Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
INDEKS FRAGMENTASI SPASIAL DAN DAMPAK TERHADAP EKOSISTEM LAHAN BASAH DI SURABAYA DAN SEKITARNYA Spatial Fragmentation Index And Its Impact To Wetland Ecosystem In Surabaya And Surroundings Suprajaka Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
[email protected] Diterima (received): 7-5-2012, disetujui untuk publikasi (accepted): 29-6- 2012 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan fragmentasi spasial akibat perkembangan permukiman pada ekosistem lahan basah. Tujuan utama penelitian ini adalah: (1) mengevaluasi komposisi dan konfigurasi pemanfaatan lahan basah secara spasial berdasarkan data geospasial multi-temporal di Surabaya dan sekitarnya, (2) mengevaluasi fragmentasi spasial sebagai akibat dari bentuk, struktur dan pola pemanfaatan lahan basah di Surabaya dan sekitarnya, (3) menyusun konsep model data dan model visual fragmentasi spasial lahan basah di Surabaya dan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan metoda eksploratif berdasarkan data geospasial dari berbagai sumber, baik berupa data analog maupun digital secara multi-temporal dan multi-resolusi. Data geospasial yang ada dikelompokkan menjadi 4 periode: (a) sebelum 1965, (b) antara 1965-1985, (c) antara 1985-2005 dan (d) setelah 2005. Prinsip dasar dalam penerapan metoda penelitian eksploratif melalui “image mining” dengan teknik “morfo-spasio-kuantitatif” untuk memahami komposisi dan konfigurasi dari pola konversi pada ekosistem lahan basah. Penelitian ini dilaksanakan pada ekosistem lahan basah dengan tiga satuan bentuklahan yaitu fluvial (F), fluvio-marin (FM) dan marin (M) dan tiga batas administrasi yaitu Gresik, Surabaya dan Sidoarjo. Hasil utama dari penelitian ini adalah bahwa konversi lahan basah untuk permukiman di Surabaya dan sekitarnya telah mengakibatkan fragmentasi spasial. Kata Kunci: Citra Multi Temporal, Permukiman, Fragmentasi Spasial
Bentuklahan,
EkosistemLahan
Basah,
Perkembangan
ABSTRACT This study aims to describe spatial fragmentation due to residential development on wetland ecosystems. The main objectives of this study are: (1) to spatiallyevaluate the composition and configuration of the use of wetland based on multi-temporal geospatial data, (2) evaluate wetland spatial fragmentation as a result of changes in shape, structure, and pattern of wetlands usage in Surabaya and its surroundings, (3) conceptualize data and visual model of wetlands spatial fragmentation. The research was conducted on wetland ecosystems with three landform units i.e. fluvial (F), fluvio-marine (FM) and marine (M) in three different administrative regions i.e. Gresik, Surabaya, and Sidoarjo. This study deployed exploratory method of geospatial data from various sources both in analog and digital form of multi-temporal and multi-resolution. Those geospatial data were grouped into four time periods: (a) before 1965, (b) between 1965-1985, (c) between19852005, and (d) after 2005. A basic principle in this exploratory research wasthe usage of “image mining” using "morpho-spasio-quantitative" technique through detection, identification, and measurement of land use dynamic as basis to analyze the composition and configuration of wetland ecosystems conversion pattern. The results of the conversion pattern analysis of wetland ecosystems were used to describe the form and spatial fragmentation of the man-made wetlands ecosystems. Key Words:Multi-Temporal Images, Wetland Ecosystem, Settlement Development, Spatial Fragmentation.
42
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
PENDAHULUAN Latar belakang Penelitian Kajian Fragmentasispasial dan dampaknyaterhadap ekosistem bentanglahan sampai saat ini masih merupakansubyek perdebatan.Tesis tentang fragmentasi yang diterima sering tidak didukungoleh hasil eksperimen pengolahan data geospasial secara lengkap.Hasil pengukuranfragmentasi bentanglahan sangat penting untuk menentukan makna dibalik bentuk, poladan tipologi fragmentasi secara spasial.Meskipun metoda dan teknik analisis data geospasialtelah tersedia dalam berbagai model, ternyata para ahli sampai saat ini juga belum mencapaikesepakatan mengenaibagaimana mengukurpola dan tipologi fragmentasi spasial pada ekosistem bentanglahan. Pada dasarnya, fragmentasi merupakan proses perubahan lingkungan yang menggambarkan munculnya diskontinuitas dalam lingkungan organisme (habitat). Fragmentasi habitat dicirikan oleh terpecahnyabentanglahan yang luas menjadi bidang-bidang lahan tunggal (patch) yang lebih kecil dan biasanya patch ini secara ekosistem tidak lagi saling berhubungan satu sama lain. Kondisi ini menjadi persoalan penting ketika fragmentasi ini terjadi pada ekosistem yang sangat rapuh dan terbatas keberadaannya yaitu ekosistem lahan basah. Apabila di negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Ramsar 1971 berhasil mengurangi atau bahkan menghentikan laju konversi ekosistem lahan basah, ternyata Indonesia terjadi sebaliknya. Laju konversi lahan basah di Indonesia semakin meningkat terutama pada periode tiga dasawarsa terakhir, hal
ini merupakan sebuah konsekuensi logis yang harus diterima ketika strategi pembangunan lebih berorientasi pada pertumbuhan ketimbang pro-ekologi. Usaha pemerintah dalam mempertahankan ekosistem lahan basah dengan berbagai macam perundangundangan dan peraturan yang berpihak pada konservasi (UU No.5 tahun 1990 tentang konservasi SDA, Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, UU no. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Inpres no. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut) menjadi siasia ketika secara bersamaan pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Masterplan tersebut membagi wilayah pembangunan di Indonesia menjadi enam koridor ekonomi, yaitu koridor Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua. Berdasarkan dokumen MP3EI 2011 bahwa Pulau Jawa ditetapkan menjadi koridor ekonomi dengan tema sebagai pendorong industri dan jasa nasional. Pembangunan infrastruktur Pantai Utara Jawa untuk mendukung program MP3EI diperlukan lahan kurang lebih 5.060,46 hektar, sehingga konversi lahan pasti tidak dapat dihindari, meskipun pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Berdasarkan undangundang tersebut pemerintah harus melindungi lahan pertanian dari proses
43
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
fragmentasi, bahkan Pasal 40 ditegaskan bahwa pemerintah berkewajiban memberikan insentif terhadap kawasan lahan pertanian yang tidak terfragmentasi. Hal inilah yang merupakan paradoks pemanfaatan ruang di Indonesia. Kajian fragmentasi spasial pada ekosistem lahan basah penting untuk dilakukan, mengingat: (1) laju konversi lahan basah semakin tidak terkendali, (2) kurangnya pemahaman multi fungsi sawah dan tambak sebagai salah satu bentuk ekosistem lahan basah yang sudah semakin terdesak oleh perkembangan permukiman. Pilihan lokasi penelitian di Surabaya dan sekitarnya mengingat wilayah ini sangat spesifik untuk dikaji, karena: (1) merupakan tipikal lahan basah di Indonesia dengan permasalahan pada meningkatnya tingkat konversi lahan, (2) luas lahan basah Propinsi Jawa Timur kurang lebih sebesar 30 persen dari total wilayah yang saat ini terancam proses konversi lahan, (3) tingkat urbanisasi sangat tinggi (peringkat kedua setelah Jakarta), (4) dinamika ekosistem lahan basah di Jawa Timur terutama di Delta Brantas dan Delta Bengawan Solo, minimal telah terjadi tiga kali perubahan yaitu dari ekosistem lahan basah alami menjadi sawah dan tambak dan saat ini menjadi kawasan permukiman, (5) saat ini aglomerasi perkembangan kota koridor Surabaya – Malang sudah semakin meluas, (6) aspek fragmentasi spasial belum mendapatkan tempat yang tegas dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah terjadinya proses fragmentasi spasial pada ekosistem lahan basah di Surabaya dan sekitarnya. Fragmentasi
44
tersebut ditandai oleh semakin hilangnya lahan sawah dan tambak sebagai akibat dari akumulasi: (1) lemahnya pemahaman sawah dan tambak sebagai ruang yang memiliki multi-fungsi ekosistem, (2) proses konversi lahan sering lebih mempertimbangkan aspek ekonomis dari pada aspek ekologis, serta (3) masih lemahnya pelaksanaan aturan dalam mempertahankan sawah dan tambak abadi terhadap proses konversi lahan. Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan maka tujuan penelitian adalah : (1) mengevaluasi komposisi dan konfigurasi pemanfaatan ekosistem lahan basah secara spasial berdasarkan data geospasial multi-temporal, (2) mengevaluasi fragmentasi spasial sebagai akibat dari bentuk, struktur dan pola pemanfaatan ekosistem lahan basah, (3) menyusun konsep model data dan model visual fragmentasi spasial ekosistem lahan basah METODA DAN DATA PENELITIAN Penelitian ini menfokuskan pada proses fragmentasi ekosistem lahan basah melalui pendekatan “image mining” terhadap data geospasial yang tersedia dengan cara “Exploratory Data Analysis – (EDA). Berdasarkan keterkaitan dengan obyek penelitian yaitu ekosistem lahan basah penelitian ini menggunakan metoda survey, berkaitan dengan teknik analisis digunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Metoda dan teknik tersebut digunakan untuk mengetahui proses fragmentasi spasial pada ekosistem lahan basah di Surabaya dan sekitarnya. Pendekatan “image mining” dilengkapi dengan pendekatan “spasio-morfokuantitatif” untuk menjelaskan gejalagejala fragmentasi spasial pada ekosistem
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
lahan basah. Hal ini dilakukan untuk memahami dampak akibat konversi lahan pada ekosistem lahan basah yang terkadang sulit terungkap jika hanya berdasarkan analisis dinamika pemanfaatan lahan. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Surabaya dan sekitarnya. Tiga satuan bentuklahan pada ekosistem lahan basah yaitu bentuklahan fluvial (F), bentuklahan marin (M), dan bentuklahan fluvio-marin marin (FM), yang berada pada tiga wilayah administrasi si yaitu Kabupaten Gresik, Kota Surabaya urabaya dan Kabupaten Sidoarjo( gambar 2). Data yang Digunakan Data geospasial terdiri atas peta dan citra penginderaan jauh baik analog mapun digital mulai dari tahun 1954 sampai dengan 2011(tabel 1).
Gambar 12.Lokasi Penelitian
Cara Analisis Data Proses terjadinya fragmentasi spasial
pada ekosistem lahan basah dilacak melalui perubahan pemanfaatan lahan. Analisis pola dan proses spasial berdasarkan kuantifikasi heterogenitas spasial pada ekosistem lahan basah menjadi teknik utama untuk mengetahui proses perubahan yang terjadi pada periode tertentu.Fragmentasi spasial ditentukan oleh akumulasi dari nilai-nilai hasil analisis fragmentasi yaitu: (1) Core lahan basah (2) Perforated lahan basah; (3) Edge lahan basah; (4) Peripheral lahan basah; (5) Patch lahan basah. Klasifikasi nilai fragmentasi spasial digunakan untuk menetukan tingkat fragmentasi yang dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu: proses fragmentasi dimulai dari perforation, dissection, fragmentation, shrinkage dan attrition. Analisis keterkaitan antara tipe fragmentasi spasial dengan variasi keruangan yang berbeda dilakukan dengan menghubungkan antara proses fragmentasi pada satuan bentuklahan dengan batas administrasi yang berbeda. Analisis ini menunjukkan bahwa variasi keruangan mencerminkan tingkat fragmentasi spasial berbeda hal ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan.
Tabel 1. Data yang digunakan dalam penelitian No Jenis Data Format Raster
Tahun
Sumber
Keterangan
1 Landsat MSS 1 Landsat MSS 1 Landsat MSS 2 Landsat 4 TM 3 Landsat 4 TM 4 Landsat 7 ETM+ 5 Landsat 7 ETM+ 6 Landsat 7 ETM+ 7 ASTER 9. ALOS 10. QuickBird Format Vektor 10 Peta RBI Format Data Analog 11 Peta AMS 12 Peta JOG
08-08-1972 08-08-1982 08-08-1985 28-03-1989 26-09-1994 17-08-2000 23-08-2002 22-08-2003 03-09-2005, 2008, 2009 2006, 2011
USGS USGS Waindo Spectera Personal Waindo Spectera BAKOSURTANAL BAKOSURTANAL Personal BAKOSURTANAL BAKOSURTABAL
Resolusi 80 m Resolusi 80 m Resolusi 80 m TM full band, resolusi 30 m TM full band, resolusi 30 m ETM+ full band,resolusi 15 m ETM+ full band,resolusi 15 m ETM+ full band,resolusi 15 m 3 scene, VNIR, resolusi 15 m
1994
BAKOSURTANAL
Skala 1:25.000 8 NLP
1954 1959
-
Skala 1:50.000 8 NLP Skala 1:250.000 1 NLP
45
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
HASIL DAN PEMBAHASAN Heterogenitas Spasial Ekosistem Lahan BasahPerkembangan teknologi pengumpulan dan penyimpanan data geospasial dalam dua dasawarsa terakhir telah menghasilkan data yang sangat besar. Pertanyaannya adalah apakah data geospasial tersebut akan dibiarkan disimpan, ataukah dapat menambang (me-mining) sehingga memperoleh “emas” yaitu informasi geospasial yang berguna dalam proses pengelolaan ruang ekosistem lahan basah. Namun, perlu disadari bahwa perbedaan data merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari ketika data geospasial dibangun untuk kepentingan dan tujuan berbeda. Evaluasi data multi-temporal dikelompokkan ke dalam empat periode yaitu: (1) sebelum tahun 1965, menggunakan data AMS dan JOG; (2) periode antara 1965-1985, menggunakan Landsat MSS tahun 1972, 1982 dan tahun 1985; (3) periode antara 1985-2005, menggunakan citra Landsat TM 1994, 2000, 2003, dan (4) periode setelah tahun 2005, menggunakan citra ASTER, ALOS dan QuickBird. Seluruh data dijadikan dalam satu format raster dengan resolusi 30 meter sesuai dengan citra landsat tahun 1994 dan dikoreksi secara geometris berdasarkan referensi peta Rupa Bumi Indonesia dengan skala 1:25.000 tahun 1994 (gambar 3). Hasil regristrasi citra dan hasil koreksi citra satelit dapat dilihat pada tabel 2.
46
Data Analog JOG-AMS 1954 dan 1959
Citra Resolusi 80 m MSS 1972,1982,1985
Citra Resolusi 30 m LANDSAT TM 1994, 2000, 2003
Citra Resolusi Lebih dari 30 m Aster 2006 dan Alos 2008/2009
Peta Rupabumi 1994 Dan Landsat 1994 Periode Sebelum 1965
Periode Antara 1965-1985
Periode Antara 1985-2005
Periode Setelah Tahun 2005
Gambar 13.Pengelompokkan Data Geospasial sesuai dengan Jenis dan Resolusi Spasial Tabel 2.Akurasi Total Hasil Klasifikasi dengan Tiga Jenis Citra Satelit Resolusi Spektral yang berbeda Jumlah GCPa Akurasi untuk Tanggal Akuisisi Citra Klasifikasi Regristrasi Total (%) Citra Landsat MSS, 27-09-1972
25
74,47
Landsat MSS, 25-04-1982
23
75,16
Landsat MSS, 08-08-1985
25
87,30
Landsat 4 TM, 28-03-1989
-
-
Landsat 4 TM, 26-091994 Landsat 7 ETM+ 17-082000 Landsat 7 ETM+, 23-082003 ASTER, 03-09,2005, 03-102005 dan 07-09-2006 ALOS, 2008/2009
18
72,96
24
75,68
21
75,69
24
66,54
25
79,07
QuickBird, 17-11-2006 dan 30-7-2011
Gambar 14.Peta Satuan Bentuklahan Surabaya dan Sekitarnya
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Hasil analisis komposisi dan konfigurasi ekosistem lahan dimaksudkan untuk mengetahui variasi bentuklahan. Tabel 3 menunjukkan bahwa wilayah penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekosistem lahan basah dan ekosistem bukan lahan basah. Satuan bentuklahan kategori ekosistem lahan basah yaitu satuan bentuklahan asal fluvial (F), satuan bentuklahan asal marin (M) dan satuan bentuklahan asal fluvio-marin (FM). Bentuklahan asal struktural (S) dan denudasional (D) tidak dilibatkan dalam analisis fragmentasi spasial (gambar 4).
Tabel 4 dan tabel 5 menunjukkan bahwa bentuklahan fluvial sangat rentan terhadap konversi lahan dan proses konversi telah terjadi lebih awal apabila dibandingkan dengan bentuklahan asal marin dan fluvio marin yang dimanfatkan untuk tambak. Namun seiring dengan permintaan ruang yang semakin meningkat terutama dua puluh tahun terakhir bahwa konversi lahan tambak telah menunjukkan gelaja peningkatan.
Tabel 3.Bentuklahan Wilayah Gresik, Surabaya dan Sidoarjo berdasarkan Satuan Bentuklahan Asal Proses NO
SATUAN BENTUKLAHAN
1 2 3
Asal Marine (M) Asal Fluvial (F) Asal Fluvio-Marine (FM) Jumlah Lahan Basah 4 Asal Struktural (S) 5 Asal Denudasional (D) Jumlah Non-Lahan Basah Jumlah Total
GRESIK
SURABAYA
SIDOARJO
TOTAL
1.495,69 3.706,59 860,99 6.063,27 1.020,98 3.589,99
484,43 1.280,68 955,73 2.720,84 115,75 562,56
1.500,50 5.593,28 253,94 7.347,72 0 1,90
3.480,62 10.580,55 2.070,66 16.131,83 1.136,73 4.154,45
4.610,97
678,31
1,90
5.291,18
10.674,23
3.399,15
7.349,61
21.422,99
Sumber: Hasil analisis peta Bentuklahan wilayah Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Tabel 4.Perubahan Luas Permukiman dari tahun 1954-2008 berdasarkan Batas Administrasi
Sumber: Suprajaka (2012) Tabel 5.Perubahan Luas Permukiman dari tahun 1954-2008 berdasarkan Batas Bentuklahan
Sumber: Suprajaka (2012) 47
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Fragmentasi Lahan Basah
Spasial
Ekosistem
Gejala fragmentasi spasial dapat diukur dan dianalisis melalui informasi geospasial tematik yaitu heterogenitas spasial ekosistem lahan basah dalam hal ini adalah: (1) Core lahan basah (2) Perforated lahan basah; (3) Edge lahan basah; (4) Peripheral lahan basah; (5) Patch lahan basah. Hasil kajian menunjukkan bahwa fragmentasi spasial dapat dibedakan menjadi aras makro, meso dan mikro. Berkenaan dengan proses fragmentasi, sesuai Laporan Kementerian Pertanian (2011), bahwa luas lahan pertanian di Pulau Jawa sebesar 40 persen dari total lahan pertanian nasional dengan tingkat produktivitas yang tinggi namun laju konversi lahan pertanian juga sangat tinggi yaitu sebesar 100 hektar per tahun. Gejala fragmentasi spasial dalam aras makro muncul ketika kebijakan nasional menempatkan Pulau Jawa menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan. Berdasarkan program pemerintah yang tertuang pada dokumen Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), bahwa program pembangunan nasional menempatkan Pulau Jawa sebagai kawasan pengembangan jasa, perdagangan, industri, dan perumahan. Kondisi ini menjadi sebuah keniscayaan untuk mensukseskan program pemerintah dalam mengurangi atau menghentikan konversi lahan di Pulau Jawa. Gejala fragmentasi spasial akan semakin berat dan cenderung mengarah pada gangguan ekosistem lahan basah di Pulau Jawa termasuk di Surabaya dan sekitarnya. Fragmentasi ekosistem lahan basah pada lahan pertanian dan tambak pada aras
48
makro terjadi sebagai akibat dari kebijakan yang tidak tepat. Padahal, Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah lahan basah buatan sangat besar yaitu seluas 8.061.787 hektar sawah dan 200.000 hektar tambak.
Gambar 15. Area Transek untuk Analisis Konversi Lahan pada Ekosistem Lahan Basah
Berdasarkan hasil kajian penggunaan lahan tahun 1954-2008 melalui analisis areayang dilakukan di wilayah Kabupaten Gresik transek I, Kota Surabaya transek II dan Kabupaten Sidoarjo transek III dengan ukuran setiap transek yaitu 12 x 48 km2, lihat gambar 5. Hasil kajian menunjukkan bahwa fragmentasi spasial dapat dikelompokkan menjadi: (1) fragmentasi gradual-berpola sporadik yaitu pola konversi yang kemungkinan besar diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi serta keterdesakan pelaku konversi, termasuk didalamnya karena kebutuhan tempat tinggal/permukiman akibat adanya pertumbuhan penduduk, (2) fragmentasi sistematik berpola enclave yaitupola konversi yang mencakup wilayah dalam bentuk
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
sehamparan lahan basah yang secara serentak dan relatif luas dalam waktu yang relatif sama, dan (3) fragmentasi multi bentuk atau tanpa pola, yang diakibatkan oleh konversi tanpa beban yang kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan dan sebagainya. Indek Fragmentasi Spasial dan Dampaknya Terhadap Ekosistem Lahan Basah Indeks fragmentasi spasial diukur berdasarkan data heterogenitas spasial lahan basah dalam penelitian ini difokuskan pada ukuran, bentuk, kepadatan, dan isolasi dari lahan basah yang dihitung dengan menggunakan analis patch. Kuantifikasi heterogenitas spasial lahan basah ditandai berdasarkan path ekosistem lahan basah di Surabaya dan sekitarnya yang meliputi wilayah administrasi Kabupaten Gresik, Surabaya dan Sidoarjo. Prinsip dasar dalam mengoperasikan analisis fragmentasi spasial pada ekosistem lahan basah menggunakan batasan sebagai berikut : (1) Core lahan basah (2) Perforated lahan basah; (3) Edge Lahan Basah; (4) Peripheral Lahan Basah; (5) Patch Lahan Basah. Indeks fragmentasi spasial (IFS)
dimaksudkan untuk: (1) mengetahui tingkat fragmentasi spasial di setiap batas administrasi per tahun dari 1954-2008, (2) mengetahui perubahan tingkat fragmentasi setiap satuan bentuklahan per tahun dari 1954-2008, dan (3) mendiagnosis permasalahan wilayah penyebab terjadinya fragmentasi spasial. Indeks fragmentasi spasial hasil dari analisis menggunakan Landscape Fragmentation Tool (LFT v2.0) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori utama, yaitu : patch, edge, perforated dan core. Pixel inti berada di luar “efek tepi”, piksel inti ini diklasifikasi menjadi 3 sub-klas yaitu - small core, medium core, dan large core - berdasarkan wilayah inti dari sebuah patch. Edge di sepanjang pinggiran saluran yang berisi piksel inti. Piksel edge membentuk perifer luar sedangkan piksel berlubang membentuk interior di sepanjang tepi saluran. Patch piksel membuat fragmen kecil yang terdegradasi oleh efek tepi, hasil klasifikasi indek dilihat pada tabel 6. Hasil analisis patch, edge dan perforated cenderung semakin meningkat, hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan fragmentasi spasial. Nilai total core terjadi sebaliknya, penurunan nilai core bermakna bahwa sawah atau tambak semakin berkurang, lihat gambar 6 dan gambar 7.
49
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Tabel 6.Distribusi Patch Edge, dge, Perforated dan Core menurut Indeks Fragmentasi Spasial pada Ekosistem Lahan Basah Tahun 1954-2008
Sumber: Hasil Analisis 2011
Perbandingan Distribusi Nilai Indeks Fragmentasi berdasarkan (a) Core, Peripheral, Gambar 16.Perbandingan Patch Perforated forated dengan (b) Edge
Gambar 17. Grafik Hubungan Bentuklahan dengan Perkembangan Pemanfaatan di Gresik, Surabaya dan Sidoarjo dari tahun 1954-2008 2008 yang menimbulkan Fragmentasi Spasial
50
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Gambar 18.. Contoh Kompetisi Pemanfaatan Ruang pada Ekosistem Lahan Basah mengakibatkan Gejala Fragmentasi Spasial di Wilayah Sidoarjo antara 2002 2002-2011
Ditinjau dari sisi ketertekanan ekosistem lahan basah pada taraf perforation menuju dissection memiliki dampak rendah karena tingkat modifikasi lahan sangat kecil dengan luasan yang rendah, selanjutnya muncul dengan apa yang disebut dengan Inctact, dengan presentase luasan core (sawah dan tambak) lebih dari 90 % luasan total bentuklahan. Pada proses berikutnya adalah modifikasi lahan dari rendah menuju tinggi sehingga telah terjadi variegated, maksudnya core (sawah dan tambak) yang tersisa antara 60-90 90 %.
Proses
ini
dikenal sebagai bentuk menuju fragmentation.Fase berikutnya adalah fragmented, yaitu ketika core tinggal 10-60 % sebagai akibat dari modifikasi lahan sudah tinggi.
dissection
Fase berikutnya adalah shrinkage dan attrition, yang sebenarnya lebih susah untuk dibedakan.Fase tersebut dapat disebut sebagai relictual, artinya core tinggal sedikit yaitu kurang dari 10 persen atau bahkan sudah tidak ada lagi, modifikasi lahan sudah sangat tinggi (mostly modified).
51
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Tabel 7.Perbandingan Hasil Analisis Fragmentasi antara Forman (1995), Jagger (2000), Clark (2010) dan Suprajaka (2012)
Peneliti Forman (1995) Proses
Jagger (2000)
Clark, W (2010)
Suprajaka (2012)
Intact
perforation
Perforasi
1 Perforation
2
3
4
Dissection
Diseksi Variageted
dissection
Fragmentation
Shringkage
Fragmentasi Fragmented
disspation Dispasi Attrition
5 Attrition
Relictual
Atrisi
Sumber : Suprajaka 2012
Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pola fragmentasi spasial antara satuan bentuklahan dengan empat periode, yaitu: infromasi geospasial sebelum tahun 1965, antara 1965-1985, antara 1985 2005, dan setelah tahun 2005. Apabila dikaji lebih lanjut sangat dimungkinkan proses fragmentasi terdapat hubungan korelatif antara nilai indeks dan tipologi fragmentasi dengan kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah, misalnya RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Implikasi teoritis dalam bidang pengembangan framework dan landasan metodologis terhadap analisis berbasis citra penginderaan jauh multi temporal dan multi resolusi untuk keperluan kajian
52
memanfaatkan data geospasial. Model “image mining” terhadap data geospasial yang melimpah untuk mengekstrak pengetahuan terhadap gejala perubahan ruang. Penelitian ini diperoleh tesis bahwa “image mining” sangat bermanfaat untuk menambang data geospasial menjadi informasi geospasial, sesuai dengan amanat undang-undang nomor 4 tahun 2011. Pada prinsipnya “Knowledge mining from geospatial data” memerlukan data yang lengkap dan tesisnya adalah semakin lengkap data maka akan semakin efektif dalam menemukan pola dan gejala ruang yang ada. Hasil kajian yang penting dalam temuan penelitian ini adalah membandingkan seperti dalam tabel 7.
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
KESIMPULAN Fragmentasi spasial ekosistem lahan basah di Surabaya dan sekitarnya merupakan fenomena kompleks dari hasil proses konversi lahan dan terdapat hubungan interaksi dinamis antara ketersediaan ruang yang semakin terbatas dengan tuntutan permintaan ruang yang semakin meningkat. Fragmentasi terjadi ketika sebuah kawasan bentanganlahan terpecah menjadi unit-unit lebih kecil dan dikelilingi oleh penggunaan lahan lainnya yang berbeda. Kondisi ini mendorong munculnya gangguan akibat adanya diskontinuitas dari bentanganlahan. Penelitian khusus dilakukan untuk memahami proses fragmentasi spasial ekosistem lahan basah buatan yaitu fragmentasi pada sawah dan tambak yang menempati satuan bentuklahan fluvial (F), bentuklahan fluvio-marin (FM) dan marin (M). Hal ini menunjukkan implikasi bahwa pemanfaatan ruang sebaiknya menggunakan prinsip-prinsip “design primordial” atau “geographic design” yang lebih mendasarkan pada batas fisik dari pada batas administrasi. Kajian heterogenitas spasial merupakan bagian yang sangat penting dan memberikan implikasi teoritik terhadap konsepsi fragmentasi spasial pada ekosistem lahan basah buatan (sawah dan tambak). Konsep fragmentasi spasial dapat dikatakan sebagai sebuah model visual yang dapat memberikan penjelasan tentang kompleksitas dari proses fragmentasi secara spasial pada ekosistem lahan basah di Indonesia. Analisis gejala fragmentasi yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara meramu berbagai pendapat yang sudah ada
sebelumnya yaitu berdasarkan teori “island biography” MacArthur dan Wilson (1967), konsep “landscape ecology” Forman dan Godron (1996), konsep “landscape metrics” oleh Cardille dan Turner (2002), dan “landscape fragmentation” oleh Jeager (2008) dan Clark (2010). Hasil penelitian fragmentasi spasial ini perlu ditindaklanjuti bahwa pemerintah baik pusat dan daerah wajib memberikan insentif terhadap pemilik lahan basah buatan (artificial) bahwa salah satu kriterianya adalah tidak terfragmentasi. Meskipun kata fragmentasi yang dimaksud dalam Undang Undang nomor 41 tahun 2009 pasal 40 dan Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2012 tersebut lebih fragmentasi lahan pertanian yang mengedepankan aspek kepemilikan lahan. Padahal meskipun lahan sawah maupun tambak telah ter“parcelisasi”, namun ketika secara spasial masih belum terfragmentasi seharusnya tetap dipertahankan dan diberi insentif. Hal ini agar multi-fungsi ekosistem lahan basah buatan di Indonesia ditinjau baik secara ekologis, ekonomis dan kultural tetap penguntungkan dalam jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Baskent, E. Z., & Jordan, G. A. (1995). Characterizing Spatial Structure of Forest Landscapes. Canadian Journal of Forest Research, 25, 1830–1849. Cardille, J. A., & Turner, M. G. (2002). Understanding landscape metrics. In S. E. Gergel & M. G. Turner (Eds.),
Learning Landscape Ecology: A Practical Guide to Concepts and
53
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Techniques. New York: SpringerVerlag. Clark, W. R. (2010). Principles of Landscape Ecology. Nature Education Knowledge, 2(2), 34. Cushman, S. A., Landguth, E. L., & Flather, C. H. (2010). Climate
Change and Connectivity: Assessing Landscape and Species Vulnerability: Phase 1: U.S. Forest Service Rocky Mountain Research Station. Davidson, C. (1998). Issues in Measuring Landscape Fragmentation. Wildlife Society Bulletin, 26, 32–37. Dunning, J. B., Danielson, B. J., & Pulliam, H. R. (1992). Ecological Processes That Affect Populations in Complex Landscapes. Oikos, 65(1), 169-175. Forman, R. T., & Gordon, M. (1986). Landscape Ecology. New York: John Wiley and Sons. Forman, R. T. T. (1995). Some general principles of landscape and regional ecology. Landscape Ecology, 10, 133-142. Groom, M. J., & Schumaker, N. H. (1993). Evaluating Landscape Change: Patterns of Worldwide Deforestation and Local Fragmentation. In P. M. Kareiva, J. G. Kingsolver & R. B. Huey (Eds.),
Biotic Interactions and Global Change (pp. 24-44). Sunderland, MA: Sinauer Association. Instruksi Presiden nomor 10 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (2011). Jagger, P., & Pender, J. (2000). The Role
of
54
Trees
for
Sustainable
Management of Less Favored Lands: The Case of Eucalyptus in Ethiopia. Environment and Production Technology Division Discussion Paper No. 65. Washington, DC: International Food Policy Research Institute. Keputusa Presiden RI nomor 82 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah (1995). Keputusan Presiden RI nomor 32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (1990). MacArthur, R. H., & Wilson, E. O. (1967). The Theory of Island Biogeography. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Suprajaka. (2012). Fragmentasi Spasial
pada Ekosistem Lahan Basah berbasis Citra Multi-Temporal di Surabaya dan Sekitarnya. Dissertation, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Surat Keputusan Presiden nomor: R.09.PRD/PU/X/1991 (1991). Turner, M. G. (1989). Landscape ecology: the effect of pattern on process.
Annual Review of Ecology and Systematics, 20, 171-197. Turner, M. G. (2005). Landscape ecology in North America: past, present, and future. Ecology, 86, 1967– 1974. Undang-Undang nomor 4 tentang Informasi Geospasial (2011). Undang-Undang nomor 5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (1990). Undang-Undang nomor 26 tentang Penataan Ruang (2007).
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 18, No. 1, Agustus 2012
Undang-Undang nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2007). Undang-Undang nomor 41 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. (2009).
Undang Undang nomor 32 tahun tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (2009). Urban, D. L., O'Neill, R. V., & Shugart(Jr), H. H. (1987). Landscape Ecology: A Hierarchical Perspective Can Help Scientists Understand Spatial Patterns.
55