UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 1
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, S. U.
Didanai dengan Dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
UNIVERSITAS GADJAH MADA Fakultas ILMU BUDAYA Jurusan SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) dan Modul Pembelajaran
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, S. U.
Didanai dengan Dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012
Desember 2012
Tujuan Ajar/
Topik (pokok,
Metode
1
Aktivitas
Metode
Aktivitas
Ajar
Mahasiswa
Menyimak,
Mencari pengertian
Memperjelas
Ilmu
konsep-konsep epistemologi, dan
diskusi,
mengenai berbagai
dan
dalam
kunci filsafat
penjelasan
pengertian dari
menjernihkan
Perspektif
konsep-konsep itu
pengertian-
:
dan
pengertian
menyampaikannya
temuan
di kelas
mahasiswa
Memahami
Ontologi,
9
Penilaian
Tanya-jawab
aksiologi Daya simak
ilmu pengetahuan Waktu: 100 menit
Sumber
Dosen/ Nama
Ajar
Pengajar
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
bahasan, alokasi Gambar
Indikator
Evaluasi dan Presentasi
Keluaran/
subpokok
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
BAB I PENGERTIAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI
1.1
PENDAHULUAN
1.1.1
Deskripsi Singkat Bab ini berisi pengertian mengenai filsafat ilmu, pengertian pengetahuan menurut filsafat
ilmu, pengertian mengenai ontology, epistemology, dan aksiologi.
1.1.2
Manfaat Berbagai pengertian di atas sangat diperlukan oleh semua mahasiswa sebagai calon
ilmuwan. Sebagai calon ilmuwan mereka harus mengerti apa pengertian yang fundamental atau hakiki dari ilmu pengetahuan itu. Dengan pemahaman yang demikian mereka dapat melaksanakan kegiatan ilmiah mereka melalui prosedur yang benar, dapat membuka diri terhadap berbagai kemungkinan pengetahuan ilmiah, dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinan baru dari ilmu pengetahuan itu, dan setidaknya dapat mengatasi berbagai kemungkinan masalah yang timbul, yang mungkin tidak dapat atau belum dapat diatasi oleh teori dan metode yang tersedia dalam bidang ilmu yang mereka geluti.
1.1.3
Relevansi Filsafat ilmu sangat relevan bagi ilmu sastra yang hingga saat ini masih menghadapi
masalah dalam penentuan dan perumusan dasar metodologisnya beserta seperangkat metode dan teknik penelitiannya.
1.1.4
Learning Outcomes Mahasiswa dapat memperoleh pemahaman yang mantab mengenai konsep-konsep
metodologis dalam ilmu pengetahuan, ilmu sastra, dan memperoleh ketrampilan dalam penerapannya pada aktivitas penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sastra itu.
1.2
PENYAJIAN Menurut filsafat ilmu pengetahuan, segala bentuk pengetahuan manusia pada dasarnya
bersumber dan berkembang dari tiga pertanyaan dasar, yaitu “apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita” (Suriasumantri 1978:2). Filsafat yang membahas persoalan yang pertama disebut sebagai ontologi, yang kedua epistemologi, sedangkan yang ketiga aksiologi Suriasumantri 1978:4). Secara ontologis pengetahuan ilmiah dipahami sebagai pengetahuan mengenai segala aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya keadaaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik serta yang memungkinkan terjalinnya hubungan antara keadaan yang satu dengan yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa empirik yang lain. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah bukan sekedar reproduksi dari keadaan atau peristiwa empirik itu, melainkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memungkinkannya, yang mungkin saja tidak dapat secara langsung tertangkap oleh indera manusia. Implikasi dari pengertian yang demikian pertama-tama dan terutama adalah bahwa objek pengetahuan ilmiah harus selalu berkaitan dengan keadaan dan peristiwa-peristiwa empirik. Atau, dengan kata lain, segala hal yang tidak terkait dengan keadaan atau peristiwa-peristiwa empirik bukan objek pengetahuan tersebut (Suriasumantri 1978: 5). Lebih jauh, sebagai konsekuensi lebih lanjut dari sifat objeknya tersebut, pengetahuan ilmiah membatasi objeknya dengan dasar asumsiasumsi tertentu yang memungkinkan dicapainya pengetahuan di atas (Suriasumantri 1978:5—6). Asumsi pertama merupakan pengandaian bahwa objek pengetahuan yang empirik itu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik berdasarkan bentuk, struktur, sifat, ataupun yang lainnya sehingga objek itu dapat diklasifikasikan untuk kemudian digeneralisasikan (Suriasumantri 1978:7) untuk, pada akhirnya, tentu saja ditemukan segala aturan atau mekanisme yang bersifat umum yang memungkinkan adanya dan terjadinya keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa empirik yang bersifat khusus. Asumsi kedua berisi anggapan bahwa objek tersebut tidak mengalami perubahan dalam waktu yang relatif lama, terutama yang menyangkut sifat-sifat dasarnya
(Suriasumantri 1978:7—8). Hanya dengan karakter objek yang demikian ilmu pengetahuan dapat membawa ilmuwannya kepada pengetahuan mengenai apa yang ada di balik keadaan dan peristiwa empirik yang tampaknya sangat bervariasi dan berubah-ubah. Menurut Suriasumantri (1978:8) determinasi merupakan asumsi yang ketiga. Dalam asumsi ini diandaikan bahwa semua gejala tidak muncul atau terjadi secara kebetulan, melainkan mempunyai pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Karakter objek yang demikian memungkinkan ilmuwan menyandarkan diri pada pengetahuan yang terdahulu untuk mencapai tingkat generalisasi yang lebih tinggi dan sekaligus memungkinkannya untuk meramalkan kemungkinan adanya keadaankeadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa yang baru. Sebagai ilustrasi dapat dilihat ilmu bahasa modern yang disebut linguistik sebagaimana yang antara lain dikemukakan Ferdinand de Saussure (Saussure 1988:73—101). Yang menjadi objek ilmu bahasa adalah kaidah bahasa yang disebut langue. Kaidah ini tidak teraindera, tetapi merupakan aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya fakta-fakta kebahasaan yang empirik, peristiwa-peristiwa bahasa yang konkret yang disebut parole. Dengan demikian, meskipun merupakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap secara inderawi, langue tetap merupakan objek ilmu pengetahuan yang sah karena ia terkait dengan parole yang bersifat empirik. Sebagai sebuah kaidah bahasa, langue itulah yang memungkinkan terjadinya korelasi antara penanda dengan petanda dalam tanda kebahasaan, terbentuknya relasi sintagmatik dan paradigmatik antara tanda kebahasaan yang satu dengan tanda kebahasaan yang lain. Lebih jauh, fenomena kebahasaan, misalnya gejala fonemik, memperlihatkan keserupaan satu dengan yang lainnya sehingga, misalnya, dimungkinkan untuk membangun klasifikasi fonem, misalnya yang konsonan dengan yang vokal. Selanjutnya, berbeda dari parole yang bervariasi secara tidak terbatas, yang terus berubah dari satu tuturan ke tuturan yang lain, langue tidak mengalami perubahan dalam waktu yang relatif lama. Tentu saja langue bekerja dengan mekanisme tertentu yang membuat peristiwa-peristiwa bahasa berlangsung dengan pola tertentu, dengan urutan yang sama dari waktu ke waktu. Misalnya, kaidah bahasa Indonesia membuat penutur bahasa tidak dapat menempatkan objek di depan predikat, membuat tuturan yang melanggar pola urutan itu menjadi tidak bermakna secara sosial. Pengetahuan ilmiah yang objeknya berupa aturan atau mekanisme yang abstrak, yang tidak dapat diindera itu sebenarnya hanya alat untuk menjawab berbagai persoalan empirik yang konkret, usaha untuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan faktor yang menyebabkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik. Dalam kasus linguistik di atas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Saussure dalam bagian buku yang sudah dikemukakan, pengetahuan kaidah bahasa itu pun merupakan pengetahuan yang memungkinkan diperolehnya penjelasan terhadap
ketakjuban ilmuwan mengenai, misalnya, kemampuan bahasa, bunyi-bunyi artikulatif, dalam terjadinya komunikasi di antara anggota dari suatu kelompok sosial tertentu dan kegagalan komunikasi antara anggota satu kelompok sosial tertentu dengan anggota dari kelompok sosial yang lain yang menggunakan kaidah bahasa yang berbeda. Dengan kata lain, objek pengetahuan ilmiah yang abstrak itu haruslah berangkat dari dan sekaligus mengacu kepada keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa empirik yang konkret. Hakikat objek yang demikianlah yang pada gilirannya menentukan dasar epistemologi ilmu pengetahuan. Karena, di dalam filsafat pengetahuan, pengetahuan, sebagai keputusan pikiran mengenai suatu objek, dapat dikatakan benar hanya jika pengetahuan itu sesuai dengan objeknya. Suriasumantri (1978:11—12) mengatakan bahwa metode keilmuan adalah dialektika antara empirisme dengan rasionalisme yang sebelumnya cenderung dipertentangkan. Yang pertama menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, sedangkan yang kedua mendasarkan pengetahuan yang benar pada pemikiran yang rasional dan logis. Apabila pengetahuan hanya didasarkan pada pengalaman, ilmuwan akan berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia pengalaman tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Segala gejala yang dialami hanya mempunyai arti ketika manusia memberinya arti. Sebaliknya, jika pengetahuan hanya didasarkan pada pikiran, dilepaskan dari dunia pengalaman, pengetahuan itu akan menjadi subjektif, tak ada sandaran bagi kebenarannya. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah baru menjadi pengetahuan yang benar apabila keduanya digunakan dalam hubungan yang saling mendukung. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian untuk memastikan kebenaran dari pengetahuan itu. Selain itu, rasionalisme menjadi niscaya karena pengetahuan ilmiah harus didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan yang terdahulu dalam rangka menemukan kebenaran yang semakin universal. Dengan kata lain, kata Suriasumantri, rasionalisme itu sebenarnya cara pencapaian kebenaran pengetahuan atas dasar teori yang sudah ada sebelumnya, yang menjadi dasar bagi penentuan dugaan atau hipotesis mengenai objek yang ingin diketahui dengan segala selukbeluknya. Hipotesis inilah yang kemudian diuji secara empirik. Menurut Suriasumantri, pemikiran teoretis itu bersifat deduktif, sedangkan pengujiannya ke dalam dunia pengalaman bersifat induktif.
1.2.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka.
1.2.2
Tanya-Jawab
•
Tugas dan/atau Latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.
•
Rangkuman Pengetahuan adalah keputusan pikiran mengenai suatu objek. Pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang sesuai dengan objeknya. Pembahasan mengenai objek pengetahuan disebut ontology, pembahasan mengenai cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya adalah epistemology. Aksiologi adalah cara penggunaan pengetahuan ilmiah dalam hubungannya dengan moralitas dan kemanusiaan.
1.3
PENUTUP
1.3.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 – 1000
1.3.2
Tindak Lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
1.4
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator Keberhasilan Butir Kemampuan Butir Penilaian
Menyusun
Poin Maksimal
Pemahaman
metode
penelitian mengenai karya Kesesuaian teori dengan metode sastra tertentu
1.5 No.
100
Operasionalisasi konsep
Matrix Penilaian Materi/isi
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan
Afektif
Psikomo
Penilaian
Khusus
torik
Pembel ajaran
1.
Dasar
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
ontologis dan epistemologi s ilmu sastra 2.
Kesesuaian
Tugas,
teori dengan
mid
metode
semester
D1
3.
Langkah-
1
1
1
X
A/I/P
langkah
Mid
D1
Semester
penelitian sastra
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 2
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, S.U.
Didanai dengan Dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
Evaluasi dan
bahasan, alokasi
2
Memahami
ontologis 9
Aktivitas
Ajar
Mahasiswa
Penilaian
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumber Ajar
Membaca,
Membaca buku yang Menjelaskan
Sastra
dasar ontologis dan epistemologis
diskusi,
terkait,
dengan
dan Ilmu
dan
menjelask
mendengarkan,
argumentasi
Sastra
an
bertanya
dan
epistemologis ilmu sastra
Dasar
Metode
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
Indikator
Metode
subpokok
Gambar
Keluaran/
Topik (pokok,
Presentasi
Tujuan Ajar/
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Tanya-jawab
ilmu sastra Daya simak
contoh
contoh-
BAB II DASAR ONTOLOGIS DAN EPISTEMOLOGIS ILMU SASTRA
2.1
Pendahuluan Karya sastra adalah objek manusiawi, fakta kemanusiaan, atau fakta kultural, sebab
merupakan hasil ciptaan manusia. Meskipun demikian, karya itu mempunyai eksistensi yang khas yang membedakannya dari fakta kemanusiaan lainnya seperti sistem sosial dan sistem ekonomi dan yang menyamakannya dengan sistem seni rupa, seni suara, dan sebagainya. Kalau sistem lainnya seringkali dianggap sebagai satuan yang dibangun oleh hubungan antar tindakan, karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan antara tanda dan makna, antara ekspresi dengan pikiran, antara aspek luar dengan aspek dalam. Dalam pengertian serupa itu, Mukarovsky (1978:82—88) menyebut karya sastra khususnya dan karya seni umumnya sebagai fakta semiotik. Kondisi keteradaan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan yang bersifat semiotik itu amat perlu diperhatikan. Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra merupakan ekspresi dari kebutuhan tertentu manusia, sedangkan sebagai fakta semiotik karya itu mempunyai suatu ciri yang khas yang perlu diketahui.
2.2
Karya Sastra sebagai Fakta Semiotik Sebagai fakta semiotik, karya sastra mempunyai eksistensi ganda, yakni sekaligus berada
dalam dunia inderawi (empirik) dan dunia kesadaran (conciouness) yang nonempirik. Aspek keheradaannya yang pertama dapat ditangkap oleh indera manusia, sedangkan aspek keberadaannya yang kedua tidak dapat dialami oleh indera.
2.2.1
Aspek Empirik Karya Sastra Karya sastra dilihat atau didengar lewat aspek tulisan atau bunyinya. Aspek bunyi dan
tulisan itulah yang menjadi aspek empirik karya sastra, yang menjadi aspek yang dapat dialami indera manusia. Sebagai sesuatu yang empirik, aspek tulisan atau bunyi merupakan aspek yang
paling pasti dari karya sastra. Tulisan atau bunyi itu tidak berubah dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat diuji oleh orang lain pada kesempatan tertentu yang lain. Aspek tersebut mempunyai pola tertentu yang relatif dapat diramalkan dan diklarifikasi. Tulisan adalah simbol bunyi. Bunyi itu sendiri didengar sebagai suatu arus bunyi yang berangkai dan berkesinambungan (continuem). Kenyataan itu akan dapat diketahui dengan amat jelas apabila orang mendengarkan bahasa asing yang tidak diketahuinya sama sekali. Sebagai contoh dapat dilihat kutipan berikut. “sepisaulukasepisaudurisepikuldosasepukausepisepisaudukaserisaudirisepisausepisepisauny anyisepisaupasepisau”
Bagi orang asing puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul "Sepisaupi' itu tidak lain dari pada rentetan bunyi yang hampir tidak terputus-putus, Pada pertengahan baris pertama yang berulang adalah sepisau, sehingga ia cenderung rnengelompokkan bagian tuturan itu sebagai satu jenis tertentu . Akan tetapi, pada pertengahan kedua baris itu terdapat dua kali bunyi sepi yang tanpa sau , sehingga ia dapat menduga, bahwa sau pad sepisau dapat dilepaskan. Mungkin sau diaanggap sebagai bagian dari sauluka. Demikianlah perilaku aspek empirik karya sastra. Dengan mengamati perulanganperulangan, kombinasi-kombinasi bunyi sastra yang didengarnya, orang mungkin dapat membuat klasifikasi dan meramalkan perilaku bunyi-bunyi itu. Usaha semacam itu dapat dikatakan sahih bagi teori ilmu, tetapi tidak dapat dikatakan benar dan berhasil mendekati objeknya (objektif). Karya sastra tidak hanya mempunyai aspek tanda, melainkan juga mempunyai aspek makna. Aspek makna itu tidak akan dapat dipahami hanya dengan metode empirik. Dalam banyak ha1 aspek makna itu justru menentukan perilaku aspek empirik di atas.
2.2.2
Aspek Nonempirik Karya Sastra Seperti telah dikemukakan, aspek nonempirik karya sastra adalah makna. Pada umumnya
yang dipandang sebagai lokus makna adalah kesadaran (consciousness) manusia. Meskipun demikian, karena tidak dapat atau sukar didekati, terdapat berbagai macam pendapat mengenai sifat kesadaran itu. Ada yang menganggapnya terletak dalam kesadaran individu (pengarang) dan ada pula yang menganggapnya terletak dalam kesadaran kolektif. Pandangan mengenai kesadaran kolektif pun ternyata juga bermacam-macam. Ada yang memandangnya terletak dalam kesadaran
kolektif kebahasaan, di dalam kesadaran kolektif kebudayaan, dan ada pula yang memandangnya terdapat dalam kesadaran kolektif kesastraan.
2.2.2.1 Kesadaran Individual Kecenderungan menempatkan makna pada kesadaran individual merupakan kecenderungan yang tidak terelakkan sebab hanya individu (pengarang) lah yang berhubungan langsung dengan karyanya (cf. Mukarovsky dalam Steiner, 1978:xxxviii). Filsafat Husserl, Schleiermacher, dan teori Hirsch, menunjukkan ha1 itu. Husserl (Seung, 1982:18—25; Drijarkara S.J. 1981:126—128) membagi tanda-tanda linguistik menjadi dua kelas, yaitu indikasi dan ekspresi. Tanda indikatif mengindikssikan obiek tertentu yang ada dalam kenyataan, sedangkan tanda ekspresif mengekspresikan makna yang ada dalam pikiran, yang merupakan esensi dari objek. Objek bersifat tidak tertentu (indeterminate) sebab selalu terikat pada sudut pandang tertentu dari yang memperhatikannya, sedangkan makna bersifat abadi, tidak terikat oleh waktu, dan tetap. Kalau objek dapat diketahui, makna tidak dapat diketahui. Ekspresi makna, misalnya melalui bahasa, tidak identik dengan makna i t u sendiri sebab hubungan antara makna itu dengan tanda ekspresinya bersifat arbitrer. Dua orang yang berbeda mempunyai makna yang sama dalam pikirannya. Akan tetapi, tanda ekspresi yang mereka gunakan untuk mengekspresikan makna itu berbeda. Uraian tersebut menunjukkan, bahwa Husserl menolak sepenuhnya peranan bahasa umum, sebagai alat ekspresi, sebagai jalan ke arah makna. Hal itulah yang membedakannya dari Schleiermacher. Schleiermacher (Seung, 1982:25—28) memang juga mengakui, bahwa makna merupakan wilayah pribadi (private domain) pengarang (CF. Kayam, 1982:93). Akan tetapi, ia beranggapan, bahwa bahasa dapat mengantarkan orang ke arah makna meskipun tidak sepenuhnya. Hirsch (1979:l—23) memulai teorinya dengan sebuah pembelaan terhadap eksistensi pengarang. Untuk mempertahankan eksistensi kesadaran pengarang sebagai wilayah makna, ia pertama-tama mengeritik teori otonomi semantik yang cenderung menyingkirkan pengarang dalam pemahaman makna. Menurut Hirsch (1979:4), makna adalah urusan kesadaran, bukan urusan katakata . Di bawah konvensi-konvensi bahasa, hampir semua urutan kata- kata mengandung lebih dar i satu kompleks makna. Kalau kritikus mengatakan bahwa ia ingin mendengarkan teks sastra sendiri
yang berbicara, kritikus itu berbohong, kata Klirsch. Menurutnya, kalau pengarang disingkirkan, kritikuslah yang akhirnya meniadi determinan makna (Hirsch, 1979:3). Setelah membela eksistensi pengarang dari anggapan, bahwa makna karya sastra itu berubah bahkan bagi pengarangnya, bahwa makna pengarang itu tidak dapat didekati, Hirsch (1979:46) akhirnya memutuskan, bahwa penentuan makna karya sastra membutuhkan tindakan kehendak (act of will). Kehendak itu bukan lain daripada kehendak dari pengarang karya sastra itu sendiri.
2.2.2.2 Kesadaran Kolektif Dilthey (Seung, 1982:47) mengatakan, bahwa identifikasi makna dengan wilayah kesadaran individual merupakan suatu kesalahan. Makna, menurutnya, terletak dalam pikiran objektif (objective mind) yang merupakan suatu sistem konvensi yang lewatnya anggota-anggota masyarakat berinteraksi (Seung. 1982:45). Dengan selalu diinisiasi dan dididik dalam pikiran objektif yang sama, anggota-anggota masyarakat dapat berfikir dan merasa, melakukan aksi dan reaksi, lewat suatu perangkat konvensi yang sama. Dengan demikian, menurut Dilthey (Seung, 1982:46), makna dan intensi-intensi yang ada dalam kesadaran individu-individu terbagi (shared) dan komunikatif. Pikiran objektif bukan hanya medium ekspresi dan komunikasi, melainkan juga matriks bagi pembentukan makna dan intensi-intensi tersebut. Pikiran objektif itu mengandung unsur-unsur yang cukup banyak, misalnya bahasa, adatistiadat, kebiasaan, setiap jenis bentuk kehidupan atau gaya kehidupan, dan juga keluarga, masyarakat, negara, serta hukum. Pendek kata, seluruh aspek kehidupan masyarakat tertentu pada waktu tertentu termasuk dalam pikiran objektif itu. Sebab itu, filsafat Dilthey disebut sebagai filsafat kehidupan (Bertens, 1981:88).
2.2.2.3 Kesadaran Kolektif Kebahasaan Schleiermacher (Seung, 1982:25—26) mengatakan, bahwa hubungan antara tanda dengan makna itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan dari makna ke tanda dan dari tanda ke makna. Hubungan pertama disebut ekspresif, sedangkan yang kedua interpretatif. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa interpretasi makna harus dilakukan dengan dua tahap. Pertama taham ekspresi, yakni dengan memahami bahasa teks, sedangkan tahap kedua pemahaman terhadap makna dengan melampaui medium bahasa yang umum.
Pendapat serupa itu dikemukakan pula oleh Barthes (Hawkes, 1978:131) dan Lotman (1977:9), dan banyak lagi yang lainnya. Barthes menyebut karya sastra sebagai second-order semiotic system yang ditumpangkan pada primery semiotic system yang berupa bahasa. Menurutnya, satuan tanda dan makna dalam sistem semiotik tingkat pertama hanya menjadi tanda dalam sistem semiotik tingkat kedua itu. Lotman menyebut karya sastra sebagai secondary modeling system yang dibangun atas dasar model bahasa. Wallek dan Waren (1968:22) menyebut bahasa sebagai materi karya sastra seperti warna bagi lukisan, kayu atau benda keras lainnya bagi patung. Penempatan sub-aspek kebahasaan ini ke dalam wilayah aspek nonempirik atau kesadaran pastilah memancing perdebatan dan tantangan. Ahli bahasa strukturalis selalu cenderung menempatkan bahasa ke dalam wilayah empirik. Saussure (Culler 1983:98), umpamanya, mengatakan bahwa di dalam sistem bahasa yang ada hanya perbedaan-perbedaan, bukan substansi. Kata babi, misalnya, mempunyai eksistensi karena berbeda dari kata bayi, bali, nabi, atau babu. Dengan mendasarkan pada teori itu, bahasa tentunya tidak mempunyai urusan dengan masalah konsep atau petanda (signified) atau makna. Di dalam teori Saussure masalah makna yang disebutnya sebagai konsep atau petanda ternyata tidak diabaikan. Menurutnya, tanda merupakan sarana untuk mencapai makna. Dengan teori yang kemudian itu, Saussure, kata Derrida (Culler 1983:98), telah mendekonstruksi teorinya sendiri. Dengan istilah yang lebih tepat, wacana Saussure telah mendekonstruksi dirinya sendiri. Meskipun dengan dekonstruksionismenya Derrida menolak eksistensi makna, persoalan makna bahasa tetap menjadi perhatian manusia. Di dalam sistem bahasa, makna tetap memegang peranan yang penting. Penentuan varian dan invarian dari sebuah fonem, misalnya, harus didasarkan pada makna. Bunyi t dan th dalam rangkaian bunyi batu dan bathu dapat dikatakan berbeda. Akan tetapi perbedaan antara keduanya tidak bersistem, bukan perbedaan linguistik. Sebab makna kedua rangkaian bunyi yang mengandungnya tidak berbeda. Makna yang menjadi penentu itu sendiri hanya terdapat dalam pikiran manusia, baik yang terbagi (shared) maupun yang individual. Selain itu, pada tingkat kalimat misalnya, bahasa juga mengenal sistem urutan yang menentukan komunikatif atau tidaknya sebuah tuturan. Akan tetapi, hal itu tidak terutama ditentukan oleh aspek bunyi yang menjadi aspek empiriknya. Bunyi yang tanpa makna dapat diurutkan dengan cara apapun. Oleh karena itu, pola urutan itu sesungguhnya lebih bersangkut-paut dengan pola urutan makna daripada pola urutan bunyi.
2.2.2.4 Kesadaran Kolektif Kebudayaan Yang dimaksud dengan kebudayaan dalam tulisan ini adalah sistem semiotik yang di luar sistem semiotik bahasa dan sastra . Hal itu dapat berkaitan dengan pola perilaku tertentu, bentukbentuk tertentu, dan sebagainya. Sebagai sebuah sistem semiotik, kebudayaan itu dipandang mempunyai aspek ekspresi yang fisik dan aspek makna. Para ahli sastra yang mengakui eksistensi kebudayaan sebagai salah satu lokus makna antara lain adalah Barthes (1975:20), Culler (1977:140—1451) dan Teeuw (1983:13). Kode penandapenanda (semes) dari Roland Barthes (1975:119) dapat pula dimasukkan ke dalam aspek kebudayaan ini. Barthes (1975:20) menyebutkan bahwa kode kultural adalah acuan-acuan kepada suatu ilmu atau suatu tubuh pengetahuan tertentu seperti fisika, psikologis, medis, dan historis. Sebagai sebuah kesadaran kolektif, di dalam buku ini tubuh pengetahuan itu harus dianggap sebagai sesuatu yang sudah terbagi di kalangan masyarakat. Sebagai misal, makna marah pada wajah merah dan tangan terkepal, makna gelisah pada perilaku orang yang berjalan mondar-mandir, dan sebagainya. Teeuw (1983:13-14) memandang kode budaya sebagai tempat spesifikasi makna. Dengan mengutip satu hagian kecil dari Wedhatama karya Seri Mangkunegoro IV, ia menunjukkan bahwa makna yang terdapat dalam kesadarann kolektif kebahasaan yang general saja tidak dapat dikatakan sebagai rnakna yang tepat dari sebuah karya sastra. Menurut Teeuw, konsep-konsep ngelmuluhung, pendidikan, dan sebagainya, yang terdapat dalam kebudayaan Jawa tradisional perlu diketahui untuk memahami makna bagian Wedhatama yang dikutipnya itu. Culler (1977:140) mengemukakan adanya lima vraisemblance atau lima cara yang dengannya sebuah teks sastra dapat dihubungkan dengan teks lain yang dapat membuat teks sastra itu bermakna. Di antara kelima vraisemblance itu, yang pertama dan kedua dapat dianggap sebagai kesadaran kolektif kultural. Yang pertama, teks yang secara sosial sudah ada, yang dianggap sebagai “dunia nyata”. Yang kedua, teks kultural general yang definisinya serupa dengan definisi Barthes di atas. Yang pertama itu merupakan konsep kultural mengenai “yang nyata". Pandangan manusia itu mempunyai tubuh dan pikiran, kejahatan pasti kalah oleh kebaikan, wanita makhluk yang lemah, dan sebagainya, merupakan contoh dari konsep "yang nyata" itu. Yang kedua sama persis denpan kode kultural Barthes sebab Culler mengambilnya dari tokoh itu. Kesadaran Kolektif Kesastraan Barthes (1975:19). Culler (1977:140), dan Teeuw (1983:14) tidak hanya mengakui eksistensi
kesadaran koleMif kebudayaan, melainkan juga kesastraan. Kode-kode Barthes yang dapat dimasukkan ke dalam kesadaran kolektif kesastraan adalah kode hermeneutik dan simbolik. Yang pertama berkaitan dengan pembentukan enigma (pertanyaan-pertanyaan), pensugestiannya, perumusannya, penundaan pemecahannya, dan pemecahannya. Seluruh tahap itu akan membentuk makna tersendiri pada karya sastra yang bersangkutan. Yang kedua, berkaitan denpan masalah kesatuan dalam kompleksitas. Pada kesadaran itu bertempat multivalensi dan reversibilitas makna yang dibentuk oleh berbagai sudut pandang. Pandangan Lotman (1977:66) tentang simultanitas sistem hubungan dalam karya sastra serupa dengan pendapat Barthes yang terakhir itu. Vraisemblans-vreisemblans Culler yang termasuk dalam kesadaran kolektif kesastraaan adalah yang keempat. Yang ketiga adalah konvensi genre, sedangkan yang keempat sikap natural terhadap yang ketiga itu. Yang kelima adalah intertekstualitas, yaitu adanya teks tertentu yang menjadi dasar dari teks tertentu yang lain. Seperti halnya Culler, Teeuw (1983:20) juga mengakui eksistensi genre dalam karya sastra. Selain itu, ia juga mengemukakan lima hal lain yang berperan dalam signifikansi karya sastra, yaitu prinsip koherensi, prinsip otonomi dunia sastra, dan prinsip kebenaran universal. Selain ketiga tokoh itu, terdapat pula seorang tokoh lain yang mengakui eksistensi kesadaran kesastraan dalam karya sastra. Tokoh itu adalah Hirsch dengan teori genre intrinsiknya. Menurut Hirsch (1979:80— 811), genre intrinsik adalah sistem harapan-harapan yang sama, konsepsi generik yang terbagi, yang membentuk makna dan pemahaman karya sastra. Genre intrinsik itu oleh Hirsch dianggap sebagai sesuatu yang terbagi (shared) antara pengarang dan pembaca, merupakan suatu tipe makna. Contohnya adalah genre puisi mistik Islam, mistik Jawa, dan sebagainya. Dengan genre itu orang dapat membangun suatu probebilitas makna karya sastra yang dihadapinya. Tingkat generalitas yang digunakan untuk pemahaman itu berangsur-angsur semakin menciut sehingga akhirnya sampai pada batas yang memungkinkan peneliti meramal dengan tepat unsur-unsur karya sastra yang belum tercapai oleh jangkauan pembacaannya. Semua uraian di atas menuniukkan, bahwa karya sastra msmpunyai aspek material/empirik dan nonempirik. Aspek nonempirik karya sastra itu terdiri dari kesadaran individual dan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu kesadaran kebahasaan, kebudayaan, dan kesastraan. Berdasarkan tingkat generalitasnya, aspek-aspek karya sastra itu dapat disusun dalam bentuk diagram berikut.
Bagan Objek Ilmu Sastra Aspek Sifat Empirik
Tingkat
Tingkat
Generalitas
Keterjangkauan
Objektif, Universal
pasti karena dapat dijangkau oleh indera manusia yang normal
Non-
Bahasa
Intersubjektif
hampir
pasti,
tersebar
luas,
melembaga
Empirik Budaya
Intersubjektif
agak
pasti,
cukup
tersebar,
melembaga Sastra
Intersubjektif
kurang pasti, kurang tersebar, terlembaga
Individu
Subjektif
tidak pasti, tidak tersebar, tidak terlembaga
Aspek empirik mempunyai tingkat generalitas yang tertinggi sebab bersifat objektif sehingga dapat diuji oleh semua orang tanpa mempedulikan latar belakang sosial, budaya, dan pengetahuannya. Di bawah aspek empirik itu tersusun berturut-turut bahasa, budaya, dan sastra. Aspek itu mempunyai tinpkat generalitas yanp lebih rendah sebab bersifat intersubjektif. Bahasa, budaya, dan sastra, bersifat terbatas sebab tidak tersebar dan hanya dapat ditanyakan pada subjeksubjek yanq berbagi (sharing) konvensi yang sama, yang tidak berbagi konvensi yane sama tidak dapat dijadikan sumber informasi atau pengetahuan. Tingkat generalitas bahasa dianggap lebih tinggi daripada tingkat generalitas budaya dan sastra karena mempunyai tingkat kelembagaan yang tertinggi. Bahasa dipelajari oleh masyarakat sejak usia yang masih muda dan dipergunakan dalam hampir segala kesempatan. Budaya dianggap lebih tinggi daripada sastra karena dipelajari lebih dini dan dipergnakan lebih sering daripada sastra. Budaya juga mempunyai tingkat penyebaran yang lebih tinggi daripada sastra. Masyarakat bangsawan Jawa, umpamanya, mempunyai tradisi sastra yang berbeda daripada masyarakat yang lain. Di dalam kenyataan pikiran manusia unsur-unsur kesadaran di atas bukan merupakan kategori yanp berdiri sendiri-sendiri dan saling terpisah, melainkan saling berhubungan dan mungkin berbaur satu sama lain. Scholes (1977:10) cenderung melihat unsur-unsur kesadaran itu
herhubungan satu sama lain secara hierarkis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pemahaman karya sastra dapat dilakukan secara bertahap. Tahap pertama pemahaman struktur karya sastra. Tahap kedua pemahaman karya sastra dengan memasukkan struktur yang telah ditemukan dalam tahap pertama itu ke dalam struktur yang lebih besar, yaitu sistem sastra. Tahap ketiga dilakukan dengan memasukkan sistem sastra ke dalarn sistem yang lebih besar yakni sistem kultural. Pendapat serupa itu tampaknya diyakini pula oleh Teeuw (1983:61) seperti yang terlihat dalam eseinya yang berjudul "Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra”. Unsur-unsur itu mungkin memang bersifat kategorial, artinya dapat berupa satuan-satuan yang berdiri sendiri. Akan tetapi, sebagai fakta mental, unsur-unsur itu mungkin pula berhubungan satu sama lain secara subversif ataupun ekspansif. Unsur yang satu menembus ke dalam unsur yang lain sehingga merusak unsur yang ditembusi itu. Kecenderungan tersebut tmpak dengan jelas dalam berbagai karya sastra. Di dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, Riffaterre (1978:2) mengemukakan konsep ungrammaticalities sebagai salah satu ciri puisi. Menurutnya, di dalam puisi terjadi penyimpangan dari tatabahasa umum. Hal itu disebabkan oleh adanya konvensi sastra untuk melakukan perusakan (distorting) pergantian (displacing), dan penciptaan (creating) makna yang berbeda dari yang diberikan oleh tatabahasa. Sebagai contoh dapat dilihat kutipan berikut. SAULINA Bulan menebar Petikan gitarr Saulina tinggalkan kampung Di jalan gunung Saulina Gadis remaja puteri Di darahnya hidup Serta bulan redup ..... ( Siturnorang 1982 : 14) Baris “Di Jalan Gunung” pada bait pertama dan serta bulan redup pada bait kedua menampilkan penyimpangan dari tata bahasa Indonesia yang umum. Di jalan gunung menampilkan distorsi makna sebab jalan gunung dapat berarti nama jalan dan dapat berarti sifat jalan (jalan bergunung). Kata depan di merupakan kata depan yang tidak jelas hubungannya dengan baris sebelumnya. Kata tinggalkan pada baris-pertama lazimnya menuntut kata depan -ke atau -lewat. Karena unsur-unsur kesadaran merupakan fakta mental, fakta empirik, sukar ditentukan unsur mana sesungguhnya yang melakukan ekspansi ke dalam unsur bahasa itu . Dari beberapa kasus, yang agak dapat ditentukan adalah ekspansi unsur kultural. Hal tersebut dapat dilihat, misalnya, dari kecendemngan beberapa karya sastra Indonesia yang mempertahankan kosakata-
kosaksta daerah tertentu. Umar Kayam di antaranya mempertahankan kata -kelon, manten, dan lainlain. Kata lega lila dipertahankan Linus Suryadi A.G. dalam Pengakuan Parivem. Selain dalam lingkup aspek kesadaran, di dalam dunia sastra terdapat pula hubungan ekspansif dan subversif antara aspek empirik dan nonempirik. Karena ingin menekankan aspek empirik kata, Sutardji Calzoum Bachri (1981:13--14) berusaha mengabaikan makna kata itu. Kecenderungan serupa terjadi pula di Perancis seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1968: 1).
2.3
Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan Di dalam 3.1 yang diuraikan adalah karya sastra sebagai fakta semiotik. Sebagai fakta
semiotik, karya sastra hanya dipandang sebagai sebuah sistem tanda yang membangun makna. Adapun lokus makna mungkin terdapat dalam kesadaran kebahasaan, kebudayaan, kesastraan, dan mungkin pula dalam kesadaran individual. Namun, sebagaimana bahasa, karya sastra diciptakan bukan demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk membangun makna itu sendiri. Bahasa, misalnya, digunakan dalam kenyataan yang kongkret untuk berbagai tujuan. Ada yang digunakan sebagai alat membuat perjanjian, memberi sugesti, ajakan, melakukan sindiran, kritik, dan sebagainya. Menurut Goldmann (1981:40), sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra adalah struktur yang berarti (significant structure). Yang dimaksudkan adalah, bahwa penciptaan karya sastra a adalah untuk mengembangkan hubungan manusia dengan dunia. Dalam ha1 itu penciptaan karya sastra sama dengan penciptaan hal-ha1 lainnya, seperti membanpun jembatan, membangun rumah, memilih dalam pemilihan umum, dan sebagainya. Karena sifatnya yang demikian, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari subjek penciptanya (Goldmann 1981:40—41). Hanya saja, Goldmann tidak menyetujui anggapan bahwa subjek karya sastra itu adalah individu. Menurutnya, karya sastra atau karya kultural yang besar merupakan produk dari subjek trans-individual atau kolektif karena mempunyai pengaruh dalam sejarah sosial secara keseluruhan. Pendapat bahwa karya sastra bukan sesuatu yang abstrak dikemukakan pula oleh Seung (1982:38). Menurutnya, penafsiran (decoding) makna sebuah teks sastra hanya dengan operasi semantik akan tetap membuat makna menjadi tidak pasti. Kalimat “Anjing saya dapat menggigitmu, rnisalnya, memang dapat dipahami maknanya secara semantik. Akan tetapi, orang masih akan tetap
bertanya-tanya mengenai maksud kalimat itu. Dengan sistem semantik semata-mata tidak akan dapat dipahami, apakah dengan kalimat itu pembicara hanya memberi informasi, mengingatkan, atau menakut-nakuti. Oleh karena itu, menurut Seung, dibutuhkan operasi sistem yang lain, yaitu sistem makna pragnatik. Makna pragmatik adalah makna yang didapatkan dalam penggunaan sistem semiotik tertentu. Hal tersebut mau tidak mau harus melibatkan pengguna tanda, intensiintensinya, tindakan-tindakannya, situasi-situasinya, dan linkungan sekitarnya. Menurut Seung (1982:1071), prinsip pragmatik vane universal adalah kecocokan (appropriateness): kecocokan antara yang dikatakan dengan cara mengatakan, dan sebagainya. Masalah kecocokan itu hanya dapat diukur/ditentukan dalam konteks pragmatik, dengan mengacu pada norma-noma dan fungsi-fungsi pragmatik (Seuny, 1982:109). Norma dan funpsi pragmatik itu sendiri secara historis diberikan dan ditentukan (Seung, 1982:113). Sebuah karya sastra yang memenuhi norma-norma kebahasaan tidak dapat dikatakan memenuhi prinsip kecocokan kalau norma-nroma kesastraan yang ada justru menuntut penyimpangan dari norma kebahasaan. Normanorma kesastraan itu sendiri terikat pada ruang, waktu, dan kebudavaan tertentu. Pada zaman Plato, misalnya, peniruan merupakan unsur intrinsik karya sastra. Pada zman modern yang dituntut dari karya sastra adalah otonominya dari berbagai aspek kehidupan lain: seni untuk seni itu sendiri. Dari uraian itu jelas bahwa bagi Seung subjek karya sastra bukan individu, melainkan kelompok. Intensiintensi pengarang adalah intensi-intensi yang dibangun oleh kelompok, oleh norma dan fungsi pragmatik yang berlaku pada ruang, waktu, dan kebudayaan tertentu.
2.4
Aktivitas, Tugas/Latihan, dan Rangkuman
2.4.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..
•
Tanya-Jawab
2.4.2
Tugas dan/atau Latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.
2.4.3
Rangkuman Secara ontologis karya sastra adalah entitas yang bersifat mental, tetapi yang mengalami
objektivikasi secara empirik. Aspek empiric karya sastra adalah bunyi atau huruf. Bunyi atau huruf itu tidak bermakna apabila tidak dikaitkan dengan beberapa kodifikasi yangh berlaku. Kodifikasi itu meliputi kodifikasi bahasa, kebudayaan, dan sastra, dan intensi personal. Kodifikasi bahasa memperlihatkan tingkat kepastian tertinggi karena keluasan penyebaran dan kekuatan kelembagaannya, sedangkan intensi personal ada di tingkat kepastian yang terendah. Karena kodrat ontologisnya yang demikian, pengetahuan sastra hanya dapat dengan benar diperoleh jika mempertimbangkan keseluruhan aspek karya sastra di atas.
2.5
PENUTUP
2.5.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 – 1000
2.5.2
Tindak lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
2.6
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator keberhasilan
Butir kemampuan Butir penilaian
Poin maks.
Menyusun metode Pemahaman penelitian mengenai
karya
sastra tertentu
2.7 No.
100
Kesesuaian teori dengan metode Operasionalisasi konsep
Matrix Penilaian Materi/isi
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
Ranah C6
Afektif
Ranah
Metode Tujuan
Psikomo Penilaia Khusus torik
n
Pembela jaran
1.
Dasar ontologis 1
1
X
A
1
X
A/I/P
dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian teori
1
dengan
Tugas,
D1
mid
metode
semeste r
3.
Langkah-
1
1
1
X
A/I/P
Mid
langkah
Semest
penelitian sastra
er
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
D1
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 3
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, SU
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012
Desember 2012
Evaluasi dan
bahasan, alokasi
3
formal 9
Memahami
Prosedur
dan
penelitian sastra
menerapkan prosedur formal penelitian sastra
Penilaian
Metode
Aktivitas
Aktivitas Dosen/
Ajar
Mahasiswa
Nama Pengajar
Sumb er Ajar
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
Indikator
Metode
subpokok
Gambar
Keluaran/
Topik (pokok,
Presentasi
Tujuan Ajar/
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Tanya-jawab,
Diskusi,
Menyimak
Daya-simak,
Presentasi,
mempraktik-kan
Praktik
Penjelasan
dan Menjelas-kan dan Ilmu memandu
dalam Persp ektif
BAB III PROSEDUR FORMAL PENELITIAN SASTRA
Sebagaimana yang sudah dikemukakan, beberapa tulisan mengenai metode penelitian sastra cenderung memahami metode tersebut sebagai seperangkat prosedur formal yang sudah baku, yang dipinjam dari penelitian ilmiah bidang-bidang ilmu yang lain tanpa mempertimbangkan alasan ontologis dan epistemologisnya sehingga membuatnya cenderung disalahpahami dan bahkan diterima begitu saja tanpa kemungkinan modifikasi ataupun pengembangannya. Untuk dapat keluar dari kecenderungan serupa itu, prosedur formal tersebut perlu dikembalikan pada kerangka pemikiran filosofis yang sudah disampaikan, misalnya dengan bermula dari kemungkinan dasar filosofis dari kasus ketumpangtindihan sifat sistematik penelitian yang dikemukakan oleh Wuradji di butir 1 tulisan ini. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah, apakah sistematika merupakan sifat penelitian secara keseluruhan ataukah aspek metodenya atau justru bukan sifat dari keduanya? Seperti sudah dikatakan, objek pengetahuan ilmiah bukanlah dunia empirik, melainkan segala aturan atau mekanisme yang bersifat umum, abstrak, yang memungkinkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang bersifat khusus, konkret. Karakter objek yang serupa itulah yang membuat ilmu pengetahuan mengasumsikan objeknya sebagai sesuatu yang mempunyai pola atau keteraturan tertentu pula. Jika aturan atau mekanisme itu diartikan sebagai sebuah sistem, sifat sistematik dari penelitian itu tidak bersumber pada penelitian keseluruhan maupun pada aspek metodenya, melainkan pada dasar ontologisnya, yaitu yang menyangkut karakter objek pengetahuan yang bersangkutan. Karakter sistematik dari objek itu, pada gilirannya, menuntut rasionalitas sebagai metodenya. Rasionalitas ini, seperti yang sudah pula dikemukakan, memberikan sifat koheren dan logis dari pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, karena objeknya diasumsikan sebagai bersistem, penelitian mengenainya harus pula sistematik. Adapun cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai sistem itu sendiri adalah metode rasional dan logis. Dengan cara yang sama dapat pula ditemukan jalan keluar atau jawaban terhadap permasalahan yang terungkap dalam kasus kedua, yaitu kasus pandangan Chamamah Soeratno mengenai landasan kerja penelitian ilmiah seperti yang sudah dikutip dalam uraian terdahulu. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang ada di balik gejalagejala empirik yang berlaku secara umum, universal. Karena sifat universalnya itu, pengetahuan
ilmiah tidak pernah final. Pengetahuan sebelumnya harus terus diuji secara empirik maupun rasional dengan mengacu kepada kasus-kasus baru yang mungkin belum terjamah, pengujian yang pada gilirannya akan membenarkan ataupun menyangkal, mengukuhkan ataupun mengubah pengetahuan ilmiah sebelumnya, baik yang menyangkut fakta-fakta empiriknya maupun sistematikanya. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh secara akumulatif, tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya dan tidak dapat dilepaskan dari tuntutan akan pengujiannya di masa kini maupun di masa depan. Namun, tidak semua rangkaian pengetahuan dari waktu ke waktu dapat membangun satu kesatuan pengetahuan baru yang akumulatif. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara yang berbeda, dirumuskan dengan cara yang berlainan, dengan “bahasa” yang berbeda, tidak akan dapat membangun kesatuan pengetahuan baru yang demikian. Sebagai misal, pengetahuan berbagai anggota masyarakat mengenai letusan Gunung Merapi, sebagaimana yang tampak dalam berbagai wacana di berbagai media, tidak selalu dapat berkomunikasi satu sama lain untuk membangun satu pengetahuan baru yang akumulatif. Karena tujuannya berbeda, cara perolehan pengetahuannya berbeda, fakta-fakta yang ditemukan berbeda, begitu pula penjelasan mengenai relasi kausal ataupun simbolik antarfakta masing-masing. Di satu pihak, umpamanya, ada yang memperhatikan fakta yang berupa arah gerakan awan panas, di lain pihak, ada yang justru memperhatikan citra Petruk yang terbentuk oleh awan itu. Yang pertama memberikan penjelasan secara akademis, sedangkan yang lain memberikan penjelasan secara mistis. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai landasan teori dalam penelitian ilmiah, dalam rangka mencapai pengetahuan ilmiah yang akumulatif, tidak dapat didefinisikan sebagai “perenungan” yang mengimplikasikan sebuah kegiatan pikiran dan bahkan perasaan dengan batasbatas yang tidak terlalu jelas dan cenderung subjektif. Teori, hanya dapat bermanfaat bagi terbentuknya pengetahuan ilmiah, bila ia merupakan pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang diperoleh dengan seperangkat prosedur yang eksplisit, yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan yang dianggap sudah cukup teruji secara akademik. Sebagai sebuah hasil penelitian yang sudah teruji secara akademis, teori merupakan jawaban (sementara), bukan “pencarian jawaban”. Pencarian jawaban dilakukan oleh penelitian baru atas dasar teori atau jawaban yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, masih dalam hubungan dengan kasus yang kedua, apa yang dalam kutipan di atas dinamakan sebagai “landasan metodologi” dan “landasan kecendekiaan” dapat identik bila dilihat dari filsafat pengetahuan. Sebagaimana yang sudah dikemukakan, metode pengetahuan ilmiah itu
sekaligus bersifat rasional dan empirik. Dalam batas tertentu jelas bahwa apa yang disebut “landasan kecendekiaan” itu termasuk ke dalam metode rasional. Karena itu, ia bukan merupakan landasan tersendiri yang terpisah dari “landasan metodologi”, melainkan menjadi bagian dari landasan yang terakhir tersebut. Dan, sebagai sebuah cara kerja yang identik dengan metode rasional, apa yang dinamakan sebagai “landasan kecendekiaan” itu tentu saja tidak terutama berfungsi sebagai alat untuk membuat penelitian menjadi lebih “adekuat”, melainkan menjadi lebih sistematik, koheren, dan logis. Secara umum, sebagaimana yang juga akan selalu dapat ditemukan dengan berbagai variasinya dalam banyak buku mengenai metode penelitian ilmiah di berbagai bidang ilmu, satuansatuan keadaan dan tindakan serta langkah-langkah yang signifikan dalam proses penelitian ilmiah meliputi hal-hal berikut. •
Identifikasi masalah
•
Perumusan masalah
•
Penyusunan kerangka konseptual atau teoretik
•
Perumusan hipotesis
•
Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan dan analisis data
•
Penarikan kesimpulan hasil penelitian Dalam perspektif filsafat ilmu signifikansi dari keadaan, tindakan, beserta urutannya di atas
bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, sesuatu yang bersifat kebetulan, melainkan didasarkan pada alasan tertentu sesuai dengan hakikat dari pengetahuan ilmiah itu sendiri.
3.1
Identifikasi Masalah Bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang
memungkinkan terjadinya keadaan dan peristiwa-peristiwa empirik, gejala-gejala kehidupan, sudah jelas. Akan tetapi, di dalam filsafat pengetahuan, masih tersisa satu persoalan yang relevan dengan persoalan yang terkait dengan butir (1) dari satuan-satuan keadaan dan langkah penelitian di atas, yaitu persoalan penyebab dipilihnya jenis pengetahuan yang demikian oleh ilmuwan. Dalam hal ini tentu saja ilmuwan ingin mendapatkan jawaban yang mempunyai tingkat kejelasan dan kepastian yang setinggi-tingginya sehingga persoalan kehidupan yang ia hadapi dapat diselesaikan secara efektif, terkendali, dan selamanya dalam pengertian dapat digunakan pula oleh mereka yang hidup dalam ruang maupun waktu yang berbeda.
Pada dasarnya, kecenderungan untuk mendapatkan jawaban atau penyelesaian yang final, yang berlaku universal seperti itu juga terdapat dalam jenis-jenis pengetahuan lain, baik pengetahuan agama maupun apa yang disebut pengetahuan lokal (local knowledge). Pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepiah; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, misalnya, mungkin merupakan jawaban terhadap pertanyaan mengenai adanya ketidaksamaan antara sesama manusia dalam memperoleh kesenangan, kebahagiaan, ataupun kesuksesan tidak hanya secara ekonomi, melainkan terutama secara sosial. Begitu juga pepatah “jur besuki mowo beyo”. Hanya saja, jawaban itu ternyata tidak teruji secara empirik dan tidak sistematik sehingga tidak ada jaminan yang relatif pasti bahwa pemberlakukannya membuahkan hasil yang relatif pasti. Apalagi pengetahuan keagamaan yang, misalnya, mengambalikan semua masalah dalam kehidupan kepada takdir, kehendak tuhan, yang tidak dapat diramalkan atau diantisipasi. Hal itulah yang membuat kemudian muncul semacam bantahan yang bernada ironik: “bersakit-sakit dahulu, bersakit-sakit berkepanjangan”. Kesalahan dalam jawaban seperti yang tampak dalam contoh-contoh di atas mungkin bukan hanya akibat dari kesalahan dalam cara mencari jawaban atau penyelesaian, melainkan dapat pula akibat dari kesalahan dalam cara identifikasi masalah. Kemungkinan dalam kesalahan identifikasi masalah itu, pertama-tama dan terutama, adalah kekaburan dalam batas-batas pengertiannya, misalnya “kesuksesan” dipahami sekedar sebagai ‘keberhasilan’ secara umum tanpa identifikasi lebih jauh, apakah keberhasilan itu merupakan keberhasilan kultural, sosial, ekonomi, psikologis, atau bahkan religius. Kekaburan dalam identifikasi ini membuat jawaban yang diberikan juga menjadi kabur, sangat umum, misalnya dua pepatah dalam kutipan di atas. Identifikasi masalah yang demikian tentu saja tidak dapat menjadi identifikasi masalah yang ilmiah karena tidak akan dapat memberikan jawaban, penyelesaian, atau pengetahuan sebagaimana yang diinginkan oleh ilmu pengetahuan. Mereka yang ada dalam ruang dan waktu yang berbeda dapat menafsirkan masalah itu, juga jawaban-jawaban yang diberikan, dengan cara yang berbeda-beda atau bahkan dengan cara yang sama tidak jelasnya. “Beyo”, dalam pepatah yang kedua, dapat ditafsirkan sebagai “nyogok”, misalnya. Dan, “nyogok” itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai “nyogok” secara sosial, ekonomi, kultural, atau bahkan religius. Persoalan berikutnya yang menyangkut identifikasi masalah ini adalah persoalan kesalahan identifikasi. Sebagai misal, masalah yang sepenuhnya bersifat empirik diidentifikasi sebagai masalah yang bersifat ideologis, spiritual, bahkan religius. Bencana alam, misalnya, ditafsirkan sebagai masalah kutukan tuhan sehingga orang yang melakukan identifikasi demikian mencoba mencari jawaban terhadap masalah itu dengan cara yang religius pula dan jawaban ini tentu saja tidak dapat menjadi jawaban ilmiah. Kekaburan dan
kesalahan identifikasi yang demikian tentu saja disebabkan oleh kenyataan bahwa semua gejala empirik memang dapat diidentifikasi dengan berbagai cara, mempunyai banyak sekali kemungkinan makna. Secara ekonomi bencana alam berarti sejumlah kerugian material, secara sosial berarti hilangnya situs-situs sosialisasi, secara kultural hilangnya situs-situs ritual dan acuan nilai, secara politik krisis kepemimpinan atau hilangnya legitimasi, secara psikologis rusaknya sarana identifikasi diri, dan sebagainya. Kekaburan dan kesalahan dalam identifikasi masalah di atas membuat masalah penelitian yang diajukan menjadi tidak layak diperlakukan sebagai masalah penelitian ilmiah. Namun, secara sosial, historis, dan praktis, tingkat kelayakan sebuah masalah tidak hanya ditentukan oleh kualitas internalnya dilihat dari persayaratan-persyaratan yang murni akademik, melainkan juga oleh kemungkinan kontinuitasnya dalam sejarah ilmu pengetahuan dan kegunaannya secara sosial serta bahkan kemungkinannya untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, dengan mengutip Neuman, Bagong Suyanto (Suyanto 2005: 23--24) mengemukakan bahwa masalah penelitian haruslah terfokus sehingga dapat dilaksanakan. Adapun cara untuk membuat masalah itu terfokus antara lain dengan membatasi diri pada masalah-masalah yang ditinggalkan oleh pengetahuan terdahulu, menempatkannya dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan juga untuk kepentingan tertentu. Lebih jauh, masalah itu harus dibingkai oleh satuan-satuan konseptual yang jelas, yang representatif, dan yang teruji dalam pengertian dapat diamati, terukur, dan terjabarkan (Bdk. Suriasumantri 1978: 29; Suyanto 2005: 28—30).
3.2
Perumusan Masalah Persoalan identifikasi masalah di atas pada dasarnya merupakan persoalan yang hanya
berhubungan dengan proses pemikiran dari ilmuwan, yang menyangkut bagaimana hubungan antara subjek ilmu dengan objeknya. Bagaimanapun, seperti yang didefinisikan oleh filsafat ilmu pengetahuan (Poedjawijatna 1982: 14), pengetahuan apa pun, termasuk pengetahuan ilmiah, merupakan keputusan pikiran mengenai objek. Halnya berbeda dari persoalan perumusan masalah. Persoalan yang kemudian ini merupakan persoalan yang niscaya dalam rangka diperolehnya pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang akumulatif sehingga dicapai tingkat universalitas dan determinasi yang semakin tinggi. Persoalan perumusan masalah ini, dengan kata lain, merupakan persoalan komunikasi ilmiah, komunikasi antarilmuwan yang tentu saja tidak harus ilmuwan yang bersifat profesional, melainkan dapat juga mencakup semua orang yang berminat terlibat dalam komunikasi akademik. Prinsip dasarnya adalah bahwa perumusan masalah benar-benar
merepresentasikan permasalahannya sehingga mereka yang terlibat dalam komunikasi akademik yang bersangkutan pun dapat memahami dengan cara yang sama, dapat melakukan kritik tanpa adanya salah paham, dan dapat melanjutkan dan mengembangkan hasil penelitian itu. Secara umum, sebagaimana yang dikemukakan, perumusan masalah untuk penelitian ilmiah itu setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu (a) dirumuskan dengan bahasa atau simbol-simbol yang representatif terhadap konsep, (b) jelas, dalam pengertian tidak mengandung pernyataanpernyataan dengan makna yang mendua atau ambigu, dan (c) konsisten, dalam pengertian tidak mengandung makna yang kontradiktif. Sehubungan dengan (a), kejelasan dapat dicapai tidak hanya dengan menggunakan simbol-simbol yang tidak bias, tidak konotatif, atau menggunakan kata-kata yang netral, bersih dari nilai rasa kata, melainkan, akan lebih baik, jika menggunakan simbolsimbol ataupun terminologi-terminologi yang sudah biasa digunakan dalam komunitas akademik yang bersangkutan, dalam pendekatan-pendekatan ataupun teori-teori yang berlaku di dalamnya. Tentu saja, penggunaan simbol atau terminologi itu bisa bervariasi sesuai dengan variasi pendekatan dan teori yang hidup dalam dunia akademik. Dalam hal ini perumusan masalah tidak dapat mencampuradukkan simbol atau terminologi yang berasal dari pendekatan atau teori yang satu dengan yang lain karena dapat menimbulkan makna yang mendua dan bahkan kontradiktif sesuai dengan hubungan antarpendekatan dan teori itu. Harus juga diwaspadai adanya terminologi yang sama yang digunakan oleh bidang ilmu yang berbeda sehinggga pengertiannya pun menjadi berbeda, misalnya istilah morfologi dalam biologi dan linguistik. Terhadap kasus yang demikian ilmuwan harus waspada dengan misalnya menempatkan terminologi itu dalam konteks yang khas atau memberikan penjelasan secara khusus. Sekali lagi, dengan mengutip Neuman, Bagong Suyanto (Suyanto 2005: 28—31) mengemukakan beberapa ciri perumusan masalah atau yang disebutnya sebagai pertanyaan penelitian yang baik dan yang buruk sebagai berikut. Menurutnya, perumusan masalah yang buruk itu antara lain (a) mengacu kepada konsep yang operasional, (b) terlalu umum, (c) masih merupakan sekumpulan variabel, (d) masih samar-samar, (e) masih dapat dijabarkan lebih lanjut, sedangkan perumusan masalah yang baik antara lain adalah jelas, terfokus, terminologis, dan operasional.
3.3
Penyusunan Kerangka Konseptual atau Teoretik Seperti sudah dikemukakan, masalah baru teridentifikasi bila masalah itu sudah dibingkai
oleh konsep atau pengertian yang jelas. Menurut Wirawan 2005: 49--50, konsep merupakan pengertian yang menunjuk kepada objek-objek atau proses-proses empirik. Konsep itu dapat berupa hasil abstraksi dari pengalaman objektif mengenai objek-objek dan proses-proses empirik yang dianggap memilki kesamaan tertentu, dapat pula merupakan hasil penalaran ilmiah yang menunjuk kepada objek-objek dan proses-proses empirik hanya secara tidak langsung. Dengan demikian, seorang peneliti ilmiah benar-benar dikatakan mengerti terhadap masalah penelitiannya ketika ia sudah mempunyai konsep mengenai masalah itu secara sadar dan dapat menjelaskannya. Tanpa adanya pengertian atau konsep yang disadari, peneliti dapat dikatakan masih terserap dan tenggelam dalam objek-objek atau proses-proses yang menjadi masalahnya, belum mampu keluar darinya, belum mampu menyadarinya, belum reflektif. Masalah baru teridentifikasi jika si peneliti sudah mampu melakukan refleksi dan, dengan demikian, konseptualisasi. Seorang
ilmuwan
yang
mempunyai
masalah
dan
akan
berusaha
menemukan
penyelesaiannya tidak harus melakukan konseptualisasi secara langsung terhadap objek-objek dan proses-proses yang menjadi masalahnya itu. Sebagai ilmuwan ia berada dan hidup dalam jaringan kerja sama universal dengan ilmuwan-ilmuwan lain di seluruh dunia dalam rangka mencapai pengetahuan ilmiah sebagaimana yang sudah dikemukakan. Karena itu, dengan cadangan pengetahuan yang ia peroleh dari hasil-hasil penelitian yang terdahulu, dari pengetahuan ilmiah yang sudah ditemukan sebelumnya, ia dapat secara otomatis mengidentifikasi masalah yang dihadapinya dengan menempatkannya dalam kerangka konseptual yang sudah ada. Kerangka konseptual inilah yang disebut teori. Ramlan A. Surbakti (Surbakti 2005: 34) menjelaskan persoalan konsep dan teori yang demikian sebagai berikut. “Apabila konsep merupakan pertanyaan what sehingga yang dilakukan dalam konseptualisasi tiada lain merupakan deskripsi realitas baik secara denotatif (keluasan) maupun secara konotatif (kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan why sehingga yang dilakukan dalam teorisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Teori merupakan separangkat proposisi yang menggambarkan suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Namun, karena di dalam teori juga terkandung konsep teoretis, berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.”
Tentu saja teori tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu untuk konseptualisasi, melainkan juga alat bantu untuk menempatkan masalah yang terkait dalam kerangka konseptual tertentu yang sudah mengimplikasikan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain, objek dan proses tertentu dengan objek-objek dan proses-proses yang lain, fakta yang satu dengan fakta-fakta yang lain. Dengan kata lain, teori tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan gambaran mengenai objekobjek dan proses-proses empirik secara spesifik, melainkan juga untuk menjelaskan hubungannya dengan objek-objek dan proses-proses empirik yang lain. Sehubungan dengan hal yang kemudian ini, Surbakti (2005: 36) mengidentifikasi adanya lima tipe penjelasan yang seringkali digunakan dalam penelitian, yaitu (a) penjelasan genetik atau historis yang menyangkut hubungan mengenai asal-usul dan perkembangan dari suatu masalah, (b) penjelasan fungsional yang berkaitan dengan fungsi masalah itu dalam keseluruhan sistem yang di dalamnya ia termasuk, (c) penjelasan disposisional yang menyangkut kecenderungan pendapat, sikap, perilaku seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu masalah, (d) penjelasan intensional yang menghubungkan masalah dengan maksud atau tujuan dari subjek yang terlibat, dan (e) penjelasan rasional yang mengembalikan masalah pada pertimbangan mengenai rasionalitas alasan subjek yang terlibat, mengenai alat dan cara pencapaian tujuan. Ramlan A. Surbakti (2005: 34) mengatakan bahwa kegunaan teori dalam penelitian meliputi (a) menetapkan tujuan penelitian, (b) memberikan pola bagi interpretasi data, (c) menghubungkan satu studi dengan studi lainnya, (d) menyajikan kerangka sehingga konsep dan variabel menjadi penting, (e) memungkinkan dilakukannya interpretasi data yang lebih besar daripada temuan yang diperoleh dari suatu penelitian.
3.4
Perumusan Hipotesis dan Variabel Dari, antara lain, pendapat Suriasumantri (1978:30) dan Wirawan (2005:45) dapat
disimpulkan bahwa hipotesis pada dasarnya adalah kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian. Seperti yang sudah dikemukakan,
teori
tidak
hanya
membantu
peneliti
dalam
mengidentifikasi
dan
mengkonseptualisasi masalah, melainkan juga menempatkannya dalam kerangka konseptual tertentu yang mengimplikasikan hubungan antara masalah itu dengan objek-objek dan prosesproses yang lain. Dengan demikian, begitu sebuah masalah sudah teridentifikasi dan terkonseptualisasi dan ditempatkan dalam kerangka konseptual yang tidak lain adalah teori, peneliti
dengan segera dapat menduga kemungkinan penyelesaian terhadap masalah tersebut, jawaban terhadap pertanyaan yang diimplikasikannya. Wirawan (2005:45-46) mengatakan bahwa hipotesis setidaknya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hipotesis nol dan hipotesis kerja. Hipotesis yang pertama adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, khususnya fakta yang dianggap menjadi sebab dengan yang menjadi akibat, sedangkan hipotesis yang kedua menyatakan adanya hubungan antara kedua hal tersebut. Hipotesis kerja itu sendiri ia bedakan menjadi dua macam pula, yaitu hipotesis kerja yang terarah dengan yang tidak terarah. Hipotesis kerja yang pertama menunjukkan kesamaan dalam arah hubungan kausal antara fakta yang satu dengan yang lain, sedangkan yang kedua menunjukkan hubungan yang berkebalikan di antara kedua fakta yang bersangkutan. Sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan, atas dasar teori yang digunakan, hipotesis merupakan pernyataan yang sekaligus mengandung konsep-konsep yang terdapat dalam perumusan masalah dan relasi antarkonsep tersebut. Apabila konsep-konsep itu “dapat mewujud ke dalam dua atau lebih kesatuan dari variasi (hitungan atau ukuran” atau dapat dikonversi menjadi demikian (Wirawan 2005:47), konsep-konsep itu dapat disebut sebagai variabel. Adapun relasi antarkonsep akan menentukan kedudukan masing-masing variabel itu, apakah termasuk variabel bebas ataukah variabel terikat, variabel berpengaruh ataukah dipengaruhi. Lebih jauh, Wirawan (2005:47—48) membagi variabel menjadi setidaknya dua jenis, yaitu variabel kuantitatif, yaitu variabel yang mengacu kepada fakta-fakta yang dapat dikuantifikasikan dan variabel kualitatif yang dapat dikategorikan, tetapi tidak dapat diangkakan.
3.5
Metode Penelitian Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik diperlukan data-data
empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis sehingga ditemukan hubungan antardata yang dianggap merepresentasikan hubungan antarfakta sebagaimana yang dinyatakan di dalam teori dan hipotesis. Menurut filsafat pengetahuan, seperti yang sudah dikemukakan, persoalan ini termasuk dalam persoalan cara memperoleh pengetahuan atau epistemologi yang dapat dihadapkan dengan teori sebagai serangkaian pernyataan mengenai “ada”nya kenyataan yang menjadi permasalahan atau ontologi. Karena pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adanya objek (Poedjawijatna 1982:16—17), cara
perolehan pengetahuan atau metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya objek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat keberadaan objek itu. Dan, sekali lagi, kenyataan adanya objek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabel-variabel yang ditentukan atas dasarnya. Dengan demikian, sebelum data dikumpulkan dan dianalisis untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis yang sudah dibuat, harus ditentukan lebih dahulu kodrat keberadaan objek yang diteliti. Dalam hal ini yang pertama-tama harus dilakukan adalah menentukan objek material dan objek formal dari penelitian yang bersangkutan sebagaimana yang didefinisikan oleh Poedjawijatna (1982:41—44). Objek material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian, sedangkan objek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Di dalam linguistik, misalnya, yang menjadi objek material adalah keseluruhan tuturan manusia atau masyarakat bahasa yang diteliti, sedangkan objek formalnya dapat berupa satuan-satuan tertentu dari tuturan itu beserta relasi-relasi tertentu antarsatuan tuturan yang bersangkutan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa yang menjadi objek formalnya adalah konteks tuturan, intensi penutur, efek tuturan, dan sebagainya, yang kesemuanya ditentukan oleh sudut pandang yang digunakan peneliti terhadap objek materialnya. Sudut pandang itu tidak hanya menentukan objek material penelitian, melainkan sekaligus mengimplikasikan asumsi-asumsi peneliti mengenai kodrat keberadaan objek penelitiannya. Sudut pandang struktural dalam linguistik, misalnya, mengasumsikan bahwa bahasa merupakan sebuah struktur yang berdiri sendiri, memenuhi diri sendiri, mengatur dan mengembangkan dirinya sendiri, mengabdi pada dirinya sendiri, terlepas dari konteks penggunaannya. Sudut pandang pragmatik menganggap bahwa bahasa merupakan ekspresi yang mengimplikasikan intensi penuturnya sehingga tidak dapat dilepaskan dari konteks tuturannya. Sosiolinguistik mempunyai anggapan bahwa bahasa merupakan alat bagi terbentuk dan terpeliharanya pembagian dan kerja sama sosial di dalam masyarakat. Di dalam terminologi ilmu pengetahuan sudut pandang itu bisa dibentuk oleh apa yang dinamakan paradigma, pendekatan, atau bahkan teori-teori yang termasuk di dalamnya. Dengan demikian, masih dengan menggunakan ilmu bahasa sebagai contoh, data-data penelitian dengan sudut pandang linguistik struktural semata-mata verbal, sudut pandang pragmatik gabungan antara verbal dan intensi penutur serta konteks atau situasi tuturan, data-data sosio-linguistik juga gabungan antara data verbal dengan data sosial, baik yang bersifat behavioral maupun institusional. Karena setiap objek formal mengandaikan cara keberadaan yang spesifik, teknik pengumpulan data yang dapat digunakan secara efisien dan efektif tentunya harus sesuai dengan
cara keberadaan objek formal itu. Untuk memperoleh data verbal cara terbaik yang dapat digunakan adalah teknik simak yang dapat disetarakan dengan observasi (Sudaryanto….), untuk memperoleh data intensional yang diperlukan tentu saja teknik wawancara, sedangkan untuk data sosial dapat dipinjam segala macam teknik yang biasa digunakan di dalam ilmu sosial. Metode dan teknik pengumpulan ini pada dasarnya seperangkat cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya adalah mengumpulkan fakta-fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian. Dengan kata lain, apabila dikembalikan kepada dasar-dasar metode ilmu pengetahuan seperti yang sudah dikemukakan, metode dan teknik pengumpulan data tersebut bekerja secara induktif. Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan. Sebagaimana yang sudah dikemukakan, hubungan itu dapat berupa hubungan genetik, hubungan fungsional, hubungan disposisional, intensional, kausal, dan sebagainya. Hasil dari analisis data inilah yang akan menjadi pengetahuan ilmiah, pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang menjadi sumber data. Masih banyak seluk-beluk persoalan yang terkait dengan metode penelitian ini. Ada persoalan populasi dan sampel, instrumen penelitian, dan sebagainya. Meskipun demikian, untuk kepentingan penjelasan mengenai cara pandang filsafat ilmu terhadap prosedur formal penelitian ilmiah, pembahasan tidak perlu sampai kepada persoalan-persoalan yang sebegitu rinci. Yang terpenting adalah bahwa apa yang dianggap satuan-satuan dan langkah-langkah signifikan dalam penelitian ilmiah hanya dapat dipahami dengan jernih jika dijelaskan dengan acuan filsafat ilmu seperti yang sudah diuraikan. Hanya dengan cara yang demikian, jalan mungkin dapat lebih terbuka untuk mengatasi ketimpangan dalam perkembangan ilmu sastra, yaitu untuk membangun dan merumuskan metode penelitian sastra. Bab-bab berikutnya dari buku ini akan memaparkan paradigma-paradigma dalam ilmu sastra, landasan ontologis ilmu sastra, kemungkinankemungkinan metodologis penelitian sastra, dan beberapa contoh analisis terhadap karya sastra.
3.6
Aktivitas, Tugas dan Latihan serta Rangkuman
3.6.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..
•
Tanya-Jawab
. 3.6.2
Tugas dan/atau Latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.
3.6.3
Rangkuman Sesuai dengan dasar ontologis dan epistemologisnya di atas, penelitian karya sastra harus
mengikuti prosedur yang sebenarnya tidak banyak berbeda dari prosedur ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu dengan bermula dari identifikasi masalah, perumusan masalah, pembangunan konsep atau teori, penentuan dan perumusan hipotesis, penentuan variable, pengujian dengan cara pengumpulan dan analisis data. Kesemua prosedur tersebut dibingkai oleh prinsip epistemologis ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu rasional dan empiric.
3.7
Penutup
3.7.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 – 1000
3.7.2
Tindak Lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
3.8
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator keberhasilan
Butir kemampuan
metode penelitian karya
sastra tertentu
3.9
Poin maks.
Pemahaman
Menyusun mengenai
Butir penilaian
100
Kesesuaian teori dengan metode Operasionalisasi konsep
Matrix Penilaian
No. Materi/isi
Ranah
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
C6
Ranah
Metode
Tujuan
Afektif Psikomo Penilaia Khusus torik
n
Pembelaja ran
1.
Dasar
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
ontologis dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian
Tugas,
teori dengan
mid
metode
semeste r
D1
3.
Langkah-
1
1
1
X
A/I/P
Mid
langkah
Semest
penelitian
er
D1
sastra
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 4
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, SU
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012
Desember 2012
Evaluasi dan
bahasan, alokasi
4
Memahami
Paradigma-
paradigm-
paradigma dalam
paradigma
ilmu sastra
dalam sastra
ilmu
9
Penilaian
Metode
Aktivitas
Ajar
Mahasiswa
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumber Ajar
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
Indikator
Metode
subpokok
Gambar
Keluaran/
Topik (pokok,
Presentasi
Tujuan Ajar/
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Tanya-jawab Daya simak
Menyimak,
Menyimak,
Menjelas-kan,
An
diskusi,
bertanya,
bertanya,
dan Introduct
penjelaskan
menjawab
menjawab
ory Guige to Poststructural ism ..
BAB IV BEBERAPA PARADIGMA DALAM ILMU SASTRA
4.1
Pengantar Kemunculan formalisme Rusia pada awal abad XX dipandang oleh banyak ahli sebagai
awal dari kelahiran kritik sastra akademis, yaitu kritik sastra sebagai aktivitas dan hasil aktivitas pemahaman dan penilaian karya sastra yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern. Pandangan yang demikian tentu saja bukan tanpa alasan. Pertama, kritik sastra itu memang lahir dari lingkungan akademis, terutama para ahli bahasa dan sastra yang mendapat pengaruh kuat dari ditemukannya linguistik struktural oleh Ferdinand de Saussure. Dan, kedua, sebagaimana linguistik struktural Saussurean itu, formalisme Rusia pertama-tama berusaha menemukan dan penentukan objek ilmu sastra dan, dengan demikian kritik sastra, sebagai objek yang spesifik yang dapat dibedakan dan dipisahkan dari objek ilmu pengetahuan lainnya, terutama ilmu-ilmu sosialpolitik, ilmu sejarah, dan bahkan linguistik itu sendiri. Formalisme Rusia itu kemudian dipahami sebagai titik berangkat yang penting bagi perkembangan yang pesat dari ilmu dan kritik sastra akademis berikutnya, yaitu antara lain strukturalisme Praha, strukturalisme Perancis, strukturalisme-genetik, semiotika, dan kritik sastra pasca-modern dan pasca-struktural, kritik sastra “pasca-Marxis”, yang pada gilirannya bahkan membuahkan sebuah lapangan studi baru yang disebut sebagai kajian-kajian budaya. Namun, meskipun sudah lahir sejak awal abad XX, formalisme Rusia itu baru dikenali secara meluas di dunia pada sekitar tahun 1970-an. Bisa dikatakan tidak ada yang mengetahui bahwa buku teori sastra yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren, yang memperoleh popularitas jauh lebih awal sesungguhnya didasarkan pada formalisme Rusia tersebut. Sebagaimana popularitas yang diperoleh oleh aliran Kritik Sastra Baru di Amerika, salah satu kemungkinan penyebab penting dari keterlambatan popularitas formalisme Rusia itu adalah faktor geo-politik dan kultural dari wilayah kelahirannya sendiri, yaitu Rusia. Hegemoni Amerika, popularitas bahasa Inggris, membuat teori dan kritik sastra Rusia yang ditulis dalam bahasa Rusia itu baru menjadi populer ketika ia memperoleh popularitas begitu ia disentuh oleh para akademisi Amerika dan diterjemahkan ke serta didiskusikan dalam bahasa Inggris.
Dengan kata lain, ketika formalisme Rusia masih terisolir dalam lingkungannya sendiri itu, kritik sastra yang hegemonik atau yang hidup dan digunakan oleh masyarakat sastra di dunia, khususnya masyarakat sastra modern Barat dengan segala lingkungan yang terpengaruh olehnya, adalah kritik sastra yang lahir pada abad-abad sebelumnya, yaitu kritik sastra yang antara lain lahir dari lingkungan para sastrawan sendiri serta dari lingkungan elite-elite budaya yang mengaitkannya sebagai salah satu gaya hidup orang-orang yang “beradab” seperti yang antara lain terjadi di Inggris pada peralihan abad XVIII—XIX.
Selain itu, tentu juga tumbuh dan hidup berbagai macam
pendekatan “eksternal” terhadap karya sastra seperti pendekatan sosiologis-Marxis, pendekatan psikologis yang berhubungan erat dengan pendekatan Kritik Baru Amerika sebagaimana yang antara lain terlihat dalam karya-karya kritik sastra I.A. Richard. Teori kritik sastra Rene Wellek dan Austin Warren, dengan berbagai aplikasinya, menggambarkan dan sekaligus menggabung berbagai pendekatan di atas dengan menempatkan kritik sastra formalis Rusia sebagai dasarnya. Tulisan ini akan mengklasifikasikan berbagai kecenderungan kritik sastra di atas sebagaimana yang antara lain dilakukan oleh M.H. Abrams agar pemahaman mengenainya dapat menjadi lebih mudah dan tersederhanakan. Hanya saja, jika Abrams melakukannya semata-mata dalam batas tekstual dan teknis-metodologis, tulisan ini akan melakukannya dengan menempatkan berbagai kritik sastra itu dalam konteks diskursif yang lebih luas sehingga signifikansi kulturalideologisnya pun dapat dipahami.
Bagaimanapun, kritik sastra bukanlah aktivitas dan hasil
aktivitas akademis yang netral belaka, melainkan bagian dari sebuah aktivitas diskursif-ideologis yang mempunyai kontribusi dalam pembentukan suatu sistem sosial tertentu dalam konteks historis tertentu. Dan, hanya dengan cara demikian, kritik sastra sebagai paradigma dapat dipahami. Sesuai dengan pengertian paradigma itu, cara demikian membuka kemungkinan pemahaman bagaimana aneka kritik sastra yang seakan berbeda sebenarnya berada dalam satu paradigma yang sama dalam pengertian mempunyai asumsi-asumsi dasar yang sama dengan segala implikasi teoretik dan metodologisnya.
4.1.1
Kritik Sastra Humanis dan Pembentukan Subjek Yang saya maksud dengan kritik sastra humanis adalah kritik sastra yang melakukan
pemahaman dan penilaian terhadap karya sastra atas dasar satu pandangan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat dunia, sebagai asal dan sekaligus tujuan dari segala proses kehidupan yang berlangsung di dunia, baik kehidupan manusiawi maupun alamiah. Secara filosofis, yaitu dalam relasinya dengan kekuatan-kekuatan dunia yang lainnya, yaitu apa yang disebut dengan
Tuhan dan alam, manusia itu dipahami sebagai manusia pada umumnya atau manusia sebagai kolektivitas, sedangkan secara sosio-kultural, yaitu dalam relasinya dengan sesama manusia, dalam konteks kemasyarakatan dan kebudayaan yang berlaku dalam lingkungan sosial tertentu, manusia itu cenderung dipahami sebagai individu. Kritik sastra humanis itu merupakan bagian dari formasi diskursif yang lahir dan berkembang sejak sekitar awal abad XVI di Eropa, yaitu formasi diskursif yang berusaha membebaskan manusia dari “belenggu” sistem filsafat dan sosio-kultural “abad pertengahan” yang menempatkan manusia, baik secara kolektif maupun individual, dalam posisi yang hina, tidak berdaya. Karena itu, perjuangan kritik sastra ini adalah menemukan kembali manusia sebagai makhluk yang bermartabat, sebagai subjek yang mandiri, dan sekaligua sebagai kekuatan yang formatif-determinatif terhadap lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alamiah maupun manusiawinya. Tindakan penemuan kembali semua hal tersebut biasa disebut sebagai tindakan emansipatoris, tindakan emansipasi segala objek menjadi subjek, yang objektif menjadi subjektif. Humanisme merupakan fase awal dari modernisme. Fase keduanya adalah pencerahan yang juga merupakan formasi diskursif yang terarah pada pembentukan subjek. Des Cartes dipandang sebagai pelopor dalam fase kedua ini. Subjektivitas manusia dipahami sebagai kemampuan manusia itu untuk berpikir rasional dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk prasangka, terutama segala pengaruh mitos dan alam pikiran tradisional. Termasuk ke dalam fase pencerahan ini idealisme Hegelian yang berusaha menebus ketakberdayaan manusia dengan mengangkatnya ke langit, ke alam ide, Roh absolut, dan materialisme Marxian yang mencoba menebus kondisi objektif manusia dengan revolusi fisik dan ideologis. Romantisisme, yang merupakan paham yang berpengaruh kuat dan bahkan hidup dan berkembang di lingkungan seniman dan sastrawan juga merupakan formasi diskursif humanis. Paham ini sangat dekat dengan paham idealisme yang mencoba menebus ketakberdayaan manusia dan lingkungan alamiah dengan memberinya semacam roh subjektif. Dalam kasus kesenian dan kesusastraan roh tersebut adalah subjektivitas seniman dan sastrawannya. Karena itu, kritik sastra yang berkembang antara lain adalah kritik sastra yang berusaha menemukan diri sastrawan sebagai asal dan tujuan dari karya-karya sastranya. Kritik yang demikian, oleh Abrams, disebut sebagai kritik sastra ekspresif, yaitu kritik sastra yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi diri sastrawan. Di samping kritik sastra ekspresif itu, Abrams juga menyebut adanya jenis-jenis kritik sastra yang lain, yaitu kritik sastra mimetik, kritik sastra objektif, dan kritik sastra yang menimbang karya
sastra dari segi kemungkinan pengaruh atau efeknya terhadap pembaca. Namun, sesungguhnya berbagai kritik sastra tersebut, secara paradigmatik, bisa ditempatkan dalam satu kategori dengan kritik sastra ekspresif di atas. Semuanya merupakan kritik sastra humanis yang diarahkan dan dikerahkan untuk membangun subjektivitas manusia. Menjadikan dunia objektif menjadi subjektif, mengemansipasikan yang tidak berdaya menjadi berdaya, analog dengan membuat yang mati menjadi hidup atau menghidupkan dunia objek yang mati. Hidup, dengan demikian, merupakan salah satu kata kunci dari kritik sastra humanis. Dengan pemahaman seperti ini, kritik sastra mimetik pada dasarnya merupakan satu usaha menemukan kehidupan dalam bangunan dunia imajiner yang fiksional dan/atau artifisial. Konsep hidup ini pula yang beroperasi dalam kritik sastra objektif yang konvensional. Analisis latar atau ruang dan waktu cerita dalam kritik yang kemudian ini diarahkan pada usaha menemukan sejauh mana apa yang digambarkan itu seakan-akan hidup, menyerupai kehidupan. Begitu juga analisis tokoh dan penokohan cerita. Pandangan paradigmatik di atas memungkinkan pula untuk memahami betapa perdebatan antara aliran kritik sastra “Rawamangun” dan kritik sastra “Ganzeit” yang pernah terjadi di Indonesia menjadi sebuah perdebatan yang pada hakikatnya semu. Kritik sastra yang kemudian itu menolak kritik sastra demi pembelaan terhadap “hidup”, tepatnya terhadap kedudukan karya sastra yang dianggap menyerupai sebuah organisme yang hidup, yang tidak boleh diperlakukan seperti mayat yang dipotong-potong dengan pisau bedah di meja operasi. Tapi, sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, apa yang dicari oleh kritik sastra objektif pun sebenarnya adalah juga kehidupan. Untuk memperjelas keserupaan antara keduanya ini dapat disimak aliran kritik sastra objektif yang ekstrem, yaitu formalisme Rusia. Formalisme Rusia menganggap fungsi karya sastra sebagai alat untuk menyegarkan persepsi manusia mengenai kehidupan. Menurut paham ini, kehidupan keseharian yang dialami manusia pada titik tertentu cenderung akan mengalami rutinitas atau proses otomatisasi. Ketika menjadi rutin, kehidupan itu tidak lagi “hidup” dalam persepsi manusia, kehadirannya menjadi tidak lagi terasa. Untuk menghidupkan kembali persepsi atas kehidupan itu, karya sastra melakukan deotomatisasi terhadapnya, menatanya kembali dengan bentuk yang berbeda dari yang biasa ditemukan dalam pengalaman hidup keseharian itu. Dalam puisi deotomatisasi itu menyatakan diri dalam bentuk penonjolan aspek bunyi dari bahasa, melebihi aspek maknanya, sedangkan dalam prosa deotomatisasi itu menyatakan diri dalam penonjolan komposisi atau plot cerita dan pengubahan persspektif atau sudut pandang.
Dengan paham serupa itu menjadi jelas pula bahwa formalisme Rusia yang merupakan kritik sastra yang muncul di awal abad XX, menyatakan diri sebagai kritik sastra yang sepenuhnya akademis dengan menggunakan linguistik sebagai model, merupakan kelanjutan dari kritik sastra yang muncul dan berkembang di atas sebelumnya, yaitu kritik sastra humanis yang merupakan bagian dari formasi diskursif modernis. Seperti sudah dikemukakan, kritik sastra ini diarahkan untuk membangun subjektivitas manusia dengan membebaskannya dari kondisi sebagai objek, sebagai benda mati, sebagai sesuatu yang tidak berdaya.
4.1.2
Kritik Sastra Strukturalis dan Penaklukan Subjek Kritik sastra strukturalis dikenal sebagai kritik sastra dengan klaim bahwa pengarang sudah
mati. Implikasi ideologis dari klaim ini tidak sekedar bahwa kritik sastra itu hanya memberikan perhatian pada teks sastra dan tidak menghubungkannya dengan pengarang sebagai sesuatu yang ada di luar teks, melainkan bahwa apa yang dinamakan pengarang itu sebenarnya tidak ada. Yang mengarang karya sastra bukanlah pengarang, melainkan struktur karya sastra itu sendiri. Untuk memahami pandangan yang “aneh” ini perlu disimak kembali teori bahasa dari linguistik struktural (Saussure 1988) yang menjadi modelnya. Teori ini membagi bahasa menjadi dua dimensi dasar, yaitu dimensi “bahasa” (langue) dan dimensi “tuturan” (parole). Dimensi yang pertama merupakan sistem bahasa yang bersifat abstrak, umum, kolektif, terbatas, dan stabil, sedangkan dimensi yang kedua merupakan entitas yang bersifat konkret, khusus, individual, dan berubah-ubah (labil), dengan variasi yang tidak terbatas. Sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha menemukan hukum-hukum yang bersifat umum, linguistik menetapkan bahwa yang menjadi objeknya bukanlah parole, melainkan langue. Parole tidak dapat dipelajari oleh linguistik karena variasinya yang tidak terbatas, dan terus berubah. Analog dengan pengertian di atas, kritik sastra struktural adalah kritik sastra yang bertujuan menemukan sistem sastra yang juga bersifat abstrak, kolektif, terbatas, dan stabil seperti karakteristik yang dimiliki oleh langue, bukan memahami dan menilai karya sastra tertentu yang konkret. Kalaupun ia melakukan pembahasan terhadap karya sastra tertentu, pembahasan itu tidak ditujukan untuk memahami karya sastra itu sendiri, melainkan untuk menemukan struktur yang abstrak yang ada di baliknya dan yang dianggap berlaku juga bagi karya-karya sastra tertentu yang lainnya. Kecenderungan demikian terjadi karena kritik sastra struktural, sebagaimana halnya linguistik, memandang karya sastra tertentu sebagai parole. Dan, seperti halnya parole, karya sastra
tertentu itu dianggap sekedar sebagai aktualisasi dari langue, dari struktur “bahasa” yang bersangkutan. Sebagai aktualisasi dari struktur sistem sastra, karya sastra, bagi kritik sastra struktural merupakan produk dari sistem tersebut, bukan produk dari pengarang. Pengarang, bagi kritik sastra yang demikian tidak lebih dari sebuah “sarana” yang memungkinkan struktur yang abstrak itu menyatakan dirinya secara konkret dalam bentuk karya sastra tertentu. Dengan kata lain, kritik sastra ini menganggap bahwa strukturlah yang mengarang karya sastra, bukan subjek manusiawi yang bernama pengarang itu. Dengan pandangan yang demikian, kritik sastra tidak hanya menghapuskan peran pengarang sebagai subjek, melainkan bahkan citra manusia di dalam bangunan dunia imajiner karya sastra. Tokoh-tokoh cerita yang di dalam kritik sastra humanis dibayangkan sebagai manusia sehingga dianalisis dengan cara yang menyerupai psikologi ataupun sosiologi dipahami oleh kritik sastra struktural sebagai tidak lebih daripada pelaku atau pelaksana struktur yang pasif, antara lain dengan disebut sebagai “aktan”. Sejajar dengan itu, rangkaian tindakan yang ada dalam karya sastra ditempatkan sebagai produk dari sistem relasi yang abstrak dari apa yang disebut dengan fungsifungsi, misalnya fungsi subjek, predikat, objek sebagaimana yang digunakan pula dalam linguistik.
4.1.3
Kritik Sastra Diskursif atau Pasca-Struktural Sebagaimana kritik sastra struktural, kritik sastra diskursif juga tidak mengakui keberadaan
subjek dan perannya dalam pembentukan dan bahkan penciptaan karya sastra. Namun, jika kritik sastra yang terdahulu itu menggantikan peran subjek dengan peran struktur yang abstrak, kritik sastra yang kemudian justru juga tidak mengakui keberadaan dan peran determinan dari struktur yang abstrak tersebut. Dengan mendasarkan diri pada linguistik struktural pula, kritik sastra diskursif beranggapan bahwa bahasa tidak lebih daripada sekedar rangkaian tuturan atau parole dan tidak ada sesuatu yang lain di luar hal itu. Dan apabila struktur dipahami sebagai sesuatu yang abstrak, general, parole merupakan sesuatu yang konkret, partikular, yang terikat pada ruang dan waktu. Jika struktur dipahami sebagai sistem kebahasaan yang bersifat tetap dan statis, parole merupakan praktik kebahasaan yang nyata dan dinamis. Studi mengenai parole ini pada umumnya disebut studi mengenai wacana (discourse). Meskipun partikular wacana bukanlah entitas yang sepenuhnya unik dan independen, yang terlepas dari entitas lain yang ada di luar dirinya sendiri. Teori-teori wacana cenderung beranggapan
bahwa wacana atau praktik kebahasaan hanya mungkin terjadi dalam konteks wacana-wacana yang ada sebelumnya. Wacana pada dasarnya merupakan dialog dan, dengan demikian, bersifat dialogis. Dengan pengertian demikian, kritik sastra diskursif memahami karya sastra sebagai wacana dan aktivitas kritik sastra merupakan usaha untuk menemukan hubungan antara karya sastra dengan berbagai wacana yang ada sebelumnya dan bahkan sesudahnya, termasuk di dalamnya karya-karya sastra yang terdahulu dan yang kemudian. Lebih jauh, sifat dialogis dari karya sastra itu tidak hanya menyatakan diri pada kenyataan bahwa karya itu berhubungan dengan wacana yang ada di luar dirinya, melainkan juga pada kenyataan bahwa karya sastra tertentu mengandung kemungkinan aneka suara di dalam dirinya, aneka suara yang tidak harus secara bersama-sama membentuk satu kesatuan makna yang mengatasi keanekaannya, melainkan dapat pula saling bertentangan, saling membayangi, dan bahkan saling menihilkan satu sama lain dan karenanya bersifat dekonstruktif terhadap dirinya. Dengan kecenderungan yang terakhir di atas kritik diskursif benar-benar menghadapkan diri dengan kritik sastra struktural. Jika kritik sastra struktural berusaha menemukan satu pusat makna yang menjadi kekuatan yang mempersatukan semua unsur pembentuk karya sastra yang sebenarnya beraneka, mencari satu invarian dari berbagai variasi, kritik sastra diskursif justru cenderung membuat tersebar (decentering dan untying) kemungkinan kesatuan makna itu, baik dengan menempatkan karya sastra tertentu dalam bayang-bayang karya yang lain yang bertentangan dan bahkan menihilkannya, maupun dengan menemukan adanya kemungkinan suara lain dalam karya sastra itu sendiri yang membayangi, menantang, dan menihilkan kemungkinan kesatuan makna internalnya. Sebenarnya kritik sastra diskursif tidak menolak keberadaan subjek. Hanya saja, subjek itu, menurutnya, bukanlah subjek sebagaimana yang dibayangkan oleh kaum humanis, termasuk kritik sastra humanis, yaitu subjek yang mandiri, bebas, dan bahkan yang menentukan lingkungan sekitarnya. Subjek dalam kritik sastra diskursif merupakan subjek yang dibentuk oleh wacana, termasuk di dalamnya oleh karya sastra. Karena merupakan hasil bentukan, bagi kritik sastra diskursif subjek bukanlah entitas yang bersifat tetap dan stabil, melainkan dapat dan bahkan akan selalu bervariasi dan mengalami perubahan sesuai dengan karakteristik wacana itu sendiri dan dengan formasi diskursif yang membentuknya. Pengertian di atas mengimplikasikan bahwa wacana, termasuk di dalamnya karya sastra, merupakan suatu kekuatan yang aktif-formatif, bukan sekedar tempat kosong bagi bekerjanya struktur yang abstrak. Di dalam dan bersama wacana atau praktik diskursif sekaligus beroperasi
kekuasaan sehingga membentuk apa yang biasa disebut “wacana/kuasa”. Kritik sastra diskursif, dalam pengertian demikian, menjadi aktivitas pemahaman dan penilaian terhadap karya sastra yang terarah pada pembuktian keterlibatan positif karya sastra itu dalam formasi diskursif tertentu, yaitu aneka wacana/kuasa yang mengarah kepada pembentukan subjek tertentu. Tapi, di lain pihak, kritik sastra diskursif dapat pula mengarahkan perhatiannya pada pembuktian mengenai sifat konstruktif dari subjek yang dibentuk oleh formasi diskursif tertentu. Dalam batas tertentu kritik sastra diskursif ini dapat disebut sebagai kritik sastra pascastruktural karena untuk melakukan decentering terhadap pemusatan, dekonstruksi terhadap struktur, ia harus pula melakukan konstruksi dan/atau strukturasi. Hanya saja, konstruksi dan strukturasinya itu dilakukan dalam rangka untuk menemukan unsur-unsur yang subversif dan dekonstruktif dari struktur itu. Dengan kata lain, kritik diskursif tidak menghentikan kegiatannya pada momen ditemukannya struktur, melainkan terus bergerak melampaui struktur itu. Ketika kritik ini mengkonstruksi satu subjek, misalnya, ia sekaligus bergerak ke arah pembuktian bahwa subjek itu sebenarnya sesuatu yang labil dan terbuka untuk menjadi sesuatu yang lain.
4.1.4
Kritik Sastra Pasca-Marxis Kritik sastra Marxis tergolong kritik sastra struktural. Namun, berbeda dari kritik sastra
struktural yang menggunakan linguistik struktural sebagai modelnya, kritik sastra Marxis mendasarkan diri pada teori struktur sosial Marx. Marx memahami masyarakat sebagai sebuah struktur yang ditopang oleh dua elemen dasar, yaitu elemen material/ekonomi dan elemen ideologis/kultural. Elemen pertama disebutnya sebagai infrastruktur atau struktur dasar (base structure), sedangkan elemen kedua sebagai superstruktur atau struktur permukaan. Di antara kedua elemen itu elemen pertamalah yang menjadi pusat, menjadi penentu bagi keseluruhan struktur sosial. Superstruktur merupakan fungsi dari infrastruktur. Karena termasuk dalam elemen ideologis, karya sastra merupakan fungsi dari struktur ekonomi yang menjadi dasarnya. Kritik sastra pasca-Marxis adalah kritik sastra Marxis yang sudah menyerap teori-teori linguistik struktural dan pasca-struktural ke dalam dirinya. Di dalam kritik ini superstruktur dipahami tidak lagi sekedar sebagai fungsi dari infrastruktur, melainkan merupakan kekuatan yang relatif independen dan kekuatannya itu bahkan dapat melampaui batas-batas struktural. Kekuatan produksi yang berlangsung di wilayah infrastruktural akan segera tumbang jika tidak ada kekuatan reproduksi yang beroperasi di wilayah superstruktural, kekuatan hegemonik dapat melampaui
kekuatan dominasi. Dalam dua hal yang kemudian inilah persoalan wacana menjadi penting dan membuat kritik sastra Pasca-Marxis bersentuhan dengan kritik sastra diskursif. Namun, tentu saja, ada perbedaan antara kedua kritik sastra di atas. Kritik sastra pascaMarxis tetap menempatkan wacana dalam konteks struktur sosial yang berbasis ekonomi sehingga subjek yang dikonstruksi oleh karya sastra akan dianalisis dengan pendekatan ekonomi-politik dalam pengertian bahwa subjek itu dibentuk dalam rangka mempertahankan ataupun melawan struktur sosial yang ada. Hal demikian tidak berlaku bagi kritik sastra diskursif yang pascastruktural. Kritik sastra diskursif menempatkan pembentukan subjek dalam relasi kuasa yang abstrak atau yang berlangsung di satuan-satuan sosial yang tersebar, yang tidak terikat pada dan bahkan dapat tidak berhubungan dengan struktur sosial pada tingkat makro sebagaimana yang dipahami oleh Marxisme. Dengan pemahaman yang terakhir di atas, kritik sastra Marxis dapat dianggap sebagai kritik sastra yang sebenarnya membangkitkan kembali kepercayaan akan adanya subjek dan subjek itu adalah kelas sosial. Kelas sosial inilah yang menjadi agen bagi berbagai subjek imajiner yang dikonstruksi oleh wacana.
4.1.5
Kajian-Kajian Budaya Linguistik struktural tidak hanya menemukan cara berpikir struktural, melainkan juga cara
berpikir yang dalam batas tertentu justru bertentangan dengannya, yaitu cara berpikir pascastruktural. Selain menumbuhkan kesadaran akan adanya dimensi lain yang berlawanan dengan struktur di atas, yaitu kesadaran akan wacana, linguistik struktural juga menumbuhkan kesadaran akan sifat sosial, kultural, konstruktif, dan dengan demikian subjektif, dari peradaban dan bahkan realitas yang pada masa sebelumnya cenderung dipahami sebagai kenyataan yang given, yang ada dengan sendirinya, taken for granted. Bahasa bagi linguistik struktural merupakan sistem tanda yang terbangun dari korelasi antara penanda dengan petanda. Tapi, korelasi antara penanda dengan petanda itu bukanlah sesuatu yang alamiah, yang terjadi dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang bersifat arbitrer, konvensional. Karena sifat konvensionalnya, korelasi antara penanda dengan petanda itu menjadi entitas yang labil dan bervariasi. Dengan dan dalam konvensi yang berbeda, terjadi korelasi antara penanda dengan petanda yang berbeda.
Karena bisa dikatakan tidak ada entitas apa pun di dunia ini yang bebas dari bahasa, pengertian di atas sekaligus menggoyahkan hampir semua pemahaman dan kepercayaan orang yang selama ini baku mengenai seluruh aspek kehidupan, menggoyahkan segala bentuk klasifikasi dan strukturasi yang baku mengenai dunia, termasuk di dalamnya sistem klasifikasi dan strukturasi mengenai sastra. Apa yang dinamakan sastra, perbedaan antara sastra dengan wacana lain, apa yang dinamakan fiksi, perbedaan antara fiksi dengan realitas, pemisahan hierarkis antara sastra serius dengan sastra populer, sastra tinggi dengan sastra rendah, menjadi benar-benar goyah di hadapan definisi linguistik struktural mengenai korelasi antara penanda dengan petanda yang konvensional di atas. Kajian-kajian budaya berangkat dari penolakan terhadap pemisahan antara sastra tinggi dengan sastra rendah, sastra serius dengan sastra populer. Karena pemisahan hierarkis itu dianggap konvensi belaka, kritik sastra dengan perspektif kajian-kejian budaya akhirnya menempatkan karyakarya sastra yang dianggap rendah dan populer sebagai objek kajian yang sama berharganya dengan karya-karya sastra yang dianggap tinggi dan serius. Lebih jauh, kritik sastra tersebut bahkan tidak lagi membedakan antara karya sastra dengan wacana-wacana lain, antara fiksi dengan fakta, dan seterusnya. Penghapusan pemisahan yang demikian, pada gilirannya, membawa kritik sastra tersebut ke arah perluasan objek kajian, dari sastra ke berbagai bentuk wacana yang lain. Karena perhatian pertamanya pada karya-karya sastra populer, kajian-kajian budaya menjadi dekat dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan rakyat kecil, tepatnya kaum proletar yang menjadi konsumen karya-karya sastra populer itu dan juga dengan cara produksi industrial yang memproduksi karya-karya tersebut. Kenyataan demikian, pada gilirannya, membuatnya dekat dengan kritik sastra Marxis dan Pasca-Marxis, yaitu kritik dengan pendekatan ekonomi politik. Tapi, karena titik berangkat ontologis dan epistemologisnya adalah linguistik struktural, kajiankajian tersebut juga dekat dengan kritik sastra struktural dan diskursif yang menggunakan pendekatan semiotik dan pasca-struktural. Dengan kata lain, sesuai dengan kritik-kritik sastra yang dekat dengannya itu, kajian-kajian budaya menjadi kritik sastra yang berusaha membuktikan sifat konstruktif dari subjek (identitas) dan realitas, dan adanya kekuatan ekonomi politik yang terlibat dalam konstruksi itu. Tapi, kajian-kajian budaya tidak identik dengan kritik sastra pasca-Marxis yang cenderung melakukan hal yang serupa. Kajian-kajian budaya merupakan kritik sastra dengan rentangan objek dan pendekatan yang amat cair dan dinamis, yang dapat menyerap pendekatan apa pun yang dapat ia gunakan dalam membahas suatu persoalan. Akhir-akhir ini kajian-kajian budaya bahkan
menggunakan pula pendekatan etnografis yang berasal dari antropologi. Dengan pendekatan ini kajian-kajian budaya berusaha membuat deskripsi mengenai proses sosial dan kultural yang berlangsung dalam proses produksi wacana, termasuk produksi karya sastra. Walaupun, pendekatan ini digunakan hanya untuk membuat lebih tegas bagaimana subjek dan realitas sungguh-sungguh merupakan sebuah konstruksi, bukan sesuatu yang given, esensial, stabil. Daripada mencari semacam pusat, faktor ekonomi politik yang determinan dalam suatu konstruksi, kajian-kajian budaya lebih suka mengungkapkan kompleksitas proses yang berlangsung, yang dengan sendirinya membuktikan sifat konstruktif tersebut.
4.1.6
Pendekatan Kritis Kritik sastra abad XX dan XXI yang telah dipaparkan di atas menghadapi masalah mendasar
mengenai dirinya sendiri. Jika ia beranggapan bahwa semua sistem tanda merupakan konstruksi sosial yang tidak given, kritik sastra pun termasuk di dalam jaringan karakteristik sistem tanda yang demikian. Kritik sastra adalah sebuah konstruksi pula, merupakan bagian dari formasi diskursif dalam pembentukan subjek dan realitas dan dengan demikian dapat pula terlibat dalam kepentingan ekonomi politik tertentu. Untuk mengatasi masalah yang demikian, jalan terbaik yang harus ditempuh oleh kritik sastra adalah dengan mengenali dirinya sendiri, mengenali posisinya, dan mengakui subjektivitasnya. Jalan lainnya yang dapat ia tempuh adalah menghindari kemungkinan baginya untuk melakukan strukturasi dan/atau konstruksi baru dengan cara mengambil posisi yang murni bersifat kritis terhadap kekuatan-kekuatan yang dipandangnya hegemonik.
4.2
Aktivitas, Tugas dan Latihan, serta Rangkuman
4.2.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..
• .
Tanya-Jawab
4.2.2
Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.
4.2.3
Rangkuman Pembangunan konsep hanya dapat akurat jika mahasiswa memahami berbagai paradigm
yang ada di dalam ilmu sastra. Paradigma itu adalah paradigm humanis, strukturalis, pascastrukturalis, dan pasca-marxis. Paradigma pertama memusatkan pehatian pada kekuatan subjektivitas manusia, paradigm yang kedua pada struktur dengan menempatkan manusia hanya bagian dari struktur, paradigm ketiga mengutamakan terbentuknya subjek oleh wacana, sedangkan paradigm terakhir mengutamakan negosiasi antara kekuatan kultural dan politik dalam masyarakat yang di dalamnya karya sastra termasuk.
4.3
PENUTUP
4.3.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 -- 1000
4.3.2
Tindak lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
4.4
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator keberhasilan
Butir kemampuan Butir penilaian Menyusun penelitian
metode
No.
Pemahaman 100
mengenai Kesesuaian teori dengan metode
karya sastra tertentu
4.5
Poin maks.
Operasionalisasi konsep
Matrix Penilaian Materi/isi
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
Ranah C6
Afektif
Ranah
Metode
Tujuan
Psikomo Penilaia
Khusus
torik
n
Pembel ajaran
1.
Dasar
ontologis
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian teori dengan metode
Tugas,
D1
mid semeste r
3.
Langkah-langkah
1
1
1
X
A/I/P
penelitian sastra
Mid
D1
Semest er
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 5-6
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, S.U.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012
Desember 2012
Evaluasi dan
bahasan, alokasi
5
Memahami
Teori-teori dalam 9
teori-teori
ilmu sastra
dalam
Daya-simak
sastra 6
Seminar implikasi √
mengidentifika metodologis dari implikasi aneka paradigma
metodologis dari
aneka
paradigm dan teori
Ajar
Mahasiswa
Aktivitas Dosen/ Nama Pengajar
Sumber Ajar
Membaca,
Menyimak,
Menjelas-kan,
Sastra dan
diskusi,
bertanya,
bertanya,
Ilmu
menjelask
menjawab
menjawab
Sastra
Presentasi,
Memandu,
Metode
bertanya,
bertanya,
penelitian
menjawab
menjawab
sastra
an
Mampu si
Aktivitas
Penilaian
Tanya-jawab
ilmu
Metode
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
Indikator
Metode
subpokok
Gambar
Keluaran/
Topik (pokok,
Presentasi
Tujuan Ajar/
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
dan teori
√
Tanya-jawab
Presentasi
Daya-simak
diskusi
praktik
BAB V TEORI-TEORI DALAM ILMU SASTRA
5.1
Pendahuluan Sebagaimana sudah disinggung di dalam Bab I, teori merupakan seperangkat pernyataan
yang teruji secara ilmiah mengenai kenyataan adanya objek dengan segala seluk-beluknya. Pernyataan itu terdiri dari serangkaian konsep yang saling berhubungan satu sama lain dan konsep sendiri merupakan pengertian yang mengacu kepada objek-objek dan proses-proses empiris (faktafakta). Karena itu, teori, pada dasarnya, merupakan seperangkat pernyataan mengenai fakta-fakta dan hubungan antarfakta itu. Sebenarnya, sebagaimana yang akan dikemukakan di dalam bab berikutnya, banyak sekali teori dan bahkan paradigm yang terdapat di dalam ilmu sastra, misalnya paradigm humanis, strukturalis, pasca-strukturalis, dan sebagainya. Di dalam paradigm pascastrukturalis sendiri akan ditemukan banyak pendekatan dan teori seperti pendekatan dan teori-teori pasca-kolonialisme, pendekatan diskursif, pendekatan dekonstruksi, dan sebagainya seperti yang akan dikemukakan pula di dalam bab yang akan dating. Di dalam bab ini akan dipaparkan teori yang sudah sangat melembaga di Indonesia beserta implikasi metodologisnya, yaitu teori sastra Rene Wellek dan Austin Warren sebagaimana yang terdapat di dalam bukunya yang berjudul Theory of Literature, teori semiotika Michel Riffaterre sebagaimana yang terdapat Semiotics of Poetry (1978) dan strukturalisme-genetik Lucien Goldmann sebagaimana yang terdapat dalam Pengantar Sosiologi Sastra (2010) karya Faruk
5.1.1
Karya Sastra sebagai Struktur yang dinamik Di dalam bagian ini akan dibicarakan dua aspek dari teori sastra Wellek dan Warren di atas,
yaitu teori mereka mengenai modus keberadaan karya sastra yang bersifat ontologis dan mengenai kemungkinan metodologis yang terimplikasikan dari teori itu.
5.1.2
Modus Keberadaan Karya sastra Di dalam teorinya itu Wellek dan Warren (1990: 22--23) mengemukakan bahwa
pemahaman mengenai sifat-sifat karya sastra hanya dapat dicapai secara tuntas jika diarahkan pada
persoalan “modus keberadaan karya sastra”. Dengan menyamakan sastra dengan puisi, persoalan tersebut, katanya (1990: 175) merupakan jawaban yang benar terhadap pertanyaan epistemologis yang berupa: “Apakah puisi yang “sebenarnya” itu? Di mana kita mencarinya? Bagaimana puisi itu hidup?”. Setelah memaparkan berbagai jawaban yang sudah ada sebelumnya, jawaban yang benar itu akhirnya ditemukan oleh kedua tokoh di atas pada teori fenomenologis Roman Ingarden mengenai hal termaksud. Sesuai dengan namanya, teori fenomenologis memahami karya sastra sebagai sesuatu yang intensional, yang keberadaannya dapat ditangkap melalui pengalaman dan kesadaran manusia akannya. Namun, kenyataan itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa karya sastra itu identic dengan pengalaman manusia, baik pengalaman individual maupun kelompok. Karya sastra mempunyai keberadaan yang objektif dalam pengertian melampaui berbagai kesadaran dan/atau pengalaman manusia mengenainya meskipun ia juga hanya dapat ditangkap melalui pengalaman manusia yang beraneka ragam mengenainya, pengalaman manusia yang selalu bersifat partial mengenai karya sastra itu. Dengan mendasarkan diri pada teori Ingarden, Wellek dan Warren memberikan kesimpulan mengenai esensi keberadaan karya sastra atau yang disebutnya puisi itu sebagai berikut (Wellek dan Warren 1990: 185, 186--187).
“…. Jadi, puisi yang “sebenarnya” harus dilihat sebagai struktur norma yang diwujudkan sebagian melalui pengalaman pembaca. Setiap pengalaman (membaca, menghapal, dan lainlain) hanya merupakan usaha untuk menangkap satu set norma dan standard tersebut.” ….. “…. Kalau kita menganalisis karya sastra lebih teliti, kita akan menyimpulkan bahwa lebih baik kita melihat karya sastra bukan saja sebagai satu system norma, melainkan sebagai suatu system yang terdiri dari beberapa strata – tiap strata mempunyai kelompok yang lebih kecil…. Pertama, ada strata bunyi yang tidak boleh dicampurkan dengan bunyi pada waktu puisi dibacakan. Berdasarkan strata pertama itu, kita sampai pada strata kedua, yaitu unit makna. Setiap kata mempunyai makna, dan akan bergabung dengan unit-unit makna lain dalam konteks, dan menjadi sintagma dan pola kalimat. Dari struktur sintaksis ini muncullah strata ketiga, yaitu objek yang diwakili oleh kata, “dunia” sang novelis, tokoh-tokoh dan latar. Ingarden menambahkan dua strata lagi yang tidak dapat dipisahkan. Stratum “dunia” harus dilihat dari sudut pandang tertentu yang tidak dinyatakan tetapi tersirat…. Akhirnya Ingarden menyebut stratum “kualitas metafisik” (sifat sublime, tragis, mengerikan, dan suci), yang disampaikan oleh karya sastra sebagai bahan perenungan.”
Selanjutnya, Wellek dan Warren (1990: 187—188) mengatakan bahwa keberadaan struktur atau system norma dari karya sastra itu sebanding dengan konsep langue dan parole dalam linguistic modern seperti yang dianut oleh Ferdinand de Saussure dan Lingkaran Linguistik Praha.
“…. Dalam konteks ini, karya sastra sama kedudukannya dengan dengan system bahasa. Secara perorangan, kita tidak mungkin dapat memahaminya secara sempurna, karena kita juga tidak pernah memakai bahasa secara lengkap dan sempurna. Situasi yang sama terlihat pada usaha pemahaman. Kita tidak akan pernah memahami identitas objek dalam keseluruhan kualitasnya, tetapi kita tetap bisa melihat identitas objek itu walaupun dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kita selalu dapat menangkap sejumlah “struktur penentu” dalam objek, yang membuat tindakan pemahaman bukan sesuatu yang dilakukan seenaknya dan bersifat subjektif, melainkan suatu pengenalan yang dihadapkan pada kita oleh suatu kenyataan. Struktur karya sastra menawarkan “kewajiban untuk dipahami”. Mungkin pemahaman kita tidak sempurna, tetapi “struktur penentu” itu ada pada karya sastra dan dapat kita cari seperti halnya setiap objek pengetahuan yang lain.”
Kesebandingan itu, menurut Wellek dan Warren (1990:188—189) bahkan sampai pada unsur-unsur pembentuk bahasa dengan karya sastra yang dinamakan strata-strata di atas. Bila dalam analisis bahasa terdapat hubungan yang berstrata antara fonem, morfem, dan sintagma, dalam analisis karya sastra terdapat masalah yang sama, yaitu:
“…. cara memecahkan unit makna dan susunan tertentu yang berfungsi estetis. Masalah semantic puitis, diksi, pencitraan, kini diperkenalkan kembali dalam istilah-istilah yang baru dan lebih tepat. Unit makna, kalimat, struktur kalimat, semuanya mengacu pada objek, menyusun kenyataan imajinatif seperti pemandangan, interior rumah, tokoh, lakuan, pemikiran. Semua ini dapat dianalisis sedemikian rupa sehingga tidak tercampur dengan kenyataan empiris, dan tidak mengabaikan kenyataan bahwa kenyataan imajinatif itu berada dalam struktur linguitik…. Pembagian strata seperti ini mempunyai kelebihan dari perbedaan tradisional antara isi dan bentuk yang menyesatkan. Dalam pembagian strata yang baru, isi muncul kembali dalam hubungan yang dekat dengan substratum linguistic. Isi disiratkan oleh substratum linguistic dan sangat tergantung padanya.”
Kesimpulan Wellek dan Warren pada bagian akhir dari kutipan terakhir di atas mengimplikasikan persoalan ontologis karya sastra yang lebih mendasar, yaitu persoalan mengenai keberadaannya sebagai sesuatu yang sepenuhnya objektif ataupun sepenuhnya subjektif. Untuk menjawab persoalan ini keduanya menawarkan apa yang mereka namakan cara pandang “perspektivisme”, yaitu cara pandang yang melampaui paham absolutism dengan relativisme
(Wellek dan Warren 1990:193—194). Absolutisme, sebagaimana yang ternyata dianut juga oleh Ingarden, menganggap bahwa karya sastra merupakan sesuatu yang sepenuhnya objektif, yang keberadaannya bersifat tetap selamanya, mutlak, sedangkan relativisme memahami karya sastra sebagai subjektif, tergantung pada pengalaman personal yang berbeda-beda. Perspektivisme mengakui adanya esensi, yaitu struktur norma karya sastra yang bersifat umum sebagaimana yang dipahami oleh absolutism. Namun, esensi atau struktur itu bersifat dinamis, mengalami perubahan sepanjang sejarah melalui pikiran pembaca dan seniman lain. Hanya saja, kata mereka:
“…. Tidak semua pandangan yang berbeda itu benar. Kita bisa menentukan sudut pandang mana yang menangkap subjek secara lebih dalam dan menyeluruh. Hierarki sudut pandang kritik tentang pemahaman norma tersirat pada konsep kemampuan interpretasi. Semua bentuk relativisme akhirnya dikalahkan oleh pengertian bahwa “yang absolut berada dalam yang relative, meskipun tidak sepenuhnya berada di dalamnya dan berakhir dengannya.”
Dalam posisinya sebagai struktur yang dinamis itulah Wellek dan Warren menempatkan karya sastra sebagai “objek pengetahuan sui generis, yang mempunyai status ontologis khusus”. Karya sastra, menurut mereka, bukanlah benda nyata seperti patung, juga sesuatu yang bersifat mental seperti rasa sakit, melainkan:
“…. sistem norma dari konsep-konsep ideal yang intersubjektif. Konsep-konsep itu berada dalam ideology kolektif dan berubah bersama ideology tersebut. Konsep-konsep itu hanya dapat dicapai melalui pengalaman mental perorangan yang didasarkan pada struktur bunyi kalimatnya.”
Karena merupakan struktur, setiap strata hanya dapat dipahami dalam konteks keseluruhan karya sastra yang bersangkutan. Satuan-satuan bunyi yang disebut strata bunyi seperti efoni, irama, dan matra, misalnya, menurut Wellek dan Warren (1990: 196—197), harus dipahami dalam konteks makna puisi secara keseluruhan. Begitu juga satuan-satuan makna dari kata sampai kalimat seperti citra, metafora, symbol, dan mitos. Semua yang kemudian ini juga harus ditempatkan dalam konteks keseluruhan makna puisi, khususnya dalam kaitan dengan terbentuknya “dunia” yang dipandang dari sudut pandang tertentu sampai dengan apa yang disebut kualitas metafisik yang sudah dikemukakan.
5.1.3
Semiotika Riffaterre Menurut Riffaterre (1978: 1), bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry ditujukan untuk
menjadi “suatu deskripsi yang koheren dan relatif sederhana mengenai struktur makna dalam puisi”. Dengan pernyataan tersebut jelas bahwa di dalam buku tersebut Riffaterre mendekati puisi, khususnya makna puisi, dengan pendekatan structural. Karena yang ingin ia deskripsikan adalah makna puisi, pendekatannya itu dapat pula disebut sebagai pendekatan semiotic-struktural. Ia dinamakan sebagai pendekatan semiotic karena puisi cenderung dipahami sebagai system makna dan dinamakan structural karena system makna itu terbentuk secara structural. Bagian ini, seperti juga bagian sebelumnya, akan berisi bahasan mengenai teori semiotika structural Riffaterre mengenai puisi dan implikasi metodologis yang terbuka atas dasar teori tersebut.
5.1.3.1 Puisi sebagai Sistem Makna Struktural Meskipun sudah mempunyai sejarah yang panjang dan mengalami berbagai perubahan dalam rentangan sejarahnya yang panjang itu, puisi, kata Riffaterre, mempertahankan satu ciri yang penting, yaitu: "puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain” (Riffaterre 1978: 1). Hal inilah, lanjutnya, yang membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara yang khusus dalam membawa maknanya. Ada tiga cara yang diambil puisi untuk melaksanakan ketidaklangsungan pembawaan makna tersebut, yaitu “pergeseran makna (displacing), perusakan makna (distorting), dan penciptaan makna (creating)” (Riffaterre 1978: 2). Yang pertama, antara lain, berupa metafora dan metonimi, yang kedua berupa ambguitas, kontradiksi, dan non-sense, sedangkan yang ketiga berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu yang di dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima, atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza” (Riffaterre 1978: 2). Meskipun ada berbagai cara dari ketidaklangsungan tersebut, Riffaterre (1978: 2) melihat adanya fungsi yang sama di antara semuanya itu, yakni bahwa segala bentuk ketidaklangsungan di atas mengancam “mengancam representasi literer atas realitas, atau mimesis”. Artinya, segala penyimpangan yang dilakukan dalam pergeseran makna, perusakan makna, dan penciptaan makna baru di atas sebenarnya diukur dalam hubungannya dengan apa yang disebut sebagai realitas. Karena acuan pada realitas bersifat langsung, ketidaklangsungan puisi membuat acuan tersebut
terus-menerus mengalami perubahan atau variasi dan multiplisitas. Teks puisi, kata Riffaterre (1978: 2), melipatgandakan detail-detail dan terus-menerus mengubah focus yang dapat membawanya pada kesamaan dengan realitas yang pada dasarnya memang kompleks. Makna yang terbangun dari hubungan kesamaan dengan realitas itu, yang membuatnya menjadi heterogen, yakni makna linguistic yang bersifat referential dari karya sastra, oleh Riffaterre (1978: 2—3) disebut meaning yang dapat diterjemahkan sebagai ‘makna’, sedangkan makna yang terbangun atas dasar prinsip kesatuan formal dan semantic dari puisi, makna yang meliputi segala bentuk ketidaklangsungan di atas, ia sebut sebagai significance yang dapat diterjemahkan sebagai ‘arti’. Kesatuan itu terdapat di balik multiplisitas representasi, atau melampauinya, lanjut Riffaterre (1978: 3). Artinya, dalam kesatuan “arti” ini, segala bentuk ungramatikalitas yang diakibatkan oleh berbagai cara penyampaian makna yang tidak langsung di atas, dan yang juga membuahkan “makna” yang heterogen itu, menjadi terlampaui, membentuk satu kesatuan arti yang koheren. ”Arti” atau signifikansi itu sendiri membentuk diri menyerupai donat yang di dalamnya ruang kosong dari donat itu justru menjadi pusat strukturnya, menjadi matriks yang akan mengarah kepada sebuah teks lain yang disebut hipogram dari puisi yang bersangkutan. Sebagai ruang kosong dari donat itu, matriks sebagai hipogram ataupun hipogram sebagai matriks itu tidak terdapat dalam linearitas teks (Riffaterre 1978: 12—13). Matriks itu merupakan invariant yang tampak hanya dari serangkaian ungramatikalitas yang menjadi variannya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pengintegrasian tanda-tanda dari level mimesis ke level signifikansi di atas, menurut Riffaterre (1978: 4) merupakan semiosis atau proses semiotic. Proses semiotic itu sendiri berlangsung dalam pikiran pembaca dan proses itu terjadi akibat pembacaan pembaca terhadap teks. Karena itu, proses semiotic itu pada dasarnya merupakan produk dari interaksi antara pembaca dengan teks. Di satu pihak terdapat kenyataan fisik teks yang dengan kompetensi bahasanya pembaca menemukan ketidaksesuaian-ketiadaksesuaian referential, berbagai ungramatikalitas, yang, pada gilirannya “memaksa” pembaca untuk menempuh cara pembacaan yang lain, yaitu cara pembacaan dengan menggunakan kompetensi sastra agar ia, pada akhirnya, menemukan “arti” atau signifikansi di atas. Dengan kata lain, meskipun proses itu berlangsung di dalam pikiran pembaca, melibatkan masukan-masukan dari pembaca yang berupa kompetensi bahasa dan sastranya, pembaca tidak sepenuhnya bebas, masih tergantung pada kenyataan fisik teks yang ia hadapi. Karena itu, sekali lagi, modus keberadaan puisi, dalam teori ini, dipahami sebagai sesuatu yang terletak dalam hubungan dialektik antara kenyataan empiric teks dengan kompetensi pembaca, penguasaan pembaca terhadap konvensi bahasa dan konvensi sastra. Kompetensi sastra itu sendiri, kata Riffaterre (1978: 5):
“….merupakan keakraban pembaca dengan sistem-sistem deskriptif, tema-tema, dengan mitologimitologi masyarakatnya, dan terutama dengan teks-teks lain. Kapan saja terjadi kesenjangan atau tekanan dalam teks – seperti deskripsi-deskripsi yang tidak lengkap, atau alusi-alusi, atau kutipankutipan – kompetensi sastra itulah yang akan memampukan pembaca untuk merespon secara selayaknya dan untuk mengisinya sesuai dengan model hipogramatik.”
5.1.3.2 Strukturalisme-Genetik Lucien Goldmann Dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa konsep dasar yang amat diperlukan untuk memahami strukturalisme-genetik. Konsep-konsep dasar itu adalah strukturalisme, marxisme, dan strukturalisme-genetik sendiri.
5.1.4
Teori
5.1.4.1 Strukturalisme Strukturalisme adalah sebuah paham atau kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini mempunyai struktur. Sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk suatu kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian semata. Hubungan antarbagian dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Artinya, apabila suatu bagian dihilangkan, keutuhan sesuatu itu tidak sekedar berkurang, melainkan menjadi rusak sama sekali. Apabila sebuah mesin sepeda motor tidak ada businya, misalnya, keseluruhan mesin itu akan menjadi tidak berfungsi sama sekali, bukan berkurang fungsinya. Selain itu, strukturalisme juga percaya bahwa suatu struktur mempunyai daya transformatif dan regulasi-diri. Sesuatu dikatakan berstruktur apabila ia dapat melakukan perubahan tanpa harus kehilangan keutuhan dirinya, fungsi utama yang menjadi tujuan atau pusat strukturasinya. Fungsi perapian dalam sebuah mesin dapat mengambil berbagai bentuk yang berbeda, misalnya dengan sumber batu bara, minyak bumi, ataupun daya-daya elektro-magnetik. Perubahan itu tidak menghilangkan fungsi strukturalnya sebagai perapian. Demikian pula perubahan-perubahan tuturan dalam bahasa di hadapan struktur bahasa yang bersangkutan, perubahan berbagai bentuk dorongan libidinal dalam struktur psikis manusia.
Sesuatu dikatakan berstruktur apabila ia mempunyai kemampuan untuk mengatasi kemungkinan gangguan dan pengaruh dari luar dengan caranya sendiri. Pada kulkas terdapat mekanisme tertentu yang dapat membuatnya tetap berfungsi sebagai pendingin dengan derajat tertentu meskipun terdapat gangguan-gangguan dari luar. Apabila cuaca di luar lebih dingin daripada yang dibutuhkan, kulkas akan menghentikan kegiatan pendinginannya. Sebaliknya, apabila cuaca di luar lebih panas, ia akan mengaktifkan kegiatan pendinginannya. Saluran pernapasan manusia akan mengeluarkan lendir apabila mendapat gangguan dari luar sehingga saluran itu tetap dapat menyalurkan oksigen ke dalam tubuh. Keseluruhan pengertian tersebut menunjukkan bahwa bagi strukturalisme segala sesuatu di dalam dunia membangun dunianya sendiri, mekanismenya sendiri, untuk menjalankan fungsifungsinya sendiri, terlepas dari berbagai kemungkinan pengaruh dari luar. Sesuatu dipahami sebagai kekuatan yang mampu membangun, mengembangkan, dan mempertahankan dirinya sendiri dengan caranya sendiri pula. Dengan kata lain, strukturalisme cenderung memahami segala sesuatu sebagai sebuah sistem yang tertutup, otonom. Karena itu, strukturalisme dalam ilmu sastra akan memperlakukan karya sastra atau kesastraan sebagai sesuatu yang mendiri pula, sesuatu yang berstruktur, sesuatu yang utuh, transformatif, dan self-regulatif. Aliran Kritik Baru di Amerika, Formalisme di Rusia, percaya bahwa teks sastra dapat dipahami dan dijelaskan berdasarkan buktibukti yang terdapat di dalam teks itu sendiri. Strukturalisme percaya bahwa sastra dapat dipahami dan dijelaskan atas dasar sistem sastra sendiri yang membentuk semacam kaidah-kaidah bagi penciptaan karya sastra.
5.1.4.2 Marxisme Marxisme tidak pernah percaya bahwa teks maupun sistem sastra merupakan sesuatu yang otonom. Bagi paham ini sastra merupakan suatu sistem ideologis yang tidak dapat dilepaskan dari pertarungan kekuatan-kekuatan sosial di dalam masyarakat dalam memperebutkan penguasaan mereka atas sumber-sumber ekonomi yang terdapat di dalam lingkungan sekitar mereka. Kepercayaan yang demikian didasarkan pada anggapan bahwa dorongan-dorongan kebutuhan material manusia mendahului dan menentukan kesadaran manusia, bahwa perkembangan sejarah umat manusia digerakkan oleh pertarungan manusia dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan materialnya. Oleh karena itu, marxisme disebut juga sebagai materialisme historis.
Menurut marxisme, untuk memenuhi kebutuhan materialnya manusia harus bekerja, yaitu melakukan transformasi atas alam. Untuk melakukan transformasi atas alam, manusia membutuhkan alat-alat produksi dan bekerja sama dengan manusia lain. Dalam proses produksi yang demikian terbangunlah pengelompokan sosial, pembagian kerja, yang didasarkan pada tingkat penguasaan seseorang atau sekelompok orang atas alat-alat dan sumber-sumber produksi.. Pengelompokan sosial atas dasar seperti itulah yang disebut sebagai kelas sosial. Hubungan antarkelas sosial dalam lingkungan produksi tersebut adalah hubungan dominasi, suatu kelompok menguasai kelompok yang lain untuk kepentingan pemuasan kebutuhan materialnya. Marxisme beranggapan bahwa manusia pada dasarnya serakah, mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas. Karena sumber-sumber bagi pemenuhan kebutuhan itu terbatas, terjadi persaingan dalam usaha pemenuhan kebutuhan itu. Persaingan ini menjadikan hubungan antarkelompok sosial yang telah dikemukakan menjadi antagonistik. Di satu pihak, suatu kelompok berusaha menguasai alat-alat dan sumber-sumber produksi yang ada, di lain pihak, kelompok yang lain berusaha merebut alat-alat dan sumber-sumber produksi itu dari kelompok lain yang menguasainya. Dalam konteks pertalian yang demikian menjadi penting bagi kelompok yang sedang berkuasa untuk memelihara dan mempertahankan relasi dominasi yang ada, terus-menerus melakukan reproduksi atas hubungan sosial yang berlaku, yang menempatkan dirinya dalam posisi kekuasaan dan kelompok lain dalam posisi sub-ordinat. Reproduksi sosial itu dilakukan tidak hanya dalam lingkungan produksi, melainkan dalam berbagai situs sosial yang lainnya, dalam berbagai institusi sosial, seperti lingkungan kehidupan keluarga, pendidikan, hukum, politik, agama, dan kesenian. Berbagai lingkungan atau institusi sosial yang menjadi situs reproduksi sosial yang ada di luar lingkungan produksi itu disebut super-struktur atau struktur permukaan, sedangkan hubungan sosial yang berlangsung dalam lingkungan produksi disebut infra-struktur atau struktur dasar. Struktur dasar bersifat material, sedangkan struktur permukaan bersifat ideologis.
5.1.4.3 Strukturalisme-Genetik Strukturalisme-genetik merupakan gabungan antara strukturalisme dengan marxisme. Sebagaimana strukturalisme, strukturalisme-genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra, sebagai sebuah struktur. Karena itu, usaha strukturalisme-genetik untuk memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan struktur karya itu.
Namun, bagi paham tersebut, segala aktivitas dan hasil aktivitas manusia tidak hanya mempunyai struktur, melainkan juga mempunyai arti. Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berhenti pada perolehan pengetahuan mengenai strukturnya, melainkan harus dilanjutkan hingga mencapai pengetahuan mengenai artinya. Usaha pemahaman terhadap arti dari struktur itu berarti usaha menemukan alasan, faktor-faktor yang menjadi penyebab dari struktur yang bersangkutan. Pertanyaan seperti “kenapa suatu karya mempunyai struktur yang begini, tidak begitu”, tidak lagi dapat dijawab hanya dengan mendasarkan diri pada karya sastra itu sendiri, melainkan harus dengan menemukan informasi-informasi yang berada di luar karya sastra itu. Untuk memahami hal demikianlah strukturalisme-genetik menggunakan marxisme yang diperkaya dan diperdalam oleh teori psikologi struktural dari Piaget.
5.1.5
Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan Menurut strukturalisme-genetik, karya sastra merupakan fakta kemanusiaan, bukan fakta
alamiah. Bila fakta alamiah cukup dipahami hanya sampai pada batas strukturnya, fakta kemanusiaan harus sampai pada batas artinya. Sebuah karya sastra tidak diciptakan begitu saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia yang menciptakannya. Kebutuhan yang mendorong diciptakannya karya sastra itu, seperti halnya segala ciptaan manusia yang lain, adalah untuk membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan alamiahnya maupun lingkungan manusiawinya. Secara psikologis, ada dua proses dasar yang terarah pada pembangunan keseimbangan tersebut, yaitu proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyesuaian lingkungan eksternal ke dalam skema pikiran manusia, sedangkan akomodasi penyesuaian skema pikiran manusia dengan lingkungan sekitarnya. Menurut strukturalisme-genetik, manusia akan selalu cenderung menyesuaikan lingkungan sekitar dengan skema pikirannya. Akan tetapi, apabila lingkungan itu menolak atau tidak dapat disesuaikan dengan skema pikirannya itu, manusia menempuh jalan yang sebaliknya, yaitu menyesuaikan skema pikirannya dengan lingkungan sekitarnya tersebut. Kedua proses tersebut menegaskan bahwa manusia memang selalu berusaha membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya itu.
5.1.6
Karya Sastra sebagai Produk Subjek Kolektif Semua manusia berusaha membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya dengan
melakukan berbagai tindakan. Namun, strukturalisme-genetik membedakan tindakan individual dengan tindakan kolektif. Tindakan individual dimaksudkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan individual yang cenderung libidinal, sedangkan tindakan kolektif diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kolektif yang bersifat sosial. Subjek tindakan libidinal adalah individu, sedangkan tindakan kolektif adalah kelompok sosial. Lebih jauh, strukturalisme-genetik cenderung membedakan tindakan kolektif yang besar dengan tindakan kolektif yang mungkin tidak setara dengan tindakan pertama itu. Tindakan kolektif yang besar tidak hanya terarah untuk memenuhi kebutuhan kolektivitas tertentu, melainkan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam sejarah sosial secara keseluruhan. Bahkan, tindakan kolektif yang besar ini dapat pula berpengaruh luas, melampaui batas sosial yang darinya tindakan tersebut berasal. Menurut strukturalisme-genetik, subjek dari tindakan kolektif yang besar tersebut adalah kelas sosial dalam pengertian marxis yang sudah dikemukakan, bukan kelompok sosial lain dalam pengertian yang lain. Atas dasar perbedaan tipe-tipe tindakan di atas strukturalisme-genetik membedakan karyakarya kultural yang besar dari yang minor. Karya-karya kultural yang besar, yang di dalamnya termasuk karya-karya filsafat dan karya-karya sastra yang besar, merupakan hasil tindakan tidak hanya subjek kolektif, melainkan kelas sosial. Karena itu, karya-karya itu ikut pula berperan dalam perubahan sejarah sosial dan bahkan dapat melampaui batas sejarah sosialnya sendiri. Karya yang demikian oleh strukturalisme-genetik disifatkan sebagai sebuah karya yang sekaligus bersifat filosofis dan sosiologis.
5.1.7
Karya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia Sebagai produk dari tindakan kolektif yang berupa kelas sosial di atas, karya sastra
mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan kelas sosial yang bersangkutan, kebutuhan-kebutuhan yang terbangun dari hubungan antara kelas sosial itu dengan lingkungan sekitarnya, kebutuhankebutuhan yang sekaligus menyangkut usaha-usaha kelas sosial itu untuk membangun hubungan yang seimbang antara dirinya dengan lingkungan yang terkait.
Sebagai sekelompok manusia yang mempunyai latar belakang yang sama, anggota-anggota dari suatu kelas sosial mempunyai pengalaman dan cara pemahaman yang sama mengenai lingkungan sekitarnya dan sekaligus cara-cara pembangunan keseimbangan dalam hubungan dengan lingkungan itu. Cara pemahaman dan pengalaman yang sama itu, pada gilirannya, menjadi pengikat yang mempersatukan para anggota itu menjadi suatu kelas yang sama dan sekaligus membedakan mereka dari kelas sosial yang lain. Cara pemahaman dan pengalaman yang demikian, oleh strukturalisme-genetik, disebut sebagai pandangan dunia. Pandangan dunia merupakan kecenderungan mental kolektif yang implisit, yang tidak semua individu anggota kelas sosial pemiliknya dapat menyadarinya. Hal itu terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat yang kompleks setiap individu terjaring ke dalam berbagai bentuk pengelompokan sosial, seperti kelompok profesi, kelompok etnis, ras, pendidikan, dan sebagainya. Berbagai pengelompokan itu dapat mengaburkan pemahaman individu mengenai kelompok sosial dirinya yang sebenarnya. Hanya individu yang istimewa yang mampu menerobos batas-batas aneka pengelompokan sosial tersebut dan masuk ke dalam kesadaran kelas sosialnya sendiri. Para pemikir dan sastrawan yang besar termasuk individu yang demikian. Karena itu, karya-karya mereka menjadi karya-karya besar, karya-karya yang berhasil menangkap dan mengekspresikan pandangan dunia kelas sosialnya sehingga sekaligus dapat berfungsi menjadi alat yang membangkitkan kesadaran kelas pada para individu yang menjadi anggota kelas sosialnya itu. Dalam pengertian strukturalisme-genetik, pandangan dunia merupakan skema ideologis yang menentukan struktur atau menstrukturasikan bangunan dunia imajiner karya sastra ataupun struktur konseptual karya filsafat yang mengekspresikannya. Karena itu, pandangan dunia ini menjadi konsep kunci yang tidak hanya diperlukan untuk menjadi model struktur bagi pemahaman terhadap struktur karya sastra atau karya filsafat yang diteliti, melainkan juga menjadi mediator yang mempertalikan karya sastra sebagai superstruktur dengan struktur sosial-ekonomis yang menjadi struktur-dasarnya. Dalam pandangan strukturalisme-genetik, hubungan antara karya sastra dengan struktur-dasarnya tidaklah langsung, bersifat mimetik, melainkan secara tidak langsung, melalui pandangan dunia yang bersifat ideologis. Karya sastra tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai perjuangan kelas, melainkan mengeskpresikan suatu pandangan dunia yang strukturnya homolog dengan struktur sosial-ekonomi yang menjadi dasarnya.
5.1.8
Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial Seperti
sudah
dikemukakan,
strukturalisme-genetik
merupakan
gabungan
antara
strukturalisme dengan marxisme. Dengan demikian, seperti strukturalisme, strukturalisme-genetik mengakui eksistensi karya sastra sebagai suatu struktur sehingga perlu dipahami secara struktural. Namun, ada banyak konsep mengenai struktur karya sastra seperti yang berasal dari Propp, Greimas, Todorov, dan sebagainya. Kebanyakan konsep mengenai struktur karya sastra itu mengikuti konsep linguistik mengenai struktur formal bahasa. Hanya beberapa di antaranya, terutama Barthes dan Greimas, yang mencoba membangun pula struktur semantiknya dengan mendasarkan diri pada konsep-konsep struktur semantik bahasa. Konsep strukturalisme-genetik mengenai struktur karya sastra cenderung bersifat semantik pula, dekat dengan konsep struktur semantik Barthes ataupun Greimas, meskipun tidak persis sama. Yang tampaknya amat dekat dengan konsep struktur karya sastra dari strukturalisme-genetik adalah strukturalisme Levi’Strauss. Dengan menggunakan fonologi sebagai dasarnya, konsep struktur dalam strukturalisme Levi’Strauss ini berpusat pada konsep oposisi biner atau oposisi berpasangan. Levi’Strauss melihat bangunan dunia sosial dan kultural manusia sebagai sesuatu yang distrukturkan atas dasar prinsip binarisme, terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara pasangan yang beroposisi itu dimungkin pula adanya satuanantara yang berada di antara keduanya, yang bukan satuan yang satu, misalnya A, dan bukan pula satuan yang lain, misalnya B. Satuan yang demikian disebut satuan –A dan –B sekaligus. Telaah strukturalisme-genetik terhadap karya-karya filsafat Pascal dan drama Racine memperlihatkan kecenderungan demikian. Ada oposisi antara dunia illahiah dengan dunia sekuler. Manusia berada di antara keduanya sehingga ia berada sekaligus dalam posisi menerima dan menolak dunia. Struktur yang demikian, menurut strukturalisme-genetik, mengekspresikan pandangan dunia tragis yang berpikir secara dialektik, yang tidak memutlakkan bagian atas nama keseluruhan atau sebaliknya. Konsep struktur sosial strukturalisme-genetik, sebagaimana sudah disinggung, didasarkan pada teori sosial marxis. Atas dasar teori sosial ini jelas bahwa dunia sosial dipahami sebagai struktur yang terbangun atas dasar dua kelas sosial yang saling bertentangan. Kesatuan dunia sosial terbangun karena adanya dominasi dari satu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dominasi itu dipelihara dan dipertahankan serta bahkan diperkuat dengan menggunakan berbagai kekuatan ideologis yang beroperasi dalam berbagai lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat, termasuk
karya sastra. Namun, dominasi itu tidak sepenuhnya menutup peluang bagi terjadinya perubahan sosial. Kelas-kelas yang dikuasai berusaha terus-menerus pula untuk mengambil alih kekuasaan dari kelas yang berkuasa untuk kemudian membangun suatu struktur sosial yang baru yang sesuai dengan lingkungannya yang baru pula.
5.2
Aktivitas, Tugas dan Latihan, serta Rangkuman
5.2.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..
•
Tanya-Jawab
. 5.2.2
Tugas dan/atau Latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet. 5.2.3
Rangkuman Teori-teori di dalam ilmu sastra dapat dibagi sesuai dengan paradigm yang di dalamnya
teori-teori itu termasuk. Meskipun demikian, dalam satu paradigm bisa ditemukan beberapa teori yang berbeda sehingga setiap teori perlu diperlakukan secara individual. Teori Formalis adalah teori yang menganggap karya sastra sebagai wacana yang mengacu pada dirinya sendiri, yang melakukan perusakan terhadap bahasa sehari-hari untuk menimbulkan penyegaran persepsi. Teori strukturalisme dinamik Wellek dan Warren memandang karya sastra sebagai fenomena yang terikat pada norma-norma tertentu yang esensinya dapat terus berkembang seiring dengan perkembangan sejarah. Teori semiotika Riffaterre memandang puisi sebagai aktivitas kebahasaan yang mengemukakan sesuatu dengan maksud yang lain sehingga cenderung bertentangan dengan tata
bahasa dan prinsip referensialitas bahasa sehari-hari untuk membawa pembaca kepada makna yang sebenarnya. Strukturalisme-genetik menganggap karya sastra sebagai ekspresi pandangan dunia dari kelas social tertentu di dalam masyarakat. Teori pasca-strukturalis yang terdiri dari teori Foucault, Derrida, dan Lacan mengutamakan pengaruh wacana dalam pembentukan identitas atau subjektivitas manusia. Sastra merupakan bagian dari wacana itu.
5.3
Penutup
5.3.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 – 1000
5.3.2
Tindak lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
5.4
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator keberhasilan
Butir kemampuan Butir penilaian Menyusun
metode
Pemahaman
penelitian mengenai Kesesuaian teori dengan metode karya sastra tertentu
Poin maks.
Operasionalisasi konsep
100
5.5
Matrix Penilaian
No.
Materi/isi
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan
Afektif
Psikomo
Penilaia
Khusus
torik
n
Pembel ajaran
1.
Dasar ontologis
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian teori
dengan
Langkah-
D1
mid
metode 3.
Tugas, semester
1
1
1
X
A/I/P
Mid
D1
langkah
Semeste
penelitian sastra
r
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 7-8
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, SU
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
Evaluasi dan
bahasan, alokasi
7
Memahami
Model Analisis
Model analisis
Formalis,
Formalis,
strukturalis,
strukturalis,
semiotik
9
Penilaian
Metode
Aktivitas
Ajar
Mahasiswa
Aktivitas Dosen/ Nama
Sumber Ajar
Pengajar
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
Indikator
Metode
subpokok
Gambar
Keluaran/
Topik (pokok,
Presentasi
Tujuan Ajar/
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Tanya-jawab
Membaca,
Menyimak,
Menjelaskan,
Structuralism
menyimak,
bertanya,
bertanya,
and
menjelaskan menjawab
menjawab
Semiotics
Aktivitas
Presentasi
Presentasi,
Memandu,
Introductory
Akurasi
Diskusi
bertanya,
bertanya,
Guide to
menjawab
menjawab
Post..
Daya-simak
semiotik 8
Melakukan
Seminar analisis
analisis
formalis,
formalis,
strukturalis,
strukturalis,
semiotik
semiotik
9
BAB VI MODEL ANALISIS STRUKTURALISME DINAMIK DAN SEMIOTIK
6.1
Implikasi Metodologis Teori Strukturalisme Dinamik Bila karya sastra dipahami sebagai fakta yang sepenuhnya objektif, pengetahuan
mengenainya tentu saja hanya dapat dicapai dengan cara yang empiric, melalui pengalaman yang sepenuhnya bersifat inderawi dengan berbagai kemungkinan bantuan peralatan yang dapat disebut sebagai perluasan dari daya-daya inderawi tersebut sebagaimana yang dipahami oleh antara lain Marshall McLuhan (1964:1—2). Akan tetapi, jika karya sastra dipahami sebagai fakta yang sepenuhnya subjektif, pengetahuan ilmiah mengenainya dapat dikatakan mustahil apabila yang dinamakan sebagai pengetahuan ilmiah itu merupakan pengetahuan mengenai aturan atau kaidahkaidah yang bersifat umum atau universal, pengetahuan yang objektif. Karena Wellek dan Warren menganggap karya sastra merupakan fakta intersubjektif dengan menempatkan pengalaman personal terhadap karya sastra merupakan aktualisasi (yang tidak pernah dan tidak selalu sempurna) dari system norma yang bersifat kolektif, yang melampaui batas subjektivitas pengalaman personal itu, pengetahuan ilmiah mengenainya masih mungkin dengan cara “menyimak” tanda-tanda kebahasaan yang bersifat empiric untuk menemukan satuan-satuan dan keseluruhan makna yang terkandung dan terbangun di dalamnya atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan ataupun kesastraan yang bersifat kolektif atau intersubjektif, baik yang berlaku pada konteks social-historis tertentu maupun pada konteks yang lebih luas atau yang relative universal. Namun, sebagai struktur yang dinamik, di dalam dirinya karya sastra tidak pernah terkodifikasi selengkap kodifikasi bahasa. Bila kodifikasi itu meliputi kodifikasi yang dapat dianalogikan dengan kodifikasi system semantic dan sintaktik bahasa (Eco 1977: 36--38), menyangkut relasi antara penanda dengan petanda dan relasi antartanda dalam pengertian semiotika, di dalam sistem sastra tidak mudah menemukan kode-kode semantic dan sintaktik yang lengkap dan baku dan di setiap aktualisasi personal terhadapnya akan selalu ditemukan kejutankejutan baik dalam bangunan semantik maupun sintaktiknya. Konsekuensi dari sifat dinamik dari struktur karya sastra yang demikian mengimplikasikan sekaligus tuntutan metodologis yang lain, yaitu metode yang lebih eksperimental dalam pengertian dengan pengujian pada pengalamanpengalaman personal pembaca dalam ruang dan waktu tertentu, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.
Sebagai misal, dapat dilihat pandangan Wellek dan Warren (1990: 198) dalam kutipan berikut.
“Kita tidak boleh melupakan bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Tiap bahasa mempunyai system fonetiknya sendiri. Jadi, tiap bahasa memiliki vocal-vokal yang bertolak belakang dan yang parallel, serta konsonan-konsonan yang mirip. Perlu diingat pula bahwa efek bunyi tidak dapat dipisahkan dari makna dan nada setiap baris dari puisi. Aliran Romantik dan Simbolik sering menyamakan puisi dengan music. Tapi, perbandingan itu hanya metafora belaka. Puisi tidak dapat mengimbangi keragaman, kejelasan, dan susunan pola bunyi murni. Makna, konteks, dan nada diperlukan untuk mengubah bunyi linguistic menjadi hal yang artistik.”
Dengan kata lain, tidak ada rumusan mengenai efek bunyi yang universal. Kode semantik mengenai efek bunyi bervariasi sesuai dengan variasi system fonetik bahasa yang menjadi sumbernya. Lebih jauh, sistem fonetik bahasa sendiri tidak bisa dijadikan satu-satunya pegangan untuk menentukan efek bunyi itu. Makna dan nada setiap baris puisi juga menentukan efek bunyi di atas. Perubahan bunyi bahasa menjadi hal yang artistic tergantung pula pada konteks, tidak hanya makna dan nada. Selain itu, Wellek dan Warren (1990: 200) bahkan mengatakan bahwa standard ketepatan rima juga bervariasi sesuai dengan variasi “aliran poetika dan kebiasaan negeri masingmasing”. Dalam ketiadaan system kodifikasi yang lengkap, baik pada tingkat local maupun global, metode eksperimental dalam pengertian di atas menjadi niscaya dalam rangka memperlengkap atau menyempurnakan system kodifikasi yang ada. Selain itu, metode tersebut juga merupakan sebuah cara yang harus ditempuh sesuai dengan tuntutan sifat dari karya sastra itu sendiri sebagai sebuah struktur yang dinamik yang di dalamnya setiap karya sastra dapat menjadi aktualisasi dan sekaligus kekuatan pengubah terhadap kaidah-kaidah structural karya sastra yang sudah ada. Perlunya metode yang demikian dapat pula dilihat dalam kasus metode penelitian sastra yang dirumuskan di dalam buku Metode Penelitian Sastra karya Siswantoro (2010). Buku karya Siswantoro itu merupakan buku mengenai metode penelitian sastra, khususnya metode penelitian sastra yang bersifat structural sebagaimana yang dirumuskan oleh Wellek dan Warren di atas. Menurutnya (2010:11—12), untuk mampu melakukan analisis secara structural, seorang analisis harus memiliki kompetensi sastra karena kompetensi itulah yang akan
memandunya selama melakukan analisis sastra, yang dapat membuat analisisnya tidak menjadi liar, tak berstandard. Adapun kompetensi dan manfaat kompetensi itu ia definisikan sebagai:
“… pengetahuan tentang konvensi sastra, yang dalam konteks ini adalah puisi, yang telah disepakati oleh masyarakat sastra” dan meliputi “fungsi yang tergantung pada jenis-jenis puisi, unsur-unsur internal dan hokum relasional antara unsur-unsur internal tersebut sehingga makna atau nilai sebuah unsur tergantung pada unsur lain. Dengan pengetahuan sastra yang demikian itu analisis tersebut mampu memberi makna, serta mampu memberi tafsir kepada sebuah karya atau lebih. Singkat kata, seorang analisis dituntut mampu mengungkap secara eksplisit kaidah sebuah karya yang implisit itu ke tingkat permukaan dalam rangka menemukan efek kesastraannya.”
Atas dasar tuntutan akan kompetensi itu, Siswantoro memulai contoh analisisnya dengan memaparkan terlebih dahulu kaidah-kaidah structural puisi, khususnya jenis sonata yang akan menjadi objeknya. Sehubungan dengan sifat struktural dari kaidah itu, Siswantoro (2010:12—22) terlebih dahulu memaparkan pengertian struktur dan penerapannya dalam puisi. •
Puisi dikatakan berstruktur karena ia adalah sebuah keseluruhan yang terbangun dari unsurunsur yang saling berhubungan yang di dalamnya, dengan demikian, tidak ada unsur yang mengandung makna kecuali dalam hubungan dengan unsur yang lain. Dalam hal ini puisi sekaligus dipahami sebagai sesuatu yang terpadu.
•
Struktur puisi bersifat transformative dalam pengertian terus-menerus menghasilkan produk baru yang tidak pernah sama dengan yang lain tanpa kehilangan struktur dasarnya. Dalam hal ini puisi sekaligus sebagai sesuatu yang bervariasi dan variasi itu disebut sebagai permukaan dari struktur dasar di atas.
•
Struktur puisi juga dapat mengatur dirinya sendiri dalam pengertian mampu menghasilkan bentuk-bentuk baru atas dasar strukturnya sendiri, bukan atas dasar pengaruh faktor-faktor yang ada di luar dirinya. Selanjutnya, sesuai dengan konsep struktur puisi, Siswantoro 1010: 23—27) memaparkan
pengertian puisi yang secara garis besar sebagai berikut. Puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentrasi. •
Puisi menyatakan lebih banyak hal daripada apa yang dikatakan.
•
Bahasa puisi tertata secara artistic, baik dengan aturan mengenai (a) jumlah suku kata, (b) kandungan makna konotatif, (c) dan susunan bunyi yang musical.
•
Merupakan struktur signifikan dalam pengertian menghasilkan pengalaman baru yang menuntut respon baru yang membutuhkan pencurahan daya intelektual, imajinasi, dan rasa yang maksimal. Adapun sonata ia (2010: 27—33) definisikan seperti di bawah ini.
•
Soneta adalah jenis puisi lirik.
•
Soneta termasuk jenis puisi interpretif dalam pengertian bertujuan untuk mencerahkan di samping menghibur.
•
Soneta terdiri dari empat belas baris.
•
Seluruh baris diikat oleh pola sajak yang variatif.
•
Soneta dapat mengikuti dua kemungkinan model, yaitu model Italia dan Inggris.
•
Soneta Inggris terdiri dari tiga kuatrin yang masing-masing terdiri dari empat baris.
•
Pola sajak sonata model Inggris adalah abab, cdcd, efef. Kaidah puisi dan sonata tersebut ia pahami sekaligus sebagai teori. Menurutnya (2010:26),
dengan kesetiaan pada kaidah itulah penyair menulis puisi dan dengan kaidah itu pula pembaca dapat berinteraksi dengan puisi itu dengan cara yang baik. Dan, dari teori yang berupa kaidah di atas Siswantoro melakukan apa yang disebutnya deduksi untuk memperoleh kesimpulan sementara mengenai hasil penelitian atau yang disebutnya hipotesis. Hipotesisnya mengenai puisi yang ia teliti sebagai berikut. •
Hipotesis 1: Sonnet XXX mempunyai unsur-unsur intrinsic yang saling berhubungan dan membentuk satu kesatuan yang utuh (unity).
•
Hipotesis 2: Sonnet XXX mempunyai unsur-unsur intrinsic yang variatif (diversity). Pengujian terhadap hipotesis tersebut ia (2010:73—81) lakukan dengan melakukan
pengumpulan data yang bersumber pada teks puisi yang diteliti serta dengan analisis data yang berupa penguraian puisi menjadi unsur-unsur dan pemaparannya secara fungsional dan relasional dalam konteks hubungan antara unsur itu dengan unsur yang lainnya. Adapun yang ia maksudkan sebagai unsur-unsur itu meliputi diksi, gaya bahasa, pencitraan, ritme, rima, aliterasi, asonansi, nada bicara, apa yang ia sebut hubungan antara bunyi dan makna yang meliputi pengintensif makna, suara lembut, dan penggunaan meter. Sebagai contoh dapat dilihat tiga hasil analisisnya berikut.
“Kesimpulannya adalah hipotesis I terbuktu sebab terdapat hubungan yang integral antara aspek formal diksi dengan fungsi Sonnet XXX yaitu mengungkap pokok persoalan kesedihan dengan efek terciptanya suasana serius.”
“Kesimpulannya adalah hipotesis I terbukti sebab terdapat hubungan yang integral antara aspek polisemi pada kata things dengan plot yang menghasilkan efek misteri.”
“Dengan demikian hipotesis I terbukti sebab terdapat hubungan yang integral antara imagery tipe visual pada verba sigh dan sought dengan bunyi euphonious /s/ yang melodious dengan efek terciptanya aliterasi atau sajak dalam /s/ yang melodius sebanyak dua kali di baris (3) yang mendukung desah kesedihan. Analisis di atas juga membuktikan terbuktinya hipotesis II, sebab di dalam analisis tersebut kita temukan adanya variasi penggunaan imagery seperti tipe sensasi internal serta tipe visual. Jadi, dapatlah kita rumuskan hipotesis II sebagai berikut. Dengan demikian, hipotesis II terbukti sebab terdapat variasi penggunaan imagery seperti tipe sensasi internal dan tipe visual di kuatrain I, sehingga kuatrain I tersebut terhindar dari dimensi monoton.”
Di dalam kutipan pertama Siswantoro tampaknya menggunakan kode pragmatic bahasa yang merumuskan bahwa kata-kata yang termasuk ke dalam ragam bahasa formal melambangkan nilai rasa keseriusan dan kode yang menyatakan bahwa kesedihan adalah masalah serius. Karena bahasa formal = serius, kesedihan = serius, bahasa formal ekuivalen dengan kesedihan. Kesimpulan itu tentu mengandung banyak masalah, tidak dapat diterima begitu saja. Pertama, rumus bahasa formal = serius tidak dapat dianggap berlaku secara universal, bahkan atas dasar kode yang sama. Serius atau tidak seriusnya bahasa formal, misalnya, dapat tergantung pada siapa yang menggunakannya. Kalau yang menggunakannya rakyat kecil, tidak berpendidikan, tidak akrab dengan bahasa serius, dianggap tidak mempunya kompetensi dengan ragam tersebut, bahasa formal dapat menjadi tidak serius. Selain itu, kode yang semacam itu juga belum tentu berlaku pada semua masyarakat bahasa dan kebudayaan seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren di atas. Bahkan, belum tentu pula berlaku dalam semua kelompok masyarakat dengan bahasa dan kebudayaan yang sama. Misalnya, ada kelompok masyarakat yang menganggap humor itu serius. Padahal, Siswantoro mengatakan bahwa salah satu indicator dari keseriusan itu adalah tidak adanya humor sedikit pun dalam puisi yang diteliti. Kedua, kalaupun bahasa formal itu sama dengan serius, hal itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa ragam bahasa tersebut hanya dapat disamakan dengan kesedihan. Bahkan, makna yang bertentangan dengan kesedihan itu pun, yakni kebahagiaan, bisa
dikatakan serius dan karenanya bisa ekuivalen dengan bahasa formal pula. Bila demikian halnya, ekuivalensi dan integrasi bahasa formal dengan kesedihan di atas tidak hanya tergantung pada kode yang berlaku, melainkan juga tergantung pada konteks keseluruhan teks puisi yang bersangkutan di samping dengan masyarakat bahasa dan kebudayaan yang menggunakannya. Bila demikian, yang kemudian menjadi masalah adalah kenyataan bahwa, menurut bahkan teori yang sama, setiap teks selalu berbeda dari teks yang lain, tidak pernah sama. Karena itu, tidak akan pernah ada kode yang sama untuk teks yang berbeda. Untuk mengatasi masalah inilah diperlukan metode yang eksperimental seperti yang sudah dikemukakan di atas. Makna dari suatu unsur dan relasi antara unsur yang satu dengan unsur yang lain di dalam teks yang sama harus diuji pada pengalaman personal maupun kolektif dari penulis ataupun pembaca teks itu. Permasalahan dan kemungkinan penyelesaian yang serupa juga terkandung di dalam kutipan kedua. Tidak semua kata yang polisemik menghasilkan efek misteri, baik karena perbedaan tekstual maupun karena perbedaan masyarakat bahasa dan kebudayaan tempat kode mengenai efek dari polisemi serupa itu digunakan. Dalam kutipan ketiga Siswantoro sama sekali tidak berangkat dari pembahasan mengenai keterkaitan imajeri visual dengan kesedihan. Fungsi pilihan kata desah lebih ia kaitkan dengan pembentukan aliterasi /s/ yang, menurutnya, mendukung makna kata desah kesedihan. Dengan kata lain, dari segi maknanya, kata desah sebenarnya tidak berbeda dari complain. Tidak ada efek imajeri yang berbeda antara keduanya kecuali sebagai cara untuk membangun aliterasi /s/ bagi kata yang pertama. Dalam kaitan dengan jawaban terhadap hipotesis II, kutipan ketiga itu mengandung masalah konseptual yang mendasar. Dalam kesimpulan mengenai hipotesis II tersebut Siswantoro mengingkari konsep teoretiknya sendiri mengenai variasi. Bila di dalam konsep teoretiknya ia memahami variasi sebagai sesuatu yang terkait dengan invariant, yaitu struktur dasar, di dalam kesimpulan itu ia mengaitkannya dengan perasaan bosan yang sifatnya semata-mata semantic, bukan structural. Pergeseran konsep ini tampaknya akibat dari kecenderungannya untuk memaksakan pembuktian hipotesis II di atas tanpa dukungan data dan kode yang dapat mendukung pembuktian tersebut. Mungkin juga pergeseran konsep tersebut akibat kelemahan teoretiknya. Tiga rangkaian konsep yang dipaparkannya, yaitu konsep struktur, puisi, dan sonata sama sekali tidak membangun satu kesatuan konsep yang baru, yaitu struktur-puisi-soneta. Sebagai misal, tidak ada hubungan yang jelas antara tiga elemen konseptual puisi yang ia kemukakan dengan tiga elemen konseptual struktur yang mendahuluinya. Misalnya, tempat elemen konseptual pertama, yaitu puisi menyatakan lebih banyak hal daripada yang dikatakannya, dalam keseluruhan konsep struktur, baik yang berupa keseluruhan, transformasi, maupun pengaturan-diri. Begitu juga tempat elemen puisi sebagai bahasa
yang artistic dan struktur signifikan yang menimbulkan pengalaman baru. Tentu tidak pula jelas pengertian sonnet sebagai puisi dengan pola persajakan tertentu dengan pengertian puisi dan dengan pengertian struktur di atas. Memang, Siswantoro pernah mengatakan bahwa puisi-puisi sonata Shakespeare tidak serupa satu sama lain, tetapi tetap sonata. Akan tetapi, ia tidak menunjukkan hubungan struktural antara variasi sonata-soneta penyair tersebut dengan ciri-ciri sonata yang ia sebutkan. Jika dianalogikan dengan bahasa dalam linguistic structural, yang menjadi struktur bahasa itu dapat berupa struktur morfologis kata majemuk atau frase, struktur sintaktik, atau bahkan yang menyangkut hubungan antara penanda dengan petanda. Sebuah frase yang pada tingkat dasarnya hanya terdiri dari dua kata yang diperantarai oleh kata “yang” dapat muncul secara bervariasi pada level aktualisasi atau performansinya, misalnya tanpa kata “yang” atau mengalami perluasan hingga mencapai jumlah kata yang tidak terbatas, tetapi dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai frase. Begitu juga dengan struktur sintaktik yang misalnya menyangkut pola hubungan yang tetap antara subjek dengan predikat dan dengan objek yang dapat diaktualisasikan dengan variasi yang tidak terbatas tanpa keluar dari pola dasar kalimat itu. Polisemi dan homonimi dapat juga dilihat dari segi prinsip transformasi demikian, yaitu petanda yang menyatakan diri dalam penanda yang bervariasi atau sebaliknya. Kelemahan teoretik di atas sekaligus merupakan kelemahan dalam ketersediaan kode mengenai puisi, termasuk sonata, yang bersifat structural. Kode-kode yang digunakan Siswantoro dalam buku ini, sebagaimana yang juga digunakan oleh Wellek dan Warren, adalah kode-kode yang pada hakikatnya bukan structural. Itulah sebabnya, penelitian sastra yang demikian masih sangat membutuhkan dan bergantung pada metode-metode yang sifatnya empiric, antara lain metode eksperimental. Adapun yang dimaksud dengan metode eksperimental ini adalah metode yang di dalam linguistic terbangun dari teknik permutasi, yaitu yang berupa berbagai kemungkinan pengubahan pola structural, baik dalam poros sintagmatik maupun paradigmatic, dari satuan bahasa tertentu yang dihadapkan langsung pada penutur bahasa, terutama penutur asli yang diasumsikan mempunyai kompetensi dalam bahasa itu. Merekalah yang kemudian memutuskan mengenai gramatikal atau tidak gramatikal, mempunyai makna atau tidak mempunyai makna, logis atau tidak logis, satu kemungkinan pola structural yang ditawarkan peneliti. Sebenarnya, mungkin tanpa disadarinya, Siswantoro sudah menggunakan metode yang demikian, yakni ketika ia menggantikan kata sigh menjadi complain dan membayangkan perubahan efek yang terjadi. Hanya saja, pengubahan itu tidak disadarinya sebagai sebuah metode dengan arah
tertentu, dikonfirmasikan kepada subjek tertentu dengan kompetensi tertentu. Menurutnya, pengubahan itu dapat merusak struktur aliterasi dan memang bisa demikian. Namun, benarkah aliterasi itu merupakan satuan signifikan bagi Shakespearenya sendiri atau juga bagi pembaca yang lain, ataukah hanya bagi Siswantoro sendiri. Harus ada dasar metodologis untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Apalagi, ketika ia menggunakan kata “merusak” yang mengimplikasikan penilaian dan keharusan adanya aliterasi yang demikian. Selain itu, Siswantoro menawarkan perubahan tersebut dalam focus perhatian pada persoalan imajeri. Dengan hanya mengaitkan pengubahan itu hanya pada persoalan aliterasi, ia seakan menganggap pengubahan itu tidak menimbulkan efek secara imajeri. Padahal, tentu gambaran visual seseorang yang berdesah dengan seseorang yang mengeluh akan berbeda. Tanpa membicarakan kemungkinan efek visualnya, Siswantoro seakan menganggap efek perubahan visual dari pengubahan tersebut sebagai sesuatu yang tidak signifikan. Dalam hal yang kemudian ini, sekali lagi, ia harus mengajukan konflirmasi mengenai signifikan atau tidak signifikannya perubahan visual tersebut pada “penutur” puisi yang dianggap kompeten, entah dirinya, seseorang atau sekelompok orang yang lain. Tentu, untuk memahami pengalaman pembaca, peneliti tidak harus melakukan eksperimentasi gaya linguistic di atas. Sehubungan dengan kodrat karya sastra sebagai struktur yang dinamik, Wellek dan Warren melihat pentingnya perhatian pada karya-karya kritik sastra sebagai aktualisasi dari struktur norma yang, karenanya, dapat digunakan sebagai salah satu metode pula untuk menemukan struktur itu. Posisi kritik sastra, bagi keduanya, amat penting juga bagi perkembangan sejarah sastra karena kritik sastra itulah yang memberikan respon secara langsung terhadap karya-karya sastra yang baru dengan berbagai variasinya. Dalam pengertian fenomenologi Berger dan Luckmann (1990: 97) kritik sastra itu merupakan salah satu objektivasi dari kode yang ada dalam pikiran kolektif masyarakat sastra, baik pada tingkat local, nasional, maupun global. Hanya saja, sebagaimana yang sudah dikemukakan, Wellek dan Warren tetap bersikap selektif terhadap kritik sastra atas dasar tingkat kedekatannya dengan dan kelengkapannya dalam menangkap struktur norma yang sudah ditemukan sebelumnya.
6.2
Implikasi Metodologis Teori Semiotika Riffaterre Buku Riffaterre ini sebenarnya justru lebih banyak berbicara mengenai persoalan
metodologis daripada persoalan teoretik. Secara teoretik, konsepnya mengenai puisi sesungguhnya sangat sederhana dan dapat disarikan sebagai berikut.
•
Puisi merupakan wacana kebahasaan yang mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain atau secara tidak langsung.
•
Sebagai konsekuensi dari sifat yang demikian, puisi mempunyai dua lapis makna, yaitu makna referential yang bersifat heretogen dan disebut “makna” dan makna semiotic yang bersifat homogeny, tunggal, terpusat, dan structural yang disebut “arti” sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa puisi merupakan suatu kesatuan formal dan semantik.
•
“Arti” itu sendiri berpusat pada apa yang disebut matriks, satuan makna yang tidak terdapat di dalam linearitas teks.
•
Dorongan pemaknaan ke arah matriks dapat bermuara pada suatu teks lain yang disebut hipogram yang dengan demikian dapat sekaligus berkedudukan sebagai matriks itu sendiri.
•
Proses peralihan dari “makna” ke “arti” tersebut disebut sebagai semiosis atau proses semiotic dan terjadi dalam hubungan dialektika antara pembaca dengan teks puisi.
•
Di dalam proses semiotic itu pembaca dapat memberikan masukan-masukan terhadap teks dengan menggunakan kompetensi linguistic maupun kesastraannya sehingga rintanganrintangan yang berupa ungramatikalitas referential yang dihadapi dalam level pembacaan secara mimesis dapat dilampaui. Dengan pandangan teoretik yang demikian, Riffaterre (1978: 5) dua cara pembacaan yang
dilaksanakan secara berurutan, yaitu pembacaan heuristic dan pembacaan hermeneutic. Pembacaan heuristic dilakukan dengan menggunakan kode bahasa yang bersifat referential, yaitu yang mengandaikan bahwa tanda-tanda yang terdapat di dalam teks puisi yang diteliti mengacu kepada satuan-satuan kenyataan yang terdapat dalam dunia empiric. Karena kenyataan itu bersifat kompleks, pembacaan yang demikian hanya akan membawa peneliti pada serangkaian makna referential yang heterogen, yang tidak bersesuaian satu sama lain, serangkaian ungramatikalitas. Untuk mengatasi hambatan yang demikian, peneliti harus mengambil cara pembacaan yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutic yang di dalam hermeneutika biasa disebut dengan metode “lingkaran hermeneutik”.
“Tahap kedua merupakan tahap pembacaan retroaktif. Ini saat bagi suatu interpretasi kedua, bagi pembacaan yang benar-benar hermeneutik. Ketika ia bergerak maju sepanjang teks, pembaca mengingat apa yang baru saja ia baca dan memodifikasi pemahaman mengenainya dengan bantuan cahaya dari apa yang baru saja ia tafsirkan. Ketika ia bekerja dari awal hingga akhir, ia melakukan pemandangan ulang (5), penglihatan ulang, perbandingan ke belakang. Ia, dengan demikian, melaksanakan penafsiran struktural; begitu ia bergerak menelusuri teks ia segera mengenali, dengan berkah dari perbandingan atau hanya karena ia
sekarang dapat menempatkan mereka (hal-hal yang terpisah) secara bersama-sama; bahwa pernyataan-pernyataan yang beruntun dan berbeda-beda, yang semula diperhatikan hanya sebagai ungramatikalitas, sesungguhnya ekuivalen, karena semua itu sekarang tampak sebagai varian dari matriks struktural yang sama. Karena itu, teks merupakan suatu variasi atau modulasi dari sebuah struktur – tematik, simbolik, atau apa pun – dan hubungan dengan struktur yang terus bertahan ini membentuk signifikansi. Efek maksimal dari pembacaan retroaktif, klimaks dari fungsinya sebagai generator signifikansi, secara alamiah terjadi di akhir puisi; kepuitisan dengan demikian merupakan suatu fungsi yang koekstensif dengan teks, dipertalikan dengan suatu realisasi terbatas wacana, diikat oleh klausula dan permulaan (yang secara retrospektif kita persepsi sebagai bertalian). Itulah sebabnya, jika satuan-satuan makna dapat berupa kata-kata atau frase-frase atau kalimat-kalimat, satuan signifikansi adalah teks. Akhirnya, untuk menemukan signifikansi , pembaca harus mengatasi rintangan mimesis: namun sebenarnya rintangan itu merupakan sesuatu yang esensial bagi perubahan pikiran pembaca. Penerimaan pembaca terhadap mimesis menempatkan tata bahasa sebagai latar belakang yang darinya ungramatikalitas akan mendorong dirinya ke arah depan sebagai kayu-kayu sandungan, untuk kemudian dipahami pada suatu level kedua. Saya tidak dapat menekankan secara cukup kuat bahwa rintangan yang mengancam makna, bila dilihat secara terpisah hanya pada pembacaan pertama, adalah juga suatu garis pemandu kepada semiosis, kunci ke dalam signifikansi dalam sistem yang lebih tinggi, tempat pembaca mempersepsinya sebagai bagian dari suatu jaringan yang kompleks.”
Riffaterre (1978:6—12) menjelaskan metode penelitian yang demikian melalui sebuah contoh analisisnya terhadap puisi karya Gautier yang ditulis dalam bahasa Perancis, tetapi yang menggunakan bahasa Latin sebagai judulnya: “In Deserto”. Ia sengaja memilihnya karena puisi itu terkesan sangat referential, menggambarkan dengan cara yang sangat detail dan dengan cara yang dapat dikatakan “dingin”, mengenai lingkungan gurun pasir sehingga terkesan sebagai sebuah laporan jurnalistik yang mimetic atau referential. Dengan mengambil contoh yang ekstrem itu Riffaterre membuktikan bahwa puisi, seberapa tinggi pun derajat referentialitasnya, tetap saja mengikuti kaidah puisi seperti yang ia definisikan, yaitu berbicara secara tidak langsung, menggunakan berbagai cara dan bentuk ketidaklangsungan yang membuat referentialitas puisi terhambat, dan bermuara pada terbentuknya satu kesatuan “arti” yang bersifat structural, mengacu kepada dirinya sendiri. Gurun pasir itu, melalui berbagai ketidaklangsungan, pengandaian, dan alusi “menjadi suatu paradigma iteratif dari sinonim-sinonim yang menunjuk secara insisten kepada kegersangan (baik secara kiasan maupun fisik)”, varian dari suatu matriks yang sama. Ada dua kutub oposisional yang terbangun di dalamnya, yaitu cinta, gairah dan kegersangan hati, yang kesemuanya berpusat pada satu matriks/hipogram tekstual yang tidak tampak secara linear di dalam puisi itu, tetapi disiratkan oleh judulnya: “vox clamans in deserto” (Riffaterre 1978:12—13):
“Epifani semiosis itu terjadi ketika suara yang hilang ditemukan kembali, sebagai akibat dari isyarat-isyarat yang diberikan oleh judul, yang disalahpahami hinggal bagian akhir: isyarat itu adalah bahasa judul. Dalam bahasa Perancis, Dans le desert akan menjadi sebuah judul yang memenuhi dirinya sendiri dan yang secara sempurna cocok bagi sebuah perjalanan semata. Bahasa Latin In deserto tidak akan berarti kecuali jika dibaca secara seharusnya, sebagai sebuah kutipan tak lengkap. In deserto hanyalah bagian kedua dari frase yang sudah dikenal bagi kata-kata yang diteriakkan dalam suasana hati yang terluka, suara yang menangis dalam keliaran: vox clamans in deserto. Dari suara yang tertekan, putus asa ini, keseluruhan puisi diturunkan; dari hal ini pembicara menyampaikan ketaknyataan mimpi. Simbol konvensional yang demikian, yang dihapus dari judul, teks, diangkat kembali dari debu-debu deskripsi yang dikenal, diberi sebuah signifikansi yang baru dan unik.”
Dengan demikian, objek formal dari penelitian puisi dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena “arti” itu berpusat pada matriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya sendiri walaupun dapat disiratkannya, data mengenainya tidak akan dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun “pengarang”. Meskipun demikian, untuk menemukannya, peneliti tidak perlu bertanya atau melakukan wawancara dengan pembaca ataupun pengarang tersebut. Bertanya dan wawancara hanya salah satu metode atau teknik untuk memperoleh pengetahuan mengenai pikiran tersebut. Bagi Riffaterre, “arti” itu dapat ditemukan melalui berbagai bentuk objektivasinya yang berupa teks. Namun, teks yang menjadi matriks atau hipogram itu sendiri baru bisa ditemukan setelah peneliti menemukan “makna” kebahasaan dari puisi yang bersangkutan. “Makna” kebahasaan itu adalah makna referential yang berupa serangkaian ungramatikalitas, yaitu ketidaksesuaian antara satuan-satuan tanda kebahasaan yang ada di dalam teks dengan gambaran mengenai kenyataan yang diacunya. Karena “makna” ini bersifat kebahasaan, ia dapat ditemukan di dalam teks puisi yang diteliti, merupakan data yang bersifat tekstual yang disimak berdasarkan konvensi bahasa yang berlaku. Hanya saja, satuansatuan makna kebahasaan itu sendiri belum memadai untuk membawa peneliti pada pengetahuan mengenai “arti” di atas, melainkan hanya menjadi “pengantar” ke arahnya. Satuan-satuan makna kebahasaan itu, yang berupa serangkaian ungramatikalitas tersebut, harus dihubungkan satu sama lain secara oposisional sehingga membentuk pasangan-pasangan oposisi yang saling ekuivalen dan bersifat paradigmatic. Untuk membentuknya menjadi pasangan-pasangan oposisional yang paradigmatic tersebut, peneliti harus melakukan pembacaan secara hermeneutic dan pembacaan dengan bantuan apa yang oleh Riffaterre dinamakan “konvensi sastra”. Seperti sudah dikemukakan, pembacaan secara hermeneutic adalah pembacaan secara retroaktif yang di dalam tradisi hermeneutika bergerak secara dialektik dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan ke bagian, sedangkan konvensi sastra berfungsi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan makna
simbolik yang dapat mempertemukan satuan-satuan makna kebahasaan yang satu dengan yang lain, untuk melampaui secara bertahap serangkaian ungramatikalitas yang ada. Bila dirumuskan secara formal, pertanyaan penelitian puisi yang demikian adalah “apakah signifikansi puisi x?”. Pertanyaan ini dapat dijabarkan menjadi sub-sub pertanyaan berikut. •
Apa saja makna referential puisi x?
•
Apa saja ungramatikalitasnya?
•
Apa saja kemungkinan makna simbolik yang disiratkan oleh ungramatikalitas itu?
•
Pasangan oposisional apa yang dapat dibangun darinya?
•
Bagaimana variasi hubungan ekuivalensi antarpasangan yang terbangun?
•
Mengarah ke invariant atau matriks apa variasi hubungan ekuivalensi itu?
•
Teks apa yang menjadi matriks atau hipogramnya? Hipotesis yang dapat dijadikan jawaban sementara terhadap pertanyaan penelitian di atas
adalah bahwa: signifikansi puisi x adalah Y. Jawaban tersebut didasarkan pada jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan bawahan berikut. •
Makna referential puisi itu adalah: x1, x2, x3, x4, x5, x6, x7, x8
•
Ungramatikalitasnya adalah: makna-makna referential itu tidak dapat dihubungkan satu sama lain dan tidak sesuai dengan kenyataan.
•
Kemungkinan makna simboliknya adalah x1+, x2+, x3+, x4+, x5+, x6+, x7+, x8+
•
Pasangan oposisional yang terbangun adalah: x1+ x x3+, x2+ x x4+, x5+x x6+., x7+ x x8+.
•
Pasangan pertama ekuivalen dengan pasangan ketiga, pasangan kedua dengan pasangan keempat.
•
Variasi hubungan ekuivalensi itu mengarah kepada oposisi dasar, yaitu y1 x y2.
•
Teks yang menjadi matriks atau hipogramnya adalah y. Variabel penelitian yang bisa ditentukan atas dasar pertanyaan penelitian dan hipotesisnya di
atas adalah: makna dan arti. Makna ada di balik arti sehingga yang menjadi persoalan metodologis penelitiannya adalah bagaimana menemukan arti melalui makna. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti harus mengumpulkan data dari sumber-sumber yang sesuai dan kemudian melakukan analisis untuk menemukan hubungan antara kedua data, yaitu data makna dan arti, yang sudah ditemukan. Data dari variable pertama bersifat tekstual-linguistik, sedangkan data dari variable kedua bersifat simbolik-literer atau semiotic. Analisis data dilakukan secara structural, yaitu dengan membangun serangkaian oposisi biner, hubungan ekuivalensi atau paradigm, hermeneutic atau
retroaktif, sampai ditemukan invariant dari varian-varian yang ada. Invarian itu adalah matriks atau hipogram.
6.3
Puisi “Manusia Pertama di Angkasa Luar” karya Subagyo Sastrowardoyo MANUSIA PERTAMA DI ANGKASA LUAR Beritakan kepada dunia (1) Bahwa aku telah sampai pada tepi (2) Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (3) Aku kini melayang di tengah ruang (4) Di mana tak berpisah malam dengan siang. (5) Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang. (6) Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang. (7) Jagat begitu tenang. Tidak lapar (8) Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah. (9) Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. (10) Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu (11) Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota (12) Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat (13) Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari. (14) Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa (15) Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku (16) Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela (17) Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta– (18) Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap (19) Sekelumit dari pesawatku, seleret dari (20) Perlawatanku di langit tak terberita. (21) Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu (22) Kutinggalkan kemarin dulu? (23) Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita (24)
Sebab semua telah terbang bersama kereta (25) ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi (26) daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji (27) yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi (28) yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi (29) Tetapi aku telah sampai pada tepi (30) Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (31) Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku (32) Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang (33) Jagat begitu dalam, jagat begitu diam. (34) Aku makin jauh, makin jauh (35) Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi (36) Makin gemuruh. (37)
Bunda, (37) Jangan membiarkan aku sendiri. (38)
Dari judulnya tampak bahwa puisi di atas bercerita tentang kenyataan, peristiwa peluncuran pertama manusia ke angkasa luar dengan menggunakan roket yang pada waktu itu bernama Apollo. Hal ini dipertegas oleh baris pertama pembukanya, “beritakan pada dunia…”. Hampir semua pernyataan di dalam puisi itu menggambarkan kenyataan, yaitu kenyataan pengalaman dan perasaan manusia pertama yang sampai ke angkasa luar itu: ruang angkasa yang sepi, melayang, bumi yang tampak makin jauh, tidak adanya perasaan lapar, kerinduan kepada keluarga, bayangan mengenai anak yang mencoba menangkap bayangan pesawat bapaknya yang ada di langit, dan sebagainya. Namun, terdapat beberapa pernyataan dari beberapa baris puisi itu yang membuat gambaran mengenai kenyataan itu menjadi ungramatikal, tidak bersesuaian dengan kenyataan, yaitu sebagai berikut. 1)
Bahwa aku telah sampai pada tepi (2)
2)
Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (3)
3)
Perlawatanku di langit tak terberita. (21)
4)
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita (24)
5)
Sebab semua telah terbang bersama kereta (25)
6)
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi (26)
7)
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji (27)
8)
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi (28)
9)
Tetapi aku telah sampai pada tepi (30)
10)
Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (31)
11)
Aku makin jauh, makin jauh (35)
12)
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi (36) Baris (2) menimbulkan ungramatikalitas karena ruang angkasa bisa dikatakan tidak bertepi.
Yang membuat baris (3) menjadi faktor bagi ungramatikalitas adalah pernyataan bahwa dalam perjalanan ke ruang angkasa “aku tak mungkin lagi kembali”. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Ungramatikalitas dari baris (21) terletak pada
pertentangannya dengan pernyataan yang ada di baris (1), juga pada kenyataan bahwa perjalanan ke ruang angkasa itu mendapat banyak pemberitaan. Pernyataan dalam baris (24), (25), dan bagian pertama baris (26) menjadi ungramatikal akibat perbedaannya dari kenyataan bahwa yang dibawa terbang oleh pesawat ruang angkasa itu bukanlah cita-cita, melainkan diri manusia secara fisik. Yang membuat “aku” terlontar jauh dari bumi bukanlah seribu rumus ilmu yang penuh janji, melainkan pesawar ruang angkasa sehingga pernyataan dalam baris (27) dan (28) juga ungramatikal. Ungramatikalitas baris (31) dan (31) sama dengan baris (2) dan (3). Pernyataan baris (35) bertentangan atau kontradiktif dengan pernyataan di baris (2), (3), (30), dan (31) yang menyatakan bahwa “aku” sudah sampai ke tepi. Bagian kedua baris (36) bisa sama dengan baris (35), tetapi bisa juga gramatikal jika dilihat dari segi waktu, bukan ruang. Waktu yang makin lama dapat membuat hati makin sepi. Semua baris yang ungramatikal mendorong proses pembacaan bergerak meninggalkan cara pembacaan heuristic yang bersifat mimetik dan linguistik, menuju pembacaan tahap berikutnya, yaitu pembacaan hermeneutik yang melingkar dan yang berdasarkan konvensi sastra atau ekstralinguistik. Semua ungramatikalitas yang ada sebelumnya mulai menemukan jalan keluarnya ketika pembacaan sampai pada baris (27). Tampak di situ bahwa puisi ini menempatkan pesawat ruang angkasa sebagai metonimi dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan bantuan pengetahuan mengenai keterkaitan antara ilmu dengan teknologi, tentu saja perkembangan itu meliputi perkembangan teknologi pula, teknologi yang memungkinkan dapat dibuatnya pesawat ruang angkasa yang kemudian dapat membuat manusia terbang ke ruang itu. Karena puisi itu juga
mempertentangkan rumus ilmu dengan puisi, peneliti dibawa kepada sejarah panjang, yang berlangsung sejak zaman romantic, mengenai pertentangan antara seni dengan teknologi, khususnya industry. Ilmu, teknologi, industry, di dalam sejarah wacana yang panjang itu, dipahami sebagai kekuatan kultural yang materialistic, rasional, impersonal, yang memiskinkan spiritualitas manusia, dimensi perasaan manusia, dan relasi social tradisional yang personal, intim, yang oleh Raymond Williams (….) disebut sebagai komunitas organic. Puisi, dalam sejarah wacana itu, dipahami sebagai kekuatan yang mampu menyelamatkan, melestarikan nilai-nilai spiritual, emosional, dan komunal tersebut dari gusuran ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri di atas. Dengan demikian, perjalanan ke ruang angkasa itu bukanlah perjalanan fisik, melainkan perjalanan kultural atau mental, proses modernisasi dan industrialisasi. Karena di dalam tulisantulisan sejarah peradaban waktu itu kebudayaan modern dianggap sebagai puncak dari perkembangan peradaban manusia, tidaklah mengherankan apabila di baris (2) puisi ini menyebut dirinya sebagai sudah sampai ke tepi. Baris (3) juga menjadi masuk akal karena perjalanan mental yang mengimplikasikan perubahan mentalitas dan kebudayaan tidak dapat dihapus kembali, sudah tercetak di dalam pikiran dan perasaan manusia. Manusia, misalnya, sudah sulit untuk hidup dengan cara tradisional, melepaskan kehidupan material, membuang ilmu pengetahuan dan teknologi serta industry sehingga mereka benar-benar tidak bisa kembali seperti yang dinyatakan di dalam baris (3). Dan, dalam posisi yang sudah di tepi, dalam posisi tidak bisa kembali ke nilai-nilai budaya sebelumnya itu, hanya puisi yang bisa menjadi semacam tempat “ziarah” karena hanya puisi yang masih menyimpan nilai-nilai itu sekarang seperti yang dinyatakan di dalam baris (26). Oposisi tidak hanya terjadi antara baris (26) dengan (27), melainkan di antara baris-baris yang lain. Ada baris-baris yang merepresentasikan bumi yang dioposisikan dengan langit atau ruang angkasa, ada baris-baris yang merepresentasikan hubungan personal yang intim antara manusia yang dioposisikan dengan kesendirian yang merepresentasikan individualism dan segala tata nilai masyarakat modern dan industrial yang disebutkan di atas, dan ada pula baris-baris yang merepresentasikan perasaan, imaginasi, cita-cita, kenangan yang dioposisikan dengan kenyataan yang bersifat material dan fisikal. Kesemua oposisi itu merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak muncul secara linear di dalam teks, yaitu oposisi antara kebudayaan modern yang individualistic, materialistic, rasional dengan kebudayaan tradisional yang komunal, spiritualistic, dan mengutamakan perasaan. Matriks ini dapat sekaligus berupa hipogram. Hanya saja, hipogram untuk matriks yang demikian sudah sangat banyak, terdiri dari banyak teks dengan aneka ragam genre. Salah satu hipogram tekstual yang banyak dikutip adalah teks yang menyatakan bahwa modernisasi merupakan “point of no return”.
6.4
Aktivitas, Tugas dan Latihan, serta Rangkuman
6.4.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..
•
Tanya-Jawab
. 6.4.2
Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.
6.4.3
Rangkuman Teori Wellek dan Warren mengimplikasikan bahwa karya sastra harus dipahami secara
fenomenologis dengan mengidentifikasi norma-norma kesastraan yang terkandung di dalamnya, yaitu lapis bunyi, lapis arti, lapis dunia yang dibayangkan, dan lapis metafisikal. Data yang dihimpun bersifat tekstual, tetapi analisisnya harus selalu mengacu kepada mentalitas manusia yang memberi makna pada teks itu.
6.5
Penutup
6.5.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 – 1000
6.5.2
Tindak lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
6.6
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator keberhasilan Butir kemampuan Butir penilaian
Menyusun
metode
Poin maks.
Pemahaman
penelitian mengenai Kesesuaian teori dengan metode karya sastra tertentu
6.7 No.
100
Operasionalisasi konsep
Matrix Penilaian Materi/isi
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
C6
Ranah
Ranah
Metode
Tujuan
Afektif
Psikomo
Penilaia
Khusus
torik
n
Pembel ajaran
1.
Dasar ontologis
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian teori
dengan
Tugas, mid
D1
metode 3.
Langkah-
semester 1
1
1
X
A/I/P
Mid
D1
langkah
Semeste
penelitian sastra
r
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 9-10
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, S.U.
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012 Desember 2012
Evaluasi dan
bahasan, alokasi
9
Memahami
Model analisis
Model analisis
strukturalisme-
9
strukturalisme- genetik
Penilaian
Metode
Aktivitas
Aktivitas Dosen/
Sumber
Ajar
Mahasiswa
Nama Pengajar
Ajar
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
Indikator
Metode
subpokok
Gambar
Keluaran/
Topik (pokok,
Presentasi
Tujuan Ajar/
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Tanya-jawab
Diskusi
Daya-simak
Penjelasan
Aktivitas
Presentasi
Akurasi
Diskusi
Menyimak,
Menjelas-kan,
Metode
bertanya,
bertanya,
Penelitian
menjawab
menjawab
Sastra
Presentasi,
Memandu,
Metode
bertanya,
bertanya,
Penelitian
menjawab
menjawab
Sastra
genetik 10
analisis 9 9
Melakukan
Seminar
analisis
strukturalisme-
strukturalisme- genetik genetik
BAB VII MODEL ANALISIS STRUKTURALISME-GENETIK
7.1
Implikasi Metodologis Bila dirumuskan secara metodologis, objek formal penelitian strukturalisme-genetik adalah
struktur karya sastra. Adapun struktur karya sastra itu sendiri dipahami sebagai semesta imajiner yang terbangun dari citra tokoh-tokoh beserta lingkungan alamiah, kultural, social, dan ideologis beserta hubungannya satu sama lain. Kalau Riffaterre menempatkan matriks dan/atau hipogram sebagai pusat pembentuk struktur tersebut, Lucien Goldmann menampatkan pandangan dunia dalam posisi yang demikian. Karena pandangan dunia merupakan sebuah cara pandang mengenai kehidupan yang berstruktur, karya sastra yang mengekspresikannya mengikuti kecenderungan yang demikian. Karena pandangan dunia itu sendiri merupakan produk dari usaha manusia dalam membangun keseimbangan antara dirinya dengan lingkungan sosialnya yang juga berstruktur, karya sastra yang mengekspresikan pandangan dunia itu pun menjadi bagian integral dari struktur social yang dalam kerangka teori ini dipahami sebagai berbasis kelas. Dengan kata lain, bagi strukturalisme-genetik objek formal penelitian sastra di atas tidak akan dapat diketahui dengan benar jika dilepaskan dari pandangan dunia yang diekspresikannya dan dari struktur social yang membentuk dan mengandungnya. Struktur karya sastra, dalam teori ini, dianggap sebagai fungsi dari struktur sosial. Maka, pertanyaan penelitian dengan kerangka teoretik strukturalisme-genetik dapat dirumuskan sebagai berikut. •
Bagaimana struktur karya sastra yang diteliti?
•
Pandangan dunia apa yang diekspresikannya?
•
Dalam konteks struktur social yang bagaimana struktur karya sastra dan pandangan dunia itu dimungkinkan? Hipotesisnya adalah “karya sastra yang diteliti mempunyai struktur yang mengekspresikan
pandangan dunia dari kelas social tertentu yang pembentukannya dipengaruhi oleh struktur social tempat kelas social itu hidup”. Dari hipotesis tersebut dapat ditentukan tiga variable penelitian, yaitu variable struktur karya sastra, pandangan dunia, dan variable struktur social. Relasi antarvariabel itu cenderung bertingkat. Struktur social merupakan variable bebas terhadap
pandangan dunia, sedangkan pandangan dunia sendiri merupakan variable bebas terhadap struktur karya sastra. Sumber data struktur karya sastra adalah teks karya sastra yang diteliti, sumber data pandangan dunia adalah teks filosofis atau ideologis, sedangkan sumber data struktur social lapangan interaksi social yang secara tidak langsung dapat berupa teks-teks hasil penelitian social. Karena dalam kenyataannya ketiga variable di atas tidak bisa dipisahkan satu sama lain, metode penelitiannya pun demikian. Goldmann menyebut metode penelitian strukturalisme-genetik itu sebagai metode dialektik yang bersumber pada metode lingkaran-hermeneutik yang ada dalam hermeneutika. Lingkaran hermeneutic itu dapat diterapkan dalam konteks teks karya sastra yang diteliti dengan gerakan dialektik antara bagian teks itu dengan keseluruhannya, bisa pada level keseluruhan struktur social dengan gerakan dialektik dari karya sastra dan pandangan dunia sebagai bagian dari keseluruhan struktur social. Validitas hasil penelitian dengan metode yang demikian ditentukan atas dasar derajat atau tingkat koherensi maksimal yang dapat dicapai baik dalam hubungan antara bagian dengan keseluruhan teks, maupun antara teks dengan struktur social sebagai keseluruhan yang di dalamnya teks itu menjadi bagiannya. Karena antara bagian dengan keseluruhan saling tergantung, peneliti, menurut Lucien Goldmann, dapat memulai penelitiannya dari posisi apa pun, bisa dari bagian ke keseluruhan atau dari keseluruhan ke bagian-bagiannya. Hasil penelitian pertama, entah dari teks, pandangan dunia, ataupun struktur social dipakai sebagai bahan untuk membangun kerangka hipotetis mengenai struktur entitas yang diteliti kemudian. Kerangka hipotetis itu dapat diubah apabila pengujiannya ke dalam entitas berikutnya itu tidak menghasilkan koherensi yang maksimal. Artinya, penelitian dengan metode dialektik ini terus-menerus bergerak secara bolak-balik sampai koherensi maksimal itu tercapai.
7.2
“Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis: Sebuah Simulasi Cerpen ini termasuk cerpen yang monumental. Hingga sekarang cerpen ini masih hidup,
masih diingat oleh masyarakat sastra Indonesia, bahkan masyarakat Indonesia yang pernah membacanya. Berikut akan disampaikan simulasi penelitian terhadap cerpen ini dengan dasar teori strukturalisme-genetik sebagaimana yang sudah dikemukakan.
7.2.1
Rumusan Masalah
•
Bagaimanakah struktur cerpen Robohnya Surau Kami?
•
Pandangan dunia apa yang diekspresikannya?
•
Kelas social apa pemilik pandangan dunia itu?
•
Struktur social yang bagaimana yang membuat kelas social itu memiliki pandangan dunia yang demikian?
7.2.2
Hipotesis Cerpen Robohnya Surau Kami terbangun dari citra-citra mengenai manusia, lingkungan
alamiah, kultural, dan social beserta relasinya satu sama lain, yang secara keseluruhan membangun struktur yang merupakan ekspresi dari pandangan dunia kelas social yang di dalamnya A.A. Navis termasuk, sebagai usaha dari kelas social itu untuk membangun keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan struktur social yang ada pada sekitar waktu cerpen itu diciptakan.
7.2.3
Variabel-variabel Atas dasar hipotesis dan kerangka teori yang mendasarinya, variable-variabel yang terlibat
dalam masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. •
Struktur cerpen Robohnya Surau Kami
•
Pandangan dunia kelas social A.A. Navis
•
Struktur Sosial
7.2.4
Kerangka Teori Kerangka teori yang digunakan adalah strukturalisme-genetik Lucien Goldmann
sebagaimana yang sudah dikemukakan di dalam subbab sebelumnya.
7.2.5
Metode Pengumpulan dan Analisis Data Untuk pengumpulan data variable pertama, penelitian ini menggunakan metode “simak”,
yaitu dengan menyimak satuan-satuan linguistic yang signifikan yang ada di dalam teks karya sastra yang menjadi sumbernya atas dasar konsep-konsep teoretik yang digunakan. Data-data yang diperoleh dengan metode ini akan bisa ditambah atau dikurangi atau bahkan dibuang sama sekali setelah dibandingkan dengan temuan mengenai variable yang lain. Data-data di dalam penelitian ini akan dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan metode dialektik yang berlaku pada level karya sastra, yaitu dengan menyelaraskan bagian dengan keseluruhan sampai terbentuk sebuah struktur dengan koherensi maksimal, khususnya struktur yang berpola oposisi biner. Untuk variable kedua, penelitian ini menggunakan metode pengumpulan dan analisis data yang sama, yaitu metode dialektik. Hanya saja, teks yang menjadi sumber datanya bukanlah teks karya sastra yang diteliti, melainkan teks-teks filosofis ataupun kultural yang dianggap relevan dalam hubungan dengan variable pertama maupun kedua. Pengumpulan dan analisis data variable ketiga menggunakan metode-metode dalam ilmu social, khususnya yang berparadigma konflik atau berperspektif Marxis. Hanya saja, jika yang digunakan adalah data sekunder, yaitu hasil-hasil kajian ilmu ekonomi, politik, dan social, metode yang digunakan serupa dengan metode pertama dan kedua, yaitu metode dialektik. Metode dialektik juga digunakan untuk analisis mengenai hubungan antarvariabel dengan menempatkannya di dalam keseluruhan struktur social yang terkait.
7.2.6
Hasil Penelitian Dengan kerangka teori dan metodologi yang digunakan di atas, penelitian ini menghasilkan
jawaban terhadap pertanyaan penelitian sebagai berikut.
7.2.6.1 Struktur Karya Sastra Manusia-manusia yang ada di dalam cerpen yang diteliti meliputi: Narator (Aku), Tuan, Kakek Garin, Ajo Sidi. Lingkungan alamnya adalah “alam yang kaya raya”. Lingkungan sosialnya. Lingkungan kulturalnya: jalan, kampong, surau, kolam ikan, pisau, batu asah, kain kapan, dongeng, (sejarah) penjajahan, agama Islam, perdagangan. Lingkungan social: rakyat yang miskin, orang kampong, para perempuan, anak-anak. Relasi oposisional yang terbentuk dari semesta imajiner di atas adalah sebagai berikut.
•
Oposisi kultural: aliran ukhrawi dengan duniawi, dongeng dengan kenyataan, kerja (mengolah dan memanfaatkan alam, menjadi subjek yang bermartabat) dengan kepasrahan (menerima pemberian alam, menjadi objek yang pasif), penjajahan dengan martabat, kota dengan kampong, naik bus dan jalan kaki, yang kesemuanya dibingkai oleh pasangan oposisional yang lebih besar, yaitu modernism dan tradisionalisme. Di antara kedua kutub oposisional itu terdapat posisi-antara, yaitu: dongeng yang nyata, bus yang menjembatani desa dengan kota, kain kapan, pisau dan batu asah.
•
Oposisi “alamiah”: alam sebagai objek dan alam sebagai subjek bagi manusia.
•
Oposisi Sosial: Orang kampong dan pejabat korup, Kakek Garin dan keluarganya, yang dijembatani oleh Ajo Sidi.
•
Oposisi manusia: Kakek Garin dengan Ajo Sidi, Perempuan dan Anak-anak dengan Kakek Garin. Yang berada di antara kedua kutub itu adalah Narator dan Istri.
7.2.6.2 Pandangan Dunia Struktur karya sastra di atas mengekspresikan pandangan dunia “nasionalis-humanis” dan “humanism-religius” yang terangkum di dalam sebuah ideology besar, yaitu Pancasila. Ideologi ini di satu pihak masih mengakui adanya Tuhan, tetapi Tuhan lebih berpihak kepada kebebasan manusia, kemerdekaan manusia, kemampuan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi bukan hanya untuk kepentingan pribadinya, melainkan juga untuk kepentingan sesame. Terdapat banyak teks social maupun filosofis yang dapat menjadi sumber data dari pandangan dunia yang demikian. Pandangan yang demikian merupakan pandangan yang khas dari kelas social borjuis kecil dan bangsawan kecil (priyayi) yang menjadi jembatan di antara kelas hamba/buruh dengan kelas bangsawan dan borjuis. Dari dan dalam lingkungan kelas social inilah A.A. Navis berasal, lahir dan berkembang.
7.2.6.3 Struktur Sosial Pada masa sekitar karya itu diciptakan struktur social masyarakat Indonesia sedang dalam proses semakin dominannya massa petani dan buruh sebagai konsekuensi dari penerapan system politik liberal. Partai-partai yang berbasis massa seperti partai komunis dan partai Islam menjadi kekuatan yang besar yang pada gilirannya menekan perkembangan kehidupan material masyarakat yang justru dijanjikan oleh tata kultural masyarakat modern yang kapitalistik. Dalam situasi seperti
itu, kelas social pengarang berada dalam posisi yang mendua: di satu pihak menolak kenyataan, tetapi, di lain pihak, tidak berani menyatakan aspirasi mereka secara terbuka. Kenyataan inilah yang membuat cerpen di atas menjadi sebuah “dongeng yang nyata”: dongeng, tetapi nyata, nyata, tetapi dongeng.
7.2.6.4 Kesimpulan Dengan metode dialektik dapat ditemukan kenyataan bahwa cerpen di atas mengekspresikan dengan tingkat koherensi yang tinggi pandangan dunia yang diyakini oleh lingkungan kelas social borjuis-kecil yang hidup dalam masyarakat dengan struktur social yang semakin didominasi oleh kelas hamba yang komunal dan kelas buruh yang komunis, yang menyebabkan terhambatnya perkembangan kehidupan material masyarakat sesuai dengan standard masyarakat modern yang kapitalistik.
7.3
Aktivitas, Tugas dan Latihan, serta Rangkuman
7.3.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..
•
Tanya-Jawab
. 7.3.2
Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.
7.3.3
Rangkuman Teori strukturalisme-genetik mengimplikasi perlunya metode dialektik dalam pemahaman
dan penjelasan karya sastra, yaitu dialektika antara bagian karya sastra dengan struktur karya sastra secara keseluruhan, struktur karya sastra dengan struktur masyarakat secara keseluruhan. Hubungan antara struktur karya sastra dengan masyarakat bersifat homolog sehingga diperlukan perbandingan antara keduanya.
7.4
Penutup
7.4.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 – 1000
7.4.2
Tindak lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
7.5
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator keberhasilan Butir kemampuan Butir penilaian
Menyusun penelitian
metode
Pemahaman
mengenai Kesesuaian teori dengan metode
karya sastra tertentu
7.6
Poin maks.
100
Operasionalisasi konsep
Matrix Penilaian
No. Materi/isi
Ranah
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
C6 Afektif
Ranah
Metode
Tujuan
Psikomo
Penilaia Khusus
torik
n
Pembelaj aran
1.
Dasar ontologis
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian teori metode
dengan
Tugas, mid semeste r
D1
3.
Langkah-
1
1
1
X
A/I/P
Mid
langkah
Semest
penelitian sastra
er
D1
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN SASTRA INDONESIA Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Buku 2: RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 11-12
METODE PENELITIAN SASTRA
Semester Ganjil/3SKS/BDI 2446
oleh Prof. Dr. Faruk, SU
Didanai dengan dana BOPTN P3-UGM Tahun Anggaran 2012
Desember 2012
Evaluasi dan
bahasan, alokasi
11
Memahami
Model-model
model-model
analisis pasca-
analisis pasca-
struktural
9
Penilaian
Metode
Aktivitas
Aktivitas Dosen/
Sumber
Ajar
Mahasiswa
Nama Pengajar
Ajar
Soal-Tugas
waktu)
Audio/Video
Indikator
Metode
subpokok
Gambar
Keluaran/
Topik (pokok,
Presentasi
Tujuan Ajar/
Teks
Pertemuan ke
Media Ajar
Tanya-jawab
Diskusi
Daya simak
Penjelasan
Aktivitas
Presentasi
Akurasi
Diskusi
Menyimak,
Menjelas-kan,
Introduct
bertanya,
bertanya,
ory
menjawab
menjawab
Guide..
Presentasi,
Memandu,
bertanya,
bertanya,
menjawab
menjawab
struktural 12
Melakukan
Seminar analisis
analisis
pasca-struktural
pascastruktural
9
BAB VIII MODEL-MODEL ANALISIS PASCA-STRUKTURAL
7.1
Strukturalisme Strukturalisme adalah sebuah paham, sebuah keyakinan, bahawa segala sesuatu yang ada
dalam dunia ini mempunyai struktur, bekerja secara struktutal. Terence Hawkes (1997) mendefinisikannya sebagai, pada dasarnya, sebuah cara berpikir tentang dunia yang terutama mengikatkan diri pada persepsi dan deskripsi mengenai struktur itu, sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh Jean Piaget, adalah tatanan entitas-entitas yang secara mendasar mewujudkan tiga gagasan yang fundamental, yaitu (a) gagasan mengenai keseluruhan, (b) gagasan mengenai transformasi, dan (c) gagasan mengenai regulasi dini. Sebenarnya paham demikian sudah ada sejak lama. Sumbernyapun bermacam-macam, misalnya dalam sosiologi ekonomi seperti yang tampak dalam teori Karl Marx, dalam psikologi seperti yang tampak pada teori Sigmund Freud dan teori gestalt, dan dalam linguistic seperti yang tampak dalam teori pendiri linguistic modern Ferdinand de Saussure. Namun, terutama dalam kaitan dengan apa yang akan dibicarakan oleh buku ini, yaitu pascastrukturalisme, yang akan dibicarakan secara khusus hanyalah strukturalisme yang terahir di atas, yang muncul sejak awal abad XX. Di dalam linguistic gagasan mengenai keseluruhan memperlihatkan diri dalam konsep langue atau bahasa. Saussure membagi bahasa pada umumnya (langage) ke dalam setidaknya dua dimensi, yaitu bahasa dan tutur (people). Bahasa adalah system tanda yang bersifat kolektif, yang bersifat abstrak, yang hidup dalam pikiran kolektivitas yang bersangkutan, yang berlaku pada rentang ruang dan waktu tertentu (sinkronik). Tutur merupakan aktualisasi dari bahasa, yang berupa tindakan penandaan yang konkrit, yang dilakukan oleh individu-individu yang menjadi anggota kolektifitas itu. Apabila bahasa bersifat kolektif, homogeny, stabil, tutur bersifat individual, heterogen, dan labil. Karena ilmu pengetahuan hanya dapat memahami entitas yang bersifat umum, homogeny dan stabil, hanya bahasalah yang dapat dijadikan sebagai objek ilmu bahasa dan, dengan cara demikian, ilmu bahasa dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu yang lain. Meskipun aktualisasinya bersifat heterogen, bervariasi secara hamper tidak terbatas, bahasa tetap mempertahankan homogenitas dan stabilitasnya. Perubahan di dalam bahasa bukanlah sebuah
perubahan yang radikal, melainkan sebuah transformasi, yaitu perubahan yang terjadi hanya pada lapisan permukaan dari bahasa itu, tetapi dengan tetap mempertahankan lapisan bawahnya, elemenelemen yang esensial dari bahasa tersebut. Di dalam linguistic transformatife, lapisan permukaan itu disebut performance, sedangkan lapisan bawah yang menjadi dasarnya disebut competence. Lebih jauh, dalam hubungan dengan gagasan structural yang ketiga, linguistic modern memahai bahasa sebagai sebuah system yang tertutup, yang mengatur dirinya sendiri. Fungsi dan makna di dalam bahasa tidak ditentukan oleh factor-faktor yang ada di luarnya, melainkan dengan hubungannya dengan tanda-tanda yang lain yang ada di dalam bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, fungsi dan makna tanda di dalam bahasa tidak bersifat substansial, melainkan formal, relasional. Dan, ada dua relasi antar tanda yang ditemukan oleh linguistic modern yang juga disebut linguistic structural di atas, yaitu relasi sintagmatik dan relasi paradigmatic. Relasi yang pertama adalah relasi antartanda yang sama-sama hadir dalam tuturan, sedangkan yang kedua antaratanda yang hadir dan yang tidak hadir dalam tuntutan itu. Relasi yang pertama kadang-kadang disebut sebagai relasi kombinasional, sedangkan relasi yang kedua disebut dengan relasi asosiasional. Sifat formal-relasional dari system bahasa di atas berhubungan dengan erat dan bahkan merupakan konsekuensi dari bahasa itu sendiri. Linguistic memahami bahasa sebagai system tanda. Tanda sendiri dipahami sebagai kesatuan antara apa yang menandai, yang berupa citra bunyi, dan apa yang ditandai, yang berupa konsep. Yang pertama disebut penanda, sedangkan yang kedua disebut petanda. Hubungan antara penanda dan petanda bukanlah hubungan yang alamiah, melainkan kovensional. Artinya, korelasi antara penanda dan petanda tidak ditentukan oleh alasanalasan yang logis dan alamiah, melainkan alasan yang kebetulan, arbitrer, semaunya. Hanya kesepakatan social, kontrak kolektiflah yang mengikat keduanya. Oleh karena ikatan yang demikian, korelasi antara penanda dan petanda itu sesungguhnya labil, tergantung pada bertahan atau tidaknya kesepakatan itu.
7.1
Struktualisme dan Pascastruktualisme Jika dilihat dari namanya, pascastruktualisme merupakan paham yang berbeda dari, tetapi
yang masih mengandung di dalamnya paham struktualisme. Apabila struktualisme dipahami sebagai paham yang ada sebelumnya, sebagaimana yang terimplikasikan dalam kata pasca, pascastruktualisme merupakan paham baru, tetapi bukan paham yang sama sekali baru, yang seakan muncul begitu saja, sebuah inovasi, sesuatu yang sesuatu yang sepenuhnya orisinal, melainkan
sebuah paham baru ayang masih terkait pada paham yang ada sebelumnya, khusus struktualisme itu (bandingkan dengan Makaryk, 1993). Makaryk (1993) mengatakan bahwa para ahli yang biasanya digolongkan ke dalam penganut paham tersebut sebenarnya tidak mempunyai pandangan yang sragam. Bahkan mereka tidak pernah menyatakan diri mereka sebagai pascastrukturalis. Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah begitu perlu untuk menemukan dan menentukan pengertian yang sebenarnya dari paham ini. Yang tepat untuk dilakukan hanyalah memilih salah satu pengertian yang mengenainya sehingga apa yang akan disampaikan mempunyai konsep yang relative jelas dan demikian terarah. Kemungkinan lain yang mungkin bahkan lebih tepat dengan menempatkan berbagai teori yang akan didiskusikan oleh buku ini, atas dasar buku yang dijadikan pegangan seperti yang sudah dikemukakan, merupakan toeri-teori yang terpisah, yang secara mendasar mungkin saya tidak dapat ditemukan di titik temunya. Jika demikian halnya, teori-teori yang disebut pascastrukturalis hanya dapat dianggap sebagai teori-teori yang muncul sesudah teori-teori strukturalis. Buku ini akan mengambil dua kemungkinan sikap itu sekaligus. Ada usaha untuk memberikan definisi atau kesatuan konsep mengenai pascastrukturalisme di satu pihak dan, di lain pihak, ada keterbukaan untuk kemungkinan diskontinyuitas antara teori yang satu denagn teori yang lain. Dalam usaha untuk memberikan kesatuan konsep itu, sekali lagi, seperti sudah disampaikan, buku ini akan mendasarkan diri pada apa yang terdapat dalam buku Young dan Sarup. Young mengatakan bahwa nama ”pascastrukturalisme” berguna hanya sejauh ia berfungsi sebagai “kata pengukur” (unberella word) , kata yang secara signifikan mendefinisikan dirinya dalam batas hubungan temporal dan sepesial dengan strukturalisme. Denagn kata lain, nama tersebut tidak mengimplikasikan fisik mengenai sebuah perkembangan karena ia lebih melibatkan suatu pergeseran atau “pemlesetan” (displacement), ia lebih merupakan sebuah interogasi terhadap metode-metode dan asumsi-asumsi struktualisme, mentransformasikan konsep-konsep strukturalis dengan mengubahnya menjadi bertentangan satu sama lain. Pascastrukturalisme, lanjut Young, pada dasarnya, melakukan pelacakan terhadap jejak perbedaan struktualisme dengan dirinya sendiri, bukan sesuatu yang menggantikan stuktualisme dan bukan pula sesuatu yang berkembang atau berasal dari struktualisme karena gagasan mengenai asal dan turunnya justru merupakan gagasan yang ditolak oleh pascastrukturalisme itu. Tentu, pascastrukturalisme tidak identik dengan strukturalisme. Paham ini muncul karena memang ada beberapa kelemahan dari paham yang mendahuluinya tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan Young, Macherey memberikan kritik terhadap penerapan strukturalisme dalam kritik
sastra denagn mempersoalkan hal-hal berikut. Pertama, penerapan itu dianggapnya sebagai kolonasi akademis. Kedua, gagasan struktur dalam linguistic itu membuat kritikus sastra menghadapi karya sastra hanya sebagai perantara bagi ditemukannya struktur yang ada di baliknya dan yang sudah ada atau maupun sebelumnya. Kecenderungan demikian sama saja dengan yang dilakukan kritikus sastra tradisional, yaitu seperti usaha mengungkapkan rahsia karya itu, mitis interioritasnya, asal usulnya yang berkabut, dan sebagainya. Ketiga, analisis strukturalis diarahkan pada penemuan rasionalitas, koherensi rahasia dari suatu objek, dan struktur itu sendiri dipahami sebagai simulacrum dari suatu objek, sebuah simulacrum yang secara terkontrol penting karena kopi objek itu memunculkan sesuatu yang sebelumnya tidak terlihat atau tak terpahami secara alamiah. Cara pandang dan cara kerja yang demikian, kata Macherey, merupakan cara berfikir yang esensialis yang menempatkan objek hanya penampakan dari esensi. Keempat, denagn cara kerja yang demikian, kritik sastra tidak lebih dari komentar yang mempertanyakan persoalan apa yang dikatakan oleh teks, apa yang ingin dikatakan oleh teks, dan, denagn demikian, kritikus menyingkapkan makna yang lebih dalam yang menunjuk kepada “kebenaran esensial”, kebenaran yang sedang mati suri di dalam atau dibalik teks dan yang membutuhkan kritikus untuk menghidupkannya (kembali). Menurut Young, meskipun ada masalah dengan posisi teoritiknya, yaitu sebagai strukturalis juga, kriti Macherey di atas, memperjelas beberapa asumsi strukturalisme. Yang juga menjadi persoalan bagi pascastrukturalisme. pascastrukturalisme tidak mungkin tanpa melaui strukturalisme. Dan, justru dan otokritik seperti yang dilakukan Macherey di atas, pascastrukturalisme menyatakan dirinya secara khas. Kata pascastrukturalisme itu sendiri mengubah tekanannya dari makna tunggal atau teori apapun kearah sebuah gerakan yang tak terkait oleh ruang dan waktu, mengisyaratkan bahwa tidak akan pernah ada, dan tidak pernah ada, teori yang pasti mengenai pascastrukturalisme. Pascastrukturalisme, sebagai gantinya, terdiri dari suatu gerakan memutar yang abadi ke sebuah “kebenaran” yang sudah kehilangan status atau finalitas. Jika pun nama itu membangun sebuah makna sendiri, hubungan pascastrukturalisme dengan struktualisme juga terimplikasikan dalam bagaimana Young sendiri bekerja dengan esainya, yaitu dengan memecah struktur strukturalisme dan memperhatikan mutasi yang terjadi dalam interogasinya terhadap dirinya oleh dirinya. Dengan kata lain, yang terpenting bukanlah perbandingan antara suatu teks strukturalis dan pasca strukturalis, melainkan penganalisisan kekhasan perbedaan strukturalisme dengan dirinya sendiri : bagaimana strukturalisme membelah diri dan melawan dirinya sendiri. Pascastrukturalisme adalah wacana yang self-reflektif, yaitu wacana yang secara terusmenerus membelah dirinya dan melawan sistemnya sendiri sehingga kritiknya menghindari diri
untuk menjadi kukuh, menjadi sebuah metode yang mapan. Aspek self-reflektif inilah yang sering membuat wacana pascastrukturalis itu sering menjadi begitu menyakitkan dan membingungkan bagi pembaca karena mereka tidak akan menemukan sebuah system yang utuh, melainkan sesuatu yang tampaknya liar. Dan, yang lebih membuatnya demikian adalah bahwa kekeliruan itu tidak dipahami sebagai kegagalan memahami sesuatu, melainkan sebagai suatu kritk antisipatif terhadap batas-batas dari kehendak-kehendak untuk berkuasanya sendiri. Perubahan dan mutasi dari strukturalisme ke pascastrukturalisme itu tampak dengan jelas, misalnya, dalam kasus Roland Barthes. Pada mulanya, Barthes mengaku bahwa dirinya bekerja sebagai seorang strukturalis dengan berusaha menemukan struktur general atau tata bahasa naratif dari suatu teks. Dalam perkembangan selanjutnya ia mengakui bahwa setiap teks mempunyai modelnya sendiri, harus dilihat dalam keberadaannya. Jika bagi Barthes di tahun 1966, teori merupakan suatu model hipotesis dari deskripsi, pascastrukturalisme, menurut Young, secara khas menantang pengandaian-pengandaian yang menjadi dasar dari pemodelan-pemodelan yang demikian : teori terpisah dari praktik, asumsi mengenai status model, peranan kritik sebagai deskripsi, komentar atau representasi. Dan, jika kritik mengakui statusnya sendiri sebagai teks, perhatiannya beralih dari model di balik atau di dalam teks ke permukaan penandaan teks yang ia kritik. Sekaligus, jika model mengiplikasikan suatu modul yang sudah terbentuk, semakin permukaan teks dianalisis, semakin ia dapat dilihat dalam tekstualitasnya-interaksi antara pembaca dan teks sebagai suatu produktivitas, produksi suatu multiplistas efek-efek penandaa. Dengan pengertian di atas, kata Young, pascastruktualisme melibatkan suatu perubahan dari makna ke pemanggungan, atau dari penanda ke petanda. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pascastrukturalisme tidak mengizinkan segala definisi yang denominative, terpadu, atau pantas mengenai dirinya. Secara lebih luas, paham ini bahkan melakukan kritik terhadap metafisika (konsep-konsep mengenai kausalitas, identitas, subjek, dan kebenaran), kritik terhadap teori mengenai tanda, pengakuan dan inkorporasi mode-mode pemikiran psikoanalitik. Pendek kata, pascastrukturalisme meretakkan kesatuan tanda yang stabil, subjek yang terpadu. Kecenderungan demikian dapat dilihat dalam karya-karya Lacan. Foucault, dan Derrida, yang dengan caranya masing-masing mendorong strukturalisme kepada batas-batasnya dan menunjukkan bagaimana premisnya yang paling radikal membukanya kepada dekonstruksi terhadap dirinya sendiri. Meskipun
melibatkan
strukturalisme
ke
dalamnya,
Sarup
menjelaskan
kritik
pascastrukturalisme terhadap metafisika di atas sebagai kritik terhadap setidaknya empat persoalan social-ideologis, yaitu (1) kritik terhadap subjek manusia, (2) kritik terhadap historisisme, (3) kritik
terhadap makna, (4) kritik terhadap filsafat. Dalam hal yang pertama kritik dilakukan terhadap konsep renaisans mengenai subjek sebagai individu yang rasional, mandiri, dan koheren. Di dalam khasanah sastra dan kritik sastra Indonesia banyak pendapat yang mengatakan bahwa karya sastra Indonesia modern yang awal, terutama karya sastra terbitan Balai Pustaka yang disebut juga sebagai karya Angkatan Balai Pustaka, merupakan karya-karya yang mengambil pertentangan itu bukanlah pertentangan antara adat yang satu dan adat yang lain, melainkan pertentangan antara tokoh utama cerita sebagai individu yang modern, rasional, dan yang menganut paham mengenai kebebasan individu dalam menentukan nasibnya sendiri atau setidaknya menentukan jodohnhya sendiri, dengan adat isti-istiadat suatu masyarakat yang di dalamnya tokoh itu berasal atau hidup. Ketika adat dipahami sebagai sebuah cara berpikir yang penuh takhayul, yang hanya di dasarkan pada pikiran yang salah, tidak benar, dan bahkan sesat, misalkan dalam hal pengobatan orang sakit yang dilakukan oleh dukun, individu yang melawannya adalah individu yang rasional, dan yang menganut paham mengenai kebebasan individu dalam menentukan nasibnya sendiri atau setidaknya menentukan jodohnya sendiri, dengan adat-istiadat suatu masyarakat yang didalamnya tokoh itu berasal atau hidup. Ketika adat dipahami sebagai sebuah cara berfikir yang penuh takhayul, yang hanya didasarkan pada pikiran yang salah, tidak benar, dan bahkan sesat, misalnya dalam pengobatan orang sakit yang dilakukan oleh dukun, individu yang melawannya adalah individu yang rasional. Ketika adat dipahami sebagai segala aturan dan kebiasaan yang tidak hanya membelenggu kebebasan mobilitas fisik individu, melainkan kebebasan pikirannya, juga perasaannya, individu yang mencoba membebaskan diri dari belenggu fisik dan mental itu dapat dianggap sebagai individu yang mandiri. Ketika individu itu dipahami sebagai seorang manusia dengan waktu, kepribadian, atau identitas tertentu, watak yang koheren, yang tidak mengandung kontra indikasi di dalam pemikiran dan perbuatannya, di dalam konteks yang satu ke konteks yang lain, yang memungkinkan alur cerita berkembang secara logis dan terarah, tidak berubah semuanya, ia pun dapat dipandang sebagai individu yang koheren yang pada gilirannya menciptakan tidak hanya alur, tetapi keseluruhan bangunan kehidupan fiksional yang koheren. Dalam pengertian serupa itu, karya-karya dan kritik-kritik sasatra Indonesia modern tersebut bias dikatakan sebagai bagian dari sebuah wacana besar yang secara terus-menerus menciptakan dan merayakan gagasan mengenai individu sebagai subjek rasional, mandiri, dan koheren. Wacana besar mengenai subjek yang demikianlah yang dikritik ole strukturalis dan pascastrukturalis. Sebagaimana yang tampak dalam teori linguistic Saussure, bahasa yang bersifat abstrak, kolektif, lebih penting, lebih utama dan bahkan menjadi sumber dari segala tuturan individu. Dengan pemahaman yang demikian, strukturalis menempatkan subjek sama sekali bukan sebagai individu
yang rsional karena berbicara tidak berfikir, melakukannya dengan spontan, bukan sebagai individu yang mandiri karena semua tuturnya ditentukan bahasa atau struktur yang abstrak di atas. Strukturalis seperti Levi-Strauss mengatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan humaniora untuk mencairkan
subjek.
Althusser,
yang
juga
strukturalis,
mencairkan
subjek
dengan
menginterpretasikan kembali Marxisme sebagai anti-humanism teoritik. Pascastrukturalis seperti Foucault bermaksud mendekonstruksi konsep subjek yang biasanya mengacu pada manusia dengan melihatnya sebagaiproduk wacana atau aktivitas penandaan. Lacan, pascastrukturalis yang lain, menganggap bahwa struktur dan subjek merupakan kategori-kategori yang saling tergantung sehinggga serangan terhadap subjek sekaligus merupakan serangan terhadap struktur. Dalam hal yang kedua, strukturali dan pascastrukturalis sama-sama menolak pengertian adanya pola menyeluruh dalam sejarah. Yang dimaksud dengan pola itu terutama adalah pandangan bahwa sejarah berjalur tunggal dan berlangsung kea rah depan, menuju kemajuan sehingga kebudayaan masa kini dipandang lebih baik dari pada masa lalu. Kecenderungan demikian ditemukan pula dalam karya-karya sastra Indonesia modern yang awal. Bersama-sama denagn berbagai wacana yang ada di media masa cetak pada masa itu, gagasan mengenai kemajuan merupakan gagasan yang sangat popular dan pada gilirannya menjadi obsesi sebagai elit intelektual Indonesia. Sutan takdir Alisjahbana, misalnya, merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang sangat bersemangat menjadi bagian dari bangsa-bangsa yang maju. Dan, tentu saja, gagasan mengenai kemajuan tersebut merupakan bagian dari wacana besar mengenai sejarah umat manusia, sejauh peradaban manusia di pahamu, antara lain, sebagai bergerak kea rah depan, mulai dari masyarakat primitive yang terkait pada magi, masyarakat feudal pada agama, dan masyarakat modern-kapitalistik yang bebas dari semua itu. Levi-Strauss menolak pandangan Sartre yang dianggapnya historitis. Foucault, menurut Sarup, menulis sejarah tanpa pengertian mengenai garis perkembangan yang progresif. Dalam hal yang ketiga, strukturalis seperti Saussure memandang nilai semantic penanda terbentuk atas dasar posisi diferential dalam struktur bahasa keseluruhan. Jog juga mempunyai pandangan yang serupa. Hanya saja, kalau strukturalis melihat ada keseimbangan antara penanda dan petanda, jog lebih mengutamakan penanda dari pada petanda. Tidak ada korespondensi antara preposisi dan kenyataan. Lacan menulis penggelinciran incessant dari penanda dibawah petanda. Derrida mempunyai pandangan yang bahkan lebih jauh, yakni bahwa ia percaya akan adanya suatu system penanda-penanda yang mengambang, yang murni dan sederhana, tanpa hubungan yang pasti dengan segala refern ekstra linguistik.
Pandangan yang demikian berhubungan erat dengan sifat kesemenaan anda tanda. Di dalam tanda bahasa, menurut linguistic, hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat logis, alamiah, niscaya. Suatu penanda dapat bergabung dengan petanda yang berganti-ganti sekaligus dengan banyak petanda sekaligus. Begitu juga sebaliknya. Suatu petanda dapat menyatakan diri dengan penanda yang berganti-ganti atau dengan banyak penanda sekaligus. Kecenderungan pertama tampak, antara lain, dalam fenomena bahasa yang dikenal sebagai homonimi dan polisemi, yang didalamnya penanda yang sama mempunyai petanda yang berbeda. Kecenderungan kedua terlihat dalam fenomena sinonimi yang di dalamnya petanda yang yang sama dapat mempunyai penanda yang berbeda. Kesemua fenomena itu sekaligus menunjukkan betapa ringkihnya, labilnya, hubungan antara penanda dan petanda. Gagasan mengenai tanda sebagi kesatuan antara penanda dan petanda pun, dengan demikian, menjadi lemah. Lebih jauh, karena nilai semantic tanda bahasa bersifat diferential, tergantung pada oposisinya dengan tanda-tanda lain, nilai penanda tertentu sebenarnya mengacu kepada penanda yang lain, bukan petanda. Bahkan, apa yang disebut sebagai petanda pada dasarnya adalah penanda yang lain. Tanda, karena itu, menjadi rangkaian penanda yang tak terbatas. Kritik yang ke empat dikemukakan, antara lain, oleh Althusser yang memahami Marxisme sebagai praktik teoretik dan pemikiran mengenai bahasa dari strukturalis sebagai pemikiran yang antifilosofis. Derrida memperlihatkan kecenderungan yang serupa, antara lain, dalam konsepnya mengenai logosentrisme sebagaimana yang akan dikemukakan dalam bagian kemudian dari buku ini. Yang terpenting, yang terlebih dahulu harus disampaikan adalah bahwa filsafat selalu berusaha menemukan sumber yang tunggal, yang dibayangkan akan menjadi penyebaba dari segala yang tampak, yang menjadi turunannya, mencari apa yang esensial yang menjadi dasar bagi yang ekstensial. Dalam hal yang demikian, dalam batas tertentu, kritik pascastrukturalis. Bahkan, sebagaimana yang sudah dikemukakan mengenai hubungan antara bahasa dan tutur dalam linguistic, kritik pascastrukturalis mengenai filsafata yang demikian terarah juga sekaligus pada strukturalis. Dan, strukturalis itu, sebenarnya, tidak ahanya yang menyangkut linguistic dengan konsep bahasa dan tuturnya, melainkan juga Marxisme, psikoanalis Freud, dengan konsep struktur dasar dan struktur permukaaannya, dengan konsep id, ego, dan superego. Dalam teori Marx yang menjadi sumber asli darimkehidupan ini adalah materi yang terorganisasi menjadi struktur dasar, sedangkan bagi Freud, dorongan libidinallah yang memegang peran yang demikian. Meskipun kritik yang demikian dianggapnya sebagai kritik yang dilakuakan bukan hanya oleh pascastrukturalisme, melainkan juga strukturalisme, hal itu tidak membuat Sarup tidak melihat perbedaan antara keduanya. Dengan pendapat yang sangat mirip dengan pendapat Young, menurut
Sarup, memang ada perbedaan mendasar antara strukturalisme dan pascastrukturalisme, perbedaan yang membuat pascastrukturalisme menjadi paham yang khas. Pertama, apabila strukturalisme melihat kebenaran sebagai berada di balik atau di dalam suatu teks, pascastrukturalisme menekankan interaksi pembaca dengan teks sebagai suatu produktivitas. Membaca bukanlah suatu konsumsi pasif terhadap suatu produk, melainkan suatu performance. Kedua, pascastrukturalisme sangat kritis terhadap kesatuan yang stabil antara penanda dan petanda. Gerakan baru itu mengimplikasikan pergeseran dari petanda ke penanda dan karenanya ada lingkaran abadi dalam perjalanan menuju suatu kebenaran yang sudah kehilangan status finalitasnya. Ketiga, pascastrukturalitas sudah melakukan kritik terhadap konsepsi Cartesian mengenai subjek yang terpadu-sang subjek/pengarang sebagai kesadaran asli, otoritas bagi makna dan kebenaran. Dikatakan bahwa subjek manusia tidak mempunyai kesadaran yang terpadu, melainkan kesadaran yang distrukturkan oleh bahasa. Pendek kata, menurut Sarup, pascastrukturalis melibatkan kritik terhadap metafisika, terhadap konsep-konsep mengenai kasualitas, identitas, subjek, dan kebenaran.
8.3
Teori-teori Pascastruktural Di dalam buku Sarup dikemukakan bahwa teori-teori yang termasuk kedalam teori-teori
pascastruktural adalah teori psikoanalisis lacan, teori dekonstruksi Derrida, dan teori wacana Foucault. Berikut akan dipaparkan teori-teori tersebut secara berurutan, yaitu dengan penempatkan teori Lacan mengenai subjek pada urutan pertama, teori Derrida mengenai subjek pada urutan pertama, teori Derrida mengenai logosentrisme pada uruta kedua, dan teori wacana Foucault pada urutan ketiga.
8.3.1
Teori Psikoanalisis Lacan
8.3.1.1 Gambaran Menyeluruh Menurut Sarup, sebagian teori psikoanalisis Lacan didasarka pada penemuan antropologi dan linguistic structural. Salah satu kepercayaan utamanya adalah bahwa ketidaksadaran merupakan suatu struktur yang tersembunyi yang menyerupai struktur bahasa. Pengetahuan mengenai dunia, mengenai orang-orang lain dan diri ditentukan oleh bahasa. Bahasa merupakan prekondisi bagi tindakan menjadi sadar akan diri sebagai entitas yang berbeda dari yang lain. Dialektika :Sayaakmulah”. Yang mendefinisikan subjek-subjek dengan oposisi timbal-baliknya, yang mendasari subjektivitas. Namun, di lain pihak, bahasa juga merupakan sesuatu yang diadakan secara social,
sebuah kebudayaan, larangan-larangan, dan hokum-hukum. Seorang anak yang masih muda dibentuk dan akan dimarkahi secara permanen olehnya tanpa menyadarinya. Artikulasi dari “Saya” terjadi dalam apa yang oleh Lacan disebut “tahap cermin” karena pada tahap inilah terbentuk pengekuan-diri (self- recognition). Pengakuan diri pada tahap cermin ini berlangsung dalam tiga tahap yang beruntun. Pertama, seorang anak yang bersama orang dewasa berada di depan cermin mengacaukan citra dirinya dengan citra orang dewasa itu. Kedua, anak itu memperoleh pengetahuan mengenai citra dan citra itu berbeda dari kenyataan. Ketiga, dia meyadari tidak hanya bahwa pantulan dalam cermin itu ssekedar citra, melainkan juga citra mengenai dirinya dan yang berbeda dari orang lain. Lacan melihat bahwa apa yang dikenal sebagai Oedipus Kompleks merupakan sumbu dari humanisasi, sebagai sebuah transisi dari register alamiah kehidupan ke register pertukaran kelompok dan karenanya hukum-hukum, bahasa, dan organisasi. Lacan berpendapat bahwa mulamula sang anak tidak hanya menginginkan kontak dengan ibunya dan menginginkan kepeduliannya, melainkan juga ia menginginkan, mungkin secar tak sadar, menjadi pelengkap dari apa yang kurang pada sang ibu, yaitu falus. Pada tahap ini bukan suatu subjek, melainkan suatu “kurang: (a lack), bukan apa-apa. Pada tahap kedua sang ayah melakukan intervensi. Sang ayah merenggutkan sang anak dari objek hasartnya dan ia merenggutkan sang ibu dari objek falik. Sang anak menghadapi hokum yang sah. Tahap ketiga merupakan tahap identifikasi sang anak dengan sang ayah. Sang ayah mengembalikan falus itu sebagai objek dari hasrat sang ibu dan bukan lagi sebagi komplemen sang anak terhadap apa yang kurang pada sang ibu. Inilah tanggungan yang harus dipikul oleh seseorang jika ia ingin menjadi dirinya sepenuhnya. Bagi Lacan, Oedipus Kompleks merupakan momen yang di dalmnya seorangn anak menghumanisasikan dirinya dengan menjadi sadar akan diri, dunia, dan orang-orang lain. Resolusi Oedipus Kompleks membebaskan sang subjek dengan memberinya, dengan namanya, suatu tempat dalam konstelasi keluarga, senuah penanda asli mengenaio diri dan subjektivitas. Ia mempromosikan diri sang anak dalam kesadarannya akan diri melalui partisipasi dalm dunia kebudayaan, bahasa, dan peradaban. Ketidaksadaran,
bagi Lacan, sebanding dengan struktur pada suatu bahasa. Lacan
beranggapan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi ketaksadaran, bahwa bahasa menciptakan dan memunculkan ketaksdaran itu. Seperti wacana sadar, formasi ketaksadaran (mimpi dsb.)
mengatakan sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang tampaknya ia katakana. Formasi-formasi yang demikian diatur oleh mekanisme yang sama dengan bahasa, yaitu metafora dan metonimi. Oleh karena kemampuan metaforik manusia, Lacan mengisyaratkan bahwa kata-kata mengangkut berbagai makna kemudian kata-kata dan makna-makna itu digunakan untuk menandai sesuatu yang sangat berbeda dari makna konkretnya. Kemungkinan menandai sesuatu yang berbeda dari apa yang diaktakan inilah yang menentukan otonomi bahasa dari makna. Lacan percaya pada otonomi penanda. Ia mengasimilasikan proses metaforik dan metonimik bahasa, masing-masing, dengan kondensasi dan “plesetan” (displacement). Semua informasi ketaksadaran menggunakan peralatan-peralatan stilistika ini untuk mengecoh pelarangan (sensorship). Kecenderungan demikian membuat gagasan mengenai subjek Lacan berbeda dari Descartes. Apabila yang kemudian ini mengatakan, “Saya berpikir karena itu saya ada”, lacan mengatakan, “Saya berpikir ketika saya bukan saya sehingga saya adalah ketika saya tidak berpikir”. Atau, “saya ber[piker ketika saya tidak dapat mengatakan siapa saya.”
8.3.1.2 Diri dan Bahasa Lacan beranggapan bahwa subjek manusia tak dapat ada tanpa bahasa. Namun, subjek itu tidak dapat direduksi menjadi bahasda semata. Bila Saussure menganggap bahwa manusia terkadang dapat berada di luar bahasa, Lacan percaya semua orang terbenam dalam bahasa seharihari dan tidak dapat keluar darinya. Tidak ada yang dinamakan metabahasa karena semua orang mempresentasikan dirinya dengan bahasa. Bahasa adalah satu-satunya sarana untuk akses kepada orang lain. Bila Saussure menganggap hubungan antara penanda dan petanda bersifat stabil . seperti Derrida, ia percaya pada komutabilitas petanda, pada kapasitas setiap petanda untuk berfungsi, pada gilirannya, sebagai penanda sehingga posisi petanda selalu bersifat sementara. Sebuah penanda, bagi Lacan selalu menandai penanda yang lain. Tak ada kata yang bebas dari metamorforisitas (suatu metafora adalah suatu penanda
menggantikan penanda yang lain) sehingga terbuka
kemungkinan bagi penggelinciran dari penanda ke penanda. Tidak ada signifikasi yang tertutup, sepenuhnya memuaskan. Setiap penanda hanya dapat didefinisikan dalam batas-batas penanda yang lain. Lebih jauh lagi, setiap kata hanya memperoleh pengertian yang lengkap ketika kalimat berakhir. Dengan kata lain, hanya kata terakhir yang memberikan pengertian penuh pada setiap kata yang muncul sebelumnya.
Bahasa berfungsi menepatkan diri dalam posisitertentu, menjadi subjek tertentu. Fungsi bahasa ini menyerupai fungsi tempat duduk di sebuah kereta api. Posisi duduknya menentukan apa yang ia lihat di luar. Ketika, misalnya, kereta berhenti di depan toilet stasiun, yang satu melihat tulisan atau gambar pria, sedangkan yang lain tulisan atau gambar wanita. Kedua orang itu bias bertengkar mengenai di mana posisi stasiun berhenti. Mereka tidak sadar bahwa perbedaan pandangan itu akibat dari perbedaan posisi duduk mereka. Setiap orang, di dalam bahasa, menempati posisi tertentu, menjadi subjek tertentu.
8.3.1.3 Diri dan Identitas Menurut Lacan, orang tidak akan memperoleh citra dirinya yang stabil karena orang mengetahui dirinya melalui respon orang lain dan dalam mencoba memahami respon orang lain itu, orang akan mungkin melakukan misinterprsestasi dan karenanya juga salah mengenali dirinya sendiri (misrekognisi). Orang, sebenarnya, tidak akan pernah memperoleh kepastian mengenai apa respon orang lain terhadapnya. Lebih lanjut, Lacan mengatakan bahwa oarangt tidak mempunyai seperangkat cirri yang kukuh. Tidak ada subjek kecuali dalam represensi, tetapi tidak ada sutu representasipun yang dapat menangkap diri subjek secara penuh. Di satu pihak manusia tidak terdefinisikan oleh orang lain secara menyeluruh, di lain pihak, ia juga tidak bias membebaskan diri dari definisi orang lain. Oleh karena itu, manusia terus-menerus tertangkap dalam pencarian mengenai dirinya. Terjadi suatu ketegangan yang indentitas seseorang tergantung pada orang lain. Dalam keadaan yang demikaian, pengenalan timbale-balik pun tidak mungkin sepenuhnya terjadi. Intersubjektivitas tidak mungkin sepenuhnya dicapai karena orang tidak akan pernah masuk ke dalam kesadaran orang lain sepenuhnya. Dan, ketidakpenuhan itu, antara lain, disebabkan oleh ambiguitas penanda-penanda. Ada ketidak senjangn antara apa yang dikatakan dan maknanya. Memang manusia, menurut Lacan, menbutuhkan suatu keselururuhan, kepenuhan, kerinduan akan kesatuan, tetapi pencapaiannya merupakan ketidakmungkinan yang logis.
8.3.1.4 Freud dan Lacan Perbedaan dan persamaan antara Freud dan Lanca terletak dalam hal-hal berikut. •
Lanca sejuta bahwa ego terbentuk dari identifikasinya dengan figure-figur parental. Namun, bagi Lanca, identifikasi itu, di samping menstabilkan individu, juga melembarkannya dari dirinya.
•
Freud mengingkari dimensi-dimensi sosial dengan mengutamakan dorongan hasrat individual dan pemenuhannya, sedangkan Lanca sejak awal mengakui intersubjektivitas sebagai sesuatu yang niscaya dan wajar dalam pembetukan ego.
•
Jika Freud menganggap ketidaksadaran sebagai suatu ancaman, Lacan menganggap ketidak sadaran sebagai sumber kebenaran, otentisitas.
•
Jika Freud menganggap ketidaksadaran sebagi sesuatu yang substantive, Lanca menganggapnya bukan sebagai sesuatu yang primordial ataupun instingtual, melainkan sesuatu yang tersirat dalam segala yang dikatakan dan di kerjakan orang. Dalam pengertiaan demikian, ketidak sadaran memang sesuatu yang tidak mungkin diketahui sepenuhnya, tetapi bukan berarti bahwa usaha menemukannya tidak berharga.
•
Freud melihat ada dua proses dalam kehidupan kejiwaan seseorang, yaitu peoses primer yang bersangkutan dengan hasrat dan pemenuhannya dan proses sekunder yang bersangkutan dengan nalar dan kesadaran. Orang akan berusaha memenuhi hasratnya, tetapi apabila karena itu kehidupannya menjadi terancam, ia menggunkan nalarnya atau kesadarannya. Lanca menganggap kedua prose situ tisdak berbeda. Proses kedua berlangsung serupa dengan proses pertama. Keduanya menggunakan prinsip pemadatan dan pemlesetan. Pamadatan adalah penjajaran penanda-penanda, sesuatu yang metaforik, sedangkan pemlesetan berfungsi sebagi pengalihan, penghindaran dari sensor, sesuatu yang metonimik.
•
Freud menyukai persoalan alam dan kebudayaan dengan penekanan pada dominasi kebudayaan atas alam. Lacan m,enganggap alam bukanlah yang nyata, melainkan sesuatu yang jauh disana, yang tidak mungkin dijangkau dalam keadaannya yang palinmg murni karena segala sesuatu selalu termediasi melalui bahasa. Bagi Freud tragedy manusia terjadi akibat konflik antara alam dan kebudayaan, sedangkan bagi Lacan tragedy terjadi karena manusia berada dalam kondisi kekurangan yang abadi akan keseluruhan.
•
Lacan dan Freud juga berbeda dalam persoalan Oedipus Kompleks. Tafsiran Freud bersifat biologis dan fisikal, mempertalikannya dengan persoalan seksual, sedangkan
Lacan
menafsirkannya secara simbolik dan mempertalikannya dengan persoalan social, intersubjektivitas. Ayah, oleh Lacan , ditafsirkan sebagai hokum, yang dinyatakan melalui pemberian nama ayah pada anak. Jika Freud mempertalikan kompleks itu dengan penis, Lacan menyebutnya falus. Dengan konsep falus ini, orang dengan identitas seksual wanita pun dapat termasuk di dalamnya. Falus merupakan atribut kekuasaan yang dapat dimiliki oleh laki-laki ataupun perempuan. Menurut Lacan, semua fantasi kita merupakan representasi-representasi simbolik akan hasrat pada keseluruhan. Kalau manusia mempunyai falus atau mempunyai falus orang lain, ia akan menjadi keseluruhan. Dengan kata lain, falus merupakan penanda dari hasrat asali akan kesatuan sempurna dengan sang lain. Falus mengacu kepada kepenuhan, merupakan penanda darim keseluruhan yang manusia “kurang”. h) Jika Freud menganggap mungkin adanya wacana rasional walaupun selalu terganggu oleh kekuatan-kekuatan tak sadar, lacan mengenggap wacana membentuk ketaksadaran. Bahasa dan hasrat berhubungan. Bagi Lacan, hasrat bersifat ontologism, suatu perjuangan akan keseluruhan, bukan kekuatan seksual. Hasrat adalah metonimi dari hasrat untuk menjadi. •
Jika Freud berbicara mengenai insting dan dorongan (drives), Lacan berbicara mengenai hasrat. Istilah ini mengacu kepada adanya rasa kekurangan dan keinginan untuk memenuhi kekurangan itu. Hasrat bersifat tidak statik, tetapi bergerak karena selalu terbuka kemungkinan bagi hasrat unutk terus-menerus ditolak.
8.3.1.5 Rasa Kehilangan Teori Lacan mengenai subjek menyerupai cerita klasik. Ia bermula dari kelahiran dan kemudian bergerak melalui teritorialisasi tubuh, tahap cermin, akses pada bahasa, Oedipus kompleks. Tiap tahap dalam cerita ini ditandai dalam jenis raa kehilangan atau kurang. Kehilangan pertama dalam sejarah subjek terjadi sewaktu kelahiran. Bahkan, lebih khusus lagi, pada tahap pembedaan jenis kelamin ketika berada di dalam rahim walaupun hal ini tidak disadari dan baru disadari ketika bayi dipisahkan ibunya saat lahir. Kekurangan ini bersifat seksual dan berkaitan dengan ketidakmungkinan untuk secara fisiologis sekaligus menjadi laki-laki dan perempuan. Pengertian mengenai keseluruhan androginus asali sangat penting bagio argument Lacan. Sang subjek didefinisikan sebagai berkekurangan karena ia dipercaya menjadi fragmen dari sesuatu yang lebih besar atau lebih primodial. Rasa cinta manusia satu sama lain bersumber dari
kesatuan primordial ini. Cinta merupakan percobaan yang terdahulu, membuat yang dua menjadi satu dan menjembatani jurang antara satu manusia dan yang lainnya. Kehilangan kedua yang diderita subjek terjadi sesudah kelahiran, tetapi sebelum perolehan bahasa, yaitu pada fase yang disebut “territorial pre-oedipal terhadap tubuh subjek”. Sesaat sesudah kelahiran, seorang anak belum mengalami pembedaan antara dirinya dan ibunya yang menyusuinya. Kemudian, tubuh anak mengalami pembedaan : zona-zona erotogenetik mulai dipahatkan dan libido didorong untuk mengikuti rute-rute yang mapan. Dengan demikian, sejak dini sekali sesudah kelahiran, sang subjek kehilangan kontak tak termediasinya dengan aliran libidinalnya sendiri dan mengalah pada ekonomi genital kebudayaan. Imajinari merupakan istilah yang digunakan Lacan untuk menggambarkan tatanan pengalaman subjek yang didominasi oleh identifikasi dan dualitas. Dalam skema Lacanian kecenderungan demikian tidak hanya mendahului tatanan simbolik, yang memperkenalkan subjek dengan bahasa dan triangulasi Oedipal, melainkan terus ada bersamanya pada masa sesudah perolehan bahasa itu. Tahap cermin yang sudah digambarkan merupakan contoh terbaik dari imajinari ini. Ketika melihat citra dirinya di cermin, subjek mengenal dirinya, tetapi sekaligus diasingkan dari dirinya. Karena itu, subjek tersebut kemudian mempuyai suatu hubungan yang sangat mendalam bersifat ambivalen dengan pantulan dirinya di dalam cermin itu. Namun, karena citranya tetap eksternal baginya, ia juga membenci citra itu. Si subjek mengalami keterombangambingan antara emosi-emosi yang bertentangan. Lacan percaya, sekali si subjek memasuki tatanana simbolik (bahasa), kebutuhan organiknya masuk ke jaringan signifikasi yang sempit dan mencemarkan dan ditransformasi dengan suatu cara yang membuatnya tidak mungkin terpuaskan. Dorongan kehendak hanya menawarkan suatu ekspresi parsial dan tak langsung dari kebutuhan-kebutuhan itu, tetapi bahasa menghancurkan hubungan itu sekaligus. Bagi Lacan, pemainan fort/da yang ia tafsirkan sebagai dramatisasi hilangnya diri, bukan ibu, sebagai alegori dari penguasaan linguistic atas kehendak. Dan, dalam hal itu ia sekaligus tersubordinasikan oleh sebuah tatanan simbolik yang karenanya menentukan identitas dan hasratnya. Hasrat diarahkan kepada representasi-representasi ideal yang selamanya akan tetap tak terjangkau. Objek cinta tidak lebih dari pencarian komplemen diri narsis yang hilang. Lacan percaya bahwa wacana yang didalamnyab subjek menemukan dirinya selalu merupakan wacana sang lain suatu tatanan simbolik yang mengatasi subjek dan yang mengorkestrakan sejarahnya yang menyeluruh. Satu bagian penting diaminkan oleh perbedaan seksual dalam tatanan itu dan hal ini membuat orang sadar akan falosentrisitas praktik-praktik kita
mutakhir. Salah satu rumus Lacan adalah bahwa subjektivitas sepenuhnya relasional, ia bermain melalui prinsip perbedaan, melalui oposisi antara saya dan kamu. Dengan kata lain, subjektivitas bukanlah esensi, melainkan seperangkat relasi. Dan hal itu hanya dapat disuntikkan oleh aktivasi system penandaan yang hadir di hadapan individu dan yang menentukan identitas kulturalnya. Wacana, oleh karena itu, merupakan agensi yang dengannya subjek diproduksi dan tatanan yang ada dipertahankan.
8.3.1.6 Implikasi Metodologis Teori psikoanalisis Lacan menganggap alam bawah sadar manusia selalu dalam keadaan “kurang”, merasa ada yang hilang sehingga tumbuh hasrat dan usaha yang terus menerus untuk menutupi kekurangan itu, menemukan kembali apa yang hilang, membuat manusia kembali lengkap, sempurna, utuh, menemukan identitasnya, menjadi dirinya kembali. Bahasa merupakan sebuah tatanan cultural yang menanamkan subjektivitas bagi manusia, membuat manusia menemukan identitas atau dirinya. Namun, apa yang dilakukan bahasa pada subjek itu bersifat mendua : di satu pihak memberikan rasa subjektivitas, di lain pihak menjauhkan sang subjek dari diri asalinya. Bahasa, dengan demikian, justru memperkuat rasa kurang dan rasa kehilangan di atas. Penanaman identitas oleh bahasa tidak pernah penuh. Pertama, bahasa itu bersifat formalrelasional sehingga identitas diri selalu berada dalam hubungan dengan yang lain. Bahasa tidak substantial atauapun referensial. Identitas yang terbentuk melalui bahasa sekaligus berlangsung melalui dialektika antara identifikasi dan rekognisi yang bias disalah tafsirkan. Kedua, bahasa sendiri merupakan serangkaian penanda dengan kedudukan petanda yang tidak pernah stabil. Di dalam bahasa terbuka kemungkinan tergelincirnya petanda kepada penanda yang lain sebagaimana yang berlaku pada metamorfora dan metinimi yang memang, menurut Lacan, merupakan cara kerja principal bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, penanaman subjek dalam bahasa membuka kemungkinan bagi munculnya bawah sadar yang berupa rasa kehilangan itu, bagi gerakan keluar diri dan karenanya keluar bahasa. Dan, karya sastra memperlihatkan dengan kuat kecenderungan yang dermikian. Memahami karya sastra dalam perspektif Lacanian, denagn demikian, menjadi sebuah usaha utnuk menemukan kondisi bawah sadar yang dipenuhi oleh rasa kurang dan rasa kehilangan yang sekaligus menyertai hasrat untuk kesatuan diri di atas. Karena, bagi penelaah sastra, kondisi bawah
sadar itu merupakan kondisi bawah sadar yang tidak mungkin ia akses dengan sepenuhnya, pemahaman karya sastra diarahkan kepada apa yang yterjadi pada bahasa karya sastra itu, sejauh mana bahasa sastra itu bergerak keluar dirinya, melalui fenomena metafora dan metonimi yang ada di dalamnya. Metafora, sebagaimana sudah dikemukakan, dipahami Lacan sebagai prinsip konhdensasi dalam pengertian bahwa didalamnya terjadi penjajaran penanda-penanda sehingga terjadi pergeseran makna, sedangkan metonimi bekerja dengan prinsip “ pemlesetan” atau pengalihan yang berfungsi, antara lain, untuk mengalihkan perhatian sensor.
8.3.1.7 Contoh Analisis Ada dua kelompok contoh yang akan dikemukakan berikut ini, yaitu analisis dengan pendekatan psikologi individual dan dengan pendekatan psikologi kolektif. Analisa dilakukan terhadap dua bentuk karya sastra, yaitu puisi dan prosa.
a.
Psikologi Individual
•
Puisi : “ Aku “ Karya Chairil Anwar AKU Kalau sampai waktuku ‘kumau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini bintang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap merajang menerjang Luka dan bias kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi
Dari judulnya saja sudah tampak dengan mencolok bahwa puisi tersebut menggunakan hasrat yang besar akan penemuan diri, penetapan identitas, eksistensi diri sebagai subjek: “Aku”. Namun, segera pula tampak bahwa “Aku” dalam puisi itu tidak sendirian, tidak terlepas dari hubungan dengan sang lain, yaitu “Kau”. “Aku” hanya dapat eksis dengan melakukan penolakan atau negasi terhadap “Kau”. Lebih jauh, yang dinegasi oleh “Aku” bukan hanya “Kau” yang mengimplikasikan personalitas, individu yang lain, melainkan juga “kumpulannya” sehingga, dalam oposisinya dengan “Aku”, terjadi korespondensi antara “Kau” dan “Kumpulannya”. Meskipun “Kau” dan “Kumpulannya” memperlihatkan korespondensi, perbedaan antara keduanya juga tampak. Terhadap “kau”, “aku”lah yang melakukan negasi, sedangkan terhadap “kumpulannya” posisi “aku” tampak ambigu. Kata terbuang bias mengimplikasikan bahwa yang melakukan negasi justru adalah “kumpulannya”. Kemungkinan implikasi yang lain dari kata tersebut adalah bahwa yang mealakukan negasi jutru adalan “kumpulannya”. Kemungkinan implikasi yang lain dari kata tersebut adalah bahwa yang melakukan negasi merupakan sebuah kekuatan eksternal yang tidak jelas, semacam “nasib”, sesuatu yang tidak dikehendaki, tidak disengaja, dan karenanya tidak diinginkan oleh “aku”. Ambiguitas yang demikian menyerupai ambigius permainan fort/da dalam pengertian Lacan sebagaimana yang sudah digambarkan. Dengan melepaskan diri dari si ibu, seseorang akan memperoleh kepribadiannya. Akan tetapi, dengan cara yang sama, ia juga menjadi kehilangan diri aslinya yang merupakan kesatuan diri asalinya yang merupakan kesatuan diri dengan si ibu, mengalami “kurang” (lack). Karena keterpisahan dengan diri asali itu, dengan “sang ibu” tersebut, dengan “kau” dan dengan “Kumpulannya” menjadi sesuatu yang menyakitkan. Namun, sebaliknya justru rasa sakit itu yang membuat identitas “aku”, eksistensinya sebagai subjek yang mandiri, menjadi bertambah kuat. Kemampuan menahan rasa sakit menjadi batu penguji bagi kemampuannya berdiri sebagi diri, sebagai subjek. Apabila dilihat dari negasinya terhadap “Kumpulannya”. Puisi ini seakan mengisyaratkan perlawanan “Aku” terhadap masyarakat dan bahkan kebudayaannya. Sebuah hasrat akan kepenuhan diri, penemuan diri asali, dengan melakukan perlawanan terhadap bahasa, masyarakat, dan kebudayaan yang memberikan identitas yang semu, yang “kurang”, yang “”tak lengkap. Namun, bila disimak baris terakhirnya, Aku ingin hidup seribu tahun lagi, puisi tersebut justru mengungkapkan integrasi ego ke dalam bahasa, ke dalam kebudayaan. Pernyataan dalam baris terakhir itu memperlihatkan bahwa “Aku” ingin bergerak ke arah keabadian, ke arah kondisi yang
mampu melampaui eksistensinya sebagai individu karena individu tidak mungkin dapat hidup seribu tahun. Yang dapat mencapai usia sepanjang seribu tahun hanyalah masyarakat, kebudayaan. Apabila yang hal terakhir itu benar, tampak bahwa puisi ini menggambarkan semacam ritus inisiasi ego ke dalam masyarakat dan kebudayaan, ke dalam bahasa. “Aku” adalah kosakata yang disediakan oleh bahasa. Melalui kata tersebutlah bahasa menempatkan ego sebagai subyek tertentu dengan identitas tertentu yang membedakannya dari orang lain. “Kau” ataupun “Kumpulannya”. Bahasa membuka peluang bagi ego menjadi subjek. Namun, bahasa itu pula yang memisahkan dari diri aslinya, kesatuannya dengan ibu. Sebagaimana yang terimplikasikan dari kata kumau yang terkait dengan “Kau” dan terbuang yang terkait dengan “Kumpulan”, ego berada dalam posisi yang mendua menghadapi subyektivitas yang diberikan oleh bahasa tersebut, yaitu antara menginginkan dan diinginkan, antara menjadi agen yang berkuasa atas dirinya, yang memang menghendaki kekuasaan itu, dan korban yang dikehendaki oleh kekuasaan yang ada di luar dirinya, sang falus dalam pengertian Lacan. Kesimpulan terakhir diatas tidak sepenuhnya benar. Terbuka kemungkinan bahwa puisi ini sebenarnya menggambarkan pula hasrat akan diri asali dan karenanya melakukan perlawanan atau negasi terhadap bahasa, masyarakat, dan kebudayaan yang memberikan kepadanya identitas semu, yang menjauhkannya dari diri asali itu. Artinya, puisi ini dapat pula mengungkapkan hasrat untuk menemukan pemenuhan diri atau diri yang sepenuhnya. Kecenderungan demikian dapat dilihat dari metafora yang digunakan. Puisi ini mengibaratkan, secara metaforik, diri manusia dengan diri serigala. Metafora ini sendiri sebenarnya problematik dan ambigu. Dalam wacana yang berlaku umum, serigala dapat ditempatkan ke dalam dua posisi,yaitu posisi subyek dan posisi obyek. Apabila ditempatkan sebagai subyek, serigala akan menjadi penjahat, binatang buas yang mengancam dan menghancurkan kehidupan. Jika ditempatkan sebagai obyek, ia akan menjadi korban perburuan. Kedua posisi ini tidak terpisah satu sama lain. Oleh karena jahat, serigala harus diburu dan dibunuh. Serigala tidak pernah diizinkan menjadi subyek. Dengan menggambarkan diri sebagai serigala, tampak bahwa puisi ini mengungkapkan hasrat akan kepenuhan diri, hasrat akan penemuan diri asali, kembali pada sang ibu, dengan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang dikuasai oleh sang bapak. Diri, dalam citraan yang demikian, menjadi sesuatu yang liar, buas, melawan, dan mengancam kebudayaan. Hanya saja, dengan pengibaratan sebagai serigala itu pula, diri kemudian menempatkan diri sebagai obyek, sesuatu yang diburu, kehilangan ditri aslinya. Dan jika kemudian halnya, apa yang diungkapkan
oleh puisi ini beralih menjadi penggambaran kekuasaan sang bapak, gambaran integrasi dirisubyek ke dalam bahasa, masyarakat, dan kebudayaan, kepada apa yang oleh Lacan disebut tatanan simbolik. Hanya saja, tetap saja integrasi yang dipilih dengan sangat bersemangat itu, yang mencoba menolak kesatuan dengan ”Kau” yang merayu, yang mengimplikasikan keibuan tersebut, dibayang-bayangi oleh rasa “kurang”, “rasa sakit”, hasrat akan kepenuhan diri asali, oleh kemungkinan tafsir pertama diatas. Secara metonimik puisi ini menggantikan dirinya dengan serigala dan menggantikan sang ibu menjadi “Kau” yang abstrak, perempuan pada umumnya, sebuah totemproparte. Dan yang menginginkan sang ibu itu bukanlah manusia, melainkan binatang. Dengan pengalihan yang demikian, puisi ini mengesankan bahwa manusia yang digambarkan didalamnya adalah manusia yang aneh, yang tidak normal, yang karenanya diizinkan untuk menjadi liar, melawan kebudayaan. Dengan izin itulah, pusi ini dapat menghindari diri dari sensor atas hasratnya akan sang ibu, hasratnya akan diri asali yang didalamnya perbedaan jenis kelamin, perbedaan antara “Aku” dan ”Kau” dinihilkan.
•
Prosa: “Rumah yang Terbakar” Karya Kuntowijaya Cerpen ini dimulai dengan gambaran mengenai bahasa dan kebudayaan yang memisahkan
dua lokasi dengan dua kelompok manusia, masyarakat dan kebudayaan yang hidup dimasingmasing lokasi itu. Ada lokasi desa utara, ada lokasi desa selatan ; ada masyarakat dan kebudayaan santri yang tinggal di desa utara, ada masyarakat dan kebudayaan abangan yang hidup didesa selatan. Di antara lokasi itu terdapat lokasi ketiga, sebuah hutan yang semula dianggap wingit, tapi kemudian dihuni oleh seorang warga yang berasal dari selatan, Jakaryo, yang mendirikan surau di hutan itu. Oleh karena surau itu tidak berhasil menarik minat masyarakat di kedua lokasi, ia kemudian mati dan digantikan oleh sebuah rumah yang berfungsi sebuah warung yang menjual hiburan-hiburan mesum. Kemesuman warung itu membakar kemarahan seorang santri dari daerah utara sehingga ia kemudian mengerahkan massa untuk mengusir penghuninya dan akhirnya membakarnya. Namun, begitu api pembakar rumah itu padam, ternyata ada dua pasang remaja yang berasal dari kedua desa, yang saling berkasihan di rumah itu, yang ikut terbakar. Sang santri merasa sangat bersalah karenanya. Kebudayaan sudah memberikan identitas pada setiap kelompok sosial yang hidup di masing-masing lokasi. Sebagaimana cara bahasa kerja, identitas kedua kelompok masyarakat
tersebut bersifat relasional: yang satu dibangun dan ditegakkan dalam perbedaan atau pertentangannya dengan yang lain. Namun, apa yang diberikan oleh bahasa dan kebudayaan itu tidak sepenuhnya berhasil menghapuskan kerinduan kedua masyarakat untuk menemukan identitas asli mereka, kedirian mereka yang penuh, yang berupa kesatuan antara keduanya, hapusnya segala bentuk diferensiasi kultural ataupun seksual. Kecenderungan demikian tampak pada apa yang dilakukan oleh Jakaryo, ibu pemilik warung, dan dua remaja yang saling bercinta di atas. Hanya saja, untuk menemukan kepenuhan di atas, mereka tidak mengubah bahasa dan kebudayaan yang ada, melainkan mencoba berpindah ke luarnya, ke sebuah lokasi yang wingit, sebuah hutan yang ada di antara kedua desa tersebut. Bawah sadar yang berisi hasrat akan kepenuhan dan kesatuan diibaratkan oleh cerpen ini sebagai sebuah hutan yang wingit, yang berisi ijin-ijin dan roh-roh halus, yang hampir semua anggota masyarakat di kedua lokasi di atas tidak berani memasuki dan mengunjunginya. Di hutan itu bahasa dan kebudayaan berhenti, pemisahan kultural antara selatan dan utara pun dicarikan, tetapi cinta, seks, nafsu, dan mungkin religiusitas justru hidup dan berkembang dengan subur. Namun, begitu kondisi bawah sadar itu dinyatakan dengan bahasa, diberi penanda, ia segera pula terperangkap ke dalam bahasa tersebut. Hutan yang wingit itu, yang penuh dengan makhluk halus itu, juga mendua dalam wacana yang umum di dalam masyarakat. Pertama, ia menjadi kategori ketiga yang berhadapan dengan keduadesa secara serempak, membentuk oposisi antara kebudayaan dan alam. Oposisi tersebut termasuk ke dalam kategori bahasa dan kebudayaan pula. Sebagaimana yang dikatakan Lacan, alam bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan sesuatu yang tidak akan pernah dapat dijangkau karena segala sesuatu tidak pernah tanpa mediasi. Alam selalu hadir dalam konteks oposisinya dengan kebudayaan, alam merupakan sesuatu yang relasional, bukan substansial. Dalam posisi yang demikian, hutan dengan segala makhluk halusnya itu pun tidak lebih dari objek kekuasaan, sesuatu yang ada untuk ditaklukan. Penaklukan itu, dalam cerita itu, dalam cerita ini, tampak dari tindakan santri dari utara. Kedua, sebagai sesuatu yang wingit, hutan adalah wilayah kekuasaan dan kekuatan yang tak terpahami, tidak teridentifikasi, yang karenanya berupa makhluk-makhluk halus. Dalam hal ini hutan menjadi ruang yang memberikan kebebasan, yang memungkinkan terciptanya subyek yang mandiri dari kebudayaan, semandiri makhluk-makhluk halus itu. Di dalam cerita ini kemenduaan diatas dinyatakan pula dalam dua unsur utama yang menghidupkan dan dihidupkan oleh hutan tersebut, yaitu cinta dan seks atau nafsu. Sebagai seks atau nafsu, ia menjadi obyek yang diburu, yang berusaha ditaklukkan. Sebagai cinta, ia menjadi pembuka jalan bagi subyektifitas, berusaha dihidupkan. Dua posisi yang mendua inilah yang
menjadi sumber makna bagi peristiwa diakhir cerita, yaitu peristiwa pembakaran rumah dengan akibatnya diatas. Sang santri mewakili kebudayaan yang berusaha memusnahkan rumah dihutan itu dan, dengan demikian, tentunya seluruh hutan dengan segala mahluknya sebagai kekuatan misterius yang bebas darikebudayaan. Denagn kata lain, sang santri melakukan tindakan pembudayaan dengan mencegah kemungkinan rusaknya perbedaan antara selatan dan utara, santri dengan abangan. Usaha mempertahankan kebudayaan sekaligus dapat diartikan sebagai tindakan menegaskan dan menguatkan identitas, subjektivitas. Namun, tindakan menegaskan dan memperkuat identitas itu pula yang ternyata menjauhkan subjek, yaitu masyarakat di kedua lokasi menjadi kehilangan cinta yang menyatukan ke dua desa yang sedang bercinta. Dan, pembunuhan itu ternyata membuat si santri menyesal, merasa bersalah. Rasa bersalah ini, dalam prespektif Lacanian, dapat disebut sebagai penyesalan akan hilangnya diri asli yang penuh, kerinduan atau hasrat yang terus-menerus akan kesatuan dan keutuhan. Yang wigit, misterius, menakutkan, dan anti-kebudayaan, serta, dengan demikian juga yang berusaha untuk ditaklukkan itu sesungguhnya hutan secara keseluruhan, hutan dengan segala makhluk halus yang menghuninya. Namun, secara metonimik, cerpen ini menjadi musala, warung mesum, dan rumah. Penggantian metonimik, secara parte pro toto ini juga problemetik, mendua. Rumah, warung, musala bisa dikatakan ekspansi kebudayaan terhadap alam. Pengertian yang terakhir di atas dapat mengubah makna dari tindakan santri yang memmbakar rumah. Tindakan santri itu didasarkan pada kehendak untuk mempertahankan kebudayaan sehingga yang menjadi sasaran utamanya sebenarnya hutan secara keseluruhan, hutan yang penuh dengan makhluk halus, takhayul-takhayul. Hanya saja, dalam wacana yang berlaku umum, yang sekaligus juga membentuk diri menjadi badan sensor, sangat terlarang untuk mengatakan santri membakar hutan. Oleh karena itu, objek menjadi sasaran utama santri itu diubah atau digantikan dengan warung mesum atau rumah yang didirikan di hutan itu. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, rumah dan warung, bahjan musala atau surau sebenarnya merupakan satuan-satuan semantik yang menjadi bagian kebudayaan, pembakaran warung atau rumah itu dapat pula diartikan sebagai pembakaran terhadap kebudayaan, terhadap pemisahan antara selatan dan utara. Dengan demikian, pembelaan terhadap hutan denagn segala makhluk halusnya. Hanya saja, objeknya dialihkan secara metonimik.
b.
Psikologi Kolektif: Wacana Kolonial dalam Prespektif Lacanian Contoh analisis yang akan disampaikan di sini bukan analisis penulis sendiri, melainkan
analisis Homi K. Bhaba, seorang pascakolonialis yang terkemuka, yang nenperoleh banyak pengaruh dari teori pascakolonialis Lacanian sebagaimana yang dikemukakan oleh More-Gilbert (1997: 115) berikut. Ada dua fase dasar dalam karier Bhaba. Pertama, fase 1980-1988, ketika perhatiannya terutama tertuju pada pertukaran budaya yang terlibat dalam sejauh kekuasaan Inggris di India, berbeda dari said yang memusatkan perhatian pada Timur Tengah. Kedua, fase sejak tahun 1968 yang didalamnya Bhaba memberikan perhatian lebih banyak pada konsekuensi kultural dari neokolonlaisme di era kontemporer dan hubungan yang sering konfliktual antar wacana pascakolonialis dan postmodernisme. Dalam pandangan Bhaba ada kontinuitas antara era kolonialisme dan periode kontemporer. Secara teoritis dan metodologis, dua fase Bhaba di atas pun memperlihatkan kontinuitas antara lain dalam konsep time-lag-nya, yaitu “sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial” (Moore-Gilbert 1997: 115). Fase pertama karya Bhaba dapat di dekati pertama-tama dari percobaannya untuk bergerak melampaui analisis hubungan-hubungan kolonial yang cenderung terkait pada sistem-sistem oposisi biner seperti yang terjadi pada Said dan Fanon. Jika Said berkonsentrasi pada wacana penjajah, Fanon pada wacana terjajah itu lebih kompleks dan lebih bernuansa karena sirkulasi pola-pola psikis yang kontradiktif yang mempengaruhi relasi-relasi kolonial itu (keinginan dan sekaligus katekutan akan, the other, misalnya) merusakkan asumsi-asumsinya mengenai identitas dan pemosisin penjajah dan terjajah sebagai sesuatu yang terpadu dan stabil dan sebagai sesuatu yang juga berbeda dan bertentangan asatu sama lain. Bagi Bhaba, relasi-relasi kolonial itu distrukturkan, di kedua belahpihak, oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif (MooreGilbert 1997: 116) Dalam usahanya untuk mengubah fokus analisis wacana kedalam formasi-identitas, efek psikis, dan kerja-kerja bawah sadar, utang metodologis utama Bhaba adalah pada Freud dankhususnya-Lacan. Dengan bantuan teori tersebut Bhaba menganggap bahwa identitas hanya mungkin dalam penolakan terhadap segala pengertian mengenai orisinalitas atau plenitude, melalui prinsip displacemant dan deferensiasi yang selalu membawanya kepada suatu realitas liminal. Wilayah psikis yang tidak stabil dari relasi-relasi kolonial tergambar dalam karya awal Bhaba melalui analisisnya mengenai kerja setereotipe kolonial. Dalam kontrasnya yang sangat
mencolok dengan Orientalisme Said, Bhaba kurang tertarik pada pencatatan apalagi pengoreksian definisi-definisi yang salah amengenai identitas
the other pada pihak suatu kebudayaan
metropolitan yang dianggap kuat secara menyeluruh, tidak pula pada usaha untuk menawarkan suatu citra yang positif mengenai yang terjajah (membalikkan stereotipe) seperti yang dilakukan nasionalis kultural, melainkan lebih pada usaha menantang segala pembicaraan mutakhir mengenai ekonomi psikis dari stereotipe (Moore-Gilbert 1997: 116-117). Bhaba menafsirkan rezin stereotipe sebagai bukti bukan dari stabilitas mata disipliner dari penjajah, atau rasa aman dari konsepsi mereka mengenai diri mereka sendiri, melainkan bukti dari derajat pada identitas penjajah (dan otoritas) sesungguhnya terpecah dan terdestabilisasikan oleh respon-respon psikis yang kontradiktif terhadap sang lain yang terjajah. “the other question” bermula dengan pengamatan mengenai ketergantungan wacana kolonial pada konsep mengenai fiksitas dalam representasi mereka mengenai identitas yang tak pernah berubah dari masyarakat yang menjadi subjeknya (misalnya stereitipe mengenal noble savage). Namun, bagi Bhaba ada efek kontradiktif yang menarik dalam ekonomi stereotipe itu sejauh apa yang diungkap sudah dikenali ternyata harus secara terus menerus diyakinkan kembali melalui repetisi. Hal ini, bagi Bhaba, mengisyaratkan bahwa “yang sudah dikenali itu” bukanlah secara aman dan mapan seperti yang diimplikasikan oleh kekuasaan retorik mutakhir mengenai stereotip. Hal ini, pada gilirannya, justru menunjuk kepada suatu “kekurangan”, lack, dalam jiwa penjajah, yang selanjutnya dicontohkan oleh cara stereotipe itu menuntut penjajah untuk mengidentifikasikan diri mereka dalam kerangka yang bukan mereka, tetapi yang sekaligus secara potensial merusak mereka sejauh identitas mereka kemudian tergantung sebagian pada suatu hunbungan dengan sang lain yang secara potensial bertentangan untuk konstitusi identitas mereka itu. Bhaba mengelaborasi konsep stereotipe kolonial itu dengan mengalokasikan dengan konsep Freud mengenai peranan yang dimainkan oleh fetish bagi fethisher-nya. Stereotipe tidak hanya berbagi struktur metonimik fetish bagi substitusi objek yang nayata, melainkan, seperti halnya fetish, merupakan suatu cara untuk mengekspresikan dan mengisikan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang saling bertentangan. Fetshme selalu sebuah “permainan” atau vacillation antara afirmasi arkarik mengenai keseluruhan,/ similaritas dan kecemasan yang dihubungkan dengan rasa kurang dan berbeda.”( Moore-Gilbert 1997: 118)
8.3.1.8 Dekonstruksi Derrida Sarup menggambarkan teori dekontruksi Derrida dengan membahas konsepnya mengenai bahasa, konsep fonosentrisme dan logosentrisme, beberapa contoh dekontruksi Derrida dan pengaruh-pengaruh beberapa pemikiran terhadapnya.
a.
Instabilitas Bahasa Menurut Derrida, penanda tidak langsung berhubungan dengan petanda seperti cermin
dengan citra. Tidak ada konsepondensi langsung antara penanda dan petanda. Penanda dan petanda terus-menerus terpisah dan mengalami pelekatan ulang dalam kombinasi yang baru. Tidak ada perbedaan yang pasti antara penanda dan petanda. Petanda adalah penanda yang lain sehingga yang terbangun adalah rantai penanda yang tak terbatas, melainkan melingkar. Penanda tetap bertransformasi menjadi petanda dan sebaliknya. Menurut Derrida, makna tidak langsung hadir dalam sebuah tanda. Makna suatu tanda adalah apa yang bukan tanda itu sendiri, dan makna itu selalu, dalam pengertian tertentu, tidak hadir darinya. Makna tersebar dan terserak di sepanjang rantai penanda keseluruhan. Makna tidak dapat dengan dipakukan, ia tidak pernah hadir dalam hanya satu tanda, melainkan lebih sebagai sejenis kelap-kelip yang konstan dari kehadiran dan ketidakhadiran sekaligus. Membaca sebuah teks lebih menyerupai pelacakan terhadap kelap-kelip yang konstan itu daripada seperti menghitung manikmanki pada kalung. Bagi Derrida, struktur suatu tanda ditentukan oleh jejak dari sang lain yang selamanya tak hadir. Sang lain itu tentu saja tidak akan pernah dapat ditemukan dalam kepenuhan keberadaannya. Oleh karena itu, tanda, menurut Derrida, harus dipelajari dengan pengahpusan (under erasure), selalu dihuni oleh jejek tanda yang lain yang tidak pernah tampak. Fakta lain mengenai bahasa yang dikemukakan Derrida adalah bahwa bahasa itu merupakan suatu proses temporal. Ketika seseorang membaca sebuah kalimat, maknanya selalu tertunda, sesuatu yang tertunda. Sebuah penanda membawa saya kepada penanda yang lain; makna yang terdahulu dimodifikasi oleh makna yang kemudian. Dalam setiap tanda terdapat jejak-jejak dari kata-kata lain yang dieksekusi oleh tanda itu agar ia dapat menjadi dirinya. Dan, kata-kata mengandung jejak dari kata-kata yang sudah berlalu sebelumnya. Selain itu, makna juga tak pernah identik dengan dirinya sendiri karena sebuah tanda yang muncul dalam konteks-konteks yang berbeda tidak pernah sepenuhnya sama.
Dalam semua pengertian diataslah makna disebut kurang stabil. Tidak hanya makna dari apa yang seseorang katakan selalu yang selalu tertunda, tersebar, dan terbelah, melainkan orang itu sendiri. Karena bahasa merupakan sesuatu yang darinya orang tersebut, bukan sebagai sebuah alat yang ia gunakan, seluruh gagasan bahwa diri seseorang merupakan sebuah entitas yang stabil dan terpadu adalah sebuah fiksi.
b.
Fonosentrisme-logosentrisme Dekontruksi merupakan sebuah metode pembacaan sebuah teks yang dilakukan dengan
begitu cermatnya sehingga perbedaan-perbedaan konseptual yang dijadikan pengarang sebagai sandaran teks menjadi terbukti gagal atas dasar penggunaannya yang inkonsisten dan paradoksikal dalam teks secara keseluruhan. Denagn kata lain, teks dilihat gagal atas dasar kriteria yang dibuat oleh teks itu sendiri. Standar-standar dan definisi-definisi yang dibangun oleh teks digunakan secara reflektif untuk menggoyah dan menghancurkan perbedaan-perbedaan semula. Metode dekonstruksi itu dipertalikan dengan apa yang Derrida sebut sebagai “metafisika keberadaan”. Menurut Derrida, asal dan fondasi kebanyakan teori filosofis adalah keberadaan yang nyata, yang secara langsung tampak dalam kekinian (presence). Keberadaan itulah yang memberikan kepastian yang taktersangkal. Dan, keberadaan dan kepastian itulah yang disangkal oleh Derrida. Dengan mengingkari keberadaan, Derrida melakukan pengingkaran terhadap anggapan bahwa ada suatu kekinian dalam pengertian sebagai momen yang dapat ditentukan, yang berupa “sekarang”. Apa yang ada sekarang adalah yang nyata, yang pasti. Halnya berbeda dengan apa yang ada di masa lalu ataupun masa depan. Kedua momen yang kemudian ini berada dalam ketidakpastian, merupakan wilayah pengetahuan yang meragukan, tidak meyakinkan. Pengingkaran akan keberadaan itu, antara lain, dinyatakan Derrida dalam telaah kritisnya dalam konsep ekspresi dan indikasi dari Husserl. Ekspresi mengandaikan adanya makna intensional sebagai sumber makna yang kemudian di nyatakan di dalam bahasa atau tanda, sedangkan indikasi merupakan tanda yang mempunyai fungsi menunjuk dan dapat terjadi tanpa makna intensional. Derrida menolak pemisahan antara ekspresi dan indikasi tersebut. Menurutnya semua tanda bersifat indikatif. Tanda-tanda tidak dapat mengacu pada sesuatu yang sepenuhnya berbeda dari dirinya sendiri. Tidak ada pertanda yang bebas dari penanda. Tidak ada wilayah makna yang dapat diisolasi dari markah-markah yang digunakan untuk menunjuknya.
Di dalam teori Saussure, menurut Derrida, asumsi mengenai keberadaan itu dinyatakan pada prioritasnya akan tutur dibandingkan dengan tulisan. Inilah yang Derrida sebut fonosentrisme. Dan, fonosentrisme ini didasarkan pada cara berpikir yang logosentrik, yaitu kepercayaan bahwa hal yang pertama dan terahir adalah sang logos, sang sabda, sang pikiran suci, keberadaan-diri dari kesadaran yang penuh. Yang ada pada mulanyadan ahirnya adalah, misalnya, Tuhan. Manusia hanya turunan atau tiruan dari yang ada itu. Manusia tidak ada, yang ada hanya Tuhan, Sang Logos. Begitu pun tutur atau bunyi dalam bahasa. Pada mulanya adalah bunyi; baru kemudian tulisan. Tulisan hanya alat bagi bunyi untuk memperlihatkan adanya. Bunyi ada, tulisan hanya turunannya, tak ada. Dalam tindakan berbicara demikian pemahaman fonosentrisme-logosentrisme, keberadaan seseorang bersamadirinya menempuh cara yang sangat berbeda dengan keberadaan orang itu dalam tulisan. Kata-kata yang diucapkan tampak hadir secara langsung, tanpa mediasi,pada kesadaran orang itu, dan suaranya menjadi medianya yang spontan dan akrab.sebaliknya, dalam tulisan makna orang itu tercantum untuk melepaskan diri darinya, dari kontrolnya. Tulisan seakan merampas orang itu dari keberadaannya; ia menjadi mode komunikasi tangan kedua, sebuah transkrip tutur yang mekanik, yang menjauhkan orang itu dari kesadarannya. Pandangan yang demikian, menurut Derrida, menyembunyikan satu paham lain yang lebih luas di baliknya. Manusia dibayangkan mempunyai kemampuan untuk secara spontan mengekspresikan dan menciptakan maknanya sendiri, menguasai sepenuhnya dirinya, dan mendominasi bahasa sebagai medium dari keberadaan batiniahnya. Apa yang gagal dilihat oleh pandangan yang seperti ini adalah bahwa ucapan pun dapat menjadi bentuk tangan kedua dari tulisan dan sebaliknya. Oleh karena filsafat barat sudah begitu fonosentrik, berpusat pada suara, ia menjadi sangat curiga terhadap tulisan. Karena sangat logosentrik, filsafat itu juga mengikatkan diri pada kepercayaan pada kata-kata yang utama seperti keberadaan, esensi, kebenaran atau realitas yang akan menjadi fondasi dari seluruh pikiran, bahasa dan pengalamannya. Filsafat itu merindukan tanda yang akan memberikan makna kepada semua yang lain-penanda transendental-dan rindu akan makna yang melabuhkan, yang tidak dapat dipertanyakan lagi, yang apadanya seluruh tanda dapat dilihat sebagai penjiplak. Contoh dari tanda-tanda yang demikian adalah Tuhan, gagasan, roh dunia,diri, materi, dan sebagainya. Namun, karena konsep-konsep tersebut diharapkan untuk mendirikan sistem pemikiran dan bahasa secara keseluruhan, ia sendiri harus berada diluar sistem. ia tidak dapat diimplikasikan dalam bahasa-bahasa yang ia coba tata dan labuhkan; ia harus
anterior di hadapan wacana-wacana demikian. Ia harus bertindak sebagai penopang sistem pemikiran itu secara keseluruhan, menjadi tanda yang disekitarnya tanda-tanda beredar. Menurut Derrida, kata-kata demikian tidak lebih dari sekedar fiksi. Dalam perdebatan mengenai bukti keberadaan Tuhan, para penganut agama, mereka yang percaya sering kali mengemukakan bukti sebagai berikut. Alam, baik alam semesta maupun tubuh manusia, memperlihatkan sebuah gerakan dan gerakan itu cendrung sangat teratur dan bekerja dengan sangat cermat. Para penganut agama kemudian mengajukan pertanyaan retorik: siapa yang menggerakkan, siapa yang mengatur dengan sedemikian cermat. Jawabannya tentu saja Tuhan. Dan, Tuhan, sebagai pengatur dunia, tidak mungkin menjadi bagian dari dunia itu. Tuhan harus berada diluar aturan. Begitu juga, jika secara manusiawi, ditempatkan sebagai sangkan paraning dumadi, sebagai asal dan tujuan, sebagai sumber makna dari seluruh pikiran dan tingkah laku manusia di dunia. Tuhan, dalam hal itu pun, beada diluar struktur kebudayaan, membentuk strukturnya tersendiri, yaitu yang disebut infrastruktur. Struktur ekonomi itu sendiri dikatakan ditopang oleh kekuatan yang lain, yang juga berada diluarnya, yaitu apa yang disebut Materi. Demikian kira-kira contoh yang dapat menjelaskan secara sederhana apa yang dimaksudkan oleh Derrida di atas. Makna-makna tertentu ditempatkan oleh ideologi-ideologi sosial pada posisi yang istimewa, misalnya kemerdekaan, otoritas, dan tatanan. Kadang-kadang makna-makna itu dilihat sebagai asalusul dari semua yang lain, menjadi sumber yang darinya makna-makna lain itu mengalir. Namun, hal itu merupakan satu cara berpikir yang problematik karena makna-makna itu menjadi mungkin hanya jika makna-makna yang lain sudah ada sebelumnya. Sulit untuk berpikir mengenai asal-usul tanpa bergerak melampauinya. Pada saat yang lain, makna-makna diatas dipahami sebagai tujuan yang kearahnya semua makna yang lain harus menuju. Teleologi merupakan suatu cara penataan dan peningkatan makna-makna dalam sebuah hierarki signifikasi. Derrida menyebut metafisika seetiap cara berfikir yang tergantung pada sebuah fondasi yang tidak bisa dibantah, sebuah prinsip uatama atau dasar yang di atasnya seluruh hierarki makna dapat didekonstruksi. Menurutnya, jika diteliti dengan cermat akan terbukti bahwa prinsip pertama yang demikian dapat didekonstruksi. Prinsip-prinsip pertama sejenis ini ditentukan oleh
apa yang
dieksklusinya, oleh sejenis oposisi berpasangan. Deskonstruksi adalah nama suatu operasi kritik yang dengannya oposisi-oposisi yang demikian dapat secara partial dirusakkan. Menurut Derrida, semua oposisi konseptual dari metafisika mempunyai acuan utama yang berupa keberadaan dari yang ada (presence of present). Oposisi-oposisi berpasangan itu meliputi, antara lain, oposisi antara
penanda dan petanda, yang terindera dan yang terpahami, tuturan lisan dan tulisan, tutur dan bahasa, diakroni dan sinkroni, ruang dan waktu, pasivitas dan aktivitas, dan sebagainya. Oposisi berpasangan, menurut Derrida, merepresentasikan sebuah cara melihat yang bersifat ideologis. Ideologi-ideologi seringkali menggambarkan batas-batas yang kaku antara apa yang dapat diterima dengan apa yang tidak, antara diri dan non-diri, antara kebenaran dan kepalsuan, yang masuk akal dan yang tidak masuk akal, yang berakal dan yang gila, yang sentral dan yang marginal, permukaan dan kedalaman. Derrida menyarankan agar kritikus berusaha merontokkan oposisi-oposisi yang dengannya orang sudah terbiasa untuk berfikir dan yang menjamin bertahan hidupnyametafisika dalam pikiran orang; materi/roh, subjek/objek, selubung/kebenaran, tubuh/jiwa, teks/makna, interior/eksterior, representasi./presentasi, penampakan/esensi, dan sebagainya. Dengan menggunakan metode dekontruksi, kritikus dapat mengurai atau mempereteli oposisi-oposisi itu, menunjukkan bagaimana satu term sebenarnya terimplikasikan, inheren di dalam term lain. Derrida mengganggap fonosentrisme-logosentrisme berhubungan dengan sentrisme atau keberputusan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk menempatkan keberadaan sentral pada awal dan ahir. Kerinduan pada suatu pusat itulah, suatu tekanan yang mengotorisasi, yang membentuk oposisi-oposisi hierarkis. Satuan-satuan yang superior dalam oposisi itu termasuk dalam keberadaan, logis, sedangkan yang inferior berfungsi untuk menentukan statusnya dan menandai kejatuhannya.
c.
Memahami Metafora Studi metafora menjadi penting begitu disadari bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan
realitas. Perhatian kemudian diarahkan pada persoalan cara peralatan-peralatan retorik membentuk pengalaman manusia, membentuk penilaian manusia, persoalan fungsi bahasa dalam mengangkat kemungkinan-kemungkinan dari jenis-jenis tindakan tertentu dan mengeksklusifkan praktibilitas yang lain. Bahasa sebenarnya bekerja dengan mentransfer atau memindahkan satu realitas ke realitas yang lain sehingga benar-benar bersifat metaforik. Sifat metaforik bahasa itu tidak hanya terdapat umpamanya dalam ragam bahasa ilmiah, melainkan bahkan dalam bahasa sehari-hari, misalnya dengan mendefinisikan organisasi kehidupan manusia secara spasial, kelompok masyarakat yang tinggi dan yang rendah. Kadang-kadang, kehidupan juga digambarkan seperti sebuah bangunan sehingga disebut struktur dasar dan struktur permukaan atau atas.
Makna perubahan dan metafora merupakan salah satu cara yang memungkinkan perubahan dan pengembangbiakan makna itu. Pertama, tidak ada batasan bagi jumlah metafora yang dapat dan susah dihasilkan bagi sebuah gagasan tertentu. Kedua, metafora merupakan sejenis ikatan-ganda retorik dengan mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain. Metafora mengevokasi relasi-relasi dan membuat relasi-relasi itu menjadi urusan pendenganr atau pembaca. Membaca, pemahaman mengenai metafora merupakan usaha yang sangat kreatif yang tidak kalah kreatifnya dengan membuat metafora, dan sedikit dipandu oleh aturan-aturan. Metafora ada di mana-mana dari tidak bisa dimusnahkan. Implikasi yang amat luas dari metafora waktu adalah uang merupakan salah satu contoh kecenderungan demikian. Orang kemudian mengalami waktu seperti uang, sesuatu yang dapat dijadikan modal, dapat dibelanjakan atau dihabiskan, dapat ditabung, dan sebagainya. Waktu mengalami kuantifikasi seperti uang. Metafora mempunyai efek politis kerena ia dapat menentukan cara manusia berpikir mengenai dan bertindak terhadap kehidupan. Satu masyarakat dan kebudayaan, pada masa tertentu, menggambarkan kehidupan dengan terminologi perang fisik: ada kawan, ada lawan, ada kalah, ada menang, dan sebagainya. Masyarakat yang lain menggambarkannya dalam terminologi perdagangan. Masyarakat lainnya lagi, atau setidaknya masyarakat yang sama dalam ruang dan waktu yang berbeda, menggambarkannya dengan terminologi pembebasan. Ada juga dalam terminologi pembangunan fisik ataupun ekonomi. Ungkapan silaturahmi politik yang sempat populer di Indonesia beberapa waktu yang lalu bisa disebut sebagai usaha menggambarkan kehidupan dalam terminologi agama (islam).
d.
Metafora dan Dekonstruksi Kritik dekonstruktif mengambil metafora dengan sungguh-sungguh. Karena metafora tidak
dapat direduksi menjadi kebenaran, strukturnya sendiri merupakan bagian teks. Prosedur dekonstruktif mengarahkan perhatiannya pada satu titik ketika suatu teks menutupi struktur gramatikalnya sendiri. Derrida sudah memberikan sebuah metode membaca cermat sebuah teks yang mirip dengan pendekatan-pendekatan dekonstruktif
itu,
psikoanalitik
sesudah
terhadap
mengintrogasi
gejala-gejala
teksnya,
neurotik.
menghancurkan
Pembacaan
cermat
pertahanannya,
dan
menunjukkan bahwa seperangkat oposisi berpasangan ditemukan di dalamnya. Oposisi itu tersusun tersusun secara hierarkis dengan menempatkan salah satu pasang sebagai yang istemewa.
Dekonstruktur kemudian menunjukkan bahwa identitas yang istemewa itu tergantung pada pengeksklusianya atas yang lain dan menunjukkan bahwa keutamaan justru terletak pada yang justru disubordinasikan. Prosedur Derrida adalah meneliti dengan sangat cermat momen yang tidak terputuskan, pemlesetan yang hampir tidak tertangkap, yang, jika tidak, akan membuat terlewatkan oleh pembaca. Yang ia coba lokasikan bukanlah sebuah momen ambiguitas atau ironi yang biasanya terintergrasikan ke dalam sistem makna teks yang terpadu, melainkan sebuah momen yang secara murni mengancam eksistensi sistem teks itu. Menurut Derrida, kerja kritikus tidak cukup hanya dengan menetralisasikan oposisi sebagaimana yang dilakukan Hegel melalui konsep sintesisnya melainkan dengan melakukan pembalikan dan pemlesetan. Dalam oposisi-oposisi filosofis yang terkemuka, selalu ada hierarkie itu harus diplesetkan, anggota pasangan yang menjadi pemenang harus ditempatkan “dalam penghapusan”. Metafora merupakan salah satu jalan bagi Derrida untuk menemukan karakter teks yang mengandung dekonstruksi-diri. Teks biasanya dibangun bukan atas dasar argumen logis, melainkan atas dasar metafora. Dengan berangkat dari metafora ini, dan mengembangkan sampai pada batasnya yang maksimal, kritik dekonstruktif dapat menemukan kerusakan pada argumenlogisnya.
8.3.1.9 Contoh Analisis Dekonstruksi Sebagaimana halnya contoh analisis psikoanalisis Lacan, contoh analisis dekonstruksi Derrida ini dibagi menjadi dua ruang lingkup, yaitu analisis makna tekstual dan analisis makna intertekstual. Analisis makna yang pertama akan menggunakan puisi sebagai bahannya, sedangkan analisis yang kedua menggunakan prosa.
a.
Analisis Makna Tekstual
•
SIMPHONI
“Aku tidak bermain bagi babi-babi” gerutu Bethoven Kata yang terdiri di tengah abad Di bilang dua puluh Dan menyangka harijadi
Telah tertinggal jauh, makin samar: masa asal, mana tujuan mana jumlah, mana kadar, makin samar: mana mulia, mana hina mana kemajuan, mana kemunduran Katakanlah, Adakah kemajuan kalau kita lebih banyak mendirikan bank dan ruang gudang dari candi atau masjid, kalau kita lebih menimbang kasih orang dengan uang dari hati, kalau kita lebih percaya pada barang dari bayang,-- Atau kemunduran?— Katakanlah mana lebih mulia: kepala atau kaki sifat ilahi atau alat kelamin semua melata dibidang demokrasi. Mana lebih dulu: Tuhan atau aku Dia tak terbayang kalau aku tak berangan Tuhan dan aku saling berdahulu seperti ayam dengan telur Siapa dulu? Siapa manusia pertama: Adam, kayumerz atau Manu, Kitab mana yang harus dipercaya: Qur’an, Avesta atau Weda Hindu. Kapan dunia ini bermula: di Firdaus, di Walhalla atau Jambudwipa Mengapa tidak di sini, di waktu ini Dan lahir seorang Adam disetiap detik dan tempat Dan terdengar Kalam Tuhan disetiap sudut didarat Aku juga Adam yang terusir dari Firdaus karena dosa, karena kelemahan karena goda perempuan Dunia berhenti dan Bermula lagi
Mana lebih kekal: Tubuh atau nyawa Mana lebih haram: Bumi atau cita Mana lebih keramat: Angka atau arti Arti itu keramat Karena tersimpan di hakikat Juga angka Meski jarang lagi Yang gemetar melihat angka Gasal: tiga, tujuh Atau tiga belas Yang tersurat pada dada Tanda jasad Angka ganjil, angka keramat Ganjil seperti letak empu Terselit di antara jari Ganjil seperti puncak gereja Yang menuju kea rah mega Penglihatan ini makin samar Makin samar.
Langkah analitik pertama yang harus dilalukan terhadap puisi di atas tentu saja mengumpulkan oposisi berpasangan yang terkandung di dalamnya. Dengan langkah ini segera dapat diperoleh serangkaian oposisi, yaitu sebagai berikut. 1.
Oposisi antara asal dan tujuan,
2.
Jumlah dengan kadar,
3.
Mulai dengan hina
4.
Kemajuan dengan kemunduran,
5.
Bank dan gudang dengan candi atau masjid,
6.
Uang dengan hati,
7.
Barang dengan baying,
8.
Kepala dengan kaki,
9.
Sifat ilahi dengan alat kelamin,
10.
Tuhan dengan aku,
11.
Ayam dengan telur,
12.
Tubuh dengan nyawa,
13.
Bumi dengan cita,
14.
Angka dengan arti.
Selain itu, terdapat pula posisi yang implicit, yang hanya menyebut satu satuan dengan mengimplikasikan satuan yang lainnya, yaitu seperti di bawah ini. 15.oposisi antara dulu dan kemudian, 16.Pertama dengan berikutnya, 17.Bermula dengan berakhir 18.Kekal dengan fana, 19.Haram dengan halal 20.Keramat dengan profane, 21.Ganjil dengan genap, 22.Abad dua puluh dengan hari jadi. Kedua puluh oposisi itu, dari segi muatan semantiknya, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu oposisi yang mengimplikasikan nilai dan oposisi yang hanya menggambarkan entitas yang netral. Oposisi yang pertama akan tersusun secara vertical-hierarkis, sedangkan yang lain horizontal-setara. Yang termaksud ke dalam oposisi yang pertama, yang mengimplikasikan nilai itu adalah oposisi (3), (15), (18), (19). Oposisi yang termasuk dalam jenis yang kedua adalah oposisi (1), (2), (5), (6), (7), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (14). Selain itu, terdapat opsisi yang tersamar, yang mungkin berada di antara kedua jenis tersebut, yaitu oposisi (4) dan (20). Kedua puluh oposisi di atas, termasuk yang berada di antaranya, tidak terpisah satu sama lain.Oposisi jenis kedua yang sebenarnya secara linguistic netral, menjadimengalani proses penilaian karena oposisi jenis tersebut dimasukan ke dalam konteks oposisi jenis yang pertama.
Oposisi (8) dan (9), misalnya, masuk kedalam oposisi (3). Oposisi (12) masuk kedalam oposisi (18), sedangkan oposisi (19) mencangkup oposisi (13). Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa seluruh pasangan oposisional di atas tidak hanya tersusun secara horizontal, sedar perbedaan yang netral, melainkan juga tersusun secara hierarkis. Mencari hierarki antarpasangan oposisional itulah yang merupakan langkah kedua dari analisis dekonstruksi ini. Tidak mudah untuk menumukan hierarki dari pasangan oposisional tersebut karena, sejak semula, puisi ini sudah menunjukan betapa seluruh pasangan oposisional yang dinyatakan di atas sudah menjadi samar, sulit untuk diidenifikasi dan dengan demikian dibedakan, baik secara vertical maupun horizontal. makin samar: masa asal, mana tujuan mana jumlah, mana kadar, makin samar: mana mulia, mana hina mana kemajuan, mana kemunduran Penglihatan ini makin samar Makin samar.
Namun, jika diamati dengan cerat, hirarki itu sebenarnya tetap ada walaupun dinyatakan dengan cara yang sangat tersirat. Perhatian, umpamanya, bait-bait berikut. Mana lebih keramat: Angka atau arti Arti itu keramat Karena tersimpain di hakikat Juga angka Meski jarang lagi Yang gemetar melihat angka Gasal: tiga, tujuh Atau tiga belas Yang tersrat pada dada Tanda jasad Angka ganjil, angka keramat Ganjil seperi letak empu Terselit di antara jari Ganjil seperti puncak gereja Yang menunjukan kea rah mega
Setidaknya ada dua hal yang terimplikasikan dalam kutipan terakhir di atas. Pertama, puisi ini hanya mempersoalkan masalah kekeramatan, sedangkan masalah keprofanan tidak dipersoalkan, hanya
disiratkan.
Kecenderungan
demikaian
dapat
diartikan
bahwa
keprofanan
itu,
mematginalkannya. Kedua, puisi ini mempertentangkan angka dengan arti. Namun, yang dibicarakan hanya angka yang ganjil, sedangkan angka yang genap dieksklusikan, dianggap bukan persoalan. Lebih jauh, puisi ini mengandung sebuah sub-teks yang kelihatannya hanya hiasan,tetapi dapat menjadi kunci dari susunan hierarkis dari seluruh oposisi berpasangan yang ada di dalamnya. Sub-teks itu adalah kutipan pernyataan Beethoven yang terletak di sudut kanan atas, di antara judul dengan isi. Di dalam kutipan itu tampak jelas susunan hierarkis antara ketinggian adalah metafora ruangan yang terkait dengan angka keramat, yaitu puncak gereja yang mununjukan ke arah mega, kearah ketinggihan. Dalam metafora ini tidak terdapat kesamaran antara posisi yang tinggi dengan yang rendah : posisi itu amat jelas dan nyaris alamiah, atau setidaknya perbedaan professional antara mega dan bumi tidak dipersoalkan lebih jauh oleh posisi ini. Yang keramat adalah yang tinggi, mulia, menyerupai mega, sedangkan yang profane adalah yang rendah, hina, menyerupai bumi. Apabila yang keramat lebih tinggi dibandingkan dengan yang profane, arti bias dikatakan lebih keramat daripada angka. Puisi diatas meperlihatkan bagaimana kekeramatan arti bersifat sempurna, sama sekali idak problematic. Halnya berbeda daripada angka. Angka tidak sepenuhnya keramat. Hanya angka ganjil yang keramat, sedangkan angka genap tidak, dieksklusi, dimarginalkan. Oleh Karena itu, arti jelas lebih keramat daripada angka. Identifikasi yang demikian dengan sendirinya mengimplikasikan bahwa angka pun menduduki posisi yang lebih rendah daripada arti. Angka mengimplikasikan jumlah, kuantitas, dan sebagaimana yang tampak dalam oposisi (2), jumlah dipertentangkan dengan kadar yang bersifat kualitatif. Jumlah, dengan demikian, menduduki posisi yang lebih rendah dibandingkan kadar. Oleh karena puncak gereja keramat, secara metonimik seluruh gereja juga keramat. Oleh karena gereja adalah tempat ibadah yang mengimplikasikan tempat ibadah yang lainnya, misalnya masjid, masjid pun menjadi keramat. Apabila candid an masjid keramat, satuan yang dipertentangkan dengannya dalam oposisi (5), yaitu bank dan gudang menjadi satuan yang profane. Sampsiu disini tampak bahwa pasangan oposisional berikut ini tersusun secara hierarkis dengan menempatkan apa yang disebelah kiri dalam posisi yang profane, rendah, sedangkan yang disebelah kanan, keramat, sacral, tinggi.
Mana lebih keramat : Angka atau arti Mana jumlah, mana kadar, Bank dan ruang gudang Dari candi atau masjid,
Dari segi tipografi dan strukur linguistiknya, puisi ini menciptakan semacam paralelisme antara pasangan-pasangan yang beroposisi di atas. Paralelisme dalam struktur linguistic dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah ini : Katakanlah, Adakah kemajuan Kalau kita lebih banyak mendirikan Bank dan ruang gudang Dari candi atau masjid Kalau kita lebih menimbang kasih orang Dengan uang dari hati, Kalau kita lebih percaya pada barang Dari baying, --atau kemunduran?— Katakanlah, Ana lebih mulia : Kepala atau kaki Sifat ilahi atau alat kelamin Semua melata di bidang demokrasi Mana lebih kekal : Tubuh atau nyawa Mana lebih haram Bumi atau cita Mana lebih keramat : Angka atau arti
Dalam kutipan pertama, kesejajaran atau paralelisme tampak pada anak kalimat yang diikat dengan pasangan antara kata penghubung bersyarat, kalau, dengan kata pe,banding dari. Kedua anak kalimat itu tidak hanya disejajarkan oleh kata penghubung yang digunakan, melainkan juga disatukan oleh induk kalimat yang sama, yang mengikat keduanya, yaitu yang dimulai dengan kata Tanya adakah. Kesejajaran itu, lebih jauh lagi, mengimplikasikan kesejajaran makna antara katakata dan pola urutan yang sejajar pula : kalau bank dan ruang gudang dari candi atau masjid, kalau uang dari hati. Bank dan gudang menajadi ekuivalen dengan uang, sedangkan masjid dan candi menjadi ekuivalen dengan hati. Karena masjid masuk dalam posisi yang tinggi, hati pun dalam posisi yang tinggi. Sebaliknya, bank dan ruang gudang serta uang berada pada posisi yang lebih
rendah. Kesejajaran struktur kalimat itu juga tampak pada dua kutipan berikutnya, yaitu antara kepala atau kaki dan sifat ilahi atau alat kelamin, antara tubuh atau nyawa dan bumi atau cita dan angka atau arti. Ditambah dengan dimensi tipografisnya, satuan yang ada disebelah kiri menadi parallel dengan satuan lainnya yang terletak di sisi yang sama. Begitu juga sebaliknya. Namun, dalam kasus dua kutipan yang teakhir, tampak kecenderungan paralelismemakna yang berentangan atau berkebalikan. Karena gereja keramat, sifat illahi juga keramat. Kekeramatan, dengan demikian, terkandung dalam satuan yang ada di sebelah kiri dalam kutipan yang kedua. Sebaliknya, di dalam kutipan yang ke tiga kekeramatan justru terdapat dalam satuan yang ada di sebelah kanan. Pertentangan yang demikian tampaknya konsisten dengan gagasan pokok dalam puisi ini, yakni kesamaran. Kesamaran mengimplikasikan makna kejungkirbalikan, yang kanan jadi kiri atau sebaliknya, yang tinggi jadi rendah atau sebaliknya. Paralelisme kiri dan kanan di atas adalah paralelisme spasial yang dimungkinkan oleh cara penulisan puisi secara tertulis. Namun, karena bahasa juga bersifat linear, mengikuti pola urutan yang mewaktu, temporal, paralelisme itu dapat pula menjadi paralelisme temporal antara yang terdahulu dan yang kemudian. Yang diletakkan di sebelah kiri adalah yang terdahulu, sedangkan yang disebelah kanan yang kemudian. Dalam kasus kutipan pertama, yang terdahulu adalah yang di atas, sedangkan yang kemudian di bawah. Paralelisme itu tampak pula dalam oposisi yang lainnya, misalnya oposisi (1) dan (2) yang terakum dalam kutipan berikut. Makin samar Mana asal, mana tujuan Mana jumlah, mana kadar, Makin samar : Mana mulia, mana hina Mana kemajuan, mana kemunduran
Pada bait yang tedahulu dari kutipan yang kemudian ini terdapat paralelisme antara mana asal dan mana jumlah dan antara mana tujuan dan mana kadar. Dalam bait berikutnya terjadi paralelisme antara mana mulia dan mana kemajuan dan mana hina dan mana kemunduran. Asal lebih rendah daripada tujuan, jumlah lebih rendah daripada kadar. Itulah yang terimplikasikan dalam bait yang terdahulu. Dalam bait yang kemudian implikasi yang muncul adalah kemajuan lebih mulia daripada kemunduran, kemajuan lebih tinggi daripada kemunduran.
Semua uraian di atas memperlihatkan bahwa di dalam puisi ini memang oposisi-oposisi yang muncul tidak hanya tersusun secara horizontal, melainkan juga vertical, membentik hierarki. Susunan hierarki keseluruhan oposisi itu dapat digambarkan sebagai berikut. TINGGI/MULIA/MAJU/HALAL TUJUAN KADAR MASJID CANDI HATI BAYANG KEPALA ILLAHI NYAWA HARIJADI RENDAH/HINA/MUNDUR/HARAM JUMLAH BANK GUDANG UANG BARANG KAKI ALAT KELAMIN AKU TUBUH BUMI ANGKA (GENAP) ABAD DUA PULUH
ASAL
Kesimpulan mengenai hierarki di atas tidak dengan sendirinya berarti menihilkan gambaran mengenai kesamaran yang diungkapakan oleh puisi ini, termasuk gejala penjungkir-balikan posisi spasial dan temporal yang sudah dikemukakan di atas. Kesamaran itu sesungguhnya mengimplikasikan sesuatu yang lain yang menadi pasangan oposisionalnya baru yang mengatasi semua pasangan oposisional yang ada. Sesuatu yang lain itu tentu saja adalah kejelasan. Kesamaran digambarkan sebagai sesuatu yang terjadi di masa kini, di abad dua puluh, sedangkan kejelasan ada di masa lalu, ketika orang masih mengenali angka-angka keramat. Juga angka Meski jarang lagi Yang gemetar melihat angka Gasal : tiga, tujuh Atau tiga belas Yang tersurat pada dada Tanda jasad
Karena masa lalu masa keramatdan karena keramat menduduki posisi yang tinggi dalam hierarki oposisi-oposisi dalam puisi ini, masa lalu itu menjadi berkedudukan lebih tinggi dari pada masa kini. Kejelasan pun menjadi lebih tinggi dari kesamaran. Dunia ketika orang masih bisa mengenali perbedaan, mengenali apa yang mulia dari yang hina, dunia ketika orang masih bisa mengenali hierarki, menjadi lebih tinggi daripada dunia ketika orang tidak lagi mampu mengenali semua itu, dunia ketika semua hal menjadi melata di bawah demokrasi, dunia yang demokratis, yang memandang semua hal dalam kehidupan sebagai materi, sebagai tubuh, sebagai angka-angka, yang sama rata. Dunia babi-babi yang tidak bisa mengerti music klasik semacam karya Beethoven yang tinggi atau menunjuk pada ketinggian seperti puncak gereja. Tahap ketiga dari analisis ini adalah tahap pembalikan hierarki dan perancuan atau penghapusan cara berpikir yang dibingkai oleh oposisi berpasangan. Termasuk dalam tahap tiga ini adalah penolakan terhadap logosentrisme dengan cara merancukan dan menunda oposisi anatara pusat dengan pinggiran. Dalam hal ini yang pertama perlu disimak adalah kutipan berikut. Katakanlah, Adakah kemajuan Kalau kita lebih banyak mendirikan Bank dan ruang gudang Dari candi atau masjid, Kalau kita telah menimbang kasih orang Dengan uang dari hati, Kalau kita lebih percaya pada barang Dari baying,--atau kemunduran?-
Jawaban atas pertanyaan yang terdapat di baris terakhir dari kutipan itu jelas positif. Seperti telah dikemukakan, candi, asjid, dan hati, serta bayang yang merupakan satuan-satuan oposisi yang posisinya terletak di bagian atas susunan hierarkis oposisi-oposisi dalam puisi ini, Jika yang di atas dikalahkan oleh yang di bawah, oleh bank, ruang gudang, uang, dan barang, yang terjadi bukannya peningkatan, melainkan kejatuhan. Perubahan dari kejelasan, pengetahuan, kepada kesamaran yang mengarah kepada kegelapan pun, tentu dipahami sebagai kemunduran, bukan kemajuan. Dan, kejatuhan dan kemunduran tersebut sekaligus mengimplikasikan adanya keadaan krisis yang hanya dapat diatasi dengan memberikan aura nilai ketinggian pada barang-barang yang rendah, pada babiabi, pada “aku”.
Kapan dunia ini bermulai : Di Firdaus, di Walhalla atau Jambudwipa
Mengapa tidak di sini, di waktu ini Dan lahir seorang Adam di setia detik dan tempat Dan terdengar kalam Tuhan di setiap sudut di darat Aku juga Adam Yang terusir dari Firdaus Karena dosa, karena kelemahan Karena goda perempuan
Dengan cara demikian, yang jatuh menjadi bangun kembali, yang mundur dan berhenti mulai bergerak lagi. “Dunia berhenti dan bermula lagi”. Inilah tahap terakhir dari analisis dekonstruktif, susunan hierarkis dari serangkaian oposisi berpasangan yang sudah dikemukakan di atas, tiba-tiba membatalkan dirinya sendiri, menunda struktur makna yang dibangunnya sendiri. Perbedaan atau oposisi horizontal antaragama dicairkan, ketinggian nilai direndahkan, keilahian dijadikan sesuatu yang manusiawi,keluasan semesta disempatkan ke dalam pengalaman subjektif individu : aku. Semuanya menjadi sama rata di bidang demokrasi. Dan, dalam kesamarataan itu, tak diperlukan perbedaan, baik yang horizontal maupun vertical. Ketika tak lagi ada perbedaan itu, tidak pula ada lagi kesamaran karena kesamaran adalah ketidakmampuan untuk membedakan.
b.
Analisis Makna Intertekstual Novel perburuan karya pramoedya Anantatur berisi kisahpejuangan kaum muda Indonesia
dalammerebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang. Hardo, yang bisa dianggap sebagai tokoh utama dalam novel ini, digambarkan sebagai pemuda yang berasal dari keluarga priyayi tinggi, yang rela mengorbankan kepriyayiannya, janji masa depan yang enak bukan hanya karena latar belakang kepriyayiannya itu, melainkan juga karena keterlibatannya dalam institusi militer Jepang yang terhormat dan berwibawa, Peta. Lebih jauh, keterlibatannya dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa kolonial Jepang, yang kemudian membuatnya diburu oleh penguasa kolonial itu, tidak hanya membuatnya kehilangan janji masa depan yang cerah, melainkan bahkan membuatnya harus berpisah dan dipisahkan dari kekasihnya, wanita yang sangat dicintainya, Ningsih. Meskipun akhirnya Hardo bebas dari status sebagai perburuan karena Jepang berhasil dikalahkan oleh Sekutu dan bahkan menyerah dalam menghadapi perlawanan pemuda dan rakyat Indonesia, ia tidak dengan sendirinya dapat memperoleh kembali apa yang sebelumnya sudah
terlepas dari dirinya. Kemerdekaan tidak memberikan janji yang pasti bagi masa depannya. Ningsih sendiri mati tertembak sehingga Hardo harus berpisah dengannya untuk selama-lamnya. Novel ini dimulai dengan gambaran yang kontras dan oposisional antara rumah lurah yang kaya, yang sedang mengadakan pesta sunatan anaknya dengan menanggap pertunjukkan wayang, dengan sebarisan rakyat kecil yang miskin, para pengemis yang kurus kering, kelaparan, yang berdiri di jalan yang ada di depan rumah lurah itu. Gambaran ini tentu saja dengan segera membentuk oposisi antara priyayi (desa) dan wong cilik (rakyat kecil). Pasangan oposisional yang lain, yang terlibat dalam gambaran tersebut, adalah oposisi antara kesenian dan ekonomi, hiburan dan kelaparan. Juga terdapat oposisi lain yang terimplikasikan di dalamnya, yaitu oposisi antara kehinaan dan kemuliaan yang bersifat hierarkis. Namun, sejak semula oposisi itu problematic. Salah seorang anggota keluarga lurah itu, yaitu anak bungsunya, yang justru sedang dirayakan pesta sunatnya, merasa tidak berbahagia, merindukan sesuatu yang lain, yang ada di lingkungan pengemis itu. Ia tidak puas dengan posisinya sebagai anak priyayi yang kaya, mulia, tinggi, dan berusaha bergabung dengan rombongan pengemis yang miskin, hina, rendah. Terjadi semacam proses demokratisasi di dalamnya. Kebahagiaan tidak terletak di rumah priyayi yang serba enak, melainkan di lingkungan pengemis yang miskin, kelaparan, dan menderita. Sebaliknya, di lingkungan pengemis yang sedang berdiri atau duduk di depan rumah lurah itu, yang sedang menadahkan tangan mengharapkan sisa makanan dari pesta itu, tidak semuanya pengemis. Diantara mereka ada seorang laki-laki, yang kurus kering, tetapi tidak menadahkantanganmengharapkan sisa makanan. Ia adalah Hardo, pemuda keturunan priyayi yang sedang jadi buruan Jepang seperti yang sudah dikemukakan. Hardo inilah yang diinginkan oleh anak yang sedang disunat di atas, bukan pengemis yang lain. Karena percaya ada Hardo di kalangan pengemis tersebut, sang lurah segera pergi keluar rumah, menyusul dan menemuinya.Memang ada hubungan antara lurah itu dan Hardo. Hardo adalah kekasih Ningsih, anak si lurah. Dulu, sebelum menjadi buronan, Hardo sering ke rumahnya, sudah menjadi seperti keluarga sendiri bagi si lurah dan anak bungsunyadi atas. Hardo pernah menjadi calon menantu kebanggannya tidak hanya karena asal-usul keluarganya yang berkedudukan lebih tinggi daripada si lurah, melainkan juga karena keanggotaannya di dalam peta, yang membuatnya berpenampilan sangat gagah. Si lurah menyusul Hardo, mengajaknya ikut dengannya, dating ke rumah, seprti dulu, tidak lagi menjadi pengemis. Namun, ajakan itu sebenarnya bukan ajakan yang tulus. Hanya rayuan yang menipu. Pak lurah sebenarnya tidak lagi menyenangi Hardo. Sejak Hardo menjadi buronan, ia
kehilangan semua status sosialnya. Dan, sejak ia kehilangan semua status social tersebut, si lurah tak lagi menginginkannya menjadi menantunya, bahkan melarang Ningsih untuk bertemu dengan kekasihnya tersebut. Si lurah mengajak Hardo ke rumah hanya untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri, yaitu untuk menenangkan dan menyenangkan hati anak dan istrinya yang terus merengek dan untuk menangkap Hardo, melaporkannya kepada Pemerintah Jepang sehingga ia akan dianggap berjasa dan memperoleh imbalan kemuliaan yang lebih tinggi. Dialog antara Hardo dan Pak Lurah yang terjadi segera sesudah peristiwa pesta sunatan di atas mengisyaratkan bahwa yang menjadi priyayi tetaplah Hardo, bukan Pak Lurah meskipun waktu itu Hardo sudah kehilangan segala atribut kepriyayiannya dan berpenampilan seperti pengemis. Ada ironi dalam gambaran mengenai dialog itu. Tokoh yang berpenampilan seperti pengemis tampak seperti seorang priyayi yang terhormat, sedangkan Pak Lurah yang berpenampilan priyayi tampak seperti pengemis yang menghamba, menjilat, mengemis-ngemis kepada Hardo. Penjungkirbalikan hierarki sebagaimana yang tergambar di dalam adegan di atas menjadi kecenderungan structural dari keseluruhan novel ini. Apa yang rendah menjadi tinggi, sedangkan yang tinggi menjadi rendah. Namun, yang rendah itu bukanlah rendah yang sebenarnya, sedangkan yang tinggi juga bukan yang sebenarnya tinggi. Kepriyayian lurah di masa kini dibayangi oleh kerendahan kedudukannya di masa lalu, sedangkan kerendahan Hardo di masa kini dibayangi oleh ketinggian statusnya di masa lalu. Ada bayang-bayang masa lalu yang kuat di dalam novel ini,termasuk di dalamnya, bayang-bayang cerita wayang yang merupakan kesenian masa lalu dan menjadi basis nilai-nilai foedal. Banyak ahli yang mengatakan bahwa novel ini memang mengandung banyak ilusi yang menunjuk kepada cerita wayang, misalnya A. Teeuw. Seperti sudah dikemukakan, di dalam novel ini wayang di tempatkan sebagai bagian dari kebudayaan periyayi yang tinggi dan mulia, yang dipertentangkan dengan keberadaan diri pengemis yang rendah dan hina, karena novel ini memperlihatkan kecenderungan membalikkan struktur hierarkis yang ada di dalamnya, posisi wayang pun menjadi ikut dibalikkan, menjadi rendah. Kerendahan wayang terletak pada kecenderungannya untuk jauh dari kenyataan kehidupan masyarakat, penuh dengan gagasan-gagasan abstrak mengenai kepahlawanan. Namun, cerita ini ternyata memperlihatkan pengaruh yang kuat dari cerita wayang. Adegan dialog dengan lurah sangat dekat dengan adegan pertarungan antara raksasa yang bernama Cakil dan satria seperti Arjuna. Perjalanan Hardo pun mendekati perjalanan tokoh satria dalam cerita wayang, tokoh yang sedang menjalani masa keprihatinan, harus mengembara dari hutan ke hutan, harus melakukan tapabrata sebagaimana yang juga dilakukan oleh Hardo. Dengan demikian, novel ini bisa dikatakan
mereproduksi, mengulang, apa yang justru ingin ditolaknya. Kecenderungan demikian tampak dari pilihan tokoh utama ceritanya sendiri. Tokoh utama cerita bukanlah tokoh yang berasal dari orang kecil, melainkan dari lingkungan priyayi. Oleh karena itu, cerita dalam novel ini menjadi cerita mengenai kehidupan dan perjalanan para priyayi. Penderitaan priyayi terjadi karena kehidupan sudah dikuasai oleh priyayi gadungan, sejenis Petruk Jadi Ratu seperti yang dilakonkan oleh Pak Lurah. Priyayi sejatinya sendiri sudah memudar, termarginalkan. Dan, novel ini seperti novel yang merindukan kembali masa lalu, merindukan lagi kepriyayian. Adapun nilai yang dianggap mendukung kepriyayian itu adalah nilai pengorbanan dan kesediaan berkorban, nilai drama yang membuat priyayi lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri sendiri. Sesudah pertemuannya dengan Pak Lurah itu, persembunyian dan penyamaran Hardo menjadi terbongkar. Pak lurah melaporkannya kepada Jepang, khususnya Karmin, bekas teman Hardo di Peta yang dianggap sudah mengkhianati teman-temannya dan kemudian mendapatkan kedudukan militer yang tinggi. Hardo diburu. Dalam pelariannya, pemuda tersebut sampai ke sebuah gubuk yang ada di tepi persawahan. Ketika masuk ke gubuk itu, ia bertemu dengan seorang tua yang sedang membakar jagung. Orang tua itu ternyata ayahnya sendiri yang sedang bersembunyi dari kejaran utang akibat keterlibatannya dalam perjudian. Si ayah terus bicara mengenai anaknya, berbicara menegenai kerinduan pada anaknya, berbicara mengenai nasibnya yang sudah dipecat dari kedudukan sebagai wedana , berbicara mengenai istrinya yang meninggal akibat menghilangnya Hardo. Meskipun kadang-kadang, dari dialog mereka, si ayah merasa bahwa Hardo adalah anaknya, tetapi si anak tetap merahasiakan identitasnya, menahan hatinya untuk tidak terpancing oleh kesedihan dan kerinduan si ayah. Inilah salah satu bentuk pengorbanan Hardo, pengorbanan untuk menahan perasaan, pengorbanan untuk sampai hati membiarkan ayahnya tersiksa dalam penderitaan. Kepentingan negara dianggap begitu penting dan begitu besar sehingga kepentingan pribadi menjadi tidak bermakna. Bahkan, kepada ayahnya pun ia tidak mau membuka identitasnya. Serombongan pemuda dalam pimpinan karmin sampai ke gubuk itu. Karmin bersembunyi. Si ayah, meskipun dalam ancaman yang sangat menakutkan dari kaki tangan Jepang itu, tetap berkeras mengatakan bahwa ia tidak bertemu dengan siapa-siapa, tetap berkeras untuk tidak mengatakan tempat persembunyian Hardo meskipun ia tidak tahu bahwa pemuda yang bersembunyi itu adalah anaknya. Setelah mendapatkan beberapa buah jagung bakar, para pemuda itu pergi dari gubuk tersebut. Hardo keluar. Ia terharu menyaksikan perlindungan yang diberikan oleh ayahnya, menyaksikan ayahnya dipukul oleh oleh tentara Jepang, tetapi ia tetap bertahan tidak menyatakan identitasnya pada ayahnya itu. Hardo meninggalkannya, menghilang dalam kegelapan malam.
Tinggal ayahnya di gubuk itu, dalam keadaan bingung, ragu, bertanya-tanya mengenai identitas anak muda tersebut. Pada siang harinya hardo bertemu dengan Dipo, teman seperjuangannya. Mereka terlibat dalam percakapan mengenai berita radio yang mengabarkan kekalahan Jepang melawan sekutu, mengenai kemungkinan perginya Jepang dari Indosnesia dalam waktu yang tidak lama lagi. Selain itu, mereka juga terlibat dalam pembicaraan mengenai Karmin, bekas sahabat mereka ketika di Peta, tetapi yang kemudian mereka anggap telah berkhianat. Dipo sangat membenci Karmin dan sangat berminat untuk membunuhnya. Akan tetapi, Dipo mencoba memahami posisi Karmin. Ia menegetahui persis kenapa Karmin tidak datang ketika mereka merencanakan untuk melarikan diri dari Peta. Hardo mencoba menjelaskan alasan Karmin itu, yaitu bahwa waktu itu Karmin sangat terpukul karena tunangannya menikah dengan seorang kepala Hokokai daerah. Namun, bagi Dipo alasan tersebut justru menunjukkan kelemahan Karmin, yaitu masih mempertimbangkan sentimen, perasaan, dalam perjuangan. Bagi Dipo, Hardo pun, dalam pembelaannya terhadap Karmin, mengidap penyakit yang sama : terlalu sentimental. Tuduhan Karmin itu tentu saja tidak menjelaskan sepenuhnya apa yang ada pada diri Hardo sebagaimana yang terbukti kemudian dan bahkan sudah terbukti sewaktu ia memperlihatkan kemampuannya melawan sentimentalisme waktu berhadapan dengan ayahnya. Sikap Hardo itu lebih merupakan sikap untuk dapat tidak hanya menghapuskan kepentingan pribadi, melainkan juga dendam yang berasifat pribadi sehingga dapat melihat persoalan dengan kepala dingin. Dalam hal ini kembali Hardo mempertunjukkan sifat kepriyayiannya yang terkendali. Bahkan, ketika ia mendapat berita bahwa ayahnya tertangkap, hardo hanya sebentar memperlihatkan keterkejutan dan terbawa perasaan. “Sebentar Hardo tampak terkejut. Kemudian tenang pula suasana di bawah lunas jembatan itu. Matanya yang tiba-tiba jadi jalang pun menjadi tenang kembali sekarang.”
Karmin ternyata memang masih memperlihatkan rasa setia pada Hardo, juga rasa penyesalan atas pengkhianatannya. Justru Pak Lurah yang mencoba membuka rahasia Hardo dan ketika disiksa oleh Jepang ia bahkan membocorkan tempat tinggal anaknya yang menurutnya, akan dikunjungi Hardo. Oleh karena perkataan lurah tersebut, Karmin segera mengunjungi Ningsih untuk memperingatkannya akan rencana kedatangan tentara Jepang untuk menangkapnya. Namun, sebelum tentara Jepang datang, Hardo dan Dipo datang lebih dahulu. Dipo mencoba menyerang Karmin dan Karmin sendiri sudah bersedia menyerahkan nyawanya, tetapi Hardo mencegahnya. Sebelum pertengkaran itu selesai, pasukan Jepang datang.Namun, sebelum pasukan Jepang
melakukan penangkapan, massa rakyat datang untuk menyerang setelah mendengar bahwa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, Jepang sudah menyerah pada sekutu. Tembak menembak terjadi. Hardo mencoba mencegah penganiayaannya massa atas Karmin dan tentara Jepang yang sudah menyerah. Namun, ia gagal. Bahkan, Ningsihikut menjadi korban dari persengketaan tersebut. Matinya Ningsih, peristiwa kekerasan dan amuk massa yang sangat emosional dalam menyelesaikan masalah, menimbulkan pesimisme pada Hardo menhenai masa depan Indonesia yang merdeka.Nilai-nilai kepriyayian dari masa lalu yang menyangkut pengorbanan, kemampuan menahan diri dan emosi, sekan lenyap sudah. Yang ada hanyalah gelegak emosi rakyat yang marah, penuh dendam dan kekerasan. Akhir cerita ini kembali memperlihatkan bagaimana novel ini mereproduksi apa yang sebenarnya mau ia tolak melalui penjungkirbalikan relasi oposional yang hierarkis yang sudah dikemukakan sebelumnya.
8.3.1.10 a.
Teori Wacana Foucault
Pandangan Foucault mengenai Sejarah Foucault menolak segala bentuk penteorian yang menyeluruh. Ia menghindari bentuk-
bentuk analisis yang menotalisasikan dan kritis terhadap sistematisitas. Meskipun karya-karyanya tidak membentuk sebuah sistem, ada suatu koherensi yang berakar dari kenyataan bahwa karyakarya Foucault didasarkan pada pandangan mengenai sejarah yang diwarisinya dari Nietsche yang dianggapnya sudah membuat garis besar sebuah konsep sejarah yang disebut geneologi. Buku Nietsche yang berjudul On the Genealogy of Morals merupakan sebuah usaha untuk mendelegitimasi masa kini dengan memisahkannya dari masa lalu. Inilah yang dicoba kerjakan Foucault juga. Berbeda dari sejarawan yang mencoba melacak sebuah garis keniscayaan, Foucault memutuskan hubungan masa lalu dengan masa kini dan, dengan menunjukkan keasingan masa lalu, ia meralifkan dan menggoyahkan legitimasi masa kini. Foucault menolak model teleologis Hegelian, yang di dalamnya satu mode produksi mengalir secara dialektik dari mode produksi yang lain, dengan memilih cara kritik Nietsche melalui penyajian keberadaan. Sejarawan Nietschean bermula dengan masa kini dan kembali ke masa lalu sampai sebuah perbedaan terlokalisasikan. Kemudian, ia akan bergerak kembali ke masa kini, melacak transformasi dan berusaha unutk mempertahankan, baik diskontinuitas maupun kontinuitas. Demikian pula cara kerja Foucault. Wacana/praktik-wacana/ praktik yang asing
dieksplorasi sedemikian rupa sehingga negativitasnya dalam hubungan dengan masa kini meledakkan rasionalitas fenomena yang dianggap sudah demikianlah adanya, yang tidak dipersoalkan lagi. Ketika teknologi kekuasaan masa lalu dielaborasi dengan rinci, asumsi-asumsi masa kini yang menempatkan masa lalu sebagai irrasional menjadi runtuh. Sehubungan dengan itu, analisis genealogis berbeda dari bentuk-bentuk analisis historis tradisional. Jika sejarah tradisional atau “total” menyisipkan peristiwa-peristiwa ke dalam sistemsistem penjelasan besar dan proses-proses yang linear, merayakan momen-momen dan individuindividu yang besar dan berusaha mendokumentasikan sebuah titik asal-usul, analisis genealogis mencoba membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa-peristiwa, keluar dari yang sperktakuler demi yang terdiskreditkan, teringkari, dan suatu rentangan fenomena menyeluruh yang sudah diingkari oleh suatu sejarah. Foucault sering menggunakan istilah genealogi untuk mengacu kepada kesatuan antara pengetahuan yang terpelajar dan memori-memori lokal yang memungkinkan orang untuk membangun sebuah pengetahuan historis mengenai pertarunganpertarungan dan menggunakan pengetahuan ini secara taktis sekarang. Genealogis berfokus pada pengetahuan-pengetahuan lokal, tak berkesinambungan, terdiskualifikasikan, dan tidak sah, untuk melawan kliam-klaim akan suatu tubuh teori yang terpadu yang akan menyaring, menghierarkikan, dan menata pengetahuan-pengetahuan itu atas nama apa yang disebut pengetahuan yang benar. Geneologi adalah satu bentuk kritik. Ia menolak pencarian akan asal-usul dan menyukai suatu konsep mengenai asal-usul historis sebagai sesuatu yang rendahan, kompleks, dan terputusputus. Ia mencoba mengungkapkan multiplisitas faktor-faktor kdibalik sebuah peristiwa dan keringkihan bentuk-bentuk histori. Dengan pandangan mengenai sejarah yang demikian, tidak akan ada konstan-konstan, esensi-esensi, bentuk-bentuk tak bergerak dari kontinuitas-kontiunitas yang tak terhambat yang menstrukturkan masa lalu.
b.
Tatanan Wacana
•
Sistem Eksklusi Eksternal Teori Foucault mengenai tatananh wacana berangkat dari hipotesis bahwa dalam setiap
masyarakat produksi wacana selalu sekaliguis di kontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan dengan sejumlah prosedur yang peranannya adalah untuk mengawasi kuasa-kuasa dan bahayabahayanya, untuk memperoleh penguasaan atas peristiwa-peristiwanya yang bersifat kebetulan, untuk menghindari materialitasny ayang berat dan membosankan.
Salah satu prosedur dalam produksi wacana itu adalah eksklusi yang antara lain, berupa pelarangan. Ada tiga jenis pelarangan yang, menurut Foucault, saling berinterseksi, saling memperkuat, dan saling melengkapi satu sama lain, yaitu (a) larangan obyektif, tidak semua orang mempunyai hak untuk berbicara mengenai semua hal, (b) larangan kontekstual, orang tidak boleh berbicara mengenai segala sesuatu disembarang kesempatan, dan (c) larangan subyektif, tidak semua orang mempunyai hak untuk berbicara mengenai segala sesuatu. Yang pertama larangan mengenai obyek yang dibicarakan, yang biasanya ada didalam apa yang disebut taboo. Yang kedua menyangkut larangan yang berlaku dalam ritual-ritual. Yang ketiga menyangkut hak-hak istimewa dan eksklusif yang dimiliki oleh subjek yang beristimewa dan ekslusif yang dimiliki oleh subyek yang berbicara. Dalam konteks masyarakat sekarang, larangan-larangan itu muncul secara mencolok tidak dalam taboo, ritual, melainkan dalam wacana politik (pembredelan) dan seksualitas (undang-undang pornografi). Berbagai larangan itu menunjukkan bahwa wacana terkait dengan hasrat dan kuasa. Wacana tidak sekedar mengungkapkan (atau menyembunyikan) hasrat, melainkan juga merupakan objek hasrat itu. Wacana juga tidak sekadar segala yang menerjemahkan pertarungan atau sistem-sistem dominasi, melainkan merupakan hal yang menjadi tujuan dan sekaligus cara dari pertarungan itu. Wacana merupakan kuasa yang harus direbut. Hampir semua orang berjuang dan bertarung untuk memperoleh hak berbicara, untuk diijinkan berbicara mengenai sesuatu, dan untuk memperoleh kesempatan atau akses kedalam kesempatan yang mengijinkannya berbicara mengenai sesuatu. Prinsip eksklusif yang lain adalah pemisahan dan penolakan. Orang gila merupakan salah satu contoh kelompok masyarakat yang wacananya dipisahkan dan ditolak. Apa yang mereka katakan dianggap kosong, tidak bermakna, tidak mengandung baik kebenaran maupun kegunaan, tidak berharga. Kecenderungan demikian, secara instituonal, ditemukan didalam hukum. Kesaksian orang yang dianggap gila gila atau sakit jiwa tidak percaya dan ditolak kebenarannya. Namun, dalam konteks masyarakat, kebudayaan, dan masa tertentu, kuasa-kuasa asing yang tidak dapat dimiliki oleh orang lain dianggap dapat terjangkau oleh orang gila: kuasa untuk mengatakan kebenarannya yang tersembunyi, meramalkan masa depan, dan sebagainya. Sistem eksklusi yang ketiga adalah gagasan mengenai yang benar dan salah. Jika dilihat dari level suatu pro posisi, disisi dalam sebuah wacana, pembagian antara yang benar dan yang salah sama sekali tidak semaunya, tidak dapat dimodifikasi, tidak instituonal, dan bahkan tidak mengandung kekerasan. Namun, jika dipandang pada suatu skala yang berbeda, jika dipersoalkan apa yang konstan pada skala yang berbeda, jika dipersoalkan apa yang konstan pada kehendak akan
kebenaan itu, apakah kehendak kebenaran yang sudah begitu berlaku, apakah tipe pembagian yang mengatur kehendak untuk tahu itu, semuanya akan mengarah kepada sebuah sistem eksklusi pula, sebuah sistem yang historis, dapat dimodifikasi, dan secara instituonal menghambat. Bagi penyair Yunani abad keenam belas, misalnya, wacana yang benar adalah wacana yang menimbulkan rasa hormat dan sekaligus rasa takut, wacana yang padanya seseorang harus patuh karena ia memerintah, wacana yang dinyatakan manuia oleh manusia yang berbicara dengan benar dan sesuai dengan ritual yang dipersyaratkan, wacana yang memberikan keadilan dan membaginya pada semua orang, wacana yang tidak hanya menyatakan mengenai masa depan, tetapi sekaligus yang mebantu mewujudkannya, wacana yang membawa orang kedalam nasibnya. Prosedur yang demikian tidak berlaku lagi sekarang karena yang dianggap penting, antara lain, adalah sekarang karena dianggap pentinmg, antara lain, adalah apa yang dikatakan, bukan bagaimana dan siapa yang mengatakan. Kehendak akan kebenaran itu, menurut Foucault, bersandar pasa sokongan institusional. Ia sekaligus diperkuat dan diperbaharui oleh strata menyeluruh praktik-praktik seperti pendidikan, sistem buku-buku, penerbitan-penerbitan, masayarakat-masyarakat terpelajar, dan perpustakaanperpustakaan. Selain itu, ia juga diperbaharui oleh cara yang dengannya pengetahuan itu dipekerjakan, disahkan, didistribusikan, dan diatribusikan didalam suatu masyarakat. Kesemuanya itu, pada giliranya, bermuara pada kecenderungan kehendak akan kebenaran itu untuk menjalankan lsejenis tekanan, sesuatu yang menyerupai kuasa untuk menghambat, merintangi wacana-wacana yang lain.
•
Prosedur-Prosedur Internal Selain prosedur-prosedur eksternal seperti sistem-sistem eksklusi diatas, terdapat prosedur-
prosedur lain yang bersifat internal, yang juga berfungsi untuk mengontrol dan membatasi wacana. Prosedur-prosedur internal diperlukan karena wacana-wacana itu sendiri melaksanakan kontrolnya sendiri dengan antara lain sistem klasifikasi, penataan, dan pendistribusian. Founcault mengira bahwa disemua masyarakat terdapat naratif-naratif utama yang selalu dicritakan kembali, diulang, dan dimodifikasikan : formula-formula, teks-teks, seperangkat wacana ritualistik yang diceritakan kembali dalam lingkungan yang sudah ditentukan dengan baik. Banyak hal yang dikatakan selanjutnya dipelihara karena dianggap bahwa dibaliknya terdapat suatu rahasia atau harta yang tidak ternilai harganya. Memang ada wacana baru terus menerus, wacana baru yang mentransformasikannya atau yang mengatakan tentangnya, wacana-wacana yang sesudah dan diatas
formulasinya dikatakan secara tak terbatas, tetap dikatakan dan dikatakan lagi. Wacana yang demikian khususnya dalam masyarakat Barat-antara lain, berupa teks-teks keagamaan, teks-teks hukum, teks-teks, ilmu pengetahuan, dan bahkan teks-teks kesusastraan. Perbedaan antarwacana itu tentu saja tidak stabil, tidak tetap, dan tidak pula mutlak. Tidak ada, di satu pihak, wacana fundamental atau kreatif yang jadi dan berlaku untuk selamanya, dan, dilain pihak, terdapat massa wacana yang mengulangi, memperhalus, dan memmberi komentar atas wacana yang ada. Banyak teks-teks mauor menjadi kabur dan lenyap, dan terkadang apa yang sekedar komentar berubah menjadi wacana utama. Namun, perubahan-perubahan itu tidak meniadakan fungsinya yang tetap dan prinsip diferensiasi terus berlanjut. Salah satu wacana yang menarik perhatian Foucault adalah apa yang ia sebut sebagai komentar. Disatu puhak komentar ini memungkinkan kontruksi wacana baru tanpa batas : dominasi teks utama, ketetapannya, statusnya sebagai sebuah wacana yang akan selalu dapat diraktualisasikan, makna-maknanya yang beraneka dan terselubung, kekayaan esensial yang sifatnya padanya, semuanya merupakan dasar bagi sebuah kemungkinan yang terbuka untuk berbicara. Namun, dilain pihak, apapun tehnik yang digunakan, komentar juga berperan untuk mengatakan pada akhirnya apa yang secara diam-diam dikatakan melampaui teks itu sendiri. Dengan paradoks yang tidak akan pernah ia hindarkan tetapi yang dapat ia plesetkan, komentar harus mengatakan apa yang sudah dikatakan dan sekaligus yang tidak pernah dikatakan. Komentar memungkinkan orang untuk mengatakan sesuatu yang lain dari pada teks itu sendiri, tetapi dengan syarat bahwa yang dikatakannya itu dibuat seakan teks itu sendiri yang mengatakan. Selain itu, terdapat pula prinsip refraksi wacana yang lain, yang melengkapi yang pertama, yaitu pengarang. Yang dimaksud pengarang bukanlah individu yang berbicara, yang menyatakan atau menulis sebuah teks, melainkan sebuah prinsip pengelompok wacana-wacana, yang dipahami sebagai kesatuan dan asal-usul dari makna wacana itu, sebagai kesatuan dan asal-usul dari makna wacana itu, sebagai fokus bagi koherensinya. Prinsip demikian tidak berlaku untuk semua wacana. Terdapat, disekitar manusia, banyak sekali wacana yang beredar tanpa menurunkan maknanya atau kegunaannya yang beredar tanpa menurunkan maknanya atau kegunaannya dari seorang pengarang yang padanya wacana itu harus diatributkan : percakapan sehari-hari, dekret atau kontrak yang menuntut tanda tangan, tetapi tidak memerlukan
pengarang, intruksi-intruksi teknis yang
disebarkan secara anonim. Meskipun demikian, terdapat pula wavana yang memang ditentukan untuk diatributkan pada wacana yang memang ditentukan untuk diatributkan pada pengarang tertentu, misalnya kesusastraan, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Menurut Foucault atribusi wacana pada pengarang itu tidak mempunyai tingkat peranan yang sama pada semua wacana. Peranan pengarang memperlihatkan kecenderungan semakin kuat di dalam wacana kesusastraan di abad ketujuh belas, misalnya. Karya-karya anonim lyang sebelumnya diperbolehkan beredar, pada abad ketujuh belas mulai dipertanyakan penulisnya. Pengarang diminta untuk memperhitungkan kesatuan teks yang ditempatkan atas namanya. Ia diminta untuk mengungkapkan atau setidaknya mengontifikasikan makna tersembunyi yang ada dalam karya-karyanya. Ia diminta untuk mempertalikan karya-karyanya dengan pengalaman pribadinya, dengan sejarah yang nyata yang mendorong kelahiran karya-karya itu. Pengarang adalah apa yang memberikan kesatuan pada bahasa fiksi yang mengganggu, menjadi titik koherensinya, dan menjadi jalan masuk ke dalam kenyataan. Prinsip pembatasan yang ketiga adalah apa yang disebut disiplin (dalam ilmu pengetahuan, misalnya). Organisasi disiplin ini, menurut Foucault, bertentangan dengan seperangkat metodemetode, satu korpus proposisi-proposisi yang dianggap benar, seibuah permainan aturan-aturan dan definisi-definisi, teknik-teknik dan instrumen-instrumen, yang kesemuanya merupakan sejenis sistem anonim dengan membuang seseorang yang ingin atau mampu menggunakannya, dengan tidak mengaitkan maknanya dengan orang yang menemukannya. Perbedaanya dengan komentar terletak pada kenyataan bahwa apa apa yang dianggp utama bukanlah sebuah makna yang harus ditemukan kembali, bukan pula identity yang harus diulang, melainkan kebutuhan akan kontruksi pernyataan-pernyataa baru. Sebuah isiplin harus memungkinkan perumusan pernyataan-pernyataan baru. Sebuah disiplin harus pernyataan baru itu memeganganya dikatakan benar atau salah batasbatas aturan disiplin itu sendiri dan dalam hal inilah ia menjadi prinsip pembatasan.
•
Kondisi Aplikasi Kelompok prosedur ini bukan masalah penguasaan atas kuasa wacana atau untuk mencegah
ketakterdugan penampilannya, melainkan untuk menentukan syarat penggunaannya, ntuk memaksakan sejumlah aturan pada individu-indvidu yang memegangnya, dan, dengan demikian, untuk mengijinan setiap orang mempunyai akses kepadanya. Ada penyaringan terhadap subyek yang berbicara dalam hal ini, tidak seorang pun dapat memasuki tatanan wacana tanpa memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan, tanpa mempunyai kualifikasi yang diperlukan bagi orang itu. dengan kata lain, tidak semua wilayah wacana sama terbuka dan dapat dimasuki. Sebagian besar wilayah itu terlarang, sedangkan yang lainnya terbuka dan dapat dimasuki. Sebagian besar wilayah
itu terlarang, sedangkan yang lainnya terbuka untuk hampir semua orang, mengabaikan siapa subjek yang berbicara, tanpa pembatasan lebih dahulu. Salah satu bentuk pembatasan yang demikian adalah apa yang disebut ritual. Ritual menentukan kualifikasi yang harus dimiliki untuk berbicara, ia menentukan pula gerak-gerik, perilaku, lingkungan, dan seperangkat menyeluruh tanda-tanda yang harus menyertai wacana, dan, akhirnya, ia mengukuhkan pengaruh yang diperkirakan dan yang dipaksakan dari kata-kata, efeknya terhadap siapa saja yang padanya wacana itu dialamatkan, dan menentukan pula batas-batas dari nilai pembatasnya. Cara yang agak berbeda dari pemungsian ini adalah “ masyarakat wacana” yang berfungsi untuk menyediakan dan menghasilkan wacana, tetapi juga untuk membuatnya beredar hanya dalam sebuah ruang yang tertutup, mendistribusikannya hanya sesuai dengan aturan-aturan yang, ketat, dan mengupayakan agar distribusi itu tidak membuat pemiliknya menjadi kehilangan miliknya. Model arkaik dan kecenderungan demikian adalah kelompok rapsodis yang memiliki pengetahuan mengenai puisi yang diaturkan atau yang secara potensial untuk dimodifikasi dan ditransfomasi. Pengetahuan itu diproteksi, dipertahankan dan dipelihara dalam sebuah kelopok yang terbatas dengan melasanakan cara mengingat yang sering sangat kompleks. Sastra modern Indonsia mengembangkan konsep ilham untuk memproteksi pengetahuan teknis mereka dalam penciptaan karya sastra. Cara pembatasan lainnya adalah doktrin. Berbeda dari masyarakat wacana yang berusaha menyebarkan pengetahuan mereka hanya pada lingkungan yang terbatas, doktrin cenderung untuk disebarkan dan hanya dengan berpegang pada wacana yang sama individu kemudian menentukan kesetiaan timbale balik mereka. Tampaknya, satu-satunya syarat yang diminta hanyalah pengakuan akan aturan yang bersesuaian dengan wacana yang sahih. Namun, hal ini tidak dengan sendirinya doktri menjadi serupa dengan disiplin. Didalam doktrin terdapat control timbal balik antara subjek yang berbicara dan apa yang dibicarakan. Subjek yang berbicara akan dipersoalkan jika yang ia bicarakan berbeda dengan wacana yang berlaku. Sebaliknya, wacana juga dipersoalkan atas dasar subjek-subjek yang berbicaranya, sejauh berhubungan dengan penguatan ikatan kelas, status social, ras, nasionalitas, kepentingan, pemerontakan, ataupun penerimaan. Cara selanjutnya adalah apropiasi social wacana. Walaupun pendidkan dapat menjadi instrument apropriasi ini karena dapat membuat banyak orang dapat memperoleh akses ke pengetahuan, hal itu tidak membuat wacana itu lepas dari jarak-jarak, oposisi-oposisi, dan pertarungan –pertarungan social. Setiap system pendidikan merupakan suatu cara politis untuk
mempertahankan
atau memodifikasi apropriasi wacana bersama-sama dengan pengetahuan-
pengetahuan dan kuasa-kuasa yang ia bawa. Tentu, semua yang dikemukakan diatas, ritual tutur, masyarakat wacana, dan kelompokkelompok doctrinal, dan apropiasi social hanya dapat dipisahkan secara abstrak, bukan dalam pengalaman yang konkret. Pada umumnya kesemuanya iu saling berhubungan satu sama lain dan membentuk jenis-jenis pendidikan yang besar yang menjamin distribusi subjek-subjek yang berbicara kedalam tipe-tipe wacana yang berbeda dan aprosiasi wacana kepada kategori–kategori subjek. Semuanya itu, menurut Foucault, dapat disebut sebagai prosedur-prosedur subjeksi yang digunakan oleh wacana. Sistem pendidikan, bagaimanapun, tidak lain daripada sebuah ritualitas tutur, suatu kualifikasi dan suatu pengukuhan peranan bagi subjek-subjek yang berbicara, pembentukan suatu kelompok doktrinal, suatu distribusi dan aprosiasi wacana dengan kuasa-kuasa dan pengetahuan-pengetahuannya. Hal yang sama berlaku bagi sistem pembatasan penulis, sistem hukum, dan sebagainya. Semuanya adalah sebuah sistem subjeksi.
•
Beberapa Tuntutan Metodologis Menurut Foucault, langkah-langkah metodologis yang perlu dilakukan bagi analisis
wacananya adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip pembalikan dengan melihat adanya suatu pemotongan dan penyaringan wacana. Kedua, prinsip diskontiutas yang menyangkut kesediaan menempatkan aneka wacana didalam masyarakat bukan sekadar sebagai yang ditekan oleh wacana utama, melainkan terutama sebagai wacana yang tidak berkesimbungan dengannya, yang saling melintasi, saling berjajar, tetapi juga saling mengeksklusi dan tidak saling kenal satu sama lain. Ketiga, prinsip spesifisitas adalah anggapan bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia terhadap benda-benda, suatu praktik yang dipaksakan pada benda-benda itu, dan, dalam praktik itulah, peristiwa-peristiwa wacana menemukan prinsip regularitasnya. Keempat, prinsip eksterioritas ini menyangkut perlunya memperhatikan kondisi-kondisi eksternal yang memungkinkan wacana, pemunculannya, regularitasnya, apa yang membangkitkan serangkaian peristiwa-peristiwa itu dan apa yang akan mengukuhkkan batas-batasnya. Dengan kata lain, ada empat posisi yang menjadi prinsip pengatur analisis wacana : peristiwa dipertentangkan dengan kreasi, rangkaian dengan kesatuan, regularitas dengan originalitas, kondisi kemungkinan
dengan signifikan. Konsep lawan dari keempat pengertian itu merupakan konsep-konsep dalam penulisan sejarah tradisional.
•
Dua Arah Analisis Ada dua arah analisis yang dilakukan Foucault, yaitu analisis kritis dan analisis genealogis.
Analisis yang pertama melaksanakan prinsip pembalikan, mencoba menjangkau bentuk-bentuk eksklusi, pembatasan, dan apropriasi. Secara lebih konkret, analisis ini menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk itu dibentuk, untuk merespon kebutuhan apa, bagaimana bentuk-bentuk itu dimodifikasi dan diplesetkan atau diubah, hambatan-hambatan apa yang diakibatkannya, seberapa jauh bentuk-bentuk itu dihindarkan. Analisis yang kedua melaksanakan tiga prinsip yang lain, yaitu bagaimana rangkaian wacana terbentuk, melintasi apa, menggantikan apa, atau dengan dukungan sistem-sistem hambatan ini. Apa norma spesifik dari masing-masing prinsip itu, bagaimana kondisi pemunculannya, pertumbuhannya, dan variasinya. Analisis pertama terarah pada kontrol wacana. Analisis kedua berurusan dengan formasi wacana yang efektif entah dalam batas-batas kontrol itu, ataupun diluarnya, atau diantara keduanya. Apabila tugas kritis berusaha menganalisis proses penyaringan/pengurusan, serta juga pengelompokan dan unifikasi wacana, genealogi mempelajari formasi wacana itu, formasi yang sekaligus
tersebar, diskontinus, dan regular.
Menurut Foucault, kedua tugas tersebut, pada
dasarnya, tidak dapat dipisahkan satusama lain. Keduanya tidak berdiri pada sisi yang berbeda, misalnya, disatu sisi menyangkut bentuk-bentuk penolakan, eksklusi, pengelompkan, atribusi, sedangkan, disisi lain, pada level yanng lebih dalam, gelombang spontan wacana yang dipersembahkan
pada
seleksi
dan
kontrol.
Formasi
wacana
reguler,
misalnya,
dapat
mengikorporasikan prosedur-prosedur kontrol dalam kondisi tertentu dan dalam rentang tertentu, dan, sebaliknya, bentuk-bentuk kontrol dapat mengambil bentuk dalam suatu formasi diskursif. Dengan demikian, tugas kritis, yang mempersoalkan masalah kontrol, harus sekaligus menganalisis regularitas-regularitas diskursif yang melalui kontrol itu terbentuk. Dan, setiap deskripsi genealogis harus memperhitungkan batas-batas yang beroperasi dalam formasi yang nyata. Perbedaan antara usaha kritis dan genealogis tidak terletak pada objek atau ranahnya, melainkan pada titik serangan, perspektif, dan pembatasannya. •
Contoh Analisis
Sesuai dengan teorinya, contoh analisis yang akan diberikan adalah analisis wacana dan sejarah sastra pada umumnya, bukan karya sastra tertentu. Analisis dibedakan menjadi dua macam, yaitu analis kritis dan analisis geneologis.
a.
Analisis Kritis Larangan yang tersirat ataupun tersurat dalam mengatakan hal-hal tertentu dalam sastra
Indonesia terlihat mencolok pada masa Bali Pustaka. Larangan itu menyangkut persoalan SARA yang dimaksudkan untuk memelihara apa yang pada waktu penjajahan Belanda itu disebut Rust un orde,
ketentraman dan ketertiban masyarakat, tepatnya kkekuasaan politik pemerintah kolonial.
Larangan yang lain dikaitkan dengan persoalan sistem estetik yang berlaku, misalnya larangan untuk menggambarkan adegan-adegan yang dianggap merangsang birahi dengan menggunakan alasan estetik dan mean menempatkan gambaran mengenai adegan seks yang eksplisit sebagai bagian dari wilayah yang disebut bacaan liar. Larangan yang kemudian hari bertahan bahkan hingga sekarang karena masih adannya dan berpengaruhnya konsep mengenai sastra populer sebagai sastra yang tidak bernilai, sastra yang hanya bertujuan mengekploitasi selera rendah masyarakat, dan sebagainya. Heboh puisi Yudhistira Ardi Nugraha
yang berjudul “ Sajak Sikat Gigi”
memperlihatkan kecenderungan larangan yang llain lagi. Dalam hal ini, karya sastra cenderung dipahami sebagai wacana yang serius, wacana yang berbicara mengenai gagasan-gagasan besar, sehingga tidak boleh sekadar menceritakan persoalan ‘yang sepele. Kalaupun persoalan sepele diceritakan, persolan itu tidak boleh hanya disajikan
sebagaimana adanya, melainkan harus
disimbolisasi agar menjadi simbol dari persoalan yang dianggap lebih besar, lebih mendalam, mdan sebagainya. Larangan kontekstual dalam sastra Indonesia ltidak terlalu mencolok, melainkan tersirat. Ketika sastra Indonesia masih dikuasai oleh
cara publikasi
melalui buku dan majalah, ada
kecenderungan untuk menabukan pemuatan karya sastra melalui surat kabar. Karena, surat kabar dipandang secara sebagai sebuah media yang bersifat massal, yang bekerja secara industrial, yang memperlakukan karya sastra sebagai komoditas yang sama dengan komoditas-komoditas lainnya, entah sandal jepit, entah kutang atau celana dalam, atau sekadar pasta dan sikat gigi. Sejak jatuhnya pamor Horison, larangan memuat karya sastra yang serius disurat kabar semakin sirna. Akhir-akhir ini bahkan banyak yang percaya bahwa karya-karya yang dimuat di Kompas lebih bermutu daripada karya-karya yang dimuat di Horison. Mungkin ada penilaian yang berbeda antara membaca puisi di Taman Ismail Marjuki dan tempat-tempat yang lain pada tahun 1970-an. Namun, sekarang
membaca puisi di café-café tidak dianggap tabu. Apakah dianggap berharha orang membaca puisi di bus-bus kota atau warung-warung tenda dan kaki lima, melakukannya secara berdiri dimobil seperti yang dilakukan oleh para pengamen ? ini persoalan yang perlu diteliti lebih lanjut. Larangan subjektif berkaitan dengan siapa yang dianggap mempunyai otoritas untuk bersastra dan berbicara mengenai karya sastra. Ariel Heryanto pernah mengutip pidato Chairil Anwar yang mengatakan, “ Yang Bukan penyair tidak berhak ambil bagian .” Pernyataan Chairil Anwar ini jelas memperlihatkan kecenderungan pembatasan dan kontrol terhadap siapa yang berhak berbicara mengenai puisi. Tentu saja tidak semua masyarakat sastra mengakui adanya pembatasan yang demikian. Namun, secara implisit aturan pembatasan yang demikian sebenarnya hidup dan menjadi keyakinan umum. Pelabelan-pelabelan terhadap sastrawan seperti, Presiden Penyair, Sastrawan Nasional, dan Sastrawan Lokal memperlihatkan tingkat-tingkat otoritas seseorang dalam berbicara mengenai karya sastra. Semakin rendah otoritas itu, semakin tidak didengarkan apa yang dikatakan. Sistem eksklusi yang berupa pemisahan dapat ditemukan di dalam kasusu hubungan antar sastra Indonesia dan sastra daerah. Setidaknya, demikianlah yang dikatakan oleh Ariel Heryanto ketika berbicara mengenai Sasta Indonesia pada masa orde baru
dimajalah Horison. Ariel
membedakan tiga cara eksklusi yang dilakukan oleh wacana sastra Indonesia, yaitu melakukan pelarangan seperti terihadap karya-karya sastra Lekra dan atau Pramoedya Anantatur, melakukan pelecehan terhadap karya-karya sastra populer, dan pemisahan terhadap sastra kdaerah serta sastra lisan. Kalau mengikuti cara berpikir Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas, sastra populer dapat juga dianggap memmpunyai kegunaan tersendiri, kegunaan yang berbeda dari kegunaan sastra yang dianggap serius. Pemisahan bersangkutan dengan perbedaan yang demikian, perbedaan yang bukan vertikal, melainkan horizontal. Jika sastra populer dipahami sebagai karya-karya sastra yang epigonik, yang sebenarnya menirukan, mengulang karya-karya sastra yang dianggap serius dengan cara yang tidak sempurna, sastra populer itu dapat dianggap sebagai wacana komentator. Kasus wacana komentator yang mencolok adalah wayang dengan segala repproduksinya. Wayang dianggap sebagai sebuah teks agung yang harus selalu dibicarakan, ditafsirkan, ditiru, dimodifikasikan, dan sebagainya. Namun, wayang hanya salah satu wacana yang beredar di Indonesia. Wayang sendiri saja sudah memmpunyai variasi yang sangat banyak : wayang golek, wayang golek, wayang kulit, wayang orang, ditambah dengan berbagai penuturan literer dan ulasan-ulasan mengenainya. Demikian pula kitab suci agama, cerita-cerita kehidupan nabi, yang juga terus-menerus dituturkan dalam berbagai
bentuk dan menghasilkan berbagai wacana seperti pelajaran agama di pesantren, disekolah, dakwah, dan khuotbah, esai-esai di berbagai media, penuturan literer dengan berbagai bentuknya seperti yang tampak dalam fenomena apa yang disebut karya-karya sastra Lingkar Pena, yang kesemuanya dapat dimasukkan ke dalam golongan komentar. Komentar-komentar it memang menyatakan diri sesuai dengan teks agungnya. Namun, tidak tertutup kemingkinan terjadi variasi , modifikasi, transformasi atas teks agung tersebut. Berbagai wacana itu memeng dapat dibedakan satu sama lain. Kelihatannya terserak dan terpisah. Namun, mungkin pula terjadi ketumpangtindihan, penyatuan, dan bahkan perubahan posisi dari wacana komentar menjadi wacana agung atau seibaliknya. Didalam sejarah sastra Indonesia terdapat konsep periode yang relatif pendek. Dalam setiap periode salah satu ada yang dianggap sebagai teks utama, teks yang dianggap sangat halus dan sangat kaya dengan makna sehingga harus terus-menerus dibicarakan. Ada karya-karya Amir Hamzah pada masa Pujangga Baru, ada karyakarya Chairil Anwar pada masa yang disebut Angkatan 45, ada Rendra dan bahkan Taufik Ismail pada Angkatan 66, ada Iwan Simantupang, Putu Wijaya, Danarto, dan Sutardji Calzoum Bachri. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana karya-karya itu bangkit menjadi teks utama dan bagaimana pula kemudian ia secara berangsur-angsur di lupakan dan digantikan oleh yang lain. Ambilah, misalnya, Sutardji Calzoum Bachri. Bagaimana penyair ini mulai muncul, dalam momen apa, siapa yang membicarakan, apa yang dibicarakan, apa yang mula-mula dianggap menarik darinya, apakah birnya, kredonya, atau yang lain. Berangsur-angsur Sutardji lenyap. Bagaiman proses lenyapnya wacana mengenai diri tokoh ini. Afrizal Malna yang muncul kemudian dan menjadi idola di tahun 1990-an, pada mulanya tampak seperti menciptakan teks komentar bagi Sutardji. Namun, berangsur-angsur ia mengambil alih posisi tersebut. Sampai tahun 2000-an semacam dendam Sutardji terhadap afrizal ini masih tampak, yaitu ketika ia menyebut karyakaryanya sebagai puisi-puisi gelap, meragakan kemampuannya menirukan untuk melecehkan Afrizal. Sutardji dan Afrizal itu tidak hanya merupakan persoalan antara dua wacana, misalnya, anggaplah antara puisi mantera dan puisi gelap. Bagaimana mungkin puisi yang semula dianggap gelap menjadi dianggap terang? Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault, sejak abad ke tujuh belas di Eropa, wacana yang memberikan peran yang besar kepada pengarang semakin kuat. Di Indonesia kecenderungan demikian juga tampak jelas. Pada masa balai Pustaka posisi pengarang tidaklah begitu tinggi. Ia tenggelam oleh institusi Balai Pustaka. Pengarang mulai muncul pada masa Pujangga Baru sesuai dengan paham romantiknya yang menempatkan karya sastra sebagai ekspresi jiwa pengarang.
Namun, pada masa itu pun posisi pengarang masih cenderung tersebar dan bersaing dengan institusi majalah Pujangga Baru. Chairil Anwar dapat dianggap sebagai pemain utama dan satu-satunya dalam masa yang disebut Angkatan 45. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika angkatan itu juga diberi nama Angkatan Chairil Anwar. Berbagai studi mengenaipribadi pengarang muncul pada masa ini. Segala tingkah laku Chairil menjadi pembicaraan dan dianggap berkaitan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan karya-karyanya. Chairil tidak hanya menjadi sumber pemersatu karya-karyanya, melainkan bahkan zamannya. Bagaimana dengan Sutardji, Iwan Simatupang, Putu Wijaya? Adakah kecenderungan, sekarang ini, akan lenyap atau melemahnya posisi pengarang? Persoalan disiplin lebih dekat dengan wacana ilmu pengetahuan daripada dengan wcana sastra. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin terdapat pula semacam disiplin di dalamnya. Pada satu periode, dalam satu aliran kesusastraan, mungkin ada rentangan objek-objek yang khas yang dibicarakan atau bahkan boleh dibicarakan, sebuah ketentuan yang jika diikuti dapat menentukan estetik atau tidak estetiknya sebuah karya sastra. Pada masa Balai Pustaka mungkin persoalan perlawanan terhadap cara berpikir tradisional yang disebut dengan adat ataupun takhayul. Pada masa Pujangga Baru jiwa atau roh ataupun perasaan individu biasanya diidentikkan dengan pengarang. Pada Angkatan 45 apa yang disebut eksisitensialisme, sebuah objek yang berlanjut sampai tahun 70-an. Selain objek, ada pula pembatasan mengenai metode yang dianggap benar. Dalam kasus kesusastraan metode ini mungkin dapat diterapkan pada apa yang disebut dengan proses kreatif. Adakah metode-metode khusus yang harus ditempuh oleh sastrawan dalam proses kreatif mereka. Jika ilham dianggap sebagai metode yang benar dalam menuju kebenaran estetik, mungkin saja ada sebuah disiplin yang dituntut agar memperoleh ilham tersebut, misalnya dengan cara hidup yang prihatin, bohernian, dan sebagainya. Sastrawan harus bertindak sebagai individu yang eksentrik, dengan gaya hidup yang eksentrik karena hanya dengan melewati dan menjalani cara hidup yang aneh, yang berbeda dari orang kebanyakan, yang tidak memperlihatkan gejala-gejala kemapanan, ia akan memperoleh ilham, dapat mendengar apa yang orang banyak tidak dapat melakukannya. Selain ilham, ada juga konsep spontanitas, sesuatu yang tidak direncanakan terlebih dahulu. Apakah metode ini memperlihatkan hubungan dengan cara hidup yang seakan tidak terencana, serba improvisatoris, dan sebagainya. Ilham, gaya hidup bohernian, merupakan slah satu cara untuk membatasi pula akses banyak orang ke dalam pengetahuan dan keterampilan berkesusastraan ini. Ilham menyembunyikan teknik yang dapat dipelajari karena ilham dikatakan tidak bisa dipelajari.
Apakah masyarakat sastrawan merupakan masyarakat yang eksklusif, yang hanya mengedarkan kemampuan dan pengetahuan mereka hanya dikalangan mereka sendiri. Gagasan mengenai
akademisme
dalam
kesenian
umumnya
dan
kesusastraan
khususnya
dapat
mengindikasikan kecenderungan yang demikian. Meskipun pelajaran kesusastraan merupakan pelajaran yang terbuka untuk diakses oleh semua orang, terutama melalui pendidikan formal, bergabung dengan pelajaran bahasa Indonesia, kecenderungan eksklusi bukannya tidak terjadi. Eksklusi itu, antara lain, dilakukan dengan melecehkan pendidikan formal dalam berkesusastraan, pendidikan yang hanya membuahkan karya-karya ynag akademistik, yang dianggap tidak jauh berbeda dari karya-karya kitsch, karya tiruan yang dibuat-buat, penuh rekayasa sehingga tidak membuahkan nilai estetik yang tinggi dan bahkan baik. Konsep bahwa sastrawan adalah seorang yang genius, yang dapat memperoleh pengetahuan sastranya tanpa pendididkan formal merupakan indikasi lain dari pembatasan masyarakat akademik ini. Sanggar-sanggar dan lingkaran-lingkaran sastra, tempat-tempat berkumpul dan berdiskusi para sastrawan, misalnya di tempat se[erti Taman Ismail Marzuki, dapat pula dianggap sebagai gejala eksklusivitas sastrawan tersebut. Yang tidak begitu jelas adalah ritual-ritual khusus yang dapat menginisiasikan seseorang untuk dianggap sebagai sastrawan. Kalau ritual bersangkutan dengan gerak-gerik dan seperangkat simbol, mungkin gaya hidup sastrawan yang bohernian, cara berpenampilan bohernian di tengah orang banyak, terutama di lingkungan sastrawan, merupakan salah satu bentuk ritual. Begitu puila pergaulan dengan sastrawan, menghadiri acara diskusi, baca puisi, dan sebaginya. Atau, keberhasilan seorang sastrawan untuk mempublikasikan karyanya pada media-media tertentu yang dianggap otoritatif dalam menentukan nilai karya sastra dan sekaligus sastrawannya. Bisa juga di lingkungan pergaulan sastrawan terdapat topik khusus yang dibicarakan, cara khusus dalam membicarakannya, gerak-gerik yang khusus, atau yang lainnya. Semua analisis di tas menunjukkan adanya berbagai prosedur eksklusi yang bekerja, baik secara ekstenal maupun internal dalam wacana sastra. Dan, eksklusi tentu saja merupakan salah satu bentuk dan tindakan subjeksi, penciptaan subjek dan sekaligus penakulukan subjek. Sifat politis dari wacana itu, antara lain, terungkap dari kenyataan bahwa prosedur-prosedur eksklusi itu tidak universal, berlaku hanya pada masa dan ruang tertentu. Pada satu tempat, pada satu masa, sekelompok orang tidak boleh berbicara mengenai sastra, tetapi pada waktu dan tempat yang lain mereka justru diperbolehkan melakukan hal itu.
b.
Analisis Genealogis Bagaimana sastra modern terbentuk? Formasi diskursif yang bagaimana membentuknya?
Inilah pertanyaan genealogis yang kan dibahas. Masyarakat tradisional Indonesia tidak memisahkan sastra dengan bukan sastra. Sastra dipisahkan dari yang bukan sastra, misalnya wacana sejarah, hukum, dan sebagainya, akibat dari pengaruh wacana yang sudah terbentuk di Barat. Namun, mengapa penguasa kolonial menganggap perlu memasukkan pelajaran sastra ke dalam lembagalembaga pendidikannya, mengapa media massa juga memasukkan karya-karya sastra ke dalam dirinya? Bahwa sastra merupakan kekuatan diskursif terakhir yang dengan keras melawan apa yang dianggap sebagai kekerasan dan kekerasan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan kultural kapitalisme, kekuatan diskursif yang menawarkan dan membentuk kehalusan budi, sudah menjadi pandangan umum di Barat seperti yang, antara lain, dikatakan oleh Raymond Williams. Dengan kata lain, sastra dianggap penting oleh Pemerintah Kolonial untuk diajarkan di sekolah-sekolah formal karena ia dipercaya sebagai sebuah kekuatan diskursif yang mampu membuat masyarakat terjajah menjadi lebih beradab. Dengan keberadaban ini diharapkan karya sastra mampu mencegah potensi-potensi tumbuhnya anarki di dalam masyarakat kolonial pada waktu itu. Max Havellaar merupakan karya sastra Belanda yang berpengaruh dalam hal tersebut. Novel karya Multatuli ini dianggap sebagai karya yang behasil menyuarakan penderitaan rakyat Indonesia yang terjajah sehingga pada gilirannya melahirkan kebijakan baru dari Pemerintah Kolonail, yaitu yang disebut politik etis. Kaum etisi inilah yang kemidian menuntut dan mendesak agar tidak hanya Max Hevellar, melainkan karya-karya sastra modern Barat, khususnya Belanda, diajarkan di sekolahsekolah. Namun, tidak hganya Pemerintahan Kolonial yang memberikan karya sastra sebagai bahan bacan bagi masyarakat Indonesia waktu itu, melainkan media-media massa yang bditerbitkan oleh perusahaan-perusahaan swasta. Menghadapi bahan bacaan yang demikian, gagasan mengenai pentingnya karya sastra sebagai alat peradaan menjadi lebih menyempit. Hanya karya-karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi, yamg mempunyai fungsi estetik dan mendidik sekaligus, karya-karya yang tidak membicarakan persoalan SARA yang dianggap pantas untuk dijadikan bahan bacaan rakyat. Keterkaitan antara karya sastra dan missi pemberadapan yang mencegah kemungkinan terjadinya anarki inilah yang pada gilirannya mendorong Pemerintah Kolonail mendirikan Balai Pustaka. Balai Pustaka tidak hanya berkerja sebagi lembaga penerbit karya sastra , melainkan juga karya-karyua yang berisi penerangan mengenai persoalan kehidupan sehari-hari, penerangan mengenai cara beusaha, bercocok tanam yang modern. Lebih lanjut, Balai
Pustaka jugamenjadi lembaga pengawasaan pers dengan melakukan pendokumenan dan pencatatan semua isi media massa sebagia mana yang, antara lain, digambarkan oleh Pramoedya Anantatur di dalam tetralogi Pulau Burunya, khususnya yang berisi cerita mengenai kegiatan inteligen Pangemanan. Peradaban merupakan teks agung yang diulang terus. Pendidikan sastra colonial merupakan salah satu bentuk komentar terhadap teks itu. Begitu juga Balai Pustaka berserta pengarangpengarangnya. Namun, semua institusi dan wacana yang berkembang di dalam nya tidak hanya melekukan pengulangan, melainkan juga melalukan modivikasi, transformasi, dan variasi. Menjadi berardap berarti menjadi bebas , lepas dari perbudakan. Menjadi beradab menempatkan diri di ujung peradaban, duduk setara dengan masyakat beradab yang lain, termasuk peradaban Kolonial Belanda. Tafsir yang demikianlah yang pada gilirannya mencipkan gagasan mengenai kebangsaan, peradaban bangsa, modernisasi Indonesia. Pujangga Baru dibentuk dengan semangat yang demikain. Sebuah institusi yang mandiri, yang lepas dari Balai Pustaka, yang bertujuan membangun masyarakat dan budaya baru, masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, menjadi beradab berarti mampu untuk menjadi diri sendiri. Tafsiran yang demikaian mencipkaan wacana tersindiri, wacana yang menegaskan identitas ketimuran, gerakan kembali ke kepribadian bangsa. Polemik kebudayaan yang terjadi tahun 1930-an merupakan pertarungan antara kedua wacana ini, pertarungan wacana yangt sebenarnya bersumber dari sebuah teks agung dalam institusi-institusi politik, sedangkan wacana modernisasi, pembaratan menjadi teks agung dalam institusi sastra. Tentu saja ada tarik-menarik yang terus-menerus antara vkedua wacana ini. Berdiriya Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa merupakan salah satu hasil dari tari-menarik yang demikian. Proses berdirinya dan berkembangnya lembaga ini pun merupakan persoalan yang sangat penting umtuk dikaji lebih jauh. Wacana roman picisan, sastra popular, mempunyai caranya sendiri dalam menafsirkan teks agung menge4nai peradaban di atas. Tema yang dominan di dalam media massa pada masa kolonial waktu itu, seperti yang digambarkan oleh ahmad B. Adam, adalah gagasan mengenai kemajuan. Gagasan mengenai kemajuan yang sebenarnya mirip dengan yang disebarkan oleh Pujangga Baru ditafsirkan sebagi perubahan gay hidup, dari gaya hidup tradisional ke gaya hidup modern Barat, misalnya dengan penggunaan jas sebagai pemakain sehari-hari, rekreasi dengan bermain teknis, pesta-pesta de4ngan cara orang Belanda. Realisme yang diungkap sebagai “cerita yang benar sudah terjadi” , menjadi prinsip dasar penciptaan karya sastra. Yang dimasuk denagan masyarakat, melainkan apa yang diberikan di surat-surat kabar, peristiwa-peristiwa yang dianggap mernjadi perhatian orang banyak, massa, sebagaimana halnya juga gagasan mengenai kemajuan. Implikasi
politik dari gagasan
dan pratik mengenai masa ini membuahkan partai politik pertama yang
dianggap sebagai partai yang berbasis massa, yaitu Sarikat Dagang Islam dan kemudian Serikat Islam sebagaimana yang digambarkan antara lain dalam tetralogi Pramoedya Anantatur, termasuk di dalamnya dalam sang pemula karya penulis yang sama. Secara litarar, gagasan mengenai massa ini membuahkan pola estetika realism yang sudah di kemukakan di atas. Relasi antara partai politik dan kesusastraan berkembang dengan pesat sejak tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya lembagalembaga kebudayaan yang bernaung dalam atau setidaknya berafiliasi dengan partai-partai politik tertentu, misalnya Lekra, Lesbui, dan sebaginya. Pada masa Orde Baru afiliasi yang demikaian berakhir atau setidaknya menipis. Perkembangan mengenai relasi antara institusi politik dan kesusastraan ini pun merupakan Para sastrawan yang bergabung di dalam Lekra menciptakan dan mencoba menerapkan desain engenai kebudayaan dan mencioba menerapkan desain mengenai kebudayaan rakyat dengan cara menengok, mengumpulkan, dan mengeksplorasi berbagai bentuk kesenian dan kesusastraan tradisional yang hidup di lingkungan rakyat kebanyakan. Selain itu, lembaga ini juga mencoba menbuat tafsiran kembali mengenai sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra yang dianggap lebih berorintasi kerakyatan. Kecenderungan demikian membuka jalan bagi munculnya tokoh-tokoh dan bahkan pahlawan-pahlawan kesusastaraan Indonesia yang baru seperti Mas Marco, Semilun, dan sebagainya. Munculnya Ajib Rosidi dengan gagasanya mengenai angkatan sastrawan terbaru merupakan hasil tarik-menatik antara wacana sastra warisan Balai Pustaka dan gerakan pembagunan kebudayaan raktay ini. Meski sejak tenggelam karena factor politik, hal itu tidak membuatnya sepenuhnya mati. Hasil-hasilnya mulai menempakkan diri dan menguasai wacana public setelah Pramoedya Anantatur dibebaskan dari tahanan Pulau Baru.
c.
Penutup Sebagaimana yang dikemukakan oleh Young, Pasca strukturalisme bukanlah sesuatu paham
baru yang berdiri sendiri, melainkan merupakan sisi lain, sang lain dari strukturalisme. Pascastrukturalisme bekerja dengan cara yang membuatnya melawan dirinya sendiri, membuatnya membatalkan dan menunda dirinya sendiri. Kecenderungan demikian sangat mencolok pada cara kerja analisis Lacanian. Hanya dalam cara kerja analisis wacana Foucaultian tampak perdedaan yang agak jauh antara strukturalisme dan pascastrukturalisme.
Pernyataan yang terjadi itu tidak dengan sendirinya
beratri bahwa analisis wacana
Foucaultian tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan strukturalisme linguistic adalah bahwa keduanya memuasatkan perhatian pada wacana sebagai kekutan pembuatan subjek, buakan subjek yang membetuk wacana. Hal inilah yang mempertemukan analisis wacana ini dengan psikoanalisis Lacan. Keduanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sarup, melakukan kritik terhadap gagasan mengenai subjek. Adapun perbedaan antara analisis wacana ini dan strukturalisme linguistik terutama terletak pada kecenderungan untuk melihat ketumpangtindikan antara wacana sebagai sistem signifiksi, praktik pemakanaan, dan proses-proses yang bersifat institusianal.
8.2
Aktivitas, Tugas dan Latihan, serta Rangkuman
8.2.1
Aktivitas
•
2—3 mahasiswa diminta mengemukakan pemahamannya mengenai konsep-konsep di atas dengan antara lain menerapkannya pada contoh-contoh yang konkret.
•
Mahasiswa
mendiskusikan
hasil
pemahaman
masing-masing
dengan
mengajukan
argumentasinya sendiri-sendiri. •
Dosen memberikan penjelasan lebih jauh mengenai pengertian itu dan memberikan pengayaan melalui penerapannya ke dalam kasus-kasus yang beraneka..
•
Tanya-jwab
8.2.2
Tugas dan/atau latihan Mahasiswa diberi tugas mencari sumber-sumber lain untuk memperoleh pemahaman yang
lebih meyakinkan mengenai konsep-konsep di atas, baik melalui buku-buku, artikel-artikel di jurnal atau surat kabar, maupun berbagai informasi terkait yang tersedia di internet.
8.2.3
Rangkuman Teori pasca-struktural mengimplikasikan metode penelitian yang ditujukan untuk
mendekonstruksi oposisi biner, yang menggoyahkan kebenaran yang dianggap alamiah, tidak perlu dipertanyakan lagi, dan mengungkapkan adanya kekurangan pada setiap tindakan membangun sebuah struktur yang utuh-menyeluruh.
8.3
Penutup
8.3.1
Penilaian
•
Kuliah ini dikatakan berhasil jika mahasiswa berhasil jika ia memahami konsep-konsep dalam metode penelitian sastra dan mampu menerapkannya di dalam penelitian sastra.
•
Aspek-aspek yang dinilai adalah pemahaman dan ketrampilan.
•
Rentang penilaian 549 – 1000
8.3.2
Tindak Lanjut
•
Jika mahasiswa masih kurang memahami atau kurang mampu menerapkan konsep-konsep metode penelitian dalam ilmu sastra, ia akan diminta mengulang kuliah pada tahun ajaran berikutnya atau dianjurkan untuk banyak melakukan latihan pemahaman dan penelitian.
•
Jika mahasiswa sudah mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam metode penelitian sastra, ia akan direkomendasikan untuk memperoleh dana penelitian dan didorong untuk segera menyusun proposal penelitian untuk skripsinya.
8.4
Evaluasi Yang Direncanakan Indikator keberhasilan Butir kemampuan Butir penilaian
Menyusun
metode
Poin maks.
Pemahaman
penelitian mengenai Kesesuaian teori dengan metode karya sastra tertentu
8.5 No.
100
Operasionalisasi konsep
Matrix Penilaian Materi/isi
Ranah
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
C6
Afektif
Ranah
Metode
Tujuan
Psikomo Penilaia
Khusus
torik
n
Pembela jaran
1.
Dasar ontologis
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian teori metode
dengan
Tugas, mid semeste r
D1
3.
Langkah-
1
1
1
X
A/I/P
Mid
langkah
Semest
penelitian sastra
er
D1
Keterangan: Pengetahuan
= keputusan pikiran mengenai objek
Pengetahuan yang benar
= pengetahuan yang sesuai dengan abjeknya
Pengetahuan ilmiah
= pengetahuan yang dicapai melalui prosedur yang sesuai dengan objek pengetahuan ilmiah
Ontologi
= filsafat yang mengkaji kodrat atau hakikat dari keberadaan objek
Epistemologi
= filsafat yang mengkaji cara-cara perolehan pengetahuan yang sesuai dengan objeknya
Konsep
= Pengertian yang mengacu kepada benda-benda dan proses-proses dalam kenyataan
Teori
= Serangkaian konsep yang terjalin dalam hubungan satu sama lain, baik hubungan kausal maupun simbolik
Hipotesis
= Dugaan yang didasarkan pada teori dan yang harus dibuktikan kebenarannya mengenai kemungkinan hasil penelitian
Analisis
= Kegiatan mengklasifikasikan dan mencari hubungan antara data atau
kelompok
data
yang
satu
dengan
yang
lain.
TES FORMATIF 1.
Mahasiswa diminta melakukan survey secara kepustakaan untuk menemukan issue-issue penting dalam kehidupan sastra.
2.
Mahasiswa diminta melakukan identifikasi terhadap masalah dari issue yang ditemukan.
3.
Mahasiswa diminta merumuskan masalahnya.
4.
Mahasiswa diminta menentukan pilihan teori yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
5.
Mahasiswa diminta membuat asumsi atau hipotesis atas dasar teori yang dipilih.
6.
Mahasiswa diminta menentukan variable dari hipotesis yang dibuatnya.
7.
Mahasiswa diminta menetapkan jenis data dan metode pengumpulannya.
8.
Mahasiswa diminta merumuskan cara analisis datanya.
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF 1.
Mahasiswa akan menemukan banyak issue baik yang terkait dengan persoalan estetik karya sastra, kaitan karya sastra dengan karya seni yang lain, dengan media, dengan lingkungan ekonomi, politik social, maupun kulturalnya.
2.
Identifikasi masalah yang benar adalah identifikasi yang dapat memberikan spesifisitas pada masalah, yang membuka kemungkinan jawaban bagi masalah itu.
3.
Perumusan masalah yang benar adalah perumusan masalah yang tidak ambigu, tidak kontradiktif, tidak tumpang-tindih, melainkan jelas, bermakna tunggal, dan operasional.
4.
Pilihan teori yang benar adalah pilihan teori yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan.
5.
Asumsi yang benar adalah asumsi yang sepenuhnya diturunkan dari teori, bukan dari pengamatan atau kesan subjektif terhadap masalah yang akan diteliti.
6.
Variabel yang benar adalah variable yang mempunyai kemungkinan untuk diukur bagaimanapun alat ukurnya, yang menunjukkan gradasi, dan benar-benar sesuai dengan hipotesisnya.
7.
Metode pengumpulan data yang benar adalah metode yang sesuai dengan substansi dari masalah.
8.
Metode analisis data yang benar adalah metode analisis yang sesuai dengan asumsi mengenai relasi antara data yang satu dengan data yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press.
Ali, Lukman (ed.) 1978. Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Barthes , Raland, 1975, -S/Z , London: Jonathan Cape.
Bertens, K. 1961. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia.
Budiman, Arief. 1978. “Tentang Kritik Sastra: Sebuah Pendirian”. Dimuat dalam Lukman Ali (ed.). Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan.
Calzoum Rachri , Sutardi i , 1981, 0 , Amuk , Kapak , Jakarta: Sinar Haraoan.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. London: Routledge and Kegan Paul.
------. 1983. On Deconstruction. London: Routledge and Kegan Paul.
Djoko Damono, Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Drijarkara, S.J. 1981. Percikan Filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan.
Eagleton, Terry. 1980. Criticism and Ideology: A Study of Marxist Literary Theory. London: Verso Edition.
Easthope, Anthony 1991. Literary into Cultural Studies. Routledge: London and New York. Erlich, Victor. Russian Formalism: History-Doctrine. New Haven and London: Yale University Press.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel.1984. “The Order of Discourse”. Dalam ShapiRo, Michael J (ed.). Language and Politic. New York: New York University Press.
Fromm, Erich (ed.). 1966. Socialist Humanism: An International Symposium. Doubleday & Company: New York.
Goldmann, Lucien. 1981. Method in the Sociology of Literature. England: Basil Blackwell.
Hadimadja, Aoh K. 1952, Beberapa Paham Angkatan 45. Jakarta: Tintamas.
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics: New Accents. London: Methuen & Co. Ltd.
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Rajawali Press: Jakarta.
Hirsch, F.D. 1979. Validity in Interpretation. New Haven and London: Yale University Press.
Jakobson, Roman. 1972. “Linguistics and Poetics”. Dimuat dalam Richard T. de George and Fernande M. de George (eds.). New York: Doubleday and Company.
Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jilid I. Jakarta: Gunung Agung.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
------. 1984. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia.
Kayam, Umar. 1982. “Multilingualisme dalam Kesusastraan Indonesia Kontemporer”. Dimuat dalam Satyagraha Hoerip (ed.). Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Kleden, Ignas. 1986. “Humaniora dan Sejarah Intelektual. Dibacakan dalam Ekspose Ilmu Humaniora yang diselenggarakan pada 25—27 Maret. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.
Lotman, Jurij. 1977. The Structure of the Artistic Text. Michigan: University of Michigan.
Makary, Irena R. (ed.). 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approached, Scholars, Term. Torondo, Buffalo, London: University of Toronto Press.
Macdonell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Basil Blackwell: Oxford.
Mukarovsky, Jan, 1978, Structure, Sign, and Function.New Haven and London: Yale University Press.
Pratt , Mary Louise. 1977. Toward A Speech Act Theory of Literary Discourse. Bloomington: Indiana University Press.
R iffaterre , Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sarup, Madam. 1987. An Introductory Guige to Post-structuralism and Post-modernism. Athens: The University of Georgia Press.
Scholes, Robert. 1977. Structuralism in Literature. New Haven and London: Yale University Press.
Situmorang, Sitor. 1982, Dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya. Seung, T.K. 1982. Semiotics and Thematics i n Hermeneutics. New York: Columbia University Press.
Sturrock, John. 1979. Structuralism and Since: From Levi Strauss to Derrida. Oxford: Oxford University Press.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Ilmu dalam Perspektif : Sehuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu Jakarta: Gramedia .
Steiner, Peter. 1978. ' Jan Mukarovsky’s Structural Aesthetics. Dalam Jan Mukarovsky (ed.). Structure, Sign, and Function. Michigan: University of Michigan.
Teeuw, A . 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
------ . 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene. 1966. A History of Modern Criticism: 1750 – 1950. London: Jonathan Cape.
Wellek, Rene and Austine Warren. 1976. Theory of Literature. Middlesex: Penguin Book Limited.
Young, Robert (ed.). 1987. Untying The Text: A Post-Structuralist Reader. London and New York: Routledge And Kegan Paul.
Evaluasi Yang Direncanakan Secara Keseluruhan Pembelajaran perkuliahan ini dikatakan berhasil apabila mahasiswa dapat No.
Indikator keberhasilan
Butir kemampuan Memahami
Poin maks.
konsep- Dapat menghapalkan
konsep
1.
Butir penilaian
Dapat menjelaskan
150
Dapat mensimulasikan Menerapkan konsep- Dapat mengidentifikasi masalah konsep
2.
Dapat menemukan kesesuaian teori dengan metode
150
Dapat mengumpulkan dan menganalisis data Kepemimpinan 3.
Dapat menyelenggarakan seminar Dapat menggalang antusiasme peserta
200
Dapat bekerja sama Kreativitas
Dapat menemukan masalah baru
4.
Dapat menemukan cara pandang baru
200
Dapat mensintesiskan cara pandang yang berbeda Jumlah
1000
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat 7 butir kemampuan yang diukur dalam pembelajaran dengan masing-masing 3 butir penilaian yang secara signifikan dapat dipakai untuk mengukur kemampuan mahasiswa. Dari distribusi kemampuan di atas dapat dirumuskan konversi nilai sebagai berikut. 750—1.000
:A
700—749
: A-
650—699
: A/B
600—649
: B+
550—599
:B
500—549
: B-
0—500
: TL
Dengan kata lain, apabila sebagian besar mahasiswa secara total hingga akhir semester dapat mengumpulkan sekurang-kurangnya 750 poin, maka dapat dinyatakan bahwa proses pembelajaran perkuliahan ini berhasil. Jika dinyatakan dalam bentuk kualitatif, perkuliahan ini dinyatakan berhasil jika peserta mampu: 1. Membuat proposal penelitian 2. Mempresentasikannya dan mempertahankannya dalam seminar 3. Menerapkannya dalam penelitian kecil
Matrix Penilaian No.
Materi/isi
Ranah Kognitif C1
C2
C3
C4
C5
Ranah C6
Afektif
Ranah
Metode
Tujuan
Psikomo Penilaia
Khusus
torik
n
Pembela jaran
1.
Dasar ontologis
1
1
X
A
1
1
X
A/I/P
dan epistemologis ilmu sastra 2.
Kesesuaian teori
dengan
Langkah-
D1
Semest
metode 3.
Mid er
1
1
1
X
A/I/P
Mid
langkah
dan
penelitian sastra
Ujian Akhir Semest er
D1