Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
DISTORSI PENERAPAN PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT NO. 10 TAHUN 2012 : STUDI EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN PERUMAHAN DI KOTA SURABAYA Arkial Eko Yoswiarto (071013054)
Abstrak Penyediaan perumahan real estate untuk masyarakat oleh pemerintah daerah dengan menganut konsep hunian berimbang bertujuan untuk menjamin ketersediaan rumah. Tetapi hingga saat ini di kota Surabaya pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang. Penting untuk melihat dan menganalisis penyebab pengembang perumahan belum melaksanakan konsep hunian berimbang, dan mengetahui penyebab pemerintah kota Surabaya belum memberikan sanksi yang tegas kepada pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang sehingga dapat diketahui siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif bertujuan menggambarkan kendala-kendala pengembang perumahan dalam melaksanakan konsep hunian berimbang dan kendala pemerintah kota Surabaya dalam pemberian sanksi kepada pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang. Teori yang digunakan adalah teori dan konsep ekonomi politik, pemerintah kota, pengembang perumahan dan pemerintah kota. Hasil yang didapat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri terlihat adanya saling pengaruh dan hubungan antara fenomena politik dan ekonomi dalam pengambilan kebijakan pelaksanaan konsep hunian berimbang, para pengambil kebijakan sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomis yang menguntungkan kelompok tertentu dan masih kurang tegasnya pemerintah kota dalam menjalankan kebijakan konsep hunian berimbang ini. Untuk itu penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah kota tegas dalam menjalankan kebijakan penyediaan perumahan dengan melaksanakan konsep hunian berimbang. Kata kunci : Ekonomi Politik, Konsep Hunian Berimbang, Pengembang Perumahan
344
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
Abstract Provision of residential real estate to the public by local government to embrace the concept of balanced residential house aims to ensure availability. But until now in the city of Surabaya housing developers have not implemented the concept of balanced residential. It is important to look at and analyze the causes of the housing developers have not implemented the concept of balanced residential, and find the cause of the Surabaya city government has not given explicit sanction to the housing developers have not implemented the concept of balanced residential so it can be anyone who is advantaged and disadvantaged. This study used a qualitative approach, which aims to produce descriptive data illustrate the constraints of housing developers in implementing the concept of balanced residential and constraints Surabaya city government in granting sanction to housing developers have not implemented the concept of balanced residential. The theory used is the theory and concepts of political economy, the city government, housing developers and the city government. The results of the study conducted by researchers themselves looks existence of mutual influence and the relationship between political and economic phenomena in taking the concept of balanced residential policy implementation, policy makers strongly influenced by economic interests that benefit certain groups and the city government is still a lack of traction in policy run this balanced residential concept. Therefore this study recommends that the city government firmly in implementing housing policy by implementing the concept of balanced residential. Keywords: Political Economy, Concept Residential Balanced, Real Estate Developer Pendahuluan Salah satu hak dasar yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28H adalah bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Rumah merupakan kebutuhan dasar (basic needs) bagi setiap manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan taraf hidup, kepribadian serta peradaban bangsa. Rumah merupakan pusat pendidikan keluarga, penyiapan generasi muda, serta menjadi roda penggerak pembangunan ekonomi nasional. Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dinilai sangat memberatkan pengembang real estate yang berusaha untuk membangun perumahan yang layak huni untuk semua kelas baik itu kelas atas, menengah, dan bawah sekalipun. Pemerintah terkesan masih kesulitan memberikan pelayanan yang layak untuk masyarakatnya terutama di sektor perumahan rakyat karena terkendala berbagai macam faktor yang salah satunya telah saya jelaskan di atas. Akan tetapi pemerintah harus mewujudkan cita-cita perumahan rakyat agar semua keluarga di Indonesia mempunyai rumah yang layak huni terutama masyarakat berpenghasilan rendah agar pembangunan merata dan fungsi pemerintah sebagai
345
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
pemegang mandat yang berkewajiban memenuhi permintaan rakyat akan perumahan rakyat yang layak huni serta dapar dijangkau oleh semua kelas baik itu menengah bawah maupun menengah ke atas. Selain itu masih banyaknya pengembang perumahan real estate yang membangun rumah yang hanya berfokus pada 1 atau 2 jenis rumah seperti rumah mewah dan menengah agar mendapatkan profit atau keuntungan yang tinggi dalam menjual rumah jenis tersebut sehingga pasar seakan masih menganggap perumahan sebagai simbol eksklusifitas dan akses bagi orang kaya. Persoalan perumahan ini pun mencoba di regulasi oleh negara dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perumahan Rakyat no. 648-348 tahun 1992 yang mengatur tentang bahwasanya pembangunan perumahan dan permukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, mewujudkan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur, memberi arah pada pada pertumbuhan wilayah, serta menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat selain itu tujuan pembangunan perumahan yang serasi dan berimbang tersebut perlu diwujudkan agar lingkungan perumahan yang penghuninya terdiri dari berbagai profesi, tingkat ekonomi, dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi oleh sifat kebersamaan dan kekeluargaan untuk menghindari terciptanya perumahan dengan pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial. Sehingga pemerintah perlu mengatur tentang adanya hunian berimbang yang menciptakan keserasian berbagai kelompok masyarakat supaya tidak ada pemisahan kelas sosial di antara masyarakat. Hingga kini aturan yang terdapat pada pasal 1 ayat 3 ini diterjemahkan oleh para pengembang perumahan real estate dengan perbandingan 1:3:6 yaitu 1 rumah mewah yang dibangun berbanding 3 rumah menengah yang dibangun, dan 6 rumah sederhana yang dibangun wajib dalam satu hamparan lokasi. Perbandingan ini dibuat agar tidak terjadi potensi timbulnya segregasi sosial di antara pemilik rumah supaya semua bisa berbaur dengan yang lain tidak melihat profesi, status sosial ataupun yang lain. Semua ini dilakukan pemerintah agar dapat mensejajarkan semua kelas sosial dalam satu lokasi agar dapat hidup bersama secara kekeluargaan dan gotong royong sesuai semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika yang mencoba dimasukkan dalam penjelasan aturan hunian berimbang yang dilaksanakan oleh pemerintah. Permasalahan sekarang terletak pada pengembang perumahan sekarang melihat permintaan pasar di kota Surabaya sendiri dalam menyediakan perumahan. Mereka melihat seperti apakah permintaan pasar di Surabaya sendiri menginginkan rumah yang mempunyai tipe seperti apa untuk ditempati. Jika pasar di Surabaya mulai banyak menginginkan tipe rumah menengah bukan tidak mungkin mereka mulai memperbanyak rumah-rumah tipe tersebut. Begitu juga berlaku pada rumah sederhana jika mereka melihat pasar rumah sederhana sangat bagus untuk dibangun kenapa tidak sekalian mereka membangun rumah sederhana. Dalam kenyataannya para pengembang perumahan terkesan kesulitan mengaplikasikan aturan tersebut dikarenakan keruwetan ijin dan masih kurang informasi tentang aturan pemerintah pusat tersebut. Selain itu pengembang
346
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
perumahan masih melihat pasar di Surabaya sendiri terbuka lebar untuk mengembangkan rumah mewah pada saat itu sehingga masih tidak memikirkan aturan 1:3:6 tersebut. Akan tetapi pada pelaksanaan nya terutama di kota Surabaya sendiri mengalami kendala yang sangat besar terutama yang berkaitan dengan lingkungan hunian berimbang ini. Pengembang di satu sisi masih mengutamakan faktor ekonomi dan pasar dalam menentukan pilihan mereka membangun jenis-jenis rumah. Seakan-akan aturan 1:3:6 itu hanya bertaji di atas kertas akan tetapi seperti tidak bermakna apa-apa dalam pelaksanaannya di lapangan. Padahal ini cara efektif agar masyarakat berpenghasilan rendah yang ada di Surabaya dapat memiliki rumah seandainya aturan ini dijalankan karena ini akan membuat pemenuhan rumah sederhana semakin banyak dan tidak akan terjadi kekurangan rumah sehingga semua masyarakat berpenghasilan rendah dapat menikmati. Dalam hal ini bagaimana dengan pemerintah kota Surabaya selaku kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam mengawasi aturan ini apakah mereka menganggap para pengembang perumahan sudah melaksanakan kewajibannya dalam mentaati peraturan tersebut yang telah diamanatkan atau pemerintah kota Surabaya melakukan pembiaran dalam menindak para pengembang perumahan yang tidak menjalankan aturan pemerintah pusat tersebut. Dari latar belakang masalah di atas saya ingin meneliti bagaimana hubungan pemerintah yang ingin mengatasi persoalan perumahan rakyat dalam memenuhi jumlah perumahan real estate yang dapat diakses oleh semua pihak baik itu masyarakat kelas menengah bawah maupun menengah ke atas dan menangkal masalah segregasi sosial jika dalam satu lokasi perumahan hanya di isi satu jenis rumah yang ekslusif sehingga menimbulkan segregasi sosial di masyarakat, dengan pihak pasar atau privat yang menginginkan profit atau keuntungan dengan melihat bagaimana respon masyarakat kota Surabaya yang lebih menginginkan rumah jenis apa untuk ditempati sehingga sewaktu-waktu keinginan pasar sewaktu-waktu dapat berubah seiring berjalannya waktu dan pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat kota Surabaya. Maka dari itu dalam penelitian ini dikemukakan permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa pengembang perumahan belum melaksanakan konsep hunian berimbang di kota Surabaya? 2. Faktor-faktor apa yang membuat pemerintah kota Surabaya kurang tegas dalam menindak pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang? 3. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari belum terlaksananya konsep hunian berimbang tersebut?
347
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
Metode dan Jenis Penelitian Penelitan ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang dinyatakan secara verbal berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena sosial tertentu dimana peneliti dapat mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa (Masri Singarimbun, 1987:4). Penelitian ini juga biasa disebut dengan taksonomik (taxonomic research) yang dimaksudkan untuk melakukan eksplorasi dan klarifikasi mengenai pengembang perumahan dalam melaksanakan dan menyikapi penerapan aturan hunian berimbang di kota Surabaya dan sikap pemerintah kota Surabaya dalam menerapkan aturan hunian berimbang serta siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari belum terlaksananya aturan hunian berimbang dengan mendeskripsikan sejumlah variabel yang terkait. Dengan pendekatan kualitatif maka terdapat kesempatan luas untuk mengeksplorasi sikap dan perilaku dari pihak-pihak yang terlibat dan dapat menjelaskan “mengapa” dan “bagaimana” sesuatu terjadi bukan sekedar menjawab pertanyaan “apa” (Lisa Harrison, 2007:86). Kajian Teoritik Teori Ekonomi Politik Ekonomi politik seperti yang diidentifikasikan oleh Webster’s Third New International Dictionary didefinisikan sebagai sebuah ilmu sosial yang berurusan dengan saling keterkaitan proses-proses politik dan ekonomi. Berdasarkan kamus tersebut diidentifikasikan bahwa ekonomi politik pada abad kedelapanbelas merupakan sebuah bidang pemerintahan yang terlibat dengan pengarahan kebijakan-kebijakan menuju perbaikan pemerintah dan kesejahteraan komunitas. Pada abad kesembilanbelas, ekonomi politik merupakan sebuah ilmu sosial yang berhubungan dengan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan pemerintahan daripada ekonomi-ekonomi komersial atau pribadi. Dalam kajiannya, seperti yang diungkapkan Frank Stilwell bahwa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan mendasar dari ekonomi politik ialah mengenai (1) apa yang sedang terjadi, (2) mengapa hal tersebut bisa terjadi, (3) siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan, (4) apakah hal tersebut penting, (5) dan jika hal tersebut penting, apa yang bisa diperbuat dan siapa yang bisa melakukannya (Frank Stilwell, 2002:3). Disiplin ilmu ekonomi politik dimaksudkan untuk membahas keterkaitan antara berbagai aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, pembentukan harga, perdagangan, konsumsi, dan lain-lain). Penelusuran mendalam tentang ekonomi politik biasanya didekati dari format dan pola hubungan antara pemerintah, swasta, masyarakat, partai politik, organisasi buruh, lembaga konsumen, dan sebagainya. Pembahasan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan dari suatu kebijakan publik, mulai dari proses perancangan, perumusan, sistem organisasi dan implementasinya (Didik Rachbini & Bustanul Arifin, 2001:3).
348
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
Ekonomi Politik dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah politik yang dapat digunakan untuk melihat proses politik dan meletakkan dasar-dasar politik untuk pembangunan sebagai akibat dari adanya tuntutan-tuntutan politik yang harus dipenuhi agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung sesuai analisis kebijakan dengan menekankan pada ekonomi politik dalam kaitannya dengan penyediaan perumahan real estate untuk masyarakat berpenghasilan rendah di kota Surabaya. Kerangka pemikiran ekonomi politik digunakan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam penyediaan perumahan real estate oleh pengembang perumahan agar tetap dalam koridor hunian berimbang sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 7 tahun 2013. Kemudian melihat siapa saja yang mendapatkan keuntungan dan kerugian dari belum terlaksananya dengan baik aturan hunian berimbang tersebut serta melihat implikasi apa saja yang ditimbulkan baik secara ekonomi maupun politis dari hal tersebut terutama dengan melihat aktor-aktor yang terlibat baik dari pemerintah sebagai pembuat dan pengambil kebijakan serta pengembang perumahan sebagai pelaku ekonomi serta masyarakat. Pembahasan Penyajian hasil temuan data diawali dari bagaimana pengertian dan pedoman tahapan yang harus dilalui dalam penerapan konsep hunian berimbang serta suatu penjelasan kenapa pengembang perumahan dalam menjalankan proyek perumahan real estate nya dikatakan harus mengikuti konsep hunian berimbang, sehingga dapat diketahui apakah pengembang perumahan sudah mengikuti konsep hunian berimbang dengan baik dan benar atau belum dalam kenyataannya dan hal-hal apa saja yang telah dilakukan pemerintah kota Surabaya untuk menerapkan sekaligus mendukung konsep hunian berimbang ini, kemudian mengenai pihak-pihak mana saja yang diuntungkan serta dirugikan dari belum terlaksananya konsep aturan hunian berimbang tersebut. Konsep hunian berimbang wajib dilakukan oleh seluruh pengembang perumahan yang ada di Surabaya, baik pengembang perumahan swasta maupun pengembang perumahan pemerintah. Pengertian konsep hunian berimbang dari pemerintah untuk pengembang perumahan telah diatur melalui Undang-Undang no 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dan ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor 648-348 tahun 1992 tentang pedoman pembangunan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang. Pada saat itu untuk melakukan pembangunan dengan konsep hunian berimbang dilakukan dengan pembangunan perumahan dan permukiman diarahkan untuk mewujudkan kawasan dan lingkungan hunian yang berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah dengan perbandingan dan kriteria tertentu sehingga dapat menampung secara serasi antara kelompok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial. Kemudian untuk menyelenggarakan konsep hunian berimbang ini dibuatlah perbandingan tertentu, ini dimaksudkan agar pengembang perumahan
349
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
menengah atau dan mewah ikut membangun rumah sederhana sehingga memperbanyak pasokan rumah yang tidak hanya didominasi tipe rumah tertentu. Perbandingan tertentu ini adalah perbandingan jumlah rumah sederhana, berbanding rumah menengah, berbanding rumah mewah, sebesar 6 (enam) atau lebih, berbanding 3 (tiga) atau lebih, berbanding 1 (satu). Jadi dalam hal ini perbandingan itu dimaksudkan juga agar pengembang tidak hanya berorientasi keuntungan dengan membangun rumah tipe mewah dan menengah saja tetapi ikut berpartisipasi membangun rumah sederhana yang memerlukan stok banyak dalam penyediaannya. Belum terlaksananya dengan baik aturan 1:3:6 ini kemudian pada tahun 2012 Menteri Perumahan Rakyat mengeluarkan peraturan menteri perumahan rakyat no 10 tahun 2012 yang menjelaskan tentang hunian berimbang dengan perbandingan yang diperkecil dari sebelumnya menjadi 1:2:3 yang menjelaskan perbandingan rumah mewah sebesar (1), berbanding rumah menengah (2) atau lebih, berbanding rumah sederhana (3) atau lebih. Di dalam peraturan menteri perumahan rakyat juga sudah memberikan kelonggaran kepada pengembang perumahan real estate bahwa lokasi hunian berimbang bisa dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan tetapi tetap harus menyediakan akses ke pusat pelayanan dan tempat kerja dan dibangun dalam satu wilayah kabupaten/kota. Ini dimaksudkan agar pengembang perumahan tidak seenaknya membangun rumah sederhana di tempat lain yang jauh dari pusat kota karena mempertimbangkan aspek komersial. Tren perkembangan real estat di Surabaya masih positif. Peningkatan kebutuhan akan hunian di kota Surabaya, membuat real estat berkembang cukup pesat. Luas perumahan real estat di kota Surabaya saat ini mencapai ± 3.536,65 Ha atau ± 35 % dari luas permukiman kota Surabaya dan ± 10 % dari luas kota Surabaya. Dari proyek-proyek penyediaan rumah di atas terdapat sepuluh proyek perumahan real estate yang memprioritaskan membangun tipe rumah mewah, kemudian empat proyek perumahan real estate yang memprioritaskan membangun dua tipe rumah yaitu mewah dan menengah, lalu enam dua proyek perumahan real estate yang lebih memprioritaskan membangun tipe rumah menengah, kemudian tiga proyek perumahan real estate yang membangun dua tipe rumah yaitu menengah dan sederhana (RS), lalu lima proyek perumahan real estate yang membangun rumah tipe sederhana (RS), ada juga satu proyek perumahan real estate yang lebih memprioritaskan pembangunan dua tipe rumah, yaitu sederhana (RS) dan sangat sederhana(RSS), kemudian ada juga proyek perumahan real estate yang membangun tiga tipe rumah sekaligus yaitu mewah, menengah, dan sederhana (RS). Hal-hal yang telah diuraikan di atas dapat dilihat bahwa kemauan pembangunan perumahan real estate untuk masyarakat berpenghasilan rendah masing sangat kecil dan sedikit karena perubahan cara pandang pengembang perumahan bahwa rumah seharusnya komoditi publik bukan komoditi komersial. Padahal dalam peraturan menteri perumahan rakyat no 10 tahun 2012 amanat tentang hunian berimbang juga disebutkan bahwa luasan lahan rumah sederhana sebagaimana dimaksud, sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima perseratus) dari luas lahan keseluruhan.
350
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
Jika tidak dilaksanakan telah disebutkan sanksi administratif siap dijatuhkan kepada pengembang yaitu dalam bentuk peringatan tertulis, pencabutan insentif, pembatasan kegiatan pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan, pembekuan izin usaha, sampai pencabutan izin usaha. Sedangkan sanksi pidana juga siap dijatuhkan yaitu pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar) dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan. Pembangunan perumahan real estate yang berbasis hunian berimbang sudah merupakan salah satu aspek kenyamanan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, kemudian diadopsi oleh pemerintah kota Surabaya. Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan khususnya perumahan real estate dikembangkan dengan proporsi 1:3:6 yang kemudian telah dirubah menjadi 1:2:3 dengan komposisi rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana yang di dalamnya termasuk rumah sangat sederhana. Maka dari itu pembangunan perumahan real estate tidak semua dibebankan pemerintah kota Surabaya, melalui program perumahan dan permukiman pemerintah kota dibantu pelaku ekonomi dalam hal ini pengembang perumahan. Ekonomi politik dimaksudkan untuk membahas keterkaitan antara berbagai aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi seperti investasi. Dalam pembangunan perumahan real estate, pengembang diwajibkan memenuhi kebutuhan perumahan dengan proporsi yang telah diatur dalam peraturan menteri tersebut agar tercipta hunian berimbang yang telah dijelaskan tujuan nya dalam peraturan menteri. Tetapi lemahnya penerapan kebijakan pemerintah perilaku dunia usaha menganggap remeh kebijakan tersebut. Kinerja yang rendah ini berdampak dengan banyaknya perumahan real estate yang belum menjalankan konsep hunian berimbang dalam perumahan real estate mereka. Konsep ekonomi politik sebagai suatu yang dipakai untuk memberi gambaran permasalahan ini dengan melihat pola hubungan swasta, pemerintah dan masyarakat. Pembahasan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan dari suatu kebijakan publik, mulai dari proses perancangan hingga implementasi dari kebijakan itu sendiri. Pembangunan perumahan real estate yang berbasis dengan konsep hunian berimbang ini pertama kali diatur dalam surat keputusan bersama menteri dalam negeri, menteri pekerjaan umum dan menteri negara perumahan rakyat no. 648384 tahun 1992 tentang pedoman permukiman dengan lingkungan hunian berimbang, Oleh sebab itu pengembang yang proyek perumahannya sudah selesai ataupun masih berjalan harus menganut pada surat keputusan bersama mendagri, menteri PU, dan menpera no. 648-384 tahun 1992 tersebut. Setelah ditindak lanjuti dalam Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah Kota Surabaya atau biasa disingkat dengan RP4D. Pemerintah kota Surabaya baru terlihat serius menjalankan konsep lingkungan hunian berimbang. Ini ditunjukkan dengan dimasukkannya konsep lingkungan hunian berimbang dalam salah satu syarat zoning pedoman perencanaan dan pembangunan fisik dapat dilihat pada lampiran penelitian. Akan tetapi meskipun sudah dimasukkan sebagai syarat zoning tetap saja banyak pengembang perumahan tidak mengikuti nya dikarenakan tidak ada perbedaan perhitungan pembiayaan dalam usaha pengembang kecil dan pengembang besar
351
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
jadi ini membuat para pengembang perumahan berani mengembangkan perumahannya tidak mengikuti aturan konsep hunian berimbang agar mendapatkan keuntungan yang berlebih dengan menjual rumah tipe menengah dan mewah. Kemudian tidak hanya masalah teknis tetapi juga ikut membantu dalam hal pembuatan rusunawa, karena rusunawa lebih efektif dalam pembangunannnya dengan tidak menghabiskan lahan pembangunan yang terlalu luas, sedangkan rumah tinggal jika ingin dibangun secara besar-besaran maka diperlukan lahan yang sangat luas belum juga prasarana, sarana, dan utilitas yang harus kami penuhi sehingga tidak memungkinkan untuk dibangun kawasan perumahan real estate itu sendiri. Ekonomi politik merupakan suatu kajian dimana didalamnya menggunakan perspektif ekonomi untuk memahami masalah-masalah politik, yang dapat dipakai untuk melihat proses politik serta analisis kebijakan dengan menekankan pada ekonomi politik, yang menunjukkan adanya saling pengaruh antara fenomena politik dan fenomena ekonomi (Hudiyanto, 2005:23). Hal ini jelas berbeda dengan realita yang ada dimana hingga saat ini masih banyak pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep lingkungan hunian berimbang baik dari developer yang telah menjalankan proyeknya dari tahun 1990-an ataupun developer perumahan real estate yang baru mengerjakan proyeknya medio 2000-an. Selain itu terdapat permasalahan banyaknya perumahan real estate yang membangun dengan cara cluster-cluster tipe rumah yang berada dalam satu pintu gerbang yang dipergunakan untuk pintu masuk sekaligus keluar bagi para penghuni ataupun tamu dari penghuni cluster tersebut. Eksklusifitas letak rumah seperti ini lah yang diinginkan oleh para pembeli rumah karena mereka menganggap keamanan dan kenyamanan dari sistem seperti ini akan membuat mereka para penghuni merasa sangat nyaman tinggal di dalam sana. Fenomena seperti inilah yang kemudian digunakan oleh para developer perumahan untuk berkompetisi membangun seperti yang diharapkan para calon pembeli karena mereka meyakini inilah pasar properti yang begitu diinginkan oleh calon pembeli tersebut di kota Surabaya Eksklusifitas perumahan real estate membuat banyak developer perumahan tidak berminat melaksanakan konsep lingkungan hunian berimbang dikarenakan mereka melihat jika ini dilakukan akan membuat perumahan real estate mereka menjadi tidak eksklusif lagi dan ini pun akan membuat efek berantai dengan tidak laku nya rumah-rumah yang dijual oleh mereka dan akan berdampak pada pemasukan serta keuntungan mereka. Eksklusifitas rumah merupakan hal yang sudah wajar di inginkan oleh para calon pembeli rumah, karena melihat masih bagus nya prospek dari properti seperti itu. Akan tetapi eksklusifitas sebuah tipe rumah seharusnya tidak membuat semua tipe harus seperti sistem cluster, ini dikarenakan seperti yang sudah saya dijelaskan di awal bahwa tujuan adanya konsep hunian berimbang adalah perlu diwujudkan agar lingkungan perumahan yang penghuninya terdiri dari berbagai profesi, tingkat ekonomi, dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi oleh sifat kebersamaan dan kekeluargaan untuk menghindari terciptanya perumahan dengan pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial. Sehingga pemerintah perlu mengatur tentang adanya hunian berimbang yang
352
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
menciptakan keserasian berbagai kelompok masyarakat supaya tidak ada pemisahan kelas sosial di antara masyarakat. Dalam pemikiran ekonomi politik liberal klasik ialah bahwa tiap pelaku ekonomi (baik konsumen maupun produsen) haruslah diberi kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadinya masing-masing. Konsumen diberi kebebasan memilih kombinasi konsumsi dari berbagai macam barang dan jasa yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya sesuai selera dan kemampuan uang yang dimilikinya. Begitu juga produsen diberi kebebasan memilih berbagai input dan teknologi untuk digunakan dalam proses produksi menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang berlandaskan pada permintaan yang lebih dikehendaki konsumen (Deliarnov, 2006:30). Inilah kemudian yang dikehendaki oleh para pengembang dalam membangun perumahan real estate yang ber konsep cluster karena melihat sangat tingginya permintaan dari para konsumen pembeli perumahan terutama di daerah Surabaya sendiri, mereka menginginkan adanya eksklusifitas hunian agar mereka dapat hidup dengan tenang, aman, dan nyaman dengan orang-orang yang membeli hunian di tipe cluster yang sama dan mereka pun tahu harga yang ditawarkan pun membuat hunian di cluster tersebut tidak sembarangan orang yang dapat membelinya, meski letak perumahan mereka berdekatan dengan jalan raya arteri yang menghubungkan setiap wilayah di Surabaya. Kemudian terdapat permasalahan banyaknya pengembang perumahan real estate yang beranggapan bahwa jika konsep lingkungan hunian berimbang dilaksanakan maka pembangunan rumah tipe sederhana akan membuat perumahan real estate mereka tidak lagi menguntungkan secara komersial. Fakta bahwa adanya perumahan real estate yang dibangun pasti dibarengi dengan pembangunan ruang-ruang komersial seperti ruko ataupun rukan di depan pintu masuk sebuah perumahan real estate dan ikut membuat brand perumahan real estate secara tidak langsung naik karena terbantu dengan area komersial tersebut, dan ini semua dibangun untuk mensupport kegiatan dari para penghuni perumahan real estate itu sendiri. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan adanya saling pengaruh antara fenomena politik dan fenomena ekonomi. Dimana pada pelaku ekonomi yaitu developer perumahan berkeinginan membangun perumahan real estate serta membuat area-area komersial baru tanpa dilaksanakannya konsep lingkungan hunian berimbang dalam perumahan real estate nya dan pelaku politik dalam hal ini pemkot memberikan akses seluas-luasnya kepada investor dalam mengembangkan area-area yang telah di rencanakan seperti pengembangan perumahan real estate beserta area komersial nya di area yang masih terdapat tempat seperti area Surabaya barat ataupun Surabaya timur dan menghimbau kepada pengembang perumahan real estate untuk mengikuti aturan 1:3:6 atau hunian berimbang yang berimbang tanpa dikenai sanksi tegas. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari perspektif ekonomi pembangunan perumahan real estate beserta area komersial nya dapat membuat perekonomian kota Surabaya semakin melaju dan pemerataan pembangunan ekonomi ke seluruh area Surabaya. Oleh karena itu pemerintah kota cenderung melakukan pembiaran tidak memberikan sanksi tegas dalam pelaksanaan aturan konsep hunian berimbang. Belum berjalanannya konsep tentang hunian berimbang ini baik oleh pengembang perumahan selaku pihak yang membangun perumahan real estate
353
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
ataupun proses pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah kota Surabaya sendiri menimbulkan banyak permasalahan baik pada pembangunan perumahan real estate yang tidak sesuai dengan aturan konsep hunian berimbang hingga pada pengendalian dan pengawasan hingga pemberian sanksi oleh dinas terkait. Tetapi dari belum berjalanannya aturan konsep hunian berimbang ini memunculkan implikasi baik dalam hal ekonomis maupun politis yang bersifat menguntungkan dan merugikan. Pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam hal ini yaitu Sebagai pelaku usaha, pengembang perumahan lebih menekankan kepada keuntungan, oleh karena itu pengembang perumahan diuntungkan dengan belum berjalannya dengan baik aturan tentang konsep hunian berimbang ini, hal ini disebabkan ketika pengembang perumahan melakukan pembangunan rumah tinggal lebih difokuskan kedalam jenis rumah tipe menengah maupun mewah yang lebih menguntungkan dari segala aspek ekonomi dalam penjualan kepada calon konsumen, daripada membangun rumah tipe sederhana yang secara ekonomi tidak memberikan keuntungan baik untuk pemasaran perumahan yang mengandalkan eksklusifitas hunian ataupun dari sisi ekonomi. Dengan tidak adanya ketegasan pemerintah kota untuk menindak pengembang perumahan yang tidak menerapkan konsep hunian berimbang dalam perumahan real estate yang mereka bangun membuat para pengembang perumahan lebih leluasa dalam memaksimalkan lahan yang mereka miliki dengan membangun rumah tinggal yang lebih eksklusif dan menjanjikan keuntungan berlebih dalam pembangunan rumah tipe menengah dan mewah seiring dengan maju nya perekonomian kota Surabaya sendiri daripada membangun rumah tinggal sederhana yang memberikan margin keuntungan sedikit dan menghilangkan kesan eksklusif dalam perumahan real estate yang mereka bangun, sedangkan Pemerintah Kota sangat dirugikan dengan belum terlaksananya dengan baik konsep hunian berimbang ini, pasokan rumah tinggal kelompok sederhana untuk kota Surabaya sangat dibutuhkan dalam memenuhi kekurangan rumah tinggal yang setiap tahun semakin meningkat. Jika konsep hunian berimbang ini berjalan dengan baik maka pemerintah kota Surabaya tidak perlu banyak membangun flat/rumah susun sewa untuk masyarakat berpenghasilan rendah karena konsep hunian berimbang ini dinilai dapat memenuhi pasokan backlog dalam kebutuhan rumah tinggal. Selain itu pengembang akan semakin banyak membangun rumah tipe sederhana apabila pemerintah kota Surabaya dapat menjalankan fungsinya sebagai pengawas serta pengendali bidang perumahan dengan baik serta dapat memberi penjelasan dan pengertian bahwa membangun rumah tipe sederhana juga sangat dibutuhkan untuk masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah seperti buruh yang masih banyak terdapat di kota Surabaya. Masyarakat disini terutama masyarakat/warga kota Surabaya yang belum mempunyai rumah tinggal secara mandiri atau masih mengontrak rumah dan bisa juga menyewa kost-kost an. Sebenarnya bila konsep hunian berimbang ini berjalan dengan baik maka tidak ada masyarakat kota Surabaya yang masih mengkontrak terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang bekerja sebagai buruh pabrik ataupun yang lainnya. Sehingga belum dilaksanakannya hunian berimbang dengan baik dan benar membuat pasokan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di kota Surabaya sendiri malah semakin meningkat kebutuhannya akan rumah sederhana padahal sudah menjadi kewajiban bagi pengembang yang membangun rumah
354
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
menengah dan mewah dalam perumahannya menyediakan rumah ber tipe sederhana dalam perbandingan tertentu seperti yang telah di amanatkan oleh pemerintah pusat untuk mengurangi kebutuhan pasokan rumah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kesimpulan Dari permaalahan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu penyebab pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang berawal dari sikap pemerintah kota Surabaya yang enggan mengawasi pelaksanaan konsep hunian berimbang yang harus dijalankan pengembang perumahan pada saat sudah dikeluarkannya peraturan dari pemerintah pusat yang mengatur tentang aturan konsep hunian berimbang dan juga keterlibatan pemerintah daerah dalam mengawasi pelaksanaan aturan konsep hunian berimbang serta menindak pengembang perumahan agar melaksanakan konsep hunian berimbang. Dari sikap pemkot tersebut yang membuat banyak pengembang perumahan menganggap remeh kebijakan ini. Hingga berdampak saat ini, banyak pengembang perumahan yang belum melaksanakan konsep hunian berimbang di kota Surabaya. Kemudian penyebab pemerintah kota kurang tegas dalam memberi sanksi kepada pengembang perumahan yang belum melaksanakan hunian berimbang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah, koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah kota Surabaya yang berjalan kurang begitu baik sehingga membuat pemberian sanksi menjadi hambatan. Faktor yang kedua adalah, belum dibentuknya Badan Pengendali Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah Kota sehingga membuat pengawasan serta pemberian sanksi terhadap pengembang perumahan yang tidak mengikuti aturan kurang tegas dalam pelaksanaannya. Hal ini dibuktikan masih banyaknya pengembang perumahan yang belum melaksanakan aturan konsep lingkungan hunian berimbang dalam proyek pembangunan perumahannya seperti yang terjadi dalam realitanya masih banyak yang melanggar aturan ini. Yang dari belum dijalankannya aturan konsep lingkungan hunian berimbang terdapat pihak-pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan. Dimana pihak-pihak yang diuntungkan pertama adalah pengembang perumahan, hal ini disebabkan pengembang perumahan masih dapat membangun jenis rumah tipe menengah maupun mewah yang jelas lebih menguntungkan dari segala aspek ekonomi daripada membangun rumah tipe sederhana. Sedangkan pihak yang dirugikan adalah pemerintah kota Surabaya, hal ini dikarenakan jika konsep hunian berimbang dapat berjalan dengan baik maka pemerintah kota Surabaya mendapatkan tambahan banyak rumah tipe sederhana untuk memenuhi pasokan backlog yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pihak yang dirugikan selanjutnya adalah masyarakat kota Surabaya, hal ini disebabkan membuat para masyarakat berpenghasilan rendah yang belum mempunyai rumah tinggal sendiri tidak dapat memiliki rumah karena terbatasnya pasokan rumah tinggal untuk tipe sederhana serta harga nya yang semakin sulit dijangkau oleh masyarakat kota Surabaya yang berpenghasilan rendah.
355
Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014, 344-356
Daftar Pustaka Arifin, Bustanul., dan Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: Grasindo, 2001. Deliarnov. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga, 2006. Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2007. Hudiyanto. Ekonomi Politik. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta: LP3ES, 1987. Stilwell, Frank. Political Economy The Content Of Economic Ideas, UK: Oxford University Press, 2002.
356