JURNAL ANALISIS PENDIDIKAN DASAR & MENENGAH INDONESIA (JA-DIKDASMEN) Vol.2, No.1, Januari 2016
ISSN: 2460-5689
Daftar Isi Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing Sunarijah ....................................................................................................... 121 Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar Ismawati ........................................................................................................ 137 Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan Mutrofin & Muhtadi Irvan ......................................................................... 149 Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar Sri Hartatik ................................................................................................... 163 Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes Sihono ............................................................................................................ 181 Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat Sumarni ......................................................................................................... 195 Menjadi Pengawas Sekolah Efektif Budi Sasmito ................................................................................................ 207 Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di Sekolah Dasar Berbasis Pendekatan Meritokrasi Endang Padmi Heruningsih ...................................................................... 217
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Lesson Study Dyah Ayundawati ........................................................................................ 227 Menjadi Kepala Sekolah Demokratis Supriyati ........................................................................................................ 241
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 121-136
MENINGKATKAN SIKAP ILMIAH SISWA SMP DALAM PEMBELAJARAN IPA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING Sunarijah Pengawas Sekolah SD/MI Kota Mojokerto, Jawa Timur
Abstract Integrated science teaching in junior high school is in desperate need of creativity and innovation of teachers in choosing learning strategies as part of the elements of pedagogy. The nature of science teaching includes four main elements, namely, attitudes, processes, products, and applications. Classroom action research conducted in collaboration with teachers focusing on attitudes, the scientific attitude of students. The study was conducted during two cycles of treatment with guided discovery learning strategy. The results showed that the average percentage of scientific attitude of students in the first cycle is equal to 55.57% increase to 76.14% in the second cycle. Thus, the action hypothesis which reads “if teachers implement guided discovery instructional strategies in learning science in junior high school, then the scientific attitude of students will increase” acceptable. Based on the results of this research suggested that in certain topics for learning science in class VII SMP, the teacher tried to apply guided discovery learning strategies. However, further research is needed to test the effectiveness of guided discovery learning strategies when compared with other learning strategies, eg with expository teaching strateg y. The focus of the characteristics of the students surveyed also needs to be broadened, not only scientific attitudes but also achievement motivation. Keywords: Scientific attitude, science education, guided discovery
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 121
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
PENDAHULUAN Pedagogi yang secara umum dipahami sebagai ilmu tentang mengajar memiliki kedudukan vital dalam pembelajaran. Secara sederhana, menurut Pinto, Spares, & Driscoll (2012), pedagogi adalah tentang bagaimana pendidikan diselenggarakan, atau tentang apa strategi pembelajaran yang digunakan. Pedagogi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konten dan topik. Bagian tanggung jawab profesional guru ialah mengambil keputusan pedagogi, yakni dengan memilih dari banyak sekali pedagogi yang tersedia dan kemudian mengadaptasikannya ke kelas yang diampunya. Masih menurut Pinto, Spares, & Driscoll (2012), ketika membuat pilihan pedagogi, ada banyak kriteria yang perlu dipertimbangkan, baik secara sadar maupun menurut intuisi, misalnya: 1) kesesuaian dengan konten dan mata pelajaran tertentu, 2) seberapa jauh mengacu ke hasil pembelajaran tertentu, 3) keseuaian dengan usia anak pada level kelas yang dibelajarkan, 4) bukti-bukti penelitian bahwa pedagogi tertentu berkontribusi terhadap pencapaian atau prestasi siswa, dan 5) kesesuaian dengan filosofi 122
pendidikan guru, apakah berpusat pada guru ataukah berpusat pada siswa. Peran vital pedagogi dalam pembelajaran”pada konteks tentang apa strategi pembelajaran yang digunakan”memperoleh dukungan kuat teori deskriptif pembelajaran sebagai bagian dari variabel yang dihipotesiskan mempengaruhi hasil pembelajaran dalam interaksinya dengan kondisi pembelajaran tertentu (Reigeluth, 1983). Oleh karenanya, strategi pembelajaran relevan diteliti terus menerus. Pembelajaran dalam konteks Kurikulum 2013 diorientasikan untuk menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi, (Kemendikbud, 2013). Orientasi ini dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan abad ke-21, telah terjadi pergeseran ciri dibanding abad sebelumnya. Sejumlah ciri abad ke21 tersebut adalah bahwa abad ke21 merupakan abad informasi, komputasi, otomasi, dan komunikasi.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Hal tersebut dipertegas dalam Lampiran III Permendikbud RI Nomor 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMP/MTs bahwa pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber observasi, mampu merumuskan masalah (menanya) bukan hanya menyelesaikan masalah. Di samping itu pembelajaran diarahkan untuk melatih peserta didik berpikir analitis (pengambilan keputusan) bukan berpikir mekanistis (rutin), serta mampu bekerjasama dan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah. Sehubungan dengan itu, Kurikulum 2013 menerapkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran dan penilaian otentik yang menggunakan prinsip penilaian sebagai bagian dari pembelajaran. Untuk memperkuat pendekatan saintifik, perlu diterapkan pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning). Hal inilah yang melandasi mengapa pembelajaran penemuan relevan diteliti. Secara teoretik, pembelajaran penemuan ingin mengubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif, pembelajaran yang semula berorientasi pada guru ke pembelajaran yang berorientasi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
pada siswa, dan mengubah modus expository siswa yang hanya menerima informasi dari guru ke modus discovery dimana siswa menemukan informasi sendiri. Pembelajaran penemuan adalah pembelajaran dimana siswa menyusun pemahamannya sendiri. Dalam pembelajaran penemuan, siswa harus mencari tahu sendiri. Pembelajaran penemuan berhubungan dengan ide Piaget, yang mengatakan bahwa setiap kali guru memberi tahu siswa, maka sesungguhnya siswa tidak belajar (Santrock, 2011). Bruner (1966), mempromosikan konsep pembelajaran penemuan dengan mendorong guru untuk memberi siswa kesempatan belajar sendiri. Pembelajaran penemuan mendorong siswa untuk berpikir sendiri dan menemukan cara menyusun dan mendapatkan pengetahuan sendiri. Bruner (1966), mengemukakan bahwa “discovery learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it himself ’.” Dasar ide Bruner ialah pendapat Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
123
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Pembelajaran penemuan sangat efektif dalam pembelajaran sains. Secara empirik telah ditemukan bahwa siswa yang mempelajari sains dengan menggunakan aktivitas dan metode pembelajaran penemuan mendapat nilai lebih tinggi dalam pelajaran sains daripada siswa di kelas yang diajar dengan metode pembelajaran langsung (Bredderman, 1982; dan juga Glasson, 1989). Temuan ini diperoleh pada sekolah dasar dan menengah. Namun demikian, Santrock (2011), mengungkapkan bahwa kebanyakan yang digunakan di sekolah dewasa ini bukanlah pembelajaran penemuan “murni.” Dalam pembelajaran penemuan “murni” siswa didorong untuk belajar sendiri dan instruksi diberikan pada level minimal atau tidak diberikan sama sekali. Sehingga saat guru mulai menggunakan pembelajaran penemuan, guru menyadari bahwa agar efektif, ini perlu untuk dimodifikasi yang kemudian memunculkan istilah pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery learning). Pembelajaran penemuan terbimbing merupakan pembelajaran dimana siswa didorong untuk menyusun sendiri pemahamannya,
124
namun juga dibantu dengan pertanyaan dan pengarahan dari guru. Hal ini dikarenakan belajar sendiri tidak selalu bermanfaat bagi banyak siswa. Memberi materi lalu membiarkan siswa belajar sendiri akan menyebabkan siswa mendapatkan solusi yang salah dan strategi yang tidak efisien untuk menemukan informasi. Bahkan ada siswa yang tidak menemukan pengetahuan sama sekali. Menurut Eggen & Kauchak (2012), pembelajaran penemuan terbimbing dapat mendorong pemahaman materi secara mendalam dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Saat siswa memberikan bukti bagi kesimpulan yang diperoleh, hal ini sesungguhnya inti dari berpikir kritis. Strategi penemuan terbimbing dalam penelitian ini diterapkan untuk pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Menengah Pertama (SMP). IPA yang sering disebut juga dengan istilah pendidikan sains merupakan salah satu mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan pada jenjang SMP. Menurut rumusan Pusat Kurikulum (2006), IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsepkonsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Secara umum IPA di SMP/ MTs, meliputi bidang kajian energi dan perubahannya, bumi dan antariksa, makhluk hidup dan proses kehidupan, dan materi dan sifatnya yang sebenarnya sangat berperan dalam membantu peserta didik untuk memahami fenomena alam. IPA merupakan pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah mengalami uji kebenaran melalui
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
metode ilmiah, dengan ciri: objektif, metodik, sistematis, universal, dan tentatif. IPA merupakan ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dan segala isinya. Carin dan Sund (1993), sebagaimana dikutip Puskur (2006), mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen.” Sains atau IPA adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta menggunakan prosedur dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapatkan kesimpulan (Susanto, 2013). Merujuk pada pengertian IPA itu, maka Puskur (2006), menyimpulkan bahwa hakikat pembelajaran IPA meliputi empat unsur utama yaitu: (1) sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan
125
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (4) aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
demikian dapat menumbuhkan sikap ilmiah siswa yang diindikasikan dengan merumuskan masalah, menarik kesimpulan, sehing ga mampu berpikir kritis melalui pembelajaran IPA. Sikap ilmiah itulah yang menjadi fokus penelitian ini.
Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam proses pembelajaran IPA keempat unsur itu diharapkan dapat muncul, sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru.
Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut “attitude” sedangkan istilah attitude sendiri berasal dari bahasa latin yakni “aptus” yang berarti keadaan siap secara mental yang bersifat untuk melakukan kegiatan. Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus ada pada diri seorang ilmuwan atau akademisi ketika menghadapi persoalanpersoalan ilmiah. Sikap ilmiah ini perlu dibiasakan dalam berbagai forum ilmiah, misalnya dalam diskusi, seminar, loka karya, dan penulisan karya ilmiah.
Pembelajaran IPA merupakan pembelajaran berdasarkan pada prinsip-prinsip, proses yang mana dapat menumbuhkan sikap ilmiah siswa terhadap konsep-konsep IPA (Susanto, 2013). Oleh karena itu, pembelajaran IPA di SMP dilakukan dengan penyelidikan sederhana dan bukan hafalan terhadap sekumpulan konsep IPA. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut pembelajaran akan mendapat pengalaman langsung melalui pengamatan, diskusi, dan penyelidikan sederhana. Pembelajaran yang
126
Sikap ilmiah dapat dibedakan dari sekedar sikap terhadap Sains, karena sikap terhadap Sains hanya terfokus pada apakah siswa suka atau tidak suka terhadap pembelajaran sains. Tentu saja sikap positif terhadap pembelajaran sains akan memberikan kontribusi tinggi dalam pembentukan sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah dalam pembelajaran IPA sering dikaitkan dengan sikap terhadap IPA. Keduanya
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
saling berbubungan dan keduanya mempengaruhi perbuatan. Penilaian hasil belajar IPA dianggap lengkap jika mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Sikap merupakan tingkah laku yang bersifat umum dilakukan siswa. Tetapi sikap juga merupakan salah satu yang berpengaruh pada hasil belajar siswa (Herson, 2009). Menurut Hadiat dan I Nyoman Kertiasa (1976), ada beberapa sikap ilmiah, yaitu: (1) objektif terhadap fakta, (2) tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan, (3) berhati terbuka, (4) tidak mencampuradukkan fakta dengan pendapat, (5) bersifat hati-hati, dan (6) ingin menyelidiki. Namun demikian pada hakekatnya banyak sekali sikap ilmiah yang dapat ditumbuhkan pada diri siswa. Pengukuran sikap ilmiah siswa dapat didasarkan pada pengelompokan sikap yang dimiliki masing-masing siswa. Menurut Herson (2009), “Sikap ilmiah diukur dengan bentuk penilaian non tes. Teknik penilaian non-tes yang sering digunakan adalah pengamatan (observasi), melakukan wawancara (interview), menyebar angket (kuisioner), dan dokumen (dokumentasi).”
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Menurut Harlen (2006), sedikitnya ada empat jenis sikap yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan sikap ilmiah siswa: (1) sikap terhadap pekerjaan di sekolah, (2) sikap terhadap diri mereka sebagai siswa, (3) sikap terhadap ilmu pengetahuan, khususnya sains, dan ( 4) sikap terhadap objek dan kejadian di lingkungan sekitar. Keempat sikap ini akan membentuk sikap ilmiah yang mempengaruhi keinginan seseorang untuk ikut serta dalam kegiatan tertentu, dan cara seseorang merespons kepada orang lain, objek, atau peristiwa. Dengan demikian, sikap ilmiah terhadap sains menurut Harlen (2006), meliputi: sikap ingin tahu (curiosity), respek terhadap data (respect for evidence), refleksi kritis (critical reflection), tekun (perseverance), kreatif dan cenderung menemukan (creativity and inventiveness), bekerjasama dengan orang lain (co-operation with others), keinginan menerima ketidakpastian (willingness to tolerate uncertainty), dan peka terhadap lingkungan (sensitivity to environment). Sedangkan menurut American Association for Advancement of Science (AAAS), sikap ilmiah meliputi: jujur (Honesty), ingin tahu (Curiosity),
127
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
berpikiran terbuka (Open minded), dan selalu ragu-ragu (Skepticism). Setelah mencermati ketiga deskripsi mengenai sikap ilmiah tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan angket (kuesioner) dan lembar observasi sebagai instrumen penilaian sikap ilmiah. Pernyataan-pernyataan dalam angket dan lembar observasi yang penulis gunakan adalah pernyataan-pernyataan yang penulis kembangkan dari indikator-indikator sikap ilmiah yang telah disusun oleh ketiganya, namun dimodifikasi menjadi lima sikap, yaitu: Jujur (Honesty), Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism), Objektifterbuka (Objective-open minded), Kreatif-reflektif (Creativity and reflective), dan Sistematis-logis (Systematiclogical). Berdasarkan uraian di muka, penelitian ini diberi judul Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan sebelum dilakukan penelitian kuasi eksperimental lebih lanjut dengan judul Pengaruh Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing versus Ekspositori dan Motivasi Berprestasi terhadap Hasil
128
Belajar IPA dan Sikap Ilmiah Siswa Kelas VII SMP Negeri di Kota Mojokerto. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian tindakan kelas (PTK), suatu penelitian yang menurut Stringer (2007), sebagaimana dikutip Mertler (2012), adalah suatu “kerangka kerja yang sederhana, namun berpengaruh kuat” yang terdiri dari rutinitas “melihat, berpikir, dan bertindak.” Selama setiap tahap, peneliti mengobservasi, merefleksikan, dan kemudian mengambil sejumlah tindakan. Aksi ini mengarahkan peneliti ke tahap berikutya. Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. PTK yang dilaksanakan bersifat kolaboratif antara peneliti dan guru IPA. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti terlebih dahulu memperkuat pemahaman guru IPA tentang perlakuan tindakan, yakni strategi pembelajaran penemuan. Penguatan dilakukan dengan curah pendapat dan diskusi, serta pemberian contoh tindakan. Setelah guru IPA benar-benar siap, barulah penelitian dilakukan.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Penelitian ini dilakukan dengan subjek penelitian siswa Kelas VII SMP Islam Permata Mojokerto, Jawa Timur semester ganjil tahun akademik 2014-2015. Subjek penelitian berjumlah 35 orang, terdiri atas 20 orang siswa perempuan dan 15 orang siswa laki-laki. Materi ajar yang diajarkan dalam penelitian ini merupakan materi IPA terpadu. Materi IPA terpadu ini memadukan dua cabang ilmu yakni Fisika dan Biologi. Dengan menggabungkan dua cabang ilmu maka tema yang diambil adalah “Karenamu Aku Bisa Melihat.” Kompetensi Dasar (KD) bidang Fisika meliputi: 6.3 menyelidiki sifat-sifat cahaya dan hubungannya dengan berbagai bentuk cermin dan lensa; dan 6.4 mendeskripsikan alat-alat optik dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun subyek/materi adalah: Pembiasan cahaya pada lensa cembung; Alat optik, mikroskop. Sedangkan Kompetensi Dasar (KD) bidang Biologi meliputi: 5.3 menggunakan mikroskop dan alat pendukung lainnya untuk mengamati gejala-gejala kehidupan; 2.1 mengidentifikasi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
struktur dan fungsi jaringan tumbuhan. Subyek/Materi: Mikroskop dan penggunaannya; Struktur dan fungsi organ tumbuhan. Data sikap ilmiah dikumpulkan melalui angket (kuesioner) dan lembar observasi sebagai instrumen penilaian sikap ilmiah. Data hasil angket kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, sedangkan data hasil observasi dianalisis dengan teknik narasi kualitatif. Hipotesis tindakan dalam penelitian ini ialah: “jika guru menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing dalam pembelajaran IPA di SMP, maka sikap ilmiah siswa akan meningkat.” HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan analisis hasil kuesioner terhadap sikap ilmiah siswa pada siklus I, diperoleh data rata-rata sikap ilmiah siswa selama mengikuti pembelajaran dengan strategi penemuan terbimbing sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
129
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Tabel 1. Kriteria Sikap Ilmiah Siswa Siklus I No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kriteria Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah Total
Frekuensi 0 3 30 2 0 35
Persentase (%) 0 8,58 85,71 5,71 0 100
Sikap ilmiah siswa untuk setiap indikator disajikan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2. Persentase Rata-rata Sikap Ilmiah Siswa Siklus I No. Indikator Sikap Ilmiah Siswa 1. Jujur (Honesty) 2. Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism) 3. Objektif-terbuka (Objective-open minded) 4. Kreatif-reflektif (Creativity and reflective) 5. Sistematis-logis (Systematic-logical) Persentase rata-rata sikap ilmiah siswa Kategori
Persentase Rata-rata (%) 70,71 55,71 48,57 47,86 56,42 55,57 cukup
Data hasil kuesioner sikap ilmiah siswa pada siklus II disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Kriteria Sikap Ilmiah Siswa Siklus II No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kriteria Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah Total
Frekuensi 6 15 14 0 0 35
Persentase (%) 17,14 42,86 40 0 0 100
Data sikap ilmiah siswa untuk setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
130
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Tabel 4 Persentase Rata-rata Sikap Ilmiah Siswa Siklus II No. Indikator Sikap Ilmiah Siswa 1. Jujur (Honesty) 2. Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism) 3. Objektif-terbuka (Objective-open minded) 4. Kreatif-reflektif (Creativity and reflective) 5. Sistematis-logis (Systematic-logical) Persentase rata-rata sikap ilmiah siswa Kategori
Persentase Rata-rata (%) 85 78,57 72,85 69,28 85 76,14 Tinggi
Pembahasan Berdasarkan Tabel 1, hasil pengukuran sikap ilmiah siswa dalam pembelajaran pada siklus I menunjukkan, dari 35 siswa hanya ada 3 orang siswa (8,58%) yang memiliki sikap ilmiah tinggi, 30 orang siswa (85,71%) memiliki sikap ilmiah cukup, dan hanya 2 orang siswa (5,71%) yang memiliki sikap ilmiah rendah. Berdasarkan Tabel 2 nampak bahwa indikator sikap ilmiah siswa terting gi dengan persentase 70,71% adalah kejujuran dalam mengerjakan atau melaksanakan tugas pembelajaran. Indikator keingintahuan karena ragu-ragu terhadap suatu kebenaran mencapai 55,71%. Indikator sikap objektif terhadap data dan terbuka dalam pelaksanaan pembelajaran mencapai 48,57%. Indikator kemampuan kreativitas dan kemampuan melakukan refleksi atas pekerjaannya mencapai 47,86%, dan indikator
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
bekerja secara sistematis dan mengikuti logika atau alur yang benar mencapai 56,42%. Berdasarkan Tabel 3 di atas, sikap ilmiah siswa dalam pembelajaran pada siklus II menunjukkan bahwa dari 35 siswa terdapat 6 orang siswa (17,14%) dengan sikap ilmiah sangat tinggi, 15 orang siswa (42,86%) dengan sikap ilmiah tinggi, dan 14 orang siswa (40%) dengan sikap ilmiah cukup. Berdasarkan Tabel 4 di atas, sikap ilmiah siswa yang diamati meliputi lima indikator. Sikap ilmiah dengan indikator kejujuran dalam mengerjakan atau melaksanakan tugas pembelajaran serta indikator bekerja secara sistematis dan mengikuti logika atau alur yang benar mencapai persentase tertinggi yaitu 85%. Indikator keingintahuan karena ragu-ragu terhadap suatu kebenaran mencapai mencapai 78,57%. Indikator sikap objektif
131
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
terhadap data dan terbuka dalam pelaksanaan pembelajaran mencapai 72,85%. Sedangkan indikator kemampuan kreativitas dan kemampuan melakukan refleksi atas pekerjaannya mencapai 69,28%.
Berdasarkan data yang disajikan dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap ilmiah siswa yang dimiliki pada siklus I mengalami perubahan pada siklus II, hal ini dapat dilihat pada ringkasan Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Analisis Perbandingan Sikap Ilmiah Siswa antara Siklus I dan Siklus II No.
Kriteria
1. 2. 3. 4. 5.
Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah Total
Hasil Siklus I (%) 0 8,58 85,71 5,71 0 100
Berdasarkan Tabel 5 diperoleh data perbandingan sikap ilmiah siswa antara siklus I dan siklus II, hasil yang didapat adalah kriteria sangat tinggi memiliki peningkatan 17,14% pada siklus II dari siklus I, kriteria tinggi mengalami peningkatan sebesar 34,28% pada siklus II dari siklus I, kriteria cukup mengalami penurunan sebesar 45,71% pada siklus II dari siklus I, sedangkan kriteria rendah mengalami penurunan sebesar 5,71% ke angka 0% dari siklus I ke siklus II. Hal itu berarti penerapan strategi pembelajaran penemuan terbimbing meningkatkan sikap ilmiah 132
Hasil Siklus II (%) 17,14 42,86 40 0 0 100
Selisih Siklus I dan Siklus II (%) 17,14 34,28 45,71 5,71 0
siswa. Tebel tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada kriteria sikap ilmiah siswa sangat tinggi, tinggi, cukup, rendah dan sangat rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada siklus I sikap ilmiah siswa belum maksimal dengan menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing. Selain itu, berdasarkan masingmasing indikator sikap ilmiah siswa, persentase sikap ilmiah siswa pada pembelajaran IPA dengan menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing sebagai berikut.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Tabel 6. Analisis Perbandingan Indikator Sikap Ilmiah Siswa Antara Siklus I dan Siklus II No.
Indikator Sikap Ilmiah
1. 2.
Jujur (Honesty) Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism) Objektif-terbuka (Objectiveopen minded) Kreatif-reflektif (Creativity and reflective) Sistematis-logis (Systematiclogical)
3. 4. 5.
Berdasarkan Tabel 6 nampak bahwa persentase sikap ilmiah siswa jika dilihat dari indikator sikap ilmiah pada indikator kejujuran dalam melaksanakan tugas pembelajaran dari 70,71% pada siklus I dan 85% pada siklus II berarti mengalami peningkatan sebesar 14,29%. Indikator keingintahuan karena ragu-ragu terhadap suatu kebenaran sebesar 55,71% pada siklus I dan 78,57% pada silus II mengalami peningkatan sebesar 22,86%. Indikator sikap objektif terhadap data dan terbuka dalam pelaksanaan pembelajaran sebesar 48,57% pada siklus I dan 72,85% pada silus II mengalami peningkatan sebesar 24,28%. Indikator kreativitas dan kemampuan melakukan refleksi atas pekerjaannya sebesar 47,86% pada siklus I dan Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Hasil Siklus I (%) 70,71 55,71
Hasil Siklus II (%) 85 78,57
48,57
72,85
24,28
47,86
69,28
21,42
56,42
85
28,58
Selisih Siklus I dan Siklus II (%) 14,29 22,86
69,28% pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 21,42%. Indikator bekerja secara sistematis dan mengikuti logika atau alur yang benar 56,42% pada siklus I dan 85% pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 28,58%. Jika dihitung rata-rata persentase sikap ilmiah siswa pada siklus I yaitu sebesar 55,57% meningkat menjadi 76,14% pada siklus II. Refleksi Tindakan Terhadap tindakan pada siklus pertama peneliti masih berkeyakinan bahwa sebagian besar siswa yang bersikap ilmiah kategori cukup hingga tinggi bukanlah dampak dari tindakan pembelajaran penemuan terbimbing. Hal itu didasari alasan karena subjek penelitian adalah siswa Kelas VII SMP, dimana menye133
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
lidiki sifat-sifat cahaya dan hubungannya dengan berbagai bentuk cermin dan lensa dan mendeskripsikan alat-alat optik dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sudah dimulai sejak mereka masih Sekolah Dasar (SD). Artinya, menggunakan alat optik dan mikroskop sudah pernah dilakukannya di kelas-kelas sebelumnya. Demikian pula ketika mengamati gejala-gejala kehidupan untuk mengidentifikasi struktur dan fungsi jaringan tumbuhan, mereka juga pernah menggunakan mikroskop dan mengenali struktur dan fungsi organ tumbuhan. Akan tetapi ketika tindakan pembelajaran penemuan terbimbing pada siklus kedua diintensifkan, keyakinan tersebut mulai berubah. Sikap ilmiah yang meningkat tajam di berbagai indikator meyakinkan penulis bahwa strategi penemuan terbimbing jika dilaksanakan secara benar akan sangat menarik bagi siswa. Siswa tidak merasa kehilangan kendali dalam mengatasi tugas-tugas yang harus dikerjakannya berkaitan dengan topik pembelajaran itu. Sikap jujur bahwa mereka belum menguasai sepenuhnya penggunaan alat-alat seperti lensa dan mikroskop me-
134
ngemuka ketika mereka mengungkapkan kepuasannya atas hasil kerja sains yang mereka pelajari. Satu hal yang sebelumnya tersembunyi di balik kediaman dan ketidakberanian mereka untuk mengungkapkannya di kelas. Di siklus pembelajaran yang kedua pula terungkap betapa antusiasnya siswa berebut alat yang begitu terbatas jumlahnya, hanya ingin memuaskan rasa ketidaktahuan mereka dan ingin membuktikan bahwa teori yang didapat benar adanya. Hal lain yang relevan diketengahkan ialah bagaimana terbukanya para siswa terhadap saran teman-teman sejawatnya. Keriuhan yang terjadi di siklus dua bukan arena pasar atau bermain, melainkan ajang kreativitas dan cara berpikir reflektif dengan menunjukkan perbedaan keanekaragaman hayati yang ditemukan siswa di lingkungan sekolah. SIMPULAN DAN SARAN Pembelajaran IPA terpadu di SMP sangat membutuhkan kreativitas dan inovasi guru dalam memilih strategi pembelajaran sebagai bagian dari unsur pedagogi. Hakikat pembelajaran IPA meliputi empat unsur utama yaitu, sikap, JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
proses, produk, dan aplikasi. Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan melalui kolaborasi dengan guru berfokus pada sikap, yakni sikap ilmiah siswa. Penelitian dilakukan selama dua siklus dengan perlakuan strategi pembelajaran penemuan terbimbing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratarata persentase sikap ilmiah siswa pada siklus I yaitu sebesar 55,57% meningkat menjadi 76,14% pada siklus II. Jadi, hipotesis tindakan yang berbunyi “jika guru menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing dalam pembelajaran IPA di SMP, maka sikap ilmiah siswa akan meningkat” diterima. Berdasarkan hasil penelitiaan ini disarankan agar dalam topiktopik tertentu untuk pembelajaran IPA di Kelas VII SMP, guru mencoba menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing. Namun demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji efektivitas strategi pembelajaran penemuan terbimbing jika dibandingkan dengan strategi pembelajaran lain, misalnya dengan strategi pembelajaran ekspositori. Fokus karakteristik siswa yang diteliti juga perlu diperluas, bukan hanya sikap ilmiah melainkan juga motivasi berprestasinya. Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
DAFTAR RUJUKAN Bredderman, T. 1982. Activity Science – The Evidence Shows It Matters. Science and Children, 20: 39-41. Bruner, J.S. 1966. Toward a Theory of Instruction. New York: Norton. Eggen, P. & Kauchak, D. 2012. Strategic and Models for Teachers: Teaching Content and Teaching Skills. Boston: Pearson Education, Inc. Glasson, G.E. 1989. The Effect of Hands-On Teacher Demonstration Laboratory Methods on Science Achievement in Relatiob to Reasoning Abilkuity and Prior Knowledge. Journal of Research in Science, 26: 121-131. Hadiat & I Nyoman Kertiasa. 1976. Metodologi Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Harlen, W. 2006. Teaching, Learning and Assessing Science 5 12. London: Sage Publication, Inc. Herson, A. 2009. Penilaian Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains. Jurnal Pelangi Ilmu, 2 (5): 103-114. Kemendikbud. 2013. Informasi Kurikulum (untuk Masyarakat). Jakarta: Depdikbud. Mertler, C.A. 2012. Action Research: Improving Schools and Empowering Educators. Third Edition. Thousand Oaks, California: SAGE
135
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Publication, Inc. Pinto, L.E., Spares, S., & Driscoll, L. 2012. 95 Strategies for Remodeling Instruction: Ideas for Incorporating CCSS. Thousand Oaks, California: SAGE Publication, Inc. Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/ MTs). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.
136
Reigeluth, C.M. (Ed.). 1983. Instructional Design: What Is It and Why Is It? Dalam Reigeluth, C.M. (Ed.). Instructional-Design Theories and Models: An Overview of their Current Status. Hlm. 3-36. Hillsdale, New Jersey: Laurence Erlbaum Associates Publishers. Santrock, J.W. 2011. Educational Psychology. Fifth Edition. New York: MacGraw Hill. Susanto. 2013. Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 137-148
MENGINTEGRASIKAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR Ismawati Kepala SD Negeri Ketandan 4, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract Character values is necessary to ensure students benefit educational outcomes. The values character building are part of national development. Admittedly, the development of character values do not require the allocation of its own time because it is not science. This article suggest there are two ways that can be done by the school for the character values into individual values are practiced in life. In addition to integrating it into every topic of learning by developing the syllabus and lesson plans on the existing competence in accordance with the values to be applied, can also be implemented through classroom action research. Keywords: Character value, integrated learning, primary school
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 137
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
PENDAHULUAN Apabila didalami secara serius, Lampiran Permendiknas RI No. 13 Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, secara tersirat mengharuskan setiap kepala sekolah/madrasah untuk memiliki, mengamalkan, dan memberikan suri tauladan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai karakter bangsa sebelum bertindak lebih jauh mengedepankan pendidikan karakter bagi peserta didik di sekolah yang dipimpinnya. Dimensi kompetensi kepribadian dengan standar kompetensi 1.1 hingga 1.5; Dimensi kompetensi kewirausahaan dengan standar kompetensi 3.1 hingga 3.5; dan Dimensi kompetensi sosial dengan standar kompetensi 5.1, merupakan bagian dari 18 nilai karakter yang diintroduksikan oleh Kemendiknas dan Kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Zuchdi, dkk. (2015), pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di tengahtengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi. Sikap dan perilaku masyarakat dan bangsa Indonesia sekarang cenderung mengabaikan nilai-nilai luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan 138
perilaku sehari-hari. Nilai-nilai karakter mulia, seperti kejujuran, kesantunan, kebersamaan, dan religius, sedikit demi sedikit mulai tergerus oleh budaya asing yang cenderung hedonistik, materialistik, dan individualistik, sehingga nilainilai karakter tersebut tidak lagi dianggap penting jika bertentangan dengan tujuan yang ingin diperoleh. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki peradaban yang mulia, yakni sebagai masyarakat madani dan peduli dengan pendidikan bangsa, sudah seyogyanya kita berupaya untuk menjadikan nilai-nilai karakter mulia itu tumbuh dan bersemi kembali menyertai setiap sikap dan perilaku bangsa, mulai dari pemimpin tertinggi hingga rakyat jelata, sehingga bangsa ini memiliki kebanggaan dan diperhitungkan eksistensinya di tengah-tengah bangsa-bangsa lain. Salah satu upaya ke arah itu adalah melakukan pembinaan karakter di semuua aspek kehidupan masyarakat, terutama melalui institusi pendidikan. Mengapa nilai-nilai karakter ini harus dikembangkan dan dididikkan? Menurut Mansyur Ramly (2011), nilai-nilai karakter ditempatkan sebagai landasan untuk
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Semangat itu secara eksplisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Masih menurut Mansyur Ramly (2011), upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan luar sekolah, akan tetapi juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dan se-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
bagainya. Pembiasaan itu bukan hanya mengajarkan (aspek kognitif) mana yang benar dan salah, akan tetapi juga mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan tidak baik serta bersedia melakukannya (aspek psikomotorik) dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkembangkan peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi pencerminan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sekolah (di bawah pimpinan kepala sekolah) memiliki peranan yang besar sebagai pusat pembudayaan melalui pengembangan budaya sekolah (school culture). Adalah benar bahwa membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan, sebab karakter yang melekat pada bangsa kita akhirakhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses yang panjang. Potret kekerasan, kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-anak bangsa yang ditampilkan oleh media, baik cetak maupun elektronik sekarang ini sudah melewati proses panjang.
139
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Budaya seperti itu tidak hanya melanda rakyat umum yang kurang berpendidikan, tetapi sudah sampai pada masyarakat yang terdidik, seperti pelajar dan mahasiswa, bahkan juga melanda para elite bangsa ini (Zuchdi, dkk, 2015). Pendidikan yang merupakan agen perubahan (agent of change) harus mampu melakukan perbaikan karakter bangsa kita. Karena itu, pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi dunia masa depan yang penuh dengan problem dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan yang memiliki karakter mulia. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga para peserta didik dan para lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan di masa-masa mendatang tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia. Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan seperti di atas, para peserta didik harus dibekali dengan pendidikan khusus yang membawa misi pokok dalam pembinaan karakter mulia. Pendidikan seperti ini dapat memberi
140
arah kepada para peserta didik setelah menerima berbagai ilmu maupun pengetahuan dalam bidang studi masing-masing, sehingga mereka dapat mengamalkannya di tengah-tengah masyarakat dengan tetap berpatokan pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang universal. Kewajiban mengintegrasikan pendidikan karakter melalui berbagai bidang studi di sekolah, terutama di tingkat pendidikan dasar menjadi urgen, sebab sebagaimana dikatakan Davidson, Lickona, & Khmelkov (2008), ada sejumlah kekuatan nilai-nilai karakter yang dibutuhkan bagi perkembangan hasil belajar, yaitu: (1) Belajar sepanjang hayat dan berpikir kritis; (2) Rajin dan memiliki kemampuan; (3) Memiliki kecerdasan sosial dan emosional; (4) Pemikir moral/etis; (5) Sebagai agen moral, memiliki rasa hormat dan bertanggung jawab; (6) Pribadi yang disiplin dan bergaya hidup sehat; (7) Menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang demokratis; dan (8) Terlibat dalam menyusun pranata kehidupan spiritual yang bertujuan mulia. Sebetulnya, Kemdiknas telah menyusun buku pedoman pen-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
didikan karakter yang dirumuskan berdasarkan praktik terbaik (best practices) yang dipublikasikan tahun 2011 oleh Kemdiknas untuk lingkungan pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar (SDSMP), dan pendidikan menengah (SMA/SMK). Artikel berikut ini mencoba mengaktualisasikan kembali urgensinya. PEMBAHASAN Konsep Dasar Nilai Karakter Nilai merupakan satu prinsip umum yang menyediakan anggota masyarakat dengan satu ukuran atau standar untuk membuat penilaian dan pemilihan mengenai tindakan dan cita-cita tertentu. Nilai adalah konsep, suatu pembentukan mental yang dirumuskan dari tingkah laku manusia. Nilai adalah persepsi yang sangat penting, baik dan dihargai (Mustari, 2011). Menurut Clyde Kluckhohn (1953), sebagaimana dikutip Mustari (2011), nilai adalah standar yang waktunya agak langgeng, dalam pengertian yang luas, suatu standar yang mengatur sistem tindakan. Nilai juga merupakan keutamanan (preference), yaitu sesuatu yang lebih disukai, baik mengenai hubungan sosial maupun mengenai Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
cita-cita serta usaha untuk mencapainya. Di samping itu, nilai juga melibatkan persoalan apakah suatu benda dan tindakan itu diperlukan, dihargai atau sebaliknya. Pada umumnya nilai adalah sesuatu yang sangat dikehendaki. Oleh sebab itu, nilai melibatkan unsur keterlibatan (commitment). Nilai juga melibatkan pemilihan. Di kalangan masyarakat, biasanya ada beberapa pilihan sewaktu seseorang menghadapi suatu situasi. Pemilihan suatu pilihan tertentu biasanya ditentukan oleh kesadaran seorang individu terhadap standar atau prinsip yang ada di kalangan masyarakat itu. Kebanyakan tingkah laku yang dipilih melibatkan nilai-nilai individu atau nilai-nilai kelompoknya. Jadi, yang dimaksud nilai, sebagaimana dikatakan Fraenkel (1980), adalah ide atau konsep yang abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting dalam hidup seseorang. Nilai itu biasanya mengacu pada estetika (keindahan), etika (pola perilaku baik dan buruk), logika (benar/ salah) dan keadilan (justice). Sedangkan karakter, menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2008: 628), adalah “bawaan, hati, jiwa, 141
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.” Sedangkan karakter menurut Kemendiknas (2011), adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Secara terminologi, Lickona (2012), mengemukakan bahwa karakter adalah “Sebuah disposisi batin yang dapat diandalkan untuk menanggapi situasi dengan cara yang baik secara moral.” Selanjutnya ia mengemukakan bahwa karakter memiliki tiga bagian yang saling terkait, yaitu, pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter baik menurutnya meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Menurut Lickona (2012), orang yang berkarakter berarti orang yang mengetahui hal-hal yang baik, menginginkan hal-hal yang baik dan juga melakukan hal-hal yang baik. Karakter sebagai suatu watak dari dalam yang dapat diandalkan untuk merespons situasi dengan cara yang baik secara moral.
142
Kata karakter itu sendiri berasal dari kata Yunani, charassein, yang berarti mengukir sehingga membentuk sebuah pola. Mempunyai akhlak mulia tidak secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses “pengukiran”). Menurut leksikal bahasa arab karakter ini mirip dengan akhlak (akar kata khuluk), yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik (Megawangi, 2004). Jauh-jauh hari, filsuf Yunani Aristoteles mengajarkan bahwa karakter yang baik adalah hidup dalam kebaikan, kebaikan hidup dalam berhubungan dengan orang lain dan berhubungan dengan dirinya sendiri. Aristoteles juga mengingatkan bahwa pada masa modern sekarang ada kecenderungan melupakan untuk hidup dengan berbudi luhur termasuk orientasi pengendalian diri seperti nilai kasih dan kedermawanan, kemampuan mengontrol diri dari hawa nafsu dan berbuat baik bagi orang lain (Lickona, 2012). Manullang (2012), memberikan gambaran bagaimana karakter mewarnai seluruh perilaku seseorang. Ketika seseorang ada di rumah ia
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
membawa kebaikan. Ketika melakukan aktivitas bisnis, ia menunjukkan kejujuran. Ketika bergaul di tengah masyarakat, ia menampakkan kesopanan. Ketika bekerja, ia bekerja dengan cermat. Ketika bergabung dalam sebuah permainan, ia menunjukkan sportivitas. Melihat orang yang beruntung, ia memberi selamat dengan tulus. Jika berhadapan dengan orang yang lemah, ia menujukkan kemurahan hatinya untuk menolong. Jika bertemu dengan orang jahat, ia bisa bertahan untuk tidak ikut jahat. Ketika bertemu dengan orang yang kuat, ia percaya kekuatannya bisa bermanfaat. Ketika berhadapan dengan orang yang menyesal, ia memaafkan dengan sung guhsungguh, dan terhadap Tuhan, ia selalu memuliakan dan mencintai dengan tulus. Karakter bukan sebatas sifatsifat yang bisa dipilah-pilah, melainkan terintegrasi menjadi sebuah kepribadian. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah individu yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama makhluk, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional, dengan mengoptimalkan potensi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
dirinya yang disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan nilai-nilai karakter dalam artikel ini adalah atribut kompleks yang melekat pada kepribadian seseorang menyangkut peri rasa, peri akal, dan peri laku, yang mampu membawa kebaikan dirinya dalam menghadapi realitas kehidupan, baik sebagai individu, individu seorang anggota masyarakat dan warga negara, maupun individu seorang yang berprofesi. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum, 2009: 9-10). Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentu143
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
kan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah atau wilayah, yakni: bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun. Pengintegrasian Pendidikan Karakter Di sekolah dasar (SD), dewasa ini masih berlaku dua jenis kurikulum, ada yang masih melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2004, dan ada yang sudah memberlakukan Kurikulum Tematik Terintegrasi tahun 2013. Kedua jenis kurikulum tersebut memiliki beban dan alokasi waktu belajar yang relatif tidak berbeda. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan 144
karakter sebagai mata ajar tersendiri tentu membutuhkan alokasi waktu tersendiri, guru tersendiri, dan sistem asesmen tersendiri pula. Operasional yang paling mungkin adalah dengan mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran. Bagi SD yang masih melaksanakan KTSP, strategi pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Strategi tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif dengan penilaian berbasis kelas disertai dengan program remidiasi dan pengayaan. Sejalan dengan Pedoman Kemdiknas (2011), ada beberapa strategi yang bisa ditempuh sekolah guna menyelenggarakan pendidikan karakter, pertama, kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehing ga
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotorik (olah raga). Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi, yaitu: (a) pembelajaran berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d) pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Kelima strategi tersebut dapat memberikan dampak ikutan (nurturant effect) pengembangan karakter peserta didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, dan rasa ingin tahu. Kedua, Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar. Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu: (a) Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin,
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman; (b) Kegiatan spontan. Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana; (c) Keteladanan. Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerja keras; (d) Pengkondisian. Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas. Ketiga, Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler. 145
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Demi terlaksananya kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung dengan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan revitalisasi kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah pengembangan karakter. Keempat, Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. Dalam kegiatan ini sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan di masyarakat. Apabila pendidikan karakter diintegrasikan dalam ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan memerlukan waktu sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Untuk itu, penambahan alokasi waktu pembelajaran dapat dilakukan, misalnya: (1) Sebelum pembelajaran di mulai atau setiap hari seluruh siswa diminta membaca surat-surat pendek dari kitab suci, melakukan refleksi (masa hening) selama 1520 menit; (2) Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran dimulai dilakukan kegiatan muhadarah (berkumpul di halaman sekolah)
146
selama 35 menit. Kegiatan itu bisa berupa baca Al-Quran dan terjemahan, maupun siswa berceramah dengan tema keagamaan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dalam beberapa bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Daerah, serta bahasa asing lainnya), kegiatan ajang kreativitas seperti: menari, bermain musik dan baca puisi. Selain itu juga dilakukan kegiatan bersih lingkungan di hari Jum’at atau Sabtu (Jum’at/Sabtu bersih); (3) Pelaksanaan ibadah bersamasama di siang hari selama antara 3060 menit; (4) Kegiatan-kegiatan lain diluar pengembangan diri, yang dilakukan setelah jam pelajaran selesai. Pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam pembelajaran dilakukan dengan cara mengembangkan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. Bagi sekolah yang telah melaksanakan Kurikulum 2013, pengintegrasian nilai-nilai karakter jauh lebih mudah karena hanya menambahkan subtema yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter yang menjadi target atau sasaran di setiap tema.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
Hal lain yang barangkali tergolong baru adalah dengan merujuk pengalaman terbaik (best practice) sebagaimana dilakukan oleh Zuchi, dkk. (2015), dimana nilai-nilai karakter, selain diintegrasikan melalui berbagai topik pembelajaran, juga dilaksanakan melalui aplikasi penelitian tindakan kelas (PTK). Pelaksanaan PTK dengan sasaran nilai-nilai karakter tertentu diprogram oleh guru. Hasilnya akan lebih memastikan nilai-nilai karakter terinternalisasi oleh peserta didik dan ada kepastian bagi guru dalam penilaiannya. SIMPULAN DAN SARAN Nilai-nilai karakter sangat diperlukan untuk menjamin para siswa mendapatkan manfaat hasil pendidikan. Pengembangan nilainilai karakter adalah bagian dari pembangunan kebangsaan. Harus diakui, pengembangan nilai-nilai karakter tidak memerlukan alokasi waktu tersendiri karena ia bukankah ilmu pengetahuan. Ada dua cara yang bisa dilakukan oleh sekolah agar nilai-nilai karakter menjadi nilai individu yang diamalkan dalam kehidupan. Selain mengintegrasikannya ke dalam setiap topik pembelajaran dengan cara meVolume 2, Nomor 1, Januari 2016
ngembangkan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan, juga dapat dilaksanakan melalui penelitian tindakan kelas. DAFTAR RUJUKAN Davidson, M., Lickona, T., & Khmelkov, V. 2008. Smart & Good School: A New Paradigm for High School Character Education. Dalam L.P. Nucci & D. Narvaez (Eds.). Handbook of Moral and Character Education. New York: Roudledge, Taylor & Francois Group. Hlm. 91135. Fraenkel, J.R. 1980. Helping Students Think and Values: An Analytic Approach. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. Lickona, T. 2012. Mendidik untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tang gung Jawab. Terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: PT. Bumi
147
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Aksara. Manullang, B. 2013. Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter, 3 (1): 1-14. Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: BPMIGAS dan Star Energi. Mustari, M. 2011. Nilai Karakter: Refleksi untuk Pendidikan Karakter. Yog yakarta: LaksBang PRESSindo. Pusat Kurikulum. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Pene-
148
litian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. Ramly, M. 2011. “Kata Pengantar” dalam Kementerian Pendidikan Nasional, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. Hlm. i. Zuchdi, D., dkk. 2015. Pendidikan Karakter: Konsep Dasar dan Implementasi di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 149-162
DAMPAK BIAS GENDER TERHADAP PROFESI KEGURUAN Mutrofin & Muhtadi Irvan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)-FKIP Universitas Jember
Abstract Gender equality is common goal for all of nations. That goals is attainable if a part or all of the jobs give some assurance that male and female have same opportunity for access. That is why there is efforts to attainment of gender equality. But, the impact of gender bias to teaching profession in the future must be rethinking and restudied. This article describes about the conceptions of gender equality, research opinions about gender differences and the impact of gender bias to teaching profession based on social cognitif theory of learning or observational learning perspectives. Keywords: gender bias, teaching profession.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 149
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
PENDAHULUAN
gemen dipegang oleh perempuan.
Kesetaraan gender (gender equality) dalam berbagai profesi terus menerus menjadi perhatian para ilmuwan. Gambaran tentang kesetaraan gender tersebut tercermin dalam kutipan Dryden & Vos (1999), dari berbagai sumber yang kredibel. Ketika Amerika menciptakan 22 juta lapangan kerja di tahun 1990-an misalnya, dua per tiga diantaranya diduduki oleh perempuan. Dari keseluruhan manager, 40% diantaranya adalah perempuan. Tiga puluh lima persen ahli atau ilmuwan komputer adalah perempuan. Di posisi akuntan bahkan perempuan mencapai 50%, setara dengan peningkatan para ahli hukum dan dokter. Di sekolah-sekolah bisnis dan medis, separuh mahasiswa barunya adalah perempuan, dan perempuan yang menciptakan perusahaan baru sudah setara dengan laki-laki.
Bagaimana dengan kesetaraan gender dalam profesi keguruan? Di Indonesia, data mutakhir para peminat pendidikan guru mencapai 1.293.490 orang, terdiri atas lakilaki sebanyak 491.777, dan 801.713 orang perempuan. Di Jawa Timur, data mutakhir para peminat pendidikan guru mencapai 188.234 orang, terdiri atas laki-laki sebanyak 79.570, dan 108.664 orang perempuan. Berdasarkan data tahun 2014, peminat pendidikan guru di FKIP-Universitas Jember mencapai 2.240 orang calon mahasiswa, terdiri atas 740 orang laki-laki dan 1.582 orang perempuan. Mahasiswa calon guru yang diterima 1.104 orang, terdiri atas 290 orang lakilaki dan 814 orang perempuan. Jika ditelusur lebih jauh, tren yang sama terjadi di berbagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Data mendukung argumentasi bahwa telah terjadi bias gender dalam pemilihan profesi keguruan, yakni bias perempuan.
Tren kesetaraan gender tersebut juga terjadi di Asia (Dryden & Vos, 1999). Di Jepang misalnya, para pengusaha jasa perdagangan kebanyakan perempuan. Di Singapura, dalam 10 tahun terakhir, jumlah manager perempuan meningkat tiga kali lipat. Sedangkan di Hongkong, satu dari lima posisi mana150
Seperti diketahui, wacana tentang gender berujung pada lokus persoalan gender yang bersumbu pada dua aras, yakni perbedaan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
gender dan kesamaan gender. Sedangkan bias gender, terutama bias laki-laki telah menimbulkan dampak yang dikenal luas seperti stereotipe, diskriminasi, kekerasan, dan lain-lain sehingga menjadi justifikasi bagi upaya untuk mencapai apa yang disebut sebagai kesetaraan gender. Urgensi kesetaraaan gender itulah agaknya yang mendorong Program PBB untuk Pembangunan (United Nations Development Program/UNDP) menetapkan kesetaraan gender sebagai tujuan ketiga dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/ MDGs) hingga tahun 2015. Pertanyaan yang relevan untuk dijawab ialah, apa dampak bias gender perempuan terhadap profesi keguruan di masa depan? Artikel ini membahas masalah tersebut dari perspektif teori kognisi sosial atau teori belajar observasional Bandura. PEMBAHASAN Konsepsi Kesetaraan Gender Apakah yang dimaksud dengan istilah gender? Dalam Concise Oxford Dictionary of Current English (1995), tertulis, “Gender is a grammatical classification of objects roughly corresponding to the two sexes and Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
sexlessness, property of belonging to such a class.” Secara harfiah, gender merupakan pengklasifikasian gramatikal yang berfungsi menggolongkan suatu objek pada kelompokkelompoknya. Pengklasifikasian tersebut, dalam pandangan McDonald, Sprenger & Dubel (1999), sangat erat hubungannya dengan dua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Pada umumnya jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan gender maskulin, sedangkan jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender feminin, namun, hubungan tersebut bukan merupakan hubungan yang absolut (Rogers, 1980). Biasanya, kata Illich (1983), gender dipergunakan untuk menandai perbedaan segala aspek yang terdapat dalam masyarakat melalui perbedaan seksual. Lebih gamblang Rogers (1980), mengatakan, gender secara konseptual dapat didefinisikan sebagai konstruksi sosial budaya mengenai perbedaan peran, kedudukan, kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Mengingat gender adalah konstruksi sosial budaya, maka sudah barang tentu dapat berubah dan diubah sesuai dengan perubahan zaman. Kebanyakan kalangan peneliti feminis sepaham 151
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
bahwa gender adalah peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Lorber & Farrell, 1991). Itulah sebabnya mengapa gender tidak disamakan dengan sex atau jenis kelamin yang merupakan perbedaan organ biologis antara perempuan dan laki-laki, terutama pada bagian reproduksi. Jenis kelamin atau sex seringkali dipandang sebagai kodrat atau takdir Tuhan sehingga tidak dapat digantikan perannya. Jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Karena perbedaan itu, peran biologis perempuan dan laki-laki juga berbeda: perempuan melahirkan dan menyusui misalnya, sedangkan laki-laki membuahi sel telur. Peran ini tidak dapat berubah, oleh karena itu jenis kelamin bersifat kodrati. Sedangkan gender adalah perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh masyarakat dan budaya sejak ia dilahirkan. Oleh karena itu, cara yang berbeda diberlakukan kepada anak laki-laki dan perempuan pada waktu mereka dibesarkan, disosialisasikan, diajari berperilaku, dan diharapkan. 152
Gailey (1987), secara tegas menyatakan, gender tidak bersifat universal. Gender bervariasi dan dapat berubah atau berbeda antarwaktu, antardaerah, dan antarkelompok masyarakat. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal, yakni (a). gender tidak identik dengan jenis kelamin; dan (b) gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua lapisan masyarakat (lihat pula Humphrey, 1987). Untuk mengenal adanya unsurunsur gender maka harus dilihat bagaimana nilai-nilai gender itu dikonstruksikan pada masingmasing masyarakat. Hal ini karena nilai-nilai gender masyarakat itu hanya dapat dideskripsikan, bukan dijelaskan. Sebab dikhotomi antarjenis kelamin terjadi di semua masyarakat yang melewati batas waktu dan tempat sehingga tidak dapat dijelaskan bagaimana interaksi sosial dalam masyarakat yang berbeda-beda itu mengatur perananperanan berdasarkan seks. Buktinya, dalam kehidupan sehari-hari, seringkali ada kerancuan gender dan kodrati. Misalnya, sering terpikir bahwa peran gender bersifat kodrati: perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai kepala keluarga. JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
Sering terpikir bahwa sifat-sifat tertentu, bersifat kodrati: laki-laki rasional, perempuan emosional, laki-laki teledor, perempuan cermat. Sering terpikir bahwa pekerjaan tertentu bersifat kodrati: lakilaki berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan teknik, perempuan pekerjaan kerumahtanggaan, dan sebagainya. Dalam kenyataannya tidaklah seperti itu, pandangan seperti itu disebut stereotipe gender. Menurut Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional disebutkan, gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Menurut Deaux & Kite (1987), gender dapat beroperasi dalam masyarakat dalam jangka waktu lama karena didukung oleh sistem keyakinan gender. Sistem keyakinan gender ini mengacu pada serangkaian pembenaran pendapat tentang laki-laki dan perempuan dan tentang maskulinitas dan femininitas. Sistem tersebut mencakup stereotipe perempuan dan laki-laki; sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
perempuan; sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan pola baku. Sistem keyakinan gender mencakup elemen deskriptif dan preskriptif, yakni keyakinan tentang “bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu” dan pendapat tentang “bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan itu.” Seiring dengan perkembangan studi-studi feminisme dan teoriteori pembangunan, terutama setelah para ilmuwan Barat menerapkan konsep kesetaraan sosial untuk meneliti posisi kaum perempuan di negara-negara berkembang yang lazim disebut sebagai negara-negara Dunia Ketiga, muncul pula konsep gender dengan berbagai atribut yang menyertainya, misalnya gender mainstreaming; gender budget; gender equality; gender and development, gender needs, dan sebagainya. Jadi, ketika istilah equality dipadukan dengan kosa kata gender sehing ga menjadi frase gender equality, pada umumnya dimaknai sebagai “kesetaraan gender.” Namun jika dicermati lebih mendalam berdasarkan dimensi waktu, agaknya konsep gender equality merupakan evolusi konsep equality of women sebagai hasil World Conference of the
153
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
International Women’s Year (Konferensi Dunia tentang Tahun Perempuan Internasional). Di luar makna “kesetaraan gender” untuk gender equality, ada pula yang mengartikan sebagai “keadilan gender” untuk frase yang sama, meskipun sudah tersedia terminologi gender equity untuk makna “keadilan gender.” Tanpa perlu mempertentangkan keduanya, tentu menarik apa yang dikatakan Harsoyo (2008: 8) bahwa “gender equity is a first step towards the goal of gender equality.” Ada juga yang saling mempertukarkan “kesetaraan gender” dan “keadilan gender” untuk memaknai gender equality; atau menggabungkannya menjadi “keadilan dan kesetaraan gender” untuk terminologi yang sama. Dengan memperhatikan uraian mengenai konseptualisasi gender yang secara jelas mewacanakan tentang “peran laki-laki dan perempuan”, tidak sulit kiranya melacak faktor pendorong munculnya konsep kesetaraan gender. Mengapa demikian? Moore (1988) dan Gailey (1987), memberikan jawaban yang amat jelas dan komprehensif. Menurut mereka, gender memang tidak bersifat universal, namun hirarkhi gender dapat
154
dikatakan universal. Berbagai studi lintas kultural menunjukkan bahwa kaum perempuan selalu berada dalam posisi tersubordinasi (dinomorduakan). Oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah konsep kesetaraan gender. Gailey sendiri kemudian menjelaskan secara rinci teori subordinasi untuk menjelaskan hirarkhi gender dalam empat kelompok besar, yaitu teori adaptasi awal, teori teknik lingkungan, teori sosiobiologi, dan teori struktural. Teori mengenai kesetaraan gender pada dasarnya didorong oleh teori-teori feminis. Sebagaimana dikatakan Humm (2008), semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur atau asumsi pokok berikut ini: gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan sehingga cenderung menguntungkan laki-laki; konsep patriarkhi (dominasi kaum laki-laki dalam lembaga-lembaga sosial) melandasi konstruksi tersebut; serta, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan guna mengembangkan suatu masyarakat non-seksis di masa mendatang. Premis-premis
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
dasar tersebut mewarnai dua agenda utama teori feminis, yakni perjuangan untuk mengikis stereotipe gender, dan perbaikan konstruksi sosial budaya demi membela kepentingan kaum perempuan yang selanjutnya diejawantahkan sebagai model-model feminis baru. Pada intinya teori feminis berfokus pada pengalaman seksualitas kaum perempuan, lingkungan pekerjaan dan keluarganya, serta aspek-aspek keperempuanannya yang acapkali terabaikan dalam ilmu sosial dengan kedok universalisme. Sebagaimana dipaparkan Harsoyo (2008: 9), “gender equality is often understood as equality of opportunity. This means that women and men, girls and boys are not discriminated against in their access to opportunities.” (Kesetaraan gender sering dipahami sebagai peluang yang sama untuk mendapatkan kesempatan. Hal itu berarti baik laki-laki dan perempuan dewasa maupun anak-anak hendaknya tidak didiskriminasi aksesnya terhadap kesempatan tersebut). Dalam Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, kesetaraan gender disebut sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan nasional. Berdasarkan paparan di muka, meskipun secara redaksional berbeda, agaknya ada kesamaan substansial bahwa yang dimaksud kesetaraan gender adalah “suatu kondisi dimana perempuan dan lakilaki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan.” Pada konteks tersebut, kesetaraan gender menunjuk pada definisi equality of opportunity, yakni terciptanya peluang yang sama untuk memperoleh kesempatan. Kesimpulan tersebut agaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan Muhadjir Darwin (2005), bahwasanya harus diakui, laki-laki dan perempuan secara kodrati memiliki ciri-ciri biologis dan peran reproduksi yang berbeda. Namun perbedaan peran reproduksi tersebut tidak seharusnya menimulkan perlakuan yang diskriminatif ter-
155
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
hadap perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Fokus perjuangan kesetaraan gender adalah tidak menjadikan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan sebagai alasan untuk menciptakan hirarkhi dalam relasi sosial antarkeduanya. Riset Gender dan Profesi Keguruan Menurut Cruickshank, Jenkins, & Metcalf (2012), dalam derajat tertentu, karakteristik personal akan menentukan perilaku saat mengajar. Karateristik ini, terdiri atas gender, usia, pengalaman, kepribadian, dan kepercayaan. Pada masa sekarang ini, kita sering kali mendengar mengenai gender dan perbedaan gender, jadi sangat relevan membicarakan bagaimana perbedaan antara guru laki-laki dan perempuan. Pendapat penelitian memperlihatkan bahwa rata-rata guru lakilaki tampil lebih dominan dan bersifat otoriter. Buktinya, kelas yang mereka tangani menjadi lebih terorganisasi dan terkendali (Dunkin, 1987; Weiner, 1995). Guru laki-laki juga cenderung menerapkan hukuman agresif kepada
156
siswa laki-laki (Rodriguez, 2002). Mereka juga cenderung lebih jarang menyarankan siswanya untuk mendapatkan pendidikan khusus, yang artinya dapat menjadi baik atau buruk, baik jika memang para siswa tidak membutuhkannya, buruk jika para siswa membutuhkannya (McIntyre, 1988). Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa para guru perempuan cenderung menciptakan situasi kelas yang ‘hangat’ dan lebih toleran terhadap perilaku yang salah (dan lebih banyak menyarankan siswa untuk mendapatkan pendidikan khusus, berlawanan dengan guru laki-laki). Lebih jauh lagi, pada kelas yang ditangani guru perempuan, para siswa cenderung lebih banyak bertanya, memberikan lebih banyak jawaban salah, dan berani mengambil risiko dengan menebak jawaban. Guru perempuan juga cenderung lebih banyak memuji dan lebih banyak memberikan jawaban yang benar ketika para siswa tidak dapat menjawab pertanyaan. Dunkin menyimpulkan bahwa situasi kelas yang dibimbing guruguru perempuan terasa lebih hangat dan lebih bersifat mengasuh. Sementara itu, kelas-kelas dengan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
guru-guru laki-laki akan lebih terorganisasi, teratur, serta lebih berorientasi terhadap tugas. Coulter (1987), melaporkan hal yang tidak jauh berbeda mengenai perbedaan gender tersebut. Ia menemukan bahwa guru perempuan biasanya lebih lembut dan suportif terhadap orang lain serta kurang autoritatif, dibandingkan guru laki-laki. Lebih lanjut, ia mencatat bahwa perbedaan gender ini lebih menonjol pada tingkat pendidikan menengah daripada para guru di tingkat pendidikan dasar. Baik guru-guru perempuan dan laki-laki, lebih memperhatikan para siswa laki-laki. Mereka berpendapat bahwa siswa laki-laki memperlihatkan lebih banyak inisiatif dan memiliki kapasitas lebih besar untuk belajar secara independen. Mereka juga lebih cenderung mengkritik dan menghukum untuk kebaikan siswa laki-laki, serta menaruh harapan besar pada siswa laki-laki untuk mencapai standar intelektual yang lebih tinggi. Namun, guru dengan kedua gender menaruh harapan yang kurang terhadap siswa-siswa perempuan dan cenderung memberikan penghargaan akan perilaku baik serta kerapihan (Duffy, Warren, &
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Walsh, 2001; Weiner, 1995). Kebanyakan para guru pada zaman sekarang mungkin saja percaya bahwa anak laki-laki dan perempuan harus diperlakukan setara. Bagaimanapun juga, apakah kepercayaan mengenai kesetaraan gender ini konsisten dengan cara mereka memperlakukan anak lakilaki dan perempuan? Dalam sebuah penelitian terhadap guru-guru pendidikan dasar, wawancara dilakukan untuk mendapatkan pandangan mereka tentang kesetaraan gender. Kemudian, mereka diobservasi selama pengajaran untuk melihat apakah perilaku para guru konsisten dengan pendapat mereka tadi. Meskipun para guru membicarakan niatan untuk berlaku setara terhadap kedua gender, dalam derajat tertentu, ternyata perilaku mereka mengingkari perkataan mereka (Garrahy, 2003). Guru dengan gender apakah yang membantu siswa belajar lebih banyak? Penelitian membuktikan hasil yang bercampur aduk. Beberapa penelitian melaporan bahwa gender memang berpengaruh, yaitu siswa dapat lebih terbantu untuk belajar ketika diajar oleh guru dengan gender yang sama (Dee, 2006). Meskipun ada penelitian lain
157
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
melaporkan bahwa faktor gender guru, ras, atau etnis memang memengaruhi derajat, banyaknya materi yang diserap para siswa (Ehrenberg, Goldhaber, & Brewer, 1995), namun apa pun gender guru dan siswa, apa pun ras mereka, para siswa belajar dengan jumlah materi yang kira-kira sama dalam pelajaran matematika, sains, sejarah, dan membaca. Guru dengan gender apakah yang lebih baik dalam memberi motivasi? Secara umum, siswa perempuan lebih termotivasi setara akademis daripada siswa laki-laki, apa pun gender guru yang mengajar mereka (Marsh, Martin, & Cheng, 2008). Apakah ada perbedaan pandangan terhadap persiapan pengajaran antara guru perempuan dan lakilaki? Ternyata guru perempuan pendidikan menengah memiliki optimistik yang lebih tinggi bahwa persiapan mereka akan membantu mereka menjadi guru yang lebih baik. Para guru perempuan ini cenderung membuat pembelajaran yang mudah dipahami siswa, cenderung menerima tanggung jawab mengajar siswa-siswa khusus, serta cenderung memiliki harapan yang realistis terhadap pengajaran.
158
Mereka juga kurang percaya diri akan diri mereka sebagai guru. Faktor kepercayaan diri mereka ini akan menjadi faktor pertimbangan dalam pembentukan harapan yang realistis (Kalaian & Freeman, 1994). Dampak Bias Gender Menurut Schunk (2012), salah satu tantangan besar terhadap behaviorisme berasal dari studistudi pembelajaran observasional yang dilakukan Albert Bandura dan rekan-rekannya (1986, 2001). Temuan paling penting dari penelitian ini adalah bahwa orang dapat memelajari tindakan-tindakan baru hanya dengan mengamati bagaimana orang lain melakukannya. Pengamat tidak harus melakukan tindakan-tindakan tersebut pada saat ia memelajarinya. Penguatan tidak diperlukan supaya pembelajaran dapat terjadi. Temuan-temuan ini membantah asumsi sentral dari teori-teori pengkondisian. Bandura merumuskan teori belajar observasional yang menyeluruh yang ia kembangkan untuk mencakup penguasaan dan praktik dari bermacam-macam keterampilan, strategi, dan perilaku. Prinsipprinsip kognitif sosial telah
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
diaplikasikan dalam belajar keterampilan-keterampilan kognitif, motorik, sosial, dan regulasi diri, dan juga dalam topik-topik kekerasan (secara langsung, melalui film), perkembangan moral, pendidikan, kesehatan, dan nilai-nilai sosial (Schunk, 2012). Bandura merasa bahwa yang dipelajari seseorang bukan dibentuk oleh konsekuensinya, tetapi karena dipelajari langsung dari model. Bandura mengemukakan bahwa belajar observasional baik langsung maupun tidak langsung melalui empat phase, yaitu menaruh perhatian, mengingat perilaku model, memroduksi perilaku, dan akhirnya termotivasi untuk mengulangi perilaku itu. Berdasarkan perspektif tersebut, bias gender dalam profesi keguruan sudah selayaknya dipikirkan kembali dan diteliti lebih lanjut. Sebab, baik maskulinitas maupun femininitas dipastikan berpengaruh terhadap perkembangan siswa. Sebagaimana dikemukakan oleh pendapat penelitian sebelumnya, perbedaan gender, lebih-lebih jika bias gender, akan berpengaruh terhadap pengajaran. Pada konteks teori belajar observasional, guru adalah model yang akan diper-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
hatikan perilakunya, diingat perilakunya, diproduksi perilakunya dan pada akhirnya diulang perilaku tersebut jika siswa ternotivasi. Hipotesis yang mungkin terjadi ialah, semakin feminin perilaku model yang dijadikan acuan perilaku, semakin feminin pula produksi dan pengulangan perilaku. Bagi guru perempuan yang mengajar sepenuhnya siswa perempuan, tentu tidak menjadi masalah, namun bagi siswa laki-laki yang sepenuhnya diajar oleh guru perempuan tentu akan merugi. Sangat besar kemungkinannya maskulinitas siswa laki-laki akan terdegradasi oleh femininitas guru perempuan. Jika hal itu terjadi, maka di masa depan akan tidak baik bagi perkembangan bangsa ini. Sejauh ini ada beberapa sebab yang ditengarahi mengapa profesi keguruan lebih banyak diminati oleh perempuan ketimbang lakilaki. Sebab-sebab tersebut antara lain: (1) ada filosofi yang merugikan bahwa pekerjaan guru lebih banyak berkaitan dengan cinta (love), peduli (care) dan kasih sayang (compassion); (2) gagalnya internalisasi yang benar mengenai konsepsi kesetaraan gender; (3) kurangnya sosialisasi yang intensif tentang
159
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
profesi keguruan di tingkat SMA/ SMK; dan (4) kebijakan penerimaan mahasiswa calon guru di LPTK yang sangat liberal dan belum memperhatikan kesetaraan gender.
prinsip kesetaraan gender; dan (3) diperlukan penelitian lebih lanjut perihal dampak yang nyata (actual impacts) dari bias gender perempuan agar objektif.
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR RUJUKAN
Bias gender perempuan dalam profesi keguruan sudah semestinya menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan (stakeholders) sebab jika bias gender laki-laki dalam berbagai bidang telah menimbulkan banyak persoalan, maka bukan tidak mungkin bias gender perempuan dalam profesi keguruan juga berdampak macam-macam. Hal yang harus diutamakan dalam profesi keguruan adalah mencapai keseimbangan, dalam arti mencapai kesetaraan gender, bukan bias gender.
Bandura, A. 1986. Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theor y. Eglewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Bandura, A. 2001. Social Cognitive Theory: An Agentic Perpective. Annual Review of Psychology, 52: 1-26. Coulter, E. 1987. Affective Characteristics of Student Teachers. Dalam M.J. Dunkin (Ed.), International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education. Hlm. 589-597. Oxford: Pergamon Press. Cruickshank, D.R., Jenkins, D.B., & Metcalf, K.K. 2012. The Act of Teaching. 6 th ed. Singapore: McGraw-Hill Education (Asia). Dee, T. (Musim Gugur 2006). The Why Chromosome. Education Next, 6 (4). http:// www.hoover.org/publication/ ednext/3853842.html Dryden, G. & Vos, J. 1999. The Learning Revolution. Torrance, CA-USA: The Learning Web. Duffy, J., Warren, K., & Walsh, M. 2001. Classroom Interactions.
Guna mengantisipasi dampak bias gender perempuan dalam profesi keguruan di masa depan, maka perlu dilakukan berbagai hal, antara lain: (1) melakukan sosialisasi yang tepat, terencana, kontinyu, dan komprehensif perihal profesi keguruan di tingkat SMA/ SMK; (2) perlu ada proteksi dan kebijakan yang berpihak dalam penerimaan mahasiswa baru calon guru dengan memprioritaskan 160
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
Sex Roles, 45 (9/10): 579-593. Dunkin, M. J. 1987. Teacher’s Sex. Dalam M.J. Dunkin (Ed.), International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education. Hlm. 606-608. Oxford: Pergamon Press. Ehrenberg, R., Goldhaber, D., & Brewer, D. (April 1995). Do Teacher’s Race, Gender, and Ethnicity Matter? Evidence from the National Education Longitudinal Study. Industrial and Labor Relations Review, 48 (3): 547-561. Gailey, C.W. 1987. Evolutionary Perspectives on Gender Hierarchy. Dalam Beth, B.H. & Myra, M.F. (Eds.). Analyzing Gender: A Handbook of Social Science Research. London, UK.: Sage Publications, Inc. Garrahy, D. 2003. Speaking Louder than Words: Teacher’s Gender Beliefs and Practices in Third Grade Classrooms. Equity and Excellence in Education, 36 (1): 96. Harsoyo. (Agustus 2008). Analisis Gender. Makalah disajikan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Berperspektif Gender. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjahmada. Humm, M. 2008. Feminist Theory. Dalam Kuper, A. & J. Kuper. (Eds.). The Social Science Encyclo-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
pedia. London, Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul. Illich, I. 1983. Gender. London and New York: Open Forum Marion Boyars. Inpres RI No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Sekretariat Negara. Kalaian, H., & Freeman, D. 1994. Gender Difference in Self Confidence and Educational Beliefs. Teaching and Teacher Education, 10 (6): 647-658. Lorber, J. & S.A. Farrell. 1991. The Social Construction of Gender. Newbury Park: Sage Publications. Marsh, H., Martin, A., & Cheng, J. (Februari 2008). A Multilevel Perspective in Gender Classroom Motivation. Journal of Educational Psychology, 100 (l): 78-95. McDonald, M., Sprenger, E., & Dubel, I. 1999. Gender dan Perubahan Organisasi: Menjembatani Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik. Yogyakarta: INSIST & REMDEC, Pustaka Pelajar. McIntyre, L. (Juni-Juli 1998). Teacher Gender: A Predictor of Special Education Referral. Journal of Learning Disabilities, 21 (6): 382-82.
161
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
Moore, H. 1988. Feminism and Anthropology. Cambridge: Policy Press. Muhadjir M. Darwin. 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yog yakarta: Grha Guru kerjasama dengan Media Wacana. Rodriguez, N. 2002. Gender Difference in Disciplinary Approaches. ERIC Document SPO41019. Rogers, B. 1980. Domestification of Women. New York: Tavistock Publications.
162
Schunk, D.H. 2012. Learning Theories: An Educational Perspective. 6 th Edition. Boston, MA: Pearson Education, Inc. Weiner, G. 1995. Gender and Racial Differences among Students. Dalam L. Anderson (Ed.), International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education. Ed. 2. Hlm. 319-323. Tarrytown, NY: Elsevier Science.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 163-179
PEMANFAATAN TEKNOLOGI DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR Sri Hartatik Guru SD Negeri Pandean, Gondang, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract Literate technology has become significant basic skills are just under read, writing, and mathematics. This article defined technology are tool used to help students at the purpose of learning, using technology not an end in itself. Using technology be the goal is not use best technology. This article suggest that technology used deserve to when technology can help students meet learn goals in more important than other tools implements. For however primary school teachers must be able to use information technology and communication in learning and their lesson taught. Keywords: Using technology, primary school instructional
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 163
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
PENDAHULUAN Sebagaimana dikatakan Deni Darmawan (2015), kemajuan teknologi dewasa ini dan di masa yang akan datang terutama di bidang informasi dan komunikasi menyebabkan dunia menjadi semakin sempit cakupannya. Di bidang pendidikan, peran guru untuk mendidik peserta didik menjadi manusia yang selalu mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan akar budaya sangat penting dalam menentukan perjalanan generasi bangsa ini. Guru dituntut menjadi pendidik yang bisa menjembatani berbagai kepentingan. Gagasan inilah titik berangkat artikel ini. Undang-undang (UU) RI No. 14/2005, tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, menjelaskan bahwa profesi guru memiliki sejumlah standar yang berlaku secara nasional, baik standar kualifikasi maupun standar kompetensi. Standar kompetensi secara rinci diatur dalam lampiran Permendiknas No. 19 tahun 2007, tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Sehubungan dengan standar yang wajib dipenuhi para guru terkait dengan keteknologian, ada dua standar, 164
yaitu Standar 5 (kompetensi inti pedagogik) dan Standar 24 (kompetensi inti profesional). Menurut Standar 5 kompetensi inti pedagogik guru PAUD/TK/ RA dikatakan, “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik” dengan kompetensi “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas kegiatan pengembangan yang mendidik.” Sedangkan Standar 5 kompetensi inti pedagogik guru SD/MI; SMP/ MI; dan SMA/MA/SMK berbunyi “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran” dengan kompetensi “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran” dan “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran yang diampu.” Sementara itu, Standar 24 kompetensi inti profesional guru sama untuk guru PAUD/TK/RA; SD/ MI; SMP/MI; dan SMA/MA/SMK berbunyi “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri” yang kemudian dirinci
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
dalam kompetensi 24.1 “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam berkomunikasi” dan kompetensi 24.2 “Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengembangan diri.”
dunia. Mesin pencari Internet seperti Google, Dogpile, Yahoo, You-Tube dan lain-lain juga telah mengubah secara revolusioner cara manusia mendapatkan informasi yang tentu saja sangat berpengaruh besar terhadap pembelajaran.
Pentingnya standar teknologi sebagai bagian dari kompetensi guru sangatlah tepat karena keberadaan teknologi saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Standar-standar tersebut menunjukkan apa yang semestinya diketahui dan mampu dilakukan oleh guru terkait dengan penggunaan teknologi. Penulisan artikel ini dilandasi oleh perlunya standar tersebut diinternalisasi dan menjadi kebiasaan guru dalam pembelajaran, sebab sebagaimana dikatakan oleh Eggen & Kauchak (2012), melek teknologi telah menjadi keahlian dasar yang signifikansinya hanya berada di bawah membaca, menulis, dan matematika.
Namun demikian perlu disadari bahwa peng gunaan teknologi untuk kepentingan pembelajaran bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai pembelajaran yang efektif. Menurut Cenamo, Ross, & Ertmer (2010), sebagaimana dikutip Eggen & Kauchak (2012), teknologi adalah alat yang digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran, menggunakan teknologi bukanlah tujuan itu sendiri. Menggunakan teknologi menjadi tujuan bukanlah penggunaan terbaik teknologi. Alhasil, sesuai dengan pendapat Eggen & Kauchak (2012), artikel ini juga menyarankan agar teknologi digunakan sepantasnya apabila teknologi dapat membantu siswa memenuhi tujuan belajar secara lebih efektif dibandingkan alat-alat lain.
Teknologi seperti telepon seluler dan jejaring sosial dalam jaringan (online) seperti Facebook, Surat Elektronik (e-mail), Twitter, Istagram, Linked-In, dan lain-lain telah mengubah secara revolusioner cara berkomunikasi manusia di
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
PEMBAHASAN Dasar Teori Tujuan akhir dari teknologi pembelajaran adalah memudahkan
165
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
siswa dalam belajar (Ishak Abdulhak & Deni Darmawan, 2015). Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, para teknolog di bidang pembelajaran mengembangkan berbagai sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan setiap siswa sesuai dengan karakteristiknya (Yusufhadi Miarso, 2015). Dalam upaya itu, teknologi bekerja mulai dari pengembangan dan pengujian teori-teori tentang berbagai media pembelajaran melalui penelitian ilmiah, dilanjutkan dengan pengembangan desainnya, produksi, evaluasi dan memilih media yang telah diproduksi, pembuatan katalog untuk memudahkan layanan penggunaannya, mengembangkan prosedur penggunannya dan akhirnya menggunakannya baik pada tingkat kelas maupun pada tingkat yang lebih luas lagi (diseminasi) (Smaldino, Lowtheer & Russell, 2014). Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh para teknolog dengan berpijak pada prinsip bahwa suatu teknologi hanya memiliki keunggulan dari media lainnya apabila digunakan oleh siswa yang memiliki karakteristik sesuai dengan rangsangan yang ditimbulkan oleh media pembelajaran itu (Eggen & Kauchak,
166
2012). Dengan demikian, proses belajar setiap siswa akan amat dimudahkan dengan hadirnya teknologi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristiknya. Jadi, dalam kaitannya dengan teknologi, media pembelajaran merupakan proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan terkendali (Bambang Warsita, 2008). Sesuai lingkup teknologi pembelajaran, pemecahan masalah dilakukan dalam bentuk: kesatuan komponen-komponen sistem pembelajaran yang telah disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem pembelajaran yang lengkap. Komponen-komponen tersebut meliputi pesan, orang, bahan, media, peralatan, teknik, dan latar (setting) (Deni Darmawan, 2012). Sebagaimana diungkapkan Eggen & Kauchak (2012), teknologi telah mengubah cara kita hidup dan cara kita belajar dan mengajar.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
Beberapa contoh pertumbuhan teknologi yang cukup signifikan di sekolah adalah sebagai berikut: Saat ini, rasio antara komputer yang terhubung dengan internet dan para siswa mencapai sekitar 46 siswa untuk setiap komputer. Hampir 100% sekolah-sekolah umum telah dihubungkan dengan internet. Hampir semua sekolah di tiap negara memiliki setidaknya satu unit televisi dan videocassete recorder. Menurut Roblyer (2006), wilayah pertumbuhan teknologi yang paling dramatis telah muncul dengan adanya komputer. Pada awalnya, literasi (tingkat melek) komputer, atau menyiapkan siswa untuk dapat hidup di zaman komputer, merupakan salah satu fokus yang paling diperhatikan dari penggunaan komputer di sekolah. Selanjutnya, penggunaan komputer untuk pengajaran telah berkembang mencakup hal-hal berikut ini. Pengajaran yang dibantu oleh komputer (computer assisted instruction), yang mencakup latihan dan praktik, tutorial, simulasi-simulasi, dan pengajaran
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
multimedia. Pengajaran yang diatur oleh komputer (computer managed instruction), yang mencakup perekaman catatan siswa, pengujian diagnostik dan preskriptif, penilaian dan analisis ujian. Pola atau rancangan materi-materi pengajaran yang mencakup tulisan dan gambar. Perangkat informasi untuk siswa, yang mencakup kemampuan-kemampuan komputer dalam pemerolehan informasi, pemrosesan, dan pembelajaran multimedia. Teknologi secara umum”dan komputer secara khusus”juga tengah dipandang sebagai bagian penting dalam pembelajaran untuk membantu kemampuan berpikir kritis siswa (Roblyer, 2006). Guru saat ini harus sudah akrab dengan teknologi-teknologi ini. Teknologi bisa menjadi perangkat yang handal dalam membantu siswa yang memiliki keunikankeunikan dalam belajar. Teknologi bantu (assistive technology), yang mencakup perangkat-perangkat adaptif yang membantu siswa menggunakan komputer dan jenisjenis teknologi lainnya, memiliki
167
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
pengaruh penting, khususnya pada siswa-siswa yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Menurut Schrum (2013), seorang guru dan juga pemimpin sekolah harus dapat mengenali pelajaran yang dirancang dengan baik dan kaya teknologi, tetapi mungkin akan menjadi lebih penting untuk dapat memberikan dukungan dan dorongan peningkatan pelajaran yang belum dikembangkan dengan baik. Jenis Teknologi Perkembangan informasi berjalan koheren dengan kemajuan teknologi komunikasi. Ini yang harus dikenali terlebih dahulu oleh para guru agar tepat menggunakannya dalam pembelajaran. Sebagai suatu media yang menyebarluaskan informasi, menurut Seels & Richey (1994), teknologi sebagai media dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu teknologi cetak, teknologi tampak dengar, teknologi berbasis komputer, dan teknologi terpadu. Pertama, teknologi cetak adalah cara-cara untuk memroduksi atau menyebarkan informasi atau materi, seperti buku dan materi visual statis, yang pada umumnya dilakukan melalui proses cetak mekanis
168
atau fotografis. Subkategori ini mencakup teks, grafis dan sajian atau reproduksi foto. Materi cetak dan visual melibatkan teknologi yang paling dasar. Materi ini memerikan dasar baik untuk perkembangan maupun pemanfaatan kebanyakan materi dalam bentuk hardcopy. Teks yang ditampilkan oleh komputer merupakan contoh pemanfaatan teknologi berbasis komputer untuk produksi. Apabila teks itu dicetak dalam hardcopy dan digunakan untuk pembelajaran, hal itu merupakan contoh penyebaran dalam teknologi cetak. Cara untuk mengorganisasikan informasi cetak dan informasi visual memberikan kontribusi pada tipe-tipe belajar yang akan terjadi. Pada level yang paling dasar, buku teks yang sederhana dapat diorganisasikan secara urut, namun bisa diatur menurut kesukaan pemakai. Bentuk lain teknologi cetak seperti pembelajaran berprograma sudah dikembangkan berdasarkan norma teoretis dan strategi pembelajaran lain. Secara spesifik, teknologi cetak/visual memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) teks dibaca secara linier, sedangkan visual disajikan secara parsial, (b) keduanya merupakan media satu arah, (c)
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
keduanya merupakan visual statis, (d) pengembangan keduanya bergantung pada prinsip-prinsip kebahasaan dan persepsi visual, (e) keduanya berpusat pada pembelajar; dan (f) informasi dapat diorganisasi dan ditata lagi oleh pemakai. Kedua, teknologi Audiovisual adalah cara untuk memroduksi atau menyebarkan informasi atau materi dengan menggunakan mesin mekanis dan atau elektronis untuk menyajikan pesan auditori dan visual. Pembelajaran audiovisual cenderung diwarnai oleh pemanfaatan perangkat keras dalam proses pembelajaran. Mesin audiovisual didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan materi yang melibatkan belajar melalui penglihatan dan pendengaran dan tidak secara eksklusif tergantung pada pemahaman kata atau simbol-simbol sejenis lain. Pada umumnya, teknologi audiovisual memroyeksikan materi, seperti film, slide, dan transparansi. Tetapi televisi merupakan teknologi yang unik dalam pengertian bahwa teknologi terpadu. Video, apabila diproduksi dan disimpan sebagai videotape, jelas bersifat audiovisual karena linier dan dimaksudkan untuk presentasi daripada untuk interaksi.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Secara spesifik, teknologi audiovisual cenderung memiliki kaiakteristik sebagai berikut ini: (a) bersifat linier; (b) menyajikan visual dinamis; (c) digunakan dalam cara yang ditentukan oleh perancang atau developer; (d) cenderung menyajikan konsep real dan abstrak secara fisik; (e) dikembangkan menurut prinsip teknologi behavioral dan psikologi kognitif; dan (f) sering berpusat pada pengajar (guru) dan tidak banyak melibatkan kegiatan pembelajar secara interaktif. Ketiga, teknologi berbasis komputer adalah cara untuk menghasilkan atau menyebarkan informasi atau materi dengan menggunakan sumber-sumber yang didasarkan pada mikro prosessor. Teknologi berbasis komputer dibedakan dengan teknologi lain karena informasinya disimpan secara elektronis dalam bentuk data digital daripada cetak atau visual. Pada dasarnya, teknologi berdasar”komputer menggunakan displai layar untuk menyajikan informasi pada siswa. Berbagai tipe aplikasi komputer dikembangkan hampir secara langsung dari teori behavioral dan pembelajaran berprograma, tetapi dewasa ini merefleksikan dasar teori yang lebih kognitif.
169
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Secara spesifik aplikasi Computer Based Instruction (CBI) adalah secara tutorial, drill and practice, yaitu membantu pembelajar mengembangkan kelancaran dalam materi yang sudah dipelajari; games and simulations yang membantu memberikan kesempatan untuk menerapkan pengetahuan baru; dan database, yang membantu pembelajar untuk mengakses struktur data yang berskala besar oleh mereka sendiri dengan menggunakan protokol pencari yang dipreskripsikan secara eksternal. Teknologi berbasis komputer, baik perangkat keras maupun lunak, pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) dapat digunakan secara random atau tidak urut, maupun secara liner; (b) dapat digunakan sesuai dengan kemauan pembelajar, maupun dalam cara yang direncanakan oleh perancang; (c) konsep-konsepnya pada umumnya disajikan dalam gaya abstrak dengan katakata, simbol, dan grafik; (d) prinsip ilmu pengetahuan kognitif diterapkan selama pengembangannya; dan (e) belajarnya dapat berpusat pada siswa dan menghendaki kegiatan pembelajaran secara interaktif.
170
Keempat, teknologi terpadu adalah cara-cara untuk memroduksi dan menyebarkan informasi atau materi yang mengandung beberapa bentuk media dengan panduan komputer. Banyak kalangan percaya bahwa teknologi yang paling canggih untuk pembelajaran melibatkan panduan beberapa bentuk media dengan panduan komputer. Contoh-contoh komponen perangkat keras dari sistem yang terpadu dapat melibatkan komputer dengan kemampuan materi berskala besar, dengan hard drive internal dengan colour monitor berresolusi tinggi. Alat-alat periferal yang dipandu komputer meliputi video-disc player, atau display penunjang, networking hardware, dan sistem audio. Perangkat lunaknya bisa termasuk videodisc, compact disc networking software dan informasi digitalisasi. Kesemuanya ini dapat dipandu oleh pelajaran hypermedia yang beroperasi di bawah sistem seperti hypercard atau toolbook. Ciri utama teknologi ini adalah melibatkan aktivitas interaktif pembelajar dengan berbagai sumber informasi. Pembelajaran dengan teknologi terpadu memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) dapat digunakan secara random atau tidak urut,
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
maupun secara linier; (b) dapat digunakan sesuai dengan cara yang dikehendaki oleh pembelajar, tidak hanya cara yang direncanakan perancang; (c) konsep-konsep disajikan secara realistik dalam konteks pembelajaran, menurut apa yang relevan pada pembelajar, dan di bawah kendali pembelajar; (d) prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kognitif dan konstruktivistik diterapkan dalam pengembangan dan pemanfaatan pelajaran; (e) belajar berpusat secara kognitif dan terorganisasi sehingga pengetahuan dapat terkontruksi ketika pelajaran dipakai; (f) materi menunjukkan intensitas kegiatan pembelajar secara interaktif; dan (g) materi memadukan kata dan imagery dari sumber-sumber media. Saat ini sudah berkembang pula teknologi telepon genggam (handphone) untuk memuat pesan yang dikenal dengan konsep m-learning (mobile learning). Oleh karenanya, teknologi ini bisa dipastikan”lambat atau cepat”akan masuk sekolah sebagai bagian dari sistem pembelajaran berbasis teknologi. Beberapa Aplikasi Metode pembelajaran langsung merupakan salah satu yang paling
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
cocok dengan penggunaan teknologi lebih-lebih apabila digunakan untuk peraihan hasil belajar keterampilan (psikhomotorik) dasar. Program tutorial yang berkualitas tinggi misalnya, yakni piranti lunak (software) pembelajaran yang memberikan keseluruhan rangkaian pengajaran terintegrasi, bisa sangat efektif dan, bahkan, berjalan kurang lebih sama sebagaimana penerapan nyata (live) dari strategi pembelajaran langsung. Tutorial berusaha menciptakan sistem pembelajaran yang bertindak sebagai guru efektif. Caranya, dengan merespons pertanyaan-pertanyaan dan kekeliruan-kekeliruan siswa lewat umpan balik langsung. Tutorial mencakup tujuan belajar, beragam jalur untuk mencapai tujuan, dan asesmen dengan umpan balik yang diarahkan pada tujuan. Tutorial dimulai dengan ide-ide dasar seperti memahami bahwa 1/ 4 itu lebih besar daripada 1/8, yang mereplikasi fase presentasi dari model ini dan berlanjut sampai terbangunnya keterampilan menjumlahkan dan mengurangi pecahan. Tutorial memberi siswa latihan dan umpan balik yang serupa dengan fase latihan atau praktik terbimbing saat menggunakan model ini.
171
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Di sekolah dasar, barangkali yang paling mudah adalah programprogram yang mengajarkan keterampilan pengolahan-kata. Program-program itu meliputi pencetakan, penyimpanan, pemeriksa ejaan, dan pemformatan teks (text formatting) dengan font-font, ukuran, dan gaya berbeda. Hal yang terbaik mencakup fitur-fitur motivasi seperti tes dengan waktu yang memberikan tantangan dan menciptakan otomatisitas. Juga, diagram-diagram yang menggambarkan kemajuan dari penguasaan keterampilan. Tutorial dapat memenuhi beberapa kebutuhan, termasuk pengajaran awal, dukungan tambahan bagi siswa yang pemahamannya belum berkembang penuh, studi lanjutan untuk siswa bermotif prestasi tinggi, atau alternatif bagi pembelajaran yang dibimbing guru. Tutorial bisa linier, tapi yang terbaik adalah bercabang. Artinya, tutorial itu beradaptasi dengan respons siswa. Misalnya, ketika seorang siswa secara keliru merespons item pilihan ganda, program ini menjelaskan mengapa pilihan itu tidak benar dan mengulangi pembelajaran. Tutorial efektif dirangkai secara cermat sehingga keteram-
172
pilan-keterampilan baru dikembangkan secara sistematis dan didasarkan pada pemahaman yang ada. Sebagaimana semua bentuk pembelajaran, efektivitas tutorial tergantung pada kualitas interaksi antara teknologi (guru) dan siswa. Dan yang terbaik menuntut pengguna untuk sering merespons. Saat siswa menjawab, tutorial menerima segala kemungkinan variasi jawaban yang tepat dan memberikan umpan balik korektif hanya ketika diperlukan. Mereka juga mencatat dan melaporkan kinerja individual siswa untuk memungkinkan guru memantau kemajuan belajar dan turun tangan manakala perlu. Dewasa ini guru tidak perlu repot-repot lagi untuk menyusun program tutorial sendiri, sebab di pasaran sudah banyak tersedia secara komersial dan non-komersial sistem tutorial berdasarkan subjek tertentu. Tutorial untuk beberapa mata pelajaran yang termaktub dalam kurikulum inti umumnya sudah tersedia, baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris atau berbahasa internasional lain karena sifak kontennya yang relatif sama. Hal yang berbeda
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
barangkali adalah pengalaman belajar yang disediakan dalam program tersebut. Terkait dengan penggunaan teknologi di dalam kelas, Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009), menyatakan bahwa ada keharusan bagi guru untuk menambah presentasipresentasi verbal mereka dengan umpan balik yang berkelanjutan dan contoh-contoh, masalah-masalah, gambar-gambar, dan diagramdiagram yang memberikan kesempatan pada siswa untuk melihat gagasan-gagasan abstrak yang saling berhubungan dan disajikan dalam bentuk yang konkret dan nyata dalam pembelajaran yang berpusat pada guru. Teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran yang berpusat pada guru dengan dua cara penting, yaitu (1) Menggunakan power point untuk menyajikan informasi dengan cara-cara yang menarik dan interaktif, (2) Memberikan kesempatan-kesempatan praktik dengan umpan balik berkualitas yang langsung dan responsif tentang performa siswa. Menyajikan informasi yang baru merupakan peran pengajaran yang penting dalam pembelajaran yang berpusat pada guru. Guru Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
sering dihadapkan pada masalah tentang bagaimana menjelaskan informasi dengan format-format yang jelas dan membangkitkan semangat Format Microsoft Power Point memberikan suatu alternatif yang efektif. Microsoft Power Point merupakan sebuah aplikasi prensentasi untuk menyampaikan sebuah materi yang sering digunakan oleh para pengajar. Namun jika pengguna tidak mahir atau baru tahap belajar maupun pemula maka akan terasa sulit. Dengan Microsoft Power Point ini kita bisa mempresentasikan sebuah materi pembelajaran, sehingga sangat menarik bagi siswa, dan pembelajaran pun tidak membosankan (Istiningsih, 2012). Namun agar lebih menarik lagi adalah sebuah file yang di hasilkan oleh Microsoft Power Point ini yang extensinya ppt seyogyanya dirubah menjadi flash. Microsoft Power Point adalah program aplikasi presentasi yang merupakan salah satu program aplikasi di bawah Microsoft Office. Keuntungan terbesar dari program ini adalah tidak perlunya pembelian piranti lunak karena sudah berada di dalam Microsoft Office. Jadi pada waktu penginstalan program
173
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Microsoft Office dengan sendirinya program ini akan terinstal. Hal ini akan mengurangi beban hambatan pengembangan pembelajaran dengan komputer. Keuntungan lain dari program ini adalah sederhananya tampilan ikon-ikon. Ikon-ikon pembuatan presentasi kurang lebih sama dengan ikon-ikon Microsoft Word yang sudah dikenal oleh kebanyakan pemakai komputer. Pemakai tidak harus mempelajari bahasa pemrograman. Dengan ikon yang dikenal dan pengoperasian tanpa bahasa program maka hambatan lain dari pembelajaran dengan komputer dapat dikurangi yaitu hambatan pengetahuan teknis dan teori. Guru atau ahli bahasa dapat membuat sebuah program pembelajaran tanpa harus belajar bahasa komputer terlebih dahulu. Meskipun program aplikasi ini sebenarnya merupakan program untuk membuat presentasi namun fasilitas yang ada dapat dipergunakan untuk membuat program pembelajaran. Program yang dihasilkan pun akan cukup menarik. Keuntungan lainnya adalah bahwa program ini bisa disambungkan ke jaringan internet.
174
Power Point pada hakikatnya merupakan format presentasi yang serbaguna. Setelah dikuasai, perangkat ini pada akhirnya memungkinkan guru untuk dapat menyertakan atau memasukkan hal-hal berikut ini dalam presentasinya: Teks tertulis Foto Contoh hasil kerja siswa Bagan dan grafik Video klip Voice-overs. Siswa juga bisa belajar untuk menggunakan Power Point dalam presentasi mereka, dan opsi-opsi ini dapat mendorong mereka untuk berpikir lebih dalam tentang materi yang mereka sajikan dan pengaruhnya terhadap audience. Akan tetapi, Power Point tidak harus berfungsi sebagai perangkat penyajian informasi saja. Saat guru menyajikan informasi, mereka dapat ™ dan seharusnya™ memeriksa apakah siswa memahami dan terhubung dengan gagasan-gagasan. Power Point juga bisa digunakan untuk menyajikan kuis-kuis yang dapat memberi guru dan siswa umpan balik yang instan dan cepat tentang kemajuan siswa.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
Microsoft Power Point 2013 merupakan bagian dari Microsoft Office 2013. Jadi tidak ada salahnya jika sedikit diketahui fitur-fitur baru yang ditawarkan oleh Microsoft Office Suite 2013, untuk memudahkan dalam pengaplikasian Microsoft Office 2013. Microsoft Office 2013 datang dengan membawa aroma lebih “Cloud Based” atau berbasis komputasi awan dari seri sebelumnya. Sistem cloud memungkinkan pengguna menyimpan dokumen kerja mereka pada server SkyDrive. Sebagai tambahan fiturnya, Office 2013 juga menyediakan dukungan penuh untuk membaca, membuat, dan mengedit file PDF. Fitur lainnya juga mencakup mengenai metode cara baca pada Miscrosoft Word, mode presentasi baru pada Microsoft Power Point 2013, dan dukungan touch dan link di semua aplikasi Mocrosoft Office. Fitur-fitur lebih lanjut dari Mocrosoft Office 2013 adalah: Tampilan ribbon yang lebih rata dan dukungan animasi pada saat mengetik atau melakukan blok pada Microsoft Office Word dan Microsoft Office Excel.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Visualisasi baru dari fitur scheduled task Microsoft Outlook. Splash screen yang diperbarui tampilannya sehingga tampak berkesan lebih menonjolkan aroma metro style. Objek seperti gambar dapat digerakkan secara bebas dan secara otomatis akan menempel pada tepi paragraf, dokumen margin, dan batas kolom. Kemampuan untuk mengembalikan posisi yang terakhir dilihat atau yang telah diedit pada Microsoft Word dan Microsoft Power Point. Desain slide, animasi dan transisi yang baru pada Microsoft PowerPoint 2013. Pada Microsoft Outlook mendukung server outlook.com dan hotmail.com Menurut Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009), oleh karena siswa dapat meng gunakan programprogram latihan-dan-praktik secara mandiri, maka guru tidak harus terlibat secara langsung di dalamnya. Namun, program-program ini tidak kemudian mengganti keistimewaan dan keahlian guru, dan para pengembang program-program ini berasumsi bahwa siswa sudah
175
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
mendapat pengajaran sebelumnya yang berkaitan dengan fakta-fakta atau konsep-konsep. Sebagai contoh, ketika siswa untuk pertama kali belajar tentang perkalian, guru yang efektif membantu mereka mengerti bahwa 6 x 9 berarti 9 benda sebanyak 6, atau 6 benda sebanyak 9. Guru yang efektif kemudian juga menyajikan beberapa contoh konkret untuk mengilustrasikan konsep perkalian. Program-program latihan dan praktik digunakan pada saat pengajaran awal-awal seperti di atas untuk membantu mereka berlatih sampai keterampilannya dapat bekerja sendiri, yakni sampai mereka mengetahui fakta-fakta yang sesungguhnya tanpa perlu terlalu keras berpikir tentang hal tersebut (automaticity). Ada beberapa program latihandan-praktik yang menggunakan format permainan (game) untuk meningkatkan motivasi siswa. Ketika mengetik jawaban yang benar dari 6 x 9 = ?, siswa mungkin akan lebih memilih untuk menembakkan laser peledak pada alien-alien (dalam game) sebanyak 54 kali.
menyesuaikan tuntutan tugas dengan kemampuan siswa. Misalnya, dalam program yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan tentang fakta-fakta perkalian, program yang adaptif dimulai dengan melakukan pretest untuk menentukan fakta-fakta perkalian apa yang sudah diketahui oleh siswa. Masalah-masalah kemudian secara strategis disajikan untuk memastikan keberhasilan yang dicapai siswa. Ketika siswa gagal menjawab atau jawabannya salah, program ini mendorongnya dengan memberikan (kunci) jawaban kemudian mengetes ulang fakta tersebut. Masalah-masalah yang lebih sulit diperkenalkan hanya ketika siswa telah mencapai tingkatan keterampilan tertentu. Karena tujuan akhirnya adalah agar siswa mampu mengingat fakta-fakta matematika secara otomatis, jumlah waktu yang dialokasikan untuk menjawab seharusnya diperpendek agar mereka menjadi lebih cakap. Cara ini juga dapat meningkatkan motivasi dengan menantang siswa menjadi lebih cepat dalam menjawab.
Masih menurut Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009), program latihan-dan-praktik yang terbaik biasanya bersifat adaptif, dengan
Program latihan-praktik memberikan beberapa keuntungan. Pertama, program ini menyajikan praktik dengan umpan balik yang
176
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
efektif, dengan menginformasikan secara langsung pada siswa tentang apa yang telah mereka kuasai dan di bagian mana mereka perlu bekerja lebih keras lagi. Kedua, program ini sering membangkitkan semangat agar siswa tidak lagi terusmenerus mendapatkan latihanlatihan tertulis, yang menggunakan kertas dan pensil. Ketiga, program ini menghemat waktu guru karena mereka tidak perlu lagi menyajikan informasi dan menilai jawabanjawaban siswa. Akan tetapi perlu diingat bahwa waktu yang dihabiskan untuk komputer tidak harus sama dengan waktu yang dihabiskan untuk pembelajaran. Hal yang lebih penting ialah kualitas pengalaman-pengalaman pembelajaran dan jangkauan dalam hal sejauh mana pengalaman-pengalaman tersebut dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang sudah dirumuskan oleh guru. Prinsip-prinsip Ada beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan oleh Guru dalam memilih dan menggunakan teknologi untuk kepentingan pembelajaran, yaitu: Tidak ada satu teknologi yang paling unggul untuk semua
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
tujuan. Satu teknologi hanya cocok untuk tujuan pembelajaran tertentu, tetapi mungkin tidak cocok untuk yang lain. Teknologi adalah bagian integral dari proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa teknologi bukan hanya sekedar alat bantu mengajar bagi pengajar saja, tetapi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran. Penetapan suatu teknologi haruslah sesuai dengan komponen yang lain dalam perancangan pembelajarabn. Tanpa alat bantu mengajar mungkin pembelajaran tetap dapat berlangsung, tetapi tanpa teknologi pembelajaran itu tidak akan terjadi. Teknologi apapun yang hendak digunakan, sasaran akhirnya adalah untuk memudahkan belajar siswa. Kemudahan belajar siswa haruslah dijadikan acuan utama pemilihan dan penggunaan suatu teknologi. Penggunaan berbagai teknologi dalam satu kegiatan pembelajaran bukan hanya sekedar selingan atau pengisi waktu atau hiburan, melainkan mempunyai tujuan yang menyatu dengan pembelajaran yang 177
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
sedang berlangsung. Pemilihan teknologi hendaknya obyektif, artinya didasarkan pada tujuan pembelajaran, tidak didasarkan pada kesenangan pribadi. Penggunaan beberapa teknologi sekaligus akan dapat membingungkan siswa. Penggunaan multimedia tidak berarti menggunakan media yang banyak sekaligus, tetapi teknologi tertentu dipilih untuk tujuan tertentu dan teknologi yang lain untuk tujuan yang lain pula. Kebaikan dan keburukan terknologi tidak tergantung pada kekonkritan dan keabstrakannya. Teknologi yang kongkrit wujudnya, mungkin sukar untuk dipahami karena rumitnya, tetapi teknologi yang abstrak dapat pula memberikan pengertian yang tepat. SIMPULAN DAN SARAN Untuk mencapai pembelajaran yang efektif, guru seyogyanya memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Hal ini sudah sesuai dengan kehendak dan perkembangan zaman, sebab melek teknologi telah menjadi keahlian dasar yang
178
signifikansinya hanya berada di bawah membaca, menulis, dan matematika. Namun perlu disadari bahwa peng gunaan teknologi untuk kepentingan pembelajaran bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai pembelajaran yang efektif. Oleh karena teknologi adalah alat yang digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran, menggunakan teknologi bukanlah tujuan itu sendiri. Menggunakan teknologi menjadi tujuan bukanlah peng gunaan terbaik teknologi, sehingga disarankan agar teknologi digunakan sepantasnya apabila teknologi dapat membantu siswa memenuhi tujuan belajar secara lebih efektif dibandingkan alat-alat lain. DAFTAR RUJUKAN Bambang Warsita. 2008. Teknologi Pembelajaran: Landasan & Aplikasinya. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Deni Darmawan. 2012. Inovasi Pendidikan: Pendekatan Praktik Teknologi Multimedia dan Pembelajaran Online. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Deni Darmawan. 2015. Teknologi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
Eggen, P. & Kauchak, D. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir. Terjemahan Satrio Wahono. Jakarta: PT. Indeks. Ishak Abdulhak & Deni Darmawan. 2015. Teknologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Istiningsih. 2012. Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran. Yogyakarta: PT. Skripta Media Creative. Jacobsen, D.A., Eg gen, P., & Kauchak, D. 2009. Methods for Teaching: Metode-metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TKSMA. Terjemahan Achmad Fawaid & Khoirul Anam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lantip Diat Prasojo & Riyanto. 2011. Teknologi Informasi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Roblyer, M. 2006. Integrating Educational Technology Into Teaching (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall. Schrum, L. (Ed.). 2013. Teknologi Pendidikan Bagi Para Pemimpin Sekolah. Terjemahan Frida Dwiyanti Widjaya. Jakarta: PT. Indeks. Seels, B.B. & Richey, R.S. 1994. Instructional Technology: The Definition and Domain of the Field. Washington, DC. : AECT. Smaldino, S.E., Lowther, D.L. & Russell, J.D. 2014. Instructional Technology and Media Learning: Teknologi Pembelajaran dan Media untuk Belajar. Terjemahan Arif Rahman. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Yusufhadi Miarso. 2015. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: Prenadamedia Group bekerjasama dengan Pustekkom Depdiknas.
179
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 181-194
ASESMEN OTENTIK KECERDASAN KINESTETIK DALAM PEMBELAJARAN PENJASORKES Sihono Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP-Universitas Jember
Abstract Kinesthetic intelligence as theorized Gardner in principle are in all domains of learning, but it is more dominant on the attitudes and psychomotor domain. Therefore, the conventional measure in the form of a pencil and paper based test or objective test is deemed to be a shortfall and less fair. This article suggests that kinesthetic intelligence assessed with authentic assessment, particularly the performance assessment. Performance assessment are assessment requiring students to demonstrate their achievement of understandings and skills by actually performing a task or set of tasks.The teachers of physical and health studies suggested that use of performance assessment in order to obtain a student’s ability natural, real and fair. Keywords: Authentic assessment, performance assessment, kinesthetic intelligences
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 181
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
PENDAHULUAN Howard E. Gardner, seorang Profesor dibidang Cognition and Education di the Harvard Graduate School of Education, Cambridge, Amerika Serikat, pertama kali menerbitkan hasil risetnya tentang kecerdasan ganda/jamak/majemuk dalam buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences tahun 1983. Buku tersebut kemudian disempurnakan pada edisi termutakhir tahun 2006 berjudul Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice, setelah serangkaian karya sejenis diterbitkan sepanjang 23 tahun. Sejak itu sebagian besar para akademisi dan praktisi pendidikan di seluruh dunia meyakini bahwa kecerdasan manusia bukan hanya kecerdasan intelektual sebagaimana diteorikan Binet & Simon yang populer disebut IQ (Intelligence Quotient), melainkan ada banyak potensi kecerdasan manusia. Teori kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) dari Daniel Goleman (1996), merupakan teori kecerdasan lain yang sangat populer. Disusul kemudian teori kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence), oleh Zohar & Marshall (2000), sebagai pengembang pertama tentang kecerdasan spiritual 182
meskipun mereka masih berkisar pada wilayah biologis dan psikologis. Teori tersebut muncul karena rasional sebuah dimensi yang tidak kalah pentingnya didalam kehidupan manusia apabila dibandingkan dengan kecerdasan emosional, dimana kecerdasan emosional lebih berpusat pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial), sementara itu dimensi kecerdasan spiritual bersifat vertikal. Gardner sendiri awalnya mengetengahkan 7 (tujuh) kecerdasan majemuk, namun kemudian dikembangkan oleh pakar lainnya sehingga akan terus bertambah. Secara orisinal Gardner mengemukakan hakikat tentang potensi kecerdasan kinestetik atau kecerdasan gerakanbadan. Kecerdasan kinestetikbadani, menurut Gardner (2006), adalah kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan seperti ada pada aktor, atlet, penari, pemahat, dan ahli bedah. Dalam kecerdasan ini termasuk keterampilan koordinasi dan fleksibilitas tubuh. Orang yang mempunyai kecerdasan kinestetik-badani dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh mereka. Apa yang mereka pikirkan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
dan rasakan dengan mudah diekspresikan dengan gerak tubuh, dengan tarian dan ekspresi tubuh, termasuk di dalamnya keolahragaan. Teori kecerdasan kinestetik ini semakin meyakinkan para guru sehingga menerapkannya dalam pembelajaran Penjasorkes. Pendidikan Jasmani dan Olahraga, yang dalam kurikulum disebut secara paralel dengan istilah lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes), pada hakikatnya adalah proses pembelajaran pendidikan yang memanfaatkan aktifitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental dan emosional. Penjasorkes merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, sehingga penjasorkes memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam persiapannya menuju manusia Indonesia seutuhnya. Pada kenyataannya, penjasorkes adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjasorkes berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Berfokus pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti penjasorkes yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia. Olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan dan kebugaran jasmani (UU Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional). Banyak pakar yang telah mencoba merumuskan sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Menurut Gafur (dalam Abdullah dan Manadji, 1994), dikatakan bahwa pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai perorangan maupun sebagai anggota masyaraklat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui kegiatan jasmani yang intensif dalam rangka memperoleh peningkatan kemampuan dan
183
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
keterampilan jasmani, pertumbuhan kecerdasan dan pembentukan watak. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang menggunakan aktifitas para peserta didik untuk menghasilkan perubahan dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental maupun emosional. Mengingat penjasorkes sebagai sekeping uang yang mempunyai dua sisi, yaitu: (a) sisi pendidikan jasmani yang mengarah kepada aspek edukatif, dan (b) sisi pendidikan olahraga yang mengarah pada aspek prestasi, maka kedua sisi tersebut harus saling mengait dan melengkapi dalam rangka mewujudkan pribadi pembelajar yang sehat jasmaniah-rohaniah, yang memungkinkan untuk berprestasi. Oleh karena itu, perhatian pelatih dan guru tidak hanya mengarah kepada pelatihan teknik gerak saja, namun, juga merangsang tumbuh kembangnya pribadi pembelajar yang utuh. Penjasorkes harus memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan pendidikan, memberi kontribusi yang sangat berharga dan memberi inspirasi bagi kesejahteraan hidup manusia. Makna yang terkandung dalam pendidikan jasmani tidak
184
sekadar pendidikan yang bersifat fisik atau aktifitas fisik, tetapi lebih luas lagi keterkaitannya dengan tujuan pendidikan secara menyeluruh serta memberikan kontribusi terhadap kehidupan individu. Secara konseptual penjasorkes memiliki peran penting dalam peningkatan kualitas hidup peserta didik. Penjasorkes diartikan sebagai pendidikan melalui dan dari pendidikan jasmani. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Siedentop (1991), yang mengatakannya sebagai “education through and of physical activities.” Apabila dipandang sebagai hasil, maka status sehat seutuhnya yang dicapai pada saat ini merupakan tujuan belajar siswa. Namun jika dipandang sebagai proses belajar sepanjang hayat, maka status sehat seutuhnya pada saat itu, sebenarnya merupakan sarana untuk menumbuhkembangkan potensi yang mewujudkan pribadi siswa yang mandiri di kemudian hari. Dengan memadukan dua tujuan, yaitu: (a) aspek jasmaniah, dan (b) aspek rohaniah, yang mencakup lima dimensi sehat, maka tujuan penjasorkes dapat diungkapkan ke dalam satu kerangka, sehingga pembelajaran siswa dan pelatihan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
atlet mengarah pada pemanfaatan aspek jasmaniah-rohaniah yang serasi, yang memungkinkan berkembangnya dimensi sehat jasmaniah, sosial, emosional, mental, intelektual, dan spiritual pada pribadi siswa/atlet. Akan tetapi terkait dengan bagaimana menilai keberhasilan dan pencapaian tujuan penjasorkes di sekolah, banyak guru mengalami kesulitan, terutama dengan kehadiran paradigma baru asesmen yang dikehendaki Kurikulum Tematik Terintegrasi tahun 2013, yaitu asesmen otentik. Hasil wawancara penulis, dan kolaborasi berbagai penelitian tindakan kelas yang dilakukan bersama para guru di sekolah menunjukkan betapa sulitnya para guru melakukan asesmen otentik terhadap pembelajaran penjasorkes. Artikel berikut ini mencoba menjembatani kesulitan tersebut dalam konteks memaknai konten penjasorkes sebagai bagian dari salah satu kecerdasan majemuk manusia, yaitu kecerdasan kinestetik.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
PEMBAHASAN Hakikat Kecerdasan Kinestetik Gardner (2006), mengemukakan bahwa kecerdasan kinestetikbadani adalah kemampuan untuk menggunakan gerak tubuh atau bergerak dengan ketepatan (presisi) tinggi dan mengekspresikan ide atau perasaan melalui gerakan tertentu. Contoh profesi yang sesuai dengan tema kecerdasan ini adalah: Atlet, pembalap, penari, koreografer, pemeran pantomim, aktor/ aktris, model, pramugari, ahli jam, perakit senjata/bom, tentara, polisi, dokter bedah, trainer atraktif, dsb. Dalam kecerdasan ini termasuk keterampilan koordinasi dan fleksibilitas tubuh. Orang yang mempunyai kecerdasan kinestetikbadani dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh mereka. Apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan mudah diekspresikan dengan gerak tubuh, dengan tarian dan ekspresi tubuh, termasuk di dalamnya keolahragaan. Mereka juga dengan mudah dapat memainkan mimik, drama, dan peran. Mereka dengan mudah dan cepat melakukan gerak tubuh dalam olahraga dengan segala macam. variasinya. Hal yang sangat menonjol dalam diri mereka adalah 185
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
koordinasi dan fleksibilitas tubuh yang begitu besar. Mereka dapat berdiri dalam keseimbangan yang hebat pada waktu berolahraga atau menari. Secara sederhana, mereka dapat menyalurkan apa yang mereka hidupi dengan gerak tubuh. Orang yang kuat dalam kecerdasan kinestetik-badani juga sangat baik dalam menjalankan operasi apabila ia seorang dokter bedah. Siswa yang mempunyai kecerdasan kinestetik-badani biasanya suka menari, olahraga, dan suka bergerak. Siswa ini biasanya tidak suka diam, ingin selalu menggerakkan tubuhnya. Apabila ada waktu luang dan tidak ada pelajaran, anakanak ini dengan cepat akan main di lapangan. Jika belajar menari, anak seperti ini dengan cepat akan bisa dan tidak kaku karena tubuhnya fIeksibel. Banyak dari siswa yang mempunyai kecerdasan ini berbakat melukis dengan baik, dapat membangun bangunan seni. Seorang pendidik yang melihat siswa-siswanya berlatih tari atau dansa akan dengan cepat mengenali siswa mana yang punya kecerdasan menonjol. Beberapa pelatih tari profesional sering dengan cepat dapat melihat mana siswanya yang berbakat dan mana yang tidak.
186
Bahkan, sering kali mereka dengan cepat hanya mau melatih yang berbakat karena dapat dilatih dengan cepat dan hasilnya bagus. Sedangkan yang kecerdasan kinestetikbadaninya rendah meski sudah dilatih tetap kurang begitu halus tariannya (Suparno, 2004). Demikian pula seorang pelatih sepak bola dengan cepat akan tahu siswa yang mana punya kecerdasan ini dan mana yang tidak. Dari gaya seorang siswa bermain dan memainkan bola dapat dilihat apakah ia mempunyai kecerdasan kinestetik-badani tinggi atau tidak. Menurut Gardner (2006), pengendalian gerakan-badan, tentu saja, terletak di korteks motoris, dengan setiap belahan otak mendominasi atau mengendalikan gerakan badan yang berada di sisi berlawanan. Pada orang yang tidak kidal, dominasi dari gerakan seperti itu biasanya ditemukan dalam belahan otak kiri. Kemampuan melakukan gerakan ketika diarahkan untuk melakukan demikian dapat dirusak bahkan pada individu yang dapat melaksanakan gerakan yang sama secara spontan atau bukan secara sengaja. Adanya apraxia (kehilangan kemampuan melakukan gerakan yang terkoordinasi) spe-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
sifik menyusun satu lini bukti untuk kecerdasan gerakan badan. Evolusi dari gerakan-badan khusus adalah keunggulan yang jelas bagi jenis yang bersangkutan, dan pada manusia penyesuaian ini meluas sampai penggunaan peralatan. Gerakan-badan mengalami masa perkembangan yang ditetapkan dengan jelas pada anak-anak. Dan hanya sedikit pertanyaan mengenai sifatnya yang universal lintas budaya. Jadi tampaknya “pengetahuan” gerakan-badan memenuhi persyaratan banyak kriteria untuk dinyatakan sebagai kecerdasan (Gardner, 2006). Perhatian pada pengetahuan gerakan-badan sebagai “penyelesaian masalah” mungkin kurang intuitif. Pasti melaksanakan urutan meniru atau memukul bola ternis bukan menyelesaikan persamaan matematika. Dan memang, kemampuan menggunakan badan seseorang untuk menyatakan emosi (seperti dalam dansa), untuk melakukan permainan (seperti dalam olahraga), atau untuk menciptakan produk baru (seperti dalam mewujudkan penemuan) merupakan bukti dari sifat kognitif dari penggunaan gerakan badan.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Dalam pembelajaran Penjasorkes, teori kecerdasan kinestetik ini memberi justifikasi sekaligus memandu para guru untuk memastikan kemampuan yang dimiliki oleh para siswanya, terutama untuk olahraga prestasi. Sebagai suatu ilustrasi, perhitungan spesifik yang diperlukan untuk menyelesaikan “masalah” gerakan-badan tertentu, memukul bola tenis misalnya, diringkas dengan baik oleh Tim Gallwey sebagaimana dikutip Gardner (2006), berikut ini. Pada saat bola bergerak mening galkan raket pemain yang melakukan serve, otak menghitung perkiraan di mana bola itu akan mendarat dan di mana raket akan memotong jalan bola. Perhitungan ini termasuk kecepatan awal bola, digabungkan dengan masukan dari berkurangnya kecepatan bola berangsur-angsur dan pengaruh angin serta setelah bola memantul. Secara serentak, perintah kepada otot diberikan: bukan hanya sekali, tetapi secara konstan dengan produktif yang terus diperhalus dan dimutakhirkan. Otot harus bekerja sama. Gerakan kaki dilakukan, raket diayun ke belakang, permukaan raket dipertahankan pada sudut konstan. Kontak dilakukan di titik
187
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
yang tepat yang tergantung pada apakah perintah diberikan untuk memukul bola menyusur garis tepi atau diagonal ke ujung lapangan yang lain, perintah tidak diberikan sampai setelah analisis sepersekian detik dari gerakan dan keseimbangan lawan. Untuk mengembalikan pukulan serve rata-rata, petenis mempunyai waktu sekitar satu detik untuk melakukan gerakan tadi. Untuk dapat memukul bola sudah merupakan sesuatu yang luar biasa dan sekalipun demikian bukan hal yang aneh. Kebenaran adalah bahwa setiap orang yang menghuni badan manusia mempunyai kreasi yang luar biasa (Gallwey, 1976, dalam Gardner, 2006). Asesmen Otentik Salah satu unsur yang sangat penting dalam proses pembelajaran adalah asesmen. Jelas asesmen perlu disesuaikan dengan tujuan dan juga cara mengajar seorang guru. Apabila dalam pembelajaran guru menggunakan kecerdasan majemuk, maka asesmennya pun perlu disesuaikan dengan kemampuan kecerdasan majemuk. Asesmen yang hanya mementingkan salah satu kecerdasan, misalnya
188
matematis-logis, kurang dapat mengukur seluruh kemampuan siswa. Secara umum asesmen perlu lebih luas dan menyeluruh, bahkan perlu memasukkan unsur lingkungan dan situasi nyata untuk dapat mengukur seluruh kemampuan siswa. Maka, berbagai bentuk seperti asesmen tertulis, lisan, dalam bentuk proyek, tugas bersama, refleksi pribadi, bentuk prestasi yang dapat ditampilkan di depan umum, dalam keaktifan proses pembelajaran, pemantauan guru selama pembelajaran, dan sebagainya, perlu digunakan dalam asesmen sebagai kesatuan. Sedapat mungkin semua potensi kecerdasan majemuk juga terukur dalam asesmen tersebut. Oleh karena itu, segi hitungan, tulisan, musik, gerak, ruang, kerja sama, refleksi, lingkungan perlu diperhatikan. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah asesmen harus beraneka ragam, disesuaikan dengan pendekatan pembelajaran kecerdasan majemuk yang juga beraneka ragam (Armstrong, 1994; Suparno, 2004). Pada umumnya fokus asesmen pembelajaran meliputi asesmen pengetahuan kognitif (fakta, konsep, prosedur, dan meta kognitif), penilaian sikap dan perilaku (afek-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
tif), serta penilaian keterampilan atau psikhomotorik (Anderson & Krathwohl, 2001; Waugh & Gronlund, 2012). Kecerdasan kinestetik sebetulnya ada pada semua domain, namun lebih dominan berada di domain sikap dan perilaku (afektif), serta di domain keterampilan atau psikhomotorik, dan oleh karenanya diperlukan penilaian atau asesmen yang berbeda dengan domain kognitif yang selalu mengandalkan tes berbasis pensil dan kertas. Salah satu asesmen yang ditawarkan oleh para ahli untuk menilai kecerdasan kinestetik adalah asesmen otentik. Asesmen otentik (authentic assessment) menekankan praktik pengembangan alat-alat asesmen yang secara lebih akurat mencerminkan dan mengukur apa yang benar-benar dihargai oleh pendidik dalam pendidikan. Suatu upaya asesmen dapat dikatakan sebagai otentik kalau upaya itu melibatkan peserta didik dalam berbagai tugas yang bernilai (worthwhile), signifikan, dan bermakna (meaningful). Asesmen seperti itu menyerupai dan menghendaki aktivitas pembelajaran, bukannya menyerupai tes sebagaimana lazimnya. Asesmen jenis ini menuntut kete-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
rampilan berpikir yang lebih tinggi tingkatannya dan juga koordinasi cakupan pengetahuan yang rentangnya luas. Menurut Armstrong (1994), Hart (1994), dan juga Waugh & Gronlund (2012), asesmen otentik pada dasarnya adalah asesmen berbasis proses pembelajaran dan hasilnya. Asesmen otentik diadopsi oleh Kurikulum 2013, yang meliputi asesmen kinerja, asesmen sikap, asesmen diri, asesmen proyek, asesmen portofolio, asesmen tertulis, dan asesmen produk (hasil kerja). Beberapa bentuk asesmen tersebut, yang ditekankan oleh Armstrong (1994), dan juga Hart (1994), sangat sesuai untuk menilai siswa, senada dengan pendekatan kecerdasan majemuk. Portofolio misalnya, yang merupakan laporan tugas-tugas siswa selama seluruh proses pembelajaran. Termasuk di dalamnya adalah laporan tertulis, hasil diskusi kelompok, hasil refleksi pribadi, tugas, gambar, laporan komputer, slide, atau video, bila pernah dibuat. Tugas-tugas informal yang pernah dikerjakan siswa, seperti catatan atau draf lagu, permainan, kerja kelompok kecil, perlu dikumpulkan pula.
189
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
Asesmen selama proses belajar perlu dikumpulkan. Guru perlu selalu memantau dan memberikan penilaian singkat kepada setiap siswa selama proses belajar: selama diskusi, selama mereka bermain bersama sesuai materi, dan selama mereka aktif partisipasi dalam pembelajaran. Soal tertulis yang diberikan kepada siswa perlu juga dirumuskan sesuai dengan kecerdasan majemuk tersebut. Maka, perlu ada persoalan logika, musikal, ruang, gerak, refleksi pribadi, dan juga bahasa tertulis. Lebih khusus untuk menilai keberhasilan tujuan pembelajaran Penjasorkes disarankan agar guru menggunakan asesmen kinerja (Performance Assessments), suatu asesmen yang mempersyaratkan siswa agar mampu mendemonstrasikan pencapaian pemahaman dan keterampilan mereka melalui kinerja nyata (Waugh & Gronlund, 2012). Asesmen kinerja dapat digunakan untuk mengukur kinerja nyata atau aktual siswa yang tidak memadai jika diukur hanya dengan menggunakan tes objektif. Kecakapan dalam melempar lembing atau melakukan serve bulutangkis adalah salah satu contoh kecakapan yang sulit jika diukur hanya dengan menggunakan
190
instrumen berupa tes objektif. Instrumen yang sesuai untuk digunakan mengukur kemampuan dalam menerapkan prinsip–prinsip dalam melakukan proses tersebut adalah asesmen kinerja. Waugh & Gronlund (2012), mengemukakan beberapa keunggulan dan keterbatasan asesmen kinerja untuk digunakan dalam mengukur hasil belajar siswa. Keunggulan asesmen kinerja sebagai sebuah instrumen penilaian adalah sebagai berikut. Dapat mengukur aspek kemampuan yang tidak dapat diukur melalui tes objektif. Bersifat lebih alamiah, langsung dan lengkap dalam mengukur kemampuan siswa. Berguna untuk mengukur siswa yang memiliki keterbatasan dalam menulis dan membaca. Dapat digunakan untuk mengukur kemampuan dalam situasi nyata atau real life. Selain memiliki keunggulan, asesmen kinerja juga memiliki sejumlah keterbatasan sebagai sarana penilaian sebagai berikut. Memerlukan waktu dan usaha yang relatif besar untuk menerapkannya. JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
Lebih bersifat subjektif dengan tingkat realibilitas yang relatif rendah. Kegiatan asesmen lebih banyak bersifat individual dibandingkan kelompok. Asesmen kinerja merupakan cara yang sistematik yang dapat digunakan untuk melakukan asesmen terhadap hasil belajar yang tidak dapat diukur hanya melalui tes objektif. Walaupun tes objektif dapat digunakan untuk mengetahui hasil belajar, namun asesmen kinerja sangat bermanfaat untuk digunakan dalam mengetahui tingkat pencapaian sikap dan keterampilan siswa yang bersifat aktual. Asesmen kinerja juga dapat memberikan kontribusi untuk mengetahui secara langsung kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam situasi yang sesungguhnya. Dalam menerapkan asesmen kinerja hendaknya diperhatikan beberapa tahapan. Berikut langkahlangkah yang perlu diperhatikan untuk membuat asesmen kinerja yang baik antara lain: Identifikasi semua langkahlangkah penting yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir yang terbaik;
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Tuliskan perilaku kemampuankemampuan spesifik yang penting dan diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir yang terbaik; Usahakan untuk membuat kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur tidak terlalu banyak sehingga semua kriteria tersebut dapat diobservasi selama siswa melaksanakan tugas; Definisikan dengan jelas kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan kemampuan siswa yang harus dapat diamati (observable) atau karakteristik produk yang dihasilkan; Urutkan kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang dapat diamati; Kalau ada, periksa kembali dan bandingkan dengan kriteria kemampuan yang sudah dibuat sebelumnya oleh guru lain di lapangan. Dalam asesmen kinerja, ada dua hal penting yang harus dirumuskan oleh guru, yaitu kriteria dan rubrik. Kriteria adalah rumusan objektif yang meliput tujuan pembelajaran dan pencapaian kinerja yang diinginkan selama dan setelah proses pembelajaran ber-
191
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
langsung. Meskipun dalam asesmen otentik guru melakukannya secara holistik yang meliputi kompetensi utuh sehingga merefleksikan berbagai domain pembelajaran, tetap saja kriteria harus dibatasi agar guru tidak kesulitan dalam mengobservasi kinerja siswa. Disarankan cukup 4-5 kriteria dalam setiap topik pembelajaran.
Kriteria kinerja merupakan indikator dari unjuk kerja yang baik dan tepat dalam sebuah tugas, tentukan dahulu proses, produk atau keduanya karena ini menentukan kriteria yang dibuat. Berikut diberikan contoh perumusan kriteria dalam pembelajaran Penjasorkes dalam topik cara melakukan serve dalam permainan bulutangkis (badminton).
Tabel 1. Contoh Kriteria untuk Topik Serve Bulutangkis NO 1 2 3 4 5
KRITERIA Ketepatan penempatan diri di lapangan Cara berdiri (kaki dan badan) dalam posisi serve Cara memegang raket Cara memegang shuttlecock Cara memukul bola (shuttlecock)
Setelah dibuat kriteria seperti di atas, selanjutnya dibuat pensekoran dengan menggunakan rubrik. Rubrik adalah suatu pedoman pensekoran yang digunakan untuk menentukan tingkat kemahiran (proficiency) siswa dalam mengerjakan tugas. Rubrik juga digunakan untuk menilai pekerjaan siswa. Apabila dua orang guru atau lebih sedang menilai jenis pekerjaan yang sama, maka peng gunaan rubrik yang sama membantu mereka meman-
192
dang produk itu dengan cara yang sama. Guru dari tingkat kelas berbeda atau dari mata pelajaran berbeda dapat menggunakan rubrik yang sama. Hal ini akan menjaga kesinambungan pengajaran dan belajar dari tingkat ke tingkat dan dari mata pelajaran ke mata pelajaran. Ada dua cara menyusun rubrik, yakni rubrik dengan daftar cek (checklist), dan rubrik dengan skala pemeringkatan (rating scale). Berikut contohnya.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
Tabel 2. Contoh Rubrik dengan Daftar Cek (checklist) Serve Bulutangkis NO 1 2 3 4 5
TANDA CEK (√)
KRITERIA Berdiri di sebelah kanan garis tengah lapangan bagian depan Kaki dalam posisi seperti akan berjalan (tidak sejajar) dan badan membungkuk Gagang raket digenggam kuat tangan kanan, kiri jika kidal dalam posisi menyiku siap mengayun Ujung shuttlecock tidak digenggam melainkan tetapi dipegang dua jari Memukul bola (shuttlecock) dengan cara mengayun ke arah lawan TOTAL SKOR
Tabel 3. Contoh Rubrik dengan Skala Pemeringkatan (rating scale) Serve Bulutangkis SKOR NO
KRITERIA
1
Berdiri di sebelah kanan garis tengah lapangan bagian depan Kaki dalam posisi seperti akan berjalan (tidak sejajar) dan badan membungkuk Gagang raket digenggam kuat tangan kanan, kiri jika kidal dalam posisi menyiku siap mengayun Ujung shuttlecock tidak digenggam tetapi dipegang dua jari Memukul bola (shuttlecock) dengan cara mengayun ke arah lawan
2 3 4 5
1
2
3
4
TOTAL SKOR
Keterangan: Skor 4: Selalu melakukan sesuai kriteria, benar dan cepat Skor 3: Sering melakukan sesuai kriteria, benar namun lambat Skor 2: Kadang-kadang melakukan sesuai kriteria, belum benar, lambat Skor 1: Tidak melakukan, tidak benar, lambat
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
193
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
SIMPULAN DAN SARAN Kecerdasan kinestetik sebagaimana diteorikan Gardner pada prinsipnya berada pada semua domain pembelajaran, namun lebih dominan pada domain sikap dan keterampilan. Oleh karenanya penilaian konvensional dalam bentuk tes berbasis pensil dan kertas atau tes objektif dipandang belum memenuhi sasaran dan kurang adil. Berdasarkan uraian di muka, sangat tepat apabila kecerdasan kinestetik dinilai dengan asesmen otentik, terutama asesmen kinerja. Guru pengampu bidang studi Penjasorkes disarankan agar meng gunakan asesmen otentik kinerja agar memperoleh gambaran kemampuan siswa yang alamiah, nyata dan adil. DAFTAR RUJUKAN Abdullah, A. & Manadji, A. 1994. Dasar-Dasar Pendidikan Jasmani. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching , and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Abridged 194
Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Armstrong, T. 1994. Multiple Intelligences in the Classroom. Alexandria, VA.: Association for Supervision and Curriculum Development. Gardner, H. E. 2006. Multiple Intelligences: New Horizons in Theory and Practice. Cambridge: Basic Books. Goleman, D. 1996. Emotional Intelligence. New York: Bantams Books. Hart, D. 1994. Authentic Assessment: A Handbook for Educators. Menlo Park, CA.: Addison Wesley Publishing Company. Siedentop, D. 1991. Developing Teaching Skills in Physical Education. Mountain View California: May Field Publishing Company. Suparno, P. 2004. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara Menerapkan Teori Multiple Intelligences Howard Gardner. Yogyakarta: Kanisius. Waugh, C.K. & Gronlund, N.E. 2012. Assessment of Student Achievement. Tenth Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc. Zohar, D. & Marshall, I. 2000. SQSpiritual Intelligence: the Ultimate Intelligence. Bloomsbury, London: Notes Alison Morgan. JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 195-206
MENDEKATKAN SEKOLAH DENGAN MASYARAKAT Sumarni Kepala SD Negeri Jatipunggur 2, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract School education as a process is faced with various challenges. One of the challenges come from the community itself. Public as consumers of education does not regard the school as a beacon of hope for the future of their children, but at the same time making it an object of derision. Therefore, it is necessary to bring the school to the community as part of the educational management functions, namely the function of school-public relationship. This article offers three strategic idea of building public trust, creating ideal school, and build comparative advantage and collaborative. Primary school as an education organization need to take proactive measures are essential in order to keep the public interest from many participants. The end goal is to keep the interest of the public to remain high. In addition to maintaining the quality standards that have been achieved, the school must continue to build public trust, offering to the public an ideal school qualifications are characterized by education paradigm appropriate basis, the effectiveness of the implementation of education, and offers a comparative advantage or collaborative superiority. Keywords: School-public relationship, primary education
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 195
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
PENDAHULUAN Sedikitnya ada dua dimensi kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang kepala sekolah/madrasah sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah dalam konteks mendekatkan sekolah dengan masyarakat. Pertama, dimensi kompetensi manajerial (Dimensi Kompetensi 2), dengan standar kompetensi 2.8 yang berbunyi “Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/ madrasah.” Kedua, dimensi kompetensi sosial (Dimensi Kompetensi 5), yang meliputi standar kompetensi “Bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah (5.1); Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan (5.2); dan memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain (5.3). Menurut teori birokrasi Weber (Lunenburg & Orstein, 2004), dinyatakan bahwa kompetensi berkaitan dengan kualifikasi. Pada konteks kekepalasekolahan, kualifikasi sudah ditentukan oleh Per196
mendiknas No. 13 Tahun 2007 dimuka. Menurut Chung & Megginson (1993), sebagaimana dikutip Husaini Usman (2008), kompetensi adalah sifat, pengetahuan, dan kemampuan pribadi seseorang yang relevan dalam menjalankan tugasnya secara efektif. Lebih lanjut dikatakan bahwa kompetensi meliputi seluruh aspek penampilan kerja, dan tidak hanya terbatas pada keterampilan-keterampilan kerja, melainkan juga persyaratan melatih keterampilan-keterampilan tugas individual, mengelola sejumlah tugas yang berbeda di dalam pekerjaan, merespons ketidakteraturan dan mengatasinya dalam tugastugas rutin, serta mempertemukan tanggung jawab dengan harapanharapan di lingkungan kerja, termasuk bekerjasama dengan yang lain. Kompetensi terdiri atas kompetensi generik dan spesifik (Husaini Usman, 2008). Kompetensi generik ialah kompetensi yang bersifat umum yang harus dimiliki setiap pekerja. Sedangkan kompetensi spesifik ialah kompetensi khusus untuk mengerjakan pekerjaan khusus. Kompetensi kepala sekolah/ madrasah sebagaimana dikemukakan di muka adalah jenis kom-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
petensi khusus. Secara umum, kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilainilai dasar untuk melakukan sesuatu. Hal itu sejalan dengan pendapat Conny R. Semiawan (2006), yang mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan (ability), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) yang benar dan tuntas untuk menjalankan perannya secara lebih efisien. Pada konteks artikel ini dapat diketengahkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi ialah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang, yang mencakup: kepribadian, manajerial, entrepreneurship, supervisi, sosial, administrasi, dan teknis dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai kepala sekolah/ madrasah. Secara tersirat penguasaan kompetensi yang diwajibkan bagi kepala sekolah/madrasah seperti kerja sama, partisipasi, dan kepekaan sosial tersebut pada intinya
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
bertujuan untuk mendekatkan sekolah dengan masyarakat. “Mendekatkan sekolah dengan masyarakat” yang menjadi topik artikel ini dilandasi beberapa alasan. Pertama, sejak otonomi daerah diberlakukan tahun 2004, ketersediaan jumlah murid yang tidak sebanding dengan jumlah SD yang tersedia telah mengharuskan pemerintah daerah melaksanakan program penggabungan beberapa sekolah. Penggabungan tersebut dalam jangka pendek dianggap efektif guna mencapai efisiensi dan efektivitas sumber daya. Namun dalam jangka panjang, langkah itu kontraproduktif mengingat hilangnya eksistensi suatu sekolah. Ketika isu kualitas pendidikan menjadi unsur utama pertimbangan masyarakat dalam memilih sekolah pada satu sisi, sedangkan di sisi lain sekolah belum mengimbanginya, maka yang terjadi adalah minimnya basis informasi masyarakat tentang kondisi faktual suatu sekolah. Alhasil, pilihan masyarakat atas sekolah anak-anaknya menjadi bias karena tidak berbasis informasi yang benar. Kedua, terjadi kompetisi antarsesama sekolah negeri dan dengan sekolah swasta yang kurang sehat. Di tengah kompetisi yang ketat
197
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
dalam mendapatkan siswa baru, fakta yang terjadi ialah, ada sejumlah sekolah dasar yang kemudian mendapatkan animo besar, sementara diketahui ada sekolah dasar lain yang animonya kecil atau sedikit. Sekolah yang beranimo besar pada umumnya sekolah yang dianggap favorit menurut pandangan masyarakat meskipun belum tentu bermutu dan lokasinya jauh dari tempat tinggal siswa. Perihal perburuan sekolah setiap tahun ajaran baru, Mutrofin (2000), menyatakan bahwa sejauh yang dapat dikonfirmasi dari masyarakat, selama ini para orangtua calon siswa baru tidak mendapatkan informasi akurat guna menilai seberapa bermutu praktik profesional yang telah dijalankan sekolah. Pilihan sekolah semata-mata hanya didasarkan atas opini publik bahwa sekolah-sekolah tertentu sajalah yang dianggap baik dan bermutu. Cara atau strategi apa yang bisa dilakukan oleh sekolah agar daya tarik masyarakat terhadap sekolah yang bersangkutan menjadi besar? Artikel ini mengetengahkan gagasan perlunya mendekatkan sekolah dengan masyarakat. Pertanyaannya ialah bagaimana agar sekolah dekat dengan masyarakat? Artikel ini
198
menawarkan tiga gagasan strategis, yaitu membangun kepercayaan masyarakat, menciptakan sekolah ideal, dan membangun keunggulan komparatif dan kolaboratif. PEMBAHASAN Membangun Masyarakat
Kepercayaan
Mendekatkan sekolah dengan masyarakat merupakan bagian dari fungsi manajemen pendidikan, yakni fungsi hubungan sekolah dengan masyarakat (school- public relationship). Salah satu kunci paling mula dari upaya tersebut ialah membangun kepercayaan masyarakat. Menurut Robbins (2000), kepercayaan ialah harapan positif. Ada lima dimensi kunci yang diperlukan oleh kepala sekolah/madrasah agar kepercayaan diberikan/ dihadirkan oleh masyarakat terhadap sekolah sebagai suatu organisasi pendidikan, yaitu: (1) integritas (integrity), (2) kompetensi (competence), (3) konsistensi (concistency), (4) kesetiaan (loyalty), dan (5) keterbukaan (openness) atau transparansi. Integritas ialah sifat-sifat yang jujur dan bermoral. Kejujuran adalah unsur yang menentukan dalam peristiwa komunikasi. Kejujuran
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
tidak saja menjadikan proses komunikasi menjadi efektif, tetapi juga mampu menciptakan pemahaman yang baik di antara komunikan dan komunikator. Pesan yang dilandasi kejujuran mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi. Apalagi jika momentum komunikasi itu terjadi dalam dunia pendidikan. Nilai kejujuran mutlak dipenuhi. Pendidikan tidak hanya menciptakan tamatan yang pintar, tetapi juga harus jujur. Orang pintar belum tentu jujur, begitu pula sebaliknya orang jujur belum tentu pintar. Kejujuran mensyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak pernah dusta. Tetapi orang yang paling jujur sekalipun pasti pernah melakukan kebohongan, namun dilakukan dalam keadaan darurat dan untuk kebaikan. Sebagaimana pernah disinggung Filsuf perempuan, Sissela Bok, dalam bukunya Lying, menegaskan bahwa berbohong boleh dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan itu untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan finansial, maka perbuatan itu tidak dapat dibenarkan bahkan diharamkan hukumnya. Integritas moral bukan bermakna kehidupan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
pribadi telah berkesesuaian dengan persetujuan publik, tetapi juga telah terciptanya kesatuan antara hati nurani yang secara internal terdapat dalam diri manusia, perilaku eksternal dapat dilihat secara fisik dan kepatuhan kepada hukum moral. Secara normatif, setiap orang diajarkan oleh orang tua dan budayanya tentang kejujuran dan moralitas (Husaini Usman, 2008). Selain berintegritas, kompetensi sebagaimana dijelaskan di muka juga menjadi penentu kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Konsistensi ialah sifat kokoh atau teguh (persistent) pada pendirian, meskipun berbagai ancaman menghadang. Orang yang konsisten dapat diramalkan tingkah lakunya, tidak mudah berubah-ubah perilakunya (sikap, pikiran, dan perbuatannya), ucapan, dan janjinya dapat dipercaya, serta cocok antara kata dengan perbuatannya. Ketidakkonsistenan antara ucapan dan perbuatan, janji dan buktinya, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kepercayaan. Sedangkan kesetiaan ialah keinginan untuk selalu melindungi, menyelamatkan, mematuhi atau taat pada apa yang disuruh atau dimintanya, dan
199
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
penuh pengabdian. Orang yang setia tidak akan berkhianat, serong, atau berselingkuh dalam arti luas. Keterbukaan ialah keadaan di mana setiap orang yang terkait dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Keterbukaan sama dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Hal-hal yang dibuka misalnya adalah administrasi kedinasan, keuangan sekolah, manajemen sekolah, dan kebijakan sekolah. Pemimpin Unit Produksi Sekolah (UPS) yang terikat dengan warga sekolah, dalam mengembangkan UPS harus melakukan diskusi terbuka dalam memajukan UPS. Keterbukaan seorang entrepreneur dalam manajemen UPS dapat mengurangi, bahkan menghilangkan rasa saling curiga antara sekolah dengan para pemangku kepentingan. Sekolah yang dicurigai tidak jujur akan ditinggalkan para pemangku kepentingan. Keterbukaan merupakan awal dari kejujuran. Kejujuran terletak dalam hati nurani. Sekarang banyak orang pintar, tetapi sedikit orang yang jujur. Tugas kepala sekolah dan
200
guru adalah memberi contoh sebagai orang yang jujur kepada siswa-siswanya. Keterbukaan hanya akan efektif jika ada komunikasi yang efektif. Sekolah adalah organisasi pelayanan publik dalam bidang pendidikan yang diberi mandat oleh masyarakat sehingga keterbukaan merupakan hak publik. Pengembangan keterbukaan sangat diperlukan untuk membangun keyakinan dan kepercayaan publik terhadap sekolah. Ada banyak cara untuk meningkatkan keterbukaan, misalnya: (1) mendayagunakan berbagai jalur komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung; menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi, bentuk informasi dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik; (3) mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk memperoleh informasi (Husaini Usman, 2008). Menurut Reinhartz & Beach (2004), cara membangun kepercayaan masyarakat adalah menjadi pemimpin yang mampu menyesuaikan diri, teguh pendiriannya, peduli, dapat dipercaya (jujur), bersama-sama menciptakan visi dan budaya, bersama-sama mencipta-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
kan dan mencapai tujuan, menjadi pendengar yang baik, mendemonstrasikan keterampilan profesional; komitmen terhadap diri sendiri, kelompok, dan organisasi. Menciptakan Sekolah Ideal Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti (never ending process) sehingga konsep sekolah yang ideal terus menerus mengalami perkembangan. Konsep sekolah ideal dengan demikian sangat bergantung kepada pandangan dasar (paradigma) filsafat pendidikan yang sedang dikembangkan, baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (daerah dan sekolah). Misalnya, pada masa lalu dikenal paradigma fungsional dan paradigma sosialisasi; sedangkan dewasa ini dikenal paradigma sintetis-sistemik dalam dunia pendidikan (Zamroni, 1995). Paradigma fungsional berpandangan bahwa keterbelakangan dan kemiskinan suatu masyarakat dikarenakan negara miskin tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut paradigma fungsional, setiap sekolah
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
merupakan lembaga utama untuk mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian serta menanamkan sikap modern pada individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Paradigma fungsional selanjutnya melahirkan teori Human Investmen (investasi sumber daya manusia) yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan karena memiliki nilai kembalian ekonomi (economic rate of return) yang lebih besar dibandingkan dengan investasi di bidang fisik. Sedangkan paradigma sosialisasi berpandangan bahwa setiap sekolah dalam pembangunan memiliki peranan untuk: (a) mengembangkan kompetensi individu; (b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan; (c) secara umum, meningkatnya kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan kemudian diperluas secara besar-besaran (massal) dan menyeluruh.
201
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
Baik paradigma fungsional maupun sosialisasi memandang proses pendidikan di sekolah sebagai sesuatu yang linier dan mekanistis. Proses pendidikan dipandang sebagai fungsi produksi yang terdiri atas unsur-unsur masukan (input), proses (process), produk (product), lulusan (output) dan keluaran (outcome). Paradigma ini telah terbukti menjauhkan sekolah dari dunia kerja dan masyarakat lingkungannya. Banyak warga masyarakat yang relatif telah mengenyam pendidikan sekolah tidak bisa bertahan dari kesulitan hidup, dan jumlah angka pengangguran orang-orang berpendidikan karena tidak bisa mandiri dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakatnya bertambah besar. Dewasa ini pendidikan di Indonesia dikembangkan berdasarkan paradigma sintetis-sistemik. Paradigma ini berpandangan bahwa sekolah harus memiliki karakteristik ideal sebagai berikut: (1) pendidikan yang diselenggarakan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada pengajaran (teaching); (2) pendidikan diorganisasikan dalam suatu struktur yang fleksibel; (3) pendidikan akan memperlakukan peserta didik
202
sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; serta (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Menurut paradigma sintetis-sistemik, unsur-unsur masukan, proses, produk, lulusan dan keluaran tetap dipertahankan, namun diharuskan memiliki kaitan yang jelas dan terukur dengan dunia kerja dan masyarakat lingkungannya. Selama lebih dari satu dekade, kementerian pendidikan nasional telah meluncurkan berbagai kebijakan pendidikan guna merealisasikan paradigma tersebut yang antara lain: Manajamen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang embrio pelaksanaannya telah disosialisasikan sejak tahun 1999 (Umaedi, 1999; Depdiknas, 2000); Program Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education) melalui pendekatan Broad-Based Education (BBE-Pendidikan Berbasis Luas) (Tim BBE Depdiknas, 2002); Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK); Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); dan Kurikulum Tematik Terintegrasi Tahun 2013.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
Berdasarkan uraian di muka tampak jelas bagaimana sebenarnya konsep suatu sekolah yang ideal. Jadi, sekolah ideal yang selama ini sering disebut-sebut sebagai sekolah unggul dan bermutu karena mampu menghasilkan kualitas NUN (Nilai Ujian Nasional) yang tinggi menjadi tidak berarti apabila masih menghasilkan manusia-manusia yang cerdas namun tidak memiliki nilai guna, bahkan tercerabut dari akar masyarakatnya. Dengan kata lain, suatu sekolah bisa disebut ideal apabila, selain mampu menghasilkan para lulusan yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual; juga menghasilkan para lulusan yang bisa menjalani kehidupan nyata karena memiliki bekal keterampilan atau kecakapan hidup yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Namun harus disadari bahwa konsep sekolah ideal seperti itu terkesan idealis. Konsep tersebut hanya akan terlaksana apabila sekolah benar-benar dijalankan secara efektif. Menurut Mortimore sebagaimana dikutip Suyanto (1995), ada 12 faktor penting yang menjadi ciri suatu sekolah disebut efektif. Keduabelas ciri tersebut ialah: (1) kepemimpinan kepala sekolah
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
yang berorientasi pada tujuan pendidikan yang harus dicapai; (2) keterlibatan para wakil kepala sekolah secara fungsional; (3) keterlibatan praktisi pendidikan dalam setiap kegiatan sekolah; (4) konsistensi di antara para tenaga kependidikan; (5) adanya sesi pembelajaran yang terstruktur; (6) proses pembelajaran yang secara intelektual terus menerus menantang; (7) tersedianya lingkungan yang berorientasi pada kultur kerja; (8) adanya fokus yang terbatas pada sesi-sesi pembelajaran; (9) ada komunikasi optimal antara tenaga kependidikan dan peserta didik; (10) ada dokumentasi aktivitas sekolah yang baik; (11) ada keterlibatan orangtua peserta didik secara fungsional dan sistematis tanpa harus diorganisasikan; (12) terciptanya iklim sekolah yang kondusif dan positif. Menciptakan Keunggulan Komparatif-Kolaboratif Mendekatkan sekolah dengan masyarakat tidaklah cukup hanya berbekal kepercayaan dan penciptaan sekolah ideal. Selain sosialisasi informasi atas mutu sekolah yang ditandai oleh tingginya prestasi siswa dan prestasi sekolah di bidang
203
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
lainnya, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya ialah menciptakan keunggulan komparatif-kolaboratif. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan sekolah agar dekat dengan masyarakat adalah dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa sekolah memiliki keunggulan komparatif-kolaboratif. Keunggulan komparatif yang dimaksud dalam artikel ini ialah keunggulan sekolah dalam berbagai bidang, baik akademis maupun nonakademis dibandingkan dengan sekolahsekolah lain di wilayahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan kolaboratif adalah kemampuan sekolah guna menjalin kerja sama akademik dan nonakademik (misalnya ketenagakerjaan dan kegiatan lain) dengan organisasi di luar sekolah dan dunia kerja. Kerja sama di bidang akademis manakala lulusannya melanjutkan studi ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Kerjasama nonakademis manakala lulusannya tidak berkesempatan melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau ketika harus terjun langsung dalam kehidupan bermasyarakat dan dunia usaha. Keunggulan kolaboratif bisa dicapai sekolah melalui berbagai
204
cara. Salah satu di antaranya ialah melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan efektivitas pemanfaatan waktu kontak di sekolah. Di bidang kurikuler, rata-rata prestasi ujian sekolah diusahakan setinggi mungkin melalui berbagai kiat. Beberapa alternatif bisa ditempuh. Misalnya saja mengunakan kiat-kiat lembaga bimbingan belajar. Bisa juga melalui penambahan waktu belajar di luar jam sekolah selama masyarakat memperkenankannya. Di bidang kokurikuler, misalnya saja memperkuat bidang keolahragaan prestasi seperti atletik, bulutangkis, sepakbola dan sebagainya yang dipilih oleh sekolah secara komprehensif berdasarkan sumber daya manusia dan fasilitas yang ada. Agar keunggulan kolaboratif bisa dicapai, setiap sekolah harus memilih fokus keunggulannya dalam satu atau dua bidang saja yang berbeda dengan yang dikembangkan sekolah lainnya. Guna memberi bukti keung gulan kolaboratif, sekolah harus mengembangkan life skill education atau muatan vokasional dengan melibatkan berbagai pihak dan kalangan. Agar efektif, pendidikan kecakapan hidup mesti dilaksanakan seusai dengan minat
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
dan bakat para siswa. Sesuai buku panduan yang ditulis oleh Tim BBE, terdapat 21 tema yang berisi 246 keahlian yang bisa dipilih oleh sekolah sesuai dengan kemampuannya. Apakah sekolah memilih tema keahlian elektronika/listrik, otomotif, koperasi, bangunan, atau yang lain tidak menjadi soal. Dasar pertimbangannya ialah, selain koneksitas (keterkaitan dengan kebutuhan) dengan masyarakatnya terjamin; juga harus berprinsip berbeda tema dan keahlian dengan sekolah lain. SIMPULAN DAN SARAN Pendidikan sekolah sebagai suatu proses sedang berhadapan dengan berbagai tantangan. Salah satu tantangan datang dari masyarakat sendiri. Masyarakat selaku konsumen pendidikan tidak hanya memandang sekolah sebagai tumpuan harapan bagi masa depan anak-anaknya, namun sekaligus menjadikannya sebagai bahan cemoohan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendekatkan sekolah dengan masyarakat sebagai bagian dari fungsi manajemen pendidikan, yakni fungsi hubungan sekolah dengan masyarakat (schoolpublic relationship). Artikel ini meVolume 2, Nomor 1, Januari 2016
nawarkan tiga gagasan strategis, yaitu membangun kepercayaan masyarakat, menciptakan sekolah ideal, dan membangun keunggulan komparatif dan kolaboratif. Sekolah dasar sebagai organisasi pendidikan perlu menempuh langkah-langkah proaktif yang mendasar agar tetap diminati masyarakat luas dari berbagai kalangan. Tujuan akhirnya ialah menjaga animo masyarakat agar tetap tinggi. Selain mempertahankan baku mutu yang sudah dicapai, sekolah harus terus menerus membangun kepercayaan masyarakat, menawarkan kepada masyarakat suatu kualifikasi sekolah ideal yang ditandai oleh basis paradigma pendidikan yang tepat, efektivitas pelaksanaan pendidikannya, dan menawarkan keunggulan komparatif maupun keunggulan kolaboratifnya. DAFTAR RUJUKAN Conny R. Semiawan. 2006. Memantapkan Peran LPTK dalam Peningkatan Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Konsep dan Pelaksanaan. Edisi 2:
205
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
Revisi. Jakarta: Depdiknas. Husaini Usman. 2008. Manajemen: Teori, Praktik & Riset Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara Lunenburg, F.C. & Ornstein, A.C. 2004. Educational Administration: Concepts and Practice. Third Edition. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning. Mutrofin. 2000. Paradigma Baru Pengelolaan Sekolah. Makalah disampaikan dalam Seminar Regional tentang “Paradigma Baru dalam Pengelolaan Sekolah Menyongsong Otonomi Pendidikan.” Jember: FKIPUniversitas Jember dan Depdiknas Kabupaten Jember. Reinhartz, J. & Beach, D.M. 2004. Educational Leadership Chaning Schools, Chaning Roles. New York: Pearson.
206
Robbins, S.P. 2000. Organization Theor y Structure, Design and Application. London: PrenticeHall International, Inc. Suyanto. 1995. Efektivitas dan Kualitas Sekolah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP-Yogyakarta. Tim BBE. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) Melalui Pendekatan Broad-Based Education (BBE). Jakarta: Depdiknas. Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah Pendekatan Baru dalam Pengelolaan Sekolah untuk Peningkatan Mutu. Jakarta: Depdikbud. Zamroni. 1995. Paradigma Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Sistem Pendidikan Nasional. Educatio Indonesiae, III (1). Januari-Maret. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 207-216
MENJADI PENGAWAS SEKOLAH EFEKTIF Budi Sasmito Pengawas Sekolah (SMK) Dinas Pendidikan Kota Blitar, Jawa Timur
Abstract Based on the Regulation of the Minister of National Education of Indonesia on Standards for School or Madrasah Superintendent Number 12/2007, educational supervisor is a professional position that is intended to provide professional development. It is supporting the principals, teachers, and school institutions. Supervisor provides the supervision of academic, administrative and managerial to the education unit. Supervisor is must have the competencies of personality, managerial supervision, supervision of academic, evaluation of education, research and development and social competence. This article suggested, in order to be an effective school superintendent, the school superintendent must hold to the authority and at the same time have the required competence. The school superintendent should diligently examine what is the authority and always learn to master the various competencies required position; own creativity in building the elementary schools; mastering performance management professionals, and have the ability to develop instruments with good supervision. Except that he had to run a variety of supervisory principles that include: scientific, democratic, cooperative, constructive and creative. Keywords: Effective superintendent, vocational education
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 207
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
PENDAHULUAN Berdasarkan filsafat progresivisme sebagaimana dipopulerkan filosof pendidikan sekaligus seorang pedagog John Dewey, ditandaskan bahwa proses dan hasil pendidikan yang dilalui oleh manusia haruslah memberi manfaat bagi kehidupannya. Filosofi itu pula yang digunakan sebagai landasan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan sekolah. Salah satu pendidikan sekolah yang tinggi persentasenya dalam menerapkan filosofi tersebut adalah pendidikan kejuruan (vocational education). Di Indonesia, jalur pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bertanggungjawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, keterampilan dan keahlian, sehingga lulusannya dapat mengembangkan kinerja apabila terjun dalam dunia kerja. Pendidikan SMK itu sendiri bertujuan “meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian, serta menyiapkan siswa untuk memasuki 208
lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional.” Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan demikian memiliki tugas dan tanggung jawab menyiapkan lulusannya sebagai calon tenaga kerja yang profesional pada tingkat menengah. Oleh karena itu, SMK dituntut dapat mengembangkan mutu dan relevansinya. Salah satu langkah yang diambil Departemen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, terutama oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam rangka mengembangkan mutu dan relevansinya adalah mendorong semua SMK agar dapat berfungsi sebagai “Pusat Pengembangan Budaya Profesional.” Budaya profesional tersebut tidak muncul begitu saja tetapi perlu ditumbuh kembangkan. Perilaku-perilaku profesional di SMK tidak lepas dari faktor guru dan kepemimpinan sekolah. Guru merupakan komponen sekolah yang berhubungan langsung dengan siswa terutama melalui proses belajar mengajar (PBM). Dalam proses belajar mengajar guru berinteraksi dengan siswa. Sesuai dengan tugasnya, perilaku guru akan mempengaruhi perilaku
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
siswa. Guru cenderung menjadi contoh bagi siswanya. Dari hal-hal tersebut diatas patut diyakini bahwa guru mempunyai andil yang besar dalam menanamkan kebiasaan-kebiasaan kepada siswa. Mengembangkan budaya profesional di sekolah dapat dilakukan dengan: (1) menerapkan sistem penerimaan siswa baru yang ketat, (2) kegiatan orientasi sekolah pada siswa baru, (3) memberlakukan tata tertib sekolah dan tugas kompensasi, (4) melaksanakan sistem pembelajaran yang mantap, dan (5) melaksanakan pemasaran lulusan. Kebiasaan positif yang menjadi dasar budaya profesional dapat tumbuh dan berkembang di SMK bisa dimulai dengan proses internalisasi nilai-nilai luhur budaya profesional pada diri siswa maupun guru. Pada diri siswa proses internalisasi tersebut terjadi karena hal-hal sebagai berikut: (1) penanaman kesadaran tentang nilai-nilai budaya profesional oleh guru dan pimpinan sekolah, (2) faktor internal siswa (dorongan dari diri sendiri), dan (3) penyesuaian diri dengan lingkungan yang telah berbudaya profesional. Di luar itu, dewasa ini pendidikan kejuruan sebagai pranata Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
utama penyiapan SDM kejuruan, dihadapkan pada berbagai perubahan karakteristik dunia kerja yang begitu cepat dan beragam. Perubahan karakteristik dunia kerja tersebut tidak hanya menuntut angkatan kerja yang memiliki kemampuan dasar yang semakin kuat (Hard Competence), tetapi juga menuntut kemampuan mendemonstrasikan penguasaan kognitif yang lebih tinggi, disamping kemampuan memecahkan masalah dan keterampilan sosial untuk berinteraksi dan bekerjasama (Soft Competence). Dihadapkan pada persoalan perubahan karakteristik dunia kerja mendatang, maka diperlukan SDM yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, pemecahan masalah dan bekerja secara kolaboratif, tidak lagi kompetitif. Dalam kondisi dunia kerja yang penuh ketidakpastian, kemampuan seseorang untuk mengkonstruksi dan mengadaptasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki dan konteks yang dihadapi menjadi amat vital. Sumber daya manusia yang mampu berperan sebagai faktor keunggulan kompetitif adalah yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki
209
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
keterampilan yang ting gi, berperilaku profesional dan dapat mengembangkan diri. Pendidikan Menengah Kejuruan sebagai sub sistem dari pendidikan nasional berperan penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas profesional. Alhasil, apapun jenis keahlian pendidikan yang dikembangkan di SMK haruslah bermuara pada terciptanya lulusan yang memiliki kemampuan, keterampilan serta ahli di dalam bidang ilmu tertentu. Selanjutnya mampu dan terampil mengaplikasikannya dalam dunia kerja. Konten itulah yang membedakan SMK dengan SMA. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi berkembangnya budaya profesional di SMK dan pencapaian tujuan SMK. Faktorfaktor yang berkaitan dengan jalannya proses pembelajaran di SMK sangat mempengaruhi pengembangan budaya profesional tersebut. Faktor kepala sekolah, guru, karyawan, kepemimpinan, administrasi dan pengawas sekolah diduga mempengaruhi berkembangnya budaya profesional di SMK. Sebagai suatu contoh soal pengaruh pengawas sekolah, hasil penelitian Matondang & Syahrul 210
(2012), menunjukkan bahwa “efektivitas pengawasan mempunyai hubungan yang positif dan berarti dengan kinerja guru.” Hal itu berarti semakin tinggi (baik) efektivitas pengawasan maka semakin baik kinerja guru. Selain itu, “efektivitas pengawasan dan sikap inovasi secara bersama-sama mempunyai hubungan yang positif dan berarti dengan kinerja guru.” Artinya, efektivitas pengawasan dan sikap inovasi guru secara bersama-sama mempunyai hubungan (kontribusi) yang lebih besar dalam menjelaskan kinerja guru, dibandingkan sendiri-sendiri. Besarnya sumbangan relatif efektivitas pengawasan terhadap kinerja guru adalah sebesar 27,51%. Besarnya sumbangan efektif dari efektivitas pengawasan terhadap kinerja guru adalah sebesar 12,75%. Jika memang terbukti bahwa pengawasan dapat mempengaruhi kinerja SMK, maka pertanyaannya ialah pengawasan yang bagaimana dan sosok pengawas seperti apakah yang diperlukan agar efektif ? Artikel berikut ini mencoba menggagas bagaimana menjadi pengawas sekolah yang efektif.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
PEMBAHASAN Otoritas dan Kompetensi Secara sederhana, otoritas pengawas sekolah adalah melaksanakan supervisi dengan pengamatan terhadap pegawai dan kegiatan pendidikan, serta memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik, aman dan sempurna. Hawkins & Shohet (2006: 225), mengatakan bahwa “Supervision is a quintessential interpersonal interaction with the general goal that one person, the supervisor, meets with another, the supervisee, in an effort to make the latter more effective in helping people.” Kegiatan inti dari pengawasan adalah pertemuan antara pengawas dengan orang yang diawasi untuk mengusahakan tercapainya tujuan dalam bimbingan profesional. Pengawasan dapat dipahami sebagai upaya yang diberikan kepada guru dalam forum pengaturan kolegial, kolaboratif, dan profesional, sebagai bantuan khusus dalam meningkatkan pengajaran dan berikutnya meningkatkan prestasi siswa. Berdasarkan pandangan tersebut dapat dimengerti bahwa pengawasan sekolah dan atau pendidikan adalah bimbingan profesional bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya seperti kepala sekolah. Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Bimbingan profesional memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang secara profesional. Guru akan maju dalam pekerjaan mereka, yaitu untuk memperbaiki dan meningkatkan belajar siswa. Pengawas pendidikan bagi sekolah juga memiliki otoritas yang harus dijalankan. Pedersen (2007: 4), mengatakan bahwa pengawas sekolah memainkan otoritas sebagai: (1) penasihat, berpartisipasi dengan guru dalam eksplorasidiri; penetapan batas-batas, menyadari nilai-nilai dan kemungkinan bias, dan menghadapi berbagai emosi yang pasti terjadi; (2) guru, menanamkan pengetahuan baru; pemurnian keterampilan sebagaimana yang diminta oleh guru atau sebagai kesempatan panggilan untuk bertanya tentang orientasi teoritis kognitif guru; menunjukkan dengan contoh sebagai model peran; memastikan guru memiliki berbagai pengalaman, dan mengamati serta memberikan umpan balik pada kinerja; (3) konsultan, dapat mengadakan pertemuan mingguan dengan guru; menanggapi permintaan guru khusus untuk sebuah konferensi atau konseling tertentu, atau pendekatan/teknik yang dapat dimanfaatkan guru;
211
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
menekankan komitmen profesional dan perbaikan. Itulah sebabnya mengapa semangat yang tersurat dalam Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, mensyaratkan kualifikasi pengawas sebagai guru atau mantan guru atau kepala sekolah yang diberi tugas khusus. Pengawas sekolah telah mengetahui dan memahami bagaimana mengajar dan bagaimana memimpin di sekolah. Sebagai guru, konselor, dan konsultan, pengawas harus memiliki empati untuk mengembangkan kemampuan guru. Pada posisi dengan otoritas seperti itu, maka ada kewajiban yang melekat pada pengawas sekolah, yakni melaksanakan tugas: (1) Menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan, melaksanakan evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan membimbing dan melatih profesional guru; (2) Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (3) Menjunjung ting gi peraturan perundangundangan, hukum, nilai agama, dan
212
etika; (4) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa (Darianta, 2012). Pengawas sekolah atau madrasah dengan demikian memiliki otoritas memilih dan menentukan metode kerja; menilai kinerja guru dan kepala sekolah; menentukan dan/atau mengusulkan program pembinaan; dan melakukan pembinaan (Fathurrohman & Ruhyanani, 2015). UNESCO-International Institute for Educational Planning (2007: 7), mengatakan bahwa pada umumnya, pengawasan staf diharapkan untuk memainkan tiga peran berbeda namun saling melengkapi, yang jelas dalam deskripsi pekerjaan. Pengawas bertugas mengontrol dan mengevaluasi, memberikan dukungan dan saran, dan bertindak sebagai agen penghubung. Masing-masing peran memiliki dua bidang aplikasi yang tidak selalu mudah untuk dipisahkan, yaitu pedagogis dan administratif. Selain itu, supervisor bisa fokus baik pada masing-masing guru atau di sekolah secara keseluruhan dan mereka juga dapat memainkan peran penting dalam pemantauan sistem secara keseluruhan (Gambar 1).
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
Gambar 1: Domain Supervisi Pendidikan (Sumber: UNESCOInternational Institute for Educational Planning, 2007) Selain otoritas sebagai konsekuensi dari kualifikasinya, pengawas sekolah juga diwajibkan menguasai kompetensi yang dipersyaratkan. Kompetensi merupakan “the requisite knowledge and ability” (Alfonso, Firth, & Neville, 1981). Seperti halnya potensi kecerdasan, kompetensi pada prinsipnya dapat dipelajari, dideskripsikan, dan keberadaannya bervariasi. Kompetensi ini diperlukan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas-tugas atau otoritasnya, baik sebagai penasihat, guru, konsultan maupun sebagai evaluator.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Meminjam gagasan Alfonso, Firth, & Neville (1981), berangkat dari konsep kompetensi administrator yang efektif sebagaimana dikemukakan Katz & Mann, sekurangnya ada tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh pengawas sekolah. Pertama, kompetensi teknis (technical competence). Kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan khusus yang diperlukan untuk memerankan fungsi-fungsi pokok atau tugas-tugas yang berkenaan dengan posisi supervisor. Bobot kompetensi ini sekitar 50%. Kedua, kompetensi hubungan kemanusiaan (human relation competence).
213
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
Kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan pengawas sekolah bekerja sama dengan orang lain dan memotivasi mereka agar bersungguh-sungguh dalam bekerja. Bobotnya sekitar 30%. Ketiga, kompetensi manajerial (managerial competence), yakni kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan membuat keputusan dan melihat hubungan-hubungan penting dalam mencapai tujuan. Bobot kompetensi ini sekitar 20%. Di Indonesia, berdasarkan Lampiran Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, kompetensi tersebut diperluas. Pengawas sekokah harus memenuhi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, serta kompetensi sosial. Sosok Pengawas Efektif Sejauh penelusuran literatur tentang kepengawasan, pada dasarnya tidak ada tip dan strategi yang jitu bagaimana menjadi pengawas sekolah yang efektif. Perbedaan budaya, pola pikir, dan kebiasaan yang berbeda antar-
214
bangsa adalah penyebab utamanya. Akan tetapi dari segi akademik terdapat kaidah-kaidah universal yang bisa menjembatani segala perbedaan tersebut. Berdasarkan uraian tentang otoritas dan kompetensi dimuka, maka hal paling mula yang menjadikan seorang pengawas efektif adalah berpegang teguh pada otoritas dan sekaligus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Pengawas sekolah hendaknya rajin mencermati apa yang menjadi otoritasnya dan selalu belajar menguasai berbagai kompetensi yang dipersyaratkan jabatannya. Fathurrohman & Ruhyanani (2015), merevitalisasi tiga kunci agar pengawas sekolah sukses dan efektif. Ketiganya ialah, memiliki kreativitas dalam membangun sekolah binaannya, menguasai manajemen kinerja profesional, dan memiliki kemampuan untuk menyusun instrumen supervisi dengan baik. Kelihatannya tip dan strategi tersebut sederhana, namun pada kenyataannya diperlukan usaha keras yang kontinyu dan sungguh-sungguh dari pengawas sekolah agar apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya bisa efektif.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
Di luar itu, sosok pengawas sekolah efektif haruslah mampu menjalankan berbagai prinsip kepengawasan. Ada beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam melaksanakan pengawasan. Prinsipprinsip tersebut ialah ilmiah, demokratis, kooperatif, konstruktif dan kreatif. Ilmiah berarti bekerja secara sistematis, objektif dan menggunakan ragam instrumen supervisi. Sistematis berarti mengimplementasikan secara teratur, perencanaan, dan bekerja secara berkelanjutan. Objektif berarti bahwa data yang diperoleh berdasarkan pengamatan nyata. Kegiatan perbaikan atau pengembangan berdasarkan hasil dari kebutuhan guru atau kelemahan guru, bukan berdasarkan interpretasi pribadi. Penggunaan instrumen dapat memberikan informasi sebagai umpan balik untuk melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran. Demokratis berarti menjunjung tinggi prinsip musyawarah, memiliki keramahan yang kuat dan mampu menerima pendapat orang lain. Kooperatif berarti semua staf berpartisipasi dalam pengumpulan data, analisis data dan pengembangan proses belajar mengajar. Konstruktif dan kreatif berarti selalu menimbulkan dan Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
membantu inisiatif guru. Pengawas sekolah harus mendorong guru untuk aktif menciptakan suasana di mana setiap orang merasa aman dan bebas untuk mengembangkan potensinya. Di luar ketiga kunci efektivitas tersebut, setiap pengawas sekolah hendaknya tidak alergi terhadap berbagai macam perubahan, tidak bekerja seperti robot yang hanya menjalankan apa yang dikehendaki pemerintah. Intinya, pengawas sekolah harus mengubah pola pikir (mind-set) dari pola pikir yang statik menjadi dinamik (terus berubah), dari berkompetisi menjadi berkolaborasi, dari instruksi ke negosiasi, dari mengendalikan ke membantu, dan dari mekanistis menjadi klinis. SIMPULAN DAN SARAN Pengawas sekolah adalah jabatan profesional yang dimaksudkan untuk memberikan pembinaan profesional terhadap kepala sekolah, guru, dan lembaga sekolah. Pengawas sekolah melaksanakanb supervisi akademik, administrasi dan manajerial terhadap satuan pendidikan. Pengawas harus memenuhi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kom215
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
petensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, serta kompetensi sosial. Agar dapat menjadi pengawas sekolah yang efektif, maka pengawas sekolah harus berpegang teguh pada otoritas dan sekaligus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Pengawas sekolah hendaknya rajin mencermati apa yang menjadi otoritasnya dan selalu belajar menguasai berbagai kompetensi yang dipersyaratkan jabatannya; memiliki kreativitas dalam membangun sekolah binaannya; menguasai manajemen kinerja profesional, dan memiliki kemampuan untuk menyusun instrumen supervisi dengan baik. Kecuali itu ia harus menjalankan berbagai prinsip kepengawasan yang meliputi: ilmiah, demokratis, kooperatif, konstruktif dan kreatif.
216
DAFTAR RUJUKAN Alfonso, R.J., Firth, G.R. & Neville, R.F. 1981. Instructional Supervision: A Behavioral System. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Darianta, N. 2012. Pengawas Sekolah sebagai Karier. Dalam Eko Supriyanto, dkk. Supervision: Bunga Rampai Supervisi Pendidikan, From Control to Help. Yogyakarta: Fairus Media. Fathurrohman, M. & Ruhyanani, H. 2015. Sukses Menjadi Pengawas Sekolah Ideal. Yogyakarta: ARRUZZ MEDIA. Hawkins, P. & Shohet, R. 2006. Supervision in the Helping Professions. Berkshire: Open University Press McGraw-Hill Education. IIEF-UNESCO. 2007. Role and Functions of Supervisors. Paris: IIEF-UNESCO. Matondang, Z. & Syahrul. 2012. Hubungan Efektifitas Pengawasan dan Sikap Inovasi dengan Kinerja Guru SMP Sub Rayon 2 Kota Medan. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED, 9 (1): 97-110. Pedersen, L. 2007. School Supervisor’s Manual for Internship: School Counseling Program: SCED 516. Portland: Lewis & Clark College.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 217-225
MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU BERKELANJUTAN DI SEKOLAH DASAR BERBASIS PENDEKATAN MERITOKRASI Endang Padmi Heruningsih Kepala SD Negeri Kedungmlaten, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur Abstract Building a sustainable teachers professionalism is the duty and responsibility of the leadership in stages, starting from the principal, the head of education, up to the head region. In this context should not be made based on the likes and dislikes; by corruption, collusion and nepotism; and should not happen forgery file. This article suggests how to build sustainable professionalism of teachers through merit system is seen as more equitable, weighted, and elegant as basing decisions professionalism of performance-based development. Keywords: Teachers professionalism, merit system
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 217
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
PENDAHULUAN Sejak Undang-undang (UU) RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 74/2008 tentang Guru diundangkan, banyak sejawat guru sekolah dasar (SD) yang melanjutkan studi, baik ke jenjang S1, S2, bahkan S3. Kedua regulasi tersebut dipandang memberi angin segar bagi guru yang berkualifikasi sesuai yang dipersyaratkan untuk kepentingan membangun profesionalisme mereka. Lebih-lebih kemudian pemerintah memberlakukan wajib sertifikasi bagi guru jika ingin memenuhi syarat Undang-undang sebagai guru yang profesional. Profesi, tidak terkecuali profesi guru, kata Pribadi sebagaimana dikutip Oemar Hamalik (1991), pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. Hal itu berarti seorang pekerja profesional berjanji untuk menunaikan tugas secara sungguhsungguh berdasarkan etika yang terkandung dalam suatu profesi. Janji yang bersifat etis demikian 218
mengandung sanksi-sanksi tertentu apabila dilanggar oleh pemangku jabatan profesional, yang bisa berupa sanksi hukum, sanksi sosial, maupun sanksi moral keagamaan. Pekerjaan yang dilakukan pekerja profesional tidak semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi lebih dimaksudkan untuk menunaikan tugas-tugas dan pengabdian masyarakat. Menurut Parkay & Stanford (1992), orang-orang profesional memiliki derajat yang tinggi atas pengetahuan teoretik spesifik, metode dan teknik yang diterapkannya dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Kaum profesional terpadu dalam solidaritas kelompok yang ting gi, yang berasal dari pendidikan, pelatihan dan ketaatan pada doktrin-doktrin dan metodemetode yang didalaminya. Masih menurut Parkay & Stanford (1992), karakteristik suatu profesi antara lain mampu menjalankan pekerjaan dengan derajat otonomi yang tinggi, menempuh suatu pendidikan dan pelatihan dengan periode yang panjang sebelum mereka memasuki praktik profesional, memberikan jasa yang spesial bagi kliennya dan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang umumnya tidak dimiliki
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
oleh mereka yang bukan profesional. Jadi, berdasarkan pengertian dan karakteristik yang terkandung dalam suatu profesi, maka orangorang yang tergolong profesional adalah mereka yang memiliki keahlian spesifik tinggi dengan penguasaan teoretik dan metode atau prosedur kerja tertentu yang digunakannya dalam memberikan pelayanan atau pekerjaan seharihari. Profesi guru termasuk kategori profesional. Sebab tugas dan kewajiban guru tidak dapat dilakukan oleh sembarang pekerja. Profesionalisme guru hanya bisa dicapai melalui suatu proses pendidikan yang terprogram secara khusus dan membutuhkan waktu relatif lama, termasuk di dalamnya adalah pelatihan atau praktek mengajar di sekolah. Menurut Parkay & Stanford (1992), ada lima basis pengetahuan profesionalisme guru, yaitu pengetahuan tentang diri dan siswa, pengetahuan tentang bahan ajar, pengetahuan tentang teori dan penelitian pendidikan, keterampilan teknologi pembelajaran, dan kemampuan komunikasi antarpribadi. Kelima basis pengetahuan tersebut tentu saja sudah termaktub dalam
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
berbagai jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh profesi guru sebagaimana diatur Undangundang, mulai dari kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Salah satu kebijakan yang diintroduksikan oleh pemerintah adalah pembangunan dan pengembangan profesionalisme guru dilakukan secara berkelanjutan. Akan tetapi dalam praktiknya banyak keluhan datang dari para guru, terutama dari teman sejawat guru SD karena sebagian besar mentok karirnya. Meskipun hal itu membutuhkan penelitian yang lebih mendalam, sudah pada tempatnya jika diusulkan agar praktik membangun profesionalisme yang selama ini masih merugikan guru dihentikan. Membangun profesionalisme guru tidak boleh berdasarkan kedekatan semata dengan pimpinan atau kepala daerah, karena faktor suka atau tidak suka, lebih-lebih jika diharuskan berbekal gratifikasi atau korupsi (suap menyuap). Di sisi lain guru juga tidak boleh memalsukan berbagai persyaratan kenaikan pangkat dan jabatan atau membeli dengan cara instan.
219
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
Artikel ini mendeskripsikan perlunya membangun profesionalisme guru berkelanjutan dengan sistem meritokrasi. Sistem yang dipandang lebih adil, berbobot dan elegan demi kemajuan karir guru profesional yang bermutu. PEMBAHASAN Profesionalisme Guru Sebagaimana ditulis Moh. Uzer Usman (1991) dalam Sudarwan Danim (2010), guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Berdasarkan pandangan tersebut seharusnya setiap penyelenggara dan pengelola satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta tidak boleh mengangkat sembarang orang menjadi guru, dengan alasan otonomi daerah sekali pun. Jika kemudahan mengangkat sembarang orang menjadi guru terus dilakukan, maka dampaknya akan luar biasa. Selain menumpulkan kembali profesionalisme profesi guru, juga akan menyebabkan runtuhnya profesionalitas profesi (deskilled profession) yang berakhir pada tidak 220
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sehubungan dengan profesionalisme profesi guru, unsur terpenting yang relevan dipenuhi sebagai persyaratan umum untuk menjadi guru minimal ada tiga hal, yaitu, kualifikasi akademik; penguasaan sejumlah kompetensi sebagai keterampilan atau keahlian khusus yang diperlukan untuk melaksanakan tugas mendidik dan mengajar secara efektif dan efisien; serta sertifikasi bagi para guru yang dipandang memenuhi kedua syarat sebelumnya; dan tentu saja harus sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Oding Supriadi, 2011). Pembangunan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karir. Pembangunan dan pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pembangunan dan pengembangan profesi guru dilakukan melalui jabatan fungsional. Pembangunan dan pengembangan karir guru meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi. Pembangunan keprofesi-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
an berkelanjutan adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan dan dapat meningkatkan profesionalismenya. Pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan sudah diatur oleh Keputusan Presiden No. 87/ 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS); Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No. 74/2008 tentang Guru; Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16/ 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya; dan Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN No: 03/V/PB/2010, Nomor: 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Seorang kepala sekolah, Kepala Dinas, dan pimpinan daerah berbagi tanggung jawab dalam membangun profesiolisme guru berkelanjutan. Oleh karena itu ketiga pemimpin tersebut wajib memahami semua regulasi yang bertalitemali dengan pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan sehingga terhindar dari berbagai
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
praktik yang merugikan karir profesional guru. Pendekatan Meritokrasi Istilah meritokrasi secara umum berasal dari kata merit atau manfaat. Meritokrasi sebenarnya menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu. Meritokrasi kerap kali dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin, tetapi tetap dikritik sebagai bentuk ketidakadilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil memimpin. Atau jika dalam dunia kerja arti dari meritokrasi adalah sebuah penghargaan atau imbalan (reward), atau bayaran/gaji (sallary) yang diberikan kepada pekerja/karyawan disesuaikan dengan keahliannya/ jabatannya atau prestasinya. Dalam pengertian khusus meritokrasi kerap dipakai guna menentang birokrasi yang sarat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) terutama
221
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
pada aspek nepotisme. Dalam keadaan meritokrasi yang murni, gen akan menentukan siapa yang menang dan kalah. Dari kosa kata meritrokasi lahirlah apa yang disebut sebagai sistem merit. Istilah sistem merit (merit system) sendiri dalam konteks manajemen sumber daya manusia (SDM) selama ini telah diartikan secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi sebuah organisasi bisnis, termasuk di Indonesia, sistem merit digunakan khususnya dalam konteks manajemen remunerasi (penggajian/pengupahan) (Agus Darminto Usodo, 2006). Bagi organisasi pemerintah, sistem merit diartikan sebagai kebijakan dan sistem dimana kenaikan gaji dan imbalan (rewards) sepenuhnya didasarkan pada tingkat prestasi kerja (kinerja) pegawai (Achmad S. Ruky, 2002). Sistem meritokrasi mengandaikan, siapa saja personal yang berprestasi akan naik karirnya dan siapa saja personal yang tidak berprestasi akan mandek atau turun karirnya. Pengelolaan SDM yang didasarkan pada prestasi (merit), merupakan segenap perilaku kerja pegawai dalam wujudnya sebagai baik atau buruk, hal mana berpengaruh langsung pada naik
222
turunnya karir jabatan pegawai (Hartanto Brotoharsojo, 2004). Oleh karena itu, dalam sistem merit perlu dilakukan perumusan kebijakan, seperti penilaian (menghasilkan penilaian yang optimal dan objektif), karir (memberikan kejelasan dan kepastian arah jenjang karir atau promosi, rotasi atau demosi), dan pelatihan (training) yang meningkatkan secara optimal aspek pengetahuan dan keterampilan serta sikap kerja. Artinya, dalam sistemn merit, siapa saja personal yang berprestasi akan naik karirnya dan siapa saja personal yang tidak berpertasi akan mandek, stagnan, bahkan turun karirnya Sistem merit atau meritokrasi pada prinsipnya merupakan aplikasi dari manajemen kinerja. Menurut Setyo Arinanto (2004), kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan (program) atau kebijakan organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi, keluaran hasil kerja organisasi dalam mewujudkan tujuan strategis yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan, serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Kinerja dapat dinilai dengan ukuran penilaian yang
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
didasarkan pada indikator berikut: 1. Masukan (input), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program dan atau kegiatan. 2. Keluaran (output), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. 3. Hasil (outcome), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan. 4. Manfaat (benefit), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat dan pemerintah daerah dari hasil. 5. Dampak (impact), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat. Manajemen dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem yang
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau produk dari perencanaan alokasi biaya atau masukan yang ditetapkan. Manajemen yang disusun dengan pendekatan kinerja dengan demikian dapat dijelaskan sebagai berikut: “Suatu sistem yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan. Keluaran (output) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan. Masukan (input) adalah besarnya sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan. Kinerja ditunjukkan oleh hubungan antara masukan dengan keluaran.” Pertanyaannya ialah, apakah pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan di sekolah dasar sudah berdasarkan meritrokasi? Diperlukan penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebab seperti diketahui, kewenangan pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan di sekolah dasar (SD) merupakan
223
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
otonomi daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian pelaksanaannya pun sangat tergantung pimpinan, yakni Bupati/Wali Kota tempat di mana guru bertugas.
kasus gugatan atas mutasi guru tanpa dasar yang dimenangkan oleh para guru di daerah merupakan bukti bahwa sistem merit belum berjalan sempurna.
Sebagai public servant, guru tidak dibiarkan melaksanakan profesinya sekehendak hati. Setiap pekerja profesional, termasuk guru memerlukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir kepangkatan dan jabatannya. Guru dalam lingkungan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, maupun oleh pemerintah daerah dan swasta memiliki kewajiban yang sama untuk tunduk kepada aturan main yang diberlakukan untuk penilaian kinerja dimaksud. Penilaian kinerja untuk guru mengacu kepada ketentuan tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
Artinya, Keputusan Presiden No. 87/1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS); Undang-undang (UU) No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; PP No. 74/2008 tentang Guru; Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16/ 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya; dan Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN No: 03/V/PB/2010, Nomor: 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, belum berjalan secara sempurna.
Adalah benar bahwa hasil pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan pada akhirnya ditentukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan di Kemdiknas, Jakarta. Akan tetapi sudah jamak terjadi bahwa prosesnya di daerah belum sepenuhnya memenuhi standar meritokrasi. Sejumlah
224
SIMPULAN DAN SARAN Membangun profesionalisme guru berkelanjutan merupakan kewajiban dan tanggung jawab pimpinan secara bertingkat, mulai dari kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, hingga kepala daerah. Pada konteks tersebut tidak boleh dilakukan berdasarkan rasa suka atau tidak suka; berdasarkan JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
korupsi, kolusi dan nepotisme; dan tidak boleh terjadi pemalsuan berkas. Artikel ini menyarankan bagaimana membangun profesionalisme guru berkelanjutan melalui sistem merit yang dipandang lebih adil, berbobot, dan elegan karena mendasarkan keputusan pembangunan profesionalisme berdasarkan prestasi kerja. DAFTAR RUJUKAN Achmad S. Ruky. 2002. Manajemen Penggajian dan Pengupahan untuk Karyawan Perusahaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Agus Darminto Usodo. 2006. Sistem Merit: Teori, Aplikasi dan Kasus. Bandung: CV. Mandar Maju. Arief Yantinarto. 2005. Sistem Penilaian Kinerja: Manajemen Unjuk Kerja. Bandung: Penerbit Ganesha.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Hartanto Brotoharsojo. 2004. Merit System bagi Organisasi Publik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Setyo Arinanto. 2004. Manajemen Berbasis Kinerja: Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar Maju. Sudarwan Danim. 2010. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung: Penerbit ALFABETA. Oding Supriadi. 2011. Profesi kependidikan. Yog yakarta: LakBang PRESSindo. Oemar Hamalik. 1991. Pendidikan Guru: Konsep dan Strategi. Bandung: CV. Mandar Maju. Parkay, F.W. & Stanford, B.H. 1992. Becoming Teacher: Accepting the Challenge of a Profession. Boston: Allyn and Bacon.
225
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 227-239
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU IPS SMP DALAM MENGAPLIKASIKAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH MELALUI LESSON STUDY Dyah Ayundawati Pengawas SMP Kabupaten Blitar, Jawa Timur
Abstract In problem-based learning (PBL) courses, students work with classmates to solve complex and authentic problems that help develop content knowledge as well as problem-solving, reasoning, communication, and self-assessment skills. These problems also help to maintain student interest in course material because students realize that they are learning the skills needed to be successful in the field. Therefore social science teachers must master the ability to implement the learning strategy. Lesson Study is a Japanese model of teacher professional development in which small groups of teachers collaboratively plan, teach and revise a lesson to improve the quality of their teaching as well as to enrich students’ learning experiences. The objective of this action research is to improve the ability of social studies teachers at junior high school to practice or implementation of problem-based learning or instruction through lesson study. The result of this research shows that the social studies learning with problem based learning model through lesson study activity can help teachers to develop sets of learning equipment and give the better learning. It can be shown in the increasing observation result on pretest and performance test in before and after action research. Keywords: Problem-based learning, lesson study, social studies, junior high school teachers
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 227
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Lesson Study
PENDAHULUAN Tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus dalam setiap strategi pembelajaran apa pun cenderung mirip dan mungkin bisa sama, namun dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) merupakan translasi dari ProblemBased Instruction/Learning isi dan struktur program berbeda. PBM dimulai dengan asumsi bahwa belajar dan pembelajaran adalah proses aktif, terpadu, dan konstruktif yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan kontekstual (Barrows, 1996; Gijselaers, 1996). Berdasarkan kajian tentang literatur, Wilkerson & Gijselaers (1996: 101102), menyatakan bahwa PBM ditandai dengan pendekatan yang berpusat pada siswa, guru sebagai “fasilitator, bukan penyebar ilmu pengetahuan” dan membuka masalah yang “berfungsi sebagai stimulus awal dan kerangka kerja untuk belajar.” Pengajar juga berharap untuk mengembangkan kepentingan intrinsik siswa dalam materi pelajaran, menekankan belajar sebagai lawan mengingat, mempromosikan tugas kelompok, dan membantu siswa menjadi pembelajar mandiri. PBM “berpusat pada siswa” karena siswa diberi kebebasan untuk 228
mempelajari topik-topik yang menarik bagi mereka dan menentukan yang paling ingin mereka pelajari. Melalui PBM siswa berkewajiban mengidentifikasi kebutuhan belajar, rencana bantuan untuk kelas mereka, memimpin diskusi kelas, dan menilai pekerjaan mereka sendiri dan pekerjaan teman sekelas mereka (Gallagher, 1997). Siswa mengembangkan kesadaran yang lebih mendalam dan kepemilikan konsep penting dalam pelajaran dengan kegiatan bekerja, serta mengenali prinsip dasar pendekatan konstruktivis dalam belajar. Selain menekankan belajar dengan “melakukan,” PBM menuntut siswa untuk menyadari pembentukan metakognitif (Gijselaers, 1996). Artinya, siswa harus belajar untuk menjadi sadar akan apa informasi yang mereka sudah ketahui tentang suatu masalah, apa informasi yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah, strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan dapat mengartikulasikan pikiran seperti membantu siswa menjadi lebih efektif memecahkan masalah secara mandiri. PBM adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengem-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
bangkan keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturandiri (Hmelo-Silver, 2004). Pembelajaran dengan PBM memiliki tiga karakteristik: (1) pelajaran berfokus pada memecahkan masalah. Pelajaran selalu berawal dari satu masalah dan memecahkannya adalah fokus pelajarannya sehingga memecahkan masalah adalah tujuan dari masing-masing pelajaran; (2) tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa. Siswa bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah, biasanya dilakukan secara berkelompok, yang cukup kecil (tidak lebih dari empat) sehingga semua siswa terlibat dalam proses itu; (3) dan Guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah. Guru menuntun upaya siswa dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat siswa berusaha memecahkan masalah. Karakteristik ini penting dan menuntut keterampilan serta pertimbangan yang sangat profesional guna memastikan kesuksesan pelajaran. Jika guru tidak memberikan cukup bimbingan dan dukungan, siswa akan gagal, membuang waktu, dan mungkin memiliki konsepsi keliru. Jika guru memberikan Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
terlalu berlebihan, siswa tidak akan mendapatkan banyak pengalaman pemecahan masalah. Menarik garis batas di tempat yang tepat menuntut pertimbangan profesional yang cermat (Eggen & Kauchak, 2012). Senada dengan pandangan di atas, pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model PBM setidaknya memenuhi beberapa karakteristik, diantaranya dalam proses pembelajaran harus dimulai dengan adanya permasalahan; isi dan pelaksanaan pembelajaran harus dapat menarik perhatian siswa, guru hanya bertindak sebagai pemandu dalam kelas, siswa diberi waktu untuk berfikir atau mencari informasi untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dan dalam proses pembelajaran tersebut kekreatifan mereka dalam berfikir harus dapat didorong, menciptakan situasi belajar yang nyaman dan santai untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berfikir dan mencari jawaban dari permasalahan secara mandiri (Akinoglu & Tandogan, 2007). Model PBM hasil karya John Dewey ini mendorong guru untuk melibatkan siswa diberbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki suatu
229
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Lesson Study
permasalahan. Karakteristik PBM sebagaimana dikemukakan oleh Arends (2007), antara lain adanya pertanyaan atau masalah perangsang, pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran diseputar pertanyaaan dan masalah yang penting dan bermakna bagi siswa. Untuk menerapkan PBM di kelas, terutama dibidang ilmu pengetahuan sosial, kebanyakan guru mengalami kesulitan, karena dalam PBM guru harus menjadi instruktur atau tutor atau “pelatih kognitif.” Sedangkan diketahui, literatur yang bisa dipelajari lebih banyak di bidang sains (IPA) atau bidang kedokteran/kesehatan, awal mula strategi PBM ditemukan atau diterapkan. Hasil supervisi penulis terhadap sejumlah guru IPS di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menunjukkan betapa gagapnya para guru terhadap PBM. Atas dasar itulah penulis melakukan penelitian tindakan guna meningkatkan kemampuan para guru IPS SMP di Kabupaten Blitar dalam mengaplikasikan PBM melalui lesson study. Di dalam kelas, lesson study adalah suatu pendekatan pengembangan profesional untuk “belajar dari praktik.” Selama lesson study,
230
guru merumuskan tujuan jangka panjang untuk belajar dan pengembangan siswa; bekerja secara kolaboratif atas “riset pembelajaran” untuk membawa tujuan-tujuan hidup; mengamati dokumen dan membahas tanggapan siswa untuk pelajaran ini; serta merevisi pelajaran (dan pendekatan yang lebih luas untuk pengajaran) (Lewis, 2002; Stigler & Hiebert, 1999). Keempat kegiatan–perencanaan, mengamati, menganalisis belajar siswa, dan merevisi pembelajaran–merupakan siklus penyelidikan kolaboratif berpusat pada pembelajaran kelas, membuat proses lesson study konsisten dan lebih berkualitas. Lesson study merupakan model Jepang untuk pengembangan profesional guru di mana kelompokkelompok kecil dari guru secara kolaboratif merencanakan, mengajar dan merevisi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka serta untuk memperkaya pengalaman belajar siswa (Lewis & Tsuchida, 1998; Lewis, 2002). Para peneliti di AS menyarankan lesson study karena efektif untuk pengembangan profesional guru (DarlingHammond & McLaughlin, 1995; Putnam & Borko, 2000).
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
Berdasarkan pandangan tersebut, pada prinsipnya lesson study dapat dijadikan salah satu metode untuk guru dalam melakukan tukar pikiran dalam penyusunan dan pengembangan rencana pembelajaran IPS terpadu. Berbeda dengan lesson study di kelas, lesson study untuk guru merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru dengan saling bekerjasama merencanakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas belajar siswa, serta akan menjadikan guru yang profesional dengan desain pelaksanaan yang baik (Mustikasari, 2008). Menurut Sudrajat (2008), lesson study merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan. Lesson study relevan dilakukan karena upaya-upaya peningkatan kualitas kemampuan guru yang telah dilakukan pemerintah melalui berbagai program pelatihan guru, umumnya sebatas untuk peningkatan pemahaman materi pelajaran, sedangkan pengenalan metode pembelajaran dilakukan terpisah dari materi pelajaran. Lesson study yang diterapkan sebagai model bimbingan mahasiswa calon
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
guru terbukti dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menerapkan strategi pembelajaran (Rustono, 2007). Di bawah kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan JICA-Jepang, tiga universitas (UPI Bandung, UNY Yogyakarta dan UM Malang) melakukan proyek yang disebut IMSTEP-JICA untuk meningkatkan praktik yang baik dibidang pembelajaran matematika (dan IPA) dengan memberdayakan dan mengembangkan pendidikan guru. Mulai tahun 1999 dan berlangsung hing ga tahun 2005, piloting kegiatan proyek diperluas melalui lesson study tiga klaster di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil studi secara signifikan menunjukkan bahwa ada perbaikan dari praktek proses belajar mengajar matematika dalam hal metodologi pengajaran, kompetensi guru, prestasi siswa, evaluasi alternatif, sumber daya pembelajaran dan silabus (Marsigit, 2014; Karim, 2006). Tiga bagian utama dari lesson study adalah bagian pertama, yaitu identifikasi tema penelitian (research theme), bagian kedua pelaksanaan sejumlah research lesson yang akan mengeksplorasi research theme, dan
231
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Lesson Study
bagian ketiga adalah refleksi proses pelaksanaan lesson study (Isoda, 2010). Melalui tiga tahapan yang ada dalam lesson study, yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do) dan refleksi (see), guru yang berkolaborasi dalam penyusunan rencana pembelajaran dapat saling bertukar pikiran untuk mendapatkan solusi untuk permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan uraian dimuka dirumuskan masalah, bagaimanakah lesson study meningkatkan kemampuan guru IPS SMP dalam mengaplikasikan strategi pembelajaran berbasis masalah? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dengan demikian ialah meningkatkan kemampuan guru IPS SMP dalam mengaplikasikan pembelajaran berbasis masalah melalui lesson study. Adapun hipotesis tindakan dirumuskan “jika dilakukan lesson study secara benar dan intensif, maka kemampuan guru IPS SMP dalam mengaplikasikan strategi pembelajaran berbasis masalah akan meningkat.” METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan metode penelitian tindakan (Action Research), yang menurut Mills (2011), adalah penelitian sistematis 232
apapun yang dilakukan oleh guru, administrator, konselor, pengawas, atau yang lain dengan maksud mengajar dan mempelajari proses atau lingkungan untuk tujuan mengumpulkan informasi tentang bagaimana sekolah mereka khususnya beroperasi, bagaimana mengajar, dan bagaimana siswa belajar. Penelitian tindakan dimulai dengan satu masalah atau topik sentral. Masalah dalam penelitian ini ialah kemampuan merencanakan dan melaksanakan PBM. Tercakup disini beberapa observasi atau pemantauan praktik-praktik terkini, diikuti dengan pengumpulan dan sintesis dari informasi dan data. Akhirnya, beberapa jenis tindakan diambil, yang kemudian berfungsi sebagai basis bagi tahap berikut dari penelitian tindakan. Subjek penelitian tindakan ini adalah para guru IPS SMP di wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur dengan partisipan teranalisis sebanyak 25 orang guru. Penelitian dilaksanakan selama 4 minggu pada periode bulan Agustus-September 2015. Sebelum melaksanakan lesson study, dilakukan prates kemampuan mereka mengenai PBM, terutama dari segi kognitif. Dua minggu pertama adalah siklus I, dan dua
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
minggu berikutnya adalah siklus II. Selama pelaksanaan dilakukan observasi dan tes kinerja (performance test) di akhir siklus. Hasilnya digabung dan dikategorikan menjadi 5 kategori, yaitu sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan sangat kurang baik. Materi PBM yang ditritmenkan dalam penelitian ini adalah: (1) kemampuan merencanakan PBM yang meliputi kemampuan mengidentifikasi topik, kemampuan menentukan tujuan belajar, kemampuan mengidentifikasi masalah, dan kemampuan mengakses materi; (2) kemampuan menerapkan (mengaplikasikan) PBM yang meliputi: kemampuan mereview dan menyajikan masalah (menarik perhatian siswa dan menarik mereka ke dalam pelajaran, secara informal menilai kemampuan awal, memberikan fokus konkret untuk pelajaran), kemampuan menyusun strategi (memastikan sebisa mungkin bahwa siswa menggunakan pendekatan berguna untuk memecahkan masalah), kemampuan nenerapkan strategi (memberi siswa pengalaman untuk memecahkan masalah), dan kemampuan membahas dan mengevaluasi hasil (memberi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
siswa umpan balik tentang upaya mereka) (Eg gen & Kauchak, 2012). Topik IPS yang dijadikan objek PBM bebas sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan sepanjang pengalaman pembelajaran guru. Sebab lesson study mempersyaratkan adanya “pengalaman pembelajaran” (lesson research) sebagai bagian yang akan di-share (dibagi bersama) sebagai lesson study. Dalam pelaksanaannya, guru dibagi menjadi 5 kelompok dengan anggota antara 4-6 orang. Masingmasing kelompok melakukan aktivitas tiga tahapan yang ada dalam lesson study, yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do) dan refleksi (see), guru yang berkolaborasi dalam penyusunan rencana pembelajaran dapat saling bertukar pikiran guna mendapatkan solusi bagi permasalahan yang dihadapi. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini merupakan ringkasan dari data observasi dan tes kinerja yang dilakukan peneliti. Data hasil penelitian dipaparkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini.
233
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Lesson Study
Tabel 1. Persentase Kemampuan Menguasai PBL pada Pra Siklus dan Siklus I
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori Kemampuan
Jumlah Guru
Sangat baik Baik Cukup baik Kurang baik Sangat kurang baik Jumlah
1 4 8 12 0 25
Pra Siklus (%) 4 16 32 48 0 100
Jumlah Siklus I Guru (%) 5 11 5 3 1 25
20 44 20 12 4 100
Tabel 2. Persentase Kemampuan Menguasai PBL pada Siklus I dan Siklus II No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kategori Kemampuan Sangat baik Baik Cukup baik Kurang baik Sangat kurang baik Jumlah
frekuensi 5 11 5 3 1 25
Siklus I Siklus II frekuensi (%) (%) 20 17 68 44 5 20 20 1 4 12 2 8 4 0 0 100 25 100
Pembahasan Berdasarkan data sebagaimana dipaparkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 nampak bahwa pelaksanaan lesson study efektif dalam meningkatkan kemampuan guru IPS SMP dalam melaksanakan PBM. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat, sebelum dilakukan perlakuan (tahap pra siklus), guru yang berkemampuan sangat baik dibidang PBM hanya 1 (satu) orang. Pada akhir siklus I
234
meningkat menjadi 5 orang. Guru yang berkemampuan Baik dibidang PBM sebelum siklus I hanya 4 orang dan meningkat menjadi 11 orang pada akhir siklus I. Guru yang berkemampuan Cukup Baik dibidang PBM sebelum siklus I ada 8 orang dan berkurang menjadi 5 orang pada akhir siklus I. Guru yang berkemampuan Kurang Baik dibidang PBM sebelum siklus I ada 12 orang
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
dan berkurang menjadi 3 orang pada akhir siklus I. Namun yang menarik, di pra siklus yang sebelumnya tidak ada guru yang berkemampuan Sangat Kurang Baik, justeru di akhir siklus I ada 1 guru yang ber-
kemampuan Sangat Kurang Baik. Secara lebih lengkap barangkali perlu diperhatikan hasil pada Tabel 2 yang membandingkan hasil antara siklus I dan siklus II. Hal itu digambarkan dalam grafik berikut ini.
Gambar 1. Grafik Perbandingan Kemampuan PBM Guru pada Siklus I dan II Keterangan:
1 = Sangat Baik 2 = Baik 3 = Cukup Baik 4 = Kurang Baik 5 = Sangat Kurang Baik
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 1 di atas nampak jelas perbedaan kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan PBM. Sesuai dengan tabel dan gambar tersebut dapat dilihat, guru yang berkemampuan Sangat Baik diVolume 2, Nomor 1, Januari 2016
bidang PBM yang pada siklus I adalah 5 orang, meningkat menjadi 17 orang pada akhir siklus II. Guru yang berkemampuan Baik dibidang PBM pada siklus I sebanyak 11 orang, berkurang menjadi 5 orang pada akhir siklus II. Guru yang 235
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Lesson Study
berkemampuan Cukup Baik dibidang PBM pada siklus I ada 5 orang, berkurang menjadi 1 orang pada akhir siklus II. Guru yang berkemampuan Kurang Baik dibidang PBM pada siklus I ada 3 orang, berkurang menjadi 2 orang pada akhir siklus II. Dan di akhir siklus II tidak ada guru yang berkemampuan PBM Sangat Kurang Baik. Hasil tersebut masuk akal karena adanya perbedaan daya serap guru. Hal yang tidak diungkapkan dalam penelitian ini adalah apakah kemampuan tersebut bisa bertahan lama ataukah tidak. Tentu hal itu memerlukan studi lebih lanjut untuk mendalaminya. Refleksi Tindakan Di kalangan guru-guru IPS, lesson study tergolong cara baru ketika melaksanakan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Teknik tersebut lebih sering dilakukan untuk guru Matematika dan Sains. Dari tiga tahapan yang ada dalam lesson study, yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do) dan refleksi (see), kesulitan paling menonjol pada siklus satu adalah pelaksanaan dan refleksi. Pada tahap perencanaan relatif sebagian besar mengua-
236
sai. Sedangkan pada siklus kedua, kesulitan tersebut bisa diatasi. Di antara materi PBM yang dipandang sulit oleh sebagian besar peserta lesson study adalah kemampuan menyusun strategi, yakni memastikan sebisa mungkin bahwa siswa menggunakan pendekatan berguna untuk memecahkan masalah dan kemampuan nenerapkan strategi, yakni memberi siswa pengalaman untuk memecahkan masalah. Barangkali hal ini disebabkan karena permasalahan yang terjadi dibidang sosial jauh lebih rumit dibandingkan permasalahan yang bisa ditemukan dibidang Matematika atau Sains. Sebagai suatu contoh, ketika guru membahas masalah “permintaan dan persediaan barang” dalam konsep ekonomi, terjadi perdebatan panjang karena secara teoritis social studies tidak memberikan penjelasan yang memadai. Ada yang mengetengahkan segi harga, mafia dagang, kualitas barang produksi, hingga faktor gaji tenaga kerja; sedangkan diketahui hal itu berbeda antarnegara dan satu sama lain argumen tersebut nampak saling terkait.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar yang memberikan izin pelaksanaan penelitian dan kegiatan ini, para Kepala SMP Negeri dan swasta se-Kabupaten Blitar, dan lebih-lebih para guru partisipan yang tergabung dalam MGMP. SIMPULAN DAN SARAN Melalui pembelajaran berbasis masalah (PBM), siswa bekerja dengan teman sekelas untuk memecahkan masalah yang kompleks dan otentik yang membantu mengembangkan pengetahuan konten serta pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan keterampilan menilai diri sendiri. Masalah-masalah ini juga membantu untuk mempertahankan minat siswa dalam materi pelajaran karena siswa menyadari bahwa mereka belajar keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi sukses di lapangan. Untuk itulah guru harus menguasai bagaimana teknik merencanakan PBM dan bagaimana melaksanakan atau mempraktikkan PBM. Sedangkan lesson study merupa-
kan model Jepang untuk pengembangan profesional guru di mana Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
kelompok-kelompok kecil dari guru secara kolaboratif merencanakan, mengajar dan merevisi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka serta untuk memperkaya pengalaman belajar siswa. Teknik lesson study yang dilaksanakan melalui MGMP untuk meningkatkan kemampuan guru IPS SMP di Kabupaten Blitar dalam merencanakan dan mempraktikkan PBM terbukti efektif. Oleh karena itu disarankan agar teknik sejenis bisa diterapkan dalam MGMP bidang yang lain. Namun demikian perlu diteliti lebih lanjut apakah kemampuan tersebut masih tetap ada (retensi) ketika para guru sudah selesai menjalani lesson study, yakni ketika mereka telah kembali dan mengajar di kelas IPS. DAFTAR RUJUKAN Akinoglu, O. & Tandogan, R.O. 2007. The Effects of Problem Bbased Learning in Science Education on Students Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Sciense & Technology Education, 3 (1): 71-81. Arends, R. I. 2007. Learning to Teach. New York: The McGraw Hill Company. 237
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah melalui Lesson Study
Barrows, H. S. 1996. ProblemBased Learning in Medicine and Beyond: A Brief Overview. Dalam L. Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing Problem-Based Learning to Higher Education: Theory and Practice. Hlm. 3-12. San Francisco: Jossey- Bass. Darling-Hammond, L., & McLaughlin, M. W. 1995. Policies that Support Professional Development in an Era of Reform. Phi Delta Kappan, 8(76): 597-604. Eggen, P. & Kauchak, D. 2012. Strategic and Models for Teachers: Teaching Content and Teaching Skills. Boston: Pearson Education, Inc. Gallagher, S. A. 1997. ProblemBased Learning: Where Did It Come From, What Does It Do, and Where Is It Going?” Journal for the Education of the Gifted, 20 (4): 332-362. Gijselaers, W. H. 1996. Connecting Problem-Based Practices with Educational Theory. Dalam L. Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing Problem-Based Learning to Higher Education: Theory and Practice. Hlm. 13-21. San Francisco: Jossey- Bass. Hmelo-Silver, C.E. 2004. ProblemBased Learning: What and How Do Students Learn? Educational
238
Psychology Review, 16(3): 236266. Isoda, M. 2010. Lesson Study: Problem Solving Approaches in Mathematics Education as a Japanese Experience. Procedia Social and Behavioral Sciences, 8 (2010): 17–27. Karim, A.M. 2006. Implementation of Lesson Study for Improving the Quality of Mathematics Instruction in Malang. Tsukuba Journal of Educational Study in Mathematics, 25: 67-73. Lewis, C. & Tsuchida, I. 1998. A Lesson is Like a Swiftly Flowing River: Research Lessons and the Improvement of Japanese Education. American Educator, 14-17 & 50-52. Lewis, C. 2002. Lesson Study: A Handbook of Teacher-led Instructional Improvement. Philadelphia: Research for Better Schools, Inc. Marsigit, S., Sumardi, Y., Kadarisman, N., Mahmudi, A., & I Made Sukarna. 2014. The Teacher Professional Development Through Lesson Study In Indonesia: a Success Story from Yogyakarta. Yogyakarta: International Congress for School Effectiveness and Impovement, Yogyakarta State University. Mills, G.E. 2011. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
Forth Edition. Boston: Pearson Education, Inc. Mustikasari, A. 2008. Menuju Guru Yang Profesional Melalui Lesson Study. Online. http://eduarticles.com/menuju-guru-yangprofesional-melaui-lesson-study/ .Diunduh 14 Juni 2014. Perry, R., & Lewis, C. 2008. What is Successful Adaptation of Lesson Study in the U.S.? Journal of Educational Change, DOI 10.1007/s10833-1000819069-10837. Putnam, R. T., & Borko, H. 2000. What do New Views of Knowledge and Thinking Have to Say about Research on Teacher Learning? Educational Researcher, 29(1): 4-15. Rustono, E.H.M. & Abdul Muin. 2007. Lesson Study Sebagai Model Bimbingan Mahasiswa PGSD Pada Program Pengalaman Lapangan Di Sekolah Dasar. Peneli-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
tian Pembinaan. Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. Stigler, J. W., & Hiebert, J. 1999. The Teaching Gap: Best Ideas from the World’s Teachers for Improving Education in the Classroom. New York: The Free Press. Sudrajat, A. 2008. Lesson Study untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran. Online. http:// akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/02/22/lesson-study-untukmeningkatkan-proses-dan-hasilpembelajaran/. Diunduh 14 Juni 2014. Wilkerson, L., & Gijselaers, W. H. 1996. Concluding Comments. Dalam L. Wilkerson & W. H. Gijselaers (Eds.), Bringing Problem-Based Learning to Higher Education: Theory and Practice. Hlm. 101-104. San Francisco: Jossey- Bass.
239
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) ISSN: 2460-5689 Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 241-249
MENJADI KEPALA SEKOLAH DEMOKRATIS Supriyati Kepala SD Negeri Nglinggo 2, Gondang, Nganjuk, Jawa Timur Abstract As a headmaster, a school principal must behave democratically in performing their duties and functions. The democratic school principal, among others: being open to carry out the duties and functions as the principal, acting as a consultant for teachers, improving the ability of staff to work and think together, resolve any disagreements and take decisions through consideration of the group, did not veto the group’s decision but accepted it as a basis for consideration in the staff participation in planning and decision-making. This article suggested the democratic leadership are run by principals since shown to be correlated with the quality and service of education in schools. Keywords: Principal leadership, democratic attitudes
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 241
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
PENDAHULUAN
pendidikan.
Semenjak refor masi tahun 1998, banyak kalangan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Sebutan tersebut bukan saja membanggakan karena kecenderungan banyak negara menuju demokrasi terjadi di belahan mana pun, namun sekaligus tersirat tanggung jawab agar setiap warga negara bangsa bersikap dan berperilaku demokratis. Lebih-lebih para pemimpinnya, termasuk kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan.
Membicarakan masalah kepemimpinan kepala sekolah berarti membicarakan kepribadiannya. Suatu kompetensi yang relevan dikuasai dan dikembangkan oleh seorang kepala sekolah. Salah satu ciri kepribadian yang demokratis adalah bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai kepala sekolah.
Dalam buku Rahasia Sukses Kepala Sekolah, Supriadi (2011), mengajukan pertanyaan menarik, bagaimana dengan gaya kepemimpinan Anda? Apakah Anda seharisehari memimpin dengan gaya otoritarian, laizzes-faire, demokratis, atau pseudo democratic? Jawaban Anda akan sangat menentukan kesuksesan Anda. Meskipun demikian– sebagaimana ditunjukkan dalam bagian akhir bukunya–gaya kepemimpinan yang demokratis disarankan, sebab gaya kepemimpinan demokratis dalam pendidikan sangat sesuai dengan kondisi kekinian dan terbukti mampu meningkatkan kualitas atau mutu 242
Dalam banyak kajian disebutkan bahwa pemimpin pendidikan itu beraneka ragam. Salah satu di antaranya ialah Kepala Sekolah. Kepala sekolah merupakan jabatan administratif. Pada jabatan tersebutlah prinsip-prinsip kepemimpinan dioperasionalisasikan. Dengan kata lain, seorang kepala sekolah haruslah individu yang memiliki unsur-unsur kepemimpinan yang memadai, karena dengan kepemimpinan itu, kepala sekolah menakhodai perjalanan sebuah kapal yang bernama “sekolah” mencapai “pelabuhanb” tujuannya, yaitu tujuan pendidikan dan pengajaran. Suatu penelitian atau kajian yang menguji berbagai perspektif kepala sekolah atas kepemimpinan demokratis fasilitatif dan pembagian kekuasaan di sekolah telah JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
banyak dilakukan. Hasilnya mengungkapkan bahwa perubahan psikodinamik utama itu berlangsung sebagai hasil pengembangan suatu kolaborasi atau gaya kepemimpinan yang siap berbagi dan terbuka. Lebih dari itu, para kepala sekolah tidak sendirian lagi dan lebih termotivasi dari keikutsertaan dalam pembagian kekuasaan, dan aksiaksi mereka menjadi lebih konsisten dengan sistem nilai dan kepercayaan mereka sebagai suatu hasil dari pembagian kekuasaan bersama (Blasé & Blasé, 1999). Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah interaksi di dalam kepemimpinan seorang kepala sekolah. Terutama interaksi kepala sekolah dengan para wakil kepala sekolah, dewan guru dan staf administrasi. Kondisi interaksi inilah yang sedikit banyak mempengaruhi kepemimpinan seorang kepala sekolah, termasuk di dalamnya mutu kepemimpinan. Pendidikan dan pengalaman yang dimiliki kepala sekolah merupakan faktor yang mempengaruhi kepemimpinannya. Disamping itu pendelegasian tanggung jawab supervisi kepadanya; kesadarannya terhadap fungsinya sebagai pemimpin pendidikan serta waktu yang
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
dapat dipakai oleh kepala sekolah untuk menjalankan fungsi supervisi, adalah merupakan faktorfaktor yang sangat mempengaruhi kesempatan kepala sekolah untuk mengembangkan kepemimpinannya. Tugas kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan itu tidak mudah, menuntut segenap kesanggupan kepala sekolah untuk melaksanakannya. Artikel ini hanya mempromosikan sebagian hal yang meringankan tugas tersebut, yakni bagaimana menjadi kepala sekolah yang demokratis dalam kaitannya dengan terciptanya kualitas pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. PEMBAHASAN Kepemimpinan Kepala Sekolah Terkait dengan organisasi pendidikan, maka yang disebut kepemimpinan adalah proses memberi inspirasi kepada semua pendidik, tenaga kependidikan, dan karyawan agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kepemimpinan adalah cara mengajak pendidik, tenaga kependidikan, dan karyawan agar bertindak secara benar, mencapai komitmen dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan bersama (Armstrong, 243
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
2003). Menurut Bennis (1991), kepemimpinan adalah kepemimpinan yang memiliki suatu misi yang berarti, pemimpinnya menjadi seorang pemikir besar, pemimpinnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika, pemimpinnya menjadi pakar perubahan, peka, berani mengambil resiko, seorang pengambil keputusan (decision maker) yang menggunakan kekuasaan dengan bijak dan penuh komitmen. Kualitas kepemimpinan seorang kepala sekolah akan lebih tampak lagi apabila dikaitkan dengan pemberdayaan guru. Hal itu merupakan bentuk layanan prima yang dilakukan kepala sekolah. Menurut Per madi dalam Syafaruddin (2002), ada tujuh layanan prima kepala sekolah yaitu: (1) sekolah memiliki visi, strategi, misi dan target mutu yang ingin dicapai; (2) menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (3) menciptakan sekolah yang memiliki kepemimpinan yang kuat; (4) adanya harapan yang tinggi dari personal sekolah untuk berprestasi; (5) adanya pengembangan staf sekolah secara terus-menerus sesuai tuntutan iptek; (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang berkelan-
244
jutan terhadap berbagai aspek pembelajaran dan administrasi serta pemanfaatan hasilnya untuk peningkatan mutu, dan (7) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua dan masyarakat. Kepala sekolah sebagai pelaksana kepemimpinan pendidikan di sekolah harus memiliki kemampuan dan keterampilan yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hendyat Soetopo & Wasty Soemanto (1984), terdapat item-item yang menentukan kesuksesan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan; merupakan pemikiran dari para administrator yang menginginkan perlunya administrasi yang baik dalam wujud tindak laku; merupakan “barometer” kebaikan kepemimpinan kepala sekolah dan menggambarkan tugas-tugas dan peranan-peranan kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinan pendidikan. Item-item tersebut meliputi pemimpin dibidang: (1) kurikulum; (2) personalia; (3) public relation; (4) hubungan guru-peserta didik; (5) personal dan non-pengajaran; (6) hubungan dengan Kantor Kemendiknas; (7) pelayanan bimbingan; (8) artikulasi dengan sekolah-sekolah lain; (9) penge-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
lolaan pelayanan, rumah sekolah dan perlengkapan; dan (10) bidang pengorganisasian. Sedangkan menurut Armstrong (2003), secara umum para pemimpin menggunakan gaya kepemimpinan berbedabeda yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kharismatik/non-kharismatik. Para pemimpin kharismatik sangat bergantung pada kepribadian mereka, kualitaskualitas inspirasional (pemberi semangat) serta auranya. Seringkali, mereka adalah pemimpin yang visioner, yang memiliki orientasi prestasi, pengambil risiko yang penuh perhitungan, dan juga merupakan komunikator yang baik. Adapun para pemimpin nonkharismatik sangat bergantung pada pengetahuan mereka (wewenangnya jatuh kepada orang yang memiliki pengetahuan tersebut), kepercayaan diri dan ketenangan diri, serta pendekatan analitis dalam menangani permasalahan. Otokratis/demokratis. Para pemimpin otokratis cenderung membuat keputusan sendiri, menggunakan posisinya untuk memaksa pendidik, tenaga Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
kependidikan dan karyawan agar melaksanakan perintahnya. Adapun para pemimpin demokratis mendorong pendidik, tenaga kependidikan dan karyawan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan. Pendorong/Pengawas. Adalah pemimpin yang memiliki sifat mendorong, memberi semangat kepada pendidik, tenaga kependidikan dan karyawan meng gunakan visinya dan memberdayakannya untuk mencapai tujuan kelompok. Adapun pemimpin bergaya pengawas memanipulasi pendidik, tenaga kependidikan dan karyawan agar patuh. Transaksional/transfor masional. Para pemimpin transaksional memanfaatkan uang, pekerjaan dan keamanan pekerjaan untuk memperoleh kepatuhan dari pendidik, tenaga kependidikan dan karyawan. Para pemimpin transformasional memberikan motivasi kepada pendidik, tenaga kependidikan dan karyawan untuk bekerja keras mencapai tujuantujuan yang lebih tinggi.
245
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
Kepala Sekolah Demokratis Kepemimpinan kepala sekolah melekat pada kompetensinya dalam mengembangkan visi, keterampilan perencanaan, berpikir kritis, keterampilan teknis kepemimpinan, keteguhan hati, keterampilan mempengaruhi, keterampilan hubungan interpersonal, percaya diri, pengembangan, empati, dan toleransi terhadap stres. Di antara empat gaya kepemimpinan di muka, dalam penerapannya ada kecenderungan menggunakan gaya otokrasi, demokrasi, transaksional, dan transformasional. Kepemimpinan transformasional meliputi gaya partisipasi, konsultasi, delegasi, dan instruksi. Gaya kepemimpinan demokrasi berbeda secara diametral dari gaya kepemimpinan otoriter. Gaya kepemimpinan demokrasi ditandai dengan tingkat hubungan bawahan-atasan yang relatif tinggi dan intensitas penugasan yang rendah. Sebaliknya, gaya kepemimpinan otoriter berciri hubungan antara bawahanatasan yang relatif rendah dan intensitas penugasannya tinggi. Dengan demikian, kedua gaya kepemimpinan ini satu dengan lainnya saling berlawanan.
246
Gaya kepemimpinan yang dimiliki kepala sekolah akan mempengaruhi mutu pendidikan. Artinya, seorang pimpinan yang bergaya kepemimpinan demokrasi lebih partisipatif dalam mempertimbangkan berbagai hal yang dijadikan dasar dalam kepemimpinan. Sebaliknya, gaya kepemimpinan otoriter lebih intsruktif dan kurang mendapatkan simpatik dari bawahan dan hal ini akan berpengaruh dalam pemberian layanan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian mudah diduga bahwa mutu pendidikan yang didasarkan pada pertimbangan gaya kepemimpinan demokratis, lebih tinggi daripada mutu pendidikan yang didasarkan pada gaya kepemimpinan otoriter. Yang dimaksud kualitas layanan adalah penciptaan budaya layanan yang diimplementasikan dalam bentuk produk dari diterapkannya kebijakan, praktik, dan prosedur organisasi yang mendukung, memelihara, dan memberi imbalan terhadap perilaku melayani yang prima dari seorang karyawan dalam memberikan jasa, yaitu pemahanaman mengenai sifat dari layanan itu sendiri, yang meliputi: pemberian bantuan kepada seseorang, seperti:
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
membantu, memberi, berbagi, dan memenuhi kebutuhan pelanggan dalam rantai penciptaan dan penyaluran jasa serta mampu memenuhi keinginan pelanggan yang diukur dengan skala pengukurannya yang terdiri dari sepuluh indikator, yaitu: pembantu kepemimpinan, visi layanan, perlakuan pelanggan, pemberdayaan pegawai, pelatihan layanan, ganjaran layanan, pencegahan kegagalan layanan, kegagalan/pemulihan layanan, teknologi layanan, komunikasi standar-standar layanan. Adapun, mutu pendidikan adalah kualitas penyelenggaraan pendidikan yang meliputi: kesiapan peserta didik, ketersediaan tenaga pengajar, sarana dan prasarana, metode pembelajaran, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, suasana lingkungan, dan iklim institusi (Supriadi, 2010). Salah satu faktor yang erat kaitannya dengan pelayanan adalah gaya kepemimpinan, dimana gaya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang yang mempengaruhi orang lain, sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, seorang pemimpin pendidikan dengan gaya kepemimpinan yang dipersepsi bawahan dengan kualitas layanan yang tinggi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
dapat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Gaya kepemimpinan demokratis, maupun otoriter dengan kualitas layanan menjadi faktor penyebab bermutu tidaknya pendidikan yang diupayakan seorang pemimpin pendidikan. Artinya, perbedaan gaya kepemimpinan berakibat pada perbedaan mutu pendidikan yang diupayakannya. Begitu pula dengan perbedaan kualitas layanan, yang juga menjadi determinan bagi perbedaan mutu pendidikan yang diupayakannya. Faktor gaya kepemimpinan dan kualitas layanan berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Dapat dipastikan, terdapat perbedaan kualitas layanan yang menyebabkan perbedaan mutu pendidikan antarinstitusi yang dipimpin oleh pimpinan yang gaya kepemimpinannya sama, atau sebaliknya, perbedaan gaya kepemimpinan menyebabkan perbedaan mutu pendidikan dengan kualitas layanan yang sama. Kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan demokratis dan memiliki kualitas layanan yang ting gi, akan mampu mencapai mutu pendidikan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kepala sekolah yang bergaya kepemim247
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
pinan otoriter, apalagi dengan kualitas layanan yang rendah. Jadi, terdapat interaksi antara gaya kepemimpinan yang dipersepsi bawahan dengan kualitas layanan terhadap mutu pendidikan. Seperti apakah ciri-ciri atau karakteristik gaya kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis? Setiap orang yang memegang jabatan kepala sekolah pada prinsipnya adalah pemimpin pendidikan. Hal ini mungkin benar, tetapi kepemimpinan itu sendiri bukanlah fungsi jabatan. Jabatan kepala sekolah belum menjamin apakah kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan. Tidak semua kepala sekolah mengerti maksud kepemimpinan, kualitas serta fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh pemimpin pendidikan. Setiap orang yang memberi sumbangan bagi perumusan dan pencapaian tujuan bersama adalah pemimpin, namun individu yang mampu memberi sumbangan lebih besar terhadap perumusan tujuan serta terhimpunnya kelompok di dalam kerja sama mencapainya, diang gap sebagai pemimpin yang sebenarnya (Supriadi, 2010).
248
Kepala sekolah bekerja bukan hanya mengembangkan dan menyerahkan suatu program pengajaran kepada guru-guru untuk dilaksanakan. Kepala sekolah sebagai pemimpin resmi harus mampu menggunakan proses-proses demokrasi atas dasar kualitas sumbangannya. Ia bertindak sebagai konsultan bagi guru-guru yang dapat membantu mereka memecahkan permasalahan mereka. Ia hendaknya berusaha meningkatkan kemampuan staf untuk bekerja dan berpikir bersama. Setiap usaha perubahan program pendidikan hendaknya melalui evaluasi dan perencanaan oleh kelompok. Ia harus mampu mengatasi setiap perbedaan pendapat dan mengambil keputusan melalui pertimbangan kelompok. Ia jangan memveto keputusan kelompok, melainkan menerimanya sebagai dasar pertimbangan selanjutnya. Ia hendaknya menyadari, bahwa partisipasi staf di dalam perencanaan dan pembuatan keputusan adalah membantu mereka untuk bertumbuh. Ia hendaknya membantu guru-guru untuk memberi kesempatan kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam program pengajaran.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
Koheren dengan kepemimpinan demokratis, setiap kepala sekolkah hendaknya memiliki kepribadian dan perilaku antara lain: mempercayai staf pengajar, mendelegasikan tugas dan wewenang, adiraga, membangun dan memanfaatkan waktu, tanpa toleransi atas ketidakmampuan, peduli dengan staf pengajar, membangun visi dan strategi, mengembangkan tujuan institusi, cekatan dan tegas sekaligus sabar, berani melakukan introspeksi, memiliki konsistensi, bersikap terbuka, dan berjatidiri (berkarakter) tinggi. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian dimuka dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah yang demokratis itu antara lain: bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai kepala sekolah, bertindak sebagai konsultan bagi guru-guru, meningkatkan kemampuan staf untuk bekerja dan berpikir bersama, mengatasi setiap perbedaan pendapat dan mengambil keputusan melalui pertimbangan kelompok, tidak memveto keputusan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
kelompok melainkan menerimanya sebagai dasar pertimbangan partisipasi staf di dalam perencanaan dan pembuatan keputusan. Kepemimpinan demokratis disarankan dijalankan oleh kepala sekolah karena terbukti berhubungan dengan kualitas dan layanan pendidikan di sekolah. DAFTAR RUJUKAN Amstrong, M. (2003). Strategic Human Resource Management: A Guide to Action. London: Kogan Page Limited. Bennis, W. et al. 1991. Paradigma Baru Kepemimpinan. Penerjemah OKA. Jakarta: Elex Media Komputindo. Soetopo, H. & Soemanto, W . 1984. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Malang: FIP-IKIP Malang. Supriadi, O. 2010. Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Supriadi, O. 2011. Rahasia Sukses Kepala Sekolah. Yog yakarta: LaksBang PRESSindo. Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Ter padu dalam Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
249
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) (p-ISSN: 2460-5689 ) Petunjuk Penulisan Ketentuan Umum 1. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan format dan atau gaya selingkung yang ditentukan. 2. Penulis mengirim naskah artikel melalui e-mail. 3. Artikel yang dikirim belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa artikel tersebut belum pernah dipublikasikan. Pernyataan tersebut dilampirkan pada artikel. 4. Artikel dikirim ke:
[email protected]; atau ke
[email protected]
Standar Penulisan 1. Artikel diketik menggunakan program Microsoft Word pada ukuran kertas A4, jarak 2 spasi, jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, margin kiri 4 cm, serta margin atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm. 2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel menyatu bersama artikel. 3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point. 4. Artikel ditulis maksimum sebanyak 15 halaman termasuk gambar dan tabel.
Urutan Penulisan Artikel 1. Artikel hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, instansi atau tempat bertugas Penulis, Abstract, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Simpulan dan Saran, Ucapan Terima Kasih (Opsional), dan Daftar Rujukan. 2. Artikel hasil pemikiran dan atau kajian pustaka yang setara dengan hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, instansi atau tempat bertugas Penulis, Abstract, Pendahuluan, Masalah dan Pembahasan, Ucapan Terima Kasih (Opsional), Simpulan dan Daftar Rujukan. 3. Judul ditulis singkat, spesifik, dan informatif yang menggambarkan isi Artikel maksimal 15 kata. Untuk kajian pustaka, di belakang judul harap ditulis Suatu Kajian Pustaka. Judul ditulis dengan huruf kapital dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi, dan terletak di tengahtengah tanpa titik. 4. Nama Penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis disertai alamat institusi penulis.
5. Abstract ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 200 kata menggunakan bahasa Inggris. Abstract mengandung uraian secara singkat tentang tujuan, metode, hasil utama, dan simpulan yang ditulis dalam satu spasi. 6. Kata Kunci (Keywords) ditulis miring, maksimal 5 (lima) kata, satu spasi setelah abstract. 7. Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung. Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh: Reigeluth (2009); Bruner, et.al. (2014). 8. Metode Penelitian ditulis lengkap. 9. Hasil dan Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian sendiri yang dikaitkan dengan tujuan penelitian (pengujian hipotesis). Diskusi diakhiri dengan simpulan dan pemberian saran jika dipandang perlu. 10. Pembahasan (review/kajian pustaka) memuat bahasan ringkas mencakup masalah yang dikaji. 11. Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang membantu sehingga penelitian dapat dilangsungkan, misalnya pemberi gagasan dan penyandang dana (boleh tidak dicantumkan). 12. Ilustrasi: a. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, dan gambar (foto) diberi nomor urut. Judul singkat tetapi jelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul ilustrasi ditulis dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point, masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal kata menggunakan huruf kapital, dengan jarak 1 spasi. b. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point jarak satu spasi. c. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) dan untuk bahasa Inggris digunakan titik (.). d. Gambar/Grafik dibuat dalam program Excel. Nama Latin, Yunani, atau Daerah dicetak miring sedang istilah asing diberi tanda petik. e. Satuan pengukuran menggunakan Sistem Internasional (SI). 13. Daftar Pustaka a. Hanya memuat referensi yang diacu dalam Artikel dan ditulis secara alfabetik berdasarkan huruf awal dari nama penulis pertama. Jika dalam bentuk buku, dicantumkan nama semua penulis, tahun, judul buku, edisi, penerbit, dan tempat. Jika dalam bentuk jurnal, dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi, dan halaman. Jika mengambil artikel dalam buku, cantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul buku, penerbit, dan tempat. b. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 75%. c. Hendaknya diacu cara penulisan kepustakaan seperti yang dipakai pada JA-DIKDASMEN dengan berikut ini: Jurnal
Chika, P. O. 2012. The Extent of Students’ Responses in the Classroom. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 2 (1): 22-37. Buku Degeng, I.N.S. 2013. Ilmu Pembelajaran: Klasifikasi Variabel untuk Pengembangan Teori dan Penelitian. Bandung: Kalam Hidup & Aras Media. Artikel dalam Buku Landa, L.N. 1983. Descriptive and Prescriptive Theories of Learning and Instruction: An Analysis of Relationships and Interactions. Dalam Regeluth, C.M. (Ed.). Instructional-Design Theories and Models: An Overview of their Current Status (hlm. 55-69). Hillsdale, New Jersey: Laurence Erlbaum Associates Publishers. Skripsi/Tesis/Disertasi Haas, M.S. 2002. The Influence of Teaching Methods on Student Achievement on Virginia’s End of Course Standards of Learning Test for Algebra I. Thesis Doctoral unpublished, Virginia Polytechnic Institute and State University. Internet Schwerdt, G. & Wuppermann, A.C. 2008. Do Teaching Practices Influence Student Achievement? (Online), (www.edge-page.net/TeachingPractice.pdf), diakses 16 Juni 2014. Dokumen [BPS] Biro Pusat Statistik Republik Indonesia. 2015. Pendidikan Dalam Angka Tahun 2014.