Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014
Kadar Debu Kayu, Kebiasaan Merokok, Masa Kerja Dan Volume Ekspirasi Paksa Pada Tenaga Kerja Industri Mebel CV Bandengan Wood Desa Kalijambe Sragen Reni Wijayanti D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja, FK UNS Jl. Kol. Sutarto 150K, Jebres Surakarta Email :
[email protected] ABSTRAK Kondisi terpapar debu kayu dalam jangka waktu yang panjang akan mempengaruhi fungsi paru-paru dan dapat menyebabkan obstruksi paru. Oleh karena itu, pekerja dalam industri mebel memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan obstruksi paru. Kebiasaan merokok juga dapat menyebabkan iritasi dan sekresi lendir bronkus yang berlebihan, yang meningkatkan risiko obstruksi paru. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara penguasaan, kebiasaan merokok, dan volume ekspirasi paksa pada pekerja yang terpapar debu kayu di industri Furniture Kalijambe, Sragen. Penelitian analitik ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional. Sampel dikumpulkan dari pekerja laki-laki dalam menyelesaikan departemen, sekitar 68 pekerja. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, pemeriksaan, dan pengukuran volume ekspirasi paksa. Data kemudian dianalisis secara statistik dengan univariat, bivariat, dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan merokok dapat menurunkan% FEV1 (r = -0.422, p <0,01). Tenure juga menurunkan% FEV1 (r = 0.407, p <0,01). Ada hubungan antara kebiasaan merokok, kepemilikan dan kondisi paru obstruktif (F = 4.309, p <0,05), ini menunjukkan bahwa semakin banyak rokok yang dihisap oleh pekerja, risiko lebih tinggi pekerja dihadapi untuk paru obstruksi% penurunan FEV1). Kata kunci: kebiasaan merokok, kepemilikan, obstruksi paru, kayu expossure debu
PENDAHULUAN Faktor lingkungan kerja diartikan sebagai potensi sumber bahaya yang kemungkinan terjadi di lingkungan kerja akibat adanya suatu proses kerja. Pada tenaga kerja sektor mebel, paparan debu dapat menimbulkan gangguan fungsi paru (Mukono, 2003). Pemaparan partikel debu terhadap fungsi paru dalam waktu yang lama akan berpengaruh pada fungsi paru dan untuk mengetahuinya dilakukan pemeriksaan spirometri. Salah satu parameter yang sering digunakan adalah kapasitas ekspirasi paksa (Forced Expiratory Volume/FEV). FEV sering diukur dalam detik pertama ekspirasi sehingga disebut FEV in 1 second (FEV1) (Mukono, 2003). Pemeriksaan Forced Expiratory Volume dianjurkan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) karena cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan dan menilai progresivitas penyakit khususnya obstruksi paru (DK3N, 2003). Partikel debu merupakan faktor kimia yang mempunyai efek terhadap saluran pernapasan/paru. Efek pemaparan tergantung dari kadar debu di udara tempat kerja, ukuran partikel, lamanya pemaparan, kerentanan individu, dan beban kerja (Siswanto, 1991). Salvato (1992), mengatakan penimbunan debu di dalam paru semakin lama semakin banyak, sehingga semakin lama seseorang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dimungkinkan akan terdapat endapan debu di paru yang tinggi pula. Selain menghirup debu, kebiasaan merokok juga merupakan salah satu faktor risiko penyebab penyakit saluran pernapasan (Lubis, 1991). Rahajoe et. al. (1994) mengatakan kebiasaan merokok dapat menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebihan pada bronkhus sehingga mengurangi efektivitas mukosilier dalam membawa partikel-partikel debu. Hasil survey pendahuluan pada industri mebel CV. Bandengan Wood di Desa Kalijambe Sragen menunjukkan adanya sumber debu dari proses pengamplasan/penghalusan mebel. Terdapat 20 tenaga kerja yang tidak disiplin memakai masker, masa kerja 5 - 13 tahun. Delapan belas dari 20 tenaga kerja mempunyai kebiasaan merokok, dan keluhan yang sering dirasakan adalah sesak napas dan batuk. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai Pengaruh Kadar Debu Kayu, Kebiasaan Merokok, dan Masa Kerja Terhadap Volume Ekspirasi Paksa Pada Tenaga kerja Industri Mebel CV. Bandengan Wood Desa Kalijambe Sragen.
365
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengkaji hubungan kebiasaan merokok dan masa kerja terhadap FEV1 (Volume Ekspirasi Paksa) pada tenaga kerja yang terpapar debu kayu di CV. Bandengan Wood Desa Kalijambe Sragen.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian menggunakan survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di industri mebel Bandengan Wood di Desa Kalijambe Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen. Populasi penelitian diambil tenaga kerja sektor industri mebel yang berjumlah 150 orang. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling, dengan kriteria inklusi, meliputi: 1) Jenis kelamin laki-laki; 2) Sebelumnya tidak pernah bekerja di perusahaan lain yang lingkungan kerjanya berdebu; 3) Umur > 20 – 40 tahun; 4) Tidak mempunyai riwayat penyakit paru; 5) Mempunyai kebiasaan merokok; 6) Tidak disiplin memakai masker; 7) Tidak menderita gangguan pernapasan pada saat penelitian. Dengan menggunakan perhitungan minimal size sampel diperoleh jumlah sampel sebanyak 68 orang. Alat penelitian yang digunakan meliputi : 1) Lembar Isian Data; 2) Low Volume Sampler (LVS); 3) Spirometer; 4) Meteran tinggi badan. Variabel dalam penelitian ini adalah : 1) Variabel bebas: kebiasaan merokok dan masa kerja; 2) Variabel terikat: Volume Ekspirasi paksa (FEV1). 3) Variabel pra kondisi: debu kayu; 4) Variabel pengganggu: umur, jenis kelamin, riwayat penyakit paru, kecepatan gerakan udara, ventilasi ruangan, suhu dan kelembaban udara. Analisis data meliputi: 1) Analisis univariat, dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi; 2) Analisis bivariat, dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara dua variabel melalui uji Pearson Product Moment (r); 3) Analisis multivariat, dilakukan untuk menguji secara bersama-sama kedua variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan Uji Regresi Linier Ganda. Semua uji statistik dihitung menggunakan software computer SPSS 12.0 for windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Pengukuran kadar debu dalam penelitian ini menggunakan LVS (Low Volume Sampler), yaitu alat untuk mengukur kadar debu lingkungan kerja. Pengukuran dilakukan pada 2 titik, dimana satu titik pengukuran pada tempat dimana debu berhamburan banyak, sedang satu titik lainnya dilakukan pada pada tempat paling sedikit berhamburan debu. Pengukuran dilakukan selama 30 menit, dengan flowrate 10 liter/menit. Hasil pengukuran kadar debu kayu antara 4,3 – 6,7 mg/m3 melebihi NAB berdasarkan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE-01/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja. Secara deskriptif, variabel-variabel penelitian yang diteliti pada 68 tenaga kerja telah diolah melalui software computer SPSS 12.00, tersaji pada tabel di bawah ini. Tabel Deskripsi Hasil Pengukuran Variabel Penelitian Tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4.
Variabel Kebiasaan merokok Masa kerja Obstruksi paru Umur
Satuan
Minimum 5 5 51.5 23
jumlah batang tahun % FEV1 tahun
Deskripsi statistik MaksiMean mum 14 8.66 13 8.57 86.0 69.457 40 31.51
SD 2.423 2.333 8.0934 4.307
Analisis Kebiasaan Merokok Menurut Sugeng D.T (2007), kebiasaan merokok bisa menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas serta jaringan paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hyperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lender. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan 366
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 kerusakan alveoli. Selanjutnya sebagai akibat perubahan anatomi saluran napas ini, akan menimbulkan perubahan pada fungsi paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM) yang meliputi enfisema paru, bronkhitis kronis, dan asma. Analisis Masa Kerja Masa kerja adalah lama waktu tenaga kerja melaksanakan pekerjaan di perusahaan, yang dihitung sejak mulai awal masuk kerja sampai saat penelitian ini dilaksanakan. Menurut Suma’mur (2007), setiap saat orang melakukan pernapasan dan dengan menarik napas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru. Tergantung dari besarnya partikel debu, debu dengan ukuran 1 – 3 mikron dapat menempel permukaan alveoli Semakin lama orang menghirup debu, semakin banyak debu yang masuk ke paru. Pada tenaga kerja, sejak melaksanakan pekerjaan dimana lingkungan kerjanya terdapat faktor bahaya debu, maka masa kerja yang dia lalui berhubungan dengan penghirupan debu. Dalam hal ini tenaga kerja tersebut mengalami pemaparan kerja, yaitu keadaan bahwa seorang tenaga kerja dalam pekerjaannya menghadapi satu atau lebih faktor yang mungkin berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, dan salah satu faktor dalam pemaparan kerja adalah faktor kimia berupa debu. Jumlah debu yang mengendap di paru selama proses penghirupan udara yang mengandung debu tergantung dari jumlah debu yang masuk dalam sistem pernapasan (lamanya terpapar dan konsentrasi debu) serta efektivitas dari mekanisme pembersihan. Pada tenaga kerja, masa kerja yang lama pada lingkungan kerja berdebu menyebabkan semakin banyak debu yang terhirup sehingga terjadi pneumokoniosis, dengan gejalagejala batuk-batuk kering, sesak napas, kelelahan umum, susut berat badan, dan banyak dahak. Pendapat lain mengenai pengaruh debu terhadap fungi paru disampaikan oleh Mukono (2003), yang menyatakan bahwa bahan partikel yang halus dapat mempengaruhi saluran pernapasan dari hidung sampai alveoli. Partikel yang besar dapat dikeluarkan melalui impaksi dari hidung dan tenggorokan. Partikel yang berukuran sedang agak sukar dikeluarkan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi. Partikel yang berukuran paling kecil (diameter 0,1 mikron) dapat mencapai alveoli dan akan menyebabkan terjadinya difusi ke dinding alveoli. Analisis Obstruksi Paru Menurut Hood Alsagaff dan Abdul Mukty (2005), obstruksi paru adalah gangguan aliran udara yang progresif yang dapat menjurus ke kegagalan pernapasan. Dua unsur penyebab yang saling berkaitan adalah hilangnya kepegasan (loss of recoil) serta peningkatan tahanan saluran napas kecil. Obstruksi paru dapat dijabarkan sebagai keadaan klinik dengan rasio FEV1/FVC yang abnormal, yang tidak reversibel sepenuhnya dengan bronkodilator dan dianggap sebagai keadaan yang terpisah dengan asma bronkial. Pemeriksaan faal paru untuk menegakkan diagnosis obstruksi paru. Melalui uji faal paru dengan spirometer dapat mendiagnosis melalui pemeriksaan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Hasil pemeriksaan fungsi paru 68 tenaga kerja, 29 orang (42,6%) fungsi parunya normal, sedangkan 39 orang (57,4%) mengalami obstruksi paru. Dari 39 orang yang mengalami obstruksi paru, 30 orang (76,9%) mengalami obstruksi ringan, 9 orang (23,1%) mengalami obstruksi sedang, dan tidak ada obstruksi berat. Analisis Umur Sesuai dengan kriteria inklusi penelitian yang mensyaratkan bahwa umur sampel antara 20 – 40 tahun, maka tenaga kerja yang digunakan sebagai sampel penelitian semua memenuhi syarat dilihat dari usianya karena usia sampel antara 23 – 40 tahun. Dengan demikian variabel umur memenuhi kriteria inklusi. Analisis Jenis Kelamin Semua tenaga kerja (68 orang) yang digunakan sebagai sampel penelitian semuanya laki-laki, sehingga variabel jenis kelamin memenuhi syarat kriteria inklusi yang mensyaratkan sampel penelitian adalah laki-laki. Dengan demikian variabel jenis kelamin memenuhi kriteria inklusi. Analisis Pemakaian APD Masker yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masker kain untuk melindungi sistem pernapasan sewaktu terpapar debu pada saat bekerja. Dari 68 orang tenaga kerja yang digunakan sebagai sampel penelitian menyatakan tidak disiplin memakai masker dengan alasan kurang nyaman dan sudah merasa terbiasa bekerja tanpa menggunakan masker. Jadi tenaga kerja kurang disiplin memakai masker, sehingga variabel pemakaian masker memenuhi syarat kriteria inklusi yang mensyaratkan sampel penelitian kurang disiplin memakai masker.
367
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 Analisis Bivariat Uji Korelasi Kebiasaan Merokok dengan %FEV1 Dari uji statistik diperoleh nilai korelasi r = -0,422, p = 0,000 (p < 0,01). Dengan demikian menunjukkan korelasi negatif yang signifikan, berarti kebiasaan merokok menyebabkan menurunnya fungsi paru (obstruksi paru). Penelitian yang pernah dilakukan pada penduduk di Belanda menunjukkan bahwa perokok mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mengalami obstruksi dibanding orang yang bukan perokok, atau faal parunya lebih cepat menurun. Pada pria lebih banyak ditemukan terjadinya obstruksi paru karena lebih banyak merokok, yaitu sebesar 3 sampai 10 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita (Hood Alsagaff dan Abdul Mukty, 2005). Menurut Lubis (1991) kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor fisik penyebab penyakit saluran pernapasan. Hasil penelitian yang mendukung penelitian ini pernah dilakukan sebelumnya oleh Sumardiyono (2007) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan %FEV1 pada tenaga kerja yang terpapar debu tembakau (r = -0,310; p = 0,013). Pada penelitian ini rata-rata kebiasaan merokok 9,54 batang per hari. Hasil penelitian lain yang sesuai dengan penelitian ini dilakukan oleh Bhohadana et. al. (2000) yang menyatakan bahwa tenaga kerja yang bekerja di bagian produksi yang berdebu dan mempunyai kebiasaan merokok cenderung terjadi penurunan fungsi paru dibandingkan dengan tenaga kerja di bagian kantor yang tidak merokok. Uji Korelasi Masa Kerja dengan %FEV1 Dari uji statistik diperoleh nilai korelasi r = -0,407, p = 0,001 (p < 0,01). Dengan demikian menunjukkan korelasi negatif yang signifikan, berarti makin lama masa kerja semakin menurunkan fungsi paru, yang dalam hal ini obstruksi paru semakin berat. Semakin lama tenaga kerja menghirup debu maka dapat menyebabkan terjadinya pneumokoniosis. Pneumokoniosis merupakan istilah dari bahasa Yunani yang berarti paru-paru yang berdebu. Ukuran partikel debu umumnya termasuk dalam kisaran yang sangat luas yaitu mulai dari ukran yang sangat kecil sampai yang ukurannya besar (mulai dari ukuran partikel yang tidak terlihat dengan mata sampai ukuran yang dapat dilihat. Di dalam industri digolongkan dalam kelompok bahan organik karena berasal dari tumbuh-tumbuhan. Umumnya partikel bahan organik cenderung menghasilkan reaksi setelah terjadi pemaparan baik secara kronis maupun secara akut (Soeripto, 2008). Partikel debu yang terhisap pernapasan umumnya berukuran kurang dari 5 mikron tidak dapat dilihat satu persatu tanpa menggunakan alat bantu mikroskop. Namun partikel-partikel kecil yang mengambang di udara dengan kadar tinggi dapat dirasakan sebagai bahaya. Kebanyakan partikel-partikel di industri bermacammacam ukurannya, partikel kecil jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan partikel lebih besar. Jadi, bila debu yang ada di udara sekitar tempat kerja dapat dilihat, maka partikel debu yang tidak dapat dilihat lebih banyak daripada debu yang dapat dilihat. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa partikel debu yang terhirup oleh tenaga kerja semakin lama semakin banyak sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi paru walaupun masih bersifat ringan. Namun bukan tidak mungkin dalam waktu yang lebih lama, apabila tenaga kerja bekerja tanpa menggunakan masker akan semakin memperparah terjadinya obstruksi paru yang ditandai dengan rendahnya nilai %FEV1 pada pemeriksaan spirometri. Penelitian yang mendukung penelitian ini sebelumnya dilakukan oleh Sadakhir Muryito (2001), yang menyatakan hubungan yang negatif signifikan pada tingkat kepercayaan 95% antara konsentrasi paparan debu kayu respirabel dengan FEV1. Penelitian ini dilakukan pada tenaga kerja yang terpapar debu kayu pada proses penggergajian. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumardiyono (2007), yang menyatakan bahwa masa kerja berhubungan erat dengan peningkatan obstruksi paru pada tenaga kerja yang terpapar debu tembakau (nilai r = 0,347; p = 0,006). Menurut Suma’mur (2007), masa kerja yang lama menyebabkan makin besar paparan debu yang diterima tenaga kerja. Selanjutnya menurut Rahajoe et. al. (1994), gangguan fungsi paru yang bersifat obstruktif terjadi karena penyempitan pada trakhea atau pada bronkhus sentral maupun perifer. Penyempitan dapat bersifat terlokalisasi maupun pada bagian paru yang meluas yang melibatkan saluran napas yang berdiameter besar sampai yang berdiameter kecil. Ciri khas dari obstruktif saluran napas bagian bawah yaitu tahanan saluran napas pada fase ekspirasi lebih besar dari fase inspirasi, sehingga waktu ekspirasi menjadi lebih panjang dan adanya 368
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 suara mengi pada fase ekspirasi. Karakteristik spirometernya ditunjukkan oleh penurunan nilai yang berhubungan dengan aliran udara (flow), misalnya volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1). Penyempitan pada trakhea atau pada bronkhus ini dapat disebabkan oleh ukuran debu yang berkisar antara 3-10 mikron. Hal ini dimungkinkan karena pengukuran kadar debu dengan menggunakan LVS dapat mendeteksi debu yang berukuran kurang atau sama dengan dari 10 mikron. Jadi debu yang terukur ukurannya sangat bervariasi. Debu-debu dengan ukuran 3-10 mikron tersebut dapat menyebabkan obstruksi saluran napas (Suma’mur, 1994). Uji Korelasi Umur dengan %FEV1 Uji statistik hubungan umur dengan %FEV1 diperoleh r = -0,214 dan p = 0,079 (p > 0,05), dinyatakan tidak signifikan. Hal ini menujukkan bahwa variabel umur tidak mempengaruhi hasil penelitian. Analisis Multivariat Hubungan antara masa kerja dan kebiasaan merokok dengan %FEV1 diuji dengan menggunakan uji regresi linier ganda (uji F), diperoleh nilai F = 7,041 dan p = 0,002 (p < 0,05), maka hasil uji dinyatakan signifikan. Dengan hasil ini dapat dinyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dan masa kerja dengan penurunan nilai %FEV1. Dengan demikian kedua variabel (masa kerja dan kebiasaan merokok) secara bersama-sama merupakan variabel yang dapat menyebabkan penurunan nilai %FEV1 pada tenaga kerja yang terpapar debu kayu yang berarti dapat meningkatkan terjadinya kasus obstruktif pada tenaga kerja. Analisis lebih lanjut terhadap hasil uji regresi linier ganda tersebut menunjukkan bahwa masa kerja dan kebiasaan merokok dapat mempengaruhi terjadinya penurunan nilai %FEV1 sebesar 17,8% atau sekitar 18%. Oleh karena nilai korelasi kebiasaan merokok dengan %FEV1 lebih besar dari nilai korelasi masa kerja dengan %FEV1, maka pengaruh kebiasan merokok lebih besar dibanding dengan masa kerja terhadap terjadinya penurunan %FEV1. Penurunan nilai %FEV1 pada tenaga kerja yang bekerja di bagian finishing industri mebel di Kecamatan Kalijambe Sragen disebabkan oleh faktor lain selain kebiasaan merokok dan masa kerja sebesar (100 – 18)% = 82%. Faktor-faktor lain dalam penelitian ini, yang oleh peneliti belum bisa dilakukan pengendalian variabelnya antara lain kebiasaan berolahraga, kadar debu lingkungan tempat tinggal, paparan debu lingkungan pada saat perjalanan ke dan dari tempat kerja, riwayat pekerjaan sebelumnya ataupun pekerjaan sambilan yang berkaitan dengan paparan debu, ukuran partikel debu yang terhirup. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh penelitian selama penelitian dilakukan, tenaga kerja merasa masih belum ada perhatian khusus dari Dinas Tenaga Kerja, misalnya penyuluhan maupun pembinaan yang berkaitan dengan upaya kesehatan dan keselamatan kerja. Selain itu, selama ini juga belum ada penghargaan khusus yang diberikan pemerintah di industri sektor informal yang berkaitan dengan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pimpinan perusahaan belum memperhatikan secara khusus masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di tempat kerjanya, sebagai misal pada penyediaan masker belum ada evaluasi penggunaan masker pada tenaga kerja mengenai efeknya terhadap kesehatan, sejauhmana kenyamanan masker selama pemakaian, perawatan dan cara pemakaian masker, dan berapa lama masker harus diganti. Perhatan terhadap penghargaan tenaga kerja yang melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja juga belum diperhatikan. Pemeriksaan secara berkala juga belum dilaksanakan secara rutin. Pada tenaga kerja sendiri merasa belum bisa menghilangkan kebiasaan merokok karena pengaruh lingkungan sekitar mereka tinggal juga mempunyai kebiasaan merokok, belum ada pengetahuan yang mendalam mengenai efek buruk merokok terhadap kesehatan dikarenakan belum pernah ada penyuluhan khusus mengenai pengaruh kebiasaan merokok pada kesehatan.
KESIMPULAN 1. Ada hubungan negatif kebiasaan merokok dengan %FEV1 pada tenaga kerja yang terpapar debu kayu pada industri mebel CV. Bandengan Wood di Desa Kalijambe Sragen (r = -0,422, p = 0,000), berarti kebiasaan merokok menurunkan fungsi paru.
369
Prosiding Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-3-8 Purwokerto, 20 Desember2014 2. Ada hubungan negatif masa kerja dengan %FEV1 pada tenaga kerja yang terpapar debu kayu pada industri mebel CV. Bandengan Wood di Desa Kalijambe Sragen (r = -0,407, p = 0,001), berarti lama masa kerja di lingkungan berdebu menurunkan fungsi paru. 3. Secara bersama-sama kebiasaan merokok dan masa kerja memberikan sumbangan efektif 18% untuk terjadinya obstruksi paru pada tenaga kerja yang terpapar debu kayu pada industri mebel di Desa Kalijambe Sragen (R2 = 0,178; F = 7,041; p = 0,002).
DAFTAR PUSTAKA Alsagaff, H. dan Mukty, H.A., 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya. Bhohadana, A.B., Massim, N., Wild, P., Toamain, J.P., Engel, S., Goutet, P., 2000. “Symptoms, Airway Responsiveness, and Expossure to Dust in Beech and Oak Wood Workers”, Occup Environ Med., 57:268-273. DK3N, 2003. Pedoman Prognosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja, Departemen Tenaga Kerja RI., Jakarta. Lubis, I., 1991. “Pengaruh Lingkungan Terhadap Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)”, Cermin Dunia Kedokteran, 70:15-17. Mukono, H.J., 2003. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan. Cetakan Kedua, Airlangga University Press, Surabaya. Rahajoe, N., Boediman, I., Said, M., Wirjodiardjo, M., Supriyatno, N., 1994. Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Sadakhir Muryito, 2001, “Pengaruh Konsentrasi Debu Kayu Respirabel Terhadap Kapasitas Vital Fungsi Paru pada tenaga Kerja Shift Pagi PT. Kurnia Jati Utama Indonesia Semarang”, Skripsi, Tidak Dipublikasikan, FKM UNDIP, Semarang. Siswanto, A., 1991. Penyakit Paru Kerja. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jawa Timur Departemen Tenaga Kerja, Surabaya. Salvato, 1992. Environmental Engineering and Sanitation, Fourth Edition, John Wiley & Sons Inc., Singapore. Soeripto M, 2009, Higiene Industri, Cetakan I, Badan penerbit FKUI, Jakarta. Sugeng D Trisnanto, 2007, Stop Smoking, Cetakan I, Penerbit Progresif Books, Yogyakarta. Suma’mur P.K., 1994. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja cetakan ke-10. Gunung Agung, Jakarta. Suma’mur PK., 2007. ”Biological Monitoring, Occupational Disease & Peraturan Terkait”, Makalah, Disampaikan pada Temu Ilmiah XV Asosiasi Hiperkes dan Keselamatan Kerja Jawa Timur, Surabaya. Sumardiyono, 2007, “Masa Kerja, Kebiasaan Merokok, dan Kapasitas Fungsi Paru Tenaga Kerja yang Terpapar Debu Tembakau di Bagian Processing PT. Djitoe ITC Surakarta, Tesis, Tidak Dipublikasikan, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
370