i
ii
JURNAL ILMU BUDAYA ISSN 2354 -7294 Volume 2, Nomor 2, Desember 2014, hlm 343 - 424 Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan berupa hasil penelitian (lapangan atau kepustakaan), gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori mengenai kebudayaan.
Ketua Dewan Redaksi Muhammad Hasyim Wakil Ketua Dewan Redaksi Hasbullah Penyunting Pelaksana Sumarwati Kramadibrata Poli Mardi Adi Armin Wahyuddin Fierenziana Getruida Junus Ade Yolanda Prasuri Kuswarini Andi Faisal Masdiana Pelaksana Tata Usaha Ester Rombe Shinta Ayu Pratiwi
Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan km 10 Tamalanrea Makassar 90245. http://sastraprancis.unhas.ac.id email :
[email protected] Jurnal Ilmu Budaya menerima sumbangan tulisan mengenai kebudayaan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah disusun berdasarkan format yang ada pada halaman belakang. (Petunjuk untuk penulis). Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting oleh Dewan Redaksi tanpa mengubah isinya.
iii
JURNAL ILMU BUDAYA ISSN 2354-7294 Volume 2, Nomor 2, Desember 2014, hlm 343 - 424
DAFTAR ISI Batik Bogor Sebagai Proses Konotasi: Tinjauan Semiotika Barthes Eko Wijayanto, Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
343 – 349
Semiotika Dalam Tafsir Sastra Prasuri Kuswarini, Jurusan Sastra Prancis Fakultas Sastra Unhas
350 – 359
Analisis Kesalahan Hasil Terjemahan Mahasiswa Sastra Inggris Unhas Dalam Menerjemahkan Naskah Bahasa Indonesia Ke Dalam Bahasa Inggris Noer Jihad Saleh, Jurusan Sastra Prancis Fakultas Sastra Unhas
360 – 377
Fenomena Intertekstualitas Dan Klaim Orisinalitas Hasbullah, Jurusan Sastra Prancis Fakultas Sastra Unhas
378 – 385
The Problems Of Indonesian College Efl Learners In Listening Comprehension Kaharuddin dan Nanning, STAIN Parepare Sulawesi Selatan
386 – 399
Kesantunan Berbahasa Dalam Perspektif Sosiolinguistik Muhammad Hanafi
400 – 407
Permainan Kata Dalam Asterix Shinta Ayu Pratiwi, Fierenziana G. Junus dan Masdiana, Jurusan Sastra Prancis Fakultas Sastra Unhas
408 – 413
Perayaan Maulid Di Cikoang: Selayang Pandang Tarekat di Makassar Supratman,S.S.M.A dan Masdiana,S.S.M.Hum., Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Sastra Unhas, Jurusan Sastra Prancis Fakultas Sastra Unhas
414 – 424
343
BATIK BOGOR SEBAGAI PROSES KONOTASI: TINJAUAN SEMIOTIKA BARTHES Eko Wijayanto Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia, Email:
[email protected]
Abstrak Batik sebagai bentuk seni terhubung erat dengan kondisi sosial budaya yang menjadi latar belakang proses kreatif seni tersebut. Kita bisa mengetahui bahwa motif-motif batik ternyata juga muncul akibat perubahan sosial budaya atau akulturasi budaya secara evolutif.Akan tetapi, ketegangan sistem pemaknaan antara lokalitas dan universalitas menyangkut originalitas batik belum cukup banyak diteliti. Fenomena kebudayaan batik Bogor memperlihatkan ada sebuah faktor yang penting pada kebudayaan itu sendiri, yaitu pembuat motif dan proses kreatifnya. Selama ini batik masih identik dengan tradisi budaya Jawa dengan motif-motifnya yang khas. Akan tetapi, di Kota Bogor, ada proses penciptaan kain batik bermotif khas Kota Bogor, yaitu kujang dan tanduk rusa, serta bunga bangkai (Raflesia Arnoldi) dan rintik hujan. Motif yang diciptakan seorang seniman pembuat motif ini memperoleh sambutan yang luar biasa dari masyarakat Bogor sendiri.Fenomena kebudayaan ini menarik karena Kota Bogorselama ini tidak memiliki motif batik yang khas.Akan tetapi sekarang salah satu anggotamasyarakatnya telah menciptakan motif batik khas Bogor yang dapat diterima oleh anggotamasyarakatnya sebagai bagian dari kebudayaan mereka sendiri. Batik Bogor Tradisiku diinisiasi oleh sepasang suami-istri asal Yogyakarta yangsudah lebih dari 25 tahun tinggal sebagai warga kota Bogor. Kendati keduanya tidak berasaldari keluarga pembuat batik, sangat menarik melihat mereka berusaha menciptakan suatujenis batik baru di Bogor, kota yang secara historis tidak punya tradisi batik; setidaknya tidakada dokumentasi mengenai keberadaan batik di masa lampau. Batik itu muncul sebagai hasildari sebuah proses ketegangan antara pembedaan dengan motif-motit lainnya untukmenonjolkan identitasnya sendiri sebagai bentuk kreasi dan inovasi budaya, denganmengambil inspirasi dari katakteristik Kota Bogor, di sisi lain mencoba mendaku pengaruhdari lokus batik utama seperti Batik Jawa. Penulis telah meneliti Batik Bogor Tradisiku selama lebih dari dua tahun. Dalam tulisan ini, penulis menganalisa Batik Bogor dariperspektif semiotika Roland Barthes, untuk menyingkap proses semiotik dan perluasanmakna yang terjadi.
1. Pendahuluan Strukturalisme menjadi dasar pembentukan pemikiran semiotika Roland Barthes.Kendati tidak terlalu tepat, label strukturalis agaknya melekat dalam semiotika Bartheskarena ia memang terinspirasi dan mengembangkan strukturalisme diadik Ferdinand deSaussure. Keduanya sama-sama percaya atas eksistensi struktur yang melandasi pemaknaanbahasa__lebih jauh juga pemaknaan kebudayaan.Bedanya, Barthes melangkah lebih jauhdengan menganggap struktur bukan sebongkah benda padat yang
final, melainkan bersifatdinamis dan berproses.Artikulasi pandangan dinamis terhadap struktur ini dengan sangatbaik direpresentasikan dalam term pascastrukturalisme.Kebingungan untuk menempatkansemiotika (tepatnya, semiologi) Barthes dalam dua mazhab besar, strukturalisme danpascastrukturalisme, tidak dapat dihindari pada awalnya karena keduanya memiliki kesamaanprinsipil. Strukturalisme dan pascastrukturalisme memiliki sejumlah kesamaan.Kesamaannyaadalah bahwa pascastrukturalisme pada dasarnya
344
mempertahankan penekanan strukturalismeterhadap bahasa.Sebagaimana strukturalisme meyakini bahwa semua sistem kebudayaandapat direpresentasikan sebagai sistem-sistem kode maknawi dibandingkan transaksilangsung dengan kenyataan.Baik strukturalisme dan pascastrukturalisme tidak lagimemfokuskan diri pada dimensi ontologis dari kenyataan, melainkan fokus pada strukturrepresentasi bahasa dan simbol. Beberapa perbedaan kunci di antara keduanya dapat diuraikan sebagai berikut.Strukturalisme cenderung tidak menolak atau meragukan eksistensi realitas objektif.Namun,realitas justru dipahami sebagai substratum material yang terwujud dalam bentuk ide.Strukturalisme cenderung menekankan koherensi dari sebuah sistem di mana maknadikonstruksi dan cenderung fokus pada bagaimana sistem-sistem mampu membatasi apa yangbisa dipikirkan (dan bermakna). Dengan demikian, strukturalisme memiliki kecenderungan reduksionis, sebab merekacenderung mereduksi begitu banyak fenomena kompleks ke dalam sejumlah kecil elemenkunci yang dianggap bisa menjelaskan semuanya. Reduksionisme ini misalnya tampak padaupaya menemukan versi kebenaran universal dengan cara mencari struktur universal yangmengikat semua manusia pada satu level tertentu, atau setidaknya menemukan struktur dasardi mana semua anggota dari suatu masyarakat memilikinya. Konsekuensinya cukup radikal.Strukturalisme sebetulnya antihumanis, dalam pengertian menyarankan kekuatan sistemterhadap struktur berpikir
kita, pandangan dunia kita, dan bahkan pemahaman diri kita.Hampir seluruh kendali dipegang oleh kuasa sistem.Di sini, kita bisa menyebutstrukturalisme bersifat deterministik.Struktur yang dibayangkan pun bersifat monolitik danfungsional. Sementara itu, kelompok pascastrukturalisme meragukan eksistensi realitas, atau setidaknya menekankan perbedaan antara ide dan realitas yang dikonstruksi di dalam wacana.Wacana (diskursus) diartikan sebagai komibansi antara „teks‟ dan „kuasa‟.Di sini,pascastrukturalisme menekankan inkohere-nsi sistem wacana; antara tensi dan ambiguitas yang diciptakan berdasar eksistensi sistem yang jamak, cenderung fokus pada polisemipluralitas makna, dan tetap fokus pada perbedaan yang diabaikan dalam reduksi. Perbedaan-perbedaanini akan menciptakan retakan atau celah di dalam sistem yang bisa dimanfaatkanuntuk menantang atau bahkan menghancurkan sistem yang ada. Konsekuensinya, tidak lagiberusaha mencari kebenaran universal. Sementara kelompok strukturalis berusaha mencari sesuatu yang mengikat kitabersama, posstrukturalis cenderung fokus pada apa yang membuat kita berbeda. Inimerupakan penekanan terhadap sifat manusia yang bisa ditempa (malleability); sejenis usahamembangkitkan doktrin eksistensialis “eksistensi mendahului esensi.”Postrukturalis lebihfokus pada pembaca/pembicara yang beroperasi di dalam struktur. Perbedaan prinsipil di antara keduanya mempengaruhi asumsi penelitian yang digunakan dalam membaca fenomena
345
kebudayaan.Dengan menggunakan strukturalisme,peneliti dapat mengasumsikan bahwa kedudukan struktur bersifat tetap, sehingga maknadapat distabilkan berdasarkan konteks sistem dan struktur maknawi masyarakat terkait.Sementara itu, dengan pascastrukturalisme, asumsi penelitian adalah struktur bersifat imanendan dinamis.Stabilitas maknawi dimaknai sebagai hasil dari suatu wacana. Dengansemiotika, penelitian dengan asumsiasumsi demikian akan sangat kaya dan mampumenerangkan lapisan di bawah setiap fenomena simbolik kebudayaan. 2. Dasar semiotika Semiotika pada dasarnya adalah studi mengenai tanda. Terdapat beberapa pandangan berbeda dalam hal status disipliner semiotika. Sebagian beranggapan bahwa semiotika adalahilmu, sebuah disiplin dengan objek material berupa tanda. Namun, beberapa tokoh besarsemiotika, seperti Roland Barthes, justru menganggap semiotika sebagai alat bantu bagi ilmu. Dengan sendirinya, semiotika bukan ilmu itu sendiri.Di atas perdebatan mengenai statusnya, semiotika berurusan dengan asumsi-asumsi dan konsep-konsep yang memungkinkan analisa sistemik terhadap sistem simbol.Ferdinand de Saussure dan Charles S Pierce merupakan duapendiri semiotika. Barthes melihat bahwa semiotika (semiologi) dalam pemikiran Saussure masihmenjadi ilmu tentative (tentative science).Hal ini terjadi karena Saussure cenderung percayabahwa ilmu bahasa hanya membentuk satu bagian dari ilmu mengenai tanda.Padahal,menurut Barthes, kehidupan
sosial-budaya yang luas juga mengandung sistem ekstensif daritanda.Konsekuensinya, semiotika (semiologi) memiliki objek kajian yang sangat luas.Semiotika memang berurusan dengan bahasa, karena bahasa memiliki derajat unitas,aplikasi, dan kompleksitas.Namun, sangat gegabah jika kita mengkerdilkan tugas semiotikahanya sebagai bidang yang hanya mempelajari sistem bahasa.Semiotika justru lebih optimaljika digunakan untuk mempelajari sistem tanda dalam pengertian luas, yakni kebudayaan.Sistem tanda memang dapat dipahami berupa cara. Relasi di antaranya pun bisa bersifathomologis, analogis, dan bahkan metoforis. Dengan memperluas cakupan kerja semiotika,maka kita akan lebih kaya mendefinisikan objek kajian semiotika sebagai seluruh bentukkomunikasi maknawi manusia. Semuanya dapat dianggap sebagai sebuah „teks‟.Ketika semiotika diperluas tidak terbatas hanya pada bahasa, melainkan padakebudayaan, maka ia bisa digunakan untuk menganalisa kehidupan sosial, budaya,keyakinan, dan relasi sosial lainnya. Tanda sendiri adalah representasi terhadap „yang lain‟dalam pikiran.Tanda terdiri atas „ekspresi‟ berupa kata, suara, atau simbol; dan „konten‟berupa sesuatu yang menjadi makna ekspresi. Tanda dan teks dipahami secara luas: apapunyang memiliki struktur. 3. Konotasi budaya dalam semiotika Barthes Dalam kaitannya dengan penggunaan istilah teks dalam arti yang lebih luas, namaRoland Barthes tidak bisa dikesampingkan. Barthes menyebut dalam teori konotasi,mengenai apa yang disebutnya
346
sebagai mitos. Bagi Barthes, mitos adalah suatu sistemkomunikasi yang membawa pesan. Mitos bukan suatu konsep atau gagasan, melainkanbentuk tuturan yang ditampilkan dalam wacana.Barthes mengembangkan teori signifikansi,yang sebenarnya berangkat dari teori SaussureStrukturalisme Saussure adalah inspirasi Barthes dalam melihat mitos.Barthes membuat sebuah model struktur yang bersifat dinamis yang merupakan perluasan teori Saussure; menggunakan istilah expression 'ekspresi‟ untuk menunjuk aspek material daritanda (signifiant pada Saussure) dan istilah content „konten‟ untuk menunjuk aspek mentaldari tanda (signifie pada Saussure).Expression dan content yang berperan sebagai primarysign disebut sebagai denotasi.Primary sign itu kemudian meluas menjadi secondary sign yang disebut juga sebagaimetalangguage. Keseluruhan proses ini dikenal sebagai teori konotasi / signifikansi Barthes.Konotasi dalam terminologi Barthes mencakup mitos di dalamnya.Dalam teori ini, perluasantidak hanya perluasan makna (konotasi) tetapi juga perluasan bentuk (metalangguage).Dalam pengertian Barthes, mitos tidak ditentukan berdasarkan materinya, tetapi oleh isipesanyang disampaikannya.Mitos tidak selalu berbentuk verbal, melainkan bisa berbentuknon-verbal maupun campuran antar-keduanya. Expression Content Secondary sign (metalangguage)
Primary sign (denotation) Secondary sign (connotation) Expression Content Expression Content Kegunaan analisis Barthes soal mitos ini terhadap studi teks sebagai kebudayaanadalah memperluas wilayah jangkauan analisa tanda dalam kebudayaan.Dalam kebanyakankebudayaan, pengetahuan manusia sering kali berbentuk mitos sebagai perluasan tanda.Pesan-pesan antar-generasi ditransmisikan melalui mitos.Mitos tidaklah selalu arbitrer,karena ada bagiannya yang diungkapkan melalui peran analogi.Teori Barthes juga bergunakarena memungkinkan teori bahasa digunakan sebagai model bagi teks-teks lainnya.Iniberarti, penelitian kebudayaan tidak hanya mencakup pada teks dalam pengertian verbal,namun mencakup juga non-verbal yang sangat kaya. 4. Batik Bogor dan proses konotasi Sama halnya dalam artikel The World of Wrestling, di mana Barthes berusahamenguji pemaknaan dalam gulat, pendekatan semiotika juga dapat digunakan untuk melihatfenomena Batik Bogor. Batik Bogor, sama seperti gulat, hanya menjadi aksi teatrikal; sebuahpertunjukan teater, tanpa acuan ontologis. Artinya, tidak ada sistem pemaknaan batik dimasyarakat Bogor sebelumnya.Acuan batik di Bogor bisa dikatakan tidak ada.PemaknaanBatik Bogor
347
pun didasarkan pada sistem tanda yang melingkupinya. Dengan kata lain, setiapelemen dari Batik Bogor__baik material, nama, motif, bahasa, gaya, prosesmanufakturnya__menunjukkan hal-hal absolut di mana setiap orang harus selalu memahamiapa yang ada di dalam istilah Batik Bogor itu.Batik Bogor yang saya teliti menunjukkan bagaimana sang pencipta (Rukoyah danSiswaya), berusaha mengidentifikasi batik mereka dengan Kota Bogor__juga terhubungsecara material dengan Batik Jawa. Terdapat gambaran nyata bagaimana dalam Batik Bogor,terjadi situasi di mana yang privat menjadi publik.Dalam marketing, yang back stagemenjadi front stage. Ide batik tersebut mulanya adalah motivasi privat yang dapat dijelaskanmelalui berupa cara: pasar, habitus, atau ideologi. Namun, ketika dicetuskan, Batik Bogordimaksudkan sebagai benda publik. Dengan kata lain, berdasarkan semiotika Barthes, terjadiproses perluasan tanda, terjadi perluasan makna, terjadi konotasi. Batik Identitas komunitas Secondary sign (metalangguage) Primary sign (denotation) Secondary sign (connotation) motif ciri Bogor (talas, kujang, kebun raya) Batik Bogor Identitas Bogor
Mengapa pasangan pencipta Batik Bogor perlu mengidentifikasi diri dengan KotaBogor sekaligus Batik Jawa dapat diterangkan dengan analisa struktural dari Marshall Sahlin.Sahlin pernah meneliti bagaimana nilai simbolik (symbolic-value) dari hewan sebagaimakanan (food) atau bukan (inedible) pada dasarnya menyingkapkan dan mendukung hirarkisosial.Reproduksi dari seluruh alam mengkonstitusi objektivikasi seluruh kebudayaan.Melalui susunan sistematik dari perbedaan makna yang menetapkan yang konkret, aturankebudayaan direalisasikan juga sebagai aturan benda-benda.Barangbarang berdiri sebagaisebuah kode objek bagi signifikansi dan valuasi pribadi-pribadi dan upacara, fungsi, dansituasi.Produksi adalah reproduksi kebudayaan dalam sistem objek-objek. Contohnya, orang Amerika menilai anjing sebagai kerabat, dan kuda sebagai pelayan.Ia mengajukan contoh sebuah protes terhadap daging kuda yang dijajakan pedagang daging,sehingga daging kuda bisa dijual dan digunakan sebagai makanan anjing.Tetapi babi dansapi, di mana sapi menjadi daging spesial, tidak pernah dipertanyakan sebagai daging yangbisa dikonsumsi.Sahlin menunjukkan bahwa distingsi ini__dan siapa yang makan kuda atauanjing__juga menjadi tertangkap dalam jaring persepsi diri orang Amerika sebagai wargaberadab sementara kelompok kulit hitam sebagai warga tidak beradab. Dalam kasus Batik Bogor, terdapat nilai simbolik dari kain sebagai „batik‟ dan „bukanbatik‟.Dalam konteks masyarakat Indonesia, ada keyakinan budaya bahwa
348
batik kanonadalah yang terhubung dengan lokus kebudayaan seperti Solo, Madura, dan Pekalongan.Dengan sendirinya terjadi proses kategorisasi hirarkis terhadap persepsi sosial atas batik. Disisi lain, berkembang keyakinan lain bahwa batik bukan semata barang massal, melainkanbenda yang melekat pada komunitas. Perpaduan dua keyakinan demikian menghasilkanhirarki antara „batik‟ dan „bukan batik‟. Batik Bogor yang diciptakan harus memenuhi nilaisimbolik ini: „terhubung dengan Batik Jawa‟ dan „melekat pada komunitas Bogor‟. Proses konotasi juga terjadi dalam penciptaan motif-motif Batik Bogor. Di antarayang menonjol adalah motif “kujang” dengan variasi beragam seperti “kujang talas” dan“kujang kijang daun puring”. Tanda „kujang‟ merupakan ekspresi dari konten alat tempurkhas Bogor.Diletakkannya tanda „kujang‟ demikian dalam salah satu motif Batik Bogormerupakan tahap perluasan tanda. Konotasi ini, seperti bayangan Barthes, akan berwujudpada mitos. Dalam hal ini, ada proses mistifikasi terhadap tanda „batik bermotif kujang‟sebagai ekpresi sosial dari masyarakat Bogor. Motif lain, yaitu “Kebun Raya” merupakan ekspresi dari konten tempat bersejarahKota Bogor. Pemilihan motif ini didasarkan pada simbol Kebun Raya sebagai tujuan wisataKota Bogor. Dilekatkannya nama ini ke dalam motif Batik Bogor dapat dipahami sebagai„imajinasi semiotik‟ yang menggambarkan hubungan simbolik antara ekpresi dan konten.Gejala budaya berupa imajinasi semiotik seperti ini
memprioritaskan konten yang memilikikedalaman dengan konteks Bogor. Proses konotasi dapat dipadankan dengan proses memitoskan. Sebab, mitos adalahsistem signifikasi (sistem pemaknaan).Terdapat keterangan Barthes terhadapnya.Pertama,hubungan antara ekspresi dan konten cukup jelas dan tidak tersembunyi. Artinya, dengansegera kita akan tahu hubungan yang ada. Misal, motif dan ciri Bogor (kujang, Kebun RayaBogor, Talas, dsb). Kedua, dalam mitos, konten mendeformasi makna, sebab pada gilirannyakonten akan menjadi ekspresi baru. ketiga, mitos selalu merupakan sistem ganda. 5. Simpulan Semiotika, atau semiologi dalam terminologi Saussure, tidak terbatas cakupankerjanya hanya dalam bidang bahasa.Sebagai sebuah studi mengenai tanda, semiotika dapatdiarahkan kepada setiap jengkal wilayah yang bertanda__artinya dapat diterapkan kepadahampir seluruh bidang kehidupan.Sebab, kehadiran selalu membutuhkan mediasi tanda.Roland Barthes sebagai penerus Saussure memandang tugas semiotika lebih luas dari yangdibayangkan oleh pendahulunya.Dengan mengembalikan dan mengarahkan semiotika kebidang tanda yang luas, kita dapat menganalisa begitu banyak fenomena kebudayaan. Terhadap Batik Bogor, semiotika Barthes digunakan untuk melihat hubungan antartanda.Dalam proses konotasi, identifikasi batik itu terhadap pengaruh Jawa sekaligus kekhasan Kota Bogor, menghasilkan perluasan tanda yang disebut
349
sebagai mitos. Mitosdalam hal ini dipandang sebagai proses konotasi, yang dapat bersifat bolak-balikdipertukarkan dengan makna denotatifnya. Akibatnya, Batik Bogor dapat berdiri sebagaisuatu sistem pemaknaan baru bagi masyarakat Bogor sebagai hasil dari perluasan maknasemiotik. Pada akhirnya, tergambarkan bagaimana proses transformasi tanda dari tanda„batik‟ menjadi „identitas Bogor‟ terjadi. Semuanya berproses dalam model semiotikaBarthes. Pascastrukturalisme Barthes menysratkan struktur yang tidak tetap dan dinamis,konsekuensinya sistem pemaknaan Batik Bogor bukan bentuk finalitas usai, melainkan terusberkembang dalam proses semiotis yang sama. Daftar Acuan Alexander, J. C. dan S. Seidman. (1994). Culture and Society: Contemporary Debates. NewYork: Cambridge University Press. Barthes, R. (1964). Elements of Semiology.London: Hill and Wang Publisher. Denzin, N. K. (1994). Handbook of Qualitative Research.London: Sage Publications. Sunardi, S. (2004).Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. Whisnant, C.J. (2005). Differences between the Structuralists and Poststructuralists (handout). Wijayanto, E. (2012). Inovasi dan Kreasi Budaya pada Batik Bogor.Hasil
Penelitian Hibah Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitsa Indonesia.der.com/hijab-indonesiasejarah-yang-terlupakan/
350
SEMIOTIKA DALAM TAFSIR SASTRA Prasuri Kuswarini Jurusan Sastra Prancis Unhas Email:
[email protected] Abstract This article is a literature review that discusses the semiotic approach to the study of literature. The discussion starts with notions about literature in general that say that literature is a work of art that uses the medium of language and tells about life. However, as noted by some experts, one of them is Eagleton, the use of language in literature often alienated or is not like its use in everyday life. Based on such understanding, the explanation is done from a structural approach that emphasizes the linguistic analysis, and ended with the discussion of Jakobson‟s poetic function of the language, which, at the same time, opens the talk about semiotic approach. Poetic function can be regarded as a bridge between linguistic analysis and aspects beyond language, such as emotion, psychology, ideology, etc, which plays an important role in the formation of linguistic expression. Those aspects can then be analyzed more deeply with semiotic approach, because semiotics is the study of signs within social and cultural phenomena. Key words: literature, language, poetic function, semiotics A. Pendahuluan Karya sastra adalah karya seni yang bermedium bahasa.Sebagai karya seni, sastra tentunya memiliki keunikan, nilai keindahan dan pesan yang terkandung di dalamnya.Keunikan karya sastra terbangun dari berbagai unsur, yaitu unsur bahasa, struktur dan pesannya. Unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut selain dapat menjadi „hiasan“ yang memperindah karya itu, juga dapat menjadi tabir yang menghalangi pembaca untuk memahami isi atau pesan yang dikandungnya. Banyak metode sudah dilahirkan untuk menguak makna karya sastra, mulai dari metode yang berbasis pada unsur-unsur atau struktur karya sastra hingga metode yang berasal dari
disiplin ilmu lain, seperti ilmu sosial, politik, filsafat, psikologi, hingga yang sekarang populer, semiotika. Metode-metode yang berasal dari luar bidang sastra digunakan berdasarkan asumsi, bahwa sastra berhubungan dengan manusia dan segala permasalahannya.Semiotika sebagai salah satu metode yang penting dalam pemaknaan karya sastra berangkat dari strukturnya, karena semiotika adalah lanjutan dari Strukturalisme (Pradopo, 2007: 224 mengutip Junus, 1981: 17).Karena itu, bagaimana semiotika membedah karya sastra sangat dipengaruhi oleh das Sein dan das Sollen dari sastra itu sendiri. Berikut ini akan dipaparkan secara singkat, apa yang menjadi das Sein dan das Sollen sastra, dan
351
bagaimana cara semiotika menganalisis karya sastra berdasarkan hal itu. B. Apakah Sastra? Dalam essaynya yang berjudul Dichtung und Wahrheit (fiksi dan kenyataan), Johann Wofgang von Goethe (1749-1832), sastrawan besar Jerman, mengemukakan bahwa sastra adalah cerminan kenyataan, atau bisa juga dikatakan, bahwa kenyataan adalah sumber inspirasi sastra.Sebuah karya sastra dapat menggambarkan bagaimana seseorang berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak sesuai dengan status sosial dan pandangan hidupnya. Dalam karya yang lain dapat diceritakan, bagaimana kelompok masyarakat aristokrat menikmati status mereka yang menjadi daya tarik kelompok masyarakat lain dari kelas sosial di bawahnya. Goethe juga melihat sastra sebagai media bagi kaum muda untuk menyampaikan gagasan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Selain itu, melalui karya sastra manusia dapat saling mengenal manusia lain yang berada di belahan bumi yang lain. Karya sastra juga dapat mempersatukan manusia dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda, karena sastra tidak mengotak-kotakkan manusia. Melalui karya sastra manusia memperkaya jiwanya dengan cara mempelajari kearifan pendahulunya dan menertawakan kelemahannya sendiri yang disangkanya telah lama teratasi (Günther,ed, 1982: 1117). Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa karya sastra menurut Goethe adalah cerita tentang kehidupan, media komunikasi antar manusia, dan sarana
pengaya jiwa. Goethe adalah sastrawan yang karya-karyanya dipengaruhi oleh ideologi Sturm und Drang , yaitu sebuah ideologi yang menggabungkan rasionalitas Aufklärung (pencerahan) dan sensitivitas Romantik. Karena itu karya-karya Goethe selalu bercerita tentang realitas manusia dan kehidupannya, baik itu realitas raga maupun atau sekaligus realitas jiwa. Namun sastra bukanlah fakta, karena bahan baku penciptaannya selain realitas sebagai inspirasi, imaji dan tentu saja penggunaan bahasa juga berperan penting. Itulah keunikan sastra Terry Eagleton berpandangan, bahwa keunikan sastra yang terletak pada penggunaan bahasa secara „tidak biasa“ dapat menjadi titik tolak pendefinisian sastra, seperti yang dilakukan oleh para formalis Rusia. Menurut mereka sastra adalah jenis tulisan yang menyajikan „tindak kekerasan teratur“ terhadap ujaran biasa, dengan cara mentransformasi dan mengintensifkan bahasa biasa, menyimpangkan bahasa secara sistematis dari ujaran sehari-hari. Bahasa sastra adalah bahasa yang dibuat asing. Karena itu, bertentangan dengan pendapat Goethe, para formalis Rusia tidak setuju mendefinisikan sastra sebagai kendaraan untuk ide, refleksi realitas sosial maupun manifestasi dari kebenaran transendental, karena sastra terbuat dari kata-kata, bukan objek maupun rasa. Sastra adalah pengaturan bahasa tertentu yang memiliki hukum, struktur dan alat spesifiknya sendiri, yang dapat dipelajari dan diteliti dalam dirinya sendiri, karenanya salah bila mengartikan sastra
352
sebagai ekspresi pengarangnya (Eagleton, 1996: 2-5). Mendefinisikan sastra memang tidak mudah, seperti yang ditegaskan oleh Teeuw (2003:19-22).Teeuw berangkat dari aspek bahasa untuk melihat kemungkinan mendefinisikan sastra dengan baik, yang dibahasnya dengan membandingkan istilah tersebut dengan istilah-istilah yang mendekati dari berbagai bahasa, seperti dari bahasa Inggris (literature), Jerman (Literatur), Prancis (littérature) yang semuanya berasal dari bahasa Latin litteratura, juga bahasa jawa (susastra) yang berasal dari bahasa Sanskerta, bahasa Arab (adab, tamaddun), dll. Meskipun pada prakteknya istilah-istilah yang dijadikan acuan tersebut digunakan juga untuk menjelaskan gejala-gejala yang tidak selalu berhubungan dengan sastra, namun satu hal yang pasti adalah adanya kesamaan persepsi tentang sastra, yaitu sebagai ekspresi yang dituangkan secara tertulis. Memahami karya sastra tidak selalu mudah. Apa yang Goethe katakan tentang isi karya sastra seringkali tidak serta merta dapat dipahami oleh pembaca, karena selain kandungannya, karya sastra juga mempunyai ciri fisik yang unik, seperti yang dijelaskan oleh para formalis Rusia, yang berfungsi seperti pintu masuk ke dalam pemahaman isinya, dan pintu itu bisa banyak jumlahnya, tergantung, dari mana kita akan masuk. Bila pembaca mendapatkan kunci yang tepat untuk salah satu pintu, pemahaman akan terbuka. Mengenai pintu-pintu yang menghambat pembaca masuk ke dalam pemahaman karya sastra, Teeuw (2003:26-32) menjabarkannya
dalam tujuh ciri karya sastra (tulis), yaitu yang berupa: Ambiguitas. Gejala ini muncul karena keterbatasan bahasa sastra tulisan yang tidak disertai oleh sarana suprasegmental, seperti intonasi yang berperan langsung dalam pemahaman struktur kata dan kalimat. Unsur lainnya adalah yang bersifat ekstralingual, seperti mimik, gestik (bahasa tubuh), konteks situasi, dll Perspektif penceritaan. Tidak adanya faktor pembicara seperti pada tindak komunikasi normal memberi peluang pada pengarang untuk mengeksploitasi perspektif penceritaan dalam karya sastra. „Aku“ dalam sebuah karya tidak boleh langsung diidentikkan dengan pengarang, seperti tokoh „aku“ dalam Wuthering Heights karya Emilie Bronté, yang bisa dihubungkan dengan beberapa tokoh, tergantung pada peristiwa yang diceritakan. Selain „aku“ masih ada pencerita lain (narator, fokalisator) yang keberadaannya dapat diketahui melalui pendekatan misalnya naratologi. Otonomi. Karya sastra dianggap lepas dari penulisnya. Hal itu disebabkan hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam sebuah karya dengan penulisnya tidak jelas, seperti yang telah dijelaskan secara singkat di atas mengenai tidak dapat terhubungnya pencerita dengan penulis. Situasi komunikasi yang tidak biasa ini justru menjadi kekuatan karya sastra untuk dieksploitasi dan dipermainkan. Hal itu menyebabkan lahirnya berbagai konvensi sastra yang harus dikuasai pembaca.
353
Potensi untuk diinterpretasi. Mengacu pada pendapat para formalis Rusia tentang permainan bahasa dalam karya sastra, serta ketidak biasaan situasi komunikasi yang dibangunnya, karya sastra sangat berpotensi di multi tafsirkan. Di sini pembaca berperan tanpa dibantu oleh penulis. Yang membantu pembaca adalah konvensi yang dikuasainya serta kata-kata tempatnya bergantung. Konvensi. Seiring berjalannya waktu, konvensi sastra juga terus berkembang, sehingga pemaknaan atas suatu karya sastra juga dapat terus berubah. Tidak ada model pemaknaan yang mapan, karena selalu muncul informasi baru. Reproduksi. Adanya variasi akibat reproduksi karya sastra ke bentuk teks yang lain, ke bahasa yang lain atau ke bahasa yang sama namun dari jaman yang berbeda, misalnya dari bahasa kuno ke bahasa yang berlaku sekarang memperkaya interpretasi, baik dari pembaca awam maupun ilmuwan. Perbedaan penafsiran karena perbedaan waktu, tempat dan kebudayaan. Ke tujuh ciri sastra yang telah diuraikan di atas bermuara pada satu masalah, yaitu pemaknaan atau interpretasi.Untuk sampai pada makna, banyak jalan yang dapat ditempuh.Salah satu contohnya adalah jalan yang ditunjukkan oleh para formalis Rusia, yaitu jalan formal, struktural.Jalan ini mendekati karya sastra dari aspek formal yang ada dalam karya itu sendiri, yaitu aspek-aspek yang berhubungan dengan konvensi sastra dan bahasanya.Cara
pendekatan para formalis ini mengingatkan kita pada de Saussure yang mengatakan, bahwa pemaknaan tanda-tanda kebahasaan terjadi secara bersamaan pada dua elemen kebahasaan yang berbeda, yaitu elemen bunyi (image acoustique) dan konsep, yang dinamainya sebagai signifiant dan signifie.Meskipun kedua elemen ini tidak dapat dipisahkan, namun hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer, atau sewenangwenang.Prinsip ini jugalah yang dianut oleh para formalis, yang memisahkan antara aspek formal sebuah karya dengan maknamakna lain di luar aspek tersebut.Lalu, bagaimana caranya kita sampai pada makna, bila hubungan antara struktur dan makna tidak jelas, atau arbritrer seperti kata Saussure? C. Semiotika dalam Tafsir Sastra Semiotika adalah ilmu tentang tandatanda dan komunikasi yang mempelajari fenomena sosial, budaya dan sastra termasuk di dalamnya (Eco, 1979: 22). Karya sastra sebagai karya seni yang bermedium bahasa digolongkan ke dalam sistem semiotik tingkat kedua (second semiotic order), karena sistem semiotik tingkat pertama adalah bahasa, yang tanpa menjadi alat bagi sastra pun sudah memiliki makna (meaning) Jawaban atas pertanyaan pada akhir bagian B di atas mungkin dapat ditemukan dalam teori semiotika yang diusung oleh Charles Sanders Peirce, seorang filusuf Amerika yang mengembangkan teori dikotomi tanda dari de Saussure menjadi trikotomi tanda.Teori dikotomi tanda dari Saussure lebih menekankan pada analisis bahasa sebagai first semiotic order. Dalam trikotomi tanda dari Peirce, sebuah tanda
354
terdiri dari tiga unsur yang merupakan satu kesatuan, yaitu sign/ representamen – object – interpretant . Hubungan antara sign/ representamen dan object di sini mirip dengan hubungan antara image acoustique(signifier) dan konsep (signified), sedangkan interpretant adalah bagaimana sebuah tanda dipahami oleh pengguna tanda. Menurut Peirce, representamen is something which stands to somebody for something in some respect or capacity (Büchler (ed), 1955: 99). Jadi, sebuah tanda menunjuk pada sesuatu (objeknya), bagi seseorang (interpretantnya), in some respect, dalam beberapa hal (ground).Representamenb-u-ng-a dapat saja menunjuk pada sesuatu yang konkret, yang berhubungan dengan tanaman, berwarna-warni, berbau harum, cantik, atau pada sesuatu yang lebih bersifat asosiatif, seperti gadis, pahlawan, dll. (object), yang bagi orang tertentu (to somebody/ Interpretant) hadir sebagai satu atau beberapa jenis bunga atau sesuatu yang lain yang berasosiasi dengan bunga, gadis atau pahlawan tertentu (ground). Proses penandaan yang terjadi dalam trikotomi tanda dari Peirce disebut semiosis (Hawkes, 1977:103). Peirce menawarkan tiga konsep trikotomi tanda (Büchler, 1955: 101104).Konsep yang pertama adalah trikotomi yang terdiri dari Qualisign, Sinsign, Legisign.Qualisign adalah tanda yang menunjukkan kualitas, yang hanya bisa bermakna bila sudah diwujudkan dalam suatu tuturan.Sinsign adalah tanda yang muncul hanya sekali (being only once) secara aktual dalam bentuk sesuatu atau kejadian.Legisign adalah tanda yang berupa
hukum atau aturan. Trikotomi yang pertama ini merujuk pada tanda (sign) nya Trikotomi kedua adalah Icon, Index dan Symbol.Icon adalah tanda yang menunjukkan karakter atau sifat yang dimiliki objeknya, tidak peduli objek itu konkret ataupun abstrak.Apapun dapat menjadi ikon bagi sesuatu, apakah itu kualitas, keberadaan individu, atau seperangkat hukum.Index adalah tanda yang menunjuk pada objek yang dipengaruhi oleh objek itu sendiri.Hubungan yang terjalin bersifat konkret, aktual dan biasanya sekuensial dan kausal.Symbol adalah tanda yang hubungan antara signifier dan signified-nya bersifat arbitrer.Pemaknaan simbol menuntut keterlibatan aktif interpretant. Contoh penerapannya adalah sbb: Jariku menunjuk pada sebatang pohon, atau perhatianku pada daun-daun yang berserakan di tanah, yang dapat disebut sebagai index dari sebuah pohon; lukisanku yang menggambarkan pohon itu adalah icon; ujaranku yang mengeluarkan bunyi „pohon“ adalah simbol dari pohon, karena antara bunyi pohon dengan pohon tidak ada kesamaan bentuk atau karakter. Trikotomi yang kedua ini merujuk pada objeknya.Trikotomi ketiga yang merujuk pada interpretantnya adalah Rheme, Dicisign atau Dicent Sign (proposisi atau quasi proposisi) dan Argument. Rheme adalah tanda yang bagi interpretantnya bermakna kemungkinan kualitatif bagi sebuah objek, sedangkan Rheme mungkin saja menghasilkan informasi tentang objek tersebut, dan Argument adalah sebuah tanda yang objeknya tidak berupa sesuatu,
355
melainkan sebuah hukum (Büchler, 1955: 101-104; Hawkes, 1977: 103-107). Dalam tafsir sastra, trikotomi kedualah yang banyak digunakan, karena ketiga elemen yang ada di dalamnya dapat menjelaskan gejala-gejala bahasa yang sering digunakan dalam karya sastra yang sulit dimaknai hanya dengan pendekatan formal atau struktural. Cara yang ditawarkan Peirce hanya sedikit contoh dari cara pemaknaan tanda dengan pendekatan semiotika. Semiotika menawarkan cara menafsirkan karya sastra dengan menghubungkan aspek formal yang mencakup bahasa dan unsur-unsur konvensional serta struktural sastra dengan dunia di luar struktur dan forma. Peirce membawa dunia luar dalam proses semiosis dalam bentuk interpretant. Interpretant menjembatani hubungan yang bersifat sewenang-wenang antara sign/representamen dengan object melalui intensi, pengalaman atau latar belakang interpreter dalam berbagai aspek serta konteks. Selain itu melalui konsep trikotomi yang ke dua mengenai tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks dan simbol proses pemaknaan tanda selalu merujuk pada objek yang senantiasa berhubungan dengan dunia luar tanda (kebahasaan). Karya sastra, seperti yang digambarkan oleh kaum formalis Rusia sebagai permainan bahasa, yang artinya adalah bahwa bahasa dalam sastra tidak digunakan sebagaimana biasanya seperti dalam kegiatan berkomunikasi, menyediakan kesulitan tertentu bagi pembacanya.Dalam puisi, misalnya, banyak dijumpai ungkapanungkapan serta majas yang dapat
menyesatkan pembaca, karena tidak jelasnya hubungan antara tanda yang diberikan dengan objek yang dituju.Di sinilah diperlukan interpretant untuk mendapatkan makna yang ingin digali. Namun bagaimana proses pemaknaan pada elemen interpretant itu terjadi? Dalam proses semiosis sederhana, yaitu ketika seseorang menjumpai suatu tanda, yang terjadi dalam benak orang tersebut adalah suatu proses analisis terhadap bunyi (image acoustique) atau simbol bersama-sama dengan konsep yang melekat pada tanda tersebut dan dihubungkan dengan seluruh latar belakang si penerima tanda seperti intensi, konteks, konvensi budaya, dll. Untuk menganalisis sebuah puisi, misalnya, dapat digunakan pola semiosis yang digambarkan oleh Peirce di atas.Puisi adalah sebuah tanda yang terdiri dari banyak tanda yang menjadi satu kesatuan.Karena tanda yang berupa puisi memiliki kompleksitas yang tinggi, maka pemaknaan perlu dilakukan bertahap, mengikuti pola semiosis Peirce, yaitu mulai dari unsur bunyi, atau dalam puisi dapat disejajarkan dengan bentuk formal atau strukturnya.Langkah selanjutnya adalah memaknai temuan yang didapat dari hasil analisis bentuk atau struktur tadi, yaitu dengan menghubungkannya dengan dunia di luar tanda seperti kenyataan kultural, sosial atau psikologis yang memiliki relevansi atau korelasi dengan tanda-tanda yang ada tersebut. Langkah pertama yang digambarkan di atas dilakukan oleh para formalis yang meyakini, bahwa sastra pada dasarnya adalah wacana yang mengasingkan atau mengalienasi ujaran biasa, yang secara
356
tidak biasa membawa pembacanya pada pengayaan pengalaman (Hawkes:1996: 5). Salah seorang formalis yang teori pendekatan sastranya banyak digunakan adalah Roman Jakobson. Jakobson terkenal dengan tesisnya mengenai fungsi puitik bahasa yang berbunyi: sebuah ujaran dapat dikatakan puitis bila rangkaian kata-katanya tidak hanya dapat menghasilkan petunjuk pada hubungan-hubungan dari suatu realitas, namun juga mengandung bobot dan nilainya sendiri. Menurut Jakobson untuk menjawab pertanyaan apa kriteria linguistis dari fungsi puitik, atau dengan kata lain, di mana letak karakter utama sebuah karya sastra, adalah dengan melakukan operasi mendasar terhadap setiap hubungan verbal. Operasi tersebut bernama operasi seleksi dan kombinasi.Berikut ini adalah contoh yang dimaksud sebagai fungsi puitik oleh Jakobson: bila „anak“ membentuk sebuah tema dari seperangkat pesan kebahasaan, maka si penutur akan memilih satu dari banyak atau sedikit kata-kata utama yang dekat dengan kata „anak“, misalnya: bayi, upik, buyung, dll, yang menurut ukuran tertentu memiliki nilai yang sama. Untuk menyampaikan tema yang diinginkannya, si penutur akan memilih kata kerja yang secara semantis cocok, seperti: tidur, terlelap, bermimpi, dll., lalu mengkombinasi katakata yang sudah dipilih tadi menjadi sebuah ujaran. Seleksi dipenuhi atas dasar ekivalensi, kemiripan atau ketidakmiripan, sinonim dan antonim, sedangkan pembentukan sekuen atau urutan didasarkan atas kontiguitas.Yang dimaksud dengan kontiguitas oleh Jakobson adalah prinsip merangkai elemen-elemen
kebahasaan seperti kata-kata ke bentuk ujaran yang benar dan dapat dipahami.Fungsi puitik memproyeksikan prinsip ekivalensi dari poros seleksi ke poros kombinasi. Ekivalensi menjadi caramendasar untuk menganalisis sekuen. Dalam sebuah puisi, sebuah suku kata dipadankan dengan suku kata lainnya dalam sebuah sekuen yang sama; aksen dipadankan dengan aksen; panjang dengan panjang; pendek dengan pendek; intonasi dengan intonasi; pause dengan pause,dll.(Bleisem & Reißner, 1996: 32-36). Dengan prinsip ekivalensi dari Jakobson, sebuah puisi dibedah berdasarkan prinsip kesetaraan dan ketidaksetaraan (yang seimbang), baik secara sintaktis maupun semantis, mulai dari tataran fonologis, morfologis, kalimat, hingga ke majas.Tidak hanya aspek kebahasaan saja yang dianalisis, aspek bentuk visual juga menjadi perhatian. Dalam cara kerjanya, prinsip ekivalensi juga menggunakan metode isotopi, yaitu mengelompokkan satuan-satuan yang berasal dari medan makna yang sama atau yang berlawanan. Singkatnya, cara analisis ini masih bergerak pada semiosis tingkat pertama. Dengan cara seperti ini akan diperoleh sebuah gambaran yang lebih jelas, ke arah mana kira-kira pemaknaan dapat dilakukan. Namun, seperti halnya semua pendekatan struktural, pendekatan ini pun hanya dapat memberikan semacam arah ke pemaknaan yang lebih lanjut.Dan pemaknaan lebih lanjut tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan semiotika. Pendekatan semiotika akan memperdalam dan memperkaya pemaknaan melalui pelibatan analisis formal dan linguistis
357
dengan aspek-aspek kultural, sosial, antropologis, psikologis, dll, sehingga elemen object dalam trikotomi Peirce dapat dimaknai. Dengan cara inilah pemaknaan tingkat ke dua terjadi. Selain Peirce, Roland Barthes, seorang pakar semiotika Prancis, juga mengembangkan teori tanda dari Saussure dalam bentuk analisis semiotik yang berangkat dari hubungan antara signifier dan signified yang menurutnya tidak dalam bentuk kesejajaran (equality) melainkan dalam bentuk kesepadanan (equivalence). Yang harus dipahami dari hubungan tersebut bukanlah urutan pemaknaan dari satu elemen ke elemen lainnya melainkan pemaknaan yang utuh, yang melihat kedua elemen tanda tersebut sebagai sebuah kesatuan. Dalam hubungannya dengan bahasa, hubungan struktural antara signifier dan signified oleh Saussure disebut sebagai linguistic sign (Hawkes,1977: 106), dan Barthes menambahkan, bahwa dalam hubungannya dengan sistem non linguistik, asosiatif total dari signifier dan signified tersebut merupakan tanda itu sendiri. Sebagai contoh Barthes menjelaskan, bagaimana seikat bunga mawar merah dapat digunakan untuk memaknai gairah. Penjelasannya adalah sbb.: seikat mawar merah adalah signifier, gairah adalah signified. Hubungan antara keduanya (asosiasi total) menghasilkan terminologi ketiga, yaitu seikat mawar merah sebagai sign. Seikat mawar merah sebagai sign adalah sesuatu yang berbeda dengan seikat mawar merah sebagai signifier, yaitu sebuah entitas hortikultural. Sebagai signifier seikat mawar merah bernilai kosong, sedangkan sebagai signia
bernilai penuh. Yang mengisi sign tersebut adalah intensi kita dan konvensi kemasyarakatan serta saluran-saluran yang menyediakan bentangan sarana untuk tujuan (pemaknaan) itu. Bentangan sarana itu sifatnya ekstensif berdasarkan kesepakatan dan terbatas, serta menawarkan sistem yang rumit dalam cara pemaknaan. Contoh pemaknaan seikat mawar merah tidak berhenti hanya sampai „gairah“. Barthes menunjukkan, bahwa pemaknaan atas sebuah tanda dapat sampai pada „mitos“, yaitu sistem yang rumit dari imej dan keyakinan yang dikonstruksi oleh sebuah kelompok masyarakat, yang digunakan untuk mempertahankan dan membuktikan kebenaran dari suatu keberadaan. Roland Barthes dalam bukunya Mythologies menjelaskan, bagaimana mitosmitosyang koheren dalam sebuah teks dapat membuka ideologi yang diusung teks tersebut.Mitos oleh Barthes dijelaskan sebagai konotasi-konotasi yang berasal dari denotasi-denotasi. Dalam proses pemaknaan tanda, penanda (signifier) denotatif selain mengandung unsur petanda (signified) denotatif, ia sekaligus juga memiliki potensi menjadi penanda konotatif yang akan menghasilkan petanda konotatif. Penanda konotatif bila bergabung dengan petanda konotatif akan memunculkan tanda konotatif, yang disebut konotasi. Konotasi ini akan muncul ketika suatu tanda berinteraksi dengan emosi, pengalaman dan perasaan pengguna tanda tersebut. Kumpulan konotasi dalam suatu teks dapat membentuk mitos tertentu.Jadi mitos sebenarnya tidak dihasilkan oleh makna, melainkan oleh image.Sebuah mitos dapat
358
terbentuk dari sebuah atau bahkan sejumlah besar konotasi yang koheren. Bila dari suatu teks kemudian terkumpul mitos-mitos yang koheren, maka yang akan muncul sebagai kesimpulan adalah ideologi yang terkandung dalam teks tersebut (Barthes, 1973: 109158). Berikut ini adalah contoh operasi ideologi terhadap cuplikan sebuah cerpen berbahasa Jerman yang bercerita tentang seorang tokoh yang hidup di Hongkong pada tahun-tahun terakhir Hongkong sebagai bagian dari koloni Inggris. Die Zitternde Stadt In neun Jahren ist es soweit: Hongkong, seit 1840 britische Kronkolonie, fällt an die Volksrepublik China. Niemand weiß, was die Rotchinesen aus der goldenen Gans des Ostens machen werden. Noch blühen die Geschäfte, doch mancher sucht die Sicherheit im Ausland.http://www.litde.com/ideologieund-theorie/die-diskursiven-verfahren-derideologie/isotopien-als-konnotationskettenoverlexicalization.php Kota yang Cemas Tinggal sembilan tahun lagi: Hongkong, yang sejak 1840 koloni primadona Inggris, akan jatuh ke Republik Rakyat Cina. Tak seorang pun tahu, apa yang akan dilakukan Cina merah terhadap angsa emas dari timur itu. Bisnis masih sumringah, namun toh beberapa mencari rasa aman di luar negri. Dari potongan kecil cerpen di atas dapat ditarik tiga kelompok medan makna (isotopi), yaitu: 1. yang berasosiasi ke „komunisme“: Volksrepublik China
(Republik Rakyat Cina), Rotchinesen (Cina merah); 2. yang berasosiasi ke „kapitalisme“: Hongkong, britische Kronkolonie (koloni primadona Inggris), fällt (jatuh), goldene Gans des Ostens (angsa emas dari timur), blühen (mekar/ sumringah), Geschäfte (toko-toko/ bisnis), Sicherheit (rasa aman/ keamanan). 3; dari “ketidakpastian” (Unsicherheit): fällt (jatuh), niemand weiß (tidak seorangpun tahu), noch(masih), mancher sucht (beberapa mencari), doch (namun toh), Sicherheit im Ausland (rasa aman/ keamanan di luar negri), zitternde Stadt (kota yang cemas/ gemetar). Pada isotopi pertama kombinasi kata Rot-Chinesen (Cina merah) berkonotasi situasi berbahaya yang diasosiasikan dengan bahaya merah: tentara merah, revolusi merah, front merah, dll. Sedangkan isotopi kedua berkonotasi kemakmuran bak di negeri dongeng dalam kapitalisme (angsa keemasan dari timur), yang konotasinya diperkuat melalui frasa „dari timur“. Sementara itu, isotopi ketiga membangun konotasi „ketakutan kapitalisme terhadap tentara revolusioner merah“ melaluikata dan kelompok kata: „jatuh“, „rasa aman/keamanan“ dan „kota yang cemas/gemetar“. Isotopi ketiga juga menegaskan sebuah kejatuhan yang semakin dekat, yang mengingatkan kita pada kejatuhan Berlin ke tangan tentara Uni Sovyet. Angsa keemasan itu mungkin akan segera disembelih.... .ketiga isotopi tersebut membangun konotasi-konotasi yang mengarah pada mitos-mitos kejahatan komunisme, kemakmuran kapitalisme, ketakutan kapitalisme terhadap ancaman
359
komunisme. Mitos-mitos itu secara koheren membuka ideologi teks mini di atas, yaitu ideologi James Bond yang selalu membela kepentingan kaum kapitalis, karena kaum komunis selalu jahat (kapitalis baik, komunis jahat). D. Kesimpulan Dari penjelasan mengenai semiotika dalam tafsir sastra di atas dapat dilihat, di mana posisi linguistik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, Barthes menggolongkan semiotika ( semiology) ke dalam Trans-linguistics. Meskipun bekerja di luar substansi kebahasaan, semiotika diharapkan dapat menemukan bahasa, bukan sebagai model yang dipahami para linguis, melainkan bahasa as a second order, yang kesatuannya bukan lagi berupa morfem atau fonem,melainkan potongan-potongan yang lebih besar dari sebuah wacana yang menunjuk pada suatu objek (Barthes, 1967: 11) yang maknanya didasari oleh bahasa. Dalam tafsir sastra, analisis semiotika, baik teoretis maupun praktis selalu berangkat dari analisis kebahasaan dulu, seperti yang digambarkan dalam segitiga makna dari Peirce, sebagai dasar pemaknaan selanjutnya.Hal ini penting dilakukan, karena interpretasi atau pemaknaan terhadap suatu teks harus berjalan di atas koridor yang benar.Eco mengatakan, bahwa sebuah teks berpotensi di interpretasi tanpa batas, tetapi tidak berarti, bahwa setiap kerja interpretasi dapat dibenarkan.Batas interpretasi muncul bersamaan dengan hak-hak teks, artinya
setiap tanda yang membangun teks tersebut memiliki hak untuk diinterpretasi, namun sekaligus membangun benteng sendiri bagi luasnya interpretasi (Eco, 1995: 22).
DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 1973. Mythologies. Paladin: Frogmore, St. Alban. -------------------. 1977. Elements of Semiology. Hill and Wang: New York. Bleisem & Reißner. 1995. Neuere Deutsche Literaturwissenschaft. Klett: Stuttgart. Buchler, Justus (ed). 1955. Philosophical Writings of Peirce. Dover Publication Inc: New York. Eco, Umberto. 1995. Die Grenzen der Interpretation.( diterjemahkan dari: I limiti del Interpretazione. Oleh Günter Memmert).DTV: München. ---------------- . 1979. A Theory of Semiotics. Indiana University Press: Bloomington Eagleton, Terry. 1996. Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komprehensif. (diterjemahkan dari: Literary Theory: An Introduction. Oleh Harfiah Widyawati). Jalasutra: Bandung Hawkes, Terence. 2003. Structuralism and Semiotics. Routledge: London, New York Pradopo, Rahmat Djoko. 2007. Prinsipprinsip Kritik Sastra. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Teeuw, A. 2003.Sastera dan Ilmu Sastera. Pustaka Jaya: Jakarta
344
ANALISIS KESALAHAN HASIL TERJEMAHAN MAHASISWA SASTRA INGGRIS UNHAS DALAM MENERJEMAHKAN NASKAH BAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA INGGRIS Noer Jihad Saleh Fakultas Sastra Universita Hasanuddin email:
[email protected]
Abstract This study aimed to describe the error analysis of Indonesian - English made by the student of English Department of Unhas . This research is descriptive qualitative .The data collection by means of quistionaire distribution questionnaires , and the provision of translation tasks t made by the respondents . The subjects of this is students of English Department Unhas , while its object is tranted texts made by the students. Data analysis performed „ content analysis approach‟ concerning with grammatical errors and lexical errors . The results of the study indicate that translating Indonesian - English exts more difficult, compared to English - Indonesian taranslation. This relates to the level of English competence of the translator .In addition based on the analysis of the results of translation errors of students , the total number of lexical errors is little more compared to grammatical errors . The grammatical errors, include: structure , coherence and morphological aspects . While errors at lexical aspects include terminology , expressions , and cultural content . The study also found that the tendency of studentsin translating the Source language text, neglecting the the proper translation process, but they translate the texts directly from the source language into thetarget language . Keywors: translation, error analysis, lexical, grammaticalthe
I Pendahuluan Sejak ratusan tahun yang lalu, terjemahan telah memegang peranan penting dalam proses komuniksi antara bangsa dengan berbagai macam bahasa. Peranan tersebut bertambah hebat dalam era globalisasi karena dalam tersebut terjadi produksi informasi yang melimpah -ruah atau sering dikenal era peledakan informasi informasi untuk semua lini kehidupan Indoensia sebagai negara yang sedang berkembang, senatiasa terbuka untuk menyambut kehadiran ilmu pengetahuan yang maju dari negara-negara berkembang.
Hanya saja proses transfer kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebutterhambat oleh masalah bahasa . Hampir semua n aegara yang sudah maju merekam informasi dan ilmu pengetahuan ke media cetak dan media lain dalam baha sa Inggris sebaga bahasa internasional. Menururt Broughton,et al (1985) bahwa terdapt 300 juta penutur Bhasa Inggris sebagai bahasa Ibu yang tersebar ke 5 benua,dan masih ada sekitar 250 juta pendudukn yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (L2) . Status Bahasa Inggris di Indonesia hanyalah
361
dipelajari sebagai bahasa asing,dan hanya sejumlah kecil penduduk Indonesia yang bisa menguasainya secara aktif. Karena harapan untuk menguasai bahasa Inggris secara massif membutuhkan waktu yang cukup panjang maka untuk proses pengadopsian Ilmu pengtahuan dari negara maju ke negara kita, maka harus dilakukan usaha penerjemahan buku-buku dan literature dari bahsa Asing ke Bahasa Indonesia, sebagimana disarankan oleh Alihsyahbana (1990) bahwa: JIka pemerintah Indonesia betul-betul ingin membangun bangsa Indonesia yang jauh ketinggalan dari negara tetangga, mak perlu ada perencanaan projek enerjemahan besar-besaran. Senada dengan saran Alisyahbana, berkaitan dengan perlunya Gerakan Penerjemahan Nasional , Moelyono juga mengaskan bahwa; Perkembangan kebudayaan dan peradaban modern di dalam berbagai bidangnya,seperti ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni akan dapat diikuti dengan lebih baik jika didukung oleh tersedianya sarana kepustakaan yang memadai. Disamping itu karangan para ahli Indonesia yang terbuka bagi pemakai bahasa Indonesia, masih lebih banyak lagi informasi khusus yang tersimpan dalam bahasa asing, dan hanya terbuka bagi mereka yang memahami bahasa asing itu. Pad hal , pengalihan pengetahuan dan teknologi demi kelancaran pembangunan di segala bidang mensyaratkan perolehan informasi,dan keterampilan berdasarkan informasi itu, yang belum terjangkau karena perintangan bahsa
asing. Banyak pemikir budaya Indonesia yang sudah menegaskan betapa pentingnya kita mengembangkan usaha penerjemahan pada sekal besar agar informasi yang penting itu juga menjadi milik orang banyak yang tidak akrab dengan bahasa asing (Larson, diterjemahkna oleh Taniran, 1988:xiii) Mencermati pokok pikiran dua tokoh pendidikan nasional tersebut, Direktorat Pendidikan Tinggi DepDik Bud RI telah beberapa kali menyelenggarkan Pelatihan Penerjemahan Buku ajar diklangan Dosen Perguruan Tinggi. Hanya saja materi pelatihan yang hanya berlansung 1 minggu, dianggap kurang memadai dan materinya juga bersifat teoritis dan tidak membimbing peserta untuk menghasilkan karya terjemhan dalam kategori buku ajar. Usaha lainyang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayan dalam menghasilkan tenaga proffisional dibidang penerjemahan ialah mendirikan pendidikan formal disebut STPN(Sekolah Tinggi Penerjemah Nasional) di Jakarta. Walaupunsudah ada sekolah dan program studi penerjemahan yang tersebar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, namun jumlah penerjemah dalam ketegori professional masih sangat terbatas. Di Makassar misalnya, belum ada Biro Terjemahan yang professional dan Tersumpah, yang banyak adalahPenerjemah amatiran yang kualitas terjemahannya belum bisa diandalkan (Saleh, 2007). Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Badaya Unhas merupakan salah satu perguruan tinggi yang selama ini membina
362
calon penerjemah dengan menyajikan dPua semester mata kuliah „translation‟ Berdasarkan pengalaman peneliti sebagai pengajar Bahasa Inggris sekali gus pengajar mata kulih terjemahan, merasakan bahwa mahasiswa menglami banyak kesulitan dalam menerjemahkan teks baik dari Bahasa Ingris ke Bahasa Indoensia, maupunsebaliknya. Selanjutnya dalam menerjemhkan teks Bahasa Indoensia, mahasiswa membuat banyak kesalahan baik kesalahan grammatikal maupunkesalahan leksikal dan pragmatik.Hal tersebut yang menggugah hati peneliti untuk mengkaji jenis-jenis kesalahan dan apa sumber kesalahan mereka serta yang paling penting mencari solusi agar dapat memperbaiki profil terjemahannya mereka sehingga kesalahan-keselahanyadapat dihilangkan 2. Kerangka Teori 2.1. Pengertian terjemahan Ilmu terjemahan termasuk lintas disiplin yang terkait dengan banyak ilmu seperti, linguistic, komuniksi, sosiologi. Psikologi, teknologi dsb. Peran penting terjemahan dalam pembangunan nasional sangat dirasakan dalam proses pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kontak internationalantar bangsa-bangasa dengan berbagai macam bahasa dan budaya. Dewasa ini terjemahan telah menjadi ilmu tersendiri, cabang dari linguistik terapan (applied Linguistics) . Ia memiliki teori, metodologi dan prinsip tersendiri sebagaimana yang dimiliki oleh ilmu lain. Bahkan sudah banyak didirikan sekolah Penerjemahan termasuk di Indonesia. Terjemahan merujuk pada kegiatan pengalihan pesan dari suatu bahasa (bahasa
sumber) ke bahasa lain ( bahasa sasaran). Kegiatan yang menyangkut dua bahasa yang terikat dan melibatkan hanya satu orang, yang disebut penerjemah (Hoed,1996). Jadi, dalam hal ini penerjemah berperan sebagai mediator yang mengkomunikasikan pesan dari penulis teks suatu bahasa dengan pembaca teks dalam bahasa yang lain. Mengenai batasan pengertian terjemahan, penulis cenderung merujuk pada prinsip ahli bahasa dan kebudayaan seperti:Nida and Tiber (1982); Larson ( ); Newmark,(19..) Catford(1965); Brislin (1976); Wills (1982) dan Benny Hoed (1996). Yang pertama dan utama adalah definisi terjemhana yang diungkapkan oleh Nida dan Taber, dalam bukunya “The Theory and the Practice of Translation”(1982): “Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.” (Penerjemahan adalah usaha memproduksi pesan dalam bahasa sasaran dengan ekuivalensi alami yang semirip mungkin, pertama-tama dalam makna kemudian dalam gaya bahasa) Prinsip Nida dan Taber dalam definisi tersebut di atas mengandung beberapa element inti dalam terjemahan, antara lain: a) reproducing the message;b.) equivalence rather than identity;c)a natural equivalent; d. the closest equivalent; e. the priority of meaning; f. the significance of style Catford (1965) memberI definisi terjemahan melalui pendekatan kebehasaan, mengatakan:
363
Translation is the replacement of textual in one language by equivalent textual material in another language.(mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran. Selanjutnmya Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa dengan Catford, namun lebih jelas gagasannya : rendering the meaning of a text into another language in the way that the auther intended the text ( menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksud pengarangnya). Senada dengan Newmark, Bassnett-McGuire (1980). Dari definisi tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa terjemahan adalah kegiatan mengalihkan gagasan atau pesan atau konsep dari suatu bahasa (bahasa sumber) ke bahasa lain (bahasa sasaran).Jadi yang dialihkan bukan hanya arti secara leksikal tetapi pesan secara konteks, pragmatic,bahkan cultural. Semua definisi di atas menyinggung bahasa sebagai obyek, dan bahasa dalam teks mengandung dua unsurutama yaitu makna dan bentuk (struktur). 2.2 Ragam Terjemahan Ada beberapa regam terjemahan yang pernah dikemukan oleh para ahli. Menurut Suryawinata & Haryanto (2000) yang mengadopsi pendapat Roman Jacobson, bahwa ragam terjemahan terdiri atas: 1. Terjemahan Intrabahasa- pengubahan suatu teks menjadi teks lain berdasarkan interpretasi penerjemah, dan kedua teks tersebut di tulis dalam bahasa yang sama 2. Terjemahan Antarbahasa- terjemahan dalam jenis ini adalah terjemahan yang sesungguhnya. Dalam jenis ini,
penerjemah menuliskan kembali pesan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Ragam terjemahan inilah yang akan diuraikan dalam penelitian ini. 3. Terjemahan Intersemiotikmencakup penfsiran sebuah teks ke dalam bentuk atau sistem tanda. Contoh penafsiran novel “Karmila” karya Marga T menjadi sinetron dengan judul yang sama. Jenis ini juga tidak termasuk terjemahan yang sesungguhnya(Suryawinata & Haryanto,2000). Selanjutnya Savory mengungkapkan versi lain dalam hal ragam terjemahan, antara lain: 1. Terjemahan Sempurna (perfect translation. 2. Terjemahan memadai ( adequate translation). 3. Terjemahan Komposit (Composit translation). 4. Terjemahan naskah ilmiah dan teknik (Suryawinata & Haryanto,2000) Untuk mendukung proses terjemahan yang baik, maka yang banyak dirujuk sebagai pedoman dalam teknik penerjemahan adalah ragam terjemahan yang diungkapkan oleh Nida Taber, Larson dan Newmark yang dikutip oleh Suryawinata dan Haryanto sebagai berikut: 1. Terjemahan Harfiah 2. Terjemahan dinamis 3. Terjemahan idiomatic 4. Terjemahan semantis 5. Terjemahan komunikatif (Suryawinata & Haryanto,2000) Ragam
364
Terjemahan yang berkualitas adalah jenis terjemahan dinamis, semantis, komunikatif dan idiomatis, karena ketiga jenis terjemahan ini berorientasi selain pada teks bahasa sumber juga pada teks bahasa sasaran. 2.3 Proses Terjemahan Kegiatan penerjemahan merupakan strategi komuniksi, olehnya itu Nida & Taber menyarankan agar dilakukan dengan sangat hati-hati, dan dilakuna melalui proses. Nida & Taber member formulasi tahapan dalam proses terjemahan yang merujuk pada definisi yang diungkapkan: The process of moving from original text to mental presentation and how to it differs from the original text,(Saleh,2007) Mereka membuat digram proses terjemahan sebagai berikut:
penerjemah maka kegiatn lain yang dilakukan adalah mengungkapkannya ke dalam bahasa sasaran ( reconstruction of the message) 2.4 Metode Terjemahan Machali mengadopsi gagasan Newmark berkaitan dengan metode penerjemahan. Newmark mengajukan dua kelompok metode penerjemahan yaitu;1) metode yang memberikan penekana pada bahasa sumber(BSu); 2) metode yang memebrikan penekanan pada bahasa sasaran(Bsa)(2000:49) Selanjutnya dari dua kelompok besar tersebut terdapat sub metode pada masing – masing kelompok,sebagimana tabeldi bawah ini: Metode Penerjemahan Memberikan Memberikan Penekanan pada Penekanan pada BSu BSa 1. Terjemhan 1. Penerjemahan Komunikatif kata-demi-kata 2. Terjemahan 2. Penerjemahan Idiomatik harfiah 3. Terjemahan bebas 3. Penerjemahan setia 4. Penrjemhan semantic
Model proses terjemahan tersebut di atas telah dimodifikasi oleh Larson dan Suryawinata dan ahliyang lain dengan memeberi penekanan pada aspek-aspek tertentu. Pada model tersebut tahp yang paling sulit dialami oleh penerjemah adalah pada tahap „transfering‟, karena pada tahap tsb membutuhkan kerja bathiniah yang Nida sebut mental presentation. Setelah makna pesan sudah dipahami dengan baik oleh
4. Terjemahan saduran
2.5 Analisis Kesalahan Masih banyak pihak yang mengacaukan penggunaan „ mistake „ dan „error‟. Kedua istilah bahasa Inggris tersebut kedengarannya sama bermakna negative. Tapi darisegi pengajaran bahasa Inggris istilah tersebut sangat berbeda. „Mistake‟ adalah kesalahan yang tidak terstruktur berkaitan dengan penampilan, tapi tidak terlalu terkait dengan kompetensi,Sedangkan
365
istilah „error‟ adalah merupakan refleksi rendahnya kompetensi seseorang dalam pembelajaran bahasa. Jadi kesalahannya bersifat sistimatis dan parmanen. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Corder (1974) bahwa: “A mistake israndom performance slip caused by fatigue, excitement,etc and therefore, can be readily self- corrected. On the other hand, an error is asystimatic deviation made by the learners or language users who have not yet master the rules of the L2” Sedangkan yang dimaksud dengan error analisis adalah adalah teknik mengindentifikasi, menguraikan dan menafsirkan kesalahan pembelajar berdasarkan norma-norma linguistic. Menurut Elis yang dikutip oleh Tarigan (1990:68) bahwa kesalahan adalah prosedur kerja yang sering digunakan oleh peneliti dan guru bahasa dalam mengumpulkan sampel, identifikasi kesalahan,menguraikan kesalahan,dan mengklasifikasinkannya, kemudian mengevaluasinya. Hal tersbut menunjukkan bahwa analisis kesalahan adalh pekerjaan komprehensif dan ilmiah. Dalam kajian ini kesalhan terjemhan biasanya bersumber dari 3 unsur yaitu: Kesalahan linguistic; kesalahan pragmatic; dan keslhan Karen a subject matter. Hal tersebut umumnya menimbulkan kasalahan pada rana grammatikal dan rana leksikal atau semantis. 3. Metode Penelitian Bentuk penelitian ini termasuk penelitian deskriftif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan obyeknya apa adanya. Sumber data penelitian ini adalah naskah hasil terjemahan dari teks
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Data diperoleh melalui penyebaran kuesioner dan tugas terjemahan oleh responden. Subyek penelitian adalah mahasiswa Sastra Inggris yang telah lulus mata kuliah terjemahan. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kesalahan (error analysis) yang mencakup identifikasi, klasifikasi, analisis. Interpretasi dan deskripsi. Setiap kalimat dimasukkan ke dalam data card kemudian kalimat yang mengandung kesalahan grammatikal diberi warna biru, sedangkan keslahan leksikal diberi warna merah. Colouring system memudahkna untuk penyortiran data. 4. Pembahasan Pada bagian ini dideskripsikan tentang hasil temuan yang diperoleh dalam bentuk: profil penerjemah, pemaparan data, analisis data dan tabulasi data 4.1 Profil Penerjemah Penerjemah adalah mahasiswa sastra inggris semester 5 yang telah mengikuti mata kuliah Teori Terjemahan (Theory of Translation) mereka berjumalh 45 orang yang terdir atas 18 orang laki-laki dan 29 orang wanita. Walaupun penerjemah termasuk homogen tetapi mereka memiliki kompetensi dan melakukan terjemahan yang sedikit berbeda satu sama yang lainnya. Dalam Bab ini penelitit akan menampilkan profil penerjemah ke dalam sejumlah tabel, antara lain: Tabel 1: Sikap penerjemah dalam menerima naskah terjemahan KATEGORI Membaca Keseluruhan Teks Untuk Menangkap
FREKUENSI
PERSEN TASE
22
47
366
Pesan Utama Langsung Menerjemahkan Mencari Kata-Kata Sulit Lain-Lain Jumlah
19
40
6
13
0 47
0 100
Tabe 1 memperliahtkan bahwa 22 atau 47 % responden memiliki kencederungan untuk membaca secara keseluruhan naskah sebelum melakukan penerjemahan. Namun ada juga sejumlah 40% responden yang langsung menerjemahkan naskah tampa melakukan pre reading naskahterlebih dahulu. Alternatif yang lain yang dilakukan sejumlah kecil responden sebelum menerjemahkna naskah yaitu mendaftar kata- kata sulit kemudian mengecek artinya melalui kamus. Tabel 2: Jenis Terjemahan Yng Lebih Sering Dikerjakan Oleh Responden Kategori Frekue Persentase nsi BahasaIndonesi 19 40 a- Bhs Inggris Bahsa Inggris – 28 60 Bhsa Indonesia Jumlah 47 100 Tabel 2 Menunjukkan Bahwa 60 % Responden Mengaku Lebih Sering Menerjemahkan Teks Berbahasa Inggris Ke Bahasa Indonesia, Sedangkan Sisanya, Yakni 40 % Respondent Mengaku Lebih Sering Menerjemahkan Naskah Indonesia Ke Bahasa Inggris Tabel 3: Jenis Terjemahan Yang Dianggap Lebih Sulit Oleh Responden Kategori Frekuensi Persentase Bahasa 29 62
IndonesiaBhs Inggris B. Bahsa Inggris – Bahasa Indonesia Jumlah
18
38
47
100
Berkaitan Dengan Tabel 2, Pada Tabel 3 Memperlihatkan Pengakuan Responden Bahwa Menerjemahkan Naskah IndonesiaInggris Lebih Sulit Dari Pada Menerjemahkan naskah Inggris –Indonesia. Hal ini mungkin karena kompetensi bahsa Inggris respondent masih rendah dari yang diharapkan Tabel 4: Porsi Tugas Praktek Terjmahan Yang Dibebankan Pada Responden Kategori Freku- Persenensi tase Berimbang Antara 17 36 Indonesia-Inggris dan Inggris –Indonesia Lebih Banyak 10 21 Indonesia- Inggris Lebih Banyak Inggris20 43 Indonesia Total 47 100 Tabel 4 menunjukkan bahwa responden lebih sering menerima tugas terjemahan Inggris-Indonesia dari pada IndonesiaInggris Tabel 5: Kesulitan Yang Dialami Responden Dalam Menerjemahkan Kategori Frekuen- Persentase si Bahasa 20 43 Isi (Subject 8 17 Matter) Budaya 16 34 Dan Lain –Lain 3 6
367
Jumlah
47
100
Tabel 5 menunjukkan bahwa ada dua kesulitan utama yang dihadapi responden dalam mengerjakan tugas terjemahan. Kedua hal tersebur anatara lain aspek budaya (34%) dan aspek kebahsaan (43%), Sedangkan aspek yang lain adalah kerumitan naskah yang diterjemahkan Tabel 6: Aspek Kebahasaan Yang Muncul Sebagi Penghambat Responden Kategori Frekuensi Persentase Kosakata 13 28 Sintaksis 7 15 Grammar 23 57 Gaya Penulisan 4 9 Jumlah 47 100 Dalam Tabel 6 memperlihatkan aspek kebahsaan yang muncul dalam menghambat kelancara tugas terjemhan responden adalah aspek grammar ( 57%) , aspek kosa kata (28%) dan aspek sIntaksis atau tata kalimat (15%) 4.2. Pemaparan Data Penelitian Data penelitian ini berupa teks hasil terjemahan dari bahasa sumber (Bhs. Indonesia) yang di adopsi dari Koran SINDO. Teks tersebut bernuansa sosial budaya yang berjudul Jadikan Seni Budaya sebagai Diplomasi Kebangsaan. Essai tersebut dipaparkan di bawah ini Jadikan Seni dan Budaya Sebag ai Diplomasi Kebangsaan Jakarta – Semangat trisakti sebagaimana ajaran Bung Karno selalu menjadi pembicaraan dalam melihat pengelolaan dan penyelengaraan bernegara.Namun dari tiga konsep tisakti itu, yakni berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi,
dan berkepribadian dalam budaya, ada satu yang selama ini kurang digaungkan, yakni berkepribadian dalam budaya.Hal itulah yang disadari (oleh) para seniman yang tergabung dalam Teater Gandrik. Di bawah koordinasi Butet Kertaradjasa, para seniman dan budayawan ingin ke depan konsep berkepribadian dalam budaya kembali menjadi identitas kebangsaan. Bagaikan gayung bersambut, kegelisahan Butet dkk disambut positif dan didukung penuh (oleh) Ketua MPR Taufiq Kiemas.Seni dan budaya, kata Taufiq, harus dikembalikan pada peran mulianya sebagai diplomasi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Saya sangat (meng) apresiasi pekerja seni yang mau mengangkat nilai luhur bangsa kita ini.Diplomasi tentang Indonesia baik di dalam (maupun) atau di luar negeri tidak melulu hanya melalui jalur politik, tapi bisa juga dengan jalur seni dan budaya,” kata Taufiq di Gedung DPR/MPOR, Jakarta, kemarin. Bagi Taufiq, budaya adalah satusatunya yang menjadikan sebuah negara ataumasyarakat menjadi beradab. Disitulah, kata Taufiq, pekerja seni harus berperan dalam merumuskan hasil seni dan budaya yang membawa visi kebangsaan.“Dulu zaman Bung Karno identitas kita sebagai bangsa kuat karena memang menempatkan seni dan budaya sebagai diplomasi.Makanya dulu banyak seniman yang dikumpulkan Bung Karno untuk visi kebangsaan, ujarnya. Dalam pertemuannya dengan Taufiq, Butet menyatakan kehidupan seni dan budaya Indonesia sudah seharusnyaberdampingan dengan nilai-nilai luhur bangsa dalam empat pilar berbangsa yang terus disosialisasikan MPR. Dalam upaya itulah Teater Gandrik dan beberapa seniman dan budayawan akan membuat program seni tentang keindonesiaan. Butet
368
ingin merekonstruksi kembali cita-cita dan visi para seniman dan budayawan yang pernah dikumpulkan Bung Karno. Dia kemudian meceritakan salah satu seniman itu, yaitu almarhum ayahnya, Bagong Kussudiardjo.“Padahal dulu Bung Karno menjadikan kesenian untuk menyokong kekuatan politik, ujarnya.Rahmat Said. Teks tersebut diterjemahkna oleh mahasiswa Sastra Inggris yang berjumlah 48 orang. Namun yang mengembalikan hasil terjemahannya dari BSu (Bahasa Indonesia) ke Bsa (Bahasa Inggris) hanya 30 terjemahan.Dari 30 hasil terjemahan ada yang tidak lengkap, ada juga persis sama (copy paste), dan juga ada sejumlah yang diterjemahkan dengan menggunakan TRANSTOOL tanpa diedit, sehingga yang memenuhi syarat untuk dianalisis hanya Terjemahan 01 hingga Terjemahan 13. Setiap terjemahan rata-rata terdiri dari 16 kalimat. Jadi data penelitian ini adala 12 x 16 km = 204 kalimat Dalam artikel ini hanya Terjemahan 01 yang ditampilkan
2
3
4 Data Penelitian ini dipaparkan sebagi berikut: TERJEMAHAN O1, diterjemahkan oleh AR: No Kode Teks Jenis Terejemahan Kesalahan 1
AR Make arts 01 and culture as a national diplomacy
5
AR02 Jakarta. Trisakti spirirt as it tought by Bungkarno have always been the talk in the view of management and organization of the state. AR03 But from the three concept of trisakti, that are covereign in the political, economic self- reliance and personality in the culture , there is one that has been less announced, the personality in culture . AR04 This is then recognized as by the artists who join the Gandrik Theatre. AR05 Under the coordination of ButetKartaraj asa, artists and culturist want to return on the
369
6
7
8
9
AR06
AR07
AR08
AR09
concept of personality in culture as the national identity . Like the answered calls anxiety of Butet and friends positively welcomed by the Chairman of MPR ,Taufik .Kemas Arts and cultures, said Taufik Kemas, should be returned to honorable role of diplomacy in a society , nations and states. Im realy appreciate that the art workers who want to raise the glories value of our nations Diplomacy about Indonesia inside the nation or abroad is not only pass through
10
11
12
political track but can also in art and culture track. Said Taufik Kemas in DPR/MPR building, Jakarta yesterday. AR10 For Taufik , cultur is the only one thing which can make a country or nationed become cultured AR11 In that statement, Taufik Said the art worker should have a role on formulate the the result of art and culture t which bring nationality vision AR12 In the era of Bung karno , our identity as as strong country because placed arts and culture as diplomacy , that‟s why in
370
that era , many artists which called by Bungkarno for nationality vision. 13
14
15
16
AR will 13 procedure art program about Indonesia AR Butet wants 14 to construct the dream and the vision of the artists andculture that have ever be collected AR Then he told 15 about one of the artists, that is the Bagong Kussusdiardj o AR Whereas 16 Bungkarno has made art to support political strength, he said
4.3 Analisis Data 4.3.1 Analisis kesalahan yang berkategori leksikal Kesalahan Leksikal:
Terjemahan 01/AR01: Make arts and culture as a national diplomacy
Pada judul artikel di atas penerjemah menggunakan kata „;nasional‟ sebagai terjemahan dari Teks aslinya ( nasional) . Kata national adalah kata sifat dari „nation‟ jadi tidak tepat kalau kebangsaan sebagai kata benda diterjemahkan dengan nasional(kt.sifat). Yang lebih tepat adalah ;nationality (kb),Jadi walaupun penerjemah mengunnakan kata „national‟ tetapi kata tersebut tidak berati kebangsaan, jadi diplomasi kebangsaan sebaiknya diterjemahkan menjadi diplomacy of nationality. Terjemahan 01/AR 02: Jakarta. Trisakti spirirt as it tought by Bungkarno have always been the talk in the view of management and organization of the state. Kata ajaran pada kalimat (AR 2) adalah kata benda.kemudian diterjemahkan oleh penerjemah dengan tought , bentuk lampau dari kata kerja teach, Jadi kata ajaran sebaiknya diterjemahkan dengan „ teaching‟ (kb) Misalnya “Soekarno‟s teaching”= Ajaran Bung Karno. Pada kalimat yang sama kata ganti “ it” dia tidak merujuk pada kata benda sebelumnya, jadi tidak perlu ada pada hasil terjemahannya. Selanjutnya kata “pembicaraan” sebagai kata benda penerjemah menerjemhkan secara harfiah dengan kata „talk‟( kata kerja), jadi lebih tepat kalau diterjemahkna dengan kata
371
“topic”. Penerjemah juga keliru menerjemahkan kata „dalam melihat‟ „dengan in the view, konteksnya tidak tepat. Dalam konteks yang tepat sebaiknya menggunakan kata in the perceiving atau seeing atau looking at. Sedangkan kata „bernegara‟ dalam bahasa sumber merupakan derivasi dari kata benda „negara‟ yang ber awalan ber-sehingga menjadi kata kerja. Sehingga istilah yang tepa dalam bhasa Inggris adalah having a state atau country Terjemahan I /AR03 : But from the three concept of trisakti, that are covereign in the political, economic self- reliance and personality in the culture , there is one that has been less announced, the personality in culture . Kata „covereign‟ pada kalimat AR 03 juga kurang tepat disepadankan dengan kata „berdaulat‟ yang tepat adalah sovereign, begitu juga dngan kata self-relience kurang tepa diterjemahkan dengan mandiri (bahasa sumber)Tapi dalam konteks kalimat tersebut mandiri (kata sifat) lebih tepat diterjemahkan dengan kata autonomous(adjective). Selanjutnya kata kerja passif „digaungkan kurang tepat ditejemahkan dengan kata announced. Karena di dalam bahasa Inggris, kata tsb beraarti mengumumkan . Jadi lebih tepat kalau digunkan kata‟ reverberated.‟ Terjemahan I/AR 04: This is then recognized as by the artists who join the Gandrik Theatre
Penerjemah menerjemahkan kata disadari dengan recognized, kurang tepat, akan lebih sepadam kalau digunakan kata realized, sedangkn kata „ bergabung‟ penerjemah menerjemahkan dengan kata join. Kata „join „ hanya cocok kalau bergabung sementara,tetapi kalau maksudnya anggota mak lebih tepat kalau digunakan kata gather ( in the Gendrik Theatre) Terjemahan I/AR 05: Under the coordination of ButetKartarajasa, artists and culturist want to return on the concept of personality in culture as the national identity Under Butet Kartaradjasa‟s coordination, in the years to come, the artists and culture observers intend that the concept of having personality again becomes the national identity Istilah „budaywan‟ diterjemahkan dengan kata culturist pada hal istila yang baku adalah cultural observer, selanjutnya istila kedepan tidak ditemukan padanan dalam bahsa sasaran , makanya penerjemah menerjemahkan dengan kata want to return yang sama sekali tidak tepat bahkan menimbulakan global error( kesalhan fatal). Jadi istilah ke depan sebaiknya diterjemahkan in the years to come atau in the coming years. Terjemahan I/AR o6: Like the answered calls anxiety of Butet and friends positively welcomed by the Chairman of MPR ,TaufikKemas
372
Makna metafore „bagaikan gayung bersambut‟ tidak bisa diterjemahkan secara harfiah karena pengertiannya akan berbeda sekali karena metafor tersebut berarti permohonannya mendapat respon yang cepat dan positif sehingga terjemahan yang disarankan adalah the questions were answered positively. Istilah „kegelisahan‟ tidak tepat ditejemahkan dengan istilah anxiety (gejolak kejiwaan), tetapi untuk kegelisahan sosial lebih tepat digunkan istilah worry atau concern . Selanjutnya untuk ketua MPR istilah baku yang sering digunkan adalah Chaiperson, sedankgna kata „ Chairman yang digunakan penerjemah untuk kata Ketua terlalau umum. Terjemaha Arts and cultures, said n I/AR07 Taufik Kemas, should be returned to honorable role of diplomacy in a society , nations and states. Kata harus lebih tegas dari pada seharusnya olehnya itu modal yang digunakan bukan should be tetapi „had to‟( have to). Jadi selain memiliki makna grammatikal jugamemiliki makna leksikal. Bias makna leksikal lainnya ada pada kata honoralable yng dipadankan dengan kata mulia. Tapi berdasarkan konteks kalimat maka kata „mulia‟ akan lebih tepat kalau dipadankan dengan kata sublime ( kata sifat), Kata dalam bermasyarkat , bernegara dan berbangsa tidak tepat diterjemahkan dengan in society, nations and states tetapi yang lebih bermakna kalau diterjemahkan sperti ini, inhaving community, nation and state‟s life.
Terjemahan I/AR08
Im realy appreciate that the art workers who want to raise the glories value of our nations
Istilah “ mengangkat” mempunya makna yang abstrak dalam bahasa sumber olehnya itu, penerjemh sebaiknya menggunakan kata enhance, bukanraise. Sedangka kata luhur memiliki beberap padan dalam bahsa Inggris, tetapi kalau luhur bersinonim dengan mulia maka padana yang tepat adalah noble, jadi the noble values untuk nilai luhur. Terjemaha Diplomacy about n 1/AR09 Indonesia inside the nation or abroad is not only pass through political track but can also in art and culture track. Said Taufik Kemas in DPR/MPR building, Jakarta yesterday. Hilangnaya terjemahan kata „ baik‟ yang dipadankan dengan either membuat kalimat terjemahannya tidak koheren, karena penerjemah masih menggunakan kata penghubuing or sebagai pasangan dari either (either..... or.......) ini kasus grammtikal yang menimbulkan makna leksikal , kemudian kata abroad sebagai terjemahan dari luar negeri , kurang tepat.Berdasarkan konteks padanan yang tepat adalah overseas. Selajutnya penambhan kata passsebelum through, menjadi redundan atau berlebihlebihan.
373
Jadi kasus ini penerjemah melakukan penghilangan kata yang menimbulkan perubahan makna leksikal. Terjemahan 1/AR 10: For Taufiq the culture was the only one which mak a country or community become civilized
Kata one tidak jelas padanannya dalam bahasa sumber, kalau ada kata bilangan “satu-satunya” maka padanannya sudah dihadirkan the only...,sedangkan frase the only one artinya hanya satu saja. Jadi terjemhan yang tepat untuk frase tersebut adalan is the only thing... . AR11 In that statement, Taufik Said the art worker should have a role on formulate the the result of art and culture t which bring nationality vision Seperti pada kalimat AR07, kata „harus‟ berpadanan dengan have to atau must, bukan dengan should, jadi peneremaha selalau menggunakan padanan yang kurang tegas dengan modal should pada bahasa sasaran. Selanjutnnya kata merumuskan, penerjemah sudah betul memilih padanan formulate tetapikarena dia menggunakan kata depan „on’ maka seharusnya dia menggunakan formulating (Gerund). Selanjutnya kata „membawakan‟ diterjemahkan dengan kata bring, karena maknanya abstrak maka secara pragmatik dipakai kata carried. Terjemahan 1/AR 12: In the era of Bung karno , our identity as strong country because placed arts and
culture as diplomacy , that‟s why in that era , many artists which called by Bungkarno for nationality vision. Penerjemah keliru menerjemahkan kata “ bangsa” dengan country, yang seharusnya nation, karena country artinya negara atau tanah air. Selanjutnya penerjemah menghilangkan subject “He” sehingga kalimat .... placed arts and culture as diplomacy, tidak memiliki makna . Kata “dikumpul‟ tidak tepat dipadankan dengan called, tetapi yang tepat adalah gathered . Terjemahan 1/AR13: By those effort theatre Genrik and some artists and culture will procedure art program about Indonesia Istilah „budayawan‟ yang selalu paralel dengan seniman , sebaiknya diterjemahkan dengan cultural observer, bukan hanya culture, karena culture artinya kebudayaan , bukan budayawan Terjemahan 1/AR14: Butet wants to construct the dream and the vision of the artists andculture that have ever be collected Kata „merekonstruksi mestinya diterjemahkan reconstruct (preposisi predalam bahasa Inggris berarti kembali. That‟s why , formerly many artists were gathered by Bung Karno for the nationality vision , “ he described. Supaya ber makna passif “ dikumpulkan” maka dalam tatanan grammar Bahasa Inggris harus memakai to be. Jadi terjemahan yang direkomendasikan adalah that have ever been gathered by Bung Karno.
374
Terjemahan 1/AR/15: Then he told about one of the artists, that is the Bagong Kussusdiardjo. Penerjemah membuang kata „ almarhum ayahnya” sehingga keterangan mengenai Bagong Kussudiardjo hilang dalam bahasa sasaran. Jadi mestinya tetap diterjemahkan his late father,Bagong Kussudiardjo Terjemahan 1/AR/16: Whereas Bungkarno has made art to support political strength, he said Penanda waktu „dulu‟ dihilangkan oleh penerjemah sehingga tidak memberi informasi masa lampau yang ber harga karena pada jaman Bung Karno. Mestinya penerjemah tetap memunculkan kata formerly, jadi terjemahan yang direkomendasikan adalah. Whereas formerly Bung Karno made the art affairs support the political strength, bukan political power yang bermakna „kekuasaan politik‟. 4.3.2 Analisis kesalahan yng berkategori grammatikal Grammatical Errors Kesalahan grammatikal adalah daftar kesalahan penerjemah yang berkaitan dengan tata bahasa bahasa sasaran ( Inggris) Frekuensi kesalahan grammatical penerjemah berkaitan dengan tingkat kompetensi bahasa Inggris mereka. Terjemahan 01/AR01: Make arts and culture as a national diplomacy Pada teks aslinya kata kebangsaan adalah kata benda dengan akar kata bangsa. Di
dalam bhasa Inggris „ national‟ adalah kata sifat. Jadi untuk kata kebangsaan padanannya adalah nationality. Jadi terjemahan yang disarnkan untuk„diplomasi kebangsaan‟ adalah the diplomacy of nationality. Aspek grammatikal lain yang tidak tepat adalah penggunaan artikel “a” di depan national diplomacy. Terjemahan 01/AR 02: Antara kata “trisakti” dan “spirit” seharusnya ada apostrofi „s yang menunjukkan milik, sehingga bermakna “ semangat trisakti” jadi seharusny trisakti‟s spirit. Selanjutnya kata ganti „it‟ tidak perlu ada, dan kata tough bentuk past dari teach tidak menunjukkan kata benda kalau yang dimaksud adalah ajaran Bung Karno. ( Bung Karno‟s teaching), aspek grammatikal yang lain adalah kata sandang tentu the mestinya diikuti oleh kata benda, bukan kata kerja (talk) Terjemahan 1/AR03 Consept adalah plural noun karena ada kata bilangan (three) didepannya, jadi seharusnya ada akhiran –--s, (jadi concepts) dan ini dikategorikan mistake saja. Kata political adalah kata sifat seharusnya politics(kb) Terjemahan 1/AR04 Kehidaran as tidak tepat dalam kalimat tersebut, jadi tidak perlu ada Terjemahan 1/AR05 Kembali lagi penerjemah membuat mistake karena pada kata culturist yang paralel dengn artists yang plural, mestinya juga kata tersebut memakai akhiran „s (artists and culturists). Selanjutnya kata depan on sesudah return tidak punya makna apaapa.Selanjutnya kalau national berarti
375
kebangsaan maka bentuk kata yang tepat adalah nationality. Terjemahan 1/AR06 Kata answer yang ber makna” jawban” seharusnya tidak dalam bentuk past (answered), selanjutnya, kalau welcomed bermakna passive ( disambut) seharusnya didahului oleh to be ( was answered) Terjemahan 1/AR 07 Tidak singkrong antara a .... states, mestinya state tidak dalam bentuk jamak (negara-negara), penggunaan modal should kurang tegas, jadi sebaiknya mengunakan must atau had to.dan antara to dan honorable sebaiknya menggunakan article the. Terjemahan 1/AR08 Karena appreciated adalah kata kerja, jadi subyek yang digunakan bukan I am tetapi I( tanpa to be) Kata that sebelum the art workers, tidak perlu ada.Kalau ada kata penghubung or yang menyatkan Pilihan maka kehadiran kata either ( either ..... or.....). Selanjutnya penggunaan preposition indidepan art and culture tracktidak tepat, tapi sebaiknya digunakan kata depan through. Didepan nama diri sperti DPR/MPR Building harus memakai articlethe ( the MPR Building) Terjemahan 1/AR 09 Kata onesebelum thing, tidak perlu ada the only thing saja. Selanjutnya kata nationed tidak boleh kata kerja tetapi kata benda (nation) Terjemahan 1/AR 10 The art worker mestinya dalam bentuk jamak, modal should sebaiknya diganti dengan must. Kalimat gerund yang
mengunakan perticiple (-ing) berlaku untuk kata formulate ( on formulating) Terjemahan 1/AR 11 Kalimat tersebut tidak coherence karena karena penggunaan kata penghubung because. Dan kalau kata placed bermakna passive, maka seharusnya di dahului ole to be.Kata which yang menunjukkan orang (artists) kurang tepat, tapi seharusnya diganti dengan who.For nationality vision sebaiknya di tulis for the vision of nationality. Terjemahan 1/AR12 ...as a strong country sebaiknya diganti menjadi a country was strong agar membentuk kalimat yang coherence. Kata sesudah because sebaiknya ada subyek we . Terjemahan 1/AR13 Kalimat tidak coherence karena penempatan kata life pad posisi yang kurang tepat , makna „hidup‟ tidak diterjemahkan dengan life (kehidupan) ,karena kata benda sedangkan teks bahasa sumber “hidup berdampingan”. Jadi, yang digunakan adalah kata kerja “live (live side by side).Kata noble of values tidak tepa sebaiknya the noble values. Selanjutnya penerjemah keliru menerjemahkna kalimat passive dengan bentuk aktif yaitu socialize mestinya socialized. Ini adalah kesalahan fatal baik dari segi leksical maupun grammatical. Terjemahan 1/AR14 Penggunaan kata By pada awal kalimat semstinnya memakai preposisi in dan those digunkan untuk menunjukkan kata benda yang plural, jadi By those effort..., sebaiknya diganti dengan In that effort....
376
Agar prinsip paralelisme terjaga maka seniman dan budayawan di terjemahkan artists and culture observers.Karena terjadi pada waktu lampau maka kata will tidak tepat ,seharusnya diganti dengan would. Terjemahan 1/AR14 Karena bentuk lampau maka penerjemah seharusnya memperhatikan „tenses‟ pada bahasa sasaran.Kata wants mestinay dalam bentuk lampau (wanted) atau intended.Kembali lagi penerjemah membuat mistake masalah paralelisme dalam menerjemahkan seniman dan budayawan. Selanjutnya dalam menyatakan passive sebaiknya ditulis have ever been gathered by..... Terjemahan 1/AR15 To be is tidak benar karena sudah lampau, jadi mestinya was.Juga penerjemah menghilangkan kata „almarhun‟ pada hal kata itu sangat signifikan dalam teks (late father). Terjemahan 1/AR/16 Karena bentuk lampau maka yang digunakan simple past tense bukan present perfect (... has made..) C. TABULASI KESALAHAN N CO E R R O R DEL ADD O DE ETIN ATIN G G LEXI GRAM CAL MATIC AL 1
2
T01/ AR0 1 T01/
1
2
4
1
1
3
4
5
6
7
8
9
1 0 1 1 1 2 1 3 1 4
AR0 2 T01/ AR0 3 T01/ AR0 4 T01/ AR0 5 T01/ AR0 6 T01/ AR0 7 T01/ AR0 8 T01/ AR0 9 T01/ AR1 0 T01/ AR1 1 T01/ AR1 2 T01/ AR1 3 T01/ AR1 4
4
2
2
1
2
3
5
2
3
3
2
4
3
2
2
2
3
2
3
2
1
4
2
3
1
1
1
377
1 5
T01/ AR1 5 T01/ AR1 6 JU ML AH
1
2
1
2
1
1
39(53 34 .42% (46.58% ) )
6
3
Dari tabulasi tersebut di atas memberi indikator sebagai berikut: 1. Setiap kalimat terdapat kesalahan baik kesalahan grammatikal maupun kesalahan leksikal. 2. Tidak ada satu kalimat yang terbebas dari kesalahan. 3. Kesalahan leksikal dan kesalhan grammatikal memiliki jumlah yang hampir sama, walaupun kesalhana leksikal (53.42%) sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan keslahan grammatikal (46.58%) 4. Ketika penerjemah menemui kesulitan maka penerjemah menerapkan strategi deleting dan adding 5. Penutup 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, maka dalam penelitian dibuat kesimpulan sebagai brikut: a. Mahasiswa mengalami banyak kesulitan dalam menerjemahkan naskah berbahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Pada tabel 03 mereka mengakul bahwa menerjemahkan teks Indonesia-Inggris jauh lebih sulit daripada naskah InggrisIndonesia. Terdapat 62% mengakui demikian.
b. Kesalahan penerjemah meliputi dua aspek kebahasaan yaitu: Kesalhan leksikal dan kesalhan grammatikel. Tetapi dalam penelitian ini hampir seimbang antara kesalhan leksikal dan kesalhan grammatikal. Dari 16 kalimat yang dianalis terdapat 39 kesalahan leksikal dan 34 kesalahan grammatikal.Dan untuk kategori grammatikal atau leksikal terdapt sejumlah „mistake‟ saja. c. Kesalhan leksikal muncul karena terbatasannya perbedaharaan kata /frase mahasiswa dalam menemukan padanan yang tepat dalam arti konteks, idiom, dan istila yang bernuansa budaya. d. Kesalahan grammatikal meliputi structure, coherence dan morfologi Selain dari pada kesalahan di atas, penerjemah juga melakukan deleting ( penghilangan) istilah sebagi suatu strategi. Strategi tersebut dapat menimbulkan distorsi makna. Selain dari itu sejumlah kalimat yang ditemukan tidak koherens karena mereka kurang jeli menggunkan kata penghubung atau signal words. 5.2. Saran-Saran a. Mahasiswa yang mengambil mata kuliah “Indonesia- Inggris Translation adalah mereka yang sudah lulus Mata Kuliah Teori Terjemahan b. Jurusan Sastra Inggris perlu melaksanakan Seminar atau Loka karya mengenai Terjemahan c Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk mengukur kompetensi mahasiswa dalam menerjemahkan berbagai jenis teks.
378
4. Universitas Hasanuddin perlu membuka Pusat Penerjemahan yang menyediakan jasa penerjemahan dan interpreter. Daftar Pustaka Alisyahbana,S.T. 1990. Terjemahan besarbesaran .Syarat mutlak untuk mengatasi keterbelakngan.Dalam Majalah Ilmu dan Budaya. Xii (11) Catford,J.C. 1965. Linguistic Theory of Translation.The London: Oxford Univ. Press. Hoed,Benny.1996. Innovation, Translation, and Communication, the cultural dynamic in society.dalam Majalah Lintas Bahasa
Larson,M.L. 1984. Meaning-Based Translation. New York.: Longman Newmark, P.1981. Approach to Translation.Oxford: Pergoman Press Nida and Taber. 1982. The Theory and Practice of Translation.Leiden: E.J.Bill Saleh, Noer Jihad. 2007. Linguistic Competence of Indonesian Translators in Translating English Text into Indonesian. Unpublished Dissertation. PPS Unhas, Makassar
FENOMENA INTERTEKSTUALITAS DAN KLAIM ORISINALITAS Hasbullah Jurusan Sastra Barat PrancisFakultas Sastra Universitsa Hasanuddin Email:
[email protected] Abstact
379
Originality to a certain extent is an out of reach condition in the textual phenomenon of today. Every text is actually a revoicing act of long in advance ideas and messages of preceding texts. Those facts have been currently analyzed and thoroghly studied by a new approach called intertextuality. This perspective claims that every text is actually an intertext, which underlines that in every text, we can encounter many voices and ideas that have long been pronounced and possessed By the old authors. The problem lies in the fact that the ancient sources of the current text are already untraceable and nearly unidentified. The role the current writers play in producing their text is to promote new intentions to the already made products. This approach puts a clear line of relativity in originality that every writer claims. But it gives, on the other around, a new horizon to see a kind of interrelationship among texts that will pave the way to a new method in reading the millions texts that surround us nowadays. Key words; intertext, originality, relativity, interrealtionship.
A. Pengantar Kehidupan bermula dengan cerita. Peradaban dibuka dengan episode genesis tentang asal-usul eksistensi homo sapiens di muka bumi. Selanjutnya seluruh ekspresi kebudayaan merupakan rangkaian transformasi cerita induk purba (archietexte). Teks-teks derivatif yang melimpah hadir susul-menyusul seiring geliat zaman dan posisi geografis mengiringi ragam drama kehidupan manusia. Meskipun demikian, ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah kisah-kisah yang berserakan lepas dan terpisah satu sama lain. Persebaran konsep tomanurung dan interaksi tokoh dewa dan manusia dalam sastra lama dapat dijumpai dalam berbagai versi di beberapa daerah di Indonesia. Atau pesan kematian yang tidak terhindarkan bisa dijumpai dalam Appointment in Samarra1 dan salah satu satu cerita Danarto bisa menjadi contoh lain yang memperlihatkan pertalian dialektis satu ekspresi dengan ekspresi lain. Sejarah telah sekian tampil membuktikan kebenaran fenomena tersebut secara meyakinkan. 1
Appointment in Samarra adalah sebuah cerpen yang terinspirasi kisah di Timur Tengah tentang malaikat maut
Teks sebagai ekspresi verbal selalu sarat dengan muatan rekam jejak pelbagai isu dan problema beserta optik sudut pandang pengamatannya. Dalam ruang yang cair dengan jutaan gagasan yang berseliweran, teks tidak mustahil menyuarakan hal yang sesungguhnya telah terartikulasikan sebelumnya dalam ruang ekspresi lain dengan aksentuasi yang khas dan berbeda. Dalam keseharian kita, kecenderungan asosiatif pikiran, yang seringkali berada di luar kendali kita mengarahkan kita pada rujukan sumber lain, setiap kali berhadapan dengan sebuah teks. Fenomena semacam itu –bahwa gagasan tertentu, bahwa ide tertentu selalu merupakan sesuatu yang déjà lu(telah terbaca) yang menghadirkan sebuah teks bayangan di samping teks nyata yang sedang kita hadapi- telah menjadi objek sebuah kajian yang –dalam dua dasawarsa terakhirbanyak menarik perhatian peminat kajian sastra, yang kemudian lebih popular dengan istilah interteks. B. Interteks ; Definisi Dan Konsep Sejak introduksi oleh Julia Kristeva dalam artikel berjudul ProblèmesdelaStructurationdestextes pada
380
kumpulan la Theorid‟Ensemble terbitan TelQuel, istilah intertexte/intertextualité telah berkembang luas dengan berbagai nuansa pengertian.2 Istilah intertextualité3 sesungguhnya, oleh Kristeva, merupakan penyederhanaan dari istilah interactiontextuelle atau interaksi antar teks, yaitu suatu keadaan keterkaitan antar teks oleh suatu mekanisme seperti pengutipan, alusi atau plagiat. Interactiontextuelle meyakini bahwa di dalam sebuah struktur tekstual selalu terdapat pelbagai sekuen yang bersumber dari sejumlah teks yang hadir terdahulu namun telah mengalami proses transformasi dan kombinasi. Para pengusung gagasan interteks percaya bahwa setiap karya tidak pernah tampil dalam ruang yang sepenuhnya steril dari keberadaan karya lain. Karya selalu akan mengandung berbagai unsur, sekuen atau bagian tertentu yang mungkin saja tidak lagi terlacak, dan pada derajat tertentu, tetapi bersumber atau dikutip dari karya atau referensi yang lain. Hal demikian tentu saja bersifat alami belaka serta merupakan sebuah keniscayaan karena setiap individu tidak kuasa melepaskan diri dari kepungan pengaruh berbagai wacana, baik yang ditransfer dari masa lalu maupun yang 2
Secara berkelakar William Irwin mengatakan bahwa makna istilah interteks dewasa ini berbanding lurus dengan jumlah pemakainya;mulai dari mereka yang mencoba setia dengan batasan Kristeva sampai dengan mereka yang menganggapnya sekedar cara untuk mengatakan alusi atau pengaruh 3
Seorang tokoh lain, yakni ahli naratologi Prancis Gérard Genette mengunakan istilah tranxtextualité untuk pengertian interteks Lihat Yves Reuter, Introductional‟AnalyseduRoman, Paris, Bordas, 1991, hal 121.
bersumber dari faktor kekinian lingkungan sekeliling. Dalam konteks inilah bisa dipahami konstatasi sejumlah ahli seperti Schmitt dan Viala yang mengatakan bahwa setiap teks selalu memiliki kaitan dengan teks-teks yang lain atau konstatasi Roland Barthes yang secara terbuka mengatakan bahwa tout texte est intertexte “setiap teks sesungguhnya bersifat interteks”. Teks-teks yang memiliki kaitan satu sama lain disebut interteks sedangkan fenomena keterkaitan teks satu sama lain dikenal dengan istilah intertekstualitas. Darimana semua in bermula? Jika diupayakan penelusuran ke belakang agaknya tokoh Mikhail Bakhtine yang telah berjasa meletakkan dasar kokoh bagi kemunculan gagasan intertekstualitas yang dikembangkan oleh Kristeva. Sebagaimana yang diketahui Bakhtine banyak menguraikan kehadiran karakter polifonik pada karya yang baik, yang dipertentangkan dengan karakter uniaccentual/monologis pada karya yang terasa berpretensi otoritatif yang tidak memberi ruang bagi suara alternative dalam sebuah karya. Semua bentuk ekspresi adalah wujud pertentangan kelas, termasuk karya sastra, memang menjadi fokus perhatian Bakhtin. Roman sendiri bagi Bakhtin adalah “…un espace polyphonique dans lequel viennent se confronter divers composants linguistiques, stylistiques et culturel”. .4 Roman yang diyakini sebagai genre terbaik yang mampu mengungkapkan polifoni yang melakonkan tokoh-tokohnya yang tidak lain
4
Intertextualité-wikipedia hal.1
381
merupakan être de dialogues, hétérogène , en devenir, inachevé Bakhtin menawarkan strategi guna mengamati modus kehadiran wacana lain di dalam sebuah karya dengan mencermati adanya parody, ironi atau stilisasi. Juga direkomendasikan untuk menelusuri derajat keberadaan wacana tersebut dengan melihat kehadiran utuh lewat dialog explicit; atau hibridasi antara bahasa tokoh dengan ironi sang penutur; ataukah kehadiran indeks material tetapi lewat bahasa lain. Kehadiran wacana yang beragam di dalam sebuah teks menimbulkan terjadinya multi makna atau heteroglosia, baik pada keseluruhan karya atau hanya per bagian. Gagasan ini yang kemudian dikembangkan oleh Kristeva, seorang tokoh dari kelompok Tel Quel -kelompok yang dikait-kaitkan dengan gerakan poststructuralism- dengan menyandingkannya dengan gagasan strukturalisme Saussurian yang percaya bahwa makna cukup dikais dari dalam struktur sebuah teks saja. Fusi kedua kecenderungan yang melahirkan interteks, setidak-tidaknya dalam pandangan Kristeva, kemudian menggantikan pengertian intersubjektivitas dalam interaksi pengarang-pembaca sebagaimana yang diyakini sekian lama. Interaksi pengarangpembaca sesungguhnya tidak pernah terjadi secara langsung melainkan diantarai oleh semacam kode yang bersemayam di dalam benak masing-masing pihak yang dibentuk oleh teks lain yang pernah dibaca sebelumnya. Rintisan Kristeva dan bergulirnya gagasan ini di dalam lingkungan para penggiat pascastrukturalisme merupakan social
origin yang bisa menjelaskan mengapa kemudian gagasan intertextualitas dianggap salah satu produk pemikiran pascastrukturalisme yang memang getol mempersoalkan kehadiran dan peran pengarang baik dalam proses penciptaan dan terutama pada proses pencerapan sebuah karya yang banyak mengistimewakan pembaca sebagai pihak yang berdaulat menentukan makna. Dalam perkembangannya, fenomena intertekstualitas memiliki berbagai varian yang muncul dengan segala kecenderungan penerapannya. John Fiske, seorang ahli kritik film Inggris menguraikan perbedaan antara intertekstualitas horizontal. dan intertekstualitas vertikal. Intertekstualitas horizontal adalah ragam intertekstualitas yang berlangsung pada jenjang yang sama atau pada tataran yang sederajat, seperti buku yang merujuk kepada buku, atau film yang mengacu kepada film. Sementara sebaliknya intertekstualitas vertical adalah jenis yang memperlihatkan interaksi referensinya berlangsung antar jenis yang berbeda, misalnya buku yang mengacu ke film atau merujuk kepada mitos yang meluas secara lisan.5 Pembagian yang lain dapat dijumpai pada klasifikasi diadik Norman Fairclough antara manifestintertextuality dan constitutiveintertextuality. Manifestintertextuality mengacu kepada pengertian bahwa interaksi antar teks berlangsung secara atau dalam bentuk aksireaksi seperti pra-anggapan, penyangkalan, parody atau ironi. Sementara 5
Intertextuality-Wikipedia the free hal 2
382
constitutiveintertextuality meyakini saling keterkaitan (interrelationship) antar-teks yang melibatkan fitur kewacanaan (discursive features) seperti pengaruh dalam tataran struktur, bentuk atau genre.6 Viala dan Schmitt, di dalam SavoirLire menyodorkan klasifikasi,yaitu intertextes explicites yang terdiri dari penulisan kembali, referensi dan sumber serta peniruan dan intertextes implicites yang terdiri dari tema budaya, lieuxcommun, dan cakrawala harapan.7 Klasifikasi yang lain bisa dijumpai dalam uraian Gerard Genette dalam Palimpseste.8Genette yang menggunakan term transtextualité yang bisa disepadankan dengan istilah intertexte nya Kristeva, membuat klasifikasi sebagai berikut; 1. Intertekstualitas yaitu kehadiran di dalam satu teks, satu teks atau lebih teks lain. Wujudnya bisa berupa kutipan, alusio atau plagiat. 2. Paratekstualitas yaitu hubungsan teks dengan unsur luar teks, seperti judul, anak judul, catatan, epigrafi, ilustrasi, cover buku dan lain-lain. 3. Metatekstualitas yaitu model hubungan antara komentar atas sebuah teks dengan teks yang dikomentarinya. 4. Hypertekstualitas, yaitu hubungan antara teks besar acuan (hypotexte) 6
Ibid.
7
M.P. Schmitt A. Viala, 1982,: Savoir-Lire, Paris:Didier, hal 38-29 8
Keterangan ini berasal dari buku Introduction a l‟Analyse du Roman, Yves Reuter, 1991,Paris, Bordas, hal. 130-133
dengan teks yang turunan yang merupakan rekasi dari teks yang lebih awal HUbungan kedua bisa beruwujud hubungan relationnelle( peniruan atau transformasi)dan hubungan bersifat regime (ludique, satiris atau serius). 5. Architextualité, yaitu hubungan yang terbangun karena penanda paratekstual yang merujuk pada genre seperti penanda esei atau roman pada karya.Indikasi yang biasanya terdapat pada bagian depan ini banyak menandai karya popular dan sangat mendasar jika dikaitkan dengan konstruksi teks dari pihak pengarang serta juga dalam kerangka pemenuhan harapan pembaca serta modus pembacaannya. C.Intertekstualitas dan Klaim Orisinalitas Fenomena Intertekstualitas membuka kenyataan bahwa proses kreatif bukan persoalan individual si pengarang semata melainkan sebuah proses yang kompleks yang tidak hanya melibatkan tahap ekspresi seorang pengarang melainkan sebelum itu, ada penjajagan dan dialektika dengan berbagai teks awal beserta tahap pengendapan dan pengolahannya. Hal demikian tentu saja akan menjadi lebih rumit jika intertekstualitas kemudian dihubungkan dengan klaim orisinalitas yang (dianggap) seharusnya melekat pada setiap karya. Ada anggapan yang menyebar luas di masyarakat bahwa prestise sebuah karya terletak pada keaslian seluruh gagasan yang dituangkan di dalamnya. Asumsi ideal tersebut menganggap bahwasanya sebuah ide sepenuhnya lahir dari perenungan murni dan
383
bebas dari pengaruh gagasan yang lalu lalang dalam pelbagai teks dan rujukan. Sebuah karya bukan sekedar pemindahan dan pengalihan dari kenyataan atau sesuatu yang telah ada sebelumnya melainkan pada hakikatnya merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi. Seiring dengan penghormatan kepada sebuah karya terbawa juga penghormatan pada sosok pengarang sebagai kreatorrnya.Kehebatan setiap karya tersebut berasal-muasal dari “genius” seorang pengarang yang merupakan figur yang memiliki semacam bakat kenabian, yang tidak dipunyai sembarang orang. Kenyataan menunjukkan bahwa pengarang bukan mahluk yang terisolasi dan bebas merdeka dari semesta wacana.Kehadirannya bukan klenik atau magis, melainkan mewakili sebuah gagasan atau sebuah kepentingan. Bahkan Barthes mengatakan bahwa pengarang merupakan figure modern yang muncul sebagai representasi positivisme dan ideologi kapitalisme. Pengarang adalah mahluk yang amat peka –dan disitu mungkin bedanya dengan mereka yang bukan pengarang- pada situasi yang ada dan trampil -di situ geniusnya- mengolah berbagai teks dan gagasan yang lalu lalang dalam dunia sosialnya. Karya adalah sesuatu yang –socially constructed, meminjam istilah Berger- yang menghimpun berbagai gagasan yang lebih awal dan sudah jadi, tetapi hanya menyebar di dalam berbagai sumber, yang mungkin bahkan sudah tidak lagi bisa dilacak. Di dalam dunia dengan produksi teks yang demikian melimpah seperti sekarang ini, hampir mustahil untuk tidak mengatakan
tidak mungkin- melahirkan gagasan yang sepenuhnya tidak terpengaruh oleh ide-ide yang telah ada. Seluruh ekspresi yang bakal digunakan telah lebih dahulu tersedia dalam kamus yang telah ada –a ready-formed dictionary, kata Barthes-.Berbagai referensi telah terlebih dahulu mengeksplorasi berbagai domain dan meletakkan dasar-dasar pijakan yang kuat guna dilanjutkan lagi oleh peminat-peminat yang lebih belakangan.Buku-buku rujukan dan sumber kepustakaan yang berwibawa tersebut telah meng kapling wilayah-wilayah keilmuan dan pusat minat.Intertekstualitas semakin menjadi sebuah keniscayaanyang tidak terelakkan.Apalagi dalam tradisi akademik yang kemudian menjadi semacam etika keilmuan tuntutan intertekstualitas telah terlembagakan secara formal. Keharusan mengikuti tradisipemuatan kutipan 9untuk memperkuat argument di dalam semua karya ilmiah dengan berbagai beragam variannya, serta telaah pustaka guna menjamin kesinambungan pengembangan topic yang dibahas, selalu dipatuhi karena akan memberi bahkan memperkokoh kualitas dan pretensi keilmiahan bagi sebuah tulisan. Bahkan ada penekanan bahwa semakin banyak kepustakaan yang ditampilkan semakin memperlihatkan kepakaran serta penguasaan seorang ilmuan pada bidang atau topik yang sementara dibahasnya. Konstatasi Barthes mengenai peran teks-teks yang lebih awal terhadap pembentukan teks-teks yang lebih belakangan memang menimbulkan persoalan 9
Kristeva menganggap setiap teks sebagai “a mosaic of quotations”
384
pada peran serta kehadiran sosok pengarang.Kepengarangan sangat tereduksi maknanya menjadi sekedar fungsi meramu berbagai sumber untuk menghasilkan suatu karya baru. Memang intertekstualitas telah mengaburkan peran pengarang yang hanya dianggap artikulator saja serta pada pihak lain, meragukan klaim orisinalitas karya yang senantiasa menjadi obsesi setiap penulis dan bisa menjadi salah satu alasan mengapa marak terjadi plagiarism. D. Plagiat Adalah Bentuk Intertekstual? Satu kenyataan yang sering menyita perhatian publik dan bahkan menjadi sumber polemik adalah fenomena plagiat atau plagiarism. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sinyalemen meyakini terjadinya praktik plagiat ini di Indonesia. Masih segar di dalam memori kita berita mengenai dugaan plagiat yang ditemukan di dalam disertasi seorang kandidat doctor di Bandung serta sebuah kejadian serupa di Yogyakarta sebelumnya.. Kalau ditilik ke belakang, ternyata kenyataan serupa sudah bukan hal baru lagi bagi kita. Tidak hanya di bidang keilmuan hal demikian terjadi. Juga di dalam karya seni, khususnya sastra. Dahulu roman karya Hamka Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, pernah tersandung dugaan bahkan dakwaan sebagai plagiat karya Alphonse Carr, SouslesTilleuls yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab berjudul Majdulin atau Magdalena. Juga sajak heroic Khairil Anwar Krawang Bekasi yang dianggap saduran diam-diam atau terjemahan kreatif dari karya Archibal Mc Leish berjudul The Young Dead Soldier. Para penggiat kajian intertekstual sangat menyadari adanya kenyataan
plagiarism tersebut.Di dalam dunia yang dikelilingi oleh wacana baik fiksi maupun non-fiksi persentuhan dan interaksi antarteks tidak lagi bisa dihindari. Kemungkinan terjadinya apa yang digolongkan oleh Schmitt dan Viala sebagai salah satu varian dari réécritureglobale, yaitu varian yang terjadi ketika seorang penulis menyalin sejumlah besar tulisan orang lain tanpa menunjukkan secara jelas sumbernya. Plagiat adalah salah satu wujud dari obsesi atau pretensi akan orisinalitas yang menguasai benak para pekerja kreatif dan intelektual. Ada keengganan untuk menyebut terus terang sumber-sumber rujukan yang sesungguhnya berkaitan langsung dan berkontribusi pada gagasangagasan beserta segala upaya eksplorasinya. Akibatnya terjadi semacam pencurian ide, baik itu ide pokok maupun sekedar ide-ide sampingan yang turut menyemarakkan penguraian sebuah gagasan, Intertekstualitas meletakkan persoalan plagiat ini pada tataran etika kepengarangan seseorang.Plagiat sesungguhnya sejajar dengan persoalan kutipan belaka yang merupakan fenomena lumrah dalam dunia tulis-menulis.Keduanya, plagiat dan kutipan (citation) merupakan upaya perujukan pada sumber secara harfiah (référence littérale). Dan hal demikian sahsah saja bahkan telah menjadi bagian dari standar penulisan yang diterima oleh public pembaca. Soalnya menjadi lain kemudian ketika keduanya, tetapi terutama pada plagiat yang dipakai sebagai usaha untuk memperkuat argumen atau mungkin lebih dari itu, namun sumbernya (secara sengaja dan sepenuhnya sadar) tidak dikemukakan
385
terus terang. Tindakan tersebut tentu saja didasari oleh semacam klaim orisinalitas yang menguasai domain intelektual dan kreatif; Semakin asli sebuah gagasan, semakin bergengsi sebuah karya. Klaim ini tidak sepenuhnya salah, namun jika kemudian hal itu menjadi pembenaran plagiat, semua kalangan baik akademisi maupun yang bukan, seyogyanya menolaknya. Karya-karya tulis selayaknya memperoleh penghargaan dan salah satu wujudnya adalah menyebutkannya secara terbuka dan tersurat sebagai sumber referensi jika seseorang mencuplik hanya satu serpihan gagasan sekalipun darinya. E. Penutup Intertekstualitas merupakan sebuah fenomena dunia wacana yang sesungguhnya bersifat klasik, namun perumusannya secara akademik baru dilakukan pada dasawarsa 60-an yang lalu. Banyak yang bisa dibicarakan dengan menggunakan perspektif ini, karena persoalan pengaruh mempengaruhi dunia wacana telah berlangsung lama. Intertekstualitas sepenuhnya mendukung gagasan lama tentang kemustahilan penciptaan dari ketiadaan “Creatio ex nihilo”, dan sepenuhnya mengembalikan tugas dan hak penciptaan, yang pernah diklaim beberapa kalangan, kepada pemiliknya yang sejati : Tuhan. Intertekstualitas juga membantah pandangan tentang terjadinya semacam
diskontinuitas dalam sejarah tradisi tekstual, seperti yang diyakini berbagai otoritas. Dan intertekstualitas bisa menjadi mode of reading alternatif di dalam melakukan kerja analisis teks atau membaca fenomena kewacanaan sekarang Daftar Pustaka Barthes, Roland. 1989. “ The Death of The Author” di dalam Modern Literary Theory, A Reader (disunting oleh Philip Rice dan Patricia Waugh). London; Edward Arnold. Harland, Richard. 1991. Superstructuralism. London; Routledge. Kristeva, Julia. 1968. “Problèmes de la Structuration du Texte” dalam Théoried‟Ensemble disunting oleh Philippe Sollers. Paris; Editions du Seuil. Reuter, Yves. 1991. Introduction à l‟Analyse du Roman. Paris; Bordas. Schmitt, M.P. A. Viala. 1982. SavoirLire. Paris; Didier. Tadie, Jean Yves. 1987. La Critique Littéraire AU XXe Siècle. Paris; Les Dossiers Belfond. Intertextuality-Wikipedia, the free encyclopedia file:///D:/Data/Intertext.htm. Intertextualitéikipediafile:D:/Data/epicure/intertext/Interte xtualit%C3%A9.htm
386
THE PROBLEMS OF INDONESIAN COLLEGE EFL LEARNERS IN LISTENING COMPREHENSION Kaharuddin, Nanning STAIN Parepare
[email protected] Abstrak Studi ini mengkaji masalah yang paling potensial dalam menyimak wacana bahasa Inggris yang dihadapi oleh pembelajar Indonesia yang mempelajaribahasa Inggris sebagai bahasa asing di tingkat perguruan tinggi. Tes menyimak diberikan pada pembelajar bahasa Inggris yang memiliki kemampuan menyimak pre-intermediate dan intermediate. Selanjutnya, kuesioner diberikan untuk mengetahui pikiran, perasaan, atau komentar mengenai aktifitas menyimak selama tes berlangsung. Akhirnya, wawancara dilakukan untuk mengetahui kemungkinan masalah yang dialami dalam menyimak serta penyebabnya. Hasil analisis kualitatif data yang dikumpulkan dari tiga instrumen tersebut menemukan lima kategori masalah pemerolehan pemahaman dalam menyimak yaitu masalah yang berhubungan dengan pengolahan informasi (masalah kecepatan pembicara penutur bahasa Inggris), konten bahasa penutur asli '(masalah karena pengucapan penutur bahasa Inggris yang sulit dipahami, penggunaan bahasa sehari-hari dan penggunaan bentuk bahasa yang disederhanakan), kemampuan berbahasa Inggris (masalah keterbatasan kosa kata dan tata bahasa), kebiasaan belajar (masalah karena inkonsistensi kebiasaan belajar menyimak), gangguan saat menyimak (masalah sulit berkonsentrasi) serta masalah kesalahan
387
interpretasi (masalah karena ketidakmampuan siswa untuk mengkonversi pesan dengan benar saat menyimak). Kata kunci: Potensi masalah, pemahaman menyimak
A. Introduction The reality shows that by this far, listening is considered as a passive, nondemanding skill; however, on the contrary, it is an active process involving many mental functions. Firstly, we perceive language sounds. The language-sound information then has to be retained in short-term working memory, parsed, and turned into meaningful, mental representations using phonological, semantic, syntactic and pragmatic linguistic skills. This process requires numerous cognitive functions and resources including attention, mental energy, and the application of various temporary, short-term, and longterm memory reserves. Since it is frequently regarded as non demanded skill, many students consequently ignore learning it seriously. They are therefore unaware that listening requires enormous amounts of mental activity and that requires improvement for successful communication. In teaching perspectives, for so many years, listening is found out as the most neglected skills in learning a language. David Nunan (1997) commented that listening is the “Cinderella Skill” which is overlooked by its elder sister “speaking” in second language learning. In many public schools where foreign languages are taught, language teachers more focus their attention on leading their students to expertise the productive skills like speaking and writing. Even, the two productive skills have become
the knowledge standard of a foreign language mastery. This fact makes the learners make effort to develop their skills of the language output and ignore the development of their skills of the language input. Consequently, the ignored listening skill comes to be the most difficult task for the language learner, yet it is probably the most neglected skill in language teaching (Paulstone 1976). To support this phenomenon, a survey results conducted by Test Magic.com (an onlineTOEFL provider) conveyed that about 60% of all TOEFL test takers think that the hardest part of the TOEFL is the Listening Section. The fact indicates how difficult listening skill is. Therefore, listening skill needs a serious effort and attention to learn. As a positive response to it, listening skill is learnt as one of compulsory subjects in English Language department. At STAIN Parepare for example (The state college where the writer is teaching English), listening subjects are learnt for three semesters in three years. However, almost all students are still of the opinion that listening lessons are the hardest due to the difficulties to build up comprehension to authentic (the voice of Native speakers of English) listening materials. Besides, the students‟ weakness in listening can also be recognized from the writer‟s observation as supervisors of ITP-TOEFL at STAIN Parepare (from 2007 to 2010). It is disclosed
388
that about 87% the test takers (students of STAIN Parepare who already learned over two years and passed the three listening subjects) achieved the lowest score in listening comprehension section. This research was the carried out to identify potential problems of EFL learners in listening to English. B. Literature Review Barriers To Listening Comprehension As a listener involves in a communication with a speaker, he will receive and record aural input that demands him to identify and interpret all sounds he hears. However, converting messages when listening to English is occasionally felt very difficult for so many learners, particularly those who are listening to English as a foreign language. The difficulty in listening comes out owing to the existence of some barriers felt by the learners in gaining comprehension when listening. When discussing about obstacles, this means that we are going to talk about difficulties or barriers that learners are facing during learning a new language. A research report on the difficulties or barriers confronted by the EFL learners while acquiring listening comprehension has been done by Chen (2005). He identified seven types of barriers as follow: 1: Affective barriers The affective factors that play a negative role in comprehension acquisition include anxiety, distress, frustration, and resistance. 2: Habitudinal barriers The habitudinal barriers found were: listening for every spoken word, relying on
particular language subtitles, and nonpurposeful listening. 3: Information processing barriers This type of barriers can be seen as the students can not gain comprehension when listening to English because they are unable to recognize spoken-words, unable to find the appropriate meaning of particular vocabulary items, and expressions. fail to process spoken input efficiently, have memory limitations, their attention was distracted, as well as malfunction of spoken word processing due to fatigue. 4: English proficiency barriers Barriers related to English proficiency come out when the students have limited English vocabulary, poor grammar, and poor listening ability. 5: Strategic barriers This type of barriers is recognized when the students forget to activate strategies while listening, have difficulty to process both language input and strategy utilization at the same time, difficulty to handle mental challenge due to the complex listening strategy, encounter practical problems while trying to put their understanding of strategies into practice, and still unable to comprehend the text after applying strategies. 6: Belief barriers The students commonly experience belief barriers when they consider strategies as the last priority in improving listening comprehension, and believed that other language skills such as vocabulary or grammar development are more important, they regard listening as a task to apprehend every spoken word,
389
7: Material barriers The students face materials barriers when they are more interested in practicing strategies with not too difficult materials for them, they devote to learn spoken materials; they find it very difficult to cope with long sentences or texts, they feel difficult to learn authentic materials, they feel that the topic is very difficult and unreachable by their background knowledge. Factors Influencing Listening Comprehension Listening comprehension is a complex psychological process of listeners‟ understanding language by sense of hearing. Gou (2005) carried out an intensive research to uncover the factors influencing listening comprehension and invented three causal factors: a. Students’ psychological obstacles influence their listening capacity Psychological factor refers to those non mental factors not directly involving cognitive process, such as students‟ interests, attention, learning emotions, and will power. Although these non mental factors are directly influential in the students learning processes, they play a part in promoting and controlling learning effectiveness. For example, two students listening levels might be similar, and while then the test results may be quite different. The explanation of their difference is seen to lie in their different psychological states. The cultural attitude of students is particularly influential in the way that students address their studies. b. Grammar knowledge affects listening comprehension Language knowledge is the foundation of learning English. If students‟
knowledge of pronunciation, grammar, and vocabulary is insufficient, it is probable that their English listening comprehension will be negatively affected by lack of language knowledge. However, the most basic outward shell of language is pronunciation and intonation. Therefore, the first step of listening comprehension is learning how to identify and select sound signals according to pronunciation; thus pronunciation knowledge must be developed. When students‟ pronunciation knowledge is inadequate their capacity to discriminate will be weak and will affect listening comprehension. c. Cultural background knowledge and thinking affect listening comprehension Language carries knowledge and cultural information and it reflects the substantial and particular ways of thinking of that people. Thus culture is embedded in even the simplest act of language (Liddicoat, 2000), it is an inseparable part of the way in which we live our lives and the way we use language. As found by O‟Malley and Chamot (1989), the effective listener was the one who was able to draw on a knowledge of the world, on personal experiences and by asking questions of themselves. Therefore, the student with no background knowledge of culture in English, American or other English speaking countries, is unlikely to understand Anglophone modes of thinking as expressed in English language. Kramsch (1993) maintains that every time we speak we perform a cultural act. Consequently, there is now, an emphasis in modern language teaching on cultural knowledge as a basis for language learning. An important
390
requirement, then, for learning spoken English, is the acquisition of cultural knowledge. Methodology This research uses qualitative procedures in order to elicit common factors or patterns surrounding the difficulties or the potential problems in gaining listening comprehension. 23 students of English Department at STAIN Parepare participate in this study. They are purposively selected according to: English proficiency levels at least pre intermediate level, Learning Period at least two years or equivalent to 4 semesters of studying period, Achievement at least pass English Skills Development Program organized by Skilled HumanResource DevelopmentCentre(PASIH) of STAIN Parepare and already received certificate of completion. Three instruments were used to collect the required data i.e. two listening materials, a questionnaire, and a follow-up interview. The data were then analyzed with the aid of descriptive statistics by referring to the notion of Underwood (1989) on potential problems of listening i.e. Speakers‟ speed, No repetition, Limited vocabulary, Signal recognition failure, Misinterpretation, No concentration, Learning habits. Content Analysis procedures were also carried out to figure out potential problems in listening.
Results And Discussions The word problem in listening of this study refers to the most possible difficulties arise in the process of gaining knowledge or
skills through instructions for comprehending all others are trying to say in oral communication. The findings were derived from 293 utterances for the 23 subjects which were generated from open close questionnaire with two listening materials. The notion proposed by Underwood (1998) on listening problems was used to classify and analyze the 293 utterances and only 130 utterances can be used to explain the problems in this studdy .The over all results of the data analysis show that the learners of English have all potential problems as types of problems in the aspect of Underwood notion. The following table goes into all details of listening problems detection. Table 1. Potential problems in the learners‟ listening comprehension Problem Categories
Total Occurrences
1. Speaker‟s Speed 2. No repetition 3. Limited vocabulary 4. Misinterpretation 5. No concentration 7. Learning habits - Listening to music - Watching Movie - Practice communicating -Practicing with listening exercise 8. Other possible problems Speaker‟s pronunciation - Knowledge of Grammar
22 20 18
Total Frequency (%) 95,7 87 78,3
14 14
60,7 60,7
16 10 3 2
69,6 43,5 13 8,7
7 4
30,4 17,4
391
Total
130 (100)
Source: Primary data processing a. Problems related to the speaker’s speed As for many learners of English, speakers‟ speed is felt to be of the greatest difficulties in gaining listening comprehension since the learners as listeners are unable to control the speed of language delivery. The data analysis shown in table 2 that 22 out of 23 respondents (about 95, 7 %) experience this problem. Most of the subjects are of the opinion that during the listening in real communication, they tend to almost miss all important information due to the native speakers‟ speed when speaking.
R 1) “Native speaker kadang-kadang berbicara sangat cepat sehingga kata-kata yang diucapkan kedengarannya asing di telinga, hal ini sangat berdampak pada kualitas pemahaman kita” (Native speakers sometimes speak too fast that makes the words they say sound unfamiliar and this contributes a great affect on our comprehension level in listening) R 16) “Saya merasa kesulitan menemukan main idea dari kalimat yang diucapkan oleh native speaker karena mereka berbicara terlalu cepat” (I find it difficult to get the main idea of the sentences espoken by the native speakers since speak too fast) R 20) Kalimat yang diucapkan oleh native speakers terlalu cepat membuat saya tidak memahami banyak kata-kata meskipun kata-
kata tersebut saya tau kalau dituliskan, hal ini membuat konsentrasi saya buyar dan tidak mempu menangkap maksud pembicaraannya” (Sentences spoken by the native speakers are too fast that make me unable to comprehend many words although the words are familiar to me. Consequently, I lose concentration and unable to understand what they are talking about). From the statements above, it is obviously seen that the speakers‟ rate of delivery plays a crucial role in making their speech comprehensible or not since it not only affects the learners‟ comprehension but also concentration and recollection. Hence, it stands to reason to say that the faster a native speaker speaks, the more incomprehensible his sentences will be. Okazaki & Nitta (2005) claimed that listening ability typically decreases as the speed of the heard words increases, the listeners will miss approximately 50% of the words spoken at native speakers‟ speed. With regard to the problems, Susan (2011) stated that speaking too quickly is more common than speaking slowly. The reasons are: 1) Level of excitement, almost all native speakers tend to speed up their speech because they don‟t want to spend too much time to produce sentences due to particular situations. 2) Regions, some native speakers, however, are genuine “motormouths” who always speak rapidly under no circumstances due to their custom and situation. a. Problems related to the learners’ inability to get things repeated When listening to English, the learners really need repetition. However, their inability to get English native speakers
392
repeat what they just said generates problems to their comprehension while listening. There are 20 out of 23 respondents (87%) admitted being unable to get comprehension because no repetition occurs when they communicate with English native speakers. R 3) “Saya terkadang tidak mengerti inti pembicaraan mereka, karena itu saya butuh pengulangan terutama saat membicarakan tentang hal-hal di luar pengetahuan saya misalnya masalah politik atau kedokteran” (I frequently don‟t get the point of native speaker‟s talk that‟s why I need repetition especially as he is talking about something beyond my knowledge for example politic and medical) R 8) “Saya pikir, saya membutuhkan pengulangan dalam mendengar native speaker berbicara sebab mereka memiliki karakter tersendiri saat berbicara yaitu cepat, disingkat, dan bahkan menggunakan idioms” (I think, I need repetition in listening to native speakers‟ talk since they basically have typical characteristics when speaking namely; speaking too fast, using reduced forms and colloquial language) R 10) “Pengucapan native speaker kadang-kadang tidak jelas sehingga saya membutuhkan pengulangan” (Native speaker uses exaggerated pronunciation which is sometimes not very not very clear to me, therefore I need repetition) R 11) “Kata-kata yang digunakan oleh native speaker umumnya kata-kata tingkat tinggi sehingga saya menemukan kesulitan untuk
memahami apa yang mereka katakan. Dengan pengulangan saya bisa lebih mudah mengerti kata yang diucapkan” (Native speaker commonly uses unfamiliar vocabulary that makes me difficult to understand what he has said, repetition will facilitate me to understand the vocabulary) From the respondents‟ statements above, we can identify several casual factors that make the learners need repetition to gain comprehension i.e. the content of the talk is unfamiliar, the use of colloquial language and reduced forms, the use of exaggerated pronunciation, and the use of complex vocabulary and phrasal verbs. c. Problems caused by the listeners’ limited vocabulary In order to get comprehension in listening to English, learners of English are required to posses a large number of vocabulary. Those who do not know much English vocabulary, listening to English can be very stressful because they usually spend more time think about the meaning of the vocabulary being heard. Consequently, they miss following the information. With regard to the problem, table 1 indicates that limited knowledge of vocabulary has caused the learners‟ failure to get comprehension in listening to English. There are 18 subjects out of 23 (78.3%) report the case. R7 “Keterbatasan kosa kata membuat pemahaman saya dalam menyimak kurang” (The limited stock of vocabulary makes listening comprehension less) R9 “saya tidak menguasai banyak kosa kata sehingga lebih banyak hal yang saya tidak mengerti dalam percakapan”
393
(I have no extensive vocabulary that I do not understand more things in comversation) R16 “Beberapa kata, bisa saya pahami dalam percakapan tetapi saya lebih sering tidak mengerti maksudnya secara keseluruhan, hal ini disebabkan karna saya memiliki kosa kata yang sangat sedikit” (I can understand a few words in conversation with native speaker but I mostly do not understand his utterance meaning in all, this cause by fewer vocabularies that I have) Based on the subjects‟ statements, it is known that when encountering an unknown word, many learner stop listening and start thinking about the meaning of the word. In more detail, a number of the respondents reported that they basically miss all words. A few words are comprehensible while more words are incomprehensible due to their limitation in vocabulary knowledge. Consequently, they lost comprehension of what they are listening in a whole (as exemplified by R 16). d. Problem caused by learning habit. In the effort of achieving the three aspects as mentioned above, learners train their listening comprehension by building their own learning habit. Some learners make it a habit to listen to songs (16 statements or 68%), watch videos and films in English (10 statements or 43, 5%); some prefer to communicate with friends to listen to natural speech in English (3 statements or 13 %). Established learning habit by Listening to English songs.
It is estimated that 16 statements were found from the 23 subjects in this study reported to establish learning habit of listening by listening to song in English. Here are their statements: R 1) “Saya suka mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris untuk meningkatkan pemahaman mendengar saya, namun sebelumnya saya mencari dulu arti kata-kata dalam lagu teresebut menggunakan google translation” (I like to listening to English songs to develop my listening comprehension, but I first of all uncover the meaning of some unfamiliar words in the song lyrics by using google translation) R 4) “Untuk mengembangkan pemahaman pendengaran saya, saya suka mendengar lagu-lagu berbahasa Inggris” (To develop my listening comprehension, I like to practice by listening to sings in English) Songs have become the learners‟ language learning experience particularly for listening practice for three reasons: the first, songs provide a break from classroom routine, and that learning English through songs develops a non-threatening classroom atmosphere which enable them to learn more joyful and relaxed and to develop their language skills on the basis of the joy from listening to a song. R 7) “Saya kadang-kadang mendengarkan lagulagu berbahasa Inggris untuk meningkatakn pemahaman pendengaran saya sebab belajar dari lagu lebih santai dan menyenangkan”
394
(I sometimes listen to English songs to practice my listening comprehension because learning through songs is more relaxed and pleasant) The second, songs can also present opportunities for developing automaticity for language production purpose. When the learners focus on learning language through songs, repetitive exercise of learning occurs which is able to generate automaticity in language components exposure such pronunciation, phrases, expression, grammar, etc. R 10) “Untuk memperbaiki pemahaman saya dalam mendengar, saya mendengar lagu barat berulang-ulang dengan melihat teks hingga saya bisa menyanyikan lagu tersebut dan memahami artinya tanpa melihat teks. Ketika saya dapat memahami lirik lagu tersebut dengan benar, maka saya merasa ada kemajuan dalam pemahaman pendengaran saya” (To improve my comprehension in listening, I listen to English song repeatedly by looking at the lyrics until I can sing the song and understand all words in the songs without looking at the lyrics anymore. When I understand all the words in the song‟ lyrics, I feel a great progress in my listening comprehension) The third, some songs are excellence example of colloquial English, that is, the language of informal conversation. R 21) “Saya melatih pemahaman pendengaran saya dengan mendengar lagu barat, karena lagu barat biasanya berisi ungkapan yang digunakan oleh native speaker dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga saya
lebih mudah mengerti kalau ada ungkapan yang sama digunakan dalam percakapan” (I practice my listening comprehension by listening to English songs because English songs normally contain daily expression spoken by native speakers of English in their daily lives. This will make me easier to understand the same expression as the expression used in conversation) Established learning habit by watching English movies The data indicated that approximately 43,3% of the subjects stated that watching movie was their learning habits for listening comprehension exercise. R 12 “Saya merasa menonton film sangat menbantu saya dalam meningkatkan pemahaman pendengaran saya sebab dengan menoton film saya bisa mempelajari pengucapan yang benar, ungakapanungkapan baru dalam percakapan, yang sangat berpengaruh pada peningkatan bahasa Inggris yang sedang saya pelajari. Lebih lagi, menoton film sangat menyenangkan dan tidak membuat saya cepat bosan” (I think, watching movies is very helpful in developing my listening comprehension because from the movie, I can learn proper pronunciations of certain words, new expressions of conversation which are very influential to have progress in my English ability. Moreover, watching movie is fun and not boring) R 13) “menonton film barat dapat menjadi model belajar listening yang saya lakukan selama ini. Dari film kita dapat mengetahui secara langsung arti kata-kata tertentu secara alamiah. Saya biasanya menoton DVD sambil melihat subtitle bahasa Inggrisnya
395
kemudian, saya mencatat beberapa kata yang asing bagi saya supaya saya bisa mencari dan mempelajari artinya di kamus kemudian saya mengualang lagi menoton film tersebut tanpa melihat subtitlenya dan ternyata pemahaman pendengaran saya meningkat” In accordance with the subjects‟ statements, it is realized that watching movie can be used as one of the best ways for improving listening skill for English language learners due to the following the advantages: a. They can learn real English vocabulary, as spoken by real native speakers (R 13) b. They learn English words and phrases that are used in real-life situations (R 13) c. They can practice and improve their listening skills and comprehension skills (R 12) d. They learn proper pronunciation (R 12) e. They learn useful English language expressions and phrases for conversation (R 12) f. They feel that learning English is fun (R 12) Establishing learning habit by communicating with friends Another habit of learning in the effort of developing their listening comprehension that is to learn listening by practicing to speak English with other learners. There are 5 respondents out of 23 (23,7%) employed this habit. R 2) “Untuk memperoleh pemahaman menyimak yang baik, saya berbahasa Inggris dengan native speaker dimanapun saya bertemu mereka, tetapi ini sangat jarang karena mereka jarang ada disekitar kita”
(To develop my listening skills, I speak to native speakers of English wherever I meet them, but I rarely do it since few native speakers live in neighborhood) R 19) “Saya lebih suka bercakap secara langsung dengan teman yang bahasa Inggrisnya bagus untuk melatih pemahaman pendengaran saya sebab kalau ada kata-kata yang saya tidak mengerti bisa langsung saya tanyakan. Biasanya, kalau kata tersebut diucapkan lagi pada percakapan kami yang lain, saya sudah bisa langsung mengerti” (I prefer to practice speaking in English with some friends of mine whose English better than me. From this, I can increase my listening comprehension, besides I can go straight to ask some unfamiliar words to my interlocutor. If the same words are used in other conversation, I can easily the words) When some respondents of this study established learning listening by practicing speaking with native speakers of English (R 2), and some friends (R 13) in natural environment, they will be familiar to comprehend some expressions, phrasal verbs, the speakers‟ intonation and stress since speaking will expose those things which should be processed successfully by listening as the receptive and productive skill. That‟s why; we may assume that the more the learners practice speaking the more familiar them to the knowledge of language items (pronunciations, vocabulary, sentence structure etc). As the learners possess sufficient knowledge of language, they will automatically possess good listening comprehension in communication because the knowledge are going to ease them to access the intended meaning behind the
396
utterances spoken by the speakers. Despite the subject have carried out various established learning strategies to increase their listening comprehension such as listening to English songs, watching movies, and practicing to speak naturally, they still have problems in performing qualified listening comprehensions. The causal factors are: The first, the learning habits are not done consistently, and continuously. The learners indeed commit learning process to up grade their listening comprehension, but it is just occasionally done along with the availability of leisure time. e. Problem caused by the failure to concentrate The learners‟ inability to understand the message sent by English native speakers is also caused by concentration problem. The data of this study reveal that there are 14 respondents out of 23 (60%) stated that they find it difficult to comprehend aural inputs from the speakers due to their failure to concentrate. R 2) “Konsentrasi saya dalam mendengarkan kalimat di percakapan sangat ditentukan oleh suasana hati saya dan suasana di sekitar” (My concentration in listening English is much determined by my mood and the environment) R 5) “Dari semula saya selalu merasa listening itu susah, sehingga ketika saya mendengar, saya benar-benar menemukan kesulitan dan tidak mampu berkonsentrasi” (From the very start, I always think that listening comprehension is difficult.
Consequently, when I am listening, I really find it difficult and unable to concentrate) R 14) “Konsentrasi saya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, kalau suasana tenang saya bisa berkonsentrasi , tapi kalau suasananya rebut diluar, maka konsentrasi saya pasti buyar” (My concentration while listening is really affected by the environment. As the situation is calm, I can concentrate. On the contrary, as the situation is noisy outside, I can not concentrate at all) R 18) “Saya merasa sulit berkonsentrasi pada saat listening karena kelelahan dan padatnya kegitan kampus” (I find it difficult to concentrate in listening because I frequently feel tired because of massive activities at campus) R 22) “Saya sering tidak mampu berkonsentrasi pada saat saya mendengar hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan beban pikiran” (Iam often unable to concentrate when I am listening. This is normally caused by my psychological situation and burden in mind) From the respondents‟ statements, we can identify some causal factors of the students‟ failure to concentrate while listening i.e. external distractions such as interruption from the environment (R 2) and nosy environment (R 14); Internal distractions such as fatigue owing to many activities (R 18), negative thinking that listening is difficult (R 5), personal worries when having too many minds (R 22). Problems related to misinterpretation
397
Another problem identified in relation to the learners‟ poor comprehension in listening is interpretation as an ability to convert the messages from the speaker into comprehensible information. Misinterpretation is found among 14 respondents (60%). This problem occurs because the speakers and the listeners do not share the intended meanings due to the different capacity of knowledge background and experiences. R 3) “Saya masih sering merasa kesulitan memahami native speaker saat berbicara.Terutama dalam menggunakan kata-kata yang artinya lebih dari satu, ada kata tertentu yang mereka gunakan yang arti dasarnyasaya tau tapi saya salah memahami maksudnya. Misalnya mereka mengatakan „I made it‟ saya kira kalimat itu berarti saya membuatnya, tetapi ternyata artinya „saya berhasil‟ (I very often find it difficult to understand native speakers of English. Particularly, in the use of words which have more than one meanings. Some words are basically familiar to me, but I misinterpret the meanings. For example, as they say „I made it‟ I though that it means „I create something‟ in fact, that means „I succeed in doing something). R 10) “Kemampuan saya dalam pemahaman pendengaran sangat ditentukan oleh topik yang dibicarakan, kalau saya mempunyai pengetahuan tentang topic itu, maka saya pasti bisa mengerti. Tapi kalau saya tidak memiliki pengetahuan tentang topic yang dibicarakan, maka sulit bagi saya untuk menegrti”
(My ability to gain listening comprehension is much affected by the topic being talked about. If I have background knowledge of the topic, it is easy to understand. But, if I have no idea about the topic , it is difficult to understand). R 23) “Saya tau betul kelemahan saya dalam bahasa Inggris adalah grammar.Hal ini menjadi masalah saya juga dalam memahami native speaker kalau berbicara.Saya sering salah memahami maksud ucapan native speaker karena keterbatasan pengetahuan grammar saya. Saya pernah dengan seorang native speaker berkata‟ I am about to go‟ saya mencobe menebak, mungkin artinya adalah „saya membicarakan tempat yang akan saya kunjungi, ternyata artinya adalah „saya baru saja akan pergi‟. Jadi grammar sangat penting untuk mendapatkan pemahaman). (I realize that the greatest weakness that I have in English is grammar, this has been a big problem to make me understand what a native English speaker is saying. I often misinterpret what a native English speaker said due to my limited knowledge of grammar. For instance, a native English speaker once said „I am about to go‟ I try to guess this probably means „I talk about a destination I want to visit‟ in fact, that means „I had an intention to go just now). The respondents‟ statements obviously convey that the problem of misinterpretation during listening is caused by three major factors i.e. the listeners‟ limited knowledge of grammar (R 23), unfamiliarity towards the topic being discussed (R10), and insufficient cultural knowledge (R 3). Conclusion
398
The result of data analysis from listening tasks and questionnaires given to the 23 students of English education department at STAIN Parepare identify several categories of problems. The categories are presented as follows: a. Problems of information processing - Obstacles pertaining to processing speed - Problems due to recollection - Problems due to words recognition b. Problems of native speakers‟ language content - Obstacles pertaining to the need of repetition - Problems due to unfamiliar talk content - Problems due to the use of colloquial language and reduced forms - Problems due to exaggerated pronunciation c. Problems of the students‟ English proficiency - Problems due to limited stock of vocabulary - Problems due to limitation in acquiring knowledge of receptive vocabulary - Problems due to poor grammar d. Problems of habitudinal - Problems due to repetitiveness and consistency in learning through English songs - Problems due to a little time to establish good learning habit e.g. watching English movies. - Problems due to the absence of repetitious behavior in communication practice.
e. Problems of distraction - Problems due to external distractions such as interruptions and noisy environment. - Problems due to internal distractions such as fatigue, negative thinking, mind burdens. f. Problems of misinterpretation - Insufficient knowledge of language skills e.g. grammar mastery - Problems due to unfamiliarity towards the topic being discussed. - Problems due to insufficient cultural knowledge of English usage.
Bibliography Bacon, S.M. (1992). Authentic listening: how learners adjust their strategies to the difficulty of the input. Hispania, 75 (1) Bacon, S.M. (1992). Phases of listening to authentic input in Spanish: a descriptive study. Foreign Language Annals, 25 (4) Brown, G. (1990). Listening to spoken English.Harlow: Longman (2nd edn). Brown, H. (2001). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Longman. Byrnes, H. (1984). The role of listening comprehension: A theoretical base. Foreign Language Annals Chen, Y. (2005). Barriers to Acquiring Listening Strategies for EFL Learners and Their Pedagogical Implications. TESL Journal Vol.8 Takmin College Taiwan
399
Coakley, C.G., & Wolvin, A.D. (1986). Listening in the native language. In B. H. Wing (Ed.), Listening, reading, writing: Analysis and application. Middlebury, VT: Northeast Conference. Hadley, A. (2001). Teaching Language in Context. Boston: Heinle & Heinle. Hedge, T. (2000). Teaching and learning in the language classroom. Oxford: Oxford University Press. Larry Alang nadig P.hd (1999) “Tips on effective listening” Lund, R.J. (1990). A taxonomy for teaching second language listening. Foreign Language Annals. Mendelsohn, D.J., & Rubin, J. (1995). A guide for the teaching of second language listening. San Diego, CA: Dominie Press. Morley, J. (1991). Listening comprehension in second/foreign language instruction. In M. Celce-Murcia (Ed.), Teaching English as a second or foreign language. Boston, MA: Heinle & Heinle. Nunan, D., & Miller, L. (Eds.). (1995). New ways in teaching listening. Alexandria, VA: TESOL. O‟Malley, J. M, A. U. Chamot and L. Kupper. 1989. Listening Comprehension Strategies in Second Language Acquisition. Applied Linguistics, 10 (4) Oxford. R.L (1990). Language learning strategies, what every teacher should know. London, Heinle & Heinle. Oxford, R.L. (1993).Research update on Teaching L2 Listening. System, 21 (2) Peterson, P.W. (1991). A synthesis of methods for interactive listening. In M. Celce-Murcia (Ed.), Teaching English as a second or foreign
language (pp. 106-122). Boston, MA: Heinle & Heinle. Ping, Z. W. (1982) Effect of Schema Theory and Listening activities on Listening Comprehension.English Department, Chinese PLA Postgraduate School of Medicine, Beijing 100853, China. Retrieved December 26, 2010 from www.linguist.org.cn/doc/su200612/s u20061205.pdf postlistening+activities Richards, J.C. (1983). Listening comprehension: Approach, design, procedure. TESOL Quarterly. Richards, J. (1990) The Language Teaching Matrix. Cambridge: Cambridge University Press. Rixon, S. (1981). The design of materials to foster particular linguistic skills. The teaching of listening comprehension. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 258 465) Rost, M. (1990). Listening in language learning. London: Longman. Rost, M. (2001).'Listening'. In Carter, R. & Nunan, D. (2001) The Cambridge guide to teaching English to speakers of other languages. Cambridge: Cambridge University Press. Rubin, J. (1995). The contribution of video to the development of competence in listening. In D.J. Mendelsohn & J. Rubin (Eds.), A guide for the teaching of second language listening (pp. 151-165). San Diego, CA: Dominie Press. Schmidt, R. (1990). The role of consciousness in second language learning.Applied linguistics, 11, 2, 129-159. Schwartz Ana Maria, (1988). in Modules for the professional preparation of teaching assistants in foreign languages (Grace Stovall Burkart,
400
ed.; Washington, DC: Center for Applied Linguistics) Scrivener, J. (1994).Learning teaching. Oxford: Heinemann. Underwood, M. (1989). Teaching listening. London: Longman. Van Duzer, C. (1997). Q & A: Improving ESL Learners' Listening Skills: At
the Workplace and Beyond. ERIC/NCLE and PAIE Digests.[Web Site]. Retrieved on December, 20, 2003 from: http://www.cal.org/ncle/DIGESTS/LI STENQA.htm
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLINGUISTIK Muhammad Hanafi Email:
[email protected] Abstrak Speech community concept can be seen/shown through three approaches; Firstly, on the basis of their common language forms, secondly by rules that regulate those common language forms, and thirdly from the perspective of the common cultural concepts. Speech community is possibly created if certain group of individuals, for the reason of common territory, professions, hobbies have exactly the same language and possess the common judgement on any linguistic norms. The same case can also be projected to any speech communities in certain social, household, governmental, or religious domains to mention a few possibilitites. Keywords: linguis politnes, sociolinguistic, speech commuity. A. Pendahuluan Istilah sosiolinguistik berasal dari kata sosio yang berarti masyarakat dan linguistik yang berarti bahasa.Jadi, sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan penggunaan
bahasa itu di dalam masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa sosiolinguistik mengkaji aspek-aspek kemasyarakatan bahasa,
401
khususnya perbedaan faktor-faktor kemasyarakatan. Sejalan dengan uraian di atas, Kridalaksana (2008) memberi batasan sosiolinguistik sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.Nababan (1993) menuliskan bahwa sosiolinguistik adalah pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan.Appel (1976) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai kajian bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan. Abdul Chaer (2004:2) berpendapat bahwa intinya sosiologi itu adalah kajian yang objektif mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat, sedangkan pengertian linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat. Sumarsono (2007:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai linguistik institusional yang berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu.Rafiek (2005:1) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi bahasa dalam pelaksanaannya, itu bertujuan untuk mempelajari bagaimana konvensikonvensi tentang relasi penggunaan bahasa untuk aspek-aspek lain tentang perilaku sosial.Booiji dalam (Rafiek, 2005:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari faktorfaktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan yang berperan dalam pergaulan.
Wijana (2006:7) berpendapat bahwa sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa itu di dalam masyarakat. Fishman (1972) memberikan defenisi sosiolinguistik sebagai “the study of the characteristics of language varities, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change, and change one another within a speech community.” Fasold (1993: ix) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang kepada orang lain. Rumusan mengenai sosiolinguistik dari berbagai pakar dapat dirinci sebagai berikut. • Ilmu yang mempelajari pelbagai variasi bahasa. • Pengkajian bahasa dengan dimensi masyarakat. • Kajian tentang ciri khas variasi, fungsi variasi, dan pemakai bahasa. • Mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan budaya. • Subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa. • Kajian bahasa dalam penggunaannya untuk meneliti bagaimana konvensi pemakai bahasa berhubung dengan aspek lain dari tingkah laku sosial • Pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta kajiannya dalam suatu konteks sosial
402
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa sosiolinguistik dapat mejadi wadah ekspresi kesantunan berbahasa. Dengan kata lain kesantunan berbahasa merupakan kenyataan penggunaan bahasa yang terikat dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Mengacu pada hakikat sosiolinguistik yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka berikut ini akan diuraikan kajian sosiolinguistik yang relevan dengan kesantunan berbahasa yakni (1) masyarakat tutur, (2) hubungan bahasa dengan variabel sosial budaya, (3) fungsi bahasa, dan (4) variasi bahasa. B. Kesantunan Berbahasa dalam Perspektif Masyarakat Tutur Konsep masyarakat tutur telah dikemukakan oleh para ahli bahasa.Fishman (1976) menyebut masyarakat tutur sebagai suatu masyarakat yang anggota-anggotanya mengenal satu variasi bahasa beserta normanorma yang sesuai dengan penggunaannya.Sejalan dengan hal tersebut, Hymes (1974) mendefinisikan masyarakat tutur sebagai masyarakat yang memiliki pengetahuan dan aturan-aturan bagi terjadinya suatu bahasa.Kepemilikan bersama tersebut mencakup pengetahuan terhadap sekurang-kurangnya satu bentuk bahasa, dan juga pengetahuan tentang polapola pemakaian bahasa tersebut.Demikian halnya dengan Labov (1966) yang mendefinisikan masyarakat tutur dengan menekankan pada kriteria norma-norma yang dianut bersama dari ciri bahasa yang digunakan bersama. C. Kesantunan Berbahasa dalam Perspektif Sosial Budaya
Variabel sosial budaya yang dapat mempengaruhi kesantunan berbahasa antara lain: budaya, identitas, kelas sosial, gender, usia, dan etnik. Kesantunan berbahasa tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya.Hubungan keduanya didasarkan pada teori hubungan antara bahasa dengan kebudayaan.Ada berbagai pendapat mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan.Koentjaraningrat (1992) menjelaskan hubungan antara bahasa dengan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat subordinatif, bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Masinambouw (1978) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan kebudayaan bersifat koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Hubungan erat di antara keduanya berlaku sebagai: kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan bahasa merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya sistem interaksi tersebut Hubungan yang bersifat koordinatif dikemukakan pula oleh pakar linguistik ternama yakni Edwar Sapir dan Bejamin Lee Whorf.Pandangan ini dikenal dengan hopotesis-Whorf yang lazim disebut relativitas bahasa. Hipotesis yang sangat kontroversial ini mengemukakan bahwa bahasa tidak hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan alam pikiran manusia, sehingga mempengaruhi pula tindak lakunya. Artinya, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dengan bangsa lain mempunyai corak budaya dan jalan pemikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan
403
tercermin dalam sikap dan budaya penuturnya. Hubungan antara bahasa dengan kelas sosial dapat ditelusuri melalui beberapa variabel linguistik antara lain: aksen, dialek, dan honorifik. Aksen dan dialek ini merupakan sebuah variasi regional dan variasi sosial.Selain itu, aksen dan dialek juga merupakan bukti tentang informasi sosial.Istilah aksen mengacu pada pengucapan.Berbicara dengan aksen regional berarti mengucapkan kata-kata yang seringkali dihubungkan dengan orang-orang dari wilayah tertentu. Sementara dialek merujuk pada perbedaan tata bahasa dan kosakata (Jones, 2007) Dalam bahasa tutur, sebuah dialek seringkali dikenali berdasarkan aksennya sehingga penutur yang menggunakan dialek regional akan besar sekali kemungkinannya untuk menggunakan aksen regional dari daerah yang sama. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa tidak semua dialek dan aksen terbatas pada wilayah tertentu saja.Dalam praktiknya, seringkali ada kesulitan dalam membedakan sebuah varian secara regional atau secara sosial karena sebuah dialek regional cenderung untuk memiliki status sosial tertentu.Para penutur dari sebuah varian dari wilayah geografis tertentu biasanya dianggap memiliki posisi tertentu dalam jenjang kelas sosial dalam masyarakat.Gaya dan ciri bicara tertentu seringkali dihubungkan dengan kelompok sosial tertentu. Biasanya orang-orang juga berharap bahwa anggota dari kelompok sosial ini menggunakan gaya atau ciri bicara yang sesuai dengan status sosial mereka. Dalam kaitannya bahasa dengan aspek sosial budaya, juga dapat diuraikan mengenai bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan etnisitas. Pembicaraan tentang etnis dalam konteks ini lebih dikenal dengan disiplin ilmu etnografi yaknietnografi komunikasi.
Kajian etnografi komunikasi dapat digunakan untuk menginterpretasi kesantunan imperatif dalam wacana akademik berdasarkan norma sosial budaya penuturnya. Ancangan etnografi komunikasi yang dimaksud mengacu pada pandangan Hymes (dalam Ibrahim, 1993:295) yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa secara umum yang dihubungkan dengan nilai-nilai sosial dan kultural disebut etnografi bicara atau etnografi komunikasi. Gagasan-gagasan yang biasa diungkapkan melalui etnografi komunikasi meliputi: cara bertutur penutur yang fasih, situasi tutur, peristiwa tutur, tindak tutur, komponen tindak dan peristiwa tutur, dan fungsi tutur. Cara bertutur mengacu kepada hubungan antara kemampuan dan peran seseorang dengan peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya di satu sisi, serta kepercayaan dan sikap di sisi lain. Dengan demikian, cara bertutur berbeda dari budaya satu dengan budaya yang lain. Ibrahim (1993:297) menegaskan bahwa untuk mendeskripsikan dan menganalisis komunikasi diperlukan unitunit deskrit aktivitas komunikasi yang memiliki batasan-batasan yang dapat diketahui.Adapun unit yang dimaksud adalah situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event), dan tindak tutur (speech act).Peristiwa tutur mengacu kepada terjadinya komunikasi dalam satu bentuk tuturan yang melibatkan penutur dan mitra tutur dengan topik tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Antropolog yang pertama kali memperkenalkan ancangan etnografi komunikasi adalah Dell Hymes.Pada awalnya, Hymes menyebut etnografi bertutur (etnography of speaking), yang diubah menjadi etnografi komunikasi (etnography of communication).Selanjutnya, Hymes mengembangkan model peristiwa tutur dalam delapan komponen yang dikenal
404
dengan akronim SPEAKING (Hymes, 1974:53-56). Menurutnya, sebuah percakapan baru dianggap sebuah peristiwa tutur jika mengandung komponen-komponen sebagai berikut: (1) setting and scene, (2) participants, (3) ends (purpose and goal), (4) act sequences, (5) keys: tone and spirit of act, (6) instrumentalies, (7) norms of interaction and interpretation, dan (8) genres. Kedelapan komponen peristiwa tutur akan dijelaskan satu per satu pada uraian berikut. Latar (setting) berkenaan dengan waktu dan tempat peristiwa tutur terjadi, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis tuturan. Waktu, tempat, dan situasi psikologis tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Partisipan (participant) mengacu pada pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tutur, bisa penutur dan mitra tutur, pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan.Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pendengar atau pembicara.Biasanya, mereka mempunyai status dan peran sosial tertentu.Dalam suatu komunikasi, penutur dan mitra tutur memiliki karakteristik tersendiri dalam wujud penyampaian tutur dan memproduksi tutur, baik dalam situasi formal maupun nonformal. Tujuan tutur (ends) mengacu pada maksud dan tujuan penuturan. Tujuan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap representasi kekuasaan.Secara konvensional, tujuan merujuk kepada hasilhasil yang diketahui atau diperkirakan dari sebuah komunikasi atau tujuan-tujuan pribadi. Rangkaian tutur (act sequences) merujuk kepada bentuk dan isi atau topik tuturan. Bentuk tuturan berkenaan dengan
kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan berhubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Topik merupakan determinan terhadap perilaku bahasa. Topik mengacu kepada bentuk dan isi dari apa yang dituturkan, berupa: persepsinya, kata-kata yang dipakai, bagaimana kata-kata itu dipakai, dan hubungan antara apa yang disampaikan dengan topik sebenarnya. Kunci (key) mengacu pada nada, cara, sikap, atau semangat pada saat suatu pesan disampaikan: riang, serius, tepat, singkat, santun, menghina, angkuh, dan sebagainya. Kunci dapat pula ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat (nonverbal). Peranti (instrumentalies) merujuk kepada pilihan saluran (channel) komunikasi yang digunakan seperti: jalur lisan, tertulis, telepon atau telegram dan bentuk-bentuk tuturan yang aktual digunakan seperti: bahasa, dialek, kode, atau register yang dipilih. Dalam proses komunikasi mungkin saja digunakan peranti yang berbeda-beda dalam sebuah percakapan verbal selama jangka waktu tertentu. Norma interaksi dan norma interpretasi (norm of interaction and interpretation) merujuk kepada norma atau aturan dalam berinteraksi yang mencakup perilaku dan sifat yang melekat pada penutur dan mitra tutur. Dalam masyarakat terdapat kaidah-kaidah nonlinguistik yang pokok, yang mengatur kapan, bagaimana, dan berapa sering tuturan dilakukan. Jenis atau tipe peristiwa (genre) mengacu pada jenis penyajian seperti: puisi, narasi, pepatah, doa, peribahasa, surat edaran, editorial, kuliah, dan sebagainya. Dari sudut pandang etnografi komunikasi, menganalisis tutur ke dalam tindak tutur berarti menganalisis tutur menjadi genregenre. Menurut Richards (1995) genre adalah sekelompok peristiwa tutur yang oleh guyup tutur dianggap mempunyai tipe yang
405
sama, seperti: doa, khutbah, cakapan, nyanyian, pidato, puisi, surat, dan novel. Kedelapan komponen-komponen tutur di atas dalam suatu komunikasi tidak mutlak digunakan secara bersamaan.Komponen-komponen itu dapat digunakan untuk menginterpretasi bentuk, fungsi, dan strategi kesantunan imperatif, sehingga terungkap fakta dan fenomena sosial budaya dalam masyarakat. D. Kesantunan Berbahasa dalam Perspektif Fungsi Bahasa Secara sosiolinguistik fungsi bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit sebab sebagaimana yang dikemukakan Fishman (1972) bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who speak what language to whom, when, and to end”. Oleh karena itu, fungsifungsi bahasa itu dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanah pembicaraan. Bagi penutur, bahasa mengembang fungsi personal. Maksudnya, si penutur ,menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi sewaktu menyampaikan tuturannya.Dalam konteks demikian, pihak pendengar dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.Sebaliknya, bagi pendengar bahasa mengemban fungsi direktif.Maksudnya, bahasa berfungsi mengatur tingkah laku pendengar.Ini juga sering disebut fungsi instrumental atau retorikal.Di sini bahasa bukan hanya membuat pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu sesuai dengan kemauan pembicara.Hal ini dapat dilakukan penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan.Sementara itu, jika dilihat dari segi kontak antara penutur dan
pendengar, bahasa mengemban fungsi fatik.Maksudnya, ketika terjadi kontak antara penutur dengan pendengar maka bahasa berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial.Ungkapanungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menyatakan keadaan keluarga.Oleh karena itu, ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan secara harfiah.Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan kepala, gerak-gerik tangan, air muka, ataupun kedipan mata. Jika dilihat dari topik yang dibicarakan, bahasa mengemban fungsi referensial. Maksudya, bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan suatu objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atay yang ada dalam budaya pada umumnya.Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa adalah alat untuk menyatakan pikiran, Sementara itu, jika dilihat dari kode yang digunakan, bahasa mengemban fungsi metalingual atau metalinguistik.Maksudnya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan dan menjelaskan bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa. Adapun jika dilihat dari amanat yang akan disampaikan, maka bahasa mengemban fungsi imajinatif. Di sini bahasa digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, baik yang sebenarnya maupun yang sifatnya imajinasi saja. Fungsi imajinatif ini biasanya diwujudkan dalam karya-karya seni seperti: puisi, ceritera, dongeng, lelucon yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun pendengar (Chaer dan Agustina, 1995). Sementara itu, fungsi pragmatik kesantunan berbahasa mengacu pada fungsi-
406
fungsi tindak tutur.Searle dalam Richard (1995:79-81) membedakan fungsi tindak tutur sebagai berikut.Pertama, fungsi asaertif, yaitu fungsi tindak tutur untuk menyatakan sesuatu agar dapat dinilai benar atau tidaknya, misalnya menyatakan, mendeskripsikan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, dan melaporkan.Kedua, fungsi direktif, yaitu fungsi tindak tutur untuk menyatakan permintaan melakukan atau berhenti melakukan sesuatu, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasehat.Ketiga, fungsi komisif, yaitu fungsi tindak tutur untuk menyatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa penutur sedikit banyak terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan. Keempat, fungsi ekspresif, yaitu fungsi tindak tutur untuk menyatakan sesuatu yang mencerminkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.Kelima, fungsi deklaratif, yaitu fungsi tindak tutur untuk menyatakan sesuatu yang mencermingkan kekecewaan, tidak suka, senang, dan sebagainya. Berhasilnya pelaksanaan fungsi ini akan tampak pada kesesuaian pernyataan dan realitas, misalnya, mengundurkan diri, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan, membuang, mengangkat, dan sebagainya. E. Kesantunan Berbahasa dalam Perspektif Variasi Bahasa Dalam kajian sosiolinguistik, hubunghan bahasa dengan masyarakat diwujudkan dalam bentuk-bentuk bahasa tertentu yang disebut ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat.Variasi bahasa dapat dibedakan berdasarkan penutur dan
penuturannya.Berdasarkan penutur, variasi bahasa dibedakan menjadi idiolek, dialek, kronolek, dan sosiolek.Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perorangan.Dialek merupakan variasi bahasa berdasarkan letak geografis.Kronolek merupakan variasi bahasa berdasarkan perbedaan masa.Sosiolek merupakan variasi berkenaandengan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya.Sedangkan berdasarkan penuturannya, dikenal istilah fungsiolek, ragam atau register, yaitu variasi bahasa berdasarkan fungsi-fungsi penggunaannya.Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial atau sosiolek (Nababan, 1984). Dalam kaitannya dengan variasi bahasa, Holmes (2001) menguraikan hubungan antara gaya, konteks, dan register. Bahasa memang beragam sesuai dengan kegunaan maupun penggunanya, menurut tempat penggunaannya, kepada siapa bahasa itu digunakan dan juga sesuai dengan siapa yang menggunakannya. Orang yang diajak bicara dan konteksnya ternyata mempengaruhi pemilihan kode atau ragam, apakah bahasa, dialek, atau gaya. Pertamatama akan dipertimbangkan pengaruh orang yang diajak bicara berdasarkan kontekskonteks yang kurang formal. Di sini solidaritas antara partisipan merupakan pengaruh penting bagi gaya tuturan. Selanjutnya, dapat diselidiki ciri-cirigaya tuturan di serangkaian konteks yang sangat beragam formalitasnya, dengan memperhatikan interaksi formalitas dan dimensi status. Berdasarkan hal tersebut dapat dipertimbangkan cara terbentuknya register atau gaya yang berbeda oleh tuntunan fungsional kedudukan atau situasi tertentu. F. Kesimpulan Semakin akrab Anda dengan seseorang semakin santai dan rileks gaya
407
tuturan yang digunakan. Orang menggunakan jauh lebih banyak bentuk standar kepada mereka yang tidak dikenalnya dengan baik dan lebih banyak bentuk vernakuler kepada teman-teman mereka. Hubungan penutur dengan lawan tutur sangatlah penting dan menentukan gaya bertutur yang sesuai. Banyak faktor yang bisa memberikan kontribusi dalam menentukan besarnya jarak sosial atau solidaritas antara orang-orang-usia relatif, gender, peran sosial, apakah orang-orang itu bekerja sama, atau merupakan bagian dari keluarga yang sama, dan sebagainya. Faktorfaktor tersebut juga bisa selaras dengan status sosial relatif orang-orang. Hal ini antara lain berkaitan dengan bagaimana usia orang yang diajak bicara bisa mempengaruhi gaya seorang penutur. Orang umumnya berbicara secara berbeda kepada anak-anak dan kepada orang dewasa, meskipun sebagian menyesuaikan gaya tuturannya dibandingkan orang lain. Banyak penutur juga menggunakan gaya yang berbeda dalam menyapa orang tua, sering dengan ciri-ciri yang mirip dengan yang mencoraki tuturan mereka kepada anak. Deretannya lebih sederhana dan tata bahasa yang kurang kompleks. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2004. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Fasold,
R. 1990. Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell. Fishman. , J.A. 1972. The sociology of Language.Rowley-Masschusett: Newbury Housepublesher Inc. Holmes,J. 2001. An Introdustion to Sociolinguistic. Harlow: Person Education Hymes, Dell.1974. Foundation in Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvan Press, Inc Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (Edisi keempat). Jakarta: Pustaka Utama. Labov, William. 1966. The Social Stratification of English in New York City. Washington DC: Centre for Applied Linguistics. Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Richard, Jack C. 1995. Tentang Percakapan.Terjemahan oleh Ismari. Surabaya: Airlangga University Press. Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
408
PERMAINAN KATA DALAM ASTERIX Shinta Ayu Pratiwi, Fierenziana G. Junus, Masdiana Jurusan Sastra Prancis Universitas Hasdanuddin
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstract This article aims to explain the function of humor by taking the Astérix comics as a data source. In a comic, there are many elements of humor usually obtained through word or image games. And those elements will be analyzed and be explained through linguistic approach to determine the role the humor plays in a comic. This study uses semantic and phonology approach to analyze the data. The results showed that the type of word games with the highest frequency of occurrence is polysemy which are included in semantic theory. Based on the study, the function of word games is to add an element of humor that can make a person feel comforted. This is evidenced by the statement of the experts in linguistics that humor can be approach by semantics and pragmatics. Keyword : word games, humor, functions.
Pengantar Komik adalah cerita bergambar yang semula merupakan bacaan ringan bagi anakanak.Namun seiring dengan perkembangannya, posisi komik menjadi lebih penting dalam masyarakat.Jika sebelumnya komik banyak menceritakan hal-hal yang bersifat fiktif untuk memenuhi hasrat fantasi anak-anak, maka selanjutnya walaupun ceritanya tetap bersifat fiktif
namun penulisan komik dibuat menjadi lebih bermutu dengan diisi oleh unsur-unsur kebudayaan, fakta sejarah, dan lainnya. Keberadaan komik bukan lagi hanya sebagai media hiburan, tetapi juga dimanfaatkan sebagai sarana penunjang pendidikan.Komik memiliki keunikan tersendiri baik dari ragam gambar hingga ragam bahasa tulisnya.Hal inilah yang membuat komik menjadi salah satu buku
409
bacaan yang banyak digemari oleh pembacanya. Sebagai salah satu ragam bahasa tulis, komik menyuguhkan banyak sisi untuk dikaji.Dengan adanya ragam bahasa dalam komik, maka tanpa disadari komik ini memberikan peluang atau wadah untuk penelitian pada bidang ilmu linguistik. Bidang ilmu linguistik mampu mengkaji segala hal yang menyangkut bahasa, jadi dengan kata lain komik dapat dianalisis menggunakan ilmu linguistik. Selain ragam bahasa, juga terdapat beberapa fenomena linguistik lainnya seperti permainan fonetis, permainan morfologis, dan permainan semantis yang terdapat dalam komik. Permainan kata dipilih sebagai topik penelitian dengan tujuan untuk menjelaskan fungsi penerapan unsur humor dengan mengambil komik sebagai sumber data.Dalam sebuah komik biasanya terdapat banyak unsur humor yang diperoleh melalui permainan kata atau permainan gambar. Unsur inilah yang akan dianalisis dan dijabarkan melalui bidang ilmu linguistik untuk mengetahui fungsi kemunculannya dalam sebuah komik. Dalam penelitian ini, komik Asterix diambil sebagai sumber data primer.Hal ini dikarenakan, komik Asterix merupakan salah satu komik berbahasa Perancis yang cukup terkenal hampir di seluruh dunia.Komik Asterix telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, salah satunya ke dalam bahasa Indonesia.Dengan adanya kemudahan ini, maka tidaklah sulit untuk mencari dan mengnalisis komik ini. Permainan Kata Permainan kata adalah suatu rangkaian kata, baik berupa ungkapan / kata kiasan atau kata dalam arti yang sebenarnya, yang bersifat ambigu, biasanya terdapat permainan fonetis, ortografis, ataupun
semantis yang di dalamnya seringkali mengandung unsur kebudayaan serta humor. Permainan kata merupakan suatu gagasan yang sulit untuk didefinisikan.Seperti yang dikatakan Aimard (1975) dalam Greet Van Dommelen (2007:9) “ il n‟est guère de définition qui convienne au << jeu de mots>>. Il est bien des manières de <<jouer>> avec un mot : le jeu peut porter sur les sons, la forme, le sens, sur sa place dans l‟énoncé, il peut être pure fantaisie ou non (…)”. Aimard menjelaskan bahwa hampir tidak ada definisi yang sesuai untuk “permainan kata”. Hal tersebut hanya betulbetul sebuah cara“bermain” dengan sebuah kata. Permainan tersebut dapat difokuskan pada suara, bentuk, makna, pada tempatnya dalam pernyataan, dan bisa juga merupakan fantasi murni. Vittoz Canuto (1983) dalam Greet Van Dommelen (2007:9) juga mengemukakan pendapat yang kurang lebih sama, yaitu “les jeux de mots, terme plein d‟ambiguïté et d‟imprécision, ne constituent pas une série finie, ce qui faciliterait leur étude, il s'agit d'élément d'un code particulière dont la classification pose toute une série de problemes” Vittoz mengatakan bahwa permainan kata pada umumnya merupakan suatu permainan yang memanipulasi kata-kata atau suara, dan biasanya memuat dua kata atau dua kalimat (sering mengandung kelucuan) yang memiliki arti yang berbeda. Henry (2003) dalam Greet Van Dommelen (2007:9) menjelaskan bahwa permainan kata selalu mengimplikasikan sebuah makna ganda. Ambiguitas merupakan ciri utama permainan kata, seperti yang disebutkan oleh
410
Newfield dan Lafford (1991) dalam Greet Van Dommelen (2007:10). Jika pada awalnya permainan kata bermain pada bahasa, tidak dapat disangkal bahwa banyak permainan kata juga melibatkan pengetahuan budaya penulis.Untuk mengerti nuansa humor yang terdapat dalam permainan kata, pembaca diharapkan memiliki pengetahuan budaya bahasa yang digunakan. Menurut beberapa ahli, berdasarkan analisis semantik, terdapat beberapa jenis permainan kata, di antaranya: polysémie, homonymie, paronymie, étymologie populaire, mots-valises, parasynonymie. Fonologi Fonologi adalah kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang. Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda dan zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang bunyibunyi ujar demikian lazim disebut fonetik. Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar merupakan unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyibunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik. (Masnur, 2011:1-2) Pada dasarnya sebuah bahasa dapat mengalami perubahan, yang secara otomatis disertai dengan perubahan bunyi pada bahasa tersebut. Bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut
bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyibunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis. Terdapat beberapa jenis perubahan bunyi diantaranya adalah asimilasi, modifikasi vokal, zeroisasi (pokop, sinkop, aferesis). Permainan kata dalam Astérix Penelitian ini membahas mengenai jenis permainan kata yang terbentuk dalam komik Astérix yang dianalisis menggunakan pendekatan fonologi dan semantik. Selain itu, juga membahas mengenai fungsi kemunculan permainan kata tersebut. a. Fonologi Virelangues Panel a : “ici, ça chauffe!” Panel b : ici, aussi ça chauffe Asterix chez les Belges, p. 25 Pada data ini terdapat jenis permainan kata yaitu permainan kata yang terletak pada bunyi. Apabila dilihat dari segi pelafalannya, data ini bermain pada bunyi konsonan [s] yaitu pada kalimat ça chauffe pada panel (a) yang memiliki transkrip fonetis [sa ʃɔf] dan kalimat ici aussi ça chauffe pada panel (b) yang memiliki transkrip fonetis [isi ɔsi sa ʃɔf ]. Dapat dilihat bahwa telah terjadi pengulangan bunyi frikatif [s] pada setiap kata dalam kedua panel. Pengulangan bunyi frikatif ini merujuk pada permainan bahasa yang disebut sebagai „pembelit lidah‟ atau dalam bahasa Perancis disebut sebagai virelangues. Pembelit lidah atau virelangues ini adalah sebuah tuturan yang sengaja diatur
411
atau dibuat sedemikian rupa sehingga sulit untuk dilafalkan sebagaimana mestinya, biasanya memuat kata yang memiliki bunyi yang sama. Sinkop « Le nôt‟e était neut‟e, c‟est net » Asterix chez les Belges, p. 26 Dari segi pelafalannya, kalimat Le nôt‟e était neut‟e, c‟est net yang sebenarnya berbentuk le nôtre était neutre, c‟est net memiliki transkrip fonetis [ lə nɔt ə ete nøt ə sɛ nɛt ]. Pada data di atas, terdapat fenomena penghilangan bunyi konsonan uvular atau bunyi trill yaitu [R]. Proses penghilangan yang terjadi pada data ini adalah proses zeroisasi pada jenis sinkop yaitu penghilangan satu atau lebih pada fonem tengah kata yang dalam hal ini adalah fonem konsonan /r/ pada kata nôt‟e [nɔt.e] dan neut‟e [nøt.e].Fenomena penghilangan bunyi uvular ini diperkirakan bertujuan untuk memudahkan penutur berbicara, namun sesuai dengan panel di atas bahwa hal ini sebenarnya menunjukkan sebuah budaya yaitu dialek orang Afrika yang diceritakan tidak dapat mengucapkan fonem /R/. Berdasarkan data penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa data ini termasuk dalam permainan bunyi yaitu sinkop. b. Semantik Polysémie « frappé avant d‟entrer » Astérix chez le Belges, p. 35-36 Diceritakan bahwa Asterix dan Obelix ingin masuk ke dalam kamp Romawi sebagai seorang parlemen. Mereka berdua ditunjuk untuk mewakili kedua suku yang sedang mengadakan pertandingan, agar menjelaskan kejadian yang sedang terjadi
kepada Jules César. Namun, saat mereka ingin masuk ke kamp Romawi, mereka dihalangi oleh salah seorang prajurit penjaga gerbang. Karena terbiasa memukul seseorang ketika ada yang menghalangi jalannya, maka Obelix pun lalu memukul prajurit tersebut. Akan tetapi, Asterix memarahi Obelix atas kejadian itu, karena mereka datang bukan sebagai musuh, namun sebagai wakil kedua desa. Asterix kemudian meminta maaf kepada prajurit tersebut atas perlakuan Obelix kepadanya. Ia berkata, “réveille-toi, legionnaire; nous sommes des parlementaire, et nous voulons entrer voir César. Excuse-nous d‟avoir frappé avant d‟entrer” yang dalam bahasa Indonesia berarti „bangunlah, prajurit; kami adalah para parlemen, dan kami ingin bertemu dengan César. Maafkan kami telah memukul Anda sebelum masuk”.Hal ini dapat dilihat pada panel b. Kalimat frappé avant d‟entrer ini merupakan sebuah kalimat expression yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang ingin masuk ke sebuah tempat.Makna kalimat ini sebenarnya „mengetuk sebelum masuk‟.Namun pada kalimat yang diucapkan oleh Asterix, makna kalimat ini menjadi „memukul sebelum masuk‟.Hal ini, dapat dilihat pada panela, di mana Obelix memukul seorang prajurit penjaga gerbang. Sesuai dengan penjelasan di atas, maka data ini termasuk sebagai permainan kata pada kategori semantik jenis polysémie, karena kalimat frappé avant d‟entrer memiliki makna ganda. Homophonie “c‟est une guerre servile” Astérix le domaine des dieux, p.19
412
Bercerita tentang para budak Romawi yang ingin melakukan revolusi.Mereka menjadi sangat kuat karena ramuan ajaib yang telah diberikan oleh Asterix dan Obelix.Mendengar kabar revolusi tersebut, pemimpin pasukan Romawi lalu berkata, “Sonnez l‟alerte! C‟est une guerre servile!!!” yang berarti „bunyikan alarm!Ini adalah perang budak‟.Saat pertempuran dimulai, salah seorang prajurit berkata, “Ah, ben dis donc, ils ne sont guère serviles”, yang berarti „ah, katakanlah, mereka tidak lagi patuh‟. Sesuai dengan penjelasan di atas bahwa yang menjadi data adalah kata guerre servile dan guère serviles. Kedua kata ini mempunyai bunyi yang sama yaitu [gɛr sɛrvil] untuk guerre servile dan [gɛr sɛrvil] untuk guère servile. Walaupun memiliki bunyi yang sama namun kedua kata ini makna yang berbeda dan penulisan yang berbeda pula, guerre servile berarti „perang saudara/budak‟ dan guère servile yang sebenarnya berbentuk ne…guère servile bermakna „tidak patuh‟. Kata ne…guère sendiri adalah sebuah sebuah kata keterangan negatif yang bermakna „hampir tidak/sedikit tidak‟. Karena memiliki bunyi yang sama maka, dapat dikatakan bahwa berdasarkan teori, data pada kasus ini termasuk dalam permainan kata jenis homophonie. Paronymie « tous les chemins mènent à rame… à rame… ça c‟est un bon mot… à rame! » Astérix legionnaire, p. 34 Pada data ini, permainan kata terletak pada kata rame dari kalimat tous les chemins mènent à rame… à rame… ça c‟est un bon mot… à rame!.Kalimat di atas sebenarnya merupakan kalimat yang sangat terkenal baik di negara Perancis maupun di negera Indonesia. kalimat ini seharusnya berbunyi “Tous les chemins mènent à Rome” atau dalam bahasa Indonesia sering kita artikan
“selalu ada jalan menuju Roma”. Namun kata Rome diubah oleh penulis menjadi rame. Dilihat dari segi transkrip fonetisnya yaitu rame [ ram ] dan Rome [ rom ] maka dapat disimpulkan bahwa l‟auteur atau pengarang mengganti fonem vokal /o/ menjadi fonem vokal /a/. Kata rame diambil sebagai pengganti karena memiliki bunyi yang hampir sama dengan kata Rome. Selain itu kata “rame” yang berarti mendayung ini ditegaskan melalui gambar di atas, di mana diceritakan bahwa orang-orang di dalam gambar sedang mendayung sebuah kapal menuju ke suatu tempat. Hal ini membuat kita lebih jelas akan maksud dari kata tersebut. Sesuai penjelasan di atas, data ini dapat dikategorikan ke dalam permainan kata jenis paronymie. Hal ini dapat kita lihat dari kata “rame” yang seharusnya adalah “Rome”. Homonymie Parfaite Panel a : « tu penses, moi je suis » Panel b : “Cogito, ergo sum” Astérix legionnaire, p.42 Sesuai dengan data bahwa kata yang merupakan permainan kata adalah kata „suis‟ pada kalimat tu penses, moi je suis. Kalimat ini sebenarnya merujuk pada kalimat “cogito, ergo sum” yang berada pada panel selanjutnya, kalimat ini merupakan sebuah kutipan dari salah satu filsuf Perancis terkenal yaitu Rène Descartes. Cogito, ergo sum dalam bahasa Perancis adalah “Je pense, donc je suis” yang bermakna „Saya berpikir, maka saya ada‟, sedangkan pada kalimat tu penses, moi je suis bermakna „kamu berpikir, saya ikut‟. Sesuai dengan penjelasan tersebut, maka dapat dilihat bahwa terdapat kemiripan kata pada kedua kalimat di atas yang merupakan permainan kata yaitu kata suis pada kalimat tu pense, moi je suis dan je pense donc je suis. Dapat juga dilihat pada kalimat bahwa kata moi digantikan dengan kata donc. Walaupun
413
dilafalkan dengan cara yang sama yaitu [syi], namun kata ini memiliki arti yang berbeda karena sebenarnya merupakan konjugasi dari verba yang berbeda. Kata suis pada kalimat tu pense, moi je suis merupakan konjugasi orang pertama tunggal dari verba suivre yang berarti „mengikuti‟. Sedangkan pada kalimat je pense donc je suis, kata ini merupakan konjugasi orang pertama tunggal dari verba être yang berarti „ada;berada‟. Parasynonimie « Rome sweet Rome » Astérix Le combat de chef, p.8 Kalimat ini sebenarnya bermain pada sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris yaitu home sweet home.Dalam data ini, kata Rome dipilih sebagai kata yang menggantikan home karena memiliki persamaan makna, di mana makna kata Rome disamakan dengan home yang bermakna „sebuah rumah atau tempat tinggal‟. Fungsi permainan kata dalam komik asterix Berdasarkan uraian di atas, permainan kata yang paling sering muncul dalam komik Asterix adalah permainan kata yang bermain dalam hal semantik.Permainan kata ini digunakan untuk memberi kesan humor dalam komik agar menjadi lebih lucu.Hal ini dijelaskan oleh Soedjatmiko (lewat Wijana, 2004 dalam Wahyudin Rustam, 2009) yang meneliti humor secara linguistik.Dikatakan secara linguistik bahwa humor dapat didekati dengan pendekatan semantik dan pragmatik.Menurut pendekatan semantik, masalah humor berpusat pada ambiguitas yang dilaksanakan dengan mempertentangkan makna pertama (M1) yang memiliki makna berbeda dengan makna kedua (M2). Hal ini juga disebutkan oleh Pradopo (lewat Wijana, 2004 dalam
Wahyudin Rustam, 2009) yang menyatakan bahwa di dalam hubungan komik sebagai kode bahasa, ditemukan tiga cara pembentuk humor, yakni penyimpangan makna, penyimpangan bunyi, dan pembentukan makna baru. Penyimpangan makna tersebut dapat berupa pergeseran komponen makna, polisemi, dan homonimi. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Pradopo mengenai hubungan komik sebagai kode bahasa, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi permainan kata dalam komik Asterix adalah sebagai penambah unsur humor yang ditujukan untuk menarik para pembaca. Hal ini dapat dibuktikan dari analisis data-data di atas yang bukan hanya terdapat permainan semantis yaitu polisemi dan homonimi, namun juga terdapat penyimpangan bunyi. Kesimpulan Jenis-jenis permainan kata yang terdapat dalam komik Asterix terdiri dari beberapa jenis, yaitu berdasarkan bunyi atau secara fonologis dan berdasarkan makna atau secara semantis.Dalam hal ini, permainan semantik yang terdapat dalam komik asterix adalah polysémie, homonymie (homophonie), homonymie parfaite, paronymie dan parasynonymie. Selain itu, fungsi permainan kata dalam komik Asterix adalah untuk menambah unsur humor agar dapat membuat seseorang merasa terhibur. DAFTRA PUSTAKA Béchade, Hervé-D.1992. Phonétique et Morphologie du français modern et contemporain. Paris: Presses Universitaire de France Dommelen, Greet Van (2006-2007) thesis :Les Jeux de Mots en Classe de Français Langue étrangère : de la théorie à la pratique
414
McCloud, Scott. 2002. Understanding Comics : The Invisible Art (Alih Bahasa : S. Kinanti). Jakarta : PT. Gramedia Muslich, Masnur. 2011. Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia). Jakarta : Bumi Aksara Ollivier, Jacqueline. 1978. Grammaire Française. United States of America : Harcourt Brace Jovanovich, Inc Riegel, Martinet al.. 2011. Grammaire Méthodique du Français. Presses Universitaire de France Rustam, Wahyudin (2009) skripsi : Struktur Humor dalam Film RRRrrrrr!!! (suatu analisis framing) Verhaar, J.M.W. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Artikel dalam situs internet: Baskoro, B.R. Suryo. 2003. Koreksi Fonetis Dalam Pembelajaran Bahasa Perancis. Volume 15.Nomor 2. Universitas Gadjah Mada. Fakultas Ilmu Budaya from http://journal.ugm.ac.id/jurnalhumaniora/issue/view/795, diunduh pada 10 Juni 2014, pukul 20.19 WITA Rahmanadji, Didiek. 2007. Sejarah, Teori dan Fungsi Humor. Volume 35. Nomor 2. Universitas Negeri Malang. Fakultas Sastra from http://sastra.um.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/SejarahTeori-Jenis-dan-Fungsi-Humor.pdf, diunduh pada 1 Juli 2014, pukul 12.45 WITA
PERAYAAN MAULID DICIKOANG:SELAYANG PANDANG TAREKAT DI MAKASSAR10* Diterjemahkan oleh:Supratman,SS.MA dan Masdiana,SS.Mhum Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Email:
[email protected] Jurusan Sastra Prancis Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Email:
[email protected] Abstraks: Sayyid Jalaluddin al-Aidid was the 27th generation descendant of the Prophet, from Iraq, whom 'Sayyid Community' attributed to him in Cikoang. The teachings of Sayyid Jalaluddin Al-Aidid
10
*. Sumber: La fête du grand Maulid à Cikoang, regard sur une tarekat dite «shî'ite » en Pays Makassar. Majalah Archipel,Volume 29,1985.pp.175-1991. Publiées avec le concours du Centre National de la Recherche Scietifique et de L'Institut National des Langues et Civilisations Orientales, Paris. Penulis: Gilbert Hamonic
414
are a heavily mystical dimension that is "Baharul Nur" (Ocean of Divine Light). Bahar ul Nur (Sea of Light Divine) is just a different name of Nur Muhammad. Cikoang community is part of the Shiite theosophy, but jurisprudence (Fiqh) adheres to Sunni Shafi'i. Cikoang community, according to the teachings of Sayyid Jalaluddin, argued that a true Muslim has the main and first task was to honor the prophet's birthday celebrated in the most luxurious. All other religious obligations (including the five daily prayers) they called secondary of the prophet birthday. Celebrating a birthday for the Cikoang citizens is equivalent with pilgrimage. Traditionally, religious education in Cikoang has four degrees are: Angngaji is to teach writing and reading of the Koran; Assarapa is to study and understand Arabic grammar; Assarea is to learn about Islamic law (Sharia) in Arabic and Makassar, and Attareka is finaly learning about gnosis (ma'rifat) and spiritual truth. Keywords: Sayyid Jalaluddin Al-Aidid, Shiite, Cikoang, Anggaji, Assarapa, Assarea, Attareka, Baharul Nur, Nur Muhammad. Di seluruh wilayah Indonesia, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada dasarnya mendapat keuntungan tersendiri berada dalam wilayah kepulauan di mana Islam mengakar dengan sangat baik. Sebagai wilayah yang termasuk pilihan, daerah ini telah menjadi subyek penelitian di Indonesia, termasuk yang dilakukanoleh LIPI-LEKNAS pada sebuah kesempatanproyekpenelitian nasionaldengan tema besarnya "Islam dan TransformasiSosial."1
tradisi yang memuat sumber syiah dalam sejarah Islam di Makassar.
Ada beberapa makalah yang telah diperkenalkan di lembaga tersebut- terutama makalah ethnografi yang menyorot secara khusus tentangIslam diSulsel-tidak berarti (bahwa tulisan ini) untuk membandingkan dengankarya-karya besartersebut. Dokumen tersebut bukan gambaran yang terbaik untukmemberikan gambaran yang jelas terkait spesifikasi kedaerahan dari agama Islamdi Sulsel. Dokumen tersebut mungkin secara kebetulan masih memuat beberapa elemen yang terkait dengan masalah tertentu yang mana sebagian besar dihilangkan pada beberapa karya sebelumnya yaitu sebuah
Kita tahu bahwa islamisasi diSulselrelatifterlambatbila dibandingkan denganpulau laindi nusantara -seperti Sumateraatau Jawa- yang mulai sejak awalabadketujuh belas dan secara resmi diakui oleh sejarah pada tanggal 22 September 1605(1014H)sebagai tandakeberhasilan tertinggidi KerajaanTallo. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, para kepala pemerintahan (Raja) di Sulsel juga menganut agama Islam. Hal inidiperlukan untuk membedakanantara „islamisasi‟ dan „kedatangan islam‟ di Sulsel. Kasus tersebut punya hubungan kesejarahan yang panjang.
Pada kesempatan ini saya akan berusaha memaparkan seakurat mungkin tradisi yang berlandaskan pada dokumen yang disediakan oleh informan saya. Saya telah melakukan wawancara secara langsung dan juga bahan-bahan penting lainnya telah saya dapatkan guna memahami dan menelusuri keterangan dan tahapan selanjutnya.
416
Hal tersebut masih kurang dipahamisecara akurat tetapi sejarah tetap punya jejakjejaknya.(2) Selama ini tradisi lokal di Sulsel digambarkan sebagai pengaruh dari tiga dato‟ yang berasal dari Minangkabau.Keistimewaan mereka adalah berhasil mengislamkan raja raja di Sulsel.Dato' ri Pattimang (nama asli: Sulaiman „Khatib Sulung‟) mengislamkan kerajaan Luwu danWajo, Dato' ri Tiro (Nama asli: Abdul Jawad „Khatib Bungsu‟) di wilayah Bulukumba, sementara Dato' ri Bandang (Nama asli: Abdul Makmur „Khatib Tunggal") mengislamkan raja Gowa. Seperti sembilan wali di pulau Jawa, ketiga tokoh tersebut telah membuat serangkaian cerita indah yang telah memudar namun tanpa henti memberikan manfaat dan keuntungan dari legendanya(3). Tradisi sejarah mereka tidak sedikit yang didokumentasikan dengan baik, dan yang serupa dengan ketiga tokoh besar tersebut (setelah beberapa tahun kemudian ditempati oleh Syekh Yusuf sebagai sufi besar) namunyang ingin saya tulis adalah sosok Sayyid Jalaluddin al-Aidid yang merupakan asal usul masyarakat „Sayyid‟ di Cikoang. MenurutlontaraMakassar, yang saya telusurisejarah singkat perjalanan hidupnya,SayyidJalaluddin adalah generasi ke-27 dari keturunanRasulullah Saw. Saya mengenal nama-nama dalam silsilahnya adalah para imamsyiahseperti AliZainal' Abidin, Muhammad BaqirdanJa'faral-Shadiq (lihat LampiranI).Ia berasal dariIrak, kemudian menuju Basra dansetelah itu menetap dalam waktu yang cukup lama di Hadhramaut. Setelah itu ada jejak-jejaknya yang ditemukan di Aceh pada era pemerintahan Alà'ul-Din Sultan Shah Ri'ayat
(Sayyid al-Mukammal, 1588-1604). Di Aceh ia sangat cepat menjadi tokoh penting dan terkenal dengan ajaran tasawwufnya. Iamembangun fasilitas pendidikan dan pengajaran yang dikenal dengan nuansa dan pengaruh syiah. Berkat ketokohannya yang kuat maka dengan cepat ia bisa memiliki banyak murid dan pengikut. Beberapa tahun kemudian murid-muridnya kembali ke daerah asalnya dan menyebarkan kebenaran iman yang telah mereka pelajari.Sayyid Jalaluddin meyakini kesinambungan ajarannya cukup terjamin. Selanjutnya,ia pergi ke Banten. Ketika itu Banten di bawah pemerintahan Sultan Muhammad. Setelah menetap dalam waktu yang cukup singkat, ia memutuskan untuk memulai hal baru di daerah Banjar dengan tujuan memberikan pelajaran dan pengajaran. Di Banjarmasin, ia melakukan pertemuan dengan orang Bugis- Makassar.Ia juga mengikat persahabatan khusus dengan keluarga raja, Sultan Abdul Kadir, raja yang berasal dari Galesong, Takalar, yang dekat dari Gowa. Raja Takalar tersebut diasingkan ke Banjarmasin setelah terjadi insiden terbunuhnya salah seorang rival Sultan Abdul Kadir pada sebuah pesta rakyat berupa adu ketangkasan dan kekuatan. SayyidJalaluddinmenikah dengan salah seorang putri Sultan Abdul Kadir, namanya AcaraDaengTamani. Sayyid Jalaluddin memiliki tigaanak, duaputra yaitu: SayyidUmar,Sahabuddin, dan seorang putriSayyidahSaharibanong (4). Sayyid Jalaluddin juga bertemu Dato‟ ri Bandang, yang menurut cerita rakyat (tradisi) meyakini jika Dato‟ri Bandang juga mengunjungi Kalimantan sebelum melakukan perjalanan ke Sulsel. Setelah beberapa tahun, ajaran Sayyid Jalaluddin
417
diketahui memiliki banyak pengikut. Sementara itu Dato' ri Bandang mulai melakukan gerakan islamisasi di Makassar. Jadi, pertemuan Sayyid Jalaluddin dan Dato‟ri Bandang di Kalimantan adalah sekaligus pertemuan yang terakhir (atau, menurut versi lain, ia menyampaikan keinginannya untuk mengetahui daerah asal istrinya, ia kemudian menuju Gowa bersama keluarganya). Sebuah tradisi menarasikan bahwa Sayyid Jalaluddin berhasil mendekati dengan baik penduduk muslim Makassar, namun pertemuannya dengan Raja Gowa berjalan sangat buruk. Ada beberapa alasan yang berbeda berdasakan versi mereka masingmasing. Ia terpaksa melarikan diri bersama istri dan anak-anak. Ia berlayar melalui muara Bontorannu menuju Cikoang yang terletak sekitar lima puluh mil dari Sungguminasa pada tahun awal-awal abad ketujuh belas. Pemilihan desa kecil Cikoang, tampaknya, tidak secara kebetulan. Kemungkinan Sayyid Jalaluddin telah punya kesempatan membangun komunikasi yang intens sebelumnya dengan beberapa orang di wilayah tersebut, selama ia tinggal di Gowa, (Menurut versi lain, sejak ia tinggal di Aceh). Selain itu ada keterangan lain, berdasarkan tradisi kepercayaan masyarakat Cikoang (seperti keterangan dari I Danda dan I Bunrang(4)) mengatakan bahwa mereka telah mengetahui rangkaian cerita perjalanan terakhir dari Sayyid Jalaluddin yang begitu menakjubkan. (Perjalanannya ditempuh lewat udara dengan sebuah sajadah. Informasi tersebut didapatkan lewat mimpi masyarakat di Cikoang tentang kedatangan sosok istimewa yang berlabuh di pantai)(5).
Pada saat itu, populasi Cikoang hanya adasejumlah kecil petani, beberapa pelaut dan pedagang. Berdasarkan sejarah lokal, desa ini telah dibangun sekitar tahun 1541 oleh Karaeng Cikondong, Pangeran dari Binamu (tidak jauh dari Jeneponto). Setelah itu, tanah tersebut di beli raja Gowa dengan harga 40 kerbau. Sejak abad ketujuh belas, Cikoang, yang telah terintegrasi ke dalam kerajaan kecil tetangga, Laikang, menjadi pelabuhan penting perdagangan antara pulau karena letaknya yang strategis di mulut sungai. Setibanya di Cikoang (desa berbatasan dengan Lakatong), Sayyid Jalaluddin mengajarkan agama.Sayyid Jalaluddin mempraktekkan dan mengembangkan pola hidup model sufisme, juga sangat menekankan tentang konsepsi dari akhir dunia.Hal pokok lainnya yang menjadi fokus dari Sayyid Jalaluddin adalah masalah etika dan aturan sosial-kemasyarakatan (Undang Undang Sipil), hukum (Fiqh) dan mistisisme (Tasawuf). Tentu saja yang tak mungkin luput dari pengajarannya adalah perhatian yang sangat paling utama, istimewa dan rinci terkait kelahiran Nabi Muhammad serta tata cara menghormati dan memperingatinya. Ajaran Sayyid Jalaluddin Al-Aidid sangat mengandalkan dimensi tasawuf "Tarekat Baharul Nur" (Lautan Cahaya Ilahi. Aliran ini masih ada di Sulawesi Selatan)- menuai kesuksesan yang sangat luar biasa. Demikian pula murid-muridnya mengalami kemajuan yang sangat pesat.Berdasarkan hal tersebut bisa dinilai jika tugas dakwahnya telah ditunaikan.Ia lalu memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Buton, Selayar, dan terakhir ke Sumbawa, dan di situ pula ia wafat serta dimakamkan secara tradisional. Anak sulungnya, Sayyid Umar, melanjutkan pendidikan dan menikah di Banjarmasin,
418
sementara anak bungsunya, Sayyid Sahabuddin menikah di Buton.Dengan demikian keturunan Sayyid Jalaluddin segera menyebar ke Selayar, Buton, Luwu ', Mandar, Kalimantan Selatan Jakarta dan di berbagai tempat di Indonesia.Saya diberitahu bahwa keturunannya Sayyid Jalaluddin masih ada sampai hari ini. Selain itu, melalui endogami (suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang sama) yang sangat intensif memungkinkan generasi Cikoang mendirikan sebuah perkumpulan di tengahtengah masyarakat yang disebut "komunitas Sayyid" (Kelompok Masyarakat Sayyid). Akhirnya, pada tahun 1905, berkat seorang tokoh lokal bernama Sayyid Bahauddin, kekuatan utama Laikang jatuh ke tangan keluarga Sayyid dan mereka tetap memiliki hak penuh guna merekonstruksi sebuah momentum revolusi. Hari ini, Cikoang adalah sebuah desa kecil 7257 penduduk (1980 sensus) dan meliputi wilayah sekitar 20 km2 (kecamatan Mangara-Bombang, kabupaten Takalar). Penghasilan utama adalah garam (sekitar 3000 ton / tahun) dan ikan (2 ton / tahun). Penduduknya yang petani hanya mencakup 10% dari nelayan. (6) Salah satu hal baru dari desa ini mungkin karena fakta bahwa sebagian besar rakyatnya mengklaim sebagai keturunan sayyid, atau menjadikan diri mereka sendiri sebagai Sayyid. Memang, pada dasarnya di Cikoang terdapat dua kelompok populasi; "Masyarakat Sayyid " dan "Masyarakat biasa", atau "Jawi". Mereka hidup dalam harmoni yang diciptakan antara mereka sendiri selama beberapa abad yang melalui interaksi antar-pernikahan.Citra "Masyarakat Sayyid" sudah menjadi utuh, setidaknya dalam teori sudah menjadi lebih penting.Sayyid juga punya interaksi dengan
Jawi sebanding dengan cita rasa antara "bos" dan "pelanggan" (6). Selain itu masyarakat Cikoang juga, menurut ajaran Sayyid Jalaluddin, berpandangan bahwa seorang Muslim sejati memiliki tugas utama dan pertama adalah menghormati ulang tahun nabi dengan merayakannya dengan cara yang paling mewah. Juga semua kewajiban agama lainnya (termasuk shalat lima waktu) mereka sebut maulid sekunder atau pendamping. Merayakan maulid bagi warga Cikoang setara dengan naik haji. Sikap tersebut punya dampak yang besar terhadap situasi sosial budaya di Cikoang.Bisa dikatakan bahwa seluruh pelaksanaan kegiatan masyarakat Cikoang sepanjang tahun hanya diarahkan dan diperuntukkan untuk peringatan perayaan maulid. Hal ini terutama terlihat di bulan Safar dan di bulan Rabiul Awal di mana semua pekerjaan selain persiapan maulid ditangguhkan atau sama sekali dikesampingkan. Namun kebiasaan tersebut merayakan peringatan maulid Rasulullah Nabi Muhammad Saw mengahadapi problem semakin besar dan semakin sulit untuk dilakukan.Perekonomian masyarakat Cikoang telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir dan mencapai batas pengembangannya. Selain itu, organisasi dan regulasi maulid oleh pemerintah Indonesia mendatangkan sebuah keharusan yang tampaknya tidak bisa diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk desa. Jadi kita diperhadapkan pada sebuah masyarakat yang sangat ketat terhadap agama tradisionalnya (dan setiap anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap tradisi akan dikenakan sanksi dari seluruh kelompok), terutama berkenaan dengan perayaan mewah dari maulid dianggap sebagai pilar keimanan dari kaum muslimin (7). Bagi masyarakat Cikoang
419
terkait dengan keturunan langsung dari Rasulullah Nabi Muhammad Saw baik secara "biologis maupun teologis" adalah mereka yang punya hak istimewa . Keturunan langsung Rasulullah tersebut diklaim memiliki otoritas pengetahuan tentang "hukum Tuhan (Syari'at), gnosis (Ma'rifat) dan "kebenaran spiritualitas (hakikat)” yang mana mereka selamanya dijaga kemurniaan dan kesuciannya. Sebelum kita terlalu jauh beranjak ke penyelenggaraan perayaan maulid, yang merupakan jantung dari tujuan kita, perlu kiranya ingin memperjelas makna kata ajaran teosofi dan teologi Islam dan menyempurnakan keyakinan anggota ini "Masyarakat Sayyid," meskipun, menurut pengakuan mereka sendiri, pendidikan agama mereka kini telah memburuk karena penurunan jumlah "guru spiritual" (Kiyai). Pendidikan agama mereka difasilitasi oleh para sesepuh dari Cikoang, rumah sekolah atau masjid desa. Tapi saya lihat bahwa hanya ada sedikit siswa yang pergi ke sekolah pemerintah, oleh karena itu "SD" di Cikoang, otomatis sepi dan cenderung terabaikan. Secara tradisional, kita diberitahu, pendidikan agama di Cikoang memiliki empat derajat yaitu: Angngaji, yaitu pengajaran menulis dan membaca al-Qur'an; Assarapa, yaitu belajar dan memahami tentang kaidah dan tata bahasa Arab (sharaj); Assarea, belajar tentang hukum Islam (Syari'at) yang ditulis baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Makassar yang ditulis dengan huruf Arab, dan akhirnya Attareka yatu belajar tentang gnosis (ma'rifat) dan kebenaran rohani (hakikat). Tingkatan yang terakhir tersebut mengeksplorasi pada pembahasan isu-isu keagamaan yang berkaitan dengan penciptaan dunia dan sosok Nabi.Tentu saja, sekali lagi, pada
tingkatan terakhir ini mensyaratkan penguasaan pada yang mendahuluinya itu.Hal ini disebut inisiasi rahasia yang dilakukan dari mulut ke mulut dan dari guru ke murid. Mereka yang mencapai tahap ini akan selalu mendapat penghormatan dan pemulian dari masyarakat umum serta menempati posisi yang sangat penting dan menentukan di tengah-tengah masyarakat. Kita memiliki beberapa rincian tentang isi sebenarnya dari pendidikan yang khas tersebut. Kami memiliki beberapa dokumen namun disediakan oleh kelompok Sayyid itu sendiri yang dapat membantu kita untuk memahami apa dan bagaimana Maulid itu yang dipandang sebagai pilar sentral dari keimanan dalam Islam. Ajaran Sayyid Jalaluddin itu, kami katakan, dilanjutkan oleh anak-anak dan cucucucunya, dan dikumpulkan antara lain oleh salah satu muridnya, Sayyid Abdullah Assagaf (kata Hapeleka). Catatan ini terutama rincian dari kelahiran Nabi, dan dan dicatat dalam sejumlah bentuk zikir khusus (lihat Lampiran II). Karya-karya Sayyid Jalaluddin selain (yang memiliki pangsa terbesar, dikatakan hancur atau hilang pada saat gerakan Kahar Muzakar)merupakan bagian integral dari pendidikan agama dari Cikoang, melainkan juga tempat bergantung (rujukan) untuk halhal yang berhubungan dengan mistik, yang Sharab ul-'ashiqin dari Hamzah Fansuri, dan di bidang etika, pada sebuah buku berjudul al-Ashshirat Mustaqim. Akhirnya, artikel utama memuat tentang ajaran iman (ushul al-din) terdapat dalam tiga buku: Sharab ulanam, Achbar ul-achirah dan aqidat ul'awam. Ketiga buku tersebut ditulis dalam bahasa Makassar dengan aksara bahasa Arab. Ada juga buku Ashshiratal Mustaqim diberikan ke muslim mistikus besar yang
420
hidup di Aceh pada paruh pertama abad ketujuh belas, Nurul -Din al-Raniri. Mengherankan untuk sebuah komunitas yang menegaskan komitmen kesadarannya terhadap Islam Syiah.
mengetahui konsepsi teosofi adalah benarbenar syiah tetapi memahami bahwa konsepsi ini menentukan berbagai modus pemahaman pada ritual maulid yang sama berdasarkan adaptasi di Cikoang.
Untuk lebih memahami masalah tersebut, juga tentang perayaan maulid Cikoang itu sendiri, maka mungkin harus mengutip dari dokumen yang diterbitkan oleh "Organisasi Al-Aidid dan keturunan Sayyid Jalaluddin." Kita memahami bahwa:"Komunitas Cikoang merupakan bagian dari teosofi Syiah, tapi yurisprudensi (Fiqih) menganut sunni Syafi'i. Untuk memahami secara jelas maulid tradisional Cikoang, (perlu diketahui bahwa) elemen dasarnya adalah sebuah konsep mistik yang tidak terlepas dari syiah, yang saat ini merupakan faktor dominan, meskipun pendapat ahlul-sunnah dari Sunni berbaur di dalamnya. Inti epistemologis, teologi,teosofi syiah berakar dalam konsepsi Nur Muhammad (Cahaya Ilahi Muhammad) atau Ruh Muhammad sebelum keberadaannya di bumi. Keyakinan teosofi para keturunan Jalaluddin di Cikoang adalah bahwa Baharul Nur (Samudra Cahaya Ilahi) hanyalah sebuah nama lain dari Nur Muhammad (8).
Secara khusus, kita perlu mengetahui bahwa proses penciptaan Nur Muhammad di sini adalah identik dengan komposisi ritual. Sebagai komunitas sayyid mengacu berbagai intisari dari karya-karya al-Raniri, al-Ghazali dan lain-lain, kemudian dieksplorasi dalam bentuk gagasan sebagai berikut:"Setelah Allah menciptakan Nur Muhammad dengan bentuk yang paling indah, sebuah keindahan yang tak tertandingi, seperti bulu merak yang indah. Kemudian disimpan ke dalam guci kristal lalu ditempatkan di pohon keimanan yang disebut Shajrat ul-Yaqin (9).Berbagai macam sesajidisiapkan dimaulidtersebut dengan pemaknaan sebagai berikut:Pertama, Ayam yang melambangkan burung merak yang diperbandingkan dengan keindahan cahaya ilahi. Kemudian, bakul maudu atau keranjang anyaman sawit yang mengingatkan pada guci kristal. Dan frame kayu tinggi atau kandawari melambangkan pohon keimanan. Ornamen dan dekorasi yang menghiasi semua bentuk sesaji senantiasa mengingatkan kesempurnaan dan keindahan Nur Muhammad, dan telur merah maupun putih melambangkan jiwa yang berputar di sekitarnya. Bentuk layar dari perahu yang mengembang dan berkibar dalam angin mengingatkan bendera atau spanduk (Lina ul-hamdu) Muhammad untuk digunakan di hari penghakiman (Yaum-ul Mahsyar) ketika semua orang mati akan datang bersama-sama di bawah komandonya. Sementara buah-buahan dan permen dari berbagai bentuk dan jenis menandakan kemakmuran, kesuburan dan sukacita dari penciptaan dunia. Maulid Cikoang tampaknya merupakan visualisasi
Dengan demikian bentuk mistik dan berbagai corak pendidikan agama di Cikoang berputar di sekitar konsep Nur Muhammad yang notabene tampaknya tidak secara khusus bercorak syiah, melainkan dalam bentuk dan formulasinya seperti sufi. Memang, semua dokumen yang disediakan di sini dimaksudkan untuk melegitimasi sebuah konsep berdasarkan argumentasi dari ayat-ayat quran atau hadits dan penjelasan dari banyak karya-karya seperti Ibnu Arabi, Al-Ghazali dan Ar- Raniri yang terinspirasi dari sunni ketimbang dari Imam Ja'far alShadiq, yang merupakan imam keenam syiah. Jadi bagi kami, yang penting bukanlah
421
sebenarnya dari penciptaan nur Nabi Muhammad sebelum dikirim ke dunia. Awalnya, sekitar tahun 1620, maulid hanya diselenggarakan oleh beberapa pengikut Sayyid Jalaluddin, dan hanya dirayakan dalam rumah masing-masing. Maulid Kecil atau Maulid Caddi ini kemudian dipraktikkan kembali saat ini dalam lingkungan keluarga, di bawah pimpinan dan restu seorang “guru islam” sejak tanggal 12 Rabiul awal. Tetapi jumlah anggota dari tarekat Bahrun Nur tidak berhenti bertambah (9) – saat ini setelah dievaluasi jumlah mereka lebih dari seribu, sama dengan jumlah anggota komunitas sayyid. Tempat penyelenggaraan perayaan ini pun telah berubah di sungai Cikoang, di muara sungai di mana kapal anggota keluarga Al-Aidid lainnya, yang telah tersebar di berbagai daerah di Nusantara, datang dan berkumpul sekali setahun untuk acara ini. Selain itu, tanggal Maudu‟Lompoa atau Maulid Besar ditetapkan antara 12 dan 30 Rabiul Awal sebelum diserahkan kepada seluruh para Sayyid Al-Aidid (dari Jakarta, Kalimantan, Sumbawa,…) juga tanggal Maudu 'Lompoa atau "Grand Maulid" sudah diatur antara 12 dan 30 Rabiul Awal guna menyediakan pada semua Sayyid-Aidid (Jakarta, Kalimantan, Sumbawa ...) jangka waktu cukup lama untuk memungkinkan mereka mencapai Cikoang pada tanggal yang tepat. Pada prakteknya, perayaan ini diselenggarakan dibawah pengawasan Opu Laikang. Pangeran Laikang juga merupakan keturunan Sayyid Jalaluddin. Perayaan ini didahului dengan waktu persiapan yang panjang guna membuat sesaji yaitu antara tanggal 10 Safar hingga 10 Rabiul Awal. Selama masa tersebut setiap keluarga yang terdiri atas 20 hingga 40 rumah tangga berkumpul, dan di bawah koordinasi salah seorang dari anggota mereka, berkorban untuk membuat Kanre Maudu‟ (makanan
kelahiran) dengan peraturan ketat yang mesti ditaati dan termasuk adanya larangan tertentu. Setiap orang pada perayaan tersebut diharuskan membawa sekurang-kurangnya empat liter beras, seekor ayam, sebutir kelapa, dan sebutir telur bebek atau ayam; yang kesemuanya diletakkan dalam sebuah kerajang atau bakul Maudu‟, yang ukurannya beragam berdasarkan apakah dibuat untuk perorangan atau sekeluarga dan tentu saja kue-kue dan kudapan juga dapat ditambahkan di dalamnya. Selain itu, setiap kategori sosial yang dimiliki tampak pada motif /bentuk yang ada. Para pelaut biasanya memilih simbol perahu (atau julung-julung), para petani memilih “empat sudut” dengan membuat kerangka dari kayu yang disebut kandawari, passidakka, marra, dan sedekka (dua hal terakhir ini hanya disediakan oleh keluarga yang sedang berduka, ada salah seorang keluarga yang meninggal pada tahun tersebut), para pedagang dan pegawai memilih “empat pilar” atau “empat kutub” sedangkan keluarga Pangeran Laikang biasanya memilih motif burung yang dianggap dapat mengingatkan pada kerajaan mereka (Garudayya ri Laikang). Beberapa sesaji selanjutnya dihiasi dengan kain dan sarung serta kertas berwarna warni yang biasanya diambil dari kertas bank. Tepat di hari perayaan, seluruh sesaji selanjutnya dikumpulkan dan dibawa menuju tempat perayaan (angngatara kanre maudu‟). Pada prosesitersebut tidak jarang kita melihat ada lebih dari lima puluhan kandawari berjejer di tepi sungai. Sesaji yang berbentuk perahu, ditempatkan di sampan kecil yang dihubungkan dengan sebilah bambu, dan dibawa oleh sebuah dayung, dan dikelompokkan di sepanjang sungai. Di sana selama kurang lebih dua jam paraté melantunkan kitab Barazanji, yaitu cerita puitis yang menceritakan kehidupan teladan Nabi. Selanjutnya, sambil
422
berdiri, melompat dan berayun-ayun secara bergantian dan berirama, mereka kemudian melantunkan zikir yang ditulis oleh Sayyid Jalaluddin sebagai penghormatan kepada baginda Nabi Muhammad. Selama itu pula, di atas sungai akan muncul para penari dengan mengenakan pakaian tradisional (pantoro‟). Perayaan tersebut juga menyelenggarakan lomba dayung, atau seperti sebelumnya, ketangkasan mengatasi tombak. Kelincahan dan keluwesan dalam gerak tubuh serta kefasihan kata-kata. Persaingan terjadi di antara mereka yang ingin memamerkan kebanggaan bersama mereka (agganda). Di sini diatur dan disertai dengan pertempuran bohongan (pamanca'na) yang biasanya berakhir dengan jatuhnya lawan di sungai lalu disambut tawa keras dari penonton. Pada akhirnya setelah memperoleh berkah dari sesaji (pammancang salawa‟) makanan dan minuman kemudian dihidangkan untuk seluruh undangan (pattoanang) dan bakulbakul Maudu‟ dibagikan kepada semua orang (pabbageang kanre maudu‟), dimulai oleh para Kiyai dan Imam, kemudian oleh para parate (pihak yang turut sebagai penggembira) dan para undangan camat. Pembagian yang terakhir adalah untuk para penonton dan fakir miskin yang datang untuk perayaan tersebut. Kain-kain dan sarung yang menghiasi kapal yang telah dibagikan, sekarang di kumpulkan oleh camat digunakan untuk memperkaya (modal pendapatan) kampung. Maka berakhirlah perayaan besar yang menunjukkan penghormatan besar masyarakat Cikoang pada Muhammad, perayaan yang menuntut pengorbanan, yang mendekatkan keturunan Sayyid Jalaluddin al-Aidid kepada Tuhan. Satu tahun akan berputar sebelum mereka dipertemukan kembali pada pertemuan berikutnya.
Etnografi perayaan tersebut ditambah dengan teosofi yang pada akhirnya menjadikan mereka memutuskan bahwa sebuah pengaruh syi‟ah di tanah Makassar sudah ada. Kami telah menyaksikan bahwa mistik yang mempengaruhi perayaan maulid ini tidak secara spesifik dianggap sebagai Syi‟ah. Adapun adaptasi-adaptasinya di Cikoang menuntut kesamaan dasar. Meskipun di Sulsel kita tidak memiliki upacara-upacara yang dapat dibandingkan dengan Tabut yang ada di Minangkabau pada 10 Muharram yang mana tidak memberikan ruang perayaan secara khusus tetapi selain itu ada beberapa manuskrip yang diterjemahkan dalam bahasa Makassar yang dihubungkan dengan keajaiban Muhammad serta adanya manuskrip yang memuat cerita perkawinan Ali dan Fatimah (10), yang kehadirannya sama dengan bubur suran yang ada di Jawa, Sunda, dan Aceh, dan di Makassar disebut Jeppe‟Surang. Pada dasarnya pembuatannya selama bulan pertama penanggalan muslim, yang katanya, untuk menetralisir kekuatan jahat (mattula‟bala) yang dibebaskan pada masa itu. Namun, jika hal tersebut adalah berasal dari ritual syi‟ah seperti pernyataan beberapa pendapat (11), kita percaya bahwa ini sudah benar-benar dilupakan oleh masyarakat seperti pernyataan kata sura(yang berarti sepuluh) dalam bahasa Bugis dan Makassar, ashura dalam bahasa arab, dan Surang yang di sini menjelaskan jenis-jenis kentang yang dibuat dengan cara didihkan dengan beras/nasi. Yang paling menarik mungkin adalah sekumpulan kepercayaan kepada Mahdi yang cukup tersebar di Tanah Makassar, utamanya di daerah Sanrobone, Galesong, Takalar, dan Jeneponto, dan menurut mereka Imam Ali Kw.-atau bahkan saudara tiri Imam Husain, Muhammad Hanafiyah tidak meninggal, tapi hidup tersembunyi
423
dalam sebuah goa dan akan keluar pada hari akhir nanti (12). Sayangnya, tidak satupun dari tradisi ini yang dapat menjadi batas ataupun patokan . Itulah mungkin alasan mengapa figur Sayid Jalaluddin patut menjadi pusat perhatian, tidak hanya karena sosoknya yang sangat dekat dengan asalnya, syi‟ah, setidaknya pada sufi, yang menempatkannya pada garis tradisi yang sulit dipahami (gaib) dan asketis menjadi dikenal di wilayah nusantara, dan karena hal ini benar-benar memperhatikan kemungkinan hubungan bahwa tanah Makasaar dapat bertemu dengan Aceh pada awal Islamisasi, dan yang melintasi mereka. Kami menemukan sebuah cerita yang mengungkapkan cerita mistis kaum muslim di Aceh, yang ditulis dalam bahasa Makassar (13).
1.Lihat laporan Ch. Pelras, dalam majalah « Annales », n°3-4, Mei-Augustus 1980, hal. 853-856, «Quelques aspects de l'Islam à Célèbes-Sud» („beberapa pandangan Agama Islam di Sul.Sel‟)
Sebuah bacaan yang mengagumkan pada ritual ini bisa menjadi perbandingan dengan pola perubahan formal yang sudah banyak dikenal baik di Sulawesi, dan tetap masih mencakup sebagai bagian agama, sangat perlu dilakukan.Tapi, hal tersebut diluar pembahasan saya di sini, karena maulid yang mewujud sebagai sebuah perayaan peringatan dapat tampak hanya sebagai pemolesan yang tidak pas, melegitimasi keabadian hubungan hirarkis yang sudah lama dengan pertukaran antara masyarakat pantai kepulauan dan orang-orang dari dalam. Di sini, seperti di tempat lain, Islam, bahkan yang paling "sektarian" mungkin melakukan hal yang mempertahankan dan melanjutkan jaringan sosial dan ekonomi yang sudah lama, yang baginya merupakan kelompok atau elemen yang sangat kuat yang mampu mengalir dengan cerdas dan khas.
4. Lihat a) «Laporan Penelitian tentang Maulid Cikoang sebagai salah satu bentuk kébudayaan spesifik traditional di Sulawesi Selatan», oleh M. Idrus Nurdin, Ridwan Borahima dan A. Kadir Manyambeang, Proyek Penelitian Universitas Hasanuddin, 1977/1978, 85 h. + potret (Stencil); b) A. Makarausu Amansjah, «Mazhab Sji'ah di Tjikowang», in Bingkisan, n° 1 & 2, th III, Sept. Okt. 1969, pp. 20-45, dan n°5 & 6, th. III, Djan. Pebr. 1970, hal. 2-6. Tradisi lain terletak cerita hidup itu Sayyid Jalaluddin di Kutai (lihat catatan 6).
Catatan:
2. Kunjungan Sultan Ternate Baabullah di Goa dalam tahun 1580; bangunan pertama masjid di Mangngallekana selama pemerintahan Karaeng Tunijallo (15651590)... Lihat J. Noorduyn, «De Islamisering van Makassar», B.K.I. T.112 (1956), hal. 247-266, dan tulisan dari Ch. Pelras, dalam Majalah Archipel, Jilid 29, 1985.hal. 107136. 3. Mattulada, «Agama Islam di Sulawesi Selatan», Jakarta, LEKNAS-LIPI, 1976, 117 h.
5. Lihat catatan (4) dan juga YN. Aidid Sibali, «Sedjarah dan Kébudayaan Orang Cikoang», in «Pedo- man Rakyat», 24 Januari 1981. 6. Untuk keterangan lebih lanjut tentang struktur sosial dan ekonomik di Cikoang, lihat Muhammad Hisyam, «Sayyid-Jawi, studi kasus jaringan social di desa Cikoang, kecamatan Mangarabombang, kabupaten
424
Takalar, Sulawesi Selatan», PLPIIS, Universitas Hasanuddin-Ujung Pandang, 1983, 94 p. (stencil); Muhammad Ahmad, «Kelompok Masyarakat Sayyid di Cikoang» in Agama Budaya dan Masyarakat, Ihtisar Laporan Hasil-hasil Penelitian, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama, R.I. 7. Peribahasa / kutipan di Cikoang bilang: «Balukangngi tedonnu, Pappitaggallangi tanamu, nu' rnaudu' mamo», (Jual kerbaumu, menggadaikan sawahmu, tetapi harus merayakan Maulid‟). 8. – Lihat a) Kerukunan Keluarga Al' Aidid, (Maluddin' Aidid), «Ri Salam Maulid Tradisionil di Cikowang», 11 hal. (Stencil), 12 Rabii Ul Awal 1401 H.; b) Said Mursalin, «The Brief History and Intelligible BackGrounds of Maulid Festival in Cikoang», Issued by The Al- Aidid Organisation of Makassar , 29th January 1981, 8 h. 9. Sama catatan 8 (a). 10. Lihat Mattulada, op. cit., hal. 44 11. Lihat B.F. Matthes, «Kort Verslag, AangaandenAllemijinEuropaBelendeMakassarsche en Boeginesche Handschriften», G.A. Spin & Zoon, Amsterdam, 1875. 12. Untuk penyajian Shî‟ism di Indonesia , lihat tulisan Ibu Baroroh Baried, «Le
Shî'isme en Indonésie», in Majalah Archipel 15, hal. 65-84, 1978. 13. Lihat A. Makarausu Aimanjah, op. cit. (1970). 14. Muhammad Hisyam (1983) Pour de plus amples détails sur les structures économiques et sociales de Cikoang, Sayyid-Jawi, studi kasus jaringan social di desa Cikoang, kecamatan Mangarabombang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan», PLPIIS, Universitas Hasanuddin-Ujung Pandang, 94 p. (stencil). 15. Muhammad Ahmad (tt) Kelompok Masyarakat Sayyid di Cikoang in Agama Budaya dan Masyarakat, Ihtisar Laporan Hasil- hasil Penelitian, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama, R.I. 16. Pelras(1981) in Annales, n° 3-4, maiaoût pp. 853-856. Quelques aspects de l'Islam à Célèbes-Sud. 17. Said Mursalin, (1981) The Brief History and Intelligible Back-Grounds of Maulid Festival in Cikoang» Issued by The AlAidid Organisation of Makassar. 18. YN. Aidid Sibali (1981) Sedjarah dan Kébudayaan Orang Cikoang, Pedoman Rakyat, 24 Januari.
424
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Naskah yang dikirimkan belum pernah diterbitkan oleh media cetak lain dibuktikan dengan surat pernyataan dari penulis. 2. Tulisan berupa hasil penelitian (lapangan atau kepustakaan), gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori. 3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau dalam bahasa Prancis. Naskah diserahkan dalam bentuk cetak dan maupun file softcopy dengan jumlah maksimal 20 halaman kuarto termasuk tabel, gambar, dan daftar pustaka. Huruf Times New Roman ukuran 12 point, ketikan spasi tunggal dengan margin atas dan bawah 3 cm serta margin kiri dan kanan 2,5 cm. 4. Sistematika penulisan disusun dengan urutan sebagai berikut: a) Judul dituliskan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa Prancis . b) Nama lengkap penulis dengan institusi asal penulis dan alamat lengkap (termasuk e-mail) penulis untuk korespondensi. c) Abstrak dituliskan dalam bahasa Perancis atau Inggris dan bahasa Indonesia yang memuat secara ringkas tujuan, metode penelitian, hasil yang diperoleh, dan kesimpulan. Abstrak dibuat dalam alinea tersendiri dan jumlah maksimum sebanyak 150 kata. Dilengkapi dengan kata kunci atau key words dengan jumlah maksimum lima kata. d) Pendahuluan memuat latar belakang pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, serta ulasan penelitian sebelumnya, dipaparkan secara terintegrasi dalam paragraf-paragraf dengan panjang 15-20% total panjang artikel. e) Metode Penelitian mengandung sistematika penelitian yang mencakup metode dan prosedur penelitian. Pada kajian yang bersifat konseptual, bagian metode dapat ditiadakan bila dianggap perlu. Bagian ini panjangnya 10-15% dari total panjang artikel. f) Bagian hasil penelitian berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang dapat dilengkapi dengan ilustrasi berupa tabel, grafik, gambar dan foto (jika perlu). g) Kesimpulan berisi temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan dan disajikan dalam bentuk paragraf. h) Daftar Pustaka. Daftar pustaka hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yang dirujuk harus tercantum dalam daftar pustaka. 5. Sumber rujukan minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. 6. Sitasi kepustakaan dilakukan dengan sistem nama tahun, contoh: ... (Andre Maures 2007) Menurut Husen (2008), ... Menurut Vigostky dalam Reigosa & Jimenez-Aleixander (2008) Dimungkinkan pula menggunakan sistem catatan akhir (endnote) dengan diberi angka untuk memberi penjelasan tambahan. 7. Pustaka disusun secara alfabetis dan kronologis. Buku : Hoed, Beny. 2006. Penerjemahan dan kebudayaan. Jakarta : Pustaka Jaya Buku kumpulan Artikel : Finegan, E. Dan J.Rickford (eds.).2004. Language in the USA. Cambridge : Cambridge Uiversity Press. Artikel dalam Kumpulan artikel Zuengler, J. & Cole K. (2005). “Language socialization and second language learner“. Dalam E. Hinkel (ed.) Handbook of research in second language teaching and learning (h.301-316). Mahwah, NJ : Lawrence Erlbaum Associates Artikel dalam jurnal dan majalah : Banús, E. 2007. Intercultural Dialogue: A Chalenge for the European Union at the Begining of the 21st Century. Jurnal Kajian Wilayah Eropa, vol.VIII, No.3 (22-35) Karya terjemahan : Rahimi, Atiq. 2008. Batu Kesabaran – Singge Sabur. (Feybe I. Mokoginta-penerj). Yogyakarta : Jalasutra. (Buku asli Singué Sabour – Pierre de Patience). Dokumen Resmi : Division des Politiques Linguistiques, Conseil de l‟Europe. 2001 Cadre Européen commun de référence pour les langues (CECR). Paris : Didier. Situs Internet: Sieber, Tina. 2009. 15 Popular codes for smiley faces and their meaning. http://www.makeusof.com/tag/15 popular-codesfor-smiles-faces &their-meaning. diunduh pada tanggal 2 Oktober 2011 jam 19.59. 8. Dalam hal tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang baku untuk bidang keilmuan masing-masing.
425
426