Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Journal of Business and Entrepreneurship
Volume 1, No 2, Mei 2013
Contents STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008, DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING) Pulung Peranginangin ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN) Pardomuan Sihombing, Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG Adi Yanuar dan Ahdia Amini
Sampoerna School of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330
[email protected] www.ssb.ac.id
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
ISSN: 2302 4119 Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Volume 1, Nomor 2, Mei 2013 Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan diterbitkan atas kerjasama Sampoerna School of Business, dengan frekuensi terbit tiga kali setahun, pada bulan Januari, Mei, Oktober. Editor In Chief Prof. Dr. Adler Haymans Manurung Managing Editor Romora Edward Sitorus, M.Sc.
Sampoerna School of Business
Sampoerna School of Business
Advisory Board Budi Widjaja Soetjipto, Ph.D Sampoerna School of Business Dr. Chandra Alamsyah Sampoerna School of Business Prof. Dr. Paulina Pannen Universitas Siswa Bangsa Internasional Prof. Rositsa Bateson Universitas Siswa Bangsa Internasional Peer Reviews Prof. Ferdinand D. Saragih Universitas Indonesia Hilda Rosieta Argawal Ph.D Universitas Indonesia Bambang Setiono, Ph. D Sampoerna School of Business Dr. Siti Nurwahyuningsih Harahap Universitas Indonesia Tatang Ary Gumanti, Ph.D University of Jember Dr. Koes Pranowo, SE., MSM PT Transocean Maritime Dr. Andam Dewi PT Bursa Berjangka, Jakarta Wahyu Soedarmono, S.Si, DEA Ph.D Sampoerna School of Business Ir. Muhril Ardiansyah, M.Sc., Ph.D Sampoerna School of Business Hoetomo Lembito, MBA., PT. United Total Support Dr. Pulung Peranginangin PT Vivere Multi Kreasi Dr. Arlan Septia A. R. PT. Reka Raga Resources Dr. Sjamsul Arifin Bank Indonesia Editorial Board Ir. Hilarius Bambang Winarko, MM. Sampoerna School of Business Lufina Mahadewi, S.Kom, MM, M.Sc. Sampoerna School of Business Nuruzzaman Arsyad, M.Sc. Sampoerna School of Business Anugraha Dezmercoledi, M.Sc. Sampoerna School of Business Editorial Office Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan Sampoerna School of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330
[email protected]
www.ssb.ac.id
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Journal of Business and Entrepreneurship
Volume 1, Nomor 2, Mei 2013
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008, DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING) Pulung Peranginangin ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN) Pardomuan Sihombing, Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG Adi Yanuar dan Ahdia Amini
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
Dari Redaksi Perkenankan kami dari Journal of Business and Entrepreneurship mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas terbitnya jurnal yang kedua untuk volume yang pertama ini. Akademisi dan peneliti yang memiliki minat terhadap jurnal ini sudah mulai banyak dengan adanya tulisan yang masuk secara konsisten sehingga jurnal ini bisa terbit dengan pada waktunya. Topik yang menjadi pembahasan dalam jurnal ini sangat beragam mengingat nama jurnal juga mengandung semua aspek. Pada Jurnal terbitan ini, kami memuat lima tulisan yang dimulai oleh Sdr. Pulung Peranginangin dari PT PT Vivere Multi Kreasi dan juga Dosen di Sampoerna School of Business dengan judul yaitu: STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008, DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING). Penelitian ini ingin melihat gambaran perusahaan tekstil dan garmen Indonesia pada bulan September 2008 sampai November 2008. Penelitian dilakukan berdasarkan kuesioner diadopsi dan dikembangkan dari penelitian terdahulu lalu dikirim ke pimpinan (CEO, Direktur/GMs atau Manajer Senior) menanyakan keadaan perusahaan dalam 3 tahun terakhir, lalu dianalisis dengan menggunakan SEM (Structure Equation Modeling). Dari Model-1 Penelitian ini ditemukan ditemukan, Kebijakan Teknologi berpengaruh terhadap Kinerja Perusahaan dan Ketidakpastian Lingkungan berpengaruh (negatif) terhadap Kinerja Perusahaan sedangkan Strategi Bisnis berpengaruh terhadap Kebijakan Teknologi. Dari Model2 Penelitian ini ditemukan, Ketidakpastian Lingkungan berpengaruh terhadap strategi CostLeadership yang berimplikasi positif terhadap Kebijakan Process Automation dan Kinerja Perusahaan. Disamping itu strategi Specialty Product, Marketing Intensity dan Product Line Breadth, ketiga-tiganya berpengaruh terhadap Kebijakan Innovation and R&D. Tulisan kedua berjudul “ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN)” ditulis oleh Sdr. Pardomuan Sihombing, Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa. Tulisan ini mempunyai tujuan untuk melakukan investigasi terhadap aliran modal dan faktor eksternal mana yang berperan i
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013 penting mempengaruhi pergerakan term structure interest rate pada obligasi pemerintah Indonesia (SUN). Adapun temuan dari penelitian ini yaitu perkembangan yield spread obligasi pemerintah Indonesia (SUN) selama periode penelitian mengalami fluktuasi yang disebabkan oleh faktor makro ekonomi, faktor aliran modal dan faktor eksternal. Yield spread SUN selama periode penelitian mengalami tren penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia sedang mengalami pertumbuhan. Penelitian ini menemukan yield spread dipengaruhi oleh suku bunga The Fed (FFR) secara positif. Peningkatan YS (yield spread) disebabkan yield obligasi jangka panjang lebih berfluktuasi dibanding yield obligasi jangka pendek ketika FFR mengalami kenaikan. Temuan dalam penelitian ini menambah wawasan mengenai faktor aliran modal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pergerakan yield spread obligasi pemerintah (SUN), sehingga diharapkan bermanfaat bagi investor dan emiten dalam membuat kebijakan investasi dan keputusan pembiayaan. Tulisan ketiga ditulis oleh Sdr. Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal dengan judul “PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi TPM yang berkaitan dengan produktivitas dan pengaruhnya terhadap pengembangan pekerja, continuous improvement, perubahan organisasi, dan manajemen kualitas khususnya di area injeksi plastik. Mengetahui dan mengerti operational performance menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) dalam kaitannya dengan efektivitas mesin dan peralatan, untuk melakukan manajemen aset, serta penggunaanya dalam proses manufaktur khususnya di area injeksi plastik. Penelitian ini menjelaskan implementasi Total Productive Maintenance (TPM) pada area injeksi plastik di PT. XYZ yang diukur dengan menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) untuk mengukur efektivitas dari peralatan atau mesin injeksi sebagai strategi untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja manufaktur. Rata-rata nilai OEE di area mesin injeksi adalah 68.42% dan rata-rata nilai TEEP adalah 57.96%, nilai tersebut merupakan level Fairly Typical. Menerapkan dan menjaga konsistensi implementasi TPM sangat penting untuk meningkatkan kinerja operasional di area mesin injeksi dan menerapkan pemeliharaan proaktif sebagai aktivitas perbaikan secara terus menerus. ii
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013 Tulisan keempat berjudul “PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN” ditulis Sdr. Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati. Tulisan ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara intellectual capital dengan profitabilitas terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan data dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kinerja keuangan perusahaan akan diukur dengan Return on Equity (ROE) dan Earnings Per Share (EPS). Intellectual capital diukur dengan menggunakan model Pulic, yaitu VAIC™ (Value Added Intellectual Coefficient). Studi ini menemukan bahwa modal intelektual mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Bukti empiris menunjukan hubungan antara ketiga komponen intelectual capital
dengan
salah satu atau kedua proksi kinerja
keuangan yakni ROE dan EPS. Capital Employed Efficiency berpengaruh positif terhadap profitabilitas perusahaan, baik dengan return on equity (ROE) maupun dengan EPS. Walapun dalam model ROE bukti empiris menunjukan bahwa Human Capital Efficiency
berpengaruh
signifikan terhadap return on equity (ROE), namun dengan model EPS bukti empiris belum menunjukan pengaruh signifikan HCE terhadap EPS. Analisa atas Structural Capital Efficiency juga menunjukan hasil yang tidak konsisten antara model ROE dan model EPS. Pada model EPS bukti empiris menunjukan pengaruh signifikan SCE terhadap EPS, namun dengan model ROE Structural Capital Efficiency belum terbukti signifikan terhadap return on equity (ROE). Tulisan kelima berjudul “PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN, STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG” yang ditulis oleh Sdr. Adi Yanuar dan Ahdia Amini. Tujuan paper ini adalah: Pertama, mengetahui pengaruh pengembangan produk baru terhadap kinerja perusahaan. Kedua, memahami pengaruh manajemen konsumen terhadap kinerja perusahaan. Ketiga, melihat pengaruh manajemen rantai pasok terhadap kinerja perusahaan. Penelitian ini menemukan beberapa hal, yaitu: Pertama, sebagai salah satu perusahaan BUMN, diharapkan Perum Bulog tidak hanya melakukan penugasan pemerintah sebagai stabilitator harga pangan tetapi sudah fokus untuk mendapatkan keuntungan melalui kegiatan komersial. Kedua, Perum Bulog harus melakukan pengamatan keadaan lingkungannya baik secara makro dan industri dengan melihat pola dan tren yang mulai terbentuk serta melakukan ramalan (forecast) dari tren tersebut sehingga dapat membantu menghadapi perubahan yang terjadi. Ketiga, Dalam pengembangan produk baru, Perum Bulog diharapkan melakukan inovasi dari produk gula kristal putih (GKP) iii
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013 menjadi produk yang unik serta susah ditiru oleh pesaing dengan melibatkan dari seluruh unit internal perusahaan. Keempat, Perum Bulog sudah harus membina hubungan dengan konsumen, baik yang berpotensial memberikan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan (high value customer) maupun konsumen biasa. Kelima, Perum Bulog menerapkan manajemen rantai pasok yang baik, agar dapat menyeimbangkan kebutuhan akan permintaan dan persediaan sehingga dapat meningkatkan efesiensi dari operasional perusahaan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang bisa membantu terbitnya jurnal ini secara on-time. Kami juga meminta dengan sangat agar teman-teman peneliti, pengajar, dan praktisi dapat mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan pada jurnal yang akan datang.
Hormat kami, Prof. Dr.Adler Haymans Manurung Chief Editor
iv
Journal of Business and Entrepreneurship ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 2; Mei 2013
Daftar Isi DARI REDAKSI ………………………………………………………………………
i – ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………..
iii
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008, DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING) Pulung Peranginangin...............................................................................................................6 - 33 ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN) Pardomuan Sihombing, Hermanto Siregar, Adler H. Manurung, Perdana W. Santosa.....…34 - 50 PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal…….............................................................……51 - 73 PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN Selvi Meliza Salim dan Golrida Karyawati…........................................................................74 - 91 PENGARUH MARKET BASED CAPABILITIES TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG Adi Yanuar dan Ahdia Amini………........................................…..........................…...…..92 - 115
v
6
Studi Empirik Perusahaan Tekstil dan Garmen Indonesia, 2005-2008, dengan Menggunakan Analisis SEM (Structure Equation Modeling) Pulung Peranginangin Komisaris Utama PT. Gema Grahasarana Tbk (VIVERE Group) Peneliti dan Pengamat Pertekstilan
This study was conducted between September 2008 and November 2008 based on questionaires sent to corporate leaders (CEO, Directors, Senior Manager) to seek information about the condition of textile and garment firms for the previous three years. The data were then analysed using ANOVA and SEM (Structure Equation Modeling). The study has several findings. From the first model in the study, it showed that technology policy influence firm performance, environment uncertainty affected (negatively) firm performance, and business strategy affected technology policy. The second model revealed that environment uncertainty influence cost-leadership which has positive implication toward automation process policy and firm performance. Moreover, strategies consisting specialty product, marketing intensity and product line breadth, all has impact upon innovation and R&D policy. Keywords:
ketidakpastian lingkungan, strategi bisnis, kebijakan teknologi, kinerja perusahaan, product-market, cost leadership dan process automation.
7
STUDI EMPIRIK PERUSAHAAN TEKSTIL DAN GARMEN INDONESIA, 2005-2008 DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS SEM (STRUCTURE EQUATION MODELING) Latar Belakang Penelitian Lingkungan eksternal selalu ditandai ketidakpastian (Khandwalla, 1970) dan kinerja perusahaan akan optimal tercapai apabila organisasi mampu merespon ketidakpastian lingkungan secara efektif (Ansoff, 1965; Dill, 1976; Emery dan Trist, 1965; Lawrence dan Lorsch, 1967; Pfeffer dan Salancik, 1978; Thompson, 1967). Argumentasi yang lebih tajam terlihat di literatur teori organisasi industri, yang mengemukakan bahwa kekuatan-kekuatan dalam industri secara langsung menentukan kinerja perusahaan (Porter, 1981; Scherer, 1980). Keunggulan daya saing dan kinerja superior bertumpu pada kesesuaian antara sumber daya atau kapabilitas, lingkungan dan strategi (Fuchs, Mifflin, Miller, dan Whitney, 2000; Lenz, 1981; Porter, 1996; Tvorik dan McGivern, 1997; White dan Hamermesh, 1981). Hubungan antara sumber daya dan kinerja perusahaan telah banyak menarik perhatian para peneliti manajemen stratejik, mengapa banyak perusahaan yang sukses dalam menggunakan kapabilitas atau sumber daya tersebut tetapi banyak juga yang tidak berhasil memperbaiki kinerjanya (Helfat, 2000). Salah satu dari sumber daya yang dimaksudkan di atas adalah teknologi yang merupakan satu elemen penting di dalam bisnis dan strategi bersaing (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001) serta merupakan dimensi utama kapabilitas stratejik (Itami dan Numagami, 1992). Perusahaan berkompetisi tidak hanya di pasar lokal namun juga di pasar global sehingga ada kebutuhan terhadap peningkatan peran teknologi untuk determinasi sukses pemasaran (Council on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989; Mitchell, 1990). Sebagai respon terhadap pengakuan tersebut di atas, banyak perusahaan termasuk perusahaan dalam industri pertekstilan (Ghemawat dan Nueno, 2006) selain meningkatkan pengadaan teknologi maju (advanced technology) untuk proses, juga memperkenalkan produknya yang berteknologi mutahir (technologically sophisticated products), misalnya produk tekstil untuk kesehatan. Perubahan yang terjadi ini merupakan sinyal tentang perlunya kebijakan teknologi (technology policy) yang konsisten dan sesuai dengan strategi bisnis (Clark dan Hayes, 1985; Collier, 1985).
8
Strategi adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja perusahaan (Hambrick, 1980; Hatten dan Schendel, 1977; Hatten, Schendel dan Cooper, 1978; Parnell, 1997, 2002, 2006;Porter, 1980, 1985, 1996; Schendel dan Patton, 1978), oleh sebab itu paling banyak mendapat perhatian (Ghobadian, O’Regan, Gallear, dan Viney,2004; Hambrick, 1980; Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, Wright dan Tu, 1996; Parnell, 1997, 2002, 2006). berperan dalam menjelaskan pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan (Henderson dan Mitchell, 1997; Parnell, 2002, 2006).
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut: (1) untuk mempelajari pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap strategi bisnis dan kebijaksanaan teknologi
serta
pengaruh masing-masing variabel tersebut terhadap kinerja perusahaan tekstil dan garmen Indonesia baik secara finansial maupun non-finansial disamping mempelajari pengaruh masing-masing dimensi strategi bisnis terhadap dimensi kebijakan teknologi dan implikasinya terhadap kinerja perusahaan;
(2) untuk mengisi
gap of knowledge melalui perluasan
(extention) studi Zahra dan Covin (1993) tentang Business Strategy –Technology Policy – Performance dengan memasukkan faktor ketidakpastian lingkungan (Tan dan Litschert, 1994) yang belum memperhitungkan variabel kebijakan teknologi. Sebenarnya tersedia banyak jenis industri yang dapat dipilih dan relevan menjadi subyek penelitian, namun perusahaan pertekstilan dipilih karena pertimbangan sebagai berikut: (1) Industri pertekstilan memiliki lingkup industri dan pasar yang sangat besar serta mempunyai dampak luas pada masyarakat karena menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 1.19 juta orang dan dengan nilai perdagangan ekspor dan domestik sebesar US$10.03 miliar dan US$1.97 miliar (BPS dan API, 2007). Industri pertekstilan memiliki struktur yang terintegrasi dari industri hulu (up stream industry) yakni: pembuatan serat, pemintalan atau pembuatan dan pencelupan benang; industri antara (mid stream industry), yang terdiri dari: pertenunan, perajutan, non-woven dan penyempurnaan (finishing) dan industri tekstil hilir (down stream industry) yang terdiri dari: garmen (pakaian jadi) dan industri lainnya, seperti home-interior textiles, technical textiles, geotextiles, medical textiles dan travelling textiles. (2) Keunggulan daya saing dan kinerja perusahaan pertekstilan
Indonesia secara
relatif menurun bila dibandingkan dengan pesaingnya dari negara lain, terutama sesudah
9
mengalami krisis ekonomi tahun 1998. Kecenderungan penurunan daya saing dan kinerja perusahaan pertekstilan tersebut secara fluktuatif terlihat pada pangsa pasar Indonesia di perdagangan pertekstilan dunia, yakni 2.32%, 2.66%, 2.50%, 2.22% dan 1.78% ditahun 1999, 2000, 2001, 2002 dan 2003 (CIC Consulting Group, 2005). (3) Ketidakpastian lingkungan industri pertekstilan lebih meningkat lagi berhubung kuota perdagangan tekstil dan garmen yang berlaku sejak 1 Januari, 1974 dalam Multi Fibres Arrangement (MFA) dihapuskan dan diintegrasikan ke dalam WTO. Dengan demikian pasar ekspor captive Indonesia hilang sesuai jadwal pemberlakuan aturan WTO sehingga semua pengusaha berkompetisi tanpa kuota di pasar global. Selain itu ketidakpastian terjadi karena industri pertekstilan Indonesia dipersepsikan oleh sebagian stakeholders sebagai yang telah uzur (sunset) walaupun kenyataannya menurut data Textile Intelligence, BPS dan API yang diolah (2006), nilai perdagangan tekstil dunia terus meningkat sekitar 3% pertahun.
Tinjauan Literature Pembahasan tentang pengaruh lingkungan persaingan (eksternal) terhadap strategi dan implikasinya pada kinerja perusahaan termasuk di dalamteori utama dalam ranah manajemen stratejik yakni Market Based View (MBV), sedangkan pembahasan pengaruh kebijakan teknologi yang merupakan kebijakan salah satu kapabilitas atau sumber daya internal serta implikasinya pada kinerja perusahaan (DeSarbo et al., 2005; Henderson dan Micthell, 1997) termasuk di dalamteori utama lainnya yaitu Resource Based View (RBV). Strategi1 dan kinerja perusahaan merupakan topik yang paling banyak diteliti hingga kini (Hambrick, 1980; Parnell, 1997, 2002, 2006). Pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan menurut berbagai literatur tidak berdiri sendiri namun dipengaruhi oleh berbagai faktor kontinjensi baik eksternal maupun internal (Ginsberg dan Venkatraman, 1985; Lenz, 1981; Parnell et al.,2000;Tvorik dan McGivern, 1997). Secara spesifik DeSarbo et al. (2005) dan Henderson dan Mitchell (1997) menyatakan bahwa pengaruh strategi terhadap kinerja perusahaan ditentukan oleh lingkungan dan kapabilitas.
1
Strategi adalah cara bagaimana perusahaan dapat mencapai tujuan. Strategy is the psychological sense defined as a sequence of means to achieve a goal (Miller, Galanter & Pribram, 1960).
10
Ketidakpastian Lingkungan dan Kinerja Perusahaan Ketidakpastian lingkungan dan pengaruhnya tehadap satu perusahaan dapat dilihat dari banyak perspektif akan tetapi baik langsung atau tidak hal tersebut pasti akan mempengaruhi aktivitas perusahaan. Kesuksesan perusahaan dalam arti berkinerja unggul (superior) akan tercapai bila kapabilitas internal perusahaan bisa fit dengan lingkungan perusahaan yang kompetitif. Raynor (2007) membedakan sistem manajemen tradisional untuk lingkungan bisnis yang stabil dan sistem manajemen fleksibel untuk lingkungan yang berubah cepat. Teori kontinjensi berpendapat bahwa hubungan lingkungan dan strategi menentukan kinerja perusahaan (Lawrence dan Lorsch, 1967). Namun demikian, menurut Khandwalla (1970) lingkungan eksternal selalu ditandai ketidakpastian dan
kinerja
perusahaan akan optimal tercapai apabila organisasi mampu merespon ketidakpastian lingkungan secara efektif (Ansoff, 1965; Dill, 1976; Emery dan Trist, 1965; Lawrence dan Lorsch, 1967; Pfeffer dan Salancik, 1978; Thompson, 1967). Salah satu strategi perusahaan dalam merespon ketidakpastian lingkungan telah mulai dikenal dan penting dalam ilmu manajemen stratejik akhir-akhir ini yakni paradoxical strategies (Day dan Schoemaker, 2006; Marcus, 2006; Parnell, 2005a). Paradoxical Strategies yang dimaksudkan adalah respon stratejik perusahaan terhadap ketidakpastian lingkungan yang meningkat yang disatu sisi harus tetap mempertahankan konsistensinya (routine) tetapi disisi lain perusahaan harus fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan ketidakpastian lingkungan yang meningkat. Firmanzah (2003)2 mengemukakan bahwa dynamic competitive
bukan merupakan sebuah
sumber keunggulan kompetitif berkesinambungan (SCA) di dalam ketidakpastian lingkungan (environment pressure) karena pesaing juga melakukan hal yang sama, namun yang menjadi SCA adalah kemampuan perusahaan mengakumulasi kapabilitas dinamis tersebut lebih cepat dari pada yang dilakukan oleh pesaing dalam industri. Untuk lebih jelas melihat prosesnya, berikut ini ditunjukkan matrix dari environment pressure dengan firm capability.
2
Perceived Industrial Pressure-Firm Capability: Dynamic Relation. This paper has been presented in the seminar of ‘Competitive Strategy : New Approach and New Game’ 4 November 2003 in University of Paris XII (Paris).
11
Gambar 1. Perceived Environment Pressure - Firm Capability Matrix
Adaptive Process
Dialog Process
High (I)
(II)
Perceived Environment Pressure Introduction Process
Domination Process
(IV)
(III)
Low
Low
High Firm Capability
Sumber: Firmanzah (2003). Perceived Industrial Pressure-Firm Capability:Dynamic Relation
Kebijakan Teknologi dan Product-Market Suatu teknologi dapat digunakan untuk produk tertentu namun juga tidak tertutup kemungkinan menggunakan satu teknologi saja untuk semua produk yang dipasarkan pada segmen yang berbeda. Di dalam literatur diungkapkan bahwa perusahaan yang menawarkan dan membawa produk dan jasanya (products) ke pasar (market) harus didukung oleh teknologi3 yang digunakan (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001; Sriram dan
3
a). Hard technology (Engineering and Manufacturing function of the firms): Suatu perangkat atau sistem yang melekat (embodied) di mesin atau peralatan yang berfungsi untuk memacu produktifitas, out-put, kualitas dan keakuratan hasil. b). Technology (extends beyond Engineering and Manufacturing function of the firms):
12
Anikeeff, 1991). Untuk lebih jelasnya, di Figur dibawah ini ditunjukkan bagaimana hubungan (matrix) teknologi dengan product-market tersebut.
Gambar 2. Product/Technology Matrix Product A
Product B
•••
Product N
Technology 1
-
-
-
-
Technology 2
-
-
-
-
-
-
-
-
• Technology K
Sumber: Fusfeld, “How to Put Technology into Corporate Planning,”Technology Review, May 1978 dalam Burgelman, Maidique dan Wheelwright (2001).
Dari matrix diatas dapat dijelaskan bahwa setiap produk yang hendak dibuat dan dipasarkan yang terdiri mulai dari Produk-A sampai Produk-N sebenarnya mempunyai pilihan teknologi yang mendukungnya yakni mulai Teknologi-1 sampai Teknologi-K.. Teknologi yang dipakai tersebut seharusnya dapat dibandingkan (bench-marked) dengan teknologi yang dipakai oleh rival dan juga dengan teknologi yang paling canggih (state-of-the-art) disegmennya (market segment).
Konsep Kapabilitas dan Kebijakan Teknologi Kapabilitas teknologi adalah salah satu dari dimensi utama kapabilitas stratejik selain dimensi kapabilitas manajemen/ sumber daya manusia dan dimensi kapabilitas pemasaran, serta teknologi merupakan faktor paling utama dalam menentukan aturan persaingan atau rules of competition (Porter, 1983). Disamping itu diungkapkan juga bahwa firm’s value activities sangat dipengaruhi oleh teknologi (Porter, 1985) dan technological know-how dapat meningkatkan firm’s value (Robins dan Wiersema, 1995). Sejak tahun 1980 peneliti (1) Refers to the theoretical and practical knowledge, skillsand artifacts that can be used to developed products and services as well as their production and delivery systems (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001). (2) The process by which organization transforms labor, capital, materialsand information into products and services (Christensen dan Bower, 1996). Definisi (b) nomor 1 dan 2: merupakan definisi teknologi yang digunakan dalam penelitian ini.
13
manajemen stratejik mulai mengenal teknologi sebagai satu elemen penting di dalam bisnis dan strategi bersaing (Burgelman, Maidique dan Wheelwright, 2001). Selain itu, teknologi diketahui sebagai satu dimensi yang esensial di dalam bisnis dan tercatat sebagai satu karakter yang menambah kedinamisan dunia bisnis karena suatu teknologi yang digunakan cepat atau lambat akan digantikan oleh teknologi lain (Abell, 1980). Konsep Value-Chain yang dikemukakan pertama kali oleh Porter yang terdiri dari aktivitas utama (prime activities) dan aktivitas pendukung (support activities) juga mempunyai komponen dan dipengaruhi oleh teknologi yang dipilih dan digunakan oleh perusahaan. Teori RBV4 mengatakan keunggulan daya saing dan kinerja superior bertumpu pada kapabilitas spesifik perusahaan (Barney, 1991; Dierickx dan Cool, 1989; Penrose, 1959; Prahalad dan Hamel, 1990;Wernerfelt, 1984). Sekalipun para peneliti menggunakan berbagai terminologi yang berbeda untuk kapabilitas, namun semuanya memiliki pengertian yang mirip satu sama lain (Lenz, 1980; Stalk, Evansdan Shulman, 1992) yaitu kemampuan yang memberikan keunggulan daya saing dan kinerja unggul (superior) bagi perusahaan. Barney (1991, 2002) mengemukakan sumber daya yang merupakan kapabilitas tersebut dengan rerangka (frameworks) VRIO5. Kapabilitas bukan hanya menjadi basis keunggulan daya saing dan kinerja superior tetapi juga merupakan basis dalam menentukan strategi perusahaan (Barney, 1991; Collis, 1991; Conner, 1991; Grant, 1991;Lawless, Berg dan Wilsted, 1989). Sehubungan sifat teknologi sama dengan resources maka teknologi tersebut tersedia juga di luar perusahaan dalam arti tidak harus dikembangkan sendiri secara internal akan tetapi dapat diakses langsung (Hunt, 1995). Teknologi produk maupun proses pada umumnya juga dapat diperoleh melalui proses ‘make’ or ‘buy’ (Capon dan Glazer, 1987; Khalil, 2000). Karena proses persaingan sifatnya dinamis dan terus menerus maka kapabilitas termasuk teknologi yang dibangunpun seharusnya juga dinamis (Teece, Pisano dan Shuen, 1997).
4
Teori Resource Based View (RBV) diperkenalkan melalui karya seminal Penrose (1959) yakni Teori Pertumbuhan Perusahaan (Theory of the Growth of the Firm), berpandangan bahwa keunggulan daya saing dan kinerja perusahaan bertumpu pada sumber daya atau kapabilitas perusahaan (Barney, 1991; Penrose, 1959; Wernerfelt, 1984).Ini disanggah oleh Rugman dan Verbeke (2002) dan uraian tentang RBV dapat dilihat di Barney (1991, 2002); Mahoney dan Pandian (1992); Peteraf (1993) dan Collies dan Montgomery (1995).
5
VRIO berarti:bernilai (Valuable), langka (Rare), tidak bisa ditiru sepenuhnya (Imitable imperfectly) dan tidak bisa digantikan karena secara kombinasi melekat di organisasi (Organizational combined capabilities).
14
Dinamika Persaingan dan Kebijakan Teknologi Salah satu dimensi utama dari kapabilitas stratejik adalah teknologi (Itami dan Numagami, 1992). Perubahan teknologi adalah salah satu forces penting yang mempengaruhi kinerja dan posisi daya saing perusahaan (Afuah, 2000; Khalil, 2000;
Kilmann, 1991;
Narayanan, 2001). Oleh sebab itu inovasi dan perubahan teknologi yang pada mulanya dilakukan oleh satu perusahaan (technology leader), apabila berhasil akan dapat merubah lanskap persaingan karena akan terjadi dinamika kompetisi (Teece, Pisano dan Shuen, 1997) berupa aksi dan reaksi antar pelaku bisnis (competitive dynamics). Banyak inovasi yang terjadi berbasis teknologi, seperti contoh: disposable diapers dalam bidang tekstil kesehatan (non-woven medical textiles), electronic fuel injections untuk otomotif dan personal computers, disamping inovasi yang terjadi difasilitasi oleh teknologi, yakni penemuan dan pengembangan produk baru melalui kegiatan R&D, antara lain dalam bisnis retail dan services, yaitu teknologi elektronika dan data processing atau EDP (Maidique, Burgelman dan Wheelwright, 2001). Karena perusahaan berkompetisi secara global maka ada kebutuhan terhadap peningkatan peran teknologi untuk determinasi sukses persaingan bidang pemasaran (Council on Competitiveness, 1991; Franko, 1989; Fusfeld, 1989; Mitchell, 1990). Sebagai respon terhadap situasi tersebut, maka perusahaan tekstil dan garmen pun sudah banyak menggunakan teknologi terkini (advanced technology)
untuk teknologi proses maupun
produk.Teknologi pertekstilan bukan termasuk dalam kategori teknologi high-tech (Dickens, 2003) namun perubahan yang terjadi tersebut merupakan indikator atau sinyal
tentang
perlunya kebijakan teknologi perusahaan (firm technology policy) yang konsisten dan sesuai dengan strategi bisnis (Clark dan Hayes, 1985; Collier, 1985). Beberapa alasan perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan teknologi dalam perusahaan (firm technology policies), yaitu memilih dan menentukan jenis ataupun cakupan teknologi apa yang relevan bagi perusahaan sehingga perlu dituangkan dalam corporate planning. Implikasi kepemimpinan dalam teknologi (technology leadership) telah dieksplorasi terlebih dahulu dalam teknologi dan strategi antara lain oleh: Ansoff dan Stewart (1967) serta Maidique dan Patch (1979). Keagresifan dalam postur teknologi (aggressive technology posture) sering dihubungkan dalam hal timing of entry dari pengadaan dan penggunaan teknologi yang dimaksud secara komersial relatif terhadap pesaing dalam bisnis. Julukan pemimpin dalam teknologi didapatkan oleh satu perusahaan sebagai hasil dari pada komitmen
15
untuk selalu berperan sebagai “pioneer” dalam mengembangkan teknologinya (Rosenbloom dan Cusumano, 1987). Pemimpin teknologi mempunyai kapasitas untuk selalu menjadi yang pertama (to be first movers) untuk mendapatkan first mover advantages- FMA, namun dia juga dapat memilih untuk tidak melakukannya. Insentif sebagai first-movers (Hitt, Hoskisson dan Ireland, 2007) yakni bisa mendapatkan; (1) customers loyalty karena pelanggan akan tetap (committed) pada produk atau jasa yang pertama mereka dapatkan yaitu dari firstmovers, (2) pangsa pasar (market share) yang telah didapat oleh first-movers dalam kompetisi selanjutnya akan sulit direbut oleh followers atau late-entrants terutama bila first-movers terus mempertahankan posisinya sehingga mencapai level unggul berkesinambungan (sustainable competitive advantage- SCA). Para first-movers atau technology leaders akan dapat mempertahankan posisinya bila dapat menaikkan entry-barriers, antara lain dengan; (a) beroperasi pada skala-ekonomi (economies of scale) menjadikan biaya per unit produk sangat rendah (lowest-cost) sehingga tidak tertandingi, (b) mempertinggi tingkat keunikan (differentiation) produk yang ditawarkan, (c) Switching-cost dibuat setinggi mungkin sehingga perlu biaya mahal untuk mensubstitusi produk yang sudah dipasok first-movers, (d) Membangun distribution channel yang kuat sehingga pesaing sulit mendapatkan akses pasar, (e) Mendaftarkan “paten” proses, teknologi dan brand produk kepada pemerintah sehingga sampai waktu tertentu terlindungi dan tidak dapat ditiru (costly to imitate) dan (f) melakukan inovasi dan R&D terus menerus, bahkan kalau perlu melakukan apa yang disebut Schumpeter (1934) sebagai ‘creative-destruction’ agar sulit dikejar oleh pesaing. Schumpeter menggunakan kata creative-destruction untuk menjelaskan siklus hidup dari inovasi (the life cycle of innovations) yang dari perspektif dinamis mengartikan bahwa inovasi-baru akan menggantikan/ menghilangkan yang lama (new innovations drive-out old ones) termasuk sumber daya, profesi, keuntungan bahkan perusahaan dari pengusaha sebelumnya (previous entrepreneur). Tingkat keuntungan akan mengalir mengikuti siklus kontinual (continual cycle) yang tinggi pada tahap inovasi lalu menurun pada waktu imitasi mulai merebak dan diikuti siklus declining. Sebagai first-movers disamping mempunyai insentif namun juga mempunyai resiko, yakni biaya untuk melakukan inovasi dan R&D yang signifikan jumlahnya belum tentu sesuai dengan apa yang diharapkan didapatkan dari penjualan dan apabila hasil inovasi gagal dipasarkan maka cadangan dana (slack) yang sebelumnya selalu tersedia akan berkurang sehingga kemampuan melakukan inovasi selanjutnya menurun dan tak mampu seterusnya
16
menjadi first-movers (Hitt, Hoskisson dan Ireland, 2007). Disamping itu second-movers dapat memanfaatkan jalan yang telah dibuka oleh first-mover yang telah melakukan customer’s education tentang produk sehingga memudahkan bagi second-mover untuk memasuki persaingan. Sebagai contoh first-mover yang pernah kehilangan keunggulan kompetitifnya pada tahun 1980-an adalah Macintosh PC dari Apple Computer (Yoffie dan Slind, 2008). Selanjutnya persaingan akan terjadi kalau ada pesaing yang bereaksi terhadap first-movers dengan strategi imitasi dan perbaikan fitur (imitated and improved).
17
Model dan Metode Penelitian Tabel 1. Definisi dan dimensi dari konstruk penelitian KONSTRUK
Strategi Bisnis
Kebijakan Teknologi
Ketidakpastian lingkungan
Kinerja Perusahaan
DEFINISI
Proses menetapkan tujuan bisnis dan bagaimana mencapainya.
Proses pemilihan, pengembangan dan penempatan teknologi termasuk mengkombinasikannya untuk mendukung pencapaian tujuan perusahaan sesuai dengan strateginya.
Suatu ketidakpastian informasi dan / atau sumber daya yang terjadi lingkungan luar perusahaan.
Hasil yang dibandingkan terhadap target dan / atau dibandingkan dengan kinerja pesaing.
DIMENSI
• • • •
Menawarkan produk spesial (specialty product). Pemasaran intensif (marketing intensity) Terendah (unggul) dalam biaya (cost leadership) Beragam produk / layanan (product line breadth)
• Postur teknologi yang agresif (aggressive teechnology posture). • Otomatisasi proses (process automation). • Inovasi proses dan produk serta R&D (Innovation and R&D).
• Kompleksitas/heterogenitas; tingkat keanekaragaman dan diversiti masing-masing elemen lingkungan (environmental complexity). • Dinamika; tingkat variabilitas perubahan dan prediktibilitas masing-masing elemen lingkungan (environmental dynamics). • Hostilitas; tingkat kepentingan dan kapasitas sumber daya masing-masing elemen lingkungan (environmental hostility).
• Kinerja finansial, dibandingkan dengan tujuan dan/ atau kinerja pesaing • Kinerja non-finansial, kepuasan yang dicapai dibandingkan relatif terhadap tujuan dan/ atau kinerja pesaing.
Sumber: Diolah oleh penulis dari: Miller, G., Galanter, E dan Pribram, K.H. (1960); Zahra dan Covin (1993); Tan dan Litschert (1994); Morgan dan Strong (2003) dan Venkatraman dan Ramanujam (1986)
18
Gambar 3. Model Penelitian Lengkap dengan Variabel dan Dimensinya
Marketing Intensity
Specialty Products
Cost Leadership
Product Line Breadth
Source: Zahra & Covin (1993)
Business Strategy H3
EU Dynamics
H1 Financial Performance
H6 EU Complexity
EU
Environmental Uncertainty (EnvUnc)
H4
Hostility
Firm Performance
H5
NonFinancial Performance
Technology Policies
H2 Source, -
Source, - Tan & Litschert (1994) Aggresive Technology Posture
ProcessAutomation
Innovation and R&D
Morgan & Strong (2003) Tan & Litschert (1994) Tan & Tan (2005) Venkatraman & Ramanujam (1986)
Source: Zahra & Covin vinco (1993) (1993)
19
Tabel 2. Hipotesis-hipotesis yang diuji dalam studi ini HIPOTESIS
Tabel 2. 1
H1
Strategi bisnis berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
2
H1a
Strategi Specialty product berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
3
H1b
Strategi Marketing intensity berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
4
H1c
Strategi Cost leadership berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
5
H1d
Strategi Product line breadth berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
6
H2
Kebijakan teknologi perusahaan berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
7
H2a
8
H2b
Kebijakan Aggressive technology posture berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan Kebijakan Process automation berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
9
H2c
Kebijakan Innovation and R&D berpengaruh positif terhadap Kinerja perusahaan
10
H3
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi bisnis
11
H3a
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Specialty product
12
H3b
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Marketing intensity
13
H3c
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Cost leadership
14
H3d
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Strategi Product line breadth
15
H4
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan teknologi perusahaan
16
H4a
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan Aggressive technology posture
17
H4b
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan Process automation
18
H4c
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif terhadap Kebijakan Innovation and R&D
19
H5
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh negatif terhadap Kinerja perusahaan
20
H5a
Ketidakpastian lingkungan berpengaruh negatif terhadap Kinerja perusahaan
21
H6
Strategi bisnis berpengaruh positif terhadap Kebijakan teknologi perusahaan
22
H6a1
Strategi menawarkan specialty product berpengaruh positif pada Kebijakan aggressive technology posture
23
H6a2
Strategi menawarkan specialty product berpengaruh positif pada Kebijakan innovation and R&D
20
24
H6b1
Strategi marketing intensity berpengaruh positif pada Kebijakan aggressive technology posture
25
H6b2
Strategi marketing intensity berpengaruh positif pada Kebijakan innovation and R&D
26
H6c1
27
H6c2
Strategi cost-leadership berpengaruh positif pada Kebijakan aggressive technology posture Strategi cost-leadership berpengaruh positif pada process automation
28
H6d
Strategi product line breadth berpengaruh positif pada Kebijakan innovation and R&D
Gambaran Umum Penelitian dan Profil Responden Tahap awal penelitian lapangan adalah melakukan Pre-Test dengan mengukur validitas instrumen utama penelitian yakni kuesioner yang berjumlah 80 buah pertanyaan, yang masing-masing pertanyaan mewakili dimensi dari variabel laten serta variabel terukur model penelitian. Pertanyaan kuesioner dinilai valid jika nilai Standard Loading Factor (SLF)> 0.50. Jika nilai SLF <0.50, maka pertanyaan kuesioner tersebut tidak valid atau dapat dikatakan tidak mengukur apa yang ingin diukur pada penelitian ini. Hasil dari Pre-Test terdapat 5 buah pertanyaan yang tidak valid sehingga tersisa 75 buah pertanyaan kuesioner yang valid untuk selanjutnya digunakan sebagai instrumen penelitian ini. Survei penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2008 sampai dengan November 2008 terhadap 580 perusahaan tekstil dan garmen diseluruh Indonesia dengan mengirimkan kuesioner yang dipakai sebagai instrumen. Dari 580 kuesioner yang dikirim ada 3 perusahaan yang mengatakan mereka tidak bersedia berpartisipasi. Total pengembalian 158 dengan 5 kuesioner dijawab tetapi kurang lengkap sehingga ada 153 sampel yang dapat diolah selanjutnya. Tingkat pengembalian kuesioner yang mencapai lebih 26 % dapat dikatakan sangat baik bila dibandingkan dengan tingkat pengembalian survei penelitian manajemen stratejik dengan target responden adalah pimpinan perusahaan sebagai key informant yang berkisar 20 – 25 % (Barringer dan Bluedorn, 1999; Kreiser et al., 2002b; Miller dan Friesen, 1982; Morgan dan Strong, 2003; Robinson dan Pearce, 1988). Jumlah sampel yang berkisar antara 100- 200 untuk penelitian yang bila mengolah data dengan SEM adalah jumlah yang baik (appropriate) khususnya dari segi overall fit
21
measures yang fundamental yakni likelihood-ratio chi-square statistic (Hair et al., 1998). Profil perusahaan dan responden ditunjukkan di Tabel berikut ini.
Tabel 3. Profil Responden Perusahaan tekstil dan garmen Deskripsi
Frekuensi
Persentase
Aset Perusahaan 10 – 100 Miliar rupiah
61
40%
>100 – 500 Miliar rupiah
63
42%
>500 Miliar rupiah
28
18%
Jumlah
152
100%
10 – 100 Miliar rupiah
51
34%
>100 – 500 Miliar rupiah
79
52%
>500 Miliar rupiah
22
14%
Jumlah
152
100%
Terintegrasi (mixed tekstil dengan garmen)
22
15%
Tekstil saja
95
62%
Garmen saja
34
23%
Jumlah
151
100%
30- 300 orang
42
28%
>300 – 3000 orang
97
64%
>3000 orang
12
8%
Jumlah
151
100%
21
14%
Penjualan Pertahun
Bidang Usaha
Jumlah pegawai
Usia Perusahaan 3 – 10 tahun
22
>10 – 20 tahun
73
48%
>20 tahun
57
38%
Jumlah
151
100%
Domestik dan Ekspor (mixed)
117
76%
Domestik 100%
27
18%
Ekspor 100 %
9
6%
153
100%
Total Domestik
NA
58%
Total Ekspor
NA
42%
Jumlah
NA
100%
Manajer Senior
64
42%
GM/Direktur
76
50%
Presiden Direktur
12
8%
Jumlah
152
100%
Laki-laki
132
86%
Perempuan
21
14%
Jumlah
153
100%
Area Pemasaran
Jumlah Kontribusi Pemasaran
Jabatan Responden
Jenis Kelamin Responden
Sumber: Diolah oleh penulis dari data-data survei (2008)
Hasil Penelitian dan Analisisnya Analisis “Structural Equation Modeling” (SEM) Sebanyak 153 buah kuesioner yang kembali dan terisi (lihat Tabel 5.1) diolah dengan menggunakan teknik statistik Structural Equation Modeling (SEM) melalui dua tahap yang dikenal dengan “two step approach” (Wijanto, 2007) yakni meliputi:
23
1)
Analisis
Model
Pengukuran
(Measurement
Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Model)
dengan
menggunakan
Analisis ini dilakukan untuk memastikan
apakah berbagai indikator atau variabel teramati yang ditentukan secara teoritis dapat dimasukkan dalam kelompok masing-masing variabel laten seperti dalam model penelitian. Tahap selanjutnya, sesuai rule of the thumb (Wijanto, 2008), bahwa satu variabel terukur minimal memerlukan 5 responden ketika menggunakan estimasi Maximum
Likelihood (MLE) atau 10 responden kalau menggunakan estimasi
Weighted Least Square (WLS), maka dengan sampel data yang hanya berjumlah 153 (seharusnya minimal sampel untuk MLE adalah 5 x 75 = 375), model pengukuran perlu disederhanakan dengan tahap sebagai berikut; a)
Melakukan analisis model pengukuran dari model penelitian dengan sekaligus menghitung Latent Variabel Score (LVS) dari variabel-variabel laten yang diperlukan sehingga model hanya mengandung model pengukuran tingkat pertama,
b)
Melakukan analisis terhadap model pengukuran dari model penelitian yang telah disederhanakan tersebut.
2)
Analisis Model Struktural (Structural Model) dilakukan untuk
menganalisis
pengaruh antar semua variabel laten yang telah disederhanakan.
Analisis Model Pengukuran (Measurement Model) Analisis model pengukuran meliputi 3 tahap yang meliputi: pengujian kecocokan keseluruhan model yang dilihat dari hasil Goodness of Fit Index (GOFI) yang dihasilkan, analisis validitas dan reliabilitas.
Tingkat kecocokan model dapat dilihat dari nilai uji
dibandingkan dengan standar nilai GOFI.
Setelah diperoleh kecocokan yang baik dari
keseluruhan model maka langkah berikutnya yaitu melakukan pengujian validitas dari model pengukuran. Menurut Wijanto (2008), ukuran sebuah variabel laten atau memiliki validitas dan reliabilitas yang baik adalah sebagai berikut: a)
Nilai-t (t-value) ≥ 1.96
b)
Nilai muatan faktor standar (Standardized Loading Factor/ SLF) ≥ 0.50
24
Reliabilitas dari model pengukuran menggunakan dua kriteria yaitu Construct Reliability (CR) dan Variance Extracted (VE) yang nilainya dapat dihitung dengan rumus (Formula-5.1 untuk CR dan Formula-5.2 untuk VE), seperti berikut ini:
CR =
( Σ S tan d ard ized L o ad in g ) 2 ( Σ S tan d ard ized L o ad in g ) 2 + Σ E rro r
Σ S tan d ard ized L o ad in g 2 N d i m an a N ad alah b an yak n ya variab el teram ati VE =
Kriteria reliabilitas model pengukuran yang baik adalah jika CR ≥ 0.70 dan VE ≥ 0.50.
Tabel 4. Pengujian Hipotesis dengan Nilai-t terhadap: H1-H6 Hipo-
Variabel Laten
tesis H1
Nilai-t ≥1.96
Signifikansi
Kesimpulan
Tidak
Data tidak mendukung model.
(Signifikan) Strategi Bisnis→ Kinerja Perusahaan
0.90
Signifikan H2
Kebijakan Teknologi → Kinerja Perusahaan
2.64
Signifikan
Data mendukung model.
(Positif) H3
Ketidakpastian Lingkungan→
0.89
Tidak
Data tidak mendukung model.
Signifikan Strategi Bisnis H4
Ketidakpastian Lingkungan→
-0.44
Tidak
Data tidak mendukung model.
Signifikan Kebijakan Teknologi H5
Ketidakpastian Lingkungan→
-2.51
Signifikan
Data mendukung model.
(Negatif) Kinerja Perusahaan H6
Strategi Bisnis→ Kebijakan Teknologi
4.88
Signifikan (Positif)
Sumber: Hasil Pengolahan data penelitian (2008)
Data mendukung model.
25
Gambar 4. Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian H1-H6 Business Strategy H3
Environment Uncertainty
H1
(BStrat) H6+
H5-
Firm Performance (FirmPerf)
(EnvUnc) H4
H2+
Technology Policy (TechPol)
Tabel 5. Pengujian: Hipotesis dengan Nilai-t terhadap: H1a-H1d, H2a-H2d, H3a- H3d, H4a-H4c, H5 dan H6a1-H6a2, H6b1-H6b2, H6c1-H6c2 dan H6d. Variabel
Hipo-
Laten
tesis H1a
Variabel Laten
Nilai-t ≥ 1.96
Specialty Product→ Kinerja Perusahaan
1.21
Tidak
Data tidak mendukung model.
Signifikan H1b
Marketing Intensity → Kinerja Perusahaan
0.63
Firm-perf
Tidak
Data tidak mendukung model.
Signifikan H1c
Cost Leadership→
2.03
Kinerja Perusahaan H1d
Prod Line Breadth→
H2a
Aggr. Tech Posture→
0.20
Process Automation→
1.88
Innovation and R&D→ Kinerja Perusahaan
Tidak
Data tidak mendukung model.
Tidak
Data tidak mendukung model.
Signifikan 2.24
Kinerja Perusahaan H2c
Data mendukung model.
Signifikan
Kinerja Perusahaan H2b
Signifikan (Positif)
Kinerja Perusahaan
Firm-perf
Kesimpulan
(Signifikan)
BStrat
Tech-Pol
Signifikansi
Signifikan
Data mendukung model.
(Positif) 1.44
Tidak Signifikan
Data tidak mendukung model.
26
H3a
Ketidakpastian Lingkungan → Specialty Product
-0.60
Tidak signifikan
Data tidak mendukung model.
H3b
Ketidakpastian Lingkungan→
-0.23
Tidak signifikan
Data tidak mendukung model.
2.53
Signifikan
Data mendukung model.
Env-unc Marketing Intensity H3c
Ketidakpastian Lingkungan→
BStrat Cost Leadership H3d
Ketidakpastian Lingkungan→
(Positif) 1.19
Tidak signifikan
Data tidak mendukung model.
Product Line Breadth Env-unc
H4a
Ketidakpastian Lingkungan→ Aggr Techno Posture
-0.52
Tidak signifikan
Data tidak mendukung model.
H4b
Ketidakpastian Lingkungan → Process Automation
-0.38
Tidak signifikan
Data tidak mendukung model.
H4c
Ketidakpastian Lingkungan→ Innovation and R&D
0.31
Tidak
Data tidak mendukung model.
Tech-pol
Signifikan Ketidakpastian Lingkungan→
Env-unc H5a
Kinerja Perusahaan
H6a1
Specialty Product →Aggr. Tech Posture
-2.30
Signifikan
Data mendukung model.
(Negatif)
Firmperf 3.72
Signifikan
Data mendukung model.
(Positif) H6a2
Specialty Product → Innovation and R&D
3.07
Signifikan
Data mendukung model.
(Positif) Bstrat
H6b1
Marketing Intensity →Aggr.Tech Posture
H6b2
Marketing Intensity → Innovation and R&D
1.21
Tidak signifikan
Data tidak mendukung model.
Signifikan
Data mendukung model.
Tech-pol
H6c1
Cost Leadership →Aggr.Tech Posture
3.11
(Positif)
1.80
Tidak
Data tidak mendukung model.
Signifikan H6c2
Cost Leadership →Process Automation
5.00
Signifikan (Positif)
Data mendukung model.
27
H6d
Product Line Breadth→ Innovation and R&D
2.58
Signifikan
Data mendukung model.
(Positif)
Sumber: Hasil Pengolahan data penelitian (2008)
Gambar 5. Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian H1a-H6d
Cost
Marketing Intensity
Specialty Products
Business Strategy
Leadership
H1c+
H1b
H1a
Product Line Breadth
H1d
H6a1+ H6a2+ H3a H3b
H3+c H6b2+ H3d
Environment
Firm Performance
H5a-
Uncertainty
H4a
H6d
H6b1
H4c H6c1
H4b
H6c+2
H2a
Technology Policy
Agg Technology Posture
Legend: Berpengaruh signifikan
H2c
H2b+ Process Automation
Innovation and R&D
28
Kesimpulan Berdasarkan kombinasi interaksi dari seluruh variabel dan dimensi penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan akhir sebagai berikut: Pertama, ketidakpastian lingkungan, strategi cost leadership dan kebijakan teknologi mempengaruhi signifikan kinerja perusahaan tekstil dan garmen Indonesia namun ketidakpastian lingkungan mempengaruhi kinerja secara negatif sedangkan strategi cost leadership dan kebijakan teknologi mempengaruhi kinerja secara positif. Kedua, dalam ketidakpastian lingkungan yang meningkat (turbulen), kebijakan teknologi dan ketidakpastian lingkungan itu sendiri memiliki peran dan pengaruh lebih dominan dibandingkan peran strategi bisnis terhadap kinerja perusahaan walaupun pengaruh dimensi strategi cost leadership secara tunggal juga mempunyai pengaruh signifikan. Ketiga, strategi bisnis dan seluruh dimensinya mempengaruhi secara signifikan positif kebijakan teknologi dan dimensi tertentu dari kebijakan teknologi tersebut yakni process automation berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja perusahaan.
Daftar Pustaka Afuah, A. (2000); How much do your co-opetitors capabilities matter in the face of technological change?; Strategic Management Journal, Special Issue, 21, 387-404. Ansoff, I.(1965); Corporate Strategy: An Analytical Approach to Business Policy for Growth and Expansion; McGraw Hill, New York. Barney, J. B. (1991); Firm resources and sustained competitive advantage; Journal of Management, 17: 99-120. Barringer, B. R., dan Bluedorn, A. C. (1999); The relationship between corporate entrepreneurship and strategic management; Strategic Management Journal, 20: 421444. Bourgeois, L. J. III. (1980); Strategy and environment: a conceptual integration; Academy of Management Review, 5(1): 25-39. Burgelman, R. A., Maidique, M. A., dan Wheelwright, S.C. (2001); Strategic Management of Technology and Innovation; McGraw-Hill Irwin, Singapore. Christensen, R., Andrews, K., dan Bower, J. (1978); Business Policy, Richard Irwin, Illinois. Capon, N., dan Glazer, R. (1987); Marketing and Technology: A strategic coalignment; Journal of Marketing, 51: 1-14.
29
CIC Consulting Group. (2005); Studi tentang Industri Tekstil dan Produk Tekstil; The CIC Consulting Group, Jakarta. Clark, K., dan Hayes, R. (1985); ‘Exploring factors affecting innovation and productivity growth within the business unit’, Dalam K. Clark and C. Lorenz (eds.), The Uneasy Alliance: Managing the Productivity Technology Dilemma; Harvard Business School Press, Boston, MA, 365-384. Collis, D. (1991); A resource-based analysis of global competition: the case of the bearings industry; Strategic Management Journal, 12: 49-68. Conner, K. R. (1991); A historical comparison of resource-based theory and five schools of thought within industrial organization economics: do we have a new theory of the firm?; Journal of Management, 17(1): 121-154. Council on Competitiveness, (1991); Gaining New Ground: Technology Priorities for America’s Future; Council on Competitiveness, Washington, DC. Day, G. S., dan Reibstein, D. J. (1997); Wharton on Dynamic Competitive Strategy; John Wiley & Son, Inc. DeSarbo, W., Di Benedetto, C. A., Song, M., dan Sinha, I. (2005); Revisiting the Miles and Snow strategic framework: Uncovering interrelationships between strategic types, capabilities,environmental uncertainty and firm performance; Strategic Management Journal, 26:47-74. Dicken, P. (2003); Global Shift, Reshaping the Global Economic Map in the 21st Century; 4th ed., The Guilford Press, New York. Dill, W. R. (1976); Environment as an influence on managerial autonomy; Administrative Science Quarterly, 409-443. Emery, F. E., dan Trist, E. L. (1965); The causal texture of organizational environments; Human Relations, 18: 21-31. Firmanzah. (2003); Perceived Industrial Pressure – Firm Capability: Dynamic Relation; This paper has been presented in the seminar of ‘Competitive Strategy : New Approach and New
Game’ 4 Novembre 2003 in University of Paris XII (Paris).
Franko, L.G. (1989); Global corporate competition: Who’s winning, who’s losing and the R&D factor as one reason why; Research Management, 29 (4): 17-20. Fusfeld, A. (1978); Technology Review; MIT Alumni Association.
30
Ghobadian, A., O’Regan, N., Gallear, D., dan Viney, H. (2004); Strategy and Performance Achieving Competitive Fuchs, P. H., Mifflin, K. E., Miller, D., dan Whitney, J. O. (2000); Strategic integration:competing
in
the
age
of
capabilities;
California
Management
Review,42(3): 118-147; Advantage in the Global Markets, Palgrave, New York. Ghemawat, P., dan Nueno, J. L. (2006); ZARA: Fast Fashion; Harvard Business School Publishing, Boston, MA. Ginsberg, A., dan Venkatraman, N. (1985); Contingency perspectives of organizational strategy: a critical review of the empirical research; Academy of Management Review, 10(3): 421-434. Hair, J. F., Tatham, R. L., Anderson, R. E., dan Black, W. (1998);
Multivariate Data
th
Analysis(5 Edition); Prentice Hall, New Jersey. Hambrick, D. (1980); Operationalizing the concept of business-level strategy in research; Academy of Management Review,
5(4): 567- 575.
Hatten, K. J., dan Schendel, D. E. (1977); Heterogenenity within industry: firm conduct in the U.S brewing industry, 1952-71; The Journal of Industrial Economics, 26(2): 97113. Hatten, K. J., Schendel, D. E., dan Cooper, A. C. (1978); A strategic model of the U.S. brewing industry: 1952-1971; Academy of Management Journal, 21(4): 592-610. Helfat, CE. (2000); Guest editor’s introduction to the special issue; the evoloution of firm capacities; Strategic Management Journal, Special issue 21 (10-11): 955-959. Henderson, R., dan Mitchell, W. (1997); The interactions of organizational and competitive influences on strategy and performance; Strategic Management Journal, 18: 5-14. Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., dan Ireland, R. D. (2007); Management Strategy: Concepts and Cases; Thomson South-Western, Mason. Hunt, S. D., dan Morgan, R.M. (1995); The Comparative Advantage Theory of Competition; Journal of Marketing, 59(4): 1-15. Itami, H., dan Numagami, T. (1992);
Dynamic Interaction Between Strategy and
Technology; Strategic Management Journal 13 (Winter, 1992): 119-136. Khandwalla, P. (1970); Environment and its impact on the organization, 297-313. Khalil, T. M. (2000); Management of Technology:The Key to Competitiveness and Wealth Creation; Singapore: McGraw-Hill Companies Inc.
31
Kilmann, R. H; Kilmann, I and Associates. (1991); Making organizations competitive: Enhancing networks and relationships accross tradidional boundaries; California: Jossey- Bass Inc. Lawrence, P., dan Lorsch, J. (1967); Organization and Environment; Harvard University Press, Boston. Lawless, M. W., Bergh, D., dan Wilsted, W. D. (1989); Performance variations among strategic group members: an examination of individual firm capability; Journal of Management, 15(4): 649-661. Lenz, R. T. (1980); Strategic capability: a concept and framework for analysis; Academy of Management Review, 5(2): 225-234. Lenz, R. T. (1981); ‘Determinants’ of organizational performance: an interdisciplinary review; Strategic Management Journal, 2: 131-154. Maidique, M,A., dan Patch, P. (1988); ‘Corporate strategy and technology policy’; Dalam M.L. Tushman., dan W.L. Moore (eds), Reading in management of Innovation (2nd ed), Balringer, Cambridge, MA: 236-248. Marcus, A. A. (2006); Big Winner and Big Loosers; Upper Saddle River, New Jersey: Wharton School Publishing. Miller, G., Galanter, E dan Pribram, K.H. (1960); Plans and the Structure of Behavior, London, Holt. Mitchel, G. (1990); ‘Alternative frameworks for technology strategy’; European Journal of Operational Research, 47
(4):153-161.
Morgan, R., dan Strong, C. (2003); Business performance and dimensions of strategic orientation; Journal of Business Research, 56: 163-176. Narayanan, V. K. (2001); Managing technology and Innovation for competitive advantage; New Jersey: Prentice Hall, Inc. Parnell, J. A. (1997); New evidence in the generic strategy and business performance debate: a research notes; British Journal of Management, 8:175-181. Parnell, J. A. (2002); Competitive strategy research; Journal of Management Research, 2(1): 1-12. Parnell, J. A. (2006); Generic strategies after two decades: A re-conceptualization of competitive strategy; Management Decision, 44(8): 1139-1154.
32
Parnell, J. A, Wright, P., dan Tu, H. S. (1996); Beyond the strategy-performance linkage: the impact of the strategy-organization-environment fit on business performance; American Business Review, June: 41-50. Penrose, E. (1959); The Growth of the Firm; Basil Blackwell, Oxford. Pfeffer, J., dan Salancik, G. (1978); The External Control of Organization; Stanford Business Book, California. Porter, M. (1980); Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and competitors; Free Press, New York. Porter, M., (1983); ’ The technological dimension of competitive strategy’ dalam R.S. Rosenbloom (ed); Research on Technological Innovation, Management and Policy, 1, JAI Press, Greenwich, CT: 1-33. Porter, M. (1985); Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance; Free Press, New York. Porter, M. (1996); On Competition; Harvard Business Review Book, Boston. Raynor, M. E. (2007); The Strategy Paradox; Random House, New York. Robins, J. A., dan Wiersema, M. (1995); A resource-based approach to the multibusiness firm: emprical analysis of portfolio interrelationships and corporate financial performance; Startegic Management Journal, 24 (1): 39-59. Robinson Jr., R. B.., dan Pearce, J. A. (1988); Planned patterns of strategic behavior and their relationship to business-unit performance; Strategic Management Journal, 9: 43-60. Schendel, D., dan Patton, G. R. (1978); A simultaneous equation model of corporate strategy; Management Science, 24(15): 1611-1621. Schumpeter, J. A. (1934); The Theory of Economic Development; Cambridge, MA: Harvard University Press. Tan, J dan Litschert, R. (1994); Environment-strategy relationship and its performance implications: an empirical
study of the Chinese electronics industry; Strategic
Management Journal, 15: 1-20. Tan, J., dan Tan, D. (2005); Environment-strategy co-evolution and co-alignment: a staged model of Chinese SOEs under transition; Strategic Management Journal, 26: 141-157. Teece, D. J., Pisano, G., dan Shuen, A. (1997); Dynamic capabilities and strategic management; Strategic Management Journal, 18(8): 509-533. Thompson, J.(1967); Organizations in Action; Transaction Publisher, New Brunswick.
33
Tvorik, S., dan McGivern, M. (1997); Determinants of organizational performance; Management Decision, 35(6): 417-435. White, R., dan Hamermesh, R. (1981); Toward a model of business unit performance: an integrative approach; Academy of Management, 6(2): 213-223. Wijanto, S, H. (2007); Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8; Konsep & Tutorial: Graha Ilmu, Yogyakarta. Zahra, S. A., dan Covin, J. G. (1993); Business Strategy, Technology Policy and Firm Performance; Strategic ManagementJournal, 14: 451-478.
34
Analisis Pengaruh Aliran Modal dan Faktor Eksternal Terhadap Term Structure Interest Rate Obligasi Pemerintah Indonesia (SUN)6 Pardomuan Sihombing7, Hermanto Siregar8, Adler H. Manurung9, Perdana W. Santosa10
Indonesian government bond market has developed so rapidly, this study aimed to investigate the effect of capital flows and external factors on the term structure of interest rate Indonesian government bonds (SUN). Yield spreads in this study using a long-term government bonds (10 years) and short-term (3 months). This study uses a portion of foreign investor ownership (FP), reserves (CD), Hang Seng Index (HSI), DOW Jones index (DOW), oil prices (OIL), and the Federal Funds Rate (FFR) as a proxy of capital flows and external factors for the period July 2003 to December 2011. The research shows that YS influenced by the FFR. Keywords: yield spread, capital flows, external factors, Indonesian government bonds
6
Makalah ini adalah bagian dari Disertasi yang disampaikan pada seminar Sekolah Pascasarjana IPB Mahasiswa Program Doktor Manajemen dan Bisnis IPB 8 Dosen Program Doktor MB IPB 9 Dosen Program Doktor MB IPB 10 Dosen Program Doktor MB IPB 7
35
ANALISIS PENGARUH ALIRAN MODAL DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TERM STRUCTURE INTEREST RATE OBLIGASI PEMERINTAH INDONESIA (SUN) Pendahuluan Latar Belakang Pasar obligasi memerankan peran penting sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan di masa pertumbuhan ekonomi dunia dewasa kini. Setelah krisis keuangan Asia pada 1997, pemerintah Indonesia telah memulai secara aktif utilisasi obligasi sebagai sumber utama bagi pembiayaan jangka panjang. Pendanaan melalui obligasi dalam negeri berguna untuk penguatan sistem keuangan suatu negara dan mengurangi potensi guncangan krisis keuangan di masa mendatang (Fabella dan Madhur, 2003). Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk menutup defisit anggaran belanja pemerintah melalui pinjaman yang bersumber dari dalam negeri. Mengingat tingkat fleksibilitas dan dependensi yang tinggi terhadap negara donor, menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk beralih dari pembiayaan luar negeri ke pembiayaan dalam negeri. Pembiayaan dalam negeri dilakukan dengan penerbitan obligasi pemerintah (SUN). Dengan penerbitan obligasi, pemerintah turut membentuk dan memajukan pasar obligasi di Indonesia. Pemerintah memandang perlu untuk terus-menerus mengembangkan pasar obligasi di Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Surat Utang dan Bapepam. Hal ini tercermin dari upaya pemerintah mengembangkan pasar obligasi secara bertahap dengan mempersiapkan aturan hukum dan infrastruktur penunjang pasar untuk mencapai kondisi pasar obligasi yang likuid dan efisien. Pemerintah setiap tahunnya menerbitkan obligasi untuk pendanaan yang berdampak terhadap peningkatan outstanding (jumlah) obligasi pemerintah di pasar obligasi dalam negeri. Tahun 2005 pemerintah hanya menerbitkan Rp. 47 triliun, dengan jumlah obligasi sebesar Rp. 399,86 triliun. Sedangkan pada tahun 2011, obligasi pemerintah diterbitkan sebesar Rp. 207,1 triliun dangan jumlah obligasi yang beredar sebesar Rp. 723,61 triliun. Perkembangan obligasi pemerintah yang sangat pesat dapat dilihat pada gambar 1.
36
Gambar 1. Perkembangan Obligasi Pemerintah (SUN) Indonesia (Rp. Triliun) 800 700 600 500 399.86 400 300 200 47.0 100 0 2005
418.75
477.75
100.0
61.0 2006
2007
525.70
126.2
2008
581.75
641.22
167.6
148.5
2009
2010
723.61
207.1
2011
Outstanding Obligasi Pemerintah Penerbitan Obligasi Pemerintah
Sumber: Publikasi DMO, Depkeu
Data DMO Depkeu menyebutkan bahwa pada Desember tahun 2011 proporsi kepemilikan obligasi pemerintah Indonesia oleh perbankan di Indonesia adalah sebesar 36,63% (Rp. 265,03 trilyun), sedangkan proporsi kepemilikan obligasi pemerintah oleh non bank adalah sebesar 62,29% (Rp. 450,75 triliun). Hal ini menunjukkan bahwa pihak bank maupun non bank (lihat tabel 1) memandang asset obligasi sebagai investasi yang menguntungkan. Obligasi pemerintah dipilih karena dipandang memiliki risiko investasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan obligasi korporasi. Dengan demikian hampir sebagian besar investor lebih memilih untuk menjadikan obligasi pemerintah sebagai salah satu komponen asset-nya. Berbagai pihak yang berperan sebagai investor atas obligasi pemerintah berinvestasi guna memperoleh pendapatan bunga (interest income) dan keuntungan dari selisih harga beli-jual obligasi (capital gain).
37
Tabel 1. Kepemilikan SBN yang dapat diperdagangkan (Rp. Triliun) Bank: Bank BUMN Rekap Bank Swasta Rekap Bank Non Rekap BPD Rekap Bank Syariah Bank Indonesia* Non-Banks: Reksadana Asuransi Asing Dana Pensiun Sekuritas Lain-lain Total
2005 2006 2007 2008 2009 2010 289.65 269.11 268.65 258.75 254.36 217.27 154.5 152.76 154.67 144.72 144.19 131.72 85.38 80.79 72.63 61.67 59.98 54.93 32.4 32.78 35.37 45.17 42.40 26.26 1.18 2.78 5.97 6.5 6.02 1.41 0.00 0.00 0.00 0.69 1.77 2.95 10.52 7.54 14.86 23.01 22.50 17.42 99.67 142.1 194.24 243.93 304.89 406.53 9.12 21.43 26.33 33.11 45.22 51.16 32.3 35.04 43.47 56.95 72.58 79.30 31.09 54.92 78.16 86.02 108.00 195.76 22.02 23.08 25.5 33.41 37.50 36.75 0.46 1.00 0.28 0.63 0.46 0.13 4.68 6.63 20.5 33.60 41.12 43.43 399.84 418.75 477.75 534.89 581.75 641.21
2011 265.0 148.64 67.33 42.84 4.32 1.90 7.84 450.75 47.22 93.09 222.86 34.39 0.14 53.05 723.61
Sumber: Publikasi DMO, Depkeu
Pedoman umum yang digunakan oleh para investor dan pelaku pasar untuk dapat memantau perkembangan nilai portfolio obligasi pemerintah yang dimiliki adalah dengan memantau perkembangan pergeseran term structure interest rate. Yield curve yang diproxikan dengan yield spread bergerak ditentukan faktor fundamental ekonominya (Min, 1998). Penelitian ini melanjutkan studi yang dilakukan Sihombing et al. (2012) yang sebelumnya menganalisis pengaruh makro ekonomi terhadap term structure interest rate pada obligasi pemerintah Indonesia (SUN). Sihombing et al. (2012) menemukan adanya tren penurun yield spread pada obligasi pemerintah Indonesia (SUN) mengikuti pertumbuhan ekonomi yang terjaga baik. Kondisi fundamental ekonomi yang membaik, membuat investor asing akan masuk dan terjadi aliran modal (capital inflow). Capital inflow ini pada akhirnya akan menyebabkan mata uang rupiah menguat dan sebagian capital inflow akan diinvestasikan dalam portofolio obligasi. Dalam era globalisasi dengan tidak jelasnya lagi batasan negara membuat bursa antar negara dan faktor eksternal saling terkait. Gejolak pasar keuangan yang terjadi pada tahun 2008 (kasus subprime mortgage di Amerika Serikat) adalah contoh bahwa pasar keuangan saling berhubungan secara signifikan. Sebagaian besar emerging market sangat dipengaruhi oleh volatilitas pasar global Marcilly (2009). Sehingga penelitian pengaruh aliran modal dan faktor eksternal menjadi penting untuk dilakukan.
38
Bagi pemerintah mengetahui pengaruh aliran modal dan faktor eksternal yang mempengaruhi yield curve obligasi pemerintah dapat menjadi strategi untuk mengembangkan pasar obligasi dan memperoleh pendanaan dengan cost of fund yang murah. Analisa terhadap pergerakan yield curve menjadi hal yang penting untuk dipahami oleh para investor dan pelaku pasar untuk meningkatkan kinerja portfolio investasinya.
Tujuan Penelitian Perkembangan obligasi pemerintah Indonesia (SUN) dan pergerakan term structure interest rate yang mendorong penelitian ini untuk melakukan investigasi terhadap aliran modal dan faktor eksternal mana yang berperan penting mempengaruhi pergerakan term structure interest rate pada obligasi pemerintah Indonesia (SUN).
Tinjauan Literature Tinjauan Teoritis Menurut Fabozzi (2002), imbal hasil atau yield obligasi adalah ukuran tingkat pengembalian potensial dari obligasi tersebut. Menurut Martelli, Priaulet, dan Priaulet (2003), Imbal Hasil atau Term Structure of Interest Rate (TSIR) merupakan serangkaian tingkat bunga yang diurut berdasarkan waktu jatuh tempo tertentu. Nilai dan kondisi dari tingkat bunga akan menentukan nilai dan kondisi dari struktur waktu yang pada akhirnya akan menghasilkan kurva imbal hasil. Menurut Nawalkha dan Soto (2009) istilah TSIR, disebut juga dengan kurva imbal hasil (yield curve), didefinisikan sebagai hubungan antara hasil investasi (imbal hasil) dengan jatuh tempo investasi. Kurva imbal hasil biasanya diestimasi dengan menggunakan imbal hasil obligasi diskonto yang disetahunkan kemudian dihitung dengan metode bunga berbunga (continuously compounded). Kurva imbal hasil tidak dapat diobservasi secara langsung akibat tidak adanya obligasi diskonto yang memiliki tanggal jatuh tempo yang berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, kurva imbal hasil biasanya diestimasi dengan menerapkan metode struktur waktu yang membentuk obligasi yang memiliki kupon dengan waktu jatuh tempo yang berbeda-beda. Terdapat 4 (empat) teori yang menjelaskan terbentuknya kurva imbal hasil (Martelli, Priaulet dan Priaulet, 2003) yaitu: 1. The Pure Expectations Theory, kurva imbal hasil pada suatu waktu tertentu menggambarkan ekspektasi tingkat bunga jangka pendek di masa yang akan datang.
39
Peningkatan/penurunan pada imbal hasil merupakan peningkatan/penurunan pada tingkat bunga jangka pendek. 2. The Pure Risk Premium Theory, terdapat dua versi dalam menggambarkan bentuk dari resiko premium yaitu The Liquidity Premium dan The Preferred Habitat. The Liquidity Premium mengemukakan bahwa investor lebih tertarik untuk mempertahankan obligasi dengan masa jatuh tempo yang lebih lama dengan harapan obligasi memberikan tingkat pengembalian yang tinggi (pada tingkat risiko premium tertentu) sehingga mampu menyeimbangkan volatilitas yang tinggi dari obligasi tersebut. The Preferred Habitat, mengemukakan bahwa investor tidak selalu berniat untuk melikuidasi investasinya secepat mungkin, biasanya dipengaruhi oleh kondisi kewajiban investor. 3. The Market Segmentation Theory, dalam kerangka pemikiran teori ini, ada beberapa kategori investor yang terdapat di pasar dengan kondisi masing-masing investor berinvestasi pada segmen tertentu sesuai dengan kewajibannya tanpa pernah berpindah ke segmen lain. 4. The Biased Expectations Theory, merupakan kombinasi dari Pure Expectations Theory dan Risk Premium Theory. Teori ini menyimpulkan bahwa kurva imbal hasil mencerminkan ekspektasi pasar akan tingkat bunga di masa yang akan datang dengan tingkat likuiditas yang tidak tetap dari waktu ke waktu.
Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya yang membahas tentang determinan yield spread di negara berkembang dan utang luar negeri adalah Min (1998), Eichengreen dan Mody (1998), Ferrucci (2003), Baek et al. (2005), Grandes (2007), Baldacci et al (2008), Gibson et al. (2011), dan Sihombing et al (2012). Yield spread yang mencerminkan premi risiko, diperlukan untuk mendorong debitor untuk meminjamkan kepada peminjam, biasanya dimodelkan sebagai fungsi dari probabilitas default dan kerugian yang diantisipasi. Hal ini pada gilirannya akan berhubungan dengan kondisi fundamental yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar, ekonomi makro, guncangan eksternal, dan aliran modal. Secara umum, literatur terdahulu menemukan dukungan untuk masing-masing determinan yield spread. Min (1998) menganalisa determinan dari yield spreads obligasi dari 11 negara berkembang dalam kurun waktu 1991 sampai dengan 1995. Min (1998) menyimpulkan
40
bahwa kemampuan mengakses pasar luar negeri sangat ditentukan faktor fundamental dalam negeri dan faktor eksternal. Oleh karena itu disarankan agar negara-negara berkembang yang ingin mencari akses yang lebih besar terhadap pasar obligasi internasional harus meningkatkan fundamental makro ekonominya. Sihombing et al. (2012) melakukan penelitian terhadap obligasi pemerintah Indonesia (SUN) dengan menggunakan data dari Juli 2003 sampai Desember 2011. Penelitian tersebut menemukan adanya tren penurunan dari yield spread obligasi pemerintah Indonesia selama periode penelitian akibat faktor fundamental ekonomi Indonesia yang terjaga baik. Faktor makro ekonomi consumer price index (CPI) berpengaruh positif terhadap yield spread obligasi pemerintah Indonesia dan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) berpengaruh negatif terhadap yield spread. Eichengreen dan Mody (1998) menegaskan arti penting faktor eksternal selain faktor fundamental dalam analisis sentimen pasar. Dengan menganalisis hampir 1.000 data obligasi negara berkembang yang diterbitkan antara tahun 1991 sampai dengan tahun 1996, ditemukan bahwa yield spreads obligasi bergantung pada issue size, credit rating issuer, debt to GDP, dan debt service to export ratio. Kesimpulan utama dari penelitian ini bahwa perubahan dalam sentimen pasar, tidak hanya bergantung pada fundamental makroekonomi, tetapi juga faktor pasar atau faktor eksternal. Gibson et al. (2011) menyatakan risiko likuiditas atau aliran modal berkaitan dengan kemampuan suatu negara untuk mengakses mata uang asing yang dibutuhkan untuk menjual obligasinya, seperti pertumbuhan ekspor dan rasio cadangan devisa terhadap PDB yang berpengaruh negatif terhadap yield spread.
Sedangkan, debt service ratio (pembayaran
hutang/ekspor) berpengaruh positif terhadap yield spread. Marcilly (2009) menemukan adanya partisipasi investor asing di obligasi mata uang lokal, yield spread obligasi pemerintah dan nilai tukar di pasar obligasi negara berkembang terutama Indonesia dan Malaysia. Peiris (2010) melakukan penelitian mengenai partisipasi investor asing terhadap obligasi domestik di 10 negara berkembang periode 2000-2009. Hasil penelitian menemukan bahwa meningkatnya kepemilikan investor asing akan menurunkan yield jangka panjang secara signifikan. Hasil penelitian juga menemukan dengan meningkatnya kepemilikan investor asing tidak serta merta meningkatkan volatilitas yield obligasi di negara-negara berkembang.
41
Untuk ekonomi emerging market, harga minyak (oil price) dan suku bunga internasional cenderung menjadi sumber yang paling penting dari guncangan eksternal Gibson et al. (2011). Tingkat suku bunga biasanya ditunjukkan oleh tingkat bunga yang berdenominasi dolar AS, karena dominasi utang emerging market dalam mata uang dolar. Ferruci (2003) menemukan yield spread dipengaruhi secara positif oleh faktor eksternal (risiko pasar) dengan menggunakan proxy indeks saham S&P 500. Arora dan Cerisola (2000), Min et al. (2003), dan Ferrucci (2003) menemukan bahwa tingkat suku bunga The Fed sangat berpengaruh terhadap yield spread. Baek et al. (2005) membuat indeks risk appetite untuk negara maju dan berkembang berdasarkan rangking koefisien korelasi antara return pasar dan volatilitas.
Ditemukan
korelasi positif terhadap return pasar dan volatilitas bagi risk-seeking dan korelasi negatif bagi risk-avoiding. Risk appetite yang lebih besar diharapkan akan negatif terkait dengan keseluruhan tingkat yield spread. Ukuran alternatif dari penghindaran risiko global yang digunakan oleh Grandes (2007) adalah indeks obligasi korporasi AS yang ratingnya dinilai BB (junk bonds). Faktor tambahan yang dianggap mempengaruhi yield spread di pasar negara berkembang adalah risiko politik (Baldacci et al., 2008). Makna potensi variabel ini berasal dari penelitian Eaton dan Gersovitz (1981), yang menarik adalah pada pentingnya kesediaan untuk membayar dan bukan hanya kemampuan untuk membayar sebagai penentu kemungkinan default. Baldacci et al. (2008) mengukur risiko politik dengan mengunakan komponen first principal World Bank Governance Index dan indeks kebebasan ekonomi Heritage Foundation. Hasilnya ditemukan signifikan positif determinan yield spread (yaitu, peningkatan risiko politik mempengaruhi kenaikan yield spread). Penelitian sebelumnya juga menyelidiki sejauh mana pengaruh krisis ekonomi terhadap pergerakan yield spread di negara berkembang. Grandes (2007), dalam studinya tentang negara Amerika latin untuk periode 1993-2001, menggunakan variabel dummies untuk melihat pengaruh krisis dari Meksiko, Rusia dan Brasil. Ketiga dummies yang ditemukan sangat signifikan. Sebaliknya, Min (1998) tidak menemukan bukti bahwa krisis Meksiko mempengaruhi pergerakan yield spread di negara-negara berkembang.
42
Metode Penelitian Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data penelitian ini merupakan data sekunder berbentuk time-series bulanan mulai Juli 2003 hingga Desember 2011 yang bersumber sebagai berikut: Tabel 2. Operasional Variabel dan Sumber Data Variabel YS FP CD HSI DOW OIL FFR
Sumber Bloomberg DMO Bank Indonesia Bloomberg Bloomberg Bloomberg Bloomberg
Tipe Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan
Periode Juli 2003-Desember 2011 Juli 2003-Desember 2011 Juli 2003-Desember 2011 Juli 2003-Desember 2011 Juli 2003-Desember 2011 Juli 2003-Desember 2011 Juli 2003-Desember 2011
Semua variabel tersebut dalam berbentuk logaritma (log), kecuali variabel yield spread (YS) yang dinyatakan dalam persentase.
Model Empiris Berdasarkan tinjauan literatur di atas, model faktor aliran modal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pergerakan yield spread adalah berikut ini : DYSt = β0 + β1 D(LOG(FP))t + β2 D(LOG(CD))t + β3 D(LOG(HSI))t + β4 D(LOG(DOW))t + β5 D(OIL)t + β6 D(LOG(FFR))t + εt
(1)
keterangan: YS
: Yield Spread obligasi pemerintah 10 tahun dengan 3 bulan (%)
FP
: Porsi Kepemilikan Asing di Obligasi Pemerintah (Rp. Triliun)
CD
: Cadangan Devisa (USD Miliar)
HSI
: Indeks Hang Seng (Nominal)
DOW
: Indeks Dow Jones (Nominal)
OIL
: Harga Minyak Dunia (USD/barrel)
FFR
: Suku Bunga The Fed (Persentase)
εt
: Residual
43
Metodologi Penelitian Sebelum dianalisis, untuk setiap kelompok data, akan dilakukan uji stasioneritas dengan tes unit root. Jika data sudah stasioner, akan langsung dilakukan estimasi parameter dengan menggunakan ordinary least square (OLS). Untuk memastikan model yang diperoleh sudah layak, akan dilakukan pengujian asumsi-asumsi klasik dalam OLS. Model dilakukan tes untuk menghindari pelanggaran terhadap asumsi multikolinieritas, otokorelasi, heteroskedastisitas. Uji otokorelasi akan dilakukan dengan tes Durbin Watson (DW) untuk residual. Uji multikolinieritas akan dilakukan dengan melihat matriks korelasi. Untuk asumsi homoskedastisitas, penulis akan melakukan uji white untuk mengujinya.
Hasil dan Pembahasan Perkembangan Term Structure Interest Rate Obligasi Pemerintah (SUN) Yield spread (YS) obligasi pemerintah Indonesia selama periode penelitian mengalami fluktuasi akibat pengaruh dari faktor domestik, aliran modal dan eksternal. Pada Awal tahun 2004 yield spread mengalami peningkatan akibat adanya agenda pemilu pada Mei 2004. Ekspektasi peningkatan risiko menjelang pemilu diantisipasi dengan peningkatan yield spread. Selanjutnya, yield spread cenderung turun, bahkan sampai pada level 0,71% pada Agustus 2005. Hal ini dikarenakan kenaikan harga minyak dunia hingga USD 51,76/barel, yang sebelumnya hanya USD 33,05/barel. Kenaikan harga minyak membuat inflasi meningkat mencapai level tertingginya sebesar 7,20% pada bulan Juli 2005. Kenaikan inflasi mendorong Bank Indonesia menaikkan BI rate. Sepanjang tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2008 yield spread mengalami sideways dengan kecenderungan menurun akibat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat. Tahun 2008, Amerika Serikat mengalami krisis subprime mortgage yang diikuti kenaikan harga minyak dunia yang mencapai USD 140/barel pada bulan Juni 2008. Guncangan krisis yang terjadi di Amerika Serikat membuat fund manager internasional menjual asset investasi mereka yang ada di negara berkembang termasuk Indonesia. Kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah mengalami penurunan dari Rp. 106,66 triliun menjadi Rp.79,83 triliun. Penjualan obligasi oleh investor asing berdampak kepada penurunan cadangan devisa sebesar USD 9,99 miliar. Kondisi ini
44
berdampak terhadap kurs rupiah mengalami pelemahan hingga Rp. 12.151/US dolar, akibat adanya capital outflow.
Gambar 2. Pergerakan Yield Spread Obligasi Pemerintah (SUN) Indonesia (%) 6.00
Inflasi 4,60% (27/2/2004)
Krisis AS, Oil USD 140/barel, Inflasi 12,14% (22/08/08)
Kenaikan BBM, Inflasi 18,38% (29/08/05)
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
YS (Yield Spread)
Sumber: Bloomberg dan diolah kembali
Krisis yang terjadi di Amerika Serikat berdampak terhadap kenaikan harga minyak dunia, sehingga berpengaruh terhadap kenaikan inflasi yang mencapai 12,14% pada bulan September 2008. BI rate kembali meningkat mengikuti kenaikan inflasi hingga ke level 9,50%. Kenaikan BI rate kembali di respon oleh yield jangka pendek dengan kenaikan yang lebih besar dibandingkan yield obligasi jangka panjang. Namun, yield spread pada tahun 2008 tidak mengalami negatif spread. Setelah tahun 2008 sampai akhir tahun 2011 yield spread cenderung stabil akibat faktor domestik, aliran modal dan eksternal cenderung stabil. Pembahasan mengenai perkembangan yield spread selama periode penelitian memberikan informasi bahwa yield spread sangat dipengaruhi oleh faktor makro ekonomi, aliran modal dan faktor eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat yield spread cenderung menurun di masa ekonomi ekspansi dan begitu sebaliknya, hal ini sesuai dengan temuan dari Min (1998) dan Sihombing et al. (2012). Faktor aliran modal dan faktor ekternal juga berpengaruh terhadap pergerakan yield spread sesuai dengan penelitian Gibson et al. (2011), Min (1998), dan Eichengreen dan Mody (1998).
45
Hasil dan Analisis Statistik Deskriptif Tabel 3 menunjukkan variabel yield spread (YS) memiliki nilai rata-rata (mean) dan nilai tengah (median) yang positif. YS memiliki nilai mean 2,92%, nilai maksimum dari yield spread sebesar 5,64%. Sedangkan nilai minimum YS sebesar 0,39%. Standar deviasi digunakan untuk mengukur risiko dari suatu asset, YS memiliki standar deviasi tertinggi sebesar 1,27%. Tabel 3. Statistik Deskriptif Data Penelitian
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis Observations
YS 2.92 2.95 5.64 0.39 1.27 -0.07 2.68 102
Faktor Aliran Modal FP CD 84.55 57.23 79.33 50.90 248.87 124.64 4.23 30.32 69.49 25.30 0.81 1.21 2.66 3.48 102 102
HSI 18,299.91 18,351.54 31,352.58 10,134.83 4,554.69 0.29 2.37 102
Faktor Eksternal DOW OIL 10,959.50 70.07 10,796.96 69.67 13,930.01 140.00 7,062.93 29.11 1,411.42 23.83 -0.11 0.39 2.90 2.88 102 102
FFR 2.09 1.25 5.25 0.25 1.92 0.57 1.75 102
Statistik deskriptif menunjukkan nilai rata-rata (mean) dari data porsi kepemilikan investor asing di Obligasi Pemerintah (FP) sebagai proksi aliran modal sebesar Rp. 84,55 triliun, sedangkan kepemilikan tertinggi sebesar Rp. 248,87 triliun dan kepemilikan terendah sebesar Rp. 4,23 triliun. Data cadangan devisa (CD) memiliki nilai rata-rata sebesar USD 57,23 miliar, sedangkan posisi tertinggi sebesar USD 124,64 miliar dan terendah USD 30,32. Selama periode penelitian indeks Hang Seng (HSI) sebagai bursa utama Asia memiliki nilai rata-rata sebesar 18.299,91. HSI sempat menguat ke level 31.352,58 dan melemah sampai level 10.134,83. Indeks Dow Jones (DOW) sebagai bursa utama dunia rata-rata sebesar 10.959,50 selama 8 tahun, dengan level teringgi 13.930,01 dan level terendah 7.062,93. Harga minyak dunia (OIL) selama periode penelitian memiliki nilai tertinggi sebesar USD 140,00 dan terendah USD 29,11, dengan nilai rata-rata USD 70,07/barrel. Suku Bunga The Fed (FFR) selama periode penelitian rata-rata sebesar 2,09% dengan level tertinggi 5,25% dan level terendah 0,25%.
46
Hasil Tes Unit Root Pada tahap pertama, yang dilakukan adalah uji akar unit (stasioneritas). Menurut Gujarati (2003) kondisi stasioner terpenuhi apabila satu rangkaian data runtut waktu (time series) memiliki nilai rata-rata (mean) dan variance (variance) yang konstan sepanjang waktu. Semua data yang digunakan dipilih dalam bentuk logaritma (log) kecuali data yang sudah dalam bentuk persentase, alasannya adalah untuk menyerderhanakan analisis. Hasil uji akar unit tersaji dalam tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Hasil Tes Unit Root Variabel YS log(FP) log(CD) log(HSI) log(DOW) log(OIL) log(FFR)
Level -3.211955** -1.608931 0.71938 -2.286705 -2.79401* -2.210842 -0.746016
First Differentiation -12.01435*** -7.720546*** -8.086007*** -8.671682*** -8.396881*** -7.719198*** -4.411052***
Berdasarkan hasil pengujian unit root seperti yang di sajikan pada tabel 4, terlihat bahwa data variabel stasioner pada nilai first difference dengan α= 1%. Karena data sudah stasioner, maka estimasi model seperti persamaan (1) dapat dilakukan.
Hasil Pengolahan Data Hasil regresi menunjukkan bahwa hanya FFR berpengaruh signifikan pada level α=10%
terhadap pergerakan term structure interest rate obligasi pemerintah. Variabel
lainnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pergerakan term structure interest rate. Tabel 5. Hasil regresi terhadap term structure interest rate obligasi pemerintah Dependent Variable: D(LOG(YS)) Method: Least Squares Date: 10/27/12 Time: 09:56 Sample (adjusted): 2003M08 2011M12 Included observations: 101 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG(CD)) D(LOG(FP)) D(LOG(HSI)) D(LOG(DOW)) D(LOG(OIL)) D(LOG(FFR))
1.581583 -0.293801 1.177430 -1.342514 -0.752523 0.447062
1.082693 0.393909 0.842160 1.283142 0.484388 0.238921
1.460786 -0.745860 1.398107 -1.046271 -1.553555 1.871170
0.1474 0.4576 0.1653 0.2981 0.1236 0.0644
R-squared
0.070603
Mean dependent var
-0.002898
47
Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Untuk
melihat
0.021687 0.374461 13.32098 -41.01090 2.367268
kelayakan
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
model,
maka
dilakukan
0.378588 0.930909 1.086263 0.993800
uji
multikolinieritas,
heterokedastisitas dan autokorelasi.
Hasil Pengujian Multikolinieritas Uji multikolinieritas bertujuan untuk mengetahui apakah antar variabel bebas saling berhubungan secara linier. Pengujian ini dilakukan dengan melihat dari nilai koefisien korelasi antar variabel bebas dalam model regresi. Hasil uji multikolinieritas dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Matriks Korelasi Variabel D(LOG(YS)) D(LOG(CD)) D(LOG(FP)) D(LOG(HSI)) D(LOG(DOW)) D(LOG(OIL)) D(LOG(FFR)) D(LOG(YS)) 1.00000 0.10369 -0.03677 0.07403 -0.00310 -0.04202 0.14113 D(LOG(CD)) 0.10369 1.00000 0.26836 0.28666 0.32643 0.29109 0.06707 D(LOG(FP)) -0.03677 0.26836 1.00000 0.25093 0.26966 0.20963 0.12804 D(LOG(HSI)) 0.07403 0.28666 0.25093 1.00000 0.70056 0.48811 0.18997 D(LOG(DOW)) -0.00310 0.32643 0.26966 0.70056 1.00000 0.36963 0.20091 D(LOG(OIL)) -0.04202 0.29109 0.20963 0.48811 0.36963 1.00000 0.35909 D(LOG(FFR)) 0.14113 0.06707 0.12804 0.18997 0.20091 0.35909 1.00000
Berdasarkan matriks koefisien korelasi pada tabel 6 di atas, tidak didapatkan nilai koefisien korelasi yang lebih besar dari +0,8 atau lebih kecil dari -0,8 (Gujarati, 2003). Karena itu, dapat dikatakan tidak ada masalah antar
ariable dengan multikolinieritas.
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas juga dilakukan pada penelitian ini. Uji yang digunakan adalah uji White Heterocedasticity. Hasil uji heterokedastis menunjukkan bahwa model sudah homokedastis. Hal ini terlihat dari nilai F-statistic yang lebih besar dari α=5%. Tabel 7. Hasil uji White Heteroscedasticity Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS
1.068242 28.60392 63.28977
Prob. F(27,73) Prob. Chi-Square(27) Prob. Chi-Square(27)
0.3989 0.3804 0.0001
48
Hasil Pengujian Otokorelasi Autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW). Model terbebas dari autokorelasi jika nilai DW terletak didaerah penerimaan no autocorrelation (1,5 ≤ DW ≤ 2,5). Pada hasil output menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 2,36, sehingga hasil regresi tidak memiliki masalah otokorelasi.
Pembahasan Hasil Penelitian Model telah melewati pengujian multikolinieritas, heterokedastisitas, dan autokorelasi menunjukkan bahwa model sudah memenuhi asumsi BLUE (best liniear unbiased estimates). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pergerakan YS adalah FFR dengan signifikansi pada level α=10%. Sedangakan CD, FP, HSI, DOW, dan OIL tidak berpengaruh terhadap pergerakan YS. FFR memiliki koefisien positif terhadap YS. Hasil ini konsisten dengan penelitian Arora dan Cerisola (2000), Min et al. (2003), Ferrucci (2003), dan Gibson et al. (2011). FFR merupakan proxy dari faktor eksternal. Kenaikan FFR mengindikasikan adanya peningkatan risiko perekonomian dunia, sehingga membuat YS (yield spread) meningkat. . Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Penelitian ini bertujuan menginvestigasi perkembangan yield spread pada obligasi pemerintah (SUN) Indonesia dan pengaruh faktor aliran modal dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Adapun temuan dari penelitian ini, perkembangan yield spread obligasi pemerintah Indonesia (SUN) selama periode penelitian mengalami fluktuasi yang disebabkan oleh faktor makro ekonomi, faktor aliran modal dan faktor eksternal. Yield spread SUN selama periode penelitian mengalami tren penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia sedang mengalami pertumbuhan. Penelitian ini menemukan yield spread dipengaruhi oleh suku bunga The Fed (FFR) secara positif. Peningkatan YS (yield spread) disebabkan yield obligasi jangka panjang lebih berfluktuasi dibanding yield obligasi jangka pendek ketika FFR mengalami kenaikan. Temuan dalam penelitian ini menambah wawasan mengenai faktor aliran modal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pergerakan yield spread obligasi pemerintah (SUN), sehingga diharapkan bermanfaat bagi investor dan emiten dalam membuat kebijakan investasi dan keputusan pembiayaan.
49
Implikasi Manajerial Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi investor atau portfolio manajer dalam mengambil keputusan investasi di obligasi pemerintah Indonesia (SUN). Dengan mengetahui pengaruh faktor aliran modal dan faktor ekternal terhadap pergerakan yield spread, investor dan portfolio manager dapat membentuk portfolio investasi dengan return yang lebih baik. Bagi pembuat kebijakan (policy maker) dapat memperhatikan faktor aliran modal dan faktor ekternal yang berpengaruh terhadap yield spread dalam rangka membangun pasar obligasi pemerintah yang baik sebagai alternatif pembiayaan ekonomi nasional yang memiliki fleksibilitas, biaya lebih murah, dan risiko yang minimal.
Saran Penelitian ini terbatas hanya meneliti pengaruh faktor aliran modal dan faktor ekternal terhadap yield spread obligasi pemerintah dengan 10 (sepuluh) tahun terhadap tenor 3 bulan. Saran terhadap penelitian berikutnya adalah dapat dilakukan penelitian terhadap pengaruh terhadap faktor aliran modal dan faktor eksternal terhadap yield spread obligasi korporasi. Penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan pengujian terhadap yield spread dengan jangka waktu 10 tahun terhadap 6 dan 12 bulan.
Daftar Pustaka Arora, V., dan Cerisola, M. (2001); How Does U.S. Monetary policy Influence Sovereign Spreads in Emerging market?; Vol. 48 (3) pp. 474-498. IMF Staff Papers. Baek, I., Bandopadhyaya, A., dan Du, C. (2005); Determinants of market-assessed sovereign risk: economic fundamentals or market risk appetite?; Vol. 24, pp. 533-48. Journal of International Money and Finance. Baldacci, E., Gupta, S., dan Mati, A. (2008); Is It (Still) Mostly Fiscal? Determinants of Sovereign Spreads In Emerging Markets; No. 259. IMF Working Paper. DMO. (2012); Buku Perkembangan Utang Negara; Edisi Juli 2012. Eaton, Jonathan. dan Gersovitz, Mark. (1981); Debt with Potential Repudiation: Theoretical and Empirical Analysis; Vol. 48 (2), pp. 289-309. Review of Economic Studies. Eichengreen, Barry dan Mody, Ashoka. (1998); Lending Booms, Reserves, and the Sustainability of Short-Term Debt: Inferences from the Pricing of Syndicated Loans; Vol. 63, No. 1, pp. 5–44. Journal of Development Economics.
50
Fabozzi F.J., Fabozzi T.D., dan Pollack I.M. (2002); The Handbook of Fixed Income Securities. Dow Jones–Irwin. Fabella, R., dan Madhur, S. (2003); Bond Market Development In East Asia: Issues and Challenges; No. 35. ERD Working Paper. Ferucci, G. (2003); Empirical Determinants of Emerging Market Economies’ Sovereign Bond Spreads; No. 205. Bank of England Working Paper. Gibson, H., G., Hall, Stephan G., dan Tavlas, George S. (2011); The Greek Financial Crisis: Growing Imbalances and Sovereign Spreads; Bank of Greece Working Paper. Gujarati, Damodar N. (2003); Basic Econometrics; 4th edition. McGraw-Hill. Grandes, M. (2007); The Determinants of Sovereign Bond Spreads: Theory and Facts from Latin America; Vol. 44, pp. 151-81.Cuadernos de Economia. Martellini L., Priaulet P., dan Priaulet S. (2003); Fixed Income Securities; Wiley Marcilly, Julien, (2009); Foreign Participation in Emerging Asia’s Local Currency Debt Markets and its Links with Bond Yields: An empirical Study. Min, H. G. (1998); Determinants of emerging market bond spread: Do economic fundamentals matter?; World Bank Policy Research Working Paper No. 1899. Washington DC: The World Bank. Min, H.G., D-H. Lee, C. Nam, M-C. Park, and S-H. Nam. (2003); Determinants of Emerging Market Bond Spreads: Cross-Country Evidence; Vol. 14 pp. 271-86; Global Finance Journal Nawalkha, Sanjay K., dan Soto, Gloria M.. (2009); Term Structure Estimation. Peiris, S.J. (2010); Foreign Participation in Emerging Markets’ Local Currency Bond Markets; IMF working Paper 10/88. Washington: International Monetary Fund. Sihombing P., Siregar H., Manurung A.M., dan Santosa P.W. (2012); Analisis Pengaruh Makro Ekonomi Terhadap Term Structure Interest Rate Obligasi Pemerintah (SUN) Indonesia; Vol.1, No.2, Journal of Capital market and Banking. Adler Manurung Press, Jakarta.
51
PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ
Nur Ainul Malik dan Mohammad Hamsal Magister Manajemen - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
This study describes the implementation of Total Productive Maintenance (TPM) in the area of of plastic injection PT. XYZ are measured using the Overall Equipment Effectiveness (OEE) and Total Equipment Effectiveness Performance (TEEP) to measure the effectiveness of injection equipment or machinery as a strategy to improve manufacturing productivity and performance. The average value of OEE in the area of the injection machine is 68.42% and the average was 57.96% TEEP value, that value is Fairly Typical level. Implement and maintain the consistency of implementation of TPM is essential for improving the operational performance in the area of the injection machine and implement proactive maintenance as a continuous improvement activity.
Keywords: Total Productive Maintenance (TPM), Overall Equipment Effectiveness (OEE), Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP).
52
PENGUKURAN KINERJA OPERASIONAL MELALUI IMPLEMENTASI TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE DI PT. XYZ
Pendahuluan / Latar Belakang PT. XYZ adalah perusahaan manufaktur sepeda motor dengan kapasitas per tahun sebanyak 4,4 juta motor (tahun 2012), dan terus akan menambah kapasitasnya menjadi 5,3 juta motor lebih pada tahun berikutnya. Kenaikan ini menjadi tantangan bagi manufaktur untuk mengikuti keinginan pasar. Harapannya dengan tingkat produksi yang tinggi dapat menjaga tingkat pemborosan yang terjadi rendah bahkan mencapai titik nol. Saat ini tingkat produk cacat menjadi perhatian khusus, karena jika hasil produksi tidak sesuai dengan yang diinginkan maka unit produksi yang sudah direncanakan tidak tercapai secara kapasitas. Dalam proses manufaktur injeksi plastik di perusahaan otomotif khususnya sepeda motor, tiap mesin merupakan aset perusahaan yang diharapkan dapat menghasilkan keluaran maksimal. Mesin injeksi plastik memiliki karakteristik tersendiri, manufaktur injeksi plastik merupakan proses produksi hulu (upstream) yang sangat mempunyai keterbatasan waktu produktif, sehingga waktu produktif dari mesin injeksi plastik sangat diperhatikan dan menjadi fokus dalam melakukan perencanaan unit produksi. Produktivitas yang tinggi maka aktivitas pemeliharaan menjadi hal yang menjadi prioritas, karena waktu yang hilang (loss time), kinerja, dan kerugian produksi yang diakibatkan oleh kerusakan peralatan menjadi hal yang sangat ditakuti karena mengganggu jalannya produksi unit motor. Aktivitas pemeliharaan tidak berjalan sesuai dengan rencana karena berbagai macam hal, diantaranya karena pencapaian produksi tidak mencapai target maka proses produksi terus dilakukan untuk mencapai target, waktu yang tersedia untuk melakukan pemeliharaan sangat sedikit, sehingga pemeliharaan yang dilakukan adalah pemeliharaan korektif saat proses produksi berlangsung. Faktor-faktor yang mendukung untuk tercapainya produktivitas seperti, pencapaian produksi, efisiensi waktu produktif untuk menghasilkan keluaran, waktu siklus, kinerja operator, penanganan kerusakan dan kegagalan proses, menjadi perhatian bagi perusahaan tetapi tidak dalam satu indikator kinerja sehingga pemahaman pross bisnis dan proses manufaktur menjadi terpisah, sehingga target pencapaian target menjadi bias. Produktivitas yang belum optimal sehingga tidak tercapainya kapasitas terpasang yang telah ditetapkan, akibat permintaan pasar yang tinggi menyebabkan permintaan akan unit
53
motor tinggi, tetapi banyak kendala yang ada untuk dapat mencapai tingkat kapasitas yang diinginkan. Terdapat indikator kinerja yang telah diimplementasikan pada lantai produksi, tetapi indikator tersebut tidak dapat menunjukkan kapabilitas proses yang dihasilkan dari aset perusahaan terhadap permintaan yang diharapkan. Adanya tingkat utilisasi mesin dan peralatan yang belum optimal terhadap target yang telah ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi TPM yang berkaitan dengan produktivitas dan pengaruhnya terhadap pengembangan pekerja, continuous improvement, perubahan organisasi, dan manajemen kualitas khususnya di area injeksi plastik. Mengetahui dan mengerti operational performance menggunakan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) dalam kaitannya dengan efektivitas mesin dan peralatan, untuk melakukan manajemen aset, serta penggunaanya dalam proses manufaktur khususnya di area injeksi plastik.
Tinjauan Teoritis Tujuan dari kegiatan TPM adalah untuk memperkuat bisnis utama perusahaan dengan menghilangkan semua kerugian melalui pencapaian tidak ada cacat (zero defect), tidak ada gagal proses (zero breakdown), dan tidak ada kecelakaan (zero accident). Dari pencapaian tersebut, pencapaian tidak ada gagal proses (zero breakdown) adalah yang paling signifikan, karena kegagalan
proses secara langsung mengarah pada produk yang cacat dan rasio
pengoperasian peralatan yang lebih rendah, yang pada gilirannya menjadi faktor utama untuk kecelakaan (Shirose, 1996). TPM dalam skenario manufaktur masa kini memanfaatkan partisipasi seluruh karyawan untuk meningkatkan ketersediaan peralatan produksi (availability), kinerja (performance), kualitas (quality), kehandalan (reability), dan keamanan (security). TPM mencoba untuk memanfaatkan "hidden capacity" atau kemampuan tersembunyi secara kapasitas mesin dan peralatan untuk proses yang tidak efektif. TPM dapat di definisikan dengan mempertimbangkan tujuan berikut: a.
Meningkatkan efektivitas peralatan, ini berarti melihat ke six big losses (enam kerugian besar) yang dibagi dari tiga kerugian utama: 1. Down time losses: di definisikan sebagai kerusakan peralatan dan setup dan penyesuaian (slowdown).
54
2. Speed losses: yang dapat ditemukan sebagai pengurangan atau perlambatan waktu proses yang terjadi dan penghentian jangka pendek dan persiapan produksi. 3. Defect atau Quality Losses: segala hal mengenai cacat produksi, pengerjaan ulang, dan rejek awal. Untuk mencapai efektivitas peralatan secara keseluruhan, TPM bekerja untuk menghilangkan "Six Big Losses" yang menjadi kendala dalam menghasilkan efektivitas dari operasional peralatan. b. Melibatkan operator dalam melakukan perawatan harian, ini berarti untuk mencapai autonomous maintenance. Para pekerja yang mengoperasikan peralatan tersebut mengambil tanggung jawab untuk beberapa kegiatan pemeliharaan seperti: • Tingkat Perbaikan: operator mengambil tindakan untuk memperbaiki mesin dan peralatan sesuai dengan cek item. • Tingkat Pencegahan: operator akan mengambil tindakan korektif untuk mencegah timbulnya masalah. • Tingkat Improvement: operator tidak akan dibebankan pada proses improvement, karena operator akan mengambil langkah tindakan korektif pada saat kegagalan proses terjadi. c. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemeliharaan, artinya
memiliki pendekatan
sistematis untuk semua kegiatan pemeliharaan. Hal ini melibatkan identifikasi sifat dan tingkat pemeliharaan preventif yang diperlukan untuk masing-masing peralatan, penciptaan standar untuk condition-based maintrenance (kondisi berbasis perawatan), dan pengaturan tanggung jawab masing-masing pekerja untuk kegiatan operasi rutin dan staf pemeliharaan. d. Mendidik dan melatih personil, tugas ini merupakan salah satu yang paling penting dalam pendekatan TPM, dengan melibatkan semua orang di perusahaan operator diajarkan cara kerja pada mesin dan peralatan mereka dan cara mempertahankan dalam kondisi mesin dan peralatan yang siap untuk melakukan proses produksi dengan benar. Karena operator akan melakukan beberapa pemeriksaan, penyesuaian mesin dan peralatan secara rutin, dan tugas-tugas pencegahan lainnya, pelatihan tersebut melibatkan operator mengajarkan melakukan inspeksi tersebut dan cara kerja dengan personil pemeliharaan dalam suatu tim kecil (partnership). Juga yang terlibat adalah pelatihan pengawas mengenai bagaimana mengawasi cara kerja tim di dalam TPM.
55
e. Merancang dan mengelola mesin dan peralatan untuk melakukan pemeliharaan preventif. Peralatan ini mahal dan harus dipandang sebagai aset produktif untuk seluruh kelangsungan hidup perusahaan. Merancang peralatan yang lebih mudah untuk dioperasikan dan dipelihara daripada desain sebelumnya merupakan bagian mendasar dari TPM. Saran dari operator dan teknisi pemeliharaan membantu engineering desain, menentukan, dan pengadaan peralatan yang lebih efektif.
Overall Equipment Effectiveness (OEE) Hasil strategis implementasi TPM adalah terjadinya penurunan kegagalan proses dan kerusakan mesin dan peralatan tak terduga yang mengganggu produksi dan mengakibatkan kerugian, yang bisa melebihi jutaan dolar setiap tahunnya (Gosavi, 2006). Overall Equipment Effectiveness (OEE) merupakan metodologi yang menggabungkan metrik dari semua peralatan manufaktur menjadi pedoman untuk sistem pengukuran yang membantu manufaktur dan operasi tim dalam meningkatkan kinerja mesin dan peralatan untuk mengurangi mesin dan peralatan cost of ownership (COO). TPM menggunakan OEE sebagai metrik kuantitatif untuk mengukur kinerja suatu sistem yang produktif. OEE adalah inti metrik untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program TPM (Jeong dan Phillips, 2001). Tujuan keseluruhan dari TPM adalah untuk meningkatkan efektivitas peralatan secara keseluruhan (Shirose, 1989, Huang et al, 2002; Juric et al, 2006). OEE dihitung dengan menghasilkan produk dari ketersediaan peralatan, efisiensi kinerja proses dan tingkat kualitas produk (Dal et al, 2000; Ljungberg, 1998.):
OEE = Availability (A) x Performance efficiency (P) x
(1)
Rate of quality (Q)
Dengan : (1) Availability (A) = Loading time – Downtime x 100
(2)
Loading time (2) Performance efficiency (P) =
Processed amount
Operating time/theorical cycle time
x 100
(3)
56
(3) Rate of quality (R) = Process amount – defect amount x 100
(4)
Process amount
Berikut adalah nilai rasio OEE dengan tingkat pencapain tertentu : • Nilai rasio OEE mencapai 100% merupakan proses produksi yang sempurna : proses manufaktur yang menghasilkan hanya produk sesuai standar dan tidak ada cacat produk, kecepatan produksi yang tinggi dengan sesuai waktu siklus dan kapasitas terpasang, tidak ada downtime. • Nilai rasio OEE mencapai 85% merupakan tingkat kelas dunia (world class level) untuk perusahaan dengan proses produksi secara otomatisasi dengan karakteristik pabrikan tertentu merupakan perusahaan tingkat global, untuk banyak perusahaan nilai rasio ini menjadi target jangka panjang. • Nilai rasio OEE mencapai 60% merupakan pencapaian dengan tingkat yang wajar (fairly typical level), dan terindikasi banyak ruang perbaikan yang harus dilakukan untuk mencapai tingkat perusahaan kelas dunia. • Nilai rasio OEE mencapai 40% merupakan tingkat pencapaian yang rendah yang biasanya di dapatkan oleh perusahaan yang baru mulai dan memiliki sistem yang baru, dan terus melakukan perbaikan dalam mengidentifikasi kinerja perusahaannya. Salah satu tujuan utama dari TPM adalah untuk menghilangkan atau meminimalkan kerugian dari semua yang berhubungan dengan sistem manufaktur untuk meningkatkan efektivitas produksi secara keseluruhan. Perhitungan OEE dengan mempertimbangkan dampak dari six big losses pada sistem produksi ditunjukkan pada Gambar 1. (McKellen, 2005).
57
Gambar 1. Perhitungan OEE berdasarkan Six Major Production Losses
Sumber : Journal TPM; Ahuja et al, 2008.
OEE adalah peningkatan produktivitas secara proses yang dimulai dengan peningkatan kesadaran manajemen untuk memulai TPM dan komitmen mereka untuk fokus pada peningkatan kompetensi karyawan untuk bekerja dengalan melakukan pelatihan kerja tim dan lintas-fungsional dalam hal pemecahan masalah peralatan.
Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) TEEP diperkenalkan oleh Ivanincic (1998), metoda ini sangat mirip dengan OEE. Perbedaan yang utama dengan OEE adalah memasukkan 2 parameter yaitu planned downtime di dalam total planned time horizon. Parameter tersebut mempertimbangkan kontribusi dari proses pemeliharaan kedalam produktivitas lantai produksi dari sebuah proses manufaktur. Perbedaan yang sangat jelas untuk parameter planned downtime dan unplanned downtime. Meminimalisasi uplanned downtime, kadang disebut dengan technical downtime, ini adalah tujuan yang umum di dalam pemeliharaan. Unplanned downtime adalah sebuah fungsi dari sejumlah breakdown yang terjadi antara waktu periode yang spesifik dan hubungannya diukur sebagai MTBF (Mean Time Between Failure), dan MTTR (Mean Time To Repair) (Pintelon et al. 2000). MTBF dan MTTR diklaim sebagai parameter untuk mengukur pencapaian mesin dan peralatan yang sangat berhubungan dengan tujuan proses manufaktur seperti kinerja secara fungsional dan proses kapabilitas (Wilson, 1999).
58
Gambar 2. Parameter Yang Digunakan Dalam Perhitungan TEEP
Sumber : International Journal of Production Research; Muchiri P., 2008
Gambar 3. TEEP Diagram Dan Parameter Perhitungannya
Sumber : International Journal of Production Research; Muchiri P., 2008
Metode Penelitian Langkah 1 adalah Focus Improvement, yaitu peningkatan kinerja mesin yang lebih tinggi menuju level kinerja dan ketersediaan waktu produktif yang dinginkan. Langkah 2 Autonomous Maintenance, Planned Maintenance, Quality Maintenance, yaitu menjaga kinerja dan ketersediaan mesin yang tinggi sesuai yang dinginkan. Berikut adalah model pengolahan data :
59
Gambar 4. Efektivitas Kinerja Mesin dan Peralatan Model Tahap 1 : Pengukuran Efektivitas Metoda OEE (Overall Equipment Effectiveness) dan TEEP (Total Effectiveness Equipment Performance)
Tahap 2 : Analisis Six Big Losses (kondisi mesin dan aktivitas pemeliharaan) Metoda Fishbone
Tahap 3 : Perbaikan Perbaikan setup and changeover
Tahap 4 : Melakukan Teknik Pemeliharaan Proaktif Autonomous maintenance, Planned maintenance, Quality maintenance
Hasil Penelitian Availability - Dalam memperhitungkan ketersediaan (availability) untuk mendapatkan availability ratio, mempertimbangkan faktor seperti working time, total planned shutdown yang terdiri dari meeting pagi (P5M), pengecekan utility dan pembersihan area kerja (clean/check), waktu break (10 menit) dan waktu istirahat (40 menit), dan planned maintenance yaitu preventive maintenance yang direncanakan berdasarkan ratio work order maintenance yang dibagi dalam jumlah proses pengerjaan maintenancenya dalam 1 tahun. Kemudian loading time, waktu setup dan adjustment, breakdown, sehingga mendapatkan waktu downtime, dan akhirnya di dapat operating time yang kemudian dibagi dengan working timenya. Performace - Mengukur tingkat kinerja (performance) dari mesin injeksi. Dalam prhitungannya mempertimbangkan faktor total unit yang diproduksi dan ideal cycle timenya untuk mendapatkan net oprating time yang dibandingkan dengan operating timenya. Quality - Diukur untuk mengetahui total hasil keluaran dengan kualitas yang telah ditetapkan dan dihasilkan dari suatu proses produksi berlangsung, berikut adalah tabel perhitungan quality rate dari proses produksi mesin injeksi :
60
Overall Equipment Effectiveness (OEE) - Setelah menghitung availability, performance, dan quality ratio, selanjutnya menghitung Overall Equipment Effectiveness (OEE). Berikut adalah perhitungan OEE dari lantai produksi mesin injeksi :
Tabel 1. Perhitungan OEE Mesin Injeksi Bulan Sept 2011 - Sept 2012
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Perhitungan Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR) Mesin Injeksi - Data yang dibutuhkan untuk menghitung MTBF adalah data waktu operasi mesin (Operating time) dan data frekwensi kerusakan (Frekwensi Breakdown) untuk setiap bulan, sedangkan untuk menghitung MTTR adalah data waktu kerusakan mesin (Breakdown – m/c trouble) dan data frekwensi kerusakan (Frekwensi Breakdown) untuk setiap bulan. Berikut adalah tabel hasil perhitungan MTBF dan MTTR : Tabel 2. Perhitungan MTBF dan MTTR Mesin Injeksi Bulan Sept 2011 - Sept 2012
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
61
Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) - Dengan mempertimbangkan faktor maintenance yaitu menggunakan nilai MBTF dan MTTR, maka perhitungan TEEP dilakukan untuk mengukur pencapaian produktifitas mesin injeksi terkait dengan tujuan peningkatan produktifitas seperti kinerja fungsional (functional performance) dan kemampuan proses (process capability). Berikut adalah tabel perhitungan TEEP : Tabel 3. Perhitungan Total TEEP Mesin Injeksi Bulan Sept 2011 - Sept 2012
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Pembahasan Analisis Nilai Overall Equipment Effectiveness (OEE) Berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya, maka didapatkan hasil perhitungan OEE yang disimulasikan di dalam grafik berikut :
Grafik 1. Perbandingan Tren Data Aktual OEE Mesin Injeksi Dengan World Class OEE dan Fairly Typical OEE dan Low OEE
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
62
Faktor yang mempengaruhi nilai OEE aktual dibandingkan dengan nilai world class sebagai nilai target yang harus dipenuhi. Grafik 2. Perbandingan Tren Data Aktual Availability Ratio Dengan World Class Availability Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Grafik 3. Perbandingan Tren Data Aktual Performance Ratio Dengan World Class Performance Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Grafik 4. Perbandingan Tren Data Aktual Quality Ratio Dengan World Class Quality Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
63
Dari gambar grafik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : • Dari Grafik 1 menunjukkan nilai OEE di perusahaan PT.XYZ adalah 68.42%. Dari nilai rata-rata tersebut dapat di analisis bahwa effectiveness dari mesin injeksi masuk dalam kategori Fairly typical OEE berdasarkan Japan Institute for Plant Maintenance (JIPM). Pada bulan desember 2011 terlihat bahwa nilai OEE data aktual drop hingga 47%, disebabkan jadwal perencanaan produksi untuk mesin injeksi tidak seimbang, sehingga tidak semua mesin memiliki tipe part yang akan diproduksi sama, banyak mesin injeksi yang idle dan sangat mempengaruhi nilai OEE keseluruhan, dan terjadinya pergantian model yang memerlukan waktu penyesuaian. Terjadinya perubahan permintaan pasar secara aktual tidak dapat dihindari sehingga terjadi efek bullwhip di manufaktur hulu. Efek ini terjadi karena pembesaran dari variabilitas dari permintaan pelanggan dengan produsen. • Grafik 2 menunjukkan bahwa nilai availability dari mesin injeksi masih dibawah level world class yaitu 90%, rata-rata nilai availability dari line mesin injeksi adalah 83,29%, faktor yang paling besar mempengaruhi dari availability ini adalah waktu terjadinya breakdown mesin terhadap downtime yang terjadi, dan setting adjustment akibat idle dan running produksi. • Grafik 3 menunjukkan bahwa nilai performance ratio dari mesin injeksi jauh dibawah level world class yaitu 95%, rata-rata dari performance ratio dari mesin injeksi adalah 82.21%, artinya deviasinya hingga 12.79% menunjukkan masih banyak ruang perbaikan untuk meningkatkan rasio dari performance mesin injeksi, faktor yang sangat mempengaruhi performance ratio ini adalah stabilitas aktual waktu siklus untuk setiap siklus menghasilkan part, perbedaan setiap siklus aktual yang terjadi dengan ideal cycle time yang sudah ditetapkan mengakibatkan hilangnya potensi untuk mendapatkan hasil keluaran sesuai dengan yang diharapkan, adanya aktivitas persiapan alat-alat produksi seperti kantong plastik, cutting tools dan pengaturan box untuk penyimpanan part. • Grafik 4 menunjukkan bahwa pencapaian hasil keluaran dengan kualitas yang baik sesuai dengan standar kualitas tinggi, dari nilai level world class quality yaitu 99.99% rata-rata pencapaian aktual secara pencapaian hasil keluaran yang sesuai dengan standar kualitas adalah 99.95%, artinya hasil keluaran sudah sesuai dengan level world class.
64
• Kestabilan proses manufaktur menjadi perhatian khusus dalam proses pencapaian kebutuhan unit yang sudah direncanakan oleh perusahaan sehingga unit motor yang dihasilkan dari sebuah perencanaan produksi unit tidak terganggu.
Analisis Nilai Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) - Berdasarkan Tabel 6 perhitungan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) untuk seluruh mesin injeksi periode selama 1 tahun, dapat digambarkan pada grafik berikut yang dibandingkan dengan nilai OEE-nya :
Grafik 5. Perbandingan nilai TEEP Ratio Dengan OEE Ratio
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : • Dengan mempertimbangkan faktor pemeliharaan korektif saat terjadi breakdwon yang dihitung dengan menggunakan MTBF dan MTTR sebagai nilai waktu pemeliharaan yang tidak terjadwal, memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap total nilai kerugian utama, jika kumulatif dari total nilai waktu pemeliharaan yang tidak terjadwal dibagi dengan total kerugian utama menghasilkan nilai 57.96%, hal tersebut mempengaruhi nilai tren dari TEEP terhadap OEE. • Dari tren tersebut terdapat potensi untuk ditingkatkan dengan menurunkan nilai MTTR, dan nilai MTBF untuk digunakan dalam manajemen spare part pemeliharaan dalam peningkatan produktivitas terhadap penurunan waktu breakdown.
65
Analisis Six Big Losses - Berikut adalah Grafik 6 menggambarkan diagram pareto dari 6 kerugian besar (six big losses) : Grafik 6. Diagram Pareto 6 Kerugian Besar (Six Big Losses) di Line Mesin Injeksi
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik diatas dapat dijelaskan bahwa kerugian terbesar dari gamar grafik diatas adalah speed losses, dengan prosentase 56.85%, potensi perbaikan terbesar yang terjadi adalah saat terjadi speed losses, oleh karena itu perlu ditingkatkan operator awareness. Diagram Fishbone - Berikut adalah diagram fishbone yang mengambarkan faktor-faktor sebab akibat dari rasio kinerja dengan level Fairly Typical dari mesin injeksi (OEE) pada implementasi TPM :
Gambar 5. Diagram Fishbone Penyebab Nilai OEE Pada Level Fairly Typical
66
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa : • Pencapaian nilai OEE sebesar 68.42% yang berada diantara level fairly typical sebesar 60% dan level world class sebesar 85% disebabkan oleh faktor-faktor dari mesin dengan breakdown relatif tinggi sangat mempengaruhi nilai downtime karena terjadinya kerusakan-kerusakan berat tetapi tidak memiliki tren tertentu. Proses pengerjaan kerusakan berat membutuhkan waktu yang lama juga man power yang lebih dari 1 orang. Selain itu loss time akibat setup yaitu pergantian model atau adanya mesin idle mulai dari 1 shift off sampai pada 3 shift off, sesuai dengan karakter mesin injeksi, dan adjustment saat terjadi trouble atau masalah kualitas sampai pada kualitas part standar. • Breakdown yang relatif tinggi sangat besar kemungkinan terjadi karena pemeliharaan preventif tidak berjalan dengan semestinya, sehingga ada beberapa pekerjaan pemeliharaan preventif yang tidak dilakukan sehingga berpotensi sampai terjadi breakdown. • Faktor penyebab lainnya yaitu manusia (man power), operator mesin yang hanya melakukan proses produksi saja, karena secara sistem, produksi tidak melakukan aktivitas pemeliharaan, sehingga jika terjadi indikasi masalah operator sulit untuk menentukan apakah masalah tersebut akan berpotensi menjadi breakdown. Operator jarang sekali mengetahui kondisi mesin saat mesin itu akan dipakai produksi, seharusnya operator melakukan pengecekan setiap kali akan dilakukan proses produksi, maka sebelum breakdown terjadi sudah dilakukan perbaikan. • Metoda sistem informasi masalah yang terjadi memiliki hambatan karena secara struktural poduksi sebagai pembuat part, engineering sebagai personel pemeliharaan, dan bagian pendukung lain, memiliki jalur struktural yang berbeda, sehingga secara hierarki pelaporan menjadi sangat struktural, maka waktu penyelesaian atau analisis masalah menjadi sangat lama, dan kontribusi terhadap nilai OEE ratio negatif. • Tidak adanya indikator operational performance untuk dijadikan dasar continuous improvement, sehingga mulai dari level operator sampai ke manajemen puncak kurang memiliki perhatian dalam menjaga level performance, hingga meningkatkan produktivitas dalam memenuhi target production unit.
Maintainability Improvement 1. Analisis Mean Time Between Failure (MTBF) - Berikut adalah menggambarkan tren data selama 1 tahun nilai MTBF dari area injeksi plastik :
67
Grafik 7. Tren Data Aktual Mean Time Between Failure (MTBF) Dengan Nilai RataRatanya Selama 1 Tahun
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : • Secara umum proses produksi mesin injeksi di PT.XYZ mempunyai waktu kerusakan rata-rata setiap 457 menit antar kerusakan atau setara dengan 7.62 jam dengan jam kerja 1 hari selama 3 shift (24 jam). • Jika dilihat dari grafik diatas selama 1 tahun tren data menunjukkan nilai MTBF pada bulan September 2011 dan Oktober 2011 rendah sehingga kejadian antar breakdown mempunyai rentang waktu yang cepat, tetapi pada bulan November 2011 dan Desember 2011 tinggi yang artinya rentang waktu antar kerusakan lebih lama, kemudian menurun rendah pada bulan Januari 2012 dan Februari 2012. Pada bulan Mei 2012 dan April 2012 kembali tinggi, sisa bulan sampai dengan September 2012 kemudian bergerak rendah. • Tren tersebut dipengaruhi oleh loading mesin pada bulan yang sama menunjukkan bahwa karakter mesin injeksi dalam manufaktur injeksi plastik mempunyai tren bahwa semakin mesin injeksi mempunyai loading tinggi tetapi pola produksi yang sering sekali idle kemudian running, menyebabkan sering terjadinya kerusakan pada mesin injeksi, hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mesin injeksi sangat memerlukan kondisi dimana panas dari barrel yang berfungsi sebagai proses melting material stabil dengan deviasi suhu + 5oC, jika hal tersebut tidak tercapai akan mempengaruhi kinerja mesin injeksi dengan terjadi breakdown. • Analisis MTBF ini digunakan untuk memperkirakan kecenderungan kapan mesin injeksi akan mengalami kerusakan, sehingga bisa dilakukan aktivitas pemeliharaan preventif misalnya penggantian komponen, servis ringan dan sebagainya, serta
68
memprioritaskan perbaikan pada mesin yang memiliki nilai MTBF yang paling rendah dengan tujuannya agar frekuensi kerusakan dapat berkurang.
Analisis Mean Time To Repair (MTTR) Berikut adalah Grafik 8. menggambarkan tren data selama 1 tahun nilai MTBF dari area injeksi plastik :
Grafik 8. Tren Data Aktual Mean Time To Repair (MTTR) Dengan Nilai Rata-Ratanya Selama 1 Tahun
Sumber : Data perusahaan PT.XYZ setelah diolah
Dari gambar grafik diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : • Secara umum mesin injeksi plastik memiliki waktu rata-rata perbaikan yaitu 45 menit setiap terjadinya kerusakan. • Pola data tren yang terjadi pada kondisi di Grafik 4.8. menunjukkan beberapa bulan mengalami kerusakan yang memang sangat berat sehingga hal tersebut seharusnya dapat diatasi dengan adanya pelatihan atau peningkatan kompetensi dari pekerja pemeliharaan dalam hal ini adalah bagian engineering, sehingga pola kerusakan tersebut dapat di antisipasi dengan penentuan target penyelesaian kerusakan (breakdown). • Semakin lamanya rata-rata waktu perbaikan tersebut menunjukkan bahwa mesin mengalami kerusakan yang cukup berat. Peristiwa ini dapat terjadi karena kurangnya antisipasi perawatan yang lebih intensif baik dari pihak pemeliharaan maupun dari operator. Tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengidentifikasi jenis kerusakan yang terjadi serta dengan melakukan perubahan kebijakan pemeliharaan preventif.
69
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan berupa analisa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja injeksi plastik dalam implementasi TPM untuk peningkatan produktivitas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Total efektivitas mesin injeksi untuk mengetahui level kinerja operasional area injeksi plastik: a. Availability dari line mesin injeksi adalah 83.29%, angka tersebut dibawah level world class yaitu 90%. Peningkatan availability ratio dapat dilakukan dengan menekan downtime, melakukan secara intensif autonomous maintenance, b. Performance ratio dari mesin injeksi adalah 82.21%, rasio tersebut masih dibawah level performance ratio world class yaitu 95%. Peningkatan nilai performance ratio ini dapat dilakukan dengan mengurangi speed loss, yaitu dengan mengurangi ketidakstabilan proses dengan mampu menghasilkan keluaran part. c. Quality ratio dari proses injeksi mencapai 99.95% sangat dekat dengan level world class ratio yaitu 99.99%. Jadi untuk quality ratio dapat dipertahankan sehingga mampu untuk tetap menghasilkan keluaran dengan level tinggi. d. OEE ratio dari proses injeksi adalah 68.42%, dari hasil tersebut masih dibawah level world class yaitu 85%, yang artinya masih banyak ruang perbaikan yang bisa dilakukan di dalam manufaktur injeksi plastik sehingga dapat dicapai level world class manufacture. e. TEEP ratio dari proses injeksi adalah 57.96%, dengan mempertimbangkan faktor pemeliharaan korektif saat terjadi breakdown yang dihitung dengan menggunakan MTBF dan MTTR sebagai nilai waktu pemeliharaan yang tidak terjadwal, memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap total nilai main losses. Dari hasil analisa nilai OEE ratio maka kinerja operasional dari injeksi plastik pada level Fairly Typical, rasio tersebut menggambarkan masih banyak ruang untuk melakukan perbaikan yaitu dengan perbaikan terus menerus untuk meningkatkan produktivitas.
2. Nilai OEE tiap mesin dan nilai OEE secara keseluruhan dipengaruhi oleh perbedaan shift kerja dan proses produksi dengan proses pengambilan part manual, pencapaian tertinggi dicapai oleh shift 1, dan paling rendah di shift 3, dipengaruhi oleh kondisi kerja. Pada malam sampai dini hari tingkat kinerja operator cenderung menurun menyebabkan nilai OEE untuk shift 3 rendah.
70
3.
Setelah dilakukan pengukuran operational performance maka diidentifikasi faktor-faktor penyebab penyebab nilai OEE pada level fairly typical dengan menggunakan diagram fishbone.
4.
Analisa MTBF mendapatkan hasil waktu kerusakan rata-rata setiap 457 menit antar kerusakan atau setara dengan 7.62 jam dengan jam kerja 1 hari selama 3 shift (24 jam). Analisa MTBF ini digunakan untuk memperkirakan kecenderungan kapan mesin injeksi akan mengalami kerusakan, sehingga bisa dilakukan kegiatan pemeliharaan preventif, serta memprioritaskan perbaikan pada mesin yang memiliki nilai MTBF yang paling rendah dengan tujuannya agar frekuensi kerusakan dapat berkurang.
5.
Analisa MTTR mendapatkan hasil waktu rata-rata perbaikan yaitu 45 menit setiap terjadinya kerusakan. Semakin lamanya rata-rata waktu perbaikan tersebut menunjukkan bahwa mesin mengalami kerusakan yang cukup berat. Peristiwa ini dapat terjadi karena kurangnya antisipasi perawatan yang lebih intensif baik dari pihak pemeliharaan maupun dari operator. Tindakan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengidentifikasi jenis kerusakan yang terjadi serta dengan melakukan perubahan kebijakan perawatan preventif.
6.
Menjaga
pelaksanaan
yang
konsisten
aktivitas
pemeliharaan
preventif,
dan
mempermudah proses analisa saat terjadinya breakdown mesin, dengan melakukan pembagian elemen waktu dari aktivitas kerja perawatan yang dilakukan yaitu waktu pemberitahuan saat terjadinya kerusakan dan kedatangan personel pemeliharaan, waktu analisa kerusakan, waktu penyediaan part / komponen, waktu perbaikan. waktu penyesuaian dan percobaan. 7.
Penggunaan Overall Equipment Effectiveness (OEE) dan Total Effectiveness Equipment Performance (TEEP) sebagai dasar dan target pencapaian dalam peningkatan produktivitas, dengan adanya pengukuran tersebut maka manufaktur injection molding memiliki indikator kinerja dalam implementasi TPM, dan menjadikan pencapaian tersebut menjadi competitive advantage bagi perusahaan PT. XYZ.
Saran Dalam peningkatan produktivitas dengan menggunakan implementasi TPM maka peneliti menyarankan : 1.
Melakukan proses pengukuran operational performance dengan mengetahui total effectiveness dari mesin injeksi secara real time, sehingga proses monitoring dan
71
penambilan keputusan saat kinerja mesin injeksi menurun yang berdampak pada produktivitas akan segera dilakukan upaya-upaya yang menghindari produktivitas menjadi rendah tidak menunggu selama satu bulan atau satu tahun. 2.
Melakukan pelatihan kepada setiap operator maupun personel pemeliharaan agar dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian operator dalam menanggulangi permasalahan yang ada pada mesin / peralatan sehingga perusahaan dapat menerapkan pemeliharaan mandiri yang terdiri dari seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke untuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi pada manufaktur.
3.
Penanaman kesadaran kepada seluruh pekerja untuk ikut berperan aktif dalam peningkatan produktivitas dan efisiensi untuk perusahaan dan bagi diri mereka sendiri dan tingkat operator sampai manajemen puncak.
4.
Mengembangkan metoda pemeliharaan proaktif yang sesuai dengan kondisi struktural PT. XYZ, yaitu : a. Personal pemeliharaan melakukan pengecekan kondisi secara kontinu dan berkala dengan menggunakan checksheet sehingga didapatkan kondisi mesin saat itu. Checksheet tersebut disimpan di mesin dengan tujuan operator mesin dapat mengetahui dan mengikuti kondisi mesin, apabila terjadi indilkasi yang menyebabkan potensi kerusakan mengakibatkan downtime, maka dengan segera operator mesin memberitahukan personel pemeliharaan untuk melakukan analisa yang lebih dalam, tanpa mengganggu jalannya proses produksi. b. Adanya indikator untuk menginformasikan masalah sehingga proses pemanggilan atau pencarian personel pemeliharaan tidak memakan waktu, sehingga secara bersamasama operator produksi dan personel pemeliharaan dapat segera memutuskan apakah kerusakan yang terjadi berpengaruh pada proses produksi atau tidak saat itu, jika ya maka akan ditentukan waktu perbaikannya. Jika tidak berpengaruh maka personel pemeliharaan akan melakukan penjadwalan perbaikan sehingga tidak mengganggu jalannya proses produksi. c. Dalam penanganan perbaikan operator mesin dan personel pemeliharaan bersamasama menangani kerusakan, sehingga akan terjadi transfer knowledge, proses pembelajaran bagi operator produksi akan meningkatkan kompetensi operator dan memudahkan proses kerja dalam melakukan perbaikan oleh personel pemeliharaan.
72
d. Penetapan target-target yang feasible (target downtime perkejadian atau MTTR, target ketersediaan, kinerja, dan kualitas) sehingga operator mesin dan personel pemeliharaan dapat mengukur kinerja secara total untuk pencapaian produktivitas dari keluaran yang dihasikan oleh mesin injeksi. e. Quality build in process tetap dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan part yang sesuai dengan standar kualitas.
Daftar Pustaka Ahuja, I.P.S., Khamba, J.S., (2008); Total productive maintenance: literature review and directions; International Journal of Quality & Reliability Management Vol. 25 No. 7, 2008 pp. 709-756. Dal, B., Tugwell, P. and Greatbanks, R. (2000); Overall equipment effectiveness as a measure for operational improvement: a practical analysis; International Journal of Operations & Production Management, Vol. 20 No. 12, pp. 1488-502. Gosavi, A. (2006); A risk-sensitive approach to total productive maintenance; Automatica, Vol. 42 No. 8, pp. 1321-30. Huang, S.H., Dismukes, J.P., Shi, J. and Su, Q. (2002); Manufacturing system modeling for productivity improvement; Journal of Manufacturing Systems, Vol. 21 No. 4, pp. 24960. Jeong, Ki-Young., Philips, Don T. (2001); Operational Efficiency and Effectiveness Measurement; International Journal of Operation & Production Management, Vol 21 No. 11, pp 1404-1416 2001. Juric, Z., Sanchez, A.I. and Goti, A. (2006); Money-based overall equipment effectiveness; Hydrocarbon Processing, Vol. 85 No. 5, pp. 43-5. Ljungberg, O. (1998); Measurement of overall equipment effectiveness as a basis for TPM activities; International Journal of Operations & Production Management, Vol. 18 No. 5,pp. 495-507. McKellen, C. (2005); Total productive maintenance; MWP, Vol. 149 No. 4, p. 18. Muchiri, P.; Pintelon, L. (2008); Performance measurement using overall equipment effectiveness (OEE): literature review and practical application discussion; International Journal of Production Research, 46(13), pp. 3517 - 3535.
73
Nakajima, S. (1988); Introduction to Total Productive Maintenance (TPM); Productivity Press, Portland, OR. Pintelon, L.; Gelders, L.; Puyvelde, F.V. (2000); Maintenance Management; Acco, Leuven, Belgium. Shirose, K. (1989); Equipment Effectiveness, Chronic Losses, and Other TPM Improvement Concepts
in
TPM
Development
Program:
Implementing
Total
Productive
Maintenance; Productivity Press, Portland, OR. Wilson, A. (1999); Asset Maintenance Management - A guide to developing strategy & improving performance; Conference Communication.
74
Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan Selvi Meliza Salim11 Golrida Karyawati12 Sampoerna School of Business
The purpose of this research is to analyze the effect of intellectual capital on company profitability using Return on equity and earning per share. This research is using Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™) method as a measure of the efficiency of three intellectual capital components recognised which are Capital Employed Efficiency(CEE), , Human Capital Efficiency(HCE), and Structural Capital Efficiency(SCE). This reseach collects data from 150 firms such as manufacturing, banking, credit other bank, securities , and real estate sector listed on the Indonesia Stock Exchange Period 2010-2011. Multiple linear regression model is used to examine the effect of the three components of intellectual capital efficiency to company's financial performance both on ROE model and EPS model.The result shows that CEE positively influence company’s profitability both on ROE model and EPS model. HCE however, eventhough on ROE model shows significant impact on ROE, but on EPS model do not show significant impact on EPS. Analyse of SCE also indicates inconsistency phenomenon on both model ROE and EPS. While on model ROE structural capital efficiency do not show significant impact on ROE, on model EPS however it shows significant impact on EPS Keywords: intellectual capital, capital employed eficiency (CEE), Human capital efficiency (HCE), structural capital efficiency (SCE), profitability, return on equity, earning per share
11
Akuntan yang bekerja di perusahaan swasta
12
Dosen akuntansi pada Sampoerna School of Business
75
PENGARUH MODAL INTELEKTUAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN
Pendahuluan Intellectual capital semakin menjadi aset yang sangat bernilai dalam bisnis saat ini. Tetapi laporan keuangan tradisional belum berhasil menyajikan informasi intellectual capital. Secara umum, teori intellectual capital telah banyak dikembangkan melalui gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran para peneliti, antara lain Bontis (1998), Firer dan Williams (2003), Chen et al. (2005), Najibullah (2005), Margaretha dan Rakhman (2006), Ulum (2008), Kuryanto (2008), Anugraheni (2010), Wiradinata dan Siregar (2011), dan Zuliyati (2011). Fenomena ini menuntut mereka mencari informasi yang lebih rinci mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan intellectual capital. Mulai dari cara pengidentifikasian, pengukuran sampai dengan pengungkapan intellectual capital dalam laporan keuangan perusahaan. Pulic (1998) memperkenalkan pengukuran intellectual capital dengan menggunakan “Value Added Intellectual Coefficient” (VAIC™) . Metode VAIC™ dirancang untuk menyediakan informasi mengenai efisiensi penciptaan nilai(value creation)
dari aset
berwujud dan tidak berwujud yang dimiliki oleh perusahaan. Komponen utama dari VAIC™ dalam penelitian ini adalah Capital Employed Efficiency (CEE), Human Capital Efficiency (HCE), dan Structural Capital Efficiency (SCE). Penelitian ini meneliti hubungan antara intellectual capital dengan profitabilitas terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan data dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kinerja keuangan perusahaan akan diukur dengan Return on Equity (ROE) dan Earnings Per Share (EPS). Intellectual capital diukur dengan menggunakan model Pulic, yaitu VAIC™ (Value Added Intellectual Coefficient). Pengukuran intellectual capital menggunakan model pulic yang menggunakan gaji karyawan sebagai proxi human capital (Kuryanto :2008; Anugraheni:2010, Wiradinata dan Siregar :2011; dan Zuliyati:2011). Penelitian ini menggunakan executive salary, dengan pertimbangan bahwa executive salary lebih
mencerminkan intelectual capital dibanding
dengan total salary. Dalam banyak industri
komponen salary sebagian besar mungkin
merupakan gaji buruh yang kurang mencerminkan intelectual capital. Pengertian human capital sebagai bagian dari intelectual capital adalah pekerja yang mampu menciptakan
76
kekayaan dan nilai tambah (value added) bagi perusahaan. Pengetahuan, kompetensi, ketrampilan, dan pengalaman seorang manajer pada umumnya termasuk kategori human capital (Santosa dan Setiawan, 2007). Hal ini menjadi dasar menggunakan executive salary dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufacturing, banking dan credit agencies selain bank, securities, dan real estate. Pengambilan sampel kriteria tersebut didasarkan pemikiiran bahwa perusahaan pada kelompok ini termasuk perusahaan yang memiliki karakteristik
perusahaan
padat
intellectual
capital
(high
IC-intensive
industries).
Pengelompokan perusahaan ini berdasarkan pada Global Industrity Clasification Standard (GCIS) dalam Woodcock dan Whiting (2009). Hal ini menjadi indikator penting bagi perusahaan tersebut untuk mengelola sumber daya yang berkaitan erat dengan intellectual capital, berdasarkanpertimbangan tersebut maka peneliti memilih perusahaan sektor terserbut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadii pertimbangan
Bapepam dan Ikatan Akuntan
Indonesia menciptakan standar yang lebih baik dalam pengungkapan intellectual capital.
Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis Intellectual Capital Intellectual capital merupakan kombinasi intangible asset dari nilai pasar, intellectual property, sumber daya manusia dan infrastruktur yang memungkinkan perusahaan menjalankan fungsinya dengan baik Brooking (1996). Intellectual Capital mencakup semua pengetahuan karyawan, organisasi dan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah dan keunggulan kompetitif. Intellectual capital adalah aset tak berwujud yang memegang peran penting dalam meningkatkan daya saing perusahaan dan juga dimanfaatkan secara efektif untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Intellectual Capital merupakan landasan bagi perusahaan untuk berkembang dan mempunyai keunggulan dibandingkan perusahaan lain. Intellectual capital dapat dibagi menjadi komponen modal fisik, modal manusia, dan modal struktural. 1. Modal fisik (Physical capital) merupakan modal yang dimiliki perusahaan berupa dana keuangan dan aset fisik yang digunakan untuk membantu penciptaan nilai tambah perusahaan (Wiradinata dan Siregar, 2011). Physical Capital menunjukkan hubungan
77
harmonis yang dengan mitranya, baik dari pemasok, pelanggan, pemerintah dan masyarakat sekitar. Modal fisik dalam model Pulic disebut dengan capital employed (CE). 2. Human capital (HC) merupakan modal yang terkait dengan pengembangan sumber daya manusia perusahaan, seperti kompetensi, komitmen, motivasi, dan loyalitas karyawan. Human Capital menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia. Intelectual capital jenis ini menganggap manusia sebagai aset yang bernilai karena pengetahuan yang dimiliki 3. Modal struktural (SC) merupakan modal yang dimiliki perusahan, meliputi pengetahuan yang akan tetap berada dalam perusahaan. Intelectual capital jenis ini terdiri dari rutinitas perusahaan, prosedur, sistem, budaya, dan database (Astuti dan Sabeni, 2005). Structural Capital menunjukkan pengetahuan yang akan tetap ada dalam perusahaan yang bersifat bukan manusia, seperti: rutinitas perusahaan, prosedur, sistem, budaya, dan database.
Hingga saat ini intelectual capital belum disajikan dalam laporan keuangan (Bontis et al:2000). Hal ini disebabkan metode pengukuran yang tepat dan objektif atas intelectual capital belum ditemukan hingga saat ini. Upaya memberikan penilaian terhadap modal intelektual merupakan hal yang penting . Hal ini merupakan tantangan akuntan saat ini dan dimasa mendatang. Bontis et al. (2000) mengatakan bahwa intellectual capital merupakan seluruh proses dan aset, dan seluruh intangible asset yang telah dipertimbangkan terhadap metode akuntansi yang termasuk di dalamnya adalah kontribusi dari pengetahuan dari manusia itu sendiri sebagai sumber daya perusahaan.
Pengukuran Intelectual Capital Dengan Value Added Intellectual Capital (VAIC™) VAIC™ dikembangkan oleh Pulic sebagai
instrumen untuk mengukur kinerja
intellectual capital perusahaan. Model ini menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki perusahaan sebagai hasil dari intelectual capital. Model ini bertitik tolak dari kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA) sebagai value creation. Pulic (1998) menyatakan bahwa “value creation is entirely based on knowledge” sehingga model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). Value Added adalah indikator paling objektif untuk menilai
78
keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan
sebagai hasil intelectual
capital. Value added dihitung sebagai selisih antara output dan input. Model VAIC™
mengukur efisiensi intellectual capital dalam menciptakan nilai
berdasarkan hubungan ketiga komponen utama intelectual capital yaitu physical capital, human capital, dan structural capital. VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Capital Employee (CE), Human Capital (HC) dan Structural Capital (SC). Hubungan VA dengan capital employed atau dana yang tersedia (modal fisik) diformulasikan dengan CEE, hubungan VA dan human capital diformulasikan dengan HCE, dan hubungan VA terhadap structural capital diformulasikan dengan SCE. 1. Capital Employed Efficieny (CEE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal yang digunakan. CEE merupakan rasio dari VA terhadap CE. CEE menggambarkan berapa banyak nilai tambah perusahaan yang dihasilkan dari modal yang digunakan CEE yaitu kalkulasi dari mengelola modal perusahaan. 2. Human Capital Efficiency (HCE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal manusia. HCE merupakan rasio dari value added (VA) terhadap human capital (HC). Hubungan ini mengindikasikan kemampuan modal manusia membuat nilai pada perusahan menghasilkan nilai tambah setiap rupiah yang dikeluarkan pada modal manusia. HCE menunujukkan berapa banyak (VA) dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk executive salary. Human Capital merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hidup perusahaan karena human capital merupakan penggabungan sumber-sumber daya intangible yang melekat dalam diri anggota organisasi, selain itu juga merupakan aset perusahaan dan sumber inovasi serta pembaharuan. 3. Structural Capital Efficiency (SCE) adalah indikator efisiensi nilai tambah modal struktural. SCE merupakan ratio dari SC terhadap VA. Rasio ini mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bilamana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai (Ulum, 2008). Structural capital meliputi seluruh non-human storehouses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah database, organizational charts, proocess manuals, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya (Ulum, 2008). Perusahaan dengan structural capital yang kuat akan memiliki dukungan budaya yang memungkinkan perusahaan untuk mencoba sesuatu, untuk belajar, dan untuk mencoba
79
kembali sesuatu. Konsep intellectual capital memungkinkan intellectual capital untuk diukur dan dikembangkan dalam suatu perusahaan (Anatan, 2004).
Metode Penelitian Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufacturing, banking, credit agencies other than bank, securities, insurance dan real estate yang terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia) periode 2010-2011. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non probality sampling. Metode non probality sampling yang digunakan yaitu judgment sampling di mana sampel yang dijadikan objek penelitian ditentukan berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang ditetapkan untuk mengambil sampel dalam penelitian adalah: 1. Laporan keuangan yang telah diaudit dan dipublikasikan pada tahun 2010-2011. 2. Bila ada ketidaktersediaan data dari salah satu variabel pada perusahaan tertentu maka emiten tersebut tidak digunakan sebagai sampel. 3. Perusahaan tersebut tidak memiliki laba dan ROE yang negatif selama periode pengamatan yaitu pada tahun 2010-2011. Sampel akhir yang diperoleh dari proses seleksi sampel berdasarkan kriteria tersebut adalah 150 perusahaan setiap tahunnya seperti tersaji dalam tabel 1. Tabel 1. Proses Seleksi Sampel Berdasarkan Kriteria
Kriteria
Jumlah Sampel
Jumlah perusahaan manufacturing pada tahun 2010-2011
147
Jumlah perusahaan banking, credit agencies other than bank, securities, insurance pada tahun 2010-2011 Jumlah perusahaan real estate pada tahun 2010-2011
73
Dikurangi: Emiten yang datanya tidak lengkap
72
Dikurangi: Emiten yang negatif (Laba dan ROE)
48
Dikali: Lamanya periode penelitian
2
Sampel akhir dari tahun 2010-2011
50
300
80
Variabel dan Pengukurannya Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah ROE dan EPS. Kinerja keuangan perusahaan yang diukur melalui profitabilitas perusahaan. Kinerja tersebut diwakili dengan rasio sebagai berikut: a. Return on Equity (ROE) Return on Equity (ROE) merupakan rasio keuangan yang mewakili profitabilitas perusahaan. ROE mempresentasikan return pemegang saham biasa dan biasanya menjadi pertimbangan dan indikator keuangan yang penting bagi investor (Chen et. al, 2005). Semakin tinggi laba yang diperoleh maka akan semakin meningkatkan ROE. ROE diformulasikan sebagai berikut: ROE =
b. Earnings per Share (EPS) Earnings per Share merupakan suatu ukuran di mana baik manajemen maupun pemegang saham menaruh perhatian yang besar. EPS merupakan analisis laba dari sudut pandang pemilik dipusatkan pada laba per saham dalam suatu perusahaan. EPS juga merupakan salah satu persyaratan dalam pengungkapan laporan keuangan bagi perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, yang diperoleh dengan cara membagi laba setelah dikurangi dividen yang dibagikan untuk pemegang saham preferen dengan rata-rata jumlah saham yang beredar sepanjang tahun. EPS =
Variabel Independen Variabel independen dalam penelitian ini adalah Intellectual Capital (VAIC™) yang diproksikan berdasarkan value added yang diciptakan oleh human capital efficiency (HCE), structural capital efficiency (SCE), dan capital employed efficiency (CEE). Formulasi perhitungan VAIC™ adalah sebagai berikut:
81
a.
Menghitung Value Added (VA) VA = Output – Input
di mana: Value Added (
VA)
= Selisih antara Output dan Input.
Output (OUT)
= Total penjualan dan pendapatan lain-lain.
Input (IN)
= Beban dan biaya-biaya (selain executive
salary). Penelitian ini menggunakan perluasan definisi dalam mengungkapkan VAIC™ dengan menggunakan executive salary. Penggunaan executive salary karena dianggap dapat mencerminkan Human Capital yang lebih baik.
b. Menghitung Capital Employed Efficiency (CEE) CEE = VA / CE
di mana: CEE
= Capital Employed Efficiency
VA
= Value Added
CE
= Capital Employed ( modal fisik dan aset finansial)
Aset Finansial = Total Asset – Intangible Asset
c. Menghitung Human Capital Efficiency (HCE) HCE = VA / HC
di mana: HCE
= Human Capital Efficiency
VA
= Value Added
HC
= Human Capital (executive salary)
82
d. Menghitung Structural Capital Efficiency (SCE) SCE = SC / VA
di mana: SCE
= Structural Capital Efficiency
SC
= Structural Capital (SC= VA-HC)
VA
= Value Added
Metode Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda dengan model sebagai berikut : a. Model regresi untuk variabel ROE ROE = β0 + β1 CEE + β2 HCE + β3 SCE + Ɛ Keterangan : β0
= Penduga bagi intersept
β1, β2, β3
= Koefisien Regresi
ROE
=
Return on Equity merupakan ukuran kinerja keuangan
perusahaan CEE
= Capital Employed Efficiency
HCE
= Human Capital Efficiency
SCE
= Structural Capital Efficiency
Ɛ
= Error
b. Model regresi untuk variabel EPS EPS = β0 + β1 CEE + β2 HCE + β3 SCE + Ɛ Keterangan : β0
= Penduga bagi intersept
β1, β2, β3
= Koefisien Regresi
ROE
= Earnings per Share merupakan ukuran kinerja keuangan
CEE
= Capital Employed Efficiency
HCE
= Human Capital Efficiency
SCE
= Structural Capital Efficiency
Ɛ
= Error
83
Hasil dan Pembahasan Statistik Deskriptif Perusahaan dalam penelitian ini manufacturing, banking, credit agencies other than bank, securities, dan real estate. Dari 270 populasi, peneliti hanya menggunakan 150 perusahaan per tahunnya yang dijadikan sebagai sampel dalam melakukan penelitian karena data yang tidak lengkap dan bernilai negatif. Data dipooling dari periode 2010-2011 setelah melakukan kelayakan pooling dengan pengujian Chow Breakpoint Test . Statistik Deskriptif untuk model ROE dan model EPS masing-masing disajikan pada tabel 2 dan tabel 3. Walaupun rata-rata tingkat ROE perusahaan sampel bernilai 16.2363 namun penyebaran ROE sangat bervariasi diantara perusahaan. Terdapat 20 perusahaan yang ROE nya
kurang dari 5%, dan 17 perusahaan yang ROE nya diatas 30%.
Unilever
merupakan pengahasil ROE yang tertinggi. Akan tetapi banyak perusahaan yang mengalami peningkatan ROE dari tahun 2010. Data EPS pun menunjukan variasi yang tinggi. Tabel 2. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Model ROE N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
ROE
300
.04
113.24
16.2363
12.80292
CEE
300
.005
4.418
.13034
.289536
LHCE
300
.192
6.697
2.92926
1.120443
SCE
300
.174
8.245
.93002
.484656
Valid N (listwise)
300
Tabel 3. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Model EPS N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
LEPS
300
-3.219
9.469
4.11684
1.758434
LCEE
300
-5.319
1.486
-2.58350
.989394
HCE
300
1.211
809.597
39.39031
83.531151
LSCE
300
-1.7470
2.1096
-.115548
.2585666
Valid N (listwise)
300
84
Uji Regresi Linear Berganda Analisa regresi telah memenuhi uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji auto korelasi.
Walaupun uji normalitas
dengan kolmogorov Smirnov dengan alpha 5% menunjukan data ROE tidak terdistribusi normal, namun berdasarkan teori central limit bila jumlah sampel lebih dari 30 maka data berdistribusi normal. Model regresi berganda model ROE dan EPS adalah sebagai berikut: Persamaan regresi linier berganda untuk model ROE dan model EPS adalah sebagai berikut: ROE = 2,338 + 8,748 CEE + 4,073 LHCE + 0,888 SCE EPS = 6,071 + 0,740 LCEE + 0,001 HCE + 0,883 LSCE
Kedua model persamaan diatas berdasarkan
hasil uji statistik F pada alpha 5%
menunjukan bahwa model mampu menjelaskan hubungan ketiga variabel independen (CEE, HC and SCE) baik dengan variabel dependen ROE (tabel 4) maupun dengan variabel dependen EPS (tabel 5). Tabel 4. Hasil Uji Statistik F Model ROE a
ANOVA Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
10158.387
3
3386.129
Residual
38852.132
296
131.257
Total
49010.519
299
F 25.798
Sig. .000
b
a. Dependent Variable: ROE b. Predictors: (Constant), SCE, CEE, LHCE
Tabel 5. Hasil Uji Statistik F Model EPS a
ANOVA Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
217.894
3
72.631
Residual
706.640
296
2.387
Total
924.534
299
a. Dependent Variable: LEPS b. Predictors: (Constant), LSCE, HCE, LCEE
F 30.424
Sig. .000
b
85
Hasil uji koefisien determinasi (R2) menunjukan kemampuan menjelaskan variabel CEE, HCE dan SCE cukup siginikan baik atas variabel ROE(20,7%) yang disajikan pada tabel 6, maupun EPS(23,6%) yang disajikan pada tabel 7 Tabel 6. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) Model ROE b
Model Summary Model
1
R
.455
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.207
.199
11.45675
a. Predictors: (Constant), SCE, CEE, LHCE b. Dependent Variable: ROE
Tabel 7. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) Model EPS b
Model Summary Model
1
R
.485
R Square
a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.236
a.
Predictors: (Constant), LSCE, HCE, LCEE
b.
Dependent Variable: LEPS
.228
1.545089
Hasil uji koefisien regresi (Uji T) atas ketiga variabel independen baik pada model ROE (tabel 8) maupun model EPS (tabel 9) pada alpha 5% menunjukan hasil berikut:
CEE Pada Model ROE ditemukan bukti pengaruh positive CEE terhadap ROE. Hasil ini sejalan dengan penelitian Najibullah (2005). Secara statistik dapat dikatakan bahwa dengan asumsi variable lain konstan, perubahan CEE sebesar 1 basis point diasosiasikan dengan perubahan ROE sebesar 8.748 basis point. Bukti empiris ini menunjukkan bahwa perusahaan mengandalkan dana yang tersedia seperti ekuitas dan laba bersih yang dapat meningkatkan nilai tambah yang akhirnya meningkatkan profitabilitas. Dalam model EPS juga ditemukan bukti yang signifikan bahwa CEE berpengaruh positif terhadap EPS. Secara statistik dapat dikatakan bahwa dengan asumsi variable lain konstan, perubahan Log CEE (LCEE) sebesar 1 basis point diasosiasikan dengan perubahan
86
EPS sebesar 0.740 basis point.Hasil ini sejalan dengan penelitian Ritonga dan Andriyanie (2011). Bukti empiris ini menunjukan bahwa physical capital yang dimiliki perusahaan berperan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan serta mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berhasil memanfaatkan dan memaksimalkan dana yang tersedia pada perusahaan.
HCE Pada model ROE bukti empiris menunjukan pengaruh positif HCE terhadap ROE secara signifikan. Secara statistik dapat dikatakan bahwa dengan asumsi variable lain konstan, perubahan Log HCE (LHCE) sebesar 1 basis point diasosiasikan dengan perubahan ROE sebesar 4.073 basis point. Hasil penelitian Najibulla (2005) belum menemukan bukti empiris ini. Akan tetapi Farah Margaretha (2006) menemukan bukti empiris yang sesuai dengan hasil penelitian ini. Hasil ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang tergabung sudah mampu mendaya gunakan Human Capital untuk meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Akan tetapi berbeda dengan model ROE, penelitian atas model EPS menemukan bahwa HCE tidak berpengaruh signifikan atas EPS. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Ritonga dan Andriyanie (2011) yang menemukan pengaruh signifikan HCE terhadap EPS. Fenomena yang ditunjukan hasil penelitian ini mungkin disebabkan hambatan infrastruktur yang menyebabkan kurangnya motivasi untuk berinovasi dan memperbaiki proses bisnis agar lebih efisiensi dan meningkatkan profitabilitas pemegang saham. Hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.
SCE Pada model ROE ditemukan bahwa structural capital efficiency tidak berpengaruh secara signifikan terhadap return on equity.Hasil sejalan dengan penelitian Najibullah (2005). Tidak berpengaruhnya SCE terhadap ROE menunjukkan perusahaan sampel belum mampu dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung kinerja bisnis secara keseluruhan, seperti sistem operasional perusahaan, budaya organisasi, filosofi manajemen yang dimiliki perusahaan. Dengan belum mampunya perusahaan mentransformasi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang melekat pada hubungan eksternal
yaitu
mentransformasi pengetahuan individu ke dalam pengetahuan non manusia. Berarti
87
perusahaan belum mampu mengembangkan structural capital yang menghasilkan keunggulan bersaing yang secara relatif dapat meningkatkan profitabilitas. Akan tetapi pada model EPS ditemukan bahwa structural capital efficiency berpengaruh secara positif terhadap earnings per share. Secara statistik dapat dikatakan bahwa dengan asumsi variable lain konstan, perubahan Log SCE (LSCE) sebesar 1 basis point diasosiasikan dengan perubahan EPS sebesar 0.883 basis point.Hasil ini juga tidak sejalan dengan penelitian Ritonga dan Andriyanie (2011). Hasil ini menunjukkan perusahaan sampel sudah mampu meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan structural capital yang dimilikinya untuk mencapai keunggulan bersaing yang akan menghasilkan kinerja keuangan yang lebih tinggi. Tabel 8. Hasil Uji Koefisien Regresi (Uji t) Model ROE Coefficients
a
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
(Constant)
2.338
2.073
CEE
8.748
2.359
LHCE
4.073 .888
t
Sig.
Beta 1.128
.260
.198
3.708
.000
.624
.356
6.529
.000
1.400
.034
.634
.526
1 SCE a. Dependent Variable: ROE
Tabel 9. Hasil Uji Koefisien Regresi (Uji t) Model EPS Coefficients
a
Model
( Unstandardized
Standardized
T Coefficients A
Coefficients
B (Constant)
Std. Error
6.071
.272
LCEE
.740
.095
HCE
.001
LSCE
.883
t
Sig.
Beta 22.309
.000
.416
7.783
.000
.001
.071
1.338
.182
.355
.130
2.486
.013
1
a. Dependent Variable: LEPS
88
Kesimpulan Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa modal intelektual mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Bukti empiris menunjukan hubungan antara ketiga komponen intelectual capital dengan salah satu atau kedua proksi kinerja keuangan yakni ROE dan EPS. Capital Employed Efficiency berpengaruh positif terhadap profitabilitas perusahaan, baik dengan return on equity (ROE) maupun dengan EPS. Walapun dalam model ROE bukti empiris menunjukan bahwa Human Capital Efficiency
berpengaruh signifikan terhadap
return on equity (ROE), namun dengan model EPS bukti empiris belum menunjukan pengaruh signifikan HCE terhadap EPS. Analisa atas Structural Capital Efficiency juga menunjukan hasil yang tidak konsisten antara model ROE dan model EPS. Pada model EPS bukti empiris menunjukan pengaruh signifikan SCE terhadap EPS, namun dengan model ROE Structural Capital Efficiency belum terbukti signifikan terhadap return on equity (ROE).
Implikasi Hasil temuan menunjukan semakin pentingnya modal intelektual dalam perusahaan. Akan tetapi sebagian besar intelektual capital belum dapat disajikan dalam laporan keuangan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi standar setter untuk melakukan pengkajian lebih lanjut mengenai kemungkinan penerbitan standar akuntansi sehubungan dengan modal intelektual ini. Hasil penelitian ini juga dapat ditindaklanjuti dengan penelitian selanjutnya sebagai berikut: a.
Mengembangkan penelitian dengan menggunakan metode langsung dalam mengukur intellectual capital, misalnya dengan balance score card atau real options model.
b.
Memperpanjang periode penelitian. Dengan memperpanjang periode penelitian diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang lebih baik dan dapat mengatasi masalah normalitas residual untuk ketiga komponen intellectual capital yaitu CEE, HCE, dan SCE terhadap ROE.
c.
Menggunakan proksi kinerja keuangan perusahaan selain yang digunakan dalam penelitian ini. Semakin banyak proksi yang digunakan akan semakin baik dalam menggambarkan pengaruh intellectual capital terhadap kinerja perusahaan.
89
Daftar Pustaka Anugraheni, C. M. (2010); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Perusahaan; sumber: http://eprints.undip.ac.id/22818/1/SKRIPSI.pdf (diakses 15 Oktober 2012). Anatan, L. (2006); Manajemen Modal Intelektual: Strategi Memaksimalkan Nilai Intelektual dalam Technology Driven Business; Maranatha Christian University Vol.5, No. 2 pp 46-56. Astuti, P.Dwi dan Arifin Sabeni; Hubungan Intellectual Capital dan Business Performance dengan Diamond Specification: Sebuah Perspektif Akuntansi; SNA VIII Solo pp. 694-707. Barney, J. B. (1991); Firm resources and sustainable competitive advantage; Jurnal of Management, Vol 17 No 1, pp 99-120. Bontis, Nick. (1998); Intellectual Capital : an Explaratory Study that Develops Measures and Models; Management Decision. Vol 36, No. 2, pp 63-76. Bontis, Nick, Willian Chua Chong Keow dan Stanlet Richardson (2000) ; Intellectual Capital and Business Performance in Malaysian Industries; Journal of Intellectual Capital Vol.1, No. 1, pp 85-100. Borwerman, O’Connell, dan Murphree (2011); Business Statistics in Practice, Edisi 6; New York: McGraw-Hill/Irwin. Brooking, Annie (1996); Intellectual Capital : Core Asset for the Third Millennium Enterprises; London : International Thomson Business Press. Bursa Efek Jakarta (2011); Indonesian Capital Market Directory, Institute for Economic and Financial Research. Chen, M.C., S.J. Cheng. Y. Hwang. (2005); An empirical investigation of the relationship between intellectual capital and firms’ market value and financial performance; Jounal of Intellectual Capital. Vol 6, No. 2, pp 159-176. Cooper, Donald R. Dan Pamela S. Schindler (2011); Business Research Method, 11th Edition; Boston : Mc Graw-Hill. Farah Margaretha, Arief Rakhman (2006); Analisis Pengaruh Intellectual Capital Terhadap Market Value dan Financial Performance Perusahaan dengan Metode Value Added Intellectual Coefficient; Jurnal Bisnis dan Akuntansi Vol. 8 No. 2 pp. 199-217. Firer, S., and S.M. Williams (2003); Intellectual capital and traditional measures of corporate performance; Journal of Intellectual Capital Vol.4, No. 3, pp. 348-360.
90
Hartono, B. (2001); Intellectual Capital: Sebuah Tantangan Akuntansi Masa Depan; Media Akuntansi. Vol. 21 pp 65-72 Ihyaul Ulum et al. (2007); Intellectual Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan : Suatu Analisis dengan Pendekatan Partial Least Square; Simposium Nasional Akuntansi 11. Ihyaul Ulum et al. (2008); Intellectual Capital Performance Sektor perbankan di Indonesia: sumber: puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/aku/article/.../17081/17034 (diakses 15 Oktober 2012) Ihyaul Ulum (2009); Modal Inter-Relasi Antar Komponen Modal Intelektual (Human Capital, Structural Capital, Customer Capital) dan Kinerja Perusahaan; Humanity, Vol IV, No.2 pp 134-140. Gozali, Iman (2006); Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi 4; Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Guthrie, Damodar N. dan Dawn C.Porter (2010); Dasar-dasar Ekonometrika, Edisi 5; Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Kuryanto, Benny (2008); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Perusahaan; Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 5, No. 9. Najibullah, S. (2005); An Empirical Investigation of The Relationship Between Intellectual Capital and Firm’s Market and Financial Performance in Context of Commercial Bank of Bangladesh”. Pulic, A. (1998); Measuring the performance of intellectual potensial in knowledge economy”. Paper presented at the 2nd McMaster Word Congress on Measuring and Managing Intellectual Capital by the Austrian Team for Intellectual Potential. Ramadhan, I. Ibnu. (2009); Skripsi: Pengaruh Intellectual Capital terhadap kinerja Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2002-2007; Universitas Diponegoro (Tidak Dipublikasikan). Ritonga, K dan J. Andriyanie (2011); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan; Pekbis Jurnal, Vol. 3, No. 2 pp 467-481. Santosa dan Setiawan (2007); Modal Intelektual dan Dampaknya bagi Keberhasilan Organisasi; Maranatha Christian University Vol. 7, No.1 pp 1-15. Sawarjuwono, T. (2003); Intellectual Capital : perlakuan, pengukuran, dan pelaporan (sebuah library research); Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 5. No.1. pp 35-57.
91
Solikhah, B, Abdul Rohman, Wahyu Meiranto (2010); Implikasi Intellectual Capital Performance, Growth dan Market Value; Studi Empiris dengan Pendekatan Simplistic Specification” Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwokerto pp 1-29. Tan, H.P., Plowman, D. & Hancock, P. (2007) ; Intellectual Capital and Financial Returns of companies; Journal of Intellectual Capital, Vol.8, No.1 pp. 76-95. Widiyaningrum, A. (2004); Modal Intelektual; Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol.1 pp. 16-25. Wiradinata dan Siregar. (2011); Pengaruh Modal Intelektual Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Sektor Keuangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia; Jurnal Akuntansi & Manajemen Vol.22, No.2 pp.107-124. Woodcock, J., H.R. Whiting. (2009); Intellectual Capital Disclousure by Australian Companies; Paper accepted for presentation at thr AFAANZ Conference, Adelaide, Australia. July 2009. Zuliyati. (2011); Intellectual Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan; Dinamika Keuangan dan Perbankan Vol.3, No.1 pp 113-125.
92
Pengaruh Market Based Capabilities Terhadap Kinerja Perusahaan Studi Kasus Komoditas Gula Pasir di Perum Bulog
Adi Yanuar dan Ahdia Amini Magister Manajemen - Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
This study discusses how to leverage business process with market-based capabilities perspective on commercial activities in Perum Bulog. This study is a qualitiative research using case study approach to determine the influence of new product development, customer management and supply chain management in commercial activities especially in the sugar commodity at Perum Bulog.The results of this study, that Perum Bulog must make a change of business processes using market-basec capabilities approach. As state-owned enterprise, Perum Bulog is not only waiting for the government assignment but also begin to focus on take profit by innovation on product development to make products needed by customers, maintaining relationship with customers that can give the maximum contribution to the company and be able to balance between the demand of a product and supplies in Perum Bulog, that can improve the operational efficiency for the company.
Keywords: Case Study Approach, Market-based Capabilities, New Product Development, Customer Management, Supply Chain Management
93
PENGARUH
MARKET
BASED
CAPABILITIES
TERHADAP
KINERJA
PERUSAHAAN STUDI KASUS KOMODITAS GULA PASIR DI PERUM BULOG
Pendahuluan Ketahanan pangan merupakan satu dari beberapa faktor yang menentukan stabilitas nasional dari suatu negara. Hal ini yang membuat ketahanan pangan menjadi salah satu program utama dari setiap negara, termasuk Indonesia melalui peningkatan dari produktivitas pertanian atau pangan. Salah satu komoditi yang berperan dalam ketahanan pangan adalah gula. Gula dimanfaatkan sebagai bahan baku dari industri makanan, minuman dan farmasi atau juga dapat di konsumsi secara langsung. Dengan beragamnya fungsi gula, tentunya gula menjadi suatu bahan pokok yang strategis sehingga ketersediaan gula dan stabilisasi harga gula di pasar menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan oleh pemerintah dan berbagai pihak yang terkait untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Kebutuhan gula yang semakin tinggi dapat juga dilihat dari produksi gula dunia. Menurut United State Department of Agricu lture (USDA) produksi gula dunia pada periode 2009/2010 sebesar 153,53 juta ton dan mengalami peningkatan sebesar 9,75 jt ton (6,8%) dibandingkan dengan pada periode 2008/2009 yang sebesar 143,78 juta ton. Akan tetapi konsumsi gula dunia pada periode 2009/2010 mengalami penurunan sebesar 0,64 juta ton (0.4%) dibandingkan dengan periode sebelumnya 2008/2009. Hal ini dikarenakan kebutuhan konsumsi gula dunia melebihi dengan produksi yang mengakibatkan terjadi defisit gula dunia pada periode 2008/2009 dan 2009/2010.
94
Tabel 1. Produksi, Konsumsi, dan impor gula dalam negeri tahun 2003-2009 Tahun
Produksi (Juta Ton)
Konsumsi
Selisih
Impor
GKP
GKR
Total
(Juta Ton)
(Juta Ton)
(Juta Ton)
(1)
(2)
(3)
(4=2+3)
(5)
(6=4-5)
(7)
2003
1,62
0,33
1,95
3,52
-1,42
1,16
2004
2,03
0,38
2,41
3,71
-1,21
0,72
2005
2,20
0,72
2,92
3,99
-0,89
1,08
2006
2,31
1,14
3,45
4,25
-0,85
0,67
2007
2,45
1,45
3,90
4,70
-0,70
1,16
2008
2,70
1,26
3,96
4,35
-0,45
0,50
2009
2,77
1,90
4,67
4,85
-0,18
-
Sumber: Roadmap Swasembada Gula Nasional 2010-2014 (Desember 2009) Permintaan gula domestik juga mengalami peningkatan dari periode sebelumnya. Pada tahun 2003 produksi gula domestik sebesar 1.95 juta dan meningkat sebesar 4,67 juta ton pada tahun 2009. Sedangkan untuk konsumsi dalam negeri juga mengalami peningkatan dari 3,52 juta ton pada tahun 2003 menjadi 4,85 juta ton pada tahun 2009. Dengan tingkat konsumsi yang lebih dari produksi maka kekurangan kebutuhan dalam negeri diambil dari impor untuk Gula Kristal Putih (GKP), Gula Rafinasi (GKR) dan Gula Mentah (raw sugar). Dengan jumlah produksi gula yang lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi gula dalam negeri maka pemerintah harus mengambil langkah perlindungan dalam rangka stabilisasi harga gula di tingkat petani dan konsumsi. Pemerintah telah melakukan berbagai langkah dengan mendorong perkembangan industri gula dengan meningkatkan efesiensi ditingkat Pabrik Gula (PG) dan petani. Selain itu juga pemerintah melindungi industri dalam negeri dengan melakukan pembatasan impor dengan kebijakan kuota, tarif Gula Kristal Putih (GKP) dan gula mentah (raw sugar) maupun gula rafinasi. Salah satu bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah adalah stabilisasi harga gula di tingkat petani dan konsumsi. Pada saat musim giling pasar GKP cenderung membentuk pasar oligopoli karena dikuasai oleh pedagang besar sedangkan pemerintah dalam hal ini PTPN/PT.RNI mempunyai daya tawar yang lemah dan begitu juga diluar musim giling sudah dikuasai pedagang kuat. Hal ini dapat berakibat stabilitas harga gula dalam negeri
95
dapat mempengaruhi konsumen. Dengan kondisi seperti ini maka diperlukan campur tangan pemerintah untuk dapat melakukan stabilisasi gejolak harga Gula Kristal Putih (GKP). Untuk itu pemerintah mulai melakukan perbaikan tata niaga Gula Kristal Putih (GKP) dengan melakukan kerjasama sinergi BUMN. Pada tahun 2008 dilakukan kerjasama tersebut antara PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI) sebagai produsen dengan Perum Bulog sebagai agen pemasaran Gula Kristal Putih (GKP). Kerjasama ini dilakukan karena Perum Bulog mempunyai jalur distribusi yang sangat besar karena telah memiliki aset sampai tingkat desa/kelurahan. Perum Bulog harus memanfaatkan kerjasama ini untuk meningkatkan kegiatan komersial dengan memanfaatkan kapabilitas berbasis pasar yaitu pengembangan produk baru, manajemen konsumen dan manajemen rantai pasok sehingga tidak hanya fokus dalam kegiatan pelayanan publik.
Tujuan Penelitian Pada saat ini kegiatan komersial di Perum Bulog mempunyai porsi yang sangat sedikit yaitu sebesar 10% sehingga diperlukan suatu strategi untuk meningkatkan kegiatan usaha komersial dengan menggunakan persepektif kapabilitas berbasis pasar pada perdagangan komoditas gula pasir di Perum Bulog. Dari permasalahan yang terjadi di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu: 1. Mengetahui pengaruh pengembangan produk baru terhadap kinerja perusahaan. 2. Mengetahui pengaruh manajemen konsumen terhadap kinerja perusahaan 3. Mengetahui pengaruh manajemen rantai pasok terhadap kinerja perusahaan.
Tinjauan Teoritis Beberapa tahun ini mulai ada pergeseran ekonomi dari manufaktur menjadi informasi dan pengetahuan. Informasi dan pengetahuan merupakan aset yang tak berwujud (intagible) yang terdiri dari market-based assets dan capabilities. Aset (asset) dapat didefinisikan sebagai bentuk fisik, organisasi atau atribut di manusia yang memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan dan mengimplementasikan strategi yang dapat meningkatkan efesiensi dan efektifitas di pasar (Srivastava 1998). Aset dapat berwujud (tangible) misalnya aset tetap (fix asset) atau aset tak berwujud (intagible) dengan contoh adalah merek (brand), dapat menambah atau mengurangi di neraca dan kedalam perusahaan atau keluar dari perusahaan (Srivastava,1998).
96
Menurut Sristava (1998) sebuah aset harus dapat berkontribusi terhadap penciptaan nilai apabila memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Convertible yaitu bagaimana perusahaan menggunakan asetnya untuk mendapatkan suatu kesempatan dan menghilangkan ancaman dari luar kemudian dapat diciptakan dan ditingkatkan kegunaannya. 2. Rare yaitu jika asset tersebut telah terdapat di beberapa pesaing maka potensi asset tersebut menjadi berkurang. 3. Imperfectly imitable yaitu sangat susah bagi pesaing untuk meniru aset tersebut sehingga dapat meningkatkan nilai dari aset tersebut. 4. Doesn’t have perfect substitutes yaitu jika pesaing tidak memiliki aset yang strategis dan sangat susah untuk mengembangkannya maka nilai aset tersebut akan bertambah.
Menurut Ramaswami (2009), capabilities merupakan kumpulan dari kemampuan (skills) dan pengetahuan yang dilakukan di organisasi yang dapat menciptakan suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan tidak mudah untuk ditiru oleh pesaingnya.
97
Gambar 1. Keunggulan Kompetitif pada Kapabilitas dan Performa Bisnis
Sumber: Ramaswami (2009)
Hubungan antara market-based assets dan capabilities terkait dengan proses bisnis perusahaan. Proses bisnis (business process) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan dari bisnis perusahaan (Ramaswami 2009). Ada 3 (tiga) proses bisnis yang sangat penting dalam menciptakan customer value, antara lain: a. Proses New Product Development (NPD) bertujuan untuk menciptakan solusi dari kebutuhan dan keinginan konsumen. Proses pengembangan produk baru dilakukan dengan melewati beberapa tahap mulai dari pengumpulan ide dan konsep produk, proses pembuatan, pengetesan sampai diluncurkan ke pasar (Bhuiyan, 2011). Menurut Ramaswami (2009) pada proses new product development (NPD) terdapat dua faktor yang menentukan yaitu: Customer-driven Development (CDD) CDD mengacu pada seberapa besar konsumen terlibat dalam proses pengembangan produk Cross-functional Integration (CFI),
98
CFI
mengacu pada seberapa besar proses pengembangan produk tersebut
berintegrasi dengan seluruh unit atau divisi dan mitra di luar perusahaan. Kinerja dari proses NPD juga berdampak pada keuangan yang bagus di perusahaan. Pada proses NPD menghasilkan produk baru yang diluncurkan ke pasar dengan memberikan manfaat bagi konsumen yang membeli (Ramaswami, 2009).
b. Proses Customer Management (CM) bertujuan untuk mengetahui tentang konsumen, pengetahuan konsumen, mempertajam persepsi konsumen tentang produk, membangun hubungan dengan konsumen sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan keuntungan perusahaan. Menurut Ramaswami (2009), pada proses customer management (CM) terdapat tiga faktor yang menentukan yaitu: High-value customer (HVCs). HVC adalah konsumen yang memberikan pendapatan dan keuntungan yang besar bagi perusahaan atau memberikan kestabilan pendapatan dan keuntungan bagi perusahaan (Ramaswami, 2009). Responsif (responsiveness) terhadap tujuannya. Responsif dapat didefinisikan sebagai sejauh mana perusahaan memenuhi kebutuhan dan tujuan dari konsumen (Ramaswami, 2009). Customer Asset Orientation Perusahaan harus mengelola hubungan dengan konsumen sebagai bagian dari aset perusahaan (Ramaswami, 2009). Proses CM yang efektif berdampak pada perusahaan dengan mendapatkan kompetisi yang baik dalam mencari high value customer, respon yang efektif sesuai dengan keinginan konsumen dan memberikan nilai (value) ke konsumen.
c. Proses Supply Chain Management (SCM) bertujuan untuk mengelola input fisik dan informasi lalu mengubah menjadi solusi bagi konsumen secara efektif dan efesien. Supply Chain Management (SCM) adalah suatu koordiansi strategi dari fungsi bisnis dan strategis antar lintas fungsi di perusahaan dan lintas bisnis antar rantai pasok, dengan tujuan meningkatkan kinerja jangka panjang bagi perusahaan maupun dari semua rantai pasok. (Esper, 2009). Supply Chain Leadership
99
Perusahaan harus memiliki kepemimpinan dalam melakukan koordinasi dengan rekanan dalam suatu jaringan bisnis tersebut yaitu mempunyai kemampuan untuk memimpin suatu rantai pasok (ability to lead supply chain). Sharing Info and Decision Perusahaan dapat mengetahui dari operasional pemasok (supliers) dan dapat mengantisipasi
masalah
persediaan
sebelum
berdampak
pada
perusahaan
(Ramaswami, 2009) SCM yang efektif adalah yang memberikan biaya yang rendah pada manajemen inventory, pergudangan dan transportasi serta dapat meningkatkan pendapatan dengan memastikan ketersediaan produk
Marketing Framework Organization Gambar 2. Marketing Strategy Research: An Organizing Framework
Sumber: Varadarajan (1999)
General Environment Lingkungan umum yang tertanam di perusahaan yang terdiri dari:
100
Perusahaan memberikan pedoman di dalam organisasi sebagai salah satu bentuk dari perilaku perusahaan. Faktor makro sosial seperti budaya seperti regulasi, kebijakan
PEST Analysis Sebuah alat bantu yang berguna untuk menganalisa lingkungan umum adalah analisa PEST (Political, Economy, Social, Technology). Analisa PEST hanyalah salah satu alat untuk membantu perusahaan dalam mendeteksi dan memonitor keadaan di lingkungan eksternal perusahaan. Analisa PEST juga digunakan untuk membantu mendeteksi tren dalam lingkungan eksternal untuk masuk ke dalam lingkungan yang lebih kompetitif. Faktor Politik Faktor politik dari analisa PEST terkait dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut berada dalam Undang-undang yang mencakup segala aspek hukum. Hal ini termasuk dalam stabilitas pemerintahan, kebijakan perpajakan, dan peraturan pemerintah. Faktor Ekonomi Indikator ekonomi yang termasuk dalam faktor ekonomi adalah suku bunga, pendapatan yang terpakai, tingkat pengangguran, inflasi, produk domestik bruto (GDP) dan nilai tukar. Penguatan ekonomi secara umum dapat memberikan keuntungan bagi industri, namun efek yang terjadi akan bervariasi sessuai dengan faktor ekonomi yang terkena dampaknya. Faktor Sosial Faktor sosial termasuk dalam perubahan budaya dalam lingkungan dan sering juga disebut sosial-budaya. Tren sosial penting bagi perusahaan dan menghasilkan produk yang diinginkan konsumen. Faktor Teknologi Beberapa perubahan yang terjadi di lingkungan umum yang berdampak pada lingkungan kompetitif adalah teknologi. Faktor teknologi meliputi tingkat usang, yaitu kecepatan penemuan dari teknologi baru yang menggantikan teknologi lama. Perubahan dalam teknologi dan inovasi memiliki efek menyebabkan industri-industri baru muncul dan mengubah cara dimana antara industri yang bersaing. Kemajuan teknologi dapat berasal dari internet, penggunaan perangkat lunak yang canggih. Akibat dari perkembangan
101
teknologi dapat menyebabkan pendatang baru masuk ke dalam industri dengan biaya yang rendah dibandingkan perusahaan yang sudah masuk terlebih dahulu.
Industry Environment Lingkungan industri yang sesuai dengan perusahaan yaitu supplier, konsumen, pesaing dan channel partner. Hubungan antara industri dan stakeholders mempengaruhi tindakan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Lingkungan industri (industry environment) merupakan lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap operasional perusahaan. Analisa lingkungan industri perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisa five forces Porter. Menurut Henry (2011), five forces merupakan sebuah alat bantu dalam menilai daya tarik suatu industri berdasarkan kekuatan dari daya saing.
Gambar 3 Porter’s Five Forces Potential Entrants Barganing power of suppliers
Threat of new entrants
Barganing power of buyer
Industry Competitiors Suppliers
Buyers Rivalry among existing firm Threat of substitute product or service Substitutes
Sumber: Henry (2011)
Pada model Porter diatas, lima kekuatan yang dapat mempengaruhi kuatnya persaingan didalam industri, yaitu: •
The Threat of New Entrants Analisa ancaman pendatang baru melihat sejauh mana pesaing baru memutuskan untuk masuk kedalam suatu industri dan dapat mengurangi keuntungan dari perusahaan yang sudah ada
102
•
The Bargaining Power of Buyers Pembeli dapat mempengaruhi suatu industri dengan kemampuannya dalam menekan harga, memiliki posisi tawar yang lebih tinggi di kualitas atau pelayanan yang lebih baik (Henry 2011).
•
The Bargaining Power of Suppliers Pemasok dapat mempengaruhi suatu industri dengan kemampuannya dalam menaikan harga dan mengurangi kualitas dari produk atau jasa.
•
The Threat of Subtitute Product and Services Ancaman produk substitusi merupakan produk atau jasa lain yang dapat memberikan kepuasan yang sama sehingga konsumen dapat berganti produk dikarena lebih mudah diperoleh
•
The Intensity of Rivalry among Competition in an Industry Pembeli dapat mempengaruhi suatu industri dengan kemampuannya dalam menekan harga, memiliki posisi tawar yang lebih tinggi di kualitas atau pelayanan yang lebih baik.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu suatu metode penelitian eksplorasi yang tidak terstruktur dan menggunakan sampel yang kecil yang memberikan wawasan dan pemahaman dari suatu masalah (Maholtra, 2009). Menurut Bodgan dan Taylor (1992:21-22) mendefinisikan sebagai suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dapat berupa kata-kata yang tertulis atau lisan berasal dari orang atau perilaku yang diamati (Basrowi dan Suwandi, 2008 p 11). Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan karya akhir ini adalah dengan menggunakan pendekatan case study. Menurut teori dari Yin (1991), case study merupakan penelitian yang modern yaitu fenomena empiris dalam kehidupan nyata dimana batas antara fenomena dan konteks tidak jelas terlihat dan menggunakan beberapa sumber pembuktian (Wahyuni, 2003, p. 85). Menurut Ghauri dan Grounhaug (2002), penelitian studi kasus (case study) sangat berguna ketika fenomena yang diteliti sulit untuk di pelajari diluar kebiasaan dan juga ketika konsep dan variabel yang di teliti sulit untuk di ukur. (Wahyuni, 2003, p, 85). Ada tiga alasan dalam menggunakan penelitian studi kasus (case study) yaitu: 1. Tipe dari pertanyaan
103
Pada studi eksplorasi, pertanyaan yang dibuat lebih luas dalam mengeksplor dan tidak mencoba untuk menggambarkan kejadian atau fenomena. Metode studi kasus sejalan dengan apa yang diteliti yaitu bagaimana mengetahui kegiatan komersial di Perum Bulog khususnya perdagangan gula pasir. 2. Kedalaman analisis Dengan pendekatan studi kasus dapat memberikan keuntungan dalam fleksibilitas yang lebih besar di penelitian (Wahyuni, 2003, p. 86). Dalam melakukan penelitian ini menggunakan wawancara kualitatif (qualitative interviewing). Menurut Rubun dan Rubin (1995), dengan melakukan wawancara kualitatif dapat memperkaya data untuk membangun teori-tori yang menjelaskan pengaturan atau fenomena. (Wahyuni, 2003, p .86). Perbedaan yang mendasar antara qualitative interviewing dan survey interviewing adalah pada survey interviewing mencoba untuk melakukan generalisasi dengan informasi yang relatif sederhana, sedangkan pada qualitative interviewing bukan untuk penyerderhanaan, akan tetapi untuk mendapatkan segala informasi dan kompleksitas dari permasalahan dan menjelaskannya secara komprehensif. 3. Perspektif proses Bagaimana dengan menggunakan metode studi kasus dapat menjelaskan dari sejarah dari proses yang diteliti. Hal ini dapat menjelaskan bagaimana sejarah dari perdagangan gula pasir di Perum Bulog sampai dengan kondisi saat ini.
Tahapan Penelitian Untuk melakukan penelitian ini perlu diketahui tahapan-tahapan yang dilakukan, antara lain :
Tahap Pralapangan Pada tahap pralapangan dilakukan penyusunan rancangan penelitian dan pengumpulan informasi awal dengan melakukan kegiatan survey pendahuluan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi secara umum tentang kegiatan komersial secara umum dan kegiatan perdagangan komoditi gula pasir di Perum Bulog. Selain itu juga mencari informasi perihal struktur organisasi Perum Bulog beserta orang yang berperan dalam pengelolaan kegiatan komersial khususnya untuk perdagangan komoditi gula pasir. Setelah itu peneliti melakukan beberapa persiapan yang diperlukan untuk melakukan penelitian yaitu menentukan jadwal
104
penelitian, ijin penelitian di Perum Bulog, persiapan dokumen penelitian, rancangan pengumpulan data dan peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian. Pada tahap pralapangan dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2012 sampai dengan 9 November 2012.
Tahap Pekerjaan Lapangan Pada tahap pekerjaan lapangan dilakukan dari tanggal 12 November 2012 sampai dengan 7 Desember 2012 dengan melakukan wawancara secara mendalam (depth interview). Sebelum melakukan wawancara sudah di buat janji terlebih dahulu dengan narasumber. Narasumber yang dipilih adalah Direktur SDM dan Umum, Kepala Divisi Investasi, Kepala Divisi Analisa Harga dan Pasar, Kepala Subdivisi Pemasaran dan Kepala Subdivisi Non Perberasan. Narasumber tersebut dipilih bukan berdasarkan jabatan yang sedang dipegang, melainkan berdasarkan pengalaman dan keahlian di bidang komersial dan perdagangan gula pasir di Perum Bulog. Wawancara dilakukan satu persatu dengan tipe setengah terstruktur dan fokus secara detail tentang keadaan komersial dan perdagangan gula pasir di Perum Bulog serta tentang kapabilitas berbasis pasar. Walaupun sudah ada pertanyaan standarnya, narasumber bebas untuk mengembangkan jawabannya supaya mendapatkann hal-hal yang diluar dugaan perihal permasalahan yang diteliti. Karena itu daftar pertanyaan yang diberikan kepada narasumber hanya sebagai pedoman dalam wawancara tersebut. Pertanyaan yang dibuat berdasarkan halhal yang didapatkan pada tahap pra lapangan, studi literatur dan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Selain itu pada saat melakukan wawancara dapat direkam dengan terlebih dahulu meminta ijin kepada narasumber. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan transkrip dan analisa hasil wawancaran. Akan tetapi ada beberapa narasumber yang menolak untuk dipublikasikan rekaman tersebut dengan alasan kerahasiaan perusahaan.
Tahap Analisis Data Menurut Rosman (1989), analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar (Wahyuni, 2003, p. 92). Data-data yang digunakan pada saat penelitian berasal dari wawancara mendalam (deep interview), dokumen perusahaan, website.
Setelah data-data yang dibutuhkan terkumpul
dalam jumlah yang cukup maka analisis data dapat dilakukan.
105
Data hasil wawancara yang telah dikumpulkan dibuat transkrip hasil wawancara dan mulai dilakukan pengelompokan data sesuai dengan kategori varibel yang berasal dari model kapabilitias berbasis pasar. Serta dianalisa dengan dokumen perusahaan dan website sebagai data pendukung hasil analisa.
Hasil Penelitian General Environment Analisa lingkungan umum (general environemt) dari pasar gula di dunia maupun domestik dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dan dapat digunakan untuk menganalisa dan mengevaluasi dampaknya bagi perusahaan. Analisa ini dilakukan dengan menggunakan analisa PEST (Political, Economy, Social, Technology) yang dapat melakukan eksplorasi dari situasi pasar gula dunia, pasar gula domestik serta faktor-faktor yang mempengaruhi dari produksi, konsumsi dan harga gula.
Gambar 4. PEST Analysis
Industrial Environment Setiap perubahan yang terjadi di lingkungan umum berpotensial berdampak pada lingkungan industri yang kompetitif. Untuk itu penting bagi perusahaan untuk melakukan pengamatan dan pemantauan untuk mengetahui dampak ke lingkungan industri. Analisa lingkungan industri perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisa five forces Porter. Menurut Porter (1980), five forces merupakan sebuah alat bantu dalam menilai daya tarik
106
suatu industri berdasarkan kekuatan dari daya saing. Adapun lima kekuatan tersebut dapat dilihat dari gambar di bawah ini (Henry, 2011 p 66).
Gambar 5. Five Forces Porter Analysis
Firm Environment Analisa dari lingkungan perusahaan dan sumber daya perusahaan (firm environment and resources). Tujuan dari analisa ini adalah untuk mengetahui informasi dan perkembangan dari perdagangan gula pasir antara Perum Bulog dan PTPN/PT. RNI. Analisa dilakukan dengan menggunakan analisa SWOT (Strength, Weakness, Oportunities, Threats).
107
Gambar 6. SWOT Analysis
Pembahasan Dalam melakukan perdagangan gula pasir, Perum Bulog harus selalu melihat kondisi di eksternal dan internal perusahaan yang dapat digunakan untuk mendeteksi keadaan tersebut sehingga dapat digunakan untuk menganalisa dan mengevaluasi dampak yang terjadi bagi perusahaan. Untuk itu, Perum Bulog harus mengetahui situasi pasar gula dunia karena akan mempengaruhi situasi pasar gula domestik. Produksi gula dunia pada periode 2009/2010 mengalami kenaikan sebanyak 6,8% dibandingkan tahun sebelumnya, akan tetapi konsumsi pada periode yang sama mengalami kenaikan sehingga terjadi defisit gula dunia. Permintaan gula dunia yang cenderung meningkat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat dan perkembangan industri dengan bahan baku gula. Produksi gula domestik juga mengalami peningkatan, akan tetapi konsumsi gula domestik juga mengalami kenaikan sebesar 3,52 juta ton pada tahun 2003 menjadi 4,85 juta ton di tahun 2009. Hal ini mengakibatkan defisit gula sehingga kekurangan kebutuhan dalam negeri diprnuhi dengan melakukan impor. Pemerintah Indonesia juga terus berusahan untuk meningkatkan produksi gula domestik dengan mendorong perkembangan di industri gula pasir melalui peningkatan efesiensi ditingkat Pabrik Gula (PG) dan petani. Terdapat tiga jenis
108
gula yang merupakan diperdagangkan di Indonesia yaitu (i) Gula Kristal Merah (raw sugar) yang digunakan sebagai bahan baku industri rafinasi; (ii) Gula Kristal Rafinasi (Refined Sugar) yang digunakan sebagai bahan baku di industri makanan minuman dan farmasi; (iii) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) yang digunakan untuk konsumsi langsung masyarakat. Dengan sering terjadinya defisit di gula domestik, pemerintah melakukan perlindungan yaitu dengan melakukan stabilisasi harga ditingkat petani dan konsumen yang disebabkan PTPN/PT.RNI mempunyai daya tawar yang lemah karena pasar oligopoli yang dikuasai oleh pedagang besar, melakukan perbaikan tata niaga gula kristal putih (GKP) dengan melakukan kerjasama sinergi BUMN antara PTPN/PT.RNI sebagai produsen dengan Perum Bulog sebagai agen pemasaran gula kristal putih (GKP). Hal ini dilakukan karena Perum Bulog mempunyai jaringan yang luas dan gudang yang ada di seluruh Indonesia sehingga dapat mewujudkan sistem pemasaran yang efesien dan menyebar diseluruh daerah sehingga distributsi dapat lebih merata. Pada perdagangan gula kristal putih (GKP), Perum Bulog dan PTPN/PT.RNI menggunakan pola keagenan dimana Perum Bulog mempunyai tugas untuk mengendalikan stok GKP yang selama ini telah dikuasai oleh pedagang besar. Perum Bulog membeli GKP ex PTPN/PT.RNI melalui skema lelang dan melakukan penyimpanan GKP di gudang sampai tingkat kabupaten. Pedagang bisa membeli langsung ke gudang Bulog tanpa harus melalui perantara distributor pedagang besar di pusat sehingga mata rantai dari distribusti GKP bisa lebih pendek dan membuat harga GKP tidak menjadi lebih mahal. Dalam mengembangkan kegiatan komersial di perdagangan GKP, Perum Bulog tidak selau langsung menjual GKP, akan tetapi dapat juga mengembangkan proses bisnis dengan melihat kapabilitas berbasis pasar. Yang pertama adalah pengembangan produk baru (new product development) dari GKP dimana produk GKP tidak hanya langsung dijual melainkan dikembangkan menjadi produk yang unik dan berbeda dari pesaing. Beberapa contoh yang dapat dikembangkan antara lain dengan membuat kemasan GKP dengan ukuran lebih kecil dan menarik untuk konsumen akhir, membuat bentuk GKP menjadi kotak, bulat yang digunakan untuk target café dan warung kopi, membuat GKP dengan kualitas premium. Yang kedua dengan mengoptimalkan manajemen konsumen yaitu dengan membina hubungan dengan konsumen (customer relationship) baik yang berpotensial memberikan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan (high value customer) maupun konsumen biasa. Hal
109
ini bisa dilakukan dengan mengembangkan sistem manajemen konsumen (customer relationshop management) berbasis tehnologi informasi (IT based) sehingga perusahaan mendapatkan loyalitas dari konsumen (customer loyalty) dan dapat meningkatkan reputasi dan image perusahaan. Terakhir adalah penerapan manajemen rantai pasok (supply chain management) yang terintegerasi dari hulu ke hilir dimana Perum Bulog harus dapat menyeimbangkan kebutuhan supply dan demand (demad supply integration) dengan menerapkan sistem manajemen rantai pasok berbasis TI melalui pengembangan informasi dari rencana permintaan (demand plan) yang menggunakan strategi branding, positioning, peluncuran produk baru, iklan, pemanfaatan public relations sebagai corporate media. Selain itu juga dengan pengembangan informasi dari rencana operasional (operational plan) yaitu rencana strategis yang nyata seperti pembelian GKP dari PTPN/PT.RNI melalui skema lelang, produksi GKP dengan proses inovasi , melakukan efesisensi dalam inventory cost, melakukan proses just in time (JIT), serta transportasi untuk mengirimkan GKP ke seluruh gudang Bulog di Indonesia sebagai antisipasi dalam kesenjangan dalam distribusi (distribution gap). Hal ini juga harus didukung dengan mendirikan anak perusahaan sebagai unit bisnis di sektor hulu dan hilir dimana manajemen anak perusahaan tersebut sudah harus terpisah dari kegiatan pelayanan publik(PSO).
110
Tabel 2. Proses Bisnis Dengan Perspektif Kapabilitas Berbasis Pasar Komponen
Kutipan
Tujuan
Tidak ada keterlibatan dari konsumen pada perdagangan gula pasir (Subali, 2012)
Pengembangan produk baru yang unik dan susah ditiru serta mempunyai kelebihan di banding pesaingnya.
Consumer oriented
Hanya terbatas pada dukukngan finansial dan fungsi perawatan (Subali, 2012)
Efektifitas operasional produk, winning new product, mengurangi waktu siklus produk (cycle time).
Manajemen pengetahuan dari pemasok dalam untuk melengkapi pengetahuan
RnD Intensity
Belum ada kerjasama dengan Divisi RnD dalam pengembangan produk (Suyanto, 2012).
Pengembangan produk baru melalui kerjasama dengan RnD
Integrasi dengan Divisi terkait
Customer Asset Orientasion (CM)
Merupakan aset bagi Bulog tetapi pengolahan masih dilakukan secara sama (Agung, 2012)
Customer retention
Implementasi CRM berbasis TI, memelihara konsumen.
Focus on High Customer (CM)
Hanya bekerjasama dengan distributor besar (D1) (Pelitasari, 2012)
Customer Loyalty
Fokus memilih HVC, pengembangan produk kualitas premium.
Responsiveness to customers (CM)
Harus lebih tanggap kepada konsumen (Subali, 2012)
Customer relationship, meningkatkan reputasi dan image perusahaan.
Meningkatkan kapasitas dalam merespon kebutuhan pelanggan, cross selling produk
Customer-driven Development (NPD)
Cross-Funtional Integration
Rekomendasi
Voice of customer
(NPD)
111
Sharing info (SCM)
Hubungan dengan supplier gula masih di tahapan penugasan pemerintah yaitu sinergi BUMN (Suyamto, 2012)
Menyeimbangkan demand dan supply
Sistem SCM berbasis TI
Supply chain management
Pentingnya strategi aliansi khususnya pada perdagangan gula pasir (Kodir, 2012)
Menyeimbangkan antara demand dan supply, meningkatkan efesiensi dari operasional sehingga biaya lebih rendah
Efesiensi :inventory cost, implementasi just in time (JIT), memperhatikan permintaan yang sering berubah.
112
Kesimpulan Berdasarkan teori, fakta uraian dan analisa di bab-bab dari hasil penilitian diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Sebagai salah satu perusahaan BUMN, diharapkan Perum Bulog tidak hanya melakukan penugasan pemerintah sebagai stabilitator harga pangan tetapi sudah fokus untuk mendapatkan keuntungan melalui kegiatan komersial. b. Perum Bulog harus melakukan pengamatan keadaan lingkungannya baik secara makro dan industri dengan melihat pola dan tren yang mulai terbentuk serta melakukan ramalan (forecast) dari tren tersebut sehingga dapat membantu menghadapi perubahan yang terjadi. c. Dalam pengembangan produk baru, Perum Bulog diharapkan melakukan inovasi dari produk gula kristal putih (GKP) menjadi produk yang unik serta susah ditiru oleh pesaing dengan melibatkan dari seluruh unit internal perusahaan. d. Perum Bulog sudah harus membina hubungan dengan konsumen, baik yang berpotensial memberikan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan (high value customer) maupun konsumen biasa e. Perum Bulog menerapkan manajemen rantai pasok yang baik, agar dapat menyeimbangkan kebutuhan akan permintaan dan persediaan sehingga dapat meningkatkan efesiensi dari operasional perusahaan.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diketahui implikasi manajerial yang dapat membantu untuk mengembangkan perusahaan dalam meningkatkan kinerja perusahaan yaitu: a. Perum Bulog harus menerapkan strategi yang tepat dan didukung sepenuhnya oleh manajemen dalam meningkatkan kegiatan komersial yaitu Strategi perusahaan yang dilakukan Perum Bulog harus sudah berubah dari berorientasi kepada produk (product oriented) menjadi berorientasi kepada pasar (market oriented) sehingga perusahaan dapat fokus mencari peluang pasar dibandingkan menunggu dari penugasan pemerintah atau sinergi BUMN.
112
113
Strategi bisnis diterapkan sejalan dengan strategi perusahaan yang melihat kebutuhan konsumen sehingga dapat mendapatkan dan memelihara keunggulan kompetitif (competitive advantage). b. Perum Bulog harus melakukan integerasi dengan divisi atau unit kerja yang melakukan pengamatan secara berkala keadaan di eksternal perusahaan sehingga dapat melakukan antisipasi apabila terjadi perubahan. c. Pengembangan produk baru dari gula kristal putih (GKP) dapat dilakukan dengan melakukan inovasi produk (GKP) yaitu Menambah kemasan dari gula pasir menjadi lebih menarik bagi konsumen dengan memberikan logo Bulog sebagai bagian dari produk yang berbeda. Membuat gula pasir dengan bentuk yang menarik misalnya dengan bentuk kotak, bulat dan dengan kemasan yang kecil. Misalnya untuk di warung atau café Membuat kategori produk gula pasir dengan kualitas premium dengan target pasar konsumen premium. d. Manajemen pelanggan dibutuhkan dengan membina pelanggan yang dalam rangka mendapatkan loyalitas dari konsumen. Mencari konsumen yang berpontensial pada segmen konsumen premium gula. Mengetahui kebutuhan konsumen dari suara pelanggan. Dukungan dari sistem manajemen pelanggan berbasis tehnologi informasi e. Manajemen rantai pasok digunakan untuk memberikan informasi yang tepat dalam menyeimbangkan antara permintaan dan persediaan: Dukungan dari sistem manajemen rantai pasok berbasis TI dalam membantu perusahaan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Bekerjasama dengan PG swasta baik didalam dan luar negeri dalam meningkatkan pasokan GKP Bekerjasama dengan toko ritel, koperasi, hypermarket dengan produk GKP yang sudah dikemas ulang. Membuat anak perusahaan sebagai unit bisnis di sektor hulu dan hilir yang manajemennya harus bernar terpisah dari kegiatan pelayanan publik (PSO). 113
114
Daftar Pustaka Annesya,
Devanna
(2011);
Tehnik
pengumpulan
data:
Wawancara
dan
FGD
;
http://frenndw.wordpress.com/2011/03/15/teknik-pengumpulan-data-wawancara-danfgd-forum-group-discussion/. Assauri, Sofjan (2012); Strategic Marketing Sustaining Lifetime Customer Value; Jakarta. Basrowi, Suwandi (2008); Memahami penelitian kualitatif; Jakarta. Belch (2012); Advertising and Promotion. An Integrated Marketing Communications Perspective; McGraw Hill. New York Best, Roger J (2009); Market-Based Management. Strategies for Growing Customer Value and Profitability; Person International Edition. Bhuiyan, Nadia (2011); A framework for successful new product development; Journal of Industrial Engineering and Management.746-770. Cooper, Robert G (2011); Winning at New Products; United State of America. Divisi Perdagangan (2009); Laporan hasil kerja panitia kerja swasembada gula Komisi VI DPR RI. Periode 2009-2014. Jakarta. Divisi Perdagangan (2010); Roadmap swasembada gula 2010-2014; Jakarta Divisi Perdagangan (2010); Business Plan off-taker GKP; Jakarta Divisi Perdagangan (2011); Standar Operasional Prosedur Keagenan Pemasaran Gula Kristal Putih (GKP) Milik PTPN/PT.RNI; Jakarta. Doyle, Peter (2000); Value-Based Marketing – Marketing Strategies for Corporate Growth and Shareholder Value; England. Esper, Terry L. et al (2009); Demand and supply integration: a conceptual framework of value creation through knowledge management; Journal of the Academy Marketing Science, 38: 5-18. Henry, Anthony E (2011); Understanding Strategic Management; Oxford New York 114
115
Malshe, Avinash. Sohi, Ravipreet (2009); What makes strategy makin across the sales-marketing interface more successful?; Journal of the Academy of Marketing Science, 37:400-421. Monsef, Sanaz. Ismail, Wan (2012); The impactof open innovation in new product development process; International Journal of Fundamental Psychology & Social Sciences, Vol 2, No. 1 pp. 7-12. Mullins, Jhon W. Orville. Walker (2010); Marketing Management. A Strategic Decision-Making Approach; McGraw Hill. New York Permana, Krisman Hadi (2011); Gula Rafinasi http://ambhen.wordpress.com/ 2011/10/18/gularafinasi/ Ramaswami, S and Srivastava, R (2009); Market-based capabilities and financial performance of firms: insight into marketing’s contribution to firm value; Journal of the Academy of Management Science, Vol. 37 pp. 97 -116. Srivastava, R. Shervani, T. Faley, L (1998); Market-based assets and shareholder value: A framework for analysis; Journal of Marketing, Vol. 62, 2-18 Suksmantri, Eko., Yulianto, Djumali (2012); BULOG dalam bingkai ketahanan pangan; Jakarta. Tim Penyusun Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (2010); Evaluasi Keagenan Pemasaran Gula Kristal Putih (GKP) Milik PTPN/PT. RNI; Yogyakarta. Tim Penyusun RJPP (2011); Rencana Jangka Panjang Perusahaan 2012-2016; Jakarta Tzokas, Nikolaos. Hutlink, Erik Jan. Hart, Susan (2003); Navigating the new product development process; Jurnal of Industrial Marketing Management, 33, 619-626. Varadarajan, P. Rajan. Jayachandaran, Satish (1999); Marketing strategy: An Assesment of the state of the field and outlook; Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 27, pages 120-143. Wahyuni, Sari (2003); Strategic Alliance Development, A Study on Alliances between Competing Firms; Nederlands http://www.bps.go.id http://www.bulog.co.id http://www.rni.co.id/
115
116
KETENTUAN PENULISAN JURNAL 1.
Substansi Artikel. Artikel yang diserahkan merupakan tulisan ilmiah dengan desain kuantitatif maupun kualitatif berupa: studi pustaka, studi empiris, ataupun studi kasus, sebagai hasil pengembangan Ilmu Bisnis dan Kewirausahaan. Artikel yang disumbangkan adalah artikel orisinil yang belum pernah dipublikasikan di media lain dan menggunakan pustaka acuan mutakhir, proposi terbitan 15 tahun terakhir.
2.
Gaya penulisan. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku. Artikel memuat judul, nama penulis beserta keterangan dan alamat kerja yang jelas. Penulisan abstrak dibatasi maksimum sampai 300 kata, untuk artikel Indonesia, abstrak ditulis Inggris dan sebaliknya, disertai kata kunci (keyword). Bagian utama artikel ditulis dengan sistematika: Pendahuluan, Tujuan Penelitian, Tinjauan Teori, Metodologi, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan, Saran, Daftar Pustaka. Setiap judul baik sub judul tulisan perlu diberikan HURUF TEBAL SEMUA. Penyajian Gambar, tabel, bagan, dan pendukung lain harus disertai dengan nomor urut, judul, dan sumber yang konsisten. 2.1 Contoh Daftar Pustaka Andrew Winton and Yerramilili, Y. (2008). Entrepreneurial Finance: Bank versus venture capital, Journal of Financial Economics, Vol.88, Issue 1, Published by Elsevier. Manurung, Adler Haymans, (2011). Metode Riset: Keuangan, Investasi dan Akuntansi Empiris, PT Adler Manurung Press, Jakarta.
3.
Seleksi Artikel. Artikel yang masuk ke redaksi akan diseleksi dan direview oleh anggota dewan redaksi dan ada kemungkinan untuk diedit dan/atau dikembalikan untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi. Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan. Artikel yang dimuat merupakan hak redaksi dan dapat ditampilkan dalam media lain untuk akademik. Isi artikel di luar tanggung-jawab redaksi.
4.
Penyerahan Artikel. Artikel yang akan dimuat dapat dikirim/diserahkan berupa print-out ketikan dan dalam bentuk file Microsoft Word yang bisa dibuka dengan baik. Artikel dicetak pada kertas A4 atau folio, spasi ganda, huruf dengan Times New Roman 12, dimana jumlah halaman 15- 45 halaman. Adapun alamat Redaksi Jurnal sebagai berikut: Redaksi Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Staff Sirkulasi & Administrasi Editorial Office Redaksi Bisnis dan Kewirausahawan Sampoerna Shool of Business Building D. Mulia Business Park Jl. Letjen MT. Haryono Kav. 58-60 Jakarta 12780 Telepon + 62 21 794 2340 Fax + 62 21 794 2330
[email protected] 116