Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Journal of Business and Entrepreneurship
Volume 1, No 1, January 2013
Contents PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI BISNIS DAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008 Pulung Peranginangin ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL Chandra Alamsyah NET INTEREST MARGIN: BANK PUBLIK DI INDONESIA Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI KREATIVITAS DAN INOVASI Hendra Manurung KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA Bayu Bandono, Noer Azzam A, Nunung Nuryartono, dan Adler H. Manurung
Sampoerna School of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330
[email protected] www.ssb.ac.id
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
ISSN: 2302 4119 Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Volume 1, Nomor 1, Januari 2013 Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan diterbitkan atas kerjasama Sampoerna School of Business, dengan frekuensi terbit tiga kali setahun, pada bulan Januari, Mei, Oktober. Editor In Chief Prof. Dr. Adler Haymans Manurung Managing Editor Romora Edward Sitorus, M.Sc.
Sampoerna School of Business
Sampoerna School of Business
Advisory Board Budi Widjaja Soetjipto, Ph.D Sampoerna School of Business Dr. Chandra Alamsyah Sampoerna School of Business Prof. Dr. Paulina Pannen Sampoerna School of Education Prof. Rositsa Bateson Universitas Siswa Bangsa Internasional Peer Reviews Prof. Ferdinand D. Saragih Universitas Indonesia Hilda Rosieta Argawal Ph.D Universitas Indonesia Bambang Setiono, Ph. D Sampoerna School of Business Dr. Siti Nurwahyuningsih Harahap Universitas Indonesia Tatang Ary Gumanti, Ph.D University of Jember Dr. Koes Pranowo, SE., MSM PT Transocean Maritime Dr. Andam Dewi PT Bursa Berjangka, Jakarta Wahyu Soedarmono, S.Si, DEA Ph.D Sampoerna School of Business Ir. Muhril Ardiansyah, M.Sc., Ph.D Sampoerna School of Business Hoetomo Lembito, MBA., PT. United Total Support Dr. Pulung Peranginangin PT Vivere Multi Kreasi Dr. Arlan Septia A. R. PT. Reka Raga Resources Dr. Sjamsul Arifin Bank Indonesia Editorial Board Ir. Hilarius Bambang Winarko, MM. Sampoerna School of Business Lufina Mahadewi, S.Kom, MM, M.Sc. Sampoerna School of Business Nuruzzaman Arsyad, M.Sc. Sampoerna School of Business Anugraha Dezmercoledi, M.Sc. Sampoerna School of Business Editorial Office Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan Sampoerna School of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330
[email protected]
www.ssb.ac.id
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Journal of Business and Entrepreneurship
Volume 1, Nomor 1, Januari 2013
PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI BISNIS DAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008 Pulung Peranginangin
ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL Chandra Alamsyah
NET INTEREST MARGIN: BANK PUBLIK DI INDONESIA Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi
PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI KREATIVITAS DAN INOVASI Hendra Manurung
KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA Bayu Bandono, Noer Azzam A, Nunung Nuryartono, dan Adler H. Manurung
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Dari Redaksi Perkenankan kami dari Journal of Business and Entrepreneurship mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas terbitnya jurnal ini. Jurnal ini diterbitkan 3 edisi dalam setahun atau satu volume oleh Sampoerna School of Business. Topik yang menjadi pembahasan dalam jurnal ini sangat beragam mengingat nama jurnal juga mengandung semua aspek. Pada Jurnal pertama ini, kami memuat lima tulisan yang dimulai oleh Sdr. Pulung Peranginangin dari PT PT Vivere Multi Kreasi dan juga Dosen di Sampoerna School of Business dengan judul yaitu: PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI BISNIS DAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008. Penelitian ini ingin melihat gambaran perusahaan tekstil dan garmen Indonesia pada bulan September 2008 sampai November 2008. Penelitian menggunakan analisis ANOVA untuk melihat ada tidaknya perbedaan antara kelompok responden bidang usaha yang terbagi tiga, yakni “tekstil, garmen dan produk campuran tekstil/garmen (mixed textiles and garment)” dalam empat aspek yaitu: environment uncertainty, business strategy, technology policy dan firm performance, menganalisa ada tidak perbedaan antara Area (Wilayah) Pemasaran yaitu: “domestik, ekspor dan campuran domestik/ekspor (mixed domestic/export)” untuk aspek-aspek yang sama. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu perusahaan tekstil yang memiliki penjualan rata-rata 100-500 miliar rupiah/tahun, dengan jumlah pegawai 100-3000 orang, mempunyai kontribusi paling besar yang dihasilkan dari area pemasaran domestik, dan terdapat perbedaan antara kelompok bidang usaha campuran (mixed textiles/garment) dengan garmen saja pada satu variable yakni technology policy dan antara bidang usaha mixed dengan tekstil saja pada satu variable firm performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak terdapat perbedaan. Selain itu, ditemukan pula perbedaan antara kelompok area pemasaran “ekspor-saja” dengan “area pemasaran campuran (mixed domestic/export) dan dengan area pemasaran domestik-saja” pada satu variable yakni firm performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak terdapat perbedaan. Tulisan kedua berjudul “ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL” ditulis oleh Sdr. Chandra Alamsyah, Dosen di Sampoerna School of Business. Tulisan ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif mengenai karakteristik perusahaan yang melakukan alih pengetahuan tacit melalui aliansi stratejik internasional antara negara maju dengan negara berkembang ditinjau dari sudut pandang negara berkembang sebagai penerima pengetahuan. Sampel penelitian dilakukan terhadap 101 responden yang terdiri dari para CEO atau TMT dari perusahan lokal. Adapun hasil penelitian ini mengindikasikan masih terdapatnya kesenjangan terhadap ‘technical skill’ serta gaya manajemen yang berbeda antara negara maju sebagai pemberi pengetahuan dengan negara berkembang sebagai penerima pengetahuan. Namun demikian walaupun R&D masih lemah, beberapa perusahaan lokal juga telah mampu mengembangkan ide baru menuju ke inovasi. Untuk itu kepercayaan merupakan salah satu faktor kunci yang sangat penting untuk keberhasilan alih pengetahuan serta mendapatkan pengetahuan yang berkualitas. i
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tulisan ketiga ditulis oleh Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi, Pengajar dari Sampoerna School of Business dengan judul “NET INTEREST MARGIN: BANK PUBLIK DI INDONESIA.” Tulisan ini bertujuan mempelajari determinan dari Net Interest Margin di Indonesia dengan sampel bank yang menjadi perusahaan publik. Adapun sampel yang menjadi penelitian yaitu bank yang mempunyai pendapatan positif selama lima tahun 2007 sampai dengan 2011. Penelitian ini menggunakan metode panel data dalam menganalisis determinan net interest margin. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa NIM bank yang sahamnya diperdagangkan di BEI sebesar 6,04% dan variasinya 2,46 persen. Peubah yang signifikan secara statistik mempengaruhi NIM yaitu peubah BOPO, kekuatan pasar (MPR) dan size bank tersebut. BOPO dan kekuatan pasar mempunyai hubungan positif dengan Net Interest Margin sementara size mempunyai hubungan negative. Tulisan keempat berjudul “PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI KREATIVITAS DAN INOVASI” ditulis Sdr. Hendra Manurung, Dosen dari Universitas Presiden. Tulisan ini membahas pengembangan kewirasusahaan sekolah yang dilakukan dengan kreatifitas dan invovasi. Adapun pemikiran yang disampaikan dalam tulisan dalam rangka pengembangan kewirausahaan bahwa semangat dan jiwa wirausaha tidak hanya dimiliki oleh pengusaha tetapi juga semua orang, minimal mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk meningkatkan nilai tambah (manfaat) dari hasil usahanya. Oleh karenanya diharapkan adanya upaya aktualisasi jiwa dan semangat kewirausahaan dalam sikap dan perilaku kepala sekolah bersama warga sekolah. Pada akhirnya, berkembang good practice kewirausahaan sekolah dan tata kelola sekolah yang baik (good school governance) bernuansa kewirausahaan. Tulisan kelima berjudul “KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA” ditulis oleh Bayu Bandono dari Bapepam; Noer Azzam A dan Nunung Nuryartono dari Institut Pertanian Bogor, dan Adler H. Manurung dari Sampoerna School of Business. Tujuan paper ini membahas kinerja Reksa Dana Terproteksi dengan menggunakan risk adjusted return yang diperkenalkan Treynor, Sharpe dan Jensen. Adapun hasil penelitian ini memberikan kesimpulan yaitu hasil tingkat pengembalian Reksa Dana Terporteksi dapat melebihi patokanya tingkat pengembalian SBI bahkan tingkat pengembalian IHSG. Kami dari redaksi melalui pengantar editorial ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu terbitnya jurnal ini. Kami berharap teman-teman pengajar di seluruh penjuru dunia dapat mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal ini. Hormat kami, Prof. Dr.Adler Haymans Manurung Chief Editor
ii
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Daftar Isi DARI REDAKSI ………………………………………………………………………
i – ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………..
iii
PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN, STRATEGI BISNIS DAN KEBIJAKAN TEKNOLOGI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008 Pulung Peranginangin.............................................................................................................................1 - 27 ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL Chandra Alamsyah ………...………………………. ……………………………………….........…28 - 63 NET INTEREST MARGIN: BANK PUBLIK DI INDONESIA Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi ……………………………………...……64 - 79 PELUANG KEWIRAUSAHAAN SEKOLAH MELALUI KREATIVITAS DAN INOVASI Hendra Manurung ……………………………………………………………………......................80 - 119 KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA Bayu Bandono, Noer Azzam A, Nunung Nuryartono, dan Adler H. Manurung………………..120 - 130
iii
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan, Strategi Bisnis dan Kebijakan Teknologi terhadap Kinerja Perusahaan: Studi Empirik Perusahaan Tekstil dan Garmen Indonesia, 2005-2008 Pulung Peranginangin PT Vivere Multi Kreasi The purpose of this paper is to examine the textile and garment companies in Indonesia between September 2008 and November 2008. This study use ANOVA analysis, to find out whether there is a difference existed between three types of respondents, such as “textile only”, “garments only”, and “mixed textiles and garments” in 4 aspects which are: environment uncertainty, business strategy, technology policy dan firm performance, and to analyze the difference between Marketing areas such as: “domestic only”, “export only”, and “mixed domestic/export” for the same aspects. The result of this study is that the textile companies have average sales between 100-500 million rupiahs/year, with the number of employee 100-3000 persons, and the largest contribution is performed by the domestic sales area, and the difference exists between “mixed textiles/garment” and “garments only” exists in a variable (technology policy) and the difference between “mixed” and “textiles only” on one variable (firm performance), and for other aspects the difference does not exist. Moreover, the study finds the difference between marketing area of “export only” and marketing area of “mixed domestic/export” and the difference between sales area of “export only” and “domestic only” exist on one variable which is firm performance, and for other aspects the difference does not exist. Keywords: ketidakpastian lingkungan, strategi bisnis, kebijakan teknologi, kinerja perusahaan, product-market, cost leadership dan process automation.
1
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan, Strategi Bisnis dan Kebijakan Teknologi terhadap Kinerja Perusahaan: Studi Empirik Perusahaan Tekstil dan Garmen Indonesia, 2005-2008 Latar Belakang Penelitian Pada saat ini perusahaan berkompetisi tidak hanya di pasar lokal namun juga di pasar global sehingga diakui ada kebutuhan terhadap peningkatan peran teknologi untuk determinasi sukses pemasaran (Council on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989; Mitchell, 1990). Sebagai respon terhadap pengakuan tersebut di atas,
banyak perusahaan termasuk
perusahaan dalam industri pertekstilan (Ghemawat dan Nueno, 2006) selain meningkatkan pengadaan teknologi maju (advanced technology) untuk proses, juga memperkenalkan produknya yang berteknologi mutahir (technologically sophisticated products), misalnya produk tekstil untuk kesehatan. Perubahan yang terjadi ini merupakan sinyal tentang perlunya kebijakan teknologi (technology policy) yang konsisten dan sesuai dengan strategi bisnis (Clark dan Hayes, 1985; Collier, 1985). Firm Technology policy yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kebijakan teknologi untuk level perusahaan yang merupakan proses pemilihan teknologi yang hendak digunakan, dikembangkan dan ditempatkan dalam perusahaan untuk mendukungstrategi bisnis (Adler, 1989; Zahra dan Covin, 1993). Kesesuaian (fit)dimaksudkan di atas untuk memastikan suksesnya penempatan (deployment) dari pada kapabilitas teknologi diantara sumber daya perusahaan secara keseluruhan untuk mencapai tujuan (goal) yang telah ditetapkan. Suatu penempatan sumber daya teknologikal yang effektif akan membantu membangun daya saing unggul berkesinambungan (sustainable competitive advantage - SCA)
yang akhirnya akan
menghasilkan peningkatan kinerja finansial perusahaan (Porter, 1985). Namun sejauh ini belum ada kesepakatan dari para peneliti1 manajemen stratejik tentang isi (content) daripada firm technology policytersebut sehingga tidak mudah mengungkapkan 1
Maidique dan Patch (1988) mengusulkan technology policy terdiri dari 6 dimensi yakni: type of technology, desired level of technology competence (closeness to state of the art), internal vs external sources of technology, R&D investment, timing of technology introduction dan R&D Organization; Hambrick, MacMillan dan Barbosa (1983) hanya mengusulkan technology policy yaitu intensity of product innovation yang diuji kecocokannya dengan strategi bisnis dan Miller (1988) mengusulkan technology policy dalam 3 konstruk yakni; production methods, rate of innovation dan product sophistication.
2
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 tentang kontribusi kebijakan tersebut sebagai satu sumber daya yang dikatakan dapat meningkatkan kinerja untuk keunggulan bersaing (Adler, 1989; Zahra dan Covin, 1993). Strategi adalahsalah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja perusahaan (Hambrick, 1980;Hatten dan Schendel, 1977; Hatten, Schendel dan Cooper, 1978; Parnell, 1997, 2002, 2006;Porter, 1980, 1985, 1996; Schendel dan Patton, 1978).Oleh sebab itu penelitian manajemen stratejik tentang pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan,paling banyak mendapat perhatian (Ghobadian, O’Regan, Gallear, dan Viney,2004; Hambrick, 1980; Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, Wright dan Tu, 1996; Parnell, 1997, 2002, 2006). Salah satu pemikiran sentral dalam manajemen stratejik menekankan bahwa strategi perusahaan yang dirumuskan untuk mencapai kinerja yang diinginkan harus memperhatikan dan menyesuaikan (fit) dengan perubahan lingkungan yang dihadapi baik lingkungan makro (general environment) maupun lingkungan mikro (Ansoff, 1982; Bourgeois III, 1980; Dess dan Miller, 1993; Glueck dan Jauch, 1980; Porter, 1996; Sapp dan Smith, 1984). Penelitian tentang pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan belum mencapai suatu konklusi yang final (Henderson dan Mitchell, 1997; Morgan dan Strong, 2003;Parnell, 1997) dikarenakan antara lain masih adanyaperdebatan tentang sejauh mana teori strategi Market Based (MBV) versusteori strategi Resource Based (RBV) yang lebih berperan dalam menjelaskan pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan (Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, 2002, 2006).
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut: (1) Melihat gambaran perusahaan tekstil dan garmen Indonesia pada bulan September 2008 sampai November 2008, dengan menggunakan analisis ANOVA , (2) melihat ada tidaknya perbedaan antara kelompok responden bidang usaha yang terbagi tiga, yakni “tekstil, garmen dan mixed” dalam empat aspek yaitu: environment uncertainty, business strategy, technology policy dan firm performance, (3) menganalisa ada tidak perbedaan antara Area (Wilayah) Pemasaran
yaitu: Mixed
(domestik/ekspor) untuk aspek-aspek yang sama.
3
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tinjauan Literature Strategi2 dan kinerja perusahaan merupakan topik yang paling banyak diteliti hingga kini (Hambrick, 1980; Parnell, 1997, 2002, 2006). Pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan menurut berbagai literatur tidak berdiri sendiri namun dipengaruhi oleh berbagai faktor kontinjensi baik eksternal maupun internal (Ginsberg dan Venkatraman, 1985; Lenz, 1981; Parnellet al.,2000;Tvorik dan McGivern, 1997). Secara spesifik DeSarbo et al. (2005) danHenderson dan Mitchell (1997)menyatakan bahwa pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan ditentukan oleh lingkungan dan kapabilitas. Pembahasan tentang pengaruh lingkungan persaingan (eksternal) terhadap strategi dan implikasinya pada kinerja perusahaan termasuk di dalamteori utama dalam ranah manajemen stratejik yakni Market Based View (MBV), sedangkan pembahasan pengaruh kebijakan teknologiyang merupakan kebijakan salah satu kapabilitas atau sumber
daya internal serta
implikasinya pada kinerja perusahaan (DeSarbo et al., 2005; Henderson dan Micthell, 1997)termasuk di dalamteori utama lainnya yaitu Resource Based View(RBV).
Konsep Strategi Product-Market dan Teknologi Di dalam literatur diungkapkan bahwa perusahaan yang menawarkan dan membawa produk dan jasanya
(products) ke pasar
(market) harus didukung
oleh teknologi3 yang
digunakan (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001; Sriram dan Anikeeff, 1991).Untuk lebih jelasnya, di Figur-1 berikut ini ditunjukkan bagaimana hubungan (matrix)product-market dengan teknologi tersebut.
2
Strategi adalah cara bagaimana perusahaan dapat mencapai tujuan. Strategy is the psychological sense defined as a sequence of means to achieve a goal (Miller, Galanter & Pribram, 1960). 3 a). Hard technology (Engineering and Manufacturing function of the firms): Suatu perangkat atau sistem yang melekat (embodied) di mesin atau peralatan yang berfungsi untuk memacu produktifitas, out-put, kualitas dan keakuratan hasil. b). Technology (extends beyond Engineering and Manufacturing function of the firms): (1) Refers to the theoretical and practical knowledge, skillsand artifacts that can be used to developed products and services as well as their production and delivery systems (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001). (2) The process by which organization transforms labor, capital, materialsand information into products and services (Christensen dan Bower, 1996). Definisi (b) nomor 1 dan 2: merupakan definisi teknologi yang digunakan dalam penelitian ini.
4
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Product A
Product B
••• Product N
Technology 1
-
-
-
-
Technology 2
-
-
-
-
-
-
-
-
• • • Technology K Figur-1. Product/Technology Matrix Sumber: Fusfeld, “How to Put Technology into Corporate Planning,”Technology Review, May 1978 dalam Burgelman, Maidique dan Wheelwright (2001).
Dari matrix diatas dapat dijelaskan bahwa setiap produk yang hendak dibuat dan dipasarkan yang terdiri mulai dari Produk-A sampai Produk-N sebenarnya mempunyai pilihan teknologi yang mendukungnya yakni mulai Teknologi-1 sampai Teknologi-K. Suatu teknologi dapat digunakan untuk produk tertentu namun tak tertutup kemungkinan menggunakan satuteknologi saja untuk semua produk yang dipasarkan pada segmen yang berbeda. Teknologi yang dipakai tersebut seharusnya dapat dibandingkan (bench-marked) dengan teknologi yang dipakai oleh rival dan juga denganteknologi yang paling canggih (state-of-the-art) disegmennya (market segment). Secara lebih luas strategi ‘product-market’ yang oleh Porter (1983) diterjemahkan ke dalam‘generic competitve strategy’dihubungkan dengan ‘technology policy’.4 Teknologi produk maupun untuk proses harus berubah (technological change) ke arah yangsesuai dengan strategi bisnis sehinggateknologi yang digunakan mendukung strategi bisnis tersebut. Posisi unik untuk memperoleh keunggulan daya saing dan kinerja superior menurut Porter(1980, 1983 dan 1996) hanya dapat diperoleh dengan menerapkan salah satu strategi generik tersebut yaitu biaya rendah (cost leadership),diferensiasi(differentiation) atau fokus (focus). Untuk penelitian ini,strategi bisnis bukan diadopsi dari strategi generik Porter seperti disebutkan sebelumnya karena untuk industri tekstil dan garmen yang telah termasuk industri 4
Technology policy dan Generic competitve strategy oleh Porter (1983) digambarkan pengaruhnya secara lengkap yakni antara masing-masing strategi generik terpilih dengan teknologi yang digunakan yang berubah sesuai strategi tersebut.
5
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 yang mature sehingga strategi bisnis yang dijelaskan berikut ini adalah yang lebih sesuai (Zahra dan Covin, 1993). Adapun strategi bisnis tersebut terdiri dari: Specialty Product, Marketing intensity, Cost leadership dan breadth, serta Firm Technology Policy adalah Aggressive Technology Posture, Process Automation dan Innovation and R&D yang kedua-duanya bersumberdari Zahra dan Covin (1993) yang telah disesuaikan untuk perusahaan tekstil dan garmen. Strategi bisnis ‘product-market’ yang dikemukakan di atas notabene termasuk dalam salah satu teori besar dalam ranah ilmu manajemen stratejik yaitu MBV5. MBV menyatakan bahwa kinerja ditentukan oleh posisi unik stratejik (unique strategic positioning) perusahaan dalam menghadapi persaingan pasar (Hoskisson, Hitt dan Ireland, 2004; Porter, 1980, 1985, 1996). MBV menekankan pentingnya peran pasar yang kompetitif sebagai penentu perilaku perusahaan yang kemudian memberikan implikasi pada kinerja perusahaan. Teori ini merupakan modifikasi teori Organisasi Industri (O/I)6 ke dalam ranah manajemen stratejik (Spanos dan Liokas, 2001). Lingkungan kompetitif serupa dengan lingkungan kerja yang dimaksud oleh Dill (1976) dan Dess dan Beard (1984) yaitu elemen lingkungan yang memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan perusahaan melalui sumber informasi maupun sumber daya (Kreiser dan Marino, 2002; Tan dan Litschert, 1994). Berbagai pemikiran MBVdalam riset manajemen stratejik mengarah pada paradigma Environment – Strategy – Performance atau ESP (Luo dan Park, 2001). Posisi unik perusahaan bisajuga berupa kombinasi pola perilaku yang unik (Venkatraman, 1989b) seperti yang ditunjukkan oleh penelitian (Lukas, Tan dan Hult,2001;Tan dan Litschert, 1994; Tan dan Tan, 2005). 5
MBV,berpandangan bahwa kinerja dan keunggulan daya saing tergantung pada posisi unik stratejik perusahaan dalam lingkungan persaingan (Hokisson, Hitt dan Ireland, 2004; Porter, 1980, 1985, 1996)
6
Teori O/I sangat dikenal dengan rerangka pemikiran Structure – Conduct – Performance yaitu struktur industri menentukan perilaku dan kinerja industri (Bain, 1956; Mason, 1939). Struktur industri dimaksud terdiri dari: entry barriers, jumlah pembeli dan penjual, struktur biaya, diferensiasiproduk,integrasi vertikal dan diversifikasi (Scherer, 1980). Perilaku dimaksud terdiri dari strategi produk, perilaku harga, advertensi dan promosi, riset dan inovasi, investasi pabrik dan taktik legal (Scherer, 1980). Menurut Porter (1981), modifikasi yang dimaksud di atas adalah unit analisis,yang dalam teori O/I fokus pada tingkat industri sedangkandalam MBV fokus pada unit analisis di tingkat perusahaan. Modifikasi teori O/I ke dalam teori MBV dipelopori oleh Porter (1980,1981,1996) dengan mengajukanFive forces frameworkyang intinya menyatakan bahwa kinerja superior tergantung pada posisi unik perusahaan dalam lingkungan kompetitif yang terbentuk dari lima kekuatan persaingan yakni: pembeli, pemasok, ancaman pesaing baru, ancaman substitusi dan intensitas persaingan.
6
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Berbagai penelitian terdahulu tentang strategi mengindikasikan kesimpulan bahwa kinerja perusahaan ditentukan oleh strategi yang berupa kombinasi unik berbagai langkah stratejik sebagai respon terhadap konteks lingkungan tertentu. Namun demikian berbagai literatur manajemen stratejik mengatakan bahwa pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan eksternal saja namun dipengaruhi juga oleh lingkungan internal (Parnell, 2002, 2006; Parnel et al., 2000). Lingkungan internal dimaksud (DeSarbo et al., 2005; Henderson dan Micthell, 1997) adalah kapabilitas organisasi atau kapabilitas perusahaan yang salah satu diantaranya dan penting yaitu kapabilitas teknologi (Itami dan Numagami, 1992).
Kebijakan Teknologi Perusahaan dan Kapabilitas Di dalam literatur diungkapkan bahwa firm’s value activities sangat dipengaruhi oleh teknologi (Porter, 1985) dan technological know-how dapat meningkatkan firm’s value (Robins dan Wiersema, 1995).Sejak tahun 1980 peneliti manajemen stratejik mulai mengenal teknologi sebagai satu elemen penting di dalam bisnis dan strategi bersaing (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001). Kapabilitas teknologi adalah salah satu dari dimensi utama kapabilitas stratejik selain dimensi kapabilitas manajemen/ sumber daya manusia dan dimensi kapabilitas pemasaran serta teknologi merupakan faktor paling utama dalam menentukan aturan persaingan atau rules of competition (Porter, 1983). Selain itu, teknologi diketahui sebagai satu dimensi yang esensial di dalam bisnis dan tercatat sebagai satu karakter yang menambah kedinamisan dunia bisnis karena suatu teknologi yang digunakan cepat atau lambat akan digantikan oleh teknologi lain (Abell, 1980).Konsep Value-Chain yang dikemukakan pertama kali oleh Porter yang terdiri dari aktivitas utama (prime activities) dan aktivitas pendukung (support activities) mempunyai komponen dan dipengaruhi oleh teknologi yang dipilih dan digunakan oleh perusahaan. Konsep Value-Chain mempunyai komponen atau aktivitas yang hampir seluruhnya berasal dan di drive dari internal perusahaan sehingga tak dapat dipungkiri bahwa konsep ini adalah termasuk di dalam RBV.
7
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Teori RBV7mengatakankeunggulan daya saing dan kinerja superior bertumpu pada kapabilitas spesifik perusahaan (Barney, 1991; Dierickx dan Cool, 1989; Penrose, 1959; Prahalad dan Hamel, 1990;Wernerfelt, 1984).Sekalipun para peneliti menggunakan berbagai terminologi yang berbeda untuk kapabilitas namun semuanya memiliki pengertian yang mirip satu sama lain (Lenz, 1980; Stalk,
Evansdan Shulman, 1992)yaitu kemampuan yang
memberikan keunggulan daya saing dan kinerja unggul (superior) bagi perusahaan. Barney (1991, 2002) mengemukakan sumber daya yang merupakan kapabilitas tersebut dengan rerangka (frameworks) VRIO8. Kapabilitas bukan hanya menjadi basis keunggulan daya saing dan kinerja superior tetapi juga merupakan basis dalam menentukan strategi perusahaan (Barney, 1991; Collis, 1991; Conner, 1991; Grant, 1991;Lawless, Berg dan Wilsted, 1989). Teori Resource Advantage (R-A) yang termasuk dan merupakan turunan
RBV
didasarkan pada pendapat bahwa persaingan dalam dunia usaha tidak sempurna (imperfect competition). Oleh sebab itu teori R-A (Hunt dan Morgan, 1995) menyatakan bahwa penguasaan perusahaan terhadap sumber daya tertentu (merupakan advantage) akan mendatangkan keunggulan kompetitif yang menghasilkan posisi pasar lebih unggul dibanding pesaing yang pada akhirnya akan menciptakan kinerja unggul perusahaan. RBV menekankan pada sumber daya yang dimiliki perusahaan (a bundle of productive resources) sedangkan R-A menekankan pada advantage dibanding pesaing dari segi resources yang dimiliki perusahaan. Sumber daya yang dimaksud adalah sesuatu yang bersifat tangible dan intangible dimiliki perusahaan dalam memproduksi produk yang mempunyai nilai unggul bagi konsumennya dan merupakan fungsi dari keunggulan sumber daya yang dimiliki tersebut. Sesuatu resources yang bersifat tangible antara lain adalah peralatan fisik perusahaan, seperti: lahan, peralatan pabrik/mesin-mesin berikut teknologinya dan bahan baku produksi disamping kemampuan finansial, sumber daya manusia dan kemampuan pemasaran. 7
Teori Resource Based View (RBV) diperkenalkan melalui karya seminal Penrose (1959) yakni Teori Pertumbuhan Perusahaan (Theory of the Growth of the Firm), berpandangan bahwa keunggulan daya saing dan kinerja perusahaan bertumpu pada sumber daya atau kapabilitas perusahaan (Barney, 1991; Penrose, 1959; Wernerfelt, 1984).Ini disanggah oleh Rugman dan Verbeke (2002) dan uraian tentang RBV dapat dilihat di Barney (1991, 2002); Mahoney dan Pandian (1992); Peteraf (1993) dan Collies dan Montgomery (1995).
8
VRIO berarti:bernilai (Valuable), langka (Rare), tidak bisa ditiru sepenuhnya (Imitable imperfectly) dan tidak bisa digantikan karena secara kombinasi melekat di organisasi (Organizational combined capabilities).
8
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Sesuai dengan sifat teknologi yang sama dengan resources, bisa berbentuk tangible dan intangible maka teknologi tersedia juga di luar perusahaan dalam arti tidak harus dikembangkan sendiri secara internal akan tetapi dapat diakses langsung terhadap teknologi itu sendiri (Hunt, 1995). Teknologi pada umumnya juga dapat diperoleh melalui proses ‘make’ or ‘buy’ (Capon dan Glazer, 1987; Khalil, 2000). Proses ‘make’ berarti teknologi tersebut dikembangkan sendiri sedangkan proses ’buy’ berarti teknologi tersebut dibeli, disewa atau dipakai dengan membayar lisensi teknologi proses maupun produk. Karena proses persaingan sifatnya dinamis dan terus menerus maka kapabilitas termasuk teknologi yang dibangunpun seharusnya juga dinamis (Teece, Pisano dan Shuen, 1997). Kebijakan teknologi dalam penelitian ini seperti telah dikemukakan
sebelumnya
adalah
proses
memilih
teknologi
yang
hendak
digunakan/dikembangkan/ditempatkan di dalam perusahaan (firm technology policy) sehingga tidak membahas proses ‘make or buy’.
Konsep Kebijakan Teknologi dan Dinamika Persaingan Salah satu dimensi utama dari kapabilitas stratejik adalah teknologi (Itami dan Numagami, 1992). Perubahan teknologi adalah salah satu forces penting yang mempengaruhi kinerja dan posisi daya saing perusahaan (Afuah, 2000; Ahuja, 2000; Khalil, 2000; Kilmann, 1991; Narayanan, 2001). Oleh sebab itu inovasi dan perubahan teknologi yang pada mulanya dilakukan oleh satu perusahaan (technology leader), apabila berhasil akan dapat merubah lanskap persaingan karena akan terjadi dinamika kompetisi (Teece, Pisano dan Shuen, 1997) berupa aksi dan reaksi antar pelaku bisnis (competitive dynamics). Peluang mendapatkan untung besar (high-profit opportunity) akan menarik para pesaing
untuk berusaha menetralisir,
menandingi bahkan mengalahkan keunggulan dari pada leader (Day dan Reibstein, 1997). Banyak inovasi yang terjadi berbasis teknologi, seperti contoh: disposable diapers dalam bidang tekstil kesehatan (non-woven medical textiles), electronic fuel injections untuk otomotif dan personal computers, disamping inovasi yang terjadi difasilitasi oleh teknologi, yakni penemuan dan pengembangan produk baru melalui kegiatan R&D, antara lain dalam bisnis retail dan services, yaitu teknologi elektronika dan data processing (Maidique, Burgelman dan Wheelwright, 2001). 9
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Karena sekarang perusahaan berkompetisi tidak hanya di pasar lokal namun juga global maka diakui ada kebutuhan terhadap peningkatan peran teknologi untuk determinasi sukses persaingan bidang pemasaran (Council on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989; Mitchell, 1990). Sebagai respon terhadap pengakuan tersebut di atas danagar dapat bersaing di pasar global, banyak perusahaan termasuk perusahaan tekstil dan garmen telah menggunakan teknologi terkini (advanced technology)
untuk teknologi proses maupun produk.Teknologi
pertekstilan bukan termasuk dalam kategori teknologi high-tech (Dickens, 2003) namun perubahan yang terjadi tersebut merupakan indikator atau sinyal tentang perlunya kebijakan teknologi perusahaan (firm technology policy) yang konsisten dan sesuai dengan strategi bisnis (Clark dan Hayes, 1985; Collier, 1985). Menurut Fusfeld (1978), pada dasarnya yang diperlukan adalah tentang seberapa penting elemen teknologi dalam penyusunan perencanaan strategis sebuah perusahaan. Kebanyakan perusahaan terkecuali yang bidang bisnis intinya in-line secara langsung dengan teknologi, tidak memuat elemen teknologi secara eksplisit dalam perencanaan strategisnya atau dengan perkataan lain tidak mempunyai konsep kebijakan teknologi. Akibatnya banyak perusahaan (termasuk perusahaan tekstil dan garmen Indonesia) tidak dapat mengantisipasi perubahan teknologi yang pada kenyataannya berdampak sangat luas. Bahkan para manajer dan eksekutif perusahaan akhirnya harus rela dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan yang memadai dibidang technological frameworks. Seharusnya menurut Teece, Pisano dan Shuen (1997) perusahaan harus selalu berada dalam situasi membangun kapabilitas yang dinamis (firm must remain in a dynamic capability building-mode), termasuk di dalam hal teknologi. Atas dasar ini timbul dorongan agar perusahaan mempersiapkan langkah antisipatif dengan menempatkan elemen teknologi sebagai bagian penting (konsep kebijakan teknologi) dalam perumusan perencanaan perusahaan (corporate planning). Beberapa alasan perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan teknologi dalam perusahaan (firm technology policies), yaitu memilih dan menentukan jenis ataupun cakupan teknologi apa yang relevan bagi perusahaan sehingga perlu dituangkan dalam corporate planning. Implikasi kepemimpinan dalam teknologi (technology leadership) telah dieksplorasi terlebih dahulu dalam teknologi dan strategi antara lain oleh: Ansoff dan Stewart (1967) serta Maidique dan Patch (1979). Keagresifan dalam postur teknologi
(aggressive technology 10
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 posture) sering dihubungkan dalam hal timing of entry dari pengadaan dan penggunaan teknologi yang dimaksud secara komersial relatif terhadap pesaing dalam bisnis. Julukan pemimpin dalam teknologi didapatkan oleh satu perusahaan sebagai hasil dari pada komitmen untuk selalu berperan sebagai “pioneer” dalam mengembangkan teknologinya (Rosenbloom dan Cusumano, 1987). Pemimpin teknologi mempunyai kapasitas untuk selalu menjadi yang pertama (to be first movers) untuk mendapatkan first mover advantages- FMA, namun dia juga dapat memilih untuk tidak melakukannya. Insentif sebagai first-movers (Hitt, Hoskisson dan Ireland, 2007) yakni bisa mendapatkan; (1) customers loyalty karena pelanggan akan tetap (committed) pada produk atau jasa yang pertama mereka dapatkan yaitu dari first-movers, (2) pangsa pasar (market share) yang telah didapatoleh first-movers dalam kompetisi selanjutnya akan sulit direbut oleh followers atau late-entrants terutama bila first-movers terus mempertahankan posisinya sehingga mencapai level unggul berkesinambungan (sustainable competitive advantage- SCA). Para first-movers atau technology leaders akan dapat mempertahankan posisinya bila dapat menaikkan entrybarriers, antara lain dengan;
(1) beroperasi pada skala-ekonomi (economies of scale)
menjadikan biaya per unit produk sangat rendah (lowest-cost) sehingga tidak tertandingi, (2) mempertinggi tingkat keunikan (differentiation) produk yang ditawarkan, (3) Switching-cost dibuat setinggi mungkin sehingga perlu biaya mahal untuk mensubstitusi produk yang sudah dipasok first-movers, (4) Membangun distribution channel yang kuat sehingga pesaing sulit mendapatkan akses pasar, (5) Mendaftarkan “paten” proses, teknologi dan brand produk kepada pemerintah sehingga sampai waktu tertentu terlindungi dan tidak dapat ditiru (costly to imitate) dan (6) melakukan Inovasi dan R&D terus menerus, bahkan kalau perlu melakukan apa yang disebut Schumpeter (1934) sebagai ‘creative-destruction’ agar sulit dikejar oleh pesaing. Schumpeter menggunakan kata creative-destruction untuk menjelaskan siklus hidup dari inovasi (the life cycle of innovations) yang dari perspektif dinamis mengartikan bahwa inovasi-baru akan menggantikan/ menghilangkan
yang lama (new innovations drive-out old ones) termasuk
sumber daya, profesi, keuntungan bahkan perusahaan dari pengusaha sebelumnya (previous entrepreneur). Tingkat keuntungan akan mengalir mengikuti siklus kontinual (continual cycle) yang tinggi pada tahap inovasi lalu menurun pada waktu imitasi mulai merebak dan diikuti siklus declining. 11
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Keunggulan kompetitif dan kinerja superior perusahaan yang agresif menggunakan teknologi (technology leader),disamping yang telah dikemukakan di atas yakni membangun barriers to entry, bisa juga didapatkan dari aspek keunikan teknologi yang dimiliki yang apabila berlangsung dalam jangka waktu lama akan menjadi keunggulan yang sukar ditiru. Kemampuan mempertahankan keunikan yang dimiliki perusahaan yang agresif dalam teknologi mengandung implikasi yaitu; perusahaan harus secara terus menerus mengamati apa yang dilakukan oleh pesaing dan tidak boleh mengisolasi diri namun sebaliknya berorientasi “outward dan sekaligus inward-looking”. Sebagai first-movers disamping mempunyai insentif namun juga mempunyai resiko, yakni biaya untuk melakukan inovasi dan R&D yang signifikan jumlahnya belum tentu sesuai dengan apa yang diharapkan didapatkan dari penjualan dan apabila hasil inovasi gagal dipasarkan maka cadangan dana (slack) yang sebelumnya selalu tersedia akan berkurang sehingga kemampuan melakukan inovasi selanjutnya menurun dan tak mampu seterusnya menjadi first-movers (Hitt, Hoskisson dan Ireland, 2007). Disamping itu second-movers dapat memanfaatkan jalan yang telah dibuka oleh first-mover yang telah melakukan customer’s education tentang produk sehingga memudahkan bagi second-mover untuk memasuki persaingan. Sebagai contoh first-mover yang pernah kehilangan keunggulan kompetitifnya pada tahun 1980-an adalah Macintosh PC dari Apple Computer (Yoffie dan Slind, 2008). Selanjutnya persaingan akan terjadi kalau ada pesaing yang bereaksi terhadap first-movers dengan strategi imitasi dan perbaikan fitur (imitated and improved).
Analisis Hasil Penelitian Gambaran Umum dan Profil Responden Tahap awal penelitian lapangan adalah melakukan Pre-Test dengan mengukur validitas instrumen utama penelitian yakni kuesioner yang berjumlah 80 buah pertanyaan, yang masingmasing pertanyaan mewakili dimensi dari variabel laten serta variabel terukur model penelitian disertasi. Pertanyaan kuesioner dinilai valid jika nilai Standard Loading Factor (SLF)> 0.50. Jika nilai SLF <0.50, maka pertanyaan kuesioner tersebut tidak valid atau dapat dikatakan tidak mengukur apa yang ingin diukur pada penelitian disertasi ini. Hasil dari Pre-Test terdapat 5 buah pertanyaan yang tidak valid sehingga tersisa 75 buah pertanyaan kuesioner yang valid untuk selanjutnya digunakan sebagai instrumen penelitian ini. 12
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Survei penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2008 sampai dengan November 2008 terhadap 580 perusahaan tekstil dan garmen diseluruh Indonesiadengan mengirimkan kuesioner yang dipakai sebagai instrumen. Jumlah kuesioner yang dikirim dan kembali dari responden serta persentasenya ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Sampel dan tingkat pengembalian Total kuesioner yang dikirim Perusahaan yang menolak berpartisipasi Pengembalian keseluruhan Total kuesioner kembali yang diolah Tingkat pengembalian keseluruhan Tingkat pengembalian berdasarkan kuesioner yang diolah Sumber data: Diolah oleh penulis (2008)
580 3 158 153 158/580x100% = 27.2 % 153/580x100% = 26.4 %
Dari 580 kuesioner yang dikirim ada 3 perusahaan yang mengatakan mereka tidak bersedia berpartisipasi. Total pengembalian 158 dengan 5 kuesioner dijawab tetapi kurang lengkap sehingga ada 153 sampel yang dapat diolah selanjutnya. Tingkat pengembalian kuesioner yang mencapai lebih 26 % dapat dikatakan sangat baik bila dibandingkan dengan tingkat pengembalian survei penelitian manajemen stratejik dengan target responden adalah pimpinan perusahaan sebagai key informant yang berkisar 20 – 25 % (Barringer dan Bluedorn, 1999; Kreiser et al., 2002b; Miller dan Friesen, 1982; Morgan dan Strong, 2003; Robinson dan Pearce, 1988). Jumlah sampel yang berkisar antara 100- 200 untuk penelitian yang bila mengolah data dengan SEM adalah jumlah yang baik (appropriate) khususnya dari segi overall fit measures yang fundamental yakni likelihood-ratio chi-square statistic
(Hair et al., 1998). Profil
perusahaan dan responden ditunjukkan di Tabel- 2 berikut ini.
Tabel -2 Profil Responden Perusahaan tekstil dan garmen Deskripsi Aset Perusahaan 10 – 100 Miliar rupiah >100 – 500 Miliar rupiah >500 Miliar rupiah
Frekuensi
Persentase
61 63 28
40% 42% 18% 13
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Jumlah 152 Penjualan Pertahun 10 – 100 Miliar rupiah 51 >100 – 500 Miliar rupiah 79 >500 Miliar rupiah 22 Jumlah 152 Bidang Usaha Terintegrasi (mixed tekstil dengan garmen) 22 Tekstil saja 95 Garmen saja 34 Jumlah 151 Jumlah pegawai 30- 300 orang 42 >300 – 3000 orang 97 >3000 orang 12 Jumlah 151 Usia Perusahaan 3 – 10 tahun 21 >10 – 20 tahun 73 >20 tahun 57 Jumlah 151 Area Pemasaran Domestik dan Ekspor (mixed) 117 Domestik 100% 27 Ekspor 100 % 9 Jumlah 153 Kontribusi Pemasaran Total Domestik NA Total Ekspor NA Jumlah NA Jabatan Responden Manajer Senior 64 GM/Direktur 76 Presiden Direktur 12 Jumlah 152 Jenis Kelamin Responden Laki-laki 132 Perempuan 21 Jumlah 153 Sumber: Diolah oleh penulis dari data-data survei (2008)
100% 34% 52% 14% 100% 15% 62% 23% 100% 28% 64% 8% 100% 14% 48% 38% 100% 76% 18% 6% 100% 58% 42% 100% 42% 50% 8% 100% 86% 14% 100%
14
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Profil responden dalam bentuk “pie diagram” ditunjukkan pada gambar berikut beserta penjelasannya masing-masing. Penjualan Rata-rata Pertahun (Miliar Rupiah)
Aset Perusahaan dalam Miliar Rupiah
18%
14%
40%
34%
10-100 M
10-100 M >100-500 M
>100-500 M >500 M
>500 M 52%
42%
Gambar-1 Profil Aset Perusahaan
Gambar-2 Profil Penjualan Pertahun
Dari Gambar-1 terlihat bahwa dari jumlah aset, perusahaan yang memiliki aset > 100 – 500 Miliar (42%) hampir berimbang dengan yang memiliki aset 10-100 Miliar (40%) sedangkan sisanya (18%) adalah perusahaan yang memiliki aset > 500 Miliar. Berdasarkan jumlah penjualan yang ditunjukkan di Gambar-2 perusahaan dengan penjualan >100 – 500 Miliar mendominasi (52%) disusul oleh perusahaan dengan jumlah penjualan 10- 100 Miliar (34%) dan sisanya dengan jumlah penjualan >500 Miliar. Terlihat pattern yang mirip antara profil yang memiliki jumlah aset dan penjualanper tahun yang seimbang. Bidang Usaha
Jumlah Pegawai
8% 23%
28%
15% Mixed Teks & Gar
30-300 Org
Tekstile
>300-3000 Org
Garmen
>3000 Org
62%
64%
Gambar-3 Profil Bidang Usaha
Gambar-4 Profil Jumlah Pegawai
Dari Gambar-3 tentang profil responden berdasarkan bidang usaha terlihat bahwa perusahaan tekstil mendominasi (62%) sampel, disusul oleh perusahaan garmen (23%) dan yang terakhir dan paling sedikit adalah bidang usaha terintegrasi (mixed) atau mempunyai bisnis tekstil dan juga garmen (15%).
15
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Dari profil jumlah pegawai seperti ditunjukkan di Gambar-4, responden didominasi oleh perusahaan yang memiliki >300 - 3000 pegawai (64%) disusul oleh perusahaan dengan 30 - 300 pegawai (28%) dan yang terakhir adalah perusahaan yang memiliki > 3000 pegawai (8%).
Usia Perusahaan
14% 38%
3-10 th >10-20 th >20 th 48%
Gambar-5 Profil Usia Perusahaan
Berdasarkan usia perusahaan dari sejak didirikan seperti ditunjukkan di Gambar-5, perusahaan yang telah berusia > 10 – 20 tahun berjumlah paling banyak (48%) lalu disusul oleh perusahaan yang telah berusia > 20 tahun (38%) dan yang paling kecil (14%) adalah perusahaan yang relatif masih muda yakni berusia 3-10 tahun. Dari profil tersebutdi atas terlihat bahwa jumlah perusahaan yang telah berusia > 10 tahun berjumlah 86% yang dapat diartikan positif karena telah berpengalaman namun dari sisi negatif seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa mesin-mesin yang digunakan kemungkinan sudah ketinggalan zaman sehingga produktifitasnya relatif rendah dibanding yang baru.
Kontribusi Pemasaran
Area Pemasaran
18% 6%
Domestik Ekspor Mixed
42% 58%
Domestik Ekspor
76%
Gambar-6 Profil Area Pemasaran
Gambar -7 Profil Kontribusi Pemasaran 16
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Di Gambar-6 terlihat bahwa dari profil area pemasaran, jumlah responden (perusahaan) didominasi oleh yang melayani kedua-duanya (mixed) baik pasar domestik maupun ekspor (76%) lalu disusul oleh perusahaan yang khusus melayani pemasaran domestik (18%) dan paling kecil (6%) adalah perusahaanyang hanya untuk melayani pemasaran ekspor. Dari profil ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dari segi jumlah (frekuensi) perusahaan yang menjadi responden ternyata lebih banyak yang melayani kedua-duanya yakni pasar domestik dan ekspor. Khusus untuk Profil Kontribusi Pemasaran yang ditunjukkan di Gambar-7, data-datanya didapatkan dari jawaban setiap responden terhadap pertanyaan tentang berapa persen penjualan untuk wilayah pemasaran domestik dan berapa persen untuk ekspor, lalu masing-masing persentase tersebut dijumlahkan dan dibagi jumlah perusahaan, yang ternyata 58% untuk domestik dan sisanya 48% untuk ekspor. Berbeda dengan persentase wilayah pemasaran yang berdasarkan frekuensi atau jumlah perusahaan, dalam hal kontribusi pemasaran yang dihitung adalah berapa persentasi jumlah yang diekspor dan berapa besar yang dijual di pasar domestik oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian angka rerata (mean) untuk hal ini menjadi tidak relevan. Jenis Kelamin
Jabatan 8% 42% 50%
Manajer Senior GM/ Direktur Presiden Direktur
Gambar-8 Profil Jabatan
14% Male Female 86%
Gambar-9 Profil Jenis Kelamin
Dari segi jabatan responden seperti yang ditunjukkan di Gambar-8, walaupun kuesioner untuk perusahaan tekstil dan garmen Indonesia ditujukan kepada para CEO/Presiden Direktur dengan tembusan kepada GM/Direktur dan Manajer Senior, kuesioner tersebut lebih banyak dijawab oleh para GM/Direktur (50%) disusul oleh Manajer Senior (42%) dan terakhir oleh CEO/Presiden Direktur (8%) atau sebanyak 12 orang dari 153 responden. Disadari bahwa dari ketiga kelompok jabatan (posisi) responden tersebut terdapat perbedaan namun khusus di industri tekstil dan garmen, para Manajer Senior, GM/Direktur dan CEO/Presiden pada
17
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 umumnya telah berkecimpung lama di industri tersebut sehingga dari heterogenitas kompetensi dan pengalaman tidak terlalu berbeda. Untuk profil jenis kelamin responden yang terdiri dari pimpinan unit bisnis hampir sama dengan industri manufaktur lainnya yang pada umumnya didominasi oleh laki-laki, dalam perusahaan tekstil dan garmen juga demikian. Di Gambar-9 terlihat bahwa responden laki-laki masih mendominasi (86%) dan perempuan hanya selisihnya (14%). Karena posisi pimpinan yang menjadi responden penelitian ini masih didominasi laki-laki (86%), maka respon yang diberikan oleh responden perempuan (14%) tidak akan berbeda jauh sehingga dapat mempengaruhi hasil secara keseluruhan.
Analisis Deskriptif Berikut di Tabel-3 ditunjukkan hasil analisis deskriptif yang dilakukan berdasarkan nilai rerata (mean) dari jawaban responden atas pertanyaan yang berhubungan dengan komponen utama/variabel laten penelitian.
Tabel-3 Analisis Statistik Deskriptif Skor Komponen Utama / Variabel Laten No.
Komponen Utama / Variabel Laten
1 1a 1.a1. 1.a2. 1b 1b1 1b2 1c 1c1 1c2 2 2a 2b 2c 2d 3 3a
Environment Uncertainty Environment Complexity (EnvComp) Diversity (Diver) Heterogenity (Hetero) Environment Dynamic (EnvDyn) Variability (Variab) Predictability (Predict) Environment Hostility (EnvHost) Criticality (Critic) Resources Capacity (ResCap) Business Strategy (BStrat) Specialty Product (Sp) Marketing Intensity (MarkIn) Cost Leadership (CostLD) Product Linebreadth (ProdLB) Technology Policy (TechPol) Aggressive Technology Posture (AggTP)
Nilai Rerata (Mean) 2nd-Order Mid 1st-Order 3.75 3.86 4.01 3.70 3.79 3.87 3.70 3.62 3.73 3.50 3.92 3.93 3.56 4.23 3.97 3.66 3.78 18
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 3b 3c 4 4a 4b
Process Automation (PAuto) Innovation and Reasearch & Development (InRD) Firm Performance (FirmPerf) 4.17 Financial Performance (FinPerf) Non-Financial Performance (NonFin)
3.68 3.53
3.73 4.60
Sumber: Diolah oleh penulis dari data-data survei (2008) Jawaban kuesioner yang menggunakan skala6-angka, sesuai konteksnya berarti: Skala 1: sangat sedikit, sangat homogen, sangat rendah dan sangat mudah. Skala 2 : sedikit, homogen, rendah dan mudah. Skala 3 : agak sedikit, agak homogen, agak rendah dan agak mudah. Skala 4 : agak banyak, agak heterogen, agak tinggi dan agak sulit. Skala 5 : banyak, heterogen, tinggi dan sulit. Skala 6 : sangat banyak, sangat heterogen, sangat tinggi dan sangat sulit. Dari data-data yang tertera di Tabel-3 tersebut diatas terlihat bahwa semua variabel/komponen menunjukkan skor rerata jawaban: mulai 3.50 sampai 4.60 dari skala maksimum 6.0.
Analisis ANOVA dari Data Pengukuran antar Kelompok Perusahaan Analisis ANOVA ditujukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan rerata hitung antara kelompok responden bidang usaha tekstil dan bidang usaha garmen serta antara kelompok responden area pemasaran ekspor dan pemasaran domestik sesuai dengan yang dikemukakan di depan. Dengan menggunakan ANOVA (One wayAnalysis of Variance) diuji perbedaan rerata (mean difference) variabel pengukuran utama penelitian.
Perbedaan Rerata (mean) menurut kelompok Bidang Usaha ANOVA dilakukan untuk analisis apakah terdapat perbedaan antara kelompok responden bidang usaha yang terbagi tiga, yakni: Mixed –‘tekstil dan garmen’ sebanyak 22 unit perusahaan (15%),Tekstilsebanyak 97 unit perusahaan (62%) dan Garmen sebanyak 33 unit perusahaan (23%)yang didasarkan pada mean difference dari setiap variabel laten; Environment Uncertainty (EnvUnc),Business Strategy (BStrat), Technology Policy (TechPol) dan Firm Performance (FirmPerf) dengan menggunakan SPSS versi 16.0.
Data-data
perhitungan ANOVA 19
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 menunjukkan bahwa ditemukan perbedaan antara kelompok bidang usaha campuran (mixed) dengan garmen pada satu variabel yakni technology policydan antara bidang usaha campuran (mixed) dengan tekstil pada satu variabel firm performance, sedangkan yang lainnya tidak ada perbedaan. Rangkuman analisis antar kelompok bidang usaha dapat dilihat pada Tabel-4 sebagai berikut:
Tabel-4.Rangkuman Hasil ANOVA Berdasarkan kelompok Bidang Usaha Bidang Mean Difference Usaha (J) (I – J) TEKSTIL 0.13743 GARMEN 0.16273 EnvUnc TEKSTIL GARMEN 0.02530 MIXED TEKSTIL 0.20333 GARMEN 0.11439 BStrat TEKSTIL GARMEN -0.08894 MIXED TEKSTIL 0.35361 GARMEN 0.56061* TechPol TEKSTIL GARMEN 0.20700 MIXED TEKSTIL 0.32847* GARMEN 0.27000 FirmPerf TEKSTIL GARMEN -0.05847 * Keterangan: “Mean Difference” Signifikan pada level 0.05 Variabel
Bidang Usaha (I) MIXED
Keterangan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Ada perbedaan Tidak terdapat perbedaan Ada perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan
Perbedaan Rerata (mean) menurut kelompok Area Pemasaran ANOVA dilakukan untuk analisis apakah terdapat perbedaan antara Area (Wilayah) Pemasaran yaitu: Mixed (domestik/ekspor) sebanyak 117 perusahaan (76%), domestik saja sebanyak 27 perusahaan (18%) dan ekspor saja sebanyak 9 perusahaan (6%). Analisis didasarkan pada mean difference dari setiap variabel laten: Environment Uncertainty (EnvUnc), Business Strategy (BStrat), Technology Policy (TechPol) dan Firm Performance (FirmPerf) dengan menggunakan SPSS versi 16.0.
Data-data
perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa
ditemukan perbedaan antara kelompok area pemasaran ekspor dengan area pemasaran campuran (mixed) dan dengan area pemasaran domestik pada satu variabel yakni firm performance, sedangkan yang lainnya tidak ada perbedaan. Rangkuman analisis antar kelompok area pemasaran dapat dilihat pada Tabel-5. sebagai berikut: 20
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tabel -5. Rangkuman Hasil ANOVA Berdasarkan kelompok Area Pemasaran
Area pasar (J) DOMESTIK
Mean Difference (I – J) 0.21313
EKSPOR
-0.11316
DOMESTIK
EKSPOR
-0.32630
MIXED
DOMESTIK
0.08621
EKSPOR
-0.13564
DOMESTIK
EKSPOR
-0.22185
MIXED
DOMESTIK
0.01538
EKSPOR
0.30427
DOMESTIK
EKSPOR
0.28889
MIXED
DOMESTIK
0.00501
Variabel
Area pasar(I) MIXED
EnvUnc
BStrat
TechPol
FirmPerf EKSPOR -0.53128* DOMESTIK EKSPOR -0.53630* * Keterangan: “Mean Difference” Signifikan pada level 0.05
Keterangan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Tidak terdapat perbedaan Ada perbedaan Ada perbedaan
Kesimpulan Berdasarkan kombinasi interaksi dari seluruh variabel dan dimensi penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan akhir sebagai berikut: Pertama, melihat gambaran perusahaan tekstil dan garmen Indonesia pada bulan September 2008 sampai November
2008, penelitian menggunakan analisis ANOVA,
perusahaan tekstil yang memiliki penjualan rata-rata 100-500 miliar rupiah, dengan jumlah pegawai 100-3000 orang dan mempunyai kontribusi penjualan paling besar yang datang dari pasar domestik .
21
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kedua, ditemukan adanya perbedaan antara kelompok bidang usaha campuran (mixed) dengan garmen pada satu variable yakni technology policy dan antara bidang usaha campuran (mixed) antara tekstil pada satu variable firm performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak terdapat perbedaan. Ketiga, terdapat perbedaan antara kelompok area pemasaran ekspor dengan area pemasaran campuran (mixed) dan dengan area pemasaran domestik pada satu variable yakni firm performance, sedangkan untuk aspek lainnya tidak terdapat perbedaan.
Daftar Pustaka Abell, D. (1980), Defining the Business: The Starting Point in Strategic Planning, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. Adler, P. (1989), Technology Strategy: ‘Guide to the literature’, Dalam R.S. Rosenbloom and R.A. Burgelman (eds), Research on Technological Innovation, Management and Policy, JAI Press, Greenwich, CT, 1-25. Afuah, A. (2000), How much do your co-opetitors capabilities matter in the face of technological change?, Strategic Management Journal, Special Issue, 21, 387-404. Ahuja, G. (2000), The duality of collaboration: Inducements and opportunities in interfirm linkages, Strategic Management Journal, 21: 317-343. Ansoff, I.(1965),Corporate Strategy: An Analytical Approach to Business Policy for Growth and Expansion, McGraw Hill, New York. Barney, J. B. (1991), Firm resources and sustained competitive advantage, Journal of Management, 17: 99-120. Bourgeois, L. J. III. (1980),Strategy and environment: a conceptual integration,Academy of Management Review, 5(1): 25-39. Burgelman, R. A., Maidique, M. A., dan Wheelwright, S.C. (2001), Strategic of Technology and Innovation, McGraw-Hill Irwin, Singapore.
Management
Capon, N., dan Glazer, R. (1987), Marketing and Technology: A strategic coalignment, Journal of Marketing, 51: 1-14. Clark, K., dan Hayes, R. (1985), ‘Exploring factors affecting innovation and productivity growth within the business unit’, Dalam K. Clark and C. Lorenz (eds.), The Uneasy Alliance: 22
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Managing the Productivity Technology Dilemma, Harvard Business School Press, Boston, MA, 365-384. Collis, D. (1991), A resource-based analysis of global competition: the case of the bearings industry,Strategic Management Journal, 12: 49-68. Conner, K. R. (1991), A historical comparison of resource-based theory and five schools of thought within industrial organization economics: do we have a new theory of the firm?,Journal of Management, 17(1): 121-154. Council on Competitiveness, (1991), Gaining New Ground: Technology Priorities for America’s Future, Council on Competitiveness, Washington, DC. Day, G. S., dan Reibstein, D. J. (1997), Wharton on Dynamic Competitive Strategy, John Wiley & Son, Inc. DeSarbo, W., Di Benedetto, C. A., Song, M., dan Sinha, I. (2005),Revisiting the Miles and Snow strategic framework: Uncovering interrelationships between strategic types, capabilities,environmental uncertainty and firm performance,Strategic Management Journal, 26:47-74. Dess, G. G., dan Beard, D. (1984), Dimensions environments,Administrative Science Quarterly, 29: 52-73.
of
organizational
task
Dicken, P. (2003), Global Shift, Reshaping the Global Economic Map in the 21st Century, 4th ed., The Guilford Press, New York. Dierickx, I., dan Cool, K. (1989), Asset stock accumulation and sustainability of competitive advantage,Management Science, 35: 1504-1511. Dill, W. R. (1976), Environment as an influence on managerial autonomy, Administrative Science Quarterly, 409-443. Domicone, H.A. (1997), Management Characteristics, Business Strategy and TechnologyPolicy: An Empirical Investigation, Unpublished Dissertation, UMI 1996. Franko, L.G. (1989), Global corporate competition: Who’s winning, who’s losing and the R&D factor as one reason why, Research Management, 29 (4): 17-20. Fusfeld, A. (1978), Technology Review, MIT Alumni Association. Fusfeld, A. (1989), Formulating technology strategies to meet the global challenges of the 1990s, International Journal of Technology Management, 4(6): 601-612. 23
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Ghobadian, A., O’Regan, N., Gallear, D., dan Viney, H. (2004),Strategy and Performance Achieving Competitive Advantage in the Global Markets, Palgrave, New York. Ghemawat, P., dan Nueno, J. L. (2006), ZARA: Fast Fashion, Harvard Business School Publishing, Boston, MA. Ghemawat, P., Collis, D. J., Pisano, G.P., dan Rivkin, J.W. (2001), Strategy and the Business Lanscape, Prentice Hall, New Jersey. Ginsberg, A., dan Venkatraman, N. (1985),Contingency perspectives of organizational strategy: a critical review of the empirical research,Academy of Management Review, 10(3): 421-434. Grant, R. M. (1991),The resource-based theory of competitive advantage: implications for strategy formulation,California Management Review, Spring: 114-135. Hambrick, D. (1980), Operationalizing the concept research,Academy of Management Review, 5(4): 567- 575.
of
business-level
strategy
in
Hatten, K. J., dan Schendel, D. E. (1977), Heterogenenity within industry: firm conduct in the U.S brewing industry, 1952-71,The Journal of Industrial Economics, 26(2): 97-113. Hatten, K. J., Schendel, D. E., dan Cooper, A. C. (1978),A strategic model of the U.S. brewing industry: 1952-1971, Academy of Management Journal, 21(4): 592-610. Henderson, R., dan Mitchell, W. (1997),The interactions of organizational and competitive influences on strategy and performance,Strategic Management Journal, 18: 5-14. Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., dan Ireland, R. D. (2007), Management Strategy: Concepts and Cases,Thomson South-Western, Mason. Hoskisson, R. E., Hitt, M. A., dan Ireland, R.D. (2004),Competing for Advantage, Thomson, Ohio. Hunt, S. D., dan Morgan, R.M. (1995), The Comparative Advantage Theory of Competition, Journal of Marketing, 59(4): 1-15. Itami, H., dan Numagami, T. (1992), Dynamic Interaction Between Strategy and Technology, Strategic Management Journal 13 (Winter, 1992): 119-136. Khalil, T. M. (2000), Management of Technology:The Key to Competitiveness and Wealth Creation, Singapore: McGraw-Hill Companies Inc.
24
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kilmann, R. H; Kilmann, I and Associates. (1991), Making organizations competitive: Enhancing networks and relationships accross tradidional boundaries, California: Jossey- Bass Inc. Kreiser, P. M., Marino,L. D., dan Weaver, K. M. (2002a), Assessing the psychometric properties of the entrepreneurial orientation scale: a multi-country analysis,Entrepreneurship Theory and Practice,Summer: 71-94. Lawless, M. W., Bergh, D., dan Wilsted, W. D. (1989), Performance variations among strategic group members: an examination of individual firm capability,Journal of Management, 15(4): 649-661. Lenz, R. T. (1980), Strategic capability: a concept and framework for analysis,Academy of Management Review, 5(2): 225-234. Lenz, R. T. (1981), ‘Determinants’ of organizational performance: an interdisciplinary review,Strategic Management Journal, 2: 131-154. Maidique, M,A., dan Patch, P. (1988), ‘Corporate strategy and technology policy’, Dalam M.L. Tushman., dan W.L. Moore (eds), Reading in management of Innovation (2nd ed), Balringer, Cambridge, MA: 236-248. Mitchel, G. (1990), ‘Alternative frameworks for technology strategy’, European Journal of Operational Research, 47 (4):153-161. Narayanan, V. K. (2001), Managing technology and Innovation for competitive advantage,New Jersey: Prentice Hall, Inc. Pangestu, M., dan Sato. Y.(1997), Wave of change in Indonesia’s manufacturing industry, Institute of developing economies, IDE, ASEDP Series no 42, Tokyo. Parker, A.R. (2000), Impact on the Organizational Performance of the Strategy – Technology Policy Interaction, Journal of Business Research, 47: 55-64. Parnell, J. A. (1997), New evidence in the generic strategy and business performance debate: a research notes,British Journal of Management, 8:175-181. Parnell, J. A. (2002), Competitive strategy research,Journal of Management Research, 2(1): 112. Parnell, J. A. (2006), Generic strategies after two decades: A re-conceptualization of competitive strategy,Management Decision, 44(8): 1139-1154.
25
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Parnell, J. A, Wright, P., dan Tu, H. S. (1996), Beyond the strategy-performance linkage: the impact of the strategy-organization-environment fit on business performance,American Business Review, June: 41-50. Penrose, E. (1959),The Growth of the Firm, Basil Blackwell, Oxford. Porter, M. (1980),Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and competitors, Free Press, New York. Porter, M., (1983),’ The technological dimension of competitive strategy’ dalam R.S. Rosenbloom (ed), Research on Technological Innovation, Management and Policy, 1, JAI Press, Greenwich, CT: 1-33. Porter, M. (1985),Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance, Free Press, New York. Porter, M. (1996),On Competition, Harvard Business Review Book, Boston. Prahalad, C. K .,dan Hamel, G. (1990), The core competence of the corporation,Harvard Business Review, 64: 79-91. Robins, J. A., dan Wiersema, M. (1995), A resource-based approach to the multibusiness firm: emprical analysis of portfolio interrelationships and corporate financial performance, Startegic Management Journal, 24 (1): 39-59. Schendel, D., dan Patton, G. R. (1978),A simultaneous equation model of corporate strategy,Management Science, 24(15): 1611-1621. Schumpeter, J. A. (1934), The Theory of Economic Development. Cambridge, University Press.
MA: Harvard
Spanos, Y. E., dan Lioukas, S. (2001),An examination into the causal logic of rent generation: contrasting Porter’s competitive strategy framework and the resource-based perspective,Strategic Management Journal, 22: 907-934. Sriram, V., dan Anikeeff, M. A. (1991), Product-market strategies among development firms,The Journal of Real Estate Research, 7(1): 99-114. Stalk, G., Evans, P., dan Shulman, L. E. (1992), Competing on capabilities: the new rules of corporate strategy,Harvard Business Review, March-April: 57-69. Tan, J dan Litschert, R. (1994),Environment-strategy relationship and its performance implications: an empirical study of the Chinese electronics industry,Strategic Management Journal, 15: 1-20. 26
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Tan, J., dan Tan, D. (2005),Environment-strategy co-evolution and co-alignment: a staged model of Chinese SOEs under transition,Strategic Management Journal, 26: 141-157. Teece, D. J., Pisano, G., dan Shuen, A. (1997),Dynamic capabilities and strategic management,Strategic Management Journal, 18(8): 509-533. Tvorik, S., dan McGivern, M. (1997), Determinants of organizational performance,Management Decision, 35(6): 417-435. Wernerfelt, B. (1984),A resource-based view of the firm,Strategic Management Journal, 5: 171180. Yoffie, B.D., dan Slind, M. (2008), Apple Inc, Harvard Business School, 9: 708-480. Zahra, S. A., dan Covin, J. G. (1993), Business Strategy, Technology Policy and Firm Performance, Strategic ManagementJournal, 14: 451-478.
27
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL Chandra Alamsyah Sampoerna School of Business Knowledge transfer through strategic alliance has thrived from years to years and has been perceived very important by practitioners and academics. The reason of this is because, in the era of knowledge-based economy, the demand of knowledge as a factor of production as a source of competitiveness can not be generated internally by company, so it requires cooperation with other firms. Therefore, the main purpose of this paper is to get a descriptive picture about company characteristics that has performed tacit knowledge transfer through international strategic alliance between developed and developing countries from the point of view of developing company as the recipient of knowledge. The study was done for 101 respondents, consisted of CEOs and TMTs of local companies. The result of this study indicates that there is a gap existed between ‘technical skill’ and different management style between developed company as the source of knowledge and developing country as the recipient of knowledge. Eventhough R&D is weak, several local companies have been able to develop new ideas into innovation. Thus, trust becomes a key factor that is very important for the success of knowledge transfer process and to acquire good quality knowledge. Keywords: Knowledge transfer, Competitiveness, technical skill, management style, trust.
28
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL Pendahuluan Pengetahuan sebagai komponen utama untuk memperoleh keunggulan daya saing perusahaan (Hitt, Hoskisson, & Ireland, 2007), telah memperoleh perhatian yang semakin besar dari para akademisi maupun praktisi (Chiva & Alegre, 2005; Chen, 2006). Berhubung tidak ada satu perusahaanpun yang dapat memenuhi atau menghasilkan semua pengetahuan yang dibutuhkan secara mandiri (Dussauge, Garrette, & Mitchell, 2000), maka alih pengetahuan antar perusahaan melalui aliansi stratejik (Chen, 2006) menjadi penting.9 Dengan mentransfer (mengalihkan) pengetahuan antar perusahaan, maka keunggulan daya saing yang dibangun dari pengetahuan dapat dimaksimalkan (Murray, 2003) melalui akses ke sumber daya unik utamanya pengetahuan yang bersifat tacit (tersembunyi, sulit untuk dikomunikasikan dan diartikulasikan) (Amit & Schoemaker, 1993). Penggunaan aliansi stratejik internasional terus meningkat dengan salah satu motivasi untuk mendapatkan akses pengetahuan (know-how) serta menginternalkan teknologi baru secara cepat (Lam, 2004). Walaupun popularitasnya terus meningkat, namun tingkat kegagalan aliansi stratejik juga tinggi hingga 70% dengan outcome yang dikehendaki tidak tercapai (Das & Teng, 2000). Alih pengetahuan internasional khususnya apabila menyangkut mitra dengan latar belakang budaya yang berbeda merupakan sebuah proses yang kompleks (Yin & Bao, 2006), dimana keberhasilan atau kegagalan alih pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti karakteristik
pengetahuan,
karakteristik
pengirim
pengetahuan,
karakteristik
penerima
pengetahuan, dan konteks alih pengetahuan (Szulanski, 1996). Sehingga penting untuk mengkaji berbagai karakteristik perusahaan baik di awal aliansi stratejik maupun selama proses alih pengetahuan untuk mendapatkan outcome/performance yang dikehendaki. Namun demikian, sebagian besar penelitian terdahulu hanya meneliti berbagai karakteristik perusahaan secara terpisah dan terisolasi (Westphal & Shaw, 2005). Padahal, sebagai suatu proses multi tahap (Inkpen & Dinur, 1998), alih pengetahuan dapat dipahami 9
Bentuk kerjasama selain aliansi stratejik adalah merger dan akuisisi (M&A), namun di luar lingkup penelitian ini.
29
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 secara lengkap apabila dilakukan analisis secara komprehensif yang melibatkan anteseden (struktur), mekanisme (conduct) dan kinerja (outcome) (Becker & Knudsen, 2006, Klint & Sjoberg, 2003). Selain itu, alih pengetahuan melalui aliansi stratejik umumnya dikaji dari sudut pandang pemberi dan bukan penerima pengetahuan (Yin & Bao, 2006), dan terpusat pada perusahaan di negara maju, sehingga aplikasinya di negara berkembang menjadi kurang diketahui, yang menjadikannya kesenjangan penelitian (Murray, Kotabe, & Zhou, 2005). Untuk mengatasi kesenjangan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai karakteristik perusahaan yang melakukan alih pengetahuan tacit melalui aliansi stratejik internasional antara negara maju dengan negara berkembang dari persepsi negara berkembang sebagai penerima pengetahuan. Melalui kajian komprehensif, karakteristik perusahaan yang terdiri dari faktor struktural berupa kecocokan mitra aliansi (partner fit), faktor mekanisme berupa proses kognitif (interorganizational learning) serta behavioral (relational capital), dan faktor outcome (kualitas pengetahuan alihan) dianalisis secara deskriptif disamping menggunakan juga analisis varians dan korelasi. Rangkuman statistik deskriptif dinyatakan sebagai salah satu bagian terpenting dari laporan setiap hasil penelitian serta dapat digunakan sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan (Agung, 2004). Bagian berikut dari artikel ini akan menguraikan karakteristik perusahaan yang melakukan aliansi stratejik diikuti dengan metode penelitian yang melibatkan 101 perusahaan lokal sebagai responden yang beraliansi dengan perusahaan asing. Selanjutnya diakhiri dengan diskusi, kesimpulan, implikasi, keterbatasan dan penelitian lanjutan yang disarankan.
Karakteristik Perusahaan Karakteristik perusahaan merupakan elemen penting untuk keberhasilan alih pengetahuan (Reid, Bussiere, & Greenaway, 2001). Berdasarkan telaah literatur (Becker & Knudsen, 2006), karakteristik perusahaan untuk penelitian ini dapat disarikan menjadi tiga kelompok yaitu: pertama, faktor struktural meliputi kecocokan mitra (partner fit) (Kale et al., 2000; Sucahyo et al., 2005) yang terdiri dari komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi dan kompatibilitas budaya (Parkhe, 1991; Sarkar et al., 2001). Kedua, faktor mekanisme yang meliputi faktor kognitif berupa pembelajaran terdiri dari learning intent, receptivity, dan transparansi (Larsson et al., 1998; Hamel, 1991) dan faktor behavioral berupa relational capital 30
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 (Kale et al., 2000; Sucahyo et al., 2005) yang terdiri dari kepercayaan (trust), reciprocity, komunikasi, dan ketertarikan (Sarkar et al., 2001; Muthusamy & White, 2005). Ketiga, kinerja (outcome) yakni kualitas pengetahuan alihan (quality of knowledge transferred) dengan dimensi fitness for use dan applicability (Juran, 1992; Dalkir, 2005).
Kecocokan Mitra Dalam melakukan alih pengetahuan melalui aliansi stratejik, seringkali perusahaan tidak mempunyai informasi latar belakang yang memadai, serta mengalami ketidaksamaan bahasa dan ketidaksamaan kepentingan, sehingga membatasi kemampuan untuk mengakses dan membagi pengetahuan secara signifikan (Carlile, 2004). Perbedaan karakteristik perusahaan akan membatasi kemampuan perusahaan untuk bekerjasama (Parkhe, 1991), sehingga diperlukan adanya kecocokan mitra agar dapat terjadi sinergi. Dengan demikian kecocokan karakteristik perusahaan yang bermitra yang terdiri dari tiga komponen yaitu komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi dan kompatibilitas budaya merupakan salah satu faktor penentu sukses atau gagalnya alih pengetahuan melalui aliansi (Kale et al., 2002).
Komplementaritas sumber daya Komplementaritas sumber daya merupakan tingkat penggabungan sumber daya yang unik dan berharga, tidak identik tapi saling melengkapi yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam kolaborasi yang tidak mungkin untuk dikembangkan sendiri (Sarkar et al., 2001; Hitt, Ireland, & Harrison, 2001). Komplementaritas sumber daya menciptakan ketergantungan, yang mendorong timbulnya komitmen dan interaksi yang tinggi sehingga meningkatkan potensi pembelajaran antara satu sama lainnya dan menciptakan kondisi menguntungkan untuk terjadinya alih pengetahuan (Dussauge et al., 2000). Selain itu juga timbul sinergi, yang meningkatkan core capabilities perusahaan (Murray, 2001) dan masing-masing pihak dapat mempelajari kapabilitas pihak lain (Hitt et al., 2001).
Kompatibilitas operasi Kompatibilitas operasi merupakan tingkat kesesuaian dalam operasi perusahaan (Sarkar et al., 2001). Kompatibilitas operasi menyebabkan mitra aliansi berkooperasi lebih efektif, lebih 31
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 komunikatif dan lebih mudah berbagi sumber daya yang dapat meningkatkan kualitas hubungan (Sarkar et al., 2001) dan kapabilitas (Hitt et al., 2001). Perusahaan dengan kapabilitas teknis yang kompatibel akan meningkatkan proses pembelajaran antar mitra (Cohen & Levinthal, 1990). Sebaliknya perbedaan keahlian akan menghalangi proses pembelajaran (Crossan & Inkpen, 1995). Demikian juga perusahaan dengan bisnis yang sama memiliki dasar kompetensi yang sama, karena menggunakan teknologi serta memenuhi kebutuhan pelanggan yang sama dan oleh karenanya memiliki dominant logic yang sama, sehingga dapat belajar lebih mudah (Dussauge & Garrette, 2000).10
Kompatibilitas budaya Kompatibilitas budaya yang merupakan tingkat kesesuaian dalam budaya perusahaan akan meningkatkan saling pengertian, kepercayaan antar mitra aliansi (Holtbrugge, 2004), komitmen dan pertukaran informasi serta berdampak terhadap pembelajaran (Sarkar et al., 2001). Perusahaan yang memiliki kesamaan dalam budaya organisasi akan memiliki kualitas hubungan yang lebih baik. Sebaliknya budaya organisasi yang tidak kompatibel akan membawa hubungan kerja yang kontra-produktif karena objektif yang tidak kompatibel dapat menimbulkan konflik ataupun kecurigaan dan perselisihan (Sarkar et al., 2001). Kurangnya keahlian atau kesalahan dalam menginterpretasikan sesuatu disebabkan perbedaan budaya atau kurangnya pemahaman terhadap lintas budaya antar mitra, akan mengganggu kemampuan pembelajaran dan pengembangan kepercayaan (Nielsen, 2001).
Pembelajaran Pembelajaran antar organisasi pada dasarnya merupakan alih pengetahuan dari satu perusahaan ke perusahaan lain (Hitt, Lee, & Yucel, 2002; Muthusamy & White, 2005) atau definisi lain berupa proses penciptaan pengetahuan secara bersama-sama melalui interaksi antar perusahaan (Larsson et al., 1998; Lubatkin, Florin, & Lane, 2001). Pengetahuan yang dialihkan dapat berbentuk pengetahuan eksplisit, pengetahuan tacit atau keduanya. Pembelajaran selain 10
Dominant Logic merupakan mindset atau konseptualisasi bisnis yang menjadi alat administratif untuk memenuhi sasaran (goal) dan membuat keputusan bisnis (Prahalad & Bettis, 1986).
32
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 menghasilkan private benefit juga menghasilkan common benefit (Khanna et al., 1998; Inkpen, 2000). Apabila pada transfer pengetahuan yang ada membutuhkan mitra untuk berlaku sebagai ”teacher atau expert”, maka pada penciptaan pengetahuan baru secara bersama, para mitra bertindak sebagai co-reseacher atau co-inventor (Lubatkin et al., 2001). Dimensi pembelajaran antar perusahaan terdiri dari learning intent, transparansi dan receptivity (Hamel, 1991; Larsson et al., 1998).
Learning intent. Dalam konteks pembelajaran melalui aliansi stratejik, learning intent (Hamel, 1991) merupakan hasrat (desire) dan kemauan (will) untuk belajar serta menginternalisasikan keahlian dan kompetensi mitra atau belajar dari lingkungan yang kolaboratif (Simonin, 2004). Dengan demikian learning intent merupakan kecenderungan untuk melihat kolaborasi sebagai peluang pembelajaran sehingga menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Learning intent akan mempengaruhi komitmen dan alokasi sumberdaya terhadap proses pembelajaran dan khususnya akan mempengaruhi putusan untuk mengawali mekanisme pembelajaran (Inkpen, 2000a) dengan memperhitungkan sifat kompetitif dan kooperatif kegiatan pembelajaran antar perusahaan (Wu & Cavusgil, 2006). Sehingga apabila perusahaan menganggap pengetahuan yang dimiliki mitra aliansinya menarik atau bernilai tinggi, hal tersebut yang mendorong keinginan (learning intent) perusahaan untuk mempelajarinya (Inkpen, 2000b; Pak & Park, 2004).
Receptivity. Hamel (1991) memperkenalkan konsep receptivity sebagai kapasitas organisasi untuk belajar dari mitra aliansi, dan bersama-sama dengan intent (desire to learn) dan transparansi (learning opportunity) merupakan dogma dalam proses pembelajaran. Receptivity berkenaan dengan motivasi dan kemampuan untuk menyerap kecakapan (skill) atau pengetahuan yang dikemukakan oleh mitra. Dengan kata lain organisasi harus mempunyai kapasitas untuk menyerap input untuk menghasilkan output (Tsai, 2001). Dalam studinya, Lyles & Salk (1996) mengamati bahwa kapasitas pembelajaran (diukur dengan fleksibilitas joint venture, kreativitas dan pengetahuan tentang pegawai) mempengaruhi secara signifikan tingkat akuisisi pengetahuan. 33
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Perusahaan dapat meningkatkan receptivity pembelajaran dengan cara memaksimalkan jumlah akses potensial ke dalam perusahaan mitra, mengkaji bahasa mitra, melakukan benchmarking terhadap keahlian mitra, dan melakukan kesetaraan dalam fasilitas dan peralatan (Doz & Hamel, 1998).
Transparansi. Transparansi merupakan tingkat keterbukaan perusahaan terhadap mitra sehingga menentukan potensi mitra terhadap pembelajaran dan peluangnya (Hamel, 1991). Transparansi penting, karena tanpa peluang untuk mengamati perbedaan (discrepancy) keahlian mitra, maka tidak ada insentif untuk pembelajaran. Transparansi juga merupakan kesiapan membuka diri terhadap pengujian menerima umpan balik (feedback) (Popper & Lipshitz, 2000) dimana komunikasi secara terbuka dan jujur diperlukan (Nielsen, 2001). Sebuah perusahaan akan lebih mudah belajar dari mitra aliansi apabila tingkat keterbukaan atau transparansi tinggi (Hamel, 1991; Doz & Hamel, 1998). Ketidaktransparansian akan mengakibatkan semakin besarnya ambiguity dan secara langsung menghalangi alih pengetahuan (Simonin, 2004). Terdapat paradoks di satu sisi perusahaan harus transparan terhadap pengetahuan yang dialihkan agar aliansi berhasil, namun di sisi lain perusahaan mempertahankan keunggulan kompetitifnya apabila pesaing tidak dapat mengakuisisi kapabilitas yang merupakan basis keunggulan perusahaannya (Amit & Schoemaker, 1993).
Relational Capital Kale et al. (2000) mendefinisikan relational capital sebagai tingkat saling percaya (mutual trust), hormat (respect) dan bersahabat (friendship) antara anggota aliansi. Relational capital yang kuat akan melahirkan interaksi yang kuat, yang memfasilitasi pertukaran dan transfer informasi dan know-how antar mitra aliansi, dan akan mengekang perilaku oportunis dari mitra aliansi yang secara sepihak menyerap atau mencuri informasi atau know-how yang dimiliki mitra lainnya. Relational capital memberikan akses pengetahuan serta motivasi bagi mitra untuk melakukan pembelajaran (Nahapiet, Gratton, & Rocha, 2005) serta saling bertukar informasi dan know-how (Kale et al., 2000). Tiga aspek kunci relational capital yaitu mutual trust yang merupakan tingkat kepercayaan (confidence) satu pihak terhadap integritas pihak lain, mutual 34
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 commitment yaitu tingkatan dimana kedua pihak bersedia menanamkan sumberdaya masingmasing dalam aliansi dan information exchange yang merupakan komunikasi formal maupun informal (Sarkar et al., 2001). Gelfand et al. (2006) menambahkan mutual attraction yang terbentuk apabila mitra aliansi mengembangkan saling ketertarikan satu sama lainnya. Dengan merangkum dimensi relational capital kedua penelitian terdahulu, maka elemen berikut ini yaitu kepercayaan (trust), reciprocity (mutual commitment), komunikasi (information exchange), dan ketertarikan (attraction) diasumsikan merupakan dimensi relational capital.
Kepercayaan Agar alih pengetahuan melalui aliansi berjalan lancar, dibutuhkan adanya saling percaya (Davenport & Prusak, 1998). Satu pihak akan berkenan membagi pengetahuannya kepada pihak lain apabila memiliki kepercayaan (Davenport & Prusak, 1998) dan alih pengetahuan akan lebih berhasil dengan adanya kepercayaan antar kedua pihak (Ford, 2002). Kepercayaan sedemikian pentingnya untuk pertukaran hubungan (relational exchange) sehingga dianggap sebagai kriteria sentral kemitraan stratejik (Mohr & Spekman, 1994). Menurut Ring & Van de Ven (1992), dua definisi yang berbeda terhadap kepercayaan sering digunakan dalam literatur yaitu keyakinan (confidence) atas ekspektasi satu pihak dan confidence pihak tersebut terhadap goodwill pihak lain. Dengan adanya kepercayaan maka diharapkan mitra aliansi cenderung tidak melakukan tindakan oportunis. Dengan kata lain kepercayaan antar mitra aliansi merupakan sebuah ekspektasi bahwa mitra akan bertindak/berlaku secara jujur (Hamel, 1991; Inkpen & Currall, 2004).
Reciprocity Reciprocity
atau
saling
berkomitmen
dalam
sebuah
pertukaran
(exchange)
dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban moral (moral obligation) satu pihak untuk memberikan kepuasan kepada pihak lain (Muthusamy & White, 2005). Sebuah komitmen bersama untuk bekerjasama adalah kritikal (Doz & Hamel, 1998), dan komitmen tersebut harus dimiliki oleh seluruh jajaran perusahaan. Komitmen perlu untuk membina hubungan jangka panjang agar mitra membatasi kehendaknya mencari alternatif lain ataupun komitmen jangka pendek untuk memperkuat hubungan jangka panjang. Adanya komitmen bersama yang kuat 35
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 dapat menghindari terjadinya konflik antar anggota aliansi, sehingga kestabilan dan kontinuitas aliansi stratejik dapat terpelihara (Soetjipto, 2003). Keterlibatan pimpinan puncak dalam aliansi menunjukkan bahwa perusahaan memandang penting hubungan antar mitra dan menggalakkan tumbuhnya perilaku timbal balik dengan mitra (Yoshino & Rangan, 1995).
Komunikasi Komunikasi dapat didefinisikan secara luas sebagai berbagi (sharing) informasi yang berarti dan tepat waktu antar perusahaan baik secara formal maupun informal (Sarkar et al., 2001; Yao & Murphy, 2005). Komunikasi memungkinkan satu pihak mempelajari kespesifikasian pihak lain, mengembangkan sikap saling pengertian (Young-Ybarra & Wiersma, 1999) serta sangat penting untuk keberhasilan aliansi stratejik internasional (Wahyuni, 2003). Terdapat tiga aspek penting komunikasi yang akan meningkatkan hubungan (relationship) antar mitra yaitu aspek kualitas informasi (termasuk di dalamnya aspek keakurasian, ketepatan waktu, keabsahan dan kredibilitas dari informasi yang dipertukarkan), aspek pertukaran informasi secara efektif yang akan meningkatkan nilai informasi tersebut dan pada akhirnya meningkatkan kepercayaan serta komitmen dan mengurangi potensi terjadinya konflik, dan
peran serta
keterlibatan mitra dalam penyusunan perencanaan dan sasaran aliansi (Kauser & Shaw, 2004).
Ketertarikan Ketertarikan (attraction) dapat didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana satu pihak memandang pihak lain mempunyai daya tarik profesional dalam hal kemampuan untuk memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi, akses kedalam sumberdaya yang utama dan kompatibilitas sosial (Harris, O’Malley & Patterson, 2003). Ketertarikan menjadi landasan untuk interaksi ke depan (Jacobs, 1991). Ketertarikan merupakan persyaratan awal untuk terjadinya interaksi dan selanjutnya menentukan apakah kedua pihak termotivasi untuk memelihara hubungan tersebut (Harris et al., 2003). Menurut Blau (1964), terjalinnya mutual attraction merupakan kekuatan yang merangsang para pihak untuk berinteraksi.
36
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kualitas Pengetahuan Alihan Paradigma knowledge-based view menekankan pentingnya pengelolaan pengetahuan sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan keunggulan daya saing, dengan alih pengetahuan menjadi faktor yang kritikal baik untuk keberhasilan maupun keunggulan daya saing perusahaan. Davenport & Prusak (1998) mengatakan bahwa alih pengetahuan baru bernilai apabila alih pengetahuan membawa beberapa perubahan perilaku, atau pengembangan ide yang menghasilkan perilaku baru dan digunakan. Dengan adanya perilaku yang membawa perubahan, serta digunakan berarti alih pengetahuan harus menghasilkan suatu pengetahuan yang berkualitas. Kualitas pengetahuan merupakan isu yang signifikan untuk pemecahan masalah (problem solving) dan pembuatan keputusan (decision making). Menurut Dalkir (2005) kualitas pengetahuan meliputi akurasi, pemahaman (understandability), aksesibilitas, keterkinian dan kredibilitas. Dari definisi tersebut, untuk keperluan penelitian ini, maka kualitas pengetahuan yang dialihkan mempunyai dua dimensi yaitu tingkat kecocokan penggunaan (fitness for use) serta tingkat aplikasi (applicability).
Fitness for use Berangkat dari Dalkir (2005) dan Juran (1992), fitness for use dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat kecocokan pengetahuan yang meliputi tingkat akurasi, understandability, aksesibilitas, kredibilitas dan pengkodifikasian. Pengetahuan dikatakan memiliki keakurasian apabila pernyataan, kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan informasi/pengetahuan yang relevan dan sesuai (Pawson et al., 2003). Understandability artinya dapat dipahami secara jelas, bermakna dan tidak mendua. Aksesibilitas artinya pengetahuan menjadi sumber daya perusahaan yang berharga hanya apabila dapat diakses. Selain itu nilainya meningkat sejalan dengan tingkat aksesibilitasnya (De Pablos, 2004). Kredibilitas artinya dapat dipercaya dan kodifikasi artinya dapat didokumentasikan. Pengkodifikasian penting untuk menterjemahkan pengetahuan ke dalam bentuk eksplisit agar memudahkan penyebaran (Dalkir, 2005) dan menjadikannya memori organisasi yang dapat diakses (Daghfous, 2004).
37
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Applicability Pengetahuan yang dialihkan baru akan bernilai apabila dapat diaplikasikan sebagaimana dikatakan oleh Alavi & Leidner (2001) bahwa aspek penting dalam pengelolaan pengetahuan adalah mengalihkan pengetahuan ke lokasi yang membutuhkan dan dapat digunakan. Keberhasilan alih pengetahuan bukan terbatas apabila pengetahuan tersebut telah terkirim tapi tingkat aplikasinya. Pengetahuan bisa saja diakses dan diasimilasikan namun tidak diaplikasikan, karena beberapa hal seperti tidak mempercayai sumber pengetahuan tersebut, kurangnya waktu atau peluang menggunakan pengetahuan tersebut, atau menghindari risiko (Alavi & Leidner, 2001). Kogut & Zander (1995) mengatakan bahwa alih teknologi berhasil apabila penerima pengetahuan menerapkan teknik baru produksi. Perusahaan belajar dari aliansi apabila pengetahuan tersebut dapat diinternalisasikan dan diaplikasikan di luar kegiatan aliansi yang berjalan (Harrison et al., 2001).
Metode Penelitian Populasi dan Sampel Target populasi penelitian ini adalah perusahaan lokal dalam sektor industri berbasis pengetahuan (knowledge-intensive industry) yang melakukan aliansi stratejik dengan perusahaan asing. Termasuk dalam sektor industri berbasis pengetahuan adalah industri farmasi, kimia, elektronik, telekomunikasi, otomotif dan perminyakan. Sebagai responden dipilih para eksekutif puncak dari perusahaan lokal. Sebagaimana Hambrick & Mason (1984) menyatakan bahwa outcome organisasi baik berupa strategi maupun efektivitas dapat direfleksikan dari persepsi eksekutif (manager) puncaknya. Demikian juga kualitas informasi dari eksekutif puncak cukup kaya untuk membangun teori (Tsang, 2002), disamping juga sebagai pembuat keputusan utama yang menentukan orientasi stratejik perusahaan (Lohrke, Kreiser & Weaver, 2006). Metode pemilihan sampel dilakukan dengan menerapkan metode pemilihan sukarela atau ”convenient sampling” (Agung, 2004).
Hal ini dilakukan mengingat tidak mudah untuk
mendapatkan data primer dari para eksekutif puncak yang pada umumnya sangat sibuk dan mempunyai waktu yang terbatas. Selain itu juga dilakukan random sampling dengan memilih perusahaan yang terdaftar dalam Standard Trade & Industry Directory of Indonesia 2004. 38
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Variabel Penelitian dan Pengukuran Dalam penelitian ini terdapat 12 (dua belas) karakteristik perusahaan yang merupakan variabel laten berdasarkan himpunan variabel terukur (indikator) seperti disajikan dalam tabel 1. Kedua belas variabel tersebut terdiri dari komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi, kompatibilitas budaya, learning intent, receptivity, transparansi, kepercayaan, reciprocity, komunikasi, ketertarikan, fitness for use dan applicability. Kedua belas variabel tersebut membentuk empat variabel laten utama yaitu kecocokan mitra, pembelajaran, relational capital dan kualitas pengetahuan alihan (tabel 1). Sesuai Agung (2004), berhubung penelitian ini menggunakan variabel berukuran subjektif, dan untuk mempersingkat waktu maka sebagai alat ukur untuk variabel yang telah ada pengukurannya, dimanfaatkan kuesioner yang telah dikembangkan oleh para peneliti/ilmuwan lain dengan modifikasi seperlunya sesuai substansi. Selanjutnya, variabel berukuran subjektif tersebut diukur oleh responden yang kebetulan terpilih dalam bentuk persepsi terhadap himpunan pernyataan berskala Likert dengan alternatif jawaban 1 sampai dengan 6, sehingga para responden dapat diklasifikasi secara tepat menjadi dua kelompok (Agung, 2004). Namun tidak semua instrumen yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu tersedia untuk penelitian ini, sehingga instrumen baru untuk fitness for use dan applicability dikembangkan sendiri berdasarkan literatur yang ada. Untuk itu dihitung skor rerata berdasarkan masing-masing himpunan variabel terukur yang dipakai sebagai nilai/ukuran dari variabel laten yang bersangkutan (contoh: skor komplementaritas sumber daya dihitung berdasarkan skor rerata dari variabel terukur yang terdiri dari lima pertanyaan). Berdasarkan skor masing-masing variabel, dipakai nilai batas (cut-off point) 4 dari rentang 1 sampai 6, sehingga perusahan yang memberi nilai variabel laten lebih kecil dari 4, dinyatakan sebagai memberikan jawaban ”tidak” terhadap variabel laten tersebut.
39
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tabel 1. Rangkuman Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Laten Utama
Kecocokan Mitra
Variabel Laten
Indikator
Referensi
Lima pertanyaan mencakup tingkat komplementaritas sumberdaya seperti tingkat perbedaan, sinergi dan saling menguntungkan.
Sarkar et al. (2001)
Komplementaritas sumber daya
Lima pertanyaan mencakup tingkat kompatibilitas operasi seperti tingkat kemampuan teknis, prosedur organisasi, gaya manajemen dan mekanisme operasi.
Sarkar et al. (2001)
Lima pertanyaan mencakup tingkat kompatibilitas budaya seperti nilai, norma, filosofi, tujuan dan visi perusahaan.
Sarkar et al. (2001)
Lima pertanyaan mencakup seberapa besar tekad, peluang pembelajaran dan sarana pengembangan ide baru.
Simonin (2004); Wu & Cavusgil (2006)
Lima pertanyaan mencakup tingkat karyawan yang terlatih, latar belakang akademis, program pendidikan dan komitmen.
Simonin (2004); Pak & Park (2004)
Lima pertanyaan mencakup tingkat keterbukaan dalam hal informasi teknis/pemasaran/strategis serta komunikasi di lini karyawan.
Norman (2002)
Lima pertanyaan mencakup tingkat kepercayaan terhadap pengambilan keputusan, perjanjian dan ketrampilan teknologi.
Norman (2002); Aulakh et al. (1996); Mohr & Spekman (1994)
Lima pertanyaan mencakup komitmen terhadap keberhasilan, investasi, upaya serta kepedulian terhadap aliansi.
Muthusamy & White (2005)
Lima pertanyaan mencakup frekwensi bertukar informasi, bertatap muka secara informal, dan ketepatan waktu.
Young-Ybarra & Wiersema (1999); Paulraj & Chen (2005)
Ketertarikan
Lima pertanyaan yang merefleksikan keakraban, hubungan profesionalisme, saling mengisi dan hormat.
Jacobs (1991); Soetjipto (2002)
Fitness for use
Lima pertanyaan mencakup tingkat akurasi, pemahaman, aksesibilitas, kredibilitas dan pendokumentasian.
Dalkir (2005); Norman (2002)
Enam pertanyaan mencakup tingkat aplikasi serta peningkatan kualitas produksi/SDM/ R&D, kinerja bisnis dan pengembangan ide baru.
Simonin (2004)
Kompatibilitas operasi
Kompatibilitas budaya
Learning intent
Receptivity Pembelajaran
Transparansi
Kepercayaan
Reciprocity Relational capital Komunikasi
Kualitas pengetahuan alihan
Applicability
40
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Sebelum dilakukan pengukuran ke lapangan dilakukan terlebih dahulu pre-test agar diketahui sejauh mana kuesioner tersebut dapat diterima serta dimengerti dengan jelas, dan dipastikan tidak ada permasalahan dalam hal terminologi atau interpretasi terhadap kuesioner (Yli-Renko et al., 2001; Thietart et al., 2001). Cronbach’s α bervariasi dari nilai tertinggi 0.8802 untuk fitness for use hingga nilai terendah 0.7217 untuk komplementaritas sumber daya.
Proses Pengumpulan Data Dari 441 perusahaan yang dikirim kuesioner, yang mengembalikan sebanyak 110 perusahaan dan yang valid sebanyak 101 responden terdiri dari sektor industri farmasi (15), kimia (19), elektronik (24), telekomunikasi (13), otomotif (8) dan perminyakan (22) sehingga memberikan 23% response rate. Sebagian besar responden (89.1%) merupakan bagian dari TMT (Top Management Team) yaitu CEO, Vice President, Direktur atau General Manager. Mereka telah terlibat secara langsung dengan aliansi yang diteliti untuk jangka waktu rata-rata sembilan tahun, sehingga cukup mempunyai keahlian berkaitan dengan kerjasama tersebut. Ukuran perusahaan menunjukkan bahwa sekitar 30.7% responden mempekerjakan kurang dari 100 orang dan 30.7% responden mempekerjakan antara 100 hingga 500 orang. Sisanya sekitar 38.6% mempunyai karyawan lebih dari 500 orang. Periode aliansi yang dilakukan kurang dari 5 tahun sebanyak 20.5 % dan lebih dari 10 tahun sebanyak 48.9%. Mayoritas mitra asing aliansi berasal dari Asia (khususnya Jepang, Korea, China, Singapura) (41.6%) diikuti oleh Amerika (29.7%), Eropa (19.8%) dan Australia (2%).
Metode Analisis Data Metode analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan rangkuman statistik dalam bentuk tabulasi, berdasarkan kelompok-kelompok variabel yang terpilih (Agung, 2004). Rangkuman hasil analisis tersebut menyajikan rerata (mean), standar deviasi (S.D), nilai minimum, nilai maksimum, dan frekuensi untuk kedua belas variabel laten. Selain analisis deskriptif dilakukan juga analisis varians untuk menguji hipotesis tentang perbedaan rerata kedua
41
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 belas variabel laten antar ketiga negara mitra aliansi (Amerika, Eropa dan Asia11) dan analisis korelasi bivariat untuk mempelajari pengaruh linier dari masing-masing variabel laten terhadap variabel laten lainnya.
Hasil Penelitian Selanjutnya analisis deskriptif serta uji hipotesis antar negara mitra dilakukan untuk mengkaji karakteristik perusahaan yang melakukan aliansi melalui dimensi kecocokan mitra, pembelajaran, relational capital dan kualitas pengetahuan alihan.
Analisis Berdasarkan Dimensi Kecocokan Mitra Tabel 2 menyajikan rangkuman statistik untuk ketiga dimensi kecocokan mitra (komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi dan kompatibilitas budaya) dan pengujian hipotesis tentang perbedaan parameter rerata antar ketiga negara mitra aliansi.
Tabel 2. Perbedaan Rerata Dimensi Kecocokan Mitra Negara Asal Mitra Aliansi Variabel
Frekuensi
Amerika
Eropa
Asia
(N= 30)
(N=20)
(N=42)
Komplementaritas
Mean*)
5.240
5.200
5.129
sumber daya
S.D
.6021
.4634
.5316
Kompatibilitas
Sig. Mean*)
.392 4.393
.629 4.290
4.262
operasi
S.D
.7017
.8620
.7305
Sig.
.466
.891
Kompatibilitas
Mean*)
5.087
5.100
5.005
budaya
S.D
.6678
.6207
.6574
Sig.
.601
.593
F
Sig.
Min
Maks
≥4 (%)
.386
.681
3.6
6.0
98
.277
.758
2.2
5.8
67
.206
.814
3.0
6.0
94
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.
11
Negara Australia diabaikan karena ukuran sampel yang hanya dua, sementara ukuran sampel sebaiknya ≥ 5 (Agung, 2006).
42
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Untuk ketiga dimensi kecocokan mitra, walaupun terlihat rerata (mean) skor yang berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.681; 0.758; 0.814 semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.392; 0.466; 0.601) dan Eropa (p = 0.629; 0.891; 0.593) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia. Namun demikian statistik deskriptif kompatibilitas operasi memperlihatkan frekuensi yang hanya 67% (skor ≥ 4) (tabel 3), dengan dua butir pernyataan yang mempunyai skor rata-rata kurang dari empat yaitu technical skill dengan rata-rata 3.85 (37.6% dengan skor <4) dan management style dengan rata-rata 3.63 (43.6% dengan skor <4) sebagaimana disajikan pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Kompatibilitas Operasi a. Technical Skill1
b. Management Style2
Skor
Frequency
Percent
Cumulative Percent
Skor
Frequency
Percent
Cumulative Percent
1
2
2.0
2.0
1
2
2.0
2.0
2
14
13.9
15.8
2
16
15.8
17.8
3
22
21.8
37.6
3
26
25.7
43.6
4
28
27.7
65.3
4
32
31.7
75.2
5
29
28.7
94.1
5
23
22.8
98.0
6
6
5.9
100.0
6
2
2.0
100.0
Total
101
100.0
Total
101
100.0
1
Mean = 3.85
2
Mean = 3.63
Analisis Berdasarkan Dimensi Pembelajaran Tabel 4 menyajikan rangkuman statistik untuk ketiga dimensi pembelajaran (learning intent, receptivity, dan transparansi) dan pengujian hipotesis antar ketiga negara mitra aliansi.
43
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tabel 4. Perbedaan Rerata Dimensi Pembelajaran Frekuensi
Negara Asal Mitra Aliansi Variabel
Amerika
Eropa
Asia
(N= 30)
(N=20)
(N=42)
Learning
Mean*)
5.280
5.170
5.157
Intent
S.D
.5108
.5322
.5562
Receptivity
Sig. Mean*)
.341 5.200
.930 4.940
4.814
S.D
.4909
.6621
.5196
Sig.
.118
.398
Mean*)
4.647
4.540
4.438
S.D
.7385
.7570
.7905
Sig.
.258
.626
Transparansi
F
Sig.
Min
Maks.
≥4 (%)
.498
.609
3.4
6.0
96
1.291
.280
3.0
6.0
96
.650
.524
2.4
6.0
82
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.
Untuk ketiga dimensi kecocokan mitra, walaupun terlihat rerata (mean) skor yang berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.609; 0.280; 0.524 semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.341; 0.118; 0.258) dan Eropa (p = 0.930; 0.398; 0.626) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia.
Analisis Berdasarkan Dimensi Relational Capital Tabel 5 menyajikan rangkuman statistik untuk keempat dimensi relational capital (kepercayaan, reciprocity, komunikasi dan ketertarikan) dan pengujian hipotesis antar ketiga negara mitra aliansi.
44
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tabel 5. Perbedaan Rerata Dimensi Relational Capital Frekuensi
Negara Asal Mitra Aliansi Variabel Kepercayaan
Reciprocity
Komunikasi
Ketertarikan
Amerika
Eropa
Asia
(N= 30)
(N=20)
(N=42)
Mean*)
5.187
5.040
4.829
S.D
.6301
.6636
.7048
Sig. Mean*)
.028 5.153
.250 4.850
5.143
S.D
.5818
.7536
.5324
Sig.
.942
.077
Mean*)
4.767
4.610
4.771
S.D
.6172
.5999
.6209
Sig.
.974
.337
Mean*)
5.100
4.930
5.071
S.D
.6074
.6530
.5352
Sig.
.839
.377
F
Sig
Min
Maks.
≥4
2.548
.084
3.2
6.0
(%) 96
1.912
.154
3.2
6.0
94
.526
.593
2.6
6.0
94
.557
.575
3.4
6.0
96
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.
Dari rangkuman statistik tersebut, untuk kepercayaan, Amerika mempunyai rerata skor tertinggi dan Asia terendah. Berdasarkan statistik uji F (p = 0.084) perbedaan rerata skor antara ketiga negara mitra aliansi tidak signifikan. Tetapi, berdasarkan statistik uji-t, rerata skor Amerika (p= 0.028) mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia sedangkan rerata skor Eropa (p = 0.250) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia. Selanjutnya, untuk ketiga dimensi lainnya (reciprocity, komunikasi, ketertarikan), walaupun terlihat rerata (mean) skor yang berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.154; 0.575; 0.593 semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.942; 0.839; 0.974) dan Eropa (p = 0.077; 0.377; 0.337) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia.
Analisis Berdasarkan Dimensi Kualitas Pengetahuan Alihan Tabel 6 menyajikan rangkuman statistik untuk kedua dimensi kualitas pengetahuan alihan (fitness for use dan applicability) dan pengujian hipotesis antar ketiga negara mitra aliansi. 45
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tabel 6. Perbedaan Rerata Dimensi Kualitas Pengetahuan Alihan Negara Asal Mitra Aliansi Variabel
Amerika
Eropa
Asia
(N= 30)
(N=20)
(N=42)
Fitness for
Mean*)
4.567
4.320
4.352
Use
S.D
.6305
.6437
.6982
Applicability
Sig. Mean*)
.181 4.410
.858 4.295
4.219
S.D
.6493
.9350
.6940
Sig.
.283
.706
Frekuensi
F
Sig.
Min
Max
≥4
1.170
.315
2.0
6.0
(%) 80
.585
.559
2.0
5.5
75
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel
Untuk kedua dimensi kualitas pengetahuan alihan, walaupun terdapat rerata skor yang berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.315; 0.559 keduanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.181; 0.283) dan Eropa (p = 0.858; 0.706) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia. Selanjutnya, statistik deskriptif applicability menunjukkan frekuensi yang hanya 75% (skor ≥ 4) (tabel 6), dengan satu butir pernyataan yang menyangkut R&D mempunyai skor rata-rata 3.96 (32.7% dengan skor <4) (tabel 7a). Butir pernyataan lain yang perlu mendapat perhatian adalah kemampuan untuk melakukan ide/produk baru (79.1% > 3) (tabel 7b).
46
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tabel 7. Kemampuan Menerapkan Pengetahuan Alihan pada R&D dan Ide/Produk Baru a. R&D Skor
1
b. Ide/Produk Baru2
Frequency
Percent
1
1
1.0
2
10
9.9
3
22
21.8
4
30
29.7
5
35
6
3
Total
101
100.0
1
Mean = 3.96
Cumulative
Cumulative
Skor
Frequency
Percent
1.0
1
3
3.0
3.0
10.9
2
6
5.9
8.9
32.7
3
12
11.9
20.8
62.4
4
36
35.6
56.4
34.7
97.0
5
40
39.6
96.0
3.0
100.0
6
4
4.0
100.0
Total
101
100.0
Percent
2
Percent
Mean = 4.15
Analisis Korelasi Bivariat Korelasi Pearson. Sebelum melakukan analisis deskriptif, pertama-tama diperiksa korelasi Pearson (bivariat) antar seluruh dimensi dari variabel karakteristik perusahaan yang terdiri dari komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi, kompatibilias budaya, kepercayaan, reciprocity, komunikasi, ketertarikan, learning intent, receptivity, transparansi, fitness for use dan applicability sebagaimana disajikan pada Tabel 8.
47
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Tabel 8. Matriks Korelasi Pearsona 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1. Komplemen. Sumber daya
2. Kompatibilitas .250(*)
Operasi .012
3. Kompatibilitas .434(**)
.556(**)
.000
.000
.358(**)
.317(**)
.633(**)
.000
.001
.000
.442(**)
.337(**)
.592(**)
.548(**)
.000
.001
.000
.000
.391(**)
.342(**)
.624(**)
.519(**)
.621(**)
.000
.000
.000
.000
.000
.439(**)
.430(**)
.701(**)
.662(**)
.664(**)
.686(**)
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.289(**)
.312(**)
.337(**)
.440(**)
.381(**)
.295(**)
.502(**)
.003
.001
.001
.000
.000
.003
.000
.363(**)
.502(**)
.448(**)
.384(**)
.424(**)
.343(**)
.345(**)
.301(**)
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.002
.371(**)
.447(**)
.563(**)
.663(**)
.430(**)
.540(**)
.628(**)
.490(**)
.444(**)
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.343(**)
.399(**)
.329(**)
.452(**)
.288(**)
.347(**)
.487(**)
.554(**)
.379(**)
.636(**)
.000
.000
.001
.000
.003
.000
.000
.000
.000
.000
.191
.312(**)
.246(*)
.344(**)
.107
.189
.298(**)
.401(**)
.336(**)
.522(**)
.628(**)
.056
.001
.013
.000
.287
.058
.003
.000
.001
.000
.000
Budaya
4. Kepercayaan
5. Reciprocity
6. Komunikasi
7. Ketertarikan
8. Learning Intent
9. Receptivity
10. Transparansi
11. Fit for Use
12. Applicability
a
n = 101, tingkat signifikansi tertera di bawah korelasi
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil analisis dalam Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa hampir setiap pasangan variabel mempunyai koefisien korelasi positif yang signifikan pada α = 0.01 dan 0.05.
48
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Diskusi Memiliki sumber daya yang saling digabungkan ataupun saling dipertukarkan serta bersifat komplementaritas dipandang penting oleh perusahaan Indonesia sebagai negara berkembang yang melakukan aliansi. Artinya perusahaan melakukan link alliance dengan tujuan utama mencapai sinergi antar mitra dalam penciptaan nilai dan bukan untuk mencapai skala ekonomi.12 Hal ini mendukung penelitian Shenkar & Li (1999) yang menyimpulkan bahwa perusahaan lokal dalam beraliansi, cenderung memilih mitra asing dengan pengetahuan yang bersifat komplementer. Dengan penggabungan sumber daya komplementer tersebut maka perusahaan lokal dapat memperoleh keunggulan daya saing (Harrison et al., 2001). Namun demikian penelitian ini mengindikasikan kalau kompatibilitas operasi masih rendah, terlihat adanya kesenjangan kemampuan teknis (technical skill) yang cukup besar dan gaya manajemen perusahaan yang berbeda. Walau telah banyak mengalami perubahan, gaya manajemen lokal bersifat konvensional seperti pengutamaan hirarkhi, otoritas, pengutamaan keluarga/teman, dan lebih banyak menggunakan intuisi (Widjaja & Yip, 2000). Dalam hal kompatibilitas budaya perusahaan, walaupun mitra aliansi mempunyai tujuan dan sasaran individu yang berbeda, terhadap aliansi kedua belah pihak mempunyai sasaran dan tujuan yang kompatibel sehingga konflik kepentingan dapat terhindarkan. Hal ini menerangkan mengapa sebagian besar aliansi telah berlangsung relatif lama (lebih dari 5 tahun). Apabila sasaran dan tujuan tidak kompatibel, maka konflik akan muncul disebabkan oleh perbenturan kepentingan yang menimbulkan oportunistik dan kurangnya kepercayaan (Sivadas & Dwyer, 2000). Berkaitan dengan pembelajaran, penelitian ini mengindikasikan kalau perusahaan Indonesia umumnya mempunyai motivasi dan hasrat (learning intent) yang kuat untuk mempelajari pengetahuan mitra asing. Sejalan dengan praktik bisnis negara Barat yang lebih menekankan pengetahuan eksplisit melalui kecakapan analisis dan bentuk konkrit presentasi visual dan lisan seperti dokumen, manual, dan database komputer (Nonaka & Takeuchi, 1995), 12
Dussage, Garrette & Mitchell (2000) membagi bentuk aliansi menjadi dua macam, pertama yang disebutnya dengan link alliance dan yang kedua adalah scale alliance. Pada link alliance, perusahaan yang bermitra saling mengkombinasikan sumber daya dan keahlian yang berbeda dan bersifat komplementer. Sedangkan pada scale alliance, perusahaan yang bermitra menyumbangkan sumber daya yang sama. Dengan demikian, link alliance memberikan potensi serta peluang lebih besar terhadap pembelajaran dibandingkan scale alliance.
49
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 dijumpai hasrat belajar dengan mitra Amerika lebih tinggi dibandingkan dengan mitra Asia (Tabel 5). Prosedur, manual dan percakapan yang umumnya berbahasa Inggris dengan mitra Amerika, nampaknya lebih memudahkan bagi perusahaan lokal, dibandingkan umpamanya dengan manual ataupun signal lain yang berbahasa Jepang, Korea atau China. Berikutnya faktor receptivity penting, sebagaimana dinyatakan oleh Leonard-Barton (1995) dan Gooderham & Nordhaug (2003) kapasitas untuk menerima akan menentukan tingkat kapasitas perusahaan dalam mengakuisisi pengetahuan.13 Kemampuan menyerap pengetahuan yang dialihkan terindikasi cukup tinggi, terlihat mitra lokal memiliki banyak karyawan yang terlatih, berlatar belakang akademis, serta aktif menyelenggarakan berbagai program pendidikan dan pelatihan dan menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Selanjutnya dalam penelitian ini terlihat mitra asing cukup transparan sehingga meningkatkan peluang pembelajaran mitra lokal. Mitra Amerika terindikasi lebih transparan dari mitra asing lainnya sebagaimana Park & Ungson (2001) menyatakan Amerika diketahui bersifat lebih transparan dibandingkan Jepang atau Korea. Uniknya separuh dari mitra lokal yang menyatakan mitra asing tidak transparan, telah beraliansi lebih dari 5 tahun dan dengan kinerja keuangan perusahaan yang rendah. Sesuai teori resource dependency, maka berlangsungnya aliansi hingga sedemikian lamanya kemungkinan disebabkan adanya saling ketergantungan terhadap sumber daya masing-masing. Berkaitan dengan tingkat kepercayaan (trust), mitra lokal yakin mitra asing akan mematuhi kerjasama yang telah disepakati (artinya tidak akan bertindak oportunistik) serta yakin bahwa kebijakan/tindakan mitra asing serta teknologi yang dialihkan akan membawa manfaat bagi perusahaan. Berdasarkan penelitian terdahulu di industri perminyakan, juga didapati perusahaan Indonesia mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap mitra asing. (Alamsyah et al., 2006). Namun kepercayaan terhadap mitra Asia lebih rendah dibandingkan dengan mitra Amerika (lihat Tabel 6). Pengetahuan dari negara Amerika lebih bersifat eksplisit, dengan manual, standard operating procedure, visi serta objektif yang jelas (Takeuchi & Nonaka, 2004; Burrows et al., 2005). Hal tersebut berakibat perilaku oportunistik dapat
13
Leonard-Barton (1995) dan Gooderham & Nordhaug (2003) membagi empat kapasitas (in-transfer capacity) perusahaan dalam mengakuisisi pengetahuan yang terdiri dari level 1 sampai dengan level 4.
50
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 dihindarkan karena sesuatunya jelas serta mudah dipahami bahkan tanpa kontrak sekalipun, yang berdampak tingginya tingkat kepercayaan kepada mitra dari Amerika. Sebaliknya pengetahuan dari Asia lebih bersifat tacit (Takeuchi & Nonaka, 2004), sehingga peluang untuk bertindak oportunistik cukup besar. Untuk mengatasinya perlu ada kontrak yang jelas. Namun dengan keterbatasan manusia (bounded rationality), tidak mungkin membuat kontrak yang sangat lengkap (Williamson, 2001) sehingga perlunya monitoring atau kontrol yang lebih ketat. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan perusahaan lokal terhadap negara Asia lebih rendah dibandingkan Amerika. Karena apabila perusahaan melihat adanya perilaku oportunis dari mitra, persepsi tersebut akan menurunkan tingkat kepercayaan (Young-Ybarra & Wiersema, 1999). Hal di atas juga dapat diterangkan melalui pembagian masyarakat dunia menjadi individualist dan collectivist (Hofstede, 1991). Termasuk dalam masyarakat individualist umumnya Amerika dan Eropa. Sedangkan Asia yang dalam penelitian ini diwakili oleh Jepang, Korea dan China merupakan masyarakat collectivist (Hofstede, 1991), dimana masyarakat kolektif mempunyai perilaku yang kurang percaya terhadap kelompok di luar anggota kelompok mereka sendiri (Zaheer & Zaheer, 2006). Hal ini membuat hubungan saling percaya dengan mitra luar menjadi lebih sulit. Sebaliknya Amerika yang merupakan masyarakat individu lebih mudah membina saling percaya dengan mitra luarnya (Huff & Kelley, 2003). Faktor lain yang cukup beralasan adalah pendapat umum di masyarakat kalau orang kulit putih (Amerika) dianggap jauh lebih mampu dari orang kulit berwarna (Asia) yang menyebabkan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap orang Barat. Temuan ini mendukung penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa tingkat kepercayaan terhadap Jepang (Holtbrugge, 2004), Asia (Zaheer & Zaheer, 2006) serta China dan Korea rendah (Anonymous, 2006). Reciprocity atau saling berkomitmen menjadi persyaratan dasar untuk keberhasilan aliansi (Aulakh et al., 1996), sebagaimana juga perusahaan Indonesia memandang mitra asing (dan mitra lokal itu sendiri) memiliki komitmen yang tinggi terhadap kelangsungan serta keberhasilan aliansi. Komitmen yang tinggi ini akan menghindari terjadinya konflik dan kontinuitas aliansi terjaga (Soetjipto, 2003), yang juga merupakan salah satu alasan dapat berlangsung lamanya aliansi perusahaan Indonesia dengan mitra asingnya. Komunikasi intensif dalam industri berbasis pengetahuan sangat diperlukan mengingat pengetahuan yang umumnya 51
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 cukup kompleks, spesifik dan tacit, melalui kontak personal, tatap muka dan informal (Yao & Murphy, 2005). Dalam hal ini, umumnya perusahaan Indonesia menjalin komunikasi yang baik dengan mitra asingnya. Meskipun menurut teori social exchange tingkat dan kualitas komunikasi antar mitra aliansi berhubungan positif dengan tingkat kepercayaan (Young-Ybarra & Wiersma, 1999), namun penelitian ini mengindikasikan tingkat komunikasi justru lebih tinggi dengan mitra Asia dibandingkan dengan mitra negara Amerika. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat Asia (contoh Jepang) yang lebih suka berdiskusi (Park & Ungson, 2001) dan lebih sering melakukan interaksi (Nonaka & Takeuchi, 1995). Ketertarikan merupakan kekuatan yang akan merangsang orang untuk berinteraksi (Blau, 1964) dan menentukan apakah kedua pihak termotivasi untuk memelihara hubungan (Harris, O’Malley & Patterson, 2003). Adanya ketertarikan tersebut membuat perusahaan Indonesia menjalin hubungan yang akrab dan bersifat profesional serta hormat terhadap mitra asingnya, sekaligus mendukung asumsi penelitian ini bahwa hubungan perusahaan Indonesia dengan mitra asingnya dalam hal pengalihan teknologi adalah hubungan lebih bersifat teacher-student. Berkaitan dengan kualitas pengetahuan alihan, terindikasi tidak semua pengetahuan yang dialihkan tersebut cocok (fit for use). Hal ini diduga karena technological know-how yang dialihkan bersifat tacit, sementara kemampuan sebagian mitra lokal masih terbatas pada pengetahuan eksplisit. Jadi pengetahuan tacit tersebut belum bisa diserap ataupun dimanfaatkan seluruhnya, sebagaimana dinyatakan oleh Akyuz (2003) bahwa umumnya alih pengetahuan ke negara berkembang terbatas pada tahap perakitan saja. Meskipun pengetahuan teknologi umumnya sarat dengan kompleksitas, spesifisitas dan tacit, namun kemampuan negara berkembang dalam alih teknologi sebagaimana studi Gooderham & Nordhaug (2003) dan Leonard-Barton (1995) pada umumnya masih sebatas eksplisit saja (level 1 atau level 2). Dalam hal penerapan pengetahuan yang dialihkan (applicability), teridentifikasi banyak perusahaan Indonesia yang belum mampu meningkatkan kualitas R&D (lihat Tabel 8a). Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan yang cukup besar dalam kemampuan teknis sebagaimana temuan dalam penelitian ini, dan pada lingkup yang lebih luas, kemampuan negara berkembang termasuk Indonesia masih rendah untuk menerima pengetahuan bersifat tacit, dan belum mampu untuk mencapai tingkat 3 atau 4 sebagaimana tingkat kemampuan alih pengetahuan dari Leonard-Barton (1995). Namun demikian, terdapat juga mitra lokal (Tabel 8b) yang telah 52
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 mampu mengembangkan ide/produk baru, yang mencerminkan kemampuan melakukan inovasi. Jadi, walaupun pada umumnya negara berkembang baru terbatas pada level 1 dalam kemampuan alih pengetahuannya (Gooderham & Nordhaug, 2003), namun berdasarkan temuan penelitian ini, terdapat perusahaan-perusahaan yang telah mampu mencapai level 2 menuju ke level 3.14
Kesimpulan Sebagaimana yang lazim dilakukan oleh kerjasama aliansi antar negara berkembang dengan negara maju (Shenkar & Li, 1999), perusahaan Indonesia lebih memilih melakukan aliansi yang bersifat link alliances dengan tujuan mencapai sinergi. Namun terdapat kesenjangan kemampuan teknis yang cukup besar antara karyawan lokal dengan mitra asing. Demikian juga terdapat gaya manajemen yang berbeda. Berdasarkan kelompok perusahaan yang diobservasi, perusahaan Indonesia memandang mitra asing dari Amerika sebagai mitra yang paling dapat dipercaya, sebaliknya tingkat kepercayaan terhadap mitra dari negara Asia lebih rendah. Walaupun merupakan negara berkembang yang kemampuan alih pengetahuan tacit masih terbatas, sebagaimana terlihat R&D yang masih lemah, namun sebagian perusahaan Indonesia telah mampu meningkatkan kapabilitasnya dalam melakukan inovasi.
Implikasi Penelitian ini memberikan implikasi teoritis pentingnya mengkaji berbagai karakteristik perusahaan yang melakukan aliansi stratejik yaitu kecocokan mitra (struktur), pembelajaran dan relational capital (proses) serta kualitas pengetahuan alihan (outcome) secara bersama-sama. Temuan ini memperkuat penelitian Taylor (2005) yang mencoba mengkaji mana yang lebih penting struktur atau proses aliansi dalam pencapaian kinerja perusahaan. Kesenjangan technical skill antara mitra lokal dengan mitra asing akan mempengaruhi tingkat pembelajaran, khususnya kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang dialihkan, dan
14
Hal ini tentunya didukung oleh upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan meningkatkan investasi barang modal dan teknologi tinggi serta lebih terbuka terhadap masuknya investasi asing dan pekerja asing untuk bekerja pada perusahaan lokal (Widjaja & Yip, 2000).
53
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 berdampak terhadap kualitas pengetahuan alihan. Untuk mengatasi hal tersebut, selain merekrut karyawan muda yang berpendidikan akademis, perlu pula pengrekruitan senior staff yang berkualitas. Karyawan yang potensial haruslah diberikan berbagai pendidikan tambahan atau pelatihan. Di samping itu diupayakan mengurangi turnover karyawan khususnya yang telah terlatih. Selain itu penting sejak awal sebelum melakukan aliansi untuk memeriksa secara seksama kecocokan mitra (melakukan due dilligence) yaitu komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi, dan kompatibilitas budaya. Kecocokan mitra ini sangat berguna untuk mengatasi ataupun mengurangi berbagai permasalahan seperti perselisihan/kesalahpahaman yang mungkin timbul dalam perjalanan aliansi seperti sasaran (goal) yang bertentangan. Penelitian ini menunjukkan pentingnya memelihara kepercayaan dengan mitra aliansi sebagai faktor keberhasilan. Kepercayaan akan berfungsi untuk mengurangi transaction cost antara lain dengan mengurangi kontrol serta penulisan kontrak yang sangat rinci, dan akan dapat mencegah tindakan untuk kepentingan diri sendiri (opportunis). Dengan adanya saling percaya, iklim pembelajaran akan menjadi kondusif dan efektif. Melalui kepercayaan, mitra asing akan bersedia untuk mengalihkan dan berbagi pengetahuan tanpa ada kekhawatiran terhadap tindakan opportunis. Berhubung kepercayaan dibangun melalui interaksi dengan mitra secara terus menerus, maka penting di awal aliansi untuk memilih mitra yang mempunyai reputasi baik. Dengan adanya kepercayaan, maka transparansi mitra asing akan meningkat sehingga meningkatkan peluang pembelajaran mitra lokal. Tanpa adanya transparansi dari mitra asing (ataupun tingkat transparansi rendah), sulit bagi mitra lokal untuk mendapatkan akses kepengetahuan. Perusahaan yang mempunyai kepercayaan terhadap mitranya akan lebih transparan. Hal ini didasari tidak adanya kekhawatiran bahwa mitra akan bertindak oportunis, sehingga mitra asing akan lebih berkenan untuk membagi pengetahuan terutama yang bersifat tacit mengingat pengetahuan tacit hanya dapat dialihkan melalui interaksi serta hubungan yang harmonis. Disamping itu juga terdapat kondisi reciprocal, kalau mitra asing lebih transparan maka mitra lokal juga akan semakin lebih percaya kepada mitra asingnya yang telah bersedia memberikan akses sedemikian luas ke dalam pengetahuannya. Dengan demikian, sebagaimana Cohen & Prusak (2001) menyebutnya kepercayaan membangun kepercayaan.
54
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Keterbatasan dan Penelitian Mendatang Keterbatasan penelitian ini adalah bersifat nodal dengan hanya mengkaji sisi mitra lokal (satu arah) dan tidak mengkaji secara dyadic (dua arah) untuk mendapatkan pandangan mitra asing terhadap aliansi. Selain itu, kuesioner yang dalam penelitian ini hanya menggunakan persepsi satu responden untuk setiap perusahaan yang terdiri dari CEO atau TMT (top management team), bisa menimbulkan resiko bias terhadap persepsi tersebut. Oleh karenanya, untuk penelitian mendatang penelitian bersifat dua arah (dyadic) perlu dilakukan agar dapat dikaji persepsi kedua belah pihak yang melakukan aliansi, serta menggunakan responden pada tingkat yang lebih rendah dan yang terlibat langsung dengan kegiatan alih pengetahuan serta aliansi, dengan jumlah lebih dari satu untuk setiap perusahaan agar didapatkan hasil yang lebih relevan dan mengurangi resiko bias.
Daftar Pustaka Agung, I. G. N. (2004), Manajemen penulisan skripsi, tesis dan disertasi: Kiat-kiat untuk mempersingkat waktu penulisan karya ilmiah yang bermutu, Bahan kuliah S3 Universitas Indonesia. Agung, I. G. N. (2006), Statistika penerapan model rerata-sel multivariat dan model ekonometri dengan SPSS. Yayasan SAD Satria Bhakti, Jakarta. Akyuz, Y. (2003), Developing Countries and World Trade, Unctad, Switzerland. Alamsyah, C., Supratikno, H., & Wijanto, S. H. (2006), Peranan ambiguity dalam proses alih pengetahuan melalui aliansi stratejik: Studi empiris di Indonesia, Journal Ekonomi & Bisnis Indonesia, 21(2), 156-174. Alavi, M., & Leidner, D. E. (2001), Review: Knowledge management and knowledge management systems: Conceptual foundations and research issues, MIS Quarterly, 25(1), 107136. Amit, R., & Schoemaker, P. J. H. (1993), Strategic assets and organizational rent, Strategic Management Journal, 14, 33-46. Anonymous. (2006), Trust across border, PRweek, 9(14).
55
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Aulakh, P. S., Kotabe, M., & Sahay, A. (1996), Trust and performance in cross-border marketing partnerships: A behavioral approach, Journal of International Business Studies, 27(5), 1005-1032. Becker, M. C., & Knudsen, M. P. (2006), Intra and inter-organizational knowledge transfer processes: identifying the missing links, DRUID Working Paper No. 06-32. Blau, P. M. (1964), Exchange and power in social life, New York: John Wiley & Sons, Inc. Burrows, G. R., Drummond, D. L., & Martinsons, M. G. (2005), Knowledge management in China, Communication of the ACM, 48(4), 73-76. Carlile, P. R. (2004), Transferring, translating, and transforming: An integrative framework for managing knowledge across boundaries, Organization Science, 15(5), 555-568. Chen, L - Y. (2006), Effect of knowledge sharing to organizational marketing effectiveness in large accounting firms that are strategically aligned, Journal of American Academy of Business, Cambridge, 9(1), 176-182. Chiva, R., & Alegre, J. (2005), Organizational learning and organizational knowledge. Towards the integration of two approaches, Management Learning, 36(1), 49-68. Cohen, W. M., & Levinthal, D. A. (1990), Absorptive capacity: A new perspective on learning and innovation, Administrative Science Quarterly, 35(1), 128-152. Cohen, D., & Prusak, L. (2001), In good company: How social capital makes organizations work, Boston: Harvard Business School Press. Crossan, M. M., & Inkpen, A. C. (1995), The subtle art of learning through alliances, Business Quarterly Winter, 69-78. Daghfous, A. (2004), Knowledge management as an organizational innovation: An absorptive capacity perspective and a case study, International Journal Innovation and Learning, 1(4), 409422. Dalkir, K. (2005), Knowledge management in theory and practice, Burlington, USA: Elsevier Butterworth-Heinemann. Davenport, T. H., & Prusak, L. (1998), Working knowledge, How organizations manage what they know, Boston: Harvard Business School Press. De Pablos, P. O. (2004), Knowledge flow transfers in multinational corporations: knowledge properties and implications for management, Journal of Knowledge Management, 8(6), 105-116. 56
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Doz, Y. L., & Hamel, G. (1998), Alliance advantage: The art of creating value through partnering, Harvard Business School Press. Dussauge, P., Garrette, B., & Mitchell, W. (2000), Learning from competing partners: Outcomes and durations of scale and link alliances in Europe, North America and Asia, Strategic Management Journal, 21(2), 99-126. Ford, D. P. (2002), Trust and Knowledge Management. Http://business.queensu,ca/kbe/consortium2002/TrustAndKM.pdf. Gelfand, M. J., Major, V. S., Raver, J. L., Nishii, L. H., & O’Brien, K. (2006), Negotiating relationally: The dynamics of the relational self in negotiations, Academy of Management Review, 31(2), 427-451. Gooderham, P. N., & Nordhaug, O. (2003), International management: Challenges, USA: Blackwell Publishing.
Cross-Boundary
Hambrick, D. C., & Mason, P. A. (1984), Upper echelons: The organization as a reflection of its top managers, Academy of Management Review, 9(2), 193-206. Hamel, G. (1991), Competition for competence and inter partner learning within international strategic alliances, Strategic Management Journal, 12, 83-103. Harris, L. C., O’Malley, L., & Patterson, M. (2003), Professional interaction: exploring the concept of attraction, Marketing Theory, 3(1), 9-36. Harrison, J. S., Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., & Ireland, R. D. (2001), Resource complementarity in business combinations: extending the logic to organizational alliances, Journal of Management, 27, 679-690. Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., & Ireland, R. D. (2007), Management of strategy, concepts and cases, China: Thomson South-Western. Hitt, M. A., Ireland, R. D., & Harrison, J. S. (2001), Mergers and acquitions: a value creating or value destroying strategy? In Hitt, M.A., Freeman, R. E., & Harrison, J. S (Ed.), Blackwell Handbook of Strategic Management, Oxford, U.K.: Blackwell Pubishers, 384-408. Hitt, M. A., Lee, H., & Yucel, E. (2002), The importance of social capital to the management of multinational enterprises: relational networks among Asian and Western firms, Asia Pacific Journal of Management, 19, 353-372. Hofstede, G. (1991), Cultures and organizations: software of the mind, London, McGraw-Hill.
57
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Holtbrugge, D. (2004), Management of international strategic business cooperation: Situational conditions, performance criteria and success factor, Thunderbird International Business Review. Huff, L., & Kelley, L. (2003), Levels of organizational trust in individualist versus collectivist societies: A seven-nation study, Organization Science, 14(1), 81-90. Inkpen, A. C. (2000a), A note on the dynamic of learning alliances: competition, cooperation and relative scope, Strategic Management Journal, 21(7), 775-779. Inkpen, A. C. (2000b), Learning through Joint Venture: A framework of knowledge acquisition, Journal of Management Studies, 37(7), 1019-1043. Inkpen, A. C., & Currall, S. C. (2004), The coevolution of trust, control, and learning in joint ventures, Organization Science, 15(5), 586-599. Inkpen, A. C., & Dinur, A. (1998a), Knowledge management processes and international joint ventures, Organization Science, 9(4), 454-468. Jacobs, R. S. (1991), Understanding marketing relationships: The role of self - disclosure reciprocity in buyer - seller interactions, Doctoral Dissertation, Arizona State University, 1991. Juran, J. M. (1992), Juran on quality by design, New York: The Free Press. Kale, P., Dyer, J. H., & Singh, H. (2002), Alliance capability, stock market response, and longterm alliance success: The role of the alliance function, Strategic Management Journal, 23, 747767. Kale, P., Singh, H., & Perlmutter, H. (2000), Learning and protection of proprietary assets in strategic alliances: Building relational capital, Strategic Management Journal, 21, 217-237. Kauser, S., & Shaw, V. (2004), The influence of behavioral and organizational characteristics on the strategic alliances, International Marketing Review, 21(1), 17-52. Khanna, T., Gulati, R., & Nohria, N. (1998), The dynamics of learning alliances: Competition, cooperation, and relative scope, Strategic Management Journal, 19(3), 193-210. Klint, M. B. & Sjoberg, U. (2003), Towards a comprehensive SCP-model for analyzing strategic neworks/alliances, International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 33(5), 408-426. Kogut, B., & Zander, U. (1995), Knowledge, market failure and the multinational enterprise: A reply , Journal of International Business Studies, 26(2), 417-426. Lam, M. D. (2004), Why alliances fail, Pharmaceutical Executive, 24(6), 56-66. 58
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Larsson, R., Bengtsson, L., Henriksson, K., & Sparks, J. (1998), The interorganizational learning dilemma: Collective knowledge development in strategic alliances, Organization Science, 9(3), 286-301. Leonard-Barton, D. (1995), Wellsprings of knowledge, Building and sustaining the sources of innovation, Boston: Harvard Business School Press. Lubatkin, M., Florin, J., & Lane, P. (2001), Learning together and apart: A model of reciprocal interfirm learning, Human Relations, 54(10), 1353-1382. Lyles, M. A., & Salk, J. E. (1996), Knowledge acquisition from foreign partners in international joint ventures: An empirical examination in the Hungarian context, Journal of International Business Studies, 27(5), 877-904. Mohr, J., & Spekman, R. (1994), Characteristics of partnership success: partnership attributes, communication behavior, and conflict resolution techniques, Strategic Management Journal, 15, 135-152. Murray, J. Y. (2001), Strategic alliance-based global sourcing strategy for competitive advantage: A conceptual framework and research propositions, Journal of International Marketing, 9(4), 30-58. Murray, S. R. (2003), A quantitative examination to determine if knowledge sharing activities given the appropriate media richness, lead to knowledge transfer and if implementation factors influence the use of these knowledge sharing activities, Doctoral dissertation, Mississippi State University. Muthusamy, S. K., & White, K. M. (2005), Learning and knowledge transfer in strategic alliances: a social exchange view, Organization Studies, 26(3), 415-441. Nahapiet, J., Gratton, L., & Rocha, H. O. (2005), Knowledge and relationships: when cooperation is the norm, European Management Review, 2, 3-14. Nielsen, B. B. (2001), Trust and learning in international strategic alliances, Working Paper 8. Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995), The knowledge-creating company, New York: Oxford University Press, Inc. Norman, P. M. (2002), Protecting knowledge in strategic alliances: Resource and relational characteristics, Jurnal of High Technology Management Research, 13, 177-202. Pak, Y. S., & Park, Y. (2004), A framework of knowledge transfer in cross-border joint ventures: An empirical test of the Korean context, Management International Review, 44, 417434. 59
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Park, S. H., & Ungson, G. R. (2001), Interfirm rivalry and managerial complexity: A conceptual framework of alliance failure, Organization Science, 12(1), 37-53. Parkhe, A. (1991), Interfirm diversity, organizational learning, and longevity in global strategic alliances, Journal of International Business Studies, 22, 579-601. Paulraj, A., & Chen, I. J. (2005), Strategic supply management and dyadic quality performance: A path analytical model, Journal of Supply Chain Management, 41(3), 4-18. Popper, M., & Lipshitz, R. (2000), Organizational learning: mechanisms, culture, and feasibility, Management Learning, 31(2), 181-196. Pawson, R., Boaz, A., Grayson, L., Long, A., & Barnes, C. (2003), Types and quality of knowledge in social care, UK: The Policy Press. Prahalad, C. K., & Bettis, R. A. (1986), The dominant logic: A new linkage between diversity and performance, Strategic Management Journal, 7(6), 485-501. Reid, D., Bussiere, D., & Greenaway, K. (2001), Alliance formation issues for knowledge-based enterprises, International Journal of Management Reviews, 3(1), 79-100. Ring & Van de Ven. (1992), Structuring cooperative relationships between organizations, Strategic Management Journal, 13(7), 483-498. Sarkar, M. B., Echambadi, R., Cavusgil, S. T., & Aulakh, P. S. (2001), The influence of complementarity, compatibility, and relationship capital on alliance performance, Academy of Marketing Science Journal, 29(4), 358-373. Saxton, T. (1997), The effects of partner and the relationship characteristics on alliance outcomes, Academy of Management Journal, 40: 443-461. Shenkar, O., & Li, J. (1999), Knowledge search in international coperative ventures, Organization Science, 10(2), 134-143. Simonin, B. L. (2004), An empirical investigation of the process of knowledge transfer in international strategic alliances, Journal of International Business Studies, 35, 407-428. Sivadas, E., & Dwyer, F. R. (2000), An examination of organizational factors influencing new product success in internal and alliance-based processes, Journal of Marketing, 64(1), 31-49. Soetjipto, B. W. (2003), The dynamics of power in strategic alliances, Dalam kumpulan artikel mata kuliah organization theory, S3 Universitas Indonesia.
60
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Soetjipto, B. W. (2002), Downward influence in leader-member relationships, Doctoral dissertation, Cleveland State University. Sucahyo, D., Scheela, W., & Huseini, M. (2005), Do strategic alliances sustain competitiveness for pharmaceutical firms in Asia? Jurnal Manajemen Indonesia, II (1), 29-47. Szulanski, G. (1996), Exploring internal stickiness: impediments to the transfer of best practice within the firm, Strategic Management Journal, 17, 27-43. Takeuchi, H., & Nonaka, I. (2004), Knowledge creation and dialectics. In Takeuchi, H., & Nonaka, I (Ed.), Hitotsubashi on knowledge management, USA: John Wiley & Sons. Thietart, R. (2001), Doing management research. A comprehensive guide, London, UK: SAGE Publication Ltd. Tsai, W. (2001), Knowledge transfer in intraorganizational networks: effect of network position and absorptive capacity on business unit innovation and performance, Academy of Management Journal, 44(5), 996-1004. Tsang, E. W. K. (2002b), Sharing international joint venturing experience: a study of some key determinants, Management International Review, 42, 183-205. Wahyuni, S. (2003), Strategic alliance development. A study on alliances between competing firms, Doctoral dissertation Rijksuniversiteit Groningen. Westphal, T. G., & Shaw, V. (2005), Knowledge transfers in acquisitions – An exploratory study and model, Management International Review, 2, 75 -100. Widjaja, A., & Yip, G. S. (2000), Indonesia- finding ways to take off. In Yip, G. S (Ed.), Asian advantage, Key strategies for winning in the Asia-Pacific region, UK: Perseus Books. Williamson, O.E. (2001), Transaction-cost economics: the governance of contractual relations. In Buckley, P. J., & Michie, J (Ed.), Firms organizations and contracts, UK: Oxford University Press. Wu, F., & Cavusgil, S. T. (2006), Organizational learning, commitment, and joint value creation in interfirm relationships, Journal of Business Research, 59, 81-89. Yao, Y., & Murphy, L. (2005), A state-transition approach to application service provider clientvendor relationship development, Database for Advances in Information Systems, 36(3), 8-25. Yin, E., & Bao, Y. (2006), The acquisition of tacit knowledge in China: An empirical analysis of the ‘supplier-side individual level’ and ‘recepient-side’ factors, Management International Review, 46(3), 327-348. 61
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Yli-Renko, H., Autio, E., & Sapienza, H. J. (2001), Social capital, knowledge acquisition, and knowledge exploitation in young technology-based firms, Strategic Management Journal, 22(6/7), 587-613. Yoshino, M. Y., & Rangan, U. S. (1995), Strategic alliances: An entrepreneurial approach to globalization, Boston: Harvard Business School Press. Young-Ybarra & Wiersma. (1999), Strategic flexibility in information technology alliances: The influence of transaction cost economics and social exchange theory, Organization Science, 10(4), 439-459. Zaheer, S., & Zaheer, A. (2006), Trust across borders, Journal of International Business Studies, 37, 21-9.
62
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Net Interest Margin: Bank Publik di Indonesia Adler Haymans Manurung dan Anugraha Dezmercoledi Sampoerna School of Business
This paper has objective to explore the net interest margin and its determinants for Public company has listed in BEI. Panel Data used to explore determinan net interest margin which data period is 2007 to 2011. This paper found that ratio BOPO, market power and size significantly affected net interest margin, which BOPO and market power has positive relationship with net interest margin and size has negative relationship. Keywords: Net Interet Margin, Market Power, BOPO, Loan to deposits ratio, Non performing loan; size, data panel.
63
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Net Interest Margin: Bank Publik di Indonesia Pendahuluan Bank Sentral (Bank Indonesia) menetapkan bunga SBI pada bulan September tetap pada tingkat bunga sebesar 5,75 persen. Artinya, bunga SBI pada bulan Oktober tidak berubah dari bunga SBI sebelumnya yang ditetapkan sebesar 5,75 persen. Tidak adanya perubahan tingkat bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan berpengaruh terhadap tingkat bunga yang ditetapkan oleh bank-bank sebagai pelaksana atau intermediary institution di perekonomian nasional. Biasanya penurunan atau kenaikan tingkat bunga SBI akan berpengaruh terhadap tingkat bunga tabungan dan pinjaman pada perbankan. Tingkat bunga yang ditentukan Bank Indonesia melalui SBI menjadi salah satu faktor yang menentukan perbankan untuk menentukan tingkat bunganya. Pada sisi lain, Bank Indonesia juga meminta kepada bank-bank untuk mengumumkan tingkat bunga yang diberikan kepada konsumen baik itu tingkat bunga tabungan dan juga tingkat bunga pinjaman. Transparansi atas tingkat bunga yang diminta oleh Bank Indonesia menjadi sebuah fenomena terbaru pada perbankan nasional.
Adanya transparansi tingkat bunga ini
membuat bank harus jelas menentukan tingkat bunganya. Penentuan tingkat bunga tersebut juga akan memasukkan penentuan net interest margin. Walaupun Bank bisa melakukan pengenaan fee atas transaksi yang dilakukan investor di bank. Salah satu variabel yang sering digunakan bank untuk menentukan net interest margin bank yang bersangkutan yaitu besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank tersebut.
Bila
pinjaman yang diberikan kepada konsumen seluruha dana yang didapatkan maka net interest margin bisa lebih kecil, tetapi bank juga harus memikirkan risiko pinjaman yang diberikan. Penelitian mengenai net interest margin ini cukup bervariasi yang telah dilakukan, misalnya Saunders dan Schumacher (2000); Afanasieff dkk (2002); Doliente (2003); Ben-Ameur dkk (2006); Gambacorta (2008); Ozdemir (2009); Dia dan Giuliodori (2009); Khawaja (2011); Sharma dan Gounder (2011); Nasab dan Roomi (2012); Saad dan El-Moussawi (2012); dan Hamadi dan Awdeh (2012). Penelitian tersebut merupakan penelitian yang dilakukan diluar Indonesia. Sementara penelitian di Indonesia seperti Sidabalok dan Viverita (2011). Artinya masih terbatasnya penelitian mengenai penentuan net interest margin di Indonesia. 64
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Sangat terbatasnya penelitian mengenai net interest margin di Indonesia membuat sebuah alasan dilakukannya penelitian ini.
Adanya penelitian ini memberikan masukan kepada
perbankan di Indonesia dan juga regulator dalam rangka menentukan net interest margin. Oleh karenanya, penelitian ini sangat berguna bagi semua pihak dalam kerangka memahami penentuan tingkat bunga.
Tujuan Penelitian Paper ini mencoba membahas sebagai berikut: 1. Mempelajari Net Interest Margin untuk perusahaan publik di BEI 2. Mempelajari determinan net interest margin perusahaan publik di BEI
Tinjauan Teori Determinan margin bunga bersih dapat diketahui melalui dua pendekatan yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan modern. Pendekatan tradisional dilihat dari variabel yang mempengaruhi margin bunga bersih dan bisa dilakukan dengan memperhatikan neraca perusahaan. Sementar pendekatan modern dengan memperhatikan permintan dan penawaran tingkat bunga yang didekati dengan struktur mikro dari bank tersebut. Net interest margin merupakan selisih antara bunga yang diperoleh (interest income) dengan bunga yang dibayarkan (interest expense) dimana dibuat persamaanya sebagai berikut:
ni = r * L − i * D
(1)
dimana ni = net interest L = pinjaman yang diberikan D = deposits E = ekuitas r = tingkat bunga pinjaman yang diberikan kepada nasabah i = bunga yang dibayarkan kepada pihak ketiga. 65
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Selanjutnya, L = D + E , dan umumnya jumlah L merupakan persentase dari (D+E) dikarenakan adanya tuntutan cadangan dari Bank Sentral, maka persamaan (1) dapat ditulis kembali menjadi sebagai berikut:
ni = r * [(1 − α ) * ( D + E )] − i * D
(2)
ni = r * (1 − α ) * E + [(1 − α ) * r − i ]* D
(3)
Jika persamaan (3) diturunkan pada turunan pertama terhadap D, maka diperoleh sbb:
∂ni = (1 − α ) * r − i ∂D
(4)
Bila turunan pertama sama dengan nol maka terjadi nilai r sebagai berikut: r=
i (1 − α )
(5)
Persamaan (5) memberikan arti bahwa bank bisa menarik atau mengumpulkan dana pihak ketiga sebanyak-banyaknya bila tingkat bunga yang dikenakan pada pinjaman merupakan hasil bagi dari tingkat nybunga yang diberikan kepada dana pihak ketiga dengan rasio dana yang bisa dipinjamkan.
Ho dan Saunders (1981) mengemukakan determinan margin bunga bank dengan pendekatan bidask spread dimana modelnya sebagai berikut:
s = a+b =
α 1 + Rσ I2 Q β 2
dimana
α = mengukur kekuatan pasar (market power) β 66
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 R = bank risk aversion
σ I2 =varians dari tingkat bunga deposit dan pinjaman Q = size transaksi bank.
Teori Ho dan Saunders ini menjadi dasar penelitian bagi akademis dalam membuat model margin bunga bank.
Penelitian Sebelumnya Dalam kerangka pembahasan penelitian net interest margin maka perlu dipahami penelitian sebelumnya dan sekaligus mempelajari peubah yang dipergunakan untuk menentukan net interest margin. Penelitian mengenai net interest margin telah banyak dilakukan dan sangat bervariasi dan sangat sedikit yang dilakukan di Indonesia.
Angbazo (1997) melakukan
penelitian menenai margin bunga bersih bank, risiko default, risiko tingkat bunga dan offbalance sheet. Penelitian ini menggunakan data periode tahun 1989 sampai dengan tahun 1993. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa margin bunga bersih dipengaruhi risiko default tetapi tidak dengan risiko tingkat bunga dimana konsisten dengan besarnya konsentrasi pada aset jangka pendek dan instrument pelindung nilai yang dicatat pada neraca yang terpisah (offbalance sheet). Bank regional sangat sensitif terhadap risiko tingkat bunga tetapi tidak pada risiko default. Maudos dan de Guevara (2004) melakukan penelitian faktor yang menguraikan margin bunga pada sektor perbankan di uni Eropa (Jerman, Perancis, UK, Itali dan Spanyol). Penelitian menggunakan data panel sebanyak 15.888 sampel data untuk periode 1993 sampai dengan 2000. Metodologi yang dipergunakan model Ho dan Saunders (1981). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa turunnya margin di sistim perbankan Eropa sesuai dengan relaksisasi kondisi kompetisi (peningkatan pada kekuatan pasar dan konsentrasi) sebagai pengaruh untuk menghadapi penurunan risiko tingkat bunga, risiko kredit dan biaya operasional bank. Gambacorta (2008) melakukan penelitian mengenai bank menentukan tingkat bunga untuk bank di Italia. Penelitian ini menggunakan data pada periode 1993 Q3 sampai dengan 2001 Q3 dengan jumlah bank sebanyak 73 bank. Penelitian ini memberikan kesimpulan yaitu 67
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 keragaman bank membuat tingkat bunga yang disampaikan kepada konsumen tergantung kepada likuiditas, kapitalisasi bank dan hubungan bank dalam pinjaman. Valverde dan Fernandez (2007) melakukan penelitian determinan margin bank untuk negara Eropa. Penelitian ini mempergunakan model Ho dan Saunders (1981). Sampel penelitian ini sebanyak 19.322 bank di Eropa dengan data tahunan pada periode tahun 1994 sampai dengan tahun 2001.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa bank-bank di Eropa lebih bagus sebagai
laboratorium dibandingkan bank di Amerika Serikat .
Penelitian ini juga menyatakan bahwa
kekuatan pasar meningkat sesuai ouput menjadi lebih terdiversifikasi menuju aktifitas nontradisional pada perbankan Eropa. Claeys dan Vennet (2008) melakukan penelitian mengenai determinan margin bunga bank pada pusat dan Timur Eropa dengan perbandingan bagian barat Eropa. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 1.130 bank selama periode tahun 1994 sampai dengan 2001 di Eropa Barat dan Timur. Penelitian ini memberikan hasil yaitu hipotesis Structure-conductperformance (SCP) tidak dapat ditolak di pasar bank Eropa Barat dan Negara yang mempunyai peraturan kuat (accession countries). Adanya pengendalian terhadap keberadaan bank asing, penelitian ini tidak menemukan keberadaan hipotesis SCP dan RMP di kedua Negara tersebut. Keberadaan bank asing secara efektif mengurangi margin bunga bank dikarenakan tuntutan besarnya pangsa pasarnya. Hawtrey dan Liang (2008) melakukan penelitian mengenai margin bunga bank untuk negara-negara OECD. Penelitian ini menggunakan data periode 1987 sampai dengan 2001 dan model panel data yang dipergunakan dalam menganalisisnya. Penelitian ini menemukan bahwa market power, biaya operasi, risiko aversion, volatilitas tingkat bunga , risiko kredit dan cost opportunity dan pembayaran bunga berhubungan positif dengan margin bunga bersih. Penelitian ini juga menyatakan bahwa model Efek Tetap lebih baik dibandingkan model Efek Acak. Maudos dan Solis (2009) melakukan penelitian mengenai pendapatan bersih bunga (net interest income) di system perbankan Negara Mexico dengan model terintegrasi. Periode data yang dipergunakan dalam penelitian tersebut yaitu tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 dengan pendekatan Ho dan Saunders (1981). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa margin yang tinggi dapat diterangkan oleh rata-rata biaya operasi dan kekuatan pasar. Pendapatan non-bunga cukup mengalami peningkatan tetapi pengaruhnya terhadap ekonomi cukup kecil. 68
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Sharma dan Gounder (2011) melakukan penelitian untuk menentukan margin bunga bank di Negara Fiji. Penelitian ini menggunakan data pada periode tahun 2000 sampai dengan 2010. Penelitian ini menggunakan model Ho dan Saunders (1981) tetapi dengan pendekatan data panel. Penelitian ini mempunyai hasil yaitu NIM mempunyai hubungan positif dengan pembayaran bunga, biaya operasi dan kekuatan pasar dan risiko kredit. Tetapi, NIM mempunyai hubungan negatif dengan kualiatas manajemen dan risiko likuiditas. Sidabalok dan Viverita (2011) melakukan penelitian terhadap determinan margin bunga bersih bank di Indonesia dengan pendekatan dinamis.
Penelitian ini menggunakan data periode
2003 sampai dengan 2009 dimana metodologinya panel data yang dinamis. Penelitian ini sangat mendukung penelitian sebelumnya yaitu adanya persisten dan tingginya margin bunga bersih di Indonesia. Tingginya margin bunga bersih bank dikarenakan luas spread bunga tersebut, faktor spesifik bank dan juga kekuatan pasar. Disamping itu, margin bunga bersih sebelumnya juga turut mempengaruhi atau sebagai determinan margin bunga bersih sekarang ini dan penelitian tidak mengkonfirmasi perilaku pro-cyclical bank. Espinosa dkk (2011) melakukan penelitian mengenai margin bunga bersih bank di tahun 2000 untuk 15 Negara maju dan Negara sedang berkembang. Penelitian ini menggunakan data akuntansi , keuangan dan makroekonomi periode 1999 sampai 2008 untuk 15 negara yaitu Argentinga, Belgium, Brazil, Perancis, Jerman, Indonesia, Jepang, Mexico, Belanda, Polandia, Republik Korea, Rusia, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan bahwa pengenalan IFRS (International Financial Reporting Standards) memberikan kontribusi terhadap lebih kecilnya variasi margin bunga bersih yang tidak dijelaskan oleh peubah akuntansi baku. Volatilitas tingkat bunga juga ditemukan mempunyai hubungan positif dan sangat kuat hubungannya terhadapa margin bunga bersih dinamis. Risiko Inflasi ditemukan sangat relevan yang mendorong perbedaan margin bunga bersih antar Negara yang diteliti. Fungacova dan Poghosyan (2011) melakukan penelitian mengenai margin bunga bersih di Rusia dan pengaruh kepemilikan bank. Penelitian ini menggunakan data bank di Rusia untuk periode 1999 sampai dengan 2007. Penelitian ini menemukan struktur pasar, risiko likuiditas, size dan pengendali seperti pemerintah, swasta dan asing sebagai determinan dari margin bunga bersih di Rusia dimana peubah tersebut juga merupakan peubah yang biasa digunakan dalam penelitian. Tetapi, penelitian ini juga menemukan biaya operasional dan aversion risk homogeny 69
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 terhadap semua kelompok kepemilikan bank. Penelitian ini menekankan bahwa bentuk kepemilikan bank sangat dibutuhkan dipertimbangkan dalam menganalisa determinan margin bunga bersih bank. Saad dan El-Moussawi (2012) melakukan penelitian juga mengenai determinan net interest margin untuk bank komersil do Libanon.
Adapun periode penelitian ini yaitu tahun
2000 sampai dengan tahun 2010 untuk 39 bank komersil. Model yang dipergunakan dalam menganalisis determinan net interest margin yaitu model fixed effect. Peubah risiko kredit, kapitalisasi bank, struktur pasar, off-balance, size; pertumbuhan ekonomi dan biaya kesempatan (opportunity cost) sebagai peubah yang menentukan (determinan) net interest margin. Lin dkk (2012) melakukan penelitian terhadap determinan margin bunga dan pengaruhnya kepada diversifikasi bank di bank-bank Asia. Penelitian ini menggunakan data bank komersil untuk sembilan Negara di Asia yaitu Cina, India, Indonesia, Jepang, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Tailand dengan periode data tahun 1997 sampai dengan tahun 2005. Model regressi switching endogen dipergunakan dalam menganalisis penelitian ini dalam mengkategorisasi bank ke dalam diversifikasi regime tinggi dan rendah. Hasil penelitian ini yaitu margin bunga bersih bisa sedikit lebih sensitif terhadap fluktuasi pada factor risiko bank untuk bank yang mendifersifikasikan secara fungsional dibandingkan dengan kepada bank yang lebih special.
Adanya diversifikasi sumber pendapatan membuat bank dapat mengurangi
goncangan kepada margin bunga bersih yang ditimbulkan dari risiko idiosunkratik.
Metodologi Adapun model yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu model data panel dimana modelnya (Gujarati, 2011) sebagai berikut:
Yit = β 1i + β 2 X 2it + β 3 X 3it + β 4 X 4it + β 5 X 5it + β 6 DM + µ it
(1)
i = 1,2,...,k ; t = 1,2,....,n Yit dalam penelitian ini peubah net interest margin (NIM). Peubah bebas yang dipergunakan untuk mempengaruhi NIM yaitu Loan to Deposits Ratio (LDR); Non-performing loan (NPL) dipergunakan Espinosa dkk (20110 dan Fungacova dan Poghosyan (2011), Size bank 70
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 dipergunakan Fungacova dan Poghosyan (2011); rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dipergunakan Hawtrey dan Liang (2008); konsentrasi bank terhadap kredit yang dikenal dengan kekuatan pasar (MPR) digunakan Wong (1997) dan juga diperkenalkan Ho dan Saunders (1981). Pada penelitian ini dimasukkan sebuah variabel boneka untuk menyatakan selama periode ada timbul periode krisis.
Data Penelitian ini menggunakan data keuangan perbankan yang dipublikasikan setiap tahunnya oleh perusahaan sebagai kewajiban dari perusahaan publik, terutama sahamnya ditransaksikan di Bursa Efek Indonesia. Periode penelitian yang dipergunakan yaitu tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Bank yang mempunyai laba bersih negatif selama periode penelitian dikeluarkan dari sampel penelitian ini dan bank harus mempunyai data lengkap selama 5 tahun.
Peubah Dalam penelitian ini dipergunakan peubah sebagai berikut: Net Interest Margin (NIM) = (Pendapatan Bunga – Biaya Bunga) / Earning Asset BOPO = biaya operasional / pendapatan operasional SIZE = Ln Total Asset Non Performing Loan (NPL) = jumlah kredit macet / Total kredit Loan Deposits Ratio (LDR) = loan / deposits Market Power (MPR) = kredit yang diberikan / Kredit Nasional
Lima peubah (Size, NPL, BOPO, LDR dan MPR) dipergunakan sebagai peubah bebas untuk mempengaruhi peubah tak bebas NIM.
Hasil Pembahasan Hasil pembahasan ini akan menguraikan dua pembahasan yang dimulai dengan analisis statistik deskriptif dan dilanjutkan dengan analisis determinan net interest margin.
71
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Statistik Deskriptif Sesuai uraian sebelumnya maka analisis yang dilakukan pada bagian ini mengenai statistik deskriptif. Tabel 1 memperlihatkan statistik deskriptif dari peubah NIM, Size, NPL, LDR, BOPO, dan MPR untuk semua periode dan sampel yang dilakukan. Adapun rata-rata NIM bank yang sahamnya diperdagangkan di Bursa sebesar 6,04% dimana maksimum senilai 12,37 persen dan minimum senilai 1,77%. Variasi data peubah NIM ini sebesar 2,46 persen dan merupakan variasi terkecil ketiga dari seluruh data variasi peubah yang dipakai dalam penelitian ini. Atas hasil pengujian terhadapan distribusi data NIM ini maka ditemukan data NIM tidak berdistribusi normal. Tidak berdistribusi normal data NIM didukung oleh nilai Skewness dan Kurtosis yang tidak sesuai dengan nilai normal.
Rata-rata Size perbankan sebagai sampel
penelitian bernilai10,93 dimana size minimum senilai 7,3 dan maksiumum bernilai 13,22. Tingginya nilai rata-rata tersebut dikarenakan sampel yang mempunyai asset tertingi pada perbankan ikut menjadi sampel. Variasi size ini mempunyai variasi yang juga cukup kecil dan merupakan urutan kedua untuk semua variasi peubah yang dipergunakan dalam penelitian ini. Pengujian distribusi normal terhadap data peubah size memberikan kesimpulan bahwa data peubah size tidak berdistribusi normal.
Tabel 1: Statistik Deskriptif NIM, Size, NPL, LDR, BOPO dan MPR Rata NIM SIZE NPL LDR BOPO MPR
6.04% 10.4913 2.75% 74.67% 73.30% 3.93% Sumber: Hasil Olahan
Min 1.77% 7.2883 0.48% 40.22% 41.60% 0.09%
Max 12.37% 13.2211 8.20% 103.88% 102.64% 14.38%
STDEV 2.46% 1.7543 1.52% 14.96% 18.59% 4.62%
SKEW 90.66% -0.1799 109.07% -20.99% -52.44% 113.27%
Kurtosis 0.16595 -1.28361 1.85196 -0.56693 -1.26791 -0.07607
JB-TEST 35.3746** 57.7464** 18.9888* 40.3099** 60.3592** 45.6069**
Rata-rata NPL perusahaan yang menjadi sampel penelitian sebesar 2,75 persen dimana nilai minimumnya senilai 0,48 persen dan nilai maksimum sebesar 8,2 persen. Variasi dari data peubah NPL cukup kecil sebesar 1,52 persen dan merupakan nilai paling kecil dari seluruh
72
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Pengujian terhadap distribusi data peubah NPL ditemukan bahwa datanya tidak berdistribusi normal. LDR sebagai peubah penelitian mempunyai nilai rata-rata sebesar 74,67 persen dimana nilai minimum sebesar 40,22 persen dan nilai maksimum sebesar 103,88 persen. Adapun variasi data LDR ini sebesar 14,96 persen dan merupakan nilai variasi terbesar kedua dari seluruh peubah yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Berdasarkan pengujian distribusi normal
terhadap data peubah LDR maka disimpulkan bahwa data peubah LDR tidak berdistribusi normal. Rata-rata BOPO sampel perbankan pada penelitian sebesar 73,3 persen dimana nilai minimum sebesar 41,6 persen dan nilai maksimum 102,64 persen. Angka ini menyatakan bahwa terdapat bank yang kurang efisien dikarenakan BOPOnya melebihi 100 persen. Variasi BOPO dari sampel penelitian ini cukup tinggi senilai 18,59 persen dan merupakan nilai variasi tertinggi dari seluruh variasi peubah yang dipergunakan dalam penelitian ini. Data peubah BOPO ini ditemukan tidak berdistribusi normal dengan pengujian kai-kuadrat. Konsentrasi pasar yang disimbol dengan MPR mempunyai rata-rata sebesar 3,93 persen dimana nilai minimum sebesar 0,09 persen dan maksimum sebesari 14,38 persen. Pada data asli terlihat bahwa konsentrasi pasar dikuasai oleh Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia dimana nilai konsentrasi pasar bergantian untuk tertinggi bagi kedua bank. Variasi MPR senilai 4,62 persen dan merupakan nilai variasi tertinggi ketiga dari seluruh peubah yang digunakan dalam penelitian ini. Data peubah MPR disimpulkan tidak berdistribusi normal dengan menggunakan pengujian kai-kuadrat.
Determinan NIM Sesuai dengan judul penelitian ini maka bagian ini akan menyelidiki peubah yang mempengaruhi NIM. Analisis dimulai dengan pengujian model panek acak atau model panel tetap dan dilanjutkan menganalisis peubah yang mempengaruhi NIM. Tabel berikut ini memperlihatkan pengujian Hausman untuk menentukan model panel yang akan dipergunakan. Pada tabel berikut diperlihatkan nilai statistik Kai-Kuadrat sebesar 0 dimana nilai Tabel kai kuadrat dengan derajat kebebasan 6 diperoleh nilai yang lebih tinggi dari nol. 73
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
0.000000
6
Prob. 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
Hasil yang dapat disimpulkan berdasarkan pengujian dengan menggunakan Kai-Kuadrat maka model yang dapat dipergunakan yaitu model panel acak (Model of Random Effect). Tabel berikut memperlihatkan model panel efek acak untuk NIM dimana peubah bebasnya DM, LDR, NPL, Size, BOPO, MPR.
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f.corrected) Variable
Coefficient Std. Error
C DM BOPO? LDR? MPR? SIZE? NPL?
0.132154 -0.000936 -0.027284 0.018908 0.242108 -0.007045 -0.041736
Random Effects (Cross) _1—C _2—C _3—C _4—C _5—C _6—C _7—C _8—C _9—C _10—C _11—C _12—C _13—C
0.003350 0.027869 -0.030955 0.004928 -0.010398 -0.013622 0.006361 -0.020995 -0.019862 0.033575 -0.020006 0.005738 -0.000754
0.038992 0.001399 0.011275 0.012880 0.101689 0.003440 0.038972
t-Statistic
Prob.
3.389247 -0.669162 -2.419875 1.468048 2.380860 -2.047967 -1.070927
0.0012 0.5057 0.0182 0.1467 0.0201 0.0444 0.2880
74
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 _14—C _15—C
0.042674 -0.007904
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.142539 0.066881 0.007062 1.883984 0.096160
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.009551 0.007310 0.003391 1.541561
Pada Tabel diatas terlihat bahwa koefisien determinasi (R-squared) sebesar 14,25 persen yang menyatakan bahwa variasi seluruh peubah BOPO, LDR, NPL. Size dan MPR dapat menjelaskan variasi peubah NIM hanya sebesar 14,25 persen dan 85,75 persen dijelaskan oleh peubah lain. Hasil ini juga menjelaskan bahwa banyak peubah yang menjelaskan NIM yang belum termasuk dalam penelitian ini. Pada Tabel terlihat bahwa DM mempunyai hubungan negative dengan NIM yang memberikan arti bila ada krisis maka NIM menurun dan secara kebetulan tidak signifikan. BOPO mempunyai hubungan negatif dengan NIM yang memberikan arti bila BOPO mengalami peningkatan maka NIM mengalami penurunan yang besarannya 0,027 unit untuk satu unit BOPO. Peubah ini signifikan mempengaruhi NIM pada level signifikansi 5 persen.
LDR
mempunyai hubungan positif terhadap NIM dimana kenaikan satu unit LDR mempengaruhi kenaikan NIM sebesar 0,019 unit.
Peubah LDR ini tidak signifikan mempengaruhi NIM.
Kekuatan pasar (MPR) mempunyai hubungan positif dengan NIM dimana MPR naik satu unit mempengaruhi NIM naik 0,24 unit demikian juga kebalikannya. Peubah MPR ini signifikan mempengaruhi NIM pada level signifikansi 5 persen.
Size bank sebagai satu peubah yang
diikutkan serta untuk menyatakan besaran bank, maka size mempunyai hubungan negatif dengan NIM. Bila size perusahaan naik satu unit maka nilai NIM turun sebesar 0,007 unit. Size ini secara statistic signifikan mempengaruhi peubah NIM pada level signifikansi 5 persen.
NPL
mempunyai hubungan dengan negatif dengan NIM tetapi secara statistik tidak signifikan pada level signifikansi 5 persen bahkan 10 persen. Selanjutnya, pembahasan terhadap besaran koefisien dari masing-masing sampel ditunjukkan oleh tabel diatas. Model panel efek acak diatas memperlihatkan bahwa nilai intersep tetap sebesar 0,132154 dan nilai intersep efek acak pada bagian bawah dari model. Intersep acak 75
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 sangat bervariasi dan nilainya bisa mengurangi dan menambah intersep tetap. Untuk sampel pertama maka nilai intersep sebesar 0,132154 + 0,003350 = 0,135504. Untuk sampel 8 maka nilai intersepnya sebesar 0,132154 – 0,020995 = 0,111159. Sedangkan untuk sampel terakhir (sampel 15) maka nilai intersep yaitu 0,132154 – 0,007904 = 0,124250. Model panel efek acak ini dapat dipergunakan dengan level signifikansi sebesar 10 persen dimana probabilita (F-Statistic) sebesar 9,6.
Kesimpulan Sesuai dengan uraian sebelumnya dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. NIM bank yang sahamnya diperdagangkan di BEI sebesar 6,04% dan variasinya 2,46 persen. 2. Peubah yang signifikan secara statistik mempengaruhi NIM yaitu peubah BOPO, kekuatan pasar (MPR) dan size bank tersebut.
Daftar Pustaka Afanasieff, T. S.; Lhacer, P. M. V. and M. I. Nakane (2002); The Determinants of Bank Interest Spread in Brazil; Working Paper – Banco Central do Brasil. Angbazo, Lazarus (1997); Commercial Bank Net Interest Margins, Default Risk, Interest-rate Risk, and off-balance Sheet Banking; Journal of Banking and Finance, Vol. 21; pp. 55 -87. Beck, Thorsten and Heiko Hesse (2009); Why are Interest Spread so High in Uganda; Journal of Development Economics, Vol. 88; pp. 192 – 204. Ben-Ameur, H.; Breton, M.; Karoui, L. and P. L’Ecuyer (2006); A Dynamic Programming Approach for Pricing Options Embedded in Bonds; Journal of Economic Dynamics & Control, Claeys, Sophie and Rudi V. Vennet (2008); Determinants of Bank Interest Margins in Central and Eastern Europe: A Comparison with the West; Economic Systems, Vol. 32; pp. 197 – 216. Davies, George R. (1920); Factors Determining the Interest Rate; Quarterly Journal of Economics, Vol. 34, No. 3; pp. 445 – 461. Dia, Enzo and M. Giuliodori (2009); The Determinants of Bank Interest Margins: Estimates of a Dynamic Model; Working Paper of Departments of Economics, University of Milan - Bicocca 76
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Dietrich, A.; Wanzenried, G. and Rebel A. Cole (2009); Why are net-interest margins across countries so different ?; Working paper Doliente, Jude S. (2003); Determinants of Bank Net Interest Margin of Southeast Asia; Working Paper University of the Philippones. English, William B. (2002); Interest Rate Risk and Bank Net Interest Margins; BIS Quarterly Review, Desember; pp. 67 – 82. Espinosa, G. Lopez; Moreno, Antonio and Fernando Perez de Gracia (2011); Banks’ Net Interest Margin in the 2000s: A Macro-Accounting International Perspective; Journal of International Money and Finance, Vol. 30; pp. 1214 – 1233. Fellows, James A. (1978); A Theory of the Banking Firm; American Economist. Vol. 22, No. 1; pp. 22 – 25. Fungacova, Zuzana and Tigran Poghosyan (2011); Determinants of Bank Interest Margins in Russia: Does Bank Ownership Matter; Economic Systems, Vol. 35; pp. 481 – 495. Gambacorta, Leonardo (2008); How do Banks set Interest rates ?; European Economics Review, Vol. 52; pp. 792 – 819. Hamadi, Hassan and Ali Awdeh (2012); The Determinants of Bank Net Interest Margin: Evidence from the Lebanese Banking Sector; Journal of Money, Investment and Banking, Issue 23; Hawtrey, Kim and Hanyu Liang (2008); Bank Interest Margins in OCED Countries; North American Journal of Economics and Finance, VOl. 19; pp. 249 – 260. Ho, Thomas S. Y. and Anthony Saunders (1981); The Determinants of Bank Interest Margins: Theory and Empirical Evidence; Journal of Financial and Quantitative Analysis, VOl. 6, No. 4; pp. 581 – 600. Horvath, R. and Anca Podpiera (2012); Heterogeneity in Bank Pricing Policies: The Czech Evidence; Economic Sytems, Vol. 36; pp. 87 – 108. Khawaha, Idrees (2011); Interest Margin and Banks’ Asset-Liability Composition; Lahore Journal of Economics; Vol. 16; pp. 255 – 270. Klein, Michael A. (1971); A Theory of Banking Firm; Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 3, No. 2; pp. 205 – 218. Liebeg, David and M. S. Schwaiger ( ); Determinants of the Interest Rate Margins of Austrian Banks; Financial Stability Report, Vol. 12; pp. 104 – 116. 77
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Lin, Jane-Raung, Chung, Huimin; Hsieh, Ming-Hsiang and Soushan Wu (2012); The Determinants of Interest Margins and Their Effect on Bank Diversification: Evidence from Asian Banks; Journal of Financial Stability, Vol. 8; pp. 96 – 106. Lin, Jyh-Horng; Lin, Jyh-Juan and Pai-Chou Huang (2010); Modeling Bank Interest Margin and Loan Quality under Troubled Asset Relief Program: An Option-Pricing Approach; WSEAS TRANSACTIONS on CIRCUITS and SYSTEMS, Issue 11, Vol. 9; pp. 689 – 699. Maudos, Joaquin and Juan F. de Guevara (2004); Factor Explaining the interest margin in the Banking Sectors of the European Union; Journal of Banking and Finance, Vol. 28; pp. 2259 – 2281. Maudos, Joaquin and Liliana Solis (2009); The Determinants of Net Interest Income in the Mexican Banking System: An Integrated Model; Journal of Banking and Finance, Vol. 33; pp. 1920 – 1931. Nasab, A. A. and A. S. Roomi (2012); An Analysis of Effective Factors on Bank Interest Margin Rate: A Case Study Ansar Bank; Interdisciplinary Journal and Contemporary Research in Business, Vol. 4, No. 2; pp. 1084 – 1090. O’Hara, Maureen (1983); A Dynamic Theory of Banking Firm; Journal of Finance, Vol. 38, No. 1; pp. 127 – 140. Ozdemir, Bilge Kagan (2009); Retail Bank Interest Rate Pass-Through: The Turkish Experience; International Research Journal of Finance and Economics, Issue 28. Saad, Wadad and Chawki El-Moussawi (2012); The Determinants of Net Interest Margin of Commercial Banks in Lebanon; Journal of Money, Investment Banking, Issue 23. Santomero, A. M. (1984); Modeling the Banking Firm: A Survey; Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 16, No. 4; pp. 576 – 602. Saunders, A. and L. Schumacher (2000); The Determinants of Bank Interest Rate Margins: An International Study; Journal of International Money and Finance, Vol. 19; pp. 813 – 832. Schwaiger, M. S. and D. Lieberg ( ); Determinants of Bank Interest Margins in Central and Eastern Europe; Financial Stability Report, Vol. 14; pp. 68 – 84 Scott, J. W. and J. C. Arias (2011); Banking Profitability Determinants; Business Intelligence Journal, Vol. 4, No. 2; pp. 209 - 230.
78
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Sharma, P. and N. Gounder (2011); Determinants of Bank Net Interest Margins in a Small Island Developing Economy: Panel Evidence from Fiji; Discussion Papers Finance, Griffith Business School. Sidabalok, L. R. and Viverita (2011); The Determinants of Banks’ Net Interest Margin in Indonesia: A Dynamic Approach; http://ssrn.com/abstract=1990175 Valverde, Santiago C. and Francisco R. Fernandez (2007); The Determinants of Bank Margins in European Banking; Journal of Banking and Finance, Vol. 31; pp. 2043 – 2063. Wong, Kit P. (1997); On the Determinants of Bank Interest Margins under Credit and Interest rate risks; Journal of Banking & Finance, Vol. 21; pp. 251 – 271.
79
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Peluang Kewirausahaan Sekolah Melalui Kreativitas dan Inovasi Hendra Manurung Universitas Presiden Understanding the entrepreneurship as a way to increase the quality of life. Even though until now, there is no terminology which is exactly the same with entrepreneurship, but in general, it has the same characteristics that refer to features that attached to someone who has strong will to realize the innovative ideas in a real world and could develop it with efforts (Peter F. Drucker 1994). The entrepreneurship development in the school is a new trend that supports the development of education in many levels. This is based on the reality that the spirit and the entrepreneurship spirit that is not owned by the businessman but also to everybody who is minimal, and can think creatively and act innovatively to increase value-added from its effort. The expected result is the actualization effort and entrepreneurship spirit in the spirit and behavior of the head of the school with the students. Therefore, the good practice of entrepreneurship in the school and the good school governance in the school with entrepreneurship spirit develops very well Keywords: kewirausahaan, kualitas hidup, kreativitas dan inovasi, good school governance, sekolah mandiri.
80
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Peluang Kewirausahawan Sekolah Melalui Kreativitas dan Inovasi
Pendahuluan A high level of entrepreneurship in every components of the nation can generate a domino effect for the social economy transformation of the country.15 Dalam kehidupan seharihari masih banyak yang menafsirkan dan memandang bahwa kewirausahaan identik dengan apa yang dimiliki baru dilakukan “usahawan“ atau “wirausaha“ pandangan tersebut kurang tepat, karena jiwa dan sikap kewirausahaan (entrepreneurship) tidak hanya dimiliki oleh usahawan16, namun dapat dimiliki oleh setiap orang yang berfikir kreatif, dan bertindak inovatif baik kalangan pemerintah swasta, mahasiswa, guru, dosen, dan pimpinan organisasi lainnya.17 Pertumbuhan yang signifikan dalam jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia telah tumbuh terus menerus, menunjukkan persentase dari total pertumbuhan sebesar 10% dengan pertumbuhan awal sebesar 7,9% menjadi 17,9% pada tahun 2006-2008. Berdasarkan data dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM, jumlah UKM di Indonesia terus meningkat secara signifikan karena pada tahun 2006 jumlah UKM berkisar 48.611.233 unit, 2007 naik menjadi 49.824.123 unit, dan 2008 sedangkan secara drastis meningkat menjadi 51.257.537 unit.18 Dari data ini dapat dilihat pertumbuhan UKM meningkat signifikan sebesar 5,4% dilihat dari pertumbuhan UKM pada tahun 2006 dan dibandingkan dengan pertumbuhan UKM pada tahun 2008,19 kontribusi UKM terhadap perekonomian cukup signifikan.20 Karena itu membuktikan adanya perkembangan pesat yang membutuhkan organisasi yang baik dan manajemen dalam rangka memasuki pasar ASEAN Economic Community pada tahun 2015.21
15
Paper on Entrepreneurship by DR. Ciputra, Bandung, 2009. Akib, Haedar. 2005. Kreativitas Dalam Organisasi, Disertasi Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta. 17 Ibid. 18 Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006-2008 19 Ibid. 20 Ibid. 21 Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jakarta: The President Post, Edisi Oktober 2012 No.5, h. A3. 16
81
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kewirausahaan adalah22 : “Kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kitar dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses inti dari kewirausahaan adlaah kemampuan utnuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berfikir kreatif dan bertidak inovatif untuk menciptakan peluang”.
Setelah mengalami sistem pendidikan di berbagai negara dan melihat sistem pendidikan di Indonesia, ada sejumlah masalah yang dihadapi.23 Sistem pendidikan yang berlaku selama ini di Indonesia ternyata tidak dapat menempa sumber daya manusia Indonesia yang memiliki potensi yang tidak kalah dibanding dengan sumber daya manusia dari negara lain, termasuk negara maju sekalipun.24 Potensi yang ada pada sumber daya manusia,25 tidak akan mempunyai arti yang signifikan dan maksimal bila penempaan atas mereka melalui sistem pendidikan tidak dilakukan secara benar.26 Tulisan ini mencoba mengidentifikasi sejumlah problem yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia menyikapi berbagai kreatifitas dan inovasi sebagai peluang kewirausahaan di sekolah, sehingga manfaatmya belum maksimal dalam menyiapkan sumber daya manusia yang handal.
Permasalahan Krisis global dunia telah menggagalkan, bahkan membangkrutkan banyak bisnis di dunia.27 Di tengah krisis global yang melanda dunia tahun 2008-2009, Indonesia menjadi salah satu negara korban krisis global,28 walaupun kita telah belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa sektor UKM tahan krisis, namun tetap saja harus ada kewaspadaan akan dampak krisis ini
22
Hisrich, et. al. 2009. Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill. Inc. Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta. 24 Kasim, Azhar. Reformasi Administrasi Negara, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 2 (4), Oktober 1998, h. 43. 25 Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta. 26 Isaak, Robert A., Ekonomi Politik Internasional, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995. 27 Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta. 2828 Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jakarta: The President Post, Edisi Oktober 2012 No.5, h. A3. 23
82
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 terhadap sektor UKM.29 Mudradjad Kuncoro mengatakan ada tujuh tantangan yang harus dihadapi UKM dalam era krisis global, yaitu:30 1) Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan UKM dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. 2) Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga kredit formal, sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber lain, seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. 3) Sebagian besar kegiatan usaha kecil menengah ditandai dengan belum memiliki status badan hukum yang jelas. Mayoritas UKM merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris, 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris, dan hanya 1,7% yang sudah memiliki badan hukum (PT/ NV, CV, Firma, atau Koperasi). 4) Tren nilai ekspor menunjukkan betapa sangat berfluktuatif dan berubah-ubahnya komoditas ekspor Indonesia selama periode 1999-2006. 5) Persoalan pengadaan bahan baku merupakan masalah utama yang dihadapi dalam pengadaan bahan baku adalah mahalnya harga, terbatasnya ketersediaan, dan jarak yang relatif jauh. Ini karena ketersediaan bahan baku bagi UKM yang berorientasi ekspor sebagian besar berasal dari luar daerah usahan tersebut berlokasi. 6) Masalah utama yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja adalah tidak terampil dan mahalnya biaya tenaga kerja. Regenerasi perajin dan pekerja terampil relatif lambat. Akibatnya, di banyak sentra ekspor mengalami kelangkaan tenaga terampil untuk sektor tertentu. (October 2009 Research Days, Faculty of Economics - Padjadjaran University, Bandung). 7) Dalam bidang pemasaran, masalahnya terkait dengan banyaknya pesaing yang bergerak dalam industri yang sama, relatif minimnya kemampuan bahasa asing sebagai suatu hambatan dalam melakukan negosiasi, dan penetrasi pasar di luar negeri. 29 30
Ibid. Bisnis Indonesia, Edisi 21 Agustus 2008.
83
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pendahuluan, salah satu langkah strategis untuk mengamankan UKM dari ancaman dan tantangan krisis global adalah dengan melakukan penguatan pada multi-aspek.31 Salah satu yang dapat berperan adalah aspek kewirausahaan.32 Seorang wirausaha dapat mendayagunakan segala sumber daya yang dimiliki, dengan proses yang kreatif dan inovatif, menjadikan usaha kecil dan menengah (UKM) siap menghadapi tantangan krisis global.33 Beberapa peran kewirausahaan dalam mengatasi tantangan di UKM adalah:34
1) Memiliki daya pikir kreatif, yang meliputi: a. Selalu berpikir secara visionaris (melihat jauh ke depan), sehingga memiliki perencanaan tidak saja jangka pendek, namun bersifat jangka panjang (stratejik). b. Belajar dari pengalaman orang lain, kegagalan, dan dapat terbuka menerima kritik dan saran untuk masukan pengembangan UKM. 2) Bertindak inovatif, yaitu: a. Selalu berusaha meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas dalam setiap aspek kegiatan UKM. b. Meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi persaingan bisnis. 3) Berani mengambil resiko, dan menyesuaikan profil resiko serta mengetahui resiko dan manfaat dari suatu bisnis.35 UKM harus memiliki manajemen resiko dalam segala aktivitas usahanya. Sementara untuk mengatasi masalah yang ada di UKM saat ini, tidak saja dibutuhkan 3 (tiga) sikap di atas, namun juga diperlukan langkah-langkah pendukung dari manajemen UKM, dalam aspek penataan manajemen UKM .
a. Stigma Masyarakat Pendidikan di Indonesia penuh dengan stigma yang dapat berpengaruh pada kualitas pendidikan yang dimiliki oleh individu.36 Sumber daya manusia Indonesia yang menyimpan 31
Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 2-6. Ibid. Ibid. 34 Ibid. 35 Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia, Jakarta: The President Post, Edisi Oktober 2012 No.5, h. A3. 36 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. 32 33
84
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 banyak potensi ternyata tidak terdidik secara baik dan terarah.37 Perbedaan antara IPA/Eksakta dengan pilihan lain sejak di SMA. Bagi orang tua dan individu mereka harus masuk IPA meski bukan menjadi keinginan.38 Akibatnya mereka yang memasuki bidang studi ilmu sosial di perguruan tinggi bukanlah orang-orang pilihan.39 Hal ini berpengaruh dalam jangka panjang terhadap sumber daya manusia yang memasuki sektor-sektor bidang pekerjaan ilmu sosial, seperti hukum.40 Stigma di masyarakat pada pendidikan adalah perbedaan pendidikan universitas dan pendidikan vokasi.41 Pasca kelulusan di sekolah menengah banyak yang memilih pendidikan di universitas daripada vokasi.42 Kalaupun ada yang memasuki bidang vokasi ini sekedar jembatan untuk masuk universitas. Ini semua karena terdapat beragam perbedaan bagi mereka yang lulus pendidikan universitas dengan pendidikan vokasi, mulai dari status sosial hingga perbedaan gaji.43 Sistem pendidikan nasional belum mampu mendayagunakan segala sumber daya manusia yang dimiliki, dengan adanya proses yang kreatif dan inovatif, menjadikan peserta didik siap mengelola usaha kecil dan menengah (UKM) dalam menghadapi tantangan krisis global.44
b. Persepsi Salah Selain pengaruh stigma pendidikan, terdapat pula persepsi yang salah terkait dengan pendidikan kewirausahaan reatif dan inovatif di Indonesia.45 Masyarakat sendiri cenderung memiliki persepsi yang salah dalam membedakan pendidikan vokasi dengan pendidikan profesi.46 Ini terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang mempersamakan antara pendidikan vokasi dengan profesi.47 Persepsi salah lainnya adalah label gelar pendidikan, terutama melalui pemberian gelar diploma dan sarjana, dianggap sebagai penentu utama rendah tingginya status sosial seseorang di lingkungan masyarakat. Pada akhirnya banyak masyarakat
37
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta. Ibid. Ibid. 40 Ibid. 41 Boon, Rolf J. Cultural Creativity: the Importance of Creativity in Organizational and Educational Contexts, May 4 1997, http://www.lobstrick.com/BOON.HTM, diakses 25 Mei 2003. 42 Ibid. 43 Ibid. 44 Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 6-8. 45 Ibid. 46 Ibid. 47 Ibid. 38 39
85
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 hanya mengejar gelar sarjana, bukan bagaimana penerapan ilmu pendidikannya untuk kepentingan masyarakat luas. Munculnya berbagai lembaga pendidikan yang menjual ijazah pun sangat diminati oleh masyarakat. Mereka yang mengikuti pendidikan sejak dini (Pendidikan Anak Usia Dini, PAUD) hingga pendidikan tinggi bukan untuk mendapatkan ilmu melainkan lebih memperhatikan formalitas, seperti kehadiran (absensi), nilai, hingga ijazah. Persepsi yang salah tentang pendidikan ini yang mengakibatkan kualitas pendidikan sama sekali tidak berkolerasi dengan kemajuan bangsa.
c. Pendidikan Kewirausahaan Menentukan Kualitas Sumber Daya Manusia Pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada tercapainya target materi muatan daripada menumbuhkan dan merangsang keingin-tahuan dari peserta didik.48 Pada akhirnya keinginan untuk berinovasi dan berimprovisasi oleh peserta didik (sense of innovation and improvisation) sangat rendah,49 terutama pendidikan kewirausahaan. Ketiadaan instruksi pendidikan kewirausahaan yang terangkum dalam kurikulum sekolah dan sistem pendidikan nasional membuat kemampuan berinovasi dan berimprovisasi mengalami kemandekan.50 Padahal sumber daya manusia di Indonesia menyimpan berbagai potensi luar biasa. Ketiadaan keingin-tahuan tidak semata-mata bisa ditimpakan pada pengajar atau kurikulum, tetapi juga pada infrastruktur yang jauh dari memadai. Bila berbagai lembaga pendidikan tidak mampu menyedikan perpustakaan ataupun akses ke internet, maka sangat sulit mengharapkan peserta didik untuk memenuhi rasa ingin tahunya di bidang pendidikan dan penerapan kewirausahaan. Sistem pendidikan nasional yang menekankan pada target pencapaian materi ajar akan menghasilkan manusia-manusia yang kehabisan energi ketika justru energi memberdayakan kewirausahaan mandiri sangat dibutuhkan. Seringkali mereka memeroleh materi bahan ajar yang mereka tidak tahu manfaatnya. Individu yang pandai bukan berarti individu yang harus tahu semua. Individu yang pandai adalah individu yang secara mudah mencerna materi pengajaran.
48
Dharma, Surya dan Haedar Akib. Budaya Organisasi Kreatif, Manajemen USAHAWAN Indonesia, No. 03/TH. XXXIII Maret 2004a, h. 22-27. Ibid. 50 Ibid. 49
86
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Oleh karenanya pandai tidak perlu digantungkan pada materi tetapi pada keinginan individu untuk mengetahui lebih banyak.
d. Terlalu Berorientasi pada Indonesia Orientasi sistem pendidikan di Indonesia sangat Indonesia.51 Meskipun tidak sedikit jumlah orang Indonesia yang berhasil untuk bekerja di luar Indonesia namun keberhasilan sebenarnya tidak ditunjung pada sistem pendidikan yang mereka peroleh ketika berada di Indonesia.52 Keberhasilan lebih ditunjang karena kemampuan diri untuk mau belajar hal baru. Harus diakui sistem pendidikan yang berorientasi pada Indonesia tidak membekali peserta didik untuk dapat bersaing secara global.53 Padahal saat ini pasar kerja tidak hanya terpaku pada pasar kerja domestik, tetapi internasional. Disinilah indikasi mengapa jumlah pekerja tidak terampil (unskilled workers) lebih banyak bekerja di luar negeri daripada pekerja terampilnya (skilled workers). Sistem pendidikan di Indonesia pun kurang dapat diminati oleh para peserta didik asing. Padahal saat ini lembaga pendidikan Indonesia yang berorientasi pada Indonesia harus bersaing dengan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan asing. Negara seperti Singapura mempunyai kepercayaan yang tinggi sistem pendidikannya diminati oleh masyarakat Indonesia. Merekapun membuka sekolah Singapura. Di sejumlah negara pendidikan mulai dari dasar, menengah dan tinggi diorientasikan tidak hanya untuk negaranya sendiri. Mereka telah mampu mengembangkan sistem pendidikan yang diminati oleh berbagai warga masyarakat yang berasal dari berbagai negara.
e. Pentingnya Otonomi Universitas Permasalahan lain yang dihadapi oleh sistem pendidikan di Indonesia adalah pada level Universitas. Universitas kurang diberi otonomi sehingga masih dalam kendali pemerintah. Pemerintah seolah masih ingin mengatur, tidak pada level yang sangat umum, tetapi juga hal-hal yang bersifat teknis. Di sejumlah perguruan tinggi peran pemerintah dalam menentukan adminstrator, mulai dari Rektor hingga para pembantu dekan sangat dominan. Tidak heran bila 51
Dharma, Surya dan Haedar Akib. Kreativitas sebagai Esensi dan Orientasi Pengembangan SDM, Manajemen USAHAWAN Indonesia, Akreditasi Dikti No. 134/DIKTI/KEP 2001, No. 06/TH. XXXIII Juni 2004b, h. 29-36. 52 Ibid. 53 Ibid.
87
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 universitas di Indonesia tidak mampu bersaing dengan universitas-universitas luar negeri. Mereka terikat oleh berbagai peraturan perundang-undangan dan birokrasi.
f. Kurang Relevannya Pendidikan dengan Kebutuhan Industri Masalah lain yang kerap dilontarkan sebagai kritik adalah sistem pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan industri. Para peserta didik harus menyesuaikan diri dan menempuh pendidikan lanjutan agar benar-benar diterima oleh industri.54 Bila ditelusuri ada dua sumber masalah. Pertama, para pengambil kebijakan ketika mengambil kebijakan memiliki ide apa yang baik untuk peserta didik tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh sektor industri.55 Kedua, industri memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi dari para peserta didik. Padahal peserta didik tidak mungkin diajarkan atau diberi materi yang sangat spesifik yang dibutuhkan oleh industri. Sistem pendidikan hanya dapat memberikan pengetahuan dasar (basic) kepada peserta didiknya untuk kemudian dikembangkan oleh peserta didik tersebut atau oleh industri yang membutuhkan.56
Pembahasan Mencermati berbagai kelemahan sistem pendidikan di Indonesia dan penerapan pendidikan kewirausahaan57, kesimpulan yang dapat diambil adalah diperlukan pembenahan yang bersifat fundamental.58 Pembenahan tidak bisa sepotong-sepotong (piece meal) sehingga dapat memberikan dampak tidak dalam satu, lima atau sepuluh tahun mendatang tetapi pada satu, dua bahkan generasi-generasi berikut bagi sumber daya manusia Indonesia.59 Apa yang dilakukan pada hari ini merupakan investasi untuk masa mendatang.60 Apa yang dilakukan pada
54
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. 55 Eoh, Jeni. 2001. Pengaruh Budaya Perusahaan, Gaya Manajemen, dan Pengembangan Tim Terhadap Kinerja Karyawan, Disertasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta. 56 Ibid. 57 Kasim, Azhar. Reformasi Administrasi Negara, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 2 (4), Oktober 1998, h. 43. 58 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 59 West, Michael A. 2000. Mengembangkan Kreativitas Dalam Organisasi, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta. 60 Ibid.
88
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 hari ini adalah langkah awal untuk memulai suatu perubahan yang signifikan bagi generasi mendatang.61 Menurut M. P. Todaro, bahwa ada empat bidang luas yang terbuka bagi intervensi pemerintah masing-masing berkaitan erat dengan keempat element pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atau baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian negara berkembang. Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah :62 (1) Distribusi fungsional; (2) Distribusi ukuran; (3) Program redistribusi pendapatan; (4) Peningkatan distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berpenghasilan relatif rendah. Menurut Adler Manurung, melebarnya kesenjangan kedua kelompok sosial ekonomi diakibatkan oleh belum terarahnya distribusi belanja pemerintah. Ketidakterarahan ini menyebabkan belanja investasi menjadi tersendat. Akibatnya, meski secara nilai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun secara realitas kurang berkualitas. Pada gilirannya, ini memerlukan optimalisasi belanja pemerintah. Ini akan mampu memberikan suntikan investasi bagi yang lain. Perbaiki itu jalan jalan. Itu akan mendorong rakyat kecil mendapatkan pendapatan. Kalau mereka dapat uang, daya beli mereka akan naik.63 Namun demikian ada sejumlah elemen yang perlu menjadi perhatian dalam melakukan pembenahan sistem pendidikan kewirausahaan di Indonesia. Berikut akan diuraikan elemenelemen dimaksud.
a. Kesabaran Kesabaran merupakan hal terpenting dalam melakukan suatu perubahan yang berkaitan dengan manusia. Kesabaran dibutuhkan karena perubahan tidak dilakukan atas sistem, tetapi yang terpenting adalah cara berpikir (mindset) dari setiap manusia yang ada dalam sistem. Dalam sistem pendidikan ada sejumlah manusia yang berperan. Ada pengambil kebijakan, ada pengajar, ada mahasiswa, ada orang tua dan ada pula manusia yang berperan dalam mendukung proses belajar mengajar.
61
Ibid.
62
Todaro, MP. 2004. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga, h. 262-269. 63 Manurung, Adler. Kompas, 18 Desember 2005.
89
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Perubahan yang dilakukan atas sistem pendidikan tidak berada dalam suatu kekosongan atau kevakuman. Perubahan juga tidak dapat menafikan apa yang pernah ada. Oleh karenanya perlu masa transisi yang sedapat mungkin tidak dirasakan oleh para pemangku kepentingan.
b. Konsistensi kebijakan Disamping kesabaran juga dibutuhkan suatu konsistensi dalam menjalankan kebijakan. Bagi Indonesia ini merupakan suatu masalah besar. Pengambil kebijakan dari tingkat yang tertinggi hingga paling bawah kerap tidak konsisten. Setiap pimpinan baru ingin melakukan perubahan yang sebenarnya tidak terlalu signifikan tetapi harus melalui suatu proses yang melelahkan. Bagi sebagian besar pemimpin di Indonesia berlaku pemikiran bahwa saat menjadi pemimpin harus mampu untuk melakukan perubahan. Perubahan diartikan sebagai sesuatu yang berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Padahal cara berpikir seperti ini tidak membawa kebaikan bagi bangsa dan negara. Bukannya pembangunan sistem yang dilakukan tetapi yang terjadi adalah memindahkan pendelum dari satu ekstrim ke ekstrim yang lainnya. Oleh karenanya konsistensi dalam melakukan perubahan sangat penting bagi Indonesia sebagai negara yang sedang membangun. Pemimpin harus dianggap berhasil bila mampu meneruskan apa yang telah diletakkan oleh para pendahulunya. Sebaliknya pemimpin dianggap tidak berhasil ketika ia tidak mampu membaca visi para pendahulunya. Dalam implementasi kebijakan di bidang pendidikan kerap yang terjadi adalah ganti menteri ganti kebijakan. Bahkan ganti Direktur Jenderal ganti pula kebijakan atas sistem pendidikan yang menjadi tanggung jawabanya. Tidak heran bila satu generasi akan mengalami sistem pendidikan yang berbeda dengan generasi terdahulu dan generasi sesudahnya. Oleh kareanya konsistensi merupakan elemen yang perlu mendapat perhatian bagi para stakeholders dan mereka harus mengawal konsistensi perubahan sistem pendidikan yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan.64
c. Kemampuan mengidentifikasi Masalah
64
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
90
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Elemen lain yang perlu mendapat perhatian adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dari pengambil kebijakan. Memang dalam makalah ini telah disampaikan sejumlah masalah seputar pendidikan di Indonesia. Namun masalah yang telah disampaikan tidak hanya itu saja. Masih banyak masalah yang harus diidentifikasi dalam rangka pembenahan sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu yang penting adalah kondisi Indonesia yang harus diakui antara satu propinsi, bahkan kabupaten dan kotamadya yang berbeda, baik infrastruktur, masyarakat maupun kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan pendidikan kepada masyarakatnya. Masalah lain adalah koordinasi antar instansi yang kerap sangat lemah. Pembenahan sistem pendidikan bukanlah tanggung jawab dan beban dari Kementerian Pendidikan Nasional, namun melibatkan sejumlah instansi pemerintah. Instansi pemerintah yang perlu mendapat koordinasi adalah instansi dilevel horizontal maupun vertikal.
d. Pelibatan Stakeholders Perubahan dalam sistem pendidikan harus muncul sense of ownership dari seluruh pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Oleh karenanya perlu pelibatan para stakeholders di Indonesia atas perubahan yang akan dilakukan. Proses pengambil keputusan yang memperhatikan ciri-ciri demokrasi harus diperhatikan. Namun demikian ketika keputusan oleh mayoritas telah diambil maka semua harus tunduk pada keputusan tersebut. Perlu dihindari proses yang memojokkan satu kelompok yang di kemudian hari kelompok ini menjadi oposisi untuk tidak membenarkan terjadinya perubahan.
Dalam pelibatan stakeholders, peran media massa sangat penting. Media massa harus mampu menterjemahkan kebijakan yang diambil dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami kepada masyarakat.
e. Keterbatasan anggaran Satu hal yang tidak kalah penting dalam pembenahan sistem pendidikan di Indoensia adalah anggaran. Anggaran yang dibutuhkan sangatlah besar. Oleh karenanya anggaran harus memadai demi suksesnya perubahan yang akan dilakukan. 91
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Dalam kaitan dengan anggaran hal yang perlu mendapat perhatian adalah mencegah kebocoran atau terjadinya korupsi. Korupsi mempunyai dampak yang luar biasa terhadap upayaupaya pembenahan bangsa dan negara. Korupsi telah mampu melumpuhkan reformasi dan restorasi yang dilakukan oleh berbagai komponen. Oleh karenanya, maka pemanfaatan anggaran yang cukup besar bagi pembenahan sistem pendidikan harus dapat diawasi agar tidak mudah disalahgunakan. Proses kreatif dan inovatif tersebut biasanya diawali dengan memunculkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran baru untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.65 Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda melalui :66 1. Pengembangan teknologi baru 2. Penemuan pengetahuan ilmiah baru 3. Perbaikan Produk barang dan jasa yang ada 4. Penemuan cara-cara baru untuk menghasilkan barang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih efisien. Kreativitas adalah :67 Kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru yang dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang atau dengan kata lain kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru dan berbeda. Inovasi adalah :68 Kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang serta kemampuan untuk sesuatu yang baru dan berbeda. Sesuatu yang baru dan berbeda tersebut dapat dalam bentuk hasil seperti barang dan jasa dan bias dalam bentuk proses seperti ide, metode dan cara.
Jiwa Dan Sikap Kewirausahaan Proses kreatif dan inovatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahan, yaitu :69
65
Hisrich, et. al. 2009. Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill. Inc. Ibid. 67 Ibid. 68 Ibid. 69 Ibid. 66
92
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 1) Orang-orang yang percaya diri yakni, optimis dan penuh komitmen, berinisiatif, enerjik dan pecaya diri; 2) Memiliki motif berperstasi, berorientasi hasil dan berwawasan kedepan; 3) Memiliki jiwa kepemimpinan, berani tambil beda; 4) Berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan, karena itu suatu tantangan.
Proses Kewirausahaan Kewirausahaan diawali dengan :70 1. Proses imitasi dan duplikasi 2. Proses pengembangan 3. Proses menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (inovasi) Pada tahap proses penciptaan sesuatu yang baru dan berbeda itulah yang disebut tahap kewirausahaan. Faktor pribadi yang memicu kewirausahan :71 5) Motif berprestasi 6) Komitmen 7) Nilai-nilai pribadi 8) Pendidikan dan Pengalaman Faktor lingkungan sebagai pemicu pada masa inovasi :72 9) Peluang 10) Model Peran 11) Aktivitas
Fungsi dan Peran Wirausaha Secara umum wirausaha memiliki dua peran yaitu :73 1. Sebagai Penemu ( Innovator )
70
Ibid. Adiwarman Karim, EKONOMI ISLAM suatu kegiatan EKONOMI MAKRO. Kanin Bisnis Consultan, Jakarta; 2002. 72 Ibid. 73 Ibid. 71
93
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Wirausaha menemukan dan menciptakan produk baru, teknologi, dan cara baru, ide baru, dan organisasi usaha baru. 2. Sebagai Perencana (Planner) Wirausaha berperan merancang usaha baru merencanakan strategi perusahaan baru, menanamkan ide-ide dan berbagai peluang dalam peusahaan dan menciptakan organisasi perusahaan baru.
Peluang Kewirausahaan Ide dapat menjadi peluang apabila wirausaha bersedia melakukan evaluasi terhadap peluang secara terus menerus melalui proses penciptaan sesuatu yang baru dan berbeda, mengamati pintu peluang, menganalisa proses secara mendalam dan memperhitungkan resiko yang mungkin terjadi. Untuk memperoleh peluang wirausaha harus memiliki berbagai kemampuan dan pengetahuan seperti :74 1) Kemampuan untuk menghasilkan produk atau jasa baru 2) Menghasilkan nilai tambah baru 3) Merintis usaha baru 4) Melakukan proses atau teknik baru 5) Mengembangkan organisasi baru
Pengetahuan dan keterampilan Kewirausahaan Selain bekal kemampuan, wiraushaa juga perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan. Modal pengetahuan yang harus dimiliki wirausaha meliputi :75 1. Bekal pengetahuan mengenai usaha yang akan dimasuki / dirintis dan lingkungan usaha yang ada. 2. Bekal pengetahuan tentang peran dan tanggung jawab. 3. Bekal pengetahuan tentang manajemen dan organiasi bisnis. Modal keterampilan yang harus dimiliki wirausaha meliputi :76 74
Boone and Curtz, 2007. Contemporary Business. New York: Thomson Learning Ibid. 76 Ibid. 75
94
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 1. Bekal keterampilan konseptual dalam mengatur strategi dan memperhitungkan resiko 2. Bekal keterampilan kreatif dalam menciptakan nilai tambah 3. Bekal Keterampilan dalam memimpin dan mengelola 4. Bekal keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi 5. Bekal keterampilan teknik usaha yang akan dilakukan.
Bagaimana Merintis Usaha Baru Pada umumnya ada 3 cara yang dikenal untuk memasuki suatu usaha bisnis :77 1. Merintis Usaha baru sejak dari awal 2. Membeli perusahaan yang ada 3. Kerjasama manajemen ( Franchising ) Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merintis usaha baru antara lain:78 1. Bidang usaha dan jenis usaha yang akan dirintis 2. Bentuk usaha dan bentuk kepemilikan usaha yang akan dipilih 3. Tempat atau lokasi usaha yang akan dipilih Untuk mengelola usaha tersebut harus diwali dengan :79 1. Perencanaan Usaha 2. Pengelolaan Keuangan Hasil Usaha 3. Aksi Strategis Usaha 4. Teknik Pengembangan Usaha
Kompetensi Kewirausahaan Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan individu (personality) yang langsung berpengaruh pada kinerja, kinerja bagi wirausaha merupakan tujuan yang selalu ingin dicapainya80. a. Intelectual Capital = Competency x Commitment
77
Griffin and Ebert. 2005. Business Essential. New Jersey: Prentice Hall. Ibid. 79 Ibid. 80 Hisrich, et. al. 2009. Entrepreneurship. New York: McGraw-Hill. Inc. 78
95
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Artinya meskipun seseorang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi apabila tidak disertai dengan komitmen tinggi, maka wirausaha tersebut tidak akan dapat menggunakan modal intelektualnya.81 b. Competence = Capability x Authority Artinya bahwa wirausaha yang kompeten adalah wirausaha yagn memiliki kemampuan dan wewenang sendiri dalam pengelolaan usahanya (kemandirian) wirausaha selalu bebas menentukan usahanya, tidak hanya tergantung pada orang lain.82 c. Capability = Skill x knowledge Artinya bahwa kapabilitas wirausaha sangat ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan atau kecakapan.83
Perubahan yang terjadi secara multidimensional dalam dunia pendidikan mensyaratkan kemampuan kepala sekolah yang handal untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal.84 Pengetahuan dan keterampilan yang pernah diserap kepala sekolah ketika mengikuti pendidikan dan latihan seringkali dianggap terbatas dan kurang sesuai dengan tuntutan persyaratan pekerjaannya saat ini.85 Oleh karena itu, para calon/kepala sekolah perlu selalu melakukan pembelajaran agar dapat mengikuti dinamika perkembangan IPTEKS dan dunia pendidikan, serta peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Beberapa peraturan seperti PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,86 Kepmen Nomor 162 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah87, dan PP Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan pasal 20 ayat (4)88 pada intinya menyebutkan bahwa tenaga kependidikan yang akan ditugaskan untuk bekerja mengelola satuan pendidikan dipersiapkan melalui pendidikan khusus.89 Meskipun di dalam PP tersebut tidak disebutkan tentang pendidikan khusus
81
Ibid. Ibid. 83 Ibid. 84 Kwik Kian Gie, Surat Kabar Harian Kompas, 5 Mei 2003. 85 Ibid. 86 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 87 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. 88 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 Tentang Tenaga Kependidikan. 89 Bisnis Indonesia, Edisi 21 Agustus 2008 82
96
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 kewirausahaan bagi calon/kepala sekolah, namun di sini ada komitmen kuat dari pemerintah untuk mempersiapkan, secara khusus, pendidikan dan latihan bagi pengelola satuan pendidikan.90 Pendidikan khusus yang bermuatan kewirausahaan bagi para calon/kepala sekolah diperlukan agar nantinya mereka dapat lebih kreatif dan inovatif memanfaatkan sumber daya dan aset yang dimiliki dalam mengembangkan jiwa kewirausahaan warga sekolah yang dipimpinnya.91 Kelemahan manajemen kewirausahaan lembaga pendidikan kita saat ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan pengelola sekolah maupun universitas menjalankan fungsinya manajerialnya secara profesional.92 Efek lanjutan dari kelemahan sistem manajemen kewirausahaan yang berkepanjangan adalah semakin tertinggalnya kemajuan pendidikan kewirausahaan dilihat dari sudut kemajuan di sektor ekonomi, industri dan perdagangan.93 Sentuhan kreativitas dan inovasi dalam berbagai bidang pendidikan kewirausahaan seperti kurikulum, sarana dan prasarana, pola pendidikan kepada anak didik, dan sebagainya tidak akan banyak manfaatnya tanpa kemampuan wirausaha yang memadai dari para pengelolanya. Pengembangan kewirausahaan berbasis kreativitas dan inovasi ini bertujuan untuk membekali calon/kepala sekolah dengan wawasan kewirausahaan dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mempersiapkan “sekolah mandiri” yang menjadi roh dari otonomi sekolah.94 Oleh karena itu, pemahaman komprehensif dan aplikatif tentang kompetensi kewirausahaan sangat penting diberikan bagi peserta dalam pelatihan calon/kepala sekolah. Pada akhirnya, diharapkan supaya perumusan dan implementasi kebijakan atau keputusan kepala sekolah dapat dikembangkan secara kreatif dan inovatif untuk mendukung penanaman jiwa kewirausahaan bagi semua warga sekolah.
Kewirausahaan : Kreativitas dan Inovasi Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau kesen-jangan ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, termasuk 90
Ibid. Semiawan, Conny. 1997. Perspektif pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta. 92 Ibid. 93 Ibid. 94 Ibid. 91
97
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang kemudian memicu terjadinya kesenjangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, yang pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang berdampak negatif. Pada pertengahan tahun 1997 dan 1998 terjadi krisis moneter yang merupakan pukulan yang sangat berat bagi pembangunan Indonesia. Bagi kebanyakan orang, dampak dari krisis yang terparah dan langsung dirasakan, diakibatkan oleh inflasi. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari 6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Pada tahun 1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18% menjadi 24% dari jumlah penduduk. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu dapat menjadikan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang semakin menurun dalam pembagian pendapatan (ketimpangan relatif). Akan tetapi hal itu tentu tidak akan mengherankan bagi ahli-ahli ekonomi pembangunan yang dimulai dari Adam Smith, Ricardo, Marx, sampai pada Kuznets, telah mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang tidak merata. Seperti telah dikatakan secara ironis oleh Arthur Lewis, “kalau ada yang mengherankan, ialah keheranan tersebut (bahwa proses per-tumbuhan ekonomi merupakan suatu proses yang tidak merata ).”(Thee Kian Wie, 1981 : 21 ).95 Kreativitas merupakan salah satu aset organisasi yang terbesar di tempat kerja, misi setiap kegiatan dan pusat keberhasilan organisasi (Kilby, 2001). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kreativitas merupakan esensi dan orientasi pengembangan sumber daya manusia (Dharma dan Akib, 2004b). Kreativitas dapat mencirikan perkembangan dan keunggulan daya saing organisasi (Ford dan Gioia, 2000). Kreativitas merupakan ramuan dalam pelayanan publik, pengembangan produk dan strategi serta berbagai proses dan perilaku yang lebih baik, unik, baru, asli, berbeda atau bermanfaat. Kreativitas mendasari semua praktik organisasi tanpa memandang rutinitasnya (DeGraff, 2003).
95
Thee Kian Wie. 1983. Pembangunan Ekonomi Dan Pemerataan. Jakarta: LP3ES, h. 1-3.
98
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kreativitas terlihat melalui gagasan, produk, pelayanan, usaha, mode atau model baru yang dihasilkan dan perilaku yang diperankan oleh individu, kelompok dan organisasi. Tujuan akhir pengembangan kreativitas dalam organisasi ialah menciptakan berbagai bentuk nilai (manfaat), termasuk pertumbuhan, produktivitas, efektivitas, efisiensi dan inovasi. Sejumlah pakar sepakat bahwa kreativitas merupakan salah satu dimensi pengukuran kinerja organisasi selain efisiensi, efektivitas dan kepuasan kerja (Kasim, 1998; Scott dalam Eoh, 2001; French et al, 2000). Kreativitas bersifat alamiah, dapat dikembangkan dan berlangsung seumur hidup (Kilby, 2001; Akib, 2005). Pada mulanya, kreativitas hanya dipahami sebagai proses berpikir dengan menggunakan teknik berpikir kreatif (Ivanyi dan Hoffer, 1999). Kreativitas diartikan sebagai proses menggunakan imajinasi dan keahlian untuk melahirkan gagasan baru, asli, unik, berbeda atau bermanfaat (Couger, 1996; Linberg, 1998; Oldham dan Cummings, 1996). Saat ini, kreativitas juga dipahami sebagai kemampuan melahirkan, mengubah dan mengembangkan gagasan, proses, produk, mode, model dan pelayanan serta perilaku tertentu. Dalam definisi kreativitas terkandung ciri keaslian (baru, tidak lazim, tidak terduga) dan potensi utilitas (berguna, baik, adaptif, sesuai) gagasan, produk, mode atau model dan proses yang dihasilkan serta perilaku yang diperankan oleh aktornya. Ciri kreativitas dideskripsikan dalam pendekatan atau model 4-P Kreativitas, yakni Produk, Proses, Person (perilaku individu dan kelompok) dan Pers (lingkungan) kreatif (Bostrom dan Nagasundaram, 1998; Barlow, 2000; Henry, 1991).96 Selain itu, fokus tulisan ini diarahkan pada person atau perilaku individu dan kelompok kreatif dalam menciptakan produk, proses dan pers atau lingkungan kreatif. State of the science kreativitas (Anderson et al, 2003) termasuk ke dalam bidang studi manajemen sumber daya manusia (Dharma dan Akib, 2004b; Timpe, 2000) dan perilaku organisasi (Szilagyi Jr dan Wallace Jr, 1990; Robbins, et.al. 1994) yang dikaji pada tingkat individu, kelompok dan organisasi. Perspektif tersebut diakui oleh Boon (1997) bahwa fenomena kreativitas dan proses kreatif merupakan objek kajian yang sangat luas,97 namun sedikit sekali hasil penelitian ilmiah
96 97
Henry, Jane (ed.). 1991. Creative Mangement, Sage Publications London, p. 50-56 Ibid.
99
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 dalam areal transfer konsep kreativitas ke dalam perilaku organisasi,98 sementara kreativitas dan proses kreatif sangat krusial bagi pengembangan individu, tim, organisasi dan masyarakat.99 Dalam konteks persekolahan, seorang (calon) kepala sekolah tidak cukup hanya memiliki kreativitas yang tinggi, melainkan juga harus memiliki kemampuan dan kemauan untuk melaksanakannya.100 Untuk melaksanakan ide-ide baru tersebut diperlukan kemampuan inovatif yang merupakan konsep pembaharuan baik sistem, prosedur dan cara maupun aturan untuk menghasilkan produk, proses, perilaku dan lingkungan kreatif yang optimal.101 Seorang kepala sekolah yang inovatif harus mampu melahirkan cara baru untuk “menerapkan” ide kreatifnya sehingga berdaya guna dan berhasil guna bagi lembaganya.102 Dalam implementasi praktis kreativitas dapat dilakukan mulai dari lingkungan (kecil) di dalam kelas sampai pada manajemen sekolah yang lebih kompleks. Berdasarkan pemahaman konsep kreativitas tersebut inovasi dipahami sebagai proses penerapan kreativitas secara faktual ke dalam kehidupan sehari-hari.103 Inovasi merupakan proses pengenalan cara baru dan lebih baik dalam mengerjakan berbagai hal dalam lembaga pendidikan (sekolah).104 Dengan definisi yang lebih kompleks, inovasi merupakan pengenalan dan penerapan ide,105 proses,106 produk atau prosedur baru secara sengaja dalam suatu pekerjaan,107 tim kerja atau organisasi pendidikan dengan tujuan mendapatkan hasil yang lebih baik dan menguntungkan bagi tim kerja atau lembaga tersebut.108 Ada hubungan erat antara konsep kreativitas dan inovasi yang keduanya sangat diperlukan dalam mengembangkan sekolah. Kreativitas tanpa inovasi bagaikan pisau tajam yang tidak pernah dipakai, sedangkan inovasi tanpa dilandasi kreativitasi tidak menghasilkan sesuatu yang baru bagi organisasi sekolah. Kreativitas umumnya akan terlihat pada proses kognitif 98
Ibid. Ibid. 100 Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta. 101 Ibid. 102 Ibid. 103 Henry, Jane (ed.). 1991. Creative Mangement, Sage Publications London, p. 60-63. 104 Ibid. 105 Kilby, Jan. Creativity is one of the greatest assets in the workplace http://www.bizjournals.com/css, From the July 13, 2001, diakses 19 Maret 2003. 106 Ibid. 107 Ibid. 108 Ibid. 99
100
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 seseorang, di mana pikiran dan ide-ide kreatifnya terlihat dalam proses, perilaku, produk dan lingkungan pembelajaran. Misalnya, strategi pembelajaran kreatif dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungannya (contextual learning)109 atau penataan ruangan kelas yang memungkinkan peserta didik mendapatkan akses yang sama dengan guru atau sumber belajar lainnya atau pola administrasi kelas dengan pola komputerisasi. Pada tataran implementasi, inovasi terbatas pada usaha sengaja (sadar) untuk memperoleh keuntungan atau hasil yang lebih baik dengan melakukan perubahan,110 di mana perubahan tersebut meliputi aspek ekonomis,111 pengembangan pribadi,112 kepuasan kerja,113 kohesi kelompok dan komunikasi organisasional (lembaga sekolah) yang lebih baik,114 maupun produktivitas,115 efisiensi,116 efektivitas dan profitabilitas kelembagaan.117 Inovasi tidak selalu berwujud perubahan radikal lembaga pendidikan namun dapat berupa perubahan kecil dan sederhana yang melibatkan berbagai komponen sekolah.118 Inovasi tidak harus didominasi perubahan dengan teknologi tinggi, namun sentuhan teknologi hanyalah merupakan salah satu faktor inovasi dalam mengelola sekolah.119 Contoh, dikenalkannya layanan pendidikan yang lebih menekankan pada faktor potensi/kemampuan anak dengan melakukan pembelajaran semiindividual (tidak selalu klasikal).120 Ilustrasi lain yang lebih canggih dapat dilakukan melalui pengenalan layanan pendukung komputer baru di sekolah. Inovasi bisa juga ditemukan dalam perubahan administratif sekolah dengan menerapkan model database baik untuk guru dan siswa maupun tenaga pendukung sekolah lainnya (tenaga administrasi). Inovasi dapat dikembangkan dalam upaya menerapkan strategi baru peningkatan sumber daya manusia, kebijakan sekolah atau pengenalan kerja tim guru pada bidang-bidang yang spesifik. 109
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta. 111 Ibid. 112 Ibid. 113 Ibid. 114 Ibid. 115 Ibid. 116 Depdiknas, 2002. 117 Ibid. 118 Dharma, Surya dan Haedar Akib. Kreativitas sebagai Esensi dan Orientasi Pengembangan SDM, Manajemen USAHAWAN Indonesia, Akreditasi Dikti No. 134/DIKTI/KEP 2001, No. 06/TH. XXXIII Juni 2004b, h. 29-36. 119 Ibid. 120 Ibid. 110
101
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Dalam bahasa yang lebih eksplisit inovasi tidak selalu mengisyaratkan atau mengharuskan pembaharuan absolut. Perubahan dapat dipandang sebagai suatu inovasi apabila perubahan tersebut baru bagi seseorang, kelompok atau organisasi kelembagaan yang memperkenalkannya. Kerja tim atau manajemen partisipatif yang diperkenalkan dalam suatu lembaga pendidikan juga dianggap sebagai suatu inovasi jika baru dalam lembaga tersebut, terlepas dari apakah model kerja tim tersebut pernah disosialisasikan pada lembaga lain. Dengan demikian, proses inovasi tidak selalu menuntut hal-hal yang canggih. Persepsi demikian kadangkadang justru menghambat proses inovasi, karena selalu takut melangkah untuk berinovasi. Dalam proses implementasi kreativitas di sekolah, inovasi bisa bervariasi dari inovasi yang relatif ‘ringan’ hingga inovasi yang dapat merombak sistem kelembagaan sekolah yang dianggap sangat penting. Inovasi tidak harus setara dengan proses penemuan modul pembelajaran Quantum Learning121 misalnya. Inovasi adalah segala usaha yang menghasilkan produk, proses, prosedur yang lebih baik, atau cara baru dan lebih baik dalam mengerjakan berbagai hal, yang diperkenalkan oleh individu, kelompok atau institusi sekolah. Beberapa inovasi bisa diperkenalkan dalam waktu yang singkat (misalnya, memutuskan untuk menerapkan model Classroom Management122 yang baru dengan mengubah posisi duduk siswa dan guru), sementara bentuk inovasi lainnya mungkin memerlukan waktu yang cukup lama, sebagaimana diterapkan dalam pendidikan dewasa ini dengan istilah Community Based Education.123
Penerapan Ilmu Kewirausahaan Ilmu kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan
(ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk
memperoleh peluang dan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya. Dalam konteks bisnis, menurut Thomas W. Zimmer ( 1996 ), kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan kreativitas dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan dan peluang dipasar. Dahulu, kewirausahaan dianggap hanya dapat dilakukan melalui pengalaman langsung di lapangan dan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir, sehingga kewirausahaan tidak dapat dipelajari dan diajarkan sekarang, kewirausahaan bukan hanya urusan lapangan, tetapi 121
Depdiknas, 2002. Ibid. 123 Ibid. 122
102
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 merupakan disiplin ilmu yang dapat dipeljari dan diajarkan. Artinya kewirausahaan tidak hanya bakat bawaan sejak lahir atau urusan pengalaman lapangan tetapi juga dapat dipelajari dan diajarkan. Seorang yang memiliki bakat kewirausahaan dapat mengembangkan bakat melalui pendidikan.
Objek Studi Kewirausahaan Objek studi kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Menurut Soeparman Soemahamidjaya124, kemampuan seseorang yang menjadi objek kewirausahaan meliputi : 1. Kemampuan Merumuskan Tujuan Hidup / Usaha Dalam merumuskan tujuan hidup / usaha tersebut perlu perenungan koreksi, yang kemudian berulang-ulang dibaca dan diamati sampai memahami apa yang menjadi kemauannya. 2. Kemampuan Memotivasi diri Untuk melahrikan suatu tekad yang menyala-nyala perlu dilakukan bagi seorang wirausaha. 3. Kemampuan untuk Berinisiatif Mengerjakan sesuatu yang baik tanpa menunggu perintah, yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan berinisiatif. 4. Kemampuan berinovasi Inovasi melahirkan kreativitas (daya cipta) setelah dibiasakan berulang-ulang akan melahirkan motivasi. Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri untuk selalu mencari berbagai kemungkinan baru atau komvinasi baru apa saja yang dapat dijadikan peran dalam menyajikan barang dan jasa bagi kemakmuran masyarakat. 5. Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal 6. Kemampuan untuk mengatur waktu dan membaisakan diri selalu tepat waktu dalam segala tindakan melalui kebiasaan selalu menunda pekerjaan. 7. Kemampuan mental yang dilandasi dengan agama
124
Soeparman Soemahamidjaya, 1997, hal. 14 – 15
103
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 8. Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dan pengalaman baik maupun menyakitkan
Hakekat Kewirausahaan Pada dasarnya kewirausahaan merujuk pada sifat, watak dan ciri-ciri yang melekat pada individu yang memiliki kemauan keras untuk mewujudkan dan mengembangkan gagasan kreatif dan inovatif yang dimiliki ke dalam kegiatan yang bernilai.125 Jiwa dan sikap kewirausahaan tidak hanya dimiliki oleh usahawan,126 melainkan juga pada setiap orang yang berpikir kreatif dan bertindak inovatif.127 Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari dan memanfaatkan peluang menuju sukses.128 Inti kewirausahaan menurut Drucker (1959) yang dikutip oleh Alma (2006),129 adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang. Jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaan memiliki lima ciri yakni:130 1) Penuh percaya diri, dengan indikator penuh keyakinan, optimis, disiplin, berkomitmen dan bertanggung jawab; 2) Memiliki inisiatif, dengan indikator penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif; 3) Memiliki motif berprestasi dengan indikator berorientasi pada hasil dan berwawasan ke depan; 4) Memiliki jiwa kepemimpinan dengan indikator berani tampil beda, dapat dipercaya dan tangguh dalam bertindak; 5) Berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan. Aksioma yang mendasari proses kewirausahaan adalah adanya tantangan dalam berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menghasilkan nilai tambah dari apa yang diusahakan. Ide kreatif dan inovatif wirausaha tidak sedikit yang diawali dengan proses imitasi dan duplikasi, kemudian berkembang menjadi proses pengembangan dan berujung pada proses penciptaan sesuatu yang 125
Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 15-18. Ibid. 127 Ibid. 128 Ibid. 129 Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung, h. 22-35. 130 Ibid. 126
104
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 baru, berbeda dan bermakna.131 Tahap penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan bermakna inilah yang disebut tahap kewirausahaan.132 Berikut ini dapat digambarkan dalam tabel tentang ciri-ciri dan watak kewirausahaan seperti dibawah ini :133
Ciri – ciri (1) Percaya Diri (2) Berorientasi Pada Tugas Dan Hasil (3) Pengambilan Resiko Dan Suka Tantangan (4) Kepemimpinan (5) Keorisinilan
Watak Keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas, optimis Kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi laba, ketekunan dan ketabahan, tekad dan kerja keras mempunyai dorongan kuat, enerjik dan inisiatif Kemampuan untuk mengambil resiko yang wajar
Perilaku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain, menanggapi saran-saran dan kritik Inovatif, kreatif, dan fleksibel
(6) Berorientasi kemasa Belajar dari pengalaman masa lalu dan selalu memiliki depan pandangan untuk kemajuan dan pencapaian tujuan. Wirausaha adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya sistem kegiatan suatu lembaga yang bebas dari keterikatan lembaga lain.134 Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan dinamika kegiatan di sekolah akan datang dari kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha. Kepala sekolah tersebut adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil risiko dan mempercepat pertumbuhan dan dinamika kegiatan di lembaganya. Sampai pada tataran tertentu keberhasilan seorang wirausaha tergantung pada kesediaan untuk bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri.
131
Ivanyi, Attila Szilard and Ilona Hoffer. 1999. The Role of Creativity in Innovation, Society and Economy Vol. XXI No. 4, http://www.lib.bke.hu/gt/1999-4e/994-06.html, diakses 7 Mei 2003. 132 Ibid. 133 Ibid. 134
Ivanyi, Attila Szilard and Ilona Hoffer. 1999. The Role of Creativity in Innovation, Society and Economy Vol. XXI No. 4, http://www.lib.bke.hu/gt/1999-4e/994-06.html, diakses 7 Mei 2003.
105
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Seorang wirausaha ikhlas belajar banyak tentang diri sendiri jika bermaksud mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang diinginkan dalam kehidupannya.135 Kekuatan seorang wirausaha datang dari dirinya sendiri dan bukan dari tindakan orang lain.136 Meskipun risiko kegagalan selalu mengintip, wirausaha mengambil risiko dengan jalan menerima tanggung jawab atas tindakannya. Kegagalan diterima sebagai pengalaman yang terbaik dalam belajar. Beberapa wirausaha dapat mencapai tujuan yang diinginkan setelah mengalami rintangan dan kegagalan. Belajar dari pengalaman akan membantu wirausaha menyalurkan kegiatan untuk mencapai hasil yang lebih produktif dan positif, sehingga keberhasilan merupakan buah dari usaha yang tidak mengenal lelah. Wirausaha adalah orang yang mempunyai tenaga dan keinginan untuk terlibat dalam petualangan inovatif.137 Wirausaha juga memiliki kemauan menerima tanggung jawab pribadi dalam mewujudkan keinginan yang dipilih.138 Menurut McClelland, terdapat sembilan ciri wirausahawan, yaitu:139 1) Keinginan untuk berprestasi 2) Bertanggung jawab 3) Preferensi kepada risiko menengah 4) Persepsi pada kemungkinan berhasil 5) Rangsangan oleh umpan balik 6) Enerjik dalam beraktivitas 7) Berorientasi ke masa depan 8) Terampil dalam pengorganisasian 9) Sikap positif terhadap uang.140 Seorang wirausaha memiliki daya inovasi yang tinggi, di mana dalam proses inovasinya menunjukkan cara-cara baru yang berbeda, lebih baik dan bermanfaat dalam mengerjakan
135
Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational Behaviour, Prentice-Hall of Australia Pty Ltd, Sydney, h. 22, 50 dan 704. 136 Ibid. 137 Ibid. 138 Ibid. 139 Ibid. 140 Depdiknas, 2002
106
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 pekerjaan.141 Dalam kaitannya dengan tugas kepala sekolah, kebanyakan di antaranya tidak menyadari keragaman dan keluasan bidang yang menentukan tindakannya untuk memajukan sekolah. Mencapai kesempurnaan dalam melakukan rencana merupakan sesuatu yang ideal dalam mengejar tujuan,142 tetapi bukan merupakan sasaran yang realistik bagi kebanyakan kepala sekolah yang berjiwa wirausaha. Bagi kepala sekolah yang realistik, hasil yang dapat diterima lebih penting daripada hasil yang sempurna. Setiap orang termasuk kepala sekolah yang kreatif dan inovatif adalah individu yang unik dan spesifik. Pada umumnya, setiap orang termasuk kepala sekolah memiliki pengalaman masa lampau yang bervariasi. Pengalaman dan pengetahuan masa lampau kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha biasanya unik dan kadang-kadang tidak dimiliki orang lain. Namun, kebanyakan kepala sekolah yang berjiwa wirausaha juga memiliki kemauan untuk meniru dan mengkiblat pada keberhasilan kepala sekolah lain yang lebih berhasil mengelola sekolah. Model meniru dan mengikuti peran kepala sekolah lain yang berhasil mengembangkan sekolah dengan prinsip kewirausahaan menghasilkan sosok wirausaha yang memiliki keterampilan mengelola sekolah. Kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha pada umumnya mempunyai tujuan dan pengharapan tertentu yang dijabarkan ke dalam visi, misi, tujuan dan rencana strategis yang realistik. Realistik berarti tujuannya disesuaikan dengan sumber daya pendukung yang dimiliki. Semakin jelas tujuan yang ditetapkan semakin besar peluang untuk dapat meraihnya. Dengan demikian, kepala sekolah yang berjiwa wirausaha harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur dalam mengembangkan sekolah. Untuk mengetahui apakah tujuan tersebut dapat dicapai maka visi, misi, tujuan dan sasarannya dikembangkan ke dalam indikator yang lebih terinci dan terukur untuk masing-masing aspek atau dimensi. Dari indikator tersebut juga dapat dikembangkan menjadi program dan subprogram yang lebih memudahkan implementasinya dalam pengembangan sekolah.
141
Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational Behaviour, Prentice-Hall of Australia Pty Ltd, Sydney, h. 22, 50 dan 704. 142
Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational Behaviour, Prentice-Hall of Australia Pty Ltd, Sydney, h. 22, 50 dan 704.
107
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Dalam pencapaian keberhasilannya, seorang wira usaha memiliki ciiri-ciri tertentu pula. dalam’’entrepreneurship and small enterprise development report’’[1986] yang dikutip oleh M.Scarborough dan Thomas W.zimmerer[1993:5] dikemukakan beberapa karakteristik kewira usahaan yang berhasil,di antara nya memiliki ciri-ciri: 1) Proaktif, yaitu berinisiatif dan tegas (proactive) 2) Beriorentasi pada prestasi (achievement oriented) Yang tercermin dalam pandangan dan tindakan [sees and acts] terhadap peluang, orientasi efisiensi, mengutamakan kualitas pekerjaan, berencana dan mengutamakan monitoring. 3) Komitmen kepada orang lain, misalnya dalam mengadakan kontrak dan hubungan bisnis (commitment).
Nilai-nilai Kewirausahaan Milton Rockoach (1973: 4) membedakan konsep nilai menjadikan dua yaitu nilai sebagai: 1. Sesuatu yang dimiliki oleh manusia ( person has a value ) 2. Sesuatu yang berkaitan dengan objek ( an object has value ) Pandangan pertama manusia memiliki nilai yaitu sesuatu yang dijadikan ukuran baku bagi prinsipnya terhadap dunia luar.
Menurut Sidharta Poespadibrata (1993 : 91) untuk
seseorang merupakan perilaku yang melekat pada kewirausahaan dan menjadi ciri-ciri kewirausahaan dapat dipandang sebagai system nilai kewirausahaan. Nilai-nilai kewirausahaan diatas identik dengan system nilai yang melekat pada system nilai manajer. Sejuti Yahya ( 1977 ) membagi nilai-nilai kewirausahaan kedalam dua dimensi nilai yang berpasangan yaitu : 1. Sistem nilai kewirausahaan yang berorientasi materi dan berorientasi non materi 2. Nilai-nilai yang berorientasi pada kemajuan dan nilai-nilai kebiasaan. Ada empat nilai dengan orientasi dan cirri masing-masing dan dapat dijelaskan sebagai berikut : Wirausaha yang berorientasi kemajuan untuk memperoleh materi Ciri-cirinya : a) Pengambil resiko b) Terbuka terhadap teknologi 108
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 c) Mengutamakan materi 1. Kewirausahaan yang berorientasi kemajuan tetapi bukan untuk mengejar materi Ciri-cirinya : a) Hanya ingin mewujudkan rasa tanggung jawab b) Pelayanan c) Sikap positif d) Kreativitas 2. Wirausaha yang berorientasi materi Berpatokan pada kebiasaan yang sudah ada, misalnya dalam perhitungan usaha kira-kira sering menghadap kerarah tertentu (fengshui maupun hongshui) supaya berhasil 3. Wirausaha yang berorientasi non materi Ciri-cirinya : a) Bekerja berdasarkan kebiasaan b) Tergantung pada pengalaman c) Berhitung dengan menggunakan mistik d) Taat pada tata cara leluhur
Penerapan masing-masing nilai sangat tergantung pada focus dan tujuan masing-masing wirausaha. Dari beberapa ciri kewirausahaan diatas ada nilai hakiki penting dari kewirausahaan yaitu : 1. Percaya diri Kepercayaan diri adalah sikap dalam keyakinan seseroang dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Kepercayaan diri dari berpengaruh pada gagasa, karsa, inisiatif, kreativitas, keberanian, ketekunan, semangat kerja keras, dan kegairahan berkarya. 2. Beroritentasi tugas dan hasil Seorang yang sellau mengutamakan tugas dan hasil adalah orang yang selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan ketabahan, tekad dan kerja keras, enerjik dan berinisiatif. 3. Keberanian mengambil resiko 109
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kemauan dan kemampuan untuk mengambil resiko merupakan salah satu nilai utama dalam kewirausahaan. Wirausaha yang tidak mau mengambil resiko akan sukar memulai atau berinisiatif. Keberanian menanggung resiko tergantung pada : 1. Daya tarik setiap alternatif 2. Kesediaan untuk rugi 3. Kemungkinan relative untuk sukses atau gagal Untuk bisa memilih sangat tergantung atau ditentukan oleh kemampuan wirausaha untuk mengambil resiko. Selanjutnya kemampuan untuk mengambil resiko ditentukan oleh : 1. Keyakinan pada diri sendiri 2. Kesediaan
untuk
menggunakan
kemampuan
dalam
mencari
peluang
dan
kemungkinan untuk memperoleh keuntungan 3. Kemampuan untuk nilai situasi resiko secara realistis
Diatas ditemukan bahwa pengambilan resiko berkaitan dengan kepercayaan diri sendiri, artinya semakin besar keyakinan seseorang pada kemampuan diri sendiri, maka semakin besar keyakinan orang tersebut akan keanggupan untuk mempengaruhi hasil dan keptuusan, dan semakin besar pula kesediaan seseorang untuk mencoba apa yang menurut orang lain sebagai resiko (Meredith 1996: 39). Jadi pengaruh seorang wirausaha dalam pengambilan resiko berkaitan erat dengan adanya tantangan dan peluang bisnis. Oleh sebab itu, maka seringkali pengambil resiko ditemukan pada orang-orang inovatif dan kreatif yang merupakan bagian yang terpenting dari perilaku kewirausahaan. 4. Kepemimpinan Seseorang wirausaha yang berhail selalu memiliki sifat kepemimpinan, kepelaporan, keteladangan, selalu ingin tambil berbeda lebih dulu, lebih menonjol. Dengan menggunakan kemampuan kreativitas dan inovasi ial selalu menampilkan barang dan jasa yang dihasilkannya dengna lebih cepat lebih dulu dan segera berada dipasar. 5. Berorientasi ke masa depan Berorientasi kemasa depan adalah selalu mencari peluang tidak cepat puas dengan keberhasilan dan berpandangan jauh kemasa depan. Pandangan yang jauh kemasa depan, 110
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 membuat wirausaha tidak cepat puas dengan karsa dan karya yang sudah ada sekarang. Oleh karena itu, selalu mempersiapkannya dengan mencari suatu peluang. 6. Keorsinilan Kreativitas dan inovasi Nilai inovasi kreatif dan fleksibel merupakan unsur-unsur keorsinilan seseorang. Wirausaha yang inovatif adlah orang yang kreatif dan yakin dengna adanya cara-cara baru yang lebih baik (Yuyun Wirasasmita, 1994: 7) ciri-cirinya adalah : a. Tidak pernah puas dengan cara-cara yang dilakukan saat ini meskipun cara tersebut cukup baik b. Selalu menuangkan imajinasi dalam pekerjaannya c. Selalu ingin tambil berbeda atau selalu memanfaatkan perbedaan
Fungsi Kreativitas, Inovatif & Jiwa Kewirausahaan dalam Organisasi Kreativitas, inovasi dan jiwa kewirausahaan sangat penting dimiliki karena merupakan kemampuan yang sangat berguna dalam proses kehidupan manusia. Makna dan posisi kreativitas dan inovasi dinyatakan oleh Treffinger (1986) bahwa tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kreativitas. Sementara itu, Timpe (2000: 59) menjelaskan bahwa setiap individu kreatif dengan cara-cara dan derajat yang berbeda. Dengan demikian, setiap orang memiliki dasar kreativitas dan inovasi pada dirinya. Masalahnya adalah bagaimana cara potensi kreativitas dan inovasi tersebut dikembangkan dan diimplementasikan dalam kegiatan riil sesuai dengan wawasan kewirausahaan dalam organisasi, khususnya di sekolah. Suatu karya kreatif dan inovatif sebagai hasil kreasi kepala sekolah dapat mendorong potensi kerja dan kepuasan pribadi yang tak terhingga besarnya. Dengan terobosan kreatif kepala sekolah dapat mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki untuk mengubah tantangan menjadi peluang dan untuk memajukan sekolah. Hal ini menunjukkan terjadinya perwujudan diri sepenuhnya yang merupakan salah satu esensi dalam kehidupan manusia (Munandar, 1992). Menurut Maslow (1968),143 dalam perwujudan diri manusia kreativitas dan inovasi merupakan manifestasi dari individu yang memiliki fungsi penuh. Di sini terlihat bahwa potensi kreativitas
143
Depdiknas, 2002
111
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 dan inovasi penting untuk mengembangkan prestasi kerja, termasuk prestasi kerja kepala sekolah bersama warga sekolah. Pada masa sekarang di mana otonomi daerah tengah digalakkan, konsekuensi logis pergeseran kebijakan tersebut adalah perlunya dipersiapkan tenaga handal dalam mengelola sistem pemerintahan, termasuk sistem ketenagaan di sektor pendidikan. Disadari bahwa pola rekruitmen tenaga kependidikan di daerah masih sangat lemah dan satu di antaranya adalah kompetensi kepala sekolah. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan fungsi kreativitas, inovasi dan kewirausahaan dalam organisasi pendidikan (calon) kepala sekolah menjadi salah satu kajian pokok dalam peningkatan aspek tersebut. Kewirausahaan berbasis kreativitas dan inovasi juga penting dipahami oleh para guru dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan pengajar yang membimbing dan mengantar anak didik ke arah pertumbuhan dan perkembangan prestasinya secara optimal. Di sisi lain, kepala sekolah karena kelemahan rekuritmen kadang-kadang tidak memiliki kemampuan tersebut. Padahal, kedudukan kepala sekolah menjadi sangat sentral dan penting dalam mengoptimalkan fungsi kreativitas, inovasi dan wawasan kewirausahaan di lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Selain makna kreativitas, inovatif dan wawasan kewirausahaan perlu pula dipelajari kepentingannya dalam kehidupan di masyarakat dan di tempat kerja. Kreativitas yang merupakan pangkal dari langkah inovatif mempunyai nilai penting dalam kehidupan individu dan organisasi. Semiawan (1997)144 menguraikan konsep Treffinger (1986) bahwa ada empat alasan penting mengapa seseorang (termasuk kepala sekolah) perlu belajar menjadi lebih kreatif, yaitu: 1) belajar kreatif membantu seseorang (kepala sekolah) menjadi lebih berhasil guna dalam melakukan pekerjaan; 2) belajar kreatif menciptakan kemungkinan untuk memecahkan masalah yang tidak mampu diramalkan yang timbul di masa kini dan di masa depan; 3) belajar kreatif menimbulkan akibat yang besar dalam kehidupan seseorang, dapat mempengaruhi, bahkan dapat mengubah karir pribadi serta menunjang kesehatan jiwa dan badan seseorang; 4) belajar kreatif dapat menimbulkan kepuasan dan kesenangan yang besar. Secara lebih luas, belajar kreatif dapat menimbulkan ide, cara dan hasil yang baru, unik dan bermanfaat.
144
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta, h. 16-19.
112
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Dalam kaitannya dengan perwujudan fungsi kreativitas, inovasi dan wawasan kewirausahaan perlu ada komitmen yang tinggi dari para kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan proses pembelajaran di sekolah.145 Bagi guru sebagai salah satu pilar pelaksanaan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS),146 perlu memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif agar siswa terangsang untuk lebih ingin mengetahui materi pelajaran, senang bertanya dan berani mengajukan pendapat serta melakukan percobaan yang menuntut pengalaman baru.147 Hal ini penting dipahami dan dipraktekkan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar dengan harapan agar siswa mendapat kesempatan mengukir prestasi. Selanjutnya, yang lebih penting adalah peran kepala sekolah, yang juga merupakan salah satu pilar dari tiga pilar pelaksanaan MPMBS agar memiliki kepedulian yang lebih tinggi dari sisi manajemen sekolah.
Strategi Memperkenalkan Inovasi Banyak cara yang dapat dipilih dalam mensosialisasikan konsep kreativitas dan inovasi, dari cara yang radikal sampai pada cara halus dan tersamar. Pada prinsipnya, apapun strategi yang diterapkan memiliki tujuan yang sama agar perubahan dan pembaruan terjadi dalam organisasi. West (2000) mengemukakan empat strategi memperkenalkan inovasi, yakni strategi pengaruh minoritas, strategi partisapatif, strategi eklektik dan strategi pemaksaan kekuasaan (Depdiknas, 2002). Tiga strategi yang erat kaitannya dengan pengembangan kreativitas dan inovasi dalam konteks pendidikan diuraikan berikut ini. Strategi partisipatif peserta didik, ini cocok dikembangkan apabila kebutuhan akan inovasi dirasakan oleh personil kelembagaan dan tersedia cukup waktu dan sumber daya untuk menggalakkan partisipasi khususnya bagi kelompok yang dianggap tidak terlibat langsung dalam proses inovasi. Sebagai ilustrasi pada konteks persekolahan, strategi partisipasi melibatkan tiga unsur, yakni 1) kepala sekolah, guru dan warga sekolah, 2) mensosialisasikan informasi kepada mereka, dan 3) melibatkan kepala sekolah, guru dan warga sekolah termasuk komite sekolah, orang tua siswa, pengusaha, penguasa dan masyarakat selaku pemangku kepentingan dalam 145
Ibid. Ibid. 147 Ibid. 146
113
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 pembuatan keputusan. Strategi partisipasi dapat diterapkan apabila basis untuk tim sudah ada di sekolah tersebut. Strategi Ekletik, menurut Daft (1992) merupakan gabungan dari beberapa metode dalam mengimplementasikan inovasi. Pendekatan ini melibatkan tujuh teknik mengubah implementasi, yakni 1) diagnosis kebutuhan akan perubahan; 2) memenuhi ide-ide yang sesuai kebutuhan; 3) mendapatkan dukungan manajemen puncak; 4) merancang perubahan untuk implementasi bertahap; 5) mengembangkan rencana untuk mengatasi resistansi terhadap perubahan; 6) membentuk tim perubahan; dan 7) merangkul dan membina personil yang kaya ide. Strategi Pemaksaan Kekuasaan, ini lazim digunakan untuk perubahan paradigma yang radikal dan tidak mungkin dilakukan dengan cara lain. Pemaksaan kekuasaan dilakukan jika kelompok organisasi memiliki kemampuan berpikir yang timpang antara kelompok pimpinan dengan kelompok yang dikenai inovasi. Di samping itu, pemaksaan kekuasaan diterapkan apabila tidak ada waktu yang cukup untuk menjalankan konsultasi, komunikasi atau partisipasi dalam menerapkan inovasi. Perlu diingat bahwa strategi pemaksaan hanya efektif digunakan oleh aktor yang memiliki kekuasaan dan pengaruh cukup besar dalam organisasi untuk mendesak implementasi inovasi. Konsekuensi penggunaan strategi pemaksaan kekuasaan adalah adanya kecenderungan memunculkan sikap permusuhan yang cukup besar di antara anggota organisasi. Pemaksaan kekuasaan merupakan satu-satunya cara untuk mewujudkan perubahan yang tidak popular. Contoh, perampingan kelembagaan akan sangat mungkin menimbulkan resistansi besarbesaran, bahkan proses konsultasi, komunikasi dan partisipasi tidak akan efektif. Program perubahan kultur juga seringkali menuntut pemaksaan kekuasaan untuk mengatasi resistansi terhadap perubahan dalam diri orang yang sudah begitu lama menggeluti “kultur lama.” Misalnya, kepala sekolah sering menentang pengenalan participative management atau participative leadership karena melihat bahwa kewenangan, kekuasaan dan kontrol manajemennya akan dipangkas.
“Good Practice” Semangat Kewirausahaan Sekolah Berdasarkan trend selama ini dapat dikatakan bahwa di masa datang banyak sekolah swasta yang maju dan kualitasnya lebih baik dibanding sekolah negeri, bahkan di kota-kota besar fenomena tersebut sudah mulai terlihat. Sekolah negeri yang selama ini terlalu mengandalkan 114
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 subsidi pemerintah lambat laun akan mulai ketinggalan apabila cara berpikirnya tidak segera diubah. Pada saat itu, jika sekolah negeri ingin maju harus dikelola secara profesional dan tidak hanya bergantung pada arahan kebijakan dan alokasi dana pemerintah melainkan juga harus mampu “mandiri” seperti sekolah swasta. Kepala sekolah harus memahami prinsip kewirausahaan untuk diaplikasikan dalam mengelola sekolah. Kepala sekolah yang berjiwa wirausaha adalah orang yang memiliki sikap dan perilaku kreatif dan inovatif dalam memimpin dan mengelola organisasi sekolah dengan cara mencari dan menerapkan cara kerja dan teknologi baru yang bermanfaat bagi terwujudnya prinsip “good school governance” (pengelolaan sekolah yang baik). Adapun contoh bentuk kewirausahaan sekolah ada enam, yaitu 1) penggunaan sarana dan prasarana secara optimal untuk bisnis di lingkungan sekolah dengan dasar kebutuhan akan peningkatan kemampuan dan kebutuhan kehidupan bersama warga sekolah dan masyarakat; 2) membangun kerja sama dan kemitraan usaha dengan dunia usaha dan industri, masyarakat, pemerintah daerah dan lain-lain; 3) melakukan restrukturisasi organisasi sekolah dengan cara membentuk tim kerja untuk bisnis dan memilih tenaga yang profesional untuk mendukung pelaksanaan kewirausahaan; 4) mengadakan pelatihan kemampuan dan keterampilan tambahan yang sesuai dengan kemajuan ipteks dan imtak untuk meningkatkan kemampuan SDM sekolah; dan 5) mengembangkan usaha produktif dengan cara bekerja sama dengan lembaga penyandang dana, investor, kontraktor dan lain-lain yang bermanfaat bagi warga dan dapat mengembangkan modal serta keuntungan unit produksi atau koperasi secara berlipat ganda. Contoh good practice kewirausahaan sekolah adalah simulasi Business Takesover Your Class yang diselenggarakan oleh Sekolah Bisnis Prasetya Mulya (kemampuan melipatgandakan modal), model bisnis sekolah dasar kota pada SD Negeri Banjarsari I di Kota Bandung (pola aktivitas bisnis yang menekankan produksi, dengan berorientasi pada pembelajaran bermutu untuk memupuk kepercayaan masyarakat), dan KPN SMPN 138 (unit usaha simpan pinjam, pengadaan alat sekolah, konsumsi dan kantin, jasa percetakan, tabungan anggota) (dikutip dari Sarbini, 1994).
115
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Pengembangan kreativitas dan inovasi sebagai basis kewirausahaan sekolah merupakan ikon baru bagi kepala sekolah bersama warga sekolah. Kewirausahaan sekolah dipahami sebagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari dan memanfaatkan peluang menuju sukses. Inti kewirausahaan sekolah adalah kemampuan kepala sekolah bersama warga sekolah untuk menciptakan sesuatu yang baru, unik, berbeda atau bermakna (bernilai) melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang, ruang dan uang. Tiga dari empat strategi pengembangan kreativitas dan inovasi, selain strategi pengaruh minoritas relevan diterapkan di sekolah yakni strategi eklektif, strategi pemaksaan kekuasaan dan strategi partisipatif. Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia yang diandalkan untuk menempa sumber daya manusia ternyata belumlah sempurna. Masih banyak kelemahan yang menjangkiti sistem pendidikan. Oleh karena itu perubahan terhadap sistem pendidikan perlu untuk dilakukan. Perubahan yang dilakukan harus memperhatikan berbagai elemen yang dapat membuat kebijakan tersebut gagal. Melalui peran generasi muda diharapkan ada satu visi untuk melakukan pembenahan dan pengawalan terhadap sistem pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan yang handal akan menyiapkan sumber daya manusia Indonesia untuk menghadapi kompetisi global yang semakin hari semakin kompetitif.
Saran Agar kepala sekolah dapat meraih sukses menerapkan pola kewirausahaan di sekolah, kepala sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan lainnya berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menghasilkan nilai tambah dari apa yang diusahakan. Kepala sekolah perlu memberi pembelajaran kepada guru dan staf untuk memahami dan mengaktualisasikan semangat dan jiwa kewirausahaan sekolah dengan cara menyesuaikan dengan bidang tugasnya masingmasing. Kepala sekolah diharapkan mampu menyakinkan semua pihak bahwa sekolah adalah “lahan garapan bersama” dan maju mundurnya sekolah menjadi tanggung jawab bersama. Jika sekolah maju, maka kemajuan itu menjadi “milik bersama” artinya semua pihak mendapatkan 116
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 manfaat dalam segala bentuknya. Manajemen partisipatif yang diterapkan di sekolah akan memberikan kepercayaan kepada guru dan staf sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Sekolah harus mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan mengoptimalkan peran serta masyarakat sebagai salah satu pilar dalam pengembangan sekolah berbasis kewirausahaan.
Daftar Pustaka Akib, Haedar. 2005. Kreativitas Dalam Organisasi, Disertasi Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta. Anderson, Neil, Carsten K.W. De Dreu, and Bernard A. Nijstad. The Routinization of Innovation Research: A Constructively Critical Review of the State-of-the-Science, Department of Work and Organizational Psychology University of Amsterdam Nederland, http://users.fmg.uva.nl/nanderson/JOBSI.pdf, diakses 11 September 2003, h. 3. Alma, H. Buchari. 2006. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung. Barlow, Cgristopher M. Deliberate Insight in Team Creativity, Journal of Creative Behaviour 2nd qtr 2000, h. 101-117. Bostrom, Robert P and Murli Nagasundaram. Research in Creativity and GSS, Proceedings of the Thirty-First Hawaii International Conference on System Science, Januari 6-9, Vol. 6, h. 391505, http://www.idbsu.edu/business/murli/, diakses 2 Agustus 2003. Boon, Rolf J. Cultural Creativity: the Importance of Creativity in Organizational and Educational Contexts, May 4 1997, http://www.lobstrick.com/BOON.HTM, diakses 25 Mei 2003. Couger, J.D. 1996. Creativity and Innovation in Information System Organization, Boyd and Fraser Publishers, Danvers MA. Daft, Richard L. 1992. Organization Theory and Design, West Publishing Company Singapore. DeGraff, Jeff. Creating Value through Creativity, Copyright 2003, h. 1; Creativity at Work, http://www.creativity-at-work.com.pdf, diakses 15 Sept 2003, h. 1. Depdiknas. 2002. Memiliki dan Melaksanakan Kreativitas, Inovasi dan Jiwa Kewirausahaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta. 117
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Dharma, Surya dan Haedar Akib. Budaya Organisasi Kreatif, Manajemen USAHAWAN Indonesia, No. 03/TH. XXXIII Maret 2004a, h. 22-27. Dharma, Surya dan Haedar Akib. Kreativitas sebagai Esensi dan Orientasi Pengembangan SDM, Manajemen USAHAWAN Indonesia, Akreditasi Dikti No. 134/DIKTI/KEP 2001, No. 06/TH. XXXIII Juni 2004b, h. 29-36. Eoh, Jeni. 2001. Pengaruh Budaya Perusahaan, Gaya Manajemen, dan Pengembangan Tim Terhadap Kinerja Karyawan, Disertasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta. Ford, Cameron M and Dennis A. Gioia. Factors Influencing Creativity in the Domain of Managerial Decision Making, Journal of Management, Vol. 26, No. 4, 2000, p. 705-732. French, Wendell L, Cecil H. Bell, Jr, Robert A. Zawacki (ed.) 2000. Organization Development and Transformation, Irwin McGrall-Hill Singapore. Henry, Jane (ed.). 1991. Creative Mangement, Sage Publications London. Ivanyi, Attila Szilard and Ilona Hoffer. 1999. The Role of Creativity in Innovation, Society and Economy Vol. XXI No. 4, http://www.lib.bke.hu/gt/1999-4e/994-06.html, diakses 7 Mei 2003. Kasim, Azhar. Reformasi Administrasi Negara, Bisnis & Ekonomi Politik, Vol. 2 (4), Oktober 1998, h. 43. Kilby, Jan. Creativity is one of the greatest assets in the http://www.bizjournals.com/css, From the July 13, 2001, diakses 19 Maret 2003. Linberg, Kurt R. 1998. Managing the Creative Organization, http://ourworld.compuserve.com/homepages/linberg/pdf, diakses 5 Juni 2003.
workplace
KAM
IV,
Manurung, Adler. 2005. Kompas, 18 Desember 2005. Manurung, Hendra. 2012. Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia. Jakarta: The President Post, Edisi Oktober 2012 No.5. Munandar, Utami. 1992. Anak-anak Berbakat, Rajawali Jakarta. Oldham, Grey R and Anne Cummings. Employee Creativity, Academy of Management Journal, Vol. 39 No. 3 June 1996. Robbins, Stephen P, Terry Waters-Marsh, Ron Cacioppe, Bruce Millett. 1994. Organizational Behaviour, Prentice-Hall of Australia Pty Ltd, Sydney, h. 22, 50 dan 704. Sarbini, H. Makmur dalam Majalah Warta Koperasi, No. 57 Thn XIII, 1994. 118
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Szilagyi Jr, Andrew D and Marc J. Wallace, Jr. 1990. Organizational Behaviour and Performance, HarperCollins Publishers, h. 757. Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta. Timpe, Dale A. 2000. Creativity, alih bahasa Sofyan Cikmat, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Todaro, MP. 2004. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga Treffinger, D. J. 1986. Research on Creativity, Gifted Child Quarterly. Allyn & Bacon, Boston. West, Michael A. 2000. Mengembangkan Kreativitas Dalam Organisasi, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta. Peraturan: Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162 Tahun 1992 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 Tentang Tenaga Kependidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
119
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA Bayu Bandonoa, Noer Azzam Ab, Nunung Nuryartonoc, Adler H. Manurungd a Bapepam; b, c Institut Pertanian Bogor; d Sampoerna School of Business
A protected mutual fund is a type of mutual fund that provides protection for the initial investment value of trust unit holders through the mechanisme of portfolio management. Protected mutual funds expected relatively safer than other types of mutual funds. This study refers to previous studies, such as Markowitz (1952), Sharpe (1964), Mossin (1966), Lintner (1966), Treynor (1966), Jensen (1968) and Chen, Roll dan Ross (1986). The objectives of this study are to measure the performance of protected mutual funds in Indonesia compared to the benchmark. Data to answer objectives of the research is secondary data which is monthly time series data of Net asset Value (NAV), Indonesia Stock Price Composite Index (IHSG), and Certificate of Bank Indonesia (SBI). The method of analysis used in this study is hhe adjusted Return that introduced by Sharpe, Treynor and Jensen. Based on the analysis can be seen that protected mutual funds in Indonesia is able to beat its bencmark of Certificate of Bank Indonesia (SBI), even overcome Indonesia Stock Price Composite Index (IHSG). Keywords: Protected Mutual Fund, Net Asset Value (NAV), Indonesia Stock Price Composite Index (IHSG), Certificate of Bank Indonesia (SBI).
120
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
KINERJA REKSA DANA TERPROTEKSI DI INDONESIA
Pendahuluan Perkembangan industri Reksa Dana cukup pesat di Pasar Modal Indonesia. Menurut data emonitoring Reksa Dana Bapepam-LK, pada tahun 2004 terdapat 246 Reksa Dana yang terdiri dari 4 (empat) jenis Reksa Dana yaitu Reksa Dana Saham, Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Campuran dan Reksa Dana Pendapatan Tetap. Sampai dengan Juni 2012, jumlah Reksa Dana telah bertambah menjadi 685 Reksa Dana dengan tambahan 6 (enam) jenis Reksa Dana baru yaitu Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Indeks, Reksa Dana Exchange Trade Fund (ETF) Saham, Reksa Dana Exchange Trade Fund (ETF) Pendapatan Tetap, Reksa Dana Penyertaan Terbatas, serta Reksa Dana Syariah.
( Sumber : e-monitoring Reksa Dana Bapepam-LK )
Gambar 1. Perkembangan NAB Reksa Dana 2004 – Oktober 2012
Menurut Gambar 1 di atas, Total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana (NAB) pada Oktober 2012 mencapai Rp 176.63 triliun atau meningkat 98 % jika dibandingkan dengan NAB pada Desember 2004 yang jumlahnya sebesar Rp 89,15 triliun. . Reksa Dana Terproteksi adalah jenis Reksa Dana yang memberikan proteksi atas nilai investasi awal pemegang Unit Penyertaan melalui mekanisme pengelolaan portofolionya dan penjaminan pihak lain. Reksa Dana Terproteksi hadir di pasar modal Indonesia saat krisis keuangan menghantam industri Reksa Dana tahun 2005.
Pada saat itu, menurut data e121
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 monitoring Reksa Dana Bapepam-LK, para pemegang Unit Penyertaan melakukan redemption secara masif sehingga menyebabkan penurunan Nilai Aktiva Bersih (NAB) keseluruhan Reksa Dana dari Rp 113,7 triliun pada Februari 2005 menjadi hanya Rp 29,41 triliun pada Desember 2005. Bapepam-LK sebagai regulator pada awalnya mengeluarkan produk Reksa Dana Terproteksi sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada awalnya, tujuan dari munculnya Reksa Dana Terproteksi ini adalah untuk menerima limpahan investor Reksa Dana Pendapatan Tetap yang NAB-nya terus anjlok, sebagai akibat dari adanya gelombang redemption. Perkembangan Reksa Dana Terproteksi ini cukup menggembirakan. Menurut data e-monitoring Reksa Dana Bapepam-LK pada bulan Oktober 2005, NAB keseluruhan Reksa Dana Terproteksi adalah Rp 2,8 triliun. Jumlah ini semakin meningkat tajam dimana pada akhir November 2012, NAB Reksa Dana Terproteksi telah mencapai Rp 42,7 triliun atau 23,5 % dari jumlah seluruh NAB Reksa Dana yang ada. Menurut Manurung (2008) Reksa Dana Terproteksi diminati oleh investor karena Manajer Investasi (MI) memberikan target tingkat pengembalian bila melakukan investasi yang terbaik serta transparan untuk struktur investasi nilai pokok sehingga investor dapat menilai resikonya. Dima, Bogdan, Barna dan Nachescu (2006) melakukan penelitian di pasar modal Rumania dengan variabel dependen kinerja Reksa Dana dan variabel independennya variabel ekonomi makro dan Indeks Saham.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa indeks harga
saham merupakan main determinant yang secara positif mempengaruhi kinerja Reksa Dana. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sharpe (1966) pada Pasar Modal Amerika Serikat dengan variabel dependen kinerja Reksa Dana sedangkan variabel independennya adalah biaya Reksa Dana, ukuran perusahaan, dan kinerja sebelumnya, pemilihan asset/alokasi asset dan biaya transaksi. Hasil penelitiannya menunjukan hubungan antara ukuran perusahaan dan kinerja Reksa Dana adalah tidak signifikan (pengaruhnya hanya 3% -5%) sedangkan rasio biaya dan kinerja sebelumnya dianggap sebagai variabel yang mampu mengukur kinerja Reksa Dana. Oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian yang lebih spesifik mengenai Kinerja Reksa Dana Terproteksi Di Indonesia . Berdasarkan penjelasan di atas , maka tujuan Penelitian ini adalah untuk: Mengukur kinerja Reksa Dana Terproteksi dibandingkan dengan benchmark. Adapun
ruang lingkup 122
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Reksa Dana Terproteksi yang mendapat ijin dari Bapepam-LK dari tahun 2008- 2010. (2) Manajer Investasi yang telah mendapatkan ijin dari Bapepam-LK.
Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di BapepamLK Departemen Keuangan RI dan Bank Indonesia di Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada April 2010 hingga Desember 2010.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series bulanan NAB Reksa Dana Terproteksi dari Manajer Investasi yang mendapat izin dari BapepamLK mulai Januari 2008 sampai Desember 2010, data time series IHSG dari Bursa Efek Indonesia dan data SBI dari Bank Indonesia.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data langsung di BapepamLK Departemen Keuangan RI dan Bank Indonesia di Jakarta.
Teknik Analisis Data Pengukuran Kinerja Reksa Dana dilakukan dengan 3 cara yaitu: 1. Ukuran Sharpe: S = (ARp – ARf ) / 2. Ukuran Treynor: T = ( ARp – ARf ) / βp 3. Ukuran Alfa Jensen: Rpt – Rft = αp + βp(Rmt – Rft) + εpt
Hasil dan Pembahasan Deskripsi Statistik Data Variabel Dari Tabel di bawah dapat diuraikan bahwa IHSG mempunyai nilai rata-rata 0,0128 dan median 0,0331. IHSG mempunyai ukuran skwness sebesar -1.1714, ukuran kurtosis 6.2522 dan 123
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 ujji Jarque-Bera sebesar 24.0988 menunjukan data tidak terdistribusi normal. Sedangkan nilai terendah adalah -0,3142 dan tertinggi 0,2013. SBI mempunyai nilai rata-rata 0,0062 dan median 0,0057. SBI mempunyai ukuran skwness sebesar 0,5925 ukuran kurtosis 1,8572 dan ujji Jarque-Bera sebesar 4,0650 menunjukan data tidak terdistribusi normal. Sedangkan nilai terendah adalah 0,0052 dan tertinggi 0,0079. Tabel 1 Deskripsi Statistik Data Variabel IHSG Mean 0.0128 Median 0.0331 Maximum 0.2013 Minimum -0.3142 Std. Dev. 0.0906 Skewness -1.1714 Kurtosis 6.2522 Jarque-Bera 24.0988 Probability 0.0000 Sum 0.4604 Sum Sq. Dev. 0.2874 Sumber : Hasil Olahan
SBI 0.0062 0.0057 0.0079 0.0052 0.0010 0.5925 1.8572 4.0650 0.1310 0.2234 0.0000
Tidak normalnya data tingkat bunga SBI dan juga tingkat pengembalian IHSG memberikan implikasi model penelitian selanjutnya dalam kerangka penggunaan metode untuk mengestimasi parameter model yang digunakan.
Kinerja Reksa Dana Terproteksi Pembahasan kinerja Reksa dilakukan dengan beberapa tahapan, pertama-tama adalah menghitung return periodik masing-masing Reksa Dana Terproteksi. Kemudian menghitung resiko, ukuran resiko yang digunakan adalah deviasi standar dari return periodik. Dalam penelitian ini untuk mengukur Kinerja Reksa Dana Terproteksi di Indonesia periode 2008 – 2010 akan menggunakan model yang telah dikembangkan oleh Sharpe (1964), Treynor (1966) dan Jensen (1968). Pada penelitian ini memasukan benchmark pasar yaitu IHSG dan SBI. Adapun berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil sebagai berikut: 124
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Ukuran Sharpe Dari hasil penelitian terdapat 16 Reksa Dana yang memiliki Sharpe Index diatas SBI bahkan terdapat 13 Reksa Dana yang mampu memiliki Sharpe Index diatas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan Sharpe Index, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia mampu mengalahkan kinerja pembandingnya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG. Hipotesis penelitian untuk model ini adalah Reksa Dana Terproteksui yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding, dengan mengasumsikan variabel lain konstan. Maka berdasarkan Penelitian diatas maka hipotesa tersebut terbukti dimana Reksa Dana Terproteksi yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding.
Ukuran Treynor Dari hasil penelitian terdapat 10 Reksa Dana yang mampu memiliki Treynor Iindex diatas SBI dan
10 Reksa Dana yang memiliki Treynor Iindex diatas IHSG.
Hal ini
membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan Treynor Iindex, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia Mampu mengalahkan Benchmark nya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG. Hipotesis penelitian untuk model ini adalah Reksa Dana Terproteksui yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding, dengan mengasumsikan variabel lain konstan. Maka berdasarkan Penelitian diatas maka hipotesa tersebut terbukti dimana Reksa Dana Terproteksi yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding. .
Tabel 2: Ranking Kinerja Reksa Dana Terproteksi Portofolio BNIS PROTEKSI I MEGA DANA TERPROTEKSI I TERPROTEKSIMAHANUSA DANA KENCANA NET DANA PROTEKSI II TERPROTEKSI TRIMEGAH LESTARI 2 TERPROTEKSI BNIS PROTEKSI II RD TERPROTEKSI IDR REG. INCOME PLAN I TERPROTEKSI OPTIMA PROTECTED FUND
Averege Return 0.69% 0.91%
STDEV
Beta
Sharpe
Treynor
Jensen
Total
Rank
0.03% 0.31%
0.57 -0.55
207.2% 93.8%
0.1% -0.5%
0.1% 0.3%
207.4% 93.5%
1 2
1.33% 0.87%
1.09% 0.71%
0.29 -0.84
65.2% 35.2%
2.4% -0.3%
0.7% 0.3%
68.3% 35.1%
3 4
1.43%
3.23%
-1.14
25.2%
-0.7%
0.8%
25.3%
5
0.78%
0.78%
-0.88
20.1%
-0.2%
0.2%
20.1%
6
0.84%
1.38%
0.24
16.1%
0.9%
0.2%
17.2%
7
1.29%
5.78%
0.29
11.7%
2.3%
0.7%
14.6%
8
125
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Portofolio NET DANA PROTEKSI I TERPROTEKSI MAHANUSA DRAGON PROTECT DANAMAS TERPROTEKSII TERPROTEKSI MAHANUSA SOVEREIGN BOND FUND CAPITAL PROTEKSI-I IHSG SI DANA PROTEKSI GLOBAL BOND FUND TERPROTEKSI DANAREKSA PROTEKSI DINAMIS FLEKSIBEL TERPROTEKSI SCHRODER IDR REGULAR DIVIDEND PLAN I SBI TERPROTEKSI BAHANA OPTIMA PROTECTED FUND 5 TERPROTEKSI SI DANA PROTEKSI GLOBAL BOND FUND II TERPROTEKSI MANDIRI PROTECTED REGULAR INCOME FUND 3 BATAVIA PROTEKSI NUSANTARA SERI VI RD TERPROTEKSI BGPF2
Averege Return 0.96%
STDEV
Beta
Sharpe
Treynor
Jensen
Total
Rank
2.62%
-2.37
12.9%
-0.1%
0.3%
13.1%
9
1.49% 0.85%
7.15% 1.50%
-5.65 -0.06
12.1% 15.3%
-0.2% -3.7%
0.9% 0.2%
12.8% 11.9%
10 11
1.07% 0.73%
5.02% 1.24%
1.28%
9.06%
-8.12 0.67 30.12
8.9% 8.6%
-0.1% 0.2%
0.4% 0.1%
9.3% 8.8%
12 13
7.3%
0.0%
0.7%
7.9%
14
0.93%
4.81%
-7.01
6.5%
0.0%
0.3%
6.7%
15
0.68%
0.81%
-0.30
6.8%
-0.2%
0.1%
6.6%
16
0.78% 0.62%
4.17% 0.10%
-1.26 1.00
3.7% 0.0%
-0.1% 0.0%
0.2% 0.0%
3.8% 0.0%
17 18
0.31%
4.94%
-4.82
-6.3%
0.1%
-0.3%
-6.5%
19
0.34%
4.45%
-5.39
-6.4%
0.1%
-0.3%
-6.6%
20
0.13%
3.15%
-2.52
-15.7%
0.2%
-0.5%
-15.9%
21
0.15%
2.88%
-16.2%
0.1%
-0.5%
-16.5%
22
-0.21%
3.66%
-6.35 10.48
-22.7%
0.1%
-0.8%
-23.4%
23
Sumber : Hasil Olahan
Ukuran Jensen Dari hasil penelitian terdapat 17 Reksa Dana yang mampu memiliki Jensen Index diatas SBI dan 4 Reksa Dana yang memiliki Jensen Index diatas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan Jensen index, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia Mampu mengalahkan kinerja pembandingnya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG.
Hipotesis
penelitian untuk model ini adalah Reksa Dana Terproteksui yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding, dengan mengasumsikan variabel lain konstan. Maka berdasarkan Penelitian diatas maka hipotesa tersebut terbukti dimana Reksa Dana Terproteksi yang diteliti memiliki kinerja yang lebih baik dari pada kinerja pembanding.
126
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Kesimpulan Adapun hasil kinerja Reksa Dana Terproteksi sesuai analisis dapat di simpulkan sebagai berikut: 1. 16 Reksa Dana Terproteksi yang memiliki sharpe index di atas SBI bahkan terdapat 13 Reksa Dana yang mampu memiliki sharpe index di atas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan sharpe index, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia mampu mengalahkan Benchmark nya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG. 2. 10 Reksa Dana yang mampu memiliki Treynor Index di atas SBI dan 10 Reksa Dana yang memiliki Treynor Index di atas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan Treynor Index, Reksa Dana Terproteksi di Indonesia mampu mengalahkan Benchmark nya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG. 3. Dari hasil penelitian terdapat 17 Reksa Dana yang mampu memiliki Jensen Index di atas SBI dan 4 Reksa Dana yang memiliki Jensen Index di atas IHSG. Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan perhitungan Jensen Index, Reksa Dana di Indonesia mampu mengalahkan Benchmark nya yaitu SBI, bahkan mengalahkan IHSG.
Daftar Pustaka Bapepam. 1997. Himpunan Peraturan Pasar Modal. Bapepam. Jakarta Bodie, Z. Kane, A. Marcus, A.1999. Investment. 4th edition, Irwin McGraw Hill. Brown, F. and Vicker, D. 1963. Mutual Fund Portofolio Activity, Performance and Market Impact. The Journal OF Finance, Vol 18 Carhat, M.1997. On Persistence In Mutual Fund Performance, Journal of Finance Chan, N. Roll, R. Ross, S.1986. Economic Forces and stock market. Journal of Business, Vol 59. Chen, J., Hong, H., Huang, M., and Kubik, J.2004. Does Fund Size Erode Mutual Fund Performance ? The Role of Liquidity and Organization. The American Economic Review. 127
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013 Collins, S. and Mack, P. 1997. The Optimal Amount of Asset Under management in Mutual Fund. Financial Analysis Journal. Darrat, A.1990. Stock Returns, Money, and Fiscal Deficits. Quantitative Analysis 25. Dima, Bogdan, Barna, Flavia and Nachesu.2006. Investment Funds Market, The Romanian Case.
Journal of Financial and
Macroeconomic Determinants of The
Edelen, R. and Warner, J.1999. Aggregate Price Effects of Institutional Trading : A Study of Mutual Fund Flow and Market Returns. Elton, L., Martin J. Gruber, and Christoper R.1996. The Persistence of Risk-Adjusted Mutual Fund Performance. Journal Of Business, Vol 69. Enders, W.2000. Applied Economic Time Series. John Wiley & Son, Ltd, New York. Engel F., Roger D., Paul W,.1994. Consumer Behaviour, The Dryden Press. Fama, E. F. and K. R. French.1992. The Cross-Section of Expected Stock Returns. Journal of Finance, Vol. 47. Frimpong, J. 2009. Economic Forces and the Stock Market in a Developing Economy: Cointegration Evidence from Ghana. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences Giambona, E and Golec, J.2009. Mutual Fund Volatility Timing and Management Fees. Journal of banking & Finance. Gibson J., John I., James H,. 1996. Organizations 8. Richard D. Irwin Inc. Gujarati, D. 1995. Basic Econometrics, Mc. Graw Hill, Singapore. Gudikunst, Arthur and McCarthy Joseph. 1992. Determinants of Bond Mutual Fund Performance. Journal of Fix Income Vol 2. Grinblatt, M. and S. Titman. 1992. The Persistance of Mutual Fund performance. Journal Of Finance. Grinblatt, M. and S. Titman. 1994. The Study of Monthly Mutual Fund Returns and Performance Evaluation Techniques. Journal of Financial and Quantitatif Analysis. Haslem, J., Kent, B., and David, S. 2008. Performance and Characteristic of Actively Managed Retail Equity Mutual Fund with Diverse Expense Ratios. Financial Services Review. 128
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Henrikson, Roy D. & Robert C. Merton. 1981. On Market Timing and Investment Performance, Statistical Procedures for Evaluating Forecasting Skills, Journal of Business. Indro, D., Christine X., Minchael Hu, and Wayne Lee. Mutual Fund Performance: Does Fund Size Matter? Association for Investment Management and Research. Jiranyakul, K. 2009. Economic Forces and Thai Stock Market 1993-2007. NIDA Economic Review, Vol 4. Jensen, Michael. 1968. The Performance of Mutual Fund in the Period 1945 – 1964. of Finance.
Journal
Kumar, G. and Dash, M. 2008. A study on The Effect of Macroeconomic Variables On Indian Mutual Fund. Aliance Business Academy. Lintner, J. 1965. The Valuation of Risk Asset and the Selection of Risky Investment in Stock Portfolios and capital budget. Review of Economic and Statistic. Maghayereh, A. 2003. Causal Relations Among Stock Prices And Macroeconomic Variables In The Small, Open Economy Of Jordan. Econ. & Adm., Vol. 17. Manurung, Adler. 2005. Siklus Bursa Saham: Sebuah Penelitian Empiris di BEJ Januari 1988 – 2004. Jurnal Bisnis & Birokrasi No. 01, Vol. 13. Manurung, Adler. 2010. Ekonomi Finansial. PT Adler Manurung Press. Manurung, Adler. 2008. Panduan Lengkap Reksa Dana Investasiku. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Markowitz, H. 1952. Portofolio Selection. The Journal of Finance. Vol 7. Mishkin, F.S. 2004. The Economic of Money, Banking, and Financial Market, Seventh Edition. Addison Wesley, New york. Mukherjee, T.K. and A. Naka,1995, Dynamic Relationas Between Macroeconomic Variables and The Japanese Stock Market An Application of A Vector Error Correction Model, The Journal of Financial Research, Vol. XVIII Reily, F. and Brown, K. 1997. Investment Analysis and Portofolio Management. 5th Edition. The Dryden Press, Florida. Rhee, S. anf Wang, J. 2009. Foreign Institutional Ownership and Stock Market Liquidity: Evidence From Indonesia. Journal of banking & Finance. 129
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
Ross, Stephen A. 1976. The Arbitrage Theory of Capital Asset Pricing. Journal of Economic Theory, Vol. 13 Shanken, J. and Weinstein, M. 2006. Economic Forces And The Stock Market Revisited. Journal of Empirical Finance 13. Sharpe, William F. 1966. Mutual Fund Performance. Journal of Business. Treynor, J. 1965. How to Rate Management Investment Fund, Harvard Business Review Vol 43. Treynor, J. and Mazuy K. 1966. Can Mutual Fund Outgess The Market. Harvard Business Review Vol 43.
130
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 1; January 2013
KETENTUAN PENULISAN JURNAL 1.
Substansi Artikel. Artikel yang diserahkan merupakan tulisan ilmiah dengan desain kuantitatif maupun kualitatif berupa: studi pustaka, studi empiris, ataupun studi kasus, sebagai hasil pengembangan Ilmu Bisnis dan Kewirausahaan. Artikel yang disumbangkan adalah artikel orisinil yang belum pernah dipublikasikan di media lain dan menggunakan pustaka acuan mutakhir, proposi terbitan 15 tahun terakhir.
2.
Gaya penulisan. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku. Artikel memuat judul, nama penulis beserta keterangan dan alamat kerja yang jelas. Penulisan abstrak dibatasi maksimum sampai 300 kata, untuk artikel Indonesia, abstrak ditulis Inggris dan sebaliknya, disertai kata kunci (keyword). Bagian utama artikel ditulis dengan sistematika: Pendahuluan, Tujuan Penelitian, Tinjauan Teori, Metodologi, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan, Saran, Daftar Pustaka. Setiap judul baik sub judul tulisan perlu diberikan HURUF TEBAL SEMUA. Penyajian Gambar, tabel, bagan, dan pendukung lain harus disertai dengan nomor urut, judul, dan sumber yang konsisten. 2.1 Contoh Daftar Pustaka Andrew Winton and Yerramilili, Y. (2008). Entrepreneurial Finance: Bank versus venture capital, Journal of Financial Economics, Vol.88, Issue 1, Published by Elsevier. Manurung, Adler Haymans, (2011). Metode Riset: Keuangan, Investasi dan Akuntansi Empiris, PT Adler Manurung Press, Jakarta.
3.
Seleksi Artikel. Artikel yang masuk ke redaksi akan diseleksi dan direview oleh anggota dewan redaksi dan ada kemungkinan untuk diedit dan/atau dikembalikan untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi. Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan. Artikel yang dimuat merupakan hak redaksi dan dapat ditampilkan dalam media lain untuk akademik. Isi artikel di luar tanggung-jawab redaksi.
4.
Penyerahan Artikel. Artikel yang akan dimuat dapat dikirim/diserahkan berupa print-out ketikan dan dalam bentuk file Microsoft Word yang bisa dibuka dengan baik. Artikel dicetak pada kertas A4 atau folio, spasi ganda, huruf dengan Times New Roman 12, dimana jumlah halaman 15- 45 halaman. Adapun alamat Redaksi Jurnal sebagai berikut: Redaksi Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Staff Sirkulasi & Administrasi Editorial Office Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan Sampoerna Shool of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330
[email protected] 131