Jurnal Veteriner JURNAL KEDOKTERAN HEWAN INDONESIA
Vol12 No 4 Desember 2011 Pembiusan Babi untuk Model Laparoskopi Variasi Genetik Sapi Aceh Kadar Estradiol dan Estrogen Kambing Bligon Selama Estrus Inseminasi Buatan pada Rusa Timor Sifat Imunosupresif Vaksin Gumboro terhadap Respons Primer Vaksin Tetelo Alga Biru Hijau sebagai Imunostimulator pada Infeksi Thkizoit Patogenesis Virus Gumboro Galur Lokal Sifat Teratogenik Asam Boraks Sambiloto sebagai Antikoksidia (Eimeria tenella) Akar Pasak Bumi bersifat Hepatoprotektor Ragam Nyamuk di sekitar Kandang Babi Penyebar Japanese Encephalitis Serbuk Biji Pepaya Matang sebagai Pengendali Cacing Ascaris suum
DAFTAR lSI Vol12, No 4 Desember 2011 Terakreditasi Dirjen Dikti S.K. No. 65a/DIKTI/Kep/2008
Jurnal Veteriner
ISSN : 1411-8327 Website: ejournal.unud.ac.id Terbit sejak 18 Desember 2000
Jurnal Kedokteran Hewan Indonesia Indonesian Veterinary Journal Naskah Asli Original Article GUNANTil, RIKI SISWANDI, RADEN HARRY SOEHARTONO, MOKHAMAD FAKHRUL ULUM, I GUSTI NGURAH SUDISMA, Pembiusan Babi Model Laparoskopi untuk Manusia dengan Zoletyl, Ketamin Dan Xylazin (THE ANASTHESIZED OF PIGS FOR HUMAN LAPAROSCOPY MODEL USING ZOLETYL, KETAMINE, AND XYLAZINE) ......... ....... ........... .. ........................... ................................. 247-253 T. ARMANSYAH,AL-AZHAR, TONGKU NIZWAN SIREGAR Aaalisis Isozim untuk Mengetahui Variasi Genetik Sebagai Upaya Pemurnian Ras Sapi Aceh (ISOZYMES ANALYSIS TO INVESTIGATE GENETIC VARIATION AS AN EFFORT TO DEVELOP PURE BREED OF ACEH'S CATTLES) ............. ......................................... 254-262 IRKHAM WIDIYONO, PRABOWO PURWONO PUTRO, SARMIN, PUDJI ASTUTI, MONAAIRIN Kadar Estradiol dan Progesteron Serum, Tampilan Vulva dan Sitologi Apus Vagina Kambing Bligon Selama Siklus Birahi (SERUM ESTRADIOL AND PROGESTERONE CONCENTRATION, VULVAL APPEARANCE, AND EXFOLIATIVE VAGINAL CYTOLOGY DURING ESTROUS CYCLE IN BLIGON GOATS) ... ......... .. 263-268 WILMIENTJE MARLENE MESANG NALLEY, RISTIKA HANDARINI, RADEN IISARIFIANTINI, TUTYLASWARDI YUSUF,BAMBANGPURWANTARA, GONO SEMIADI Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan pada Rusa Timor (ESTRUS SYNCHRONIZATION AND ARTIFICIAL INSEMINATION IN TIMOR DEER) ..... ...... ........ ....... .. 269-274 GUSTIAYUYUNIATI KENCANA, ANAKAGUNG AYU MIRAHADI, IDA BAGUS KOMANGARDANA, I GUSTI NGURAH KADE MAHARDIKA Vaksin Gumboro Menyebabkan Pengaruh Imunosupresif pada Respons Primer Vaksin Penyakit Tetelo pada Ayam Pedaging (GUMBORO VACCINE CAUSES IMMUNOSUPPRESIVE EFFECT ON PRIMARY IMMUNE RESPONSE OF BROILER CHICKEN VACCINATED AGAINST NEWCASTLE DISEASE) ............. ...... .... ... 275-280 SORTA BASAR IDA SIMANJUNTAK, SUKARTI MOELJOPAWIRO, WAYAN TUNAS ARTAMA, SUBAGUS WAHYUONO Respon lmunoglobulin-G dan lmunoglobulin-M Mencit yang Diberi Ekstrak Metanol Alga Biru Hijau dan Diinfeksi Dengan Takizoit (THE RESPONSES OF IMMUNOGLOBULIN-G AND IMMUNOGLOBULIN-M ON MICE ADMINISTERED WITH METHANOL EXTRACT OF BLUE GREEN ALGAE AND CHALLENGED WITH TACH!ZOIT) ........ .. 281-287 SUTIASTUTIWAHYUWARDANI,DEWIRATIHAGUNGPRIYONO,LIESPAREDE, WASMEN MANALU Patogenesis Infeksi Virus Gumboro Isolat Lokal pada Ayam Pedaging (PATHOGENICITY OF LOCAL ISOLATE OF GUMBORO INFECTION IN BROILER) ..... ................ ....... . 288-299 NAZARUDDIN, DWINNAALIZA, ERDIANSYAH RAHMI,WINARUDDIN, SYAFRUDDIN,AMALIASUTRIANA Uji Tertogenik Akibat Pemberian Asam Boraks pada Tikus Putih (TERATOGENIC BIOASSAY ON WHITE RATS INDUCED BY BORIC ACID) ......................... ............ ........ 300-306 YULIA YELLITA, UMI CAHYANINGSIH, DYAH ISWANTINI PRADO NO, WIWIN WINARSIH, WAS MEN MANALU Perendaman Ookista Eimeria Tenella Bersporulasi dalam Ekstrak Sambiloto Meningkatkan Perform a Ayam Pedaging (EFFECT OF SPORULATED E. TENELLA OOCYST INCUBATED IN ANDROGRAPHIS PANICULATA EXTRACT BEFORE INFECTION INCREASE CHICKEN PERFORMANCE) ... ..................... 307-318 RUQIAH GANDAPUTRI PANJAITAN, WASMEN MANALU, EKOWATI HANDHARYANI, CHAIRUL Aktivitas Hepatoprotektor Ekstrak Metanol Akar Pasak Bumi dan Fraksi-Fraksi Turunannya (HEPATOPROTECTOR ACTIVITY OF METHANOL EXTRACT AND ITS DERIVA TES FRACTIONS OF EURYCOMA LONG/FOLIA JACK. ROOTS) .... ........... ................. ..... ...... ...................... .. ... .............. .. ..... . 319-325 UPIK KESUMAWATI HADI, SUSI SOVIANA, TATTY SYAFRIATI Ragam Jenis Nyamuk Di Sekitar Kandang Babi dan Kaitannya dalam Penyebaran Japanese Encephalitis. (THE MOSQUITOES SPECIES IN PIG PEN AREA AND ITS RELATION TO THE TRANSMISSION OF JAPANESE ENCEPHALITIS) .... ..... ..................... ................................. .. ............... ... ... .. .. ............................ 326-334 IDA BAG US KOMANGARDANA, I MADE BAKTA, I MADE DAMRIYASA Pemakaian Herbal Serbuk Biji Pepaya Matang dalam Pengendalian Infeksi Ascaris suum pada Babi (THE USE OF RIPE PAPAYA SEED POWDER TO CONTROL INFECTION OF ASCARIS SUUM IN SWINE). 335-340
Jurnal Veteriner Desember 20 II ISSN: 1411- 8327
Vol. 12 No.4: 300-306
Uji Teratogenik Akibat Pemberian Asam Boraks pad a Tikus Pu tih (TERATOGENIC BIOASSAY ON WHITE RATS INDUCED BY BORIC ACID) Nazaruddin 1 , Dwinna Aliza 1, Erdiansyah RahmP, Winaruddinl, Syafruddin 3 , Amalia Sutriana 4 1
Lab Patologi, 2Lab Histologi, 3Lab Klinik, 4 Lab Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Jln. T. Hasan Krueng Kalee No.4 Darussalam Banda Aceh
[email protected] ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek teratogenik boraks (Dinatrium Tetraborat Dekahidrat) yang diberikan per oral pada induk tikus (Rattus norvegiws) bunting terhadap kematian intra uterin dan perubahan bobot badan fetus . Penelitian ini terdiri dari tiga langkah kerja, yaitu penanganan hewan uji, uji kawin, dan pengujian teratogenesis boraks. Dalam penelitian ini digunakan 35 ekor tikus betina dan tujuh ekor tikus jan tan dewasa seksual dengan berat badan berkisar 152-158 gram. Uji kawin dilakukan dengan cara menempatkan tikus jantan ke dalam kandang tikus betina sedangkan penentuan positif kawin pada tikus betina diketahui dengan pemeriksaan ulas vagina di bawah mikroskop . Tikus betina bunting selanjutnya dibagi dalam tujuh kelompok perlakuan (Kelompok kontrol, I, II, III, IV, V, dan VI) yang masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor. Bahan uji yang digunakan yaitu dinatrium tetraborat dengan dosis 0,5; 0,75; 1,0; 1,5; 2,0; dan 3 glkg BB. Sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan akuades. Dosis yang digunakan adalah dosis tunggal yang diberikan per oral pada hari ke-6 kebuntingan. Tikus ditimbang mulai hari ke-5 kebuntingan (sebelum perlakuan) sampai hari ke-18 kebuntingan . Pada umur kebuntingan 18 hari, tikus dikorbankan nyawanya dengan cara dislokasia servikalis dan selanjutnya diseksi untuk diambil uterus. Hasil analisis statistika menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil analisis sidik ragam terhadap persentase rataan kematian intra uterin menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara semua kelompok perlakuan (P<0,05) . Demikian juga dengan hasil analisis statistik terhadap bobot badan rataan fetus tikus menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05). Simp ulan penelitian ini adalah pemberian boraks pada tikus betina bunting dapat menyebabkan efek teratogenik, yaitu kematian intra uterin dan menghambat perkembangan fetus. Besarnya dosis boraks yang diberikan berpengaruh pada penurunan besarnya kenaikan bobot badan induk dan fetus. Kata Kunci: boraks, teratogenik, fetus, tikus putih.
ABSTRACT The aim of the research was to determine the teratogenic effects ofborax treatment in pregnant white rats (Rattus norvegicus) on the intra uterine death and weight changes of fetus . As many as 35 female and seven adult male rats with the weight of approximately 152-158 g were used. Mating test was conducted by placing the male rat in female rat cage and mating was examined using vagina swab. Pregnant rats were then divided into seven treatment groups (control, I, II, III, IV, V, and VI) each of which consisted of five rats. They were treated orally with single dose of dinatrium tetraborat/borax on day six of pregnancy with the dose of0.5, 0.75, 1.0, 1.5, 2.0, and 3.0 g/kg bw respectively, whereas the control group was treated orally with distillated water. The rats were weighted daily, starting from day five to day 18 of pregnancy. At 18 days of gestation, rats were sacrificed by cervicalis dislocation, followed by autopsy to collect the uteri. The result showed that the percentage of intra uterine fetal death were significantly different among all treatment groups. The average rat fetal body weight were also significant different among treatment groups. Borax treatment in pregnant rats resulted in teratogenic effects such as intra uterine fetal death and impeded fetus development. The given dose of borax affect the severity of teratogenic effects and weight gain ofthe fetal. Keywords : borax, teratogenic, fetus, rat
300
Nazaruddin eta!
Jumal Veteriner
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Boraks adalah salah satu senyawa berinti boron dengan rumus kimia Na 2B 4 0 7 10H 2 0 (dinatrium tetraborat dekahidrat). Boron pertama kali diisolasi pada tahun 1808 dan merupakan trace element yang dapat ditemukan di dalam air, tanah, dan tumbuh-tumbuhan. Ban gsa Mesir m enggunakan boraks dalam proses m umifikasi sedangkan orang Romawi m engg u nakan n ya untuk mem b u at gelas (Woods, 1994). Dewasa ini boraks banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan penggunaannya antara lain untuk desinfektan, m sektisida, herbisida, pupuk, bahan pembuat porselin, pelapis keramik, mainan anak-anak, de tergent , antiseptik, dan reagen biologi molekuler (Pongsavee, 2009). Di Indonesia, senyawa ini sering digunakan sebagai baha n tambahan makanan (food add i ti ve ). U m u m n y a m a k anan y ang m engguna kan boraks sebagai food additive adalah makanan jajanan yang sudah dikenal masyarakat luas seperti t ahu, mie, bakso, sa us cabai, dan saus t omat. Penambahan boraks di maksudkan u ntuk mengawetkan dan me mbuat makanan menjadi lembut tetapi ke nyal sehingga tidak mudah hancur (Wijaya, 2000). Departemen Kesehatan beberapa Negara te lah melarang penggunaan boraks dalam m akanan. Pelarangan penggunaan boraks tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722 tahun 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Hal tersebut diakibatkan efek toksik dari boraks yang membahayakan di a n taranya me n ghambat perkembangan dan reproduksi; iritasi kulit, traktus respiratori dan traktus digestivus; serta mempengaruhi beberapa organ penting, sistem peredaran darah dan otak yang mengakibatkan mual, muntah yang berkepanjangan , sakit perut, diare, iritasi kulit, hilang kesadar an, depresi bahkan gagal ginjal (Pongsavee, 2009). Hasil analisis terhadap makanan jajan a n di Kota Semarang didapatkan bahwa 3,44% m e n gandung boraks (Rahayu dan Firdaus, 2008) , sedangkan hasil analisis food water terhadap bahan panga n dilaporkan bahwa dari 1222 sam pel, 123 sam pel (11 %) men gandung boraks.
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu penanganan hew an uji, uji kawin, dan pengujian teratogenesis boraks. Penanganan hew an uji Hew an uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dan betina dewasa kelamin dengan bobot badan ber kis ar a ntara 152-158 g. Kandang yang digun akan u ntuk pemelih araan adalah bak plastik beruk uran 35 x 50 x 20 em dan pada bagian atasnya dit u t upi dengan kawat ayam. Ka ndang diberi alas sekam padi yang diganti pada setiap hari. Setiap kandang diisi 2-3 ekor tikus betina. Tikus jantan ditempatkan di kandang tersendiri.
Uji kawin Pengamatan uji kawin yaitu pada h a r i berikutnya setelah dilakuk an u ji ka win. Penentuan positif kawin pada t ikus betina diketahui dari pemeriksaan ulasan vagina . Ulasan vagina diperoleh dengan memasukkan pipet tetes berujung tumpul yang berisi NaCl 0,9% ke dalam vagina tikus dan ke mudian dioleskan pada gelas objek. Diwarnai dengan methylen blue dan keringka n dengan cara mengangin-anginkan, lalu diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat adanya spermatozoa sebagai induksi bahwa tikus betina tersebut positif kawin. Apabila pada pemeriksaan ulas vagina terdapat spermatozoa, maka hari itu dihitung sebagai hari awal. Pengujian t e ratogenik boraks Bahan uji yan g digun akan adalah boraks (Mer ck, Jerm an). E oraks berbentuk kristal ber warn a putih dan memp unyai sifat mudah lar ut dalam air. Boraks yang akan digavage d il ar utkan da l a m aquabides. Pengujian t era togen esis boraks bertujuan untuk menilai nilai ED50. Pen entuan dosis pada pengujian ED50 ini mengacu pada referensiyaitu 0,5; 0,75; 1; 1,5; 2 dan 3 g/kg bobot badan. Tikus betina dipilih secara acak sebanyak 35 ekor, yang terbagi atas 7 kelompok (6 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol) dengan 5 ulangan. Semua tikus diaklimatisasi selama 7 hari dan sebelum diberi perlakuan, dipuasaka n selama 12-18jam.
301
Vol. 12 No.4: 300-306
Jurnal Veteriner Desember 2011
Dosis yang digunakan adalah dosis tunggal yang diberikan pada hari ke-6 kebuntingan dengan maksud untuk mengganggu pertumbuhan fetus yang berada dalam masa organogenesis. Pemberian melalui oral yaitu dengan cara digavage dari mulut hingga mencapai lambung. Setiap dosis dilarutkan dalam aquabides dan digavage dengan alat intubasi dari spuit plastik ukuran 2,5 ml yang telah dimodifikasi. Tikus ditimbang mulai dari hari ke-5 kebuntingan (sebelum perlakuan) sampai dengan hari ke-18 kebuntingan. Pada umur kebuntingan 18 hari, tikus perlakuan dikorbankan nyawanya dengan cara dislokasio servikalis dan selanjutnya dibedah. Setelah dibedah, uterus dilepaskan dari tubuh induk. Selanjutnya kantung amnionnya dibuka satu persatu. Pada kedua cornua uterus dilakukan pengamatan mengenai jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, dan jumlah fetus yang diresorbsi. Fetus hid up dilepaskan dari uterus dengan cara memotong tali pusat, lalu direndam dalam larutan NaCl 0,9%. Setelah itu diangkat dan dikeringkan dengan kertas tisu. Kern udian setiap fetus ditimbang dan diamati abnormalitas eksternalnya. A nalisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan setiap perlakuan yaitu; nilai rata-rata laju pertambahan berat badan induk, berat badan fetus dan jumlah resorbsi fetus ditabulasikan dan dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap. Bila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan analisis uji jarak berganda Duncan (Sudjana, 1988).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa selama pengamatan tidak terjadi kematian induk. Bila dibandingkan bobot badan awal dan akhir pengamatan pada semua induk tikus kelompok perlakuan mengalami kenaikan rataan bobot badan. Kenaikan rataan bobot badan induk tikus lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan menurun sejalan dengan bertambahnya dosis pemberian boraks. Besarnya kenaikan bobot badan rataan induk tikus pada hari ke-6 dan ke-18 perlakuan kelompok kontrol 1, 75 dan 2,42% dengan kenaikan bobot badan rataan per hari 2, 15%. Pada perlakuan kelompok I (dosis 0,5 g/kgbb)
adalah 1,6 dan 2,51% dengan kenaikan berat badan rata-rata per hari 2,67%. Pada perlakuan kelompok II (dosis 0, 75 glkgbb) adalah 1, 78 dan 2,23% dengan kenaikan bobot badan rataan per hari 1,92 %. Pada perlakuan kelompok III (dosis 1 g/kgbb) adalah 1,60 dan 1,14% dengan kenaikan bobot badan rataan per hari 1,89%. Pada perlakuan kelompok IV (dosis 1,5 glkgbb) adalah 1,16 dan 2,35% dengan kenaikan bobot badan rataan per hari 1,95%. Pada kelompok V (dosis 2 gr/ kgbb) adalah 1,34 dan 0,97% dengan kenaikan bobot badan rataan per hari 1,12%. Padaperlakuankelompok VI (dosis 0,75 grlkgbb) adalah 1,06 dan 0,96% dengan kenaikan bobot badan rataan per hari 0,95% (Tabel1). Hasil analisis statistika dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) di antara kelompok perlakuan terhadap kenaikan bobot badan rataan induk tikus. Perbedaan tersebut antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dosis 1,5; 2, dan 3 g/kgbb. Tapi, tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan dosis 0,5; 0, 75 dan 1 g/kgbb. Antara kelompok perlakuan dengan dosis 0, 75; 1,0; 1,5; dan 2,0 glkgbb tidak terdapat perbedaan yang nyata. Sedangkan kelompok perlakuan dengan dosis 2 dan 3 gr/ kgbb terdapat perbedaaan yang nyata (P<0,05) terhadap kenaikan bobot badan induk tikus. Pengamatan terhadap bobot badan induk tikus dari masing-masing kelompok perlakuan secara umum menunjukkan perkembangan yang meningkat. Kenaikan bobot badan rataan induk tikus secara umum tersebut disebabkan oleh pertambahan bobot badan fetus yang dikandungnya. Besarnya kenaikan bobot badan rataan induk tikus yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya dosis boraks. Penurunan ini disebabkan terjadinya hambatan pertumbuhan fetus yang dikandung dan terganggunya metabolisme di dalam tubuh induk tikus akibat paparan boraks. Persentase rataan kematian intrauterin pada induk tikus berbeda pada masing-masing kelompok perlakuan. Kematian intrauterin ditandai dengan adanya resorbsi fetus di dalam uterus. Persentase rataan kematian intrauterin kelompok perlakuan I (dosis 0,5 g/kgbb), kelompok perlakuan II (dosis 0, 75 g/kgbb), kelompok perlakuan III (dosis 1 g/kgbb), kelompok perlakuan IV (dosis 1,5 g/kgbb) , kelompok perlakuan V (dosis 2 g/kgbb), dan kelompokperlakuan VI (dosis 3 glkgbb) berturut-
302
Jurnal Veteriner
Nazaruddin eta!
Tabell. Persentase (%) besarnya rataan kenaikan bobot badan induk tiku s pada uji teratogenik boraks. Kelompok perlakuan
v
Hari kebuntingan ke-
Kontrol (0 g/ kgbb)
I (0,5 g/ kgbb)
II (0, 75 g/ kgbb)
III (1 g/ kgbb)
N (1,5 g/ kgbb)
(2 g/ kgbb)
VI (3 g/ kgbb)
6 7 8 9 10
1,75 1,83 2,00 2,02 2,04 2,05 2,1.1. 2,25 2,31 2,37 2,37 2,39 2,42 27,91 2,15± 0,22"
1,60 1,88 1,79 2,19 2,44 2,09 2,16 2,04 1,79 1,59 2,40 2,49 2,51 26,96 2,07± 0,32"
1,78 2,07 1,11 1,86 1,93 1,80 1,55 1,89 2,09 2,24 2,23 2,19 2,23 24,98 1,92± 0,32•b
1,60 1,88 1,79 2,19 2,44 2,09 2,16 2,04 1,79 1,59 2,40 1,42 1,14 24,52 1,89± 0,38•b
1,16 1,23 1,08 1,25 1,58 1,35 0,74 1,67 1,26 1,47 2,94 2,65 2,35 20,73 1,59± 0,65b
1,34 1,31 1,14 1,28 1,19 1,10 1,09 1,08 1,05 1,08 0,96 0,91 0,97 14,51 1,12± 0,13b
1,06 0,91 0,54 0,78 0,93 0,87 1,11 1,12 0,96 1,05 1,11 0,99 0,96 12,40 0,95± 0,16°
11
12 13 14 15 16 17 18 Jumlah Rataan± SD
Keterangan : Tanda superskrip dalam satu baris hila diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan titik berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 2. Persentase (%) rataan kematian intrauterin pada uji teratogenik boraks. Kelompok perlakuan
Dosis boraks (g/kgbb)
Rataanjumlah implantasi
Rataan kematian intrauterin (%)
Kontrol I II III N
0 0,5 0,75 1 1,5 2 3
10,2 10,4 10,2 10,6 10,2 10,2 10,4
0 a 11,45 b 21,64 c 32 d 56,73 e 72,73 f 98g
v
VI
Keterangan: Tanda sup e r skrip dalam sat u kolom bila diikuti ole h h u r u f y ang b erbe da menunjukkan ber beda nyata (P<0,05). t urut a dalah 11,45 %; 21 ,64%; 32 %; 56,73%; 72, 73%; dan 98 %, seda ngka n kelompok kontrol tida k t e rjadi k em a tia n intrauterin. Hasil an a lisis varians juga tidak menunjukkan perbedaa n yang nyata (P<0,05) di antara semua kelompok perlakuan (Tabel2). Berdasarkan hasi l penelitian yang dila kukan , menunj ukk a n bahw a boraks berpe r a n dal am m e n gga n ggu k ebuntingan
induk tikus. Dari seluruh dosis yang diajukan pada uji teratogenik boraks, dosis 0,5 glkgbb yang memiliki efek terendah dan dosis 3 g/kgbb yang memiliki efek tertinggi dalam mengganggu kebuntingan. Gangguan boraks pada kebuntingan tikus dapat dilihat pada persentase rataan kematian intra uterin yang tinggi. Boraks secara nyata mengganggu kebuntingan dengan menyebabkan ke m a tian intra u terin sampai
303
J urn a! Veteriner Desember 2011
Vol. 12 No. 4 : 300-306
Gambar 1. Fetus yang berasal dari induk yang diberikan boraks pada hari ke-6 kebuntingan dengan dosis 0,5 (I), 0, 75 (II), 1,0 (III), 1,5 (IV), 2,0 (V) , dan 3 gram boraks/kg BB (VI), Kontrol hanya diberikan akuades. 56,73% pada dosis 1,5 g/kgbb. Menurut Wu et al., (2010) suatu zat dapat dikatagorikan sebagai antifertilitas hila zat tersebut dapat menurunkan fertilitas sebesar 50%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase kematian intrauterin semakin tinggi dengan meningkatnya dosis boraks yang diberikan. Hal ini disebabkan plasenta. yang merupakan barier selama masa kebuntingan belum terbentuk secara sempurna, dengan demikian boraks dapat mencapai fetus dan mematikan sehingga terjadi resorbsi. Menurut Mitruka et al., (1996) tipe plasenta tikus adalah hemoendotelial, karena endotel pembuluh kapiler fetus berbatasan langsung dengan darah induk. Tipe plasenta seperti ini memiliki sifat barier yang lemah dan bersifat permiabel. Pemberian suatu teratogen terutama zat kimia dalam dosis tinggi pada periode organogenesis umumnya menyebabkan fetus lebih rentan terhadap kematian. Pada tikus, hari kebuntingan ke-6 sampai ke-15 terjadi proses proliferasi sel yang aktif. Proses proliferasi sel yang aktif ini rentan terhadap kematian sel hila dibandingkan pada saat proliferasi rendah (Pongsavee, 2009). Pemberian pada dosis tinggi yaitu di atas 1,5 g/kgbb menyebabkan kematian sel-sel jaringan fetus dalam jumlah berlebihan sehingga menyebabkan kematian seluruh fetus. Namun, pada dosis di bawah 1,5 g/kgbb, persentase kematian fetus lebih rendah. Kematian fetus dapat dihubungk;m dengan konsekuensi kelainan yang parah yaitu gangguan seluruh pertumbuhan atau terhentinya semua fungsi (Vaziri et al. , 2001). Hasil penelitian pada tikus diketahui bahwa boraks bersifat mengikat riboflavin bebas sehingga riboflavin bebas yang fungsinya
mengikat protein menjadi berkurang. Akibatnya, jumlah protein di dalam kuning telur, albumin, dan plasma darah menjadi berkurang (Pangestiningsih dan Sunaryo, 1995). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Ritter (1977) yang melaporkan bahwa riboflavin sangat berperan dalam pembentukan ATP (adenosin tripospat). Akibat meningkatnya riboflavin oleh boraks, maka ATP yang diperlukan dalam biosentesis DNA, RNA, dan protein menjadi berkurang. DNA sendiri sangat diperlukan dalam proliferasi sel pada masa organogenesis. Hasil pengamatan bobot badan rataan fetus pada induk tikus kelompok kontrol dan perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3. Dari seluruh fetus yang diamati tidak terdapat kelainan eksternal, baik dari induk tikus kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Bobot badan rataan fetus kelompok kontrol, kelompok perlakuan I (dosis 0,5 g/kgbb), kelompok perlakuan II (dosis 0, 75 g/kgbb), kelompok III (dosis 1 g/kgbb), kelompok N (dosis 1,5 g/kgbb), kelompok V (dosis 2 g/kgbb), dan kelompok VI (dosis 3 g/kgbb) berturut-turut adalah 1,43; 1,39; 1,34; 1,31; 1,15; 0,93 dan 0,7 gr. Bobot badan rataan fetus menurun dengan meningkatnya dosis (Gambar 1). Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata bobot badan rataan fetus di antara kelompok perlakuan. Perbedaan secara nyata (P<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok V dan VI, antara kelompok perlakuan I dengan V dan VI, antara kelompok perlakuan II dengan V dan VI, antara kelompok per lakuan III dengan V dan VI. Sedangkan kelompok IV, V, dan VI tidak berbeda nyata (P>0,05). Hambatan pertumbuhan dapat diketahui dari bobot badan fetus yang rendah dan diinterpret~si sebagai suatu manifestasi respons
304
Nazaruddin eta/
Jurnal Veteriner
Tabel3. Rataan bobot badan fetus (gram) pada uji teratogenik boraks. Kelompok perlakuan boraks/kgbb Ulangan
1 2 3 4 5 Rataan± SD
0,00 (K)
(0,50 (I)
0,75 (II)
1,00 (III)
1,50 (IV)
1,42 1,38 1,41 1,43 1,49 1,43± 0,04 a
1,35 1,42 1,37 1,39 1,43 1,39± 0,03 a
1,35 1,37 1,31 1,34 1,35 1,34± 0,02 a
1,28 1,34 1,32 1,35 1,24 1,31± 0,04 ab
1,21 1,19 1,13 1,09 1,15 1,15± 0,04 ab
2,00 (V) 3,00 (VI) 1,07 0,95 0,82 0,94 0,89 0,93± 0,09b
0,87
0,87± 0,38 b
Keterangan : Tanda superskrip dalam sattt baris hila diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda ., nyata (P>0,05).
yang spesifik. Proses proliferasi sel yang terhambat menyebabkan gangguan pertumbuhan secara menyeluruh. Sifat sitotoksik boraks juga mengakibatkan hambatan pertumbuhan melalui penurunan bobot badan fetus. Tidak ditemukan abnormalitas pada penelitian ini. Kemungkinan kelainan anatomi terse but belum dapat terlihat pada umur fetus 18 hari. Hal ini sesuai seperti dilaporkan oleh Vaziri et al., (2001), bahwa pemberian zat kimia dengan dosis rendah dapat menyebabkan pengurangan fungsi setelah kelahiran yang awalnya tidak menunjukkan perkembangan abnormal. Zat kimia a tau teratogen dengan dosis rendah dapat mengakibatkan sel-sel mati. Selsel yang dapat bertahan dalam jaringan akan membentuk organ berukuran kecil namun abnormal (Ritter, 1977). Faktor terse but yang menyebabkan semakin kecilnya fetus seiring dengan bertambahnya dosis perlakuan.
SIMP ULAN Berdasarkan hasil pengamatan teratogenik pada induk tikus bunting dan fetus tikus akibat pemberian boraks dapat disimpulkan bahwa: Pemberian boraks pada tikus putih bunting dapat menyebabkan efek teratogenik, yaitu kematian intrauterin dan menghambat perkembangan fetus yang semakin bertambah dengan meningkatnya dosis. Besarnya dosis pemberian boraks pada tikus putih bunting berpengaruh pada penurunan besarnya bobot badan induk tikus dan fetus tikus.
SARAN Perlu dilakukan sosialisasi akan bahaya boraks terhadap kesehatan manusia, khususnya bagi wanita hamil dikarenakan efek boraks yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan fetus bahkan sampai kematian intrauterin.
DAFTAR PUSTAKA MitrukaBM, RawnsleyHM, VahedraDV.1976. Animals for Medical Research. Models for Study of Human Diseases. New York, John Wiley and Co. Pangestiningsih TW, Sunaryo S. 1995. Effect of riboflavin supplementation on the teratogenic effects of sodium borate in white rats. Bull FKH-UGM. XIV(2): 8-20. Rahayu NS, Firdaus F. 2008. Profil food safety knowledge and practice unit-unit rumah tangga di Kabupaten Sleman. Jurnal Penelitian dan Pengabdian dppm.uii.ac.id. Ritter EJ. 1977. Altered Biosynthesis, In: Handbook of Teratology, Vol2: Mechanism and Pathogenesis. New York, Plenum Press. Sudjana.1988. Disain dan Analisis Eksperimen. Bandung. Penerbit Tarsito. Vaziri ND, Oveisi F, Culver BD, Pahl MV, Andersen ME, Strong PL, and Murray FJ. 2001. The effect of pregnancy on renal clearance of boron in rats given boric acid orally. Toxicological Sciences 60: 257-263.
305
Vol. 12 No. 4: 300-306
Jurnal Veteriner Desember 201 1
Wijaya H. 2000. Bahaya Tambahan Pangan, Betulkah Berbahaya?, Edisi 5/I April, TPGFateta, Bogor, IPB. Pongsavee M. 2009. Effect of borax on immune cell proliferation and sister chromatid exchange in human chromosomes. Journal of Occupational Medicine and Toxicology 4 (27): 1-6. Woods WG. 1994. An introduction to boron: history, sources, uses, and chemistry. Environ Health Perspect 102(Suppl 7): 5-11
Wu PF, Chiang TA, Chen MT, Lee CP, Chen PH, Ko AM, Yang KJ, Chang PY, Ke DS, and Ko YC. 2010. A characterization of the antioxidant enzyme activity and reproductive toxicity in male rats following sub-chronic exposure to areca nut extracts. J HazMat 178: 541-546.
306