17 STUDI TENTANG BUDIDAYA TANAMAN KENTANG Solzum Tuberosum L DI DATARAN TINGGI DIENG KAJIAN DARI ASPEK EKONOMI DAN LINGKUNGAN (A STUDY IN ECONOMICAL AND ENVIRONEMENTAL ASPECTS TO THE CULTIVATION OF POTATOES Solzum Tuberosum L IN DIENG PLATEU) Oleh : Bondansari, Kusmantoro Edy Sularso, dan, Eko Dewanto Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (Diterima: 9 Mei 2011, disetujui 20 Juni 2011) ABSTRACT Dieng Plateau is a region that is suitable for the development potatoes (Solanum tuberosum L.). Potato farming system is implemented on the sloping land, but conservation technologies are insufficient, so the productivity has decreased. Seemingly, the farming management also causes environmental disturbances, such as erosion, and excessive use of pesticides impact. This research aims were identifying the use of farm inputs used to anticipate the decrease of soybean productivities, and assessing the sustainability of potato farming from the economic aspect into account environmental factors. The research was conducted using a descriptive analytical method with a simple cluster sampling. Data were collected from the farm inputs and supporting data such as, product prices and saprodi, receipts and related information with potato farming activities. The results showed that used of seed, labor and inorganic fertilizer in the planting season in 2008 was more than the planting season in 2009. Used of organic fertilizers in the planting season in 2009 was more than the season planting in 2008. Potato productivity in the planting season in 2008 was higher than that in the planting season in 2009. Monoculture cropping pattern with very intensive in the use of pesticides, cropping system in the direction of the slope and bench terraces that have not been introduced well often caused environmental problems, such as landslides, floods with mud, erosion and declining productivity of potato. Potato farming was still profitable in financial terms but economically (socially), it was not feasible to be commercialized. Keywords: potatoes plant, economic aspects, environmental aspects PENDAHULUAN Dataran Tinggi Dieng terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Ketinggian tempat mencapai 2.000 meter di atas permukaan air laut (dpal), yang banyak dibudidayakan untuk tanaman sayuran, khususnya kentang (Solanum tuberosum L.). Frekuensi tanam sayuran di dataran tinggi Dieng pada umumnya dua sampai tiga kali dalam setahun, dengan pola tanam kentang-kentang-kentang. Usahatani kentang di dataran tinggi Dieng merupakan usaha pokok sebagian besar masyarakat petani di Dataran Tinggi Dieng
bagian timur. Budidaya tanaman kentang diperkenalkan sejak tahun 1970 dan memberikan hasil yang sangat menguntungkan (Wildan, 2004). Kenyataan ini mengakibatkan luas areal tanam kentang di kawasan Dataran Tinggi Dieng dari tahun 1975 sampai tahun 1990 mengalami kenaikan sangat tinggi. Pada saat itu produkstivitas kentang mencapai 20 – 25 ton per hektar. Pada tahun 2007, produktivitas tanaman kentang telah mengalami penurunan, yaitu hanya 16 ton per hektar (Sularso, 2009). Kenyataan ini disebabkan karena teknik pengelolaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, sehingga secara berangsur
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
18 produktivitasnya menurun. Permasalahan pokok usahatani tanaman sayuran dataran tinggi, seperti di wilayah dataran tinggi Dieng adalah sangat rentan terjadinya gangguan keseimbangan lingkungan. Gangguan tersebut diantaranya adalah terjadinya erosi, menurunnya tingkat kesuburan tanah, menurunnya produktivitas lahan, banjir dan tanah longsor, dan pendangkalan sungai serta waduk. Kawasan dataran tinggi Dieng yang bertopografi berbukit sampai bergunung dengan kemiringan lahan yang relatif besar berpotensi erosi tinggi, sehingga aktivitas usahatani tanaman pangan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi sumbardaya lahan akan mempercepat laju erosi. Lahan yang tererosi secara terus-menerus menyebabkan lapisan permukaan tanah yang subur akan semakin hilang sehingga zonasi perakaran, unsur hara dan bahan organik tanah semakin berkurang (Arsyad, 1989). Kondisi demikian apabila berlanjut akan menyebabkan tanah menjadi rusak dan lahan menjadi kritis, sehingga produkstivitas lahan semakin menurun dan menyebabkan pendapatan petani juga semakin menurun (Pakpahan dan Syafa’at, 1991). Upaya mendapatkan dan meningkatkan produksi kentang dilakukan dengan pendekatan intensifikasi, yaitu menerapkan sistem pertanian dengan masukan ekternal tinggi (high external input agriculture system). Pendekatan ini sering dilakukan tanpa kajian yang mendalam terhadap aspek lingkungan, sehingga sering menimbulkan biaya lingkungan yang tidak diperhitungkan sebagai komponen biaya yang sebenarnya harus dihitung secara ekonomi. Usahatani kentang menciptakan biaya lingkungan dalam bentuk erosi dan pencemaran lingkungan, diantaranya akibat penggunaan pestisida yang berlebihan dan timbulnya emisi gas methane (bau) dari
pupuk kandang. Metode penyemprotan pestisida secara terjadwal dengan pola “kosong 2” atau “kosong 3” menyebabkan penggunaan pestisida secara berlebihan. Pestisida yang berlebihan menyebabkan pencemaran lingkungan karena adanya residu yang ditinggalkan dan menimbulkan penyakit bagi petani. Petani melakukan tindakan seperti di atas karena nilai ekonomi yang tinggi dari tanaman kentang. Bila dibandingkan dengan tanaman pangan, maka tanaman kentang masih dinilai lebih menguntungkan, sehingga dalam budidayanya dilakukan sangat intensif. Khususnya penggunaan pestisida, para petani kentang bermodal besar akan menggunakan pestisida yang berharga mahal dengan keyakinan bahwa semakin mahal harga pestisida semakin kuat bahan aktifnya untuk memberantas hama dan penyakit tanaman kentang. Sebagian besar usahatani kentang dilaksanakan pada kemiringan di atas 30% bahkan ada yang lebih dari 100%, tapi umumnya kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Petani tidak mau membuat guludan searah garis kontur dengan alasan bahwa air larian (run off) dari lereng atas tidak lancar dan menyebabkan lengas tanah atau kelembaban tanahnya tinggi, sehingga mengakibatkan umbi mudah busuk. Akibat cara pengelolaan lahan seperti di atas, jika terjadi hujan lebat akan menimbulkan aliran permukaan (run off) yang cukup banyak, dan sering menimbulkan banjir di beberapa tempat, terjadi kerusakan sarana dan prasarana. Secara umum, hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan. Akibat praktek pengelolaan lahan kentang yang cenderung menimbulkan berbagai kerusakan sumberdaya yang ada, maka para petani yang bertanam kentang di wilayah tersebut seharusnya
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
19 mempunyai kewajiban membayar biaya lingkungan. Penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air menjadi bagian yang sangat penting dalam strategi pengembangan budidaya tanaman kentang dataran tinggi ramah lingkungan. Konservasi tanah pada dasarnya merupakan usaha pemanfaatan tanah dalam usahatani dengan memperhatikan tingkat kemampuannya, dan senantiasa menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar tanah tidak mengalami kerusakan untuk dapat digunakan secara lestari. Kegiatan usahatani kentang dilakukan petani secara perorangan, tetapi sebagian tergabung dalam kelompok tani. Dalam kegiatan usahatani tersebut, ada biaya ataupun manfaat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut menyangkut kepentingan masyarakat. Dengan demikian, perlu dilakukan analisis biaya manfaat secara ekonomi atau sosial, selain analisis biaya manfaat secara finansial. Analisis biaya manfaat secara ekonomi atau sosial diperlukan untuk melihat suatu kegiatan apabila menyangkut kepentingan masyarakat. Analisis biaya manfaat merupakan metode sistematis untuk menentukan serta mengukur manfaat dan biaya ekonomi suatu proyek atau program. Manfaat suatu proyek atau program adalah nilai tambah hasil barang dan jasa, termasuk jasa lingkungan, yang dimungkinkan karena adanya proyek. Biaya produksi secara finansial terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel (variable cost) merupakan biaya produksi yang besarnya tergantung pada jumlah produksi, diantaranya biaya input bibit, pupuk, dan pestisida. Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak tergantung pada besarnya produksi, yaitu mencakup biaya sewa lahan, biaya penyusutan peralatan dan mesin-mesin. Perhitungan manfaat dan biaya proyek/
program pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, tergantung pada pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek/program. Perhitungan privat atau analisis finansial terjadi bila yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek/program adalah individu atau pengusaha. Dalam hal ini yang dihitung sebagai manfaat adalah apa yang diperoleh orang-orang atau badan-badan swasta yang menanamkan modalnya dalam proyek/program tersebut. Sebaliknya, perhitungan sosial atau ekonomi dilakukan bila yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek/program adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Pada dasarnya, perbedaan perhitungan dalam analisis privat atau finansial dan analisis ekonomi ada lima hal, yaitu dalam penggunaan harga, perhitungan pajak, subsidi, biaya investasi, pelunasan pinjaman, serta bunga. Harga pasar yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial seringkali terdistorsi oleh pasar persaingan yang tidak sempurna, berbagai kebijakan pemerintah seperti pajak dan subsidi, dan juga dampak lingkungan yang belum diperhitungkan atau eksternalitas. Distorsi harga ini menyebabkan harga pasar tidak menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya. Dalam analisis ekonomi digunakan harga-harga bayangan (shadow prices) atau accounting prices, yaitu hargaharga yang disesuaikan sedemikian rupa untuk menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya dari barang dan jasa. Harga bayangan (shadow price) untuk suatu produk atau faktor produksi adalah berupa social opportunity cost. Tujuan penelitian ini adalah : 1) mengindentifikasi penggunaan input dalam usahatani kentang dalam rangka mengantisipasi penurunan produktivitas dari tahun ke tahun yang cenderung semakin menurun; dan 2)
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
20 mengkaji keberlanjutan usahatani kentang dari aspek ekonomi yang memperhitungkan faktor lingkungan, yaitu dengan pendekatan analisis biaya manfaat secara finansial; dan analisis biaya manfaat secara ekonomi (sosial) yang memperhitungkan faktor lingkungan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di wilayah Dataran Tinggi Dieng yang merupakan sentra produksi kentang di Jawa Tengah. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif analitis yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah yang terjadi pada masa sekarang, sedangkan masalah yang dipecahkan adalah masalah yang aktual. Metode pengambilan sampel menggunakan pengambilan contoh kelompok sederhana (simple cluster sampling), dengan populasi yang diteliti dibagi dalam kelompokkelompok sebagai satuan-satuan contoh (sampel) yang diteliti. Populasi yang diteliti dibagi dalam kelompok desa, kemudian menjadi dusun. Dusun dijadikan sebagai kelompok sampel yang diteliti karena dapat memberikan gambaran terhadap kelompok populasi yang lebih besar. Hasil survei pendahuluan menunjukkan bahwa ada tiga desa sebagai sampel yang mewakili populasi, yaitu Desa Setieng, Desa Patak Banteng dan Desa Kejajar. Hasil analisis penentuan sampel diperoleh 70 petani sebagai responden. Identifikasi penggunaan input dilakukan dengan bantuan daftar pertanyaan, meliputi berapa produktivitas lahan yang dicapai petani saat ini, berapa bibit, tenaga kerja, pupuk anorganik, pupuk organik, dan pestisida yang digunakan petani per satuan luas (hektar); kemudian dilakukan tabulasi untuk diketahui berapa besar produkvitas lahan yang diperoleh dan banyaknya input yang digunakan petani untuk budidaya kentang selama dua musim
tanam, yaitu musim tanam (MT) I tahun 2008 dan MT II tahun 2009. Untuk mendukung data primer tersebut maka diperlukan data sekunder yang bersumber dari instansi terkait. Gabungan data primer dan sekunder digunakan untuk mengetahui perkembangan produktivitas lahan dan perubahan penggunaan input. Analisis biaya dan manfaat finansial dilakukan dengan menghitung nilai penerimaan dan juga biaya-biaya dengan harga pasar. Kemudian, dilakukan analisis biaya manfaat sebagaimana ditulis oleh Suhartini (2007), yaitu dengan menghitung rasio antara penerimaan/ revenue (R) dan biaya/cost (C). R/C ratio = R/C; R adalah revenue/penerimaan, C adalah biaya (cost) yang merupakan jumlah total biaya produksi, yaitu biaya variabel usahatani kentang (biaya bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja luar keluarga dan biaya lainnya) + biaya tetap (biaya sewa lahan dan biaya pajak tanah) + bunga modal + upah tenaga kerja dalam keluarga. Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut layak untuk dilakukan bersifat sustainable secara finansial. Analisis biaya dan manfaat ekonomi (sosial) dihitung menggunakan harga bayangan. Dalam penelitian ini, dimasukkan juga manfaat dan biaya lingkungan. Untuk membedakan dengan rasio manfaat biaya secara finansial (BCR), analisis biaya manfaat ekonomi yang diperluas ini disebut sebagai analisis biaya manfaat sosial (socisal benefit cost ratio) dengan menggunakan model : SCBR = ∑SB/∑SC; SBCR : social benefit cost ratio, SB = manfaat sosial, dan SC = biaya sosial. SBCR > 1, berarti kegiatan tersebut layak dilaksanakan (acceptable), atau dengan kata lain usahatani tersebut layak secara ekonomi (sosial) dan bersifat berkelanjutan. Harga-harga yang digunakan dalam analisis biaya manfaat ekonomi adalah hargaharga bayangan. Sebelum dilakukan analisis
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
21 tersebut, dilakukan terlebih dahulu penilaian biaya lingkungan dan penentuan metode penghitungan harga bayangan. Biaya lingkungan yang dihitung dalam penelitian ini adalah biaya pemulihan lingkungan yang sudah terdegradasi karena pencemaran pupuk kimia berlebihan dipandang dari sisi produsen atau petani. Biaya ini dihitung dengan metode biaya pemulihan (replacement cost), yaitu biaya rata-rata yang diperlukan untuk penggunaan pupuk organik sampai tercapai kualitas lahan menjadi baik. Penentuan harga bayangan output dan input dibedakan atas output atau input yang diperdagangkan internasional (tradeable) dan tidak (non tradeable). Harga bayangan output atau input yang tradeable adalah harga ekonomi atau sosial di tingkat lokasi usaha petani (farm gate price); sedangkan untuk output atau input yang non tradeable diestimasi dengan social opportunity cost-nya. Untuk mendapatkan nilai tukar yang sesungguhnya, digunakan nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate) dengan menggunakan standard convertion factor (SCF),
dengan rumus : SCF = (x + m)/{(x-Tx)+(m+Tm)}; x adalah total nilai ekspor, m adalah total nilai impor, Tx adalah total nilai pajak ekspor, dan Tm adalah total nilai pajak impor. Hubungan antara SCF dan SER digambarkan sebagai SER = OER/SCF; SER: shadow exchange rate (harga bayangan nilai tukar), dan OER = official exchange rate (harga resmi nilai tukar). HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Produksi dan Produktivitas Tanaman Kentang Hasil perhitungan penggunaan faktor produksi dan produktivitas usahatani kentang tahun 2008 dan tahun 2009, tersaji pada Tabel 1. 1. Benih Penggunaan benih untuk usahatani kentang pada musim tanam (MT) I tahun 2008 sebanyak 1.737,41 kg per hektar; sedangkan pada MT II tahun 2009 sebanyak 1.461,75 kg per hektar. Varietas benih kentang yang digunakan adalah varietas granola. Asal benih kentang
Tabel 1. Penggunaan faktor produksi rata-rata per hektar dan produktivitas usahatani kentang berdasarkan musim tanam di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo Musim Tanam (MT) No. Variabel MT I (2008) MT II (2009) 1 Benih (kg) 1,737.41 1.461,75 2 Tenaga Kerja luar keluarga (HOK) 301,00 280,00 3 Tenaga kerja dalam keluarga (HOK) 129,00 120,00 4 Pupuk Anorganik (kg): 1,017,74 840,30 5 Urea (kg) 375,26 212,12 6 SP36 (kg) 255,66 119,19 7 KCl (kg) 64,88 38,65 8 ZA (kg) 58,16 63,49 9 Phonska (kg) 285,63 326,85 10 Pupuk Organik (kg) 15,712,17 16,021.50 11 Pestisida Padat (kg) 41,64 54,98 12 Pestisida Cair (liter) 10,42 25,15 13 Produktivitas (kg) 16.433,27 13.471,493 Sumber : Hasil analisis data primer tahun 2009.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
22 yang dibudidayakan yaitu berasal dari beberapa sumber, yaitu hasil panen, penangkar, kelompok tani, atau pedagang. Benih kentang yang digunakan pada umumnya benih berukuran sedang (S) berisi kurang lebih 20 knol/kg disebut kategori kelas DN. Benih kentang terbanyak berasal dari menangkar sendiri dan kelompok tani (33,50%). Pada umumnya, petani lebih memilih menggunakan benih turunan daripada dari penangkar. Petani membeli benih G3 dari penangkar, kemudian dibudidayakan sampai G5. Hal ini karena benih yang langsung dari penangkar harganya mahal dan terbatas. 2. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan untuk usahatani kentang sebagian besar berasal dari luar keluarga. Tenaga kerja wanita digunakan untuk tanam, perbaikan guludan, dan perbaikan plastik mulsa. Jumlah tenaga kerja terbanyak adalah MT I, yaitu sebanyak 430 HOK yang terdiri 301 HOK tenaga luar keluarga, dan 129 HOK tenaga kerja keluarga. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada MT II sebanyak 400 HOK yang terdiri atas 280 HOK tenaga kerja luar keluarga, dan 129 HOK tenaga kerja keluarga. Pada musim kemarau, dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk penyiraman tanaman kentang, menyulam/mengganti tanaman yang mati akibat kekurangan air, serta akibat adanya embun upas (frost). Musim kemarau terjadi pada bulan Agustus/September sampai Oktober/ Desember, curah hujan sangat rendah, bahkan jarang terjadi hujan pada awal tanam. 3. Pupuk anorganik Pupuk anorganik yang digunakan yaitu campuran phonska + urea + KCl + ZA. Sebagian lagi menggunakan komposisi Urea + Phonska, atau Urea + KCl + ZA dan ada yang hanya Urea. Perbandingan penggunaan sangat bervariasi. Jumlah penggunaan pupuk terbanyak pada MT
I yaitu sebesar 1.017,75 kg/hektar, sedangkan pada MT II sebesar 840,88 kg/hektar. Dilihat dari penggunaan pupuk anorganik maka terjadi penurunan penggunaan pupuk anorganik pada MT II, yaitu dari 1.017,74 kg/ha menjadi 840,30 kg/ha atau sebesar 177,44 kg/ha. Penggunaan pupuk Phonska cenderung naik cukup banyak sebesar 61,40 kg/ha. 4. Pupuk organik Pupuk organik yang digunakan berupa pupuk kandang, terutama kotoran ternak ayam. Ketergantungan terhadap pupuk kandang sangat tinggi. Jumlah penggunaan pupuk organik pada MT I sebesar 15.712,17 kg/ha; sedangkan pada MT II sebesar 16.021,50 kg/hektar. Penggunaan pupuk organik dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini untuk menjaga kesuburan tanah Andisols (Andosol), terutama kandungan bahan organik tanah yang harus cukup tinggi karena terkait dengan ketersediaan unsur hara fosfor. Penurunan bahan organik tanah yang cepat dimungkinkan karena pada setiap musim tanah terjadi proses erosi yang tinggi. Penggunaan pupuk organik merupakan salah satu cara memperbaiki kerusakan lingkungan, terutama sumberdaya tanah sebagai media tumbuh tanaman. Oleh karena itu, biaya pupuk organik dapat dianggap sebagai biaya lingkungan. 5. Pestisida Penggunaan pestisida pada usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng tanpa memperhitungkan nilai ambang ekonomi. Metode yang mereka jalankan adalah penyemprotan terjadwal, yaitu 2 hari sekali, 3 hari sekali, atau 4 hari sekali. Merk pestisida yang digunakan cukup banyak. Pada umumnya, penyemprotan dilakukan dengan mencampur antara insektisida dan fungisida, meskipun seringkali diantara keduanya tidak diperlukan. Penggunaan pestisida padat pada MT
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
23 I sebanyak 41,64 kg/ha, dan MT II sebanyak 54,98 kg/ha. Penggunaan pestisida cair pada MT I sebanyak 25,15 lt/ha, dan MT II sebanyak 10,42 lt/ha. Penggunaan pestisida yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya resistensi organisme pengganggu tanaman (OPT); resurjensi hama sasaran; ledakan hama sekunder; matinya organisme berguna dan musuh alami; residu pada hasil panen; pencemaran lingkungan; dan keracunan bahkan kematian manusia (Oka,
1995). 6. Produktivitas Hasil analisis produktivitas (Tabel 2) menunjukan bahwa produktivitas kentang pada MT I lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas kentang MT II. Produktivitas kentang MT I sebesar 16.433,27 kg/ha; sedangkan pada MT II sebesar 13.471,49 kg/ha. Produk kentang terbagi menjadi tiga ukuran yaitu Rindil, DN dan AB. Ukuran Rindil
Tabel 2. Produktivitas kentang berdasarkan musim tanam dan ukuran kentang No.
Ukuran Kentang
Produktivitas (kg/ha) MT I (2008) MT II (2009)
1.
Rindil
1.331,36
654,59
2.
DN
2.270,53
2.571,94
3.
AB
12.831,38
10.244,96
16.433,27
13.471,49
Jumlah Sumber : Hasil analisis data primer, 2009. ditentukan berdasarkan ukuran umbi kentang (knol), yaitu setiap knol beratnya dibawah 21 gram. Ukuran DN ditentukan berdasarkan diameter knol yaitu, setiap umbi kentang dengan diameter 3,8 cm sampai 5,6 cm, atau setiap kilogram berisi 14 umbi sampai 20 umbi kentang. Ukuran AB ditentukan berdasarkan diameter dan jumlah knol per kilogramnya, yaitu dengan diameter 7,6 cm sampai 10,2 cm atau setiap kilogram berisi 5 umbi sampai 7 umbi kentang. Keuntungan Finansial Usahatani Kentang. Hasil perhitungan keuntungan usahatani berdasarkan musim tanam (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani kentang pada MT I sebesar Rp 35.502.051,00; dan pada MT II sebesar Rp 37.066.508,00. Nilai produksi atau penerimaan pada MT II lebih besar dari pada MT I. Harga per kilogram kentang pada MT I
antara Rp 2.600,00 sampai Rp 3.000,00 dan pada MT II harga kentang per kilogramnya antara Rp 2.800,00 sampai Rp 3.300,00. Total biaya variabel pada MT II yang dikeluarkan lebih besar dari pada MT I. Total biaya variable pada MT II sebesar Rp 28.940.569,00; dan pada MT I sebesar Rp 24.125.826,00. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan upah buruh, harga benih, dan harga pestisida. Pada MT I, upah buruh masih berkisar antara Rp 15.000,00 sampai Rp 20.000,00 per HOK; sedangkan pada MT II berkisar antara Rp 20.000,00 sampai Rp 25.000,00 per HOK. Harga benih juga mengalami kenaikan dibandingkan MT I. Pada MT I harga benih berkisar antara Rp 5.000,00 sampai Rp 6.500,00 per kg; dan pada MT II berkisar antara Rp 6.000,00 sampai Rp 8.000,00 per kg. Pendapatan dari usaha kentang MT I sebesar Rp 7.272.352,00 dan pada MT II sebesar
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
24 Tabel 3. Keuntungan finansial usahatani kentang per hektar pada musim tanam (MT) I (2008) dan musim tanam (MT) II (2009) di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo (dalam Rp) No
Uraian
1 2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
Nilai produksi Total biaya variabel : Biaya benih Biaya tenaga kerja luar keluarga Biaya pupuk anorganik Biaya pupuk organik
2.5.
Biaya pestisida
2.6. 2.7. 3. 3.1. 3.2.
Biaya Penyemprotan Biaya pengairan Total biaya tetap Biaya Pajak Biaya sewa lahan Biaya penyusutan alat: 3.3. Biaya Mulsa 4 Total biaya variabel & tetap 5 Bunga modal 6 Tenaga kerja dalam keluarga 7 Total biaya : 4+5+6 Pendapatan usahatani : 1-4 Keuntungan usahatani : 1-7 R/C ratio : 1/7 Sumber : Hasil analisis data primer, 2009 Rp 4.100.473,00. Keuntungan usahatani kentang pada MT I lebih besar dari MT II, disebabkan karena total biaya MT II jauh lebih besar dari MT I. Selisih biaya total mencapai Rp 6.122.052,00. Berdasarkan nilai R/C ratio, maka usahatani kentang pada MT I masih menguntungkan secara finansial, tetapi pada MT II hanya mencapai Break Event Point (BEP). Berdasarkaan urian di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa usahatani kentang semakin tahun semakin kurang menguntungkan ditinjau dari analisis finansial. Penggunaan pupuk organik merupakan salah satu usaha petani untuk meningkatkan kesuburan tanah. Ada sebagian kecil petani yang sudah menyadari bahwa usahatani kentang di Dataran Tinggi
Musim Tanam MT I (2008) MT II (2009) 35.502.051,00 37.066.508,00 24.125.826,00 28.940.569,00 10.878.869,00 11.445.989,00 3.387.294,00 3.911.270,00 1.015.033,00 1.433.452,00 2.428.889,00 2.711.248,00 3.854.140,00
7.66.653,00
2.005.261,00 556.340,00 4.103.873,00 86.667,00 2.337.207,00 1.680.000,00
1.245.957,00 524.000,00 4,025,466.01 106.000,00 2.359.466,00 1.560.000,00
28.229.699,00 1.411.485,00 1.451.698,00 30.810.585,00 7.272.352,00 4.691.466,00 1,15
33.977.235,00 1.698.862,00 2.607.513,00 37,237,400.00 4.100.473,00 -170.891,00 1,00
Dieng merusak lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan mulai mengurangi masa tanam, yang sebelumnya 3 kali tanam menjadi 2 kali tanam kentang. Selain itu, petani mulai memperkuat terasnya dengan cara membuat teras bangku dengan penguat dari batu, yang sebelumnya hanya dari tanah. Analisis Keuntungan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kentang Analisis biaya dan manfaat ekonomi (sosial) dihitung menggunakan harga bayangan. Dalam penelitian ini dimasukkan juga manfaat dan biaya lingkungan. Untuk membedakan dengan rasio manfaat biaya secara finansial (BCR), analisis biaya manfaat ekonomi yang diperluas
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
25 ini disebut sebagai analisis biaya manfaat sosial (socisal benefit cost ratio=SBCR). Kriteria yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa apabila SBCR > 1 berarti kegiatan tersebut layak dilaksanakan (acceptable). Dengan kata lain, usahatani tersebut layak secara ekonomi (sosial) atau bersifat berkelanjutan. Biaya lingkungan yang dihitung dalam penelitian ini adalah biaya pemulihan lingkungan yang sudah terdegradasi karena pencemaran pupuk kimia yang berlebihan dipandang dari sisi produsen atau petani. Biaya ini dihitung dengan metode biaya pemulihan (replacement cost), yaitu biaya rata-rata yang diperlukan untuk penggunaan pupuk organik. Penentuan harga bayangan output dan input dibedakan atas output atau input yang diperdagangkan internasional (tradeable) dan tidak (non tradeable). Harga bayangan output atau input yang tradeable adalah harga ekonomi atau sosial di tingkat lokasi usaha petani (farm gate price); sedangkan untuk output atau input yang non tradeable diestimasi dengan social opportunity cost-nya. Untuk mendapatkan nilai tukar yang sesungguhnya, digunakan nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate) menggunakan standard convertion factor (SCF). Harga bayangan output adalah harga sosial atau ekonomi kentang di tingkat lokasi usaha petani (farm gate price) dihitung menggunakan harga perbatasan yaitu cost insurance freight (CIF) ditambah biaya transportasi dan penanganan dari pelabuhan pengimpor ke lokasi usaha. Dari hasil perhitungan (Tabel 4), diketahui bahwa harga bayangan output sebesar Rp 2.822,19. Harga bayangan pupuk yaitu harga aktual pupuk dikalikan konversi pupuk. Harga bayangan pupuk Urea, ZA, SP36, KCl dan Phonska berturut-turut sebesar Rp 1.580,00, Rp 1.514,00, Rp 2.892,00, Rp 2.325,00 dan Rp
2.229,00. Harga bayangan sewa lahan adalah sewa lahan yang berlaku di lokasi penelitian. Harga bayangan upah tenaga kerja adalah upah minimum regional yang berlaku di Kabupaten Wonosobo. Harga bayangan pestisida adalah harga pestisida yang berlaku di Kabupaten Wonosobo. Karena jenis pestisida yang digunakan petani cukup banyak maka harga bayangan pestisida tidak dikonversi. Pendapatan usahatani kentang musim I (MT I) dengan menggunakan harga bayangan menunjukan nilai positif sebesar Rp 3.637.586,00 dan keuntungan sebesar Rp 1.056.700,00. Pada MT II, pendapatan dari usahatani kentang juga positif sebesar Rp 3.398.812,00; sedangkan keuntungannya negatif sebesar Rp 93.633,00. Hasil perhitungan Social Benefit Cost Ratio (SBCR) menunjukkan bahwa nilai SBCR usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng pada MT I sebesar 0,99 (SBCR < 1), berarti secara ekonomi (sosial) sudah tidak menguntungkan. Nilai SBCR tahun 2008 sebesar 1,01 (SBCR > 1). Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi (sosial) usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng masih menguntungkan walau sangat kecil. Hasil identifikasi di lapangan dan analisis data yang diperoleh menunjukan bahwa: 1. Usahatani kentang yang dilakukan belum sepenuhnya memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air, ditandai antara lain adanya praktek usahatani intensif pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15 % dengan komoditas tanaman semusim yaitu sayuran tanpa disertai penerapan metode konservasi tanah dan air secara fisik mekanik yang baik. 2. Tanaman kentang ditanam dua sampai tiga kali setahun secara monokultur, sehingga menyebabkan potensi erosi yang tinggi. Hasil penelitian Tim Kerja Pemulihan
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
26 Tabel 4. Keuntungan ekonomi usahatani kentang per hektar pada MT I dan MT II di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo (dalam Rp) No
1 2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 4 5 6 7
Uraian Nilai produksi Total biaya variabel : Biaya benih Biaya tenaga kerja luar keluarga Biaya pupuk anorganik Biaya pupuk organik Biaya pestisida Biaya Penyemprotan Biaya pengairan Total biaya tetap Biaya Pajak Biaya sewa lahan Biaya penyusutan alat Total biaya variabel & tetap Bunga modal Tenaga kerja dalam keluarga Total biaya : 4+5+6 Pendapatan usahatani : 1-4 Keuntungan usahatani : 1-7 SBCR : 1/7
Musim Tanam MT I (2008) MT II (2009) 36,627,951.17 38,030,025.00 28,886,490.26 30,594,834.43 12,671,667.74 11,445,989.00 4,977,829.92 4,977,829.92 2,392,362.60 2,021,157.52 2,428,889.00 2,711,248.00 3,854,140.00 7,668,653.00 2,005,261.00 1,245,957.00 556,340.00 524,000.00 4,103,874.00 4,025,466.01 86,667.00 106,000.00 2,337,207.00 2,359,466.01 1,680,000.00 1,560,000.00 34,620,300.44 32,990,364.26 1,649,518.21 1,731,015.02 1,451,698.00 2,133,355.68 38,484,671.14 36,091,580.47 3,637,586.91 3,409,724.56 536,370.70 - 454,646.14 1.01 0.99
Sumber : Hasil analisis data primer, 2009 Dieng (2007) menunjukkan bahwa tingkat erosi yang terjadi sudah mencapai angka 10,7 mm/tahun. 3. Dikhawatirkan, terjadi pencemaran berbahan pestisida, karena penggunaan pestisida cukup banyak yaitu mencapai 54,98 kg/ha pestisida padat dan 25,15 liter/ ha pestisida cair. 4. Teras bangku ditemukan di beberapa tempat, namun sistem penanaman masih tetap searah lereng. Petani enggan menanam dengan sistem searah kontur karena air sulit terbuang dengan cepat, menyebabkan naiknya kelembaban di sekitar perakaran yang memacu perkembangan penyakit busuk umbi. Keadaan tanah yang telah rusak atau tidak sehat, terutama karena proses
erosi yang cukup tinggi, mengakibatkan semakin banyak pemakaian pupuk kandang pada setiap kali penanaman. 5. Terjadinya pencemaran (polusi) udara akibat pupuk kandang (kotoran ayam) yang masih basah menimbulkan bau tidak sedap, serta banyak lalat di mana-mana. 6. Hasil analisis produktivitas kentang musim tanam (MT II) tahun 2009 lebih rendah dibandingkan musim tanam (MT I) tahun 2008. Hal ini patut diduga disebabkan oleh menurunnya kualitas tanah karena diantaranya disebabkan terjadinya erosi, dan hama penyakit tanaman kentang. 7. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng musim tanam (MT I) tahun 2008 secara
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
27 finansial masih mendapatkan keuntungan, tetapi pada musim tanam (MT II) tahun 2009 secara finasial hanya kembali modal (BEP). Hal ini menunjukan bahwa usahatani kentang sudah mulai tidak menguntungkan petani. Faktor utama penyebab menurunnya keuntungan antara lain produktivitas yang menurun, biaya produksi yang semakin meningkat, dan serangan hama penyakit yang semakin sulit diatasi. 8. Hasil analisis keuntungan sosial/ekonomi menunjukkan bahwa usahatani kentang musim tanam (MT II) tahun 2009 secara ekonomi/sosial sudah tidak menguntungkan. Hal ini ditandai oleh biaya recovery lahan yang cukup besar. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Penggunaan benih, tenaga kerja dan pupuk anorganik pada musim tanam (MT) I tahun 2008 lebih banyak dari pada musim tanam (MT) II tahun 2009. Penggunaan pupuk organik lebih banyak pada musim tanam (MT) II tahun 2009 daripada musim tanam (MT) I tahun 2008. Produktivitas kentang di Dataran Tinggi Dieng pada musim tanam (MT) I tahun 2008 lebih tinggi dari pada musim tanam (MT) II tahun 2009. 2. Pola tanam monokultur dengan sangat intensif dalam penggunaan pestisida, jalur penanaman masih searah lereng dan beberapa bentukan teras bangku yang diintroduksikan ke dalam lahan usahatani kentang belum disertai penguat teras yang baik sering menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, seperti longsor, banjir disertai lumpur, erosi dan penurunan produktivitas kentang.
3. Usahatani kentang secara finansial masih menguntungkan, tetapi secara ekonomi (sosial) tidak layak untuk diusahakan. Saran yang diajukan adalah: Perlu dilakukan pengkajian kemungkinan diterapkannya pertanian terpadu dengan menempatkan tanaman kentang sebagai tanaman primadona, tetapi model simulasi sebagai berikut : 1. Lahan usahatani kentang pada kemiringan lebih dari 15 % harus diintegrasikan metode fisik mekanik, yaitu berupa teras bangku dengan penguat teras (seperti misalnya: batu), disertai tanaman rumput pakan ternak. 2. Guludan jalur/larikan penanaman dibuat memotong lereng atau searah kontur disertai pembuatan rorak, lubang resapan dan saluran drainase untuk mencegah tingkat kelembaban tanah yang besar. 3. Dilakukan pengenalan tanaman kayu dan ternak ruminansia ke dalam sistem usahatani tanaman kentang Dataran Tinggi Dieng. 4. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan dengan pemantauan dini dengan prinsip ambang ekonomi, dan menggunakan biopestisida/ pestisida nabati. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendiknas di Jakarta atas pengalokasian anggaran untuk penelitian dan disetujuinya Penelitian Hibah Bersaing ini; dan Ketua Lembaga Penelitian Unsoed Purwokerto atas segala perannya sehingga penelitian ini dapat
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
28 dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 255 hal. Pakpahan, A., dan N. Syafaat, 1991. Hubungan Konservasi Tanah danAir dengan Komoditas Yang diusahakan, Struktur Pendapatan Serta karakteristik Rumah Tangga (Kasus DAS Cimanuk dan Citanduy). Jurnal Agro Ekonomi. 1(1): 1-15 Sularso, K.E.,2009. Produktivitas Pendapatan Dan Risiko Usahatani Kentang Pada Berbagai Teknologi Konservasi Tipe Teras Di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Makalah Seminar Disertasi. Program Pasca Sarjana, UGM, Jogjakarta. Unpublish.
Suhartini, 2008. Kajian Keberlanjutan Sistem Usahatani Padi Semi Organik Di Kabupaten Sragen . Disertasi S3. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. (unpublished). Tim Kerja Pemulihan Dieng, 2007. Mengapa Dieng Harus Diselamatkan? http:// savedieng.org/2007/06/14/mengapadieng-harus-diselamatkan/ savedieng.org (Diakses tanggal 10 April 2008) Wildan. 2004. Harga Rendah Jadi Ancaman. Suara Merdeka (On-line), http://www. suaramerdeka.com/harian/nas21.htm. (Diakses 27 Februari 2005). Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)