Vol. 11 No. 2 Desember 2016
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan Journal of Chemical Engineering and Environment
Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan
Vol. 11
No. 2
Hal. 53—106
Desember 2016
ISSN 1412-5064
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) TIM EDITOR Ketua
: Dr. Nasrul Arahman, ST., MT.
Anggota
: Dr. M. Faisal, ST., M. Eng., Dr. M. Dani Supardan, ST., MT. Dr. Ir. Husni Husin, MT., Mirna Rahmah Lubis, ST., MS.
Web admin/lay out
: Wahyu Rinaldi, ST., M.Sc.
Cetak dan sirkulasi
: Umi Fathanah, ST., MT.
Reviewer (Mitra Bestari) Dr. Ir. Darmadi, M.T (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Asri Gani, M.Eng (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Izarul Machdar, M.Eng (Universitas Syiah Kuala), Dr. Ir. Azhari, M.Sc (Universitas Malikussaleh), Dr. Suripto Dwi Yuwono, S.Si., M.T (Universitas Lampung), Dr. Sunu Herwi Pranolo, S.T., M.Sc (Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta), Dr. Yuli Setyo Indartono (Institut Teknologi Bandung), Dr. Agung Sudrajad, S.T., M.Eng (University Pahang Ma laysia), Dr. Muhammad Jawaid (University Sains Malaysia), Dr. Saeid Rajabzadeh Kahnamouei (Kobe University, Japan), Dr. Agus Saptoro (Curtin University, Malaysia), Dr. Abrar Muslim, ST, M. Eng. (Universitas Syiah Kuala), Dr. Fachrul Razi, ST, MT. (Universitas Syiah Kuala).
Jurnal ini terbit setiap enam bulan sekali
Harga Langganan dua kali terbit: Aceh
Rp. 80.000,-
Luar Aceh
Rp. 100.000,- (termasuk ongkos kirim)
Untuk surat menyurat dan berlangganan, harap menghubungi Sdri. Dewi Yana dengan alamat seperti tercantum di bawah. Petunjuk penulisan artikel dapat dilihat pada halaman terakhir jurnal. 2016 Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia Hp. +62 853-2299-7268 Fax. (0651) 52222 http://jurnal.unsyiah.ac.id/RKL E-mail:
[email protected]
Vol. 11, No. 2, Desember 2016 ISSN: 1412-5064 (cetak), 2356-1661 (online)
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Daftar Isi Kata Pengantar Nita Listiani, Dewi Agustina Iryani, Heri Rustamaji
53
Hidrolisis Ampas Tebu dengan Katalisator Asam Asetat untuk Memproduksi Furfural menggunakan Metode Steam Stripping
Bayu Refindra Fitriadi, Ciptaningtyas Putri
Ayutia
61
Metode-Metode Pengurangan Residu Pestisida pada Hasil Pertanian
Katharina
72
Analisis Potensi Ledakan dan Kebakaran Primary Reformer sebagai Unit Proses Produksi Amonia di PT. X
Lia Lismeri, Poppy Meutia Zari, Tika Novarani, Yuli Darni
82
Sintesis Selulosa Asetat dari Limbah Batang Ubi Kayu
Erni Misran, Fery Panjaitan, Fahmi Maulana Yanuar
92
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Ampas Teh sebagai Adsorben pada Proses Adsorpsi βKaroten yang Terkandung dalam Minyak Kelapa Sawit Mentah
Arifina Febriasari, Dwi Siswanta, Agung A Kiswandono, Nurul Hidayat A
99
Evaluation of Phenol Transport Using Polymer Inclusion Membrane (PIM) with Polyeugenol as a Carrier
Resti Ayu Oginawati
Lestari,
Kata Pengantar Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan adalah sebuah jurnal yang memuat artikel hasil penelitian atau kajian literatur dalam bidang ilmu Teknik Kimia, Teknik Lingkungan, dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan kedua ilmu tersebut. Volume 11 No. 4 Desember 2016 ini memuat 6 artikel dengan topik kajian yang cukup mendalam. Artikel-artikel tersebut membahas tentang pemanfaatan limbah hasil pertanian ampas tebu untuk produksi furfural, penanganan paska panen untuk mengurangi sisa pestisida pada produk pertanian, analisis resiko pada unit proses amonia, dan evaluasi kinerja membran. Pada kesempatan ini, redaksi ingin menyampaikan terima kasih banyak peneliti yang telah menyumbangkan artikel hasil penelitiannya. Redaksi terima kasih banyak kepada para reviewer yang telah meluangkan memungkinkan proses publikasi Jurnal RKL kali ini mencapai waktu Semoga hasil-hasil kajian yang dipaparkan pada jurnal ini dapat pengetahuan kepada semua pembaca.
atas kesediaan para juga menyampaikan waktunya sehingga yang direncanakan. memberi tambahan
Akhirnya, redaksi menghimbau para pembaca dan peneliti di bidang teknik kimia dan ilmu lain yang berkaitan agar dapat memanfaatkan Jurnal RKL untuk mempublikasikan hasil penelitiannya. Saran dan kritik yang mendukung pengembangan lebih lanjut jurnal ini sangat diharapkan.
Wassalam. Banda Aceh, Desember 2016 Ketua Editor Dr. Nasrul Arahman, ST, MT
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2, Hlm. 53-60, Desember 2016 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v11i2.4983
Hidrolisis Ampas Tebu dengan Katalisator Asam Asetat untuk Memproduksi Furfural menggunakan Metode Steam Stripping The Hydrolysis of Sugarcane Bagasse with Acetic Acid Catalyst to Produce Furfural by Steam Stripping Process Nita Listiani1, Dewi Agustina Iryani1,2*, Heri Rustamaji1 1
Department of Chemical Engineering, Engineering Faculty, 2Graduate School of Environmental Science, Research and Development Center for Tropical Biomass University of Lampung. Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145 *E-mail:
[email protected] Abstrak Proses hidrolisis ampas tebu menggunakan asam asetat sebagai katalis dengan metode satu tahap (steam stripping) telah dilakukan. Ampas tebu sebanyak 50 gram dihidrolisis dalam 500 ml akuades yang mengandung katalis asam asetat sebesar 2 - 6% dengan variabel waktu selama 1 - 3 jam dan temperatur hidrolisis 110 - 120oC menggunakan metode steam stripping. Metode konvensional dilakukan dalam dua tahap yaitu pemasakan dan pemisahan dalam waktu tinggal tertentu, sehingga dapat menyebabkan degradasi furfural. Selain itu, energi yang digunakan sangat besar karena ada energi yang terbuang saat pendinginan produk. Maka peneliti mengembangkan proses hidrolisis hemiselulosa menjadi furfural sekaligus juga proses pemisahan yang dilakukan secara serempak dalam satu tahap yaitu dengan menggunakan metode distilasi steam stripping. Penelitian ini ditujukan untuk melihat apakah metode steam stripping dengan menggunakan katalis asam asetat efektif untuk digunakan dalam memproduksi furfural. Dalam studi ini juga dipelajari pengaruh waktu hidrolisis, konsentrasi katalis, dan temperatur terhadap konsentrasi furfural. Hasil uji menggunakan Response Surface Methodology (RSM) menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh untuk perolehan furfural adalah konsentrasi katalis dan temperatur. Hasil penelitian menunjukkan optimum dengan perolehan konsentrasi furfural tertinggi (6,038 mg/ml) di peroleh pada waktu 3 jam, temperatur 120°C, dan konsentrasi katalis 6%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ini efektif untuk digunakan dalam produksi furfural. Kata Kunci: ampas tebu, asam asetat, furfural, hidrolisis, steam stripping Abstract The hydrolysis of sugarcane bagasse with acetic acid catalyst to produce furfural by one stage process was conducted. About 50 grams of sugarcane bagasse was hydrolyzed with 500 ml of acetic acid solution with concentration varied 2 - 6% at temperature (110 - 120°C) and reaction time (1 - 3hr) using steam stripping method. This research aims to observe whether the steam stripping process using acetic acid catalyst more efficient than the two stage process (conventional); to evaluate the effect of parameter conditions in producing the furfural. The results based on evaluation Response Surface Methodology used to find the optimum condition of hydrolysis process and to obtain the most significant parameter for the production of furfural. Based on the result, the best condition of furfural production was obtained in 3 hours, 120°C, and 6% of catalyst concentration, with concentration of furfural was 6.038 mg/ml and themost influential variable for the acquisition of furfural was time and temperature. The result of this research reveals that steam stripping process was more efective in production of furfural than two stage process. Keywords: acetic acid, furfural, hydrolysis, steam stripping, sugarcane bagasse
1. Pendahuluan
furan, dan lain-lain. Saat ini seluruh kebutuhan furfural dalam negeri diperoleh melalui impor. Impor furfural terbesar diperoleh dari Cina yang saat ini menguasai 72% pasar furfural dunia (Andaka, 2011).
Furfural merupakan senyawa aldehid yang mempunyai struktur furan dengan rumus C5H4O2 dan dapat diproduksi dari bahan sisa makanan atau limbah pertanian. Furfural memiliki aplikasi cukup luas dalam beberapa industri dan dapat disintesis menjadi turunan-turunannya seperti furfuril alkohol,
Furfural dihasilkan melalui reaksi hidrolisis pentosan. Hidrolisis merupakan proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air 53
Nita Listiani dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Meskipun hidrolisis pentosan dapat dilakukan secara katalitik dengan berbagai jenis asam, beberapa peneliti menitikberatkan proses hidrolisis dengan menggunakan katalis asam sulfat (Andaka, 2011; Susanto dan Suharto, 2006; Iryani, 2007; Suxia dkk., 2012; dan Rong dkk., 2012). Andaka (2011) telah melakukan penelitian hidrolisis menggunakan asam kuat H2SO4. Penggunaan katalis asam kuat H2SO4 tersebut mendapatkan yield furfural yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan yield furfural mencapai titik maksimum pada suhu 100oC sebesar 5,07% dan yield furfural mencapai titik optimum pada waktu reaksi hidrolisis selama 120 menit sebesar 5,67%.
menggunakan asam lebih efektif dibandingkan proses konvensional. Prinsip pembuatan furfural dengan menggunakan steam stripping adalah proses pelucutan furfural dari ampas tebu dengan menggunakan steam sebagai media pemanas. Pada proses steam stripping, steam berfungsi untuk melucuti (strip) produk furfural dari campuran hasil reaksi hidrolisis. Akibatnya proses degradasi dapat dicegah dan perolehan furfural akan meningkat (Agirrezabal dkk., 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode steam stripping dengan menggunakan katalis asam asetat lebih efektif dan efisien dibandingkan proses konvensional dan mempelajari pengaruh waktu hidrolisis, konsentrasi katalis, dan temperatur terhadap perolehan furfural dengan menggunakan katalis asam asetat.
Namun, reaksi hidrolisis dengan menggunakan asam anorganik seperti H2SO4 atau HCl akan menyebabkan selulosa terdegradasi menjadi senyawa lain sehingga kemurnian furfural relatif rendah (Uppal dkk., 2011). Degradasi furfural menjadi senyawa lain dapat dihambat dengan menggunakan asam organik. Atas dasar pertimbangan tersebut, penelitian ini menggunakan katalis asam organik. Asam organik lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui, dan relatif tidak korosif dibandingkan asam mineral lainnya (Febriani dan Dewi, 2015). Asam organik berupa asam asetat mempunyai pengaruh cukup besar terhadap laju pembentukkan furfural (Iryani dkk., 2014). Sehingga penelitian ini menggunakan asam asetat sebagai katalis.
2. Metodelogi 2.1. Alat dan Bahan Bagas tebu merupakan limbah lignosesulosa yang mengandung komponen kimia: selulosa 34,8%, lignin 20,2%, dan hemi-selulosa (pentosan) 28,4% (Iryani, 2014). Kandungan pentosan pada ampas tebu cukup tinggi, sehingga memungkinkan ampas tebu untuk diolah menjadi furfural. Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa ampas tebu yang berasal dari PT. Gunung Madu Plantation (GMP), aquades, katalis asam asetat (98%, Merck). Alat yang digunakan untuk reaksi hidrolisis adalah alat destilasi steam stripping. Rangkaian alat dapat dilihat pada Gambar 1.
Lopes dkk. (2014) memproduksi furfural dengan teknik pemasakan pada tekanan dan temperatur tinggi, kemudian dilanjutkan dengan pemisahan secara distilasi (Lopez dkk., 2014). Proses ini dinilai kurang efektif karena produk yang dihasilkan harus didinginkan terlebih dahulu dalam fasa cair dengan waktu tinggal tertentu. Kemudian produk dipisahkan secara distilasi dari campurannya. Hal ini dapat mengakibatkan furfural terdegradasi atau bereaksi dengan senyawa lain sehingga mengurangi perolehan furfural. Selain itu, energi yang digunakan sangat besar dan tidak efisien karena ada energi yang terbuang pada saat pendinginan produk. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dicoba mengembangkan proses hidrolisis hemiselulosa menjadi furfural sekaligus juga proses pemisahan yang dilakukan secara serempak dalam satu tahap yaitu dengan menggunakan metode distilasi steam stripping. Penelitian Buijtnen dkk. (2013) menunjukkan bahwa metode steam stripping
Gambar 1. Rangkaian Alat Steam Stripping
54
Nita Listiani dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah konsentrasi katalis asam asetat (2 6%), temperatur (110 - 120oC) dan waktu operasi (1 – 3 jam). Pada tahap awal dilakukan Pretreatment ampas tebu dengan melakukan pencucian dan pemanasan dalam oven pada temperatur 105oC selama ±3 jam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada ampas tebu. Selanjutnya ampas tebu digiling menggunakan hammer mill dan diayak dengan ayakan berukuran 18 mesh.
Menurut Dunlop (1948), kandungan furfural dalam distilat dapat dihitung berdasarkan persamaan:
2.2. Penentuan Kadar Pentosan
Konsentrasi furfural =
Analisis yang digunakan berdasarkan National Bureau of Standards (Herbert dan William, 1939). Sebanyak 5 gram ampas tebu (lolos ayakan 18 mesh, kadar air ± 16,4%) dimasukkan ke dalam labu leher tiga 500 ml, kemudian ditambahkan HCl 3,85 N sebanyak 100 ml dan 20 g NaCl. Hidrolisis dilakukan selama ± 3 jam dan setiap 10 menit ditambahkan HCl 3,85 N ke dalam labu leher tiga. Hidrolisis dihentikan hingga diperoleh distilat sebanyak 225 ml ± 10 ml. Distilat ditampung dalam labu erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan HCl 3,85 N dan dikocok. Indikator seperti bromat bromida, KI 10%, dan amilum ditambahkan dalam larutan, selanjutnya dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N. Diperoleh bahwa 5 gram bagas tebu mengandung 24,5% pentosan (Rossa dkk., 2015).
2.5. Response Surface Methodology
2.3.
Hidrolisis Ampas Tebu gunakan Steam Stripping
𝑚 =
(𝑏−𝑎) 0,1 (
𝐵𝑀𝑓𝑢𝑟𝑓𝑢𝑟𝑎𝑙 )2,5 𝑓𝑝 4
10
(1)
Keterangan: 𝑎 : volume titrasi sampel 𝑏 : volume titrasi blanko fp : faktor pengenceran m : massa furfural dalam destilat Massa FUR dalam destilat Volume destilat
(2)
Response surface methodology (RSM) dilakukan untuk mencari variabel yang paling berpengaruh terhadap respon (konsentrasi furfural). Metode ini dilakukan dengan menggunakan Software Design Expert 7.0.0. Data variabel temperatur (x1) dan waktu hidrolisa (x2), serta konsentrasi katalis asam asetat (x3) tersebut diolah dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan matematis yang menjelaskan tentang hubungan variabel–variabel tersebut terhadap konsentrasi furfural yang diperoleh. Selanjutnya, dilakukan uji Sum of Square dan R-squared untuk menentukan model yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Setelah diperoleh kondisi optimum berdasarkan model yang disarankan maka dapat dibuat grafik 3D untuk mengetahui variabel yang berpengaruh terhadap konsentrasi furfural.
meng-
3. Hasil dan Pembahasan
Hidrolisis menggunakan 50 gram ampas tebu dan 500 ml aquades dengan asam asetat sebagai katalis dan dimasukkan ke dalam reboiler. Kemudian temperatur (operasi) diatur sampai 110 - 120oC. Selanjutnya distilat dan produk bawah dari proses steam stripping diambil setelah waktu 1 - 3 jam dan dianalisis.
3.1. Hasil Analisis Furfural Furfural merupakan produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis pentosan dari ampas tebu. Pentosan kemudian terkonversi menjadi furfural. Analisis furfural pada penelitian ini secara kulitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan uji warna anilin – asetat. Berdasarkan hasil pengamatan uji warna, dapat dipastikan bahwa distilat yang dihasilkan dari proses steam stripping ini mengandung furfural. Hal ini ditunjukkan dari perubahan warna distilat yang dihasilkan pada uji tersebut sama dengan warna uji furfural secara teoritis yaitu furfural yang semula berwarna kuning kecokelatan setelah penambahan anilin-asetat menjadi berwarna merah tua.
2.4. Analisis Konsentrasi Furfural Metode yang digunakan sesuai dengan standard Bromine Methode (Herbert dan William, 1939). Analisis dilakukan menggunakan metode volumetri (titrasi). Metode analisis dilakukan dengan cara melarutkan 10 ml sampel menggunakan larutan 12% HCl hingga volume 100 ml pada labu erlenmeyer berpenutup. Kemudian tambahkan 5 ml reagen (KBrO3 dan KBr) dikocok dan disimpan di tempat gelap selama 1 jam. Setelah itu tambahkan indikator berupa amilum dan KI. Selanjutnya titrasi menggunakan larutan natrium tiosulfat 0,1 N.
Warna merah tua disebabkan oleh reaksi kondensasi antara furfural dengan anilin membentuk senyawa dianil hidroksi glutakonat dialdehid. Senyawa inilah yang 55
Nita Listiani dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
membentuk warna merah dalam reaksi tersebut (Hidajati, 2006). Berdasarkan hasil analisis kuantitatif diperoleh konsentrasi furfural dalam distilat maupun produk bawah pada masing-masing variabel yang telah divariasikan. Konsentrasi furfural tertinggi diperoleh untuk masing-masing konsentrasi katalis asam asetat 2%; 4%; dan 6%, secara berturut-turut adalah 5,345 mg/ml; 5,525 mg/ml; dan 5,945 mg/ml.
(a)
waktu hidrolisis mengakibatkan lebih lamanya kontak antara pentosan dengan asam sehingga lebih banyaknya pentosan yang terkonversi menjadi furfural.
(a)
(b)
Gambar 2. Analisis dengan Uji Warna AnilinAsetat (a) sebelum ditetesi; (b) sesudah ditetesi anilin asetat
3.2. Neraca Massa Berdasarkan perhitungan stoikiometri, jumlah furfural yang terkandung dalam 50 gram ampas tebu yaitu sebesar 8942,5 mg. Sedangkan pada penelitian ini jumlah maksimum total furfural yang diperoleh baik dalam destilat maupun dalam produk bawah yakni sebesar 4977,15 mg. Hal ini berarti bahwa sebanyak 55,7% furfural yang terambil dari 50 gram ampas tebu tersebut dan masih ada sekitar 44,3% furfural yang belum terkonversi. Meskipun demikian, metode ini cukup efektif untuk digunakan karena dari data tersebut cukup banyak furfural yang terkonversi dengan konsentrasi furfural yang cukup besar. Konsentrasi furfural dalam distilat jauh lebih besar dibandingkan dalam produk bawah menandakan bahwa pemurnian yang dilakukan secara langsung berjalan cukup baik. 3.3.
(b)
Pengaruh Waktu dan Temperatur Hidrolisis terhadap Perolehan Furfural
Pengaruh waktu dan temperatur hidrolisis terhadap perolehan furfural dapat dilihat dari Gambar 3. Pada gambar diperoleh hubungan antara waktu dan temperatur hidrolisis berbanding lurus dengan konsentrasi furfural yang diperoleh. Distilat meningkat seiring kenaikan suhu operasi distilasi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan temperatur dan waktu hidrolisis maka akan meningkatkan konsentrasi furfural. Waktu hidrolisis berpengaruh terhadap perolehan konsentrasi furfural karena bertambahnya
(c)
Gambar 3. Pengaruh waktu operasi terhadap konsentrasi furfural pada berbagai kondisi temperatur. Konsentrasi katalis (a) 2%; (b) 4%; (c) 6%.
Dari hasil furfural yang didapatkan dengan metode yang digunakan pada penelitian ini, 56
Nita Listiani dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
dapat diamati bahwa konsentrasi katalis memiliki pengaruh yang tidak terlalu besar. Meskipun konsentrasi furfural mengalami kenaikan tetapi kenaikannya tidak terlalu signifikan.
dalam destilat maupun produk bawah. Pada gambar tersebut perolehan maksimum konsentrasi furfural yaitu sebesar 5,945 mg/ml (destilat) dan 4,024 mg/ml (produk bawah) diperoleh pada saat konsentrasi asam asetat yang digunakan yakni 6%.
3.4. Pengaruh Konsentrasi Asam Asetat terhadap Perolehan Furfural
Kenaikan konsentrasi asam asetat mengakibatkan konsentrasi furfural meningkat, karena asam asetat berfungsi sebagai katalis yang akan meningkatkan jumlah pereaksi yang teraktifkan sehingga akan mempercepat laju reaksi.
Percobaan untuk pengaruh konsentrasi katalis asam asetat terhadap konsentrasi furfural dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi katalis asam asetat yaitu pada konsentrasi 2%; 4%; dan 6%. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi katalis asam asetat terhadap konsentrasi furfural maka dapat dilihat dari Gambar 4.
3.5. Respon Variabel menggunakan RSM (Response Surface Methodology) Uji dengan metode RSM dilakukan untuk mengetahui kondisi paling efisien produksi furfural dilihat dari konsentrasi furfural dalam distilat dan produk bawah terhadap variabel temperatur (x1) dan waktu hidrolisis (x2), serta konsentrasi katalis asam asetat (x3) menggunakan Response Surface Methodology (RSM) pada Software Design Expert 7.0.0. RSM membuat hubungan antara variabel dan responnya secara lebih profesional dibanding desain sebelumnya (Ngawong dan Prasertsan, 2011). Data penelitian yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan software Design Expert 7.0.0. Data-data tersebut diolah dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan matematis yang menjelaskan tentang hubungan variabel-variabel tersebut terhadap konsentrasi furfural yang diperoleh. Apabila persamaan matematis ini sesuai dan memenuhi syarat secara statistik maka dapat dijadikan model untuk memprediksi respon (konsentrasi furfural) dari kondisi yang diinginkan.
(a)
Pengujian perlu dilakukan untuk menentukan suatu model, agar model yang dipilih sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Model dinyatakan cocok apabila probabilitas nilai p > F adalah lebih kecil daripada 0,05 nilai R-squared mendekati 1. Hasil pengujian model untuk respon konsentrasi furfural ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2, dimana dapat dilihat bahwa Software Design Expert 7.0.0. menyarankan untuk menggunakan model “Linear vs Mean”. Berdasarkan hasil pengujian-pengujian yang telah dilakukan, dipilih model Linear sebagai model permukaan respon konsentrasi furfural terhadap temperatur dan waktu hidrolisis, serta konsentrasi katalis asam asetat. Model yang dihasilkan adalah bentuk persamaan matematis (Pers. 3).
(b) Gambar 4.
Hubungan Konsentrasi Katalis terhadap Konsentrasi furfural pada temperatur (a) 110oC; (b) 120oC
Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa variasi konsentrasi katalis pada temperatur 110oC cukup berpengaruh terhadap perolehan furfural. Semakin besar konsentrasi katalis yang digunakan, semakin besar pula konsentrasi furfural yang diperoleh baik
Y1=1,90447+0,021931X1+0,1561X2+0,1722X3 (3)
57
Nita Listiani dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Keterangan: Y1 = Konsentrasi Furfural (mg/ml) X1 = Temperatur Hidrolisa (oC) X2 = Waktu Hidrolisa (jam) X3 = Konsentrasi Katalis Asam Asetat (%)
pengaruh untuk perolehan furfural adalah waktu dan temperatur.
Grafik diperoleh dari plot data hasil respon metode RSM (Tabel 3). Konsentrasi furfural cenderung meningkat pada saat temperatur dan waktu hidrolisa yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Hal ini karena gerakangerakan molekul menjadi lebih cepat dengan bertambahnya suhu reaksi. Semakin lama waktu reaksi maka hasil yang diperoleh akan bertambah besar karena pentosan yang berkontak dengan asam lebih lama dalam proses steam stripping ini.
Model yang dihasilkan cukup akurat untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya dari proses yang terjadi, seperti yang terlihat pada Gambar 5. Gambar 5 memperlihatkan bahwa respon konsentrasi furfural tertinggi dari model yang diperoleh berada pada temperatur dan waktu hidrolisis 120oC selama 3 jam pada konsentrasi katalis asam asetat sebesar 6% yaitu 6,038 mg/ml. Sedangkan variabel yang paling ber-
Tabel 1. Uji Sum of Squared untuk Respon Konsentrasi Furfural
Source Mean vs Total Linear vs Mean 2FI vs Linear Quadratic vs 2FI Cubic vs Quadratic Residual Total
Sum of Squared 427,21 1,14 0,12 0,058 0,028 0,0049 738,20
df 1 3 3 2 4 2 15
Mean Square 427,21 0,38 0,039 0,029 0,00691 0,00246 28,57
F Value
p-Value Prob>F
20,20 3,42 5,36 2,81
<0,0001 0,0728 0,0461 0,2793
Suggested Aliased Aliased
Tabel 2. Uji R-Squared untuk Respon Konsentrasi Furfural
Source
Std Dev.
R-Squared
Linear
0,076
0,8797
Adjusted RSquare 0,8715
Predicted RSquare
PRESS
0,8516
0,31
Suggested
Gambar 5. Grafik respon konsentrasi furfural terhadap temperatur dan waktu hidrolisis serta konsentrasi katalis asam asetat (plot 3D)
58
Nita Listiani dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Tabel 3. Hasil Respon Metode RSM No
X1
X2
X3
Konsentrasi Furfural(mg/ml)
No
X1
X2
X3
Konsentrasi Furfural(mg/ml)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
120,00 119,84 119,72 119,61 120,00 119,48 119,13 120,00 119,07 119,02 118,94
3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 2,97 3,00 3,00 3,00
6,00 6,00 6,00 6,00 5,99 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00
6,038 6,034 6,032 6,029 6,035 6,026 6,019 6,033 6,017 6,016 6,015
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
118,52 118,16 117,88 118,23 116,52 116,43 116,26 116,16 115,63 115,17 120,00
3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 2,14
6,00 6,00 6,00 5,96 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00
6,005 5,997 5,991 5,991 5,961 5,959 5,956 5,953 5,942 5,932 5,903
Tabel 4. Perbandingan Hasil Penelitian Terdahulu dengan Hasil Penelitian ini Kondisi Operasi No.
3
Metode
Perolehan Furfural
Asam Asetat 2%
Hidrolisis
7,75 mg/ml
2 jam
Asam Asetat 9%
Hidrolisis
4,10 mg/ml
3 Jam
Asam Asetat 6%
Steam Stripping
5,95 mg/ml
Penelitian
Suhu Hidrolisis
Waktu Hidrolisis
Katalis
1
Febrian (2015)
160 oC
1 Jam
2
Rossa (2015)
103oC
Hasil Penelitian ini
120oC
3.6. Perbandingan Hasil Penelitian
satu tahap, sehingga kemungkinan furfural untuk terdegradasi atau bereaksi dengan senyawa lain sangat kecil.
Pada penelitian ini, hasil maksimum perolehan furfural tertinggi adalah pada temperatur 110oC dan waktu hidrolisis 3 jam dengan konsentrasi katalis asam asetat sebesar 6%, yaitu sebesar 59,452 mg dalam 10 ml destilat dan konsentrasi furfural dalam produk bawah sebesar 4,024 mg/ml. Destilat yang diperoleh dalam proses steam stripping adalah sebanyak 58 ml dengan bahan baku berupa ampas tebu sebanyak 50 gram. Jika dianggap bahwa setiap 5 gram bagas tebu kering mengandung 24,5% pentosan maka terdapat 1,225 mg pentosan dalam bahan baku (Febriani dan Dewi, 2015). Sehingga, untuk bahan baku yang digunakan sebagai sampel sebanyak 50 gram mengandung sebanyak 12,250 mg pentosan. Perbandingan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 4.
5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa metode steam stripping cukup baik untuk digunakan karena hasil perolehan furfural dengan metode ini cukup besar. Kondisi optimum yang diperoleh yaitu pada waktu 3 jam, temperatur hidrolisis 120oC, dan konsentrasi katalis 6%, dengan konsentrasi furfural 6,038 mg/ml dan variabel yang paling berpengaruh untuk perolehan furfural adalah waktu dan temperatur. Daftar Pustaka Agirrezabal, I. Telleria I., Gandarias, P. L. Arias (2013) Production of furfural from pentosan-rich biomass: Analysis of process parameters during simultaneous furfural stripping, Bioresource Technology 143, 258 – 264.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan temperatur yang relatif lebih kecil dibandingkan penelitian terdahulu diperoleh hasil furfural yang cukup besar (Tabel 4). Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode steam stripping ini baik untuk digunakan dalam memproduksi furfural. Selain itu, proses steam stripping lebih efektif karena proses pemisahan langsung terjadi dalam
Andaka, G. (2011) Hidrolisis ampas tebu menjadi furfural dengan katalisator asam sulfat, Jurnal Teknologi, 4(2), 180 – 188.
59
Nita Listiani dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Buijtnen, V. J., Jean, P. L., Leticia, E. A., Wouter, S., Rob, F.P., Rene, J.H. (2013) Furfural production by acidic steam stripping of lignocellulose, Chemsuschem, 6, 2132 – 2136.
Lopez, F., García, M. T., Feria, M. J., García, J.C., de Diego, C.M., Zamudio, M.A.M., Díaz, M. J. (2014) Optimization of furfural production by acid hydrolysis of eucalyptus globulus in two stages, Chemical Engineering Journal, 240, 195 – 201.
Dunlop, A. P. (1948) Furfural formation and behavior, Industrial Engineering Chemistry, 40, 204 – 209.
Ngawong, W. R., Prasertsan, P. (2011) Optimization of furfural production from hemicellulose extracted from delignified palm pressed fiber using a two-stage process, Carbohydrate Reasearch Elsevier, 346, 103 – 110.
Febriani, S., Dewi, A. I. (2015) Optimasi produksi furfural dari hidrolisis bagas tebu dengan katalis asam asetat, Seminar Nasional Sains & Teknologi VI, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Lampung, Lampung.
Rong, C., Xuefeng, D., Yanchao, Z., Ying, L, Lili, W., Yuning, Q., Xiaoyu, M., Zichen, W. (2012) Production of furfural from xylose at atmospheric pressure by dilute sulfuric acid and inorganic salts, Carbohydrate Research, 350, 77 – 80.
Herbert, F. L., William, K. W. (1939) Determination of pentosans in pulps and papers, Journal of Research of The National Bureau of Standards, 22, 471 – 484.
Rossa, N.T., Dewi, A. I., Suripto, D.Y. (2015) Sintesis furfural dari bagas tebu via reaksi hidrolisa dengan menggunakan katalis asam asetat pada kondisi atmosferik, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan,10(4), 157 – 164.
Hidajati, N. (2006) Pengolahan tongkol jagung sebagai bahan pembuatan furfural, Jurnal Ilmu Dasar, 8, 48. Iryani, D.A. (2007) Penentuan kondisi optimum reaksi hidrolisis baggase (ampas tebu) menjadi furfural, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Lampung, Lampung.
Susanto, H., Suharto (2006) Pengaruh konsentrasi katalis terhadap perolehan furfural pada hidrolisis tongkol jagung, Seminar Nasional IPTEK Solusi Kemandirian Bangsa, Yogyakarta. Suxia, R., Xu, H., Zhu, J., L,i S., He, X., Lei, T. (2012) Furfural production from rice husk using sulfuric acid and a solid acid catalyst through a two-stage, Process Carbohydrate Research, 359, 1 – 6.
Iryani, D. A., Kumagai, S., Nonaka, M., Sasaki, K., Hirajima, T. (2014) The hot compressed water treatment of solid waste material from the sugar industry for valuable chemical production, International Journal of Green Energy, 11(6), 577 – 588.
Uppal, S. K., Kaur, Ramandeep (2011) Hemmicellulosic furfural production from sugarcane bagasse using different acids, Sugar Tech, 13(2), 166 – 169.
60
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2, Hlm. 61-71, Desember 2016 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v11i2.4950
Metode-Metode Pengurangan Residu Pestisida pada Hasil Pertanian Methods of Pesticide Residue Reduction on Agriculture Products Bayu Refindra Fitriadi1*, Ayutia Ciptaningtyas Putri1 1
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya Jl. Raya Mojoagung No. 52 Mojoagung Jombang Jawa Timur *E-mail:
[email protected] Abstrak
Penggunaan pestisida yang luas pada setiap tahap tanaman di Indonesia menyebabkan banyak residu pestisida yang tertinggal pada hasil pertanian maupun pada lingkungan pertanian. Residu pestisida yang terdapat pada hasil pertanian mempunyai dampak yang buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Berbagai macam metode telah dikembangkan untuk mengurangi residu pestisida yang terdapat pada hasil pertanian, baik pada tahap prapanen maupun pada tahap pasca panen. Metode prapanen meliputi penggunaan Agen Pengendali Hayati dan sistem pertanian Pengendalian Hama Terpadu, penggunaan pestisida non persisten, pengaturan waktu aplikasi pestisida, dan penggunaan arang aktif. Sedangkan metode pasca panen meliputi pencucian hasil pertanian, penggunaan ozon dan air terozonisasi, perendaman air panas, penggunaan radiasi ultrasonik dan pengaturan pH. Metode prapanen maupun pasca panen sama baiknya dalam menurunkan kadar residu pestisida pada hasil pertanian dengan memberikan hasil signifikan pengurangan residu pestisida antara 50 - 100%. Kata kunci: hasil pertanian, pasca panen, pestisida, pengurangan residu pestisida, prapanen Abstract A broadly pesticide use on every planting steps in Indonesia causes many pesticide residues left on both the agriculture products and the agriculture areas. The residues existed on the agriculture products have bad effects on human health and environment. Several methods to reduce pesticide residues have been discovered, either on pre-harvest step or on post-harvest step. The pre-harvest method includes the use of Biologic Controlling Agents and Integrated Pest Management agriculture system, the use of non-persistent pesticides, adjustment of pesticide application time, and the use of active carbon. On the other hand, the post-harvest method includes agriculture product washing, the use of ozone and ozonized water, hot water submersion, the use of ultrasonic radiation, and pH adjustment. Both pre-harvest and postharvest methods have great influence on reducing pesticide residues on agriculture product up to 50 - 100%. Keywords: agriculture products, pesticide, pesticide residue reduction, pre-harvest, postharvest
1. Pendahuluan
budidaya kakaonya (Wiryadiputra, 2013). Pengalaman di Amerika Latin menunjukkan bahwa dengan menggunakan pestisida dapat meningkatkan hasil hingga 40% pada tanaman kakao. Penggunan pestisida oleh petani di Pakistan dapat menaikkan hasil 33% pada tanaman tebu. Berdasarkan catatan dari FAO penggunaan pestisida dapat menyelamatkan hasil 50% pada tanaman kapas (Kristianingrum, 2009). Aplikasi pestisida di pertanian dan perkebunan di Indonesia terjadi dari awal hingga akhir siklus tanam, mulai dari pengolahan tanah, penyiapan lahan, pemeliharaan tanaman, saat pemanenan bahkan hingga pasca panen. Hal ini
Penggunaan pestisida di Indonesia dewasa ini sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Penggunan pestisida kimia merupakan sarana pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang paling banyak digunakan oleh petani di Indonesia (95,29%) karena dianggap efektif, mudah digunakan dan secara ekonomi menguntungkan (Balingtan, 2013). Hasil penelitian survei pestisida pada kakao yang dilaksanakan pada tahun 2011 di semua sentra produksi kakao di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas (95%) petani kakao di Indonesia menggunakan pestisida dalam 61
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
didukung dengan data dari Kementerian Pertanian, sampai tahun 2016, pestisida yang terdaftar dan diijinkan di Indonesia telah mencapai 3.207 merk pestisida (Ditjen PSP, 2016).
kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, sistem imunitas, dan sistem reproduksi (Badrudin dan Jazilah, 2013). Dampak residu pestisida yang sangat signifikan terhadap kesehatan manusia tersebut masih dianggap biasa oleh sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini berdasarkan survei mengenai pengetahuan residu pestisida pada masyarakat petani dan konsumen yang dilakukan oleh Wibowo (2005), mayoritas responden (80%) mengetahui tentang residu pestisida. Meski demikian, hanya 23,33% responden menyatakan residu pestisida berdampak langsung pada kesehatan dan 56,67% responden mengatakan dampak buruk mengkonsumsi buah tomat yang mengandung residu pestisida akan bersifat jangka panjang.
Selain manfaat dari pestisida dalam meningkatkan hasil pertanian, pestisida merupakan bahan kimia yang bersifat bioaktif dan merupakan racun. Setiap racunnya mengandung bahaya dalam penggunaannya, baik terhadap lingkungan maupun manusia. Menurut Yuantari (2009), penggunaan pestisida yang tidak terkendali akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan. Penggunaan pestisida yang dipengaruhi oleh daya racun, volume dan tingkat pemajanan / pemaparan secara signifikan mempengaruhi dampak terhadap kesehatan. Selain itu, dampak penggunaan pestisida pada tanaman juga akan meninggalkan residu pada tanaman tersebut dan pada tanah serta lingkungan disekitarnya. Apabila residu pada tanaman ini termakan oleh manusia akan berdampak buruk pada kesehatan dikemudian hari, dan apabila residu pestisida ini terakumulasi di dalam tanah juga akan berpengaruh pada kehidupan organisme dalam tanah dan pada tanaman yang ditanam dalam tanah tersebut.
Untuk mengatasi menumpuknya residu pestisida pada hasil pertanian, telah dilakukan berbagai usaha baik pada tahap prapanen maupun pada tahap pasca panen. Pada saat prapanen, metode yang dilakukan diantaranya adalah penggunaan APH untuk memberantas hama dan melaksanakan sistem PHT (Wibowo, 2005), penggunaan pestisida non persisten, penyemprotan pestisida yang dilakukan jauh hari dari waktu pemanenan juga berpengaruh pada tingkat residu pestisida (Atmawidjaja dkk., 2004) serta penggunaan arang aktif.
Suatu penelitian terhadap 315 sampel produk pertanian dilaporkan bahwa residu pestisida ditemukan pada 47% sampel produk segar dan 7% sampel makanan olahan. Selain itu, pada tahun 1998 juga dilakukan pengujian residu pestisida. Dari total 180 sampel sayuran yang diuji, 89% adalah produk segar dan 11% merupakan produk olahan. Dari hasil pengujian, residu pestisida ditemukan pada 35% dari sampel produk segar dan 10% dari sampel sayuran olahan (Ahmed dkk., 2011). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih banyak residu pestisida yang tertinggal dalam tanaman yang diaplikasi dengan pestisida.
Metode pengurangan residu pestisida pasca panen dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik, diantaranya dengan pencucian terhadap hasil pertanian (Chavarri dkk., 2005), penggunaan ozon dan air terozonisasi (Wu dkk., 2007), pencucian dan perendaman pada air panas, penggunaan radiasi ultrasonik yang dikombinasi dengan paparan ozon (Whangchai dkk., 2013) serta pengaturan pH. Dengan berbagai metode di atas, apabila diaplikasikan pada hasil pertanian di Indonesia diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam mengurangi residu pestisida yang terdapat pada hasil pertanian.
Residu pestisida yang terkandung dalam tanaman apabila dikonsumsi manusia akan menimbulkan berbagai dampak buruk bagi manusia. Pada tingkat ekstrim, residu pestisida dapat menyebabkan kematian. Sedang pada kadar dibawahnya, residu pestisida ini menyebabkan sakit perut dan muntah. Gejala keracunan akut pada manusia akibat konsumsi residu pestisida adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan, perut mual, dan muntah. Efek keracunan kronis yang terjadi pada manusia akibat konsumsi residu pestisida adalah
2.
Metode-Metode untuk Residu Pestisida
Mengurangi
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak usaha yang dilakukan manusia untuk meminimalisir efek dari pestisida terhadap manusia maupun lingkungannya. Penggunaan pestisida sekarang ini yang sangat masif di lahan pertanian sangat berdampak pada hasil pertanian di Indonesia. Peng62
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
gunan pestisida kimia merupakan sarana pengendalian OPT yang paling banyak digunakan oleh petani di Indonesia (95,29%) karena dianggap efektif, mudah digunakan dan secara ekonomi menguntungkan. Bahkan ada petani yang menyemprot pestisida dalam satu musim tanam sebanyak lebih dari 25 kali. Penggunaan pestisida yang demikian dipastikan dapat mencemari lingkungan dan pada gilirannya dapat meninggalkan residu pestisida pada produk pertanian. Di lingkungan, residu pestisida dapat mematikan makro dan mikro organisme serta merusak keseim-bangan alam (Balingtan, 2013).
Tabel
No
1.
Usaha mengurangi residu pestisida pada hasil pertanian dilakukan melalui banyak cara dan metode dengan satu tujuan yang sama yaitu memastikan hasil pertanian yang dikonsumsi oleh manusia terbebas dari residu pestisida. Usaha ini sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia maupun internasional karena bagaimanapun juga, masalah residu pestisida sudah menjadi perhatian dunia. Usaha dalam mengurangi residu pestisida dilakukan pada berbagai tahapan tanam, yang secara umum terbagi menjadi dua bagian yaitu perlakuan prapanen dan perlakuan pasca panen.
1.
Perbandingan metode pengurangan residu pestisida pada hasil pertanian
Jenis Metode
Kelebihan
Metode Prapanen Penggunaan Ramah APH dan PHT lingkungan
Kekurangan Daya bunuh hama lama ada pestisida non persisten tidak efektif membunuh hama
2.
Penggunaan pestisida non persisten
Tidak meninggal kan residu pestisida
3.
Pengaturan waktu aplikasi penyemprotan pestisida
Residu pestisida sedikit
Ada sebagian hama yang tidak mati
4.
Pengunaan arang aktif
Signifikan menurunkan residu pestisida
Aplikasi sulit
Metode Pasca Panen 1.
2.
3.
Penghilangan residu pestisida yang terdapat pada hasil pertanian tergantung pada berbagai faktor, seperti sifat kimia pestisida itu sendiri, sifat dari komoditas pangan yang diaplikasi pestisida, langkah pengolahan dari awal tanam sampai panen dan lamanya waktu senyawa pestisida melakukan kontak dengan hasil pertanian (Chavarri dkk., 2005). Pengaruh penghilangan residu pestisida dari hasil pertanian juga dipengaruhi oleh penyerapan, translokasi dan tingkat peluruhan pestisida itu sendiri. Selain itu, proses yang terjadi di lapang seperti penguapan, hidrolisa dan sebagainya juga berpengaruh terhadap residu pestisida yang terkandung pada hasil pertanian. Perlakuan pengolahan saat melakukan penanaman juga sering berpengaruh terhadap kadar residu pestisida, akan tetapi hal itu tidak selalu berhubungan dengan sifat fisika-kimia pestisida itu sendiri (Bonnechère dkk., 2012). Dengan demikian, sebenarnya pestisida yang terkandung dalam sayuran atau buah-buahan atau hasil perkebunan lainnya sudah hilang sebagian akibat dari proses alam yang terjadi. Meskipun demikian ada beberapa jenis pestisida yang sukar hilang dari hasil pertanian akibat dari sifat fisiko kimia dari pestisida tersebut. Oleh karena itu, teknik-teknik atau metode untuk mengurangi residu pestisida masih tetap diperlukan.
4.
5.
Beberapa Mudah pestisida tidak dan murah larut dalam pencucian Signifikan Penggunaan menurun- Aplikasi sulit ozon kan residu dan mahal pestisida Mudah, Air panas Perendaman relatif merusak hasil pada air panas murah pertanian Signifikan Penggunaan menurun- Aplikasi sulit radiasi kan residu dan mahal ultrasonik pestisida Signifikan menurun- Aplikasi sulit Pengaturan pH kan residu dan mahal pestisida Pencucian
2.1. Metode Perlakuan Prapanen 2.1.1. Penggunaan APH dan Sistem PHT Agen Pengendali Hayati atau APH merupakan salah satu jenis pengendali hama yang dipersyaratkan dalam sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Sistem PHT ini sebenarnya sudah diundangkan melalui UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman, yaitu pada Bab VI pasal 20 ayat 1 bahwa perlindungan tanaman dilakukan dengan sistem PHT. APH digunakan sebagai pengganti pestisida sintetik untuk memberantas hama tanaman. APH merupakan spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu. Contoh dari APH adalah Trichoderma sp, Bacillus sp, Coryne-bacterium sp, Pseudomonas sp, Trico-gramma sp, Bacillus 63
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
turingiensis, Beauveria bassiana, dan Metarizium sp. (Sunarno, 2012). Dengan penggunaan APH dalam sistem PHT ini, hama dan penyakit pada tanaman bisa hilang dan tidak meninggalkan residu pestisida pada hasil tanaman. Dalam suatu penelitian, Wibowo (2005) memban-dingkan kadar residu pestisida pada buah tomat yang menggunakan sistem PHT dalam sistem tanamnya dengan buah tomat yang tidak menggunakan sistem PHT di Kabupaten Bandung. Hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 2.
sehingga pestisida persisten akan berpotensi terdistribusi meluas dan jauh dari titik aplikasi melalui udara, air, dan terakumulasi dalam lingkungan terestrial dan perairan (Hadi dkk., 2009). Menurut Vargas (1975), pestisida yang tergolong persisten terhadap lingkungan diantaranya: 1. Insektisida: DDT, Aldrin, Dieldrin, Klordan 2. Herbisida: Simazin, Turbacil, Tordon 3. Fungisida: PMAS, Caloclor, Kadmium Sedangkan pestisida yang tergolong dalam pestisida yang non persisten diantaranya: 1. Insektisida: Metoksiklor, Sevin (Karbaril), Malation, Lindan 2. Herbisida: Paraquat, Dalapon, Daktal 3. Fungisida: Benlat, Mancozeb, Zineb
Tabel 2. Perbandingan kadar residu pestisida pada tomat dengan sistem PHT dan tanpa sistem PHT (Wibowo, 2005). No 1. 2. 3. 4.
Jenis Pestisida Profenofos Mankozeb Profenofos Mankozeb
Lokasi Lembang Lembang Pangalengan Pangalengan
Kadar (mg/kg) PHT Non-PHT 0,159
0,334
0,032
0,067
0,429
0,903
0,031
0,064
Meskipun pestisida persisten memiliki efek yang lama terhadap hama tanaman, akan tetapi pestisida persisten juga menimbulkan efek yang kebal terhadap hama tanaman. Lalat yang kebal terhadap DDT dan kumbang jepang yang kebal terhadap klordan adalah dua contoh resistensi hama terhadap pestisida persisten. Pestisida yang tidak persisten dapat diurai di alam menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya (terjadi detoksifikasi). Penguraian ini dapat berlangsung secara kimiawi (fotolisis) atau secara biologis oleh tanaman atau mikroorganisme. Efek residu pestisida yang tidak persisten hanya dapat bertahan beberapa hari hingga beberapa bulan saja. Pestisida modern seperti organofosfat, karbamat, dan piretroid, pada umumnya tidak lagi bersifat persisten (Wardojo, 1978).
Dari Tabel 2 terlihat bahwa lahan pertanian yang menggunakan APH pada sistem PHT dapat menurunkan kadar residu pestisida pada buah tomat. Dengan demikian, sistem pertanian PHT dapat direkomendasikan untuk menurunkan kadar residu pestisida pada hasil pertanian. Hal ini tentu harus didukung oleh pengetahuan yang cukup tentang PHT dan sosialisasi yang baik mengenai PHT kepada petani dan masyarakat pada umumnya. 2.1.2.
Penggunaan Persisten
Pestisida
Non
Keadaan iklim tropis di Indonesia juga menyebabkan cepatnya sisa-sisa tumbuhan dan hewan terdekomposisi sehingga terdapat kandungan bahan organik yang tinggi di atas permukaan tanah, terutama di lahan pertanian yang landai. Residu pestisida akan terserap pada partikel bahan organik, berakibat persistensi yang lebih mantap (Achmadi, 2003). Dengan demikian, metode pemilihan penggunaan pestisida non persisten akan menurunkan kadar residu pestisida yang ada pada hasil pertanian.
Salah satu penyebab menumpuknya residu pestisida pada hasil pertanian dan lingkungan adalah penggunaan pestisida yang persisten atau sukar terurai oleh lingkungan. Pestisida yang persisten dapat bertahan pada lingkungan dalam waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun sehingga dampaknya terhadap lingkungan dan tanaman akan terakumulasi pada lingkungan dan tanaman. Salah satu contohnya adalah DDT atau (1,1,1-trikloro2,2-bis(4-klorofenil) etana yang pada daerah iklim sedang, waktu yang diperlukan DDT untuk terdegradasi 95% dari lingkungan mencapai 4 - 30 tahun. Beberapa pestisida golongan organoklorin juga memiliki persistensi yang tinggi di lingkungan, karena resistensinya terhadap degradasi kimia dan mikrobial, dan bersifat lipofilik serta beberapa jenis lain bersifat semi volatil
2.1.3.
Pengaturan Pestisida
Waktu
Aplikasi
Salah satu faktor penyebab tingginya kadar residu pestisida pada hasil pertanian adalah aplikasi pestisida yang lebih dari satu kali dalam satu masa tanam. Selain itu, penyemprotan pestisida yang mendekati waktu panen juga menjadi penyebab tingginya kadar residu pada hasil pertanian. 64
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Hal ini dikarenakan semakin dekat waktu aplikasi pestisida terhadap waktu panen menjadikan pestisida yang menempel pada hasil pertanian masih banyak dan belum sepenuhnya hilang dari tanaman. Penelitian Atmawidjaja dkk. (2004) terhadap kadar residu pestisida pada tomat dengan perbedaan waktu aplikasi menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan. Hal ini tersaji pada Tabel 3. Terlihat bahwa penurunan kadar residu pestisida metidation berbanding lurus dengan waktu aplikasi penyemprotan dilakukan. Tabel 3.
Jenis Perlakuan
1.
Tanpa penyemprotan 2 hari setelah penyemprotan 6 hari setelah penyemprotan
3.
Metode lain yang dapat diaplikasikan pada masa prapanen untuk meminimalisir residu pestisida adalah dengan menggunakan arang aktif. Arang aktif dapat dibuat dari limbah pertanian yang melimpah yaitu sekam padi atau tempurung kelapa, atau limbah pertanian lainnya. Yaitu melalui proses pemanasan 500oC selama 5 jam dan aktivasi pada tungku listrik dengan suhu 900ºC selama 60 menit. Rongga arang aktif sangat disukai oleh mikroba (bakteri tanah pendegradasi dan bakteri pengikat nitrogen) sebagai tempat tinggal, sehingga populasi mikroba tersebut menjadi meningkat dikarenakan di dalam rongga arang aktif terdapat nutrien C dan N yang berasal dari residu pestisida. Apabila residu pestisida masuk atau terperangkap di dalam rongga arang aktif, maka residu pestisida tersebut akan didegradasi oleh mikroba pendegradasi sehingga residu pestisida akan terurai.
Data Kadar residu metidation pada tomat (Atmawidjaja dkk., 2004).
No
2.
2.1.4. Penggunaan Arang Aktif
Kadar residu pestisida Tidak terdeteksi 0,86 mg/kg 0,11 mg/kg
Aplikasi arang aktif di tanah dapat menurunkan residu pestisida organoklorin (lindan, aldrin, dieldrin, DDT, endosulfan dan heptaklor), organofosfat (klorpirifos, diazinon) dan karbamat (karbofuran) dengan kisaran 70 - 90%. Arang aktif yang berasal dari sekam padi dan tempurung kelapa memiliki daya serap yang tinggi (yang diekspresikan dengan angka lod) terhadap residu pestisida masing-masing sebesar 460,4 dan 1191,8 mg/g. Selain diaplikasikan langsung ke tanah, arang aktif juga dapat diformulasikan dengan pupuk urea sebagai pelapis (coating). Arang aktif sebagai pelapis urea selain dapat meningkatkan efisiensi nitrogen dari pupuk urea juga dapat berfungsi sebagai rumah dan sumber karbon bagi mikroba pendegradasi pestisida, sehingga pestisida yang berada dalam tanah dapat terurai atau terdegradasi (Balingtan, 2013).
Penelitian lain pengaruh waktu aplikasi pestisida terhadap kadar residu pestisida di tanah pertanian juga pernah dilakukan oleh Sodiq (2000). Dalam penelitian ini diteliti kadar dua jenis herbisida yaitu 2,4D dan paraquat pada tanah pertanian terhadap waktu aplikasi. Hasil penelitian yang diperoleh diperlihatkan pada Tabel 4. Untuk residu pestisida 2,4D dan paraquat mengalami penurunan kadar seiring ber-jalannya waktu. Walaupun penurunannya tidak seperti 2,4D, akan tetapi, secara umum dapat disimpulkan semakin lama waktu aplikasi akan semakin berkurang residu pestisida di hasil pertanian maupun tanah. Apabila hal ini diterapkan pada waktu panen, maka penyemprotan pestisida harus dilakukan jauh hari dari masa panen untuk memastikan kadar residu pestisida yang tertinggal pada hasil pertanian makin sedikit atau bahkan hilang.
2.2. Metode Perlakuan Pasca Panen
Tabel 4. Kadar residu herbisida dalam tanah (Sodiq, 2000)
2.2.1. Pencucian Hasil Pertanian
Hari Kadar residu pestisida (mg/kg) setelah 2,4D Paraquat aplikasi 1. 2 2,40 11,70 2. 4 1,02 36,90 3. 8 2,67 42,16 4. 14 0,60 42,14 5. 18 0,45 35,46 6. 24 0,66 47,23 7. 36 0,06 37,82 8. 56 0,10 20,57 9. 85 <0,005 10,73 10. 160 ttd ttd Ket: ttd = tidak terdeteksi
Metode perlakuan pasca panen sudah banyak dilakukan baik oleh petani maupun oleh konsumen selaku pihak yang memanfaatkan hasil pertanian. Salah satu metode paling mudah dan murah serta terbukti efektif dalam mengurangi kadar residu pestisida dalam hasil pertanian adalah dengan cara melakukan pencucian terhadap hasil pertanian tersebut. Berbagai penelitian menunjukkan metode pencucian dengan berbagai teknik dapat menurunkan kadar residu pestisida secara signifikan.
No
65
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Bonnechère dkk. (2012) melakukan penelitian terhadap wortel dengan berbagai sampel pestisida yang diaplikasi. Sampel pestisida yang digunakan adalah fungisida (boscalid, difenokonazol dan tebukonazol), insektisida (klorpirifos dan dimetoat) dan herbisida (linuron). Pencucian dilakukan dengan mencuci sampel wortel menggunakan air mengalir selama 5 menit sambil digosok permukaan wortelnya kemudian dikering anginkan. Tabel 5.
Perlakuan pencucian yang diikuti dengan pengupasan kulit dan perebusan juga akan berpengaruh terhadap penurunan kadar residu pestisida. Chavarri dkk. (2005) dan Bonnechère dkk. (2012) menyatakan kadar residu pestisida dengan berbagai perlakuan tersebut dapat berkurang antara 50 - 100%. Persentase Hilangnya Pestisida (%) 0 ASEFAT Persik KLORPIRIFOS Tomat Asparagus SIPERMETRIN Asparagus EBDC Tomat Asparagus Bayam THIRAM Persik
Kadar residu herbisida pada wortel (Bonnechère dkk., 2012)
No
Jenis Pestisida
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Boscalid klorpirifos difenokonazol Dimetoat Ometoat Linuron Tebukonazol
Kadar residu pestisida (mg/kg) Sebelum Sesudah pencucian pencucian 0,160 0,036 0,089 0,036 0,380 0,041 0,013 0,008 0,005 0,004 0,026 0,016 0,160 0,050
50
100
150
18 50
83 66 100 100 100
41
Gambar 1. Persentase hilangnya residu pestisida setelah pencucian (Chavarri dkk., 2005)
Dari Tabel 5 terlihat hampir semua residu pestisida yang diaplikasi ke wortel mengalami penurunan kadar setelah perlakuan pencucian pada sampel. Hal ini menunjukkan bahwa pencucian selama 5 menit dalam air mengalir cukup mampu mengurangi residu pestisida pada hasil pertanian.
Perlakuan pencucian yang diikuti dengan pengupasan kulit dan perebusan juga akan berpengaruh terhadap penurunan kadar residu pestisida. Chavarri dkk. (2005) dan Bonnechère dkk. (2012) menyatakan kadar residu pestisida dengan berbagai perlakuan tersebut dapat berkurang antara 50 - 100%. Metode pencucian juga memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap pengurangan residu pestisida yang tertinggal di hasil pertanian. Penelitian Maruli dkk. (2012) terhadap residu pestisida klorpirifos pada kubis menunjukkan bahwa penurunan residu insektisida pada kubis, yaitu dengan dicuci menggunakan air mengalir sebesar 76,36%, direndam menggunakan air sebesar 24,64%, direndam menggunakan air cuka sebesar 35,53%, direndam menggunakan air garam sebesar 65,90%, direndam menggunakan air bikarbonat sebesar 40,97%, direndam menggunakan air jeruk nipis sebesar 46,99%, dan dicuci menggunakan air mengalir dan direbus sebesar 76,93%. Dari ke-7 perlakuan, yang mengalami penurunan jumlah residu insektisida tertinggi adalah dengan dicuci menggunakan air mengalir dan direbus.
Chavarri dkk. (2005) melakukan pengujian terhadap tomat, paprika, asparagus, bayam dan buah persik yang diberi perlakuan dengan tiga jenis insektisida (asefat, klorpirifos, dan sipermetrin), tiga jenis fungisida etilenbisditio karbamat (mancozeb, maneb, propineb) dan fungisida tetrametilditio karbamat (thiram), kemudian dilakukan pencucian pada semua sampel. Pada Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa hampir semua pestisida etilenbisditiokarbamat (EBDC) dapat hilang dari semua sampel tomat, asparagus dan bayam yang diberi perlakuan dengan pencucian biasa. Sedangkan residu klorpirifos dan sipermetrin dapat hilang > 50% dari tomat dan asparagus dengan perlakuan pencucian. Hanya residu pestisida asefat dan thiram pada buah persik yang penurunan kadarnya < 50%. Hal ini dipengaruhi oleh sifat fisiko kimia dari masing-masing pestisida yang digunakan. Beberapa pestisida memiliki sifat yang sukar larut dalam air sehingga pencucian dengan air biasa hanya mengurangi sedikit kadar residu pestisida.
Dalam beberapa kasus, proses perebusan kurang memberikan hasil yang maksimal dalam mengurangi residu pestisida (61 65%), terutama untuk pestisida yang bersifat mudah larut air. Sedangkan metode pencucian menggunakan air garam 2% dapat mengurangi residu pestisida 78 91%. Metode pencucian menggunakan air 66
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
garam 2% dilanjutkan dengan proses perebusan dapat mengurangi residu pestisida hingga 98 - 100%. Metode ini dapat digunakan untuk pestisida yang bersifat larut air maupun sukar larut air (Vemuri dkk., 2015). Proses perebusan bertekanan tinggi pada tomat juga terbukti dapat menurunkan residu pestisida sebanyak 30 93%, tergantung pada jenis pestisida (Vemuri dkk., 2014).
pestisida ini semakin tinggi ketika dilanjutkan dengan proses pengeringan di bawah sinar matahari dengan penurunan mencapai 82% (Sheikh dkk., 2012). Hal ini dibuktikan oleh Himawan (2012) dalam penelitiannya yang melakukan pencucian terhadap buah strawberry menggunakan air dan menggunakan deterjen cair khusus pencuci buah. Hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 2.
Kadar Diazinon (ug/kg)
Pencucian menggunakan air garam 2% juga dilakukan oleh Harinathareddy dkk. (2015) terhadap buah anggur yang disemprot menggunakan dimetoat, profenofos, klorpirifos, malation, fosalon, quinalfos, triazofos, dan λ-sihalotrin. Dengan metode ini dapat mengurangi residu pestisida sebanyak 44 - 79%, lebih baik dibandingkan dengan metode pencucian dengan air kran, air lemon, air asam, dan baking soda.
5591
6000
5000 4000 3000 2000
Petani
2462 1625
Pasar
622
1000
0 0
0 Tanpa pencucian
Dengan air
Dengan Deterjen buah Perlakuan Buah Strawberry
Dalam beberapa kasus, terutama pada komoditi buah, pencucian menggunakan deterjen cair khusus pencuci buah dan sayur memberikan hasil yang lebih signifikan. Pencucian menggunakan deterjen ini signifykan dalam menurunkan kadar residu pestisida pada selada. Kadar residu pestisida profenofos pada selada tidak dicuci mencapai 0,204 ppm, sedangkan selada yang dicuci dengan air kadarnya 0,080 ppm, dan selada yang dicuci dengan deterjen pencuci sayuran kadarnya menjadi 0,061 ppm. Hal ini berarti terjadi penurunan kadar residu pestisida profenofos sebesar 70,1% (Alen dkk., 2015).
Gambar 2. Penurunan kadar residu diazinon (Himawan, 2012)
Kadar residu diazinon buah strawberry dari petani dan pasar mengalami penurunan sebesar 70,93% dan 74,73% setelah dicuci dengan air. Bila dicuci dengan deterjen cair larutan pencuci buah, residu diazinon turun sebesar 100% (Gambar 2). Adanya penurunan kadar setelah mendapat perlakuan disebabkan oleh sifat pestisida golongan organofosfat yang mudah terurai, tetapi jumlahnya tetap dipengaruhi oleh dosis yang dipergunakan dan tenggang waktu antara pemakaian pestisida dengan waktu panen (Himawan, 2012). Pencucian dengan deterjen menjadi penting dan sangat berpengaruh terhadap hilangnya residu pestisida pada hasil pertanian terutama terhadap pestisida yang bersifat lipofilik.
Pencucian menggunakan deterjen untuk buah dan sayuran juga terbukti efektif untuk mengurangi residu pestisida yang masih menempel pada hasil pertanian. Atmawidjaja dkk. (2004) membuktikan hal ini dengan mencuci buah tomat menggunakan deterjen untuk buah dan sayuran. Setelah dianalisis ternyata terjadi penurunan kadar residu pestisida metidation dari 0,86 mg/kg sebelum pencucian menjadi 0,07 mg/kg setelah pencucian atau terjadi penurunan kadar residu sebesar 92%. Selain itu, penggunaan deterjen untuk buah dan sayuran terbukti efektif untuk menurunkan residu pestisida klorpirifos dan klorotalonil pada tomat sebesar 40 - 80%. Pencucian dengan deterjen ini yang dilanjutkan dengan penambahan 10% asam asetat dan peningkatan suhu air pencucian 40ºC akan meningkatkan penurunan residu pestisida hingga 100% (Wang dkk., 2013). Pencucian menggunakan deterjen untuk buah dan sayuran juga dapat mengurangi residu pestisida bifentrin pada okra dengan penurunan sebanyak 25%. Penurunan residu
Menurut Cheowtirakul dan Linh (2010), efek penurunan residu pestisida dari pencucian menggunakan surfaktan akan meningkat apabila ditambahkan dengan larutan KMnO4 0,01N dengan perbandingan volume 1:1. Penurunan residu pestisida sipermetrin pada lettuce menggunakan surfaktan 20 ppm sebanyak 82%. Apabila disinergikan pencucian menggunakan larutan KMnO4 0,01N dengan surfaktan (1:1), penurunan residu pestisida sipermetrin mencapai 98,5%. 2.2.2. Penggunaan Ozon Ozon (O3) merupakan senyawa alam yang ada di atmosfer bumi dan salah satu 67
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
senyawa potensial dalam membunuh mikroorganisme dalam spektrum yang luas. O3 dapat dibuat dari reaksi udara atau oksigen menggunakan tenaga listrik tegangan tinggi atau menggunakan radiasi sinar ultra violet (Tamaki dan Ikeura, 2012). Sebagai tambahan, O3 dapat berubah menjadi oksigen dengan reaksi autolisis sehingga tidak berbahaya bagi sayuran dan buah-buahan. Oleh karena itu, O3 cocok digunakan untuk menghilangkan residu pestisida dari sayuran dan buah sekaligus menghilangkan mikroba (Tamaki and Ikeura, 2012). Apabila ozon tersebut dipadukan dengan air untuk mencuci hasil pertanian akan menghasilkan penurunan kadar residu pestisida yang lebih signifikan. Gas ozon dialirkan ke dalam air kemudian air tersebut digunakan untuk mencuci hasil pertanian. Kemampuan air terozonisasi ini dalam mendegradasi beberapa pestisida juga dibuktikan oleh Wu dkk. (2007) seperti yang dijelaskan pada Gambar 3.
Degradasi (%)
120
Diazinon
Metil Paration
Paration
Sipermetrin
meningkatkan penurunan kadar residu pestisida pada sayuran tersebut. Air yang mengandung ozon 3 mg/L dapat digunakan untuk mencuci tomat dan perendaman selama 20 menit, juga efektif menurunkan residu mankozeb sebanyak 60% (Cengiz dan Certel, 2014). Tabel 6. Kadar residu pestisida pada sayuran (Wu dkk., 2007) Jenis Pestisida
Kadar Residu Awal (µg/kg)
Diazinon
624
Metil paration
617
Paration
777
Sipermetrin
777
Waktu Kontak (menit)
Kadar residu setelah Aplikasi (µg/kg)
Penurunan Kadar Residu (%)
15
346
44,5
30
290
53,4
15
441
28,6
30
322
47,9
15
541
30,4
30
348
55,3
15
361
54,5
30
302
61,1
2.2.3. Perendaman Air Panas
100 80
Air panas dapat digunakan dalam upaya menurunkan kadar residu pestisida pada tanaman. Hal ini dikarenakan beberapa pestisida memiliki sensitivitas terhadap air panas. Keberadaan air panas akan menyebabkan beberapa pestisida akan terdegradasi sehingga keberadaan pestisida tersebut dalam hasil pertanian akan berkurang atau hilang. Miskiyah dan Munarso (2009) menyatakan residu pestisida pada sayuran menurun secara nyata melalui pencucian dengan air mendidih, di mana > 80% residu pestisida dapat direduksi melalui pencelupan dalam air panas.
60 40 20 0 0
5 10 Waktu (menit)
15
Gambar 3. Degradasi pestisida menggunakan air terozonisasi (Wu dkk., 2007)
Dari Gambar 3 dapat dijelaskan bahwa pestisida parathion dapat terdegradasi oleh air terozonisasi 100% dalam waktu 15 menit. Sedangkan pestisida lainnya seperti diazinon, metilparation, dan sipermetin dalam 15 menit dapat terdegradasi > 60%. Air terozonisasi dapat diaplikasikan terhadap hasil pertanian untuk menurunkan tingkat residu pestisida. Wu dkk. (2007) melakukan penelitian ini terhadap empat pestisida yang telah diaplikasikan dalam hasil pertanian. Sayuran yang telah diaplikasi dengan pestisida tersebut dicuci menggunakan air terozonisasi pada suhu 24ºC. Hasil penelitian tersaji pada Tabel 6.
Perendaman dengan air panas pada tomat yang disemprot dengan pestisida metidation juga terbukti menurunkan kadar residu pestisida dari 0,86 mg/kg menjadi 0,15 mg/kg (Atmawidjaja dkk., 2004). Hal ini berarti telah terjadi penurunan kadar residu pestisida sebesar 83% akibat adanya perendaman dengan air panas. Penelitian oleh Satpathy dkk., (2012) menyebutkan, perendaman dalam air panas dan perebusan efektif dalam mengurangi residu pestisida golongan organofosfor (malation, fenitrotion, formotion, paration, metil paration dan klorpirifos) pada tomat, kacang, okra, terong, dan kembang kol sebanyak 52 100%.
Dari Tabel 6 terlihat bahwa pencucian menggunakan air terozonisasi terbukti dapat menurunkan kadar residu pestisida pada sayuran. Bertambahnya waktu kontak antara sayuran yang mengandung residu pestisida dengan air terozonisasi akan 68
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
2.2.4. Penggunaan Radiasi Ultrasonik
3. Kesimpulan
Teknologi radiasi ultrasonik telah terbukti efektif dalam menurunkan kontaminan organik dan anorganik. Energi yang ditimbulkan oleh radiasi ultrasonik ini menyebabkan reaksi sonolisis pada molekul H2O yang menyebabkan timbulnya radikal bebas H dan OH. Radikal ini yang menyebabkan degradasi dan destruksi pada senyawa kimia. Whangchai dkk. (2013) melaporkan bahwa ultrasonifikasi pada frekuensi 40 kHz efektif dalam mendegradasi metil parathion. Sampel ditempatkan pada labu dan disonikasi pada reaktor ultrasonik. Dari proses tersebut dapat disimpulkan bahwa radiasi ultrasonik menurunkan konsentrasi pestisida etion, dimana buah-buahan pasca panen setelah diradiasi ultrasonik dapat menurunkan residu pestisida ethion sebesar 75,43% dengan frekuensi radiasi ultrasonik pada 1000 kHz dan paparan ozon selama 60 menit.
Penggunaan pestisida pada setiap tahap pertanian menyebabkan tertinggalnya residu pestisida pada hasil pertanian yang memberikan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan. Berbagai metode yang digunakan untuk menurunkan kadar residu pestisida pada hasil pertanian terbukti dapatmengurangi kadar residu pestisida 50 100%. Metode pencucian terhadap hasil pertanian menjadi metode terbaik dalam menurunkan kadar residu pestisida pada hasil pertanian hingga 100%. 4. Rekomendasi Tantangan besar di masa mendatang adalah pada optimalisasi metode pengurangan residu pestisida yang mudah, murah dan aplikatif bagi masyarakat umum dengan tetap mempertahankan sebagian besar nutrisi yang terkandung pada hasil pertanian, sehingga tetap memenuhi dua parameter penting dalam hasil pertanian yaitu kualitas dan keamanan pangan. Hal ini dikarenakan dalam metode pengurangan residu pestisida yang dijabarkan dalam kajian ini belum diteliti lebih lanjut mengenai efek metode pengurangan residu pestisida terhadap nutrisi yang terkandung pada hasil pertanian. Sehingga, kajian ini perlu penelitian lebih lanjut di masa depan.
Penelitian menggunakan ultrasonic processor dalam mengurangi residu pestisida juga dilakukan oleh Al-Taher dkk. (2013). Buah tomat yang direndam dalam ultrasonic processor selama 1 menit dapat mengurangi residu pestisida sebanyak 60 - 70% untuk jenis pestisida asefat, malation, karbaril, bifentrin, sipermetrin, permetrin, sihalotrin, klorotalonil, dan imidakloprid.
Daftar Pustaka 2.2.5. Pengaturan pH Achmadi, S. S. (2003) Nasib bahan kimia POPs di Lingkungan, Seminar Pelatihan Inventori POPs, Jakarta.
Pencucian menggunakan larutan asam seperti asam sitrat, asam askorbat, asam asetat, dan hidrogen peroksida pada konsentrasi 5 - 10% selama 10 menit diindikasikan dapat menurunkan kadar residu pestisida pada hasil pertanian. Hal ini dikarenakan larutan asam memberikan hasil lebih baik dalam menghilangkan pestisida dibandingkan dengan larutan basa ataupun netral.
Ahmed, A., Randhawa, M. A., Yusuf, M. J., Khalid, N. (2011) Effect of processing on pesticide residues in food crops - A Review, Journal of Agricultural Research, 49, 379 – 390. Alen, Zulhidayati, Suharti, N. (2015) Pemeriksaan residu pestisida profenofos pada selada (Lactuca sativa L.) dengan metode kromatografi gas, Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 1(2), 140 – 149.
Penggunaan larutan asam seperti asam sitrat dan askorbat dapat mengurangi hampir 80% residu pestisida pada buahbuahan (Ahmed dkk., 2011). Pencucian buah menggunakan larutan basa NaOH dapat menurunkan > 60% residu pestisida piretroid pada permukaan buah (Ahmed dkk., 2011). Dengan demikian, penggunaan larutan asam maupun larutan basa sama baiknya digunakan sebagai media untuk menurunkan kadar residu pestisida pada buah maupun sayur ataupun hasil pertanian lainnya.
Al-Taher, F., Chen, Y., Wylie, P., Cappozzo, J. (2013) Reduction of pesticide residues in tomatoes and other produce, Journal of Food Protection, 76(3), 510 515. Atmawidjaja, S., Tjahjono, D. H., Rudiyanto (2004) Pengaruh perlakuan terhadap kadar residu pestisida metidation pada tomat, Acta Pharmaceutica Indonesia, 29(2), 72 – 82. 69
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Badrudin, U., dan Jazilah, S. (2013) Analisis residu pestisida pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) di Kabupaten Brebes, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 24 (1), 75 – 86.
sp.) setelah pencucian dengan metode GC-MS, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kristianingrum, S. (2009) Kajian berbagai metode analisis residu pestisida dalam bahan pangan, Makalah dalam Seminar Nasional Kimia Jurusan Pendidikan FMIPA UNY, Yogyakarta, 17 Oktober 2009.
Balingtan (2013) Teknologi menurunkan residu pestisida di lahan pertanian, http://balingtan.litbang.pertanian.go.id/ ind/index.php/berita/138-teknologimenurunkan-residu-pestisida-di-lahanpertanian, diakses tanggal 6 Agustus 2016.
Maruli, A., Santi, D. N., Naria, E. (2012) Analisa kadar residu insektisida golongan organofosfat pada kubis (Brassica oleracea) setelah pencucian dan pemasakan di Desa Dolat Rakyat Kabupaten Karo Tahun 2012, Jurnal lingkungan & Kesehatan Kerja, 1(2), 1 – 9.
Bonnechère, A., Hanot, V., Jolie, R., Hendrickx, M., Bragard, C., Bedoret, T., Loco, J. V. (2012) Processing factors of several pesticides and degradation products in carrots by household and industrial processing, Journal of Food Research, 1 (3), 68 – 83.
Miskiyah dan Munarso, S. J. (2009) Kontaminasi residu pestisida pada cabai merah, selada, dan bawang merah (Studi Kasus di Bandungan dan Brebes Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat), J. Hort., 19(1), 101 – 111.
Cengiz, M. F. dan Certel, M. (2014) Effects of chlorine, hydrogen peroxide, and ozone on the reduction of mancozeb residues on tomatoes, Turkish Journal of Agriculture and Forestry, 38, 371 – 376.
Satpathy, G., Tyagi, Y. K., Gupta, R. K., (2012) Removal of organophosphorus (OP) pesticide residues from vegetables using washing solutions and boiling, Journal of Agricultural Science, 4(2), 69 – 78.
Chavarri, M. J., Herrera, A., Arino, A. (2005) The decrease in pesticides in fruit and vegetables during commercial processsing, International Journal of Food Science and Technology, 40, 205 – 211.
Sheikh, S., Nizamani, S. M., Jamali, A. A., Panhwar, A. A., Channa, M. J., Mirani, B. N. (2012) Removal of pesticide residues from okra vegetable through traditional processing, Journal of Basic & Applied Sciences, 8, 79 – 84.
Cheowtirakul, C. dan Linh, N. D. (2010) The study of biosurfactant as a cleaning agent for insecticide residue in leafy vegetables, Assumption University Journal of Technology, 14 (2), 75 – 87.
Sodiq, M. (2000) Pengaruh pestisida terhadap kehidupan organisme tanah, Jurnal Pertanian Mapeta, 2(5), 20 – 22.
Ditjen PSP (2016) Pestisida Pertanian dan Kehutanan Tahun 2016, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Sunarno (2012) Pengendalian hayati (Biologi Control) Sebagai Salah Satu Komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT), Jurnal Uniera, 1 (2), 1 – 12.
Hadi, S., Narsito, Noegrohati, S. (2009) Keberadaan dan distribusi pestisida organoklorin golongan siklodiena di perairan segara anakan Cilacap Jawa Tengah, Prosiding Seminar Kimia dan Pendidikan Kimia, Surakarta, 18 Maret 2009, 539 – 550.
Tamaki, M., Ikeura, H. (2012) Pesticides – Recent Trends in Pesticide Residue Assay, Meiji University Japan, Croatia.
Harinathareddy, A., Prasad, N.B.L., Devi, K.L., Raveendranath, D., Ramesh, B. (2015) Risk mitigation methods on the removal of pesticide residues in grapes fruits for food safety, RJPBCS, 6(2), 1568 – 1572.
Vargas, J.M. (1975) Pesticide degradation, Journal of Arboriculture, 1(12), 232 – 233. Vemuri, S. B., Rao, C. S., Swarupa, S., Darsi, R., Reddy, H., Aruna. (2015) Simple decontamination methods for removal of pesticide residues in brinjal,
Himawan, H. (2012) Penetapan kadar residu diazinon pada buah stroberi (Fragaria 70
Bayu Refindra Fitriadi dan Ayutia Ciptaningtyas Putri /Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Scholars Journal of Agriculture and Veterinary Sciences, 2(1A), 27 – 30.
Wibowo, S. H. (2005) Tingkat residu pestisida pada buah tomat di distributor sayuran: studi kasus HERO fresh food Cibitung dan pasar induk Cibitung, Tesis, Universitas Indonesia, Depok.
Vemuri, S. B., Rao, C. S., Darsi, R., Reddy, H., Aruna, Ramesh, B., Swarupa, S. (2014) Methods for removal of pesticide residues in tomato, Food Science and Technology, 2(5), 64 – 68.
Wiryadiputra, S. (2013) Residu pestisida pada biji kakao Indonesia dan Produk variannya, serta upaya penanggulangannya, Review Penelitian Kopi dan Kakao, 1, 39 – 61.
Wang, Z., Huang, J., Chen, J., Li, F. (2013) Effectiveness of dishwashing liquids in removing chlorothaloniland chlorpyrifos residues from cherry tomatoes, Chemosphere, 92(8), 1022 – 8.
Wu, J., Tian, T., Lan, C., Lo, T. W. H., Chan, G. Y. S. (2007) Removal of residual pesticides on vegetable using ozonated water, Journal of Food Control, 18(5), 466 – 472.
Wardojo, S. (1978) Pestiside Management in Southeast Asian Workshop on Pesticide Management, Biotrop, Bogor, Indonesia.
Yuantari, M. G. C. (2009) Studi ekonomi lingkungan penggunaan pestisida dan dampaknya pada kesehatan petani di area pertanian hortikultura Desa Sumber Rejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Jawa Tengah, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
Whangchai, K., Phiyanalinmat, S., Uthaibutra, J., Pengphol, S., Nomura, N. (2013) The effects of ultrasonik irradiation in combination with ozone on the reduction of residual ethion of tangerine (Citrus reticulate Blanco cv. Sai Nam Pung) fruit after harvest, Agricultural Sciences, 4(5B), 7 – 11.
71
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2, Hlm. 72-81, Desember 2016 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v11i2.5049
Analisis Potensi Ledakan dan Kebakaran Primary Reformer sebagai Unit Proses Produksi Amonia di PT. X Analysis of Potential of Fire and Explosion at Primary Reformer as Processing Unit in Ammonia Production in PT. X Resti Ayu Lestari1* dan Katharina Oginawati1 1
Program Studi TeknikLingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 E-mail:
[email protected] Lestari1danKatharina Oggan, FakultasTeknikSipildanLingkun Abstrak
Peningkatan industri pupuk di dunia berimplikasi pada peningkatan jumlah industri amonia. Amonia memegang peranan penting pada proses produksi pupuk dalam hal penyediaan nitrogen. Proses pembuatan amonia melibatkan bahan baku berupa gas alam yang bersifat flammable dengan temperatur dan tekanan yang tinggi dalam setiap tahapan prosesnya. Primary reformer merupakan salah satu peralatan proses dalam produksi amonia dengan temperatur dan tekanan paling tinggi serta paling berisiko mengalami kegagalan yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran/ledakan. Primary reformer berperan sebagai salah satu tahapan pemurnian gas alam dengan hasil berupa karbon monoksida. Identifikasi bahaya pada unit primary reformer dilakukan dengan menggunakan metode Fault Tree Analysis (FTA). Hasil analisis FTA menghasilkan bahwa sumber bahaya dari ledakan primary reformer dapat ditinjau dari faktor teknis dan faktor non teknis. Faktor non teknis menyumbang 74% dari penyebab terjadinya ledakan/kebakaran pada primary reformer. Hasil analisis risiko ledakan/kebakaran pada primary reformer dilakukan dengan menggunakan Dow’s Fire & Explosion Index dengan hasil radius area dampak adalah 51 meter. Nilai kerugian finansial mencapai US$ 23.640.285 dengan kerugian hari kerja minimal adalah 138 hari. Perangkat lunak Arial Location of Hazardous Atmospheres menghasilkan radius ledakan dengan dampak terkecil yaitu dapat memecahkan kaca jendela/pintu (0,5 psi) adalah 73 m dari primary reformer. Radius ledakan dengan kekuatan ledakan 1 psi (meruntuhkan rumah/perkantoran) adalah 48 m dari primary reformer. Kata kunci: amonia, DFEI, kebakaran, ledakan, primary reformer Abstract Increasing of fertilizer industry in the world forced the increasing of ammonia industry as well. Ammonia was used as nitrogen source in fertilizer industry. Ammonia process production involved natural gas (flammable) with high temperature and high pressure in the process. Primary reformer was the one of process unit plant in ammonia production that had the highest temperature and pressure among all ammonia unit processes. Beside that, primary reformer had the highest risk to fail and made fire/explosion. Primary reformer was the one of the unit process used to get carbon monoxide from natural gas. Hazard identification for primary reformer was conducted by using Fault Tree Analysis (FTA). The results of FTA analysis for primary reformer could be grouped into technical and non technical aspects. Non technical aspects had 74% possibility in explosion/fire at primary because of reformer. Analysis using Dow’s Fire & Explosion Index resulted that the radius effect primary reformer explosion was 51 meter. The actual probable property damage was US$ 23,640,285 and probable daily outage at least 138 days. Perangkat lunak Arial Location of Hazardous Atmospheres resulted that the lowest effect of primary reformer explosion, 0,5 psi, that could shattered the glass was 73 m in radius. Moreover, the radius effect for 1 psi explosion strength (made house/office inhabitable) was 48 m from primary reformer. Keywords: ammonia, DFEI, explosion, fire, primary reformer
72
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
PT. X. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya ledakan, luasan area dampak, kehilangan hari kerja serta kerugian finansial akibat kebakaran/ledakan. Selain itu, juga dilakukan pembagian radius ledakan ber-dasarkan kekuatan ledakan yang bersumber dari primary reformer. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka dapat ditentukan area prioritas dengan sistem keselamatan yang lebih baik. Oleh karena itu, sebagai dasar upaya pengendalian risiko terhadap bahaya kebakaran dan ledakan pada primary reformer PT. X, diperlukan penilaian terhadap potensi bahaya kebakaran dan ledakan. Metode identifikasi bahaya ledakan/kebakaran pada primary reformer yang diterapkan adalah Fault Tree Analysis (FTA). Metode FTA digunakan untuk mengidentifikasi penyebab kejadian-kejadian besar seperti ledakan, kebakaran maupun pelepasan gas toksik (Woodside dkk., 1997).
1. Pendahuluan Peningkatan kebutuhan pupuk dunia berbasis nitrogen dari tahun ke tahun menuntut produksi amonia yang lebih besar lagi. Menurut data yang bersumber dari IFA (International Fertilizer Industry Association) pada Juni 2014, kebutuhan pupuk dunia tahun 2013 adalah 111,3 MT dan diprediksi akan meningkat pada tahun 2018 menjadi 119,5 MT. Fungsi utama ammonia adalah sebagai penyedia nitrogen dalam bentuk siap pakai. Industri ammonia merupakan salah satu jenis industri yang tergolong major hazard. Major hazard secara umum terdiri dari kebakaran, ledakan, dan kebocoran bahan kimia. Kebakaran merupakan bahaya yang paling mengkhawatirkan dan memiliki frekuensi kejadian tertinggi dibanding major hazard lainnya (Gultom dan Imran, 2009). Sumber kebakaran dan ledakan industri amonia adalah bahan baku berupa gas alam yang bersifat flammable dan unit prosesnya yang menggunakan temperatur dan tekanan tinggi. Menurut Ojha dkk. (2010), tahapan proses produksi amonia yang paling sering mengalami kegagalan adalah unit proses reformer, khususnya primary reformer. Primary reformer merupakan salah satu tahapan proses produksi amonia dengan pembakaran suhu tinggi untuk mengubah gas metan (CH4) menjadi karbon monoksida. Kegagalan kerja primary reformer disebabkan oleh tersumbatnya tube-tube di dalam primary reformer sehingga dapat menimbulkan potensi terbakar dan meledak.
Risiko yang timbul karena terjadinya ledakan/kebakaran pada primary reformer dihitung menggunakan Dow’s Fire & Explosion Index (DFEI). DFEI memberikan informasi radius dampak ledakan/kebakaran, kerugian hari kerja dan kerugian finansial akibat terjadinya ledakan/kebakaran. Berdasarkan pedoman DFEI yang dikeluarkan oleh American Institute of Chemical Engineers (1994), langkah–langkah penilaian potensi bahaya kebakaran dan ledakan dimulai dari memilih unit proses, menentukan material factor (MF), menentukan process unit hazard factor (F3) dengan menghitung general process hazard factor (F1) dan special process hazard factor (F2), sampai menentukan fire and explosion index (F&EI). Penggunaan perangkat lunak ALOHA (Arial Location of Hazardous Atmospheres) memberikan informasi mengenai luasan area yang termasuk zona merah, jingga dan kuning berdasarkan tekanan ledakannya serta probabilitas fasilitas eksisting yang terkena dampak.
Beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan beberapa penyebab dari kegagalan primary reformer. Ramzaan dkk. (2011) menjelaskan bahwa kegagalan primary reformer disebabkan karena kebocoran pada tube sehingga memicu timbulnya api. Disamping itu, Turi (2011) mengemukakan bahwa kegagalan primary reformer juga disebabkan oleh korosi pada tube-tube reformer yang tidak dilakukan maintenance selama dua tahun.
2. Metodologi 2.1. Lokasi Penelitian
Berdasarkan penelitian sebelumnya ini, maka dilakukan analisis risiko kebakaran/ledakan pada primary reformer di
Industri yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah PT. X yang bergerak pada 73
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
bidang industri pupuk kimia. PT. X memiliki kapasitas produksi amonia 660.000 MT/tahun. Bahan baku berupa gas alam diperoleh dari Pertamina, air diperoleh dari Sungai Parung kadali dan sungai Cikao dan udara bebas diperoleh dari sekitar pabrik sebagai sumber nitrogen. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Analisis pada penelitian ini dilakukan menggunakan data spesifikasi unit, kondisi proses serta rencana tanggap darurat eksisting yang sudah ada di PT. X. Data-data ini digunakan untuk mengidentifikasi sumber ledakan/kebakaran pada primary reformer dengan menggunakan Fault Tree Analysis. FTA dilakukan dengan metode wawancara dengan engineer terkait serta didukung oleh studi literatur. Hasil wawancara dan literatur ini digunakan untuk menemukan akar penyebab terjadinya ledakan/kebakaran pada primary reformer di PT. X. Analisis FTA akan berbentuk diagram pohon yang analisisnya akan dihentikan jika akar penyebab yang bersifat manajerial sudah ditemukan (Woodside dkk., 1997).
C
A
B
D
E H
G
F I
2.3. Analisis Risiko Ledakan/Kebakaran Menggunakan Dow’s Fire & Explosion Index
A : Tangki Amonia B : Plant Amonia 1A C : Plant Urea 1A D : Stasiun Pengisian Amonia E : Utility Plant 1B F : Boiler G : Gudang H : Lokasi Penelitian I : Plant Urea 1B
Analisis risiko ledakan/kebakaran dilakukan dengan menggunakan Dow’s Fire & Explosion Index (DFEI). Tahapan pengerjaan metode ini dapat dilihat pada buku panduan Dow's Chemical Exposure Index Guide yang dikeluarkan oleh NFPA (National Fire Protection Association) tahun 1994. DFEI bertujuan untuk mengetahui luasan area terkena dampak ledakan/kebakaran, jumlah hari kerja yang hilang sampai kepada kerugian finansial yang dialami oleh perusahaan.
Gambar 1. Lokasi Primary Reformer
Untuk mencapai tujuan penggunaan DFEI tersebut, maka digunakan beberapa persamaan. Radius area terkena dampak dirumuskan pada persamaan 1. Nilai kerugian finansial karena rusaknya fasilitas pabrik dapat dilihat pada persamaan 2. Selain itu, kerugian finansial akibat terhentinya proses produksi dapat dihitung menggunakan persamaan 5.
Gambar 2. Primary Reformer
Penelitian difokuskan pada unit proses primary reformer yang berperan sebagai tahapan pemurnian gas alam untuk mendapatkan karbon monoksida (CO). Primary reformer PT. X terdiri dari 192 tubes dengan temperatur dan tekanan berturutturut adalah 799oC dan 39,17 kg/cm2. Primary reformer PT. X dapat dilihat pada Gambar 2.
𝑅 = 0,256 × 𝐹&𝐸𝐼
(1)
𝑉𝑜𝐸 = 0,82 × 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑎𝑠𝑙𝑖 × 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑒𝑠𝑘𝑎𝑙𝑎𝑠𝑖 (2)
2.2. Identifikasi Bahaya Menggunakan Fault Tree Analysis
𝐵𝑎𝑠𝑒 𝑀𝑃𝑃𝐷 = 𝐷𝐹 × 𝑉𝑜𝐸
(3)
𝐴𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑀𝑃𝑃𝐷 = 𝐿𝐶𝐶𝐹 × 𝐵𝑎𝑠𝑒 𝑀𝑃𝑃𝐷
(4)
𝐵𝐼 = 𝑀𝑃𝐷𝑂 × (𝑉𝑃𝑀⁄30) × 0,70
(5)
Keterangan R F&EI VoE 74
: Radius dampak : Konstanta hasil proses DFEI : Value of Exposure
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Biaya asli : Nilai aset primary reformer Faktor eskalasi :ketetapan dari CEPCI (Chemical Engineering Plant Cost Index) MPPD : Maximum Probable Property Damage LCCF : Loss Control Credit Factor BI : Business interuption MPDO : Hari kerja yang hilang VPM : Nilai produksi/bulan
ini, perangkat lunak ALOHA yang digunakan adalah versi 5.4.5 yang dikeluarkan oleh NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).
Hari kerja yang hilang diketahui dengan menggunakan persamaan/grafik yang ditetapkan DFEI. Ada beberapa jenis persamaan/grafik yang dapat digunakan tergantung pada kemampuan perusahaan untuk membangun ulang unit instalasi yang mengalami kerusakan.
Identifikasi bahaya menggunakan FTA dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sumber yang bisa menjadi penyebab terjadinya ledakan/kebakaran di primary reformer. Berdasarkan analisis FTA untuk unit primary reformer, penyebab terjadinya ledakan/kebakaran adalah terjadinya bencana alam, timbul percikan api, rusaknya tube di dalam primary reformer dan terjadinya pressure drop yang tinggi (> 5kg/cm2). Penyebab terjadinya ledakan/kebakaran ini dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan sumber penyebabnya. Identifikasi bahaya menggunakan FTA pada primary reformer dapat dilihat pada Gambar 3.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Identifikasi Bahaya Primary Reformer
2.4. Analisis Risiko Ledakan Perangkat lunak ALOHA ALOHA merupakan program untuk memodelkan dispersi dari area dampak karena lepasnya bahan kimia yang mencakup area toksik, area flammable, dan area ledakan. Ledakan menghasilkan suara yang dapat mengakibatkan kerusakan serius pada lingkungan dan populasi sekitar. Semakin dekat sumber ledakan, maka dampak kerusakan juga akan semakin besar (Inanloo dan Tansel, 2015). ALOHA mengestimasi potensi ledakan primary reformer serta dampak ledakan yang ditimbulkan.
Salah satu penyebab rusaknya tube primary reformer adalah overheating (Ray dkk., 2016). Overheating ini disebabkan oleh terganggunya fungsi katalis yang ada di dalam tube primary reformer. Katalis di dalam tube harus memiliki bentuk yang utuh dan tidak pecah sehingga dapat tersebar merata di dalam tube. Penggunaan katalis yang sudah rusak dapat menyebabkan terjadinya hotspot (titik hitam) pada tube sehingga tube harus dipotong/diganti. Selain itu, hotspot juga dipengaruhi oleh usia tube dan katalis yang sudah tua (Ray dkk., 2016).
Nilai kuatnya ledakan merupakan fungsi dari jumlah bahan kimia yang terlepas, karakteristik bahan kimia, dan adanya sumber api. Semakin tinggi jumlah bahan kimia yang dilepaskan, semakin luas area yang berpotensi sebagai flammable dan semakin besar kemungkinan uap bahan kimia yang terlepas mendekati sumber api sehingga mengakibatkan ledakan. Jenis bahan kimia juga sangat penting untuk dipertimbangkan. Beberapa jenis bahan kimia tidak bersifat flammable dan beberapa jenis lainnya bersifat sangat volatil dan flammable (Inanloo dan Tansel, 2015).
Korosi dan overheating yang terjadi pada tube primary reformer juga dapat menyebabkan tube menjadi rusak/retak (Kumar dkk., 2016). Plant amonia memiliki usia pakai termasuk primary reformer. Hal ini dikarenakan tube yang selalu terpapar temperatur tinggi, kondisi lingkungan serta nilai ketegangan dari material tube (Kumar dkk., 2011). Oleh karena itu, diperlukan maintenance berkala pada unit plant amonia. Long maintenance di PT. X dilakukan sekali dalam sepuluh tahun dengan mendatangkan external auditor. Sedangkan
ALOHA merupakan perangkat lunak yang mudah dipelajari dan bias diatur sesuai skenario yang akan dibuat (Anonymous, 2007). Selain itu, perangkat lunak ini juga tidak berbayar sehingga dapat dengan mudah diunduh di internet. Pada penelitian 75
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
short maintenance dilakukan dengan melihat lubang intip yang ada pada primary reformer. Lubang intip ini digunakan untuk melihat kondisi tube dengan periode 1 x 2 jam.
dengan nilai flammability (NF) = 4 dan nilai efek pada kesehatan (NH) = 2, sehingga pada hasil perhitungannya diperoleh MF = 21. Selain jenis material yang berpengaruh, kondisi proses turut berperan dalam penilaian bahaya pada unit proses (Jensen dan Jorgenson, 2007).
Pengelasan tube primary reformer juga memberikan pengaruh terhadap rusaknya tube. Pengelasan dilakukan pada sambungan elbow pipa yang terdapat pada masingmasing ujung pipa (Attarian dkk., 2016). Bagian pinggir pengelasan memiliki ketebalan yang lebih tipis dibandingkan dengan bagian yang tidak dilas sehingga sangat berpotensi mengalami keretakan. Selain itu, kondisi mesin yang sering shut down tiba-tiba juga dapat mempengaruhi kondisi bagian tube yang dilas (Attarian dkk., 2016). Shut down mesin sering mempengaruhi temperatur pada tube. Shut down mesin sering menyebabkan temperatur tube tidak stabil sehingga mempercepat kerusakan tube.
Tabel
1.
Hasil analisis primary menggunakan DFEI
Parameter Nilai DFEI Radius dampak Nilai base MPPD Nilai kerugian aktual Hari kerja yang hilang Bisnis Interuption
Nilai 199,77 51 11.060.451 23.640.285 138 20.936.279
reformer
Satuan m US$ US$ hari US$
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa nilai DFEI untuk primary reformer adalah 199,77. Nilai ini mengindikasikan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat ledakan/kebakaran primary reformer tergolong severe parah. Tingkat keparahan dampak akibat terjadinya ledakan dapat dilihat dari nilai F&EI yang didapatkan. Tingkat bahaya berdasarkan nilai F&EI ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar potensi penyebab kebakaran/ledakan pada primary reformer adalah faktor non teknis seperti kurangnya pengawasan, tidak taat prosedur yang telah ditetapkan perusahaan, ataupun kurangnya pelatihan praktis terhadap karyawan yang bertanggung jawab pada primary reformer. Berdasarkan analisis, kesalahan non teknis yang berakibat pada ledakan/kebakaran primary reformer adalah sebesar 74%.
Tabel 2. Analisis bahaya berdasarkan nilai F&EI F&EI 1-60 61-96 97-127 128-158 >158
Degree of Hazard Light Moderate Intermediete Heavy Severe
Sumber: AICHE (1994)
3.2. Analisis Risiko Kebakaran/Ledakan
Pada unit primary reformer, nilai base MPPD mencapai US$ 11.060.451. Base MPPD merupakan nilai kerugian perusahaan berdasarkan nilai damage factor yang diperoleh. Nilai damage factor didapatkan berdasarkan jenis bahan kimia yang dianalisis menggunakan persamaan yang ada pada panduan Dow’s Fire & Explosion Index dari NFPA (Jensen dan Jorgensen, 2007).
Analisis DFEI dilakukan dengan menggunakan data spesifikasi teknis primary reformer yang dianalisis, nilai ekonomi masing-masing unit studi serta tools pengaman yang ada di sekitar unit proses jika terjadi kondisi darurat. Penggunaan metode DFEI dilakukan dengan skenario bahwa primary reformer meledak/terbakar secara parsial. Hasil analisis DFEI pada unit studi dapat dilihat pada Tabel 1.
Actual MPPD merupakan nilai kerugian yang diderita perusahaan setelah mempertimbangkan faktor-faktor pengaman yang ada pada unit yang dianalisis. Pada unit primary reformer nilai ini mencapai US$23.640.285.
Proses produksi yang terjadi di dalam unit primary reformer melibatkan gas alam yang kandungan terbesarnya adalah gas CH4. Gas CH4 merupakan bahan yang berbahaya
76
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Keterangan Menara pendingin Reformer Recovery hidrogen dan amonia Rumah kompresor Intercooler Methanator dan shift converter CO2 removal Area plant amonia 1B
Gambar 4.Radius Ledakan/Kebakaran pada Primary Reformer
Area yang terkena dampak akibat ledakan/ kebakaran primary reformer dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa hampir semua area produksi amonia 1B (garis biru) berpotensi terkena dampak ledakan primary reformer. Unit yang terkena dampak (berwarna merah muda) adalah cooling tower, methanator, CO2 removal, ammonia converter, pump house serta unit pendukung di sekitar lokasi amonia 1B.
data berupa spesifikasi teknis primary reformer, kondisi proses di dalam unit, serta skenario terjadinya ledakan. Keperluan data input untuk perangkat lunak ALOHA dapat dilihat pada Tabel 3. Skenario yang dipilih adalah terdapat kebocoran yang berdiameter 2 inci di sambungan pipa/flange pada primary reformer. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 4. Tingkat keparahan ledakan dipengaruhi oleh kondisi meteorologis, jenis zat kimia, volume uap bahan kimia, sifat dari bahan kimia, laju penguapan zat kimia dan geometri wilayah (ruang terbatas atau tidak) (Lilley, 2011). Tabel 4 menjelaskan bahwa nilai terkecil kekuatan ledakan adalah 0,5 psi dengan dampak dapat memecahkan kaca jendela/pintu. Nilai ledakan 1 psi dapat merusak bangunan khususnya yang berjenis rumah/perkantoran sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Tabel 1 juga menginformasikan bahwa kerugian hari kerja minimal adalah 138 hari. Nilai ini belum termasuk kepada pengobatan trauma pada karyawan, kemampuan bangkit perusahaan serta faktor non teknis lainnya (Roshan dan Gredaragh, 2013). Nilai hari kerja yang hilang dianalisis berdasarkan asumsi bahwa setelah terjadinya ledakan, perusahaan dapat langsung bangkit dan membangun kembali unit proses produksi amonia.
Tabel 3. Parameter untuk analisis ALOHA
Kerugian yang diperoleh pada analisis ini merupakan hasil perhitungan teoritis menggunakan metode DFEI (Javari dkk., 2012). Nilai kerugian ini dapat menjadi lebih besar lagi mengingat masih ada parameter luar yang tidak tercakup dalam metode DFEI dan mempengaruhi hasil analisis. Oleh karena itu, Tabel 1 hanya dijadikan sebagai patokan dasar perusahaan dalam penentuan besaran kerugian akibat kebakaran.
Parameter Material kimia Kapasitas Stabilitas udara Kecepatan angin Arah angin Temperatur
Nilai Metan (CH4) 9,503 kg B (Tidak stabil) 2,07 m/s Barat Daya 28oC
Tabel 4. Radius dampak ledakan berdasarkan kekuatan ledakan
3.3. Analisis risiko ledakan berdasarkan kekuatan ledakan
Unit Primary reformer
Analisis ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ALOHA dengan keperluan 77
Radius Ledakan (m) 1 psi
0,7 psi
0,5 psi
48
59
73
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Kekuatan ledakan mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap bangunan di sekitarnya. Dampak nilai kekuatan ledakan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel
5.
Level kerusakan ledakan
Nilai Kekuatan Ledakan (psi) 0,04 0,15 0,40 0,50 0,70 1,00 1,00 - 8,00
berdasarkan
Dampak ledakan yang paling kecil (berwarna kuning) mencapai area menara pendingin (cooling tower) yang merupakan area yang sudah berada di luar area pabrik amonia 1B. Fasilitas di dalam pabrik amonia 1B yang terkena dampak ledakan mencakup methanator, rumah pompa, CO2 removal serta fasilitas-fasilitas pendukung yang berada di dalam area tersebut.
nilai
Dampak Suara keras; seperti suara bom sonic Kerusakan kaca Kerusakan minor pada struktur bangunan Kaca jendela/pintu pecah, struktur kaca/pintu rusak Kerusakan minor pada struktur perumahan/kan-tor Perumahan/kantor tidak dapat ditempati Cidera serius karena kaca yang beterbangan
Area dampak ledakan primary reformer pada Gambar 5 berbentuk semi circular karena di sekitar area tidak terdapat bangunan tinggi yang dapat memperkecil/menghambat kekuatan ledakan yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi luas area dampak ledakan. Stabilitas udara yang berada pada kategori B (tidak stabil) juga mempengaruhi luasan area dampak ledakan. Kondisi udara yang tidak stabil dapat mendilusikan zat kimia (CH4) sehingga udara dapat mengurangi jumlah zat kimia yang ada di udara (Vairo dkk., 2014).
Sumber: Anonymous (2007)
Berdasarkan analisis kekuatan ledakan menggunakan perangkat lunak ALOHA, maka digunakan tiga nilai ledakan yaitu 0,5 psi, 0,7 psi, dan 1,0 psi. Area dampak akibat ledakan pada primary reformer dapat dilihat pada Gambar 5.
Gas metan yang terdilusi di udara menyebabkan zat kimia akan terbawa searah angin. Oleh karena itu, area dampak ledakan dengan kondisi udara yang tidak stabil akan lebih kecil dibanding kondisi udara yang stabil (E atau F). Tingkat stabilitas udara merupakan kemampuan partikel di udara untuk bergerak ke atas atau ke bawah setelah terlepas ke atmosfer (Inanloo dan Tansel, 2015). Semakin stabil kondisi atmosfer, maka partikel akan semakin tidak bergerak di atmosfer. Hal ini mengakibatkan potensi terjadinya ledakan/kebakaran semakin besar.
1,0 psi 0,7psi 0,5 psi
Gambar 5. Pembagian radius ledakan primary reformer
78
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Kebakaran/ledakan
Kerusakan di dalm unit
Bencana Alam
Timbul percikan api
Tube rusak
Start up gagal
Listrik statis
Arus pendek
Pressure drop tinggi (>5kg/cm2)
Pipa tersumbat
Savety valve gagal berfungsi
Hotspot
Cracking
Burner gagal
Peralatan elektrik yang rusak
Korosi
Aliran gas di dalam unit
Overheating
Kegagalan fungsi katalis
Eccentricity
Gangguan sumber listrik
Katalis terkondensasi steam Maintenance kurang
Pressure drop > kemampuan safety valve
Pecahan katalis
Impurities dari gas alam
Kesalahan fabrikasi
Maintenance kurang
Pengawasan kurang
Koef. Friksi pipa diluar ketentuan desain
Maintenance kurang
Pengelasan
Kcc. Aliran gas besar
Setting temperatur awal salah Maintenance kurang
Burner tidak nyala semua
Setting furnace yang dinyalakan salah
Setting kenaikan temperatur salah
Pengawasan kurang
Tidak sesuai prosedur
Usia katalis tua
Tidak sesuai prosedur
Kegagalan fungsi katalis
Pengaturan temperatur salah
Maintenance kurang Katalis pecah
Usia katalis tua
Tidak sesuai prosedur
Katalis pecah
Tidak sesuai prosedur penggantian katalis
Kurangnya pengawasan Tidak sesuai prosedur Tidak sesuai prosedur
Kurangnya pengawasan
Kurangnya pengawasan Maintenance kurang
Tidak sesuai prosedur penggantian katalis
Gambar 3. FTA primary reformer
79
Start up awal (N2 heating) gagal
Maintenance kurang
Kurangnya pengawasan
Kurangnya pengawasan
Maintenanc e kurang
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Kesimpulan Terjadinya ledakan/kebakaran pada primary reformer dapat disebabkan oleh aspek teknis dan non teknis seperti yang diuraikan pada FTA. Berdasarkan hasil FTA, diketahui bahwa potensi kesalahan non teknis untuk menyebabkan terjadinya ledakan/kebakaran di primary reformer adalah 74%. Kesalahan non teknis dapat berupa kurangnya pengawasan, tidak taat prosedur yang telah ditetapkan perusahaan, ataupun kurangnya pelatihan praktis terhadap karyawan yang bertanggung jawab pada primary reformer.
Inanloo dan Tansel (2015) Explosion impacts during transport of hazardous cargo: gis-based characterization of overpressure impacts and delineation of flammable zones for ammonia, Journal of Environmental Management, 156, 1 – 9. Javari, Mohammad, J., Zarei, M., Movahhedi, M. (2012) The credit of fire and explosion index for risk assessment of iso-max unit in an oil refinery the credit of fire and explosion index for risk, International Journal Of Occupational Hygiene, IOHA 4, 10 – 16.
Nilai minimal kerugian aktual yang dialami perusahaan karena terjadinya ledakan/kebakaran primary reformer mencapai US$ 23.640.285 dengan kehilangan hari kerja minimal adalah 138 hari.
Jensen, N., Jorgensen, S. B. (2007) Taking credit for loss control measures in the plant with the likely loss fire and explosion index (LL-F&EI), Process Safety and Environmental Protection, 85, 51 – 58.
Selain itu, radius ledakan dengan dampak terkecil yaitu dapat memecahkan kaca jendela/pintu (0,5 psi) adalah 73 m dari primary reformer. Radius ledakan dengan kekuatan ledakan 1 psi (meruntuhkan rumah/perkantoran) adalah 48 m dari primary reformer.
Lilley, G. D. (2011) Explosions and release, dispersion and ignition of combustibles: a review, 9th Annual International Energy Conversion Engineering Conference, San Diego, California, 1 – 18.
Daftar Pustaka American Institute of Chemical Engineers. (1994) Dow’s Fire & Explosion Index Hazard Classification Guide, AlChE Technical Manual, New York.
Ojha, Madhusoo, Dhiman (2010) Problem, failure and safety analysis of ammonia plant: a review, International Review of Chemical Engineering, 2, 631 – 646.
Anonymous (2007) ALOHA User’s Manual. U.S Environmental Protection Agency, Washington DC. Attarian, M., Taheri, A. K., Jalilvand, S., Habib, A. (2016) Microstructural and failure analysis of welded primary reformer furnace tube made of HP-Nb micro alloyed heat resistant steel, Engineering Failure Analysis, 68, 32 51.
Ramzaan, N., Naveed, S., Rizwan, M., Witt, W. (2011) Root cause analysis of primary reformer catastrophic failure: a case study, Process Safety Progress, 30, 62 – 65. Ray, A K., Roy, N., Raj, A., Roy, B.N. (2016) Structural integrity of service exposed primary reformer tube in a petrochemical industry, International Journal of Pressure Vessels and Piping, 137, 46 – 57.
Gultom, Imran, Z. (2009) Analisis konsekuensi penyebaran amonia pada kebocoran storage tank ammonia 2101-f di pt. pupuk kujang cikampek pada tahun 2009 dengan menggunakan Aloha (area locations of hazardous athmosphere), Tugas Akhir,
Roshan, S. A., Garedagh, M. J. (2013) Economic consequence analysis of fire and explosion in petrochemical feed 80
Resti Ayu Lestari dan Katharina Oginawati/Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
and product pipeline Helthscope, 2, 90 – 94.
network,
Vairo, T., Curro, F., Scarcelli, S., Fabiano, B. (2014) Atmospheric emissions from a fossil fuel power station: dispersion modelling and experimental comparison, AIDIC Italia 36, 295 – 300.
Kumar, S., Ashok, K. R. G. K., Gunjan, M., Goswami, B., Bose, S. C. (2011) Microstructural studies and remnant life assessment of eleven years service exposed reformer tube, Materials Science and Engineering, A 529, 102 – 112. Turi,
Woodside, Gayle, Kocurek, Dianna, (1997) Environmental, Safety and Health Engineering, John Wiley & Sons, Inc, New York.
I. (2011) Primary reformer tubes failure due to corrosion attack, Process Safety Progress, 30, 157 – 163.
81
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2, Hlm. 82-91, Desember 2016 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v11i2.5407
Sintesis Selulosa Asetat dari Limbah Batang Ubi Kayu Cellulose Acetate Synthesis from Cassava Stem Lia Lismeri*1,2, Poppy Meutia Zari1, Tika Novarani1, Yuli Darni1,2 1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lampung
2
Pusat studi dan penelitian biomassa tropika, Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1, Bandar Lampung 35145 *E-mail:
[email protected] Abstrak Salah satu hasil pertanian terbesar di Indonesia adalah tanaman ubi kayu. Selama ini batang ubi kayu tersedia dalam jumlah yang cukup besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Batang ubi kayu memiliki kandungan lignoselulosa yaitu selulosa 39,29%, hemiselulosa 24,34%, dan lignin 13,42%. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah batang ubi kayu yang akan dijadikan sebagai bahan baku pembuatan selulosa asetat. Proses pembuatan selulosa asetat dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap isolasi selulosa (proses pretreatment, delignifikasi, dan bleaching) dan tahap sintesis selulosa asetat. Pelarut yang digunakan pada proses pretreatment yaitu asam fosfat, asam asetat, dan asam klorida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larutan asam fosfat 3% menghasilkan densitas terkecil yaitu 0,833 g/mL yang menunjukan bahwa telah terjadinya swelling. Pada proses delignifikasi digunakan variasi waktu dan rasio bahan terhadap pelarut. Kadar selulosa terbesar yang diperoleh yaitu 56,92% dengan waktu pemasakan 2 jam dan rasio sampel terhadap pelarut 1:12 (v/v). Identifikasi gugus fungsi FTIR terhadap selulosa asetat menunjukkan adanya serapan gugus karbonil (C=O) dan gugus ester (C-O), masing-masing terlihat pada bilangan gelombang 1738,47 cm-1 dan 1224,39 cm-1. Kadar asetil selulosa asetat yang dihasilkan sebesar 41,01% dan termasuk jenis selulosa diasetat yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam pembuatan membran, film topografi, dan benang. Kata kunci: batang ubi kayu, kadar asetil, lignoselulosa, selulosa, selulosa asetat Abstract One of the biggest agricultural products in Indonesia is cassava. During this time cassava stems are available in large enough quantities, but they not have been used optimally. The cassava stems has lignocellulose content i.e. 39.29% cellulose, 24.34 % of hemicellulosa, and 13.42 % of lignin. This study aims to utilize the cassava stems that will be used as raw material for cellulose acetate synthesis. The process of making cellulose acetate is done in two steps, namely the isolation of cellulose (the process of pretreatment, delignification, and bleaching) and the synthesis of cellulose acetate. The solvent used in the process of pretreatment is phosphoric acid, acetic acid, and hydrochloric acid. The results of this research shows that a solution of phosphoric acid 3% produces the smallest density namely 0.833 g/mL which shows the occurrence of swelling. In the process of delignification uses a variations of time and the ratio of cassava stems to solvent. The biggest contain of cellulose obtained is 56.92% with delignification time for two hours and the ratio cassava stems to solvent 1:12 (v/v). Identification of FTIR functional groups to cellulose acetate shows the absorption of carbonyl group (C=O) and ester group (C-O), seen at wave number 1738.47 cm-1 and 1224,39 cm-1 recpectively. The acetyl content of cellulose acetate produced is 41.01% and includes the type of cellulose diasetat which can be further utilized in manufacture of membrane, film topography, and thread. Keywords: acetyl content, cassava stem, cellulose, cellulose acetate, lignocellulose
1. Pendahuluan
terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi sebanyak 9.725.345 ton. Jika banyaknya ubi kayu yang dihasilkan maka akan banyak juga limbah yang dihasilkan, salah satunya yaitu batang ubi kayu.
Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian. Salah satu hasil pertanian terbesar adalah tanaman ubi kayu (singkong). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, Provinsi Lampung merupakan produsen singkong
Pemanfaatan dari limbah batang ubi kayu ini juga belum optimal karena hanya 10% tinggi batang yang dapat dimanfaatkan untuk 82
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
ditanam kembali dan 90% sisanya merupakan limbah. Padahal batang ubi kayu memiliki kandungan lignoselulosa yang cukup besar, yaitu terdiri dari 56,82% αselulosa, 21,72% lignin, 21,45% Acid Detergent Fiber (ADF), dan 0,05 – 0,5 cm panjang serat. Selulosa yang terkandung dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan baku industri kertas, bahan peledak, membran, plastik, dan lain-lain (Sumada dkk., 2011).
dapat mempercepat reaksi asetilasi dengan asetat anhidrat dan menaikkan reaktivitas selulosa maupun untuk menurunkan derajat polimerisasi hingga tingkat yang sesuai untuk diasetilasi. Asam sulfat berfungsi sebagai katalis dan asam asetat anhidrat berfungsi sebagai donor asetil (Widyaningsih dan Radiman, 2007). Reaksi selulosa menjadi selulosa asetat secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. H H O CH2OCOCH3 O O CH3COO HOH2C H + 3 CH3COOH H +3 O H CH3COO H3COCO H O OH H OCOCH3 OH
Hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang dibentuk melalui jalan biosintetis yang berbeda dari selulosa. Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponenkomponen monomer hemiselulosa. Hemiselulosa mempunyai rantai polimer yang pendek dan tak berbentuk, oleh karena itu sebagian besar dapat larut dalam air. Rantai utama dari hemiselulosa dapat berupa homopolimer (umumnya terdiri dari satu jenis gula yang berulang) atau juga berupa heteropolimer (campurannya beberapa jenis gula) (Octavia, 2008).
Gambar 1. Reaksi umum pembentukan selulosa asetat (Gaol dkk., 2013)
Berdasarkan derajat substitusinya selulosa asetat dapat dibagi menjadi tiga (Gaol dkk., 2013) yaitu: 1. Selulosa monoasetat dengan derajat substitusi (DS) 0 – 2 dengan kandungan asetil < 36,5%. Selulosa monoasetat dapat digunakan pada pembuatan plastik, cat, dan laker. 2. Selulosa diasetat dengan derajat substitusi (DS) 2,0 – 2,8 dengan kandungan asetil 36,5 – 42,2%. Selulosa diasetat digunakan pada pembuatan membran, film topografi, dan benang. 3. Selulosa triasetat dengan derajat substitusi (DS) 2,8 – 3,9 dengan kandungan asetil 43,5 – 44,8%. Selulosa diasetat digunakan pada pembuatan kain dan pembungkus benang.
Lignin merupakan senyawa yang sangat kompleks yang terdapat diantara sel-sel dan di dalam dinding sel. Fungsi lignin yang terletak diantara sel-sel adalah sebagai perekat untuk mengikat/merekatkan antar sel, sedangkan dalam dinding sel lignin berfungsi untuk menyangga sel. Lignin ini merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propana melalui ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Bila lignin berdifusi dengan larutan alkali maka akan terjadi pelepasan gugus metoksil yang membuat lignin larut dalam alkali (Ma dkk., 2016).
Telah dilakukan penelitian isolasi α-selulosa dari limbah batang ubi kayu oleh Sumada dkk. (2011). Proses delignifikasi dilakukan dengan menggunakan variasi pelarut NaOH, Na2SO3, dan Na2SO4 dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% dengan perbandingan berat serat dan volume larutan 1:8, diproses selama 2 jam pada suhu 105oC. Hasil penelitian ini didapatkan kandungan α–selulosa terbaik 88,90% dari proses delignifikasi dengan jenis pelarut Na2SO3 pada konsentrasi 20% (pH = 11).
Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Di alam, selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Olievera dkk, 2016). Selulosa asetat merupakan hasil reaksi dari selulosa dan asetat anhidrat yang merupakan produk senyawa dari gugus hidroksil dan asam berupa ester. Selulosa asetat dihasilkan dari tahap sintesis selulosa asetat menggunakan asam asetat glasial, asam sulfat, dan asam asetat anhidrat. Asam asetat glasial berfungsi sebagai pretreatment agent yang bertujuan untuk menggembungkan seratserat selulosa agar lebih terbuka sehingga
Nurhayati dan Kusumawati (2014) memanfaatkan selulosa dari limbah pengolahan agar sebagai bahan baku pembuatan selulosa asetat. Proses asetilasi dilakukan dengan rasio selulosa:asam asetat anhidrida 1:10; 1:20; dan 1:30 (b/v). Penelitian ini menghasilkan kadar asetil sebesar 45,07% pada perlakuan rasio selulosa:anhidrida asetat 1:10. Jenis selulosa asetat yang dihasilkan merupakan
83
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
selulosa asetat triasetat, karena memiliki kadar asetil lebih dari 42%.
Pretreatment Sebanyak 80 g serat limbah batang ubi kayu direfluks dengan menggunakan pelarut asam dan aquades, dengan rasio bahan terhadap cairan pemasak yaitu 1 : 6 selama 1 jam pada suhu 90°C. Variabel asam dan konsentrasi yang digunakan adalah asam fosfat 0%, 1%, 3%, 5%, asam asetat 0%, 1%, 3%, 5% dan asam klorida 0%, 1%, 3%, 5%. Kemudian larutan dipisahkan dari cairan pemasak, disaring, dicuci dengan aquades sampai pH netral, dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80°C. Lalu dilakukan uji densitas, analisis kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, uji FTIR, dan SEM.
Pada penelitian ini akan dilakukan pemanfaatan limbah batang ubi kayu sebagai bahan baku pembuatan selulosa asetat dalam upaya pengurangan limbah pertanian. Pada proses pretreatment digunakan variasi pelarut dan konsentrasi pelarut. Sedangkan pada proses delignifikasi digunakan variasi waktu dan variasi rasio bahan terhadap pelarut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi operasi terbaik pada proses pretreatment dan delignifikasi sehingga menghasilkan selulosa yang bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan selulosa asetat dengan kadar asetil 37 - 42%.
Delignifikasi 2. Metodologi Tahap selanjutnya pada delignifikasi menggunakan Na2SO3 20%, dengan rasio sampel dan volume Na2SO3 1:8, 1:10, dan 1:12 v/v dan variabel waktu selama 2, 2½, dan 3 jam pada suhu 100°C. Kemudian selulosa yang didapatkan dipisahkan dari pelarut asam dan dicuci dengan aquadest hingga bersih. Setelah pencucian, selulosa basah selanjutnya dikeringkan pada suhu 100°C. Kemudian dianalisis kadar selulosa, hemiselulosa, lignin, dan uji FTIR.
2.1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penggilingan (hammer mill dan disk mill), ayakan 1,18 mm dan 2,36 mm, toples penyimpanan, zipbag lock, neraca digital, batang pengaduk, labu leher 1, heating mantle, refluks, kertas pH meter, oven, hot plate stirrer, corong, kertas saring, gelas ukur, enlemeyer, pipet tetes, magnetic stirrer, dan termometer. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat batang ubi kayu, asam asetat (CH3COOH) 98%, asam klorida (HCl) 37%, asam fosfat (H3PO4) 98%, aquades, natrium sulfit (Na2SO3), asam asetat anhidrida 99%, asam asetat glasial 100%, dan asam sulfat (H2SO4) 96%.
Bleaching Residu yang dihasilkan dari proses delignifikasi selanjutnya ditambahkan larutan Hidrogen Peroksida (H2O2) dan dibiarkan pada suhu kamar selama 3 jam sambil sesekali diaduk. Perbandingan residu dan larutan H2O2 dengan konsentrasi 6% yang ditambahkan adalah 1:10 (b/v). Selanjutnya dilakukan penyaringan dan residu yang diperoleh dicuci sampai netral dan dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC.
2.2. Pengeringan dan Preparasi Serat Batang ubi kayu yang digunakan pada penelitian ini berasal dari kebun percobaan di daerah Natar, Lampung Selatan. Batang ubi kayu awalnya dipotong, dikupas kulitnya, dikeringkan dan disimpan pada suhu ruang. Batang ubi kayu dikeringkan selama kurang lebih 5 hari di bawah sinar matahari. Batang ubi kayu yang telah kering kemudian digiling (dikecilkan ukurannya) lalu disaring dengan menggunakan ayakan 1,18 mm dan 2,36 mm. Serat batang ubi kayu yang telah diayak dikeringkan kembali pada suhu 80 °C sampai beratnya konstan.
2.4. Sintesis Selulosa Asetat Sebanyak 10 g selulosa ditambahkan 250 ml asam asetat glasial dan diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan skala 3 selama 30 menit pada suhu 50°C. Selanjutnya, larutan ditambahkan 1,6 ml H2SO4 dan 97 ml asam asetat glasial lalu diaduk dengan kecepatan skala 3 selama 25 menit. Asam asetat anhidrida ditambahkan pada campuran dengan perbandingan selulosa terhadap asetat anhidrida sebesar 1:10 (b/v), dibantu pengadukan dengan kecepatan skala 3 selama 30 menit pada suhu 50°C. Campuran didiamkan selama 14 jam pada suhu ruang, dilanjutkan dengan penyaringan. Ke dalam filtrat hasil penya-
2.3. Isolasi Selulosa Proses isolasi selulosa terdiri dari tahapan pretreatment material, proses delignifikasi, dan proses bleaching.
84
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
ringan, ditambahkan air setetes demi setetes sampai terbentuk endapan. Endapan yang diperoleh dipisah-kan dari larutan, kemudian dicuci hingga netral lalu dikeringkan pada suhu ruang hingga kering. Selulosa asetat yang didapat kemudian dilakukan uji FTIR dan analisis kadar asetil untuk mengetahui jenis selulosa asetat yang dihasilkan (Nurhayati dan Kusumawati, 2014).
kan selama 24 jam untuk memberi kesempatan bagi NaOH berdifusi. Selanjut-nya sampel dititrasi dengan NaOH 0,5 N sampai terbentuk warna merah muda. Pengukuran blanko dilakukan sama dengan contoh. Kadar asetil (KA) dihitung dengan rumus: KA (%) = [(D-C)Na+(A-B)Nb] F W Keterangan: A = Volume NaOH untuk titrasi sampel B = Volume NaOH untuk titrasi blanko C = Volume HCl untuk titrasi sampel D = Volume HCl untuk titrasi blanko Na = Normalitas HCl Nb = Normalitas NaOH F = 4,305 untuk kadar asetil dan untuk kadar asam asetat W = Bobot Sampel
2.5. Analisis Kadar Lignoselulosa Analisis kadar lignoselulosa dilakukan dengan metode Chesson-Datta (Dzikro dkk., 2013). Satu gram sampel kering (a) direfluks selama 2 jam dengan 150 ml H2O pada suhu 100oC. Hasilnya disaring dan dicuci. Residu kemudian dikeringkan dengan oven sampai konstan kemudian ditimbang (b). Residu sampel yang telah dikeringkan direfluks selama 2 jam dengan 150 ml 0,5 M H2SO4 pada suhu 100oC. Hasilnya disaring sampai netral dan dikeringkan (c). Residu sampel yang telah dikeringkan diperlakukan 10 ml 72% H2SO4 pada suhu kamar selama 4 jam, kemudian diencerkan menjadi 0,5 M H2SO4 dan direfluks pada suhu 100oC selama 2 jam. Residu disaring sampai netral dan dikeringkan (d). Residu sampel yang telah dikeringkan kemudian diabukan dengan furnace pada suhu 575 ± 25oC hingga beratnya konstan. Abu yang didapat kemudian ditimbang (e). Perhitungan dilakukan menggunakan rumus: Hemiselulosa (%) =
bc 100 % a
Selulosa (%)
=
cd 100 % a
Lignin (%)
=
d e 100 % a
(4)
6,005
3. Hasil dan Pembahasan Bahan baku batang ubi kayu yang digunakan pada penelitian ini memiliki komposisi fisik yang terdiri dari kayu 83,83%, kulit 13,04%, dan gabus 3,13%. Komposisi kimia yang terkandung didalam serat batang ubi kayu yaitu selulosa 39,29%, hemiselulosa 24,34%, dan lignin 13,42%. 3.1. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Pelarut terhadap Densitas Bahan Penggunaan variasi pelarut asam dan konsentrasi pelarut pada proses pretreatment bertujuan untuk menentukan nilai densitas terbaik pada sampel. Uji densitas dilakukan dengan membagi nilai massa lignoselulosa terhadap nilai volume yang didapat setelah pretreatment. Grafik pengaruh variasi dan konsentrasi pelarut terhadap densitas serat batang ubi kayu ditunjukkan pada Gambar 2.
(1)
(2)
Dari Gambar 2 dapat dilihat pengaruh variasi jenis asam dan variasi konsentrasi terhadap perubahan densitas bahan lignoselulosa setelah dilakukan pretreatment. Densitas yang terbaik pada penelitian ini adalah densitas dengan nilai terkecil. Peristiwa swelling oleh pelarut dapat menggakibatkan struktur selulosa merenggang dari hemiselulosa dan lignin yang masih rapat, merusak struktur kristal dari selulosa serta meningkatkan volume bahan (Yuanisa dkk., 2015). Sehingga dengan pretreatment, volume pori dari serat batang ubi kayu akan menjadi lebih besar dari volume awal sebelum pretreatment. Seiring bertambahnya volume maka nilai densitas suatu bahan akan semakin kecil. Pada penelitian ini jenis pelarut dan konsentrasi pelarut yang terbaik pada proses pretreatment adalah asam
(3)
2.6. Analisis Kadar Asetil Analisis kadar asetil menggunakan ASTM D871 (Dzikro dkk., 2013). Sampel kering sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam enlemeyer kemudian ditambahkan 40 ml etanol 75% (v/v) dan dipanaskan pada penangas air selama 30 menit pada suhu 60oC. NaOH 0,5 N sebanyak 40 ml ditambahkan ke dalam sampel dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang sama. Sampel didiamkan selama 72 jam dan kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl 0,5 N menggunakan indikator fenolftalein sampai warna merah muda hilang. Sampel didiam-
85
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
fosfat dengan konsentrasi 3% yang menghasilkan densitas 0,833 g/ml.
serat selulosa sudah dipecah dengan cara pretreatment menggunakan pelarut asam fosfat 3%. Hasil ini menunjukkan bahwa pretreatment dengan asam lemah sangat mendorong perubahan morfologi dinding sel tanaman dan mengurangi lignin secara signifikan.
Gambar 2. Pengaruh variasi dan konsentrasi pelarut terhadap densitas serat batang ubi kayu
Proses pretreatment bertujuan untuk melemahkan gaya intramolekul dan intermolekul pada rantai lignoselulosa. Gaya intramolekul dan intermolekul tersebut berupa ikatan hidrogen yang cukup kuat. Pelemahan ikatan tersebut oleh pelarut asam didasarkan oleh adanya sifat protik hidrofilik dari pelarut yang digunakan. Dalam penelitian ini asam fosfat merupakan asam anorganik yang bersifat poliprotik, dimana memiliki kemampuan untuk menghasilkan jumlah ion H+ paling banyak jika dibandingkan dengan pelarut lain yang digunakan yaitu asam asetat dan asam klorida. Ion H+ bertindak sebagai proton yang akan menyerang ikatan kimia pada struktur lignoselulosa sehingga dapat melemahkan ikatan hidrogen.
Gambar 3. Morfologi serat batang ubi kayu sebelum pretreatment
3.2. Struktur Morfologi Struktur morfologi bahan dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Analisis SEM dilakukan untuk mengetahui pengaruh pretreatment dengan pelarut asam terhadap struktur permukaan material. Pada Gambar 3 terlihat bahwa struktur morfologi lignoselulosa dari serat batang ubi kayu sebelum pretreatment masih rapat dan padat. Hal ini disebabkan karena struktur lignin, hemiselulosa, dan selulosa yang masih terikat. Sedangkan pada Gambar 4 sesudah adanya pretreatment, struktur permukaan serat batang ubi kayu terlihat renggang atau terbuka karena dinding lignin yang menutupi mulai rusak dan hemiselulosa yang mengikat selulosa terpisah karena ikatan β-1,4 glikosida pada
Gambar 4. Morfologi serat batang ubi kayu sesudah pretreatment dengan asam fosfat 3%
3.3.
Pengaruh Rasio Bahan Pelarut dan Variasi terhadap Kadar Selulosa
dengan Waktu
Pada proses delignifikasi, waktu pemasakan dan rasio bahan terhadap pelarut berpengaruh terhadap proses degradasi lignin yang terjadi untuk mendapatkan selulosa dari lignoselulosa serat batang ubi kayu. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
86
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
dengan kadar selulosa 56,92%. Pada proses delignifikasi semakin banyak Na2SO3 20% yang diberikan maka akan semakin mudah lignin terdegradasi karena lignin mempunyai titik pelunakan dan titik leleh yang rendah. Waktu pemasakan yang semakin lama, bukan hanya akan mempengaruhi jumlah kadar lignin tetapi juga mempengaruhi kadar selulosa dan hemiselulosa. 3.4. Hasil Analisis Kadar Lignoselulosa pada Tahap Isolasi Selulosa Dari hasil tahapan isolasi selulosa didapatkan perubahan kandungan lignoselulosa dari bahan baku awal sebelum pretreatment, sesudah pretreatment, dan setelah delignifikasi seperti yang ada pada Tabel 1.
Gambar 5. Hubungan antara rasio bahan/pelarut terhadap kadar selulosa pada variasi waktu pemasakan
Tabel
Pada Gambar 5 terlihat bahwa masingmasing rasio memiliki perubahan kadar selulosa yang berbeda-beda terhadap waktu. Pada rasio bahan/pelarut 1:12 terjadi penurunan yang tajam untuk waktu pemasakan 3 jam, dimana kadar selulosa yang dihasilkan sekitar 25%. Semestinya dengan bertambahnya waktu pemasakan proses delignifikasi akan membuka jaringan lingoselulosa sehingga akan didapatkan konsentrasi selulosa yang lebih tinggi. Penurunan kadar selulosa ini disebabkan karena semakin lama waktu pemasakan bukan hanya lignin yang terdegradasi tetapi juga selulosa dan hemiselulosa.
1.
Perubahan kandungan lignoselulosa pada tahap isolasi selulosa Selulosa (%)
Bahan Baku Awal Setelah Pretreatment Setelah Delignifikasi
39,29 60,95 56,92
Hemiselulosa (%) 24,34 19,77 18,59
Lignin (%) 13,42 11,26 15,61
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan selulosa setelah pretreatment meningkat menjadi 60,95% dari kandungan selulosa bahan baku yang semula 39,29%, hal ini disebabkan karena sebagian lignin dan hemiselulosa terlarut saat proses pretreatment sehingga kandungan selulosa meningkat.
Pada rasio 1:10 terlihat bahwa semakin lama waktu pemasakan, kadar selulosa semakin meningkat. Namun, kadar selulosa yang diperoleh masih belum optimum yaitu sekitar 45 - 50%. Jumlah tersebut masih lebih kecil dari kadar selulosa pada rasio 1:12 dengan waktu pemasakan 2 jam. Hal ini disebabkan masih adanya kandungan lignin yang belum terdegradasi karena rasio yang lebih kecil sehingga tidak mengakibatkan hilangnya selulosa. Sedangkan pada rasio 1:8 grafik memperlihatkan bahwa terjadi penurunan kadar selulosa pada waktu pemasakan 2½ jam dan kemudian meningkat pada waktu 3 jam. Hal ini terjadi karena pada waktu pemasakan 2½ jam terjadi peningkatan temperatur pemasakan sehingga reaktivitas pelarut meningkat terhadap degradasi lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
Setelah proses delignifikasi, kandungan selulosa dan hemiselulosa mengalami penurunan sedangkan kandungan lignin mengalami peningkatan. Padahal proses delignifikasi bertujuan untuk meningkatkan kandungan selulosa dan menurunkan kandungan hemiselulosa dan lignin yang terdapat pada batang ubi kayu. Menurut Widodo dkk (2013) terjadinya penurunan kandungan selulosa ini disebabkan karena adanya sebagian selulosa yang terdegradasi saat proses delignifikasi berlangsung. Adanya penurunan kandungan selulosa ini menyebabkan peningkatan kandungan lignin yang semula berada dalam satu ikatan lignoselulosa. Lignin juga dapat mengalami perubahan struktur pada suhu tinggi sehingga dimungkinkan lignin pada penelitian ini belum terdegradasi karena temperatur pada proses delignifikasi masih cukup rendah. Berdasarkan hasil penelitian Sukaton (2004), pada proses delignifikasi
Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa kondisi optimum delignifikasi selulosa terbaik yang diperoleh adalah pada rasio sampel terhadap Na2SO3 20% 1:12 dengan waktu pemasakan 2 jam pada suhu 100°C
87
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
digunakan suhu pemanasan 175oC menghasilkan kadar lignin cukup rendah yaitu 2,23%.
Puncak dengan intensitas kuat pada panjang gelombang 3325,54 cm-1 yang terdapat pada serat batang ubi kayu sebelum pretreatment, 3326,69 cm-1 pada serat batang ubi kayu sesudah pretreatment dan 3333,80 cm-1 pada serat batang ubi kayu setelah delignifikasi menunjukkan gugus – OH dengan stretching vibration. Gugus –OH pada kisaran panjang gelombang tersebut juga menunjukkan adanya ikatan hidrogen intramolekular dan merupakan gugus utama pada selulosa, karena selulosa merupakan rantai panjang dari β glukosa (Lestari dkk., 2014). Terlihat perbedaan puncak serapan gugus O-H pada serat batang ubi kayu sebelum pretreatment dan serat batang ubi kayu setelah delignifikasi, dimana intensitas serapan setelah delignifikasi lebih tajam yang menunjukkan adanya peningkatan selulosa. Gugus C=C stretching vibration merupakan karakteristik dari kerangka lignin yang muncul di sekitar 1500 - 1700 cm-1. Puncak gugus ini pada serat batang ubi kayu sebelum pretreatment dan hasil setelah pretreatment terjadi penurunan yang menunjukkan adanya penghilangan lignin selama proses pretreatment. Tetapi pada hasil setelah delignifikasi puncak gugus C=C menjadi lebih kelihatan, hal ini terjadi karena adanya peningkatan lignin selama proses delignifikasi.
Penurunan kandungan selulosa dan hemiselulosa disebabkan oleh degradasi melalui alkali atau yang disebut “peeling off”. Alkali dan temperatur tinggi menyebabkan dekomposisi hidrolitik pada ikatan glukosidik, dimana dekomposisi hidrolitik ini disebabkan oleh asam. Pada selulosa terdapat ikatan glukosidik yang dapat terputus oleh suatu reaksi rantai yang melibatkan radikal-radikal bebas. Akibatnya pada pemasakan dengan temperatur tinggi menggunakan alkali, ikatan glukosidik pada hemiselulosa juga dapat terputus (Muladi, 2013). Peningkatan kandungan lignin yang terjadi juga disebabkan oleh semakin lama waktu pemasakan maka semakin banyak monomer–monomer baru terbentuk akibat pemecahan lignin. Monomer–monomer tersebut bereaksi dengan polimer yang masih terkandung pada bahan selama pemasakan, sehingga menghasilkan suatu polimer baru atau lignin baru (Surest dan Satriawan, 2010). 3.5. Hasil Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) pada Tahap Isolasi Selulosa Fourier Transform Infra Red (FTIR) sering digunakan untuk menyelidiki struktur utama dan perubahan kimia pada lignoselulosa dari biomassa selama percobaan. Pada Gambar 6, terdapat perubahan puncak-puncak yang muncul antara serat batang ubi kayu sebelum pretreatment, serat batang ubi kayu setelah pretreatment dan serat batang ubi kayu setelah delignifikasi.
Puncak pada bilangan gelombang 1740 cm-1 berhubungan dengan gugus C=O stretching vibration yang melambangkan adanya kehadiran hemiselulosa dan terjadinya penurunan puncak ini pada hasil setelah pretreatment dan setelah delignifikasi adalah hasil dari berkurangnya kadar hemiselulosa.
Gambar 6. Spektrum FTIR serat batang ubi kayu awal, setelah swelling dan setelah delignifikasi
88
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
3.6. Hasil Analisis Fourier Transform Infra Red (FTIR) pada Tahap Sintesis Selulosa Asetat
sangat tajam (Widyaningsih dan Radiman, 2007). Gugus karbonil C=O pada spektrum selulosa asetat serat batang ubi kayu terletak pada daerah bilangan gelombang 1738,47 cm-1, dimana pada selulosa asetat komersial terletak pada bilangan gelombang 1744,87 cm-1. Gugus ester C-O pada spektrum selulosa asetat serat batang ubi kayu terletak pada daerah bilangan gelombang 1224,39 cm-1, dimana pada selulosa asetat komersial terletak pada bilangan gelombang 1232,72 cm-1. Serapan gugus lainnya ada pada bilangan gelombang 2952,43 cm-1 yang menunjukkan vibrasi C-H stretch/ulur dan bilangan gelombang 1371,31 cm-1 yang menunjukkan vibrasi C-H bending/tekuk, sedangkan untuk selulosa asetat komersial terlihat pada bilangan gelombang 2944,99 cm-1 dan 1369,59 cm-1.
Hasil analisis FTIR terhadap produk selulosa asetat diperlihatkan pada Gambar 7. Puncak serapan khas dari selulosa asetat serat batang ubi kayu maupun selulosa asetat komersial dapat dilihat pada Tabel 2. Sebagai perbandingan, ditampilkan juga hasil pembacaan spektrum IR terhadap produk selulosa asetat komersial (Gambar 8). Dari perbandingan hasil FTIR, dapat dilihat bahwa gugus fungsi yang dimiliki oleh spektrum FTIR selulosa asetat serat batang ubi kayu pada Gambar 7 menyerupai gugus fungsi yang dimiliki oleh spektrum FTIR pada selulosa asetat komersial pada Gambar 8. Puncak serapan yang khas untuk selulosa asetat adalah puncak serapan dari gugus karbonil C=O dan gugus ester C-O dari gugus asetil, dimana puncak serapan ini
Gambar 7. Spektrum FTIR Selulosa asetat serat batang ubi kayu
Gambar 8. Spektrum FTIR selulosa asetat komersial (Widayani, 2013)
89
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
4. Kesimpulan
Tabel 2. Analisis gugus fungsi FTIR selulosa asetat serat batang ubi kayu dan selulosa asetat komersial Bilangan (cm-1)
Gelombang
Gugus Fungsi
Limbah batang ubi kayu yang digunakan pada penelitian ini memiliki komposisi yang terdiri dari kayu 83,83%, kulit 13,04%, dan gabus 3,13%. Penggunaan larutan asam fosfat 3% pada proses pretreatment menghasilkan densitas terbaik dengan nilai 0,833 g/ml. Kadar selulosa yang diperoleh pada proses delignifikasi yaitu 56,92% dengan waktu pemasakan 2 jam dan rasio sampel terhadap pelarut 1:12. Identifikasi gugus fungsi FTIR terhadap selulosa asetat menunjukkan adanya serapan gugus karbonil (C=O) dan gugus ester (C-O), masing-masing terlihat pada bilangan gelombang 1738,47 cm-1 dan 1224,39 cm-1. Kadar asetil selulosa asetat dari serat batang ubi kayu yang dihasilkan yaitu sebesar 41,01%, dan dikategorikan sebagai selulosa diasetat. Oleh karena itu, hasil selulosa asetat pada penelitian ini dapat digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku pembuatan benang, film topografi, dan membran.
Range*
SA Batang SA Ubi Kayu Komersial 3485,71
3479,28
2952,43
2944,99
1738,47
1744,87
1371,31
1369,59
1224,39
1232,72
O-H Stretch C-H Stretch C=O Stretch C-H Bending C-O Acetyl
1038,87
1048,62
C-O Stretch
32003600 28503000 16901760 13501480 12101320 10001300
* (Fessenden dan Fessenden, 2005)
Gugus hidroksil O-H pada selulosa asetat serat batang ubi kayu yang terlihat pada bilangan gelombang 3333,80 cm-1 memiliki serapan yang lebih tinggi dan lebar dibandingkan selulosa asetat komersial yang terlihat pada bilangan gelombang 3479,28 cm-1. Gugus O-H yang masih ada ini merupakan gugus hidroksil dari selulosa yang tidak tersubstitusi oleh gugus asetil. Hal ini diduga karena adanya kandungan air pada bahan yang diakibatkan dari proses pengeringan yang kurang sempurna (Widayani, 2013).
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. (2014) Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Sosial Ekonomi Provinsi Lampung Triwulan IV 2014, Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, Bandar Lampung. Dzikro, M., Darni, Y., Lismeri, L., Hanif, M. (2013) Cellulose acetate membrane synthesis of residual seaweed eucheuma spinosum, Seminar Nasional Sains & Teknologi V, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Bandar Lampung, 19 – 20.
Jika hasil spektrum FTIR selulosa serat batang ubi kayu setelah delignifikasi pada Gambar 6 dibandingkan dengan hasil selulosa asetat serat batang ubi kayu pada Gambar 7, terlihat bahwa gugus O-H pada bilangan gelombang 3333,80 cm-1 pada selulosa digantikan dengan gugus asetil. Intensitas puncak serapan gugus hidroksil menurun, sedangkan intensitas puncak serapan gugus asetil meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa selulosa telah berubah menjadi selulosa asetat.
Fessenden, R. J. dan Fessenden, J. S. (2005) Kimia Organik, dalam Pudjaatmaka, A.H., Edisi 3, Jilid 1, Erlangga, Jakarta. Gaol, M. R. L., Sitorus, R., Yanthi, S., Surya, S., Manurung, R. (2013) Pembuatan selulosa asetat dari α-selulosa tandan kosong kelapa sawit, Jurnal Teknik Kimia USU, 2, 33 – 39.
3.7. Analisis Kadar Asetil Analisis kadar asetil bertujuan untuk mengetahui jenis selulosa asetat yang dihasilkan, apakah termasuk monoasetat, diasetat, atau triasetat. Penentuan kadar asetil ini didasarkan pada reaksi saponifikasi, yaitu reaksi antara basa dengan ester asetat membentuk sabun dan asam asetat (Fessenden dan Fessenden, 2005). Pada penelitian ini, kadar asetil yang dihasilkan sebesar 41,01% dan termasuk jenis selulosa diasetat.
Lestari, P., Titi, N. H., Siti, H. I. L., Djagal, W. M. (2014) Pengembangan Teknologi Pembuatan Biopolimer Bernilai Ekonomi Tinggi dari Limbah Tanaman Jagung (Zea Mays) Untuk Industri Makanan: CMC (Carboxy Methyl Cellulose), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
90
Lia Lismeri dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2
Muladi, S. (2013) Teknologi Kimia Kayu Lanjutan, Diktat Kuliah, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Sumada, K., Tamara, P. E., Alqani, F. (2011) Isolation study of efficient α-cellulose from waste plant stem manihot esculenta crantz, Jurnal Teknik Kimia, 5, 434 – 438.
Nurhayati dan Kusumawati, R. (2014) Sintesis selulosa asetat dari limbah pengolahan agar, JPB Perikanan, 9, 97–107.
Surest, A. H. dan Satriawan, D. (2010) Pembuatan pulp dari batang rosella dengan proses soda (konsentrasi naoh, temperatur pemasakan dan lama pemasakan), Jurnal Teknik Kimia Universitas Sriwijaya, 17, 2 – 3.
Octavia, S. (2008) Efektivitas kombinasi proses perendaman dengan amoniak dan asam pada pengolahan awal biomassa sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, Thesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Widayani, W. (2013) Kajian awal sintesis selulosa asetat dari residu rumput laut eucheuma spinosum, Penelitian, Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Oliveira, F.B., Bras, J., Pimenta, M.T.B., Curvelo, A.A.S., Belgacem, M. N. (2016) Production of cellulose nanocrystals from sugarcane bagasse fibers and pith, Industrial Crops and Products, 93, 48-57
Widodo, L. U., Sumada, K., Pujiastuti, C., Karaman, N. (2013) Pemisahan alphaselulosa dari limbah batang ubi kayu menggunakan larutan natrium hidroksida, Jurnal Teknik Kimia, 7, 43 – 47.
Ma, X., Zheng, X., Yang, H., Wu, H., Cao, S., Huang, L. (2016) A perspective on lignin effects on hemicelluloses dissolution for bamboo pretreatment, Industrial Crops and Products, 94, 117-121
Widyaningsih, S. dan Radiman, C. L. (2007) Pembuatan selulosa asetat dari pulp kenaf (hibiscus cannabinus), Molekul, 2, 13 – 16.
Sukaton, E. (2004) Variasi proses pulping kraft dari jenis bambu petung (Dendrocalamus Asper Backer) sebagai bahan baku pulp dan kertas, RIMBA Kalimantan Fakultas Kehutanan Unmul, 9, 21 – 24.
Yuanisa, A., Ulum, K., Wardani, A. K. (2015) Pretreatment lignoselulosa batang kelapa sawit sebagai langkah awal pembuatan bioetanol generasi kedua: Kajian Pustaka, Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3, 1620 - 1626.
91
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2, Hlm. 92-98, Desember 2016 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v11i2.5402
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Ampas Teh sebagai Adsorben pada Proses Adsorpsi β-Karoten yang Terkandung dalam Minyak Kelapa Sawit Mentah The Utilization of Activated Carbon from Tea Waste as Adsorbent in Adsorption Process of β-carotene in Crude Palm Oil Erni Misran*, Fery Panjaitan, Fahmi Maulana Yanuar Departemen Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia *E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian tentang penggunaan karbon aktif dari ampas teh sebagai adsorben telah dilakukan untuk mengadsorpsi β-karoten yang terkandung dalam minyak kelapa sawit mentah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model isoterm dan kinetika yang sesuai untuk proses adsorpsi β-karoten di dalam CPO. Kajian isoterm dilakukan pada suhu 60C menggunakan rasio karbon aktif terhadap CPO = 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Kajian kinetika dilakukan pada suhu 60C, rasio karbon aktif terhadap CPO = 1:3 dimana sampel diambil dengan interval waktu pengambilan 2 menit hingga 120 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan karbon aktif dari ampas teh dalam menyerap β-karoten dari CPO ini sangat memuaskan yakni > 99%. Persentase adsorpsi β-karoten terbaik diperoleh pada rasio karbon aktif terhadap CPO = 1:3, yakni sebesar 99,61%. Model isoterm yang sesuai dengan data penelitian ini adalah model isoterm Freundlich. Sedangkan model kinetika yang sesuai adalah orde dua semu dengan nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0,996. Berdasarkan model kinetika tersebut diketahui bahwa laju penyerapan pada kesetimbangan adalah sebesar 3,5087 mg/g dan konstanta laju adsorpsi sebesar 0,0578 (L/menit). Kata kunci: adsorpsi, ampas teh, β-karoten, model kinetika, isoterm Freundlich Abstract Adsorption process of β-carotene contained in crude palm oil (CPO) was studied by using activated carbon from tea waste as adsorbent. This research was conducted to obtain an appropriate model of isotherm and kinetics for the adsorption process of β-carotene from CPO. Isotherm studies were carried out at a temperature of 60°C with ratios of activated carbon to CPO were 1:3, 1:4, 1:5, dan 1:6. Kinetics study was performed at a temperature of 60°C, the ratio of activated carbon to CPO = 1:3, with sampling time started at 2 minutes until 120 minutes. The activated carbon from tea waste showed excellent performance since the percentage of adsorption of β-carotene from CPO were > 99%. The best adsorption percentage was achieved at activated carbon to CPO ratio equal to 1:3, which was 99.61%. The apropriate kinetics model to the results was Freundlich isotherm model. Meanwhile, the apropriate kinetics model was pseudo second order with the correlation coefficient (R2) was 0.996. Based on the kinetics model, the adsorption rate at equilibrium was 3.5087 mg/g and the adsorption rate constant was 0.0578 (L/min). Keywords: adsorption,tea waste, β-carotene, kinetics model, Freundlich isotherm
1. Pendahuluan
minornya adalah tokoferol, sterol, pospatida, serta karotenoid yang merupakan salah satu kandungan penting dalam CPO (Elmariza dkk., 2015).
Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) terbesar di dunia dengan produksi sebesar 25,4 juta metrik ton pada tahun 2012. Sebagian besar CPO (65%) masih diekspor sebagai bahan mentah dan selebihnya (35%) digunakan untuk kebutuhan di dalam negeri sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, margarin, shortening, dan biodiesel. Kandungan yang terdapat dalam CPO terdiri dari kandungan mayor dan minor. Kandungan mayor adalah trigliserida (94%), sedangkan kandungan
CPO merupakan bahan dasar pembuatan minyak goreng. Minyak goreng yang berwarna kemerahan umumnya tidak disenangi oleh konsumen. Konsumen lebih memilih minyak yang berwarna kuning dan cenderung bening. Oleh karena itu, demi memenuhi keinginan konsumen, dilakukan proses pemucatan (bleaching) pada CPO. Proses pemucatan dilakukan dengan menyerap senyawa karotenoid yang merupa92
Erni Misran dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
kan pembentuk warna kemerahan pada CPO. Karotenoid yang diserap oleh zat pemucat pada umumnya tidak dimanfaatkan lagi oleh pabrik (Serlahwaty, 2007). Dalam CPO terdapat 500 - 700 ppm karotenoid atau sekitar 0,5 - 0,7 kg karotenoid per ton CPO (Nwankwere dkk., 2012), sehingga CPO merupakan sumber provitamin A yang sangat potensial.
aktif dan mampu menyerap β-karoten sebanyak 82,11% (Muslich dkk., 2010). Lalu penelitian mengenai penyerapan β-karoten dan fosfor dari minyak sawit menggunakan tanah liat alami yang dimodifikasi telah pula dilakukan. Adsorben yang digunakan pada penelitian itu mampu menyerap β-karoten dan fosfor sebanyak 90% (Silva dkk., 2013). Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa karbon aktif yang berasal dari ampas teh memiliki kemampuan yang sangat baik dalam penyerapan logam berat. Akan tetapi, pada penelitian terdahulu belum pernah dilakukan kajian pemanfaatan karbon aktif dari limbah ampas teh untuk menyerap β-karoten dari CPO. Dengan demikian, pada penelitian ini akan dilakukan adsorpsi β-karoten dari CPO menggunakan karbon aktif yang berasal dari ampas teh pada berbagai variasi waktu, dan rasio antara karbon aktif : CPO untuk mengetahui kemampuan adsorpsi serta mendapatkan model isoterm dan kinetika proses adsorpsi.
Berbagai metode pengambilan karotenoid dari CPO telah dilakukan seperti ekstraksi fluida superkritis (Ragaguci, 2011), dan adsorpsi menggunakan adsorben (Silva dkk., 2013). Adsorpsi merupakan metode pemucatan yang paling banyak digunakan karena cenderung lebih cepat dan mudah untuk dilakukan. Pada metode ini karotenoid yang terkandung dalam CPO akan berinteraksi dengan adsorben yang digunakan untuk mengikat karotenoid tanpa terjadinya reaksi kimia sehingga CPO yang digunakan tidak berubah secara kimiawi. Selain itu proses adsorpsi dapat dilakukan pada suhu kamar sehingga tidak membutuhkan energi yang tinggi. Banyak adsorben yang telah diujikan untuk mengadsorpsi β-karoten dari CPO ini, diantaranya menggunakan abu sekam padi, silika gel, alumina, lempung, cangkang kelapa sawit dan karbon aktif (Serlahwaty, 2007). Salah satu limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif adalah limbah ampas teh. Dalam pembuatan karbon aktif, kandungan ampas teh yang diperhitungkan adalah holoselulosa yaitu sebesar 60,81%. Ampas teh terdiri dari selulosa sebesar 29,42%, lignin sebesar 36,94%, dan abu sebesar 4,53%, dan ekstraktif 15,22% (Tutus dkk., 2015).
2. Metodologi 2.1. Alat dan Bahan Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengering baki (tray dryer), ball mill, ayakan 50 mesh, reaktor pirolisis yang dilengkapi dengan tabung gas N2, hot plate, dan motor listrik. Sedangkan bahan utama yang digunakan adalah minyak kelapa sawit mentah (CPO), ampas teh, dan asam posfat (H3PO4) 85%. 2.2. Proses Pembuatan Karbon Aktif Limbah ampas teh yang digunakan berasal dari pedagang Mie Aceh di Kota Medan. Ampas teh tersebut dikeringkan menggunakan tray drier dengan suhu 40C sampai teh kering. Selanjutnya ampas teh dihaluskan dengan menggunakan ball mill dan diayak menggunakan ayakan 50 mesh (Turmuzi dkk., 2015). Kemudian ampas teh diaktivasi dengan larutan H3PO4 85% selama 24 jam dengan rasio berat ampas teh:H3PO4 adalah 1:2 (Yagmur dkk., 2008). Kemudian ampas teh kering dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis yang dioperasikan pada suhu 500C (Ahmaruzzaman dan Gayatri, 2010) selama 15 menit dengan aliran gas nitrogen. Selanjutnya karbon aktif hasil pirolisis dicuci dengan air panas bersuhu 85C dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 110C (Rananda dkk., 2015). Karbon aktif yang dihasilkan kemudian dihaluskan menggunakan mortar dan siap untuk digunakan. Karakterisasi ampas teh dan karbon
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk pembuatan dan pemanfaatan karbon aktif serta penyerapan β-karoten. Penelitian mengenai ampas teh yang telah diaktivasi dan dikarbonisasi menghasilkan kadar karbon tetap yang relatif tinggi yakni 57,1% dan kapasitas maksimum penyerapan nitrofenol sebesar 142,85 mg/g (Ahmaruzzaman dan Gayatri, 2010). Penggunaan teh sebagai adsorben untuk logam berat berupa Ni(II) telah pula diteliti dengan kemampuan adsorpsi yang bervariasi dari 50% hingga mencapai 100%. Kondisi ini dipengaruhi oleh waktu kontak dan jumlah adsorben yang digunakan (Shah dkk., 2015). Penelitian mengenai adsorpsi isotermal β-karoten dari olein sawit kasar menggunakan bentonit dan arang aktif telah pula dilakukan. Pada penelitian tersebut diketahui nilai energi aktivasi adalah 74,28 kkal/mol untuk bentonit dan 30,04 kkal/mol untuk karbon 93
Erni Misran dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
aktif yang dihasilkan dilakukan menggunakan metoda BET (Brunauer–Emmett–Teller).
1 ce 1 q qe k l qm m
c e
(1)
2.3. Prosedur Kajian Isoterm Adsorpsi Keterangan: qe : jumlah adsorbat per massa adsorben ce : konsentrasi kesetimbangan adosrbat qm dan kl : konstanta Langmuir yang terkait dengan kapasitas adsorpsi dan tingkat adsorpsi
Minyak kelapa sawit (CPO) dan karbon aktif disiapkan dengan rasio tertentu (1:3) (Olorundare dkk., 2014) di dalam beaker glass. Campuran dipanaskan dengan menggunakan hot plate pada suhu 60C (Olorundare dkk., 2014) dan dihomogenkan menggunakan motor listrik dengan kecepatan konstan 120 rpm (Latip dkk., 2001) selama 2 jam (Silva dkk., 2013). Setelah selesai campuran disaring untuk memisahkan filtrat dan adsorbennya menggunakan kertas saring whatman no. 1. Filtrat dimasukkan ke dalam botol plastik dan dianalisis dengan alat spektrofotometer UV-VIS untuk mengetahui kandungan βkaroten yang tersisa. Prosedur yang sama dilakukan untuk variasi rasio karbon aktif : CPO = 1:4, 1:5, dan 1:6 (Olorundare dkk., 2014).
Model isotherm Freundlich merupakan model yang digunakan untuk adsorpsi nonideal dan merupakan adsorpsi lapisan jamak (multilayer) (Yan dkk., 2015). Hubungan antara jumlah zat yang diadsorpsi dan konsentrasi ditunjukkan pada Persamaan 2 (Silva dkk., 2013).
log qe log K f
1 logc e n
(2)
Keterangan: qe : jumlah adsorbat per massa adsorben ce : konsentrasi kesetimbangan adosrbat n : intensitas adsorpsi Kf : kapasitas adsorpsi adsorben dan konstanta Freundlich
2.4. Prosedur Kinetika Adsorpsi
2.6. Model Kinetika Adsorpsi
Minyak kelapa sawit (CPO) dan karbon aktif disiapkan dengan rasio (w/w) 1:6 (Olorundare dkk., 2014) di dalam beaker glass. Campuran dipanaskan menggunakan hot plate pada suhu 60C (Olorundare dkk., 2014) dan dihomogenkan menggunakan motor listrik dengan kecepatan konstan 120 rpm (Latip dkk., 2001). Campuran diambil dengan interval waktu pengambilan 2 menit hingga mencapai waktu setimbang (Silva dkk., 2013). Sampel disaring dengan kertas saring whatman no. 1 dan selanjutnya filtrat dimasukkan ke dalam botol plastik. Konsentrasi β-karoten pada bahan baku serta filtrat pada berbagai waktu dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-VIS.
Data konsentrasi β-karoten pada berbagai waktu yang diperoleh dari percobaan kemudian diolah untuk mendapat model kinetika yang sesuai. Model yang diujikan adalah model kinetika orde satu semu dan orde dua semu masing-masing dinyatakan pada Persamaan 3 dan 4. logqe qt
logqe
k1 t 2,303
(3)
Keterangan: qe : kapasitas penjerapan pada kesetimbangan qt : kapasitas penjerapan pada waktu t k1 : konstanta laju adsorpsi orde satu semu t : waktu adsorpsi
t qt
2.5. Model Isoterm Adsorpsi
1 1 t k2 qe2 qe
(4)
Penentuan model isoterm adsorpsi adalah untuk mengetahui proses distribusi antara fase cair dan fase adsorben padat yang merupakan ukuran dari posisi keseimbangan dalam proses adsorpsi dan dapat dinyatakan dengan model isoterm Langmuir dan Freundlich (Silva dkk., 2013).
Keterangan: qe : kapasitas penjerapan pada kesetimbangan qt : kapasitas penjerapan pada waktu t k2 : konstanta laju adsorpsi orde dua semu t : waktu adsorpsi
Model isoterm Langmuir mendefinisikan bahwa kapasitas adsorpsi maksimum terjadi akibat adanya lapisan tunggal (monolayer) adsorbat di permukaan adsorben (Yan dkk., 2015). Bentuk linier dari persamaan isoterm Langmuir ditunjukkan pada Persamaan 1 (Silva dkk., 2013).
3.1. Luas Permukaan Adsorben
3. Hasil dan Pembahasan
Luas permukaan merupakan salah satu karakter fisik yang berhubungan langsung dengan kemampuan adsorpsi terhadap zatzat yang akan diserap. Bila karbon aktif memiliki luas permukaan besar akan memberikan bidang kontak yang lebih besar 94
Erni Misran dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
antara adsorben dan adsorbatnya sehingga adsorbat dapat terserap lebih banyak (Widihati dkk., 2012).
Pada jumlah adsorben yang sama, bertambahnya jumlah CPO yang digunakan mengakibatkan penurunan kemampuan adsorpsi. Namun penurunan yang terjadi tidaklah signifikan. Kenaikan jumlah CPO sebesar 100%, yakni dari kondisi rasio karbon aktif terhadap CPO sebesar 1:3 menjadi 1:6, hanya menurunkan kemampuan adsorpsi sebesar 0,59%. Hal ini menunjukkan bahwa partikel adsorben karbon aktif dari limbah ampas teh ini mampu menjerap β-karoten yang terkandung dalam CPO dalam jumlah yang sangat besar.
Tabel 1 menampilkan perbandingan karakteristik ampas teh pada saat sebelum dan sesudah proses pirolisis. Proses pembuatan karbon aktif yang dilakukan mampu meningkatkan luas permukaan karbon aktif secara signifikan. Peningkatan luas permukaan karbon aktif ini disebabkan H3PO4 meresap ke dalam karbon aktif dan membuka permukaan yang mula-mula tertutup oleh komponen kimia sehingga luas permukaan yang aktif bertambah besar (Widihati dkk., 2012). Peningkatan luas permukaan juga dapat disebabkan karena abu dan pengotor lainnya yang terdapat dalam karbon aktif terlepas pada saat proses pemanasan dan aktivasi. Lepasnya pengotor ini dapat membuka pori dari karbon aktif tersebut (Widihati dkk., 2012). Standar mutu karbon aktif untuk luas permukaan adalah 300 - 3.500 m2/g (Turmuzi dkk., 2015). Dengan demikian, luas permukaan karbon aktif yang berasal dari ampas teh ini telah termasuk ke dalam kisaran nilai luas permukaan adsorben komersil.
Tabel 2. Konsentrasi β-karoten hasil adsorpsi Rasio Karbon aktif : CPO (w/w) 1:3 1:4 1:5 1:6
Ampas Teh Kering Karbon Aktif dari Ampas Teh
Luas Permukaan (m2/g)
Luas Area Mikropori (m2/g)
Luas Permukaan Ekternal (m2/g)
12,443
2,672
9,772
717,460
411,227
306,223
Persen Adsorpsi (%)
Kapasitas Adsorpsi, qe (mg/g)
99,61 99,41 99,21 99,02
1,69 2,26 2,82 3,38
Kemampuan karbon aktif dari ampas teh pada penelitian ini adalah lebih baik dibandingkan dengan kemampuan bentonit dan arang aktif dalam menyerap β–karoten dari CPO. Dari penelitian terdahulu dilaporkan bahwa bentonit dan arang aktif mampu menyerap β-karoten masing-masing sebesar 93,26% dan 82,11% pada suhu 60C dan rasio adsorben terhadap olein sawit kasar adalah 1:3 (Muslich dkk., 2010). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini juga lebih baik jika dibandingkan dengan kemampuan karbon aktif komersial yang digunakan Irvan dkk. (2015). Pada proses adsorpsi yang dilakukan pada suhu 60C dan rasio adsorben terhadap CPO adalah 1:6, βkaroten yang terserap hanyalah sekitar 80%.
Tabel 1. Karakteristik bahan baku ampas teh dan karbon aktif dari ampas teh menggunakan metode BET
Sampel
Konsentrasi Akhir β–Karoten, Ce (ppm) 2 3 4 5
3.3. Penentuan Model Isoterm Adsorpsi
3.2. Kemampuan Adsorpsi Ampas Teh
Penentuan model isoterm yang sesuai dengan data penelitian ini dilakukan dengan membuat grafik hubungan variabel-variabel seperti yang tertera pada Persamaan 1 dan 2 masing-masing untuk model isoterm Langmuir dan Freundlich.
Hasil analisis bahan baku CPO menunjukkan bahwa konsentrasi β-karoten awal adalah 509 ppm. Konsentrasi β-karoten menurun secara signifikan setelah dikontakkan dengan adsorben karbon aktif dari limbah ampas teh pada suhu 60C selama 120 menit. Tabel 2 menampilkan data konsentrasi β-karoten pada berbagai variasi rasio karbon aktif : CPO. Penjerapan β–karoten yang terbaik diperoleh pada rasio 1:3 dengan konsentrasi akhir β–Karoten sebesar 2 ppm atau dengan kemampuan adsorpsi sebesar 99,61%. Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa kemampuan penyerapan β-karoten oleh karbon aktif dari ampas teh sangat memuaskan yakni > 99%.
Berdasarkan Persamaan 1, maka akan dibuat grafik hubungan antara Ce vs Ce/qe sedangkan berdasarkan Persamaan 2 akan dibuat grafik hubungan antara log Ce vs log qe. Hasil pengolahan data penelitian untuk mendapatkan nilai-nilai pada sumbu x dan sumbu y dari grafik kedua model isoterm dapat dilihat pada Tabel 3. Selanjutnya diperoleh distribusi data pada kurva isoterm seperti ditampilkan pada Gambar 1 dan 2. 95
Erni Misran dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
Uji kesesuaian antara data penelitian dengan masing-masing model isoterm dilakukan dengan metoda curve fitting. Karena Persamaan 1 dan 2 merupakan persamaan linier, maka terhadap distribusi data penelitian tersebut dilakukan regresi linier. Selanjutnya diperoleh persamaan linier dan koefisien korelasi (R2) yang menunjukkan hubungan linieritas data terhadap masingmasing model.
model isoterm Langmuir, yakni R2 = 0,999. Hasil penelitian terdahulu mengenai kajian isoterm adsorpsi β-karoten dari olein sawit kasar menggunakan bentonit juga menunjukkan bahwa model isoterm yang sesuai adalah model Freundlich dengan nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0,9899 (Muslich dkk., 2010).
Tabel 2. Hasil pengolahan data penelitian untuk mendapatkan nilai sumbu x dan sumbu y pada kedua model isoterm
Konsentrasi β-karoten mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu adsorpsi hingga mencapai nilai yang konstan pada satu waktu tertentu diakibatkan sudah tercapainya kesetimbangan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2, dimana waktu kesetimbangan terjadi pada saat 120 menit.
Isoterm Freundlich
Ce
Ce/qe
Log Ce
Log qe
2
1,1766
0,3010
0,2304
3
1,3263
0,4771
0,3545
4
1,4175
0,6021
0,4505
5
1,4795
0,6990
0,5289
Konsentrasi b-Kaoten (ppm)
Isoterm Langmuir
3.4. Penentuan Model Kinetika Adsorpsi
3 y = 0.1x + 1 R² = 0.962
Ce/qe
2 1
250 200 150 100
50 0 0
20
40
60 80 t (menit)
100
120
Gambar 2. Kurva Penyerapan β-karoten
Kesesuaian data penelitian ini dengan model kinetika orde satu semu dilakukan dengan membuat grafik hubungan log(qe-qt) versus t dan ditunjukkan pada Gambar 3. Sedangkan untuk pemodelan orde dua semu dilakukan dengan membuat grafik hubungan t/qt versus t yang ditunjukkan pada Gambar 4. Grafik yang dihasilkan dari kedua model membentuk garis linier dengan kesesuaian yang baik. Dari persamaan yang diperoleh dapat ditentukan nilai konstanta-konstanta laju adsorpsi seperti yang terangkum pada Tabel 4.
0 0
2
4
6
Ce (mg/g) Gambar 1. Kurva Isoterm Freundlich penelitian () persamaan linier
() data
Data penelitian terlihat membentuk garis linier dengan kesesuaian yang sangat baik seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Dari persamaan linier yang diperoleh, kemudian dapat ditentukan konstantakonstanta terkait dengan masing-masing model isoterm yang nilainya dapat dilihat pada Tabel 3. Parameter Model Isoterm Adsorpsi β– Karoten dari CPO
Model Isoterm Langmuir Freundlich
0,00 log (qe-qt)
Tabel 3.
0,50
Parameter qm (mg/gr) 10 KL (L/mg) 0,1 KF (L/mg) 0,9977 n 1,3368
0
40
60
80
100
-1,00 -1,50
Dari hasil yang diperoleh, maka dapat dinyatakan bahwa model isoterm yang sesuai dengan data penelitian ini adalah model isoterm Freundlich. Nilai koefisien korelasi pada model isoterm Freundlich adalah lebih baik dibandingkan dengan
20
-0,50
-2,00
y = -0,0234x + 0,3047 R² = 0,9326 t (menit)
Gambar 3. Kurva kinetika orde satu semu () data penelitian () persamaan linier
96
t/qt
Erni Misran dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
40 35 30 25 20 15 10 5 0
untuk menyerap β-karoten akan semakin berkurang. 3. Waktu kesetimbangan untuk proses adsorpsi diperoleh pada menit ke 120, hal ini terlihat pada jumlah konsentrasi βkaroten yang konstan. 4. Model isoterm yang sesuai dengan proses adsorpsi β-karoten dari CPO adalah model Freundlich. 5. Model kinetika yang sesuai dengan proses adsorpsi β-karoten dari CPO ini adalah model kinetika orde dua semu.
y = 0,2852x + 1,3087 R² = 0,9969 0
20
40
60
80
100
120
Daftar Pustaka
t (menit)
Achmad, A., Kassim, J., Suan, T. K., Che Amat, R., Seey, T. L. (2012) Equilibrium, kinetic and thermodynamic studies on the adsorption of direct dye onto a novel green adsorbent developed from uncaria gambir extract, Journal of Physical Science, 23(1), 1 – 13.
Gambar 4. Kurva kinetika orde dua semu () data penelitian () persamaan linier Tabel 4. Konstanta Kinetika Adsorpsi β-Karoten Model Kinetika Orde Satu Semu Orde Dua Semu
qe
Konstanta
0,4969
k1 = -0,053
3,5087
k2 = 0,058
Ahmad, A. L., Chan, C. Y., Shukor, A. S. R., Mashitah, M. D. (2009) Adsorption kinetics and thermodynamics of βcarotene on silica-based adsorbent, Chemical Engineering Journal, 148, 378 – 384.
Penentuan model kinetika adsorpsi yang sesuai dapat ditinjau dari nilai R2 yang mendekati nilai 1 dari persamaan kinetika adsorpsi (Maria dkk., 2015). Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka model kinetika yang sesuai untuk proses adsorpsi β-karoten menggunakan karbon aktif dari ampas teh adalah model kinetika orde dua semu.
Ahmaruzzaman, M. dan Gayatri, S. L. (2010) Activated tea waste as a potential lowcost adsorbent for the removal of pnitrophenol from wastewater, J. Chem. Eng., Data 55, 4614 – 4623.
Proses adsorpsi yang mengikuti model kinetika orde dua semu memiliki arti bahwa kecepatan penyerapan karbon aktif terhadap β-karoten per satuan waktu (dq/dt) berbanding lurus dengan kuadrat kapasitas adsorben yang masih kosong (qe-qt). Pada awal proses adsorpsi terjadi pengurangan konsentrasi larutan yang cukup drastis, kemudian kecepatan adsorpsi terus menurun hingga tercapai kondisi setimbang (Achmad dkk., 2012). Penelitian terdahulu mengenai penyerapan β-karoten dan florisil menggunakan silika gel juga mendapati bahwa model kinetika orde dua menunjukkan hasil yang lebih baik daripada model kinetika orde satu semu dan difusi intra partikel (Ahmad dkk., 2009).
Elmariza, J., Zaharah T. A., Arreneuz S. (2015) Optimasi ukuran partikel, massa dan waktu kontuk karbon aktif berdasarkan efektivitas adsorpsi βkaroten pada cpo. JKK, 4(2), 21 - 25. Irvan, Wardhani O. P., Aini N., Iriany (2015) Adsorpsi β-karoten yang terkandung dalam minyak kelapa sawit (crude palm oil) menggunakan karbon aktif, Jurnal Teknik Kimia USU, 5(1), 52 – 57. Latip R. A., Baharin B.S., Che Man Y.B., Rahman R.A. (2001) Effect of adsorption and solvent extraction process on the percentage of carotene extracted from crude palm oil, Journal of the American Oil Chemists Society, Vol. 78, Issue 1, 83-87.
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemampuan karbon aktif dari limbah ampas teh dalam menyerap β-karoten yang terkandung dalam CPO sangat memuaskan yakni > 99%. 2. Semakin tinggi rasio massa karbon aktif : CPO maka kemampuan karbon aktif
Maria A. N. S., Andreas A., Putranto A. (2015), Sintesis karbon aktif dari kulit salak dengan aktivasi H3PO4 sebagai adsorben larutan zat warna metilen biru, dalam Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”, ISSN 169397
Erni Misran dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No. 2
4393 Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia, Yogyakarta, 18 Maret 2015.
thermodynamic studies for sorption of Ni (II) from aqueous solution using formaldehyde treated waste tea leaves, Journal of Saudi Chemical Society, 19, 301 – 310.
Muslich, Suryadarma P., Hayuningtyas I., (2010) Kinetics of isothermal adsorption of b-carotene from crude palm olein using bentonite, J. Tek. Ind. Pert., 19(2), 93 – 100.
Silva, S. M., Sampaio, K. A., Ceriani, R., Verhé, R., Stevens, C., De Greyt, W., Meirelles, A. J. A. (2013) Adsorption of carotenes and phosphorus from palm oil onto acid activated bleaching earth: equilibirium, kinetics and themodynamic, Journal of Food Engineering, 118, 341 – 349.
Nwankwere E. T., Nwadiogbu, J. O., Yilleng, M. T., Eze, K. A. (2012) Kinetic investigation of the adsorptive removal of Β-carotene, Advances in Applied Science Research, 2, 1122 – 1125.
Turmuzi M., Sahat Tua A. O., Fatimah (2015), Pengaruh temperatur dalam pembuatan karbon aktif dari kulit salak (sallaca sumatrana) dengan aktivator seng klorida (ZnCl2), Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 4, No. 2, 59-64.
Olorundare O. F., Msagati T. A. M., Krause R. W. M., Okonkwo J. O., Mamba B. B. (2014), Preparation and use of maize tassels’ activated carbon for the adsorption of phenolic compounds in environmental waste water samples, Springer-Verlag, Berlin.
Tutus, A., Kazaskeroglu, Y., Cicekler, M. (2015) Evaluation of tea wastes in usage pulp and paper produstion, BioResources, 10(3), 5407 – 5416.
Ragaguci (2011) Sistem CO2-etanol dalam bentuk gas-expended liquid (GXL) sebagai pelarut untuk ekstraksi senyawa xanthone dari kulit manggis, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Widihati I. A. G., Ni G. A. M. Dwi Adhi Suastuti Yusuf, Yohanita Nirmalasari M. A. (2012), Studi kinetik adsorpsi larutan ion logam kromium (Cr) menggunakan arang batang pisang (Musa paradisiaca), Jurnal Kimia, 6 (1), 8-16.
Rananda V., Suharman A., Desi. (2015), Pembuatan Karbon Aktif Dari Cangkang Kulit Buah Karet (Hevea brasilliensis), Skripsi, Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sriwijaya.
Yagmur E., Ozmak M., Aktas Z. A. (2008) Novel method for production of activated carbonfrom waste tea by chemical activation with microwave energy, Fuel, 87, 3278–3285.
Serlahwaty, D. (2007) Kajian isolasi karotenoid dari minyak sawit kasar dengan metode adsorpsi menggunakan penjerap bahan pemucat, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Yan, L. G., Qin, L. L., Yu, H. Q., Li, S., Shan, R. R., Du, B. (2015) Adsortion of acid dyes from aqueous solution by CTMAB modified bentonite: Kinetic and isotherm modeling, Journal of Molecular Liquids, 211, 1074 – 1081.
Shah, J., Jan, M. R., Ul Haq, A., Zeeshan, M. (2015) Equilibrium, kinetic and
98
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 11, No. 2, Hlm. 99-106, Desember 2016 ISSN 1412-5064, e-ISSN 2356-1661 DOI: https://doi.org/10.23955/rkl.v11i2.5112
Evaluation of Phenol Transport Using Polymer Inclusion Membrane (PIM) with Polyeugenol as a Carrier Evaluasi Transpor Fenol menggunakan Polymer Inclusion Membrane (PIM) dengan Polieugenol sebagai Karir Arifina Febriasari1,* Dwi Siswanta2 , Agung A Kiswandono3, and Nurul Hidayat A2 2
1 Department of Chemical Engineering , Universitas Serang Raya, Banten, INDONESIA Department of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara, Yogyakarta, Indonesia, 55281 3 Department of Chemistry, University of Lampung, Indonesia * E-mail:
[email protected]
Abstract A recovery study of phenol with Polymer Inclusion Membranes (PIMs) needs to be evaluated to determine values of transport kinetic parameter, level of stability, and selectivity of the membrane. This paper describes results of the evaluation of phenol transport using PIMs with polyeugenol as a carrier. PIMs were made by mixing polyeugenol, dibenzylether, and polyvinylchloride in a solvent (tetrahydrofuran) then printed in a container with diameter 4.5 cm and allowed to vaporize for 72 hours. Further evaluation studies are conducted at pH 4.5 with various parameters, among of them are various times that were taken to identify parameters of the transport kinetics of phenol, membrane stability, characterization, and testing of membrane selectivity by comparing transport of phenol with another compound, in this study chromium is used. This study results in calculation of values of transport kinetics of membrane permeability obtained at 8.8 x 10-5 m/s, flux value of 9.512 x 10-4 g/m2s, and diffusion coefficient of 3.826 x 10-11 m2/s. Repeating use over three times, 48 hours, indicates reduction in power of phenol transport by 70.81%. While selectivity test indicates that membrane is used more selectively against phenol than chromium metal. Based on study results, phenol transport effectiveness using PIM with polyeugenol as carrier is 91.4% in optimum condition. Keywords: membrane, phenol, polyeugenol, polymer inclusion membrane Abstrak Studi recovery fenol menggunakan Polymer Inclusion Membran (PIM) perlu dievaluasi untuk menentukan nilai parameter kinetika, kestabilan, dan selektifitas membran. Artikel ini mendiskripsikan hasil evaluasi transport fenol dengan metode PIM dengan polieugenol sebagai membrane karir. PIM dibuat dengan mencampurkan polieugenol, dibenzileter, dan polivinilklorida ke dalam pelarut tetrahidrofuran kemudian dicetak dengan cetakan berdiameter 4,5 cm dan diuapkan selama 72 jam. Studi evaluasi dilakukan pada pH 4,5 dengan beberapa variasi parameter, yaitu kinetika transport, stabilitas membran, karakterisasi, dan uji selektifitas membran dengan membandingkan transport fenol dengan senyawa lain berupa logam, dalam penelitian ini digunakan kromium. Dari hasil studi kinetika transport didapatkan nilai permeabilitas membran 8,8 x 10-5 m/s, nilai fluks 9,512 x 10-4 g/m2s, koefisien difusi 3,826 x 10-11 m2/s. Pada penggunaan membran yang berulang sebanyak tiga kali selama 48 jam, didapatkan kemampuan transport fenol sebesar 70,81%. Uji selektifitas menunjukkan bahwa membran lebih selektif terhadap fenol dibandingkan kromium. Berdasarkan hasil studi, recovery fenol melalui PIM dengan polieugenol sebagai karir memiliki efisiensi sebesar 91,4% pada kondisi optimum. Kata Kunci: membran, fenol, polieugenol, polymer inclusion membrane
1. Introduction
reduction of phenol is necessary in order to prevent its effect on health and environment (Yu et al., 2012). Concentration of phenol in drinking water that is allowed according to WHO standard is 0.2 mg/l (Nwaici and Warigbani, 2013). Based on the latest advance, reduced levels of phenol in wastewater can be done with separation or destruction technology, which
Phenol is one of organic compounds that can be contaminant when exposed to the environment. In particular, the concentration of these compounds can give bad effect on humans, which include liver and kidney damage, decreased blood pressure, heart rate weakening, until death. Therefore, a
99
Arifina Febriasari dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No.2
includes biodegradation (Busca et al., 2008), adsorption (Djebbar et al., 2012), electrochemical oxidation (Zhang et al, 2011), hollow-fiber membrane (Shen et al., 2012), and others.
used in this study are pH meter, a series of tools such as chamber of phenol transport, magnetic stir bar, separating funnel, supporting tools such as tools and plastic cups, analytical balance (Mettler Toledo AB54-S), shaker, UV-Vis spectrophotometer (772 Spectrophotometer), infrared spectrophotometer (Shimadzu FTIR 8201PC), Analytical Scanning Electron Microscope (JSM-6360LA).
Among these methods, the membrane method is a method that is quite a concern in recent years. Kiswandono, et al. (2012) conducted a phenol recovery with Bulk Liquid Membrane method with polyeugenol as a membrane carrier. Furthermore, Kiswandono, et al. (2012) recovers phenol with Polymer Inclusion Membrane (PIM) using Copoly (eugenol-DVB) as a carrier membrane with rejection percentage of 75.6%. This is less than transport using polyeugenol.
2.1.
Preparation of Polymer Inclusion Membranes
PIMs are made by mixing polyeugenol as a carrier, polyvinylchloride (PVC) as a based polymer, and dibenzylether (DBE) as a plasticizer. PIMs are prepared by dissolving polyeugenol, PVC, and DBE in tetrahydrofuran (THF) solvent by polyeugenol/PVC/DBE ratio of 10: 32: 58 in THF solvent as much as ± 10 mL.Total weight of PIM is 270 mg. After all, ingredients are homogeneously mixed, PIMs are printed by using a glass mold with diameter 4.5 cm and allowed to stand for 72 hours to dry.
PIM, which is part of the SLM (Supported Liquid Membrane) method, is effective in separating desired substance in a liquid waste. PIM consists of basic polymers, plasticizers, and carrier compounds that are selective for purified substance. The ingredients are mixed in a solvent which is then evaporated at room temperature until dry (Gherasim and Bourceanu, 2013). Specific advantages of PIMs are immobilizing the effective membrane carrier, preparation is easy, flexible, stable, better mechanical properties, and its stability is higher than other SLM methods (Saf et al., 2011). In addition, the main advantage of PIMs is the level of its selectivity compared to solvent extraction method or the others (Guo et al., 2011).
2.2.
Transport of Phenol through PIMPolyeugenol
PIM with a diameter of 4.5 mounted on the membrane column barrier transports phenol between the source and the strip phase, then hand of strip phase column is filled by 40 ml of NaOH with pH 11, and the source phase is filled by 40 mL of 100 ppm phenol solution with pH 4.5 (Figure 1).
Polyeugenol as a carrier in the PIM is expected to be an effective compound to transport phenol in wastewater because of similarity of functional groups. This study evaluates the effectiveness of PIM use with polyeugenol as a carrier for phenol transport. Evaluation is based on several parameters including determination of kinetic parameters based on various times of transport, membrane use repeatation, and selectivity of phenol transport with another compound. This study uses chromium as a comparison in the selectivity test to prove that polyeugenol is a suitable carrier for phenol recovery.
1. 2. 3. 4.
Feed solution phase Stripping solution phase Magnetic stirrer Membrane PIM
Figure 1.
Design of experimental set up of PIM (Kiswandono et al., 2012)
Phenol transporting column is closed and then each phase is stirred with a various times, i.e. 1, 6, 12, 24, 48, and 72 hours at room temperature. In addition, the evaluation test is also conducted repeatedly including selectivity of PIM against phenol by comparing phenol transport and chromium transport.
2. Methodology Materials used in this study are Polyeugenol and Polyvinylchloride. Chemicals are pure products of analytical quality, i.e., CHCl3, NaOH, HCl, 4-aminoantipirin, K4Fe(CN)6, NH4OH, Na2SO4 anhydrous, tetrahydrofuran, dibenzylether (DBE), and CrCl3. The tools
100
Arifina Febriasari dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No.2
Detection Method: Characterization of PIM surface is done by using Scanning Electron Microscope (SEM) and Fourier Transform Infra Red (FTIR). Detection method on phenol transport, the concentration of phenols contained in the source phase and strip phase is analyzed by using a UV-Vis spectrophotometer at a maximum wavelength 455 nm. Each variation is repeated three times.
PIM is made of polyeugenol, PVC, and DBE. Polyeugenol serves as a carrier that carries active phenols in the system. PVC serves as a base polymer that supports immobilized polyeugenol, and DBE serves as a plasticizer which makes the PIM becomes more elastic and not brittle. This step results in PIM sheet with diameter of ± 4.5 cm and thickness of 0.04 µm. Thickness of PIM is controlled by mass and volume of the membrane components, and diameter of the glass mold. PIM surface characterization using the scanning electron microscope is indicated in Figure 2.
2.3. Determination of Transport Kinetic Parameters Transport kinetic parameters of phenol through PIM-Polyeugenol are calculated in this study, i.e. permeability, flux, and the diffusion coefficient of transport. The calculation refers to the Kusumocahyo (2006), in which the determination of the permeability of transport is calculated from first-order equation. 𝐶
𝐴
𝐶𝑠
𝑉𝑠
ln ( 𝑠0) = − ( ) 𝑃𝑠 𝑡
(1)
The equation is valid for the first order kinetics where Cs is concentration of phenol in phase after source of transport at time t (based on a variation of 1, 6, 12, 24, 48, and 72 hours), while Cso is initial concentration of phenol in source phase, A is surface area of the membrane, Vs is volume of phenol in the source phase, and Ps is permeability of transport which is calculated from curve of the relationship 𝐶 between ln ( 𝑠0) and t.
Figure 2. PIM surface morphology imaged by SEM (1000 X). A1: PVC-DBE top surface; A2: PVC-DBE bottom surface; B1: PVCDBE-polyeugenol top surface; B2: PVCDBE-polyeugenol bottom surface.
𝐶𝑠
Determination of the flux transport calculated by the following formula. 𝐽𝑠 = 𝑃𝑠 𝐶𝑠
Pores of PVC-DBE surface before the addition of polyeugenol is larger than PVCDBE surface after polyeugenol addition. The polyeugenol covers part of the membrane pores. Nghiem et al. (2006) said that some FTIR studies revealed no signs of a covalent bond among carrier, plasticizer, and basic membrane skeleton; among of them seems bonded to one another by forming secondary bonds such as hydrophobic, van der Waals, or hydrogen bonds. This is evidenced by FTIR spectra in Figure 3.
is
(2)
Js is flux transport of phenol in the source phase. After obtained the value of the permeability and flux transport, diffusion coefficients can then be obtained from the following formula. 𝐷 𝑃 = ( ) 𝐾𝑝 (3) 𝑑
The spectra indicate that no change in functional groups of PVC. Polyeugenol addition gives a OH uptake bending at 3510.45 cm-1, but it does not eliminate the existence of absorption of C-Cl bond vibrations at wave number 694.37 cm-1, and absorption of asymmetric bending of methylene vibrations at wave number of 2924.09 cm-1.
Here, d is thickness of the membrane, D is diffusion coefficient to be searched, and Kp is partition coefficient which results from division of the concentration of analytecarrier complex and analyte concentration in source phase. 3. Results and Discussion 3.1. PIM Characterizations
101
Arifina Febriasari dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No.2
Figure 3. FTIR spectra of PIM. (A) Original PIM; (B) PIM with polyeugenol
3.2. Phenol Transport
is phenol molecules, P is the membrane carrier polyeugenol, and an ion phenolic PhO-. Transport of phenol in optimum time (48 hours) with pH 4.5 indicates rejection percentage of 91.4%.
Phenol transport through the membrane occurs by transport mechanism because of concentration gradient of phenol in the source phase gradient and strip phase. Polyeugenol acts as a carrier compound binding the phenol, so it can be transported to the strip phase. Back transport of phenol through the membrane phase is prevented by adding a stripping agent, NaOH, into the strip phase. Stripping agent works to convert phenol into phenol derivative compounds, namely sodium phenolics, and traps these compounds in strip phase so the phenol could not return to the membrane phase (Mortaheb et al., 2008).
The area of the membrane contact with phenol is 4.90 cm2. Characterization of the PIMs after the transport of phenol in the membrane is also done using SEM with results indicated in Figure 5. A1
B1
Figure 4.
Schematic depicting the transport of phenol through PVC-based PIM with polyeugenol as a membrane carrier.
A2
B2
Figure 5. Morphology of of PIM imaged by SEM. A1: top surface after phenol transport (source phase); A2: bottom surface after phenol transport (strip phase); B1: Cross-section before phenol transport; B2: Cross-section after phenol transport.
Mechanism of phenol transport from the source to the strip phase can be explained schematically in Figure 4. In Figure 4, PhOH
102
Arifina Febriasari dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No.2
Figure 6. FTIR spectra of (a) PIM before contact with phenol and (b) PIM after contact with phenol
The cross section of PIM picture after phenol transport indicates that it is denser than PIM before phenol transport. The interaction between phenol and polyeugenol has been predicted as interaction that occurs because of hydrogen bonds between them. Phenol and polyeugenol are two compounds that have the same -OH, so it is possible that interactions occur because of the formation of hydrogen bonds between two OH groups so that all molecules of phenol and polyeugenol form a large number of hydrogen bonds (Vermerris and Nicholson, 2009).
times of 1, 6, 12, 24, 48, and 72 hours. The curve obtained from the results of the various transport times can be seen at Figure 7.
The interaction of a compound with other compounds can be determined by qualitatively infrared spectra. Particular groups of atoms provide additional absorption at a certain density (Silverstein, 2015). Phenol interaction with membrane carrier in the PIM can be seen through characterization FTIR spectra shown in Figure 6. Absorbance of OH at the peak of 3448.72 cm-1 is more sharply demonstrated by addition of the phenol’s OH group, and absorbance at wave number of 740.67 cm-1 indicates the presence of aromatic CH from phenol.
Figure 7. Curves of contact time between phenol concentration and membrane. Cs is the concentration of phenol in the source phase and Cp is the concentration of phenol in the strip phase.
Based on the mechanism in Figure 7, if the pH is acidic phenol-shaped molecule, the stoichiometry of the phenol transport in this study can be assumed as follows: log 𝐾𝑝 = 𝑙𝑜𝑔𝐾𝑒𝑥 + 𝑎 log[𝐿]𝑚𝑒𝑚
3.3. Kinetics of Transport
(4)
Equation of reaction between phenol and polyeugenolis as follows.
In order to determine parameters of transport kinetics, the relationship between transport phenol with various times is studied. This study uses various transport
(5)
103
Arifina Febriasari dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No.2
It has been conducted to determine the order for mass transfer processes of phenol through membranes in this study. The closest R2 value obtained indicates the first order curve, i.e. 0.911. While the second order curve is plotted to result in R2 value of 0.837 and R2 of third order value is 0.791. Thus, the most appropriate order to describe the transport kinetics of phenol in this study is the first order. Calculation by Equation (1) in this study results in permeability of the PIM in source phase (interface) i.e. 8.8 × 105 m/s. If equation is used to find value of the flux in the Equation (2), then the value of the flux in phase sources at the optimum time of 48 hours amounts to 9.512 × 10-4 g/m2s. Partition coefficient between the phenol and the polyeugenol carrier is as follows. 𝐾𝑝 =
[𝑝ℎ𝑒𝑛𝑜𝑙−𝑝𝑜𝑙𝑦𝑒𝑢𝑔𝑒𝑛𝑜𝑙]𝑃𝐼𝑀 [𝑝ℎ𝑒𝑛𝑜𝑙](𝑠)
The concentration decreasing of phenol transport is expected because of the PIM use to the second and the third where phenol remaining in the membrane covers the membrane pore and blocks new phenol to enter the pore and blocks its interaction with active group of polyeugenol (based on fouling theory by Baker, 2004). Based on the graph, the use of membranes to three times causes the percentage of membrane transport reduced by 70.81%. 3.5. Selectivity of PIMs Selectivity of PIMs is tested by doing phenol and chromium transport from artificial wastewater. Chromium represents a metal content in wastewater. Artificial wastewater is made by mixing a solution of phenol 100 ppm and 100 ppm Cr3+ with a total volume of 40 mL. This study is performed to determine selectivity of the membrane against phenol. Artificial waste transport is performed at pH 4.5 source, discharger 11, and the optimum time of 48 hours. Results of this study are indicated by the graph in Figure 9.
(6)
Then value of the diffusion coefficient can be determined by equation (3). The value of the diffusion coefficient is 3.826 × 10-11 m2/s. Lamb and Nazarenko (1997) uses the same equation for the transport of Pb (II) with PIM-based CTA with TOPO compound as a carrier. The research finds value of coefficient diffusion of overall PbX2.TOPO (with X = I-, SCN-, Br, or NO 3) complex that approaches value of 10-12 m2/s. 3.4. Endurance Test of Membrane Membrane endurance test is conducted to determine stability of the membrane. In the endurance test result, the use of the membrane twice and three times leads to reduced phenol ltransport to strip phase. Figure 8 indicates comparison between results of phenol transport with the use of PIM once, twice, and three times that are performed at the optimum condition for 48 hours.
Figure
8.
Figure 9. Comparison between the percentage of phenol and chromium (III) transport in the artificial wastewater using PIM. Cs: concentration of phenol in the source phase and Cp: concentration of phenol in the strip phase.
The graph illustrates that transport using PIM with polyeugenol as a carrier is a fairly selective method for phenol recovery in waste containing metals such as Cr3+. One of this selectivity factors supporting is active group polyeugenol -OH which can interact selectively with phenol –OH, and also interaction between π bond in phenol and polyeugenol. It is possible that hydrogen bonds and π interaction are preferable than ionic bonds in the cation exchange process between protons belonging topolyeugenol with metal so that competition among metal will produce phenol with larger percentage of phenol transport than that of metal.
Relationship between phenol concentrations with repeated use of PIM. Cs: concentration of phenol in the source phase and Cp: concentration of phenol in the strip phase.
104
Arifina Febriasari dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No.2
4. Conclusions
pentanediamide (TODGA) as carrier, Journal of Membrane Science, 280(1– 2), 73 – 81.
In the calculation of the transport kinetics, membrane permeability value is obtained at 8.8 x 10-5 m/s, the flux value of 9.512 x 10-4 g/m2s, and the diffusion coefficient of 3.826 x 10-11 m2/s. The repeated use over three times, 48 hours, indicates a reduction in power of phenol transport by 70.81%. While selectivity test indicates that the membrane used is more selective against phenol compared to chromium metal. Based on the study results in the optimum conditions, the phenol transport effectiveness by using PIM with polyeugenol as carrier is 91.4%.
Lamb, J. D. and Nazarenko, A. Y. (1997) Lead(II) ion sorption and transport using polymer inclusion membranes containing tri-octylphosphine oxide, Journal of Membrane Science, 134(2), 255 – 259. Mortaheb, H. R., Amini, M. H., Sadeghian, F., Mokhtarani, B., Daneshyar, H. (2008) Study on a new surfactant for removal of phenol from wastewater by emulsion liquid membrane,Journal Hazardous Material, 160(2–3), 582 – 588.
References
Baker, R. W. (2004) Membrane Technology and Applications, John Wiley & Sons, Ltd.
Nghiem, L. D., Mornane, P., Potter, I. D., Perera, J. M., Cattrall, R. W., Kolev, S. D. (2006) Extraction and transport of metal ions and small organic compounds using polymer inclusion membranes (PIMs), Journal of Membrane Science, 281(1–2), 7 – 41.
Busca, G., Berardinelli, S., Resini, C., Arrighi, L. (2008) Technologies for the removal of phenol from fluid streams : A short review of recent developments, Journal of Hazardous Material, 160, 265 – 288.
Nwaichi, E. O., Warigbani, T. Z. (2013) Phenol removal from refinery effluent by hevea brasilliensis, Research Journal in Engineering and Applied Science, 2(1), 50 – 53.
Djebbar, M., Djafri, F., Bouchekara, M., Djafri, A. (2012) Adsorption of phenol on natural clay, Applied Water Science, 2(2), 77 – 86. Guo, L., Liu, Y., Zhang, C., Chen, J. (2011) Preparation of PVDF-based polymer inclusion membrane using ionic liquid plasticizer and Cyphos IL 104 carrier for Cr(VI) transport, Journal of Membrane Science, 372(1–2), 314 –321.
Saf, A. Ö., Alpaydin, S., Coskun, A., Ersoz, M. (2011) Selective transport and removal of Cr(VI) through polymer inclusion membrane containing 5-(4phenoxyphenyl)-6H-1,3,4-thiadiazin-2amine as a carrier, Journal of Membrane Science, 377(1–2), 241 –248.
Gherasim, C. V., Bourceanu, G. (2013) Removal of chromium(VI) from aqueous solutions using a polyvinyl-chloride inclusion membrane: Experimental study and modelling, Chemical Engineering Journal, 220, 24 – 34.
Silverstein, R. M., Webster, F. X., Kiemle, D. J., Bryce, D. L. (2015) Spectrometric Identification of Organic Compounds, 8th Edition, John Wiley and Sons, Inc, America. Shen, S., Kentish, S. E., Stevens, G. W. (2012) Effects of operational conditions on the removal of phenols from wastewater by a hollow-fiber membrane contactor, Separation and Purification Technology, 95, 80 – 88.
Kiswandono, A. A., Siswanta, D., Aprilita, N. H., Santosa, S. J. (2012) Transport of phenol through inclusion polymer membrane (PIM) using copoly (eugenolDVB) as membrane carriers, Indonesian Journal of Chemistry, 12(2), 105 – 112.
Vermerris, W. and Nicholson, R. (2009) Phenolic Compound Biochemistry, Springer Science + Business Media B.V., 53, 40 - 41.
Kusumocahyo, S. P., Sumaru, K., Iwatsubo, T., Shinbo, T., Kanamori, T., Matsuyama, H., Teramoto, M. (2006) Quantitative analysis of transport process of cerium(III) ion through polymer inclusion membrane containing N,N,N',N'-tetraoctyl-3-oxa-
Yu, F., Ji, D., Ji, J. (2012) Removal of aromatic compounds from wastewater by biodiesel, Proceeding of
105
Arifina Febriasari dkk. / Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, Vol. 11, No.2
International Conference on Computer Distributed Control and Intelligent Environmental Monitoring (CDCIEM) 05 - 05 March 2012, USA, 528 – 531.
Zhang, F., Li, M., Li, W., Feng, C., Jin, Y., Guo, X., Cui, J. (2011) Degradation of phenol by a combined independent photocatalytic and electrochemical process, Chemical Engineering Journal, 175(1), 349 – 355.
106
Vol. 11, No. 2, Desember 2016
ISSN: 1412-5064 (cetak), 2356-1661 (online)
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Indek Penulis
Agung A Kiswandono, 99 Arifina Febriasari, 99 Ayutia Ciptaningtyas Putri, 61 Bayu Refindra Fitriadi, 61 Dewi Agustina Iryani, 53 Dwi Siswanta, 99 Erni Misran, 92 Fahmi Maulana Yanuar, 92 Fery Panjaitan, 92 Heri Rustamaji, 53 Katharina Oginawati, 72 Lia Lismeri, 82 Nita Listiani, 53 Nurul Hidayat A, 99 Poppy Meutia Zari, 82 Resti Ayu Lestari, 72 Tika Novarani, 82 Yuli Darni, 82
Vol. 11, No. 2, Desember 2016
ISSN: 1412-5064 (cetak), 2356-1661 (online)
Jurnal
Rekayasa Kimia & Lingkungan (Journal of Chemical Engineering and Environment) Indek Subjek Adsorpsi, 92 Amonia, 72 Ampas tebu, 53 Ampas the, 92 Asam asetat, 53 Batang ubi kayu, 82 DFEI, 72 Furfural, 53 Hasil pertanian, 61 Hidrolisis, 53 Isoterm Freundlich, 92 Kadar asetil, 82 Kebakaran, 72 Ledakan, 72 Lignoselulosa, 82 Membrane, 99 Model kinetika, 92 Pasca panen, 61 Pengurangan residu pestisida, 61 Pestisida, 61 Polyeugenol, 99 Polymer Inclusion Membrane, 99 Phenol, 99 Prapanen, 61 Primary reformer, 72 Selulosa, 82 Selulosa asetat, 82 Steam stripping, 53 β-karoten, 92
Petunjuk Penulisan Artikel Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Tentang Jurnal Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan (RKL) diterbitkan oleh Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. RKL terbit dalam versi cetak (ISSN. 1412-5064) dan versi online (e-ISSN. 23561661). Versi cetak jurnal RKL telah terbit sejak tahun 2004. Sedangkan versi online, RKL dipublikasikan mulai sejak tahun 2006. RKL adalah jurnal open akses dengan pelibatan mitra bestari (peer-reviewed). RKL telah diindeks oleh Indonesian Publication Index (IPI) dan Google Scholar. Jurnal RKL terbit dua kali pertahun yaitu setiap bulan Juni dan Desember Naskah yang ingin dipublikasikan pada RKL harus merupakan naskah asli hasil penelitian dan juga naskah hasil studi literature yang memiliki kontribusi dan aplikasi dengan bidang yang berkaitan dengan ilmu teknik kimia dan teknik lingkungan. RKL menerima kontribusi berupa hasil penelitian, review artikel, atau studi kasus yang belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah lain Naskah Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian, review artikel, atau studi kasus yang belum pernah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah lain maupun sedang dipertimbangkan penerbitannya di jurnal lain. Bagi naskah yang telah pernah dipresentasikan pada seminar, harap mencantumkan nama seminar, lokasi dan waktunya pada catatan kaki. Fokus dan ruang lingkup Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan adalah jurnal open akses, yang menerbitkan paper berkaitan dengan ilmu teknik kimia dan teknik lingkungan. Topik-topik yang berhubungan dengan kedua ilmu tersebut adalah: • Food and Biochemical Engineering • Catalytic Reaction Engineering • Clean Energy Technology • Environmental and Safety Technology • Fundamental of Chemical Engineering and Applied Industry • Industrial Chemical Engineering • Material Science and Engineering • Process and Control Engineering • Polymer and Petrochemical Technology • Membrane Technology • Agro Industrial Technology • Separation and Purification Technology • Environmental Modeling • Environment and Information Sciences • Water/Waste Water treatment and Management • Material Flow Analyses • Clean Development Mechanism Bahasa. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Format. 1. Naskah terdiri dari Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila diperlukan), Notasi (bila diperlukan), dan Daftar Pustaka. 2. Naskah diketik dengan Microsoft Word versi 6.0 (atau versi lebih tinggi) pada kertas A4 (210mm x 297 mm) dalam bentuk ketikan 1 spasi, dengan huruf Verdana 9 pitch. Untuk abstrak, keterangan tabel dan keterangan gambar menggunakan font Verdana ukuran 8 pitch. 3. Petunjuk ukuran font untuk setiap bagian dapat dikuti lebih detil pada template jurnal. 4. Halaman kertas diset dengan margin kiri 3 cm, margin kanan 2,5 cm, margin atas 3,3 cm dan margin bawah 2,5 cm. Untuk bagian judul, nama penulis, afiliasi, dan abstrak dalam bentuk satu kolom dengan jarak atar kolom 1 cm. Untuk bagian pendahuluan sampai daftar pustaka dalam bentuk satu kolom. 5. Penggunaan satuan SI sangat diharapkan. Rumus-rumus Kimia dan matematika diberikan nomor (1), (2), dan seterusnya. Keterangan Naskah Judul. Tidak lebih 20 kata ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, serta harus jelas dan informatif. Ditulis dengan huruf Verdana 2 pitch (bold untuk judul bahasa Indonesia, dan plain/regular untuk bahasa Iggris).
Nama Penulis. Ditulis lengkap tanpa gelar, disertai nama dan alamat instansi tempat penulis bekerja serta alamat e-mail . Abstrak. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan tidak melebihi dari 250 kata. Abstrak merupakan ringkasan naskah dengan memuat uraian dan hasil penelitian secara ringkas, tanpa opini penulis. Kata Kunci. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sebanyak-banyaknya 5 buah dan dicantumkan dibawah abstrak. Gambar, Grafik, dan Tabel harus diberi nomor secara berurutan sesuai dengan urutan pemunculannya dan diserahkan dalam bentuk siap cetak (siap dilayout) pada halaman tulisan (pada draft). Setiap gambar dan tabel diberi keterangan singkat yang diletakkan di bawah untuk gambar dan di atas untuk tabel. Gambar berupa foto dikirim dalam bentuk asli. Jika gambar atau tabel dikutip, sumbernya disebutkan sesuai dengan Daftar Pustaka. Tabel diketik satu spasi dan garis pembatas vertical tidak digunakan. Ukuran maksimum gambar tidak melebihi 10 x 15 cm. Daftar Pustaka. Menggunakan acuan pustaka primer mutakhir 5 tahun terakhir minimal 80%. Cara mengacu ke daftar acuan dilakukan dengan menuliskan nama penulis pertama dan tahun penerbitan di dalam kurung, misalnya (Ahmad dkk., 1999) untuk penulis lebih dari dua orang, atau (Leder, Bruno, 2000) untuk penulis dua orang. Penulisan daftar pustaka harus memuat semua nama penulis. Judul harus lengkap. Daftar pustaka disusun ke bawah menurut abjad nama akhir penulis pertama. Daftar pustaka dari suatu jurnal ilmiah ditulis: Wang, S., Zhang, Y., Chen, T., Wang, G. (2015) Preparation and catalytic property of MoO3/SiO2 for disproportionation of methyl phenyl carbonate, Journal of Molecular Catalysis: A Chemical, 398, 248254. Zhang, H., Yao, G., Wang, L., Su, Y., Yang, W., Lin, Y. (2015) 3D Pt/MoO3 nanocatalysts fabricated for effective electrocatalytic oxidation of alcohol, Applied Surface Science, 365, 294-300. Daftar pustaka dari suatu buku ditulis: Skelland, A. H. P. (1974) Diffusional Mass Transfer, John Wiley & Sons, New York. Shinnar, R. (1987), Use of residence and contact time distributions in reactor design, dalam Carberry, J. J., Varma, A. (eds.), Chemical Reaction and Reactor Engineering, Marcel Dekker, New York. Daftar pustaka dari suatu prosiding ditulis: Berbner, S., Loffler, F. (1994) Pulse jet cleaning of rigid ceramic barriers filters separating hard and brown coal fly ashes at high temperature, Proceeding of the 11th International Pittsburgh Coal Conference, Pittsburgh. Daftar pustaka dari suatu tesis/disertasi ditulis: Riley, R. J. (1987) The magnetically stabilized fluidized bed as a solid/liquid separator, M.S. Thesis, University of Michigan, U.S.A. Daftar pustaka dari suatu paten ditulis: Primack, H.S. (1983) Method of Stabilizing Polyvalent Metal Solutions, U.S. Patent No. 4,373,104 Peer Review Process Naskah yang masuk ke Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan akan direview oleh sedikitnya dua orang reviewer, yang bidangnya sesuai. Reviewer dapat berasal dari kalangan akademisi baik dari dalam maupun luar Universitas Syiah Kuala. Waktu yang diperlukan untuk mereview naskah biasanya adalah satu bulan. Naskah yang masuk akan melalui proses double-blind review Open Access Policy Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan dikelola secara open journal system (OJS). Jurnal ini menyediakan akses terbuka (Open Access) secara langsung terhadap semua konten yang ada pada website jurnal. Artinya semua orang baik penulis maupun pembaca dapat mengkases secara gratis semua artikel yang dimuat pada website jurnal RKL. Semua artikel yang telah dinyatakan diterima setelah melalui proses review dan revisi dinyatakan dinyatakan layak publish baik secara cetak maupun secara online. Artikel akan tersedia pada website secara permanen dalam jangka waktu tertentu. Dengan metode seperti ini diharapkan semua informasi ilmu pengetahuan yang tercantum pada jurnal yaitu berupa hasil penemuan di laboratorium ataupun studi kasus, serta review akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu bagi masyarakat. Copyright Transfer Agreement (CTA Naskah yang telah dipublikasikan atau dikirimkan ke jurnal lain tidak dibenarkan untuk dikirimkan ke JRKL. Naskah yang merupakan perbaikan atau pengembangan dari naskah seminar, simposium dan workshop dapat diterbitkan JRKL dengan menyebutkan hal tersebut pada saat pengirimannya. Naskah yang dikirimkan ke JRKL harus bebas dari plagiarism dan self-plagiarism.
Penulis juga perlu mengirimkan dokumen terkait dengan Copyright Transfer Agreement (CTA) Form yang telah ditandatangani (scan copy dari form asli yang telah diisi) bersama dengan naskah yang akan dikirimkan secara online (dalam bentuk file pendukung (supplementary file)). File Copyright Transfer Agreement (CTA) form bisa diunduh di website RKL Biaya Pemrosesan Artikel Artikel yang telah dinyatakan layak publikasi pada Jurnal Rekayasa Kimia dan lingkungan akan dikenakan biaya publikasi sebesar Rp. 200.000 (Dua ratus ribu rupiah). Biaya tersebut sudah termasuk biaya dua eksemplar jurnal versi cetak. Biaya tersebut dikirim ke rekening a.n. Umi Fathanah, No: 1580000689851 Bank Mandiri kk Unsyiah Cabang Darussalam. Submission Preparation Checklist Sebagai bagian dari proses submission, penulis harus mengecek kelengkapan semua persyaratan berikut. Editor berhak mengembalikan artikel jika tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan sesuai petunjuk. 1. File yang dikirimkan berformat OpenOffice, Microsoft Word. 2. Naskah anda ditulis sesuai dengan template Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan (RKL) 3. Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, atau Naskah berbahasa Inggris telah diperiksa tata-bahasa dan ejaannya. 4. Semua penulis sudah membaca naskah dan setuju untuk mempublikasikannya pada Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan 5. Referensi yang diacu merupakan jurnal primer mutakhir setidaknya 80% dari total referensi yang digunakan 6. File gambar dikirim juga secara terpisah dalam format 'jpg', file gambar hasil pengolahan dengan micr excel agar dicopy-paste special. Semua gambar dinamai dengan nomor gambar sesuai yang ada pada naskah. Pastikan gambar anda berkualitas baik, dengan kerapatan piksel besar dari 250 dpi. Template. Template penulisan artikel RKL dapat didownload pada website. Pengiriman Naskah. Online Submissions Naskah yang akan diterbitkan oleh Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan (JRKL) harus daftar secara online melalui website jurnal http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/RKL. Pastikan anda login terlebih untuk melanjutkan proses submit artikel. Untuk menghindari keterlambatan pemrosesan artikel, naskah disarankan dikirim juga ke email redaksi. Journal Contact Mailing Address JURNAL REKAYASA KIMIA DAN LINGKUNGAN Jl. Tgk. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111 Email:
[email protected] Principal Contact Nasrul Arahman, Dr. S.T., M.T. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdurrauf no. 7, Darussalam, Banda Aceh, Provinsi Aceh, 23111, Phone: +6285322997268, Fax: +6265152222
[email protected] Support Contact Mirna Rahmah Lubis Email :
[email protected] Wahyu Rinaldi Email:
[email protected]