ISSN : 2087-703X
Volume 6 No. 1, April 2015
Jurnal Kesehatan Reproduksi Reproductive Health Journal Dewan Redaksi/Editorial Board Pelindung/Patronage
:
Kepala Badan Litbang Kesehatan / Director General of National Institute of Health Research and Development
Penanggung Jawab / Editor-in-chief
:
Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat /Director of Central of Public Health Intervention Technology
Mitra Bestari / Advisory Board
:
Dr. dr. Trihono, M.Sc. Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno, Dr. Melania Hidayat, MPH Dra. Flourisa J. Sudrajat, M.Kes Dr. Salahuddin Muhidin Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MS Atmarita, MPH, Dr.PH Dr. dr. Muchtaruddin Mansyur, Sp.OK
Ketua Dewan Redaksi /Managing Editor
:
Dr. Joko Irianto, SKM, M.Kes
Wakil Ketua Dewan Redaksi /Vice Managing Editor
:
Tin Afifah SKM, MKM
Anggota Redaksi /Editor
:
Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes (Kesehatan Reproduksi,PustekIKM) Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes (Gizi Masyarakat,PustekIKM) Dr. Irwan M. Hidayana,M.Si (Perilaku Kesehatan) Dra. Rr. Rachmalina S, MSc.PH (Sosial Antropologi) Ning Sulistyowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi,PustekIKM) Heny Lestari, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi,PustekIKM) Iram Barida Maisya, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi,PustekIKM) Drg. Cristiana R Titaley, MIPH, PhD (Maternal & Child Health,PPKUI) Sudikno, SKM, MKM (Kesehatan Masyarakat,PustekIKM) Dr. Dra. Raharni, Apt.M.Kes (Kebijakan & Manajemen Kesehatan, Pustek IKM) dr. Sarimawar Djaja, M.Kes ( Kesehatan Maternal) Anissa Rizkianti, SKm, MIPH (Kesehatan Reproduksi,PustekIKM)
Sekretariat Pelaksana/ExecutiveSecretariat
:
dr. Yuana Wiryawan, M.Kes dr. Ika Saptarini Bunga Ch. Rosha, S.Sos, M.Si Yunina, S.Sos Andi Susilowati, M.Kes Ahmad Rezha Gumilar, Amd
Penerbit/Publisher
:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Telp. 021-42872392, Fax. 021-42872392 Email :
[email protected]
Diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Published by National Institute of Health Research and Development Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta
Kata Pengantar Penerbitan awal tahun 2015 ini, Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 6 No. 1 menyajikan artikel yang membahas tentang penyuluhan kesehatan HIV-AID pada remaja, kepatuhan mengkonsumsi tablet pil besi pada ibu hamil, perilaku pemberian ASI eksklusif, perilaku menyusui dini, dhubungan tingkat pendidikan dengan demensia, dan penyebab kematian maternal. Penyuluhan kesehatan penting dilakukan termasuk dalam pencegahan HIV-AID pada remaja, dalam artikel yang membahas tentang hal tersebut dapat membuktikan adanya peningkatan pengetahuan yang signifikan setlah penyuluhan. Dengan peningkatan ini diharapkan remaja dapat melakukan antisipasi dan pencegahan dengan perbaikan perilaku. Diketahui, masa remaja merupakan masa persiapan memasuki perkawinan, dan bagi perempuan menjadi masa persiapan untuk menjadi seorang ibu. Dengan persiapan yang memadai akan melahirkan generasi yang baik. Dalam masa kehamilan, seorang ibu diharapkan memenuhi gizi untuk dirinya dan bayi yang dikandung. Mengkonsumsi tablet pil besi yang memadai akan mampu mencegah anemia saat kehamilan. Kepatuhan ibu mengkonsumsi tablet pil besi yang memadai saat kehamilan perlu diketahui terutama bagi penyelenggara pelayanan kesehatan. Pada artikel yang ditulis Ika Saptarini menyebutkan bahwa sebagian ibu tidak patuh mengkonsumsi tablet pil besi karena adanya efek samping seperti mual dan pusing setelah mengkonsumsi. Walaupun ada keluhan tersebut, diharapkan selama tidak membahayakan ibu dan janin ibu tetap mengkonsumsi tablet pil besi saat hamil. Setelah bayi lahir sangat dianjurkan untuk disusui secara eksklusif (tanpa makanan dan minuman tambahan) selama enam bulan. Ada dua artikel yang membahas tentang hal ini, keduanya menyatakan banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan menyusui eksklusif ini. Faktor tersebut dapat dari pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, ibu dan keluarga ibu. Pada akhir terbitan voleme enam ini, dibahas tentang penyebab kematian maternal. Kematian maternal merupakan indikator kesehatan yang sensitif untuk menilai keberhasilan program pelayanan kesehatan. Adapun sebab kematian maternal menjadi unsur yang perlu diketahui dalam mencegah kematian maternal. Artikel ini menyebutkan bahwa kematian maternal banyak disebabkan oleh direct cause (79,6%), terbanyak karena sebab hipertensi dalam kehamilan. Semoga bermanfaat.
REDAKSI
Volume 6, No. 1, April 2015
ISSN : 2087-703X No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI DAFTAR ISI Kata Pengantar 1.
INTERVENSI PENYULUHAN KESEHATAN TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG HIV/AIDS DI SMA 1 SIDEMEN KABUPATEN KARANGASEM Oleh : Gusti Ayu Marhaeni, Choirul Hadi, Ni Wayan Armini
1–8
2.
KEPATUHAN MENGKONSUMSI TABLET FE DI KECAMATAN KEBON KELAPA BOGOR Oleh: Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi
9 – 17
3.
FAKTOR PENGUAT TERKAIT PERILAKU PEMBERIAN ASI 19 – 30 EKSKLUSIF DI KECAMATAN KEMIRI MUKA, DEPOK, JAWA BARAT Oleh: Ida, Joko Irianto
4.
FAKTOR PENDUKUNG KEBERHASILAN PRAKTIK INISIASI 31 – 43 MENYUSU DINI DI RS SWASTA DAN PEMERINTAH DI JAKARTA Oleh: Noviati Sihombing, Mujiati
5.
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN ACTIVITY DAILY LIVING DENGAN DEMENSIA PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDHA Oleh: Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun
6.
PENYEBAB KEMATIAN MATERNAL DI KABUPATEN 57 – 65 MALANG PROVINSI JAWA TIMUR 2010 Oleh : Teti Tejayanti, Dina Bisara Lolong, Lamria Pangaribuan
45 - 55
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
PENYEBAB KEMATIAN MATERNAL DI KABUPATEN MALANG PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010 Cause of Maternal Mortality in Malang District East Java Province in 2010 Teti Tejayanti*, Dina Bisara, Lamria Pangaribuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI *email :
[email protected]
Abstract Background: Maternal mortality remains high in Indonesia. The highest cause of maternal death is direct cause, such as postpartum hemorrhage and eclampsia. Malang district is the one with high maternal mortality in East Java Province. Objective: This study aims to know the cause of maternal mortality in Malang district East Java Province in 2010 Methods: It is a descriptive study. Maternal mortality data obtained from the Study of follow-up data of population census in 2010. Sample of this study is all maternal deaths in Malang district, 49 maternal deaths. Result: Maternal mortality ratio in Malang district in 2010 amounted to 92 per 100.000 live births. The highest cause of maternal death is direct cause (79,6%). The specific cause of maternal death in Malang district is pregnancy induced hypertension (24%), other unspecified cause (15%), and postpartum hemorrhage (4%). Conclusion: Maternal mortality in Malang district East Java Province remains high. The highest cause of maternal mortality is pregnancy induced hypertension. Preventive and curative actions are needed based on maternal cause. Key words: maternal mortality, pregnancy induced hypertension, post partum hemorrhage Abstrak Latar belakang: Angka kematian ibu masih tinggi di Indonesia. Penyebab kematian ibu yang terbesar adalah yaitu perdarahan dan eklampsia. Kabupaten Malang merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan kematian ibu yang cukup tinggi. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur tahun 2010. Metode: Sumber data yang digunakan yaitu dari Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu Sensus Penduduk 2010 (STLKI SP 2010) yang kemudian dianalisa deskritif. Jumlah sampel adalah seluruh kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur, sebesar 49 kasus. Hasil: Rasio kematian ibu di Kabupaten Malang tahun 2010 sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu terbesar adalah direct cause (79,6%). Berdasarkan pengelompokkan penyebab kematian ibu menurut ICD 10 WHO, maka penyebab terbesar kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur adalah hipertensi dalam kehamilan (24%), lalu penyebab lain yang tidak spesifik (15%), dan perdarahan post partum sebesar (4%). Kesimpulan: Kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur masih tinggi. Penyebab kematian tertinggi adalah hipertensi dalam kehamilan. Diperlukan upaya preventif dan kuratif berdasarkan penyebab kematian. Kata kunci: kematian maternal, hipertensi dalam kehamilan, perdarahan post partum
1
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
PENDAHULUAN Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. 1 Tingginya derajat kesehatan reproduksi pada perempuan ditandai dengan menurunnya angka kematian ibu (AKI). AKI di Indonesia masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, yakni sebesar 359/100.000 kelahiran 2 hidup. Tingginya AKI tersebut menunjukkan bahwa derajat kesehatan di Indonesia masih belum baik. Kematian maternal adalah kematian yang berlangsung selama kehamilan, pada saat persalinan, dan setelah persalinan sampai batas waktu 42 hari (postpartum), tetapi bukan karena kecelakaan. 3 Penyebab medis kematian ibu pada umumnya pada masa persalinan akibat komplikasi. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, penyebab kematian ibu yang terbesar adalah perdarahan (28%), lalu eklampsia (24%), infeksi (11%), lain-lain (11%), komplikasi masa puerperium (8%), abortus (5%), persalinan lama/macet (5%), dan emboli (3%). 4 Sementara penyebab non medis kematian ibu diakibatkan karena empat terlambat dan empat terlalu. Empat terlambat yaitu terlambat mengetahui tanda bahaya, mengambil keputusan merujuk, mencapai pelayanan, memperoleh pelayanan. Empat terlalu yaitu terlalu muda, tua, sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kehamilan/persalinan. Kehamilan merupakan pra kondisi yang penting pada kematian maternal, tanpa kehamilan maka kematian maternal tidak akan terjadi. Komplikasi kehamilan sebagai variabel terpengaruh pada kematian maternal diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Penyebab obstetrik langsung yaitu karena komplikasi pada saat kehamilan, melahirkan dan periode
postpartum, termasuk komplikasi aborsi. Penyebab obstetrik tidak langsung yaitu kondisi keadaan kesehatan yang buruk pada saat kehamilan atau melahirkan. Hampir tiga perempat dari seluruh kematian maternal di negara berkembang disebabkan oleh komplikasi obstetrik langsung dan seperempat disebabkan oleh komplikasi tak langsung. 5 Menurut hasil Studi Tindak Lanjut Sensus Penduduk 2010, Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah kematian ibu yang besar, yakni 507 kematian ibu. Dari 14 kabupaten/kota yang dijadikan sampel, Kabupaten Malang menjadi salah satu kabupaten dengan jumlah kematian yang tinggi setelah Kabupaten Jember. Laporan USAID (United States Agency for International Development) menyebutkan juga bahwa angka kematian ibu di kabupaten Malang masih tinggi, sehingga kabupaten ini menjadi salah satu kabupaten yang menjadi pilot project program Sutra EMAS (Expanding Maternal and Neonatal 6 Survival). Penyebab kematian ibu perlu diketahui guna menentukan upaya yang efektif dalam penurunan kematian ibu. Hasil analisa ini akan menjelaskan lebih lanjut penyebab kematian ibu yang terjadi di Kabupaten Malang. METODE Sampel menggunakan data sekunder, yaitu data Studi Tindak Lanjut Kematian Maternal Sensus Penduduk 2010 (STLKM SP 2010) dan dilakukan secara cross sectional. Studi tersebut, merupakan hasil tindak lanjut sensus penduduk 2010 untuk mengumpulkan informasi kematian ibu. STLKM SP 2010 dilakukan selama periode 17 bulan. Dari 8.464 kasus pregnancy related death dalam SP 2010, diperoleh 3.384 kasus kematian ibu yang didefinisikan sebagai maternal death, yang berlokasi di 134 kabupaten/kota. Diganosis penyebab
2
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
kematian dilakukan dengan teknik autopsy verbal oleh dokter. 7 Pengelompokan penyebab penyakit didasarkan pada direct dan indirect cause, tabulasi mortalitas WHO dari International Classifications of Disease 10 (ICD 10).8 Untuk Provinsi Jawa Timur, dipilih 14 kabupaten/kota, dimana salah satunya adalah Kabupaten Malang. Jumlah kematian ibu di Kabupaten Malang adalah 49 kasus. Jumlah kematian tersebut menjadi sampel dalam analisis ini. Analisis data dalam studi ini berupa distribusi frekuensi penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Tabel 1. Proporsi penyebab kematian ibu Penyebab kematian ibu Direct causes (O00-O95) Indirect cause (O98-O99) Total
n 39 10
% 79.6 20.4
49
100.0
HASIL Karakteristik umum ibu Distribusi frekuensi karakteristik ibu meninggal dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Grafik 1. Distribusi frekuensi ibu meninggal menurut karakteristik di Kabupaten Malang
Seluruh ibu yang meninggal di Kabupaten Malang telah menikah dan mayoritas berusia produktif pada rentang usia 20 hingga 35 tahun (69,4%), dan memiliki kurang dari 3 anak (66,7%) (Grafik 1). Ibu perdesaan (63,3%). Pendidikan ibu cukup bervariasi, walaupun lebih dari 50% adalah tidak sekolah atau tamat sekolah dasar (SD). Jumlah kematian ibu Kematian ibu sebesar 49 kasus untuk 17 bulan, untuk 12 bulan diperhitungkan ada 34 kematian dengan asumsi kejadian kematian konstan setiap bulannya. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2010 memberikan jumlah kelahiran hidup untuk Kabupaten Malang sebesar 37.738, sehingga diperoleh rasio kematian ibu untuk Kabupaten Malang tahun 2010 sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu Pada tabel 1, ada 79,6% kematian ibu disebabkan oleh grup penyebab langsung. Artinya penyebab kematian ibu banyak terjadi akibat komplikasi kehamilan selama fase kehamilan, persalinan dan nifas. Untuk mendapatkan penyebab yang spesifik, digunakan kelompok penyebab kematian ibu berdasarkan ICD 10 WHO. Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab medis tertinggi kematian ibu di Kabupaten Malang adalah kelompok oedema, protein uri, and hypertensive disorder yang selanjutnya akan disebut sebagai hipertensi dalam kehamilan (HDK), yang besarnya 49%, diikuti oleh komplikasi lainnya sebesar 30,6% dan perdarahan post partum sebesar 8,2%. Kelompok komplikasi lainnya atau complication predominantly related puerperium and other conditions terdiri dari beberapa penyebab yang tidak sama patofisionlogisnya dan yang terbesar adalah diseases of the circulatory system complicating pregnancy, childbirth and the puerperium sebesar 40%, lalu puerperal sepsis sebesar 26,7%, dan Tuberculosis sebesar 13,3% (Tabel 3).
3
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.) Tabel 2. Proporsi penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 (Data SP 2010) Underlying cause of death Pregnancy with abortive outcome Odema, protein uri, and hypertensive disorder (hipertensi dalam kehamilan) Placenta previa, premature separation of placenta and antepartum hemorrhage Other maternal care related to fetus and amniotic cavity and possible delivery problems Postpartum hemorrhage Other complications of pregnancy and delivery Complication predominantly related puerperium and other conditions Total
% 2 49 2 4.1 8.2 4.1 30.6
n 1 24 1 2 4 2 15
100
49
Tabel 3. Penyebab kematian ibu pada kelompok Complication predominantly related puerperium and other conditions Kode Complication predominantly related puerperium and other conditions n % O85 O90.4 O98.0 O98.5 O99.4 O99.5
Puerperal sepsis Postpartum acute kidney failure Tuberculosis complicating pregnancy, childbirth and the puerperium Other viral diseases complicating pregnancy, childbirth and the puerperium Diseases of the circulatory system complicating pregnancy, childbirth and the puerperium Diseases of the respiratory system complicating pregnancy, childbirth and the puerperium
4 1 2 1
26.7 6.7 13.3 6.7
6
40
1
6.7
Total
15
100
Karakteristik ibu berdasarkan penyebab kematian Dari tabel 4, terlihat bahwa ibu yang meninggal akibat hipertensi dalam kehamilan di Kabupaten Malang lebih banyak pada kelompok umur lebih dari 35 tahun (66,7%), dibandingkan dengan kelompok umur kurang dari 20 tahun (50%), dan kelompok umur 20 hingga 35 tahun (44,1%). Sedangkan pada ibu yang meninggal akibat perdarahan post partum, lebih banyak pada kelompok umur kurang dari 20 tahun, sebesar 16,7%. Pada kelompok penyebab kematian lainnya, hasilnya bervariasi pada tiap kelompok umur dan tetapi lebih banyak pada umur kurang dari 35 tahun. Ibu yang meninggal akibat HDK, sebanyak 52% berpendidikan SMP/SMA. Pada ibu dengan perdarahan post partum, 14,8% berpendidikan tidak sekolah atau tamat SD (Tabel 4).
Hasil studi ini juga memperlihatkan ibu meninggal karena HDK, mempunyai persentase lebih tinggi pada yang memiliki anak lebih dari 4 (75%), dibandingkan yang memiliki anak 1-2 (41,7%) dan anak 3-4 (46,9%). Begitupula dengan ibu meninggal karena perdarahan post partum. (Tabel 4). Dilihat berdasarkan tempat meninggal, tampak bahwa mayoritas ibu meninggal di rumah sakit. Ibu meninggal akibat HDK, di di RS swasta (58,3%) lebih tinggi sedikit dibanding yang meninggal di RS pemerintah (56%). Pada ibu yang Ibu yang meninggal akibat perdarahan post partum 8,3% meninggal di RS Swasta sedangkan satu orang ibu meninggal dalam perjalanan (lainnya). Berbeda dengan hasil tersebut, ibu yang meninggal karena komplikasi lainnya, lebih banyak yang meninggal di Puskesmas dan di rumah sendiri (57,1%) (Tabel 4).
4
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
Tabel 4. Karakteristik ibu meninggal berdasarkan penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Karakterstik Ibu 1* 2* 3* 4* 5* 6* 7* Total Umur · <20 tahun · 20-35 tahun · >35 tahun Tingkat pendidikan
0 0 11.1
50 44.1 66.7
0 2.9 0
0 5.9 0
16.7 8.8 0
0 5.9 0
33.3 32.4 22.2
100.0 (N=6) 100.0 (N=34) 100.0 (N=9)
· Tidak sekolah/Tamat SD · Tamat SMP/SMA · Tamat PT Paritas
0 4.8 0
44.4 52.4 100
3.7 0 0
3.7 4.8 0
14.8 0 0
3.7 4.8 0
29.6 33.3 0
100.0 (N=27) 100.0 (N=21) 100.0 (N=1)
· 1-2 anak · 3-4 anak · >4 anak Daerah
0 8.3 0
46.9 41.7 75
0 8.3 0
3.1 8.3 0
9.4 8.3 0
3.1 0 25
37.5 25 0
100.0 (N=32) 100.0 (N=12) 100.0 (N=4)
· Perkotaan · Perdesaan Tempat meninggal
5.6 0
50 48.4
0 3.2
11.1 0
0 12.9
0 6.5
33.3 29
100.0 (N=18) 100.0 (N=31)
0 8.3 0 0 0
56 58.3 0 0 28.6
0 8.3 0 0 0
0 8.3 100 0 0
8 8.3 0 0 0
4 0 0 0 14.3
32 8.3 0 100 57.1
100.0 (N=25) 100.0 (N=12) 100.0 (N=1) 100.0 (N=7) 100.0 (N=7)
· · · · ·
RS Pemerintah RS Swasta RS Bersalin Puskesmas Rumah Sendiri
0 50 0 0 50 0 0 100.0 (N=2) · Lainnya *Keterangan : 1. Pregnancy with abortive outcome, 2. Oedema, protein uri, and hypertensive disorder (HDK), 3. Placenta previa, premature separation of placenta and Antepartum haemorrhage, 4. Other maternal care related to fetus and amniotic cavity and possible delivery problems, 5. Postpartum haemorrhage (PPP), 6. Other complications of pregnanct and delivery, 7. Complication predominantly related puerperium and other conditions.
Informasi tempat ibu meninggal yang agak berbeda diperoleh dari data Riskesdas 2010, dimana ibu meninggal di Kabupaten Malang, lebih banyak di praktek bidan (66,7%) dan Rumah Sakit Pemerintah (51%) 2, sebagai berikut pada grafik 2: Kematian ibu dapat dicegah maupun dikurangi bila diketahui komplikasi yang akan terjadi. Upaya yang dilakukan adalah melakukan ANC dengan teratur sehingga dapat dideteksi penyakit sedini mungkin. Perilaku ANC dapat diperoleh melalui data
Grafik 2. Tempat meninggal ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur
5
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
Riskesdas 2010. Informasi mengenai ANC menunjukkan persentase ibu meninggal yang tidak ANC lebih tinggi dibanding persentase ibu yang masih hidup tidak ANC dan sebaliknya, ibu yang hidup mempunyai persentase ANC lebih tinggi dibanding ibu yang meninggal. Hasil dapat dilihat pada grafik 3:
Grafik 3. Kunjungan ANC berdasarkan Data SP 2010 dan Data Riskesdas 2010 di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur ANC yang berkualitas dapat menurunkan kematan ibu. Salah satu pemeriksaan pada ANC adalah pemeriksaan tekanan darah. Hasil dari Riskesdas 2010 dengan STLKM SP 2010, ternyata persentase pemeriksaan tekanan darah di Kabupaten Malang sudah menunjukkan persentase yang baik, dapat dilihat pada grafik 4:
Grafik 4. Pemeriksaan tekanan darah di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur
Pada ANC, selain pemeriksaan tekanan darah juga dilakukan pemeriksaan urin. Hasil yang diperoleh dari Riskesdas 2010 dan STLKM SP 2010, sama-sama menginformasikan bahwa ibu yang meninggal maupun ibu yang hidup, persentase tidak dilakukan pemeriksaan urin selama kehamilan cukup tinggi. Hasil dapat dilihat pada grafik 5.
Grafik 5. Pemeriksaan urin di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur PEMBAHASAN Angka kematian ibu digunakan sebagai parameter utama keberhasilan dari layanan kesehatan ibu. Hasil studi ini mendapati bahwa angka kematian ibu di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil tersebut sedikit berbeda dengan hasil pada Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, yaitu jumlah kematian ibu di Kabupaten Malang sebesar 32 kematian 9, dengan demikian perolehan angka kematian ibu dari Dinas Kesehatan, tentu lebih kecil dibandingkan dengan studi ini. Hal ini mungkin terjadi karena underreporting. Pelaporan kematian ibu cenderung underreporting dan belum menggambarkan keadaan sebenarnya di populasi, sebab sebagian besar kematian yang terlaporkan adalah berasal dari pelayanan kesehatan, sedangkan kematian di komunitas sering kali tidak tercatat. Sehingga diperlukan upaya
6
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
lebih baik lagi dalam melakukan screening dan pencatatan kematian ibu. Menurut Berg (1998), ada beberapa sumber informasi kasus kematian ibu, yaitu: 1) Akta kematian, yaitu catatan vital sebagai landasan surveilans epidemiologi kematian ibu. Secara teori, temuan kematian ibu seharusnya mudah jika setiap kematian didaftarkan dan memiliki sebab kematian yang akurat tercantum dalam akta kematian. 2) Pencatatan RS atau fasilitas kesehatan. Pada umumnya catatan pelayanan kesehatan berisi informasi berharga mengenai penyebab medis kematian. 3) Identifikasi kematian masyarakat. Kematian ibu yang terjadi di luar pelayanan kesehatan adalah hal yang paling sulit untuk diidentifikasi dan memerlukan pendekatan kreatif. Namun demikian, penting untuk dilakukan identifikasi, khususnya di wilayah dimana persalinan dilakukan di rumah. 4) Sistem surveilans formal. Kematian wanita usia reproduksi atau karena kehamilan dan komplikasinya terdapat pada akta kematian yang harus dilaporkan kepada sistem surveilans. Jika sistem itu berfungsi sebagaimana yang direncanakan, sistem ini bisa mengatasi kelemahan yang berkaitan dengan metode identifikasi kematian.10 Upaya program dalam menurunkan kematian ibu dengan ANC yang berkualitas dan persalinan di fasilitas kesehatan. Harapannya komplikasi atau penyakit dapat dideteksi lebih dini dan dapat ditangani secara cepat. Pada negara-negara maju, kejadian kematian lebih banyak di rumah sakit, oleh karena bila terjadi komplikasi sudah seharusnya mendapatkan penanganan ataupun layanan medis di rumah sakit. Secara global, 80% penyebab kematian ibu merupakan penyebab langsung yang berupa komplikasi selama kehamilan, perslinan dan nifas. Berdasarkan laporan UNICEF dan NCMH di Pakistan kurang dari 30% wanita hamil yang mendapatkan ANC dan 95% melahirkan di rumah, kedua permasalahan tersebut menyumbang tingginya penyebab langsung sebagai penyebab kematian ibu di Pakistan.11
Sementara di Kabupaten Malang, menurut data studi tindak lanjut SP 2010, ibu yang meninggal di rumah tercatat sebanyak 14,3% dan menurut data Riskesdas 2010 pada ibu yang masih hidup melahirkan di rumah sebanyak 33%. Artinya, hasil ini sudah lebih baik dibandingkan dengan di Negara Pakistan, sehingga seharusnya kematian ibu karena penyebab langsung persentasenya lebih kecil. Sementara dalam grafik 3, tampak bahwa kunjungan ANC menurut Data SP 2010 dan Riskesdas 2010 menunjukkan persentase yang cukup baik yaitu lebih dari 65%, walaupun angka ini masih jauh dari standar kunjungan ANC yaitu 100%. ANC dapat membantu dalam mendeteksi adanya komplikasi pada ibu semasa hamil, sehingga munculnya komplikasi saat persalinan seharusnya dapat diwaspadai. Menurut penelitian Utami (2011), ibu hamil yang melakukan ANC minimal empat kali memiliki peluang dua kali lebih besar untuk melahirkan pada tenaga kesehatan daripada ibu hamil dengan ANC kurang dari empat kali.6 Selain dapat melakukan deteksi dini adanya komplikasi, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih juga dapat membantu meminimalkan kematian ibu. Studi ini juga menunjukkan bahwa hipertensi dalam kehamilan menjadi penyebab tertinggi dari kematian ibu di Kabupaten Malang, dengan persentase sebesar 24%. Diikuti oleh penyebab lain yang tidak spesifik sebesar 15%, dan perdarahan post partum sebesar 4%. Hasil studi ini tidak terlalu berbeda dengan pola penyebab kematian ibu di Provinsi Jawa Timur, yaitu eklampsia dan perdarahan (26,96%), penyebab lain (26,09%), penyakit jantung (13,91%), dan infeksi (6,09%).9 Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan, dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun, ada yang tidak dapat kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat jika hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil.4
7
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
Pada dasarnya kematian ibu akibat hipertensi dan perdarahan post partum merupakan komplikasi yang dapat dicegah. ANC merupakan salah satu pelayanan yang diberikan pada ibu hamil. Seharusnya seluruh ibu hamil yang datang ke pelayanan kesehatan mendapatkan pemeriksaan terkait hipertensi, seperti pemeriksaan tekanan darah dan urin. Berdasarkan data SP 2010 dan Riskesdas 2010, persentase pemeriksaan tekanan darah pada ibu hamil di Kabupaten Malang sudah baik, yaitu lebih dari 80%. Pemeriksaan tekanan darah pada masa hamil seharusnya dapat mendeteksi adanya hipertensi pada ibu, sehingga upaya pencegahan terjadinya komplikasi ketika bersalin atau pada masa nifas dapat dicegah. Hanya saja diperlukan pengawasan dalam peralatan yang digunakan dan tenaga pemeriksa tekanan darah, sehingga hasilnya benar-benar dapat mendeteksi adanya hipertensi. Berbeda dengan pemeriksaan tekanan darah, persentase pemeriksaan urin lebih kecil, yaitu 60% (Riskesdas 2010). Pemeriksaan urin ini penting untuk mengetahui adanya protein dalam urin dan udem. Dalam studi ini, perdarahan post parum berkontribusi sebesar 4% terhadap kematian ibu di Kabupaten Malang. Secara global, 25% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan post partum.12 Komplikasi tersebut memang sulit untuk diprediksi. Tetapi upaya pencegahan melalui penyediaan darah dan deteksi dini terhadap terjadinya anemia selama kehamilan dapat membantu mencegah terjadinya perdarahan post partum. Selain penyebab kematian ibu, studi ini juga memberikan gambaran karakteristik ibu yang meninggal. Mayoritas ibu berada pada usia produktif yaitu 20 hingga 35 tahun. Tetapi pada ibu yang meninggal akibat hipertensi, lebih banyak pada usia lebih dari 35 tahun, sedangkan untuk ibu yang meninggal akibat perdarahan post partum lebih banyak meninggal pada usia kurang dari 20 tahun. Risiko ibu untuk mengalami hipertensi dan anemia sebenarnya meningkat seiring dengan
meningkatnya usia.13 Tetapi perubahan usia menikah yang semakin muda sehingga risiko terhadap kematian juga meningkat. Pada ibu yang menikah di bawah usia 20 tahun risiko kematiannya meningkat dua hingga lima kali.14 Selain itu, rahim dan panggul yang belum mencapai ukuran dewasa, akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan lama, yang juga memiliki risiko terhadap terjadinya perdarahan.15 Pendidikan yang rendah menjadi karakteristik dari ibu yang meninggal dalam studi ini. Berdasarkan penelitian Sinaga (2007), pendidikan yang rendah pada ibu dan ketidaktahuan masyarakat menyebabkan terjadinya keterlambatan, seperti terlambat mengenal tanda bahaya, mengambil keputusan merujuk, mencapai pelayanan, dan memperoleh pelayanan.16 Demikian halnya penelitian Firani di Jawa Timur, disebutkan bahwa ibu dengan pendidikan yang rendah cenderung untuk memilih dukun sebagai penolong persalinan sebesar 38,3%.17 KESIMPULAN Kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur masih tinggi yaitu 34 kematian ibu dengan ratio kematian ibu sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian tertinggi adalah hipertensi dalam kehamilan, diikuti oleh penyebab lain yang tidak spesifik, dan perdarahan post partum. SARAN Diperlukan upaya preventif dan kuratif berdasarkan penyebab kematian. Pada hipertensi dalam kehamilan, perlu peningkatan pemeriksaan urin dan tekanan darah yang lebih akurat, sehingga adanya riwayat hipertensi pada ibu dapat terdeteksi. Demikian halnya dengan upaya kuratif bagi ibu dengan perdarahan. Ketersediaan darah yang cukup akan sangat membantu mencegah kematian ibu akibat perdarahan. Selain itu, upaya deteksi dini adanya anemia pada ibu hamil dan peningkatan kontrol terhadap
8
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
konsumsi tablet Fe pada ibu hamil juga dapat mencegah terjadinya kematian ibu.
8.
UCAPAN TERIMAKASIH Kami ucapkan terimaksih kepada Kepala Badan Litbangkes, Bapak Trihono yang telah mendukung dan mengarahkan kegiatan STLKM SP 2010 dan Riskesdas 2010, serta Tien Afifah sebagai penanggung jawab kegiatan STLKM SP 2010, sehingga kami dapat menggunakan dan menganalisis penyebab kematian.
9.
10.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
WHO, Reproductive Health, 2006. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI. 2010. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), BKKBN, Kementrian Kesehatan, ICF internasional, USAID. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. 2013, Jakarta, Indonesia. World Health Organization (WHO). Dibalik Angka. Pengkajian Kematian Maternal dan Komplikasi untuk Mendapatkan Kehamilan yang Lebih Aman. WHO. 2007. Jakarta Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Jakarta Wignjosastro. Ilmu kebidanan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1992. Jakarta Utami, Dwicahyanti. Pengaruh pemeriksaan kehamilan terhadap pemilihan penolong persalinan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011. Jakarta
11.
12.
13.
14.
15. 16.
17.
United States Agency for International Development (USAID). Kematian ibu hamil dan bayi ditekan dengan Sutra Emas. Diunduh dari: http://www.selamat kanibudanbayi.org/index.php?option=com_co ntent&view=article&id=159%3Akematianibu-hamil-dan-bayi-ditekan-denga n-sutraemas&catid=47%3Acollection&I temid=147&lang=en (Diunduh: 30 Oktober 2012) World Health Organization (WHO), International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, ICD 10, Geneva, 2005 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2011. Jawa Timur Berg, Cynthia, et al. Guidelines for Maternal Mortality Epidemiological Surveillance. 1998. Washington D.C World Health Organization (WHO). Reduction of maternal mortality. A joint WHO, UNFPA, UNICEF, World Bank Statement. 1995. Geneva Rahim, Rehana et al. An analysis of direct cause of maternal mortality. 2006; 20 (1): 8691 Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan. 1997. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Pedak, Mustamir. Petunjuk lengkap dan praktis KB alami. 2011. Jogjakarta: Laksana Sinaga, Masrida. Beberapa faktor sosial demografi yang berhubungan dengan tingginya angka kematian ibu di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Media Kesehatan Masyarakat. 2007; 3 (2) Firani, Novi Khila. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan perilaku dalam memilih penolong persalinan. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
9
Faktor-faktor yan Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi) g berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONSUMSI TABLET BESI PADA IBU HAMIL DI KELURAHAN KEBON KELAPA, BOGOR Factors Affecting Iron Tablets Consumption In Pregnant Women In Kebon Kelapa, Bogor Ika Saptarini, Andi Susilowati dan Suparmi Pusat Teknologi dan Intervensi Kesehatan Masyarakat, Jln. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat e-mail:
[email protected] Abstract Background: Anemia in pregnant women remains a global problem, especially in developing countries and more than half of this are caused by iron deficiency. Indonesian Ministry of Health made an iron supplementation program for pregnant women during routine examination of pregnant women (antenatal care) at least 90 tablets during pregnancy. Objective: This study aims to determine the factors that influence the consumption of iron tablets to pregnant women in Kebun Kelapa, Bogor. Method: This research was descriptive analysis and used cross-sectional method. The samples were all respondents of Children Growth Cohort Study in Kebun Kelapa, Bogor. Analysis used logistic regression to evaluate the influence of each factor on iron tablet consumption. Result: 122 respondents were analyzed in the study. Mothers without complained of iron tablet consumption had significant effect on the consumption of iron tablets to pregnant women. Mother without a complaint had 3.4 times greater chance to consume iron tablet as recommended by Indonesian Ministry of Health (minimal 90 tablets during pregnancy) than mother with complained. Consclusion and Recomendation: Complaints of taking iron tablets have a meaningful relationship with the consumption of iron tablets in pregnant women. It can be recommended to the government to review the composition and dosage of taking iron tablets. Keywords: consumption, determinant, iron tablet, pregnancy Abstrak Latar Belakang: Anemia pada ibu hamil masih menjadi permasalahan global terutama di negara berkembang dan separuh lebih kasus anemia disebabkan karena defisiensi zat besi (Fe). Kementerian Kesehatan RI membuat program suplementasi besi untuk ibu hamil pada saat pemeriksaan rutin ibu hamil (antenatal care) sebanyak minimal 90 tablet selama kehamilan. Tujuan: Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan terhadap konsumsi tablet besi pada ibu hamil di Kelurahan Kebon Kelapa, Bogor. Penelitian deskriptif ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional). Sebanyak 122 responden dari Studi Kohort Tumbuh Kembang Anak dianalisis menggunakan metode regresi logistik untuk melihat hubungan setiap faktor terhadap konsumsi tablet besi. Hasil: Keluhan meminum tablet besi memberikan hubungan signifikan terhadap konsumsi tablet besi pada ibu hamil (nilai p:0,002). Ibu tanpa keluhan mempunyai peluang 3,4 kali lebih besar untuk mengkonsumsi tablet besi sesuai anjuran (minimal 90 tablet selama kehamilan) dibandingkan ibu dengan keluhan minum tablet besi. Kesimpulan: Keluhan meminum tablet besi memiliki hubungan yang bermakna dengan konsumsi tablet besi pada ibu hamil. Hal ini dapat dijadikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengkaji komposisi dan dosis minum tablet besi yang ada. Kata kunci: determinan, kehamilan, konsumsi, tablet besi.
Naskah masuk: 11 Januari 2015,
Review: 23 Februari 2015,
Disetujui terbit: 20 Maret 2015
9
Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
PENDAHULUAN Anemia masih menjadi permasalahan di dunia terutama di negara negara berkembang. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa masih terdapat 50 persen lebih wanita di dunia menderita anemia. Kondisi ini dapat memberikan dampak merugikan di setiap kelompok umur termasuk ibu hamil. Pada ibu hamil kejadian anemia dapat menyebabkan penyulit pada ibu maupun bayi yang dikandungnya seperti perdarahan yang mengancam jiwa, keguguran, berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan kelahiran prematur.1,2 Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012 menunjukkan bahwa angka kematian ibu (AKI) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.3 WHO juga mengemukakan bahwa 4 persen kematian ibu di Ethiophia disebabkan oleh anemia.4 WHO mendefinisikan anemia pada ibu hamil dimana kadar haemoglobin kurang dari 11 mg/dL pada trimester pertama dan terakhir atau 10,5 mg/dL pada trimester kedua atau kadar hematokrit kurang dari 37 persen. 5 Meskipun banyak faktor yang dapat memicu terjadinya anemia, lebih dari separuh diantaranya diakibatkan oleh kekurangan zat besi (iron deficiency). Zat besi (Fe) adalah salah satu mikronutrisi yang diperlukan dalam pembentukan haemoglobin yang diperlukan dalam sirkulasi tubuh manusia. Saat hamil, sirkulasi darah di tubuh ibu akan meningkat, terjadi peningkatan volume plasma darah dan volume sel darah merah. Semua hal ini akan mengakibatkan terjadinya hemodilusi dan berakibat terjadinya penurunan haemoglobin. Kondisi ini akan memudahkan terjadinya anemia pada ibu hamil. Pada Ibu hamil kebutuhan besi juga meningkat karena besi digunakan dalam pembentukan janin dan cadangan dalam plasenta serta untuk sintesis Hb ibu hamil. Oleh karena itu pada keadaan hamil kebutuhan zat besi juga meningkat dan penting untuk menjaga kecukupan asupan zat besi pada masa kehamilan.6,7 Saat kebutuhan zat besi dari asupan sehari hari dirasa tidak mungkin mencukupi, maka diperlukan suplementasi untuk menjamin tercukupinya kebutuhan mikronutrisi ini. Pada awal kehamilan juga biasa terjadi morning sickness 10
yang dapat memperburuk tidak memadainya asupan nutrisi ibu. Salah satu cara untuk menjamin kesehatan ibu adalah dengan pelayanan kesehatan ibu yang baik dan berkualitas. Pelayanan kesehatan ibu yang dimaksud disini adalah pemeriksaan ibu hamil (antenatal care), persalinan oleh tenaga kesehatan (linakes) dan pemeriksaan ibu nifas (postnatal care). Pemeriksaan ini dimulai dari antenatal care (ANC). Pemeriksaan masa kehamilan berfungsi untuk memantau kesehatan ibu hamil serta deteksi dini jika terdapat penyulit kehamilan termasuk pencegahan dan penanganan anemia pada ibu hamil. WHO merekomendasikan kunjungan ANC minimal empat kali kunjungan dengan selang waktu tertentu. WHO juga merekomendasikan suplementasi besi sebesar 60 mg per hari selama enam bulan untuk ibu hamil tanpa anemia dan dosis meningkat menjadi 120 mg jika waktu minum memendek.8 Dua rekomendasi WHO ini kemudian dikembangkan Kementerian Kesehatan RI menjadi ANC 1-1-2 (K4) yang berarti minimal satu kali kunjungan pada trimester pertama, minimal satu kali kunjungan pada trimester kedua dan minimal dua kali kunjungan pada trimester ketiga. Pada prosedur tetap antenatal care (10T) yang dikembangkan Kementerian Kesehatan RI salah satunya dengan pemberian tablet besi sebanyak minimal 90 tablet selama masa kehamilan. Namun efektivitas dari program ini juga sangat tergantung dari jumlah tablet besi yang dikonsumsi ibu. Beberapa pakar berpendapat kegagalan program ini banyak dikarenakan ketidakpatuhan ibu dalam meminum tablet besi sehingga menyebabkan konsumsi tablet besi yang diminum tidak memenuhi jumlah yang direkomendasikan. Selain itu faktor yang mungkin berpengaruh terhadap program suplementasi tablet besi pada ibu hamil antara lain sistem pelayanan kesehatan yang ada, faktor ibu seperti faktor sosiodemografi serta faktor reproduksi.9,10 Sejak tahun 2011 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI telah melakukan Studi Kohor Tumbuh Kembang Anak di Kecamatan Bogor Tengah, Bogor. Informasi tentang tumbuh kembang anak yang spesifik untuk anak Indonesia belum pernah diketahui, sehingga penanganannnya belum
Faktor-faktor yan Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi) g berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
komprehensif, oleh karena itu Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes melakukan penelitian Kohor Tumbuh Kembang Anak yang bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan dan perkembangan anak sejak dalam kandungan sampai umur 18 tahun. Penelitian Kohor Tumbuh Kembang Anak dilakukan sejak tahun 2011 berupa baseline, dilanjutkan dengan pengumpulan data tahun 2012 sampai sekarang. Adapun data yang dikumpulkan sampai tahun 2013 meliputi: data individu ibu hamil (setiap bulan), morbiditas (setiap bulan), status kesehatan (tiap trisemester), antropometri (setiap bulan), konsumsi (setiap bulan), aktifitas (tiap trisemester), pemeriksaan USG (satu kali), biokimia darah: Hemoglobin dan Hematokrit (trisemester III), transferin reseptor, zinc dan vitamin A (trisemester III) serta pemeriksaan tekanan darah ibu hamil. Hasil studi Kohor Tumbuh Kembang Anak menunjukkan bahwa Kelurahan Kebon Kelapa memiliki jumlah ibu hamil cukup banyak namun memiliki asupan nutrisi yang kurang baik. Penduduk di kelurahan ini juga memiliki tingkat ekonomi rata rata menengah ke bawah.11 Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran faktor faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi tablet besi pada ibu hamil di Kelurahan Kebon Kelapa, Bogor. METODE Populasi adalah seluruh perempuan yang pernah melahirkan pada periode Januari 2012 hingga saat wawancara di Kelurahan Kebon Kelapa. Pengambilan subyek penelitian menggunakan total sampling. Jumlah responden sebanyak 145 orang. Namun hanya sebanyak 122 responden yang diikutkan dalam analisis karena 23 responden sedang hamil. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur pada Bulan April – Juli 2014 untuk mengetahui keadaan kehamilan terakhir yang dialami responden termasuk jumlah tablet besi yang diminum ibu. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah jumlah konsumsi tablet besi ibu pada saat kehamilan terakhir. Variabel dependen dikategorikan menjadi dua yaitu ibu mengkonsumsi tablet besi baik jika meminum
minimal 90 tablet Fe selama kehamilan dan dikategorikan buruk jika meminum kurang dari 90 tablet Fe selama kehamilan. Variabel independen meliputi faktor sosio-demografi (usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga) serta faktor reproduksi dan pelayanan kesehatan (gravida/ jumlah kehamilan, waktu tempuh ke fasilitas kesehatan, kunjungan ANC, tempat ANC dan tenaga pemberi pelayanan ANC serta keluhan ibu dalam meminum tablet besi). Usia ibu dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok, 20 tahun atau kurang, 21 – 35 tahun serta lebih dari 35 tahun. Pendidikan ibu dibagi menjadi empat kelompok, yaitu tidak sekolah/ tidak tamat SD, SD-SMP, SMA dan perguruan tinggi (PT). Pekerjaan ibu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Sedangkan pendapatan keluarga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu dibawah Upah Minimum Regional (UMR) Kota Bogor Tahun 2014 dan sama atau lebih tinggi dari UMR Kota Bogor Tahun 2014. Upah Minimum Regional Kota Bogor Tahun 2014 adalah Rp 2.352.350.12 Definisi gravida dalam penelitian ini adalah jumlah kehamilan seluruhnya yang dialami ibu, yang kemudian dibagi menjadi tiga yaitu primigravida (hamil satu kali), multigravida (hamil 2-4 kali) dan grande multigravida (hamil 5 kali atau lebih). Waktu tempuh ke fasilitas kesehatan dibagi kurang dari 30 menit dan 30 menit atau lebih. Ibu melakukan kunjungan ANC (antenatal care) bila pemeriksaan kehamilan minimal satu kali pada trimester pertama, minimal satu kali pada trimester kedua dan minimal dua kali pada trimester ketiga. Seluruh variabel dianalisis mengunakan komputer dengan metode regresi logistik dengan signifikansi 5% dan 95% convidence interval, sehingga dapat diperoleh faktor faktor yang berhubungan dengan konsumsi tablet besi ibu selama kehamilan. HASIL Terdapat 46,7 persen responden mengaku mengkonsumsi tablet besi sesuai anjuran (minimal 90 tablet selama kehamilan). Hasil studi ini menunjukkan bahwa terdapat 53,3% responden yang mengkonsumsi tablet besi secara buruk selama kehamilan (Gambar.1). 11
Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
Gambar 1. Konsumsi Tablet Besi Selama Kehamilan (%)
Analisis bivariat pada status sosio-demografi menunjukkan bahwa faktor usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan
keluarga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan konsumsi tablet besi ibu selama kehamilan Tabel.1.
Tabel 1. Hubungan Faktor Sosio-demografi Terhadap Konsumsi Tablet Besi Pada Ibu Hamil. Konsumsi Tablet Fe Buruk
Konsumsi Tablet Fe Baik
Crude odds ratio
95% CI
p-value
n
%
n
%
4
66,7
2
33,3
21-35 tahun
44
48,9
46
51,1
Referensi 2,09
0,36-12,0
0,408
Lebih dari 35 tahun
17
65,4
9
34,6
1.16
0,16-6,93
0,952
Tidak sekolah
3
50,0
3
50,0
SD-SMP
29
59,2
20
40,8
Referensi 0,69
0,13-3.77
0,668
SMA
30
48,4
32
51,6
1,07
0.20-5,70
0,940
DIII/PT
3
60,0
2
40,0
0.67
0,06-7,35
0,741
Tidak bekerja
52
51,5
49
48,5
Bekerja
13
61,9
8
38,1
Referensi 0,65
0,25-1,71
0,386
48
57,8
35
42,2
17
43,6
22
56,4
Referensi 1,78
0,82-3,83
0,143
Usia ibu (tahun) 20 tahun atau kurang
Pendidikan Ibu
Pekerjaan
Pendapatan Dibawah UMR UMR atau lebih tinggi
Keluhan minum tablet besi memberikan hubungan bermakna terhadap konsumsi tablet besi selama kehamilan (nilai p: 0,002). Ibu 12
yang tidak mengeluh efek samping tablet besi, mengkonsumsi tablet besi lebih baik 3,4 kali dibandingkan ibu dengan keluhan minum
Faktor-faktor yan Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi) g berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
tablet besi (OR:3,4; 1,57 – 7,37 CI) Sedangkan faktor jumlah kehamilan (gravida), antenatal care K4, tempat pemeriksaan antenatal care, tenaga pemberi pelayanan antenatal care,
waktu tempuh ke fasilitas kesehatan tidak memberikan hubungan signifikan terhadap konsumsi tablet besi saat kehamilan. (Tabel.2).
Tabel 2. Hubungan Faktor Ibu dan Pelayanan Kesehatan Terhadap Konsumsi Tablet Besi Pada Ibu Hamil. Konsumsi Tablet Fe Buruk
Konsumsi Tablet Fe Baik
Crude odds ratio
95% CI
p-value
n
%
n
%
Primigravida
15
45,5
18
54,5
Referensi
Multigravida
46
54,8
38
45,2
0,69
0,31-1,55
0,366
Grande Multigravida
4
80,0
1
20,0
0,21
0,21-2.07
0,181
Tidak
9
64,3
5
35,7
Referensi
Ya
56
51,9
52
48,1
1,67
0,53 - 5,31
0,384
Non Rumah Sakit
61
53,0
54
47,0
Referensi
Rumah Sakit
4
57,1
3
42,9
0,84
0,181-3,96
0,833
61
53,5
53
46,5
Referensi
4
50,0
4
50,0
1,15
0,27 - 4,83
0,848
0,10-1,73
0,225
1,57 - 7,37
0,002*
Gravida
ANC 1-1-2
Tempat ANC
Tenaga ANC Bidan SpOG Waktu Tempuh ke Fasilitas Kesehatan
3
33,3
6
66,7
Referensi
62
54,9
51
45,1
0,41
34
69,4
15
30,6
Referensi
28 Tidak 40,0 * Menunjukkan pengaruh yang bermakna
42
60,0
3,40
30 menit/ lebih <30 menit Keluhan Minum Tablet Fe Ya
Konsumsi tablet besi dapat menimbulkan efek samping yang beragam. Responden dengan keluhan minum tablet besi terdapat 73,6 persen ibu yang mengaku mual setelah mengkonsumsi tablet besi. Terdapat 18,9
persen yang mengeluhkan jika tablet besi mempunyai bau tidak enak dan sebesar 7,5 persen mengeluh pusing setelah minum tablet besi. Gambar 2.
Gambar 2. Keluhan Konsumsi Tablet Besi Pada Ibu Hamil (%).
13
Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
PEMBAHASAN Separuh lebih responden masih mengkonsumsi tablet besi tidak sesuai anjuran. Ini menunjukkan bahwa masih banyak konsumsi tablet besi pada ibu hamil yang tidak sesuai dengan rekomendasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil ini sesuai dengan penelitian di delapan distrik perkotaan di Ethiophia menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen ibu hamil mengkonsumsi tablet besi tidak seperti yang dianjurkan (masih buruk).3 Di negara maju seperti Inggris asupan zat besi pada saat kehamilan pun masih sangat rendah. Penelitian Kohor di Inggris Tahun 2011 menunjukkan dari food recall didapatkan bahwa kurang dari sepuluh persen responden dengan asupan zat besi di atas angka kecukupan gizi (AKG).13 Pada masa kehamilan, wanita membutuhkan zat besi sebesar 900 mg yaitu meningkatnya sel darah ibu 500 mg, terdapat dalam plasenta 300 mg dan untuk darah janin sebesar 100 mg. Jika cadangan zat besi dalam tubuh minimal, maka setiap kehamilan menguras persediaan zat besi tubuh dan akhirnya akan terjadi anemia pada kehamilan.14 Kebutuhan zat besi pada setiap trimester kehamilan berbeda-beda. Pada trimester pertama, kebutuhan besi justru lebih rendah dari masa sebelum hamil. Ini disebabkan wanita hamil tidak mengalami menstruasi dan janin yang dikandung belum membutuhkan banyak zat besi. Memasuki trimester ketiga kebutuhan besi melonjak menjadi 6,3 mg/hari dari trimester pertama sebesar 0,8 mg/hari. Kenaikan kebutuhan zat besi sangat tinggi ini tidak dapat dipenuhi dari makanan saja, walaupun asupan makanan sudah baik secara kualitasnya dan bioavaibilitasnya, namun zat besi juga harus didapat dari sumber lain agar cukup. Hal ini mengapa supelementasi besi pada ibu hamil masih sangat penting. Pada ibu hamil akan terjadi peningkatan volume plasma darah. Peningkatan volume darah terjadi selama kehamilan, mulai pada 11-12 minggu usia kehamilan. Pada ibu hamil juga terjadi peningkatan curah jantung, seiring dengan peningkatan volume plasma darah. Hal ini menyebabkan kebutuhan bahan pembentuk sel darah meningkat seperti zat besi, folat dan zat lainnya pada masa kehamilan. Peningkatan kebutuhan ini juga memudahkan ibu hamil lebih rentan terjadi anemia, dimana kadar 14
hemoglobin menurun. Pada masa kehamilan juga terjadi peningkatan aliran darah ke seluruh organ tubuh seperti otak, rahim (uterus), ginjal, payudara dan kulit. Peningkatan aliran darah ini penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin. Jika keadaan ini tidak diimbangi dengan kecukupan zat besi yang baik maka juga akan mengakibatkan terganggunya kesehatan ibu dan janin seperti berat badan janin rendah, meningkatkan risiko kelahiran prematur dan keguguran.15 Pemberian suplementasi zat besi pada ibu hamil dirasa masih menguntungkan karena mampu memperbaiki status Hemoglobin tubuh dalam waktu relatif singkat. Sampai sekarang suplementasi zat besi ini masih merupakan salah satu cara yang dilakukan pada ibu hamil. Di Indonesia tablet besi yang digunakan ferro sulfat. Senyawa ini tergolong murah dan dapat diabsorbsi sampai 20%.16 Penjelasan hasil dan teori ini menunjukkan juga bahwa suplementasi tablet besi selama kehamilan masih sangat diperlukan. Tablet besi pada ibu hamil dapat diperoleh setiap kali melakukan antenatal care atau pemeriksaan kehamilan. Studi kualitatif di Jawa Barat menemukan bahwa beberapa ibu memang menerima tablet besi setiap kunjungan antenatal care, namun karena jumlah yang diterima bervariasi (antara 15— 30 tablet) tidak semua ibu mendapatkan total minimal 90 tablet besi selama kehamilan.17 Di mana kunjungan antenatal care sesuai anjuran (K4) tidak menunjukkan hubungan dengan jumlah tablet besi yang dikonsumsi ibu hamil selama kehamilan. Hal ini dimungkinkan juga karena tablet besi yang diperoleh saat kunjungan memang tidak memadai. Hasil studi kualitatif juga mendapatkan bahwa sebagian responden mendapatkan tablet besi dengan jumlah bervariasi antara 7-15 tablet tiap kali kunjungan, begitu pula menurut bidan puskesmas. Hal ini dikarenakan persediaan tablet besi di puskesmas sering terbatas.17 Hasil Survei Demografi dan Kesehatan (Demographic Helath Survey) di beberapa negara tahun 2004—2007 juga menunjukkan
bahwa 20—60% ibu dengan kunjungan ANC sebanyak 3 kali atau lebih mendapatkan kurang dari 90 tablet besi.18 Studi di Jakarta memperlihatkan bahwa
Faktor-faktor yan Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi) g berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
ibu hamil yang memiliki kepatuhan yang rendah mengungkapkan bahwa alasan untuk tidak mengonsumsi tablet besi sesuai anjuran karena tidak menerima tablet lagi dari penyedia layanan antenatal care.19 Efek samping konsumsi tablet besi telah lama diyakini menjadi salah satu faktor penyebab buruknya konsumsi tablet besi pada ibu hamil. Pada penelitian ini keluhan minum tablet besi memberikan pengaruh bermakna terhadap jumlah tablet besi yang diminum ibu selama kehamilan (nilai p: 0,002). Ibu tanpa keluhan memiliki peluang 3,4 kali lebih besar untuk meminum tablet besi sesuai anjuran dibandingkan ibu dengan keluhan. Hasil ini sesuai dengan penelitian di Vietnam yang menemukan bahwa keluhan tablet besi memberikan pengaruh signifikan terhadap kelengkapan ibu minum tablet besi.20 Hasil studi di Ethiophia juga mendapatkan bahwa separuh lebih alasan ketidakpatuhan ibu minum suplementasi besi selama kehamilan disebabkan efek samping tablet besi. Namun, dari review dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping tablet besi ini memberikan hubungan minimal dengan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet besi. Pada penelitian di Banglades juga mendukung bahwa antara ibu yang mengalami keluhan efek samping dan tidak mengalami tidak berbeda dalam mengkonsumsi tablet besi. Pada studi ini juga mengemukakan bahwa efek samping tablet besi jika disikapi dengan tepat maka dampak keluhan ini terhadap kepatuhan minum tablet besi selama kehamilan akan minimal.21 Menurut penelitian ini efek samping tablet besi lebih disebabkan karena dosis tablet besi. Keluhan tablet besi lebih banyak muncul pada dosis minum harian dibandingkan dengan dosis mingguan. Efek samping tablet besi juga lebih tinggi pada ibu hamil pada trimester pertama dibandingkan trimester kedua dan ketiga. Hal ini juga dimungkinkan pada trimester pertama pada umumnya ibu hamil juga mengalami morningsickness yang memperberat efek samping tablet besi terutama pada keluhan di saluran cerna (gastrointestinal tract). Hasil ini juga diperkuat pada penelitian lainnya yang menyatakan bahwa meskipun persentase ibu hamil dengan keluhan minum tablet besi
meningkat namun kepatuhan ibu hamil juga tetap tinggi.22 Terdapat 49 responden menyatakan mengalami keluhan saat minum tablet besi. Seorang responden dapat menyatakan lebih dari satu keluhan. Keluhan terbanyak yang dialami responden adalah mual setelah minum tablet besi sebanyak 73,6 persen. Selain mual, responden juga mengeluhkan tablet besi yang mereka minum berbau tidak enak (18,9%) dan mengeluhkan pusing setelah minum tablet besi (7,5%). Pada beberapa orang, pemberian tablet zat besi dapat menimbulkan efek samping seperti mual, nyeri didaerah lambung, kadang terjadi diare atau sulit buang air besar dan pusing. Keluhan pusing ini sering dikarenakan karena efek bau logam tablet besi.7 Selain itu setelah mengkonsumsi tablet tersebut, tinja akan berwarna hitam, namun gejala-gejala ini tidak membahayakan baik untuk ibu maupun janinnya. Keluhan ini bertambah berat karena pada saat hamil ibu pada umumnya juga mengalami keluhan mual muntah (morningsickness) terutama pada awal kehamilan.17 Jika ibu tidak mempunyai pengetahuan dan motivasi yang cukup kuat dalam meminum tablet besi, kondisi ini dapat menjadi alasan ibu untuk menghentikan minum tablet besi selama kehamilan.23 Preparat tablet besi ferro sulfat merupakan preparat tablet besi yang umumnya digunakan di Indonesia karena preparat ini tidak mahal dan diabsorbsi dengan cukup baik. Namun dari beberapa review sedian zat besi jenis ferro sulfat sering menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan terutama pada saluran cerna seperti mual dan rasa tidak nyaman di lambung. Teori ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada studi ini bahwa efek samping terbesar yang dikeluhkan responden adalah mual (gastrointestinal side effect). Penelitian di Kolombia juga mendapatkan bahwa preparat ferro sulfat secara signifikan berhubungan dengan efek samping terutama efek samping di saluran cerna seperti mual dan epigastric pain.24. Penelitian yang dilakukan di India juga menunjukkan bahwa preparat ferro sulfat merupakan jenis preparat tablet besi yang paling banyak memberikan efek samping yang dikeluhkan ibu hamil meskipun terjadi juga peningkatan kadar ferritin serum dan besi serum pada penggunaan preparat ini.25 Namun pada penelitian yang dilakukan di Australia menemukan bahwa efek samping yang ditimbulkan ferro sulfat tidak memberikan hubungan bermakna dengan preparat jenis lainnya. 15
Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi)
Selain ferro sulfat preparat lain yang dapat diberikan adalah ferro fumarat dan ferro glukonat.26 Akhir-akhir ini juga diperkenalkan preparat Ferri complex, salah satunya adalah Iron-polymaltose complex (IPC). Kelebihan IPC merupakan preparat non-ionik yang tidak menimbulkan reaksi stres oksidatif, sehingga lebih aman dan dapat ditoleransi oleh pasien.27
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN
3.
1.
2.
Keluhan minum tablet besi berpengaruh secara bermakna terhadap konsumsi tablet besi pada ibu hamil di Kelurahan Kebon Kelapa, Bogor. 4.
SARAN Kepada Kementerian Kesehatan untuk dapat mengkaji komposisi dan dosis preparat tablet besi yang ada sehingga didapatkan formulasi dan dosis tablet besi dengan efek samping yang lebih ringan. Selain itu diperlukan juga edukasi oleh tenaga kesehatan pemberi pelayanan antenatal care akan pentingnya kepatuhan minum tablet besi selama kehamilan sehingga ibu mampu mengkonsumsi tablet besi sesuai anjuran program selama kehamilan.
5.
6.
7.
Beberapa keterbatasan penelitian yang disadari dapat menyebabkan bias dalam mengambil kesimpulan, antara lain adalah: 1. Besar sampel terlalu sedikit 2. Jenis tablet besi yang dikonsumsi ibu hamil tidak dibedakan antara tablet besi dari program dan tablet besi yang dijual bebas atau multivitamin yang mengandung tablet besi. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini adalah Penelitian Riset Pembinaan Kesehatan (Risbinkes) Tahun 2014 yang dibiayai dari DIPA Litbangkes, Kemenkes RI. Terimakasih kami ucapkan kepada DR. dr. Harimat Hendarwan, M.Kes dan DR.Ir. Dewi Permaesih, M.Kes, DR. Gurindro Putro, SKM, M.Kes dan Dra. Nur Endah atas bimbingan yang diberikan selama penelitian. Terimakasih juga kepada Tin Afifah, SKM, MKM selaku Kepala Sub Bidang Upaya Kesehatan Kelompok Rentan atas dukungan semangat dan bimbingan yang diberikan. 16
8.
9.
10.
11.
12.
13.
World Health Organization, 2002.The World Health Report 2002. Reducing Risks, Promoting Healthy Life. WHO. 248 pp Mithra, P., Unnikrishnan, B., Rekha, T., Nithin, K., Mohan, K., Kulkarni, V., Agarwal, D., 2013. Compliance with Iron Folic Acid Among pregnant Women in Urban Area South India. African Health Sciences 2013;13(4):880-885. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International., 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, Calverton, maryland, USA : BPS dan Macro International. 234 hlm. Gebremedhin, S., Samuel, A., Mamo, G., Moges, T., Assefa, T., Coverage, Compliance and Factors Associated with Utilization of Iron Supplementation during Pregnancy in Eight Rural Districts of Ethiopia: Across-sectional Study. BMC Public Health 2014, 14:607-615. World Health Organization, 1993. Prevention and Management of Severe Anaemia in Pregnancy. WHO. WHO/FHE/MSM/93-5. Munasinghe, S., Broek, N., Anemia in Pregnancy in Malawi, Review. Tersedia pada http://www.ajol.info/index.php/mmj/article/vie w/10920/37714. Diakses pada 17 Agustus 2014 pukul 22.02 WIB. Galloway R., et al., 2002. Women’s Perceptions of Iron Deficiency and Anaemia Prevention and Control in Eight Developing Countries. Social science & medicine. Vol. 39, No. 3. 381-390. World Health Organization. 1997. The World Health Report - Conquering Suffering, Enriching Humanity. WHO. World Health Organization. 2002. WHO Antenatal Care Randomized Trial: Manual for Implementation of The New Models.. WHO. 42 pp. Depkes. 2009. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWSKIA). Departemen Kesehatan RI. Irawati, A., dkk. 2013. Laporan Kohor Tumbuh Kembang Anak. Litbangkes Kemenkes RI. Jakarta : 2014 http://regional.kompasiana.com/2013/11/22/up ah-minimum-kotakabupaten-umr-di-jawabarat-611988.html Alwan NA, Greenwood DC, Simpson NAB, McArdle HJ, Godfrey KM, Cade JE. Dietary iron intake during early pregnancy and birth outcomes in a cohort of British women. Human Reproduction, Vol.26, No.4 pp. 911– 919, 2011
Faktor-faktor yan Faktor-faktor yang berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi) g berhubungan……(Ika Saptarini, Andi Susilowati, Suparmi) 14. Manuaba, I. 1998. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: EGC 15. Husaini, MA. 1989. Study Nutritional Anemia an Assessment of Information Complication for Supporting and Formulating National policy and Program. Puslitbang Gizi dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat DepKes RI. 16. Wirakusumah, E.S., 1999. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi, Jakarta, Trubus Agriwidya. 17. Titaley CR, Hunter CL, Heywood P, & Dibley MJ. 2010. Why don’t some women attend antenatal and postnatal care services?: a qualitative study of community members’ perspectives in Garut, Sukabumi and Ciamis districts of West Java Province, Indonesia. BMC Pregnancy Childbirth, 10, 61. 18. Sanghvi TG, Harvey PWJ, & Wainwright E. 2010. Maternal iron-folic acid supplementation programs: evidence of impact and implementation. Food Nutr Bull, 31, S100— 107. 19. Schultink W, Van der Ree M, Matulessi P, & Gross R. 1993. Low compliance with an ironsupplementation program: a study among pregnant women in Jakarta, Indonesia. Am. J. Clin. Nutr, 57, 135—139. 20. Aikawa, R, Jimba M, Nguen KC, Zhao Y, Binns CW, Lee MK. Why Do Adult Women in Vietnam Take Iron Tablet?. BMC Public Health 2006, 6:144-151 21. Hyder SMZ, Persson LA, Chowdhury AMR, & Ekström EC. 2002. Do side-effects reduce compliance to iron supplementation? A study of daily- and weekly-dose regimens in pregnancy. J Health Popul Nutr, 20, 175—179.
22. Risonar, MGD, Solon, PR, Tengco, LW, Sarol JN, Paulino, LS, Solon, FS. Effectiveness of a redesigned iron supplementation delivery system for pregnant women in Negros Occidental, Philippines. Public Health Nutrition Journal: 12(7), 932–940 23. McDiarmid, T, Johnson, ED. Are any oral iron formulations better tolerated than ferrous_sulfate? https://mospace.umsystem.edu/xmlui/bitstream /handle/10355/2842/AreOralIronFormulations Better.pdf?sequence=1. Diunduh pada tanggal 5 Februari 2015. 24. Saha L, Pandhi P, Gopalan S, Malhotra S, Shah KP. Comparison of Efficacy, Tolerability, and Cost of Iron Polymaltose Complex With Ferrous Sulphate in the Treatment of Iron Deficiency Anemia in Pregnant Women. MedGenMed 2007;9(1):1 25. Milman, N., 2012. Review Article: Oral Iron Prophylaxis in Pregnancy: Not Too Little and Not Too Much!. Journal of Pregnancy Volume 2012. 26. Appendix C: Improving the Effectiveness of Iron Supplements for Pregnant Women. Tersedia pada http://siteresources.worldbank.org/NUTRITIO N/Resources/Tool9-appendc.pdf. Akses pada tanggal 17 Agustus 2014 pukul 13.00 WIB 27. Geisser P. Safety and Efficacy of Iron(III)hydroxide Polymaltose Complex. A review of over 25 years experience. http://info.emed.co.il/ferripel/files/2013/06/Geisser-DrugRes-2007.pdf. Diunduh pada tanggal 9 Februari 2015.
17
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
PEMBERIAN DUKUNGAN UNTUK MENYUSUI ASI EKSKLUSIF ENAM BULAN DI PUSKESMAS KEMIRI MUKA, DEPOK, JAWA BARAT TAHUN 2011 The Provide to Support For Six Months Exclusive Breastfeeding In Kemiri Muka District, Depok, West Java 2011 Ida*, Joko Irianto Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes *Email :
[email protected] Abstract Background : Breast milk is very beneficial in terms of various aspects, both in terms of nutrition, health, economic and socio-psychological. Unfortunately, exclusive breastfeeding until 6 months of age infants in Indonesia is still low doesn’t reach the target coverage. Objective : To know the proportion of exclusive breastfeeding 6 months and factors that supported behavior of exclusive breastfeeding in Kemiri Muka District, Depok, West Java. Methode : This study used a cross-sectional design of the respondents were mothers with infants aged 6 months up to 12 months a number of 172 respondents. The study was conducted in October 2011 by using a questionnaire closed instrument. Result : The results showed the percentage of exclusive breastfeeding for 6 months is still low at only 25.6%. The study showed that only 45.9% of facilities and health workers supported well in 6-month exclusive breastfeeding by mothers. Amounted to 52.3% of respondents have good support from her husband and by 63.4% of respondents have good support from family (mother and mother-in-law) within 6 months of exclusive breastfeeding. Only 51.2% of respondents had exposure of exclusive breastfeeding with good mother. Supporting factors that was significantly associated are the supporting of her husband (p=0.001, OR=3.737), facilities and health workers (p=0.000, OR=3.974) and the family (p=0.002, OR=4.111). Conclusion : Exclusive breastfeeding in the District Kemiri Muka is still low. Therefore, it is necessary to increase exclusive breastfeeding. Facilities ang health workers are recommended not giving milk to infant formula for babies while normal condition. Key Words : Supporting factors, behavior, exklusive breastfeeding
Abstrak Latar Belakang : Air susu ibu sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, gizi, kesehatan, ekonomi maupun sosio-psikologis. Pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi enam bulan di Indonesia masih rendah dan belum mencapai target cakupan. Tujuan : Mendapatkan angka proporsi pemberian ASI eksklusif enam bulan dan hubungannya dengan perilaku dalam menyusui di Wilayah Kerja Puskesmas Kemiri Muka Kota Depok. Metode : Penelitian ini menggunakan disain crossectional dengan responden adalah ibu yang mempunyai bayi berumur enam bulan sampai dengan 12 bulan yaitu sebanyak 172 responden. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011 dengan menggunakan kuesioner tertutup. Hasil : Pemberian ASI eksklusif enam bulan di Kecamatan Kemiri Muka masih rendah yaitu hanya 25,6%. Hanya 45,9% sarana dan tenaga kesehatan melakukan dukungan dengan baik dalam pemberian ASI ekslusif enam bulan. Sebesar 52,3% responden menyatakan mendapat dukungan yang baik dari suami dan sebesar 63,4% mendapat dukungan yang baik dari keluarga (ibu dan ibu mertua). Ada 51,2% responden mempunyai keterpaparan informasi ASI eksklusif dengan baik. Faktor pendukung yang berhubungan bermakna adalah dukungan suami (p=0,001, OR=3,737), sarana dan tenaga kesehatan (p=0,000, OR=3,974) dan keluarga (ibu dan ibu mertua) (p=0,002, OR=4,111). Kesimpulan : Pemberian ASI eksklusif di Kecamatan Kemiri Muka masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan. Fasilitas dan tenaga kesehatan di Kota Depok perlu pengawasan yang ketat dalam memberikan susu formula kepada bayi selama bayi berada di fasilitas atau tenaga kesehatan. Kata kunci : Faktor pendukung, perilaku, ASI eksklusif Naskah masuk: 14 Januari 2015,
Review: 18 Februari 2015,
Disetujui terbit: 21 Maret 2015
19
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
PENDAHULUAN Tujuan dari pembangunan kesehatan salah satunya adalah menurunkan angka kematian bayi. Menurut SDKI 2007 dalam Profil Kesehatan Indonesia 2009 bahwa angka kematian bayi di Indonesia saat ini adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup.1 Angka kematian bayi Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 lebih tinggi yaitu 39 per 1.000 kelahiran hidup.2 Sedangkan di Kota Depok pada tahun 2009 angka kematian bayi adalah 27 per 1.000 kelahiran hidup.3 Ada berbagai macam penyebab kematian bayi, salah satu diantaranya adalah diare. Dalam pencegahan diare, diketahui pemberian air susu ibu (ASI) merupakan salah satu perilaku yang dianjurkan, diketahui pula bahwa air susu ibu merupakan makanan terbaik ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bagi bayi yang baru dilahirkan. Makanan-makanan tiruan bagi bayi yang diramu menggunakan teknologi masa kini, ternyata tidak mampu menandingi keunggulan ASI. Sebab ASI, mempunyai nilai gizi paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun susu yang berasal dari hewan, seperti susu sapi, kerbau, atau kambing.4 Dengan memberikan air susu ibu kepada bayi akan mendapatkan manfaat dan kelebihan, diantaranya menurunkan risiko terjadinya penyakit infeksi, seperti infeksi saluran pencernaan (diare), infeksi saluran pernapasan, dan infeksi telinga. Air susu ibu juga bisa menurunkan dan mencegah terjadinya penyakit non infeksi, seperti penyakit alergi, obesitas, kurang gizi, asma, dan eksim. Selain itu ASI dapat pula meningkatkan IQ dan EQ anak. Menyusui anak bisa menciptakan ikatan psikologis dan kasih sayang yang kuat antara ibu dan bayi. Bayi merasa terlindungi dalam dekapan ibunya, mendengar langsung degup jantung ibu, serta merasakan sentuhan ibu saat disusui olehnya. Hal itu tidak akan dirasakan bayi ketika minum susu lainnya selain ASI, karena ia harus menggunakan botol. Sesungguhnya, lebih dari 100 jenis zat gizi terdapat dalam ASI. Diantaranya ialah AA, DHA, taurin, dan spingomyelin yang tidak terkandung dalam susu sapi. Beberapa susu formula mencoba menambahkan zat gizi tersebut, tetapi hasilnya tetap tidak mampu menyamai kandungan ASI, dan juga jika penambahan zat gizi ini tidak dilakukan dalam 20
jumlah dan komposisi yang seimbang, maka akan menimbulkan terbentuknya zat berbahaya bagi tubuh. Karena sangat pentingnya ASI bagi bayi, maka para ahli menyarankan agar ibu menyusui bayinya selama enam bulan sejak kelahiran, yang dikenal dengan ASI eksklusif.5 Pemberian ASI secara penuh sangat dianjurkan oleh ahli gizi di seluruh dunia. Tidak satu pun susu buatan manusia (susu formula) dapat menyamai kandungan gizi ASI. Sebagai makanan alamiah ASI adalah makanan terbaik yang bisa diberikan oleh seorang ibu kepada bayi yang dilahirkannya. Hanya dengan ASI saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya hingga ia berumur enam bulan pertama. Anjuran pemberian ASI eksklusif dimaksudkan untuk memberikan ASI saja pada bayi baru lahir tanpa makanan atau minuman lain kecuali obat dan vitamin dari usia bayi nol bulan sampai dengan enam bulan.4 Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. Selain itu ASI memberikan semua energi dan gizi yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama setelah kelahirannya. Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi tingkat kematian bayi yang dikarenakan berbagai penyakit yang menimpanya seperti diare dan radang paruparu, serta mempercepat pemulihan bila sakit, dan menjarangkan kelahiran. Sebagian besar pertumbuhan dan perkembangan bayi ditentukan oleh pemberian ASI eksklusif. Banyak kandungan zat gizi dalam ASI yang tidak terdapat dalam susu formula. Komposisi zat dalam ASI antara lain 88,1% air, 3,8% lemak, 0,9% protein, 7% laktosa, serta 0,2% zat lainnya berupa DHA, DAA, sphynogelin, dan zat gizi lainnya.5 Hasil penelitian menunjukkan bahwa promosi menyusui dapat menjadi salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif untuk mencegah kasus diare pada bayi dan mencegah kematian akibat diare.6 Memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dapat menyelamatkan 1,3 juta jiwa anak diseluruh dunia, termasuk 22% nyawa yang melayang setelah kelahiran. Sementara itu menurut UNICEF, ASI
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
eksklusif dapat menekan angka kematian bayi di Indonesia. UNICEF menyatakan bahwa 30.000 kematian bayi di Indonesia dan 10 juta kematian anak balita di dunia setiap tahun bisa dicegah melalui pemberian ASI eksklusif selama enam bulan sejak segera setelah kelahirannya tanpa memberikan makanan dan minuman tambahan kepada bayi. WHO, UNICEF, dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui SK Menkes No. 450/Men.Kes/SK/IV/2004 tanggal 7 April 2004 telah menetapkan rekomendasi pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Dalam rekomendasi tersebut, dijelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan yang optimal, bayi harus diberi ASI eksklusif selama enam bulan pertama. Selanjutnya, demi tercukupinya nutrisi bayi, maka ibu mulai memberikan makanan pendamping ASI dan ASI hingga bayi berusia dua tahun atau lebih.5 Di Indonesia, menurut data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai enam bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008.7 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi enam bulan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya sebesar 15,3%.8 Pemberian ASI eksklusif di Jawa Barat bervariasi besarnya di setiap Kabupaten/Kota, yaitu berkisar kurang dari 30% sampai ada yang di atas 80%. Secara keseluruhan, pemberian ASI eksklusif di Jawa Barat pada tahun 2008 adalah sebesar 42,35%.2 Di Kota Depok pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi enam bulan pada tahun 2010 adalah sebesar 61,93%.3 Green berpendapat bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior cause) dan faktor di luar perilaku (non behavior cause). Sedangkan perilaku itu sendiri ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya, faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan baik tersedianya fasilitas dan sarana kesehatan maupun melalui kemampuannya untuk mencapai sarana atau fasilitas kesehatan tersebut, dan faktor pendorong/penguat
(reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Tulisan ini merupakan hasil penelitian dalam mengungkap faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif enam bulan di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka tahun 2011 yang mengungkap hubungan faktor penguat dan mendukung perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif di Kecamatan Kemiri Muka, Kota Depok Jawa Barat. METODE Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan disain crossectional (potong lintang), dimana variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent) dikumpulkan pada saat yang bersamaan. Wawancara dilakukan pada responden terpilih sebagai sampel dengan menggunakan kuesioner (lembar pertanyaan). Tempat penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka yang meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Kemiri Muka dan Kelurahan Pondok Cina. Sebagai populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi berumur 6 sampai dengan 12 bulan yang tercatat oleh kader sebelum penelitian yaitu pada bulan September hingga awal November 2011. Dari pendataan tersebut, didapatkan sejumlah 251 orang ibu yang mempunyai bayi berumur 6 -12 bulan. Dari 251 orang tersebut, dipilih secara acak yang kemudian didapatkan sebanyak 172 ibu sebagai sampel penelitian. Penarikan sampel berdasarkan rumus uji hipotesis dua proporsi dan penelitian sebelumnya.10 Untuk variabel yang dihimpun dari informasi yang kompleks dilakukan rekategori kembali dengan melakukan pembobotan pada masingmasing informasi. Informasi yang mendukung pemberian ASI eksklusif diberi nilai satu, sedangkan yang tidak diberi nilai nol. Rekategori diterapkan pada variabel dukungan sarana dan tenaga kesehatan, dukungan suami, dukungan keluarga, dan keterpaparan informasi dalam pemberian ASI eksklusif. Rekategori mengelompokkan jawaban menjadi dua yaitu kelompok medukung pemberian Asi eksklusif yaitu jika 70% atau lebih jawaban
21
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
mengindikasikan pemberian dukungan Asi eksklusif, sisanya kelompok tidak. HASIL
Rata-rata umur responden adalah 29 tahun dan terbanyak umur 25 tahun. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa masih ada responden yang tidak sekolah 0,6%, tamat Sekolah
Lanjutan Atas (SLTA) 49,4% responden, dan tamat D3/Perguruan tinggi 13,4%. Menurut pekerjaan 20,9% responden bekerja dengan rincian 55,6% merupakan karyawan swasta, pedagang dan buruh masih-masing 13,9%, wiraswasta sebesar 8,3%, dan pegawai negeri sebesar hanya 5,6%. Tabel 1.
Tabel 1 Distribusi Responden Menurut Karakteristik Demografi Pekerjaan Ibu Umur : 20 – 35 tahun < 20 tahun atau > 35 tahun Pendidikan : Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D3/Perguruan Tinggi Status Bekerja : Tidak Bekerja Bekerja Jenis Pekerjaan : Pegawai negeri Karyawan swasta Wiraswasta Pedagang Buruh Lainnya Tempat Bekerja : Di Dalam Rumah Di Luar Rumah Jumlah
Dukungan Sarana dan Tenaga Kesehatan Pada tabel 2 menunjukkan bahwa sebesar 66,3% responden menyatakan bahwa sarana kesehatan tidak pernah memberikan minuman atau makanan selain ASI kepada bayi selama perawatan setelah persalinan. Sebesar 34,9%
Jumlah
Persentase (%)
148 24
86,0 14,0
1 0 28 35 85 23
0,6 0 16,3 20,3 49,4 13,4
136 36
79,1 20,9
2 20 3 5 5 1
5,6 55,6 8,3 13,9 13,9 2,8
3 33 172
8,3 91,7 100,0
responden menyatakan bahwa sarana kesehatan segera melakukan inisiasi menyusu dini (IMD), dan 52,3% responden menyatakan bahwa tenaga kesehatan memberitahu pentingnya memberikan ASI eksklusif setelah ibu melahirkan.
Tabel 2 Distribusi Ibu Yang Mendapat Dukungan Sarana dan Tenaga Kesehatan Bentuk Dukungan Sarana dan Tenaga Kesehatan
Frekuensi (n) 114
Persentase (%) 66,3
Sarana kesehatan memfasilitasi ibu melakukan inisiasi menyusu dini (IMD).
60
34,9
Tenaga kesehatan pernah memberitahu pentingnya memberikan ASI eksklusif setelah ibu melahirkan.
90
52,3
Sarana kesehatan tidak pernah memberikan minuman atau makanan selain ASI kepada bayi
22
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
Dukungan Suami Pada tabel 3, peranan suami diakui ibu dalam menganjurkan ibu untuk menyusui segera mungkin setelah bayinya lahir (88,4%), membantu ibu dalam menggantikan popok bayi (85,5%), dan selalu menghibur ibu untuk
mengurangi kelelahan (84,9%). Untuk hanya 53,3% saja suami yang menyarankan ibu untuk menyusui selama enam bulan, tetapi hanya sekitar 60 persen yang mencari informasi berkaitan dengan menyusui_bayi.
Tabel 3. Distribusi Ibu yang Mendapat Dukungan Suami Dalam Menyusui Frekuensi (n) 152
Persentase (%) 88,4
Suami pernah mencari informasi/berdiskusi tentang menyusui dan makanan bayi.
111
64,5
Suami selalu mengurangi kelelahan ibu pada saat mengurus dan menyusui bayi dengan menghibur atau lainnya.
146
84,9
Suami tidak memberikan makanan (susu formula /minuman/makanan lainnya) kepada bayi selama usia enam bulan pertama.
76
44,2
Suami melarang memberikan makanan/minuman selain ASI selama usia enam bulan pertama.
65
37,8
Suami membantu ibu menggantikan popok bayi.
147
85,5
Suami membantu ibu dalam pekerjaan rumah tangga.
133
77,3
Suami pernah mencari informasi tentang kesehatan anak dan menyusui.
114
66,3
Suami selalu bangun untuk membangunkan ibu ketika bayi menangis.
141
82,0
Suami pernah menyarankan ibu untuk memberikan ASI saja pada bayi.
120
69,8
Jika pernah menyarankan, lama waktu suami ibu ingin bayi diberi ASI saja : Enam bulan Bukan enam bulan
64 56
53,3 46,7
Dukungan Suami Suami mendorong untuk menyusui ASI sesegera mungkin (30-60 menit)
Dukungan Keluarga Dukungan keluarga dapat dilihat pada tabel 4, ibu dan mertua ibu terlihat nyata dukungannya pada ibu terutama untuk mensegerakan dalam menyusui setelah lahir (89,5%), menghibur ibu untuk mengurangi kelelahan (83,7%), dan membantu menggantikan popok bayi (82,0%). Keterpaparan Informasi Hasil analisis dari variabel keterpaparan informasi ASI eksklusif dapat dilihat pada tabel 5. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa ada 77,9% ibu pernah terpapar informasi tentang ASI, yang mana 95,6% ibu menerima informasi tentang pentingnya pemberian ASI selama enam bulan, sekitar
85% ibu menerima informasi tentang manfaat ASI dan yang menerima informasi tentang berbagai hal yang dapat mengurangi ASI hanya 44% ibu. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sebesar 44 responden atau 25,6% memberikan ASI eksklusif selama enam bulan kepada bayinya. Persentase pemberian ASI eksklusif tersebut masih di atas persentase pemberian ASI eksklusif secara nasional dalam Riskesdas 2010 yang hanya sebesar 15,3%. Tetapi dibandingkan dengan pemberian ASI eksklusif tahun 2010 di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka, pemberian ASI eksklusif tersebut terlihat menurun yang sebelumnya pada tahun 2010 sebesar 32,48%. Tabel 6. Hasil rekategorisasi 79 ibu (45,9%) mendapat 23
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
dukungan baik dari sarana dan tenaga kesehatan dan diantaranya 39,2% responden memberikan ASI eksklusif. Tabel 4. Distribusi Ibu Yang Mendapat Dukungan Keluarga Dalam Menyusui Dukungan Keluarga (Ibu dan Ibu Mertua) Keluarga ibu mendorong ibu untuk menyusui ASI sesegera mungkin (30-60 menit) setelah bayi dilahirkan. Keluarga ibu pernah mencari informasi atau berdiskusi tentang menyusui dan makanan bayi untuk bayi. Keluarga ibu selalu mengurangi kelelahan ibu pada saat mengurus dan menyusui bayi dengan menghibur atau lainnya. Keluarga ibu tidak memberikan makanan (susu formula /minuman/makanan lainnya) kepada bayi selama usia enam bulan pertama. Keluarga ibu membantu ibu mengatur posisi bayi ketika ibu menyusui. Keluarga ibu melarang memberikan kepada bayi makanan/minuman selain ASI selama usia enam bulan pertama. Keluarga ibu membantu ibu menggantikan popok bayi. Keluarga ibu pernah mencari informasi tentang kesehatan anak dan menyusui. Keluarga ibu selalu bangun pada malam hari membangunkan ibu ketika bayi menangis. Keluarga ibu pernah menyarankan ibu untuk memberikan ASI saja pada bayi.
Frekuensi (n) 154
Persentase (%)
113
65,7
144
83,7
80
46,5
126
73,3
68
39,5
141 109
82,0 63,4
105
61,0
139
80,8
89,5
Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Keterpaparan Informasi ASI Eksklusif Keterpaparan Informasi Frekuensi (n) Persentase (%) Pernah mendengar/melihat/menerima informasi ASI : 134 77,9 Jika pernah, informasi tersebut adalah mengenai : - Manfaat ASI 115 85,8 - Pemberian ASI segera 85 63,4 - Zat gizi yang terkandung dalam ASI 75 55,9 - Hal-hal yang dapat mengurangi jumlah ASI. 59 44,0 - Hal-hal yang dapat menambah jumlah ASI. 88 76,5 - Pentingnya pemberian ASI eksklusif sampai 110 95,6 enam bulan - Cara menyusui. 98 85,2 - Masalah dalam menyusui. 67 50
Secara statistik terdapat hubungan bermakna antara dukungan sarana dan tenaga kesehatan dengan perilaku pemberian ASI eksklusif (p=0,000). Ibu yang mendapat dukungan dari sarana dan tenaga kesehatan akan memberikan ASI eksklusif yang lebih baik dibandingkan pada ibu yang mendapat dukungan kurang. Pada penelitian ini, ibu yang mendapat dukungan sarana dan tenaga kesehatan berpeluang 3,9 kali lebih besar untuk 24
memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang dukungannya_kurang. Dukungan suami menunjukkan ada 90 ibu (52,3%) mendapat dukungan yang baik dari suami, diantaranya 36,7% ibu memberikan ASI eksklusif. Sedangkan pada ibu dengan dukungan suami kurang ada 13,4% responden yang memberikan ASI eksklusif. Hubungan ini secara statistik bermakna (p=0,001), yang mana ibu yang mendapat dukungan yang baik
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
dari suami akan berpeluang memberikan ASI eksklusif 3,7 kali lebih baik dibandingkan pada ibu yang dukungan suaminya kurang. Demikian pula dengan dukungan keluarga (ibu dan ibu mertua) menunjukkan bahwa pada ibu dengan dukungan baik 33,9% memberikan ASI eksklusif, sedangkan pada ibu dengan
dukungan kurang dari keluarga 11,1% memberikan ASI eksklusif. Hasil uji menunjukkan bahwa ibu yang didukung baik oleh keluarga akan memberikan ASI eksklusif yang lebih baik dibandingkan pada ibu yang dukungan keluarganya kurang, yaitu 4,1 kali lebih besar.
Tabel 6 Hubungan antara Faktor Pendukung dengan Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Variabel Jumlah Dukungan Sarana Tenaga Kesehatan Baik Kurang
Pemberian Ya n %
ASI Eksklusif Tidak n %
dan 79 93
31 13
39,2 14,0
48 80
90 82
33 11
36,7 13,4
57 71
Keterpaparan Informasi ASI Eksklusif Baik Kurang Jumlah
109 63
88 84 172
37 7
27 17 44
Sedangkan untuk keterpaparan informasi menunjukkan bahwa ada 88 ibu (51,2%) mempunyai keterpaparan informasi ASI eksklusif dengan baik, diantaranya 30,7% ibu memberikan ASI eksklusif enam bulan, sedangkan pada ibu dengan keterpaparan informasi ASI eksklusif kurang, sebesar 20,2%. Namun secara statistik hubungan antara dukungan keterpaparan informasi dengan perilaku pemberian ASI eksklusif tidak bermakna (p=0,163). PEMBAHASAN Kota Depok adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang perkembangannya sangat pesat. Perkembangan tersebut terlihat dari peningkatan sarana dan transportasi yang cepat. Jumlah penduduk di Kota Depok padat, dengan perkembangan jumlah penduduk di
33,9 11,1
30,7 20,2 25,6
72 56
61 67 128
0,000*
3,974 (1,896-8,329)
0,001*
3,737 (1,737-8,040)
0,002*
4,111 (1,705-9,912)
0,163
1,744 (0,867-3,509)
63,3 86,6
Dukungan Keluarga Baik Kurang
OR (95% CI)
60,8 86,0
Dukungan Suami Baik Kurang
Nilai p
66,1 88,9
69,3 79,8 74,4
Kota Depok sebesar 4,23% per tahun.11 Demikian pula dengan pertumbuhan sarana pendidikan dimana Depok menjadi lokasi berdirinya universitas terbesar di Indonesia. Jumlah pelayanan kesehatan yang ada di Kota Depok terdiri dari 25 Rumah Sakit dan 32 puskesmas, yang mana Puskesmas Kemiri Muka merupakan salah satu puskesmas yang ada di Kecamatan Beji dengan luas wilayah kerja 486 km2. Puskesmas ini membawahi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Kemiri Muka dan Kelurahan Pondok Cina. Walaupun wilayah kerja puskesmas ini merupakan daerah padat penduduk dan berdekatan dengan lokasi pendidikan namun bukan wilayah hunian temporer, atau dapat dinyatakan bahwa karakteristik demografi di wilayah ini relatif stabil atau tidak mudah berubah. Karakteristik demografi menurut gambaran pendidikan, dari penelitian ini menunjukkan 25
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
bahwa tamatan SLTA lebih tinggi dari gambaran kota secara nasional, yaitu 49,4% dimana Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 pendidikan perempuan umur 15-49 tahun di daerah perkotaan sebesar 30,7%. Menurut pekerjaan ibu, ibu yang bekerja lebih rendah yaitu 20,9% dibandingkan SDKI 2012 (54,5%).12 Walaupun sebenarnya ibu yang bekerja pun masih tetap bisa memberikan ASI eksklusif dengan cara memberikan ASI perah saat ibu di tempat kerja.13 Namun demikian angka pemberian ASI eksklusif enam bulan di wilayah penelitian yang hanya 25,6% menunjukkan masih jauh dari target yang harus dicapai (target nasional 80%).14 Untuk mencapai target nasional dalam peningkatan pemberian ASI eksklusif enam bulan masih banyak upaya yang harus dilakukan terutama di kota kota yang karakteristik demografinya menyerupai Kota Depok. Upaya melalui dukungan sarana dan tenaga kesehatan, suami, keluarga, dan informasi merupakan upaya yang strategis dan relatif dapat dilakukan. Melihat Kota Depok sebagai kota yang sudah cukup berkembang dengan banyak fasilitas kesehatan puskesmas dan klinik, hasil penelitian ini dapat menggambarkan hal yang sama di kota-kota lainnya yaitu masih rendahnya dukungan sarana dan tenaga kesehatan dalam mencapai keberhasilan ASI eksklusif. Pada ibu yang memperoleh dukungan sarana dan tenaga kesehatan yang baik berpeluang dapat mengungkit pemberian ASI eksklusif dengan lebih tinggi (3,974 kali). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Nurpelita di Siak yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif yang mana ibu yang mendapat dukungan petugas kesehatan mempunyai peluang 5,627 kali menyusui secara eksklusif dibanding ibu yang kurang mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan.15 Berhasil atau tidaknya penyusuan dini di tempat pelayanan ibu bersalin, rumah sakit sangat bergantung pada tenaga kesehatan yaitu perawat, bidan, atau dokter. Merekalah orang pertama yang membantu ibu bersalin untuk memberikan ASI kepada bayi secara dini. Hasil penelitian ini menunjukkan masih rendahnya dukungan dari sarana dan tenaga kesehatan (45,9%) yang 26
seharusnya dapat lebih tinggi. Untuk itu tenaga kesehatan terutama penolong persalinan dapat memaksimalkan komunikasi dengan ibu untuk memberikan penyusuan secara dini dan dilakukan selama enam bulan. Perilaku petugas kesehatan dapat pula memperburuk perlakuan penyusuan dini seperti pemberian makanan/minuman selain ASI ketika di pelayanan kesehatan. Hal ini ditunjukkan masih ada 33,7% ibu yang menyatakan bahwa sarana dan tenaga kesehatan pernah memberikan minuman atau makanan selain ASI kepada bayi selama perawatan setelah melahirkan. Padahal peran tenaga kesehatan dalam memfasilitasi IMD kepada ibu dan memberikan informasi pentingnya pemberian ASI eksklusif merupakan dasar keyakinan kepada ibu untuk menguatkan niat dan kepercayaan dalam memberikan ASI eksklusif. Seperti diketahui bahwa telah ditetapkan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI Eksklusif. Adanya peraturan tersebut bertujuan untuk menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia enam bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya; memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya; dan meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap pemberian ASI eksklusif. Pada peraturan pemerintah tersebut, diantaranya dijelaskan bahwa setiap tenaga kesehatan dilarang memberikan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI eksklusif. Tetapi bayi diperbolehkan diberikan susu formula jika terdapat indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi. Selain itu dalam peraturan tersebut tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama satu jam. Setelah ditetapkannya peraturan pemerintah tersebut, diharapkan tidak ada lagi pemberian susu formula kepada bayi selama perawatan setelah lahir kecuali terdapat indikasi tertentu dan semua tenaga kesehatan dan fasilitas
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
kesehatan yang melayani persalinan harus memfasilitasi dan melakukan inisiasi menyusu dini (IMD). Peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI eksklusif secara optimal, tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas kesehatan wajib memberikan informasi dan edukasi ASI eksklusif kepada ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi yang bersangkutan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai. Informasi dan edukasi ASI eksklusif tersebut paling sedikit mengenai keuntungan dan keunggulan pemberian ASI; gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui; akibat negatif dari pemberian makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI. Pemberian informasi dan edukasi ASI eksklusif dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan. Menurut Sandra Fikawati, pelaksanaan IMD dan ASI eksklusif sangat bergantung pada tindakan yang diambil oleh tenaga kesehatan dan fasilitas layanan kesehatan pada jam-jam pertama. Berbagai studi menunjukkan peran vital tenaga kesehatan penolong persalinan dalam keberhasilan pelaksanaan IMD dan ASI eksklusif. Dalam kenyataannya, tidak semua tenaga kesehatan penolong persalinan baik bidan maupun dokter bebas dari peran sebagai ”agen” susu formula.16 Satu tahun setelah disahkannya PP no. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan 4 tahun setelah disahkannya UU no. 36/2009 tentang Kesehatan, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) masih menerima banyak pengaduan keluhan masyarakat tentang kurangnya dukungan tenaga kesehatan terhadap keberhasilan ibu menyusui. Laporan World Breastfeeding Trends Initiative pada tahun 2012 tentang angka pemberian ASI Eksklusif menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat 49 dari 51 negara, yaitu dengan angka cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sebesar 27,5%. Selain itu terungkap pula, walaupun sudah memiliki kesadaran yang tinggi mengenai pentingnya perlindungan dan sosialisasi menyusui kepada masyarakat, namun lebih dari 30% tenaga kesehatan masih
memiliki hubungan kerjasama atau berelasi dengan perusahaan formula, baik menerima sampel gratis, hadiah maupun sponsor.17 Berdasarkan hal tersebut maka pentingnya peran instansi dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten untuk mengawasi berbagai sarana dan tenaga kesehatan yang ada di wilayahnya untuk mendukung keberhasilan ASI eksklusif 6 bulan. Faktor dukungan suami menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara dukungan suami dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh Februhartanty di DKI Jakarta tahun 2005 menunjukkan bahwa dukungan suami selama ibu menyusui berkaitan dengan pengalaman sakit dan masalah kekurangan ASI. Hasil penelitian Fauzi di Pidie, Aceh menunjukkan bahwa faktor dukungan suami berhubungan bermakna terhadap pemberian ASI eksklusif.18 Pada dasarnya proses menyusui bukan hanya antara ibu dan bayi, tetapi ayah juga memiliki peran yang sangat penting dan dituntut keterlibatannya. Bagi ibu menyusui, suami adalah orang terdekat yang diharapkan selalu ada di sisi ibu dan selalu siap memberi bantuan. Keberhasilan ibu dalam menyusui tidak terlepas dari dukungan yang terus menerus dari suami. Motivasi ibu untuk menyusui akan bangkit jika memperoleh kepercayaan diri dan mendapat dukungan penuh dari suami.19 Peran suami sebagai suami siaga hendaknya tidak hanya pada saat isterinya hamil dan melahirkan tetapi juga harus siaga untuk menjamin hak anaknya mendapatkan ASI secara eksklusif selama enam bulan. Demikian pula dengan hasil penelitian Lisma di Bukit Tinggi Sumatera Barat menunjukkan bahwa proporsi praktik pemberian pemberian ASI eksklusif pada suami yang mendukung lebih tinggi 2,25 kali dibandingkan yang tidak mendukung. Peran ayah (suami) dalam penelitian ini diukur dari dukungan selama masa kehamilan, dukungan saat kelahiran dan menyusui pertama kali, dukungan selama postnatal, keterlibatan ayah dalam perawatan anak, dan sikap positif terhadap kehidupan pernikahan. Penelian lain menunjukkan praktik pemberian ASI secara eksklusif mempunyai kemungkinan 3,09 kali lebih tinggi pada kelompok suami yang mempunyai sikap positif dibandingkan dengan 27
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
kelompok suami yang mempunyai sikap negatif.20 Zulfayeni dalam Lisma, menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa tipe peran suami bisa menyediakan dukungan bagi pemberian ASI eksklusif segera setelah bayi lahir sampai umur enam bulan dan mendukung setiap praktik menyusui. Hal ini temasuk partisipasi paternal dalam cara pemberian pemberian makanan bayi dan keterlibatan dalam perawatan anak. Hasil penelitian Dyan Wahyuningsih di Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang menunjukkan lebih banyak ibu yang memberikan ASI Eksklusif yang diberikan dukungan informasional oleh suami dibandingkan ibu yang memberikan ASI Eksklusif yang tidak diberikan dukungan informasional oleh suami. Hasil penelitian Bar-Yam, N.B. dan Darby yang dikutip oleh Lisma juga mengkonfirmasi fakta bahwa ayah (suami) merupakan salah satu kunci dalam praktik pemberian ASI. Lebih jauh lagi, penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa pengaruh ayah tertutama terletak pada keputusan pemberian ASI, inisiasi pemberian ASI, juga durasi dan eksklusifitas pemberian ASI dan suatu faktor risiko untuk pemberian makanan lewat botol.20 Adapun suami di sini, diukur dari dukungan suami selama masa kehamilan, dukungan saat kelahiran dan menyusui pertama kali, dukungan selama postnatal, keterlibatan ayah dalam perawatan anak, dan sikap positif terhadap kehidupan pernikahan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan penelitian sebelumnya bahwa tipe peran ayah adalah menyediakan dukungan bagi pemberian ASI eksklusif segera setelah bayi lahir sampai umur enam bulan dan mendukung setiap praktik menyusui. Hal ini termasuk partisipasi paternal dalam cara pemberian makanan bayi dan keterlibatan dalam perawatan anak. Peran suami juga diidentifikasi dalam hal ekonomi keluarga karena mereka pelindung dan pencari nafkah, juga menyediakan nutrisi yang bagus untuk ibu yang memberi ASI, dan membantu untuk berbagai tugas rumah tangga. Suami juga berperan dalam memberikan dukungan emosional pada ibu saat proses persalinan, ikut serta dalam proses pengambilan keputusan tentang pemberian makan bayi, terlibat dalam urusan perawatan anak, dalam pekerjaan rumah tangga, dalam ekonomi keluarga, serta berperan dalam menjaga 28
keharmonisan hubungan rumah tangga. Dukungan seorang suami yang dengan tegas berpikiran bahwa ASI adalah yang terbaik, akan membuat ibu lebih mudah memberikan ASI Eksklusif pada bayinya).21 Suami juga berperan dalam memberikan dukungan emosional pada ibu saat proses persalinan, ikut serta dalam proses pengambilan keputusan tentang pemberian makan bayi, terlibat dalam urusan perawatan anak, dalam pekerjaan rumah tangga, dalam ekonomi keluarga, serta berperan dalam menjaga keharmonisan hubungan rumah tangga. Faktor dukungan keluarga (ibu dan ibu mertua) menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga (ibu dan ibu mertua) dengan perilaku pemberian ASI eksklusif. Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian Yamin menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan perilaku pemberian ASI eksklusif di wilayah Kecamatan Metro Timur.22 Sedangkan dukungan keluarga dalam penelitian ini adalah dukungan ibu dari responden dan ibu mertua. Di kehidupan rumah tangga keluarga di Indonesia, keikutsertaan pengambilan sebuah keputusan di dalam rumah tangga seringnya tidak saja melibatkan antara suami dan isteri tetapi kadang juga melibatkan pendapat dari masing-masing keluarga besar isteri dan suami, salah satunya adalah ibu dan ibu mertua. Ibu dan ibu mertua merupakan orang dalam keluarga yang mempunyai pengaruh dalam pembuatan keputusan dalam keluarga dalam berbagai hal urusan keluarga tidak terkecuali dalam pengasuhan anak dari mulai lahir hingga bahkan sampai anak dewasa. Ibu dan ibu mertua yang sudah dianggap berpengalaman dalam pengasuhan anak termasuk dalam hal menyusui akan menjadi acuan dalam pemberian ASI ke bayi. Banyak ibu sudah memberikan makanan selain ASI kepada bayi pada umur bayi 0-enam bulan karena disuruh ibu atau ibu mertuanya. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian informasi tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif bukan saja harus diberitahukan kepada ibu yang mempunyai bayi tetapi kepada keluarga (ibu dan ibu mertua) ibu tersebut sehingga dapat mendukung ibu dalam memberikan ASI eksklusif.
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
Hubungan antara dukungan keterpaparan informasi ASI eksklusif dengan perilaku pemberian ASI eksklusif enam bulan tidak terdapat hubungan bermakna dengan keterpaparan informasi ASI eksklusif atau dapat dikatakan tidak ada perbedaan proporsi perilaku pemberian ASI eksklusif enam bulan antara ibu dengan keterpaparan informasi ASI eksklusif baik dengan ibu yang keterpaparan informasi ASI eksklusifnya kurang. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Hartuti bahwa faktor pemungkin yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif sampai 4 bulan di wilayah kerja Puskesmas Tarusan adalah pemberian penyuluhan oleh petugas kesehatan OR=5,201. Variabel yang paling dominan yang pada pemberian ASI eksklusif adalah penyuluhan oleh petugas kesehatan dengan OR 5,201 artinya ibu yang dapat penyuluhan petugas dan mengerti materi penyuluhan tersebut 5,44 kali berpeluang memberikan ASI eksklusif dibanding ibu yang tidak dapat penyuluhan atau dapat penyuluhan tapi tidak mengerti penyuluhan tersebut.23 Ketidak bermaknaan hubungan keterpaparan informasi ASI eksklusif dengan perilaku pemberian ASI eksklusif enam bulan dalam penelitian ini dimungkinkan karena faktor lainnya seperti tidak adanya niat atau kemauan ibu memberikan ASI eksklusif kepada anaknya meski ia sudah mengetahui manfaat ASI eksklusif. KESIMPULAN Pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka Kota Depok Tahun 2011 masih rendah. Beberapa faktor pendukungyang berhubungan bermakna dengan pemberian ASI eksklusif enam bulan di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka Kota Depok Tahun 2011 adalah dukungan suami, dukungan sarana dan tenaga kesehatan, dan dukungan keluarga (ibu dan ibu mertua). SARAN Untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka perlu dilakukan hal-hal yang dapat memperkuat perilaku ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Hal tersebut antara diantaranya adalah perlu adanya pengawasan dari Kesehatan Kota Depok agar seluruh rumah sakit / rumah bersalin / klinik /
praktek / puskesmas / praktek tenaga kesehatan di Kota Depok untuk mendukung keberhasilan menyusui. Selain itu kebijakan peningkatan pemberian ASI yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas. Pentingnya memberikan penjelasan kepada ibu hamil dan menyusui, suami ibu hamil dan menyusui, dan keluarga ibu hamil dan menyusui tentang penting dan manfaat pemberian ASI eksklusif enam bulan dan tatalaksananya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir, sampai umur enam bulan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dinas Kesehatan Kota Depok yang
telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kemiri Muka dan kepada kepala puskesmas beserta staf yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Hadi Pratomo, dr, MPH, Dr.PH atas arahannya. DAFTAR PUSTAKA 1.
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. 2010. Jakarta 2. Dinas Kesehatan Jawa Barat. Status Kesehatan Jawa Barat. Diunduh dari www.dikes.jabar.go.id. Diakses pada tanggal 30 April 2011 3. Dinas Kesehatan Depok. Profil Kesehatan Depok 2010. Depok 4. Suhardjo. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. 1992. Kanisius. Yogyakarta 5. Prasetyono, DS. Buku Pintar ASI Eksklusif. 2009. Diva Press. Yogyakarta 6. Horton, S. Breastfeeding Promotion and Priority Setting in Health. Health Policy and Planning; 11(2): 156-168. 1996. Oxford University Press 7. Minarto. Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat (RAPGM) tahun 2010-2014. Diunduh dari http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/658. Diakses pada 14 Januari 2012 8. Badan Litbangkes. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta 9. Green, Lawrence Et.al. Health Education Planning. 1980. Mayfield Publishing Company. California 10. Lemeshow Stanley. Diterjemahkan oleh Pramono Dibyo. Besar Sampel Dalam
29
Pemberian Dukungan Untuk Menyusui ….. (Ida, Joko Irianto)
11.
12.
13. 14.
15.
16.
17.
30
Penelitian Kesehatan. 1997. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Dinas Kesehatan Kota Depok. Profil Kota Depok. Diunduh dari http://www.depok.go.id Diakses pada 16 April 2015 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Survei Demografi Kesehatan Indonesia. Agustus 2013 Roesli, Utami. Mengenal ASI Eksklusif, seri 1. 2000. Jakarta: Trubus Agriwidya Kementerian Kesehatan Indonesia. Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat. 2013. Jakarta Nurpelita. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Buatan II Siak. 2007. Tesis. FKM UI Fikawati S, Syafiq A. Praktik Pemberian ASI Eksklusif, Penyebab Penyebab Keberhasilan dan Kegagalannya. Jurnal Kesmas Nasional; 4(3):120-131. 2009 Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia. Tenaga Kesehatan Indonesia Perlu Sosialisasi Kebijakan Menyusui. Diunduh dari
18.
19.
20.
21. 22.
23.
http://www.aimi-asi.org. Diakses pada 16 April 2015 Fauzi, Agus. Determinan Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Meurah Dua Kabupaten Pidie Jaya. 2008. Tesis. FKM UI. Ramadani, M. Hubungan Dukungan Suami Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Air Tawar Kota Padang Sumatera Barat Tahun 2009. Tesis. FKM-UI Lisma Evareny, dkk. Peran Ayah dalam Praktik Menyusui. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 26, No. 4, Desember 2010. Purwoko, S. Menyusui Cara Praktis, Mudah & Nyaman. 2005. Jakarta: EGC Yamin, M. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif oleh Ibu Bayi yang Berumur 6-12 Bulan di Kecamatan Metro Timur Kota Metro Lampung Tahun 2007. Tesis. FKM-UI Hartuti. Pemberian ASI Eksklusif dan FaktorFaktor yang Berhubungan di Wilayah Kerja Puskesmas Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat. 2006. Tesis. FKM UI.
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
FAKTOR PENDUKUNG KEBERHASILAN PRAKTIK INISIASI MENYUSU DINI DI RS SWASTA DAN RUMAH SAKIT PEMERINTAH DI JAKARTA Factors towards Succesful Practice of Early Breastfeeding Initiation in Private Hospital and Government Hospital in Jakarta Novianti, Mujiati 1 1
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI Email :
[email protected] Abstrac
Background: One of the Millennium Development Goals (MDGs) is to reduce the infant mortality rate (IMR) by two-thirds by the year 2015. Early Breastfeeding Initiation (EBI) Program is an important step to prevent infant mortality early in life through breastfeeding in the first two hours of the baby's life. Objective: To examine the factors that supports the success and become an obstacle to the implementation of the EBI in Hospital in 2014. Methods: The study was exploratory cross-sectional approach. Data was collected through in-depth interviews with 30 informants’ mother and six informants’ medical personnel selected by purposive sampling and triangulation of data to maintain the validity of the data and observations of the hospital environment. Hospital is selected private hospital ‘X’ representing private hospitals and hospital ‘Y’ represents the RS Government. Data was analyzed using content analysis techniques (content analysis). Results: Factors that can support the successful implementation of the EBI is the delivery process, the condition of mother and baby after birth, mother's knowledge about the importance of EBI, husband's support and the support of health workers in the implementation of the EBI. Conclusion: The high rate of successful implementation of the EBI in private hospitals because Private Hospital ‘X’ more synergy among health workers in the implementation of safe and convenient delivery for mother and baby, mother good knowledge about the benefits of the EBI and the husband support and health workers from the labor process until the process is complete EBI done. The opposite happens in government hospitals where EBI very high failure rate after childbirth. Keywords: EBI, supporting factors, private hospitals, public hospitals. Abstrak Latar Belakang: Salah satu tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar dua pertiga hingga tahun 2015. Program Inisiasi Menyusu Dini merupakan langkah penting untuk mencegah kematian bayi di masa awal kehidupannya melalui pemberian ASI di dua jam pertama kehidupan bayi. Tujuan: Untuk mengkaji faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dan menjadi penghambat pelaksanaan IMD di Rumah Sakit tahun 2014. Metode: Jenis penelitian adalah eksploratif dengan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 30 informan ibu dan 6 informan tenaga kesehatan yang dipilih secara purposive sampling dan juga dilakukan triangulasi data untuk menjaga validitas data serta observasi terhadap lingkungan Rumah Sakit. Rumah Sakit yang dipilih adalah RS Swasta ‘X’ mewakili RS Swasta dan RSUD ‘Y’ mewakili RS Pemerintah. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis isi (content analysis). Hasil: Faktor yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan IMD adalah proses persalinan, kondisi ibu dan bayi paska persalinan, pengetahuan ibu mengenai pentingnya IMD, dukungan suami dan dukungan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan IMD. Kesimpulan: Tingginya tingkat keberhasilan pelaksanaan IMD di RS Swasta ‘X’ karena sinergi antar tenaga kesehatan dalam pelaksanaan persalinan yang aman dan nyaman bagi ibu dan bayi, pengetahuan ibu yang baik mengenai manfaat IMD serta dukungan suami dan tenaga kesehatan mulai dari proses persalinan sampai proses IMD selesai dilakukan. Hal sebaliknya terjadi di RS Pemerintah dimana tingkat kegagalan IMD sangat tinggi paska persalinan. Kata Kunci : IMD, Faktor Pendukung, RS Swasta, RS Pemerintah. Naskah masuk: 10 Januari 2015,
Review: 1 Februari 2015,
Disetujui terbit: 20 Maret 2015
31
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
PENDAHULUAN Inisasi menyusu Dini atau yang kita kenal dengan istilah IMD merupakan suatu kesempatan yang diberikan kepada bayi untuk dapat menyusu secara alami segera setelah bayi dilahirkan dengan cara meletakkan bayi di perut ibunya. Proses ini dilakukan kurang lebih 60 (enampuluh) menit atau 1 jam pertama setelah bayi lahir1. Pengamatan yang dilakukan oleh beberapa pakar laktasi hampir di seluruh dunia menemukan bahwa jika setiap bayi yang baru dilahirkan dan diletakkan di dada ibunya, dengan melakukan kontak kulit antara ibu dan bayi, maka bayi dengan refleks alaminya akan memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan puting ibunya dan menyusu hingga puas untuk pertama kalinya2. Empat puluh persen kematian bayi terjadi pada bulan pertama kehidupannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karen Edmond di Ghana pada tahun 2006 terhadap lebih dari 11.000 bayi usia neonatal menyatakan bahwa Inisasi Menyusu Dini dapat mengurangi kematian bayi sebesar 22 persen pada bayi usia 1-28 hari.3 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO), yang menyatakan bahwa IMD merupakan satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko pendarahan post partum pada ibu dan mengurangi infeksi setelah persalinan, hal ini dikarenakan hisapan pertama bayi akan merangsang keluarnya plasenta lebih cepat akibat pelepasan hormon oksitosin.4 Selain untuk dapat mencegah kematian bayi dan ibu paska persalinan, IMD juga mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap keberhasilan pemberian ASI Eksklusif.5 Dengan melakukan IMD, ibu mempunyai peluang 8 kali lebih besar untuk berhasil ASI Eksklusif dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan IMD.5 Berdasarkan data SDKI tahun 2007, bayi yang mendapatkan ASI dalam satu jam pertama kehidupannya masih sekitar 43,7%6 dan angka pemberian ASI dalam satu jam pertama kehidupan bayi terus menurun. Sedangkan hasil Riskesdas tahun 2013, cakupan IMD kurang dari 1 jam pertama di Indonesia baru terlaksana 34,5 persen.7 Cakupan IMD di Provinsi DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara masih jauh di bawah 50 persen, yaitu baru sekitar 41 persen, angka cakupan IMD ini di bawah Provinsi 32
Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Sumatera Barat dan Gorontalo.8
Selatan,
Terkait dengan penatalaksanaan IMD, terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain Wirdawty S. Adam (2012)9 mengenai pengaruh penatalaksanaan IMD terhadap waktu pengeluaran ASI dan Rani Juliastuti (2011)10 mengenai hubungan tingkat pengetahuan dan status pekerjaan ibu terhadap pelaksanaan IMD. Selain itu ada juga penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2009)11 yang membahas mengenai perbedaan waktu keberhasilan IMD antara persalinan normal dengan Caesar, Devi Nanda Suryani (2010)12 melihat hubungan antara dukungan suami dengan pelaksanaan IMD serta penelitian yang dilakukan oleh Syafiq dan Fika (2008) 13 mengenai hubungan antara keberhasilan ASI Eksklusif dengan pelaksanaan IMD. Namun dari beberapa penelitian mengenai IMD belum ada penelitian yang mengangkat topik mengenai peranan faktor pendukung terhadap keberhasilan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti melakukan penelitian mengenai pelaksanaan IMD khususnya di RS Swasta dan RS Pemerintah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang menjadi pendukung terhadap terlaksananya proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam 1 jam pertama kehidupan bayi di masing-masing RS. Diharapkan faktorfaktor tersebut dapat lebih dikembangkan untuk dapat meningkatkan kesempatan bagi setiap ibu yang akan melahirkan untuk dapat melakukan IMD segera setelah bayi lahir. METODE Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif di Kota Jakarta Provinsi DKI Jakarta dari bulan April 2014 sampai dengan Juli 2014. Persetujuan Etik diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbangkes pada tanggal 31 Desember 2013. Sumber dana berasal dari dana Penelitian Risbinkes Tahun 2014. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dari RS Swasta ’X’ dan RSUD ’Y di Jakarta. Informan terdiri 15 orang ibu yang baru melahirkan di RS Swasta dan 15 ibu dari RS Pemerintah yang masih dalam perawatan masa nifas. Informaan Tenaga Kesehatan di masing-masing RS ditamya bagaimana proses IMD dilakukan
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
sesaat setelah persalinan dan kondisi yang mendukung keberhasilan dan penghambat pelaksanaan IMD. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait proses pelaksanaan IMD yang mereka lakukan sesaat setelah persalinan, yaitu meliputi proses persalinan, proses IMD, penolong IMD, kondisi ibu dan bayi saat IMD dilakukan serta kondisi situasi lingkungan sekitar. Bahan dan alat yaitu pedoman wawancara mendalam.
RSUD, sebagian besar melahirkan secara operasi sesar (n=14) dan hanya sebagian kecil yang melahirkan secara normal pervaginam (n=1). Terkait dengan usia kandungan saat bayi dilahirkan, mayoritas informan melahirkan pada usia janin cukup bulan yaitu sekurangkurangnya usia kandungan 37 minggu (n=24) sebanyak 80 persen dan ibu yang melahirkan dengan kondisi bayi kurang bulan atau usia kandungan kurang dari 37 minggu (n=6) sebanyak 20 persen. Pelaksanaan IMD
Analisis melalui tahapan reduksi data, penelusuran tema jawaban menurut topik pertanyaan ke dalam bentuk matriks, lalu dihubungkan dengan catatan-catatan teori yang didapat. Keseluruhan hasil ditriangulasi yaitu dengan melakukan pengecekan terhadap jawaban informan ibu dengan jawaban dari informan Tenaga Kesehatan untuk menjaga validitas atau keabsahan data atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, hampir seluruh ibu di RS Swasta ‘X’ melakukan IMD. Sedangkan pada RSUD ‘Y’, hampir seluruh ibu gagal melakukan IMD. Hasil wawancara terhadap ibu dan tenaga kesehatan dapat dilihat pada tabel matriks di lampiran.
HASIL
Kondisi yang dialami ibu yang melahirkan di RS Swasta ‘X’ secara normal pervaginam tidak jauh berbeda dengan kondisi ibu yang melahirkan normal pervaginam di RSUD ‘Y’, namun sayangnya sebagian besar dari mereka justru tidak melakukan proses IMD paska persalinan. Sedangkan kondisi ibu yang melahirkan secara operasi sesar di RSUD ‘Y’ berbeda dengan kondisi ibu yang melahirkan secara sesar di RS Swasta ‘X’, sebagian besar di RSUD ‘Y’ diberikan anastesi umum atau bius total, sehingga informan tidak sadar saat proses operasi berlangsung dan baru sadar saat kembali keruangan perawatan nifas. Kondisi ini yang membuat proses IMD tidak dapat dilakukan pada persalinan secara operasi sesar di RSUD ‘Y’. Sperti yang dikatakan informan melalui wawancara mendalam dengan kutipan sebagai berikut:
Karakteristik Informan Sebagian besar informan berada pada kelompok usia 20 sampai dengan 30 tahun (n=19) atau sebanyak 63,3 persen dan sisanya berada di kisaran usia diatas 30 tahun (n=11) sebanyak 36,7 persen. Sebagian besar informan berpendidikan menengah yaitu tamatan SMA (n=14) 46,7 persen, tamatan akademi/perguruan tinggi (n=9) 30 persen, dan sebagian kecil berpendidikan dasar yaitu tamatan SD dan SMP (n=7) 23,3 persen. Berdasarkan pekerjaan ibu, mayoritas informan ibu hanyalah ibu rumah tangga (n=21) 70 persen, karyawan swasta (n=7) 23,3 persen dan pekerjaan informal sektor lainnya (n=2) 6,7 persen. Pekerjaan suami mayoritas bekerja sebagai karyawan swasta (n=17) sebanyak 56,7 persen, wirausaha/dagang (n=7) 23,33 persen. Pendapatan keluarga, mayoritas informan memiliki pendapatan di kisaran Rp. 1.000.000 s/d 1.990.000 dan Rp. 2.000.000 s/d 2.990.000 (masing-masing 23,33 persen). Seluruh ibu menyatakan mereka mendapatkan fasilitas rawat gabung ibu dengan bayi atau rooming in (n=30). Di RS Swasta sebagian besar melahirkan secara normal pervaginam (n=13), dan hanya sebagian kecil ibu yang melahirkan secara operasi sesar (n=2). Di
Proses Persalinan Persalinan
dan
Kondisi
Paska
“Yang menolong melahirkan dokter kandungan. Melahirkannya operasi.ga tau yah kenapa operasi kan saya dirujuk.. Setelah bangun dan siuman bayinya langsung dikasih…Iyah,dirujuknya dari puskesmas Duren Sawit. Setelah lahiran gak ada inisiasi menyusui dini..iya pas operasi tidurin jadi gak sadar..iya ituh bayinya dikasih pas saya uda diruangan perawatan itu.” (Informan T, 38 tahun, gagal IMD, pendidikan rendah, persalinan SC di RSUD ‘Y’) “saya pengennya normal cuma dokternya ga berani karena anak pertama saya kan Caesar,
33
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati) beratnya kurang, ga sampe 2 kg, nah ini kan lebih gede, resikonya lebih gede juga kalo lahirnya normal.. Melahirkan secara SC lagi, karena takut kenapa-kenapa dengan saya dan bayi…saya IMD yah..hampir 2 jam malah..lama banget rasanya..hahahahahhaa…saya memang mau IMD, karena banyak manfaatnya dan kebetulan anak pertama juga IMD di RS ini juga..alhamdulilah, kondisi saya sehat walau SC, sadar kok mba...cuma ngantukkkk banget rasanya.pengen tidur, tapi diajak ngomong terus sama bidan yang dampingin, suruh lihat bayi di taruh didada..bayi juga sehat..alhamdulillah..selama IMD lancar..malah dilanjutkan di ruang pemulihan itu sampai dijemput ke kamar perawatan..kendalanya agak mual aja sih tapi masih bisa ditahan karena udah puasa hampir 10 jam yah..” (Informan WJ, 36 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan SC di RS Swasta ‘X’)
Infoman yang gagal melakukan IMD di RS Swasta ‘X’ salah satunya adalah ibu yang melahirkan secara operasi sesar cito sehingga tidak mempersiapkan diri untuk berpuasa seperti saat akan melaksanaan operasi sesar elektif, ditambah lagi penggunaan obat anastesi yang menimbulkan efek mual, sehingga saat IMD berlangsung ibu mengalami mual muntah yang membuat IMD tidak dapat dilanjutkan hingga 2 jam. Penggunaan alat selama operasi sesar juga cenderung menghambat pelaksanaan IMD dimana tangan ibu terikat di sisi kiri dan kanan, namun hal ini dapat diatasi dengan bantuan bidan pendamping selama proses IMD. Seperti yang diungkapkan informan melalui wawancara mendalam di bawah ini: “Ya yang seprti tadi saya ceritakan, terhambat karena efek biusan, jadi mual muntah akhirnya daripada bayi kena muntahan langsung diambil dari dada saya. Lagian waktu SC tangan saya kan diikat dikiri kanan tempat tidur karena dipasang alat kan jadi gak bisa peluk bayi atau bergerak tangan saya. Kalau IMD-nya itu cuma bayinya ditaruh didada aja, sebelum ditaruh baju saya dibuka sama perawatnya bagian atasnya jadi kulit ketemu kulit sama bayi, terus bayi saya kelihatan ngantuk mba 15 menit itu, tapi dia sempat jilatin aerola saya sih waktu itu sebelum saya merasa mual banget. Itu aja yang saya alamin pas IMD di kamar operasi. Nah sesudah selesai sesar kan dipindah keruang pemulihan selama beberapa jam, susternya masih ngajakin dan mendorong untuk lanjutin IMDnya, tapi hanya setengah jam aja bertahan, abis sayanya masih mual dan muntah juga mba. Akhirnya susternya bilang ya ‘ya udah ibu istirahat dulu aja’. Bayi saya
34
dimasukkan ke ruang pemanas (inkubator selama saya istirahat)” (Informan AA, 25 tahun, gagal IMD, pendidikan tinggi, persalinan SC di RS Swasta ‘X’)
Pengetahuan Ibu mengenai Pentingnya IMD Seluruh ibu mengetahui pentingnya IMD dan manfaatnya, hampir seluruh ibu menyatakan tidak melihat adanya kerugian dengan dilakukannya IMD. Manfaat IMD menurut ibu antara lain: mencegah pendarahan paska persalinan, bayi mendapatkan susu pertama (kolostrum), bayi bisa lebih dekat dengan ibu (bonding), supaya bayi bisa ASI Eksklusif. Ibu yang berhasil IMD menyatakan mereka secara aktif mencari tahu mengenai pelaksanaan IMD melalui rekan, tenaga kesehatan RS (bidan atau dokter), media informasi di lingkungan rumah sakit dan juga media massa lainnya (majalah, internet). Seperti yang diungkapkan ibu melalui kutipan wawancara mendalam dibawah ini: “menurut aku penting dan bermanfaat,kalau untuk ibunya..karena kan itu kan membantu juga yah untuk kedekatan ibu sama anaknya, jadi supaya bonding sama anaknya makin kuat..untuk bayi itu dia melatih penyesuaian untuk menyusui ..terus supaya lebih dekat ibunya..begitu dia lahir kan, daripada sama yang lain-lain, mending sama ibunya, terus untuk pengaturan suhu badannya dia biar hangat” (InformanVH, 24 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan normal di RS Swasta ‘X’)
Wawancara mendalam terhadap ibu paska melahirkan di RSUD ‘Y’ yang gagal IMD tidak mengetahui pentingnya IMD dan tidak juga tahu manfaat IMD bagi ibu dan bayi. Manfaat IMD menurut informan yang berhasil melakukan IMD adalah untuk menciptakan kedekatan dengan bayi yang baru dilahirkan (bonding), serta bayi bisa mendapatkan kolostrum. Seperti yang diungkapkan informan dengan kutipan wawancara dibawah ini: “Untuk saya apa ya.... ya udah lebih enak aja mendekat anak baru melahirkan, beda..kalau untuk anaknya sih…supaya gak kedinginan kan kita peluk, terus itu apah..dapat asi pertamanya itu tuh mba..apa itu namanya yah..pokoknya yang pertama banget keluar abis kita lahiran..terus biar tau ibunya sayang dia lah yah..biar lebih dekat” (Informan M, 38 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan normal di RSUD ‘Y’)
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
Dukungan Suami Sebagian besar informan yang berhasil IMD di RS Swasta ‘X’ mengaku mendapatkan dukungan dari suami untuk melakukan IMD paska persalinan. Hal ini juga dikarenakan saat pemeriksaan kehamilan (ANC) dokter obgyn sudah memberitahukan bahwa setiap ibu paska persalinan akan melakukan IMD dan diharapkan ada keluarga yang mendampingi. Saat proses persalinan berlangsung sebagian besar informan yang bersalin secara normal pervaginam didampingi oleh suaminya langsung dalam ruang bersalin, dan pada informan ibu yang melahirkan secara sesar suami menunggu diruang tunggu operasi setelah selesai operasi suami diperkenankan mendampingi ibu saat melakukan IMD lanjutan di ruang pemulihan. Berikut adalah kutipan wawancara mendalam dengan informan ibu di RS Swasta ‘X’: “yah..ngedukung, bikin nyaman jadinya pas IMD itu..karena ada suami disebelah saya..sambil kasih semangat anak untuk bisa menyusu pas IMD itu…” (Informan N, 35 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan normal di RS Swasta ‘X’) “kalau suami mah iyah, pasti maksudnya dia sangat mendukung lah, apalagi dia tahu IMD, iya kan bareng kalau periksa, selalu ikut pas kelas laktasi, ngobrol dengan yang lain atau dokter pasti selalu bareng sama suami..waktu itu pas di ruang operasi gak didampingi suami kan gak boleh..tapi pas selesai operasi kita ke ruang pemulihan itu suami dipanggil dari luar suruh masuk menemani..senang lah ada suami pas IMD” (Informan WJ, 36 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan SC di RS Swasta ‘X’).
Kondisi ini sedikit berbeda dengan RSUD ‘Y’ yang memiliki tingkat keberhasilan IMD sangat rendah. Informan ibu yang berhasil melakukan IMD mengaku mendapatkan dukungan suami untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi mereka. Dan suami mendampingi selama proses persalinan atas permintaan informan ibu tersebut. Hampir seluruh informan ibu yang gagal IMD mengaku tidak mendapatkan dukungan pelaksanaan IMD dari suami mereka karena tidak paham mengenai IMD dan tidak didampingi suami dalam proses persalinan. Hal ini seperti yang dikatakan informan melalui kutipan wawancara di bawah ini: “Gak ada, suami gak nunggu di dalam, pas udah lahir saya minta tolong suster panggil suami
saya..biar nemenin takut anak jatuh pas di dada kan…pas masuk suami nemanin IMD itu..tapi paling cuman nanya oh sekarang itu lahir seperti itu yah…(pelaksanaan IMD)” (Informan M, 38 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan normal di RSUD ‘Y’)
Dukungan Tenaga Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RS Swasta ‘X’ dimana sebagian besar informan ibu melakukan IMD segera setelah melahirkan, sebagian besar informan ibu yang berhasil maupun yang tidak melakukan IMD merasakan dukungan dari Tenaga Kesehatan baik bidan dan dokter obgyn mulai dari saat pemeriksaan kehamilan dimana informasi tentang IMD disampaikan oleh dokter obgyn atau bidan. Sedangkan hampir seluruh informan ibu yang berhasil IMD menyatakan bahwa proses IMD didampingi oleh bidan dari awal hingga akhir proses IMD selama hampir 2 jam. Menurut informasi yang disampaikan oleh informan ibu bahwa sebelum proses persalinan, bidan di kamar bersalin akan menjelaskan mengenai pelaksanaan IMD dan meminta ibu untuk menandatangai surat persetujuan tindakan IMD (informed consent). Berikut kutipan wawancara dengan informan ibu di RS Swasta ‘X’ terkait hal tersebut: “mereka mendukung banget ya….saya bingung ko anak saya kurang mencari putingnya pas IMD, terus susternya bilang “ sabar aja,ibu..kita tunggu, nanti dia juga pasti dapet ko, dia mencari ko, pasti bisa, ibu tenang aja…”, diajak ngobrol seperti itu, dengan trik seperti itu, akhirnya dapat juga..ditemanin dari awal bayi diletakkan didada sampai selesai 2 jam lebih itu..” (Informan D, 34 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan normal di RS Swasta ‘X’) “mereka mah mendukung banget sih mba..dari saya hamil anak pertama sudah diberikan informasi tentang IMD..nah, pas kemaren diruang bersalin, suster yang nerangin nanti bisa tetap IMD..kita disuruh tanda tangan kertas selembar itu selain dijelasin kita disuruh baca juga..iya tentang IMD itu..jadi katanya kalaupun sesar nanti di ruang operasi tetap di IMD yah bu..gitu kaya susternya..nah pas diruang operasi emang bener ditaruh itu bayi saya didada masih basah..tapi pas bayinya ditaruh perasaan saya jadi hangat gimana gitu..hehehehehe” (Informan WJ, 36 tahun, berhasil IMD, pendidikan tinggi, persalinan SC di RS Swasta ‘X’)
35
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh informan Tenaga Kesehatan baik dokter spesialis kandungan, bidan dan konselor laktasi di RS Swasta ‘X’, pelaksanaan IMD di RS Swasta ‘X’ merupakan hal yang wajib dilakukan paska persalinan selama kondisi ibu dan bayi sehat dan berlaku untuk semua metode persalinan. IMD hanya tidak boleh dilakukan pada kondisi darurat dengan indikasi medis tertentu yang diputuskan oleh dokter obgyn atau dokter spesialis anak. Pendamping dalam melaksanakan IMD paska persalinan adalah bidan yang secara khusus ditugaskan untuk menemani dan mendampingi ibu selama proses IMD berlangsung. Selain itu, menurut informan konselor laktasi, jumlah tenaga bidan di RS Swasta ‘X’ dapat dikatakan lebih dari cukup untuk membantu dan mendampingi setiap ibu yang melakukan IMD paska persalinan di RS tersebut. Rumah Sakit juga menetapkan pemberian sanksi pada setiap tenaga kesehatan baik bidan maupun dokter obgyn yang didapati tidak melakukan proses IMD paska persalinan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan informan Tenaga Kesehatan dengan kutipan wawancara dibawah ini: ” IMD..dipantau oleh tim POKDI ASI Carolus, ada 10 langkah yang diawasi, termasuk IMD salah satunya..untuk masalah pelaksanaannya sejauh ini tidak ada kesulitan yang berarti. Bidan pendamping pun secara jumlah lebih dari cukup, dan mereka sudah terlatih dan berpengalaman dalam pelaksanaan proses IMD di RS ini.” (Informan Dokter Obgyn, RS Swasta ‘X’) “Terdapat SK, kebijakan, dan aturan-aturan. Semua jelas dibuat dan disusun bersama antara direksi dengan tim POKDI ASI RS Carolus…kita ketat dalam pelaksanaan IMD..Direksi menetapkan sanksi terhadap dokter atau bidan jika ada laporan dari pasien bahwa mereka gak di IMD. Tapi selama ini tidak ada laporan atau keluhan. Dan RS Carolus juga sudah mendapatkan penghargaan sebagai RS sayang ibu dan bayi selama 3 periode berturut-turut dari tahun 2007 2010 dan terakhir 2013 dari Kementerian Kesehatan. Bentuk sanksinya biasanya teguran lisan dan tertulis dari direksi kepada dokter atau bidan yang tidak melakukan IMD”. (Informan Konselor Laktasi, RS Swasta ‘X’) “Ya, jadi suatu kewajiban untuk dilakukan pada semua metode persalinan. Kita semua tenaga kesehatan sudah berkomitmen untuk mendukung dan mengakomodir pelaksanaan IMD itu pada semua metode persalinan.. Pengawasan memang
36
ada dan lebih kepada bagaimana proses IMD itu berjalan, dan biasanya saat pasien akan pulang kita kan kasih semacam kuesioner didalamnya ditanyakan kembali apakah ibu melakukan IMD saat persalinan. Kan bisa dikroscek dari kuesioner tersebut..kalau dari sisi jumlah tenaga bidan, di RS ini mencukupi satu bidan akan mendampingi satu orang ibu yang akan melakukan proses IMD..” ”. (Informan Bidan, RS Swasta ‘X’)
Berdasarkan hasil penelitian di RSUD ‘Y’, seorang informan ibu yang berhasil IMD menyatakan saat proses IMD, bidan meletakkan bayi kedadanya dan bidan meminta ibunya untuk memeluk bayinya agar tidak jatuh. Proses IMD berlangsung tanpa didampingi langsung oleh bidan. Selama memeriksakan kandungan, informan ibu baik yang berhasil maupun gagal IMD tidak pernah mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan IMD paska persalinan baik dari dokter obgyn maupun dari bidan pemeriksa. Informasi yang berbeda didapatkan dari informan Tenaga Kesehatan yaitu dari dokter obgyn yang merasa sudah mendukung pelaksanaan IMD pada semua proses persalinan. Sedangkan menurut Konselor laktasi sekaligus dokter spesialis anak menyatakan sangat ingin mewajibkan IMD namun terbentur dengan dokter obgyn apalagi hampir seluruh kejadian persalinan menggunakan metode operasi sesar. Kecepatan waktu (rotasi) kerap menjadi alasan gagalnya IMD pada ibu yang melahirkan secara operasi sesar. Menurut informan bidan dan konselor laktasi, ketidaksiapan dan kurangnya tenaga bidan untuk mendampingi persalinan sampai dengan pelaksanaan IMD juga menjadi hambatan terlaksananya IMD. Hal tersebut seperti yang diungkap informan tenaga kesehatan dengan kutipan wawancara sebagai berikut: “Kalau memutuskan untuk IMD..kita lihat dulu kondisi si ibu dan si anak, kalau anak biasanya anjuran dari dsa yang mendampingi seperti apa, kalau kondisi ibu yah tergantung kita dan dokter anastesinya..karena banyak juga kan kasus persalinan karena kasus (tanda kutip), jadi kita harus bius umum atau kita tidurkan si ibu..gimana mau IMD kalau begitu kan..? nah…kalau untuk aturan disini emang gak ada..dan saya rasa gak perlu lah ada aturan itu..buat apa?” (Informan Dokter Obgyn, RSUD ‘Y’) “Idealnya seperti yang seharusnya IMD sih memang belum bisa kita lakukan, mungkin ke
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati) depannya nanti dokternya ada berapa, perawatnya ada berapa, nah mungkin itu bisa kita lakukan (karena SDMnya kita sangat-sangat minim). Tapi kalau kondisi kita masih begini, kita memang agak kesulitan.. untuk melaksanakan IMD dan ASI Eksklusif kita harus konsekuen juga sebagai tenaga kesehatan, kita harus berani mencoba. Kadang-kadang kan kita mau (dokter anak), tapi kalau sejawat kita (dokter obgyn) nggak komitmen disitu juga kan susah, harus dua itu, makanya saya bilang, ini harus bekerjasama yang kuat antara dokter anak dengan dokter obgynnya atau dengan bidannya..supaya kedepannya IMD ini benarbenar dapat kita lakukan..soalnya bukan apaapa..kita ini RS Umum Daerah..dari 10 pasien partus, 7 pasien itu SC cito..kita gak punya persiapan apapun untuk IMD..” (Informan Dokter Spesialis Anak dan Konselor Laktasi, RSUD ‘Y’) ”Masalahnya disini tidak ada informed consent untuk IMD gitu...untuk partus normal ini ada beberapa yang minta IMD yah kita lakuin, kecuali bayinya asfiksia atau yang lain. Gitu aja sich...cuman nggak full sampai 1 jam, kadang setengah jam, kadang 15 menit, pokoknya kalo aman kelihatan kondisi bayi aman kita tunggu sampai ibunya selesai diberesin, baru bayinya kita angkat. Tapi kalo misalnya, kan kadangkadang ada juga, apalagi kalo disini pasien ratarata kan menengah ke bawah, ada yang geli dan segala macam, nah kita tarik...kalo sectio-nya, kita belum. Pasien disini kebanyakan rujukan, kalo yang selain rujukan, sedikit sekali (sambil menunjukkan data persalinan). Kondisinya kita juga cuma ber-3, pasiennya segitu banyak mana mungkin bisa kepegang kan kalau IMD nya harus full 2 jam..tenaga nya ini sih yang kurang banget..ampun deh mba..kita angkat tangan kalau udah lagi ramai yang partus..” (Informan Bidan, RSUD ‘Y’)
PEMBAHASAN Inisiasi menyusu dini (early initation) atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir, cara bayi melakukan inisiasi menyusui dini dinamakan the breast crawl atau merangkak mencari payudara14. Dengan mengacu kepada definisi tersebut tentu proses IMD merupakan proses yang penting untuk dilalui oleh setiap bayi baru lahir untuk dapat menyusu secara alamiah. Pelaksanaan IMD di Indonesia sendiri masih jauh dibawah harapan. Kurang dari 40% ibu di Indonesia yang melakukan IMD sesaat setelah proses persalinan6. Berdasarkan hasil yang telah dijabarkan sebelumnya, didapatkan data
bahwa keberhasilan pelaksanaan IMD sesaat setelah persalinan lebih besar di RS Swasta ‘X’ daripada RSUD ‘Y’. Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan lebih lanjut faktor yang mendukung dan menghambat keberhasilan pelaksanaan IMD paska persalinan di Rumah Sakit tersebut. Proses persalinan seperti yang banyak diketahui terdiri dari persalinan pervaginam dengan atau tanpa penyulit/intervensi, serta persalinan operasi sesar (sectio caesarea). Proses persalinan yang dilakukan akan berpengaruh terhadap kondisi ibu dan bayi paska persalinan.2 Misalnya, pada persalinan normal ibu akan lebih merasa lelah karena harus melalui proses kontraksi yang panjang dan melelahkan, sedangkan pada persalinan operasi sesar ibu akan merasa mengantuk sebagai efek dari obat bius bahkan ada juga ibu yang harus di bius secara total (tidak sadarkan diri saat proses operasi sesar berlangsung). 2 Kondisi pembiusan atau anastesi pada ibu dalam proses persalinan juga akan berpengaruh kepada bayi paska dilahirkan, salah satunya bayi akan merasa mengantuk dan menjadi lebih pasif.2 Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan IMD adalah proses persalinan dan kondisi ibu dan bayi paska persalinan.14 Pada dasarnya IMD tetap dapat dilaksanakan pada semua proses persalinan, kecuali atas indikasi medis tertentu yang ditetapkan atau diputuskan oleh tim dokter pada saat persalinan berlangsung. Kondisi medis yang dimaksudkan antara lain bayi hipotermia kebiruan karena pengaruh suhu dingin disekitarnya, bayi keracunan meconium, bayi afiksia, ibu pendarahan hebat, ibu yang kehilangan kesadaran, serta bayi prematur dengan berat kurang dari 2500 gram.14 Terkait dengan kondisi bayi, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSIA Fatimah Makassar memperlihatkan bahwa bayi dengan berat badan 2500 - 4000 gram lebih banyak yang berstatus sehat yaitu 140 (95,9%) dibandingkan bayi yang memiliki berat badan < 2500 gram, yaitu 7 (50,0%).15 Selain itu, bayi berat lahir sangat rendah (<1500 gram) berisiko untuk meninggal pada periode neonatal dini 59 kali lebih besar daripada bayi dengan berat lahir normal. Sedangkan bayi dengan berat lahir rendah (<2500 gram) berisiko meninggal pada periode neonatal dini sebesar 6 kali lebih besar daripada berat lahir normal (≥2500 gram).16 Oleh karena itu, bayi prematur dengan berat lahir rendah harus segera mendapatkan 37
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
penanganan/ tindakan medis untuk mengurangi risiko kematian. Selain kondisi tersebut seharusnya tidak ada alasan untuk tidak melakukan proses IMD paska persalinan pada ibu dan bayinya.2 Kementerian Kesehatan sendiri telah merumuskan asuhan keperawatan bayi baru lahir yang didalamnya mengatur proses pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini pada persalinan normal pervaginam dan persalinan secara operasi sesar.17 Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara metode persalinan dengan pelaksanaan IMD antara lain yang dilakukan oleh Legawati, dkk (2011)18 dan Fifi Indamukti, dkk (2013)19, didapatkan hasil bahwa keberhasilan IMD pada persalinan normal lebih bermakna positif ketimbang pada persalinan operasi sesar. Hal ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan pada ibu melahirkan di Puerto Rico menemukan bahwa SC berkorelasi negatif dengan IMD20. Penelitian pada ibu-ibu di Jepang juga menunjukkan bahwa SC merupakan salah faktor yang mempengaruhi ibu untuk tidak melakukan IMD.21 Penelitian mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan IMD terhadap 577 ibu pada RSSIB di Turki juga menemukan bahwa SC merupakan salah satu hambatan terbesar untuk melakukan IMD. Hal ini berhubungan dengan pengaruh anestesi, ketidaknyamanan ibu, dan belum keluarnya ASI setelah operasi. 22 Selain faktor kondisi ibu dan bayi serta proses persalinan, faktor lain yang juga turut menyumbang keberhasilan pelaksanaan IMD paska persalinan adalah pengetahuan ibu mengenai pentingnya pelaksanaan IMD. Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.23 Pengetahuan biasanya berkaitan erat dengan tingkat pendidikan. Pengetahuan yang baik sangat mempengaruhi pola pikir seseorang, karena semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan kesadaran mereka dalam menerima informasi serta menerapkannya dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.24 Manfaat atau keuntungan dilakukannya IMD adalah memungkinkan terjadinya kontak kulit dengan kulit antara ibu dan bayi.2 Manfaat kontak kulit (skin to skin contact) pada proses IMD bagi bayi, antara lain mengoptimalkan keadaan hormonal ibu dan bayi, kontak kulit 38
memastikan perilaku optimum menyusu berdasarkan insting dan bisa diperkirakan, menstabilkan pernafasan, mengendalikan temperatur tubuh bayi, memperbaiki/mempunyai pola tidur yang lebih tenang, mendorong keterampilan bayi untuk menyusu yang lebih cepat dan efektif, meningkatkan hubungan antara ibu dan bayi, tidak terlalu banyak menangis selama satu jam pertama, menjaga kolonisasi kuman yang aman dari ibu di dalam perut bayi sehingga memberikan perlindungan terhadap infeksi, bilirubin akan lebih cepat normal dan mengeluarkan mekonium lebih cepat sehingga menurunkan kejadian ikterus bayi baru lahir, serta kadar gula dan parameter biokimia lain yang lebih baik selama beberapa jam pertama hidupnya.2 Sedangkan keuntungan kontak kulit dengan kulit untuk ibu pada proses IMD adalah untuk merangsang produksi oksitosin dan prolaktin pada ibu.2 Oksitosin yang muncul dengan dilakukannya proses IMD akan membantu kontraksi uterus sehingga perdarahan paska persalinan lebih rendah, selain itu membantu merangsang pengeluaran kolostrum, penting untuk kelekatan hubungan ibu dan bayi (bonding), dan pada akhirnya akan membuat ibu lebih tenang dan lebih tidak merasa nyeri pada saat plasenta lahir dan prosedur paska persalinan lainnya. Selain merangsang produksi hormon oksitosin, IMD juga akan merangsang produksi hormon prolaktin yang sangat penting bagi keluarnya ASI paska persalinan dengan IMD dan seiring meningkatnya frekuensi menyusui paska persalinan, dapat meningkatkan produksi ASI. Selain itu. Produksi hormon prolaktin juga akan membantu ibu mengatasi stres. Mengatasi stres adalah fungsi oksitosin mendorong ibu untuk tidur dan relaksasi setelah bayi selesai menyusu serta menunda ovulasi (KB alami). Selain itu, secara khusus Inisiasi Menyusu Dini dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga dapat mencegah kematian bayi, dapat mencegah bayi kedinginan (hipotermia) karena adanya kontak antar kulit ibu dengan bayi, bayi cepat mendapatkan kolostrum, keberhasilan menyusui lebih optimal selama 2 tahun. 14 U.S Preventive Service Task Force menjelaskan bahwa pengetahuan adalah faktor intervensi yang paling efektif dalam IMD. Oleh karena itu, pengetahuan ibu mengenai IMD adalah salah satu faktor yang penting dalam kesuksesan pelaksanaan IMD. Untuk itu
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
diperlukan paparan informasi yang baik agar pengetahuan ibu mengenai IMD juga adekuat dan IMD dapat terlaksana.25 Selain itu, terkait dengan hubungan antara pengetahuan ibu tentang IMD dan keberhasilan IMD, hasil penelitian di Semarang menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan memiliki hubungan bermakna dengan pelaksanaan IMD dengan angka signifikansi sebesar p=0.029 dan RR sebesar 1,615 yang berarti bahwa angka pelaksanaan IMD pada kelompok dengan tingkat pengetahuan tinggi lebih tinggi 1,6 kali dibanding kelompok dengan tingkat pengetahuan rendah.26 Dukungan suami juga dapat menjadi faktor pepndukung keberhasilan IMD paska persalinan. Bentuk dukungan yang dapat dilakukan oleh suami antara lain dengan mendampingi ibu dalam menghadapi proses persalinan.14 Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah “Pediatrics” terhadap 115 ibu yang baru melahirkan (postpartum), keberhasilan menyusui pada kelompok suami tidak mengerti ASI adalah 26,9% dan pada suami mengerti ASI adalah 98,1%.3 Peran suami dalam keberhasilan menyusui sangat besar. Michigan State University merekomendasikan pendidikan ASI bagi suami dan keluarga di perawatan antenatal.2 Tidak semua suami dapat memberikan dukungan yang di harapkan kepada ibu menyusui. Suami akan mendukung praktik pemberian ASI bila memiliki pengetahuan yang baik tentang hal-hal yang berhubungan dengan pemberian ASI, memiliki bubungan yang baik dengan ibu, dan juga terlibat dalam keharmonisan hubungan pola menyusui tripartit yaitu antara suami, ibu dan bayi.27 Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh suami yang turut mendukung keberhasilan pelaksanaan IMD sesaat setelah persalinan adalah sebagai berikut2 :1) Ikut serta dalam memilih “rumah bersalin sayang bayi”. Memilih rumah bersalin sayang bayi merupakan langkah penting dalam menghantarkan anak menuju masa depan yang lebih cerdas. 2) Ikut serta mendampingi istri ketika berjuang melahirkan. Selain memberikan dampak ketenangan psikologis bagi suami istri, kehadiran suami ketika sang istri melahirkan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan IMD. 3) Suami dapat juga memberikan katakata semangat untuk meneguhkan istri dan memastikan dokter atau bidan melakukan IMD
dan ASI eksklusif. Paska melahirkan ibu sungguh sangat memerlukan bantuan orang lain untuk memperjuangkan hal itu karena kondisinya yang masih lemah, baik secara fisik maupun mental, setelah melahirkan. 4) Membantu istri mendapatkan posisi yang nyaman dalam melakukan proses IMD. Posisi ibu dan bayi saat melakukan IMD yang benar akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses pelaksanaan IMD sekaligus mengurangi kekhawatiran ibu akan kemungkinan bayi jatuh saat proses IMD berlangsung. Dan 5). Membantu istri untuk rileks dan tenang saat melakukan proses IMD. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sentuhan lembut untuk menunjukan kasih sayang dan simpati atas proses IMD yang sedang berlangsung. Dari hasil sebuah studi menyebutkan bahwa untuk dapat membantu ibu mempraktekkan inisiasi menyusui segera setelah bayi dilahirkan, suami harus memberikan suatu tindakan dukungan tertentu yang sangat spesifik dalam periode waktu yang sangat singkat. Namun sayangnya, sebagian besar suami tidak mengetahui peran mereka pada periode tersebut. Keberadaan mereka di dalam ruang bersalin sebagian besar karena ingin memberikan dukungan emosional kepada ibu atau karena mereka ingin ada secara fisik sehingga dapat memberikan persetujuannya sewaktu-waktu jika pada persalinan tersebut diperlukan tindakan lebih jauh oleh penolong persalinan.27 Sejauh ini, suami kebanyakan hanya berperan dalam tempat pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan. Padahal, keterlibatan suami dalam mencari informasi mengenai pemberian ASI diketahui sebagai salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap praktek inisiasi menyusui segera. Studi-studi intervensi di negara-negara barat juga memperlihatkan bahwa peningkatan pengetahuan suami tentang hal-hal seputar pemberian ASI mempengaruhi inisiasi menyusui.27 Dukungan keluarga yang terpenting adalah suami atau yang di kenal dengan supporting father. Termasuk dukungan suami pada ibu post partum dalam melaksanakan inisiasi menyusui dini. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden yang termasuk dalam kategori mendukung sebanyak 14 (77,8%) responden. Hal ini memberikan gambaran bahwa sebagian responden (suami) ikut berperan dalam 39
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
keberhasilan ibu menyusui dini terutama dengan hadir dan memberikan dukungan kepada ibu saat melahirkan dan membangun percaya diri ibu agar mau dan mampu menyusui. Hasil penelitian di Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan pelaksanaan inisiasi menyusui dini ibu post partum.12 Salah satu faktor yang juga berperan penting terhadap keberhasilan pelaksanaan IMD segera setelah bayi lahir adalah dukungan tenaga kesehatan.14 Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa Tenaga Kesehatan dan penyelenggaran fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru dilahrikan kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. 24 IMD dilakukan dalam keadaaan ibu dan bayi stabil dan tidak membutuhkan tindakan medis selama paling singkat 1 (satu) jam. Lama waktu ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada bayi agar dapat mencari dan mencapai putting susu ibu dan menyusu dengan sendirinya. Dalam hal selama singkat waktu tersebut, bayi masih belum mau menyusu, maka kegiatan inisiasi menyusu dini harus tetap diupayakan oleh ibu, Tenaga Kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan.28 Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.29 Sikap petugas kesehatan dari berbagai tingkat pelayanan petugas kesehatan yang kurang mengikuti perkembangan ilmu dokter tentang pemberian kolostrum serta ASI terdapat kecenderungan pelayanan petugas kesehatan yang kurang menggembirakan terutama penanggung jawab ruang bersalin dan perawatan di rumah sakit yang belum mengupayakan agar ibu bersalin mampu memberikan kolostrum kepada bayinya, melainkan langsung memberikan susu botol kepada bayi baru lahir. PP-ASI adalah peningkatan pemberian ASI termasuk kolostrum dimana menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat dan keluarga untuk mendukung ibu menyusui dalam melaksanakan tugas sesuai kodratnya.29 40
Petugas kesehatan juga memerlukan sikap yang mendukung terhadap menyusui yang didapat melalui pengalaman dan pengertian mengenai berbagai keuntungan pemberian ASI.14 Petugas kesehatan membina atau membangun kembali kebudayaan menyusui dengan meningkatkan sikap positif yang sekaligus dapat menjadi teladan bagi wanita lainnya.14 Pillegi et al.30 menunjukkan bahwa di samping penolakan oleh pasien (ibu yang melahirkan), hambatan IMD juga dapat disebabkan oleh penolakan dari tim medis (dokter spesialis anestesi, dokter spesialis anak, serta dokter spesialis obstetri dan ginekologi). Hal ini didukung oleh penelitian di Rio de Janeiro yang menunjukkan bahwa ibu-ibu yang baru melahirkan hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki otonomi dalam mengambil keputusan untuk melakukan IMD pada satu jam pertama kelahiran. Hal ini karena mereka harus mengikuti tata cara perawatan bayi baru lahir yang diterapkan oleh RS dan tim medis yang membantu proses persalinan.31 KESIMPULAN Faktor yang mendukung keberhasilan IMD salah satunya adalah proses persalinan yang aman bagi ibu dan bayi serta kondisi ibu dan bayi paska persalinan dimana keduanya tidak menunjukkan adanya indikasi medis yang membutuhkan tindakan medis tertentu sesuai yang diatur dalam PP nomor 33 tahun 2012 Pasal 9 mengenai pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Pengetahuan ibu mengenai pentingnya pelaksanaan IMD dan manfaat IMDjuga merupakan salah satu faktor yang turut mendorong keberhasilan IMD pada informan yang berhasil melakukan IMD. Dukungan suami juga turut memberikan andil yang besar terhadap keberhasilan IMD paska persalinan. Faktor terakhir yang juga turut mendukung keberhasilan pelaksanaan IMD adalah dukungan Tenaga Kesehatan. Tanpa adanya dukungan dari Tenaga Kesehatan maka proses IMD tidak akan dapat dilakukan paska persalinan. Jumlah tenaga kesehatan, keterampilan dan kemampuan untuk melakukan proses IMD juga turut mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan IMD paska persalinan. SARAN Penting menyelenggarakan proses persalinan yang nyaman serta aman bagi ibu dan bayi
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
dengan mengurangi dan menghindari penggunaan obat-obatan anastesi. Pada persalinan operasi sesar sebaiknya menghindari penggunaan anastesi umum sehingga setiap ibu yang melahirkan secara operasi sesar pun tetap dapat melakukan IMD.
berpartisipasi dalam penelitian ini serta Tim Risbinkes 2014 baik Tim Pembina Ilmiah, Tim Sekretariat hingga Tim Peneliti atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA
Untuk setiap ibu yang akan melahirkan diharapkan sebanyak mungkin mencari tahu mengenai pelaksanaan IMD di RS yang akan dijadikan tempat melakukan persalinan. Mengkomunikasikan sedini mungkin dengan tenaga kesehatan di RS untuk dapat melakukan proses IMD paska persalinan. Bagi petugas kesehatan baik dokter obgyn, dokter spesialis anak dan atau konselor laktasi serta bidan atau perawat kamar bersalin diharapkan dapat terus meningkatkan pengetahuan dan kompetensi terkait pelaksanaan IMD sehingga IMD tetap dapat dilakukan pada semua metode persalinan kecuali atas indikasi medis yang mendesak untuk memisahkan bayi dan ibunya setelah lahir. Selain itu diharapkan dokter maupun bidan memberikan kesempatan bagi keluarga dari ibu yang akan melahirkan khususnya suami untuk mendampingi selama proses persalinan berlangsung dan untuk persalinan sesar agak mengijinkan suami mendampingi proses IMD di ruang pemulihan. Setiap Rumah Sakit harus mengkaji kembali rasio kebutuhan tenaga kesehatan khususnya bidan atau perawat anak, sehingga ketersediaan tenaga tidak menjadi faktor penghambat keberhasilan pelaksanaan IMD. Idealnya setiap ibu yang sedang melaksanakan proses IMD harus didampingi oleh seorang bidan atau perawat sampai proses IMD selesai dilaksanakan. Untuk dapat menjamin terlaksananya IMD, setiap rumah sakit sebaiknya menggunakan formulir persetujuan tindakan (informed consent) pelaksanaan IMD untuk siap proses persalinan. Tujuannya adalah mengontrol dan mengawasi pelaksanaan IMD di masing-masing Rumah Sakit. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Badan Litbangkes, Direktur Rumah Sakit, para informan penelitian yang telah
1.
Surat Edaran Menteri Kesehatan No. BM/E/Menkes/1407/IX/2010: Penguatan Pelaksanaan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (22 September 2010). 2. Roesli, Utami., 2012. Panduan Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda. 3. Edmond K,dkk. 2006. Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal Mortality. Department for International Development UK Pediatrics 117: 380-386 4. World Health Organization. 2002. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding, Report of an Expert Consultation. Geneva, Switzerland: World Health Organization 5. Fikawati, S., Syafiq, A. 2010. Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di Indonesia. Makara Kesehatan: Volume 14 No.1, Edisi Juni 2010:17-24. 6. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. 2007. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS dan Macro International. 7. Badan Litbang Kementerian Kesehatan. 2014. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Diakses melalui website: http://www.litbang.depkes.go.id/sites/downloa d/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.PDF. Pada Senin, 19 Januari 2015. 8. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Macro International. 2012. Prelimenary: Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Calverton, Maryland, USA: BPS dan Macro International. 9. Adam, S. Wirdawty. 2012. Pengaruh Penatalaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Terhadap Waktu Pengeluaran ASI di RSUD Prof. DR. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Gorontalo: Politeknik Kebidanan. 10. Juliastuti, Rani. 2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Status Pekerjaan Ibu, dan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Dengan Pemberian ASI Eksklusif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. 11. Arifah, N. Isnaini. 2009. Perbedaan Waktu Keberhasilan Inisiasi Menyusu Dini Antara Persalinan Normal Dengan Caesar di Ruang An-Nisa RSI Sultan Agung Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro.
41
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati) 12. Suryani, N. Devi. 2011. Hubungan Dukungan Suami Dengan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Ibu Post Partum di BPS Kota Semarang. Jurnal Dinamika Kebidanan; Vol1/no.1/januari 2011. 13. Fikawati, S., Syafiq, A. 2008. Penelitian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. 14. Roesli, Utami., 2008. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda. 15. Ekayanti Hafidah Ahmad, Buraerah, Abd. Hakim, Leo Prawirodihardjo. Faktor Determinan Status Kesehatan Bayi Neonatal Di RSKDIA Siti Fatimah Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 6, No. 3, September 2012 : 144-211 16 Afiza, Determinan Kematian Neonatal di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol.2 No. 3 (diakses oktober 2011. 17. Direktorat Kesehatan Anak Khusus, 2010. Panduan Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir Berbasis Perlindungan Anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 18. Legawati, dkk. 2011, Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini Terhadap Praktik Menyusui 1 bulan pertama, Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol.8, No. 2, Oktober 2011: 60-68. 19. Fifi Indramukti, dkk. 2013. Faktor yang Berhubungan Dengan Praktik Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Pada Ibu Paska Persalinan Normal di Wilayah Kerja Puskesmas Blado I. Unnes Journal of Public Health. Vol. 2, No. 2, Maret 2013: 11-18. 20. Pérez-Ríos N, Ramos-Valencia G, Ortiz AP. 2008. Cesarean delivery as a barrier for breastfeeding Initiation: the Puerto Rican Experience. J Hum Lact, 2008;24(3):293-302. 21. NakaoY, MojiK, Honda S, Oishi K. 2008. Initiation of breastfeeding within 120 minutes after birth is associated with breastfeeding at four months among Japanese women: A selfadministered questionnaire survey. International Breastfeeding Journal, 2008;3:1.doi:10.1186/1746-4358-3-1. 22. ÖrünE, Yalçm SS, Madendag Y, ÜstünyurtEras Z, Kutluk S, Yurdakök K. 2010. Factors
42
23. 24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
associated with breastfeeding initiation time in a Baby-Friendly Hospital. Turk J Pediatr, 2010;52(1):10-6. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta. Vieira TO, Vieira GO, Giugliani RGJ, Mendes CMC, Martins CC, Silva LR. Determinants of Breastfeeding Initiation within The First Hour of Life in Brazillian Population. BMC Public Health . 2010; 10(760):1-6. Karindra Aji Hidayat. Perbandingan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Berdasar Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil. 2012. Laporan Akhir Hasil Karya Tulis Ilmiah Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro. Februhartanty, Judhiastuty. 2008. Strategic Roles of Fathers in Optimizing Breastfeeding Practices; A Study in an Urban Jakarta. Diakses melalui website: http://www.gizi.net/makalah/ download/Summary-Eng-Indo-Yudhi.pdf. Pada tanggal 9 Januari 2015. Kementerian Kesehatan. 2012. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Biro Hukum dan Organisasi: Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Diakses_ melalui_website: http://www.balitbangham. go.id/index.php/produk-hukum/peraturanperundang-undangan?download=20:uu-no-23tahun-1992. Pada tanggal 15 Januari 2015. Pillegi MC, Policastro A, Abramovici S, Cordiol E, Deutsch AD. 2008. Breastfeeding in the first hour of life and modern technology: prevalence and limiting factors. Einstein, 2008;6(4):467-72. Boccolini CS, Carvalho ML, Oliveira MI, Vasconcellos AG. 2011. Factors associated with breastfeeding in the first hour of life. Revista de Saúde Pública, 2011;45(1):69-78.
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
Tabel lampiran. Matrikulasi Pelaksanaan Praktik Inisiasi Menyusu Dini di RS Swasta dan RS Pemerintah FAKTOR Proses Persalinan
Kondisi Ibu & Bayi paska persalinan
Pengetahuan Ibu mengenai Pentingnya dan Manfaat IMD
Dukungan Suami
RS Swasta ‘X’ Sebagian besar melahirkan secara normal pervaginam dan sebagian besar berhasil IMD. Ada pula informan yang melahirkan secara operasi sesar namun tetap dapat berhasil melakukan IMD. Sebagian besar informan merupakan pasien RS Swasta ‘X’ tersebut yang memang memeriksakan kandungan di Klinik Pratama atau Poli Kebidanan RS tersebut. Sebagian besar informan ibu yang berhasil IMD bersalin baik secara normal pervaginam maupun operasi sesar dalam keadaan sadar (informan ibu yang bersalin secara operasi sesar menggunakan anastesi lokal). Hampir seluruh bayi dari informan yang berhasil melakukan IMD dalam kondisi sehat, dan aktif saat proses IMD berlangsung. Dua informan yang gagal melakukan IMD disebabkan kondisi ibu mengigil dan muntah efek bius cito saat proses persalinan sesar dilakukan dan seorang informan lainnya gagal IMD karena bayi biru (terlilit tali pusat). Seluruh informan ibu baik yang berhasil IMD maupun tidak mengetahui pentingnya IMD dan manfaat yang diterima ibu dan bayi dengan dilakukannya IMD. Hampir seluruh informan menyatakan banyak keuntungan dengan dilakukannya IMD dan tidak melihat adanya kerugian dengan dilakukannya IMD. Manfaat IMD menurut informan antara lain: mencegah pendarahan paska persalinan, bayi mendapatkan susu pertama (kolostrum), bayi bisa lebih dekat dengan ibu (bonding), supaya bayi bisa ASI Eksklusif. Informan ibu yang berhasil IMD menyatakan mereka secara aktif menccari tahu mengenai pelaksanaan IMD baik dari informasi rekan, Tenaga Kesehatan RS (bidan atau dokter), media informasi IMD di lingkungan rumah sakit dan juga media massa lainnya (majalah, internet) Sebagian besar informan yang berhasil IMD mengaku mendapatkan dukungan dari suami untuk melakukan IMD paska persalinan. Hal ini juga dikarenakan saat pemeriksaan kehamilan (ANC) dokter obgyn sudah memberitahukan bahwa setiap ibu paska persalinan akan melakukan IMD dan diharapkan ada keluarga yang mendampingi. Saat proses persalinan berlangsung
RSUD ‘Y’ Sebagian besar melahirkan secara operasi sesar dan tidak melakukan proses IMD. Hanya ada 1 informan ibu yang berhasil IMD dengan proses persalinan normal pervaginam. Sebagian besar informan yang gagal IMD merupakan pasien rujukan dari Puskesmas diwilayah kerja RSUD ‘Y’. Informan ibu yang berhasil IMD melahirkan secara normal dalam kondisi sadar. Sedangkan kondisi sebagian besar informan yang gagal IMD beragam, antara lain tidak sadarkan diri karena efek bius sampai kelelahan akibat proses persalinan yang panjang, Bayi dari informan yang berhasil melakukan IMD dalam kondisi sehat, dan aktif saat proses IMD berlangsung. Sebagian besar informan yang gagal melakukan IMD secara persalinan operasi sesar lebih dikarena penggunaan anastesi umum (general anesthesia).
Informan ibu yang berhasil melakukan IMD mengetahui pentingnya dilakukan IMD dan merasakan manfaat dengan melakukannya IMD. Sebagian besar informan ibu yang gagal IMD tidak mengetahui pentingnya IMD dan tidak juga tahu manfaat IMD bagi ibu dan bayi. Manfaat IMD menurut informan yang berhasil melakukan IMD adalah : untuk menciptakan kedekatan dengan bayi yang baru dilahirkan (bonding), serta bayi bisa mendapatkan kolostrum serta kasih sayang ibu melalui dekapan ibunya.
Informan ibu yang berhasil melakukan IMD mengaku mendapatkan dukungan suami untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi mereka. Dan suami mendampingi selama proses persalinan atas permintaan informan ibu tersebut. Hampir seluruh informan ibu yang gagal IMD mengaku tidak mendapatkan dukungan pelaksanaan IMD dari suami mereka karena tidak paham mengenai
43
Faktor Pendukung Kebersihan …………….(Novianti, Mujiati)
Dukungan Tenaga Kesehatan
44
sebagian besar informan yang bersalin secara normal pervaginam didampingi oleh suaminya langsung dalam ruang bersalin, dan pada informan ibu yang melahirkan secara sesar suami menunggu diruang tunggu OK setelah selesai operasi suami diperkenankan mendampingi ibu saat melakukan IMD lanjutan di ruang pemulihan. Sebagian besar informan ibu yang berhasil melakukan IMD merasakan dukungan dari Tenaga Kesehatan baik bidan dan dokter obgyn mulai dari saat pemeriksaan kehamilan dimana informasi tentang IMD disampaikan oleh dokter obgyn atau bidan hingga berlangsungnya proses IMD paska persalinan. Informan Tenaga Kesehatan baik dokter spesialis kandungan, bidan dan konselor laktasi mengatakan bahwa IMD merupakan hal yang wajib dilakukan paska persalinan selama kondisi ibu dan bayi sehat dan berlaku untuk semua metode persalinan. IMD hanya tidak boleh dilakukan pada kondisi darurat dengan indikasi medis tertentu yang diputuskan oleh dokter obgyn atau dokter spesialis anak. Pendamping dalam melaksanakan IMD paska persalinan adalah bidan yang secara khusus ditugaskan untuk menemani dan mendampingi ibu selama proses IMD berlangsung. Menurut informan konselor laktasi, jumlah tenaga bidan di RS Swasta ‘X’ dapat dikatakan lebih dari cukup untuk membantu dan mendampingi setiap ibu yang melakukan IMD paska persalinan di RS tersebut.
IMD dan tidak didampingi suami dalam proses persalinan.
Informan ibu yang berhasil IMD menyatakan saat proses IMD, bidan meletakkan bayi kedadanya dan bidan meminta ibunya untuk memeluk bayinya agar tidak jatuh. Dan proses IMD berlangsung tanpa didampingi langsung oleh bidan. Selama memeriksakan kandungan, informan ibu baik yang berhasil maupun gagal IMD tidak pernah mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan IMD paska persalinan baik dari dokter obgyn maupun dari bidan pemeriksa. Informasi yang berbeda didapatkan dari informan Tenaga Kesehatan yaitu dari dokter obgyn yang merasa sudah mendukung pelaksanaan IMD pada semua proses persalinan. Sedangkan menurut Konselor laktasi sekaligus dokter spesialis anak menyatakan sangat ingin mewajibkan IMD namun terbentur dengan dokter obgyn apalagi hampir seluruh kejadian persalinan menggunakan metode operasi sesar. Sehingga kecepatan waktu (rotasi) kerap menjadi alasan gagalnya IMD pada ibu yang melahirkan secara operasi sesar. Menurut informan bidan dan konselor laktasi, ketidaksiapan dan kurangnya tenaga bidan untuk mendampingi persalinan sampai dengan pelaksanaan IMD juga menjadi hambatan terlaksananya IMD.
)
HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN ACTIVITY DAILY LIVING DENGAN DEMENSIA PADA LANJUT USIA DI PANTI WERDHA The Correlation between Education Degree and Activity Daily Living with Dementia among Elderly at Nursing Home Raden Siti Maryam*, Tien Hartini*, Sumijatun* *Staf Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jakarta III E-mail :
[email protected]
Abstract Background: In 2000, the level of prevalence and incidence of dementia in Indonesia 606.100 people and 191.400 people. In the year 2020 is predicted to increase by 1.0168 million people and 314.100 people (Alzheimer's Disease International, 2006). The increase in the prevalence and incidence of dementia is a challenge for health care providers see their impact. Objective : This study aims to identify the determinants of dementia among elderly at Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Region of DKI Jakarta in 2013. Methods: Non-experimental research design and cross-sectional approach with multiple regression linear as multivariate analysis have done with 120 elderly. Results: The results show that there were significant effect between education status and activity daily living (ADL) with dementia (pvalue: 0.012 and 0.038). The multivariate analysis shows that the most significant effect of dementia is education status (Beta:0.258). Conclusion: Expected for PSTW to improving and maintaining intellectual function for the elderly with activities as remembering, talking, thinking, doing something in order to be more independently and productive. Key words: activity daily living, dementia, elderly, independent Abstrak Latar Belakang: Jumlah kasus dan kejadian demensia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 606.100 orang dan 191.400 orang. Pada tahun 2020 diprediksikan akan meningkat sebanyak 1.016.800 orang dan 314.100 orang (Alzheimer’s Disease International, 2006). Peningkatan jumlah kasus dan kejadian demensia menjadi tantangan bagi pemberi pelayanan kesehatan melihat dampak yang ditimbulkannya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi demensia pada lansia. Metode: Jenis penelitian ini adalah non-eksperimental (observasional) dengan pendekatan cross sectional. Analisis multivariat menggunakan regresi linear ganda. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Wilayah DKI Jakarta dengan sampel berjumlah 120 responden. Hasil: Ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan demensia (p=0,012) dan ada hubungan bermakna antara Activity Daily Living dengan demensia (p=0,038). Model multivariat menunjukkan nilai koefisien determinasi 0,101 artinya kedua faktor tersebut yaitu tingkat pendidikan dan Activity Daily Living dapat menjelaskan variasi variabel demensia sebesar 10,1 % dan pada uji F menunjukkan kedua variabel tersebut secara signifikan dapat memprediksi variabel demensia. Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap demensia adalah tingkat pendidikan (Beta = 0,258). Kesimpulan: Untuk tetap meningkatkan dan mempertahankan fungsi mental lansia dapat dilakukan kegiatan mengingat, berbicara, berpikir, berperilaku dan melakukan berbagai pekerjaan agar lansia dapat tetap mandiri dan produktif. Kata kunci : Activity Daily Living, demensia, kemandirian, lansia Naskah masuk: 9 Januari 2015,
Review: 16 Februari 2015,
Disetujui terbit: 23 Maret 2015
45
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
PENDAHULUAN Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pengertian sehat meliputi kesehatan jasmani, rohani serta sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan (UU No. 36 Tahun 2009). Pembangunan kesehatan sendiri menyangkut bidang yang sangat luas, serta melibatkan hampir seluruh sektor yang ada di negara kita. Tujuan utamanya adalah peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal untuk mencapai suatu kehidupan sosial dan ekonomi yang produktif. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan kepada paradigma sehat yang menekankan kepada interaksi berbagai faktor sehingga upaya lebih diarahkan pada peningkatan (promotif), pencegahan (preventif) tanpa mengabaikan upaya pengobatan (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) (Depkes, 2003). Dampak dari meningkatnya derajat kesehatan masyarakat adalah peningkatan usia harapan hidup sehingga berpengaruh terhadap peningkatan populasi usia lanjut (lansia) dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah lansia terlihat dari tahun 1990, 1995, dan 2000 berturut-turut sebesar 11.28 juta, 13.60 juta, dan 15.88 juta (Hardywinoto & Setiabudhi, 2005). Peningkatan jumlah lansia ini memunculkan kebijakan berupa upaya pembinaan kesehatan lansia yang dilaksanakan secara terpadu dengan meningkatkan peran lintas program dan lintas sektor agar lansia mampu untuk mandiri dan tetap produktif (Depkes, 2001). Hal ini telah dilakukan oleh Depsos melalui pembinaan di Panti Werdha dan program Pelayanan Lansia Berbasis Masyarakat (PLBM). Kemunduran dan kelemahan yang biasanya diderita oleh lansia dikenal dengan istilah 14 I, salah satunya adalah intellectual impairment (dementia). Jumlah penderita demensia dari tahun ke tahun terus meningkat dimana menurut WHO tahun 2000 dari 580 juta lansia di dunia sekitar 40 juta (6,9 %) mengalami demensia. Demensia juga dapat terjadi pada lansia usia 55 – 64 tahun (7,9%), prevalensi demensia terjadi 46
pada 1 dari 10 lansia yang berumur di atas 65 tahun (12,3%), dimana insiden demensia mencapai 15%, dan meningkat dua kali setiap kenaikan umur lima tahun. Pada usia 85 tahun ke atas diperkirakan 50% lansia akan_mengalami_demensia (www.pdpersi.co.id). Jumlah kasus dan kejadian demensia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 606.100 orang dan 191.400 orang. Pada tahun 2020 diprediksikan akan meningkat sebanyak 1.016.800 orang dan 314.100 orang (Alzheimer’s Disease International, 2006). Peningkatan jumlah kasus dan kejadian demensia menjadi tantangan bagi pemberi pelayanan kesehatan melihat dampak yang ditimbulkannya. Perubahan tingkah laku yang dapat terjadi akibat demensia adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, marah, melawan, apatis dan kabur dari rumah. Kondisi ini menyebabkan lansia demensia memerlukan perhatian dan perawatan yang khusus dari pemberi pelayanan (Miller, 2004). Perawatan yang dapat dilakukan salah satunya adalah lansia yang berada dipanti jompo. Berdasarkan data yang diperoleh dari empat Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) yang berada di wilayah Pemda DKI Jakarta yaitu PSTW Cipayung, PSTW Ciracas, PSTW Cengkareng, dan PSTW Margaguna, jumlah lansia yang ada sampai bulan Oktober/ November 2013 masing-masing sebanyak 200 lansia (laki-laki 70 orang dan perempuan 130 orang), 128 lansia (laki-laki 54 orang dan perempuan 74 orang), 269 lansia (lakilaki 142 orang dan perempuan 127 orang), dan 195 lansia (laki-laki 65 orang dan perempuan 130 orang). Jumlah lansia perempuan sebagian besar lebih banyak daripada jumlah lansia laki-laki di ke empat PSTW. Masing-masing PSTW telah melakukan berbagai kegiatan seperti kesenian, keterampilan, keagamaan, tetapi tidak semua lansia dapat mengikutinya. Menurut petugas panti, belum pernah melakukan penilaian fungsi kognitif dengan MMSE (Mini Mental State Examination) dan belum ada penelitian yang dilakukan sekaligus untuk empat panti. Hal ini
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
menandakan bahwa deteksi dini demensia pada lansia belum menjadi prioritas.
METODE Jenis penelitian ini adalah non-eksperimen (observasional) dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran hubungan di antara variabel independen terhadap variabel dependen yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama tinggal di panti, tipe ketergantungan, merokok, minum beralkohol, hipertensi, diabetes, hiperkolesterol, obesitas, dan ADL lansia dengan demensia. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang berada di 4 Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Wilayah Pemda DKI Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi yaitu berusia 60 tahun ke atas, dapat membaca dan menulis, serta bersedia menjadi responden. Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah lansia yang sakit/ bedrest dan lansia yang tidak dapat berkomunikasi. Sampel penelitian didapatkan 120 lansia dari jumlah keseluruhan lansia dari 4 panti yaitu kurang lebih 520 lansia. Sebagian lansia yang tidak masuk dalam penelitian dikarenakan kurang lebih 50 % lansia ketergantungan penuh/ bed
rest/ sakit dan berjenis kelamin perempuan; ada lansia yang tidak bersedia dikarenakan mau istirahat/ tidur, sedang pergi keluar, atau karena sedang melakukan aktivitas lain seperti berkebun. Instrumen data memuat karakteristik lansia; status fungsional lansia (Basic Activity Daily Living/BADL menggunakan Katz Indeks (Katz, et.al.,1970) terdiri dari 6 item yang mengukur kemandirian dan ketergantungan lansia dalam aktivitas sehari-hari yang sifatnya dasar yaitu mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat, buang air dan makan; dan penilaian demensia menggunakan MMSE (Mini Mental State Examination) yang dimodifikasi dari Folstein, 1975 yang terdiri dari 11 item pertanyaan dengan skor tertinggi 30. Penilaiannya berupa orientasi, registrasi motorik, perhatian dan kalkulasi, recalling, bahasa dan copying. Instrumen MMSE diujicobakan terhadap 30 lansia yang memiliki karakteristik hampir sama dengan responden penelitian. Uji validitas dan reliabilitas instrumen menggunakan pearson product moment dengan hasil nilai alpha Cronbach_0,659. Uji yang digunakan seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Uji Statistik Yang Digunakan Dalam Penelitian
HASIL Tabel 2 menunjukkan mayoritas lansia berusia ≥ 65 tahun (73,3 %), laki-laki (54,2 %), tingkat pendidikan rendah (80,8 %) banyak yang tidak tamat atau hanya SD/ SMP, dan lama tinggal dipanti ≥ 1 tahun (65,8 %). Lansia menderita hipertensi (46,7 %), diabetes (12,5 %), hiperkolesterol (11,7
%), memiliki kebiasaan merokok (39,2 %), mengalami obesitas (11,7 %), mandiri sebagian (6,7 %) dan pernah minum beralkohol (10,0 %). Tabel 3. Aktivitas Kehidupan Sehari-hari Lansia (ADL) ADL (Activity of Daily Living) lansia terdiri 6 aktivitas yang dilakukan lansia sehari-hari 47
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Lansia
Tabel 3. Distribusi Karakteristik Lansia
Diagram di atas menunjukkan bahwa adanya ketergantungan lansia dalam melakukan aktivitas makan (5,0 %), berpakaian (3,3 %), ke WC (4,2 %), berpindah (4,2 %), buang air (4,2 %), dan makan (6,7 %). Demensia pada lansia Tabel 4 menunjukkan bahwa lansia yang menderita demensia sebesar 27,5 %. Sedangkan pada tabel 5 menunjukkan bahwa skor minimum penilaian demensia menggunakan MMSE (Mini Mental State Examination) adalah 17 dan skor maksimumnya adalah 30 dengan ratarata_skor_25,34.
48
Diagram 1. Distribusi ADL (Activity Daily Living) Lansia
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun) Tabel 4. Distribusi Demensia Pada Lansia Demensia 1.Ya 2.Tidak Jumlah
Frekuensi 33 87 120
Persentase (%) 27,5 72,5 100
Tabel 5. Distribusi Penilaian Demensia Pada Lansia Skor Minimum
Skor Maksimum
Ratarata Skor
95 % CI
17
30
25,34
24,74 – 25,94
Diagram 2. Distribusi penilaian MMSE lansia Diagram 2 menunjukkan penilaian demensia yang banyak tidak dapat dijawab atau dilakukan oleh lansia antara lain tidak dapat menyebutkan tahun (35,8 %); tanggal (75,0 %); nama bulan (51,7 %); dan hari (33,3 %). Begitu pula ketika ditanya keberadaannya sekarang (16,7 %); siapa nama presiden (29,2 %); dan nama kota (22,5 %). Tidak dapat menyebutkan benda pensil ketika diberikan pensil (15,0 %); tidak dapat menuliskan dua kata (58,3 %); dan tidak dapat menggambar dua segilima berpotongan (43,3 %). Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama tinggal, penyakit yang diderita (hipertensi, diabetes, hiperkolesterol), kebiasaan merokok, obesitas, tipe ketergantungan, minum beralkohol, dan ADL dengan variabel dependen yaitu demensia. Hubungan karakteristik lansia dengan demensia ditujukkan pada tabel 6. Tabel tersebut menggambarkan bahwa lansia dengan usia ≥ 65 tahun lebih banyak
mengalami demensia (31,8 %) dibandingkan dengan kelompok usia 60-64 tahun (15,6 %). Hasil uji statistik diperoleh p value= 0.127, yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara usia lansia dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa usia lansia ≥ 65 tahun mempunyai peluang 2,520 kali untuk demensia dibandingkan dengan usia 60-64 tahun. Proporsi lansia yang berjenis kelamin perempuan (29,1 %) dan laki-laki (26,2 %) mempunyai peluang yang sama untuk demensia. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,878 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan demensia, tetapi dari nilai OR diketahui bahwa lansia perempuan mempunyai peluang 1,185 kali untuk demensia dibandingkan dengan lansia lakilaki. Hasil analisis hubungan antara pendidikan dan demensia diketahui bahwa proporsi responden yang berpendidikan rendah berpeluang paling besar (33, 3 %) mengalami demensia dibandingkan yang berpendidikan tinggi (4,3 %). Tabel 6 49
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
menunjukkan hasil uji statistik yang diperoleh p value= 0,012, yang berarti ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia yang
berpendidikan rendah yaitu tidak tamat SD/ SMP dan hanya tamat SD/SMP mempunyai peluang 10,831 kali untuk demensia dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan tinggi (lulus SMA/ PT).
Tabel 6. Hubungan Karakteristik Lansia Dengan Demensia
Tabel 7. Hubungan Karakteristik Lansia Dengan Demensia
Pada tabel 7. Proporsi lansia yang menderita hipertensi mengalami demensia sebesar 30,4 50
% dibandingkan dengan yang tidak hipertensi mengalami demensia 25,0 %. Dari
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
hasil uji statistik didapatkan p value 0,652 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara hipertensi dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia hipertensi berpeluang 1,308 kali mengalami demensia. Proporsi lansia yang menderita diabetes mengalami demensia sebesar 26,7 % dibandingkan dengan yang tidak diabetes mengalami demensia 27,6 %. Dari hasil uji statistik didapatkan p value 1,000 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara diabetes dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia diabetes berpeluang 0,953 kali mengalami demensia. Proporsi lansia yang menderita hiperkolesterol mengalami demensia sebesar 21,4 % dibandingkan dengan yang tidak menderita hiperkolesterol mengalami demensia 28,3 %. Dari hasil uji statistik didapatkan p value 0,824 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara hiperkolesterol dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia hiperkolesterol berpeluang 0,691 kali mengalami demensia. Proporsi lansia yang menderita obesitas mengalami demensia sebesar 28,6 % dibandingkan dengan yang tidak obesitas mengalami demensia 27,4 %. Dari hasil uji statistik didapatkan p value 1,000 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara obesitas dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia obesitas berpeluang 1,062 kali mengalami demensia. Proporsi lansia yang memiliki kebiasaan merokok mengalami demensia sebesar 25,5 % dibandingkan dengan yang tidak merokok mengalami demensia 28,8 %. Dari hasil uji statistik didapatkan p value 0,859 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara merokok dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia perokok berpeluang 0,849 kali mengalami demensia. Proporsi lansia yang mandiri sebagian dalam melakukan aktivitas sehari-hari mengalami demensia sebesar 50,0 % dibandingkan dengan yang mandiri mengalami demensia 25,9 %. Dari hasil uji statistik didapatkan p value 0,213 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara tipe ketergantungan dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia yang mandiri sebagian berpeluang 2,862 kali mengalami demensia.
Proporsi lansia yang pernah minum beralkohol mengalami demensia sebesar 41,7 % dibandingkan dengan yang tidak minum beralkohol mengalami demensia 25,9 %. Dari hasil uji statistik didapatkan p value 0,413 yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara minum beralkohol dengan demensia. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa lansia yang pernah minum beralkohol berpeluang 2,041 kali mengalami demensia. Tabel 8 menunjukkan nilai korelasi (r) = 0,189 yang berarti hubungan kejadian demensia dengan ADL (Activity of Daily Living) seperti aktivitas mandi, berpakaian, ke WC, berpindah, buang air dan makan menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif artinya semakin bertambah berat demensianya maka semakin tinggi ketergantungannya dalam melakukan ADL. Hasil uji statistic diperoleh nilai p value = 0,038 yang berarti ada hubungan bermakna antara ADL dengan demensia. Tabel 8. Hubungan ADL lansia dengan demensia P value 0.038
Nilai r (Pearson Correlation) 0.189
N
120
Analisis Multivariat Pemilihan kandidat variabel multivariat dilakukan dengan menghubungkan semua variabel independen dengan variabel dependen menggunakan uji regresi linear ganda. Variabel independen yang menjadi kandidat untuk dimasukkan kedalam model multivariat adalah yang memenuhi syarat p value kurang dari 0,25. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan 4 variabel yang memenuhi syarat masuk ke dalam model multivariat. Adapun hasil analisis dapat dilihat pada tabel 9 bawah_ini. Tabel 9. Hasil analisis multivariat hubungan variabel independen dengan variabel dependen No 1 2 3 4
Variabel Independen Usia Tingkat pendidikan Tipe ketergantungan ADL
P value 0,127 0,012 0,213 0,038
51
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
Model Regresi Linear Ganda Dari hasil analisis multivariat dengan regresi linear ganda dihasilkan p value masingmasing variabel. Variabel yang memiliki signifikansi < 0,05 akan dikeluarkan secara bertahap, mulai dari yang p value-nya paling besar hingga terkecil. Tabel 10 menunjukkan nilai koefisien determinasi (R Square) yang menunjukkan
nilai 0,101 artinya kedua variabel independen yaitu tingkat pendidikan dan ADL dapat menjelaskan variasi variabel demensia sebesar 10,1 % dan terdapat nilai p (sig) = 0,002 pada Uji F yang berarti kedua variabel tersebut secara signifikan dapat untuk memprediksi variabel demensia. Variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap demensia adalah tingkat pendidikan yang ditunjukkan dengan nilai Beta terbesar.
Tabel 10. Model akhir regresi linear ganda Model Tingkat pendidikan ADL
B 20.019 2.165 0.419
Beta 0.258 0.159
PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 27,5 % lansia mengalami demensia dan skor minimum pada penilaian MMSE adalah 17 dari skor maksimum 30 (lihat tabel 4 dan 5). Demensia adalah suatu sindroma klinik meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan/ memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari (Brocklehurst & Allen, 1987 dalam Darmojo, 2004). Perubahan tingkah laku yang dapat terjadi akibat demensia adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, marah, melawan, apatis dan kabur dari rumah. Kondisi ini menyebabkan lansia demensia memerlukan perhatian dan perawatan yang khusus dari pemberi pelayanan (Miller, 2004). Tanda awal demensia antara lain a) gangguan daya ingat yaitu sering lupa peristiwa yang baru saja terjadi, upa janji, menanyakan atau menceritakan hal yang sama berulang kali; b) sulit melakukan aktivitas sehari-hari dengan gejala lupa cara memasak, mengoperasikan telepon, tidak dapat melakukan perhitungan sederhana dan bekerja dengan waktu yang lebih lama dari biasa; c) sulit melakukan tugas yang familiar dengan gejala sering merasa kesulitan untuk merencanakan atau menyelesaikan tugas sehati-hari, bingung cara mengemudi, sulit mengatur keuangan, sulit mengikuti 52
Sig UJI F = 0.002 0.004 0.074
R Square 0.101
95 % CI 0.696-3.633 -0.041-0.880
permainan kegemaran; d) disorientasi dengan gejala lupa akan waktu (hari, tanggal), bingung tengah berada di mana dan bagaimana bisa sampai ke sana, dan tidak tahu jalan kembali pulang ke rumah; e) kesulitan memahami visuospasial dengan gejala sulit membaca, mengukur dan menentukan jarak, membedakan warna, tidak mengenali wajah sendiri di cermin, dan menabrak cermin waktu berjalan; f) gangguan berkomunikasi dengan gejala kesulitan berbicara dan mencari kata yang tepat, seringkali berhenti di tengah percakapan dan bingung untuk melanjutkannya; g) menaruh barang tidak pada tempatnya dengan gejala lupa di mana meletakkan barang, misalnya kacamata, curiga ada yang mencuri atau menyembunyikannya; h) salah membuat keputusan dengan gejala berpakaian tidak serasi, tidak dapat merawat diri dengan baik; i) menarik diri dari pekerjaan dan aktivitas social dengan gejala tidak semangat untuk melakukan aktivitas atau hobi yang biasa dinikmati, tidak lagi senang berkumpul dengan teman-temannya; i) ada perubahan perilaku dan kepribadian dengan gejala emosi berubah secara drastis dimana lansia menjadi bingung, curiga, depresi, takut, atau tergantung pada anggota keluarga, mudah kecewa dan putus asa, baik di rumah maupun dalam pekerjaan (www.alz.org dari sehatnews.com) Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, menderita hipertensi, diabetes,
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
hiperkolesterol, obesitas, merokok, tipe ketergantungan, minum beralkohol dengan kejadian demensia pada lansia (lihat tabel 6 dan 7). Tetapi, berdasarkan nilai OR bahwa usia ≥ 65 tahun berpeluang untuk demensia dimana hasil ini mendukung hasil WHO tahun 2000 yang menyatakan bahwa prevalensi demensia terjadi pada 1 dari 10 lansia yang berumur di atas 65 tahun (12,3%), dimana insiden demensia mencapai 15%, dan meningkat dua kali setiap kenaikan umur lima tahun dan pada usia 85 tahun ke atas diperkirakan 50% lansia akan mengalami demensia. Pendapat Roan (2009, dalam Happy, 2009) juga menyatakan bahwa demensia dapat terjadi pada setiap umur lansia, tetapi lebih banyak pada lansia untuk rentang umur 65-74 tahun (5%) dan 40% bagi yang berumur >85 tahun. Rekawati (2002) yang menyatakan bahwa perempuan mempunyai risiko terjadinya kepikunan sebesar 1,393 kali atau tiga kali lipat dibandingkan dengan laki-laki dan hampir sama dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa lansia perempuan berpeluang 1,158 kali untuk terjadinya demensia. Hasil juga menunjukkan bahwa lansia hipertensi mempunyai peluang 1,308 kali untuk terjadinya demensia mendukung pendapat Ridley (2012 dalam www.wartanews.com) dari lembaga Riset Alzheimer Inggris yang mengatakan bahwa ada hubungan rokok dan tekanan darah tinggi dengan risiko penurunan kognitif yang besar dan demensia sehingga harus menyadari pentingnya untuk melakukan perubahan gaya hidup karena merokok, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi dan kelebihan berat badan adalah buruk untuk jantung. Penelitian neurology pada Mei 2011 dari www.healthokezone.com membuktikan hubungan antara BMI (Body Mass Index) atau indeks massa tubuh tinggi dan peningkatan risiko demensia dimana peneliti menemukan bahwa orang-orang dengan demensia > 70 % memiliki berat badan berlebih. Hal itu sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lansia obesitas berpeluang 1,062 kali untuk demensia.
Pada hasil menunjukkan bahwa lansia yang pernah minum beralkohol mempunyai peluang 2,041 kali untuk demensia dimana hal ini mendukung pernyataan Weyerer dari Central Institute of Mental Health di Mannheim Jerman seperti dikutip dari www.antaranews.com bahwa penyalahgunaan alkohol jangka panjang merugikan fungsi ingatan dan dapat menyebabkan penyakit neurodegeneratif dan yang mengonsumsi alkohol memiliki kecenderungan terkena demensia 30 % lebih sedikit secara keseluruhan dan 40 % lebih sedikit menderita penyakit Alzheimer daripada mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Tidak ada perbedaan signifikan yang terlihat berdasarkan jenis minuman beralkohol yang dikonsumsi. Ada hubungan bermakna antara ADL dengan demensia (p value = 0,038) dimana hasil ini menyatakan bahwa semakin lansia mengalami demensia yang berat maka semakin tinggi ketergantungannya dalam melakukan ADL (lihat tabel 8). Hasil ini sesuai dengan penelitian Muharyani (2010) yang mendapatkan hasil bahwa pada lansia demensia terdapat gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) dalam hal aktivitas mandi (30,3 %); berpakaian (42,4 %); ke WC/ toilet (48,5 %); berpindah (54,5 %); buang air (30,3 %), dan makan (54,5 %). Penelitian Maryam (2012) juga menyatakan bahwa proporsi lansia yang memerlukan bantuan dalam BADL yaitu mandi, berpakaian, ke WC, berpindah, buang air dan makan, berpeluang lebih besar (63,8 %) menimbulkan beban dalam merawat lansia dibandingkan lansia yang mandiri (47,5 %) karena ada hubungan bermakna antara Basic ADL dengan beban merawat dan lansia yang memerlukan bantuan dalam Basic ADL berpeluang 1, 512 kali menimbulkan beban tinggi bagi keluarga dalam merawat lansia dibandingkan dengan lansia yang mandiri dalam melakukan ADL. Ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan demensia (p value = 0,012) dimana lansia yang berpendidikan rendah mempunyai peluang 10,831 kali untuk terjadinya demensia dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan tinggi (lihat tabel 6). Hasil ini memperkuat hasil penelitian Rekawati (2002) yang menyatakan bahwa lansia yang berpendidikan rendah 53
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun)
mempunyai risiko terjadinya demensia sebesar 2,025 kali lebih dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan tinggi. Begitu pula menurut Rolstad dalam www.108csr.com bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mampu mentolerir lebih banyak penyakit di otak serta mencegah timbulnya demensia dan yang berpendidikan tinggi tidak mempunyai risiko demensia dimana menunjukkan tanda-tanda fungsi saraf yang lebih baik di dalam otaknya dibandingkan dengan orang yang berpendidikan_lebih_rendah.
KESIMPULAN Hasil penelitian didapatkan bahwa usia ≥ 65 tahun mempunyai peluang 2,520 kali untuk demensia dibandingkan dengan usia 60-64 tahun dan lansia perempuan mempunyai peluang 1,158 kali untuk demensia dibandingkan dengan lansia laki-laki. Begitu pula lansia yang hipertensi mempunyai peluang 1,308 kali untuk demensia dibandingkan dengan lansia yang tidak hipertensi dan lansia yang obesitas mempunyai peluang 1,062 kali untuk demensia. Ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dan ADL dengan demensia. Hubungan kejadian demensia dengan ADL berpola positif dimana semakin bertambah berat demensianya maka semakin tinggi ketergantungannya dalam melakukan ADL dan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap demensia adalah tingkat pendidikan.
SARAN Dinas Sosial dapat melakukan sosialisasi tentang demensia sebagai gambaran lansia di Panti, membuat kebijakan terkait standar pencegahan demensia pada lansia, dan mengadakan diklat bagi perawat dan pekerja sosial terkait penanganan demensia. Pihak panti secara berkala melakukan cek kesehatan lansia seperti mengukur tekanan darah, gula darah, kolesterol, BB/ TB, diet seimbang, dan kebiasaan merokok; memonitor dan membantu ADL lansia yang mengalami ketergantungan; melakukan kegiatan aktivitas fisik dan keterampilan bagi lansia; mencegah jatuh/ injury dengan 54
memperhatikan kondisi lingkungan lansia; menambah alat bantu pengingat di setiap kamar seperti kalender, jadwal harian, jam, foto-foto; bekerjasama dengan mahasiswa praktik untuk melakukan kegiatan yang membangkitkan minat lansia; membuat kelompok pendukung/ self help group dimana lansia dalam kelompok dapat saling membantu dan mengingatkan satu sama lain; serta melakukan monitoring dan evaluasi terkait perkembangan demensia pada lansia melalui penilaian MMSE. Penelitian ini dapat berkembang dengan melakukan penelitian kualitatif seperti pengalaman petugas panti dalam merawat lansia dengan demensia melalui studi fenomenologis.
DAFTAR PUSTAKA 1. Darmojo dan Martono. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2. Depkes RI. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. 2001. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Keluarga. 3. Happy, Sahar dan Gayatri. Perbedaan Karakteristik Lansia dan Dukungan Keluarga terhadap Tipe Demensia pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo. Tesis tidak dipublikasikan. 2009. Universitas Indonesia. 4. Hardywinoto dan Setiabudhi. Panduan Gerontologi. Tinjauan dari Berbagai Aspek. 2005. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 5. Maryam, Rosidawati, Riasmini dan Suryati. Hubungan Satus Kesehatan Keluarga dengan Beban Keluarga Merawat Lanjut Usia di Wilayah Jakarta Timur. Jurnal Madya, 2012; No. 2, (114-121). 6. Miller, C.A. Nursing for wellness in older adult: theory and practice. 4th Edition. 2004. Philadelphia: Lippincot. 7. Muharyani, P.W. Demensia dan gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) lansia di PSTW Wargatama Inderalaya. Jurnal IKM, 2010; Vol. 1 No. 1. 8. Pranarka, K. Penerapan Geriatrik Kedokteran menuju Usia Lanjut yang Sehat. Universa Medicina, 2006; Vol. 25, No.4. 9. Rekawati, E. Faktor-faktor Sosiodemografi yang Berhubungan dengan terjadinya Kepikunan pada Usia Lanjut di Indonesia berdasarkan Data Susenas
Hubungan Tingkat Pendidikan…….(Raden Siti Maryam, Tien Hartini, Sumijatun) tahun 2001. Tesis tidak dipublikasikan. 2002. Universitas Indonesia. 10. Setyopranoto dan Lamsudin. Kesepakatan penilaian Mini Mental State Examination (MMSE) pada penderita stroke iskemik akut di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Berkala NeuroSain, 1999; Vol.1,1,73-76. 11. Sri Kuntjoro, Z. Gangguan Psikologis dan Perilaku pada Demensia dari http://www.epsikologi.com/epsi/search.asp. Diakses tanggal 13 Desember 2013. 12. Turana, Mayza dan Luwempouw. Pemeriksaan Status Mini Mental pada Usia Lanjut di Jakarta. Medika, 2004; Vol. 30, 9, 563-568. 13. Wanita lebih berisiko demensia dari http://www.tempo.co/read/news/2012//Wani ta-Lebih-Berisiko-Terkena-Demensia, diakses tanggal 27 November 2013.
14. Manfaat pendidikan tinggi bisa mencegah pikun dari http://www.108csr.com/, diakses tanggal 27 November 2013. 15. Alkohol mencegah demensia? Dari http://www.antaranews.com/print/259791/ diakses tanggal 28 November 2013. 16. Prevalensi demensia akan meningkat drastis dari http://www.dw.de/prevalensi-demensiaakan-meningkat-drastis/a-15974243, diakses tanggal 28 November 2013. 17. Bahaya merokok bisa memuat otak busuk dari http://www.wartanews.com/lifestyle/ diakses tanggal 28 November 2013. 18. 10 gejala awal demensia. http://www.sehatnews.com/mobile/disease/2 1199-kenali-10-gejala umum-demensiaalzheimer.html dari www.alz.org, diakses tanggal 6 Desember 2013. 19. WHO. 2000. Diakses dari www.pdpersi.co.id pada tanggal 11 Juni 2013.
55
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
PENYEBAB KEMATIAN MATERNAL DI KABUPATEN MALANG PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010 Cause of Maternal Mortality in Malang District East Java Province in 2010 Teti Tejayanti*, Dina Bisara, Lamria Pangaribuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI *email :
[email protected]
Abstract Background: Maternal mortality remains high in Indonesia. The highest cause of maternal death is direct cause, such as postpartum hemorrhage and eclampsia. Malang district is the one with high maternal mortality in East Java Province. Objective: This study aims to know the cause of maternal mortality in Malang district East Java Province in 2010 Methods: It is a descriptive study. Maternal mortality data obtained from the Study of follow-up data of population census in 2010. Sample of this study is all maternal deaths in Malang district, 49 maternal deaths. Result: Maternal mortality ratio in Malang district in 2010 amounted to 92 per 100.000 live births. The highest cause of maternal death is direct cause (79,6%). The specific cause of maternal death in Malang district is pregnancy induced hypertension (24%), other unspecified cause (15%), and postpartum hemorrhage (4%). Conclusion: Maternal mortality in Malang district East Java Province remains high. The highest cause of maternal mortality is pregnancy induced hypertension. Preventive and curative actions are needed based on maternal cause. Key words: maternal mortality, pregnancy induced hypertension, post partum hemorrhage Abstrak Latar belakang: Angka kematian ibu masih tinggi di Indonesia. Penyebab kematian ibu yang terbesar adalah yaitu perdarahan dan eklampsia. Kabupaten Malang merupakan kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan kematian ibu yang cukup tinggi. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur tahun 2010. Metode: Sumber data yang digunakan yaitu dari Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu Sensus Penduduk 2010 (STLKI SP 2010) yang kemudian dianalisa deskritif. Jumlah sampel adalah seluruh kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur, sebesar 49 kasus. Hasil: Rasio kematian ibu di Kabupaten Malang tahun 2010 sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu terbesar adalah direct cause (79,6%). Berdasarkan pengelompokkan penyebab kematian ibu menurut ICD 10 WHO, maka penyebab terbesar kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur adalah hipertensi dalam kehamilan (24%), lalu penyebab lain yang tidak spesifik (15%), dan perdarahan post partum sebesar (4%). Kesimpulan: Kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur masih tinggi. Penyebab kematian tertinggi adalah hipertensi dalam kehamilan. Diperlukan upaya preventif dan kuratif berdasarkan penyebab kematian. Kata kunci: kematian maternal, hipertensi dalam kehamilan, perdarahan post partum
1
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
PENDAHULUAN Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. 1 Tingginya derajat kesehatan reproduksi pada perempuan ditandai dengan menurunnya angka kematian ibu (AKI). AKI di Indonesia masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, yakni sebesar 359/100.000 kelahiran 2 hidup. Tingginya AKI tersebut menunjukkan bahwa derajat kesehatan di Indonesia masih belum baik. Kematian maternal adalah kematian yang berlangsung selama kehamilan, pada saat persalinan, dan setelah persalinan sampai batas waktu 42 hari (postpartum), tetapi bukan karena kecelakaan. 3 Penyebab medis kematian ibu pada umumnya pada masa persalinan akibat komplikasi. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, penyebab kematian ibu yang terbesar adalah perdarahan (28%), lalu eklampsia (24%), infeksi (11%), lain-lain (11%), komplikasi masa puerperium (8%), abortus (5%), persalinan lama/macet (5%), dan emboli (3%). 4 Sementara penyebab non medis kematian ibu diakibatkan karena empat terlambat dan empat terlalu. Empat terlambat yaitu terlambat mengetahui tanda bahaya, mengambil keputusan merujuk, mencapai pelayanan, memperoleh pelayanan. Empat terlalu yaitu terlalu muda, tua, sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kehamilan/persalinan. Kehamilan merupakan pra kondisi yang penting pada kematian maternal, tanpa kehamilan maka kematian maternal tidak akan terjadi. Komplikasi kehamilan sebagai variabel terpengaruh pada kematian maternal diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Penyebab obstetrik langsung yaitu karena komplikasi pada saat kehamilan, melahirkan dan periode
postpartum, termasuk komplikasi aborsi. Penyebab obstetrik tidak langsung yaitu kondisi keadaan kesehatan yang buruk pada saat kehamilan atau melahirkan. Hampir tiga perempat dari seluruh kematian maternal di negara berkembang disebabkan oleh komplikasi obstetrik langsung dan seperempat disebabkan oleh komplikasi tak langsung. 5 Menurut hasil Studi Tindak Lanjut Sensus Penduduk 2010, Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah kematian ibu yang besar, yakni 507 kematian ibu. Dari 14 kabupaten/kota yang dijadikan sampel, Kabupaten Malang menjadi salah satu kabupaten dengan jumlah kematian yang tinggi setelah Kabupaten Jember. Laporan USAID (United States Agency for International Development) menyebutkan juga bahwa angka kematian ibu di kabupaten Malang masih tinggi, sehingga kabupaten ini menjadi salah satu kabupaten yang menjadi pilot project program Sutra EMAS (Expanding Maternal and Neonatal 6 Survival). Penyebab kematian ibu perlu diketahui guna menentukan upaya yang efektif dalam penurunan kematian ibu. Hasil analisa ini akan menjelaskan lebih lanjut penyebab kematian ibu yang terjadi di Kabupaten Malang. METODE Sampel menggunakan data sekunder, yaitu data Studi Tindak Lanjut Kematian Maternal Sensus Penduduk 2010 (STLKM SP 2010) dan dilakukan secara cross sectional. Studi tersebut, merupakan hasil tindak lanjut sensus penduduk 2010 untuk mengumpulkan informasi kematian ibu. STLKM SP 2010 dilakukan selama periode 17 bulan. Dari 8.464 kasus pregnancy related death dalam SP 2010, diperoleh 3.384 kasus kematian ibu yang didefinisikan sebagai maternal death, yang berlokasi di 134 kabupaten/kota. Diganosis penyebab
2
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
kematian dilakukan dengan teknik autopsy verbal oleh dokter. 7 Pengelompokan penyebab penyakit didasarkan pada direct dan indirect cause, tabulasi mortalitas WHO dari International Classifications of Disease 10 (ICD 10).8 Untuk Provinsi Jawa Timur, dipilih 14 kabupaten/kota, dimana salah satunya adalah Kabupaten Malang. Jumlah kematian ibu di Kabupaten Malang adalah 49 kasus. Jumlah kematian tersebut menjadi sampel dalam analisis ini. Analisis data dalam studi ini berupa distribusi frekuensi penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Tabel 1. Proporsi penyebab kematian ibu Penyebab kematian ibu Direct causes (O00-O95) Indirect cause (O98-O99) Total
n 39 10
% 79.6 20.4
49
100.0
HASIL Karakteristik umum ibu Distribusi frekuensi karakteristik ibu meninggal dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Grafik 1. Distribusi frekuensi ibu meninggal menurut karakteristik di Kabupaten Malang
Seluruh ibu yang meninggal di Kabupaten Malang telah menikah dan mayoritas berusia produktif pada rentang usia 20 hingga 35 tahun (69,4%), dan memiliki kurang dari 3 anak (66,7%) (Grafik 1). Ibu perdesaan (63,3%). Pendidikan ibu cukup bervariasi, walaupun lebih dari 50% adalah tidak sekolah atau tamat sekolah dasar (SD). Jumlah kematian ibu Kematian ibu sebesar 49 kasus untuk 17 bulan, untuk 12 bulan diperhitungkan ada 34 kematian dengan asumsi kejadian kematian konstan setiap bulannya. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2010 memberikan jumlah kelahiran hidup untuk Kabupaten Malang sebesar 37.738, sehingga diperoleh rasio kematian ibu untuk Kabupaten Malang tahun 2010 sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu Pada tabel 1, ada 79,6% kematian ibu disebabkan oleh grup penyebab langsung. Artinya penyebab kematian ibu banyak terjadi akibat komplikasi kehamilan selama fase kehamilan, persalinan dan nifas. Untuk mendapatkan penyebab yang spesifik, digunakan kelompok penyebab kematian ibu berdasarkan ICD 10 WHO. Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab medis tertinggi kematian ibu di Kabupaten Malang adalah kelompok oedema, protein uri, and hypertensive disorder yang selanjutnya akan disebut sebagai hipertensi dalam kehamilan (HDK), yang besarnya 49%, diikuti oleh komplikasi lainnya sebesar 30,6% dan perdarahan post partum sebesar 8,2%. Kelompok komplikasi lainnya atau complication predominantly related puerperium and other conditions terdiri dari beberapa penyebab yang tidak sama patofisionlogisnya dan yang terbesar adalah diseases of the circulatory system complicating pregnancy, childbirth and the puerperium sebesar 40%, lalu puerperal sepsis sebesar 26,7%, dan Tuberculosis sebesar 13,3% (Tabel 3).
3
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.) Tabel 2. Proporsi penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 (Data SP 2010) Underlying cause of death Pregnancy with abortive outcome Odema, protein uri, and hypertensive disorder (hipertensi dalam kehamilan) Placenta previa, premature separation of placenta and antepartum hemorrhage Other maternal care related to fetus and amniotic cavity and possible delivery problems Postpartum hemorrhage Other complications of pregnancy and delivery Complication predominantly related puerperium and other conditions Total
% 2 49 2 4.1 8.2 4.1 30.6
n 1 24 1 2 4 2 15
100
49
Tabel 3. Penyebab kematian ibu pada kelompok Complication predominantly related puerperium and other conditions Kode Complication predominantly related puerperium and other conditions n % O85 O90.4 O98.0 O98.5 O99.4 O99.5
Puerperal sepsis Postpartum acute kidney failure Tuberculosis complicating pregnancy, childbirth and the puerperium Other viral diseases complicating pregnancy, childbirth and the puerperium Diseases of the circulatory system complicating pregnancy, childbirth and the puerperium Diseases of the respiratory system complicating pregnancy, childbirth and the puerperium
4 1 2 1
26.7 6.7 13.3 6.7
6
40
1
6.7
Total
15
100
Karakteristik ibu berdasarkan penyebab kematian Dari tabel 4, terlihat bahwa ibu yang meninggal akibat hipertensi dalam kehamilan di Kabupaten Malang lebih banyak pada kelompok umur lebih dari 35 tahun (66,7%), dibandingkan dengan kelompok umur kurang dari 20 tahun (50%), dan kelompok umur 20 hingga 35 tahun (44,1%). Sedangkan pada ibu yang meninggal akibat perdarahan post partum, lebih banyak pada kelompok umur kurang dari 20 tahun, sebesar 16,7%. Pada kelompok penyebab kematian lainnya, hasilnya bervariasi pada tiap kelompok umur dan tetapi lebih banyak pada umur kurang dari 35 tahun. Ibu yang meninggal akibat HDK, sebanyak 52% berpendidikan SMP/SMA. Pada ibu dengan perdarahan post partum, 14,8% berpendidikan tidak sekolah atau tamat SD (Tabel 4).
Hasil studi ini juga memperlihatkan ibu meninggal karena HDK, mempunyai persentase lebih tinggi pada yang memiliki anak lebih dari 4 (75%), dibandingkan yang memiliki anak 1-2 (41,7%) dan anak 3-4 (46,9%). Begitupula dengan ibu meninggal karena perdarahan post partum. (Tabel 4). Dilihat berdasarkan tempat meninggal, tampak bahwa mayoritas ibu meninggal di rumah sakit. Ibu meninggal akibat HDK, di di RS swasta (58,3%) lebih tinggi sedikit dibanding yang meninggal di RS pemerintah (56%). Pada ibu yang Ibu yang meninggal akibat perdarahan post partum 8,3% meninggal di RS Swasta sedangkan satu orang ibu meninggal dalam perjalanan (lainnya). Berbeda dengan hasil tersebut, ibu yang meninggal karena komplikasi lainnya, lebih banyak yang meninggal di Puskesmas dan di rumah sendiri (57,1%) (Tabel 4).
4
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
Tabel 4. Karakteristik ibu meninggal berdasarkan penyebab kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Karakterstik Ibu 1* 2* 3* 4* 5* 6* 7* Total Umur · <20 tahun · 20-35 tahun · >35 tahun Tingkat pendidikan
0 0 11.1
50 44.1 66.7
0 2.9 0
0 5.9 0
16.7 8.8 0
0 5.9 0
33.3 32.4 22.2
100.0 (N=6) 100.0 (N=34) 100.0 (N=9)
· Tidak sekolah/Tamat SD · Tamat SMP/SMA · Tamat PT Paritas
0 4.8 0
44.4 52.4 100
3.7 0 0
3.7 4.8 0
14.8 0 0
3.7 4.8 0
29.6 33.3 0
100.0 (N=27) 100.0 (N=21) 100.0 (N=1)
· 1-2 anak · 3-4 anak · >4 anak Daerah
0 8.3 0
46.9 41.7 75
0 8.3 0
3.1 8.3 0
9.4 8.3 0
3.1 0 25
37.5 25 0
100.0 (N=32) 100.0 (N=12) 100.0 (N=4)
· Perkotaan · Perdesaan Tempat meninggal
5.6 0
50 48.4
0 3.2
11.1 0
0 12.9
0 6.5
33.3 29
100.0 (N=18) 100.0 (N=31)
0 8.3 0 0 0
56 58.3 0 0 28.6
0 8.3 0 0 0
0 8.3 100 0 0
8 8.3 0 0 0
4 0 0 0 14.3
32 8.3 0 100 57.1
100.0 (N=25) 100.0 (N=12) 100.0 (N=1) 100.0 (N=7) 100.0 (N=7)
· · · · ·
RS Pemerintah RS Swasta RS Bersalin Puskesmas Rumah Sendiri
0 50 0 0 50 0 0 100.0 (N=2) · Lainnya *Keterangan : 1. Pregnancy with abortive outcome, 2. Oedema, protein uri, and hypertensive disorder (HDK), 3. Placenta previa, premature separation of placenta and Antepartum haemorrhage, 4. Other maternal care related to fetus and amniotic cavity and possible delivery problems, 5. Postpartum haemorrhage (PPP), 6. Other complications of pregnanct and delivery, 7. Complication predominantly related puerperium and other conditions.
Informasi tempat ibu meninggal yang agak berbeda diperoleh dari data Riskesdas 2010, dimana ibu meninggal di Kabupaten Malang, lebih banyak di praktek bidan (66,7%) dan Rumah Sakit Pemerintah (51%) 2, sebagai berikut pada grafik 2: Kematian ibu dapat dicegah maupun dikurangi bila diketahui komplikasi yang akan terjadi. Upaya yang dilakukan adalah melakukan ANC dengan teratur sehingga dapat dideteksi penyakit sedini mungkin. Perilaku ANC dapat diperoleh melalui data
Grafik 2. Tempat meninggal ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur
5
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
Riskesdas 2010. Informasi mengenai ANC menunjukkan persentase ibu meninggal yang tidak ANC lebih tinggi dibanding persentase ibu yang masih hidup tidak ANC dan sebaliknya, ibu yang hidup mempunyai persentase ANC lebih tinggi dibanding ibu yang meninggal. Hasil dapat dilihat pada grafik 3:
Grafik 3. Kunjungan ANC berdasarkan Data SP 2010 dan Data Riskesdas 2010 di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur ANC yang berkualitas dapat menurunkan kematan ibu. Salah satu pemeriksaan pada ANC adalah pemeriksaan tekanan darah. Hasil dari Riskesdas 2010 dengan STLKM SP 2010, ternyata persentase pemeriksaan tekanan darah di Kabupaten Malang sudah menunjukkan persentase yang baik, dapat dilihat pada grafik 4:
Grafik 4. Pemeriksaan tekanan darah di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur
Pada ANC, selain pemeriksaan tekanan darah juga dilakukan pemeriksaan urin. Hasil yang diperoleh dari Riskesdas 2010 dan STLKM SP 2010, sama-sama menginformasikan bahwa ibu yang meninggal maupun ibu yang hidup, persentase tidak dilakukan pemeriksaan urin selama kehamilan cukup tinggi. Hasil dapat dilihat pada grafik 5.
Grafik 5. Pemeriksaan urin di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur PEMBAHASAN Angka kematian ibu digunakan sebagai parameter utama keberhasilan dari layanan kesehatan ibu. Hasil studi ini mendapati bahwa angka kematian ibu di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil tersebut sedikit berbeda dengan hasil pada Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, yaitu jumlah kematian ibu di Kabupaten Malang sebesar 32 kematian 9, dengan demikian perolehan angka kematian ibu dari Dinas Kesehatan, tentu lebih kecil dibandingkan dengan studi ini. Hal ini mungkin terjadi karena underreporting. Pelaporan kematian ibu cenderung underreporting dan belum menggambarkan keadaan sebenarnya di populasi, sebab sebagian besar kematian yang terlaporkan adalah berasal dari pelayanan kesehatan, sedangkan kematian di komunitas sering kali tidak tercatat. Sehingga diperlukan upaya
6
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
lebih baik lagi dalam melakukan screening dan pencatatan kematian ibu. Menurut Berg (1998), ada beberapa sumber informasi kasus kematian ibu, yaitu: 1) Akta kematian, yaitu catatan vital sebagai landasan surveilans epidemiologi kematian ibu. Secara teori, temuan kematian ibu seharusnya mudah jika setiap kematian didaftarkan dan memiliki sebab kematian yang akurat tercantum dalam akta kematian. 2) Pencatatan RS atau fasilitas kesehatan. Pada umumnya catatan pelayanan kesehatan berisi informasi berharga mengenai penyebab medis kematian. 3) Identifikasi kematian masyarakat. Kematian ibu yang terjadi di luar pelayanan kesehatan adalah hal yang paling sulit untuk diidentifikasi dan memerlukan pendekatan kreatif. Namun demikian, penting untuk dilakukan identifikasi, khususnya di wilayah dimana persalinan dilakukan di rumah. 4) Sistem surveilans formal. Kematian wanita usia reproduksi atau karena kehamilan dan komplikasinya terdapat pada akta kematian yang harus dilaporkan kepada sistem surveilans. Jika sistem itu berfungsi sebagaimana yang direncanakan, sistem ini bisa mengatasi kelemahan yang berkaitan dengan metode identifikasi kematian.10 Upaya program dalam menurunkan kematian ibu dengan ANC yang berkualitas dan persalinan di fasilitas kesehatan. Harapannya komplikasi atau penyakit dapat dideteksi lebih dini dan dapat ditangani secara cepat. Pada negara-negara maju, kejadian kematian lebih banyak di rumah sakit, oleh karena bila terjadi komplikasi sudah seharusnya mendapatkan penanganan ataupun layanan medis di rumah sakit. Secara global, 80% penyebab kematian ibu merupakan penyebab langsung yang berupa komplikasi selama kehamilan, perslinan dan nifas. Berdasarkan laporan UNICEF dan NCMH di Pakistan kurang dari 30% wanita hamil yang mendapatkan ANC dan 95% melahirkan di rumah, kedua permasalahan tersebut menyumbang tingginya penyebab langsung sebagai penyebab kematian ibu di Pakistan.11
Sementara di Kabupaten Malang, menurut data studi tindak lanjut SP 2010, ibu yang meninggal di rumah tercatat sebanyak 14,3% dan menurut data Riskesdas 2010 pada ibu yang masih hidup melahirkan di rumah sebanyak 33%. Artinya, hasil ini sudah lebih baik dibandingkan dengan di Negara Pakistan, sehingga seharusnya kematian ibu karena penyebab langsung persentasenya lebih kecil. Sementara dalam grafik 3, tampak bahwa kunjungan ANC menurut Data SP 2010 dan Riskesdas 2010 menunjukkan persentase yang cukup baik yaitu lebih dari 65%, walaupun angka ini masih jauh dari standar kunjungan ANC yaitu 100%. ANC dapat membantu dalam mendeteksi adanya komplikasi pada ibu semasa hamil, sehingga munculnya komplikasi saat persalinan seharusnya dapat diwaspadai. Menurut penelitian Utami (2011), ibu hamil yang melakukan ANC minimal empat kali memiliki peluang dua kali lebih besar untuk melahirkan pada tenaga kesehatan daripada ibu hamil dengan ANC kurang dari empat kali.6 Selain dapat melakukan deteksi dini adanya komplikasi, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih juga dapat membantu meminimalkan kematian ibu. Studi ini juga menunjukkan bahwa hipertensi dalam kehamilan menjadi penyebab tertinggi dari kematian ibu di Kabupaten Malang, dengan persentase sebesar 24%. Diikuti oleh penyebab lain yang tidak spesifik sebesar 15%, dan perdarahan post partum sebesar 4%. Hasil studi ini tidak terlalu berbeda dengan pola penyebab kematian ibu di Provinsi Jawa Timur, yaitu eklampsia dan perdarahan (26,96%), penyebab lain (26,09%), penyakit jantung (13,91%), dan infeksi (6,09%).9 Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan, dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun, ada yang tidak dapat kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat jika hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil.4
7
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
Pada dasarnya kematian ibu akibat hipertensi dan perdarahan post partum merupakan komplikasi yang dapat dicegah. ANC merupakan salah satu pelayanan yang diberikan pada ibu hamil. Seharusnya seluruh ibu hamil yang datang ke pelayanan kesehatan mendapatkan pemeriksaan terkait hipertensi, seperti pemeriksaan tekanan darah dan urin. Berdasarkan data SP 2010 dan Riskesdas 2010, persentase pemeriksaan tekanan darah pada ibu hamil di Kabupaten Malang sudah baik, yaitu lebih dari 80%. Pemeriksaan tekanan darah pada masa hamil seharusnya dapat mendeteksi adanya hipertensi pada ibu, sehingga upaya pencegahan terjadinya komplikasi ketika bersalin atau pada masa nifas dapat dicegah. Hanya saja diperlukan pengawasan dalam peralatan yang digunakan dan tenaga pemeriksa tekanan darah, sehingga hasilnya benar-benar dapat mendeteksi adanya hipertensi. Berbeda dengan pemeriksaan tekanan darah, persentase pemeriksaan urin lebih kecil, yaitu 60% (Riskesdas 2010). Pemeriksaan urin ini penting untuk mengetahui adanya protein dalam urin dan udem. Dalam studi ini, perdarahan post parum berkontribusi sebesar 4% terhadap kematian ibu di Kabupaten Malang. Secara global, 25% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan post partum.12 Komplikasi tersebut memang sulit untuk diprediksi. Tetapi upaya pencegahan melalui penyediaan darah dan deteksi dini terhadap terjadinya anemia selama kehamilan dapat membantu mencegah terjadinya perdarahan post partum. Selain penyebab kematian ibu, studi ini juga memberikan gambaran karakteristik ibu yang meninggal. Mayoritas ibu berada pada usia produktif yaitu 20 hingga 35 tahun. Tetapi pada ibu yang meninggal akibat hipertensi, lebih banyak pada usia lebih dari 35 tahun, sedangkan untuk ibu yang meninggal akibat perdarahan post partum lebih banyak meninggal pada usia kurang dari 20 tahun. Risiko ibu untuk mengalami hipertensi dan anemia sebenarnya meningkat seiring dengan
meningkatnya usia.13 Tetapi perubahan usia menikah yang semakin muda sehingga risiko terhadap kematian juga meningkat. Pada ibu yang menikah di bawah usia 20 tahun risiko kematiannya meningkat dua hingga lima kali.14 Selain itu, rahim dan panggul yang belum mencapai ukuran dewasa, akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan lama, yang juga memiliki risiko terhadap terjadinya perdarahan.15 Pendidikan yang rendah menjadi karakteristik dari ibu yang meninggal dalam studi ini. Berdasarkan penelitian Sinaga (2007), pendidikan yang rendah pada ibu dan ketidaktahuan masyarakat menyebabkan terjadinya keterlambatan, seperti terlambat mengenal tanda bahaya, mengambil keputusan merujuk, mencapai pelayanan, dan memperoleh pelayanan.16 Demikian halnya penelitian Firani di Jawa Timur, disebutkan bahwa ibu dengan pendidikan yang rendah cenderung untuk memilih dukun sebagai penolong persalinan sebesar 38,3%.17 KESIMPULAN Kematian ibu di Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur masih tinggi yaitu 34 kematian ibu dengan ratio kematian ibu sebesar 92 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian tertinggi adalah hipertensi dalam kehamilan, diikuti oleh penyebab lain yang tidak spesifik, dan perdarahan post partum. SARAN Diperlukan upaya preventif dan kuratif berdasarkan penyebab kematian. Pada hipertensi dalam kehamilan, perlu peningkatan pemeriksaan urin dan tekanan darah yang lebih akurat, sehingga adanya riwayat hipertensi pada ibu dapat terdeteksi. Demikian halnya dengan upaya kuratif bagi ibu dengan perdarahan. Ketersediaan darah yang cukup akan sangat membantu mencegah kematian ibu akibat perdarahan. Selain itu, upaya deteksi dini adanya anemia pada ibu hamil dan peningkatan kontrol terhadap
8
Penyebab Kematian Maternal…….(Teti Tejayanti, Dina Bisara, Lamria P.)
konsumsi tablet Fe pada ibu hamil juga dapat mencegah terjadinya kematian ibu.
8.
UCAPAN TERIMAKASIH Kami ucapkan terimaksih kepada Kepala Badan Litbangkes, Bapak Trihono yang telah mendukung dan mengarahkan kegiatan STLKM SP 2010 dan Riskesdas 2010, serta Tien Afifah sebagai penanggung jawab kegiatan STLKM SP 2010, sehingga kami dapat menggunakan dan menganalisis penyebab kematian.
9.
10.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
WHO, Reproductive Health, 2006. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI. 2010. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), BKKBN, Kementrian Kesehatan, ICF internasional, USAID. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. 2013, Jakarta, Indonesia. World Health Organization (WHO). Dibalik Angka. Pengkajian Kematian Maternal dan Komplikasi untuk Mendapatkan Kehamilan yang Lebih Aman. WHO. 2007. Jakarta Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Jakarta Wignjosastro. Ilmu kebidanan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1992. Jakarta Utami, Dwicahyanti. Pengaruh pemeriksaan kehamilan terhadap pemilihan penolong persalinan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2011. Jakarta
11.
12.
13.
14.
15. 16.
17.
United States Agency for International Development (USAID). Kematian ibu hamil dan bayi ditekan dengan Sutra Emas. Diunduh dari: http://www.selamat kanibudanbayi.org/index.php?option=com_co ntent&view=article&id=159%3Akematianibu-hamil-dan-bayi-ditekan-denga n-sutraemas&catid=47%3Acollection&I temid=147&lang=en (Diunduh: 30 Oktober 2012) World Health Organization (WHO), International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, ICD 10, Geneva, 2005 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2011. Jawa Timur Berg, Cynthia, et al. Guidelines for Maternal Mortality Epidemiological Surveillance. 1998. Washington D.C World Health Organization (WHO). Reduction of maternal mortality. A joint WHO, UNFPA, UNICEF, World Bank Statement. 1995. Geneva Rahim, Rehana et al. An analysis of direct cause of maternal mortality. 2006; 20 (1): 8691 Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan. 1997. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Pedak, Mustamir. Petunjuk lengkap dan praktis KB alami. 2011. Jogjakarta: Laksana Sinaga, Masrida. Beberapa faktor sosial demografi yang berhubungan dengan tingginya angka kematian ibu di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Media Kesehatan Masyarakat. 2007; 3 (2) Firani, Novi Khila. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan perilaku dalam memilih penolong persalinan. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
9
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI A. Jurnal kesehatan reproduksi (Journal of Reproductive Health) menerima naskah ilmiah hasil penelitian, investigasi, atau review hasilhasil penelitian yang meliputi berbagai aspek mengenai kesehatan ibu, kesehatan anak, kesehatan reproduksi, remaja, dan lanjut usia, keluarga berencana, infeksi menular seksual, HIV-AIDS, pencegahan dan penanggulangan aborsi, masalah gender, infertilitas/fertilitas, maupun kesehatan reproduksi dalam hal klinis/ kedokteran. B. Naskah dikirimkan kepada Redaksi Jurnal Kesehatan Reproduksi dengan alamat: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 atau melalui email kepada
[email protected] dan turut menyertakan hard copy kepada redaksi. C. Komponen naskah: 1. Naskah diketik spasi 1,5 dengan huruf TimesNew Roman ukuran font 11 2. Panjang naskah: 14 – 18 halaman dengan jenis kertas HVS A4 3. Judul naskah 4. Abstrak 5. Naskah bisa dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris 6. Mencantumkan identitas penulis; alamat, nomor telpon, dan e_mail Naskah menggunakan bahasa tulis ilmiah sesuai kaidah Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang baik dan benar. D. Sistematika Penulisan Artikel Jurnal Kesehatan Reproduksi: 1. JUDUL (Bahasa Indonesia diikuti Bahasa Inggris tidak lebih dari 15 kata, disertai identitas penulis) 2. ABSTRAK (Bahasa Inggris diikuti Bahasa Indonesia, terdiri dari 150 – 200 kata yang mencakup: Latar belakang (Background), Tujuan (Objective), Metode (Methods), Hasil (Result), dan Kesimpulan (Conclusions), dilengkapi 3 – 5 kata kunci) 3. PENDAHULUAN meliputi latar belakang, tinjauan pustaka singkat dan relevan, serta tujuan penelitian. 3. METODE meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul data, dan prosedur analisis data. 4. HASIL meliputi temuan penelitian yang disajikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik, atau diagram tanpa pendapat/argumen dari penulis. 5. PEMBAHASAN meliputi uraian argumen-
6.
7. 8. 9. E.
tatif hasil penelitian dibandingkan dengan teori/temuan terdahulu yang relevan. KESIMPULAN disampaikan dalam bentuk narasi. Kesimpulan hendaknya menjawab masalah/tujuan penelitian dan tidak melampaui kapasitas temuan dan bukan ringkasan yang bersifat umum. SARAN Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan serta subtantif. UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA
Aturan penulisan daftar pustaka sesuai Vancouver Style. Rujukan dalam artikel diikuti dengan nomor urut sesuai urutan pemunculan dalam naskah. Nomor rujukan dalam naskah dituliskan sebagai superscript. Rujukan diutamakan yang terkini, dengan kemutakhiran tidak lebih dari 10 tahun. Rujukan majalah/penerbitan berkala ditulis dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, judul karangan, nama majalah, tahun, volume (angka arah), nomor (dalam tanda kurung) dan halaman. Rujukan buku harus disertai nama, tahun diterbitkan dan nama penerbit.
F. Judul tidak boleh digarisbawahi dan tidak perlu ditebalkan hurufnya. G. Tabel sederhana penyajiannya cukup dalam satu kolom artikel, sedangkan gambar atau tabel yang kompleks dapat disajikan dalam dua kolom sekaligus. Letak gambar, grafik, atau tabel berdekatan dengan narasi. Letak judul tabel diatas dan judul gambar dibawah. Tabel diketik satu spasi dan diberi nomor urut sesuai penampilan dalam teks. Jumlah maksimal enam tabel. Gambar atau grafik disajikan menggunakan ‘pattern’ dan menggunakan warna. Contoh mengacu pustaka dalam naskah: Penelitian lain yang dilakukan di Amerika juga menunjukkan bahwa penggunaan dot/kempeng pada bayi secara signifikan dapat menurunkan durasi menyusui. 1 Contoh penulisan daftar pustaka: 1. Howard et.al. The effects of early pacifier use on breastfeeding duration and randomized clinical trial of pacifier use and bottle-feeding or cupfeeding and their effect on breasfeeding. Pediatrics. 2013;111(3): 511-18 2.
Hidayat, Z. Remaja Indonesia dan Permasalahan Kesehatan Reproduksi. Warta Demografi, 2005; 35(4):14-22