\ro1.1 1, No.1,Tuni
20i2
ISSN 1412-5420 SK DIRJEN DIKT1 KE,MF]NDIKNI NO. 66blDrKTr / KEP / 201 1
JURNAILBDAIERO
WACANA IMAN DAN KEBUDAYAAN Discoarse tn Faith and Crlture
Terbit dua kali setahun: Januari Juni / JuLi-Desember.
Berisi tulisan ilmiah tentang teolog, fi.lsafat, ilmu ilmu sosial dan kebudayaan.
Penanggung Jawab Bernard Raho (I{etua STFK Ledalero)
Ketua Pen)'unting John M. Prior
Vakil Ketua Penyunting Phiiipus Tule
Penyunting Ahli Konrad Kebung Georg Kirchberger Paul Budi I{leden Otto Gusti Madung PhiJrp Ola Daeng
Robert Mirsel Richatd Muga Bernard S. Hayong
f/flflil/ttiltiltlillttill
Penyunting Pelaksana John M. Prior Philpus Tule Otto Gusti Madung Bernard S. Hayong Resensi
Buku
Otto Gusti Madung Alamat Redaksi Sekolah Tinggi Filsafat I{atolik Ledalero Maumere 86152 - Flotes - NTT
T+.082145883380 Flx.0382/21892
Email:
[email protected]
Pembayaran bedangganan dapat dilakukan melalui: Bank BRI Unit Nita, Maumete No. Reh 4694-01 -00001 8-50-3 A/n. STFK Ledalero Percetakan: Moya Zam-Zam Printika, Yogyakarta
DAFThR ISI
EDITORIAL: NARASI DIRI...,................................................... I ANTARA FILSAFAI DAN MISTIIC Memaknai Perialanan Mistik-Filosofi s St. Yohanes dari Salib Dalam Mmilaki Gunung Karme|................................... 5 Bernard Hayong BERFILSAFAT DALAM B,{TAS.BATAS NAI,AR DAN IMAN: Kant, Hegel, Kierkegaard dan Kekristenan....... ............-........--.-- 27 F. Budi Hardiman
NARASI DIRI, YANG LAIN DAN INSTITUSI YANGADIL (Hermeneutika Diri dan Etika Politik Paul fucoeur) ................. 53 Felix Baghi BIOGRAFI SEBAGAI KONTEKSTUAIIS4SI........................... Robert Setio
8
I
INKULTUMSI IGKRISTENAN DALAM KONTEKS ANEKA BUDAYA DAN AGAMA........,... IO5 Roben |. Schreiter IGTII({ Iv1ASYAIL{IC{T MENGADVOI(ASI DIRI Studi Kasus tentang Masyarakat Baopa'at dan Wuliwutik, Tbhun 201
I
125
..
Robert Mirsel
PEMBANGUNAN INTEGRAI
-
O4RJTIS IN WRITATE ..... 149
Georg Kirchberger
HIMPUNAN DOA PELITA FIATI DAIAM SOROTAN DOI(UMEN GEREIA TENTANG LITURGI DAN DEVOSI -.._....._,.-.........,.. 169 Antonio Camnahas
PADAMASAITU
....,,.,....,.... 199
RESENSI BUKU
2t3
BERITABUKU.
225
PARAPENULIS..
227
BIOGRAFI SEBAGAI KONTEKSTUALISASI Robert Setio
Abstract As the dajt of European missionaries is owr, there is ahuge challmgefor Indonesian Chistians u find their or'n moilels of Christianitlt through contextualimtion. So far contmualization has gone slme wa! in changing Wcsttrn tfuological paradigms which were Dlpicall! Enical about local culture inherited from rte ancestors and revered b1l the local pnple- Nevmheless, a petsonal involvanmt is oltn left out of these ffirts. This paper attempts to the gap by using biography, a biography that is not solelt pmonal though this is its focal point. The eommunal appears through personnl experimce. The relationship betwem the personal and, the communal is such that one cannot exist without the other This article shows how in his life the author has always been positioned b*neen twl poles vrhich reJlea his oer-altemating social conturts In such an oscillnting pronss, the personhood of the writer is realized. Contmualization, shown through biography, negates an! certainrt It rjeds an! clear-cut depidion of a self anil of a particular tltpe of Christianit, while at the same time welcoming a pi.cture of hybridity for the self and for Chnstianitl. As ChistianitJ) is a living religion and as its adherents are engaged. in manlfold. relationships, it is impossible for it
fll
to be seen as
a
ftxed mtiqt.
Key-words: Kontekstualisasi, Biografi, Osilasi, Ke-Cina-an, IGkristenan, Indonesia
Biblical monotheism is not tre idea that there is one God and tlerefore one gateway to His presence. On the contrary it is the idea that the unitlt
oJ
God is to
be
T\is applies Diferma)
found in the diversirt 0f reatizn.
to the natural world. (Jonathan Sack,
The Dignity of
Pendahuluan Kontekstualisasi (teologi) sudah cukup lama menjadi perhatian dan pembicaraan di kalangan para teolog Indonesia. Setelah sekian lama masa pekabaran Iniil oleh para misionaris Eropa berlalu, muncul kesadaran akan pentingnya mengikutsertakan kebudayaan setempat dalam pertimbangan-pertimbangan teologis. Teologi bahkan diniati
JURNAL LEDALERO. Vol. 11. No.
I. Juni20l2
untuk berakar pada budaya setempat. Kendala yang harus dihadapi untuk mewuiudnyatakan niat tersebut adalah ajaran para misionaris Eropa yang sering kali menempatkan budaya setempat sebagai unsur bukan IGisten yang harus dicurigai bahkan disingkirkan. Ajaran seperti ini cukup mendarah daging dalam kehidupan orang IGisten di Indonesia sekalipun para misionaris Eropa itu sudah tidak bersama mereka lagi. Oleh sebab itu, usaha kontekstualisasi meniadi tidak mudah untuk diialankan. Kebudayaan setempat sudah terlaniur dipandang 'dengan sebelah mata". Pandangan seperti itulah yang harus pertama-tama diubah agar usaha untuk mengakarkan teologi pada budaya setempat berhasil.
Di pihak Iain, pengaruh budaya setempat yang diwarisi dari nenek moyang tidak begitu sala sirna dari dalam kehidupan urnat IGisten. Upaya para misionaris Eropa untuk menggantikan budaya nenek moyang dengan budaya Eropa (dengan dalih itulah yang benar-benar Kristen) tidak secara total berhasil. IGrena itu, tidak jarang orang hidup dalam dua dunia yang berbeda, dunia yang ia warisi dari nenek moyangnya sendiri dan dunia Barat yang diaiarkan oleh para misionaris. Adalah menarik untuk mengamati b,gaimana orang menialani hidup dalam dua dunia yang tampaknya tidak mungkin dipersatukan itu. Apakah mereka harus meniadi orang yang pandai berpura-pura, yaitu ketika berada di gereia menjadi orang yang berpura-pura tidak mengenal tradisi nenek moyang, dan sebaliknya ketika berada di lingkungan adat ia berpurapura tidak tahu tentang ajaran Gereja? Ataukah, kedua hal tersebut diterima dengan tulus dan sungguh-sungguh namun tidak terhindarkan dari ketegangan. Tirlisan ini hendak mencoba memperlihatkan bahwa kemungkinan kedua itulah yang terfadi. Pembuktian yang digunakan adalah biografi penulis sendiri. Melalui paparan biografinya, penulis akan memperlihatkan te4adinya pertemuan antara aiaran Gereja dan ajaran nenek moyang atau adat dalam dirinya. Perjumpaan itu dapat bersifat saling meneguhkan (konfirmasi), namun dapat juga bersifat saling bertentangan (konfrontasi). Dari situ sesuatu yang sudah ada sebelumnya dapat diteruskan (kontinuitas), dapat pula dikesampingkan (diskontinuitas). Bentuk biografi yang digunakan dalam tulisan
ini
mempunyai
maksud tersendiri. Denganbiografi, penulis hendak menunjukkan bahwa sesuatu yang tampaknya te{adi begitu saja tanpa disadari dapat diolah dalam kesadaran untuk kemudian ditentukan apakah akan diambil atau
tidak Jika keputusannya adalah diambil, apakah diambilnya
secara
utuh ataukah dengan perbaikan-perbaikan. Artinya, biografi memberi
Biograf sebagai Model Kontt*stualisasi (Robcft Setio)
peluang untuk meniadikan pengalaman hidup yang dijalani begitu saia meniadi pengalaman yang direfleksikan. Tindakan reflektif atau penyadaran ini dapat te4adi secara langsung yaitu ketika pengalaman masih sedang teriadi, namun dapat pula dilakukan sesudahnya. Pemikiran tersebut sangat berkaitan dengan konsep kontekstualisasi . Sebagian orang berpendapat bahwa konstekstualisasi adalah hal yang
terjadi secara otomatis dan alamiah. Tidak ada orang yang tidak melakukan kontekstualisasi, sadar maupun tidak, karena tidak mungkin seseorang hidup dalam ruang hampa. Seseorang pasti berada dan
terikat
pada konteks hidupnya termasuk ketika ia menjalankan peran sebagai
orang beriman. Sementara itu, ada orang yang berpendapat bahwa konstekstualisasi hanya terjadi ketika dengan sengaia orang mengolah pengalaman hidupnya. Mungkin saia pengalaman itu sudah dijalani, namun jika itu diialani tanpa diolah dalam suatu pemikiran maka kontekstualisasi belum dapat dikatakrn sudah terjadi. Kontekstualisasi tidak bisa te4adi secara otomatis melainkan harus merupakan hasil dari analisis yang dilakukan dengan sengaja.I fadi jika pandangan pertama melihat kontekstualisasi dapat berlangsung tanpa sadar, pandangan kedua menekankan kesadaran sebagai penentu dijalankannya kontekstualisasi.
Denganmemilihbentukbiografi sebagaiperwuiudankontekstualisasi, penulis ingin menjawab perdebatan te$ebut dengan mengatakan bahwa kontekstualisasi adalah soal pengalaman yang dilalani (sangat mungkin tanpa sadar), namun sekaligus juga pengalaman yang direfleksikan (pasti dengan kesadaran). Bagi penulis kedua hal tersebut sulit untuk dipisahkan. Kesulitan untuk memisahkan pengalaman alamiah dan kesadaran atas pengalaman tersebut menjadi semakin terasa ketika penulis memahami dirinya sebagai orangyang berdiri dalam posisi sebagai pelaku (orang IGisten) sekaligus pengamat (peneliti/dosen teologr). Berbeda dari yang dapat te{adi di negara-negara lain di mana seorang ahli teologi bukan seorang penghayat, di Indonesia para ahli teologi pasti iuga penghayat (dalam berbagai kadar). Setidaknya keadaan itulah yang ada pada penulis. Maka, kontekstualisasi merupakan percampuran antara pengalaman yang dijalani begitu saja dan pmses pemahaman (hermeneutika) atas pengalaman tersebut. Kontekstualisasi merupakan tindakan yang nyata dan sehari-hari, namun juga tindakan yang sudah dipikirkan sebelumnya (suategis).
1
RobertJ. Schreiter, misalnya, berpendapat bahwa kontekstualisasi berbeda dari lokoisasi
(locat,ationlka.enatidak seperti yang terakhir ia merupakan upaya bersengaja (refleKi0. Sedang lokoisasi adalah pengalaman yang dijalanibegitu saia. Lihat bukunya, Consftucting Local Theologies, Maryknoll: Orbis Books, 1985
u
JURNAL LEDALERO. Vol. 11, No. 1,
Juli
2012
Biografi Saya adalah seorang keturunan Cina yang beragama l(risten'2 IG-Cina-an saya mempunyai arti bagi ke-K.risten-an saya. Begitu iuga sebaliknya, ke-Kristen-an saya mempunyai pengaruh bagr ke-Cina-an saya. Keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan- dalam diri saya. Sebagai orang Cina yang dilahirkan dan dibesarkan di Surabaya, t"y" p"^""h mengalami kefadian-keiadian yang menakutkan dan traumatis. I(erusuhan-kerusuhan rasiai pemah saya lihat bahkan saya alami sendiri. Ketika masih duduk di bangku SMP, saya pernah terjebak da.lam kerumunan nussa yang sedang melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang Cina. Bayangan berada di tengah massa yang mingintimidasi danseakan-akan hendak menghabisi saya itumasih jelas dalam ingatan saya. IGiadian yang tampaknya tidak ada hubungannya dengan ie-Kristen-an saya itu, ketika saya refleksikan ternyata ikut membentuk ke-Kristen-an saya Seperti orang Kristen lainnya' arti menizdilGisten sangat bergantung pada pengalamai-pengalaman nyata termasuk pengalaman yang sifatnya priU"ii. i.""*" k ruirrh"n rasial membuat saya mengidentikkan diri sebagai bagian dari mereka yang bukan pelaku kerusuhan' Dalam cernaan suUlJt
Lalu saya membandingkannya dengan orang Kristen yang tampak berbeda. Oiang lGisten tidik akan melakukan keiahatan yang dilakukan orang Islam. Sibagai orang Cina, Kristen adalah agama yang baik' IGlau t"yr-dil"hitk tt dttt dididik sebagai orang IGisten oleh orangtua maupun oleh sekolah di mana saya dididik, saya Patut bers)'ukur atasnya' Saya pun siap untuk membentuk citra lcisten sebagai agama yang penuh Lsih dan tidak akan menganiurkan orang melakukan tindakandilakukan orang Islam terhadap tindakan kekerasan sepefti
tang
,sayaSengajamemakaiistilah"cina,dalamtutisaninikarenaistilahilulahyangbanyak Tionghoa Jigunatarioltam masyamkat. Dilua.tulisan ini, saya cenderung memakaiistilah yang bagi saya lebih sedap didengar.
Biograj ubalai Modcl K.o tekstualisasi (Robefi Setio)
orang-orang Cina. Maka, IGisten bagi saya yang pernah mengalami pengalaman traumatis sebagai orang Cina adalah agama yang membuat saya berada di luar kelompok yang pernah menyakiti saya dan orangorang Cina lainnya; juga adalah agama yang mengaiarkan cinta kasih' anti kekerasan, penuh penerimaan kepada mereka yang tertindas, pendeknya yangbedawanan dari yang saya pikirkan tentang Islam yang sudah membuat saya ketakutan. Di saat lain, saya merasakan gelolak yang cukup besar dalam diri saya untuk menepis citra buruk tentang Islam dalam diri saya- Mungkin pengalaman-pengalaman pribadi saya iuga yang membuat geiolak ini muncul dalam diri saya. Pada masa kecil, saya sering bermain dengan kawan-kawan di daerah perumahan di mana kelualga kami bermukimMereka kebanyakan adalah anak-anak pribumi. Hanya sedikit yang Cina seperti saya. Kami bermain layang-layang, kelereng, garr.bzr umbuhn, kolas, bat<sodor dan beragam permainan anak kampung lainnya. Kami bermain begitu lepas sebagaimana anak-anak pada umumnya. Tidak ada perbedaan, tidak ada diskriminasi yang saya rasakan ketika itu' Pengalaman itu membuat saya berpikir positif mengenai orang-orang pribumi yang kebanyakan beragama Islam. Di masa itu, dari yang saya ingat, kami ridak pernah membicarakan soal agama, apalagi perbedaan agama, apalagi membeda'bedakan orang berdasarkan agama' Anakanak perempuan iuga tidak banyak yang memakai kerudung seperti anak-inak sekarang. fadi pakaian kami sama. Mungkin itu pula yang ikut membentuk kisan tidak adanya perbedaan di antara kami' anakanak di daerah pemukiman keluarga saya di masa kecil. Pengalaman baik lainnya dengan orang-orang Islam saya peroleh di rumah s-endiri. Para pembantu di rumah kami pada waktu saya masih kecil sangat mengasihi kami. Saya dan saudara-saudara saya mempunyai hubungan yang dekat dengan para pembantu yang rnengasuh kami' Saya sendiri bilaiar bahasa |awa halus (secara tidak langsung) dari saiah seorang pembantu yang bekeria di keluarga kami sampai puluhan tahun lamanyi. Mereka semua beragama Islam dan orangtua saya tidak pemah berusaha mengubah agama mereka. IGsan yang baik yang saya miliki tentang mereka adalah iuga kesan baik tentang orang Islam dan Islam itu sendiri. IGsan-kesan indah dari masa kecil ini mendorong saya untuk tidak mempercayai begitu saja kesan buruk yang saya peroleh lewat kerusuhan-kerusuhan rasial dan diskriminasi terhadap orang Cina tadi. Di masa kemudian, saya banyak terlibat dalam dialog antaragama, khususnya antara Islam dan Kristen, yang membuktikan bahwa saya tidak ingin teriebak pada pengalaman traumatis yang membawa citra kurang baik tentang Islam.
JURNAL LEDALERO. Vol. 11. No.
'1.
Juni2012
Konteks di mana saya bertumbuh di masa kecil membawa citra mengenai Islam dan Kristen dalam kondisi interaktif: citra Islam ditentukan oleh citra mengenai Kristen dan sebaliknya citra IGisten yang saya miliki ditentukan oleh kesan saya mengenai Islam. Osilasi antara pencitraan kedua agarna tersebut berlangsung sec:rra ajek yang membuat pencitraan mengalil Ketika saya menemukan citra Islam yang menakutkan dalam kasus-kasus anti Cina, pada saat itu saya membayangkan diri saya dan orang-orang yang setipe dengan saya (Cina Kristen) ditempatkan dalam posisi pinggiran. Kami, orang Cina Kristen, mengalami letrih daripada yang dapat disebut sebagai diskriminasi. Karena iika diskriminasi tampak dalam keladian sehari-hari yang sudah dapat dianggap biasa, kerusuhan rasial yang saya pernah alami sendiri dan yang diceritakan kepada saya oleh orang-orang tua karni, lebih daripada kejadian sehari-hari. IGmi seakanakan hendak dilempar ke luar oleh kelompok mayoritas. Kelompok mayoritas yang dalam bayangan saya adalah pribumi Islam mengklaim dirinya sebagai penentu siapa saja yang boleh berada dalam maqyarakat. Mereka mendudukkan dirinya pada posisi utama atau sentnl. Mereka berada di pusat, sedang kami berada di pinggiran atau bahkan di luar sama sekali.
Tetapi pemosisian serupa itu tidak lalu membeku seiring dengan pencitraan lain tentang Islam yang saya miliki. Hubungan yang baik dengan tetangga dan para pembantu di rumah kami membuat citra Islam bergeser meniadi "tuan/nyonya rumah" yang ramah dan rela mempersilakan kami hidup bersama dengan mereka. IGmi terundang untuk masuk ke arena tengah, ke pusat di mana mereka berada. Perasaan dipinggirkan dan disingkirkan tidak lagi kami rasakan. Di posisi inilah klaim-k)aim tentang Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Islam yang moderat, ramah dan terbuka dapat saya setuiui. fuga dalam posisi ini saya terundang untuk ikut mengembangkan kehidupan bersama yang menerima kebhinekaan sebagai modal untuk membangun kesejahteraan bersama. Osilasi antara dua citra tentang Islam yang berimbas kepada citra tentang Kristen mengiringi perlalanan hidup saya, tanpa satu menutupi atau meniadakan yang lain, namun juga tanpa menghasilkan kebingungan dalam diri saya. Saya menerima keduanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Sekarang saya hendak bergeser ke arah yang lebih internal sifatnya yaitu hubungan yang te4adi antara saya dan kelompok saya sendiri (orang-orang Cina IGisten). Di kalangan orang Cina IGisten (Protestan) di pulau Jawa, ke-IGisten-an sudah lama dianut (sekitar tahun I93Oan). Keluarga saya sudah meniadi IGisten seiak empat generasi sebelum
Biograf sebagai Model Konuktualisasi (Robert Sctio)
87
yaitu sejak ibu dari nenek saya. IGmi menyebut ibu dari nenek ini dengan sebutan Em ak-Co,yangberasal dari bahasa suku Hokkian, sebuah suku Cina. Emak-Co memiliki seorang anak yang menfadi pendeta. I(u-IQng (demikian sebutan untuk saudara lelaki dari nenek) saya itu adalah pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang dikenal sebagai Gereja dari orang-orang Cina. Di kernudian hari /(r-I(ang saya berpindah Gereja bahkan berpindah aliran, menjadi injili kemudian karismatik. Sebelum beliau meninggal, beliau kembali menjadi pendeta GKI atas permintaannya sendiri. Rupanya GKI tidak dapat dilupakannya. GKI memang memiliki hubungan yang erat dengan kebanyakan orangCina babah (peranakan). Sebul.an babah dikenakan kepada mereka yang dianggap sudah tidak mumi Cina, sudah bercampur dengan kaum pribumi. Bagi yang masih asli disebut totol. Identitas babah d,an totok ini tidak hanya berbicara mengenai kadar kemumian ke-Cina-an orang Cina. Orang GKI yangbabah itu memahami dirinya sebagai orang Cina yang berbeda dari orang Cina totok karena soal pendidikan. Orang rorot dianggap kurang berpendidikan, malah dianggap tidak memedulikan pendidikan karena sibuk dengan urusan drgrng. Anak-anak mereka tidak dipacu untuk meraih tingkat pendidikan yang setinggi-tingginya, namun dipacu untuk bisa berdagang sedini mungkin. Pandangan ini datang dari kaum babah yang mengambil jalan sebaliknya. Kaum babah sangat mementingkan pendidikan dan ingin anak-anak mereka sekolah sampai tingkat yang sangat tinggi. Mereka bangga jika anak-anak mereka dapat meraih gelar sarjana, apalagi lebih daripada itu. Tekanan pada pendidikan sangat mewarnai kehidupan Gereja, dalam hal ini GKI, pula. GIQ menjadi Gereia yang menjunjung ringgi intelektualitas. Dari bahasa yang mereka gunakan, tampak tingkat kerumitan tertentu yang hanya bisa dimengerti oleh orang dengan intelektualitas tinggi. Tekanan pada organisasi yang rapi, teratur dan disiplin luga memperkuat kesan intelektual itu. Citra intelektualitas tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan kecenderungan orang GIC untuk memandang dirinya sebagai orang yang dekat dengan orang Belanda. Mereka ini sering saya
disebut suka /a-B elanda-Belanda-an
tmpaknya kecondongan
ke Belanda
itu merupakan pilihan yang sengaia diambil dalam rangka membedakan diri dari kaum torrl yang bukan kebetulan kebanyakan masih menganut agama asli Cina yaitu IGng Hu Cu ataupun Buddha. Meniadi IGisten bagi orang Cina &abah anggota GI(I telah membuat mereka lebih dekat dengan orang Belanda daripada dengan orang Cina asli. Pemahaman ini terus terbawa sampai dengan zaman kemerdekaan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan (1946-8) orang-orang Cina
JURML LEDALERO, Vol.
1'1,
No. 1. Juni 20'12
diperhadapkan pada pilihan apakah mereka akan menjadi warga negara Indonesia atau tidak3 Sebagian besar orang Cina IGisten memilih untuk meniadi warga negara Indonesia. Sedang orang Cina yang tidak beragama Kristen, sebagian besar mernilih untuk langsung kembali ke Tiongkok atau sambil menunggu saat kepulangan itu tiba, mereka memilih menjadi warga negara asing di negeri ini. Ke-IGistenan telah menciptakan rasa ke-Indonesia-an dan peniarakan terhadap ke:Tiongkok-an. Nama Gereja Kristen Indonesia yang secara eksplisit menyebut istilah Indonesia menandai preferensi tersebut. Nama GKI itu sendiri sudah digunakan pada pada penengahan tahun 1950.4 Saya yang dibesarkan dalam lingkungan GKI merasakan betul bagaimana citra diri saya dibentuk oleh relasi-relasi yang dibangun antara orang Cina babah dengan orang Cina t0t0k, dengan orang Belanda dan dengan orang Indonesia. Rasa bangga meniadi orang Cina intelek tidak lepas dari perbandingan dengan orang Cina yang tidak mengedepankan pendidikan. Karena saya babaft naka saya tidak sama dengan totlk y^ng bodoh, kasar, kurang sopan santun dan berpenampilan kumuh. Saya dibiasakan untuk melihat o:ang totrk sebagai orang yang lebih rendah daripada saya dan kaum saya sendiri. Perasaan superior itu tidak dapat dilepaskan pula dari identifikasi diri saya dan kaum saya ke orang Belanda. Saya dan kaum saya melihat orang Belanda sebagai orang yang beradab, pandai, disiplin, rapi dan modem. IGpada citra yang semacam itulah saya dan kaum saya menautkan diri. Posisi tersebut saya ambil tanpa Pertanyaan hingga pada suatu titik di mana saya dan keluarga saya menialankan adat istiadat nenek moyang. Salah satu contoh adalah ketika ayah saya meninggal dan atas permintaan keluarga besar saya dan saudara-saudara saya menjalankan ritus warisan nenek moyang yaitu memecahkan buah semangka dan kendi berisi air.
IGtika itu muncul ketegangan karena sebagian keluarga menentang ritus tersebut atas dasar ke-Kristen-an- Ritus tersebut dianggap melawan ke-IGisten-an karena didasari oleh takhayrl. Penentangan tidak hanya datang dari keluarga, namun luga dari Gereia (GIC). Akibat kesediaan saya untuk melakukan ritus tersebut, saya mendapat kritik dari pendeta Gereia itu. Dalam suatu khotbahnya, pendeta itu meniadikan saya sebagai contoh yang tidak boleh ditiru. Sikap semacam itu tidak asing Natan Setiabudi, The Chtistian Chinese Minodty in lndonesia with Special Refercoce to Ge.eja rci$en lndonesra, Disertasi, Department of Theology, Boston College' 1994, hlm. 1oo-1.
,bt4 hlm. 93.
Biograf scbagai Mod.el Konuktu4lisasi (Robn Saio)
bagi saya. Sudah sering saya diajar agar menlauhkan diri dari kebiasaankebiasaan nenek moyang. Ke-Kristen-an tidak diperbolehkan menerima kebiasaan nenek moyang itu oleh karena kebiasaan tersebut lahir dari kepercayaan kepada roh-roh setan. Tidak jarang saya merasa rikuh dengan sikap yang bagr saya terasa ekstrem itu. Dalam hati saya sering bertanya apakah memang menjadi Kristen berarti harus memisahkan diri dari nenek moyang. Apakah pemutusan hubungan tersebut cukup adil bagi orang-orang sepeni saya yang masih Cina iuga sekalipun tidak sama dengan Cina asli. Rasa ke-Cina-an saya dibangkitkan kembali justru ketika ke-Cinaan itu serasa ditindas- Siapa yang menindas? Bagi saya yang menindas itu adalah Belanda atau Barat atau mereka yang menelan bulat-bulat segala sesuatu yang dari Belanda,/Barat. Maka, kalau sebelumnya saya bangga dengan menjadi seperti orang Belanda, sekarang saya malah kurang suka dengan citra itu karena telah memaksa saya memutuskan hubungan dengan nenek moyang saya sendiri. Kalau semula saya menjauhi citra totok sekarang saya menghormati mereka karena dapat mempertahankan loyalitas mereka kepada nenek moyang kami. Osilasi antara Cina dan Belanda tersebut masih terus berlanlut ke persoalan ke-Indonesia-an. Keputusan yang diambil oleh para pendahulu saya di tahun l95o-an untuk memakai istilah Indonesia bagi nama Gereja kami membuat saya senang dan bangga. Nama ini menjadi semakin berarti sekarang ini karena mampu menarik anggota Gereia yang beridentitas suku (demikian kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia yang berasal dari zaman Belanda) untuk bergabung. Mereka adalah orang-orang yang lebih senang melihat dirinya sebagai orang Indonesia daripada orang dari suku tertentu. Nama ini pula meniadi sangat berarti bagi gerakan ekumenis di Indonesia yang mencita-citakan suatu Gereja yang esa di Indonesia. I(eesaan itu seakan memperoleh jalan masuk lewat ke-lndonesiaan yang sudah disepakati GIO sebagai identitas dirinya. Bersamaan dengan ditonjolkannya Indonesia itu, kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa ini juga ikut ditonjolkan. Indonesia berarti himpunan dari sekian banyak suku bangsa bahkan golongan yang ada di negeri ini. GKI adalah tempat bagi mereka semua. Kalau dalam perkembangan sekarang GIC aktif dalam kegiatan-kegiatan humanitarian dengan sasaran masyarakat luas tanpa memandang asal usul agama, itu pun dilakukan karena semangat menerima Indonesia sebagai bangsa yang penduduknya memeluk beragam agama.
fiwa pluralis dari GI(I ini pula yang saya kira mempengaruhi saya untuk berperan serta dalam dialog-dialog antaragama. Saya senang
JURNAL LEDALERO. Vol.1'1. No- 1. Juni2012
dengan keiikutsertaan saya tersebut meskipun saya tahu tidak semua orang yang sekaum dengan saya senang dengan kegiatan semacam itu. Di GIC pun dialog antaragama tidak selaiu disambut dengan baik. Tiauma orang Cina seperti yang saya alami bagi sebagian warga GKI masih begitu membekas sehingga menyulitkan mereka untuk menjalin
hubungan. baik dengan orang Islam (kecuali dalam urusan bukan agama). Tetapi, saya berbeda dengan mereka ini. Saya iustru merasa makin tertantang untuk mengenal mereka yang saya anggap sebagai kelompok yang memusuhi kaum saya. Bukan berarti, saya melakukan periumpaan dan dialog itu dengan tenang seakan-akan tidak ada apa-apa- Perasaan canggung bahkan curiga secara juiur harus saya akui sesekali memang saya rasakan. Tetapi perasaan ingin mengenal lebih iauh bal*an bersahabat dengan orang Islam membuat saya terdorong untuk melangkah mengatasi ketakutan dan kecurigaan tersebut. Saya tidak mengatakan bahwa dengan begitu semua perasaan negatif itu sudah sirna.dari dalam diri saya. Islam masih menyisakan bayangan-bayangan yang menyer:rnkan dalam diri saya. Indonesia pun masih meniadi persoalan bagi saya. Kedua kutub yang menyenangkan dan menggairahkan serta yang menakutkan dan menimbulkan perasaan asing masih silih berganti dalam diri saya ketika saya memikirkan Islam dan Indonesia. Ke-Kristen-an saya dibentuk oleh osilasi antara kedua kutub tersebut. Di antara kedua kutub te$ebut saya terkadang merasa berada di pusat yaitu di posisi dominan, terkadang pula di pinggiran. Biografi saya di atas memperlihatkan bahwa ke-Kristen-an dalam diri saya terbentuk dalam relasi yang saling berkelindan antara trauma dan persahabatan dengan orang Islam; antara status sosial sebagai Cina babah di hadapan Cina totok; antara menjadi Barat dan memelihara kepercayaan asli Cina warisan nenek moyang; antara meniadi orang Indonesia dan menerima serta menqnrkuri ke-Cina-an saya; antara merayakan pluralitas sebagai bangsa Indonesia di hadapan klaim-klaim yang menyangkali pluralitas tersebut dari kaum mayoritas. Berada di tengah situasi semacam itu tidak bisa teriadi begitu sala tanpa pertimbangan dan keputusan saya untuk memilihnya. Bahwa itu adalah sebuah pilihan (sekalipun tidak mutlak) akan meniadi ielas iika saya diperbandingkan dengan mereka yang sekalipun memiliki banyak kesamaan dengan saya namun tidak menialani apa yang saya ialani. Misalnya saja jika saya diperbandingkan dengan orang Cina Kristen yang karena alasan tertentu meniaga iarak dari orang-orang Islam. Atau orang Cina Kristen yang sama sekali tidak mau melaniutkan adat istiadat nenek moyangnya dan malah menielek-ielekkannya.
Biograf sebagai Mod.el Kon1ktualisaei (Rob.rt Setio)
-
Dibandingkan dengan mereka ini, saya (dan mereka yang sepaham dengan saya) dapat dikatakan lebih terbuka. I(eterbukaan ini mistinya tidak dilakukan tanpa dasar. I(arena ranah diskusi kita adalah teologia, maka dasar tersebut hendaknya adalah dasar teologis. Berikut ini s;ya mencoba untuk menjelaskan dasar teologis bagi sikap yang saya ambil, sikap yang mer4buat saya berada dalam proses osilasi yang tidak pernah selesai
itu.
Teologi Sebenarnya sudah banyak dikatakan bahwa halangan terbesar bagi perjumpaan dengan orang-orang di luar lingkaran hJbitus sendiri adalah pikiran teologis. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin menggarisbawahi apa yang sudah disebut-sebut banyak orang itu. Setelah itu, yang lebih penting lagi dalam hemat saya adalah adanya suatu usulan teologi yang dapat menolong orang untuk keluar dari "kepompong" habitusnya, dari zona nyamannya. Untuk itu kita perlu mempenimbangkan ulang segala macam pikiran teologis yang selama ini ditanamkan kepada diri kita baik oleh para misionaris Eropa di zaman dahulu maupun oleh pihak-pihak yang menuruninya pada waktu-waktu kemudian, termasuk diri kita sendiri. IGrena sering teiadi bahwa ajaran para misonaris yang sebenarnya sudah usang masih juga terpelihara dengan baik hingga sekarang. Bukan berarti segala yang diajarkan oleh para misionaris itu harus dikritisir begitu saja dan dianggap salah. Tetapi relevansi dari ajaran-ajaran mereka itu memang layak dipertimbangkan lagi mengingat zaman yang sudah banyak berubah dan dalam perubahan itu terjadi pula perubahan paradigma berpikir. Di Eropa sendiri, tempat di mana para misionaris itu berasal, perubahan-perubahan kecil maupun besar sudah banyak terjadi. Tidak sedikit pikiran teologis dari masa silam mengalami koreksi bahkan tidak lagi diajarkan. Teologi yang bergaya oksidentalis (memutlakkan sudut pandang Eropa) misalnya, sudah banyak mendapatkan kritikan dan oleh beberapa kalangan tidak dipertahankan lagi. Seandainya pun kita akan menghargai jerih lelah para misionaris di zaman dahulu, cara yang terbaik adalah justru dengan memikirkan ulang pikiran-pikiran mereka, bukan malah menuruninya tanpa sikap kritis. Teologi-teologi yang perlu segera kita kritisir adalah yang cendemng membuat kita merasa nyaman dalam "kepompong" kita. Teologi yang terlalu menekankan aspek keselamatan surgawi misalnya, adalah jenis teologi yang mudah meninabobokan orang. Bukan berarti teologi seperti itu salah pada dirinya sendiri, namun dalam konteks masyarakat kita
92
JURNAL LEDALERO, Vol. 11, No. 1, Juni 2012
yang penuh dengan tantangan dan masalah, teologi yang berorientasi ke surga semata akan sama halnya dengan membuat kita melupakan relita yang ada di sekitar kita. Teologi seperri itulah yang akan, meminjam istilah Karl Marx, meniadi candu bagi maryarakat.
Di pihak lain, teologi seperti iru jugalah yang akan membuat kita oleh keberadaan lian (the orlzer). Surga menladi tempat yang tidak mungkin dibagi dengan lltan. Keotali lian itrt berubah untuk menjadi sama dengan kita, mereka tidak akan pernah masuk surga. Maka, usaha untuk mempertobatkan liyan mutlak harus dilakul
terus menerus gelisah. Sebelum semua orang menjadi IGisten, berbagai jalan harus ditempuh agar impian itu tercapai. Bahkan setelah semua menjadi lGisten pun, masih harus ditanyakan Kristen yang manakah mereka itu. Kristen yang dikehendaki adalah IGisten yang sama aliran dan pandangannya. Lalu seperti apakah teologi yang diperlukan untuk melandasi sikap yang terbuka? Bagaimana jika lawabannya adalah sebuah teologi yang berangkat dari Penciptaan sebagaimana digambarkan oleh Kejadian l? Di situ dikatakan bahwa segala yang diiadikan Allah adalah baik. Tidak pemah yang jahat disebutkan berkenaan dengan hasil Penciptaan oleh
Allah itu. Apalagi bahwa yang iahat itu terselip di dalam dunia yang diciptakan Allah. I(sah ini dibuat dalam kesengajaan untuk membedakan diri dari kisah-kisah penciptaan di dunia kuna lainnya yang acapkali berupa pertarungan antara kekuatan jahat dan Tirhan. Bumi baru tercipta ketika yang jahat dikalahkan. Bumi bahkan diciptakan dengan unsurunsur yang diambil dari yang iahat. Kisah-kisah itu menandaskan bahwa kejahatan tidak akan pernah musnah dari muka bumi dan karena itu harus ada perjuangan yang terus- menerus untuk melawannya. Tetapi IGj I tidakmenlmpan pandangan seperti itu. Ia lebih optimis daripada kisah-kisah penciptaan yang memakai gambaran pertempuran kosmis. IGkuatan jahat, kalaupun diakui keberadaannya (kemungkinan dalam wujud tolrz wabohu atzu tehom) dalam Kel I , tidaklah diperlihatkan perannya.s Saya malah cenderung melihat bahwa kekuatan/kekuasaan
yang dalam kisah penciptaan lainnya ditampakkan perannya sebagai
5
E.G. Singgih membahas masalah ini dalam orasi ilmiah untuk pengukuhan jabatan guru besamya. O.asi itu dibed judu! Ex Nihilo Nihil Fit. Di situ Singgih menerima keberadaan khaos, namun menolaknya sebagai sumber kejahatan. Menurutnya sumber kejahatan
adalah manusia. Orasi tersebut diterbitkan dalam bukunya Dua Konleks, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hlm. 206, dst.
Biograf sebagai Model lQntektualisasi (Robctt Scti|)
yang iahat, dalam kisah Kei I justru dipergunakan oleh Tirhan dalam karya penciptaan-Nya. Lebih tepat lagi, Tirhan mengaiak unsur-unsur itu berperan serta dalam proses Penciptaan yang dilakukan-Nya. IGI I tidak mengajarkan penfngkimn melainkan keria sama dengan semua yang ada.
Dalam perkembangan kemudian, Yahweh (jadi bukan Elohim) melihat manusia secara berbeda. Ia melihat "bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata" (Kel 6:5). Tidak jelas apa yang dilihat oleh Yahweh pada manusia hingga Ia berkesimpulan demikian. Terence Fretheim menganggapnya sebagai akumulasi dari berbagai kejadian yang dipaparkan dalam pasal-pasal sebelumnya.6 Tetapi Fretheim tidak setuiu jika manusia dinilai secara deterministik. Sekali iatuh ke dalam dosa akan selamanya berdosa. Fretheim menekankan pentingnya melihat peristiwa-peristiwa selak Kej 2 secara terperinci dan apa adanya, tanpa berprasangka buruk terhadap manusia. IGI 3 pun bagi Fretheim tidak bisa ditafsirkan sebagai kisah keiatuhan manusia ke dalam dosa seperti yang diaiarkan oleh Agustinus dan yang kemudian dibakukan dalam dogma IGisten. Manusia memang menerima hukuman, namun hukuman itu mesti dilihat sebagai tindakan sepihak dari Tirhan (Yahweh) yang tidak jelas alasannya. Yahweh seperti sedang galau bahkan gamang. Tidak tahu harus berbuat apa terhadap manusia yang memakan buah pohon yang sebelumnya sudah diminta untuk tidak dimakan. Yang ielas manusia tidak dihukum mati seperti yang diancamkan sebelumnya. Yang jelas pula, sekalipun akan mengalami banyak kesulitan, manusia juga dibuatkan pakaian. Sekalipun diusir (dari bagian tertentu) dari taman (atau kebun) Eden, manusia tetap mendapat perlindungan dari Ti-rhan. Pun ketika l(ain melakukan pembunuhan. Si pembunuh itu tetap dilindungi oleh Tirhan! (IGi 4: l5). IGiahatan yang dilihat TLhan ada pada manusia bukan menjadi penghalang bagr-Nya untuk mengaiak manusia melanjutkan proses penciptaan yang telah dimulai-Nya.
Demikian pula dengan peristiwa air bah yang didahului oleh pandangan konklusif dari Yahweh tadi (Kef 6:5). Meskipun air bah itu mematikan dan memusnahkan apa saia tanpa pandang bulu (karena itu tanpa moralitas juga), pada akhimya setelah semuanya te{adi, '... berfirmanlah TUHAN dalam hatiNya: 'r{ku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah
6
Terence E. Fretheim, God and Wodd in the Old Testament: A Relatjonat Theology of Creation, Abingdon Press, 2005.
JURML LEDALERO, Vol.
11. No. 1. Juni 2012
lahat dari seiak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah lG:lakukan' " (IGi 8:21). Hal senada iuga disebutkan oleh Allah kepada Nuh, '... bahwa seiak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi. (Kej 9:l l). Maka, jika Allah saiabisa bersikap positif terhadap manusia yang dianggapnya iahat, kita yang tidak mengalami kerugian seperti Allah dan tidak pernah dikecewakan sebesar Yahweh mestinya tidak punya alasan untuk belpikiran buruk, penuh curiga apalagi memusuhi dunia dan manusia. Kita juga tidak punya alasan untuk menolak bahwa Allah bekeria melalui kejadian-keiadian alam dan bahwa pekerjaan Allah itu tidak hanya ditujukan kepada manusia saia (IGl 8:22; Mzm lO4:.27 -28; 145:15-16, Mat 6:26-30), apalagi untuk umat-Nya saia (Am 9:7, Mat 5:45). Kita luga tidak bisa belpretensi bahwa kita mengetahui segala sesuatu tentang Allah. Pikiran kita, sekalipun dengan belaiar keras dan ditambah dengan sikap hidup saleh, tetaplah tidak sama persis dengan Allah (Am 16:l-2,9; l9:I4,21; 2I;30-31, Yak 4:13-14). Selalu ada 'ruang" bagi misteri ilahi yang membuktikan bahwa Allah dapat bekeria melalui apa yang tidak pernah kita duga. Perkataan Rabi Jonathan Sacks yang dikutip pada bagian awal tulisan ini menegaskan arti monoteisme yang sebenarnya menurut Alkitab yaitu 'the uniry of God" yang pellu ditemukan "rn the diversitt of creation" - Keterbukaan adalah sebuah keniscayaan bila memang Tirhan harus ditemukan dalam kepelbagaian dari dunia ciptaan. Metodologi Dalam kontekstualisasi, soal metodologi adalah salah satu segi yang
banyak menarik perhatian dan mendatangkan perdebatan' Mungkin tidak di Indonesia atau negara-negara Dunia Ketiga lainnya di mana kontekstualisasi justru dipaharni sebagai upaya untuk keluar dari jebakan wacana ilmiah yang menuntut secara ketat berbagai langkah termasuk metodologi. Dan karena itu, iika metodologi dibicarakan lagi itu sama halnya dengan mengulang sesuatu yang secara sengaia hendak disingkirkan. Bagaimanapun kita tidak bisa melepaskan diri begitu saia dari tuntutan dunia ilmiah, di antaranya tuntutan untuk memperielas metodologi yang digunakan. fustru dengan begitu, kita dapat mempertanggungiawabkan apa yang kita lakukan secara publik dan etis. Dan dengan begitu pula, kita dapat mendorong agar dunia ilmiah dapat menerima keilmiahan studi kontekstualisasi. Saya perlu mengatakan hal tersebut karena metode yang saya
Biogafr sebagai Model Konttkstualisati
(RM
Setio)
gunakan, yaitu, biografi sangat mungkin masih terasa asing bagi mereka yang berpegang pada paradigma ilmiah yang sangat ketat. Metode saya
ini dapat dinilai tidak ilmiah! Karena hanya berisi cerita dan ceritanya bersifat personal. Padahal sesuatu yang ilmiah seharusnya dipaparkan dengan cara yang impersonal dan obiektif. Untuk menepis penilaian tersebut, saya ingin menyebutkan beb€rapa a{gumentasi berikut. Dalam dunia keilmuan, biografi sudah cukup lama dikenal sebagai sebuah metode. Ilmu psikologi misalnya, sudah lama menggunakan biografi dan malah sudah menjadikannya sebuah cabang tersendiri, namanya personologi. Menurut para ahli personologi, menelusuri perialanan hidup seseorang adalah inti dari psikologi.T Sedangkan dalam sosiologi, pemakaian biografi malah sudah dimulai seiak awal abad )O( oleh para periset dari Universitas Chicago.8 Lebih lama lagi daripada itu adalah pemakaian biografi dalam ilmu seiarah yang disebut dengan istilah teknis Historical Btography, yang sudah digunakan oleh Plutarch, sejarahwan Yunani kuna.e Di Indonesia sendiri, seiak zaman Reformasi banyak sekali penerbitan biografi yang dibuat oleh tokohtokoh nasional. Meskipun memoir-memoir itu kelihatannya meruPakan cetusan hati para tokoh tersebut, namun data yang diungkapkan di dalamnya sangat penting bagi siapa safa yang hendak rnemahami perjalanan sejarah bangsa. Para ilmuwan tidak iarang menggunakan data dari memoir-memoir tersebut. Dalam dunia teologi sendiri, di samping )ames McClendon, yang memperkenalkan genre biografi dalam bukunya BUgraphl as Thmlogt
(1974), sudah ada Dietrich Bonhoeffer yang pikiran'pikirannya diungkap lewat catatan hariannya. Demikian iuga fuergen Moltmann yrng r..r." tegas mengatakan bahwa tulisan-tulisannya merupakan biografinya sebagai seseorang yang pernah menialani masa-masa pahit Perang Dunia II. Tidak lupa kita mesti menyebut Elie Wiesel, novelisteologYahudi Amerika kelahiran Hungaria, penulis novel berjudul Nlgftr yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Marianne IGtoppoto. Novel ini berisi pengalaman hidup Wiesel sebagai survival Shoah. Tragedi Shoah (Ilolocaust) sendiri telah banyak mengilhami teolog-teolog yang tulisan-tulisannya dapat dikatakan bersumber dari
"Biographical Methodology: Psychological Persepectives" dalam ,nfe mational Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, Neil. J. Smelser and Paul B. Baltes (eds.), Palo Alto and Berlinr Elsevier Ltd., 2001, hlm. 1206. "Biography and
Societ/ dalam lntemational Encyclopedia, hlm. 1210.
'Biography: Histodcal" dalam tntemational Encyclopedia, hlm- 1213. Malam, Jakatla, Yayasan Obor, 2005.
96
JURML LEDALERO, Vol. 11, No. 1,Juni2012
pengalaman pahit tersebut. Jadi dapat dikatakan bahrva tulisan para teolog yang pernah melalui tragedi tersebut adalah semacam biografi mereka. Di sini kita melihat pengalaman tragis iustru meniadi sumber inspirasi teologis. Biografi saya di atas kurang lebih luga memperlihatkan hal yang sama.
Cukuplah kiranya bukti-bukti yang menuniukkan bahwa biografi sebenamya telah banyak digunakan delam kslangka studi ilmiah termasuk teologi. Sekarang saya hendak menukik ke dalam masalah kontekstualisasi teologi yang, seperti akan saya perlihatkan sebentar lagi, sangat memberi peluang terhadap penggunaan biografi. Stephen Bevans mengelompokkan usaha-usaha kontekstualisasi selama ini ke dalam 6 model yaitu
l. Model Penerjemahan
(the Tianslation Motlel)
2. Model Antropolo$ (the Anthropological Model) 3. Model Praxis (the Praxis Moilel) 4. Model Sintesis (rlr Syzr} etic Moilel) 5. Model Tiansendental (rlre Tianscendmtal Model) 6. Model Konter-budaya (the Counterculnral Model)\
Dari antara ke-6 model tersebut, saya mendapati model ke-5 yaitu Model Tiansendental adalah yang paling mendekati cara yang saya gunakan.r2 Tetapi walaupun sebagian besar penjelasan Bevans tentang Model Tiansendental cocok dengan apa yang saya lakukan, saya harus mengatakan bahwa beberapa poin yang diterangkannya mengenai model ini tidak dapat saya setuiui. Maka, saya tidak bisa mengatakan bahwa Model Tiansendental yang dilukiskan oleh Bevans itu adalah benar-benar sama dengan pemikiran saya. Hal pertama yang terasa tidak cocok adalah iustru nama yang digunakan untuk model ini. Selain itu iuga kekhawatiran Bevans bahwa rnodel ini dapat membawa orang iatuh pada relativisme.r3 Bagr saya kekhawatiran ini terasa semu dan Stephen B. Bevans, Models of Contodual Iheology, Revised and Expanded Edition, Maryknoll, New York Orbis Books, Cet. V 2005. Perlu saya sampaikan bahwa ketika saya melakukan penulisan biografi diatas, saya beium
membaca buku Bevans yang memuat model-model kontekstualisasi tersebut. Saya tahu bahwa buku tersebut adalah salah satu buku uiama dalam studi kontekstualisasi. Tetapi sehari-hari saya bertugas s€bagaidosen Biblika, maka saya tidakterlalu sadarakan bukubuku kontekstualisasi. Salah salu yang belum saya ketahui adalah buku Bevans itu. Justru
dengan tidak tahu sebelumnya ini, saya malah senang. Saya senang karena temyata apa yang saya lakukan itu sudah masuk dalam salah satu model yang dilukiskan oleh Bevans. Berarti saya memperoleh dukungan dan berarti pula dengan dukungan itu saya bisa melanjutkan cara saya itu. Juga dapat mempromosikannya kepada yang lain. Bevans, hlm. 108.
Biogra.f
sebagai Model
Kontcktt alisasi (Robert Setio)
97
malah kelihatan bertentangan dengan ide transendental itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, saya akan memaparkan dahulu penjelasan Bevans mengenai Model Tiansendental ini. Saya mendapati sebuah alinea yang saya pandang cukup padat dan lengkap, yang dapat menjelaskan secara singkat dasar pemikiran dari model ini. Kutipan berikut berasal dari alinea tersebut. A fundammtal presupposition of the transcendntal model is that one begins to theohgize conteL-tulally not by focasing on the essence of the gospel message or the content of traditi1n as such, nor even b7 trying t0 thanatizs or analyze a particular contert 0r expressiohs of language i that context. Rathet ... concerned with one's own religious experiena and one's own weriettce ofotese$ When 0 e starts with oneselJ howner, it is imp\fiant t0 undestand that ,ne does not and can not start i a racaum. Very much to the nntrary, one realizts tlat as an indit'idual, qs a subject, orc is ditarmined at eveDt tum b! ,ne's context: I am precisel! who I am becaase I sist at this patticular point in time, because I am a recipient of a partiaiar national and culnral heritoge, because I have a particular set 0f perents and hove received a particalnr anount and qualit! of education, and so forth. What miglt seem atfrst glarce to be a ygrypgpg4]and even individullistic stating point is reall! one that is ertremel! contdtual and communal. Because of this inevitably nntextual nature of the subject, one could easily speak of startingJrom one's own comuinit!'s religious experience and lrom one's own communi1)'s etperienn oJ itself. From this
transcendental starting point, ther{ore, thnlog, is coflceived as the vrocess of 'bri ging t0 speech" who I am or who we are - as s penon or penons offaith who are in mery possible respea a product of 4 historical, gngraPhical, social,
and cultural environ),rrzt.r4 (garis bawah dari saya)
Bagi penganut model ini, kontekstualisasi adalah mengenai diri sendiri. Dari diri sendiri itulah proses dimulai dan keseluruhan proses kontekstualisasi yang dijalankan tak lain adalah usaha untuk mengatakan siapa saya. Seperti yang dikatakan oleh Bevans, sekalipun tampaknya hanya diri sendiri sala yang dijadikan pusat Perhatian, namun sebenarnya tidak demikian. Di dalam yang tampaknya Pribadi ternyata terdapat komunitas, konteks di mana pribadi tersebut berada.
Tidak ada pribadi yang hidup terisolasi sehingga tidak ada ieiakkeluarga, komunitas dan masyarakat yang tertinggal di dalamnya' Sebaliknya, potret yang terdapat di dalam setiap pribadi adalah potret orang dan lingkungan di mana ia berada. Jadi memahami diri sendiri atau lebih baik disebut memahami keautentikan diri sendiri adalah memahami konteks di mana diri sendiri berada. I(onteks bukanlah sesuatu yang berada di luar namun di dalam diri sendiri.
14
Bevans, hlm. 104.
JURNAL LEDALERo, Vol. 11, No. 1,Juni20'12
Pandangan seperti
itu
seakan-akan bertentangan dengzn common
IGrena bukankah konteks itu mesti berada di luar diri seseorang? Itu benar. Tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bukan konteks yang bersifat abstrak dan belum tentu kena-mengena dengan diri seseorang. Kita misalnya bisa mengatakan bahwa wayang adalah konteks budaya orang Jawa. Nilai-nilai luhur dari wayang dapat diandaikan telah merasuki jiwa orang-orang )awa. Tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa setiap orang fawa pasti dipengaruhi oleh wayang. Atau, setidaknya, tidak setiap orang Jawa dipengaruhi oleh wayang dengan cara dan kadar yang sama. Bisa jadi pula ada orang Iawa yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh wayang. Misalnya saja orang ]awa dari generasi muda yang nyaris tidak pernah tahu tentang wayang. Tetapi dalam hal ini kita juga tidak bisa melakukan generalisasi. Maka, yang paling baik adalah |ika kita memeriksa pengaruh itu pada diri seseorang. Di situlah kita akan mendapati pengaruh yang riil. Di situlah kita mendapati konteks. Demikian pula dalam corak hidup sekarang yang sudah sangat mengglobal. Semakin banyak yang mungkin berpengaruh pada diri seseorang. Tidak hanya budaya daerahnya saia. Meskipun orang itu tinggal di daerah. Dengan peralatan komunikasi dan informasi yang canggih dewasa ini, sulit untuk menentukan hal-hal apa saia yang dapii berpengaruh kepada seseorang dan masyarakat. Keluhan-keluhan oring-orang tua bahwa generasi muda sekarang semakin tidak mengenal dan tidak peduli akan budaya daerahnya menandakan semakin mengglobalnya mereka. I(epedulian mereka lebih tenuju kepada hal-hal yang berada di luar komunitasnya sendiri. Dalam.biografi saya di atas, saya iuga memperlihatkan betapa beragamnya hal yang berpengaruh dalam hidup saya. Dan itu iusuu t"*puk k"tik" saya "membedah" diri saya sendiri lewat biografi. Dari situlah hibriditas saya meniadi tampak. Dan itulah konteks saya. Saya setuiu dengan Bevans bahwa dengan mengenal konteks saya lewat penyingkapan keautentikan diri maka saya akan terhubung dengan orang-orang lain. Orang-orang itu adalah mereka yang meniliki pen[alaman seperti saya. Entah itu orang-orang yang dekat dengan sayi seperti keluarga, atau teman-teman saya yang hidup sekomunitas dengan saya atau bahkan orang yang sama sekali tidak saya kenal namun sekaum. Bisa saia, saya sebagai orang Cina Indonesia IGisten memiliki kesamaan-kesamaan dengan orang Cina Malaysia IGisten Meskipun saya tak mengenal mereka, namun bukan tidak mungkin kami memiliki konteks hidup yang sama. Dari mana hal tersebut dapat diketahui? Dari biografi masing-m asing. Dari sharing biografi. Maka, biografi sebenarnya bisimenjadi jilan untuk memperLemukan orang satu dengan yang lain'
sense.
Biograj
sebagai Model
Konuktualisasi (Robert Setio)
oo
Sampai di situ saya masih setuju dengan Bevans mengenai Model
Tiansendental. ttapi begitu dia menjelaskan bahwa pertemuan itu terus berlanjut hingga titik transenden yaitu suatu titik universal yang mempertemukan semua orang, saya agak ragu. IGraguan saya itu timbul oleh karena saya Lidak bisa melihat kemungkinan penemuan universal itu teiadi tanpa pereduksian. Ketika saya berkata bahrva tiap manusia itu sama, saya hanya bisa berkata demikian jika saya tidak mempedulikan kepelbagaian yang ada dalam diri tiap orang. Kepelbagaian itu tidak lain adalah konteks. Baik itu kontek budaya, agama dan sebagainya. Maka, jika kontekstualisasi iustru ingin mengangkat konteks, ia tidak bisa menutup mata terhadap kepelbagaian yang ada. IGlau kepelbagaian itu diakui dan dihargai maka tidak mungkin pada saat yang sama universalitas manusia juga diakui. Bukan berarti saya keberatan terhadap universalitas manusia. Yang saya tidak bisa terima adalah jika universalitas itu sudah ditentukan dari awal. Sudah diladikan asurnsi. Lain halnya jika universalitas itu ditemukan kemudian. Ketika biografi masing-masing dipertemukan. Dari pertemuan itu didapati kesamaan-kesamaan yang membuktikan universalitas manusia. Cara induktif seperti ini masih bisa saya terima. Tetapi bagaimanapun universalitas hendaknya tidak dijadikan tujuan utama. Kontektualisasi kiranya tidak dijadikan alat untuk mencapai universalitas manusia. Itulah sebabnya saya tidak senang dengan nama "transendental" yang diberikan Bevans untuk model ini. Saya lebih senang iika namanya disebut proses atau dialektika. Di pihak lain, saya juga menolak kekhawatiran Bevans bahwa model ini akan membawa orang pada bahaya relativisme. Relativisme adalah lawan dari universalisme tadi. Tetapi sebenarnya keduanya punya cara pikir yang sama. IGduanya hendak memfinalkan suatu keadaan. Relativisme memfinalkan keunikan orang. Universalisme memfinalkan kesamaan orang. I(eduanya sama-sama tidak bisa berdialektika. I(eduanya menolak proses. Saya harap dengan membaca biografi saya di atas, pembaca dapat menangkap dialektika yang saya alami. Bahwa saya di sana-sini terkesan kritis terhadap Barat, di saat yang sama saya juga mengakui bahwa Barat punya kesan yang positif bagi saya. I(alau saya terkesan memandang budaya leluhur saya sangat positif, dengan internalisasi cara berpikir Barat, saya pasti tidak bisa menerima semua ajaran leluhur saya itu. Tetapi bagi saya kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan secara mutlak. Kedua hal tersebut ada secara bersamaan atau silih berganti dalam diri saya. Bevans mengatakan,
JURNAL LEDALERO, Vol.
100
'11,
No. I, Juni 20'12
....
mod.el worlts here through a method of both sympathy in that a person oJ integri1t might lean much from another pers\n of integrit! fi1n another conturt; antipathy i that a penon analtzes why he or she is repulsed b1 or not attrarted to a particalar way oJ doing theologt, he or she has already talen a frst step to d,ing nnta.tual theologt as such. ... These positive or wgative encounters with others can be extremely fraiful for one's own theol.ogical thinking, but never providt rea.dy -made answm.t 5
One might saJ, thqt the sympathy and antipqth!
-
Akhirnya kembali kata Bevans, The transcendental nodel points t0 a new ttaj of doing thnlogt. With its emphasis on thrulty as activirr and process rather than theobgt as a particular content, it tightbt insists that theolog is not about f ding out right answen that exist i some trarccultural realm, but about a carful but passiorate seerch for authenticigt of expression of one's religious and caltural identitlt.t6 (garis bawah dari saya)
Dua kata kunci lagi yang dapat diambil dari penielasan Bevans yaitu aktivitas atau, lebih baik, proses dan'pencarian autentisitas (diri). Teologi di Indonesia sampai seiauh ini masih cenderung memakai model "isi (nntent)" yang oleh Bevans diperlawankan dengan model proses. Saya kira dengan memakai model "isi" tersebut kita tidak dapat keluar dari kebiasaan menirukan (mimetic) segala yang sudah dikeriakan orang lain. Dan orang lain itu tidak bisa dimungkiri adalah para teolog raksasa Barat. Jadi, teologi tidak lain adalah Pikiran Para teolog Barat. Bila model ini yang terus menerus kita pegang maka kita tidak akan pernah berani untuk mengajukan pikiran teologis yang lain. Tidak ada jalan lain, model atau paradigma berteologi tersebut harus diubah. (Ber)Teolog Indonesia sudah saatnya memakai model proses. Model proses tidak serta merta menolak teologi Barat. Bahkan model proses ini sebenarnya juga berasal dari Amerika yang juga Barat (pionemya adalah teolog Amerika, iohn B. Cobb, |r.).'7 Sekalipun begitu, apa pun yang dipelajari dari Barat perlu dipertimbangkan bukan pada objeknya, namun pada sublek yang memahaminya. Tidak penting apakah suatu teologi dimengerti dengan benar atau tidak, yang penting adalah bagaimana ia dipahami. Pemahaman itu mencerminkan autentisitas orang yang yang memahaminya. Dan autentisitas sePerti itulah yang harus digarisbawahi.
1s 16 i7
Bevans, hlm. 106. Bevans, hlm- 108.
Lihat John B. Cobb, Jr dan David Ray Griffin, Process lheology' Philadephia: The Westminsier Press, 1 976.
Biograf sebagai Model Konte*stualisasi (Robett Sctjo)
101
Menggarisbawahi autentisitas tidak sama dengan sikap defensif terhadap /yvaz. Meskipun autentisitas ber-bicara tentang diri sendiri, namun ia bukanlah persoalan yang pemah selesai. Kata "pencarianmemiliki arti yang penting dan hendaknya tidak dipisahkan dari autentisitas. Autentisitas selalu berada dalam pencarian. Bukan mencari sesuatu yang tidak ada, melainkan memahami kembali yang sudah ada yaitu segala yang ada dalam pikiran. Dalam kajian spiritualitas, i[)lah discemment. Atau, mungkin lebih biasa jika disebut dengan hermeneutika. Apa pun istilahnya, pengertiarurya adalah memahami pemahaman. Pemahaman tidak dinitai berdasarkan benar dan salahnya, namun dimengerti sebagai upaya untuk eksis. Maka, masalahnya adalah eksistensi seperti apakah yang ada dalam suatu pemahaman. Menemukan jawaban itu sama dengan menemukan autentisitas. Saya harap biografi menolong kita melakukan proses pencarian autentisitas itu.
Penutup Perdebatan antara kontekstualisasi sebagai pengalaman nyata yang sudah dengan sendirinya te{adi mengingat setiap orang pasti hidup dalam suatu konteks dengan kontekstualisasi sebagai proses bersengaja, sadar dan analitis terhadap pengalaman sehari-hari kiranya dapat dijembatani lewat biogafi. Biogtafi membuat kedua pengertian tersebut diperlakukan secara sama dan seimbang. Biografi berbicara mengenai pengalaman yang dijalani secara alamiah, namun juga berbicara mengenai pilihan-pilihan yang dilakukan atas dasar pertimbangan. Biografi berisi sesuatu yang otomatis, namun juga yang reflektif. Melalui biografi pula sesuatu yang personal menjadi komunal. Biografi memang menyoroti pribadi tertentu, namun ketika yang pribadi itu 'dibedah" terkuaklah hubungan-hubungan yang membuat pribadi tersebut terlihat dalam keterhubungan dengan yang lain. Wacana kontekstualisasi yang selama ini cenderung mengangkat fenomena yang komunal (budaya, masyarakat, etnis/suku) mendapatkan tambahan oleh biografi berupa fenomena personal. Tetapi personal di sini, sekali lagi, tidak dipisahkan dari dan malah selalu dihubungkan dengan yang komunal.
Model biografi menawarkan pendekatan terhadap subiek yang berbeda dengan pendekatan terhadap isi seperti yang banyak dilakukan dalam usaha-usaha kontekstualisasi. Pendekatan ini mampu mengangkat sisi-sisi emosional yang tidak terlalu kentara dalam pendekatan terhadap isi. Pendekatan ini juga memiliki ciri khas dalam hal penolakannya terhadap kepastian-kepastian. Sebagai gantinya, pendekatan ini menawarkan hubungan yang tidak pernah selesai dan .
JURNAL LEDALERO. Vol. 11. No. 1. Juni 2012
102
saling mempengaruhi. Akibatnya, kontekstualisasi melalui biografi meniadi sebuah proses yang tidak pernah selesai pula. Dalam pada itu, hibriditas tak terelakkan. Daftar Ruiukan Bertaux,-D. 'Biography and Society" dalam Interllatilnal Enrydopedia of the Social & Behavioral Sciencas, NeiI. J. Smelser and Paul B. Baites (eds.), Palo AIto and Berlin: Elsevier Ltd.,200I. Bevans, Stephen
B.
Models of Contexnal Theologt , Revised and Erpanded
Edition, Maryknoll, New York Orbis Books, Cet. V, 2005. Bourdieu, Pierre. Pascalian Meditatilns, teri. fuchard Nice, Standford: Standford U.P, 2000. Cobb, Ir, ]ohn B. dan David Ray Griffin. Process Theologt, Philadephia: The Westminster Press, 1976. Fretheim, Terence E. God and World in the OId Testament: A Relational Theologt of Creatior, Abingdon Press, 2005. Nasby, W "Biographical Methodologr Psychological Persepectives"
dalam International Encyclopedta of the Social & Behavioral Sciences, |. Smelser and Paul B. Baltes (eds.), Palo Alto and Berlin: Elsevier Ltd., 200I. Schreiter, Roben l. Constructing Local Theologies, Maryknoll: Orbis Books, 1985. Singgih, E.G. "Ex Nihilo Nihil Fit" dalam Dua Kontels, Jaka*a: BPl(
Neil.
Gunung Mulia, 2009. B. "Biography: Historical" dalam Intemational Engtclopediathe Social & Behavioral Srieirces, Neil. f. Smelser and Paul B. Baltes (eds.), Palo Alto and Berlin: Elsevier Ltd', 200I.
Possing,
!r
Bkpll yltdtd ilr,lct tG
nL'tutlrnsi (R,]Etl stria)
'103
Catatan Icitis Robet Sedo dnlam artikelnYa bcft.rlak da bebcrapa penga)arnan hidupnya vang mcmbentuk paniangannya rcntang IGkisienen, Islam dan relasi yang mesti dijalin diantar:nva dalam diaioll antaragama. Dad situ ia nlenarik kesimpulan ball1\,a teologl clan iman tidah ioleh r.l !arb arjl(. i'g Le fn,-o 1 rnJnC rio,. r,.el.! ,r,S. te."li ,n er,, bcr.r.r J:,1:rr pc rqr)rrr:n r.du1. Irib-d o"r r_g rr;,Ji: tutrur-l scpel_ti di3 gambarkan sebapai salu aspck kehidupannya vang bcrak:r i,rg, d,l"m .rrd i .in,. Sesudah itu ia menganlbil tcologi pencipraen scbagai dasar t.ologis ur, .I n:F,i^. !!.,ti pr-d,n-.r,.,,g lu-r. ,, ru i.r L c....,.n ra,l .: l.iC:r]r.in, ballva irnan dan keselamatai manusia han,va d:Ltang dari l i dJn d , "r .. d,ri !..r tr n cn, -r tan p,. nrtr: , r AJt-t rerr-n; dunia yang baik dan panrlar1gur tentang dosa ya g tidak bis: secar; totel membatalliln kebaikan iru, yang pada intinya mcrupakan ri,til, kekosongan.
Scsudah itu, di b:\.ah judul metodotogi ia rncnggambarkan ' o u.,ir \i , ndir. \F -ru. .1 o.,lr n.er Je^,'-ri e,.r,.,nr n-det r ol-S kontekstual vrng digariskan Stephen Ilevans. Hemat sava, pcndekatan konkret seoranp teolog ridak h:ln}.a dibenrul d-n dipcnl. rul.: , t.t per;rirrr..r,l.nL,r d, m "leh e , inrelektual, hidupnl,a, tetapi ada juga masukan sumber pe^gcrahuan yang turut mcmbenruk pandangan dan p.ndekatennva. Sebaiknya Ro', r, >,r'. r ,e.,riu,lj,- r ll.) ., r ...,limut .i ,t..t:rn anit , ini d"n mengganbarkan juga ril1ayai irrLeiektualnva, dengan ini kita akan mcndapal surtu garnbaran ),eng lebih lenglap tentang apa l,ang dalam bidang teologi tc4adi dalem surru Cercja atau Sekolah Tingqi r;{enru .l.rr b-g,rnr.r" mur,,ul re-,1,1. pe-de . r b nra ,u a riine tt. Sebab iiu, dalam begian teologi scbail$ya secara kbih terang dan spesifik disebut dan digembarkan posisi teologis vang kuat dalam Gcrejan,v.r I ang b eraliran Calvinis vang sangat s keptis terhadap pengaruh bro"r., d,rr ll .Ji.l\u rrr-l o. m'-Jn d:.refleL.i-u,. im"n, - rirdi,i dan arus yang ia lswan. Bcrhrrbungan dengan modcltransenden dari Bevans, dia menekritik rnodc . ..r.n da),m pclb.q..i r,pel ridal .o(ok dengan lcologin\r sendiri. Tdtapi sehenarnya dia mesti mengganbarkan dalam aspekmana model itu sesuai dengan teologinya sendid dan cli mana ia berbeda dengan hal-hal yalg digambarkan sebagai unsur dad model iru. Model ilu sebaitr$)a digunakan sebagai cennirl yang nemperlihatlGrl aspek p.nting da teologinv: dan sekaligus tunjuL( juga aspek 1,ang berbeda,
144
JIRNAL LEOALERO Vol.
ll.
No.
1 Juni2012
tidak sesuai dengan model bersangkutan, terapi eseDsiii scLurut
pengertiannva sendiri
Yang menarik untuk saytr bahna anikel itu merupakan satu sumbangar dari seorang reolog aliran Cah,in yang mau iecara kritis mcnargsatlr Jan nr.e\i.i .r,.pet pcnringdani",,og t-an ( Jlu,. yang sangat kuar ditekanknn IGrl Bafth dan di Indonesia oleh Hendrik lurernc.. )aLni \ rbd I d,n \vahw {llrh yang bagaiLn ll.c.eo- o-ri lurr rarul- Ci bumi d:n lrenlgnrc,ntt "n apa vang aJi bertr-mb,r g J "ra. bumi ini. Sava lihat bahwa Eben Nuban Timo di Universitas I(Iistcn Arlha Wacana Itupang bcrada dalam arus yang sama yang mungldn meniaJi t rl d, ar',.. p,rr eotoe r ,t\an, ai inaon",i,. ua,u,ira dalamnva mcrelG lebih posirif terhitlap tradisi kultural yang membentuk mrnu,rr dr r, nrp" d"r d,t,,n han!.a r.nen,u Seturxt hemat saya ini juga saLu faktor penting dalarn usaha rl un, ne b-.ar l.munttir-. hahq" dajam u .h, rnenl" ia. .r dat ,n i,rJalarrv" , ndir., banr:I nranT dari ,rrJi.i dan ocrun,r-... berLcda a}3n ben.mu d,r ncntsalar bat,w" reilelsr aLrual ara. iman ,erurul situasi dan kondisi sosjal dan budava ]ebih mempersatukan nlercka daripada mereka dipisahkan oleh koniroversi masa lamDau dalam situasi ,o.ial d.n huda,a vJnS lauh bcrbeda Georg ICrchberger, STFI( Ledalero R. dak5j mengundr'tg
D.mbac" unrut menrnggapi rut .dn Ruben
'id.n8 )euo d,n \cc"ra.Ll u,u, mensur dang Roben Setio unruL mena ggapi unggapan pendek Jrri t,, urg tJrctrbergcr. Apalah ada p.r,b,.a-,:,ng hen.lJl
.n
cn\rmb-.r-g leologr-biogr3t i-naratil-nya? Dewan p.nvLn, ini