Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 7 (2) (2015): 176-183
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Available online http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jupiis
Pendidikan Multikuturalisme dan Pendidikan Agama Islam Manaon Batubara
*
*Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, Indonesia Diterima Agustus 2015; Disetujui Oktober 2015; Dipublikasikan Desember 2015
Abstrak Pada umumnya, pendidikan merupakan bentuk usaha yang dilakukan untuk membina dan mengembangkan pribadi manusia (peserta didik) secara langsung dan bertahap, karena kematangan dan optimalnya perkembangan dan pertumbuhan peserta didik berlangsung melalui proses pendidikan. Pendidikan Islam merupakan sebuah upaya pendidikan dan ajaran nilai-nilai Islam menjadi way of life seseorang. Masyarakat multikulturalisme merupakan masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas dan meyakini bahwa keragaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang telah menjadi sunatullah yang tidak bisa diingkari. Oleh karenanya, paradigma ini merupakan pandangan atau usaha yang bisa mengarahkan masyarakat untuk menemukan ruang hidupnya lewat pekembangan berbagai subkultur, sehingga tidak lagi berlandaskan pada sebuah sentiment kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan (primordialisme) secara kaku. Penanaman paham multikulturalisme – apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam – sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Kata Kunci: Pendidikan Multikulturalisme; Pendidikan Agama Islam
Abstract
Generally, education is a type of effort which is conducted to foster and develop the human person (student) directly and gradually, because maturity and optimal development and growth of student is taking place through education process. Islamic education is one of effort to educate and Islamic teaching to be way of life of the one. Multicultural society is the community which able to forward various kinds of cultural diversity in the wider environment of society and believe that the diversity is an inevitability that cannot be denied. Therefore, this paradigm is point of view or attempt which can be directing society to find its space of life through various of sub-culture, so that it is not based on an ethnic sentiment, locality, religion, and primordialism rigidly. Teaching the multicultural paradigm—especially in the Islamic education—actually is not yet constituted by study and research deeply. Due to in Islamic perspective, that multiculturalism should be studied critically. Keyword: Educating of Multiculturalism; Islamic Education.
How to Cite: Batubara, Manaon. (2015). Pendidikan Multikuturalisme dan Pendidikan Agama Islam, Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 7 (2) (2015): 176-183. *Corresponding author: E-mail:
[email protected]
p-ISSN 2085-482X e-ISSN 2407-7429
176
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 7 (2) (2015): 176-183
PENDAHULUAN Parekh (2008) mengungkapkan, bahwa munculnya gerakan-gerakan politik dan intelektual yang dimotori oleh beranekamacam kelompok seperti kelompok masyarakat adat, kelompok minoritas suku bangsa, kelompok etnis-kultural, kelompok imigran baik yang lama maupun yang baru, kaum feminis, kelompok gay dan lesbian, dan kelompok pecinta lingkungan (the greens). Merekalah yang menggaungkan adanya kesetaraan dan kesederajatan dalam kehidupan yang menghormati hak-hak azasi manusia. Selanjutnya, Parekh dikatakan juga bahwa kelompok-kelompok ini mewakili praktek, gaya hidup, pandangan dan cara hidup yang berbeda dari, kadang berseberangan dengan, dan dalam sejumlah hal ditentang oleh, kultur yang dominan dalam masyarakat luas. Artinya, mereka mewakili pihak-pihak minoritas yang terdeskriminasi oleh kaum mayoritas. Kelompok-kelompok pergerakan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan pengakuan identitas (menyamakan dan membedakan dalam kehidupan bermasyarakat) dan perbedaan-perbedaan yang terkait dengan identitas itu sendiri. Meskipun gerakan-gerakan baru ini sering dimasukkan di dalam payung istilah multikulturalisme, namun multikulturalisme pada kenyataannya hanya mengacu pada beberapa saja. Multikulturalisme bukan melulu soal perbedaan dan identitas pada dirinya sendiri namun juga menyangkut hal-ihwal yang tertanam dan ditunjang oleh budaya yang mengatur hidup baik individu maupun kolektif. Multikulturalisme diangap sebagai satu faham yang bisa memahami keberbedaan dalam kesederajatan, sehingga efektif untuk meredam konflik yang timbul oleh keberbedaan dalam masyarakat multikultur. Memang, dalam sejarah perjalanannya, multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (Englishspeaking countries), dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi ,dan menjadi sebagai konsensus sosial di antara elit Negara tersebut.
Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subjek debat di Britania Raya dan Jerman, dan beberapa Negara lainnya. Negara yang memunculkan faham multikulturalisme, pada akhirnya menelaah ulang dengan mennyesuaikan pada kondisi Negara. Di Indonesia, sebagai salah satu Negara yang pada dasarnya multikultur, multikulturalisme mencoba untuk dikembangkan lebih jauh lagi dengan mulai diintegrasikan pada ranah pendidikan agama. Dua hal inilah yang akan menjadi pembahasan lanjut, bagaimana multikulturalisme diintegrasikan ke dalam pendidikan agama. Akankah ada pendalaman lebih lanjut, ketika melihat sejarah kemunculan multikulturalisme yang mencoba mengkritisi ketidakseimbangan yang terjadi di dunia, seperti perempuan, kaum imigran, bahkan kaum orientasi seksual yang berbeda. Yang menjadi pertanyaan lebh lanjut adalah, apakah pendidikan agama islam di sekolah-sekolah dirasa gagal dan kurang relevan dalam menciptakan harmoni kehidupan dan bahkan menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat yang multicultural di Indonesia? Inilah yang patut untuk dipertanyakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, apalagi ketika agama menjadi pembanding dari faham multikulturaslisme tersebut. Agama Islam yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia ini, mencoba untuk memahami keberadaan multikulturalisme yang sudah mulai diintegrasikan pada pendidikan agama Islam di sekolah. Oleh karena itulah, tulisan ini mencoba untuk memahami Multikulturalisme dalam konteks Pendidikan agama Islam dan Keindonesiaan, sehingga beberapa harapan-harapan yang diinginkan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat, bisa sebagai kritik dan masukan bagi pemerintah. .
177
Manaon Batubara, Pendidikan Multikuturalisme dan Pendidikan Agama Islam
PEMBAHASAN Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang ditafsirkan sebagai ideology untuk menghendaki adanya pemahaman dalam keragaman dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik sama dalam masyarakat modern. Semangat Demokrasilah yang menjadi latar belakang kemunculan faham ini, sehingga lahirlah multikulturalisme untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, Hak Asazi Manusia (HAM), dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideology yang berdiri sendiri di antara ideology lain yang terpisah. Akan tetapi berkembang karena adanya ideology lain dan juga seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan tersusun konsep-konsep lain untuk dijadikan acuan bagi pemahaman dan mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapanungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan. Multikulturalisme dilawankan dengan monokulturalisme, homogenisme, melting pot,
salad bowl dan asimilasi yang cenderung mengorbankan minoritas. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normative (istilah “monokultural‟ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas). Melting pot dan salad bowl yang melebur dan menghilangkan ciri khas masingmasing dan menghasilkan budaya yang baru. Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru dengan menghilangkan kebudayaan minoritas untuk melebur kepada mayoritas. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutma ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat. Upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideology multikulturalisme dalam masyarakat yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warganegara, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuan sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan.
178
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 7 (2) (2015): 176-183
Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masukakal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan demokrasi. Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat di tengah gejolak masyarakat yang berjalan menuju ke arah kemapanan. Sedemikian maraknya gagasan multikulturalisme tersebut, juga disertai dengan penyebaran isu-isu pendahuluan yang terjadi di masyarakat. Ketika banyaknya peristiwa bentrokan (konflik horizontal) di tengah masyarakat, berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras untuk diimplementasikan secepatnya dalam kurikulum pendidikan. Gagasan ini, kemudian tanpa diimbangi dengan pemahaman keberagaman (multicultural dan majemuk) masyarakat yang memang sudah ada di Indonesia pada awalnya. Selain itu juga tanpa ada pemahaman konflik yang terjadi di masyarakat, apakah memang konflik yang terjadi tersebut berawal dari masyarakat itu sendiri (horizontal) ataukah sudah ada yang mengaturnya. Apalagi, kemudian, penanaman paham multikulturalisme diarahkan kepada Pendidikan Agama yang ada pada semua sekolah, tentunya memerlukan kajian penelitian dan studi kelayakan yang mendalam. Apakah memang pendidikan agama yang
dselenggarakan di sekolah-sekolah itu sudah tidak relevan dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya, sehingga perlu disisipkan multikulturalisme. Apakah aama sudah tidak mampu meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat? Misalnya, konsep pemikiran penting dalam agama seperti konsep Tuhan, Wahyu dan kebenaran di antara agama masing-masing yang berbeda tersebut, disamakan dalam kerangka multikulturalisme, maka justru akan membuat konflik yang baru dan berbeda dengan konflik masyarakat yang sebelumnya terjadi. Pemahaman dan keberbedaan dalam kesederajatan yang dimaksud di atas, tentu tidak sama satu dengan yang lain. Masingmasing dalam keberbedaan itu harus ada pemahaman latar belakang kenapa mereka berbeda. Kekhawatiran yang harus dihindari tersebut adalah adanya kekeliruan untuk memahami konsep-konsep penting dalam agama, sehingga tidak berimbas pada sikap yang tidak tepat dalam mengatasi berbagai problema di masyarakat terkait kehidupan beragama. Konsep-konsep yang dipahami dengan keliru tersebut, akan menjadi klaim kebenaran yang tebal dan merupakan puncak dari semangat egosentrisme, etnosentrisme, dan chauvinism, sebagai kelainan jiwa yang disebut narsisme (sikap membanggakan dan mengunggulkan diri). Konsep sikap klaim kebenaran inilah yang menurut kalangan penggagas multikulturalisme ini yang akan menghasilkan friksi (gesekan-gesekan) di masyarakat dan menimbulkan konflik. Ketika dikaitkan dengan Pendidikan Agama Islam, multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis dalam perspektif Islam. Konsep wahyu, klaim kebenaran, dan hidup yang toleran, sedemikian melekat pada ajaran dan umat Islam. Dalam perspektif Agama Islam, mengakui dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan mempersaksikan keyakinan tersebut dihadapan Allah SWT juga di hadapan manusia lainnya adalah keniscayaan yang harus dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Dua Kalimah Syahadat, sebagai bagian dari deklarasi
179
Manaon Batubara, Pendidikan Multikuturalisme dan Pendidikan Agama Islam
kemusliman serta kesiapan untuk tunduk dan patuh kepada Allah, dan mengakui Muhammad adalah Rasul-Nya, merupakan bukti, upaya dan pengakuan manusia yang lain untuk sama-sama beriman dan berislam. Agama Islam dalam memahami hidup yang toleran, diajarkan tanpa harus meniadakan kebenaran prinsip yang dipegang. Toleransi dalam Islam bukan berarti sepakat, setuju, membenarkan ajaran agama lain, melainkan menghormati pemeluk dan ajaran agama lain sesuai proporsinya. Proses saling menghargai dan menghormati ini dilakukan sambil menegakkan prinsip ajaran agama, nilainilai agama, dan kewajiban berdakwah dalam bingkai-bingkai yang dianjurkan oleh agama itu sendiri. Perspektif agama Islam dalam persoalan makna pada istilah multikulturalisme itu sendiri adalah sebuah definisi yang diartikan beragam mulai dari sekedar pengakuan terhadap realitas multicultural masyarakat dunia saat ini; upaya untuk menerima dan menghormati realitas itu; hingga pada pengertian yang merefleksikan relativisme kebenaran dan relativisme agama. Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari paham inklusivisme dan pluralisme agama. Jika pada inklusivisme, integritas agama tertentu masih dipertahankan sekalipun ada pengakuan kebenaran pada yang lain. Sebaliknya pada multikulturalisme, terjadi hal yang sebaliknya, yaitu memungkinkan berbagi agama dengan yang lain. Dengan berbagi agama dengan yang lain, terkandung muatan sinkretisme agama. Bahkan, bukan tidak mungkin, nantinya akan memunculkan agama baru yang bernama multikulturalisme. Agama Islam, dalam memandang multikulturalisme, adalah kekhawatirkan akan adanya kekeliruan dalam memahami agama Islam. Konsep multikulturalisme ini akan mendudukan Islam sebagai agama yang sama dan sederajat dengan agama yang lain. Hal ini bertolak belakang dengan Islam sebagai agama (ad-din) yang berbeda dengan agama-agama yang ada di dunia ini. Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang sampai sekarang
orisinalitasnya terjaga. Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas: “Islam is the only genuinerevealed religion.” (Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam)Islam bukan agama budaya dan bukan agama yang dihasilkan oleh proses evolusi budaya. Demikian pula, sistem nilai dan sistem pemikiran Islam bukan semata berasal dari unsur-unsur budaya dan folosofis yang dibantu sains, tetapi berasal dari sumbernya yang asli yaitu wahyu, dikonfirmasi oleh agama serta didukung oleh akal dan intuisi. Islam adalah sebagai agama final dan matang dari sejak diturunkannya, tidak mengenal adanya proses penyempurnaan. Islam berbeda dengan agama-agama lainnyaterutama agama bumi yang lahir dari sebuah evolusi. Sehingga, ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya adalah ketentuan final sebagai syari’at hidup manusia menjalani penghambaan dan pengabdiannya kepada sang Khaliq. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 3. “…… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu……“ Sementara agama lain, bisa dibilang hanyalah berupa pengalaman spiritual seseorang atau sekelompok orang dalam mencari sisi-sisi transenden untuk melengkapi kekosongan nilai spiritual yang ada dalam dirinya. Islam juga bukan agama sejarah karena Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang terdapat dalam Islam berlaku sepanjang masa. Islam memiliki pandangan-alam mutlaknya sendiri yang berbeda dengan agama lain. Pandangan-alam (worldview) ini meliputi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta, dan lain sebagainya. Sedangkan pendidikan multicultural yang mulai digaungkan di sekolah-sekolah, diharapkan menjadi resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Baik kekerasan yang muncul akibat perbedaan
180
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 7 (2) (2015): 176-183
pendapat, etnisitas maupun keyakinan, sehingga kemudian terjadi pemahaman dalam keberbedaan dan keberagaman. Perbedaan tersebut, tidak harus saling berbenturan yang nantinya akan memicu kekerasan, apalagi ketika saluran kedamaian sudah tidak ada. Kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Toleransilah sedemikian diajarkan di dalam agama, yang sepertinya sama dengan saling memahami dalam multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Pemahaman seperti ini mengharuskan masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Karena semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-kearifan (baca: ajaran, nilai-nilai, kandungan, dan lain-lain tersebut tidak dapat dinilai sebagai positifnegatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan akar baikburuk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula. Budaya versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas, meliputi agama, ideologi, sistem hukum, sistem pembangunan, dan sebagainya. Kalangan multikulturalis memaknai budaya secara luas, bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam, Kristen, hindu, budha, jawa, sunda, batak, kapitalisme, sosialisme, dan berbagai produk komunitas lainnya adalah budaya dan posisinya sejajar dan sederajat. Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat menilai baik atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula, Islam tidak boleh mengklaim sebagai satusatunya agama yang benar di sisi Tuhan karena
hal demikian akan mencenderai semangat toleransi dalam bingkai multikulturalisme. Paham ini tidak membedakan antara budaya baik dan budaya buruk karena semuanya dalam bingkai kesederajatan, sementara agama Islam tidaklah demikian. Islam memandang tinggi budaya baik dan memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam, persoalan budaya pun tetap dibingkai oleh nilai-nilai Ilahi yang sifatnya mutlak dan harus jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya individu maupun kelompok. Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan, termasuk agama di dalamnya. Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreatifitas masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip yang berbeda yang kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti, budaya tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya. Jika pemahaman ini diaplikasikan, maka yang terjadi adalah agama dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bukanlah sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau kandungannya akan dan harus selalu berevolusi seiring sejalan dengan evolusi masyarakat yang berbeda dari waktu ke waktu. Jika demikian yang terjadi, sendi-sendi ajaran agama khususnya Islam lambat laun akan hilang dan punah. Terganti oleh nilai-nilai kreatif buatan manusia yang justru akan membahayakan eksistensi kemanusiaannya itu sendiri dan eksistensi kehidupan secara keseluruhan. Pendidikan multicultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesa ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suku gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya, betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Kedua, pendidikan multicultural
181
Manaon Batubara, Pendidikan Multikuturalisme dan Pendidikan Agama Islam
memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikulural adlah pendidikan ysenantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas, dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Agenda buruk globalisasi. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama patut diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekularliberal di era globalisasi. Nilai-nilai sekularliberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran, budaya, nilai dan tradisi. Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa Negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian karena menurut mereka negara sekular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragamaumat Islam yang benar yang bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia semata. Maka, ketika proses ini berhasil dijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim. Jika konsep pendidikan multikulturalisme seperti hasil temuan penulis yang diutarakan di atas, maka pendidikan ini akan sangat berbahaya pagi siswa didik muslim. Dengan paham semacam ini, peserta didik dijauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama Islam sejatinya adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur‟an dan al-
Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman. Pendidikan agama dalam Islam adalah pendidikan agama yang berbasis tauhidullah dilandasi oleh semangat beribadah dan semangat dakwah dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Dalam Islam, seluruh perbuatan manusia termasuk pendidikan, dibingkai oleh motivasi penyerahan total dirinya sebagai hamba Allah khalifatullah. Pendidikan multicultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Inilah hakikat pendidikan dalam pandangan alam Islami yang perlu diejawantahkan dalam dunia pendidikan dewasa ini. Secara konseptual dan fakta sejarah, Tauhid Islam senantiasa sinergi dengan kerukunan. Karena itu – berbeda dengan kondisi di dunia Barat – wacana multikulturalisme tidak menduduki tempat penting. Maka, seyogyanya, para cendekiawan Muslim tidak mudah hanyut dalam gegap gempita paham-paham baru yang dapat berdampak negatif pada pemahaman Islam yang benar. KESIMPULAN Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan: banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal ditengah masyarakat. Berbagai pihak kemudian
182
Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial 7 (2) (2015): 176-183
menyuarakan gagasan ini lebih keras dan diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan, Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme – apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam – sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. DAFTAR PUSTAKA
Banks, J.A. 1993. Multicultural Education: Issues and Perspectives. Needham Height, Massachusetts: Allyn and Bacon Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta : Quantum Teaching Mahfud, C. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Naim, N. dan Ahmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Parekh, B. 2008. Rethingking Multiculturalism, Yogyakarta: Kanisius Ramayulis dan Syamsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam : Telaah SistemPendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta : Kalam Mulia. Ridiawati, M. 2008. Jurnal Islam: Multikulturalisme dalam Islam. Bandung:INSANIA Suharto, T. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media Tilaar, HAR. 2004. Multikulturalisme: Tantangantantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Ujan, A. A., dkk. 2009. Multikulturalisme- Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta : Indeks Warnaen, S. 2002. Stereotipe Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta: Mata Bangsa http://www.slideshare.net/AliMurfi/multikulturalis me-dalam-perspektif-islam
183