JURNAL ILMIAH
ISSN 1693-7562
Media Kajian Al-Qur’an dan Al-Hadits Multi Perspektif
TERBIT 2 KALI SETAHUN PADA BULAN JANUARI DAN JULI
PENGURUS VOL. 10, NO. 2, JULI 2013 Penanggung Jawab Samsul Bahri
Ketua Penyunting Damanhuri Basyir
Wakil Ketua Penyunting Muhammad Zaini
Sekretaris Penyunting
Zulihafnani Wakil Sekretaris Penyunting Nurlaila
Anggota Penyunting Abd. Wahid Taslim H.M.Yasin Zainuddin Firdaus Fauzi Saleh Salman Abdul Muthalib Muqni Affan Syukri Zulfan Zuherni Safrilsyah Lukman Hakim
Finansial Nuraini
Sirkulasi Nurullah Muhammad Amin
Diterbitkan Oleh: SEAR FIQH, Banda Aceh Alamat Redaksi: Kantor SEAR FIQH Jl. Tgk. Chik Pantekulu No. 13 Dusun Utara, Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111, telp. 08126950111
Email:
[email protected],
[email protected]
ISSN 1693-7562
Vol. 10, Nomor 2, Juli 2013
DAFTAR ISI
Daftar Isi, i Suarni: Sejarah dan Perkembangan Qiraat Al-Qur’an, 107 Safrina Muhammad: Analisis Stilistika Terhadap Surah Al-‘Ādiyāt Ditinjau dari Aspek Ilmu Bahasa, 119 Umar Latif: Sikap Keseharian Umat Islam dalam Merespons Bacaan Al-Qur’an, 131 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif Al-Qur’an, 142 Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an; Upaya Reinterpretasi Makna Guna Meretas Kekerasan atas Nama Perintah Agama, 157 A. Samad Usman: Alam Semesta Dalam Al-Qur’an, 171 Arfah Ibrahim: Konsep Manusia dalam Al-Qur’an, 182 Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an, 192 Abd. Madjid: Manusia sebagai Makhluk Multi Dimensi dalam Perspektif AlQur’an, 209 Pedoman Penulisan, 221
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 (i)
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN QIRAAT AL-QUR’AN Suarni Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Dialect differences is one thing that is inevitable in a life, both among state, local, tribal even once. Arabian peninsula known by various tribes with languages. However, the entire tribe or tribes have agreed to make Arabic language of Quraish as the unifying language of the Arabian peninsula. On the other hand, besides the Prophet Muhammad from Quraysh tribe, he also admitted that the Qur'an in the language of Quraish, as revealed in the midst of a people of Quraysh. However, the diversity of dialects in Arab lands resulted in the birth of various qiraat in reading the Qur'an. In the end, qiraat sab’ah, qiraat ‘asyarah, qiraat arba’ah ‘asyarah appearing in the lives of the Arabs. This paper describes qiraat sense, the history of the emergence of the al-quran qiraat include figures that gave birth to the qiraat. Kata Kunci: Sejarah Al-Qur’an, Ilmu Qiraat Pendahuluan Al-Qur’an merupakan mukjizat abadi, diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, yang menjadi petunjuk bagi setiap insan, dan pembeda antara yang hak dan batil. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang sangat tinggi susunan bahasanya dan keindahan balaghahnya, karena bangsa Arab dikenal memiliki berbagai dialek (lahjah). Antara satu kabilah dengan kabilah yang lain mempunyai dialek yang berbeda, baik intonasi, bunyi maupun hurufnya. Akan tetapi, bahasa Quraisy mempunyai kelebihan dan keistimewaan tersendiri dan lebih tinggi balaghah dan sastra daripada bahasa dan dialek yang lain. Oleh karena perbedaan dan keragaman dialek-dialek bangsa Arab tersebut, al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Nabi menjadi lebih sempurna kemukjizatannya karena dapat menampung semua dialek dan macam-macam bacaan al-Qur’an. Akibatnya, umat mudah untuk membaca, menghafal dan memahami al-Qur’an. Dalam hal ini, banyak sekali hadis Nabi yang menjelaskan tentang al-Qur’an yang diturunkan dalam tujuh huruf. Diturunkan al-Qur’an dalam tujuh huruf merupakan salah satu upaya untuk memudahkan umat manusia memahami al-Qur’an. Oleh karenanya, Nabi menyampaikan al-Qur’an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada peristiwa antara Umar bin Khatthab dengan Hisyam bin Hakim. Kemudian para sahabat pun menyampaikan al-Quran kepada generasi selanjutnya sebagaimana diterima dari Nabi Muhammad. Perbedaan bacaan tersebut terus berkembang sampai masa tabi`in, hingga melahirkan ahliahli atau imam-imam dalam bidang qiraat, baik qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun qiraat empat belas. Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
107
Pengertian Qiraat Istilah qiraat berasal dari bahasa Arab yaitu ﻗﺮاءاتyang merupakan jamak dari ﻗﺮاءة. Secara etimologis, qiraat merupakan akar kata dari ﻗﺮاءyang bermakna membaca.1 Lafaz ﻗﺮاءاتsecara luqhawi berkonotasi “beberapa pembacaan”. Secara terminologis, berbagai ungkapan atau redaksi dikemukakan oleh para ulama dalam hubungannya dengan qiraat. Al-Zarqani mengatakan bahwa qiraat adalah mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalurjalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk2. Sedangkan menurut al-Zarkasyi, qiraat adalah perbedaan lafazlafaz al-Qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara-cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfit, tasydid dan lain-lain.3 Pendapat di atas menunjukkan bahwa al-Zarkasyi hanya membatasi pada lafaz-lafaz al-Qur’an yang memiliki perbedaan qiraat. Sementara, al-Zarqani lebih condong kepada suatu mazhab atau aliran dalam melafazkan al-Qur’an yang dipelopori oleh seorang imam. Sehubungan dengan hal tersebut, ada ulama mendefinisikan qiraat dalam ruang lingkup yang lebih luas yakni mencakup lafazlafaz al-Qur’an yang tidak memiliki perbedaan qiraat. Artinya, lafaz-lafaz alQur’an tersebut muttafaq ‘alayh (disepakati) bacaannya oleh para ahli qiraat. AlDimyathi sebagaimana dikutip oleh Abdul Hadi al-Fadhi mengemukakan bahwa qiraat merupakan suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz alQur’an, baik yang disepakati maupun diikhtilafkan oleh para ahli qiraat seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), takhrik (memberi harakat), taskin (memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui indra pendengaran.4 Berdasarkan beberapa pandangan tersebut dapat dipahami bahwa qiraat merupakan suatu mazhab atau aliran yang dipelopori oleh seorang imam yang melafazkan lafaz-lafaz al-Qur’an baik yang memiliki perbedaan ataupun yang muttafaq ‘alayh (disepakati) oleh para imam qura. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa unsur qiraat yang dapat dipahami yaitu: 1. Qiraat berkaitan dengan cara pelafazan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan dengan imam-imam lainnya. 2. Cara pelafazan ayat-ayat al-Quran berdasarkan riwayat yang bersambung kepada Nabi dan bersifat tauqify bukan ijtihadi. 3. Ruang lingkup perbedaan qiraat menyangkut persoalan lughat, hadzf, ‘irab, isbat, fashl, dan washl.
_____________ 1
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis fi ulumul Qur’an, cet. 3 (t.tp: tp, tt.), 170; Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Thibyan fi Ulum al-Qur’an, cet. 2 (t.tp., t.p 1980), 223 2 Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, jil. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 421 3 Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, jil. I, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fath Ibrahim (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1972), 395 4 Abdul Hadi al-Fadli, al-Qiraat al-Quraniyat (Beirut: Dar al-Majma al-‘Ilmi, 1979), 63 108
Suarni: Sejarah dan Perkembangan Qira’at al-Qur’an
Latar Belakang Munculnya Qiraat al-Qur’an Secara lahir, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Ia diturunkan di tengah-tengah kehidupan bangsa Arab yang merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang jazirah Arab. Setiap suku memiliki format dialek atau lahjah yang berbeda. Perbedaan dialek tersebut tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, setiap suku telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berbagai hal, baik dalam berkomunikasi, berniaga atau yang lainnya. Tidaklah heran, ketika Usman bin Affan melakukan pengumpulan Al-Qur’an, salah satu syarat yang ditetapkan adalah harus disesuaikan dengan bahasa Quraisy. Di sisi lain, perbedaan-perbedaan dialek merupakan suatu sebab yang dapat melahirkan bermacam-macam qiraat (bacaan) dalam melafazkan al-Qur’an. Dengan kata lain, lahirnya bermacam-macam qiraat merupakan akibat dari beragamnya dialek. Adanya keberagaman dialek merupakan sesuatu yang bersifat alami. Artinya, fenomena tersebut tidak dapat dihindari karena setiap bangsa, suku, tetap memiliki dialek atau lahjah yang berbeda. Nabi sangat memahami keberagaman atau perbedaan-perbedaan dialek tersebut. Akibat beragamnya dialek di tanah Arab, Nabi berusaha menjaga umatnya dari berbagai kesulitan dan memberikan kemudahan untuk memahami al-Qur’an. Hal ini tercermin ketika Jibril datang membawa perintah kepada Nabi untuk membacakan al-Qur’an kepada umatnya dengan satu huruf. Nabi dengan memohon ampun kepada Allah, melalui malaikat Jibril meminta agar hurufnya ditambah. Setelah itu, hurufnya di tambah hingga tujuh huruf. Dalam beberapa hadis dijelaskan;
5
“Rasulullah bersabda “Malaikat Jibril telah membacakan (al-Qur’an) kepadaku atas beberapa huruf. Lalu, aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahkan bacaan tersebut. Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf (macam)”. (HR. Muslim) Dalam hadits yang lain dijelaskan pula;
6
_____________ 5
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz. I (Kairo: Dar al-Fikri, 1998), 353 Imam Muslim, Shahih Muslim, 354
6
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
109
“Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Ghaffar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan: Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. Ia menjawab “aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu”. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf. Nabi menjawab: aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan: Allah memerintahkan agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf. Nabi menjawab: aku memohon ampunan dan maghfirah-Nya, sebab umatku tidak dapat melaksanakannya. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata: Allah memerintahkan kepadamu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka baca, mereka tetap benar”. (HR. Muslim) Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh 7 huruf. Artinya Nabi memberikan isyarat bagi umat bahwa al-Qur’an tidak hanya di baca dengan satu cara (satu huruf), tetapi dapat dibaca dengan beberapa cara. Namun, bukan berarti bahwa setiap kata dalam al-Qur’an itu dapat dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda, karena kata serupa itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an kecuali sedikit sekali seperti: .8 Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Nabi memberikan kelonggaran dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah, selama sebutan rahmat tidak ditutupi dengan sebutan azab. Sebaliknya, sebutan azab tidak diakhiri dengan sebutan rahmat. Dalam sebuah hadis dijelaskan;
"
“Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan atas tujuh bacaan, maka bacalah jangan merasa sulit (karena harus membaca dengan bacaan yang sukar sekali melafazkannya), namun jangan kamu akhiri ayat yang berisi (menyebutkan) rahmat dengan azab dan jangan pula mengakhiri azab dengan rahmat. 9
_____________ 7
Para ulama berbeda pandapat dalam memahami ahruf sab’ah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ahruf sab’ah adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Artinya jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, maka alQur’an diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja. Mereka juga berbeda pendapat terhadap tujuh bahasa yaitu bahasa Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Abu Hatim al-Sijistani, mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin dan Sa’ad bin Abi Bakar. Selain itu ada juga berpendapat bahwa ahruf sab’ah adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terdapat perbedaan. Yaitu ikhtilaf al-asma’ (perbedaan kata benda), segi i’rab, tashrif, taqdim, ibdal, perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan, dan perbedaan lahjah dengan bacaan tafkhim dan tarqiq. Dan ada juga yang mengatakan bahwa tujuh huruf itu adalah tujuh segi yaitu amr, nahyu, wa’ad, jadal, qashash, dan matsal atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 98- 99; al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Kairo: alHalabi, 1951), 45 8 Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, 154 9 Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, 412 110
Suarni: Sejarah dan Perkembangan Qira’at al-Qur’an
Dengan demikian, ahruf sab’ah (tujuh huruf) muncul ketika Nabi masih hidup. Dalam kajian Ilmu Tafsir, tujuh huruf bermakna tujuh macam bacaan yang diajarkan Nabi,10 dan muncul ketika al-Qur’an di turunkan.11 Sementara, qiraat tujuh baru muncul jauh setelah Nabi wafat. Menurut catatan sejarah, qiraat muncul pada masa tabi’in, yaitu pada abad ke II H. Oleh karena itu, tujuh huruf itu sangat tidak identik disamakan dengan qiraat tujuh.12 Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa qiraat itu telah ada sejak Nabi masih hidup, yaitu ketika Nabi membacakan al-Qur’an kepada sahabat dengan bacaan yang berbeda-beda. Dalam beberapa hadis dijelaskan; Hadis dari Umar bin Khattab ra., ia berkata;
Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Lalu aku sengaja mendengarkan bacaannya. Tiba-tiba dia membacanya dengan bacaan yang bermacam-macam yang belum pernah di bacakan Nabi kepadaku. Hampir saja aku serang dia dalam shalat, namun aku berusaha menunggu dengan sabar sampai dia salam. Begitu dia salam aku tarik leher bajunya, seraya aku bertanya, “siapa yang mengajari bacaan surat ini?” Hisyam menjawab, “yang mengajarkannya adalah Rasulullah sendiri”. Aku gertak dia, kau bohong, demi Allah, Rasulullah telah membacakan kepadaku surat yang kau baca tadi (tetapi tidak seperti bacaan mu). Maka kuajak dia menghadap Rasulullah dan kuceritakan peristiwanya. Lalu Rasulullah menyuruh Hisyam membaca surat alFurqan sebagaimana yang dibacakan tadi. Kemudian Rasulullah berkomentar, “Demikianlah bacaan surat itu di turunkan. Lalu Rasulullah berkata lagi, “Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf”, maka bacalah mana yang kamu anggap mudah.13 Demikianlah kemudahan dan kelonggaran yang diberikan Nabi Muhammad kepada sahabat-sahabatnya untuk membaca al-Qur’an lebih dari satu huruf (dialek). Ini sesuai dengan yang diajarkan Jibril demi memudahkan umatnya _____________ 10
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 95 Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh (Jakarta: Institut PTIQ dan Institut Ilmu AlQur’an dan Darul Ulum Press, 2005), 3 12 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 95 13 Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh, 2 11
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
111
membaca dan menghafalkan al-Qur’an. Dispensasi yang diberikan itu menimbulkan berbagai macam bentuk bacaan di kalangan para sahabat. Para sahabat lalu menyebar ke seluruh wilayah Islam untuk mengajarkan al-Qur’an kepada umat yang lain. Mereka mengajarkan bacaan (qiraat) sebagaimana mereka terima dari Nabi. Penduduk Syam (Syiria) menerima qiraat Ubay bin Ka’ab, Kuffah mengikuti qiraat Ibnu Mas’ud, selain Syiria dan Kuffah mengikuti qiraat Abu Musa al-Asy’ari. Perbedaan tersebut hingga masa pemerintahan Umar bin Khaththab belum menimbulkan dampak negatif di tengah-tengah masyarakat. Karena para sahabat memahami dengan baik latar belakang terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an. Perbedaan bacaan tersebut berdasarkan izin Nabi demi memudahkan umatnya dalam membaca dan menghafalkan al-Qur’an. Akan tetapi, kerukunan itu tidak bertahan lama. Sekitar enam tahun setelah Usman bin Affan menjadi khalifah mulai timbul persoalan yang berakhir dengan percekcokan yang tajam di tengah masyarakat. Bahkan, antara satu aliran qiraat dengan qiraat lainnya saling mengkafirkan. Masing-masing pihak meyakini bahwa qiraatnyalah yang paling benar dan yang lainnya adalah salah,14 seperti yang terjadi antara penduduk Syam dan Iraq. Terjadinya perselisihan seperti itu erat hubungannya dengan makin jauhnya mereka dari masa Nabi. Mereka tidak dapat memahami dan menghayati dengan baik apa yang membuat qiraat itu bervariasi. Kondisi yang demikian itu diperburuk lagi oleh heterogennya umat. Berbagai suku bangsa berbondongbondong masuk Islam, sementara mereka memiliki latar belakang agama yang berbeda. Disamping itu, semakin luasnya penyebaran Islam sampai keluar jazirah Arab, pembauran antara Arab asli dan non Arab semakin meningkat. Terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat persentuhan dengan bangsa-bangsa non Arab merupakan penyebab perbedaan qiraat semakin meningkat pula. Di sisi lain, al-Qur’an ketika itu masih dalam bentuk tulisan Kufi yang tidak berbaris dan tidak pula bertitik. Hal ini merupakan salah satu penyebab lain bagi umat untuk membacakan al-Qur’an dengan berbagai macam bentuk. Hal ini berpeluang besar bagi umat untuk melahirkan perbedaan qiraat dalam membaca al-Qur’an. Dengan beragamnya perbedaan dalam membaca al-Qur’an, masingmasing kelompok membenarkan bacaan dirinya sendiri. Kondisi demikian membawa umat Islam hampir berada di pintu gerbang perpecahan. Akibatnya, khalifah Usman segera mengambil kebijakan. Beliau melakukan penyeragaman tulisan dan bacaannya dalam satu mushaf induk, dengan bersumberkan mushaf Abu Bakar, peninggalan Umar bin Khaththab yang tersimpan di tangan Hafsah. Khalifah Usman menyatukan tulisan al-Quran dalam bahasa Quraisy. Tim pengumpulan atau penulisan al-Quran diketuai oleh Zayd bin Tsabit, dengan anggotanya Abdullah bin Zubayr, Sa’id bin Ash, dan Abdul Harits bin Hisyam.15 Untuk menjaga keseragaman dan persatuan umat muslim, khalifah Usman memerintahkan agar mushaf-mushaf tulisan tangan yang ada agar dimusnahkan.16 Dengan dibukukan al-Qur’an pada tahap kedua di masa Usman bin Affan ini, maka perbedaan qiraat yang pada mulanya amat menonjol dan dalam variasi bacaan yang sangat beragam, menjadi berkurang dan terkendali secara baik. Hal _____________ 14
Nashruddin Baidan Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 60; Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, cet. 2 (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 331 15 Nashruddin Baidan Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 61 16 Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 16 112
Suarni: Sejarah dan Perkembangan Qira’at al-Qur’an
ini disebabkan mushaf tersebut tidak ada tanda baca seperti titik, harkat, dan sebagainya. Karena tanpa tanda baca tersebut, maka ayat-ayat al-Qur’an dapat dibaca dengan berbagai qiraat, tentunya sesuai dengan yang diajarkan Nabi. Tidak sebebas seperti ketika belum dibukukan ulang (tahap kedua). Dengan demikian, pembukuan al-Qur’an pada masa Usman, tidak mengakibatkan hilangnya bacaan-bacaan yang lain, malah sebaliknya, memberikan pengakuan secara resmi terhadap keberadaan qiraat tersebut dan diakui secara sah oleh para ulama selama qiraat tidak keluar atau bertentangan dengan apa yang termaktub dalam mushhaf ‘Usmani.17 Tim tersebut berhasil melakukan penulisan penyeragaman al-Qur’an. Menurut al-Sijistani, hasil penulisan al-Quran tersebut berjumlah tujuh buah, ada juga mengatakan lima buah. Hal ini didasarkan pada jumlah para penghafal yang ditugasi mengirimkan mushaf tersebut.18 Kemudian mushaf itu dikirim ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah dan Kuffah. Ada juga pendapat bahwa tempat pengirimannya itu berbeda-beda,19 serta satu disimpan di rumah khalifah di Madinah. Masing-masing daerah mendapatkan satu eksamplar.20 Mushafmushaf itu seluruhnya sama, tidak ada yang berbeda. Setelah mushaf-mushaf itu disebarkan, muncullah para qurra yang ahli dalam membaca al-Qur’an. Mereka menjadi panutan di daerahnya masing-masing dan menjadi pedoman dalam bacaan al-Qur’an. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat adalah Ubay, Ali, Zayd bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah, sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qiraat, semuanya bersandar kepada bacaan Nabi. Al-Dzahabi menyebutkan dalam Thabaqat al-Qurra’ bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat al-Qur’an adalah tujuh orang. Mereka adalah Usman, Ali, Ubay, Zayd bin Tsabit, Abu al-Darda’ dan Abu Musa al-Asy-ari. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa mayoritas sahabat mempelajari qiraat dari Ubay. Diantaranya adalah Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin al-Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar kepada Zayd. Kepada para sahabat itulah, sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qiraat. Di antara para tabi’in tersebut tinggal di Madinah seperti Ibnu Musayyab, Urwah, Umar bin Abdil Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atha’ bin Yasar, Muadz bin Harits yang terkenal dengan Muadz al-Qari`, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’Raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundub, dan Zaid bin Aslam. Tabi’in yang tinggal di Mekkah adalah Ubaid bi Umar, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibnu Abi Mulaikah. Tabi’in yang tinggal di Kuffah adalah Alqamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, al-Harits bin Qais Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman as-Sulami, Said bin Jubair, an-Nakha’I dan Asy-Sya’bi. Tabi’in yang tinggal di Basrah adalah Abu Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin Ashim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Qatadah. Sedangkan tabi’in yang tinggal di Syam adalah al-Mughirah bin Abi
_____________ 17
Nashruddin Baidan Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 116 Dawud Al-Aththar, Pengantar M. Quraish Shihab, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 170 19 Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 47 20 Nashruddin Baidan Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 62 18
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
113
Syihab al-Makhzumi (murid Utsman) dan Khalifah bin sa’ad (murid Abu Darda’).21 Perkembangannya Ilmu Qira’at Fakta sejarah menunjukkan bahwa para sahabat Nabi terkenal dalam penghafalan al-Quran. Mereka menghafal dan membaca al-Qur’an termasuk juga mengajarkan kepada sahabat-sahabat yang lain berdasarkan bacaan yang mereka terima dari Nabi. Bacaan tersebut diterima oleh para sahabat dalam bentuk bacaan yang berlainan antara satu sama lain. Akan tetapi, perbedaan bacaan tersebut tidak sampai merubah makna aslinya. Artinya, dalam melafazkan al-Qur’an tidak keluar dari dasar-dasar lafaz al-Qur’an itu sendiri. Selain al-Qur’an itu tersimpan dalam hafalan para sahabat, al-Qur’an juga diabadikan dalam bentuk tulisan. Tulisan tersebut bukan dalam bentuk mushaf. Akan tetapi, tulisan itu masih berserakan dan tersimpan dalam bentuk-bentuk tertentu seperti pelepah kurma, tulang-tulang dan lain sebagainya. Pada masa Abu Bakar, tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf. Sedangkan tulisannya masih dalam bentuk tulisan Kufi, dan tulisan seperti ini berlangsung sampai masa pemerintahan Usman bin Affan. Pada masa Usman bin Affan, Islam telah menyebar luas ke seluruh Jazirah Arab. Mushaf masih dalam bentuk tulisan Kufi, tidak bertitik dan berharkat. Ini merupakan salah satu peluang bagi umat untuk membacanya dalam berbagai qiraat. Banyak qiraat muncul ketika itu. Bahkan, ada qiraat tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan yakni tidak sesuai dengan rasm Usmani dan kaidah bahasa Arab serta sanadnya tidak mutawatir sampai kepada Nabi, sehingga bacaan (qiraat) tersebut tertolak. Oleh karenanya, dalam melafazkan qiraat itu tidak boleh terlepas dari talaqqi dan periwayatan dari orang-orang yang tsiqah atau terpercaya. Talaqqi dan periwayatan merupakan kunci utama dalam membaca al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Nabi. Untuk menjamin kesamaan qiraat di kalangan kaum muslimin dalam bentuknya yang telah dipilih dan mutawatir, Khalifah Usman dalam mengirimkan mushaf ke setiap daerah menyertakan orang-orang yang ahli dalam qiraat (hafidz) dan sesuai dengan qiraat dalam mushaf itu.22 Di antara ahli-ahli qiraat itu memiliki qiraat yang berbeda. Hal ini disebabkan para sahabat ketika mengajarkan qiraat kepada mereka memiliki perbedaan antara satu sama lain. Perbedaan itu terjadi karena para sahabat sendiri mengambil qiraat dari Nabi juga berbeda. Para ahli tersebut menyebar sampai ke seluruh pelosok dan mengajarkan qiraat. Kondisi yang demikian berlangsung hingga kepada para tabi’in sampai munculnya para imam qiraat. Para imam ini mengkhususkan diri dalam qiraat tertentu. Mereka mengajarkan qiraat kepada ummat Islam. Kelompok imam qurra yang pertama terdiri dari kalangan para sahabat yang tekun belajar dan mengajar di masa hidup Nabi. Sebagian dari mereka telah _____________ 21
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), 211-212 22 Di antara ahli-ahli tersebut adalah Zayd bin Tsabit orang yang membacakan mushaf Madaniy, Abdullah bin al-Saib orang yang membacakan mushaf Makkiy, al-Muqhira bin Syihab untuk membaca mushaf Syamiy, Abu Abdurahman al-Sulamiy untuk membacakan mushaf Kuffiy, dan Amir bin Abdurrahman untuk membacakan mushaf al-Bishriy. Dawud al-Aththar, Perspektif Baru …, 170 114
Suarni: Sejarah dan Perkembangan Qira’at al-Qur’an
menghimpun al-Qur’an secara lengkap. Di antara imam qurra tersebut adalah Usman, Ali, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ari. Kelompok kedua terdiri dari para Tabi’in yang berguru pada kelompok pertama. Kelompok ini mempunyai halaqah di kota-kota seperti Mekah, Madinah, Kuffah, Bashrah dan Suriyah. Di Mekah, tabi’in yang mengajarkan alQur’an adalah Ubaid bin Umar, Atha’ bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibnu Abi Mulaikah. Tabi’in yang tinggal di Kuffah adalah Alqamah, alAswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, al-Harits bin Qais Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman as-Sulami, Said bin Jubair, an-Nakha’i dan AsySya’bi. Tabi’in yang tinggal di Basrah adalah Abu Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin Ashim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Qatadah. Imam Qurra yang tinggal di Syam adalah al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi (murid Utsman) dan Khalifah bin Sa’ad (murid Abu Darda’). Imam Qurra kelompok ketiga hidup pada pertengahan kedua abad ke 2 H. Mereka adalah orang–orang yang belajar atau berguru pada kelompok kedua. Di Mekkah, para imam tersebut adalah Ibnu Katsir, Humaid bin Qais Al-A’raj dan Muhammad Abu Muhaisin. Sementara di Madinah terdapat Abu Jakfar Yazidal-Qa’qa, Syaibah bin An Nafah dan Nafi bin Nuaim. Di Kuffah, para imam Qurra adalah Yahya bin Wahab. Ashim bin Abi Najud, Hamzah dan Kisa’i serta di Bashrah adalah Abdullah bin Ishak, Isa bin Umar.23 Qiraat terus berkembang dalam masyarakat. Masa kodifikasi qiraat yang pertama kali dimunculkan oleh Abu ‘Ubaid bin Al-Qasim bin Salam. Ia menulis sebuah kitab yang bernama al-Qiraah. Menurut Ibnul Jazari, ia menghimpun qiraat dari 25 orang ulama ahli qiraat selain dari imam yang tujuh itu. 24 Setelah itu, imam-imam yang lain menyusul pula dalam upaya mengkodifikasi qiraat. Di antara mereka, ada yang menetapkan 20 macam qiraat, ada yang menetapkan lebih dari 20 dan ada pula yang menetapkan di bawah 20. Disamping itu, para imam qiraat lain juga muncul seperti Abu Hatim al-Syajastaniy, Abu Ja’far AlThabariy dan Ismail Al-Qadhi. Kendatipun bermacam-macam qiraat sudah diperkenalkan, pada masa ini istilah Qiraat Sab’ah belum dikenal dalam masyarakat.25 Oleh karenanya, di penghujung abad ke dua hijriyah, para ulama dan para ahli dalam bidang qiraat mulai melakukan penelitian dengan menyeleksi dan menguji kebenarannya. Penelitian dan pengujian tersebut dilakukan dengan memakai kaedah dan kriteria yang telah disepakati oleh para ahli qiraat. Qiraat tersebut baru dianggap sah bila memenuhi beberapa persyaratan26 yaitu; 1. Sanadnya mutawatir sampai kepada Rasulullah saw. 2. Sesuai dengan kaedah bahasa Arab 3. Sesuai dengan rasm Utsmani. Qiraat tersebut terus berkembang hingga abad 3 H yaitu pada masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama Ibnu Mujahid. Dialah orang pertama yang meringkas qiraat menjadi tujuh macam qiraat (qiraah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari. Padahal, masih banyak imam _____________ 23
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, cet. I (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), 90; Manna’ Al-Qathathan, Ulumul Qur’an …, 212 24 Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, 214. 25 Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), 212. 26 Sayid Risqit Thawil, Fi Ulum al-Qiraah (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Faishailiah, 1985), 48 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
115
lain yang kadar kemampuannya setara dengan para imam qurra yang 7 itu (yang disebutkan Ibnu Mujahid). Akibatnya, Abu al-Abbas bin Amr mengecam Ibnu Mujahid karena dianggapnya telah mengumpulkan qiraah sab’ah.27 Ketika Ibnu Mujahid mengumpulkan qiraah-qiraah mereka, ia membuang nama Ya’qub yang berasal dari Basrah dan posisinya digantikan oleh al-Kisa’iy (w. 182 H). Pergeseran ini terjadi karena Ibn Mujahid menganggap cukup qari Bashrah diwakili oleh Abu Amir. Sementara, Ibn Mujahid menentukan 3 nama dari Kuffah yaitu: Hamzah, ‘Ashim dan Kisa’iy. Jadi, jika hanya 7 saja yang disebut oleh Ibn Mujahid bukan berarti hanya ulama-ulama itu saja yang menguasai qiraat. Masih banyak lagi tokoh-tokoh lain yang terkemuka dan populer bacaannya, memiliki kedalaman ilmu dan dijadikan imam qiraat oleh masyarakat mereka masingmasing28 seperti Khalaf bin Hisyam dan Yazid al-Qa’qa. Keberanian Ibnu Mujahid dalam meringkas qiraat ini menjadi hanya tujuh qiraat, menjadikan beliau mendapatkan kecaman dari para ulama lain. Abu alAbbas bin Amr pernah mengecam Ibnu Mujahid karena telah melahirkan sesuatu yang baru yaitu mengoleksi qiraat-qiraat para imam yang terkemuka. Agaknya ulama-ulama yang menuduhnya sesat seperti Abu Abbas tidak mau tahu apa yang sesungguhnya telah dilakukan oleh Ibnu Mujahid. Ibnu Abbas secara pedas mengecam Ibnu Mujahid sebagai “si pembikin tujuh”. Serangan pedas Abu Abbas pada awal abad V H tersohor sebagai “Imam Muqri”. Ini akibat Ibnu Mujahid tertarik untuk membukukan qiraat tujuh tokoh Madinah, Makkah, Irak dan Syam yang dikagumi. Oleh karena qiraat belum memasyarakat, banyak orang menyangka bahwa tujuh huruf yang disebutkan dalam hadis-hadis Nabi adalah qiraah sab’ah. Jadi tak aneh jika Abu Abbas mengecam Ibnu Mujahid dengan begitu pedasnya.29 Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan Ibnu Mujahid memilih tujuh qiraat. Menurut Ibnu Mujahid, hanya merekalah yang paling termasyhur, terkemuka dan bagus bacaannya dan juga memiliki kedalaman ilmu dan berusia panjang. Bahkan, yang tak kalah penting, mereka dijadikan sebagai imam qiraat oleh masyarakat mereka sendiri. Usaha Ibnu Mujahid membatasi hanya tujuh imam saja adalah secara kebetulan saja.30 Bukan dalam artian bahwa qiraat tujuh adalah tujuh huruf sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi. Akan tetapi, qiraat tujuh adalah mazhab pembaca al-Qur’an yang dikembangkan oleh para qari, sedang tujuh huruf adalah al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Kepopuleran tujuh qiraat semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus membuka qiraat-qiraat mereka, kendati ada qiraat lain yang memenuhi persyaratan sehingga harus diterima, yaitu qiraat Ya’qub, qiraat Khalaf bin Khisya (w. 229 H) dan qiraat Yazid bin al-Qa’qa (w.130 H). Melalui penambahan 3 imam qurra ini, dikenallah dengan al-qiraah al-‘asyrah. Dalam perkembangan selanjutnya, dikenal pula al-qiraah al-‘arba’ah asyr yaitu sepuluh qiraat ditambah empat qiraat lainnya, yaitu: qiraat Hasan al-Bishr (w.110 H), qiraat Ibnu Muhalshan (w.123 H), Yahya bin Mubarak al-Yazidi (w.202 H) dan Abu al-Faraj Muhammad bin Ahmad al-Syanbudzi (w.388 H).31 _____________ 27
Jalal al-Di al-Suyuthiy, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, juz. I (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 251 Amir ‘Abd al-‘Aziz, Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Furqan 1983), 98 29 Kamaluddin Marzuki,Ulum al-Quran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), 103 30 Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, 153 31 Supiana dan M. Karman, Ulumul Quran, 213-214 28
116
Suarni: Sejarah dan Perkembangan Qira’at al-Qur’an
Qiraat-qiraat tersebut memiliki tingkatan-tingkatan tertentu, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari segi kuantitas, qiraat memiliki 3 tingkatan yaitu qiraah sab’ah, qiraat Asyarah dan qiraat `arba’at Asyrah, dengan imam-iman qiraat masing-masing.32 Pendapat para ulama mengenai qiraat tiga imam terakhir ini terdapat perbedaan. Namun, pendapat yang terpilih dan masyhur adalah bahwa qiraat mereka ini mempunyai nilai sanad mutawatir tanpa ada keraguan. Adapun qiraat yang diriwayatkan oleh selain imam yang sepuluh tersebut, baik qiraat empat belas atau yang lain, di anggap syadz karena dianggap kurang memenuhi persyaratan qiraat yang sah. Oleh karena itu, qiraat tersebut tidak dianggap sebagai bacaan al-Qur’an, baik di dalam maupun di luar shalat.33 Dari segi kualitas, qiraat memiliki beberapa tingkatan yaitu; 34 Pertama, mutawatir yaitu qiraat yang dinukilkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga Nabi. Inilah yang umum dalam hal qiraat. Kedua, masyhur yaitu qiraat yang sanadnya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Usmani dan juga terkenal di kalangan para ahli qiraat. Karenanya, masyhur tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syadz. Para ulama menyebutkan qiraat ini dapat dipakai dan digunakan. Ketiga, ahad yaitu qiraat yang sanadnya shahih tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat ini termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya. Keempat, syadz yaitu qiraat yang tidak shahih sanadnya, seperti qiraat ( ﻣﻠﻚ ﯾﻮم اﻟﺪﯾﻦQS. al-Fatihah: 4) dengan bentuk fi’il madhi dan me-nashab-kan ﯾﻮم. Kelima, maudhu` yaitu qiraat yang tidak ada asalnya. Keenam, mudarraj yaitu yang ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat Ibnu Abbas: ﻟﯿﺲ ﻋﻠﯿﻜﻢ ﺟﻨﺎح أن ﺗﺒﺘﻐﻮا ﻓﻀﻼ ﻣﻦ رﺑﻜﻢ ﻓﻰ ﻣﻮاﺳﻢ اﻟﺤﺞ ﻓﺎذا أﻓﻀﺘﻢ ﻣﻦ ( ﻋﺮﻓﺎتQS. al-Baqarah: 198) adalah penafsiran yang disisipkan Ibnu Abbas ke dalam ayat. Keempat macam contoh qiraat yang terakhir ini tidak dapat dipakai baik di dalam maupun di luar shalat karena bacaan tersebut tidak dianggap bacaan al-Qur’an. Kesimpulan Qiraat merupakan suatu mazhab pembaca al-Qur’an yang dikembangkan oleh para pembaca atau para qari sebagai imam-imam pembaca al-Qur’an. Qiraat ini telah muncul sejak Nabi masih hidup. Kemudian para sahabat terus mengembangkan qiraat itu sampai pada masa tabi`in hingga melahirkan ahli-ahli qiraat hingga sekarang ini. Namun demikian, pada masa Nabi masih hidup, qiraat ini belum dibukukan sebagaimana yang terjadi pada abad ke 3, dan juga belum menjadi suatu disiplin ilmu. Hal ini disebabkan oleh keadaan pada saat itu belum membutuhkannya. Sumber utamanya yaitu Nabi masih berada di tengah-tengah kehidupan mereka (orang-orang Arab). Ketika ada masalah, langsung merujuk kepada sumber utamanya. Hal demikian terus berlangsung sampai pengumpulan al-Qur`an pada masa Usman bin Affan. Pada saat itu, qiraat terus berkembang. Abu ‘Ubaid bin Al-Qasim bin Salam mengumpulkan dalam sebuah kitab yang bernama al-Qiraah. Qiraat tersebut diringkas oleh Ibnu Mujahid menjadi qiraat _____________ 32
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, 149-154; Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh …,
6-11 33
Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh …, 12 Manna’ Al-Qathathan, Ulumul Qur’an, 220-221
34
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
117
tujuh (qiraah sab`ah). Ada pula para ulama menambah tiga qiraat lagi sehingga menjadi qiraat sepuluh. Ada pula ulama menambah empat lagi. Namun qiraat tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama karena qiraat tersebut tidak mencapai syarat mutawatir. Akibatnya, ada ulama yang menganggap qiraat tersebut adalah syadz. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosían. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2006 Al-Aththar, Dawud. Pengantar M. Quraish Shihab, Perspektif Baru Ilmu AlQur’an. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994 Abd al-‘Aziz, Amir. Dirasah fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Furqan 1983 Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, cet. I. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998 Al-Fadli, Abdul Hadi. al-Qiraat al-Quraniyat. Beirut: Dar al-Majma al-‘Ilmi, 1979 Imam Muslim. Shahih Muslim, juz. I. Kairo: Dar al-Fikri, 1998 Marzuki, Kamaluddin. Ulum al-Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994 Al-Qaththan, Manna’ Khalil. Mabahis fi ulumul Qur’an. cet. 3. t.tp: tp, tt. ------------------. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006 Al-Shabuni, Muhammad Ali. Al-Thibyan fi Ulum al-Qur’an, cet. 2. t.tp., t.p 1980 Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika, 2002 Al-Suyuthi. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Kairo: al-Halabi, 1951 Thawil, Sayid Risqit. Fi Ulum al- Qiraah. Makkah al-Mukarramah: Maktabah Faishailiah, 1985 Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin Abdillah. Al-Burhan fi ‘Ulum AlQur’an, jil. I, ditahqiq oleh Muhammad Abu al-Fath Ibrahim. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1972 Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azhim. Manahil al-‘Irfan, jil. 1. Beirut: Dar alFikr, tt. 118
Suarni: Sejarah dan Perkembangan Qira’at al-Qur’an
ANALISIS STILISTIKA TERHADAP SURAH AL-‘ĀDIYĀT DITINJAU DARI ASPEK ILMU BAHASA Safrina Muhammad MAN Trienggadeng Kab. Pidie Jaya/ Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Hilal Sigli Email:
[email protected]
ABSTRACT Various approaches have been used by scientists to understand the Qur'an, because the two main dimensions of the linguistic dimension and its contents are a blend of very great that can not be matched by anyone, although people are gathered for the match. One such approach is the stilistika approach. Quran has uslub / style that is high so that it becomes one of the ‘ijaz elements. In reviewing the Surah al-'Adiyat using Stilistika approach, the authors use the method of literature research (library research). Surah al-'Adiyat, from the point of view of myriad secrets balaghah store, which can be classified into beautiful uslub. Similarly, from the point of view stilistika, although only in a few lines, but have stilistika elements can be obtained with the beauty. The people who oppose the Qur'an of the group or ahl al-kitab idolaters, slowly be conquered by the beauty of the language of the Qur'an. This is one method of propagation of the Prophet with the advanced of beauty elements. Kata Kunci: Mu’jizat Al-Qur’an, Sastra Arab, Surat al-‘Adiyat Pendahuluan Al-Qur’an al-Karīm adalah Kalam Allah Swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril. Ia terdiri dari 114 surah, Makkiyah dan Madaniyah. Al-Qur’an tidak diragukan lagi sebagai petunjuk bagi orangorang yang bertaqwa,1 bahkan petunjuk bagi seluruh umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang benar dan yang batil.2 Al-Qur’an tidak dapat dipahami begitu saja tanpa melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk mengantarkan seseorang mendalami isi al-Qur’an yang sangat agung. Di antaranya adalah ilmu bahasa Arab beserta cabang-cabangnya karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Banyak pendekatan yang telah digunakan oleh para ilmuan untuk memahami al-Qur’an, karena dua dimensi utamanya yaitu dimensi kebahasaan dan kandungannya adalah sebuah perpaduan yang sangat agung yang tak dapat ditandingi oleh siapapun, walaupun semuanya berkumpul untuk menandinginya.
_____________ 1 2
QS. al-Baqarah (2: 2). QS. al-Baqarah (2: 185).
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
119
Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan stilistika.3 Penggunaan pendekatan stilistika dalam mengkaji al-Qur’an telah memunculkan perdebatan yang sangat panjang, hal ini disebabkan stilistika merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji karya sastra.4 Perdebatan semakin kompleks ketika muncul statemen baru bahwa alQur’an merupakan sebuah karya sastra, bahkan kitab sastra terbesar yang takkan tertandingi.5 Kajian ini tidak pada posisi memperbesar-besarkan seputar perdebatan tersebut. Kita kembali kepada konsep dasar bahwa al-Qur’an merupakan media komunikasi Allah Swt dengan hambaNya yakni manusia. Allah Swt telah memilih bahasa Arab sebagai media tersebut, di situlah terdapat hubungan yang dinamis antara al-Qur’an dengan pembacanya melalui elemen-elemen bahasa sebagai perangkat komunikasi, relasi yang dinamis tersebut tergambar dalam lafaz/kata, isyarat, ‘aqd/konvensi, hal/kondisi tertentu dan nisbah/kolerasi yang oleh al-Jahid mengistilahkannya dengan kode-kode komunikasi.6 Menurut Syihabuddin Qalyubi ada empat objek kajian stilistika, yaitu; fonologi, preferensi lafal, preferensi kalimat dan deviasi. 7 Lebih lanjut Qalyubi mengatakan bahwa di dalam literatur Arab, Stilistika identik dengan ‘Ilmul Uslub.8 Para ulama atau peneliti, mulai dari masa awal hingga masa kontemporer telah membuktikan bahwa al-Qur’an memiliki uslub/gaya bahasa yang tinggi sehingga menjadi salah satu unsur kemu’jizatannya. 9 Di samping itu, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sudah sepatutnya kita memahaminya dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu bahasa yang salah satunya adalah stilistika.10 Bahkan dengan pendekatan stilistika akan memberikan pemahaman terhadap alQur’an secara netral tanpa dipengaruhi oleh doktrin-doktrin mazhab tertentu baik dalam aspek teologi, fiqh, politik, dan sebagainya. Dengan demikian pemahaman al-Qur’an tidak akan memihak dan lebih mengarah kepada pemahaman yang bersih sebagaimana al-Qur’an itu sendiri.11 Dalam kajian ini, penulis hanya membatasi pada salah satu surah alQur’an saja yaitu surah ke 100 dalam al-Qur’an yang bernama Surah al-‘Ādiyāt. Analisis stilistika dalam surah ini penting dilakukan untuk mengenal lebih jauh keindahan kata-kata, hubungan antar kata dan kalimat serta aspek-aspek deviasi yang ada di dalamnya. Dengan demikian keagungan al-Qur’an akan sangat terasa _____________ 3
Stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 1983), 157. 4 Panuti Sujiman, Bunga Rampai Stilistika, cet. ke-1, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), 2. 5 Perdebatan ini telah mengorbankan salah seorang guru besar al-Qur’an Universitas Cairo Amin al-Khuli dengan tesisnya yang mengedepankan bahwa al-Qur’an adalah teks sastra Arab yang paling agung. Al-Khuli harus meninggalkan jabatan guru besarnya di Universitas Cairo dan tidak diperkenankan menjadi supervisor segala kajian al-Qur’an. Lihat: M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, cet. ke-2, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), 3. 6 Ibid., 159. 7 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997 M./1418 H.), 29. 8 Ibid., 97. 9 Badi’uz Zaman Sa’id an-Nusri, Isyarat al-I’jaz fi Mazani al-Ijaz, Pentahqiq: Ihsan Qasim as-Shalihi, (Baghdad: Jami’ah Baghdad, t.t.), 130. 10 Panuti Sujiman, Bunga Rampai …, 4. 11 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 22. 120
Safrina Muhammad: Analisis Stilistika terhadap surat al-‘adiyat …
yang pada akhirnya akan mengantarkan umat manusia kepada keimanan yang bertambah-tambah, rasa cinta yang tinggi terhadap Kalam Allah serta dorongan yang kuat untuk menyingkap rahasia-rahasia yang dikandung al-Qur’an dan ilmuilmu yang berhubungan dengannya. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, seperti buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan, kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan lain-lain. Teks Surah al-‘Ādiyāt
4321
765
98 1110
12
Terjemahan Surah al-‘Ādiyāt 1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, 2. dan kuda yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kakinya),3. dan kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi, 4. sehingga menerbangkan debu,5. lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh, 6. sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak berterima kasih) kepada Tuhannya, 7. dan sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan (mengakui) keingkarannya, 8. dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan. 9. Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang ada di dalam kubur dikeluarkan,10. dan apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan?, 11. sungguh, Tuhan mereka pada hari itu Maha teliti terhadap keadaan mereka.13 Analisis Stilistika terhadap Surah Al-‘Ādiyāt Surah al-‘Ādiyāt yang berjumlah sebelas ayat diturunkan di Makkah sehingga digolongkan ke dalam surah-surah Makkiyah. Karakteristik surat ini berbeda dengan surah-surah Madaniyah baik dari aspek isi maupun gaya bahasanya. Hal ini disebabkan oleh objek wahyu pada periode Makkah adalah orang-orang Quraisy yang masih musyrik dan melakukan penentangan yang sangat keras terhadap kerasulan Nabi Muhammad Saw. Maka isu utama yang diangkat oleh surah-surah Makkiyah adalah ketauhidan, keimanan terhadap hari akhir (yaumul ba’ts), budi pekerti dan amal kebajikan serta sanggahan terhadap orang-orang musyrikin.14 Ayat-ayat maupun surah-surahnya pada umumnya pendek, ringkas, uraian bernada hangat dan nada suaranya berlainan. _____________ 12
Teks ini diambil dari Mushaf al-Madinah an-Nabawiyah (al-Madinah al-Munawwarah: Majma’ al-Malik Fahd li Thaba’ah al-Mushaf asy Syarif, 1426 H.), Nomor registrasi: 6347/1426. 13 Terjemahan ini sesuai dengan terjemahan al-Qur’an versi Departemen Aagama RI, AlQur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 1426 H./2005 M.), 599 - 600. 14 Shubhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, cet. ke-7 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), 228. Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
121
Untuk menghadapi orang-orang keras kepala seperti orang-orang kuffar Makkah tersebut, Allah Swt mengemas wahyuNya dengan bahasa yang sangat indah. Hal ini juga untuk menepis tuduhan mereka bahwa al-Qur’an diciptakan oleh Muhammad, bukan wahyu dari Tuhan. Dengan gaya bahasa yang indah itu, orang-orang Quraisy dapat ditaklukkan. Mereka tidak berdaya untuk menandinginya, padahal al-Qur’an sendiri telah menantang mereka untuk membuat satu surah saja semisal al-Qur’an.15 Al-Qur’an mengandung nilai sastra yang sangat tinggi, dapat mematahkan nilai-nilai sastra yang terkenal pada waktu itu. Al-Qur’an bukan suatu kumpulan puisi, prosa, sajak atau lainnya, bahkan tidak juga sebagai kumpulan dari berbagai karya sastra, tetapi nilai seni dan kualitas kesusastraannya tidak terdapat tandingannya dalam berbagai kesusastraan Arab, baik dulu maupun sekarang.16 Keindahan al-Qur’an pelan-pelan meluluhkan hati dan pikiran musuhmusuh Islam yang paling gigih dan kuat. Satu persatu mereka masuk Islam, walaupun masih ada yang tetap membangkang tidak lebih dari mempertahankan egoisme belaka, sebab kebenaran yang sebenarnya tidak dapat lagi terbantahkan. Salah seorang tokoh Quraisy terkemuka yang sangat keras menentang Islam pada akhirnya masuk Islam karena tanpa sengaja suatu hari terkesima oleh keindahan bahasa al-Qur’an. Dialah Umar bin Khattab,17 yang di kemudian hari dipercayakan umat Islam sebagai Amirul Mu’minin Khalifah yang kedua. Analisis Fonologi dalam Surah al-‘Ādiyāt Fonologi adalah pengetahuan mengenai bunyi bahasa; bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.18 Bunyibunyi bahasa baik berupa konsonan (shawāmit) maupun vokal (shawāit) menimbulkan dua efek yang sangat dirasakan oleh pembaca ataupun pendengarnya, kedua efek tersebut adalah; efek terhadap keserasian dan efek terhadap makna.19 Menurut az-Zarqani, sebagaimana dikutip Qalyubi, keserasian dalam tata bunyi al-Qur’an adalah keserasian dalam pengaturan harakah, sukun, madd dan ghunnah20 sehingga enak untuk didengar dan diresapkan.21 Keserasian ini dapat dirasakan ketika seseorang membaca atau mendengar al-Qur’an dengan suara yang merdu dan bacaan yang benar sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid dan tahsin. Tidak dapat dibayangkan jika semua lafaz al-Qur’an berharakah fathah saja atau dhammah saja, dan sebagainya. Al-Qur’an telah teratur dengan bunyibunyi yang indah. Sehingga walaupun al-Qur’an dibaca oleh orang-orang awam _____________ 15
QS. Al-Baqarah (2: 23 - 24), dan QS. Yunus (10: 38). Moh. Chadziq Charisma, Tiga Aspek Kemu’jizatan al-Qur’an (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1991), 15. 17 Barnaby Rogerson, Biografi Muhammad, Alih bahasa: Asnawi, cet. ke-5 (Yogyakarta: Diglossia Media Group, 2007), 115 18 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Agung, 2005), 158. 19 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 39. 20 Harakah adalah tanda baca yang menimbulkan bunyi “a”, “i”, dan “u”, yang dimaksud dengan sukun adalah tanda baca “mati”, madd adalah tanda baca yang menimbulkan bunyi panjang, sedangkan ghunnah adalah nasal. Lihat: Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 39. Lihat juga: Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Makna di Balik Kisah Ibrahim, cet. ke-1, (Yogyakarta: LKiS, 2009), 24. 21 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 39. 16
122
Safrina Muhammad: Analisis Stilistika terhadap surat al-‘adiyat …
ataupun dibaca di hadapan mereka, maka mereka akan merasakan keindahan dan keagungannya.22 Pemilihan huruf dalam surah al-‘Ādiyāt serta penggabungan antara konsonan dan vokal betul-betul sangat serasi, demikian juga penggabungan antara harakah, sukun, madd dan ghunnah sungguh sangat menakjubkan. Tiga ayat pertama memiliki nada yang sama dan berdekatan, ayat keempat sama dengan ayat kelima, selanjutnya berturut-turut ayat keenam, ketujuh dan kedelapan bernada yang sama dan berhampiran, ayat yang kesembilan berhampiran dengan ayat yang kesebelas, sedangkan ayat kesepuluh berada di antara keduanya memiliki nada tersendiri di tengah-tengah nada-nada yang bersamaan atau bermiripan. Perpindahan dari satu bunyi ke bunyi lainnya sangat bervariasi dan berkesan sehingga menimbulkan irama dan alunan yang beragam menjadikan bacaan terasa indah dan mengagumkan. Hubungan antara konsonan dan vokal, diiringi oleh madd, lalu konsonan dan vokal lagi, diselingi oleh sukun dan ghunnah dan seterusnya adalah efek keserasian yang ditimbulkan oleh susunan huruf yang memiliki nilai sastrawi yang sangat tinggi. Selain keserasian bunyi huruf-huruf sebagaimana yang telah disebutkan di atas, keserasian bunyi pada akhir ayat juga memancarkan keserasian dan keindahan yang tiada tara, melebihi keserasian yang dimiliki oleh karya sastra apapun dan di manapun diciptakannya. Coba kita perhatikan tiga ayat pertama yang diakhiri dengan bunyi , , dan . Ayat berikutnya diakhiri dengan dan , selanjutnya diakhiri dengan , , dan , dan tiga ayat terakhir ditutup dengan bunyi , , dan , ketika lafaz-lafaz ini diwaqaf (berhenti) sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid sungguh sebuah keindahan dan keserasian yang tiada bandingannya. Dengan keindahan semacam ini yang ditunjukkan oleh al-Qur’an menjadi bukti yang tak terbantahkan terhadap kebenaran risalah Allah Swt yang diseru oleh RasulNya, Nabi Muhammad Saw, maka tidaklah mengherankan bila hati setiap orang yang mendengarkan akan tersentuh dan orang-orang yang berakal pasti akan datang untuk membenarkannya. Orang-orang tidak akan percaya bahwa al-Qur’an itu ciptaan Muhammad, melainkan al-Qur’an itu benar-benar Kalam Allah yang Maha Agung. Akan tetapi, orang-orang yang hatinya tertutup oleh kemusyrikan menganggap al-Qur’an sebagai perbuatan sihir untuk menyihir penduduk Makkah supaya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Muhammad.23 Penggunaan bunyi bahasa yang indah dan teratur ini sangat terimplikasi dalam menimbulkan aspek psikologis kepada pembaca dan pendengarnya. Manusia tentu saja sangat menyenangi hal yang indah-indah, sehingga ketika alQur’an tampil dengan gaya yang sangat indah maka timbullah komunikasi yang sangat harmonis dengan audiensnya. Bila komunikasi telah terbuka dengan baik, tentu saja pesan-pesan yang dibawakan oleh al-Qur’an dapat diterima dengan baik pula.24 Jadi di samping untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an dan melemahkan orang-orang yang ingkar kepadanya, juga untuk menjadikan al-Qur’an ini dekat dengan kejiwaan manusia yang menyukai keindahan-keindahan. Efek lainnya yang ditimbulkan oleh fonologi di samping efek keserasian adalah efek terhadap makna. Efek ini sebagaimana halnya efek keserasian juga _____________ 22
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Makna …, 24. Abu Bakar Muhammad bin al-Thayyib bin bin Muhammad bi Ja’far bin al-Qasim alBaqillani, I’jāz al-Qur’an, Pentahqiq: as-Sayyid Ahmad Shaqar, (Cairo: Dar al-Ma’ārif, t.t.), 4. 24 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 42. 23
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
123
tersebar dalam seluruh lafal-lafal al-Qur’an. Menurut Qalyubi, beberapa peneliti telah berupaya mengungkapkan efek makna yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi huruf tertentu. Abu Fatah ‘Usman bin Juniy mengatakan bahwa mashdar ruba’i mudha’af mengandung arti pengulangan seperti lafal za’za’ah, qalqalah. Shalshalah, qa’qa’ah, jarjarah dan qarqarah mengandung arti goncangan, keributan, bunyi berderik-derik bunyi gemerincing, bising dan keroncongan. Dan pengulangan ‘ain fi’il menunjukkan kepada makna pengulangan, seperti kassara, qaththa’a, fattaha, dan ghallaqa, mengandung arti memecah-mecah, memotongmotong, membuka-buka dan menutup-nutup.25 Rasyid Salim al-Khuri telah membahas keterkaitan huruf dengan maknanya, misalnya huruf awal fa berkaitan dengan makna jelas atau kejelasan, huruf awal dhad berkaitan dengan makna putus asa, huruf awal ha berkaitan dengan makna mulia.26 Walaupun masih terdapat pengecualian-pengecualian, namun gambaran di atas setidaknya mengantarkan kita kepada pemahaman yang luas di mana bunyi-bunyi setiap huruf dapat menimbulkan efek makna tertentu yang sangat mengagumkan. Dalam kasus surah al-‘Ādiyāt, efek makna tersebut dengan jelas dapat kita temukan. Lafaz dhabhan yang diawali dengan huruf dhad mempunyai arti terengah-engah27 sebagai sebuah kondisi kepayahan yang dimiliki oleh kuda, terengah-engah adalah lambang dari sebuah kelelahan yang terpaksa harus dilakukan. Adapun qadhan merupakan sebuah ketegasan ya’ni memercikkan bunga api dengan hentakan kaki yang dapat menjadikan musuh gemetar ketakutan. Sedangkan Shabhan, lafaz yang diawali dengan huruf shad menimbulkan makna seperti berbisik, seolah-olah pembawa berita berbisik kepada orang lain bahwa ada kuda-kuda perang yang menyerang pada waktu pagi. Sebagai sebuah strategi perang, informasi seperti ini tidak boleh diketahui musuh sehingga harus disampaikan dengan berbisik. Lafaz kanūd, syahīd dan syadīd adalah lafaz-lafaz yang memiliki makna berupa sebuah ketegasan karena huruf dal yang menjadi akhir lafaz-lafaz ini melambangkan sebuah ketegasan. Adapun lafal qubūr, shudūr dan khabīr yang ketiganya diakhiri dengan huruf ra menimbulkan makna ketakutan. Qubūr merupakan sebuah tempat yang ditakuti walaupun kita yakin semua kita suatu saat akan menuju ke sana. Shudūr tentu saja sebuah ketakutan yang luar biasa ketika rahasia-rahasia yang selama ini kita sembunyikan di dalam dada dinampakkan di hari kiamat. Demikian juga khabīr yang menggambarkan suasana hari kiamat di mana Allah Swt. Maha Mengetahui dan Maha Teliti terhadap apa yang telah dilakukan oleh manusia.
_____________ 25
Ibid., 44. Ibid. 27 At-Thabari mengatakan tidak ada binatang yang berlari dengan terengah-engah kecuali anjing dan kuda. Lihat: Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib al-Amali at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Pentahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Juzuk, XXIV, cet. ke-1, (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1420 H./2000 M.), 557. Yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kuda perang, hal ini sesuai dengan dalil atau qarinah yang ditunjuki oleh ayat-ayat setelahnya. 26
124
Safrina Muhammad: Analisis Stilistika terhadap surat al-‘adiyat …
Analisis Preferensi Lafaz dalam Surah al-‘Ādiyāt a. Penggunaan lafaz yang berdekatan maknanya Syihabuddin Qalyubi, dalam bukunya Stilistika al-Qur’an Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, menerangkan bahwa ia tidak menggunakan istilah sinonim untuk uraian ini. Ia beralasan bahwa sinonim, dengan mengutip Imel Badi’ Ya’qub, secara umum dipahami sebagai kumpulan beberapa lafaz untuk makna yang sama. Sedangkan dalam literatur Arab, istilah sinonim atau taraduf masih diperdebatkan, apakah mengandung arti kesamaan makna dari beberapa lafaz yang berbeda atau merupakan rincian sifat dari makna asal.28 Dalam al-Qur’an memang banyak sekali didapati penyebutan lafaz seperti itu, lafaz yang bermacam-macam namun dipakai untuk makna yang satu, Qalyubi mencontohkannya seperti lafal ru’yā dan ahlam dengan makna mimpi, zauj dan imra’ah dengan makna istri, dhiā’ dan nūr dengan makna cahara, shubh dan fajr dengan makna pagi, dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. Lafaz-lafaz tersebut secara sepintas memang memiliki makna yang sama, namun ketika diteliti secara mendalam ternyata antara lafaz yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan-perbedaan karakteristik. Dalam surah al-‘Ādiyāt, penyebutan lafaz taraduf secara implisit tidak didapatkan, namun secara eksplisit, ketika dibandingkan dengan lafaz-lafaz alQur’an secara keseluruhan, lafaz-lafaz ini walaupun tidak begitu banyak namun bisa ditemukan. Misalnya lafaz subh yang melambangkan waktu pagi di mana kuda-kuda perang menyerang musuh. Pagi di sini adalah pagi yang berdekatan dengan siang, sebab jika pagi yang berdekatan dengan malam akan dilambangkan dengan lafal fajr29 sebagaimana yang terdapat di dalam surah-surah lainnya. Selanjutnya lafal bu’sira yang berarti dikeluarkan atau dibangkitkan, yaitu dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur. Untuk melambangkan peristiwa ini memiliki satu lafal lagi yang sangat dekat maknanya bahkan sangat sering disebut-sebut di dalam al-Qur’an yaitu lafal bu’isa. Secara mendetil kedua lafal ini memiliki karakteristik yang berbeda walaupun maksudnya sama. Lafal bu’sira memiliki makna lebih luas dari bu’isa, bila lafaz bu’isa digunakan untuk melambangkan manusia dibangkitkan, dikeluarkan dari kubur dan dihidupkan kembali, sedangkan lafal bu’sira mengandung makna bu’isa tersebut plus untuk dipertanggungjawabkankan akibatnya terhadap manusia yang dibangkitkan itu.30 Demikian juga antara lafaz naq’an dan ghubār, insān dan basyar merupakan lafaz-lafaz taraduf yang pemilihan salah satunya tentu saja memiliki rahasia makna dan uslub yang tinggi di dalam al-Qur’an. b. Penggunaan Homonim Homonim adalah kata yang sama bunyinya, tetapi berlainan arti dan asalnya.31 Dalam literasi Arab, homonim dikenal dengan istilah al-MusytarakulLafdhiy.32 Untuk kasus surah al-‘Adiyat dapat ditemukan kata al-khair yang bisa _____________ 28
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar…, 46 – 47. Ibid., 50. 30 Muhammad bin Mukram bin Manzur al-Afriqi al-Mashri, Lisanul Arab, Juzuk IV, cet. ke-1, (Bairut: Dar Shadir, t.t.), 72. 31 Budiono, Kamus Lengkap …, 187. 32 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 50. 29
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
125
berarti; kebaikan, faedah, dan harta benda (kekayaan).33 Lafal khair yang melambangkan makna “kebaikan” atau “sebaik-baik” sangat banyak terdapat di dalam al-Qur’an, di antaranya dalam surah al-Baqarah pada ayat 54, 61, 103, 105, 110, 184, 197, 215, 216, 220, 221, 263, 271, 273 dan 280, dalam surah Ali ‘Imrān pada ayat 30, 54, 110, 115, 150, 157, 178 dan 198, dalam surah an-Nisā’ pada ayat 25, 59, 77, 114, 127 dan 128, dalam surah al-Māidah pada ayat 114, dalam surat al-An’ām pada ayat 32 dan 57, dalam surat al-A’rāf pada ayat 12, 26, 85, 87, 89, 155 dan 169, dalam surah al-Anfāl pada ayat 19 dan 30, dalam surah atTaubah pada ayat 3, 41, 61 dan 109, dalam surah Yūnus pada ayat 58 dan 109, dalam surah Hūd pada ayat 86, dalam surah Yūsuf pada ayat 39, 57, 59, 64, 80 dan 109, dalam surah an-Nahl pada ayat 30, 95 dan 126, dalam surah al-Isra’ pada ayat 35, dalam surah al-Kahfi pada ayat 44, 46 dan 95, dalam surah Maryam pada ayat 73 dan 76, dalam surah Thāhā pada ayat 73 dan 131, dalam surah al-Anbiyā’ pada ayat 89, dalam surah al-Hajj pada ayat 11, 30, 36 dan 57. Kemudian dalam surah al-Mukminūn pada ayat 29, 72, 109 dan 117, dalam surah an-Nūr pada ayat 11, 27 dan 60, dalam surah al-Furqān pada ayat 15 dan 24, dalam surah an-Naml pada ayat 36, 59 dan 89, dalam surah al-Qashshash pada ayat 26, 60, 80 dan 84, dalam surah al-‘Ankabūt pada ayat 16, dalam surah ar-Rūm pada ayat 38, dalam surah Sabā’ pada ayat 39, dalam surah ash-Shāffāt pada ayat 62, dalam surah Shād pada ayat 76, dalam surah Fushshilat pada ayat 40, dalam surah asy-Syurā pada ayat 36, dalam surah az-Zukhrūf pada ayat 32, 52 dan 58, dalam surah ad-Dukhān pada ayat 38, dalam surah al-Qamar pada ayat 43, dalam surah al-Mujādilah pada ayat 12, dalam surah ash-Shaf pada ayat 11, dalam surah al-Jumu’ah pada ayat 9 dan 11, dalam surah al-Muzammil pada ayat 20, dalam surah al-A’lā pada ayat 17, dalam surah adh-Dhuhā pada ayat 4, dalam surah al-Qadr pada ayat 3, dalam surah al-Bayyinah pada ayat 7, dan masih banyak lagi dalam ayat-ayat lainnya. Sedangkan lafal khair yang berarti “harta” di antaranya terdapat dalam empat tempat, yaitu dalam surah al-Baqarah pada ayat 180 dan 272, dalam surah al-Qashshash pada ayat 24, dan dalam surah al-‘Ādiyāt pada ayat 8. walaupun lafal māl dan khair berbeda pada karakternya, namun lafal khair telah terbukti memiliki banyak makna yang di antaranya adalah harta. Lafal khair yang terdapat dalam surah al-‘Ādiyāt pada ayat 8 menurut sebagian mufassir bermakna harta yang banyak atau kekayaan yang melimpah.34 Demikianlah Allah Swt. telah menyusun kata demi kata dalam al-Qur’an untuk sebuah keindahan dan sebagai bukti kebenaran risalahNya. c. Penggunaan lafaz yang tepat makna Lafaz-lafaz yang tepat makna adalah pemilihan lafaz dalam suatu konteks tertentu sesuai dengan makna yang dibutuhkan.35 Pada prinsipnya semua lafaz dalam al-Qur’an telah dipilih sesuai dengan konteksnya, namun usaha untuk mencari rahasia di balik itu tetap perlu dilakukan terutama untuk memahami makna alQur’an dengan cara yang sesungguh-sungguhnya. Usaha ini sebenarnya bukanlah _____________ 33
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Edisi II, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 378. 34 Syihabuddin Mahmud Ibnu Abdullah al-Husaini al-Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir alQur’an al-‘Adhim wa as-Sab’il Masani, Juzuk XVII, (t.p., t.t.,), 332. 35 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 53. 126
Safrina Muhammad: Analisis Stilistika terhadap surat al-‘adiyat …
suatu pekerjaan yang mudah, namun dengan melakukan perbandingan demi perbandingan dengan sangat teliti maka rahasia ini insya Allah dapat ditemukan, walaupun kebenaran yang haqiqi hanya milik Allah Swt. Dengan berbekal pada contoh dari penelitian Muhammad Abdul ’Adhim az-Zarqani dan al-Khathib al-Iskafi yang diangkat oleh Syihabudddin Qalyubi,36 maka dalam surah al-‘Ādiyāt setidaknya ada dua hal yang berhubungan dengan pemilihan lafaz yang amat tepat. Pertama; pada tiga ayat yang pertama yang mana Allah Swt. menyebutkan kata sifat (isim fā’il) dengan bentuk jama’ muannas sālim yang di ma’rifahkan dengan “al” maushulah yang dimaksudkan kepada kuda perang. Makna dasarnya adalah berlari kencang, memercikkan bunga api, dan menyerang dengan tiba-tiba. Kemudian kata “al” dapat diartikan dengan segala jenis binatang yang biasa berlari kencang, ketika di depannya terdapat kata dhabhan yang berarti terengahengah, maka kemungkinan “al” di situ hanya dua, sebab yang berlari terengahengah dari jenis binatang hanyalah anjing dan kuda. Ketika dilanjutkan lagi, tersingkaplah makna yang dimaksudkannya, sebab yang memercikkan bunga api dengan hentakan kaki, yang menyerang dengan tiba-tiba, yang menerbangkan debu dan yang menyerbu ke tengah-tengah musuh tidak dapat dilakukan oleh anjing, maka jelaslah makna dalam ayat itu adalah kuda-kuda perang.37 Dengan hanya tersusun dari dua lafal telah menggambarkan makna yang begitu indah, di situlah keindahan uslub al-Qur’an yang tidak bisa didapatkan dari untaian kata yang dibuat atau disusun oleh manusia. Kedua; dapat dilihat pada ayat kedelapan. Allah Swt menggambarkan terhadap manusia yang sangat mencintai hartanya dengan untaian kata-kata yang sangat indah dan sesuai dengan bunyi-bunyi yang sebelum dan sesudahnya, kita dapat membandingkan penggambaran yang ada dalam suraf al-Fajr ayat 2038 yang juga menggambarkan orang yang sangat mencintai hartanya, namun kedua ayat ini tidak boleh ditukar karena akan merusak susunan fonologi dan juga akan berpengaruh terhadap maknanya. Di samping itu, bila ditinjau dari sudut pandang balaghah kedua ayat ini juga mempunyai karakteristik maknanya masing-masing. Analisis Preferensi Kalimat dalam Surah al-‘Ādiyāt Dalam analisis ini diuraikan pilihan kalimat dan efek yang ditimbulkannya, maksudnya ragam kalimat yang dipilih sebagai media penyampai pesanpesan yang juga memiliki pengaruh terhadap makna-maknanya.39 Mengikuti pembahasan Syihabuddin Qalyubi dalam bukunya Stilistika al-Qur’an Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, uraian ini meliputi penggunaan kalimat tanpa penyebutan fā’ilnya, penggunaan kalimat yang beragam dan penggunaan pengulangan kalimat.40 Dalam kasus surah al-‘Ādiyāt, analisis tentang dua hal yang terakhir tidak dapat dilakukan karena dalam surah-surah yang pendek untuk _____________ 36
Ibid., 54 – 55. Makna ini juga bersumber kepada tafsir at-Thabari dengan menukil riwayat dari Ali bin Abi Talib. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib at-Thabari, Jami’ul Bayan ..., 561. 38 Ayat tersebut berbunyi: “ ” [QS. Al-Fajr (89: 20)]. 37
39
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 53. Ibid., 56 – 68.
40
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
127
hal-hal seperti itu sangat jarang ditemukan. Jadi analisis ini difokuskan pada masalah yang pertama yaitu penggunaan kalimat tanpa penyebutan fā’ilnya. Dalam surah al-‘Ādiyāt terdapat dua kalimat yang tidak disebutkan fā’ilnya, yaitu bu’sira dan hushshila, masing-masing pada ayat kesembilan dan kesepuluh. A’isyah bint as-Syathi, sebagaimana dikutip Qalyubi menerangkan, tidak disebutkan fā’il khususnya pada ayat-ayat tentang hari kiamat dan bangkit dari kubur adalah suatu cara untuk mengkonsentrasikan perhatian pembaca kepada peristiwa yang terjadi.41 Selain analisis stilistika, dalam kasus kalimat yang tidak disebutkan fa’ilnya dapat juga dianalisis dari sudut pandang nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi) dan balaghah (retorika).42 Analisis Deviasi dalam Surah al-‘Ādiyāt Prinsip deviasi adalah kebalikan dari prinsip ekuivalensi, jika ekuivalensi adalah keteraturan dan keselarasan kaidah bahasa, maka deviasi adalah kebalikannya yang sengaja digunakan untuk kesegaran dan menghindari kejenuhan pembaca. Dalam suatu karya, kombinasi antara keduanya sangat dibutuhkan.43 Dalam al-Qur’an secara keseluruhan penggunaan deviasi sangat banyak dijumpai. Misalnya dari bentuk jama’ tiba-tiba berubah ke bentuk mufrad dan sebaliknya, dari bentuk mukhāthab berubah ke bentuk ghāib dan sebaliknya, dari fā’il dhāhir berubah ke fā’il mudhmar dan sebagainya. Dalam surah al-‘Ādiyāt, deviasi terdapat pada ayat yang terakhir, ayat kesebelas. Pada ayat tersebut dhamir yang kembali kepada al-insān yang terdapat pada ayat ke enam disebutkan dalam bentuk jama’ (rabbahum dan bihim), padahal pada ayat-ayat sebelumnya dhamir yang kembali kepada al-insan disebutkan dalam bentuk mufrad/ tunggal (lirabbihi pada ayat keenam, innahu pada ayat ketujuh dan kedelapan, ya’lamu pada ayat kesembilan). Sedangkan pada kalimat asarna dan wasathna yang terdapat dalam ayat keempat dan kelima menunjukkan prinsip ekuivalensi karena dhamir jama’ muannas ghāibāt yang ada pada kedua kalimat tersebut kembali kepada kuda-kuda perang yang disebutkan dengan bentuk jama’ muannas yang terdapat dalam ayat pertama, kedua dan ketiga. Inilah bentuk kombinasi yang sungguh luar biasa dan menakjubkan. Kesimpulan Mengkaji satu surah saja dari al-Qur’an dengan analisis satu ilmu saja dari berbagai disiplin ilmu yang berkembang telah didapati Kemaha-agungan alQur’an yang sungguh-sungguh luar biasa, apalagi kalau dikaji seluruh al-Qur’an dengan menggunakan seluruh disiplin ilmu yang ada, tentu saja Kemaha-agunganNya kian bertambah-tambah. Itulah al-Qur’an Kalam Allah yang tidak ada seorangpun sanggup menandinginya. Surah al-‘Ādiyāt, dari sudut pandang balaghah menyimpan segudang rahasia, yang dapat digolongkan ke dalam uslub yang indah. Demikian juga dari sudut pandang stilistika, walaupun hanya dalam beberapa baris saja, namun elemen-elemen stilistika telah dapat didapatkan dengan indahnya. Pertama dari _____________ 41
Ibid., 57. Dari sudut pandang nahwu menjelaskan bentuk nāibul fā’il, dari sudut pandang sharaf menjelaskan bentuk fi’il mabni lill-maf’ūl dan dari sudut balaghah menjelaskan alasan kenapa fā’il itu dibuang. Ibid., 56. 43 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar …, 59. 42
128
Safrina Muhammad: Analisis Stilistika terhadap surat al-‘adiyat …
analisis fonologi, baik efek keserasian bunyi di tengah-tengah lafaz atau di akhirnya maupun efek keserasian makna, kedua preferensi lafal, ketiga preferensi terhadap kalimat, dan keempat analisis deviasi. Di setiap surah bahkan di setiap ayat dapat ditemukan keindahankeindahan melalui analisis stilistika, maka surah al-‘Ādiyāt sebagai salah satu surah Makkiyah, walaupun hanya beberapa baris saja, keindahan ini sangat banyak ditemukan. Dengan demikian, sasaran surah ini, baik isi maupun objeknya dengan mudah dapat tercapai. Orang-orang yang menentang al-Qur’an dari golongan musyrikin atau Ahlil Kitab, secara pelan-pelan dapat ditaklukkan oleh keindahan bahasa al-Qur’an. Inilah salah satu metode dakwah Rasulullah Saw. dengan mengedepankan unsur-unsur keindahan.
DAFTAR PUSTAKA Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurthubi. al-Jami’ li Ahkamil Qur’an wal-Mubayyin li Ma Tadhammanahu minas-Sunnah wa Ayatil Qur’an, Pentahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Juzuk XXII, cet. ke-1. Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1427 H./2006 M. Abu Bakar Muhammad bin al-Thayyib bin bin Muhammad bi Ja’far bin al-Qasim al-Baqillani. I’jāz al-Qur’an, Pentahqiq: as-Sayyid Ahmad Shaqar. Cairo: Dar al-Ma’ārif, t.t. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib al-Amali atThabari. Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Pentahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Juzuk XXIV, cet. ke-1. Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1420 H./2000 M. Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Edisi II, cet. ke-14. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Badi’uz Zaman Sa’id an-Nusri. Isyarat al-I’jaz fi Mazani al-Ijaz, Pentahqiq: Ihsan Qasim as-Shalihi. Baghdad: Jami’ah Baghdad, t.t. Barnaby Rogerson. Biografi Muhammad, Alih bahasa: Asnawi, cet. ke-5, Yogyakarta: Diglossia Media Group, 2007. Budiono. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung, 2005. Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 1426 H./2005 M. Harimurti Kridalaksana. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia, 1983. M. Nur Kholis Setiawan. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, cet. ke-2. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006. Mashaf al-Madinah an-Nabawiyah. al-Madinah al-Munawwarah: Majma’ alMalik Fahd li Thaba’ah al-Mashaf asy Syarif, 1426 H., Nomor regestrasi: 6347/1426.
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
129
Moh. Chadziq Charisma. Tiga Aspek Kemu’jizatan al-Qur’an. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1991. Muhammad bin Mukram bin Manzur al-Afriqi al-Mashri. Lisanul Arab, Juzuk IV, cet. ke-1, Bairut: Dar Shadir, t.t. Mushthafa al-Ghulayaini. Jāmi’ud-Durūs al-Arabiyah, Juzuk I, cet. ke-28. Bairut: Shayida, 1414 H./1993 M. Panuti Sujiman. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993. Shubhi as-Shalih. Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, cet. ke-7. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. Syihabuddin Mahmud Ibnu Abdullah al-Husaini al-Alusi. Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim wa as-Sab’il Masani Juzuk XVII. t.p. t.t. Syihabuddin Qalyubi. Stilistika al-Qur’an Makna di Balik Kisah Ibrahim, cet. ke1. Yogyakarta: LKiS, 2009. _________________. Stilistika al-Qur’an Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997 M./1418 H.
130
Safrina Muhammad: Analisis Stilistika terhadap surat al-‘adiyat …
SIKAP KESEHARIAN UMAT ISLAM DALAM MERESPON BACAAN Al-QUR’AN
Umar Latif Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT For background reading is considered so valuable, understanding the Qur'an store without limit, in the sense that what is read and what is understood to have the intent remains the basic meanings (attached to him) and relational meaning (connotation addition to existing meanings ). Both of these goals remain the targets put forward the Qur'an, so readings should also be interpreted in a similar composition, ie, "no matter how small" reading it will likely give effect to the human actions. To that end, the Qur'an is the reading that needs to be positioned as the basic meaning and effect of the change in the direction of reading the relational meaning. Therefore, reading the Qur'an has a double response in daily Islamic society. Kata Kunci: Respon, Umat Islam, Bacaan al-Qur’an Pendahuluan Al-Qur’an dengan segala konsekwensi bagi kaum muslimin adalah kalam Allah yang terniscayakan. Nabi juga betul-betul yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah, Zat yang sama sekali lain dan sedemikian rupa, hingga ia menolak dengan kekuatan kesadaran ini sebagian dari klaim-klaim historis yang paling fundamental dari tradisi Judea Kristiani tentang Ibrahim dan nabi-nabi yang lain. Zat yang lain ini melalui suatu saluran mendiktekan al-Qur’an dengan otoritas yang mutlak. Suara yang datang dari dasar kedalaman itu berbicara dengan jelas sekali, tak bisa dikelirukan dan mendesak. Proses pentransferan ini dikenal di kalangan umat Islam dan hampir semua agama lainnya dengan sebutan al-Qur’an. Kata “qur’an” sebagai makna dasar berarti bacaan, pemaknaan pada kata ini jelas menunjukkan ke arah itu. Hal ini bisa dibuktikan dengan sejumlah kata-kata lain yang tercantum dalam alQur’an, seperti tanzil, wahy dan kitab. Sejumlah kata-kata ini tetap mengarah pada makna dasar itu, dan teks al-Qur’an sendiri pada beberapa tempat dinyatakan bahwa al-Qur’an diwahyukan secara verbal dan bukan melalui makna dan ide-ide. Meski kemudian, istilah al-Qur’an untuk pembukaan (rahasia) adalah wahyu yang berdekatan artinya dengan inspirasi, dengan syarat bahwa yang kedua ini tidak perlu harus mengesampingkan model verbal. Al-Qur’an merupakan “hudan li al-nas wa bayyinatin min al-huda wa al-furqan” (QS. al-Baqarah: 185). Menurut al-Thabari, kalimat “hudan li al-nas” adalah petunjuk bagi umat manusia menuju jalan kebenaran, dengan penekanannya bahwa manusia mau berpikir. Al-Mu‘ashirah , Vol. 10, No. 2, Juli 2013
131
Adapun kata “bayyinatin” adalah berbagai penjelasan (wadhihatin) terhadap sesuatu yang datang dari petunjuk (hidayah) tersebut, berupa penjelasan yang menunjukkan pada batas-batas, ketentuan-ketentuan dan tentang hukum halal dan haram. Sementara kata “al-furqan” dimaksudkan sebagai pemisah di antara hak dan batil.1 Berdasarkan keterangan tersebut, berarti al-Qur’an dapat ditarik pemaknaannya sebagai sebuah “dokumen penting” bagi umat manusia. Bahkan kitab ini sendiri menamakan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan berbagai julukan lain yang senada di dalam ayat-ayat lain (QS. al-Baqarah: 129, QS. alJum’ah: 2 dan QS. Ali ‘Imran: 164). Ada tiga komponen untuk mencapai “hudan” dan “bayyinat”, yang kemudian berujung pada “al-furqan”, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi, di antaranya adalah: Pertama, tilawah (bacaan yang membuahkan pada sikap mengikuti pesan yang ada di baliknya). Kedua, tazkiyah (bersih diri dan senantiasa menjunjung tinggi akhlak mulia). Dan ketiga, ta’lim (pembelajaran tentang alkitab dan al-hikmah).2 Perbandingan tersebut akan memperjelas sudut letak bahwa pandangan manusia di kemudian hari merespon bimbingan Ilahi dalam bentuk sebagai petunjuk dan bukan bertujuan untuk disesatkan. Petunjuk ini menggambarkan di mana upaya manusia tidak lagi bebas menentukan pilihan-pilihannya, kecuali tetap mengikuti bimbingan Ilahi, dan serendah-rendah petunjuk yang didapat adalah dengan tetap membacanya di setiap waktu yang ada.3 Kronologis turunnya al-Qur’an secara tadarruj merupakan perwujudan responsitas Ilahi menuju kepada hidayah, bukan bertujuan menyesatkan. Bahkan secara bersamaan pula diperoleh penjelasan bahwa al-Qur’an itu diterima Nabi dalam suasana historikal dengan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat saat itu. Atau dengan kata lain, di mana penegasan setiap al-Qur’an turun merupakan isyarat dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan, dengan tanpa batas ruang dan waktu. Apa yang menjadi bukti empiris sebagaimana uraian di atas adalah mata rantai di mana al-Qur’an merupakan sumber bacaan. Al-Qur’an menempati posisi yang khas dan berdiri sendiri di antara semua kitab-kitab suci, lantaran teks wahyunya adalah asli, sementara pada Taurat, Zabur dan Injil, nabi-nabi menerima wahyu hanya dalam bentuk gagasan semata, dalam artian mengalami perumusan dan ungkapan dengan kata-kata sendiri.4 Kegemaran dalam membaca al-Qur’an adalah sebuah motivasi tersendiri bagi umat Islam. Ketika iklim kegemaran ini terbangun, maka pada konteks yang lebih dalam, berarti seseorang hendak melebur diri dalam bentuk penghambaan sebuah harapan memikirkan keselamatan. Kebutuhan semacam ini menjadi alasan yang dapat diterima, mengapa al-Qur’an diturunkan. Perintah Nabi untuk membaca al-Qur’an sudah sangat jelas. Bagi mereka yang (gemar) membaca al-Qur’an tentu akan memperoleh syafa’at. Sebab, al-Qur’an adalah kalam Ilahi, visualisasi _____________
Al-Thabari, al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, 1992), 448 2 Al-Thabari, al-Jami’ al-Bayan…, 448 3 Toshihiko Izutsu, (peng.,) Machasin, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Sementik terhadap Al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 153-156 4 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, 199; M. Quraish Shihab, Membumikan alQur’an (Bandung: Mizan, 1992), 21 1
132
Umar Latif: Sikap Keseharian Umat Islam dalam Merespon Bacaan al-Qur’an
kalam Allah di muka bumi. Membaca al-Qur’an adalah bagian dari cara berkomunikasi dengan Allah. Semakin banyak membaca, maka semakin dekat dengan-Nya. Allah memang berjanji akan menjaga al-Qur’an (QS. al-Hijr: 9). Meski demikian, ayat ini tetap memiliki kandungan makna, di mana Allah menggunakan kata ganti (dhamir) nahnu (kami) dalam ayat tersebut sebagai isyarat, bahwa Allah tidak turun untuk menjaga al-Qur’an secara langsung, melainkan memberi keterlibatan secara aktif kepada hambanya untuk dipelihara, entah melalui bacaan atau dalam bentuk lainnya, dan di sinilah letak pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai bacaan dan al-Qur’an sebagai relasional. Oleh karena itu, sebagai mu’jizat, al-Qur’an bukanlah tanda kenabian yang sukar dinalar sebagaimana lazimnya mu’jizat para nabi sebelum nabi Muhammad. Al-Qur’an justru hadir dalam bentuk yang konkrit, di mana rasionalitasnya sangat mungkin dinalar oleh logika kemanusiaan. Dikarenakan mu’jizat, tentu umat Islam terus melestarikan “pembumian” al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Untuk tujuan khusus ini, maka al-Qur’an dengan kerangka konseptual yang begitu sederhana adalah kumpulan teks-teks yang mesti dibaca. Hal ini tentu saja sesuai dengan maksud dalam surah al-Muzammil ayat 4; “Dan bacalah alQur’an itu dengan tartil”. Apa yang menjadi isyarat dalam ayat ini, apakah pembacaan al-Qur’an itu dimengerti atau tidak, orang pandai atau tidak, intelektual atau tidak; tetap perlu dibaca dengan jelas dan jangan dipaksakan melalui capaian yang tergesa-gesa. Artinya, bacaan harus mengucapkan dengan jelas semua huruf, dan adapun membacanya sesuai dengan keinginan dan selera si pembaca masing-masing individu. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya” (QS. Shad: 29). Makna Dasar dan Makna Relasional Pada saat al-Qur’an dibaca, berarti ada semacam korelasi yang hendak dibangun antara seorang hamba dengan Tuhan. Meski kemudian, hubungan ini dimaksudkan kapan pun manusia tetap berada pada posisi makhluk dan Tuhan tetap sebagai khaliq. Status yang demikian, oleh masyarakat Islam juga telah mengalami periodisasi yang cukup kontekstual dan mereka bahkan memiliki sistem pemikiran tersendiri dalam menata ruang privasi intelektualnya terhadap alQur’an. Demikian pula al-Qur’an dengan komponen kosa kata tersendiri juga mengambil peran yang signifikan dalam mensikapi perbuatan seorang hamba. Dalam memandang pesan kosa kata al-Qur’an yang luar biasa, bahkan tiada taranya sebagai bahasa wahyu Ilahi, wajar semua sistem yang melingkari produk perkembangan manusia (material) mencoba mengikat diri berdasarkan maksud al-Qur’an tersebut. Sebagai kasus yang perlu dipertimbangkan, pemahaman di mana kata Allah tidak cukup atas pemaknaan dasar yang masih bersifat esensial—sebagai zat yang tidak bisa diraba atau dilihat, melainkan perlu dipandang dalam ruang yang begitu subtansial; konseptual di mana Allah berhubungan langsung dengan apa yang dinamakan asmaul al-husna. Tentu saja, ketika seorang hamba membaca al-Qur’an seketika pula ia akan berhadapan langsung dengan asmaul al-husna dengan tingkat keragaman makna dan maksud dalam al-Qur’an. Al-Qur’an penuh dengan kata-kata dan frasa
Al-Mu‘ashirah , Vol. 10, No. 2, Juli 2013
133
yang melukiskan Allah dari berbagai sudut; misalnya, Dia adalah wahid (satu), ghafur (pengampun), rahim (penyayang) dan lain sebagainya.5 Hubungan antar batas ini ikut menandakan bahwa sejumlah nama-nama Allah masuk ke dalam ruang manusia tanpa batas, dan sejumlah nama-nama itu tidak perlu dimaknai ke arah rekayasa. Oleh karena itu, membaca al-Qur’an ikut memberi dorongan manusia untuk mengambil posisi yang beragam sesuai dengan kebutuhannya. Atau dengan kata lain, apakah bacaan itu hendak diarahkan sebagai harapan ampunan dari Allah, sebagai mohon kasih sayang atau meminta limpahan rezeki dan keselamatan. Dialektika melalui bacaan al-Qur’an seakan-akan dapat dipahami di mana manusia yang membaca al-Qur’an berkepentingan dalam menjaga dan memelihara. Indikasi ini dapat dilihat, selama kurun waktu turunnya al-Qur’an, sekiranya perbedaan dan kebingungan dalam memahami ayat-ayat yang turun atau dinilai native speacher; ahl al-lisan (penutur asli) dalam bahasa Arab ini terselesaikan begitu nabi mengeluarkan tafsirnya atas ayat yang diperselisihkan. Oleh karena itu, nabi sebagai perantara wahyu yang berkomunikasi langsung dengan ‘Pembicara’ dipandang mempunyai otoritas yang mutlak untuk mengetahui kandungan maksud suatu ayat al-Qur’an. Dari hasil interaksi antara masyarakat dengan teks al-Qur’an pada masa nabi, dapat dicermati pola hubungan yang dibangun para sahabat dengan ayat-ayat al-Qur’an.6 Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur’an dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat Arab saat itu, bahkan doktrin dan ajaran yang termuat dalam teks tersebut dalam waktu singkat dapat melembaga dalam sistem budaya dan sistem sosial, seperti hubungan kekerabatan, perkawinan, sistem ekonomi sampai sistem hubungan politik antar masyarakat dan suku-suku di Arab. Banyak kalangan berasumsi bahwa mudahnya pemahaman bangsa Arab terhadap pembacaan alQur’an lantaran mereka adalah orang Arab, dan al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa mereka. Meski asumsi ini relatif menimbulkan reaksional, dengan kembali menggugat setiap bahasa yang dipahami oleh setiap masyarakat atas bahasanya sendiri, yang boleh jadi tetap menimbulkan kesulitan pada teks yang berhubungan dengan bahasa mereka. Orang akan merasa asing terhadap suatu teks yang disuguhkan kepadanya bila teks tersebut tidak ada hubungan dengan budaya yang ber-kembang di sekitarnya. Dengan demikian, suatu teks yang hadir tidak mungkin hampa sejarah dan memasuki belantara pikiran manusia secara sendirian, ia mesti hadir dan saling kait mengkait dengan teks yang lainnya yang telah hadir.7 Sebagai contoh dari argumen di atas, Muhammad Abed al-Jabiri meneliti tentang bagaimana hubungan ayat-ayat waris, hubungan kekerabatan dan perkawinan dengan sistem kekerabatan Arab pada masa turunnya wahyu dan anganangan masyarakat akan reformasi sistem tersebut. Struktur masyarakat Arab yang _____________ 5
Toshihiko Izutsu, Relasi…, 44-46 Toshihiko Izutsu, Relasi…, 203-212; M. Dawam Rahardjo, Eksiklopedi Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2002). Contoh semua masyarakat Indonesia yang telah berbahasa Indonesia tidak memahami setiap teks yang disampaikan dengan bahasa Indonesia. Ini terbukti ketika mempelajari tata bahasa Indonesia atau pada saat mempelajari teks-teks pengetahuan akan menjadi momok bagi banyak pelajar dan mahasiswa di Indonesia, dan banyak lagi teks-teks lain yang tidak dapat dengan mudah dipahami meskipun penulis dan bahasanya adalah bahasa mereka. 7 Graham Allen, Intertextuality (London and New York: Routledge, 2000), 36 6
134
Umar Latif: Sikap Keseharian Umat Islam dalam Merespon Bacaan al-Qur’an
dominan saat itu adalah struktur masyarakat kesukuan. Andalan untuk keberlangsungan hidupnya adalah pada teknik penggembalaan dengan sistem pemilikan yang bersifat kolektif, di mana hak milik suatu benda dan harta dalam bentuk kepemilikan suku dan bukan secara individu.8 Relasi yang terbentuk di antara satu suku dengan suku lainnya adalah relasi yang bersifat konflik untuk memperebutkan lahan penggembalaan dan lahan kehidupan lainnya. Relasi antar suku yang bersifat konflik mengharuskan mereka untuk membangun persekutuan-persekutuan antar suku, sehingga terwujud aliansi damai yang lebih besar. Untuk kepentingan tersebut, maka terwujud pola perkawinan yang mengutamakan antar kerabat jauh daripada kerabat dekat dan mengutamakan perkawinan dengan suku yang jauh hubungan kekerabatannya. Pola perkawinan antar suku untuk memperluas jaringan aliansi menimbulkan masalah tersendiri terutama soal harta waris, terutama ketika ayah anak perempuan meninggal. Bila perempuan tersebut memperoleh jatah warisan dari ayahnya, baik berupa hewan gembalaan maupun lahan gembalaan, maka hak penguasaan tersebut akan menjadi hak suaminya, juga sekaligus akan menjadi hak dari suku suaminya. Persoalan yang demikian, tentu saja tidak bisa diterima oleh kalangan anggota suku dari mana perempuan berasal. Dilema ini tak jarang menimbulkan permusuhan bahkan perang saudara yang berkepanjangan. Ketika Islam mulai berkibar di Madinah, transformasi dari masyarakat kesukuan ke masyarakat bernegara dimulai, muncul tawaran yang lebih moderat dengan memberi jatah waris anak perempuan seperdua dari jatah anak laki-laki. Kebijakan ini diikuti dengan kebijakan lain untuk menjaga keseimbangan sosialekonomi, yaitu kewajiban bagi sang suami untuk memberi nafkah bagi istrinya. 9 Semenjak masa tadwin, posisi ayat-ayat al-Qur’an yang sudah tergeser dari kalam Tuhan yang berbicara dan berkomunikasi dengan masyarakat menjadi dokumen suci yang hendak dipahami oleh banyak pihak. Sebagai dokumen suci, ayat-ayat al-Qur’an dibaca oleh masyarakat dalam bentuk bahasa tulis yang sudah baku bacaannya. Proyek pembukuan dan pembakuan ini sudah dimulai semenjak masa pemerintahan khalifah Abu Bakr dan ‘Utsman.10 Berbeda dengan masa nabi dan khalifah sesudahnya, al-Qur’an bertemu dengan keragaman masyarakat penutur, baik dari sisi ikatan kebahasaan, pikiran, nalar dan angan-angan. Maka masa ketika al-Qur’an menjadi mushaf atau naskah kanonik dalam istilah Mohammed Arkoun yang dibukukan dan dibakukan dengan standar masyarakat Arab sebagai masyarakat penerima awal, al-Qur’an harus dikaji dengan pendekatan, metode, kategorisasi, perumusan obyek dan hubungan hubungan antar obyek.11 Keharusan tersebut terjadi karena sebagaimana dikemukakan di atas mengenai teori teks, maka mulai periode masa dinasti al-Qur’an tidak lagi hanya dibaca dan dipahami oleh bangsa Arab, sehingga tantangan akan _____________ 8
Muhamammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: Mizan, 2002),
41-43 9
Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur‘an (Bandung: Penerbit Pustaka, 1998),
221-222 10
Manna al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur‘an (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr alHadits, 1973), 125 11 Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994), 48-52 dan 107-110 Al-Mu‘ashirah , Vol. 10, No. 2, Juli 2013
135
‘ketidaknyambungan’ antara teks dengan masyarakat semakin terbuka lebar. Sementara ayat-ayat al-Qur’an yang harus dirujuk berada dalam naskah bahasa Arab. Untuk itu, berbagai jenis ilmu terutama falsafah dan bahasa yang tumbuh pada masa tadwin sangat membantu terbentuknya metode-metode untuk memahami dokumen suci tersebut, sehingga di kemudian hari melahirkan berbagai kitab tafsir yang merembes pada perkembangan pemikiran, baik di bidang keagamaan, sosial, ekonomi dan politik.12 Masa tadwin tidak sekaligus menjadi masa kebangkitan Islam yang gemerlap. Ancaman dari kekuasaan pemerintahan disebut juga semakin keras mempertahankan orisinalitas pemahaman al-Qur’an sebagaimana dipahami bersama nabi pada masa pewahyuan. Kelompok yang diidentifikasi al-Jabiri sebagai kelompok tekstualis-literalis ini berasal dari pengaruh nalar (cara berpikir) bangsa Arab dan bahasa Arab. Mereka berpegang teguh hanya pada bahasa Arab. Unsur-unsur pemikiran yang membentuk sikap menjadi tekstualis-literalis, antara lain sikap membatasi diri pada wilayah permukaan bahasa dengan menghindari takwil dan menganut pandangan ‘la kayfa’ (tidak banyak bertanya soal mengapa dan bagaimana). Sikap kelompok literalis yang oleh Arkoun disebut kelompok ortodok dianggap menutup kemungkinan masyarakat untuk membaca wahyu dan masa nabi secara obyektif dan dinamis.13 Dengan mempertahankan pemahaman alQur’an sebagaimana pemahaman pada masa Nabi, maka masa Nabi tidak lagi menjadi masyarakat model yang bisa diproyeksikan dalam berbagai konteks sosio-budaya dan politik yang akan dijumpai al-Qur’an sepanjang misi kesejarahannya di jagad raya ini. Untuk itu, ada hubungan yang sangat dialogis, bahwa sejak awal Islam sangat sadar dengan bahasa, karena itu al-Qur’an perlu dibahasakan (dibaca). Bahkan Islam muncul ketika Tuhan berbicara. Seluruh kebudayaan Islam memulai langkahnya dengan fakta sejarah bahwa manusia disapa Tuhan dengan bahasa yang Ia ucapkan sendiri. Jika sapaan Tuhan melalui al-Qur’an, yang oleh manusia dijadikan sebagai petunjuk dalam kehidupan sehari-hari berhubungan dengan makna relasional, sudah manusia akan menemukan suatu pemahaman yang komprehensif terhadap maksud di balik makna dasar. Oleh karena itu, fungsi utama seorang hamba yang sebenarnya adalah mengabdi kepada Tuhan-Nya dengan setia, selalu memperhatikan kehendak-kehendaknya apa pun yang dikehendakinya dan mentaati perintahnya tanpa mengeluh. Ini sebabnya mengapa al-Qur’an mementingkan kelompok istilah orang-orang patuh (ta’ah), setia (qunut), berserah diri (khusyu’) dan menghinakan diri. Kiranya suatu alasan yang begitu tepat jika al-Qur’an adalah bacaan yang sempurna. Al-Qur’an sebagai Bacaan Ibadah Diketahui secara mudah bahwa setiap agama memiliki kitab suci yang merupakan pedoman dalam menjalani kehidupan saat ini dan seterusnya. Bagi umat Islam, kitab suci itu adalah al-Qur’an yang merupakan kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada nabi dan disampaikan secara mutawatir. Mulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Nas. Al-Qur’an itu berbeda dengan kitab samawi yang lainnya, Zabur, Taurat dan Injil, dan ini seperti penjelasan al-Qur’an _____________ 12
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern.., 110 Muhamammad Abed al-Jabiri, Post…, 44; Mohammed Arkoun, Kajian…, 223
13
136
Umar Latif: Sikap Keseharian Umat Islam dalam Merespon Bacaan al-Qur’an
dan ditemukan 29 surah diawali dengan al-huruf al-muqaththa’ah, semisal aliflam-mim. Sedangkan dalam kitab samawi yang lain, tidak ada penyebutan demikian. Al-Qur’an berlaku sampai akhir zaman, sedangkan kitab samawi yang lain hanya berlaku pada saat masa lalu saja. Dalam definisi al-Qur’an di atas, antara lain disebutkan al-muta’abbadu bi tilawatih yang berarti membaca al-Qur’an adalah berpahala. Hal ini dapat dikaitkan dengan hadis Nabi: “Man qara harfan min kitabillah falahu hasanatun wal hanatun bi al-’asyri amtsaliha, la aqulu alif lam mim harfun, walakin alifun harfun wa lamun harfun wa kinun harfun. “Siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (al-Qur’an), maka bagiannya satu kebajikan dan satu kebajikan itu menjadi 10 kebajikan. Saya (kata Rasulullah) tidak mengatakan (dengan membaca) alif-lam-mim itu (dihitung) satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf”.14 Dengan penjelasan hadis tersebut, tampaknya motivasi besar agar umat Islam berkenaan membaca al-Qur’an tanpa harus menunggu dan mengerti terlebih dahulu terjemah apalagi tafsir ayat dari yang akan dibaca. Oleh karena itu, bacalah al-Qur’an itu berulang kali semoga pahala terus mengalir dan kelancaran membacanya pun terus bertambah. Bahkan Nabi tidak menyebutkan pahala yang membaca al-Qur’an itu harus dimengerti. Sebab itu, mengerti atau tidak yang dibaca tetap berpahala, walaupun dapat dipahami bahwa membaca al-Qur’an dengan memahami terjemahnya adalah lebih baik dari sekedar aktivitas membaca saja tanpa memahami terjamah dari yang dibaca. Pembacaan yang demikian, tentu saja akan menimbulkan pemaknaan kepada nilai ibadah. Karena bacaan yang baik adalah bacaan yang bermanfaat. Terkait dengan nilai-nilai ibadah melalui bacaan al-Qur’an, ada dua fondasi yang perlu dikedepankan agar upaya dan respon terhadap kegemaran membaca al-Qur’an dapat dibangun, dan di antaranya adalah: 1. Membangun Kesadaran Bagi seorang muslim, ketika ia berhadapan dengan al-Qur’an, ia menyadari sepenuhnya bahwa keadaan dirinya berhadapan dengan sesuatu yang bernilai suci. Kesadaran ini sebagai sifat kesiagaan individu terhadap rangsangan eksternal dan internal. Nuansanya sangat terikat dengan sejumlah peristiwa, suasana tubuh, memori dan pikiran. Kesiagaan dan rangsangan (stimulan) merupakan kata kunci penting dalam kesadaran. Kesiagaan berarti kesiapan menghadapi sesuatu. Kesiagaan termanifestasi dalam berbagai bentuk menurut rangsangan yang diterima. Isyarat di mana seseorang mampu mengamati tentang gejala alam, seperti langit mendung, kabut dan gelombang besar, tentu akan melakukan persiapan sebagai bentuk reaktif terhadap gejala tersebut. Pembacaan alQur’an memerlukan reaksi kesadaran sebagai bentuk kesiapan setiap individu dalam menerima rangsangan al-Qur’an. Salah satu tanda kesiagaan akibat rangsangan itu adalah getaran dalam jiwa yang menggerakkan organ tubuh untuk memberikan reaksi, antara lain seperti disebutkan dalam al-Qur’an berupa bertambah keyakinan dan kepasrahan kepada Allah, dan ini sesuai dalam surah al-Anfal: 2, dan getaran hati yang diikuti rasa takut. Hal ini dirasa penting dan sesuai dengan surah al-Zumar: 23. _____________ 14
HR. al-Tirmidzi di shahihkan oleh Imam al-Albani dalam Takhrij al-Tirmidzi.
Al-Mu‘ashirah , Vol. 10, No. 2, Juli 2013
137
Membangun kesadaran menjadi sangat penting dalam upaya menuju perubahan. Kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia, maka membangun kesadaran merupakan upaya merubah apa yang disebut al-Qur’an “ma bi anfusihim”, agar terjadi perubahan dalam komunitas yang lebih besar (ma bi qawmin). Dalam konteks ini, kesadaran dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, di mana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Ia yang menjadi penggerak menuju suatu perubahan besar. Upaya menuju kesadaran yang akan membangkitkan dimulai dengan bacaan. Unit-unit wahyu yang pertama turun kepada Nabi menekankan pentingnya membaca dan menulis. Sebanyak dua kali kata iqra` disebut pada unit wahyu yang pertama turun, dan satu kali disebut kata al-qalam (pena). Obyek membaca dimaksud tidak selalu identik dengan sesuatu yang tertulis, sebab obyek perintah membaca yang terdapat pada ayat tersebut tidak disebutkan sehingga berlaku umum, yaitu apa saja yang menjadikan kehidupan teratur. Membaca (iqra’) merupakan gerbang ilmu pengetahuan, dan al-qalam merupakan simbol dari sarana transformasi ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga tetap berkesinambungan dan berkembang membentuk sebuah peradaban.15 Demikian pula perintah untuk bangkit dan dakwah memberi peringatan (qum faandhir) pada surah al-Mudatstsir: 2 dapat dipahami datang setelah nabi “berselimutkan” ilmu, rahasia dan ma’rifah. Masyarakat yang sadar akan bacaan al-Qur’an ditandai dengan adanya budaya membaca dan kuat tradisi ilmiah. Kenyataan menunjukkan semangat keberagamaan masyarakat yang terasa begitu tinggi belum diimbangi pengetahuan dan tradisi ilmiah yang kuat, sehingga slogan “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah” yang sering didengar dalam pemahaman dan penerapannya sering membuat pemahaman berbeda, dan bahkan ke arah perdebatan yang panjang. Berbagai upaya yang memudahkan orang mengenal baca tulis al-Qur’an memang telah berhasil membebaskan manusia dari buta aksara al-Qur’an, tetapi belum melenyapkan buta aksara pemahaman al-Qur’an. Dalam surah al-Baqarah: 78-79 menyebut mereka sebagai ummiyyin (buta huruf) bukan karena tidak bisa membaca dan menulis, tetapi lantaran mereka tidak memahami kitab suci. Ironinya, pemahaman yang dibangun hanya sebatas dugaan dan perkiraan yang tidak didasari ilmu pengetahuan yang mendalam. Bacaan dan ilmu tersebut harus dijiwai dengan keikhlasan dan ketulusan. Unsur ini akan mengantarkan seseorang kepada keimanan sejati yang membuat hati tenang dan damai. Ilmu yang tidak dilandasi pada ketulusan dan nilai-nilai ketuhanan hanya akan menghantarkan kepada kebinasaan. Kesadaran yang dibangun atas dasar pengetahuan dan penghayatan mendalam terhadap nilai-nilai agama menggerakkan umat Islam menuju masyarakat sejahtera dan berperadaban.16 Dalam al-Qur’an Tuhan memberikan gambaran tentang konsep khayra ummah (QS. Ali Imran: 110) yang dapat diartikan sebagai masyarakat yang sejahtera dan berperadaban, dengan landasan keimanan yang kokoh (nilai ketauhidan). Ayat ini tentu saja menyuruh untuk berbuat yang ma’r uf dan _____________ Abu al-Fida Abdullah bin Umar Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jil. 6 (Saudi Arabia: Dar al-Thaybah li al-Nasyr, 1999), 108 16 M. Quraish Shihab, Membumikan…, 24-25 15
138
Umar Latif: Sikap Keseharian Umat Islam dalam Merespon Bacaan al-Qur’an
mencegah dari yang munkar, dan ke arah yang demikian sering disebut sebagai ciri yang menandakan komunitas khayra ummah. Meski demikian, penyebutan kata iman dengan redaksi yang berbeda sebanyak dua kali (tu’minuna dan amana) menunjukkan pentingnya keimanan sebagai landasan membangun masyarakat sejahtera dan berperadaban. 2. Kepedulian Sosial dan Kesetiakawanan Dalam surah Ali Imran: 110 disebutkan, ciri khayra ummah adalah menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Tindakan amar ma’ruf nahi munkar merupakan cerminan dari sikap kepedulian sosial dan kesetiakawanan. Agama memerintahkan untuk saling mengingatkan dan menolong antarsesama. Bila seseorang yang melubangi bagian bawah perahu/kapal tidak diingatkan, maka kapal akan karam dan menenggelamkan semua penumpang. Kesetiakawanan diartikan sebagai solidaritas, tenggang rasa yang sanggup merasakan dan ditunjukkan dalam bentuk toleransi kepada orang lain serta bersedia mengulurkan tangan apabila diperlukan. Konsep kesetiakawanan dan bentuk toleransi lainnya, dari segi bahasa Arab sinonim dengan istilah al-takaful al-ijtima’i. Pemaknaan terhadap istilah ini kira-kira sepadan dengan bentuk interaksi atau pola hubungan, solidaritas dan tanggungjawab antara individu anggota masyarakat.17 Konsep takaful merupakan komitmen antara individu dalam sebuah masyarakat untuk membangun kebersamaan dan kesetiakawanan, dan bukan hanya dalam bentuk komitmen yang bersifat material dengan membantu saudaranya yang membutuhkan dan menjamin kebutuhannya, melainkan lebih bersifat immaterial melalui rasa cinta, kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar. Berdasarkan pada tingkat pemahaman ini, setiap individu dengan tingkat intensitas bacaan al-Qur’an, maka keadaan dirinya akan menjelma sebagai sosok yang begitu empati terhadap reaksi sosial di sekitarnya. Dan yang paling signifikan adalah memelihara kepentingan bersama dan mencegah berbagai ancaman dan kerusakan. Setiap individu merasa bahwa selain memiliki hak dalam kehidupan bermasyarakat, ia juga memiliki kewajiban terhadap orang lain, khususnya mereka yang tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan cara membantu dan meringankan beban. Ada sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan terkait dengan sikap tersebut, baik dari sisi kebutuhan dalam bacaan al-Qur’an maupun kepedulian sosial antar sesama, di antaranya adalah: 1. Komitmen yang tinggi. Dalam surah al-Nahl: 92 diberikan ilustrasi berupa penegasan tentang perlunya menempati janji yang merupakan salah satu sendi tegaknya suatu masyarakat. Menempati janji merupakan upaya menjaga kepercayaan dan bila kepercayaan pudar, bahkan hilang, dalam sebuah komunitas maka akan lahir kecurigaan, rasa dengki/iri dan permusuhan yang merupakan benih kehancuran. 2. Keseimbangan (wasathiyah). Nuansa keseimbangan berkisar pada unsur keadilan dan kebaikan. Seseorang yang adil akan berada di tengah dan menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan. Kebanyakan sifatsifat baik adalah pertengahan antara dua sifat buruk, seperti sifat berani yang _____________ Muhammad Emarah, al-Mustaqbal al-Ijtima’i li al-Ummat al-Islamiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2002), 138 17
Al-Mu‘ashirah , Vol. 10, No. 2, Juli 2013
139
menengahi antara takut dan sembrono, dermawan yang menengahi antara kikir dan boros. Begitu melekatnya kata wasath dengan kebaikan, sehingga pelaku kebaikan itu sendiri dinamai juga wasath dengan pengertian orang yang baik. Karena itu ia selalu adil dalam memberi keputusan dan kesaksian. Umat Islam disebut ummatan wasathan karena mereka adalah umat yang akan menjadi saksi dan atau disaksikan oleh seluruh umat manusia sehingga harus adil agar bisa diterima kesaksiannya. 18 3. Berakhlak mulia. Akhlak atau nilai-nilai moral merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa. Dalam surah al-Fajr: 6-13 Allah menyebut tiga kelompok umat manusia dengan hasil pembangunan yang mengagumkan. Pertama, kaum ‘Ad yang bermukim di kota Iran; dengan gambaran sebuah kota yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi dan belum pernah diciptakan oleh kota-kota lain sebelumnya. Kedua, kaum Tsamud yang memiliki kemahiran dalam bidang seni, sehingga mampu memahat gunung dengan sangat mengagumkan. Ketiga, kaum Fir’aun yang memiliki kemampuan teknologi yang demikian mengagumkan, seperti kemampuan mereka membangun piramida-piramida yang demikian kokoh dan indah. Hasil empirik ini menandakan bahwa membaca al-Qur’an memberi sisi pengetahuan tidak hanya dari segi spiritual, melainkan segi peradaban bangsa. Belajar al-Qur’an bukan hanya soal menambah wawasan ayat, tetapi juga kemauan mengikuti ajaran al-Qur’an. Belajar al-Qur’an bukan soal berapa kali seseorang mampu menamatkan bacaannya, ataupun berapa banyak ayat al-Qur’an yang dihafal, tetapi bagaimana kondisi kehidupan setelah belajar membaca alQur’an. Kesimpulan Al-Qur’an merupakan solusi kehidupan dan siapa pun yang meragukan kebenarannya, maka tergolong orang yang ingkar. Hendaknya, al-Qur’an jangan hanya sekedar dibaca saja, melainkan dipahami maksud makna dan tujuan kalam itu sendiri. Meski demikian, secara tegas Allah menyatakan al-Qur’an sebagai sumber solusi, namun masih banyak umat Islam yang mengabaikan penegasan tersebut. Bahkan, al-Qur’an tidak dijadikan sebagai rujukan umat dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan yang kerap terjadi di hampir setiap saat.
_____________
Yusuf al-Qaradhawi, al-Khasha`ish al-Ammah li al-Islam (Beirut: Maktabah Wahbah, 1996), 121 18
140
Umar Latif: Sikap Keseharian Umat Islam dalam Merespon Bacaan al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA Allen, Graham. Intertextuality. London and New York: Routledge, 2000 Arkoun, Mohammed. Kajian Kontemporer al-Qur‘an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1998 _______. Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS, 1994 Emarah, Muhammad. al-Mustaqbal al-Ijtima’i li al-Ummat al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2002 Ibn Katsir, Abu al-Fida Abdullah ibn ‘Umar. Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, jil. 6. Saudi Arabia: Dar al-Thaybah li al-Nasyr, 1999 Izutsu, Toshihiko (peng.,). Machasin, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Sementik terhadap Al-Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003 Al-Jabiri, Muhammad Abed. Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: Mizan, 2002 Al-Qaththan, Manna. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur‘an. Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973 Al-Qaradhawi, Yusuf. al-Khasha`ish al-Ammah li al-Islam. Beirut: Maktabah Wahbah, 1996 Rahardjo, M. Dawan. Eksiklopedi Al-Qur’an. Jakarta: Paramadian, 2002 Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992 Al-Thabari. al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 3. Beirut: Dar al-Kitab al’Ilmiyah, 1992
Al-Mu‘ashirah , Vol. 10, No. 2, Juli 2013
141
MUSIBAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Andri Nirwana. AN Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Understanding the Islamic attitude toward nature is necessary for understanding the Islamic perspective of natural disasters. In the Islamic world view, everything in nature is created by God, scrupulously measured both qualitatively and quantitatively, and designed to serve a purposive task in the universe’s overall system. God states: “Verily, all things have We created in proportion and measure”. Nothing in the universe, including natural resources, was created purposelessly: “We did not create the heavens, Earth, and all between them merely in (idle) sport. We created them only for just ends. Although the Qur’an maintains humanity’s superiority as khalifah Allah (God’s vicegerent) over other creations, it does not necessarily follow that these other creations have no other purpose but to serve human beings. They are equally creations of God, autonomous Ummahs (communities) that worship their Creator on their own terms. In addition, they perform an aesthetic function as constituents of biodiversity, which the Qur’an often counts as part of the ayat (signs) of God for people of understanding. Moreover, the Qur’an recognizes the physical world as ayat of God, just as it considers the Qur’an’s verses as ayat. The Qur’an is clear of any contradiction; nature is equally devoid of any flaw. Kata Kunci: Musibah, Al-Qur’an, Tafsir Mawdhu’iy Pendahuluan Musibah adalah bagian dari takdir yang akan menimpa makhluk ciptaan Allah, hal ini terjadi atas izin-Nya dan sudah tertulis di lauh al-mahfudz (QS. alHadid: 2). Musibah tersebut dapat berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (QS. al-Baqarah: 155). Bagi orang yang sabar atas musibah yang menimpanya, maka akan mendatangkan barakah, rahmat dan hidayah Allah (QS. al-Baqarah: 157). Dengan muhasabah atas apa yang menimpa, maka manusia akan sadar bahwa musibah yang menimpanya adalah karena perbuatan dirinya sendiri (QS. Ali Imran: 165 dan QS. al-Syura: 30), sehingga diharapkan akan muncul penyesalan atas apa yang telah dilakukan (QS. al-Nisa’: 62). Dari rangkaian penjelasan di atas, manusia tidak akan lepas dari musibah yang diuji Allah. Musibah tidak hanya menimpa manusia, akan tetapi semua makhluk yang diciptakan Allah. Hanya saja dalam teks-Nya, Allah sering berfirman dengan teks musibah yang menimpa manusia. Dalam hal ini, penulis ingin mendiskusikan sebuah pemahaman tentang musibah yang ditinjau dari sisi alQur’an. 142
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
Definisi Musibah Secara etimologi, kata musibah berasal dari bahasa Arab. Menurut Ahmad bin Yahya sebagaimana dikutip oleh Ibnu Manzhur, kata ﻣﺼﯿﺒﺔberasal dari kata ﻣﺼﻮﯾﺒﺔ.1 Sementara menurut Raghib al-Asfahani, mushibah berasal dari kata ‘melempar’, kemudian dikhususkan sebagai pengganti, seperti firman Allah اﺻﺎﺑﺘﮭﻢ ﻣﺼﯿﺒﺔ, dan berasal dari اﺻﺎبseperti firman Allah وﻣﺎ اﺻﺎﺑﻜﻢ ﯾﻮم اﻟﺘﻘﻰ اﻟﺠﻤﻌﺎن.2 Selanjutnya al-Asfahani menjelaskan, kata اﺻﺎبbisa berarti menimpa dengan kebaikan seperti turunnya hujan dan bisa juga berarti menimpa dengan keburukan seperti terkena panah.3 Senada dengan al-Ashfahani, Abu Hayan alAndalusi memahami kata musibah sebagai isim fa’il dari اﺻﺎﺑﺖ, sehingga menjadi khusus maknanya tentang sesuatu yang tidak disenangi atau benci, maka musibah bisa diartikan sebagai kinayah terhadap bala atau bencana, demikian Abu Hayyan menjelaskan dalam tafsirnya al-Bahrul Muhith fi al-Tafsir.4 Ketika menafsirkan ayat وأﺻﺎﺑﺘﮭﻢ ﻣﺼﯿﺒﺔAbu Hayyan menjelaskan bahwa kata musibah merupakan bagian dari satu jenis yang berubah (isim dan fa’il).5 Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang berasal dari satu jenis dan berubah menjadi isim dan fa’il, diantaranya ayat اذا وﻗﻌﺖ اﻟﻮاﻗﻌﺔdan أزﻓﺖ اﻻزﻓﺔ. Secara spesifik Abu Hayyan mendefinisikan musibah adalah segala sesuatu yang menyakitkan mukmin baik terhadap dirinya sendiri, harta atau keluarganya, sesuatu yang menyakitkan itu kecil atau besar.6 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musibah diartikan sebagai kejadian atau peristiwa menyedihkan, malapetaka atau bencana.7 Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa pengertian musibah secara terminologi adalah segala sesuatu yang menimpa perorangan maupun komunitas, baik secara tiba-tiba atau bertahap, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dalam Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an disebutkan bahwa kata musibah dalam berbagai bentuk sebanyak 77 kali, 34 kali dalam bentuk fi’il madhi yaitu 33 bentuk ‘ashaba’ dan 1 bentuk ‘shayyib’, 31 dalam bentuk fi’il mudhari’ yaitu ‘yushibu’, 1 kali bentuk masdar yaitu ‘shawwaba’, 1 kali dalam bentuk isim maf’ul yaitu ‘mushibuha’ dan 10 kali dalam bentuk isim fa’il yaitu ‘mushibah’. Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas ayat-ayat al-Qur’an yang didalamnya terdapat kata mushibah. Munasabah Ayat-ayat tentang Musibah Di dalam al-Qur’an terdapat sepuluh ayat yang menggunakan bentuk kata mushibah. Berikut ayat-ayat berdasarkan tertib turunnya ayat.
_____________ 1
Ibnu Manzhur Jamaludin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, juz. 2 (Mesir: al-Mu’asharah al-Mishriyah al-‘Ammah li Ta’lif wa al-Naba’ wa al-Nashr, tt.), 23 2 Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, 296 3 Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, 296 4 Muhammad bin Yusuf al-Syahir bi al-Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi alTafsir, juz. 21 (Beirut: Dar al Fikr, tt.), 56 5 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, 57 6 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, 57 7 Team Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 602 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
143
A. Surah al-Qashash: 47
“Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin”. (QS. al-Qashash: 47) Al-Maraghi memaknai musibah pada ayat di atas dengan azab, baik di dunia maupun di akhirat. Pada ayat di atas, al-Maraghi menjelaskan tentang pengutusan Rasul kepada orang-orang kafir, untuk mematahkan alasan mereka, sehingga apabila siksaan Allah datang, mereka tidak akan mendapatkan hujjah lagi. Sebelum Allah mengutus Nabi, orang-orang kafir ketika ditimpa azab berdalih dengan tidak diutusnya seorang rasul untuk diikuti dan diimani. Kesimpulan dari penafsiran al-Maraghi terhadap ayat di atas adalah Allah telah mengutus Nabi kepada manusia dan Allah tidak menyiksa seorang hambapun kecuali setelah Allah menyempurnakan penjelasan dan hujjah serta mengutus para rasul.8 Adapun Ibnu Katsir menafsirkan Allah berfirman untuk menerangkan salah satu bukti kebenaran risalah Muhammad. Bahwa ia dapat menceritakan halhal ghaib dan kisah-kisah umat terdahulu, padahal Nabi tidak pernah meninggalkan jazirah Arab dan menyaksikan dengan langsung apa yang diceritakan dan kabarkan. Di samping itu, ia seorang ummi yang tidak dapat menulis dan membaca, lahir dan dibesarkan di tengah bangsa yang demikian keadaannya.9 Menurut Quraisy Shihab, kata musibah dapat mencakup musibah duniawi dan ukhrawi, sedangkan kalimat bima qaddamat aidihim (disebabkan apa yang mereka kerjakan), dapat mencakup amal batin seperti keyakinan yang batil atau penyakit-penyakit hati lainnya seperti iri hati, takabur dan lain-lain dan dapat juga mencakup amal lahiriah berupa aneka kedurhakaan seperti permusuhan, korupsi, perzinahan dan lain-lain.10 Para ulama menurut Quraisy Syihab memahami kata musibah pada ayat ini dalam arti siksa duniawi.11 Ayat ini menurut Ibnu ‘Asyur sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab adalah menyatakan musibah duniawi berupa kebinasaan, seandainya Allah tidak mengutus Rasul. Oleh karena itu, kaum musyrikin Makkah wajar mendapat siksa duniawi walau tidak datang kepada mereka rasul. Bukankah keyakinan tentang keesaan-Nya telah tertancap dalam jiwa setiap insan? namun demikian, Allah masih merahmati mereka dan tidak menyiksa mereka dengan siksa duniawi sampai datang Rasul. B. QS. al-Syura: 30 _____________ 8
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 7, 176 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azhim, juz. 3, 405 10 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, 360 11 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, 360 9
144
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu”. (QS. al-Syura: 30) Al-Maraghi menafsirkan bahwa musibah-musibah di dunia yang menimpa manusia tidak lain sebagai hukuman atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Namun Allah memaafkan manusia atas kejahatan yang telah di lakukan dengan tidak menghukum atas semua kejahatan-kejahatan tersebut. Allah menjadikan dosa sebagai sebab-sebab yang menghasilkan akibat. Misalnya peminum khamar akan ditimpa banyak penyakit jasmani maupun akal di dunia, penyakit itu merupakan salah satu bekas dari dosa yang dilakukan. Namun hukuman yang menimpa individu-individu di dunia ini tidaklah bersifat umum. Karena sering pula seorang pemabuk yang kecanduan, ternyata tidak ditimpa satu penyakit pun akibat perbuatan. Sering juga didapatkan seorang pedagang berkhianat, ternyata tidak ditimpa kerugian dalam perdagangannya. Dalam keadaan demikian, maka hukuman bagi masing-masing dari keduanya ditangguhkan sampai hari hisab. Al-Maraghi selanjutnya menafsirkan ayat di atas dengan mengutip salah satu hadis Nabi. Menurut satu riwayat, Nabi bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Dan aku akan tafsirkan ayat ini (QS. al-Syura: 30) kepadamu wahai Ali: “Apapun yang menimpamu baik itu penyakit, suatu hukuman atau suatu bencana di dunia, maka adalah dikarenakan perbuatan yang telah dilakukan oleh tangantanganmu. Sedang Allah terlalu mulia untuk mengulangi hukuman terhadapmu di akhirat. Sedangkan apa yang telah dimaafkan oleh Allah di dunia ini, maka Allah terlalu mulia untuk mengulangi setelah dia memaafkan”.12 Sementara Ibnu Katsir menafsirkan bahwa musibah dan bala yang menimpa manusia adalah akibat dari manusia sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.13 Adapun Imam al-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud musibah pada ayat di atas adalah semua kejadian yang tidak disukai seperti sakit, paceklik, banjir, dan kesusahan lainnya. 14 Menurut al-Razi, para ulama berbeda pendapat tentang musibah manusia, apakah musibah yang terjadi di dunia akibat perbuatan dosa-dosa yang telah lalu? Kelompok pertama mengatakan, bahwa Allah akan membalas amal perbuatan manusia pada yaum al-jaza atau hari pembalasan, sebagaimana firman Allah اﻟﯿﻮم ﺗﺠﺰى ﻛﻞ ﻧﻔﺲ ﺑﻤﺎ ﻛﺴﺒﺖdan ﻣﺎﻟﻚ ﯾﻮم اﻟﺪﯾﻦ. Dengan demikian, menurut kelompok ini musibah yang menimpa manusia di dunia ini bukan akibat dosa manusia. Kelompok kedua berpendapat, musibah di dunia dapat menimpa siapa saja baik orang zindiq atau orang yang telah berbuat baik. Bahkan menurut kelompok ini, terkadang orang saleh dan bertakwa lebih banyak mendapat musibah dibandingkan orang yang berdosa. Dengan demikian kelompok kedua ini sependapat dengan kelompok yang pertama bahwa musibah yang terjadi di dunia bukan akibat perbuatan dosa dan bukan sebagai siksaan di dunia. Sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa dunia sebagai tempat pembebanan (dar al-taklif) dan juga pembalasan (dar al-jaza’). Namun ketika ada yang mengatakan bahwa musibah di dunia ini sebagai pembalasan akibat dosa yang telah lalu, maka hal ini berdasarkan hadis Nabi “Tidak akan ditimpa musibah seseorang kecuali karena berdosa”. Jadi musibah yang menimpa bagi para nabi dan para wali itu bukan _____________ 12
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, 38-40 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azhim, juz. 4, 116 14 Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, 173 13
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
145
berarti siksaan, melainkan ujian dari Allah. Dengan demikian, musibah itu hanya menimpa manusia yang sudah dewasa, tidak termasuk binatang atau anak kecil karena mereka tidak kena beban syari’at.15 Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, ayat di atas dikhususkan bagi orang yang berdosa, karena terjadinya musibah akibat dari perbuatan orang-orang yang berdosa. Adapun orang yang tidak berdosa seperti para nabi, anak-anak dan bayi yang masih dalam kandungan, apabila mereka tertimpa musibah maka hal itu sebagai pengganti dari ke-Maha-Pemaafnya Allah dan kemaslahatan bagi mereka.16 Quraisy Shihab mengatakan musibah yang menimpa manusia kapan dan dimana pun terjadinya, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri yakni dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukan, paling tidak disebabkan oleh kecerobohan atau ketidakhati-hatian. Musibah yang dialami manusia hanyalah akibat sebagian kesalahan manusia, karena Allah tetap melimpahkan rahmatNya kepada manusia dan Allah memaafkan banyak kesalahan manusia. Sehingga kesalahan itu tidak mengakibatkan musibah atas diri manusia. Seandainya pemaafan itu tidak dilakukan-Nya, maka pasti manusia semua binasa bahkan tidak akan ada satu binatang melata pun di muka bumi ini.17 Menurut Quraisy Shihab, walaupun ayat di atas dari segi konteksnya tertuju pada kaum musyrik Makkah, tetapi dari segi kandungannya tertuju kepada seluruh manusia baik perorangan maupun kolektif, kapan dan dimana pun, baik mukmin atau pun kafir.18 Lebih lanjut Quraisy Shihab mengatakan bahwa ayat ini menggaris-bawahi adanya musibah atau hal-hal negatif yang dijatuhkan Allah menimpa manusia dalam kehidupan dunia ini sebagai sanksi atas pelanggaran mereka. Namun demikian bisa saja ada pelanggaran yang ditangguhkan sanksinya di akhirat nanti. Sebagaimana ada juga yang dicukupkan di dunia dan ada yang ganjarannya di terima di dunia sebagai muqaddimah dari sanksi ukhrawi. Di akhir ayat di atas, Allah berfirman وﯾﻌﻔﻮﻋﻦ ﻛﺜﯿﺮberarti Allah memaafkan banyak kedurhakaan, sehingga tidak dijatuhkan sanksi duniawi. Pemaafan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi. Itu sebabnya sekian banyak yang melakukan pelanggaran masih hidup nyaman dan terlihat bahagia. Mereka itulah yang dimaafkan, yakni yang ditangguhkan Allah siksanya dalam kehidupan dunia ini. Bisa juga pemaafan ini mencakup pemaafan duniawi dan ukhrawi.19 C. Surat al-Baqarah: 156 “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. al-Baqarah: 156) Menurut al-Maraghi, musibah adalah semua peristiwa yang menyedihkan seperti meninggalkan seseorang yang dikasihi, kehilangan harta benda atau penyakit yang menimpa baik ringan atau berat. Ketika ditimpa cobaan, hendaklah bersabar dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut sebagai ungkapan rasa iman _____________ 15
Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, 173 Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995), 219 17 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mihsbah, 503 18 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, 504 19 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, 505-505 16
146
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
dengan kodrat kepastian Allah. Sabar bukannya bertentangan dengan perasaan sedih ketika datang suatu musibah. Sebab perasaan sedih ini merupakan perasaan halus yang ada secara fitri pada diri manusia normal.20 Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas, mengutip beberapa hadis Nabi. Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, ia berkata “Pada suatu hari Abu Salamah pulang ke rumah dari majlis Nabi dan berkata “Aku mendengar Nabi bersabda yang sangat menyenangkan hatiku: “Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah, kemudian ia membaca “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, lalu membaca “Ya Allah berilah pahala bagiku dalam musibahku ini dan gantikanlah untukku yang lebih baik darinya, melainkan akan diganti oleh Allah”. 21 Menurut al-Razi makna اﻧﺎ ﻟﻠّﮫpada ayat di atas adalah adanya keikhlasan menerima segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah dari semua cobaan dan ujian, sedangkan makna اﻟﯿﮫ رﺟﻌﻮن واﻧﺎadalah adanya keikhlasan menerima segala sesuatu berupa cobaan dan ujian yang akan terjadi kemudian dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah.22 Al-Razi juga mengutip beberapa hadis Nabi dalam menafsirkan ayat di atas, diantaranya adalah Nabi bersabda “Barangsiapa mengembalikan kepasrahan ketika terkena musibah, maka Allah akan menggantinya, menjadikannya baik akibatnya dan menjadikan orang yang saleh yang diridhai Allah”. D. Surat Ali Imran: 165
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran: 165) Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Umar bin Khattab berkata bahwa menderitanya orang-orang dalam perang Uhud akibat perbuatan mereka mengambil fida’ di Perang Badar. Pada waktu perang uhud, ada 70 sahabat yang syahid, sebahagian lagi lari bercerai berai bahkan gigi Nabi patah, topi besinya pecah, sehingga berlumuran darah di mukanya. Allah menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan bahwa penderitaan tersebut akibat perbuatan mereka sendiri.23 Maksud musibah pada ayat di atas adalah kekalahan pasukan muslimin dalam perang Uhud. Musibah itu merupakan imbalan bagi kekalahan pasukan musyrikin dalam perang Badar yaitu 70 orang terbunuh dan 70 orang tertawan. Allah menerangkan bahwa mereka tidak perlu mencari sebab-sebab kekalahan itu, karena itu semuanya disebabkan kesalahan yang telah dilakukan oleh regu _____________ 20
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 1, 206-207 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8 22 Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 4, 2 23 Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (Beirut: al-Maktabah alSaqafiyah, 1989), 73; lihat juga Nurcholish, Asbabun Nuzul (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), 119 21
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
147
pemanah dengan meninggalkan pos strategisnya, walaupun diperintahkan oleh Nabi untuk tetap bertahan di tempat meski dalam keadaan bagaimanapun. Dalam menafsirkan ayat di atas, Zamaksyari mengutip QS. Ali Imran: 152 yang menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya kekalahan dalam perang Uhud. Allah memenuhi janjinya ketika kaum muslimin membunuh orang-orang kafir sampai dengan kaum muslimin mendurhakai perintah Nabi sehingga terjadi kekalahan dalam peperangan. Ada pun firman Allah ﻗﻞ ھﻮ ﻣﻦ ﻋﻨﺪ أﻧﻔﺴﻜﻢmaksudnya bahwa terjadinya musibah berupa kekalahan dalam perang Uhud itu disebabkan kesalahan kaum muslimin sendiri dengan meninggalkan pos yang ditugaskan oleh Rasulullah.24 E. Surah al-Nisa: 62
“Maka bagaimana halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. (QS. al-Nisa: 62) Menurut riwayat al-Tabrani dari Ibnu Abbas, asbab al-nuzul ayat ini adalah karena ada seorang pendeta Yahudi yang bernama Abu Barzah al-Aslami menjadi hakim, untuk memberi keputusan pada hal-hal yang dipersengketakan, dan didatangi pula oleh orang-orang musyrikin untuk menyelesaikan masalah yang menjadi persengketaan, maka turunlah ayat ini.25 Al-Maraghi menafsirkan bahwa ayat di atas menggambarkan bagaimana keadaan orang munafik yang menjadikan hakim selain Nabi dengan alasan untuk kebaikan di dalam mu’amalah dan tercapainya kesepakatan antara mereka dengan musuh-musuhnya dengan cara mengambil manfaat. Namun ketika mereka tertimpa musibah, mereka kembali menjadikan Nabi sebagai hakim mereka padahal mereka hanya menipu.26 Ibnu Katsir lebih tegas mengatakan bahwa Allah mencela orang-orang munafik. Mereka terpaksa datang kepadamu, disebabkan musibah yang menimpa mereka, akibat dosa-dosa mereka dan mereka bersumpah untuk membenarkan tindakan mereka berhakim kepada thaghut. Namun mereka sebenarnya melakukan itu bukan dari hati mereka dan bukan karena percaya akan kebenaran hakimhakim, tetapi hanya sekedar berpura-pura.27 Sedangkan menurut Quraisy Shihab, ayat ini merupakan gambaran tentang sifat dari orang munafik ketika mereka ditimpa musibah dan dapat juga dipahami dalam arti ancaman terhadap mereka saat bencana menimpa.28
_____________ 24
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 1, 427 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, juz. 1, 519 26 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 2, 77 27 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, juz. 1, 519 28 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, 467 25
148
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
F. Surat al-Nisa: 72 “Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata” sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka”. (QS. al-Nisa: 72) Menurut penulis, kata musibah pada ayat di atas mengandung pengertian kekalahan atau terbunuh (dikarenakan konteks ayat sesuai dengan keadaan peperangan). Menurut Ibnu Katsir, Allah menggambarkan sikap orang-orang munafik yang enggan ikut berperang. Bila terjadi musibah dan kerugian seperti jatuhnya korban dan kekalahan dalam perang yang mereka tidak ikut, mereka berkata bahwa Allah telah memberi karunia kepada mereka dengan tidak ikut berperang. Padahal muslim yang wafat di medan perang adalah syahid dan disediakan bagi mereka pahala yang besar atas kesabaran dan pengorbanan mereka. Akan tetapi jika kaum muslimin menang dan memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) mereka berkata “Alangkah beruntungnya andaikata kami bersama-sama, niscaya kami akan mendapat bahagian dari kemenangan dan ghanimah yang diperoleh itu.29 Quraisy Shihab mengatakan, ayat di atas menggambarkan sikap orang munafik saat panggilan jihad, mereka melambat-lambatkan bahkan berat hati jika diajak ke medan perang. Bahkan mendorong orang lain untuk ikut jejak mereka agar tidak ikut berjuang karena kelemahan iman mereka. Lebih lanjut Quraisy Shihab mengatakan ayat ini merupakan kecaman, sekaligus menggambarkan sikap aneh dari orang-orang munafik, pada saat orang beriman gagal, mereka bersyukur pada saat kaum muslimin berhasil, mereka sedih. Ketika itu mereka mengucapkan kata-kata yang sebenarnya sungguh aneh, keadaan mereka dan ucapan itu sama dengan ucapan orang yang tidak pernah ada hubungan pergaulan yang mestinya akrab, harmonis dan penuh kasih sayang dengan orang-orang yang beriman.30 G. Surat al-Hadid: 22 “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. al-Hadid: 22) Ibnu Katsir mengutip riwayat dari Ibnu Jarir al-Thabari dari Ya’qub dari Ibnu ‘Aliyah dari Manshur bin Abdurrahman, dia berkata: “Saya duduk bersama Hasan, ketika Hasan ditanya oleh seseorang tentang ayat di atas, maka Hasan menjawab, bahwa siapakah yang ragu tentang hal ini, bahwa tiap kejadian musibah yang terjadi diantara langit dan bumi semua telah ditentukan sebelumnya oleh Allah. Apakah musibah itu berupa kekurangan hasil makanan, tanaman atau _____________ 29
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 1, 524 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, 482
30
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
149
yang menimpa manusia pada dirinya dan keluarganya. Dalam hadis diterangkan “Tiada seseorang yang ditimpa musibah terkena duri, terkilir, atau sakit di dalam urat melainkan semua itu disebabkan oleh dosa yang dilakukannya, sedang yang dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak.31 Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas bahwa setelah Allah menerangkan bahwa kenikmatan dunia ini akan sirna dan binasa dan kebaikan maupun keburukan yang ada padanya tidaklah kekal, maka dilanjutkan dengan menyatakan remehnya musibah-musibah yang menimpa orang-orang mukmin. Karena musibah-musibah itu merupakan kebahagiaan dan ketentraman jiwa mereka. Tanpa musibah tersebut, maka mereka akan mengalami kesengsaraan dan penderitaan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya mereka bersedih atas apa yang luput dari mereka dan tidak perlu bersenang-senang dengan kelezatan dunia yang fana ini.32 Menurut Quraisy Shihab, ayat di atas mengingatkan agar manusia jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan syaithan menyangkut dampak negatif dari berinfak dan berjuang. Musibah sebenarnya mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana. Tetapi kata tersebut populer digunakan untuk makna bencana. Bahkan Quraisy Shihab mengatakan ayat diatas bisa saja dipahami dalam pengertian umum yakni selain bencana, karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.33 H. Surat al-Taghabun: 11 “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah mengetahui segala sesuatu”. (QS. alTaghabun: 11) Menurut al-Maraghi, musibah adalah sesuatu yang mengenai dan menimpa manusia berupa kebaikan dan keburukan. Dan diharapkan bagi manusia untuk bersungguh-sungguh dan bekerja, kemudian ia tidak perlu menghiraukan apa yang dilakukan terhadap dirinya, karena dia tahu bahwa yang demikian itu di luar kesanggupannya, tidak akan menyulitkan dan tidak akan menyusahkannya. Orang mukmin mempunyai dua kewajiban, pertama berusaha dan mencurahkan tenaga untuk mendatangkan kebaikan dan menolak bencana semampunya. Kedua, bertawakkal kepada Allah, karena yakin bahwa segala sesuatu itu terjadi menurut qadha dan qadar-Nya. Sehingga tidak bersedih dan susah jika terjadi keburukan dan tidak pula berkepanjangan dalam kesenangan jika terjadi kebaikan.34 Dalam ayat ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa Allah menyatakan tiada sesuatu yang terjadi di alam ini melainkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Siapa yang beriman kepada Allah pasti rela pada putusan Allah. Dengan iman itulah hati akan mendapatkan ketenangan, karena ia telah yakin bahwa yang dikehendaki tidak akan terjadi.35 Dalam riwayat Muslim, Nabi bersabda: _____________ 31
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, 313-314 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, 438 33 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, 43 34 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 10, 126-127 35 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, 375 32
150
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
“Sungguh mengagumkan keadaan mukmin itu karena semuanya mengandung kebaikan, apabila ia mendapat kenikmatan, maka ia bersyukur dan hal itu baik baginya dan apabila ditimpa kesengsaraan, maka ia bersabar dan itu baik pula baginya”.36 Dalam Tafsir al-Razi ada beberapa pendapat ulama tentang maksud dari lafaz ﻗﻠﺒﮫ ﯾﮭﺪpada ayat tersebut. Ibnu Abbas menafsirkan potongan ayat tersebut dengan menyelamatkan karena perintah Allah. Para ulama ahl al-ma’ani mengartikannya dengan bersyukur ketika mendapatkan kelapangan dan bersabar ketika terkena musibah. Sedangkan al-Zujaj memaknainya dengan ketenangan.37 Pendapat lain mengatakan makna ﻗﻠﺒﮫ ﯾﮭﺪadalah istirja’ kepada Allah ketika ditimpa musibah, sedangkan menurut Mujahid adalah dengan bersabar.38 Sebelum ayat di atas, Allah berfirman mengancam kaum kafir dengan siksa neraka. Menurut Quraisy Shihab, para ulama berpendapat bahwa ketika itu kaum musyrikin berkata: “Jika kaum muslimin berada dalam kebenaran tentu Allah tidak akan menjatuhkan bencana atas mereka, termasuk bencana yang terjadi melalui upaya kaum musyrikin. Untuk menyingkirkan keresahan itu, ayat di atas menyatakan bahwa seseorang tidak menimpa satu musibah pun berkaitan urusan dunia atau agama kecuali atas izin Allah. Siapa yang kufur kepada Allah, maka dia akan membiarkan hatinya dalam kesesatan dan siapa yang beriman kepada Allah dan percaya bahwa tidak ada yang terjadi kecuali atas izin-Nya. Sehingga ia akan semakin percaya, serta tabah dan rela atas musibah yang menimpanya sambil mencari sebab-sebabnya dan semakin meningkat pula amal baiknya. Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, karena itu hendaklah manusia bersabar menghadapi aneka cobaan serta lakukan introspeksi dan taat kepada Allah di setiap tempat dan waktu dan taat kepada Rasul dalam segala hal yang diperintahkan.39 I. Surat al-Maidah: 106
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: _____________ 36
Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 4 (ttp: Dar al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.), 2295 37 Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 30, 27 38 Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4, 537 39 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, 274-275 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
151
“(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”. (QS. al-Maidah:106) Dalam riwayat dikemukakan, asbab al-nuzul ayat di atas adalah karena dua orang Nasrani bernama Tamim al-Dairi dan Adi bin Bada sering pulang pergi ke Syam berdagang sebelum mereka masuk Islam. Ikut bersama mereka seorang maula dari Bani Salim yang bernama Badil bin Abi Maryam yang juga membawa dagangan serta membawa bejana yang dibuat dari perak. Di perjalanan Badil bin Abi Maryam sakit dan ia berwasiat kepada kedua orang itu agar harta pusakanya disampaikan kepada ahli warisnya. Namun mereka tidak melaksanakan amanah tersebut. Setelah Tamim masuk Islam, ia merasa berdosa dari perbuatannya, lalu mendatangi ahli waris Badil dan mengaku serta menyerahkan uang sebanyak lima ratus dirham dan sisanya lima ratus dirham ada pada kawannya (Adi bin Bada). Maka berangkatlah ahli warisnya itu beserta Adi menghadap Nabi. Lalu Nabi minta bukti-bukti tuduhan terhadap Adi, tetapi mereka tidak dapat memenuhinya. Kemudian Nabi menyuruh mereka menyumpah Adi dan ia pun bersumpah, maka turunlah ayat ini.40 Pada ayat sebelumnya, Allah mengingatkan bahwa kepadaNyalah tempat kembali dan pada hari kiamat akan ada penghisaban/perhitungan dan pembalasan atas amal. Ayat ini Allah memberikan petunjuk supaya berwasiat sebelum meninggal dan harus diadakan persaksian terhadap wasiat itu, sehingga tidak hilang dari orang yang berhak menerimanya. Kata-kata minkum pada ayat di atas menurut al-Maraghi berarti di antara kaum mukminin atau kesaksian dua orang lainnya bukan dari kaum muslimin, jika kalian dalam keadaan bepergian, lalu terkena bahaya dan melihat tanda-tanda kematian kalian, sedang kalian ingin berwasiat. Tidak diragukan lagi, di dalam ayat ini tersirat anjuran untuk menguatkan wasiat dan memberikan kesaksian terhadapnya.41 Ayat ini mengandung hukum yang sangat berharga. Ada pendapat bahwa hukum ayat ini mansukh, tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa hukum ini tetap muhkam, karena jika itu ada yang berpendapat mansukh harus menjelaskan buktinya, demikian pendapat Ibnu Jarir.42 Ibnu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan adanya seseorang yang akan meninggal dunia sementara di sampingnya tidak ada orang Islam. Sementara Ibnu Mas’ud ketika ditanya mengenai ayat ini mengatakan bahwa ayat itu mengenai seorang musafir membawa hartanya tiba-tiba akan mati, maka jika mendapatkan dua orang muslim, diserahkan kepadanya hartanya dan dipersaksikan oleh kedua orang yang adil dari kaum muslimin.43
_____________ 40
Nurcholis, Asbab al-Nuzul, 221-222 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 3, 39-40 42 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, 113 43 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, 113 41
152
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
J. Surah al-Taubah: 50
“Jika kamu mendapatkan sesuatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya, dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: “Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi berperang) dan mereka berpaling dengan rasa gembira”. (QS. al-Taubah: 50) Menurut al-Maraghi kebaikan adalah sesuatu yang apabila tercapai akan menyenangkan jiwa, seperti harta rampasan perang, dan kemenangan, sebagaimana yang diperoleh dalam perang Badar. Hal itu membuat orang-orang kafir berduka cita, karena sangat dengki dan benci kepada umat Islam. Jika ditimpa kesusahan seperti bercerai-berainya pasukan sebagaimana terjadi dalam perang Uhud, maka dengan membanggakan pikiran dan memuji perbuatannya, mereka berkata “Kami telah mendapatkan kepentingan kami dengan memerintahkan supaya berhati-hati, yang merupakan kebiasaan kami ketika kami tidak turut berperang dan tidak menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan”. Mereka meninggalkan tempat ketika kata-kata itu dilontarkan, dengan rasa gembira di atas penderitaan orang lain.44 Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Jabir bin Abdullah bahwa kaum munafik yang menyelusup ke Madinah menyebarkan berita buruk tentang Nabi dan para sahabatnya. Mereka mengatakan bahkan kaum mukminin mendapatkan kesusahan dalam perjalanannya dan binasa. Namun kemudian sampai berita tentang kedustaan berita mereka dan selamatnya Nabi beserta para sahabat. Akhirnya mereka menerima akibat yang buruk, lalu Allah menurunkan ayat ini.45 Allah memberitahu Nabi Muhammad tentang rasa dengki dan permusuhan orang-orang munafik terhadap dirinya, sehingga bila Nabi mendapat kebaikan dan karunia seperti kemenangan dalam suatu peperangan, maka mereka tidak senang dan merasa jengkel. Tetapi sebaliknya bila ditimpa musibah dan hal-hal yang buruk seperti kekalahan dalam suatu peperangan, mereka menyambut peristiwa itu dengan suka ria dan gembira. Allah memberi petunjuk bagaimana menghadapi sikap kaum munafik dan memerintahkan agar Nabi menjawab pertanyaanpertanyaan mereka itu dengan mengatakan “Sekali-kali tidak ada sesuatu yang akan menimpa diri kami selain apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah. Dialah pelindung kami dan hanya kepada-Nya kami dan orang-orang mukmin bertawakal.46 Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan mengutip pendapat alBiqa’i. Ayat ini merupakan penjelasan mengapa neraka jahannam meliputi mereka. Apapun hubungan yang dipilih yang jelas adalah hati kecil mereka tidak senang jika Nabi menang dalam peperangan bahkan jika suatu kebaikan menimpa Muhammad, mereka tidak senang karena adanya kedengkian dalam jiwa mereka. Dan jika suatu bencana menimpa seperti ketika terjadi perang Uhud, mereka berkata: “Sesungguhnya kami, sebelum jatuhnya musibah ini telah mengambil _____________ 44
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, 110 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, 110 46 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, 370 45
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
153
ancang-ancang menyangkut urusan kami sehingga kami tidak taat kepadanya dan tidak mengikutinya pergi berperang. Dan mereka terus menerus berpaling menuju tempat mereka dalam keadaan gembira, akibat musibah yang menimpa Nabi serta keterhindaran mereka.47 Balasan bagi yang Mendapatkan Musibah Menurut Muhammad Yusuf ada lima kelebihan bagi orang yang ditimpa musibah yaitu dapat mengangkat derajatnya, menghapus keburukan, ditanamkan jiwa yang ikhlas, mendidik muslim supaya gigih dalam berdakwah dan mendapatkan syurga.48 Dalil-dalil yang menyebutkan tentang diangkatnya derajat manusia yaitu QS. al-An’am: 165, Allah berfirman;
“Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-An’am: 165) Al-Razi menafsirkan lafaz درﺟﺎت ﺑﻌﺾ ﻓﻮق ﺑﻌﻀﻜﻢ رﻓﻊyaitu dimaknai dengan kemuliaan, akal, harta, jabatan dan rizki. Kesemuanya itu tidak ada gunanya jika manusia lemah, bodoh dan pelit karena pada intinya apa yang dianugerahkan Allah itu merupakan ujian bagi manusia.49 Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi bersabda: “Tidak ada yang menimpa seorang mukmin yang tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali dinaikkan derajatnya oleh Allah dan dihapus kesalahan-kesalahannya.50 Kelebihan lain yaitu menghapus keburukan manusia, hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Tidak ada satu cobaan yang menimpa muslim, seperti sakit, kesusahan, kesedihan, kecemasan, sekalipun musibah itu hanya tertusuk duri, melainkan Allah menghapus dosa-dosanya.51 Kelebihan selanjutnya adalah merupakan penyebab masuk syurga, berdasarkan firman Allah, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Syurga, padahal belum datang kepadamu cobaan, sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh mala petaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan), sehinga berkata rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. al-Baqarah: 214). Balasan Allah akan diberikan kepada manusia yang lulus dalam menghadapi musibah adalah memperoleh kasih sayang, rahmat dan hidayah Allah.
_____________ 47
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 5, 583 Muhammad Yusuf, al-Insan baina al-Sarra wa al-Dharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Salam, 2002), 127-128 49 Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 7, 31 50 Imam Muslim, Shahih Muslim, juz. 2, 427 51 Imam Muslim, Shahih Muslim, 428 48
154
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
Kesimpulan Kata mushibah merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang sudah diindonesiakan menjadi musibah, yang mempunyai arti sesuatu yang dibenci atau tidak disenangi. Sedangkan menurut istilah, musibah adalah sesuatu yang menimpa pada perorangan maupun komunitas baik secara tiba-tiba atau bertahap yang bersifat positif maupun negatif. Sebab-sebab terjadinya musibah adalah sebagai sunnatullah atau fenomena alam dan musibah karena kesalahan moral manusia sendiri. Tujuan ditimpanya musibah adalah untuk revitalisasi alam (tajdid al-‘alam) dan untuk memperbaiki moral manusia. Sikap yang harus digunakan ketika menghadapi musibah ialah sikap istirja’ (yaitu mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah), bersabar atau tabah hati dan bertawakkal.
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
155
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul Karim Al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf al-Syahir bi al-Hayyan. Al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, juz. 21. Beirut: Dar al Fikr, tt. Al-Ashfahani, Raghib. Mu’jam Mufradat al fazh al Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Madinah: Maktabah al-Ulum wa alHikam, 1993 Ibnu Manzhur. Lisan al-Arab. Mesir: al-Mu’asarah al-Misriyaah al-‘Ammah li Ta’lif wa al-Naba wa al-Nashr, tt. Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Tafsir al Maraghi. Beirut: Dar Ihya al-Turats alArabi, 1985 Al-Nisaburi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim. Ttp: Dar al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt. Nurcholish, Asbabun Nuzul, Surabaya: Pustaka Anda, 1997 Al-Razi, Muhammad Fakhruddin. Tafsir al-Razi. Beirut: Dar al Fikr, tt. Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002 Team Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Al-Wahidi, Abi Hasan Ali bin Ahmad. Asbab al-Nuzul. Beirut: al-Maktabah alTsaqafiyah, 1989 Yusuf, Muhammad. Al-Insan baina al-Sarra wa al-Dadharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Salam, 2002 M Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995
156
Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an
JIHAD PERSPEKTIF AL-QUR’AN; UPAYA REINTERPRETASI MAKNA GUNA MERETAS KEKERASAN ATAS NAMA PERINTAH AGAMA Muh. Rusli & Rakhmawati Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo, Jln. Glatik No. 1 Gorontalo. Tlp. 085255460324. e-mail:
[email protected] ;
[email protected] . ABSTRACT Islam is a blessed religion (rahmatan lil al alamiin). In order to achieve this mission, Islam has to perform a peaceful pace and respect to any differences that exist within social reality. Jihad, as one single method, does not have a single meaning. At this point, if Allah meant jihad as a war, then, it is impossible Allah repeats His words in the Holy Quran more than twenty five times in its various expression. To investigate and understand the true meaning of jihad is a wise way and it is expected to regain Islamic image as the rahmatan lil al alamin religion, and to overcome violence in the name of religion Kata kunci: Jihad, Peinterpretasi, Rahmatan lil al-Alamin
Pendahuluan Kekerasan atas nama perintah agama merupakan fenomena penting yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Peristiwa demi peristiwa kekerasan terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Mulai dari teror, pembakaran rumah ibadah, penyerangan agama atau kelompok tertentu sampai pada kasus pengeboman. Sasarannya pun bervariasi, mulai dari warga negara asing dan asetasetnya, instansi pemerintah dan kepolisian bahkan sampai pengeboman tempat ibadah. Masih segar dalam ingatan kita kasus bom Bali I dan II yang telah menelan begitu banyak korban jiwa baik warga negara asing maupun warga negara Indonesia sendiri. Tiba-tiba tanggal 3 Juni 2013 lalu, Indonesia kembali dihebohkan dengan pemberitaan media mengenai bom bunuh diri yang dilakukan di halaman Mapolres Poso. Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjenpol Suhardi Alius, kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 08.03 WITA pagi, bermula saat seseorang yang diidentifikasi sebagai pelaku bom bunuh diri itu datang menggunakan sepeda motor ke Mapolres Poso. "Pelaku menggunakan motor roda dua Yamaha Jupiter, masuk ke dalam Polres Poso melintasi pos penjagaan. Dia sempat diingatkan oleh petugas tapi tetap jalan terus. Tak lama setelah itu, ledakan terjadi antara pos penjagaan dengan masjid yang berjarak sekitar 15 meter. pertama terdengar ledakan kecil, yang diikuti ledakan besar. Tidak ada korban kecuali pelaku bunuh diri. Memang ada satu petugas bangunan mengalami luka di bagian tangan kiri," kata Suhardi Alius di Mabes Polri, Senin (3/6).1 _____________ 1
http://berita.plasa.msn.com/nasional/8-bom-diri-yang-pernah-terjadi-di-indonesia. akses tanggal 13 Juni 2013. Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
Di
157
Aksi ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Berikut adalah kasus bom bunuh diri yang pernah terjadi di Indonesia. 1) Bom bunuh diri terjadi di depan Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004; 2) Bom bunuh diri terjadi di Bali (Bali 2), 1 Oktober 2005. Saat itu terjadi tiga lokasi ledakan, satu di Kuta dan dua di Jimbaran. Peristiwa itu menewaskan 23 orang dan melukai 196 orang; 3). Bom bunuh diri terjadi di Restoran A&W Plaza Kramat Jati Indah di Gang Polonia RT 14/06 No 3, Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur, Sabtu, 11 November 2006. Pelaku diketahui bernama Muhammad Nuh alias Kholid; 4) 17 Juli 2009: Dani Dwi Permana meledakkan bom di Hotel JW Marriott di Mega Kuningan, Jakarta. Ledakan itu kemudian disusul ledakan di Hotel Ritz-Carlton yang terletak tidak jauh dari Marriott yang dilakukan oleh rekannya, Nana Ikhwan Maulana. Tujuh orang meninggal dunia dan lebih dari 50 orang terluka dalam dua serangan bom itu. Penyelidikan polisi menunjukkan perencanaan bom dipimpin oleh Noordin M. Top; 5) 15 April 2010: Muhammad Syarif meledakkan bom yang terpasang di tubuhnya di masjid yang terletak di dalam kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat. Serangan ini melukai 25 orang anggota polisi yang sedang bersiap untuk menunaikan ibadah shalat Jum’at, termasuk Kapolresta Cirebon AKBP Herukoco; 6) 29 September 2010: Abu Ali meledakkan bom di sepeda yang dikendarainya di dekat seorang anggota patroli Kapolres Bekasi, AKP Heri. Pelaku dan polisi selamat; 7) 25 September 2011: Achmad Yosepa Hayat meledakkan diri di halaman Gereja Bethel Injil, Solo, Jawa Tengah. Polisi mengatakan bahwa pelaku adalah anggota jaringan teroris Cirebon yang melakukan serangan di Mapolresta Cirebon; dan 8) 3 Juni 2013: bom bunuh diri dilakukan di halaman Mapolres Poso.2 Menurut Ali Syu’aibi dan Gils Kibil, dewasa ini fenomena gerakan yang mengatasnamakan Islam sudah lebih mewarnai ketimbang gerakan Islam murni. Seruan untuk menegakkan negara agama di sejumlah negara-negara Arab-Islam, selalu dikaitkan dengan tuduhan sekularisme dan kekufuran, sehingga pada akhirnya menuntut mereka dalam mengeluarkan fatwa “membunuh mereka yang kafir”, tak pelak lagi aksi teror bermunculan untuk menekan mereka yang telah kafir karena kesekulerannya. Bahkan bukan hanya sekularisme sebagai satusatunya target operasi mereka, namun juga mencakup komponen kenegaraan lainnya seperti masyarakat sipil, konstitusi, demokrasi, partai politik, parlemen dan lain sebagainya. Hal ini lumrah adanya, karena memang tujuan mereka adalah untuk menegakkan negara agama, dengan bangunan pemikiran yang mirip dengan kekuasaan otokrasi, sehingga setiap langkah menuju demokrasi adalah musuh yang harus ditumpas.3 Meskipun kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa setiap yang mengusung gagasan negara agama adalah teroris. Sebab sepakat dengan gagasan negara agama belum tentu sepakat dengan cara kekerasan atau terorisme. Tanpa menafikan berbagai macam faktor penyebab kekerasan agama yang terjadi di Indonesia. Jihad kini dituding sebagai salah satu faktor penting kalau _____________ 2
Ibid. Selain itu, berbagai macam konflik telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia, misalnya kasus kerusuhan Timor Timur, Aceh, Ambon, Kalimantan Barat. Lihat Lihat, Azyumardi Azra, Kerusuhan-kerusuhan Massal yang Terjadi di Indonesia Baru-baru Ini : Kemunduran Nasionalisme dan Kemunculan Separatisme, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini (Jakarta: INIS, 2003), 61-75 3 Ali Syu’aibi dan Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Cet. II, t.t.: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), 165 158
Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an
tidak ingin mengatakan faktor utama lahirnya tindak kekerasan atas nama perintah agama. Penyempitan makna jihad sebagai qital atu perang dalam bentuk fisik/senjata saja dituding sebagai penyebabnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyempitan terhadap makna agama akan menjadikan seseorang mudah untuk melakukan tindak kekerasan. Apalagi jika konsep jihad tersebut dipolitisir untuk oleh kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu dengan mengorbankan kelompok lain. Machasin melalui pendekatan kajian teks, menyatakan bahwa akar teologis kekerasan agama antara lain dapat dilihat pada konsep jihad, memerangi orang kafir, totalitas Islam, yang banyak dirumuskan era peperangan, namun tidak dibaca secara komprehensif kontekstual oleh kelompok tertentu dalam Islam.4 Untuk itu, penting untuk melakukan reinterpretasi atau penafsiran ulang terhadap makna jihad perspektif al-Qur’an sehingga jihad tidak menjadi sesuatu yang menakutkan bagi umat Islam. Dengan reinterpretasi makna jihad maka umat Islam tidak alergi lagi untuk mempelajari konsep jihad dalam Islam apalagi jihad merupakan salah satu ajaran agama yang fundamental. Reinterpretasi jihad juga akan mengembalikan citra positif Islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Makna Jihad dalam al-Qur’an Jihad adalah kata yang paling sensitif dalam kosa kata Islam. Jihad selalu digunakan, didengar, dan dipahami dengan cara yang emosional, baik positif maupun negatif. Bagi non-Muslim, jihad adalah perang suci melawan mereka, pedang terhunus yang tidak mudah disarungkan. Bagi banyak Muslim, jihad adalah kewajiban agama untuk membimbing orang-orang non-Muslim menuju iman yang benar dan sejati. Kaum militan meyakini jihad sebagai perintah Tuhan untuk memaksakan Islam, iman yang paling benar, kepada non-Muslim. Hanya sebagian kecil kaum Muslim yang menghayati jihad dalam pengertian moral dan spiritual.5 Makna harfiah dari jihad adalah berupaya keras, sungguh-sungguh atau berjuang. Jadi jihad mempunyai banyak makna: penentang atau perlawanan dengan keras; menyelesaikan tugas atau masalah sampai tuntas; upaya sungguhsungguh mencapai tujuan; melakukan sesuatu yang sulit; upaya keras, atau rangkaian upaya, melawan keadaan yang buruk, untuk menjaga eksistensi seseorang atau peri kehidupan.6 Makna Jihad juga dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni makna religius dan makna politik yang ditentukan secara histories. Dalam makna religiusnya yang otentik, jihad adalah upaya atau serangkaian upaya sungguh-sungguh melawan perilaku negatif atau kondisi-kondisi ketidakadilan guna menjaga kekuatan iman seseorang dan eksistensinya agar ia tetap stabil dan terbuka terhadap kemajuan. Jihad adalah untuk menanamkan keadilan dan kasih sayang dalam nurani seseorang dan kemudian menetapkan keadilan dan kasih sayang di _____________ 4
Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme, dalam A. Maftuh Abegebreil et.al., Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Yogyakarta: SR Ins Publishing, 2004), 791. 5 Mohammad Said al-Ashmawy, Againts Islamic Estremism, diterjemahkan oleh Hery Haryanto Azumi dengan judul Jihad Melawan Islam Ekstrem, (Cet. I; Depok: Desantara, 2002), 181 6 Ibid., 182 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
159
dalam komunitas melalui kesadaran individu dan kolektif. Dalam makna politiknya yang ditentukan oleh sejarah, jihad adalah pembelaan diri dan tidak lebih. Memang tidaklah menguntungkan karena kesalahpahaman terhadap jihad telah menjadi begitu akut. Jihad adalah kasih sayang, bukan pedang; dan keadilan, bukan kekerasan. Islam bukanlah negara bagi beberapa orang tetapi sebuah jalan kasih-sayang bagi semua orang; bukan sebuah kekaisaran bagi para penguasa adidaya, tetapi sebuah iman bagi semua umat manusia.7 Dengan demikian makna jihad ternyata tidaklah tunggal yakni perang saja. Maknanya ternyata begitu banyak dan sangat sesuai dengan semangat Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Hanya saja terjadi penyempitan makna jihad yang ada dalam al-Qur’an. Bahkan hal yang sama juga terjadi pada kitab-kitab hadis. Para ahli dan kolektor hadis dalam menyusun hadis Nabi Muhammad tentang jihad lebih menekankan jihad pada arti fisik. Padahal jihad itu sendiri dalam beberapa hadis disebutkan, bahwa jihad dalam arti fisik masuk kelompok jihad kecil. Sementara jihad besar adalah jihad yang bersifat non-fisik, yakni melawan hawa nafsu.8 Pemahaman akan makna jihad tersebut dapat dicapai bilamana kita mengkaji ayat-ayat al-Qur’an terkait jihad. Menurut Abdul Karim, setidaknya tidak kurang dari 25 kali kata jihad dengan berbagai variasi ungkapan disebutkan dalam al-Qur’an, yakni: 1. Perintah untuk berjihad dengan jihad yang benar dan sungguh-sungguh (haqqa jihadih) sebagaimana tercantum pada ayat; al-Maidah (5) : 53, alHajj (22): 78, al-Furqan (25): 52. 2. Berjihad di jalan Allah dengan diri/jiwa dan harta (Jihad fi Sabili Allah bi amwalihim wa anfusihim) sebagaimana tercantum pada ayat; an-Nisa’ (4): 95, al-Taubah (9): 20, dan al-Shaff (61): 11 3. Berjihad di jalan Allah (jihad fi sabili Allah, fi sabili, fi sabilihi) sebagaimana tercantum pada ayat; al-Baqarah (2): 218, al-Maidah (5): 54, al-Anfal (8): 74, al-Taubah (9): 19 dan 24, al-Mumtahanah (60):1. 4. Berjihad dengan diri/jiwa dan harta (Jihad bi amwalihim wa anfusihim) sebagaimana tercantum pada ayat; al-Anfal (8): 72, al-Taubah (9): 44, 81, 88. 5. Balasan bagi orang yang berjihad sebagaimana tercantum pada ayat; Ali Imran (3): 142, an-Nisa’ (4): 95, al-Anfal (8): 72, 74, 75, al-Taubah (9): 20, al-Nahl (16): 110, dan al-Mumtahanah (60): 1. 9 Makna jihad dalam al-Qur’an adalah bersungguh-sungguh. Makna tersebut tercantum pada ayat; al-Maidah (5): 53, al-Hajj (22): 78, dan al-Furqan (25): 52 sebagai berikut: _____________ 7
Ibid., 192 Abdul Karim, dkk., Wacana Politik Islam Kontemporer (Cet. I; Yogyakarta: Suka Press, 2007), 114 9 Ibid., 89-91 8
160
Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an
Terjemahnya: Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orangorang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.10
Terjemahnya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al- Qur’an) ini, supaya rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-baiknya pelindung dan sebaik- baiknya penolong.11 Terjemahnya: Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar.12 Berdasarkan ketiga ayat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah satu makan jihad adalah bersungguh-sungguh. Bersungguh-sungguh yang dimaksudkan adalah dalam niat dan usaha. Pada ayat pertama ditekankan pentingnya kita bersungguh-sungguh ketika bersumpah dan bersumpahnya pun atas nama Allah. Selanjutnya pada ayat kedua ditekankan jihad yang sebenar-benarnya, Allah juga melegitimasi agama Ibrahim sebagai agama yang benar. Di samping itu Allah juga menekankan pentingnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepadaNyalah dan sebaik-baik penolong untuk dimintai pertolongan. Terakhir pada ayat ketiga Allah melarang untuk mengikuti orang-orang kafir di samping itu kata “berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an” dapat dimaknai mengajak mereka sesuai dengan semangat al-Qur’an yakni menyampaikan dakwah secara santun. Untuk kata jihad yang besar dapat dimaknai bahwa dalam menyampaikan dakwah membutuhkan kesabaran karena mendakwai mereka bukanlah perkara mudah. _____________ 10
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: CV. Jumanatul ‘Ali Art, 2005), 118 11 Ibid., 342 12 Ibid., 365 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
161
Kesabaran dalam jihad dan dakwah sesuai firman Allah QS. Ali Imron (3): 142, Terjemahnya: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.13 Maksud “padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar” adalah peringatan atas ucapan beberapa sahabat, yang mengatakan: “alangkah baiknya kalau kita mati syahid seperti orang-orang yang berjuang pada perang Badar, mengalahkan kaum musyrikin, tabah dalam ujian, mati syahid dengan memperoleh Surga, atau hidup mendapat rezeki”. Maka Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengikuti perang Uhud, tetapi ternyata mereka tidak tabah dan tidak mampu untuk bertahan dalam peperangan itu kecuali sebagian kecil di antara mereka yang dikehendaki Allah. 14 Oleh karena itu, kesabaran merupakan yang urgen dalam menjalankan segala aktivitas keseharian umat Islam. Selanjutnya, betul bahwa di antara ayat-ayat tentang jihad terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang jihad di jalan Allah dengan diri/jiwa dan harta (Jihad fi Sabili Allah bi amwalihim wa anfusihim) sebagaimana tercantum pada ayat; anNisa’ (4): 95, al-Taubah (9): 20, dan al-Shaff (60): 11 al-Anfal (8): 72, al-Taubah (9): 44, 81, 88. Hanya saja perlu pengkajian secara komprehensif terhadap ayat tersebut sehingga tidak terjebak pada makna perang. Makna perang perlu diverifikasi lebih lanjut kapan perang diperbolehkan dan bagaimana kaidah atau aturan dalam perang tersebut. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa dewasa ini muncul sejumlah anak muda yang mengangkat senjata, kemudian meyakini bahwa Islam adalah agama ofensif, mereka menginginkan perang. Lalu imam al-Ghazali mengajukan pertanyaan “apakah untuk hal ini memang menggunakan agama yang berdiri di atas logika dan pemikiran murni yang cerdas!”. Beliau juga mengemukakan pendapatnya soal pengertian ayat yang menyebutkan “perangilah mereka-mereka yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir”, ayat ini tidak membawa pengertian untuk memerangi Ahli Kitab secara keseluruhan, karena tidak semua Ahli Kitab melakukan tindakan penganiayaan kepada kita.15 Pada hakekatnya seruan kepada perang dalam risalah Muhammad saw. adalah jalan untuk menghalau setiap serangan dan mencegah fitnah. Perang bukanlah cara untuk menyampaikan dakwah.16 Allah berfirman dalam QS. alBaqarah (2) : 190 yang berbunyi:
_____________ 13
Ibid., 69 Qamaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul (Cet. II; Bandung: CV. Diponegoro, 1975),
14
106 15
Lihat, Ali Syu’aibi dan Gils Kibil, op. cit., 155 Ibid., 156
16
162
Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an
Terjemahnya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.17 Kemudian dalam QS. An-Nisaa’ (4): 93, Allah berfirman: Terjemahnya: Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.18 Perang menjadi legal pada saat mempertahankan keselamatan diri, kemudian perang menjadi hal yang legal pula untuk menghadapi kelompokkelompok yang diharamkan dan hendak melakukan penyerangan kepada Islam. Dalam QS. al-Baqarah (2) : 193 dijelaskan: Terjemahnya: Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.19 Perang menjadi legal untuk menghadang pihak-pihak yang hendak menyebar fitnah dengan agama mereka melalui sejumlah tindakan kekerasan dan pembunuhan. Firman Allah QS . al-Anfaal (8): 58 Terjemahnya: Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.20 Apabila kalian meyakini bahwa di sana ada kelompok yang sedang mempersiapkan diri untuk menyerang kalian, maka kalian harus bersiap memerangi mereka sebagai langkah defensif atas setiap kerusuhan yang diciptakan oleh mereka. Selanjutnya, bila kita membaca ayat: janganlah kalian mengaiaya karena Allah swt. tidak suka terhadap penganiayaan”, bukankah ini menunjukkan bahwa tidak ada nash al-Qur’an yang membawa pengertian bahwa Islam agama penyulut peperangan. Kemudian dalam QS. an-Nahl (16): 126 disebutkan:
_____________ 17
Kementerian Agama RI, op. cit., 30 Ibid., 94 19 Ibid., 31 20 Ibid., 185 18
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
163
Terjemahnya: Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.21 Hal ini menunjukkan bahwa apabila kita melakukan serangan balik terhadap lawan, lakukanlah pembalasan sebagaimana mereka menyerang kita, tidak berlebihan. Inilah yang dinamakan jihad Islam, sebagai jihad defensif untuk memerangi mereka yang mengedepankan kekerasan terhadap manusia. Perang juga berlaku untuk menolong mereka yang terdzalimi dan lemah. Islam tidak mengenal jihad ofensif. Apabila ada gerakan yang menyeru kepada jihad di luar pengertian dari ayat-ayat di atas, maka ini tidak bisa disebut sebagai jihad, dan bahkan bisa dianggap sebagai aksi terorisme radikalis. Syariat Islam tidak mengenal aksi seperti ini. Sebagaimana yang sudah kita ketahui, pada masa lampau agama Islam juga mengayomi pihak lain, yang dalam sejarahnya pada saat itu kelompok non Islam diwakili oleh masyarakat Yahudi dan Nasrani (sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 64).22. Dengan demikian, perang hanya legal bila dimaksudkan untuk jalan untuk membela diri, menghalau setiap serangan dan mencegah fitnah serta menolong yang terdzalimi. Perang bukanlah cara untuk menyampaikan dakwah dan Islam bukanlah agama penyulut perang. Menurut Imam Suprayogo, seyogyanya kita memperhatikan prinsip-prinsip dasar Islam adalah; 1) Islam adalah agama yang bersifat universal. Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, atau etnis tertentu melainkan sebagai rahmatan lil alamin; 2) Islam menghargai agama dan kepercayaan agama lain. Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama, 3) Islam juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya; 4) Islam juga menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, bangsa yang beraneka ragam. Perbedaan itu ada agar terjadi saling mengenal; 5) Islam memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan yang majemuk sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. sendiri takkala membangun masyarakat madani di Madinah.23 Dengan demikian, makna jihad tidaklah selamanya bermakna perang. Jika pun harus berperang maka terdapat aturan kapan perang tersebut dibolehkan atau legal dalam Islam. Dengan demikian, kata jihad tidak lagi menjadi kata yang menakutkan bagi umat Islam begitu umat lainnya. Selanjutnya kita menampakkan Islam dengan wajah yang bersahabat, mampu hidup di tengah keragaman, mampu menjadi solusi bagi setiap problem umat sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi.
_____________ 21
Ibid., 282 Ali Syu’aibi dan Gils Kibil, op. cit., 158-159. 23 Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul – Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Refurmulasi Paradigma Keilmuan Islam. (Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2009), 1-2 22
164
Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an
Jihad Masyarakat Sipil Sebagai salah satu ajaran dalam Islam tentu saja kita tidak ingin menafikan jihad. Untuk itu, menurut Yusuf Qardhawi, berbagai macam jihad yang dapat dilakukan, yang beliau sebut “jihad masyarakat sipil” antara lain: 24 1. Jihad Ilmu Al-Qur’an mengisyaratkan jihad ilmu ini yaitu ketika berbicara tentang pendistribusian kekuatan yang efektif dan beragam kepada masyarakat dalam bidang ilmiah dan praktis, yang menuntut mobilisasi kekuatan untuk melayani, meningkatkan kebutuhannya, dan merealisasikan tujuannya. Hal ini diterangkan dalam surah al-Taubah yang membicarakan secara panjang lebar tentang orang-orang munafik yang tidak turut berperang bersama Rasulullah saw. dan benci berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Taubah: 122
Terjemahnya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.25 Dengan ayat ini, al-Qur’an menetapkan bahwa di antara prinsip masyarakat muslim adalah tidak adanya penumpukan kekuatan pada salah satu pihak dan melupakan pihak yang lain. Kedudukan jihad militer memang penting untuk menjaga dan agama Islam – termasuk pula pada masa kenabian. Akan tetapi, tidak semestinya hal tersebut menguasai semua energi dan kekuatan yang efektif, dengan membiarkan kosong bidang lainnya, seperti bidang ilmu dan mendalami agama (tafaqquh fi al-din) yang merupakan kebutuhan dasar umat, sehingga amal dan jihadnya didasari oleh pemahaman terhadap agama. Al-Qur’an menjelaskan bahwa upaya untuk mendalami agama bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk jihad. Karena itu, al-Qur’an menyatakan: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. al-Taubah: 122) Allah memakai kata “golongan” (nafar) yang digunakan dalam jihad. Hal ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu dan mendalami agama termasuk bentuk jihad. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda: “Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia sedang ada di jalan Allah hingga ia kembali”
_____________ 24
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ al-Qur’an wa al-Sunnah, yang diterjemahkan oleh Irfan Maulana Hakim dkk., dengan judul Fiqhi Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut al-Qur’an dan Sunnah (Cet. I; Bandung: Mizan, 2010), 150-155 25 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an…, 207 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
165
2. Jihad sosial Jihad sosial adalah jihad yang berkaitan dengan pemeliharaan keluarga, seperti orang tua, anak-anak, dan hubungan silaturrahmi. Di antara dalil yang menunjukkan orisinalitas jihad sosial dalam turats (khazanah klasik) Islam adalah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim serta lainnya. Dituturkan dari Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, ia berkata: “Seseorang datang menemui Nabi saw., meminta izin untuk ikut berjihad. Nabi saw. pun bertanya kepada orang itu, “apakah orang tua masih hidup?”. Laki-laki itu menjawab, “ya”, beliau bersabda, “maka berjihadlah untuk mereka berdua”. Jawaban Nabi saw. kepada laki-laki tersebut, yaitu “maka berjihadlah untuk keduanya”, menunjukkan bahwa menjaga orang tua, khususnya ketika mereka sedang uzur dan membutuhkan orang yang memenuhi kebutuhannya, adalah bagian dari jihad sosial. Yang termasuk dalam konteks ini adalah apa yang disampaikan oleh Nabi saw. tentang penggantian jihad (qital) perang dengan berbuat baik kepada keluarga, memenuhi kebutuhan mereka, menutupi kekurangan mereka, menolong mereka untuk mewujudkan harapan, mengatasi segala kesulitan mereka, dan meringankan keletihan mereka. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi saw. dalam hadisnya, “Barang siapa menggantikan posisi seseorang pejuang pada keluarganya, berarti ia telah ikut berperang”. Dengan demikian seorang pejuang peperangan bukan hanya orang yang mengangkat senjata. Bahkan orang yang menggantikan posisi seorang pejuang di dalam keluarganya, dengan menjadi ayah dari anak-anaknya, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah layaknya seorang tentara perang. Sebab, seseorang akan berjihad dan berperang dengan tenang dan nyaman karena yakin bahwa keluarganya tidak akan terlantar sepeninggalnya. Dia merasa tenang karena seluruh masyarakat berkhidmat untuk melayaninya, menjaganya, dan memenuhi kebutuhannya dengan kelembutan, kedermawanan, dan keridhaan tanpa kepurapuraan dan kepalsuan. Dengan hadis tersebut, Nabi saw. membuka pintu lain-bahkan beberapa pintu - sebagai pengganti jihad militer. Inilah yang disebut jihad masyarakat sipil. Nabi mengajari para sahabatnya mereka membuka mata atas berbagai medan jihad yang dapat dimanfaatkan oleh mereka untuk berjihad tanpa pedang, tombak, dan senjata-senjata perang. Salah satunya adalah apa yang kami sebutkan di sini, yaitu jihad sosial. 3. Jihad ekonomi Di antara bentuk jihad sipil adalah hal-hal yang terkait dengan jihad ekonomi, yaitu berusaha untuk mencari rezeki, berjalan di muka bumi dengan penuh semangat, dan memakan karunia yang diberikan oleh Allah. Diriwayatkan oleh Ka’ab ibn ‘Ujrah r.a. bahwa suatu hari Nabi saw. duduk bersama para sahabatnya. Lalu lewatlah seorang laki-laki dengan penuh semangat dan keuletan. Para sahabat kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya ini termasuk (jihad) di jalan Allah.” Nabi saw. bersabda, “Jika dia keluar bekerja untuk (keperluan) anaknya yang masih kecil, berarti dia berada di jalan Allah. Jika dia keluar bekerja untuk orang tuanya yang sudah tua renta, berarti dia di jalan Allah. Jika dia keluar bekerja karena ingin menjaga kesucian dirinya (dari
166
Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an
meminta-minta), berarti dia di jalan Allah. Dan jika dia keluar untuk pamer dan menyombongkan diri, berarti dia berada di jalan setan”. Perhatikanlah apa yang dikatakan para sahabat ketika melihat seorang lakilaki yang tampak semangat dan gesit (untuk mengais rezeki, penerj). Mereka berharap, hal itu menjadi bagian dari (jihad) di jalan Allah, yaitu jihad militer. Para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam mencurahkan segenap kekuatan untuk menghadapi musuh yang menjauhkan mereka dari negeri mereka dan bersekongkol untuk mengusir mereka dari negeri mereka sendiri. Akan tetapi, Nabi saw. membuka bagi mereka pintu-pintu baru dalam perluasan konsep jihad yang tidak terbatas pada perang (qital) saja. Beliau menjelaskan bahwa orang yang bekerja mencari rezeki di muka bumi karena mengharap karunia Allah, jika ia bekerja untuk orang tuanya yang sudah tua renta atau untuk dirinya sendiri agar tidak meminta-minta kepada orang lain dan cukup dengan kehalalannya, berarti ia sedangkan berada di jalan Allah. Makna di jalan Allah (fi sabilillah) adalah jihad, sebagaimana yang sudah dipahami secara jelas dalam pandangan syariat. Persoalan yang menjadi pusat perhatian Nabi saw. adalah niat, motif, dan tujuan yang ada di balik usaha dan semangat tersebut. Selama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang sesuai dengan syariat bagi masyarakatnya, keluarga, atau dirinya sendiri, maka hal ini termasuk fi sabililah. Maksudnya, berada pada jihad yang diterima dan terpuji. Tetapi, apabila tujuannya hanya mencari pendapatan dan ternodai oleh riya, sombong, bermegah-megahan, dan foya-foya, maka ia telah keluar dari jihad di jalan Allah untuk melalui jalan yang lain, yaitu jalan setan. Dengan demikian, jihad ekonomi ini adalah bagi dari jihad madani. Setiap tindakan yang bisa meningkatkan perekonomian masyarakat, dan mengalihkannya dari konsumsi ke produksi, dari impor ke ekspor, dari keberuntungan ke kebebasan dan kepercayaan diri, maka semua itu termasuk jihad madani yang diharapkan. Di antara hal yang diterangkan dalam sunnah Nabi, adalah penekanan pada integrasi ekonomi dan larangan untuk merasa cukup dengan sebagian unsur ekonomi, tetapi mengabaikan sebagian lainnya. Misalnya merasa puas dengan pertanian tanpa industri. Hal ini bisa menjerumuskan umat ke dalam bahaya. Dituturkan dari Umar secara marfu’, “Apabila kalian telah berjual beli dengan sistem ‘inah, larut dengan pertanian, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggal-kan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dicabut hingga kalian kembali kepada agama kalian”. Berjual beli dengan ‘inah adalah salah satu bentuk rekayasa dari memakan riba. Pada hakikatnya, jual beli tersebut termasuk ke dalam bentuk riba. Adapun larut dalam pertanian dan mengikuti ekor-ekor sapi hanya ditujukan kepada masyarakat agrarian yang tidak memikirkan komplementasi ekonominya dengan industri dan kerajinan. Ambisi mereka hanya mengikuti ekor-ekor sapi dan tidak mementingkan urusan umat Muslim. Karena itu, mereka meninggalkan jihad Allah karena masing-masing dari mereka hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak mementingkan kemaslahatan umat. Tak aneh jika kemudian Allah sw. menimpakan kepada mereka kehinaan yang tidak akan dicabut hingga mereka kembali kepada agama mereka, lalu
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
167
mereka memahami agama tersebut dengan benar, mengamalkannya, dan beramal untuk dirinya . 4. Jihad Pendidikan Jihad pendidikan dilakukan dengan membangun sekolah-sekolah yang mengajarkan kepada umat Islam sesuatu yang dapat menjaga identitas mereka, melestarikan hubungan mereka, serta menanamkan pada hati dan akal mereka kecintaan terhadap agama, umat, dan negeri mereka sehingga tidak disalahgunakan. Di samping itu, jihad pendidikan ini yaitu dengan memberikan kesempatan bagi orang-orang yang cerdas yang meraih tingkat pendidikan yang paling tinggi. Jihad pendidikan ini sangat penting guna menciptakan umat yang mampu membawa risalah Islam baginya dan dunia. Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak terlaksana secara sempurna, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. 5. Jihad Kesehatan Jihad kesehatan diwujudkan dengan membangun rumah-rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan yang memberikan penanganan dan pelayanan kepada pasien, bekerja untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat, dan menyebarkan kesadaran hidup sehat dan pencegahan penyakit. Dikatakan bahwa “mencegah itu lebih baik daripada mengobati,” dan “jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat”. 6. Jihad Lingkungan Jihad lingkungan dilakukan dengan menjaga dan melindungi keselamatan lingkungan dari segala polusi dan kerusakan, yang bisa menyebabkan ketidakseimbangan dan kekacauan dalam kehidupan. Bahkan, terkadang dapat merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Jadi, perawatan dan perlindungan lingkungan dari bahaya ketidakseimbangan dan kekacauan merupakan bagian dari ajaran Islam. Data di atas menunjukkan bahwa jihad ternyata tidak perlu ditakuti tetapi perlu pemaknaan ulang terhadap makna jihad dan jihad-jihad apa saja yang dapat dilakukan di era kekinian. setidaknya jihad yang dapat dilakukan meliputi jihad ilmu, jihad sosial, jihad ekonomi, jihad pengajaran/pendidikan, jihad kesehatan, dan lingkungan. Makna jihad dapat kita kembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, anjuran tentang jihad tetap dapat kita laksanakan sesuai dengan konteks zaman yang kita hadapi. Dewasa ini, begitu banyak per-soalan yang dihadapkan kepada umat manusia tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Problem kemiskinan, pengangguran, dunia pendidikan yang mem-prihatinkan, dan lainnya. hal tersebut membutuhkan semangat jihad dalam menanggulanginya. Tentu saja Allah telah menyediakan pahala bagi orang berjihad secara benar. Sebagaimana firman-Nya. al-Taubah (9): 88
168
Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an
Terjemahnya: Tetapi rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orangorang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.26 Dengan demikian, janji Allah tersebut harus diyakini sepenuh hati bahwa orang yang berjihad akan beruntung baik di dunia maupun di Akhirat. Janji Allah tentang orang yang berjihad dengan benar dapat pula ditemui pada QS. al-Nahl (16): 110, al-Ankabut (29): 6, al-Mumtahanah (60): 1 dan al-Shaff (61): 11. Kesimpulan Agama dan pemahaman agama adalah dua hal yang berbeda. Pemahaman agama telah melahirkan berbagai macam perbedaan dalam masyarakat termasuk dalam menterjemahkan makna jihad. Tentu saja, memberantas jaringan terorisme bukanlah akhir dari penyelesaian masalah kekerasan agama yang terjadi di Indonesia. Dibutuhkan upaya oleh seluruh komponen bangsa untuk berperan serta mengubah paradigma masyarakat tentang jihad sehingga tidak terjebak pada satu makna saja yakni perang. Membenci atau menyalahkan kelompok tertentu sebagai biang kekerasan agama bukan juga solusi terbaik sebab perbedaan pemahaman agama merupakan sunnahtullah yang harus diterima secara arif dan bijaksana. Dibutuhkan saling pengertian seraya melakukan dialog yang santun untuk saling memahami. Jika tidak mampu sepakat dalam pemahaman agama setidaknya sepakat untuk berbeda pemahaman dengan tetap menjalin ukhuwah islamiyah. Apapun alasannya, kekerasan atas nama perintah agama tidak dapat ditolerir di Indonesia. Kekerasan yang terjadi hanya akan melahirkan kekerasan baru yang tiada habisnya. Yang rugi adalah bangsa Indonesia sendiri. Ke depan dibutuhkan generasi-generasi yang bebas dari dendam sektarianisme masa lalu dan memiliki visi ke depan menuju Indonesia yang lebih baik.
_____________ 26
Ibid., 202
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
169
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashmawy, Mohammad Said. Againts Islamic Estremism, diterjemahkan oleh Hery Haryanto Azumi dengan judul Jihad Melawan Islam Ekstrem. Cet. I. Depok: Desantara, 2002. Azra, Azyumardi. Kerusuhan-kerusuhan Massal yang Terjadi di Indonesia Barubaru Ini :Kemunduran Nasionalisme dan Kemunculan Separatisme, dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Jakarta: INIS, 2003. http://berita.plasa.msn.com/nasional/8-bom-diri-yang-pernah-terjadi-di-indonesia. Diakses tanggal 13 Juni 2013. Karim, Abdul. dkk.. Wacana Politik Islam Kontempore, Cet. I. Yogyakarta: Suka Press, 2007. Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Jumanatul ‘Ali Art, 2005. Machasin. Fundamentalisme dan Terorisme, dalam A. Maftuh Abegebreil et.al., Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia. Yogyakarta: SR Ins Publishing, 2004. Qardhawi, Yusuf. Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ al-Qur’an wa al-Sunnah, yang diterjemahkan oleh Irfan Maulana Hakim dkk., dengan judul Fiqhi Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut al-Qur’an dan Sunnah Cet. I. Bandung: Mizan, 2010. Suprayogo, Imam. Universitas Islam Unggul – Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Refurmulasi Paradigma Keilmuan Islam. Cet. I. Malang: UIN Malang Press, 2009. Shaleh, Qamaruddin. dkk., Asbabun Nuzul. Cet. II. Bandung: CV. Diponegoro, 1975. Syu’aibi, Ali dan Gils Kibil. Meluruskan Radikalisme Islam. Cet. II. Jakarta: PT. Duta Aksara Mulia, 2010.
170
Muh. Rusli & Rakhmawati: Jihad Perspektif Al-Qur’an
ALAM SEMESTA DALAM AL-QUR’AN A. Samad Usman STAI Al-Washliyah Banda Aceh Lam Ara Rukoh Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT In the Qur'an there are so many verses that speak of the creation of the universe is expressed in a variety of forms. The Qur'an emphasizes that God has created all things, both in heaven and on earth. God is the creator of all things, that's the nature of his biggest and most obvious, there is no creator besides Him. As a creator, the Qur'an has mentioned a number of names of God, such as al-Khaliq, al-Bari ', al-Mushawwir, and al-Badi'. Therefore Muslims agree that God is the creator (al-Khaliq) and this universe is His creation (creature). One of the lessons and teachings that can be drawn from the observations of the universe is harmony, harmony and order, not a mess. Due to its full intent, the study of the universe will guide a person to a positive conclusion and an attitude of appreciation. Dalam al-Qur’an banyak sekali terdapat ayat-ayat yang berbicara mengenai penciptaan alam semesta yang diungkapkan dalam bentuk yang bermacammacam. Al-Qur’an menekankan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu, baik yang di langit maupun yang di bumi. Allah pencipta segala sesuatu, itulah sifat-Nya yang paling besar dan paling nyata, tidak ada pencipta selain Dia. Sebagai pencipta, al-Qur’an telah menyebut sejumlah nama Allah, antara lain alKhâliq, al-Bâri’, al-Mushawwir, dan al-Badi’. Karena itu umat Islam sepakat bahwa Allah adalah pencipta (al-Khâliq) dan alam semesta ini adalah ciptaan-Nya (Makhlûk). Salah satu pelajaran dan ajaran yang dapat diambil dari pengamatan terhadap alam semesta ialah keserasian, keharmonisan dan ketertiban, bukan suatu kekacauan. Disebabkan sifatnya yang penuh maksud, maka studi tentang alam semesta akan membimbing seseorang kepada kesimpulan positif dan sikap penuh apresiasi. Kata Kunci: Alam, al-Qur’an Pendahuluan Kata ‘âlam ( )اﻟﻌﺎﻟﻢsecara bahasa berarti seluruh alam semesta. Jika dikatakan al-kauny ( )اﻟﻜﻮﻧﻲ: al-‘âlamy ( )اﻟﻌﺎﻟﻤﻲartinya yang meliputi seluruh dunia.1 Dalam bahasa Yunani, alam semesta atau jagat raya ini disebut sebagai “kosmos” yang berarti “serasi, harmonis”. Dari segi akar katanya, kata “‘’âlam” (alam) memiliki akar yang sama dengan “‘’ilm” (ilmu, pengetahuan) dan “‘alâmat” (alamat, pertanda). Disebut demikian karena jagat raya ini sebagai per-
_____________ 1
A.W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 966 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
171
tanda adanya sang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT. Jagat raya juga disebut sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber ilmu dan pelajaran bagi manusia. 2 Al-Qur’an juga banyak menjelaskan tentang fenomena alam semesta dan ciptaan-Nya yang bisa dilihat dengan mata kepala seperti kejadian siang dan malam, matahari, bulan dan planet-planet. Meskipun demikian, informasi tentang penciptaan alam semesta dalam al-Qur’an tidak tersusun secara sistematis seperti yang dikenal dalam buku ilmiah. Masalah ini tidak terhimpun pada satu kesatuan fragmen, tetapi ia diungkapkan dalam berbagai ayat yang tergelar dalam beberapa surat al-Qur’an. Dalam al-Qur’an disebutkan, Allah menciptakan alam semesta tidak hanya menggunakan kata khalaqa, tetapi juga menggunakan kata-kata lain seperti Ja’ala, Bada’a, Fathara, Shana’a, Amara, Nasya’a, dan Bada’a3 yang mana arti lahiriyahnya sama tetapi maksudnya belum tentu sama. Untuk memaparkan dan membahas ayat-ayat tentang alam semesta dalam makalah ini, maka penulis akan menggunakan pendekatan yang relevan, yaitu pendekatan metode tafsir tematik (maudhu’i). Di samping itu, penulis juga akan menguraikan beberapa pendapat dari filosof Islam tentang proses penciptaan alam. Berdasarkan pada ayat-ayat yang akan dikumpulkan maka makalah ini mengetengahkan judul “Alam semesta Dalam Al-Quran”. Permasalahannya adalah bagaimana proses penciptaan alam semesta menurut al-Qur’an? Berapa lama proses penciptaan alam ini menurut al-Qur’an? Apa tujuan dari penciptaan alam menurut al-Qur’an? Proses Penciptaan Alam Semesta dalam Al-Qur’an Pembicaraan al-Qur’an tentang proses penciptaan alam semesta dapat ditemukan dari ayat-ayatnya yang tersebar dalam beberapa surat. Akan tetapi, informasi itu hanya bersifat garis-garis besar atau prinsip-prinsip dasar saja, karena al-Qur’an bukanlah buku kosmologi atau buku ilmu pengetahuan yang menguraikan penciptaan alam semesta secara sistematis. Oleh karena itu memunculkan banyak interpretasi terhadap kandungan ayat-ayat dimaksud. Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang proses penciptaan alam semesta ini adalah sebagai berikut: 1. Q.S. Hud: 7 Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya dan jika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". _____________ 2
Nur Chalis Madjid, Ensiklopedi Nur Chalis Madjid (Jakarta: Mizan, 2006), 134 Hussein Bahreisy, Kamus Islam Menurut Qur’an & Hadits (Surabaya: Galundi Jaya, tt),
3
hal. 16. 172
A. Samad Usman : Penciptaan Alam dalam Perspektif al-Qur’an
2. Q.S. Al-Anbiya’: 30
Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” 3. Q.S. Fushshilat: 9-12
Artinya: “ Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam". Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan sebaikbaiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Pada surat Hud: 7 Allah menegaskan bahwa Dialah Sang Pencipta alam semesta (langit dan bumi serta segala isinya). Sebelum proses penciptaan dimulai, Allah telah memiliki ‘Arasy (yang menjadi singgasana-Nya) yang berada di atas air ketika Dia menciptakan alam semesta. Allah melakukan ini semua adalah Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
173
untuk menguji manusia siapa yang paling baik amalnya (dalam memanfaatkan ciptaan-Nya itu) supaya mereka mendapatkan balasan atas amal perbuatan mereka.4 Bagian pertama atau permulaan Surat Hud ayat 7 diawali dengan menyebutkan bahwa Allah dalam menciptakan alam ini, baik langit maupun bumi memakan waktu selama enam masa, dengan rincian: dua hari menciptakan bumi, dua hari menciptakan segala isinya, dan dua hari menciptakan langit dan segala isinya.5 Dalam al-Qur’an, untuk menyebut alam semesta digunakan ungkapan “Samâwâti wa al-Ardhi wa mâ Bainahumâ “. Ungkapan ini terulang sebanyak 21 kali dalam 15 surat yang berbeda,6 kesemuanya dapat diartikan seluruh alam, baik yang fisik maupun non fisik. Kata “Samâwati wa al-Ardhi” yang diartikan dengan langit dan bumi - menurut yang dijelaskan al-Qur’an pada surat al-Anbiya’: 30 – pada mulanya keduanya adalah satu kesatuan (ratqan). Kemudian Allah pisahkan menjadi dua, yang satu diangkat-Nya ke atas yang disebut langit,7 dan yang satu lagi dibiarkan terhampar di bawah disebut dengan bumi. 8 Karena adanya pemisahan antara langit dan bumi itu, maka terciptalah ruangan kosong yang bernama awing-awang yang diungkapkan dengan kata wa mâ bainahumâ. Al-Qur’an pada surat al-Anbiya’: 30 juga menunjukkan bahwa air (almâ’) telah ada sebagai salah satu kondisi terwujudnya alam semesta. Menurut Madjid Ali Khan dengan mengutip Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa ilmu biologi kontemporer menunjukkan semua kehidupan dimulai dari air.9 HG. Sarwar dalam bukunya philosophy of Qur’an memngatakan bahwa air adalah komponen terpenting bagi kehidupan. Hal ini sebagai perluasan yang sangat mendukung teori kimia fisika.10 Menurut Hasbi ash-Shiddiqy, teori penciptaan alam yang dikemukakan oleh ilmu pengetahuan sesuai dengan teori al-Qur’an sendiri, seperti tersebut dalam Q.S. al-Anbiya’: 30.11 Teori-teori ilmiah yang sesuai dengan teori alQur’an menurut beliau adalah: Pertama: sebelum Allah menjadikan langit dan bumi, hanyalah terdapat zarrah-zarrah yang menyerupai kabut dan air yang menjadi unsur pokok terjadinya alam ini. Kedua: langit dan bumi mula-mulanya adalah suatu paduan, kemudian Allah memisahkannya. Lalu Allah menjadikan udara di antara keduanya yang menghilangkan panasnya bumi agar kita dapat hidup di atasnya. Udara yang bergerak dan terus berpindah-pindah itulah yang menyebabkan turunnya hujan yang membentuk laut dan sungai. _____________ 4
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Juz 12 (Mesir: Mustafa al-babi al-Halabi, 1394 H/1974
M), 3 5
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Fushshilat: 9-12 yang juga merupakan focus kajian dalam makalah ini. 6 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Muhammad Fu’ad Abd al-Baqiy, Al-Mu’jam alMufahras Li Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 365-366 7 ( واﻟﻲ اﻟﺴﻤﺎء ﻛﯿﻒ رﻓﻌﺖQ.S. Al-Gasyiah: 18) 8 ( واﻟﻲ اﻷرض ﻛﯿﻒ ﺳﻈﺤﺖQ.S. Al-Gasyiah: 20) 9 Madjid Ali Khan, Islam dan Evolusi Kehidupan, (terj) (PLP2: Yogyakarta, 1987), hal. 93 10 HG. Sarwar, Filsafat Al-Qur’an, (terj) (Rajawali: Jakarta, 1990), 99. 11 Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’an al-Majid, Jilid 4 (Jakarta: PT Pustaka Rezki Putra Semarang, 1995), 1809 174
A. Samad Usman : Penciptaan Alam dalam Perspektif al-Qur’an
Ketiga: apa yang dinamakan langit bukanlah planet, tetapi ruang yang tidak terbatas dan hanya Allah sendiri yang mengetahuinya dan ruang itulah yang menjadi tempat beredarnya seluruh bintang-bintang. Tetapi dapat kita katakana bahwa yang dikehendaki dengan tujuh petala langit ialah “ tujuh kelompok gugusan bintang” yang masing-masingnya beredar menurut garis edarnya sendirisendiri.12 Selanjutnya, pada surat Fushshilat: 9-12 Allah menjelaskan bahwa dalam proses penciptaan alam semesta ini terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama alam semesta diciptakan dalam bentuk asap (dukhân). Ibnu Katsir menafsirkan dukhân dengan sejenis uap air.13 Tahap kedua adalah terpecahnya asap (dukhân) tadi menjadi pelbagai benda-benda langit. Penjelasan al-Qur’an ini sama seperti yang diakui oleh kebanyakan pakar astrofisika sampai saat ini, yakni teori ledakan besar. Menurut teori ini, puluhan atau mungkin ratusan milyar tahun yang silam terdapat sebuah tumpukan gas yang terdiri dari hydrogen dan helium yang berotasi perlahan-lahan. Kemudian gas itu pecah dalam suatu peristiwa yang disebut “ledakan besar” dan selanjutnya banyak membentuk benda-benda langit yang kini dikenal dengan galaksi. Dalam alam semesta terdapat bermilyar-milyar galaksi, masing-masing berotasi pada sumbunya berpadu sedemikian rupa sehingga satu sama lain tidak bertabrakan.14 Pada tahap kedua, galaksi pecah dan menjadi bermilyar-milyar bintang, salah satu di antara bintang itu adalah matahari. Lalu setiap gas yang membentuk bintang kemudian pecah sebagai tahap ketiga untuk membentuk planet-planet yang mengelilingi bintang. Setiap bintang dan planet berotasi sedemikian rupa sehingga tidak ada tabrakan antara yang satu dengan yang lain. Semua itu adalah sunnatullâh, tanda-tanda atau hukum Allah atau dalam istilah ilmiah disebut dengan hukum alam.15 Masih menurut surat Fushshilat: 9-12, bumi ini diciptakan dalam dua hari, dan selama empat hari lagi Dia menciptakan hiasan-hiasannya seperti disebutkan di atas, dan menciptakan segala bahan makanan, bahan pakaian dan sebagainya yang sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk-Nya. al-Maraghi merincinya sebagai berikut: Allah menciptakan bumi dan segala isinya dalam empat tahapan, “Satu tahap untuk memadatkan materi bumi setelah asalnya berupa gas, setahap lagi untuk menyempurnakan lapisan-lapisan bumi selebihnya, termasuk di antaranya bahan-bahan mineral yang ada padanya, yang setahap lagi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan serta setahap lagi untuk pembentukan binatang.16 Dalam surat Fushshilat: 9-12 Allah menyebutkan penciptaan bumi terlebih dahulu, kemudian setelah itu barulah disebutkan penciptaan langit dengan segala isinya. Adapun pada ayat-ayat yang lainnya, biasanya terlebih dahulu diceritakan penciptaan langit, kemudian baru penciptaan bumi. Al-Maraghi mengatakan _____________ 12
Ibid., 1811-1812 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz IV, Beirut: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurahah, 1969), 93 14 Jurnalis Uddin, Teori Evolusi: Sesuai atau Bertentangan Dengan Al-Qur’an? Dalam Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang IPTEK, Ahmad As Shouwy… (et. Al) (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 268-269. 15 Ibid. 16 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maragi, Juz 12 (Mesir: Mustafa al-babi al-Halabi, 1394 H/1974 M), 207 13
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
175
bahwa pengungkapan dalam bentuk demikian karena manusia memperhatikan keadaan bumi yang ada di sekelilingnya, maka penyebutan tentang bumi didahulukan.17 Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, dalam rencananya Tuhan lebih dahulu membuat rencana bumi daripada rencana pembuatan langit, akan tetapi dalam pelaksanaannya kemudian Tuhan lebih dahulu mencptakan langit (termasuk matahari) dari bumi.18 Kata Samâwat yang diartikan dengan langit setidaknya memiliki tiga pengertian, yaitu: Pertama, berarti awan (sahâb) seperti terdapat dalam Q.S. al-Baqarah: 164 sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. Kedua, langit bermakna benda seperti terdapat pada Q.S. al-Insyiqaq: 1 sebagai berikut:
Artinya: “Apabila langit terbelah” Ketiga, langit juga bisa berarti sesuatu yang di atas kita. Sementara itu, penyebutan kata Samâwat dalam bentuk jamak karena langit diciptakan dalam tujuh tingkat atau tujuh lapis. Tujuh lapis ini diulangi dalam lima ayat (Q.S. al-Baqarah: 29, al-Mukminun: 17, al-Thalaq: 12, al-Muluk: 3, dan al-Naba’: 12) dilengkapi dengan menyebut tanda-tanda zodiac tentang matahari dan bulan, dan tentang bintang-bintang yang indah dan bintang-bintang yang menjadi alat pelempar setan (Q.S. al-Muluk: 5).19 _____________ 17
Ibid. Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’an al-Majid, Jilid 4…, 3531. 19 Faruq Sherif, Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an (terj) (Cet.I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), 41 18
176
A. Samad Usman : Penciptaan Alam dalam Perspektif al-Qur’an
Artinya: ”Sesungguhnya kami Telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala”. Adapun kata ardhi adalah bumi yang menjadi tempat hidup, tempat berkembang biak, dan tempat mencari rezeki semua makhluk Allah. Ardhi (bumi) inilah yang disuruh Allah memakmurkannya, dan dilarang merusaknya, dan yang diberi beban tanggungjawab untuk memimpin dan memakmurkannya adalah khalifah-Nya yang mulia, yaitu manusia. Manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia. Tetapi Allah, setelah menciptakan manusia dalam rupa yang terbaik, merendahkannya ke tingkat yang serendah-rendahnya, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh (Q.S. al-Thin: 5-6)., Jangka Waktu Proses Penciptaan Alam menurut al-Qur’an Mengenai jangka waktu terjadinya penciptaan alam semesta, al-Qur’an mengatakan dalam banyak ayat bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, baik langit maupun bumi, memakan waktu selama enam hari (Fî Sittati Ayyâm). Kata ayyâm merupakan bentuk jamak dari yaum bermakna min thulû al-syams ilâ gâribihâ (dari terbit fajar sampai tenggelam matahari). Kata Sittati Ayyâm sebagaimana disebutkan dalam tafsir al-Qurthubi adalah hari-hari akhirat, yang mana tiap-tiap hari lamanya 1000 tahun. Sementara menurut Mujahid, Imam Ahmad dan Ibnu ‘Abbas, hari yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hari dunia yang dimulai dari hari Ahad dan berakhir hari Jum’at (6 hari).20 Ungkapan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta selama enam hari (Fî Sittati Ayyâm) terulang dalam al-Qur’an sebanyak 6 kali, yaitu: Surat Yunus: 3, Hud: 7, al-A’raf: 54, al-Hadid: 4, al-Furqan: 59, dan Qaf: 38. Ayat-ayat tersebut memiliki redaksi dan susunan kalimat yang sama kecuali dalam surat al-Furqan: 59 dan Qaf: 38 dimana dalam kedua ayat tersebut tersisip kata wa mâ bainahumâ sebelum kata Fî Sittati Ayyâm. Mengenai jangka waktu terjadinya alam semesta dalam enam hari, terdapat ayat yang menjelaskan bahwa hari Tuhan sama dengan seribu tahun “sehari dalam pandangan Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari perhitungan kamu” (Q.S. al-Haj: 47 dan al-Sajadah: 5). Oleh karena itu, menurut al-Qur’an, penciptaan telah terjadi dalam enam ribu tahun. Akan tetapi beberapa mufasir ber-pendapat bahwa kata tahun dalam konteks ini digunakan bukan dalam pengertian biasa, tetapi secara kiasan, yang berarti suatu kurun waktu. Namun mufasir lainnya berpendapat bahwa penafsiran itu nampaknya tidak dapat dibenarkan mengingat adanya penggunaan kata itu secara seksama dalam ayat-ayat yang bersangkutan dimana dinyatakan dengan tegas bahwa sehari dalam pandangan Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari perhitungan kamu (Fî yaimin kâna miqdâruhû alfa sanatin mimmâ ta’uddûn).21 Kebanyakan ulama mazhab tekstual menafsirkan “enam hari” sama dengan hari di planet bumi dimana satu hari adalah 24 jam, waktu yang dibutuhkan bumi untuk berotasi mengelilingi matahari. Sebaliknya mazhab kontekstual mengatakan bahwa “satu hari” dalam al-Qur’an tidak otomatis berarti 24 jam, tetapi dapat berarti 1.000 tahun atau bahkan 50.000 tahun (Q.S. al-Sajadah: 5, _____________ 20
Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Juz VII (Mesir: Dar Al-Ihya Al-Kutub alTurats, 1952), 140 21 Faruq Sherif, Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an …, 42 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
177
Q.S. al-Ma’arij: 4).22 Mazhab kontekstual lebih suka menafsirkan “enam hari” itu menjadi enam “periode”, bukan “enam hari”.23 Dalam hal ini, penulis sepakat dengan mazhab kontekstual bahwa “hitungan enam hari” dalam penciptaan alam semesta tidaklah dapat kita samakan dengan hitungan enam hari hitungan kita di bumi yang sekarang ini. Sebab sewaktu langit dan bumi sedang diciptakan Allah, hitungan hari-hari, bulan dan tahun belum dikenal siapapun juga. Barulah setelah alam selesai diciptakan dan telah ada penghuninya, hitungan hari, bulan dan tahun itu ada dan dikenal oleh manusia. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, dengan menyebut enam hari atau enam periode/masa tersebut tidak lebih hanya sekedar penyebutan waktu belaka, dan bukan berarti Allah tidak kuasa menciptakan alam semesta ini kurang dari kurun waktu tersebut. Al-Qurthubi mengatakan bahwa “Kalau mau, Allah dapat menciptakan (alam semesta) dalam waktu sekejap saja. Bahkan dia cukup mengatakan Kun Fayakûn “Jadi! Maka jadilah”.24 Hikmah dibalik proses penciptaan yang memakan waktu cukup panjang adalah, Allah mengajarkan kepada manusia bahwa melaksanakan sesuatu haruslah secara bertahap dan tidak tergesa-gesa agar mendapatkan hasil yang maksimal. Sementara itu, Ulama falak telah menetapkan bahwa hari-hari di planet lain di luar bumi ini berbeda dengan hari-hari di bumi ini tentang jangka lamanya. Hari-hari Allah menjadikan alam ini sejak masih merupakan kabut atau asap berlangsung beribu-ribu tahun lamanya. Selain itu Allah menjelaskan bahwa Dia telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Dia juga memberitahukan bahwa sewaktu menciptakan langit dan bumi ketika itu ia telah bersinggasana di atas air, sebagaimana tersebut dalam ayat 9 dan 10 surat Fushshilat. Dalam hal ini, Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis qudsi, sebagaimana yang dikutip Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, bahwa Rasulullah SAW tatkala ditanya, “Ya Rasulullah, dimanakah Tuhan kami sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya?”. Rasulullah bersabda:
ﻛﺎن ﻓﻲ ﻋﻤﺎء ﻣﺎ ﺗﺤﺘﮫ ھﻮاء وﻣﺎ ﻓﻮﻗﮫ ھﻮاء ﺛﻢ ﺧﻠﻖ اﻟﻌﺮش ﺑﻌﺪ ذاﻟﻚ
Artinya: “Dia berada di awan yang kosong bawahnya dan kosong pula atasnya, kemudian diciptakan-Nya ‘Arsy sesudah itu”.25 Dengan demikian, air (menurut al-Qur’an) dan awan (menurut hadis) lebih dahulu diciptakan daripada bumi dan langit, bahkan lebih dahulu daripada ‘ArasyNya. Sedangkan tujuannya Allah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya adalah untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya sewaktu menghuni bumi serta menikmati apa yang ada di antara keduanya. Tujuan Penciptaan Alam menurut al-Qur’an Al-Qur’an menekankan bahwa Allah tidak pernah tak peduli pada ciptaannya. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. al-Mukminun: 17 sebagai berikut: _____________
Lihat Q.S. Al-Sajadah: 5 ﺛﻢ ﯾﻌﺮج اﻟﯿﮫ ﻓﻲ ﯾﻮم ﻛﺎن ﻣﻘﺪاره اﻟﻒ ﺳﻨﺔ ﻣﻤﺎ ﺗﻌﺪونdan Q.S. al-Ma’arij: 4 ﺗﻌﺮج اﻟﻤﻠﺌﻜﺔ واﻟﺮوح اﻟﯿﻊ ﻓﻲ ﯾﻮم ﻛﺎن ﻣﻘﺪاره ﺧﻤﺴﯿﻦ اﻟﻒ ﺳﻨﺔ 23 Jurnalis Uddin, Teori Evolusi: Sesuai atau Bertentangan Dengan Al-Qur’an? Dalam Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang IPTEK, Ahmad As Shouwy…, 268 24 Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an…., 140 25 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz IV…, 269 22
178
A. Samad Usman : Penciptaan Alam dalam Perspektif al-Qur’an
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit); dan kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami)”. Allah juga telah menciptakan bumi sebanyak Ia menciptakan langit, sebagaimana firmannya dalam Q.S. al-Thalaq: 12 berikut ini:
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dari seluruh rangkaian objek ciptaan, tidak ada yang tidak disebutkan alQur’an berulang-ulang dalam konteks manfaatnya bagi manusia: langit, matahari, bulan, bintang, malam, siang, angin, hujan, bumi, jalan, laut, sungai, sumber air, gunung, tumbuhan, buah-buahan tertentu, mineral (besi), hewan, dan sebagainya.26 Apabila ditanyakan apa penyebab sebutan berulang-ulang semacam itu tentang objek-objek yang terletak di hadapan mata kita, jawabannya ialah bahwa jumlah tekanan pada tanda-tanda dan simbol-simbol Tuhan akan cukup untuk membuktikan kebesaran Tuhan, kekuasaan-Nya, dan nikmat-nikmat yang disediakan-Nya kepada manusia. Al-Qur’an mengatakan bahwa penciptaan langit dan bumi jauh lebih besar daripada manusia (Q.S. al-Mukminun: 57). Dalam seluruh ciptaan Allah ada tanda-tanda bagi orang yang mengerti; orang beriman harus dalam setiap sikap tubuhnya merenungkan keajaiban alam semesta seraya berkata, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Q.S. Ali ‘Imran: 191). Motif Allah dalam menciptakan seluruh alam semesta – yang tidak menyebabkan Ia lelah atau bosan (Q.S. al-Baqarah: 255 dan al-Ahqaf: 32) – ialah agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (Q.S. al-Thalaq: 12). Menurut hadis Nabi, Allah berfirman, “Aku (dahulunya) perbendaharaan yang tersembunyi, kemudia Aku merasa ingin dikenali, lalu Aku menciptakan makhluk supaya Aku dikenal”. Menurut sebuah hadis lain, Allah berkata kepada Nabi, “Sekiranya bukan karena engkau ya Muhammad, Aku tidak akan menciptakan langit-langit.” Sehubungan dengan keharusan manusia untuk mengenal alam sekelilingnya dengan baik, maka Allah memerintahkan dalam ayat 101 surat Yunus:
_____________ 26
Faruq Sherif, Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an (terj) (Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), 41 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
179
Artinya: “Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". Agar manusia mengetahui sifat-sifat dan kelakuan alam di sekitarnya, yang akan menjadi tempat tinggal dan sumber bahan serta makanan selama hidupnya. Kata unzuru mengandung perintah untuk melihat tidak sekedar dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, serta makna gejala-gejala alamiyah yang teramati. Hal ini akan tampak lebih jelas lagi jika mengikuti teguran-teguran Allah dalam ayat 17-20 al-Ghasyiyah sebagai berikut:
Artinya: “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Dari empat ayat yang tersebut di atas nyatalah bahwa Allah memberikan bimbingan-Nya lebih lanjut di dalam al-Qur’an, dengan memberikan contoh apa saja yang dapat diamati dan untuk tujuan apa pengamatan itu dilakukan, agar manusia dapat mengenal baik lingkungan itu. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa alam semesta menurut al-Qur’an diciptakan Allah SWT, namun tidak dijelaskan secara rinci apakah ia diciptakan dari sesuatu atau materi yang sudah ada atau dari ketiadaan (nihil). Proses penciptaannya juga mengalami perkembangan secara gradual (tadrij) sesuai dengan sunatullah. Kosmologi dalam al-Qur’an dapat digambarkan dengan ringkas: Allah telah menciptakan tujuh lapis langit dan meletakkan yang satu di atas yang lain di atas bumi, dalam tatanan yang sempurna dan tanpa cela, masing-masing berorbit pada jalannya sendiri. Karena alam semesta dan proses-proses yang terjadi di dalamnya sering kali dinyatakan sebagai ayat-ayat Allah, maka memeriksa dan meneliti kosmos atau alam semesta dapat diartikan sebagai membaca ayatollah yang dapat merinci dan menguraikan serta menerangkan ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang pada umumnya merupakan garis-garis besar saja.
180
A. Samad Usman : Penciptaan Alam dalam Perspektif al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim Ahmad Musthafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Juz 12. Mesir: Mustafa al-babi al-Halabi. 1394 H/1974 M. A.W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Faruq Sherif, Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an (terj). Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001. Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’an al-Majid, Jilid 4. Jakarta: PT Pustaka Rezki Putra Semarang, 1995 HG. Sarwar, Filsafat Al-Qur’an. (terj) Rajawali: Jakarta, 1990 Hussein Bahreisy, Kamus Islam Menurut Qur’an & Hadits. Surabaya: Galundi Jaya, tt. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz IV, Beirut: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurahah, 1969. Jurnalis Uddin, Teori Evolusi: Sesuai atau Bertentangan Dengan Al-Qur’an? Dalam Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang IPTEK, Ahmad As Shouwy… (et. Al). Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Majid Fakkri, Sejarah Filsafat Islam Terj. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqiy, Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an Beirut: Dar al-Fikr, 1987. Madjid Ali Khan, Islam dan Evolusi Kehidupan, (terj). PLP2: Yogyakarta, 1987 Nur Chalis Madjid, Ensiklopedi Nur Chalis Madjid. Jakarta: Mizan, 2006. Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Juz VII (Mesir: Dar Al-Ihya Al-Kutub al-Turats, 1952)
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
181
KONSEP MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
Arfah Ibrahim Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Washliyah Lam Ara Rukoh, Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT God created man to worship Him. In addition, humans serve as a vicegerent on earth in the trust of God. Man was created with the best of shape (fi ahsani taqwim) with many advantages is given, it can be adaptable and able to choose the path of good and bad, so no way to destroy it. In addition, humans are creatures who can be educated (homo educandum), so the presence of this human potential may be directed in accordance with the teachings of Islam. Objectives and benefits of the concept of human knowing in the Qur'an is to know the various advantages and superiority of human beings. So it can be an ideal method to develop human potential, to lead the world in the development of civilization in the direction commanded by the Qur'an and Hadith. Kata Kunci: Manusia, al-Qur’an Pendahuluan Allah menurunkan al-Qur’an agar menjadi peringatan bagi manusia. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah dan prinsip-prinsip hidup yang harus ditempuh oleh manusia. Ayat-ayat tersebut adalah umm al-kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahaman demi menyelamatkan umat Islam dan menjaga eksistensinya. 1 Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah dengan sebaik-baik bentuk, terlebih bila diperhatikan kepribadian dan tanggungjawab yang diemban. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Allah yang mampu menjadi sejarah, dan mendapat kemenangan. Selain itu, manusia juga merupakan makhluk kosmis yang sangat penting, karena lengkap dengan pembawaan dan syarat-syarat yang dibutuhkan. Syarat ini menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa raga yang timbal-balik dengan dunia dan antar sesamanya.2 Pada sisi yang lain, manusia merupakan puncak penciptaan dan makhluk Allah yang tertinggi dengan sebaik-baik bentuk. Keistimewaan ini menyebabkan manusia dijadikan khalifah atau wakil Allah yang dipercaya mengemban amanah berupa tugas dalam menciptakan tata kehidupan yang bermoral di muka bumi. Sebagai konsekuensinya, manusia dituntut untuk berbakti kepada Allah dengan memanfaatkan kesempurnaan dan kelebihan akal pikiran dan segala kelebihan lain _____________ 1
Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2010), 302 2 Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),12 182
Arfah Ibrahim : Konsep Manusia dalam al-Qur’an
yang telah dianugerahkan padanya.3 Di sinilah terlihat bagaimana manusia memiliki peran penting dalam mengelola tata kehidupan di bumi sesuai dengan ajaran Islam. Hakikat manusia secara lebih konkrit dapat diperhatikan penjelasannya dalam firman Allah;
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lupus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. al-Rum: 30) Fitrah Allah yang dimaksudkan adalah bahwa manusia diciptakan dengan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Jika ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar, karena hal tersebut hanya pengaruh lingkungan. Al-Qur’an mendudukkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah berupa jasmani dan rohani. Dan memberi acuan konseptual yang sangat mapan dalam memberi pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani, agar manusia dapat berkembang secara wajar dan baik. Al-Qur’an memberi keterangan tentang manusia dari banyak segi, untuk menjawab pertanyaan siapa sebenarnya manusia. Pengertian Manusia Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, basyar dan bani Adam. Kata insan dalam al-Qur’an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamak dipakai kata al-nas, unasi, insiya, dan anasi. Adapun basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Insan berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa. Maka dapat dikatakan bahwa kata insan menunjukkan suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. 4 Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.5 Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap suatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa terhadap suatu kewajiban yang seharusnya dilakukan, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan orang yang sengaja melupakan kewajibannya. Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan harmonis,6 karena manusia pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat _____________ 3
Jalaluddin, Teologi…,12 Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an (Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), 22 5 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), 280 6 Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan…, 20 4
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
183
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah. Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriyah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan bahwa ”Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu” (QS. al-Kahf: 110). Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat al-Qur’an menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan.7 Penggunaan kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar, seperti yang terdapat dalam QS al-Hijr: 28. Dan QS. al-Baqarah: 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia.8 Manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam. Pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya.9 Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati. Dari pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psikis yang memiliki potensi untuk berkembang. Al-Qur’an berulangkali mengangkat derajat manusia dan merendahkan pula. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikan sebagai makhluk yang paling sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain (QS. 95: 4). Abdurrahman al-Nahlawi mengatakan manusia menurut pandangan Islam meliputi: 10 Pertama, manusia sebagai makhluk yang dimuliakan. Artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya (QS. al-Isra: 70 dan QS. alHajj: 65). Kedua, manusia sebagai makhluk istimewa dan terpilih. Salah satu anugerah Allah yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia _____________ 7
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an…, 279 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., 280 9 Musa Asy’arie. Manusia Pembentuk Kebudayaan…, 21 10 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta Gema Insani Press, 1995.),1-3 8
184
Arfah Ibrahim : Konsep Manusia dalam al-Qur’an
mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang tidak menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan (QS. al-Syams: 7-10). Ketiga, manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat al-Alaq: 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dengan ”afala ta'qilun”, “afala tata fakkarun”, dan lain-lain yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat: mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemajuan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya.11 Apabila manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan binatang buas. Sebagaimana firman Allah;
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatirkan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. al-Ahzab : 72) Selanjutnya dalam firman Allah: QS. al-Tin: 5-6: “Kemudian Kami kembalikan dia ke kondisi paling rendah, kecuali mereka yang beriman kepada Allah dan beramal saleh”. Selain itu al-Qur’an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah. Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah;
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak _____________ 11
Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an, dalam Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 11 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
185
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. al-A’raf: 179) Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini sesuai dengan rekayasa fitrahnya. Unsur-Unsur Manusia Menurut al-Qur’an Dalam al-Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif. Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia itu pada prinsipnya condong kepada kebenaran (hanif) sebagai fitrah dasar manusia. Allah menciptakan manusia dengan potensi kecenderungan, yaitu cenderung kepada kebenaran, cenderung kepada kebaikan, cenderung kepada keindahan, cenderung kepada kemuliaan, dan cenderung kepada kesucian. Manusia juga diciptakan sebagai makhluk berpribadi yang memiliki tiga unsur padanya, yaitu unsur perasaan, akal (intelektual), dan jasmani. Ketiga unsur ini berjalan secara seimbang dan saling terkait antara satu unsur dengan unsur yang lain. Secara lahiriyah raga yang tampak melakukan perbuatan, tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh jiwa.12 Jadi unsur yang terdapat dalam diri pribadi manusia yaitu rasa, akal, dan badan harus berjalan seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan pincang. Sebagai contoh: apabila manusia yang hanya menitik-beratkan pada memenuhi fungsi perasaannya saja, maka ia akan terjerumus dalam kehidupan spiritualistis saja, fungsi akal dan kepentingan jasmani menjadi tidak penting. Apabila manusia hanya menitik beratkan pada fungsi akal (intellectual) saja, akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang rasional, yaitu hanya menerima kebenaran yang dapat diterima oleh akal. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal, merupakan hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan (ilusi) semata-mata. Selain perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani atau badaniah, cenderung ke arah kehidupan yang materialistis dan positivistis. Maka al-Qur’an memberikan hudan kepada manusia, yaitu mengajarkan agar adanya keseimbangan antara unsur-unsur tersebut, yaitu unsur perasaan terpenuhi kebutuhannya, demikian juga unsur akal dan jasmani.13 Fungsi Manusia menurut Al-Qur’an Berbicara tentang fungsi manusia menurut al-Qur’an, apabila diperhatikan surah al-Mukminun: 115 yang dikemukakan pada pendahuluan di atas, dapat ditemukan dalam konteks ayat tersebut, bahwa manusia adalah makhluk fungsional dan bertanggungjawab. Artinya manusia berfungsi terhadap diri _____________ 12
Sukirin, Pokok-pokok Psikologi Pendidikan (Yogyakarta FIP-IKIP, 1981), 17-18 Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam (Yogyakarta: Perpustakaan Pusat UII,
13
1984), 8 186
Arfah Ibrahim : Konsep Manusia dalam al-Qur’an
pribadinya, masyarakat, lingkungan, dan berfungsi terhadap Allah Sang Pencipta Manusia. Fungsi manusia dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Fungsi manusia terhadap diri pribadi Manusia secara pribadi terdiri dari kesatuan unsur jasmani dan rohani, unsur rohani terdiri dari cipta (akal), rasa dan karsa. Unsur yang ada pada diri pribadi manusia merupakan kesatuan. Meskipun masing-masing berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Unsur cipta (akal) meliputi pengamatan, ingatan, pikiran dan sebagainya. Unsur rasa terdiri dari perasaan jasmani meliputi sakit, enak, lapar, kenyang, dan sebagainya. Perasaan rohani meliputi perasaan keindahan, kesusilaan, keagamaan, sosial, harga diri, dan keilmuan. Unsur karsa terdiri dari kemauan, cita-cita, keinginan, reflek, instink dan sebagainya.14 Dengan mengetahui unsur tersebut, jika ingin memahami tingkah laku manusia, harus melihat atau meninjaunya secara total, karena manusia merupakan suatu kesatuan jiwa dan raganya, tingkah laku atau perbuatannya adalah pencerminan dari kegiatan jiwa dan raganya. Fungsi manusia terhadap diri pribadi yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan unsur-unsur tersebut secara menyeluruh agar kebutuhan pribadi tetap terjaga. Unsur jasmani yang memerlukan makan-minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan sebagainya dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Akal yang merupakan salah satu segi unsur rohani bertabiat suka berpikir. Tabiat suka berpikir akan dipenuhi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang berguna bagi hidup manusia. Rasa yang juga merupakan salah satu segi unsur rohani yang selalu merindukan keindahan, kebenaran, keadilan dan sebagainya, dipenuhi pula kebutuhannya dengan berbagai kesenian yang sehat, hidup dengan pedoman yang benar, berlaku adil dan sebagainya.15 Perasaan rindu kepada kebaikan dapat diisi dengan nilai-nilai moral, perasaan rindu kepada keindahan diisi dengan nilai-nilai seni-budaya, perasaan rindu kepada kemuliaan diisi dengan takwa, perasaan yang rindu kepada kesucian diisi dengan usaha-usaha meninggalkan sifat-sifat tercela, seperti dengki, takabbur, aniaya dan sebagainya. Dengan demikian, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Kehendak yang merupakan unsur rohani terpenting bagi manusia dalam usaha meningkatkan hidup dan kehidupannya harus selalu dihidupkan. Supaya tidak timbul penyakit malas yang akan mematikan unsur kehendak manusia. Kematian kehendak berarti kematian makna hidup bagi manusia. Suka menangguhkan pekerjaan yang semestinya dapat dan sempat diselesaikan segera akan mengakibatkan kemalasan, yang berarti kemalasan kehendak16 2. Fungsi manusia terhadap masyarakat Manusia sebagai makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya. Fungsi manusia terhadap masyarakat ditegakkan atas dasar rasa yang tertanam bahwa umat manusia merupakan keluarga besar, berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa, dan dijadikan Allah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling interaksi untuk saling mengenal, tolong menolong dalam berbuat kebaikan dan bertakwa. Antara sesama manusia tidak terdapat perbedaan tinggi rendah martabat kemanusiaannya. Perbedaan martabat manusia hanya terletak _____________ 14
Sukirin, Pokok-pokok Psikologi Pendidikan, 20 Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, 5 16 Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, 5 15
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
187
pada aktivitas amal perbuatannya dan rasa ketakwaan kepada Allah. Allah mengajarkan kepada manusia sebagai berikut:
”Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan telah kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di hadirat Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujarat: 13) Dari ayat ini dapat diketahui bahwa manusia adalah makhluk individual, makhluk religius, dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individual manusia mempunyai dorongan untuk kepentingan pribadi. Sebagai makhluk religi manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan kekuatan di luarnya (Allah), adanya hubungan yang bersifat vertikal, dan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan manusia yang lainnya, maka kemudian terbentuklah kelompok-kelompok masyarakat.17 Fungsi manusia terhadap masyarakat terbangun atas dasar sifat sosial yang dimiliki manusia, yaitu adanya kesediaan untuk selalu melakukan interaksi dengan sesama. Ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia selalu mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga mengadakan hubungan dengan sesama manusia. Kesediaan untuk memperhatikan kepentingan orang lain, dalam hal ini adalah tolong menolong. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an; ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Maidah: 2) 3. Fungsi manusia terhadap alam dan lingkungan Fungsi manusia terhadap alam adalah bagaimana manusia memanfaatkan potensi alam untuk mencukupkan kebutuhan hidup manusia. Banyak ayat alQur’an yang menegaskan bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi ditundukkan Allah kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sendiri (QS. alJatsiyah: 13). Laut, sungai, matahari, bulan, siang dan malam dijadikan sebagai sarana kemakmuran hidup manusia (QS. Ibrahim: 32-34); binatang ternak diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (QS. al-Nahl: 5); laut ditundukkan kepada manusia sebagai sarana komunikasi dan untuk digali dan dimanfaatkan kekayaannya. _____________ 17
Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1987), 41 188
Arfah Ibrahim : Konsep Manusia dalam al-Qur’an
Manusia berkewajiban mengelola dan menjaga potensi alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, itu merupakan tuntutan fungsi manusia terhadap alam. Oleh karena itu, dalam mengolah potensi alam yang diberikan Allah kepada manusia merupakan fardhu kifayah, karena tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk menggali potensi alam yang diberikan tersebut. Apabila manusia menyia-nyiakan potensi alam tersebut, maka manusia berarti mengabaikan fungsinya terhadap alam. Dalam memenuhi fungsi manusia terhadap alam, hendaknya selalu diusahakan agar keselamatan manusia tidak terganggu. Tidak memanfaatkan potensi alam secara berlebih-lebihan, agar generasi mendatang masih dapat menikmatinya, karena potensi alam terbatas. 18 Apabila berlaku berlebih-lebihan, tamak, rakus, dalam memanfaatkan potensi alam akan berakibat kerusakan pada manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini, Allah memperingatkan manusia bahwa, “Kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri; Allah merasakan kepada mereka sebagai [akibat] perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Rum: 41). Berdasarkan ayat ini, maka pemanfaatan potensi alam untuk kepentingan manusia sekarang, harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang, dengan berusaha menjaga, melestarikan potensi alam tersebut. 4. Fungsi manusia terhadap Allah Fungsi manusia terhadap Allah ditegaskan dalam al-Qur’an; “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyat: 56) Dengan demikian, beribadah kepada Allah menjadi fungsi manusia terhadap Allah baik dalam bentuknya umum maupun dalam bentuk khusus. Ibadah dalam bentuk umum ialah melaksanakan hidup sesuai ketentuan-ketentuan Allah, sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan hadis. Ibadah dalam pengertian umum mencakup segala macam perbuatan, tindakan dan sikap manusia dalam hidup sehari-hari. Sedangkan ibadah dalam bentuk khusus (mahdhah) yaitu berbagai macam pengabdian kepada Allah yang cara melakukannya sesuai dengan ketentuan syara’. Dalam bidang akidah, fungsi manusia terhadap Allah adalah meyakini bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah. Bertuhan kepada selain Allah berarti suatu penyimpangan dari fungsi manusia terhadap Allah. Bertuhan kepada Allah adalah sesuai sifat dasar manusia yaitu sifat religius, tetapi sifat “hanief” yang ada pada manusia membuat manusia harus condong kepada kebenaran yaitu mentauhidkan Allah. Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’an Berbagai konsep dilontarkan orang tentang hakikat manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang pandai menciptakan bahasa untuk menyatakan pikiran dan perasaan, sebagai makhluk yang mampu membuat alat-alat, sebagai makhluk yang dapat berorganisasi sehingga mampu memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan manusia, sebagai makhluk yang suka bermain, dan sebagai _____________ 18
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, 16
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
189
makhluk yang beragama. Dalam al-Qur’an, manusia diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif. Al-Qur’an mengatakan manusia itu “hanief” yaitu condong kepada kebenaran, mentauhidkan Tuhan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Yang banyak dibicarakan al-Qur’an tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat al-Qur’an yang dengan terang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya (QS. al-Tin: 5) dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibandingkan dengan kebanyakan makhluk-makhluk Tuhan yang lain (QS. al-Isra: 70). Tetapi, di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat zalim (aniaya) dan mengingkari nikmat (QS. Ibrahim: 34) Banyak istilah yang digunakan al-Qur’an dalam menggambarkan manusia berkualitas atau makhluk yang diciptakan Allah dalam sosok yang paling canggih, di antaranya kata manusia beriman (QS. al-Hujarat : 14), beramal saleh (QS. alTin: 6), diberi ilmu (QS. al-Isra: 85, QS. Mujadalah: 11, QS. Fathir : 28), alim (QS. al-Ankabut: 43), berakal (QS. al-Mulk: 10), manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah: 30), jiwa yang tenang (QS. al-Fajr: 27-28), hati yang tenteram (QS. al-Ra’d: 28), kaffah (QS. al-Baqarah: 208), muttaqin (QS. al-Baqarah: 2), takwa (QS. al-Baqarah: 183), mukminin, muhsinin, syakirin, muflihin, shalihin, yang kemudian diberi keterangan untuk mendeskripsikan ciri-cirinya. Istilah-istilah tersebut saling berkaitan dan saling menerangkan. Jadi, apabila mengambil salah satu istilah dari istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an, maka deskripsinya akan saling melengkapi dan merupakan ciri bagi yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa konsep dan karakteristik manusia berkualitas tidak tunggal, akan tetapi komprehensif dan saling melengkapi. Kesimpulan Al-Qur’an memberikan penjelasan yang sempurna mengenai manusia, dari keterangan ayat-ayat-Nya dapat diketahui bahwa manusia merupakan ciptaan Allah yang diciptakan dengan bentuk yang sebaik-baik. Manusia merupakan satusatunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak. Selain itu manusia juga merupakan makhluk kosmis yang sangat penting, karena lengkap dengan pembawaan dan syarat-syarat yang dibutuhkan. Pada sisi lain, manusia merupakan puncak penciptaan dan makhluk Allah yang tertinggi. Keistimewaan ini menyebabkan manusia dijadikan sebagai khalifah atau wakil Allah di bumi dengan berbagai potensi yang telah dianugerahkan Allah kepadanya yang kemudian dipercaya mengemban amanah berupa tugas dalam menciptakan tata-kehidupan yang bermoral di muka bumi. Sehingga dapat menjadi manusia yang mampu menjaga kelestarian dan eksistensi bumi, di mana dalam berinteraksi manusia dapat menjaga perbendaharaan yang ada agar tetap dapat digunakan oleh generasi selanjutnya. Selain itu, dengan kapasitas manusia yang memiliki akal dapat menjalin komunikasi yang baik dengan sesama manusia, baik dalam masyarakatnya sendiri maupun dengan masyarakat lain dan dengan lingkungannya agar dapat berjalan dengan semestinya. Sebagai konsekuensinya, manusia dituntut untuk berbakti kepada Allah dengan memanfaatkan kesempurnaan dan kelebihan akal pikiran dan segala kelebihan lain yang telah dianugerahkan kepadanya. 190
Arfah Ibrahim : Konsep Manusia dalam al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an. Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992 Basyir, Ahmad Azhar. Falsafah Ibadah dalam Islam. Yogyakarta: Perpustakaan Pusat UII, 1984 Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003 Al-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta Gema Insani Press, 1995 Nawawi, Rif’at Syauqi. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an, dalam Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Al-Qattan, Manna Khalil. Studi ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010 Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 1996 Sukirin. Pokok-pokok Psikologi Pendidikan. Yogyakarta FIP-IKIP, 1981 Walgito, Bimo. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1987
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
191
PLANOLOGI HIJRAH NABI MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Jailani Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Hijrah is a departure from the one area to another is moved. They left the first area to the second area, as was done by the immigrants from Mecca to Medina. Hijrah means not only rule out a person's interests, compromising treasure and save her soul only. But must be accompanied by the realization that he too had been lawful and robbing them, could die at the beginning or end to the trip. Hijrah is the command of Allah. can take place simultaneously in accordance with the plan of disbelievers of Quraysh to capture and kill the Prophet Muhammad. Also can take individually to leave somewhere else toward a more comfortable place. In this context, the move is seen as a rescue plan is very mature and trickery of God given to His Messenger Prophet Muhammad. of catches Quraish. God is All-mighty, All-Knowing, All-Wise and the best avenger trickery Quraish infidels. Kata Kunci: Hijrah Nabi, Planologi dakwah Pendahuluan Kata Hijrah adalah lawan kata dari al washal (sampai/tersambung). Haja-ra-hu, yah-ju-ru-hu, hij-ran, dan hij, ra, nan yang artinya memutuskannya, mereka berdua yah-ta-ji-ran atau ya-ta-ha-ja-ran yaitu saling meninggalkan. Bentuk isimnya adalah al-hij-rah.... Ibnu Faris berkata: Perginya satu kaum dari satu wilayah ke wilayah lain adalah hijrah. Mereka meninggalkan wilayah yang pertama menuju wilayah yang kedua sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dari Mekah menuju Madinah.1 Setelah Baitul Aqabah kedua rampung dilaksanakan dan Islam telah pula sukses membangun sebuah tanah air di tengah-tengah padang sahara yang masih diselimuti oleh gelombang kekufuran dan kejahilan. Ini merupakan sebuah upaya yang paling ekstrim yang dialami umat Islam sejak permulaan dakwah. Rasulullah Saw. akhirnya mengizinkan kaum muslimin melakukan hijrah ke tanah air (baru) tersebut. Hijrah tidak saja berarti mengesampingkan kepentingan seseorang, mengorbankan harta dan menyelamatkan jiwanya saja. Akan tetapi harus disertai dengan kesadaran bahwa dirinya juga telah dihalalkan dan terampas, bisa jadi meninggal di awal perjalanan atau di akhirnya. Demikian juga menyadari bahwa dirinya akan berjalan menuju masa depan yang masih tidak menentu, dia tidak _____________ 1
Ahzami Samiun Jazuli, Hijrah dalam Pandangan al Qur’an, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 15 192
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
tahu ketidakstabilan dan kesedihan apa yang nantinya menjadi dampak darinya.2 Hijrah dalam pandangan al Qur’an juga bermakna berpindah dari satu negeri ke negeri lain untuk menjaga keselamatan agama sebagai tanggung jawab (tha’at) kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al Ankabut ayat 26:
Artinya: Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikian pula firman Allah dalam an Nisa` ayat 100:
Artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Pendapat pertama, menurut syar’i, para ulama (Ibnul Arabi, Ibnu Hajar al Asqalani dan Ibnu Taimiyah), mengemukakan makna hijrah adalah perpindahan dari negeri kaum kafir atau kondisi peperangan (daarul kufri wal harbi) ke negeri muslim (daarul Islam). Karena itu dalam pandangan Ibnu Arabi lebih setuju dengan pendapat pertama, maka beliau menyatakan bahwa Hijrah dengan makna lebih luas yaitu: 1. Meninggalkan negeri yang diperangi (daruul harbi) menuju negeri Islam (darul Islam). 2. Meninggalkan negeri yang dihuni oleh ahli bid’ah. 3. Meninggalkan negeri yang dipenuhi oleh hal-hal yang haram sementara mencari sesuatu yang halal merupakan kewajiban setiap muslim. 4. Melarikan diri demi keselamatan jiwa. Sesungguhnya ini merupakan rukhsah (keringanan) yang diberikan Allah Swt. sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim as., ketika ia merasa takut dari kejaran kaumnya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al Ankabut ayat 26: _____________ 2
Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury, (Alih Bhs. Sulaiman Abdurrahim), Sirah Nabawiyah, Perjalanan Kehidupan dan Dakwah Rasulullah SAW,. Cet.I, (Bandung: Penerbit Sygma Publishing, 2010), 200. Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
193
Artinya: Maka Luth membenarkan (kenabian)nya dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikian pula firman Allah Swt. dalam surat al Qashas ayat 21:
Artinya: Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, Dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu". Maksudnya merasa sangat khawatir, kalau-kalau ada orang yang menyusul untuk menangkapnya. 5. Khawatir terkena penyakit di negeri yang sedang terkena wabah, sehingga ia pergi meninggalkan negeri itu menuju negeri yang aman tanpa wabah. Rasulullah Saw. Mengizinkan para penggembala untuk meninggalkan kota Madinah ketika sedang terjangkit wabah di Madinah dan mereka pergi ke tempat gembala di padang rumput yang lain kemudian kembali ke Madinah setelah wabah tersebut hilang. 6. Melarikan diri demi keselamatan harta. Sesungguhnya kehormatan harta seorang muslim seperti kehormatan darahnya, sedangkan keluarga memiliki kehormatan yang sama atau bahkan lebih tinggi. Berdasarkan pendapat tersebut di atas yang dikemukakan oleh para ahli baik secara bahasa dan syara’, mengandung pengertian tentang perencanaan. Hijrah adalah pergi meninggalkan suatu keadaan menuju sampai ke tempat lain. Hal ini berarti sebelum pergi sudah ada rencana yang dipersiapkan secara baik dan matang. Tempat lain dapat juga diartikan berpindah dari satu hal kepada hal lain yang lebih baik. Berpindah dari perbuatan jahat kepada yang baik atau meninggalkan suatu tempat karena takut ke tempat yang lebih nyaman. Demikian makna hijrah dalam perencanaan dakwah. Perintah Hijrah Allah Swt. Maha Tahu atas segala apa yang akan terjadi, karena segala sesuatu di alam dunia ini berada dalam kekuasaan-Nya. Karena itu Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan-Nya juga memberikan perlindungan dari gangguan, ancaman dan tindakan kekerasan terhadapnya oleh kafir Quraisy. Di sinilah Allah Swt. member perintah kepada Nabi Muhammad Saw agar berhijrah bersama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana menyatakan dalam firmanNya surat al Baqarah ayat 218:
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. " Demikian pula firman Allah Swt. dalam surat an-Nisa’ ayat 100: 194
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
Artinya: "Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Allah Swt. memberitahu Rasulullah Saw. perihal rencana jahat orang non muslim yaitu kafir Quraisy yang ingin membunuh beliau dan umat Islam lainnya. Setelah mengetahui berita itu dari Allah Swt. beliau kemudian menyampaikan kepada Ali ra. “Tidurlah kamu di tempat tidurku dan berhijrahlah ke Madinah setelah kamu selesaikan pengembalian seluruh harta-benda (deposit) yang telah diamanahkan/dititipkan oleh orang-orang di dalam rumahku.” Persoalan yang paling besar dihadapi Nabi Muhammad Saw. adalah untuk menangkap, menyiksa dan membunuhnya oleh orang kafir Quraisy. Sebagaimana Allah menyatakan dalam surat al Anfal ayat 30:
Artinya: Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu-daya. Berdasarkan ayat tersebut di atas, perintah hijrah dapat berlangsung secara bersama-sama dengan rencana orang kafir Quraisy untuk menangkap dan membunuh Nabi Muhammad Swt. Tuhan Maha perkasa, Maha Mengetahui ,Maha Bijaksana dan sebaik-baik pembalas tipu daya orang-orang kafir Quraisy. Makna Hijrah dalam Planologi Dakwah Setelah orang-orang kafir Quraisy mengambil keputusan yang sangat kejam, yaitu untuk membunuh Nabi Saw. saat itulah Malaikat Jibril as. turun dengan membawa wahyu dari Allah Swt. memberitahukan kepada Nabi Saw. perihal persekongkolan kaum Quraisy tersebut dan izin Allah Swt. kepada beliau untuk keluar dari Makkah (berhijrah). Jibril telah menentukan momen hijrah tersebut sembari berkata, malam ini, kamu jangan berbaring di tempat tidur yang biasanya.3 Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad Saw. adalah pelajaran yang paling berharga dalam sebuah perencanaan. Karena sebelum terjadinya pelaksanaan Hijrah, _____________ 3
Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfury, Terj. Sulaiman Abdurrahim, “Sirah Nabawiyah Perjalanan Kehidupan dan Dakwah Rasulullah Saw.”, (Bandung: Sygma Publishing, 2010), 207. Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
195
Nabi Muhammad Saw telah mendapat berbagai cobaan yang berat. Cobaan yang berat itu datang dari kalangan kaum kafir Quraisy dan dari pihak keluarga beliau sendiri yang tidak menyukai perjuangannya. Nabi Muhammad Saw. bertolak ke kediaman Abu Bakar di tengah terik matahari untuk bersama-sama menyepakati tahapan hijrah. Aisyah berkata, ketika kami sedang duduk-duduk di kediaman Abu Bakar pada siang hari yang terik, tiba-tiba ada seseorang berkata kepada Abu Bakar. Ini Rasulullah datang dengan menutup wajah (bertopeng) pada waktu yang tidak biasa beliau mendatangi kita. Abu Bakar berkata, ayah dan ibuku sebagai tebusan untuknya! Demi Allah! Beliau tidak datang di waktu-waktu seperti ini kecuali karena ada perintah (Allah). .... mengadakan Hijrah yang pertama ke Habsyah (Abisinia). Rakyat Abisinia adalah pemeluk agama Kristen dan Rasul mengetahui bahwa Raja Habsyah yaitu Najasyi dikenal adil,..4 Hijrah ke Habsyah adalah yang pertama dilakukan beliau untuk menghindari gangguan, dan penghinaan kepada Nabi Saw. Hijrah ini dalam rangka mencegah dan menghindari siksaan di luar peri kemanusiaan terhadap pengikut dan sahabat-sahabatnya itu. Sebelum melakukan Hijrah Nabi Saw. telah membuat perencanaan dengan matang. Artinya Nabi Muhammad Saw mengatur strategi agar tidak dihalangi oleh orang-orang kafir Quraisy. Perjalanan Hijrah sangat direncanakan dengan beberapa pertanyaan, yang tidak terlepas dari 5 W+1 H. Artinya apa yang akan dipersiapkan sebelum berhijrah. Pertama Nabi Saw mempersiapkan kemana tujuan Hijrah? Siapa yang tidur di rumah setelah Nabi berangkat ? Kapan meninggalkan rumah agar tidak diketahui oleh musuh ? Siapa yang akan menampung setelah sampai di tempat tujuan ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan penyusunan rencana strategis dalam meninggalkan rumah menuju ke tempat yang lebih aman. Urgensi Planologi dalam Pelaksanaan Hijrah Definisi aktivitas manajerial (amaliah al-Idariyyah) adalah meliputi: a. Takhthith (perencanaan strategis); Takhthith (Perencanaan strategik), strategic Planning/Corporate Planning, merupakan bahagian yang penting (essential part) dari manajemen strategik. Ia adalah tidak sama dengan manajemen strategik. Perencanaan strategik merupakan aspek utama manajemen strategik dan dapat dianggap sebagai pilar sentral manajemen strategik. Inti sari suatu perencanaan strategik adalah kemungkinan untuk pengenalan sistematis dari peluang-peluang dan ancaman-ancaman di masa yang akan datang, yang dengan pilihan langkah-langkah yang lebih tepat, akan lebih menguntungkan perusahaan.5 b. Tanzhim (pengorganisasian, penyusunan); Hakikat daripada Tanzhim (pengorganisasian, penyusunan) merupakan keseluruhan pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas serta wewenang dan tanggung jawab sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bulat dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.6 Suatu rencana yang telah _____________ 4
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, 59 M. Amin Widjaya Tunggal, Manajemen Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 151. 6 Sondang P. Siagian, Fungsi-fungsi Manajerial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), 81 5
196
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
dirumuskan dan ditetapkan sebagai hasil penyelenggaraan fungsi organik perencanaan, dilaksanakan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam satuansatuan kerja tertentu. Sehubungan dengan pengorganisasi dalam perencanaan dakwah di atas, al Qur’an sebagai pedoman hidup dan landasan umat Islam, dengan tegas menyatakan dengan firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 103:
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai… . Dalam firman Allah dalam surat al Anfal ayat 46:
Artinya: Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Firman dalam Allah pada surat an Nur ayat 53 :
Artinya: Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: “Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Firman Allah dalam surat al Fath ayat 10:
Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
197
c. Tawjih (pengarahan dan orientasi); Tawjih (pengarahan) adalah fungsi atau tugas yang keempat dari pimpinan. Bila rencana pekerjaan sudah tersusun, struktur organisasi ditetapkan dan posisi-posisi atau jabatan-jabatan dalam struktur organisasi atau dalam perusahaan sudah diisi, berkewajibanlah pimpinan untuk menggerakkan bawahan, memutar roda mesin perusahaan dan mengkoordinasi, agar apa yang menjadi tujuan perusahaan dapat direalisasi. Menggerakkan bawahan inilah yang dimaksud dengan fungsi keempat dari pimpinan, yakni mengarahkan bawahan.7 Berkaitan dengan pengarahan Allah menyatakan dengan firmanNya dalam surat ash Shaff ayat 10-11:
Artinya: Hai orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih ? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik kamu jika kamu mengetahuinya. d. Riqabah (pengawasan). Riqabah (Pengawasan); merupakan proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi guna lebih menjamin bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagai fungsi organik, pengawasan merupakan salah satu tugas yang mutlak diselenggarakan oleh semua orang yang menduduki jabatan manajerial, mulai dari manajer puncak hingga para manajer rendah yang secara langsung mengendalikan kegiatankegiatan teknis yang diselenggarakan oleh semua petugas operasional.8 Pengawasan terhadap lingkungan (eksternal dan internal pada semua aspek perusahaan yang berkepentingan), identifikasi kesempatan lingkungan untuk dieksploitasi dan menghindari bahaya-bahaya, analisis kekuatan dan kelemahan perusahaan yang penting dalam perumusan dan penilaian strategi-strategi, identifikasi strategi untuk mencapai tujuan perusahaan, pengadaan semua proses manajerial yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa semua strategi telah diimplemantasikan secara tepat. Rencana adalah suatu arah tindakan yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Dari perencanaan ini akan mengungkapkan tujuan-tujuan keorganisasian dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan guna mencapai tujuan.9 Secara alami, perencanaan itu merupakan bagian dari sunnatullah, yaitu dengan melihat bagaimana Allah Swt. menciptakan alam semesta dengan hak dan _____________ 7
M. Manullang, Dasar-dasar Manajemen, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), 157. 8 Sondang P. Siagian, 169. 9 Gorden B. Dafis, Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen, (Jakarta: PT Pustaka Binaman Presindo, 1984), 118. 198
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
perencanaan yang matang disertai dengan tujuan yang jelas. 10 Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Sad, ayat 27:
Artinya: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orangorang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Perencanaan (takhthith) merupakan starting point dari aktivitas manajerial. Karena bagaimana sempurnanya suatu aktivitas manajemen tetap membutuhkan sebuah perencanaan. Karena perencanaan merupakan langkah awal bagi sebuah kegiatan dalam bentuk memikirkan hal-hal yang terkait agar memperoleh hasil yang optimal. Alasannya, bahwa tanpa adanya rencana, maka tidak ada dasar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka usaha mencapai tujuan. Jadi, perencanaan memiliki peran yang sangat signifikan, karena ia merupakan dasar dan titik tolak dari kegiatan pelaksanaan selanjutnya. Oleh karena itu, agar proses dakwah dapat memperoleh hasil yang maksimal, maka perencanaan itu merupakan sebuah keharusan. Segala sesuatu itu membutuhkan rencana, sebagaimana dalam hadis Nabi Muhammad Saw: “Jika engkau ingin mengerjakan suatu pekerjaan, maka perkirkanlah akibatnya, maka jika perbuatan tersebut baik, ambillah dan jika perbuatan itu jelek, maka tinggalkanlah.” Dalam organisasi dakwah, merencanakan di sini menyangkut merumuskan sasaran atau tujuan dari organisasi dakwah tersebut, menetapkan strategi menyeluruh untuk mencapai tujuan dan menyusun hierarki lengkap rencana-rencana untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan. Pada perencanaan dakwah menyangkut tujuan apa yang harus dikerjakan dan saranasarana (bagaimana harus dilakukan). Secara garis besar perencanaan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu rencana besar (grand planning), dan rencana biasa. Rencana besar adalah rencana menyeluruh dari semua aktivitas yang dilaksanakan. Planning, sebagai formulasi tindakan untuk masa depan diarahkan pada tujuan yang akan dicapai oleh organisasi. Pada tahapan ini bila tidak ditampilkan sebuah konsistensi, maka hasilnya juga akan tidak sesuai dengan keinginannya (das sollen). Dalam bahasa lain, Dean R. Spizer menyebutnya sebagai: “Those who fail to plain, plain to fail” (siapa yang gagal dalam membuat rencana, sesungguhnya ia sedang merencanakan sebuah kegagalan). Selanjutnya, menurut Henry Fayol, seorang pakar manajemen Amerika, perencanaan adalah semacam prediksi terhadap apa yang akan terjadi pada masa datang disertai persiapan untuk menghadapi masa yang akan datang. Sementara itu, James S. F. Ftore mendefinisikan “perencanaan” sebagai “Planning is the process of setting goals and closing the means to achive those goals” _____________ 10
Didin Hafidhuddin, Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press), 78. Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
199
(Perencanaan adalah sebuah proses untuk menyusun sebuah rencana dalam meraih perencanaan tujuan tersebut). Sedangkan menurut Mary Robins, perencanaan adalah suatu proses yang melibatkan penentuan sasaran dan tujuan yaitu sesuatu yang akan dicapai yang dihasilkan secara nyata dalam jangka waktu tertentu. Organisasi, menyusun strategi menyeluruh untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan mengembangkan hierarki rencana komprehensif untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kegiatan. Dari pengertian di atas, perencanaan juga merupakan sebuah proses untuk mengkaji apa yang hendak dikerjakan di masa yang akan datang. Komponen perencanaan adalah: ide, penentuan aksi, dan waktu. Waktu di sini, bisa dalam jangka pendek (short planning) dan jangka panjang (long planning). Perlu ditegaskan, bahwa perencanaan berbeda dengan perkiraan (forecasting/prediction/ projection). Karena sebuah ramalan di masa yang akan datang yang sifatnya tidak proaktif. Perencanaan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah takhthith. Perencanaan dalam dakwah Islam bukan merupakan sesuatu yang baru, akan tetapi aktivitas dakwah di era modern membutuhkan sebuah perencanaan yang baik dan menjadi agenda yang harus dilakukan sebelum melangkah pada jenjang dakwah selanjutnya. Secara general tugas dari perencanaan yang paling utama adalah menentukan sasaran. Menentukan sasaran yang ingin dicapai serta pembagiannya menjadi sasaran-sasaran yang bersifat temporal dan sektoral serta menentukan skala prioritas pelaksanaannya, dengan begitu dapat menjamin secara maksimal tidak adanya sebuah pengabaian tugas tertentu atau hal-hal lainnya yang tak kalah pentingnya. Selanjutnya dari sasaran ini dikelompokkan menjadi sasaran antara dan penentuan skala prioritasnya. Pengelompokan sasaran dan penentuan skala prioritas dapat mewujudkan tujuan yang ingin dicapai secara sistematis, yaitu dengan memerhatikan atau memprioritaskan hal-hal yang lebih penting, dengan tidak mengabaikan schedule program yang sudah tetap, sehingga apa yang dinamakan sebuah efisiensi dapat terlaksanakan. Selanjutnya tugas dari perencanaan lainnya adalah mengkaji kondisi yang berkembang, mengetahui segala potensi yang dimiliki, dan potensi apa saja yang telah terpenuhi, dan yang belum terpenuhi. Mengkaji di sini diartikan sebagai upaya melakukan sebuah kajian terhadap kondisi yang melingkupinya dan berbagai kondisi yang ada. Hal ini akan sangat membantu ketika menentukan program dakwah serta langkah-langkah selanjutnya. Dengan begitu khathah akan berjalan secara waqi’i (realistis) dan praktis, tidak bersifat nazari (teoretis) yang sulit dalam tataran aplikatif. Dalam pengkajian ini juga tidak terlepas dari berbagi kemungkinan perubahan yang dapat memengaruhi dan menentukan sebuah antisipasi dan alternatif yang cocok, sehingga tidak menimbulkan sebuah kemandekan atau kevakuman program.11
_____________ 11
200
Mushthafa Masyhur, (2001), Fiqh Dakwah, Al-I’tishom , Jakarta: Cahaya Umat, 313.
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
Konsep tentang perencanaan hendaknya memerhatikan apa yang telah dikerjakan pada masa lalu untuk merencanakan sesuatu pada masa yang akan datang. Sebagaimana yang tersirat dalam al-Qur’an surat al-Hasyr: 18
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Konsep ini menjelaskan, bahwa perencanaan yang akan dilakukan harus disesuaikan dengan keadaan situasi dan kondisi pada masa lampau, saat ini, serta prediksi masa depan. Oleh karena itu, untuk melakukan segala prediksi masa depan diperlukan kajian-kajian masa kini. Bahkan begitu pentingnya merencanakan masa depan, maka muncul ilmu yang membahas masa depan yang disebut dengan Futuristics.12 Karena itu, dalam aktivitas dakwah, perencanaan dakwah bertugas menentukan langkah dan program dalam menentukan setiap sasaran, menentukan sarana-prasarana atau media dakwah, serta personal da’i yang akan diterjunkan. Menentukan materi yang cocok untuk sempurnanya pelaksanaan, membuat asumsi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi yang kadang-kadang dapat memengaruhi cara pelaksanaan program dan cara menghadapinya serta menentukan alternatif-alternatif yang semua itu merupakan tugas utama dari sebuah perencanaan.13 Sebuah perencanaan dikatakan baik, jika memenuhi persyaratan berikut: a. Didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah baik. Standar baik dalam Islam adalah yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan asSunnah. b. Dipastikan betul bahwa sesuatu yang dilakukan memiliki manfaat. Manfaat ini bukan sekadar untuk orang yang melakukan perencanaan, tetapi juga untuk orang lain, maka perlu memerhatikan asas maslahat umat, terlebih dalam aktivitas dakwah. c. Didasarkan pada ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan apa yang dilakukan. Untuk merencanakan sebuah kegiatan dakwah, maka seorang da’i harus banyak mendengar, membaca, dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas sehingga dapat melakukan aktivitas dakwah berdasarkan kompetensi ilmunya. d. Dilakukan studi banding (benchmark). Benchmark adalah melakukan studi terhadap praktek terbaik dari lembaga atau kegiatan dakwah yang sukses menjalankan aktivitasnya. Planogi (perencanaan) berasal dari bahasa Inggris, secara epistemology Planologi terdiri dari dua suku kata, “plan” dan “logi”. Plan dalam bahasa Inggris
_____________ 12
Ishak Asep, Hendri Tanjung, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Trisakti,
2002), 19. 13
Ibid.
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
201
artinya “rencana” dan logi adalah ilmu. Sedangkan kata “planning” dalam Kamus bahasa Inggris diartikan “perencanaan”.14 Perencanaan adalah bahagian dari fungsi-fungsi ilmu manajemen, dalam dunia modern, istilah perencanaan sudah sangat dikenal dan dianggap sebagai salah satu pilar penting dari fungsi manajemen. Sebagaimana Winardi (dalam Manullang) menyatakan lima fungsi manajemen yaitu: a. Planning (perencanaan) b. Organizing (pengorganisasian) c. Actuating (implementasi atau pelaksanaan) d. Coordinating (koordinasi) e. Controlling (pengawasan).15 Planning (perencanaan) adalah proses mendefenisikan tujuan organisasi dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Perencanaan adalah salah satu fungsi utama manajemen dalam pelaksanaan tujuan yang ingin dicapai organisasi dengan berbagai proses. Perencanaan adalah proses mendefenisikan tujuan-tujuan organisasi, dan kemudian mengartikulasi/menyajikan dengan jelas strategistrategi, taktik-taktik, dan operasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.16 Dalam al Qur’an dinyatakan dengan firman Allah surat al Anfal ayat 60:
Artinya: dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Melalui perencanaan sebuah program memiliki landasan yang efektif bagi tercapainya tujuan serta efektivitas pendayagunaan sumber-sumber daya yang ada. Perencanaan juga menjadi garis-garis batas untuk mengontrol terjadinya deviasi atau penyimpangan. Planning (perencanaan) oleh Mondy dan Premeaux dalam bukunya Management: Concepts, Practices and Skills didefinisikan sebagai “proses menentukan apa yang seharusnya dicapai dan bagaimana mewujudkannya dalam kenyataan.”17 Dari definisi ini maka perencanaan dalam dakwah dapat dimaknai _____________ 14
M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramadia,, 2003),
433 15
M. Manullang, Dasar-dasar Manajemen, cet, XVIII, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), 8 16 M. Amin Widjaya Tunggal, Manajemen Suatu Pengantar, 141. 17 Mondy, R.W & Premeaux, Management: Concepts, Practices and Skills, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1995), hal. 138, sebagaimana dikutip oleh Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005), 61 202
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
dengan upaya-upaya yang dilakukan dalam menentukan tujuan dan target sebuah aktifitas dakwah melalui pengumpulan data-data dan menganalisisnya untuk kemudian merumuskan metode dan tata cara untuk merealisasikannya dengan seoptimal mungkin. Dalam kaitan ini sebuah perencanaan dakwah hendaknya memenuhi tiga unsur utama sebuah perencanaan yaitu: pengumpulan data, analisis fakta dan penyusunan rencana yang konkrit.18 Masalahnya, dalam perkembangan dakwah kekinian perencanaan tampaknya masih belum mendapat perhatian yang cukup dari para aktivis dakwah sehingga menyebabkan tujuan-tujuan dakwah tidak dapat dicapai dengan baik. Akibatnya muncul ‘penyakit-penyakit’ dakwah yang tidak diharapkan seperti aktivitas dakwah yang asal-asalan (afwi), spontan (irtijāli), parsial (juz’i), tidak inovatif (taqlidi) dan bersifat tambal sulam (tarqi`i).19 Untuk itu aktifitas dakwah mesti mendapat perhatian serius dan tidak dikerjakan secara sambil lalu (laiknya ‘pekerjaan sambilan’) salah satunya melalui perencanaan yang baik sebagai bentuk profesionalisme (itqān) sebagaimana dianjurkan oleh Nabi Saw. dalam salah satu sabdanya: “Sesungguhnya Allah menyukai jika seseorang di antara kamu mengerjakan sesuatu dengan penuh profesionalisme”.20 Sebuah perencanaan yang matang akan menjadi peta jalan (road map) kegiatan dakwah sehingga pelaksanaan agenda dakwah akan lebih fokus dan terkontrol, efektif, efisien dan komprehensif-integratif. Selain itu aktivitas dakwah yang dijalankan melalui perencanaan yang disusun matang (by design) akan dapat memberikan kepercayaan diri pada para aktivis dakwah karena mereka merasa menjalankan sebuah pekerjaan yang telah teruji secara konseptual. 21 Melihat manfaat besar yang dapat dicapai oleh dakwah melalui sebuah perencanaan maka Muhamad Abu al-Fath al-Bayānūni cukup tepat ketika meletakkan perencanaan sebagai salah satu dari instrumen penting non-materil (al-wasā’il al-ma`nawiyah) dalam mencapai tujuan-tujuan dakwah.22 b. Organizing (pengorganisasian) Untuk mewujudkan sebuah organisasi yang kuat, perlu adanya perencanaan yang mengedepankan persatuan dan kesatuan. Dalam hal al Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa berpegang teguhlah kamu sekalian dengan jalan Allah dan janganlah kamu bercerai berai. Allah menyatakan dalam surat c. Actuating (implementasi atau pelaksanaan) d. Coordinating (koordinasi) e. Controlling (pengawasan). _____________ 18
Tentang tiga unsur perencanaan ini lihat: Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, 62 19 Irwan Prayitno, Kepribadian Da’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 2005), 161-164 20 HR. Al-Bayhaqi dan Abu Ya’la, disebutkan juga oleh Al-Suyuti dalam Al-Jāmi` alŞaghīr. Hadits ini diperselisihkan kesahihannya oleh para ulama hadits. Al-Albani menggolongkannya sebagai hadits sahih atau hasan dalam kitabnya Şahih wa Dla`if Al-Jāmi` alŞaghīr dan Al-Silsilah al-Şahīhah (dalam Maktabah Shamela 3.28). 21 Baca: `Abdul Mawlā al-Ţāhir al-Makki, Al-Takhţīţ li al -Da`wah al-Islāmiyah Dirāsah Ta’şīliyyah, tesis magister di Fakultas Dakwah dan Informasi, Universitas Islam Imam Muhamad Ibn Sa`ūd, Riyadh, 1995), 22-23 22 Al-Sa’dy, ‘Abd Al-Rahmān ibn Nāshir, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, (Beirut: Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H), 186 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
203
Perencanaan Dakwah dalam Sirah Nabi SAW Sebelum mengulas pelajaran perencanaan dakwah dalam sirah Nabi SAW, tulisan ini akan sekilas melihat bagaimana al-Quran memberikan konsep tentang perencanaan. Hal ini dirasa penting karena bagi sebagian kalangan perencanaan dianggap ’tidak islami’ karena bertentangan dengan konsep tawakal atau iman kepada takdir. Pandangan ini biasanya datang dari kalangan kaum sufi yang cenderung bersikap pasrah. Jika dicermati secara seksama ada beberapa ayat al-Quran yang secara implisit sebenarnya mengandung anjuran bagi umat Islam untuk memperhatikan perencanaan. Dalam QS. Al-Nisā: 71 misalnya Allah berfirman:
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersamasama!” Ayat ini sejatinya mengandung perintah untuk melihat hukum sebab akibat (causality) yang dalam konteks ini adalah segala aspek yang mendukung pertahanan kaum muslimin dari serangan kaum kafir.23 Demikian pula dengan ayat QS. Al-Anfāl: 60
Artinya: dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Ketika mengomentari ayat ini, Syaikh Muhamad Rashid Ridlā menyatakan bahwa yang disebut dengan al-i`dād adalah mempersiapkan sesuatu untuk masa yang akan datang (tahyi’ah al-shay’ li al-mustaqbal).24 Selain dua contoh ayat di atas dan yang sejenisnya, al-Quran secara eksplisit mencatat contoh pelaksanaan konsep perencanaan yang gemilang dalam kisah Nabi Yusuf as. dan kisah Dzulqarnain. Allah Swt. mengisahkan bagaimana Nabi Yusuf me_____________ 23
Al-Sa’dy, ‘Abd Al-Rahmān ibn Nāshir, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām alMannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, (Beirut: Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H), 186 23 Muhamad Rashid Ridlā, Tafsir al-Manār, (Kairo: Al-Hay’ah al-Mişriyah al-`Āmmah li al-Kitāb, vol. X, 1990), hal.53
204
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
nyampaikan ide perencanaan dalam manajemen pangan jangka panjang atau sekitar 15 tahun dalam mengantisipasi datangnya masa paceklik. Allah menyatakan dalam surat Yusuf 47-49:
Artinya: Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan* Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan* Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan* Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur*. Demikian pula Allah Swt. menyatakan dalam surat al Kahfi ayat 94-97:
Artinya: Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj* itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, Maka dapatkah Kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara Kami dan mereka?" Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi". hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
205
Allah juga menceritakan bagaimana Dzulqarnain ketika mengetahui adanya realitas ancaman Ya’jūj dan Ma’jūj terhadap sebuah masyarakat yang dia temui dalam perjalanannya kemudian merencanakan persiapan menghadang mereka dengan membangun sebuah benteng kokoh. * Ya'juj dan Ma'juj ialah dua bangsa yang membuat kerusakan di muka bumi, sebagai yang telah dilakukan oleh bangsa Tartar dan Mongol. Dari uraian singkat di atas jelas sudah indikasi-indikasi yang diberikan alQuran terhadap pentingnya sebuah perencanaan dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Nabi Saw. sendiri sebagai penerima wahyu dan pemberi penjelasan terhadap al-Quran benar-benar memahami hal itu dan mengimplementasikannya dalam perjalanan sejarah dakwah beliau. dan nyatanya, Nabi Saw. meskipun dibimbing oleh wahyu dalam setiap gerak dan langkahnya, namun juga melakukan berbagai perencanaan yang matang demi tercapainya keberhasilan agenda-agenda yang ditargetkan. Ketika Rasulullah Saw. menentukan tempat hijrah pertama untuk para sahabatnya ke Ethiopia (Habsyah), tampak sekali bahwa hal itu tidak lahir dari sebuah gagasan yang datang tiba-tiba tanpa perencanaan dan pertimbangan yang matang terhadap situasi dan kondisi geopolitik dan keagamaan di wilayah tersebut.25 Pemilihan Ethiopia yang secara geografis tidak masuk bagian Jazirah Arab dan cukup jauh dari Mekah bahkan dibatasi oleh laut memungkinkan para sahabat Nabi yang berhijrah tidak terkejar oleh kaum Quraish yang saat itu memiliki pengaruh dan kekuatan cukup besar. Nabi Saw. juga tidak meminta para sahabat untuk pergi ke tempat yang lebih jauh lagi sehingga justru mempersulit para muhajirun dan menyebabkan terputusnya kabar dari mereka. Ethiopia saat itu berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin yang dikenal cukup bijak dan adil sehingga menjamin keamanan para muhajirun. Situasi keagamaan di wilayah itu juga cukup kondusif, karena raja dan penduduknya memeluk agama Nasrani yang secara psikologis relatif lebih memiliki kedekatan dibanding dengan kaum pagan. Demikian pula dengan proses perjalanan hijrah Nabi SAW ke Madinah mengungkapkan ketelitian dan kecermatan perencanaan yang dilakukan oleh Nabi SAW. Dalam proses hijrah Nabi ke Madinah Munir Muhamad Ghadlbān mencatat sejumlah point penting perencanaan Nabi seperti pemilihan waktu keluar Makkah di siang bolong di bawah terik mentari dengan menutup muka di saat kebanyakan orang sedang malas ke luar rumah, pembelian dua binatang kendaraan perjalanan empat bulan sebelumnya, penyiapan bekal Asmā’ binti Abu Bakar, keluar rumah Abu Bakar tidak melalui pintu yang biasanya, menugaskan Abdullah ibn Abu Bakar sebagai pengumpul informasi, menugaskan `Āmir ibn Fuhayrah untuk menghapus jejak pengirim bekal, penunjukan Ibn Urayqiţ yang non-muslim sebagai pemandu terpercaya, menggunakan jalur perjalanan yang tidak biasa dilalui manusia, menjadikan gua Tsūr sebagai tempat transit dan lain-lain.26 Pada masa-masa awal dakwah Nabi SAW, tepatnya pada tahun kelima kenabian Rasulullah menjadikan sebuah rumah milik Al-Arqam ibn Al-Arqam alMakhzumi sebagai tempat pertemuan beliau dengan para sahabatnya yang saat iti merupakan minoritas yang senantiasa dijadikan objek tekanan dan penindasan kaum mushrik Quraish. Jika diamati secara mendalam pilihan Nabi tersebut _____________ 25
Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, (Kairo: Dar al-Şahwah, t.th), hal. 45-46 Munir Muhamad Ghadlbān, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, (Makkah: Umm al-Qura University, 1419 H), 324-341 26
206
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
nyatanya tidak terjadi secara kebetulan melainkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang bervisi ke depan. Menurut analisis Munir Ghadlbān setidaknya ada tiga alasan penting pemilihan rumah al-Arqam.27 Pertama, alArqam bernaung di bawah klan Bani Makhzum yang merupakan musuh tradisional Bani Hashim. Dengan alasan ini, akan sangat sulit bagi kaum musyrik membayangkan bahwa Nabi Saw. yang datang dari klan Bani Hashim justru menggunakan rumah anggota klan Bani Makhzum. Kedua, saat itu usia al-Arqam ibn al-Arqam masih sangat belia, yakni baru berusia 16 tahun, sehingga anggapan kaum musyrik akan sulit mengerti bagaimana sebuah rumah milik seorang anak muda belia akan dijadikan pusat dakwah oleh Nabi Saw. Alasan ketiga, bahwa keislaman al-Arqam masih belum diketahui siapapun kecuali oleh kalangan umat Islam saat itu saja. Dari beberapa contoh fragmen sirah di atas menunjukkan betapa Nabi Muhammad Saw. sangat memperhatikan perencanaan dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Menarik sekali bahwa perencanaan beliau sangat memenuhi unsur-unsur perencanaan ilmu manajemen modern, yakni ketersediaan data yang lengkap dan pengenalan yang akurat terhadap data maupun kondisi riil medan yang dihadapi, kemampuan melakukan analisis secara tepat dan dapat menyusun aksi-aksi brilian dan membawa hasil. Realitas Dakwah Berbasis Perencanaan Dewasa ini tidak dapat dipungkiri secara nyata apakah secara umum ataupun secara khusus, bahwa dakwah kurang berbasis perencanaan. Gambaran ini memang belum dilakukan penelitian secara mendalam. Dakwah yang dilaksanakan secara turun temurun itu bukan berdasarkan hasil penelitian. Data perkembangan dakwah sekarang adalah data intuitif (data sementara). Apabila dakwah dilaksanakan berdasarkan hasil perencanaan yang baik dan benar, kemungkinan akan memberikan dampak positif bagi para pendengarnya. Kesimpulan Dari paparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan: Perencanaan adalah faktor sangat penting dalam keberhasilan sebuah agenda dakwah. AlQuran sangat menganjurkan umat Islam untuk mempersiapkan sebuah perencanaan dalam setiap aktivitas kehidupannya, terlebih di bidang dakwah. Sirah Nabi SAW sangat padat dengan berbagai teladan ketajaman visi Nabi dan ketepatan perencanaan beliau dalam menjalankan agenda dakwah yang di-embannya. Selayaknya, hal tersebut dapat diteladani secara baik oleh umat Islam saat ini.
_____________ 27
Munir Muhamad Ghadlbān, Al-Manhaj al-Haraki li al-Sīrah al-Nabawiyah, (Jordania: Maktabah al-Manar, Cet. 5, vol. I, 1989), 47-48 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
207
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran al-Karim dan Terjemahnya Al-Sa’dy, ‘Abd Al-Rahmān ibn Nāshir, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, Beirut: Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H, `Abdul Mawlā al-Ţāhir al -Makki, “Al-Takhţīţ li al -Da`wah al-Islāmiyah Dirāsah Ta’şīliyyah”, tesis, Riyadh: Fakultas Dakwah dan Informasi, Universitas Islam Imam Muhamad Ibn Sa`ūd, 1995 Irwan Prayitno, Kepribadian Da’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 2005 Muhamad Abu al-Fath al-Bayānūni, Al-Madkhal ila `Ilm al-Da`wah, Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 3, 1995 Muhamad Nashirudin Al-Albani, Şahih wa Dla`if Al-Jāmi` al-Şaghīr dan AlSilsilah al-Şahīhah (dalam Maktabah Shamela 3.28). Muhamad Rashid Ridlā, Tafsir al-Manār, Kairo: Al-Hay’ah al-Mişriyah al`Āmmah li al-Kitāb, 1990 Munir Muhamad Ghadlbān, Al-Manhaj al-Haraki li al-Sīrah al-Nabawiyah, Jordania: Maktabah al-Manar, Cet. 5, 1989 -----Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, Makah: Umm al-Qura University, 1419 H Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005 Yūsuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, Kairo: Dar al-Şahwah, t.th Harian Umum Republika Muhbib Abdul Wahab,“Dakwah Berbasis Riset“, dalam Harian Republika, 7 Oktober 2009. Mondy, R.W & Premeaux, S.H, Management: Concepts, Practices and Skills, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1995. Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005.
208
Jailani: Planologi Hijrah Nabi Muhammad dalam Perspektif Al-Qur’an
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK MULTI DIMENSI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Abd. Majid Program Doktor PPS IAIN Sumatera Utara Email:
[email protected] ABSTRACT The Qur'an states explicitly, that the human being is created in the best possible shape, in contrast to His creatures the other. Humans are able to understand ourselves and the universe, both real and metaphysical nature. Humans are able to make vehicles and also be able to create sophisticated-sophisticated communication tools. Able to find a source of livelihood, fulfilling desires and overcome them, and be able to select and organize the wealth and natural beauty. Kata Kunci : Manusia, Makhluk multi-dimensi, al-Qur’an Pendahuluan Dalam kamus, kata “multi” berarti banyak, lebih dari satu, dan berbedabeda (heterogen).1 Istilah “multi” yang digunakan dalam tulisan ini sebagai penjelasan yang mengandung makna plural, serba bisa, dapat mengatur alam sekitar dan dapat menyebutkan nama-nama dari makhluk lainnya, hal ini tercantum dalam al-Qur’an. Dalam Islam, seseorang diharapkan mampu memahami dirinya sendiri dan mampu mengenali statusnya di alam ini. Al-Qur’an adalah kitab untuk membangun manusia. Ia bukan hanya suatu filosofi teoritis yang membicarakan kontroversi tentang teori-teori dan sudut pandang yang berbeda dengan hukum Islam. Akan tetapi al-Qur’an juga memajukan tiap-tiap gagasan untuk penerapan praktisnya dan menghendaki seseorang untuk menemukan jati dirinya. Jati diri bukanlah seperti apa yang terpampang pada kartu pengenal, yang hanya mencantumkan nama diri, nama orang tua, tanggal lahir, kebangsaan, status, jumlah anak, dan sebagainya. Yang dikehendaki oleh Islam adalah ruh-ilahiah. Dengan suatu pengetahuan yang sempurna tentang dirinya sendiri, manusia akan dapat merasakan suatu martabat dan derajat, menjauhi kehinaan, mengenali kesucian diri, serta paham makna dan nilai kesucian sosial maupun etis. Memahami diri berarti memahami bahwa manusia tidak hanya sekedar tertancap di bumi. Namun juga memahami bahwa mereka merupakan nur ruh ilahi dan bahwa mereka mampu mengalahkan para malaikat dalam hal kearifan. Manusia adalah makhluk merdeka, mampu menghidupi diri, dan bertanggung jawab pada semua manusia serta pada kemakmuran dan perbaikan alam. Manusia Makhluk Serba Mampu Manusia pada hakikatnya adalah makhluk hidup yang memiliki kepribadian yang tersusun dari perpaduan yang saling berhubungan antara unsur jasmani dengan rohani. Jasmani merupakan bagian fisik seperti halnya tubuh _____________ 1
Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grafindo, 2004), 19 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
Masa
Depan
dalam
209
secara keseluruhan. Rohani merupakan unsur yang hidup pada pribadi manusia dan di dalam jasmani itu sendiri terdapat dua unsur utama yang selalu berhubungan yaitu otak dan panca indera. Al-Qur’an menghargai manusia sebagai makhluk terpilih yang memperoleh otoritasnya atas dasar kompetensinya dari sumber ke-maujud-an yang paling logis. Berbeda dengan ungkapan filsafat, khususnya filsafat material yang memandang otoritas manusia semata-mata sebagai suatu produk dari penggunaan paksa dan kuasa manusia. Mereka berpendapat bahwa manusia memperoleh daya dan kuasa mereka secara kebetulan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut;
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”. (QS. Hud: 61) Manusia menyadari bahwa ia adalah khalifah Tuhan. Namun dalam hal ini, manusia tidak boleh mempergunakan superioritasnya secara sia-sia, seperti menancapkan otokrasi, merampas segalanya untuk diri sendiri, dan membiarkan diri hidup tanpa tanggung jawab, melainkan butuh sekali pengembangan bakat kepada hal-hal yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat muslim. Karena kejadian manusia termasuk peringkat yang sangat baik dan sempurna. Hal ini menunjukkan betapa i’jaz-nya ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang manusia.2 Manusia sebagai makhluk sosial dan kapasitasnya sebagai makhluk jasmaniah, secara fisik memiliki persamaan dengan makhluk lainnya, membutuhkan makan dan minum untuk hidup. Demikian juga termasuk nabi dan rasul yang memiliki sifat basyariah manusia.3 Islam menunjukkan bahwa ajarannya memberikan perhatian yang besar kepada seluruh dimensi manusia: fisik, material dan spiritual; mental dan emosional; sosial dan individual. Islam tidak mengesampingkan satu pun dari semua itu, melainkan justru mencurahkan perhatian istimewa pada latihan dari masing-masing dimensi dalam konteksnya yang relevan dan atas dasar prinsipprinsip tertentu. Pengumbaran diri, epikurianisme4 dan kecintaan akan hawa nafsu dikutuk di dalam Islam. Sebaliknya, latihan fisik untuk memelihara kesehatan diri secara seksama dipandang penting. Islam mengharamkan setiap perbuatan yang dapat membahayakan tubuh. Bahkan, Islam membatalkan suatu perintah ibadah, seperti _____________ 2
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz. 29, cet. 2 (Jakarta: Pembimbing Masa, 1998), 265 Aisyah binti al-Syathi’, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, terj. Muzakir (Bandung: Mizan, 1996), 23. Haroon Din dan Sulaiman Yasin, Manusia dan Islam (Pulau Pinang: Dorong UBS Sdn. Bhd, 1985), 29. Dan Sayyid Quthub, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, jil. 8, terj. Amiruddin (Kairo: Dar al-Shuruq, 2005), 34 4 Epikurianisme (Inggris: epicuarism) adalah suatu paham yang menyatakan bahwa tujuan hidup hanyalah untuk mengejar kenikmatan belaka. 3
210
Abd. Majid: Manusia sebagai makhluk multi-dimensi dalam Perspektif Al-Qur’an
puasa misalnya, jika justru akan merusak tubuh. Segala jenis candu yang membahayakan tubuh dilarang dalam Islam. Di lain pihak, diuraikan secara terperinci kebiasaan dan tradisi untuk memelihara kesehatan tubuh. Latihan bagi intelek dan pengembangan fungsi akal, yang akan melahirkan kemerdekaan berpikir, serta perjuangan melawan apapun yang menghalangi kemerdekaan ini, seperti menirukan apa yang telah dilakukan oleh para leluhur misalnya terhadap orang-orang terkemuka serta tata-krama etis yang salah. Pada ke-nyataannya, upaya untuk memperoleh kuasa diri, kontrol diri, dan kemerdekaan spiritual terhadap otoritas mutlak dari aneka nafsu merupakan landasan bagi kebanyakan ibadah dan ajaran dalam Islam. Kemulti-fungsian Manusia Kuasa atau daya didefinisikan sebagai faktor penghasil pengaruh yang dimiliki oleh suatu makhluk. Suatu makhluk dapat dianggap sebagai sumber dari berbagai pengaruh, apakah ia berupa makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, ataupun hewan, ia memiliki kuasa atau daya. Jika kuasa kemudian dipadukan dengan kecerdasan dan pemahaman, ia akan menjadi “potensi” atau “kapabilitas”. Karena segala keistimewaan yang terhimpun pada diri manusia bukan karena jasadnya yang sedemikian rupa. Tetapi keistimewaan yang ada pada manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu gabungan roh dan jasad, akhlak dan budi pekertinya serta perjuangan hidup dan segala yang wujud pada diri manusia yang menjadikannya khalifah di muka bumi ini.5 Manusia mampu menyetujui atau melawan keinginan dan mampu menyalahi kehendak dirinya. Oleh karena itu, mereka dapat bertindak atas dasar kuasa-iradah yang ada di bawah komando kearifan dan inteleknya. Kearifan akan mengenali dan memberi putusan, sedangkan kuasa-iradah akan mewujudkannya. Memiliki intelektual merupakan ciri terbesar manusia. Dan itu menjadi suatu alasan bagi pembebanan tanggung-jawab ke atas pundak manusia. Sekaligus merupakan sumber kemampuan manusia untuk memilih. Pada kenyataannya, intelektualitaslah yang merupakan kekuatan yang mampu mengubah manusia menjadi makhluk yang benar-benar bebas, lengkap dengan kebebasan untuk memilih, apakah ia mau taat atau memilih ingkar. Keduanya merupakan pengejawantahan paling mendasar yang setiap kali muncul dari dalam jiwa manusia, karena itu merupakan suatu dimensi yang prinsipil dalam hidup seseorang. Kajian terhadap beberapa peninggalan peradaban manusia mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk pemujaan dari suatu zaman ke zaman selanjutnya terdapat perbedaan. Bentuk peribadatan itu bervariasi dari gerak-gerak kolektif yang ritmis, yang dibarengi dengan aneka doa dan mantra, hingga ke bentuk pemujaan yang paling sublime, penghormatan, dan puji-pujian yang paling khusyuk. Tuhan pun berganti-ganti, dari batu, kayu, hingga ke Zat Maha Abadi yang berada di luar batasan ruang dan waktu. Penyembahan bagi manusia, menuntut suatu loncatan dari diri terbatasnya ke arah penyatuan dengan suatu realitas tanpa cacat, batasan, dan kematian. Sebagaimana diungkapkan oleh Albert Einstein, bahwa seseorang akan merasakan kehampaan hasrat dan keinginan sebagai manusia. Ia akan merasakan sublimitas _____________ 5
Haroon Din dan Sulaiman Yasin, Manusia dan Islam, 2
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
211
dan tatanan agung yang mendambakan diri, baik di alam semesta maupun di alam pemikiran. Masalah ini kemudian dibahas lebih lanjut oleh Iqbal yang berpendapat bahwa penyembahan merupakan suatu ibadah umum yang vital, tak ubahnya seperti sebuah pulau kecil, maka karakter manusia akan menemukan posisinya dalam suatu keseluruhan yang lebih luas. Berdo’a dan ibadah sejenisnya mengejawantahkan eksistensi suatu “potensialitas” atau suatu “hasrat” manusia, kemampuan untuk menjangkau suatu tempat di luar alam material, dan hasrat untuk menguasai cakrawala yang lebih tinggi dan luas. Hasrat semacam itu merupakan ciri seluruh umat manusia, itulah sebabnya mengapa berdo’a dan shalat membentuk dimensi-dimensi spiritual lain di dalam jiwa manusia yang disebut dengan estetika. Dimensi spiritual ini yang dimiliki oleh manusia adalah kecenderungan mereka untuk mencintai keindahan. Oleh karena itu, keindahan merupakan bagian integral dari eksistensi manusia dan senantiasa melingkupi seluruh aspek kehidupannya. Pada dasarnya manusia mengenakan jenis pakaian yang berbeda untuk menghadapi cuaca yang berbeda, dingin atau panas. Mereka perhatikan pula komposisi warna dan pola jahitan pakaian tadi. Mereka bangun pemukiman untuk tempat tinggalnya tanpa lupa memberikan perhatian yang besar pada keindahannya. Bahkan dalam memilih perangkat hidangan dan dalam mengatur penyajian makanan, manusia mematuhi prinsip-prinsip keindahan. Secara umum, manusia senantiasa terpikat untuk mewujudkan sentuhan keindahan pada setiap segi kehidupannya. Demikian pula dalam melakukan tindakan-tindakannya, manusia lebih dipengaruhi oleh serangkaian emosi etis daripada keinginan untuk memperoleh keuntungan atau untuk menghindari bencana. Sebab menurut al-Ghazali, manusia dijadikan untuk mempunyai empat esensi yaitu al-nafs, al-ruh, al-qalb, dan al‘aql yang dipergunakan untuk istilah kesadaran manusia.6 Manusia berkeyakinan bahwa perikemanusiaan mesti ditunjukkan dengan tindakan-tindakan. Katakanlah jika ada seseorang terperangkap dalam keadaan menyedihkan di sebuah padang pasir yang mengerikan. Ia kehabisan makanan dan perbekalan lain yang menyebabkan ia menghadapi bahaya kematian. Tiba-tiba, datang seseorang untuk menyelamatkannya dari kematian yang tak terhindarkan itu. Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanannya masing-masing, dan tidak saling bertemu selama masa yang lama. Beberapa tahun kemudian, orang yang pertama tadi bertemu dengan penyelamatnya yang kini jatuh pada dalam kesengsaraan, dan ia pun ingat manakala ia diselamatkan dari kematian. Sekarang, akankah nuraninya memerintahkannya untuk berbuat sesuatu? Tidakkah itu akan menginginkannya pada pepatah “kebajikan mesti dibalas dengan kebajikan”? Ia akan berpikir bahwa seseorang mesti berterima kasih kepada orang yang telah mengasihinya? jawaban dari semua pertanyaan itu mestilah “ya”. Bagaimana pula dengan evaluasi orang-orang bijak menyaksikan peristiwa itu, apakah si tertolong harus menolong orang yang tertimpa petaka, atau sebaliknya, bagaimana jika ia meninggalkan orang itu tanpa melihat atau memberi reaksi sedikit pun? Pujian pastilah akan dilontarkan oleh orang-orang bijak, jika kasus pertama yang terjadi, sedangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya, mereka akan mengutuk orang yang tidak tahu terima kasih itu. Orang yang tahu berterima _____________ 6
Muhammad Nasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1999), 45 212
Abd. Majid: Manusia sebagai makhluk multi-dimensi dalam Perspektif Al-Qur’an
kasih harus dipuji, sedangkan orang yang tidak berterima kasih harus dikutuk. Akan mencuat dari suatu kesadaran moral bahwa yang demikian itu disebut dengan kebajikan etis. Ilmu Pengetahuan Manusia menguasai ilmu pengetahuan tidak semata untuk menaklukkan alam dan memakmurkan kehidupan lahiriyahnya belaka. Lebih dari itu, mereka memiliki naluri untuk mencari dan menemukan kebenaran, yang memungkinkan pengetahuan itu sendiri menjadi suatu tujuan yang pantas untuk dinikmati. Walaupun pengetahuan itu bermanfaat sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan dan menunaikan tanggung-jawab, ia semata-mata merupakan ideal yang dibutuhkan oleh rasa ingin tahu itu sendiri. Sebagai contoh, manusia mesti mengungkapkan rahasia dibalik galaksi-galaksi itu, dan tidak menjadi masalah apakah pengetahuan tentang itu akan mempengaruhi kehidupan mereka atau tidak, mereka tetap ingin memperoleh informasi yang berkenaan dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua hal itu merupakan dimensi spiritual dari ke-maujud-an manusia. Isyarat al-Qur’an tentang Manusia yang Multi Dimensi Allah telah mengajarkan Nabi Adam nama-nama benda, yang tidak diketahui oleh para malaikat. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat alBaqarah: 31. “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat, lalu berfirman: ”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” (QS. al-Baqarah: 31) Ayat tersebut menjelaskan bahwa malaikat bukan makhluk yang lebih berhak menghuni bumi sebagai khalifah. Tetapi Nabi Adam yang mampu mengelola alam dan lebih dapat menjelaskan mengenai nama-nama dan rahasiarahasia ghaib, yang nampak atau samar-samar, seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 33.
“Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. al-Baqarah: 33) Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk mengatur bumi sebagai pengemban amanah. Sebagaimana firman Allah;
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
213
“Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya berpikir”. (QS. al-Hasyr: 21) Manusia dijadikan dalam bentuk yang sempurna, namun di samping itu, juga punya keterbatasan. Dengan sebab keterbatasan itu, manusia dituntut untuk selalu bersedia menunaikan tanggung-jawab di bumi Allah ini. Dalam hal ini, Allah menganjurkan supaya manusia memperhatikan terhadap dirinya sendiri. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman; “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”. (QS. al-Rum: 8) Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk mengatur bumi dan tidak meletakkan beban meng-imarah-kan bumi kepada makhlukmakhluk-Nya yang lain. Sebagaimana di tegaskan dalam al-Qur’an; “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam dan Kami telah beri mereka untuk menggunakan berbagai kendaraan di darat dan di laut dan Kami telah memberikan rezeki kepada mereka, dari benda-benda yang baik serta Kami telah lebihkan mereka dengan selebih-lebihnya atas banyak makhlukmakhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. al-Isra: 70) Dalam surah al-Ahzab, Allah berfirman “Sesungguhnya Kami telah kemukakan tanggungjawab amanah (Kami) kepada langit dan bumi serta gununggunung (untuk memikulnya), maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak dapat menyempurnakannya (karena tidak ada pada mereka kesanggupan untuk memikulnya); dan (ketika itu) manusia (dengan) kesanggupan yang ada padanya) sanggup memikulnya, (ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara yang tidak patut dikerjakan”. Konsep ini sejalan dengan fitrah manusia yang mempunyai ikatan janji dengan Allah untuk mengakui keesaan-Nya.
214
Abd. Majid: Manusia sebagai makhluk multi-dimensi dalam Perspektif Al-Qur’an
Fungsi Ilmu dalam Mendapatkan Beberapa Pengetahuan Mengenal Allah (ma’rifatullah) “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah”. (QS. Muhammad: 19) Penjelasan ayat tersebut menuntut seseorang untuk mengetahui Allah sekuat kemampuan nya, mengenal-Nya dari dekat dengan mendekatkan diri kepada-Nya serta mempelajari pengenalan diri-Nya. Sebagaimana SAW bersabda: “Barang siapa mati, sedangkan dia mengetahui bahwa tidak ada Ilah kecuali hanya Allah akan masuk jannah”. (HR. Muslim) Hal ini menunjukkan jalan yang benar (haq) dan meninggalkan kebodohan (bathil), Rasulullah SAW menjelaskan sebagai berikut: “Barang siapa dikehendaki Allah padanya kebaikan, maka Allah akan memahamkan dien kepadanya”, (HR. Bukhari Muslim) Syarat diterimanya amal dan dasar dari seluruh perkataan dan perbuatan. Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beramal tanpa dasar dari kami, maka tertolaklah amalan tersebut”. (HR. Muslim). Ilmu tersebut adalah syarat benarnya perkataan dan perbuatan, keduanya tidak bernilai kecuali dengan ilmu, maka ilmu harus ada sebelum perkataan dan perbuatan, karena ilmu adalah pembenar niat, sedangkan amal tidak diterima tanpa niat yang benar. Karena ilmu itu merupakan konsep penting dalam Islam. Ia merupakan kebutuhan utama bagi manusia dalam mengembang peran sebagai khalifah di bumi ini. Tanpa ilmu pengetahuan mustahil seseorang manusia mampu melangsungkan kehidupan. Sebagaimana dijelaskan dalam surat alBaqarah: 31. Menjelaskan tentang nama-nama benda kepada malaikat, mengandung pengertian, pendidikan yakni ta’lim yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Yang bermakna seperangkat nilai antar manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai seperangkat nilai yang ditransfer secara kognitif dan psikomotorik, tidak di anjurkan domein efektif.7 Ia hanya sekedar memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan.8 Proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Hal ini dijelaskan tentang ‘allaama Tuhan kepada Adam as.9 Hal ini ada juga yang dijelaskan secara pengajaran yang dilaksanakan dalam bentuk bertahap, sebagaimana tahapan Adam as, mempelajari, menyaksikan dan menganalisa asma’ Allah kepadanya.10 Hal tersebut dalam Al Qur’an sebagai konsep ilmu dapat ditemukan kepada dua macam ilmu: ilmu yang diperoleh tanpa usaha manusia, dinamai dengan ‘ilm laduni. QS. Al- Kahfi:6511 Pembahasan tasawuf, tentang ilmu laduni ini dianggap sebagai ilmu yang paling tinggi dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu laduni ini merupakan ilmu yang dikaruniakan Allah SWT kepada seseorang secara tiba-tiba tanpa diketahui _____________ 7
Samsul Nazar, Peserta Didik dalam Perspektif Islam: Sebuah Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Padang: IAIN Imam Bonjol Pres, 1999), 47. 8 Abdul Rahman Abdullah, Ushul al Tarbiyah al Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha (Damaskus: Dar Al-Nahdhah Al-Arabiyah, 1965), 27. 9 Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, Juz 1 (Mesir: Dar al-Manar, 1373 H), 262. 10 Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 1, (Bairut: Dar Al-Fikr, t.t.), 30. 11 M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan Media, 2003), 435 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
215
bagaimana proses awalnya, sehingga orang yang menerimanya dapat langsung menguasai ilmu tersebut tanpa harus belajar.12 Ilmu itu didapatkan seseorang yang shaleh dari Allah SWT melalui ilham, oleh sebab itu ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.13 Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ghazali bahwa ilmu yang dihasilkan melalui renungan, tadabburi dinamakan ilmu laduni. (Dengan tidak melalui proses belajar mengajar seperti yang dilakukan orang pada umumnya).14 Mengetahui Alam Semesta (Kosmos) (Ma’rifatu al-‘Alam) Ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia, dinamai dengan ‘ilm kasbi, ilmu kasbi ini sungguh lebih banyak dibicarakan dalam ayat Al Qur’an. 15 (QS.AlBaqarah: 38-39, QS. An-Nahl: 8, QS. al-Isra’: 85, QS. Al-Baqarah: 31) Kata asma’, dalam arti ‘allama dengan pengertian ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada Adam sebagai khalifah untuk mengelola dunia ini dibekali oleh Allah dengan ilmu yang diperlukan untuk memahami asma’ (sifat-sifat) alam (science).16 “Ilmu” berasal dari kata “alim” (secara etimologi), berasal dari ‘alima, ya’lamu, menjadi ‘ilmun, ma’lumum, ‘alimun dan sebagainya. Kata ‘alima tersebut berarti tahu atau mengetahui sesuatu (lawan dari jahl), ma’rifah (pengetahuan).17 ‘Ilm yang berarti pengetahuan merupakan lawan dari kata jahl yang berarti ketidak-tahuan atau bodoh.18 Luis Ma’luf dalam al-Munjid mengartikan “mengetahui” yang merupakan bentuk mashdar dari ‘alima ya’lamu‘ilman.19 Ibnu Manzur menyebutkan ilmu antonim dari tidak tahu (naqid al-jahl). Al-Asfahani dan al-Anbari, menyebutkan ilmu mengetahui hakikat sesuatu (idhrak al-sya’i bi haqiqatih). Bisa juga disepadankan dengan kata ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan), ma’rifah adalah kata yang paling populer yang digunakan dalam kebiasaan.20 Dawam Raharjo kata ‘ilm adalah sinonim dengan ma’rifah, ilmu itu berarti science atau scientia (pengetahuan).21 Al-Qur’an menyebutkan kata ‘ilm itu dan turunannya (tidak termasuk al-a’lam, al-‘alamin, dan alamat yang disebut 76 kali) disebut sebanyak 778 kali.22 Materi ilmu ini terdapat dalam surat Makkiyah dan _____________ 12
Abdul Hamid Zahwan, Memburu Ilmu Laduni (Solo: CV Aneka, 2001), xi Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1993), 89 14 Imam Al Ghazali, Majmu’ah Rasail, Vol. III, (Bairut: Dar Ma’rifah), 23 15 M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an …, 436 16 Asma biasa diartikan sebagai “nama”, dalam Al Qur’an asma ul-husna dengan pengertian “attributes of Allah” , demikian pula asma a kullaha dapat diartikan sifat-sifat alam (science), dengan science dapat mempelajari sifat-sifat alam. 17 Abu Fadhl Jamal al-Din Muhammad Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 16 (Bairut Dar al-Fikri, t.t.), 416 18 Munawir Ahmad Warson al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif), 219 19 Luis Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah Wal-‘Alam (Bairut: Libanon, Dar al-Masyriq, 2005), 526 20 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, cet. 1 (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2002), 155 21 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1996), 531 22 Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, cet. 1, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), 150 13
216
Abd. Majid: Manusia sebagai makhluk multi-dimensi dalam Perspektif Al-Qur’an
madaniyyah semua kata jadian ini sebagai kata benda, kata kerja, atau kata keterangan yang telah disebutkan beberapa ratus kali dalam al Qur’an.23 Kata yang menunjukkan kepada ta’lamu (kamu mengetahui) ditujukan untuk orang kedua jamak, hal itu berulang sebanyak 56 kali. Kemudian 3 kali dalam bentuk fasata’lamuna (maka kalian akan mengetahui), 9 kali dengan lafadh ta’lamuna (kalian mengetahui), 85 kali dengan redaksi ya’lamu (dia mengetahui), 7 kali dengan lafadh ya’lamuna (mereka mengetahui), dan 47 kali dengan ‘allama beserta kata tashrifannya.24 Berbentuk ‘alim secara nakirah dan ma’rifah ada 140 kali dan 80 kali dalam bentuk kata ‘ilm secara nakirah dan ma’rifah, kata ini menunjukkan dengan pasti akan keutamaan ilmu pengetahuan hal ini jelas disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam kitab mufradat al-Qur’an Imam Raghib al-Ashfahani ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya ia dapat dikenal dengan dua cara mengetahui inti sesuatu itu (tashawwur). Menghukum adanya sesuatu pada sesuatu yang ada atau menafikan sesuatu yang tidak ada (tashdiq), maksudnya mengetahui hubungan sesuatu (benda) dengan sesuatu.25 Al-Ashfahani kata kerja yang mempunyai satu objek. QS. al-Anfal: 60, kata yang membutuhkan dua objek. QS. al-Mumtahanah: 10. Memahami dan Mengerti Teknologi (Ma’rifatu al-Teknologia) Raghib Ashfahani membagi ilmu ini yang bersifat sempurna dan tidak sempurna, yakni menjadi ilmu teoritis (ilmu yang membutuhkan pengetahuan tentangnya. jika telah diketahui berarti telah sempurna, seperti ilmu tentang keberadaan dunia) dan aplikatif (ilmu yang tidak sempurna tanpa dipratekkan, seperti ilmu tentang akhlak dan ibadah). Atau disebutkan ilmu rasional (adalah ilmu yang didapat dengan akal dan penelitian) dan doctrinal (ilmu yang didapat dengan pemberitaan wahyu dan nabi). Ilmu itu baik ma’rifah maupun intuisi satu pemahaman makna.26 Az-Zubaidi dalam kamus Tajul ‘Arus term ilmu adalah yang paling tinggi karena ilmu itulah yang mereka perkenan dinisbatkan kepada Allah SWT. Tidak menyebutkan Allah arif atau Allah syair. Hal ini tidak diperdebatkan kelebihan dan kekurangannya seperti yang dipaparkan oleh Imam Abu Hasan al-Yusi dalam kitabnya Qanun ul-‘Ulum, demikian juga disebutkan dalam kitab Durul Ma’shum bi ilmi dengan makna melingkupi.27 Mengenal Agama Islam Secara Mendalam (Ma’rifatu al-Din) Disebutkan dalam kitab at-Taufiq oleh al-Manawi ilmu adalah keyakinan kuat yang tetap sesuai dengan realita. Atau mempunyai sifat yang membuat perbedaan tanpa kritik atau dapat tercapainya bentuk sesuatu dalam akal. Dalam kitab al-Basha’ir bahwa ma’rifat adalah mengetahui sesuatu dengan memikirkan dan mentadabburi seperti terdapat dalam lafadh dan makna, ma’rifat berkaitan dengan fungsi sesuatu, ilmu dengan kondisi sesuatu. Ma’rifat biasanya tentang sesuatu yang terlalaikan setelah diketahui ia ingat kembali berarti ia mengetahuinya. _____________ 23
Yusuf Qardhawi, al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, cet. 1, (Jakarta: GemaInsani Press), 87-90 24 Yusuf Qardhawi, al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan…, 87 25 Al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an (Bairut: Dar al Ma’rifah, t.t.), 46-49 26 Yusuf Qardhawi, al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan..., 88 27 Yusuf Qardhawi, al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan…, 89 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
217
Ma’rifat sama dengan zikir nafsi, menghadirkan sesuatu yang terlupakan dari ingatan. Berarti antonimnya adalah al-inkar (mengingkari). QS. Yusuf: 58 dan QS. an-Nahl: 83. Ma’rifat adalah mengetahui tentang zat sesuatu secara terperinci. Sedangkan ilmu dapat mengetahui sesuatu secara global. Mengetahui sesuatu dengan mentafakkuri dan mentadabburinya, (dalam kitab mufradat oleh Raghib al Ashfahani). QS. al-Baqarah: 89;146 dan QS. Yusuf: 58 dan QS. Muhammad: 30. Ilmu, al-Ma’rifah (pengetahuan) atau al-Fahmu (paham) ilmu itu ada dua ilmu dharuri dan ilmu mukhtasab.28 Seperti yang terdapat dalam ilmu dharuri adalah pengetahuan manusia bahwa dunia ini ada Mesir, Cina, Makkah dan India dan berbagai kota besar lainnya yang dapat dikenal termasuk bangsa-bangsa yang telah punah.29 Objeknya dapat berupa alam ataupun manusia. Wujud maupun ghaib metode pengetahuan bisa berupa indra dan empiris, akal dan burhan baik berupa wahyu ataupun kenabian. Berbeda dengan pandangan ilmuan barat ilmu terbatas pada yang didasarkan atas pengamatan dan eksperimen.(Al Qur’an bukan membahas ilmu agama saja), tetapi dalam Al Qur’an mencakup ilmu alam dan termasuk didalamnya ilmu falaq dan sejenisnya yaitu mengandung pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.30 Sayyid Muhammad Naquib al-‘Attas ‘ilm (pengetahuan) karena memiliki nuansa yang serupa knowledge. Sedangkan science yang merupakan spesies ilmu menjadi ilmu pengetahuan lebih luas dari sains (ilmu pengetahuan) karena ilmu ini salah satu dari konsep yang mendominasi dunia Islam dan sangat dikenal dalam peradaban Islam.31 Al-Farabi menjelaskan secara filosofis memasukkan kedalam wilayah ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan yurisprudensi,32 dan teologi dialegtis. Osman Bakar menjelaskan kepada ilmu-ilmu religious (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqh dalam rincian ilmu-ilmu filosofis termasuk matematika, ilmu alam, metafisika dan ilmu politik.33 Al-Ghazali menyebutkan secara filosofis ilmu syar’iyyah dan ‘aqliyyah, ilmu ghair syar’iyyah dan ditambahkan oleh Qutb al-Din menjadi ‘ulum hikmy dan ‘ulum ghair hikmy (ilmu religius) ilmu tersebut dalam suatu peradaban yang memiliki syar’iyyah (hokum wahyu). Menurut al-Bahi sebagaimana dijelaskan oleh Syukriadi Sambas dalam bukunya: Mantiq, Kaidah Berfikir Islami (ilmu yang bersumber dari Tuhan dan ilmu yang bersumber dari manusia) dan al-Jurjani menambahkan bahwa ilmu qadim (ilmu Allah yang sangat berbeda dengan ilmu manusia-hamba-Nya) dan ilmu hadits (baharu yang dimiliki oleh
_____________ 28
Ilmu dharuri adalah ilmu yang dimiliki oleh orang yang berilmu tanpa meragukannya dan tidak mengandung syubhat. Ia didapatkannya tanpa proses berpikir dan merenung, biasanya ia mengetahui melalui perasaan dan akal. Seperti mengetahui sesuatu mustahil bergerak dan diam terus, atau berdiri sekaligus duduk atau sakit dan sehat pada saat yang sama. Adapun ilmu mukhtasab yaitu ilmu yang berdasarkan pembuktian dengan dalil dan nadhar (perenungan), ada yang samar dan ada yang jelas yang dekat kepada ilmu dharuri ia semakin jelas sebaliknya semakin menjauh darinya semakin samar. 29 Yusuf Qardhawi, al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan..., 187 30 M. Quraih Shihab, Wawasan Al Qur’an (Bandung: Mizan Media, 2003), 434 31 Muhammad Naquib al-‘Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), 21 32 Yurisprudensi artinya ajaran hukum melalui peradilan, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1278 33 Osman Bakar, Hirarki Ilmu, Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, cet. III (Bandung: Mizan, 1998), 167-171 218
Abd. Majid: Manusia sebagai makhluk multi-dimensi dalam Perspektif Al-Qur’an
manusia sebagai hamba-Nya).34 Dari gambaran ini al-Ghazali lah sebagai filosof pertama yang mengembangkan teori iluminasionis beliau mensinyalir bahwa pengetahuan intuisi (ma’rifah) yang datang dari Allah langsung kepada hambaNya adalah pengetahuan yang paling benar. Kesimpulan Pemaparan di atas telah menyuguhkan sebuah potret manusia sebagai makhluk material dan spiritual yang memiliki banyak kesamaan dengan jenis binatang. Akan tetapi, pada saat yang sama dipisahkan dari jenis makhluk hewani tersebut dengan jurang perbedaan-perbedaan mendasar yang mencolok. Masingmasing menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk dengan dimensi tersendiri, masing-masing merupakan pengejawantahan tersendiri dalam eksistensi seseorang secara menyeluruh. Sebagaimana ditemukan dalam perjalanan hidup seseorang. Manusia juga dikenal sebagai makhluk individu dan social. Dari kenyataan tersebut telah mengantarkan diri manusia ke satu lingkungan yang bersifat dinamis. Kedinamisan ini dapat melahirkan inovasi-inovasi yang secara terusmenerus berkembang sepanjang waktu dan zaman. Perkembangan inilah lebih dikenal dengan kemampuan manusia berbudaya. Pada sisi lain, manusia sebagai makhluk sosial, karena pada hakikatnya manusia sejak lahir ke dunia ini telah memiliki bakat untuk bersosialisasi. Oleh karena itu, manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Bahkan pada diri manusia mempunyai dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) kepada orang lain.
_____________ 34
Syukriadi Sambas, Mantiq, Kaedah Berpikir Islami, cet. 1, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1996), 37-39 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013
219
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aisyah binti al-Syathi’. al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, terj. Muzakir. Bandung: Mizan, 1996 Hamka. Tafsir al-Azhar, juz. 29, cet. 2. Jakarta: Pembimbing Masa, 1998 Nasution, Muhammad Nasir. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1999 Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, jil. 8, terj. Amiruddin. Kairo: Dar alSyuruq, 2005 Sulaiman Yasin, Haroon Din. Manusia dan Islam. Pulau Pinang: Dorong UBS Sdn. Bhd, 1985 Tildar. Multikulturalisme, Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grafindo, 2004
220
Abd. Majid: Manusia sebagai makhluk multi-dimensi dalam Perspektif Al-Qur’an
Ketentuan Penulisan Tema Tulisan Judul bebas, namun harus berkaitan dengan al-Qur'an dan Hadits. Jumlah Halaman Halaman berkisar antara 12 s.d 15, kertas kuarto, spasi 1,5 dengan program microsoft word dengan file doc atau rtf sertakan naskah print out dan compact disk (cd). Pengutipan ayat dan hadits 1. Kutipan ayat al-Qur'an harus menuliskan dan terjemahnya serta mencantumkan nomor surat dan ayat. 2. Hadits ditulis secara lengkap teks dan terjemahnya serta sumbernya. Referensi Menggunakan referensi lengkap dengan model foot note bukan end note. Contoh: 1 Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid, Jilid I, Terj. MA. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), 14. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak dalam dua Bahasa, salah satunya berbahasa asing. Kata kunci harus mewakili pesan utama tulisan, yang terdiri dari 3 kata. Identitas Penulis Identitas penulis harus menyebutkan lembaga yang beralamat (terjangkau pos), dan harus disertai alamat email. Contoh: Khairuddin, Fakultas Syari'ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh, 23111. Email:
[email protected] Tulisan dapat diantar langsung kepada Tim Redaksi (alamat Redaksi tertera dalam halaman pengurus), atau melalui email:
[email protected]
221 Petunjuk Penulisan