Vol. 10 No. 4 Desember 2015
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan Journal of Chemical Engineering and Environment
Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan
Vol. 10
No. 4
Hal. 148—195
Desember 2015
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) TIM EDITOR Ketua
: Dr. Nasrul Arahman, ST., MT.
Anggota
: Dr. M. Faisal, ST., M. Eng., Dr. M. Dani Supardan, ST., MT. Dr. Ir. Husni Husin, MT., Mirna Rahmah Lubis, ST., MS.
Web admin/lay out
: Wahyu Rinaldi, ST., M.Sc.
Cetak dan sirkulasi
: Umi Fathanah, ST., MT.
Reviewer (Mitra Bestari) Dr. Ir. Darmadi, M.T (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Asri Gani, M.Eng (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Izarul Machdar, M.Eng (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Azhari, M.Sc (Universitas Malikussaleh), Dr. Suripto Dwi Yuwono, S.Si., M.T (Universitas Lampung), Dr. Sunu Herwi Pranolo, S.T., M.Sc (Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta), Dr. Yuli Setyo Indartono (Institut Teknologi Bandung), Dr. Agung Sudrajad, S.T., M.Eng (University Pahang Ma laysia), Dr. Muhammad Jawaid (University Sains Malaysia), Dr. Saeid Rajabzadeh Kahnamouei (Kobe University, Japan), Dr. Agus Saptoro (Curtin University, Malaysia), Dr. Abrar Muslim, ST, M. Eng. (Universitas Syiah Kuala), Dr. Fachrul Razi, ST, MT. (Universitas Syiah Kuala).
Jurnal ini terbit setiap enam bulan sekali
Harga Langganan dua kali terbit: Aceh
Rp. 80.000,-
Luar Aceh
Rp. 100.000,- (termasuk ongkos kirim)
Untuk surat menyurat dan berlangganan, harap menghubungi Sdri. Dewi Yana dengan alamat seperti tercantum di bawah. Petunjuk penulisan artikel dapat dilihat pada halaman terakhir jurnal. 2015 Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia Hp. +62 853-2299-7268 Fax. (0651) 52222 http://jurnal.unsyiah.ac.id/RKL E-mail:
[email protected]
Vol. 10, No. 4, Desember 2015 ISSN: 1412-5064 (cetak), 2356-1661 (online)
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Daftar Isi Kata Pengantar Prismita Nursetyowati, Prayatni Soewondo, Marisa Handajani
148
Kinerja Upflow Anaerobic Fixed Bed Reactor dengan Media Penunjang Batu Apung dalam Penyisihan Organik dan Pembentukan Biogas dari Biowaste Fase Cair
Nine Tria Rossa, Dewi A. Iryani, Suripto D. Yuwono
157
Sintesis Furfural dari Bagas Tebu Via Reaksi Hidrolisa dengan Menggunakan Katalis Asam Asetat pada Kondisi Atmosferik
Revie Financie, Muhammad Moniruzzaman, Yoshimitsu Uemura
165
Characterization of Empty Fruit Bunch Treated with Ionic Liquid Prior to Enzymatic Delignification
Alhamidi Yusran, M. Dani Supardan, 171 Mahidin
Kapasitas Adsorpsi Bentonit terhadap Sulfur dan Merkuri secara Simultan pada Pembakaran Batubara
Jefry Yusuf, Husni Husin, Marwan
178
Simulasi Pengaruh Kandungan CO2 dalam Gas Umpan terhadap Reforming dan Shift Converter Sistem Pabrik Amoniak
Salfauqi Nurman, Sitti Saleha
188
Sintesis dan Karakterisasi Membran Poliuretan dari Minyak Biji Karet dan Heksametilen-1,6diisosianat
Marlina,
Saiful,
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 10, No. 4, Hlm. 148 - 156, Desember 2015 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v10i4.3304
Kinerja Upflow Anaerobic Fixed Bed Reactor dengan Media Penunjang Batu Apung dalam Penyisihan Organik dan Pembentukan Biogas dari Biowaste Fase Cair Performance of Upflow Anaerobic Fixed Bed Reactor with Pumice Stone Support in Organics Removal and Biogas Formation from Liquid Phase Biowaste Prismita Nursetyowati1*, Prayatni Soewondo2, Marisa Handajani2 2
1 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Bakrie Program Studi Teknik Lingkungan Insititut Teknologi Bandung *E-mail:
[email protected]
Abstrak Dalam penelitian ini, biowaste yang digunakan adalah sampah pasar. Sampah pasar menyumbang sekitar 12% dari berat total sampah kota. Upflow Anaerobic Fixed Bed Reactor (UAFB-R) yang digunakan dalam penelitian ini memakai media penunjang batu apung dengan resirkulasi efluen dan tanpa pengatur pH. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kinerja UAFB-R dengan media penunjang batu apung dalam penyisihan organik dan pembentukan biogas terutama gas metan biowaste fasa cair. Hydraulic Retention Time UAFB-R ditentukan sebesar 6 hari dengan volume operasi sebesar 9 liter. Variasi beban organik influen dalam penelitian adalah ± 0,32 kg COD/m3.hari, ± 0,64 kg COD/m3.hari, ± 0,96 kg COD/m3.hari, ± 1,28 kg COD/m3.hari, ± 1,6 kg COD/m3.hari, dan ± 1,92 kg COD/m3.hari. Pada rentang beban organik influen ± 0,32 kg COD/m3.hari sampai ± 1,92 kg COD/m3.hari di kondisi tunak, semakin besar beban organik influen maka efisiensi penyisihan COD semakin kecil dan rasio TAV/Alkalinitas semakin besar. Namun, semakin kecil beban organik influen maka komposisi dan volume gas metan serta methane yield cenderung semakin besar. Saat variasi beban influen ± 0,96 kg COD/m3.hari dihasilkan volume gas metan terbesar sebanyak 1,77 liter, sedangkan saat variasi beban organik influen ± 0,64 kg COD/m3.hari dicapai komposisi gas metan dan methane yield terbesar sebesar 77,4% dan 0,249. Selain itu, semakin tinggi konsentrasi sulfat maka maka volume biogas yang terbentuk menjadi lebih kecil. Kata kunci: batu apung, biogas, biowaste, UAFB-R Abstract The biowaste utilized in this study was market waste. Market waste accounts for approximately 12% of the total weight of municipal solid waste. Upflow Anaerobic Fixed Bed Reactor (UAFB-R) used in this research was equipped by pumice stone as supporting media, effluent recirculation, and sans pH regulator. The aim of this study was to investigate the performance of UAFB-R supported by pumice stone in organics removal and biogas formation, mainly methane, from liquid phase biowaste. The determined Hydraulic Retention Time of UAFB-R was 6 days with operation volume of 9 liter. Influents of organic load were varied to ± 0.32 kg COD/m3.day, ± 0.64 kg COD/m3.day, ± 0.96 kg COD/m3.day, ± 1.28 kg COD/m3.day, ± 1.6 kg COD/m3.day, and ± 1.92 kg COD/m3.day. At the range of organic load influent of ± 0.32 kg COD/m3.day to ± 1.92 kg COD/m3.day in steady state condition, the greater the organic load of influent, the smaller the COD removal efficiency and the bigger the TAV/Alcalinity ratio. However, the smaller the organic load of the influent, the composition, volume and yield of methane tend to be greater. 1.77 Liter of methane was obtained from ± 0.96 kg COD/m3.day influent, meanwhile the highest amount of methane composition and yield was achieved from influent with organic load of ± 0.64 kg COD/m3.day, which was 77.4% and 0.249 respectively. In addition, the volume of biogas formed dropped smaller with the increase of concentration of sulfate. Keywords: biogas, biowaste, pumice stone, UAFB-R
1. Pendahuluan
sampah pasar disebut biowaste (Kranet dan Hillebrecht, 2000). Sampah pasar menyumbang 12% dari berat total sampah kota (Destiana, 2010). Sampah pasar memiliki kadar air yang tinggi (Hartati, 2009).
Sampah kota yang dapat terdegradasi secara biologi seperti sampah makanan, sampah taman, sampah dari dapur, dan
148
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Biowaste fase cair memiliki kandungan organik sekitar 16.000 mg/L COD (Destiana, 2010). Kandungan organik ini termasuk tinggi sehingga diperlukan pengolahan biologi yang tepat. Pengolahan biologi secara anaerob merupakan metode yang paling tepat untuk mengolah limbah dengan konsentrasi karbon organik yang tinggi. Proses anaerob ini memiliki efisiensi yang sangat baik dan dapat berguna untuk menghasilkan energi (Kocadagistan, 2014). Proses anaerob merupakan teknologi penghasil biogas yang banyak dipakai dimana substrat dikonversi menjadi metan dan produk lain sebagai hasil dari reaksi sekumpulan mikroba (Olvera dan LopezLopez, 2012). Selain itu, reaktor anaerob memiliki keuntungan mengolah beban yang tinggi dengan volume dan tempat yang kecil (Ganesh dkk., 2010).
reaktor upflow anaerobic fixed bed reactor dengan media penunjang batu apung. Dianalisis besarnya penyisihan organik dan biogas yang dihasilkan. 2. Metodologi 2.1. Alat dan bahan Penelitian dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Teknik Lingkungan ITB. Sampel biowaste berasal dari Pasar Caringin Kota Bandung yang terdiri dari sayuran dan buah-buahan. Setelah pengumpulan biowaste, dilakukan pengukuran komposisi dan densitas sampah. Biowaste kemudian dicacah dengan alat pencacah sampah yang terdapat di PPS Sabuga dengan kecepatan ± 8000 rpm. Setelah tahap pencacahan, dilakukan pencampuran dengan air keran dengan perbandingan biowaste dan air keran 1:2. Selanjutnya dihaluskan dengan blender berkapasitas 2 liter. Dari hasil pencampuran ini didapatkan slurry dan dilakukan pemisahan (hand filter press) antara fase padat dan cair menggunakan kain penyaring sebagai alat screening. Skema reaktor UAFB yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan pada Gambar 1.
Salah satu jenis reaktor anaerob adalah reaktor fixed bed atau reaktor dengan media tetap. Proses pada reaktor ini bergantung pada prinsip immobilisasi mikroorganisme (biomassa) di media penunjangnya (Umana dkk., 2008). Reaktor ini memiliki kelebihan dibandingkan reaktor lain, yaitu dapat mengolah beban organik influen yang tinggi dengan hidrolic retention time (HRT) yang singkat dan volume reaktornya yang lebih kecil. Lumpur biologi dan kuantitas padatan terlarut bisa menjadi lebih rendah pada reaktor ini (Kocadagistan dkk., 2005) namun kekurangannya yaitu memiliki masa start up yang lama (Escudie dkk., 2011). Pada penelitian Atika dkk (2011), media bambu digunakan untuk fixed bed. Didapatkan efisiensi penyisihan terbaik mencapai 97,82% pada beban organik influen ± 1,6 kg COD/m3.hari dan HRT 6 hari. Pada penelitian ini, biowaste fase cair diolah dengan upflow anaerobic fixed bed reactor dengan media batu apung. Dioperasikan dengan resirkulasi efluen dan dengan variasi beban influen. Batu apung ini merupakan batu yang ringan dan bersifat porous yang terbentuk selama proses erupsi gunung berapi (Kocadagistan dkk., 2005).
Reaktor yang digunakan terbuat dari bahan flexiglass, memiliki kapasitas 14 liter dengan tinggi reaktor 88 cm dan diameter 14 cm. Pada reaktor ini, terdapat 3 buah lubang, 1 lubang di dasar reaktor untuk masuknya influen dan 2 lubang di kiri atas reaktor untuk resirkulasi efluen dan kanan atas reaktor untuk keluarnya efluen. Pada bagian penutup reaktor terdapat lubang penangkap gas dan untuk pemasangan termometer. Gas ditangkap dengan 2 buah botol pengukur volume gas. Flushing nitrogen dilakukan sebelum UAFB-R dioperasikan agar oksigen dalam reaktor hilang. Inokulum yang digunakan dalam penelitian ini adalah inokulum yang berasal dari rumen sapi, kotoran sapi, lumpur dari kolam anaerob IPAL Bojongsoang, dan biowaste dengan perbandingan 1:1:1:3 (v/v). Selain itu, ditambahkan lumpur dari reaktor UAFB dengan media bambu sebanyak 500 ml. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah batu apung dengan diameter 3 - 5 cm dan luas permukaan ± 50,24 cm2 yang berjumlah 560 buah. Batu apung digunakan sebagai media penunjang biofilm di pengolahan air dan air limbah karena porositasnya yang tinggi dan luas permukaannya yang besar (Kocadagistan dkk., 2014). Batu apung dicuci bersih lalu direndam selama 1 bulan agar pori-pori batu menjadi jenuh.
Penelitian mengenai reaktor media tetap anaerob dalam menyisihkan senyawa organik sudah banyak dilakukan (Ganesh dkk., 2010; Escudie dkk., 2011). Dalam penelitian ini, dilakukan 6 variasi beban organik influen di rentang ± 0,32 kg COD/m3.hari sampai ± 1,92 kg COD/m3.hari sehingga nantinya akan didapatkan beban organik influen biowaste optimum yang memiliki kinerja yang paling baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh beban organik influen terhadap kinerja
149
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Gambar 1. Konfigurasi UAFB-R
2.2. Operasional
- 7,5 dengan penambahan NaOH 50%. Hal ini dilakukan karena pada rentang pH tersebut, mikroorganisme dapat mendegradasi limbah secara optimal.
Rangkaian penelitian ini diawali dengan mengoperasikan pada tahap batch resirkulasi dengan aliran upflow. Debit untuk tahap ini adalah 20 mL/menit. Setelah didapatkan kondisi steady state/tunak pada tahap batch resirkulasi, maka pengoperasian reaktor UAFB secara kontinyu dapat dilakukan. Reaktor memiliki volume 13 liter, dioperasikan dengan volume void 9 liter. Volume void adalah volume cairan yang mengisi reaktor setelah ditambahkan media. Ditetapkan waktu detensi 6 hari, mengacu pada penelitian Atika dkk. (2011) mengenai pengolahan biowaste fase cair UAFB-R dengan media bambu. Dimana waktu detensi optimum yang dapat dicapai untuk penyisihan senyawa organik dan pembentukan metan adalah 6 hari. Pada penelitian ini digunakan media batu apung, dioperasikan dengan resirkulasi efluen, dan tanpa pengatur pH dengan variasi yang disajikan pada Tabel 1.
3.
3.1. Karakteristik Biowaste Biowaste segar yang digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik seperti yang tersaji pada Tabel 2. Dari Tabel 2, rasio C:N dan C:P biowaste fase cair adalah 16,73 dan 330,84. Range rasio C:N optimum untuk pembentukan metan 20 35, sedangkan rasio C:P ideal adalah 150 (Wang dkk., 2014). Rasio C:N dan C:P biowaste fase cair pada penelitian ini tidak memenuhi literatur. Namun bila ditinjau dari konsentrasi COD total yang terkandung pada biowaste fasa cair sebesar ± 36.000 mg/L, biowaste fase cair termasuk pada jenis high strength wastewater. High strength wastewater cocok untuk pengolahan biologi secara anaerob, terutama dengan Upflow Anaerobic Fixed Bed Reactor (Deshannavar dkk., 2012; Guardia-Puebla dkk., 2014).
Tabel 1. Kerangka penelitian reaktor UAF-B Beban organik influen(kg COD/m3.hari) ± 0,32 ± 0,64 ± 0,96 ± 1,28 ± 1,6 ± 1,92
HRT (hari)
Parameter yang dianalisis
6
pH, temperatur (setiap hari), COD, alkalinitas, TAV, nitrit, nitrat, sulfat, total fosfat, amonia, total nitrogen, dan komposisi biogas (1x seminggu)
Hasil dan Pembahasan
3.2. pH pH merupakan parameter penting dalam proses anaerob, khususnya dalam proses metanogenesis. Bakteri penghasil metan sangat sensitif pada perubahan pH (Kheiredine dkk., 2014). Aktivitas metanogenesis berjalan optimal pada pH antara 6,3 - 7,8. Gambar 2 menyajikan pengaruh beban influen terhadap kondisi pH outlet dalam reaktor saat kondisi tunak. Kondisi pH pada 6 variasi penelitian termasuk netral yaitu berada pada rentang 6 - 7,8 sehingga masih dalam rentang pH yang optimal untuk
Debit influen dijaga pada 1 mL/menit. Pada tangki inlet, dilakukan pengaturan beban COD dengan penambahan air keran dan pengaturan pH agar berada dalam rentang 6
150
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
proses metanogenesis. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pH outlet cenderung naik pada pertambahan beban organik influen dari ± 0,32 kg COD/m3.hari sampai ± 1,28 kg COD/m3.hari, namun kemudian turun saat beban organik influen ± 1,6 kg COD/m3.hari dan ± 1,92 kg COD/m3.hari. Alkalinitas dalam reaktor terpantau 600 - 5100 mg/L CaCO3 sedangkan alkalinitas yang baik untuk proses anaerob adalah minimal 2000 mg/L CaCO3. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun reaktor termasuk dalam kondisi start up dan tanpa pengatur pH, buffer dalam bentuk alkalinitas sudah cukup di dalam reaktor sehingga saat pH terlalu asam atau basa, alkalinitas yang ada dapat menyangga pH agar tetap netral
10 9
inlet outlet 1
pH
8
outlet 2 Avg Outlet
7 6 5 0,32
0,64
0,96
1,28
Beban Organik Influen (kg
1,6
1,92
COD/m3.hari)
Gambar 2.pH outlet saat kondisi tunak
Tabel 2. Karakteristik biowaste Biowaste Segar
Biowaste Fase Cair
Parameter
Satuan
Nilai
Parameter
Satuan
Nilai
Densitas Kadar Kering Kadar Air Kadar Volatil Kadar Abu Karbon Organik Nitrogen Total Fosfat C:N C:P
kg/L % BB % BB % BK % BK % BK % BK % BK
0,445 10,368 89,632 90,123 9,877 78,08 4,667 0,236 16,730 330,847
pH COD total COD terlarut Total Nitrogen (NTK) Total fosfat Alkalinitas VSS TSS
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
3,53 36196,72 14163,93 385 0,321 1500 1470 1600
6000
Alkalinitas (mg/L CaCO3)
4500
TAV (mg/L)
3600 2700 1800
900
4800
3600 2400 1200 0
0 0,32
0,64
0,96
1,28
1,6
0,32
1,92
Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari)
0,64
0,96
1,6
1,92
Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari) Inlet
Inlet
1,28
Outlet
(a) TAV
(b) Alkalinitas
Gambar 3. Konsentrasi TAV dan alkalinitas saat kondisi tunak
151
Outlet
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
3.3. TAV dan Alkalinitas
sebagai suatu nilai kesetimbangan asam dan basa dalam proses tersebut (Umana dkk., 2008). Dari Gambar 4 terlihat bahwa semakin tinggi beban organik influen maka rasio TAV alkalinitas semakin besar dan pH cenderung turun di dalam reaktor. Besarnya rasio TAV/Alkalinitas menandakan buffer tidak bisa lagi menetralkan asam volatil sehingga terjadi akumulasi asam volatil yang dapat membuat lingkungan hidup bakteri menjadi asam (Grady dan Lim, 1990). Hal ini dapat mengganggu proses di dalam reaktor (Ertem, 2011; Pontoni dkk., 2015). Pada beban organik influen yang semakin rendah, rasio TAV/Alkalinitas terlihat mendekati rasio ideal, yaitu di bawah 0,4 - 0,5. Ketika nilai TAV/alkalinitas kurang dari 0,4 - 0,5, maka proses akan beroperasi dengan baik tanpa terjadinya resiko asidifikasi. Pada rentang rasio ini, bakteri pembentuk metan berada dalam kondisi lingkungan yang disukainya sehingga bakteri ini menggunakan asamasam secepat laju pembentukan asam.
Alkalinitas berasal dari kehadiran ion hidroksida (OH-), karbonat (CO32-), dan bikarbonat (HCO3) dari elemen Ca2+, Mg2+, Na+ (Tchobanoglous, 2004) yang berfungsi untuk menetralkan asam serta menjaga kestabilan pH karena adanya peningkatan produksi asam volatil (Pereira dkk., 2013). Sedangkan total asam volatil (TAV) menunjukkan jumlah asam volatil yang merupakan senyawa antara pada fase hidrolisis yang diubah oleh bakteri asidogenik menjadi asam organik, volatile fatty acid (VFA), alkohol, hidrogen, karbon dioksida, ammonium dan lain-lain (Kerroum dkk., 2012). Gambar 3a dan Gambar 3b menyajikan konsentrasi TAV dan alkalinitas pada kondisi tunak pada variasi penelitian. Konsentrasi TAV pada reaktor berkisar antara 340 - 7800 mg/L. Nilai TAV outlet yang cenderung tinggi dibandingkan konsentrasi influennya terutama pada variasi beban organik influen ± 1,92 kg COD/m3.hari menunjukkan bahwa bakteri pembentuk metan tidak berada pada kondisi setimbang dengan bakteri pembentuk asam sehingga laju konsumsi asam tidak secepat laju produksi asam volatil di dalam reaktor. Namun pada runningrunning selanjutnya yaitu pada beban organik influen lebih rendah, TAV pada outlet cenderung lebih sedikit atau sama dengan konsentrasi influennya. Hal ini menandakan bakteri metan berada dalam kondisi yang setimbang dengan bakteri pembentuk asam dalam reaktor. Gambar 4 menyajikan pengaruh beban organik influen terhadap hubungan rasio TAV/alkalinitas dan pH pada kondisi tunak.
Rasio TAV/Alkalinitas
0,8 0,6
10 9 8
7 0,4
COD (Chemical Oxygen Demand) menyatakan banyaknya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi kandungan organik yang berada di dalam air. Konsentrasi COD terlarut pada biowaste fasa cair dengan berbagai variasi beban organik influen saat kondisi tunak disajikan pada Gambar 5. Pada running pertama, yaitu variasi beban organik influen sebesar ± 1,92 kg COD/m3.hari saat kondisi tunak, konsentrasi COD outlet sebesar 5232,82 mg/L dan efisiensi penyisihan sebesar 59,57%. Untuk running-running selanjutnya yaitu pada beban organik influen yang lebih rendah, pada kondisi tunak, efisiensi penyisihan COD yaitu mencapai efisiensi terbaik yaitu 91,69% dicapai pada variasi beban organik influen ± 0,64 kg COD/m3.hari dengan konsentrasi COD outlet sebesar 338,62 mg/L. Penelitian sebelumnya menggunakan UAFB dengan media bambu, variasi HRT 6 hari, beban organik influen ± 1,6 kg COD/m3.hari, didapatkan efisiensi penyisihan rata-rata sebesar 94,24% (Rahayu, 2011).
pH
Rasio TAV/Alkalinitas 1 Rasio TAV/Alkalinitas 2 Avg Rasio TAV/Alkalinitas pH 1 pH 2 Avg pH
1
3.4. Konsentrasi COD
6
0,2
Dari Gambar 5 terlihat bahwa semakin tinggi beban organik influen maka efisiensi penyisihan COD semakin menurun. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kinerja dari reaktor yaitu beban influen, perubahan konsentrasi influen dan HRT. Peningkatan beban influen beresiko terganggunya proses di dalam reaktor akibat terjadinya akumulasi konsentrasi asam volatil (Kerroum, 2012) yang berpengaruh pada menurunnya efisiensi penyisihan COD. Selain itu, fenomena ini
5
0 0,32
0,64
0,96
1,28
1,6
4 1,92
Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari)
Gambar 4. Rasio TAV/alkalinitas saat kondisi tunak
Nilai rasio TAV/alkalinitas dapat menentukan stabilitas proses yang terjadi di dalam sistem
152
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
dapat juga disebabkan karena pada beban organik influen yang tinggi, aktivitas mikroorganisme dalam bioreaktor akan terhambat (Mshandete dkk., 2008) sehingga aktivitas
mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa organik menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pada efisiensi penyisihan COD yang semakin menurun.
100 Inlet Outlet 1 Outlet 2 Avg outlet Efisiensi Penyisihan COD 1 Efisiensi Penyisihan COD 2 Avg Efisiensi
16000
12000
8000
80
Efisiensi (%)
Konsentrasi COD (mg/L)
20000
60
40
4000
20
0 0,32
0,64
0,96
1,28
0 1,92
1,6
Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari) Gambar 5. Efisiensi penyisihan COD saat kondisi tunak Tabel 3. Komposisi Biogas Komposisi Biogas (%)
Beban organik influen (kg COD/m3.hari)
O2
H2
± 0,32
1,0576
± 0,64
1,1486
± 0,96 ± 1,28
1,33965 TTD
N2
CH4
TTD
17,682
4,3612
76,8992
TTD
17,0901
4,3386
77,4226
0,1938 TTD
16,6716 17,8888
4,76305 13,746
77,0319 68,3652
TTD TTD
19,423 24,83765
11,9184 23,0265
67,2769 52,1358
Produksi Gas (L/hari)
± 1,6 TTD ± 1,92 TTD Keterangan : TTD = tidak terdeteksi
5
100
4
80
3
60
2
40
1
20
0
0 0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
2
Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari) Gas teoritis 1
Gas teoritis 2
Avg gas teoritis
Gas Aktual
Efisiensi COD 1
Efiensi COD 2
Avg efisiensi cod
Gambar 6. Pembentukan gas metan dan efisiensi COD saat kondisi tunak
153
Efisiensi Penysihan COD (%)
CO2
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Tabel 4. Hasil perhitungan neraca massa Variasi Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari) ±0,32 ±0,64 ±0,96 ±1,28 ±1,6 ±1,92 Keterangan: Methane Yield (L CH4/g (273 + temperatur saat
COD (mg/L) Inlet
Outlet
2176 4076 5937 8636 10477 12594
200 338,46 934,95 2222,2 3115,0 5144,1
Penyisihan COD (g/hari)
CH4 Teoritis (L/hari)
2,965 5,608 7,504 9,621 11,044 11,175
1,133 6,123 8,163 10,520 12,056 12,199
CH4 Aktual (L/hari)
Methane Yield (L CH4/g COD yang disisihkan)
0,692 1,394 1,772 1,231 0,692 0,555
0,233 0,249 0,236 0,128 0,063 0,050
COD) =Volume CH4 aktual (L/hari) / penyisihan COD (g/hari). CH4 teoritis (L/hari) = itu)/273 x CH4 teoritis (STP). CH4 aktual (L/hari) = Volume biogas (L) x komposisi gas
3.5. Komposisi Biogas
3.7. Methane Yield
Komposisi gas pada variasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Dapat dilihat bahwa komposisi metan paling baik terjadi saat beban organik influen yang rendah yaitu beban organik influen ± 0,64 kg COD/m3.hari sebesar 77,4%. Berkaitan dengan volume biogas, pada beban organik influen yang besar, bakteri metan terhambat aktivitasnya akibat akumulasi asam volatil sehingga produksi metan menurun dan komposisi dalam biogas semakin kecil
Methane yield merupakan suatu koefisien hasil pembentukan gas metan yang diperoleh dari produksi gas metan aktual yang terbentuk dibagi dengan penyisihan COD. Tabel 4 menyajikan hasil perhitungan neraca massa pada variasi penelitian yang telah dilakukan. Dari Tabel 4 terlihat bahwa methane yield terbaik pada rentang beban organik influen ± 0,32 kg COD/m3.hari sampai ± 1,92 kg COD/m3.hari yaitu 0,249 L CH4/g COD yang disisihkan dicapai pada variasi beban organik influen ± 0,64 kg COD/m3.hari COD.
3.6. Laju Produksi Gas Metan 0,3
Methane Yield (L CH4/g COD)
Laju pembentukkan metan menunjukkan aktivitas metabolik metanogen dalam memproduksi gas metan. Gambar 6 menunjukkan pengaruh beban organik influen terhadap pembentukan gas metan dan efisiensi penyisihan COD pada kondisi tunak. Produksi gas metan sebanding dengan efisiensi penyisihan COD. Selain itu terlihat bahwa produksi CH4 aktual lebih kecil dibandingkan produksi CH4 teoritisnya. Dari Gambar 6 juga menunjukkan bahwa pada variasi beban organik influen rendah ± 0,32 kg COD/m3.hari sampai ± 0,96 kg COD/m3.hari) CH4 teoritis dan CH4 aktual cenderung sama. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi beban organik influen maka gas metan aktual yang diproduksi semakin kecil.
Methane Yield 1 Methane Yield 2 Avg Methane Yield
0,24
0,18 0,12 0,06 0 0,32
0,64
0,96
1,28
1,6
1,92
Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari)
Gambar 7. Nilai methane yield pada kondisi tunak
Penelitian pada reaktor anaerob yang dilakukan oleh Babaee dkk (2011) dan Chen dkk (2014) juga menunjukkan bahwa pada beban organik yang semakin tinggi, pembentukan metan cenderung semakin kecil. Menurut Mshandete dkk (2008) di beban organik influen yang tinggi, aktivitas mikroorganisme dalam bioreaktor akan terhambat sehingga aktivitas bakteri penghasil metan akan terhambat pula partumbuhannya. Kondisi didukung oleh rendahnya efisiensi penyisihan COD dan persentase gas metan pada variasi tersebut.
Gambar 7 menyajikan pengaruh beban organik influen terhadap nilai methane yield. Dapat dilihat bahwa semakin tinggi beban organik influen maka nilai methane yield semakin kecil. Hal ini dapat dikaitkan dengan efisiensi penyisihan COD dan laju produksi gas metan pada variasi tersebut. Pada beban organik influen yang kecil, aktivitas bakteri pembentuk metan tidak terhambat, penyisihan COD yang besar diiringi dengan produksi gas metan yang semakin besar pula sehingga methane yield yang dihasilkan semakin besar.
154
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
3.8. Sulfat
makin besar beban organik influen, maka komposisi gas metan, volume gas metan aktual dan methane yield semakin kecil. Volume gas metan aktual terbaik dicapai saat variasi beban organik influen ± 0,96 kg COD/m3.hari yaitu sebesar 1,77 L. Semakin tinggi konsentrasi sulfat maka maka volume biogas yang terbentuk menjadi lebih kecil.
Sulfat merupakan salah satu inhibitor pembentukan gas metan (Subtil dkk., 2012). Degradasi senyawa organik dalam kondisi anaerob tergantung pada ketersediaan terminal elektron akseptor seperti nitrat untuk denitrifikasi, sulfat untuk sulfate reducing bacteria (SRB) dan CO2 untuk bakteri metanogen. Pada kondisi tersebut, bakteri metanogen dan SRB selalu berkompetisi karena mereka memiliki kebutuhan nutrien yang sama dan berbagi proses metabolisme anaerob yang ketat (Thabet dkk., 2009). 2,5
Sulfat (mg/L)
1,28
2
0,96
1,5
Sulfat Volume Biogas
0,64
1
0,32
0,5
0 0,32
0,64
0,96
1,28
1,6
0 1,92
Atika, R. K., Rahayu, S. N., Handajani, M. (2011) Removal of organic compounds from liquid fraction biowaste using upflow anaerobic fixed-bed reactor without pH regulator, Prosiding The 4th ASEAN Environmental Engineering Conference, Yogyakarta, Indonesia.
Volume Biogas (L/hari)
1,6
Daftar Pustaka
Babaee, A., Shayegan, J. (2011) Effect of organic loading rates (OLR) on production of methane fromanaerobic digestion of vegetables waste, World Renewable Energy Congress, Linkoping, Sweden.
Beban Organik Influen (kg COD/m3.hari)
Chen, Y., Rößler, B., Zielonka, S., Wonneberger, A. M., Lemmer, A. (2014) Effects of organic loading rate on the performance of a pressurized anaerobic filter in two-phase anaerobic digestion, Energies, 7, 736 - 750.
Gambar 8. Hubungan antara konsentrasi sulfat dan volume biogas
Dari Gambar 8 terlihat bahwa konsentrasi sulfat dan volume biogas berbanding terbalik. Semakin tinggi konsentrasi sulfat maka volume biogas yang terbentuk menjadi lebih kecil, begitu pula sebaliknya. Hal ini dapat disebabkan karena pada reaktor bakteri metanogen memenangkan kompetisi untuk mendapatkan nutrien karena SRB dan bakteri metanogen memiliki nutrien yang sama, sehingga kemampuan SRB untuk mengoksidasi sulfat menjadi menurun karena kekurangan nutrien. Dengan memenangkan kompetisi tersebut, bakteri metanogen lebih aktif memproduksi gas metan karena tersedia nutrien yang cukup. 4.
Deshannavar, U. B., Basavaraj, R. K., Naik, N. M. (2012) High rate digestion of dairy industry effluent by upflow anaerobic fixed-bed reactor, Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 4, 2895 2899. Destiana, L. (2010) Penyisihan organik biowaste fasa cair dengan sequencing batch reactor anaerob. Tugas Akhir S1, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Ertem, F.C. (2011) Improving biogas production byanaerobic digestion of different substrates: calculation of potential energy outcomes, Tesis Master, Halmstad University, Swedia.
Kesimpulan
Nilai TAV dan alkalinitas dalam reaktor mengalami penurunan dengan semakin kecil beban organik influen hingga mendekati rasio TAV/Alkalinitas yang ideal, yaitu di bawah 0,4 - 0,5. Rasio TAV/Alkalinitas yang mendekati ideal berpengaruh pada kenaikan efisiensi penyisihan COD. Dalam rentang beban organik influen ± 0,32 kg COD/m3.hari sampai ± 0,96 kg COD/m3.hari, variasi beban organik influen ± 0,64 kg COD/m3.hari memberikan efisiensi penyisihan COD terbesar yaitu 91,69%. Komposisi gas metan, volume gas metan aktual dan methane yield berbanding terbalik dengan beban organik influen. Se-
Escudie, R., Cresson, R., Delgene`s, J. P., Bernet, N. (2011) Control of start-up and operation of anaerobic biofilm reactors: an overview of 15 years of research, Water Research, 45, 1 - 10. Ganesh, R., Rajinikanth, R., Thanikal, J. V., Ramanujam, R. A., Torrijos, M. (2010) Anaerobic treatment of winery wastewater in fixed bed reactors, Bioprocess Biosyst Eng, 33, 619 – 628.
155
Prismita Nursetyowati dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Grady dan Lim (1990) Biological Wastewater Treatment, Marcel Dekker Inc, New York.
Pereira, E. L., Campos, C. M. M., Motteran, F. (2013) Physicochemical study of pH, alkalinity and total acidity in a system composed of Anaerobic Baffled Reactor (ABR) in series with Upflow Anaerobic Sludge Blanket reactor (UASB) in the treatment of pigfarming wastewater, Acta Scientiarum Technology, 35, 477 483.
Guardia-Puebla, Y., Rodríguez-Pérez, S., Jiménez-Hernández, J., Sánchez-Girón, V., Morgan-Sagastume, J. dan Noyola, A. (2014) Experimental design technique is useful tool to compare anaerobic systems, Renew Bioresour, 2, 1-12. Hartati (2009) Hasil biodegradasi sampah organik pasar fraksi cair dalam sequencing batch reactor anaerob, Usulan Penelitian Disertasi S3, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Pontoni, L., Panicob, A., Salzanoc, E., Frunzod, L., Iodiceb, P., Pirozzie, F. (2015) Innovative parameters to control the efficiency of anaerobic digestion process, Chemical Engineering Transactions, 43, 2015.
Kerroum, D., Mossaab, B., Hassen, M.A. (2012) Production of biogasfrom sludge waste and organic fraction of municipal solid waste, Biogas, Dr. Sunil Kumar (Ed.), InTech, Croatia.
Rahayu, S.N. (2011) Kemampuan upflow anaerobic fixed bed (UAFB) reaktor dalam mempertahankan kondisi optimum dalam penyisihan senyawa organik pada biowaste fasa cair tanpa menggunakan pengaturan pH, Tesis Master, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Kheiredine, B., Kerroum, D., Mossaab, B. (2014), Effect of starting pH on the produced methane from dairy wastewater in thermophilic phase, Chemical Engineering Transactions, 38, 513 – 516.
Subtil, E., Cassini, S. T. A., Gonçalves, R. F. (2012) Sulfate and dissolved sulfide variation under low COD/Sulfate ratio in Up-flow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) treating domestic wastewater. Ambi-Agua, 7, 130 - 139.
Kocadagistan, B., Kocadagistan, E., Topcu, N., Demircioglu,N. (2005) Wastewater treatment with combined upflow anaerobic fixed-bed and suspended aerobic reactor equipped with a membrane unit, Process Biochemistry, 40, 177 – 182.
Tchobanoglous, G. (2004) Wastewater Engineering: Treatment and Reuse, McGrawHill Inc., Singapore.
Kocadagistan, E. (2014) Treatment of Slaughterhouse wastewaters with Upflow Anaerobic Pumice Bed Reactor, Life Science Journal, 11, 345 - 349.
Thabet, O.B.D., Bouallaguia, H., Cayolb, J., Ollivierb, B., Fardeaub, M.L., Hamdi, M. (2009) Anaerobic degradation of landfill leachate using an upflow anaerobic fixedbed reactor with microbial sulfate reduction, Journal of Hazardous Materials, 167, 1133 – 1140.
Kranet, M., dan Hillebrecht, K. (2000) Anaerobic digestion of organic wastes process parameters and balances in practice, Internet Conference on Material Flow Analysis of Intergrated BioSystems, Braunschweig, Jerman.
Umana, O., Nikolaeva, S., Sanchez, E., Borja, R., Raposo, F. (2008) Treatment of screened dairy manure by up-flow anaerobic fixed bed reactors packed with waste tyre rubber and acombination waste tyre rubber and zeolite: effect of the hydraulic retention time, Bioresource Technology, 9, 7412 - 7417.
Mshandete, A. M., Bjornsson, L., Kivaisi, A. K., Rubindamayugi, M.S.T., Mattiasson, B. (2008) Performance of biofilm carriers in anarobic digestion of sisal leaf waste leachete, Electronic Journal of Bio technology, 11, 1-8.
Wang, X., Lu, X., Li, F., Yang, G. (2014) Effects of temperature and carbonnitrogen (C/N) ratio on the performance of anaerobic co-digestion of dairy manure, chicken manure and rice straw: focusing on ammonia inhibition, PLoS ONE 9, e97265.
Olvera, J. D. R., dan Lopez-Lopez, A. (2012) Biogas production from anaerobic treatment of agro-industrial wastewater, Dr Sunil Kumar (Ed.), InTech, Croatia.
156
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 10, No. 4, Hlm. 157 - 164, Desember 2015 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v10i4.3314
Sintesis Furfural dari Bagas Tebu Via Reaksi Hidrolisa dengan Menggunakan Katalis Asam Asetat pada Kondisi Atmosferik Shyntesis of Furfural from Sugarcane Bagasse Via Hydrolysis Reaction Using Acetic Acid Catalyst at Atmospheric Condition Nine Tria Rossa1, Dewi A. Iryani1*, Suripto D. Yuwono2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lampung 2 Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Lampung Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro No. 1, Bandar Lampung, 35145 *E-mail:
[email protected] 1
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang hidrolisa bagas tebu menggunakan asam asetat sebagai katalis. Sebanyak 30 gram dihidrolisa dalam 300ml air yang mengandung katalis asam menggunakan asetat sebesar 7 sampai 9% v/v dengan variabel waktu dan temperatur hidrolisa selama 1 sampai 4 jam dan 80oC sampai 103oC pada kondisi atmosferik menggunakan reaktor tipe batch. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur dan waktu hidrolisa, serta konsentrasi katalis asam asetat terhadap perolehan furfural. Kemudian untuk menemukan kondisi paling efisien untuk memproduksi furfural menggunakan Response Surface Methodology (RSM) dengan Software Design Expert 7.0.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan waktu dan temperatur hidrolisa akan meningkatkan perolehan furfural. Perolehan asam asetat juga meningkat rata-rata hingga 2 kali dari konsentrasi asam asetat awal. Hal ini terjadi karena pemutusan gugus acetyl dari fraksi hemiselulosa pada bagas tebu. Perolehan kondisi optimum yakni pada waktu dan temperatur hidrolisa 2 jam dan 103oC, konsentrasi katalis 9%, dengan konsentrasi furfural 4,10 mg/ml dan konsentrasi asam asetat 2,62 mmol/ml. Kata Kunci: asam asetat, bagas tebu, furfural, hidrolisa. Abstract The hydrolysis experiments of sugarcane bagasse into furfural by using acetic acid as catalyst was conducted. About 30grams of sugarcane bagasse was hydrolyzed with 300ml of water that contained varied of acetic acid 7-9% v/v at atmospheric condition using batch type reactor. The effects of the processing conditions on the mass yield of furfural was examined by varying the reaction temperature (80, 90, 100, and 103°C), and the reaction time (1, 2, 3, and 4 hour). Response Surface Methodology (RSM) using Software Design Expert 7.0.0 was conducted to find the efficient condition for furfural production.The results showed that the furfural increased with elevated temperature and time reactions. The concentration of acetic acid also increased until two times average higher than its initial due to the degradation acetyl bound from hemicellulosic fraction. The optimum conditions selected were: 2 hours (120 minutes), 103°C, 9% v/v acetic acid as the catalyst. Using these conditions, 4.10 mg/ml furfural and 2.62 acetic acid mmol/ml were obtained. Keywords: acetic acid, furfural, hydrolysis, sugarcane bagasse
1. Pendahuluan
(pentosan) 28,4% (Iryani, 2014). Salah satu upaya pemanfaatan yang dapat meningkatkan nilai ekonomis dari bagas tebu adalah mengkonversinya menjadi produk kimia yang bernilai ekonomi tinggi seperti furfural. Furfural memiliki aplikasi cukup luas dalam beberapa industri dan dapat disintesis menjadi turunannya seperti furfuril alkohol, furan, dan lain-lain. Furfural dihasilkan melalui reaksi hidrolisa pentosan (Othmer, 2000).
Proses produksi gula menghasilkan bagas tebu sebesar 30-32% dari setiap tebu yang diproses di industri gula. Pemanfaatan bagas tebu selama ini masih terbatas untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler (Iryani, 2012). Bagas tebu merupakan limbah lignosesulosa yang mengandung komponen kimia: selulosa 34,8%, lignin 20,2%, dan hemiselulosa
157
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Saat ini, produksi furfural dilaksanakan melalui reaksi hidrolisa dengan mengunakan asam kuat.Beberapa peneliti sebelumnya (Aguilar, 2002; Andaka, 2011; Artati, 2010; Megawati, 2009) umumnya menggunakan asam kuat H2SO4 sebagai katalis. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan temperatur dan waktu hidrolisa berpengaruh terhadap peningkatan yield furfural dan juga asam asetat. Diduga asam asetat juga berperan dalam reaksi pembentukan furfural. Dugaan tersebut diperjelas dengan penelitian Iryani dkk. (2014) tentang proses hidrolisa bagas tebu untuk menghasilkan furfural tanpa menggunakan katalis asam atau hanya dengan menggunakan air bertekanan (Hot Compressed Water). Didapatkan kesimpulan bahwa asam asetat dapat meningkatkan perolehan furfural dan berfungsi sebagai katalis internal.
Bahan utama yang digunakan berupa bagas tebu yang berasal dari PT. Gunung Madu Plantation (GMP), air (aquades), dan katalis asam asetat (99%, Merck). Reaksi hidrolisa dilakukan secara batch dengan menggunakan labu leher tiga (rangkaian alat dapat dilihat pada Gambar 1). Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah temperatur dan waktu hidrolisa 80 - 103oC dan 1 - 4 jam; serta konsentrasi katalis asam asetat 7 - 9%.
Pemanfaatan asam asetat sebagai katalis juga telah dilakukan oleh Uppal dan Kaur (2011) untuk menghidrolisa bagas tebu. Digunakan berbagai jenis katalis yaitu: asam asetat, asam formiat, asam fosfat, dan asam nitrat pada berbagai konsentrasi dan waktu hidrolisa. Penelitian tersebut ditujukan untuk mendapatkan katalis asam yang paling baik, ditinjau dari yield furfural yang didapatkan dan kemurnian produk hasil hidrolisa. Dari penelitian tersebut diperoleh bahwa hasil produksi furfural meningkat dengan peningkatan konsentrasi asam. Berdasarkan studi literatur di atas, terlihat bahwa asam asetat dapat dipertimbangkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis. Selain itu, penggunaan asam organik relatif ini lebih ramah lingkungan, bersumber dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable natural resource) dan relatif tidak korosif terhadap alat bila dibandingkan dengan menggunakan H2SO4.
Gambar 1. Rangkaian alat proses hidrolisa bagas tebu
2.2. Penentuan Kadar Pentosan Bagas tebu ( lolos ayakan 18 mesh, kadar air ± 16,4%) sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam labu leher tiga 500 ml, kemudian ditambahkan HCl 3,85 N sebanyak 100 ml dan 20 g NaCl, dihidrolisa selama ± 3 jam dan setiap 10 menit sekali diikuti dengan penambahan HCl 3,85 N ke dalam labu leher tiga, hidrolisa dihentikan hingga diperoleh distilat sebanyak 225 ml ± 10 ml. Distilat ditampung dalam labu erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan HCl 3,85 N sampai tanda batas dan dikocok. Kemudian ditambahkan indikator seperti bromat bromida, KI 10%, dan amilum, selanjutnya larutan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N. Diperoleh bahwa dalam 5 gram bagas tebu mengandung 24,5% mg/mg pentosan.
Pada studi ini, katalis asam asetat digunakan dalam proses reaksi untuk menghasilkan furfural pada tekanan atmosferik. Penelitian dilakukan dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia Universitas Lampung. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memproduksi furfural. Lebih detail penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh temperatur dan waktu hidrolisa, serta peran internal katalis asam asetat terhadap perolehan furfural, serta untuk mendapatkan kondisi paling efisien untuk menghasilkan furfural. 2. Metodologi
2.3. Hidrolisa Bagas Tebu Menggunakan Katalis Asam Asetat
2.1. Alat dan Bahan
158
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Sebanyak 4 gram bagas tebu dihidrolisa dengan 400 ml aquades dengan asam asetat sebagai katalis. Hidrolisa dilakukan secara batch dalam rangkaian alat distilasi refluks total menggunakan labu leher tiga (Gambar 1). Bagas tebu yang telah dihidrolisa kemudian didiamkan sampai temperatur ± 25oC. Selanjutnya hidrolisat (produk cair furfural) dipisahkan dari residunya (produk padat) dengan menggunakan kertas saring. Hidrolisat (produk cair furfural) dianalisis dengan titrasi untuk dihitung kadar furfuralnya, hidrolisat (produk cair furfural) dicek tingkat keasamannya (pH) dan dianalisis dengan titrasi untuk dihitung kadar furfuralnya, sedangkan produk padat (residu) dianalisis menggunakan spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR) SHIMADZU 8201-PC dengan teknik KBr disk. Data dianalisa menggunakan persamaan 1, 2, dan 3. BM 4
. 2,5 𝑓𝑝
10
𝑗𝑓 𝑘𝑓 = 𝑣ℎ 𝑦𝑓 =
𝑚𝑓 𝑥 100% 𝑚𝑝
5 Yield (% basis kering)
𝑗𝑓 =
(𝑏 − 𝑎). 0,1.
variasi konsentrasi katalis. Peningkatan waktu hidrolisa lebih lanjut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perolehan furfural. Pada rentang waktu hidrolisa yang rendah, perolehan furfural terlihat signifikan karena konsentrasi katalis asam asetat yang digunakan tinggi. Peningkatan temperatur hidrolisa menyebabkan peningkatan persentase perolehan yield furfural. Yield tertinggi diperoleh pada proses hidrolisa dengan temperatur tertinggi yaitu 103oC untuk semua konsentrasi katalis. Namun pengaruhnya terhadap perolehan yield furfural tidak signifikan (Gambar 2;a, b, dan c).
(1)
(2)
4
(b) (a)
3 2 1
80o C 90o C
0
100o C 103o C
0
(3)
50
100
150
200
250
300
Waktu ( menit) 5
Yield (% basis kering)
Keterangan: Jf : jumlah furfural dalam hidrolisat (mg) 𝑎 : volume titrasi sampel (ml) 𝑏 : volume titrasi blanko fp : faktor pengenceran kf : konsentrasi furfural (mg/ml) vh : volume hidrolisat (ml) yf : yield furfural (% basis kering) mf : massa furfural (mg) mp : massa bahan baku (pentosan) (mg) Dari data pH yang diperoleh kemudian dibuat grafik standarisasi hubungan pH dengan konsentrasi asam asetat dalam molar atau mmol/ml. Setelah diperoleh data konsentrasi furfural dan asam asetat, kemudian dilakukan optimasi dengan menggunakan response surface methodology (RSM) dengan software Design Expert 7.0.0.
4 3 2 1
80o C 90o C
0
100o C 103o C
0
50
100
150
200
250
300
Waktu (menit)
Yield (% basis kering)
6
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pengaruh Temperatur dan Waktu Hidrolisa Terhadap Perolehan Furfural Pengaruh temperatur dan waktu hidrolisa terhadap perolehan furfural dipaparkan pada Gambar 2. Dapat dilihat bahwa perolehan furfural meningkat tajam setelah reaksi berjalan selama 50 menit untuk semua
5
(c)
4 3 2
80o C 90o C
1
100o C 103o C
0 0
50
100
150
Waktu (menit)
159
200
250
300
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Penignkatan konsentrasi asam asetat menjadi dua kali lebih tinggi dari konsentrasi asam asetat awal yang digunakan (Gambar 4 a, dan b).
Gambar 2. Hubungan temperatur dan waktu hidrolisa terhadap yield furfural pada konsentrasi katalis: (a) 7%; (b) 8%; (c) 9%
3.2. Pengaruh Konsentrasi Katalis Asam Asetat Terhadap Perolehan Furfural
5
Yield (% basis kering)
Pengaruh katalis asam asetat terhadap perolehan furfural diperlihatkan pada Gambar 3. Dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi katalis asam asetat pada hidrolisa bagas tebu akan meningkatkan konsentrasi dan yield furfural yang dihasilkan. Dengan penambahan waktu hidrolisa dan konsentrasi katalis, ikatan-ikatan glikosidik akan terputus dengan komponen– komponen penyusun hemiselulosa yakni pentosan, sehingga pentosan tersebut kemudian akan terkonversi menjadi furfural.
4
(a)
3 2 1 7% Katalis Asam Asetat 8% Katalis Asam Asetat 9% Katalis Asam Asetat
0
0
50
100
150
200
250
300
Waktu (menit)
5 Yield (% basis kering)
Tetapi, pada konsentrasi katalis 9% pada temperatur hidrolisa 103oC, perolehan furfural paling banyak diperoleh pada waktu hidrolisa 3 jam. Selanjutnya peningkatan waktu hidrolisa dapat menurunkan perolehan furfural. Iryani dkk. (2014) menjelaskan bahwa asam asetat dapat meningkatkan perolehan furfural. Namun, ada suatu kondisi dimana perolehan furfural menurun disebabkan karena furfural dan heksosa, dapat terdekomposisi menjadi produk kimia lainnya akibat kontak dengan asam yang terlalu lama.
4
(b)
3 2 1 7% Katalis Asam Asetat 8% Katalis Asam Asetat 9% Katalis Asam Asetat
0
0
50
100
150
200
250
300
Waktu (menit)
3.3. Pebentukan Asam Asetat Selama Proses Hidrolisa Yield (% basis kering)
5
Katalis asam asetat digunakan untuk membantu reaksi hidrolisa bagas tebu menjadi furfural. Selain itu, asam asetat juga dapat terbentuk dari proses hidrolisa ini sebagaimana yang lazim disebut auto catalysis. Selama proses hidrolisa berlangsung, konsentrasi asam asetat ini dianalisa dalam periode waktu tertentu. Gambar 4 memaparkan korelasi waktu hidrolisa, pH larutan, dan konsentrasi asam asetat terhadap pembentukan produk furfural.
4
(c)
3 2 1
7% Katalis Asam Asetat 8% Katalis Asam Asetat 9% Katalis Asam Asetat
0
0
50
100
150
Waktu (menit)
Penambahan waktu dan temperatur hidrolisis dapat munurunkan pH hidrolisat. Penurunan pH ini menyebabkan terjadinya peningkatan yield furfural. Hal ini terjadi karena selama proses hidrolisa berlangsung, dihasilkan juga asam asetat yang dapat berperan sebagai internal katalis. Asam asetat yang terbentuk ini, selanjutnya dapat berfungsi untuk meningkatkan laju pembentukan furfural. Konsentrasi asam asetat cenderung meningkat seiring meningkatnya waktu hidrolisa mendekati linear.
160
200
250
300
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
(d)
5 4 3 2 1
7% Katalis Asam Asetat 8% Katalis Asam Asetat 9% Katalis Asam Asetat
0
6 5
3,0
4
2,8
3
2,6
2
2,4
1
2,2 2,0
0 0
0
50
100
150
200
250
300
3,0
4
2,5
3 2,0
2
1,5
1 0
1,0 0
50
100
150
200
Konsentrasi Asam Asetat (mmol/ml)
Yield Furfural (% basis kering)
5
Waktu (Menit)
3,0
4 2,5
3
2,0
2 1
1,5
Konsentrasi Asam Asetat (mmol/ml)
Yield Furfural (% basis kering)
3,5
5
50
100
150
200
250
3.4. Analisis Gugus Fungsi pada Residu (Produk Padat) Furfural Identifikasi struktur kimia dan gugus fungsi menggunakan analisis spektrofotometer FTIR dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan gugus fungsi yang terdapat pada bahan baku dan produk padat (residu) hidrolisa. Hasil spektra data dari analisis FTIR dapat menginterpretasikan mekanisme proses dekomposisi gugus fungsi selama proses hidrolisa berlangsung. Spektra data yang didapatkan selanjutnya dikonfirmasikan posisi puncak dan bilangan gelombangnya dengan beberapa data literatur (Kobayashi dkk, 2009; Wang dkk, 2010; Iryani dkk, 2014).
0 0
200
Pada kondisi pemberian katalis 9%, pembentukan asam asetat mencapai maksimum dalam waktu yang lebih cepat, yaitu sekitar 110 menit. Penambahan waktu hidrolisa lebih lanjut tidak memberikan dampak terhadap peningkatan konsentrasi asam asetat. Kemungkinan yang terjadi adalah karena ikatan asetil (acetyl bound) yang terdapat pada hemiselulosa telah terdekomposisi secara sempurna atau telah terjadi dekomposisi furfural menjadi produk kimia yang lain. Dengan kata lain, konsentrasi asam asetat meningkat dengan peningkatan waktu dan temperatur hidrolisa, namun tetap ada suatu kondisi dimana peningkatan konsentrasi asam asetat terhenti.
250
(b)
150
Gambar4. Hubungan pH produk furfural terhadap konsentasi katalis asam asetat danperolehan furfural pada konsentrasi katalis : (a) 7%; (b) 8%; (c) 9%
pH furfural Konsentrasi Asam Asetat (mmol/ml) Yield Furfural (% basis kering)
6
100
pH furfural Konsentrasi Asam Asetat (mmol/ml) Yield Furfural (% basis kering)
Gambar 3. Hubungan konsentrasi katalis asam asetat terhadap perolehan furfural pada temperatur hidrolisa: (a) 80oC; (b) 90oC; (c) 100oC; (d)(a) 103oC 3,5
50
Waktu (Menit)
Waktu (menit)
6
3,2
(c)
Konsentrasi Asam Asetat (mmol/ml)
Yield Furfural (% basis kering)
Yield (% basis kering)
6
250
Waktu (Menit) pH furfural Konsentrasi Asam Asetat (mmol/ml) Yield Furfural (% basis kering)
161
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
3.5. Optimasi Perolehan Furfural dan Asam Asetat Optimasi perolehan furfural terhadap variabel temperatur (X1) dan waktu hidrolisa (X2), serta konsentrasi katalis asam asetat (X3) dilaksanakan dengan menggunakan RSM, di mana bertujuan untuk mengetahui kondisi terbaik berdasarkan produksi furfural dan asam asetat yang paling banyak. RSM adalah tool yang dapat menjelaskan hubungan pengaruh antar variabel (minimal 2 variabel) dengan respon yang diperoleh. Data analisis akan dihubungkan dengan data eksperimen pada smooth curve, dimana diplot berdasarkan perhitungan respon yang diprediksi secara spesifik (Ngawong, 2011). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Design Expert 7.0.0. Tujuannya adalah untuk mendapatkan persamaan matematis yang menjelaskan tentang hubungan variabel-variabel tersebut terhadap konsentrasi furfural dan asam asetat yang diperoleh.
Gambar5. Data spektra FTIR bahan baku dan residu (produk padat)
Gambar 5 merupakan hasil spektra data FTIR bahan baku dan residu (produk padat) pada kondisi perolehan furfural terbanyak. Terlihat bahwa puncak (peak) gugus fungsi –OH yang terekam pada wave number mendekati 3300 cm-1, menurun dengan penambahan konsentrasi katalis asam asetat. Hal ini mengindikasikan bahwa molekul air dalam residu secara bertahap menghilang dan terjadi peristiwa dehidrasi. Peak pada wave number antara 2916 sampai dengan 2974 cm-1 merupakan gugus fungsi –CH, yang memperlihatkan penambahan konsentrasi katalis asam asetat, dapat memutuskan rantai gugus yang terdapat pada bagas tebu (dalam hal ini adalah hemiselulosa). Peak diantara 1720 sampai dengan1747 cm-1 mewakili gugus fungsi karbonil (C=O), kelompok senyawa ester; dan C=O dari ikatan acetil yang terdapat di xilan (hemiselulosa) semakin melemah akibat terdekomposisinya ikatan yang terdapat di bagian hemiselulosa. Hal inilah yang menyebabkan semakin banyak furfural yang terbentuk. Peak pada wave number sekitar 1050 cm-1 menunjukkan adanya peristiwa dekomposisi gugus hemiselulosa dan selulosa, dimana terlihat peak tervibrasi setelah adanya penambahan konsentrasi katalis asam asetat.
Pengujian untuk menentukan suatu model, dipilih sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Pengujian tersebut diantaranya adalah uji Sum of Square dan uji statistika dasar (R-Squared). Model dinyatakan cocok apabila probabilitas nilai-p > F adalah lebih kecil daripada 0,05 nilai R-squared mendekati 1. Tabel 1 sampai Tabel 4 merupakan hasil pengujian model untuk respon konsentrasi furfural dan asam asetat, dimana terlihat bahwa model paling baik yang disarankan untuk respon konsentrasi furfural adalah model2-Factorial Interaction (2FI) dan model Linear untuk respon konsentrasi asam asetat. Model dalam bentuk persamaan matematis dapat ditulis seperti pada persamaan 4), dan 5). Data hasil uji data respon dari optimasi numeris yang ditampilkan pada software, diperoleh bahwa respon konsentrasi furfural dan asam asetat tertinggi dari model yang diperoleh berada pada waktu dan temperatur hidrolisa 2 jam dan 103oC, konsentrasi katalis 9%, dengan konsentrasi furfural 4,10 mg/ml dan asam asetat 2,62 mmol/ml.
Y1 = -3,47253 + 0,06477X1 + 0,25677X2 + 0,68248X3-0,001089X1X2 - 0,005789X1X3– 0,00901X2X3
(4)
Y2= -2,61645 + 0,01978X1 + 0,37783X2 + 0,27125X3
(5)
Keterangan: Y1= Konsentrasi furfural (mg/ml) Y2= Konsentrasi asam asetat (mmol/ml)
162
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
X1= Temperatur hidrolisa (oC) X2= Waktu hidrolisa (jam) X3= Konsentrasi katalis asam asetat (%) Tabel 1. Uji Sum of Squared Untuk Respon Konsentrasi Furfural Source Mean vs Total Linear vs Mean 2FI vs Linear Quadratic vs 2FI Cubic vs Quadratic Residual Total
Sum of Squared 736,10 1,85 0,097 0,023 0,11 0,022 738,20
Df 1 3 3 3 9 29 48
Mean Square 736,10 0,62 0,032 0,007766 0,012 0,00077 15,38
F Value
p-Value Prob>F
107,22 8,47 2,23 15,90
<0,0001 0,0002 0,1010 <0,0001
Suggested Aliased
Tabel 2. Uji R-Squared Untuk Respon Konsentrasi Furfural Source Linear 2FI
Std Dev. 0,076 0,062
R-Squared 0,88 0,92
Adjusted RSquare 0,87 0,91
Predicted RSquare 0,85 0,89
PRESS 0,31 0,23
Suggested
Tabel 3. Uji Sum of SquaredUntuk Respon Konsentrasi Asam Asetat Source Mean vs Total Linear vs Mean 2FI vs Linear Quadratic vs 2FI Cubic vs Quadratic Residual Total
Sum of Squared 263,30 12,45 0,29 0,062 0,49 1,08 277,67
Df 1 3 3 3 9 29 48
Mean Square 263,30 4,15 0,098 0,021 0,054 0,037 5,78
F Value
p-Value Prob>F
95,21 2,47 0,50 1,46
<0,0001 0,0753 0,6851 0,2106
Suggested Aliased
Tabel 4. Uji R-Squared Untuk Respon Konsentrasi Asam Asetat Source Linear
Std Dev. 0,21
R-Squared 0,86665
Adjusted RSquare 0,8574
Predicted RSquare 0,8402
(a)
(b)
163
PRESS 2,30
Suggested
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Gambar6. Grafik Respon Konsentrasi i Terhadap Temperatur dan Waktu Hidrolisa serta Konsentrasi Katalis Asam Asetat Plot 3D Surface Menggunakan Response Surface Methodology (RSM) pada Software Design Expert 7.0.0.(a) Furfural; (b) Asam Asetat
Gambar 6 merupakan grafik respon hubungankonsentrasifurfural dan asam asetat terhadap temperatur dan waktu hidrolisa serta konsentrasi katalis asam asetat plot 3D surface. Dari hasil optimasi, diperoleh bahwa konsentrasi furfural cenderung meningkat pada saat temperatur dan waktu hidrolisa yang tinggi, karena adanya pembentukan asam asetat yang berfungsi sebagai internal katalis.Namun, penambahan temperatur hidolisis hanya akan efektif pada rentang waktu hidrolisa tertentu saja, karena jika waktu reaksi hidolisis berlangsung dalam waktu yang lama dapat menyebabkan penurunan perolehan furfural. Hal ini disebabkan karena ada suatu kondisi dimana hemiselulosa terdekomposisi menjadi furfural dan heksosa, sedangkan furfural juga dapat terdekomposisi menjadi produk lain.
Aguilar, R., Ramirez, J.A., Garrote, G., Vazquez, M. (2002) Kinetic study of the acid hydrolysis of sugar cane bagasse, Journal of Food Engineering, 55, 309 318. Andaka, Ganjar (2011) Hidrolisa ampas tebu menjadi furfural dengan katalisator asam sulfat, Jurnal Teknologi, 4, 180 188. Artati (2010) Konstanta kecepatan reaksi sebagai fungsi suhu pada hidrolisa selulosa dari ampas tebu dengan katalisator asam sulfat, EKUILIBRIUM, 9, 1 - 4. Iryani, D. A., Kumagai, S., Nonaka, M., Sasaki, K., Hirajima, T. (2012) Overview of Indonesian sugarcane industry and utilization of its solid waste, Autumn Annual Meeting of MMIJ (The Mining and Material Processing Institute of Japan), 2, 1 - 4.
3. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peningkatan temperatur dan waktu hidrolisa, serta konsentrasi katalis asam asetat dapat meningkatkan perolehan furfural. Penambahan waktu dan temperatur hidrolisa akan munurunkan pH, dimana konsentrasi asam asetat bertambah ratarata 2 kali dari konsentrasi asam asetat awal, sehingga asam asetat dapat berperan sebagai internal katalis pada proses hidrolisa. Berdasarkan optimasi yang dilakukan dengan response surface methodology (RSM) diperoleh kondisi optimum yaitu: waktu dan temperatur hidrolisa 2 jam dan 103oC, konsentrasi katalis 9%, dengan konsentrasi furfural 4,10 mg/ml dan asam asetat 2,62 mmol/ml.
Iryani, D.A., Kumagai, S., Nonaka, M., Sasaki, K., Hirajima, T. (2014) The hot compressed water treatment of solid waste material from the sugar industry for valuable chemical production, International Journal of Green Energy, 11(6), 577 - 587. Kobayashi, N., Okada, M., Hirakawa, A., Kobayashi, J., Hatano, S., Itaya, Y., Mori, S. (2009) Characteristic of solid residues obtained from hot compressed water treatment of woody biomass, Industrial and Engineering Chemistry Research, 48(1), 373 - 379.
Daftar Pustaka
164
Nine Tria Rossa dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Megawati (2009) Kinetika reaksi hidrolisa ranting kering dengan asam encer pada kondisi non-isotermis, REAKTOR, 12, 211 - 217.
Uppal, S.K., Kaur, Ramandeep, (2011) Hemmicellulosic furfural production from sugarcane bagasse using different acids, Sugar Tech, 13(2), 166 - 169.
Ngawong, W.R., Prasertsan, P., (2011) Optimization of furfural production from hemicellulose extracted from delignefied palm pressed fiber using a twostage process, Carbohydrate Reasearch Elsevier, 346, 103 - 110.
Wang, B., Wang, X., Feng, H. (2010) Deconstructing recalcitrant michantus with alkaline peroxide and electrolyzed water, Bioresources Technology, 101, 752 - 760.
Othmer, K. (2000) Encyclopedia of chemical technology, John Willey & Sons, U.S.A.
165
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 10, No. 4, Hlm. 165 - 170, Desember 2015 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v10i4.3307
Characterization of Empty Fruit Bunch Treated with Ionic Liquid Prior to Enzymatic Delignification Revie Financie 1*, Muhammad Moniruzzaman1,2 , Yoshimitsu Uemura1 Centre for Biofuel and BioChemical Research, Department of Chemical Engineering, Universiti Teknologi PETRONAS, Bandar Seri Iskandar, 31750 Tronoh, Perak, Malaysia 2 Ionic Liquid Centre, Department of Chemical Engineering, Universiti Teknologi PETRONAS, Bandar Seri Iskandar, 31750 Tronoh, Perak, Malaysia * E-mail:
[email protected]
1
Abstract The technological utility of enzymes for delignification can be increased by using ionic liquid to open more accessible surface area for biomass transformation into bio-based products. The present paper demonstrates application of ionic liquid (IL) [emim][DEP] 1-ethyl-3 methyllimidazolium-diethyl phospate for empty fruit bunch (EFB) pretreatment process followed by enzymatic delignification by using Laccase. It was found that [emim][DEP] increased the performance of the enzyme laccase and henced higher cellulose rich materials, whereas also reduced the lignin content in the EFB. The lowest lignin content obtained from IL-laccase treated EFB was approximately 17.92%, lower than the lignin content in the untreated EFB. Both treated and untreated EFB were characterized in chemical and physical properties by using scanning electron microscope (SEM), fourier transform infrared (FTIR), and thermogravimetric analysis (TGA/DTG) to observe the changes resulted from the pretreatment. Keywords: biomass pretreatment, cellulose, enzymatic delignification, ionic liquid
Abstrak Penggunaan enzim untuk proses delignifikasi biomass dapat ditingkatkan dengan menggunakan cairan ionik (ionic liquid) untuk menyediakan substrat dengan luas permukaan yang dapat lebih mudah diakses oleh enzim mengkonversi biomass menjadi produk biomaterial. Penelitian ini menggunakan cairan ionik [emim][DEP] 1-ethyl-3 methyllimidazolium-diethyl phospate untuk pretreatment tandan kosong kelapa sawit (TKS) diikuti dengan proses enzimatik dengan menggunakan Laccase sp. Ditemukan bahwa [emim][DEP] dapat meningkatkan kinerja enzim dalam mendegradasi biomass komponen, dan menghasilkan TKS dengan kandungan lignin yang lebih rendah dan meningkatkan kandungan serat sellulosa. Kadar lignin terendah diperoleh sebesar 17,92% setelah proses dengan cairan ionik diikuti dengan enzimatik. Fisikal karakteristik dilakukan dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM), fourier transform infra-red (FTIR) dan thermogravimetric analysis (TGA) untuk mengamati perubahan pada TKS sebelum dan setelah perlakuan yang diberikan. Kata kunci:biomass pretreatment, cairan ionic, delignifikasi, enzimatik, sellulosa
1. Introduction
biomass structure created recalcitrance to any chemicals or enzymatic processes. Lignocellulose is mainly composed of the rigid semi-crystalline polysaccharide cellulose, the amorphous multicomponent polysaccharide hemicellulose, and the crosslinked aromatic polymer lignin, as a primary constituents of plant cell walls, in which cellulose fibers are embedded into entangled matrix consisting of lignin and hemicellulose, forming a tight and compact structure. These inherent properties of lignocellulosic materials make them resistant to the chemicals and enzymes.
Empty fruit bunch (EFB) is one of solid waste produced from palm oil industry. Oil palm tree is one of the most well-known and extensively cultivated plant families. Based on the preliminary experiment, EFB contains holocellulose about 49.06% and lignin about 25.33% (See Table 1). EFB shows high content of holocellulose, which makes this biomass as a promising feedstock for biomaterial and biofuel products. However, the complexity in the
165
Revie Financie et al. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Empty fruit bunch (EFB) from oil palm plantation FELCRA (Malaysia), was grinded and sieved to obtain particle size in the range of 0.25 - 0.5 mm). Ionic liquid, 1ethyl-3-methylimidazolium-diethyl phosphate [enim][DEP], Commercial laccase (51639-56, ≥10µ/mg) from Trametes sp. and 1-hydroxybenzotriazole (HBT) from Sigma (St. Louis, MO, USA) and all other reagents used in the experiments are analytical grade.
Thus, pretreatment process needs to be taken at first, the aim of this pretreatment is to change these complex properties of lignocellulosic materials by breaking the lignin chain and the crystalline structure of cellulose simultaneously increasing the porosity of the cellulose rigid structure. Briefly, the mechanism of pretreatment can affect the physical properties of biomass such as a degree of polymerisation, a crystallinity structure and surface area of the solid substrate.
2.2. Dissolution of EFB in Ionic Liquid and Enzymatic Delignification
Ionic liquids (ILs), a potentially attractive ‘green’ recyclable alternative to environmentally harmful organic solvents, have been increasingly exploited as solvents and/or (co)solvent and/or reagent in a wide range of applications including pretreatment of lignocellulosic biomass (Sun et al., 2011; Mora-Pale et al., 2011; Moniruzzaman and Ono, 2012). Moreover, this IL provides many desirable properties such as low toxicity, low corrosiveness, low melting point (<-20oC) and low viscosity (10 pa at 80oC) (Moniruzzaman and Ono, 2012).
Ionic liquid was put into a 50 mL roundbottom flask with magnetic stirrer at 80°C for 1 h. EFB was added into ionic liquid (IL) with a ratio 10:1 (IL : Sample w/w). After cooling process, water:acetone mixture (1:1 v/v) was added into biomass-IL mixture and stirred for 20 min to separate the solid materials from dissolved IL and lignin. Then, the treated sample was washed with distilled water and put in the oven drying for overnight. For enzymatic delignification process, the treated sample (after IL treatment at 80°C for 1 hr) was placed into conical flask and added with sodium acetate (100 mM, pH 4.5) (ca. 5 wt.% biomass), Laccase (≥10µ/mg), and 1-hydroxybenzotriazole (HBT) (1.5 wt.% of biomass) was added as a mediator and stirred at 50oC. After 24 h, 0.1 M sodium hydroxide (NaOH) was added into the mixture and stirred for 1 h to extract lignin from the IL-enzyme treated EFB. The mixture was then filtered and washed with distilled water until pH 7 under mild vacuum prior to oven drying.
Many experiments have been conducted using ILs to dissolve wood or lignocellulosic biomass at different conditions and with the combination of other processes, such as microwave radiation (Ha et al., 2011), alkali pretreatment (Lan et al., 2011) or followed by enzymatic delignification (Moniruzzaman dan Ono, 2012). ILs pretreatment are able to reduce the degree of polymerization of cellulose rich-material and leading to enhanc the enzymatic delignification efficiency of wood biomass (Moniruzzaman and Ono, 2012; Moniruzzaman et al., 2013).
2.3. Characterization of Untreated and Treated Materials
The extensively explored of numerous studies focused on the dissolution of natural polymer especially cellulose in ILs as solvents, encourages this work to study more about the ability of IL to separate the cellulose and lignin in the EFB and to enhance the enzymatic delignification process with ultimate goal to obtain cellulose rich fibers with minimum structural alteration. EFB samples (treated and untreated) were characterized using SEM, FTIR and TGA analysis to see the effect of pretreatment to the physical structures of the sample and the chemical characterizations were analyzed using standard method as described in the methodology.
Concisely, the holocellulose (α-cellulose and hemicellulose) determination was performed by using acidified sodium chlorite solution at 70oC at 1 h. In addition, α-cellulose was treated with 17.5% sodium hydroxide and 10% acetic acid. The difference values between holocellulose and α-cellulose gave hemicellulose value of the samples. The lignin content of the sample was analyzed according to ASTM D 1106-96 (Klason Lignin). The surfaces of samples were photographed by Scanning Electron Microscope (SEM) (TM 3030, Hitachi Ltd., Tokyo, Japan). Thermogravimetric analysis (TGAQ50, TA instrument, USA) was performed to compare the degradation characteristics and thermal stability of the treated and untreated samples, by heating 5 mg of
2. Method 2.1. Materials
166
Revie Financie et al. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
sample in a platinum pan at a rate 10°C/min in a nitrogen atmosphere. Fourier Transform Infrared Spectroscopy (Thermo Nicolet IS10, USA) was conducted to determine any chemical changes occuring in the biomass sample during the pretreatment process.
treated EFB at which taken at 200 µm with magnification 500. The untreated EFB showed intact morphology, compact, ordered and rigid fibril structure because of the lignin coating on cellulose fibers (Fig.1), while IL-laccase treated EFB showed loose, disordered, and curly structure. This swelling may be a result of breaking interintramolecular hydrogen bonding caused by phosphate anion from [emim][DEP] during the pretreatment, which led to open more accessible area for enzyme laccase to degrade lignin.
3. Results and Discussion 3.1.
Chemical and Physical Characterization of EFB
The chemical composition study of untreated and treated EFB is summarized in Table 1 as dry weight basis. It was observed that all regenerated cellulose materials have a considerably lower lignin content compared to corresponding original EFB. The lowest content of lignin obtained from EFB treated with [emim][DEP] prior to enzymatic delignification with laccase was approximately 17.92% (entry 3), lower than the original EFB lignin content. The efficiency of IL could be correlated with the anion and cation size as well as hydrogen bond basicity.
3.3. Surface Composition of EFB analyzed by FTIR The FTIR spectra of treated and untreated EFB are shown in Fig. 2. As observed in the Figure, the dominant peaks at 3346 cm-1 (O-H stretch) and 2892 cm-1 (C-H stretch) represent the alipathic moieties and the prominent peaks at 1709 - 1735 cm-1 attribute to polysaccharides (Labbe et al., 2005). There were subtle difference spectra between the untreated and treated EFB, particularly in the finger print region at 1508 - 1588 cm-1 and 1248 cm-1 (Faix, 1991; Fengel & Ludwig, 1991; Isroi et al., 2012), which characterized the C=O aromatic skeletal for lignin’s IR spectra in the untreated EFB, the bands were found disappeared in the treated EFB with ionic liquid prior to laccase treatment.
Anion from IL will disrupt the free hydroxyl group in the lignocellulosic material, whilst the cation will interrupt the hydroxyl oxygen atom, thus disrupt its three dimensional network. Consequently, hemicellulose and lignin is dissolved (Mäki-Arvela et al., 2010). Furthermore, as shown in Table 1, compared with untreated EFB the cellulose content of treated EFB with IL prior to enzymatic delignification is higher because of the removal of hemicellulose, lignin, and soluble extractives during the treatment process.
The dissipation of an IR absorbance of lignin in the treated EFB indicated the removal of some lignin during the treatment. This is consistent with the chemical composition study (see Table 1), in which the lignin percentage was obtained lower for samples with ionic liquid followed by laccase treatment compared to untreated EFB.
3.2. The Morphology of EFB Fig. 1 depicts SEM images of untreated and
Table 1. Chemical composition of untreated and treated sample Empty Fruit Bunch (EFB) Biomass component (% dry basis)
Untreated
[emim]b [DEP]
[emim] [DEP]+Laccase
Alpha-cellulose
49.06 ± 1.53
53.28 ± 3.91
59.09 ± 4.67
Hemicellulose
22.83 ± 1.16
18.91 ± 6.98
15.23 ± 3.00
Lignin
25.33 ± 1.41
19.86 ± 1.32
17.92 ± 1.61
The data represent the average of three experiments with standard deviation Ionic liquid pretreatment condition IL : Biomass ratio 10:1 (w/w), 80oC for 1 h c Laccase treatment with sodium acetate buffer and HBT, at 50oC for 24 h a
b
167
Laccased 49.43 ± 3.48 19.55 ± 6.16 22.89 ± 6.07
Revie Financie et al. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
a) EFB untreated
a)
EFB DEP
a)
EFB [emim] DEP + Laccase
Figure 1. SEM images of untreated and treated EFB
Figure 2. FTIR Spectra of EFB;
untreated,
168
treated with EFB [emim]DEP + Laccase
Revie Financie et al. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
T
max 2
T max 1
Figure 3. DTG/TGA curve for untreated and treated EFB
3.4. Thermal Stability of EFB
treated EFB, lower than that the untreated EFB. SEM images displayed a loose and disordered structure of EFB after ionic liquid and laccase treatment. FTIR analysis revealing some peaks of lignin were disappeared in the regenerated EFB, in which indicated typical of lignin peaks. The thermal stability of regenerated EFB was notably increased after the treatment, because of the transformation of cellulose I to cellulose II. Therefore, [emim][DEP] was a promising solvent for biomass delignification and able to enhanced the enzymatic process.
Thermogravimetric measures the change of biomass weight at a specific heating rate, because the physical and chemical reactions of sample when heated, showed the characteristics of the materials. EFB thermal decomposition curves for untreated and treated with ionic liquid are shown in Fig.3. The DTG data of untreated EFB show one dominant peak with a peak value (Tmax) of 300oC, whilst EFB treated with ionic liquid followed by laccase treatment showed temperature peak at Tmax 330oC, which was higher than that the untreated EFB.
Acknowledgment The value of Tmax represents the maximum decomposition rate occurs at certain temperature, in order to gauge the impact of thermal ability after ionic liquid pretreatment of biomass samples. This results implied that the thermal stability for treated EFB was more improved than that the original biomass, because of the transformation of cellulose I structure into cellulose II after the pretreatment which was reported had better thermal stability (Zhang et al., 2014). 4.
Authors are grateful for the Mitsubishi Corporation Education Trust Fund for supporting this research. References Faix, O. (1991) Classification of lignins from different botanical origins by FTIR spec-troscopy, Holzforschung, 45, 21 27. Fengel, D., Ludwig, M. (1991) Mo¨glichkeiten und Grenzen der FTIRSpektroskopie bei der Charakterisierung von cellulose, Teil 1. Vergleich von verschiedenen cellulosefasern und bakterien-cellulose, Das Papier, 45, 45 - 51.
Conclusion
In summary, the delignification of Empty fruit bunch (EFB) with IL [emim][DEP] resulted in significantly reducing of lignin content up to 17.92% for IL-laccase
169
Ha, S.H., Mai, N.L., An, G., Koo, Y.-M. (2011) Microwave-assisted pretreatment of cellulose in ionic liquid for accelerated enzymatic hydrolysis, Bioresource Technology, 102(2), 1214 1219.
Moniruzzaman, M., Ono, T. (2012) Ionic liquid assisted enzymatic delignification of wood biomass: a new ‘green’ and efficient approach for isolating of cellulose fibers, Biochemical Engineering Journal, 60, 156 - 160.
Isroi, Ishola, M.M., Millati, R., Syamsiah, S., Cahyanto, M.N., Niklasson, C., Taherzadeh, M. J. (2012) Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB) after fungal and phosphoric acid pretreatment, Molecules, 17(12), 14995 - 15012.
Moniruzzaman, M., Ono, T., Yusup, S., Chowdhury, S., Bustam, M.A., Uemura, Y. (2013) Improved biological delignification of wood biomass via Ionic liquids pretreatment: A one step process, Journal of Energy Technologies and Policy, 3(11), 144 - 152.
Labbe, I., Huang, J., Franx, M., Rudnick, G., Barmby, P., Daddi, E., Dokkum, P.G., Fazio, G.G., schreiber, N.M.F., Moorwood, A.F.M., Rix, H., Rottgering, H., Trujillo, I., Werf, P.V. (2005)Irac midinfrared imaging of the hubble deep field-south: star formation histories and stellar masses of red galaxies at Z>2, The Astrophysical Journal, 624, L81 – L84. Lan,
Mora-Pale, M., Meli, L., Doherty, T.V., Linhardt, R.J., Dordick, J. S., (2011) Room temperature ionic liquids as emerging solvents for the pretreatment of lignocellulosic biomass, Biotechnology and Bioengineering, 108, 1229 – 1245. Sun,
W., Liu, C.F., Sun, R.C. (2011) Fractionation of bagasse into cellulose, hemicelluloses, and lignin with ionic liquid treatment followed by alkaline extraction, Journal of Agricultural and Food Chemistry, 59(16), 8691 - 8701.
N., Rodriguez, H., Rahman, M., Rogers, R.D., (2011) Where are ionic liquid strategies most suited in the pursuit of chemicals and energy from lignocellulosic biomass? Chemical Communication, 47, 1405 – 1422.
Zhang, J., Feng, L., Wang, D., Zhang, R., Liu, G., Cheng, G. (2014) Thermogravimetric analysis of lignocellulosic biomass with ionic liquid pretreatment, Bioresource Technology, 153(0), 379 382.
Mäki-Arvela, P., Anugwom, I., Virtanen, P., Sjöholm, R., Mikkola, J. P. (2010) Dissolution of lignocellulosic materials and its constituents using ionic liquids—A review, Industrial Crops and Products, 32(3), 175 - 201.
170
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 10, No. 4, Hlm. 171 - 177, Desember 2015 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v10i4.3309
Kapasitas Adsorpsi Bentonit terhadap Sulfur dan Merkuri secara Simultan pada Pembakaran Batubara Adsorption Capacity of Bentonite on Sulfur and Mercury Simultanously in Coal Combustion Alhamidi Yusran1, M. Dani Supardan1,2, Mahidin1,2* Program Studi Magister Teknik Kimia, PPs Unsyiah, Banda Aceh 2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Unsyiah, Banda Aceh Jl. Tgk. Syekh Abdur Rauf No. 7, Darussalam, 23111, Banda Aceh *E-mail:
[email protected] 1
Abstrak Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi melalui pembakaran langsung akan menghasilkan emisi gas, partikulat trace metal (logam berat) dan abu (terutama abu terbang) yang akan mencemari udara. Penanganan terhadap pencemaran tersebut merupakan hal yang sangat mendesak. Dalam studi ini ditawarkan penyelesaian secara simultan terhadap emisi SOx dan partikulat logam berat merkuri pada pembakaran batubara peringkat rendah yang ada di Aceh melalui penyerapan menggunakan bentonit alam yang juga terdapat di Aceh (juga di daerah lain di Indonesia). Penggunaan bentonit dapat mengurangi emisi gas SO2 dan partikulat trace metal Hg dalam gas buang dan abu terbang. Bentonit dapat meningkatkan afinitas atau gaya tarik menarik antara Hg dan mineral-mineral dalam bentonit dan sekaligus menurunkan afinitas Hg terhadap S atau SO2. Konsentrasi bentonit dalam kajian ini, tanpa kalsinasi dan langsung dicampur dalam batubara, adalah 0 – 16% dan temperatur pembakaran adalah 700 – 900oC. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa kondisi maksimum penyerapan sulfur dan/atau SO2 serta merkuri terjadi pada kandungan bentonit 6% dan temperatur 700oC. Kata kunci: emisi gas, kapasitas adsorpsi, merkuri, partikulat, sulfur, trace metal Abstract Utilization of coal as a source of energy by direct combustion might release gas emission, trace metal (heavy metal) particulate and ash (especially fly ash) that can cause the air pollution. Reduce the air pollution is an urgent effort in the coal fired. In this study simultaneous solution on SOx emission and mercury particulate release during Aceh low rank coal combustion through the adsorption by using natural bentonite, which can also be found in Aceh (also in others regions in Indonesia) is proposed. Use of bentonite can suppress SO2 gas emission and trace metal particulate (Hg) in flue gas and fly ash. Bentonite can enhanced the affinity or bounding force between trace metal (Hg) and minerals in the bentonite and simultaneously lowered the affinity of Hg on S or SO2. The bentonite concentrations in this study, without calcination and directly blended in coal, were 0 – 16% and burning temperature lied from 700 to 900oC. It was found that maximum conditions for sulfur and/or SO2 and mercury adsorptions appeared at bentonite content of 6% and temperature of 700 oC. Keywords: adsorption capacity, gas emission, mercury, particulate, sulfur, trace metal
1. Pendahuluan
sekitar 40 unsur yang dapat merusak lingkungan dan kesehatan, sedangkan unsur ultimate dan proximate dinyatakan dalam persen (%). Dari sejumlah logam berat tersebut, yang biasa dipertimbangkan sebagai kandidat emisi logam berbahaya hanya 10 unsur logam berat yaitu As, Ba, Be, Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb dan Zn (Lin dan Ho, 2005).
Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang diantara 50-70% berat volumenya merupakan bahan organik berupa material karbon, termasuk inherent moisture. Unsur pembentuk batubara terdiri dari unsur utama (C,H, O, N, S, Al, Si), unsur sekunder (Fe, Ca, Mg, Ba, K, Na, P, Ti), dan unsur sangat kecil (trace) berupa logam-logam berat (heavy metals) dengan berat jenis di atas 5 g/cm3. Masing-masing logam berat berkadar sangat rendah yang dinyatakan dalam ppm serta jumlahnya ada
Komponen pembentuk batubara berdasarkan analisis proksimatter diri dari atas air (moisture, M), abu (ash), zat mudah menguap (volatile matter, VM) dan karbon
171
tertambat (fixed carbon, FC). Beberapa pengotor yang biasanya terkandung dalam batubara antara lain adalah abu dan unsurunsur atau senyawa-senyawa yang keberadaanya dalam jumlah sangat kecil, baik berbentuk logam maupun non-logam (trace element). Secara kimia, karakteristik abu batubara sangat tergantung pada karakteristik batubara. Abu merupakan bagian batubara yang tidak bisa terbakar. Kandungan abu dalam batubara sangat bervariasi dan berkisar 3–9% (Munir, 2006). Abu batubara mengandung mineral-mineral berupa SiO2, Al2O3, P2O5, dan Fe2O3. Kandungan SiO2 umumnya cukup tinggi mencapai 70% (Munir, 2008). Trace element yang terkandung dalam batubara bisa mempengaruhi proses pembakaran dan mengakibatkan pencemaran udara berupa partikulat dalam abu terbang dan jelaga dalam gas buang yang dihasilkan. Senyawa yang sering ditemui dalam jumlah kecil tersebut antara lain sodium, sulfur, phosphorous, clorida, merkuri, nitrat, sulfat dan arsen.
seperti zeolit, limestone dan bentonit. Saat ini untuk menekan kandungan sulfur dalam batubara digunakan adsorben limestone, namun tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentonit sebagai adsorben karenakandungansilika dan kalsium yang tinggi. Penambahan bentonit akan menimbukan fenomena adsorpsi padat-gas, dimana adanya adsorbat gas yang teradsorp dalam adsorben padat. Permukaan zat padat bentonit dapat mengadsorp fase padat-gas pada tekanan rendah disebabkan karena adanya pengumpulan molekul-molekul suatu zat pada permukaan zat lain sebagai akibat ketidak-seimbangan gaya-gaya pada permukaan tersebut. Biasanya adsorpsi diikuti dengan pengamatan banyaknya zat yang teradsorpsi persatuan berat adsorben pada temperatur tertentu atau temperatur tetap yang dinyatakan dengan kurva kapasitas adsorpsi. Desulfurisasi awalnya dikembangkan untuk meningkatkan kualitas batubara, salah satunya adalah desulfurisasi dengan metode flotasi, dimana sekaligus dapat juga mereduksi kandungan abu batubara. Flotasi merupakan proses yang sangat komplek, dimana variabel-variabel yang berpengaruh signifikan pada umumnya saling memberikan keterkaitan satu sama lain. Para peneliti hanya mengamati variabel flotasi, tidak melakukan optimasi simultan (Hlincik dan Buryan, 2013).
Sampai saat ini hanya terdapat sedikit referensi yang melaporkan tentang penyerapan emisi SOx (senyawa sulfur lainnya) dan traceelement (tracemetal), terutama mercuri (Hg), secara simultan (Ma dkk., 2014; Wang dkk., 2013). Mereka memanfaatkan sorben berbasis besi (ironbased sorbent) dalam penelitian mereka masing-masing. Di pihak lain, R&D terhadap teknologi desulfurisasi menggunakan bermacam-macam adsorben atau desulfurizer dapat ditemukan dalam banyak publikasi (Cheng dkk., 2003; Zhou dkk., 2001). Lebih lanjut, fakta serupa juga dapat dilihat terhadap Research and Development (R&D) untuk penangkapan merkuri dengan berbagai adsorben, termasuk bentonit baik bentonit alam maupun bentonit yang sudah diolah/dimodifikasi (Li dkk., 2014; Wilcox dkk., 2012). Sejauh ini tidak ada R&D untuk adsorpsi emisi SOx dan trace mercury menggunakan bentonit sebagai adsorben.
Pada penelitian ini diusulkan proses penyerapan SO2 dan merkuri secara simultan dengan menggunakan adsorben bentonit alam, dimana kondisi percobaannya merupakan pendekatan terhadap proses pembakaran pada boiler di powerplant berbahan bakar batubara peringkat rendah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kapasitas adsorbansi bentonit sebagai penjerap SO2 dan/atau sulfur serta merkuri, dan melihat pengaruh penambahan adsorben bentonit terhadap nilai kalor batubara peringkat rendah Aceh.
Ditinjau dari komponennya yang dapat teroksidasi, proses pembakaran batubara dapat menghasilkan emisi yang mempengaruhi lingkungan dan kesehatan manusia. Emisi utama yang dihasilkan dari pembakaran batubara adalah sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), partikulat, karbon dioksida (CO2), merkuri dan logam berat lainnya, serta fly ash dan bottom ash yang merupakan residu hasil pembakaran batubara pada tungku pembakaran. Untuk mengurangi emisi gas dan logam berat dilakukan dengan penambahan adsorben
2. Metodologi 2.1. Alat dan Bahan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: batubara (berasal dari Kaway XVI Kabubaten Aceh Barat), bentonit alam (berasal dari Lampung) dan reagent asam kuat untuk Hg, yaitu HCl dan H2SO4. Sedangkan peralatan yang digunakan meliputi Crusher, Ball mill, Vibrating screen,
172
Compressor, Flow meter, Electric tube furnace, Desiccator, Ceramics boat, Multiwave, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), Spectrophotometer, Gelas kimia, Erlenmeyer dan Timbangan elektrik.
variasi 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14 dan 16% (berat). Kandungan sulfur dan merkuri dalam batubara sampel dan komposisi bentonit sudah disampaikan dalam artikel yang lain (Yusran dkk., 2015).
2.2.
Pembakaran batubara dilakukan dalam Electric tube furnace (Gambar 1), dimana sampel diletakkan dalam Ceramic boat. Setelah pembakaran sesuai variasi-variasi diatas selesai, didapat bottom ash untuk masing-masing perlakuan. Bottom ash yang didapat kemudian disimpan di dalam Decicator untuk pengkondisian suhu hasil pembakaran dengan suhu lingkungan.
Kondisi Eksperimen
Penelitian dilakukan secara eksperimen dengan melihat pengaruh masing-masing variabel observasi terhadap kapasitas adsorbansi bentonit dalam menyerap SO2 dan trace element Hg. Kondisi eksperimen adalah sebagai berikut: massa sampel batubara dan adsorben 20 gram (curah), ukuran partikel kedua bahan tersebut lolos 60 mesh, laju alir udara=1,5λ liter/menit (λ adalah laju alir udara stoikiometrik) (Yao dan Naruse, 2005) dan waktu pembakaran 60 menit.
Masing-masing sampel bottom ash yang ada dalam Ceramic boat kemudian dilarutkan dengan reagent. Sampel dibagi menjadi 3 (tiga) bagian sehingga dapat dilarutkan dengan reagent berupa asam kuat seperti HCl dan H2SO4. Dari hasil multiwave didapat 81 (delapan puluh satu) sampel yang akan didigesti menggunakan microwave. Untuk 81 sampel tersebut, masing masing sampel dibuat larutan induknya. Prinsip kerja pada Atomic Absorpsion Spectroscopy (AAS) yaitu dengan sistem kalibrasi larutan indukdengan larutan yang telah diencerkan karena AAS ini sangat sensitif terhadap konsentrasi larutan sampel.
Sampel dipersiapkan dengan mencampur batubara dan adsorben (bentonit) yang sudah dikeringkan di udara dengan variasi perbandingan yang telah ditentukan. Campuran diaduk sampai homogen. Sebelum dilakukan pencampuran batubara dan adsorben tersebut dikeringkan dan dihaluskan sampai ukuran lolos 60 mesh, dan kemudian ditimbang sesuai dengan perbandingan berat antara batubara dan adsorben. Selanjutnya sampel (sebanyak 20 gram) ditempatkan ke dalam Ceramic boat
Tujuan dari kalibrasi larutan induk dengan larutan hasil pengenceran tersebut adalah untuk kalibrasi sebelum dilakukan analisis dari masing-masing sampel sehingga kandungan sampel dapat dianalisis dalam skala part per billion (ppb) sampai dengan part per million (ppm). Setelah dilakukan kalibrasi AAS, selanjutnya kandungan trace metal (Hg) pada sampel dianalisa dengan menggunakan sinar X.
Variabel berubah (variabel pengujian) dalam studi ini mencakup temperatur pembakaran (yaitu 700, 800 dan 900oC). Interval temperatur yang ditetapkan ini merupakan kondisi pembakaran yang umum diterapkan dalam Fluidized Bed Combustor (FBC). Variabel pengamatan berikutnya adalah kandungan adsorben dalam campuran sampel (batubara dan bentonit) dengan
Keterangan: A. Kompresor B. Stainless steel tube C. Electrical tube furnace D. Flow meter E. Industrial flue gasand emission analyzer F. Panel kendali G. Ceramic boat H. Sampel
Gambar 1. Skema alat pembakaran (Electric tube furnace)
173
2.2. Evaluasi Kapasitas Adsorbsi
tonit tidak secara khusus menangkap suatu unsur tertentu. Proses yang terjadi pada penyerapan sulfur dan/atau SO2 oleh bentonit adalah adsorpsi kimia dan fisika. Pada adsorpsi kimia faktor pengendali kapasitas adsorpsi dipengaruhi oleh komposisi unsur mineral dalam bentonit, sedangkan pada adsorpsi fisika kapasitas adsorpsinya lebih dipengaruhi oleh karakteristik dari adsorben itu sendiri. Kapasitas adsorpsi sulfur dan/atau SO2 oleh bentonit disajikan pada Gambar 2. SO2 diperkirakan terbentuk dalam unggun batubara yang dihasilkan oleh oksidasi sulfur sebelum diserap oleh bentonit, terlebih lagi proses pembakaran dilangsungkan pada temperatur tinggi (≥700oC).
Kapasitas adsorpsi menggambarkan kemampuan penyerapan terhadap adsorbat per satuan berat adsorben. Nilai tersebut dapat dijadikan acuan penentuan jumlah adsorben yang digunakan dalam skala yang berbeda atau lebih besar. Dengan mengkomparasi nilai kapasitas adsorpsi dari tiaptiap konsentrasi adsorben yang digunakan maka akan didapat kapasitas optimum pada kandungan-kandungan tertentu. Kapasitas adsorpsi ditentukan menggunakan persamaan berikut. 𝑞=
𝐶𝑎 − 𝐶𝑎𝑜 𝑀𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛
(1)
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada temperatur pembakaran 700oC kapasitas penyerapan bentonit terhadap sulfur dan/atau SO2 bernilai maksimum terdeteksi pada penambahan adsorben 6%. Pada temperatur 800oC dan 900oC kapasitas penyerapan maksimum juga terdapat pada kandungan adsorben yang sama. Kapasitas adsorpsi pada 900oC cenderung lebih kecil dibandingkan dengan temperatur yang lebih rendah. Hal ini diperkirakan karena semakin tinggi temperatur maka pembakaran yang terjadi semakin sempurna. .
dimanaq adalah kapasitas adsorpsi, Ca adalah konsentrasi emisi setelah penambahan adsorben (bentonit), Ca0 adalah konsentrasi emisi tanpa penambahan adsorben (bentonit) dan Madsorben adalah berat adsorben. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Kapasitas Penyerapan Sulfur Penyerapan komponen atau senyawa kimia oleh bentonit tidaklah selektif, artinya ben-
700oC
800oC
900oC
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi adsorben terhadap kapasitas penyerapan sulfur pada masing-masing temperatur pembakaran
174
Gambar 3.
Pengaruh konsntrasi adsorben terhadap kapasitas penyerapan merkuri pada masing-masing temperatur pembakaran
Apabila mengacu kepada persamaan Arhenius, terlihat bahwa semakin tinggi temperatur maka semakin besar nilai konstanta oksidasi sehingga kecepatan reaksi konversi S menjadi SO2 semakin besar juga. Penyebab lain tingginya sulfur dalam bottom ash pada temperatur rendah dikarenakan terjadinya proses adsorpsi kimia secara simultan oleh Hg terhadap SO2, yang reaksinya terjadi seperti pada Persamaan 2. Hg(g) + SO2(g) + O2(g) --> HgSO4(s)
peningkatan kandungan adsorben dapat menurunkan nilai bakar batubara itu sendiri (dibahas pada sub 3.3). 3.2. Kapasitas Penyerapan Logam Hg Pada saat pembakaran di atas temperatur 700oC kandungan logam Hg diperkirakan seluruhnya menguap dan terbawa dalam fly ash, kecuali particulate bounded mercury (Hgp). Hgp adalah merkuri yang tidak terbawa fly ash dan diikat oleh unburned carbon pada bottom ash (Wilcox dkk., 2012). Oleh karena itu, penyerapan merkuri oleh bentonit lebih baik dan lebih signifikan terjadi pada temperatur 700oC (temperatur terendah dalam studi ini). Pada temperatur yang lebih rendah, jumlah merkuri yang menguap tentu saja lebih rendah dibanding dengan pada temperatur tinggi
(2)
Proses adsorpsi SO2 secara kimia oleh merkuri tersebut menjadi fenomena yang menguntungkan, dimana beban bentonit dalam menyerap dapat dikurangi oleh penyerapan sesama emisi. Dapat dikatakan kedua variabel tersebut saling menurunkan konsentrasinya pada fly ash. Penyebab tingginya Hg dalam bottom ash ada korelasinya dengan karbon tidak terbakar (unburned carbon)
Gambar 3 menunjukkan kapasitas adsorpsi logam Hg, dengan kapasitas penyerapan terendah terdapat pada temperatur pembakaran 900oC. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa performa adsorben bentonit cenderung lebih baik pada temperatur pembakaran 700oC. Hal tersebut utamanya dipengaruhi oleh temperatur dan waktu kontak ketika terjadinya proses oksidasi batubara secara keseluruhan. Adsorpsi pada kecepatan reaksi tinggi menyebabkan sulitnya merkuri terdifusi
Jumlah maksimum sulfur yang terserap per satuan massa bentonit berada pada rentang 0,015–0,29 ppm/gram. Hal ini menunjukkan kapasitas adsorben pada kondisi operasi yang berbeda cenderung sama. Secara ekonomis pemilihan rasio adsorben didasarkan pada kapasitas penyerapan itu sendiri. Batasan lain yang perlu diingat bahwa
175
kedalam pori-pori adsorben akibat waktu yang lebih singkat sehingga mempengaruhi kesetimbangan gaya tarik menarik antar kedua molekul di permukaan.
bahan bentonit (adsorben) yang merupakan senyawa mineral dianggap menambah fraksi massa dari komponen inert berupa abu (ash) pada analisa proksimasi batubara. Semakin tinggi kandungan abu, maka semakin rendah kualitas batubara, dikarenakan dengan penambahan zat mineral menghambat proses pembakaran dan menurunkan fraksi volatile matter dan fixed carbon sehingga zat mineral tersebut merupakan penghambat dalam proses pembakaran. Dari hasil yang didapat, nilai kalori terendah terdeteksi pada kandungan adsorben 16% yaitu 5937,64 cal/gr, masih setara dengan nilai kalor batubara subbituminus. Dengan demikian, penambahan adsorben 16% (maksimum) masih menghasilkan nilai kalor batubara yang dianggap wajar.
Fenomena lain yang dapat menjelaskan penyebab tingginya Hg dalam bottom ash berhubungan erat dengan keberadaan unburned carbon. Morfologi unburned carbon sangat memungkinkan untuk menangkap Hg. Unburned carbon dari batubara peringkat rendah (lignit dan sub-bituminus) memiliki kemampuan menangkap Hg lebih tinggi dibandingkan batubara peringkat tinggi (antrasit dan bituminus). Luas permukaan unburned carbon dari batubara peringkat rendah 400 kali lebih besar dibandingkan dengan yang dari batubara peringkat tinggi. Fakta ini menjadi salah satu alasan kenapa unburned carbon dari batubara peringkat rendah lebih efektif dalam menangkap karbon. Fakta ini sudah diamati oleh Hower dkk. (2010) dan Kostova dkk. (2011).
5955 5950
3.3.
HHV (cal/gr)
Kapasitas adsorpsi merkuri oleh bentonit juga memperlihatkan nilai maksimum pada persentase adsorben sebesar 6% untuk semua temperatur pembakaran yang diuji, sebagaimana halnya sulfur. Pada penelitian sebelumnya, kandungan adsorben yang memberikan kapasitas adsorpsi optimum adalah pada harga sekitar 5% untuk adsorben batu kapur dan kaolin pada kondisi pembakaran 1,5λ serta 10% untuk kaolin berbasis kalsium dengan 1,2λ (Chen dkk., 2010). Kapasitas adsorpsi yang didapat tersebut tergolong tinggi, yaitu dalam interval 0,54–0,98 ppm/gram.
5945 5940 5935 5930 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Persentase adsorben (%) Gambar
Pengaruh Penambahan Adsorben terhadap Nilai Kalori Batubara
4.
Kandungan abu (ash) merupakan pengotor didalam batubara, oleh karena itu nilai kalori dalam batubara berbanding terbalik dengan kandungan abu. Diasumsikan penambahan adsorben meningkatkan fraksi abu pada komponen batubara. Nilai kalor kotor batubara diprediksi dengan menggunakan korelasi dari Institute of Gas Technology (IGT), karena dianggap mendekati nilai kalor dari hasil pengujian dengan menggunakan Bomb Kalorimeter (Sheng dan Azevedo, 2005).
4.
Hubungan antara adsorben dengan batubara
konsentrasi nilai kalor
Kesimpulan
Adsorben bentonit alam tanpa kalsinasi dapat digunakan untuk menangkap merkuri dan sulfur dan/atau SO2 secara simultan pada pembakaran batubara, dimana Kapasitas adsorpsi maksimum SO2dan/atau sulfur yang teramati pada konsentrasi adsorben 6% dan temperatur 700oC, sebesar 0,29 ppm/gram. Untuk penyerapan logam Hg juga terdeteksi pada kondisi yang sama, nilainya 0,98 ppm/gram dan secara teknis penambahan adsorben menyebabkan penurunan nilai kalor batubara. Pada penelitian ini juga ditinjau pengaruh penambahan adsorben mencapai 16%, nilai kalor yang didapat setara dengan kalor batubara sub-bituminus. Dengan demikian penambahan sampai 16% masih dianggap wajar secara teknis dan ekonomis.
HHV= 0,341C + 1,322 H + 0,0686S – 0,0153A – 0,1194(O+N) (3)
Pengaruh penambahan adsorben terhadap nilai kalori batubara dapat dilihat pada Gambar 4. Menunjukkan bahwa penam-
176
Daftar Pustaka
removal method from flue gas in the presence of sulfur dioxide, Journal of Hazardous Materials, 279, 289 - 295.
Chen, J., Yao, H., Zhang, P., Xiao, L., Luo, G., Xu, M. (2010) Control of PM1 by kaolin or limestone during O2/CO2 pulverized coal combustion, Proceedings of the Combustion Institute, 33(2), 2837 - 2843.
Munir, M. (2008) Pemanfaatan Abu Batubara (Flay Ash) untuk Hollow Block yang Bermutu dan Aman bagi Lingkungan, Tesis Magister, Universitas Diponegoro, Indonesia.
Cheng, J., Zhou, J., Liu, J., Zhou, Z., Huang, Z., Cao, X., Zhao, X., Cen, K. (2003) Sulfur removal at high temperature during coal combustion in furnaces: a review, Progress in Energy and Combustion Science, 29(5), 381 - 405. Hlincik, T., Buryan, rization of boiler activated calcium Technology, 111,
Munir, S. (2006) Karakteristik Batubara, Teknologi Pembakaran Batubara dan Prinsip-prinsip Pengelolaan dan Regulasi Penggunaan Abu Batubara (ccps) yang Bermanfaat, Puslitbang TekMira – DESDM.
P. (2013) Desulfuflue gas by means of oxide, Fuel Processing 62 – 67.
Sheng, C., Azevedo, J. L. T. (2005) Estimating the higher heating value of biomass fuels frombasic analysis data, Biomass and Bioenergy, 28, 499 - 507.
Hower, J.C., Senior, C.L., Suuberg, E.M., Hurt, R.H., Wilcox, J.L., Olson, E.S. (2010) Mercury capture by native fly ash carbons in coal-fired power plants, Progress in Energy and Combustion Science, 36(4), 510 – 529.
Wang, J., Zhang, Y., Han, L., Chang, L., Bao, W. (2013) Simultaneous removal of hydrogen sulfide and mercury from simulated syngas by iron-based sorbents, Fuel, 103, 73 - 79.
Kostova, I.J., Hower, J.C., Mastalerz, M., Vassilev, S. V. (2011) Mercury capture by selected Bulgarian fly ashes: influence of coal rank and fly ash carbon pore structure on capture efficiency, Applied Geochemistry, 26(1), 18 – 27.
Wilcox, J., Rupp, E., Ying, S.C., Lim, D., Negreira, A.S., Kirchofer, A., Feng, F., Lee, K. (2012) Mercury adsorption and oxidation in coal combustion and gasification processes, International Journal of Coal Geology, 90-91, 4 – 20. Yao, H., Naruse, I. (2005) Control of trace metal emissions by sorbents during sewage sludge combustion, Proceedings of the Combustion Institute, 30(2), 3009 - 3016.
Li, M., Wang, L., Chen, J.-y., Jiang, Y-i., Wang, W.-j. (2014) Adsorption performance and mechanism of bentonite modified by ammonium bromide for gas-phase elemental mercury removal, Journal of Fuel Chemistry and Technology, 42(10), 1266 - 1272.
Yusran, A., Supardan, M. D., Mahidin. (2015) Development of Pretreatment Process for Aceh Low-rank Coal by Simultaneously Capture of Sulfur and Trace Element, Proceedings ofthe 1stIJCIMBI, Banda Aceh, 27-28 April, 208 - 214.
Lin, L. Y., Ho, T. C. (2005) Control of heavy metals in emissions streams, dalam Wang, L. K., Pereira, N. C., Hung, Y.-T. (eds.), Advanced Air and Noise Pollution Control, Humana Press, Totowa, New Jersey.
Zhou, J., Chen, J., Cao, X., Liu, J., Zhao, X., Huang, Z., Cen, K. (2001) Experimental research on two-stage desulfurization technology in traveling grate boilers, Energy, 26(8), 759 - 774.
Ma, Y., Qu, Z., Xu, H., Wang, W., Yan, N. (2014) Investigation on mercury
177
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 10, No. 4, Hlm. 178 - 187, Desember 2015 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v10i4.3311
Simulasi Pengaruh Kandungan CO2 dalam Gas Umpan terhadap Reforming dan Shift Converter Sistem Pabrik Amoniak Simulation of Effect of CO2 Content in Feed Gas Towards Reforming and Shift Converter System in Ammonia Plant Jefry Yusuf1*, Husni Husin2, Marwan2 1 PT. Pupuk Iskandar Muda Jln. Medan-Banda Aceh PO. BOX 021 Krueng Geukueh Aceh Utara, Indonesia 2 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jln. Tgk. Syech Abdurrauf 7 Darussalam Banda Aceh 23111, Indonesia * E-mail:
[email protected]
Abstrak Perubahan produksi dan pangsa pasar gas alam domestik maupun global mempengaruhi suplai terhadap pabrik pupuk-amoniak baik dari sisi jumlah, komposisi maupun harga. Kondisi ini memungkinkan pabrik amoniak menerima jenis gas alam berat kaya dengan CO 2 (raw gas) maupun gas alam ringan minim CO2 (treated gas). Pada penelitian ini telah dilakukan analisa pengaruh perubahan komposisi gas alam terutama kandungan CO2 dengan variasi 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45 dan 50% vol terhadap operasional reforming dan shift converter sistem pabrik amoniak-2 PT. PI Mexisting dengan metodelogi simulasi mengggunakan Aspen HYSYS V8.0. Untuk memproduksi amoniak dengan jumlah yang sama, hasil studi menunjukkan penambahan CO2 dalam gas umpan akan meningkatkan pressure drop sistem, laju pembentukan komponen hidrogen turun sementara konsumsi energi bertambah di reforming, beban katalis shift converter dan beban feed gas compressor meningkat. Kandungan CO2 sebesar 7% vol masih mungkin diaplikasikan, mengingat ada batasan beban peralatan. Kata kunci: energi, gas umpan, kandungan CO2, reforming, simulasi, shift converter Abstract Changes in production and market share of natural gas globally and domestically has affected the supply to the fertilizer-ammonia plants both in terms of quantity, composition and price. This condition allows the ammonia plant receive vary specification of natural gas, heavy natural gas (raw gas) rich in CO2 and lean natural gas (treated gas) minimum of CO2. In this study was conducted an analysis effect of changes the composition of natural gas mainly CO2 content with the variation of 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45 and 50% vol towards operating system of reforming and shift converter in existing ammonia-2 plant of PT. Pupuk Iskandar Muda using simulator Aspen HYSYS V8.0. To produce ammonia at the same quantity, the study result indicated that the addition of CO 2 in the feed gas increases the pressure drop of system, the formation rate of the hydrogen component is decreases while energy consumption increased in reforming. Load of shift converter and feed gas compressor are increased. CO2 content about 7% vol could be applied by considering load limits of equipment. Keywords: CO2 content, energy, feed gas, reforming, simulation, shift converter
1.
Pendahuluan
Badan Energi Internasional, permintaan gas alam ini diharapkan dapat meningkat dari 3,4 tm3 (triliun meter kubik) pada tahun 2011 sampai 5 tm3 (triliun meter kubik) pada tahun 2035, dengan tingkat kenaikan 1,6% (International Energy Outlook, 2013; Xiong, dkk., 2015).
Gas alam merupakan sumber daya energi yang efisien dan bersih yang digunakan di seluruh dunia (Lin, dkk., 2010; Xiong, dkk., 2015). Selama beberapa dekade terakhir, peranan gas alam dalam konsumsi gas primer meningkat dari 11% pada tahun 1960 menjadi 22% pada tahun 2010 (Newell & Iler, 2013; Xiong, dkk., 2015). Dengan meningkatnya kebutuhan ekonomi, konsumsi gas alam terus berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan perkiraan
Gas alam adalah salah satu dari banyaknya sumber energi yang penting, karena nilai kalori tinggi, efisiensi tinggi dan rendah polusi. Gas alam mengandung banyak komponen yang berbeda dan bervariasi dari
178
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
sumber ke sumber (Sun, dkk., 2015). Tidak hanya untuk produksi listrik, namun gas alam juga mendominasi bahan baku untuk produksi massal beberapa bahan kimia seperti amoniak, metanol dan dimetil eter (Makogon, 2010). Gas alam mengandung banyak komponen yang berbeda dan bervariasi dari sumber ke sumber. Gas alam mengandung metana (khususnya 75%- 90% dari total) dan hidrokarbon yang lain, seperti etana, propana dan butanan. Didalam adisi, gas mengandung beberapa pengotor yang tidak diiinginkan seperti, air, nitrogen, karbondioksida, dan hidrogen sulfida (Sun, dkk., 2015).
steam reforming. Selanjutnya untuk memproduksi amoniak, gas sistesis ini akan direaksikan dengan nitrogen dengan rasio hidrogen dan nitrogen mulai dari 3:1 (Aasberg-Petersen dkk, 2011). Tingginya pertumbuhan permintaan pasar domestik dan global akan gas alam, diprediksikan supplai untuk domestik termasuk pabrik pupuk akan mengalami perubahan baik dari sisi jumlah, harga dan komposisi. Kemungkinan gas alam sebagai bahan baku utama yang digunakan pada pabrik pupuk tidak hanya gas alam berat atau raw gas tetapi juga gas alam ringan atau treated gas (similar to LNG). Komposisi LNG memiliki rasio CO2/CH4 sekitar 0,0/92,13. Perbandingan komposisi raw gas dengan treated gas atau LNG seperti yang ditunjukkan Tabel 1.
Komposisi dari gas alam sangat bervariasi untuk satu sumber dengan sumber lainnya misalnya, rasio CO2/CH4 untuk gas alam Natuna yang terletak di Laut Cina Selatan (Suhartanto dkk, 2001) dan zona D pada Dalan formation yang terletak di sebelah selatan Iran, masing-masing adalah 71/28 dan 85/2,5 (Galimov dan Rabbani, 2001). Untuk gas alam Point A Aceh rasio CO2/CH4 adalah 19,39/72,5. Amoniak disintesis dari hidrogen dan nitrogen. Sumber Reaksi sistesis amoniak adalah sebagai berikut : 3H2 + N2
2NH3
PT. Pupuk Iskandar Muda (PT. PIM) merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang petrokimia yang menggunakan gas alam sebagai bahan baku utama untuk memproduksi pupuk dan produk samping lainnya. Pabrik amoniak-2 didesain untuk menerima bahan baku raw gas untuk memproduksi 1200 MTPD amoniak. Diagram alir proses pabrik ini secara umum seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1.
(1)
Gas alam digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi gas sintesis melalui Tabel 1. Spesifikasi gas alam sebagai bahan baku Komponen CH4 C2H6 C3H8 i-C4H10 n-C4H10 i-C5H12 n-C5H12 C6H14 + N2 CO2 H2S, ppm Mercury, µg/nm3 Mass LHV, kcal/gr (Sumber : PIM, 2014)
70,79 3,11 0,98 0,26 0,28 0,16 0,11 0,10 0,91 23,30 80-200 3-300 6618
Raw gas (% vol) 72,50 4,55 1,65 0,51 0,39 0,23 0,13 0,31 0,34 19,39 80-200 3-300 7438
NG Fuel
Treated gas (% vol) 93,05 93,43 4,67 4,48 0,68 0,71 0,21 0,21 0,17 0,15 1,22 1,02 0,00 0,00 Trace Trace Trace Trace 11640 11683
NH3 Recovered H2 Recycle
NG Proses
Pretreatment Section
Reforming Section
Steam + udara Proses
Purification Section
Synloop Section
Refrigerant Section
CO2 Produk
Gambar 1. Flow diagram sederhana amoniak secara keseluruhan
179
Recovery Section
NH3 Produk
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Menurut Twigg, 1989; Yexin dan Gosnell, 2004; Broadhurst dan Cotton, 2005, keberadaan karbon dioksida dalam bahan baku akan menurunkan efisiensi proses reforming. Perubahan temperatur keluaran reaktor merupakan fungsi dari jumlah karbon dioksida dalam gas alam sebagai umpan. Selain itu pressure drop akan meningkat hingga 25% baik di upstream dan downstream reforming sistem.
tidak melibatkan proses penghilangan sulfur dan mercuri tetapi hanya proses treatment kandungan CO2 dalam gas umpan, compressor, steam reforming dan shift converter. Detail boundary sistem dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Parameter-parameter proses aktual untuk membangun simulator diambil dari pabrik dan dimasukkan ke Aspen HYSYS 8.0. Presimulator yang telah jadi diuji, dengan cara membandingkan kondisi proses aktual pabrik dengan hasil simulasi. Jika selisih keduanya sangat dekat maka proses validasi simulator telah selesai dan siap untuk digunakan untuk penelitian.
Penelitian ini bertujuan hanya untuk melihat pengaruh kandungan CO2 dalam gas alam sebagai bahan baku produksi amoniak terhadap beban feed gas compressor dan waste heat boiler, temperatur dan pressure operasional serta laju pembentukan komponen kunci di reforming dan shift converter sistem dengan metode simulasi menggunakan Aspen HYSYS V8.0. 2.
Metodelogi dan Bahan
2.1.
Prosedur penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini berupa komposisi gas umpan dengan variasi komponen CO2 yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45 dan 50% vol merujuk pada kondisi yang pernah dan akan terjadi seperti pada Tabel 1. Variabel terikat atau tetap merupakan nilai parameter kontrol aktual pabrik seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Penelitian ini bersifat prediksi yang akan terjadi terhadap pabrik amoniak-2 PT. PIM seandainya komposisi gas alam sebagai bahan baku pembuatan amoniak berubah. Secara umum prosedur penelitian ini dimulai dari penyiapan sebuah simulator. Software yang digunakan sebagai simulator adalah Aspen HYSYS V8.0. Simulator yang disetup
Kedua variabel ini dijadikan sebagai input terhadap simulator, proses berjalan dan diperoleh hasil untuk setiap variabel bebas. Secara sederhana, prosedur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
NG Fuel Elec. Power + Chemicals
NG Proses
H2 Recycle
Steam
Feed Gas Compressor
CO2 Pretreatment Unit
Steam Turbin
Primary & Secondary Reformer
Waste Heat Boiler
Steam + Udara Proses
Steam
HTS Converter
Steam Gen.
BFW
LTS Converter
To CO2 Removal
BFW
Gambar 2. Flow diagram sederhana pretreatment, reforming dan shift converter system Tabel 2. Variabel-variabel tetap penelitian Parameter Temperatur (oC) Pressure (kg/cm2g) CH4 (kmol/jam) CO2 (kmol/jam) CO (kmol/jam) Rasio S/C Rasio H/N (Sumber : PIM, 2004)
Gas alam 27 29,4
Suc FG Compressor 28 27,8
In. Pri. Ref. 498 -
Out. Pri. Ref. -
Out. Sec. Ref. -
Out HTSC -
Out LTSC 33
-
-
-
554 -
26 -
263 -
23 2,9
180
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
2.2. Proses simulasi
2.2.3. Kapasitas pabrik, unit operasi dan kondisi operasi
Aspen HYSYS V8.0 telah digunakan untuk melakukan simulasi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh (Amin dkk., 2013). Prosedur untuk pengembangan proses simulasi terdiri dari pemilihan komponen bahan kimia untuk proses dan juga model thermodinamikanya. Selain itu unit operasi dan kondisi operasi, kapasitas pabrik daninput kondisi harus semuanya dipilih dan dispesifikasi.
Kapasitas pabrik telah dispesfikasi yaitu 1200 metrik ton per hari produk ammonia, setara dengan 4576 kmol/jam komponen hidrogen dan 1578 kmol/jam komponen nitrgoen di outlet LTSC. Beberapa kondisi operasi (variabel terikat) yang diperlukan untuk simulasi proses telah didefinisikan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Unitunit proses yang terlibat antara lain splitter, reaktor, heat exchanger, compressor dan expander.
2.2.1. Komponen bahan kimia Aspen HYSYS V8.0 berisi informasi untuk komponen berikut yang digunakan pada simulasi: metana, etana, propana, n-butana, i-butana, n-pentana, i-pentana, n-hexana, hidrogen, karbon dioksida, carbon monoksida, nitrogen, argon dan air.
Data desain dan aktual pabrik Aspen Hysys 8.0 (setup)
2.2.2. Model thermodinamika
Pre-simulator
Melihat komponen bahan kimia yang terlibat dalam simulasi ini terdiri dari hidrokarbon, Peng-Robinson thermodinamika model dipilih untuk digunakan sebagai property package untuk kalkulasi. Property package PR mampu memecahkan satu, dua, atau tiga fase sistem dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan kehandalan serta berlaku atas berbagai kondisi: range temperatur > 271°C atau -456°F dan range tekanan < 100,000 kPa atau 15,000 psia. Property package PR ini juga berisi parameter interaksi biner yang ditingkatkan untuk semua perpustakaan pasangan hidrokarbonhidrokarbon (kombinasi dilengkapi dan dihasilkan interaksi parameter), serta untuk binari hidrokarbon bebas. Persamaan keadaan Peng-Robinson sangat direkomendasikan untuk oil, gas, atau petrochemical aplikasi.
No
Aktual ≈ Simulasi Yes
Simulator
Variabel bebas
Hasil Simulasi
Pengolahan Data
Selesai
Gambar 3. Diagram alir prosedur penelitian
Gambar 4. Proses flow diagram simulasi
181
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
3.
Hasil dan Analisis
katalis nikel dan bereaksi membentuk hidrogen, karbon dioksida dan karbon monoksida (PIM, 2004).
3.1. Verifikasi Simulator Pertama, setiap reaktor seperti primary reformer, secondary reformer, HTSC dan LTSC serta heat exchanger yang terlibat dalam proses produksi amoniak sesuai dengan scope penelitian diset-up dan dirangkai dengan software Aspen HYSYS V8.0 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, kemudian nilai aktual industri yang merujuk pada (PIM, 2004) dimasukkan ke dalam rangkaian simulator dan dijalankan. Perbandingan hasil simulasi dengan data industri dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil perbandingan menunjukkan akurasi reaktor simulator sangat bagus. Persen error ratarata untuk reaktor primary reformer, secondary reformer, HTSC dan LTSC berturut-turut adalah 0,18; 0,42; 0,12; dan 0,01.
Gas keluaran primary reformer masuk ke secondary reformer-adiabatic oxidative reformer bersamaan dengan injeksi udara pada line yang berbeda. Temperatur Jumlah udara yang ditambahkan diatur dibatasi oleh temperatur dan rasio komponen hidrogen dan nitogen di inlet amoniak converter adalah 2,8 – 3 atau setara dengan rasio 2,9 – 2,92 dioutlet LTSC (PIM, 2004). Ada dua jenis reaksi yang terjadi didalam steam reforming secara bersamaan yaitu reaksi reforming dan shift. Reaksi utama di steam reforming dapat dilihat pada reaksi 2, 3, dan 4. Total reaksi konversi ini bersifat endotermis, dimana panas reaksi disediakan/berasal dari downward firing gas fuel diantara rows tubes pada area seksi radian pada primary reformer sementara pada secondary reformer disediakan/berasal dari reaksi combustion (Aasberg-Petersen dkk, 2011). Reaksi metana reforming dan shift dibatasi oleh kesetimbangan reaksi.
3.2. Hasil simulasi 3.2.1. Steam Reforming Steam reforming pada pabrik amoniaknya umumnya terdiri dari dua reaktor berkatalis yaitu primary dan secondary reformer. Primary reformer-fired reformer adalah tempat pertama dimana hidrokarbon di konversi. Gas alam dicampur dengan steam dengan rasio tertentu, mixed feed ini dipanaskan terlebih dahulu di area konveksi seksi dari primary reformer. Hot mixed process feed distribusikan ke tube-tube katalis reformer yang berada pada radian seksi primary reformer. Feed turun melewati
Reaksi reforming : CH4 + H2O 3H2 + CO
(2)
CnHm + nH2O
(3)
Reaksi shift : CO + H2O CO2 + H2
(4)
Reaksi combustion : 2H2 + O2 H2O
(5)
Tabel 3. Perbandingan kondisi reaktor industri dengan simulator Primary reformer Industri Simulasi % Error Molar flow (kmol/h) 4392 4392 0,00 Temperatur (oC) 823 823 0,00 Pressure (kg/cm2g) 36,23 36,23 0,00 Outlet (kmol/h) H2 2899 2898 0,03 N2 25 25 0,00 Ar 0 0 0,00 CO 431 435 0,93 CO2 483 480 0,62 CH4 554 554 0,03 HTSC Industri Simulasi % Error Molar flow (kmol/h) 7414 7414 0,00 Temperatur (oC) 317 370,8 0,05 Pressure (kg/cm2g) 33,79 33,79 0,00 Outlet (kmol/h) H2 4347 4347 0,00 N2 1578 1578 0,00 Ar 19 19 0,00 CO 262 263 0,38 CO2 1181 1181 0,60 CH4 26 26 0,03
182
H2 + CO
Secondary reformer Industri Simulasi % Error 6772 6772 0,00 998 997,6 0,04 34,82 34,82 0,00 3700 1581 19 917 529 26 Industri 7654 205 33,41
3706 1578 19 904 540 26 LTSC Simulasi 7653 205 33,41
0,16 0,19 0,00 1,42 2,08 0,00 % Error 0,01 0,00 0,00
4587 1578 19 23 1420 26
4587 1578 19 23 1421 26
0,00 0,00 0,00 0,00 0,07 0,00
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Hasil studi menunjukkan penambahan kandungan atau volumetrik karbon dioksida dalam gas umpan akan menurunkan laju pembentukan komponen hidrogen dan karbon dioksida di primary reformer. Sebaliknya, laju pembentukan CO meningkat. Penurunan dan peningkatan laju ketiga komponen rata-rata adalah 9,38 kmol/jam untuk kenaikkan 1% vol CO2. Profil laju pembentukan komponen di primary reformer ditunjukkan pada Gambar 5.
1% vol CO2 penambahan panas dalam bentuk fuel rata-rata yang diperlukan adalah 0,18 Gcal/jam. Fenomena ini sesuai dengan tulisan (Yexin dan Gosnell, 2004). Temperatur operasional primary reformer mengarah turun untuk penambahan volume CO2. Profil temperatur dan panas yang dibutuhkan untuk memanaskan tubes katalis dapat dilihat pada Gambar 6. Inefisiensi primary reformer terjadi jika penambahan sejumlah volume CO2 dalam gas umpan, ini berdasarkan fakta tingginya konsumsi panas dimana akan menaikkan jumlah gas fuel yang diperlukan di primary reformer, disisi lain komponen hidrogen yang dihasilkan jauh lebih rendah.
CO2
CO
H2
2500 2000 1500 1000 500 0 0
10
20
30
40
50
700 600 500 400 300 200 100 0 0
72
822
70
820
68
818
66
816
64
814
62
812
60
810
58 0
10
20
30
40
50
ΔTemperatur Udara Proses (oC)
74
824
20
30
40
50
Gambar 7. Laju pembentukkan komponen H2, CO2 dan CO pada secondary reformer.
Heat Duty Tubes Katalis (Gcal/jam)
Temperatur (oC)
Heat Duty
10
Kandungan CO2 Gas Umpan (% Vol)
Gambar 5. Laju pembentukkan komponen H2, CO2 dan CO pada primary reformer.
Temp
CO
800
Kandungan CO2 Gas Umpan (% Vol)
826
CO2
900
ΔT
160
Temp
1000
140
995
120
990
100
985
80
980
60
975
40
970
20 0
965 0
Kandungan CO2 Gas Umpan (% vol)
Temperatur (oC)
H2
3000
Laju Pembentukan (kmol/jam)
Laju Pembentukan (kmol/jam)
Untuk mendapatkan jumlah metan yang sama pada outlet primary reformer, penambahan volumetrik CO2 harus diimbangi oleh pemberian panas dari luar terhadap tube catalyst. Untuk penambahan
10
20
30
40
50
Kandungan CO2 Gas Umpan (% vol)
Gambar 6. Profil temperatur dan heat duty tubes katalis pada primary reformer.
Gambar 8. Profil Δtemperatur udara proses dan temperatur outlet pada secondary reformer
183
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Laju pembentukan komponen hidrogen dan karbon dioksida juga mengalami penurunan pada secondary reformer. Sebaliknya, laju pembentukan CO meningkat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Untuk mengejar metan slip yang sama di secondary reformer, diperlukan panas yang berlebih. Pada studi ini, untuk menjaga rasio H/N di synloop, maka adjusment panas ini tidak dilakukan dengan penambahan udara proses seperti reaksi 5. Tetapi hanya dengan menaikkan temperatur udara proses.
reaksi menurun dengan naiknya temperatur. Reaksi secara termodinamika lebih menyukai pada temperatur rendah dan secara kinetika lebih menyukai temperatur tinggi (Smith, 2010). Reaksi shift hampir selalu dioperasikan secara adiabatik. Ketika reaksi berlangsung, temperatur meningkat hingga mencapai kesetimbangan. Pada pabrik amoniak, syngas yang akan masuk ke seksi atau unit sintesa amoniak harus benar-benar bebas dari komponen yang memiliki unsur oksigen seperti CO dan CO2, sehingga sangat penting CO leakage dari shift converter ini harus serendah mungkin. Oleh karena itu, sudah menjadi kebiasaan untuk menggunakan dua reaktor yang terhubung secara seri inter-stage cooling, yaitu high temperatur shift converter (HTSC) dan low shift temperatur converter (LTSC). Prinsip kinerja HTSC dan LTSC sangat dipengaruhi oleh temperatur dan steam to gas ratio (mol/mol). Kondisi operasi HTSC berada pada presure atmosperic hingga 50 kg/cm2 dengan temperatur 300 hingga 500oC. LTSC merupakan WGSR pada temperatur rendah. Umumnya kondisi operasi LTSC berada pada presure atmosperic hingga 50 kg/cm2 dengan temperatur 175 hingga 275oC .
Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa, semakin tinggi kandungan CO2 didalam reaktor secondary maka temperatur udara proses juga semakin tinggi. Menaikkan temperatur udara proses berarti menaikkan jumlah fuel ke primary reformer. Panas udara proses ini memanfaatkan panas fuel gas convection section primary reformer. Meskipun panas yang ditambah sudah cukup besar, tetapi trending temperatur keluaran secondary reformer mengarah turun. Zhanga dkk., 2003, Zamaniyan dkk., 2008, dan Nikoo dan Amin, 2011 menulis bahwa reaksi shift yang diharapkan mampu membantu kekurangan panas pada kasus tingginya volume CO2 pada kedua reaktor steam reforming diatas, tidak berkontribusi signifikan sehingga diperlukan panas dari luar yang lebih besar. Pada reaksi shift keberadaan CO2 intial menggeser kesetimbangan reaksi ke arah kiri.
Bertambahnya volume CO2 dalam gas umpan meningkatkan jumlah CO keluaran steam reforming ke HTSC. Untuk mendapatkan nilai setingan CO slip HTSC, kerja atau beban rektor ini lebih besar. Ini ditandai oleh tingginya Δ temperatur bed katalis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. Laju konversi CO menjadi CO2 meningkat tajam seperti pada Gambar 10 dengan penambahan laju pembentukkan rata-rata adalah 12,12 kmol/jam untuk setiap penambahan 1% vol CO2. Merespon tingginya CO di upstream, temperatur inlet HTSC yang diperlukan menjadi lebih rendah (Zamaniyan dkk, 2008). Hal ini dikarenakan jumlah CO yang besar mendorong reaksi ke arah kanan. Reaksi berjalan sebagai fungsi termodinamika. Profil temperatur inlet HTSC dan LTSC dapat dilihat pada Gambar 9 dan 11.
3.2.2. Shift Converter Syngas hasil proses reforming seperti yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki komponen utama berupa hidrogen, karbon oksida, nitrogen, argon dan sisa metana dalam konsentrasi tertentu tergantung pada propertis dan jumlah material umpan dan kondisi operasi pada seksi reforming. Tergantung pada tujuan akhir penggunaan syngas ini dan itu mungkin perlu dilakukan perubahan komposisi. Pada pabrik amoniak, carbon oxides perlu dihilangkan secara keseluruhan melalui tahapan shift konversi, carbon dioxide removal dan methanasi (Aasberg-Petersen dkk., 2011).
Umpan inlet LTSC memiliki steam to gas lebih rendah dan jumlah hidrogen dan CO sama untuk setiap kenaikkan CO2 dalam gas umpan steam reforming, temperatur inlet LTSC bisa lebih rendah merespon kondisi umpan untuk mencapai kesetimbangan (Zamaniyan dkk., 2008). Untuk beban konversi LTSC yang sama, selisih temperatur inlet dengan outlet konverter (Δ temperatur reaktor) lebih rendah.
Untuk mengoptimalkan yield hydrogen dan untuk menghilangkan carbon monoksida, syngas selanjutnya dialirkan ke shift converter sistem dimana reaksi water gas shift (WGS) atau sering disebut juga reaksi shift memainkan peran untuk merubah CO menjadi CO2 seperti yang ditunjukkan pada reaksi 4. Reaksi WGS adalah reaksi eksotermis reversible. Konstanta kesetimbangan
184
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
28
110
210
27
100
300
90 250
80
200
70
150 10
20
30
40
25
190
24 180
23
170
22 21
150
50
20 0
Kandungan CO2 (% vol)
1300
30
40
50
WHB
HE
85 Heat Duty (Gcal/Jam)
1200 1100 1000
900 800 700 600
75 65 55 45 35 25
10
20
30
40
15
50
0
Gambar 10. Laju konversi CO menjadi CO2 pada HTSC
Power
12
45 44
43
10
42
9
41
8
40
7
39 10
20
30
40
Power (Gcal/jam)
46
Press. Disch. Comp. (kg/cm2g)
13
30
40
50
Gambar 12. Heat duty WHB dan HE steam generator
Press. Disch
11
20
Kandungan CO2 Gas Umapan (% Vol)
Kandungan CO2 Gas Umpan (% Vol)
Press. drop
10
Steam turbin
1
18
0,9
16
0,8
14
0,7
12
0,6
10
0,5
8
0,4 0,3
6 0
50
Steam turbin (ton/jam)
0
0
20
Gambar 11. Profil Δtemperatur bed katalis dan temperatur inlet pada LTSC.
500
Pressure drop (kg/cm2g)
10
Kandungan CO2 Gas Umpan (% vol)
Gambar 9. Profil Δtemperatur bed katalis dan temperatur inlet pada HTSC
Laju Pembentukan (kmol/jam)
26
200
160
60 0
ΔT
220
Temperatur Inlet (oC)
Temperatur Inlet (oC)
350
Tin
120
ΔTemperatur (oC)
ΔT
ΔTemperatur (oC)
Tin 400
10
20
30
40
50
Kandungan CO2 Gas Umpan (% vol)
Kandungan CO2 Gas Umpan (% vol) Gambar 13. Pressure drop sistem
Gambar 14. Kinerja feed gas compressor dan kebutuhan steam turbin
185
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
3.2.3. Steam Generator
7% vol dalam gas umpan masih mungkin dioperasikan pada plant existing.
Ada dua exchanger sebagai pembangkit steam pada sistem ini yaitu Waste Heat Boiler (WHB) dan HE steam generator. WHB memanfaatkan panas syngas dari secondary reformer ke HTSC, HE steam generator memanfaatkan panas syngas dari HTSC ke LTSC (PIM, 2004).
Tabel 4. Batasan pengoperasian Item Temp. Pri. Reformer Heat duty tubes catalyst Temp. Sec. Reformer Heat duty WHB Temp. HTSC Temp. LTSC Heat Duty HE Steam Gen. (Sumber : PIM, 2004)
Hasil simulasi Gambar 12 menunjukan bahwa beban panas WHB meningkat dengan bertambahnya volume CO2 didalam gas umpan. Penambahan panas ini semata-mata hanya disebabkan oleh penambahan massa dari CO2, padahal temperatur gas yang menuju ke WHB lebih rendah. Beban HE steam generator cenderung menurun. Penambahan 1% vol CO2 meningkatkan beban WHB 0,42 Gcal/jam dan menurunkan beban HE steam generator 0,04 Gcal/jam.
4.
Unit C Gcal/h o C Gcal/h o C o C Gcal/h o
Limit Min. Max. 750 850 64,27 950 1050 57,42 330 380 190 245 20,60
Kesimpulan
Penambahan CO2 dalam gas umpan akan menurunkan efisien di reforming dan shift converter sistem atau pabrik amoniak secara keseluruhan.
3.2.4. Feed Gas Compressor
Untuk penambahan 1% vol CO2 akan mengakibatkan : o Laju pembentukan komponen hidrogen di primary dan secondary reformer menurun sebesar 9,38% vol dan 2,74% vol. o Sebaliknya konsumsi energi dalam bentuk heat duty primary reformer meningkat 0,18 gcal/jam dan temperatur udara proses secondary reformer naik sebesar 2,78oC. o Beban katalis shift converter meningkat terutama HTSC yang ditandai dengan meningkatnya temperatur bed katalis sebesar 0,98oC. o Pressure drop sistem meningkat 0,08 kg/cm2g yang disertai oleh penambahan beban feed gas compressor sebesar 0,01 gcal/jam dengan penambahan konsumsi steam turbin 0,08 ton per jam . o Beban WHB meningkat sebesar 0,42 gcal/jam.
Feed gas compressor berfungsi menaikkan pressure gas umpan hingga bernilai tertentu, menjaga nilai ini sesuai dengan kebutuhan sistem steam reforming, shift converter dan purifikasi (PIM, 2004). Bertambahnya volume CO2 gas umpan menaikkan menaikkan pressure drop sistem. Untuk penambahan 1% vol CO2 akan meningkatkan pressure drop sistem ratarata 0,08 kg/cm2g. Profil pressure drop untuk setiap penambahan CO2 dapat lihat pada Gambar 13. Untuk mencapai back pressure di LTSC sebesar 33 kg/cm2g, kenaikan pressure drop ini akan menambah kerja feed gas compressor. Ini dapat dilihat pada Gambar 14 bahwa pressure discharge memiliki trending yang sama dengan power compressor. Secara otomatis kebutuhan steam untuk menggerakkan turbin compressor ini juga akan meningkat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14.
Ucapan Terima kasih Rasa terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada PT. Pupuk Iskandar Muda atas dukungan data operasional dan data pendukung lainnya pada penelitian ini.
3.2.5. Limit Plant Existing Peralatan-peralatan pada plant existing telah dirancang dengan batasan operasional tertentu. Perubahan % vol CO2 dalam gas umpan harus mengikuti batasan yang ada untuk memenuhi unsur proses dan mechanical. Bila semua parameter hasil studi dengan nilai tertentu seperti yang tertera pada Gambar 5 - 14 di masukkan ke Tabel 4, maka beban WHB menjadi kunci seberapa besar % vol CO2 gas umpan yang dibolehkan. Kandungan CO2 sebesar 6,91 ≈
Referensi Aasberg-Petersen K., Dybkjær I., Ovesen C.V., Schjødt N.C., Sehested J., Thomsen S.G. (2011) Natural gas to synthesis gas e Catalysts and catalytic processes, Journal of Natural Gas Science and Engineering, 3(2), 423 459.
186
Jefry Yusuf dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Amin M. R., Sharear S., Siddique N., Shaidul Islam (2013) Simulation of ammonia synthesis, American Journal of Chemical Engineering, 1(3), 59 - 64.
of Chemical Reactor Engineering, 8, 1 34. Suhartanto, T., York, A.P.E., Hanif, A. (2001) Potential utilisation of Indonesia’s natuna natural gas field via methane dry, Catalyst Letter, 71, 49 54.
Broadhurst V. P., Cotton J. B. (2005) Taking Feed Stock, Hydrocarbon Engineering. Galimov E.M., Rabbani A.M. (2001) Geochemical characteristics and origin of natural gas in Southern Iran, Geochem. Int., 39, 780 - 792.
Sun, C.Z., Wen, B.Y., Bai, B.F. (2015) Application of nanoporous graphene membranes in natural gas processing: Molecular simulation sof CH4/CO2, CH4/H2S and CH4/N2 separation, Chemical Engineering Science, 138, 616 - 621.
International Energy Outlook, (2013) U.S. Energy Information Administration.. Lin, WS., Zhang, N., Gu, AZ. (2010) LNG (liquefied natural gas): a necessary part in China's future energy infrastructure, Energy, 35, 4383 - 4391.
Twigg, V. M. (1989) Catalyst Handbook Second Edition, Wolfe Publishing Ltd.
Makogon Y. F. (2010) Natural gas hydratesA promising source of energy, Journal of Natural Gas Science and Engineering, 2, 49 - 59.
Xiong, X.O., Lin, W.S., Gu, A.Z. (2015) Integration of CO2 cryogenic removal with a natural gas pressurized liquefaction process using gas expansion refrigeration, Energy, 35, 1 9.
Newell, RG., Iler, S. (2013) The global energy outlook, National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA.
Yexin Y., Gosnell H. J. (2004) New fertilizer plant- cnooc chemical ltd, The 49th Annual Safety in Ammonia Plants and Related Facilities Symposium Denver, Colorado, USA.
Nikoo, M. K., Amin, N.A.S. (2011) Thermodynamic analysis of carbon dioxide reforming of methana in view of solid carbon formation, Fuel Processing Technology, 92, 678 – 691. PIM
(2004) Manual Operating Ammonia Plant, PT. Pupuk Iskandar Muda.
PIM
(2014) Natural Gas Laboratorium Analysis, PT. Pupuk Iskandar Muda.
Zamaniyan A., Zoghi, A.T., Ebrahimi H. (2008) Software development for design and simulation of terraced wall and top fired primary steam reformers, Computers and Chemical Engineering, 32, 1433 – 1446. Zhanga X., Colleen S.M. L., Mingosa P. M., and Haywarda O. D. (2003) Carbon dioxide reforming of methane with Pt catalysts using, Catalyst Letters, 88, 3 4.
Smith R. J. B., Loganathan M., Shanta M.S. (2010) A review of the water gas shift reaction kinetics, International Journal
187
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 10, No. 4, Hlm. 188 - 195, Desember 2015 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v10i4.3772
Sintesis dan Karakterisasi Membran Poliuretan dari Minyak Biji Karet dan Heksametilen-1,6-diisosianat Synthesis and Characterization Polyurethanes Membranes of Rubber Seed Oil and Hexamethylene-1,6-diisocyanate Salfauqi Nurman1, Marlina1,2*, Saiful1,2, Sitti Saleha1,2 Program studi Magister Kimia, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Jalan Tgk. Chiek Pante Kulu No.5, Darussalam, Banda Aceh 23111 dan 2 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala, Jalan T. Tanoh Abbbe No. 3, Darussalam, Banda Aceh 23111. *E-mail:
[email protected].
1
Abstrak Minyak biji karet dapat dimanfaatkan untuk pembuatan membran poliuretan. Minyak biji karet memiliki bilangan hidroksi 40,33 mgKOH/g dan bilangan iod 154,05 gI2/g. Sintesis membran poliuretan menggunakan metode ikatan silang. Ikatan silang terbentuk dengan mereaksikan minyak biji karet sebagai sumber gugus -OH dengan heksametilen-1,6-diisosianat sebagai sumber gugus -NCO. Membran poliuretan yang optimum dihasilkan pada komposisi 4,55:5 (g/g) memiliki sifat homogen, kering, elastis, berwarna kuning kecoklatan, bergelombang, fluks 0,544 L/m2.h.bar dan faktor rejeksi 100%. Hasil karakterisasi membran menunjukkan terbentuknya ikatan uretan pada bilangan gelombang 3480 cm-1, struktur morfologi membran padat, memiliki dua tahap dekomposisi pada 210oC dan 392oC, titik transisi gelas 65oC, kekuatan tarik 1,03 kgf/mm2 dan elongasi 497,14%. Dari hasil karakterisasi membran poliuretan, membran tersebut dapat digolongkan pada tipe membran reverse osmosis. Kata kunci: Heksametilen-1,6-diisosianat, karet
karakterisasi membrane, poliuretan,
minyak biji
Abstract Rubber seed oil can be used for the synthesis of polyurethane membranes. Rubber seed oil has a hydroxyl number 40.33 mgKOH/g and iodine number 154.05 gI2/g. Synthesis of polyurethane membranes using crosslinking, Crosslinking is formed by reacting a rubber seed oil as a source of -OH group with hexamethylene-1,6-diisocyanate as a source –NCO group. Optimum polyurethane membrane which is produced on the composition of 4.55: 5 (g/g) has a homogeneous nature, dry, elastic, brownish yellow, wavy, flux of 0.544 L/m2.h.bar and rejection factor of 100%. Membrane characterization results indicate the formation of a urethane bond at wave number 3480 cm-1, the structure of dense membrane morphology, has two stages of decomposition at 210oC and 392oC, the glass transition point 65oC, tensile strength of 1.03 kgf/mm2 and elongation 497.14%. Characterization of the results of a polyurethane membrane, the membrane can be classified on the type of reverse osmosis membranes. Keywords:
Hexamethylene-1,6-diisocyanate, rubber seed oil,
membrane
characterization,
polyurethane,
1. Pendahuluan Polimer poliuretan terdiri dari sebuah rantai organik yang dihubungkan oleh ikatan uretan (-NHCOO-). Ada dua metode utama untuk pembuatan poliuretan yaitu reaksi biskloroformat dengan senyawa diamin dan reaksi diisosianat dengan senyawa dihidrasi (Stevens, 1989; Ramanathan dkk., 1999).
Poliuretan merupakan polimer yang banyak digunakan sebagai busa tempat tidur, sofa, asesoris mobil, serat, elastomer dan pelapis. Produk poliuretan mempunyai bentuk yang beragam yaitu dari plastik elastomer linier yang lembut sampai busa termoset yang keras dan kaku (Bakare dkk., 2010; Yang dkk., 2011; Das dkk., 2012; Gurunathan dkk., 2014; Zhang dkk., 2014; Datta, Głowińska, 2014). Poliuretan merupakan jenis polimer heteropolimer atau kopolimer yang tersusun dari monomer-monomer yang berbeda, sehingga penamaan poliuretan diambil dari jenis ikatan yang terbentuk.
Pembuatan poliuretan dengan metode reaksi diisosianat dengan senyawa dihidrasi, yaitu dengan cara mereaksikan senyawa yang mengandung gugus isosianat -NCO yang reaktif dengan senyawa yang mengandung gugus hidroksi -OH yang reaktif. Sehingga dapat membentuk ikatan uretan (-NHCOO-).
188
Salfauqi Nurman dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Reaksi polimerisasi yang terjadi adalah polimerisasi adisi (Stevens, 1989; Das dkk., 2012; Gurunathan dkk., 2014; Datta, Głowińska, 2014; Min dkk., 2014).
untuk mendapatkan sifat membran yang optimum. Membran poliuretan yang dihasilkan digunakan untuk menyaring logam merkuri pada air sumur yang berada disekitar penambangan emas.
Marlina (2007) mensintesis membran poliuretan dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dan asam lemak yang telah teroksidasi, yang berasal dari minyak jarak dengan 2,4-toluen diisosianat (TDI). Membran yang dihasilkan bersifat transparan, elastis, homogen, kuat, mempunyai titik transisi gelas 127,4oC dan kekuatan tarik 41,7 MPa. Tahun 2010 Marlina juga telah mensintesis membran poliuertan dari karagenan dan 2,4-toluen diisosianat (TDI). Membran poliuretan optimum yang dihasilkan mempunyai sifat kuat, elastis, transparan, kekuatan tarik 340 kgf/mm2, elongasi 9%, titik transisi gelas 243,6oC, titik leleh 423,02oC, fluks 39,2 L/m2.h dan faktor rejeksi 45,9%.
2. Metodelogi 2.1. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah peralatan gelas, timbangan analitik, alat soklet, rotary evaporator, oven, hotplet, magnetik stirer, modul membran (rakitan), atomic absorption spectrophotometry (AAS), fourier transform infrared (FTIR), gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS), scanning elektron microscope-energy dispersive x-ray (SEMEDX), thermogravimetric analysis (TGA), differential thermal analysis (DTA) dan alat uji tarik. Bahan-bahan yang digunakan adalah, heksametilen-1,6-diisosianat (HMDI), kloroform, aquades, asam asetat, fenoftalein (pp), KOH, KI, Na2S2O3, indikator amilum, n-heksan, NaCl, H2SO4, metanol. Sampel yang digunakan, yaitu biji karet yang diambil dari perkebunan warga di Desa Gunong Kleng, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh dan air sumur sebagai umpan diambil dari sumur yang berdekatan dengan tempat pengolahan emas, di Desa Datar Luas, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh.
Humberto dkk. (2013) telah membandingkan dua jenis membran poliuretan, yang disintesis dari termoplastik poliuretan komersial dan poliuretan yang disintesis dari minyak jarak dengan 4-4-disikloheksilmetan diisosianat. Hasil evaluasi dua membran tersebut dapat disimpulkan bahwa membran poliuretan dari minyak jarak menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan membran dari poliuretan komersial. Biji karet mengandung minyak 40-50% (17-21% asam oleat, 35-38% asam linoleat, 21-24% asam linolenat, 1% asam arachidic, 5-12% asam stearat, 9-12% asam palmitat, dan 220% asam lemak bebas lainnya) (Novia dkk., 2009; Setyawardhani dkk., 2010). Minyak biji karet memiliki warna (lovinbond) 22R;23,2Y, berat jenis 0,916, bilangan asam 43,62 mg KOH/g, asam lemak bebas 21,4, bilangan penyabunan 202,91 mg/g dan bilangan iodine 136,21 g I2/100g (Bakare dkk., 2010).
2.2. Ekstraksi Minyak Biji Karet Proses ekstraksi minyak biji karet dimulai dari proses pembersihan biji karet, dikupas dan dikeringkan pada suhu kamar, dihaluskan menjadi serbuk, diekstrak menggunakan soklet dengan pelarut n-heksan pada suhu 80°C selama 4 jam. Untuk memisahkan minyak biji karet dan n-heksan menggunakan rotary evaporator pada suhu 60°C selama 30 menit.
Minyak biji karet mengandung trigliserida atau ester gliserol dan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini mengandung dua gugus fungsi, yaitu gugus hidroksi dan ikatan rangkap yang dapat digunakan sebagai sumber –OH. Pada penelitian ini minyak biji karet dimanfaatkan sebagai sumber –OH, yang direaksikan dengan heksametilen-1,6-diisosianat sebagai sumber -NCO untuk sintesis membran poliuretan. Sintesis membran poliuretan menggunakan metode ikatan silang (Mulder, 1996). Kinerja membran sangat ditentukan oleh sifat fisik, kimia dan mekanik membran. Oleh karena itu pada penelitian ini diuji variasi komposisi heksametilen-1,6-diisosianat dengan tujuan
2.3. Karakterisasi Minyak Biji Karet 2.3.1. Analisis bilangan hidroksi Bilangan hidroksi ditentukan dengan menimbang 2 gram sampel ditambahkan 4 mL reagen asetilasi, kemudian dipanaskan sampai suhu 98oC selama 2 jam, didinginkan pada temperatur kamar, ditambahkan 6 mL aquades, dibilas tutup dan dinding botol. Kemudian didiamkan selama 24 jam, ditambahkan indikator pp 1% sebanyak 3-4 tetes dan dititrasi dengan larutan KOH 0,5 N. 189
Salfauqi Nurman dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
2.3.2. Analisis bilangan iod
2.5.3. Analisis gugus fungsi
Bilangan iod ditentukan dengan menimbang sekitar 0,03-0,04 gram sampel, kemudian dimasukkan kedalam labu erlenmeyer, ditambahkan 10 mL kloroform dan 30 mL larutan hanus, sampel disimpan selama 30 menit di tempat gelap. Setelah itu ditambahkan 10 mL larutan KI 15 % dan 100 mL aquades, dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi kekuning-kuningan, ditambahkan 1-2 mL larutan amilum dan dititrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai larutan berubah menjadi jernih.
Analisis gugus fungsi membran poliuretan menggunkan fourier transform infrared (FTIR) (Agilent resolution pro cary 630 FTIR spectrometer), dilakukan di Laboratorium Instrumen, Jurusan Kimia FMIPA UNSYIAH, Banda Aceh. 2.5.4. Struktur morfologi membran Struktur morfologi membran dilihat menggunakan scanning elektron microscopeenergy dispersive x-ray (SEM-EDX) (Tabletop microscope 3000), dilakukan di Laboratorium Material, Jurusan Teknik Mesin FT UNSYIAH, Banda Aceh.
2.3.3. Analisis komponen minyak Analisis komponen minyak biji karet menggunakan gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS) (GC2010 MSQP 2010S Shimadzu), dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, UGM, Yogyakarta.
2.5.5. Analisis termal Analisis termal membran poliuretan menggunakan thermogravimetric analysis (TGA) (SDT Q600) dan differential thermal analysis (DTA) (SDT Q600), dilakukan di Laboratorium Terpadu USU, Medan.
2.4. Pembuatan Membran Poliuretan Pembuatan membran poliuretan menggunakan metode ikatan silang dengan cara mereaksikan minyak biji karet dengan heksametilen-1,6-diisosianat. Minyak biji karet 4,55 gram, ditambah heksametilen1,6-diisosianat variasi komposisi 1, 3, 4, 5 dan 7 gram, diaduk menggunakan magnetik stirer pada suhu 90-100°C selama 60 menit, dicetak di dalam cawan petri, kemudian dicuring dalam oven pada suhu 165-170°C selama 8 jam. Setelah membran terbentuk, maka membran dilepas dalam air yang mengalir dengan bantuan spatula.
2.5.6. Analisis mekanik Kekuatan mekanik membran diuji dengan alat uji terik (Control komputer series 10100 KN), dilakukan di Laboratorium Material, Jurusan Fisika FMIPA UNSYIAH, Banda Aceh. 2.5.7. Analisis ketahanan kimia Ketahanan kimia diuji dengan cara merendam membran pada beberapa bahan kimia. Sampel membran poliuretan dipotong melingkar dengan diameter 2,3 cm, dikeringkan dalam oven pada suhu 115oC selama 15 menit, didinginkan dan ditimbang sebagai berat awal (wt0), dimasukkan pada masing-masing larutan (NaCl 10%, KOH 3%, aquades, air sumur, H2SO4 3% dan metanol 25%), ditutup dan disimpan selama 7 hari. Setelah 7 hari, sampel diambil, dicuci menggunakan aquades, dikeringkan dalam oven pada suhu 115oC selama 15 menit, didinginkan dan ditimbang (wt7).
2.5. Karakterisasi Membran Poliuretan 2.5.1. Proses filtrasi Proses filtrasi dengan cara dead-end, menggunakan modul membran (rakitan). Membran dengan luas permukaan 22,051 cm2 dipasang pada modul, dimasukkan 50 mL air sumur sebagai umpan ke dalam modul, tekanan dinaikkan perlahan-lahan sampai 20 bar, dihitung volume permeat yang dihasilkan setelah 20 menit.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Minyak Biji Karet
2.5.2.
Penentuan konsentrasi dan permeat
umpan Proses ekstraksi minyak biji karet dimulai dengan pengupasan biji karet, 1 Kg biji karet menghasilkan 612,40 gram daging biji dan 387,60 gram kulit biji karet. Setelah pengeringan daging biji untuk mengurangi kadar air dalam daging biji, daging biji karet berkurang menjadi 411,85 gram. Proses ekstraksi minyak biji karet menghasilkan
Penentuan konsentrasi logam merkuri pada umpan dan permeat, menggunakan atomic absorption spectrophotometry (AAS) (AA6300), dilakukan di Laboratorium Instrumen, Jurusan Kimia FMIPA UNSYIAH, Banda Aceh.
190
Salfauqi Nurman dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
minyak 167,86 gram atau 40,76% (g/g). Hasil penelitian lain menyebutkan kandungan minyak dalam biji karet sebanyak 40-50% (Novia dkk., 2009; Styawardhani dkk., 2010). Minyak biji karet yang dihasilkan berwarna kuning dengan berat jenis 0,9108 g/cm3.
3781222 -
2
Intensitas
3
3.2. Karakterisasi Minyak Biji Karet 3.2.1. Bilangan hidroksi dan bilangan iod minyak biji karet Penentuan bilangan hidroksi dan bilangan iod, bertujuan untuk mengetahui jumlah gugus -OH dan jumlah ikatan rangkap pada minyak. Komponen-komponen berhubungan langsung dengan material untuk pembuatan membran poliuretan. Bilangan hidroksi dan bilangan iod minyak biji karet yang dihasilkan berturut-turut yaitu 40,33 mg KOH/g dan 154,05 gI2/g. Hasil penelitian lain juga menyebutkan hasil yang sama (Bakare dkk., 2010; Wildan dkk., 2014).
4 1
0.0
40.0
Waktu retensi (menit)
50.0
Gambar 1. Kromatogram GC minyak biji karet
3.3. Membran Poliuretan
Hasil analisis komponen minyak biji karet terlihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Gambar 1 menunjukkan kromatogram GC minyak biji karet, ada 4 puncak yang dihasilkan. Puncak tersebut difragmentasi pada MS untuk melihat berat molekul (m/z) dari masingmasing puncak. Hasil m/z dari masingmasing puncak (Tabel 1) disesuaikan dengan data referensi. Sehingga dari keempat puncak tersebut dapat diketahui jenis senyawanya.
Pembuatan membran poliuretan dengan memvariasikan komposisi heksametilen-1,6diisosianat, untuk mendapatkan membran yang optimum. Tabel 2 menunjukkan variasi komposisi heksametilen-1,6-diisosianat, yang menghasilkan membran poliuretan yang berbeda karakteristiknya. Komposisi heksametilen-1,6-diisosianat 1 dan 3 gram menghasilkan membran poliuretan yang tidak kering (berminyak). Hal ini disebabkan karena masih banyak sisa minyak yang tidak bereaksi. Sedangkan pada komposisi heksametilen-1,6-diisosianat 7 gram menghasilkan membran poliuretan yang kering, sedikit kaku dan kurang elastis. Membran dengan karakeristik seperti ini tidak baik untuk diaplikasikan di lapangan.
Senyawa yang dihasilkan dari keempat puncak tersebut adalah asam palmitat, asam linoleat, asam oleat dan asam stearat. Asam linoleat memiliki persen kelimpahan yang terbesar yaitu 41,06%. Hasil penelitian lain juga menyebutkan kandungan terbesar minyak biji karet adalah asam linoleat (Novia dkk., 2009; Setyawardhani dkk., 2010; Bakare dkk., 2010). Minyak biji karet yang dihasilkan mengandung asam lemat jenuh
Komposisi optimum antara minyak biji karet dan heksametilen-1,6-diisosianat yaitu 4,55:5 (g/g) dengan suhu polimerisasi 90100°C dan suhu curing 165-170°C. Membran poliuretan yang dihasilkan bersifat homogen, kering (tidak berminyak), elastis, berwarna kuning kecoklatan dan bergelombang, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Komposisi optimum tersebut yang akan dikarakterisasi lebih lanjut.
3.2.2. Komponen minyak biji karet
20,35% dan asam lemak tak jenuh 79,65%. Tabel 1. Hasil GC-MS Minyak biji karet Puncak
Waktu retensi (menit)
Kelimpahan (%)
Intensitas
1 2 3 4
40,79 44,36 44,47 44,85
9,92 41,06 38,59 10,43
1178399 3547922 2741185 1216092
191
Berat molekul (m/z) 270 294 264 298
Senyawa Asam palmitat Asam linoleat Asam oleat Asam stearat
Salfauqi Nurman dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 10, No. 4
Tabel
2.
Variasi komposisi pada membran poliuretan
MBK* HMDI* No (gram) (gram) 1.
4,55
dengan melihat hubungan linier antara tekanan yang digunakan dan fluks yang dihasilkan.
pembuatan
Keterangan visual membran poliuretan
3.4.2. Gugus fungsi membran
1
tidak kering, mudah sobek, bergelombang 2. 4,55 3 sedikit tidak kering, elastis, bergelombang 3. 4,55 4 kering, elastis, bergelombang 4. 4,55 5 kering, elastis, bergelombang 5. 4,55 7 kering, sedikit kaku, bergelombang *MBK = minyak biji karet *HMDI = heksametilen-1,6-diisosianat
Gambar 3 menunjukkan spectrum FTIR dari minyak biji karet (biru), heksametilen-1,6diisosianat (merah) dan membran poliuretan (hijau). Spektrum dari membran poliuretan menunjukkan terbentuknya ikatan uretan. Ikatan uretan ditandai dengan adanya serapan terhadap ikatan -N-H pada bilangan gelombang 3480 cm-1 dan 1540 cm-1, -C-N pada bilangan gelombang 1374 cm-1, -C=O pada bilangan gelombang 1738 cm-1. Serta tidak adanya serapan -NCO pada bilangan gelombang 2280 cm-1 untuk spektrum membran poliuretan. Hal tersebut menunjukkan bahwa isosianat (-NCO) dari heksametilen-1,6-diisosianat habis bereaksi dengan minyak biji karet membentuk uretan.
10,7 cm
100 -
Transmitan (%T)
Gambar 2. Membran poliuretan
3.4. Karakteriasi Membran Poliuretan 3.4.1. Proses filtrasi Tabel 3 menunjukkan hasil fluks dan faktor rejeksi membran poliuretan dari proses filtrasi. Faktor rejeksi didapat dengan menghitung konsentrasi logam merkuri, pada umpan dan permeat dengan menggunakan atomic absorption spectrophotometry (AAS). Umpan yang digunakan berupa air sumur yang tercemar merkuri dengan konsentrasi 0,0703 ppb, permeat yang dihasilkan tidak terdeteksi adanya logam merkuri. Sehingga faktor rejeksi yang dihasilkan adalah 100%.
MBK (gram)
HMDI (gram)
1. 2. 3.
4,55 4,55 4,55
4 5 7
Fluks L/m2.h.bar 0,680 0,544 0,612
N-H
MBK HMDI MPU
C-N
NCO 0
3800
3000
2200
C=O 1400
600
Bilangan gelombang (cm-1) MBK = minyak biji karet HMDI = heksametilen-1,6-diisosianat MPU = membran poliuretan Gambar 3. Spektrum FTIR minyak biji karet, HMDI dan membran poliuretan
3.4.3. Struktur morfologi membran Struktur morfologi membran poliuretan dianalisa menggunakan SEM pada bagian cross sectional dengan pembesaran 100x dan 500x. Hasil photo SEM diperlihatkan pada Gambar 4. Dari gambar tersebut terlihat bahwa, membran yang dihasilkan merupakan membran padat (dense). Tidak terlihat adanya struktur pori pada bagian cross section membran. Struktur morfologi membran dense seperti ini berhubungan dengan material polimer yang serta proses pembentukan yang digunakan. Hasil ini mendukung nilai fluks yang kecil, karena prinsip pemisahan pada membran padat berdasarkan proses difusi permeat, sehingga laju alir permeat yang dihasilkan kecil.
Tabel 3. Hasil fluks dan faktor rejeksi
No
N-H
Faktor rejeksi % * 100 *
* Tidak dianalisis
Hasil fluks dan faktor rejeksi menunjukkan bahwa membran poliuretan yang disintesis dapat digunakan untuk menyaring merkuri pada air. Tipe membran yang dihasilkan adalah membran reverse osmosis (RO),
192
100 -
Berat (%)
80 60 40 -
20 -
0
200
Temperatur
400
600
(oC)
Gambar 5. Kurva TGA membran poliuretan
Gambar 6 menunjukkan hasil analisis termal menggunakan differential thermal analysis (DTA). Analisis termal menggunakan DTA merupakan suatu teknik analisis, dengan menentukan perbedaan temperatur (∆T) antara sampel dan bahan pembanding, yang terlihat perbedaannya pada sumbu Y. Sedangkan sumbu X merupakan kenaikan pemanasan sampel dan pembanding. Dari kurva DTA tersebut terlihat bahwa titik transisi gelas membran poliuretan pada suhu 65°C. Transisi gelas merupakan pergeseran endotermik pada garis dasar (baseline) awal karena kapasitas panas sampel yang naik (Stevens, 1989).
Gambar 4. Morfologi membran poliuretan dengan pembesaran 100x dan 500x
Perbedaan temperatur (⁰C/mg)
3.4.4. Ketahanan termal Hasil analisis termal membran poliuretan menggunakan thermogravimetric analysis (TGA), terlihat pada Gambar 5 dan Tabel 4. Terdapat dua tahap dekomposisi membran, yang ditandai dengan kehilangan berat pada suhu 210oC dan 392oC. Dekomposisi pertama terjadi pada titik terlemah dalam struktur makromolekul dan dekomposisi kedua terjadi pada ikatan uretan, unit yang termostabil, gugus aromatik dan kelompok ester dari soft segment dalam struktur makromolekul (Das dkk., 2012; Humberto dkk., 2013; Saalah dkk., 2014; Gurunathan dkk., 2014). Membran poliuretan kehilangan berat 50% pada suhu 413oC, kehilangan berat 90% pada suhu 478oC dan sisa residu 2,2% pada suhu 500oC.
T1end
T2 on
T2end
T50%
T90%
residu 500oC
210
332
392
464
413
478
2,2%
-0.02 -0.04 -0.06 -0.08 -0.10 0
200
400
600
Temperatur (⁰C)
Gambar 6. Kurva DTA membran poliuretan
3.4.5. Kekuatan mekanik Kekuatan mekanik membran diuji dengan uji tarik. Hasil uji terik menunjukkan bahwa membran poliuretan yang dihasilkan memiliki sifat kuat dan elastis, dengan tensile strength 1,03 kgf/mm² dan elongasi 497,14%. Nilai tensile strength pada membran poliuretan, disebabkan karena adanya ikatan silang uretan (hard segment) yang terbentuk. Sedangkan nilai elongasi pada membran, disebabkan oleh panjangnya
Tabel 4. Hasil TGA untuk membran poliuretan T1 on
0.0 -
193
rantai minyak sebagai soft segment yang dapat mengalami kemuluran (elastis) jika ditarik.
terhadap bahan kimia kecuali pada basa (KOH 3%). Dari hasil karakterisasi membran poliuretan, membran tersebut dapat digolongkan pada tipe membran reverse osmosis.
3.4.6. Ketahanan kimia Analisis ketahanan kimia bertujuan untuk melihat ketahanan membran terhadap umpan dengan kondisi yang ekstrim (seperti asam, basa, garam atau alkohol). Membran poliuretan yang dihasilkan cenderung tahan terhadap beberapa bahan kimia (asam, garam atau alkohol), yang hanya mengalami kehilangan berat ± 1%, terlihat pada Tabel 5. Hal ini disebabkan karena adannya berbagai jenis interaksi yang kuat dalam struktur membran poliuretan. Sedangkan pada larutan KOH 3% (basa) membran poliuretan mengalami kehilangan berat 15,1495%. Hal ini disebabkan karena adanya perlawanan dari alkali (basa) terhadap ikatan ester terhidrolisa, dalam struktur minyak pada membran, atau terjadinya proses saponifikasi (Das dkk., 2012). Terjadinya proses saponifikasi tersebut ditandai dengan adanya perubahan warna larutan KOH 3%, dari bening menjadi berwarna kuning dan berbusa (sabun), setelah 7 hari perendaman.
Daftar Pustaka
Tabel 5.
Gurunathan, T., Mohanty, S., Nayak, S.K. (2014) Isocyanate Terminated Castor Oil-Based Polyurethane Prepolymer: Synthesis and Characterization, Journal Progress in Organic Coatings, 80, 39-48.
Kehilangan berat membran perendaman dalam larutan
Larutan NaCl 10% KOH 3% Aquades Air sumur H2SO4 3% Metanol 25%
Wt0 (gram) Wt7 (gram) 0,3045 0,3010 0,3359 0,3324 0,2969 0,3551
0,3015 0,2554 0,3333 0,3294 0,2942 0,3529
Bakare, I.O., Okieimen, F.E., Pavithran, C., Abdul, H.P.S.K., Brahmakumar, M. (2010) Mechanical and Thermal Properties of Sisal Fiber-Reinforced Rubber Seed Oil-Based Polyurethane Composites, Material and Design, 31, 4274-4280. Das, B., Konwar, U., Mandal, M., Karak, N. (2012) Sunflower Oil Based Biodegradable Hyperbranched Polyurethane As a Thin Film Material, Industrial Crop and Products, 44, 396404. Datta, J., Głowińka, E. (2014) Effect of Hydroxylated Soybean Oil and BioBased Propanediol on the Structure and Thermal Properties of Synthesized Bio-Polyurethanes, Journal Industrial Crop and Products, 61, 84-91.
setelah
Kehilangan berat (%) 0,9852 15,1495 0,7740 0,9025 0,9094 0,6195
Humberto, J.S.A.J., Assunpcao, D.B., Meneguzzi, A., Arthur, C.F., Dani, F.R.A. (2013) Castor Oil and Commercial Thermoplastic Polyurethan Membrane Modified with Polyaniline: A Comparative Study, Journal Materials Research, 16(4), 860-866.
4. Kesimpulan Minyak biji karet yang direaksikan dengan heksametilen-1,6-diisosianat dapat menghasilkan membran poliuretan. Komposisi optimum pada sintesis membran poliuretan dari minyak biji karet dan heksametilen-1,6diisosianat adalah 4,55:5 (g/g). Membran yang dihasilkan memiliki sifat homogen, kering, elastis, berwana kuning kecoklatan bergelombang, fluks 0,544 L/m2.h.bar dan faktor rejeksi 100%. Hasil karakterisasi membran poliuretan menunjukkan terbentuknya ikatan uretan pada bilangan gelombang 3480 cm-1, struktur morfologi membran padat, memiliki dua tahap dekomposisi pada 210oC dan 392oC, titik transisi gelas 65oC, tensile strength 1,03 kgf/mm2, elongasi 497,14% dan membran poliuretan yang dihasilkan juga tahan
Marlina (2007) Pemanfaatan Asam Lemak Bebas Teroksidasi dari Minyak Jarak untuk Sintesis Membran Poluretan, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 6(2), 67-70. Marlina (2010) Sintesis Membran Poliuretan dari Karagenan dan 2,4 Toylulene diisosianat, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 7(3), 138-148. Min,
194
M.A., Yaakob, Z., Kamarudin, S., Chuah, L.A. (2014) Synthesis and Characterization of Jatropha (Jatropha Curcas L.) Oil-Based Polyurethane Wood Adhesive, Industrial Crops and Products, 60, 177-185.
Mulder, M. (1996) Basic Principles of Membrane Technology, 2nd edition, Kluwer Academic Publisher, London.
Pre-Treatment, Ekuilibrium, 9(1), 1115. Stevens, M.P. (1989) Polymer Chemistry, Oxford University Press, Inc University of Hartford, USA.
Novia, Yuliyati, H., Yuliandhika, R. (2009) Pemanfaatan Biji Karet Sebagai Semi Drying Oil Dengan Metode Ekstraksi Menggunakan Pelarut N- Heksana, Jurnal Teknik Kimia, 16(4), 1-10.
Wildan, A., Hartati, I., Widayat (2014) Proses Ekstraki Minyak dari Limbah Padat Biji Karet Berbantu Gelombang Mikro, Momentum, 10(1), 1-5.
Ramanathan L.S., Sivaran S., Munmaya K. M. (1999) Polyurethanes, Polymer Data Handbook, Oxford University Press Inc., USA.
Yang, L.T., Shan, C.Z., Lan, C.D., Yu, L.F., Quan, S.L. (2011) Thermal and Mechanical Propertise of Polyurethane Rigid Foam Based on Epoxidized Soybean Oil, Journal of Polymer and the Environment, 20, 230-236.
Saalah, S., Chuah, L.A., Min, M.A., Zah, M.A., Zah, M.S., Radiah, D.A.B., Basri, M., Rose, E.J. (2014) Waterborne Polyurethane Dispersions Synthesized from Jatropha Oil, Journal Industrial Crops and Products, 64, 194-200.
Zhang, M., Pan, H., Zhang, L., Hu, L., Zhou, Y. (2014) Study of the Mechanical, Thermal Properties and Flam Retardancy of Rigid Polyurethane Foams Prepared From Modified CastorOil-Based Polyols, Journal Industrial Crops and Products, 59, 135-143.
Setyawardhani, D.A., Distantina, S., Dewi, N., Utami, M.D. (2010) Pembuatan Biodiesel Berkualitas Baik Dengan Acid
195
Vol. 10, No. 4, Desember 2015
ISSN: 1412-5064 (cetak), 2356-1661 (online)
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Indek Penulis
Alhamidi Yusran, 171 Dewi A. Iryani, 157 Husni Husin, 178 Jefry Yusuf, 178 Mahidin, 171 Marlina, 188 Marisa Handayani, 148 Marwan, 178 Muhammad Moniruzzaman, 165 M. Dani Supardan, 171 Nine Tria Rossa, 157 Prayatni Soewondo, 148 Prismita Nursetyowati, 148 Revie Financie, 165 Saiful, 188 Salfauqi Nurman, 188 Sitti Saleha, 188 Suripto D. Yuwono, 157 Yoshimitsu Uemura, 165
Vol. 10, No. 4, Desember 2015
ISSN: 1412-5064 (cetak), 2356-1661 (online)
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Indek Subjek Acetic acid, 157 Adsorption capacity, 171 Biogas, 148 Biomass pretreatment, 165 Biowaste, 148 Cellulose, 165 Co2 content, 178 Energy, 178 Enzymatic delignification, 165 Feed gas, 178 Furfural, 157 Gas emission, 171 Hexamethylene-1,6-diisocyanate, 188 Hydrolysis, 157 Ionic liquid, 165 Membrane characterization, 188 Mercury, 171 Particulat, 171 Polyurethane, 188 Puming stone, 148 Reforming, 178 Rubber seed oil, 188 Shift converter, 178 Simulation, 178 Sugarcane bagsse, 157 Sulfur, 171 Trace metal, 171 UAFB-R, 148
Petunjuk Penulisan Artikel Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Tentang Jurnal Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan (RKL) diterbitkan oleh Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. RKL terbit dalam versi cetak (ISSN. 1412-5064) dan versi online (e-ISSN. 23561661). Versi cetak jurnal RKL telah terbit sejak tahun 2004. Sedangkan versi online, RKL dipublikasikan mulai sejak tahun 2006. RKL adalah jurnal open akses dengan pelibatan mitra bestari (peer-reviewed). RKL telah diindeks oleh Indonesian Publication Index (IPI) dan Google Scholar. Jurnal RKL terbit dua kali pertahun yaitu setiap bulan Juni dan Desember Naskah yang ingin dipublikasikan pada RKL harus merupakan naskah asli hasil penelitian dan juga naskah hasil studi literature yang memiliki kontribusi dan aplikasi dengan bidang yang berkaitan dengan ilmu teknik kimia dan teknik lingkungan. RKL menerima kontribusi berupa hasil penelitian, review artikel, atau studi kasus yang belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah lain Naskah Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian, review artikel, atau studi kasus yang belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah lain maupun sedang dipertimbangkan penerbitannya di jurnal lain. Bagi naskah yang telah pernah dipresentasikan pada seminar, harap mencantumkan nama seminar, lokasi dan waktunya pada catatan kaki. Fokus dan ruang lingkup Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan adalah jurnal open akses, yang menerbitkan paper berkaitan dengan ilmu teknik kimia dan teknik lingkungan. Topik-topik yang berhubungan dengan kedua ilmu tersebut adalah: • Food and Biochemical Engineering • Catalytic Reaction Engineering • Clean Energy Technology • Environmental and Safety Technology • Fundamental of Chemical Engineering and Applied Industry • Industrial Chemical Engineering • Material Science and Engineering • Process and Control Engineering • Polymer and Petrochemical Technology • Membrane Technology • Agro Industrial Technology • Separation and Purification Technology • Environmental Modeling • Environment and Information Sciences • Water/Waste Water treatment and Management • Material Flow Analyses • Clean Development Mechanism Bahasa. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Format. 1. Naskah terdiri dari Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila diperlukan), Notasi (bila diperlukan), dan Daftar Pustaka. 2. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 6.0 (atau versi lebih tinggi) pada kertas A4 (210mm x 297 mm) dalam bentuk ketikan 1 spasi, dengan huruf Verdana 9 pitch. Untuk abstrak, keterangan tabel dan keterangan gambar menggunakan font Verdana ukuran 8 pitch. 3. Petunjuk ukuran font untuk setiap bagian dapat dikuti lebih detil pada template jurnal. 4. Halaman kertas diset dengan margin kiri 3 cm, margin kanan 2,5 cm, margin atas 3,3 cm dan margin bawah 2,5 cm. Untuk bagian judul, nama penulis, afiliasi, dan abstrak dalam bentuk satu kolom dengan jarak atar kolom 1 cm. Untuk bagian pendahuluan sampai daftar pustaka dalam bentuk satu kolom. 5. Penggunaan satuan SI sangat diharapkan. Rumus-rumus Kimia dan matematika diberikan nomor (1), (2), dan seterusnya. Keterangan Naskah Judul. Tidak lebih 20 kata ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, serta harus jelas dan informatif. Ditulis dengan huruf Verdana 2 pitch (bold untuk judul bahasa Indonesia, dan plain/regular untuk bahasa Iggris).
Nama Penulis. Ditulis lengkap tanpa gelar, disertai nama dan alamat instansi tempat penulis bekerja serta alamat e-mail . Abstrak. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan tidak melebihi dari 250 kata. Abstrak merupakan ringkasan naskah dengan memuat uraian dan hasil penelitian secara ringkas, tanpa opini penulis. Kata Kunci. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sebanyak-banyaknya 5 buah dan dicantumkan dibawah abstrak. Gambar, Grafik, dan Tabel harus diberi nomor secara berurutan sesuai dengan urutan pemunculannya dan diserahkan dalam bentuk siap cetak (siap dilayout) pada halaman tulisan (pada draft). Setiap gambar dan tabel diberi keterangan singkat yang diletakkan di bawah untuk gambar dan di atas untuk tabel. Gambar berupa foto dikirim dalam bentuk asli. Jika gambar atau tabel dikutip, sumbernya disebutkan sesuai dengan Daftar Pustaka. Tabel diketik satu spasi dan garis pembatas vertical tidak digunakan. Ukuran maksimum gambar tidak melebihi 10 x 15 cm. Daftar Pustaka. Menggunakan acuan pustaka primer mutakhir 5 tahun terakhir minimal 80%. Cara mengacu ke daftar acuan dilakukan dengan menuliskan nama penulis pertama dan tahun penerbitan di dalam kurung, misalnya (Ahmad dkk., 1999) untuk penulis lebih dari dua orang, atau (Leder, Bruno, 2000) untuk penulis dua orang. Penulisan daftar pustaka harus memuat semua nama penulis. Judul harus lengkap. Daftar pustaka disusun ke bawah menurut abjad nama akhir penulis pertama. Daftar pustaka dari suatu jurnal ilmiah ditulis: Wang, S., Zhang, Y., Chen, T., Wang, G. (2015) Preparation and catalytic property of MoO3/SiO2 for disproportionation of methyl phenyl carbonate, Journal of Molecular Catalysis: A Chemical, 398, 248254. Zhang, H., Yao, G., Wang, L., Su, Y., Yang, W., Lin, Y. (2015) 3D Pt/MoO3 nanocatalysts fabricated for effective electrocatalytic oxidation of alcohol, Applied Surface Science, 365, 294-300. Daftar pustaka dari suatu buku ditulis: Skelland, A. H. P. (1974) Diffusional Mass Transfer, John Wiley & Sons, New York. Shinnar, R. (1987), Use of residence and contact time distributions in reactor design, dalam Carberry, J. J., Varma, A. (eds.), Chemical Reaction and Reactor Engineering, Marcel Dekker, New York. Daftar pustaka dari suatu prosiding ditulis: Berbner, S., Loffler, F. (1994) Pulse jet cleaning of rigid ceramic barriers filters separating hard and brown coal fly ashes at high temperature, Proceeding of the 11th International Pittsburgh Coal Conference, Pittsburgh. Daftar pustaka dari suatu tesis/disertasi ditulis: Riley, R. J. (1987) The magnetically stabilized fluidized bed as a solid/liquid separator, M.S. Thesis, University of Michigan, U.S.A. Daftar pustaka dari suatu paten ditulis: Primack, H.S. (1983) Method of Stabilizing Polyvalent Metal Solutions, U.S. Patent No. 4,373,104 Peer Review Process Naskah yang masuk ke Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan akan direview oleh sedikitnya dua orang reviewer, yang bidangnya sesuai. Reviewer dapat berasal dari kalangan akademisi baik dari dalam maupun luar Universitas Syiah Kuala. Waktu yang diperlukan untuk mereview naskah biasanya adalah satu bulan. Naskah yang masuk akan melalui proses double-blind review Open Access Policy Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan dikelola secara open journal system (OJS). Jurnal ini menyediakan akses terbuka (Open Access) secara langsung terhadap semua konten yang ada pada website jurnal. Artinya semua orang baik penulis maupun pembaca dapat mengkases secara gratis semua artikel yang dimuat pada website jurnal RKL. Semua artikel yang telah dinyatakan diterima setelah melalui proses review dan revisi dinyatakan dinyatakan layak publish baik secara cetak maupun secara online. Artikel akan tersedia pada website secara permanen dalam jangka waktu tertentu. Dengan metode seperti ini diharapkan semua informasi ilmu pengetahuan yang tercantum pada jurnal yaitu berupa hasil penemuan di laboratorium ataupun studi kasus, serta review akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu bagi masyarakat. Copyright Transfer Agreement (CTA Naskah yang telah dipublikasikan atau dikirimkan ke jurnal lain tidak dibenarkan untuk dikirimkan ke JRKL. Naskah yang merupakan perbaikan atau pengembangan dari naskah seminar, simposium dan workshop dapat diterbitkan JRKL dengan menyebutkan hal tersebut pada saat pengirimannya. Naskah yang dikirimkan ke JRKL harus bebas dari plagiarism dan self-plagiarism.
Penulis juga perlu mengirimkan dokumen terkait dengan Copyright Transfer Agreement (CTA) Form yang telah ditandatangani (scan copy dari form asli yang telah diisi) bersama dengan naskah yang akan dikirimkan secara online (dalam bentuk file pendukung (supplementary file)). File Copyright Transfer Agreement (CTA) form bisa diunduh di website RKL Biaya Pemrosesan Artikel Artikel yang telah dinyatakan layak publikasi pada Jurnal Rekayasa Kimia dan lingkungan akan dikenakan biaya publikasi sebesar Rp. 200.000 (Dua ratus ribu rupiah). Biaya tersebut sudah termasuk biaya dua eksemplar jurnal versi cetak. Biaya tersebut dikirim ke rekening a.n. Umi Fathanah, No: 1580000689851 Bank Mandiri kk Unsyiah Cabang Darussalam. Submission Preparation Checklist Sebagai bagian dari proses submission, penulis harus mengecek kelengkapan semua persyaratan berikut. Editor berhak mengembalikan artikel jika tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan sesuai petunjuk. 1. File yang dikirimkan berformat OpenOffice, Microsoft Word. 2. Naskah anda ditulis sesuai dengan template Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan (RKL) 3. Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, atau Naskah berbahasa Inggris telah diperiksa tata-bahasa dan ejaannya. 4. Semua penulis sudah membaca naskah dan setuju untuk mempublikasikannya pada Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan 5. Referensi yang diacu merupakan jurnal primer mutakhir setidaknya 80% dari total referensi yang digunakan 6. File gambar dikirim juga secara terpisah dalam format 'jpg', file gambar hasil pengolahan dengan micr excel agar dicopy-paste special. Semua gambar dinamai dengan nomor gambar sesuai yang ada pada naskah. Pastikan gambar anda berkualitas baik, dengan kerapatan piksel besar dari 250 dpi. Template. Template penulisan artikel RKL dapat didownload pada website. Pengiriman Naskah. Online Submissions Naskah yang akan diterbitkan oleh Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan (JRKL) harus daftar secara online melalui website jurnal http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/RKL. Pastikan anda login terlebih untuk melanjutkan proses submit artikel. Untuk menghindari keterlambatan pemrosesan artikel, naskah disarankan dikirim juga ke email redaksi. Journal Contact Mailing Address JURNAL REKAYASA KIMIA DAN LINGKUNGAN Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111 Email:
[email protected] Principal Contact Nasrul Arahman, Dr. S.T., M.T. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdurrauf no. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111, Phone: +6285322997268, Fax: +6265152222
[email protected] Support Contact Mirna Rahmah Lubis Email :
[email protected] Wahyu Rinaldi Email:
[email protected]