Kho Eruno
catatan akar CONSIENTIZACO II
KHO ERUNO PUBLISHING
catatan akar CONSIENTIZACO II Oleh: Kho Eruno Copyright © 2013 by Kho Eruno
Penerbit Kho Eruno Publishing khoerunosideas.blogspot.com
[email protected]
Desain Sampul: Aris Dodi
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Untuk perjuangan, kegelisahan, kematian Untuk tanya-tanya tanpa jawaban Untuk angin, misteri, rahasia Untuk jiwa-jiwa pemberontak Untuk kalian yang menjalani hidup apa adanya bangkitlah! menarilah!
3
L i s t o f MENUS Menu Satu: Fiksi Lima Dongeng Catatan Akar 5; Indigo 17; Imago 24; Oniomania 28; Catatan Akar 36. Menu Dua: NonFiksi MRUF: Big Heart Big Dream 51; Andalas 57; Artikel 1 (Jerman) 62; Artikel I (Indonesia) 68; Katalisator I 73; Katalisator II 85; Organisasi I 88; Blog: Jurnal Harian 90; Epilog 1 107; Epilog 2 108.
4
Menu Satu: Fiksi
1. Lima Dongeng Catatan Akar Angin terhempas jatuh di mahkota bunga-bunga, jatuh ke tanah, berbisik tentang manusia. Bunga-bunga meleleh, bersarang sebagai benih dalam buah. Di sana terbit matahari kebahagiaan untuk membesarkan dan meneruskan impian yang belum sempat tergapai. Ketika bumi ini menyuruhku tidur, aku tidur, tapi mimpi buruk membangunkanku. Lalu mimpi buruk itu menyuruhku menafsirkan apa yang akan terjadi? Aku jawab tak tahu, ku pikir hanya makhluk ganas tanpa wujud mempermainkanku untuk mereka-reka wahyu, yang pada tahap selanjutnya kuciptakan sebuah agama baru. Hidup tumbuh untuk berbunga, lalu berbuah dan melahirkan biji-biji di dalamnya, kemudian muncul tunas-tunas baru ketika ditanam di atas tanah yang bukan gersang. Adakalanya seikat bunga tulip ini benar-benar ingin kuberi padamu, melihatmu tersenyum anggun, ku sangat terpikat dari jauh. Kau benar-benar cerdas dalam memilih pakaian dan segala hal yang kau pilih untuk digunakan, pesona eleganmu tak ada duanya, sederhana tetapi diam-diam kau 5
menghanyutkan juga. Prasyarat apa agar hatimu bisa kujinakkan? Seperti awan bergerak karena angin, manusia terus hidup karena harapan, meski sulit, apapun berusaha tetap berjalan, meski tertatih, keringat bercucuran, nyawa masih tetap mereka pegang. Mengorbankan kebahagiaan pribadi untuk banyak orang, bagaimana bisa? Apakah prinsip hidup manusia sekarang seperti harus membahagiakan diri pribadi dulu baru orang lain kemudian. Dongeng Burung Dulu memimpikan kapan tubuhku tumbuh sayap untuk terbang jauh sangatlah membahagiakan, pergi jauh bersama asa yang terus menuai dukungan dari burung-burung yang kutemui di perjalanan. Sengat matahari kuterima dengan wajar, kucari pohon-pohon untuk sedikit melepas lelah, adakalanya pohon memberiku beberapa jenis buah-buahan. Semua terjadi tanpa perlu uang, seperti kehidupan burung-burung yang hidup di abad silam, mereka bebas mencari pasangan di benua manapun mereka suka, tidak seperti sekarang, yang hidup dalam kungkungan dengan pemberian makanan yang beraneka ragam, ku tak mengerti ada apa gerangan? Kami dijual belikan bagai budak, diadu suara kami, warna bulu kami, dan juga kelincahan kami. Awalnya aku sangat antusias mengikuti semua itu, berusaha menyenangkan sang majikan. Kali ini tidak lagi, aku sangat merindukan dunia luar, terbang bebas dengan sayapku yang belum pernah sekalipun kucoba kepakkan. sebab sedari kecil aku telah di kungkungan majikan. Dongeng Grimm Mengumpulkan kenangan-kenangan manis, pahit, merajutnya menjadi sebuah dompet kehidupan. Suatu malam di pasar mewah, dompet kehidupanmu dicuri orang, semenjak itu kau amnesia tentang segala kenangan-kenangan manis juga
6
pahit tentang kita berdua. Hanya kenangan kita berdua saja yang telah hilang dicuri. Sang pencuri adalah anak presiden yang sudah lama memiliki hati padaku, cemburu olehmu yang kupilih. Kau sang pencuri, dulu bertanya mengapa aku tak memilih dirimu? Aku hanya berkata kau anak presiden. Anak presiden adalah seperti kutukan penyihir, dan kau memintaku untuk menciummu, sebab kau beralasan akan terbebas dari kutukan dan menjadi seorang gadis jelita nun cantik. Aku menggeleng, membiarkan dunia putri dalam dongeng-dongeng Bruder Grimm tetap dalam kutukannya, tidurnya, dan juga buruk rupanya. Kemudian membiarkan para pangeran tampan nun gagah juga kaya raya itu saling jatuh cinta dengan sesama jenisnya. Riwayat Luth pun kembali mewabah, bencana pun muncul, para pangeran homo itu berubah menjadi katak-katak, sebelum akhirnya menjadi batu. Dongeng Rindu Menemuimu malam ini seperti neraka, orang-orang memastikan dirimu berhasil kuhamili, meski tanpa cinta. Hatiku tak bisa kau taklukan meski menjadi suami istri sekalipun. Rindu ini hampir membuatku mati, getaran rindu ini ingin kulepaskan padamu, di dekapmu, di pelukmu, di dadamu. Di mana kamu? Menghilang tanpa kabar, masih hidupkah? Rindu ini membuatku benci padamu, cinta ini tak lagi utuh, cinta ini tenggelam di senja waktu, lalu ketika kau datang lagi padaku, aku tak lagi punya rasa padamu. Kau mencari cintaku di wajah, di mataku, di hatiku, sungguh-sungguh tak perlu berharap lagi, rindu yang sangat itu telah mematikan cintaku padamu. Pergilah kembali ke kekasihmu. Kembali lusuh, tak seperti hidup, mencari arak, bergelimang alkohol, menelan pahitnya cinta yang tak lagi utuh, cinta usang telah retak, rapuh, hancur. Terbakar oleh panasnya kerinduan, penantian itu pun tak perlu lagi ditunggu.
7
Mengalir buliran air mata sesal saat menolakmu, kini sesak hati, menjadi sakit, tak mudah mencari napas, di mana jiwa seakan runtuh, tak ada, tak ada, tak bisa, tak bisa, mencaci, merengek kekanakkan meminta diriku menjadi milikmu lagi. Ingin memilikimu, menjinakkanmu, bermesraan denganmu, kau tahu aku memperbaiki penampilanku agar kau rekat padaku, pada kegagahanku, ingin kau tak berkutik pada ketampananku. Ingin cintamu kau berikan padaku sekali lagi. Cintaku padamu msih tetap utuh, aku yakin cintamu padaku pun masih tetap sama. Namun cinta ini tak mungkin bersua, berbuah, apalagi beranak pinak. Ingin sekali kubunuh dirimu agar mampu kulupakan rasa cinta ini. Benar-benar bodoh, sungguh tolol, mengapa harus ada cinta goblog begini. Dongeng Bulan Biru Dialah aku, si Bulan Biru, memerangi kemunafikankemunafikan, saat roh kehidupan yang baru muncul, lalu luntur, apalagi yang rongsok, tinggal hancur, mondar mandir tak tahu arah, pulang ke rumah hanya tidur, memandang jalanan, menyala dalam gelap. Demi malam yang tampak bodoh dan sangar, mengganggu banyak jiwa, menyukai sepi. Aku hangus, aku sampah, lalu mati, aku melenguh, mendengus, menemui galau, gelisah. Aku tak lekas sembuh, masih tak punya hati, lekas pergi, jangan kembali. Terhina tanpa sengaja, lenyap, mengudara, hangus, uap, minta dikasihani? Menumpang hidup lalu mati. Terpaksa mengangkasa, bergelung dengan pohon-pohon, rerumputan, lalu kau teriak meracau, sakau. Tak ada kesedihan lagi, burung-burung beterbangan bebas ke angkasa. Kau kupeluk di dekapku. Begitu lama menunggu, lenyap rasa cinta, sesampainya di rerumputan sunyi, kembali mengusik diri, kenali alur-alur yang mengganjal bagai mati, terbang seperti gembala-gembala tak sadar diri. Begini terbatas, begini menghanyutkan, tinggal kesengsaraan, mengaktivasi mimpi-mimpi, kembali, takut pada sepi, rindu pada sepi, cinta pada sepi, seperti hampa, sesak, detak dada ini lambat, pelan-pelan. Ingin menangis, berharap 8
hanya mimpi, sia-sia merindukan masa lalu, terbang makin jauh, meninggalkan bumi tak lagi asa. Aku bukan seperti aku, terus berputar-putar, orgasme dalam penderitaan, terpantul-pantul di cermin, kemudian nelangsa, lalu tertawa, tak ada senyum indah lagi yang menganga, bosankah? Terbang tanpa hati, ingin cepat sampai pada tujuan, tanpa daya, kepingan-kepingan hati terbalik, tenggelam hingga mati. Kredo. Tiba-tiba saja, terputus hubungan dengan bumi, ibarat layang-layang patah, lalu rusak pada akhirnya. Kau tampak lelah, kau sangat onar, terdampar pada tujuan salah, macet, sia-sia, seperti benang kusut di jalan. Masam, berusaha sedikit ramah, tak ada rasa, datar, seolah memusuhi, perpisahanperpisahan tolol, pertemuan-pertemuan goblog. Aku pernah gila, mungkin di masa lalu. Lintah-lintah penghisap, generasi tumbal tiap jaman, pecah berhamburan, bagai bola, tak berhati, tak berarti, gerombolan orang-orang trauma dengan penderitaan, melindungi borok-borok dalam hati, keras memimpikan impian, tapi ragu memimpikan dengan nyenyak, impian itu benar-benar tak bisa diimpikan. Kecurangan melegenda, tak sempat berkata-kata, merasa terhisap dalam belukar, tak perlu berharap dari pertemuan singkat, persahabatan tak akan terjalin di sana, hanya pengkhianatan-pengkhianatan, memaknai tiap kata-kata, bukan malam kelabu, merah muda biru, sadar di tengah malam, luka hati, berjalanlah engkau, benar-benar sunyi, insomnia. Hidup dan cinta dikomersialkan. Menjadi diri sendiri lagi, kemudian menghilang tanpa kendali, terselip samar dalam jalinan cerita yang menganga sangat, di manapun kata berasal akan megalir pada ujung kandas, kau kira hidup hanya diisi dengan curahan-curahan hati yang tanpa ujung, bertanya ke mana ujung dari semua ini. Kekacauan hidup dari kenyamanan, menjadi keseimbangan. Malam berlalu entah untuk ke berapa kalinya, mentari membangunkan kokok ayam, angin bertiup dari segala arah, memikirkan orang pendiam tanpa cinta aku merasa iba, pergaulan adalah dunia unjuk gigi, antara awal dan akhir mengalami perubahan drastis. Untuk apa hidup sampai mati dalam diam. 9
Mencurahkan hidup dengan kefanaan, hanya kegilaan bagian dari bumbu hidup, sebagai bukan siapa-siapa. Saat mata terpejam, terbayang utopia, tersimpan di bawah alam sadar. Biarlah menjadi kenangan manis, bukan untuk diulangi, akan kembali bertemu dengan jiwa baru, orang menghardikmu bagai anjing kurapan, tak usai juga, menipu hari, jam, menit, detik. Selamat tinggal jalan-jalan. Serasa abu beterbangan, tak terlihat. Riwayat berakhir tanpa jejak, menemukan kemaluan-kemaluan yang tak bisa dijelaskan, tawa untuk ditiduri, senyum kaku yang suram, menghapusmu tuntas. Tak tahu jalan pulang. Pergi saja ke laut, otakmu benar-benar di lutut, tak percaya diri menjalani hidup, nervous, seolah berada dalam panggung pertunjukkan, kau sebagai tokoh apa? Hingga malu memerankan peranmu. Tampak aneh dan kikuk, menghalau badai tengah laut, rapuh, mentah. Dunia tersedot mundur ke belakang, berkumpul di satu titik, gulita melanda, gempita penuh amarah, naif menjadi cemburu, rela habis perkara tentang angkasa. Menjadi buta. Waktu habis mengurusi rasa-rasa. Hidup pada akhirnya dijual ke perusahaan. Menjadi ternak mereka, ingin kosong, tak berpikir, sendiri dalam sepi di antara ruang ramai. Biarkan hidup mengalir hingga hancur tanpa arti. Teman tak saling memerlukan, tak saling berkorban, hanya sebatas istilah sama seperti kata-kata pada umumnya, rasa sakit membunuh perlahan, mengendap di otak, menghancurkan perlahan, tak tahu wajah asli yang mana, kehilangan wajah, kadang penat, muak, berharap bisa memberi arti bagi seseorang, teman adalah benalu, semut-semut menjadi ganas. Meniup api. Membakar sukma. Hanya merasa, merasa, merasa. Banyak gelap. Hanya aral kosong sepi. Tampak semuanya gagah, akhirnya terlihat siapa yang akan lemah. Keluh, peluh. Tetapkan banyak warna, dalam canda, rasakanlah dada ini punya siapa? Benar menurut siapa? Hampir aku sesak mata, mendukung banyak hal dengan sayap-sayap patah. Kudengar kau punya banyak cerita, tapi cerita yang mana bisa memberimu jalan keluar? Delete me.Tak akan kau lihat aku 10
Dongeng Sepuluh Batu Api I Bila suaraku parau karena sedih, karena sulit yang menyakitkan, burung-burung menghilang dalam arus sungai, terbentur batu-batu semesta. Cepat pulang sampai hilang, kupukupu melambai, keretakan ini nyata menjadi serigala, hujan pun agak runyam. II Seperti katak dalam tempurung, menemukan udang di balik batu, batu yang dulu adalah malin kundang, seperti batu berkarat, hal yang sama terulang dalam hari-hari, pecah kepala, kupu-kupu ratu dan raja merakyat untuk langit, untuk akar, bumi Tuhan. Permainan kata-kata, haruskah berdarah-darah melahirkannya, hancur seluruh tubuh, satu kepingannya terbang menjauh, jatuh ke laut, tertelan inti bumi, menaiki perahu kertas, selamatkan nyawa pasang demi pasang, air jernih bercampur deru petir kilat, guntur. Segelintir benang, warna-warni, membuatmu tersangkut, terjerat, hingga patah-patah tak menyatu lagi, alangkah segannya kalian pada awan kosong! Menjadi matang pun jangan sampai busuk, manusia-manusia matang tapi busuk. Saat malam mengambil hidupku, aku sepi tertiup angin, rembulan menyadarkan hatiku, terpaku dalam asaku yang ragu, akankah ragaku melayang mengikuti ke mana impian pergi, mengikuti jalan sunyinya sendiri. III Keringat darah mengalir ke sungai keabadian, menggelinjing remuk redam, mencari gejala-gejala, amarah, dendam, sepi, sunyi-kegilaan tersimpan di sana! Kubur berguguran, melayang berlawanan arah jarum jam, kepulan asap merongrong area pemakaman? Tubuhku terguncang menjadi pangeran buruk rupa. 11
Jangan biarkan terus mengalir dalam lumpur, pergi menghilang dari peredaran bintang-bintang, menjadi seberkas kertas atau koran lecek yang terbang dibawa angin entah ke mana, kadang terinjak tak berharga, basah kena hujan, rusuh, hancur, lebur tak berjasad, tak bermaterial, sebatas teman ngobrol pengobat sepi, wahai teman, wahai pacar, obati luka hati ini. Terjun bebas bagai aliran darah di sungai jahanam, lalu kau terpental ketakutan kena baku hantam, buku-bukuku kaku membisu tak berguna lagi bicara IV Menghindar mencari jawaban, tanpa henti, keteduhan sejati, terimalah kisah cinta ini, mengais banyak sampah, burung-burung dalam sangkar, durian mentah dengan duri-duri, sayup-sayup angin ingatkan sejumput impian. Tak akan selemah ini, tak punya jiwa untuk hal semacam ini, tak punya keresahan mendalam, selain meresahkan diri sendiri, menjadi tua pada akhirnya, rimbun tanaman hias ini menjadi sangat lelah karena pusing dengan teriakan burung-burung dalam sangkar. Masih adakah harapan? Bila harapan tak lagi putih, hanya makin rusak dan menjauh, liar mencari kesendirian, mencari kesepian, mencari wahyu? Resah di ubun-ubun, mencerna beragam sayuran, tak ada lagi cemburu, tak lagi cinta, tak ada lagi uang, tak lagi bahagia, tak ada lagi hidup, matilah! Berakhir begini, buruk sekali, melepasmu, terbang tinggi, kutunggu lama kau kembali, tak pernah kembali, kelopak mata berhamburan air mata, linang kunang-kunang hitam, terkam angin bersama lalat-lalat, kantong sidik jari, salebaran pamphlet, korek api, bakar rumah-rumah, otak kepala, selebihnya sandal Spongebob Squarepants, dari sejak semut-semut merah runyam, kupu-kupu sayap patah, berharap menemui ajalnya, tanpa lelah, berisik setiap waktu. Aku pulau-pulau tak berpohon, melawan hamparan gurun pasir berwarna keemasan, hilang kesempatan kembali saat ini, bertanya orang ini sedang apa, alangkah sunyi duri,
12
tempa alang-alang, kepompong bilang hilang lenyap, kemudian mati saja sana. Menyakitkan, kejam, dikacaukan cemburu, tampak ramai, tapi sepi, sendiri, kemarahan mengendap, tak dikeluarkan, rupanya manusia-manusia rapuh, aku tahu itu, kesedihan, renungan, terlampiaskan dalam humor-humor tajam, menyakitkan, sepanjang peradaban, manusia-manusia tak bahagia, meski memiliki apa-apa yang aku tak punya, sulit ditebak bila semua orang adalah diriku pada kondisi jalan hidup yang lain, biarlah bosan ini menjadi, untuk tetap diam merenungi sebab tetek bengek tak penting muncul liar begitu saja, rapuh masalah hidup, sangat kritis, gawat dan siap dijemput ajal. Apapun orang-orang ini adalah sunyi dan sakit hati, bertanya, bertanya, dan bertanya, mempertanyakan tanya-tanya tanpa jawaban, hatiku sakit, mataku sakit, hidupku tampak sakit, rupanya sakit ini hampir membunuhku. Kering menjadi humus setelah diguyur hujan, pengulangan yang menyakitkan, untuk kasus tertentu sangatlah membingungkan, tak digubris, jiwa-jiwa kosong musik, menaikkan harga, terlalu mengekor, cinta gerombolan yang hanya lampiaskan waktu, telah lahir aneka rerumputan tajam hilang arah, mataku tampak bingung, padahal tajam, aku mencari ada berapa? Kalau tak tahu, lupakanlah. V Inisiatif tolol, kata-kata mesum, orang-orang mesum, jangan harap bisa sentuh, gila, rupanya individualistis ini membuatku tak berguna, pura-pura, deterjen tanpa busa warna pelangi atau transparan jernih, terbakar mainan, dia bego, harusnya bisa pakai mulutnya atau kepalanya atau mukanya. VI Kebencian keras pada hari-hari, menyita banyak energi, biarkan penyakit itu perlahan membunuhmu, pelanpelan, kapan pun hanya begini, terpatri sendirian, melayani banyak sepi lalu aku membatu, keras tapi rapuh, semacam itukah, mataku brengsek! Hatiku brengsek! Apakah tinggal di sini mati? Mengkhawatirkan, parah, tolol, bodoh, ragu tentang 13
peperangan autis ini, memang tak besar dengan cara-cara sepertimu. Tatapan-tatapan mata seolah mengatakan kau tak berguna, mengeluhkah dengan nasib? Seperti anyaman rumit, kesadaran, keasyikan, menapaki setiap gempita, semisal anganangan, kerlipan bintang, sibuk diperlukan sekali kali ini. Apapun yang melantunkan senyawa angin malam, merasa segala hal ini murni adanya, gelisah, menyiksa untuk kembali, meyepi sendiri, pergi menghilang alangkah perlunya, membeo gaya hidup orang gila, tenggak banyak kemarahan dan tanda tanya, apa sulitnya menjadi kejam pada orang lain, pembicaraan remeh temeh, lebih penting dari isi otak, ada api di matamu malam ini, imajinasi bagai penganggur ini buat kesedihan tak jelas. VII Kemilau dengan keresahan seluk beluk tutorial, sempoyongan mencari nasib baik? Senja akan baik-baik saja, adakah semua bergerak tanpa igauan, mata-mata dengan tatapan kejam, selama ini senyum sungkan, kemarilah, lalu ke sanalah, hanya bisa basi kupersembahkan! Terbukti pualam masalah berakar pada senja, tepian suram hidupmu telah sampaikah, tanpa dasarkah? Pergaulan seperti ada retsletingnya masing-masing, keras pada diri sendiri, tak putus-putusnya gelak tawa tertindas. VIII Kupu-kupu mengalir di sungai awan, kering kerontang, menabur angkasa raya, semesta kosong, mengemis rerumputan, tak bisa luas dari angkasa, kilau rembulan, pikiran merajalela, mengalir banyak pesan, pepohonan melankolis, mengalami kilau hitam, kondisi makin runyam, kepingan-kepingan makin senyap, kelak kuberi banyak catatan, sejatinya kucium kau, kenangan parah, nyata tak punya muka, layaknya sejarah detik demi detik, berkisah, berirama, beralur, berdimensi, manusia a, manusia b, hidup dijalani bersama, selebihnya kunang-kunang di malam gelap, kibarkan sayap patah, kamboja dari kuburan itu berbunga lebat, membisikkan rahasia mistis, gaib di tengah malam, siluman itu kesepian, berharap mendapat teman kencan, 14
tapi lupakan, sebab kini a berdua bersama seorang kawan, ibarat kembang senja, bayi-bayi muncul lebih dewasa, kepekaan hancur karena tak lagi harus mencinta. Tak kupahami bagaimana yang seratus persen benar itu terimplementasi, hanya soal selera! Begitu remuk karena pekat tanpa lilin, lampu dirangsang minyak, menyembur canda-canda segar, beri sedikit kepompong, kering menari, ibarat mati sendirian di tengah kebakaran sepi, terus melangkah, kering bercabang, mengangkasa raya, riwayat sentuhan kawan, lalu kentut menyala menggegerkan, lalu rambut panjang itu patah, kawat duri memberi ribuan makam jasad tanpa nyawa, seruling sembunyikan suara emas. IX Kepodang-kepodang kehilangan arah, ritme, menelusuri kelip-kelip istimewa, khawatir tentang hujan, tentang awan, ada kerlip darah dendam di mata-mata, pesan suram, kematian terancam, karma memamah biak kupu-kupu. Sendirian malam-malam, sendiri sisakan waktu untuk alam, meski api lekas padam tertiup badai, bunyi dentang jam, semakin larut, biru api menyiratkan rembulan, ada kegelisahan menyala hebat, lama aku kesal, apakah karena sekam. Dunia lalui hari, banyak angan-angan berakhir muram, cinta itu bukan sekedar kata untuk seorang wanita, tapi lebih besar dari gunung-gunung, lebih besar dari laut, pencarian cinta, kerinduan cinta, hanya ingin melepas kejam, banyak sunyi memuakkan, menasihati banyak tidur-tidur suram. X Fokus membenci, memusuhi, menjauhi, kalut di ubunubun, gejala biru, mengalir ke laut, kilau menari buram, setia pada lelah ubun-ubun, kapan-kapan tercabut menjadi biji, terjerat tali-tali, kepulan asap gemuruh, angin menipis. Kecup rindu sendu, senyum lumpur, mengejar gelap, ibarat seribu kuncup-kuncup, wajan-wajan gemetar. Cinta denganmu hanya api, selebihnya arang, abu dan uap, pisah terpaku di ujung, kelopak hatimu, menyiratkan keraguan, ragamu terlilit di pembuluh nadi, nyawamu hanya 15
cerutu yang terbakar kecut di bibirmu, asam ketiakmu, lepas tipis seluruh keluh. Malam kelabu, hujan darah, jarum menusuk mata, bernanah, gerombolan korban, jernih air menari sendiri, menyapa aliran demi aliran yang menapaki gelap, aku terus kering, meniup perangkap demi sebatang jerami padi, batasan dalam diam, masuk dalam kelam.[]
16