JURNAL ILMIAH
ISSN 1693-7562
Media Kajian Al-Qur’an dan Al-Hadits Multi Perspektif
TERBIT 2 KALI SETAHUN PADA BULAN JANUARI DAN JULI
PENGURUS VOL. 12, NO. 1, JANUARI 2015 Penanggung Jawab Zainuddin
Ketua Penyunting Safrilsyah
Sekretaris Penyunting
Mulyadi Abd Anggota Penyunting Hisyami bin Yazid Damanhuri Basyir Agusni Yahya Taslim H.M.Yasin Abd. Wahid Samsul Bahri Muhammad Zaini Lukman Hakim Muslem Djuned
Finansial Nuraini
Sirkulasi Zulihafnani Muhammad Iqbal
Diterbitkan Oleh: SEAR FIQH, Banda Aceh Alamat Redaksi: Kantor SEAR FIQH Jl. Tgk. Chik Pantekulu No. 13 Dusun Utara, Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111, telp. 08126950111
Email:
[email protected], Website: al-muashirah.com
Issn 1693-7562
Vol. 12, Nomor 1, Januari 2015
Daftar Isi Daftar Isi, I Burhanuddin Banta Cut: Pemikiran
Hamdiah
:
An-Na’im Seputar Kehujjahan Hadis Ahad >> 1
:ﺗﻄﺒﻴﻖ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ 12 ,اﺳﻲ ّ اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ اﻹﻧﻨﺪوﻧﻴﺴﻲ ﻛﻤﻮﺿﻮع در
Soufyan Ibrahim : Pencatatan Hadits Di Masa Hidup Nabi Saw >> 21 Nasaiy Aziz
: Diam Gadis Sebagai Indikasi Persetujuan Nikah: Suatu Kajian terhadap Pemahaman Ulama Hadis secara Tekstual dan Kontekstual >> 27 Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib Baiturrahman Edisi 8 Tahun 2012 >>41 Nurdinah Muhammad :
Suhaimi
Arfah Ibrahim A. Shamad
Konsep Al-Qur’an Sebagai Modal Membangun Interaksi Sosial Yang Harmonis dalam Pluralisme Agama Di Indonesia >> 57
: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Quran (Kajian Analisis Terhadap Kitab Al-Burhan Fi `Ulum AlQuran) >> 73 : ‘Aqiqah Dalam Perspektif Hadis Nabi Saw >> 88 : Memahami Hadis-Hadis Tentang Tanda-Tanda Datangnya Hari Kiamat >> 104
Pedoman Penulisan>> 116
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, Januari 2015 (i)
PEMIKIRAN AN-NA’IM SEPUTAR KEHUJJAHAN HADIS AHAD Burhanuddin Banta Cut Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
ABSTRAK Sebagian besar ulama hadits menyerukan kepada orang yang menolak Hadîts Ahâd agar mengalihkan perhatian mereka kepada hadits, baik untuk mengumpulkan, menelusuri jalur-jalurnya, mengenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, serta menjadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan mereka. Bila hal ini diakukan, maka ketika itu mereka akan mengetahui bahwa Hadîts Ahâd tersebut dapat memberikan informasi ilmu kepada kita. Sedangkan bila kita menanggapinya tanpa keseriusan, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu kepada kita. Abdullah Ahmad An-Na'im terkenal sebagai salah satu ulama modern, yang menolak hadis Ahad. Pada sisi yang lain, para ulama jumhur sebenarnya menerima hadis Ahad sebagai pedoman yang sifat dhanni dalalah, tidak qat'iy dalalah. Bagaiman argumen An-Naim berpendapat seperti itu? Tulisan ini mencoba mengupas dengan membandingkan pendapat tersebut dengan pendapat ulama modern lain. Kata Kunci: Ahmed Abdullah An-Nai'm, Hadis Ahad, Dhanni Dalalah PENDAHULUAN Pembahasan seputar Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh Allah. Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan. Ada golongan yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin). An-Na’im merupakan tokoh kontroversial dengan bukunya dengan berbagai ide sekulernya. Di antara buku terbarunya yang cukup menyentakkan perhatian berbagai kalangan berjudul “Islam dan Negara Sekuler”. Melalui bukunya, An-Naim menafikan apa yang disebut Negara Islam dan pelaksanaan Syari’at Islam dan ia cenderung berpendirian bahwa Islam tidak menghendaki adanya Negara berdasarkan agama. Menurutnya urusan Negara merupakan persoalan duniawi yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan akhirat (agama). Tulisan ini ingin mengkaji sejauh mana An-Na’im berpedoman kepada hadits dan bagaimana pendiriannya tentang otoritas hadits, dan khususnya otoritas hadits ahad.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
1
KEHUJJAHAN HADITS AHAD Hadits Ahâd1 menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu.2 Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah apakah Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)? Pendapat Pertama: Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara mutlak/total. Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini ditolak oleh sebahagian besar ulama hadits. Imam Ahmad dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap haditshadits yang diriwayatkan para periwayat kategori lemah. Hal ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang dituduhkan kepada dirinya itu. Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits. Argumen yang dikemukakan oleh ulama yang menolak pendapat pertama di atas antara lain menyebutkan bahwa pendapat tersebut cenderung tidak dapat diterima akal, sebab dalam penelusuran para ulama rijal hadits, ternyata tidak semua mereka memiliki reputasi yang dapat dipertanggung jawabkan tentang kejujuran mereka, di samping itu tdak sedikit juga yang dinilai sebagai orangorang yang dianggap lalai dan sering mengalami kealpaan. Karena itu, penerimaan yang mutlak terhadap hadits ahad tidak dapat dipertahankan dan dapat merusak ajaran Islam ketika terdapat hadits yang tidak mencukupi syarat sebagai hadits yang maqbul. Pendapat Kedua: Hadîts Ahâd tidak dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara mutlak/total. Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqh (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti al-Juwainiy dan Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian kitab mereka pendapat yang justeru sepakat dengan pendapat ketiga nanti. Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu. Karena itu, sebagian besar ulama hadits menyerukan kepada orang yang menolak Hadîts Ahâd tersebut agar mengalihkan perhatian mereka kepada hadits, baik untuk mengumpulkan, menelusuri jalur-jalurnya, mengenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, serta menjadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan mereka. Bila hal ini diakukan, maka ketika itu mereka akan _____________ 1
Hadits Ahad atau disebut juga khabar al-wahid adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syaratsyarat mutawatir. 2 Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H. 2
Burhanuddin Banta Cut : Pemikiran An-Na'im seputar Kehujjahan Hadis Ahad
mengetahui bahwa Hadîts Ahâd tersebut dapat memberikan informasi ilmu kepada kita. Sedangkan bila kita menanggapinya tanpa keseriusan, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu kepada kita. Pendapat Ketiga: Hadîts ahâd memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Pendapat ini merupakan pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama hadits. Karena itu, perlu ditegaskan kepada umat Islam bahwa meyakini bahwa pendapat inilah lebih mendekati kebenaran. Khabar yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalildalil penguat), sementara Qarînah bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan keduaduanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan masyhur dan khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama terkait di bidangnya yang di antaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, di antaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi ilmu menurut jumhur Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat. Adapun dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, di antaranya: 1. Ada ulama yang berpendapat bahwa membeda-bedakan antara Hadîts Ahâd dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in. 3 Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Nabi Muhammad Saw. dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Nabi Muhammad sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabatnya. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada mereka dengan perkataan: "Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)… sehingga kemudian ia bisa menjadi Mutawatir. Masalah adanya di antara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd. _____________ 3
http://www.alsofwah.or.id.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
3
Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa Khabar Ahâd memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd tidak memberikan informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan agama dan dunia sekaligus. Upaya ini juga dapat dianggap sebagai bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka. 2. Nabi Muhammad Saw. pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan kesia-siaan seperti itu. 3. Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang. Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut. Berhujjah Dengan Hadits Ahad Di Dalam Masalah 'Aqidah Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Hadîts Ahâd tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir: tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy). Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Hadîts Ahâd di dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan. Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy. Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa Hadîts Ahâd yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah: Hadîts Ahâd tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu. Argumentasi-Argumentasi Pendapat Ketiga (Madzhab Salaf) 4
Burhanuddin Banta Cut : Pemikiran An-Na'im seputar Kehujjahan Hadis Ahad
1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Hadîts Ahâd merupakan perbuatan bid'ah (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan asSunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain sebagainya. 2. Adanya khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah. Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
: وﰲ رواﻳﺔ. - ﻋﺰ وﺟﻞ- ﻓﻠﻴﻜﻦ أول ﻣﺎ ﺗﺪﻋﻮﻫﻢ إﻟﻴﻪ ﻋﺒﺎدة ﷲ،إﻧﻚ ﺗﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﻗﻮم أﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎب ""... ﻓﺎدﻋﻬﻢ إﱃ ﺷﻬﺎدة أن ﻻ إﻟﻪ إﻻ ﷲ Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla." Di dalam riwayat yang lain, "…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah." 4. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Hadîts Ahâd pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis). Kedua statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau dosa; kesenangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…" Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman : "…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2) Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
5
Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.4 Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy Imam asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosoknya dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulisnya menjadi saksi untuk itu. Di masa hidupnya, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak Hadits Ahâd. Ia menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu. Terhadap kelompok pertama, ia menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama. Sedangkan terhadap kelompok ketiga, ia membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan detail. Di antara bantahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Di dalam mengajak kepada Islam, Nabi Muhammad mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka. 2. Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu. 3. Nabi Saw. membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Nabi bersabda: "Mudah- mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi _____________ 4
6
'Utsman 'Ali Hasan, Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , Hal.42-48. Burhanuddin Banta Cut : Pemikiran An-Na'im seputar Kehujjahan Hadis Ahad
dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud) 4. Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Nabi secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali. Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd.5 Fatwa Ulama Kontemporer Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah menjawab: "Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan: 1. Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu: "Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat" . Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya. 2. Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima. 3. Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al'Amaliyyah selalu disertai oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukumhukum syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan _____________ 5
Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya terhadap as-Sunnah) Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
7
bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya. 4. Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu atau kelompok. 6 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil. PANDANGAN AN-NA’IM TENTANG HADITS Abdullahi Ahmed An-Na’im adalah seorang pemikir asal Sudan yang kini menetap di AS. Sebuah Buku yang kontroversi bertajuk “Islam dan Negara Sekuler” merupakan hasil penelitian selama lebih kurang tiga tahun (2004-2006) yang dilakukannya di beberapa negara Muslim termasuk Turki, Mesir, Sudan, Indonesia, Nigeria, dan lain-lain. Jika kita mencermati pemikiran Prof An Naim selama ini, sebenarnya tidak ada yang baru. Ia hanya ingin menegaskan kembali apa yang pernah diungkapkannya dalam karyanya Towards an Islamic Reformation (1990) yang intinya menolak intervensi negara dalam penerapan syariat Islam karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Menurut An Naim, syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya bila diterapkan melalui negara. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara terhadap agama dan pemisahan secara kelembagaan antara Islam dan negara, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam.7 Ia juga mengingkari institusi mufti yang dalam salah satu diskusi dikecamnya sebagai very unIslamic (sangat tidak Islami). Bagi An Na'im, syariah adalah persoalan hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya. Dalam konteks tersebut, murid Mahmud Muhammad Taha ini sepertinya berpijak pada pemikiran postmodernis yang menolak segala bentuk otoritas. _____________ 6
Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor), Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, (Riyadl: Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet. II, hal. 31-32. 7 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 18. 8
Burhanuddin Banta Cut : Pemikiran An-Na'im seputar Kehujjahan Hadis Ahad
Na'im selanjutnya menegaskan relativitas syariah, karena ia merupakan produk pikiran manusia terhadap Alquran dan Sunnah, dan oleh sebab itu ia tidak bisa terlepas dari pengaruh ruang dan waktu, konteks historis, sosial, dan politik penafsirnya. Syariah dengan demikian tidak suci, apalagi kekal dan permanen yang bisa berlaku untuk semua waktu dan tempat. Di sini Na'im seolah-olah mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki kemampuan mengakases, memahami, dan berinteraksi dengan Alquran dan Sunnah. Na'im menawarkan kemungkinan penerapan syariah melalui jalur demokrasi. Ia mengatakan bahwa untuk menjadikan hukum Islam sebagai peraturan dan hukum publik, ia hendaklah mendapatkan approval dari apa yang disebutnya sebagai public reason. Bagaimanapun, Naim dengan cepat mengikatnya dalam bingkai konstitusionalisme modern dan prinsip HAM internasional. Sepintas konsep Na’im ini seperti logis dan menyejukkan. Ia memberikan angin segar bagi umat Islam untuk menjalankan syariahnya. Apalagi Na'im dengan tegas menyatakan bahwa setiap perundangan dan peraturan publik haruslah merefleksikan keyakinan dan nilai-nilai masyarakatnya. Logikanya, jika publik menghendaki penerapan hukum qishash, hudud, poligami, dan berbagai produk hukum lain yang selama ini dikecam keras, seharusnya hukum itu diadopsi dan dijadikan peraturan serta hukum publik. Tapi ternyata Na'im menolak hal tersebut. Karena dalam penilainnya, hukum-hukum tersebut bertentangan dengan norma, nilai, dan prinsip HAM.8 Di sini Na'im terlihat tidak konsisten. Pada satu sisi ia menginginkan demokrasi, tapi pada tarikan napas yang sama ia juga bersifat otoriter, karena memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan masyarakat. Na'im juga terlihat tidak konsisten dalam mengapresiasi prinsip HAM. Apa yang mendorong Na’im mengabsolutkan dan mengidealkan International Convention of Human Rights. Bukankah ia juga produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting sosialpolitik dan kerangka filosofis religius sekuler para pencetusnya. Atas alasan apa Na’im kemudian menjadikan HAM tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat (binding) atas masyarakat dunia lain. Bukankah Na’im percaya bahwa sebuah hukum harus lahir dari nilai masyarakat itu sendiri? Bukankah pemaksaan convention ini sama dengan pengingkaran atas nilai-nilai yang diyakini masyarakat.9 Dari uraian di atas, paling tidak terdapat gambaran kecil tentang pandangan An-Na’im berkaitan dengan dalil-dalil keagamaan. Pernyataannya mengenai syariah merupakan produk manusia mengenai al-Qur'an dan sunnah, agaknya menjadi salah satu indikasi bahwa ia mendudukkan kedua sumber dasar tersebut pada tempat yang asli. Dengan kata lain, ia menginginkan setiap orang dari ummat Islam mampu mencerna secara langsung ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam al-Qur'an maupun hadits Nabi tanpa harus mengikuti penafsiran atau pensyarahan dari para ulama. Namun, realitasnya hal ini tidak mungkin terjadi mengingat tidak semua orang mempunyai keahlian memahami teks-teks _____________ 8
Farid Wadjdi, Gagasan Usang Negara Sekuler An-Na’im, www. Khalidwahyudin. wordpress.com. 9
Nirwan Syafri, www. Republika.co.id. Edisi Januari 2003.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
9
dari al-Qur'an dan hadits tersebut tanpa perantaraan para ahli dalam kedua bidang tersebut. Mengenai bagaimana sikapnya terhadap hadits ahad, sejauh ini belum ditemukan pernyataannya secara khusus, apakah ia menempatkannya sebagai dalil yang dapat diyakini atau sebaliknya. Hanya saja, ketika ia membahas tentang pemerintahan Abu Bakar. Menurutnya, ketundukan para sahabat kepada pemerintahan Abu Bakar merupakan keputusan politis para sahabat demi kemaslahatan umat. Padahal, keputusan Abu Bakar dimaklumi dan dipahami oleh sahabat sebagai suatu kekeliruan. Namun alasan relegius juga bisa dikemukakan untuk memperkuat faktor-faktor tersebut seperti: QS. An-Nisa: 59. Ia juga mengedepankan satu hadits riwayat Muslim: “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai ataupun yang tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat.”10 Hadits riwayat Muslim di atas merupakan hadits ahad, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Oleh karena itu, analisis An-Na’im tentang ketaatan para sahabat kepada Abu Bakar berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim, boleh jadi sebagai indikator awal namun mendasar, bagi posisi An-Na’im berkenaan dengan hadits Nabi. Dengan kata lain, An-Na’im tidak menolak hadits namun ia memposisikannya sejajar dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang mencakup kesetaraan hak setiap warga tanpa membedakan mereka dari segi apapun. Di samping itu, ia juga mensejajarkan dalil-dalil naqli (al-Qur'an dan hadtis) tersebut dengan analisis-analisisnya dalam berbagai pendekatan. Sehubungan dengan persoalan penolakan An-Naim tentang syari’at, ada yang berpendapat bahwa “Pemahaman Naim tentang syariat itu sendiri juga keliru. Dalam wawancara dengan Koran The Jakarta Post, edisi 26 Juli 2007, Naim menyatakan, bahwa syariah adalah produk interpretasi akal dan pengalaman manusia. Karena itu, katanya, syariah tidak memiliki unsur ketuhanan, sehingga bersifat relatif, tidak abadi, dan tidak mengikat.” (But it must be the product of human interpretation, human reason and human experience. So when we say that sharia is divine it is misleading. Since sharia is the product of human interpretation, any understansing of it is not divine, not eternal and not binding). Para ulama Islam memahami syariah tidak seperti Naim. Bagi kaum Muslim, hukum-hukum Islam jelas-jelas dipahami sebagai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Bukan hukum karangan ulama. Para ulama hanyalah menggali dan merumuskan hukum-hukum Allah yang tercantum dan bersumberkan pada AlQuran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu, seorang Muslim yang bermazhab Syafii, misalnya, ketika melaksanakan shalat, ia yakin benar, bahwa syarat dan rukun shalat yang dia kerjakan bukanlah karangan dan rekaan Imam Syafii atau ulama lain. Tetapi, syarat dan rukun itu memang secara tegas disebutkan dalam wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Karena itu, hukum tentang wajibnya shalat, wajibnya zakat, haramnya zina, haramnya khamr, haramnya daging babi, dan sebagainya, jelas-jelas merupakan hukum Allah yang bersifat abadi dan mengikat kaum Muslim. Akal ulama siapapun – asalkan bukan merupakan ulama yang jahat (ulama su’) – pasti akan mengatakan bahwa shalat lima waktu adalah wajib, syirik adalah jahat, dan durhaka kepada orang tua adalah dosa besar. Itu semua _____________ 10
10
Imam Muslim, Shahih Muslim, Hadits No. 3423.
Burhanuddin Banta Cut : Pemikiran An-Na'im seputar Kehujjahan Hadis Ahad
merupakan hukum dan ketentuan Allah. Bukan rekaan para ulama. Karena itu, syariah memang memiliki unsur ketuhanan (divine) dan bersifat abadi serta mengikat. Di zaman sekarang ini, kita mewarisi agama Islam, Al-Quran dan Sunnah Rasul, jelas melalui akal manusia, yaitu akal para sahabat Nabi, dan para ulama sesudahnya. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir. Para ulama-lah yang kemudian melanjutkan risalah kenabian. Kita menerima hadits Rasulullah juga berdasarkan periwayatan yang disampaikan oleh para perawi hadits yang mereka juga manusia. Allah mengkaruniai kita dengan akal pikiran yang mampu menyeleksi, mana informasi yang benar dan mana yang salah. Mana ulama yang berkualitas, dan mana yang dipaksakan sebagai ulama. Karena itu, dengan akal kita, kita mampu menerima mana berita yang salah dan mana yang pasti kebenarannya.11
KESIMPULAN An-Na’im, sejauh ini tidak termasuk dalam rangkaian ulama yang bergelut dalam bidang hadits, sehingga reputasinya tentang ini sulit diteliti dan menghasilkan suatu kesimpulan yang tegas. Lebih jauh dapat dikatkaan bahwa An-Na’im merupakan seorang pemikir yang cenderung memposisikan al-Qur'an dan sunnah sejajar dengan beberapa aspek kehidupan manusia seperti prinsipprinsip Hak Asasi Manusia dan prinsip-prinsip lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri Murniati, Bandung: Mizan, 2007. Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H. Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor), Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, Riyadl: Dâr atTsurayya, 1414 H/1994 M, Cet. II. Farid Wadjdi, Gagasan Usang Negara Sekuler An-Na’im, www. Khalidwahyudin. wordpress.com. Nirwan Syafri, www. Republika.co.id. Edisi Januari 2003. 'Utsman 'Ali Hasan, Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd . www.hidayatullah.com www.alsofwah.or.id.
_____________ 11 www.hidayatullah.com Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
11
:ﺗﻄﺒﻴﻖ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ اﺳﻲ ّ اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ اﻹﻧﻨﺪوﻧﻴﺴﻲ ﻛﻤﻮﺿﻮع در Hamdiah Fakultas Tarbiyah Keguruan (FTK) UIN Ar-Raniry Banda Aceh Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh
[email protected] ABSTRACT This article deals with the development of liberal Islam in Indonesia by concentrating on the group Jaringan Islam Liberal (Liberal Islam Network; henceforward JIL). The term of liberal Islam refers to a trend among a particular group of Muslims who argue that understanding the text of Islamic teachings should be complemented by the context in which it is being reinterpreted because the text does not exhaust all the meanings of the revelation. This group also spreads basic ideas such as the opening of the gates of ijtihad, stressing the spirit of religious ethics, pluralism and relativism, the support of minorities and religious freedom. The presence of this group has aroused many responses to the ideas that it promotes. One of the responses and critics is inadequate method that JIL used in order to reach an authoritative understanding. Besides, the using of public interest argument (mashlahah) in improper way has driven into a fallacy conclusion in the spirit of Islamic renewal of thought in Indonesia.
اﳌﺼﻠﺤﺔ، ﻓﻜﺮة اﻟﺘﺠﺪﻳﺪ، اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ:اﻟﻜﻠﻤﺎت اﻻﺳﱰﺷﺎدﻳﺔ ﻣﻘﺪﻣﺔ م اﻟﺬﻳﻦ اﺟﺘﻤﻌﻮا ﲢﺖ ﻟﻮاء2001 اﻟﺸﺒﺎن اﳌﺜﻘﻔﲔ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﲔ ﻣﻨﺬ ﺑﺪاﻳﺔ ﺳﻨﺔ ّ ﻇﻬﻮر ﺷﺪة ّ ﻫﺰة ﻓﻜﺮّﻳﺔ ّ ( ﻓﻜﺎر ﲡﺪﻳﺪﻳﺔ أدت إﱃJaringan Islam Liberal) ""ﺷﺒﻜﺔ اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﻳﻨﺒﲎ ﻓﻜﺮ ﻢ ﻋﻠﻰ أﺳﺎس إﻋﺎدة اﻟﺘﺠﺪﻳﺪ اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ ﻟﺪﻋﻢ اﳌﺎﱄ.ﺑﲔ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﰲ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ اﻟﺘﺨﻠﻒ و اﳉﻤﻮد ّ أﺧﺬ ﺑﻨﺸﺮ ﻓﻜﺮة ﲢﺮﻳﺮ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﻦ،اﻟﻜﺎﰲ ﻣﻦ اﳌﻤﻮّﻟﲔ اﳌﺪﻋﻤﲔ ﻣﻦ اﳋﺎرج اﳌﻌﻠﻮﻣﺎﺗﻴﺔ ﻣﻦ اﻟﺼﺤﻒ واﻟﻜﺘﺐ وﺷﺒﻜﺔ اﻹﻧﱰﻧﺖ— إﱃ دﻋﻮة أﳘﻴﺔ إﻧﻌﺎش واﳉﻬﻞ —ﻋﱪ وﺳﺎﺋﻠﻪ ّ اﻻﺟﺘﻬﺎد ﻟﺘﺠﺪﻳﺪ أﻓﻜﺎر اﻟﻘﺪاﻣﻰ ﻟﻜﻰ ﺗﺘﻨﺎﺳﺐ اﻟﻮﻗﺖ اﻟﺮاﻫﻦ اﳌﻌﺎﺻﺮ اﻟﺬي ﻧﻌﻴﺶ ﻓﻴﻪ ﻋﻼوة ﻋﻠﻰ أﳘﻴﺔ إﺣﻴﺎء اﻟﻔﻜﺮ وإﻋﺎدة اﻟﻨﻈﺮ ﰲ ﺗﻔﺴﲑ اﻵ ت اﻟﻘﺮآﻧﻴﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻌﻼﻗﺔ اﳌﺴﻠﻤﲔ وﻏﲑﻫﻢ ﻧﺴﺒﻴﺔ اﳌﻔﺎﻫﻴﻢ ﻋﻦ اﻟﺪﻳﻦ ّ اﻟﺘﺪﻳﻦ ﺣﱴ ّ وﻏﲑ ذﻟﻚ ﻣﻦ اﳌﺴﺎﺋﻞ اﳌﺴﺘﺤﺪﺛﺔ ﺣﻮل ﺣﺮﻳﺔ اﻟﺘﻌﺒﲑ وﺣﺮﻳﺔ .اﳊﻖ ّ
12
ﺗﻄﺒﻴﻖ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ: ﺣﻤﺪﯾﺔ
ﻟﻮ ﻣﻠﻨﺎ وﻧﻈﺮ إﱃ اﻟﺘﺎرﻳﺦ ،ﻟﻮﺟﺪ أن ﻓﻜﺮة اﻟﺘﺠﺪﻳﺪ ﰲ ذا ﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻦ اﳉﺪﻳﺪ ،إذ ﺣﻴﺚ ﳍﺎ ﻓﺼﻮﳍﺎ اﳋﺎﺻﺔ ﰲ ﻛﻞ ﻗﺮن ﻛﻤﺎ وﻋﺪﻫﺎ ﷲ إ ّ ﻫﺎ ﰲ اﳊﺪﻳﺚ اﻟﻨﺒﻮي اﻟﺸﺮﻳﻒ أن ﷲ ﺳﻴﺒﻌﺚ ﻋﻠﻰ ﳚﺪد ﳍﺎ أﻣﺮ دﻳﻦ ﻫﺬﻩ اﻷﻣﺔ .ودﻋﻮة اﻟﺘﺠﺪﻳﺪ وأﳘﻴﺔ إﺣﻴﺎء اﻻﺟﺘﻬﺎد ﰲ رأس ﻛﻞ ﻣﺎﺋﺔ ﺳﻨﺔ ﻣﻦ ّ وﺗﻄﻠﺒﺎت ﻫﺬﻩ اﻷﻣﺔ إذ ﺑﺪأت ﺗﻨﺤّﻂ وﺗﺘﺪﻫﻮر ﺑﻈﻬﻮر اﻟﻌﺼﺮ اﻻﺳﺘﻌﻤﺎر اﳊﻘﻴﻘﺔ ﻳﺘﻮاﻓﻖ ﻣﻊ واﻗﻊ ّ ﺣﺚ اﻟﻐﺮﰊ إﱃ اﻟﻌﺎﱂ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﺳﻘﻮط اﳋﻼﻓﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻣﻨﺬ ﺎﻳﺔ اﻟﻘﺮن اﻟﺘﺎﺳﻊ ﻋﺸﺮ اﳌﻴﻼدي ّﳑﺎ ّ اﳉﺎد ﻷﺳﺒﺎب ﺗﺪﻫﻮر وﲣﻠﻒ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﻋﻠﻤﻴﺎ وﻋﻤﻠﻴﺎ اﻟﻌﻠﻤﺎء واﳌﻔﻜﺮﻳﻦ اﳌﺴﻠﻤﲔ إﱃ اﻟﺘﻔﺤﻴﺺ ّ
وﻋﺴﻜﺮ ﰲ اﻟﻮﻗﺖ اﻟﺮاﻫﻦ 1.ﰲ ﻫﺬﻩ اﻟﻨﻘﻄﺔ ,ﻓﺈن إﺣﻴﺎء اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﻓﺘﺢ ب اﻻﺟﺘﻬﺎد ﺑﻌﺪ اﳌﺴﻠﻤﺔ ﺑﲔ اﳉﻤﻴﻊ ﻋﱪ اﻟﻌﺎﱂ اﻹﺳﻼﻣﻲ ﻹﻋﺎدة ﺑﻨﺎء ﺣﻀﺎرة اﻹﺳﻼم اﻧﻐﻼﻗﻬﺎ واﻧﺴﺪادﻫﺎ ﻣﻦ اﻷﻣﻮر ّ واﳌﺴﻠﲔ. ﻏﲑ أن ﻧﺸﺄة وﻇﻬﻮر ﺷﺒﻜﺔ اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﰲ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ ﺑﺪأت ﺗﺴﻮق ﺑﺒﻌﻴﺪ إﱃ اﺻﻄﺪام اﻟﻘﻄﻌﻴﺔ ﺑﺰﻋﻢ ﲢﻘﻴﻖ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻘﺒﻮﻟﺔ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ واﻟﺸﺮﻳﻌﺔ .ﻓﺒﺪأ ﻳﺒﺪي ﻓﻜﺮة ﻣﺎﺳﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ ﻛﺎﳌﺴﺎﺋﻞ ّ ّ ﺗﻌﻄﻴﻞ إﳚﺎب ﺣﺠﺎب اﳌﺮأة واﻟﻘﺼﺎص واﻋﻔﺎء اﻟﻠﺤﻴﺔ ﻟﻠﺮﺟﺎل و ﺣﺪ ﻗﻄﻊ ﻳﺪ اﻟﺴﺎرق واﻟﺮﺟﻢ اﻟﺰاﱐ ﺣﻴﺚ ﻳﺮى أ ﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ ﺑﻞ ﻣﻦ ﺗﻘﺎﻟﻴﺪ اﻟﻌﺮب 2.إﺿﺎﻓﺔ إﱃ ذاﻟﻚ ،دﻋﺎء وزﻋﻢ إﻧﻌﺎش اﳌﻔﻬﻮم اﻟﺪﻳﲏ وﲡﺪﻳﺪ اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﲢﻘﻴﻖ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻟﻸﻣﺔ دﻋﺎ إﱃ إﻋﺎدة ﺗﻮﻗﻴﺖ ﻣﻮاﺳﻢ اﳊﺞ ﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻘﺘﺼﺮة ﻋﻠﻰ ﺷﻬﻮر ﺷﻮال وذ ﻟﻘﻌﺪة وذ ﻟﻠﺤﺠﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﲡﻨﺒﺎ وﺧﻮﻓﺎ ﻣﻦ وﻗﻮع ﲤﺘﺪ ﻛﻮارث ﻣﻦ اﳊﺠﺎج ﻻزدﺣﺎﻣﻬﻢ ﰲ اﻷ ﻣﺎﻛﻦ اﳌﻘﺪﺳﺔ ،ﻟﺬاﻟﻚ ﻓﺄوﻗﺎت ﻣﻮاﺳﻢ اﳊﺞ ﳝﻜﻦ أن ّ 3 وﺗﻄﻮر أﻳﻀﺎ ﺟﻬﻮد إﻋﺎدة ﻓﻜﺮة وﻓﻬﻢ اﻟﻨﺎﺳﺦ واﳌﻨﺴﻮخ ﻣﻦ ّ وﺗﺘﺒﺪل .ﻹﺿﺎﻓﺔ إﱃ ذ ﻟﻚ ،ﻇﻬﺮ ّ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺧﻼﻓﺎ ﳌﺎﺟﺎء ﺑﻪ وذﻫﺐ إﻟﻴﻪ أﺋﻤﺔ اﳌﺬاﻫﺐ اﻟﻔﻘﻬﻴﺔ اﳌﻌﱰف ﺎ ﻋﱪ اﻟﺰﻣﺎن رأ ﺻﻼﺣﻴﺘﻪ وﻣﻨﻬﺠﺎ وأﺣﻜﺎﻣﺎ ﳑﺎ أدى ﰲ اﻟﻨﻬﺎﻳﺔ إﱃ ﺗﺸﻜﻴﻚ وارﺗﻴﺎب اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﻋﺪم ّ اﳌﺘﻄﻮرة. ﻟﻸوﻗﺎت اﻟﺮاﻫﻨﺔ ّ ﺗﻄﻮر اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﰲ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ ،ﻓﺈن ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ اﳌﺘﻮاﺿﻊ ﻳﻬﺘﻢ ﺑﺒﻴﺎن اﻧﻄﻼﻗﺎ ﻣﻦ ﻣﻈﺎﻫﺮ ّ ﻧﻘﺪﻳﺔ. وﲢﻠﻴﻞ اﻵراء واﻷﻓﻜﺎر اﻟﱵ ﻃﺮﺣﺘﻬﺎ ﺷﺒﻜﺔ اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﺑﻄﺮﻳﻘﺔ اﻟﺪراﺳﺎت اﳌﻜﺘﺒﻴﺔ دراﺳﺔ ّ _____________
أﻧﻈﺮ :أﻣﯿﺮ ﺷﻜﯿﺐ أرﺳﻼن ،ﻟﻤﺎذا ﺗﺄﺧﺮ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن وﺗﻘﺪم ﻏﯿﺮھﻢ ،ﺑﯿﺮوت :دار اﻟﺤﯿﺎة ،اﻟﻄﺒﻌﺔ اﻟﺜﺎﻧﯿﺔ .1965 ،واﻧﻈﺮ أﯾﻀﺎ ﻟﻠﻤﻘﺎرﻧﺔ: Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Stanford University Press, 2013 2 أﻧﻈﺮ: Ulil Absar Abdalla, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam", Kompas, 18 November 2002 3 أﻧﻈﺮ: Wawancara Masdar F. Mas'udi, "Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang" dalam situs www.islamlib.com, diakses pada 21 Agustus 2010 1
13
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
اﳌﻮﺛﻖ اﳌﺴﺘﺨﺪم ﻟﺪﻳﻬﻢ وﻣﻐﺎﻟﻄﺎت ﻳﻮﺟﻪ إﱃ ﻋﺪم وﺟﻮد اﳌﻨﻬﺞ ّ ﻤﻞ ،ﻓﺈن اﻻﻧﺘﻘﺎد ﳝﻜﻦ أن ّ ﻣﺎﺳﻠﻢ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ ﻷﻣﻮر اﻟﻘﻄﻌﻴﺔ إﺿﺎﻓﺔ إﱃ ﺗﺴﺎﻫﻠﻬﻢ ﰲ اﺳﺘﺨﺪام اﻷﻓﻜﺎر اﻟﺘﺠﺪﻳﺪﻳﺔ ﺻﻄﺪام ّ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻟﺘﱪﻳﺮ آراﺋﻬﻢ ﺑﺪون ﺿﺒﻂ ودﻗﺔ .ﺳﻴﻜﻮن ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﺑﺒﻴﺎن ﻣﻌﲎ اﳌﺼﻠﺤﺔ وﻣﺪى ﻣﺘﺒﻌﺎ ﻧﺘﻘﺎد زﻋﻢ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﺳﺘﻌﻤﺎﳍﺎ ﰲ اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ ،وﻳﻠﻴﻪ اﻟﻔﻜﺮ واﳌﻔﻬﻮم اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﻋﻦ اﳌﺼﻠﺤﺔ ّ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻴﱪاﻟﻴﲔ ﰲ اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﳐﺘﺘﻤﺎ ﳋﻼﺻﺔ. ﺗﻌﺮﻳﻒ اﳌﺼﻠﺤﺔ وﻣﺪى اﺳﺘﺨﺪاﻣﻬﺎ ﰲ اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﺻﻼﺣﻴﺘﻪ ﻋﱪ اﻟﻘﺮون واﻷﻣﻜﻨﺔ أن ﺷﺮﻳﻌﺘﻪ اﻟﻐﺮاء ﺗﻨﺒﲎ ﻋﻠﻰ إﳚﺎد ﺧﺎﺻﻴﺔ ﻫﺬا اﻟﺪﻳﻦ ﻣﻦ ّ ّ اﳌﻀﺮة اﳌﺼﻠﺤﺔ وﲢﻘﻴﻘﻬﺎ ﻟﻸﻣﺔ واﻹﻧﺴﺎن و ّ اﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ .ﻓﺈن ﺣﻘﻴﻘﺔ ﻫﺬا اﻟﺪﻳﻦ ﺟﻠﺐ اﳌﺼﻠﺤﺔ ودﻓﻊ ّ ﻛﻤﺎ ﻛﺘﺒﻪ اﺑﻦ اﻟﻘﻴﻢ ﰲ ﻛﺘﺎﺑﻪ: “ ﻓﺈن اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻣﺒﻨﺎﻫﺎ وأﺳﺎﺳﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﳊﻜﻢ وﻣﺼﺎﱀ اﻟﻌﺒﺎد ﰲ اﳌﻌﺎش واﳌﻌﺎد ،وﻫﻲ ﻋﺪل ﻛﻠﻬﺎ ،ورﲪﺔ ﻛﻠﻬﺎ ،وﻣﺼﺎﱀ ﻛﻠﻬﺎ ،وﺣﻜﻤﺔ ﻛﻠﻬﺎ ،ﻓﻜﻞ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺧﺮﺟﺖ ﻋﻦ اﻟﻌﺪل إﱃ اﳉﻮر ،وﻋﻦ اﻟﺮﲪﺔ إﱃ ﺿﺪﻫﺎ ،وﻋﻦ اﳌﺼﻠﺤﺔ إﱃ اﳌﻔﺴﺪة ،وﻋﻦ اﳊﻜﻤﺔ إﱃ اﻟﻌﺒﺚ ،ﻓﻠﻴﺴﺖ ﻣﻦ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ،وإن أدﺧﻠﺖ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﺘﺄوﻳﻞ".
4
اﳌﻜﻠﻒ ،ﻓﺈن ﺳﺎﺋﺮ اﻟﺘﻜﺎﻟﻴﻒ ﺳﻮاء أﻛﺎﻧﺖ ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ إﳚﺎد وﲢﻘﻴﻖ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﳊﻴﺎة اﻹﻧﺴﺎن ّ ﻣﺒﻨﻴﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﺟﻬﺔ إﱃ ﺟﻠﺐ اﳌﺼﺎﱀ ودرإ اﳌﻔﺎﺳﺪ ّ ﻣﻦ اﳌﺄﻣﻮرات أو اﳌﻨﻬﻴﺎت ﰲ اﻟﺪﻳﻦ اﻹﺳﻼﻣﻲ ّ إرﺷﺎد وﺗﻮﺟﻴﻪ رّ ﱐ ﻣﻮاﻓﻘﺎ ﻟﻠﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ .ﻓﻘﻀﻴﺔ ﲢﻘﻴﻖ اﳌﺼﻠﺤﺔ ودرإ اﳌﻔﺴﺪة ﻫﻲ أﻛﱪ ﻗﻀﻴﺔ ﺑﻞ ﻗﻀﻴﺔ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ اﻹﺳﻼﻣﻲ ﻷن ﻣﻘﺎﺻﺪﻩ ﻛﻠﻬﺎ ﲡﻤﻊ ﰲ ﻫﺬﻩ اﻟﻌﺒﺎرة :ﺟﻠﺐ اﳌﺼﺎﱀ ودرإ اﳌﻔﺎﺳﺪ. أﻫﻢ ّ ّ وﻛﺬاﻟﻚ اﳊﺎل ﰲ اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ ﺣﻴﺚ ﻳﻬﺪف إﱃ إﳚﺎد اﳌﺼﺎﱀ وﻋﺪم اﳌﻔﺎﺳﺪ ﺑﺘﻄﻮﻳﺮﻩ ﲟﺎ ﻳﻮاﻓﻖ ااﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻠﻪ اﻟﺼﺤﺎﰊ اﳉﻠﻴﻞ ،ﻣﻌﺎذ ﺑﻦ ﺟﺒﻞ ﺣﲔ ﺑﻌﺜﻪ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ ﷲ اﻷﺳﺲ اﻟﻘﺮآﻧﻴﺔ واﻟﺴﻨﺔ ّ
ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎﺿﻴﺎ إﱃ اﻟﻴﻤﻦ ﻓﺴﺄﻟﻪ ﲟﺎ ﻳﻘﻀﻲ؟ ﻓﺄﺟﺎب ﺑﻜﺘﺎب ﷲ ﰒ ﻓﺒﺴﻨﺔ رﺳﻮل ﷲ ،وﰲ ﺣﺎﻟﺔ اﻟﺴﻨﺔ ﻓﺄﺿﺎف" :أﺟﺘﻬﺪ رأﻳﻲ وﻻ آﻟﻮ" .ﻓﺠﻤﻠﺔ ﻣﻌﲔ ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻦ اﻟﻘﺮآن أو ّ ﻋﺪم وﺟﻮد دﻟﻴﻞ ّ "أﺟﺘﻬﺪ رأﻳﻲ وﻻ آﻟﻮ" ﺗﻜﻮن رﻣﺰا وإرﺷﺎدا ﰲ ﺑﻨﺎء وﺗﻄﻮﻳﺮ اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ ﺣﻴﺚ ﻳﻜﻮن اﻟﻘﺮآن ﻣﻘﻮﻣﺎ وإﻃﺎرا ﻓﻜﺮّ ﰲ ﺗﻮﺟﻴﻬﻪ إﱃ ﻣﺴﻠﻜﻪ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﻘﻮﱘ ﻷﺟﻞ ﲢﻘﻴﻖ ﻣﺼﺎﱀ اﻹﻧﺴﺎن واﻟﺴﻨﺔ ّ واﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ.
_____________
اﺑﻦ اﻟﻘﯿﻢ اﻟﺠﻮزﯾﺔ ،إﻋﻼم اﻟﻤﻮﻗﻌﯿﻦ ﻋﻦ رب اﻟﻌﺎﻟﻤﯿﻦ ،ﺑﯿﺮوت :دار اﻟﺠﯿﻞ3/3 ،1973 ،
ﺣﻤﺪﯾﺔ :ﺗﻄﺒﻴﻖ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ
4
14
اﳌﻔﻜﺮﻳﻦ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﻨﺬ أﻣﺪ ﺑﻌﻴﺪ ،ﻣﻨﻬﺎ ﻟﻠﻐﺰاﱄ ﻋﺪة ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻠﻤﺎء و ّ ﻫﻨﺎك ﺗﻌﺎرﻳﻒ ّ ﰲ "اﳌﺴﺘﺼﻔﻰ" ،ﺣﻴﺚ ﻳﻘﻮل ﻓﻴﻪ" :أﻣﺎ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻓﻬﻲ ﻋﺒﺎرة ﰲ اﻷﺻﻞ ﻋﻦ ﺟﻠﺐ ﻣﻨﻔﻌﺔ أو دﻓﻊ ﻣﻀﺮة .وﻟﺴﻨﺎ ﻧﻌﲏ ﺑﻪ ذﻟﻚ ،ﻓﺈن ﺟﻠﺐ اﳌﻨﻔﻌﺔ ودﻓﻊ اﳌﻀﺮة ﻣﻘﺎﺻﺪ اﳋﻠﻖ ،وﺻﻼح اﳋﻠﻖ ﰲ ﲢﺼﻴﻞ ﻣﻘﺎﺻﺪﻫﻢ ،ﻟﻜﻨﺎ ﻧﻌﲏ ﳌﺼﻠﺤﺔ اﶈﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺼﻮد اﻟﺸﺮع وﻣﻘﺼﻮد اﻟﺸﺮع ﻣﻦ اﳋﻠﻖ ﲬﺴﺔ :وﻫﻮ أن ﳛﻔﻆ ﻋﻠﻴﻬﻢ دﻳﻨﻬﻢ وﻧﻔﺴﻬﻢ وﻋﻘﻠﻬﻢ وﻧﺴﻠﻬﻢ وﻣﺎﳍﻢ ،ﻓﻜﻞ ﻣﺎﻳﺘﻀﻤﻦ ﺣﻔﻆ ﻫﺬﻩ اﻷﺻﻮل اﳋﻤﺴﺔ ﻓﻬﻮ ﻣﺼﻠﺤﺔ ،وﻛﻞ ﻣﺎﻳﻔﻮت ﻫﺬﻩ اﻷﺻﻮل ﻓﻬﻮ ﻣﻔﺴﺪة ودﻓﻌﻬﺎ ﻣﺼﻠﺤﺔ" 5.ﻓﺎﻟﻐﺰاﱄ ﻫﻨﺎ أﻋﻄﻰ ﺗﻌﺮﻳﻔﲔ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ واﳌﻔﺴﺪة ،ﺣﻴﺚ اﻷول ﻟﻐﻮي ﻋﺮﰲ ،ﺑﻴﻨﻤﺎ اﻟﺜﺎﱐ ﳝﻜﻦ اﻋﺘﺒﺎرﻩ ﺗﻌﺮﻳﻔﺎ اﺻﻄﻼﺣﻴﺎ ﺷﺮﻋﻴﺎ. ﰒ ﺑﻌﺪ ذﻟﻚ أﺗﻰ اﻟﻔﺨﺮ اﻟﺮازي ﺑ ﻌﺪ ﻗﺮن ﻣﻦ اﻟﻐﺰاﱄ ،ﻓﺎﺳﺘﻌﻤﻞ ﺗﻌﺮﻳﻔﺎ ذاع واﺷﺘﻬﺮ ﰲ ﻛﺘﺎﺑﻪ "اﶈﺼﻮل" ،ﻓﻘﺎل ﻓﻴﻪ " :اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻻﻣﻌﲎ ﳍﺎ إﻻ اﻟﻠﺬة أو ﻣﺎﻳﻜﻮن وﺳﻴﻠﺔ إﻟﻴﻬﺎ ،واﳌﻔﺴﺪة ﻻ ﻣﻌﲎ ﳍﺎ إﻻ اﻷﱂ وﻣﺎ ﻳﻜﻮن وﺳﻴﻠﺔ إﻟﻴﻪ ".ﰒ ﺟﺎء ﻋﺰاﻟﺪﻳﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼم ﻓﺄﺧﺬ ﺬا اﻟﺘﻌﺮﻳﻒ ،ﻟﻜﻨﻪ أﺿﻔﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﺾ اﻹﺿﺎﻓﺎ ت اﻟﱵ ﲡﻌﻠﻪ أوﺿﺢ وأﰎ وأﺳﻠﻢ ﻣﻦ اﻻﻋﱰاض ﺣﻴﺚ ﻗﺎل ﻋﺰاﻟﺪﻳﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼم ﰲ "ﻗﻮاﻋﺪ اﻷﺣﻜﺎم"" :اﳌﺼﺎﱀ أرﺑﻌﺔ أﻧﻮاع :اﻟﻠﺬات وأﺳﺒﺎ ﺎ ،واﻷﻓﺮاح وأﺳﺒﺎ ﺎ .واﳌﻔﺎﺳﺪ 6
أرﺑﻌﺔ أﻧﻮاع :اﻵﻻم وأﺳﺒﺎ ﺎ ،واﻟﻐﻤﻮم وأﺳﺒﺎ ﺎ .وﻫﻲ ﻣﻨﻘﺴﻤﺔ إﱃ دﻧﻴﻮﻳﺔ وأﺧﺮوﻳﺔ". وﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻌﺎرﻳﻒ اﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ ،ﻳﻘﻮد إﱃ ﺷﻲء ﻻﺑﺪ ﻣﻦ اﻟﺘﻨﺒﻴﻪ ﻋﻠﻴﻪ ،وﻫﻮ إﻗﺎﻣﺔ اﻻﻋﺘﺒﺎر واﻟﻮزن اﻟﺜﻘﻴﻞ ﻟﻠﻤﺼﺎﱀ ،ﺳﻮاء أﻛﺎﻧﺖ ﻣﻌﻨﻮﻳﺔ أو ﻣﺎدﻳﺔ ،ﺑﻞ ﻣﺼﺎﱀ ﻣﻌﻨﻮﻳﺔ أوﱃ إذ اﳌﺼﺎﱀ اﳌﺎدﻳﺔ ﻻﲢﺘﺎج إﱃ ﻛﺜﲑ ﻛﻼم وﻻ ﺑﻴﺎن وﻻ دﻓﺎع ﺣﻴﺚ اﳌﺼﺎﱀ اﳌﺎدﻳﺔ ﺗﻔﺮض ﻧﻔﺴﻬﺎ ﺑﺸﻜﻞ ﻗﻮي ﻋﻠﻰ اﻹﻧﺴﺎن وﻏﺮﻳﺰﺗﻪ وأﻋﺮاﻓﻪ ،ﻓﺎﻟﻨﺎس ﻳﻄﻠﺒﻮن ﻣﺎﻳﻘﻴﻢ ﺣﻴﺎ ﻢ وﺻﺤﺘﻬﻢ وﻣﺎﻳﺪﻓﻊ ﺟﻮﻋﻬﻢ وآﻻﻣﻬﻢ وأﻣﺮاﺿﻬﻢ ،وﻳﺒﺤﺜﻮن ﺗﻠﻘﺎﺋﻴﺎ ﻋﻦ اﳌﺘﻊ واﳌﺼﺎﱀ اﳌﺎدﻳﺔ ﰲ اﳌﺒﺎﱐ واﻷ ث واﳌﺄﻛﻮﻻت واﳌﺮاﻛﺐ وﻏﲑ ذﻟﻚ .ﺑﻴﻨﻤﺎ ﻣﺎ ﳛﺘﺎج إﱃ ﻋﻨﺎﻳﺔ ورﻋﺎﻳﺔ ﻫﻲ اﳌﺼﺎﱀ اﳌﻌﻨﻮﻳﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﰲ اﻟﺘﻜﺎﻟﻴﻒ اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ اﻟﱵ ﻛﺜﺮت إﺻﺎﺑﺔ اﻟﻀﻤﻮر واﻹﻏﻔﺎل واﻹﳘﺎل ﻓﻴﻬﺎ ،ﻟﺬﻟﻚ وﺟﺐ اﻟﺘﻨﺒﻴﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ واﻻﺣﺘﻔﺎء ﺎ ﺣﱴ ﻻ ﺗﻀﻴﻊ 7 وﺗﻨﺒﺬ. وﺣﱴ ﻻﻳﻐﻴﺐ اﳌﻌﲎ اﳊﻘﻴﻘﻲ اﻟﻜﺎﻣﻞ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ،ﻓﺠﺪﻳﺮ ﻟﺬﻛﺮ ﻫﻨﺎ ﻣﺎ ﻛﺘﺒﻪ اﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ إذ ﻳﻨﺘﻘﺪ ﻣﻦ ﻳﺮﻛﺰون ﻋﻠﻰ اﳌﺼﺎﱀ اﳌﺎدﻳﺔ واﳌﺼﺎﱀ اﻟﻈﺎﻫﺮة اﻟﱵ ﺗﻀﻤﻨﻬﺎ اﻟﺪﻳﻦ ،وﻳﻐﻔﻠﻮن اﳌﺼﺎﱀ واﳌﻔﺎﺳﺪ اﳌﻌﻨﻮﻳﺔ اﻟﺒﺎﻃﻨﺔ ،ﻓﻴﻘﻮل " :وﻛﺜﲑ ﻣﻦ اﻟﻨﺎس ﻳﻘﺼﺮ ﻧﻈﺮﻩ ﻋﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻣﺎﳛﺒﻪ ﷲ ورﺳﻮﻟﻪ ﻣﻦ ﻣﺼﺎﱀ اﻟﻘﻠﻮب واﻟﻨﻔﻮس وﻣﻔﺎﺳﺪﻫﺎ ،وﻣﺎﻳﻨﻔﻌﻬﺎ ﻣﻦ ﺣﻘﺎﺋﻖ اﻹﳝﺎن وﻣﺎﻳﻀﺮﻫﺎ ﻣﻦ اﻟﻐﻔﻠﺔ واﻟﺸﻬﻮة... _____________
اﻹﻣﺎم اﻟﻐﺰاﻟﻲ ،اﻟﻤﺴﺘﺼﻔﻰ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ أﺻﻮل اﻟﻔﻘﮫ ،ط .ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ1997 ،م ﻋﺰاﻟﺪﯾﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼم ،ﻗﻮاﻋﺪ اﻷﺣﻜﺎم ﻓﻲ ﻣﺼﺎﻟﺢ اﻷﻧﺎم ،ﺗﺤﻘﯿﻖ ﻛﻤﺎل ﺣﻤﺎد ،ط .دار اﻟﻘﻠﻢ ،اﻟﻄﺒﻌﺔ اﻷوﻟﻰ2000 ،م 7 أﺣﻤﺪ اﻟﺮﯾﺴﻮﻧﻲ ،ﻣﺤﺎﺿﺮات ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ ،اﻟﻘﺎھﺮة :دار اﻟﻜﻠﻤﺔ ﻟﻠﻨﺸﺮ واﻟﺘﻮزﯾﻊ ،2014 ،ص 131 5 6
15
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
ﻓﺘﺠﺪ ﻛﺜﲑا ﻣﻦ ﻫﺆﻻء ﰲ ﻛﺜﲑ ﻣﻦ اﻷﺣﻜﺎم ﻻ ﻳﺮى ﻣﻦ اﳌﺼﺎﱀ واﳌﻔﺎﺳﺪ إﻻ ﻣﺎ ﻋﺎد ﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﺎل واﻟﺒﺪن ،وﻏﺎﻳﺔ ﻛﺜﲑ ﻣﻨﻬﻢ إذا ﺗﻌﺪى ذﻟﻚ ﻳﻨﻈﺮ إﱃ ﺳﻴﺎﺳﺔ اﻟﻨﻔﺲ و ﺬﻳﺐ اﻷﺧﻼق ﲟﺒﻠﻐﻬﻢ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻢ 8 ﻛﻤﺎ ﻳﺬﻛﺮ ذﻟﻚ اﳌﺘﻔﻠﺴﻔﺔ واﻟﻘﺮاﻣﻄﺔ ﻣﻦ أﺻﺤﺎب رﺳﺎﺋﻞ إﺧﻮان اﻟﺼﻔﺎ وأﻣﺜﺎﳍﻢ". ﻣﻦ ﻫﻨﺎ ،ﰐ ﺗﻘﺴﻴﻤﺎت ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ إﱃ ﺛﻼﺛﺔ أﻧﻮاع :ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻣﻌﺘﱪة ،وﻣﺼﻠﺤﺔ ﻣﻠﻐﺎة، وﻣﺼﻠﺤﺔ ﻣﺮﺳﻠﺔ .ﻫﺬا اﻟﺘﻘﺴﻴﻢ ﺬﻩ اﻷﲰﺎء اﻟﺜﻼﺛﺔ أﻃﻠﻘﻪ اﻹﻣﺎم اﻟﻐﺰاﱄ ﰲ "اﳌﺴﺘﺼﻔﻰ" ،وﺑﻌﺪﻩ ﺳﺎر ﻋﻠﻴﻪ اﻷﺻﻮﻟﻴﻮن وأﺻﺒﺢ ﻣﻦ اﻻﺻﻄﻼﺣﺎت اﻷﺳﺎﺳﻴﺔ ﰲ ﻫﺬا اﻟﺒﺎب. ﻓﺎﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻌﺘﱪة ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ أن اﻟﺸﺎرع اﻋﺘﱪﻫﺎ ،واﻋﺘﱪﻫﺎ ﻣﻌﻨﺎﻩ .وﻫﺬا ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﲨﻊ ﻣﺎ اﻣﺮ ﺑﻪ اﻟﺸﺮع ،وﺟﻮ أو ﻧﺪ ،ﻓﻜﻞ ﻣﺎ أﻣﺮ ﺑﻪ اﻟﺸﺮع وﺣﺚ ﻋﻠﻴﻪ ،ﻓﻬﻮ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻣﻌﺘﱪة ،أو ﻓﻴﻪ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻣﻌﺘﱪة ،وﻛﺬاﻟﻚ ﻛﻞ ﻣﺎ أ ﺣﻪ ﺑﺼﺮﻳﺢ اﻟﻌﺒﺎرة ،ﻷن ﻫﻨﺎك اﳌﺒﺎﺣﺎت اﳌﺴﻜﻮت ﻋﻨﻬﺎ. ﺑﻴﻨﻤﺎ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻠﻐﺎة ﻫﻲ اﻟﱵ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺸﺮع ﻋﻠﻰ أ ﺎ ﻏﲑ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ وﻏﲑ ﻣﺸﺮوﻋﺔ وﻏﲑ ﺟﺎﺋﺰة ،أي أﻧﻪ أﻟﻐﺎﻫﺎ .ﻓﻤﻦ ﻫﻨﺎ ﺟﺎء ﻫﺬا اﻻﺳﻢ "اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻠﻐﺎة" .وﺑﻌﺒﺎرة أﺧﺮى ،اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻠﻐﺎة ﻫﻲ ﰲ اﳊﻘﻴﻘﺔ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﻟﱵ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﻔﺴﺎد اﻛﺜﺮ ﳑﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﺼﻼح ،وﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﻀﺮر أﻛﺜﺮ ﳑﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﻨﻔﻊ .ﻓﺈﻟﻐﺎء ﻫﺬا اﻟﻨﻮع ﻣﻦ اﳌﺼﺎﱀ ﻟﻴﺲ ﻻﻧﻌﺪام اﻟﺼﻼح واﻟﻨﻔﻊ ﻓﻴﻪ ،وإﳕﺎ ﻟﻐﻠﺒﺔ اﻟﻔﺴﺎد ﻓﻴﻪ ،وﻣﺎ ﻏﻠﺐ ﺿﺮرﻩ وزاد ﻋﻠﻰ ﻧﻔﻌﻪ ،ﻓﻬﻮ ﻣﻔﺴﺪة ﻻﻣﺼﻠﺤﺔ ﻛﻤﺎ ﺟﺎء ﰲ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ ﺳﻮرة اﻟﺒﻘﺮة: 219ﻋﻦ اﳋﻤﺮ واﳌﻴﺴﺮ إذ ﻓﻴﻬﻤﺎ إﰒ ﻛﺒﲑ وﻣﻨﺎﻓﻊ ﻟﻠﻨﺎس ﻛﻤﺎ ﻗﺎل ﷲ ﺗﻌﺎﱃ )) :ﻳﺴﺌﻠﻮﻧﻚ ﻋﻦ اﳋﻤﺮ واﳌﻴﺴﺮ ﻗﻞ ﻓﻴﻬﻤﺎ إﰒ ﻛﺒﲑ وﻣﻨﺎﻓﻊ ﻟﻠﻨﺎس وإﲦﻬﻤﺎ أﻛﱪ ﻣﻦ ﻧﻔﻌﻬﻤﺎ(( .و ﻟﺮﻏﻢ ﻓﻴﻪ ﻧﻮع ﻣﻦ ﺻﻼح وﻧﻮع ﻣﻨﻔﻌﺔ وﻓﺎﺋﺪة إﻻ أن اﻟﻀﺮر ﻳﺼﲑ أﻛﱪ وأﺷﺪ ،أﻛﱪ ﻣﻦ اﳌﻨﻔﻌﺔ واﳌﺼﻠﺤﺔ اﻟﻘﻠﻴﻠﺔ ،ﻓﺘﻠﻐﻰ اﳌﺼﻠﺤﺔ وﳛﻜﻢ ﺑﺘﺤﺮﳝﻪ. أﻣﺎ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﺮﺳﻠﺔ ﻫﻲ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﻟﱵ ﺳﻜﺖ اﻟﺸﺮع ﻋﻨﻬﺎ ،ﻓﻠﻢ ﻣﺮ ﺑﻔﻌﻠﻪ وﻻﻳﻨﻬﻰ ﻋﻨﻪ. واﻹرﺳﺎل ﻫﻮ ﻋﻜﺲ اﻟﺘﻘﻴﻴﺪ ﰲ اﻟﻠﻐﺔ ،ﺷﻲء ﻣﺮﺳﻞ أو ﻣﻄﻠﻖ ،وﻋﻜﺴﻪ ﺷﻲء ﻣﻘﻴﺪ .ﻓﺎﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻌﺘﱪة ﻗﻴﺪت ﲝﻜﻢ ﻣﻌﲔ ﻫﻮ ﻣﺸﺮوﻋﻴﺘﻬﺎ أو وﺟﻮ ﺎ أو ﻧﺪ ﺎ .واﻷﺧﺮى ﻗﻴﺪت ﲝﻜﻢ ﻫﻮ إﺑﻄﺎﳍﺎ وﺣﻈﺮﻫﺎ، 9 وﻣﺎ ﺑﻘﻲ ﻓﻬﻮ ﻣﺮﺳﻞ ،أي ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﺣﻜﻢ ﻳﻘﻴﺪﻩ. وﻋﻠﻰ اﻟﺮﻏﻢ ﻣﻦ ذﻟﻚ ،ﻓﺈن ﻣﻌﻴﺎر اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﺮﺳﻠﺔ ﻻﺑﺪ أن ﺗﻜﻮن وﻓﻖ ﻣﻘﻮﻣﺎت ﻋﺎﻣﺔ ﻣﺴﺘﻨﺒﻄﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ ﻛﻤﺼﺪرﻳﻦ أﺳﺎﺳﻴﲔ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ واﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﻻﳚﻮز ﺗﻌﺎرﺿﻬﻤﺎ.
_____________
اﺑﻦ ﺗﯿﻤﯿﺔ ،ﻣﺠﻤﻮع اﻟﻔﺘﺎوى ،اﻟﻤﻤﻠﻜﺔ اﻟﻌﺮﺑﯿﺔ اﻟﺴﻌﻮدﯾﺔ :ﺗﻮزﯾﻊ رﺋﺎﺳﺔ إدارة اﻟﺒﺤﻮث اﻟﻌﻠﻤﯿﺔ واﻟﺪﻋﻮة واﻹﻓﺘﺎء واﻹرﺷﺎد 1389 ،ه(233/32) ، 9 أﺣﻤﺪ اﻟﺮﯾﺴﻮﻧﻲ ،ﻣﺤﺎﺿﺮات ﻓﻲ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ ،ص 139-134 16 8
ﺣﻤﺪﯾﺔ :ﺗﻄﺒﻴﻖ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ
ﻓﻜﺮة اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻲ ﻋﻦ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻗﺒﻞ اﳊﻮض ﺑﺒﻌﻴﺪ إﱃ ﻓﻜﺮة وآراء ﻃﺮﺣﺘﻬﺎ ﺷﺒﻜﺔ اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ ،ﻓﺈن وﺿﻊ واﺳﺘﻌﻤﺎل ﻣﺼﻄﻠﺢ "اﻹﺳﻼم" و"اﻟﻠﻴﱪاﱄ" ﰲ ﻧﻔﺲ اﻟﻮﻗﺖ ﻳﺆدي إﱃ اﻟﺘﻮﻫﻢ وﺗﺸﻮﻳﻪ اﳌﻔﺎﻫﻴﻢ ﻋﻦ اﻹﺳﻼم .وﻫﺬا ﻣﺎاﻋﱰف ﺑﻪ ﻣﺆﻟﻒ وواﺿﻊ ﻫﺬا اﳌﺼﻄﻠﺢ أن اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﻟﻪ رﻳﺦ ﻋﺮﻳﻖ ﻋﱪ اﻟﺰﻣﺎن ﻣﻨﺬ ﺑﺪاﻳﺔ اﻟﻘﺮن اﻟﻌﺸﺮﻳﻦ اﳌﻴﻼدي ﺑﺴﻘﻮط اﳋﻼﻓﺔ اﻟﻌﺜﻤﺎﻧﻴﺔ ﰲ 1924م ﻛﻤﺎ ادﻋﺎﻩ ﺗﺸﺎرﻟﻴﺰ ﻛﻮرزﻣﺎن ) (Charles Kurzmanﰲ ﻛﺘﺎﺑﻪ اﻟﺸﻬﲑ .ﻓﺒﺪأ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺑﺬﻛﺮ ﻋﻠﻲ ﻋﺒﺪ اﻟﺮازق ﰲ ﻣﺼﺮ ﺑﻄﺮح ﻋﺪم وﻣﺎ ﻟﻘﻴﺼﺮ ﻟﻘﻴﺼﺮ )ﻣﻔﻬﻮم اﻟﻌﻠﻤﺎﻧﻴﺔ(. ﻣﻔﻬﻮم اﻟﺘﻴﻮﻗﺮاﻃﻴﺔ ﰲ اﻹﺳﻼم ﻓﺘﺤﺘﺎج إﱃ ﻓﺼﻞ ﻣﺎ ﻫﻮ اﻣﺘﺪت اﻟﻔﻜﺮة ﺑﻜﻞ أﻧﻮاﻋﻬﺎ اﳌﺨﺘﻠﻔﺔ ﻋﱪ اﻟﻌﺎﱂ ﺷﺮﻗﺎ وﻏﺮ ﰒ ﺗﻮاﱃ و ﺗﺘﺎﺑﻊ ﺑﻌﺪ ذﻟﻚ اﳌﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ و ّ ﺣﱴ وﺻﻞ إﱃ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ اﳌﺘﻤﺜﻞ ﰲ ﻓﻜﺮة اﻟﺘﺠﺪﻳﺪ اﻟﱵ ﻃﺮﺣﻬﺎ ﻧﻮرﺧﺎﻟﺺ ﻣﺎﺟﺪ (Nurcholis )Madjidﰲ أواﺋﻞ اﻟﺴﺒﻌﻴﻨﻴﺎت ﰲ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ 10.ﻣﻦ ﻫﺬﻩ اﻟﺒﺪور ،ﺗﺮﻋﺮع وﺗﻄﻮر ﻓﻜﺮة اﻹﺳﻼم 11
اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﰲ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ ﺣﺖ أﺻﺒﺤﺖ ﳎﻤﻮﻋﺔ ﻣﺘﻤﺜﻠﺔ ﲰﻬﺎ "ﺷﺒﻜﺔ اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ". أﻣﺎ ﻣﺎ ﻃﺮﺣﺘﻪ ﻫﺬﻩ اﻟﺸﺒﻜﺔ ﻣﻦ أﻓﻜﺎر ﲡﺪﻳﺪ اﳌﻔﻬﻮم اﻟﺪﻳﲏ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﰐ ﲜﺪﻳﺪ ﺳﻮى اﻧﺘﻘﺎد ﺻﺪاﻣﺎ وﺧﻼﻓﺎ ﳌﺎﺟﺎء ﺑﻪ ﻣﻦ اﻟﻨﺼﻮص اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ .وﻫﺬﻩ اﳋﻼﺻﺔ ﺗﺘﺠﻠﻰ ﻓﻴﻤﺎ ﻣﺎ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ ﻧﻘﺪا ّ
ﻛﺘﺒﻪ راﺋﺪ ﻫﺬﻩ اﻟﺸﺒﻜﺔ ﰲ ﻣﻘﺎﻟﺘﻪ أن ﳏﺎوﻟﺔ إﻧﻌﺎش اﳌﻔﻮم اﻟﺪﻳﲏ ﻻ ﺗﺘﺤﻘﻖ إﻻ ﻋﺘﻤﺎد ﻋﻠﻰ ﻓﻜﺮة ﻗﺒﻮل اﳌﺘﻐﲑات ﻋﻠﻰ أﺳﺎس اﳌﺼﻠﺤﺔ ،ﻣﻨﻬﺎ (1) :واﻗﻊ ﻫﺬﻩ اﻷﻣﺔ أﺣﻮج إﱃ ﺗﻔﺴﲑ ﺳﻴﺎﻗﻲ ﻟﻜﻲ ﺗﺘﻼﺋﻢ ﻣﻊ ﺗﻄﻮرات اﳊﻴﺎة اﳌﺘﻐﲑة (2) ،اﻷﻣﺔ ﲢﺘﺎج إﱃ ﺗﻔﺴﲑ ﺗﻔﺼﻴﻠﻲ ﺗﻔﺮﻳﻘﺎ ﻟﻜﻞ ﻣﻦ اﻟﻌﻨﺎﺻﺮ اﻟﺘﻘﺎﻟﻴﺪﻳﺔ و اﻷﻣﻮر اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ (3) ،ﻟﺘﻄﻮﻳﺮ ﺣﺎﻟﺘﻬﺎ ﳓﻮ اﻟﺘﻘﺪم ،ﻓﺈن اﻷﻣﺔ اﳌﺴﻠﻤﺔ ﲢﺘﺎج إﱃ أن ﺗﻜﻮن
"أﻣﺔ ﻣﻔﺘﻮﺣﺔ" ﰲ اﻟﺘﻤﺰج ﻣﻊ ﻏﲑﻫﺎ ﻣﻦ ﺳﺎﺋﺮ اﻷﻣﻢ ،ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ ﻫﺬا ،ﻓﻼ ﻣﺎﻧﻊ وﻻ س ﻣﻦ زواج اﳌﺮأة ﻏﲑ اﳌﺴﻠﻤﺔ ﻋﻠﻰ أﺳﺎس اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻟﺘﺤﻘﻴﻖ أﻫﺪاف اﻷﻣﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ ،و ) (4اﻟﺘﻔﺮﻳﻖ ﺑﲔ اﻟﺴﻠﻄﺔ 12 اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ واﻟﺴﻠﻄﺔ اﳊﻜﻮﻣﻴﺔ )ﻓﻜﺮة اﻟﻌﻠﻤﺎﻧﻴﺔ(. ﺑﺪون دﻋﻢ اﳌﻨﻬﺞ اﳌﻮﺛﻖ ،ﻓﺈن ﻫﺬﻩ اﻟﺸﺒﻜﺔ ﻃﺮﺣﺖ اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ إﱃ أﺑﻌﺪ ﻣﺎﻛﺎن ﺣﻴﺚ اﻋﺘﻤﺪت ﻋﻠﻰ أﺳﺎس اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻋﻠﻰ ﺣﺴﺐ ﻣﺎﻳﺮاﻩ أﻧﻪ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻓﺄ ﺣﺖ ﻣﺎﻳﺮاﻩ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻟﻠﻨﺎس ﺑﺪون _____________
ﻟﻤﺰﯾﺪ ﻣﻦ اﻻﺳﺘﻔﺴﺎر ،أﻧﻈﺮ: Charles Kurzman, Liberal Islam A Source Book, ed. Charles Kurzman, New York: Oxford University Press, 1998 11 أﻧﻈﺮ: Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid 1968-1980, Jakarta: Paramadina, 1999 12 أﻧﻈﺮ: Ulil Absar Abdalla, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam", Kompas, 18 November 2002 10
17
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
اﻟﺘﻔﺎت إﱃ ﻧﺺ ﺷﺮﻋﻲ ﻋﻦ أﺣﻜﺎﻣﻪ .وﻫﺬا اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻲ اﻟﺬي ﻳﻨﺒﲏ ﻓﻜﺮ ﻢ ﻋﻠﻰ أﺳﺎس اﳌﺼﻠﺤﺔ —ﺑﺪون ﻣﻨﻬﺞ ﻣﻮﺛﻖ— ﻳﺒﺪو وﺿﻮﺣﺎ ﰲ ﻃﺮح ﻓﻜﺮة اﻣﺘﺪاد ﺗﻮﻗﻴﺖ ﻣﻮاﺳﻢ اﳊﺞ ﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻘﺘﺼﺮة ﻋﻠﻰ ﺷﻬﻮر ﺷﻮال وذ ﻟﻘﻌﺪة وذ ﻟﻠﺤﺠﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﲡﻨﺒﺎ وﺧﻮﻓﺎ ﻣﻦ وﻗﻮع ﲤﺘﺪ ﻛﻮارث ﻣﻦ اﳊﺠﺎج ﻻزدﺣﺎﻣﻬﻢ ﰲ اﻷﻣﺎﻛﻦ اﳌﻘﺪﺳﺔ ،ﻟﺬاﻟﻚ ﻓﺄوﻗﺎت ﻣﻮاﺳﻢ اﳊﺞ ﳝﻜﻦ أن ّ 13 ﺻﺪاﻣﺎ ﳑﺎ أدى ﰲ اﻟﻨﻬﺎﻳﺔ إﱃ وﺗﺘﺒﺪل .ﻫﺬا وﻏﲑ ذﻟﻚ ﻣﻦ ﻓﻜﺮة اﻧﺘﻘﺎد ﳌﺎ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ اﻧﺘﻘﺎدا ّ ّ اﳋﻼﺻﺔ أن اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻲ ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ أﺳﺎس اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻓﻜﺮ ﻢ ﺣﺒﻂ ﻋﺸﻮاء ﻣﻮﺛﻖ ﻗﺎﺑﻞ ﻟﻠﻨﻘﺪ. وﺑﺪون ﻣﻨﻬﺞ ﻋﻠﻤﻲ ّ
14
اﻧﺘﻘﺎد زﻋﻢ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻴﱪاﻟﻴﲔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ ﻓﺈن ﻓﻜﺮة اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ اﻹﻧﺪوﻧﻴﺴﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﺮﻏﻢ ﻣﻦ اﻧﺘﺸﺎرﻩ واﻟﺪﻋﻢ اﳌﺎﱄ اﻟﻜﺎﰲ إﻻ أﻧﻪ ﻻﲣﻠﻮ ﻣﻦ اﻧﺘﻘﺎد ﻓﻜﺮ ﻢ اﳌﺆﺳﺴﺔ ﻋﻠﻰ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻧﻘﺪا ﺑﻨﺎءا ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﳌﻔﻜﺮﻳﻦ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﻨﻬﺎ(1) : ﻋﺪم ﻗﺎﺑﻠﻴﺔ ﺗﻌﺮﻳﻒ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻟﺪى اﳌﻔﻜﺮﻳﻦ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﻋﻠﻤﻴﺎ وﻣﻨﻄﻘﻴﺎ وﻋﻤﻠﻴﺎ ،ﻓﻴﻜﻮن أﺳﺎس اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﺑﻨﺎء آراﺋﻬﻢ وأﻓﻜﺎرﻫﻢ ﺣﺴﺐ ﻣﺎﻳﺮاﻩ اﻟﻨﺎس ﻣﺼﻠﺤﺔ وﻣﻨﻔﻌﺔ ﻓﻘﻂ (2) ،ﻋﺪم اﺳﺘﺨﺪام ودﻋﻢ اﳌﻨﻬﺞ اﳌﻮﺛﻖ ﻋﻠﻤﻴﺎ ﰲ ﺑﻴﺎن ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ،و) (3اﻷﺧﻄﺎء واﳌﻐﺎﻟﻄﺎت واﳌﻔﺎﻫﻴﻢ اﳌﺸﻮﻫﺔ ﳌﺎ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ ﻟﻀﺮورة وﳌﺎ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ اﻷﻣﻮر اﻟﻘﻄﻌﻴﺔ ﰲ اﳌﺴﺎﺋﻞ اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ. ﻫﺬا وﻏﲑ ذﻟﻚ ﻣﻦ اﻻﻧﺘﻘﺎدات ﻋﻠﻰ ﺟﺮأ ﻢ ﰲ دﻋﻮة إﺣﻴﺎء اﻻﺟﺘﻬﺎد ﰲ اﻷﻣﻮر اﻟﺘﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻣﻨﻬﺎ ﰲ ﻣﺴﺎﺋﻞ اﻟﻌﺒﺎدة ﻣﻊ أ ﺎ ﻣﺒﻨﻴﺔ ﰲ اﳊﻘﻴﻘﺔ ﻋﻠﻰ اﻻﺗﺒﺎع واﻻﻣﺘﺜﺎل وﻋﺪم ﻗﺎﺑﻠﻴﺔ اﻻﺟﺘﻬﺎد ﻣﻊ وﺟﻮد اﻟﻨﺺ ﺣﻴﺚ اﻟﻘﺎﻋﺪة "ﻻاﺟﺘﻬﺎد ﻣﻊ اﻟﻨﺺ" .ﻹﺿﺎﻓﺔ إﱃ ذاﻟﻚ ،ﻓﺈن ﻇﻬﻮر واﻧﺘﺸﺎر ﻓﻜﺮة ﲣﻠﻒ و ّﺧﺮ اﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﻦ اﳉﻬﻞ ﻛﺮد اﻟﻔﻌﻞ ﻋﻠﻰ ﺣﺎﻟﺔ ّ اﻹﺳﻼم اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﻳﺒﺪو أﻛﺜﺮ وﺿﻮﺣﺎ ّ واﳌﺴﻜﻨﺔ وﲨﻮد اﻟﻔﻜﺮ وﻋﺪم اﻹﺑﺘﻜﺎر ،أﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﳏﺎوﻟﺔ إﻋﺎدة ﺑﻨﺎء ﺑﻨﻴﺔ اﳊﻀﺎرة اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ اﳌﻨﺒﺜﻘﺔ ﻋﻠﻰ ﺻﻴﻞ اﳌﻔﻬﻮم اﻟﺪﻳﲏ اﻟﺼﺤﻴﺢ واﻷﺧﺬ واﻻﻣﺘﺰاج ﳉﺪﻳﺪ اﻷﺻﻠﺢ ﻟﻜﻲ ﺗﺘﻮاﻓﻖ وﺗﺘﻼﺋﻢ ﺗﻌﺎﻟﻴﻢ 15 دﻳﻦ اﻹﺳﻼم ﻣﻊ روح اﻟﺰﻣﻦ اﳌﺘﻄﻮر. _____________ 13
أﻧﻈﺮ: Wawancara Masdar F. Mas'udi, "Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang" dalam situs www.islamlib.com, diakses pada 21 Agustus 2010 14 أﻧﻈﺮ: Hamdiah A. Latif, "Konsep Mashlahat dan Tafsir Kaum Liberal", Jurnal Al-Mu'ashirah, Vol. 7, No. 2, Juli 2010 15 أﻧﻈﺮ: Adian Husaini, Membedah Islam Liberal: Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Syamil Cipta Media, 2003; Sohirin Mohammad Solihin, Emergence and Development of Liberal Islam in Indonesia: A Critical Evaluation, Kuala Lumpur: IIUM Press, 2009; Adian Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, 18
ﺣﻤﺪﯾﺔ :ﺗﻄﺒﻴﻖ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ
ﺧﻼﺻﺔ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻛﻤﺎ ﻋﺮﻓﻬﺎ اﻟﻐﺰاﱄ ﰲ اﳊﻘﻴﻘﺔ ﻫﻲ ﻋﺒﺎرة ﰲ اﻷﺻﻞ ﻋﻦ ﺟﻠﺐ ﻣﻨﻔﻌﺔ أو دﻓﻊ ﻣﻀﺮة .وﻧﻌﲏ ﳌﺼﻠﺤﺔ اﶈﺎﻓﻈﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺼﻮد اﻟﺸﺮع وﻣﻘﺼﻮد اﻟﺸﺮع ﻣﻦ اﳋﻠﻖ ﲬﺴﺔ :وﻫﻮ أن ﳛﻔﻆ ﻋﻠﻴﻬﻢ دﻳﻨﻬﻢ وﻧﻔﺴﻬﻢ وﻋﻘﻠﻬﻢ وﻧﺴﻠﻬﻢ وﻣﺎﳍﻢ ،ﻓﻜﻞ ﻣﺎﻳﺘﻀﻤﻦ ﺣﻔﻆ ﻫﺬﻩ اﻷﺻﻮل اﳋﻤﺴﺔ ﻓﻬﻮ ﻣﺼﻠﺤﺔ ،وﻛﻞ ﻣﺎﻳﻔﻮت ﻫﺬﻩ اﻷﺻﻮل ﻓﻬﻮ ﻣﻔﺴﺪة ودﻓﻌﻬﺎ ﻣﺼﻠﺤﺔ. واﳌﺼﻠﺤﺔ ﻣﻨﻘﺴﻤﺔ إﱃ ﺛﻼﺛﺔ أﻧﻮاع :ﻣﻌﺘﱪة وﻣﻠﻐﺎة وﻣﺮﺳﻠﺔ .ﻓﺎﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻌﺘﱪة ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ أن اﻟﺸﺎرع اﻋﺘﱪﻫﺎ ،واﻋﺘﱪﻫﺎ ﻣﻌﻨﺎﻩ .ﺑﻴﻨﻤﺎ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﻠﻐﺎة ﻫﻲ اﻟﱵ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺸﺮع ﻋﻠﻰ أ ﺎ ﻏﲑ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ وﻏﲑ ﻣﺸﺮوﻋﺔ وﻏﲑ ﺟﺎﺋﺰة .أﻣﺎ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﳌﺮﺳﻠﺔ ﻫﻲ اﳌﺼﻠﺤﺔ اﻟﱵ ﺳﻜﺖ اﻟﺸﺮع ﻋﻨﻬﺎ ،ﻓﻠﻢ ﻣﺮ ﺑﻔﻌﻠﻪ وﻻﻳﻨﻬﻰ ﻋﻨﻪ .وﻋﻠﻰ اﻟﺮﻏﻢ ﻣﻦ ذﻟﻚ ،ﻓﺈن ﻣﻌﻴﺎر ﻛﻞ ﻣﻦ اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻻﺑﺪ أن ﺗﻜﻮن وﻓﻖ ﻣﻘﻮﻣﺎت ﻋﺎﻣﺔ ﻣﺴﺘﻨﺒﻄﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ ﻛﻤﺼﺪرﻳﻦ أﺳﺎﺳﻴﲔ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ واﻟﻔﻜﺮ اﻹﺳﻼﻣﻲ وﻻﳚﻮز ﺗﻌﺎرﺿﻬﻤﺎ. ﺗﻄﻮر اﻟﻔﻜﺮ اﻟﻠﻴﱪاﱄ ﰲ إﻧﺪوﻧﻴﺴﻴﺎ اﻟﺬي ﻳﺪﻋﻮ إﱃ أﳘﻴﺔ إﻧﻌﺎش اﻻﺟﺘﻬﺎد ﻟﺘﺠﺪﻳﺪ ﻇﻬﻮر و ّ أﻓﻜﺎر اﻟﻘﺪاﻣﻰ ﻟﻜﻰ ﺗﺘﻨﺎﺳﺐ اﻟﻮﻗﺖ اﻟﺮاﻫﻦ اﳌﻌﺎﺻﺮ اﻟﺬي ﻧﻌﻴﺶ ﻓﻴﻪ ﻋﻼوة ﻋﻠﻰ أﳘﻴﺔ إﺣﻴﺎء اﻟﻔﻜﺮ وإﻧﻌﺎش اﻻﺟﺘﻬﺎد اﳌﺆﺳﺲ ﻋﻠﻰ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻣﺒﻨﻴﺎ ﻋﻠﻰ اﻷدﻟﺔ اﻟﻮاﻫﻨﺔ ﺣﻴﺚ ﻋﺪم وﺟﻮد اﳌﻨﻬﺞ ﻣﺎﺳﻠﻢ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ ﻷﻣﻮر اﻟﻘﻄﻌﻴﺔ ّ اﳌﻮﺛﻖ اﳌﺴﺘﺨﺪم ﻟﺪﻳﻬﻢ وﻣﻐﺎﻟﻄﺎت اﻷﻓﻜﺎر اﻟﺘﺠﺪﻳﺪﻳﺔ ﺻﻄﺪام ّ إﺿﺎﻓﺔ إﱃ ﺗﺴﺎﻫﻠﻬﻢ ﰲ اﺳﺘﺨﺪام ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﻟﺘﱪﻳﺮ آراﺋﻬﻢ ﺑﺪون ﺿﺒﻂ ودﻗﺔ. ﻣﺮاﺟﻊ ﻣﺮاﺟﻊ ﻋﺮﺑﻴﺔ: اﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ،ﳎﻤﻮع اﻟﻔﺘﺎوى ،اﳌﻤﻠﻜﺔ اﻟﻌﺮﺑﻴﺔ اﻟﺴﻌﻮدﻳﺔ :ﺗﻮزﻳﻊ ر ﺳﺔ إدارة اﻟﺒﺤﻮث اﻟﻌﻠﻤﻴﺔ واﻟﺪﻋﻮة واﻹﻓﺘﺎء واﻹرﺷﺎد 1389 ،ه اﺑﻦ اﻟﻘﻴﻢ اﳉﻮزﻳﺔ ،إﻋﻼم اﳌﻮﻗﻌﲔ ﻋﻦ رب اﻟﻌﺎﳌﲔ ،ﺑﲑوت :دار اﳉﻴﻞ1973 ، أﲪﺪ اﻟﺮﻳﺴﻮﱐ ،ﳏﺎﺿﺮات ﰲ ﻣﻘﺎﺻﺪ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ،اﻟﻘﺎﻫﺮة :دار اﻟﻜﻠﻤﺔ ﻟﻠﻨﺸﺮ واﻟﺘﻮزﻳﻊ2014 ، أﻣﲑ ﺷﻜﻴﺐ أرﺳﻼن ،ﳌﺎذا ﺧﺮ اﳌﺴﻠﻤﻮن وﺗﻘﺪم ﻏﲑﻫﻢ ،ﺑﲑوت :دار اﳊﻴﺎة ،اﻟﻄﺒﻌﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ، .1965 & dan Jawabannya, Jakarta: GIP, 2002; Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama Diabolisme Intelektual, Risalah Gusti, 2005
19
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
، دار اﻟﻘﻠﻢ. ط، ﲢﻘﻴﻖ ﻛﻤﺎل ﲪﺎد، ﻗﻮاﻋﺪ اﻷﺣﻜﺎم ﰲ ﻣﺼﺎﱀ اﻷ م،ﻋﺰاﻟﺪﻳﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼم م2000 ،اﻟﻄﺒﻌﺔ اﻷوﱃ م1997 ، ﻣﺆﺳﺴﺔ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ. ط، اﳌﺴﺘﺼﻔﻰ ﰲ ﻋﻠﻢ أﺻﻮل اﻟﻔﻘﻪ،اﻹﻣﺎم اﻟﻐﺰاﱄ
:ﻣﺮاﺟﻊ أﺟﻨﺒﻴﺔ Adian
Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta: GIP, 2002
Konsepsi,
-----, Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Intelektual, Risalah Gusti, 2005 -----, Membedah Islam Liberal: Memahami dan Menyikapi Manuver Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Syamil Cipta Media, 2003 Charles Kurzman, Liberal Islam A Source Book, ed. Charles Kurzman, New York: Oxford University Press, 1998 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid 1968-1980, Jakarta: Paramadina, 1999 Hamdiah A. Latif, "Konsep Mashlahat dan Tafsir Kaum Liberal", Jurnal AlMu'ashirah, Vol. 7, No. 2, Juli 2010 Masdar F. Mas'udi, " Wawancara Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang" dalam situs www.islamlib.com, diakses pada 21 Agustus 2010 Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Stanford University Press, 2013 Sohirin Mohammad Solihin, Emergence and Development of Liberal Islam in Indonesia: A Critical Evaluation, Kuala Lumpur: IIUM Press, 2009 Ulil Absar Abdalla, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam", Kompas, 18 November 2002
20
ﺗﻄﺒﻴﻖ ﻗﺎﻋﺪة اﳌﺼﻠﺤﺔ ﰲ ﻣﻴﺰان اﻟﻘﺮآن واﻟﺴﻨﺔ: ﺣﻤﺪﯾﺔ
PENCATATAN HADITS DI MASA HIDUP NABI SAW
Soufyan Ibrahim Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
ABSTRAK Pada satu sisi, terdapat Hadits Nabi yang secara tegas melarang mencatat dan menuliskan sesuatu dari Nabi selain Al-Quran, atau tegasnya melarang menulis dan mencatat Hadits. Larangan Rasullullah SAW tersebut mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor berikut. Pertama : Amat sedikit para sahabat di waktu itu yang mampu menulis, pada hal usaha pencatatan dan penulisan Hadits adalah suatu kerja besar yang memerlukan banyak sekali tenaga mereka. Kedua : adalah selayaknya, jika usaha penulisan dan pencatatan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran islam didahulukan pelaksanaannya, sehingga generasi berikutnya dapat dengan mudah menyusun kembali tanpa kekurangan satu hurufpun. Ketiga : Sifat ummi bangsa Arab pada waktu itu, yang hanya mengandalkan kekuatan hafalan, mengharuskan mereka mendahulukan penghafalan Al-Quran dari hadits. Adapun untuk melakukannya bersama-sama adalah suatu pekerjaan yang amat berat. Keempat : adalah kerena adanya kekhawatiran akan terjadinya pencampuran antara Al-Quran dan Hadits, yang pada akhirnya akan membuka peluang bagi musuh-musuh Islam untuk meragukan Kitab Allah tersebut. Kata Kunci: Sunnah, Kodifikasi, Periode Awal Islam PENDAHULUAN Hadits tersebut secara tegas melarang mencatat dan menuliskan sesuatu dari Nabi selain Al-Quran, atau tegasnya melarang menulis dan mencatat Hadits. Larangan Rasullullah SAW tersebut mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor berikut. Pertama : Amat sedikit para sahabat di waktu itu yang mampu menulis, pada hal usaha pencatatan dan penulisan Hadits adalah suatu kerja besar yang memerlukan banyak sekali tenaga mereka. Kedua : adalah selayaknya, jika usaha penulisan dan pencatatan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran islam didahulukan pelaksanaannya, sehingga generasi berikutnya dapat dengan mudah menyusun kembali tanpa kekurangan satu hurufpun. Ketiga : Sifat ummi bangsa Arab pada waktu itu, yang hanya mengandalkan kekuatan hafalan, mengharuskan mereka mendahulukan penghafalan Al-Quran dari hadits. Adapun untuk melakukannya bersama-sama adalah suatu pekerjaan yang amat berat. Keempat : adalah kerena adanya kekhawatiran akan terjadinya pencampuran antara Al-Quran dan Hadits, yang pada akhirnya akan membuka peluang bagi musuh-musuh Islam untuk meragukan Kitab Allah tersebut. Al-Quran Al-Karim dan Hadits Al-Syarif adalah merupakan petunjuk yang diwariskan Rasul kepada umatnya Beliau telah menegaskan bahwa barang siapa Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
21
yang selalu berpegang teguh dengan keduanya. Niscaya akan selalu ada dalam petunjuk dan hidayah Allah SWT. Sebagaimana tersebut dalam sabdanya :
.ﺗﺮﻛﺖ ﻓﻴﻜﻢ أﻣﺮﻳﻦ ﻟﻦ ﺗﻀﻠﻮ إن ﲤﺴﻜﺘﻢ ﻤﺎ ﻛﺘﺎب ﷲ وﺳﻨﺔ رﺳﻮﻟﻪ Artinya : Aku wariskan dua hal kepada kalian, yang kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitab Allah (AlQuran) dan Sunnah (Hadits) Rasul-Nya. Al-Quran telah mendapat perhatian penuh untuk pencatatan dan penulisannya sejak hayat Rasul SAW. Para sahabat diwaktu itu sesuai dengan petunjuk rasul selain menghafal setiap ayat yang diturunkan, juga menulis dan mencatatkannya. Hanya saja yang belum dilakukan pada waktu itu adalah mengumpulkannya dalam satu mushaf. Berbeda halnya Hadits, keadaannya sangat berbeda dengan Al-Quran. Di satu sisi ditemukan berbagai dalil yang melarang penulisan dan pencatatannya, akan tetapi di sisi lain juga didapatkan berbagai bukti yang membenarkan bahwa pencatatan dan penulisan Hadits telah dilakukan sejak hayat Rasul SAW. Pertentangan dua hal ini, mendorong kita untuk mengkajinya lebih jauh, sehingga pada akhirnya diharapkan akan ditemukan perpaduan antara dua segi yang nampak bertentangan tersebut, sekaligus juga dengan menggunakan metode diskriptis analisis ingin dibuktikan bahwa usaha penulisan dan pencatatan Hadits telah dilakukan sejak hayat Rasul SAW, sekalipun dalam bentuk tidak resmi. DALIL-DALIL PENULISAN HADITS MASA NABI MUHAMMAD Jika penulisan dan pencatatan Al-Quran telah dilakukan sejak masa Rasul, dan untuk itu hanya ditemukan dalil-dalil yang memerintahkan hal tersebut, maka berbeda halnya dengan penulisan dan pencatatan Hadits, yang dalam hal itu ditemukan dua bukti yang nampak seperti saling bertentangan, yaitu di satu pihak terdapat bukti bahwa Nabi melarang setiap usaha untuk mencatat dan menulis Hadits, akan tetapi dipihak lain, juga tidak sedikit bukti-bukti yang mengisyaratkan bahwa beliau membolehkan hal tersebut. Di dapat bukti bahwasanya Rasullullah SAW melarang sahabatnya menuliskan sesuatu dari beliau selain Al-Quran. Hal ini ditegaskan dalam Hadits yang diriwayatkan Muslim :
ﻻ ﺗﻜﺘﺒ ـﻮا ﻋــﲎ وﻣــﻦ ﻛﺘــﺐ ﻋــﲏ ﻏــﲑ اﻟﻘــﺮآن ﻓﻠﻴﻤﺤــﻪ وﺣــﺪﺛﻮا ﻋــﲎ وﻻ ﺣــﺮج وﻣــﻦ ﻛــﺬب ﻋﻠـ ّـﻲ ﻣﺘﻌﻤــﺪا .ﻓﻠﻴﺘﺒﻮاء ﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ اﻟﻨﺎر Artinya: Jangan engkau tulis sesuatu dariku, barang siapa yang telah menuliskannya selain Al-Quran, maka hendaklah dihapuskannya. Dan ceritakanlah dariku, Tidak ada larangan bagimu untuk melakukan hal itu. Barang siapa yang dengan sengaja berdusta terhadap diriku, hendaklah dia bersedia menempati tempatnya di neraka. Hadits tersebut secara tegas melarang mencatat dan menuliskan sesuatu dari Nabi selain Al-Quran, atau tegasnya melarang menulis dan mencatat Hadits. Larangan Rasullullah SAW tersebut mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor berikut. Pertama : Amat sedikit para sahabat di waktu itu yang mampu menulis, pada hal usaha pencatatan dan penulisan Hadits adalah suatu kerja besar yang memerlukan banyak sekali tenaga mereka. Kedua : adalah selayaknya, jika usaha 22
Soufyan Ibrahim : Pencatatan Hadis masa Hidup Nabi
penulisan dan pencatatan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran islam didahulukan pelaksanaannya, sehingga generasi berikutnya dapat dengan mudah menyusun kembali tanpa kekurangan satu hurufpun. Ketiga : Sifat ummi bangsa Arab pada waktu itu, yang hanya mengandalkan kekuatan hafalan, mengharuskan mereka mendahulukan penghafalan Al-Quran dari hadits. Adapun untuk melakukannya bersama-sama adalah suatu pekerjaan yang amat berat. Keempat : adalah kerena adanya kekhawatiran akan terjadinya pencampuran antara Al-Quran dan Hadits, yang pada akhirnya akan membuka peluang bagi musuh-musuh Islam untuk meragukan Kitab Allah tersebut. Di samping adanya larangan Rasul untuk menulis dan mencatat Hadits dimasa hayat beliau, juga didapati bukti-bukti yang membolehkan hal itu. Buktibukti dimaksud dapat berupa perintah Nabi untuk menuliskannya, persetujuan beliau kepada para sahabat yang dengan prakarsa sendiri menulis atau mencatat Hadits ataupun berupa surat-surat beliau kepada penguasa diwaktu itu dan kepada petugas-petugas beliau di daerah. Di antara perintah Rasul SAW untuk menuliskan Hadits terjadi pada tahun penaklukan Mekkah, seperti tersebut berikut ini :
أن ﺧﺰاﻋﺔ ﻗﺘﻠﻮا رﺟﻼ ﻣﻦ ﺑﲏ ﻟﻴﺚ ﻋﺎم ﻓـﺘﺢ ﻣﻜـﺔ ﺑﻘﺘﻴـﻞ ﻣـﻨﻬﻢ ﻗﺘﻠـﻮﻩ ﻓـﺄﺧﱪ ﺑـﺬﻟﻚ: ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻗﺎل ﻓﺠﺎء رﺟﻞ ﻣـﻦ أﻫـﻞ اﻟـﻴﻤﻦ ﻓﻘـﻞ اﻛﺘـﺐ. . . اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﺮﻛﺐ راﺣﻠﺘﻪ ﻓﺨﻈﺐ ﻓﻘﻞ ( ﱄ رﺳﻮل ﷲ ﻓﻘﻞ اﻛﺘﺒﻮا ﻷﰊ ﻓﻼن ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى Artinya :
Dari Abi Hurairah r.a. berkata : bahwasanya golongan Khuzaah membunuh seseorang dari Bani Laits pada tahun penaklukan Mekkah disebabkan oleh suatu pembunuhan yang dilakukan Bani Laits sebelumnya. Hal itu diberitahukan kepada Nabi SAW, maka dengan mengendarai kendaraannya beliau berkhutbah sabdanya Lalu datanglah seorang penduduk Yaman, ia berkata : Tulislah untukku Ya Rasulullah lalu Nabi bersabda : Tulislah untuk Abu Fulan. (HR. Bukhari) Hadits di atas menjelaskan tentang perintah Rasul kepada para sahabatnya untuk menuliskan khutbah beliau memenuhi permintaan seorang laki-laki dari Yaman yang telah meminta beliau melakukan hal itu. Dalil lain tentang adanya penulisan dan pencatatan Hadits dimasa hidup Nabi adalah berupa persetujuan beliau kepada sahabatnya untuk menulis dan mencatat Hadits, seperti tersebut di bawah ini :
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﻗﻞ ﻛﻨﺖ أﻛﺘﺐ ﻛﻞ ﺷﻲء أﲰﻌﻪ ﻣﻦ رﺳﻮل ﷲ ﷺ أرﻳـﺪ ﺣﻔﻈـﻪ ﻓﻨﻬﺘـﲏ ﻗـﺮﻳﺶ وﻗــﺎﻟﻮا أﺗﻜﺘــﺐ ﻛــﻞ ﺷــﻲء ﲰﻌﺘــﻪ ﻣــﻦ رﺳــﻮل ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ورﺳــﻮل ﷲ ﷺ ﺑــﺸﺮ ﻳــﺘﻜﻠﻢ ﰲ اﻟﻐــﻀﺐ واﻟﺮﺿ ــﺎ ﻓﺄﻣ ــﺴﻜﺖ ﻋ ــﻦ اﻟﻜﺘ ــﺎب ﻓ ــﺬﻛﺮت ذﻟ ــﻚ ﻟﺮﺳ ــﻮل ﷲ ﷺ ﻓﺄوﻣ ــﺎ ﺻ ــﺒﻌﻪ إﱃ ﻓﻴ ــﻪ ﻓﻘ ــﺎل اﻛﺘ ــﺐ ( )رواﻩ اﺑﻮ داود. ﻓﻮاﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻣﺎ ﳜﺮج ﻣﻨﻪ إﻻ ﺣﻖ Artinya : Dari Abdullah bin Amr katanya : Adalah saya menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasulullah SAW, saya bermaksud menghafalnya, orang-orang Quraisy melarang saya melakukan hal itu. Mereka mengatakan : Anda menulis semua yang anda dengar dari Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
23
Rasulullah SAW, padahal beliau seorang manusia yang berbicara pada waktu marah dan juga pada waktu senang. Lalu saya hentikan pencatatan dan hal itu saya sampaikan kepada Rasulullah SAW, maka beliau mengisyaratkan dengan tangan ke mulutnya, lalu beliau bersabda : Tulislah : Demi yang diri ku di dalam kekuasaanNya, tidak ada apapun yang keluar dari padanya kecuali kebenaran. (HR. Abu Daud) Abdullah ibn Amir ibn Ash yang tersebut dalam Hadits di atas adalah seorang sahabat Rasul yang banyak menulis dan mencatat Hadits. Sebagai tergambar dalam pengakuan Abu Hurairah berikut :
ﻣــﺎ ﻣــﻦ أﺻــﺤﺎب اﻟﻨــﱮ ﷺ اﺣــﺪ اﻛﺜــﺮ ﺣــﺪﻳﺜﺎ ﻋﻨــﻪ ﻣــﲎ إﻻ ﻣــﺎ ﻛــﺎن ﻣــﻦ ﻋﺒــﺪ ﷲ ﺑــﻦ ﻋﻤــﺮ ﻓﺈﻧــﻪ ﻛــﺎن . ﻳﻜﺘﺐ وﻻ أﻛﺘﺐ Artinya: Tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi SAW yang paling banyak mempunyai Hadits melebihi dari yang aku punya, kecuali apa yang ada pada Abdullah ibn Amr. Kerena dia mencatat, sedangkan saya tidak melakukan seperti itu. Kumpulan catatan Abdullah ibn Amr ini dikenal dengan nama Shahifah Al-Shadiqah, memuat tidak kurang dari seribu Hadits. Shahifah ini dipandang penting, kerena secara khusus mendapat keizinan Rasul untuk pencatatan dan penulisannya. Bukti lain bahwa pencatatan dan penulisan Hadits telah dilakukan sejak masa Nabi adalah, pertama : Surat Nabi kepada Raja Himyar, yang isinya menjelaskan berbagai hal sehubungan dengan islamnya Raja tersebut. Kedua : Surat Nabi kepada Khalid ibn Walid Panglima perang yang diutus ke Najran pada bulan Rabiul Akhir tahun 10 Hijriah. Surat tersebut menggambarkan tentang telah diterimanya surat Khalid sebelumnya dan hal-hal lain sehubungan dengan telah islamnya Bani Hirs tanpa harus diperangi. Ketiga : Surat Nabi yang dikirimkan kepada Amr ibn Hazm, salah seorang petugas yang beliau utus ke Yaman, berisi berbagai hal dalam hubungan dengan tugas yang dibebankan kepadanya. ANALISIS Dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwasanya Nabi melarang sahabatnya mencatat dan menulis Hadits, dan seiring dengan itu, pada waktu yang bersamaan beliau juga membolehkan hal itu dilakukan para sahabatnya. Berbagai pendapat para ulama dalam menemukan perpaduan dua hal yang nampak bertentangan itu. Asqalani, mengelompokkan berbagai pendapat dimaksud kepada dua. Pendapat pertama, mengabungkan antara Hadits yang melarang dan membolehkan, dengan kemungkinan salah satu hal tersebut ini. (a) Larangan dikhususkan hanya pada saat Al-Quran diturunkan, karena dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara Al-Quran dengan yang lain; Sedangkan keizinan diberikan pada waktu selain itu; (b) Larangan diperlakukan apabila di lakukan pada suatu tempat bersama Al-Quran, dan diizinkan penulisan dan pencatatannya, apabila dilaksanakan pada tempat terpisah; (c) Hadits yang melarang dibatalkan oleh Hadits yang membolehkan. Pendapat lain senada dengan ini mengemukakan bahwa larangan diperuntukkan bagi mereka yang dikhawatirkan bercampur aduk
24
Soufyan Ibrahim : Pencatatan Hadis masa Hidup Nabi
catatannya, tanpa hafalan, sedang keizinan diberikan kepada yang dapat mengamankan hal itu. Pendapat kedua, menyatakan bahwa Hadits yang melarang yang diterima dari Abi Said Al-Khudry sebagai Hadits Mauquf. Al-Qadhi, sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi, berpendapat bahwa memang ada perbedaan pendapat antara boleh dan tidaknya penulisan Hadits pada masa hidup Nabi, akan tetapi pada akhirnya kaum muslimin sependapat bahwa hal itu kemudian dibolehkan. Lalu perbedaan pendapat timbul tentang apa yang dimaksudkan oleh Hadits larangan, dan untuk ini, ia mengelompokkan perbedaan tersebut dalam tiga hal. Pendapat pertama, mengemukakan bahwa larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang mampu menghafal dan kalau ia catat, dikhawatirkan bercampur baur dengan yang lain. Dan keizinan diberikan kepada mereka yang tidak mampu menghafal. Pendapat kedua, mengemukakan bahwa Hadits yang melarang yang dikeluarkan karena kekhawatiran bercampurnya Hadits dengan Al-Quran, dibatalkan oleh Hadits yang membolehkan penulisan, kerena kekhawatiran tersebut telah teratasi. Pendapat ketiga, mengatakan bahwa yang dilarang adalah menuliskan Hadits bersama Al-Quran pada suatu tempat, dan membolehkannya, jika hal itu dilakukan terpisah. Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa para ulama tak melihat adanya pertentangan antara dalil-dalil yang melarang dan membolehkan penulisan Hadits. Pendapat yang mengemukakan bahwa Hadits larangan yang diterima dari Abi Said Al-Khudry sebagai mauquf ditolak oleh Dr. Muhammad Ujjaj Khatib. Beliau berpendapat sebagai berikut : 1. Bahwa larangan penulisan Hadits diperlakukan pada mereka yang menuliskannya pada suatu tempat bersama Al-Quran, karena dikhawatirkan akan bercampur baur antara keduanya. 2. Atau juga bukan tak mungkin bahwa larangan itu diperlakukan di masa permulaan Islam, dengan maksud supaya umat tidak menyibukkan diri dengan Hadits. 3. Adalah juga mungkin bahwa penulisan Hadits diizinkan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan ketelitiannya, sehingga bercampur baur dengan Al-Quran dapat dihindari. Atau hal ini diperkenankan bagi mereka yang tak mampu menghafal, sehingga perlu dibantu dengan catatan. Hal lain yang perlu dikemukakan bahwa berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary, dijelaskan pada saat menjelang Rasulullah SAW wafat, telah ada penegasan tentang keizinan menulis dan mencatat Hadits, sehingga jika pun ada yang memahami secara mutlak larangan menulis dan mencatat Hadits berdasarkan Hadits dari Abi Said AlKhudry, maka dengan Hadits terakhir itu, terhapuslah larangan sebelumnya.
KESIMPULAN Bahwa larangan penulisan dan pencatatan Hadits dimasa Rasulullah SAW adalah bersifat umum, dengan pengertian bahwa beliau tidak pernah menyuruh sahabatnya menulis dan mencatat Hadits, sebagaimana beliau memerintahkan mereka menulis dan mencatat Al-Quran. Adapun keizinan penulisan dan pencatatan Hadits dimasa hidup beliau adalah bersifat khusus, dengan pengertian bahwa Nabi secara khusus membolehkan para sahabatnya melakukan hal itu, karena tuntutan suatu keadaan tertentu. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
25
Referensi : 1.
Mohd Fuad Abd. Baqi , Al-Muwatta’. Juz II. Isa Al-Baby Al-Halaby. 1951. Hal. 899
2.
Penegasan Al-Quran antara lain terdapat dalam surat An-Nahl ayat 64
ٰ ِ ْ ﻋﻠﯿﻚ ٱ ۟ ُ َ َ ْ ﻟﮭﻢ ٱﱠِﻟﺬى ٱ ْ َ َ ٓ وﻣﺎ ًورﺣﻤﺔ ً ُ َ ۙ ﻓﯿﮫ َ ِّ َ ُ ِ ﺐ ِ ﱠإﻻ َ ْ َ َ أﻧﺰﻟﻨَﺎ ِ ِ ﺧﺘﻠﻔﻮا َ َ ﻟﻜﺘ ُ ُ َ ﻟﺘﺒﯿﻦ َ ْ َ َ وھﺪى َ َ (٦٤: ﯾﺆﻣﻨﻮن ) اﻟﻨﮭﻞ َ ُ ِ ْ ُ ﻟﻘﻮم ٍ ْ َ ِّ Pengumpulan Al-Quran dalam suatu mushhaf dilakukan pada masa pemerintahan Kahalifah Usman bin Affan (Ahmad Amin, Fajr Al-Islam. 1965. Hal. 195 ) 4. Hadits menurut para muhadditsin adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, penetapan, kepribadian, akhlaq dan sejarah kehidupannya, baik itu dilakukan sebelum atau sesudah beliau diutus sebagai Rasul Allah ( musthafa As-Shiba’iy, As-Sunnah Wa Makanatuha fi al-Tasyriil al-Islamy. 1966. Hal. 53). Adapun Ahmad Amin menjelaskan bahwa Hadits atau Sunnah adalah : segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan atau penepatannya. Setelah masa Rasul, yang dimaksud dengan Hadits adalah juga semua yang datang dari sahabat, sebab mereka selalu bergaul dengan beliau, mendengarkan perkataannya dan juga menyaksikan perbuatan beliau. (Ahmad Amin, Fajr Al-Islam. 1965. Hal. 208). 5. Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, Maktabah wa Mathbaah Sulaiman mar’iy, Singapore, 1965. hal. 195. 6. Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Dahlan Bandung, t.t., hal. 598. 7. Musthafa As-Shiba’iy, As-Sunnah Wa Makannatuha fi al-Tasyri’iy al-Islamy. Dan AlQafamiyah li Al-Thabah wa Al-Nasyr, Qairo, 1966. hal. 63. 8. Ibnu Hajr, Fath Al-Bary, Juz I, Mathbaah Musthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1959. hal. 216-217. 9. Lelaki dari Yaman yang dimaksudkan dalam Hadits tersebut adalah Abu Syah. (Ibid.) 10. Al-Darimy, Sunan Al-Darimy, Juz I, Mathbaah Al-Haditsah, Damsyik, 1349. hal. 125. 11. Al-Zahaby, Tazkirat Al-Huffadl, Juz I, Darirat Al-Ma’arif Al-Usmany, Hudrabad, India, 1955. hal. 42 12. Bukhary, Shahih Bukhary, Juz I Dar wa Mathabi’al-Sya’by, t.t., hal. 39. 13. Muhammad Ujjaj Khatib, Ushul Al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, Dar Al-Fikr, 1975. hal. 194. 14. Ibn Hisyam, Sirat Al-Nabi SAW, Juz IV, Maktabah Hijazi, Qairo, t.t., hal. 258-260. 15. Ibid., hal. 262. 16. Ibid., hal. 265-266 17. Ibn Hajar, Op, Cit., hal. 218. 18. Al-Nawawy, Shahih Muslim, Juz XVIII, Maktabah Al-Mishriyah, 1924. hal. 129-130. 19. Ibid. 20. Muhammad Ujjaj Khatib, Op, Cit., hal. 150. 21. Bukhary, Op, Cit., hal. 39 22. Ibn Hajar, Op, Cit., hal. 220. 3.
26
Soufyan Ibrahim : Pencatatan Hadis masa Hidup Nabi
DIAM GADIS SEBAGAI INDIKASI PERSETUJUAN NIKAH: Suatu Kajian Terhadap Pemahaman Ulama Hadis secara Tekstual dan Kontekstual
Nasaiy Aziz Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
ABSTRAK Persetujuan calon pengantin perempuan atau gadis dalam sebuah pernikahan diukur dengan sikap diam. Hal ini lebih didasarkan kepada pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan perllunya persetujuan calon pengantin perempuan ketika diajak menikah yang terdapat dalam kitab al-Kutub al-Sittah . Justru itu, para wali menganggap diamnya itu adalah persetujuan gadis tersebut untuk dinikahkan. Akan tetapi kalau hadis tersebut dipahami secara kontekstual dan dihubungkan dengan keadaan gadis pada saat mau dinikahkan bahwa persetujuan gadis itu tidak selamanya diukur berdasarkan sikap diam mereka, karena boleh jadi diam itu bermaksud tidak setuju sesuai dengan indikasi yang ditunjukkan oleh gadis dimaksud. Kata kunci: Sikap diam, Calon pengantin perempuan, Para Wali dan dianggap setuju PENDAHULUAN
Dalam sebuah pernikahan, salah satu unsur yang sangat penting yang harus dipenuhi dan bahkan merupakan salah satu syarat sahnya pelaksanaan akad nikah ialah danya pernyataana setuju pihak yang ingin melangsungkan pernikahan, bukan karena ada tekanan atau paksaan dari pihak lain. Calon pengantin perempuan yang ingin melangsungkan pernikahan, keizinannya cukup diketahui melalui sikap diamnya pada saat ia dimintakan persetujuannya. Hal ini berdasarkan pemahaman secara tekstual terhadap hadits Rasulullah SAW berkaitan dengan pernikahan yang terdapat dalam beberapa riwayat. Namun apabila hadis-hadis tersebut dipahami secara kontektual dengan melihat dan mempertimbangkan situasi yang berkembang di saat hadis itu dipahami akan diperoleh arti lain. Ddalam arti diammya gadis ketika ditanya wali untuk menikah belum tentu semuanya terindikasi setuju untuk menikah. Hal ini seperti yang tergambar pemahaman ahli hadis yang terdapat dalam al-Kutub alSittah yang sekaligus menjadi tujuan utama dari tulisan ini.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
27
HADIS-HADIS YANG TERINDIKASI DIAM GADIS SETUJU UNTUK MENIKAH Sebelum melihat lebih jauh berkaitan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan diam gaddis untuk persetujuan nikah kiranya tidak salah di sini jika terlebih dahulu dijelaskan sedikit pengertian diam. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan diam dengan tidak bersuara (berbicara).1. Machnun Husein, yang dikutip melalui tulisan di dalam blognya, diam itu diartikan dengan tidak berbicara atau bersuara atau tidak berbuat atau bergerak. Machnun juga memaknakan diam itu sebagai salah satu alat komunikasi atau bahasa isyarat. Namun, ia tetap berbeda dengan bahasa lisan atau tulisan yang sudah jelas maksudnya. Sedangkan makna diam ini tidak jelas dan lebih cenderung berbeda-beda.2 Machnun menambahkan, diam juga merupakan gejala fisik atau jasmaniah. Namun ia didorong atau dimotivasi oleh faktor psikologis, dan bahkan merupakan manifestasi dari gejala kejiwaan orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, untuk mengetahui sebab-sebab atau maknanya perlu dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan yang melatarbelakanginya. Dengan perkataan lain, tulisan ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, “mengapa orang yang bersangkutan diam?” Selain itu, faktor-faktor non-kejiwaan juga ikut berperan, terutama yang berkaitan dengan pemuasan atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik-material ataupun sosial, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Itulah alasan mengapa sering didapati orang tidak mengemukakan pendapat atau diam, karena dia merasa bahwa tindakan atau sikapnya itu ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut.3 Oleh karena itu diam di sini dapat diartikan dengan tidak bersuaranya seorang gadis bila diajak wali untuk menikah baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan Terdapat sejumlah hadis yang dijadikan dasar oleh ahli hadis dan fuqaha` dalam melihat diam seorang gadis sebagai indikasi setuju untuk menikah yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penyusun kitab al-Kutub al-Sittah seperti berikut. Hadits Riwayat Bukhari:
وﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻟﺒﻜﺮ, ﻻ ﺗﻨﻜﺢ اﻷﱘ ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ: أن اﻟﻨﱯ ﷺ ﻗﺎل،ﻋﻦ أﰊ ﺳﻠﻤﺔ أن أ ﻫﺮﻳﺮة ﺣﺪﺛﻬﻢ 4 .( )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ. أن ﺗﺴﻜﺖ: وﻛﻴﻒ اذ ﺎ؟ ﻗﺎل, رﺳﻮل ﷲ: ﻗﺎﻟﻮا.ﺣﱴ ﺗﺴﺘﺄذن Artinya: Dari Abu Salamah, sesungguhnya Abu Hurairah menceritakan kepada mereka, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “ Perempuan janda tidak dinikahkan hingga diajak musyawarah dan perempuan perawan tidak _____________ 1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3, (Jakarta: Badan Pustaka, 2005), hlm. 261. 2 Machnun Husein, Diam dan Maknanya, Sebuah Kajian Psikologi Agama. Diakses pada tanggal 22 April 2013 dari situs: http://baninadiah.blogspot.com/2009/09/diam-dan-maknanya-sebuah-kajian.html. 3 Ibid. 4 Imam Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Bi Syarh Shahih al-Bukhari, Jilid 10, (Beirut: Dar al-Fikr,1993), hlm. 240.
28
Nasaiy Aziz : Diam Gadis sebagai Indikasi Persetujuan Nikah…
dinikahkan hingga dimintai izin” , Mereka berkata, “ Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda, “ Dia diam.” (HR : Bukhari). Hadits Riwayat Abu Daud:
واﻟﺒﻜﺮ, اﻷﱘ أﺣﻖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ وﻟﻴﻬﺎ: ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل 5 .( )رواﻩ اﺑﻮ داود. وإذ ﺎ ﺻﻤﺎ ﺎ,ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ ﰱ ﻧﻔﺴﻬﺎ Maksudnya:
Dari Ibnu Abbas Ra., beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis dimintai izinnya. Dan diamnya seorang gadis menunjukkan izinnya” . (H.R. Abu Daud).
Hadis riwayat Abu Daud: 6
.()رواﻩ اﺑﻮ داود. رﺳﻮل ﷲ إن اﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺤﻲ أن ﺗﺘﻜﻠﻢ ﻗﺎل ﺳﻜﺎ ﺎ إﻗﺮارﻫﺎ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ
Artinya: Dari Aisyah r.a dia berkata, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang wanita yang perawan malu untuk berbicara” . Kemudian Nabi SAW menjawab, “ Diamnya berarti izinnya (persetujuannya).” (H.R.Abu Daud). Hadits Riwayat Muslim yaitu:
واﻟﺒﻜﺮ، اﻟﺜﻴﺐ أﺣﻖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ وﻟﻴﻬﺎ: أن اﻟﻨﱯ ﷺ ﻗﺎل:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل 7 .( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ. وﺻﻤﺘﻬﺎ إﻗﺮارﻫﺎ: ورﲟﺎ ﻗﺎل، وإذ ﺎ ﺻﻤﺎ ﺎ،ﻳﺴﺘﺄذ ﺎ أﺑﻮﻫﺎ ﰲ ﻧﻔﺴﻬﺎ Artinya: Dari Ibnu Abbas Ra., dari Nabi SAW, beliau bersabda, “ Seorang janda lebih berhak atas dirinya dibandingkan dengan walinya, sedangkan seorang gadis hendaknya sang bapak meminta izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” Boleh jadi Rasulullah berkata, “ dan diamnya adalah persetujuannya.” (H.R. Muslim). Semua hadits-hadits tersebut di atas secara tekstual dijadikan sebagai dalil bahwa diamnya seorang gadis atau calon pengantin perempuan berarti dia setuju untuk dinikahkan. Pemahaman yang terdapat dalam hadits di atas menjadi sumber pegangan masyarakat khususnya para wali yang mau menikahkan anak gadis mereka. Mereka berpendapat walaupun telah bertanya atau meminta izin terlebih dahulu kepada gadis yang dilamar, namun sikap diamnya gadis tersebut telah menjadi ukuran persetujuan, serta sebagai cara pemberian izin dalam pernikahan. Sebagaimana halnya juga diamnya Fatimah, putri Rasulullah SAW, dalam menyikapi lamaran saidina Ali, Rasulullah SAW segera melangsungkan majlis pernikahan putrinya dengan Saidina Ali. Menurut Rasulullah SAW, reaksi diam Fatimah itu menunjukkan bahwa dia menyetujui lamaran yang telah dibuat oleh Saidina Ali terhadapnya. Sekiranya Fatimah tidak setuju pasti dia akan menutup tirai kamarnya sebagai tanda tidak setuju atau tidak suka. Dari perbuatan _____________ 5 Abi Dawud Sulaiman bin as-Asy as-Sajistany, Sunan Abi Dawud, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), hlm.197. 6 Abi Dawud Sulaiman bin as-Asy as-Sajistany, Sunan Abi Dawud, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), hlm. 196. 7 Imam Abi Husaini Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid 2, (Kaherah, Dar al-Hadits, 1997), hlm. 474.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
29
atau sikap Fatimah itu juga dapat dijadikan alasan bahwa diam itu merupakan tanda persetujuan gadis yang akan dinikahkan.8 KRITERIA DIAM SEBAGAI TANDA SETUJU DALAM PERNIKAHAN Untuk menentukan sikap diam gadis itu setuju atau sebaliknya di saat ditanya wali untuk menikah, perlu dilihat kepada kriterianya. Kriteria inilah yang akan menentukan bahwa diam itu dianggap setuju atau tidak setuju. Diam yang menunjukkan tanda setuju memang telah dinyatakan dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. Namun pada dasarnya Rasulullah SAW menyatakan gadis perlu dimintakan izinnya secara lisan. Akan tetapi karena menurut Aisyah r.a, gadisgadis yang ada pada waktu itu malu untuk memberi jawaban secara lisan, maka Rasulullah SAW menyatakan keizinannya cukup dengan diamnya saja. Itulah yang menjadikan diamnya perawan itu sebagai persetujuannya. Namun dalam kenyataannya tidak semua sikap diam gadis itu menunjukkan persetujuannya, terutama gadis-gadis masa kini dimana sebagian dari mereka terkadang tidak merasa malu untuk memberikan jawaban langsung, tetapi karena faktor-faktor lain, seperti karena takut dimarahi orang tuanya atau karena segan pada orang tuanya sehingga membuat mereka diam. Hanya saja diamnya itu dibarengi dengan eksperasi wajah yang menunjukkan ketidaksenangannya dengan calon yang dinikahkan. Itulah sebabnya persetujuan gadis tidak cukup dilihat pada sikap diamnya saja, tetapi perlu dilihat kepada indikasi-indikasi lain yang menyertai sikap diamnya gadis tersebut, yang dalam bahasa usul fiqih disebut dengan ‘al-siyak’ (konteks peristiwa). Dalam hal ini dikenal sebuah kaedah yang berbunyi: اﳌﻘﻴﺪات
اﻟﺴﻴﺎق ﻣﻦ.9
Artinya: Konteks atau indikasi-indikasi yang menyertai sebuah peristiwa, menjadi pembatas dari peristiwa itu. Dengan kata lain, ‘siyak’ itu adalah sesuatu yang memberi petunjuk tentang makna yang sebenarnya. Sebagaimana yang dicontohkan di dalam kitab Durus al-Syaykh Abu Ishak al-Hawaini, yaitu tentang senyum. Ada dua jenis senyum, yaitu senyum dengan maksud ridha atau setuju dan senyum dengan maksud marah, tidak menyetujui atau membantah.10 Sebagai contoh senyum dengan maksud marah, hal ini dilihat pada peristiwa yang terjadi pada Kaab Bin Malik semasa perang tabuk. Ia tidak bersama Rasulullah SAW ketika peperangan tabuk, sekembalinya Rasulullah SAW dari medan peperangan tersebut, ia lantas menemui Rasulullah SAW. Ketika bertemu baginda Rasulullah SAW, Kaab Bin Malik memberikan gambaran bahwa Rasulullah SAW menunjukkan senyuman yang berarti kemarahan kepadanya karena ia tidak ikut serta dalam peperangan tabuk.11 Hal ini memberikan gambaran bahwa senyuman Rasulullah SAW itu tidak memberikan maksud senyum yang sebenarnya tetapi mengandung rasa marah dan sindiran kepada Kaab Bin Malik. _____________ 8
Alyahya.blogspot, Hak Wanita Memilih Jodoh, Diakses pada tanggal 9 Desember 2012, dari situs: http:alyahya.blogspot.com/2011/08/hak-wanita-memilih-jodoh.html. 9
Abu Ishak Al Hawaini al-Asri Hijazi Muhammad Syarif, Durus al-Syaykh Abu Ishak al-Hawaini, Jilid 92, (Durus Soutiyah Koma Bitafrighiha Mauki’u as-Syabkah al-Islamiyah: Maktabah Syamilah, t.t), hlm. 11. 10 Ibid. 11 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari Buku 25, hlm. 380.
30
Nasaiy Aziz : Diam Gadis sebagai Indikasi Persetujuan Nikah…
Sedangkan contoh senyum yang menunjukkan keridhaan, kagum atau sebagai tanda menyukai adalah seperti satu kisah tentang Nabi Sulaiman Alaihi Salam dan semut, yang diabadikan dalam Al-Quran surat Al-Naml, ayat 19, berikut:
ِ ِ َ َ اﳍﺪﻫﺪ َأم ِ َ َ َـﻔﻘﺪ اﻟﻄﱠْﻴـﺮ ﻓ اﻟﻐﺎﺋﺒﲔ َ ِ َ ْ ﻣﻦ ْ َ ُ ُْْ ﱄ َﻻ ََأرى َ ﻛﺎن َ َ َوﺗََ ﱠ َ ـﻘﺎل َﻣﺎ
Maksudnya: Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (Qs. An Naml: 19). Ayat di atas ada yang mengatakan bahwa, Nabi Sulaiman senyum dan ketawa ketika mendengarkan perkataan semut itu menunjukkan bahwa baginda kagum dengan perkataan semut tersebut dan tidak memarahi semut dimaksud, malah baginda bersyukur kepada Allah SWT atas kelebihan yang dimiliki oleh baginda. Oleh karena itu Senyumnya Nabi Sulaiman itu tidak menunjukkan tanda marah, karena ada juga senyum tetapi bermaksud mencela atau marah. 12 Justru, apabila dikembalikan kepada permasalahan diam, ia juga sama seperti senyum di atas, dapat disimpulkan bahwa diam yang menunjukkan setuju atau tidak setuju itu mempunyai kriteria-kriteria tersendiri. Itulah yang menjadi asas penting untuk menentukan bahwa seorang gadis atau perawan itu setuju atau tidak untuk menikah dengan lelaki yang melamarnya. Selain itu, kriteria diam yang menunjukkan tanda tidak setuju juga didasarkan kepada peristiwa yang terjadi kepada Rasululllah SAW seperti yang telah dirangkumkan penjelasannya yang panjang dalam kitab Shahih Bukhari,13 yaitu setelah Nabi Muhammad SAW menceraikan istrinya Hafsah, karena istrinya telah melakukan kesalahan yang mengundang kemurkaan baginda. Berita tersebut sampai kepada Saidina Umar r.a, maka Umar r.a pergi berjumpa dengan Rasulullah SAW pada waktu pagi. Pada waktu itu Rasulullah SAW mengasingkan diri dalam sebuah kamar dan memberitahukan kepada pembantu baginda agar tidak membolehkan siapa pun masuk ke kamar tersebut untuk bertemu dengan baginda. Ketika itu, Umar r.a menemui pembantu baginda untuk meminta izin masuk bertemu dengan baginda. Namun setelah pembantu Rasulullah SAW bertemu dan menyatakan hajat Umar tersebut, Rasulullah SAW hanya diam dan tidak berkata apa pun. Hanya setelah beberapa hari, akhirnya Rasulullah SAW mau bertemu dengan saidina Umar r.a. 14 Dari peristiwa itu, saidina Umar r.a memahami bahwa diamnya Rasulullah SAW ketika disampaikan keinginannya untuk bertemu dengan beliau merupakan diam karena marah. Kondisi Rasulullah SAW yang sedang marah itu menyebabkan baginda diam dan diam dengan sebab marah tjidak dapat diindikasikan ssebagai setuju, bahkan menunjukkan sebaliknya. Hal ini sama _____________ 12
Abu Ishak al-Hawaini al-Asri Hijazi Muhammad Syarif, Durus al-Syaykh Abu Ishak Al-Hawaini,
hlm. 11. 13 Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari Maskul, Jilid 3, ( Dar Syu’b: Bierut, t.t), hlm 208-209. 14 Abu Ishak al-Hawaini al-Asri Hijazi Muhammad Syarif, Durus al-Syaykh Abu Ishak al-Hawaini, Jilid 17, hlm 4.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
31
seperti melihat persetujuan gadis dalam pernikahannya. Meskipun gadis tersebut diam, itu tidak boleh langsung dianggap setuju sebelum dipastikan maksud dibalik diamnya tersebut . Tetapi, Saidina Umar menganggap diam Rasulullah SAW ketika itu sebagai tanda setuju dan mengizinkan beliau menyambung bacaannya. Oleh karena itu hadits tersebut menjadi dalil bahwa diam Rasulullah SAW ketika itu tidak berarti setuju. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbuatan diam yang membawa maksud tidak setuju atau tidak memberikan keizinan. Namun tetap saja tidak berlawanan dengan hadits Rasulullah SAW tentang keizinan perawan itu dengan diam, tetapi ia menjadi bukti bahwa adanya diam yang menunjukkan sebagai tidak setuju. Selanjutnya, dalam kitab Fath Al-Bari juga dinyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat apabila si gadis tidak berbicara atau bahkan memperlihatkan tanda-tanda marah dan suka sekaligus, misalnya tersenyum atau menangis. Menurut Malikiyah, jika dia lari atau menangis atau berdiri, atau memperlihatkan tanda ketidak senangan yang lain maka ia tidak boleh dinikahkan. Sedangkan menurut Asy-Syafi’yah, semua itu tidak memberi pengaruh terhadap larangan pernikahan, kecuali misalnya ia menangis disertai berteriak atau menjerit. Sebagian mereka membuat perincian, bila air matanya hangat maka ini menunjukkan tidak setuju, bila air mata itu dingin maka itu menunjukkan tanda persetujuan.15 Dalam kitab fiqih karangan Wahbah az-Zuhaili, dinyatakan bahwa jika seorang perempuan perawan, maka rasa ridhanya dia ungkapkan dengan cara diam, karena anak perawan biasanya merasa malu untuk mengungkap rasa ridhanya untuk kawin secara terang terangan. Dia cukup tunjukkan rasa ridha dengan diamnya untuk menjaga rasa malunya. Menurut Mazhab Maliki, disunahkan memberitahu kepadanya bahwa diamnya adalah tanda keridhaan dan izinnya. Karena dia tidak dikawinkan jika dia menolak. Perumpamaan diam adalah setiap perbuatan yang menunjukkan rasa ridha, seperti tertawa bukan dengan nada ejekan. Tersenyum dan menangis dengan tanpa suara, atau teriakan atau memukul pipi. Jika senyuman atau tertawa dengan tujuan untuk mengejek, dan tangisan dengan teriakan atau pukulan pipi, tidak cukup dan tidak dianggap sebagai izin ataupun jawaban karena dia berasa tidak rela. Jika dia mengungkapkan rasa ridhanya secara terang terangan setelah itu maka terlaksanalah akad pernikahan.16 Berdasarkan keterangan di atas, dapat dinyatakan di sinni bahwa kriteria diam itu perlu dilihat dari dua sisi, yaitu diam tanda setuju dan diam tanda tidak setuju. Kriteria di antara keduanya adalah berbeda, karena diam tanda setuju itu biasanya akan disertai ciri-ciri yang menunjukkan seorang gadis itu setuju dan menyukai akan pernikahannya itu, seperti menangis disertakan dengan air mata dingin dan dia hanya tunduk atau tersenyum malu. Demikian juga kriteria diam yang merupakan tidak setuju, maka ciri-cirnya akan memperlihatkan bahwa gadis tersebut tidak menyukai pernikahan dimaksud. Sebagai contoh, gadis tersebut menjerit-jerit, menangis disertai dengan memukul badannya atau tidak menunjukkan minat pada pernikahannya. _____________ 15
Falih bin Muhammad bin Falih Ash-Shughayyir, Majelis Wanita Pesan dan Wasiat Rasulullah Untuk Kaum Wanita, hlm. 329. 16 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, hlm. 200.
32
Nasaiy Aziz : Diam Gadis sebagai Indikasi Persetujuan Nikah…
PEMAHAMAN AHLI HADITS17 TENTANG MAKNA SUKUT (DIAM) SECARA KONTEKSTUAL. Andaikata hadits-hadits yang berbicara tentang keizinan gadis untuk menikah di atas hanya dipahami secara tekstual, maka sudah cukup jelas bahwa tanda persetujuan seorang gadis itu cukup dilihat kepada sikap diam mereka. Para fuqaha juga sudah jelas mengatakan bahwa indikasi setuju mereka diukur pada diam tersebut, karena secara umum diangga seorang gadis sangat malu dalam soal pernikahannya. Namun sebaliknya, bila hadits-hadits tersebut, dipahami secara kontekstual, munkin ada makna lain di balik sikap diam seorang perawan itu sendiri . Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab syarahnya Fathul Baari, menjelaskan bahwa pembahasan tentang diam ini dinyatakan oleh imam al-Bukhari dalam bab “Seorang bapak dan selainnya tidak boleh menikahkan perempuan perawan maupun janda kecuali atas keridhaan keduanya”. Hal ini karena al-Bukhari bertujuan untuk menyebutkan persyaratan keridhaan perempuan yang hendak dinikahkan. Sebagaimana diketahui, izin dari seorang perawan itu adalah dengan sikap diamnya, itulah yang dipahami dari makna teks hadits, karena rasa malu yang senantiasa menghambat para perawan untuk berbicara secara terus terang. Oleh karena itu banyak dari mereka lebih bersikap diam. Namun, ia masih tampak tidak jelas, maka lebih baik mereka diberi tempo waktu atas sikap diamnya itu, sehingga dapat diyakini bahwa diamnya itu benar-benar merupakan tanda keizinan dan keridhaan darinya, Sehingga saat itu para wali tidak ada hambatan lagi untuk menikahkannya.18 Dalam penjelasan hadits Shahih Bukhari juga disebutkan pendapat Ibnu Munzir yang menyatakan bahwa perlunya diketahui bahwa diamnya perawan tersebut benar-benar menunjukkan keridhaannya. Sebab pemberitahuan kepada gadis sebelum dinikahkan bahwa diam tersebut menunjukkan setuju merupakan suatu anjuran saja. Akan tetapi apabila ia menyatakan tidak mengetahui bahwa diamnya dianggap ridha pada saat telah dinikahkan, pernikahan itu tetap sah menurut jumhur ulama. Namun menurut sebagian ulama Malikiyah pernikahan tersebut menjadi batal. Ini menunjukkan bahwa, Ibnu Munzir meyakini bahwa adanya diam yang bukan bermaksud setuju dari perawan tersebut. Sementara Ibnu Syu’ban salah seorang dari ulama madzhab mereka menambahkan, hendaknya ditanya kepada perawan tersebut sebanyak tiga kali, jika sekiranya perawan tersebut ridha, maka hendaknya dia diam, namun jika tidak, hendaknya gadis itu berbicara atau mengatakan langsung.19 Selain itu, sebagian lagi ulama dari mereka berkata, “hendaklah diperlama keberadaan di sisinya agar tidak merasa malu, dan _____________ 17
Ibnu Taimiyah menjelaskan Ahli hadits ialah orang-orang yang memerhatikan hadits Rasulullah SAW, baik dari segi riwayat maupun dari segi dirayah. Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk mengkaji hadits-hadits nabi dan periwayatannya, mengikuti isinya berupa ilmu dan amal, serta menjalankan sunnah dan menjauhi bid’ah. Beliau juga menambahkan bahwa ahli hadits itu bukan terbatas pada orangorang yang mendengar, menulis atau meriwayatkan hadits saja, tetapi mencakupi semua orang yang lebih patut memelihara, mengetahui, memahami dan mengikutinya secara lahir batin. Lihat, Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim al-A’shimi an-Najdi Hanbali, Majmu’ Fatawa Syaikh Islami Ahmad bin Taimiyah, Jilid 4, (hlm. 91-95. 18 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari, (terj. Amiruddin), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 313. 19 Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, Subulus as-Salam Syarah Bulughul Maram, (terj. Muhammad Isnan, Ali Fauzan, Darwis), Cet. 6, (Jakarta: Darus Sunnah, 2011), hlm. 631. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
33
rasa malu itu dapat mencegahnya memberikan jawaban secepatnya” 20 yang mungkin akan menyebabkan dia keliru atau salah dalam memberikan jawaban. Hal ini memberikan gambaran bahwa para wali tidak boleh langsung berkesimpulan bahwa diam anak mereka itu sebagai tanda persetujuannya, tetapi seharusnya perlu diberi waktu untuknya berpikir secara rasional serta tidak terburu-buru dalam membuat keputusan. Menanyakan kepada perawan sebanyak tiga kali itu adalah untuk memastikan bahwa setiap jawaban yang diberikan oleh perawan itu adalah yang betul dan tidak dipengaruhi oleh unsur lain seperti pemaksaan atau tekanan. Selain itu, jika sekiranya para wali ingin menikahkan anaknya dengan seorang lelaki yang datang melamar, maka para wali sebaiknya tidak hanya sekadar meminta persetujuan dari anaknya saja, tetapi haruslah memberitahu pengenalan secara menyeluruh, tentang calon lelaki yang melamarnya itu seperti usia, keelokan, kedudukan, nasab, profesi dan lain-lainnya yang dapat mendatangkan kemaslahatan untuk perawan dimaksud.21 Hal ini akan memberi pengaruh kepada persetujuan atau tidaknya perawan tersebut, karena mereka juga mempunyai hak untuk memilih dan mendapatkan yang terbaik untuk diri mereka sendiri. Sebagian pengikut mazhab al-Zhahiri juga mengatakan bahwa hadits di atas tidak boleh dijadikan landasan untuk menikahkan perempuan hanya berdasarkan makna zahir sabda nabi tersebut yaitu “izinnya adalah diam”.22 Walaupun tiada penjelasan yang lebih lanjut tentang pendapat pengikut al-Zhahiri ini, namun dari kalangan mereka yang memahami secara tekstual juga memberikan gambaran bahwa diam itu tidak hanya menunjukkan persetujuan perawan dalam pernikahannya. Menurut Imam Nawawi, dalam syarah Shahih Muslim, mengenai hadits Rasulullah SAW yang mengatakan izinnya adalah diamnya bermaksud bahwa diamnya seorang perawan itu sudah cukup dianggap sebagai izinnya secara zahirnya. Hal ini karena mayoritas ulama berpendapat diam perawan itu sudah cukup sebagai izin karena perawan itu kebiasaannya adalah pemalu. Hal ini lebih khusus sekiranya wali perawan tersebut adalah ayah atau kakeknya. Namun sekiranya, yang menjadi wali itu bukan ayah atau kakeknya, maka sang perawan harus berbicara untuk menunjukkan keizinannya. Ini karena rasa malu yang dimiliki seorang perawan terhadap ayah dan kakeknya lebih besar daripada yang lainnya. Tetapi tetap saja pendapat yang shahih itu menurut mayoritas ulama adalah bahwa diam itu sudah cukup sebagai izin perawan dan ia berlaku untuk semua wali tanpa membedakan siapapun walinya.23 Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim juga sangat jelas membedakan antara seorang perempuan janda dan perawan, yaitu seorang janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang perawan itu harus dimintai persetujuannya. Walaupun pendapat yang shahih menurut Imam Nawawi yaitu diamnya perawan itu menunjukkan tanda setuju namun ia hanya berdasarkan keumuman hadits tersebut. Hal ini _____________ 20
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari Buku 25, hlm. 315. Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, (terj. Kathur Suhardi), Cet. 4, (Jakarta: Darul Falah, 2005), hlm. 762. 22 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari Buku 25, hlm. 319. 23 Imam An-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi, (terj. Ahmad Khotib), Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hlm. 577-579. 21
34
Nasaiy Aziz : Diam Gadis sebagai Indikasi Persetujuan Nikah…
menunjukkan bahwa ada maksud lain yang tidak disebutkan secara khusus tentang maksud hadits itu.24 Di sinni dapat dipahami bahwa keumuman tersebut sebagai makna teks hadits. Sedangkan, menurut mazhab Maliki yang dikutip dalam kitab ‘Aunul Ma’bud syarah Sunan Abu Dawud, disunahkan untuk memberitahu kepada perawan bahwa diamnya itu adalah tanda keridhaannya, karena dia tidak akan dinikahkan jika dia menolak atau dengan berkata “aku tidak merasa ridha”, atau “aku tidak mau kawin” atau kalimat lain yang memiliki makna yang sama. Mazhab ini juga mengumpamakan diam itu sebagai perbuatan yang menunjukkan rasa ridha, seperti tertawa dengan bukan nada ejekan, tersenyum dan menangis dengan tanpa suara, atau teriakan atau pukulan pipi. Namun, jika senyuman atau tertawa itu dengan tujuan untuk mengejek, dan tangisan dengan teriakan atau pukulan pipi, maka ia tidak dianggap sebagai izin ataupun jawaban keridhaan perawan tersebut.25 Namun menurut madzhab syafi’I, hal-hal tersebut tidak memberi pengaruh apapun, kecuali jika tangisan disertai teriakan, atau yang sepertinya. Sebagian lainnya membedakan hal ini dengan air mata, apabila panas berarti dia menolak dan jika dingin berarti dia ridha.26 Sementara Ibnu Abdil Barr menukilkan dari Malik, bahwa diamnya seorang gadis sebelum pemberian izin dan penyerahan diri kepada walinya untuk dinikahkan tidak berarti persetujuan darinya, tetapi jika hal itu dilakukan setelah penyerahan diri kepada walinya, diam itu adalah tanda setuju.27 Imam Malik juga membahas tentang persetujuan atau keridhaan perawan dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra. Dalam bab keridhaan perawan dan janda, beliau menyatakan bahwa diam perawan itu adalah redha yang bermaksud setuju, dan sekiranya seorang ayah menikahkan anak gadisnya maka pernikahan tersebut sah walaupun anak gadis tersebut mengingkari pernikahan dimaksud. Namun dijumpai riwayat lain yang juga dari riwayat Malik, diamnya seorang gadis itu dikatakan ridha atau setuju apabila disertai dengan syarat, yaitu apabila gadis tersebut mengetahui bahwa diamnya itu bermakna setuju.28 Selanjutnya, Imam Malik menyebutkan, dalam pernikahan dini yaitu seorang perempuan dinikahkan sewaktu usianya masih dini. Oleh karena dia masih seorang yang dini, maka dia tidak tahu bahwa diamnya dia ketika walinya mau menikahkannya itu merupakan tanda persetujuannya. Maka, sewaktu pernikahannya, dia melarikan diri karena dia sebenarnya tidak setuju untuk dinikahkan. Beliau juga menyatakan mengenai wali yang menikahkan tanpa sepengetahuan perempuan tersebut. Walinya setuju untuk menikahkan anak perempuannya selepas mengadakan musyawarah dengan pihak lelaki, namun musyawarah tersebut tidak disertai oleh perempuan yang akan dinikahkan.29 Hal ini baru diketahui oleh perawan tersebut ketika sudah selesai diijabkabulkan. Berdasarkan pendapat Imam Malik di atas, maka ia menunjukkan bahwa Imam _____________ 24
Ibid. Abi Tayyib Muhammad Shamsul Hak al-Azim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, Jilid 6, (Li al-Thaba`Ah Wa Al-Nasru Wa al-Tauri’: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 119. 26 Ibid. 27 Imam Muhammad asy-Syaukani, Nailul Authar, Jilid 6, (terj. KH. Adib Bisri Musthofa dkk), (Semarang: CV. Asy-Syiafa’, 1994), hlm. 483. 28 Imam Malik bin Anas al-Asbahi, al-Mudawwanah al-Kubra, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kutb alIlmiyah, t.t), hlm. 102. 29 Ibid. 25
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
35
Malik berpandangan tidak hanya tertumpu kepada makna zahir hadits semata yang menyatakan bahwa diamnya perawan itu merupakan tanda setuju. Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, ahli hadits serta ulama tidak sekadar memahami hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Kutub al-Sittah itu seperti yang terdapat pada teks hadits saja, yaitu diam perawan itu merupakan izin atau keridhaan dia untuk dinikahkan oleh walinya, namun mereka juga memahami makna secara kontekstual hadits-hadits tersebut yang menyatakan diam itu bukan sekadar tanda setuju bahkan kadang-kadang juga mengandung pengertian sebaliknya. Terlepas dari itu semua di sini dapat dinyatakan bahwa diam si gadis atau calon pengantin perempuan ketika diajak wali untuk menikah belum berarti dia setuju. Hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktir yang dihadapinya, misalnya saja keterbatasannya atau ketidaktahuan dia mengenai diam itu bermaksud setuju. Boleh jadi juga faktor-faktor kejiwaan yang menyebabkan dia tidak mau berbicara seperti perasaan takut, karena terpaksa, cemas dan sebagainya. Justru itulah perlunya kepada penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut. Sekiranya diamnya itu disebabkan ketidaktahuannya, maka diam itu bermaksud netral yaitu bukan setuju dan juga bukan tidak setuju. Namun, sekiranya diamnya itu disebabkan oleh perasaan takut, terancam, tertekan, terpaksa dan sebagainya, berarti diam itu bermaksud penolakan atau ketidaksetujuan secara tidak terang-terangan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sosial masyarakat arab pada masa itu, terutama golongan perawan atau anak gadis adalah pemalu, apalagi gadis pada waktu itu dipingit dan tidak banyak bergaul dengan masyarakat luar. Mereka tidak mengikuti perkembangan sosial diluar dari rumah mereka. Namun Setelah dewasa dan tiba saat dinikahkan, ia menjadi penyebab kesukaran untuknya menentukan sendiri calon suami, akibat tidak mendapat pendedahan atau pengetahuan yang luas tentang laki-laki dan hal yang berkait dengan pernikahan. Banyak di antara umat Islam yang menggunakan pemahaman hadis-hadis tersebut secara tekstual semata dibandingkan dengan menilai dan meneliti dengan lebih mendalam dan cermat hadits tersebut. Apalagi untuk diaplikasikan pada masyarakat sekarang yang mayoritasnya lebih bersifat terbuka serta yang perempuannya tidak lagi sekadar menjadikan rumahnya adalah dunia mereka. Menurut penulis, hadits ini jika dipahami secara kontekstual, akan menampakkan bahwa Islam itu memberi penghormatan yang cukup besar kepada wanita sehingga dalam urusan pernikahannya, ia tidak menjadi milik mutlak seorang wali atau penjaga seperti yang dipahami sebelumnya. Meskipun wali itu mempunyai hak atas wanita yang masih perawan, namun dalam Islam telah digariskan bahwa wanita juga mempunyai hak dalam urusan pernikahannya. Dia berhak untuk setuju atau tidak setuju dengan pilihan walinya. Selain itu, persetujuan gadis atau perawan dengan tanda diam juga perlu dilihat dari dimensi yang berbeda dari pandangan fuqaha terdahulu. Karena, memahami hadits-hadits tersebut secara mutlaq merupakan suatu faktor yang mungkin akan berdampak negatif yang bukan sedikit risiko yang terpaksa ditanggung oleh gadis tersebut sekiranya pernikahannya dengan orang yang tidak disetujuinya berakhir dengan perceraian. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang masyarakat pada hari ini, golongan perempuan itu tidak lagi seperti kebanyakan perempuan pada waktu dahulu yang mana, kehidupan mereka banyak bergantung 36
Nasaiy Aziz : Diam Gadis sebagai Indikasi Persetujuan Nikah…
kepada orang tuanya, lebih lagi berkaitan dengan soal pernikahan. Masyarakat dahulu juga menilai perempuan itu, tidak pantas untuk membuat berbagai keputusan karena mereka tidak banyak terjun dalam dunia luar yang mengakibatkan pengetahuan mereka tidak berkembang. Namun pada hari ini, kondisi golongan perempuan adalah sebaliknya. Malah jika dilhat pada realitasnya sekarang, golongan perempuan, kalaupun tidak dikatakan seluruhnya, sudah terjun dalam berbagai aktivitas kehidupan baik perseorangan maupun berorganisasi. Ukuran persetujuan calon seorang gadis atau perawan dalam pernikahan tidak boleh lagi dengan perbuatan diam. Perbuatan diam itu tidak membuat makna sesuai dengan keinginan calon perempuan tersebut. Hal yang seharusnya terjadi ialah, ia perlu pernyataan yang tegas agar keinginan hatinya itu sesuai dengan perbuatannya, karena hakikat pernikahan tersebut bukanlah suatu ikatan sementara. Akan tetapi ia merupakan ikatan untuk seumur hidup. Oleh karena itu naif sekali jika pernikahan yang dijalani bukan merupakan keinginan yang seharusnya dinikmati oleh pihak yang melangsungkan pernikahan tersebut. Pada zaman dan suasana yang serba moderen seperti sekarang ini, tidak salah kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa para wali hanya sekadar disunatkan meminta izin dari perawan untuk menikahkannya tidak sesuai lagi untuk digunakan sebagai dasar bagi golongan yang berpendapat bahwa yang menentukan pilihan suami terhadap perawan itu adalah walinya, karena perubahan hukum itu bisa terjadi seiring dengan perubahan zaman. Menurut Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah, apabila sesuatu hukum itu ditetapkan berdasarkan uruf, maka apabila uruf itu berubah, hukum juga akan ikut berubah.30 Begitu juga halnya dengan persoalan diam yang menjadi tanda persetujuan perawan dalam penikahan, ia sudah menjadi uruf yang dipraktekkan pada sebagian masyarakat dahulu sehingga hari ini. Islam sangat memperhatikan masalah pernikahan gadis atau wanita dan menjaga dari hal-hal yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak negatif bagi dirinya, menetapkan batasan-batasan dalam pernikahannya, menjaga kehormatan dirinya dan mencegah dari timbulnya sesuatu yang menjadi benturan di tengah-tengah institusi keluarganya. Karena itu Islam menetapkan hak seorang wali dalam pernikahannya, namun setelah dia menyatakan keridhaannya. Islam juga melarang para wali memaksakan pernikahan anak gadisnya tanpa persetujuannya demi kemaslahatan anak gadis tersebut. Seandainya para wali tidak meminta persetujuan anaknya terlebih dahulu, dan anaknya itu tidak setuju atau tidak memberikan izinnya maka akan menimbulkan pemaksaan dalam pernikahan. Terlepas itu semua, hadits-hadits yang dipahami secara kontekstual ini, sesuai dikelompokkan sebagai hadits yang tidak universal dan yang tidak berlaku umum, ia termasuk hadits lokal, dan lebih spesifik seperti kondisi gadis yang pemalu dan hanya diam ketika ditanyakan soal lamaran kepadanya. Oleh karena demikian, hadits-hadits tersebut juga tidak boleh dinilai dengan sesuatu yang mudah tetapi harus dengan penjelasan yang teliti. Setelah memerhatikan permasalahan yang terjadi serta menganalisis hadits-hadits tersebut, di sini dapat dinyatakan bahwa tidak memadai keizinan gadis itu dijadikan satu tuntutan sunat dan mubah karena ia merupakan hal yang _____________ 30
Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Siwasi al-Ma’ruf Ibn al-Humam, Fathul Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. hlm. 460. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
37
terpenting dalam pernikahannya. Pentingnya persetujuan dari perawan dilihat dari sudut yang akan menikah itu adalah perawan tersebut bukan walinya, perawan itulah yang nantinya akan melalui kehidupan bersama dengan laki-laki yang dia tidak sukai sebagai suaminya. Lalu, bagaimana konsep keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah akan terwujud seandainya pernikahan itu bukan didasarkan atas kemauan salah satu pasangan yang menikah. Justru itu, di sini dapat dinyatakan bahwa diam itu dikatakan sebagai tanda setuju yang terdapat dalam hadits-hadits al-Kutub al-Sittah itu, bukan sekedar dipahami secara tekstual saja oleh masyarakat pada zaman sekarang, karena hadits-hadits tersebut mempunyai sebab wurudnya, dimana dalam hadits dimaksud , nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa gadis itu pada asalnya harus dimintakan keizinannya. Inilah pernyataan awal dari nabi Muhammad SAW, artinya memang perlu ada keizinan dari gadis-gadis tersebut. Akan tetapi pada saat saidatina Aisyah r.a menyatakan bahwa ada gadis yang malu untuk menyatakan kemauannya, pada saat itulah nabi Muhammad SAW menyatakan “ Kalau begitu, diamnya cukup dengan tanda setuju.” Justru, hal ini bukan bermaksud semua gadis yang ingin dinikahkan itu mempunyai sikap malu, malah ada juga yang lebih senang berterus terang. Oleh karena itu, belum tentu sikap diam dari semua gadis itu menunjukkan rasa setuju dan diamnya itu karena malu, tetapi boleh jadi karena rasa takut dimarahi oleh orang tua, segan untuk membantah apa yang dihajatkan oleh keluarga atau tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka menjadikan mereka lebih memilih diam dari berterus terang. KESIMPULAN Dari semua uraian dan penjelasan di atas, di sini dapat disimpulkan seperti berikut: 1.
2.
3.
38
Diamnya gadis ketika diminta perstujuan untuk menikah tidak semmata-mata dapat dijadikan sebagai ukuran setuju sebagaimana yang dipahami oleh ulama dalam hadits-hadits al-kutub al-sittah serta hadits-hadits yang diriwayatkan oleh yang lain, karena diam itu boleh saja bermaksud setuju atau tidak setuju dengan melihat kepada indikasi-indikasi yang terdapat pada si gadis tersebut. Dalam memahami konsep diam dalam hadits-hadits tersebut, peredaran zaman atau berubahnya waktu juga telah mempengaruhi maksud hadits pada masa kini, diam itu tidak boleh lagi dinilai sebagai tanda persetujuan gadis. Ianya juga tidak boleh lagi dipahami berdasarkan teks hadits semata, namun harus dilihat melalui kontekstual hadits tersebut. Sekalipun bukan syarat mutlak pernyataan setuju harus dunyatakan dengan ucapan, , namun persetujuannya atau keizinannya tetap tidak ssemata-mata bisa diukur dengan diam.
Nasaiy Aziz : Diam Gadis sebagai Indikasi Persetujuan Nikah…
DAFTAR PUSTAKA
Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Shahih Sunan Ibnu Majah, Jilid 3, Kaherah: Dar al-Hadits, 1998. Abi Bakar Ahmad bin al-Husin bin Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid 7, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1994. Abi Tayyib Muhammad Shamsul Hak al-Azim Abadi, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, Jilid 6, Li al-Thaba`Ah Wa al-Nasru Wa al-Tauri’: Dar al-Fikr, t.t. Abu Hasan Ubaidillah bin Muhammad Abdul Salam bin Khan Muhammad, Mir’atul Mafatih Syarah Miskat al-Masābih, Jilid 1, Maktabah Syamilah, 1984. Abu Ishak Al Hawaini al-Asri Hijazi Muhammad Syarif, Durus al-Syaykh Abu Ishak al-Hawaini, Jilid 92, (Durus Soutiyah Koma Bitafrighiha Mauki’u asAbdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, (terj. Kathur Suhardi), Cet. 4, Jakarta: Darul Falah, 2005. Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim al-A’shimi an-Najdi Hanbali, Majmu’ Fatawa Syaikh Islami Ahmad Bin Taimiyah, Jilid 4.
Imam Abi Husaini Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid 2, Kaherah, Dar al-Hadits, 1997. Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad, Jilid 17 (Kairo: Dar alHadits, 1995. Imam Malik bin Anas al-Asbahi, Mudawwanah al-Kubra, Jilid 2, Beirut: Darul Kutb al-Alamiyah, t.t. Imam Hafiz Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Jilid 10, Beirut: Dar al-Fikr, 1993. Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Siwasi al-Ma’ruf Ibnu Humam, Fathul Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (terj. M. Abdul Ghoffar,EM.), Cet. 1, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3, (Jakarta: Badan Pustaka, 2005), hlm. 261. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (terj. Abdul Hayyie Al-Kattani), Cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2011. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
39
Machnun Husein, Diam Dan Maknanya, Sebuah Kajian Psikologi Agama. Diakses pada tanggal 22 April 2015 dari situs: http://baninadiah.blogspot.com/2009/09/diam-dan-maknanya-sebuahkajian.html. Alyahya.blogspot, Hak Wanita Memilih Jodoh, Diakses pada tanggal 9 Desember 2014, dari situs: http:alyahya.blogspot.com/2011/08/hak-wanita-memilihjodoh.html. Syabkah al-Islamiyah: Maktabah Syamilah, t.t.
40
Nasaiy Aziz : Diam Gadis sebagai Indikasi Persetujuan Nikah…
KLARIFIKASI BUKU SUARA KHATIB BAITURRAHMAN EDISI 8 TAHUN 2012
Nuraini dan Zulihafnani Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Banda Aceh
ABSTRAK Buku Suara Khathib Baiturrahman merupakan kumpulan naskah teks khutbah Jum’at pada Mesjid Raya Baiturrahman. Tentunya buku tersebut merupakan pedoman umat, sehingga diharapkan data-data dalam buku tersebut benar-benar dapat dipertanggung jawabkan terutama dalil berupa ayat-ayat alQur’an dan hadis Nabi Saw. Khususnya hadis Nabi Saw yang seharusnya diangkat adalah hadis-hadis yang jelas kemaqbulannya. Akan tetapi kebanyakan hadis-hadis tersebut tidak ada sumbernya dan dalam beberapa tempat tidak jelas disebutkan apakah hadis tersebut marfu’, mauquf, maupun maqthu’. Dari 15 hadis yang diambil sebagai sampel terdapat 10 hadis berstatus maqbul yaitu hadis yang terdapat pada halaman 6, 21, 62, 78, 97, 100, 102, 116, 119 dan 133. 4 hadis berstatus dhaif yakni hadis yang terdapat pada halaman 63, 77, 101 dan 131. Sedangkan 1 hadis lagi tidak ditemukan sebagai hadis marfu’ tetapi sebagai perkataan ulama. Kata kunci: Hadis, Klarifikasi, Kualitas
PENDAHULUAN Hadis merupakan kumpulan teks sunnah Rasulullah yang memberitakan prinsip dan doktrin ajaran Islam. Meyakini hadis sebagai sumber ajaran Islam, mempengaruhi umat Islam untuk turut melestarikan dan menyelamatkan khazanah hadis. Pelestarian dan penyelamatan terhadap hadis telah dilakukan sejak masa Rasulullah masih hidup sampai sekarang, hanya saja metode dan pendekatannya berbeda sesuai dengan kondisi dan tujuan yang hendak dicapai. Sempurnanya pengkodifikasian hadis bukan berarti terhentinya usaha pelestarian dan penyelamatan hadis. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor banyaknya kajian hadis yang dilakukan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, juga pendekatan yang berbeda yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang bergelut dalam disiplin ilmu hadis, kondisi ini melahirkan karya-karya yang beragam dan mutu yang berbeda pula. Usaha pelestarian dan penyelamatan hadis dalam berbagai karya (buku/kitab) dalam ilmu hadis memiliki disiplin ilmu tersendiri, yaitu Ilmu Tahqiq al-Hadis. Tahqiq al-Hadis merupakan salah satu usaha pelestarian dan penyelamatan khazanah hadis baik dari aspek terjaminnya pengutipan hadis sesuai dengan kitab hadis maupun dalam hal memberikan informasi tentang kualitas hadis tertentu. Dengan demikian, usaha tahqiq merupakan sebuah usaha yang pada dasarnya wajib dilakukan sebelum sebuah karya disebarkan kepada Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
41
masyarakat umum agar data-data yang ada tidak salah apalagi jika karya tersebut merupakan pedoman umat dalam beramal seperti buku Suara Khatib Baiturrahman. Buku Suara Khatib Baiturrahman adalah sebuah buku kumpulan teks khutbah Jum’at yang disampaikan oleh para khatib di mimbar Masjid Raya Baiturrahman.1 Isi khutbah tersebut tidak hanya diketahui oleh masyarakat yang shalat Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman, tetapi juga hampir seluruh masyarakat Aceh. Hal ini karena buku Suara Khatib Baiturrahman pada setiap edisinya dicetak sebanyak 1000 examplar untuk disebarkan ke kabupatenkabupaten dan ke berbagai perpustakaan yang ada di Aceh. Bahkan buku tersebut juga dihadiahkan sebagai cendramata bagi tamu resmi yang datang berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman baik yang datang dari daerah, luar Aceh maupun tamu dari luar negeri.2 Mengingat begitu pentingnya buku tersebut, maka perlu dilakukan penelitian ulang terhadap hadis-hadis yang disebutkan, pada pembahasan ini edisi yang diteliti adalah edisi 8 tahun 2012. LATAR BELAKANG PENERBITAN BUKU SUARA KHATIB BAITURRAHMAN Ada dua hal yang melatarbelakangi terpublikasinya naskah teks khutbah Jum’at dalam bentuk buku. Pertama, dokumen khutbah lebih terjaga dan terpelihara. Kedua, pesan-pesan yang disampaikan dapat disebarluaskan pada objek yang lebih luas, tidak hanya untuk skala daerah dan nasional, tetapi juga dapat dibaca oleh para tamu yang datang dari luar negeri, khususnya dari Malaysia. Para tamu dari Malaysia termasuk yang paling sering datang berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman. Sebelumnya, naskah teks khutbah Jum’at hanya dipublikasikan melalui Tabloid Gema Baiturrahman, biasanya tabloid tersebut sering tidak diarsipkan setelah dibaca oleh jamaah. Atas dasar pemikiran tersebut, maka direncanakan untuk dicetak naskah teks khutbah tersebut dalam bentuk buku. Proposal penerbitan buku diajukan kepada pemerintah daerah dan mendapat sambutan positif dengan diberikan alokasi dana setiap tahunnya. Cetakan perdananya adalah pada tahun 2005 terhitung edisi pertama masa Bapak Abdullah Puteh menjabat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 2012 telah dicetak edisi 8. Setiap tahun dicetak berkisar 800 s/d 1500 eksemplar dan didistribusikan ke seluruh kabupaten/ kota yang ada di Aceh. Buku cetakan Masjid Raya Baiturrahman tidak diper-jualbelikan karena tidak bersifat provit oriented.3 Menurut sekretaris tim editing4 buku Suara Khatib Baiturrahman, setiap khatib diminta untuk menyerahkan soft copy kepada tim editing buku Suara Khatib Baiturrahman untuk disimpan dan naskah tersebut akan diproses pada tahun selanjutnya, misalnya naskah khutbah Jum’at tahun 2010 akan diproses pada bulan Juni tahun 2011 dan target selesai pada bulan November 2011. _____________ 1
Pengurus Masjid Raya Baiturrahman, Suara Khatib Baiturrahman, edisi 7 (Banda Aceh: Masjid Raya Baiturrahman, 2011), h. ix. 2 Hasil wawancara dengan Sekretaris Tim Editing buku Suara Khatib Baiturrahman, tanggal 20 Maret 2012. 3 Hasil wawancara dengan M. Nur AR, Staf Sekretariat Masjid Raya Baiturrahman, tanggal 17 Oktober 2012. 4 Hasil wawancara dengan Lukmanul Hakim, tanggal 14 oktober 2012. 42
Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib…
Sebelum naskah-naskah tersebut dicetak, terlebih dahulu di lay out lalu diprint sementara untuk dinilai kembali oleh tim editing. Khusus materi khutbah Jum’at tahun 2011 prosesnya lebih cepat sudah selesai cetak April 2012, menurut sekretaris tim editing hal ini karena fasilitas yang tersedia sudah sangat lengkap hanya saja program hadis yang belum ada.5 Dalam hal ini, tim editing tidak bertanggung jawab terhadap substansi khutbah, masalah substansi masih tanggung jawab penuh para khatib. Tim editing hanya menyempurnakan sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang belum lengkap atau yang belum jelas sumbernya, setelah terlebih dahulu mengkonfirmasikannya kepada para khatib, jika tim editing kesulitan melacak hadis yang disebutkan maka tim editing mengambil hadis lain yang senada atau yang berdekatan maknanya. Untuk sementara ini, tim editing memang sangat kesulitan dalam melacak hadis-hadis yang disebutkan karena belum tersedianya program hadis6, menurut peneliti hal inilah yang membuat hadis-hadis dalam buku Suara Khatib Baiturrahman masih banyak yang belum tercantumkan sumber hadisnya. Menurut sekretaris tim editing buku Suara Khatib Baiturrahman pada awalnya hadis-hadis tersebut ada sanad-sanad akan tetapi untuk memudahkan pembaca maka sanad-sanad tersebut sengaja dipotong, sedangkan menyangkut dengan ayat-ayat al-Qur’an yang terjemahnya tidak sesuai dengan lafadh ayat alQur’an yang dicantumkan, maka itu diakui sebagai kekeliruan tim editing, menurut sekretaris editing seharusnya dicantumkan titik 3 kali sebagai tanda adanya kalimat yang tidak dicantumkan sebelum atau setelah kalimat tertentu.7 Pengurus Masjid Raya Baiturrahman untuk sementara ini belum menekankan kepada para khatib untuk memperhatikan kebenaran data-data yang akan disampaikan, hal ini terlihat dari surat undangan untuk menjadi khatib Baiturrahman. Dalam undangan tersebut hanya ditentukan tanggal, materi khutbah dan penekanan untuk tidak membahas masalah yang bernuansa politik.8 Menurut tim editing buku, untuk sementara ini masih tahapan publikasi belum menyentuh sepenuhnya masalah kualitas isi baik dari aspek tekhnik dan substansi, untuk cetakan ke depan akan diperhatikan tanggung jawab akademik baik dalam bentuk foot note, maupun kebenaran semua data yang ada dalam nasakah tersebut. Dengan demikian, kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam buku Suara Khatib Baiturrahman, baik kekeliruan dari aspek tekhnik maupun substansi masih dapat dipahami, karena materi-materi buku tersebut berasal dari naskah teks khutbah Jum’at asli yang secara otomatis langsung dipergunakan untuk diterbitkan dalam bentuk buku, tanpa ada perubahan atau perbaikan dari naskah yang disampaikan di mimbar. Karena itu, ketika sedang membaca buku Suara Khatib Baiturrahman seakan-akan sedang mendengar langsung khutbah Jum’at, bila dilihat dari bentuk isi buku tersebut lebih tepat jika buku tersebut disebut sebagai kumpulan khutbah Jum’at. Dengan demikian, sebaiknya ada tim pentahqiq yang akan mentahqiq materi khutbah tersebut sebelum dibukukan. Mengingat, para khatib berasal dari berbagai latar belakang ilmu dan profesi yang kemungkinan tidak cukup waktu untuk menulis dengan seksama. Apalagi mengingat sebagian khatib tidak terbiasa _____________ 5
Hasil wawancara dengan Lukmanul Hakim, tanggal 14 oktober 2012. Hasil wawancara dengan Lukmanul Hakim, tanggal 14 oktober 2012. 7 Hasil wawancara dengan Lukmanul Hakim, tanggal 14 oktober 2012. 8 Hasil wawancara dengan Lukmanul Hakim, tanggal 14 Oktober 2012. 6
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
43
menulis. Menurut Azman Ismail, ada sebagian dari para khatib tersebut tidak terbiasa menulis tetapi bisa langsung khutbah.9 Melihat dari eksistensi dan moment yang dipergunakan, sudah seharusnya buku tersebut hadir dengan tampilan yang menarik dengan keunggulan kualitas isi yang tangguh. Mengingat buku tersebut tersebar tidak hanya di Indonesia tetapi juga luar Indonesia, ketika ada tamu luar yang datang dan dihadiahkan sebagai cendramata berupa buku tersebut. Buku Suara Khatib Baiturrahman edisi 8 tahun 2012 juga merupakan kumpulan teks naskah khutbah Jum’at yang disampaikan oleh para khatib Jum’at selama tahun 2011. Secara sistematis terdapat perbedaan antara edisi 7 tahun 2011 dengan edisi 8 tahun 2012, pada edisi 7 tahun 2011 memiliki bidang-bidang kajian dan materi-materinya disesuaikan dengan bidang-bidang yang telah ditentukan, sementara pada edisi 8 tahun 2012 tidak lagi dibatasi oleh bidang-bidang kajian tertentu, akan tetapi materi-materi khutbah tersebut disusun secara acak. Dari segi desain sampul juga berbeda hanya latar gambarnya yang konsisten yaitu bermotif Masjid Raya Baiturrahman. Demikian juga dengan cover belakang buku pada edisi 7 tahun 2011 berisi tentang deskripsi buku, sedangkan edisi 8 tahun 2012 hanya terdapat tulisan judul buku yaitu Suara Khatib baiturrahman. Menurut sekretaris tim editing10 buku Suara Khatib Baiturrahman hal ini disebabkan adanya evaluasi dari tim pada setiap sesudah ada hasil cetak untuk dinilai dan diperbaiki penampilannya. Pada edisi ini terdapat 34 buah materi khutbah, 11 berarti dari aspek isi juga terjadi penurunan. Buku Suara Khatib Baiturrahman edisi 7 tahun 2011 terdapat 38 buah materi kajian. Sedangkan dalam buku Suara Khatib Baiturrahman edisi 8 tahun 2012 hanya terdapat 34 buah materi khutbah. Menurut sekretaris tim editing, berkurangnya 4 buah materi khutbah disebabkan oleh adanya tamu luar atau pejabat yang secara transedental menjadi khatib sehingga tidak ada naskah teks khutbah Jum’at.12 Buku Suara Khatib Baiturrahman edisi 8 tahun 2012 membahas tentang Kewajiban Menegakkan Kebenaran, Meningkatkan Kepedulian Umat terhadap Ajaran Tauhid, Membentuk Umat Berwibawa, Nasehat Allah kepada Hamba-Nya, dengan Iman dan Taqwa kita Beramal Shaleh, Nikmat Allah Swt kepada Manusia, Aktualisasi Syari’at Islam, Panggilan Berzakat, Berbisnis secara Islami, Mensucikan Diri dengan Zakat Fitrah, Mewujudkan Nilai-nilai Qurban dalam Kehidupan, Mewujudkan Persatuan Umat, Hari ini Harus Lebih Baik dari Hari Kemaren, Husnul Khatimah, Tujuan Hidup Seorang Muslim, Mutiara Berharga dari Rasulullah Saw, Akhlak Pilar segala Urusan, Menyambut Bulan Kelahiran Rasulullah Saw, Ikhlas Modal Mencapai Keridhaan, Kewajiban Mengemban Amanah.Prinsip-prinsip Kepemimpinan dalam Islam, Cara Terbaik Membina Anak Shaleh, Anak Yatim menjadi Tokoh Masyarakat, Aamul Huzni dan Hubungannya dengan Kondisi Aceh saat ini, Pendidikan Dayah Aceh dan Tantangan Modernitas, Marhaban ya Ramadhan, Membangun Sikap Adil dan Jujur, Beberapa Ciri Pemimpin Umat, Mempererat Ikatan Silaturrahman sesama _____________ 9
Hasil diskusi pada seminar proposal penelitian di Lemlit pada tanggal 25 Juni 2012. Hasil Wawancara dengan Lukmanul Hakim tanggal 14 Oktober 2012. 11 Pengurus Masjid Raya Baiturrahman, Suara Khatib …, h. ix-x. 12 Hasil Wawancara dengan Lukmanul Hakim, tanggal 14 Oktober 2012. 10
44
Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib…
Muslim, Hidup Damai menurut Ajaran Islam, Mari Merperbanyak Amal Shaleh dan materi terakhir adalah tentang Harmonisasi Kehidupan Bermasyarakat. KLARIFIKASI ISI BUKU SUARA KHATIB BAITURRAHMAN EDISI 8 TAHUN 2012 Sebagaimana dalam buku Suara Khatib Baiturrahman edisi 7 tahun 2011, pada edisi 8 ini yang menjadi rujukan utama terhadap materi khutbah adalah ayatayat al-Qur’an dan hadis, yang secara kuantitas juga lebih banyak merujuk kepada ayat dibandingkan hadis. Secara keseluruhan edisi 8 tahun 2012 ini sudah lebih baik dibandingkan dengan edisi 7 tahun 2011. Namun demikian, masih juga terdapat beberapa kekeliruan-kekeliruan baik tekhnik maupun substansi. KEKELIRUAN TEKHNIK Secara tekhnik terdapat ketidakkonsistenan dalam penulisan seperti yang terdapat pada halaman 11 ada dua model penulisan ummat dan umat. Pada edisi ini terdapat juga keragaman bentuk penulisan nama surah dan ayat al-Qur’an dalam bahasan materi khutbah, ada 6 macam bentuk penulisan dalam hal ini, seperti yang terdapat pada hal. 8, QS. An-Nahl ayat 36; hal. 15, Surah Fussilat ayat 41; hal. 88 Q.S.Adz-Dzariyat 56; hal. 114 surah alAhzab, ayat 72; hal. 138, surat Ali Imran: 19; dan halaman 165, al-Maidah ayat 8. Demikian juga dengan beragamnya penulisan nama surah dan ayat alQur’an setelah pencantuman teks ayat, ada 14 macam penulisan seperti yang terdapat pada hal. 1, (QS. Al Baqarah : 147); hal. 3, (QS. Al-Baqarah : 42); hal. 8, 69, tidak disebutkan surat dan ayat; hal. 9, (QS Nuh:6); hal. 10, (QS. Maryam 4246); hal. 13, (al Baqarah 136); hal. 26, (Al-Bayyinah: 7-8); hal. 34, (Al-Baqarah ayat 15); hal. 35, (QS.Kahfi:110); hal. 76, (QS: Al Baqarah: 284); hal. 80, (Q.S. Al-A’raf:34); hal. 96, (QS:Ali Imran:159); hal. 192, (Q.S Al-Kahfi:110); dan hal. 193, (Q.S al-Baqarah:30). Keragaman bentuk tulisan mengenai keterangan perawi hadis juga lebih banyak daripada edisi sebelumnya, ada 7 ragam keterangan seperti yang terdapat pada hal. 5, (HR. Muslim, Nasai dan Ahmad dari Aisyah); hal. 6, (H.R. Ahmad); hal. 7, (HR. Bukhari Muslim); hal. 56, (HR:Muslim); hal. 74, (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah); hal. 177, H.R . Muslim); dan hal. 177, (H.R. Bukhari dan Muslim). Penulisan teks hadis dalam buku Suara Khatib Baiturrahman pada edisi ini, sudah lebih seragam, mayoritas hadis yang ditampilkan tidak dicantumkan perawi hadis atau sumbernya, hanya ada 3 hadis yang menyebutkan perawi atau sumber hadis, yaitu pada hal. 177 (2 hadis) dan 188. Begitu juga dengan pencantuman sahabat yang meriwayatkan hadis, hanya ada 3 hadis yang menyebutkannya, yaitu pada halaman 124 dan 177 (2 hadis), selain hadis tersebut langsung pada matan hadis. Banyak tempat yang kosong, seharusnya masih bisa diisi dengan tulisan, seperti yang terdapat pada hal. 4, 16-17, 34-35, 47, 62, 91. Huruf Arabpun tidak sama antara satu ayat al-Qur’an dengan ayat lain, seperti yang terdapat pada hal. 34 dan 35. Kekeliruan secara tekhnik ini di samping membingungkan juga dapat mengurangi keindahan buku.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
45
KEKELIRUAN SUBSTANSI Secara substansi kekeliruan yang terdapat pada buku Suara Khatib Baiturrahman edisi 8 tidak terlalu banyak lagi, berkisar masalah pengutipan hadis tanpa sumber, kekeliruan dalam penyebutan surah dan ayat al-Qur’an dan terjemah ayat al-Qur’an yang tidak sempurna sesuai dengan teks ayat al-Qur’an yang dicantumkan. Mengenai kekeliruan penulisan nama surah dan penomoran ayat alQur’an, hanya terdapat 3 kesalahan, yaitu pada hal. 10, dicantumkan ayat dan keterangannya adalah surah Maryam ayat 42-46, tetapi ayat tersebut hanya 1 ayat saja, yaitu Maryam ayat 42, bukan 5 ayat sebagaimana keterangannya. Ayat tersebut adalah:
ِ ِ َ ﻷﺑﻴﻪ ِ ِ ِ َ َ ِ ْإذ ِ ِ ْ ُـﺒﺼﺮ ََوﻻ ﻳ ﻋﻨﻚ َﺷْﻴ ًـﺌﺎ ُ ُ ْ َأﺑﺖ ﱂَ ﺗ َ َْ ـﻐﲏ َ َ َ ﻗﺎل ُ َ ْ َ ـﻌﺒﺪ َﻣﺎ َﻻ ُ ُْﻳﺴﻤﻊ ََوﻻ ﻳ
Pada hal. 34, disebutkan bahwa ayat yang dicantumkan dalam bahasan materi khutbah terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 15, namun teks ayat yang dicantumkan adalah:
ِ ِ ِ ﲢﺘﻬﺎ ْاﻷَﻧْـﻬﺎر ِِ ِ ِ ان ِ ِ ﲡﺮي ِِ َ ِْ ﻟﻠﺬﻳﻦ اﺗﱠ َـﻘﻮا ْ ِﻣﻄﻬﺮةٌ َو ٌ ﻋﻨﺪ َرّ ْﻢ َ ﱠ َ ﺧﺎﻟﺪﻳﻦ ٌ ﻓﻴﻬﺎ َوَْأزَو ْ ِ َْ ﺟﻨﺎت ْ َ ﱠ ُﻣﻦ ا ﱠ َوا ﱠ َ ٌ رﺿ َﻮ َ َ ُ َ َ َْ ﻣﻦ َ اج ُ َﱠ ِ ِ ْ ِ ﺑﺼﲑ ِ ﻟﻌﺒﺎد َ ٌ َ
Setelah diteliti, sebenarnya ayat tersebut terdapat pada surah Ali Imran ayat 15. Pada hal. 107, disebutkan bahwa ayat yang dicantumkan adalah surah al-Hajj ayat 22, tetapi setelah diteliti ternyata ayat tersebut terdapat dalam surah al-Hajj ayat 32. Pada terjemah ayat al-Qur’an juga terdapat kekeliruan dan ada juga yang tidak lengkap. Artinya tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang dicantumkan seperti yang terdapat pada hal. 2, tertulis “Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya orangorang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan mereka”. Akan tetapi terjemah yang sesuai dengan teks ayat adalah “Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya orangorang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka”. Hadis yang terdapat dalam buku edisi 8, baik dengan mencantumkan teks Arab maupun dengan mencantumkan terjemah saja sebanyak 46 buah hadis. Dari 46 buah hadis terdapat 24 buah hadis tanpa penyebutan perawinya dan sumber kitabnya seperti pada hal. 18, 21, 27, 29, 63, 68, 76, 77, 78, 81, 82, 90, 100, 106, 111, 127, 114, 119, 131, 133, 141, 149, 171, 172. Setelah diteliti hadis yang terdapat pada hal. 18 diriwayatkan oleh Muslim, hal. 21 diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan Ahmad, hal. 27 diriwayatkan oleh alBaihaqi, hal. 29 diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, dan Ahmad, hal. 63 diriwayatkan oleh al-Darimi, hal. 68 adalah hadis maudhu’ yang tidak diketahui asalnya, hal. 76, tidak diketahui asalnya ada sebagian ulama mengatakan dha’if, bahkan sebagian lain mengatakan maudhu’. Hadis yang terdapat pada hal. 77 diriwayatkan oleh al-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, hal. 78 diriwayatkan oleh Ahmad, hal. 81 tidak diketahui dan tidak didapatkan sanad untuk hadis ini, hal. 82 diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Darimi, hal. 100 diriwayatkan oleh Ahmad,
46
Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib…
hal. 106 diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad, hal. 111 diriwayatkan oleh alHakim, hal. 119 diriwayatkan oleh al-Bukhari. Hadis yang terdapat pada hal. 127 diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hal. 131 diriwayatkan oleh tidak diketahui dan didapatkan sanad untuk hadis ini, hal. 133 diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hal. 141 diriwayatkan oleh imam Malik, hal. 149 diriwayatkan oleh al-Baihaqi, hal. 171 diriwayatkan oleh al-Bukhari Muslim, Abu Daud, al-Nasa’i, al-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, dan hal. 172 diriwayatkan oleh al-Turmudzi. Dari penelusuran 46 buah hadis ini, maka 42 buah hadis yang diketahui jelas sumbernya, sementara 2 buah hadis yaitu hadis yang terdapat pada hal. 81 dan 131 tidak diketahui sumbernnya. Sedangkan 2 buah hadis lagi yaitu hadis yang terdapat pada hal. 68 dan 76 adalah hadis maudhu’. Terdapat 22 buah hadis hanya disebutkan perawi, tetapi tidak disebutkan sumber kitabnya seperti yang terdapat pada hal. 4, 5, 6, 7, 19, 56, 62, 74 (hadis ini dijelaskan nomor hadisnya, tetapi tidak disebutkan kitabnya), 94 (pada halaman ini terdapat 2 buah hadis), 97, 101, 102, 116, 117, 124, 177 (pada halaman ini terdapat 2 buah hadis), 112, 149, 158, 159. Selanjutnya sebagaimana pada edisi sebelumnya, edisi ini juga terdapat kekeliruan dalam penyebutan perawi hadis dan sumber kitab hadis, seperti yang terdapat pada hal. 7, hadis yang disebutkan pada halaman ini, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukhari memang meriwayatkan hadis tersebut, akan tetapi al-Bukhari tidak meriwayatkan dengan redaksi seperti yang disebutkan dalam pembahasan. Redaksi yang didapat dalam Shahih al-Bukhari adalah:
ﲰﻌﺖ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل ﻻ ﻳﺰال ﻣﻦ أﻣﱵ أﻣﺔ ﻗﺎﺋﻤﺔ ﻣﺮ ﷲ: أﻧﻪ ﲰﻊ ﻣﻌﺎوﻳﺔ ﻗﺎل 13 ﻣﺎ ﻳﻀﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﻛﺬ ﻢ وﻻ ﻣﻦ ﺧﺎﻟﻔﻬﻢ ﺣﱴ ﰐ أﻣﺮ ﷲ وﻫﻢ ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ Sedangkan hadis yang tercantum pada halaman tersebut adalah: 14
ِ ِ ﻃﺎﺋﻔﺔٌ ِﻣﻦ ُﱠ ِْ ﺧﺬﳍﻢ ﱠ ِ أﻣﺮ ا ﱠ ََ ﻳﻦ ِّ َْ ﻋﻠﻰ َ َُْ َ َ ﻣﻦ ْ َ ﻳﻀﺮﻫﻢ ْ َ َ ﻻَ ﺗَـَﺰ ُال ْ ُ اﳊﻖ ﻻَ َ ُ ﱡ َ أﻣﱴ َﻇﺎﻫ ِﺮ ُ َْ ﺗﻰ َ َ ﺣﱴ
Pada hal. 124 dalam bahasan disebutkan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim, namun redaksi hadis yang dicantumkan dalam pembahasan kurang tepat, karena redaksi yang terdapat dalam Shahih Muslim adalah:
أن رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل إذا ﻣﺎت اﻹﻧﺴﺎن اﻧﻘﻄﻊ ﻋﻨﻪ ﻋﻤﻠﻪ إﻻ ﻣﻦ: ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة 15
ﺛﻼﺛﺔ إﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳﺔ أو ﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ أو وﻟﺪ ﺻﺎﱀ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ
Sedangkan redaksi yang tertulis adalah:
أن رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل إذا ﻣﺎت اﻹﻧﺴﺎن اﻧﻘﻄﻊ ﻋﻨﻪ ﻋﻤﻠﻪ إﻻ ﻣﻦ:ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﺛﻼﺛﺔ ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳﺔ أو ﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ أو وﻟﺪ ﺻﺎﱀ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ Terdapat juga penjelasan yang disandarkan kepada Rasul tanpa menyebutkan teks hadis, namun hanya menyebutkan nama perawinya, seperti _____________ 13
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab al-manaqib, bab fi lailatin mudhlimatin wa ma’ahuma mitslu al-mishbahain, hadis nomor 3684. 14 Muslim, Shahih Muslim, kitab al-imarah, bab qaul Nabi Saw la tazalu thaifah..., hadis nomor 5059. 15
Muslim, Shahih Muslim, kitab al-washiyah, bab ma yalhaqu al-insan min al-tawwab min al-wafati, hadis nomor 4310. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
47
yang terdapat pada hal. 4. Demikian beberapa hal yang perlu diklarifikasi dari penjelasan yang sudah dipaparkan, terlihat bahwa kesalahan dan kekeliruan buku Suara Khatib Baiturrahman pada edisi 8 tahun 2012 ini jauh lebih sedikit, jika dibandingkan dengan edisi 7 tahun 2011. KUALITAS HADIS DALAM BUKU SUARA KHATIB BAITURRAHMAN EDISI 8 TAHUN 2012 Pada buku Suara Khatib Baiturrahman edisi 8 ini, ditemukan 28 hadis yang dicantumkan dengan teks Arabnya. Sementara hadis yang dicantumkan terjemahnya saja sebanyak 18 hadis. Berbeda dengan edisi sebelumnya, pada edisi ini jumlah hadis yang bukan diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim lebih banyak, yaitu berjumlah 15 hadis. Sedangkan yang diriwayatkan oleh dua imam tersebut berjumlah 13 hadis. Pada edisi ini, hadis yang akan diteliti juga hadishadis yang diriwayatkan oleh selain al-Bukhari dan Muslim yang berjumlah 15 buah hadis. Hadis-hadis yang akan diteliti pada edisi ini adalah hadis-hadis yang terdapat pada: 1. Hal. 6, hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad
ِ ﻋﺒﺪ ا ﱠِ َ ﱠ َِ وﻋﻔﺎن َﻗﺎﻻَ َ ﱠ ﺣﺪﺛﲎ َِأﰉ َ ﱠ َﱠ ﻋﻠﻰ ﺳﻠﻤﺔ َ َ ﻫﺎرون َ ﱠ ُ ﺑﻦ َ ُ َ ﺑﻦ َ َ َ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َْ ُ أﺧﺒَ َـﺮَ َ ﱡ ﻗﺎل َ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َﱠ ُ ﲪﺎد ْ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ﻳَِﺰ ُﻳﺪ ْ ُ ﻧﻀﺮة ﻋﻦ َِأﰉ ﺳ ِ ٍ ٍ اﻟﻌﺼﺮ ِ َإﱃ ُ َ ِْ ـﻌﺪ ْ َ ْ ِ ﻣﻐﲑَ ِن ﻗﺎل َﺧﻄَﺒَ َـﻨﺎ َ ُ ُ ﻌﻴﺪ َ َ رﺳﻮل ا ﱠِ -ﷺً َْ ُ - ﺧﻄﺒﺔ ﺑَ ْ َ ﻋﻦ َِأﰉ َ ْ ََ َ ْ ﺑﻦ َزْﻳﺪ َ ْ َ ُْ ِ ِ ﺣﻔﻈﻬﺎ َ ِ ِ اﻟﺸﻤﺲ ِ َ ِ أﻛﺜَ ُـﺮ ﻋﻔﺎن َ َ َ ﻓﺤﻤﺪ ا ﱠَ َ َ - ﲪﺎد َوَ ْ ﻗﺎل َ ﱠ ُ ﻧﺴﻰ َ َ ِ َ وﻗﺎل َﱠ ٌ ﱠْ ِ َ َ وﻧﺴﻴَ َـﻬﺎ ﱠﻣﻨﺎ َ ْ ﺣﻔﻈﻬﺎ ﱠﻣﻨﺎ َ ْ ﻣﻦ َ َ َ َ ﻣﻦ َ َ ﻗﺎل ِﲟﺎ ﻫﻮ َ ِ ِ ِ ﻓﺤﻤﺪ ا ﱠ -وأَﺛْـﲎ َ ِ ِِْ ـﻮم ْ ِ ِ ِ ـﻌﺪ َِ ﱠ ﻓﺈن ﱡ اﻟﺪﻧَْـﻴﺎ ﻋﻠﻴﻪ ُﰒﱠ َ َ ﻗﺎل » َﱠأﻣﺎ ﺑَ ْ ُ اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ َ َ َ َ َ َ َ ْ ﻛﺎﺋﻦ َإﱃ ﻳَ ْ َ َ ﺣﻔﻈﻰ َﱠأﻧﻪُ َ َ َ ُ َ ٌ ُِ ُ ِ ِ ِ ِ اﻟﻨﺴﺎءَ َأﻻَ ِ ﱠ ﺣﻠﻮةٌ َ ِ ﱠ ـﻌﻤﻠﻮن َأﻻَ َﻓﺎﺗﱠ ُـﻘﻮا ﱡ إن َِﺑﲎ ﻛﻴﻒ ﺗَ ْ َ ُ َ ـﻨﺎﻇﺮ َ ْ َ ﻣﺴﺘﺨﻠﻔﻜﻢ َ ﻓﻴﻬﺎ ﻓََ ٌ وإن ا ﱠَ ُ ْ َ ْ ْ ﺧﻀﺮةٌ ُ ْ َ َ َ اﻟﺪﻧَْـﻴﺎ َواﺗـﱠ ُﻘﻮا ّ َ ٍ وﳝﻮت ْ ِ ِ وﳛﻴﺎ ْ ِ ﺷﱴ ِﻣْﻨـﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻮَ ُﻟﺪ ْ ِ ﺧﻠﻘﻮا ََ ﻣﻦ ﻳُﻮَ ُﻟﺪ َﻛﺎﻓِﺮاً آدم ُ ِ ُ ََ ـﻬﻢ َ ْ ﻣﺆﻣﻨﺎً َ َُ ُ ُ ﻣﺆﻣﻨﺎً َ ََْ ُ ﻋﻠﻰ ﻃََﺒ َـﻘﺎت َ ﱠ ُ ْ َ ْ ُ ُ ﻣﺆﻣﻨﺎً َوﻣْﻨ ُ ْ ِ َ ِ ِ ِ وﳛﻴﺎ ْ ِ وﻣْﻨـﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻮَ ُﻟﺪ ْ ِ ِ ِ وﳛﻴﺎ ﻣﺆﻣﻨﺎً َ َُ ُ وﳛﻴﺎ َﻛﺎﻓﺮاً َ َُ ُ ﻣﻦ ﻳُﻮَ ُﻟﺪ َﻛﺎﻓﺮاً َ ََْ ـﻬﻢ َ ْ ﻣﺆﻣﻨﺎً َ ََْ ُ وﳝﻮت َﻛﺎﻓﺮاً َ ُ ْ َ ْ ُ ُ َ َْ وﳝﻮت َﻛﺎﻓﺮاً َوﻣْﻨ ُ ْ ِ ﺗﻮﻗﺪ ِﰱ ِ وﳝﻮت ْ ِ ﻣﺆﻣﻨﺎً َ َ ِ ـﺮون ِ َإﱃ ُْ ِ ﺟﻮف ْ ِ اﻧﺘﻔﺎخ ﲪﺮة َﻋْﻴـﻨَ ْ ِـﻴﻪ َو ِْ َ ِ اﻟﻐﻀﺐ ٌََْ آدم َأﻻَ ﺗَ َ ْ َ اﺑﻦ َ َ َﻛﺎﻓﺮاً َ َُ ُ ُ ﲨﺮة ُ َ ُ َ ْ أﻻ ﱠإن ْ َ َ َ َ أﺣﺪﻛ ﻢ ﺷﻴﺌﺎً ِ ِ اﻟﺮﺟﺎل ﻣﻦ َ َ ِ َ ِِ ِ ﺑﻄﻰء ْ َ َ ِ اﻷرض َأﻻَ ِ ﱠ اﻟﻐﻀﺐ أوداﺟﻪ َِ َ ﻓﺈذا َ َ َ ﻣﻦ َ َ َْ ﻓﺎﻷرض َْ َ ذﻟﻚ َ َْ َ إن ﺧَْﻴ َـﺮ ِّ َ َ ْ وﺟﺪ َ َ ُ ُ ْ َ ْ ْ ﻛﺎن َ َ ﺑﻄﻰء ْ َ ِ ِ ِ ﻛﺎن ﺳ ِﺮﻳﻊ ْ َ ِ ِ وﺷﺮ ِ ِ اﻟﺮﺿﺎ َِ َ ﻓﺈذا َ َ اﻟﺮﺟﻞ َ َ َ ﺑﻄﻰء ِّ َ ﻣﻦ َ َ َ َ َ َﺳ ِﺮ َﻳﻊ ِّ َ اﻟﺮﺟﺎل َ ْ اﻟﺮﺿﺎ َ َ ﱠ ّ َ اﻟﻐﻀﺐ َﺑﻄﻰءَ اﻟﻐﻀﺐ َ َ ﻛﺎن ﱠ ُ ُ ﻛﺎن ﺣﺴﻦ ْ ِ ْ ِ ﻟﻐﻀﺐ ﺳ ِﺮﻳﻊ ْ َ ِ ِ ِ ِ ِ إن ﺧَْﻴـﺮ ﱡ ﱠ ِ ﺣﺴﻦ ﻣﻦ َ َ َ َ َ َ َ اﻟﺘﺠﺎر َ ْ وﺳ ِﺮ َ اﻟﻔﻰء َ َ اﻟﻘﻀﺎء َ َ َ اﻟﻔﻰء َﻓﺈﻧﱠ َـﻬﺎ َﺎ َأﻻَ ﱠ َ ﻳﻊ اْ َ َ َ َ ْ َْ اﻟﺮﺟﻞ َﺣﺴﻦ ْ َ َ ِ ِ ﺳﻴﺊ ْ َ َ ِ ِ ﻣﻦ َ َ ِ ﺳﻴﺊ ﱠَ ِ ﺳﻴﺊ ﱠَ ِ ﱠَ ِ وﺷﺮ ﱡ ﱠ ِ اﻟﻄﻠﺐ اﻟﻄﻠﺐ َِ َ ﻓﺈذا َ َ اﻟﻄﻠﺐ َ َ ﱠ اﻟﺘﺠﺎر َ ْ اﻟﻘﻀﺎء َ ّ َ اﻟﻘﻀﺎء َ ّ َ ﻛﺎن َ ّ َ ﻛﺎن ﱠ ُ ُ َ َ ِ إن ِ ُ ِ ِ اﻟﻘﻀﺎء ﺣﺴﻦ ﱠَ ِ ِ ِ ﻏﺎدر ﻟِﻮاء ﻳـﻮم ْ ِ ِ ِ َْأو َﻛ َ ِ اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ َِ ْ ِ ﻏﺪ َرِِﺗﻪ َأﻻَ ﺑﻘﺪر َ ْ ﻟﻜﻞ َ ٍ َ ً َ ْ َ َ َ ﺎن َّ َ ﺳﻴﺊ ْ َ َ َ َ َ اﻟﻄﻠﺐ َﻓﺈﻧﱠ َـﻬﺎ َﺎ َأﻻَ ﱠ ّ أن ﻳ َ ﱠ ِ ِ ِ ِ أﻣﲑ ﱠ ٍ اﻟﻐﺪر َ ْ ِ أﻛَﺒـﺮ ْ َ ْ ِ ﻣﻬﺎﺑﺔُ ﱠ ِ ﻋﻠﻤﻪُ َأﻻَ ِ ﱠ أﻓﻀﻞ ﻋﺎﻣﺔ َأﻻَ ﻻَ ﳝَْﻨَ َ ﱠ ﻏﺪر َ ِ َ رﺟﻼً َ َ َ ـﻌﻦ َ ُ ـﺘﻜﻠﻢ ْﳊَ ّﻖ َإذا َ َ ُ اﻟﻨﺎس َ ْ ََ َ َوَ ْ ُ إن َْ َ َ ِ ِْ ِ ِ ﻗﺎل » َأﻻَ ِ ﱠ ِ ﻛﻠﻤﺔُ ٍ ِ ﻋﻨﺪ ْ َ ٍ ﻋﻨﺪ ُ َ ِْ ﺳﻠﻄﺎن َ ٍِ ﻣﻐﲑَ ِن ﱠ ْ ِ ﺑﻘﻰ اﻟﺸﻤﺲ َ َ ﺟﺎﺋﺮ « .ﻓَ َ ﱠ ـﻠﻤﺎ َ َ ﻛﺎن ِْ َ اﳉﻬﺎد َ َ َ ّ َ ﺣﻖ ْ َ ُ إن ْ َ ﻣﺜﻞ َﻣﺎ َ َ 16 ـﻮﻣﻜﻢ َ ِ اﻟﺪﻧْـﻴﺎ ِﻓﻴﻤﺎ ﻣﻀﻰ ِﻣْﻨـﻬﺎ ِ ْﻣﺜﻞ ﻣﺎ ِﺑﻘﻰ ِ ِ ِ ﻣﻀﻰ ِ ْﻣﻨﻪُ «. ﻓﻴﻤﺎ َ َ ﻣﻦ ﻳَْ ُ ْ َ ﻣﻦ ﱡ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ ْ ﻫﺬا َ َ _____________ 16
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis nomor 10716.
…Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib
48
“…Ketahuilah oleh kalian bahwa sesungguhnya jihad yang paling baik adalah menyerukan perkataan yang hak (kebenaran) kepada penguasa yang zalim…” Selain diriwayatkan oleh imam Ahmad, seperti yang tercantum dalam buku tersebut, hadis ini juga diriwayatkan ashab al-sunan, yaitu Abu Daud, alTurmudzi, al-Nasa’i dan Ibnu Majah, dengan redaksi sanad dan matan hadis yang berbeda, dan sudah dishahihkan oleh al-Albani. 2. Hal. 21, hadis ini tidak disebutkan perawinya.
ِ اﳊﺒﺎب ﱠ ِ ٍ ََ ﻋﻦ ﻣﻨﻴﻊ َ ﱠ َﱠ ﻗﺎل ٍ ِ َ ﺑﻦ َ َ ﻗﺎل َ َ أﻧﺲ َ َ ََﻋﻦ ﻗ َ َ َ ْ َ ﺑﻦ ُ َ ْ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ ﱡ ْ َ ـﺘﺎدة ْ َ ﻣﺴﻌﺪة َ َُْ ﺑﻦ ُ ْ ﻋﻠﻰ ُ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َزْ ُﻳﺪ ُ ْ أﲪﺪ 17 ِ آدم َ ﱠ اﺑﻮن ُ َُ َ ُ اﳋﻄﺎﺋﲔ اﻟﺘﱠـ ﱠﻮ ُ ﱡ: رﺳﻮل ا ﱠِ ﷺ َ ﺧﻄﺎءٌ َوﺧَْﻴ ُـﺮ َْ ﱠ َ َ ﻛﻞ َِﺑﲎ
“Setiap bani Adam pernah berbuat salah, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat”. Selain Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Turmudzi juga meriwayatkan dengan redaksi hadis yang berbeda. Al-Hakim memberi penilaian pada hadis ini, ia berpendapat bahwa hadis ini shahih. Pada hadis ini, al-Zahabi berpendapat bahwa salah seorang perawi bernama Ali bin Mas’adah bersifat lunak ( )ﻟﲔ, salah satu sifat rawi yang menunjukkan kelemahannya, namun sifat ini masih dekat dengan sifat adil. Dan perawi yang disifati dengan sifat ini masih bisa dipergunakan hadisnya sebagai i’tibar. 3. Hal. 62, hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad
ِ ﻋﻴﺎش ﻋﻦ ِ ُ ﺣﺪﺛَـﻨﺎ ِ ْ ﻳﺪ ْﺑﻦ ِ ْ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َُأﺑﻮ ِ َ ْ ﻋﺒﺪ ﱠ ـﺒﺔ َ ﱠ َﱠ اﻷﻋﺮِج َ َ ﺑﻦ َِأﰉ َﺷْﻴ َْ ْ َ ٍ ﺑﻦ َﱠ َْ َ اﳊﺒﺎب َ ﱠ َُ ُ ُ ْﺣﺪﺛََـﻨﺎ َز ُ ْ ﻋﺒﺪ ا ﱠ ُ ْ ﺑﻜﺮ َ ْ َ اﻟﺮﲪﻦ ﻋﻦ َِأﰉ ُﻫَﺮﻳْ ََـﺮة َ ﱠ .« َ ﻣﺼﻼﱠ َ َ - ﷺ- ِرﺳﻮل ا ﱠ َ ُ َ أن َ َ ٌﺳﻌﺔ ﻳﻀﺢ َﻓﻼَ ﻳَ ْـﻘَﺮَ ﱠ َ َ ﻣﻦ َ ُ ﺑﻦ َ َ ُﻛﺎن َﻟﻪ ْ َ » ﻗﺎل َْ ِّ َ ُ ْوﱂ
“Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai kemampuan tetapi tidak melakukan (ibadat) korban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kita.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Hakim, dan dia berkata shahihul isnadnya dan disahihkan oleh al-Albani. 4. Hal. 63, hadis ini tidak disebutkan perawinya.
ِ ﻟﻴﺚ ﻋﻦ ٍ ِ ِ اﻟﺮﲪﻦ ٍ ٍ رﺳﻮل ُ ُ َ ﻗﺎل َ َ ﻗﺎل َ َ أﻣﺎﻣﺔ َ ُ َ ﺑﻦ َ َ َُ ﻋﻦ َِأﰉ َْ ْ ِ َ ْ ﻋﺒﺪ ﱠ َْ ْ َ َْ ﻋﻦ ْ َ ﺑﻦ َﺳﺎﺑﻂ ْ َ ﻋﻦ َﺷ ِﺮﻳﻚ ْ َ ﻫﺎرون ُ ْ أﺧﺒَ َـﺮَ ﻳَِﺰ ُﻳﺪ ِ ِ ِ ٌ َ ْ ﻇﺎﻫﺮةٌ َأو ِ ِ ٌ ﺟﺎﺋﺮ َأو ﳛﺞ َ َ ﻓﻤﺎت وﱂْ َُ ﱠ َ َ َ ﺣﺎﺑﺲ َ َ اﳊﺞ ْ َ »: - ﷺ- ا ﱠ ُ ْ َ َ ٌﺣﺎﺟﺔ ِّ َْ ﻣﻦ َ ُﻣﻦ َﱂْ ﳝﻨََْ ْـﻌﻪ َ َ ْ ٌ َ ﺳﻠﻄﺎن ٌ َ ﻣﺮض ِ إن ﺷﺎء ﻳ .« ﻧﺼَﺮ ِاﻧﻴﺎ ْ ِ َ ـﻬﻮد ْ ُ َْ َﻓ ْ َ َوإن َﺷﺎء َُ َ َ ْ ِ ـﻠﻴﻤﺖ
Ada beberapa ulama yang meriwayatkan hadis ini, seperti al-Baihaqi dan al-Darimi. Namun dengan sanad hadis seperti di atas, yang diriwayatkan oleh Syarik bin Laits, hadis ini dicantumkan dalam al-Mudhu’at oleh Ibn al-Jauzi. AlZahabi menyebutkan bahwa hadis ini munkar. Al-Albani mencantumkan hadis ini dalam Dhaif Targhib wa Tarhib. 5. Hal. 77, hadis ini tidak disebutkan perawinya. _____________ 17
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 4392. Abu Daud dan Turmudzi, dengan redaksi hadis yang berbeda. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
49
ِ وﺣﺪﺛَـﻨﺎ ﻋﺒﺪ ا ﱠِ ﺑﻦ ِ ﻛﻴﻊ ﱠ ِ ﺳﻔﻴﺎن ِ ْ َ ﻋﻦ َِأﰉ ِ ْ ﺑﻜﺮ َﱠ ﻋﺒﺪ ََ ْ َ ﺑﻦ َِأﰉ َْ ُ ْ ُ َْ َ ﻣﺮﱘ ح َ َ ﱠ ْ َ ﻳﻮﻧﺲ َ ٍ ﺑﻦ َو ُ ْ ﻋﻴﺴﻰ ُ ْ ُ َ ْ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ ُ ُ ﺑﻦ ِ ْ ﻋﻮن َأﺧﺒـﺮَ اﺑﻦ ٍ ٍ ِ َ ﺑﻦ ِ ْ َ ﻋﻦ َِأﰉ ِ ْ ﺿﻤﺮة ِ ْ ﺑﻜﺮ ِ َْ ﱠ ﻋﻦ ََ ْ َ ﻋﻦ ْ َ اﻟﺮﲪﻦ ََ ْ َ ﺑﻦ َِأﰉ ْ َ ﺣﺒﻴﺐ ْ َ ﻣﺮﱘ ْ َ اﻟﻤﺒﺎرك َ َ ُ ُ ْ َ َ ْ ْ َ ﺑﻦ ُ ْ ﻋﻤﺮو ُ ْ َ َأﺧﺒَ َـﺮ ِ ِ ِ دان ﻧَ ْـﻔﺴﻪ ِ ْ ـﻌﺪ ِ ِِ ِ ٍ ِ ِ َ ﱠ ﻣﻦ َ َ -ﷺ- اﻟﻨﱮ ُ َ ْ اﻟﻤﻮت َو ْ َ اﻟﻌﺎﺟﺰ ْ َ اﻟﻜﻴﺲ ْ َ َ ْ َوﻋﻤﻞ َﻟﻤﺎ ﺑ َ َ َ ُ َ َ َ ﻣﻦ ُ ّ َ ْ » ﻗﺎل ّ ﺷﺪاد ْﺑﻦ َْأوس َﻋﻦ ﱠ 18 « ِﻋﻠﻰ ا ﱠ ََ وﲤﲎ ـﻔﺴﻪُ َﻫ َﻮ َاﻫﺎ َ ََﱠ َ َ ْأَﺗ َ ْ َـﺒﻊ ﻧ
“ Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya, dan beramal untuk kehidupan sesudah mati. Dan orang lemah adalah orang memperturutkan nafsunya dan berangan-angan mendapat kebaikan Allah” Hadis ini hasan menurut al-Turmudzi, dalam Riyadhu al-Shalihin hadis ini menjadi salah satu hadis dhaif karena salah seorang rawi yang bernama Abu Bakar bin Abi Maryam, dikenal dhaif mukhtalith. Selanjutnya Dzahabi menolak dan mengkritiknya, dengan berkata, “Demi Allah, Abu Bakar adalah orang yang suka menduga-duga dalam meriwayatkan hadis. Ada Syahid untuk hadis tersebut dari Anas RA, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, tetapi beliau berkata, “Tetapi dalam sanad hadis ini ada perawi bernama Aun bin Ammarah, dia orang yang dhaif dalam periwayatannya.”19 6. Hal. 78, hadis ini tidak disebutkan perawinya.
ٍ ﺑﻦ ُ ﱠ ٍ ﺣﺪﺛَـﻨﺎ ُﳏ ﱠﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒ ِ َ إﺳﺤﺎق َِ ﻋﺒﺪ ا ﱠِ َ ﱠ ـﻴﺪ َ ﱠ َﱠ ﻋﻦ ِ ﻋﻦ ﱠﱠ َ َ ْ ِ ﺑﻦ ُ َْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ ِ ْ اﻟﺼﺒﺎح ْ َُ ُ ْ ُ َ َ ﺣﺪﺛﲎ َِأﰉ َ ﱠ ْ َ ﳏﻤﺪ ُ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ أََ ُن ِ اﳍﻤﺪاﱏ ﻋﻦ ٍ ِ ْ ِﻋﺒﺪ ا ﱠ رﺳﻮل ا ﱠِ ﷺ » ِ ﱠ ﻛﻤﺎ ُ ُ َ ﻗﺎل َ َ ﻗﺎل َ َ ﻣﺴﻌﻮد َُ ﱠ َْ ْ َ ِِّ َ َْْ ﻣﺮة ُ ْ َ ﺑﻦ ْ ُ ََ ْ َ ـﻨﻜﻢ ْ ُ َ ﻗﺴﻢ ﺑَـْﻴ َ َ أﺧﻼﻗﻜﻢ َ َ َ َإن ا ﱠ ِ ِ ِّ ـﻌﻄﻰ ِ ﳛﺐ وﻻَ ﻳ ِ ِ وﺟﻞ ﻳ اﻗﻜﻢ َ ِ ﱠ ـﻌﻄﻰ ﱡ ﻟﻤﻦ وإن ا ﱠَ َ ﱠ ﻣﻦ ُِ ﱡ ْ ُ َ وﻣﻦ ﻻَ ُ ﱡ ْ ُ ﻋﺰ َ َ ﱠ ْ َ اﻟﺪﻳﻦ إﻻﱠ ْ َ َ ﳛﺐ ْ َ اﻟﺪﻧَْـﻴﺎ ْ ُ َ ـﻨﻜﻢ َْأرَز ْ ُ َ ﺴﻢ ﺑـَْﻴ َ َ َ َﻗ ِ ِ ِ ِ ـﻘﺪ َ ﱠ ﱠ ِ ِِ ِ ِ َ ْ َ ﻓﻤﻦ َﻟﺴﺎﻧﻪُ َوﻻ ََ ﱠ ٌ َْ ﻳﺴﻠﻢ ُ َ ﻳﺴﻠﻢ ﻗَ ُْـﻠﺒﻪُ َو َ ْ َ َاﻟﺪﻳﻦ ﻓ ْ َ َ أﺣﺐ َ ّ ُأﻋﻄﺎﻩُ ا ﱠ َ ْ ُ ﻋﺒﺪ َﺣ ﱠﱴ ُ ْ ُ َأﺣﺒﻪُ َواﻟﺬى ﻧَ ْـﻔﺴﻰ َﺑﻴﺪﻩ ﻻ 20 ِ « ُاﺋﻘﻪ ـﺆﻣﻦ َ ﱠ َِ ﺟﺎرﻩُ ﺑـَ َﻮ ُ َ ﻣﻦ َ ََْ ﺣﱴ ُ ْ ُﻳ Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dan al-Hakim. Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, menyebutkan bahwa hadis ini shahih al-isnad dan juga dishahihkan oleh al-Albani. 7. Hal. 81, hadis ini tidak disebutkan perawinya.
اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﺰرﻋﺔ اﻷﺧﺮة Tidak ditemukan hadis ini dalam penelusuran, sebagian berpendapat bahwa ini adalah hikmah atau perkataan para ulama, bukan hadis, namun penulis (khatib) menyebutnya sebagai sabda Rasulullah. 8. Hal. 97, hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabrani
اﳌﺆﻣﻦ ﻟﻒ وﻳﺆﻟﻒ وﻻ ﺧﲑ ﻓﻴﻤﻦ ﻻ ﻟﻒ وﻻ ﻳﺆﻟﻒ وﺧﲑ اﻟﻨﺎس أﻧﻔﻌﻬﻢ ﻟﻠﻨﺎس _____________ 18
Al-Turmudzi, Sunan al-Tumudzi, kitab shifat al-qiyamah, bab al-kaisu man dana nafsahu, hadis nomor 2647. 19 Silsilah al-Ahadis al-Dha‘ifah, hadis no. 5319; Dha’if al-Jami’ al-Shaghir no. 4305; Dha’if Sunan al-Turmudzi hadis no. 436; Dha’if Sunan Ibnu Majah hadis no. 930; Takhrij Riyadh al-Shalihin hadis no. 66 oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth. 20 Ahmad bin hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, musnad Abdullah bin Mas’ud, hadis nomor 3744. 50
Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib…
”Rasulullah Saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” Hadis ini telah dishahihkan oleh al-Albani. 9. Hal. 100, hadis yang diriwayat oleh al-Tabrani
ٍ ََْ ﺑﻦ ٍ َ ِ ﻋﻤﺮو ْﺑﻦ ِ ْ ـﻌﻠﻰ ِ ْ ﻋﻦ ِ َ دﻳﻨﺎر ﺳﻔﻴﺎن َ ﱠ ﻋﻤﺮ َ ﱠ َﱠ ﻋﻦ َ ْ َﻋﻦ ﻳ ُ َ ْ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ َ َْ ُ اﺑﻦ َِأﰉ ْ َ ﳑﻠﻚ ْ َ ﻣﻠﻴﻜﺔ ُ ُ ْ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ُ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ َ ُ اﺑﻦ َِأﰉ ِ داء ﻋﻦ َِأﰉ ﱠ ِ ُِأم ﱠ ِ ِ ِ ْ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻳـﻮم ِ ِ ِ ِ َ ْﻗﺎل » ﻣﺎ َﺷﻰء أَﺛ ٍ ُ ُ ﻣﻦ اﻟﺪرداء َ ﱠ ﺧﻠﻖ أن ﱠِ ﱠ َْ ْ ّ ْ اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ َ َ َ ْ َ ِ ْ ُ ْ ـﻘﻞ ﰱ ﻣﻴَﺰان ْ َ َاﻟﺪر ُ ٌ ْ َ َ َ اﻟﻨﱮ ﷺ ِ ْ اﻟﻔﺎﺣﺶ ِ ٍََ ﺣﺴﻦ َ ِ ﱠ « َاﻟﺒﺬىء ُ َ وإن ا ﱠَ ﻟَﻴَـْﺒ َ َ َ ْ ـﻐﺾ “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat timbangannya bagi seorang mukmin di hari kiamat dari akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah sangat membenci orang-orang yang berbuat jahat dan keji”. Hadis ini dinilai hasan shahih. 10. Hal. 101, hadis yang diriwayat oleh al-Tabrani
ِ ٍ اﺑﻦ ﱠ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ رﺳﻮل ا ﱠِ َ ﱠ َِ اﳊﺴﻦ ُ ُ َ ﻗﺎل َ َ :ﻗﺎل َ َ ،ـﻌﺎﱃ َﻋْﻨ ُـﻬﻤﺎ َ َ َرﺿﻲ ا ﱠُ ﺗ َ ِ ْ ﻋﻦ ُ ُُْ :وﺳﻠﻢ ُ َ َْ اﳋﻠﻖ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ َ َ ﻋﺒﺎس 21 ِ ِ َ اﳋﻄﺎ ِ .اﻟﻌﺴﻞ اﳋﻠﻖ ﱡ ـﻔﺴﺪ َْ ﱡ ُ ِ ْ ُﻛﻤﺎ ﻳ ُ ِ ْ ُاﻟﺴﻮءُ ﻳ َ َْ ُاﻟﻤﺎء ُ ُُْ َو،اﳉﻠﻴﺪ َ َ اﻟﻌﻤﻞ َ ْ ﻳﺬﻳﺐ َ َ َ َْ ﻳﺬﻳﺐ ُ ُ ﻛﻤﺎ ُ ُ َ َ َ ْ اﳋﻞ َ َ َ ْ ـﻔﺴﺪ “Akhlak yang baik mencairkan dosa seperti air mencairkan gumpalan salju, sedangkan akhlak yang buruk merusak amal shaleh seperti cuka merusak madu”. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabrani ini, berbeda redaksinya dengan yang dicantumkan dalam buku, dan peneliti tidak menemukan al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini, seperti keterangan yang dicantumkan pada hadis ini. Hadis yang tertulis yaitu:
ِ ُ ْ إن ﺣﺴﻦ اﻟﻌﺴﻞ َ َْ ﻳﺬﻳﺐ اﳋﻄﻴ ﺌﺔ و إن ﱡ ـﻔﺴﺪ َْ ﱡ ُ ِ ْ ُﻛﻤﺎ ﻳ ُ ِ ْ ُاﻟﺴﻮءُ اﳋﻠﻖ ﻳ ُُ َ َ اﻟﻌﻤﻞ ُ ُ اﳋﻠﻖ َ َ َ ْ اﳋﻞ َ َ َ ْ ـﻔﺴﺪ
Hadis ini dha’if karena salah satu perawi bernama Isa bin Maimun dinilai dha’if oleh para ulama. Al-Tabrani meriwayatkan hadis ini dalam Mu’jam al-Kabir dan Ausath. 11. Hal. 102, hadis yang diriwayat oleh Abu Ya’la
إﻧﻜﻢ ﻻ ﺗﺴﻌﻮن اﻟﻨﺎس ﻣﻮاﻟﻜﻢ وﻟﻜﻦ ﻟﻴﺴﻌﻬﻢ ﻣﻨﻜﻢ ﺑﺴﻂ اﻟﻮﺟﻪ وﺣﺴﻦ اﳋﻠﻖ Hadis ini selain diriwayatkan oleh Abu Ya’la juga diriwayatkan oleh alHakim, al- Baihaqy dan al-Suyuti, menurut al-Hakim hadis ini shahih. 12. Hal. 116, hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabrani
ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ، ﺷﺮﻳﻚ: ﷴ ﺑﻦ أ ن اﻟﻮاﺳﻄﻲ ﻗﺎل: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﷴ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ اﳊﻀﺮﻣﻲ ﻗﺎل اﻹﻣﺎرة أوﳍﺎ ﻧﺪاﻣﺔ: ﻻ أدري رﻓﻌﻪ أم ﻻ ﻗﺎل: ﻗﺎل ﺷﺮﻳﻚ، ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة، ﻋﻦ أﰊ ﺻﺎﱀ، ﻋﻴﺴﻰ 22 وآﺧﺮﻫﺎ ﻋﺬاب ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ، وأوﺳﻄﻬﺎ ﻏﺮاﻣﺔ، Ibnu Hibban dan al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini, mereka menilai bahwa hadis ini shahih, walaupun gharib. _____________ 21
Al-Tabrani, Mu’jam al-Kabir, hadis nomor 10626. Al-Tabrani, Mu’jam al-Ausath, hadis nomor 5774.
22
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
51
13. Hal. 119, hadis ini tidak disebutkan perawinya.
وﺣﺪﺛﲏ إﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺑﻦ اﳌﻨﺬر ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ ﷴ ﺑﻦ ﻓﻠﻴﺢ. ( ﺣﺪﺛﻨﺎ ﷴ ﺑﻦ ﺳﻨﺎن ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻓﻠﻴﺢ ) ح ﺑﻴﻨﻤﺎ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ: ﻗﺎل ﺣﺪﺛﲏ أﰊ ﻗﺎل ﺣﺪﺛﲏ ﻫﻼل ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﻋﻦ ﻋﻄﺎء ﺑﻦ ﻳﺴﺎر ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻗﺎل ﻓﻤﻀﻰ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ. ﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﰲ ﺟﻠﺲ ﳛﺪث اﻟﻘﻮم ﺟﺎءﻩ أﻋﺮاﰊ ﻓﻘﺎل ﻣﱴ اﻟﺴﺎﻋﺔ ؟ . وﻗﺎل ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻞ ﱂ ﻳﺴﻤﻊ. ﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﳛﺪث ﻓﻘﺎل ﺑﻌﺾ اﻟﻘﻮم ﲰﻊ ﻣﺎ ﻗﺎل ﻓﻜﺮﻩ ﻣﺎ ﻗﺎل ﻗﺎل ﻫﺎ أ رﺳﻮل ﷲ ﻗﺎل )ﻓﺈذا. ( اﻟﺴﺎﺋﻞ ﻋﻦ اﻟﺴﺎﻋﺔ- أراﻩ- ﺣﱴ إذ ﻗﻀﻰ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻗﺎل ) أﻳﻦ ﻗﺎل ﻛﻴﻒ إﺿﺎﻋﺘﻬﺎ ؟ ﻗﺎل ) إذا وﺳﺪ اﻷﻣﺮ إﱃ ﻏﲑ أﻫﻠﻪ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ. (ﺿﻌﻴﺖ اﻷﻣﺎﻧﺔ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ اﻟﺴﺎﻋﺔ (اﻟﺴﺎﻋﺔ “.... Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yg bertanya: Wahai Rasulullah apa yg dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah? Beliau menjawab ”Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari ashab sittah hanya al-Bukhari yang meriwayatkan hadis ini. Dengan demikian hadis ini sudah jelas keshahihannya, tidak perlu ditakhrij lagi. 14. Hal. 131, hadis ini tidak disebutkan perawinya.
ِ ِ دﻳﱯ َ َ ْ ََ رﰊ َِّْ ﺑﲏ ْ ِْ َْ ﻓﺄﺣﺴﻦ ْ َ َﱠأد
“Rabb (Tuhan)ku telah mendidikku dan membaguskan pendidikanku”. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak diketahui adanya sanad yang teguh pada hadis ini. Walaupun lemah, namun hadis ini ternyata juga dijadikan hujjah oleh ulama dalam menjelaskan ketinggian akhlak Rasulullah, bahkan Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar memakainya dalam konteks pendidikan.23 Jika memang hadis ini lemah tanpa syawahid ataupun kebenaran makna, tentu ulama tidak akan menggunakannya, tetapi menurut al-Sakhawi meskipun sanadnya munqati (terputus) karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang tidak diketahui, akan tetapi maknanya benar dan terdapat beberapa syawahid untuk hadis tersebut. Sedangkan Ibnu Hajar hanya menghukuminya gharib, berarti sebenarnya tidak terputus tetapi dalam salah satu tingkatan periwayatannya (thabaqat) hadis ini hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja. Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa hadis ini tetap bisa dijadikan landasan bagi konsep ta’dib. 15. Hal. 133, hadis ini tidak disebutkan perawinya.
ِ ِ اﻟﻤﺒﺎرك ﻋﻦ ٍ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ُ ﱠ ِ ﱠ ِ ِ ْ ﳛﲕ ِ ْ ﺳﻌﻴﺪ آدم َ ﱠ ﳏﻤﺪ َ ﱠ ﺑﻦ َ ُ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ ﱡ َ َ ﺑﻦ َ ﺑﻦ َِأﰉ أَﱡ ْ َ ﻳﻮب َ َ ْ َ َ َ ُ ْ اﺑﻦ ُ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ُ ْ ﳛﲕ َ َْ ﻋﻦ َ َْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ِ ﺳﻠﻴﻤﺎن ﻋﻦ ز ِِ ٍ ٍ ﺑﻦ َِأﰉ َﱠ ِ ْ ﻳﺪ ِ ْ َ ﻋﺘﺎب ِِ ِ اﻟﻤﺴﻠﻤﲔ َ َ - ﷺ- اﻟﻨﱮ َ ْ ُ ْ ﻗﺎل » ﺧَْﻴ ُـﺮ ﺑَْـﻴﺖ ِﰱ ْ َ ْ َ َ َ َْ ُ َِأﰉ ّ ﻋﻦ َأﰉ ُﻫَﺮﻳْ ََـﺮة َﻋﻦ ﱠ 24 ِ ِ ِ ِ ِ اﻟﻤﺴﻠﻤﲔ ﺑ ِ ِ ُ ﻓﻴﻪ ِﻳﺘﻴﻢ ِِ ﺑ ِِ ٍ إﻟﻴﻪ َ ﱡ .« إﻟﻴﻪ ٌ َْ َ ْ ُ ْ وﺷﺮ ﺑَْـﻴﺖ ِﰱ ٌ َْ َْ ُﻳﺴﺎء ٌ َ ـﻴﺖ ﻓﻴﻪ َ َْ ﳛﺴﻦ ُ َ ْ ٌ َ ـﻴﺖ َ ُ ﻳﺘﻴﻢ _____________ 23
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, h. 152 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab adab, bab hak anak yatim, hadist nomor 3669.
24
52
Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib…
“… Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah kaum Muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Ahmad, dan beberapa ulama hadis lainnya. Ada beberapa penilaian ulama yang berbeda terhadap salah satu perawi hadis ini, yaitu Yahya bin Sulaiman. Ibnu Hibban menilainya tsiqah, demikian juga dengan Ibnu Khuzaimah mengambil hadis ini dalam Shahihnya, karena menurutnya perawi tersebut adil tidak terdapat jarhnya. Sedangkan alBukhari menilai perawi tersebut munkar al-hadis, Abu Hatim menilai mudhtharab al-hadis, dan al-Albani menilai hadis ini dha’if.25 Dari 15 hadis yang diteliti di atas terdapat 10 hadis berstatus hadis maqbul yaitu hadis yang terdapat pada hal. 6, 21, 62, 78, 97, 100, 102, 116, 119 dan 133. 4 hadis berstatus dhaif yakni terdapat pada hal. 63, 77, 101 dan 131. Sedangkan 1 hadis lagi tidak ditemukan sebagai hadis marfu’ tetapi sebagai perkataan ulama. KESIMPULAN Hasil penelitian terhadap pengutipan ayat-ayat al-Qur’an, diketahui ada 3 kali penyebutan ayat al-Qur’an yang keliru dalam penulisan surah dan penomoran ayat al-Qur’an, yaitu terdapat pada hal. 10, 34 dan 107. Terdapat 1 ayat al-Qur’an yang keliru atau tidak lengkap diterjemah yaitu yang terdapat pada hal. 2. Pada edisi ini terdapat 46 hadis baik dengan dicantumkan teks Arabnya maupun terjemahnya saja. Dari 46 hadis tersebut terdapat 24 hadis yang tidak disebutkan perawi dan sumber kitabnya, yaitu hadis yang terdapat pada hal. 18, 21, 27, 29, 63, 68, 76, 77, 78, 81, 82, 90, 100, 106, 111, 127, 114, 119, 131, 133, 141, 149, 171, dan 172. Setelah diteliti 24 buah hadis tersebut ada 2 buah hadis yang maudhu’, yaitu hadis yang terdapat pada hal. 68 dan 76, dan ada 2 buah hadis yang tidak diketahui sanadnya, yaitu terdapat pada hal. 81 dan 131. Ada 2 buah hadis yang keliru penyebutan perawinya, yaitu hadis yang terdapat pada hal. 7, dan 124. Terdapat penjelasan yang disandarkan kepada Rasulullah tanpa teks atau terjemah hadis akan tetapi dicantumkan perawinya, yaitu terdapat pada hal. 4. Sedangkan 22 hadis lagi hanya disebutkan perawi, tetapi tidak jelas sumber kitabnya seperti yang terdapat pada hal. 4, 5, 6, 7, 19, 56, 62, 74 (hadis ini dijelaskan nomor hadisnya tapi tidak disebutkan kitabnya), 94 (pada halaman ini terdapat 2 buah hadis), 97, 101, 102, 116, 117, 124, 177 (pada halaman ini terdapat 2 buah hadis), 112, 149, 158, dan 159. Dari 15 hadis yang diambil sebagai sampel terdapat 10 hadis berstatus hadis maqbul yaitu hadis yang terdapat pada hal. 6, 21, 62, 78, 97, 100, 102, 116, 119 dan 133. 4 hadis berstatus dhaif yakni hadis yang terdapat pada hal. 63, 77, 101 dan 131. Sedangkan 1 buah hadis lagi tidak ditemukan sebagai hadis marfu’ tetapi sebagai perkataan ulama. Hasil wawancara mengenai usaha pengurus penerbitan buku Suara Khatib Baiturrahman tentang menjaga kualitas isi buku baik edisi 7 maupun edisi 8, maka diketahui bahwa untuk sementara belum sepenuhnya pada tahap menjaga kualitas, untuk ke depan telah direncanakan dalam bentuk tanggung jawab akademik baik masalah foot note maupun kebenaran semua data yang ada dalam _____________ 25
Muh. Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahadis al-Dha’ifah, hadis nomor 1637.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
53
buku tersebut. Dari pihak Pengurus Masjid Raya Baiturrahman juga belum menegaskan kearah tersebut hal ini terlihat dari undangan yang disampaikan kepada para calon khatib yang hanya ditentukan tanggal, materi dan menekankan untuk tidak membahas masalah yang bernuansa politik.
54
Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib…
DAFTAR PUSTAKA Ali Mustafa Ya’qub, 2003, Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta: Pustaka Firdaus. Atar Semi, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, 1987. Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, 2004. Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Depdikbud, 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Hans Wehr, 1970. A Dictionary of Modern Written Arabic, London: George Allen & Unwa Ltd. Hasjim Abbas, 2004. Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: Teras. Ibnu Hajar al-Asqalani, 1348 H. Fath al-Bari bi Syarah Shahih al-Bukhari, Mesir: Maktabah al-Bahiyah. , 1992. Tahzib al-Tahzib, Beirut: Dar al-Fikr. , 1995. Taqrib al-Tahzib, Beirut: Dar al-Fikr Muktabah al-Tijariyah. Ibnu Shalah, 1999. Muqaddimah fi Ulum al-Hadis, Beirut: Muassasah al-Kitab alTsaqafiyah. Kamaruddin Amin, 2009. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah. Kanwil Kemenag, 2009. Masjid Bersejarah Di Nanggroe Aceh, jilid I, Aceh: Penamas. Khatib Syarbaini, 2003. Muqni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr. Manna’ al Qattan, 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al Kautsar. Moh. Anwar, 1981. Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya: al Ikhlas. Muhammad Fuad Syakir, 2006. Laisa min Qaulin Nabi, terj. M. Zacky Mubarak, Jakarta: Pustaka Kautsar. Muhammad Mustafa al-A’zami, 1982. Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditstsin, Riyadh: Al-Munawiyah. Muh. Nashir al-Din al-Albani, 1992. al-Silsilah al-Ahadis al-Dhaifah wa alMaudhu’ah, Jilid 1, Riyadh: Maktabah al-Ma'rif. , 2004. Silsilah al-Ahadis al-Shahihah, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif. Muhammad Syuhudi Ismail, 1992. Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang. , 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang. , 1999. Cara Praktis Mencari Hadis, Jakarta: Bulan Bintang. Nuruddin Itr, 1979. Manhaj an-Naqd, Damaskus: Dar al-Fikr. Pengurus Masjid Baiturrahman, Suara Khatib Baiturrahman, edisi 7, Banda Aceh: Masjid Raya Baiturrahman, 2011.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
55
Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi, 2004. Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. H.M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Indonesia, edisi III, Jakarta: Balai Pustaka.
2005. Kamus Besar Bahasa
Widodo, dkk, Kamus llmiah Populer, Yogyakarta: Absolut, 2002. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda.
56
Nuraini dan Zulihafnani: Klarifikasi Buku Suara Khatib…
KONSEP AL-QUR’AN SEBAGAI MODAL MEMBANGUN INTERAKSI SOSIAL YANG HARMONIS DALAM PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
Nurdinah Muhammad Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRAK Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Hal ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada umumnya. Sebab, mereka mengklaim telah memahami, memiliki, dan bahkan menjalankan nilainilai suci itu secara murni dan konsekuen. Sepanjang sejarah, gagasan dan ketentuan keagamaan telah mengilhami individu dan kaum beriman meninggalkan semua kepentingan pribadi yang sempit demi terciptanya nilai dan kebenaran yang lebih tinggi. Sebagai ideologi dan gerakan politik, pluralisme pernah diteladankan oleh Rasulullah Saw kepada Umar dan diteruskan kepada para khalifah, untuk menyatukan kelompok-kelompok agama yang beragama dan dari berbagai suku bangsa di bawah sistem kemasyarakatan Islami yang modren adil dan toleran dengan persamaan hak dan kewajiban. Kata kunci : Al-qur’an, Modal, Pluralisme, Indonesia PENDAHULUAN Hubungan antara manusia dan agama merupakan hubungan totalitas. Atau dalam pengertian lain, bagaimanapun, manusia tidak bisa dipisahkan dengan agama. Kedua sifat tersebut dihayati oleh manusia sekaligus dalam menempuh kehidupan di dunia. Namun, karena agama yang dianut manusia tidak hanya satu, maka tentu saja klaim kebenaran dari masing-masing agama akan selalu muncul ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan antar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran. Namun seiring dengan bangkitnya agama-agama itu, kejahatan dan kekerasan dalam beragam bentuknya juga mengalami eskalasi yang cukup mengagetkan. Saat ini misi pendewasaan dan pencerahan manusia yang bersifat transformatif dalam rangka menuju kehidupan yang damai, kasih,dan penuh Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
57
rahmat yang diemban agama nyaris tidak menemukan lahan yang cukup subur di bumi ini. Yang tampak ke permukaan, dari sisi lain bahwa terjadinya konflik antar agama bisa sebagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan). Perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis. Akhirnya, konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan pembenar penindasan kemanusiaan.1 Sejarah menunjukkan bahwa cinta kasih, pengorbanan diri, dan pengabdian kepada orang lain sering kali barakar begitu mendalam pada pandangan dunia keagamaan. Pada saat yang sama, sejarah dengan jelas menunjukkan bahwa agama sering kali dikaitkan secara langsung dengan contoh terburuk prilaku manusia. Kedengarannya usang, tetapi sayang, jika dikatakan dalam sejarah manusia, perang, membunuh orang, kini semakin banyak lagi kejahatan lebih sering dilakukan atas nama agama dibandingkan atas nama kekuatan institusional lain. Akibatnya, mereka menjadi makhluk yang sangat rentan, dan emosional, yang lebih mengedepankan kekuatan otot dan tindak kekerasan dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dibandingkan dengan penyelesaian yang manusiawi, sistematis dan berjangkauan jauh ke depan. Melihat fenomena yang berkembang tersebut, telaah kritis atas konsep AlQur’an mengenai pluralisme perlu diangkat ke permukaan. Dari pandangan itu, kita mencoba memahami akar-akar kekerasan, terutama yang dikaitkan dengan agama. Dari sini, rencana strategis ke depan dalam rangka memutus, minimal mengurangi kekerasan menjadi niscaya untuk dibahas secara arif, kritis, serta penuh keterbukaan. PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PLURALISME AGAMA Pluralisme, berasal dari kata “plural” yang berarti “banyak” atau “berbilang” atau bentuk kata yang digunakan untuk menunjukkan “lebih dari satu”. Pluralisme dalam filsafah adalah pandangan yang mengakui hakikat dunia terdiri dari banyak unsur. Istilah ini sering dilawankan dengan monisme yang menekankan kesatuan dalam banyak hal atau dualisme yang meyakini dunia terdiri dari dua hal yang berbeda2. Meskipun pluralisme merupakan istilah yang berkembang dan populer akhir-akhir ini, namun kenyataannya pluralisme itu telah ada sejak keberadaan alam semesta (makhluk) sebagaimana Tuhan menciptakannya. Juga termasuk keanekaragaman manusia dengan berbagai aspeknya (suku, bangsa, bahasa, agama, kelompok, profesi, dan sumber daya).3 Hal ini jelas termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat al-Hujarat: 13 tentang jenis manusia (laki-laki dan perempuan) serta pengelompokan-pengelompokan lainnya supaya manusia saling mengenal dan berinteraksi (ta’arafu).
_____________ 1
Azyumardi Azra, et. all, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai gagasan yang Berserak, Cet. I, (Bandung : Nuansa, 2005), hal. 135 2 Azyumardi, Nilai-Nilai..., hal.68. 3 Azyumardi,...,hal. 211 58
Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
ِ ِ َوﺟﻌﻠﻨﺎﻛﻢ ﺷﻌﻮ وﻗ ِﻋﻨﺪ ا ﱠ ِ ُ َ ْ َ اﻟﻨﺎس إِ ﱠ ٍ َ َ ﻣﻦ ـﻌﺎرﻓُﻮا ِ ﱠ َ ِْ أﻛﺮﻣﻜﻢ ْ ﺧﻠﻘﻨﺎﻛﻢ ْ ُ َ َ ْ َ إن ْ َ َ َ َـﺒﺎﺋﻞ ﻟﺘ ُ َ أَﻳﱡ َـﻬﺎ ﱠ َ َ َ ً ُ ُ ْ ُ َْ َ َ َ ذﻛﺮ َوأُﻧْـﺜَﻰ ِ ُ َ ْأَﺗ ِ َِ إن ا ﱠ ٌﻋﻠﻴﻢ َﺧﺒﲑ ٌ َ ـﻘﺎﻛﻢ ﱠ ْ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Gambaran di atas menjelaskan pengertian pluralisme sebagai ajaran yang menekankan keanekaragaman manusia dalam berbagai aspek kehidupan pada umumnya. Namun dalam pembahasan selanjutnya pluralisme lebih diarahkan pada realitas beragama yang tumbuh dalam masyarakat. Dalam hal ini terlebih dahulu perlu dilihat kembali sejarah peradaban lama yang menunjukkan adanya akulturasi budaya dengan agama yang membawa perkembangan agama dalam masyarakat, yang lahir dari sebuah proses panjang peradaban agama. Melihat fakta historis tersebut, Nurcholish Masjid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya maka akan timbul fenomena pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Langkah kebijaksanaan bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif4. Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembahasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang tibul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman. Oleh karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik” (political pluralism), yang merupakan produk dari “liberalisme politik” (political liberalism). Muhammad Legenhausen, seorang pemikir Muslim kontemporer, juga berpendapat bahwa munculnya faham “liberalisme politik” di Eropa pada abad ke -18 , sebagian besar di dorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikapsikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang pada akhirnya _____________ 4
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 174
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
59
menyeret kepada pertumpahan darah antar ras, sekte dan mazhab pada masa reformasi keagamaan5. Jelas bahwa, faham “liberalisme” tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini hanyalah terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad ke- 20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia. Selama dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangannya, dan pada gilirannya, menjadi sebuah diskursus pemikiran tersendiri pada dataran teologi modern. Fenomena sosial politik akhir abad 20 ini juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran kalau bukan dampak dari gagasan pluralisme agama ini. Dalam kerangka teoretis, pluralisme agama, pada masa ini telah dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog modern dengan konsepsi yang lebih diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa. Sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer yang sangat kental melekat dengan namanya. Yang perlu digaris bawahi di sini, gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hanya hasil dominasi pemikir Barat. Namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaharuan sosio-religious si wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir yang berbangsa India6. Rammohan Ray (1772-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu, telah mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologi atau bahkan teologi yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh realita bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca-Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di Universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat. Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Sehuon (Isa Nuruddin Ahmad)7. Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam. _____________ 5
Muhammad Legenhausen, Islam And ReligiOne Pluralisme, dalam Al-Tauhid, Vol. 14, No. 3, 1997, hal. 115. 6 Buddhy Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Cet.I (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 60 7 Buddhy Munawar Rachman,...hal 62-63 60
Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
Seyyed Hossein Nasr.8, seorang tokoh muslim Syi’ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam memopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional-suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergensi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel. NILAI-NILAI PLURALISME DALAM AL- QUR’AN Al- Qur’an, sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebenaran mutlak itu tidak akan nampak manakala Al-Qur’an tidak berintraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab,9 dibumikan : dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi oleh para pemeluknya dengan latar belakang kultural atau dengan latar belakang pengetahuan yang berbeda, akan muncul kebenaran- kebenaran parsial. Sehingga kebenaran yang diperoleh manusia menjadi relatif, sedangkan kebenaran mutlak tetap milik Tuhan. Untuk menggambarkan ini, pada hal-hal tertentu, misalnya, “ kebenaran agama” Nahdlatul Ulama (NU), tidak berarti akan diterima pula sebagai “kebenaran agama” Muhammadiyah; begitu pula sebaliknya. Yang jelasjelas dipandang sebagai tidak benar adalah ketika yang satu menyalahkan yang lain, atau saling menyalahkan tanpa argumentasi yang akurat. Inilah yang diingatkan Allah dalam ( Q.S.49: 12 ) ketika melarang orang-orang yang beriman berprasangka, sebab sebagian prasangka adalah dosa. Demikian pula sebaliknya, menganggap diri paling benar, juga tidak diperkenankan Allah mengingatkan dalam firmannya ( Q.S.53 : 32)
ِ ِ ُ َ َ َْ ﺑﻜﻢ ِ ْإذ ِ َ َِ َ اﻟﺬﻳﻦ ِ َ ْ َ اﻟﻤﻐﻔﺮة ُﻫﻮ ِ ِ ُ ِ ﺑﻚ و ِْ ِْ ﻛﺒﺎﺋﺮ اﻟﻔﻮ ِ َ ِﱠ ﱠ اﻟﻠﻤﻢ ِ ﱠ ﻣﻦ ُ ْ َ ﱠ ْ ْ ُ أﻋﻠﻢ َ َ إن َرﱠ َ أﻧﺸﺄﻛﻢ َ َ ْ اﻹﰒ َو ُ َ َ ْ َ ْ اﺳﻊ َ َ اﺣﺶ إﻻ َ َ َ ﳚﺘﻨﺒﻮن ِ ْوإذ أَﻧ ِ ِ ُ أﺟﻨﺔٌ ِﰲ ِ ِ َْ ِ َ ِ أﻋﻠﻢ ﲟﻦ اﺗﱠ َـﻘﻰ ْ ُ ـﺘﻢ َ ﱠ ْ ُ َ ُ أﻣﻬﺎﺗﻜﻢ ََﻓﻼ ﺗَُـﺰﱡﻛﻮا أَﻧْـ ْ ُ َ ﺑﻄﻮن ُﱠ ْ ُ ْ َ اﻷرض َ ُ ﻔﺴﻜﻢ ُ َ ْ َ ﻫﻮ
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” Dengan sikap seperti itu, tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan kesalahan orang lain atau lingkungan disekitar. Umat Islam harus bersikap kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi social. Dalam doktrin Islam, sikap korektif ini disebut amar ma’ruf nahy munkar. Al- Qur’an mengkui masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan- keragaman budaya dan Agama serta memberikan toleransi kepada _____________ 8
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals an Realities Of Islam (Lahore : Suhail Academy, 1994), hal.
16 9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Msyarakat , ( Bandung : Mizan, 1997). Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
61
masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Sebagaimana dijelaskan dalam firmannya ( Q.S. 2: 148 )
ٍ ﻛﻞ ِ ِ ِ ْ ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮا ِ ِ ِ ِ ََ َإن ا ﱠ ﲨﻴﻌﺎ ِ ﱠ ﺷﻲء ُ َ أﻳﻦ َﻣﺎ ٌ َ ْ ِ ﻟﻜﻞ ُ َِ ْ َ ﻟﻴﻬﺎ ً َ ُﺑﻜﻢ ا ﱠ َ ّﻫﻮ ُﻣ َﻮ َ َْ اﳋَْﻴـَﺮات َ ُ وﺟﻬﺔ ُ ُ ﺗﻜﻮﻧُﻮا َْت ٍّ ُ َو ْ َ ّ ُ ﻋﻠﻰ ِ ﻗﺪﻳﺮ ٌ َ Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam hal itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural, sangatlah tidak beralasan dari segi idiologis. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam Al-Qur’an, tidak perlu lagi ketegangan, permusuhan, dan konflik dengan agama-agama lain, selama mereka tidak saling memaksakan. Sebagai idiologi dan gerakan politik, pluralisme pernah diteladankan oleh Rasulullah Saw kepada Umar dan diteruskan kepada khalifah. Bukti-bukti empiris pluralisme Islam terjadi dalam kehidupan social, budaya dan politik yang kongkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan khalifah Umawi. Sejarah mencatat bahwa kedatangan Islam di Spanyol telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistis, sebab para pemeluk tiga agama- Islam, Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Mereka menghargai eksistensi kebudayaan lain diluar Islam, seperti Kristen dan Yahudi. Dalam hal ini, Munir Mulkhan mengutip pendapat Mak Dimont berpendapat bahwa era pemerintahan Khalifah Umawi di Spanyol dapat di pandang sebagai rahmat yang mengakhiri zaman kezaliman penguasa yang dominatif.10 Demikian juga, ketika Rasulullah Saw berada di Madinah. Apa yang di ajarkan Nabi Muhammad Saw bukanlah upaya meligitimasi agama resmi Negara saat itu, dan bukan pula alat pemaksa agar orang-orang memeluk Islam seluruhnya. Dengan mengikuti prinsip universal keadilan Ilahi saja, kita ketahui bersama bahwa perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan social budaya, dan kesempatan seseorang, meniscayakan diferensiasi penerimaan konsep tentang Tuhan dan Agama. Hamid Al-Husaeni mengutip pendapat Murtadha Muthahari melihat bahwa selama memerintah di Madinah, Rasulullah Saw tidak pernah memaksakan masyarakat non-muslim untuk mengikuti agama penguasa. Bahkan, melalui perjanjian di antara semua penduduk madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satu isi perjanjian dengan kaum Yahudi menyebutkan : ‘orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan ; tidak akan diperlakukan zalim. Agama Yahudi bagi orang-orang Yahudi dan agama Islam bagi orang-
_____________ 10
62
A. Munir Mulkhan, Atas Nama Agama, ( Bandung : Pustaka Hidayah,1998), hal. 65. Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
orang Islam. jika ada diantara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakan dirinya dan keluarganya.11 Dalam Al-Quran, ayat yang terkenal: “Bagimu Agamamu. Bagiku Agamaku” (Q.S. 109: 5-6).
ِ ْ ُ ُ ِ ﻟﻜﻢ ِ ِ وﱄ (6) دﻳﻦ َ ُ ِ َ ـﺘﻢ ُ ُ ْ َ ﻋﺎﺑﺪون َﻣﺎ ْ ُ َ (5) أﻋﺒﺪ ْ ُ ََْوﻻ أَﻧ َ َ دﻳﻨﻜﻢ
Artinya : “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah(5). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (6)
Dengan demikian, agama di gunakan Rasulullah Saw sebagai sumber utama kekuatan moral. Perilaku yang murni religius lebih diinginkan dari pada formalisasi agama. Islam, melalui wacana Al-Quran tersebut, dengan mudah di pahami telah mendukung etika perbedaan dan toleransi. Dalam firman Allah tersebut tidak hanya mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan perbedaan dan keragaman dalam masyarakat manusia. Prulalitas (keragaman) adalah bagian dari kehendak Allah dan tujuan penciptaan itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam dua firman-Nya berikut ini : (Qs al-Hujurat [49]: 13), dan dalam surat yang lain Allah menjelaskan : (Qs Hud [11]: 118-119)
ِ ِ وﺟﻌﻠﻨﺎﻛﻢ ﺷﻌﻮ وﻗَـ ِﻋﻨﺪ ا ﱠ ِ ُ َ ْ َ اﻟﻨﺎس إِ ﱠ ٍ َ َ ﻣﻦ ـﻌﺎرﻓُﻮا ِ ﱠ َ ِْ أﻛﺮﻣﻜﻢ ْ ﺧﻠﻘﻨﺎﻛﻢ ْ ُ َ َ ْ َ إن ْ َ َ َ َﺒﺎﺋﻞ ﻟﺘ ُ َ أَﻳﱡ َـﻬﺎ ﱠ َ َ َ ً ُ ُ ْ ُ َْ َ َ َ ذﻛﺮ َوأُﻧْ َـﺜﻰ ِ ُ َ ْأَﺗ ِ َِ إن ا ﱠ ٌﻋﻠﻴﻢ َﺧﺒﲑ ٌ َ ـﻘﺎﻛﻢ ﱠ ْ
Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
ِ ِ رﺣﻢ رﱡ ِِ َ ُ ﺪة َوﻻ ﻳـﺰ ِ ً اﻟﻨﺎس ُﱠ ِ ﺧﻠﻘﻬﻢ َ َ ﺑﻚ َو َ َ َ ِ َ ﻣﻦ َ َوَ ْﻟﻮ َﺷﺎءَ َرﱡ َ َُْ اﻟﻮن ََ َ ً َ أﻣﺔ َواﺣ ْ َ ( ﱠإﻻ118) ﳐﺘﻠﻔﲔ ْ ُ َ َ َ ﻟﺬﻟﻚ َ ﳉﻌﻞ ﱠ َ َََ ﺑﻚ ِ َﱠ ِ ِ اﳉﻨﺔ و ﱠ ِ ِ ِ ﺟﻬﻨﻢ ﺑﻚ َ َ ْ َ َ ﱠ أﲨﻌﲔ َ ِّﻛﻠﻤﺔُ َر ْ َ َ َ ْ َ اﻟﻨﺎس َ ﻣﻦ ْ ﱠ َ َ وﲤﺖ َ َ ﻷﻣﻸن َ َ ﱠ Artinya :
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat,(118). Kecuali orangorang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.(119)” Selain itu, Al-Qur’an juga menerima pandangan yang lebih spesifik tentang pluralitas keyakinan dan hukum agama. Kendati, secara tegas Al-Qur’an mengklaim bahwa Islam merupakan kebenaran Ilahiah tetapi Al-Qur’an juga tidak sepenuhnya menghapus kemungkinan adanya jalan lain menuju keselamatan. AlQur’an mengakui adanya berbagai keyakinan dan hukum agama yang sah. Bahkan, bisa saja kaum non- Muslim mendapat keselamatan. _____________ 11
Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidpan Nabi Besar Muhammad Saw, (Jakarta : Yayasan al-Hamidy, 1992), Hal. 477. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
63
Dalam dua ayat yang lain Allah berfirman : (Qs Al-Maidah [5]: 48)
ِ ً ِّ ﳊﻖ ِ َ وﻣﻬﻴﻤﻨﺎ ِ ِ َ َِ وأَﻧْـﺰَْﻟﻨﺎ ِ ِ َِ ْ ﻳﺪﻳﻪ ِﻣﻦ ـﺰل َ َ ْـﻬﻢ ِ َﲟﺎ أَﻧ َ ْ َﻣﺼﺪﻗﺎ َﻟﻤﺎ ﺑ ْ َ ً ْ َ ُ َ اﻟﻜﺘﺎب ْ َ َ َ ُ ِّ َْ ِ اﻟﻜﺘﺎب َ َ ْ إﻟﻴﻚ ْ ُ َﻓﺎﺣﻜﻢ ﺑَـْﻴـﻨ ْ ُ ْ َ ﻋﻠﻴﻪ َ ْ َ َ ـﲔ ِ ِ ْ ﺟﺎءك ِﻣﻦ ِ ً ِ ﻣﻨﻜﻢ ِ َْ ﻟﻜﻞ ﳉﻌﻠﻜﻢ اءﻫﻢ َ ﱠ َ ْ ْ ُ ْ ﺟﻌﻠﻨﺎ ّ َ َ َ َ َ ﻋﻤﺎ ْ ِا ﱠُ َوَﻻ ﺗَﱠ َ َ ٍّ ُ اﳊﻖ ً َ ﺷﺮﻋﺔ َوﻣْﻨ ْ ُ ََََ ُـﻬﺎﺟﺎ َوَ ْﻟﻮ َﺷﺎءَ ا ﱠ ْ ُ َ ـﺘﺒﻊ َ ْأﻫَﻮ ِ ِ َاﺣﺪة و ِ اﳋﻴـﺮ ِ ِ ـﺒﺌﻜﻢ ِ َﲟﺎ ﻛُْﻨ ُـﺘﻢ ِ ً ُﱠ ِ ُ ِ ِات ِ َإﱃ ا ﱠ ِ ﻓﻴﻪ ُ َِ ْ َ ﻛﻢ ْ َ ً َ أﻣﺔ َو ْ ْ ُ ُّ ﻣﺮﺟﻌﻜﻢ َﲨ ًﻴﻌﺎ ﻓَـﻴُـَﻨ ْ ُ َْ ْ ُ َ َﻛﻢ ِﰲ َﻣﺎ آ ْ ُـﻠﻮ َ َْْ ﻓﺎﺳﺘﺒﻘﻮا َُ ﻟﻜﻦ ﻟﻴَـْﺒ ﲣﺘﻠﻔﻮن َ ُ َِْ َ
Artinya : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” Selanjutnya dalam (Qs Al-Maidah [5]: 69) Allah menjelaskan:
ِ اﻟﺼﺎﺑﺌﻮن واﻟﻨﱠﺼﺎرى ﻣﻦ َآﻣﻦ ِ ﱠِ واﻟْﻴ ِﱠ ِﱠ ِ ـﻮم ُ َ اﻟﺬﻳﻦ َْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ُ ﻫﺎدوا َو ﱠ َ اﻟﺬﻳﻦ َ َآﻣﻨُﻮا َو َ إ ﱠن ِ وﻋﻤﻞ َِْ ِ اﻵﺧﺮ ِ َْ َ ف ِ ﻧﻮن وﻻ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺧﻮ ﻓﻼ ﺻﺎﳊﺎ َ َ ٌ َ ُﻫﻢ َْﳛَﺰ َ َ ُ َ َ ً ْ ْ َْ َ َ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” dan Al-Baqarah [2]: 62) berbunyi:
ِ اﻟﺼﺎﺑﺌﲔ ﻣﻦ َآﻣﻦ ِ ﱠِ و ْاﻟﻴ ِ ِﱠ ِِﱠ ﱠ ِِ ِ ِ ِ َ ْ ـﻮم ـﻠﻬﻢ ُ َ اﻟﺬﻳﻦ ً َ وﻋﻤﻞ َْ َ ْ ُ َ َﺻﺎﳊﺎ ﻓ َ َ ﻫﺎدوا َو ﱠ َ َ ْ َ َ اﻟﻨﺼﺎرى َو ﱠ َ اﻟﺬﻳﻦ َ َآﻣﻨُﻮا َو َ إن َ َ َ اﻵﺧﺮ ِ ِ ٌ َ ﻋﻨﺪ رِِّﻢ َوﻻ ﻧﻮن َ ُﻫﻢ َْﳛَﺰ ْ َ ْ َ َ ْ أﺟﺮﻫﻢ ْ ُ ﻋﻠﻴﻬﻢ ََوﻻ ْ ََْ ﺧﻮف ْ ُُ ْ َ Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Itulah beberapa pandangan dari ayat-ayat yang memungkinkan hidup bersama dalam keragaman. Kalau etika pluralism ini dapat ditegakkan, tidak perlu terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah. Jika orang melakukannya, berarti dia tidak memahami ideologi pluralisme, atau tidak memahami agamanya sendiri. 64
Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
Demikianlah Rasulullah saw, memberikan sunnah dan teladan yang mulia dalam menyatukan kelompok-kelompok agama yang beragam; Yahudi, Kristen, dan Majusi, di bawah sistem kemasyarakatan Islami yang modern adil dan toleran dengan persamaan hak dan kewajiban. Lebih dari itu, setiap kelompok agama diberikan kebebasan mengamalkan agama dan keyakinannya, dan diberikan status “otonomi” untuk mengatur urusan kehidupan masyarakatnya sesuai dengan konsep dan sistem yang di yakini. Oleh karena itu, diakui bahwa dengan penetapan (arrengement) itu, Nabi Muhammad berhasil membangun masyarakat yang bersatu dari keragaman agama: Muslim, Yahudi, dan penganut Paganisme. Ini tidak lain karena Nabi Muhammad Saw tatkala membuat Pigam tersebut bukan hanya memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat Muslim, melainkan juga memperhatikan kemaslahatan masyarakat Non-Muslem. Dengan kata lain, paradigma sosial yang digunakan Nabi, baik dalam membaca realitas maupun mengambil keputusan politik, adalah inklusifisme-egaliterianisme. Hal ini juga diperkuat dengan kenyataan adanya pengakuan bahwa kebiasaan-kebiasaan (tradisi, konvensi) masyarakat Madinah sepenuhnya diakui sebagai hukum yang hidup oleh Piagam Madinah. Oleh karenanya, ketetapan-ketetapan Piagam Madinah menjamin hak semua kelompok sosial dan persamaan hukum dalam segala urusan publik. Fakta historis ini, menurut Phillip K.Hitti, merupakan bukti nyata kemampuan Muhammad melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan masyarakat Madinah.12 Maka tidak apologetis, apabila piagam ini dinyatakan mempunyai anganangan sosial-politik untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan semua unsur pluralisme (suku, agama, golongan, dan kepentingan) menjadi satu bangsa (ummat) untuk hidup berdampingan secara damai, menjunjung tinggi moralitas, ketentuan-ketentuan hukum, dan keadilan sosial atas dasar keimanan dan ketakwaan. Dengan kata lain, angan-angan sosial-politik Islam adalah suatu masyarakat yang ultramodern di dalam segala hal, di mana berlaku nilai-nilai Islam secara konsisten, harmonis dengan sifat asasi manusia. Yakni, suatu masyarakat egaliter, adil dan makmur, dan sejahtera bagi setiap warganya, tanpa perbedaan apapun di mata hukum. Di dalam tatanan masyarakat demikian ini akan hidup dengan rukun dan damai segala macam ragam manusia dari seluruh aliran agama dan suku bangsa. Prinsip-prinsip substansial ini memang sungguh-sungguh terefleksikan secara eksplisit dalam diktum naskah Piagam Madinah. Namun, beberapa ahli, seperti Muhammad Khalid 13, Muhammad Jalal al-Din Surur, Hasan Ibrahim Hasan, dan Maulvi Muhammad Ali, serta Zainal Abidin Ahmad, Ahmad Sukarja dan J. Suyuthi Pulungan, dalam bukunya masing-masing berbeda dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar “kehidupan demokratis” dalam angan-angan sosial-politik Piagam Madinah yang hanya berjumlah 47 Pasal. Namun, dari keragaman rumusan ini secara singkat dapat ditarik poin-poin umum bahwa prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan bagi kehidupan demokratis untuk segala zaman dan tempat itu adalah: 1. Prinsip kesatuan umat, bangsa, dan komunitas (ummat wahidah) _____________ 12
Phillip K. HItti, Capital Cities of Arab Islam, (Minuapolis: University of Minuesofa, 1973), hal. 35-36 13 Azyumardi Azra, et.all, Nilai-Nilai Pluralisme..., hal.103-104 Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
65
2. Kolektivitas dan solidaritas sosial 3. Perlindungan dan pembelaan terhadap yang lemah dan tertindas 4. Keadilan sosial 5. Perdamaian antar sesama dan lingkungan 6. Persamaan di depan hukum 7. Kebebasan berpendapat, berorganisasi, berekspresi, dan beragama 8. Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia 9. Nasionalisme 10. Equalitas sosial 11. Musyawarah Dalam konteks ini Al-Qur’an tampaknya memang mendesain untuk bisa menata kehidupan sosial yang pluralistik. Sebagaimana bisa dilihat dalam perumusan dan pelaksanaan butir-butir Piagam Madinah, paradigma pluralisme ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa maknanya dalam mengarahkan sejarah kemanusiaan. Piagam Madinah hadir mempertahankan “gagasan baru” bagi suatu bentuk tatanan “masyarakat baru” yang disebut ummat (community) dalam sejarah umat manusia. Prinsip-prinsip di atas pada dasarnya adalah prinsip universal yang diakui oleh kalangan internasional sebagai prasyarat untuk mewujudkan kehidupan sosial- politik yang egaliter dan demokratis. Akhirnya dalam menegaskan pentingnya Islam Pluralis, bangsa Indonesia bisa menyebut juga bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber pandangan kemasyarakatan dan kenegaraan, karena ia adalah dasar negara. Lepas dari kenyataan bahwa ungkapan-ungkapan serupa itu, terdengar sloganistik dan klise, namun jelas tetap mengandung kebenaran. Masalahnya di sini ialah bagaimana melihatnya secara relevan. Ini mulai dengan menyadari bahwa nilai-nilai Pancasila adalah “titik temu” semua pandangan hidup yang ada di negeri kita, termasuk pandangan hidup yang dirangkum oleh agama-agama di Indonesia. Dan nilai-nilai Pancasila itu, baik potensial maupun aktual, telah terkandung dalam ajaran semua agama yang ada (jika tidak, maka bagaimana mungkin kita mendapatkan makna dan tujuan hidup dalam agama itu dapat menerima nilai-nilai Pancasila). Oleh karena itu, Pancasila dapat dipandang sepenuhnya sebagai titik temu agama-agama di Indonesia juga. Dan karena mencari, menemukan dan mengajak kepada titik temu antara umat yang berbeda-beda itu sendiri adalah perintah agama, (yang dalam Alquran, perintah untuk menuju kepada titik temu itu dinyatakan dalam surat Ali Imran (3):64),
ٍ ٍ ِ َ اﻟﻜﺘﺎب ﺗـﻌﺎﻟَﻮا ِ َإﱃ ِ ِ ْ َ ُﻗﻞ ـﺘﺨﺬ َ ِ ﻧﺸﺮك ِِﺑﻪ َﺷْﻴ ًـﺌﺎ ََوﻻ ﻳَﱠ َ ِ ْ ُ ـﻌﺒﺪ ِﱠإﻻ ا ﱠَ ََوﻻ َ ُ ْ َـﻨﻜﻢ َﱠأﻻ ﻧ ْ َ َ َ ْ أﻫﻞ ْ ُ َ ﻛﻠﻤﺔ َﺳَﻮاء ﺑَـْﻴـﻨََـﻨﺎ َوﺑَـْﻴ َ َ َْ ِ ِ ِ ِ ﻣﺴﻠﻤﻮن ْ َِ ﻣﻦ ُدون ا ﱠ َ ُ ْ ُ اﺷﻬﺪوا َِﱠ ُ َ ْ ﻓﺈن ﺗَـ َﻮﻟﱠْﻮا ﻓَ ُـﻘﻮﻟُﻮا َُ ْ َﺑ ً ْ َـﻌﻀﻨﺎ ﺑ ْ ً َـﻌﻀﺎ َْأر
Artinya: “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
66
Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki beraneka ragam suku, warna kulit, agama, maupun aspirasi politik. Dalam sudut pandang Islam, hal itu dianggap sebagai sebuah sunnatullah atau hukum alam yang harus kita hargai dan kita biarkan berkembang sesuai khittah-nya masing-masing. Namun di sisi lain, faktanya yang menjadi keprihatinan kita, akhir-akhir ini sering kita menyaksikan hubungan antara penganut agama mulai goyah, setidaknya mulai terusik bahkan di beberapa daerah konflik di Poso, Ambon, Pontianak, dan lain-lain telah menelan banyak korban, anak-anak dan perempuan, tidak terhitung juga beberapa milyar yang harus dibayar karena konflik ini. Pertanyaannya adalah, ke mana nurani dan kultur kita yang selama ini dikenal dengan negara yang memiliki toleransi dan tingkat kerukunan antar umat beragama dan seolah hilang di tengah krisis multi dimensional yang telah melanda negeri ini. Kenyataan tersebut sungguh sangat ironis. Terjadinya di saat demokrasi didengungkan di berbagai kalangan. Namun dibalik itu suatu kenyataan negara Indonesia adalah salah satu contoh dari banyak negara di dunia ini, yang umat beragamanya mengembangkan sikap hidup saling toleransi. Di Indonesia terdapat enam agama resmi yang diakui pemerintah. Keenam agama tersebut adalah Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Keenam agama itu hidup berdampingan, saling rukun, damai dan saling menyapa satu sama lain. Agama Islam secara positif juga sangat mendukung kerukunan hidup beragama. Sikap kerukunan hidup yang tenteram dalam setiap pribadi muslim didasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Allah SWT berfirman bahwa bagi kami amalan-amalan kami dan bagi kamu amalan kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan antara kita dan pada Nya-lah kita kembali Syura’ ayat 15,
ِ ِِ ِ ٍ َِ ـﺰل ا ﱠ ِﻣﻦ ِ َ اﺳﺘﻘﻢ ِ ْ َ وﻗﻞ ﻷﻋﺪل َ ِ ْ َ ِ أﻣﺮت َ ََ ُ ْ َ ﻓﻠﺬﻟﻚ ُ ْ ُﻛﺘﺎب َو َ ْ ُ ﻛﻤﺎ ُ َ ْ ُ َ اءﻫﻢ ْ ِأﻣﺮت ََوﻻ ﺗَﱠ ْ ُ َ َ ْآﻣﻨﺖ َﲟﺎ أَﻧ ْ ُ َ ـﺘﺒﻊ َ ْأﻫ َﻮ َ ْ َ ْ ﻓﺎدع َو ِ ِ َِ ـﻨﻜﻢ ا ﱠ َﳚﻤﻊ ﺑـﻴـﻨََـﻨﺎ اﻟﻤﺼﲑ أﻋﻤﺎﻟﻜﻢ َﻻ ُ ﱠ َُ َ ْ َ ﺑﻜﻢ ََﻟﻨﺎ ْ َ َْ ُ َ ْ ُ ُ ُ َ ﺣﺠ َﺔ ﺑـَْﻴـﻨََـﻨﺎ َوﺑـَْﻴ ْ ُ ُ َ ْ َ ﻟﻜﻢ ْ ُ َأﻋﻤﺎﻟﻨﺎ َو ْ ُ ـﻨﻜﻢ ا ﱠُ َرﺑﱡَـﻨﺎ وََرﱡ ُ َ ْ وإﻟﻴﻪ ُ ُ َ ﺑـَْﻴ
Artinya : “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan (tetaplah dalam agama dan lanjutkan berdakwah) sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". Zakiah Daradjat juga mengatakan: Jadi Umat Islam sudah terpimpin dengan Al-Qur’an untuk hidup rukun bersama umat agama lain. Dan dalam berdakwah pun orang Islam diberikan garis yang jelas yaitu tidak melakukan pemaksaan untuk menarik orang yang berlainan agama menjadi penganut agama Islam14 Yang perlu digaris bawahi di sini adalah, apabila konsep pluralisme agama di atas hendak diterapkan di Indonesia maka ia harus bersyaratkan satu hal, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk _____________ 14
Zakiah Daradjat, dkk, perbandingan...hal 143.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
67
membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikian kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tantangan yang dihadapi oleh umat beragama di Indonesia tidaklah kecil. Kalau sampai saat ini kita dapat berbangga atas prestasi yang telah dicapai dalam membina dan memupuk kerukunan antar umat beragama, namun tugas yang terbentang di hadapan kita masih jauh dari rampung. Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas dan komitmen terhadap agama masing-masing.15 Pengertian pluralisme agama yang bersyarat inilah yang terekam dalam anjuran Allah dalam Al-Qur’an surah Saba’: 24-26, dan Al-Baqarah: 148. pluralisme sebagai ideologi dan gerakan politik juga pernah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW kepada Umar dan diteruskan kepada para Khalifah lainnya. Bukti-bukti empiris pluralisme Islam terjadi dalam kehidupan sosial, budaya dan politik di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Pemerintahan tersebut secara konsisten menegakkan nilai-nilai plural berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist yang menciptakan iklim kemajemukan dalam masyarakat. Mereka menghargai eksistensi kebudayaan lain di luar Islam seperti Kristen dan Yahudi16. Pada masa modern keberagaman semacam itu merupakan anutan mayoritas umat Islam di Indonesia. Salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, Nadhatul Ulama (NU) yang didirikan pada tahun 1926, sangat mengedepankan prinsip keberagaman yang mengedepankan nilai-nilai dari pola tawassuth (moderat), i’tidal (proporsional), tasamuh (toleran), dan tawazum (keseimbangan).17 Melalui pola keberagaman yang disebut Ahli Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) ini, NU menyatakan bahwa Indonesia dalam bentuk negara yang berdasarkan UUD 1945 merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia.18 Penerimaan dan Pengakuan NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut merupakan bentuk konkrit dari sikap moderasi keberagaman NU yang menggambarkan secara jelas tentang pluralisme yang dianutnya. Terkait dengan itu, konsep persaudaraan dalam perspektif NU merupakan ikatan universal yang meliputi persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah Wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah Basyariyyah)19. Hal ini memperlihatkan secara nyata tentang komitmen NU untuk mengembangkan kehidupan yang penuh moderasi dan toleransi dalam seluruh aspek kehidupan. NU diyakini oleh banyak kalangan _____________ 15
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 40 16 M. Qurais Shihab, et.all, Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik,(Bandung: Pustaka Hidayah, cet.I 1998), hal. 165 17 Said Aqiel Siradj, “Ahlusunnah wal-jamaah di awal abad XXI” dalam Imam Baehaqi (ed), kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterprestasi, cet I (Jogjakarta :LKIS, 1999), hal 139. 18 Andre Frillard, “Nahdhatul Ulama dan Negara: Fleksibelitas, Legitimasi dan Pembaruan, cet.I (Jogjakarta :LKIS,1994) hal, 26 19 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, cet. I, (Jogjakarta: LKIS-Pustaka Pelajar , 1994) hal. 146-147 68
Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
sebagai kelompok yang sangat menekankan pluralisme dan toleransi, yang meletakkan pluralisme dan kemajemukan sebagai perbedaan alami yang harus dihormati dan tidak boleh dipertentangkan. Semua itu ditujukan dalam rangka pengembangan kehidupan yang penuh kedamaian, dan kesejahteraan. Tanpa menafikan adanya perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, pola keberagaman yang bernuansa pluralistik itu juga menjadi panutan dari Muhammadiyah. Sebagaimana dinyatakan Streenbrink yang dikutip Azra, kemunculan organisasi-organisasi modern Islam, khususnya Muhammadiyah, adalah dalam rangka memelihara hubungan baik dengan pihak-pihak non-Muslim , terutama Kristen.20 Dengan demikian, Muhammadiyah bersama NU sebagai dua organisasi yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia sampai batas-batas tertentu mepresentasikan Islam Indonesia sebagai Islam yang berwajah ramah, toleran, dan pluralistik. Dari gambaran-gambaran di atas dapat di pahami bahwa makna atau pesan “Piagam Madinah” sangat membawa pengaruh yang besar terhadap pluralisme di Indonesia seperti tercermin dalam hukum yang berlaku di Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah bahwa hubungan (agama dan negara) ini dalam perspektif Indonesia secara substansial didasari beberapa hal sebagai berikut: Pertama, negara berlandaskan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga dalam pengelolaan negara, sudah selayaknya diatur dalam koridor norma yang tidak bertentangan dengan nilai ketuhanan (keagamaan). Kedua, negara menjamin setiap warga negara untuk memilih dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Dengan demikian negara tidak berhak untuk membatasi, dan apalagi melarang setiap warga negaranya untuk memeluk agama yang diyakininya sejauh tidak berada dalam ruang publik dan memaksakan aturan agama tertentu pada pemeluk agama lain. Ketiga, negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagaman warganya secara adil tanpa diskriminasi. Dengan demikian dalam kehidupan agama di Indonesia yang pluralistis, sebagaimana yang diungkapkan di atas, bahwa nilai yang tertinggi dipilih adalah kebebasan atau kemerdekaan, suatu nilai yang menyentuh keluhuran martabat manusia. KESIMPULAN Pluralisme adalah gagasan atau pandangan yang mengakui adanya hal-hal yang sifatnya banyak dan berbeda-beda (heterogen) di suatu komunitas masyarakat. Semangat pluralisme sebagai penghargaan atas perbedaan-perbedaan dan heterogenitas merupakan moralitas yang harus dimiliki manusia. Terlebihlebih di Indonesia, proses membumikan semangat pluralisme menjadi urgen mengingat fenomena sosio-historis, kultural, dan geografis masyarakat Indonesia sarat dengan heterogenesis yang ditandai dengan banyaknya pulau, perbedaan adat istiadat, agama, dan kebudayaan. Terlebih-lebih di Indonesia yang secara sosio-historis masyarakatnya heterogen, yang terdiri atas berbagai macam suku, adat istiadat, agama dan budaya, persamaan status, serta perlakuan secara konstitusional bagi semua warga tanpa memandang asal usul agama dan etnis harus tetap dijadikan perhatian utama seluruh komponen bangsa. _____________ 20
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Cet.I. (Jakarta, Penerbit Pramodina,1999) hal 40 Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
69
Melihat fakta historis itu, bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah,, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama. Sebab, memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika agama dipahami secara integral dengan kondisi sosial kulturalnya, pada saat itu pula akan tampak dengan sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan nilai agama dan mana yang tidak. Islam mengakui bahwa “Piagam Madinah”, merupakan instrumen hukum politik yang membuat komunitas Islam dan non-Islam saat itu menuai kebebasan dan kemerdekaan di bawah kepemimpinan Nabi Saw. Bahkan. Oleh, sebagian pakar ilmu politik, “Piagam Madinah” dianggap sebagai konstitusi atau undangundang dasar pertama bagi ‘negeri Islam’ yang didirikan Nabi Saw di Madinnah. Piagam Madinah sumber Islam itu hanya memberikan pedoman ajaran berupa seperangkat prinsip, dan tata nilai, etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip yang dimaksud sesuai dengan watak dasar Islam yang transhistoris dan Eternal. Demikian juga Piagam Madinah yang dirumuskan Rasulullah Saw bersama warganya. Piagam ini sama sekali tidak mencerminkan sebuah sistem negara atau pemerintahan yang baku, melainkan juga menggambarkan secara luas sehingga dapat dipahami sebagai modal dalam membangun intraksi social yang harmonis dalam pluralism Agama. Jika Muhammaadiyah dan Nahdhatul Ulama dapat dijadikan representasi umat Islam Indonesia, maka Islam yang akan berkembang di Indonesia adalah Islam yang berwajah toleransi, ramah, santun, bahkan pluralis. Selain keberagaman semacam itu memiliki akar-akar yang kuat dalam sejarah yang dilalui, komitmen dan upaya pengembangan keberagaman yang mencerahkan dan humanistis itu terus dilakukan kedua organisasi itu di berbagai tingkatannya, secara kultural maupun struktural. Menyikapi hal itu, organisasi sosial-keagamaan semisal NU dan Muhammadiyah yang sejatinya merupakan embrio civil society di Indonesia perlu menjadi event garde dalam pengembangan masyarakat semacam itu. Politik praktis yang kini terus membayang-bayangi lembaga sosial-keagamaan tersebut perlu diarahkan menjadi pengembangan politik transformatif yang dapat mecerahkan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Pada saat yang sama, kedua pilar penyangga umat Islam Indonesia itu dituntut untuk lebih kreatif, intens, dan sistematis melakukan penguatan ekonomi dan pendidikan
70
Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemahan dan Tafsirnya, Juz I-XV, terj. Ali Audah Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993 Abdurrahman Wahid, Demokrasi, Keadilan, dan Keterwakilan, dalam Imam Anshori Shaleh, Islam, Negara, dan Demokrasi : Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur Jakarta : Erlangga, 1999 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 2001. Andre Frillard, “Nahdhatul Ulama dan Negara: Fleksibelitas, Legitimasi dan Pembaruan, cet.I Jogjakarta :LKIS,1994. A. Munir Mulkhan, Atas Nama Agama, Bandung : Pustaka Hidayah,1998 Azyumardi Azra, et. all, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam : Bingkai gagasan yang Berserak, Cet. I, Bandung : Nuansa, 2005. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Cet.I. Jakarta, Penerbit Pramodina,1999. Buddhy Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Cet.I Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002. Harold Coward, Pluralisme, Tantangan bagi Agama-agama, Yogyakarta : Kanisius, 1989. Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidpan Nabi Besar Muhammad Saw, Jakarta : Yayasan al-Hamidy, 1992 J Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: LSIK, 1994. M. Mansyur Amin (ed), Moralitas Pembangunan : Perspektif Agama-agama di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1994). M. Qurais Shihab, et.all, Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog “Bebas” Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, cet.I 1998. Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, cet. I, Jogjakarta: LKIS-Pustaka Pelajar , 1994.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
71
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Msyarakat , ( Bandung : Mizan, 1997). Muhammad Legenhausen, Islam And ReligiOne Pluralisme, dalam Al-Tauhid, Vol. 14, No. 3, 1997. Nasr, Seyyed Hossein, Ideals an Realities Of Islam Lahore : Suhail Academy, 1994. . Phillip K. HItti, Capital Cities of Arab Islam, Minuapolis: University of Minuesofa, 1973. Said Aqiel Siradj, “Ahlusunnah wal-jamaah di awal abad XXI” dalam Imam Baehaqi (ed), kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterprestasi, cet I (Jogjakarta :LKIS, 1999. Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial: Diskursus Teologi Tentang Isu-isu Kontemporer, (Jakarta : PT. Pustaka CINDESINDO, 1998. Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, Jakarta : Bumi Aksara, 1984.
72
Nurdinah Muhammad: Konsep Al-Qur'an sebagai Modal Membangun……
PANDANGAN IMAM ZARKASYI TERHADAP MAJAZ DALAM AL-QURAN ( Kajian Analisis Terhadap Kitab al-Burhan fi `Ulum al-Quran) Suhaimi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh
ABSTRAK Majaz merupakan penggunaan suatu lafaz untuk makna yang bukan sebenarnya. Majaz menjadi salah satu gaya bahasa dalam mengungkapkan makna yang indah. Kajian tentang majaz ternyata bukan hanya dilakukan oleh mereka yang mengkonsentrasikan diri ke dalam ilmu bahasa, melainkan juga oleh mereka yang menekuni ilmu al-Quran dan ushul fiqh. Hal tersebut tidak mengherankan, karena semua itu saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Artikel ini diupayakan dapat menyingkap pandangan salah seorang ulama alQuran yaitu Imam Zarkasyi tentang majaz dalam al-Quran guna untuk menyingkap lebih mendalam tentang sisi-sisi keindahan bahasa Al-Quran sekaligus sebagai bukti kemukjizatannya dari segi gaya bahasa yang digunakannya. Kajian yang dilakukan terhadap kitab Al-Burhan yang menjadi salah satu karya monumental beliau ternyata menunjukkan banyak sekali ayatayat Al-Quran yang mengandung majaz dalam berbagai variasinya, baik yang tergolong majaz fi al-ifrad maupun majaz fi al-murakkab. Semua itu tentu saja dapat dijadikan salah satu pedoman dalam memahami atau menafsirkan kitab suci tersebut secara lebih sempurna. Dengan demikian, pemikiran yang menolak adanya majaz dalam Al-Quran secara jelas dapat terbantahkan. Kata kunci: Al-Quran, Majaz, Al-Zarkasyi PENDAHULUAN Al-Quran merupakan Kitab suci ummat Islam yang penuh mu`jizat baik dari sisi konten (isi) maupun dari sisi bahasa yang digunakannya. Kemu`jizatan al-Quran tersebut bersifat abadi, dan berbeda dengan mukjizat rasul-rasul sebelumnya. Hal itu bukan hanya diakui oleh ummat Islam melainkan juga diakui oleh sebagian ummat lain yang mau berfikir dan menggunakan akal sehatnya, 1 pengakuan tersebut bukan pula atas dasar doktrin dan fanatisme melainkan atas dasar bahwa ia (al-Quran) telah terbukti dalam sejarah mengungguli semua kitab agama-agama yang pernah ada di muka bumi ini baik samawi apalagi yang ardhi. Di antara sisi kemu`jizatan al-Quran ditinjau dari segi bahasanya adalah terkait _____________ 1
Sebagai salah satu contoh adalah John.L.Esposito dimana secara jelas dia mengakui kehebatan al-Quran. Al-Quran, katanya adalah kitab suci muslim. Ia berisi wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah melalui malaikat Jibril....Pembacaan al-Quran dalam bahasa Arab, katanya lebih lanjut, adalah suatu bentuk seni dan pembaca al-Quran sangat dihargai seperti bintang opera di Barat....Ada banyak contoh sepanjang sejarah dari mereka yang tertarik dan pindah ke agama Islam setelah mendengar al-Quran dibacakan (John L.Esposito, Islam Aktual, Inisiasi Press, Depok, 2005, hal.8-10). Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
73
dengan keindahan susunan atau uslubnya,2 dan salah satunya adalah mengenai majaz. Uslub atau gaya bahasa al-Quran - termasuk yang berupa majaz - tersebut telah mengungguli gaya bahasa yang digunakan oleh orang-orang Arab pra-Islam, lalu dengan kedatangan al-Quran, maka orang Islam Arab bertambah memiliki kekayaan atau khazanah kebahasaan yang luar biasa,3 dan bahkan al-Quran sendiri menantang para pakar bahasa kaum kafir untuk mendatangkan semisal satu surat saja yang semisalnya (al-Baqarah: 23), namun al-Quran juga telah dengan lantang menjamin bahwa hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin mampu mereka lakukan. (al-Baqarah:24). Tantangan al-Quran untuk mendatangkan yang semisalnya tersebut membuktikan bahwa al-Quran telah dijamin oleh Allah swt sebagai kitab suci yang paling sempurna untuk dijadikan pedoman hidup orang-orang yang ingin keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi, dan isyarat itu tidak bisa ditangkap kecuali oleh orang-orang yang mau berfikir. Karena itu, banyak ulama yang telah menggunakan daya pikir mereka untuk berupaya menjelaskan berbagai uslub dan kandungan serta rahasia-rahasia kitab suci tersebut dari berbagai sisi sesuai kepakaran mereka masing-masing, di antara mereka adalah Imam Zarkasyi, dimana beliau terlihat lebih banyak memfokuskan kajiannya terkait dengan tema ilmu-ilmu al-Quran termasuk gaya baahasanya, seperti tasybih, majaz, kinayah, istifham dan lain-lain. Sebetulnya kajian tentang majaz dalam al-Quran jauh sebelum Imam Zarkasyi sudah dilakukan oleh ulama-ulama lain, bahkan menurut Yaqut dalam kitabnya Mu`jam al-Udaba, sebagai yang dinukilkan oleh Abdullah Ali Muhammad Husain, bahwa orang yang pertama sekali menulis tentang majaz adalah Abu Ubaidah pada tahun 188 H.4 Demikian pula katanya pandangan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa Abu Ubaidah dikenal sebagai orang yang pertama membicarakan tentang majaz melalui kitabnya 5 (yaitu majaz al-Quran). RIWAYAT HIDUP SINGKAT IMAM ZARKASYI Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Bahadir bin Abdullah alZarkasyi al-Mishri, yang digelar dengan Badruddin Abu Abdillah. Dia dilahirkan di Cairo pada tahun 745 H. Dia pernah pergi ke Aleppo untuk menuntut ilmu kepada Syeikh Syihabuddin al-Azra`i dan juga pernah menuntut ilmu hadis kepada ulama di kota Damaskus. _____________ 2
Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani telah menguraikan kemukjizatan al-Quran yang pada garis besarnya tidak terlepas dari tiga aspek, yaitu: Pertama adalah aspek pemberitaan mengenai hal-hal ghaib; Kedua adalah sisi keummian Nabi saw dan dalam hubungannya dengan berita tentang sejarah Nabi-Nabi terdahulu dimana Nabi saw tidak mungkin mengetahuinya kalau bukan melalui wahyu. Ketiga adalah sisi keindahan susunan al-Quran itu sendiri yang penuh menakjubkan dalam hal kebalaghahannya. Lihat: I`jaz al-Quran, hal. 12-13. Khusus terkait dengan kemu`jizatan al-Quran dalam hal kebalaghahannya, al-Baqillani lebih lanjut dalam kitab tersebut menyebutkan tidak kurang dari sepuluh macam, yaitu: ijaz, tasybih, isti`arah, tala-um, fawashil, tajanus, tashrif, tadhmin, mubalaghah dan terakhir husnu al-bayan. (lihat hal. 78). 3 Lihat: Manna` Qaththan, Mabahis fi `Ulum al-Quran, Dar al-Rasyid, tt., hal. 265. 4 Abdullah Ali Muhammad Husain, Al-Bahtsu al-Balaghi Wa Marahil Tathawwurihi, alAmanah, Mesir, 1992, hal. 44. 5 Ibid, hal. 45. Kiranya perlu ditambahkan bahwa majaz menurut Abu Ubaidah masih dipahami sebagai sekumpulan makna-makna dan lafaz-lafaz yang menjadi istilah dalam balaghah, termasuk seperti istilah taqdim dan takkhir beliau masukkan juga sebagai bagian dari majaz. 74
Suhaimi: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Qur'an……
Guru-gurunya antara lain adalah Sirajuddin al-Bulqini, Jamaluddin alIsnawi, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Abu al-Fida` Ibnu Katsir dan Syihabuddin alAzra`i. 6 Beliau merupakan salah seorang ulama fikih mazhab Syafi`i abad ke 8 yang melalui karya-karya yang dihasilkannya, dia menjadi salah seorang ulama Mesir dan cendikiawan muslim yang terkenal hingga sekarang. Imam Al-Zarkasyi telah mengarang berbagai kitab yang tidak kurang dari 32 kitab dan telah menjadi rujukan yang sangat berharga bagi para pencinta ilmu, di antara karyanya adalah al-Bahru al-Muhith dan Salasil al-Dzahab di bidang ushul fiqh ; al-Burhan fi Ulum al-Quran dan Tafsir al-Quran dalam bidang ilmu al-Quran dan Tafsir, Syarh al-Arba`in al-Nawawiyah dan Syarh al-Bukhari dalam bidang hadis dan lain-lain. Adapun murid-murid beliau yang terpengaruh dengan pola pikir beliau antara lain adalah Syamsuddin al-Barmadi (w.830) dan Najmuddin bin Haji alDimasyqi (w.831). Imam al-Zarkasyi wafat pada usia 49 tahun tepatnya pada tahun 794 H. Melalui karya-karyanya, Zarkasyi menjadi terkenal sehingga tidak mengherankan bila ada ulama yang memujinya, seperti Imam Jalaluddin alSuyuthi setelah membaca kitab Al-Burhan fi `Ulum al-Quran berkata: Tatkala saya mengetahui kitab ini, saya bertambah gembira dan saya banyak memuji Allah, lalu tekat untuk merealisasikan apa yang terbetik dihatiku menjadi kuat, kemudian saya karanglah sebuah kitab dengan menyusun urutannya yang lebih sesuai dari sistimatika kitab al-Burhan dan menambah dimana perlu, lalu saya beri nama dengan “Al-Itqan fi `Ulum al-Quran”. 7 Ini artinya Imam Suyuthi sedikit banyaknya terlihat telah terpengaruh dan terinspirasi dari pemikiran Zarkasyi, walau tidak secara langsung beliau mengatakan demikian. SEKILAS TENTANG MAJAZ DALAM ILMU BALAGHAH. Sebelum menguraikan pandangan Imam Zarkasyi tentang majaz dalam alQuran, kiranya perlu diuraikan terlebih dahulu secara umum mengenai konsep majaz dalam ilmu balaghah, karena majaz merupakan sebuah istilah yang tidak bisa dipisahkan dari ilmu balaghah itu sendiri. Ilmu Balaghah merupakan salah satu cabang ilmu bahasa Arab yang objek kajiannya terkait dengan cara menyampaikan makna yang indah melalui ungkapan yang jelas dan benar, sehingga penyampaian makna tersebut berpengaruh ke dalam jiwa mukhathab atau audien (baik pembaca maupun pendengar), serta memiliki relevansi dengan situasi dan kondisi dimana ungkapan itu disampaikan. 8 Salah satu topik bahasan dalam ilmu balaghah adalah mengenai majaz. Majaz merupakan lawan dari hakikat. Bila hakikat dipahami sebagai penggunaan suatu lafaz dengan makna yang sebenarnya, maka majaz adalah kebalikan dari itu; yaitu menggunakan suatu lafaz untuk bukan makna yang _____________ 6
Penulis tidak banyak mendapatkan riwayat hidup beliau, sehingga terpaksa hanya menukilkan dari apa yang tertera di awal kitab Al-Burhan fi Ulum al-Quran sendiri yang ditahqiq oleh Abu al-Fadhal al-Dimyathi, cetakan Dar al-Hadis, Cairo. 7 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi `Ulum al-Quran, 1, Maktabah Taufiqiyah, Cairo, hal. 29 8 Ali Jarim dan Mushthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah, Dar al-Ma`arif, Mesir, tt., hal. 8. Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
75
sebenarnya, karena adanya qarinah atau alasan yang menghalangi penggunaan makna yang sebenarnya itu,9 namun antara makna sebenarnya dan makna yang bukan sebenarnya itu terdapat `alaqah (hubungan) baik berupa persamaan maupun lainnya, salah satu contoh adalah penggunaan lafaz asad (singa) dalam kalimat berikut:
رأﻳـﺖ أﺳـﺪا ﳜـﻄـﺐ ﻋﻠﻰ اﳌﻨـﺒـﺮ Artinya : Saya melihat singa sedang berpidato di atas mimbar. Kata-kata asad atau singa dalam kalimat di atas bukanlah berarti singa sebenarnya, melainkan adalah orang yang diserupakan dengan singa, karena antara keduanya memiliki hubungan persamaan yakni sama-sama memiliki sifat berani. Kalimat itu bila dirubah menjadi kalimat yang tidak mengandung majaz, maka dapat diungkapkan dengan redaksi berikut:
رأﻳـﺖ اﻟﺮﺟﻞ ﻣﺜﻞ اﻷﺳـﺪ ﰲ اﻟﺸﺠﺎﻋـﺔ ﳜﻄﺐ ﻋﻠﻰ اﳌﻨﱪ Artinya: Saya melihat orang yang menyerupai singa dalam hal keberaniannya sedang berpidato di atas mimbar. Jadi, penggunaan kata-kata asad dengan makna orang berani merupakan gaya bahasa yang berupa majaz, dan gaya bahasa semacam ini dalam ilmu balaghah ada beberapa bentuk, sehingga oleh sebagian ahli balaghah seperti AlQizwaini telah membagi majaz itu kepada dua macam, yaitu majaz mursal dan isti`arah.10 Sedangkan sebagian yang lain membaginya menjadi 4 macam yaitu majaz mufrad mursal, majaz mufrad bi al-isti`arah, majaz murakkab mursal, majaz murakkab bi al-isti`arah. Semuanya tergolong majaz lughawi, selain itu ada lagi majaz yang disebut dengan majaz `aqli. 11 Sementara Ali Jarim dan Mustafa Amin secara singkat membaginya menjadi majaz lughawi dan majaz `aqli. Majaz lughawi dapat dibedakan lagi antara isti`arah dan majaz mursal.12 Demikian pula Abdul Qadir Husein yang membagi majaz menjadi dua macam yaitu majaz fi alifrad atau al-kalimah dan majaz fi al-tarkib atau al-isnad. Majaz fi al-ifrad disebut juga dengan majaz lughawi, sedangkan majaz fi al-isnad disebut juga dengan majaz `aqli.13 Majaz yang terkatagori isti`arah adalah majaz yang hubungan antara makna sebenarnya dengan makna lain (yang bukan sebenarnya) merupakan hubungan persamaan (`alaqah musyabahah), sehingga majaz jenis ini dapat pula dikatakan sangat dekat dengan tasybih, hanya saja ia berbeda dengan tasybih dari sisi bahwa dalam isti`arah tidak lagi disebutkan kedua-dua rukun tasybih yang pokok (yaitu musyabbah dan musyabbah bih-nya), melainkan yang disebut hanya salah satunya saja, bisa hanya musyabbah atau hanya musyabbah bihnya. _____________ 9
Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, 1960, hal. 290-291. 10 Al-Khathib al-Qizwaini, Al-Idhah fi `Ulum al-Balaghah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, tt., hal. 276. 11 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, hal. 291. 12 Ali Jarim dan Mushthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah, hal. 69-117 13 Abdul Qadir Husein, Al-Quran wa al-Shurah al-Bayaniyah, Dar al-Nahdhah, Mesir, tt., hal. 121. 76
Suhaimi: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Qur'an……
Sedangkan majaz mursal merupakan majaz yang hubungan antara makna sebenarnya dan makna lainnya bukanlah hubungan persamaan, melainkan hubungan selain itu, seperti hubungan antara sebab dan akibat, atau juz-i dan kulli, tempat dan yang menempati, dan lain sebagainya. 14 Sebagai contoh dapat dipahami dari ucapan Mutanabbi berikut:
أﻋـﺪ ﻣﻨﻬﺎ وﻻ أﻋـﺪدﻫـﺎ
ﻟﻪ أ د ﻋﻠﻲ ﺳﺎﺑﻐﺔ
Artinya: Dia memiliki tangan yang banyak atas diriku, jika aku menghitungnya niscaya aku tidak mampu untuk menghitungnya. Lafaz ayadin dalam ungkapan di atas dimaksudkan bukanlah tangan sebenarnya, tetapi yang dimaksudkan adalah pemberian, sedangkan antara tangan dan pemberian jelas mempunyai hubungan yang sangat erat, yakni hubungan sebab dan akibat. Karena itu, alaqah dalam majaz yang tersebut dalam ucapan Mutanabbi itu disebut sababiyah, karena lafaz yang menjadi majaz adalah lafaz yang merupakan sebab bagi adanya akibat yaitu pemberian. Contoh lain dari majaz mursal dan `alaqahnya kulli adalah :
ﺷﺮﺑﺖ ﻣﺎء اﻟﺒﺤﺮ Artinya: Saya minum air laut. Ungkapan ma-a al-bahri atau air laut tidaklah dimaksudkan keseluruhan, melainkan yang dimaksudkan hanyalah sebagiannya, karena tidak mungkin meminum keseluruhannya. Demikian pula ungkapan firman Allah berikut ini merupakan majaz mursal yang `alaqahnya bukan musyabahah, melainkan mahalliyah:
واﺳـﺌـﻞ اﻟـﻘـﺮﻳﺔ اﻟﱵ ﻛﻨﺎ ﻓﻴﻬﺎ Artinya: Tanyailah kepada negeri yang pernah kita diami. (QS.Yusuf: 82) Kata-kata al-qaryah yang berarti sebenarnya adalah kampung atau negeri tentulah tidak mungkin bisa ditanyai, karenanya kata-kata itu dalam ayat tersebut haruslah dipahami sebagai makna lain atau majaz yaitu penduduk kampung (ahlu al-qaryah), sebab merekalah yang bisa ditanyai. Selain majaz bi al-isti`arah dan majaz mursal, dikenal pula adanya majaz `aqli yaitu menyandarkan fi`il atau yang mengandung makna fi`il kepada sesuatu bukan seharusnya, karena adanya `alaqah dan qarinah yang menghalangi isnad (penyandaran) itu sebagai penyandaran yang sebenarnya. 15 Adapun `alaqah dalam majaz `aqli itu ada beberapa macam, dan yang paling terkenal adalah berupa isnad kepada waktu, isnad kepada tempat, isnad kepada sebab, isnad kepada mashdar, isnad bina fa`il untuk maf`ul dan isnad bina maf`ul untuk fa`il.16 PANDANGAN AL-ZARKASYI TENTANG MAJAZ DALAM AL-QURAN. Sebagai telah disinggung di atas bahwa salah satu karya penting imam Zarkasyi adalah kitabnya al-Burhan fi Ulum al-Quran. Dari judul kitab itu, sudah tergambar bagi pembacanya bahwa ia berisi sejumlah ilmu yang terkait dengan upaya memahami kitab suci ummat Islam itu, dan hal tersebut terbukti benar adanya karena ketika dibaca maka di dalamnya kita menemukan berbagai ilmu _____________ 14
Lihat: Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, hal. 291. Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, hal. 296. 16 Ibid. Lihat juga: Ali Jarim dan Mustafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah, hal. 117. 15
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
77
seperti ilmu tentang sebab turun al-Quran, tentang munasabah antara ayat-ayat, fashilah-fashilahnya, mutasyabih, mubham, hakikat dan majaz, `Am dan khash, makkiyah dan madaniyah serta lain-lainnya. Dengan demikian, terlihat bahwa dari kesekian bahasan kitab tersebut kita menemukan begitu banyak penjelasan yang terkait dengan gaya bahasa yang digunakan al-Quran, dan salah satunya adalah tentang majaz. Khusus terkait dengan majaz, imam Zarkasyi telah menguraikannya secara gamblang dan panjang lebar dalam bagian ke empat puluh tiga dari kitab alBurhan tersebut. Beliau menolak pendapat sejumlah ulama yang mengingkari adanya majaz dalam al-Quran dengan mengatakan: Seandainya al-Quran itu harus dikosongkan dari majaz, maka al-Quran itu harus dilepaskan pula dari taukit dan hazf , kalau majaz dihilangkan dari al-Quran, maka akan hilanglah sebagian keindahannya.17 Karena itu, imam Zarkasyi tetap pada pendiriannya bahwa dalam al-Quran terdapat banyak majaz, sehingga keindahan al-Quran itu tidak berkurang sedikitpun. Dalam menguraikan pendapatnya tentang majaz, Zarkasyi membaginya menjadi dua macam, karena memiliki dua sebab; Pertama yaitu al-Syibhu yang dinamai juga dengan majaz lughawi yang juga menjadi perbincangan di kalangan ahli ushul.18 Kedua adalah al-Mulabasah (kesesuaian) yang menjadi perbincangan di kalangan ahli bahasa, dan majaz dengan sebab yang kedua ini disebut juga dengan istilah majaz aqli. Selanjutnya majaz jenis pertama disebut juga dengan majaz fi al-ifrad, sedangkan majaz jenis kedua disebut juga dengan majaz fi almurakkab19 atau majaz isnad. Perbedaan antara majaz ifrad dan majaz murakkab yang paling menonjol adalah majaz ifrad terdapat atau berlaku pada kata-kata, sedangkan majaz murakkab atau majaz isnad terdapat atau berlaku pada kalam (kalimat).20 Imam Zarkasyi menyebutkan banyak ayat al-Quran sebagai contoh yang mengandung majaz dalam berbagai bentuknya, dan dari sekian bentuk majaz yang diungkapkan ternyata majaz yang terkatagori majaz ifrad yang sangat banyak, sampai-sampai beliau menyatakan bahwa bentuk majaz ifrad dalam al-Quran banyak sekali bahkan tidak terhitung banyaknya. Beliau telah mengklasifikasikannya berdasarkan `alaqahnya tidak kurang dari 26 variasi, dan masing-masing variasi itu beliau kemukakan contohnya Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan sebagian variasi majaz ifrad yang dimaksudkan beliau berikut dengan contoh yang beliau berikan: 1. Menempatkan akibat di tempat sebab; sebagai contoh dalam surat al-A`raf ayat 26 disebutkan :
ﻗـﺪ أﻧـﺰﻟـﻨﺎ ﻋـﻠـﻴـﻜﻢ ﻟـﺒﺎﺳﺎ _____________ 17
Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum al-Quran, hal, 474-475. Pembahasan tentang majaz oleh ahli ushul dapat dicermati antara lain dalam kitab AlMustashfa karya Imam Abu Hamid al-Ghazali Juz 1 halaman 277 dan 278. Selain itu, bahasan yang lebih panjang lagi terdapat dalam kitab Ushul al-Sarakhsi karya Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Sarakhsi, Juz 1 halaman 170 sampai 187. 19 Al-Burhan, hal. 475. 20 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, hal. 291. 18
78
Suhaimi: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Qur'an……
Sesungguhnya yang diturunkan adalah sebabnya yaitu air. Dikatakan demikian, karena yang diturunkan bukanlah pakaian yang sebenarnya, melainkan air yang menjadi sebab adanya pakaian. Betapa tidak, karena air menjadi sebab adanya kehidupan manusia dan tumbuh-tumbuhan, lalu dari itu manusia bisa membuat pakaian sehingga bisa menutup auratnya. Dengan demikian penyebutan lafaz “libas” dalam ayat tersebut merupakan majaz. 2. Menempatkan sebab di tempat akibat; sebagai contoh adalah ayat 282 surat AlBaqarah:
أن ﺗﻀﻞ إﺣـﺪاﻫـﻤﺎ ﻓـﺘـﺬﻛﺮ إﺣـﺪاﻫـﻤﺎ اﻷﺧﺮى Dijadikan dua orang wanita untuk mengingatkan apabila terjadi kesalahan atau lupa, bukan karena kesalahan pasti akan terjadi. Dengan demikian kesalahan merupakan sebab untuk mengingatkan, lalu ditempatkanlah sebab (yaitu kesalahan) ditempat akibat (yaitu mengingatkan). 3. Menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian; sebagai contoh ayat 19 surat al-Baqarah:
ﳚﻌﻠﻮن أﺻﺎﺑﻌﻬﻢ ﰲ آذا ﻢ ﻣﻦ اﻟﺼﻮاﻋـﻖ Disebutkan semua jari, tapi dimaksudkan sebagiannya saja. Dikatakan demikian, karena tidak mungkin semua jari bisa dimasukkan ke dalam telinga. 4. Menyebutkan sebagian tapi dimaksudkan keseluruhan, seperti dalam ayat 283 surat al-Baqarah:
ﻓـﺈﻧـﻪ آﺛـﻢ ﻗـﻠـﺒـﻪ Dalam ayat hanya disebutkan sebagian anggota tubuh yaitu hati, padahal dimaksudkan bukan hanya hati yang berdosa, melainkan seluruh tubuh turut berdosa, penyebutan hati hanyalah karena ia menjadi sentral (tempat) bagi keyakinan tentang dosa dan kebaikan. 5. Menyebutkan malzum atas yang lazim. Sebagai contoh dalam surat al-An`am ayat 39 disebutkan:
ﺻﻢ و ﺑﻜﻢ ﰲ اﻟﻈـﻠـﻤـﺎت Asalnya adalah:
ﻋـﻤـﻲyaitu buta sesuai dengan firman-Nya di ayat lain yaitu
di surat al-Baqarah ayat 18:
ﺻﻢ ﺑﻜﻢ ﻋـﻤﻲ, tetapi diungkapkan dengan kata-
kata dzulumat, karena lafaz tersebut merupakan lawazim dari al-`umyu . 6. Menyebutkan lazim atas malzum. Contohnya surat al-Shaffat ayat 143:
ﻓـﻠﻮﻻ أﻧـﻪ ﻣﻦ اﳌﺴﺒﺤـﻴـﻦ Adapun yang dimaksud dengan al-musabbihin di sini adalah al-mushallin (yaitu orang-orang yang shalat).
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
79
7. Menyebutkan muthlaq atas muqayyad, contoh surat al-A`raf ayat 77:
ﻓـﻌـﻘـﺮوا اﻟـﻨـﺎﻗـﺔ 8. Menyebutkan muqayyad atas muthlaq, contohnya dalam surat Ali Imran ayat 64 :
ﺗـﻌـﺎﻟـﻮا إﱃ ﻛﻠﻤـﺔ ﺳـﻮاء ﺑﻴﻨﻨـﺎ وﺑﻴﻨﻜـﻢ Yang dimaksudkan dengan lafaz kalimah di sini adalah al-syahadah (kalimah syahadah), dan ia terdiri dari beberapa kata atau kalimah. 9. Menyebutkan khash, dimaksudkan adalah `Am. Contohnya dalam ayat 1 surat al-Ahzab:
أﻳﻬـﺎ اﻟﻨﱯ اﺗـﻖ ﷲ وﻻ ﺗـﻄـﻊ اﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ Khithab dalam ayat tersebut disebutkan khusus untuk Nabi, tetapi yang dimaksudkan adalah `am yaitu untuk manusia semuanya. 10. Menyebutkan `Am dan dimaksudkan adalah Khash (khusus), seperti dalam ayat 5 surat al-Syura:
وﻳﺴﺘﻐﻔﺮون ﳌﻦ ﰲ اﻷرض Orang yang ada di bumi merupakan `am, sedangkan yang dimaksudkan di dalam ayat tersebut hanyalah khusus untuk orang-orang mukmin. Imam Zarkasyi berdalil dengan firman Allah swt dalam surat Ghafir ayat 7 yang menyatakan secara jelas tentang keampunan yang mintakan itu adalah untuk orang yang beriman. 11. Menyebutkan lafaz jamak (untuk banyak), tapi dimaksudkan untuk dua orang, seperti surat al-Tahrim ayat 4 :
ﻓـﻘـﺪ ﺻـﻐـﺖ ﻗـﻠـﻮﺑـﻜـﻤـﺎ Lafaz qulub dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan dengan makna banyak hati melainkan hanya dua hati, karena masing-masing orang hanya ada satu hati. 12. Ada yang mahzuf atau tidak disebutkan dalam kalimat, tetapi yang tidak disebut itulah yang dimaksudkan, seperti dalam surat Yusuf ayat 82:
وﺳـﺌـﻞ اﻟـﻘـﺮﻳـﺔ Dalam ayat itu tidak disebut lafaz “ahlu” yang berarti penduduk, tetapi yang dimaksudkan adalah penduduk negeri, karena negeri (kampung) tidak mungkin ditanyai. 13. Ada penambahan kata (ziyadah), seperti dalam surat al-Syura ayat 11:
ﻟﻴﺲ ﻛﻤﺜﻠـﻪ ﺷﻴﺊ
80
Suhaimi: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Qur'an……
Dalam ayat tersebut lafaz “kaf” dan lafaz “mitsl” bermakna sama, karena itu dipandang yang satunya hanya ziyadah atau tambahan saja. Hanya saja ulama berbeda pendapat dalam menetapkan lafaz mana yang menjadi ziyadah dalam contoh di atas. Satu pendapat menyebutkan yang menjadi ziyadah adalah lafaz “mitsl”, sehingga ayat tersebut bermakna: laisa ka huwa syaiun. Sedangkan pendapat lain menetapkan lafaz “kaf” yang menjadi ziyadah, sehingga ayat tersebut bermakna: laisa mitsluhu syaiun.21 14. Menyebutkan sesuatu dengan apa yang kembali kepadanya, seperti dalam surat Nuh ayat 27 yang berbunyi:
وﻻ ﻳـﻠـﺪوا إﻻ ﻓـﺎﺟـﺮا ﻛـﻔـﺎرا Ayat tersebut mengungkapkan kecemasan Nabi Nuh terhadap kaumnya, seandainya mereka dibiarkan dalam kesesatan, lalu menyatakan bahwa mereka akan melahirkan orang-orang yang akan menjadi maksiat dan kafir. Lafaz “fajir” dan “kafir” sebenarnya bermakna orang yang sudah jelas menjadi kafir, tetapi anak yang baru lahir tentu tidak bisa dikatakan sudah kafir, karena sesuai hadis Nabi saw dan ayat 30 surat al-Rum bahwa semua anak manusia yang dilahirkan adalah fitrah atau suci dan membawa agama tauhid. Akan tetapi dalam ayat itu diungkapkan dengan lafaz “fajir” dan “kafir” secara majaz karena anak yang dilahirkan oleh kaum Nabi Nuh yang durhaka dan kafir itu sangat berpotensi untuk kembali menjadi kafir seperti orang tuanya, seandainya para orang tuanya yang maksiat dan kafir itu masih dibiarkan Tuhan hidup di bumi ini. 15. Menyebutkan sesuatu dengan apa yang telah terjadi, seperti dalam surat alNisak ayat 2 yang memandang orang yang sudah baligh sepertinya masih yatim:
وآﺗـﻮا اﻟـﻴـﺘـﺎﻣﻰ أﻣـﻮاﻟـﻬﻢ Penyebutan lafaz “yatama” dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan anak yatim sesungguhnya dan yang belum baligh, karena kalau masih yatim yang belum dewasa tidak mungkin kepadanya diserahkan hartanya untuk dia kelola, melainkan yang dimaksud dalam ayat adalah orang yang dulunya yatim tetapi saat dia sudah dewasa barulah hartanya diberikan kepadanya. Jadi penyebutan “yatama” di ayat tersebut dipandang majaz. 16. Menyebutkan tempat sedangkan yang dimaksud adalah yang menempati, seperti dalam surat Yusuf ayat 82:
وﺳـﺌـﻞ اﻟـﻘـﺮﻳـﺔ 17. Menyebutkan keadaan tetapi dimaksudkan adalah tempat, seperti dalam surat Ali Imran ayat 107:
وأﻣﺎ اﻟـﺬﻳﻦ اﺑﻴﻀﺖ وﺟﻮﻫﻬﻢ ﻓﻔﻲ رﲪﺔ ﷲ ﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺎﻟﺪون _____________ 21
Al-Burhan, hal. 485-486.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
81
Lafaz “ fi rahmatillah” dimaksudkan adalah di dalam syurga, karena syurga merupakan tempat rahmat. 18. Menyebutkan alat dari sesuatu yang dimaksud, seperti dalam surat Ibrahim ayat 4:
وﻣﺎ أرﺳﻠﻨـﺎ ﻣﻦ رﺳﻮل إﻻ ﺑـﻠﺴﺎن ﻗـﻮﻣـﻪ Lafaz “lisan” di ayat tersebut bermakna lughah atau bahasa, karena lisan merupakan alat mengungkapkan bahasa. 19. Menyebutkan dua hal yang berlawanan, atau sebaliknya, sebagai contoh firman Allah Ta`ala dalam surat al-Syura ayat 40:
وﺟـﺰاء ﺳـﻴـﺌـﺔ ﺳـﻴـﺌـﺔ ﻣـﺜـﻠـﻬـﺎ Lafaz “sayyiah” bermakna keburukan, dan keburukan tersebut berasal dari manusia, bukan dari Allah swt., karena dari Allah swt tidak ada keburukan, yang ada hanyalah kebaikan. Hanya saja digunakan lafaz yang sama, walau makna yang diinginkan adalah berbeda atau berlawanan. Adapun contoh yang sebaliknya adalah seperti dalam surat al-Rahman ayat 60:
ﻫـﻞ ﺟـﺰاء اﻹﺣـﺴـﺎن إﻻ اﻹﺣـﺴـﺎن Lafaz “ihsan” dalam ayat tersebut yang pertama bermakna ketaatan, sedangkan lafaz “ihsan” yang kedua bermakna pahala, dengan demikian, menurut Zarkasyi, seolah-olah Allah swt berfirman: Tiadalah balasan ketaatan melainkan dengan pahala.22 20. Menyebutkan dorongan kepada sesuatu dengan lafaz penolakan, seperti dalam ayat 12 surat al-A`raf:
ﻣـﺎ ﻣـﻨـﻌـﻚ أﻻ ﺗـﺴـﺠــﺪ Ayat tersebut bermakna: apa yang mendorongmu sehingga kamu tidak mau bersujud? 21. Menyebutkan suatu shighah (bentuk kata) pada tempat lain, bentuk ini bermacam-macam, seperti menempatkan isim fa`il untuk makna isim maf`ul, contohnya dalam surat Hud ayat 43 dimana lafaz “ la `ashim al-yauma“ harus dipahami dengan makna “ la ma`shum al-yauma“. Demikian pula lafaz “radhiyah” dalam ayat 21 surat al-Haqqah dimaksudkan untuk makna “mardhiyah”. Selain itu ada juga seperti menyebutkan bentuk khabar 23 sedangkan yang dimaksudkan adalah amar atau nahi, contoh yang dimaksudkan berupa amar seperti dalam surat al-Baqarah ayat 233: _____________ 22
Al-Burhan, hal. 491 . Khabar dalam kajian ilmu balaghah adalah kalimat berita atau kalam yang mengandung kemungkinan benar atau dusta, berbeda dengan insyak yaitu kebalikan dari khabar, karena kalam insyak adalah kalam yang tidak mengandung benar atau dusta. Kalam insyak ada yang berupa Amar, Nahi, Nidak, Istifham, ta`ajjub dan lain-lain. 23
82
Suhaimi: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Qur'an……
واﻟـﻮاﻟـﺪات ﻳـﺮﺿـﻌـﻦ أوﻻدﻫـﻦ Lafaz “yurdhi`na” adalah shighat mudhari` yang dalam ayat tersebut terkatagori khabar, tetapi yang diinginkan adalah bermakna amar yaitu: hendaklah mereka (para ibu-ibu) itu menyusukan anak-anak mereka. Sedangkan contoh khabar, tetapi yang diinginkan adalah insyak berupa nahi antara lain ayat 83 surat al-Baqarah:
ﻻ ﺗـﻌـﺒـﺪون إﻻ ﷲ Lafaz “ta`buduna” dalam ayat tersebut diungkapkan dengan shigat mudhari` yang diiringi oleh huruf nafi, sehingga kalamnya berupa khabar, tetapi yang diinginkan dalam ayat tersebut, menurut Zarkasyi, adalah makna insyak berupa nahi yaitu: “Jangan kamu menyembah selain Allah” .24 Selain menguraikan majaz ifrad dalam berbagai variasi `alaqahnya seperti tersebut di atas, Imam Zarkasyi juga menguraikan contoh-contoh ayat AlQuran yang mengandung majaz murakkab, sebagai contoh dapat dilihat ayat 2 surat al-Anfal:
وإذا ﺗـﻠـﻴـﺖ ﻋـﻠـﻴـﻬـﻢ آﻳـﺎﺗـﻪ زادﺗـﻬـﻢ إﻳـﻤـﺎﻧـﺎ Dalam ayat di atas penambahan iman itu disandarkan atau dihubungkan kepada ayat-ayat, padahal yang menambahnya itu sesungguhnya adalah Allah swt, bukan ayat-ayat, hanya saja ayat-ayat itu menjadi sebabnya. Dengan demikian isnad atau penyandaran fi`il (kata kerja) dalam ayat itu bukan kepada fa`il yang sebenarnya, sehingga isnad yang demikian dikenal dengan isnad majazi. Contoh lain adalah ayat 4 surat al-Qashash:
ﻳـﺬﺑﺢ أﺑـﻨـﺂءﻫـﻢ Dalam ayat itu pelaku pembunuhan atau penyembelihan itu disandarkan kepada Fir`un, padahal pembunuh yang sebenarnya bukanlah Fir`un itu sendiri, melainkan orang-orang suruhannya, namun karena yang memerintahkan membunuh itu adalah Fir`un, maka fi`il itu disandarkanlah kepadanya sebagai isnad majazi. Dari uraian di atas terlihat ada sesuatu yang menarik dimana Imam Zarkasyi dalam menjelaskan majaz ifrad ternyata tidak menyinggung-nyinggung istilah isti`arah, kalau dilihat sepintas sepertinya isti`arah bukan bagian dari majaz. Akan tetapi pandangan beliau sesungguhnya terlihat bukanlah demikian, karena menurut beliau isti`arah tetap merupakan bagian dari majaz,25 hanya saja masalah isti`arah beliau bahas tersendiri dan menjadi bagian dari tema yang _____________ 24 25
Al-Burhan, hal. 495. Al-Burhan, hal. 893.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
83
terkait dengan uslub al-Quran dan funun balaghahnya.yaitu tema yang ke 46 dari kitab al-Burhan. Menurut Zarkasyi bahwa substansi isti`arah itu adalah meminjam kata-kata dari sesuatu yang sudah dikenal untuk digunakan pada sesuatu yang belum dikenal, hikmahnya adalah menyatakan sesuatu yang tersembunyi atau kurang jelas. Sebagai contoh menyatakan sesuatu yang tersembunyi adalah surat al-Zukhruf ayat 4 yang berbunyi:
وإﻧـﻪ ﰲ أم اﻟـﻜـﺘـﺎب Dalam ayat itu lafaz “ ummu” dipinjam untuk makna “ashl” , karena anak-anak lahir dari ibu, sebagaimana furu` (cabang) lahir dari ushul (pokok). 26 Zarkasyi lebih lanjut mengungkapkan bahwa isti`arah tersebut ada beberapa macam, antara lain ada yang disebutnya sebagai isti`arah murasysyahah, tajridiyah dan isti`arah bi al-kinayah.27 Pembagian isti`arah seperti tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan ahli Balaghah umumnya. Isti`arah murasysyahah adalah isti`arah yang bertumpu dengan memandang pada sisi musta`ar minhu 28 , seperti dalam ayat 16 surat Al-Baqarah:
أوﻟـﺌـﻚ اﻟـﺬﻳﻦ اﺷـﺘـﺮوا اﻟﻀـﻼﻟـﺔ ﳍـﺪى ﻓـﻤـﺎ رﲝـﺖ ﲡـﺎرﺗـﻬـﻢ Musta`ar minhunya adalah “syara” atau membeli, lalu didatangkan atau disebutkan bersamanya sesuatu yang menjadi mulaimnya yaitu “al-ribhu” dan “al-tijarah”, sehingga ia dikenal dengan murasysyahah. Sedangkan isti`arah tajridiyah adalah isti`arah yang lebih melihat kepada musta`ar lahnya, kemudian didatangkan apa yang sesuai dengannya, seperti dalam surat al-Nahlu ayat 112 yaitu:
ﻓـﺄذاﻗـﻬـﺎ ﷲ ﻟـﺒـﺎس اﻟـﺠـﻮع واﳋـﻮف Musta`arnya adalah “libas” , dan musta`arlahnya adalah “al-ju`” , di sini yang menjadi perhatian adalah musta`arlah yang berupa makna yaitu al-ju`, karena lapar itu (sakitnya) dirasakan bukan dipakai. Adapun isti`arah bi al-kinayah yaitu isti`arah yang tidak secara sharih (jelas atau tegas) menyebutkan musta`arnya, tetapi (dalam kalimat itu) disebutkan _____________ 26
Al-Burhan, hal. 892. Al-Burhan, hal. 895-896. 28 Mengingat isti`arah adalah majaz yang `alaqahnya musyabahah, karena asalnya adalah tasybih, maka perlu diingat bahwa Ketika berbicara tentang isti`arah, berarti di situ terdapat tiga rukun, yaitu musta`ar minhu yang merupakan juga musyabbah bih, kedua adanya musta`ar lah yang dikenal sebagai musyabbah dan yang ketiganya adalah musta`ar yaitu lafaz manqul atau yang dinukilkan. ( lihat: Al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, hal. 304. ). Imam Zarkasyi menambahkan bahwa musta`ar dan musta`ar minhu berupa lafaz, sedangkan musta`ar lah adalah berupa makna. ( lihat: al-Burhan, hal. 894). 27
84
Suhaimi: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Qur'an……
sebagian lawazimnya yang menjadi indikasi atau pertanda adanya musta`ar tersebut, misalnya surat maryam ayat 4:
واﺳـﺘـﻌـﻞ اﻟـﺮأس ﺷـﻴـﺒـﺎ Isti`al atau menyala-nyala merupakan lawazim ( kebiasaan ) dari pada bahan bakar atau api, tetapi dalam contoh ayat di atas disebutkan “kepala”, ini artinya bahwa “kepala” diserupakan dengan “api atau bahan bakar”, hanya saja lafaz “api atau bahan bakar” yang menjadi musyabbahbihnya tidak disebutkan, sehingga isti`arahnya disebut makniyah atau bi al-kinayah. Di sisi lain, Zarkasyi membagi isti`arah menjadi 5 macam, yaitu:29 a. Isti`arah hissi li hissi bi wajhin hissiyin, misalnya dalam surat Maryam ayat 4 b. Isti`arah hissi li hissi bi wajhin `aqliyyin, misalnya dalam al-Zariyat ayat 41. c. Isti`arah ma`qul li ma`qul, misalnya dalam surat al-A`raf ayat 154. d. Isti`arah mahsus li ma`qul, misalnya dalam al-Baqarah ayat 214. e. Isti`arah ma`qul li mahsus, misalnya dalam surat al-Haqqah ayat 11. Jelasnya, banyak contoh-contoh dari berbagai ayat al-Quran yang mengandung majaz bi al-isti`arah tersebut telah dikemukakan oleh imam Zarkasyi dan tidak mungkin menyebutkan dalam artikel sederhana ini satu persatu. Semua itu merupakan bukti nyata bahwa perhatian Zarkasyi terhadap alQuran serta kandungan balaghahnya terlihat cukup besar. Beliau telah berupaya menggiring berbagai teori balaghah dan khususnya tentang majaz untuk tidak hanya sekedar teori dalam ilmu bahasa, melainkan semuanya diaplikasikan dalam berbagai ayat al-Quran, sehingga bantahan beliau terhadap orang yang menolak majaz dalam al-Quran telah beliau pertahankan dengan argumen yang kuat serta dengan contoh-contoh yang konkrit dan jelas. KESIMPULAN Pandangan imam Zarkasyi mengenai majaz dalam al-Quran sebetulnya tidak berbeda jauh dengan pandangan ulama balaghah umumnya, hanya saja dalam menggunakan istilah-istilah terkadang ada sedikit perbedaan, dan perbedaan tersebut merupakan sesuatu yang wajar dalam dunia ilmiyah, bahkan kemampuan berbeda dalam mengekspressikan istilah serta menghubungkannya dengan berbagai ayat al-Quran tersebut merupakan suatu inovasi yang cemerlang, sehingga hal tersebut perlu dihargai dan diapresiasi semua orang yang cinta ilmu. Ada sesuatu yang menarik ketika mengkaji pemikiran Zarkasyi tentang majaz, dimana Imam Zarkasyi terlihat hampir tidak pernah menggunakan istilah majaz mursal dalam pembagian majaz yang dikemukakannya, demikian pula mengenai penyebutan istilah qarinah baik berupa lafziyah maupun haliyah hampir tidak didapati dalam uraian beliau tentang majaz sebagaimana lazimnya digunakan dalam kitab-kitab balaghah. Namun demikian, contoh-contoh majaz _____________ 29
Al-Burhan, hal. 897-898
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
85
dari ayat Al-Quran yang beliau kemukakan terlihat tetap saja mengacu pada teori dalam ilmu balaghah, di sinilah terlihat keunikan pandangan Zarkasyi ketika membahas tentang majaz dalam Al-Quran. Hal tersebut nampaknya terjadi dikarenakan beliau bukan ingin berteori, melainkan lebih kepada mengaplikasikan majaz dengan berbagai variasinya dalam melihat dan mencermati ayat-ayat AlQuran itu sendiri.
86
Suhaimi: Pandangan Imam Zarkasyi terhadap Majaz dalam Al-Qur'an……
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ali Muhammad Husain, Al-Bahtsu al-Balaghi Wa Marahil Tathawwurihi, alAmanah, Mesir, 1992 Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, Juz I, Dar al-Kitab alArabi, Cairo, 1272.
Abdul Qadir Husein, Al-Quran wa al-Shurah al-Bayaniyah, Dar al-Nahdhah, Mesir, tt Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfa min `Ilm al-Ushul, I, Dar Shadir, Bairut, 1995. Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, 1990. Al-Khathib al-Qizwaini, Al-Idhah fi `Ulum al-Balaghah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, tt Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, I`jaz al-Quran , Dinamika Berkat Utama, Jakarta, tt. Badruddin Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Quran, Dar al-Hadis, Cairo,2006. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi `Ulum al-Quran, 1, Maktabah Taufiqiyah, Cairo John L.Esposito, Islam Aktual, Inisiasi Press, Depok, 2005
Manna` Qaththan, Mabahis fi `Ulum al-Quran, Dar al-Rasyid, Mesir, tt.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
87
‘AQIQAH DALAM PERSPEKTIF HADIS NABI SAW
Arfah Ibrahim STAI Al-Washliyah Banda Aceh Lam Ara – Rukoh Kota Banda Aceh
ABSTRAK Atas dalalah (petunjuk) hadis, para ulama telah menetapkan juga waktu pelaksanaan ’aqiqah. Mereka juga menetapkan waktu yang baik untuk penyembelihan hewan ’aqiqah atau pemotongan rambut dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak. Imam Malik menganggap ’aqiqah menjadi kadaluarsa apabila dilaksanakan sesudah hari ketujuh, begitu juga bagi bayi yang telah dilahirkan kemudian meninggal sebelum hari ketujuh maka hilanglah tanggungan (beban) melaksanakan ’aqiqahnya. Meneurut para mujtahid sunnah melaksanakan ’aqiqah pada hari ketujuh, namun apabila tidak memungkinkan untuk melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh dilaksanakan pada minggu kedua atau hari keempatbelas, dan apabila juga tidak memungkinkan maka boleh dilakukan pada minggu ketiga atau hari kedua puluh satu. Pendapat ini sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqy. Kata Kunci: 'Aqiqah, Hadis Nabi PENDAHULUAN ‘Aqiqah yang memiliki arti menyembelih hewan yang dilakukan karena lahirnya anak merupakan amalan yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi orang tua si anak yang baru dilahirkan tersebut. Masalah ‘aqiqah ini dibahas dalam berbagai kitab Fiqh Islam berikut dengan argumen naqli yang dikemukakan para imam mazhab. Dari hasil kajian terhadap kitab-kitab fiqh tersebut diperoleh informasi bahwa para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hukum melaksanakan ‘aqiqah dan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaannya.1 Dalam konteks Indonesia, meskipun mayoritas rakyatnya beragama Islam, namun praktek ‘aqiqah yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW ini tampaknya belum begitu mendapat perhatian serius sehingga masih banyak yang belum memahaminya dan melaksanakannya. Hal ini kemungkinan disebabkan beberapa faktor, di antaranya: 1. Karena adanya salah pengertian sebagian umat Islam Indonesia, di mana sebagian masyarakat memandang bahwa menyembelih binatang qurban pada hari raya ‘idul adha lebih penting dari pada ‘aqiqah karena pahalanya yang lebih besar, sehingga jumlah penyembelih hewan qurban setiap tahun terus bertambah. 2. Karena umat Islam Indonesia sebagian besar hidup dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu melaksanakan ‘aqiqah pada saat kelahiran anak _____________ 1
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: dar al-Kurtub al’Ilmiyyah, 1422 H/2001 M), h.
140 88
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
mereka. Kemampuan mereka hanya mengadakan syukuran sederhana pada saat mencukur rambut anak maupun penabalan namanya. 3. Lebih dari itu, karena adanya beraneka macam tradisi yang menyertai acara ‘aqiqah yang mana tradisi satu daerah tidak sama dengan daerah lain, yang terkadang acara tradisi itu dipandang oleh sementara anggota masyarakat cukup memberatkan atau dipandang bertentangan dengan ajaran Islam. Sampai di sini kiranya dapat dipahami bahwa merupakan suatu kewajiban moral bagi setiap muslim untuk melakukan ‘aqiqah sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW melalui Sunnahnya. Oleh karena itu pula, maka kajian tentang praktek ‘aqiqah menurut perspektif Sunnah Nabi SAW sangat menarik untuk dibahas. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji ‘aqiqah menurut hadis Nabi SAW. Hadits-hadits dengan tema “áqiqah” yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi hadits-hadits tentang: 1. Dasar hukum ‘áqiqah; 2. Kegiatan yang mengiringi acara ‘áqiqah; 3. Tata cara ‘áqiqah. PENGERTIAN ‘AQIQAH Secara bahasa ‘aqiqah berasal dari kata 2
اﻟﻌﻘـﺔ
yang berarti rambut anak
yang baru dilahirkan. Pengertian bahasa ini tampaknya relevan dengan ritual yang biasa dilakukan pada saat acara ‘aqiqah, yakni mencukur rambut bayi yang baru lahir. Adapun secara istilah ‘aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuh atau beberapa hari dari hari lahirnya anak, baik laki-laki atau perempuan.3 Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing saja Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ’aqiqah merupakan penyembelihan binatang (kambing) sebagai rasa syukur terhadap anak yang telah dilahirkan dari kandungan ibunya, baik anak laki-laki maupun perempuan. Melaksanakan acara ’aqiqah yang dimaksudkan adalah memotong bersih rambut anak yang baru dilahirkan, dan membersihkan semua kotoran yang menempel di atas kepalanya, bahkan harus dibersihkan rambutnya sekaligus tidak terdapat kotoran di atasnya.4 Sebagian ulama telah menetapkan pelaksanaan ’aqiqah itu merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, dengan alasan bahwa bayi yang dilahirkan itu statusnya masih tergadaikan dengan ’aqiqah, yakni bayi itu tidak boleh diberi nama dan tidak boleh dicukur bersih rambutnya sebelum dilakukan upacara ’aqiqah dengan pemotongan hewan ’aqiqah. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa bayi yang terlebih dahulu meninggal sebelum dilaksanakan ’aqiqah untuknya, maka anak tersebut tidak dapat memberi syafa’at kepada kedua orang tuanya.5 Pendapat ini dikuatkan oleh golongan Zahiriyyah yang telah menetapkan atas kewajibannya untuk segera dilaksanakan ’aqiqah. Pendapat Ahmad bin _____________ 2
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Yogyakarta: Pesantren Kerapyak, 1990), h. 956 3 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 479 4 Ibid., 5 Asy-Syaukani, Nail al-Authar bi Syarh Muntaqa al-Ahbar Juz V(Mesir: Syirkah Mathba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th), h. 141 Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
89
Hanbal itu didasarkan atas suatu hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqy dari ‘Atha’ al-Khurasany serta ditakhrijkan oleh Ibnu Hazm dari Buraidah al-Aslamy sebagai berikut:
ان اﻟﻨﺎس ﻳﻌﺮﺿﻮن ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻋﻠﻲ اﻟﻌﻘﻴﻘﺔ ﻛﻤﺎ ﻳﻌﺮﺿﻮن ﻋﻠﻲ اﻟﺼﻠﻮات اﳋﻤﺲ Artinya:”Sesungguhnya manusia kelak di hari kiamat akan diperhatikan karena ’aqiqah sebagaimana diperhatikannya shalat lima waktu”.6 Atas dalalah (petunjuk) hadis di atas para ulama telah menetapkan juga waktu pelaksanaan ’aqiqah. Mereka juga menetapkan waktu yang baik untuk penyembelihan hewan ’aqiqah atau pemotongan rambut dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak. Imam Malik menganggap ’aqiqah menjadi kadaluarsa apabila dilaksanakan sesudah hari ketujuh, begitu juga bagi bayi yang telah dilahirkan kemudian meninggal sebelum hari ketujuh maka hilanglah tanggungan (beban) melaksanakan ’aqiqahnya. Meneurut para mujtahid sunnah melaksanakan ’aqiqah pada hari ketujuh, namun apabila tidak memungkinkan untuk melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh dilaksanakan pada minggu kedua atau hari keempatbelas, dan apabila juga tidak memungkinkan maka boleh dilakukan pada minggu ketiga atau hari kedua puluh satu. Pendapat ini sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqy sebagai berikut:
اﻟﻌﻘﻴﻘﺔ ﺗﺬﺑﺢ ﻟﺴﺒﻊ وﻷرﺑﻊ ﻋﺸﺮة وﻻ ﺣﺪي وﻋﺸﺮﻳﻦ Artinya:”Penyembelihan hewan ’aqiqah dilakukan pada hari ketujuh (minggu pertama) atau hari keempat belas (minggu kedua) atau hari kedua puluh satu (minggu ketiga)”. HADIS TENTANG DASAR HUKUM ’AQIQAH Dalil naqli yang menjadi dasar hukum pelaksanaan ‘aqiqah adalah didasarkan kepada hadis Nabi SAW sebagai berikut:
ِ ﻳﺪ ﻋﻦ ﻋﺒ ٍ ِ ٍ ِ ِ ﺳﺒﺎع ٍ ْ ُ ﻋﻦ ُِّأم ِ ْ ِـﻴﺪ ا ﱠ ﻣﺴﺪدٌ َ ﱠ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ُ َ ﱠ َﱠ ﻗﺎﻟﺖ ْ َ َ ﻛﺮز ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َﱠ ْ ِ َ ﻋﻦ ْ َُ ْ َ ْﺑﻦ َز ْ َ ﺑﻦ َ ﺑﺖ ْ َ ﺑﻦ َِأﰊ ﻳَِﺰ َﻳﺪ ُ ْ ﲪﺎد ِ ُ ﻗﺎل ِ َ ﺻﻠﻰ ا ﱠ ِ َ ْ ِ اﻟﻐﻼم َﺷﺎ َ ِن ِ َ ُ ْ وﺳﻠﻢ َﻋﻦ ﻫﻮ َ َ ٌاﳉﺎ ِرَِﻳﺔ َﺷﺎة َ َ داود ْ َ ُ رﺳﻮل ا ﱠ َ ﱠ َْ وﻋﻦ ْ َ َ ﻣﺜﻼن ْ َ ﻋﻠﻴﻪ َ َ ﱠ َُ ََ ُ َ ﻗﺎل َُأﺑﻮ َ ُ ﻫﺬا 7 ِ ِ وﻫﻢ َ َ ْ ُ وﺣﺪﻳﺚ ُ َ َ اﳊﺪﻳﺚ ُ َْ ٌ ْ َ ﺳﻔﻴﺎن
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid, dari 'Ubaidullah bin Abu Yazid, dari Siba' bin Tsabit, dari Ummu Kurz, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing." Abu Daud berkata; ini adalah hadits yang benar sedangkan hadits Sufyan adalah salah.
_____________ 6
Ash-Sahn’aniy, Subul al-Salam, Juz IV (Mesir: Syirkah Mathba’ahMustafa al-Babi alHalabi, t.th), h. 98 7 Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Jastany al-Azdiy, Sunan Abu Daud, Juz III (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H/1991 M), Nomor hadis. 2453 90
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Turmuzi dari ’Aisyah dengan lafaz berbunyi: ﻣﻜﺎﻓﺎﺋﺘﺎن
ﺷﺎ ن أﻗﺮوا اﻟﻄﲑﻋﻠﻲ ﻣﻜﺎ ﻧﺘﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ وﲰﻌﺘﻪ: ﻋﻦ أم ﻛﺮز ﻗﺎﻟﺖ ﲰﻌﺖ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮل ( ﻋﻦ اﻟﻐﻼم ﺷﺎ ن ﻣﺜﻼن وﻋﻦ اﳉﺎرﻳﺔ ﺷﺎة )رواﻩ أﺑﻮ داود: ﻳﻘﻮل Artinya: “Nabi SAW telah bersabda, “Hendaklah kalian menempatkan burung terlebih dahulu”, lalu Umi Karzin berkata:”Rasulullah SAW befrsabda, untuk seorang anak laki-laki diberikan ’aqiqah dua ekor kambing, sedang untuk seorang anak perempuan satu ekor kambing. (H.R. Abu Daud). Hadis di atas menjelaskan bahwa bagi anak yang telah dilahirkan disyari’atkan untuk dilakukan upacara ’aqiqah, baik anak laki-laki maupun perempuan, dan untuk seorang anak laki-laki disyari’atkan memotong dua ekor kambing, sedang anak perempuan satu ekor kambing. Hal demikian itu dilakukan sebagai rasa syukur terhadap kelahiran seorang anak. Pengertian ini dipahami dari bunyi matan hadis:
ِ َ ْ ِ اﻟﻐﻼم َﺷﺎ َ ِن ِ َ ُ ْ َﻋﻦ ٌاﳉﺎ ِرَِﻳﺔ َﺷﺎة َْ وﻋﻦ ْ َ َ ﻣﺜﻼن ْ
Adapun hadis yang kedua menjelaskan bahwa memberikan ’aqiqah terhadap anak yang baru lahir adalah merupakan syari’at Nabi SAW, baik anak laki-laki maupun perempuan. Bagi anak laki-laki dianjurkan untuk memotong hewan berupa dua ekor kambing, sedang untuk anak perempuan cukup satu ekor kambing saja. Jenis kelamin kambing yang dipotong itu boleh jantan atau betina dengan syarat hewan itu harus cukup umur. Pengertian ini dipahami dari bunyi matan hadis:
ِ ِ ﻋﻠﻰ ِ ِ َ ُ ْ ـﻘﻮل َﻋﻦ ﻛﻢ َأذُ ْﻛـَﺮا ً ُﻛ ﱠـﻦ َِﱡ اﳉﺎ ِرَِﻳﺔ َﺷﺎةٌ َﻻ َ ُ ﱡ َ َ ََ أﻗﺮوا اﻟﻄﱠْﻴ َـﺮ ُ ْ َِ َ ﻗﺎﻟﺖ ْ َ َ ﻣﻜﻨﺎ َﺎ َْ وﻋﻦ ْ َ َ اﻟﻐﻼم َﺷﺎ َ ن ْ ُ ُ َوﲰﻌﺘﻪُ ﻳ ْ ُﻳﻀﺮ ً َ َِ ْأم إ
Menurut jumhur ulama bahwa pelaksanaan ’aqiqah atau menyembelih hewan ’aqiqah adalah sebagai amalan sunnah, sedangkan menurut golongan zahiriyyah dan Hasan al-Bashri merupakan hal yang wajib sebagaimana telah ditunjuki oleh nash hadis itu sendiri. Sedangkan Abu Hanifah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang fardhu (wajib) atau juga sunnah, bahkan dia menilainya hanya sebagai amalan ibadah biasa (jaiz). Jumhur ulama menetapkan hal itu sebagai amalan sunnat dengan dalil pada hadis yang bersumber dari Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Malik sebagai berikut:
ِ ِ ِـﻮل ا ﱠ ِ َ َـﻤﺮة ﻋـﻦ َأﺑِﻴ ِـﻪ أﻧَﱠـﻪ ﻗ ِ َِ َﺣ ﱠ ُ ـﺌﻞ َر ُﺳ َ ـﻠﻢ َﻋ ْـﻦ َر ُﺟ ٍـﻞ ﻣ ْـﻦ ﺑَ ِـﲏ ُ ْ َ ََ ْ ﺿ َ َ ـﺪﺛﲏ َْﳛـ َﲕ َﻋ ْـﻦ َﻣﺎﻟـﻚ َﻋ ْـﻦ َزﻳْـﺪ ﺑْ ِـﻦ أَ ْﺳ َ ـﺎل ُﺳ ِ ْ ﻋﻠﻴ ِـﻪ وﺳـﱠـﻠﻢ ﻋـﻦ ـﺎل َﻣـ ْﻦ ُوﻟِـ َـﺪ ﻟَـﻪُ َوﻟَـ ٌـﺪ َ ـﻮق َوَﻛﺄﻧـَﱠـﻪُ إِﱠﳕَـﺎ َﻛـ َِـﺮﻩ ْاﻻ ْﺳ َـﻢ َوﻗَـ َ اﻟﻌﻘﻴ َﻘـ ِـﺔ ﻓَـ َﻘ ـﺎل َﻻ أُ ِﺣـ ﱡ َ اﻟﻌ ُﻘ ُ ْ ـﺐ َ ْ َ َ َ َ ََْ ُﺻ ﱠـﻠﻰ ا ﱠ َ 8 ِِ ـﻔﻌﻞ ََ َ ﱠ َ ُ َْﻓﺄﺣﺐ َ ْأن ﻳ ْ َ ـﻨﺴﻚ ْ َ ْ َﻋﻦ َوَﻟﺪﻩ ﻓَ ْـﻠﻴ Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Zaid bin Aslam dari seseorang dari Bani Dlamrah dari Bapaknya ia berkata; "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang hukum aqiqah. Beliau menjawab; 'Saya tidak suka aqiqah (seakan-akan beliau membenci penamaan tersebut) . Beliau bersabda: _____________ 8
Imam Malik, Al-Muwaththa’ Imam malik Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H/1991 M), Nomor hadis. 945 Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
91
"Barangsiapa dikaruniai seorang anak, lantas dia berkeinginan untuk menyembelih kambing untuk anaknya maka laksanakanlah." Dari hadis ini oleh jumhur ulama diambil suatu dalalah untuk menetapkan kesunnatan pelaksanaan ’aqiqah, bukan sebagai perintah yang wajib berdasarkan qarinah-qarinah yang terdapat pada hadis tersebut. Berkaitan dengan hadits ini Abu Hanifah menetapkan ’aqiqah sebagai amal ibadah yang hukumnya jaiz, bukan termasuk wajib (fardhu) dan bukan juga sunnah.9 HADITS-HADITS TENTANG KEGIATAN YANG MENGIRINGI ACARA ’AQIQAH Di dalam banyak hadis disebutkan beberapa hal yang mengiringi acara ’aqiqah, di antaranya adalah hadis-hadis sebagai berikut: 1. Mencukur Rambut Anak
ٍ ِ ِ َ ـﺎل ﻣــﻊ اﻟْﻐُـ ٍ ِ ـﻠﻤﺎن ﺑْـ ِـﻦ َﻋـ ـﻼم َ َ ْ ـﻮب َﻋـ ْـﻦ ُﳏَ ﱠﻤـ ٍـﺪ َﻋـ ْـﻦ َﺳـ ُ َﺣـ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ أَﺑُــﻮ اﻟﱡﻨ ْـﻌ َﻤــﺎن َﺣـ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ َﲪﱠـ َ ـﺎد ﺑْـ ُـﻦ َزﻳْــﺪ َﻋـ ْـﻦ أَﻳـﱡ َ َ َ ـﺎﻣﺮ ﻗَـ ِ ٌ َ ِ ُـﺘﺎدة ِ ِ ِ ْ ﻋﻦ ﺣﺠﺎج َ ﱠ ـﻠﻤﺎن َﻋ ْـﻦ َ َ َ ٌﻋﻘﻴﻘﺔ َ َ ْ ﻳﻦ َﻋ ْـﻦ َﺳ َ َِ ٌ ﺣﺪﺛـََﻨﺎ َﱠ ْ َ ﲪﺎد ُ أﺧﺒَ َـﺮَ َﱡ ٌ وﻗﺎل َ ﱠ ْ َ وﺣﺒﻴﺐ ٌ َ َ وﻫﺸﺎم َ َ ََأﻳﻮب َوﻗ َ اﺑﻦ ﺳـﲑ ِ ـﺼﺔ ﺑِْﻨـ ٍ َ ـﺎل َﻏْﻴ ــﺮ وا ِﺣـ ٍـﺪ َﻋــﻦ َﻋﺎ ِﺻـ ٍـﻢ وِﻫـ ِ ـﺖ ِﺳـ ِﲑﻳﻦ َﻋــﻦ اﻟـ ﱠـﺮ ﺻـﱠـﻠﻰ ا ﱠُ ََ ِ ﱠ ِ ب َ َ ـﺸﺎم َﻋـ ْـﻦ َﺣ ْﻔـ َ ـﱯ َ ْ َ ْ َ َ ُ َ ـﻠﻢ َوﻗَـ َ ﻋﻠْﻴــﻪ َو َﺳـ ِّ اﻟﻨﱠـ ِ ِ ِ ِ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ اﻟﻨﱯ َ ﱠ ِ وﺳﻠﻢ ور ِ ْ َ اﻟﻀﱯ ِ ٍ ِ ِ َ َ ْ َ ﻋﻦ ﻳﻦ َﻋ ْـﻦ َْ َ اﻫﻴﻢ َﻋ ْـﻦ اﺑْ ِـﻦ ﺳـﲑ َ َََو ُاﻩ ﻳَﺰﻳ ُـﺪ ﺑْ ُـﻦ إﺑْـَﺮ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ ِّ ﻋﻦ ﱠ ِّّ ﺳﻠﻤﺎن ْﺑﻦ َﻋﺎﻣﺮ ﱠ ٍ ِ ِ ٍ أﺧَﺒـ ِـﺮﱐ اﺑْــﻦ وْﻫـ ِ ـﺐ َﻋـ ْـﻦ َﺟ ِﺮﻳ ِـﺮ ﺑْـ ِـﻦ َﺣـ ِِ َ ْ ـﻮب اﻟـ ﱠ ـﺴﺨﺘﻴﺎﱐّ َﻋـ ْـﻦ ُﳏَ ﱠﻤــﺪ ﺑْـ ِـﻦ َ ـﻠﻤﺎن ﻗَـ ْﻮﻟَـ ُـﻪ َوﻗَـ َ َ ْ َﺳ ُ َـﺎل أَ ْﺻـ َ ـﺎزم َﻋـ ْـﻦ أَﻳﱡ َ ُ َ ْ َ ـﺒﻎ ِ َ َـﻀﱯ ﻗ ِ َ ُـﻮل ﻣـﻊ اﻟْﻐ ِ ِ ِ ﱠ ـﻮل ا ﱠِ َ ﱠ ٍ ِ ـﻠﻤﺎن ﺑْ ُـﻦ َﻋ ـﻼم َ ـﺖ َر ُﺳ ُ َ ْ ﻳﻦ َﺣ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ َﺳ ـﺎﻣﺮ اﻟ ﱠِّﱡ ُ ـﺎل َﲰ ْﻌ َ َ ُ ـﻠﻢ ﻳـَ ُﻘ َ ﺳـﲑ َ ﺻـﻠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴـﻪ َو َﺳ 10 اﻷذى َ َ ْ ُﻋﻨﻪ َْ دﻣﺎ َوَِأﻣﻴﻄُﻮا َْ ﻓﺄﻫ ِﺮ ُﻳﻘﻮا َ َِ ْ ََ ٌﻋﻘﻴﻘﺔ ً َ ُﻋﻨﻪ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad dari Sulaiman bin Amir, ia berkata, "Pada anak lelaki ada kewajiban akikah." Dan Hajjaj berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad berkata, telah mengabarkan kepada kami Ayyub dan Qatadah dan Hisyam dan Habib dari Ibnu Sirin dari Salman dari Nabi SAW. Dan berkata tidak satu orang dari Ashim dan Hisyam dari Hafshah binti Sirin dari Ar Rabab dari Salman bin Amir Adl Dlabiyyi dari Nabi SAW. Dan Yazid bin Ibrahim juga menceritakan dari Ibnu Sirin dari Salman perkataannya, dan Ashbagh berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Wahb dari Jarir bin Hazim dari Ayyub As Sakhtiyani dari Muhammad bin Sirin berkata, telah menceritakan kepada kami Salman bin Amir Adl Dlabbi ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Pada anak lelaki ada kewajiban 'akikah, maka potongkanlah hewan sebagai akikah dan buanglah keburukan darinya." (H.R. Bukhary) 2. Memberi Nama yang Baik dan Bersedekah Selanjutnya, hadis yang berhubungan dengan masalah ini adalah sebagai berikut: _____________ 9
Al-Syaukani, Nail al-Authar bi Syarh Muntaqa al-Ahbar, Juz V (Mesir: Syirkah Mathba’ah Musthafa al-Babiy al-Halabiy, t.th), h. 140 10 Abu ‘Abdullah ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Mugirah ibn Barzabah al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1442 H/1992 M), Nomor Hadits 5049. 92
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
ٍِ ِ ٍ ُ ْ ﺑﻦ ِ َ َْ ﻋﻦ ﺟﻨﺪب َ ﱠ اﻟﻤ ﺜَ ﱠـﲎ َ ﱠ َﱠ أن َََُ ﻋﻦ َ َ ََﻋﻦ ﻗ ُ ِ ْ ﲰﺮة ْ َ اﳊﺴﻦ ْ َ ـﺘﺎدة ْ َ ﻋﻦ َﺳﻌﻴﺪ ْ َ ﻋﺪي ٍّ َ اﺑﻦ َِأﰊ ُ ْ اﺑﻦ ُ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ُ ْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ِ ٍ َُ ﻛﻞ ِِ ِ ﻋﻨﻪ ﻳـﻮم ِِ َ ِ ِ ٌرﻫﻴﻨﺔ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ رﺳﻮل ا ﱠِ َ ﱠ ﻗﺎل َ َ ﺴﻤﻰ َ َ وﺳﻠﻢ َ َُ وﳛﻠﻖ َوﻳُ َ ﱠ ﻗﺎل ُ ﱡ ُ َ ُْ َ ﺳﺎﺑﻌﻪ َ َ َ ﻏﻼم َ َ ْ َ ُ َْ ﺗﺬﺑﺢ ُ َ ْ ُ ﺑﻌﻘﻴﻘﺘﻪ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ ِ ِ َ َ ََﻣﻄﻴﻊ َﻋﻦ ﻗ ِ َ َْ ﻋﻦ ٍ َ ْ َ اﺑﻦ اﳊﺴﻦ َ َ ﻛﺬا َ َ أﺻﺢ وﻳﺴﻤﻰ َ َ ﱡ داود َ ُ َ ﱠ ُ َ ْ َدﻏﻔﻞ َو ُ ﻗﺎل َ ﱠ ْ َ أﺷﻌﺚ ْ ٍ ُ ﺑﻦ َِأﰊ ُ َ َُأﺑﻮ ُْ س ُ ْ ﺳﻼم ُ َ ـﺘﺎدة َوإ 11 ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ اﻟﻨﱯ َ ﱠ ِ َ َْ ﻋﻦ ِ ْ َ اﳊﺴﻦ ﺴﻤﻰ وﻳﺴﻤﻰ ور ََ وﺳﻠﻢ َوﻳُ َ ﱠ ﻗﺎل َ ُ َ ﱠ ُ َ ْ َ َََُواﻩ ْ َ أﺷﻌﺚ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ ِّ ﻋﻦ ﱠ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi, dari Sa'id dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah SAW berkata: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama." Abu Daud berkata; dan kata yusamma (diberi nama) adalah lebih benar. Demikianlah yang dikatakan Sallam bin Abu Muthi' dari Qatadah serta Iyas bin Daghfal, dan Asy'ats, dari Al Hasan, ia berkata; dan diberi nama. Dan hadis tersebut diriwayatkan oleh Asy'ats dari Al Hasan dari Nabi SAW dan ia diberi nama.” (H.R. Abu Daud). Hadis lain yang menjelaskan tentang kegiatan atau praktek yang mengiringi acara ‘aqiqah adalah sebagai berikut:
ِ ِ ِ ِ َِ و َﺣـ ﱠ َ ﺟﻌ َﻔـ ِـﺮ ﺑْـ ِـﻦ ُﳏَ ﱠﻤـ ٍـﺪ َﻋـ ْـﻦ َأﺑِﻴـ ِـﻪ أﻧـَﱠـﻪُ ﻗَـ ْ َـﺎل َوَزﻧـ ُ ـﺖ َﻓﺎﻃ َﻤــﺔُ ﺑِْﻨـ ْ َ ـﺪﺛﲏ َﻋـ ْـﻦ َﻣﺎﻟــﻚ َﻋـ ْـﻦ َ ـﺖ َر ُﺳــﻮل ا ﱠ ُﺻـ ﱠـﻠﻰ ا ﱠ 12 ِ ِ ِ ِ ٍ ْ ُ وﺣﺴﲔ وزﻳـﻨﺐ وُِأم َ َْ ِ ﱠ ٍ َ َ ﺷﻌﺮ ذﻟﻚ ﱠ ًﻓﻀﺔ َ َ ـﺘﺼﺪﻗﺖ ﺑ ِﺰَﻧﺔ ُ ّ َ َ َْ َ َ ٍ ْ َ ُ َ ﺣﺴﻦ ْ َ ﻛﻠﺜﻮم ﻓََ َ ﱠ َ َ َ وﺳﻠﻢ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ Artinya: “Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ja'far bin Muhammad dari Bapaknya ia berkata; " Fatimah puteri Rasulullah SAW pernah menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum, lalu mensedekahkan perak yang sama dengan berat timbangan rambut tersebut." 3. Mengumandangkan Azan Di Telinga Anak
ِ ٍِ ٍ ﳏﻤﺪ ْﺑﻦ ﺑَ ﱠ ِ َ ْ وﻋْﺒ ُـﺪ اﻟ ﱠ َﱠ ـﻔﻴﺎن َﻋ ْـﻦ َﻋﺎ ِﺻ ِـﻢ ُ َ ْ أﺧﺒَـ َـﺮَ ُﺳ ْ َ ـﺪي ﻗَ َـﺎﻻ َ َ ﺸﺎر َﺣ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ َْﳛ َـﲕ ﺑْ ُـﻦ َﺳـﻌﻴﺪ ٍّ ـﺮﲪﻦ ﺑْ ُـﻦ َﻣ ْﻬ ُ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َُ ﱠ ِ ِ َ ـﺎل رأَﻳــﺖ رﺳـ ِ ِ ِ ِ ِِ أذن ِﰲ َ ﺻـ ﱠـﻠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴـ ِـﻪ َو َﺳــﻠﱠ َﻢ َ ﱠ َ ـﻮل ا ﱠ ُ َ ُ ْ َ َ ﺑْـ ِـﻦ ﻋُﺒَـْﻴــﺪ ا ﱠ َﻋـ ْـﻦ ﻋُﺒَـْﻴــﺪ ا ﱠ ﺑْـ ِـﻦ َِأﰊ َراﻓـ ٍـﻊ َﻋـ ْـﻦ َأﺑﻴــﻪ ﻗَـ ِ ِ ِ اﳊﺴﻦ ِ َ ﻓﺎﻃﻤﺔُ ِ ﻟ ﱠ ِ ـﺪﻳﺚ ﺣـﺴﻦ ِ ِ ْ َ َﻋﻠﻲ ِﺣﲔ و ِ َ َـﺼﻼة ﻗ ْ ِ َ َْ ُ ُأذن َ ْ ـﺤﻴﺢ َو َ ٌ َ َ ٌ ـﺴﻰ َﻫ َـﺬا َﺣ ٌ ﺻ َ َ ُﻟﺪﺗﻪ َ َ ٍّ َ ﺑﻦ َ ـﺎل أَﺑُـﻮ ﻋﻴ ُاﻟﻌ َﻤـﻞ ِ ِ ْ ِﰲ ِ ﻣﻜﺎﻓِﺌـﺘََـ ِ َ ـﱯ ﺻـ ﱠـﻠﻰ ا ﱠ َﻋﻠَْﻴـ ِـﻪ وﺳـ ﱠـﻠﻢ ِﻣــﻦ َﻏـ ِْـﲑ و ْﺟـ ٍـﻪ َﻋــﻦ اﻟْﻐُـ ـﺎن َ ُ ـﻼم َﺷــﺎ َ ِن َ ِّ ِروي َﻋـ ْـﻦ اﻟﻨﱠـ َ ْ ْ َ ََ ُ َ َ ِ ُ اﻟﻌﻘﻴ َﻘــﺔ َﻋﻠَــﻰ َﻣــﺎ ِ ِ ِ ْ وﻋﻦ ﺻ ﱠـﻠﻰ ا ﱠُ ََ ِ ﱠ ِ َ َـﻀﺎ أﻧَﱠـﻪُ َﻋ ﱠـﻖ َﻋ ْـﻦ ا ْﳊ ِ ـﺸﺎةٍ َوﻗَ ْـﺪ َ ِـﺴﻦ ﺑْ ِـﻦ َﻋﻠ ٍّـﻲ ﺑ ً ْـﻠﻢ أَﻳ َ ـﱯ َ ََْ َ ِ َُ ٌاﳉﺎرَﻳﺔ َﺷﺎة َ ﻋﻠْﻴـﻪ َو َﺳ ِّ وروي َﻋ ْـﻦ اﻟﻨﱠ 13 ِ ِ ِ ِْ ْ أﻫﻞ ِ ْ َ ـﻌﺾ اﳊﺪﻳﺚ َ َ اﻟﻌﻠﻢ ِ َإﱃ ُ ْ َذﻫﺐ ﺑ َْ ﻫﺬا َ ََ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dan 'Abdurrahman bin Mahdi keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Ashim bin Ubaidullah dari Ubaidullah bin Abu Rafi' dari Bapaknya ia berkata, "Aku melihat _____________ 11
Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Jastany al-Azdiy, Sunan Abu Daud, Juz III…, Nomor hadits 2455 12 Imam Malik, Al-Muwaththa’ Imam malik Juz II…, Nomor hadits 946 13 Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Juz III (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, t. th), Hadis Nomor 1436 Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
93
Rasulullah SAW mengumandangkan adzan -shalat- pada telinga Hasan bin Ali saat ia dilahirkan oleh Fatimah." Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Dan pelaksanaan dalam akikah adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi SAW dari jalur yang banyak, yaitu dua ekor kambing yang telah cukup umur untuk laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Diriwayatkan pula dari Nabi SAW, Bahwasanya beliau pernah mengakikahi Al Hasan bin Ali dengan satu kambing. Dan sebagian ulama berpegangan dengan hadits ini." Ibnu Sinni meriwayatkan juga dari Husein bin Ali dengan lafaz sebagai berikut:14
ﻣﻦ وﻟﺪ ﻟﻪ ﻣﻮﻟﻮد ﻓﺄذن ﰲ أذن اﻟﻴﻤﲏ وأﻗﺎم ﰲ اﻟﻴﺴﺮي ﱂ ﺗﻀﺮﻩ أم اﻟﺼﺒﻴﺎن Artinya: Barangsiapa yang baginya telah lahir seorang anak maka hendaknya dibacakan azan pada telinganya yang kanan dan dibacakan iqamah pada telinganya yang kiri agar anak itu tidak dimasuki jin.” 4. Memberikan Makanan Yang Manis Ke Mulutnya Hadis lain yang hampir semakna dengan hadis di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariy sebagai berikut:
ٍ ﻋﺒﺪ ا ﱠِ ﺑﻦ ِ ِ ِ َﻋﻮن َﻋ ْـﻦ أَﻧ ِ َﻳﻦ َﻋ ْـﻦ أَﻧ ِ ْ َ ْ ﺑﻦ اﻟﻔﻀﻞ َ ﱠ َﱠ ـﺲ َ ُ َ ﺑﻦ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ﻳَِﺰ ْ َ ﻫﺎرون ْ َ ُ ْ ُ َْ َأﺧﺒَ َـﺮ َ ـﺲ ﺑْ ِـﻦ ﺳـﲑ ُ ْ ﻳﺪ ُ ْ ﻣﻄﺮ َُ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ِ َ ْ ﻃﻠﺤﺔ ِ ٍِ ِ َِ ِ اﺑﻦ ـﺼﱯ ﻓَـﻠَ ﱠﻤـﺎ َر َﺟ َـﻊ َْ ﻓﺨﺮ َج َُأﺑﻮ َ َ ُﻋﻨﻪ َ َ ﻗﺎل َْ ُرﺿﻲ ا ﱠ ـﺒﺾ اﻟ ﱠِ ﱡ َ ِ ﻃﻠ َﺤـﺔَ ﻓَـ ُﻘ َ َ َ َْ ﻷﰊ ٌ ْ ﻛﺎن َ َ َ ﻳﺸﺘﻜﻲ َ َ ْﺑﻦ َﻣﺎﻟﻚ ٍ َْ ُ ﻗﺎﻟﺖ ُﱡأم ِْ ـﻌﻞ ـﺎب ـﺸﺎءَ ﻓَـﺘَـ َﻌ ﱠ َ َ ﻃﻠﺤﺔ َ ـﻜﻦ َﻣـﺎ َﻛ َ َ َْ َُأﺑﻮ َ ـﺖ ِإﻟَْﻴ ِـﻪ اﻟْ َﻌ ْ َـﺎن ﻓَ َـﻘﱠﺮﺑ ْ َ َ اﺑﲏ َ َـﺸﻰ ﰒُﱠ أ َ ﺻ ُ َ ﺳﻠﻴﻢ ُﻫ َـﻮ أَ ْﺳ َ َ َﻗﺎل َﻣﺎ ﻓ ِ ﱠ ـﻮل ا ﱠِ َ ﱠ َْ ـﺒﺢ أَﺑُـﻮ َ ﻃﻠ َﺤـﺔَ أَﺗَـﻰ َر ُﺳ اﻟﺼﱯ ﻓَ َ ﱠ ِﻣْﻨ َـﻬﺎ ﻓَ َ ﱠ ْ َ َ ـﻠﻤﺎ ﻓَ َـﺮ َغ ﻗﺎﻟﺖ َو ُاروا ﱠِ ﱠ ْ َ َـﻠﻢ ﻓ ْ َـﻠﻤﺎ أ ُـﺄﺧﺒَ َـﺮﻩ َ َﺻ َ ﺻـﻠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴـﻪ َو َﺳ ِ َْ ـﺎل ِﱄ أَﺑُـﻮ ْ ِ َ اﻟﻠﻬﻢ َ َﻏﻼ ًﻣـﺎ ﻗ َ َ ـﻌﻢ َ َ ـﻠﺔ َ َ َﻓ َُ ـﺪت ﻗﺎل ﱠ ُ ﱠ َ ْ َﻃﻠ َﺤـﺔ َ َ أﻋﺮﺳﺘﻢ اﻟﻠﱠْﻴ ْ َ َﳍﻤﺎ ﻓَـ َﻮﻟ ْ َ َﻗﺎل ﻧ ْ ُ ْ َ ْ َ ـﻘﺎل ََُ رك َاﺣﻔﻈْـﻪُ َﺣ ﱠـﱴ َْﰐ ٍ ِ ِ ِ ﱠ ـﱯ َ ﱠ ِ ﱠ ـﱯ َ ﱠ ـﱯ ْ َ ـﻠﻢ َوَْأر َﺳ ـﻠﺖ َﻣ َﻌـﻪُ ِﺑﺘَ َﻤـَﺮات َﻓﺄَ َﺧ َـﺬﻩُ اﻟﻨﱠِ ﱡ ـﻠﻢ ﻓَ ََـﺄﺗﻰ ﺑِـﻪ اﻟﻨﱠِ ﱠ ِﺑﻪ اﻟﻨﱠِ ﱠ َ ﺻـﻠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴـﻪ َو َﺳ َ ﺻـﻠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴـﻪ َو َﺳ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ اﻟﻨﱯ َ ﱠ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ َﱠ ـﻀﻐﻬﺎ ﰒُﱠ َ ََوﺳﻠﻢ ﻓ ٌ ـﻌﻢ ﲤَََﺮ ﻓﺄﺧﺬﻫﺎ ﱠِ ﱡ َ َ َ ََ ات َ َ َ وﺳﻠﻢ ﻓَ َﻤ َ ََ ـﻘﺎل ْ َ َﺷﻲءٌ َﻗﺎﻟُﻮا ﻧ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ ْ َ ُأﻣﻌﻪ 15 ِ ِ أﺧﺬ ِﻣﻦ ِ ِ ِ َ ََ َ َ ﻓﻴﻪ ﻋﺒﺪ وﺣﻨﻜﻪُ ِِﺑﻪ َ َﱠ َ اﻟﺼﱯ َ َ ﱠ َ َْ ُوﲰﺎﻩ ْ َََ ِّ ﻓﺠﻌﻠﻬﺎ ﰲ ﰲ ﱠ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mathar Ibnul Fadll berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Aun dari Anas bin Sirin dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, ia berkata, "Anak Abu Thalhah sedang sakit, ketika Abu Thalhah keluar anaknya meninggal. Dan ketika Abu Thalhah kembali ia bertanya, "Bagaimana keadaan anakku?" Ummu Sulaim menjawab, "Dia lebih tenang dari sebelumnya." Ummu Sulaim kemudian menyuguhkan makan malam, maka Abu Thalhah pun makan malam kemudian bersetubuh dengannya. Setelah selesai (dari jima') Ummu Sulaim berkata, "Anakmu telah dikuburkan." Maka diwaktu pagi, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah SAW dan mengabarkan kejadian tersebut. Beliau bertanya: "Kalian tadi malam menjadi pengantin?" Abu Thalhah menjawab, "Ya." Beliau pun berdoa: "Ya Allah, berkahilah keduanya." Ummu _____________ 14
Al-Syaukani, Nail al-Authar bi Syarh Muntaqa al-Ahbar, Juz V…, h. 145 Abu ‘Abdullah ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Mugirah ibn Barzabah al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Jilid III…, Hadis Nomor 5048 15
94
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
Sulaim kemudian melahirkan seorang anak, lalu Abu Thalhah berkata kepadaku, "Jagalah ia hingga engkau bawa ke hadapan Nabi SAW." Anas kemudian membawa bayi tersebut kepada Nabi SAW, dan Ummu Sulaim membekalinya dengan beberapa kurma. Nabi SAW kemudian meraih bayi Abu Thalhah, beliau lalu bertanya: "Apakah ia (Anas) membawa sesuatu?" para sahabat menjawab, "Ya. Beberapa butir kurma." Nabi SAW kemudian mengambil kurma dan menguyahnya, kemudian beliau ambil kunyahan dari mulutnya dan memasukkannya ke dalam mulut sang bayi, baru setelah itu memberinya nama Abdullah." Dua hadis pertama di atas menjelaskan bahwa setiap bayi yang dilahirkan disyari’atkan untuk disambutnya dengan upacara ’aqiqah, yaitu dengan menyembelih hewan tepatnya di hari ketujuh dari kelahirannya disertai dengan upaya pemotongan rambut bayi itu secara keseluruhan dan sekaligus diberi nama dengan nama yang baik dengan maksud agar kelak si anak itu menjadi anak yang baik dan shalih. Hadis yang ketiga menjelaskan bahwa dalam upacara ‘aqiqah dianjurkan untuk memberikan shadaqah baik berupa emas atau perak dengan berat yang sama dengan timbangan rambut anak yang telah dicukur bersih, di samping mengadakan pemotongan hewan dan pemberian nama terhadap anak yang dilahirkan. Adapun pada hadis keempat dianjurkan untuk melaksanakan azan pada telinga anak yang telah dilahirkan. Azan ini termasuk tata cara menyambut kehadiran seorang anak bayi yang dilahirkan sebagaimana yang berlaku pada ‘aqiqah, pemberian nama, dan pemotongan rambut. Sementara itu pada hadis kelima dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah menyuapi atau memberikan buah kurma yang sudah halus kepada anak yang baru dilahirkan dengan tujuan untuk memberikan rasa manis ke dalam mulut anak itu, agar dapat menimbulkan rangsangan untuk menerima sesuatu yang sesuai dengan kondisinya, dan di samping itu untuk mendapatkan berkah dari Allah SWT. Berdasarkan kedua hadis pertama di atas para ulama telah menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ’aqiqah, mereka telah sepakat bahwa ’aqiqah itu diperuntukkan sebagai penghormatan terhadap anak yang telah dilahirkan. ’Aqiqah (dalam pengertiannya yaitu hewan sembelihan yang dipotong untuk bayi yang dilahirkan) disebut ’aqiqah karena pada asalnya lafaz ’qqa bermakna “pecah” atau “putus”. Diartikan juga lafaz ’aqiqah dengan pengertian melepaskan rambut anak yang dilahirkan dari rahim ibunya. Demikian asal makna ’aqiqah yang dikemukakan oleh Zamakhsyary.16 Menurut pendapat golongan Hanabilah pemotongan hewan ’aqiqah dilaksanakan pada hari-hari tertentu (minggu-minggu tertentu) sesuai dengan dalalah dari hadis. Sedangkan menurut pendapat golongan Syafi’iyah bahwa disebutnya hari-hari dalam nash hadits secara tertentu itu untuk ikhtiyary (memilih), bukan kepastian, yakni pelaksanaan pemotongan hewan ’aqiqah yaitu sejak hari ketujuh hingga hari kedua puluh satu dari kelahiran. Imam Syafi’i berpendapat pengertian dari lafaz tuzbahu ’anhu yauma sabi’ihi menunjukkan pada dalalah ikhtiyary dan tidak boleh diakhirkan dari ketentuan yang sudah ada, _____________ 16
Ash-Shan’aniy, Subul al-Salam, Juz IV (Mesir: Syirkah Mathba’ah Mustafa al-Babi alHalabi, t.th), h. 97 Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
95
apabila diakhirkan hingga anak tersebut balig (remaja) maka gugurlah beban ’aqiqah, tetapi ’aqiqah yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri diperbolehkan (dinilai shah). Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai beban melaksanakan ’aqiqah, sebagian ulama berpendapat bahwa tanggungan ’aqiqah itu terdapat pada setiap orang Islam yang terhadapnya bayi itu dilahirkan. Menurut pendapay Syafi’iy tanggungan ’aqiqah itu ditentukan bagi setiap orang yang mempunyai kewajiban langsung untuk memberi nafkah kepada anak itu. Adapun menurut pendapat Hanabilah tanggungan itu dibebankan kepada ayah saja kecuali dia meninggal atau ada hal-hal lain. Di samping itu ada pula yang membolehkan bagi orang lain yang, menjadi wali anak tersebut, sebagaimana seorang kerabat menjadi wali anak yang dilahirkan tadi dikarenakan hubungan kerabat atau orang lain yang menjadi wali bagi anak tersebut.17 Dari dalil hadis di atas para ulama juga mengambil kandungan hukum yang berkenaan dengan pemotongan rambut serta pemberian nama terhadap anak yang telah dilahirkan. Para ulama sepakat mensunnatkan pemotongan rambut dilakukan pada hari ketujuh, dan berdasarkan atas teks hadits itu maka mencukur rambut bayi itu berlaku umum bagi setiap bayi, baik bayi laki-laki maupun perempuan. Menurut al-Mazari, makruh hukumnya mencukur rambut untuk anak perempuan, sedangkan golongan Hanabilah menetapkan secara mutlak dari dalil hadits di atas, yakni untuk anak laki-laki maupun perempuan. Disunnatkan juga memberi nama untuk anak itu bersamaan dengan pelaksanaan ’aqiqah, tepatnya dilakukan pada hari ketujuh. Demikian pendapat sebagian ulama yang didasarkan pada dalil suatu hadits yang ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah melalui sanad Hamman dari Qatadah yang mengatakan: disebutkaannya nama anak itu karena nama itu harus disebut dalam upacara penyembelihan ’aqiqah seperti dalam lafaz:
ﺑـﺴﻢ ﷲ ﻋﻘﻴﻘـﺔ ﻓـﻼن. Adapun dari sanad
Said, Qatadah mengatakan:
أﻟﻠﻬﻢ ﻣﻨﻚ وﻟﻚ ﻋﻘﻴﻘﺔ ﻓﻼن ﺑﺴﻢ ﷲ أﻛﱪ Artinya:”Ya Allah, ini ’aqiqahnya si Fulan, dari Engkau dan untuk Engkau dengan nama Allah Yang Maha Besar”.18 Para ulama juga memberikan ketetapan dalam hal memberikan nama kepada anak dengan nama yang baik. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah SAW supaya anak itu diberi nama yang baik, dan beliau melarang menamainya dengan nama yang memiliki makna yang jelek atau menyamai nama sifat Allah seperti nama “Malikul Muluk”. Para ulama menilai haram memberi nama anak dengan nama yang mengandung menyamai nama Allah seperti “Qadhi alQudhadh”. Demikian juga dimakruhkan memberi nama kepada anak yang baru dilahirkan dengan nama yang jelek. Nama-nama yang diperuntukkan kepada anak dan dinilai baik oleh Allah adalah nama yang memakai ’Abdullah atau ’Abdurrahman dan yang semisalnya. Tidak dimakruhkan dalam memberi nama kepada anak dengan nama-nama Nabi seperti Yasin, Tha-ha, atau yang terdapat _____________ 17
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Juz V…, h. 141 Ibid.,
18
96
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
dalam al-Qur’an. Namun Imam Malik tidak sependapat dengan pendapat ini, dengan dalil hadits Nabi sebagai berikut:
ﻣﻦ ﻛﺎن ﻟﻪ ﺛﻼﺛﺔ ﻣﻦ اﻟﻮﻟﺪ ﱂ ﻳﺴﻢ اﺣﺪﳘﺎ ﲟﺤﻤﺪ ﻓﻘﺪ ﺟﻬﻞ Artinya:”Barangsiapa yang telah dikaruniai tiga orang anak dan di antara salah satunya tidak ada yang diberi nama Muhammad, maka orang itu dianggap bodoh”.19 Pendapat para ulama yang telah menetapkan larangan memberi nama kepada anak dengan nama-nama yang jelek itu didasarkan pada sejumlah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
ِ َ ِ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ْﻣﻨﺼﻮر َﻋﻦ ِ ْ ﻫﻼل ِ ِ ِ َْ ﺑﻦ ﻳﻮﻧﺲ َ ﱠ َﱠ ﺑﻦ ُ َ ْ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ْ ٌ ُ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ُ َزﻫْﻴ ٌـﺮ َ ﱠ ُ ْ أﲪﺪ َ ُ ُ ﻋﺒﺪ ا ﱠ ْﺑﻦ ٍ َ ْ ﺑﻦ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ رﺳﻮل ا ﱠِ َ ﱠ أﺣﺐ ُ ُ َ ﻗﺎل َ َ ﻗﺎل َ َ ﺟﻨﺪب َََُ ﻋﻦ وﺳﻠﻢ َ َ ﱡ َ َ ﻋﻤْﻴ ُ ِ ْ ﲰﺮة ْ َ ـﻠﺔ َُ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﺴﺎ ًرا ََوﻻ ﺑﺪأت ََوﻻ ُ َ ِّ َ ﱠ َ أﻛﺒَ ُـﺮ َﻻ َ ُ ﱡ ْ َ ُاﳊﻤﺪ ِﱠِ ََوﻻ َِإﻟﻪَ ِﱠإﻻ ا ﱠُ َوا ﱠ ﻳﻀﺮك َِِِّ ﱠ َ َ ُْ ُ ْ َْ ﺳﺒﺤﺎن ا ﱠِ َو َ َ َُ ﺗﺴﻤﲔ َ ْ َ َ ﻳﻬﻦ َ َ ﻏﻼﻣﻚ ِ ﺑﻊ َ َﻓﻼ ﺗَ ِﺰ ُ ﱠ ﻋﻠﻲ و ُ ُ ﻳﻜﻮن ﻓَـَﻴ ُ َُﻓﺈﻧﻚ ﺗ َـﻘﻮل َﻻ ِﱠ إﳕﺎ ُ ﱠ ُ ُ َ ﻫﻮ َ َﻓﻼ َ ـﻠﺢ َِ ﱠ ﻳﺪن ََ ﱠ ٌَﻫﻦ أَْر ً َ َرَ ًﺣﺎ ََوﻻ َ َ ﳒﻴﺤﺎ ََوﻻ أَْﻓ َ ُ ـﻘﻮل ََأﰒﱠ ِ ِ ﺣﺪﺛَـﻨﺎ ِإﺳﺤﻖ ٍ َ ِ أﻣﻴﺔ ْﺑﻦ ِ َ أﺧﺒَ ِـﺮﱐ َِ ﺟﺮ ٌﻳﺮ ح و َ ﱠ ﺑﻦ ُزَرْ ٍﻳﻊ َ ﱠ ﺑﺴﻄﺎم َ ﱠ روح ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ﻳَِﺰ ٌ ْ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ْ ُ ُ ﺣﺪﺛﲏ َُ ﱠ ُ ْ ﻳﺪ ُْ ُ َ ْ َ َﱠ َ ْ َ اﻫﻴﻢ َ ﺑﻦ إﺑْـَﺮ ٍ ﳏﻤﺪ ْﺑﻦ ْاﻟﻤﺜَ ﱠـﲎ و ْاﺑﻦ َ ﱠ ِ ِ َ ْ وﻫﻮ ْاﺑﻦ ٍ َ ْ َ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ َ ﱠ ﻗﺎﻻ َ ﱠ اﻟﻘﺎﺳﻢ ح و َ ﱠ َ َ ﺑﺸﺎر ُﺷﻌﺒﺔ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َُ ﱠ َ ْ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ُ ْ ﳏﻤﺪ ُ َ ُ ُ ُ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َُ ﱠ ُ ََُ ِ ِ ِ ِ ِ ِِزﻫﲑ ِ ﱠ ِ ٍْ َ ُ ﺣﺪﻳﺚ ٍْ َ ُ ﺳﻨﺎد ٍ ُ ْﻋﻦ َﻣ ِ ْ ِ َ َ وروح ﺣﺪﻳﺚ ٍ ْ ََ ﺣﺪﻳﺚ َﺟ ِﺮ ٍﻳﺮ زﻫﲑ ََﱠ َ ْ ِِ ﻨﺼﻮر ُ َ ﺑﻘﺼﺘﻪ َوَﱠأﻣﺎ ُ َ ﻓﺄﻣﺎ َ ﻓﻜﻤﺜﻞ ْ َ ﻛﻠﻬﻢ ْ ُُﱡ 20 ِ ِ ِ ِ َ َﺷﻌﺒﺔ ﻓ ِ ِ َ ذﻛﺮ ِ َ ُ ْ ﺗﺴﻤﻴﺔ ﺑﻊ َ َ اﻟﻐﻼم َ َ َ ْ ﻳﺬﻛﺮ َ ْ ُ ْ ـﻠﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﱠإﻻ ََاﻟﻜﻼم ْاﻷَْر ْ ُ ْ َ ْوﱂ َ ْ َ َْ ُ ِ ْ ﺑﻴﻊ ﺑﻦ ِ ِﻋﻦ َر َْ ِ ﺑﻊ ٌَِ َإﱃ ا ﱠ أَْر
ٍ ﻳﺴﺎف ََ ِ ََ ْ اﻟﻜﻼم
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin 'Abdullah bin Yunus; Telah menceritakan kepada kami Zuhair; Telah menceritakan kepada kami Manshur dari Hilal bin Yasaf dari Rabi' bin 'Umailah dari Samurah bin Jundab ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Ada empat ucapan yang paling di sukai Allah SWT; 1) Subhanallah, 2) Al Hamdulillah, 3) Laa ilaaha illallah, 3) Allahu Akbar. Tidak berdosa bagimu dengan mana saja kamu memulai. Selain itu, janganlah kamu memberi nama anakmu dengan nama; Yasar, Rabah, Najih, atau Aflah. Karena, jika kamu bertanya; 'Apakah memang demikian (keadaanmu sesuai dengan namamu) dan ternyata tidak seperti itu, maka ia akan menjawab; 'Tidak.' Hanya empat itulah kalimat yang saya dengar maka janganlah sekali-kali kamu menambahkannya atas namaku.' Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim; Telah mengabarkan kepadaku Jarir; Demikian juga telah diriwayatkan dari jalur yang lain; Dan telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Bistham; Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai'; Telah menceritakan kepada kami Rauh yaitu Ibnu Al Qasim; Demikian juga telah diriwayatkan dari jalur yang lain; Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah seluruhnya dari Manshur dari jalur Zuhair. Adapun Hadits Jarir dan Rauh isinya sebagaimana Hadits Zuhair. Sedangkan Hadits Syu'bah isinya hanya menyebutkan empat nama yang dilarang, tanpa menyebutkan empat kalimat yang disukai Allah.” _____________ 19
Ash-Sahn’aniy, Subul al-Salam, Juz IV…, h. 100 Ibid., Nomor Hadits 3985
20
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
97
ِ ﺣﺒﻴﺐ ﻋﻦ ُ ﱠ ِ ِ ِ ِ َ ْ ﻫﺎﺷﻢ ْﺑﻦ ِ ْ ﳏﻤﺪ ِ ْ ﻋﻦ ﻳَِﺰ َﻳﺪ اﻟﻘﺎﺳﻢ َ ﱠ اﻟﻨﺎﻗﺪ َ ﱠ َﱠ ﺑﻦ ُ ﻋﻤﺮو ﱠ ُ ْﺣﺪﺛََـﻨﺎ ﱠ َ ْ َ ٍ ِ َ ﺑﻦ َِأﰊ ْ َ اﻟﻠﻴﺚ ٌ ْ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ُ ُ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ٍ َ ﺑﻦ ِ َ إن ِ َ ﺻﻠﻰ ا ﱠ ِ َ ﺑﻨﺖ َِأﰊ َِْ ﻋﻠﻴﻪ َ َ ﻋﻄﺎء ْ َ َ َﲰﻴﺖ اﺑَِْـﻨﱵ ﺑَﱠَـﺮة ﻓ َ ِ ْ ﻋﻤﺮو ُ ِْ ـﻨﺐ ُ ْﻗﺎل َﱠ ْ َ ُ رﺳﻮل ا ﱠ َ ﱠ ُ َ ﺳﻠﻤﺔَ ﱠ ََ ُ َْـﻘﺎﻟﺖ ِﱄ َزﻳ ِ ِ ِ ﻫﺬا ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ رﺳﻮل ا ﱠِ َ ﱠ ﱠ ُ ُ َ ـﻘﺎل َ َ َوﲰﻴﺖ ﺑَﱠَـﺮة ﻓ ُ ُّ َ اﻻﺳﻢ ْ َ َ ﻋﻦ ْ َ وﺳﻠﻢ ﻧَ َـﻬﻰ ُـﻔﺴﻜﻢ ا ﱠ ْ ُ َ ُ ْوﺳﻠﻢ َﻻ ﺗَُـﺰﱡﻛﻮا أَﻧ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ َ ََ 21 ِ ِ ِْ ﻫﻞ ِ ِ ِ َْ َ ـﻨﺐ َ َ ﻧﺴﻤﻴﻬﺎ َ ﻗﺎل َﱡ َ ّ َ ُ َﻣﻨﻜﻢ ﻓَ َـﻘﺎﻟُﻮا ﰈ ْ ُ ْ اﻟﱪ ّ ِ ْ َ أﻋﻠﻢ َ َْﲰﻮﻫﺎ َزﻳ ُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami 'Amru An Naqid; Telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Al Qasim; Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha dia berkata; "Aku menamai anak perempuanku 'Barrah'. Maka Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku; 'Rasulullah SAW telah melarang memberi nama anak dengan nama ini. Dahulu namaku pun Barrah, lalu Rasulullah SAW bersabda: 'Janganlah kamu menganggap dirimu telah suci, Allah Ta'ala-lah yang lebih tahu siapa saja sesungguhnya orang yang baik atau suci di antara kamu.' Para sahabat bertanya; 'Lalu nama apakah yang harus kami berikan kepadanya? ' beliau menjawab: 'Namai dia Zainab.' Berdalil kepada hadis keempat di atas para ulama telah menetapkan beberapa keputusan hukum berkenaan dengan mengucapkan lafaz azan pada telinga anak bayi. Sebagian ulama mensunnatkan membaca azan pada telinga anak sesudah dibersihkan dari kotoran sesuai dengan pendapat Hasan al-Bashri, beliau juga mensunnatkan membaca iqamah pada telinga kiri dengan dalil yang pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz. Para ulama juga telah mengambil suatu kesepakatan mengenai dalil hadis kelima di atas sebagai hujjah untuk menetapkan suatu keputusan bahwa anak yang baru saja dilahirkan dari kandungan ibunya disunnatkan untuk diberi atau disuapi dengan kurma yang telah dihaluskan, apabila hal itu tidak memungkinkan maka dapat diganti dengan lainnya yang mengandung rasa manis. Mereka juga mensunnatkan juga agar yang memberikan suapan kurma atau selainnya yang rasanya manis itu dilakukan oleh seorang ulama atau orang yang shalih, karena daripadanya diharapkan Allah memberikan berkah untuk anak tersebut. HADITS-HADITS TENTANG TATA CARA ‘AQIQAH Hadis-hadis dalam tema ini dapat diklasifikasikan, sesuai dengan bentuk peristiwanya, kepada beberapa bagian sebagai berikut:
ٍ َْ ُ ﺑﻦ ِ ْ َ ﻋﻦ ٍ ْ َﺑﻦ ﻗ ِ ْ ﻋﻤﺮو ﺷﻌﻴﺐ َ ﱠ اﻟﻘﻌﻨﱯ َ ﱠ َﱠ ﺻ ﱠـﻠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِـﻪ َو َﺳـﻠﱠ َﻢ ح و َﺣ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ أن ﱠِ ﱠ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ ْ َ ْ َِ ﱡ ُ ُ َ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َ اﻟﻨﱯ ْ َ ـﻴﺲ ُ ْ داود ِ ـﺎري ﺣـ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ َﻋﺒـ ُـﺪ ْاﻟﻤِﻠـ ٍ َْ داود َﻋـ ْـﻦ َﻋ ْﻤـ ِـﺮو ﺑْـ ِـﻦ ُﺷـ ـﻌﻴﺐ َﻋـ ْـﻦ َ َ ََُْﳏ ﱠﻤـ ُـﺪ ﺑْـ ُـﻦ ُﺳـ َ ُ َ ـﻚ ﻳَـ ْﻌـ ِـﲏ اﺑْـ َـﻦ َﻋ ْﻤـ ٍـﺮو َﻋـ ْـﻦ َ ـﻠﻴﻤﺎن ْاﻷَﻧْـَﺒـ ِ ﱡ َ ْ ِ ْـﻮل ا ﱠِ ﺻـ ﱠـﻠﻰ ا ﱠ ﻋﻠَﻴـ ِـﻪ وﺳـ ﱠـﻠﻢ ﻋــﻦ ا ِِّ َأﺑِﻴـ ِـﻪ أُراﻩ ﻋــﻦ ﺟـ ِ َ ـﺪﻩ ﻗَـ ـﻮق َ ﻟﻌﻘﻴ َﻘـ ِـﺔ ﻓَـ َﻘـ ُ ـﺌﻞ َر ُﺳـ ـﺎل َﻻ ُِﳛـ ﱡ َ ـﺐ ا ﱠُ ْاﻟﻌُ ُﻘـ َ َْ َ ََ َْ ُ َ َ ْ َ َُ َ ـﺎل ُﺳـ ِ ﻣﻜﺎﻓِﺌَـﺘَـ ِ َ ُـﺴﻚ َﻋــﻦ اﻟْﻐ ـﺎن َ ُ ـﻼم َﺷــﺎ َ ِن َ َﻛﺄَﻧﱠ ُـﻪ َﻛـ َِـﺮﻩ ِاﻻ ْﺳ َـﻢ َوﻗَـ ـﺎل َﻣـ ْـﻦ ُوﻟِ َـﺪ ﻟَــﻪُ َوﻟَـ ٌـﺪ َﻓﺄَ َﺣ ﱠ َ ُ ـﺐ َ ْأن ﻳَـْﻨـ ْ ْ ُ ـﺴﻚ َﻋْﻨـﻪُ ﻓَ ْـﻠﻴَـْﻨـ ِ ِ ِ ْ وﻋﻦ ٍ َـﻐﺰ اﺑْ َـﻦ َﳐ ـﺎض َْأو َ َـﺌﻞ َﻋ ْـﻦ اﻟْ َﻔ َـﺮِع ﻗ َ ع َﺣ ﱞـﻖ َوَ ْأن ﺗـَْﺘ ُـﺮُﻛـﻮﻩُ َﺣ ﱠـﱴ ﻳَ ُﻜ ُ ـﺎل َواﻟْ َﻔـَﺮ ُ ْ ـﻮن ﺑَ ْﻜـًﺮا ُﺷ َ ََْ َ اﳉﺎرَﻳﺔ َﺷﺎةٌ َو ُﺳ
_____________ 21
Ibid., Nomor Hadits 3992
98
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
ِ ِ ِ ﻋﻠﻴﻪ ِﰲ ِ ِ َ ﲢﻤﻞ ِ ٍ ِ َِِ ِـﺰق َﳊْﻤـﻪُ ﺑ ءك ْ َ َ ـﻮﺑﺮﻩ َ َ َ ِوﺗﻜ َﻔـﺄَ إ ً َ َ َْ ُـﻌﻄﻴﻪ ْ َ َ َْ أرﻣﻠﺔ َْأو ْ ﺳﺒﻴﻞ ا ﱠ ﺧَْﻴ ٌـﺮ َ ْ ُاﺑﻦ َُﻟﺒﻮن ﻓَـﺘ َ َْ َ ُ َ َ ﻣﻦ َ ْأن َ ْﺗﺬ َﲝَـﻪُ ﻓَـﻴَـْﻠ 22 ِ ـﺘﻚ َ َََوﺗُﻮﻟﻪُ َ ﻗ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi, telah menceritakan kepada kami Daud bin Qais, dari 'Amr bin Syu'aib, bahwa Nabi SAW, dan telah diriwayatkan dari jalur yang lain: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al Anbari, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin 'Amr, dari Daud dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, aku diberitahu dari kakeknya, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai aqiqah, kemudian beliau berkata: "Allah tidak menyukai tindakkan durhaka." Sepertinya beliau tidak menyukai nama tersebut. Dan beliau berkata: "Barangsiapa yang anaknya telah dilahirkan dan ia ingin menyembelih untuknya maka hendaknya ia menyembelih untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk anak wanita satu ekor kambing." Dan beliau ditanya mengenai fara' (anak unta yang pertama kali lahir). Beliau berkata: "Dan fara' adalah hak, sedangkan kalian membiarkannya hingga menjadi dewasa kuat berumur satu tahun masuk dua tahun atau berumur dua tahun masuk tiga tahun kemudian engkau berikan kepada seorang janda atau engkau bebani di jalan Allah adalah lebih baik daripada engkau menyembelihnya sehingga dagingnya menempel dengan bulunya, dan engkau penuhi bejanamu dan engkau kagetkan untamu dengan kematian anaknya." Hadis berikutnya yang menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan ’aqiqah adalah sebagai berikut.
ٍ ﺣـ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ أَ ْﲪـ ُـﺪ ﺑــﻦ ُﳏ ﱠﻤـ ِـﺪ ﺑـ ِـﻦ َ ﺑِـ ِ ْ ُـﺖ َﺣـ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ َﻋﻠِـ ﱡـﻲ ﺑْــﻦ ا ْﳊـ َِ ـﺴﲔ َﺣـ ﱠ ـﺎل َ ـﺪة ﻗَـ َ َ ـﺪﺛﲏ َِأﰊ َﺣـ ﱠـﺪﺛََـﻨﺎ َﻋْﺒـ ُـﺪ ا ﱠِ ﺑْـ ُـﻦ ﺑـَُﺮﻳْـ ْ َ ُْ َ َ َ ُ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ﻛﻨﺎ ِﰲ ْ ﱠ ـﻘﻮل ُ ﱠ ُ ُ َﻳﺪة ﻳ ً ـﻼم َذﺑَ َـﺢ َﺷ َ َ ْﲰﻌﺖ َِأﰊ ﺑـَُﺮ ٌ َ ﻷﺣﺪ َ ُﻏ ُ َْ َ َ ـﺎة َوﻟَﻄَ َـﺦ َرأْ َﺳـﻪُ ﺑ َ َ اﳉﺎﻫﻠﻴﺔ َإذا ُو َﻟﺪ َ َـﺪﻣﻬﺎ ﻓَـﻠَ ﱠﻤـﺎ َﺟـﺎء 23 ٍ ِ َ ﺷﺎة ِ ِ َ ِْ ِ ا ﱠ ﻹﺳﻼم ُ ﱠ ﺑﺰﻋﻔَﺮان َ ْ َِ ُـﻠﻄﺨﻪ ْ َ ً َ ﻧﺬﺑﺢ ُ ّ َُأﺳﻪُ َوﻧ ُ وﳓ ْ ُ َ ْﻠﻖ َر ُ َ ْ َ ﻛﻨﺎ
Artinya: ”Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Tsabit, telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Husain, telah menceritakan kepadaku ayahku telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah, ia berkata; saya mendengar ayahku yaitu Buraidah berkata; dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami terlahirkan anak laki-lakinya maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepalanya dengan darahnya. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran.”
ِ ِ ْ ﺣﺪﺛﲏ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ٍ ْ ﻋﺒﺪ ا ﱠِ ْﺑﻦ ٍ ِ َ ﺑﻦ ِ ْ ﲪﻴ ِﺪ ﻛﺎﺳﺐ َ ﱠ َﱠ ـﻮب ﺑْ ِـﻦ ُ َْ ﺣﺪﺛََـﻨﺎ َُْ ﺑﻦ َ اﳊﺎرث َﻋ ْـﻦ أَﻳﱡ ُ ُ ْ َﺣﺪﺛََـﻨﺎ ﻳ َ ُ ْ ُ ْ َ َِ وﻫﺐ َ ﱠ َُ ُ ْ ـﻌﻘﻮب ٍ ِ َ ـﺎل ﻳـﻌ ﱡـﻖ َﻋـﻦ اﻟْﻐُـ َِ ْ ﻋﺒﺪ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ اﻟﻨﱯ َ ﱠ ﺣﺪﺛﻪُ َ ﱠ ﺣﺪﺛﻪُ َ ﱠ ﻼم ََوﻻ َ اﻟﻤﺰﱐﱠ َ ﱠ َ ﻣﻮﺳﻰ َﱠأﻧﻪُ َ ﱠ أن ﱠِ ﱠ ْ َ ُ َ َوﺳﻠﻢ ﻗ َ ُ ُ َْ ﺑﻦ َ ْ أن ﻳَِﺰ َﻳﺪ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ 24 ٍ ِ ﺑﺪم َ ُأﺳﻪ َُ ﱡ ُ ْﳝﺲ َر _____________ 22
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III, Nomor Hadits 2459 Ibid., Nomor Hadits 2460 24 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Nomor Hadits 3157 23
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
99
Artinya: ”Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Humaid bin Kasib telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb telah menceritakan kepadaku 'Amru bin Al Harits dari Ayyub bin Musa bahwa dia menceritakan kepadanya bahwa Yazid bin Abdul Muzani menceritakan kepadanya, bahwa Nabi SAW bersabda: "Seorang anak diaqiqahi dan kepalanya tidak perlu disentuh (dilumuri) dengan darah (hewan kurbannya)." Hadis pertama menjelaskan bahwa pemberian nama atau pengistilahan hewan korban yang disembelih untuk menyambut anak yang dilahirkan sebaiknya dengan sebutan ”nasikah”, bukan dengan sebutan ”’aqiqah”, karena istilah ’aqiqah itu disebutkan sebagai pemotongan terhadap rambut anak kecil atau istilah untuk membersihkan kotoran yang ada di atas kepalanya, sedangkan nasikah disebutkan untuk istilah pemotongan hewan korban pada acara ’aqiqah. Meskipun demikian, perbedaan ini tampaknya hanya terdapat pada istilah penyebutan saja, tidak sampai kepada penghapusan hukumnya. Pada hadis kedua dijelaskan bahwa tradisi yang berlaku di masa jahiliyah adalah masih juga ada yang berlaku pada masyarakat muslim. Demikian ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Buraidah dalam hadits kedua di atas. Sebagaimana bunyi teks hadis: Buraidah berkata; dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami terlahirkan anak laki-lakinya maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepalanya dengan darahnya. Kemudian tatkala Allah datang membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambutnya serta melumurinya dengan za'faran. ’Aqiqah dapat dikatakan sebagai bentuk upacara, di samping sebagai nama suatu istilah korban yang berkaitan dengan dilahirkannya seorang anak dari kandungan ibunya. Kedua bentuk itu mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mensyukuri bayi yang lahir. Dengan demikian ’aqiqah mempunyai bentuk serangkaian upacara untuk menyambut bayi yang dikategorikan sebagai upacara yang mengandung makna ibadah. Berdasarkan kedua hadis di atas oleh para ulama diambil beberapa ketetapan hukum yang berkaitan dengan upacara ’aqiqah, yaitu dengan disepakatinya melakukan upacara ’aqiqah secara sunnat. Menurut para ulama bahwa hewan yang disembelih untuk ’aqiqah adalah harus sudah mencukupi umur yakni untuk anak laki-laki ’aqiqahnya dua ekor kambing yang telah cukup umurnya. Menurut al-Khaththabi kedua kambing itu harus sama-sama umurnya, tidak boleh di antara salah satunya kurang dari umur, atau keduanya sudah dara serta telah menyusui atau sesuai dengan batas-batas hewan kurban, begitu juga kambing yang digunakan ’aqiqah untuk anak perempuan yang jumlahnya cukup satu ekor. Adapun kambing yang disembelih itu boleh jantan atau betina. Menurut Hadawiyah dan Imam Malik cukup satu ekor saja untuk masingmasing anak, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan menurut jumhur ulama (Syafi’i, Abu Daud, Abu Tsaur, dan Ahmad) ditetapkan untuk anak lakilaki dua ekor dan untuk anak perempuan satu ekor. Imam malik dan Hadawiyah berdalil pada hadits ’Aisyah tadi secara umum yang telah diriwayatkan oleh Turmuzi mendapat sorotan dari para ulama bahwa pendapat itu berdasarkan pada hadits qauliyah, sedangkan yang lainnya pada hadits ’amaliyah, namun yang dianggap lebih kuat dari kedua bentuk dasar itu adalah yang berdasarkan pada hadits qauliyah. Selain itu ada yang mensunnatkan dua ekor kambing, namun apabila dilaksanakan dengan memotong satu ekor saja dianggap boleh 100
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
berdasarkan pada amalan yang pernah dikerjakan oleh Nabi SAW yaitu beliau pernah menyembelih satu ekor domba untuk Husein (cucunya). Berdasarkan atas kemuthlakan hadits maka hewan yang disembelih itu disyaratkan berupa kambing, tidak seperti yang disyaratkan pada hewan korban.25 Para ulama juga menetapkan larangan menetesi darah hewan ’aqiqah ke atas kepala anak, namun cukup dengan mencukur bersih rambutnya saja, karena dalam suatu hadis diriwayatkan:
ٍ َ ِ ﳝﺲ رْأﺳﻪ ِ َ ُ ْ ـﻌﻖ َﻋﻦ ﺻﻠﻰ ا ﱠُ ََْ ِ ﱠ اﻟﻨﱯ َ ﱠ َﱠ ﺑﺪم َ َ وﺳﻠﻢ أن ﱠِ ﱠ ُ ُ َ اﻟﻐﻼم ََوﻻ َُ ﱡ ْ ﻗﺎل ﻳُ َ ﱡ َ َ َ ﻋﻠﻴﻪ
Artinya: ”Nabi SAW bersabda: anak yang di’aqiqah kepalanya tidak perlu diusapi darah hewan ’aqiqah.” Sanad hadis ini termasuk hasan, karena rawi yang bernama Ya’qub bin Humaid diperselisihkan statusnya, sedangkan rawi-rawi lainnya dalam sanad itu dinilai memenuhi kriteria persyaratan Bukhari dan Muslim.26 Di kalangan para ulama telah terjadi perselisihan penetapan mengenai hewan ’aqiqah, sebagian tidak membolehkan selain kambing dengan dalil hadis yang dinukil oleh Ibnu Munzir dari Hafshah bin ’Abdurrahman bin Abi Bakar. Menurut Imam Malik bahwa menyembelih hewan korban untuk ’aqiqah selain kambing diperbolehkan, namun yang dianggap lebih utama adalah kambing domba. Jumhur ulama memperbolehkan memotong hewan ’aqiqah dengan domba, sapi atau unta. Pendapat mereka ini didasarkan kepada suatu riwayat yang ditakhrij oleh al-Thabrani dan Abu Syeikh dari Anas bin Malik secara marfu’, yaitu:
ﻳﻌﻖ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ اﻻﺑﻞ واﻟﺒﻘﺮ واﻟﻐﻨﻢ Artinya: “Aqiqah dengan unta, sapi, dan kambing” Ahmad bin Hanbal memberikan komentar bahwa hewan yang disembelih berdasarkan hadits Anas tersebut harus unta yang gemuk atau lembu atau kambing, diutamakan unta yang habis masa menyusui yang pertama (badanah) atau lembu yang sudah mencukupi umurnya. Al-Rafi’i menerangkan bahwa satu ekor unta atau lembu berlaku sama dengan tujuh ekor kambing seperti yang berlaku dalam korban, sehingga menyembelih satu ekor unta atau lembu dapat untuk ‘aqiqah tujuh anak. Adapun syarat-syarat yang diperlukan terhadap yang dikorbankan untuk ‘aqiqah menurut golongan Syafi’iyyah ada dua pendapat: 1. Jika berdalil pada kemuthlakan hadits maka tidak diperlukan syarat-syarat, dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat yang benar 2. Pendapat yang tidak menilai bahwa hadits itu sebagai bentuk yang muthlak, namun karena tidak adanya hadits-hadits yang menerangkan tentang syarat-syarat dan ’illatnya sebagaimana yang diberlakukan kepada hewan kurban, dan hal ini sebagai hukum syara’ yang ditetapkan dengan dalil. Di kalangan pengikut Malikiyyah terdapat perbedaan pendapat mengenai awal waktu penyembelihan hewan ’aqiqah. Sebagian menetapkan pada saat sebelum waktu dhuha dimulai, sebagian lain memperbolehkan pada malam harinya dan sebagian lainnya menetapkan bahwa waktu penyembelihan hewan _____________ 25
Ash-Shan’aniy, Subul al-Salam, Juz IV…, h. 98 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz II, h. 1057
26
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
101
’aqiqah boleh setiap saat, boleh malam hari, siang hari, ataupun pagi hari, dan pendapat inilah yang dianggap paling umum walaupun ditetapkannya tidak dengan dalil khusus, melainkan diqiyaskan dengan pelaksanaan kurban pada hari raya ’idul adha.27 Dengan demikian, hasil pengkajian dan pembahasan terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan persoalan ’aqiqah sudah tentu diharapkan adanya manfaat yang luas walaupun masih terdapat kekurangan yang bersifat kekhilapan. KESIMPULAN Tulisan ini membahas masalah ’aqiqah. Hadis-hadis yang dikaji dalam tulisan ini adalah hadis-hadis tentang: 1. Dasar hukum áqiqah; 2. Kegiatan yang mengiringi acara áqiqah; 3. Tata cara áqiqah. Dari uraian-uraian pembahasan mengenai ‘aqiqah dapat ditetapkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: ‘Aqiqah merupakan suatu bentuk upacara ibadah yang sunnah hukumnya sesuai dengan dalil-dalil yang bersumber sunnah Nabi SAW. Pada prakteknya, pelaksanaan ‘aqiqah diiringi dengan: 1. Pelaksanaan pemotongan hewan yang terdiri atas dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan, dan hewan yang disembelih itu haruslah sudah cukup umur. Pemotongan hewan dilakukan pada hari ketujuh setelah saat kelahiran. 2. Pemberian nama terhadap anak yang telah dilahirkan dengan nama yang mengandung makna yang baik, tidak diperbolehkan memberi nama yang mempunyai makna “Maha” sebagaimana sifat Allah SWT seperti nama “Malikul Muluk”. 3. Disunnahkan membersihkan (mencukur) rambut anak itu pada saat melaksanakan upacara ‘aqiqah tepatnya pada hari ketujuh. 4. Terhadap bayi yang dilahirkan disunnahkan dibacakan lafaz azan dan iqamah pada dua telinga anak itu.
_____________ 27
Al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz V…, h. 146-147
102
Arfah Ibrahim: 'Aqiqah dalam Perspektif Hadits Nabi
DAFTAR PUSTAKA
CD Program Hadis Kutub al-Tis’ah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. II, Jakarta: balai Pustaka, 1990) Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Tahzib al-Tahzib (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) -----------------------------, Fath al-Bary (Mesir: Mathba’ah Salafiyah, 1374) Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawy, Juz I (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972) Fred N. Kerlinger, Fondation of Behavioral Research (New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1973), h. 525 Lihat M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 42 ------------------------------, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1989) Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits Wa Mushthalahuhu diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Pustaka Firdausn dengan judul :” Membahas Ilmu-Ilmu Hadits”, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993) Ash-Shan’any, Subul al-Salam (Mesir: Syirkah Mathba’ah Mustafa al-Babi alHalabi, t.th) Asy-Syaukany, Nail al-Authar bi Syarh Muntaqa al-Ahbar (Mesir: Syirkah Mathba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th) Az-Zahaby, Mizan al-I’tidal fi naqd al-Rijal (Mesir: Mathba’ah Sa’diyah, 1325)
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
103
MEMAHAMI HADIS-HADIS TENTANG TANDA-TANDA DATANGNYA HARI KIAMAT
A. Shamad STAI Al-Washliyah Banda Aceh Lam Ara – Rukoh Kota Banda Aceh
ABSTRAK Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary memberi informasi bahwa tidak ada satu negeri pun di bumi ini yang tidak didatangi oleh Dajjal kecuali Mekah dan Madinah, karena setiap lobang tanahnya dijaga oleh Malaikat berbaris-baris. Sementara dalam riwayat Ibnu Majah ada tambahan informasi bahwa malaikat membawa pedang dalam menjaga kota itu. Ketika nanti kota itu bergoncang tiga kali, maka orang kafir dan munafik dikeluarkan oleh Allah dari sana. Isu penting tentang Dajjal antara lain, semua Nabi SAW memperingatkan kepada umatnya akan datangnya Dajjal bila hari kiamat sudah semakin dekat. Secara fisik Dajjal dilukiskan sebagai orang yang matanya buta sebelah. Hadis lain yang nilainya shahih menyebutkan sifat tercela pada diri Dajjal adalah ia makhluk pembohong. Jumlah mereka mencapai 30 orang, masing-masing mengaku sebagai utusan Allah.
Kata Kunci: Kiamat, Hadis Nabi, Dajjal PENDAHULUAN Informasi keagamaan tentang tanda-tanda dekatnya hari kiamat seperti datangnya Ya’juj dan Ma’juj, Dajjal, Imam Mahdi dan lain-lain tampaknya menarik perhatian dalam masyarakat Islam, utamanya ulama hadis. Semua mereka meriwayatkan hadis tema ini dalam kitab mereka kendati kadar keshahihan dan kelengkapannya tidak sama. Sekiranya kita tidak memperhatikan akurasi periwayatan, apa yang termuat dalam kitab hadis langsung kita terima, bahkan secara harfiyah, niscaya kita mendapatkan gambaran kongkrit tentang tema tersebut. Tetapi karena akal pikiran ikut berbicara kritis, tidak secara apriori menerima atau menolak hadis, maka persoalan ini menjadi menarik untuk didiskusikan. Banyak hal yang dapat dipertanyakan dari kandungan hadis-hadis tersebut karena bila dipahami secara harfiyah bisa menimbulkan pemahaman yang tidak masuk di akal. Dari sudut pandang keagamaan, tema hari kiamat memang termasuk kawasan ilmu akidah. Persoalan akidah memerlukan dalil-dalil qath’i (mutawatir). Hadis yang tidak mutawatir maka tidak dapat memaksa orang lain untuk mempercayainya. Karena hadis-hadisnya tidak mutawatir maka boleh diambil dan boleh ditolak. Agaknya persoalannya bukan terletak pada status mutawatir atau ahad, namun karena orang Islam percaya kepada Rasulullah SAW, maka mereka merasa berkewajiban untuk mengindahkan ajaran-ajaran dan keteladanannya. Bagi mereka yang meyakini hadis itu berasal dari Rasulullah SAW, apakah melalui jalan mutawatir atau ahad, dengan sendirinya akan 104
A. Shamad: Memahami Hadis-Hadis tentang tanda-tanda Datangnya kiamat
menempatkannya sebagai ajaran dan petunjuk. Bagi yang menolaknya, tentu masalahnya sudah selesai. Bagi yang mengambilnya tadi, perlu memahami hadis tersebut dengan penyesuaian agar informasi keagamaan dapat diterima tanpa menimbulkan masalah. Matan hadis-hadis tentang tanda-tanda kiamat kiranya perlu disikapi dengan bijaksana. Hadis-hadis yang begitu populer di kalangan umat Islam belakangan ini tampaknya kurang populer di kalangan sahabat Nabi SAW. Begitu penting dan dahsyatnya informasi yang terkandung di dalamnya, hanya segelintir kecil sahabat yang meriwayatkan masing-masing hadis tersebut. Seharusnya informasi penting semacam ini diketahui para sahabat secara merata dengan indikasi mutawatir. Karena, meskipun di kalangan sahabat hadis yang mengandung informasi ”ramalan” itu tidak mutawatir, tetapi pada generasi berikutnya diriwayatkan secara mutawatir. Terlepas dari tawatur tidaknya riwayat tersebut, terdapat sanad shahih yang membawa informasi tersebut, sehingga cukup alasan mempercayai hadis-hadis yang sulit dijangkau akal itu. Berangkat dari realitas di atas, tulisan ini mencoba untuk membahas tentang bagaimana memahami hadis-hadis tentang tanda-tanda dekatnya hari kiamat. Hadis-hadis dengan tema “berbagai kejadian menjelang hari kiamat” yang menjadi objek bahasan dalam tulisan ini meliputi hadis-hadis tentang: 1. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj; 2. Kedatangan Dajjal; 3. Kedatangan Imam Mahdi. HADIS-HADIS TENTANG YA’JUJ DAN MA’JUJ Informasi tentang Ya’juj dan Ma’juj tidak hanya terdapat di dalam alQur’an (Q.S. Al-Kahfi (18): 93-98), tetapi juga terdapat di dalam kitab-kitab hadis dengan redaksi yang sama. Hadis di seputar persoalan Ya’juj dan Ma’juj ini selengkapnya sebagai berikut:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ اﳌﺨﺰوﻣﻲ وأﺑﻮﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻓﻊ و ﻏﲑواﺣﺪ ﻗﺎﻟﻮا ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﺳـﻔﻴﺎن ﺑـﻦ ﻋﻴﻴﻨـﺔ ﻋـﻦ اﻟﺰﻫﺮي ﻋﻦ ﻋﺮوة ﺑﻦ اﻟﺰﺑﲑ ﻋﻦ زﻳﻨﺐ ﺑﻨﺖ أﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺣﺒﻴﺒﺔ ﻋﻦ أم ﺣﺒﻴﺒـﺔ ﻋـﻦ زﻳﻨـﺐ ﺑﻨـﺖ ﺟﺤـﺶ ﻗﺎﻟــﺖ اﺳــﺘﻴﻘﻆ رﺳــﻮل ﷲ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻣــﻦ ﻧــﻮم ﳏﻤ ـﺮا وﺟﻬــﻪ وﻫــﻮ ﻳﻘــﻮل ﻻاﻟــﻪ اﻻﷲ ﻳﺮددﻫــﺎ ﺛﻼث ﻣﺮات وﻳﻞ ﻟﻠﻌﺮب ﻣﻦ ﺷﺮ ﻗﺪ اﻗﱰب ﻓﺘﺢ اﻟﻴﻮم ﻣﻦ ردم ﺟـﻮج وﻣـﺄﺟﻮج ﻣﺜـﻞ ﻫـﺬﻩ وﻋﻘـﺪ ﻋـﺸﺮا ﻗﺎﻟﺖ زﻳﻨﺐ ﻗﻠﺖ رﺳﻮل ﷲ أﻓﻨﻬﻠﻚ وﻓﻴﻨﺎ اﻟﺼﺎﳊﻮن ﻗﺎل ﻧﻌﻢ اذا ﻛﺜﺮ اﳋﺒﺚ Artinya: Dari Zainab binti Jahsyin berkata: Nabi SAW bangun dari tidur dan seketika mukanya memerah sambil mengucap La ilaha illa Allah tiga kali, kemudian beliau berkata: selakalah orang Arab karena akan ditimpa bahaya dengan kedatangan Ya’juj dan Ma’juj, sebagai tanda hari akhirat sudah dekat. Lalu Zainab bertanya, “Apakah bahaya itu juga menimpa kami, sementara di antara kami banyak orang yang shalih?” Beliau menjawab, “Ya, apabila kotoran moral (khabats) menjadi banyak dan telah mewabah”. Hadis tersebut di atas terdapat dalam sejumlah kitab sumber hadis yang populer, yaitu: dalam Sunan Al-Turmuzi,1 dalam Sunan Ibn Majah2. dalam Shahih
_____________ 1
CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan al-Turmuzi, Hadis No. 2113. CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan Ibnu Majah No Hadis 3943.
2
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
105
Muslim3. Hadis di atas ditemui juga dalam Shahih al-Bukhari4 dan dalam Musnad Ahmad.5 Teks hadits di atas mengandung makna bahwa Nabi SAW ketika mukanya memerah mengucap La ilaha illa Allah, kemudian menyatakan bahwa orang Arab akan ditimpa bahaya dengan kedatangan Ya’juj dan Ma’juj, sebagai tanda hari akhirat sudah dekat. Lalu ada yang bertanya, “Apakah bahaya itu juga menimpa kami, sementara di antara kami banyak orang yang shalih?” Beliau menjawab, “Ya, apabila kotoran moral (khabats) menjadi banyak dan telah mewabah”. Mengenai Ya’juj dan Ma’juj ini, Al-Qur’an menyebutkan istilah Ya’juj dan Ma’juj di dua tempat, dalam surah al-Kahfi ayat 94 dan surah al-Anbiya’ ayat 96. Sekiranya isu tentang Ya’juj dan Ma’juj itu tidak penting niscaya tidak disebutkan dalam al-Qur’an, meskipun hanya sekilas. Di sana Ya’juj dan Ma’juj dikaitkan dengan Zulqarnain. Dalam surah al-Kahfi disebutkan, Rasulullah akan ditanya tentang Zulqarnain. Kemudian diceritakan oleh al-Qur’an bahwa Zulqarnain itu dulu berada di lokasi tertentu dengan segala keistimewan dan kiprahnya yang sangat hebat. Orang-orang berkata, ”Hai Zulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi, maka dapatkah kami memberikan pembayaran sesuatu kepadamu supaya kamu membuat dinding antara kami dengan mereka”. Zulqarnain berkata,”Apa yang telah dikuasakan Tuhanku kepadaku itu lebih baik dari apa yang kamu upahkan”. Maka tolonglah aku dengan kekuatan manusia dan alat-alatnya agar aku membuatkan dinding antara kamu dengan mereka. Berilah aku potongan-potongan besi.”Ketika besi itu telah rata dengan dua puncak gunung, Zulqarnain berkata,”Tiuplah api itu”. Ketika besi itu menjadi merah seperti api, ia berkata, ”Berilah aku tembaga yang mendidih untuk kutuangkan ke atas besi panas itu. Sehingga mereka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak bisa mendakinya dan tidak pula dapat melobanginya.”Kata Zulqarnain selanjutnya, ”Dinding ini adalah rahmat Tuhanku. Bila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku adalah benar. Selanjutnya dalam surah al-Anbiya’ al-Qur’an memperingatkan bahwa semua orang akan menerima balasan dariNya. Tidak mungkin penduduk suatu negeri yang telah dibinasakan oleh Tuhan itu tidak kembali kepadaNya. Sehingga apabila dibukakan tembok Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi, dan telah dekatlah janji yang benar. Dari ayat yang terkandung dalam surat al-Kahfi dapat diketahui bahwa Ya’juj dan Ma’juj adalah makhluk yang sudah dikenal setidaknya sejak zaman Zulqarnain. Diyakini tampaknya bahwa Ya’juj dan Ma’juj adalah perusak. Surat al-Anbiya’ membentuk opini bahwa mendekati akhir zaman, Ya’juj dan Ma’juj akan muncul bersamaan dengan terbukanya tembok. Tampaknya tembok ini adalah yang dibuat oleh Zulqarnain bersama masyarakat sekitarnya. Informasi yang terbatas ini memancing orang bertanya, apa sebenarnya makhluk pegrusak itu. Para ahli tafsirpun berupaya keras menelusuri informasi ini dengan membukabuka kitab-kitab hadis dan informasi keagamaan di luar Islam. Salah satu cara yang dipakai oleh al-Qur’an dalam menyampaikan misinya adalah berkisah. Ya’juj dan Ma’juj disinggung oleh al-Qur’an dalam bentuk kisah, _____________ 3
CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Muslim, Hadis No. 5128 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Bukhary, Hadis No. 3331 5 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Musnad Ahmad, Hadis No. 26145 4
106
A. Shamad: Memahami Hadis-Hadis tentang tanda-tanda Datangnya kiamat
kemudian hadis membantu menjelaskan. Dalam hal kisah, lokasi dan waktu terjadinya peristiwa tidak menjadi prioritas pembicaraan, bahkan tokohnya. Boleh jadi tokohnya fiktif, yang penting dalam kisah adalah misi dan ajaran dibalik kisah. Ini sejalan dengan teori bahwa agama sering menggunakan bahasa-bahasa simbol. Orang boleh berimajinasi tentang dialog antara Tuhan, Adam dan malaikat, apakah diimajinasikan di surga, di bumi, atau dimana. Tetapi yang penting adalah pelajaran yang dipetik dari kisah tersebut. Misalnya, dari kisah itu dapat dipetik pelajaran bahwa manusia berpotensi untuk berbuat kerusakan. Dengan demikian, hadis tentang Ya’juj dan Ma’juj sebagai penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakannya, tampaknya dapat ditempatkan sebagai metode menjelaskan misi agama. Ya’juj dan Ma’juj merupakan simbol perusak, dan sudah dikenal lama. Dengan pemahaman ini orang akan menjauhi perusakan, takut dituding sebagai Ya’juj dan Ma’juj. Terlebih-lebih di dalam era yang setiap orang sepertinya boleh berprilaku semaunya sendiri. Konsep tentang Ya’juj dan Ma’juj yang tersosialisasi dapat mengurangi brutalisme yang amat susah diatasi. HADIS-HADIS TENTANG DAJJAL Di dalam banyak hadis disebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan Dajjal sebagai berikut: 1. Semua Nabi mengingatkan umatnya akan datangnya Dajjal. Ada beberapa hadis tentang masalah ini yang dapat dikutip, di antaranya sebagai berikut: Imam Muslim meriwayatkan sebagai berikut:6
ﺣﺪﺛﲏ ﺣﺮﻣﻠﺔ ﺑﻦ ﳛﻲ ﺑـﻦ ﻋﺒـﺪﷲ ﺑـﻦ ﺣﺮﻣﻠـﺔ ﺑـﻦ ﻋﻤـﺮان اﻟﺘﺤﻴـﱯ أﺧـﱪﱐ اﺑـﻦ وﻫـﺐ أﺧـﱪﱐ ﻳـﻮﻧﺲ ﻋـﻦ ﻗــﺎل ﺳــﺎﱂ ﻗــﺎل ﻋﺒــﺪﷲ ﺑــﻦ ﻋﻤــﺮ ﻓﻘــﺎم رﺳــﻮل ﷲ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ …اﺑــﻦ ﺷــﻬﺎب ﻋــﻦ ﺳــﺎﱂ ﺑــﻦ ﻋﺒــﺪﷲ وﺳﻠﻢ ﰲ اﻟﻨﺎس ﻓﺄﺛﲏ ﻋﻠـﻲ ﷲ ﲟـﺎ ﻫـﻮ أﻫﻠـﻪ ﰒ ذﻛﺮدﺟـﺎل ﻓﻘـﺎل اﱐ ﻷﻧـﺬرﻛﻤﻮﻩ ﻣـﺎﻣﻦ ﻧـﱯ اﻻ وﻗـﺪ أﻧـﺬرﻩ ﻗﻮﻣﻪ ﻟﻘﺪ أﻧـﺬرﻩ ﻧـﻮح ﻗﻮﻣـﻪ وﻟﻜـﻦ أﻗـﻮل ﻟﻜـﻢ ﻓﻴـﻪ ﻗـﻮﻻ ﱂ ﻳﻘﻠـﻪ ﻧـﱯ ﻟﻘﻮﻣـﻪ ﺗﻌﻠﻤـﻮا أﻧـﻪ أﻋـﻮر وأن ﷲ ﺗﺒـﺎرك وﺗﻌــﺎﱄ ﻟــﻴﺲ ﻋــﻮر. ﻗــﺎل اﺑــﻦ ﺷــﻬﺎب وأﺧــﱪﱐ ﻋﻤــﺮ اﺑــﻦ ﺑــﺖ اﻷﻧــﺼﺎري أﻧــﻪ أﺧــﱪﻩ ﺑﻌــﺾ أﺻــﺤﺎب رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴـﻪ وﺳـﻠﻢ أن رﺳـﻮل ﷲ ﺻـﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴـﻪ وﺳـﻠﻢ ﻗـﺎل ﻳـﻮم ﺣـﺬر اﻟﻨـﺎس اﻟـﺪﺟﺎل اﻧـﻪ ﻣﻜﺘﻮب ﺑﲔ ﻋﻴﻨﻴﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﻳﻘﺮؤﻩ ﻣﻦ ﻛﺮﻩ ﻋﻤﻠﻪ أو ﻳﻔﺮؤﻩ ﻛﻞ ﻣﺆﻣﻦ Artinya: Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: ketika Nabi SAW berdiri di depan orang banyak dan beliau memuji Allah, kemudian berbicara tentang Dajjal dan berkata: Saya akan mengingatkan kamu terhadap sesuatu yang semua nabi mengigatkan umatnya akan bahaya Daajjal seperti nabi Nuh mengingatkan umatnya. Hanya saja Nabi SAW mengatakan apa yang tidak disebutkan oleh para nabi bahwa Dajjal itu buta sebelah, Tuhan tidak. Selanjutnya Imam al-Bukhary meriwayatkan sebagai berikut:7
_____________ 6
CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Muslim, Hadis No. 5215 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Bukhary, Hadis No. 5707
7
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
107
ﺣ ــﺪﺛﻨﺎ أﺑ ــﻮ اﻟﻴﻤ ــﺎن أﺧ ــﱪ ﺷ ــﻌﻴﺐ ﻋ ــﻦ اﻟﺰﻫ ــﺮي ﻗ ــﺎل أﺧ ــﱪﱐ ﺳ ــﺎﱂ ﺑ ــﻦ ﻋﺒ ــﺪ ﷲ أن ﻋﺒ ــﺪﷲ ﺑ ــﻦ ﻋﻤ ــﺮ أﺧﱪﻩ… ﻓﻘﺎم رﺳـﻮل ﷲ ﺻـﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴـﻪ وﺳـﻠﻢ ﰲ اﻟﻨـﺎس… ﰒ ذﻛـﺮ اﻟـﺪﺟﺎل ﻓﻘـﺎل اﱐ أﻧـﺬرﻛﻤﻮﻩ وﻣـﺎ ﻣﻦ ﻧﱯ اﻻ وﻗﺪ أﻧﺬرﻩ ﻗﻮﻣﻪ ﻟﻘﺪ أﻧﺬرﻩ ﻧﻮح ﻗﻮﻣﻪ وﻟﻜﲏ ﺳﺄﻗﻮل ﻟﻜﻢ ﻓﻴﻪ ﻗﻮﻻ ﱂ ﻳﻘﻠـﻪ ﻧـﱯ ﻟﻘﻮﻣـﻪ ﺗﻌﻠﻤـﻮن Imam Al-Turmuzi meriwayatkan:
8
أﻧﻪ أﻋﻮر وأن ﷲ ﻟﻴﺲ ﻋﻮر
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﷲ ﺑﻦ ﻣﻌﺎوﻳﺔ اﳉﻤﺎﺣﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﲪﺎد ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺧﺎﻟﺪ اﳊﺬاء ﻋـﻦ ﻋﺒـﺪﷲ ﺑـﻦ ﺷـﻘﻴﻖ ﻋـﻦ ﻋﺒــﺪﷲ ﺑــﻦ ﺳـﺮاﻗﺔ ﻋــﻦ أﰊ ﻋﺒﻴــﺪة ﺑــﻦ اﳉـﺮاح ﻗــﺎل ﲰﻌــﺖ اﻟﻨــﱯ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻳﻘــﻮل اﻧــﻪ ﱂ ﻳﻜــﻦ ﻧﱯ ﺑﻌﺪ ﻧﻮح اﻻ و ﻗﺪ أﻧﺬراﻟﺪﺟﺎل ﻗﻮﻣﻪ واﱐ أﻧﺬرﻛﻤﻮﻩ ﻓﻮﺻﻔﻪ ﻟﻨﺎ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ Informasi penting yang terkandung dalam riwayat Imam Muslim adalah, ketika Nabi SAW berdiri di depan orang banyak, berbicara tentang Dajjal dan menyatakan bahwa semua Nabi seperti Nabi Nuh, mengingatkan umatnya akan bahaya Daajjal. Hanya saja Nabi SAW mengatakan apa yang tidak disebutkan oleh para nabi bahwa Dajjal itu buta sebelah, Tuhan tidak. Adapun informasi dari hadits jalur Imam Bukhary dan Turmuzi bahwa semua nabi terdahulu setidaknya sesudah Nabi Nuh pernah mengingatkan kepada umatnya tentang Dajjal. Di sini tidak disebut informasi tambahan, misalnya sifat Dajjal yang nanti akan mengklaim dirinya sebagai nabi atau tuhan. Dengan demikian ada hadis yang informasinya lengkap, ada pula yang sepotong karena kepentingan periwayatan. Dari periwayatan berbagai jalur itu diketahui, sebuah peristiwa diriwayatkan beberapa orang dengan cara riwayat bi al-makna. 2. Hari kiamat tidak datang sebelum muncul Dajjal Pembohong yang berjumlah tigapuluhan. Ada beberapa buah hadis yang menjelaskan tentang masalah ini, di antaranya: Imam Muslim meriwayatkan:9
ﺣــﺪﺛﲏ وﻫـﲑﺑﻦ ﺣــﺮب واﺳــﺤﺎق ﺑــﻦ ﻣﻨــﺼﻮرﻗﺎل اﺳــﺤﺎق أﺧــﱪ وﻗــﺎل زﻫﲑﺣــﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒــﺪ اﻟــﺮﲪﻦ وﻫــﻮ اﺑــﻦ ﻣﻬﺪي ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ أﰊ اﻟﺰ د ﻋﻦ اﻷﻋﺮج ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳـﻠﻢ ﻗـﺎل ﻻ ﺗﻘـﻮم اﻟﺴﺎﻋﺔ ﺣﱵ ﻳﻨﺒﻌﺚ دﺟﺎﻟﻮن ﻛﺬﺑﻮن ﻗﺮﻳﺐ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﲔ ﻛﻠﻬﻢ ﻳﺰﻋﻢ أﻧﻪ رﺳﻮل ﷲ Artinya: Dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda: Hari kiamat itu tidak datang sebelum muncul Dajjal si pendusta yang jumlahnya disebutkan tiga puluhan orang, masing-masing mereka mengaku sebagai rasulullah. Imam al-Bukhary meriwayatkan:10
_____________ 8
CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan al-Turmuzi, Hadis No. 2160 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Muslim, Hadis No. 5205 10 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Bukhary, Hadis No. 6588 9
108
A. Shamad: Memahami Hadis-Hadis tentang tanda-tanda Datangnya kiamat
ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﻟﻴﻤﺎن أﺧﱪ ﺷﻌﻴﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﻟﺰ د ﻋﻦ ﻋﺒﺪاﻟﺮﲪﻦ ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة أن رﺳـﻮل ﷲ ﺻـﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻗــﺎ ل ﻻ ﺗﻘــﻮم اﻟــﺴﺎﻋﺔ ﺣــﱵ ﺗﻘﺘﺘــﻞ ﻓﺌﺘــﺎن ﻋﻈﻴﻤﺘــﺎن ﻳﻜــﻮن ﺑﻴﻨﻬﻤــﺎ ﻣﻘﺘﻠــﺔ ﻋﻈﻴﻤــﺔ دﻋﻮ ﻤــﺎ واﺣﺪة وﺣﱵ ﻳﺒﻌﺚ دﺟﺎﻟﻮن ﻛﺬﺑﻮن ﻗﺮﻳﺐ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﲔ ﻛﻠﻬﻢ ﻳﺰﻋﻢ أﻧﻪ رﺳﻮل ﷲ Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: Hari kiamat itu tidak datang hingga sebelum ketika itu terjadi peperangan dua kelompok besar yang memperjuangkan ide yang sama hingga muncul Dajjal si pendusta yang jumlahnya disebutkan tiga puluhan orang, masing-masing mereka mengaku sebagai rasulullah. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary dan Muslim, seperti yang tersebut di atas, berisi informasi bahwa hari kiamat itu tidak datang sebelum muncul Dajjal si pendusta yang jumlahnya disebutkan tiga puluhan orang. Ada perbedaan kecil pada redaksi tetapi tidak pada isinya. Pada riwayat al-Bukhary terdapat tambahan informasi bahwa ketika itu terjadi peperangan dua kelompok besar yang memperjuangkan ide yang sama. Agaknya dimaksudkan adalah masing-masing mengaku membela kebenaran, membela rakyat dan membela agama Islam, tetapi saling berperang karena berbeda “baju”. Istilah “pendusta” ini tampaknya disebut dalam riwayat Ibn Majah (Hadits nomor 4067) dengan “mengaku sebagai Nabi, bahkan sebagai tuhan”. 3. Bentuk-bentuk kebohongan Dajjal. Kalau hadis-hadis tentang kebohongan Dajjal menunjukkan kebohongannya karena mengaku sebagai Nabi, maka ada hadis yang informasinya sebagian sama dengan hadis-hadis di atas (seperti Dajjal itu buta sebelah) ditambah dengan informasi bahwa ia akan datang membawa semacam “surga” dan “neraka”. Apa yang seperti surga sebenarnya neraka, dan apa yang seperti neraka sebenarnya surga. Hadis-hadis dimaksud selengkapnya sebagai berikut: Dalam Shahih al-Bukhary disebutkan:11
ﻗــﺎل ﻗــﺎل رﺳــﻮل ﷲ ﺻــﻠﻲ
ﺣــﺪﺛﻨﺎ أﺑــﻮﻧﻌﻴﻢ ﺣــﺪﺛﻨﺎ ﺷــﻴﺒﺎن ﻋــﻦ ﳛــﻲ ﻋــﻦ أﰊ ﺳــﻠﻤﺔ ﲰﻌــﺖ أ ﻫﺮﻳــﺮة
ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ أﻻ أﺣــﺪﺛﻜﻢ ﺣــﺪﻳﺜﺎ ﻋــﻦ اﻟــﺪﺟﺎل ﻣــﺎ ﺣــﺪث ﺑــﻪ ﻧــﱯ ﻗﻮﻣــﻪ اﻧــﻪ أﻋﻮراﻧــﻪ ﳚــﻲء ﻣﻌــﻪ ﲟﺜــﺎل اﳉﻨﺔ واﻟﻨﺎرﻓﺎﻟﱵ ﻳﻘﻮل ا ﺎ اﳉﻨﺔ ﻫﻲ اﻟﻨﺎر واﱐ أﻧﺬرﻛﻢ ﻛﻤﺎ أﻧﺬرﺑﻪ ﻧﻮح ﻗﻮﻣﻪ Dalam shahih Muslim12 disebutkan:
ﺣﺪﺛﲏ ﷴ ﺑﻦ راﻓﻊ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺴﲔ ﻋﻦ ﷴ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻴﺒﺎن ﻋﻦ ﳛﻲ ﻋﻦ أﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﲰﻌـﺖ أ ﻫﺮﻳـﺮة ﻗـﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل أﻻ أﺧﱪﻛﻢ ﻋﻦ اﻟﺪﺟﺎل ﺣﺪﻳﺜﺎ ﻣﺎ ﺣﺪﺛﻪ ﻧﱯ ﻗﻮﻣـﻪ اﻧـﻪ أﻋﻮراﻧـﻪ ﳚﻲء ﻣﻌﻪ ﲟﺜﺎل اﳉﻨﺔ واﻟﻨﺎرﻓﺎﻟﱵ ﻳﻘﻮل ا ﺎ اﳉﻨﺔ ﻫﻲ اﻟﻨﺎر واﱐ أﻧﺬرﺗﻜﻢ ﺑﻪ ﻛﻤﺎ أﻧﺬرﺑﻪ ﻧﻮح ﻗﻮﻣﻪ Ibnu Majah meriwayatkan:13
_____________ 11
CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Bukhary, Hadis No. 3090 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Muslim, Hadis No. 5227 13 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. 4067 12
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
109
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ اﺑﻦ ﷴ ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒـﺪ اﻟـﺮﲪﻦ اﶈـﺎرﰊ ﻋـﻦ اﲰﺎﻋﻴـﻞ ﺑـﻦ راﻓـﻊ أﰊ راﻓـﻊ ﻋـﻦ أﰊ زرﻋـﺔ اﻟـﺴﻴﺒﺎﱐ ﳛــﻲ ﺑــﻦ أﰊ ﻋﻤــﺮوﻋﻦ ﻋﻤــﺮوﺑﻦ ﻋﺒــﺪﷲ ﻋــﻦ أﰊ أﻣﺎﻣــﺔ اﻟﺒــﺎﻫﻠﻲ ﻗــﺎل ﺧﻄﺒﻨــﺎ رﺳــﻮل ﷲ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻜﺎن أﻛﺜﺮ ﺧﻄﺒﺘﻪ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﺣﺪﺛﻨﺎﻩ ﻋﻦ اﻟﺪﺟﺎل وﺣﺬر ﻩ ﻓﻜﺎن ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ أن ﻗـﺎل اﻧـﻪ ﱂ ﺗﻜـﻦ ﻓﺘﻨـﺔ ﰲ اﻷرض ﻣﻨﺬ ذرأ ﷲ ذرﻳﺔ أدم أﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﻓﺘﻨﺔ اﻟﺪﺟﺎل… وان ﻣﻦ ﻓﺘﻨﺘﻪ أن ﻣﻌـﻪ ﺟﻨـﺔ و را ﻓﻨـﺎرﻩ ﺟﻨـﺔ وﺟﻨﺘـﻪ ر ﻓﻤـﻦ اﺑﺘﻠـﻲ ﺑﻨـﺎرﻩ ﻓﻠﻴـﺴﺘﻐﺚ ﷲ وﻟﻴﻘـﺮأ ﻓـﻮاﺗﺢ اﻟﻜﻬـﻒ ﻓﺘﻜـﻮن ﻋﻠﻴـﻪ ﺑﺮداوﺳـﻼﻣﺎ ﻛﻤـﺎ ﻛﺎﻧــﺖ …اﻟﻨﺎر ﻋﻠﻲ اﺑﺮاﻫﻴﻢ Di sini kelihatan bahwa informasinya sudah dimuat pada hadis-hadis sebelumnya. Hanya saja, ada tambahan informasi seperti yang diberi tanda garis bawah. Untuk riwayat Ibn Majah terdapat sedikit tambahan informasi, bila menghadapi kepalsuan Dajjal supaya kita memohon pertolongan Allah dan membaca permulaan surah al-Kahfi agar suasana menjadi dingin. 4. Dajjal tidak masuk ke kota Makkah dan Madinah Hadis-hadis tentang tema ini terdapat dalam beberapa kitab hadis sebagai berikut: Imam al-Bukhari meriwayatkan:14
ﻋــﻦ اﻟﻨــﱯ ﺻــﻠﻲ
ﺣــﺪﺛﻨﺎ اﺑــﺮﻫﻴﻢ ﺑــﻦ ﻣﻨــﺬر ﺣــﺪﺛﻨﺎ أﺑــﻮﻋﻤﺮو ﺣــﺪﺛﻨﺎ اﺳــﺤﺎق ﺣــﺪﺛﲏ أﻧــﺲ ﺑــﻦ ﻣﺎﻟــﻚ
ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻗــﺎل ﻟــﻴﺲ ﻣــﻦ ﺑﻠــﺪ اﻻ ﺳــﻴﻄﺌﻪ اﻟــﺪﺟﺎل اﻻ ﻣﻜــﺔ واﳌﺪﻳﻨــﺔ ﻟــﻴﺲ ﻟــﻪ ﻣــﻦ ﻧﻘﺎ ــﺎ ﻧﻘــﺐ اﻻ ﻋﻠﻴﻪ اﳌﻼﺋﻜﺔ ﺻﺎﻓﲔ ﳛﺮﺳﻮ ﺎ ﰒ ﺗﺮﺟﻒ اﳌﺪﻳﻨﺔ ﻫﻠﻬﺎ ﺛﻼث رﺟﻔﺎت ﻓﻴﺨﺮج ﷲ ﻛﻞ ﻛﺎﻓﺮوﻣﻨﺎﻓﻖ Ibnu Majah meriwayatkan:15
ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠـﻲ ﺑـﻦ ﷴ ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒـﺪ اﻟـﺮﲪﻦ اﶈـﺎرﰊ ﻋـﻦ اﲰﺎﻋﻴـﻞ ﺑـﻦ راﻓـﻊ أﰊ راﻓـﻊ ﻋـﻦ أﰊ زرﻋـﺔ اﻟـﺴﻴﺒﺎﱐ ﳛــﻲ ﺑــﻦ أﰊ ﻋﻤــﺮوﻋﻦ ﻋﻤــﺮوﺑﻦ ﻋﺒــﺪﷲ ﻋــﻦ أﰊ أﻣﺎﻣــﺔ اﻟﺒــﺎﻫﻠﻲ ﻗــﺎل ﺧﻄﺒﻨــﺎ رﺳــﻮل ﷲ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳ ــﻠﻢ ﻓﻜ ــﺎن أﻛﺜ ــﺮ ﺧﻄﺒﺘ ــﻪ ﺣ ــﺪﻳﺜﺎ ﺣ ــﺪﺛﻨﺎﻩ ﻋ ــﻦ اﻟ ــﺪﺟﺎل واﻧ ــﻪ ﻻ ﻳﺒﻘ ــﻲ ﺷ ــﻲء ﻣ ــﻦ اﻷرض اﻻ وﻃﺌ ــﻪ وﻇﻬﺮﻋﻠﻴﻪ اﻻ ﻣﻜﺔ واﳌﺪﻳﻨﺔ ﻻ ﺗﻴﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﻧﻘﺐ ﻣﻦ ﻧﻘﺎ ﺎ اﻻ ﻟﻘﻴﺘﻪ اﳌﻼﺋﻜﺔ ﻟﺴﻴﻮف ﺻﻠﺘﺔ ﺣﱵ ﻳﻨـﺰل ﻋﻨــﺪ اﻟﻈﺮﻳــﺐ اﻷﲪﺮﻋﻨــﺪ ﻣﻨﻘﻄــﻊ اﻟــﺴﺒﺨﺔ ﻓﱰﺟــﻒ اﳌﺪﻳﻨــﺔ ﻫﻠﻬــﺎ ﺛــﻼث رﺟﻔــﺎت ﻓــﻼ ﻳﺒﻘــﻲ ﻣﻨــﺎﻓﻖ وﻻ ﻣﻨﺎﻓﻘﺔ Dengan redaksi yang sedikit berbeda, hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary ini memberi informasi bahwa tidak ada satu negeri pun di bumi ini yang tidak didatangi oleh Dajjal kecuali Mekah dan Madinah, karena setiap lobang tanahnya dijaga oleh Malaikat berbaris-baris. Sementara dalam riwayat Ibnu Majah ada tambahan informasi bahwa malaikat membawa pedang dalam menjaga kota itu. Ketika nanti kota itu bergoncang tiga kali, maka orang kafir dan munafik dikeluarkan oleh Allah dari sana. Isu penting tentang Dajjal antara lain, semua Nabi SAW memperingatkan kepada umatnya akan datangnya Dajjal bila hari kiamat sudah semakin dekat. _____________ 14
CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih Bukhary, Hadis No. 5128 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. 4067
15
110
A. Shamad: Memahami Hadis-Hadis tentang tanda-tanda Datangnya kiamat
Secara fisik Dajjal dilukiskan sebagai orang yang matanya buta sebelah. Hadis lain yang nilainya shahih menyebutkan sifat tercela pada diri Dajjal adalah ia makhluk pembohong. Jumlah mereka mencapai 30 orang, masing-masing mengaku sebagai utusan Allah. Di samping itu dilukiskan pula bahwa Dajjal akan membawa kepalsuan. Apa yang sepertinya surgawi adalah menuju neraka, apa yang sepertinya api adalah menuju surga. Isyarat yang ditangkap dari hadits ini, Dajjal menampilkan dan menawarkan kepalsuan yang menggiurkan. Itu sebabnya diingatkan, seringkali yang menggiurkan itu merangsang diikuti hawa nafsu menggelincirkan orang ke neraka. Kalau disebutkan Dajjal itu matanya buta sebelah, di keningnya ada tulisan kafir adalah sebuah kiasan bahwa nanti ada komunitas yang memandang sesuatu secara tidak utuh, tidak adil, yang prilakunya menyimpang (kufur) dari kebenaran. Kandungan hadits seperti ini tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an. Pada hadis berikutnya disebutkan, Dajjal itu tidak dapat masuk kota Makkah dan Madinah. Hadis ini memberi informasi bahwa tidak ada satu negeripun di bumi ini yang tidak didatangi Dajjal kecuali Makkah dan Madinah, karena setiap lobang tanahnya dijaga oleh para malaikat berbaris-baris. Sementara dalam riwayat Ibnu Majah ada tambahan informasi bahwa malaikat membawa pedang dalam menjaga kota itu. Ketika nanti kota itu bergoncang tiga kali, maka orang kafir dan munafik dikeluarkan oleh Allah dari sana. Sifat Dajjal yang disebut dalam hadits ini mirip dengan sifat Ya’juj dan Ma’juj, berbuat kerusakan. Maka muncul pertanyaan, apakah Dajjal dengan Ya’juj dan Ma’juj itu berbeda? Dikaitkan dengan akidah, menganggap sama atau berbeda antara Ya’juj dan Ma’juj dengan Dajjal tidak mengurangi keimanan seseorang. Secara garis besar, kandungan hadis di atas mengingatkan orang agar menjauhi dan anti perusakan. Ajaran ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an, melarang berbuat zalim, kerusuhan, dan sejenisnya. Hadis ini tampil dengan metode tertentu, memakai bahasa simbol. Apa yang terkandung dalam hadis dapat diperkirakan bahwa peringatan ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat jahiliyah yang dihadapi oleh Nabi SAW. Mereka, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat nomad, sulit diatur. Sistem dan struktur sosial yang mementingkan kelompoknya atau keluarganya sangat rentan dan rawan dengan peperangan. Masyarakat nomad dikenal dengan pekerjaan pokok merampok. Agaknya, kandungan hadis itu mengandung maksud mengurangi kadar perusakan seperti yang terjadi dalam struktur sosial jahiliyah. Hadis lain yang berbicara tentang Dajjal menyebutkan bahwa Dajjal akan turun ke bumi mengambil lokasi antara Syam dan Irak. Berdasarkan hasil penelusuran sanad, hadis tersebut tidak shahih, karenanya tidak bisa dijadikan dalil menguatkan keyakinan. Jika dilihat dari kepentingan tertentu, boleh jadi hadis ini maudhu’ (palsu). Biasanya, hadis yang menyebut lokasi, apakah dalam rangka memuji atau mencela, hadis itu maudhu’ (palsu). Pembawa hadis, karena tidak senang dengan lokasi tersebut, ingin menunjukkan bahwa lokasi itu tidak terpuji, ditandai dengan turunnya Dajjal di sana. Dengan demikian, hadis yang menyebutkan lokasi, yang tidak ada signifikansinya dengan wahyu biasanya ditolak oleh ulama hadis, dan dianggap sebagai maudhu’ (palsu). Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
111
KEDATANGAN IMAM MAHDI Al-Turmuzi meriwayatkan hadis tentang datangnya Imam Mahdi sebagai berikut:16
ﺣــﺪﺛﻨﺎ ﷴ ﺑــﻦ ﺑــﺸﺎرﺣﺪﺛﻨﺎ ﷴ ﺑــﻦ ﺟﻌﻔﺮﺣــﺪﺛﻨﺎ ﺷــﻌﺒﺔ ﻗــﺎل ﲰﻌــﺖ زﻳــﺪا اﻟﻌﻤــﻲ ﻗــﺎل ﲰﻌــﺖ أ اﻟــﺼﺪﻳﻖ اﻟﻨﺎﺟﻲ ﳛﺪث ﻋﻦ أﰊ ﺳﻌﻴﺪ اﳋﺪري ﻗﺎل ﺧﺸﻴﻨﺎ أن ﻳﻜﻮن ﺑﻌﺪ ﻧﺒﻴﻨـﺎ ﺣـﺪث ﻓـﺴﺄﻟﻨﺎ ﻧـﱯ ﷲ ﺻـﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻓﻘــﺎل ان ﰲ أﻣــﱵ اﳌﻬــﺪي ﳜــﺮج ﻳﻌــﻴﺶ ﲬــﺴﺎ أو ﺳــﺒﻌﺎ أو ﺗــﺴﻌﺎ زﻳــﺪ اﻟــﺸﺎك ﻗــﺎل ﻗﻠﻨــﺎ وﻣــﺎ ذاك ﻗ ــﺎل ﺳ ــﻨﲔ ﻗ ــﺎل ﻓﻴﺠ ــﻲء اﻟﻴ ــﻪ رﺟ ــﻞ ﻓﻴﻘ ــﻮل ﻣﻬ ــﺪي أﻋﻄ ــﲏ أﻋﻄ ــﲏ ﻗ ــﺎل ﻓﻴﺤ ــﺸﻲ ﻟ ــﻪ ﰲ ﻧﻮﻣ ــﻪ ﻣﺎاﺳﺘﻄﺎع أن ﳛﻤﻠﻪ Artinya: Dari Abu Sa’id al-Khudry dari Nabi SAW bersabda: pada umatku nanti ada al-Mahdi, tinggal selama lima, atau tujuh atau sembilan tahun. Kedatangannya di bumi membawa kesenangan, kenikmatan dan kemakmuran. Ibnu Majah juga meriwayatkan:17
ﺣــﺪﺛﻨﺎ ﻧــﺼﺮ ﺑــﻦ ﻋﻠــﻲ اﳉﻬــﻀﻤﻲ ﺣــﺪﺛﻨﺎ ﷴ ﺑــﻦ ﻣــﺮوان اﻟﻌﻘﻴﻠــﻲ ﺣــﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤــﺎرة ﺑــﻦ أﰊ ﺣﻔــﺼﺔ ﻋــﻦ زﻳــﺪ اﻟﻌﻤــﻲ ﻋــﻦ أﰊ ﺻــﺪﻳﻖ اﻟﻨــﺎﺟﻲ ﻋــﻦ أﰊ ﺳــﻌﻴﺪ اﳋــﺪري أن اﻟﻨــﱯ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻗــﺎل ﻳﻜــﻮن ﰲ أﻣ ــﱵ اﳌﻬ ــﺪي ان ﻗﺼﺮﻓ ــﺴﺒﻊ واﻻ ﻓﺘ ــﺴﻊ ﻓﺘ ــﻨﻌﻢ ﻓﻴ ــﻪ أﻣ ــﱵ ﻧﻌﻤ ــﺔ ﱂ ﻳﻨﻌﻤـ ـﻮا ﻣﺜﻠﻬ ــﺎ ﻗ ــﻂ ﺗ ــﺆﰐ أﻛﻠﻬ ــﺎ وﻻ ﺗﺪﺧﺮﻣﻨﻬﻢ ﺷﻴﺄ واﳌﺎل ﻳﻮﻣﺌﺬ ﻛﺪوس ﻓﻴﻘﻮم اﻟﺮﺟﻞ ﻓﻴﻘﻮل ﻣﻬﺪي أﻋﻄﲏ ﻓﻴﻘﻮل ﺧﺬ Hadits tersebut menerangkan bahwa pada umat Muhammad nanti ada alMahdi, tinggal selama lima, atau tujuh atau sembilan tahun. Kedatangannya di bumi membawa kesenangan, kenikmatan dan kemakmuran. Di dalam hadis lain disebutkan bahwa al-Mahdi itu keturunan Nabi melalui jalur Fathimah. Abu Daud meriwayatkan:18
ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﺳـﻬﻞ اﺑـﻦ ﲤـﺎم ﺑـﻦ ﺑﺰﻳـﻊ ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤـﺮان اﻟﻘﻄـﺎن ﻋـﻦ ﻗﺘـﺎدة ﻋـﻦ أﰊ ﻧـﻀﺮة ﻋـﻦ أﰊ ﺳـﻌﻴﺪ اﳋـﺪري ﻗــﺎل ﻗــﺎل رﺳــﻮل ﷲ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ اﳌﻬــﺪي ﻣــﲏ أﺟﻠــﻲ اﳉﺒﻬــﺔ أﻗــﲏ اﻷﻧــﻒ ﳝــﻸ اﻻرض ﻗــﺴﻄﺎ وﻋﺪﻻ ﻛﻤﺎ ﻣﻠﺌﺖ ﺟﻮرا وﻇﻠﻤﺎ ﳝﻠﻚ ﺳﺒﻊ ﺳﻨﲔ. ﺣﺪﺛﻨﺎ أﲪﺪ ﺑﻦ اﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ اﻟﺮﻗﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ اﳌﻠـﻴﺢ اﳊـﺴﻦ ﺑـﻦ ﻋﻤـﺮ ﻋـﻦ ز د ﺑـﻦ ﺑﻴـﺎن ﻋـﻦ ﻋﻠــﻲ ﺑـﻦ ﻧﻔﻴـﻞ ﻋــﻦ ﺳـﻌﻴﺪ ﺑــﻦ اﳌـﺴﻴﺐ ﻋـﻦ أم ﺳــﻠﻤﺔ ﻗﺎﻟـﺖ ﲰﻌـﺖ رﺳــﻮل ﷲ ﺻـﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻳﻘــﻮل اﳌﻬــﺪي ﻣــﻦ ﻋــﱰﰐ ﻣــﻦ وﻟــﺪ ﻓﺎﻃﻤــﺔ ﻗــﺎل ﻋﺒــﺪ ﷲ ﺑــﻦ ﺟﻌﻔــﺮ وﲰﻌــﺖ أ اﳌﻠــﻴﺢ ﻳﺜــﲏ ﻋﻠــﻲ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻧﻔﻴﻞ وﻳﺬﻛﺮ ﻣﻨﻪ ﺻﻼﺣﺎ Ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa al-Mahdi itu Isa ibn Maryam sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:19
_____________ 16
CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Shahih al-Turmuzi, Hadis No. 2158 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. 4073 18 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan Abu Daud, Hadis No. 3736 19 CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Sunan Ibnu Majah, Hadis No. 4029 17
A. Shamad: Memahami Hadis-Hadis tentang tanda-tanda Datangnya kiamat
112
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﻋﺒـﺪ اﻷﻋﻠـﻲ ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﷴ ﺑـﻦ ادرﻳـﺲ اﻟـﺸﺎﻓﻌﻲ ﺣـﺪﺛﲏ ﷴ ﺑـﻦ ﺧﺎﻟـﺪ اﳉﻨـﺪي ﻋـﻦ أ ن ﺑــﻦ ﺻــﺎﱀ ﻋــﻦ اﳊــﺴﻦ ﻋــﻦ أﻧــﺲ ﺑــﻦ ﻣﺎﻟــﻚ أن رﺳــﻮل ﷲ ﺻــﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴــﻪ وﺳــﻠﻢ ﻗــﺎل ﻻ ﻳــﺰداد اﻷﻣـﺮاﻻ ﺷ ــﺪة وﻻ اﻟ ــﺪﻧﻴﺎ اﻻ اد را وﻻ اﻟﻨ ــﺎس اﻻ ﺷ ــﺤﺎ وﻻ ﺗﻘ ــﻮم اﻟ ــﺴﺎﻋﺔ اﻻ ﻋﻠ ــﻲ ﺷـ ـﺮاراﻟﻨﺎس وﻻ اﳌﻬ ــﺪي اﻻ ﻋﻴﺴﻲ اﺑﻦ ﻣﺮﱘ Isu menarik lain dalam kitab-kitab hadis adalah tentang turunnya Nabi Isa kelak. Di dalam kitab hadis disebutkan bahwa ketika Nabi Isa turun ke bumi memerintahkan agar sebuah pintu dibuka. Setelah dibuka, dibalik pintu muncul Dajjal bersama 70.000 orang Yahudi yang siap dengan pedang masing-masing. Manakala melihat Isa, Dajjal mencair seperti garam mencair di air. Agaknya dimaksudkan di sini Dajjal membaur dengan orang banyak kemudian lari takut berhadapan dengan Nabi Isa. Di samping itu diperintahkan agar orang Islam membunuh Yahudi. Diriwayatkan pada hadis lain, Nabi Isa turun di bumi memilih tempat turun di mesjid bermenara putih sebelah Timur Damaskus. Selanjutnya diriwayatkan bahwa Nabi Isa kelak akan memecah-mecah salib, membunuh babi, menegakkan keadilan serta membebaskan kewajiban pajak. Dengan ini kemakmuran melimpah, tidak seorangpun merasa berhak menerima pemberian seperti shadaqah. Lebih masuk akal bila hadis-hadis ini dipahami sebagai bahasa simbol. Nabi Isa merupakan simbol perjuangan yang hak, melawan segala kebatilan yang dibawa oleh orang Yahudi yang dalam hadis itu dilukiskan bekerjasama dengan Dajjal. Agaknya hadis ini meminta agar pembela kebenaran berhati-hati dan tidak boleh lengah berhadapan dengan zionisme dan Yahudi. Beberapa hadis menyebut akan datang al-Mahdi dengan membawa ketentraman dan kedamaian. Karena al-Mahdi berdasarkan hadis ini adalah keturunan Fathimah, dan ia tiada lain Isa as, maka tidak heran kalau kaum syi’ah sangat antusias menyongsong kedatangannya. Hadis tentang kedatangan Isa atau al-Mahdi di kalangan luar syi’ah juga dikenal, tetapi antusiasme penyambutannya kurang semarak. Agaknya disebabkan oleh status haditsnya yang dha’if atau hasan. KESIMPULAN Hadis tentang tanda-tanda dekatnya hari kiamat dalam tulisan ini meliputi: 1. Ya’juj dan Ma’juj; 2. Dajjal; 3. Al-Mahdi; Kendati hadis-hadis ini terkadang diriwayatkan oleh para penulis kitab hadis semisal al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan lain-lain, tetapi tidak satupun yang berderajat mutawatir. Kendati tidak mutawatir, banyak yang shahih atau hasan, tidak dapat dihalangi orang yang mempercayainya. Ketika hadis-hadis itu dipahami apa adanya, ada beberapa kesulitan. Misalnya Nabi Isa yang turun dengan tugas memecah salib dan membunuh babi diimajinasikan sebagai sosok yang berkeringat, ke sana ke mari dengan membawa palu godam dan senjata perang. Pada kening Dajjal ada tulisan k f r (kafir). Ini semua sulit diterima akal. Karenanya, analisis bahwa agama sering menggunakan bahasa simbol sangat membantu memahami hadis-hadis tersebut. Dalam banyak agama dikenal ajaran messianisme, sebuah ajaran membangkitkan optimisme bagi kaum tertindas. Kesengsaraan yang sedang Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
113
melanda akan diusir oleh juru selamat. Kesengsaran dan kekacauan disimbolkan dengan tingkah Ya’juj – Ma’juj dan Dajjal. Adapun juru selamat disimbolkan dengan sosok Nabi Isa atau al-Mahdi. Adalah tidak terbantahkan bahwa orang Yahudi merasa lebih unggul dibanding dengan manusia bangsa lain di bumi. Sejarah menunjukkan, rasa unggul itu ditampilkan dengan keangkuhannya. Mereka paling pantas mengatur dunia ini. Semua aliran dan kekuatan politik yang tidak sejalan dengan mereka dihambat berkembang, bahkan dihancurkan. Maka cukup alasan bagi orang non Yahudi menyebut mereka sebagai Dajjal atau Ya’juj dan Ma’juj. Lebih dari itu, siapa saja yang selalu menciptakan pertengkaran, memprovokasi orang lain agar terjadi konflik, tidak senang melihat kedamaian, digolongkan oleh para ulama sebagai kawan-kawan Yahudi, Dajjal, dan Ya’juj – Ma’juj.
114
A. Shamad: Memahami Hadis-Hadis tentang tanda-tanda Datangnya kiamat
DAFTAR PUSTAKA
CD Program Hadis Kutub al-Tis’ah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. II, Jakarta: balai Pustaka, 1990) Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawy, Juz I (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972) M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi (cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 42 ------------------------------, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1989) Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits Wa Mushthalahuhu diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Pustaka Firdausn dengan judul :” Membahas Ilmu-Ilmu Hadits”, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, januari 2015
115
PEDOMAN PENULISAN 1. Artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia, Arab atau Inggeris, dengan mengikuti kaidah kebahasaan yang baku dan berlaku dalam dunia ilmiah. 2. Artikel diketik 1,5 spasi pada kertas ukuran A4 dan dikirim dalam bentuk cetak (print out) sebanyak 1 eksemplar beserta CD, atau dikirim melalui email ke alamat:
[email protected] atau
[email protected]. Panjang tulisan 12-20 halaman. Tulisan diserahkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum jurnal diterbitkan setiap edisinya. 3. Artikel konsepsional meliputi judul, nama penulis, Abstrak yang berkisar 100 – 150 kata, kata kunci, pendahuluan, isi atau pembahasan, penutup, catatan kaki dan daftar rujukan. 4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris, kecuali untuk tulisan yang berbahasa Inggris dan Arab, abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia. 5. Artikel merupakan tulisan konsepsional atau hasil penelitian berkaitan dengan alQur’an atau hadits dalam berbagai perspektif. 6. Nama penulis artikel (tanpa gelar akademik, jabatan atau kepangkatan) dicantumkan disertai alamat korespondensi, alamat e-mail, dan/atau nomor telepon kantor, rumah atau telepon seluler. 7. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama dan indentitas peneliti, abstrak (100150 kata), kata kunci, pendahuluan (masalah, tujuan dan manfaat penelitian), metode penelitian, hasil penelitian, pembahasan, kesimpulan dan saran, catatan akhir, dan daftar rujukan. 8. Kutipan ayat al-Qur'an harus menuliskan ayat dan terjemahnya serta mencantumkan nama surat dan nomor ayat. 9. Kutipan Hadits ditulis secara lengkap teks dan terjemahnya serta sumbernya. 10. Artikel yang memenuhi syarat diseleksi dan diedit penyunting untuk penyeragaman format dan gaya penulisan tanpa mengubah isinya. 11. Penulisan catatan kaki/footnote dan daftar rujukan berbeda. Perbedaannya dapat diketahui pada contoh berikut: a. Catatan kaki/footnote 1
2
3
4
116
Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: the Macmillan Press Ltd, 1970), 87 Mohammad Arkoun, Islam al-Akhlaq wa al-Siyasiyah (Beirut: Markaz alInna al- Qawmi, 1990), 172-173 Crane Brinton, “Eglightement”, dalam Encyclopedia of Philosopy, vol. 2 (New York: Macmillan and the Free Press, 1967), 521 M. Syamsul Huda, “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam www. Geocities. Com/HotSprings/6774/j-40
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, Januari 2015
5
M. Amin Abdullah, “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas”, dalam Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006)
b. Daftar Pustaka Abdullah, M.Amin, “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas”, dalam Moh.Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006 Arkoun, Mohammad. Islam al-Akhlaq wa Siyasah. Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, Macmillan and the Free Press, 1967. Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: the Macmillan Press Ltd., 1970 Huda, M.Syamsul. “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam www.geocities.com/6774/j-40.
Al-Mu‘ashirah Vol. 12, No. 1, Januari 2015
117