Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
ASPEK MUTU PRODUK ROTI TAWAR UNTUK DIABETESI BERBAHAN BAKU TEPUNG PORANG DAN TEPUNG SUWEG Richardus Widodo, Setijanen Djoko Harijanto dan Dwi Agustiyah Rosida UNTAG Surabaya E-mail:
[email protected] ABSTRACT One of the more prominent food trend is increasingly exploration of food products that have a low glycemic index, especially for diabetics. Foods that have a low glycemic index is very good for diabetics. Plain bakery products from wheat flour known as food products are high glycemic index. Although there is a trend that more and more Indonesian people consume wheat bread from which raw materials, namely white flour, have to be imported, there are potential flour substitution ingredients native to Indonesia because it has a lower glycemic index than wheat flour. Two flour substitution materials developed as a potential food stock substitution of wheat flour is flour of porang plant (Amorphophallus muelleri Bl) and suweg (Amorphophallus campanulatus BI). The purpose of this study was to determine the optimal composition between wheat flour, porang and suweg flour to be processed into bread low-IG . Benefit from an increase in value-added research is plant porang and suweg that still only sold as a powder, as well as obtaining the functional diversification with cheap raw materials from the local source. This study suggests that the substitution of wheat flour and suweg or porang till the 10% does not significantly degrade the quality of plain bread both in terms of physical, chemical and sensory. Kata kunci: Roti tawar, diabetesi, tepung porang, tepung suweg
PENDAHULUAN Masyarakat modern dari hari ke hari makin memperhatikan aspek keamanan dan kesehatan produk pangan yang dikonsumsinya. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan terhadap pangan yang dikonsumsi, pangan yang aman dan sehat merupakan hal yang harus diperhatikan oleh produsen dan konsumen. Produk pangan tidak hanya berfungsi mengenyangkan dan memenuhi selera saja tetapi juga harus aman dan sehat. Salah satu tren pangan yang makin mengemuka adalah makin dicarinya produk pangan yang memiliki indeks glikemik rendah, khususnya bagi penderita diabetes. Makanan yang memiliki indeks glikemik rendah sangat baik bagi penderita diabetes, karena semakin lambat konversi makanan menjadi gula darah, akan bermanfaat bagi diabetesi yang metabolisme tubuhnya kesulitan dalam mengontrol tingginya kadar gula darah. Lonjakan gula darah yang tinggi bisa merusak organ tubuh, dan menyebabkan berbagai macam komplikasi. Produk roti tawar dari tepung gandum dikenal sebagai produk pangan yang tinggi indeks glikemiknya. Walaupun ada trend bahwa orang Indonesia makin banyak mengkonsumsi roti dari biji gandum yang bahan bakunya, yaitu tepung terigu, harus diimpor, ada peluang bahan-bahan substitusi tepung terigu yang asli Indonesia karena
ISSN 2302-2612
1
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
memiliki indeks glikemik lebih rendah dari tepung terigu. Dua bahan substitusi tepung terigu yang potensial dikembangkan sebagai bahan baku substitusi tepung terigu adalah tepung dari tanaman porang (Amorphophallus muelleri Bl) dan suweg (Amorphophallus campanulatus BI). Tanaman porang atau iles-iles bermanfaat terutama di bidang industri dan kesehatan, karena kandungan glukomanan pada tepung umbinya. Porang merupakan jenis tanaman umbi yang mempunyai potensi dan prospek untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini kementerian BUMN menggalakkan penanaman porang sebagai tanaman sela di hutan-hutan milik Perhutani. Sedangkan suweg tanaman yang satu genus dengan porang merupakan umbi-umbian besar yang jarang diolah dan dikonsumsi masyarakat karena dengan cara pengolahan biasa bisa menimbulkan gatalgatal di lidah. Namun dengan pengolahan khusus dan dijadikan tepung, suweg ternyata memiliki kandungan serat lebih besar dibanding oatmeal yang dikenal sebagai pangan pengontrol kadar kolesterol. Roti dengan bahan baku non terigu, maupun substitusi sebagian bahan baku tepung terigunya dengan komoditi lain lain selalu diikuti dengan kemunduran mutu fisik internal maupun eksternal. Kemunduran mutu yang biasa timbul antara lain adalah turunnya kemampuan pengembangan roti, memburuknya kenampakan eksternal dan internal, juga memburuknya rasa dan aroma. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menambah bahan tambahan pangan semacam zat pengemulsi yang disebut sebagai dough conditioner roti yaitu SSL (sodium stearoyl 2-laktilat). Di samping itu perlu diketahui berapa jumlah terbesar tepung porang atau tepung suweg dapat mensubstitusi tepung terigu adonan agar struktur roti tawar yang terbentuk tidak terlalu jauh lebih rendah mutunya dibandingkan dengan roti tawar konvensional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi optimal antara tepung terigu dan tepung porang atau tepung suweg untuk diolah menjadi roti tawar ber-IG rendah. Manfaat dari penelitian adalah peningkatan nilai tambah tanaman porang dan suweg yang selama ini masih hanya dijual sebagai tepung, serta diperolehnya diversifikasi pangan fungsional dengan bahan baku lokal yang murah bagi masyarakat. Roti tawar Gandum (Triticum aestivum) adalah tanaman iklim sub-tropis sampai sedang yang cukup penting menyumbang pangan pokok bagi dunia. Tanaman sumber karbohidrat ini juga mengandung protein yang relatif tinggi dibandingkan serealia lainnya. Pada umumnya gandum dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu gandum keras (hard wheat) dan gandum lunak (soft wheat). Gandum jenis keras seperti hard spring, hard winter dan hard white digunakan untuk pembuatan roti yang dikembangkan dengan khamir. Sedangkan jenis gandum lunak seperti soft red, soft white serta white club baik digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan kimia untuk pengembangannya, dan juga untuk pembuatan kue kering, biskuit dan produk -produk sejenis lainnya (Anonymous, 1993). Hampir seluruh biji gandum yang digunakan dalam industri pangan berbentuk tepung. Tepung terigu dibuat dengan menggiling biji gandum yang bertujuan untuk memisahkan endosperm dan lembaga serta menghancurkan endosperm menjadi ukuran tepung kurang lebih berukuran 100 mesh (Buckle dkk, 1995). Tepung terigu merupakan hasil penggilingan biji gandum yang paling dalam (endosperm), sedangkan tepung gandum hasil penggilingan biji gandum utuh yang hanya dibuang kulit luarnya saja, sehingga kandungan seratnya lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu putih. Roti putih atau roti tawar umumnya berbahan baku tepung terigu jenis keras, sedangkan roti gandum terbuat dari tepung gandum (whole wheat flour).
2
ISSN 2302-2612
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
Porang Iles-iles atau porang (Amorphophallus muelleri Bl.) adalah sejenis tanaman penghasil umbi yang dapat dimakan, anggota marga Amorphophallus. Karena masih berkerabat dan mirip penampilan dan manfaatnya, iles-iles sering kali dikacaukan dengan suweg dan walur. Manfaat iles-iles terutama di bidang industri dan kesehatan, karena kandungan glukomannan pada tepung umbinya (Mamudh, 2009). Iles-iles merupakan jenis tanaman umbi yang mempunyai potensi dan prospek untuk dikembangkan di Indonesia. Selain mudah didapatkan, tanaman ini juga mampu menghasilkan karbohidrat dan tingkat panen yang cukup tinggi. Umbinya besar, dapat mencapai 5 kg, cita rasanya netral sehingga mudah dipadupadankan dengan beragam bahan sebagai bahan baku kue tradisional dan modern. Tepung iles-iles juga dapat digunakan sebagai bahan lem, agaragar, mi, tahu, kosmetik dan roti (Mamudh, 2009). Suweg Suweg sebagai jenis umbi-umbian besar jarang diolah dan dikonsumsi masyarakat karena dengan cara pengolahan biasa bisa menimbulkan gatal-gatal di lidah. Namun dengan pengolahan khusus dan dijadikan tepung, suweg ternyata memiliki kandungan serat lebih besar dibanding oatmeal—dikenal sebagai pangan pengontrol kadar kolesterol. Tepung suweg dapat dipakai sebagai pangan fungsional yang bermanfaat untuk menekan peningkatkan kadar glukosa darah sekaligus mengurangi kadar kolesterol serum darah yaitu makanan yang memiliki indeks glikemik rendah dan memiliki sifat fungsional hipoglikemik dan hipokolesterolemik (Didah dkk, 2007). Kulit umbi suweg berwarna coklat tua dengan daging umbi yang berwarna jingga kusam sampai kemerah-merahan. Daging umbi suweg memang bisa menimbulkan gatal karena mengandung kalsium oksalat. Kalsium oksalat sebenarnya terdapat di hampir seluruh bagian tanaman suweg yang berbentuk jarum halus. Seperti talas, gatal-gatal akibat mengonsumsi suweg bisa dicegah dengan berbagai cara, di antaranya dengan perendaman ke dalam air yang cukup lama sebelum dimasak atau bisa juga diblansir. Proses pengolahan umbi suweg menjadi tepung dilakukan dengan pengeringan terlebih dahulu. Pertama umbi yang dicabut dari dalam tanah dibersihkan, dikupas dan di cuci dengan air bersih. Selanjutnya umbi suweg diiris tipis-tipis dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50 °C selama 18 jam. Kemudian diblender dan diayak sampai diperoleh ukuran tepung 60 mesh. Tepung kemudian dapat dikonsumsi melalui berbagai macam cara pengolahan (Noer, 2011). Kemudian, penyebab gatal itu bisa dihilangkan dengan pemanasan secara intensif. Selain itu, kalsium oksalat dapat dilarutkan dengan asam kuat. Suweg sebagai serat pangan dalam jumlah tinggi akan memberikan daya tahan manusia dari timbulnya berbagai penyakit seperti kanker usus besar, divertikular, kardiovaskular, kegemukan, kolesterol tinggi dalam darah dan diabetes. Di Filipina umbi suweg sering ditepungkan mengganti kedudukan terigu dan biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan roti. Di Jepang, umbi-umbian sekerabat suweg telah banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, misalnya bahan pembuatan mi instan (Anonymous, 2013). Diabetesi dan Index Glikemik Penyakit degeneratif akibat pola hidup dan pola makian yang tidak sehat makin mengemuka dalam 2 dekade terakhir ini di seluruh dunia. Makin banyak orang menderita penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung, gagal ginjal dan juga penyakit diabetes melitus (DM). Penderita diabetes atau sering disebut diabetesi juga dapat diderita pada anak usia di bawah 20 tahun. Penyebabnya bisa karena kelainan genetika. Akibatnya tubuh
ISSN 2302-2612
3
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
tidak dapat memproduksi insulin dengan baik. Gejala yang muncul antara lain, berat badan turun, kelelahan, penglihatan kabur, sering buang air kecil, terus menerus lapar dan haus, juga meningkatnya kadar gula dalam darah dan air seni (Purwanto, 2009). Salah satu upaya untuk mengurangi gejala dan efek diabetes adalah dengan mengkonsumsi makanan-makanan yang memiliki indeks glikemik (IG) rendah. Para ahli telah mempelajari faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan IG antara pangan yang satu dengan pangan yang lainnya.Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki IG yang berbeda apabila diolah atau dimasak dengan cara yang berbeda. Hal ini dikarenakan proses pengolahan dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan komposisi zat gizi penyusun pangan, sehingga akan memengaruhi daya cerna zat gizi yang terdapat pada pangan. Varietas yang berbeda pada jenis pangan juga akan memengaruhi IG pangan tersebut, contohnya adalah beras yang memiliki kisaran IG antara 50 – 70. Beberapa faktor yang memengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), rasio amilosa-amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-zat gizi pangan (Rimbawan, 2006) Mutu Roti Mutu roti ditentukan dari sifat bahan penyusun utamanya yaitu tepung gandum. Sifat-sifat kimia dan fisik tepung gandum sangat mempengaruhi sifat-sifat roti yang dihasilkan. Sifat-sifat sensoris roti lebih mempengaruhi mutu roti. Sifat-sifat inilah yang dilihat terlebih dahulu oleh konsumen untuk memperoleh gambaran mutu roti tersebut (Khan, 1984 dalam Widodo, 1999). Mutu sensoris roti yang baik dapat dilihat dari sifat bagian luar (eksternal) dan bagian dalam (internal). Sifat-sifat eksternal roti yang bermutu baik adalah : Bentuk roti simetris, tidak bersudut tajam. Warna kulit permukaan (crust) berwarna coklat kemerahan dan mengkilat, sedangkan bagian bawah serta samping putih kecoklatan. Kulit atas mengembang dengan baik dan tidak retak. Ukuran volume roti makin besar makin disukai, sejauh tidak merusak kenampakan dalamnya. Menurut Winarno (1996) volume jenis roti yang normal adalah 4 ml/g, sedangkan roti dari tepung komposit dapat turun sampai 3 ml/g. Sifat-sifat internal roti yang baik antara lain adalah : Warna bagian dalam (crumb) cerah. Tekstur roti lembut, lentur dan tidak mudah hancur. Pori-pori kecil dan tersebar merata. Roti berbau harum khas roti dan tidak berasa adonan roti yang belum matang.
METODE PENELITIAN Percobaan dilakukan di Laboratorium Industri Pangan, Laboratorium Prosesing dan Sistem Produksi Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya selama lebih kurang 5 (lima) bulan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang diulang sebanyak 3 (tiga) kali. Sebagai perlakuan utama adalah rasio berat tepung terigu dan sumber serat yang dicampurkan, dengan perlakuan sebagai berikut: PA : 95 : 5 (tepung terigu : tepung porang) P1 : 90 : 10 (tepung terigu : tepung porang) 4
ISSN 2302-2612
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
P2 : 80 : 20 (tepung terigu : tepung porang) P3 : 70 : 30 (tepung terigu : tepung porang) P4 : 60 : 40 (tepung terigu : tepung porang) SA : 95 : 5 (tepung terigu : tepung suweg) S1 : 90 : 10 (tepung terigu : tepung suweg) S2 : 80 : 20 (tepung terigu : tepung suweg) S3 : 70 : 30 (tepung terigu : tepung suweg) S4 : 60 : 40 (tepung terigu : tepung suweg) dan ditambah dengan satu perlakuan kontrol (C) 100 tepung terigu Parameter yang diuji adalah: sifat fisik roti (tekstur dan daya kembang), sifat kimiawi (uji air dan protein), uji indeks glikemik serta uji organoleptik Hedonic Scale Scoring (warna, rasa, aroma, keempukan, keseragaman pori). Pada perlakuan terbaik dilakukan uji proksimat. Jika hasil pengolahan data dengan RAL di atas terdapat pengaruh yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). PEMBAHASAN Volume Jenis Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 1 di bawah ini menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung porang atau tepung suweg memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap volume jenis produk. Maka penelusuran lebih lanjut dilakukan melalui uji BNT (Tabel 4) terhadap taraf masing-masing perlakuan. Tabel 1. Hasil analisis sidik ragam Volume Jenis SK Db Jumlah Kuadrat Fratio F.05 kuadrat tengah Perlakuan 10 11.07027 1.107027 230.77** 2.3 Galat 22 0.105533 0.004797 Total 32 11.17581
F.01 3.26
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin besar substitusi tepung porang atau tepung suweg akan makin memperkecil volume jenis roti yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sosulski dan Fleming (1979 dalam Widodo, 1999) bahwa penambahan tepung non gandum atau tepung dari sumber-sumber protein nabati akan menurunkan volume roti, dengan demikian menurunkan volume jenisnya pula. Penurunan volume jenis roti seiring dengan bertambahnya subtitusi non terigu disebabkan ikut turunnya kadar gluten dalam tepung. Gluten sangat berpengaruh terhadap daya pengembangan roti, dan hanya terdapat pada tepung gandum sedangkan pada pati ganyong tidak ditemukan. Gluten berfungsi membentuk kerangka roti karena kemampuannya mengembang dan menahan gas yang dihasilkan selama fermentasi (Buckle dkk, 1995). Dari hasil analisis volume jenis dapat dilihat bahwa volume jenis seluruh perlakuan berada pada kisaran 2,79 – 4,18 ml/g. Sedangkan perlakuan kontrol (100% tepung terigu) sebesar 4,33%. Menurut Winarno (1996) volume jenis roti yang normal adalah 4 ml/g, sedangkan roti dari tepung komposit dapat turun sampai 3 ml/g.
ISSN 2302-2612
5
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
Kadar Protein Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung porang atau tepung suweg memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein produk. Tabel 2. Hasil analisis sidik ragam Kadar Protein SK db Jumlah Kuadrat kuadrat tengah Perlakuan 10 45.22368 4.522368 Galat 22 0.052867 0.002403 Total 32 45.27655
Fratio
F.05
F.01
1881.94**
2.3
3.26
Semakin tinggi tepung porang atau tepung suweg yang disubstitusikan kedalam adonan roti tawar maka semakin rendah kadar protein roti tawar yang dihasilkan. Hal ini karena kadar protein tepung porang dan tepung suweg jauh lebih rendah daripada kadar protein tepung terigu yang digunakan (hard wheat). Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa kadar protein tepung porang sebesar 3,42% dan kadar protein tepung suweg sebesar 1,00%, sedangkan kadar protein tepung terigu yang digunakan sebesar 14,14%. Kadar Air Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung porang dan tepung suweg memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air produk. Tabel 3. Hasil analisis sidik ragam Kadar Air SK db Jumlah Kuadrat kuadrat tengah Perlakuan 10 124.5891 12.45891 Galat 22 4.048467 0.184021 Total 32 128.6376
Fratio
F.05
F.01
67.70**
2.3
3.26
Makin tinggi tepung porang dan tepung suweg yang disubstitusikan maka makin kecil pula kadar air roti tawar yang dihasilkan. Hal tersebut berhubungan dengan daya absorbsi air dari pati ganyong lebih kecil daripada daya absorbsi air dari tepung gandum. Sehingga dengan penambahan pati ganyong lebih besar, adonan roti yang dihasilkan cenderung melepas air lebih banyak pada saat pengovenan. Hasil analisis kadar air menunjukkan rata-rata kadar air terbesar terdapat pada perlakuan SA (substitusi tepung suweg 5%) sebesar 40,58% dan terendah pada perlakuan P4 (substitusi tepung porang 40%) sebesar 35,03%. Sedangkan perlakuan kontrol (K) mengandung kadar air sebesar 39,91%. Kadar air seluruh roti tawar dalam percobaan ini masih memenuhi syarat menurut SNI (Standar Nasional Indonesia). Menurut SNI Roti Tawar yang diterbitkan tahun 1995 kadar air maksimal roti tawar adalah 40% (Hudaya dkk, 2002). Tekstur Tekstur yang baik pada roti tawar adalah lunak, lembut dan tidak meremah. Tekstur juga mempengaruhi penampakan makanan, umur penyimpanan dan penerimaan konsumen
6
ISSN 2302-2612
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
(Matz, 1972 dalam Hudaya dkk, 2002). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 4 terlihat bahwa substitusi tepung porang atau tepung suweg cenderung menurunkan nilai tekstur roti tawar (kecuali perlakukan P3 dan P4) yang artinya secara fisik tekstur roti makin keras. Menurut Bushuk (1984 dalam Hudaya dkk, 2002), pada taraf substitusi tepung terigu yang besar terjadi pengenceran gluten tinggi yang menyebabkan daya pengembangan dan elastisitas adonan menurun. Hal ini mempengaruhi fisik roti yang dihasilkan menjadi kurang memuaskan. Terbukti bahwa kandungan gluten dalam adonan mempunyai peranan sangat penting sebagai pembentuk struktur adonan. Pada saat pemanggangan gluten akan terkoagulasi sehingga akan menjadi lebih tegar dan mencegah pengempisan roti kembali. Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam SK db Jumlah kuadrat Perlakuan 10 109631.6 Galat 22 16762.67 Total 32 126394.2
Kuadrat tengah 10963.16 761.9394
Fratio
F.05
F.01
14.38**
2.3
3.26
Uji Organoleptik Pada penelitian ini roti tawar yang dihasilkan tidak hanya diuji secara kimiawi dan fisis belaka tetapi juga diuji indrawi atau organoleptik dengan meminta 10 orang panelis yang semi terlatih (terdiri dari dosen Teknologi Pangan, alumni dan laboran Laboratorium Pangan Untag Surabaya) menguji secara indrawi roti tawar yang dihasilkan. Ada 5 (lima) parameter organoleptik yang diujikan yaitu tekstur, warna, keseragaman pori, aroma dan rasa. Uji Tekstur Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan substitusi tepung porang dan tepung suweg memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tekstur produk secara organoleptik. Tabel 5. Hasil uji analisis sidik ragam SK
db
Perlakuan Galat Total
10 99 109
JK 228.8909 56.1 284.9909
KT
F
22.88909 0.566667
40.39**
Ftabel .05 .01 1.93 2.5
Dari histogram, baik tabel maupun gambar, di atas dapat dilihat bahwa panelis tidak menyukai tekstur roti tawar dengan substitusi tepung porang dan tepung suweg di atas 20%. Uji Warna Warna roti dipengaruhi oleh proses pemanggangan sehingga terjadi perubahan pada kulit maupun remah roti. Reaksi pencoklatan (browning) akibat dari karamelisasi gula dan interaksi antar gula dan protein membentuk gumpalan-gumpalan berwarna gelap (melanoidin) yang akan akan menyerupai karamel baik dari warna, rasa maupun aroma.
ISSN 2302-2612
7
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
Gumpalan-gumpalan tersebut akan berubah menjadi lebih gelap dan tidak larut, dan hasil perubahan warna inilah yang sangat berperan dalam menentukan warna akhir produk roti. Reaksi pencoklatan akibat keberadaan protein, karbohidrat serta adanya panas disebut reaksi pencoklatan non-enzimatis atau disebut juga reaksi Maillard (Muchtadi, 1989 dalam Suhairi, 2007). Pada reaksi gelatinisasi pati ganyong menjadi dekstrin, terjadi perpindahan air dari protein ke pati yang memungkinkan terbentuknya warna kerak pada remah roti. Warna remah roti tawar yang agak kecoklatan mengurangi tingkat kesukaan panelis yang sudah terbiasa dengan roti tawar yang berwarna putih. Oleh sebab itu, penggunaan roti tawar imbangan tepung terigu dengan tepung pati ganyong disarankan sebagai roti untuk hidangan lain seperti soup atau dibuat roti kering. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap warna roti tawar yang dihasilkan pada Tabel 6 di bawah ini dapat dilihat bahwa Fhitung > F.05, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum panelis memberikan penilaian yang berbeda sangat nyata terhadap warna roti yang ditimbulkan oleh masing-masing perlakuan. Tabel 6. Hasil analisis sidik ragam SK
db
Perlakuan Galat Total
10 99 109
JK 245.4545 87.1 332.5545
KT
F
24.54545 0.879798
27.89**
Ftabel .05 .01 1.93 2.5
Hasil penelitian menunjukkan bahwa panelis tidak menyukai warna roti tawar dengan substitusi tepung porang di atas 40% dan tepung suweg di atas 30%. Uji Keseragaman Pori Keseragaman pori roti tawar berkaitan dengan kemampuan dan kekuatan penahanan gas. Hal ini berhubungan erat dengan sifat fisik yaitu pengembangan volume roti tawar. Porositas roti tawar sangat dipengaruhi oleh kemampuan pembentukan gas dan kemampuan menahan gas. Pada proses fermentasi terbentuk gas, sedangkan pada proses penggilingan terjadi pengeluaran gas dan penangkapan udara luar, sehingga pada proses proofing dapat dihasilkan gas yang optimal. Proses penggilingan yang kurang baik dapat menyebabkan gas terperangkap dalam adonan , dan pada proses pemanggangan terbentuk pori-pori roti yang tidak seragam. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap keseragaman pori roti tawar yang dihasilkan pada Tabel 7 di bawah ini dapat dilihat bahwa Fhitung > F.01 maka dapat disimpulkan bahwa secara umum panelis memberikan penilaian yang relatif berbeda terhadap keseragaman pori yang ditimbulkan oleh masing-masing perlakuan. Atau dengan kata lain masing-masing perlakuan memberikan dampak yang berbeda nyata terhadap keseragaman pori. Tabel 7. Hasil analisis sidik ragam SK Perlakuan Galat Total
8
db 10 99 109
JK 244.9636 73.8 318.7636
KT
F
24.49636 0.745455
32.86**
ISSN 2302-2612
Ftabel .05 .01 1.93 2.5
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
Uji Aroma Citarasa, yang terdiri dari aroma dan rasa, pada roti tawar terutama terbentuk pada proses fermentasi, yaitu sebagai hasil aktivitas khamir Saccharomyces cerevisiae, disamping gas CO2 yang dihasilkannya. Pembentukan aroma roti tawar akibat aktivitas ragi dapat dikendalikan melalui penambahan garam dan pengaturan waktu serta suhu fermentasi adonan. Proses fermentasi adonan roti menghasilkan komponen-komponen pembentuk aroma roti, diantaranya asam asetat, aldehid dan ester (Matz, 1972 dalam Widodo, 1999). Aroma roti juga dapat terbentuk sebagai akibat proses dekomposisi pati yang akan membentuk dekstrin dan menghasilkan aroma yang spesifik (U.S. Wheat Associates, 1983 dalam Hudaya, 2002). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 8) dapat dilihat bahwa Fhitung > F.01, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum panelis memberikan penilaian yang berbeda sangat nyata terhadap aroma roti yang ditimbulkan oleh masing-masing perlakuan. Atau dengan kata lain masing-masing perlakuan memberikan dampak yang berbeda sangat nyata terhadap rasa produk. Tabel 8. Hasil analisis sidik ragam aroma SK Perlakuan Galat Total
db 10 99 109
JK 324.9636 64.5 389.4636
KT
F
32.49636 0.651515
49.87**
Ftabel .05 .01 1.93 2.5
Uji Rasa Rasa roti tawar dipengaruhi oleh bahan penyusun roti yang berkaitan dengan pemberi rasa antara lain senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan rasa lain. Bahan penyusun roti adalah tepung terigu, margarine, air, garam dan ragi. Lemak yang terkandung pada bahan merupakan unsur utama pembentuk citarasa. Selain itu lemak berguna sebagai bahan shortening yang akan memberikan rasa lezat dan meningkatkan nilai gizi (Desrosier, 1988). Komponen citarasa juga terbentuk sebagai akibat proses karamelisasi gula dan interaksi gula dan proein, selain terjadi juga dekomposisi pati dan pembentukan dekstrin. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 9) dapat dilihat bahwa Fhitung > F.01, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum panelis memberikan penilaian yang berbeda sangat nyata terhadap rasa roti yang ditimbulkan oleh masing-masing perlakuan. Atau dengan kata lain masing-masing perlakuan memberikan dampak yang berbeda sangat nyata terhadap rasa produk. Tabel 9. Hasil analisis sidik ragam SK Perlakuan Galat Total
db 10 99 109
JK 344.0182 37.3 381.3182
KT
F
34.40182 0.376768
91.30**
Ftabel .05 .01 1.93 2.5
Indeks Glikemik Indeks glikemik (glikemic index, GI) adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Dengan kata lain, indeks glikemik merupakan respon glukosa ISSN 2302-2612
9
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Indeks glikemik suatu bahan pangan berbeda-beda tergantung pada fisiologis, bukan pada kandungan bahan pangan tersebut (Sarwono W, 2002 dalam Wijaya dkk. 2012). Beban glikemik (BG) didefinisikan sebagai IG pangan dikalikan dengan kandungan karbohidrat pangan tersebut. Oleh karena itu BG menggambarkan kualitas dan kuantitas karbohidrat dan interaksinya dalam pangan (Liu, dkk, 2001 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004). Pada penelitian ini indeks glikemik dicari secara teoritis dari kepustakaan yaitu dengan mencari perbandingan prosentase antara tepung terigu dengan tepung komposit, yaitu tepung porang atau tepung suweg. Perhitungan juga hanya dilakukan untuk perlakuan-perlakuan yang nilainya mendekati kontrol. Adapun perlakuan-perlakuan yang nilainya mendekati kontrol dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Daftar perlakuan-perlakuan yang nilai parameternya mendekati kontrol. No Parameter Perlakuan 1. Volume jenis SA, PA dan S1 2. Kadar protein SA dan S1 3. Kadar air SA dan S1 4. Tekstur SA dan S1 5. Organoleptik - Tekstur SA dan PA 6. Organoleptik - Warna SA dan S1 7. Organoleptik – Keseragaman pori SA dan S1 8. Organoleptik - Aroma SA, S1 dan P1 9. Organoleptik - Rasa SA, S1, PA dan P1 Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa substitusi tepung baik porang maupun suweg sebanyak 10% tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap mutu roti tawar yang dihasilkan, berdasarkan uji fisik, kimiawi maupun uji tingkat kesukaan konsumen. Maka setelah dilakukan uji proksimat perhadap 4 (empat) perlakuan yaitu : PA (substitusi tepung porang 5%), P1 (substitusi tepung porang 10%), SA (substitusi tepung suweg 5%) dan perlakuan S1 (substitusi tepung suweg 10%) maka dihasilkan data sebagai berikut: Tabel 11. Hasil uji proksimat sampel SA, S1, PA dan P1. Sampel (%wb) No Kadar SA S1 PA P1 1. Air 40,58 40,41 37,51 36,87 2. Protein 9,10 8,55 7,66 7,21 3. Karbohidrat 48,28 48,93 52,41 53,63 4. Lemak 1,22 1,21 1,32 1,20 5. Abu 0,82 0,90 1,10 1,09 Berdasarkan pustaka yang ada indeks glikemik tepung terigu adalah sebesar 71, tepung porang dan tepung suweg setara yaitu 36. Maka dapat dihitung beban glikemik pada empat sampel terbaik di atas adalah sebagai berikut:
10
ISSN 2302-2612
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
Tabel 12. Beban Glikemik Roti Tawar SA, S1, PA dan P1 No Roti Tawar dengan Perlakuan Beban Glikemik 1. SA (terigu 95%, tepung suweg 5%) 33,43 2. S1 (terigu 90%, tepung suweg 10%) 33,03 3. PA (terigu 95%, tepung porang 5%) 36,29 4. P1 (terigu 90%, tepung porang 10%) 36,20
Kategori Rendah Rendah Rendah Rendah
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa substitusi tepung porang atau tepung suweg mempengaruhi secara signifikan mutu roti tawar yang dihasilkan, baik dari sisi mutu fisik, mutu kimia maupun mutu sensoris. Substitusi tepung porang dan suweg mempengaruhi secara nyata kadar air, kadar protein, volume jenis dan tekstur. Hasil analisis uji organoleptik menunjukkan bahwa panelis penguji tidak melihat adanya perbedaan antar perlakuan baik terhadap tekstur, warna, keseragaman, aroma dan rasa roti tawar yang dihasilkan jika tepung komposit yang ditambahkan tidak lebih dari 10%. Maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik roti tawar diabetesi dari tepung porang dan tepung suweg adalah : SA (tepung terigu 95%, tepung suweg 5%), S1 (tepung terigu 90%, tepung suweg 10%), PA (tepung terigu 95%, tepung porang 5%) dan P1 (tepung terigu 90%, tepung porang 10%). Saran Perlu dilakukan penelitian sampai dengan penambahan tepung porang maupun tepung suweg sebesar 15%. Juga perlu dikaji pentingnya melakukan rekayasa proses pengolahan roti tawar sehingga diperoleh roti dengan mutu yang tetap baik walaupun tepung komposit yang disubstitusikan makin besar yaitu di atas 20%.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiknas RI dalam hal ini DP2M yang membiayai penelitian ini melalui SKIM Hibah Penelitian Dosen Pemula tahun 2013
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2013. http://www.kampus book.com/daftar-buku/pid-13121/ suweg.htm. Diakses 10 Mei 2013. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1995. Ilmu Pangan. terj. oleh Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta.
ISSN 2302-2612
11
Jurnal Agroknow Volume 2 No. 1 Februari 2014
Cahyadi, Wisnu. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Didah Nur Faridah,dkk. 2007. Pangan Fungsional Dari Umbi Suweg dan Garut: Kajian Daya Hipo-kolesterolemik Dan Indeks Glisemiknya. Bogor.Dept.IPT- FA TETA, SEAFAST CENTER IPB Dwiyitno dan Rufaidah, Vivit W. 2002. Potensi Ganyong dan Produknya Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Prosiding Seminar PATPI 2002. Malang. Herudiyanto, Marleen, Imas Setiasih dan Agus Sudrajat. 2002. Efek Substitusi Tepung Terigu oleh Tepung Campuran Kedelai dan Ubi Jalar serta Penambahan Gliseril Monostearat pada Pembuatan Roti Tawar. Prosiding Seminar Nasional PATPI. Malang 30-31 Juli 2002. Hudaya, Saripah, Marsetio dan Septina Dewi Savitri. 2002. Pengaruh Imbangan Tepung Terigu dan Tepung Ganyong (Canna edulis KERR) terhadap Beberapa Karakteristik Roti Tawar. Prosiding Seminar Nasional PATPI, Malang 30-31 Juli 2002. Khomsan, Ali. 2004. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Mamudh, Rofijul. 2009. Melihat Budidaya Iles-iles di Hutan Ketapanrame, Trawas. Harian Radar Mojokerto, Senin, 18 Mei 2009 Narita, Vanny. 2005. Saccharomyces cerevisiae, Superjamur yang Memiliki Sejarah Luar Biasa. Harian Kompas. Rabu, 21 September 2005. Noer, 2011. Suweg, Umbi-Umbian Berpotensi yang Belum Populer. http://www. kompasiana.com/ratnamnoer. Diakses 1 April 2013. Poerwanto. 2009. Penyakit Diabetes Bisa Sulit Puas Sex. http://www.penyakit diabetes.com. Diunduh 1 April 2013. Rahmawati, Norhikmah dan Komari. 2002. Pengaruh Substitusi Parsial Tepung Terigu dengan Tepung Pati Garut (TPG) dan Penambahan Gliseril Monostearat (GMS) terhadap Mutu Roti Tawar. Prosiding Seminar PATPI 2002. Malang. Retnaningsih, Ch. 2002. Peranan Enzim dalam Adonan Roti. Tips Pangan Teknologi, Nutrisi dan Keamanan Pangan. Grasindo. Jakarta. Rimbawan dan Albiner Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Suhairi, Laili. 2007. Pemanasan Berulang terhadap Kandungan Gizi “Sie Reuboh” Makanan Tradisional Aceh. Thesis Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Widodo, R. 1999. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai dan Sodium Stearoil-2 Lactilat Terhadap Mutu Roti Tawar. Untag. Surabaya. Wijaya, Wiwit Arif, Nur Sofia Wardani, Meutia, Indra Hermawan dan Rafiqah Nusrat Begum. 2012. Beras Analog Fungsional dengan Penambahan Ekstrak Teh untuk Menurunkan Indeks Glikemik dan Fortifikasi dengan Folat, Seng dan Iodin. IPB. Bogor. Winarno, FG. 1996. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
12
ISSN 2302-2612