Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 25-33
Dinamika Peran Multi-Stakholder Dalam Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Khusus Kelompok Perempuan Program Nasional Pemberdayaan Nasional Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat Ardian Oktora Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung
Abstract: The purpose of this research is to know about the dynamic of role for each stakeholders in the activity of implementation of SPP PNPM-MPd. It will show who is the stakeholders which doing their role, who is the stakeholders which not doing their role, and who is the stakeholders put their domination and intervention and also to know some of obstacles that must be facing for each stakeholders. This research is useful for the evaluation of PNPM-MPd programme or the others, especially in West Lampung. This research using qualitative method with descriptive analysis. In the staging of establishment for the formulator of RPJM-Des, there is having mechanism that must be passing, that is discussion that is held in the villages. it will happen the domination of certain stakeholders for choosing the person who will be the team. In Woman Discussion (MKP) and Planning Discussion Village (MDP) staging, the role of elite of government is dominate. Especially for establish the opinion and dominate the information. The lack of ability of another stakeholders for minimalize the intervention of the government elite, directly impact toward the number of submission of activity SPP proposal Keywords: activity of SPP, role of stakeholders
PENDAHULUAN Pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Sesuai dengan alur tahapan kegiatan, pelaksanaan dimulai dari penggalian gagasan dari tingkat pemangku (dusun), kemudian gagasan tersebut akan diprioritaskan dalam musyawarah desa/pekon. Setiap pekon berhak mengajukan usulan sebanyak
tiga usulan. Dua usulan dari hasil keputusan Musyawarah Khusus Perempuan (MKP) dan satu usulan hasil dari Musyawarah Desa Perencanaan. Batas maksimal dari setiap usulan setiap usulannya adalah sebesar Rp. 350.000.000,- Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM-MPd bahwa dari total dana BLM, dua puluh lima persen (25 %) merupakan hak bagi usulan simpang pinjam khusus kelompok perempuan. Kenyataan di lapangan menunjukan hal yang berbeda. Berdasarkan dana BLM PNPM-MPd yang dikucurkan setiap tahunnya, penyerapan untuk kegiatan SPP masih sangat minim. Melihat persoalan yang terjadi, penulis mengkaji mengenai peran pihak-pihak stakeholders (pemangku kepentingan) yang terkait langsung dalam kegiatan SPP tersebut. Karena pada dasarnya, jika menurut alur kegiatan PNPM-MPd,
25
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 25-33
akan terlihat proses yang sangat panjang yang memungkinkan kegiatan ini sangat dipengaruhi oleh banyak stakeholders. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika peran masingmasing stakeholder dalam pelaksanaan kegiatan SPP PNPM-MPd. Dinamika peran masing-masing stakholder, sehingga akan terlihat stakeholders yang berperan, stakeholders yang tidak peran, stakeholder yang mendominasi dan mengintervensi serta kendala-kendala yang dihadapi setiap stakholders. Perkembangan tuntutan politik kaum perempuan telah terjadi dalam empat tahap: pertama, isu tentang perempuan dibawa karena politik yang akan menyebabkan partai dipaksa untuk memberi respon; kedua, untuk menghindari tuduhan bahwa gerakan perempuan adalah gerakan yang seksionalis, maka perempuan mencoba merubah isu tuntutan perempuan kedalam dimensi yang lebih luas, yaitu masalah hak asasi manusia, dan dalam hal ini partai dapat merespon lebih lanjut dalam tiga bentuk tindakan, yaitu rethoric, affirmative action, atau positive discrimination; ketiga, gerakan perempuan mengambil strategi ganda, yaitu bekerja dengan jaringan perempuan dan bekerja dalam dunia politik partai yang didominasi laki-laki; dan keempat, perempuan memberi perhatian lebih dekat terhadap aturan main politik yang berarti merubah hubungan gender dari dalam partai yaitu merubah struktur dan program partai. Secara singkat selalu akan terjadi hubungan yang dinamis antara tuntutan perwakilan politik perempuan dengan tanggapan dari partai-partai. Kemudian Murniati (2004:79) menyatakan ada empat faktor yang menjadi kendala partisipasi perempuan dalam urusan public, yaitu: 1) Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran produktif, didalam maupun diluar rumah. 2) Perempuan memiliki pendidikan relatife lebih rendah daripada lakilaki.
3)
4)
Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi gerak perempuan. Adanya hambatan legal bagi perempuan.
Dalam kehidupan setiap manusia maka tidak akan terlepas dari budayabudaya yang mengikat manusia itu sendiri, salah satu yang menjadi penyebab minimnya partisipasi politik perempuan adalah akibat budaya yang dianut oleh sebagian masyarakat yaitu budaya patriarkhi, dimana budaya tersebut yaitu budaya kelelakian yang cenderung menguntungkan bagi kebanyakan laki-laki, karena dalam budaya ini lakilaki mempunyai peran utama dibandingkan dengan perempuan (Mansour Fakih, 2002:151). METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan maksud mendapatkan pemahaman tentang tindakan sosial individu dan mengumpulkan data untuk menggambarkan gejala berupa tindakan yang diambil multistakholders PNPM-MPd, maka penelitian ini diarahkan pada jenis penelitian deskriptif-analitik. Sugiyono (2007: 9) menerangkan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat pospositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci serta hasil penelitiannya lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Fokus dalam penelitian ini adalah tahapan kegiatan SPP PNPM-MPd, khususnya tahapan pengambilan keputusan, kedua, tugas pokok dan fungsi masing-masing stakeholders serta penerapannya dalam kegiatan SPP PNPM-MPd, ketiga, interaksi antara stakeholders dalam kegiatan SPP PNPM-MPd, serta keempat adalah pengaruh masing-masing stakeholders
26
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 2 (2014) 25-33
Terhadap input, proses dan output kegiatan SPP PNPM-MPd. Peneliti menggunakan tekhnik pengumpulan data observasi partisipatif (participant observation), wawancara mendalam dan dokumentasi. HASIL PENELITIAN 1.
Posisi Kelompok Perempuan dalam Penyusunan RPJM-Des Alur kegiatan PNPM Mandiri Perpekonan meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian kegiatan. Sebelum memulai tahap perencanaan, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan orientasi atau pengenalan kondisi yang ada di pekon dan kecamatan. Sebagai langkah awal program pembangunan partisipatif, maka setiap daerah diharuskan menyusun dokumen rencana pembangunan jangka menengah pekon (RPJM-Des). Dokumen inilah yang menjadi produk bentuk pengintegrasian pembangunan. Secara umum proses pembentukan tim penyusun RPJM-Des masih jauh dari formasi tim yang sempurna jika dilihat dari aspek keadilan gender, hal ini terlihat dari rendahnya keter-
wakilan kelompok perempuan dalam formasi tim. Dan bahkan yang lebih ironis adalah, dari sebelas orang yang menjadi tim penyusun yang benar-benar aktif hanya tiga hingga empat orang. Dengan gambaran ini tentu dapat diasumsikan bahwa jika tim yang terbentuk tidak efektif, kemungkinan berdampak terhadap tidak efektifnya implementasi tahapan-tahapan berikutnya. Stakeholder yang berperan dalam pembentukan tim penyusun, pertama FK selaku pembawa informasi, kemudian UPK mensosialisasikan ke pekon-pekon, kemudian KPMD sebagai stakeholders yang melaporkan ke aparat (Peratin) dan terakhir Peratin sebagai pimpinan pekon yang diberikan wewenang untuk membentuk tim penyusun tersebut. Semua stakeholders yang terlibat dalam pembentukan tim bertanggungjawab atas rendahnya keterwakilan perempuan dalam tim penyusun karena tidak ada satu pihakpun yang memprioritaskan kelompok perempuan. Dalam penjelasan ini, peneliti menampilkan peran sesuai tupoksi dan peran sesuai dinamika dilapangan berikut:
Tabel 1. Dinamika Multi-stakholder dalam proses pembentukan tim penyusun RPJM-Des No 1 1
2
Nama Pelaku 2 Fasilitator Kabupaten
Fasilitator Kecamatan
Peran sesuai Tupoksi 3 Faskab berperan sebagai sumber informasi, pengendali kegiatan PNPM-Mpd di kecamatan dan mengkoordinir Rencana Kerja Tindak Lanjut kegiatn Kecamatan FK berperan sebagai pendamping dan penggerak di kecamatan
Peran di Lapangan 5 Mengendalikan rencana kerja tindak lanjut di kecamatan salah satunya penyusunan RPJM
Diberikan tugas tambahan mengawal penyusunan RPJM-Des, sehingga mendampingi pembentukan tim penyusun RPJMD
Kepentingan 6 Faskab punya kepentingan pembentukan tim penyusun RPJM di Kecamatan dapat terbentuk sesuai ketentuan Fasilitator punya kepentingan pembentukan tim penyusun RPJM di Kecamatan dapat terbentuk sesuai ketentuan
Kekuatan 7 Kuat
Sangat Kuat
27
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 25-33
2.
3
Peratin
Sebagai penanggungjawab dan Pembina di level pekon serta diberikan otoritas untuk mengesahkan tim penyusun RPJM
Membentuk tim penyusun RPJM tanpa harus melakukan musyawarah pekon
4
UPK
Mendampingi Fasilitator dalam pendampingan penyusunan RPJM
5
KPMD
6
Juru Tulis
Sebagai penyelenggara dan pengelola kegiatan, termasuk dalam penyusunan RPJMDes Sebagai kader pemberdayaan yang membantu FK dan UPK menyelenggarakan kegiatan Membantu Peratin dalam bidang administrasi dan kesekretariatan
Kebebasan dan Kemandirian Perempuan dalam Musyawarah Khusus Perempuan MKP merupakan bentuk implementasi dari keadilan gender dan akomodasi kepentingan kelompok perempuan. MKP dilaksanakan hanya diperuntukan untuk kelompok perempuan. Dalam musyawarah ini, kelompok laki-laki tidak boleh berada dalam ruangan forum musyawarah dalam rangka menjaga suasana dan kebebasan dalam berekspresi peserta musyawarah yang hadir. MKP ini memiliki target supaya kelompok perempuan bermufakat untuk merumuskan dua usulan yang akan diajukan ke PNPM-MPd, pertama usulan pengajuan pinjaman melalui kegiatan SPP dan kedua usulan kegiatan fisik yang berhubungan dengan kepentingan ibu dan anak, seperti sarana prasarana kesehatan dan pendidikan. Berdasarkan data, total serapan dana BLM untuk kegiatan SPP sebesar Rp. 372.300.000 atau sebesar 5 persen dari total dana sebesar 7,4 miliyar dari tahun 2009 hingga 2012. Kondisi ini, menurut peneliti, belum ideal, karena
Membentuk tim penyusun RPJM dengan efektif dan efisien tanpa harus melakukan musyawarah pekon Tidak punya kepentingan
Sangat Kuat
Mengikuti arahan dan instruksi Fasilitarot, UPK dan Peratin
Tidak punya kepentingan
Sedang
Membuat SK Tim Penyusun RPJMDes
Tidak punya kepentingan
Lemah
Sedang
konsep PNPM-MPd sangat mendorong pemberdayaan ekonomi dan usaha kelompok perempuan, dengan dana stimulus BLM yang besar, sangat disayangkan jika dana yang terserap untuk kegiatan SPP masih rendah. Terdapat empat hal yang menyebabkan rendahnya inisiasi peserta untuk mengusulkan usulan kegiatan SPP. Pertama, karena adanya intervensi aparat. Intervensi aparat pekon dan kelurahan adalah bukan dalam bentuk intervensi kebijakan atau secara terangterangan melarang kelompok perempuan mengajukan kegiatan SPP, namu intervensi disini lebih kepada hegemoni informasi dan opini yang biasanya disampaikan dalam setiap sambutan dan pengarahan. Dalam pengarahan aparat biasanya membangun opini bahwa kegiatan SPP itu beresiko dan benarbenar harus dipertanggungjawabkan, sebaiknya kalo belum siap, jangan diusulkan dahulu, jika bermasalah akan berdampak pada pekon, nanti kena sangsi program, pekon tidak didanai lagi pada periode berikutnya. Faktor kedua, rendahnya daya serap dana SPP adalah adanya trauma
28
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 25-33
program usaha ekonomi produktif (UEP). Program UEP adalah salah satu kegiatan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Tidak dapat dipungkiri bahwa traumatic terhadap permasalahan pada program sebelumnya yang berdampak terhadap sangsi program yang diberlakukan tidak hanya di kecamatan Sumberjaya, namun seKabupaten Lampung Barat belum dapat dilupakan, apalagi hingga sekarang proses pemeriksaan/ audit serta penagihan terhadap pihak-pihak yang terdata belum melunasi pinjaman masih terus dilakukan. Faktor ketiga adalah masalah ketidaksanggupan membayar angsuran bulanan, karena rata-rata profesi masyarakat adalah sebagai petani. Keharusan membayar angsuran bulanan merupakan ketentuan yang disepakati fasilitator di kabupaten, walaupun sebenarnya dalam PTO dimungkinkan mengangsur setiap triwulan atau perenam bulan. Terakhir, factor keempat adalah adalah masalah sumberdaya manusia (SDM). Persoalan SDM
memang dapat dibilang factor yang sangat relatif, karena menurut pengalaman peneliti dalam pemberdayaan masyarakat khususnya ekonomi kemasyarakatan. Secara prinsip pemahaman dan pengetahuan kelompok perempuan terhadap konsep PNPMMPd memang masih kurang, bahkan ada yang sama sekali tidak memahami, namun karena program ini fokus pada pemberdayaan, dengan proses pembelajaran yang berkelanjutan kelompok perempuan juga akan memahami konsep PNPM-MPd secara perlahan. Melihat rendahnya daya serap usulan SPP dari periode 2009 hingga 2012, peneliti melihat bahwa stakeholders tertentu (aparat) masih mendominasi dalam mempengaruhi peserta musyawarah MKP dibandingkan dengan FK dan UPK. sedangkan disisi yang lain, FK dan UPK belum mempunyai celah dan akses yang bagus untuk memperjuangkan kegiata tersebut pada kelompok perempuan. Jika dirumuskan dalam tabulasi, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Peran Multistakholder dalam Tahapan Musyawarah Khusus Perempuan No 1 1
Nama Pelaku 2 Peratin
Peran sesuai Tupoksi 3 Memberikan pengarahan dalam sambutan pada sesi pembukaan Sebagai pendamping musyawarah dan narasumber
2
FK
3
UPK
Mendampingi proses musyawarah
4
KPMD
Mengundang
Peran di Lapangan 4 Peratin menghegemoni informasi dan opini mengenai kegiatan SPP. Tidak maksimal memberikan pencaerahan dan penyadaran kritis tentang pentingnya mengusulkan kegiatan SPP Belum banyak berbuat untuk menggerakan kelompok perempuan membentuk kelompok SPP Belum banyak
Kepentingan
Kekuatan
5 Peserta Forum tidak memperioritaskan usulan SPP
6 Kuat
Peserta mengusulkan usulan SPP
Sedang
Peserta mengusulkan usulan SPP
Sedang
Tidak ada
Sedang
29
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 25-33
5
Kelompok Perempuan
peserta dan mensosialisasik an mengenai agenda rencana musyawarah dan hasil musyawarah Peserta musyawarah dan diberikan hak untuk mengusulkan dua
berbuat untuk menggerakan kelompok perempuan membentuk kelompok SPP
kepentingan
Tidak berani memperjuangka n hak 25 persen untuk kegiatan SPP
Usulan yang disampaikan menjadi perioritas dalam MKP
3. Akses dan Kontribusi Kelompok Perempuan dalam Musyawarah Pekon Perencanaan dibanding dengan stakeholders yang lain Musyawarah Pekon Perencanaan atau yang biasa disingkat dengan istilah MDP atau kalau di Lampung Barat disebut dengan MPP. MDP merupakan pertemuan masyarakat di pekon yang bertujuan untuk membahas seluruh gagasan kegiatan, hasil dari proses penggalian gagasan di kelompokkelompok/dusun. Bahan-bahan yang disiapkan adalah peta pekon hasil penggabungan semua peta dusun, rekap data RTM dusun, diagram Venn kelembagaan, rekap gagasan semua dusun, rekap masalah semua dusun, dan usulan kelompok perempuan. MDP memutuskan usulan yang akan diusulkan ke PNPM-MPd dan diperjuangkan dalam Musyawarah Antar Desa Prioritas Usulan di tingkat kecamatan. Maksimal usulan yang diputuskan adalah tiga usulan. Dua usulan hasil keputusan MKP yang terdiri dari usulan SPP dan non SPP, kemudian ditambah satu lagi usulan hasil MDP, yang biasanya mengusulkan kegiatan fisik. Untuk mengukur sejauhmana usulan kegiatan bersentuhan dengan kepentingan kelompok perempuan, peneliti tidak hanya mengukur dari tingkat penyerapan dana kegiatan SPP saja, namun kegiatan bidang pendidikan dan kesehatan juga dapat dianggap sebagai usulan yang bersentuhan dengan kepen-
Kuat
tingan kelompok perempuan dan anak. Berikut adalah datanya : Berdasarkan data kegiatan PNPM-MPd dari tahun 2009 hingga 2012 terlihat bahwa ketersentuhan usulan yang kegiatan yang diusulkan masih jauh mengakomodir kepentingan perempuan, hal ini menunjukan bahwa pihakpihak terkait (stakeholders) belum memiliki kesadaran pentingnya memprioritaskan kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan kelompok ibu dan anak. Multi stakeholder juga kurang memiliki responsive gender. Jika para pelaku PNPM memiliki kesadaran tersebut, tentu seharusnya kegiatan PNPM-MPd dari tahun pertama hingga sekarang minimal lima puluh persen memprioritaskan kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan perempuan dan anak. Dalam forum MDP, aparat sangat dominan dalam mengarahkan forum untuk mengusulkan usulan tertentu. Khususnya usulan fisik, mengenai usulan SPP sendiri, ada Peratin yang mensupport kelompok perempuan tapi lebih banyak yang mengarahkan untuk tidak dulu mengajukan usulan SPP. Dalam konteks yang lain, peneliti menemukan adanya indikasi pengaruh aparat dalam pengambilan keputusan karena peratin sendiri memiliki kepentingan secara pribadi terhadap kegiatan yang akan diusulkan, kepentingan itu dapat bersumber dari kepentingan materi maupun kepentingan memenuhi janji politik pada saat peratin tersebut mengikuti pemilihan peratin.
30
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 25-33
Selain hal tersebut, Camat, selaku pemimpin wilayah, juga dianggap memiliki tendensi terhadap proses pengambilan keputusan. Walaupun dalam realitasnya Camat tidak menghadiri kegiatan MDP dan biasanya diwakili oleh PJO kecamatan, namun, camat tetap membangun komunikasi dengan peratin dan PJOK mengenai target usulan yang akan diputuskan. Ada dua hal penting yang menjadi pertimbangan camat pada saat itu, pertama, seluruh pekon harus mendapatkan kegiatan atau terdanai, kemudian tidak terlalu memperioritas-
kan usulan kegiatan SPP karena kegiatan ini dianggap dapat menghambat program dan tidak bersentuhan lansung dengan masyarakat Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa MDP belum dapat diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, walaupun disisi yang peningkatan kapasitas dan penyadaran bagi stakeholders yang lain juga penting. Jika dirumuskan secara sederhana, maka dapat digambarkan mengenai peran multistakholder dalam tabel berikut:
Tabel 4. Peran multistakholder dalam Musyawarah Desa Perencanaan No
Nama Pelaku 2 Camat/ PJOK
Peran sesuai Tupoksi 3 Pembina kegiatan PNPM-MPd di kecamatan
2
Peratin
Sebagai penanggungjawab dan Pembina di level pekon
3
FK
Sebagai pendamping dan penggerak kegiatan PNPM-MPd
4
KPMD/ TPK
5
Tokoh Masyarakat
Sebagai kader pemberdayaan yang membantu FK dan UPK menyelenggarakan kegiatan perencanaan di level pekon Warga yang ditokoh kana tau warga yang memiliki posisi strategis dalam kemasyarakatan
1 1
Peran di Lapangan 4 Memberikan pengarahan kepada PJOK dan Peratin secara tidak langsung Memberikan pengarahan dan penggiringan secara langsung dalam forum MDP Sebagai narasumber mengenai ketentuan dan informasi yang berhubungan dengan jenisjenis usulan Membantu petugas memperlancar musyawarah
Melakukan konsolidasi dengan kelompok atau dusunya untuk mengusung
Kepentingan
Kekuatan
5 Usulan merata dan tidak memprioritaskan usulan SPP
6 Sedang
Tidak memprioritaskan Usulan SPP dan mengusulkan kegiatan sesuai kepentingan pribadi (janji politik) Tidak ada kepentingan selain proses berjalan sesuai ketentuan
Sangat Kuat
Tidak ada kepentingan
Kurang kuat
Usulannya diprioritaskan
Kuat
Kuat
31
Jurnal Kebijakan dan Pembangunan Vol. 1 No. 1 (2014) 25-33
6
4.
Kelompok Perempuan
Masyarat yang menjadi peserta musyawarah
Analisis Peran Multistakholder dalam Pendekatan Gender Berdasarkan hasil penelitian, yang dimulai dari tahapan penyusunan RPJMDes, terlihat bahwa regulasi dan pihakpihak yang memiliki otoritas tidak mempunyai responsive gender. Kondisi ini terlihat dari proses pembentukan tim penyusun RPJM-Des. Dilihat dari regulasi memang tim yang terbentuk tidak memungkinkan akan melibatkan kelompok perempuan secara berimbang karena pihak-pihak yang diminta menjadi tim penyusun secara kelembagaan lebih didominasi oleh kaum laki-laki, sebagai contoh, dalam tim harus melibatkan LHP, Kepala Pemangku, TPK, dan Tokoh-tokoh masyarakat. Ketentuan yang responsive gender adalah ketentuan yang secara tegas mengatur keharusan melibatkan kelompok perempuan dalam jumlah persen tertentu, sehingga pihak yang merumuskan pembentukan tim tidak mesti terbentur dengan kelembagaan yang harus dilibatkan, namun dapat melibatkan masyarakat secara langsung (kelompok perempuan). Kemudian pihak-pihak yang memiliki otoritas juga kurang peka terhadap isu keterwakilan perempuan dalam tim penyusun RPJM-Des. Kondisi mengindikasikan rendahnya kesadaran gender yang dimiliki para pihak stakeholder, khususnya yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan. Mansur Fakih menjelaskan bahwa perbedaan gender sering menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities), terutama terhadap kaum perempuan baik di lingkungan rumah tangga, pekerjaan, masyarakat, kultur, maupun negara. Ketidakadilan tersebut termanifestasi dalam beberapa bentuk antara lain marginalisasi, subordinasi, stereotype dan beban kerja ganda. (Fakih,
usulan mereka Tidak banyak berperan, lebih banyak pasif
Dua usulan yang sudah ditetapkan dalam MKP menjadi prioritas
Lemah
2001 : 75-76) dalam Argyo Damartoto, 2009). Berdasarkan pendapat mansour Fakih tersebut, dihubungkan dalam konteks penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa tidak dilibatkannya kelompok perempuan secara berimbang dalam tim penyusun RPJM-Des lebih dominan karena adanya sikap marginalisasi dan budaya patriarkhi terhadap kelompok perempuan. Marginalisasi yang terjadi bukan pada aspek ekonomi, namun lebih proses pengambilan keputusan, sedangkan budaya patriakhi terlihat dari tidak adanya responsive gender pada stakeholders PNPM-MPd. Pihak-pihak yang memiliki otoritas beranggapan bahwa penyusunan RPJM-Des adalah sebuah proses perencanaan pembangunan yang dalam kebiasaannya, perencanaan selalu dilaksanakan oleh pihak-pihak atau kelembagaan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Kelompok perempuan dianggap adalah pihak atau objek yang nantinya akan menerima manfaat dari perencanaan tersebut, sehingga kelompok perempuan tidak perlu terlibat dalam proses perencanaan atau pengambilan keputusan mengenai program pembangunan. Pada tahapan berikutnya, MKP dan MDP, secara umum pelaksanaan kegiatan ini dianggap berjalan baik dan lancar. Mansur fakih menjelaskan bahwa salah satu bias gender adalah karena factor stereotif, rendahnya inisiasi usulan kegiatan SPP dalam forum MKP, salah satunya disebabkan stereotif terhadap kegiatan SPP yang dahulu (SPP Program PPK) pernah bermasalah. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan aparat pemerintah yang cenderung kurang mendukung usulan kegiatan SPP. Budaya patriakhi yang melekat pada masyarakat juga menjadi salah satu faktor yang cukup mempengaruhi keter-
32
libatan perempuan dalam politik (MKP dan MDP). Dalam kehidupan setiap manusia maka tidak akan terlepas dari budaya-budaya yang mengikat manusia itu sendiri, salah satu yang menjadi penyebab minimnya partisipasi politik perempuan adalah akibat budaya yang dianut oleh sebagian masyarakat yaitu budaya patriarkhi, dimana budaya tersebut yaitu budaya kelelakian yang cenderung menguntungkan bagi kebanyakan laki-laki, karena dalam budaya ini laki-laki mempunyai peran utama dibandingkan dengan perempuan (Mansour Fakih : 151). Disinilah peran dari pihak-pihak terkait atau stakeholders PNPM-MPd, formal maupun informal, khususnya kelompok perempuan yang ada di komunitas masyarakat itu sendiri, dituntut untuk proaktif dalam memberikan sosialisasi/penyuluhan-penyuluhan/penyadaran kritis akan pentingnya perempuan untuk aktif dan terlibat dalam ranah publik.
SIMPULAN DAN SARAN 1.
2.
Aparat sebagai salah stakeholders dalam pelaksanaan kegiatan SPP menjadi pihak yang paling dominan dalam mempengaruhi keputusan, baik dalam pembentukan tim penyusun RPJM-Des, mengarahkan keputusan MKP dan MDP. Stakeholders yang lain belum memaksimalkan fungsinya masingmasing, termasuk FK yang merupakan tokoh penting dalam pendampingan dan penggerak pemberdayaan masyarakat di pekon
Budiardjo, Miriam, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fakih, Mansour, 1987. Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Moloeng, Lexy J, 2006. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Murniati, A. Nunuk, 2004. Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga), Magelang. Sumitro, Maskun, 2003. Pembangunan Masyarakat Desa, Erlangga, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1986. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta. Riyadi, S.B., 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah : Strategi Menggali Potensi dalam mewujudkan Otonomi Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Randal, Vicky, 1987. Women and Politics An International Perspective. University of Chicago Press, Chicago. Sumber Lainnya: 1. 2. 3.
Buku Panduan PNPM Mandiri. Profile Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat Petunjuk teknis operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Mandiri Perdesaan
DAFTAR PUSTAKA Literatur Arikunto, Suhasimi, 2002. Prosedur Penelitian, Bhineka Cipta, Jakarta. Almond, A. Gabriel dan Verba, Sidney, 1984. Budaya Politik, Bina Aksara, Jakarta.
33