Vol. 9 No. 3 Juni 2013
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan Journal of Chemical Engineering and Environment
Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan
Vol. 9
No. 3
Hal. 101-151
Jun—2013
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan ( Journal of Chemical Engineering and Environment ) Editor Ketua
: Dr. Nasrul Arahman, S.T., M.T.
Anggota
: Dr. M. Faisal, S.T., M. Eng, Dr. M. Dani Supardan, S.T., M.T, Dr. Ir. Suhendrayatna, M.Eng. Dr. Abrar Muslim, S.T., M. Sc, Dr. Ir. Husni Husin, M.T, Mirna Rahmah Lubis, S.T., M.S Umi Fathanah, S.T, M.T, Wahyu Rinaldi, S.T., M. Sc
Reviewer (Mitra Bestari) Dr. Ir. Darmadi, M.T (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Asri Gani, M.Eng (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Izarul Machdar, M. Eng (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Azhari, M. Sc (Universitas Malikussaleh), Dr. Suripto Dwi Yuwono, S.Si, M.T (Universitas Lampung), Dr. Sunu Herwi Pranolo, S.T., M.Sc (Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta), Dr. Yuli Setyo Indartono (Institut Teknologi Bandung), Dr. Muhammad Jawaid (University Sains Malaysia), Dr. Saeid Rajabzadeh Kahnamouei (Kobe University, Japan), Dr. Agus Saptoro (Curtin University, Malaysia)
Jurnal ini terbit setiap enam bulan sekali
Harga Langganan dua kali terbit: Propinsi Aceh
Rp 60.000,-
Luar Propinsi Aceh
Rp 80.000,- (termasuk ongkos kirim)
Untuk surat menyurat dan berlangganan, harap menghubungi Sdri. Nurhilal dengan alamat seperti tercantum di bawah. Petunjuk penulisan artikel dapat dilihat pada bagian dalam kulit belakang jurnal. 2013 Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia Tel. +62-651-7412301 Fax. (0651) 52222 http://jurnal.unsyiah.ac.id/RKL E-mail:
[email protected]
Vol. 9 No. 3 Juni 2013
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Daftar Isi Kata Pengantar Johann Fellner
101
Sanitary Landfilling – A Key Component of Waste Management
Abdul Gani Haji
110
Komponen Kimia Asap Cair Hasil Limbah Padat Kelapa Sawit
Saiful, Nurfitriana, Muliadi Ramli, Ilham Maulana
118
Pengembangan Membran Pemurnian Biodiesel
Sulastri, Erlidawati, Syahrial, Muhammad Nazar, Thursina Andayani
126
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) Hasil Budidaya Daerah Saree Aceh Besar
Vera Roni Setiawan, Cut Meurah Rosnelly, Darmadi
132
Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat Berbasis Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)
Umi Fathanah, Sofyana
138
Pembuatan Papan Partikel (Particle board) dari Tandan Kosong Sawit dengan Perekat Kulit Akasia dan Gambir
Panca Nugrahini Febriningrum
144
Pengaruh Konsentrasi Substrat Kulit Nanas dan Kecepatan Pengadukan terhadap Pertumbuhan Lactobacillus plantarum untuk Produksi Asam Laktat
Indek Penulis Indek Subjek Ucapan Terimakasih Petunjuk Penulisan Artikel
Magnesol
Pirolisis untuk
Pengantar Redaksi Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan (RKL) adalah sebuah jurnal yang memuat artikel hasil peneltian atau kajian literatur dalam bidang ilmu Teknik Kimia, Teknik Lingkungan, dan ilmu yang berkaitan dengan kedua ilmu tersebut. Volume 9 No. 3 Juni 2013 ini memuat 7 artikel. Topik umum pada edisi ini terdiri dari managemen pengelolaan limbah padat di negara sedang berkembang, pemanfaatan limbah padat kelapa sawit untuk produksi asap cair dan untuk pembuatan papan partikel , pengembangan membran untuk produksi biodiesel dan pengolahan limbah industri laundry, ekstraksi etanol dari ubi jalar ungu, dan produksi asam laktat dari limbah kulit nenas. Pada kesempatan ini, redaksi ingin menyampaikan terima kasih kepada para peneliti yang telah mengirimkan artikel hasil penelitiannya. Redaksi juga menyampaikan terima kasih kepada para reviewer yang telah meluangkan waktunya sehingga memungkinkan proses publikasi Jurnal RKL kali ini mencapai waktu yang direncanakan. Semoga hasil-hasil kajian yang dipaparkan pada jurnal ini dapat memberi tambahan pengetahuan kepada semua pembaca. Akhirnya, redaksi ingin menghimbau para pembaca dan peneliti di bidang Teknik Kimia dan bidang ilmu lain yang berkaitan agar dapat memanfaatkan Jurnal RKL untuk mempublikasikan hasil penelitiannya. Saran dan kritik yang mendukung pengembangan lebih lanjut jurnal ini sangat diharapkan.
Wassalam Banda Aceh, Juni 2013 Ketua Editor
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 101 - 109, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.778
Sanitary Landfilling – A Key Component of Waste Management Sanitary Landfilling – Komponen utama dari Pengelolaan Limbah Johann Fellner Institute for Water Quality, Resource and Waste Management, Vienna University of Technology, Karlsplatz 13/226, 1040 Vienna, Austria E-mail:
[email protected] Abstract In many affluent countries waste management is experiencing a fast transition from landfilling to sophisticated recycling and waste to energy plants. Thus, landfilling of waste becomes less important in these countries. The present paper discusses whether a similar development will take place in transition economies, or waste management systems will mainly rely on landfilling in the near future. For this purpose, the current waste management practices and associated environmental impacts as well as the economic situation of different countries in economic transition are analyzed. Based on the status quo, scenarios for improving waste management are developed and evaluated. Criteria for evaluation are economic parameters, and indicators pointing out if the goals of waste management (protection of human health and the environment, the conservation of resources), are reached. Based on the results of selected case studies, it is shown that for regions that can afford less than 20 €/capita and year for waste management, landfilling will remain a key component of waste management, since other disposal options such as waste to energy or mechanical biological pretreatment are too expensive. In addition, the results indicate that in many of these countries waste collection still represents a main challenge.
Keywords:
energy plants, environment, sanitary landfilling, waste management strategies, waste collection Abstrak
Di beberapa negara maju, pengelolaan limbah telah mengalami proses pengolahan yang cepat dari penimbunan hingga tahap daur ulang. Sehingga tidak terjadi penimbunan limbah. Artikel ini membahas apakah sistem ini juga layak secara ekonomi. Untuk itu, dianalisis sistem pengelolaan limbah saat ini dan dampak lingkungannya serta situasi ekonomi dari beberapa negara. Sistem untuk meningkatkan pengelolaan limbah dikembangkan dan dievaluasi berdasarkan status quo. Kriteria untuk evaluasi adalah parameter ekonomi, dan indikator yang menunjukkan tujuan dari pengelolaan limbah ini tercapai. Hasil yang diperoleh dari studi kasus yang dipilih menunjukkan bahwa daerah yang menghasilkan kurang dari 20 €/kapita/tahun untuk pengolahan limbah, penimbunan tetap menjadi sistem yang baik untuk pengelolaan limbah, karena sistem pengelolaan lain seperti pemanfaatan limbah untuk energi atau pretreatment secara biologis dan mekanik terlalu mahal untuk diterapkan. Selain itu hasil menunjukkan bahwa di beberapa negara masalah penumpukan limbah masih menjadi tantangan utama
Kata kunci:
lingkungan, penumpukan limbah, sumber energi
limbah, sanitary landfilling, strategi pengelolaan
1. Introduction
requiring e.g. after care free landfills. Goal number one has been reached in most countries with affluent economies. Hence they are focusing on goal number two by introducing extended recycling strategies and schemes, meaning in essence that waste is increasingly redirected from landfills to recycling or thermal utilization plants (see Figure 1).
The goals of waste management are firstly the protection of human beings and the environment, and secondly the conservation of resources. Under the principles of sustainability, these goals should be reached in a way that does not impair the well-being of future generations. Thus, waste management practice should not export waste related problems in space and in time,
101
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Figure 1. Disposal and recovery of MSW in Austria from 1989 – 2004 (EPA, 2009)
In less developed economies often the goal of protection of human beings is not reached yet. Thus, these countries face different challenges regarding waste and should therefore set different priorities for w a s t e m a na g e m e nt s t r a t e g i e s .
2. Method Based on the methodology of Material Flow Analysis (MFA) of Baccini and Brunner (1991) the MSW management of four cities Zagreb, Bucharest, Dhaka City, and Damascus are investigated. The investigations are based on the following system, considering wastes from households and small enterprises, only. For each of the four cities the flows of MSW within the defined systems (consisting of the processes: collection and transport, treatment and disposal)” (Figure 2) are determined. In addition to the waste flows also the costs of the single processes will be evaluated. Based on the results of the material flow analysis, the efficiency of the WM systems with respect to the overall objectives of waste management (protection of human beings and environment, conservetion of resources, and sustainability) is evaluated. Analogous to the work of Brunner and Fellner (2007) the assessments are focused on a few main indicators.
T he objective of the present paper is to elaborate priorities of waste management in transition economies. In particular the future importance of landfilling in these regions will be investigated. Thereto the current waste management practices of four cities (Zagreb, Bucharest, Damascus, and Dhaka) are examined.
Finally, preliminary suggestions are given regarding strategies for waste management in transition economies.
First, the ratio “expenditures for waste management” to “Gross Domestic Product” of the four regions is determined. Second, current waste management practice is evaluated regarding the objectives of waste management Third, various scenarios such as improvement of collection, landfilling, treatment (mechanical, thermal) and waste separation are analyzed in view of their impacts on costs and on reaching waste management objectives.
102
Collection + transport
Household + small enterprise
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Landfilling (disposal)
Treatment
Material recycling
System boundary Figure 2.
System definition – Municipal Solid W a s t e M a n a g e m e n t (MSWM) (Brunner and Fellner, 2006)
Health and environmental indicators: • percentage of population having direct contact with waste (scavengers and habitants of residential areas without waste collection service) • greenhouse gas emissions (expressed as CO2-equivalents) • nitrogen emissions to the hydrosphere • rate of material recycling • rate of waste landfilled • required landfill space (volume) • long term emissions from landfills or disposal sites (final storage quality).
using the simplified indicators as listed above.
environmental
3. Results and Discussion 3.1. Dhaka City In Dhaka city (~10 million inhabitants) less than 50% of the population is served by a formal waste collection system (Figure 3). The annual household waste generation rate is between 110 to 150 kg per capita (Zurbrugg et al., 2005). Waste recovery and recycling is performed by an informal sector of more than 100,000 scavengers (Sinha, 1993).
Economic indicator: • the ratio of overall expenses for solid waste management to the Gross Domestic Product (GDP) of the region.
3.2. Damascus City
Based on the status quo the following scenarios for upgrading waste management practice in the different regions are evaluated:
In Damascus City (around 2 million inhabitants) household waste is not separa-ted but collected together in one bin (Figure 4). The waste generation rate per capita averages around 230 kg/year (Alboukhari, 2004). More than 90% of the inhabitants are served by regular waste collection managed by the municipality. The remaining inhabitants (100,000 to 150,000) live in shanty towns of the city, which do no t ha ve any o r g a ni z e d waste management. In addition to the formal sector organized by the municipality, an informal sector of waste collection and waste recovery exists, operated by thousands of scavengers.
1. full coverage of waste collection service 2. upgrading of existing disposal practice to sanitary landfilling 3. mechanical biological pre-treatment of collected waste 4. incineration of collected waste 5. implementation of separate waste collection. In the scenarios 2 to 5 the waste collection rate of the status quo is assumed. All scenarios are analyzed for their economical feasibility and their environmental impacts
103
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Figure 3. Municipal solid waste management – Dhaka City (2002) (Brunner and Fellner, 2006)
Figure 4. Municipal solid waste management (MSWM) – Damascus City (2003) (Brunner and Fellner, 2007)
104
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3
Table 1. Comparison of status quo MSWM in Damascus, Dhaka City, Bucharest and Zagreb
Unit
Damascus (2003)
Dhaka City (2002)
[t/a] 450,000 1,400,000 MSW generation Capita [Mill.] 2 10 MSW/capita [kg/capita/a] 225 140 MSW/capita/day [kg/capita/day] 0,6 0,4 Total Costs [Mill.Euro/a] 7,5 6,6 Costs per tone MSW [€/t] 18 10 collected Costs per capita [€/capita/a] 3,8 0,7 Gross Domestic Product 1) (€/capita) 1,360 3701) (GDP) Costs MSWM/GDP [%] 0,28 0,18 Selected indicators for the Assessment of Solid Waste Management Systems Percentage of population [% of total having direct contact with 5-10 40-50 population] waste N-emissions [g N/capita/a] 41 170 Greenhouse gas emissions2) (CO2 [kg CO2/capita/a] 98 92 equivalent) Material recycling rate3) [%] 7 6 Landfill volume required [m3/capita/a] 0.23 0.21 Disposal rate [kg/capita/a] 185 129 Final storage quality no4) No
Bucharest (2006)
Zagreb (2006)
700,000
300,000
2 350 0,95 24
0,78 380 1,04 19
35
64
12
24 1
4600
8,8001)
0,26
0,27
15
<0.1
192
187
320
10
6 0.41 330 No
7 0.44 350 No
1)
Source: IMF (2009) Methane emissions from landfills calculated IPCC (2002) 3) Including compost 4) Final storage quality could most likely be reached in Damascus due the prevailing arid climate “without” leachate generation from landfills in the long term. 2)
Figure 5. Municipal solid waste management (MSWM) – Bucharest City (2006), (Atudorei, 2008; Sandulescu, 2004)
105
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3
Figure 6. Municipal Solid Waste Management (MSWM) – Zagreb City (2006)
3.3. Bucharest City
about 380 kg waste. Out of this amount more than 90% has been disposed off at landfills or dumping sites, the remaining part has been recycled or recovered (EPA, 2009; Stanic, 2009). Countrywide less than 1% of the collected waste is composted; within the city of Zagreb, composting of bio-waste can be regarded as negligible
In Bucharest (~2 million inhabitants), around 85% of the population benefits from a formal waste collection system (Figure 5). The annual household waste generation rate ranges between 330 to 370 kg per capita (Atudorei, 2008). Almost all the waste is collected in one bin, only packaging materials are separately collected to a small extent (less than 5% of the total MSW generated).
3.5.
Evaluation Scenarios
of
the
Investigated
All scenarios investigated have been analyzed in view of their impacts on costs and on reaching the waste management objectives, whereby the degree of fulfillment is “assessed” by single environmental indicators. Figure 7 and 8 show the “environmental and economic” consequences of the investigated scenarios, expressed as percentage of the status quo. Assumptions regarding the costs of the different MSWM practices are summarized (Brunner and Fellner, 2006; Atudorei 2008). Since Zagreb facilities have been already a full coverage of waste collection, the scenario of improved waste collection has not been investigated.
In addition to separately collected materials, recyclables (paper and cardboard, metals and plastics) are obtained by two sorting plants in Bucharest. Apart from the recyclable materials all waste collected is directed to the 3 landfill sites in the Bucharest region (270 to 310 kg/cap/a) (Atudorei, 2008). 3.4. Zagreb City Z a g r e b ha s a p p r o x i m a t e l y 7 8 0 , 0 0 0 inhabitants, of which almost 100% are served by an organized system of MSW collection (Figure 6) (Source: OG No. 85/07.) In 2006 each inhabitant generated
106
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Damascus
+570%
(status quo = reference = 100%)
decrease ─ increase of indicator
250%
200%
Improved collection MBP Separate collection
Sanitary landfill Incineration
150%
100% = status quo 100%
50%
0% Population N-emissions to Greenhouse Material having contact hydrosphere gas emissions recycling rate with waste
Disposal rate Landfill volume
Costs MSWM/GDP
-50% Figure 7. Changes of goal oriented parameters for different scenarios of MSWM in Dhaka and Damascus
107
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3
Bucharest
+360%
(status quo = reference = 100%)
decrease ─ increase of indicator
250%
200%
Improved collection MBP Separate collection
Sanitary landfill Incineration
150%
100% = status quo 100%
50%
0% Population N-emissions to Greenhouse Material having contact hydrosphere gas emissions recycling rate with waste
Disposal rate Landfill volume
Costs MSWM/GDP
-50%
Zagreb
+260%
(status quo = reference = 100%)
decrease ─ increase of indicator
250%
200%
Sanitary landfill
MBP
Incineration
Separate collection
150%
100% = status quo 100%
50%
0% Population N-emissions to Greenhouse Material having contact hydrosphere gas emissions recycling rate with waste
Disposal rate Landfill volume
Costs MSWM/GDP
-50% Figure 8. Changes of goal oriented parameters for different scenarios of MSWM in Bucharest and Zagreb
108
Johann Fellner / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
4. Conclusion
Brunner, P. H., Fellner, J. (2006) Proceedings of the ISWA World Environment Congress and Exhibition 2006 ‘Waste Site Stories’, Copenhagen, Denmark, October 1 – 5th, 1 - 10.
The results show that the hygienic hazard for inhabitants having direct contact with waste (e.g., population without waste collection service in Dhaka, Damascus, and in Bucharest) can only be reduced by the introduction of a comprehensive collection service. Other measures, such as the improvement of waste disposal sites (sanitary landfills) or biological or thermal waste pre-treatment, have an impact primarily on environmental indicators (e.g. N-emissions to hydrosphere, greenhouse gas emissions or land use for waste disposal).
Brunner, P. H., Fellner, J. (2007) Setting priorities for waste management strategies in developing countries. Waste Management Research, 25, (3), 234 - 240. Environmental Protection Agency (2009) Die Bestandsaufnahme der Abfallwirtschaft in Österreich - Statusbericht 2008 [in German: Survey of the Austrian waste management - status report 2008), Environmental Protection Agency, Vienna, 170.
In all 4 cities separate collection of recyclable materials (e.g., paper, glass, plastics and metals) would increase the conservation of resources with a simultaneous reduction of the costs of MSWM. Upgrading existing disposal practice to sanitary landfilling would be economically feasible in each region (costs would increase less than 20%), leading to lower environmental impacts. Other disposal strategies, such as mechanical-biological waste treatment prior to landfilling (increase of costs between 50 to 80% in comparison to status quo) or thermal waste pre-treatment (cost increase of up to 800%) could hardly be affordable by the municipalities without external funding (for construction) and the willingness of inhabitants to pay higher fees for their waste service (for operation). In general it can be concluded that appropriate waste solutions are regionally specific and largely dependent on the economic level of a region. In regions that cannot spend much more than 20 €/cap/year on waste management, sanitary landfilling represents a key component of MSW management. In economically more developped regions the pretreatment of waste prior to landfilling could be a feasible management option.
International Monetary Fund (2009) World Economic Outlook - Database; Washington DC. IPCC (2002) Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories Emissions from Waste Incineration, Intergovernmental Panel on Climate Change, Montreal, 455 - 468. Sandulescu, E. (2004) The contribution of waste management to the reduction of greenhouse gas emissions with applications in the city of Bucharest, Waste Management & Research, 22(6), 413 - 426. Sinha, A. H. M. M. (1993) The Formal and Informal Sector Linkages in Waste Recycling A Case of Solid Waste Management in Dhaka City. M.S. Thesis, United Nation ESCAP, Bangkok. Stanic, I. (2009) Implementation of the EC Landfill Directive in Croatia with Emphasis on Municipal Solid Waste. M.S. Thesis, Vienna University of Technology, Vienna.
References Alboukhari, A. (2004) General Cleanliness Services in Damascus, Damascus Governorat, Damascus.
Zurbrugg, C., Drescher, S., Rytz, I., Sinha, A. H. M. M., Enayetullah, I. (2005) Decentralised composting in Bangladesh, a win-win situation for all stakeholders, Resources, Conservation and Recycling, 43(3), 281 - 292.
Atudorei, A. (2008) Integrated municipal solid waste management in Romania. Case study: region 8 - Bucharest-Ilfov; Romanian Association for Solid Waste Management, Bucharest. Baccini, P., Brunner, P. H. (1991) Metabolism of the anthroposphere Springer: Berlin etc., XII, 157. 109
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 110 - 117, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.779
Komponen Kimia Asap Cair Hasil Pirolisis Limbah Padat Kelapa Sawit Chemical Components of Liquid Smoke from Pyrolysis of Palm Oil Solid Waste Abdul Gani Haji Program Studi Kimia FKIP Universitas Syiah Kuala Jl. Syech Abdurrauf, Darussalam - Banda Aceh 23111 E-mail:
[email protected] Abstrak Komponen kimia dari asap cair yang dihasilkan melalui proses pirolisis limbah padat kelapa sawit telah dianalisis dengan menggunakan gas chromatography mass spectroscopy (GC-MS). Limbah padat terdiri dari cangkang, tandan kosong, dan janjang kelapa sawit. Limbah padat ini diperoleh dari pabrik minyak sawit di Tanjung Seumantok, Provinsi Aceh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis komponen kimia dalam asap cair yang diperoleh dari berbagai limbah padat kelapa sawit. Sampel dipirolisis pada temperatur 500°C selama 5 jam dengan menggunakan reaktor merk Tube Furnace Type 21100 yang dilengkapi dengan thermolyne sebagai pengatur suhu. Hasil pirolisis dari cangkang, tandan kosong, dan janjang sawit masing-masing adalah 52,02; 29,59; dan 34,88%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa kimia yang terkandung dalam asap cair yang diperoleh dari pirolisis cangkang, tandan kosong, dan janjang sawit masing-masing adalah 27; 13; dan 11 komponen. Secara keseluruhan, komponen kimia tertinggi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah asam asetat dan fenol. asap cair, gas chromatography mass spectroscopy (GC-MS), komponen kimia, limbah padat kelapa sawit, pirolisis
Kata kunci:
Abstract Chemical components of liquid smoke which was produced via pyrolysis of palm oil solid waste had been analyzed by using gas chromatography mass spectroscopy (GC-MS). Solid waste consists of shell, empty fruit bunch, and palm fiber. Solid waste was obtained from palm oil manufactory in Tanjung Seumantok, Aceh province. The objective of this research was to investigate the chemical components in liquid smoke obtained from various palm oil solid waste. Sample was pyrolyzed at 500°C for 5 hours by using tube furnace reactor type 21100 which was equipped by thermolyne as temperature adjustment. The yield of pyrolysis from shell, empty fruit bunch, and palm fiber were 52.02; 29.59; and 34.88%, respectively. The results showed that 27; 13; and 11 compounds of chemical were observed in liquid smoke obtained by pyrolysis of shell, empty fruit bunch, and palm fiber, respectively. Overall, acetic acid and phenol were the highest concentration of chemical obtained in this research.
Keywords:
chemical compound, gas chromatography mass spectroscopy (GC-MS), liquid smoke, palm oil solid waste, pyrolysis
1. Pendahuluan
kelapa sawit adalah sisa-sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dalam produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa sawit (Fauzi, 2004). Limbah padat kelapa sawit dapat berupa tandan kosong, cangkang, janjang, dan fiber (sabut). Tandan kosong adalah rangka antar buah, sedangkan cangkang adalah kulit buah. Di antara cangkang terdapat serabut yang disebut fiber. Limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit antara lain janjang kosong, limbah cair, limbah solid (padatan), dan cangkang (Pardamean, 2008). Sebuah pabrik
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan yang menjadi andalan Indonesia untuk mendatangkan devisa setiap tahun. Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia dengan total produksi rata-rata 9,9 juta ton per tahun sejak tahun 2003. Sejalan dengan semakin meningkatnya produksi kelapa sawit dari tahun ke tahun, di sisi lain akan terjadi pula peningkatan volume limbahnya, baik berupa limbah padat maupun limbah cair. Limbah
110
Abdul Gani Haji / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
kelapa sawit dengan kapasitas 100 ribu ton tandan buah segar per tahun akan menghasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang, 12 ribu ton serabut dan 23 ribu ton tandan buah kosong.
Dengan teknik pirolisis limbah padat kelapa sawit dapat diolah secara cepat menghasilkan produk berupa arang dan asap. Asap yang dikeluarkan dapat dicairkan menjadi destilat (asap cair) dengan menggunakan kondensor sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Saat ini, penelitian tentang asap cair sudah berkembang terutama dengan memanfaatkan limbah pertanian. Asap cair diperoleh sebagai hasil pendinginan dan pencairan asap dari bahan-bahan yang mengandung komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Asap cair didefinisikan sebagai cairan kondensat dari kayu yang telah mengalami penyimpanan untuk memisahkan tar dan bahan-bahan tertentu. Teknologi ini memiliki banyak kelebihan, terutama dapat diperoleh produk utama berupa arang yang dapat dikembangkan menjadi beberapa produk yang bernilai ekonomi. Fachraniah (2009) menyatakan asap cair merupakan larutan dispersi asap dalam air, yang terbentuk dari hasil kondensasi asap pada proses pembakaran kayu dengan teknik pirolisis. Asap cair berwarna kecoklatan dan memiliki bau khas (Bridgwater, 2004). Asap cair digunakan sebagai penambah aroma dan tekstur dalam bidang pangan (Ayudiarti dan Sari, 2010).
Umumnya limbah padat industri kelapa sawit mengandung bahan organik yang tinggi sehingga berdampak pada pencemaran lingkungan. Limbah padat kelapa sawit terdiri atas hemiselulosa (pentosan) 24%, selulosa (heksosan) 40%, lignin 21%, abu serta komponen lain sebanyak 15%, sedangkan menurut Khor dkk., (2009) pada limbah padat kelapa sawit mengandung hemiselulosa 33,52%, selulosa 38,52%, lignin 20,36%, zat ekstraktif 3,68% dan abu sebesar 3,92%. Berdasarkan komponen kimia tersebut, penumpukan dan pembakaran bukan merupakan metode yang tepat dan efektif untuk menangani permasalahan limbah padat kelapa sawit. Penanganan limbah secara tidak tepat akan mencemari lingkungan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengolah dan meningkatkan nilai ekonomi limbah padat kelapa sawit. Saat ini, sebagian limbah janjang dan tandan telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak dan kompos. Menurut Pardamean (2008) sumber energi boiler dapat dihasilkan dari serat janjang dan cangkang kelapa sawit. Di samping itu, baik cangkang kelapa sawit maupun limbah padat lainnya dari limbah industri CPO (crude palm oil) dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, antara lain sebagai bahan baku arang dan diharapkan dapat menggantikan bahan baku kayu (Nurhayati dkk., 2005). Walaupun demikian hingga saat ini, pemanfaatan cangkang belum digunakan secara maksimal dan baru sebagian saja yang dimanfaatkan untuk menimbun jalan yang becek. Salah satu penyebabnya, karena limbah jenis ini sangat sukar terdekomposisi secara alami.
Asap cair saat ini mulai populer digunakan sebagai bahan pengawet untuk berbagai produk pangan dan biopestisida untuk meningkatkan produksi pertanian (Kilinc dan Cakh, 2012). Salah satu penelitian yang sering dilakukan ialah untuk pengawetan ikan tuna dengan cara pengasapan (Isamu dkk., 2012). Selanjutnya, Wijaya dkk. (2008) m e nya t a k a n b ahwa asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis serbuk gergaji kayu pinus dapat digunakan sebagai bahan pengawet, insektisida, dan obatobatan yang memberi manfaat cukup besar bagi kehidupan manusia. Kandungan asap cair hasil pirolisis sampah organik adalah senyawa γ-butirolakton yang memiliki a kt i vi t a s a nt i fe e d a nt terhadap l a r va Spodoptera litura. Ditinjau dari komposisi kimia yang dikandungnya, sampah organik tidak jauh berbeda dengan cangkang kelapa sawit, karena memiliki komponen kimia yang hampir sama, sehingga asap cair hasil pirolisis limbah cangkang kelapa sawit diduga berpotensi untuk dikembangkan sebagai biopestisida, khususnya sebagai antifeedant bagi hama perusak daun. Asap cair yang dihasilkan dari limbah padat kelapa sawit, khususnya sabut, tempurung dan cangkang kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan (Kilinc dan Cakh, 2012).
Salah satu teknologi alternatif yang dapat menjadi solusi bagi penanganan permasalahan limbah padat kelapa sawit ialah dengan teknik pirolisis. Menurut Bridgwater (2004) pirolisis didefinisikan sebagai proses dekomposisi suatu bahan oleh panas tanpa menggunakan oksigen yang diawali oleh pembakaran dan gasifikasi, serta diikuti oksidasi total atau parsial dari produk utama. Selanjutnya, Demirbas (2005) menyatakan pirolisis merupakan proses pemanasan tanpa kehadiran oksigen yang mendegradasi suatu biomassa menjadi arang, tar, dan gas.
111
Abdul Gani Haji / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Menurut Khor dkk. (2009), asap cair yang dihasilkan dari pirolisis tandan kosong kelapa sawit mengandung 5 komponen utama yakni fenol 11,68%, 4-metilfenol 4,74%, asam dodekanoat 30,02%, metil ester 5,16%, asam tetradekanoat 4,78% dan 2-metoksi-4-metilfenol sebanyak 3,20%. Di samping itu, komposisi asap telah diteliti oleh Petter dan Lane pada tahun 1940, di mana pada asap kayu ditemukan hampir 1000 senyawa kimia. Beberapa senyawa yang telah diidentifikasi, yaitu fenolik 85 macam, karbonil 45 macam, asam 35 macam, furan 11 macam, alkohol dan ester 15 macam, lakton 13 macam, dan hidrokarbon alifatik 21 macam (Swastawati dkk., 2012). Komponen kimia dari asap cair hasil pirolisis dapat diidentifikasi dengan teknik kromatografi gas dan spektrometer massa (KGSM).
Provinsi Aceh. Jenis limbah tersebut yang akan digunakan terdiri atas cangkang, tandan kosong, dan janjang. Peralatan utama untuk proses pirolisis digunakan reaktor merk Tube Furnace Type 21100 dengan pengatur suhu thermolyne dan dilengkapi dengan kondensor. Peralatan yang digunakan untuk mengidentifikasi komponen kimia dari asap cair yang diperoleh yaitu KGSM. 2.2.Preparasi dan Penentuan Kadar Air Sampel Limbah padat kelapa sawit terutama tandan kosong terlebih dahulu dipreparasi dengan cara mencacahnya agar mudah dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis. Setelah itu, limbah cangkang, tandan kosong dan janjang ditentukan kadar airnya dengan cara yaitu: 1) Cawan porselin dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Selanjutnya contoh ditimbang sebanyak 10 gram, dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah ditimbang, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 7 jam, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang kembali. Selanjutnya dihitung kadar airnya dengan rumus sebagai berikut:
KGSM merupakan peralatan gabungan antara kromatografi gas dan spektrometer massa yang digunakan untuk memisahkan komponen k i m i a s u a t u b a h a n d a n s e k a l i g u s mengetahui spektrum massa dari berbagai komponen kimianya. Saat ini, kromatografi gas di laboratorium kimia telah menjadi instrumen yang penting dan banyak dipakai untuk pemisahan kimia dengan variasi yang luas, dari gas-gas yang ringan sampai komponen dengan berat molekul tinggi yang sukar menguap. Spektrometri massa telah lama dikenal sebagai metode analisis instrumental yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap struktrur kimia suatu zat.
Kadar air contoh (%) =
ab x 100% a
(1)
a = bobot contoh awal b = bobot contoh akhir
Berbagai komponen kimia yang dikandung oleh asap cair telah dilaporkan oleh beberapa peneliti di atas. Namun, tidak mengemukakan secara jelas peralatan pirolisis yang digunakan dan kondisi proses yang dilaksanakan. Berdasarkan literatur yang telah ditelusuri, diketahui bahwa komponen kimia yang dikandung oleh asap cair hasil pirolisis suatu biomassa sangat bergantung pada jenis bahan baku dan kondisi prosesnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui komponen kimia yang dikandung pada asap cair hasil pirolisis limbah padat kelapa sawit selama 5 jam pada suhu 500oC.
2.3. Proses Pirolisis Kelapa Sawit
Limbah
Padat
Proses pirolisis dilakukan dengan menggunakan peralatan reaktor pirolisis dengan prosedur sebagai berikut. 1) sampel cangkang kelapa sawit ditimbang sebanyak 150 gram, 2) sampel dimasukkan ke dalam tabung pirolisator pada peralatan pirolisis, 3) peralatan yang sudah dirangkai dihubungkan dengan arus listrik, 4) suhu proses diatur dengan alat thermolyne hingga mencapai 500oC dan dilaksanakan pemanasan selama 5 jam, 5) asap yang keluar dikondensasi dan ditampung dalam botol, 6) setelah proses selesai, reaktor dimatikan dan dibiarkan dingin secara alami, 7) asap cair yang diperoleh dihitung rendemennya dengan menggunakan rumus:
2. Metodologi 2.1. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah limbah padat kelapa sawit yang berasal dari limbah pabrik kelapa sawit Tanjong Seumantok Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang
Rendemen (% b/b) =
x x 100% y
x = bobot asap cair y = bobot kering bahan baku
112
(2)
Abdul Gani Haji / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Prosedur 1 sampai 8 diulangi dengan cara yang sama sebanyak tiga kali. Selanjutnya, dengan cara yang sama pula dilakukan pirolisis terhadap sampel tandan kosong dan janjang. 2.4. Identifikasi dengan KGSM
Komponen
Kondisi ini sesuai bahwa untuk pembentukan asap cair digunakan air sebagai medium pendingin agar proses pertukaran panas dapat terjadi dengan waktu relatif cepat. Pirolisis pada suhu yang terlalu tinggi dan waktu yang terlalu lama akan menyebabkan pembentukan asap cair berkurang karena suhu dalam air pendingin semakin meningkat sehingga asap yang dihasilkan tidak terkondesasi secara sempurna.
Kimia
Komponen kimia penyusun asap cair yang diperoleh dari hasil pirolisis ketiga sampel diidentifikasi dengan teknik KGSM di laboratorium Instrumen Jurusan Kimia FMIPA UPI Bandung. Peralatan tersebut menggunakan kolom HP Ultra 2, dengan kondisi operasi pada suhu oven 280oC/10 menit, injeksi 250oC, dan interface 280oC, gas pembawa helium, laju alir 0,6 µL/menit, dan volume injeksi 1 µL. Selanjutnya, residu asap cair ditimbang sebanyak 0,1 mg dan dilarutkan dengan 2 mL etil asetat. Kemudian larutan tersebut diinjeksi ke dalam kolom KGSM.
Kualitas asap cair sangat bergantung pada komposisi senyawa-senyawa kimia yang dikandungnya. Kriteria mutu asap cair baik cita rasa maupun aroma sebagai ciri khas yang dimiliki asap ditentukan oleh golongan senyawa kimia yang dikandungnya. Senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam asap cair sangat bergantung pada kondisis pirolisis dan bahan baku yang digunakan. Disamping itu, proses pirolisis suatu bahan yang tidak berlangsung sempurna dapat menyebabkan komponenkomponen kimia yang dihasilkan dalam asap cair kurang lengkap. Komponen kimia yang telah diidentifikasi pada asap cair antara lain senyawa golongan fenol, karbonil, asamasam karboksilat, furan, hidrokarbon, alkohol, dan lakton.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil Pirolisis Hasil pirolisis limbah padat kelapa sawit menghasilkan destilat yang berupa cairan asap dan residu arang. Selain itu juga diperoleh gas-gas yang tidak dapat terkondensasikan oleh pendingin, sehingga tidak bisa ditampung pada penampung cairan. Sebagian gas-gas ini terjebak pada penampung sedangkan yang lain terlepas dari penampung tersebut keluar melalui pipa penyalur asap dan lepas ke atmosfer.
3.2.Komponen Kimia Asap Cair Asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis limbah padat kelapa sawit terlebih dahulu dilarutkan dalam pelarut metanol untuk selanjutnya diidentifikasi kandungan kimianya. Penentuan kandungan senyawa yang terdapat dalam asap cair dilakukan dengan menggunakan peralatan KGSM. Penggambaran pola kromatogram berbentuk kurva sebagai fungsi waktu untuk kromatografi gas dan spektrogram berbentuk spektrum garis untuk spektrometri massa yang menunjukkan pola spektrum massa hasil fragmentasi dari molekul cuplikan.
Rendemen merupakan salah satu parameter yang penting untuk mengetahui hasil dari suatu proses. Asap cair pada penelitian ini dihasilkan melalui proses kondensasi asap yang dikeluarkan reaktor pirolisis. Selama proses pirolisis terjadi penguapan berbagai macam senyawa. Rendemen rata-rata hasil pirolisis limbah padat kelapa sawit dengan reaktor pirolisis pada suhu 500°C selama 5 jam disajikan pada Tabel 1.
Kromatogram pada Gambar 1 sampai 3 memperlihatkan bahwa asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis limbah padat kelapa sawit menunjukkan pemisahan komponen kimianya melalui puncak-puncak kromatogram yang muncul pada kromatografi gas. Puncak-puncak pada asap cair cangkang muncul pada waktu retensi 1,283 - 24,442 menit (Gambar 1), dan berdasarkan chemstation data system teridentifikasi sebanyak 27 senyawa. Pada asap cair tandan kosong puncak kromatogram muncul pada waktu retensi 1,275 24,275 menit (Gambar 2), dan teridentifikasi sebanyak 13 senyawa. Sedangkan pada asap cair janjang puncak kromatogram
Berdasarkan Tabel 1, rata-rata rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis cangkang, tandan kosong dan janjang kelapa sawit dengan reaktor listrik pada suhu 500°C selama 5 jam secara berturut yaitu 52,02; 29,59; dan 34,88%. Dalam hal ini Haji (2007) menyatakan jumlah rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sangat bergantung pada kondisi proses dan jenis bahan baku yang digunakan. Persentase rendemen yang diperoleh juga sangat bergantung pada suhu pirolisis dan sistem kondensasi yang dipakai.
113
Abdul Gani Haji / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
muncul pada waktu retensi 1,283 - 18,525 menit (Gambar 3), dan teridentifikasi sebanyak 11 senyawa. Senyawa-senyawa
tersebut diduga mempunyai nama dan struktur seperti tercantum pada Tabel 2 hingga Tabel 4.
Tabel 1. Rendemen asap cair hasil pirolisis limbah padat kelapa sawit dengan reaktor listrik pada suhu 500°C selama 5 jam Sampel
Ulangan
Cangkang
Tandan kosong
Bobot Asap Cair (g)
134,56 135,13 135,02
68,93 70,48 71,10
31,72 31,59 30,68
9,14 9,65 9,02
29,28 28,67 29,19
10,21 9,95 10,24
Rendemen Asap cair (%w/w) 51,23 52,16 52,66 52,02 28,81 30,55 29,40 29,59 34,87 34,70 35,08 34,88
%% %
Kelimpahan (%)
Janjang
I II III Rerata I II III Rerata I II III Rerata
Bobot Kering Bahan Baku (g)
Waktu retensi (menit)
Kelimpahan (%)
Gambar 1. Kromatogram asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit
Waktu retensi (menit) Gambar 2. Kromatogram asap cair hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit
114
%% %
Kelimpahan (%)
Abdul Gani Haji / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Waktu retensi (menit) Gambar 3. Kromatogram asap cair hasil pirolisis janjang kelapa sawit Tabel 2. Kandungan kimia asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit No. Puncak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Waktu Retensi (menit) 1,283 1,625 2,733 5,425 5,858 6,508 6,875 8,067 8,325 9,367 10,675 12,017 12,150 12,608 13,050 14,033 14,150 15,267 15,542 16,367 17,717 18,725 19,683 20,067 20,625 20,783 24,442
Dugaan Senyawa Etanol Asam asetat 2-furankarbondehid Fenol 2-kloro-2-hidroksil,3-metil pentenon 2-metoksi-fenol 4-metil-fenol 2-metoksi-4-metil-fenol 3-etil-fenol 4-etil-2-metoksi-fenol 2,6-dimetoksi-fenol Asam-4-hidroksi-3-metoksi benzoat 2-metoksi-4-(2-propenil)-fenol Metil dodekanoat 1,2,3-trimetoksi-5-metil-benzen Asam dodekanoat asam-2,4-hexadienoat 4-metil oktadekanoat 2,6-dimetoksi-4-(2-propenil)-fenol Asam tetradekanoat Metil hexadekanoat Asam hexadekanoat Metil-9-oktadekenoat Asam-1,4-benzenadikarboksilat Asam 8-heptadecenoat Asam-9-oktadecenoat Asam-1,2-benzenedikarboksilat
Konsentrasi (%) 0,70 2,70 1,50 21,02 1,46 6,46 1,53 4,41 0,80 3,93 5,43 3,13 1,21 1,26 2,13 7,61 1,80 0,31 1,22 3,76 1,23 6,17 1,38 4,68 6,19 1,14 6,82
Tabel 3. Kandungan kimia asap cair hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit No. Puncak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Waktu Retensi (menit) 1,275 1,675 1,817 2,025 2,150 3,500 3,725 5,250 12,108 17,575 18,558 20,417 24,275
Dugaan Senyawa Asam-3-hidroksil-butanoat Asam asetat Metil propanoat Asam propanoat Piridin Furfural alkohol Gamma butirolakton Fenol Dodekana 4-metil fenol Asam heksadekanoat Asam-9,12-oktadecadienoat Asam-1,2-benzenedikaboksilat
115
Konsentrasi (%) 1,57 16,00 4,45 6,62 1,62 8,61 3,22 3,56 0,75 20,80 21,07 8,84 2,90
Abdul Gani Haji / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Tabel 4. Kandungan kimia asap cair hasil pirolisis janjang kelapa sawit No. Puncak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Waktu Retensi (menit) 1,283 1,583 1,692 1,850 2,025 3,742 4,733 5,275 6,292 10,533 18,525
Dugaan Senyawa 1,2-etanadiol Metil metanoat Asam asetat Hidroksi-propanon Asam propanoid Gamma butirolakton 2-furanometanol Fenol 2-metoksi-fenol 2,6-dimetoksi-fenol Asam heksadekanoid
Dalam asap cair hasil pirolisis limbah padat kelapa sawit terdapat beberapa jenis senyawa (Tabel 2 sampai 4). Kandungan kimia yang paling banyak terdapat dalam asap cair adalah asam asetat dan fenol. Hasil ini dari komponen penyusun asap cair tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh dengan hasil pirolisis bahan kayu yang memperoleh air (11 - 92%), senyawa fenolik (0,2 - 2,9%), asam-asam organik (2,8 4,5%) dan karbonil (2,6 - 4,6%). Lebih lanjut, sudah didapatkan tujuh komponen kimia utama dalam asap cair tempurung kelapa, yaitu senyawaan fenolik, 2-metoksifenol, 2,5-dimetoksifenol, dan 3-metil-1,2siklopen-tadion, yang larut dalam ester.
Konsentrasi (%) 5,80 3,76 23,50 4,56 3,86 1,61 2,52 37,48 4,94 4,01 7,94
Daftar Pustaka Ayudiarti, D. L., Sari, R. N. (2010) Asap cair dan aplikasinya pada produk perikanan, Squalen 5(3), 101 – 108. Bridgwater, A. V. (2004) Biomass fast pyrolysis, Thermal Science, 8(2), 21 - 49. Demirbas, A. (2005) Pyrolysis of ground wood in irregular heating rate conditions. Journal Analytical and Applied Pyrolysis, 73, 39 - 43. Fachraniah., Fona, Z., Rahmi, Z., (2009) Peningkatan kualitas asap cair dengan distilasi. Jurnal Reaksi (Journal of Science and Technology), 7(14), 1693 248X
Asap cair tempurung kelapa mengandung senyawa fenolik sebesar 1,28%. Komponen fenol tertinggi (3,24%) terdapat dalam asap cair kayu tusam, kadar asam asetat tertinggi (6,33%) pada kayu bakau, dan kadar alkohol tertinggi (2,94%) pada kayu jati (Swastawati dkk., 2012). Berdasarkan hasil tersebut, dapat diyakini bahwa pada hampir semua asap cair dari berbagai jenis kayu terdapat senyawa golongan fenolik. Oleh karena itu, asap cair dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengawet alami yang bebas dari resiko keracunan.
Fauzi, Y. (2004) Kelapa Sawit. Edisi Revisi, Penebar Swadaya, Jakarta. Haji, A. G., Mas’ud, Z. A., Lay, B. W., Sutajhjo, S. H., Pari. G. (2007) Karakterisasi asap cair hasil pirolisis sampah organik padat. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 16(3), 113 - 120. Isamu, K. T., Purnomo, H., Yuwono, S. S. (2012) Physical, chemical, and organoleptic characteristics of smoked skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) produced in Kendari-South East Sulawesi. African Journal of Biotechnology 11(91), 15819 - 15822.
4. Kesimpulan Hasil pirolisis cangkang, tandan kosong, dan janjang kelapa sawit diperoleh rata-rata rendemen asap cair secara berturut 52,02; 29,59; dan 34,88%. Hasil identifikasi dengan teknik KGSM diketahui komponen kimia dari asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit sebanyak 27 senyawa, dari tandan kosong sebanyak 13 senyawa, dan janjang sebanyak 11 senyawa. Komponen kimia yang diperoleh pada cangkang, tandan kosong, maupun janjang dengan konsentrasi lebih tinggi ialah asam asetat dan fenol.
Khor, K. H., Lim, K. O., Zainal, Z. A. (2009) Characterization of bio-oil: a by-product from slow pyrolysis of oil palm empty fruit bunches. American Journal of Applied Sciences, 6(9), 1647 - 1652. Kilinc, B., Cakh, S. (2012) Growth of Listeria monocytogenes as affected by thermal treatment of rainbow trout fillets prepared with liquid smoke. Turkish 116
Abdul Gani Haji / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Journal of Fisheries Science, 12, 285 - 290.
and
Aquatic
Swastawati, F., Susanto, E., Cahyono, B. Trilaksono, W., A. (2012) Sensory evaluation and chemical characteris-tics of smoke stingray (dasyatis blekeery) processed by using two different liquid smoke. International Journal of Bioscience, Biochemistry, and Bioinformatics, 2(3), 212 - 216.
Nurhayati, T., Sofyan, K., Desviana. (2005) Tempurung kelapa sawit sebagai bahan baku alternatif untuk produksi arang terpadu dengan pyrolegneous/asap cair. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 3(2), 39 - 44.
Wijaya, M., Noor, E., Irawadi, T.T., Pari, G. (2008) Perubahan suhu pirolisis terhadap struktur kimia asap cair dari serbuk gergaji kayu pinus. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(2), 73 77.
Pardamean, M. (2008) Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, Agromedia Pustaka, Jakarta.
117
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 118 - 125, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.780
Pengembangan Membran Magnesol untuk Pemurnian Biodiesel The Development of Magnesol Membranes for the Purification of Biodiesel Saiful*, Nurfitriana, Muliadi Ramli, Ilham Maulana Jurusan Kimia FMIPA Universitas Syiah Kuala Jl. Syech Abdurrauf, Darussalam - Banda Aceh 23111 Telpon/Fax: 0651-7555264; *E-mail:
[email protected] Abstrak Membran magnesol telah dibuat dengan mencampur polimer kitosan dengan partikel magnesol melalui metode inversi fasa. Komposisi optimum membran adsorpsi adalah khitosan 3%, DMF 15%, dan partikel loading 60%. Porositas membran tersebut adalah 34,17% dan derajat pengembangan 51,91%. Fluks air dari membran ini adalah 224,2 Lm-2h-1 pada tekanan transmembran 2,5 bar. Membran adsorpsi ini dapat digunakan untuk pemurnian biodiesel karena memiliki struktur berpori terbuka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah waktu kontak 60 menit, angka asam berkurang 81,12% sesuai dengan standar kualitas SNI. Kadar sabun kalium yang diperoleh 86,74% dan kadar sabun natrium 86,73%. Membran yang telah diregenerasi dapat digunakan kembali dan memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi. Penggunaan metanol untuk regenerasi membran magnesol lebih baik daripada etanol. Membran magnesol akan menjadi metode alternatif baru untuk pemurnian biodiesel. Kata kunci: angka asam, biodiesel, khitosan, magnesol, membran adsorpsi, sabun Abstract Magnesol membrane had been prepared by mixing chitosan polymer with magnesol particles via phase inversion method. The optimum compositions of adsorptive membranes were 3% chitosan, 15% DMF, and 60% loading adsorbent. The porosity of these membranes was 34.17% and swelling degree was 51.91%. The membrane clean water flux was 224.4 Lm-2h-1 at a transmembrane pressure of 2.5 bar. The adsorptive membrane possessed an open and interconnected porous structure with a large surface area available for biodiesel purities adsorption. The results showed that after contacting in 60 minutes, numbers of acid value was reduced as much of 81.12% which is in accordance with value of SNI quality standards. In addition, the soap content adsorbed was 86.74% as potassium soap and 86.73% as sodium soap. The regenerated membrane can be reused with maintaining the high adsorption capacity. The methanol was better than ethanol to regenerate the magnesol membrane. The magnesol membrane will be a new alternative method for biodiesel purification. Keywords: acid number, biodiesel, chitosan, magnesol, membrane adsorption, soap
1. Pendahuluan
proses produksi biodiesel adalah tahapan pemurnian daripada “crude biodiesel”. Metil ester hasil reaksi transesterifikasi tidak dapat digolongkan sebagai biodiesel sampai kualitasnya memenuhi standar ASTM D6751 (Amerika Utara), EN14214 (Eropa), atau SNI-04-7182-2006 agar bisa dijual di Indonesia (Cao dkk., 2008b; Atadashi dkk., 2011). Tahapan pemurnian biodiesel bertujuan menghilangan beberapa parameter pengotor dalam campuran produk biodoesel yaitu asam lemak bebas, sabun, gliserol, air, alkohol, dan sisa katalis. Tingkat kemurnian biodiesel akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja mesin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Biodiesel yang tidak murni akan menyebabkan
Pengembangan bahan bakar alternatif sangat perlu dilakukan dan menjadi tantangan bagi pakar yang berkompeten pada saat ini. Salah satu bahan bakar alternatif adalah pemanfaatan biomassa (bahan hayati) untuk menghasilkan biodiesel sebagai pengganti bahan bakar solar. Indonesia, sebagai negara agraria, mempunyai peluang sangat besar untuk mengembangkan biodiesel sebagai sumber energi alternatif. Namun demikian pada saat ini harga jual biodiesel masih hampir sama mahalnya dengan bahan bakar fosil karena masih tingginya biaya proses produksi biodiesel (Atadashi dkk., 2010). Salah satu isu sangat penting dalam
118
Saiful dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
degradasi pelumas mesin, korosi injektor akibat air dan katalis, tersumbatnya injektor bahan bakar akibat sabun, dan kebocoran mesin karena alkohol.
Membran adsorpsi didasarkan pada penyatuan dua metode yaitu: metode membran filtrasi dan kolom adsorben; dua teknik yang sangat penting dalam pemisahan dan pemurnian senyawa-senyawa organik dan anorganik dari campurannya. Kelebihan dan kekurangan kedua metode ini saling melengkapi satu sama lainnya. Penyatuan kedua metode tersebut (integrated) akan dihasilkan metode pemisahan yang handal karena dapat mempersingkat proses pemisahan dan pemurnian, hasilnya maksimal, lebih sederhana, ekonomis dan mudah di-scale up (Saiful, 2011). Metode alternatif yang digunakan untuk membuat membran adsorpsi yaitu dengan cara mendispersi adsorben dalam polimer pendukung yang dibentuk melalui cara inversi fasa. Teknik ini merupakan teknik pembuatan membran adsorpsi yang cepat, mudah, dan mempunyai kinerja yang tinggi. Membran ini mempunyai dua kinerja sekaligus yaitu menyaring dan menyerap dalam satu tahap. Membran ini mampu menyaring bahan pengotor dengan baik dan sekaligus mampu menyerap senyawasenyawa yang ditargetkan.
Adanya gliserol sangat mempengaruhi kinerja mesin dalam proses pembakaran, penyumbatan injektor dan dapat menyebabkan timbulnya asap yang mengandung senyawa akrolein, suatu senyawa fotokimia yang berbahaya. Penelitian ke arah pengembangan metode pemurnian biodiesel masih sangat diperlukan karena belum ada metode yang 100% efisien dalam menghilangkan pengotor dari biodiesel. Di samping itu kebutuhan akan metode pemurnian yang ekonomis, cepat, handal, dan recycled sangat diperlukan dalam industri biodiesel (Shuit dkk., 2012). Metode pemurnian biodiesel untuk menghilangkan pengotor yang umum digunakan adalah water wash. Kelemahan metode water wash dapat menyebabkan pembentukan emulsi antara air dan metil ester dan menghasilkan air limbah yang banyak, sehingga water washing belum efektif untuk memurnikan biodiesel. Metode alternatif untuk meningkatkan efisiensi proses pemurnian adalah mengganti metode water-wash biodiesel dengan proses pencucian tanpa air (drywash biodiesel), yaitu menggunakan kolom adsorben (Faccini dkk., 2012). Bahan adsorben bisa dibuat dari adsorben alami atau sintesis. Meskipun demikian metode pencucian kering masih memiliki kelemahan-kelemahan yang perlu diatasi (Predojevic, 2008; Gomes dan Preira 2010). Kelemahan metode kolom adsorben adalah sensitif terhadap fouling dan penyumbatan, memerlukan tekanan tinggi, proses pemisahannya lama, dan kompresi dari kolom. Inovasi dan pengembangan metode kolom adsorben tradisional ini sangat diperlukan untuk dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang mendasar dan mendapatkan metode pemisahan lebih baik dan ekonomis. Kendala lain dalam pemisahan dan pemurnian biodiesel adalah banyaknya jenis kontaminan yang terkandung di dalam “crude biodiesel”. Proses pembuatan biodiesel sebelumnya dengan menggunakan katalis hidrotalsit terimpregnasi CuO menghasilkan produk samping yang relatif banyak, sehingga dibutuhkan desain dan metode yang sesuai untuk pemurnian hasil reaksi tersebut (Maulana dan Mustafa, 2009). Membran adsorpsi merupakan suatu metode pemisahan dan pemurnian yang dapat dikembangkan untuk mengasi kelemahan-kelemahan dalam metode pencucian basah dan pencucian kering.
Pada saat ini, pengembangan teknologi pemisahan membran adalah masih baru untuk pemurnian biodiesel. Namun demikian, beberapa hasil penelitian terbaru telah menunjukkan manfaat dari aplikasi teknologi membran dalam menghasilkan biodiesel. Kecocokan material membran, pengaruh parameter operasi dan kemungkinan penggunaan metode pemisahan membran dalam pemurnian biodiesel belum dipelajari secara mendalam dan meluas. Padahal teknologi membran memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut untuk pemurnian biodiesel tanpa pencucian dengan air (Cao dkk., 2008a). Dalam penelitian ini telah dikembangkan membran adsorpsi yang dibuat dari bahan dasar polimer khitosan dan dicampurkan dengan adsorben magnesol. Membran dibuat dengan menggunakan metode pembalikan fasa melalui proses evaporasi pelarut (Saiful, 2010). Membran yang dihasilkan telah dikarakterisasi dan diaplikasikan untuk penurunan asam lemak bebas dan kadar sabun yang terkandung dalam biodiesel. 2. Metodologi 2.1. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengaduk, oven, magnetic, shaker, modul dead end ultrafiltrasi dan berbagai alat gelas. Bahan yang digunakan
119
Saiful dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
adalah khitosan, magnesium (magnesol), biodiesel, asam asetat, formamida, aquades, aluminium foil, KOH, HCl (Merck 37%), etanol fenolphthalein, bromofenol blue, dan 98%.
silikat dimetil NaOH, 95%, aseton
berapa kali pembesaran di Laboratorium Geologi Kuarter PPGL Bandung. b. Uji Ketebalan Ketebalan film diukur dengan menggunakan alat digital mikrometer pada tiga titik yang berbeda secara random dan dirata-ratakan. Angka ketebalan ditunjukkan oleh angka secara digital.
2.2. Pembuatan Membran Khitosan Larutan khitosan dibuat dengan 1, 2, 3, 4% (b/v). Ditambahkan 15% (v/v) dimetil formamida sebagai aditif dalam pelarut asam asetat 1% (v/v). Dimasukkan dalam ruang tertutup dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetis selama ± 24 jam pada temperatur kamar. Kemudian membran dicetak tipis di atas lempeng keramik. Dicuci membran dengan NaOH 1% (b/v) dan dibilas dengan air, kemudian dikeringkan pada suhu ruang.
c. Porositas dan Derajat Pengembangan Membran basah dan membran kering ditimbang masing–masing sebanyak tiga kali. Kemudian diukur diameter dan ketebalan masing–masing membran dengan menggunakan mikrometer digital. Porositas membran (ε) dan derajat pengembangan (swelling degree), dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan di bawah ini:
2.3. Pembuatan Membran Magnesol m1 m2 x100 m1
(%) =
Dibuat larutan polimer khitosan yang mengandung dimetil formamida yang diperoleh dari kondisi optimal sebelumnya. Larutan polimer diaduk selama 24 jam dalam erlenmeyer tertutup dengan menggunakan pengaduk magnetis. Setelah larutan homogen, ditambahkan magnesol dan diaduk 24 jam sampai homogen. Persen loading partikel yang digunakan adalah 60%. Untuk menentukan jumlah adsorben yang dicampurkan dalam polimer (% loading), dapat dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini:
Wr
x100 R loading = Wp Wr
m1 m2 x100 m2
sd (%) =
Keterangan: ε (%) = Sd (%) = m1 = m2 =
(2)
(3)
porositas membran (%) derajat pengembangan (%) jumlah volume membran basah jumlah volume membran kering
d. Penentuan Fluks Air Fluks air ditentukan dengan waktu 1 jam dan diperoleh volume permeate dengan menggunakan modul dead end ultrafiltrasi pada tekanan 2,5 bar suhu ruang. Nilai fluks dihitung berdasarkan volume permeate dengan persamaan:
(1)
Keterangan: Rloading : persen campuran adsorben dan polimer Wr : jumlah adsorben (gram) Wp : jumlah polimer khitosan (gram)
r t
J =
Setelah semua larutan homogen, larutan dicetak di atas lempeng keramik atau cawan petri dan dibiarkan sampai kering. Dicuci membran dengan NaOH 1% (b/v) dan dibilas dengan air, kemudian dikeringkan pada suhu ruang. Membran yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi dan diuji kemampuan adsorpsinya.
V
(4)
2
Keterangan: J: fluks air ( L/m2jam), r : jari-jari (m), V : volume (L), t : waktu (jam)
2.5. Pemurnian Metode Batch
Biodiesel
dengan
2.4. Karakterisasi Membran
a. Penentuan Waktu Kontak
a. Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)
Tiga lembar membran ditimbang beratnya dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup. Penentuan waktu kontak dilakukan dengan menambahkan 27 ml biodiesel mentah ke dalam wadah yang telah mengandung membran. Kemudian di shaker pada 200 rpm terus-menerus pada suhu kamar
Dilakukan dengan menggunakan peralatan Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk melihat permukaan membran dengan be-
120
Saiful dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
dengan variasi waktu 10, 20, 30, 60 dan 120 menit. Konsentrasi sampel diukur sebelum dan sesudah perlakuan.
penguapan pelarut dari larutan cetak dan solidifikasi serta diikuti proses pencucian. Polimer khitosan dengan variasi 1%, 2%, 3%, dan 4% (b/v) dilarutkan dengan menggunakan asam asetat 1% dan diaduk dengan pengaduk magnetik selama 24 jam dalam suhu ruang untuk memperoleh larutan polimer yang homogen. Larutan polimer yang sudah homogen dicetak di atas plat atau lempengan yang sesuai. Kriteria plat atau lempengan yang digunakan untuk media cetak adalah plat atau lempengan yang tidak memiliki interaksi antara larutan polimer dan lapisan tipis membran, sehingga saat membran sudah mengering, membran akan mudah lepas dari plat atau lempengan dan membran yang dihasilkan tidak memiliki cacat secara fisik. Pada penelitian ini, plat yang digunakan adalah keramik dan cawan petri plastik. Membran yang dicetak pada plat keramik dan cawan petri plastik mempunyai karakter yang sangat bagus secara visual. Membran khitosan murni yang sudah kering dicuci dengan menggunakan larutan NaOH 1%. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan sisa pelarut seperti asam asetat dan zat aditif.
b. Regenerasi Membran Membran dimasukkan ke dalam masingmasing erlenmeyer yang berisi etanol dan metanol. Di shaker selama 1 jam. Dibilas dengan aquades dan dikeringkan dalam oven. Membran adsorpsi yang telah diregenerasi diuji kembali kemampuannya untuk pemurnian crude biodiesel. 2.6. Analisis Angka Asam Diambil sebanyak 0,5 gram metil ester. Ditambah 2,5 ml alkohol 95%. Dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air mendidih sambil diaduk. Larutan tersebut kemudian ditambahkan beberapa tetes indikator fenolftalein 1% dan dititrasi dengan KOH 0,01 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Dihitung angka asam dengan menggunakan persamaan di bawah ini: Angka asam
AxNx56,1 G
=
(5)
3.2. Pembuatan Magnesol
Keterangan: A = jumlah ml larutan KOH yang dihabiskan untuk titrasi N = normalitas larutan KOH G = bobot sampel (gram) 56,1 = bobot molekul KOH
Ditimbang sampel biodiesel sebanyak 6 gram dalam labu erlenmeyer. Dimasukkan pelarut aseton 98% sebanyak 6 mL. Ditetesi beberapa tetes indikator bromofenol biru. Dilakukan titrasi tetes demi tetes dengan larutan HCl 0,01 N hingga terbentuk warna kuning yang stabil. Dihitung kadar sabun dengan persamaan di bawah ini: (6)
Natrium oleat (ppm) =
(7)
Gambar tersebut menunjukkan bahwa partikel magnesol mempunyai struktur yang berpori. Adanya pori yang dimiliki oleh partikel ini akan mempermudah dalam mengadsorpsi senyawa yang ditargetkan. Maksimum partikel yang dimasukkan ke dalam larutan polimer adalah sekitar 60 65%. Di atas ambang batas tersebut, larutan yang dihasilkan akan memiliki viskositas yang sangat tinggi sehingga sulit dalam pencetakan. Membran adsorpsi yang diinginkan harus memiliki gugus fungsi yang tinggi sehingga mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengadsorpsi senyawa yang diinginkan. Membran adsorpsi magnesol mempunyai gugus fungsi (MgO-SiO2).
Keterangan: A = mL HCl 0,01 N yang digunakan untuk titrasi W = gram sampel
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pembuatan Murni
Membran
Adsorpsi
Membran adsorpsi magnesol dibuat dengan memasukkan partikel magnesol ke dalam larutan polimer khitosan 3% (b/v) dan diaduk selama 24 jam pada suhu ruang hingga homogen, kemudian dicetak dan dibiarkan sampai mengering. Partikel magnesol yang dimasukkan ke dalam larutan polimer khitosan sebesar 60% partikel loading. Morfologi membran adsorpsi magnesol diamati dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 1.
2.7. Analisis Kadar Sabun
Kalium oleat (ppm)=
Membran
Khitosan
Membran khitosan murni dibuat dengan beberapa tahap yaitu pelarutan polimer,
121
Saiful dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
(b)
(a)
(c)
Gambar 1. Morfologi membran adsorpsi magnesol. (a) penampang melintang ; 150 X. (b) permukaan atas; 350 X. (c) penampang bawah; 350 X.
Gambar 2. Hasil SEM-EDX partikel magnesol
Partikel magnesol yang dimasukkan ke dalam larutan polimer khitosan untuk menghasilkan membran adsorpsi mempunyai sisi aktif MgO-SiO2. Gambar 2 menunjukkan partikel magnesol mengandung MgO 10,41% dan SiO 47,14% yang dikarakterisasi dengan menggunakan Scanning Elektron Microscopy – Energy Dispersi X-ray (SEM- EDX).
sentrasi khitosan 3% dan 4% (b/v). Kedua membran ini mempunyai porositas sekitar 15% dan derajat pengembangan sekitar 18%. Dengan alasan ekonomis, maka membran khitosan dengan konsentrasi 3% (b/v) dipilih untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya. Hasil karakterisasi fluks air untuk membran khitosan murni 3% (b/v) dengan DMF 15% (v/v), diperoleh nilai fluks 42,55 L/m2jam, pada tekanan 2,5 bar.
3.3. Karakterisasi Membran Penambahan partikel magnesol ke dalam membran khitosan juga mempengaruhi sifat fisika (porositas, derajat pengembangan, dan ketebalan) dan fluks air dari mem,bran adsorpsi ini. Nilai fluks air membran adsorpsi magnesol jauh lebih tinggi yaitu 224,5 L/m2jam dibandingkan dengan khitosan murni. Ini karena keberadaan partikel magnesol dalam struktur membrane khitosan dapat meningkatkan nilai porositas membran. Karakter membran adsorpsi yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan derajat pengembangan dan peningkatan ketebalan karena viskositas larutan membran adsorpsi yang meningkat. Karakterisasi membran adsorpsi magnesol dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 menunjukkan hasil karakterisasi membran khitosan murni dengan variasi khitosan 1%, 2%, 3%, dan 4% (b/v). Karakter membran khitosan murni yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan derajat pengembangan, porositas, dan ketebalan karena viskositas larutan membran khitosan murni yang meningkat. Tabel 1. Hasil karakterisasi membran khitosan murni secara fisika (porositas, derajat pengembangan dan ketebalan) Jenis membran
Khitosan 1% (b/v) Khitosan 2% (b/v) Khitosan 3% (b/v) Khitosan 4% (b/v)
Porositas (%)
Derajat pengembangan (%)
Ketebalan (mm)
15,83
18,80
0,020
15,44
18,27
0,021
15,39
18,19
0,030
15,67
18,58
0,060
Tabel 2. Hasil karakterisasi membran adsorpsi magnesol secara fisika (porositas, derajat pengembangan, dan ketebalan) Porositas (%)
Secara fisika, karakter membran khitosan murni yang baik diperoleh dengan kon-
34,17
122
Derajat pengembangan (%) 51,91
Ketebalan (mm) 0,170
Saiful dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
3.4. Uji Adsorpsi Angka Asam dan Kadar Sabun
menarik pengotor membran.
Pengujian kemampuan membran adsorpsi dilakukan dengan sistem batch untuk memurnikan biodiesel dari asam lemak bebas dan kadar sabun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu kontak optimum adsorpsi asam lemak bebas dan kadar sabun adalah pada 60 menit. Setelah 60 menit adsorpsi tidak menunjukkan penurunan yang signifikan (Gambar 3). Ini karena permukaan membran adsorpsi yang sudah jenuh oleh pengotor dan konsentrasi analit yang sudah berada dalam keadaan kesetimbangan. Crude biodisesel pada keadaan awal mempunyai angka asam 1,07 dan setelah waktu kontak 60 menit, angka asam yang tersisa adalah 0,202 mg/g sudah di bawah baku standar. Pada kondisi yang sama, kadar sabun kalium oleat yang tersisa adalah 69,3 ppm dengan kadar sabun awal 522,7 ppm dan kadar sabun natrium oleat yang tersisa adalah 65,9 ppm dengan kadar sabun awal 496,5 ppm. Waktu kontak optimum 60 menit digunakan untuk menguji kemampuan partikel magnesol bebas dan membran khitosan murni untuk memurnikan asam lemak bebas dan kadar sabun dalam biodiesel.
yang
menutupi
pori
Bilangan asam (mg/g)
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit)
600
Kadar sabun (ppm)
500
Angka asam yang tersisa dengan menggunakan membran khitosan murni adalah 0,314 mg/g dan partikel magnesol adalah 0,281 mg/g. Kadar sabun kalium oleat yang tersisa dengan menggunakan membran khitosan murni adalah 240 ppm dan partikel magnesol adalah 106,7 ppm. Sedangkan kadar sabun natrium oleat yang tersisa dengan menggunakan membran khitosan murni adalah 228 ppm dan partikel magnesol adalah 101,3 ppm.
Sebagai Kalium oleat Sebagai natrium oleat
400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
100
120
Waktu (menit)
Gambar 3. Pengaruh waktu kontak terhadap angka asam (atas) dan kadar sabun kalium oleat (bawah)
Walaupun demikian, kedua membran regenerasi tetap mempunyai kemampuan adsorpsi, dimana menurun dibandingkan dengan kemampuan adsorpsi pertama. Penggunaan membran adsorpsi dalam penelitian ini efektif memurnikan biodiesel dari asam lemak bebas yang ditunjukkan dengan nilai angka asam yang sudah berada di bawah baku mutu. Kadar sabun belum memenuhi baku mutu. Faccini dkk., (2012) mempelajari bahwa adsorben menunjukkan kinerja yang baik, hasil dari dua adsorben terbaik (magnesol 1% dan 2% silika) adalah 0,17 mg/g KOH untuk kadar asam, 61 ppm untuk kadar sabun. Sabudak dan Yildiz (2010) juga menggunakan adsorben magnesol untuk pemurnian biodiesel dengan hasil angka asam 0,29 mg/g KOH. Manique dkk. (2011) menggunakan adsorben magnesol untuk pemurnian biodiesel dengan angka asam 0,25 mg/g KOH. Penelitian tersebut membuktikan bahwa adsorben
Hasil ini menunjukkan bahwa membran khitosan murni dan partikel magnesol, keduanya mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi asam lemak bebas dalam biodiesel dan hasilnya memenuhi baku mutu, sedangkan untuk kadar sabun tidak memenuhi baku mutu tapi mengalami penurunan kadar sabun dari awal. Membran adsorpsi yang sudah digunakan pada adsorpsi pertama diregenerasi dengan pelarut metanol dan etanol. Hasil regenerasi menggunakan metanol lebih baik kemampuan adsorpsinya dibandingkan membran yang diregenerasi dengan etanol. Metanol mempunyai kepolaran yang lebih besar dan ukuran molekul yang lebih kecil disbandingkan etanol sehingga lebih mudah untuk
123
Saiful dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
mampu menghilangkan pengotor dalam biodiesel. Penggabungan membran dan adsorben menunjukkan hasil yang cukup baik. Nilai angka asam 0,202 mg/g KOH pada waktu optimum 60 menit sudah berada di bawah baku mutu layaknya penelitian sebelumnya tetapi kadar sabun 69,3 ppm belum di bawah baku mutu.
berada di bawah baku mutu. Membran magnesol yang telah diregenerasi dapat digunakan kembali untuk pemurnian biodiesel. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini melalui Penelitian Hibah Bersaing. Terima kasih juga disampaikan kepada Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala, dan semua pihak yang telah membantu penelitian ini. Daftar Pustaka Atadashi, I. M., Aroua, M. K., Aziz, A. A. (2010) High quality biodiesel and its diesel engine application: A review, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 1999 - 2000.
Gambar 4. Perbandingan kemampuan adsorpsi angka asam oleh membran adsorpsi setelah diregenerasi dengan pelarut metanol dan etanol
Atadashi I. M., Aroua M. K., Aziz, A. A., Sulaiman, N. M. N. (2011) Membrane biodiesel production and refining technology: A critical Review Article, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15, 5051 - 5062.
Untuk mencapai hasil adsorpsi yang maksimal dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah membran yang cukup sesuai dengan rasio volume membran dan kadar sabun. Rasio volume membran : kadar sabun adalah 1 liter : 61200,8 ppm, artinya untuk memurnikan 61200,8 ppm kadar sabun membutuhkan 1 liter volume membran dan rasio volume membran : angka asam adalah 1 liter : 125,3 mg/g, artinya untuk memurnikan 125,3 mg/g asam lemak bebas membutuhkan 1 liter membran. Bila jumlah membran ditingkatkan, maka diperkirakan jumlah kadar sabun yang tersisa dalam biodiesel akan sesuai dengan baku mutu. Cara lain untuk menurunkan kadar sabun dalam biodiesel yaitu dengan mengulangi adsorpsi untuk biodiesel hasil adsorpsi pertama. Biodiesel hasil adsorpsi pertama dapat diadsorpsi kembali dengan mengunakan jumlah membran yang sama dan akan dapat menurunkan kadar sabun di bawah baku mutu.
Cao, P., Dubé, M. A., Tremblay, A. Y. (2008a) High-purity fatty acid methyl ester production from canola, soybean, palm, and yellow grease lipids by means of a membrane reactor. Biomass and Bioenergy, 32(11), 1028 - 1036. Cao, P., Dubé, M. A., Tremblay, A. Y. (2008b) Methanol recycling in the production of biodiesel in a membrane reactor, Fuel, 87(6), 825 - 833 Faccini C. S., Cunha, M. E., Moraes, M. S. A., Krause, L. C., Manique, M. C., Rodrigues, M. R. A., Benvenutti, E. V., Caramão, E. B. (2012) Dry washing in biodiesel purification: a comparative study of adsorbents, J. Braz. Chem. Soc, 22(3), 558 - 563. Gomes, M. C. S., Pereira, N. C. (2010) Separation of biodiesel and glycerol using ceramic membranes, Journal of Membrane Science, 352(1-2), 271 276.
4. Kesimpulan Membran adsorpsi magnesol telah berhasil dibuat dengan komposisi khitosan 3%, DMF 15%, dan partikel loading 60%. Membran yang didapatkan terbukti dapat diaplikasikan untuk pemurnian biodiesel. Angka asam biodiesel yang telah dimurnikan dengan membran adsorpsi sudah berada di bawah baku mutu, sedangkan kadar sabun belum
Maulana, I., Mustafa, I. (2009) Sintesis metil ester asam lemak minyak nabati menggunakan katalis hidrotalsit terimpregnasi logam Cu, Laporan Hasil
124
Saiful dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Penelitian Aceh.
Prioritas
Nasional.
Banda
Saiful, Borneman, Z. (2010) Preparation of double layer mixed matrix membranes, Proceeding National Conference on Chemical Engineering Science and Application, Banda Aceh, 22 – 23 Desember 2010, 198 - 209.
Manique, M. C., Faccini, C. S., Onorevoli, B., Benvenutti, E. V., Caramao, E. B. (2011) Rich husk ash as an adsorbent for purifying biodiesel from waste frying oil, Fuel, 92, 56 - 61.
Saiful (2011) Performance of mixed matrix membrane adsorbers for lysozyme separation, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 8(1), 29 - 34.
Predojevic, Z. J. (2008) The production of biodiesel from waste frying oils: A comparison of different purification steps, Fuel, 87(17-18), 3522 - 3528.
Shuit, S. H., Ong, Y. T., Lee, K. T., Subhash, B., Ta, S. H. (2012) Membrane technology as a promising alternative in biodiesel production: A review, Biotechnology Advances, 30(6), 1364 1380.
Sabudak, T., Yildiz, M. (2010) Biodiesel production from waste frying oils and its quality control, Waste Management, 30(5), 799 - 803.
125
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 126 - 131, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.781
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas L.) Hasil Budidaya Daerah Saree Aceh Besar Antioxidant Activity of Extracted Ethanol from Purple Sweet Potato Leaves (Ipomea batatas L.) Cultivated in Saree, Aceh Besar Sulastri, Erlidawati, Syahrial, Muhammad Nazar*, Thursina Andayani Prodi Pendidikan Kimia, FKIP Unsyiah, Universitas Syiah Kuala Jln Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111 *E-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari daun ubi jalar ungu yang dibudidayakan di Saree, Aceh Besar. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama meliputi persiapan sampel, uji fitokimia, penentuan panjang gelombang maksimum (λmaks), aktivitas antioksidan dengan metode reducing power, dan analisis TLC. Pada tahap kedua, pemurnian dengan menggunakan teknik kromatografi kolom, uji fitokimia, dan uji aktivitas antioksidan. Sampel dilarutkan dengan menggunakan etanol 70% dan 1,5N HCl dengan perbandingan 85:15 (v/v). Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa sampel tidak hanya mengandung flavonoid, tetapi juga terdapat tannin. Nilai Rf untuk sampel dan larutan standar masing-masing 0,55 dan 0,61 dengan nilai absorbansi 0,826 dan 0,845. Sampel kemudian dimurnikan dengan kromatografi kolom dan 25 fraksi dikelompokkan berdasarkan intensitas warna, disingkat dengan FA, FB dan FC. Kemudian dilakukan uji fitokimia untuk menguji kemurnian fraksi yang diperoleh dan hasilnya FB relatif lebih murni daripada fraksi lainnya. Uji reducing power sampel FB dengan variasi 10 mg, 20 mg, 30 mg, 40 mg dan 50 mg menunjukaan persentase inhibisi masing-masing 64,1; 6,7; 67,9; 70,3 dan 73,6%, sedangkan persentase α- tokoferol pada variasi yang sama adalah 32,1; 36,7; 43,5; 45,4 dan 50,2%. Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun ubi jalar ungu lebih tinggi dari α- tokoferol. Kata kunci:
aktivitas antioksidan, daun ubi jalar ungu, kromatografi kolom, reducing power, uji fitokimia Abstract
This research was aimed to investigate the antioxidant activity of purple sweet potato leaves cultivated in Saree, Aceh Besar. The study was conducted in two stages. The first stage included sampel preparation, phytochemical test, λ max determination, testing of antioxidant activity by reducing power method, and TLC analysis. In stage 2 purification using column chromatography, phytochemical test, and antioxidant activity test were performed. The sample was dissolved by using 70% ethanol and 1.5 N HCl with a ratio of 85:15 (v/v). Phytochemical test results showed that the sample consisted of not only flavonoids but also tannins. The Rf value for both sample and standard are respectively 0.55 and 0.61 with absorbance value of 0.826 and 0.845. The sample was then purified using column chromatography and 25 fractions were grouped based on the color intensity abbreviated as FA, FB and FC. Photochemical test was then conducted to examine the purity of obtained fraction and FB was found to be relatively purer than other fractions. Reducing power test of FB with variation of weight 10 mg, 20 mg, 30 mg, 40 mg, and 50 mg gave the percentage inhibition 64.1, 6.7, 67.9, 70.3 and 73.6%, respectively, while the percentage value of αtocopherol at simmilar weight variation are 32.1, 36.7, 43.5, 45.3 and 50.2%. From the result obtained, it can be concluded that the antioxidant activity of ethanol extract of thick purple sweet potato leaves is higher than α-tocopherol. Keywords: antioxidant activity, column chromatography, purple sweet potato leaves, phytochemical test, reducing power
1. Pendahuluan
terhadap tanaman ubi jalar di Aceh. Oleh karena itu, masyarakat sangat awam akan informasi mengenai kandungan antioksidan tanaman ubi jalar dan khasiatnya bagi kesehatan. Sehingga, tanaman ubi jalar kurang
Aceh merupakan salah satu daerah sentral produksi ubi jalar di Indonesia. Namun, hingga saat ini belum banyak penelitian 126
Sulastri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
dimanfaatkan untuk konsumsi makanan harian. Tanaman ubi jalar yang dijadikan objek penelitian berasal dari berbagai varietas dan ternyata memberikan hasil yang bervariasi. Hal ini disebabkan tempat tumbuh dan penyilangan bibit yang berbeda menyebabkan kandungan metabolit sekunder tanaman menjadi berbeda. Huang dkk. (2004) menemukan bahwa umbi, daun dan tangkai ubi jalar varietas Lam `Tainong 57' yaitu varietas ubi jalar di Nankang (Taipei) memiliki aktivitas antioksidan dan antiproliferatif. Sementara itu Truong, dkk. (2007) menemukan adanya sekelompok senyawa fenolik seperti asam kafeat, asam klorogenat, asam 3,5-di-O-kafeoilkuinat, dan asam 3,4-di-O-kafeoilkuinat di dalam daun dan umbi ubi jalar yang berasal dari tiga wilayah berbeda di Texas. Islam dkk. (2002) melaporkan adanya senyawa antosianin yang dikandung oleh ubi jalar ungu, akan tetapi komposisi senyawa yang ditemukan dalam masing-masing tanaman ubi jalar tersebut berbeda. Selanjutnya Syahrial dan Hanum (2008) melaporkan bahwa umbi ubi jalar ungu hasil budidaya petani Saree Aceh Besar positif mengandung flavonoid dan memiliki aktivitas antioksidan. Padda dan Singh (2006) juga telah melaporkan keberadaan antioksidan dalam ubi jalar ungu ini.
spatula, klem, statif, sentrifugal dan chamber. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu etanol 70%, aquades, kristal kalium heksasianoferrat (III), kobalt (II) klorida, besi (III) klorida, asam trikloroasetat, larutan buffer posfat pH 6,8, amonia, asam klorida, pereaksi Liebermann-Burchard (reagent grade), pereaksi Dragendroff (reagent grade), pereaksi Mayer (reagent grade), serbuk Zn, gelatin, amil alkohol, eter, natrium hidroksida, plat KLT GF254, n-heksana, dan α-tokoferol. Semua bahan kimia dan reagen yang digunakan merupakan produk komersial Merck (Darmstadt, Germany).
Oleh karena besarnya peluang penggunaan setiap bagian dari tanaman ubi jalar dari berbagai varietas untuk dijadikan bahan dasar obat pencegah berkembangnya sel kanker dan penyakit degeneratif lainnya yang disebabkan oleh radikal bebas, maka peneliti tertarik untuk meneliti aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) hasil budidaya daerah Saree Aceh Besar. Aktivitas antioksidan daun ubi jalar ungu akan diuji dengan metode reducing power dan persentase aktivitas antioksidannya akan dibandingkan dengan α-tokoferol.
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa-senyawa kimia metabolit sekunder (golongan alkaloid, flavonoid, tanin, terpenoid, steroid, dan saponin) yang terkandung dalam daun ubi jalar ungu (Moelyono, 1996).
2.1. Tahap Maserasi Maserasi terhadap daun ubi jalar ungu dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut. Daun ubi jalar ungu yang telah dibersihkan lalu diiris setebal 0,25 cm kemudian dikering anginkan. Selanjutnya dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70% dan asam klorida 1,5 N dengan perbandingan (85 : 15 (v/v)) selama 3 x 24 jam kemudian disaring. Ekstrak (EtOH : HCl) daun ubi jalar ungu dipekatkan dengan rotary evaporator (Harborne, 1996). 2.2. Uji Penapisan Fitokimia
2.3. Penentuan Panjang Maksimum (λmaks)
Gelombang
Penentuan panjang gelombang maksimum bertujuan untuk mengetahui pada panjang gelombang berapa senyawa yang terbentuk menyerap cahaya paling optimum. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan cara sebagai berikut. Ekstrak kental etanol daun ubi jalar ungu sebanyak 30 mg dilarutkan dalam 1 mL air suling, ditambahkan 2,5 mL larutan buffer fosfat pH 6,8 dan 2,5 mL larutan kalium ferisianida 1%. Campuran diinkubasi pada suhu 50°C selama 20 menit kemudian ditambahkan 2,5 mL asam trikloroasetat 10% ke dalam campuran dan disentrifus selama 10 menit. Lapisan atas sebanyak 2,5 mL diencerkan dengan 2,5 mL air suling dan ditambahkan 0,5 mL larutan besi (III) klorida 0,1% sampai terbentuk warna hijau kebiruan. Diukur serapannya pada panjang gelombang 585 - 620 nm dengan inteval 5 nm meng-
2. Metodologi Populasi dalam penelitian ini yaitu daun ubi jalar ungu segar (Ipomea batatas L.) sebanyak 5000 gram yang diperoleh dari petani Kampung Aceh Kecamatan Lembah Seulawah (Saree), Kabupaten Aceh Besar. Sampel dalam penelitian ini adalah daun urutan kedua dan ketiga dari pucuk yang diambil secara acak sebanyak 500 gram. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium kimia, rotary evaporator, spektrofotometer 6300 Jen Way, timbangan analitik, inkubator, penangas air,
127
Sulastri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
gunakan spektrofotometer 6300 Jen Way. Sebagai pembanding, dilakukan prosedur yang sama untuk α-tokoferol dengan massa 30 mg (Day dan Underwood, 1996).
eluen dibiarkan merambat sampai tanda batas. Dikeluarkan plat KLT dan dibiarkan kering pada suhu kamar. Bercak noda dan yang terbentuk diamati di bawah lampu uv dan dihitung harga faktor retensinya (Rf) (Gritter, 1991).
2.4. Penentuan Larutan Blanko Dalam penentuan absorbansi yang stabil, pengukuran transmitan larutan dilakukan pada sampel disertai dengan larutan pembanding (blanko). Pembuatan larutan blanko dilakukan dengan cara berikut: 1 mL air suling ditambahkan 2,5 mL larutan buffer fosfat pH 6,8 dan 2,5 mL larutan kalium heksasianoferat (III) 1%. Campuran diinkubasi pada suhu 50°C selama 20 menit kemudian ditambahkan 2,5 mL asam trikloroasetat 10% ke dalam campuran dan disentrifus selama 10 menit. Lapisan atas sebanyak 2,5 mL diencerkan dengan 2,5 mL air suling dan ditambahkan 0,5 mL larutan besi (III) klorida 0,1% sampai terbentuk warna hijau kebiruan. Diukur serapannya pada panjang gelombang 615 nm dengan menggunakan alat spektrofotometer 6300 Jen Way (Tahir, 2008). 2.5. Aktivitas Antioksidan Metode Reducing Power
2.7. Analisis Kromatografi Kolom Sebagai fase diam dalam kromatografi ini digunakan silika gel 60 (70 - 100 Mesh) yang sudah diovenkan pada 110°C untuk menghilangkan kandungan air. Eluen (fasa gerak yang digunakan adalah n-hexana : aseton 7 : 5) (v/v). Kolom ini didiamkan selama 1 hari sehingga diperoleh pemampatan yang sempurna. Selanjutnya ekstrak EtOH : HCl daun ubi jalar dilarutkan dalam pelarut (fase gerak), dan sampel dimasukkan dengan hati-hati melalui dinding kolom dan aliran fasa gerak diatur. Eluen ditambahkan secara kontinyu sampai terjadi pemisahan. Eluat ditampung pada botol penampung fraksi setiap 3 mL. Setiap fraksi sampel yang dikoleksi kemudian diuji dengan KLT kembali untuk mengidentifikasi noda yang sesuai.
dengan 3. Hasil dan Pembahasan
Uji aktivitas antioksidan dengan metode reducing power dilakukan menurut prosedur kerja Hadisusilo dkk. (1999) sebagai berikut. Ekstrak kental etanol daun ubi jalar ungu sebanyak 10 mg, 20 mg, 30 mg, 40 mg, dan 50 mg masing-masing dilarutkan dalam 1 mL air suling, lalu ditambahkan 2,5 mL larutan buffer fosfat pada pH 6,8 dan 2,5 mL larutan kalium ferisianida 1%. Campuran diinkubasi pada suhu 50°C selama 20 menit kemudian ditambahkan 2,5 mL asam trikloroasetat 10% ke dalam campuran dan disentrifus selama 10 menit. Lapisan atas sebanyak 2,5 mL diencerkan dengan 2,5 mL air suling dan ditambahkan larutan besi (III) klorida 0,1% sampai terbentuk warna hijau kebiruan. Diukur serapannya pada panjang gelombang 475 - 650 nm menggunakan alat spektrofotometer 6300 Jen Way. Kenaikan dari harga absorbansi menunjukkan tingginya aktivitas antioksidan dari ekstrak tersebut. Dilakukan langkah 1 - 5 untuk tokoferol dengan massa 10 mg, 20 mg, 30 mg, 40 mg, dan 50 mg sebagai pembanding. 2.6.
Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa sampel positif mengandung flavonoid yang ditandai oleh timbulnya cincin berwarna merah pada lapisan atas sampel baik sebelum dan setelah dievaporasi. Rangkukuman hasil uji fitokimia sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji fitokimia No Metabolit Hasil Uji Fitokimia sekunder Sebelum Sesudah dievaporasi dievaporasi 1 Alkaloid 2 Flavonoid + + 3 Tanin + 4 Polifenol 5 Saponin 6 Triterpenoid 7 Steroid 8 Kuinon -
Tabel 1 menunjukkan bahwa sampel daun ubi jalar ungu tidak hanya mengandung flavonoid, tapi juga terdapat senyawa metabolit sekunder lain yaitu tanin. Oleh karena yang menjadi target dalam penelitian ini adalah senyawa golongan flavonoid, maka kandungan aktif antioksidan inilah yang diuji aktivitas antioksidannya. Absorbansi tertinggi untuk α-tokoferol maupun ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu diperoleh pada panjang gelombang 615 nm. Oleh karena itu penentuan aktivitas
Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Sampel ditotolkan pada plat KLT GF254 dan plat dimasukkan ke dalam Chamber yang berisi eluen n-heksana : aseton dengan perbandingan yang bervariasi. Selanjutnya
128
Sulastri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
anti oksidan dilakukan pada panjang gelombang maksimum tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.
80 70
Inhibisi (%)
1 Sampel
Absorbansi
0.8
Alfatokoferol
0.6
60 50 40 30 20 10
0.4
0
10
Gambar 1. Penentuan alfatokoferol
40
50
λmax
sampel
dan
Meskipun Gambar 3 menunjukkan bahwa persentase inhibisi ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu lebih tinggi dibandingkan dengan α-tokoferol, ekstrak sampel dipandang relatif tidak murni. Oleh karena itu pada penelitian ini sampel yang diperoleh dimurnikan dengan menggunakan teknik pemisahan kromatografi kolom, sehingga diperoleh ekstrak antosianin yang lebih murni dan dilanjutkan dengan uji aktivitas antioksidannya.
800 600 400 200
10
20
30
40
Setelah melalui tahap-tahap isolasi, maka diperoleh ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu yang dilanjutkan dengan uji aktivitas antioksidannya. Selanjutnya ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu diidentifikasi dengan KLT menggunakan plat silika gel GF254. Dalam teknik kromatografi, pemisahan dianggap baik bila komponen-komponen yang dipisahkan mempunyai perbedaan harga Rf yang cukup besar. Harga faktor retensi (Rf) plat KLT dengan pemisahan terbaik (plat no 12) memiliki nilai sebesar 0,55 dan 0,61. Berdasarkan dari dua harga Rf tersebut dapat diperkirakan paling tidak ada dua jenis senyawa flavonoid golongan antosianin dalam ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu. Hasil pengujian dengan KLT dapat dilihat pada Tabel 2.
50
Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm) Sampel
Alfatokoferol
Gambar 3. Grafik persentase inhibisi ekstrak EtOH : HCl daun ubi jalar ungu dibandingkan dengan α-tokoferol
1000
Absorbansi Absorbansi
30
Sampel
0 580 585 590 595 600 605 610 615 620 Panjang gelombang (nm) Panjang Gelombang (nm)
0
20
Konsentrasi(ppm) Konsentrasi (ppm)
0.2
Alfatokoferol
Gambar 2. Absorpsi antioksidan sampel dan αtokoferol pada panjang gelombang maksimum
Hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu bila dibandingkan dengan α-tokoferol dapat dilihat pada Gambar 2. Menunjukkan bahwa pada tingkat konsentrasi yang sama ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu memiliki nilai absorbansi lebih tinggi dibandingkan dengan α-tokoferol. Tingginya nilai absorbansi ini menandakan bahwa kemampuan mereduksi (reducing power) dari fraksi tersebut relatif tinggi. Dengan demikian maka semakin tinggi pulalah aktivitas antioksidannya. Dalam bentuk grafik persentase inhibisi ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu dibandingkan dengan α-tokoferol dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 2. Hasil KLT kolom No
129
1
Kelompok Fraksi FA (1-7)
2
FB (8-13)
3
FC (14-25)
fraksi-fraksi Warna
Kuning muda Orange kecoklatan Kuning orange
kromatografi
Jumlah noda -
Harga Rf -
3
0,08; 0,38; 0,44 -
-
Sulastri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
3-glukosida. Setelah dilakukan pemurnian melibatkan t e k ni k k r o m a t o - g r a fi ko l o m d e ng a n menggunakan fase gerak dan fase diam seperti diutarakan pada metode penelitian, aktivitas antioksidan serta persen inhibisi ekstrak sampel dan alfatokoferol sebagai reference diuji kembali. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
1
Absorbansi Absorbansi
0.8 0.6 0.4
Gambar 4 memperlihatkan bahwa tingkat aktivitas antioksidan ekstrak sampel setelah pemurnian relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum pemurnian. Sebagai contoh dapat dilihat pada konsentrasi 50 ppm, jika sebelum purifikasi nilai absorbansinya 0,881 (Gambar 2) maka setelah purifikasi meningkat menjadi 0,993 (Gambar 4). Berdasarkan Gambar 4 ekstrak kental EtOH : HCl daun ubi jalar ungu hasil analisis dengan kromatografi kolom memberikan persentase inhibisi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan sebelumnya. Ini membuktikan bahwa ekstrak daun ubi jalar ungu lebih murni setelah dipurifikasi menggunakan kromatografi kolom. Semakin tinggi persentase inhibisi maka semakin tinggi juga aktivitas antioksidan daun ubi jalar ungu.
0.2 0
10
20
30
40
50
Konsentrasi (ppm) Konsentrasi (ppm) Sampel
Alfatokoferol
Gambar 4. Diagram uji aktivitas antioksidan ekstrak daun ubi jalar ungu dan αtokoferol dari fraksi kromatografi kolom
80
Inhibisi (%)
70 60 50 40 30
4. Kesimpulan
20
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak EtOH : HCl daun ubi jalar ungu positif mengandung komponen metabolit sekunder golongan flavonoid dan tannin serta memiliki aktivitas antioksidan yang relatif lebih tinggi berbanding dengan alfa tokoferol yang merupakan senyawa populer antioksidan. Hasil analisis kromatografi kolom yang dilanjutkan dengan analisis KLT diperoleh harga Rf yang berbeda dengan harga Rf pada analisis KLT sebelumnya. Dalam penelitian ini belum dilakukan analisis spektrum sampel tersebut, sehingga perlu dilakukan analisis lebih lanjut, berupa FT-IR, H-NMR atau C-NMR untuk mengetahui struktur kimia dari senyawa yang dimaksud secara akurat.
10 0
10
20
30
40
50
Konsentrasi (ppm) Sampel
Alfatokoferol
Gambar 5. Grafik persentase inhibisi ekstrak daun ubi jalar ungu dengan αtokoferol dari kromatografi kolom
Tabel 2 menunjukkan bahwa hanya fraksi FB (tabung 8 - 13) yang menunjukkan adanya noda pada uji KLT sedangkan dua fraksi lain yaitu FA dan FC tidak menunjukkan noda KLT sehingga fraksi FB kemudian dipekatkan untuk diuji aktifitas antioksidan dan persen inhibisi. Berdasarkan tiga harga Rf pada Tabel 2 dapat diperkirakan ada tiga jenis senyawa flavonoid golongan antosianin dalam ekstrak daun ubi jalar ungu. Akan tetapi sulit untuk mengetahui jenis kelompok senyawa flavonoid golongan antosianin tersebut karena tidak ditemukannya harga Rf standar yang menggunakan eluen n-heksana : aseton (7 : 5). Sejauh penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, Harborne (1996) menegaskan bahwa, nilai Rf untuk 0,08; 0,38; dan 0,44 menggunakan eluen HCl merupakan senyawa delfinidin 3,5-diglukosida, sianidin 3-glukosida dan pelargonidin
Daftar Pustaka Day, R. A., Underwood, A. L. (1996) Kimia Analitik Kuantitatif, Erlangga, Jakarta. Gritter, R. J. (1991) Pengantar Kromatografi, Edisi II, (Penerjemah: Kosasih. P), ITB, Bandung. Hadisusilo, S., Lala, K., Saleh, K. (1999) Uji Aktivitas Antioksidan Biji Kluwek
130
Sulastri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
(Pangium Edule Reinw). Prosiding Seminar Nasional Kimia Bahan Alam. Universitas Indonesia, Jakarta, 16 - 17 November 1999, 371 – 377.
Padda, Singh, M. (2006) Phenolic composition and antioxidant activity of sweetpotatoes (Ipomea Batatas (L) Lam), Disertation, Agricultural and Mechanical College, Louisiana State University, Lousiana.
Harborne (1996) Metode Fitokimia. Edisi Ketiga. ITB, Bandung.
Syahrial, Hanum, L. (2008) Aktivitas antioksidan umbi ubi jalar (ipomea batatas l) hasil budidaya petani Saree Aceh Besar, Laporan Penelitian DPA-SKPD, Banda Aceh.
Huang, D., Lin, C., Chen, H., Lin, Y. (2004) Antioxidant and antiproliferative activeties of sweet potato (Ipomoea batatas [L.] Lam `Tainong 57') constituents, Botanical Bulletin of Academia Sinica, 45, 179 - 186.
Tahir, L. (2008) Arti Penting Kalibrasi pada Proses Pengukuran Analitik, Laboratorium Kimia Dasar FMIPA, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Islam, M. S., Yoshimoto, M., Terahara, N., Yamakawa, O. (2002) Anthocyanin composition in sweetpotato (Ipomea batatas L) Leaves, Bioscience. Biotechnology, Biochemical, 66 (11), 2483 2486.
Truong, V. D., McFeeters, R. F., Thompson, R. T., Dean, L. L., Shofran, B. (2007) Phenolic acid content and composition in leaves and roots of common commercial sweetpotato (Ipomea batatas L.) cultivars in the United States, J. of Food Sci., 72(6), 343 349.
Moelyono, W. (1996) Panduan Praktikum Analisa of Fotokimia, Laboratorium Farmakologi. PMIPA Universitas Padjajaran, Bandung.
131
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 132 - 137, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.782
Pengolahan Limbah Cair Laundry Menggunakan Membran Selulosa Diasetat Berbasis Selulosa Pulp Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) Treatment of Laundry Liquid Waste Using Cellulose Diacetate Membrane Based Cellulose Pulp from Wood of Sengon Vera Roni Setiawan1*, Cut Meurah Rosnelly2, Darmadi2 1)
Magister Teknik Kimia Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala 2) Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111 *E-mail:
[email protected] Abstrak Peningkatan jumlah laundry membawa efek negatif pada lingkungan karena limbah laundry memiliki kandungan polutan yang tinggi seperti fosfat, surfaktan, mineral, nitrogen, COD, dan komponen lainnya, sehingga diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Pengolahan limbah laundry dapat dilakukan dengan teknologi membran. Pembuatan membran selulosa diasetat dengan proses ultrafiltrasi telah dilakukan dengan metode infersi fasa menggunakan dimetilformamida (DMF) sebagai pelarut. Hasil filtrasi menunjukkan fluks membran tertinggi adalah 77,408 L/m2h pada TMP 3 bar. Sedangkan fluks terendah pada TMP 1 bar yaitu 55,649 L/m2h. Rejeksi membran ultrafiltrasi untuk parameter COD, fosfat, dan surfaktan masing-masing adalah 67%, 72%, dan 63%. Kata kunci: fluks, limbah laundry, membran selulosa diasetat, rejeksi, ultrafiltrasi Abstract The improvement of laundry activity brought a negative effect on the environment because laundry wastewater have a high content pollutants such as phosphate, surfactants, mineral, nitrogen, COD, and other components, so the treatment is needed before being discharged into terristorial water. Laundry wastewater treatment has been conducted by membrane technology. Preparation of cellulose diacetate membranes with ultrafiltration process had be done by phase inversion using dimethylformamide (DMF) as a solvent. The filtration experiment showed that the highest membrane flux was 77.408 L/m2.h at TMP 3 bar. While the lowest flux at TMP 1 bar was 55.649 L/m2.h. Rejection of membrane ultrafiltration for parameters of COD, phosphate, and surfactant were 67%, 72%, and 63% respectively. Keywords: cellulose diacetate membranes, flux, laundry wastewater, rejection, ultrafiltration
1. Pendahuluan
deterjen adalah senyawa ionik berupa natrium tripolifospat yang berfungsi sebagai builder dan surfaktan (Wardhana dkk., 2009). Limbah laundry juga mengandung fospat tinggi sekitar 9,9 ml/l dan nilai COD (Chemical Oxygen Demand) sebesar 280 MgO2/l melebihi baku mutu yang telah ditetapkan sehingga diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air (Sostar-Turka dkk., 2005).
Dewasa ini banyak industri kecil laundry bermunculan khususnya di daerah Banda Aceh. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas yang padat sehingga membutuhkan jasa laundry sebagai tempat untuk mencuci pakaian. Munculnya usaha dalam bidang jasa ini memiliki manfaat yang cukup besar bagi perekonomian masyarakat, namun di sisi lain adanya limbah yang dihasilkan dari sisa proses pencucian berpotensi menimbulkan pencemaran. Industri laundry dalam prosesnya banyak menggunakan deterjen sebagai bahan pencuci. Penggunaan deterjen yang semakin meluas dikarenakan deterjen mempunyai sifat–sifat pembersih yang efektif dibandingkan dengan sabun biasa. Zat yang dominan terkandung dalam
Penelitian pengolahan limbah laundry terdahulu telah banyak dilakukan seperti menggunakan elektrokoagulasi (Hudori dan Soewando, 2009), Furnace Bottom Ash, karbon aktif dari sampah plastik dengan metode batch dan kontinyu (Wardhana dkk., 2009). Namun pengolahan menggunakan teknologi membran menarik untuk dikaji karena sangat menjanjikan untuk 132
Vera Roni Setiawan dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
penanganan limbah. Membran mampu memisahkan komponen dengan ukuran lebih kecil dari 10 mikron. Membran adalah suatu lapisan tipis yang memisahkan dua fase dan membatasi pengangkutan berbagai bahan kimia secara selektif, hal ini diharapkan komponen-komponen pencemar seperti fosfat, surfaktan, dan kandungan organik lainnya dapat terdegradasi secara maksimal. Dengan teknologi membran diharapkan dapat memanfaatkan air limbah menjadi sesuatu yang bernilai guna dan mengurangi beban pencemaran lingkungan. Keuntungan menggunakan teknologi membran antara lain energi yang dibutuhkan rendah, tidak memerlukan tambahan bahan kimia, tidak menghasilkan kontaminan maupun polutan, memerlukan lahan yang relatif kecil dan bersifat modular sehingga mudah dikombinasikan dengan produk teknologi lain (Mulder, 1996).
gelas ukur, kuvet, spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu. 2.3. Pembuatan Membran Pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa diasetat (SDA) dari selulosa pulp kayu sengon dilakukan secara inversi fasa. SDA dengan konsentrasi 18% wt dicampur dengan pelarut DMF, dalam erlenmeyer 100 ml dengan menggunakan magnetic stirer pada rentang waktu 1 - 3 jam pada suhu 50ºC hingga diperoleh larutan homogen yang disebut sebagai larutan dope. Larutan tersebut selanjutnya didiamkan sekitar 1 - 2 jam pada kondisi kedap udara guna menghilangkan gelembung udara. Membran diperoleh dengan cara menuangkan larutan dope di atas plat kaca, dan dicetak menggunakan applicator membran dengan batas ketebalan (0,02 mm) sehingga membentuk lapisan tipis. Lapisan tipis tersebut dibiarkan selama 30 detik yang dilanjutkan dengan perendaman hingga terbentuk lapisan tipis membran. Membran yang dicetak sesuai modul filtrasi kemudian dicuci dengan air distilat dalam jumlah besar dan disimpan (Rosnelly, 2010). Selanjutnya membran dilihat koefisien permeabilitasnya.
Jenis polimer yang banyak digunakan pada pembuatan membran antara lain selulosa beserta turunannya (selulosa asetat), polisulfon, poliamida, poliakrilonitril (Wenten, 1999). Selulosa asetat diperoleh dari hasill asetilasi selulosa berbagai macam sumber seperti selulosa mikrobial (Desiyarni, 2006), pulp Abaka (Radiman, 2008), limbah serbuk gergaji (Suyati, 2008), dan pulp kayu Sengon (Rosnelly, 2010). Selulosa asetat dan turunannya seperti selulosa diasetat (SDA) akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan polimer membran karena bahan dasarnya bersifat ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Berdasarkan ulasan di atas, pada penelitian ini penulis mengkaji kinerja membran selulosa diasetat berbasis selulosa pulp kayu sengon dalam pengolahan limbah laundry pada berbagai variasi tekanan transmembran.
2.4. Penentuan Fluks
2.1. Bahan
Pengukuran fluks dilakukan dengan mengalirkan aquades menggunakan modul ultrafiltrasi sistem aliran dead end menggunakan membran yang telah dihasilkan. Membran yang digunakan berbentuk flat dengan luas permukaan 12,56 cm2 (12,56 x 10-4 m2) pada berbagai transmembrane pressure (TMP). Permeat ditampung di gelas ukur, laju volumetrik permeat diukur dengan mencatat volume permeat dalam selang waktu tertentu. Pengambilan data dihentikan setelah didapat laju permeat yang konstan. Secara sistematis fluks dirumuskan sebagai berikut (Mulder, 1996):
Bahan-bahan yang digunakan yaitu: membran selulosa diasetat (SDA) berbasis selulosa pulp kayu sengon penelitian terdahulu (Rosnelly, 2010), aquades, konsentrasi SDA 18%, suhu larutan dope 50oC. Limbah laundry yang diambil dari salah satu laundry di kawasan Banda Aceh.
dimana: J = Fluks (l/m2.jam) V = Volume permeat( l) A = Luas permukaan membran (m2) t = Waktu (jam)
2. Metodologi
(1)
Limbah laundry terlebih dahulu dianalisis meliputi: surfaktan, COD dan fosfat. Proses filtrasi dilakukan dengan cara mengalirkan limbah laundry menggunakan 3 variasi tekanan transmembran, yaitu 1; 2; dan 3 bar. Umpan berupa limbah laundry dimasukkan dalam tangki umpan, kemudian dialirkan
2.2. Alat Alat yang digunakan yaitu: seperangkat modul ultrafiltrasi sistem dead end (merk Advantec, Japan), applicator membran, plat kaca, bak koagulasi, hot plate, erlenmeyer, stop wach, kertas saring, magnetik stirrer,
133
Vera Roni Setiawan dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
gas nitrogen hingga mencapai tekanan yang diinginkan dan dibiarkan beberapa waktu hingga diperoleh aliran permeat. Permeat ditampung dalam gelas ukur. Pengambilan data permeat dihentikan setelah diperoleh volume konstan. Permeat dianalisis kadar surfaktan, COD, dan fosfat untuk menentukan kualitas limbah setelah pengolahan menggunakan membran.
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa dengan berjalannya waktu maka nilai fluks akan semakin menurun. Nilai fluks air pada awal waktu operasi sebesar 489,551 l/m2.jam sedangkan fluks limbah laundry sebesar 95,522 l/m2.jam. Fluks air pada menit ke 90 hingga ke 180 pada membran terlihat mengalami penurunan yang stabil hingga nilai dari fluks menjadi konstan dengan nilai sebesar 353,342 l/m2.jam. Sementara nilai fluks pada limbah laundry mengalami penurunan yang tajam pada menit ke 20 hingga 47,671 l/m2.jam. Sedangkan pada menit ke 140 sampai dengan 180 fluks yang dihasilkan semakin menurun namun cenderung konstan yakni sebesar 19,104 l/m2.jam. Rendahnya perbandingan fluks laundry yang dihasilkan terhadap fluks air dikarenakan dalam limbah laundry banyak mengandung kontaminan baik yang makromolekul maupun zat organik terlarut lainnya sehingga menyebabkan fouling membran. Padatan tersuspensi merupakan faktor yang mempengaruhi permeabilitas. Partikel kecil seperti organik terlarut, dapat menurunkan permeabilitas melalui adsorpsi langsung ke dalam pori membran (Lee dkk., 2002). Adanya penyumbatan pori (clogging) menyebabkan penurunan fluks menjadi lebih tajam hingga mencapai harga tertentu. Fouling ini semakin lama akan semakin meningkat hingga menutupi pori-pori membran dan juga akan menghasilkan penurunan jumlah permeat yang dihasilkan.
Berdasarkan konsentrasi umpan dan permeat tersebut ditentukan tingkat rejeksi dengan menggunakan persamaan (Mulder, 1996): .
(2)
Dimana: R = persentasi rejeksi Cf = konsentrasi umpan (feed) Cp = konsentrasi permeat
Analisis COD menggunakan metode titrimetri, fosfat diukur menggunakan metode spektrofotometer. Analisis surfaktan menggunakan metode Metilen Blue Active Subtance (MBAS) (Paquot, 1979). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pengaruh Membran
Waktu
terhadap
Fluks
Membran SDA dengan koefisien permeabilitas 351,050 l/m2.jam.atm tergolong jenis proses ultrafiltrasi selanjutnya digunakan dalam pengolahan limbah laundry. Untuk melihat kinerja dari membran SDA terhadap fluks air dan limbah laundry telah dilakukan penelitian dengan waktu pengoperasian selama 3 jam pada TMP 1 bar. Aliran yang digunakan adalah ultrafiltrasi sistem dead end. Aliran filtrasi sistem dead end yaitu keseluruhan dari aliran umpan melewati membran dan partikel tertahan pada membran. Pengaruh waktu terhadap fluks air dan limbah laundry dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar
1.
Pengaruh waktu membran
terhadap
Penelitian yang dilakukan oleh Ciabatti dkk. (2009) menyatakan bahwa setelah filtrasi sekitar 20 m3 limbah laundry, permeabilitas membran menurun hingga 25% dikarenakan telah terjadi fouling membran oleh adanya adsorpsi surfaktan sisa limbah ke dalam membran. Faktor lain yang menyebabkan fouling membran dikarenakan aliran umpan yang digunakan yaitu sistem dead end. dalam filtrasi laminar (dead end), aliran umpan tegak lurus ke permukaan membran, sehingga partikel-partikel terakumulasi dan membentuk suatu lapisan pada permukaan membran yang akan menyebabkan menurunnya fluks membran (Nasir dkk., 2012). Limbah laundry yang terus mengalir sebagai umpan akan mengalir melalui tahanan penumpukan partikel dan tahanan membran pada permukaan membran sehingga mudah tersumbat akibat terbentuknya suatu lapisan pada permukaan membran. Pada Gambar 2 dapat dilihat permukaan membran setelah filtrasi menggunakan umpan aquades dan limbah laundry.
fluks
134
Vera Roni Setiawan dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Kelemahan dari membran berpori adalah terjadinya fouling membran. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah fouling yaitu dengan backwash. a
Gambar 2.
y a n g m e m p e n g a r u h i kinerja membran. Ini dikarenakan proses pemisahan dengan membran terjadi akibat adanya gaya dorong.
b
Membran setelah filtrasi menggunakan umpan limbah laundry (a) dan aquades (b)
Gambar 3.
Fluks limbah laundry dengan pretreatment adsorpsi pada berbagai tekanan
Kecepatan perpindahan molekul-molekul tersebut ditentukan oleh gaya pendorong yang bekerja dan pergerakan molekul di dalam membran. Gaya pendorong tersebut salah satunya adalah gradien tekanan. Adanya tekanan yang diaplikasikan pada aliran umpan yang melewati membran akan mengakibatkan fluida dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari pori membran dapat melewati membran, sementara partikel yang lebih besar seperti kontaminan akan tertahan. Pada TMP rendah terjadi penu-runan fluks yang diakibatkan oleh adanya fouling membran. Nilai rejeksi membran didefinisikan sebagai kemampuan suatu membran dalam menahan komponen tertentu pada larutan umpan. Nilai rejeksi pada masingmasing parameter limbah laundry yang diamati dapat dilihat pada Gambar 4.
Umumnya membran yang telah mengalami backwash dapat digunakan kembali pada proses pemisahan, walaupun performa dan stabilitasnya sedikit menurun dibandingkan dengan membran yang belum digunakan. Backwash mampu meningkatkan fluks hingga 28,64 l/m2.jam dari fluks akhir 19,09 l/m2.jam akibat fouling setelah pengoperasian selama 1 jam. Untuk menjaga kestabilan kinerja membran maka untuk penelitian selanjutnya disarankan melakukan backwash pada membran yang telah digunakan. 3.2. Hasil Pengolahan Limbah Laundry Menggunakan Membran pada Berbagai Tekanan Penentuan nilai fluks limbah laundry dilakukan dengan cara mengalirkan umpan dalam modul filtrasi dengan variasi tekanan transmembran (TMP). Pengolahan menggunakan membran SDA dengan konsentrasi 18%, suhu larutan dope 50°C. Hasil analisis fluks limbah laundry pada berbagai tekanan dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa fluks yang dihasilkan pada TMP 3 bar cenderung lebih tinggi, dibandingkan pada TMP 2 dan 1 bar. Fluks tertinggi terdapat pada pada tekanan 3 bar sebesar 77,408 l/m2.jam. Penelitian yang dilakukan oleh Pinem (2011) menunjukkan kecenderungan yang sama, dimana fluks terus meningkat seiring naiknya tekanan transmembran yang diberikan. Tekanan merupakan salah satu f a k t o r
Gambar 4.
135
Hasil rejeksi limbah laundry pada berbagai tekanan transmembran
Vera Roni Setiawan dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Tabel 1. Konsentrasi dan rejeksi limbah laundry setelah proses filtrasi menggunakan membran Tekanan (bar)
COD (mg/L)
Rejeksi (%) COD
Fosfat (mg/L)
Rejeksi (%) Fosfat
Surfaktan (mg/L)
Rejeksi (%) Surfaktan
1 2 3
150 165 170
67,391 64,130 63,043
4,23 4,29 4,33
72,407 72,016 71,755
4,625 5,032 5,126
63,462 60,246 59,504
Dari Gambar 4. secara visual terlihat rejeksi fosfat relatif konstan pada bebagai TMP, namun kenyataannya terjadi penurunan rejeksi fosfat dari 72,40% pada TMP 1 bar menjadi 71,76% pada TMP 3 bar. Penurunan rejeksi pada masing-masing TMP juga terjadi pada parameter COD dan surfaktan. Rejeksi COD pada TMP 1, 2 dan 3 bar masingmasing 67,39%, 64,13% dan 63%. Sedangkan parameter surfaktan 63,47%, 60,25%, dan 59,50%. Penurunan rejeksi terjadi seiring dengan meningkatnya TMP. Hal ini dikarenakan pada tekanan tinggi terjadi laju difusi yang tinggi menyebabkan interaksi umpan lebih cepat dan membran sukar menahan umpan yang berdifusi melewati membran sehingga koefisien rejeksi rendah. Tekanan transmembran pada proses ultrafiltrasi berfungsi sebagai driving force dan merupakan salah satu parameter operasi yang paling penting pada proses pemisahan membran. Rejeksi tinggi berarti malekul atau partikel terlarut tertahan oleh membran dan tidak dapat berdifusi melawan membran. Kandungan awal limbah dari salah satu industri laundry di Banda Aceh untuk parameter COD adalah sebesar 460 mg/L, fosfat 15,33 mg/L dan surfaktan 12,658 mg/L.
ul t ra fi l t ra s i b e l u m maksimal mengolah limbah golongan ionik seperti fosfat. Parameter limbah laundry lainnya yang diamati adalah penurunan konsentrasi surfaktan. Menurut Kowalska (2008) lebih dari 80% surfaktan yang digunakan dalam industri laundry adalah LAS (Linier Alkyl Sulfonat) yang merupakan surfaktan golongan anionik. LAS merupakan surfaktan jenis anionik yang mempunyai ekor hidrofobik melekat pada kepala hidrofilik yang bermuatan negatif. Gugus-gugus bermuatan negatif pada surfaktan anionik biasanya berupa karboksilat, sulfonat, sulfat, atau fosfat, sedangkan gugus hidrofobiknya berupa rantai hidrokarbon alifatik, aromatik, atau gabungan keduanya (Kosswig dkk., 1994). Untuk konsentrasi surfaktan akhir pada TMP 1, 2, dan 3 bar berturut-turut 5,62 mg/L; 5,032 mg/L; dan 5,126 mg/L. Kowalska (2008) menyatakan bahwa karena keanekaragaman jenis surfaktan dan sifat fisik serta kimianya maka sulit untuk menerapkan metode tunggal dalam pengolahan limbah laundry. Ini berarti bahwa untuk mendapatkan hasil pengolahan yang lebih baik, maka teknologi membran dapat dikombinasikan dengan teknologi pemisahan lainnya seperti adsorpsi.
Penurunan kandungan limbah laundry setelah proses ultrafiltrasi dapat dilihat pada Tabel 1. Konsentrasi akhir COD pada TMP 1, 2 dan 3 bar masing-masing sebesar 150 mg/L, 165 mg/L dan 170 mg/L belum memenuhi baku mutu limbah laundry yang diperbolehkan dibuang ke badan air yaitu sebesar 100 mg/L (Hoinkis dan Panten, 2008). Perbedaan konsentrasi COD akhir pada setiap tekanan disebabkan semakin besar tekanan yang diberikan pada membran maka COD yang mampu diserap oleh membran s e m a k i n k e c i l , h a l i n i k e m u n g k i n a n disebabkan oleh deposisi poripori membran akibat peningkatan tekanan. U nt uk ko n s e nt ra s i akhir fosfat setelah dilewatkan pada membran menjadi 4,23 mg/L pada TMP 1 bar sedangkan pada TMP 2 dan 3 bar masing-masing konsentrasi fosfat adalah 4,29 mg/L dan 4,33 mg/L. Konsentrasi akhir fosfat pada semua tekanan transmembran belum memenuhi syarat dibuang ke badan air yakni sebesar 2 mg/L (Sostar-Turka dkk., 2005). Hasil rejeksi masih rendah dikarenakan jenis p r o s e s
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan hasil pengolahan limbah laundry menggunakan membran selulosa diasetat (SDA) menghasilkan fluks tertinggi pada TMP 3 bar sebesar 77,408 L/m2.jam. Sedangkan persen rejeksi yang diperoleh untuk COD, fosfat dan surfaktan masing-masing sebesar 67%, 72%, dan 63%. Daftar Pustaka Ciabatti, I., Cesaro, F., Faralli, L., Fatarella, E., Tognotti, F. (2009) Demonstration of a treatment system for purification and reuse of laundry wastewater, Desalination, 204, 78 - 86. Desiyarni (2006) Perancangan proses pembuatan selulosa asetat dari selulosa mikrobial untuk membran ultrafiltrasi,
136
Vera Roni Setiawan dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
Disertasi, Bogor.
Institut
Pertanian
Bogor,
Pinem, J. A. (2011) Sintesis karakterisasi dan penggunaan membran hibrid organik-anorganik untuk pengolahan air gambut, Laporan Hasil Penelitian, Produk Unggulan Penelitian Dosen, Universitas Riau, Pekanbaru.
Hoinkis, J., Panten, V. (2008) Wastewater recycling in laundries-from pilot to large scale plant, Journal of Chemical Engineering and Processing, 47, 1159 1166.
Radiman, C. L., Yuliani, G. (2008) Penggunaan nata de coco sebagai bahan membran selulosa asetat, Prosiding Simposium Nasional Polimer V, Bandung, 22 November, 203 - 208.
Hudori, Soewando (2009) Pengolahan air limbah laundry dengan menggunakan elektrokoagulasi. Jurnal Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi, 4, 84 - 89.
Rosnelly, C. M. (2010) Perancangan proses pembuatan membran ultrafiltrasi selulosa asetat secara inversi fasa dari selulosa pulp kayu sengon (Paraserianthes Falcataria), Disertasi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lee, Y., Cho, J., Seo, Y., Lee, J.W., Ahn, K. (2002) Modeling of submerged membrane bioreactor process for wastewater treatment, Desalination, 146, 451 - 457. Kosswig, K., Huls A. G., Marl. (1994) Surfactant, Volume ke-A25, Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry, Federal Republic of Germany, New York.
Sostar-Turka, S., Petrini, I., Simoni, M. (2005) Laundry wastewater treatment using coagulation and membrane, filtration. Journal Resources, Conservation and Recycling, 44, 185 - 196.
Kowalska, I. (2008) Surfactant removal from water solutions by mean of ultrafiltration and ion-exchange. Desalination, 221, 351 - 357.
Suyati (2008) Pembuatan selulosa asetat dari limbah serbuk gergaji kayu dan identifikasinya, Master Tesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Mulder, M. (1996) Basic Principles of Membrane Technology, 2nd edition, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht.
Wardhana, I. W., Handayani, D. W., Rahmawati, D. S. (2009) Penurunan kandungan phosphat pada limbah cair industri pencucian pakaian (laundry) menggunakan karbon aktif dari sampah plastik dengan metode batch dan kontinyu, Jurnal Teknik, 30(2), 32 - 38.
Nasir, S., Budi, T., Silviaty, I. (2012) Laundry wastewater treatment process using silica activated carbon and ceramic filter, International Journal of Academic Research, 4(2), 85 - 89.
Wenten, I. G. (1999) Teknologi Membran Industri, ITB Press, Bandung.
Paquot, C. (1979) Standard Method for the Analysis of Oils, Fats and Derivatives. Pergamon Press, England.
137
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 138 - 143, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.783
Pembuatan Papan Partikel (Particle Board) dari Tandan Kosong Sawit dengan Perekat Kulit Akasia dan Gambir Umi Fathanah*, Sofyana Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jln Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111 *E-mail:
[email protected] Abstrak Kebutuhan kayu sebagai salah satu bahan baku dalam industri furniture terus meningkat. Salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan kayu adalah dengan mengembangkan penelitian mengenai pembuatan desain komposit dari bahan yang mengandung selulosa menjadi papan partikel. Papan partikel merupakan salah satu bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti kayu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komposisi campuran perekat alami (kulit kayu akasia dan gambir) dengan tandan kosong kelapa sawit terhadap sifat mekanik papan partikel. Karakterisasi papan partikel dilakukan dengan menggunakan pengujian mekanik (kuat tarik dan kuat tekan) dalam kondisi basah dan kering. Variasi komposisi perekat dan tandan kosong kelapa sawit yaitu 30 : 70, 40 : 60, 50 : 50, 60 : 40, 70 : 30. Proses pembuatan papan partikel dilakukan dengan mencampur tandan kosong kelapa sawit dan perekat dengan penambahan 2% paraformaldehid dan air sebanyak 10%. Selanjutnya, campuran dikompresi dengan menggunakan Hot Press pada temperatur 150°C dan tekanan 10 kg/cm2 selama 15 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi perekat (baik perekat dari kulit akasia atau gambir), papan partikel yang dihasilkan akan lebih baik. Dalam kondisi kering, nilai kuat tarik papan partikel dengan perekat kulit kayu akasia dan gambir masing-masing berkisar 84,2 - 104 kgf/cm2 dan 83,4 - 81,5 kgf/cm2. Sedangkan, nilai kuat tekan papan partikel dengan perekat kulit kayu akasia dan gambir masing-masing berkisar 6,8 - 10,5 kg/cm2 dan 6,3 - 9,3 kg/cm2. Nilai-nilai kuat tarik dan kuat tekan yang diperoleh dengan menggunakan perekat tandan kosong kelapa sawit ≥ 40:60, dan telah memenuhi standar SNI 03-2105-1996. Nilai kuat tarik dan kuat tekan papan partikel dalam kondisi basah, baik menggunakan perekat dari kulit kayu akasia atau gambir belum memenuhi standar SNI 032105-1996.
Kata kunci: gambir, kekuatan tarik, kulit kayu akasia, papan partikel, tandan kosong kelapa sawit Abstract The need of wood as one of raw materials in furniture industry keeps increasing. One of efforts to reduce wood consumption is to develop research by creating composite design from material that contains sellulose to be particle board. Particle board is one of material alternatives that can be wood substitute. The objective of this research is to investigate the effect of natural-adhesive-mixture composition (acacia bark and gambier) with oil-palm-empty bunch toward mechanical property of particle board. Characterization of particle board is carried out by undertaking mechanical property testing (tensile strength and compressive strength) under wet and dry conditions. Composition variations of adhesive and oil-palmempty bunch are 30 : 70; 40 : 60; 50 : 50; 60 : 40; 70 : 30. Making process of particle board is carried out by mixing oil-palm-empty bunch and adhesive with addition of 2% paraformaldehyde and water as much of 10%. Furthermore, the mixture is compressed by using Hot Press at temperature of 150oC and pressure of 10 kg/cm2 for 15 minutes. The research result indicates that the higher the adhesive composition (either adhesives of acacia bark or gambier), particle board resulted is better. In dry condition, values of the tensile strength of particle boards that have acacia bark adhesive and gambier adhesive have range of 84.2 104 kgf/cm2 and 83.4 - 81.5 kg/cm2, respectively. Whereas, values of compressive strength of particle boards that have adhesives of acacia bark and gambier are in the range of 6.8 10.5 kg/cm2 and 6.3 - 9.3 kg/cm2, respectively. The values of tensile strength and compressive strength are obtained on compositions of adhesive: oil-palm-empty bunch ≥ 40 : 60, and they have fulfilled satandard of SNI 03-2105-1996. The values of tensile strength and compressive strength of particle board in wet condition, either adhesives of acacia bark or gambier, have not fulfilled standard of SNI 03-2105-1996.
Keywords: acacia bark, empty-bunch-oil palm, gambier, particle board, tensile strength
138
Umi Fathanah, Sofyana / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
1. Pendahuluan
tanaman lain. Selain batang pohonnya cocok dijadikan bubur kertas, tanaman ini mempunyai kadar selulosa tinggi dan mampu tumbuh dengan cepat. Namun, industri pulp tidak mengambil seluruh bagian dari pohon akasia untuk dijadikan bubur kertas. Hal ini karena tidak semua bagian pohon akasia layak untuk dijadikan pulp salah satunya yaitu kulit akasia. Pada industri kertas kulit kayu akasia belum banyak dimanfaatkan, selama ini hanya dibiarkan menjadi limbah tak terurus. Hingga kini belum ada upaya pemanfaatan limbah kulit kayu untuk di daur ulang atau untuk keperluan lain (Admin, 2008).
Kebutuhan manusia terhadap kayu sebagai bahan bangunan atau furniture terus meningkat, seiring dengan meningkatnya pertambahan penduduk sementara ketersediaan kayu di hutan baik jumlah maupun kualitasnya semakin terbatas. Hal ini berpengaruh terhadap industri papan partikel yang semakin sulit mendapatkan kayu yang solid berkualitas baik. Salah satu alternatif menggantikan partikel kayu adalah Tandan Kosong Sawit (TKS). TKS merupakan salah satu limbah hasil perkebunan yang ketersediaannya berlimpah dan belum optimal dimanfaatkan. Uraian di atas menunjukan bahwa TKS memiliki potensi yang sangat besar untuk digunakan di bidang rekayasa, khususnya sebagai bahan baku pada pembuatan papan partikel, dengan memanfaatkan kulit kayu akasia dan gambir sebagai perekat (matriks).
Menurut Subiyakto dan Prasetya (2004) potensi yang biasa dimanfaatkan pada limbah pulp adalah polifenol alam, yaitu tanin yang terdapat pada serbuk kulit akasia. Menurut beberapa penelitian, tanin ini berguna dalam proses perekatan. Berdasarkan hasil ekstraksi kulit akasia, ternyata terdapat kadar tanin sebesar 40%. Tanin ini merupakan komponen zat organic derivate polimer glikosoda yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan. Ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah. Berdasarkan uji coba yang dilakukan, tanin ini dapat digunakan sebagai bahan perekat kayu lapis eksterior maupun interior, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan bahan perekat kayu (Subiyakto dan Prasetya, 2003).
Papan partikel umumnya berbentuk datar dengan ukuran relatif panjang, lebar, dan tipis sehingga disebut panel. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) ukuran ideal partikel untuk papan partikel adalah 0,5 – 1 in dan tebal 0,010 - 0,015 in. Penggunaan papan partikel dari TKS lebih sesuai untuk bahan meubel dari pada untuk bahan bangunan karena keawetannya biasanya ditambahkan bahan pengawet yang jumlahnya sekitar 0,5 persen dari berat papan partikel. Papan partikel dari serat TKS yang dicampurkan dengan perekat kemudian diproses, dimana ukuran dan kerapatan papan dapat disesuaikan dengan tujuan dan pemakaiannya (Admin, 2008).
Pemanfaatan bahan baku lokal yang berasal dari sumber daya alam sendiri sebagai bahan baku industri dalam negeri sangat penting dioptimalkan sehingga dapat mengurangi k e t e r g a nt u ng a n p a d a i m p o r . G a m b i r merupakan produk dari tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) mengandung senyawa fungsional yang termasuk dalam golongan senyawa polifenol. Senyawa polifenol dalam gambir terutama adalah katekin. Bagian tanaman yang mempunyai nilai ekonomis dari komoditas gambir ini adalah getahnya yang diperoleh dari daun yang mengandung tanin, katekin, tanin kateku, fluoresin, kuersetin dan lilin. Namun yang paling banyak dimanfaatkan adalah katekin dan tanin (Heyne, 1987). Gambir adalah ekstrak air panas dari daun dan ranting tanaman gambir yang disedimentasikan kemudian dicetak dan dikeringkan. Hampir 95% produksi dibuat menjadi produk ini, yang dinamakan betel bite atau plan masala. Bentuk cetakan biasanya silinder, menyerupai gula merah, warnanya coklat kehitaman. Gambir (dalam perdagangan antar negara dikenal sebagai gambier)
Menurut Hermiati, dkk. (2003), TKS untuk berbagai macam produk papan partikel adalah kompatibilitas antara perekat dan serat pada waktu pembuatan produk serta timbulnya bau yang kurang sedap dari bahan setelah penyimpanan beberapa lama. Teknologi material komposit saat ini mengalami perkembangan untuk penggunaan bahan alam sebagai komponen pembentuknya, terutama penggunaan serat alam sebagai pengganti serat sintetis yang selama ini dipakai. Salah satu alasannya karena polusi yang disebabkan oleh material sintetis yang pada umumnya sulit didaur ulang. Dan juga serat alam memiliki ketersediaan yang melimpah dan pada umumnya ramah lingkungan karena dapat terutai atau biodegradable (Mulyadi, 2004). Pada industri pulp atau bubur, pohon akasia menjadi andalan. Tanaman ini mempunyai keunggulan dibandingkan beberapa jenis
139
Umi Fathanah, Sofyana / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
biasanya dikirim dalam kemasan 50 kg. Nama lainnya adalah catechu, gutta gambir, catechu pallidum (pale catechu). Gambir dapat juga dijadikan sebagai bahan baku utama perekat kayu lapis dan papan partikel. Bila gambir yang diekspor tersebut digunakan sebagai bahan baku perekat kayu lapis di dalam negeri maka baru akan memenuhi kebutuhan tiga pabrik kayu lapis yang berkapasitas 5000 - 6000 m3/bulan. Hal ini masih kurang dibanding kebutuhan pabrik kayu lapis dan papan partikel yang ada di Pulau Sumatra.
2.2. Pembuatan Papan Partikel TKS dipotong menjadi kecil-kecil dengan ukuran 1 cm. Potongan ini masih mengandung kadar air 73%, minyak 9% dan kotoran-kotoran sehingga perlu dilakukan perebusan selama 2 jam. Proses perebusan sangat efektif dalam menurunkan kadar lemak yang terdapat pada serat TKS (Subiyakto dan Prasetya, 2003). Kemudian TKS dikeringkan di bawah sinar matahari untuk menurunkan kadar air hingga mencapai 10%. Sedangkan kulit akasia dan gambir masing-masing dibuat serbuk, kemudian diayak dengan ukuran 60 mesh. Selanjutnya dikeringkan dibawah sinar matahari untuk menurunkan kadar air hingga 3%. Serat TKS selanjutnya dicampur dengan perekat (kulit akasia atau gambir) dalam suatu wadah dengan perbandingan perekat dengan TKS adalah 30 : 70; 40 : 60; 50 : 50; 60 : 40; 70 : 30. Selanjutnya pada campuran ditambahkan air sebanyak 10% dan paraformaldehid sebanyak 2%. Kemudian campuran diaduk hingga perekat dan TKS tercampur rata.
Polifenol alami merupakan metabolit sekunder tanaman tertentu, termasuk dalam suatu golongan tanin. Tanin adalah senyawa fenolik kompleks yang memiliki berat molekul 500 – 3000. Tanin ini dibagi menjadi dua kelompok atas dasar tipe struktur dan aktivitasnya terhadap senyawa hidrolitik terutama asam, tanin terkonden-sasi (condensed tannin) dan tanin yang dapat dihidrolisis (Hydrolyzable tannin) (Naczk dkk., 1994). Beberapa penelitian tentang papan patikel telah dilakukan. Mawardi (2009) meneliti pemanfaatan KKS sebagai material papan partikel. Berdasarkan hasil penelitian, sifat fisik dan mekanik papan partikel dari tandan kosong sawit telah memenuhi SNI untuk penggunaan interior. Kasim dan Anwar (2007) berhasil memanfaatkan limbah TKS untuk dijadikan papan partikel dengan menggunakan gambir sebagai perekat. Namun hasil penelitian ini perlu beberapa penyempurnaan untuk mendapatkan hasil optimal sesuai mutu dan karakteristik yang diinginkan. Mutu papan partikel menurut Sugtino dan Paribroto (2001), meliputi beberapa hal seperti cacat, ukuran, sifat fisis, mekanis, dan kimia. 2.
Setelah perekat dan partikel serat TKS tercampur merata, dilanjutkan dengan proses pengepresan atau pengempaan. Proses pengepresan ini dilakukan dengan menggunakan hot press untuk mendapatkan lembaran papan yang padat dan kuat dengan temperatur pengempaan 150oC, tekanan 10 kg/cm2, dan waktu 15 menit. Papan partikel akan dibuat dengan panjang 120 mm, lebar 50 mm dan ketebalan 2 mm. Selanjutnya papan partikel yang telah dicetak didinginkan pada temperatur kamar. 2.3. Analisis Papan Partikel Karakterisasi papan partikel dilakukan dengan melakukan uji tarik (kekuatan tarik) dan uji tekan (keteguhan tekan), pada keadaan kering dan basah. Untuk pengujian basah, sampel papan partikel direndam dalam air selama 1 jam sebelum dilakukan pengujian, sedangkan untuk pengujian kering, langsung dilakukan pengujian.
Metodologi
2.1. Alat dan Bahan Penelitian dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Analisis produk dilakukan di Laboratorium MIPA Fisika dan Laboratorium Teknik Mesin Unsyiah. Alat yang digunakan berupa ball mill, timbangan digital, labu leher tiga, penangas, pengaduk, thermometer, hot press, mesin uji tarik, mesin uji tekan, cetakan uji tarik dan uji tekan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah limbah tandan kosong sawit (TKS), kulit akasia, gambir, parafenol, paraformaldehid, dan air.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Kuat Tarik pada Keadaan Kering Pengaruh komposisi perekat (kulit akasia dan gambir) dengan TKS terhadap uji tarik papan partikel pada keadaan kering dapat dilihat pada Gambar 1. Tampak bahwa nilai kekuatan tarik meningkat dengan bertambahnya komposisi masing-masing perekat. Semakin tinggi rasio bahan perekat yang
140
Umi Fathanah, Sofyana / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
digunakan maka semakin besar kerapatan papan partikel sehingga semakin meningkatkan nilai rekatnya.
oleh perlakuan awal serat TKS. Pengaruh terbesar berasal dari adanya variasi komposisi perekat dan kerapatan papan partikel. Sehingga papan partikel dari TKS dengan kerapatan dan komposisi perekat terbesar akan memiliki kerekatan antar partikel yang lebih besar.
Papan partikel dengan perekat kulit akasia memiliki nilai kekuatan tarik pada kisaran 84,2 - 104 kgf/cm2, sedangkan papan partikel dengan perekat gambir, nilai kekuatan tarik dicapai pada kisaran 83,4 81,5 kgf/cm2, dimana nilai kekuatan tarik yang dihasilkan sudah dapat memenuhi standar SNI 03-2105-1996 yang di isyaratkan yaitu > 80 kgf/cm2. Hasil penelitian juga menunjukkan kecenderungan papan partikel menggunakan perekat kulit kayu akasia memiliki nilai kekuatan tarik yang lebih besar dibandingkan dengan perekat gambir. Hal ini disebabkan karena kandungan tanin pada kulit kayu akasia lebih besar dari tanin pada gambir (kandungan tanin pada kulit kayu akasia 48% dan tanin pada gambir 24,56%). Tanin mengandung senyawa fenol yang dapat membantu proses perekatan, sehingga kontak antar partikel menjadi lebih kuat, kompak, dan padat.
Keteguhan Tarik (kgf/cm2)
80
60 50 40
Kulit Akasia
30
Gambir
20 10 0 30:70
40:60
50:50
60:40
70:30
Rasio Perekat : TKS (%)
Gambar 2.
Hubungan rasio bahan perekat (kulit akasia atau gambir) dan TKS terhadap kekuatan tarik papan partikel pada keadaan basah
3.2. Kuat Tarik pada Keadaan Basah
7 Keteguhan Tekan (kgf/cm2)
70
6
Uji tarik (kekuatan tarik) papan partikel dalam keadaan basah dilakukan dengan merendam papan partikel yang dihasilkan di dalam air selama 1 jam terlebih dahulu, sebelum dilakukan pengujian uji tarik papan partikel pada keadaan basah. Grafik hubungan papan partikel yang dibuat dari TKS dengan menggunakan perekat kulit akasia dan gambir terhadap kekuatan tarik papan partikel pada keadaan basah dapat dilihat pada Gambar 2. Terlihat bahwa semakin banyak rasio bahan perekat yang digunakan maka kekuatan tarik papan partikel pada keadaan basah semakin menurun. Hal ini disebabkan karena baik perekat kulit akasia dan gambir keduanya memiliki sifat hidrofilik yaitu mudah menyerap air. Sehingga pada saat perendaman papan partikel terjadi perenggangan akibat penyerapan air yang menyebabkan ikatan kuat antara partikel TKS menurun dan kerapatan papan partikel menjadi sangat kecil, sehingga air mudah masuk melalui ruang antar papan partikel. Jatmiko (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya penyerapan air papan partikel yaitu adanya saluran kapiler yang menghubungkan antar ruang kosong, volume ruang kosong diantara papan partikel, dalamnya penetrasi perekat terhadap papan partikel dan luas permukaan partikel yang tidak ditutupi perekat. Penyerapan air dapat menurunkan stabilitas papan partikel yang dihasilkan.
5
4 3
2
Kulit Akasia Gambir
1
0 30:70
40:60
50:50
60:40
70:30
Rasio Perekat : TKS (%)
Gambar 1.
Hubungan rasio bahan perekat (kulit akasia atau gambir) dan TKS terhadap kekuatan tarik papan partikel pada keadaan kering
Papan partikel berperekat kulit akasia dan TKS dengan perbandingan 30 : 70, serta komposisi perekat gambir dan TKS dengan perbandingan 30 : 70 dan 40 : 60, nilai kekuatan tarik yang dihasilkan belum memenuhi standar SNI. Hal ini disebabkan karena pada campuran ini lebih banyak komposisi serat TKS daripada perekat. Perekat alami berupa kulit kayu akasia maupun gambir ini merupakan ekstender yaitu bahan yang memiliki kemampuan untuk merekat tetapi bukan base. Proporsinya lebih banyak dibandingkan dengan fillers dan terutama berfungsi untuk mengurangi biaya perekat (Ruhendi dkk., 2007). Menurut Subiyakto dan Prasetya (2004), nilai kekuatan tarik tidak banyak dipengaruhi 141
Umi Fathanah, Sofyana / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
3.3.
Kekuatan Tekan Papan pada Keadaan Kering
kisaran 6,3 – 9,3 kgf/cm2. Nilai tersebut berada pada kisaran yang ditentukan oleh SNI 03-2105-1996 yaitu > 6 kgf/cm2. Keteguhan Tekan (kgf/cm 2)
Nilai kekuatan tarik maksimum pada keadaan basah untuk papan partikel dengan perekat kulit kayu akasia mencapai 70 kgf/cm2. Sedangkan pada papan partikel berperekat gambir nilai kekuatan tarik maksimum yang diperoleh adalah 66 kgf/cm2. Nilai kekuatan tarik pada keadaan basah ini belum dapat memenuhi standar SNI 032105-1996 yang disyaratkan yaitu minimal memiliki kekuatan tarik > 80 kgf/cm2. Partikel
12
10 8
Kulit Akasia
6
Gambir
4 2
0
Hubungan papan partikel pada keadaan kering terhadap kekuatan tekan dapat dilihat pada Gambar 3. Dapat dilihat bahwa nilai kekuatan tekan dari papan partikel semakin meningkat dengan bertambahnya komposisi perekat. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian kekuatan tekan pada perbandingan komposisi kulit akasia dan TKS 30 : 70 adalah 2,8 kgf/cm2 yang terus meningkat hingga mencapai 10,5 kgf/cm2 pada perbandingan kulit akasia dengan TKS 70 : 30. Hal ini disebabkan karena semakin besar luas permukaan partikel dari perekat maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya kontak antara partikel serat dan serat TKS, sehingga papan partikel yang dihasilkan akan semakin baik dengan penyebaran perekat merata.
30:70
40:60
50:50
60:40
70:30
Rasio Perekat: TKS (%)
Gambar 3.
Hubungan rasio bahan perekat (kulit akasia atau gambir) dan TKS terhadap kekuatan tekan papan partikel pada keadaan kering
3.4. Kekuatan Tekan Papan pada Keadaan Basah
Partikel
Sebelum dilakukan uji tekan (kekuatan tekan) pada keadaan basah, terlebih dahulu papan partikel direndam dalam air selama 1 jam. Hubungan perbandingan komposisi perekat kulit akasia atau gambir dan TKS terhadap uji tekan papan partikel pada keadaan basah dapat dilihat pada Gambar 4. Papan partikel yang dibuat dari TKS dengan menggunakan perekat kulit akasia atau gambir memberikan kecenderungan yang s a m a y a i t u s e m a ki n b e r t a m b a h n ya komposisi perekat, maka nilai kekuatan tekan pada keadaan basah juga semakin meningkat. Nilai keteguhan patah optimum diperoleh pada papan partikel dengan komposisi seimbang yaitu perbandingan perekat dengan TKS sebesar 50 : 50, yaitu 6 kgf/cm2 untuk perekat kulit kayu akasia dan 5,4 kgf/cm2 untuk perekat gambir. Nilai kekuatan tekan mengalami penurunan pada komposisi perekat ≥ 60, baik untuk perekat kulit kayu akasia maupun gambir.
Kekuatan tekan papan partikel dengan perekat gambir dan TKS juga berlaku sama seperti perbandingan komposisi perekat kulit akasia. Pada saat dilakukan pengujian dalam keadaan kering, nilai kekuatan tekan akan meningkat dengan bertambahnya komposisi perekat. Pada perbandingan komposisi perekat gambir dan TKS 30 : 70 nilai kekuatan tekan adalah 2,2 kgf/cm2 dan terus meningkat dengan bertambahnya komposisi perekat menjadi 9,3 kgf/cm2 pada perbandingan komposisi perekat gambir dengan TKS 7 0 : 3 0 . F e no m e n a m e ni n g k a t ny a ni l a i kekuatan patah dengan bertambahnya komposisi perekat baik perekat kulit kayu akasia maupun gambir disebabkan karena adanya kandungan senyawa fenol yang terdapat dalam tanin yang dapat membantu proses perekatan sehingga ikatan di antara partikel semakin kuat untuk menahan beban yang diberikan sampai batas maksimum. Nilai kekuatan tekan yang dihasilkan untuk papan partikel dengan komposisi perekat kulit kayu akasia ≥ 40 mencapai kisaran 8,6 - 10,5 kgf/cm2, sedangkan untuk papan partikel dengan komposisi perekat gambir ≥ 40, nilai kekuatan tekan yang dihasilkan mencapai
Penambahan kadar perekat berarti mengurangi jumlah partikel yang digunakan sehingga mengurangi luas dan volume partikel yang dapat ditutupi perekat. Semakin rapat dan semakin luasnya daerah kontak antar partikel membuat pemakaian perekat menjadi lebih efektif dan menghasilkan kekuatan tekan papan yang lebih baik. Sebaliknya jika perekat melebihi komposisi optimum, maka akan menyebabkan perekat terkonsentrasi pada satu daerah sehingga kekuatan tekannya menjadi menurun. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai kekuatan tekan pada keadaan basah, baik papan partikel berperekat kulit kayu akasia maupun gambir, 142
Umi Fathanah, Sofyana / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
tidak ada yang memenuhi nilai standar yang disyaratkan SNI 03-2105-1996 yaitu > 6 kgf/cm2.
extractives contents of oil palm empty fruit bunch fiber by water treatment. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 1, 57 – 65.
Keteguhan Tekan (kgf/cm 2)
7
Heyne (1987) Tumbuhan berguna Indonesia, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.
6 5
4
Jatmiko (2006) Pengaruh Jenis dan Kerapatan Kayu Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Papan Partikel. Skripsi, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
3
2
Kulit Akasia
1
Gambir
Kasim, Anwar (2007) Influence of Temperature and Pressing Time on Particle board Proscessing from Palm Oil Trunk (Elaeis Guineensis Jacq and Gambir (Uncaria Gambir Roxb) Adhesive on Particleboard Properties, Andalas University, Padang.
0 30:70
40:60
50:50
60:40
70:30
Rasio Perekat : TKS (%)
Gambar 4.
4.
Hubungan rasio bahan perekat (kulit akasia atau gambir) dan TKS terhadap kekuatan tekan papan partikel pada keadaan basah
Mawardi, I. (2009) Mutu papan partikel dari kayu kelapa sawit (KKS) berbasis perekat polystyrene, Jurnal Teknik Mesin, 11(2), 91 – 96.
Kesimpulan
Nilai kekuatan tekan papan partikel pada keadaan kering mengalami peningkatan dengan bertambahnya komposisi perekat, baik menggunakan perekat kulit kayu akasia maupun perekat gambir. Kulit kayu akasia maupun gambir memiliki tanin yang mengandung senyawa fenol yang berfungsi untuk membantu proses perekatan, sehingga kontak antar partikel menjadi lebih kuat, kompak, dan padat. Sifat hidrofilik kulit kayu akasia maupun gambir menyebabkan papan partikel mudah menyerap air, berakibat stabilitas dimensi papan partikel menurun. Pada keadaan basah jumlah yang melebihi komposisi optimum menyebabkan penurunan nilai keteguhan tarik dan kekuatan tekan pada papan partikel. Pada keadaan kering, nilai keteguhan tarik dan kekuatan tekan papan partikel dengan komposisi perekat kulit kayu akasia maupun gambir ≥ 40, telah memenuhi standar SNI 03-2105-1996, sedangkan dalam keadaan basah, nilai kekuatan tarik dan kekuatan tekan belum memenuhi standar SNI 03-2105-1996.
Mulyadi, D. (2004) Penggunaan Serat Rotan Sebagai Penguat pada Komposit dengan Matriks Poliester. Departemen Teknik Mesin FTI-ITB, Bogor. Naczk, M., Nichols, T., Pink, D., Sosulski, F. (1994) Condensed tannins in canola hulls. J. Agric. Food Chem, 42, 2196 2200. Ruhendi, S., Koroh, D. N., Syamani, F. A., Yanti, H., Nurhaida, Saad, S., Sucipto, T. (2007) Analisis Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian, Bogor. Subiyakto, Prasetya, B. (2004) Pemanfaatan Langsung Serbuk Kulit Kayu Akasia sebagai Perekat Papan Partikel. UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI, Bogor. Subiyakto, Prasetya, B. (2004) Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong dari Industri Pengolahan Kelapa Sawit untuk Papan Partikel dengan Perekat Penol Formaldehid. UPT Balai BiomaterialLIPI, Bogor.
Daftar Pustaka Brono, H. (2008) Memanfaatkan Akasia sebagai Perekat. UPT Balai Litbang Biomaterial-LIPI, Bogor. Haygreen, J. G., Bowyer J .L. (1989) Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sutigno, Paribroto (2001) Mutu Produk Papan Partikel. Pusat Penelitian Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Bogor.
Hermiati, E., Nurhayati, Suryanegara, L., Gopar, M. (2003) Reduction of dirts and
143
Umi Fathanah, Sofyana / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No. 3
144
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 9, No. 3, Hlm. 144 - 151, Juni 2013 ISSN 1412-5064 DOI: http://dx.doi.org/10.23955/rkl.v9i3.784
Pengaruh Konsentrasi Substrat Kulit Nanas dan Kecepatan Pengadukan terhadap Pertumbuhan Lactobacillus plantarum untuk Produksi Asam Laktat Effect of Pineapple Skin Substrate Concentration and Stirring on the Growth of Lactobacillus plantarum for Lactic Acid Production Panca Nugrahini Febriningrum Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 Telp.(0721)704949 fax.(0721)702767 E-mail:
[email protected] Abstrak Salah satu pemanfaatan alternatif limbah kulit nanas adalah untuk memproduksi asam laktat melalui proses fermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pertumbuhan bakteri laktat (Lactobacillus plantarum) dengan variasi konsentrasi substrat: 100 g/L – 600 g/L dan laju pengadukan 50 rpm, 150 rpm dan 250 rpm. Proses anaerobik yang dilakukan tanpa adanya pengaturan pH, dengan pH awal 5 dan temperatur 28°C. Kulit nanas digunakan sebagai substrat setelah dihilangkan kadar airnya menggunakan amonium dehidrogen fosfat. Pertumbuhan sel dianalisis dengan menghitung total sel mikroorganisme menggunakan hemocytometer. Untuk menentukan produksi asam laktat, maka dianalisis konsentrasi glokusa menggunakan spektrofotometer. Dalam analisis ini digunakan metode Nelson-Somogy. Selain itu, konsentrasi etanol juga dianalisis dengan menghitung konsentrasi asam laktat tertitrasi. Pertumbuhan optimal Lactobacillus plantarum adalah pada temperatur 28°C, kecepatan pengadukan 150 rpm, dan konsentrasi substrat 500 g/L dengan total sel untuk fase lag, eksponensial dan fase penurunan masing-masing adalah 3,85×108; 1,13×109, dan 4,00×108. Pada kondisi yang sama diperoleh konsentrasi asam laktat rata-rata adalah 1,620% v/v dengan persentase konsumsi glukosa 51,76%. Kata kunci: anaerob, asam laktat, fermentasi, kulit nanas, Lactobacillus plantarum Abstract One of the alternative utilization of pineapple peel wastewas to convert it to lactate acid via fermentation. This research was aimed to obtain better understanding on the growth of lactate bacteria (Lactobacillus plantarum) by varying substrate concentration: 100 g/L 600 g/L and stirring rate of 50 rpm, 150 rpm, and 250 rpm. The growth of anaerobic process was performed without pH controlling with initial pH of 5 and temperature of 28oC. Pineapple peel was used as the substrate after removing water content using ammonium dihydrogen phosphate. Cell growth was analyzed by calculating the total of microorganism cell using hemocytometer. In order to determine lactate acid production, glucose concentration was analyzed using spectrophotometer. Nelson-Somogy method was employed in this analysis. Ethanol concentration was also analyzed by calculating the titration of acid lactate concentration. The optimum growth of Lactobacillus plantarum was found at 28oC, stirring rate of 150 rpm and substrate concentration of 500 g/L contributing to the total cell of 3.85×108, 1.13×109, and 4.00×108 for lag, exponential, and decrease phase, respectively. Further analysis carried out based on stirring rate of 150 rpm, and substrate concentration of 500 g/L resulted in the largest average concentration of lactate acid of 1.620% v/v with glucose consumption percentage of 51.76%. Keywords: anaerobic, fermentation, lactate acid, Lactobacillus plantarum, pineapple peel
1. Pendahuluan
sehingga dikenal sebagai the green solvent compound and biodegradable plastic raw material (Rahman dkk., 2011; Jawad dkk., 2013; Narayanan dkk., 2004). Senyawa kimia ini juga dibutuhkan dalam industri lainnya, mulai dari industri makanan sampai dengan industri kosmetik.
Salah satu material kimia yang banyak diteliti pada saat ini adalah senyawa asam laktat. Zat tersebut merupakan salah satu solusi masalah pencemaran alam karena karakteristiknya sangat ramah lingkungan
144
Panca Nugrahini Febriningrum / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No.3
Proses produksi asam laktat umumnya menggunakan teknologi fermentasi dari berbagai bahan yang memiliki kandungan glukosa dan karbohidrat yang tinggi yang selanjutnya oleh mikroba laktat difermentasi menjadi asam laktat (Rahman dkk., 2013; Lim dkk., 2008). Bahan yang sering digunakan adalah glukosa, molasses, jagung, kentang, dan singkong (Bomrungnok dkk., 2012). Namun saat ini mulai ditemukan terobosan baru mengenai bahan baku pembuatan asam laktat, yaitu dengan memanfaatkan limbah dari berbagai pengolahan produk agroindustri (Hajar dkk., 2012; Jawad dkk., 2013). Seperti halnya penelitian ini yang akan mencoba mengolah kulit nanas yang merupakan limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan nanas menjadi asam laktat dengan menggunakan bakteri lactobacillus plantarum. Kulit nanas selain mempunyai kandungan air juga mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi (Ketnawa, 2012). Besarnya kandungan air dan karbohidrat inilah yang merupakan faktor pertumbuhan mikroba laktat pada kulit nanas.
plate sambil diaduk dengan magnetic stirrer. Setelah MRS broth larut seluruhnya, larutan dimasukkan ke dalam 10 buah tabung reaksi sebanyak 10 - 15 ml, lalu ditutup dengan kapas sumbat dan alumunium foil. Media cair MRS broth tersebut kemudian disterilkan dalam autoclave pada temperatur 121oC selama 15 menit. Setelah sterilisasi, media didinginkan dan disimpan dalam inkubator. Peremajaan l. plantarum dilakukan dalam clean bench yang telah disterilisasi dengan alkohol. Stock culture pada media agar miring dan jarum oose dipersiapkan, kemudian stock culture yang berasal dari agar miring tersebut diambil sebanyak 2 oose untuk dimasukkan ke dalam masingmasing tabung, dan kemudian disimpan di dalam inkubator selama 24 jam sampai terbentuk endapan berwarna putih di dasar tabung. Setelah itu biakan disimpan di dalam lemari pendingin sambil mengamati pertumbuhannya. 2.4. Penyiapan Bahan Baku Kulit Nanas Kulit nanas yang dipakai untuk penelitian ini adalah yang berasal dari buah nanas jenis ”Queen” dengan warna kulit kemerahan jika sudah masak. Kulit nanas ini diambil dari pemasok nanas di daerah Panjang, Bandar Lampung. Kulit nanas yang diperoleh kemudian dipisahkan dari kotoran-kotoran yang menempel, kemudian dipotong kecilkecil. Potongan-potongan kulit nanas tersebut kemudian dioven pada temperatur 70oC untuk mengurangi kadar air. Setiap hari selama kegiatan pengovenan berlangsung dilakukan penimbangan kulit nanas. Jika berat kulit nanas 2 hari berturut-turut sama atau mendekati sama, maka pengovenan dihentikan karena diasumsikan bahwa kandungan airnya sudah habis.
2. Metodologi 2.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kulit buah nanas, media agar MRS broth, aquades, alkohol 70%, HCl 0,1 N, NaOH 0,1 N, indikator fenolftalein, amonium dihidrogen fospat ((NH4)H2PO4), dan isolate bakteri Lactoacillus plantarum yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. 2.2. Alat Alat-alat yang digunakan yaitu fermentor atau erlenmeyer, autoclave, kertas saring, erlenmeyer 50, 100, 250 ml, pipet volume 1, 2, 3, 5, 10, 20, 50 ml, gelas piala, pipet tetes, alumunium foil, blender kering, gelas beaker 100, 600, 1000 ml, gelas ukur 10, 100, 1000 ml, tabung reaksi, spatula, stopwatch, penyaring, pH meter, neraca Ohaus, termometer, hermocymeter, kuvet, spektrofotometer, Shaker water bath, pengaduk vorteks, pembakar Bunsen, oose, corong, mikroskop, inkubator, dan hot plate. 2.3.
2.5. Pembuatan Starter Kulit nanas kering ditimbang sebanyak 100, 200, 300, 400, 500 dan 600 g untuk volume kerja 1000 ml, diblender dan ditambah aquades pada masing-masing variasi berat kulit nanas, kemudian dimasak dengan H2SO4 4% sebanyak 125 ml selama 2 jam pada temperatur 80oC untuk memecah karbohidrat menjadi glukosa. Setelah dimasak sari kulit nanas disaring dan dimasukkan ke dalam botol penampung yang bersih dan steril untuk masing-masing konsentrasi (100 g/1000 ml, 300 g/1000 ml, dan 500 g/1000 ml) sebanyak 250 ml. Kemudian didinginkan dalam keadaan tertutup. Keasaman medium diatur pada pH 5 dengan penambahan HCl atau NaOH. Ditambahkan pula 12,5 g/L amonium di-
Peremajaan L. plantarum dalam Media Cair MRS Broth
Media cair dibuat dari 5,78 g MRS broth ditambahkan dengan aquades sampai 105 ml. Campuran kemudian dipanaskan di hot
145
Panca Nugrahini Febriningrum / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No.3
hidrogen fosfat ((NH4)H2PO4) sebagai nutrisi. Selanjutnya botol-botol yang berisi medium tersebut ditutup dengan kapas sumbat serta dilapisi dengan aluminium foil, lalu disterilisasi pada temperatur 121oC selama 15 menit, 1 atm, lalu didinginkan dan disimpan dalam lemari pendingin.
perlakuan pada medium starter konsentrasi 100 g/1000 ml dan 300 g/1000 ml.
Untuk konsentrasi 600 g/1000 ml.
Menginokulasi biakan kultur murni yang berasal dari medium starter dengan konsentrasi 400 g/1000 ml. Jumlah biakan yang diinokulasi sebanyak 10% dari 250 ml (untuk konsentrasi 600 g/1000 ml) medium starter. Langkah selanjutnya sama dengan perlakuan pada medium starter konsentrasi 200 g/1000 ml dan 400 g/1000 ml. Setiap 4 jam sekali selama 24 jam jumlah mikroorganisme dihitung apabila sudah mencapai fase logaritma maka mikroorganisme yang berada dalam media cair tersebut siap digunakan untuk proses fermentasi.
Untuk konsentrasi 100 g/1000 ml
Menginokulasi biakan kultur murni sebanyak 10% dari 250 ml medium starter. Kemudian menutup botol penampung tempat menginokulasi biakan kultur murni dengan menggunakan kapas sumbat dan terakhir ditutup dengan aluminium foil. Menyimpan botol di dalam shaker waterbath dengan suhu 28oC, dan variasi agitasi 50, 150, dan 250 rpm, selama 24 jam.
2.6. Fermentasi (Kajian Lanjutan)
Untuk konsentrasi 200 g/1000 ml Menimbang kulit nanas kering sebanyak 500 gram untuk volume kerja 1000 ml, diblender dan ditambah aquades pada masing-masing variasi berat kulit nanas, kemudian dimasak dengan H2SO4 4% sebanyak 125 ml selama 2 jam pada temperatur 80oC untuk memecah karbohidrat menjadi glukosa. Setelah dimasak sari kulit nanas disaring dan dimasukkan ke dalam botol penampung yang bersih dan steril sebanyak 250 ml, kemudian didinginkan dalam keadaan tertutup. Keasaman medium diatur pada pH 5 dengan penambahan HCl jika terlalu basa dan penambahan NaOH jika terlalu asam.
Menginokulasi biakan kultur murni sebanyak 10% dari 250 ml medium starter. Kemudian menutup botol penampung tempat menginokulasi biakan kultur murni dengan menggunakan kapas sumbat dan terakhir ditutup dengan aluminium foil. Menyimpan botol di dalam shaker waterbath dengan suhu 28oC, dan variasi agitasi 50, 150, dan 250 rpm, selama 24 jam.
Untuk konsentrasi 300 g/1000 ml
Menginokulasi biakan kultur murni yang berasal dari medium starter dengan konsentrasi 100 g/1000 ml. Jumlah biakan yang diinokulasi sebanyak 10% dari 250 ml (untuk konsentrasi 300 g/1000 ml) medium starter. Langkah selanjutnya sama dengan perlakuan pada medium starter konsentrasi 100 g/1000 ml.
Ditambahkan pula 12,5 g/L amonium dihidrogen fosfat ((NH4)H2PO4) sebagai nutrisi. Selanjutnya botol-botol yang berisi medium tersebut ditutup dengan kapas sumbat serta dilapisi dengan aluminium foil, kemudian disterilisasi pada temperatur 121oC selama 15 menit dan tekanan 1 atm, selanjutnya didinginkan dan disimpan dalam lemari pendingin. Dimasukkan campuran yang telah steril ke dalam shaker water bath dengan variasi pengadukan 50, 150, dan 250 rpm. Diinokulasi biakan kultur murni yang berasal dari medium starter sesuai dengan kombinasi perlakuan yang telah ditentukan (variasi konsentrasi substrat dan pengadukan). Jumlah biakan yang diinokulasi sebanyak 10% dari 250 ml medium fermentasi. Kemudian difermentasikan dalam jangka waktu tertentu (dengan batasan asam laktat sudah tidak terbentuk maka fermen-tasi dihentikan) pada variasi suhu 22, 25, 28oC.
Untuk konsentrasi 400 g/1000 ml
Menginokulasi biakan kultur murni yang berasal dari medium starter dengan konsentrasi 200 g/1000 ml. Jumlah biakan yang diinokulasi sebanyak 10% dari 250 ml (untuk konsentrasi 400 g/1000 ml) medium starter. Langkah selanjutnya sama dengan perlakuan pada medium starter konsentrasi 200 g/1000 ml.
Untuk konsentrasi 500 g/1000 ml
Menginokulasi biakan kultur murni yang berasal dari medium starter dengan konsentrasi 300 g/1000 ml. Jumlah biakan yang diinokulasi sebanyak 10% dari 250 ml (untuk konsentrasi 500 g/1000 ml) medium starter. Langkah selanjutnya sama dengan
2.7. Analisis Mikroorganisme Perhitungan jumlah mikroba dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah mikroba
146
Panca Nugrahini Febriningrum / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No.3
secara langsung. Caranya dengan menghitung mikroba secara keseluruhan dari sampel yang diambil yaitu dengan menggunakan ruang hitung (Counting chamber) seperti hemocytometer yaitu dengan menempatkan 1 tetes sampel pada alat tersebut, kemudian diamati menggunakan mikroskop. Dengan menentukan jumlah sel rata-rata tiap petaknya (ruangan) yang telah diketahui volumenya dari alat tersebut dapat ditentukan jumlah sel mikroba tiap milliliternya. 2.8.Analisis pada Kajian Konsentrasi Glukosa
Selanjutnya diperlakukan seperti pada penyiapan kurva standar di atas. Jumlah gula reduksi dapat ditentukan berdasarkan absorbansi larutan contoh dan kurva standar larutan glukosa. 2.9. Konsentrasi Asam Laktat Tertitrasi Pengukuran total asam laktat tertitrasi dilakukan dengan metode Fardiaz (1987). Sampel sebanyak 25 ml diencerkan dengan air destilat sampai dengan 250 ml. Campuran tersebut kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Titrasi dihentikan setelah terbentuk warna merah muda yang tetap. Total asam laktat dihitung sebagai % asam laktat dengan rumus seperti pada persamaan 1.
Lanjutan
Analisis gula reduksi pada kulit nanas dengan menggunakan alat spektrofotometer dengan metode Nelson-Somogy.
3. Hasil dan Pembahasan
Penyiapan kurva standar
3.1. Konsentrasi Sel Mikroorganisme
Dibuat larutan glukosa standar (10 mg glukose anhidrat/100 ml), kemudian dilakukan 6 pengenceran sehingga diperoleh larutan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/100 ml. Selanjutnya disiapkan 7 tabung reaksi yang bersih, masing–masing diisi dengan 1 ml larutan glukosa standar tersebut di atas dan satu dan satu tabung diisi 1 ml air suling sebagai blanko. Ke dalam masing-masing tabung ditambahkan 1 ml reagensia Nelson dan dipanaskan pada penangas air mendidih selama 20 menit. Semua tabung segera didinginkan secara bersama-sama di dalam gelas piala yang berisi air dingin sehingga suhu tabung mencapai 25OC, kemudian ditambahkan 1 ml reagensia arsenomolybdat, lalu dikocok sampai semua endapan Cu2O larut kembali.
Pertumbuhan sel lactobacillus plantarum dengan variasi agitasi dan konsentrasi substrat dapat dilihat pada Tabel 1 sampai Tabel 5. Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan mensintesis produk pada suatu lingkungan ditentukan oleh susunan genetik mikroorganisme itu sendiri, serta pemilihan strain dan penentuan parameter operasi seperti temperatur, agitasi, pH dan konsentrasi substrat yang digunakan. Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang mampu memfermentasi bahan yang mengandung gula, karena mikroorganisme ini menghasilkan enzim α-amilase yang dapat mengubah glukosa dalam substrat menjadi asam laktat. Secara umum enzim bekerja optimal pada selang temperatur tertentu. Oleh karena alasan tersebut maka ditentukan temperatur yang tepat agar enzim tersebut dapat beraktivitas dengan baik, dimana temperatur yang digunakan pada penelitian ini adalah 28oC.
Setelah semua endapan Cu2O larut sempurna, ditambahkan 7 ml air suling, lalu dikocok sampai homogen. Absorbansi masing-masing larutan dibaca pada panjang gelombang 540 nm dengan spektrofotometer. Hasilnya dibuat kurva standar yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi glukosa dan absorbansi.
Menentukan gula larutan contoh
reduksi
Hal ini sesuai dengan temperatur dimana kebanyakan bakteri laktat mempunyai temperatur fermentasi optimum 28 - 30oC, misalnya bakteri dari genus bacillus. Sedangkan golongan lactobacillus mampu bekerja paling baik pada temperatur di atas 22oC, termasuk lactobacillus plantarum. Pada penelitian ini pH lingkungan partumbuhan tidak dijaga tetap tetapi pH awal ditentukan yaitu 5, karena pH 5 merupakan pH yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri (Saito dkk., 2012). Sedangkan untuk agitasi dan konsentrasi substrat belum diketahui secara pasti berapa nilai yang
pada
Menyiapkan larutan contoh yang jernih dengan kadar gula reduksi sekitar 2 – 8 mg/100 ml. Jika larutan contoh keruh atau berwarna maka dijernihkan terlebih dahulu dengan menggunakan pb-asetat atau bubur aluminium hidroksida. Larutan contoh yang jernih tersebut dimasukan ke dalam tabung reaksi yang bersih sebanyak 1 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml reagensia Nelson.
147
Panca Nugrahini Febriningrum / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No.3
tepat untuk pertumbuhan bakteri dan proses fermentasi, tetapi seperti yang telah dijelaskankan pada bagian sebelumnya bahwa ada batasan-batasan yang harus diperhatikan, untuk pemilihan konsentrasi substrat yaitu konsentrasi substrat tidak
boleh terlalu encer ataupun tidak terlalu pekat karena bila konsentrasi substrat semakin meningkat, maka akan terjadi dehidrasi sel dalam larutan yang demikian pekatnya sehingga akan menghambat proses (Judoamidjojo, 1990).
% asam laktat = ml NaOH x N NaOH x BM NaOH x (1/1000) x FP x 100 ml sampel
(1)
Tabel 1. Konsentrasi sel pada masing-masing variasi konsentrasi substrat, agitasi 50 rpm, temperatur 28 oC serta pH awal 5 Waktu (jam)
Konsentrasi Sel/ml Media pada Kecepatan Pengadukan (rpm) / Konsentrasi Substrat (g/L) 50/100
50/200
50/300
50/400
50/500
50/600
4,35.108
3,95.108
6,05.108
3,95.108
5.00.108
4
3,75.108 5,50.108
5,25.108
6,35.108
6,75.108
6,80.108
6,25.108
8
7,40.10
6.00 10
8,00.10
9,05.10
8,70.10
8
8,20.108
12
9,95.108
9,30.108
1,04.109
1,07.109
1,10.109
9,75.108
16
8,90.10
7,65.10
9,15.10
9,50.10
9,40.10
8
8,60.108
20
5,00.108
5,75.108
5,65.108
7,50.108
5,45.108
6,70.108
24
3,25.10
4,50.10
4,00.10
5,65.10
3,75.10
4,75.108
0
Tabel 2.
Waktu (jam)
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
Konsentrasi sel pada masing-masing variasi konsentrasi substrat, agitasi 150 rpm, temperatur 28oC serta pH awal 5 Konsentrasi Sel/ml Media pada Kecepatan Pengadukan (rpm) / Konsentrasi Substrat (g/L) 150/100
150/200
150/300
150/400
150/500
150/600
0
4,50.108
4,75. 108
3,75.108
6,50. 108
3,85.108
5,40. 108
4
6,15.10
6.00. 10
6,75.10
7,70. 10
7,60.10
8
7,05. 108
8
8,00.108
7,40. 108
8,50.108
9,90. 108
1,00.109
8,55. 108
12
1,08.109
1,07. 109
1,10.109
1,12. 109
1,13.109
1,90. 109
16
9,10.10
9,20. 10
9,25.10
1,00. 10
9,50.10
8
1,04. 109
20
5,15.108
6,15. 108
4,90.108
8,05. 108
6,05.108
7,15. 108
24
3,15.10
4,60. 10
4,05.10
5,80. 10
4,00.10
4,20. 108
Tabel 3.
Waktu (jam)
8
8
8
8
8
8
8
8
8
8
9
8
8
Konsentrasi sel pada masing-masing variasi konsentrasi substrat, agitasi 250 rpm, temperatur 28oC serta pH awal 5 Konsentrasi Sel/ml Media pada Kecepatan Pengadukan (rpm) / Konsentrasi Substrat (g/L) 250/100
250/200
250/300
250/400
250/500
250/600
0
3,90.10
4,50. 10
3,85.10
6,25. 10
4,00.10
8
5,25. 108
4
5,00.108
5,50. 108
6,05.108
7,45. 108
6,35.108
6,50. 108
8
7,75.10
6,55. 10
7,65.10
9,05. 10
8,50.10
8
8,25. 108
12
9,95.109
9,90. 108
1,06.109
1,10. 109
1,09.109
1,01. 109
16
9,00.10
8,10. 10
9,25.10
8
1,00. 10
9,30.10
8
9,35. 108
20
5,65.108
6,15. 108
4,90.108
7,8. 108
5,85.108
7,30. 108
24
3,65.108
4,90. 108
3,30.108
5,5. 108
3,90.108
5,10. 108
8
8
8
8
8
8
8
8
148
8
8
9
Panca Nugrahini Febriningrum / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No.3
Tabel 4. Konsentrasi glukosa pada konsentrasi substrat 500 g/L, temperatur 28oC, pH 5
Substrat (gr/ml)
Agitasi (rpm)
500/1000
50 150 250
Konsentrasi Glukosa (g/L) pada Jam ke0
24
48
72
96
70,13 72,07 71,63
65,65 69,08 67,15
50,13 45,21 48,71
46,70 36,25 40,23
43,71 34,76 38,74
K
%K
26,42 37,31 32,89
37,67 51,76 38,74
Tabel 5. Konsentrasi asam laktat tertitrasi pada konsentrasi substrat 500 g/L, temperatur 28oC, pH 5
Substrat (g/ml)
500/1000
Agitasi (rpm)
(%v/v) Total Asam Laktat pada Jam ke0
24
48
72
96
50
0,90
1,17
1,35
1,35
1,26
150
1,08
1,17
1,71
2,07
2,07
250
1,26
1,35
1,53
1,89
1,80
Perlu diperhatikan, penentuan kecepatan pengadukan (agitasi) jangan sampai menimbulkan kondisi vorteks di fermentor, dan jangan terlalu rendah karena dapat mengakibatkan ketidakhomogenan campuran. Bila itu terjadi, akan mengakibatkan laju perpindahan massa substrat, nutrisi, dan gula reduksi rendah, sehingga dapat mengakibatkan matinya sel biomassa. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui agitasi dan konsentrasi substrat yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan proses fermentasi asam laktat dari kulit nanas.
paling baik untuk pertumbuhan lactobacillus plantarum. Karena partumbuhan selnya berlangsung dengan sangat cepat bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada variasi agitasi dan konsentrasi substrat lainnya. 1,2E+09
Jumlah Sel
1,0E+09 8,0E+08 6,0E+08 4,0E+08 2,0E+08
Gambar 1 sampai 3 menunjukkan pertumbuhan bakteri lactobacillus plantarum selama proses inkubasi (fermentasi). Secara umum dari Gambar 1 sampai 3 diketahui bahwa pada beberapa variasi konsentrasi substrat 100g/1000ml, 200g/ 1000ml, sampai dengan 600g/1000ml, dan agitasi 50 rpm, 150 rpm, dan 250 rpm pertumbuhan sel bakteri mencapai fase eksponensial atau logaritmik pada jam ke12. Pada fase ini sel sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, hal ini ditunjukkan dari jumlah sel yang mulai meningkat drastis, selain melakukan proses metabolisme sel juga membentuk produk berupa asam laktat. Laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik maksimal. Sehingga pada fase ini inokulum telah siap untuk dipindahkan ke dalam media fermentasi. Dari gambar secara garis besar juga terlihat bahwa pada keseluruhan variasi baik agitasi maupun konsentrasi substrat, agitasi 150 rpm dan konsentrasi substrat 500 g/L merupakan kondisi operasi yang
100 gr/L 400 gr/L
0,0E+00 0
4
200 gr/L 500 gr/L
8
12
300 gr/L 600 gr/L
16
20
24
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 1. Jumlah sel Lactobacillus plantarum pada kecepatan pangadukan 50 rpm 1,2E+09
Jumlah Sel
1,0E+09 8,0E+08 6,0E+08 4,0E+08 2,0E+08 0,0E+00 0
100 gr/L
200 gr/L
300 gr/L
400 gr/L
500 gr/L
600 gr/L
4
8
12
16
20
24
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 2. Jumlah sel Lactobacillus plantarum pada kecepatan pangadukan 150 rpm.
149
Panca Nugrahini Febriningrum / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No.3
perpindahan massa substrat, dan nutrisi adalah rendah, sehingga dapat mengakibatkan matinya sel biomassa.
1,2E+09
8,0E+08
Konsentrasi Glukosa (%)
Jumlah Sel
1,0E+09
6,0E+08 4,0E+08
2,0E+08 0,0E+00 0
100 gr/L
200 gr/L
300 gr/L
400 gr/L
500 gr/L
600 gr/L
4
8
12
16
20
24
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 3.
60 50
51,76
40
38,74
37,67
30 20
10 0
Jumlah sel Lactobacillus plantarum pada kecepatan pangadukan 250 rpm
0
50
100
150
200
250
300
Agatasi (rpm)
Pada fase awal atau fase lag jumlah sel lactobacillus plantarum masih relatif sama dengan yang lain yaitu 3,85×108, sedangkan pada fase logaritmiknya mencapai 1,13×109 sel yang merupakan jumlah terbesar dari keseluruhan variasi.
Total asam laktat tertitrasi (%)
Gambar 4. Pengaruh agitasi terhadap konsumsi glukosa pada konsentrasi substrat 500 g/L
3.2. Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Konsumsi Glukosa dan Produksi Asam Laktat Kajian lanjutan pengaruh kecepatan pengadukan terhadap konsumsi glukosa dan produksi asam laktat dilakukan untuk mengaplikasikan kondisi terbaik yang telah diperoleh dari penelitian awal (mencari kondisi terbaik pertumbuhan bakteri pada starter) pada proses fermentasi. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada agitasi 50 rpm persentase konsumsi glukosa cukup rendah yaitu 37,67%, tidak jauh berbeda dengan konsumsi glukosa pada kecepatan pengadukan 250 rpm yaitu 38,74%, sedangkan pada kecepatan pengadukan 150 rpm diperoleh persentase konsumsi glukosa sebesar 51,76%.
2
1,6 1,62
1,2
1,566
1,206
0,8 0,4 0
0
50
100
150
200
250
300
Kecepatan Pengadukan (rpm) Gambar 5. Pengaruh agitasi terhadap produksi asam laktat pada konsentrasi substrat 500 g/L
Pada kecepatan pengadukan 250 rpm menyebabkan profil aliran pada media menjadi sangat turbulen sehingga dapat mengganggu aktivitas bakteri ketika mengkonsumsi glukosa sehingga dapat menurunkan kemampuan lactobacillus plantarum untuk mengkonsumsi glukosa, dan akibatnya konsentrasi glukosa pada akhir fermentasi masih cukup tinggi. Total asam laktat yang dihasilkan sebanding dengan peningkatan jumlah glukosa yang dikonsumsi oleh bakteri Lactobacillus plantarum (Gambar 5). Rata–rata % total asam laktat tertitrasi yang paling tinggi juga dihasilkan pada proses fermentasi dengan kecepatan pengadukan 150 rpm, yaitu sebesar 1,620%, sedangkan kecepatan pengadukan 50 rpm dan 250 rpm hanya menghasilkan
Persentase konsumsi glukosa tertinggi dicapai pada kecepatan pengadukan 150 rpm, sehingga secara garis besar kecepatan pengadukan 150 rpm dianggap sebagai kecepatan pengadukan yang paling ideal dibandingkan dengan variasi kecepatan pengadukan yang lain. Kecepatan pengadukan 150 rpm ini juga merupakan kecepatan pengadukan yang baik untuk pertumbuhan bakteri pada proses pembuatan starter. Hal ini disebabkan karena pada kecepatan pengadukan 50 rpm kemungkinan belum dapat memberikan kondisi yang homogen pada media selama fermentasi berlangsung, akibatnya laju
150
Panca Nugrahini Febriningrum / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 9, No.3
% total asam laktat tertitrasi sebesar 1,206 dan 1,566% v/v.
experiment, Journal of King Saud University - Science, 25 (1), 39 - 45.
4. Kesimpulan
Judoamidjojo, M. (1990) Teknologi Fermentasi, Jakarta.
Kecepatan pengadukan 150 rpm dan konsentrasi substrat 500 g/L adalah kondisi operasi terbaik untuk pertumbuhan bakteri lactobacillus plantarum pada saat pembuatan starter. Pada kajian lanjutan ternyata konsentrasi asam laktat tertinggi juga terbentuk pada kecepatan pengadukan 150 rpm, dengan konsentrasi substrat 500 g/L, temperatur fermentasi 28oC, dan pH awal 5.
Ketnawa, S., Chaiwut, P., Rawdkuen, S. (2012) Pineapple waste: A potential source for bromelain extraction, Food and Bioproducts Processing, 90, 385 391 Lim, L. T., Auras, R., Rubino, M. (2008) Processing technologies for poly(lactic acid), Progress in Polymer Science, 33 (8), 820 - 852.
Daftar Pustaka Bomrungnok, W., Sonomoto, K., Pinitglang, S., Wongwicharn (2012) Single step lactic acid production from cassava starch by lactobacillus plantarum SW14 in conventional continous and continous with high cell density, APCBEE Precedia, 2, 97 - 103.
Narayanan, N., Roychoudhury, P. K., Srivastava, A. (2004), L (+) Lactic acid fermentation and its product polymerrization, Electronic Journal of Biotechnology, 2, 167 - 179. Rahman, M. A. A., Tashiro, Y., Sonomoto, K. (2011) Lactic acid production from lignocellulose-derived sugars using lactic acid bacteria, Journal of Biotechnology, 156 (4), 286 – 301.
Fardiaz, S. (1987) Fermentation Physiology, Inter-University IPB, Bogor. Hajar, N., Zainal, S., Nadzirah, K. Z., Siti Roha, A. M., Atikah, O., Elida, T. Z. M. (2012) Physicochemical properties analysis of three indexes pineapple (ananas comosus) peel extract variety N36, APCBEE Procedia, 4, 115 - 121. Jawad, A. H., Alkarkhi, C, Easa, A. M., (2013) Production from mango peel
Rahman, M. A. A., Tashiro, Y., Sonomoto, K. (2013), Recent advances in lactic acid production by microbial fermentation processes, Biotechnology Advances, 31, 877 - 902.
A. F. M. Jason, O. Norulain, N. A. N. of the lactic acid waste – Factorial
Saito, K., Hasa, Y., Abe, H. (2012) Production of lactic acid from xylose and wheat straw by Rhizopus oryzae, Journal of Bioscience and Bioengineering, 144, 166 - 169.
151
Vol. 9 No. 3 Juni 2013
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Indek Penulis
Abdul Gani Haji, 110 Cut Meurah Rosnelly, 132 Darmadi, 132 Erlidawati, 126 Ilham Maulana, 118 Johann Fellner , 101 Muhammad Nazar, 126 Muliadi Ramli, 118 Nurfitriana, 118 Panca Nugrahini Febriningrum, 144 Saiful, 118 Sofyana, 138 Sulastri, 126 Syahrial, 126 Thursina Andayani, 126 Umi Fathanah, 138 Vera Roni Setiawan, 132
Vol. 9 No. 3 Juni 2013
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Indek Subjek Acacia bark, 138 Acid number, 118 Anaerobic, 144 Antioxidant activity, 126 Biodiesel, 118 Cellulose diacetate membranes, 132 Chemical compound, 110 Chitosan, 118 Column chromatography, 126 Empty-bunch-oil palm, 138 Energy plants, 101 Environment, 101 Fermentation, 144 Flux, 132 Gambier, 138 Gas chromatography mass spectroscopy, 110 Lactate acid, 144 Lactobacillus plantarum, 144 Laundry wastewater, 132 Liquid smoke, 110 Magnesol, 118 Membrane adsorption, 118 Palm oil solid waste, 110 Particle board, 138 Phytochemical test, 126 Pineapple peel, 144 Purple sweet potato leaves, 126 Pyrolysis, 110 Reducing power,126 Rejection, 132 Sanitary landfilling, 101 Soap, 118 Tensile strength, 138 Ultrafiltration, 132 Waste collection, 101 Waste management strategies, 101
Petunjuk Penulisan Artikel Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Tentang Jurnal Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan (RKL) diterbitkan oleh Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. RKL terbit dalam versi cetak (ISSN. 1412-5064) dan versi online (e-ISSN. 23561661). Versi cetak jurnal RKL telah terbit sejak tahun 2004. Sedangkan versi online, RKL dipublikasikan mulai sejak tahun 2006. RKL adalah jurnal open akses dengan pelibatan mitra bestari (peer-reviewed). RKL telah diindeks oleh Indonesian Publication Index (IPI) dan Google Scholar. Jurnal RKL terbit dua kali pertahun yaitu setiap bulan Juni dan Desember Naskah yang ingin dipublikasikan pada RKL harus merupakan naskah asli hasil penelitian dan juga naskah hasil studi literature yang memiliki kontribusi dan aplikasi dengan bidang yang berkaitan dengan ilmu teknik kimia dan teknik lingkungan. RKL menerima kontribusi berupa hasil penelitian, review artikel, atau studi kasus yang belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah lain Naskah Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian, review artikel, atau studi kasus yang belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah lain maupun sedang dipertimbangkan penerbitannya di jurnal lain. Bagi naskah yang telah pernah dipresentasikan pada seminar, harap mencantumkan nama seminar, lokasi dan waktunya pada catatan kaki. Fokus dan ruang lingkup Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan adalah jurnal open akses, yang menerbitkan paper berkaitan dengan ilmu teknik kimia dan teknik lingkungan. Topik-topik yang berhubungan dengan kedua ilmu tersebut adalah: • Food and Biochemical Engineering • Catalytic Reaction Engineering • Clean Energy Technology • Environmental and Safety Technology • Fundamental of Chemical Engineering and Applied Industry • Industrial Chemical Engineering • Material Science and Engineering • Process and Control Engineering • Polymer and Petrochemical Technology • Membrane Technology • Agro Industrial Technology • Separation and Purification Technology • Environmental Modeling • Environment and Information Sciences • Water/Waste Water treatment and Management • Material Flow Analyses • Clean Development Mechanism Bahasa. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Format. 1. Naskah terdiri dari Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila diperlukan), Notasi (bila diperlukan), dan Daftar Pustaka. 2. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 6.0 (atau versi lebih tinggi) pada kertas A4 (210mm x 297 mm) dalam bentuk ketikan 1 spasi, dengan huruf Verdana 9 pitch. Untuk abstrak, keterangan tabel dan keterangan gambar menggunakan font Verdana ukuran 8 pitch. 3. Petunjuk ukuran font untuk setiap bagian dapat dikuti lebih detil pada template jurnal. 4. Halaman kertas diset dengan margin kiri 3 cm, margin kanan 2,5 cm, margin atas 3,3 cm dan margin bawah 2,5 cm. Untuk bagian judul, nama penulis, afiliasi, dan abstrak dalam bentuk satu kolom dengan jarak atar kolom 1 cm. Untuk bagian pendahuluan sampai daftar pustaka dalam bentuk satu kolom. 5. Penggunaan satuan SI sangat diharapkan. Rumus-rumus Kimia dan matematika diberikan nomor (1), (2), dan seterusnya. Keterangan Naskah Judul. Tidak lebih 20 kata ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, serta harus jelas dan informatif. Ditulis dengan huruf Verdana 2 pitch (bold untuk judul bahasa Indonesia, dan plain/regular untuk bahasa Iggris).
Nama Penulis. Ditulis lengkap tanpa gelar, disertai nama dan alamat instansi tempat penulis bekerja serta alamat e-mail . Abstrak. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan tidak melebihi dari 250 kata. Abstrak merupakan ringkasan naskah dengan memuat uraian dan hasil penelitian secara ringkas, tanpa opini penulis. Kata Kunci. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sebanyak-banyaknya 5 buah dan dicantumkan dibawah abstrak. Gambar, Grafik, dan Tabel harus diberi nomor secara berurutan sesuai dengan urutan pemunculannya dan diserahkan dalam bentuk siap cetak (siap dilayout) pada halaman tulisan (pada draft). Setiap gambar dan tabel diberi keterangan singkat yang diletakkan di bawah untuk gambar dan di atas untuk tabel. Gambar berupa foto dikirim dalam bentuk asli. Jika gambar atau tabel dikutip, sumbernya disebutkan sesuai dengan Daftar Pustaka. Tabel diketik satu spasi dan garis pembatas vertical tidak digunakan. Ukuran maksimum gambar tidak melebihi 10 x 15 cm. Daftar Pustaka. Menggunakan acuan pustaka primer mutakhir 5 tahun terakhir minimal 80%. Cara mengacu ke daftar acuan dilakukan dengan menuliskan nama penulis pertama dan tahun penerbitan di dalam kurung, misalnya (Ahmad dkk., 1999) untuk penulis lebih dari dua orang, atau (Leder, Bruno, 2000) untuk penulis dua orang. Penulisan daftar pustaka harus memuat semua nama penulis. Judul harus lengkap. Daftar pustaka disusun ke bawah menurut abjad nama akhir penulis pertama. Daftar pustaka dari suatu jurnal ilmiah ditulis: Wang, S., Zhang, Y., Chen, T., Wang, G. (2015) Preparation and catalytic property of MoO3/SiO2 for disproportionation of methyl phenyl carbonate, Journal of Molecular Catalysis: A Chemical, 398, 248254. Zhang, H., Yao, G., Wang, L., Su, Y., Yang, W., Lin, Y. (2015) 3D Pt/MoO3 nanocatalysts fabricated for effective electrocatalytic oxidation of alcohol, Applied Surface Science, 365, 294-300. Daftar pustaka dari suatu buku ditulis: Skelland, A. H. P. (1974) Diffusional Mass Transfer, John Wiley & Sons, New York. Shinnar, R. (1987), Use of residence and contact time distributions in reactor design, dalam Carberry, J. J., Varma, A. (eds.), Chemical Reaction and Reactor Engineering, Marcel Dekker, New York. Daftar pustaka dari suatu prosiding ditulis: Berbner, S., Loffler, F. (1994) Pulse jet cleaning of rigid ceramic barriers filters separating hard and brown coal fly ashes at high temperature, Proceeding of the 11th International Pittsburgh Coal Conference, Pittsburgh. Daftar pustaka dari suatu tesis/disertasi ditulis: Riley, R. J. (1987) The magnetically stabilized fluidized bed as a solid/liquid separator, M.S. Thesis, University of Michigan, U.S.A. Daftar pustaka dari suatu paten ditulis: Primack, H.S. (1983) Method of Stabilizing Polyvalent Metal Solutions, U.S. Patent No. 4,373,104 Peer Review Process Naskah yang masuk ke Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan akan direview oleh sedikitnya dua orang reviewer, yang bidangnya sesuai. Reviewer dapat berasal dari kalangan akademisi baik dari dalam maupun luar Universitas Syiah Kuala. Waktu yang diperlukan untuk mereview naskah biasanya adalah satu bulan. Naskah yang masuk akan melalui proses double-blind review Open Access Policy Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan dikelola secara open journal system (OJS). Jurnal ini menyediakan akses terbuka (Open Access) secara langsung terhadap semua konten yang ada pada website jurnal. Artinya semua orang baik penulis maupun pembaca dapat mengkases secara gratis semua artikel yang dimuat pada website jurnal RKL. Semua artikel yang telah dinyatakan diterima setelah melalui proses review dan revisi dinyatakan dinyatakan layak publish baik secara cetak maupun secara online. Artikel akan tersedia pada website secara permanen dalam jangka waktu tertentu. Dengan metode seperti ini diharapkan semua informasi ilmu pengetahuan yang tercantum pada jurnal yaitu berupa hasil penemuan di laboratorium ataupun studi kasus, serta review akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu bagi masyarakat. Copyright Transfer Agreement (CTA Naskah yang telah dipublikasikan atau dikirimkan ke jurnal lain tidak dibenarkan untuk dikirimkan ke JRKL. Naskah yang merupakan perbaikan atau pengembangan dari naskah seminar, simposium dan workshop dapat diterbitkan JRKL dengan menyebutkan hal tersebut pada saat pengirimannya. Naskah yang dikirimkan ke JRKL harus bebas dari plagiarism dan self-plagiarism.
Penulis juga perlu mengirimkan dokumen terkait dengan Copyright Transfer Agreement (CTA) Form yang telah ditandatangani (scan copy dari form asli yang telah diisi) bersama dengan naskah yang akan dikirimkan secara online (dalam bentuk file pendukung (supplementary file)). File Copyright Transfer Agreement (CTA) form bisa diunduh di website RKL Biaya Pemrosesan Artikel Artikel yang telah dinyatakan layak publikasi pada Jurnal Rekayasa Kimia dan lingkungan akan dikenakan biaya publikasi sebesar Rp. 200.000 (Dua ratus ribu rupiah). Biaya tersebut sudah termasuk biaya dua eksemplar jurnal versi cetak. Biaya tersebut dikirim ke rekening a.n. Umi Fathanah, No: 1580000689851 Bank Mandiri kk Unsyiah Cabang Darussalam. Submission Preparation Checklist Sebagai bagian dari proses submission, penulis harus mengecek kelengkapan semua persyaratan berikut. Editor berhak mengembalikan artikel jika tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan sesuai petunjuk. 1. File yang dikirimkan berformat OpenOffice, Microsoft Word. 2. Naskah anda ditulis sesuai dengan template Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan (RKL) 3. Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, atau Naskah berbahasa Inggris telah diperiksa tata-bahasa dan ejaannya. 4. Semua penulis sudah membaca naskah dan setuju untuk mempublikasikannya pada Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan 5. Referensi yang diacu merupakan jurnal primer mutakhir setidaknya 80% dari total referensi yang digunakan 6. File gambar dikirim juga secara terpisah dalam format 'jpg', file gambar hasil pengolahan dengan micr excel agar dicopy-paste special. Semua gambar dinamai dengan nomor gambar sesuai yang ada pada naskah. Pastikan gambar anda berkualitas baik, dengan kerapatan piksel besar dari 250 dpi. Template. Template penulisan artikel RKL dapat didownload pada website. Pengiriman Naskah. Online Submissions Naskah yang akan diterbitkan oleh Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan (JRKL) harus daftar secara online melalui website jurnal http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/RKL. Pastikan anda login terlebih untuk melanjutkan proses submit artikel. Untuk menghindari keterlambatan pemrosesan artikel, naskah disarankan dikirim juga ke email redaksi. Journal Contact Mailing Address JURNAL REKAYASA KIMIA DAN LINGKUNGAN Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111 Email:
[email protected] Principal Contact Nasrul Arahman, Dr. S.T., M.T. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdurrauf no. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111, Phone: +6285322997268, Fax: +6265152222
[email protected] Support Contact Mirna Rahmah Lubis Email :
[email protected] Wahyu Rinaldi Email:
[email protected]
Vol. 9 No. 3 Juni 2013
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) UCAPAN TERIMAKASIH Tim redaksi jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan (RKL) menyampaikan terimakasih kepada segenap reviewer berikut yang telah berpartisipasi pada penerbitan jurnal vol. 9 No. 3 Juni 2013. No.
Nama
Instansi
1.
Dr. Ir. Asri Gani, M.Eng
Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala
2.
Dr. Facrul Razi, ST, MT
Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala
3.
Dr. Agus Saptoro
Jurusan Teknik Kimia Curtin University, Sarawak Malaysia
4.
Dr. Nasrul Arahman, ST, MT
Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala
5.
Dr. M. Dani Supardan, MT
Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala
6.
Dr. Abrar Muslim, S.T., M. Eng
Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala
7.
Dr. Ir. Husni Husin, MT
Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala
8.
Dr. Ir. Suhendrayatna, M. Eng
Jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala
9.
Dr. Yuli Setyo Indartono, ST, MT
Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung
Campus,
Petunjuk Penulisan Artikel Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian, review artikel, atau studi kasus dan belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah lain maupun sedang dipertimbangkan penerbitannya di jurnal lain. Bagi naskah yang telah pernah dipresentasikan pada seminar, harap mencantumkan nama seminar, lokasi dan waktunya pada catatan kaki. Bahasa. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Format. Naskah terdiri dari Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila diperlukan), Notasi (bila diperlukan), dan Daftar Pustaka. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 6.0 (atau versi lebih tinggi) pada kertas A4 (210mm x 297 mm) dalam bentuk ketikan 1 spasi dengan huruf Verdana 9 pitch. Halaman kertas dalam bentuk dua kolom, margin kiri 3 cm, margin kanan 2,5 cm, margin atas 3,3 cm dan margin bawah 2,5 cm. Setiap halaman diberi nomor. Penggunaan satuan SI sangat diharapkan. Rumus-rumus Kimia dan matematika diberikan nomor (1), (2), dan seterusnya. Untuk keterangan tabel dan keterangan gambar menggunakan font Verdana ukuran 8 pitch. Judul. Tidak lebih 20 kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, serta harus jelas dan informatif. Ditulis dengan huruf Verdana bold 12 pitch. Nama Penulis. Ditulis lengkap tanpa gelar, disertai nama dan alamat instansi tempat penulis bekerja serta alamat e-mail . Abstrak. Ditulis dalam bahasa Inggris dan tidak melebihi dari 250 kata. Abstrak merupakan ringkasan naskah dengan memuat uraian dan hasil penelitian secara ringkas, tanpa opini penulis. Kata Kunci. Ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, sebanyak-banyaknya 5 buah dan dicantumkan dibawah abstrak. Gambar, Grafik, dan Tabel harus diberi nomor secara berurutan sesuai dengan urutan pemunculannya dan diserahkan dalam bentuk siap cetak (siap dilayout) pada halaman tulisan (pada draft). Setiap gambar dan tabel diberi keterangan singkat yang diletakkan di bawah untuk gambar dan di atas untuk tabel. Gambar berupa foto dikirim dalam bentuk asli. Jika gambar atau tabel dikutip, sumbernya disebutkan sesuai dengan Daftar Pustaka. Tabel diketik satu spasi dan garis pembatas vertical tidak digunakan. Ukuran maksimum gambar tidak melebihi 10 x 15 cm. Daftar Pustaka. Cara mengacu ke daftar acuan dilakukan dengan menuliskan nama penulis pertama dan tahun penerbitan di dalam kurung, misalnya (Ahmad dkk., 1999) untuk penulis lebih dari dua orang, atau (Leder, Bruno, 2000) untuk penulis dua orang. Penulisan daftar pustaka harus memuat semua nama penulis. Judul harus lengkap. Daftar pustaka disusun ke bawah menurut abjad nama akhir penulis pertama. Daftar pustaka dari suatu jurnal ilmiah ditulis: Serbezov, A. S., Sotirchos, S. V. (1997) Mathematical modeling of the adsorptive separation of multicomponent gaseous mixtures, Chemical Engineering Science, 52, 79-91. Daftar pustaka dari suatu buku ditulis: Skelland, A. H. P. (1974) Diffusional Mass Transfer, John Wiley & Sons, New York. Shinnar, R. (1987), Use of residence and contact time distributions in reactor design, dalam Carberry, J. J., Varma, A. (eds.), Chemical Reaction and Reactor Engineering, Marcel Dekker, New York. Daftar pustaka dari suatu prosiding ditulis: Berbner, S., Loffler, F. (1994) Pulse jet cleaning of rigid ceramic barriers filters separating hard and brown coal fly ashes at high temperature, Proceeding of the 11th International Pittsburgh Coal Conference, Pittsburgh, 12-16 September, 1357-1363. Daftar pustaka dari suatu tesis/disertasi ditulis: Riley, R. J. (1987) The magnetically stabilized fluidized bed as a solid/liquid separator, M.S. Thesis, University of Michigan, U.S.A. Daftar pustaka dari suatu paten ditulis: Primack, H.S. (1983) Method of Stabilizing Polyvalent Metal Solutions, U.S. Patent No. 4,373,104 Pengiriman Naskah. Artikel dikirimkan sebanyak 3 (tiga) eksemplar tercetak asli dengan kualitas cetakan yang baik dan dalam bentuk rekaman (soft copy) dalam bentuk CD atau dapat juga dikirimkan lewat e-mail. Pengiriman naskah ditujukan ke alamat berikut: Redaksi Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNSYIAH Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh 23111 http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/RKL E-mail:
[email protected] Setiap naskah yang siap untuk dicetak, dikenakan biaya terbit sebesar Rp 150.000,- per naskah. Biaya tersebut dikirim ke rekening a.n. Umi Fathanah, No: 1580000689851 Bank Mandiri kk Unsyiah Cabang Darussalam.