IDENTIFIKASI SPEKTRUM INTRINSIK BINTANG TUNGGAL DENGAN MENGGUNAKAN FUNGSI SEBARAN GARIS DSS-7 (Deep Space Spectrograph) DI OBSERVATORIUM BOSSCHA ITB 2), Dr. Ir. Sekartedjo M. Sc1). Andreas Liudi Mulyo1), Dr. Hakim L.Figure Malasan Three shows the spectrum collected when this slit is illuminated by hydrogen light 1)Jurusan Teknik Fisika FTI, Institut – the two major wavelengths, 6563 andNopember 4861 anstroms, produce two images of the slit Teknologi Sepuluh displaced horizontally. Figure Four shows a spectrum collected while examing P Cygni, 2)Program Studi Astronomi FMIPA, a peculiarInstitut star with permanent emissionBandung lines. The broadband radiation from the star Teknologi 1)
produces a horizontal line, while the emission lines show up as bright points, and the
2)
[email protected] [email protected] ;
[email protected] airglow lines (some natural, some light pollution) show up as copies of the slit pattern. For this image the airglow lines have been exaggerated to illustrate them better – P Cygni is bright enough that exposures are short and airglow is not so prominent.
c.
CCD SBIG ST7-XE CCD ini menggunakan KAF0401E dengan ukuran dimensi array 6.89 x 4.59 mm (diagonal 8.28 mm) dimana dalam dimensi ini tersimpan 765 x 510 pixels (1 pixel memiliki ukuran 9 x 9 µm). Medan pandang untuk bukaan 8” serta f/10 sebesar 11.9 x 7.9 menit busur. Saturasi dan read noise sebesar 65,000 ADU dan 15 e- rms [14].
Figure Three: Hydrogen Spectra
100 nm 50 nm 200 nm 400 nm
.544
Imaging CCD
.272 .181
Gambar 9 Keempat Ukuran Celah DSS-7 Ketika Diiluminasi Lampu Hidrogen [13]
.362
.055 .236
.326
Tracking CCD
.104
Ø.920 ST-7 Focal Plane View from Above Scale 4:1 .920
Gambar 8 Dimensi CCD SBIG ST-7XET-Thread (detik busur) [14] Berdasar .920 karakterisasi CCD astronomi SBIG ST7-XE .515 .250 Plane yang telah dilakukan, didapatkan Focal hasil sebagaiNotes: [5]: 1. berikut The optical center of the front window is displaced Gain (g) : 2.56 ± Imaging 0.01CCD e-/ADU Tracking CCD 0.055 towards the tracking CCD optical center of the Read of Noise (RoN) : 27.49 1.53 e- rms 2. The Vertical ± Stackup T-Thread is coincident with the center of the imaging CCD Scale 1:1 Kapasitas Penuh : 167877.47 ± 413.27 eDynamic Range: (6106.46 ± 354.20) : 1 atau 75.72 dB Efficiency Number of Bit : 12 bit B Reduksi Serta Kalibrasi Spektrum DSS-7 yang memiliki 4 ukuran celah yang berbedabeda: 50 nm, 100 nm, 200 nm serta 400 nm [13]. Ketika salah satu celah diiluminasi , maka hanya sebesar itulah nanti daerah kerja reduksi, dan bila hal ini tidak dilakukan, maka proses reduksi akan mengalami kegagalan. Tugas akhir ini menggunakan keempat ukuran celah tersebut, dan konsekuensinya tentulah dilakukan terlebih dahulu pemrosesan awal berupa seleksi dengan ukuran tertentu (Luasan daerah dengan ukuran pixel). Sebagai contoh, dapat dilihat pada gambar 9,
Tahapan reduksi: Pemisahan daerah kerja celah - pembuatan masing-masing master - reduksi. Tahapan kalibrasi: ST-8Editing Focal Plane aperture - kalibrasi spektrum lampu pembanding Viewdengan from Abovedatabase - kalibrasi spektrum bintang . Scale 4:1 3.4 Pendekatan Dengan Gaussian Pada Lampu Pembanding Distribusi Santa Barbara Instrument data Group panjang gelombang terhadap intensitas Santa Barbara, California 93108 dari spektrum lampu pembanding digunakan penting untuk Title ST-7/ST-8 Focal Plane diamati karena dari sinilah ditemukan profil instrumen. Size Document Number Profil instrumen Rev didapatkan dengan menentukan daerah A A kerjaFebpanjang gelombang dimana distribusi data mendekati Date Sheet 1 of 1 17, 1995 distribusi normal, atau dikenal dengan gaussian. Secara matematis, pendekatan gaussian dinyatakan sebagai berikut, G(λ ) =
⎛ − ( λ − λ0 ) ⎞ 1 exp ⎜ 2 ⎟⎠ σ 2π ⎝ 2σ
2
3.5 Metode Dekonvolusi Dengan Metode Fast Fourier Transformation Proses dekonvolusi Fast Fourier Transformation menggunakan bantuan perangkat lunak MATLAB yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan utama pada tugas akhir ini. yaitu mengidentifikasi spektrum intrinsik bintang. Proses normalisasi dilakukan pada spektrum bintang dan fungsi sebaran garis. Kemudian dilakukan inisialisasi masukan untuk spektrum bintang observasi dan fungsi sebaran garis. Kemudian, keduaspektrum tersebut ditransformasi dalam bentuk fourier, dan dilakukan tahap dekonvolusi. Hasil dari profil garis dekonvolusi kemudian dilakukan pembalikan dari transformasi fourier, dan kemudian didapatkan spektrum intrinsik. Untuk memvalidasi spektrum intrinsik tersebut benar adanya, dilakukan tahap konvolusi balik antara spektrum intrinsik itu sendiri dengan fungsi sebaran garis [3].
IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A Analisa Data Hasil Reduksi dan Kalibrasi Berikut adalah hasil observasi yang telah dilakukan beserta pengolahan data, Gambar 10 Menunjukkan bahwa Bintang Arcturus masuk pada celah 400 nm, kemudian dipisahan dari celah lainnya.
Gambar 16 menunjukkan keempat celah yang diiluminasi dengan lampu pembanding akhir, untuk melakukan proses reduksi lebih lanjut, dilakukan pemisahan daerah kerja celah masing-masing.
Gambar 16 Citra Pembanding Akhir Gambar 10 Citra Bintang Arcturus Pada Celah 400 nm Gambar 11 Menunjukkan bahwa Bintang Arcturus masuk pada celah 200 nm, kemudian dipisahan dari celah lainnya.
(1) Gambar 17 menunjukkan citra bias untuk seluruh celah. Selanjutnya dilakukan pemisahan untuk masing-masing celah.
(2) Gambar 17 Citra Bias dan Hasil Pemisahan Celah
Gambar 12 Citra Bintang Arcturus Pada Celah 200 nm Gambar 13 Menunjukkan bahwa Bintang Arcturus masuk pada celah 100 nm, kemudian dipisahan dari celah lainnya.
(3) Gambar 18 menunjukkan citra dark untuk seluruh celah. Selanjutnya dilakukan pemisahan untuk masing-masing (4) celah.
Gambar 18 Citra Dark dan Hasil Pemisahan Celah Gambar 13 Citra Bintang Arcturus Pada Celah 100 nm Gambar 14 Menunjukkan bahwa Bintang Arcturus masuk pada celah 50 nm, kemudian dipisahan dari celah lainnya.
Gambar 14 Citra Bintang Arcturus Pada Celah 50 nm Gambar 15 menunjukkan keempat celah yang diiluminasi dengan lampu pembanding awal, untuk melakukan proses reduksi lebih lanjut, dilakukan pemisahan daerah kerja celah masing-masing.
Gambar 15 Citra Pembanding Awal
Gambar 19 menunjukkan citra flat untuk seluruh celah. Selanjutnya dilakukan pemisahan untuk masing-masing celah.
Gambar 19 Citra Flat dan Hasil Pemisahan Celah Gambar 20 adalah spektrum arcturus pada celah 400 nm beserta lampu pembandingnya,
a
Gambar 21. Lampu pembanding akhir gacrux pada celah 100 nm
b
Gambar 22. Spektral lampu pembanding Philips-Genie Warm White Fluorescent
c
Penentuan fungsi sebaran garis didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut, 1. Dapat diverifikasi dari atlas spektrum referensi 2. Memiliki nilai FWHM yang kecil 3. Kuat garis (intensitas) memadai, dalam artian memiliki Signal to Ratio (SNR) yang memadai. Berdasarkan uraian singkat diatas, maka fungsi sebaran garis observasi lebih valid dengan menggunakan lampu pembanding pada rentang 5850Å-6250Å. Profil instrumentasi pada bintang gacrux celah 400 nm didekati dengan persamaan gaussian, lorentzian dan gacrux berturut-turut adalah sebagai berikut,
⎛ − ( λ − 6039 ) ⎞ G(λ ) = exp ⎜ ⎝ 2(54)2 ⎟⎠ 54 2π 1
Gambar 20 Spektrum Gacrux (a) dan lampu Pada Celah 100 nm beserta lampu pembanding (b-awal dan c-akhir) B Hasil Pendekatan Data Lampu Pembanding Dengan Gaussian Pada bagian ini, akan dibahas hanya spektrum lampu pembanding pada bintang gacrux dengan celah 100 nm. Dari spektrum lampu pembanding awal dan akhir, dicari distribusi data terbaik, dan didapatkan spektrum pada gambar 21 sebagai berikut,
2
Untuk memvalidasi persamaan-persamaan diatas, dilakukan plot dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB, untuk mencari pendekatan yang terbaik dengan λ dari 5525 Å 5700 Å. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 23.
Gambar 23 Pendekatan Dengan Menggunakan MATLAB C Spektrum intrinsik dari bintang Dibawah ini merupakan salah satu contoh spektrum gacrux (gambar 24) pada celah 100 nm dengan spektrum pembanding akhir (gambar 25) dengan panjang gelombang di daerah Hα.
Gambar 26. Spektrum gacrux yang telah dinormalisasi (5) Gambar 24. Spektrum gacrux pada rentang 5850Å-6200Å pada celah 100 nm
Gambar 27. Spektrum lampu pembanding yang telah dinormalisasi
Gambar 25. Spektrum lampu pembanding pada rentang 5850Å-6250Å pada celah 100 nm Spektrum gacrux memiliki intensitas maksimum sebesar 6.75x104, sedangkan spektrum lampu pembanding memiliki intensitas maksimum sebesar 2.25x105 .Nilai intensitas maksimum untuk spektrum gacrux jauh lebih kecil daripada intensitas maksimum yang dimiliki oleh spektrum lampu pembanding, hal ini tidak memungkinkan proses dekonvolusi dilakukan. Secara logika, filter tidak mungkin lebih besar nilainya daripada yang difilter, sebab hal ini akan menyebabkan yang difilter akan hilang. Untuk mengatasi hal ini, maka dilakukan penyamaan puncak intensitas kedua spektrum tersebut menjadi bernilai satu. Proses ini dinamakan dengan normalisasi. Langkah yang dilakukan cukup sederhana, yaitu dengan mencari intensitas maksimum pada masing-masing spektrum gacrux dan lampu pembanding, lalu membagi masing-masing intensitas dengan intensitas maksimum, sehingga range setelah normalisasi berkisar dari nol hingga satu. Hasil normalisasi untuk spektrum gacrux da spektrum lampu pembanding dapat dilihat pada gambar 26 dan gambar 27,
Setelah dilakukan proses normalisasi, maka tahap dekonvolusi dapat dilakukan. Proses dekonvolusi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB. Hasil dari proses dekonvolusi, yaitu spektrum intrinsik dapat dilihat pada gambar 28,
Gambar 28. Spektrum intrinsik Untuk memvalidasi, apakah spektrum intrinsik tersebut benar, maka dilakukan konvolusi balik antara spektrum intrinsik bintang dengan spektrum lampu pembanding, hasilnya dapat dilihat pada gambar 29, sebagai berikut,
Jarak yang tidak konstan serta iluminasi yang tidak merata pada permukaan teleskop mempengaruhi fungsi sebaran garis yang dihasilkan. Akibat dari iluminasi yang tidak merata atau mungkin terlalu berlebihan (saturasi) ini menyebabkan respon dari CCD yang tidak diinginkan dan berakibat pada spektrum yang tidak diinginkan. V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hubungan tujuan tugas akhir dengan hasil analisa dan pengolahan data, serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa, identifikasi spektrum intrinsik bintang tunggal telah berhasil dilakukan. Bintang tunggal tersebut adalah bintang Arcturus dan bintang Gacrux, dimana hasil identifikasi spektrum intrinsik bintang tunggal terhadap spektrum observasi bintang tunggal pada celah DSS-7 (50nm, 100nm, 200nm dan 400nm) untuk bintang Gacrux adalah 5,34 %, 7,25 %, 6,545 %, 4,5 %. Identifikasi spektrum intrinsik menggunakan fungsi sebaran garis DSS-7 didapatkan dengan melakukan analisa spektrum lampu pembanding Philips WarmWhite 5W pada daerah panjang gelombang mendekati Hα, 6562.8 Å. B Saran Beberapa hal yang perlu disertakan untuk penelitian identifikasi spektrum intrinsik selanjutnya yaitu pengaruh sistem optik dari teleskop-spektrograf-CCD yang digunakan, pemilihan lampu pembanding yang memang digunakan untuk keperluan kalibrasi, misalnya HCL atau laser, agar pengukuran yang dihasilkan juah lebih akurat. Disamping hal itu, dalam pengambilan data, faktor alam meliputi kelembapan, keadaan langit khususnya faktor atmosfer perlu diperhitungkan, agar mendapatkan data yang valid. A
Gambar 29. Validasi spektrum intrinsik Simbol “o” merupakan spektrum gacrux hasil observasi, sedangkan garis lurus merupakan hasil konvolusi balik antara spektrum intrinsik gacrux dengan lampu pembanding. 4.2 Pembahasan Hasil identifikasi spektrum intrinsik, pada bintang Gacrux: pada celah 50 nm, didapatkan intensitas maksimum sebesar 5500 erg/cm2/s/Å, sedangkan intensitas maksimum dari spektrum observasi memiliki nilai sebesar 103000 erg/ cm2/s/Å. Untuk celah 100 nm, didapatkan intensitas maksimum dari bintang adalah 5000 erg/cm2/s/Å, sedangkan intensitas maksimum dari spektrum observasi memiliki nilai sebesar 69000 erg/cm2/s/Å. Sedangkan pada celah 200 nm, didapatkan intensitas maksimum sebesar 7200 erg/cm2/s/Å, sedangkan intensitas maksimum dari spektrum observasi memiliki nilai sebesar 110000 erg/cm2/s/Å. Pada celah terakhir, didapatkan intensitas maksimum dari bintang Arcturus adalah 2700 erg/cm2/s/Å, sedangkan intensitas maksimum dari spektrum observasi memiliki nilai sebesar 60000 erg/cm2/s/Å. Pola spektrum intrinsik memiliki kesamaan dengan pola spektrum observasi baik untuk bintang Arcturus dan Gacrux, pada celah 50 nm, 100 nm, 200 nm dan 400 nm. Nilai intensitas dari spektrum intrinsik maksimal tidak lebih dari 10 % dari spektrum observasi diakibatkan adanya fungsi sebaran garis pada DSS-7. Untuk bintang Arcturus, berturutturut perbandingan intensitas intrinsik dengan observasi untuk celah 50 nm, 100 nm, 200 nm dan 400 nm adalah 6,6 %, 4,125 %, 3,33 % dan 3,67 % . Sedangkan untuk bintang Gacrux, berturut-turut perbandingan intensitas intrinsik dengan observasi untuk celah 50 nm, 100 nm, 200 nm dan 400 nm adalah 5,34 %, 7,25 %, 6,545 % dan 4,5 %. Rendahnya nilai spektrum intrinsik bintang menunjukkan begitu dominannya fungsi sebaran garis lampu Philips Warm-White 5 W ketika direspon oleh DSS-7. Pengaruh fungsi sebaran garis yang begitu dominan dikarenakan karakteristik dari lampu itu sendiri. Karakteristik yang dimaksud ialah respon dari atom penyusun dari lampu tersebut ketika diberi energi. Setiap atom penyusun memiliki daerah kerja serta tingkat emisivitas tertentu, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jenis lampu tipe fluoresensi juga mempengaruhi, disamping atom penyusun. Reaksi fisika dan kimia yang terjadi pada lampu fluoresensi mempengaruhi spektrum yang dihasilkan.
REFERENSI [1] [2] [3] Austin, S.J. 2005. FFT DECONVOLUTION Be STAR Hα LINE PROFILES. University of Central Arkansas. [4] [5] Amrizal. 2005. Karakterisasi Kamera CCD ST7-XE Di Observatorium Bosscha ITB. FMIPA Jurusan Ekstensi Fisika Unversitas Indonesia. [6] Liudi Mulyo, Andreas. 2010. Studi Instrumentasi dan Pengolahan Data Astronomi di Observatorium Bosscha ITB. Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri Inatitut Teknologi Sepuluh Nopember. [7] h t t p : / / e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / Catadioptric#Catadioptric_Telescopes [8] K i t c h i n C . R . 1 9 9 5 . O p t i c a l A s t ro n o m i c a l Spectroscopy. London: The Institute Of Physics. [9] Yoshizawa, Tōru. 2009. Handbook of optical metrology: principles and applications. CRC Press. [10] [11] Kerber, F., Nave, G., Sansonetti, CJ., Bristow P., Rosa, MR. 2007. “The Spectrum of Th-Ar Hollow Cathode Lamps in the 900-4500 nm Region: Establishing Wavelength Standards for the Calibration of VLT Spectrographs”. ASP Conference Series, 364, 461-478.
[12] [13] Holmes, Alan. 2005. Deep Space Spectrograh and Deep Space Spectrograph-7 Spectral Calibration Program. Santa Barbara Instrument Group. [14] Operating manual SBIG ST-7XE [15] Biodata Penulis Nama: Andreas Liudi Mulyo E-mail:
[email protected] Pendidikan: 2006-sekarang Teknik Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Nama: Dr. Hakim L. Malasan E-mail:
[email protected] Pendidikan: S3 Astronomi, Universitas Tokyo S2 Astronomi, Universitas Tokyo S1 Astronomi, ITB Nama: Dr. Ir. Sekartedjo, M. Sc E-mail:
[email protected] Pendidikan: S3 Elektronik Fisika, Institut Teknologi Tokyo S2 Optoelektronika, Universitas Indonesia S1 Teknik Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(6)