Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
PENENTUAN LANDAS KONTINEN EKSTENSI BATAS MARITIM INDONESIA-PALAU PADA KEDALAMAN 2500 M ISOBATHS + 100 NM DI SEBELAH UTARA PAPUA MENGGUNAKAN BATIMETRI TURUNAN DATA PENGINDERAAN JAUH Atriyon Julzarika, Susanto
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. LAPAN No. 70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710
[email protected]
ABSTRACT Northern Papua Indonesia is a region that directly adjacent to Palau in Pasific Ocean. This condition allows Indonesia to claim maritime boundary delimitation according to Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS), one of TALOS concept is to determine extended continental shelf in -2500 m depth isobaths + 100 nm in 1% sedimentary rock. This extended continental shelf can be determined by using bathymetry that is derived from altimetry satellite imagery. The establishment of this bathymetry has the same concept with topography in the case of survey mapping and remote sensing. Those bathymetry can be applied to determine another maritime boundary delimitation claims. Besides that, those bathymetry can also be applied to make a 3D model of bathymetry in Pasific Ocean so we can observe the condition of internal waters, medium and depth waters in the northern Papua Indonesia. This bathymetry will be useful for various engineering applications and some other of non engineering applications. This 3D model of bathymetry will be useful for Indonesia in claiming maritime boundary delimitation in Pasific Ocean and to improve marine resources management. Keywords : Bathymetry, Northern Papua, extended continental shelf
ABSTRAK Wilayah Papua utara Indonesia merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan Palau di Samudera Pasifik. Kondisi ini memungkinkan Indonesia dapat mengklaim batas maritim sesuai dengan yang terdapat di Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS). Salah satunya adalah penentuan batas landas kontinen ekstensi pada kedalaman -2500 m isobaths + 100 nm pada sedimentasi 1%. Batas landas kontinen ini dapat ditentukan menggunakan data batimetri yang diturunkan dari citra satelit Altimetri. Pembuatan batimetri ini memiliki konsep yang sama dengan pembuatan topografi secara survei pemetaan maupun secara penginderaan jauh. Batimetri tersebut bisa digunakan untuk penentuan klaim batas maritim lainnya. Selain itu, batimetri tersebut bisa juga digunakan untuk pemodelan 3D perairan di Samudera Pasifik sehingga akan terlihat kondisi perairan dangkal, sedang, dan dalam yang ada di sebelah utara Papua. Batimetri ini akan berguna dalam berbagai aplikasi keteknikan dan non keteknikan lainnya. Pemodelan 3D perairan ini akan berguna bagi Indonesia dalam klaim batas maritim di Samudera Pasifik dan dalam pengelolaan sumber daya alam laut. Kata kunci: Batimetri, Papua Utara, landas kontinen ekstensi
67
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
PENDAHULUAN Ilmu Batas Wilayah merupakan bagian dari ilmu Teknik Geodesi dan Geomatika yang mengkaji aspek teknis dan hukum antara dua wilayah maupun negara yang berbatasan. Aspek teknis ini meluputi cara penentuan batas wilayah secara survei dan pemetaan sedangkan aspek hukum meliputi pidana dan perdata. Batas maritim antar negara merupakan sub-bagian ilmu batas wilayah yang mengkaji aspek teknis batas antar negara dan hukum laut serta perjanjian bilateral maupun multilateral. Penentuan batas wilayah ditandai dengan proses delimitasi, delineasi, dan demarkasi. Pada batas maritim lebih digunakan delimitasi. Menurut (Arsana, 2007) delimitasi batas maritim antar negara adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antar satu negara dengan negara lain (tetangganya) di laut. Gagasan tentang pembagian laut ini muncul pertama kali atas kewibawaan Paus yang membagi samudera untuk Portugal dan Spanyol berdasarkan Piagam Inter Ceterea 1493 dan direvisi dengan perjanjian Tordesilas 1494. Pada perjanjian ini, Portugal mendeklarasikan garis pembagi di lautan dan menegaskan bahwa samudera di sebelah timur bujur meridian yang melalui Brazil adalah milik Portugal sedangkan laut di sebelah baratnya menjadi milik Spanyol (Charleton dan Schofield, 2001 dalam Arsana, 2007). Setelah pembagian laut antara Portugal dan Spanyol, usaha serupa juga dilakukan untuk menegaskan kedaulatan atas kawasan lepas pantai, misal deklarasi proklamasi James I Inggris pada awal abad ke -17.
International Boundary Research Unit (IBRU) mengemukakan bahwa pemerintah di
seluruh dunia secara langsung maupun tidak telah sepakat bahwa batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas merupakan hal yang penting bagi hubungan internasional yang baik dan pengelolaan laut yang efektif. Konsep dasar delimitasi batas maritim harus didukung oleh dasar hukum, aspek ilmiah, dan aspek teknis. Delimitasi batas maritim diatur oleh hukum internasional atau yang lebih dikenal dengan Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS). Sampai saat ini telah dihasilkan tiga konvensi hukum laut oleh United Nations (UN) yang dikenal dengan nama United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). TALOS dikeluarkan oleh tiga organisasi profesi terkait yaitu Intergovermental Oceanographic Commission (IOC), International Hydrographic Organization (IHO), dan International Association of Geodesy (IAG) yang tergabung dalam Advisory Board on Law of the Sea (ABLOS). Saat ini diperlukan penetapan dan penegasan batas maritim terutama dalam pengelolaan laut. Apalagi jika terbentuk negara baru seperti Timor Leste. Sebagai negara merdeka, Timor Leste memiliki sejumlah kewajiban dan tantangan internasional, salah satunya delimitasi batas maritim internasional. Penentuan batas sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yurisdiksi (jurisdictional clarity and certainty) (Prescott dan Schofield, 2005 dalam Arsana, 2007). Hal ini dapat memberikan keuntungan multidimensi, misal dalam memfasilitasi pengelolaan lingkungan laut secara efektif dan berkesinambungan serta peningkatan keamanan maritim (maritime security). Perjanjian batas maritim akan memberikan jaminan hak negara pantai untuk mengakses dan mengelola sumberdaya maritim hayati maupun non hayati (Arsana, 2007). Delimitasi batas maritim memerlukan beberapa titik pangkal untuk dijadikan sebagai garis pangkal. Garis pangkal merupakan referensi pengukuran batas terluar laut wilayah dan zona yurisdiksi maritim lain sebuah negara pantai (TALOS, 2006). Garis pangkal juga
68
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
merepresentasikan batas perairan pedalaman yang berada di sebelah dalam garis pangkal ke arah daratan (landward). Secara umum sebuah negara dimungkinkan menggunakan tiga jenis garis pangkal yang meliputi garis pangkal normal, garis pangkal lurus, dan garis pangkal kepulauan. Menurut UNCLOS 1982, sebuah negara pantai baik negara benua (continental state) maupun negara kepulauan (archipelagic state) berhak mengklaim wilayah maritim tertentu diukur dari garis pangkalnya. Wilayah maritim yang bisa diklaim meliputi perairan dalam (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), khusus untuk negara kepulauan, laut territorial sejauh 12 mil laut, zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen (continental shelf) (Julzarika, 2009). Syarat yang membatasi jika batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal sebagai referensi mengukur batas territorial; batas terluar dari landas kontinen tidak melebihi 100 mil laut dari kontur kedalaman 2.500 m isobaths dengan ketebalan endapan 1%. Jika suatu negara pantai berada jauh dari negara pantai lainnya maka ada kemungkinan semua klaim wilayah maritim dapat dilakukan tanpa mengganggu hak negara lain atau bias dilakukan secara sepihak (unilateral). Mayoritas pulau-pulau kecil tersebut tenggelam akibat erosi air laut yang diperburuk dengan kegiatan penambangan komersil. Penyebab lainnya adalah faktor bencana alam seperti tsunami, abrasi, fenomena rob, dan faktor di luar perubahan iklim. Setidaknya ada empat indikator yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu (1). Perubahan suhu atmosfer dan suhu air laut; (2). Perubahan pola angin; (3). Perubahan presipitasi dan pola hidrologi; (4). Kenaikan muka air laut. Pada saat erosi pantai meningkat, pola angin berubah ditambah dengan adanya kenaikan muka air laut maka perubahan fisik lingkungan berubah. Perubahan tersebut meliputi (1) terjadinya gelombang ekstrim dan banjir; (2) intrusi air laut ke sungai dan air tanah; (3) kenaikan muka air sungai di muara sungai karena terbendung oleh muka air yang naik; (4) perubahan pasang surut dan gelombang; (5) perubahan pola sedimentasi. Permasalahan kenaikan muka air laut juga disebabkan vulkanologi laut, pencairan es di kutub utara dan selatan serta deformasi vertikal atau penurunan tanah. Kenaikan muka air laut sangat berpengaruh pada penataan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Saat ini Indonesia memiliki 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulau-pulau kecil perbatasan (Julzarika, 2009). Dari sejumlah 67 pulau tersebut, 13 diantaranya perlu mendapat perhatian khusus pemerintah. Kenaikan muka air laut ini memiliki peran penting terutama pada penentuan batas maritim antar negara. Selain itu Indonesia juga dihadapi dengan permasalahan batas maritim. Indonesia belum mempunyai perjanjian batas maritim antar negara dengan Palau, Philipina, dan Timor Leste serta belum selesainya kesepakatan permasalahan batas maritim dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam (Abubakar, 2006). Berdasarkan UNCLOS 1982, penentuan batas landas kontinen ekstensi dapat dilakukan dengan memperhatikan empat kriteria seperti diatur dalam pasal 76. Dua kriteria pertama adalah kriteria yang membolehkan (formulae), sedangkan dua kriteria terakhir adalah kriteria yang membatasi (constraints): kriteria yang membolehkan adalah sebagai berikut (Arsana, 2007): 1. Didasarkan pada titik tetap terluar pada titik mana ketebalan batu endapan (sedimentary rock) paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dengan kaki lereng kontinen (gardiner line). Batas terluar landas kontinen ekstensi adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketebalan batu sedimen 1% dihitung dari
69
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
kaki lereng kontinen. Persentase ini dihitung dengan membandingkan tebalnya batu sedimen di suatu titik terhadap jarak titik tersebut dari kaki lereng. 2. Batas terluar landas kontinen ekstensi juga bisa ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (Hedberg line) ke arah laut lepas. Pada penerapannya, batas terluar landas kontinen ekstensi merupakan kombinasi dari dua syarat di atas, dalam hal ini akan dipilih garis terluar yang paling menguntungkan negara yang bersangkutan. Garis terluar ini belum merupakan garis batas landas kontinen ekstensi final karena harus diuji dan memenuhi dua syarat pembatas yaitu: 1. Batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal sebagai referensi mengukur garis batas territorial; atau 2. Batas terluar dari landas kontinen tidak melebihi 100 mil laut dari kontur kedalaman 2.500 m isobaths. Kedua syarat tersebut membatasi dan berlaku salah satu yang paling menguntungkan garis terluar yang dihasilkan. Delimitasi batas maritim juga memerlukan konsep datum horizontal dan datum vertikal. Datum horizontal atau datum geodesi merupakan model matematika bumi untuk referensi perhitungan koordinat (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Meskipun sebuah garis batas maritim telah berhasil dibuat, tidak disepakatinya datum geodesi yang digunakan dapat menimbulkan sengketa. Pemahaman datum horizontal harus dipahami secara komprehensif terutama dalam hubungan antara permukaan bumi, geoid, dan ellipsoid. Geoid merupakan model fisik bumi berupa bidang ekuipotensial yang bentuknya mempunyai referensi mendekati permukaan air laut rerata (TALOS, 2006). Model ini dipengaruhi oleh kombinasi distribusi massa bumi dan gaya sentrifugal rotasi bumi dan berkaitan erat dengan jari-jari bumi. Distribusi massa bumi yang tidak merata akan menyebabkan ekuipotensial memiliki jari-jari bumi yang berbeda sehingga tidak sempurna secara matematis. Ellipsoid merupakan model matematika bumi yang ditentukan oleh dimensi dari sumbu mayor dan sumbu minor dan nilai penggepengan (flattening). Faktor utama yang mempengaruhi delimitasi batas maritim adalah pertimbangan politik, strategis, sejarah. Selain itu juga berpengaruh pertimbangan ekonomi dan lingkungan, pertimbangan geografis, serta pertimbangan geologi dan geomorfologi (Arsana, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan batas maritim berdasarkan landas kontinen ekstensi pada kedalaman 2500 m isobaths + 100 mil laut di sebelah utara Papua. Hal ini dilakukan karena pada kawasan in Indonesia berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Palau. Indonesia belum memiliki perjanjian batas maritim dengan negara ini karena belum memiliki hubungan diplomatik.
METODE Penelitian ini menggunakan metodologi pada diagram alir pada Gambar 1. Pelaksanaan Kondisi geografis Indonesia memiliki posisi penting yaitu terletak antara samudera Hindia dan samudera Pasifik serta benua Asia dan Australia. Kondisi geografis ini juga berdampak pada fenomena El-Nino yang menyebabkan Indonesia mengalami kondisi kering dan
70
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
hangat. El-Nino adalah penampakan suhu dan arus laut yang hangat di perairan lepas pantai Amerika Selatan mulai dari Ekuador sampai Peru (Subandono, 2009: 68). Indonesia yang juga merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki berbagai kekayaan sumber daya alam, mempunyai peran penting dalam perubahan iklim global, serta memiliki pengaruh dalam pergerakan lempeng benua. Selain itu perubahan iklim juga dipengaruhi oleh penguapan yang lajunya menjadi lebih cepat akibat dampak kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan peningkatan kelembaban di udara serta peningkatan suhu di siang hari. Curah hujan akan bertambah terutama di wilayah pesisir dan sepanjang lintasan siklon atau terpengaruh dari efek lintasan ekor siklon tropis. Pada skala regional panas dan kelembaban berlebih akan menyebabkan badai tropis yang kuat.
Gambar 1: Diagram alir penelitian Indonesia memiliki 17.504 pulau dan garis pantai 95.181 km dengan kemiringan rata-rata 2% atau genangan air mundur ke arah darat sejauh 50 m dari garis pantai. Fenomena perubahan iklim tersebut sudah berdampak pada Indonesia, yaitu setidaknya sudah kehilangan 24 pulau kecil dalam waktu 2005-2007 (DKP, 2007). 24 pulau kecil yang tenggelam tersebut meliputi NAD (tiga pulau), Sumatera Utara (tiga pulau), Papua (tiga pulau), Kepri (lima pulau), Sumatera Barat (dua pulau), dan Sulawesi Selatan (satu pulau) 71
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
serta Kepulauan Seribu (tujuh pulau) (Subandono, 2009: 77). Penelitian ini menggunakan data batimetri yang dibuat dari citra satelit altimetri. Batimetri yang dihasilkan bisa digabungkan dengan topografi dari SRTM 90. Gambar (2) merupakan tampilan 3D hasil gabungan batimetri dengan SRTM 90. Data batimetri tersebut digunakan untuk melihat hasil posisi kedalaman -2500 m isobaths di sebelah utara Papua. Pada wilayah ini Indonesia berbatasan langsung dengan negara lain yaitu Palau sehingga memungkinkan terjadi permasalahan klaim batas maritim pada >24 nm, >200 nm, >350 nm, dan pada kedalaman -2500 + 100 m isobaths. Batimetri yang dibuat dari citra satelit altimetri dapat digunakan dalam klaim batas maritim Indonesia. Berdasarkan data batimetri tersebut kemudian dilakukan pembuatan kontur pada -2500 m. Pengolahan ini menghasilkan fakta bahwa pada jarak 24-200 nm dari titik pangkal Indonesia di sebelah utara Papua terdapat batimetri dengan kedalaman -2500 m. Kemudian juga terdapat kedalaman -2500 m pada wilayah pantai utara Papua dekat Samudera Pasifik. Akan tetapi ini merupakan nilai kedalaman -2500 m terdekat ke titik pangkal sehingga klaim batas maritim pada kedalaman -2500 m + 100 nm isobaths tidak bisa diklaim akibat kedalaman ini lebih dekat ke Indonesia sehingga akan merugikan klaim Indonesia. Pada kawasan utara Papua ini hanya bisa mengklaim batas maritim >350 nm. Gambar 3 berikut ini merupakan tampilan batimetri perairan utara Papua pada kedalaman -2500 m isobath. Gambar 4 merupakan tampilan kedalaman -2500 m, dekat Pulau Jiew, Budd, Fani, Miossu,Fanildo, Brass Bepondi, dan Liki. Pada Pulau Jiew terdapat titik dasar (TD.063) dan titik referensi (TR.063). Pulau Budd terdapat titik dasar (TD.065) dan titik referensi (TR.065). Pulau Fani terdapat titik dasar (TD.066A) dan titik referensi (TR.066). Pulau Miossu terdapat titik dasar (TD.070) dan titik referensi (TR.070). Pulau Fanildo terdapat titik dasar (TD.072) dan titik referensi (TR.072) (Julzarika, 2009). Pulau Brass terdapat titik dasar (TD.072A) dan titik referensi (TR.072). Pulau Bepondi terdapat titik dasar (TD.074) dan titik referensi (TR.074). Pulau Liki terdapat titik dasar (TD.079) dan titik referensi (TR.079). Gambar (5) merupakan tampilan 3D batimetri perairan utara Papua di Samudera Pasifik. Batimetri antara kedalaman pertama (-2500 m dari titik pangkal) dengan batimetri kedua (-2500 di Samudera Pasifik) memiliki kedalaman <2500 m bahkan terletak pada kedalaman <-4000 m. Perairan diantara kedua batimetri ini tergolong pada perairan dalam sehingga kondisi kekuatan dan laju arus laut di perairan ini sangat kuat dan berpengaruh terhadap perairan utara Papua, Indonesia. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab bahwa perairan utara Papua memiliki kerentanan abrasi sangat tinggi, tinggi gelombang >2,5 m, dan pergeseran lempeng yang sangat signifikan. Uji melintang batimetri perairan utara Papua Uji melintang digunakan untuk melihat bagaimana kondisi profil suatu model 3D secara melintang. Pengujian ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui akurasi secara geostatistik (Julzarika, 2007). Pengujian ini dapat juga diaplikasikan pada proses cut and fill untuk pertambangan darat-laut dan survei hidrografi. Gambar (6) merupakan tampilan uji profil melintang pada perairan Samudera Pasifik.
72
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
Palau
Gambar 2. Batimetri dan topografi sebelah utara Papua dengan Palau
Gambar 3: Batimetri pada kedalaman -2500 m isobaths wilayah pantai utara Papua.
Gambar 4: Batimetri sebelah utara Papua pada kedalaman -2500 m isobaths.
73
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
Gambar 5: Tampilan 3D batimetri perairan utara Papua di Samudera Pasifik
Gambar 6: Uji profil melintang batimetri di sebelah utara Papua (Samudera Pasifik).
Gambar 7: Slope batimetri di Samudera Pasifik
74
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
Data batimetri ini bisa juga diaplikasikan untuk pembuatan slope dimana hasil ini bisa digunakan untuk menentukan bagaimana kondisi slope di sekitar Samudera Pasifik sehingga dapat diketahui lokasi sedimatasi 1% pada kedalaman -2500 m + 100 nm isobath. Secara umum, batimetri di perairan Samudera Pasifik memiliki slope sekitar 0-15 derajat. Selain untuk penentuan slope, data batimetri dapat digunakan untuk penentuan slope direction. Secara umum, perairan di Samudera Pasifik terletak pada slope direction 40-280
derajat. Kondisi ini terletak pada hampir di keseluruhan wilayah perairan dalam di Samudera Pasifik. Slope direction ini berguna untuk analisa kekuatan dan laju arus, gelombang, kenaikan muka air laut.
Gambar 8: Slope direction di Samudera Pasifik
KESIMPULAN Samudera Pasifik secara umum terletak di perairan dalam (<-4000 m) sehingga penentuan klaim batas maritim -2500+100 m isobaths tidak berpengaruh bagi batas maritim Indonesia terhadap Palau karena terletak dekat dengan titik pangkal kepulauan. Indonesia bisa melakukan klaim batas maritim pada >350 nm ke arah utara di Samudera Pasifik yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Palau. Perairan di Samudera Pasifik terletak pada slope 0-15 derajat dengan slope direction 40-280 derajat.
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, M. , 2006. Menata pulau-pulau kecil perbatasan. Cetakan pertama. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Indonesia. Arsana, I.M.A., 2007. Batas Maritim Antar Negara. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.
75
Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 16 No. 1, Agustus 2010
Diposaptono, S. et all., 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Cetakan pertama. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Indonesia IOC, IHO, IAG, 2006. Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS). UNESCO. United Nations. Julzarika, A., 2007, Analisa Perubahan Koordinat Akibat Proses Perubahan Format Tampilan Peta pada Pembuatan Sistem Informasi Geografis Berbasis Internet, Skripsi, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, Yogyakarta. Julzarika, A., 2009. Kajian batas maritim Indonesia dengan Palau Menggunakan
Pemodelan 3D terhadap kenaikan muka air laut (studi kasus: Pulau Fanildo, Indonesia). Seminar Nasional Teknik Geodesi UNDIP-ISI. Semarang. Widjajanti, N.,dan Sutanta, H. 2006: Model Permukaan Digital, Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik, Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta.
76