.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html, diakses pada tanggal 24 Desember 2013. 148 Ibid. 149 HAL. Jawade Hafidz Arsyad, Loc.Cit.
2. Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan M.Mc.Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintah dikatakan korup apabila menerima uang sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan dalam tugas dan jabatannya, padahal ia tidak diperbolehkan melakukan hal seperti itu selama menjalankan tugasnya. J.S.Nye berpendapat bahwa korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari atau melanggar peraturan kewajiban-kewajiban normal peran instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status, dan gengsi untuk kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan atau teman). 3. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum Carl J.Friesruch menyatakan bahwa apabila seseorang yang memegang kekuasaan atau yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu mengharapkan imbalan uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-undang, membujuk atau mengambil langkah atau menolong siapa saja yang menyediakan hadiah sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum. 4. Rumusan korupsi dari sisi pandang sosiologi Syeh Husein Alatas mengatakan bahwa terjadinya korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri nemenrima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud memepengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk juga dalam pengertian ini pemerasan, yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugastugas publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri.150
Dari sekian banyak definisi tentang tindak pidana korupsi, pada hakikatnya korupsi adalah tindakan setiap orang (pejabat publik) yang secara melawan hukum menerima pemberian/penawaran serta penerimaan hadiah untuk menguntungkan diri sendiri dengan cara menyalahgunakan kewenangan dengan tujuan tertentu yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara.
150
Ibid.
Sebagai salah satu tindak pidana yang sangat sulit dijangkau oleh hukum pidana, maka diperlukan perkembangan hukum agar dapat mengantisipasi tindak pidana korupsi yang semakin majemuk serta sedemikian rapi. Choesnon sebagaimana dikutip oleh membedakan macam - macam atau jenis perbuatan korupsi sebagai berikut : 1. Korupsi jenis halus Korupsi jenis ini lazim disebut uang siluman, uang jasa gelap, komisi gelap, macam-macam pungutan liar, dan sebagainya. Tindak kejahatan seperti ini boleh dikatakan tak tergolong oleh sanksi positif. 2. Korupsi jenis kasar Korupsi jenis ini kadang-kadang masih dapat dijerat oleh hukum kalau kebetulan kepergok alias tertangkap basah. Beberapa contoh umpamanya menggelapkan uang negara yang dipercayakan kepada seorang bendaharawan, mempribadikan benda milik negara, mempribadikan benda-benda milik ahli waris (yang notabene tidak berdosa) dari oknum-oknum yang terjerat oleh hukum karena politik dan lain-lainnya. Korupsi kasar semacam inipun seringsering masih bisa luput dari jeratan hukum karena rupa-rupa faktor “ada main” (hubungan tahu sama tahu yang saling menguntungkan dan sebagainya). 3. Korupsi yang sifatnya administratif manipulatif Korupsi semacam ini agak lebih sukar untuk diteliti, kalaupun memang ada dilakukan penelitian oleh yang berwenang. Umpamanya adalah ongkosongkos perjalanan dinas yang sebenarnya sebagian atau seluruhnya tidak pernah dijalani, ongkos pemeliharaan kendaraan milik negara yang cepat rusak karena terlalu sering dipakai untuk keperluan pribadi, ongkos perbaikan bangunan pemerintah dengan biaya yang sengaja dilebih-lebihkan (over begroot), ongkos pemugaran rumah pribadi dan sebagainya.151
Menurut Alatas terdapat 7 tipologi korupsi, yaitu : 1. Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak. 2. Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi. 151
Ibid, hal.35-36
3. Korupsi Investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan dimasa yang akan datang. 4. Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat. 5. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (Insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan. 6. Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan. 7. Korupsi Defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.152
Adapun bentuk-bentuk korupsi yang sudah lazim dilingkungan instansi pemerintah pusat maupun daerah, BUMN dan BUMD serta yang bekerjasama dengan pihak ketiga antara lain sebagai berikut : 1. Transaksi luar negeri illegal dan penyelundupan 2. Menggelapkan dan memanipulasi barang milik lembaga, BUMN/BUMD, swastanisasi anggaran pemerintah 3. Penerimaan pegawai berdasarkan jual beli barang 4. Jual beli jabatan, promosi nepotisme dan suap promosi. 5. Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, jual beli besaran pajak yang harus dikenali, dan menyalahgunakan keuangan. 6. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta memeras. 7. Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak. 8. Mencari-cari kesalahan orang yang tidak salah. 9. Jual beli tuntutan hukuman, vonis dan surat keputusan. 10. Tidak menjalankan tugas, disersi. 11. Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi. 152
Chaerudin, Loc.Cit.
12. Jual beli objek pemerikasaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan. 13. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan membuat laporan palsu. 14. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah dan surat izin pemerintah. 15. Manipulasi peraturan, meminjamkan uang negara secara pribadi. 16. Menghindari pajak, meraih laba secara berlebihan. 17. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan. 18. Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya. 19. Penempatan uang pemerintah pada Bank tertentu yang berani memberikan budget yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. 20. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap. 21. Perkoncoan, menutupi kejahatan. 22. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos untuk kepentingan pribadi. 23. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan. 24. Memperbesar pendapatan resmi yang illegal. 25. Pimpinan penyelenggara negara yang meminta fasilitas yang berlebihan dan double atau triple.153
Lord Acton mengemukakan “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutel”. Kekuasaan secnderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.154 Hal ini diperkuat dengan empat tipe korupsi yang sangat berkaitan dengan kekuasaan yang dikemukakan oleh Piers Beime dan James Masserschmidt, yaitu : 1. Political Beribery adalah kekuasaan dibilang legislatif sebagai badan pembentuk Undang-undang, yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada massa pemilihan umum sering berhubungan dengan akitivitas perusahaan tertentu yang 153
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi & Teknik Korupsi, Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta, hal.43-44 154 Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.19
bertindak sebagai penyandang dana. Di mana individu pengusaha sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum dan yang kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka. 2. Political kickbacks adalah kegiatan korupsi yang berkaitan langsung dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha, yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak. 3. Election Fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum. 4. Corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.155
Berdasarkan tujuan yang mendorong orang melakukan korupsi, pada pokoknya korupsi dapat dibagi menjadi 2, yakni sebagai berikut : 1. Korupsi politis Korupsi politis merupakan penyelewengan kekuasaan yang lebih mengarah kepermainan-permainan
politis
yang
penyalahgunaan pemungutan suara
kotor,
nepotisme,
klientelisme,
dan sebagainya. Latar belakang
psikologis yang mendorong korupsi politis adalah keinginan-keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, keinginan untuk dituakan, dan dianggap sebagai pemimpin oleh sebanyak mungkin orang. 2. Korupsi material Korupsi material kebanyakan berbentuk manipulasi, penyuapan, penggelapan dan sebagainya. Korupsi material lebih didorong oleh keinginan untuk 155
Ibid., hal.20
memperoleh kenyamanan hidup, kekayaan dan kemudahan dalam segala aspek.156 c.
Penyebab Korupsi : Semakin merajalelanya korupsi disemua sendi kehidupan, tidak dapat
dilepaskan dari berbagai faktor penyebabnya yang juga beragam dan saling mengaitkan, antara penyebab yang satu dengan yang lain. Adapun beberapa penyebab korupsi antara lain : 1. Sifat tamak dan keserakahan Dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab ia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat atau kesadarannya untuk melakukan. Seseorang yang melakukan korupsi kebanyakan adalah orang yang penghasilannya sudah cukup tinggi dibandingkan dengan kebutuhannya. Dalam hal pelaku korupsinya seperti itu, maka unsur yang menyebabkan dia melakukan korupsi adalah unsur dari dirinya sendiri, yaitu sifat tamak, serakah, sombong, takabur, rakus yang memang ada pada manusia tersebut. 2. Ketimpangan penghasilan sesama pegawai negeri / pejabat negara Ketimpangan penghasilan PNS tersebut telah menimbulkan rasa cemburu yang luar biasa, yang salah satunya berdampak kepada perbuatan korupsi yang dilakukan secara berjamaah pada departemen/lembaga lainnya. Dengan alasan penghasilan yang besar saja di Departemen Keuangan belum bisa mencegah pegawainya untuk melakukan korupsi, seperti kasus Gayus HP
156
HAL. Jawade Hafidz Arsyad, Op.Cit., hal.26
Tambunan, apalagi pada Departemen/Lembaga yang penghasilannya sangat rendah. 3. Gaya Hidup Konsumtif Gaya hidup yang konsumtif dikota-kota besar mendorong pegawai untuk dapat memiliki mobil mewah, rumah mewah, menyekolahkan anak diluar negeri, pakaian mahal, hiburan yang mahal dan sebagainya. Gaya hidup yang konsumtif tersebut akan menjadikan penghasilan yang rendah semakin tidak mencukupi. Hal tersebut akan semakin mendorong sseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada. 4. Penghasilan yang tidak memadai Penghasilan pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai tersebut beserta keluarganya secara wajar. Namun, apabila penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya, maka pegawai negeri tersebut harus mencari penghasilan tambahan. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut tentu sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya menyewakan sarana dinas, menggelapkan peralatan kantor, perjalanan dinas fiktif, mengadakan kegiatan yang tidak perlu dengan biaya yang tidak wajar. 5. Kurang adanya keteladan dari pimpinan Dalam organisasi pimpinan baik yang formal maupun informal akan menjadi panutan dari setiap anggota organisasi tersebut. Dalam hal ini, pimpinan dapat menjadi contoh bagi bawahannya. 6. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur atau budaya organisasi biasanya akan mempunyai pengaruh yang sangat
kuat
kepada
anggota-anggota
organisasi
tersebut
terutama
kebiasaannya, cara pandangnya, dan sikapnya dalam menghadapi sesuatu keadaan. 7. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai Tidak adanya visi dan misi yang jelas dalam setiap instansi pemerintah mengakibatkan tingkat perhatian dan ketertarikan dari manajemen dijajaran pemerintahan untuk mengamankan sumber daya tidak terlalu tinggi yang akhirnya secara perlahan tetapi pasti memberikan kebocoran sumber daya yang dimiliki oleh instansi pemerintah. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk terjadinya korupsi. 8. Kelemahan sistem pengendalian manajemen Pada organisasi dimana pengendalian manajemennya lemah akan lebih banyak pegawai yang melakukan korupsi dibanding pada organisasi yang pengendalian manajemennya kuat. Pengawasan oleh atasan terhadap bawahannya dikatagorikan sebagai suatu bentuk supervise yang menjadi salah satu unsur sistem pengendalian manajemen. 9. Manajemen yang cenderung menutup korupsi di dalam organisasinya. Pada umumnya jajaran organisasi dimana terjadi korupsi enggan membantu mengungkapkan korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut sama sekali tidak melibatkan dirinya. Kemungkinan keengganan tersebut timbul karena terungkapnya praktik korupsi didalam organisasinya akan dianggap sebagai bukti buruknya kualitas manajemen organisasi.
10. Nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyarakat Nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu. 11. Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat sendiri. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan paling dirugikan adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka secara pasti hal itu juga merugikan masyarakat sendiri. 12. Moral yang lemah Seseorang yang moralnya tidak kuat, akan cenderung lebih mudah untuk terdorong melakukan korupsi karena godaan. Godaan terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari atasannya, teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luar yang dilayani. 13. Kebutuhan yang mendesak Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk membayar hutang, kebutuhan untum membayar pengobatan yang mahal karena istri atau anak sakit, kebutuhan untuk membiayai sekolah anaknya, kebutuhan untuk mengawinkan anaknya, kebutuhan dimasa pensiun merupakan bentuk-bentuk dorongan seorang pegawai untuk berbuat korupsi.
14. Malas atau tidak mau bekerja keras Kemungkinan lain, orang yang melakukan korupsi adalah orang yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang banyak hanya dengan waktu singkat, tetapi malas untuk bekerja keras dan meningkatkan kemampuan guna meningkatkan penghasilannya. 15. Ajaran-ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar Pelaku korupsi secara umum adalah juga orang-orang yang beragama. Mereka memahami ajaran-ajaran agama yang dianutnya, melarang korupsi. Ini menunjukkan bahwa banyak ajaran agama yang tidak diterapkan secara benar oleh pemeluknya, hanya sekedar serimonial saja. 16. Lemahnya penegakan hukum Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi mencakup beberapa aspek yaitu pelaku tindak pidana mempunyai hubungan dengan penegak hubungan (baik atasan maupun hubungan pribadi), tarik ulur dalam penanganan kasus korupsi serta sanksi yang ringan, adanya backing dari pejabat negara kepada pelaku tindak pidana korupsi yang bermotif kepentingan kelompok. 17. Sanksi yang tidak setimpal dengan hasil korupsi Sanksi yang tidak setimpal dapat meningkatkan niat seseorang melakukan korupsi, yang terbukti dengan meningkatnya kasus korupsi yang telah masuk merasuki eksekutif, yudikatif, legislatif, auditif bahkan partai politik.
18. Kurang atau tidak adanya pengendalian Tidak adanya pengawasan serta pengendalian dalam hal perencanaan kegiatan dan anggaran berpotensi terjadinya korupsi melalui rekayasa perhitungan hasil. 19. Faktor Politik Terjadinya korupsi di Indonesia bisa disebabkan oleh faktor politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan. Menurut Lord Acton, bahwa faktor kekuasaanlah yang menyebabkan korupsi. 20. Budaya organisasi pemerintah Dilingkungan organisasi pemerintah telah dianut budaya atau tingkah laku yang dipertahankan secara terus meneurus dan dianggap sebagai suatu kebenaran.
Salah
satunya
adalah
dalam
hal
ketidaksesuaian
biaya
(penggelembungan) yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi.157 Masyarakat Transparansi Internasional (MTI) menemukan 10 pilar penyebab korupsi di Indonesia, yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
157 158
Absennya kemauan politik pemerintah Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah Dominannya peran militer dalam bidang politik Politisasi birokrasi Tidak independennya lembaga pengawas. Kurang berfungsinya parlemen Lemahnya kekuatan masyarakat sipil Kurang bebasnya media massa Oportunismenya sektor swasta.158
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Op.Cit., hal.91-109 Ibid., hal.107
Ilham Gunawan menyatakan bahwa korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain sebagai berikut : 1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi. 2. Kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika. 3. Akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah kesetian dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. 4. Kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan 5. Kemiskinan yang bersifat struktural 6. Sanksi hukum yang lemah 7. Kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi 8. Struktur pemerintahan yang lunak 9. Perubahan radikal sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tradisional. 10. Kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat secara keseluruhan.159 d.
Akibat Korupsi : Sebagai tindak pidana yang merasuk keseluruh lapisan masyarakat,
korupsi menimbulkan banyak akibat bagi kelangsungan kehidupan masyarakat maupun pemerintah. Adapun beberapa pendapat yang menyebutkan beberapa akibat yang dapat ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yaitu menurut CIBA mengenai dampak penyimpangan anggaran, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 159
Menurunnya kualitas pelayanan publik Terenggutnya hak-hak dasar warga negara Rusaknya sendi-sendi prinsip dari sistem pengelolaan keuangan negara Terjadinya pemerintahan boneka Meningkatnya kesenjangan sosial Hilangnya kepercayaan investor Terjadinya degradasi moral dan etos kerja.160 Ibid.
Menurut Evi Hartanti, akibat yang dapat ditimbulkan tindak pidana korupsi antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakt Menyusutnya pendapatan negara Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara Perusakan mental pribadi Hukum tidak lagi dihormati161
Juniadi Soewartojo berpendapat bahwa dampak korupsi terhadap perekonomian negara dan pembangunan nasional pada umumnya dipandang negatif.
Dengan
korupsi
dapat
menimbulkan
pemborosan
keuangan
negara/kekayaan negara. Korupsi dapat pula menghambat pertumbuhan dan pengembangan wiraswasta yang sehat dan disamping itu tenaga profesional kurang atau tidak dimanfaatkan pada hal yang profesional bagi pertumbuhan ekonomi.162 Akibat yang ditimbulkan oleh korupsi sangat luas, bukan saja dari aspek prinsip hidup suatu bangsa, namun juga dapat menimbulkan kerugian bagi negara serta masyarakat. Kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan oleh korupsi sangat berasalan oleh karena korupsi telah menjalar keseluruh lapisan masyarakat baik dari golongan menengah kebawah hingga menengah keatas termasuk juga pejabat pemerintahan (pejabat negara) yang seharusnya menjadi figur panutan masyarakat. Hal serupa juga pernah dikemukakan oleh Bung Hatta, bahwa
160
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Op.Cit., hal,83-84 Ibid., hal.85-86 162 Ibid., hal.86 161
korupsi bisa-bisa membudaya jika dibiarkan terus menerus, maka penanganan secara serius perlu ditingkatkan.163
2.3
Kerugian Keuangan Negara
a. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian keuangan negara Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, merumuskan pengertian Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.164 Dalam arti sempit, keuangan negara meliputi setiap badan hukum yang berwenang
mengelola
dan
mempertanggungjawabkannya.165
Perumusan
keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan dari sisi objek Keuangan negara meliputi seluruh hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, didalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter dan/atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 2. Pendekatan dari sisi subjek Keuangan negara meliputi negara dan/atau pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara atau daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 3. Pendekatan dari sisi proses
163
Ibid., hal.88 HAL.Jawade Hafidz Arsyad, Op.Cit., hal.164 165 Ibid., hal.163 164
Seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek diatas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. 4. Pendekatan dari sisi tujuan Keuangan negara meliputi kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.166
Keuangan negara menurut M.Ichwan adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang),
yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya 1 tahun
mendatang.167 Geodhart mendefinisikan keuangan negara merupakan keseluruhan Undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut.168 Adapun unsur-unsur keuangan negara yang dipaparkan oleh Geodhart antara lain : a. Periodok b. Pemerintah sebagai pelaksana anggaran c. Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayaan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang besangkutan, dan d. Bentuk anggaran negara adalah berupa suatu Undang-undang.169
166
Ibid, hal.164 Ibid, hal.165 168 Ibid. 169 Ibid. 167
Ruang lingkup keuangan negara meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran negara e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah; g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; dan j. Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasanyayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.170
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
170
Ahmad, 2013, Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan http://rakaraki.blogspot.com/2013/04/pengertian-dan-ruang-lingkup-keuangan.html, tanggal 24 Desember 2013.
Negara, diakses
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Dengan mengetahui beberapa pengertian keuangan negara tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keuangan negara tidak hanya sebatas uang semata, namun termasuk juga semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta semua yang dapat dijadikan milik negara baik yang berada dalam penguasaan pemerintah maupun penguasaan pihak lain diluar pemerintah. Pengertian keuangan negara tidak hanya berbentuk uang tapi segala bentuk dalam wujud apapun yang dapat diukur dengan nilai uang. Dengan merujuk kepada rincian pasal dan pengertian batasan kerugian, serta keuangan negara diatas, dapat dirumuskan arti kerugian keuangan negara sebagai berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang atau kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan dan kedudukannya.171 Definisi kerugian keuangan negara dapat dilihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) “kerugian keuangan negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh karena itu kerugian keuangan negara itu harus pasti,
171
Ibid.,hal. 164
tidak menerka-nerka dan harus dilakukan penghitungan kerugian keuangan negara.172 Kerugian keuangan negara akibat korupsi dapat diperoleh kembali dengan upaya penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Pengembalian kerugian keuangan negara merupakan tujuan penting dari upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dengan adanya ancaman sanksi pidana berupa pengembalian kerugian keuangan negara, maka akan lebih mudah untuk memperoleh kembali kerugian keuangan negara akibat korupsi. Pada hakikatnya, pengembalian kerugian keuangan negara dimaksudkan guna memperoleh kembali sejumlah uang yang telah dikaburkan oleh pelaku tindak pidana korupsi. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara telah dicantumkan dalam pasal 18.
172
Musri Nauli, 2013, Kerugian keuangan negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, http://hukum.kompasiana.com/2013/10/08/kerugian-negara-dalam-tindak-pidana-korupsi598568.html, diakses tanggal 24 Desember 2013
BAB III EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
3.1
Dasar Hukum Penerapan Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP merumuskan bahwa setiap
penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Pedoman asas legalitas untuk menentukan suatu tindak pidana adalah hal yang mutlak sehingga dapat menghindari penyimpanganpenyimpangan dalam hal penerapan suatu sanksi hukum. Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana karena didalamnya berisi rumusan tentang perbuatan yang dilarang serta adanya ancaman pidana terhadap orang yang melanggar perbuatan tersebut. Rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan dan ancaman pidana bagi pembuatnya tunduk pada asas legalitas, sehingga kedua nya mesti ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pembagian hukum pidana berdasarkan atas sumbernya dibedakan menjadi 2 yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah semua ketentuan pidana yang terdapat atau bersumber pada kodifikasi (KUHP). Hukum pidana khusus yaitu hukum pidana yang bersumber pada ketentuan perundang-undangan diluar KUHP. Dalam sumber hukum pidana khusus ini dibedakan atas 2 kelompok yaitu :
1. Kelompok peraturan perundang-undangan hukum pidana (ketentuan atau isi peraturan perundang-undangan ini hanya mengatur satu bidang hukum pidana) contohnya seperti Undang-undang Korupsi, Narkotika, dll. 2. Kelompok peraturan perundang-undangan bukan dalam bidang hukum pidana, tetapi didalamnya terdapat ketentuan pidana, seperti Undangundang lingkungan hidup, pasar modal, hak cipta, dll Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “dengan biasa” tetapi dituntut dengan cara-cara yang luar biasa.173 Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, menurut Romli Atmasasmita dikarenakan : 1. Korupsi di Indonesia sudah berurat akar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. 2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah
hukum
semata-mata
melainkan
sesungguhnya
merupakan
pelarangan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.
173
Ermansjah Djaja, Op.Cit., hal. 28
3. Kebocoran APBN selama 4 Pelita sebesar 30% telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh sehingga melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara. 4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskrimintaif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa. 5. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta yang justru merupakan jenis korupsi yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik.174 Jika ditelaah dari sudut pandang doktrina, Romli Atmasasmita berpendapat : “Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes) . Selanjutnya, jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia”. 175
Ketentuan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Ketentuan dalam hukum pidana umum berlaku secara
174 175
Ibid, hal.29-30 Ibid, hal.30
umum yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP),
sedangkan ketentuan hukum pidana khusus lebih mengatur mengenai kekhususan subjek serta perbuatan yang khusus dalam hukum pidana. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Adapun perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia antara lain : 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dalam perkembangannya ancaman sanksi pidana terkait tindak pidana korupsi telah ada sejak dulu. Sebagai suatu tindak pidana yang telah sejak zaman penjajahan Belanda, tindak pidana korupsi telah diatur dalam KUHP. Dalam KUHP terdapat 13 Pasal yang mengatur tentang tindak pidana umum yang termasuk tinda;k pidana korupsi yaitu : a. Kelompok tindak pidana penyuapan yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP. b. Kelompok tindak pidana penggelapan yang terdiri dari Pasal 415, 416, dan Pasal 417 KUHP. c. Kelompok tindak pidana kerakusan yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP. d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP.176 Adapun ancaman pidana yang tercantum dalam ketentuan beberapa pasal dalam KUHP yang tergolong dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :
176
Elwi Daniel, Op.Cit, hal.26-27
− Pasal 209 :
ancaman pidananya paling lama adalah dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiahal.
− Pasal 210 :
ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
− Pasal 387 :
ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
− Pasal 388 :
ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
− Pasal 415 :
ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
− Pasal 416 :
ancaman pidananya paling lama adalah empat tahun.
− Pasal 417 :
ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun enam bulan.
− Pasal 418 :
ancaman pidananya paling lama adalah enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
− Pasal 419 :
ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun.
− Pasal 420 :
ancaman pidananya paling lama adalah sembilan tahun
− Pasal 423 :
ancaman pidananya paling lama adalah enam tahun.
− Pasal 425 :
ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
− Pasal 435 :
ancaman pidananya paling lama adalah sembilan bulan atau pidana denda paling banyak delapan belas ribu rupiahal.
Dengan adanya pengaturan menyangkut tindak pidana korupsi dalam KUHP sebenarnya tidak diperlukan lagi peraturan perundang-undangan mengenai korupsi, namun seiring dengan perkembangan masyarakat, ketentuan tindak pidana korupsi dalam KUHP dirasa tidak mampu mewadahi perilaku masyarakat yang kian koruptif sehingga perlu dibentuk hukum pidana baru yang mewadahi secara khusus tindak pidana korupsi.
2) Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 Dalam konsiderannya menyatakan bahwa maksud dan tujuan dibentuknya Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 adalah kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintah. Peraturan Penguasa Militer ini merupakan awal mula peraturan perundangundangan pidana khusus menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Rumusan mengenai korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. 2) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan keuangan dari negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pejabat langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya. Peraturan penguasa militer ini ternyata dirasa kurang efektif yang kemudian di bentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957 yang mengatur lebih lanjut tentang penilikan harta benda yang
dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.177 Oleh karena itu, sebagai dasar hukum bagi penguasa militer melakukan penyitaan terhadap harta benda yang asal mula diperoleh secara mendadak dan mencurigakan, maka dikeluarkanlah Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-011/1957 pada tanggal 1 Juli 1957. Kemudian dengan berlakunya Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya maka ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat.
3) Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor
:
Prt/Peperpu/013/1958, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958). Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/Peperpu/013/1958 tidak menjelaskan mengenai pengertian istilah korupsi serta tindak pidana korupsi, namum membedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan perbuatan korupsi lainnya. 1) Perbuatan korupsi pidana, yang dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana adalah :
177
Ibid, hal. 29
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggarankelonggoran dari masyarakat. b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. c. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2) Perbuatan korupsi lainnya, yang disebut perbuatan korupsi lainnya adalah : a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggoran dari masyarakat.
b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan
jabatan atau kedudukan. Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor
:
Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat, sedangkan daerah-daerah yang dikuasai oleh angkatan laut dibentuk Peraturan Penguasa Perang Militer Angkatan Laut Nomor : Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958 yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang sebelumnya.178
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi (LN Nomor : 72 Tahun 1960) Istilah tindak pidana korupsi untuk pertama kalinya dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia adalah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960
tentang Pengusutan,
Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam konsideran peraturan ini pada butir a disebutkan : “Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan,
178
Ibid, hal.31
penuntutan dan pemerikasaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 disahkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961. Adapun hal-hal yang baru diatur dalam Undang-undang ini adalah menyangkut beberapa hal yang sebelumnya belum diatur dalam Undang-undang korupsi sebelumnya, diantaranya adalah : 1) Delik percobaan dan delik permufakatan 2) Delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri 3) Kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. 4) Pengertian pegawai negeri lebih diperluas. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 terdapat beberapa perubahan pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran” serta perubahan kata “perbuatan” menjadi “tindakan”. Dalam pelaksanaannya upaya pemberantasan korupsi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tidak menunjukkan efektivitas yang diharapkan. Salah satu nya adalah karena masih sulit untuk membuktikan suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai kejahatan atau pelanggaran. Akibatnya banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara sulit dipidana berdasarkan Undang-undang ini.
Atas dasar alasan tersebut diatas serta perkembangan nilai keadilan dalam masyarakat, maka pemerintah memandang perlu adanya pembaharuan terhadap hukum pidana untuk mengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960.
5) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam konsideran Undang-undang ini memaparkan bahwa latar belakang pembentukan Undang-undang ini adalah untuk menanggulangi masalah korupsi. Perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara Undang-undang sebelumnya kurang memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi. Maka dari itu perlu adanya pembaharuan hukum pidana terkait pemberantasan yindak pidana korupsi, yakni melalui pembentukan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan sebagaimana tersebut diatas, mensyratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan dsini
tidak hanya
disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat pelaku.179 Sebagai suatu Undang-undang yang menjadi landasan dalam penegakan hukum pidana terkait tindak pidana korupsi, tidak dapat dipungkiri bahwa Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
179
Ibid, hal.38
korupsi masih memiliki kelemahan serta kekurangan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun beberapa yang dianggap sebagai kelemahan Undang-undang nomor 3 tahun 1971 adalah sebagai berikut : 1. Tidak adanya ketegasan mengenai rumusan delik tindak pidana sebagai delik formal. 2. Tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai ancaman pidana yang dapat diterapkan terhadap suatu korporasi sebagai subjek tindak pidana. 3. Terkait sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua puluh tahun) dan minimum umum (satu hari) sehingga menimbulkan ketidakleluasaan bagi jaksa dalam penuntutan.180 Sebagai
upaya
untuk
menyempurnakan
landasan
hukum
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan adanya pembaharuan hukum pidana terkait tindak pidana korupsi yakni dengan membentuk Undang-undang yang lebih baik dari Undang-undang sebelumnya. Kehadiran Undang-undang korupsi yang baru bukan saja sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi agar menimbulkan efek jera serta juga dapat sebagai upaya pencegahan. Atas dasar hal tersebut, dibentukalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
6. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
180
Ibid, hal.39
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku hingga saat ini telah banyak mengalami penyempurnaan dari Undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia.
Tujuan pemerintah dan
pembuat Undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislatif tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat melepaskan dirinya dari jeratan hukum.181 Adapun beberapa hal penting yang merupakan pembaharuan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain : 1. Dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal, sehingga dengan demikian setiap pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa. 2. Diterapkannya
konsep
ajaran
melawan
hukum
wederrechtelijkheid) dalam fungsinya secara positif.
181
Chaerudin, dkk, Op.Cit, hal.5
materiil
(materiele
3. Adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum disamping perseorangan. 4. Adanya penambahan dalam pidana tambahan terkait uang pengganti. 5. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang dapat diberlakukan keluar batas teretorial Indonesia. 6. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang atau “balanced burden of proof” dalam pasal 37 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999. 7. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus disamping ancaman maksimum. 8. Diintroduksinya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan. 9. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan (joint investigation teams) dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dibawah koordinasi jaksa agung. 10. Adanya pengaturan tentang penyidikan kedalam rahasia bank yang lebih luas yang diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan. 11. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial yang dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif. 12. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada pembuat Undang-undang untuk membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat independen.
13. Adanya pengakuan yang secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai “extra ordinary crime” yakni kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. 14. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. 15. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de bewijslast) secara terbatas. 16. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dari informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik.182 Dari segi yuridis hukum, pembaharuan terhadap ketentuan Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mencerminkan
adanya
tindakan
pemerintah
dalam
usaha
memberantas
perkembangan tindak pidana korupsi. Selain pembaharuan terhadap dasar hukum utama untuk memberantas tindak pidana korupsi, pemerintah juga telah membentuk beberapa peraturan sebagai pendamping Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yaitu : A. TAP MPR : 1. TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. B. Undang-undang : 1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
182
Elwi Daniel, Op.Cit, hal.47- 48 (lihat juga Andi Hamzah I, hal. 97-106
2. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 4. Undang-undang Nomor 8
Tahun
2010
Tentang Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 5. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi-2003) Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Tindak Pidana Korupsi mencerminkan betapa seriusnya kasus korupsi di Indonesia. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi agenda utama pemerintah disamping kasus lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 1997 Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia telah merumuskan 3 strategi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara nasional yaitu : a. Strategi persuasif, merupakan upaya untuk menghilangkan penyebab korupsi, menghilangkan melakukan korupsi dan semaksimal mungkin mencegah terjadinya korupsi. b. Strategi detektif, merupakan upaya untuk menampilkan suatu informasi apabila korupsi sudah terjadi dan semaksimal mungkin dapat diidentifikasikan dalam waktu yang sesingkat mungkin.
c. Strategi represif, merupakan upaya semaksimal mungkin memproses korupsi yang sudah diidentifikasi menurut ketentuan hukum secara cepat, tepat, dan tingkat kepastian hukum yang tinggi meliputi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan/ putusan 183 pengadilan.
Segala upaya telah dilakukan pemerintah guna mencegah serta memberantas tindak pidana korupsi baik dengan pembentukan serta pembaharuan Undang-undang dari segala aspek, melakukan kerjasama serta koordinasi dengan lembaga negara lainnya untuk secara bersama-sama memberantas korupsi yang berdampak luas bagi keamanan serta ketentraman masyarakat. Sebagai upaya pemerintah mewujudkan keseriusannya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan berbagai kebijakan. Salah satunya adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus kepada Jaksa Agung dan Kapolri : 1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. 2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh jaksa (penuntut umum) anggota Polri dalam rangka penegakan hukum. 3. Meningkatkan kerjasama antara Kejaksaan dengan Kepolisian Negara RI, selain dengan BPKP, PPATK, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. 183
Chaerudin, Op.Cit., hal. 12-13
Kebijakan selanjutnya diambil oleh pemerintah adalah dengan menetapkan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009, mengingat penanganan korupsi memerlukan pendekatan penanganan yang sistematis, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan. Langkahlangkah pencegahan dalam RAN-PK 2004-2009 diprioritaskan pada : 1. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat seharihari. 2. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. 3. Meningkatkan
pemberdayaan
perangkat-perangkat
pendukung
dalam
pencegahan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, langkah penindakan yang dimaksudkan dalam RAN-PK 2004-2009 diutamakan adalah pada percepatan penegakan dan kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar dan menarik perhatian masyarakat dan pengembalian hasil korupsi kepada negara, yang meliputi : 1. Percepatan penanganan dan eksekusi perkara tindak pidana korupsi dengan fokus pada 5 sektor prioritas yaitu 5 besar lembaga pemerintah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbesar. 2. Peningkatan dukungan terhadap lembaga penegak hukum 3. Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum 4. Pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum
Untuk
lebih
meningkatkan
lagi
upaya
pemberantasan
korupsi,
dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk lebih meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan tugas dan tanggung jawab sebagai berikut : 1. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. 2. Mencari dan mengangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara secara optimal. Penegakan hukum dalam menangani tindak pidana korupsi memerlukan kerjasama dan koordinasi diantara aparat penegak hukum guna dapat semaksimal mungkin mencegah serta memberantas korupsi yang kian berkembang dimasyarakat. Dengan adanya payung hukum yang jelas untuk menyelesaikan kasus korupsi adalah langkah awal yang baik dalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi. Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi baik dalam hal pembaharuan peraturan perundang-undangan maupun kebijakankebijakan lain adalah tindakan yang sangat tepat karena perkembangan korupsi yang sangat pesat bahkan kini dapat dikatagorikan sebagai extra ordinary crime yang memerlukan penanganan yang luar biasa pula.
Berdasarkan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut diatas dapat diketahui bahwa upaya pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas pemerintah. Selain itu, pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi adalah merupakan tujuan yang hendak dicapai pemerintah karena kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tersebut sangat besar. Berdasarkan teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh Robert B.Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari 3 elemen yaitu : lembaga pembuat peraturan, lembaga pelaksana peraturan, dan pemangku peran. Proposisi yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman, yaitu menyangkut 4 hal yang bila diimplementasikan untuk melihat bekerjanya hukum dalam tindak pidana korupsi adalah dengan melihat apakah peraturan perundangundangan yang berlaku saat ini dapat menjadi sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi termasuk pula ancaman pidana yang tercantum didalamnya. Oleh karena masyarakat sebagai subyek hukum yang dinamis, maka harus ada pembaharuan hukum yang menuju kearah lebih baik serta meningkatkan peran pelaksana peraturan perundang-undangan dalam menerapkan aturan hukum yang ada. Sebagai dasar penjatuhan pidana terkait pengembalian kerugian keuangan negara telah tercantum dalam ketentuan BAB II Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Adapun pasal yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap terdakwa terkait tindak pidana korupsi yakni :
Pasal 2 (1). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 5 (1). Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2). Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 6 (1). Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2). Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 7 (1). Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2). Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Pasal 10 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
3.
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1). Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2). Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 12 B (1). Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2). Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13 Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 14 Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini. Pasal 15 Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16 Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang tersebut diatas menyatakan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana”. Sehingga, dengan kata lain apabila seorang yang di duga melakukan tindak pidana korupsi yang berakibat merugikan keuangan negara mengembalikan seluruh kerugian yang ia timbulkan, tidak dapat menghapus pidana nya namun hanya bersifat meringankan pidana. Hal tersebut sesuai dengan teori ganjaran (dessert theory) yang memaparkan bahwa antara perbuatan yang ditimbulkan oleh seorang pelaku harus dipidana sesuai dengan perbuatannya. Selain pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara melalui pembayaran uang pengganti yang telah diaatur berdasarkan ketentuan pasal 18 Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 18 : (1). Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KitabUndang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang mengantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan Seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan Seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (2). Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3). Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut, telah mencerminkan adanya suatu kepastian hukum terkait penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa tindak pidana
korupsi. Bukan saja pidana penjara serta pidana denda yang dapat
dijatuhkan kepada terdakwa, namun esensi penting dalam penerapan sanksi pidana tersebut adalah pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga telah mengatur secara jelas konsekuensi apabila salah satu unsur tidak pidana korupsi tidak cukup bukti namun secara nyata merugikan keuangan negara dan
konsekuensi apabila seorang Terdakwa meninggal dunia saat proses peradilan sedang berjalan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan pasal 32, pasal 33 dan pasal 34, yang menyatakan :
Pasal 32 (1). Dalam hal penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikian tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2). Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal 33 Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Penjatuhan sanksi pidana tambahan berupa pidana pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti merupakan implementasi dari teori
pemidanaan yakni lebih mengarah kepada teori gabungan yang berusaha menggabungkan tujuan pemidanaan guna membalas perbuatan pelaku dengan jalan pidana penjara (perampasan kemerdekaan) juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki serta nantinya dapat hidup kembali ke masyarakat. Untuk memberikan efek jera serta sebagai usaha preventif, penjatuhan pidana pengembalian kerugian keuangan negara melalui uang pengganti adalah salah satu upaya yang tepat. Bukan saja untuk kepentingan perekonomian negara namun juga memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana korupsi.
3.3
Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar Efektifitas penerapan suatu aturan hukum tidak dapat dipasahkan dengan
penegakan hukum. Menurut Soekanto, bahwa masalah efektifitas hukum sangat berhubungan erat dengan usaha yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup didalam masyarakat, yakni berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.
184
Berlaku secara filosofis berarti hukum itu dapat berlaku sesuai dengan apa yang dikehendaki dan dicita-citakan oleh adanya hukum itu. Secara yuridis berarti sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan secara sosiologis berarti hukum itu dipatuhi oleh warga masyarakat. Menurut Selo Soermardjan efektifitas hukum berkaitan erat dengan faktorfaktor sebagai berikut :
184
Sidik Sunaryo, Op.Cit., hal.8
1. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu pembinaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum. 2. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin atau mungkin mematuhi hukum untuk menjamin kepentingan mereka. 3. Jangka waktu menanamkan hukum, yaitu panjang pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan hukum itu dilakukan dan diharapkan memberikan suatu hasil.185 Sedangkan menurut Alfian, bahwa krisis kepercayaan terhadap hukum menyebabkan melemahnya partisipasi masyarakat dalam bidang hukum yang disebabkan oleh faktor : 1. Kurangnya pengetahuan warga masyarakat anak peraturan-peraturan yang ada. 2. Kekurangpercayaan akan kemampuan hukum untuk menjamin-hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka secara adil. 3. Materi peraturan hukum kurang sesuai atau bahkan bertentangan dengan nilainilai yang dianut masyarakat. 4. Para pelaksana atau penegak hukum kurang atau tidak member contoh yang baik dalam kepatuhannya terhadap hukum. 186
Berkaitan dengan efektifitas suatu aturan hukum yakni menyangkut penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian keunagan negara akibat tindak pidana korupsi yang semakin marak yang terjadi di Indonesia
khususnya
di
wilayah
Hukum
Pengadilan
Negeri
Denpasar
membuktikan bahwa penanganan kasus korupsi harus lebih intensif. Pengadilan Negeri Denpasar adalah Pengadilan Kelas IA yang mewilayahi Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
185 186
Ibid., hal.9 Ibid., hal.10
Dari data yang diperoleh dari Bagian Pidana Pengadilan Negeri Denpasar didapat data perkara korupsi dari seluruh Kabupaten dan Kota di Bali yang masuk ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dari Tahun 2013 adalah sebagai berikut:
PERKARA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR TAHUN 2012 NO.
NO.PERKARA
TERDAKWA
1. 1/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Desak Putu Ari Padmini 2. 2/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Made Widarma 3. 3/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Wayan Gunawan 4. 4/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps H.Asmuni Turyadi 5. 5/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Wayan Armawa 6. 6/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Bambang Subagyo 7. 7/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Dra. Tety Gemeniawati 8. 8/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Made Budiarta 9. 9/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Ni Nyoman Rusmini 10. 10/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Gede Putu Sunarta 11. 11/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Priat Eko Purwo 12. 12/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Rudi Hartono 13. 13/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Nengah Arnawa, dk 14. 14/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Nyoman Oka Dhiputra 15. 15/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Nengah Sugita 16. 16/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Nyoman Pastika 17. 17/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Wayan Kari Bagas Pramanta 18. 18/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Ida Ayu Sri Astuti 19. 19/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps Putu Bagiada 20. 20/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Dps I Wayan Gobang Edy Sucipto Sumber : Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2012 PN.Dps
Tuntutan pidana tambahan
Pidana Tambahan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
290.998.750 1.395.000.000 29.921.753 625.670.000 574.709.326 -
290.998.750 (inkracht) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Bebas 1.395.000.000 (PK) Tidak ada Bebas 29.921.753 (Banding) 625.670.000 (Banding) Tidak ada 574.709.326 (Kasasi) Tidak Ada
PERKARA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR TAHUN 2013 NO.
NO.PERKARA
TERDAKWA
1. 1/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Wayan Sukaja 2. 2/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Made Wardana 3. 3/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Ketut Rana 4. 4/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Nengah Londen 5. 5/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Made Yasa 6. 6/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Nengah Artabawa 7. 7/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Dewa Gede Ramayana 8. 8/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Putu Santika 9. 9/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Gede Budiasa 10. 10/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Made Kangen 11. 11/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Wayan Budiarsa 12. 12/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Wayan Ranuh 13. 13/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Ketut Rustiani 14. 14/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Dewa Putu Djati 15. 15/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Dewa Nyoman Putra, dk 16. 16/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Nyoman Mudjarta 17. 17/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Ketut Suardi 18. 18/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Ketut Tamtam 19. 19/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Nengah Wijaya 20. 20/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Ida Bagus Dedi Mahendra 21. 21/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Ida Bagus Putu Sutika 22. 22/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps I Wayan Budra 23. 23/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Inderapura Barnoza 24. 24/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Mikhael Maksi 25. 25/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Dps Rudi Jhonson Sitorus Sumber : Buku Register Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2013 PN.Dps
Tuntutan Pidana tambahan
455.000.000 63.820.000 85.567.500 1.863.126.650 91.510.000 135.000.000 25.200.000 100.000.000 2.693.489,92 200.000.000 65.200.500 10.000.000 -
Pidana Pengembalian Kerugian Negara 431.000.000 (Kasasi) Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Bebas Tidak Ada 62.745.000 (inkracht) Bebas 1.863.126.650 (inkracht) Tidak ada 102.890.000 (inkracht) 135.000.000 (Kasasi) 25.200.000 (Inkracht) Bebas Bebas Bebas Tidak Ada Tidak Ada 200.000.000 (inkracht) 65.200.500 (inkracht) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Sebagai salah satu upaya memberantas serta menangani kasus korupsi di Bali yang kian mengkhawatirkan, pada tahun 2012 dibentuk Pengadilan tindak pidana korupsi denpasar yang berada dibawah Pengadilan Negeri Denpasar. Dengan adanya Pengadilan Tindak Korupsi, diharapkan penanganan kasus korupsi menjadi lebih cepat dan terfokus karena telah ditangani tersendiri oleh hakim-hakim Ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang tetap dibantu oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Pengadilan tindak pidana korupsi denpasar di resmikan pada tanggal 14 Februari 2012 tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan jadwal persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar. Untuk saat ini Pengadilan Tipikor Denpasar memiliki 4 hakim ad hoc yaitu Miptahul Halis, Guntur, Nurbaya Lumban Gaol dan Sumali. Banyak nya kasus korupsi yang ditangani oleh Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar mencerminkan bahwa korupsi bukan lagi sebagai tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memangku jabatan tinggi namun kini telah memasuki seluruh lapisan masyarakat hingga ke pedesaan. Hal ini dapat dikita lihat dari Terdakwa kasus korupsi yang tercatat dalam Register Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Denpasar berasal dari berbagai macam pekerjaan baik swasta, pejabat pemerintah baik mantan bupati hingga pejabat desa serta Pegawai Negeri Sipil. Sebagai upaya untuk memberantas serta mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, segala upaya telah dilakukan pemerintah mulai dari melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan hingga membangun sarana dan prasara guna mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap koruptor merupakan tindakan yang tepat untuk menimbulkan efek jera bukan saja kepada si pelaku namun juga bagi masyarakat. Sehingga nantinya penjatuhan sanksi pidana tersebut dapat menekan jumlah tindak pidana yang terjadi. Terkait dengan hal pemidanaan, penjatuhan sanksi pidana penjara bukanlah tujuan utama dalam memidana seorang koruptor. Karena selain untuk memberikan sanksi yang setimpal terhadap perbuatannya, upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh koruptor adalah menjadi tujuan penting dalam hal pemidanaan. Berdasarkan data perkara korupsi 2012 di Pengadilan Negeri Denpasar, dari 20 kasus korupsi yang diperiksa di Pengadilan Tipikor Denpasar terdapat 5 kasus yang dalam amar putusannya berisi selain pidana penjara dan pidana denda juga berisi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian. Sedangkan pada tahun 2013 dari 25 kasus yang tercatat, terdapat 8 perkara yang amar nya mencantumkan pidana pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti selain pidana penjara dan pidana denda. Jika dilihat dari amar putusan menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar dari tahun 2012-2013 adalah sebesar Rp.5.801.461.979,- (lima milyar delapan ratus satu juta empat ratus enam puluh satu ribu sembilan ratus tujuh puluh sembilan rupiah). Oleh karena masih ada perkara yang dalam proses upaya hukum, pengembalian kerugian keuangan negara perkara korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dan sepatutnya telah dapat
diekseusi adalah sebesar Rp. 2.610.160.900,- (dua milyar enam ratus sepuluh juta seratus enam puluh ribu sembilan ratus rupiah). Dari hasil wawancara dengan Bapak Hasoloan Sianturi pada tanggal 28 Februari 2014, sebagai salah satu hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Denpasar sekaligus bertugas sebagai Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara korupsi yang masuk di Pengadilan Negeri Denpasar, mengemukakan bahwa tugas seorang hakim adalah untuk mengadili. Mengadili yang dimaksud dalam ketentuan KUHAP Pasal 1 angka 9 adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat, bahwa hakim adalah bertugas untuk menghukum. Sedangkan untuk menghukum atau menyatakan seseorang bersalah sehingga patut untuk dipidana harus merujuk pada proses persidangan. Hal mana untuk dapat menjatuhkan pidana syarat utamanya adalah terpenuhinya pasal 183 KUHAP yakni menyangkut Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukankannya. Oleh sebab tersebut, menurutnya setiap orang yang menjadi terdakwa belum tentu orang yang bersalah melakukan suatu tindak pidana, banyak proses dalam persidangan yang nantinya dapat menerangkan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Bagitu pula dalam perkara korupsi, tidak semua terdakwa kasus korupsi terbukti bersalah, sehingga dalam putusan
nya adalah bebas dari segala tuntutan. Oleh karena saat ini kasus korupsi sedang menjadi sorotan masyarakat dan sedang menjadi opini publik, terkadang masyarakat tidak memahami proses persidangan sehingga hanya memperhatikan putusan akhir tanpa mengikuti proses persidangan. Terkait dengan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara selain pidana penjara dan denda dalam kasus korupsi yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, bagi Hakim Ketua Majelis yang memutus bebas Mantan Dirut Utama PDAM Gianyar ini adalah esensi penting dalam penegakan hukum terkait Tindak Pidana Korupsi. Namun, hal tersebut kembali harus dibuktikan di depan persidangan. Berpedoman pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu terkait dengan apakah perbuatan korupsi yang seorang terdakwa lakukan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Karena saat ini tidak jarang tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama sedangkan yang menikmati hanya sebagian orang. Hal ini lah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa dalam putusan tidak semua terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dijatuhi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara selain juga tetap mempertimbangkan apa yang didakwakan serta di tuntut oleh Jaksa Penuntut Umum.
Penerapan ancaman sanksi pidana guna pengembalian kerugian keuangan negara melalui uang pengganti dalam perkara Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar sangat tergantung pada proses persidangan. Dalam proses pemeriksaan perkara dimuka persidangan hakim dapat mengetahui apakah seorang terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara serta menikmati sendiri hasil kejahatannya, hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana pengembalian kerugian keuangan negara sebagai pidana tambahan disamping pidana pokok yakni pidana penjara dan pidana denda. Sehingga dengan demikian pengembalian kerugian keuangan negara yang merupakan esensi penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya diwilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar dapat tercapai. Untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta pengembalian kerugian keuangan yang ditimbulkan, bukan saja tergantung pada Putusan Pengadilan yang dibuat oleh Hakim, namun juga sangat dipengaruhi oleh dakwaan serta tuntutan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara. Jika dilihat dari data tersebut diatas menunjukkan masih adanya perkara korupsi yang dalam tuntutannya tidak tercantum pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 5 Juni 2014 dengan I Wayan Yusmawati, SH selaku Kasubsi Penuntutan
Pidsus Kejaksaan Negeri Denpasar yang pada intinya menyatakan bahwa dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik sangat mempengaruhi dakwaan serta tuntutan terkait tindak pidana korupsi. Begitu pula dengan ancaman pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi yang tidak dicantumkan dalam setiap tuntutan kasus korupsi dengan alasan bahwa telah ada harta benda dari terdakwa yang disita oleh penyidik yang menurut Jaksa Penuntut Umum telah cukup nilai nya untuk membayar kerugian keuangan negara jika nantinya terdakwa tersebut dinyatakan bersalah. Sehingga, tidak diperlukan lagi mencantukan tuntutan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, walaupun dalam proses penyidikan telah dilakukan sita terhadap harta benda terdakwa, namun penerapan ancaman sanksi pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dengan pengganti jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menyita harta terdakwa. Karena apabila terdakwa dinyatakan bersalah, masih diperlukan proses lelang terhadap harta terdakwa tersebut, serta masih ada konsekuensi lain yakni apabila nilai barang sitaan tidak dapat menutupi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat perbuatan terpidana. Sehingga, diperlukan kecermatan dan ketepatan Jaksa dalam merumuskan tuntutan khususnya terkait tindak pidana korupsi, mengingat esensi penting penegakan hukum dalam kasus korupsi adalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara semaksimal mungkin.
Selain itu jumlah perkara korupsi pada tahun 2012-2013 yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpaar yang tercatat dalam buku register perkara pidana Pengadilan Negeri Denpasar telah mengalami peningkatan. Penerapan ancaman sanksi pidana guna pengembalian kerugian keuangan negara belum efektif dalam hal pengembalian keuangan negara. Hal ini berdasarkan data pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti pada tahun 2012 yang tercatat di Kejasaan Negeri Denpasar, yaitu : 1. RR Endah, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 142.385.454 2. Drs. Gede Nurjaya, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 48.870.852 Sedangkan pada tahun 2013, terdapat 3 orang Terpidana yang membayar uang pengganti sebagai pidana pengembalian kerugian keuangan negara, diantaranya : 1. Rudi Hastono, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 640.920.000 2. Teguh Purwanto, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 27.020.748 3. Tatik Gerhaningsing, pidana uang pengganti sebesar : Rp. 12.076.138 Total uang pengganti yang disetorkan oleh Kejaksaan Negeri Denpasar ke Kas Negara pada tahun 2012-2013 adalah sebesar Rp. 871.273.192,-. Kelima terpidana yang membayar uang pengganti tersebut adalah terpidana yang perkaranya dimulai sejak tahun 2009 hingga 2011. Sedangkan untuk perkara dari tahun 2012-2013, belum ada satupun yang membayar ataupun dapat dilakukan eksekusi uang pengganti sebagai pidana tambahan pengembalian kerugian keuangan negara. Hal ini membuktikan bahwa diperlukan waktu yang sangat
panjang guna memperoleh pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti dari para terpidana. Selain itu, penjatuhan pidana baik berupa pidana penjara, denda serta pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti seperti yang tercantum dalam Undang-undang tindak pidana korupsi tidak dapat menekan jumlah tindak pidana korupsi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
BAB IV KENDALA DALAM PELAKSANAN PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT SANKSI PIDANA TAMBAHAN GUNA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
4.1
Tata Cara Pelaksanaan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
Undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka (8) KUHAP). Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 1 angka (9) KUHAP). Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada intinya menyatakan bahwa : 1. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 2. Hakim wajib memiliki integritas serta berkepribadian baik, jujur, adil, profesional serta berpengalaman dibidang hukum. 3. Hakim wajib mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dengan adanya ketentuan Pasal tersebut, peranan hakim sangat besar dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Untuk dapat mewujudkan tujuan peradilan dalam proses persidangan diperlukan seorang hakim yang
cermat, bertanggung jawab, menguasai persidangan serta objektif terhadap kepentingan semua pihak baik terdakwa, jaksa maupun saksi guna memperoleh suatu putusan yang berdasarkan atas keadilan. Kedudukan
hakim
dalam
persidangan
jika
dilihat
dari
pertanggungjawabannya adalah sangat besar, karena dalam memutus suatu perkara adalah dengan landasan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 187 Sehingga dalam putusan yang tersebut tercermin kecakapan seorang hakim dalam memeriksa, mengadili serta memutus suatu perkara. Dalam mengambil keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.188 Menurut Sudikno Mertokusumo, eksistensi hakim sebagai penegak hukum di Indonesia dewasa ini mempunyai suatu persepsi yang negatif dari masyarakat, hal tersebut dikarenakan banyak sekali putusan hakim yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Disamping itu juga karena semakin kompleksnya bentuk dari kejahatan yang terjadi yang belum ada pengaturannya di dalam Undang-undang hukum pidana sehingga apa yang menjadi tujuan hukum pidana tidak tercapai dengan ruang lingkup sistem peradilan pidana.189 Sesungguhnya terdapat 2 syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan tetapi dapat dibedakan ialah adanya 2 alat bukti serta keyakinan hakim. 187
Zulkarnain, 2013, Praktik Peradilan Pidana, Panduan Praktis Memahami Peradilan
Pidana, Setara Pers, Malang, hal.88 188
Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hal. 25
189
Yesmil Anwar dan Adang, 2011, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen &
Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hal.218
Keyakinan hakim haruslah dibentuk berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal 2 alat bukti yang sah.190 Putusan Pengadilan merupakan output dari suatu proses peradilan disidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti.191 Suatu putusan diambil setelah proses pembuktian selesai. Putusan pengadilan itu adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau penglepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.192 Dalam ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan : “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang hukum acara pidana.” Hal tersebut juga tercantum dalam ketentuan Pasal 191 KUHAP yang menggolongan tiga macam putusan pengadilan yaitu : 190
Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung,
hal.33 (Selanjutnya disebut Adami Chazawi II) 191
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti,
Yogyakarta,hal.199. 192
Lilik Mulyadi, 2010, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik
Peradilan, Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan Pidana dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan, CV Mandar Maju, Bandung, hal.93 (Selanjutnya disebut Lilik Mulyadi III).
1. Putusan bebas dari segala tuduhan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh karena perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan seperti apa yang didakwakan kepadanya. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh karena perbuatan yang didakwakan kepada seorang terdakwa tersebut terbukti, namun bukan merupakan suatu tindak pidana. 3. Putusan yang mengandung pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dalam putusan pengadilan yang mengandung pemidanaan terkait perkara tindak pidana korupsi tercantum pidana pokok berupa pidana penjara dan pidana denda serta pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti. Sebagai esensi penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pidana pengembalian kerugian keuangan negara menjadi tujuan penting dari proses peradilan tersebut. Salah satu putusan pengadilan yang memuat pidana tambahan yaitu pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti adalah Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor : 1/Pid.Sus/2012/PN.DPS yang amarnya menyatakan sebagai berikut : a. Menyatakan terdakwa DESAK PUTU ARI PADMINI, SP terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT”. b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabilan denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan ;
c. Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 290.998.750 (Dua Ratus Sembilan Puluh Juta Sembilan Ratus Sembilan Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Lima Puluh Rupiah), jika uang pengganti tersebut tidak dibayar paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pangganti tersebut dan apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun ; d. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang akan dijatuhkan ; e. Menetapkan barang bukti berupa : • Surat-surat dan dokumen sebagaimana tercantum dalam daftar barang bukti dari nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 77, Terlampir dalam berkas perkara ; •
Surat-surat dan dokumen sebagaimana tercantum dalam daftar barang bukti dari nomor urut 78 sampai dengan nomor urut 146, Terlampir dalam berkas perkara ; Dikembalikan kepada UPK PNPM- MP Kecamatan Kuta Selatan melalui saksi KETUT RANA ; f. Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500. (dua ribu lima ratus rupiah) ;
Pengembalian kerugian keuangan negara setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilakukan dengan pembayaran uang pengganti secara langsung atau apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam jangka waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dapat dilakukan penyitaan terhadap harta bendanya kemudian di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut (ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi merupakan pidana tambahan selain pidana terhadap terpidananya sendiri dan pidana denda. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-undnag Nomor 31 Tahun 1999, Pidana tambahan dalam tindak pidana Korupsi dapat berupa : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana; e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;
Berdasarkan contoh amar putusan pengadilan tersebut dapat diketahui bahwa pembayaran uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara waktunya telah ditetapkan pengadilan. Terkait dengan konsekuensi yang timbul apabila Terpidana tidak mau ataupun kenyataannya tidak mampu untuk membayar uang pengganti sebagai pidana tambahannya, maka secara otomatis Terpidana tersebut akan menjalani pidana penjara tambahan sebagai pidana subsider. Hal ini sangat menimbulkan kerugian, mengingat selain gagal untuk memperoleh kembali kerugian keuangan negara, pidana penjara sebagai subside
justru merupakan beban tambahan bagi negara karena harus menanggung biara terpidana selama hidup di Lembaga Pemayararakatan lebih lama. Terkait dengan hal tersebut diatas, sangat bertentangan dengan teori pengembalian kerugian keuangan negara yang nerupakan teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian kerugian keuangan negara berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu dalam masyarakat dalam mencapai kesejahteraan.193Landasan dasar teori pengembalian kerugian keuangan negara adalah “berikan kepada negara yang menjadi hak negara”.194 Hingga saat ini belum adanya aturan yang mengatur tentang pelaksanaan pembayaran uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara seperti yang dikemukakan oleh Hakim Agung Suhadi : “Mahkamah Agung (MA) akan menyusun aturan yang lengkap dan jelas terkait pelaksanaan pembayaran uang pengganti pidana akibat tindak pidana korupsi (tipikor). Aturan itu meliputi pedoman penghitungan, tata cara pembayaran, dan pertanggungjawaban penyetoran uang pengganti oleh jaksa sebagai pemasukan negara. "Dengan aturan itu maka tujuan pengembalian kerugian keuangan negara akibat kasus tipikor jadi lebih efektif dan tepat sasaran”.195
193
M.Akil Mochtar, 2006, Memberantas Korupsi Efefktifitas Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian dalam Gratifikasi, Q-Communication, Jakarta, hal.38 194 195
Ibid,. Deddi Bayu, 2013, MA Siapkan Aturan Pengembalian Kerugian keuangan negara Akibat
Korupsi,
file:///D:/Krisna/Downloads/MA-Siapkan-Aturan-Pengembalian-Kerugian-Negara-
Akibat-Tipikor.htm. (diakses tanggal 27 Fabruari 2014)
Dengan belum adanya aturan baru yang mengenai pembayaran uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, saat ini tata cara eksekusi pembayaran uang pengganti masih diatur dalam : a. Fatwa Mahkamah Agung RI No.37/T4/88/66/pid tanggal 12 Januari 1988 tentang eksekusi terhadap hukuman pembayaran uang pengganti. Isi fatwa tersebut adalah : 1) Memerintahkan agar barang-barang terpidana yang masih ada disita untuk kemudian dijual lelang guna memenuhi pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan berupa hukuman pembayaran uang pengganti. 2) Penyitaan tidak boleh mengikutsertakan barang-barang dipergunakan sebagai penyangga terpidana dan keluarga mencari nafkah dan sedapat mungkin timbulnya perlawanan dari pihak ketiga akibat kesalahan penyitaan terhadap barang-barang yang bukan milik terpidana. 3) Pada hakekatnya pembayaran uang pengganti merupakan hutang yang harus diluansi terpidana kepada Negara dan dapat ditagih sewaktu-waktu melalui gugatan perdata di Pengadilan, jika pelaksanaan penyitaan dan lelang terhadap barang-barang terpidana tidak mencakupi lagi. 4) Terhadap putusan pembayaran uang pengganti tidak dapat ditetapkan hukuman kurungan sebagai gantinya jika uang pengganti tidak dibayar oleh terpidana karena bertentangan dengan Pasal 30 ayat 6 KUHP. b. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No.4 Tahun 1988 tanggal 7 Juli 1988 tentang 7 Juli 1988 tentang Eksekusi terhadap hukuman pembayaran uang pengganti. Surat Edaran Mahkamah Agung ini dikeluarkan karena masih terdapat keraguan-raguan mengenai eksekusi terhadap hukuman pembayaran uang pengganti. Isi SEMA tersebut adalah : 1) Terhadap penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti tidak dapat ditetapkan hukuman kurungan sebagai ganti apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan oleh Terpidana. 2) Eksekusi atas pidana pembayaran uang pengganti apabila akan dilaksanakan leh jaksa, tidak lagi memerlukan campur tangan pihak Pengadilan. 3) Apabila seandainya dalam pelaksanaan, jumlah barang-barang yang dimiliki oleh terpidana sudah tidak mencukupi lagi, sisanya apabila masih akab ditagihkan oleh kejaksaan pada lain kesempatan harus diajukan melalui gugatan perdata.
c. Surat Edaran Jaksa Agung RI No.004/J.A/8/1988 tanggal 5 Agustus 1988 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti.196 Belum adanya pembaharuan menyangkut tata cara pembayaran uang pengganti atau tata cara penyitaan harta benda seorang terdakwa guna pengembalian kerugian keuangan negara, maka masih berdasarkan atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaksanaan sita dan lelang kekayaan terdakwa masih berpedoman pada KUHAP yaitu berdasarkan Pasal 273 KUHAP. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa selaku eksekutor. Eksekusi merupakan salah satu kewenangan jaksa yang diatur oleh Undang-undang guna melaksanakan putusan pengadilan. Pada dasarnya pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan eksekusi terhadap orang maupun eksekusi terhadap
barang
dalam
perkara
tindak
pidana
pada
umumnya,
yang
membedakannya adalah adanya batas waktu bagi terpidana untuk membayar uang pengganti tersebut setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap serta diharuskannya menyerahkan harta bendanya untuk menutup pembayaran uang pengganti apabila terpidana tidak mampu membayarnya.197 196 197
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3hukumpdf/207711075/bab4.pdf
Lilik Mulyadi, 2011, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek dan
Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, hal. 314-315. (selanjutnya disebut Lilik Mulayadi II)
Pelaksanaan eksekusi penyitaan dan lelang terhadap harta benda Terdakwa yang dijatuhi pidana pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh jaksa tanpa memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat oleh karena penyitaan bukan berkaitan dengan penyidikan namun pelaksaan putusan. Hasil dari penyitaan tersebut kemudian dilelang, lalu hasil lelang tersebut digunakan untuk membayar uang pengganti guna pengembalian kerugian naegara. Apabila setelah melakukan penelusuran terhadap harta kekayaan seorang terdakwa, jaksa mendapati bahwa apabila dilakukan sita dan lelang terhadap harta terdakwa tersebut tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti yang telah diputus dalam putusan pengadilan, maka terdakwa secara otomatis harus menjalani pidana subsider dari pidana tambahan tersebut. Hal tersebut dikarenakan suatu pidana termasuk juga pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti tidak dapat dipresentasikan. Dengan kata lain, apabila harta seorang terdakwa tidak dapat memenuhi seluruh pidana pengembalian kerugian keuangan negara yang dijatuhkan terhadapnya, sisa uang pengganti yang tidak dapat dibayarkan, tidak dapat digantikan dengan pidana penjara dengan waktu tertentu.198 Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang cukup guna membayar uang pengganti, terpidana dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimal dari pidana pokoknya sesuai
198
Hasil wawancara dengan Bapak Romulus Halolongan, SHAL.MH, Kasi Pidsus Kejari
Denpasar tanggal 17 Maret 2014
ketentuan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Banyaknya masalah hukum yang timbul saat proses eksekusi uang pengganti dalam tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan masalah baru, namun
masalah tersebut telah lama terjadi bahkan jauh sebelum
diberlakukan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahkan masih banyak eksekusi uang pengganti yang belum dapat dilaksanan hingga saat ini, padahal pembayaran uang pengganti merupakan salah satu tujuan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara sebanyak yang telah dikorupsi oleh terpidana. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor : B-779/F/Fjp/10/2005 tanggal 11 Oktober 2005, tentang Eksekusi Uang Pengganti, angka 2 poin 2.4. dinyatakan bahwa : “dalam hal putusan hakim terhadap uang pengganti didasarkan pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dimana secara tegas mencantumkan dalam putusannya bahwa apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 (satu) bulan atau waktu tertentu agar supaya harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk selanjutnya dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku guna menutupi pembayaran uang pengganti; apabila terpidananya tidak mempunyai harta benda atau harta bendanya tidak mencukupi agar supaya dilakukan eksekusi hukuman badan sesuai putusan hakim, sehingga tidak menjadi tunggakan atas eksekusi hukuman
membayar uang pengganti. Dalam hal terpidananya melarikan diri agar aset-aset yang telah dapat disita segera dilakukan pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan uang hasil lelang disetorkan ke kas Negara dengan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti.
4.2
Kendala
Dalam
Pelaksanaan
Putusan
Pengadilan
Terkait
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Dalam hal pelaksanaan Putusan Pengadilan (eksekusi) hingga saat ini masih banyak hambatan yang harus dihadapi oleh jaksa selaku eksekutor. Begitu pula dalam proses pelaksanaan putusan pengadilan menyangkut pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti melalui proses sita dan pelelangan harta benda milik terpidana. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Gede Agus Suraharta, Jaksa di Kejaksaan Negeri Denpasar menyebutkan bahwa kendala utama yang dialami Jaksa saat melakukan eksekusi terhadap harta benda seorang terpidana dalam kasus korupsi yang dipidana dengan pidana pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti adalah terpidana kerapkali menyembunyikan harta bendanya dengan sebaik-baiknya.
Bahkan terkadang ada Terpidana yang
mengaku tidak memiliki sama sekali harta yang dapat disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti. Saat ini lah Jaksa berperan guna menelusuri terlebih dahulu harta benda yang dimiliki oleh seorang Terdakwa. Upaya hukum yang panjang juga merupakan hambatan dihadapi dalam proses pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi,
padahal esensi terpenting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pengembalian sebesar-besarnya kerugian keuangan negara akibat korupsi. Hambatan pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan teori sistem hukum (Legal System Theory) yang dikemukakan oleh
Lawrence M.Friedman, yang pada intinya
adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu : d) Substansi hukum (Legal Substance), dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan atau norma hukum terkait tindak pidana korupsi yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta peraturan perundang-undangan lain terkait tindak pidana korupsi. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas terkait tata cara pelaksanaan pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti secara lebih terperinci dan tersendiri. Mengingat urgensi dari pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. e) Struktur Hukum (Legal Structure), adalah adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem hukum. Dalam hal ini yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan hukum. Dalam hal pengembalian kerugian
keuangan negara harus ada koordinasi diantara penegak hukum, khususnya hakim dalam menjatuhkan putusan, dan jaksa yang nantinya melaksanakan putusan terutama terkait sita dan lelang terhadap harta benda terpidana kasus korupsi yang tidak membayar uang pengganti sebagai pidana pengembalian kerugian keuangan negara. f) Budaya Hukum (Legal Culture), merupakan bagian dari budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu). Dalam hal ini yang dimaksud dengan
budaya
hukum
adalah
perilaku-perilaku
masyarakat
dalam
memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati. Budaya hukum masyarakat saat ini telah mengalami pergeseran kearah yang lebih acuh terhadap suatu aturan hukum. Terbukti dengan banyak nya kasus korupsi yang terjadi dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, bukan saja dari kalangan pejabat namun kini telah menjalar kelapisan masyarakat biasa. Bukan hanya itu, kepercayaan masyarakat Bali akan hukum karmaphala (hasil dari perbuatan) telah mengalami pergeseran. Terbukti dengan banyaknya masyarakat Bali yang menjadi Terpidana kasus korupsi yang membuktikan bahwa mereka tidak lagi memandang ajaran Karmaphala sebagai dasar dalam melakukan setiap tindakan. Hal serupa juga di sebutkan oleh Bapak Romulus Halolongan, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar, bahwa apabila
dikaitkan dengan pendapat Soerjono Soekanto tentang 5 faktor yang mempengaruhi efektif tidaknya suatu sistem hukum yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri. Aturan yang mengatur tentang uang pengganti guna pengembalian kerugian keuangan negara belum jelas. Undang-undang yang berlaku saat ini tidak memparkan secara terperinci konsekuesi dilapangan saat proses eksekusi. Karena masih banyak perbedaan antara aturan dan praktek dilapangan. b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Dalam hal ini adalah mengoptimalkan tugas Jaksa dalam perumusan dakwaan dan tuntutan yang nantinya mempengaruhi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Selain pengadilan tipikor, tempat penyimpanan barang hasil sita dan lelang juga masih kurang. d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku atau diterapkan. Kesulitan utama dalam proses eksekusi harta benda terpidana karena harta benda telah diamankan. Informasi masyarakat sangat mambantu. Namun saat ini masyarakat kian enggan untuk memberikan informasi karena takut terbawa-bawa dalam kasus yang menjerat terpidana. e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Budaya kekeluargaan yang sangat kental, juga dapat menghambat proses eksekusi harta benda seorang terpidana
karena seringkali hasil korupsi telah dititipkan maupun dihibahkan kepada keluarga maupun kerabatnya sehingga sulit untuk dilacak keberadaannya. Keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya ditentukan oleh penegak hukum itu sendiri, namun harus pula didukung oleh kekuatan politik atau pemegang kekuasaan. Namun, sangat disayangkan bahwa hingga saat ini, sejarah perkembangan politik Indonesia menunjukkan hampir semua pemegang kekuasaan diakhir jabatannya dinilai korup. Terlepas dari lemahnya dukungan politis bagi penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, kegagalan pemberantasan tindak pidana korupsi juga disebabkan oleh proses penegakan hukum itu sendiri, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Bahkan menurut Karni Ilyas, dinilai sangat mengkhawatirkan karena penegak hukum telah terperangkap dalam korupsi itu sendiri.199 Banyaknya hambatan yang dihadapi jaksa selaku eksekutor dalam melakukan eksekusi penyitaan serta lelang terhadap harta benda milik terpidana kasus korupsi guna pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti, dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Waktu yang lama hingga suatu putusan memiliki kekuatan hukum tetap setelah melalui upaya hukum hingga Peninjauan Kembali agar dapat dilakukan eksekusi oleh Jaksa. b. Domisili seorang terpidana juga menjadi hambatan sebab tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini banyak orang yang memiliki kartu tandan
199
Karni Ilyas, 2000, Catatan Hukum II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.10
penduduk (KTP) ganda guna menyembunyikan harta kekayaannya hasil korupsi. c. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mengatur secara jelas apabila terpidana hanya mampu membayar sebagian pembayaran uang pengganti. d. Kebanyakan terpidana kasus korupsi lebih memilih menjalani hukuman subsider pidana penjara/hukum badan daripada membayar uang pengganti. e. Apabila terpidana meninggal dunia, maka segala tuntutan dianggap gugur demi hukum termasuk dengan uang penggantinya. Apabila jaksa selaku pengacara negara mengajukan gugatan perdata kepada ahli waris terpidana, memerlukan waktu yang lebih panjang.
4.3
Upaya Yang Dapat Dilakukan Guna Memaksimalkan Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah : 1. Faktor uang, pada umumnya masyarakat memandang kasus korupsi hanya dari sudut pandang uang atau besarnya nilai yang menimbulkan kerugian keuangan negara, tanpa memandang kualitas manusianya, sehingga tuntutan masyarakat hanya hukuman berat bagi koruptor. 2. Kualitas manusia, masyarakat luas terkadang menyamaratakan ancaman pidana terhadap kasus korupsi. Padahal masih terdapat faktor-faktor yang
dapat memperingan atau bahkan memperberat suatu pidana yang dijatuhkan kepada seorang Terdakwa. 3. Hukuman
satu-satunya
menghilangkan
masalah
korupsi,
untuk
menanggulangi masalah korupsi, hukuman seberat-beratnya masih dipercaya dapat memberantas korupsi. Hukuman mati sudah diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun hingga saat ini belum ada Terdakwa kasus korupsi yang dijatuhi pidana mati. 4. Perbuatan korupsi suatu proses, umumnya korupsi dimulai dari kecil-kecilan kemudian seiring dengan meningkatnya jabatan yang emban oleh seseorang, godaan untuk melakukan korupsi yang lebih besar pasti lebih besar pula. 5. Unsur utama dan unsur pembantu, unsur atau faktor utama yang dapat menanggulangi masalah korupsi adalah kelompok religi karena setiap agama pasti melarang perbuatn korupsi. Sedangkan unsur pendukung yang dapat mengatasi korupsi adalah penegak hukum. 6. Masalah kepentingan dan hujatan terkait dengan korupsi, orang yang melakukan korupsi pastilah bermotif ekonomi. 7. Riil hasil korupsi, teorinya semua uang negara adalah uang rakyat. Namun kenyataanya, uang negara malah menjadi lahan pebajat untuk memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.
8. Pandangan si pelaku korupsi, pergeseran rasa berdosa dari pelaku korupsi menjadi faktor yang menyulitkan pemberantasan korupsi.200 Prinsip efisiensi mengandung makna penghematan, pengiritan, ketepatan atau pelaksanaan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hukum pidana efisiensi berkaitan dengan 2 hal yaitu pertama, perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana tidak memerlukan banyak biaya untuk menanggulanginya sehingga keuntungan yang dapat diraih dari lebih besar. Kedua, apakah sanksi pidana yang dijatuhkan lebih besar/berat dibandingkan dengan
keuntungan yang diperoleh pelaku dari hasil perbuatan pidana. Jika
sanksi lebih berat dari hasil yang diperoleh pelaku dari tindak pidana yang dilakukan, maka dapat dipastikan pelaku akan menghindar untuk melakukan kejahatan tersebut. 201 Upaya pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang penggati melalui proses sita dan lelang memerlukan waktu dan biaya yang besar. Oleh karena Jaksa perlu melakukan penelusuran terhadap keberadaan harta benda Terpidana. Prinsip ekonomi terkait dengan teori pencegahan dalam teori pemidanaan. Asumsi teori pencegahan adalah bahwa manusia adalah mahluk rasional. Implikasinya adalah saat seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka sanksi pidana yang dijatuhkan harus melebihi seriusitas suatu tindak pidana. Teori
200
Monang Siahaan, 2013, Korupsi Penyakit Sosial Yang Mematikan, PT.Gramedia, Jakarta,
hal 91-97. 201
Mahrus Ali, 2013, Asas, Teori & Praktek Hukum PidanaKorupsi, UII Press, Yogyakarta,
hal.248 (Selanjutnya disebut Mahrus Ali II)
pencegahan yang dimaksud adalah pencegahan umum, bahwa penjatuhan sanksi pidana dijatuhkan bertujuan untuk mencegah mencegah seseorang atau orang lain/masyarakat melakukan kejahatan. 202 Penjatuhan pidana berdasarkan teori pencegahan sesuai dengan adagium yang dikemukakan oleh Francis Bacon yaitu “moneat lex, priusquam feriat” yang berarti
Undang-undang
harus
memperingatkan
terlebih
dahulu
sebelum
merealisasikan ancaman yang terkandung didalamnya. Sehingga, dengan adanya ancaman pidana terhadap suatu tindak pidana dapat digunakan sebagai sarana pencegahan. Dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Dalam proses pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti banyak menemui hambatan. Menurut Bapak Romulus Halolongan, untuk dapat memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dengan uang pengganti perlu dilakukan beberapa upaya yaitu : a. Pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan terkait kewenangan Jaksa Agung untuk merampas aset seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara baik dalam proses penyelidikan hingga pasca putusan pengadilan guna mengamankan harta benda yang diduga hasil tindak pidana korupsi. Hal ini untuk mencegah usaha tersangka guna mengalihkan harta nya selama proses peradilan.
202
Ibid, hal.252
b. Pemutiharian data kependudukan nasional guna mencegah terjadinya penggandaan identitas karena sering disalahgunakan untuk menyembunyikan kepemilikan harta benda seseorang yang terjerat kasus korupsi. c. Adanya anggaran tersendiri yang dimiliki Kejaksaan Agung. Oleh karena sering terjadi perbedaan antara perencanaan dengan pelaksanaan dikemudian hari. Besarnya biaya yang diperlukan dari perawatan barang-barang terdakwa yang disita, hingga biaya penelusuran harta benda, sita dan lelang bila terdakwa tidak membayar uang pengganti secara langsung. Pemberantasan korupsi tidak lagi semata-mata kepada penindakan (represif) tetapi seyogyanya lebih mengedepankan pencegahan (preventifi), sehingga korupsi tidak hanya sekedar memberikan efek jera (deterrent effect) tetapi berfungsi sebagai daya tangkal (preventive effect).203 Dalam Laporan Tahunan yang diliris KPK, ada 3 faktor yang menjadi indikator efek jera terkait tindak pidana korupsi yaitu mencantukan pidana maksimum dalam setiap tuntutan kasus tindak pidana korupsi, mencantumkan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara dan ancaman memiskinkan koruptor. Ketiga indikator inilah yang sedang gencar dilakukan oleh KPK guna menimbulkan efek jera kepada para koruptor. Segala upaya telah coba dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi dan semakin marak di Indonesia. Upaya pencegahan kadangkala dapat lebih bermanfaat dibandingkan dengan memidana seorang pelaku tindak pidana. Perlu adanya pembenahan sistem secara menyeluruh 203
Marwan Effendy, 2012, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam
Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, hal.91 (Selanjutnya disebut Marwan Effendy II)
disemua lapisan yang dapat berindikasi terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan adanya sistem yang lebih baik, akan mempersempit ruang gerak para pelaku tindak pidana.
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan 1. Penerapan ancaman sanksi pidana tambahan guna pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar sudah diterapkan namun belum sepenuhnya berlaku efektif. Hal ini berdasarkan perkara korupsi pada tahun 2012-2013 masih adanya tuntutan jaksa yang tidak mencantumkan pidana tambahan berupa pengembalian kerugian negara sehingga mempengaruhi putusan hakim. Selain itu, jumlah perkara korupsi yang meningkat dari 20 kasus ditahun 2012 menjadi 25 kasus pada tahun 2013. Sedangkan jumlah uang pengganti yang seharusnya dapat disetorkan ke kas negara yang berasal dari perkara dari tahun 2012-2013 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah sebesar Rp. 2.610.160.900,(dua milyar enam ratus sepuluh juta seratus enam puluh ribu sembilan ratus rupiah)., namun yang dapat disetorkan pada tahun 2012-2013 baru sebesar Rp. 871.273.192 (delapan ratus tujuh puluh satu juta dua ratus tujuh puluh tiga ribu seratus sembilan puluh dua rupiah) yang berasal dari perkara 2009-2011. Sedangkan, sampai saat ini pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tahun 2012-2013 belum ada yang dapat disetorkan ke kas negara.
2. Hambatan yang dihadapi oleh Jaksa selaku eksekutor dalam melakukan sita dan lelang terhadap harta benda terpidana kasus korupsi yang dijatuhi pidana pengembalian kerugian negara dengan uang pengganti diantaranya adalah belum adanya aturan baku yang mengatur mengenai mekanisme eksekusi termasuk pedoman apabila terdakwa tidak mampu membayar seluruh ataupun sebagian dari pidana tambahan yang dijatuhkan, mudahnya akses untuk membuat kartu tanda penduduk ganda sehingga sulit melacak harta benda terpidana, lamanya proses peradilan hingga putusan mempunyai kekuatan hukum tetap agar dapat dilakukan eksekusi serta banyaknya terpidana yang lebih memilih menjalani pidana subsider dari pidana tambahan tersebut. 5.2
Saran : 1. Agar pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan maksimal, maka perlu adanya pembaharuan terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 khususnya dalam Pasal 18 guna memberikan kejelasan mengenai sistem pembayaran uang pengganti. 2. Agar semua lembaga dan aparat penegak hukum khususnya jaksa wajib mencantumkan tuntutan pengembalian kerugian keuangan negara dalam setiap perkara korupsi karena sangat berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam memutus perkara, sebagai upaya
memberantas korupsi dan memaksimalisasi pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU : Abidin, Zainal, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta. Abidin, Muhammad Zainal dan I Wayan Edi Kurniawan, 2013, Mahasiswa Pidana, Indie Publishing, Depok-Jawa Barat
Catatan
Ali, Achmad 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cetakan Keempat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ali, H.Zainuddin,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta. Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. __________, 2013, Asas, Teori & Praktek Hukum PidanaKorupsi, UII Press, Yogyakarta. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anwar, Yesmil dan Adang, 2011, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung Arsyad, H. Jawade Hafidz, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara) , Sinar Grafika, Jakarta. Ashshofa, Burhan 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta. Atmasasmitha, Romli, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju.Bandung. _________________, 2002, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta.
___________________, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung.
Perspektif
Bruggink, J.J.H., ahli bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Chaerudin,dkk, 2009, Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung Chazawi, Adami 2011, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan ke 6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Chazawi,Adami, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni, Bandung. Danil, H. Elwi, 2012, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasaanya), PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djaja, Ermansjah, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. _______________, 2010, Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Implikasi Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPUIV/2006, Sinar Grafika, Jakarta. Edelherz, Helbert, 1977, The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies, Us Department of Justice, Office og Regional Operation, Law Enforcement Assistance Administration. Effendy, Marwan, 2013, Korupsi & Strategi Nasional (Pencegahan Serta Pemberantasannya), Referensi (GP Press Group), Jakarta. ________________, 2012, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta. _________________, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan Isu-isu Aktual Dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi, Referensi, Jakarta. Friedman, Laurence, M, 1975, The Legal System A Social Science Perspektive, Russel Sage Fondation, New York. Gofar, Fajrimei. A. 2005, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAMLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Gupta& Rekan, 2012, Korup&Orup, Sinarpada, Badung. Hamzah, Andi, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta ______________, 2012, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta ______________, 2008, Perbandingan Pemberantasan Korupsi, Di Berbagai Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta ______________, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta Hartanti, Evi 2007, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Huda, Chairul, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Ilyas, Karni, 2000, Catatan Hukum II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Juhaya Praja,S. 2011, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan Pertama, CV Pustaka Setia, Bandung. Marpaung, Leden, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta. ______________, 1992, Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta. Muhammad, Rusli 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta. Mulyadi, Lilik, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT.Alumni, Bandung. ____________, 2011, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung.
_____________, 2010, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, Perlindungan Korban Kejahatan, Sistem Peradilan Pidana dan Kebijakan Pidana, Filsafat Pemidanaan serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban Kejahatan, CV Mandar Maju, Bandung. Marwan, M. dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya. Mochtar, M.Akil, 2006, Memberantas Korupsi Efefktifitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi, Q-Communication, Jakarta. Myrdal, Gurnal, 1968, Asia Drama Volume II, Patheon, New York,. Nawawi, Arief Barda, 2010, Kebijakan Legislatif, Genta Publishing, Yogyakarta, hal.248 Packer, Herbert, L. 1968, The Limits Of The Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford. Poernomo, Bambang, 199, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Jakarta. Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Saptomo, Ade 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta. Schaffmeister, D., dkk, 2007, Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Seidman, Robert, B, 1978, The State, Law, and Development, ST. Martin’s Press, New York. Siahaan, Monang, 2013, Korupsi PT.Gramedia, Jakarta.
Penyakit
Sosial
Yang
Mematikan,
Soedarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung. ________, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung. Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Rineka Cipta, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika Offset, Jakarta. Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang. Sulistia, Teguh dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana, Horizon Baru Pasca Refrmasi,PT. Raja Grafindo Persda, Jakarta. Suparni, Niniek, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. Supranto,J., 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi & Teknik Korupsi, Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta. Syamsuuddin, Aziz , 2001, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta. Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana¸Ummpres, Malang. Udayana, Fakultas Hukum Universitas, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali. Yusuf, Muhamad 2013, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Kompas, Jakarta. Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung, Bandung. Zulkarnain, 2013, Praktik Peradilan Pidana, Panduan Praktis Memahami Peradilan Pidana, Setara Pers, Malang.
B. Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957 Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C 13/1958 Penguasa Perang Pusat Angkatan Laut Nomor Prt/Z.1./1/7 tanggal 17 April 1958. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor : Prt/Peperpu/013/1958, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958). Undang-undang Nomor 24 (prp) tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Undang - undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang - undang nomor 31 Tahun 1999 dengan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Undang - undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi 2003). Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi Fatwa Mahkamah Agung RI No.37/T4/88/66/pid tanggal 12 Januari 1988 tentang eksekusi terhadap hukuman pembayaran uang pengganti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No.4 Tahun 1988 tanggal 7 Juli 1988 tentang 7 Juli 1988 tentang Eksekusi terhadap hukuman pembayaran uang pengganti Surat Edaran Jaksa Agung RI No.004/J.A/8/1988 tanggal 5 Agustus 1988 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor : B-779/F/Fjp/10/2005 tanggal 11 Oktober 2005, tentang Eksekusi Uang Pengganti
DISERTASI : Artha, I Gede, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya Bagi Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
JURNAL HUKUM : Teguh Sulistia, 2003, Penegakan Hukum Terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Suatu Konsep Efektif Dalam Memberantas KKN di Indonesia), Jurnal Delicty Vol I/Juli, FH.Unand, Padang.
INTERNET :
Srie, 2012, Peringkat Korupsi 2012: Indonesia Masih Jawara di Dunia, file://localhost/D:/Krisna/Documents/Downloads/korupsi%202012.mht (diakses tanggal 13 Mei 2013) Iwan Kurniawan, Untung Prasetyo , 2012, Puluhan Triliun Rupiah Menguap Aibat Korupsi, file://localhost/D:/Krisna/Documents/Downloads/ Puluhan%20Triliun%20Rupiah%20Menguap%20Akibat%20Korupsi%20%20US.mht (diakses pada tanggal 12 Juni 2013) Abraham Samad, 2012, Pembangunan Karakter Mahasiswa Melawan Korupsi, http://www.google.com/#sclient=psyab&q=pembangunan+karakter+maha siswa+melawan+korupsi&oq=pembangunan+karakter+mahasiswa+melaw an+kor&gs_l=hp.1.0.33i21.6168.11544.1.13828.12.12.0.0.0.1.571.3418.0j 2j6j3j0j1.12.0...0.0...1c.1.17.psyab.x0b0mP4XXuE&pbx=1&bav=on.2,or. r_qf.&bvm=bv.47810305,d.bmk&fp=8fffc725ee49c795&biw=1366&bih= 638 (diakses pada tanggal 12 Juni 2013) Novita
Riche, 2011, Teori Fungsionalisme Struktural, http:// teorifungsionalismestruktural. / (diakses pada tanggal 12 Agustus 2013)
Biososial, 2013, Teori Fungsionalisme Struktural, http : / / www. Bisosial . com/ 2012/06/teori-fungsionalisme-struktural.html (diakses pada tanggal 12 Agustus 2013) Musri Nauli, 2013, Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, http://hukum.kompasiana.com/2013/10/08/kerugian-negara-dalam-tindakpidana-korupsi-598568.html, diakses tanggal 24 Desember 2013 Ahmad, 2013, Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan http://rakaraki.com/2013/04/pengertian-dan-ruang-lingkupkeuangan.html, diakses tanggal 24 Desember 2013. Siti
Negara,
Maryam, 2012, Pengertian Tindak Pidana Korupsi, http://sitimaryamnia.blogspot.com/2012/02/pengertian-tindak-pidanakorupsi.html, diakses pada tanggal 24 Desember 2013.
Deddi Bayu, 2013, MA Siapkan Aturan Pengembalian Kerugian Negara Akibat Korupsi, file:///D:/Krisna/Downloads/MA-Siapkan-Aturan-PengembalianKerugian-Negara-Akibat-Tipikor.htm. (diakses tanggal 27 Fabruari 2014) http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3hukumpdf/207711075/bab4.pdf tanggal 29 Janurari 2014)
(diakses
LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Hasoloan Sianturi, SH., MH
TTL
: Sisakae, 1 Agustus 1959
NIP
: 19590801 198612 1 001
Jabatan
: Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan
: S2
2. Nama
: Romulus Halolongan,SH, MH
TTL
: Jakarta, 29 Agustus 1972
NIP
: 19720829 199803 1 005
Jabatan
: Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Denpasar
3. Nama
: Ni Wayan Yusmawati, SH
TTL
: Denpasar, 30 April 1972
NIP
: 19720430 199303 2 001
Jabatan
: Kasubsi Penuntutan Pidsus
4. Nama
: I Made Agus Suraharta, SH
TTL
: -
NIP
: -
Jabatan
: Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar