ISSN 1410 – 9565 Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010 Tanggal : 6 Mei 2010
JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH
Volume 13 Nomor 2 Desember 2010
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional
J. Tek. Peng. Lim.
Vol. 13
No. 2
Hal. 1-54
Jakarta Desember 2010
ISSN 1410-9565
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010
JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN) Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN) Editor Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN) Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah) Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN) Mitra Bestari Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo) Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md. Penerbit Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927 e-mail :
[email protected]
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010
JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah Drs. R. Heru Umbara (Ka. PTLR BATAN) Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN) Editor Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN) Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah) Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN) Mitra Bestari Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo) Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md. Penerbit Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927 e-mail :
[email protected]
i
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010
JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 2 Desember 2010
Pengantar Redaksi Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 13 Nomor 1, Juni 2010. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan. Pada volume ini Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah kembali memuat karya-karya tulis yang berkaitan dengan Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif, Pengolahan Limbah Resin, Karakterisasi Limbah Gelas, Kajian Penggunaan Mineral Alam Sebagai Penghambat Sebaran Radionuklida, Radioekologi Kelautan serta aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan misi Jurnal ini. Harapan kami, semoga penerbitan jurnal ini dapat meningkatkatkan profesionalitas dan mampu memberikan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan limbah secara umum. Jakarta, Desember 2010
ii
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010
JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 2 Desember 2010
Daftar Isi Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad ; Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif Di Indonesia Ditinjau dari Konsep Cradle to Grave ( 1-7 ) Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah Terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah ( 8-17 ) Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita ; Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (AOP) untuk Mengolah Limbah Resin Cair ( 18-25 ) Budi Setiawan ; Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit ( 26-31 ) Erwansyah Lubis ; Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan Dalam Produksi Energi Listrik ( 32-38 ) Nirwan Syarif ; Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi Sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik ( 39-44 ) Muh. Nurdin, Muh.Natsir, Maulidiyah, Jarnuzigunlazuardi ; Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model Baru ( 45-54 )
iii
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010
JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Pedoman Penulisan Naskah Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun. Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman, 3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan. 4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi. 5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic. 6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya: i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar) 8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],... 9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi: [2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990). Artikel dari jurnal : [3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992) Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000). 10. 11. 12. 13.
iv
Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS Word.
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA DITINJAU DARI KONSEP CRADLE TO GRAVE Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat RadioaktifBAPETEN, Jakarta
ABSTRAK STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INDONESIA DITINJAU DARI KONSEP CRADLE TO GRAVE. Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia terutama di bidang Industri, kesehatan, dan penelitian telah memberikan kontribusi terhadap timbulan limbah radioaktif di Indonesia. Pengelolaan limbah radioaktif diatur secara terpisah dari pengelolaan limbah B3 atau limbah lainnya, akan tetapi konsep pengelolaan limbah B3 dengan Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah sejak ditimbulkan sampai dengan dikubur dapat dipraktekkan dalam pengelolaan limbah radioaktif. Metode penyusunan makalah ini melalui studi literatur, dengan tahapan inventarisasi literatur, pemahaman literatur dan analisis terhadap literatur. Implementasi konsep Cradle to Grave dilakukan melalui pengawasan terhadap dokumen pengiriman limbah radioaktif yang dibuat rangkap 6, penghasil limbah radioaktif menyimpan lembar ke-6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar ke 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar ke 3. Dengan pendekatan Cradle to Grave maka perjalanan dan tanggungjawab terhadap limbah radioaktif dapat tertelusur sehingga kegiatan pengelolaan limbah radioaktif memberikan jaminan terhadap lingkungan hidup. Keberhasilan pelaksanaan konsep Cradle to Grave sangat ditentukan oleh pihakpihak yang berkepentingan untuk dapat mentaati semua ketentuan selama pengelolaan limbah radioaktif. Kata kunci : limbah radioaktif, cradle to grave, dokumen ABSTRACT STRATEGY OF RADIOACTIVE WASTE MANAGEMENT IN INDONESIA; CRADLE TO GRAVE CONCEPT. The use of nuclear energy especially in industry, medicine, and research has given contribution to radioactive waste generation in Indonesia. Radioactive waste management should be regulated separately from hazardous waste management or other wastes. However, hazardous waste management concept stated by cradle to grave is monitoring to waste since generation until disposal. The concept can be applied for radioactive waste. Methode of this paper throught literature study, literature understanding and analysis. The cradle to grave concept can be appied by monitoring to radioactive waste transportation document. Amount of the document is six copies, generator save the th th 6 copy and give the 5 copy to regulatory body and the rest to transporter and waste organizer or origin country of radioactive source. Radioactive waste organizer or origin country of radioactive source st nd rd send the 1 copy to generator, the 2 to regulatory body and save the 3 copy. The approach of cradle to grave concept provides information regarding the responsible parties and the transportation process of radioactive waste in order to ensure the environment quality. The success of cradle to grave concept implementation depends on stakeholders compliance to all regulations during radioactive waste management. Keywords : Radioactive Waste, Cradle to Grave, Document PENDAHULUAN Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia di bidang industri, kesehatan dan penelitian semakin berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, teknologi, pengetahuan, budaya, dll dan telah terbukti secara nyata memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat Indonesia. Di bidang kesehatan, tenaga nuklir berperan dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan masyarakat antara lain untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian. Pemanfaatan tenaga nukir pada sektor industri
1
Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To Grave
secara langsung berperan dalam meningkatkan mutu dan laju produksi termasuk industri pertambangan yang merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Efisiensi proses produksi yang tidak akan pernah mencapai 100 % berdampak dihasilkannya limbah padat, cair, gas yang harus dikelola dengan bijaksana, artinya bahwa pengelolaan limbah tersebut mampu mengoptimalkan tuntutan kepentingan dari berbagai pihak terkait, terutama kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup. Mengingat kompleksnya permasalahan limbah maka sebelum terbentuknya limbah hendaknya dilakukan tindakan-tindakan yang berorientasi pada upaya meminimalkan terjadinya limbah yang dapat dilakukan melalui seleksi bahan baku, rekayasa proses dan penerapan prinsip reuse, recycle serta recovery. Bidang radioekologi saat ini banyak menarik perhatian para pecinta lingkungan, terutama berkaitan dengan masalah limbah radioaktif. Limbah radioaktif selama ini tidak pernah dibuang ke lingkungan secara sembarangan karena telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku secara internasional [1]. Pengaturan limbah radioaktif dan paparan radiasi secara internasional ditetapkan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan juga oleh International Commission on Radiological Protection (ICRP) [1]. Sedangkan di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan perizinan yang diberikan oleh BAPETEN juga memperhatikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya [2]. Pada dasarnya tingkat bahaya limbah radioaktif tidak berbeda dengan limbah berbahaya lainnya, yang membedakan adalah penyebab dan mekanisme terjadinya interaksi dengan target. Karakteristik bahaya dari limbah radioaktif adalah memancarkan radiasi yang dapat mengionisasi atau merusak target sehingga menjadi tidak stabil/disfungsi, sedangkan karakteristik bahaya dari limbah B3 antara lain: mudah meledak, mudak terbakar, beracun, reaktif, menyebabkan infeksi dan bersifat korosif [3]. Dalam pengelolaan limbah B3 dikenal konsep Cradle to Grave yaitu pengawasan terhadap limbah B3 dari sejak dihasilkan hingga penanganan akhir. Makalah ini akan membahas implementasi dari sistem pengelolaan limbah dengan konsep Cradle to Grave untuk limbah radioaktif dengan treatment dari setiap fase akan menyesuaikan dengan karakteristik limbah radioaktif. BAHAN DAN METODE Penyusunan makalah ini dilakukan melalui studi literatur dengan tahapan inventarisasi safety standard mengenai pengelolaan limbah radioaktif yang dipublikasikan oleh IAEA, peraturan perundangundangan nasional dan pustaka ilmiah lainnya untuk dipahami dan dianalisis guna merumuskan konsep ilmiah yang dituangkan dalam bentuk makalah. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Limbah Radioaktif Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir dan fasilitas pemanfaatan zat radioaktif, yang tidak dapat digunakan lagi. Limbah radioaktif berdasarkan bentuk fisiknya terdiri dari limbah radioaktif padat, cair dan gas. Limbah cair dibedakan menjadi aqueous dan organik, sedangkan limbah padat dibedakan menjadi tekompaksi - tidak terkompaksi dan terbakar – tidak terbakar. 1.
Limbah Radioaktif Cair Pada fasilitas produksi radioisotop, limbah radioaktif cair dihasilkan dari proses pelindihan atau pendinginan material, dalam jumlah kecil akan mengandung pengotor yang bersifat radioaktif sehingga bersifat aktif. Di bidang kesehatan, limbah radioaktif cair antara lain hasil ekskresi pasien yang mendapat terapi atau diagnostik kedokteran nuklir. Zat radioaktif yang digunakan pada umumnya 125 131 99m I, Tc, 32P, dll sehingga cepat mencapai kondisi berumur paro pendek (100 < hari), misalnya I, stabil. Fasilitas penelitian di bidang kesehatan juga memberikan kontribusi limbah radioaktif cair melalui hasil ekskresi binatang percobaan. Dengan umur paro sangat pendek, maka penanganan limbah radioaktif tersebut dilakukan dengan menampung sementara sebelum dilepas ke badan air. Limbah radioaktif cair untuk jenis organik kebanyakan diproduksi oleh fasilitas penelitian, yang dapat terdiri dari: minyak pompa vakum, pelumas, dan larutan sintilasi. Zat radioaktif yang terkandung 3 14 125 35 pada umumnya H dan sebagian kecil C, I dan S. Dalam pengelolaan limbah cair tersebut harus diperhitungkan pula aktivitas konsentrasi zat radioaktif yang digunakan, terutama jika zat radioaktif yang digunakan untuk tujuan penandaan 2
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
umumnya mempunyai konsentrasi aktivitas sangat tinggi sehingga harus dipisahkan dengan zat radioaktif yang mempunyai konsentrasi aktivitas rendah. 2.
Limbah Radioaktif Padat Kebanyakan limbah radioaktif padat yang dihasilkan dari fasilitas kesehatan dan laboratorium penelitian mempunyai sifat dapat terbakar, misalnya: tissue, kertas, kain, karton, sarung tangan, pakaian pelindung, masker, bangkai binatang dan material biologi lain. Sedangkan limbah radioaktif tidak dapat bakar antara lain: barang pecah belah, serpihan logam, peralatan dekontaminasi dan limbah dari fasilitas yang mengalami dekomisioning. Untuk limbah padat radioaktif sebagai akibat kontaminasi dan limbah sumber radioaktif selanjutnya dikirimkan ke PTLR-BATAN sebagai badan yang berwenang melakukan pengolahan limbah radioaktif. Sumber radioaktif yang diimpor dari negara lain dapat dikirimkan kembali ke negara tersebut sesuai dengan perjanjian.
3.
Limbah Radioaktif Gas Limbah radioaktif gas dapat dihasilkan pada aplikasi zat radioaktif terutama bidang kesehatan. 133 81m Kr, Aplikasi khusus dibidang kesehatan menggunakan zat radioaktif berbentuk gas, misalnya Xe, 99m 18 11 Tc dan pemancar positron berumur paro pendek seperti F dan C untuk investigasi terhadap ventilasi paru-paru. Limbah radioaktif berupa hasil respirasi pasien dikendalikan dengan menempatkan pada tempat khusus untuk membatasi dispersi radioaktif ke lingkungan. Jenis zat radioaktif yang digunakan relatif tidak berbahaya karena berumur paro pendek sehingga mudah mencapai kondisi stabil [4].
4.
Sumber Radioaktif Bekas Sumber radioaktif yang sudah tidak digunakan lagi memerlukan pengkondisian dan disposal yang sesuai. Sumber radioaktif bekas dibedakan menjadi: 1) Sumber dengan umur paro ≤ 100 hari dengan aktivitas sangat tinggi. 2) Sumber dengan aktivitas rendah, misalnya untuk tujuan kalibrasi. 3) Sumber yang berpotensi memberikan bahaya kontaminasi dan kebocoran. 4) Sumber dengan umur paro >100 hari yang memiliki aktivitas tinggi maupun rendah [5]. B. Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Radioaktif Pengelololaan limbah radioaktif terdiri dari rangkaian kegiatan yang meliputi tahapan pengumpulan, pengelompokkan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau pembuangan limbah radioaktif. Pengelolaan limbah radioaktif dapat dilakukan dengan sistem sentralisasi atau desentralisasi, bergantung dengan kebijakan setiap negara. Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia menganut sistem sentralisasi dengan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-Badan Tenaga Nuklir Nasional (PTLR-BATAN) sebagai pihak pengelola sesuai dengan amanat UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam menjalankan tugasnya, PTLR-BATAN dapat bekerja sama atau mendelegasikan BUMN, Koperasi dan swasta yang ditunjuk oleh PTLR-BATAN. Sistem sentralisasi bukan berarti membebaskan penghasil limbah radioaktif dari kewajiban mengelola limbah radioaktif yang dihasilkannya. Penghasil limbah radioaktif berkewajiban mengumpulkan, mengelompokkan atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang sebelum dikirimkan ke PTLR-BATAN. Terhadap sumber radioaktif bekas terdapat dua alternatif pengelolaan limbah yang boleh dilakukan oleh pemilik sumber radioaktif bekas yaitu sumber radioaktif bekas diprioritaskan untuk dapat dikirimkan kembali ke negara asal dan alternatif kedua adalah dikirimkan ke PTLR-BATAN. Prioritas yang pertama adalah upaya pemenuhan salah satu prinsp-prinsip pengelolaan limbah radioaktif yaitu tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang. Dengan sistem pengelolaan tersebut maka ada kegiatan pemindahan atau pengangkutan limbah radioaktif dari penghasil ke PTLR-BATAN atau ke negara asal sumber radioaktif bekas. Prosedur pengiriman limbah radioaktif ke PTLR-BATAN yang sudah berlangsung hingga sekarang sebagai berikut: 1. Penghasil limbah radioaktif mengajukan persetujuan pengiriman limbah radioaktif ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). 2. Setelah memperoleh persetujuan dari BAPETEN, penghasil limbah radioaktif mengirimkan surat permohonan pengelolaan limbah radioaktif ke PTLR-BATAN dengan melampirkan salinan persetujuan pengiriman dari BAPETEN tersebut. Di dalam permohonan dapat dirinci jenis pelayanan apa saja yang dikehendaki oleh penghasil limbah radioaktif (contohnya: dalam hal 3
Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To Grave
pengangkutan penghasil limbah radioaktif dapat saja mengangkut sendiri limbahnya ke PTLRBATAN, atau menggunakan jasa ekspedisi, atau menggunakan kendaraan angkut limbah PTLRBATAN). Penghasil limbah radioaktif akan mendapatkan jawaban dari PTLR-BATAN tentang biaya pengelolaan sesuai dengan PP No. 77 tahun 2005 tentang Tarif Pengelolaan Limbah Radioaktif. 3. Penghasil limbah radioaktif mengirimkan limbahnya ke PTLR-BATAN, dokumen yang harus ditandatangani ke dua belah pihak adalah berita acara serah terima limbah radioaktif. 4. Penghasil limbah radioaktif menyerahkan salinan berita acara serah terima limbah radioaktif ke BAPETEN. 5. PTLR-BATAN melaporkan kegiatan pengelolaan limbahnya secara berkala (tiap semester) kepada BAPETEN sesuai dengan izin operasi yang diberikan oleh BAPETEN. Secara skematik prosedur pengiriman limbah radioaktif tersebut disajikan dalam Gambar 1 di bawah.
Penghasil Limbah Radioaktif
2 3
1/4 PTLR-BATAN
BAPETEN 5
Gambar 1. Skenario Pengiriman Limbah Radioaktif Prosedur pengiriman limbah radioaktif sebagaimana dijelaskan di atas berpeluang memberikan resiko terhadap keselamatan masyarakat dan lingkungan apabila tidak ada pengawasan selama pelaksanaan pengiriman. Dengan pengawasan harus dipastikan jenis dan mode transportasinya tidak menggunakan jasa transportasi umum atau jasa transportasi yang tidak secara khusus digunakan untuk mengangkut limbah radioaktif sehingga memunginkan limbah radioaktif tidak sampai tujuan atau sampai tujuan tetapi dengan kondisi limbah radioaktif tidak seperti kondisi pada saat berada di penghasil limbah radioaktif. Dengan hanya mengandalkan pada sistem audit limbah radioaktif melalui pelaporan berkala yang dibuat oleh PTLR-BATAN maka setiap kesalahan atau pelanggaran selama pelaksanaan pengiriman limbah radioaktif tidak dapat diketahui dengan segera. C. Implementasi Konsep Cradle to Grave dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif Pengawasan limbah dengan pendekatan Cradle to Grave yaitu pengawasan limbah dari sejak ditimbulkan sampai dengan di tempat pengolahan/penyimpanan/negara asal sumber radioaktif dan pada setiap fase terdapat kegiatan dengan tujuan mencegah terjadi pencemaran ke lingkungan. Implementasi dari konsep ini melalui pengawasan terhadap jalur perjalanan limbah dari penghasil limbah sampai dengan pihak pengolah atau penyimpan sehingga keberadaan dan tanggungjawab terhadap limbah dapat diketahui. Karena kegiatan tersebut melibatkan beberapa pihak maka memerlukan pengawasan dan dokumen perjalanan yang sesuai sebagai indikator keberadaan limbah. Salah satu tujuan pengawasan limbah radioaktif dengan pendekatan cradle to grave untuk menunjukkan perjalanan limbah radioaktif dari penghasil (industri, rumah sakit, laboratorium penelitian) sampai lokasi tujuan pengiriman limbah radioaktif melalui rangkaian perjalanan dokumen. Dalam setiap tahapan dari rangkaian perjalanan limbah radioaktif disertai dengan tindakan keselamatan terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan. D.
Perjalanan Limbah Radioaktif Dokumen perjalanan pengiriman limbah radioaktif dibuat rangkap 6, dengan mekanisme sebagai berikut: penghasil limbah radioaktif menyimpan lembar ke 6 dan menyerahkan lembar ke-5 ke Badan Pengawas serta memberikan lembar ke 1, 2, 3, dan 4 ke pengangkut, pengangkut menyimpan lembar ke- 4 dan menyerahkan lembar ke 1,2, dan 3 ke pengelola/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif, pengelola limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif mengirimkan lembar ke 1 ke penghasil limbah radioaktif, lembar ke 2 ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan menyimpan lembar ke 3. Diagram alir dari proses perjalanan limbah radioaktif dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini: 4
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
Badan Pengawas
copy-5
ISSN 1410-9565
Penghasil (copy-6) copy-1 Pengangkut (copy-4)
copy-2
Pengolah /Penyimpan /negara asal sumber (reexport) (copy-3)
Gambar 2 .Pengelolaan Limbah Radioaktif dengan Pendekatan Cradle to Grave Dengan demikian, Badan Pengawas dan penghasil limbah dapat melacak perjalanan limbah radioaktif dari penghasil (cradle) ke lokasi tujuan (grave), yaitu pihak pengolah limbah radioaktif/penyimpan limbah radioaktif/negara asal sumber radioaktif untuk kegiatan reexport sumber radioaktif bekas. Pada setiap fase perjalanan limbah, setiap pihak mempunyai kewajiban dan peran penting dalam mendukung sistem pengelolaan limbah radioaktif yang dijelaskan berikut: 6.
Penghasil Limbah Radioaktif Sebelum limbah radioaktif dikirimkan, penghasil limbah berkewajiban melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkannya dengan tujuan meminimalisasi volume, kompleksitas, biaya dan resiko. Pengelolaan yang dilakukan meliputi mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara. Pengumpulan dan pengelompokkan limbah berdasarkan aktivitas, waktu paro, jenis radiasi, bentuk fisik-dan kimia, sifat racun dan asal limbah radioaktif atau mengolah limbahnya apabila memiliki fasilitas pengolahan Limbah padat dipisahkan menjadi dapat terbakar - tidak dapat terbakar, terkompaksi – tidak terkompaksi, aktivitas rendah dan tinggi, umur paro panjang dan pendek, serta jenis radiasi. Limbah tersebut ditempatkan pada lokasi khusus yang diberi tanda bahaya radiasi sehingga hanya petugas tertentu yang dapat masuk ke ruangan. Limbah cair yang berupa sisa zat radioaktif dan limbah cair hasil samping kegiatan dekontaminasi yang memiliki aktivitas tinggi atau umur paro panjang ditempatkan secara terpisah dengan limbah aktivitas rendah atau umur paro pendek. Untuk limbah cair hasil ekskresi atau hasil kegiatan mandi dan cuci disalurkan secara terpisah dengan saluran grey water dan disalurkan ke tempat penampungan sementara untuk mengetahui dosis paparan radiasi yang ditimbulkan, limbah radioaktif tersebut dapat di lepaskan ke badan air apabila memenuhi persyaratan pelepasan. Limbah berbentuk gas sangat jarang terjadi. Seperti yang telah disampaikan di muka untuk mengendalikan limbah radioaktif berbentuk gas, maka sumber penghasil limbah ditempatkan pada tempat khusus sehingga gas tidak mudah keluar ke lingkungan. Gas dapat di lepaskan ke lingkungan setelah memenuhi persyaratan pelepasan. Penghasil limbah wajib memberikan informasi dengan lengkap dan benar secara tertulis (dalam manifes dokumen) kepada pengangkut tentang identitas limbah, bahaya radiasi, dan sifat bahaya lain yang mungkin terjadi dan cara penanggulangannya. Penghasil limbah juga berkewajiban memberikan tanda, label, atau plakat pada kendaraan angkutan. 2. Pengangkut Pengangkut merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sistem ini dan bertanggungjawab atas keselamatan pengangkutan limbah sejak menerima dari penghasil sampai kepada penerima. Apabila terjadi kerusakan/kecelakaan selama pengangkutan, pengangkut harus memberitahukan kepada Badan Pengawas dan Penghasil. Saat ini pengangkutan limbah radioaktif hanya boleh 5
Mokhamad Alfiyan, Yus Rusdian Akhmad : Strategi Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia ditinjau dari Konsep Cradle To Grave
dilakukan oleh pihak-pihak yang telah mempunyai izin pemanfaatan dari BAPETEN dalam bentuk persetujuan pengangkutan. 3. Pengolah/Penyimpan/negara asal sumber radioaktif (reexport) Pengolahan dan penyimpanan limbah radioaktif saat ini dilakukan secara terpadu di PTLRBATAN meskipun dalam menjalankan tugasnya, Badan Pelaksana sebetulnya dapat menunjuk dan/atau bekerja sama dengan BUMN, swasta dan Koperasi. Sehingga sampai saat ini pihak pengolah atau penyimpan limbah radioaktif hanya PTLR-BATAN. Pihak pengolah/penyimpan /negara asal sumber radioaktif berkewajiban memeriksa kesesuaian limbah yang diserahkan oleh pengangkut dengan kualifikasi limbah sebagaimana tercantum dalam dokumen pengiriman limbah. Apabila terdapat ketidaksesuaian maka pihak pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif wajib memberitahukan ke Badan Pengawas dan penghasil limbah guna investigasi lebih lanjut. Namun apabila limbah radioaktif yang diterima oleh pengolah sudah sesuai dengan dokumen pengiriman limbah maka pihak pengolah/penyimpan dapat melakukan pengolahan/penyimpanan limbah radioaktif dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan negara asal sumber radioaktif dapat melakukan penanganan sumber radioaktif bekas yang diterimanya sesuai dengan kebijakan pengelolaan limbah radioaktif negara tersebut. Pengolahan limbah radioaktif yang dilakukan oleh pihak pengolah dimaksudkan untuk mereduksi volume limbah dan mengurangi paparan radiasi dari limbah radioaktif agar tidak membahayakan manusia dan lingkungan sehingga dosis radiasi yang diterima oleh pekerja akibat adanya limbah tersebut tidak akan melebihi ketentuan dosis tahunan yang telah ditetapkan. Jenis pengolahan limbah radioaktif berbentuk padat yang telah dipraktekkan, antara lain: kompaksi, insenerasi dan imobilisasi tetapi tidak berlaku untuk sumber radioaktif bekas. a. Kompaksi: Limbah padat yang akan dikompaksi harus memenuhi persyaratan: 1. Tidak mengandung limbah yang bersifat destruktif terhadap bungkusan limbah 2. Tidak mengandung limbah bersifat infektan 3. Tidak mengakibatkan tekanan pada kointainer yang menyebabkan pelepas gas atau kontaminan 4. Tidak mengandung cairan untuk menghindari kebocoran pada bungkusan limbah 5. Tidak mengandung bubuk aktif yang dapat mengkontaminasi 6. Tidak mengandung bahan kimia reaktif b. Insenerasi: Limbah radioaktif padat yang diolah dengan insenerator harus memperhatikan hal-hal berikut: a) Tidak menimbulkan tekanan yang dapat menyebabkan pelepasan tak terkendali b) Tidak mengandung bahan beracun yang mudah menguap c) Kadar air diatur untuk menghasilkan pembakaran sempurna d) Dilakukan pengolahan lanjutan terhadap residu e) Bahan yang bersifat lembab dikendalikan f) Dilengkapi dengan pengendali debu c. Imobilisasi: Imobilisasi terhadap limbah padat bertujuan mencegah pergerakan/sebaran limbah padat ke lingkungan. Limbah padat yang diimobilisasi adalah konsentrat evaporasi, abu insenerator, limbah padat hasil pengkompaksian. Imobilisasi menggunakan bahan pengikat seperti semen, zeolit, bentonit, dll. Terdapat beberapa jenis pengolahan limbah cair, pemilihan jenis pengolahan bergantung pada pertimbangan keselamatan, teknis dan keuangan. Selain itu juga bergantung pH dan kandungan partikel padat, garam, dan asam. Pengolahan limbah cair antara lain: presipitasi, evaporasi, ion exchange, insenerasi (limbah cair organik), pengolahan tersebut akan menghasilkan limbah cair sekunder yang harus dikendalikan. Pengolahan limbah radioaktif berbentuk gas dilakukan dengan cara pengkondisian sampai memenuhi persyaratan pelepasasan setempat sehingga gas tersebut dapat langsung dilepaskan ke atmosfer. Namun untuk gas yang mengandung partikulat radioaktif perlu dikendalikan dengan alat penyaring udara sebelum dilepaskan ke atmosfer. Penanganan yang dapat dilakukan terhadap sumber radioaktif bekas bergantung umur paro dari sumber radioaktif tersebut. Sumber radioaktif yang memiliki umur paro pendek cukup dengan 6
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
menyimpan sampai aktivitasnya mencapai nilai yang sangat rendah sehingga dapat dianggap sebagai limbah non radioaktif. Untuk sumber radioaktif dengan umur paro panjang terdapat dua pilihan penanganan, yaitu dilakukan imobilisasi dalam drum logam atau tabung beton atau langsung disimpan pada tempat khusus untuk tujuan penyimpanan sementara atau penyimpanan akhir. Penyimpanan limbah radioaktif dibedakan menjadi penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Penyimpanan sementara adalah penempatan limbah radioaktif sebelum penempatan tahap akhir dan penyimpanan lestari adalah penempatan akhir limbah radioaktif tingkat tinggi. Jenis limbah yang akan ditempatkan pada penempatan akhir/dibuang hanya limbah berbentuk padat. Penempatan akhir/pembuangan limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan umur paro pendek yang memenuhi tingkat klierens dapat diperlakukan sebagaimana pembuangan limbah non radioaktif, sedangkan limbah radioaktif dengan aktivitas tinggi dan umur paro panjang pembuangan dilakukan dalam bentuk disposal yang dibedakan menjadi disposal dekat permukaan untuk waktu paro ≤ 30 tahun dan disposal dalam formasi geologi untuk limbah radioaktif dengan waktu paro > 30 tahun. Untuk sumber radioaktif yang diimpor dari luar negeri, sumber radioaktif bekasnya disarankan untuk dikirimkan kembali ke negara penghasil. Kebijakan ini untuk mengurangi peredaran jumlah limbah sumber radioaktif di Indonesia yang dapat menjadi beban bagi generasi yang akan datang dan jika ditinjau dari aspek finansial biaya untuk mengolah limbah tersebut lebih mahal dibandingkan mengirimkan kembali ke negara asal.
KESIMPULAN 1. Implementasi konsep cradle to grave dalam pengelolaan limbah radioaktif dilakukan dengan menggunakan dokumen pengiriman limbah radioaktif dari penghasil ke pengolah/penyimpan/atau negara asal sumber radioaktif. 2. Dokumen pengiriman dibuat rangkap 6 dengan pola distribusi dokumen tersebut dirancang sedemikan rupa sehingga terbentuk komunikasi yang simultan antara badan pengawas, penghasil limbah radioaktif, pengangkut, dan pengolah/penyimpan/negara asal sumber radioaktif, distribusi dokumen tersebut sebagai berikut: badan pengawas menyimpan copy 2 dan 5, penghasil menyimpan copy 1 dan 6, pengangkut menyimpan copy 4, pengolah/penyimpan/negara asal sumber menyimpan copy 3. DAFTAR PUSTAKA [1] WARDHANA, WA , Radioekologi, Andi Offset, Yogyakarta, (1996). [2] LUBIS, E, Keselamatan Lingkungan Pengelolaan Limbah Radioaktif, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah' Volume 6 No. 2 (ISSN:1410-9565), BATAN, Jakarta, (2003). [3] HARUKI, A, Pengelolaan Limbah B3, Materi Pelatihan Audit Lingkungan diselenggarkan oleh Departmen Biologi FIMPA IPB dan Bagian PKSDM Dijten DEKDINAS, (2006), [4] IAEA, Management of Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine, Industry, Agriculture, Research and Education, Safety Guide No. WS-G-2.7, Vienna, (2005). [5] IAEA, Management of Radioactive Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine, Industry, Agriculture, Research and Education, TECDOC 1183, Vienna, (2000).
7
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
PENGARUH PERLAKUAN PANAS DAN KANDUNGAN LIMBAH TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR GELAS LIMBAH Aisyah, Herlan Martono Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310 ABSTRAK PENGARUH PERLAKUAN PANAS DAN KANDUNGAN LIMBAH TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR GELAS LIMBAH. Solidifikasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) simulasi dari ekstraksi siklus I proses olah ulang dilakukan dengan gelas borosilikat. Komposisi limbah ditentukan dengan ORIGEN 2 berdasarkan atas PWR-UD 50 MWD, fraksi bakar 50.000 MWD/MTIHM, pengkayaan uranium 3 % dan pendinginan selama 4 tahun. Kandungan LCAT dalam gelas limbah 20 dan 30% berat. Pembentukan gelas limbah dilakukan pada suhu 1150 0C selama 2,5 jam, kemudian didinginkan sampai suhu kamar. Untuk mempelajari pengaruh suhu terhadap perubahan struktur gelas limbah, 0 maka gelas limbah dipanaskan pada variasi suhu antara 750∼1000 C dengan waktu pemanasan 18 jam. Untuk mempelajari pengaruh waktu pemanasan terhadap perubahan struktur gelas limbah, maka gelas limbah dipanaskan dengan variasi waktu pemanasan antara 8 – 50 jam pada suhu 850 0C. Perubahan struktur gelas limbah ditandai dengan terbentuknya kristal dalam gelas limbah yang dapat diamati dengan mikroskop optik. Sedangkan analisis kristal secara kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan difraktometer sinar-X. Dari hasil percobaan diperoleh daerah kristalisasi dalam diagram TTT (Time-Temperature-Transformation) dari kristal Si yang terjadi. Untuk kandungan limbah 20 dan 30 % 0 berat, kristal yang terjadi sampai waktu pemanasan 50 jam pada suhu 850 C adalah 8,5 dan 9 % 0 berat, sedangkan kristal yang terjadi mencapai maksimum pada suhu 950 C pada waktu pemanasan selama 18 jam adalah 4 dan 5 % berat. Kata kunci: Gelas limbah, limbah aktivitas tinggi, vitrifikasi, devitrifikasi ABSTRACT THE EFFECT Of HEAT TREATMENT AND WASTE LOADING ON STRUCTURAL DEFORMATION OF WASTE GLASS. Solidification of simulated high level liquid waste (HLLW) from the first cycle of the reprocessing plant was represented by borosilicate glass. Waste composition was calculated by ORIGEN 2, with inputs: PWR-UD 50 MWD, burn up 50,000 MWD/MTIHM, uranium enriched 3 % and cooling for 4 years. The simulated waste composition in the waste glass are 20 and 30 weight %. Formation of waste glass was conducted by heating the waste glass at temperature of 0 1150 C for 2.5 hours followed by cooling to room temperature. The observation of the temperature effect on the deformation of waste glass structure was carried out by heating the waste glass at various 0 temperature between 750∼1000 C for heating time of 18 hours. The effect of heating time on the deformation of waste glass structure was observed by heating of waste glass at 850 0C in various heating time between 8 to 50 hours. The deformation waste glass structure is indicated by presence of crystal within the body of the waste glass that can obseved by optical microscope. While the Qualitative and quantitative analysis of crystal were conducted by X-ray diffractometer. The experiments showed that the crystallization area of Si crystal was observed at the TTT (Time-Temperature-Transformation) diagram. It was concluded from the experiment that waste loading of 20 and 30 weight %, the crystal 0 has taken place under heating time up to 50 hours at temperature 850 C was 8,5 and 9 weight % respectively. The highest crystal formation has taken place at temperature 950 0C under heating time 18 hours was 4 and 5 weight % respectively. Keywords: Waste glass, high level waste, vitrification, devitrification
PENDAHULUAN Solidifikasi limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) yang dilakukan dengan bahan gelas disebut dengan proses vitrifikasi. Gelas yang digunakan adalah gelas borosilikat yang lebih tahan korosi dan mengalami perubahan struktur dari amorf menjadi kristalin pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan gelas fosfat. Perubahan struktur amorf menjadi kristalin dikenal dengan devitrifikasi. Gelas 8
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah
aluminosilikat sudah tidak dikembangkan lagi karena kandungan limbahnya rendah sekitar 10 % berat 0 dan suhu pembentukan yang tinggi sekitar 1350 C [1]. Pada pengolahan secara industri, suhu pembentukan yang tinggi mengakibatkan korosi melter lebih cepat, sehingga umur melter lebih pendek dan lebih banyak menghasilkan limbah radioaktif padat. Oleh karena itu dipilih gelas borosilikat yang suhu pembentukannya lebih rendah yaitu 1150 0C. Gelas merupakan bahan amorf yang dibentuk dari pendinginan lelehan yang berubah menjadi gelas setelah melewati suhu transisinya (Tg) [1,2,3]. Komposisi LCAT sebagian besar hasil belah dan sedikit aktinida. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada solidifikasi LCAT dengan bahan gelas adalah kandungan limbah (waste loading), ketahanan kimia, kestabilan terhadap radiasi dan kestabilan terhadap panas. Pada proses vitrifikasi 0 skala industri, LCAT dan bahan pembentuk gelas dilelehkan pada suhu sekitar 1150 C dalam melter. Setelah terbentuk lelehan gelas limbah, maka lelehan dimasukkan ke dalam canister (wadah dari baja tahan karat yang berbentuk silinder) dan selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara [4,5]. Sebagai contoh di JAEA (Japan Atomic Energy Agency) Jepang digunakan canister berdiameter luar 430 mm, tinggi 1040 mm dan tebal dinding 6 mm mempunyai volume 118 liter. Volume gelas limbah dalam canister 110 liter (93% volume canister) berisi 300 kg gelas limbah. Banyaknya limbah dalam 5 gelas limbah adalah 75 kg yang aktivitasnya sekitar 4x10 Ci dan melepaskan panas 1,4 kW/jam. Sampai pereode 30 – 50 tahun, radionuklida hasil belah memancarkan radiasi gamma yang 0 menimbulkan panas besar sehingga suhunya mencapai jauh di atas 500 C. Adanya panas yang diterima gelas limbah pada suhu tinggi dan dalam waktu yang lama akan terjadi perubahan struktur gelas limbah yaitu dari amorf menjadi kristalin yang disebut devitrifikasi. Dalam gelas-limbah devitrifikasi terjadi antara suhu 500 – 950 0C [6,7]. Demikian juga adanya perbedaan kandungan limbah dan komposisi gelas limbah yang sangat kompleks maka memungkinkan terjadinya devitrifikasi. Jadi radiasi gamma yang dipancarkan oleh radionuklida dalam gelas limbah tidak mengakibatkan reaksi inti yang menimbulkan perubahan komposisi, tetapi menimbulkan panas yang tinggi yang mengakibatkan perubahan struktur. Perubahan struktur mengakibatkan perubahan karakteristik gelas limbah seperti kenaikan laju pelindihan radionuklida. Laju pelindihan gelas limbah yang mengalami devitrifikasi bisa mencapai 10 kali lebih besar dari laju pelindihan gelas-limbah yang tidak mengalami devitrifikasi [8,9]. Laju pelindihan merupakan salah satu karakteristik gelas limbah yang penting karena tujuan pengelolaan limbah radioaktif adalah mengisolasi radionuklida dalam limbah sedemikian rupa agar tidak mudah terlindih ke lingkungan sehingga aman bagi manusia dan lingkungan. Oeh karena itu adanya panas yang diterima gelas limbah harus dihindari dengan jalan menggunakan sistem pendingin pada penyimpanan sementara. Adanya kegagalan dalam sistem pendingin akan menyebabkan kenaikan suhu gelas limbah dan dalam waktu tertentu akan menyebabkan terjadinya devitrifikasi. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sejauh mana perubahan struktur yang terjadi pada gelas limbah akibat perbedaan kandungan limbah, besarnya suhu dan waktu pemanasan yang dialami oleh gelas limbah. Dalam penelitian, panas yang diterima oleh gelas limbah dilakukan secara simulasi dengan memberikan perlakuan panas pada gelas limbah yang telah dibuat. Perlakuan panas dilakukan dengan cara memanaskan gelas limbah pada suhu dan waktu yang bervariasi. Perubahan struktur yang terjadi ditandai dengan terbentuknya kristal pada gelas limbah yang diamati dengan mikroskop optik, sedangkan analisis kristal dalam gelas limbah dilakukan dengan difraktometer sinar-X (XRD). Jika teramati adanya kristal, maka mengindikasikan bahwa telah terjadi devitrifikasi yang mengakibatkan perubahan struktur pada dan gelas limbah. TATA KERJA Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif Dekontaminasi dan Dekomisioning di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif , Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Kawasan Puspiptek Serpong pada Tahun 2008 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oksida –oksida SiO2, B2O3, Na2O, CaO,Al2O3, Fe2O3, NiO, Cr2O3, SrO, Cs2O, BaO, La2O3 dan CeO2 buatan Merck dengan kemurnian yang tinggi. Peralatan Dalam penelitian ini digunakan beberapa peralatan seperti timbangan analitis, tungku 0 pemanas (Muffle Furnace) merek Labtech dengan maksimum suhu 1300 C, cawan platina untuk pembuatan gelas limbah, cetakan karbon untuk annealing gelas limbah, pemanas bunsen, lempengan Pt dengan lebar 1,5 cm dan panjang 13,40 cm untuk memberi perlakuan panas pada gelas limbah, 9
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
mikroskop optik untuk pengamatan struktur mikro gelas limbah, difratometer Sinar X (XRD) Xpert (Philips) untuk pengukuran pola difraksi sinar X dan software ORIGEN 2. Metode 1. Penentuan Komposisi Limbah Komposisi LCAT simulasi ditentukan dengan menggunakan software ORIGEN 2 berdasarkan atas sejarah elemen bahan bakarnya, yaitu jenis reaktor PWR-UD 50 MWD, fraksi bakar 50.000 MWD/MTIHM, pengkayaan uranium 3 % dan pendinginan selama 4 tahun. Dalam penentuan LCAT simulasi dan berdasarkan pertimbangan analisis kristal dengan difraktometer sinar-X, maka penggantian unsur-unsur dilaksanakan dengan unsur lain yang terdapat dalam 1 golongan pada tabel periodik unsur-unsur dan berdasarkan pengalaman dari negara-negara maju. Dalam hal ini, Tc diganti Mn dan aktinida (U, Np, Pu, Am, Cm) diganti Ce [10,11]. Komposisi LCAT yang digunakan dalam percobaan adalah Na2O: 24,87; Fe2O3 : 16,47; NiO: 3,47; Cr2O3: 7,90; SrO:1,13; Cs2O: 3,30; BaO: 1,83; La2O3: 2,20; dan CeO2: 38,83 % berat. 2. Penentuan Komposisi Gelas-Limbah Bahan pembentuk gelas ditentukan dengan komposisi : SiO2: 58 ; B2O3: 21,80; Na2O: 9,67; CaO 7,8; dan Al2O3: 2,7 % berat [5,7]. Ketahanan terhadap panas atau kestabilan fisik hasil vitrifikasi adalah sifat yang penting untuk disain kondisi penyimpanan, oleh karena itu kandungan limbah harus ditentukan. Dalam percobaan ini kandungan limbah ditentukan 20% dan 30% berat sehingga diperoleh komposisi gelas limbah seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi gelas limbah dengan kandungan limbah 20% dan 30% berat. Oksida SiO2 B2 O 3 Na2O CaO Al2O3 Fe2O3 NiO Cr2O3 SrO Cs2O BaO La2O3 CeO2
Kandungan Limbah (% berat) 20% 30% 46,40 40,60 17,44 15,26 10,00 10,00 8,96 9,69 2,18 1,91 3,28 0,69 1,59 0,23 0,65 0,37 0,44 7,77
4,94 1,04 2,37 0,34 0,99 0,55 0,66 11,65
3. Pembentukan Gelas Limbah Berat bahan gelas limbah yang komposisinya seperti pada Tabel 1, ditentukan dengan menimbang senyawa-senyawa tersebut. Campuran bahan-bahan tersebut digerus hingga homogen 0 dan dilebur pada suhu 1150 C selama 1 jam, kemudian dilakukan pengadukan setiap 15 menit sekali berturut-turut sampai 3 kali. Pemanasan dipertahankan lagi selama 1 jam . Lelehan gelas limbah dituang ke dalam cetakan karbon berdiameter 5 cm sampai suhu kamar (annealing) sehingga terbentuk gelas limbah [2,3]. 4. Pengamatan Kristal Dalam Gelas Limbah Dengan Mikroskop Optik Gelas limbah yang telah terbentuk diletakkan pada lubang yang berdiameter 0,3 cm dari lempeng Pt yang lebarnya 1,5 cm dan panjang 13,40 cm dan memiliki 25 lubang. Jarak antar lubang kearah panjang adalah 2 cm. Contoh gelas limbah kemudian dibakar dengan api bunsen pada suhu dan waktu tertentu (650 ∼ 1100 0C dan 1∼30 jam), selanjutnya dilakukan pengamatan struktur mikronya dengan mikroskop optik. Dalam pengamatan tersebut akan tampak apakah terbentuk kristal ataupun tidak.[ 12,13,14]
10
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah
5. Pembuatan Diagram Time Temperature Transformation (TTT) Gelas limbah yang telah terbentuk, dipecah menjadi bagian-bagian kecil, kemudian digerus sampai menjadi serbuk dalam cawan porselin. Serbuk gelas limbah dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X. Pola difraksi sinar-X amorf menunjukkan struktur gelas. Bagian-bagian kecil gelas limbah yang lain dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu (650 ∼ 1100 0C dan 1∼30 jam), kemudian digerus sampai menjadi serbuk halus. Serbuk halus dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X. Dari pola difraksi dapat dilihat terjadi kristal atau tidak. Dari hasil diatas dapat dibuat diagram TTT [13,15]. 6. Penentuan Prosen Berat Kristal Dalam Gelas Limbah Gelas yang telah dipanaskan pada berbagai suhu dan waktu digerus dalam cawan porselin sampai menjadi serbuk halus. Serbuk gelas dicampur dengan standar Si sehingga diperoleh campuran dengan fraksi berat Si 0,25; 0,50; dan 0,75. Contoh gelas limbah, standar Si dan campuran dengan fraksi berat Si 0,25; 0,50; dan 0,75 masing-masing ditentukan intensitas terkuatnya (untuk 2θ sekitar 28 0 C) dengan difraktometer sinar-X. Setelah masing-masing intensitas dihitung, maka dibuat grafik I/I standar (I/IST) versus fraksi berat Si, dan prosen berat kristal Si dalam gelas limbah dapat ditentukan [13,15]. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Kristal yang Terjadi pada Gelas Limbah Secara Mikroskopik Hasil pengamatan struktur mikro gelas limbah dengan mikroskop optik seperti ditunjukkan pada Gambar 1A dan B. Pada gambar tersebut tampak terbentuknya kristal pada gelas limbah, yang mengindikasikan bahwa terjadi perubahan stuktur pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 0 %berat yang mengalami pemanasan pada suhu 950 C selama 3 jam (Gambar 1A), sebaliknya pada Gambar 1B tidak tampak terbentunya kristal pada gelas limbah, yang mengindikasikan bahwa tidak terjadi perubahan struktur pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30% yang mengalami 0 pemanasan pada suhu 650 C selama 4 jam. Pengamatan adanya kristal dengan mikroskop optik ini belum dapat mengidentifikasi jenis dan struktur kristal yang terjadi. Jenis dan struktur kristal dapat ditentukan dengan menggunakan difraktometer sinar X. Pada pengamatan dengan mikroskop ini yang 12 tampak adalah kumpulan kristal yang disebut grain (butir) yang masih terdiri dari 10 kristal elementer. Walaupun demikian metode ini dapat untuk menentukan daerah dimana terjadi perubahan struktur pada gelas limbah, sehingga terjadinya devitrifikasi dapat dihindarkan karena adanya devitrifikasi ini akan menaikkan laju pelindihan gelas limbah.
Gambar 1. Struktur mikro gelas limbah hasil pengamatan dengan mikroskop optik (perbesaran 260 kali) A. Terbentuk kristal pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 %berat yang mengalami pemanasan pada suhu 950 0C selama 3 jam B. Tidak terbentuk kristal pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % yang mengalami pemanasan pada suhu 650 0C selama 4 jam B. Penentuan Amorf, Kristal dan Pembuatan Diagram TTT Hasil analisis dengan difraktometer sinar-X terhadap gelas limbah menunjukkan struktur bahan adalah amorf dengan pola difraksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pemanasan gelas limbah dengan variasi suhu dan waktu dapat mengakibatkan terbentuknya kristal ataupun tidak.
11
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Sebagai contoh struktur kristal yang terbentuk pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat 0 yang mengalami pemanasan pada suhu 850 C selama 4 jam dengan pola difraksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Dari pola difraksi tersebut dapat dilihat posisi 2θ dan d pada Tabel 2.
Gambar 2. Struktur gelas-limbah amorf
Gambar 3. Struktur kristal dalam gelas-limbah Tabel 2. Posisi 2θ dan d dalam pola difraksi kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat pada pemanasan 850 0C selama 4 jam No. 1 2 3
2θ 28,40 47,30 55,20
θ 14,20 23,65 28,10
d = λ/2sinθ 3,14 1,92 1,64
d dari data 3,14 1,92 1,64
Dari data tersebut menunjukkan bahwa kristal yang terjadi adalah Si. Pada pemanasan contoh gelas limbah yang lain pada suhu dan waktu yang berbeda menunjukkan bahwa kristal yang terjadi adalah Si. Jadi tidak ada jenis kristal lain yang terjadi dalam gelas limbah. Dari data berbagai suhu dan waktu pemanasan serta pengujian dengan difraktometer sinar-X dapat dibuat diagram TTT yang ditunjukkan 0 pada pada Gambar 4A dan 4B. Dari Gambar 4A terlihat bahwa pada suhu 850 C dan waktu pemanasan selama 3 jam, kristalisasi gelas limbah dengan kandungan limbah 20% berat belum terjadi. Pada Gambar 4B tampak bahwa gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat yang dipanaskan pada suhu 850 0C selama 1 jam sudah terjadi kristalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih mudah terjadi kristalisasi daripada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsurnya lebih banyak, sehingga akan mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Dapat diterangkan juga bahwa gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat, kadar Si nya lebih rendah, sehingga titik lelehnya lebih rendah. Akibatnya gelas dengan kandungan limbah 30 % berat viskositasnya lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi kristalisasi. Pada gelas limbah yang sesungguhnya (radioaktif) panas yang ditimbulkan
12
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah
oleh radiasi gamma lebih besar untuk gelas dengan kandungan limbah 30 % berat, sehingga jika 0 ditinjau dari segi inipun terjadinya kristalisasi lebih mudah. Pada suhu di atas 1050 C baik untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 %, maka kristalisasi tidak terjadi. Hal ini disebabkan bahwa karena suhu tersebut telah mendekati titik lelehnya sehingga gerakan atom-atomnya terlalu cepat dan atom-atomnya tidak dapat mengatur diri untuk membentuk kristal.
Gambar 4A. Diagram TTT dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20% berat ( ■ : terbentuk kristal; : tidak terbentuk kristal)
Gambar 4.B. Diagram TTT dari gelas limbah dengan kandungan limbah 30 %berat. ( ● : terbentuk kristal; O : tidak terbentuk krikstal) C. Pengaruh Waktu Pemanasan Terhadap Prosen Berat Kristal dalam Gelas Limbah Perhitungan berat kristal dalam gelas limbah dilakukan dengan metode garis tunggal [13,15]. Prosen berat kristal dalam gelas limbah sebagai fungsi kandungan limbah dan waktu pemanasan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
13
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
10 9
% Berat Kristal
8 7 6 5 4 3
WL 20%
2
WL 30%
1 0 0
10
20
30
40
50
60
Waktu (Jam)
Gambar 5. Pengaruh waktu pemanasan terhadap prosen berat kristal dalam gelas limbah dengan 0 kandungan limbah 20% dan 30% berat pada suhu 850 C . Pada gambar tersebut, dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih besar dari pada laju pertumbuhan kristal gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat. Pertumbuhan kristal dipengaruhi oleh suhu dan waktu pemanasan. Dari Gambar 5 tersebut tampak bahwa laju pertumbuhan kristal semakin besar dengan lamanya waktu pemanasan baik untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat. Transformasi fase terjadi karena proses nukleasi dan pertumbuhan kristal. Kinetika proses ini tergantung pada gaya dorong termodinamik, mobilitas atom dan heteroginitas dalam gelas-limbah. Kristalisasi melalui nukleasi dan pertumbuhan kristal ditunjukkan pada Gambar 6. Untuk proses nukleasi dan pertumbuhan kristal yang dilakukan pada suhu yang sama maka tampak bahwa perumbuhan kristal akan meningkat dengan semakin bertambahnya waktu pemanasan yaitu dengan bergeraknya atom-atom mengatur diri dan terus tumbuh menjadi kristal. Pertumbuhan kristal mencapai maksimum dalam waktu 50 jam, sehingga pada waktu pemanasan lebih dari 50 jam maka laju pertumbuhan kristal akan menurun. Pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat dengan waktu pemanasan 5 jam sudah mulai terbentuk kristal dan untuk waktu pemanasan lebih lanjut maka jumlah kristal lebih besar dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsur dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih banyak, sehingga akan mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Demikian juga bahwa dalam gelas limbah ini kandungan Si lebih rendah dari gelas dengan kandungan limbah 20 % berat, sehingga titik lelehnya menjadi lebih rendah. Gelas limbah dengan titik leleh yang lebih rendah memiliki viskositas yang lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi devitrifikasi.
14
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah
Gambar 6. Tahap Nukleasi dan Pertumbuhan Kristal [8,9] D. Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap Prosen Berat Kristal pada Gelas Limbah. Dari hasil percobaan dan perhitungan diperoleh prosen berat kristal dalam gelas limbah sebagai fungsi suhu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Dari gambar tersebut tampak bahwa pada gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat memiliki pola yang mirip satu dengan yang lainnya yaitu semakin tinggi suhu pemanasan maka jumlah kristal yang terjadi akan semakin 0 meningkat sampai pada batas suhu pertumbuhan kristal maksimum yaitu suhu 950 C. Hal ini terjadi karena pada suhu dibawah laju pertumbuhan kristal maksimum, kristalisasi dipengaruhi oleh tenaga aktivasi difusi [9]. Pada suhu 750 0C yaitu suhu di bawah laju pertumbuhan kristal maksimum, baik untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat, maka gelas limbah mempunyai viskositas yang sangat tinggi, sehingga pada suhu tersebut tenaga aktivasi difusi yang diperlukan sangat tinggi sehingga sulit terjadi kristalisasi dalam gelas limbah. Makin tinggi suhu, viskositas gelas limbah makin turun sehingga tenaga aktivasi difusi yang diperlukan makin rendah dan kristalisasi dalam gelas limbah makin mudah terjadi. Pada suhu tinggi, viskositas menurun sehingga gerakan atomatomnya makin cepat dan akibatnya atom-atom sukar untuk mengatur diri membentuk kristal [9]. Hal ini terjadi pada suhu diatas 950 0C untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat dimana kristalisasi tidak terjadi, karena pada kondisi ini gerakan atom-atom sangat cepat sehingga tidak dapat mengatur diri membentuk kristal. 0 Dari Gambar 7 juga tampak bahwa pemanasan pada suhu 950 C dengan waktu pemanasan 18 jam untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat jumlah kristal yang terjadi adalah 4 %, sedangkan untuk kandungan limbah 30 % berat, jumlah kristal yang terjadi adalah 5 % berat. Hal ini karena kandungan unsur-unsur dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat lebih banyak, sehingga akan mendorong lebih mudah terjadinya kristal. Demikian juga bahwa dalam gelas limbah ini kandungan Si lebih rendah dari gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat, sehingga titik lelehnya menjadi lebih rendah. Gelas limbah dengan titik leleh yang lebih rendah memiliki viskositas yang lebih rendah sehingga lebih mudah terjadi devitrifikasi.
15
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
6
% Berat Kristal
5 4 3 2
WL 20 %
1
WL 30 %
0 750
850
950
1050
0
Suhu ( C) Gambar 7. Pengaruh suhu terhadap prosen berat kristal dalam gelas limbah dengan kandungan limbah 20% dan 30% berat yang dipanaskan selama 18 jam. KESIMPULAN Struktur gelas limbah adalah amorf, dapat terjadi perubahan struktur menjadi kristalin pada suhu dan waktu pemanasan tertentu. Kristal yang terjadi adalah Si, sedangkan unsur-unsur lain dalam gelas limbah tidak membentuk kristal. Diagram TTT untuk gelas limbah yang diperoleh dari percobaan dapat untuk menentukan daerah terjadinya perubahan struktur gelas limbah yaitu dengan indikasi terjadinya kristalisasi. Pada 0 suhu di atas 1050 C tidak terjadi perubahan struktur karena tidak terjadi kristalisasi pada gelas limbah. 0 Pada suhu 750 C sampai pemanasan 25 jam tidak terjadi perubahan struktur karena tidak terjadi kristalisasi pada gelas limbah. Kristalisasi mudah terjadi pada gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat. Pemanasan sampai dengan 50 jam, prosen berat kristal yang terjadi pada gelas limbah 0 dengan kandungan limbah 20 dan 30 % berat yang dipanaskan pada suhu 850 C adalah 8,5 dan 9 % berat. 0 Kristal dalam gelas limbah yang terjadi maksimum pada suhu 950 C, adalah 4 % berat untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 20 % berat dan 5.% berat untuk gelas limbah dengan kandungan limbah 30 % berat yang dipanaskan selama 18 jam. PUSTAKA [1] Kobelev, A.P.: Vitrification of a surrogate for high-level wastes from the Savannah River facility (USA) in a commercial cold-crucible facility, Journal Atomic Energy, 102: 369-374, (2006). [2] Sangeeta Deokattey, et.al.,: Borosilicate glass and synroc R&D for radioactive waste immobilization, Journal of the Minerals, Metals and Materials Society, 55: 48-51, (2003). [3] Roth, G., and Weisenburger, S.: Vitrification of high-level liquid waste: glass chemistry, process chemistry and process technology, Nuclear Engineering and Design, 202: 197-207, (2000). [4] IAEA: Spent Fuel and High Level Waste:Chemical Durability and Performance under Simulated Repository Conditions, TECDOC-1563, IAEA, Vienna (2006). [5] Yalmal, V.S., et.al.: Preparation and characterization of vitrified glass matrix for high level waste from MOX fuel processing, Journal of Non-Crystalline Solids, 353: 4647-4653, (2005). [6] Luo Shanggeng, Jiang Yaozhong and Liu Delu: Devitrification behaviour of GC-12/9B HLW-glass, Waste Management, 10: 23-27, (2000). [7] IAEA: Characterization of Radioactive Waste Form and Packages, Technical Report Series No. 383, IAEA,Vienna, (1997). [8] Spilman L.L, Hench and D.E. Clark: Devitrification and subsequent effects on the leach behavior of a simulated borosilicate nuclear waste glass, Nuclear and Chemical Waste Management 6: 107119, (1996).. [9] Alton, J., Plaisted, T. J. and Herma, P.: Kinetics of growth of spinel crystals in a borosilicate glass, J. Chemical engineering science, 57: 2503-2509, (2002). 16
Aisyah, Herlan Martono : Pengaruh Perlakuan Panas dan Kandungan Limbah terhadap Perubahan Struktur Gelas Limbah
[10] Oak Ridge National Laboratory, RSICC: Computer Code Collection Origen 2.1, ORNL, USA (1996). [11] Kanwar Raj and Kaushik, C.P.: Glass Matrices for Vitrification of Radioactive Waste: an Update on R & D Efforts, Materials Science and Engineering, 2: 1-6, (2006). [12] Crankovic , G.M.: Materials Characterization, ASM International, USA, (1986). [13] Czichos, Horst, et al.: Handbook of Materials Measurement Methods, Springer, Berlin (2006). [14] Yang Leng: Materials Characterization: Introduction to Microscopic and Spectroscopic Methods, John Wiley & Sons, New York (2006). [15] Cullity, B.D. Stock, S.R: Elements of X-Ray Diffraction 3rd ed., Prentice Hall, London (2001).
17
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
APLIKASI METODE ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP) UNTUK MENGOLAH LIMBAH RESIN CAIR Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita Pusat Penelitian Kimia-LIPI Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310
ABSTRAK METODE ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP) UNTUK MENGOLAH LIMBAH RESIN CAIR. Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair bahan resin adalah senyawa-senyawa organik yang biasanya dapat merupakan racun yang dapat mencemari lingkungan air dan udara apabila dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung dalam limbah cair bahan resin, penelitian merekomendasikan instalasi air limbah (IPAL) dengan menggunakan instrumentasi metode Advanced Oxidation Processes (AOP). Untuk dapat meningkatkan efektifitas dan standar baku mutu buang limbah cair dari bahan resin, maka diusulkan adanya perubahan cara pengolahan air limbah dengan metode AOP yaitu dengan mengkombinasikan ozon dan ultraviolet. Kata kunci: Instrumentasi, Ozon, ultraviolet, AOP, polutan, resin, baku mutu ABSRACT APPLICATION OF ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP) METHOD FOR LIQUID RESIN WASTE TREATMENT. Ingeneral main polutan that contain in liquid waste resin materials is organic compounds that usually as a poisoned that can contaminate water environment and air when it thrown away directly to environment in the large number. To overcome polutan that implied in liquid waste resin materials, research recommends waste treatment facility (WTF) by using instrumentation of Advanced Oxidation Processes (AOP) method. To improve efectivity and quality standard of liquid waste from resin materials, for that reason proposed the changing of waste water treatment with AOP method combine ozone and ultraviolet treatment. Keyword: Instrumentation, Ozone, ultraviolet, AOP, polutan, resin, standard quality
PENDAHULUAN Sejak tahun 1981, para peneliti mulai menguji penggunaan ozon sebagai bagian dari proses reklamasi air. Penelitian awal menunjukan bahwa dosis ozon tertentu diperlukan untuk mencapai tingkat spesifik penyuci-hamaan [1]. Literatur menunjukan bahwa faktor-faktor yang paling signifikan dimana mempengaruhi persyaratan dosis ozon adalah effluent chemical oxygen demand (COD), influent kepadatan bakteri, dan target effluent kepadatan bakteri. Plasma adalah zat keempat disamping zat klasik, padat , cair dan gas. Zat plasma ni diketemukan oleh ilmuan Amerika , Irving Langmuir 1881-19570 dalam percobaanya melalui filamen tungsten dengan prinsip mengalirnya arus listrik akan menunjukan adanya ionisasi yang mengakibatkan terbentuknya ion serta elektron pada udara diantara dua elektroda yang diberi tegangan listrik yang cukup tinggi (< 10 kV) [2]. Semakin besar tegangan listrik yang diberikan, semakin banyak jumlah ion dan electron yang terbentuk. Aksi–reaksi yang terjadi antara ion dan electron dalam jumlah banyak akan menimbulkan kondisi udara dua elektroda menjadi netral, peristiwa inilah yang disebut plasma. Dewasa ini teknologi plasma banyak digunakan dalam berbagai bidang industri, seperti industri elektronik, material, kimia dan obat-obatan. Selain dari pada itu teknologi plasma dimanfaatkan juga untuk mengolah limbah cair dan gas. Sistem pengolah limbah cair yang ada umumnya mempergunakan cara kombinasi antara pemakaian clorine, sistem kondensasi, sedimentasi dan filtrasi. Sedangkan untuk mengolah limbah cair organik banyak mempergunakan mikrobiologi, karbon aktif atau membran filtrasi tidaklah cukup untuk limbah organik yang semakin banyak. Untuk masalah limbah organik ini, teknologi ozon mulai dipergunakan. Sesuai dengan fungsinya, instalasi pengolahan air limbah ini dapat dipakai untuk pengolahan air limbah domestik yang didalamnya banyak terkandung berbagai jenis senyawa kimia dan 18
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk Mengolah Limbah Resin Cair
mikroorganisma yang dapat merusak lingkungan dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat disekitarnya. Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair mengandung bahan peroxide adalah senyawa-senyawa organik beracun yang dapat mencemari lingkungan air dan udara apabila dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung dalam limbah cair bahan peroxide, penggunaan cara oksidasi merupakan proses utama dalam proses pengolahan air limbah dengan teknologi ozon ini. Oksidasi sangat diperlukan dalam proses penguraian senyawa-senyawa kimia organik dan sebagian anorganik. Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh kementrian negara lingkungan hidup dimana setiap perusahaan wajib untuk dapat mengatasi dan mengurangi jumlah bahan pencemar dalam limbah cair yang dihasilkan. Untuk itu perusahaan yang menggunakan bahan peroxide memerlukan adanya suatu teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan limbah cair tersebut. PERMASALAHAN Pengembangan instalasi instrumentasi pengolahan limbah cair bahan peroxide menggunakan metode AOP dengan kombinasi ozon dan ultraviolet dimaksudkan agar limbah cair yang diolah dapat dibuang dengan aman dan memenuhi baku mutu lingkungan sesuai dengan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup [3]. Dari proses produksi perusahaan berbahan peroxide setiap harinya menghasilkan kurang 3 lebih 10 m /day limbah cair dengan kadar kandungan COD 116208 ppm di sampel A3-2 yang dinilai sangat tinggi, sehingga limbah cair ini tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan air. Konsep dasar sistem yang akan dibangun adalah sistem AOP dengan menggunakan ozon dan ultraviolet [4,5]. sebagai komponen utama sistem yang dikombinasikan dengan karbon aktif sebagai filtrasi pada tahapan terakhir. Fungsi dari kombinasi ozon dan ultraviolet adalah untuk menghasilkan hydroxyl radikal (⋅OH) ditunjukkan pada persamaan (1) dan (2), dimana sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V) [3,6]. Sedangkan lampu ultraviolet pada panjang gelombang tertentu (λ = 254 m) akan efektif dalam proses membunuh bakteri. Hal ini menjadikan kombinasi ozon dan ultraviolet sangat potensial untuk mengoksidasi berbagai senyawa organik, minyak, dan bakteri yang terkandung didalam air. O3 + UV → O2 + O(1D) 1 O( D) + H2O → 2 ·OH
(1) (2)
Rangkaian dasar sistem yang diajukan adalah sebagai berikut, Gambar 1,
wastewater
AOP
filtration
clearwater
Gambar 1. Konsep dasar pengolahan limbah bahan peroxide dengan teknologi AOP
Gambar 2. Laju alir pengolahan limbah dengan AOP dan CA
19
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Gambar 3. Skema Sistem Instalasi AOP dan Laboratorium
Gambar 4. Rangkaian unit AOP dan Gambar 5. Alat ozone generator TATA KERJA Sistem instrumentasi yang digunakan adalah metode Advanced Oxidation Processes (AOP). Sistem AOP yang dipergunakan adalah kombinasi antara Ozon-UV-H2O2 dan karbon aktif (Gambar 2). Sistem AOP bekerja memanfaatkan hydroxyl radical (·OH) yang dihasilkan dari reaksi antara kombinasi Ozon-UV-H2O2 dalam air. Karbon aktif bekerja dalam membantu proses absorpsi mikro polutan hasil oksidasi dari sistem AOP. Sistem instalasi AOP ditunjukkan dengan skema seperti pada Gambar 3. Dari skema percobaan ini dapat dijelaskan tahapan-tahapan proses pengolahan air limbah sebagai berikut: Air limbah dilewatkan ke unit AOP untuk direaksikan dengan O3-UV- H2O2. Proses oksidasi terjadi di unit AOP. Air limbah yang sudah teroksidasi dilewatkan unit karbon (CA), selanjutnya air limbah yang sudah melewati tahapan-tahapan tersebut kemudian di analisa kadar COD-nya.
20
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk Mengolah Limbah Resin Cair
Gambar 6 Lokasi Pengambilan Air Limbah Cair untuk diproses dengan alat AOP Peralatan instrumentasi yang digunakan dalam uji laboratorium adalah: a) Unit AOPs skala Laboratorium dengan kapasitas olah 1 ltr. (Gambar 4) b) Unit filter CA skala laboratorium dengan kapasitas olah 1 ltr. c) Ozone generator kapasitas maks 6 gr/hr (Gambar 5) 3 d) Oxygen (tabung) kapasitas 7m e) H2O2 konsentrasi 50% 1 ltr Sampel limbah yang akan diuji cobakan diambil dari 7 titik tempat pengumpulan limbah berdasarkan jenis limbah dan pengolahannya (Gambar 6) HASIL DAN PEMBAHASAN Uji lapangan dilakukan dengan peralatan instrumentasi pengolah limbah cair AOP berjalan (mobile), dengan spesifikasi : Metoda : Ozone – UV (AOP) 3 Kapasitas: Maksimum 1 m /jam
Daya: 750 watt Hasil pengolahan menggunakan AOP Tabel 1. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP Result Sampel Result Sampel No COD [ppm] After AOP COD [ppm] Before AOP 1 2 3 4 5
A1-2 A2-2 A3-2 A4-2 A5-2
8842 1521 116208 597 36800
B1-2 B2-2 B3-2 B4-2 B5-2
3763 117 43580 53 19400
57.44 92.33 62.50 91.17 47.28
6 7
A6-2 A7-2
1097 141
B6-2 B7-2
36 45
96.76 67.90
Lokasi Pengolahan Pengambilan Sampel 21
Persentase [%]
: Titik 1 s/d Titik 7 : Tahap Pertama
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Gambar 7. Penurunan kandungan COD Before dan After AOP Tabel 2. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP Result Sampel Sampel No COD [ppm] After AOP Before AOP
Result
Persentase
COD [ppm]
[%]
1
A1-3
6888
B1-3
2952
57.14
2
A2-3
1005
B2-3
64
93.63
3
A3-3
131750
B3-3
32860
75.06
4
A4-3
57
B4-3
10
82.46
5
A5-3
31842
B5-3
15670
50.79
6
A6-3
1033
B6-3
69
93.30
B7-3
22
91.33
7 A7-3 Lokasi Pengolahan Pengambilan Sampel
248 : Titik 1 s/d Titik 7 : Tahap kedua
Gambar 8. Penurunan kandungan COD sebelum dan sesudah AOP
22
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk Mengolah Limbah Resin Cair
Tabel 3. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP P Result Sampel Sampel No COD [ppm] After AOP Before AOP
Result
Persentase
COD [ppm]
[%]
1
A1-4
43042
B1-4
2364
94.51
2
A2-4
2082
B2-4
165
92.10
3
A3-4
123333
B3-4
8567
93.05
4
A4-4
0
B4-4
0
0.00
5
A5-4
33992
B5-4
13217
61.12
6
A6-4
1278
B6-4
229
82.10
B7-4
33
88.61
7 A7-4 Lokasi Pengolahan Pengambilan Sampel
293 : Titik 1 s/d Titik 7 : Tahap ketiga
Gambar 9. Penurunan kandungan COD sebelum dan sesudah AOP Tabel 4. Data hasil pengolahan menggunakan Instrumentasi AOP Result Sampel Sampel No COD [ppm] After AOP Before AOP
Persentase
COD [ppm]
[%]
1
A1-10
5500
B1-10
1454
73.56
2
A2-10
1175
B2-10
389
66.89
3
A3-10
143833
B3-10
16520
88.51
4
A4-10
0
B4-10
0
0.00
5
A5-10
39517
B5-10
10217
74.15
6
A6-10
1363
B6-10
310
77.26
7
A7-10
214
B7-10
50
76.58
Lokasi Pengolahan Pengambilan Sampel
23
Result
: Titik 1 s/d Titik 7 : Tahap keempat
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Gambar 10. Penurunan kandungan COD sebelum dan sesudah AOP Tabel 1 sampai dengan Tabel 4 menunjukkan hasil penurunan COD dari 7 titik sampel pengambilan setelah 4 hari proses pengolahan. Dari data hasil pengujian didapati bahwa hasil pengolahan dengan metode AOP menunjukkan perbedaan penurunan COD untuk masing-masing sampel. Hal ini terjadi terutama dikarenakan perbedaan kandungan COD yang sangat signifikan. Dimana sampel 3 memiliki kandungan COD ratarata >100.000 ppm, sedangkan sampel 7 memiliki kandungan COD rata-rata < 300 ppm. Berdasarkan data tersebut maka pengujian dilakukan dengan menggunakan 2 metode berbeda yaitu Metode 1, sampel di proses dengan menggunakan kombinasi metode AOP dan Carbon filter. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Sedangkan data pada Tabel 3 dan Tabel 4 merupakan hasil dari pengolahan Metode 2 yaitu dengan menggunakan kombinasi antara AOP, Carbon Filter dan Hydrogen Peroxide (H2O2) [7]. Dimana penambahan H2O2 dilakukan sebagai simulasi untuk membedakan kandungan radikal bebas dari kedua metode. Hasil pengolahan menunjukkan bahwa secara visual terjadi penurunan warna dan bau. Hal ini menunjukkan adanya penurunan COD. Dimana warna dan bau biasanya menunjukkan adanya kandungan senyawa organik aromatik. Khusus untuk limbah dari industri resin biasanya mengalami kesulitan dalam menghilangkan senyawa aromatik yang menimbulkan bau yang menyengat [8]. Oleh karena itu data yang dikumpulkan cenderung menunjukkan bahwa pengujian menggunakan instrumentasi AOP + UV adalah teknologi yang dimungkinkan untuk menghilangkan bau yang menyengat dan menurunkan COD sehingga dapat dibuktikan bahwa metode AOP + UV cocok untuk diaplikasikan pada limbah dari industri resin. Hasil pengolahan pada Tabel 1 dan Tabel 2 (AOP+CA) untuk sampel dengan COD awal < 10.000 ppm menunjukkan hasil penurunan COD yang sangat baik diatas 90%. Sedangkan untuk COD awal >10.000 ppm menunjukkan penurunan dibawah 60%. Hal ini menunjukkan bahwa untuk COD >10.000 ppm memerlukan jumlah radikal bebas yang lebih banyak untuk dapat dipergunakan pada proses penguraian COD. Hal di atas dapat dijelaskan dengan melihat hasil pada Tabel 3 dan Tabel 4, dimana data yang didapatkan menunjukkan bahwa baik hampir semua sampel baik yang memiliki kandungan COD <10.000 maupun dengan kandungan COD >10.000, dapat diturunkan dengan baik dengan penurunan COD berkisar antara 70% hingga 90%. Walaupun terjadi penurunan persentase pada sampel 6 dan 7 dikarenakan penambahan hydrogen peroxide justru menaikkan COD awal limbah yang memang sudah rendah <300 ppm. Untuk itu penambahan hydrogen peroxide sebagai penghasil radikal bebas pada COD rendah dapat dikatagorikan tidak efektif pada limbah yang mengandung COD rendah. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian dan pengamatan pengolahan limbah cair dari bahan kimia dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Limbah cair dari bahan kimia dapat diolah dengan menggunakan metode AOP dan filtrasi. Kombinasi AOP dan filtrasi dapat menurunkan kandungan COD 24
Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita : Aplikasi Metode Advanced Oxidation Processes (Aop) untuk Mengolah Limbah Resin Cair
2. Penurunan COD yang didapat rata-rata berkisar antara 47.28% hingga 94.51%. 3. Untuk sumber air limbah dengan kandugann COD < 10.000 ppm metode AOP dapat bekerja sangat efektif. 4. Hasil menunjukkan bahwa teknologi instrumentasi pengolah limbah cair metode AOP + UV memungkinkan untuk untuk diaplikasikan pada limbah dari industri resin. DAFTAR PUSTAKA [1] ROTH, J. R.: Industrial Plasma Engineering. Volume II -- Applications to Non-Thermal Plasma Processing. Institute of Physics Publishing, Bristol and Philadelphia, ISBN 0-7503- 0545-2, (2001) See Section 18.6. [2] PIGNATELLO, J. J., OLIVEROS, E., MACKAY, A., Advanced Oxidation Processes for Organic Contaminant Destruction Based on the Fenton Reaction and Related Chemistry, Critical Rev. Environ. Sci. Technol., 36, 1-84 (2006). [3] ANTO, T.S., Mengatasi Limbah tanpa masalah: Penerapan Teknologi Plasma untuk Lingkungan. PT. ECO-Plasma Indonesia,Perpustakaan Nasonal, April 2007. [4] RIED, A.; MIELCKE, J.; KAMPMANN, M.; TERNES T.A.; TEISER, B. Ozone and UV processes for additional wastewater treatment to remove pharmaceuticals and EDCs. Proc. IWA Leading Edge Technologies Conf. (2004). [5] WINTGENTS, T.; LYKO, S.; MELIN, T.; SCHäFER, A.I.; KHAN, S.; SHERMAN, P.; RIED, A. Removal of estrogenic trace contaminants from wastewater and landfill leachate with advanced treatment processes. Proc. IWA Leading Edge Technologies Conf. (2004). [6] TRAPIDO, M., KALLAS, J., Advanced oxidation processses for the degradation and detoxification of 4-nitrophenol, Environ, Technol., 21, 799-808 (2000). [7] GUINEA, E., ARIAS, C., CABOT, P. L., GARRIDO, J. A., RODRIGUEZ, R. M., CENTELLAS, F., BRILLAS, E., Mineralization of salicylic acid in acidic aqueous medium by electrochemical advanced oxidation processes using platinum and boron-doped diamond as anode and cathodically generated hydrogen peroxide, Water Research, 42, 499-511 (2008). [8] MUHAMMAD, A., SHAFEEQ, A., BUTT, M. A., RIZKI, Z. H., CHUGHTAI, M. A., REHMAN.S., Decolorization and removal of cod and bodfrom raw and biotreated textile dye bath effluent through advanced oxidation processes, (AOPS). Braz. J. Chem. Eng., 25, 453-459 (2008).
25
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
PENGARUH ION LOGAM KO-EKSISTENSI TERHADAP SORPSI CESIUM DAN STRONSIUM OLEH BENTONIT Budi Setiawan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310
ABSTRAK PENGARUH ION LOGAM KO-EKSISTENSI TERHADAP SORPSI CESIUM DAN STRONSIUM OLEH BENTONIT. Studi tentang pengaruh ion logam yang ada di larutan sebagai ion ko-eksistensi terhadap reaksi sorpsi radiocesium dan stronsium oleh bentonit telah dipelajari. Bermacam jenis ion logam yang terlarut di air tanah diperkirakan akan berpengaruh terhadap sorpsi radiocesium dan stronsium oleh bentonit. Mineral bentonit ini pada fasilitas penyimpanan akhir limbah radioaktif akan berperan sebagai bahan penyangga yang diletakkan antara paket limbah dan host rock. Sedangkan radiocesium dan stronsium merupakan radionuklida acuan untuk penelitian tentang limbah radioaktif aktivitas rendah-sedang. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai proses perpindahan radiocesium dan stronsium secara sorpsi dari larutan ke dalam mineral bentonit, dimana untuk itu bahan kajian ini menggunakan informasi sekunder/studi literatur yang ada. Dari hasil kajian yang ada diharapkan dapat memberikan gambaran proses perpindahan radiocesium dan stronsium dari larutan ke bentonit saat ion logam lain juga ada bersama di larutan. Material yang sama sebagai mineral lokal asal Indonesia dilain waktu perlu juga dipelajari kemampuannya bila digunakan sebagai bahan penyangga. Kata kunci: sorpsi, ion-koeksistensi, cesium, stronsium, bentonit ABSTRACT EFFECT OF CO-EXISTENCE METAL IONS TO SORPTION OF CESIUM AND STRONTIUM ONTO BENTONITE. Study of metal ions effect exists in solution as co-existence ions to radiocesium and strontium sorption reaction onto bentonite has been done. Various soluble metal ions in groundwater were predicted to give an effect to radiocesium and strontium sorption onto bentonite. Bentonite mineral on a radwaste disposal facility has role as a buffer material, which is put in between waste packages and host rock. However radiocesium and strontium are a reference radionuclide for the study of low and intermediate-level wastes. Objective of the study was to collect the information about transfer process of radiocesium and strontium by sorption method from solution onto bentonite mineral, where the material of study used secondary information/ available literatures. From the study hoped that it would give some information of transfer processes of radiocesium and strontium from solution onto bentonite when other metal ions also existed in solution. For next investigation it would be valuable if the similar materials such as a local mineral from Indonesia also to be studied their capacity for applying as buffer material. Keywords: sorption, co-existence ion, cesium, strontium, bentonite
PENDAHULUAN Masalah utama dari kegiatan nuklir adalah timbulnya limbah radioaktif yang harus dikelola dengan baik dan benar agar kontaminannya tidak tersebar dan membahayakan lingkungan hidup. [1] Radioaktivitas yang ada juga harus dikelola agar turun ke aktivitas yang tidak lagi dapat membahayakan lingkungan hidup. Sistem penyimpanan akhir limbah radioaktif (PA-LRA) dibuat dengan sistem yang berlapis seperti ditunjukkan pada Gambar 1, sehingga material yang digunakan sebagai pelapis pada sistem tersebut perlu diuji dan dipelajari kemampuannya [2,3]. Salah satunya adalah bahan penyangga (buffer materials) yang diletakkan antara paket limbah dan dinding batuan/tanah alami. Batuan bentonit umumnya digunakan untuk keperluan ini. Batuan bentonit mempunyai sifat fisik yang dapat melakukan penggelembungan (swelling) dengan cara menyerap larutan/air. Jarak antar lapisan yang semakin menjauh akibat serapan air menyebabkan batuan bentonit dapat menggelembung. Sifat ini kemudian dimanfaatkan sebagai bahan penyangga untuk 26
Budi Setiawan : Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit
menghambat laju adanya rembesan air/air tanah menuju ke paket limbah yang ada di fasilitas PA-LRA. Adanya lepasan radionuklida yang ikut merembes bersama aliran air dari fasilitas PA-LRA juga akan dihambat oleh lapisan bentonit dengan cara diserap (sorption process) agar kontaminan tidak menyebar lebih jauh dari fasilitas PA-LRA. Terlihat bahwa peran bentonit sebagai penghambat kemungkinan adanya penyebaran radionuklida dari fasilitas PA-LRA sangat penting untuk dipelajari. Radiocesium (Cs-137) dan stronsium (Sr-90) adalah salah satu radionuklida acuan untuk limbah radioaktif beraktivitas rendah-sedang karena umur paro kedua radionuklida relatif panjang (~30 dan 28 tahun) dan sifat cesium yang mudah terlarut di air tanah, sedangkan stronsium bersifat mudah tinggal di dalam tubuh manusia dengan melakukan substitusi dengan ion kalsium yang ada di tulang belakang. Interaksi antara radiocesium dan stronsium dengan bahan/mineral alami seperti bentonit menjadi objek penelitian yang menarik dan penting dilakukan karena perhatian terhadap masalah kontaminasi radionuklida ke lingkungan. Studi sorpsi elemen radioaktif yang dihasilkan dari proses fisi seperti radiocesium dan stronsium dengan bahan alami menjadi suatu subjek kegiatan yang perlu diperhatikan. Di air tanah telah eksis bermacam ion logam yang diperkirakan turut berinteraksi dengan sistem penghalang [4], sehingga keberadaan ion logam koeksistensi di air tanah merupakan salah satu parameter penting yang ikut dipertimbangkan pada proses sorpsi radionuklida dari larutan ke bahan alami seperti bentonit. Proses kinetikanya akan memberikan gambaran kemampuan bahan tersebut untuk “mengambil” (removal) radionuklida dari larutan. Proses pengambilan radionuklida dari larutan dapat diketahui dari koefisien distribusi radionuklida di sampel dan tersisa di larutan atau dikenal sebagai nilai koefisien distribusi/Kd (ml/g) dimana [5],
Gambar 1. Sistem penghalang berlapis pada salah satu fasilitas PA-LRA jenis dekat permukaan.
Kd =
banyaknya RN terserap di padatan banyaknya RN tersisa di larutan
(1)
atau
Kd=
C 0− C t V Ct m
(2)
C0 dan Ct masing-masing adalah konsentrasi awal dan akhir radionuklida (RN) di larutan, V adalah volume total larutan (ml), m adalah massa lempung (g) dan Kd adalah koefisien distribusi radionuklida di sampel dan di larutan. 27
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Pada kajian ini akan dipelajari pengaruh adanya ion-ion logam koeksistensi (seperti Na+, K+, 2+ Ca , Mg )yang bersama-sama ada di larutan terhadap interaksi antara radiocesium/Cs-137 dan stronsium/ Sr-90 dengan bentonit. Hasil kajian ini akan membantu kita mempelajari salah satu parameter penting yang berhubungan dengan karakter sorpsi radionuklida yang berguna memahami perilaku radionuklida pada suatu sistem penghalang pada suatu fasilitas PA-LRA jenis aktivitas rendahsedang. Tujuan pengkajian ini adalah mempelajari salah satu parameter penting yang berpengaruh pada proses perpindahan radiocesium dan stronsium secara sorpsi dari larutan ke bentonit sebagai bahan penyangga. 2+
TATA KERJA Pengkajian tentang pengaruh ion logam ko-eksistensi terhadap sorpsi cesium dan stronsium oleh bentonit dilaksanakan melalui studi pustaka terhadap beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya [6-10]. Pengukuran sorpsi dilakukan secara catu/batch, dimana bentonit sebagai sampel dikontakkan dengan larutan yang mengandung radionuklida (Cs-137, Sr-90). Waktu yang digunakan untuk pengontakkan antara radionuklida dengan sampel sengaja dilakukan sebelum waktu jenuh atau kesetimbangan tercapai. Hal ini dimaksudkan agar reaksi pertukaran antara radionuklida dengan ion-ion ko-eksistensi yang akan dipelajari terlihat dengan jelas tidak terpengaruh dengan adanya radionuklida yang terikat tak dapat balik oleh sampel bentonit. Beberapa peralatan yang umum digunakan pada studi seperti ini adalah roller atau shaker sebagai pengocok campuran larutan yang mengandung radionuklida dan sampel bentonit yang dapat dikontrol kecepatan pencampurannya, alat pemisah fase air dan padatan seperti alat pemusing (centrifuge) atau alat penyaring, alat analisis radiometrik seperti liquid scintillation counter (LSC) atau multichannel analyzer.(MCA). Kegiatan pengkajian ini seluruhnya dilaksanakan pada tahun fiskal 2009 di Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari, PTLR-BATAN, Serpong-Tangerang, Banten. PEMBAHASAN Nilai optimal Kd dari suatu radionuklida yang terserap ke padatan dapat diperoleh dengan cara menambahkan konsentrasi penyerapnya terhadap larutan berisi radionuklida dengan konsentrasi tertentu. Setelah waktu pengontakkan tertentu sebagian radionuklida akan terserap ke penyerap seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3, masing-masing untuk radiocesium dan radiostronsium. Nilai Kd dari masing-masing radionuklida terlihat meningkat bersama dengan bertambahnya konsentrasi penyerap. Pada konsentrasi / berat penyerap yang tertentu nilai Kd radionuklida telah menjadi maksimal, hal ini disebabkan karena site pertukaran dari penyerap (dalam kasus ini adalah bentonit) untuk melakukan sorpsi telah mencapai kondisi optimal. Nilai optimal Kd yang diperoleh untuk sorpsi radiocesium dan stronsium terserap ke sampel bentonit masing-masing dapat mencapai 1025 dan 410 ml/g. Disini terlihat bahwa site pertukaran untuk ion cesium pada sampel bentonit tersedia lebih banyak dibandingkan dengan yang tersedia untuk stronsium, sehingga menyebabkan nilai Kd cesium > stronsium.
Gambar 2. Pengaruh penambahan penyerap terhadap nilai Kd radiocesium.
28
Budi Setiawan : Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit
Gambar 3. Pengaruh penambahan penyerap terhadap nilai Kd radiostronsium. Kemampuan ion-ion koeksistensi mempengaruhi nilai Kd radionuklida ke bentonit ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5, masing-masing untuk radiocesium dan stronsium. Terlihat bahwa keberadaan sejumlah konsentrasi ion koeksistensi di larutan dapat menyebabkan berkurangnya nilai Kd radionuklida di bentonit. Nilai Kd radiocesium akan menurun secara nyata dari nilai awal sekitar 1000 ml/g menjadi sekitar 500 ml/g, sedangkan untuk stronsium juga berkurang dari nilai Kd 400 turun menjadi sekitar 130 ml/g. Pengaruh ion-ion koeksistensi terhadap nilai Kd radiocesium yang dihasilkan mengikuti urutan sebagai berikut: K+ > Ca2+ > Mg2+ > Na+. Urutan ini agak berbeda dengan pertukaran ion yang umum terjadi, dimana biasanya proses pertukaran ion untuk ion-ion divalent akan lebih kuat berkompetisi terhadap ion-ion monovalen pada sorpsi radionuklida berkonsentrasi sangat kecil [11]. Pada Gambar 4 terlihat bahwa radiocesium yang terserap oleh bentonit menjadi lebih sedikit/lebih rendah nilai Kdnya akibat keberadaan ion K dibandingkan dengan pengaruh keberadaan ion Ca di larutan. Kuatnya pengaruh ion K terhadap sorpsi Cs dapat diterangkan sebagai berikut. Ion K yang sama-sama berada di golongan I pada daftar unsur susunan berkala mempunyai radius ion (ionic radii) yang mirip dengan yang dimiliki oleh ion Cs sehingga akan menyebabkan kompetisi yang lebih efektif dengan ion Cs untuk melakukan pertukaran posisi antara ion K dengan radiocesium dengan lebih optimum dibandingkan dengan ion Ca. Kemiripan ukuran, muatan dan hidrasi antara ion Cs dengan ion koeksistensi akan menentukan pengaruh sorpsi radionuklida oleh bentonit. Sehingga untuk meningkatkan efisiensi pengambilan Cs dari larutan, konsentrasi yang tinggi dari ion-ion koeksistensi di larutan sejauh mungkin perlu dihindari. Sedangkan pengaruh ion koeksistensi di larutan terhadap nilai Kd stronsium ditunjukkan pada Gambar 5, dimana efektifitas ion koeksistensi di larutan dalam mereduksi sorpsi Sr oleh bentonit mengikuti urutan sebagai berikut: Ca2+ > Mg2+ > K+ > Na+. Hal ini dapat diterangkan bahwa semakin lebarnya radius ion koeksistensi membuat reduksi sorpsi radiostronsium menjadi lebih efektif. Kemudahan untuk melakukan pertukaran ion antara ion koeksistensi dengan ion Sr dapat terjadi karena ion-ion yang saling dipertukarkan mempunyai golongan yang sama pada daftar susunan berkala [11]. Dengan kata lain semakin tinggi konsentrasi ion koeksistensi terdapat di larutan akan menyebabkan rendahnya nilai Kd stronsium atau menyebabkan migrasi radiostronsium di larutan menjadi meningkat.
29
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Gambar 4. Pengaruh ion koeksistensi di larutan terhadap nilai Kd radiocesium.
Gambar 5. Pengaruh ion koeksistensi di larutan terhadap nilai Kd radiostronsium. Hasil diatas memperlihatkan bahwa pada pertukaran ion Sr dengan ion-ion koeksistensi yang + + 2+ 2+ diteliti (K , Na , Ca , Mg ) mengikuti urutan Hofmeister, dimana suatu ion yang mempunyai radius ionik lebih kecil berkecenderungan untuk meng gantikan ion-ion yang mempunyai radius ionik yang lebih besar [12,13,14]. Dengan mengikuti aturan seperti di atas maka selektivitas sorpsi ion logam oleh tanah/lempung akan menurun mengikuti urutan Cs > K > Na > Li untuk ion-ion monovalen dan urutan Ba > Sr > Ca > Mg untuk ion-ion yang berstatus divalent ketika ion logam tersebut berinteraksi dengan tanah/lempung. Data tersebut telah mengindikasikan bahwa kecenderungan ini akan berlaku hanya untuk ion-ion logam yang mempunyai status oksidasi yang sama atau segolongan dalam tabel susunan berkala. Indonesia kaya akan mineral alami seperti bentonit yang dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi [15,16]. Kekayaan ini merupakan asset pokok bagi persiapan pengadaan fasilitas PA-LRA di Indonesia, utamanya sebagai bahan penyangga fasilitas. Sehingga material alami ini perlu pula kiranya bila di lain kesempatan untuk dapat dilakukan penelitian sejenis guna dipelajari kemampuan menghambat sebaran radioaktif/logam berat berbahaya ke lingkungan. Hal ini dimaksud sebagai antisipasi bila nantinya digunakan sebagai bahan penyangga pada fasilitas PA-LRA di masa yang akan datang. 30
Budi Setiawan : Pengaruh Ion Logam Ko-eksistensi terhadap Sorpsi Cesium dan Stronsium oleh Bentonit
KESIMPULAN Dari kajian diatas dapat diperoleh gambaran proses perpindahan radionuklida (cesium dan stronsium) dari larutan ke bentonit dengan kondisi yang dipengaruhi keberadaan ion logam koeksistensi di larutan. Keberadaan ion logam koeksistensi di larutan telah memberikan pengaruh terhadap sorpsi radionuklida ke bentonit dengan ditandai dengan menurunnya nilai Kd radionuklida ke bentonit. Untuk sorpsi radiocesium telah memberikan pengaruh dengan urutan sebagai K+ > Ca2+ > Mg2+ > Na+, 2+ 2+ + + sedangkan sorpsi stronsium memberikan pengaruh dengan urutan Ca > Mg > K > Na . Indonesia yang kaya dengan mineral alami seperti bentonit, perlu untuk diperoleh data kemampuan bentonit sebagai salah satu material pendukung (bahan penyangga) pada fasilitas PA-LRA di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA [1] Managing Radioactive Waste Safely, Dept. of Environment, Food and Rural Affair, Dept. of Environment, National Assembly for Wales, Scottish Executive, Sept. 2001. [2] Chapman, N. and Mc Kinley, I.G.: The Geological Disposal of Nuclear Waste, John Wiley & Sons, Chichester (1985) [3] Brookin, D.G.: Geochem. Aspect of Radioactive Waste Disposal, Springer-Verlag, N.Y (1984). [4] Howard, A.G.:Aquatic Envi ronmental Chemistry, Oxford Sci. Publs, NY (1998). [5] Erten, H.N., et.al.: Sorption of Cesium and Strontium on Montmorillonite and Kaolinite, Radiochim. Acta 44/45,147 (1988). [6] Weber, W.J.: Physicochem. Process for Water Quality Control, Willey-Interscie., NY (1972). [7] Mattson, J.S. and Mark, H.B.: Activated Carbon: Surface Chem. & Adsorption From Solution, Mercel-Dekker Inc., NY. (1971). [8] Van Vliet, B.M. and Weber, W.J.: Comparative Perform ance of Synthetic Adsorbents and Activated Charcoal for Specific Compound Removal From Waste Water, J. Water Poll. Control Fed 53, 1585 (1981). [9] Sabodina, M.N., et.al.: Sorption Properties of Bentonite Clays Toward Several Radionuclides, Herald of Dept. of The Earth Scie., RAS (2004). [10] Staunton, S., M., Roubaud, M.: Adsorption 137Cs on Montmorillonite and Illite, Clay & Clay Minerals 45 No.2, 251-260 (1997). [11] Bell, J. and Bates, T.H.: Distr. Coeff. of Radionuclides between Soils and Groundwaters and Their Dependence on Various Test Parameters, Sci. Total Env., 69, 297-317 (1988). [12] Dolcates, D.L.,et.al.: Cation Exch. Selectivity of Some Clay Sized Minerals and Soil Materials, Soil Sci. Soc. Am. Proc., 32, 795-798 (1968). [13] Sullivan, P.J.: The Principle of Hard and Soft Acids and Bases as Applied to Exchange able Cation Selectivity in Soils, Soil Sci., 124, 117 (1977). [14] Stumm, W. and Morgan, J.: Aquatic Chemistry, Wiley, NY (1996). [15] Riyanto,A.: Bahan Galian Industri Bentonit, PPTM, Bandung (1994). [16] Simatupang, M. dan Sigit, S.: Pengantar Pertambangan Indonesia, Asosiasi Pertambangan Indonesia, Jakarta (1992).
31
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
KESELAMATAN LINGKUNGAN DAN KECELAKAAN DALAM PRODUKSI ENERGI LISTRIK Erwansyah Lubis Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang-15310.
ABSTRAK KESELAMATAN LINGKUNGAN DAN KECELAKAAN DALAM PRODUKSI ENERGI LISTRIK. Keselamatan lingkungan dan kecelakaan dalam daur produksi energi listrik yang menggunakan berbagai energi primer telah dipelajari. Dalam produksi 1kWh listrik, tenaga angin dan nuklir mengemisikan CO2 yang terkecil, dibandingkan dengan menggunakan energi primer batu-bara (BB) dan gas alam. Sementara tenaga air dan sinar matahari berada di antara tenaga nuklir dan BB. Kecelakaan nuklir terbesar yang pernah terjadi adalah kecelakaan Chernobyl yang terjadi pada tahun1986 dengan korban sebanyak 31 orang meninggal. Pada daur PLTB, kecelakaan banyak terjadi dalam penambangan BB yang menimbulkan kematian, di China rata-rata 5000 kematian per tahun dan di Ukraina rata-rata 200 kematian per tahun. Hingga saat ini, penggunaan teknologi PLTN dalam produksi energi listrik telah terbukti (proven) mengurangi penumpukan CO2 di atmosfir dalam skala besar. Tiap 22 ton Uranium (26 ton U3O8) yang digunakan dalam satu PLTN mengurangi emisi 1 juta ton CO2 dari pengoperasian PLTB. Kata kunci: Keselamatan lingkungan, energy listrik, kecelakaan ABSTRACT ENVIRONMENTAL SAFETY AND ACCIDENT IN ELECTRICITY GENERATION. The environmental safety and accident in electricity generation cycle using varying of primary energy was studied. In 1 kWh electricity generation with using wind and nuclear power were emitted CO2 smallest if compared to coal and natural gas, while hydro-power and solar energy were between nuclear power and coal. In nuclear power plant (NPP) operation, the Chernobyl accident happen in 1986 with caused 31 deaths. In coal power plant (CPP) cycle, lot of accidents happen in coal mining which rise to death. The total deaths average in coal mining in China is 5000 per year and in Ukraina is 200 per year. Until now, NPP in electricity generation has proven to decrease the accumulation of CO2 in the atmosphere in high scale. Each 22 Tons of Uranium (26 Ton U3O8) using in 1 NPP decreasing 1 million tons CO2 from the operation of CPP. Keywords : Environmental safety, electricity generation, accidents
PENDAHULUAN Dengan disadarinya efek pemanasan global yang terjadi saat ini, kebutuhan akan pembangkit energi listrik (PEL) yang bersih dan memenuhi keselamatan lingkungan adalah merupakan suatu tuntutan. Konsekuensi PEL terhadap lingkungan dan kesehatan merupakan isu penting, khususnya di lokasi dimana listrik tersebut diproduksi. Dampak terhadap lingkungan hidup ini merupakan biaya eksternal yang seharusnya dapat dihitung, namun tidak dimasukan ke dalam biaya utilitas (utility's account), karena itu tidak dibebankan pada konsumen. Dampak terhadap lingkungan hidup digugat secara luas oleh masyarakat. Khususnya dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia, hasil pertanian dan kerusakan gedung karena korosif, termasuk juga penyakit karena pekerjaan serta bila terjadi kecelakaan. Biaya eksternalitas ini, termasuk dampak terhadap ekosistem dan pemanasan global, merupakan hal yang seharusnya dapat dikuantifikasi dan dievaluasi. Produksi energi listrik dari sumber energi primer mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup adalah nyata. Penilaian yang seimbang terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) diperlukan untuk mengetahui dan membandingkan dampak yang ditimbulkannya terhadap pembangkit listrik tenaga batubara (PLTB) ataupun pilihan-pilihan PEL lainnya. Dalam makalah ini akan diuraian keselamatan lingkungan dan kecelakaan dalam daur produksi energi listrik yang menggunakan berbagai energi primer.
32
Erwansyah Lubis : Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan dalam Produksi Energi Listrik
GAS RUMAH KACA Gas rumah kaca (GRK) yang dimaksud disini adalah berbagai jenis gas yang ada di atmosfer bumi (CO2, NOx, SOx, CH4, CFxCx), yang menyebabkan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan terperangkap di permukaan bumi. Penumpukan GRK di atmosfer, seperti halnya CO2, menyebabkan terjadinya pemanasan iklim di berbagai tempat di permukaan bumi yang dampaknya semangkin nyata [1]. Sementara pemahaman terhadap proses pemanasan global terus meningkat, namun kita tidak mengetahui berapa banyak CO2 yang dapat diserap oleh lingkungan dan berapa lama keseimbangan CO2 global dapat dijaga. Perhatian ilmuwan meningkat tentang penumpukan CO2 yang terjadi di atmosfer, dan melakukan inisiatif politis yang menggambarkan keprihatinan. Penumpukan ini terjadi karena bahan bakar fosil yang diambil dari perut bumi banyak dibakar dan dikonversi secara cepat menjadi CO2 yang terlepas ke atmosfer oleh kendaraan bermotor, tungku industri dan rumah tangga serta PEL. Penebangan hutan juga berkontribusi terhadap efek rumah kaca (ERK) melalui pengurangan kemampuan penyerapan konsentrasi CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesa [1,2]. Emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF) di dunia mencapai 25 milyar ton per tahun, 38 % berasal dari pembakaran batu-bara (BB) dan 43 % berasal dari pembakaran bahan bakar minyak (BBM). Tiap 1000 MWe yang dihasilkan dari pembangkit listrik batu bara (PLTB) yang menggunakan BB hitam mengemisikan 7 ton CO2 per tahun, menggunakan BB coklat mengemisikan 9 ton CO2 per tahun. Dalam pengoperasian PLTN, pembelahan inti tidak menghasilkan CO2, emisi CO2 terjadi pada bagian daur bahan bakar nuklir (BBN), yaitu pada saat penambangan dan pengayaan uranium, inipun terjadi karena berbagai jenis peralatan penunjang proses yang digunakan [3]. Tabel 1. Tingkat Emisi CO2 Dari Produksi 1kWh Listrik [3]. Produksi gram setara CO2 / kWh Energi Listrik Emisi Langsung Dari Emisi Tidak Langsung (dari Pembakaran life-cycle) Batu-bara
790-1017
176 - 289
Gas Alam
362-575
77-113
Tenaga-Air
-
4-236
Solar-PV
-
100 - 280
Angin
-
10 - 18
nuklir
-
9 - 21
Terdapat kesepakatan yang luas bahwa dibutuhkan kebijakan energi di tiap negara untuk menurunkan penumpukan CO2 di atmosfer. Peningkatan pemanfaatan Uranium sebagai bahan bakar merupakan strategi yang lebih nyata untuk pengurangan penumpukan CO2 di atmosfer. Hingga saat ini penggunaan teknologi PLTN dalam produksi energi listrik telah terbukti (proven) mengurangi penumpukan CO2 dalam skala yang besar. Tiap 22 ton Uranium (26 ton U3O8) yang digunakan dalam satu PLTN mengurangi emisi 1 juta ton CO2 dari pengoperasian PLTB [3]. DAMPAK LINGKUNGAN LAINNYA DARI PRODUKSI ENERGI LISTRIK Dampak terhadap lingkungan hidup lainnya dari PEL terjadi pada saat penambangan bahan bakar. Pada penambangan Uranium dengan teknologi yang ada saat ini tidak terjadi polusi terhadap air dan udara. Dampak lingkungan dalam penambangan BB juga relatif kecil, kecuali penambangan yang ektensif dan luas membutuhkan rehabilitasi lahan. Pada daerah penambangan BB tertentu potensi terjadinya drainase asam karena oksidasi belerang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem, khususnya terhadap hasil pertanian, perikanan dan sumber air tawar untuk keperluan lain. Dalam pengoperasian PLTN maupun PLTB sejumlah kecil zat radioaktif alami dilepaskan ke atmosfer. Dalam kasus PLTB, kandungan Uranium, Radium dan Thorium alami dalam BB menyebabkan abu layang (fly ash) mengandung zat radioaktif, konsentrasinya sangat beragam. PLTN dan instalasi olah-ulang (reprocessing plant) melepaskan sejumlah kecil gas radioaktif, sepertihalnya 85 Kr, 133Xe dan 131I, yang dapat dideteksi di lingkungan dengan alat analisis ataupun monitoring yang canggih namun tidak berada dalam tingkat yang membahayakan. Tahapan pengembangan teknlogi 33
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
terus diupayakan untuk mengurangi emisi abu layang dari PLTB dan radionuklida hasil fisi dari PLTN. Pada saat ini tidak satupun merupakan sumber dampak lingkungan yang nyata dari pelepasan abu layang dan radionuklida buatan [3]. Limbah padat aktivitas tinggi (LAT) dari PLTN mengeluarkan panas dan radioaktif, sehingga disimpan dalam kolam penyimpanan-sementara untuk 40-50 tahun sampai radioaktifnya meluruh hingga tinggal 1 % dari saat awal. Akhirnya LAT akan di olah-ulang atau langsung di disposal dalam formasi geologi tanah dalam dan dijauhkan dari lingkungan hidup dengan baik. Penanganan dengan tingkat teknologi yang ada pada saat ini, tidak terjadi polusi ataupun dampak yang signifikan dari bahan radioaktif tersebut, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang [3,4]. Limbah aktivitas menengah (LAM) setelah diolah (pemekatan dan imobilisasi) ditempatkan dalam repositori di bawah permukaan tanah, sehingga dampak radiologik terhadap lingkungan hidup sangat rendah di bawah batasan yang direkomendasikan secara internasional. Abu terbang radioaktif dari pengoperasian PLTB mempunyai dampak ligkungan yang lebih luas karena tidak dilihat sebagai sumber pencemaran lingkungan, sehingga tidak ada tindakan khusus yang diambil. Saat ini kebanyakan limbah abu layang dipisahkan dari gas yang dibuang melalui cerobong dan ditimbun pada daerah yang terbuka. Hal in dapat menyebabkan terjadinya pelindian abu layang, dan run-off yang terjadi dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius. Limbah panas yang dihasilkan dikarenakan kurang efisiensinya konversi energi dalam pembangkitan energi listrik oleh PLTB dan PLTN, hampir sama untuk Uranium ataupun BB sebagai sumber energi primer. Efisiensi panas dari PLTB adalah antara 20 – 40 %, PEL dengan teknologi terbaru saat ini mencapai 33 %. Efisieni panas dari PLTN antara 29 – 37 %, sementara saat ini PLTN jenis air ringan mencapai 34 %. Terlihat tidak ada alasan untuk lebih menyukai salah satu jenis PEL tersebut dengan memperhatikan limbah panasnya. Dalam kasus ini pendinginan PLTB dan PLTN adalah dengan air dari sungai, danau ataupun laut atau dengan menggunakan menara pendingin. Akan tetapi, melihat kemasa lampau, kenyataannya yang menentukan bobot dampak adalah lokasi instalasi pembangkit. PLTB sering di bangun di pulau dimana terdapat tambang BB, dan tersedia air yang banyak untuk pendinginan. Beberapa PLTN umumnya dibangun di pinggir pantai, sehingga menggunakan air laut untuk pendinginan. Hal ini menghemat pemanfaatan sumber air tawar, dalam kasus pembuangan panas ke badan-air tidak dilihat sebagai pembuangan “limbah”. Padahal o peningkatan suhu air mencapai 1,5 C dari suhu normalnya akan mempunyai dampak yang nyata terhadap kehidupan biota di dalamnya, dan akan menurunkan produktivitas [5]. Emisi SO2 muncul dari pembakaran BBF yang mengandung belerang. Emisi SO2 ke atmosfer dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terjadinya hujan asam di daerah hilir/ arah angin (downwind). Hujan asam dapat menyebabkan keasaman air hujan mencapai Ph.4, di negara Amerika Serikat bagian utara (north eastern) dan Scandanavia menyebakan terjadinya perubahan ekologi dan kerugian secara ekonomi. Di Inggeris dan Amerika Serikat, pertama-tama untuk mengurangi dampak ini yaitu dengan menggunakan gas alam untuk PEL, namun saat ini biaya masih relatif mahal [3]. Mengurangi emisi CO2 dari PLTB adalah dengan menggunakan peralatan gas desulphurization, tetapi biayanya masih relatif mahal. Di lain pihak, antara tahun 1980-1986 emisi SO2 telah dikurangi dengan menggantikan pembangkit listrik BBF dengan PLTN. Pada saat yang sama produksi listrik meningkat sebanyak 40 % dan Perancis menjadi negara pengekspor energi listrik yang signifikan di Eropah. Nitrogen Oksida (NOx) dari pembangkit listrik BBF yang dioperasikan pada suhu tinggi juga menimbulkan persoalan terhadap lingkungan hidup. Bila konsentasi hidrokarbon di dalam udara tinggi, NO2 bereaksi dengannya membentuk kabut photokimia (photochemical smog). NO2 mempunyai efek terhadap lapisan ozon sehinga meningkatkan intensitas sinar ultraviolet yang mencapai permukaan bumi [3]. DAMPAK TERHADAP KESEHATAN DAN LINGKUNGAN Secara tradisional risiko kesehatan karena pekerjaan (occupational) diukur dalam pengertian terjadinya kecelakaan, khususnya terjadinya kematian. Namun, saat ini kaitannya dengan PLTN, perhatian terhadap efek tertunda dari paparan radiasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya kanker merupakan prioritas utama. Efek tertunda yang dikenal dengan efek deterministik dan stokastik ini di cegah melalui pembatasan dosis radiasi yang ditolerir yang dapat diterima oleh masyarakat umum, probabilitas terjadinya kanker adalah 1 x 10-5 [6,7]. Beberapa statistik kecelakaan karena pekerjaan telah dikembangkan dalam 50 tahun terakhir untuk pengoperasian PLTN, di Amerika Serikat dan negara-negara Eropah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PLTN dengan jelas lebih selamat dalam PEL, seperti tersirat dalam Tabel 2 dan 3. 34
Erwansyah Lubis : Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan dalam Produksi Energi Listrik
Tabel 2. Perbandingan Statistik Kecelakaan Dalam Produksi Energi Primer [3]. Korban Meninggal Normalisasi Bahan Bakar
1970 -1992
Korban
Per TWy* Listrik
Batu-bara
6400
Pekerja
342
Gas alam
1200
Pekerja, Masyarakat
85
Tenaga Air
4000
Masyarakat
883
31
Pekerja
8
Nuklir *) TWy = Tera Watt Tahun
Risiko dari pertambangan uranium sangatlah kecil karena perkembangan teknologi keamanan dan keselamatan personil. Pada 1950 paparan gas radon terhadap penambang menyebabkan risiko kanker paru-paru yang tinggi. Setelah lebih 40 tahun kemudian, paparan yang tinggi dari Radon bukan merupakan problem yang besar dalam penambangan uranium. Saat ini keberadaan radon di sekitar dan dalam tambang uranium dan debu radioaktif serta anak luruhnya, seperti bahaya dalam penambangan BB telah dengan baik diketahui, sehingga potensi risiko yang ditimbulkannya dapat diminimalkan. Dalam penambangan uranium dan BB bahaya terhadap kesehatan terhadap penambang sangatlah kecil, lebih kecil dari risiko yang ditimbulkan dari kecelakaan industri konvensional lainnya [3]. Sebenarnya PLTN tidaklah bebas dari bahaya akibat kerja, namun terlihat lebih aman dibandingkan konversi energi lainnya. Tabel 3 menginformasikan kecelakaan yang pernah terjadi dalam produksi energi selama kurun waktu 30 tahun lebih . Tabel 3. Bahaya dari Produksi energi: Pemanfaatannya Dari Tahun 1977 [3]. Tempat Tahun Machhu II, Hirakud, Bhatdih, (India).
Energi
Dikaitkan
Dengan
Korban Meninggal
Kecelakaan
Semenjak
Keterangan
1979, 1980, 2006
2500,1000, 54
Kegagalan PLTA, Tambang BB
68,63,50,80, 36 31 101
Ledakan gas metan
Chernobyl, Zasyadko, (Ukraina)
1980,1998,1999,2000, 2004 1986 2007
Guavio, (Kolombia)
1983
160
1983,1994
317,580
Cubato, Brazil
1984
508
Kebakaran Minyak
Mexico City
1984
498
Ledakan LPG
1984, 1996,2007
100, 141,108
Ledakan gas
1984
314
Kecelakan Tambang BB
1988
167
Ledakan di lepas pantai
1989, 1997
600, 67
1990
178
Donbass,
Nile, (Mesir)
Durunkha,
Tbilisi, Spitsbergen, Kuzbass, Rusia Taiwan Piper Sea)
Alpha,
(North
Asha-Ufa, Kuzbas,(Siberia) Dobrnja, (Yugoslavia)
35
Kecelakaan Nuklir Ledakan gas metan Kegagalan PLTA Ledakan LPG, kebakaran depo minyak.
Kebakaran pipa gas Ledakan gas methan Kecelakan Tambang BB
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
Hongton,Datong, Fushun, , Huanian, Liaoning, Muchonggou, Jixi, Gaogiao, Henan, Chenjiasshan, Sunjiawan, Shenlong, Xingning, Dongfeng, Zhangzhuang,(China).
1991,1996,1997, 1997,1998, 2000, 2002,2003,2004, 2004,2005,2005, 2005,2005, 2007.
ISSN 1410-9565
147,114,68, Kecelakan Tambang BB 89,71,162, 124,234,148,166,21 5,83, 123, 171,181
Belci (Romania)
1991
116
Kegagalan PLTA
Kozlu (Turki)
1992
272
Ledakan gas methan
Cuenca (Equador)
1993
200
Kecelakaan tambang BB
1994, 1995
500, 100
Ledakan pipa minyak
1998
500
Ledakan pipa minyak
Seoul, Taegu, (Korea Selatan) Warri (Nigeria)
Probabilitas terjadinya kematian pada penambangan BB di Australia adalah 0,009/ juta ton, di Amerika Serikat 0,034/ juta ton, di China 4/ juta ton dan di Ukraina 7/ juta ton. Kematian total dari penambangan BB di China rata-rata 5000 per tahun dan di Ukraina rata-rata 200 kematian per tahun. Data resmi di China adalah 5300 kematian pada tahun 2000, 5670 kematian pada tahun 2001, 7200 kematian pada tahun 2003, 6400 kematian di tahun 2003, 6027 kematian pada tahun 2004, 6000 kematian pada tahun 2005 dan 476 kematian pada tahun 2006 [3]. RADIASI ALAMI Tabel 4 menampilkan tingkat dan paparan radiasi alami yang beragam dari tanah dan bangunan dari satu lokasi dengan lokasi lainnya. Paparan radiasi dinyatakan dalam millisievert (mSv), di hampir seluruh bagian dunia tingkat paparan radiasi latar (background) rata-rata mencapai hingga 2,5 mSv per tahun, 1 Sievert (Sv) = 1 joule/kg). Penduduk Cornwall di Inggris menerima rata-rata 7 mSv per tahun. Ratusan ribu penduduk di India, Brasil dan Sudan menerima paparan radiasi latar mencapai hingga 40 mSv per tahun. Beberapa tempat di Iran, India dan Eropah memberikan dosis radiasi latar tahunan lebih dari 50 mSv dan di Ramsar (Iran) mencapai 260 mSv per tahun. Walaupun dosis seumur hidup dari paparan radiasi latar ini mencapai ratusan mSv per tahun, akan tetapi tidak menunjukkan adanya peningkatan kangker atau problem kesehatan lainnya yang timbul dari paparan radiasi alami ini [8]. Dosis radiasi dari sinar kosmik beragam terhadap ketinggian (altitude) dan garis-lintang (latitude). Kru pesawat terbang dapat menerima dosis radiasi mencapai 5 mSv per tahun dari kegiatan perjalanan di udara. Komisi Internasional untuk perlindungan radiologik merekomendasikan batas dosis radiasi untuk masyarakat umum sebesar 1000 uSv (1 mSv) per tahun dan untuk petugas radiasi sebesar 20 mSv per tahun, yang merupakan rata-rata untuk 5 tahun berurutan. Tingkat paparan radiasi untuk masyarakat dan pekerja radiasi dibatasi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan -5 meminimalkan terjadinya risiko kanker hingga probabilitas 1x 10 [5,6]. Penduduk di Inggris menerima dosis radiasi dari pengoperasian PLTN hanya sekitar 0,03 mSv per tahun [3]. Data penerimaan dosis dari pengoperasian PLTN di negara-negara industri relatif beragam, namun hal ini menunjukkan bahwa pengopersaian PLTN tidak memberikan dampak radiologi yang signifikan. Tabel 4. Radiasi Pengion Sumber Alami: - Teresterial + Gedung: radon - Teresterial + Gedung : gamma - Sinar kosmik di atas permukaan laut tiap ketinggian 100 m - Bahan makanan + K-40 dlm tubuh Total
Rata-rata µSv/ tahun
Rentang µSv/ tahun
200 600
200 – 100.000 100 – 1000
300 + 20 400
0 – 500 100 - 1000
1500
36
Erwansyah Lubis : Keselamatan Lingkungan dan Kecelakaan dalam Produksi Energi Listrik
Buatan: - Dari percobaan bom nuklir - Medis, sinar-x, CT scan, dll. - PLTN - PLTB - Peralatan rumah
3 370 0,3 0,1 0,4
hingga 75000 -
Total
375
-
Kegiatan Hobi: - Bermain ski tiap hari minggu - Bepergian dengan pesawat
8,0 per minggu 1,5 – 5 per jam -
KESELAMATAN REAKTOR Dalam analisis keselamatan reaktor umumnya skenario kecelakaan yang dipostulasikan adalah kehilangan air pendingin. Dalam kasus ini bahan bakar di teras reaktor mempunyai suhu yang tinggi, meleleh dan melepaskan hasil fisi. Karena itu emergency core colling system (ECCS) selalu siap (standby), bila sistem ini gagal, selanjutnya dinding pelindung (protective barrier) berfungsi, teras reaktor akan tertutup untuk mencegah terlepasnya zat radioaktif ke lingkungan. Tuntutan regulasi saat ini, bahwa efek dari kecelakaan melelehnya bahan bakar harus terkungkung dalam reaktor itu sendiri, sehingga bila terjadi kecelakaan tidak diperlukan mengevakuasi peduduk sekitar PLTN. Oleh karena itu 1/3 biaya pembangunan reaktor umumnya untuk desain teknik dalam upaya meningkatkan keselamatan, baik untuk operator maupun penduduk sekitar kawasan nuklir. Pada saat ini reaktor negara-negara barat, dengan pemahaman yang baik mengenai fisikakimiawi dari material teras reaktor, kejadian melelehnya teras reaktor bersamaan dengan rusaknya/ patahnya kontainmen tidak akan menyebabkan terjadi malapetaka radiologik. Studi kondisi akhir dari kecelakaan Three Mile Island (TMI) pada 1979, dimana tidak terjadi kerusakan kontainmen (containment), mendukung hal ini. Total release radioaktivitas dari kecelakaan ini adalah kecil, dan dosis maksimal terhadap perorangan yang tinggal di sekitar PLTN di bawah batasan dosis. Namun demikian kecelakaan ini telah menyebabkan dampak psychologis terhadap industri nuklir Amerika Serikat dan mempengaruhi pertumbuhan kapasitas energi listrik. Kejadian ini telah membawa perubahan yang positif dalam menyusun rancangan detail dan cara reaktor dioperasikan serta telah memberikan stimulus yang bernilai untuk kemajuan keselamatan reaktor. Kecelakaan Chernobyl pada tahun 1986 di Ukraina sangat serius dikarenakan disain reaktor dan grafit yang terbakar menyebarkan kontaminasi radioaktif jauh dan luas. Hal ini telah menewaskan 31 orang staf dan pemadam kebakaran, 28 diantaranya menerima paparan radiasi yang akut. Juga telah menyebabkan 1800 kasus anak-anak terkena kanker tiroid, kebanyakan dari mereka dapat disembuhkan, sebanyak 10 orang meninggal. Tidak terjadi peningkatan leukimia dan kanker lain yang ditunjukkan dalam dekade awal, tetapi tenaga ahli Wolrd Health Organization (WHO) menyatakan akan terjadi peningkatan penderita kangker dikemudian hari, dan kematian dari efek tertunda akan meningkat di atas 10 korban yang telah terjadi. Kira-kira 130,000 orang menerima dosis yang signifikan di atas batasan dosis yang direkomendasikan, korban ini terus dimonitor oleh WHO. Polusi radioaktif melintas batas ke Eropah dan Skandanavia menyebabkan kekacauan terhadap hasil pertanian dan paparan rendah ke penduduk yang banyak [3]. Kecelakaan Chernobyl dengan cepat menarik perhatian para ahli nuklir, khususnya terhadap tidak adanya struktur kontainmen seperti yang disyaratkan pada reaktor negara barat. Dalam desain reaktor Rusia (RMBK), bahwa kesalahan pendinginan akan menyebabkan peningkatan tenaga keluaran dari proses fisi. Seluruh jenis reaktor negara barat dalam kondisi abnormal , peningkatan daya dikontrol dengan sistem shutdown reaktor. Reaktor air ringan (Light Water Reactor, LWR), pendingin juga berfungsi sebagai moderator, secara otomatis menurunkan daya bila pendingin/ moderator hilang, dan kemudian dapat di shut down menggunakan batang kendali. Kecelakaan Chernobyl terjadi disebabkan kombinasi dari kekurangan desain dan pelanggaran prosedur operasi yang ditimbulkan oleh tidak adanya budaya keselamatan (safety culture). Dengan asistensi dari barat, perbaikan keselamatan yang signifikan telah dilakukan terhadap 12 reaktor RMBK yang beroperasi di Rusia dan Lithuania serta satu yang dalam konstruksi. Saat ini desain reaktor Rusia telah distandariasi ke jenis Pressurized Water Reactor (PWR) [3]. Ahli dari negara-negara industri maju (Organization for Economic Co-operation Development, OECD) melaporkan bahwa kecelakaan Chernobyl tidak membawa sesuatu yang baru. Sebelumnya 37
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
diperkirakan terdapat phenomena yang belum diketahui dan isu keselamatan yang belum diselesaikan atau tidak dikover dalam pogram keselamatan reaktor daya komersial di negara anggota OECD. Hasil yang positif dari kecelakaan adalah terbentuknya World Association of Nuclear Operator (WANO) yang dapat berbagi pengalaman dan keahlian di seluruh dunia. ANCAMAN Semenjak World Trade Center (WTC) di New York mendapat serangan pada bulan September tahun 2001, ancaman pesawat besar digunakan untuk menyerang fasilitas nuklir dengan tujuan terjadinya release bahan radioaktif ke lingkungan telah menjadi perhatian yang serius. Berbagai studi telah dipelajari untuk serangan yang sama terhadap PLTN. Hasil kajian menunjukkan bahwa reaktor nuklir lebih tahan terhadap serangan sejenis dibandingkan dengan instalasi sipil lainnya karena beton yang digunakan dalam struktur cukup tebal dan masif. Studi yang cermat telah dilakukan oleh Electric Power Research Institute pada 2002 dengan menggunakan konsultan khusus dan dibiayai oleh US Departement Of Energy. Menyimpulkan bahwa struktur reaktor USA cukup kuat dan dapat melindungi bahan bakar dari tumbukan pesawat komersial yang besar. Dalam analisis digunakan data Boeing 767-400 dengan bahan bakar penuh dan bobot lebih dari 200 ton serta kecepatan maksimum 560 km/jam di permukaan tanah. Panjang sayap pesawat lebih besar dari diameter gedung pengungkung reaktor, berat mesin 4,3 ton dengan panjang 15 m. Analisis difokuskan pada tumbukan mesin tunggal pada titik pusat tumbukan bagian dalam pesawat. Dalam setiap kasus tidak ada bagian pesawat atau bahan bakar menembus gedung reaktor. Analisis yang sama dilakukan pada kolam penyimpanan bahan bakar, hasil yang diperoleh menunjukan tidak ada kerusakan. Penyimpanan dingin dan transport casks integritasnya tetap bertahan baik, tidak terjadi release radionuklida ke lingkungan [3]. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut, 1. PEL dengan bahan bakar uranium telah terbukti (proven) mengurangi penumpukan CO2 di atmosfir dalam skala yang besar. Tiap 22 ton Uranium (26 ton U3O8) yang digunakan dalam satu PLTN mengurangi emisi 1 juta ton CO2 dari pengopersaian PLTB. Pemanasan global yang terjadi oleh adanya GRK yang terus meningkat dapat dikurangi melalui pemanfaatan PLTN dalam PEL. 2. Berdasarkan data kecelakaan yang pernah terjadi dalam kegiatan pembangkitan energi listrik dari hulu-hilir, terlihat PLTN lebih selamat dibandingkan dengan PLTB. Pada daur PLTB, kecelakaan dalam penambangan batu-bara banyak yang menimbulkan kematian. Probabilitas terjadinya kematian pada penambangan BB di Australia adalah 0,009/ juta ton, di Amerika Serikat 0,034/ juta ton, di China 4/ juta ton dan di Ukraina 7/ juta ton. 3. Penerimaan dosis radiasi dari pengoperasian PLTN di tiap negara industri beragam, saat ini di Inggris hanyalah 0,0003 mSv per tahun, setara dengan 0,012 % dari yang diterima manusia dari alam atau hanyalah 0,03 % dari batasan dosis yang direkomendasikan secara internasional. DAFTAR PUSTAKA [1] Josef V. S., Lucill L., Bruce H.: Greenhouse Gas Emissions of Electricity Generation Chain, IAEA Buletin, 42/2/2000. [2] http://www.greenhouse effect.html [3] -. Environment, Health and Safety in Electricity Generation, World Nuclear Association, Updated in February, 2008. [4] Lubis E.,:Pengkajian dan Mengkomunikasikan Risiko Dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif. ISBN 979-8769-13-9, (2007). [5] http://www.dkp.go.id/ [6] ICRP., Recommendations of the International Commission on Radiological Protection, Publication-60. Pergamon Press, Oxford New York, (1991). [7] IAEA, Safety Standards, International Basic Safety Standard for Protection against Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources, IAEA, Vienna, (1996). [8] Bennet B.G.,: Exposure from Worldwide Release of Radionuclides. Proceedings of a Symposium on Environmental Impact of Radioactive Release, Vienna, (1995). [9] IAEA, The Radiological Accident in Goiania, IAEA-Vienna, (1988). [10] IAEA, The Radiological Accident in San Salvador, IAEA-Vienna, (1990). [11] IAEA, The Radiological Accident in Soreq, IAEA-Vienna, (1993).
38
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
KARAKTERISASI SIFAT KIMIA FISIKA TERAK PENGOLAHAN BIJIH BESI SEBAGAI PENCAMPUR MORTAR/ BAHAN KERAMIK Nirwan Syarif Jurusan Kimia, FMIPA – Universitas Sriwijaya Jl. Raya Palembang – Prabumulih Km 32 Inderalaya Ogan Ilir Sumsel ABSTRAK KARAKTERISASI SIFAT KIMIA FISIKA TERAK PENGOLAHAN BIJIH BESI SEBAGAI PENCAMPUR MORTAR/ BAHAN KERAMIK. Tulisan ini melaporkan sifat kimia dan fisika dari terak yang dihasilkan dari hasil pengolahan bijih besi. Secara kimia, terak dipelajari dari komposisi oksida yang menyusun terak. Dari persentase masing-masing oksida ditentukan nilai kebasaannya dengan menggunakan rumusan (CaO + MgO + Al2O3)/SiO2. Nilai kebasaan ini terkait makrostruktur dan sifat fisika terak. Hasil pengumpulan sampel terak menunjukan bahwa makrostruktur terak terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat gelas dan pori. Sifat ini dipengaruhi oleh kandungan oksida dalam terak dan metoda pendinginan yang diterapkan pada terak saat lelehan terak dikeluarkan dari tanur. Oksida yang dominan terkandung dalam terak adalah CaO dan SiO2. Nilai kebasaan terak dapat digunakan untuk menilai aktivitas dari oksida-oksida dalam terak dimana porositas, absorpsi air, persentase uap air dan densitas terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Selain itu, makrostruktural terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Katakunci: terak, tanur, kebasaan, makrostruktur, porositas, oksida ABSTRACT CHARACTERIZATION OF CHEMICAL AND PHYSICAL PROPERTIES OF SLAG FROM IRON ORE PROCESSING FOR MORTAR/ CERAMIC MATERIAL MIXTURES. This paper reported the chemical and physical properties of slag that generated from iron ore processing. The chemistry composition of slag oxides have been studied From the percentage of each oxide, base value was determined using the formula (CaO + MgO + Al2O3) / SiO2. This value is linked macrostructure and slag physical properties. The results showed that the slag macrostructure divided into glass character and pores character. This properties was influenced by the content of oxide in slag and cooling method molten slag removed from the furnace. The dominant oxide contained in the slag are CaO and SiO2. Slag basicity values can be used to assess the activity of oxides in the slag where the porosity, water absorption, percentage of moisture and density are related to the basicity slag. In addition, macrostructure of slag have relationship with slag basicity Keywords : slag, furnace, basicity, macrostructure, porosity, oxides
PENDAHULUAN Terak adalah lelehan campuran oksida logam dan silikat, kadang-kadang terdapat juga fosfat dan borat, sulfit, karbida dan halida. Terak didapatkan dari peleburan mineral, yang mengandung mineral, yang mengandung unsur-unsur yang tidak dapat direduksi oleh proses reduksi dalam peleburan mineral. Terak sistem SiO2-CaO-Al2O3 [1-3] dapat dikatakan sebagai limbah padat tanur pengolahan bijih besi. Untuk itu perlu dicari jalan untuk mengatasi limbah tersebut. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan memanfaatkan terak sebagai campuran bahan mortar atau bahan keramik. Namun sebelumnya perlu untuk mengetahui sifat fisika dan kimia dari terak. Tulisan ini melaporkan sifat kimia dan fisika terak yang dihasilkan dari hasil pengolahan bijih besi Lampung. Dalam terak yang kaya akan silika, afinitas alumina, magnesia dan kalsia tidak begitu tampak, tetapi dalam terak yang miskin akan silika; afinitas ini akan begitu nyata dengan adanya penurunan temperatur pelelehan terak. Adanya penurunan titik leleh ini akan mempengaruhi sifat fisika terak [4], seperti penilaian makrostruktur, absorbsi air, porositas dan densitass [5-7]. Terak yang memiliki nilai porositas air tinggi, dapat mengabsorbsi air lebih tinggi. Sebaliknya, keramik dengan porositas yang rendah akan mengabsorbsi air lebih sedikit. Bertambahnya porositas, maka permukaan yang akan mengabsorbsi air bertambah luas. Bertambahnya permukaan menyebabkan jumlah yang diabsorbsi pun meningkat. Porositas terak terjadi akibat ruangan yang ditinggal oleh partikel air yang terlepas akibat pemanasan, tetapi tidak terdapat partikel halus yang menggantikan kedudukan partikel air. Rapat 39
Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik
tataan terak yang lebih besar dapat diperoleh dengan mencampurkan butiran kasar dan halus. Porositas dikurangi karena yang halus mengisi rongga-rongga butiran kasarnya [8]. Bila rongga tidak terisikan merupakan tempat mengabsorpsi air. Terak yang dimiliki absorbsi air lebih besar dari 2% diklasifikasikan sebagai terak berpori (porous) [9]. Berat jenis terak ditentukan oleh jenis dan jumlah penyusunnya. Berat jenis terak berasal dari peleburan bijih besi. Berat jenis tersebut meningkat dengan meningkatnya kandungan kapur. Tetapi bila kandungan oksida besi cukup banyak, maka berat jenis terak dipengaruhi oleh kandungan besi oksida [10]. Selain itu, oksida-oksida yang berada dalam terak juga mempengaruhi sifat kimia terak [11]. Sifat kimia yang dengan mudah dapat diverifikasi dari perbedaan oksida terak seperti pH dan kebasaan terak [12, 13]. Terak yang kaya akan kapur disebut sebagai basa, sedangkan yang kaya akan silika disebut dengan asam [14, 15]. Hal tersebut merupakan analogi dari istilah yang biasa digunakan pada larutan yang berpelarut air; jika padatan terak dilarutkan dengan air, larutan yang kaya akan kapur akan menunjukan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan larutan yang akan silika. Berbeda dengan pengukuran pH larutan, dimana pH adalah ukuran aktifitas ion hidrogen, pada pengukuran pH terak, pH adalah ukuran aktifitas ion oksigen larutan terak. Besaran ini digunakan untuk menentukan kebasaan terak, dengan mengukur aktifitas oksida, CaO, SiO2 dan Al2O3. Kebasaan terak, secara umum ditunjukan dengan bilangan kebasaan, B = (CaO + MgO + Al2O3)/SiO2 [6, 10, 16]. Metoda analisis yang dilakukan dalam penelitian ini mengaju pada standar industri. Penentuan kandungan oksida logam terak merupakan modifikasi prosedur yang dikembangkan oleh Vogel [17].
METODOLOGI PENELITIAN Penentuan kandungan oksida. Sampel serbuk terak dicampurkan dengan 30 mL air raja dan dipanaskan selama 30 menit. Air suling kemudian ditambahkan, didinginkan dan disaring dengan kertas saring ashless no.41. Residu adalah SiO2 dan ditimbang. Filtrat diencerkan sampai 250 mL (larutan A). Larutan A kemudian dibagi menjadi 3 bagian: 1) dipipetir 50 mL larutan A ditambah indikator metil merah, dipanaskan sampai mendidih; setelah mendidih ditambahkan NH4OH, didinginkan dan disaring dengan kertas saring ashless no.41; saring residu (R2O3) dan ditimbang. 2) pipetir 10 mL HNO3 2 N, beberapa tetes KMnO4 0,1N, KCNS 1,5M 25 mL, air suling hingga 100 mL; absorbansi Fe2O3 dibaca pada panjang gelombang 420 nm dan ditentukan konsentrasinya dari kurva kalibrasi 3) pipetir 50 mL larutan A ditambahkan 0,5 g ammonium oksalat. Larutan dipanaskan hingga mendidih dan ditambahkan NH4OH, dinginkan dan saring; residu adalah CaO dan filtrat (larutan B). Larutan B kemudian diencerkan hingga 250 mL. Pipetir 50 mL dan ditambahkan 10 mL larutan buffer 10, dititrasi dengan EDTA 0,01 N dengan indikator eriochrom black T. Konsentrasi MgO ditentukan dari EDTA yang dipakai. Penentuan porositas dan absorbsi (JIS R 2205-1974). Benda uji dikeringkan di oven pengering pada temperatur 100-110 C sampai mencapai berat konstan dan ditimbang dengan berat W1 (g). Benda uji direndam dalam air dan direbus di hot plate selama lebih dari 3 jam. Setelah dingin, benda uji ditimbang dalam ember terbuat dari kawat berdiameter kurang dari 1 mm. Berat yang ditimbang adalah W2 (g). Benda uji dikeluarkan dari air, dan dibersihkan permukaannya dengan kain yang mudah menyerap air. Benda uji ditimbang dengan berat W3 (g). Adsorbsi dan porositas ditentukan dengan perhitungan. Angka Adsopsi = (W3-W1)/W1 x 100% (1) Angka Porositas = (W3-W1)/(W3-W2) x 100% (2) Penentuan Densitas. Beaker glass kosong ditimbang (berat A, g) kemudian di-isi dengan air sampai batas (berat B, g). Beaker glass kemudian dikosongkan dan keringkan kembali. Dilanjutkan dengan dimasukan ke dalam beaker bahan uji yang telah dihaluskan sebanyak setengah isinya dan diamkan beberapa saat dan timbang (berat C, g). Air suling ditambahkan ke dalam beaker glass yang berisi setengah bagian bahan uji sampai penuh dan didiamkan satu jam pada temperatur 25 C dan timbang (berat D, g). Densitas dihitung dengan rumus.
40
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Densitas = (C – A) /((B+C)-(A+D)) (3) Penentuan pH rendaman. pH air suling diukur terlebih dahulu. Sebanyak 2 g sampel dimasukan ke dalam beaker glass dan ditambahkan air suling sampai 100 mL. Setelah didiamkan beberapa saat, pH rendaman diukur. Sampel kemudian direndam selama beberapa hari, pH rendaman diukur kembali. Semua pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Pengukuran kandungan oksida, %uap air, pH rendaman, adsorpsi, porositas dan densitas dilakukan terhadap beberapa sampel terak. Dari hasil pengukuran kandungan oksida kemudian dapat dihitung nilai kebasaan dari sampel terak. HASIL DAN PEMBAHASAN Besi diproduksi dengan cara menambahkan besi, bijih besi, besi bekas, bahan tambahan (batu kapur dan atau dolomite) ke dalam tanur bersama-sama dengan batubara, arang dan atau biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar ini kemudian terbakar membentuk CO, yang kemudian mereduksi bijih besi menjadi lelehan besi yang merupakan hasil utama proses ini. Selain itu dihasilkan juga lelehan oksida-oksida selain besi yang disebut terak. Karena bahan dasar proses ini adalah bahan alami dan bahan bakar yang digunakan beragam, maka baik besi maupun terak yang dihasilkan menjadi beragam. Terak dikeringkan dengan cara membiarkan lelehan mengering di lapangan terbuka atau dengan dibantu oleh siraman air atau ditiupkan udara tambahan dan uap air. Terak yang dipakai dalam penelitian ini dibedakan menjadi tujuh jenis, seperti yang disajikan pada tabel 1. Ketujuh jenis terak tersebut merupakan jenis yang paling banyak dihasilkan oleh tanur peleburan bijih besi. Semua jenis terak tersebut kemudian dikarakterisasi kandungan kimianya. Secara makrostruktur, terak dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat gelas (glassy) dan yang berpori, seperti sponge (porous). Sifat ini terkait dengan keberadaan oksida-oksida logam yang terkandung dalam terak [18] dan metoda pendinginan yang diterapkan [19]. Jika lelehan terak dituangkan pada lapangan terbuka dan secara perlahan didinginkan pada kondisi ambang, suatu struktur kristalin terbentuk dan terak yang terbentuk menjadi keras dan memadat. Terak yang selanjutnya dapat dikeraskan dengan penambahan air atau uap air sehingga laju pendinginan dan solidifikasi dipercepat dan meningkatkan pembentukan gelembung/pori dalam terak sehingga terak menjadi lebih ringan dan membentuk busa. Pada keadaan lain dimana pendinginan yang dilakukan berlangsung sangat cepat, terak yang dihasilkan menjadi lebih menjadi bersifat gelas dan kristal mineral yang terbentuk menjadi lebih sedikit. Proses ini dihasilkan dari pembentukan potonganpotongan kecil berukuran pasir atau frit, yang biasanya merupakan material yang sangat rapuh. Selain itu, sifat fisika terak sangat bergantung kepada komposisi oksida yang terkandung dalam terak. Hasil pengukuran menunjukan kandungan silika berkisar antara 37.93 – 45.97%, kalsia 24,80 – 38,95%, magnesia 1,64 – 2,91%, alumina 4,59 – 5,51%, dan oksida sisa 9,69 – 26,67. Hasil menunjukan bahwa kandungan silika dan kalsia bervariasi dan terdapat dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini normal, karena dalam prosesnya, kedua komponen ini berasal dari bahan dasar yang dipakai. Keduanya secara alami memang mendominasi bahan dasar yang diumpankan ke dalam tanur. CaO berasal dari kandungan utama batu kapur atau dolomit dan SiO2 berasal dari bijih besi. Batu kapur adalah kalsium karbonat, CaCO3 yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam proses untuk menghilangkan pengotor dalam bijih besi. Kalsium karbonat diuraikan oleh panas tanur menghasilkan CaO dan karbon dioksida. Sebagai pengotor utama dari bijih adalah silika, silikon dioksida. SiO2 tetap berwujud padat pada temperatur tanur. Bila keadaan ini dibiarkan terjadi, saluran dalam tanur menjadi terhalang. Adalah tugas CaO untuk mencairkan SiO2 dengan membentuk kalsium silikat. Tabel 1. Hasil pengukuran kandungan oksida, pH rendaman sampel terak Warna
Makrostruktur
I
II
III
IV
V
VI
VII
hitam
coklat
hitam gelap
hijau muda
hijau lumut
hijau gelap
abuabu
Glassy
Porous
Porous
Porous
Glassy
Glassy
Glass
Kandungan Oksida
41
Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik
SiO2
45.97
43.24
39.28
37.02
43.35
43.97
37.93
CaO
27.09
38.95
32.82
33.68
24.8
26.82
26.88
MgO
2.38
2.46
2.91
1.64
2.67
1.97
2.44
Al2O3
4.95
5.32
5.32
5.51
4.84
4.59
5.41
Fe total
0.25
0.33
1.51
0.27
0.34
1.16
0.68
Oksida Sisa
19.36
9.69
18.17
21.87
24
21.5
26.67
Nilai Kebasaan
0.58
0.85
0.8
0.83
0.57
0.59
0.68
0 hari
9.04
9.89
10.02
9.22
8.99
9.48
9.49
1 hari
8.14
8.32
8.81
8.21
8.06
8.49
8.17
pH rendaman
Terak dari tanur bijih besi secara kimia dan mineralogi merupakan kumpulan aggregat dari silikat dan aluminosilikat dari kalsium dan magnesium dan senyawa lainnya termasuk sulfida, sisa besi, mangan dan bahan runut lainnya [20]. Secara mineralogi, terak bijih besi mengandung mellite, yang merupakan larutan padat dari gehlenite, 2CaO.Al2O3.SiO2 dan akermanite, 2CaO.MgO.2SiO2 dengan sejumlah kecil kalsium sulfit (oldhamite) < 1%. Dalam beberapa sampel juga terdapat merwinite (3CaO.MgO.2SiO2) atau dikalsium silikat 2CaO.SiO2 [21]. Tabel 1 memperlihatkan kandungan oksida sisa, yang tidak dilakukan pengukuran, dalam jumlah yang cukup besar. Secara kimia kandungan ini dapat berasal dari beberapa spesi kimia berupa arang dan beberapa hidroksida dari Ca, Mg, Zn dan Pb. Besi total yang diukur merupakan gabungan dari berat magnetite, Fe3O4, hematite, Fe2O3, wuestite, 0 FeO dan α-Fe, Fe [22]. Perbandingan oksida yang menyusun terak dapat diwakili oleh nilai kebasaan terak. Ini dilakukan untuk memberikan penilaian bagi aktivitas oksida sehingga kemudian dapat dikaitkan dengan aplikasi terak, misalnya sebagai bahan dasar semen atau sebagai bahan tambahan aggregat jalan [23]. Selain itu nilai kebasaan terak juga berhubungan dengan sifat makroskopis terak [10]. Hasil perhitungan menunjukan bahwa terak dari jenis II, III dan IV merupakan terak yang porous dengan nilai basa yang tinggi, sedangkan terak glassy memiliki nilai basa yang lebih rendah. Secara spesifik, pori terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa seperti CaO atau MgO. Sebaliknya akan lebih cenderung menjadi gelas dengan penambahan oksida amfoter seperti Al2O3 atau TiO2. Keberadaan oksida-oksida ini terkait dengan perubahan jarak antar atom unsur-unsrut yang menyusun struktur kristal mineral yang terkandung dalam terak. Tabel 2. Hasil pengukuran nilai absorptivitas, porositas dan densitas sampel terak I
II
III
IV
V
VI
VII
% Uap Air
0.10
0.18
0.15
0.17
0.12
0.17
0.12
Absorbsi Air
0.16
0.61
0.25
0.25
0.12
0.17
0.18
Porositas
0.39
1.28
0.62
0.56
0.24
0.38
0.42
Densitas
2.04
1.94
2.48
2.15
2.39
2.16
2.29
Variasi pada kandungan oksida menyebabkan adanya variasi pada sifat fisika terak seperti densitas, porositas dan absorbsi air (harus didukung dengan statistika korelasi antar parameter). Terak berfase gelas memiliki porositas yang lebih kecil dibandingkan dengan terak yang tidak berfase gelas. Secara kimia, densitas, porositas dan absorbsi air terak ini juga dapat dijelaskan dengan jarak antar atom unsur-unsur yang menyusun struktur kristal. Densitas terak berhubungan dengan angka kebasaan secara langsung.
42
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
3 Nilai Basa
% Uap Air
Absorbsi Air
Porositas
Densitas
2.5
2
1.5
1
0.5
0 V
I
VI
VII
III
IV
II
Gambar 1. Kecenderungan nilai porositas, densitas, %uap air dan absorbsi air terhadap kenaikan nilai kebasaan terak. Pada tabel 1 ditampilkan nilai pH dari rendaman terak. Hasil pengukuran menunjukan bahwa nilai pH rendaman terak berkisar antara 8-10. Rendaman pada hari pertama cenderung lebih basa dari pada rendaman pada hari kedua. Nilai pH ini berhubungan dengan lepasnya Ca2+, Mg2+ dan HOsetelah berada dalam air [24]. Dimana hidroksida dari Ca dan Mg berada dalam keadaan bebas dalam matriks terak. Keberadaan ion hidroksida menyebabkan rendaman terak bersifat basa. Pada hari kedua + pH terak mulai dinetralkan oleh H karena sulfida dalam terak mulai terlepas dalam matriks terak [25]. Bila data dari tabel 1 dan tabel 2 disusun kembali, maka didapatkan grafik kecenderungan nilai porositas, densitas, %uap air dan absorbsi terhadap kenaikan nilai kebasaan terak. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa nilai porositas, %uap air dan absorbsi air meningkat dengan meningkatnya nilai kebasaan, sebaliknya nilai densitas mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penjelasan terdahulu dimana pori terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa (nilai kebasaan). Karena nilai %uap air merupakan proses absorbsi air, maka kecenderungan keduanya akan sama. Berdasarkan Tabel 2, maka karakter sampel nomor 6 paling baik digunakan sebagai campuran bahan mortar atau keramik. KESIMPULAN Makrostruktur terak terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat gelas dan pori. Sifat ini dipengaruhi oleh kandungan oksida dalam terak dan metoda pendinginan yang diterapkan pada terak saat lelehan terak dikeluarkan dari tanur. Oksida yang dominan terkandung dalam terak adalah CaO dan SiO2. Nilai kebasaan terak dapat digunakan untuk menilai aktivitas dari oksida-oksida dalam terak dimana porositas, absorpsi air, %uap air dan densitas terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Selain itu, makrostruktural terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. DAFTAR PUSTAKA [1] Itoh, T., Rapid Discrimination of the Character of the Water-cooled Blast Furnace Slag Used for Portland Slag Cement. Journal of Material Science, 39(6), 2191-2193 (2004). [2] Masaki, I. and M. Kazuki, Chlorine-containing Phases in CaO-SiO2-Al2O3 Slags and Their Dissolution Behavior into Aqueous Solution. Tetsu to Hagane, 91(4), 421-427 (2005). [3] Barbieri, L., A.M. Ferrari, I. Lancellotti, C. Leonelli, J.M. Rincon, and M. Romero, Crystallization of (Na2O-MgO)-CaO-Al2O3-SiO2 Glassy Systems Formulated from Waste Products. Journal of the American Ceramic Society, 83(10), 2515-2520 (2004). [4] Yaroshevskii, S.L., V.V. Stepanov, E.N. Skladanovskii, V.K. Katsman, S.V. Nesterenko, and V.N. Murav'ev, Improving Blast Furnace Slag Practice. Metallurgist, 27(10), 321-325 (1983).
43
Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik
[5] Brus, E., M. Ohman, A. Nordin, and D. Bostrom, Bed Agglomeration Characteristics of Biomass Fuels Using Blast-Furnace Slags as Bed Material. Energy Fuels, 18(4), 1187-1193 (2004). [6] Ghosh, S., M. Das, S. Chakrabarti, and S. Ghatak, Development of Ceramic Tiles from Common Clay and Blast Furnace Slag. Ceramics International, 28(4), 393-400 (2002). [7] Lopez, F.A., E. Sainz, A. Lopez-Delgado, L. Pascual, and J.M.F. Navarro, The Use of Blast Furnace Slag and Derived Materials in the Vitrification of Electric Arc Furnace Dust. Metallurgical and Materials Transactions B, 27B(3), 379-384 (1996). [8] Kasami, H., T. Ikeda, S. Numata, and H. Harada, Pumpability of Blast-Furnace Slag Aggregate Concrete. Advancing Concrete Knowledge, 79, 1143-1164 (1983). [9] Takano, Y., M. Sanazawa, S. Takeda, Y. Akashi, K. Katagiri, and A. Matsui, State of the Art in the Technology of Using Blast Furnace Slag Gravel for Concrete Members, in Nippon Steel Technical Report No. 86, T.D.B. I, Editor. Taiheiyo Cement Corporation, 40-47 (2002). [10] Lee, Y.S., D.J. Min, S.M. Jung, and S.H. Yi, Influence of Basicity and FeO Content on Viscosity of Blast Furnace Type Slags Containing FeO. ISIJ International, 44(8), 1283-1290 (2004). [11] Proctor, D.M., K.A. Fehling, E.C. Shay, J.L. Wittenborn, J.J. Green, C. Avent, R.D. Bigham, B. Lee, T.O. Shepker, and M.A. Zak, Physical and Chemical Characteristic of Blast Furnace, Basic Oxygen Furnace and Electric Arc Furnace Steel Industry Slags. Environmental Science and Technology, 34(8), 1576-1582 (2000). [12] Li, Y.-S., The use of waste basic oxygen furnace slag and hydrogen peroxide to degrade 4chlorophenol. Waste Management, 19(7-8), 495-502 (1999). [13] Bowden, L.I., A.P. Jarvis, P.L. Younger, and K.L. Johnson, Phosphorus Removal from Waste Waters using Basic Oxygen Steel Slag. Environmental Science and Technology, 43(7), 2476-2481 (2009). [14] Krizan, D. and M. Komljenovic, Mortar based alkali-activated blast furnace slag, in Measuring, Monitoring and Modeling Concrete Properties, M.S. Konsta-Gdoutos, Editor, Springer Netherlands: Northwestern, 361-366 (2006). [15] Yazici, H., H. Yugiter, A.S. Karabalut, and B. Baradan, Utilization of fly ash and ground granulated blasf furnace slag as an alternative silica source in reactive powder concrete. Fuel, 87(12), 24012407 (2008). [16] Amatatsu, M., V. Stuts, and H.W. Gudenau, Evaporation and Adsorption rate of Potassium through Blast Furnace Slag. Transactions of the Iron and Steel Institute of Japan, 1995. 25(9), 949-952 (1995). [17] Vogel, A.I. and G.H. Jeffery, Vogel's Textbook of quantitative chemical analysis. 5 ed., Harlow, Essex: Longman Scientific and Technical, Wiley (1989).. [18] Rutman, D.S., I.L. Shchetnikova, E.I. Kelareva, L.S. Zholobova, and V.A. Perepelitsyn, Effect of metallurgical slag on ceramic processed from pure oxide, spinels and forsterite. Refractories and Industrial Ceramics, 14(11-12), 701-705 (1973). [19] Romanenko, A.G., Production of slag fumace from disintegrated blast furnace slag. Metallurgist, 16(5), 320-322 (1972). [20] Roy, A., Sulfur specification in granulated blast furnace slag: An X-ray absorption spectroscopic investigation. Cement and Concrete Research, 39(8), 659-663 (2009). [21] Puertas, F. and A. Fernandez-Jimenez, Mineralogical and microstructural characterisation of alkali activated fly ash/slag pastes. Cement and Concrete Research, 25(3), 287-292 (2002). [22] Mansfeldt, T. and R. Dohrmann, Chemical and Mineralogical Characterization of Blast Furnace Sludge from an Abandoned Landfill. Environmental Science and Technology, 38(22), 5977-5984 (2004). [23] Georgescu, M., D. Voinitchi, M. Gheorghe, and A. Iovan, Correlation between Composition and Properties for Alkali Activated Blastfurnace Slag Binders. Ovidius University Annals of Constructions, 1(3-4), 553-558 (2002). [24] Grüneberg, B. and J. Kern, Phosphorus retention capacity of iron-ore and blast furnace slag in subsurface flow constructed wetlands. Water Science and Technology, 44(11), 69-75 (2001). [25] Schwab, A.P., J. Hickey, J. Hunter, and M.K. Banks, Characteristic of blast furnace slag leachate produced under reduced and oxidized conditions. Journal of Environmental Science and Health, Part A, 41(3), 381-395 (2006).
44
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume 13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS CHEMICAL OXYGEN DEMAND MODEL BARU Muh Nurdin*, Muh.Natsir*,Maulidiyah*, Jarnuzi Gunlazuardi** **
* ) Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Haluoleo, Kendari ) Departemen Kimia FMIPA, Universitas Indonesia, Depok
ABSTRAK PENGEMBANGAN METODE ANALISIS CHEMICAL OXYGEN DEMAND MODEL BARU. Telah dilakukan penelitian pengembangan film titanium dioksida berukuran nano, yang dilekatkan pada substrat gelas berlapis ITO (Indium Tin Oxide). Film titanium dioksida berukuran nano ini digunakan untuk mengembangkan sistem sensor Chemical Oxygen Demand (COD) model baru, yang berbasis fotoelektrokatalisis. Dengan menggunakan film TiO2 berukuran nano yang dilekatkan di atas gelas berpenghantar listrik telah sukses dibuat dan diuji suatu sensor COD. Sensor COD model baru yang dikembangkan ini berbasis fenomena fotoelektrokatalis, sedangkan konstruksi perangkatnya adalah sel elektrokimia dengan tiga elektroda. Lapisan tipis titanium dioksida di atas gelas-ITO difungsikan sebagai elektroda kerja yang dipasangkan dengan kawat Pt sebagai elektroda bantu, dan Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding. Rangkaian sel elektrokimia dengan elektroda kerja film TiO2 ini pada saat permukaan TiO2 dikenai sinar ultra violet (~ 400 nm) memberikan respon initial photocurrent (aruscahaya awal) yang unik dan merespon kondisi kimiawi tertentu dalam larutan contoh yang kontak dengan elektroda. Evaluasi lebih lanjut menunjukkan bahwa arus-cahaya awal (dapat diamati dalam rentang waktu 10 detik) besarnya proporsional dengan kandungan zat organik dalam larutan contoh yang diuji. Integrasi evolusi arus-cahaya awal ini versus waktu memberikan nilai muatan (Q = ∫idt; Q= muatan; i= arus; t= waktu) yang proporsional dengan konsentrasi mengikuti formulasi Faraday (Q = nFCV; n=jumlah elektron yang terlibat; F=konstanta Faraday; C=konsentrasi analit; dan V=volume). Arus-cahaya awal yang diamati ini pada dasarnya adalah akibat aliran elektron dari anoda ke katoda dalam sirkuit sel elektrokimia yang dirangkai, ketika elektronnya akan didisperse ke dalam larutan contoh melalui katoda dan akan ditangkap oleh akseptor elektron dalam air contoh (dominannya adalah oksigen). Pada prinsipnya integrasi arus-cahaya, terlepas apa jenis zat organiknya, akan proporsional dengan kandungan zat organik dalam air contoh, yang selanjutnya memberikan gambaran nyata kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air contoh. Kata kunci: initial photocurrent, fotoelektrokatalisis, TiO2, chemical oxygen demand, COD ABSTRACT DEVELOPMENT OF NEW MODEL OF CHEMICAL OXYGEN DEMAND ANALYSIS METHOD. The development of nanoparticles TiO2 film coated onto ITO (Indium Tin Oxide) conducting glass slides has been carried out. This nanoparticles film was used for developing a new Chemical Oxygen Demand (COD) sensor based on photoelectrocatalytic system. The nanoparticles TiO2 immobilized onto ITO conducting glass slides was succesfully fabricated and applied to the COD sensor. The new COD sensor is based on photoelectrocatalytic principle, while the electrochemical cell is constructed by three electrodes: working electrode (thin film TiO2), counter electrode (Pt wire), reference electrode (Ag/AgCl). When the surface of working electrode TiO2 film in electrochemical cell is illuminated with ultra violet (~ 400 nm), a unique initial photocurrent respon was obtained for a certain chemical behavior in sample solution that contact with electrode. Furthermore, the evaluation showed that initial photocurrent (it can be observed in 10 seconds) proportional with organic concentration in the sample. The integration of initial photocurrent versus time gives charge value (Q = ∫idt; Q=charge; i=photocurrent; t=time elapsed upon illumination) proportional with concentrations follows Faraday’s Law (Q = nFCV; n=number of electron transferred; F=Faraday constant; C=concentration of the compound; and V=volume). Initial photocurrent observed is a flow electron from anode to cathode in electrochemical cell circuit, when electron is dispersed into sample solution through cathode and catched by electron acceptor in the water sample (dominated by oxygen). The integration of initial photocurrent will be proportional to the organic concentration with a real COD value in the water samples. Keywords: initial photocurrent,photoelectrocatalysis, TiO2, chemical oxygen demand, COD.
45
Muh Nurdin*, Muh.Natsir*,Maulidiyah*, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model Baru
PENDAHULUAN Keterbatasan metode analisis COD standar konvensional, memunculkan banyak usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Pengembangan metode penentuan COD dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, didasarkan pada prinsip metode oksidasi kimia secara konvensional dan sederhana pada proses analisis [1]. Kedua, didasarkan pada oksidasi elektrokatalitik pada bahan organik, dilakukan pengukuran COD secara elektrokimia [2]. Pendekatan secara elektrokimia rupanya mengundang banyak perhatian karena lebih sederhana, cepat, pengukuran langsung dan mudah diautomatisasi. LAR GmBH, perusahaan pembuat instrumen Jerman, telah mengembangkan instrumen COD secara elektrokimia menggunakan elektroda PbO2 sebagai anoda, yang telah sukses diinplementasikan pada sistem monitoring on-line secara automatis [3]. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan metode konvensional, dengan mudah dilihat adanya perbedaan pengukuran yang memerlukan faktor konversi untuk menyesuaikan dengan hasil pengukuran COD standar konvensional. Metode ini mengantarkan pada pendefinisian suatu tehnologi baru, yaitu EOD (Electrochemical Oxygen Demand). Walaupun metode seperti ini dapat diterima sebagai metode on site monitoring, kemampuannya sebagai metode pengukuran kualitas air masih dipertanyakan. Karube dan tim kerjanya juga telah mempublikasi sejumlah paper penelitian yang menggunakan komposit material oksida sebagai anoda elektrokatalitik. Pada pekerjaan mereka, CuO yang dilapiskan pada elektroda tembaga telah digunakan sebagai anoda elektrokatalitik [2]. Pada studi ini elektroda hanya teruji pada beberapa senyawa organik yang dapat dioksidasi dengan mudah. Namun dalam pengukuran senyawa organik seperti karbohidrat dan asam amino, diperoleh hubungan yang jelek antara metode COD yang mereka kembangkan dan metode COD standar. Pekerjaan lainnya telah dilakukan menggunakan elektroda karbon pasta komposit AgO dan CuO [3]. Sayangnya jumlah senyawa organik yang dapat dioksidasi pada elektroda ini terbatas. Ada beberapa masalah yang ditemukan ketika menggunakan pendekatan elektrokimia konvensional pada pengukuran COD sebagaimana dijelaskan di atas. Pertama, kemampuan oksidasi dari elektroda secara teoritik yang diatur secara kontinyu memberikan kelebihan potensial yang tinggi dari oksidasi elektrokimia kebanyakan senyawa organik pada elektroda membuat kecepatan oksidasi air lebih cepat dari pada kecepatan dari oksidasi senyawa organik. Hasil menunjukkan bahwa sinyal elektrokimia untuk oksidasi senyawa organik biasanya tertutup sinyal yang diakibatkan oleh oksidasi air. Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap sensitifitas, resolusi, reprodusibilitas dan akurasi dari hasil pengukuran COD. Kedua, hampir tidak mungkin menggunakan elektroda inert yang normal untuk memperoleh nilai COD yang berarti. Para peneliti sepertinya melihat kembali elektroda elektrokatalitik yang mempunyai kepekaan tinggi untuk oksidasi senyawa organik. Namun elektroda katalitik yang diteliti sampai sejauh ini semuanya hanya aktif secara elektrokimia untuk senyawa yang diteliti tersebut. Sebagai konsekuensinya, reprodusibilitas dari pengujian tidak bisa diharapkan banyak. Ketiga, kemampuan oksidasi dari elektroda dibatasi oleh kemampuan oksidasi dari elektrokatalis. Pada saat ini, tidak ada elektrokatalis yang dilaporkan mempunyai kemampuan oksidasi dengan spektrum yang luas dari polutan organik. Hal ini menjadi masalah yang serius dalam pendekatan ini. Pada saat ini, semua metode COD yang didasarkan pada prinsip oksidasi elektrokimia, termasuk yang digunakan dalam instrumen komersial hanya mampu mengoksidasi sangat kecil fraksi senyawa organik dalam sampel. Dengan kata lain, metode ini memperoleh sinyal analisis dari fraksi analit yang sangat kecil dalam sampel dan kemudian digunakan untuk memprediksi nilai keseluruhan COD dalam sampel. Hasil analisis ini dapat bermakna hanya ketika persentase dari komponen yang terdeteksi terhadap sisa matriks sampel dapat dengan baik ditentukan proporsionalitasnya. Hal ini kelihatannya hampir tidak mungkin untuk dicapai secara praktis karena matriks sampel berubah dari satu sisi ke sisi lainnya dan walaupun pada sisi yang sama, akan berubah dari waktu ke waktu. Untuk meminimasi efek matriks ini dengan menggunakan standar kalibrasi masih belum memberikan hasil yang teliti untuk membawa hasil analisis yang diperoleh dari metode ini in-line dengan metode standar COD. Persoalan ini disebabkan oleh karena tidak ada standar umum dapat didefinisikan untuk COD sebagai parameter organik. Sebagai hasil, nilai COD yang diperoleh dengan menggunakan metode ini rupanya masih dipertanyakan. Sebagai tambahan, metode elektrokimia untuk analisis COD yang mengalami pengaruh elektroda oleh penyerapan senyawa organik yang tak dapat dioksidasi atau dipolimerisasi dari intermediate oksidasi. Beberapa tahun terahir ini, Karube telah melaporkan suatu metodologi baru untuk pengujian COD yang didasarkan pada prinsip fotokatalitik [2,3]. Pendekatan ini menggunakan partikel TiO2 sebagai fotokatalis untuk mengganti bahan pengoksidasi kuat (misalnya: Cr(VI). Pada proses ini, konsentrasi oksigen berubah selama degradasi fotokatalitik diukur sebagai sinyal analisis
46
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
menggunakan sepasang elektroda oksigen. Pengurangan O2 ini selanjutnya dikorelasikan dengan metode standar COD. Pendekatan degradasi fotokatalitik rupanya lebih menjanjikan bila dibandingkan dengan metode degradasi elektrokatalitik, karena kemampuan oksidasi yang tinggi dari partikel TiO2 yang terilluminasi. Dilain pihak, pendekatan tersebut mengalami beberapa masalah: (i) kurangnya fraksi yang terdegradasi, yang merupakan permasalahan untuk analisis sampel, (ii)kurangnya sensitifitas yang disebabkan oleh perubahan yang kecil pada konsentrasi oksigen selama degradasi, (iii) terbatasnya daerah kerja dinamik yang umumnya disebabkan oleh rendahnya kelarutan oksigen dalam air dan (iv) perlunya mengontrol suhu eksperimen selama pengukuran konsentrasi oksigen oleh elektroda oksigen yang sangat tergantung pada tingginya temperatur, (v) rendahnya efisiensi degradasi membuat metode tersebut juga tergantung pada matriks, selanjutnya mempersyaratkan sistem harus dikalibrasi untuk mengoreksi pengaruh tersebut. Hal ini tidak saja kurang menyenangkan untuk operasi sistem tetapi juga mempengaruhi akurasi dan reprodusibilitas dari metode, dengan kata lain metodenya tidak sensitif dan tidak reprodusibel [2]. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhao, dkk [4] yang telah melakukan pengembangan metode alternatif pengukuran COD, juga masih mengalami kendala yang serius dengan permasalahan pokok adalah rendahnya daerah kerja linier yang hanya mencapai kemampuan mengukur COD sekitar 60mg/L O2. Ringkasnya pada saat ini, masih belum ada metodologi yang sederhana, cepat, akurat dan reprodusibel untuk menggantikan metode COD konvensional. Peluang ini memberikan kesempatan untuk mengkaji metodologi baru yang dapat memberi kontribusi penanganan masalah pada sejumlah kekurangan peneliti sebelumnya. TATA KERJA Penanganan Masalah Pengembangan sistem sensor COD model baru berbasis fotoelektrokatalitik ini dilakukan dengan fabrikasi sensor COD: konstruksi yang dikembangkan adalah sel elektrokimia dengan tiga elektroda. Lapisan tipis TiO2 di atas gelas ITO difungsikan sebagai elektroda kerja yang dipasangkan dengan kawat Pt sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding. Bila elektroda kerja film TiO2 dikenai sinar ultra violet (~ 400 nm) akan memberikan respon arus-cahaya awal yang unik. Arus-cahaya ini besarnya proporsional dengan kandungan zat organik dalam larutan contoh yang diuji. Integrasi evolusi arus-cahaya awal ini terhadap waktu memberikan nilai muatan (Q = ∫idt; Q= muatan; i= arus; t= waktu) yang proporsional dengan konsentrasi mengikuti formulasi Faraday (Q = nFCV; n=jumlah elektron yang terlibat; F=konstanta Faraday; C=konsentrasi analit; dan V=volume). Nilai muatan yang diperoleh, selanjutnya memberikan gambaran nyata kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dalam air contoh. Material dan Bahan Kimia Gelas ITO (Indium tin oxide) yang terlapiskan dengan TiO2 nanopartikel digunakan sebagai sel fotoelektrokimia. Titanium tetra isopropoksida (97%), Aldrich), HNO3.pa. Semua larutan dipreparasi dengan air yang dideionisasi berkemurnian tinggi (aquabides). Sintesis Koloid TiO2 dan Prosedur Imobilisasi Tipe prosedur sintesis TiO2 koloid adalah sama dengan yang digunakan oleh peneliti sebelumnya dengan modifikasi[4]. Prosedur sintesis secara sol-gel ini yakni sintesis TiO2 nanosize secara refluks hidrotermal, untuk lapisan tipis yang transparan. Sebanyak 15 mL larutan titanium isopropoksida dalam isopropanol ditambahkan secara perlahan ke dalam 150 mL aquades yang mengandung 1mL asam nitrat pada temperatur kamar dan disertai pengadukan rata. Hidrolisis ion titanium terjadi secara cepat, membentuk nonstoichiometric o titanium oksida dan hidroksida serbuk. Setelah hidrolisis serbuk dipanaskan hingga 80 C dan diaduk selama 3 x 24jam untuk destruksi dari aglomerat dan redispersi ke dalam partikel primer. Selanjutnya dilakukan imobilisasi dengan metode dip-coating. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan Konseptual Pengukuran COD yang Dikembangkan Sensor COD yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sistem sel elektrokimia berisi tiga elektroda, yaitu: elektroda kerja film TiO2 (dilapiskan pada ITO glass); elektroda bantu berupa anyaman kawat platina; dan Ag/AgCl sebagai elektroda pembanding. Ketika elektroda dicelupkan ke dalam larutan analit maka akan terjadi adsorpsi spesi kimia oleh permukaan TiO2 dan diikuti reaksi
47
Muh Nurdin*, Muh.Natsir*,Maulidiyah*, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model Baru
redoks, jika pada saat bersamaan permukaan TiO2 dikenai sinar UV yang sesuai dan sistem elektrokimia dijalankan. Pertama-tama analit dalam larutan akan teradsorpsi oleh permukaan aktif TiO2 sehingga konsentrasi analit di sekitar permukaan TiO2 lebih pekat (C1) dibandingkan konsentrasi analit di dalam larutan bulknya (C1’). Selanjutnya pada saat permukaan TiO2 diilluminasi dengan sinar UV maka akan berlangsung proses fotokatalisis yang diawali dari pembentukan pasangan elektron dan hole positif. Dalam sistem fotoelektrokimia, elektron yang dihasilkan akan dibawa dari material bulk TiO2 melalui ITO menuju ke elektroda bantu. Sebaliknya hole yang dihasilkan akan dibawa ke permukaan TiO2 membentuk radikal ˚OH untuk mengoksidasi senyawa organik pada larutan, sehingga analit pada film TiO2 didegradasi menjadi molekul kecil dan akan terdesorpsi dari permukaan katalis. Pemisahan elektron-hole ini akan meningkat dengan pemberian potensial bias positif pada TiO2 yang tercelup di dalam larutan, sebagai akibat terbentuknya medan listrik di dekat antarmuka, sehingga permukaan TiO2 bersifat anodik. Dalam situasi ini rekombinasi elektron dan hole dapat dihindari karena elektron akan dijauhkan dari hole dengan cara memindahkannya ke larutan melalui elektroda bantu yang bersifat katodik. Dengan cara demikian potensial bias meningkatkan pemisahan muatan sehingga efisiensi pembentukan radikal OH makin tinggi. Fenomena ini disebut efek pengayaan medan listrik ( electric field enhancement)[5]. Pada proses oksidasi oleh hole maupun radikal ˚OH pada permukaan TiO2 akan menghasilkan arus-cahaya awal (initial photocurrent). Selanjutnya arus-cahaya tersebut akan turun ketika senyawa organik yang berada dipermukaan telah habis dioksidasi, sehingga terjadilah proses difusi pada batas imaginer C1 dengan C1’. Arus-cahaya akan terus menurun sampai akhirnya laju oksidasi setara dengan laju difusi sehingga tercapai nilai arus-cahaya yang mendatar (steady state photocurrent). Gradien konsentrasi yang terjadi ini bersifat dinamis, yakni apabila salah satu daerah mendapat gangguan maka akan disetimbangkan oleh daerah disebelahnya, dan terjadi korelasi proporsional antara permukaan anoda dan badan larutan. Dalam kasus susunan sel, dimana film TiO2 nya dibuat anodik peristiwa ini akan berbarengan dan proporsional dengan aliran elektron dari analit ke film TiO2 (hole positif), yang dapat diindikasikan dari munculnya arus-cahaya awal. Terdesorpsinya hasil degradasi analit akan menyisakan tempat kosong yang akan menggerakkan difusi analit dari badan larutan ke permukaan anoda, yang
a. (e-)
o
(5)
(e-)
POTENTIOSTAT
O 2-
(4)
O2 CB (e-) (1)
UV Light ~ 400 nm
o +
(h ) VB
Counter electrode
48
(2)
OH UV Light ~ 400 nm
(3)
H 2O
TiO2
ITO
Working electrode
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
c
Initial photocurrent
b.
Steady state photocurrent
C 1 ↔ C 1’ Diffusion Bulk solution
ITO film
TiO2 film
Virtual space for adsorbed analyte responsible for initial photocurrent
Gambar 1 ; [a] Diagram pendekatan konseptual proses fotoelektrokatalitik yang dilibatkan dalam pembangkitan signal analisis pada sensor COD: (1). Eksitasi elektron dari VB (pita valensi) ke CB o (pita konduksi);(2) pembangkitan elektron-hole oleh bias potensial;(3) pembentukan OH; (4) o photocurrent dan elektron ke eksternal sirkuit; (5) pembentukan O2 . [b]. Konseptual pengukuran dan bagian yang bertanggungjawab terhadap timbulnya intial photocurrent serta steady state photocurrent. [c]. Hasil linier scan NaNO3 0,1M dengan elektroda kerja TiO2, elektroda bantu Pt dan elektroda referens Ag/AgCl, scan rate 0,5 V/jam,potensial 0,10 – 0,11V. segera juga akan terdegradasi kembali selama asupan foton masih ada, dan proses ini akan berulang dan menghasilkan arus listrik (steady state photocurrent). Jika lampu dimatikan maka tidak terjadi proses fotokatalisis sehingga tidak akan ada arus listrik sebagai akibat fenomena yang disebutkan di atas. Arus-cahaya awal akan bisa diamati lagi bila setelah terjadi akumulasi analit kembali, kemudian permukaan TiO2 diilluminasi dengan sinar UV lagi. Fenomena di atas terjadi berulang selama analit masih ada di badan larutan, karenanya pengukuran arus-cahaya awal dapat dilakukan berulang ulang. Oleh karena ruang virtual tempat akumulasi analit pada permukaan anoda sangat kecil jika dibandingkan dengan ruang bulk larutan, maka kehilangan analit setiap kali pengukuran relatif sangat kecil. Observasi evolusi arus-cahaya yang ditampilkan pada Gambar 1 mencerminkan keberadaan fenomena yang berlangsung pada permukaan elektroda kerja. Gambar 1.c. di atas representasi observasi evolusi arus dalam sensor COD yang dikembangkan. Pada detik ke-10, lampu UV dihidupkan, terjadi kenaikan arus yang cukup tinggi, hingga ke kondisi steady state photocurrent, kemudian pada detik ke-60 lampu UV dimatikan, terjadi penurunan arus yang drastis menuju ke kondisi awal. Fenomena ini menunjukan adanya evolusi aruscahaya yang muncul karena adanya fotokatalisis dan proses yang terjadi pada permukaan. Konsep ini merupakan dasar perhitungan nilai muatan (Q) untuk penentuan COD. Pengukuran Secara Fotoelektrokimia Fundamental dari fotoelektrokimia dan fotokatalis heterogen pada semikonduktor telah didokumentasikan dengan baik[6-9]. Studi ekstensif dari proses-proses oksidasi fotokatalitik pada permukaan TiO2 untuk aplikasi yang bervariasi juga telah dilaporkan[4-8]. Pada studi ini, dilakukan pendekatan yang unik, dimana arus-cahaya awal dari sampel dapat diukur pada elektroda TiO2 semikonduktor nanopartikel melalui proses degradasi oksidasi fotoelektrokimia. Dengan metode baru ini, secara sederhana degradasi bahan organik diukur dengan mengkuantifikasi langsung dari transfer elektron pada elektroda lapisan TiO2 nanopartikel selama proses oksidasi fotoelektrokatalitik. Selanjutnya secara rinci dijelaskan proses terjadinya arus-cahaya awal dan arus-cahaya pada sel fotoelektrokatalitik yang dikembangkan untuk sensor COD. 49
Muh Nurdin*, Muh.Natsir*,Maulidiyah*, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model Baru
Pembangkitan Arus-Cahaya Ketika TiO2 menyerap sinar, elektron semikonduktor dipromosikan ke pita konduksi (ecb-), dan hole ditinggalkan pada pita valensi (hvb+). Ditinjau dari posisinya mereka sangat dekat satu dengan lainnya sebagaimana disebut pasangan elektron-hole, dan mereka dengan mudah mengalami rekombinasi. Pada antarmuka bulk semikonduktor/elektrolit, medan listrik yang diberikan memisahkan posisi pasangan elektron/hole. Pada permukaan TiO2 nanopartikel sistem serbuk, elektron tersebut terperangkap oleh gugus permukaan tetapi dari segi posisinya masih sangat dekat satu dengan yang lainnya[10]. Dalam sistem seperti ini, efisiensi reaksi fotokatalisis tergantung pada kinetika reaksi permukaan, khususnya transfer elektron ke badan larutan. Untuk degradasi senyawa organik secara fotokatalitik dalam air pada sistem serbuk, akseptor elektron, seperti oksigen, diperlukan untuk menghilangkan fotoelektron dari permukaan katalis. Reaksi oksidasi dari senyawa organik oleh fotohole yang ditangkap permukaan dan reaksi reduksi dari akseptor elektron terjadi pada partikel yang sama. Pelambatan dari salah satu proses akan memfasilitasi rekombinasi dari fotoelektron dan fotohole [11], menyebabkan reaksi fotokatalisis tidak dapat berlangsung. Pada pendekatan penelitian ini, TiO2 nanopartikel diimmobilisasi ke dalam substrat yang menghantar, membentuk elektroda berlapis TiO2 nanoporous. Elektroda tersebut memiliki luas permukaan yang besar dan TiO2 fotokatalis nanopartikel mampu memfasilitasi oksidasi fotokatalitik dari senyawa organik yang melebihi oksidasi air. Elektroda berlapis TiO2 nanopartikel ini digunakan sebagai elektroda kerja dalam sel fotoelektrokimia dengan sistem tiga elektroda. Dengan memberikan potensial bias positif (+0.1Volt) pada elektroda kerja dan iluminasi sinar UV maka oksidasi fotokatalitik dari senyawa organik akan berlangsung pada elektroda kerja. Dalam sistem fotoelektrokimia ini fotoelektron yang terbentuk, melewati sirkuit eksternal, dipaksa mengalir ke elektroda bantu, dimana akan terjadi reduksi dari air atau oksigen (Gambar 1). Arus-cahaya ini dimonitor dan memberi pengukuran langsung dari oksidasi senyawa organik pada permukaan elektroda kerja, dan digunakan sebagai sinyal analitik. Respon antara Arus-Cahaya dan Potensial Profil intensitas siklik voltametri pada Gambar 2, dimana pada kondisi gelap, arus yang dihasilkan berada pada daerah nol, namun setelah diberikan sinar UV maka terjadi kenaikan arus yang disebut arus-cahaya. Photocurrent (arus-cahaya), yaitu perbedaan antara arus yang diamati selama irradiasi dengan sinar UV dan yang diamati dalam keadaan gelap, yaitu dengan mengukur kecepatan dari muatan yang melintasi antara muka semikonduktor/elektrolit dan selanjutnya dapat diambil sebagai pengukuran dari kecepatan pembentukan OHo pada antarmuka. Arus-cahaya dari elektroda sol-gel TiO2 sebagai fungsi dari applied potensial yang diukur ditunjukkan pada Gambar 2. 0.0004 0.0002
Arus (Ampere)
0 -0.0002 -0.0004 -0.0006
Gelap UV
-0.0008 -0.001 -0.0012 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
Potensial (Volt)
Gambar 2. Respon antara arus dan potensial dari lapisan tipis TiO2 Sol-gel: Siklik voltametri NaNO3 0,1M dengan scan rate 100 mV/s dan potensial –0,5 sampai 1,5 V.
50
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Dari hasil siklik voltamogram tersebut di atas terlihat bahwa fotokatalitik pada sistem yang dibuat sudah berjalan dengan baik (sudah aktif) Pengukuran Arus-Cahaya dan Muatan (Q) Gambar 3 menunjukkan satu set tipe profil arus-cahaya terhadap waktu yang diperoleh selama degradasi senyawa organik pada lapis tipis sel fotoelektrokimia. Kronologi terbentuknya initial photocurrent (arus-cahaya awal) dan steady state photocurrent dapat dilihat pada gambar tersebut yang sejalan dengan penjelasan pendekatan konseptual di atas Dimana pada detik ke-0 lampu UV masih mati sehingga yang terjadi hanyalah proses adsorbsi dan tidak terlihat adanya arus listrik. Pada detik ke 10, lampu UV dihidupkan sehingga terjadi oksidasi senyawa organik pada lapisan permukaan TiO2, maka timbullah arus-cahaya awal yang tinggi. Selanjutnya terjadi difusi dari larutan bulknya (C1’) ke larutan pada lapisan C1 yang telah habis teroksidasi sehingga konsentrasi pada lapisan C1 akan naik kembali (lihat Gambar 1 untuk ilustrasi). Lapisan ini akan terus mengalami oksidasi sampai diperoleh arus yang mendatar (steady state) pada detik ke 25. Peristiwa ini berlangsung pada potensial konstan yang diberikan yaitu +0.1V. Untuk blanko (kurva a) arus-cahaya yang dihasilkan murni dari oksidasi air, sementara arus-cahaya yang diamati dari larutan sampel mengandung senyawa organik (kurva b) terdiri dari dua komponen arus, satu dari oksidasi fotoelektrokatalitik dari zat organik dan yang lain dari oksidasi elektrolit lain dalam air. Ketika semua bahan organik dalam sampel dikonsumsi, aruscahaya dari larutan sampel drop ke tingkat yang sama dengan blanko. Untuk periode waktu yang diberikan, muatan yang lewat untuk kedua blanko dan larutan sampel dapat diperoleh dengan integrasi dari arus-cahaya dengan waktu. Muatan Q berasal dari oksidasi organik dapat diperoleh dengan memperkurangkan muatan blanko dari muatan sampel, yang ditunjukkan sebagai area yang kosong (perbedaan kurva a dan kurva b) pada Gambar 3.
Gambar 3. Profile respon arus dan waktu dari lapisan tipis TiO2 Sol-gel.( a= NaNO3 0,1M; b= NaNO3 0,1M yang mengandung senyawa organik). Oleh karena kemampuan oksidasi yang kuat dari fotohole, oksidasi fotokatalitik dari senyawa organik pada elektroda TiO2 akan menghasilkan stoikiometri reaksi oksidasi dari senyawa organik seperti berikut: + CyHmOjNkXq + (2y-j)H2O → yCO2 + qX +kNH3+ (4y-2j+m-3k)H +(4y-2j+m-3k-q)e
(1)
Dimana N dan X masing-masing sebagai atom Nitrogen dan atom Halogen. Jumlah dari atom karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan halogen pada senyawa organik di representasikan sebagai y,m,j,k, dan q. Jumlah elektron dapat dihitung sbb: n =4y-2j+m-3k-q
(2)
51
Muh Nurdin*, Muh.Natsir*,Maulidiyah*, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model Baru
Untuk mengurangi waktu degradasi dan untuk memaksimumkan efisiensi degradasi, degradasi katalitik fotoelektrokimia dari bahan organik telah dilakukan dalam lapisan tipis sel fotoelektrokimia. Proses ini analog dengan reaksi elektrolisis, dimana semua analit dielektrolisis, dan hukum Faraday dapat digunakan untuk mengkuantifikasi konsentrasi dengan mengukur muatan (Q). Jika muatan/arus yang dihasilkan adalah hasil dari degradasi fotoelektrokimia dari bahan organik maka: Q= ∫Idt =Nfvc (3) Dimana n adalah jumlah elektron yang ditransfer selama degradasi fotoelektrokatalitik, yang setara 4y2j + m-3k-q (lihat persamaan 1); I adalah arus-cahaya dari oksidasi senyawa organik; F adalah konstanta Faraday; V dan C adalah masing-masing volume sampel dan konsentrasi dari senyawa organik. Muatan Q yang diukur adalah pengukuran langsung dari jumlah total elektron yang ditransfer yang dihasilkan dari degradasi sempurna dari semua senyawa dalam sampel. Jika 1 molekul oksigen ekuivalen dengan 4 elektron yang ditransfer, maka nilai Q yang diukur dengan mudah dapat dikonversi ke dalam ekuivalen konsentrasi O2 (atau kebutuhan oksigen). Secara teknis pengukuran dan perolehan nilai Q dari Gambar 3 di atas dapat di jelaskan seperti berikut ini. Dalam larutan blanko dihasilkan arus-cahaya yang kecil, yang merupakan hasil oksidasi fotoelektrokatalitik elektrolit yang ada dalam air, dan arus-cahaya turun dengan cepat ke arus steady state. Dalam oksidasi senyawa organik, dihasilkan arus-cahaya yang besar yang merupakan hasil oksidasi fotokatalitik senyawa organik dan oksidasi fotokatalitik elektrolit lain didalam air. Penurunan arus-cahaya terus terjadi karena semakin habisnya senyawa organik dalam larutan akibat degradasi fotokatalitik. Ketika seluruh senyawa organik habis, arus-cahaya turun ke posisi steady state , yang sama dengan arus oksidasi elektrolit lain dalam air. Untuk menentukan degradasi fotokatalitik dari senyawa organik perlu pengukuran muatan bersih (Qnet) karena degradasi fotokatalitik senyawa organik. Muatan bersih diperoleh dengan mengurangkan muatan dari oksidasi fotokatalitik elektrolit lain dalam air terhadap muatan total karena oksidasi fotokatalitik senyawa organik dan elektrolit lain dalam air. Jika senyawa organik mengalami mineralisasi sempurna, maka oksidasi senyawa organik tersebut memenuhi persamaan (1) seperti dijelaskan di atas Jumlah elektron yang ditransfer pada mineralisasi sempurna: n = 4y-2j+m-3k-q
(4)
jumlah elektron transfer untuk beberapa senyawa organik dapat dilihat pada Hubungan kuantitatif antara muatan bersih dengan konsentrasi substrat mengikuti hukum Faraday. Q = nFVC = (4y-2j+m-3k-q)FVC = kC
(5)
Untuk mendapatkan hubungan bahwa muatan bersih yang diperoleh dari mineralisasi fotokatalitik senyawa organik benar-benar mencerminkan tingkat degradasi maka diperlukan konsentrasi equivalent. Ceq = nC = (4y-2j+m-3k-q)C Q = FVCeq = kCeq
(6) (7)
Plot Q terhadap Ceq diperoleh slope = k yang secara teoritis hanya dipengaruhi oleh volume sel k = FV
(8)
Pada degradasi sempurna, Q merupakan ukuran jumlah total elektron yang dihasilkan dari mineralisasi sempurna seluruh senyawa di sampel Karena 1 molekul oksigen equivalen dengan elektron (e) yang ditransfer ( O2 + 4H+ + 4e- Æ 2H2O ) maka Q dapat dengan mudah dikonversi menjadi konsentrasi oksigen sehingga nilai COD menjadi; COD (mg/L O2) = Q/4FV x 32000 52
(9)
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010
ISSN 1410-9565
Persamaan ini dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai COD dari sample selama muatan (Q) dapat diperoleh secara eksperimen sesuai dengan sel fotoelektrokimia yang digunakan, volume (V) adalah konstanta yang diketahui. Untuk larutan atau standard yang diketahui konsentrasinya maka dapat dihitung Q teoritis Qtheo = nFVC
(10)
Sehingga teoritis COD dapat dihitung dengan Q teoritis. CODtheo = Qtheo / 4FV x 32000 = 8000 nC
(11)
KESIMPULAN Metodologi yang dikembangkan telah memberikan kejelasan pada banyak aspek dari proses fotokatalitik pada permukaan TiO2. Teknik fotoelektrokatalitik lapis tipis telah dikembangkan untuk mengkuantifikasi degradasi fotokatalitik senyawa organik, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan nilai COD dari sampel yang diukur. Sebagai aplikasi dari studi sistematik proses fotoelektrokatalitik, telah sukses dikembangkan sebagai metode analisis COD yang dicapai pada degradasi bahan organik dan perolehan sinyal analisis atau arus-cahaya (photocurrent) pada waktu yang bersamaan. Prinsip analisis COD secara fotoelektrokimia yang baru telah diusulkan dan terbukti secara eksperimental. Pengembangan metode pengukuran COD ini juga telah sukses diterapkan untuk menentukan secara kuantitatif yang didasarkan pada jumlah transfer elektron yang diukur dan dihitung masing-masing dengan arus yang diperoleh dan selanjutnya dikonversi dalam rumus Faraday sebagai nilai muatan Q (Q= ∫Idt = nFVC) Nilai Q yang diperoleh dari data arus-cahaya versus waktu pada sistem fotolektrokatalisis yang dikembangkan memberikan nilai COD teoritik. Secara empiris nilai Q ini proporsional dengan konsentrasi zat organik dalam larutan dan berkesesuaian dengan nilai COD yang diukur. Metode ini pada penerapannya hanya memerlukan waktu pengukuran sekitar 1 menit dan penggunaan reagen yang sangat sedikit (hanya elektrolit). Secara rinci kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah sensor COD untuk analisis kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand) secara fotoelektrokatalisis telah berhasil dikembangkan, dimana nilai muatan (Q) sebagai hasil integrasi arus-cahaya dalam rentang waktu beberapa detik sebanding dengan kandungan zat organik dalam air dan dapat dikonversikan menjadi nilai COD. Metode analisis COD yang baru, cepat, langsung, ramah lingkungan dan absolut ini didasarkan pada prinsip degradasi fotoelektrokatalitik dari bahan organik pada sel lapis tipis.
UCAPAN TERIMA KASIH DP2M-DIKTI, atas Hibah Riset Unggulan Strategis Nasional 2009-2010.
DAFTAR PUSTAKA th [1] APHA: “Standard Methods for the Examination of Water & Wastewater” 18 Ed. Washington, (1992). [2] Kim, Y.C., Sasaki, S., Yano, K., Ikebukuro, K., Hashimoto, K and Karube, I: ”Relationship between Theoretical Oxygen Demand and Photocatalytic Chemical Oxygen Demand for Specific Classes of Organic Chemicals”. Analyst (2000) 125, 1915-1918. [3] Kim, Y.C., Sasaki,S., Yano, K., Ikebukuro, K., Hashimoto, K., and Karube, I: ”A Flow Method with Photocatalytic Oxidation of Dissolved Organic Matter Using a Solid-Phase (TiO2) Reactor Followed by Amperometric Detection of Consumed Oxygen”. Anal. Chem .(2002) 74, 38583864. [4] Zhao, H., Jiang, D., Zhang, S., Catterall Kylie, and John, R: “Development of Direct Photoelectrochemical Method for Determination of Chemical Oxygen Demand”. Anal. Chem. (2004) 76: 155-160. 53
Muh Nurdin*, Muh.Natsir*,Maulidiyah*, Jarnuzi Gunlazuardi** : Pengembangan Metode Analisis Chemical Oxygen Demand Model Baru
[5] [6] [7] [8] [9] [10] [11]
54
Harper, J.C., Christensen,P.A., Egerton, T.A, Curtis,T.P., and Gunlazuardi,J:”Effect of Catalyst Type on the Kinetics of the Photoelectrochemical Disinfection of Water Inoculated with E.coli” Journal of Applied Electrochemistry. (2001) 31, 623-628. Fujisima, A., and Honda, K: ”Electrochemical Photolysis of Water at A Semiconductor Electrode”. Nature. (1972) 238, 37—38. Zanoni, M., Sene, J., Selcuk, H. and Anderson, M.A: “Photoelectrocatalytic Production of Active Chlorine on Nanocrystalline Titanium Dioxide Thin-Film Electrodes”. Environ. Sci. Technol. (2004) 38, 3203-3208. Blount, M.C., Kim, D.H., and Falconer, J.L:”Transparent Thin-Film TiO2 Photocatalyst with High Activity”. Environ. Sci. Technol. (2001) 35, 2988-2994. Elangovan.E., and Ramamurthi, K., Effect of Substrate Temperatur on Electrical and Optical Properties of Spray Deposited SnO2:Sb Thin Films. Journal of Optoelectronics and Advanced Materials. (2003). Vol. 5, No. 2. June: 415-420. Harper, J.C., Christensen, P.A., Egerton, T.A., and Scott, K: ”Mass Transport Characterization of a Novel Gas Sparged Photoelectrochemical Reactor”. J. App. Electrochem. (2001) 31, 267273. Jorge, S.M.A., Sene, J.J, and Florentino. A.O: ”Photoelectrocatalytic Treatment of pnitrophenol using Ti/TiO2 Thin-film Electrode”. Journal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry (2005)174:71–75.
Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010
JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Pedoman Penulisan Naskah Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun. Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman, 3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan. 4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi. 5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic. 6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya: i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar) 8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],... 9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi: [2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990). Artikel dari jurnal : [3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992) Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000). 10. 11. 12. 13.
Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS Word.