PROSIDING 1
Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan: Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia, Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Jum’at 11 Nopember 2011
Keynote Speaker: Prof. Dr. Meutia Hatta-Swasono
PEMBICARA: Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si., Dr. Zastrouw Ng, Dr. Erna Surjadi, PhD., Dr. Retor AW Kaligis, Dr. Edy Siswoyo
SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (STISIP) WIDURI
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini serta memperjualbelikannya tanpa mendapatkan izin tertulis dari Penerbit Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 2
Judul Buku : Prosiding Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan: Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia, Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Cetakan : Pertama Halaman : v + 82 halaman Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri, Jakarta Alamat : Jl. Palmerah Barat No. 353, Jakarta Selatan-12210 Telp : 021-5366445, 021-5480552, 021-5306447 Faks : 021-53330977 Email :
[email protected] Website : www.stisipwiduri.ac.id Editor
: Dr. Retor AW Kaligis, M.Si.
ISBN
: 978-602-70283-0-2
3
KATA PENGANTAR Dengan senang hati saya menyambut Prosiding “Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan : Membangun Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Indonesia, Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial” untuk menjadi salah satu bacaan yang berguna untuk mahasiswa terutama untuk mengembangkan fungsi-fungsi berikut ini: 1.
Pengembangan sikap solidaritas sosial pada tingkatan mikro individual, kelompok keluarga, RT dan kelompok belajar atau kelompok kerja formal dan tidak formal. Solidaritas mikro itu menjadi dasar yang kuat untuk suatu solidaritas nasional yang sangat abstrak.
2.
Pengembangan sikap kritis untuk tidak begitu saja menerima apa yang dikatakan orang tentang para pahlawan kita. Dengan membaca prosiding ini mahasiswa diharapkan terdorong untuk melengkapinya dengan analisisanalisis sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik yang ditulis oleh orang-orang asing, maupun oleh para ahli kita sendiri. Dengan membaca analisis-analisis sejarah itu, pengetahuan kita tentang para pahlawan kita menjadi lebih lengkap dan mungkin juga kekaguman kita akan perjuangannya pada waktu itu menjadi lebih besar lagi. Lihat saja bacaan yang menjadi acuan Ir. Soekarno (presiden pertama RI) begitu luas dan mendalam, sebelum dia mengemukakan konsepnya yang terkenal yakni Marhaenisme. Luar biasa. Di Barat orang kenal dengan konsep proletariat, tetapi untuk konteks Indoneisa dia memunculkan tokoh petani gurem yang bernama Marhaen. Ini merupakan satu contoh indigenisasi ilmu pengetahuan, atau mungkin lebih tepat lagi Indonesianisasi ilmu pengetahuan. Proses seperti itu justru muncul dari seorang pahlawan dan bukan dari perguruan tinggi seperti kita ini.
3.
Pengembangan sikap nasionalisme yang dalam prosiding sudah dikupas secara mendalam. Walaupun tidak sedikit yang bersikap skeptis terhadap nasionalisme Indonesia itu, bagi saya nasionalisme itu merupakan sebuah iii
proses yang harus dikembangkan dalam suatu grand design dengan dasar nilai yang jelas yakni kesatuan yang dibangun dari kebhinekaan. Nilai itu sudah lama ditanamkan para pahlawan kita, dan menjadi kewajiban kita untuk meneruskannya. Dalam konteks ini, prosiding ini kiranya mempunyai arti. 4.
Konsep pahlawan menjelang dan pada tahun-tahun awal berdirinya Negara kita, lebih banyak dikaitkan dengan perjuangan fisik, sehingga nama-nama yang muncul
adalah tentara nasional. Tetapi
kepahlawanan
lebih
dari
prosiding ini melihat
itu. Mereka yang mencetus ide-ide untuk
kesejahteraan sosial, atau malah yang menanamkan nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan kepada para murid (guru : pahlawan tanpa tanda jasa), masuk dalam kategori ini.
Semoga pembaca memperoleh sesuatu yang baru setelah membaca prosiding ini. Para penulis, panitia penyelenggara pasti akan sangat berbangga kalau tulisan mereka mendapat tanggapan atau komentar kritis, seperti biasanya dalam iklim akademik di perguruan tinggi. Selamat membaca.
Prof. Dr. Robert M.Z. Lawang Ketua STISIP Widuri
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar …………………………….…………………………………………………………………
iii
Daftar Isi …………………………………………………….………………………………………………….
v
Pendahuluan
1
……………………………………………………….……………………..……………….
Maksud dan Tujuan
……………………………………………………………………………………
4
Waktu dan Tempat ……………………………………………………………………………………….
4
Peserta
4
……………………………………………………………………………………………………….
Susunan Acara
……………………………………………………………………..………………………
5
Makalah-Makalah: Keynote Address Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono: Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual Indonesia Meneruskan Cita-Cita Para Pendiri dan Pahlawan Bangsa ………………………………………………… Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si.: Langkah Menuju Kesetaraan Gender
7 14
Dr. Erna Surjadi, PhD : Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga Serta Komunitas Untuk Penghapusan Kemiskinan ……………..…………..
17
Dr. Zastrouw Ngatawi: Aktualisasi Spirit Nasionalisme ………………………………… 25 Dr Edy Siswoyo: Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual Untuk Mendukung Pembangunan Sosial (Tinjauan Sosiologis)
……………………………………………………………..……………………..
44
Dr. Retor AW Kaligis: Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil: Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia ……………………
46
Notulensi ………………………………………………………………………………………………………
65
Kesimpulan dan Saran …………………………………………………………………..………………
74
Susunan Panitia Seminar
……………………………………………………………………………..
79
…..……………………………………………………………..……………………………
80
Kliping Berita
v
PENDAHULUAN
Dalam salah satu edisi buletin Indonesia Merdeka tahun 1925, Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang dipimpin Mohammad Hatta, mengeluarkan apa yang disebut sebagai “Manifesto Politik 1925” yang isinya sebagai berikut: 1). Rakyat Indonesia seharusnya diperintah oleh para pemimpin yang dipilih mereka sendiri; 2). Dalam memperjuangkannya tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun; dan 3). Supaya perjuangan itu tercapai, perbedaan dari kelompok-kelompok etnis harus disatukan, agar seluruh proses tidak mengalami kegagalan. Manifesto Politik 1925 lahir ketika liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda berada dipuncaknya. Manifesto tersebut merupakan daya cipta para pemuda Indonesia untuk menolak penindasan atas nama negara (Hindia Belanda) dan pasar yang tidak berakar pada kepentingan rakyat. Para kaum intelektual kita saat itu menghendaki kepentingan rakyat menjadi prioritas perjuangan bangsa. Namun saat ini tercatat jumlah masyarakat miskin sekitar 17,9% yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS, sedangkan di bawah 2 dolar AS sekitar 49,8% (MDG, 2010). Gap yang cukup tinggi terjadi antara kaya dan miskin, apalagi ditambah banyaknya kasus korupsi miliaran hingga triliunan rupiah. Manifesto Politik 1925 sesungguhnya merupakan lompatan besar dengan mentransendensi gerakan etnisitas dan lokalisme, seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan Pasoendan, ke dalam prinsip persatuan sebagai satu bangsa yang heterogen. Sartono Kartodirdjo dalam Indonesian Historiography (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001) melihat bahwa Manifestasi Politik 1925 merupakan suatu langkah historis yang lebih maju daripada Sumpah Pemuda 1928. Ketiga konsep dalam Manifesto Politik tersebut saling melengkapi di mana persatuan (unity) dijalankan bersama konsep kemerdekaan (liberty) dan kesetaraan (equality). Persatuan dan persamaan hanya dapat dicapai dalam suasana merdeka. Manifesto Politik itu,
1
menurut Sartono, merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai ideologi, mencakup unitarisme sebagai dasar pembentukan negara-nasion. Pertanyaannya adalah: sejauhmana spirit nasionalisme kaum intelektual untuk membela rakyat kecil? Sejak 1957, Sumpah Pemuda digunakan mengkampanyekan persatuan dan kesatuan nasional. Dalam menghadapi pemberontakan daerah (PRRI/ Permesta), untuk pertama kali peringatan Sumpah Pemuda dirayakan dalam skala besarbesaran. Pada perjalanan bangsa selanjutnya, Sumpah Pemuda 1928 banyak ditonjolkan, adapun Manifesto Politik 1925 seperti hilang dari ingatan kolektif bangsa. Pengagungan Sumpah Pemuda 1928 sering dikritik karena dianggap sebagai cara penguasa mengamankan konsepsi politik dan ekonomi yang dijalankannya dengan mengatasnamakan “kepentingan bangsa”. Padahal sesungguhnya, Sumpah Pemuda 1928 memiliki kelebihan karena pertama kali dibicarakan tentang “wadah”, yakni satu bangsa yang mendiami tanah air sama, dengan bahasa persatuannya. Tidak ada kemerdekaan dan kesetaraan tanpa adanya bangsa dan wilayah yang diklaim, serta bahasa persatuan yang menyokongnya. Artinya, Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 memiliki kontribusi saling melengkapi. Kontribusi saling melengkapi tersebut bermuara pada cita-cita Proklamasi 1945 yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4,“untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” Bab
XIV
Kesejahteraan
Sosial
UUD
1945
membicarakan
tentang
pembangunan ekonomi nasional. Namun fakta memperlihatkan negeri ini mengalami berbagai eksploitasi kekayaan alam, rakyatnya dijadikan sumber tenaga murah, dan target pasar. Indonesia sepertinya membiarkan diri terhanyut 2
irama reorganisasi kapitalisme global yang lebih menampakkan wajah, meminjam istilah Anthony Giddens dalam Runaway World (1999), global pillage (“penjarahan global”) ketimbang global village (“desa global”), terlihat tidak dibangunnya politikekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Indonesia memiliki tanah air luas dan kaya yang diperuntukkan sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun, ketika negara didominasi kepentingan ekonomi segelintir golongan masyarakat, kewarganegaraan (citizenship) khususnya rakyat kecil menjadi tidak setara. Kebebasan politik yang diraih di era reformasi baru menghasilkan ”ritualitas
demokrasi” yang memberi
ruang kepada rakyat menyalurkan
partisipasinya melalui Pemilu dan Pilkada secara berkala. Adapun bobot ”spiritualitas” kedaulatan rakyat tersumbat marginalisasi dan eksploitasi sumber daya ekonomi. Namun mayoritas rakyat masih menjadi petani gurem, nelayan miskin, pedagang kecil, buruh melarat, serta profesi serba terbatas lainnya. Mereka adalah rakyat kecil yang akibat mengalami marginalisasi dan eksploitasi sumber daya ekonomi menjadi sulit menggapai kesejahteraan. Keadaan di atas perlu segera diubah. Karena itu, STISIP Widuri menganggap penting membangun kembali spirit nasionalisme kaum intelektual Indonesia meneruskan cita-cita para pahlawan demi mewujudkan kesejahteraan sosial. Dengan didiskusikan
kegiatan seminar ini dapat
persoalan tersebut lebih jauh agar dapat menjadi
saran/
rekomendasi bagi pengambil keputusan. Partisipasi Prof. Dr. Meutia Hatta- Swasono sebagai keynote speaker dan para pembicara lain dari KOWANI, DPR RI, dan akademisi diharapkan dapat membawa manfaat yang sebaik-baiknya.
3
MAKSUD DAN TUJUAN
Menyebarkan pemahaman tentang spirit nasionalisme dan kesejahteraan sosial bagi rakyat kecil berdasarkan Manifesto Politik 1925, Sumpah Pemuda 1928, dan UUD 1945.
Menggugah kalangan sivitas akademika untuk melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian pada masyarakat kecil yang membutuhkan pertolongan.
Memberikan saran dan rekomendasi hasil seminar kepada pihak-pihak terkait.
WAKTU DAN TEMPAT Hari/ Tanggal Waktu Tempat
: Jumat, 11 Nopember 2011 : Pukul 08.30-15.30 : Aula Gedung C STISIP Widuri Jalan Palmerah Barat No 353, Jakarta-12210 (Telp: 021-548-0552, 5330970)
PESERTA Peserta Seminar ini adalah: Civitas akademika perguruan tinggi, para guru Pembina Pendidikan Karakter di SMA, dan kalangan umum yang berminat pada masalah karakter kebangsaan dan kesejahteraan sosial.
4
SUSUNAN ACARA
Waktu
Sesi
09.15-10.00
Pendaftaran dan Coffee
10.00-10.45
Sambutan-sambutan: - Laporan Ketua Panitia. - Sambutan oleh Kopertis Wilayah III. - Sambutan oleh YKW-PPS sekaligus membuka acara Seminar. KEYNOTE SPEECH: Prof. Dr. Meutia HattaSwasono “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual Indonesia Meneruskan Cita-Cita Para Pendiri dan Pahlawan Bangsa” Rehat/ Sholat Jumat/ Makan Siang Sesi I: 1. Dr. Zastrouw Ngatawi (Sosiolog/ NGO) “Aktualisasi Spirit Nasionalisme”
10.45-11.45
11.45-13.15 13.15-14.15
14.15-15.00
2. Dr. Retor AW Kaligis (Dosen STISIP Widuri) “Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil: Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia” Sesi II: 1. Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si. (Ketua Umum KOWANI) “Langkah Menuju
Moderator -
Isaac Julius Ruryama Litaay
Penanggung Jawab Penerima Tamu/Konsumsi Acara/ MC: Suster Maria Mathildis
Acara/ Persidangan
Konsumsi Dr. Evie Douren
Persidangan
Dr. Evie Douren
Persidangan
5
15.00-15.45
Kesetaraan Gender” Sesi III: 1. Dr. Erna Surjadi, PhD (Ketua STISIP Widuri) “Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga Serta Komunitas Untuk Penghapusan Kemiskinan”
Dr. Evie Douren
Persidangan
2. Dr Edy Siswoyo (Dosen STISIP Widuri) “Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual Untuk Mendukung Pembangunan Sosial (Tinjauan Sosiologis)”
6
Keynote Address Seminar Nasional Memperingati Hari Pahlawan 2011 TANGGUNG JAWAB MORAL KAUM INTELEKTUAL INDONESIA MENERUSKAN CITA-CITA PARA PENDIRI DAN PAHLAWAN BANGSA *)
Oleh: Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono 1.Pendahuluan
Seminar ini diadakan untuk memperingati Hari Pahlawan 2011, yang kita peringati setiap tahun. Hari Pahlawan jatuh
pada tanggal 10 November,
memperingati sejarah tentang perang kemerdekaan yang hebat yang dilakukan oleh rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu, yang menyebabkan tewasnya Jenderal Mallaby. Semoga generasi muda masa kini masih ingat peristiwa yang terdapat di buku Sejarah Nasional, khususnya saat bangsa Indonesia telah mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Penting untuk
diingat oleh generasi muda Indonesia masa kini bahwa
kemenangan arek-arek Surabaya itu telah terjadi karena adanya rasa kebersamaan yang mendorong rasa persatuan yang kokoh, dengan adanya perasaan kebangsaan yang amat besar pada penduduk Surabaya yang berasal dari berbagai sukubangsa, umat agama, tua-muda, kaya-miskin, yang sama-sama mempunyai komitmen mempertahankan kotanya. Lebih dari 16.000 syuhada telah gugur, namun perjuangan gigih mereka telah membuktikan bahwa peluru dan senjata hebat di kala itu tak mampu mendobrak
semangat perjuangan mereka untuk meraih
kemenangan.
*)
Gurubes a r FISIP-UI da n Anggota Pendi di ka n da n Kebuda ya a n.
Dewa n Perti mba nga n Pres i den bi da ng
7
2. Pahlawan Bangsa, Siapa Mereka? Pahlawan bangsa adalah anak bangsa Indonesia yang dengan jiwa besar telah rela berkorban dan pantang mundur dalam membela tanah air dan rakyatnya dari ketertindasan, keterbelengguan dan
penderitaan oleh
bangsa lain atau
kekuatan asing. Pahlawan berjuang mencapai apa yang terbaik bagi bangsa dan negaranya, walaupun jiwanya terancam. Di kala tanah air masih terjajah oleh bangsa lain, pahlawan berjuang untuk memerdekakan
bangsa, tanpa memikirkan kepentingannya sendiri
karena
berjuang tanpa pamrih. Di kala kemerdekaan terancam, pahlawan berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya. Di kala tanah air dan bangsa telah merdeka dan aman dari rongrongan pihak penjajah, pahlawan berjuang untuk mengisi
kemerdekaan dengan membangun negara, dengan mengutamakan
kepentingan rakyat. Pahlawan secara konsisten tetap
rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya, apalagi yang dapat merugikan rakyat dan negaranya. Bagi pahlawan, prinsip rela berkorban dan pantang mundur dalam memperjuangkan kemajuan dan keselamatan bangsa dan negara, tetaplah melekat pada dirinya hingga akhir hayat. Pada umumnya orang mengira bahwa pahlawan berjuang dengan senjata. Anggapan ini keliru, karena tidak selalu pahlawan berjuang dengan senjata, melainkan dengan pikirannya yang tajam dan terkadang menembus waktu, melontarkan gagasan yang manfaatnya sering baru dirasakan oleh masyarakat sesudah dirinya wafat. Untuk itu, di sini hanya akan diberi dua contoh tentang perjuangan pahlawan bangsa: Ibu R.A. Kartini dan Bung Hatta. Ibu R.A. Kartini tidak pernah berjuang dengan senjata, karena beliau adalah pemikir yang melahirkan gagasan-gagasan cemerlang yang kemudian disambut oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti R. Dewi Sartika, dll, untuk memberdayakan perempuan Indonesia, dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum perempuan, maupun keterampilan lain. Ibu Kartini menyuarakan agar perempuan Indonesia 8
mendapat kesempatan belajar dan mengembangkan kreativitasnya, agar lebih mampu mendidik anak-anaknya dan meningkatkan kualitas kesejahteraan rumahtangganya serta terhindar dari poligami. Ibu R.A. Kartini kita homati dan banggakan sebagai pahlawan nasional karena dari gagasan beliaulah maka kita kini
memiliki
kementerian yang memberdayakan perempuan dan negara
mengangkat perempuan dalam kedudukan setara dengan laki-laki dalam hukum dan pemerintahan. Untuk itu, perempuan dan laki-laki sama-sama berhak dan wajib mengisi pembangunan nasional. Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta) juga tidak berjuang dengan senjata, karena beliau adalah pemikir dan penyemangat
perjuangan kemerdekaan Indonesia,
sekaligus disainer dari arah Indonesia Merdeka, yang bertumpu pada kebangsaan dan kerakyatan, dan peletak dasar strategi kemerdekaan. Pada usia 24 tahun, di Kongres Internasional di Bierville, Perancis, di bulan Agustus 1926, Bung Hatta sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia mewakili mahasiswa Indonesia membuat langkah awal memperkenalkan tanah air Indonesia di luar negeri. Setelah Bung Hatta berpidato di Kongres dan berdiplomasi dengan wakil-wakil berbagai delegasi mahasiswa dari negara-negara terjajah lainnya, sampai hari penutupan Kongres, mereka tidak lagi menyebut Indonesia dengan sebutan “Hindia-Belanda”, melainkan “Indonesia”. Perjuangan lain dari Bung Hatta adalah memberi usulan penting dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta mendisain beberapa isu penting dan strategis dalam rancangan UUD 1945 yang asli, yang kemudian menjadi Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30. Bung Hatta adalah juga konseptor Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 yang asli, sehingga sesuai disain Bung Hatta, sistem perekonomian nasional bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Karena itulah maka selain mendapat gelar Pahlawan Proklamator dari Pemerintah RI di era Presiden Suharto, Bung Hatta juga diberi gelar Bapak Koperasi oleh Dekopin (1947), Bapak Kedaulatan Rakyat oleh
9
Mensesneg Moerdiono (2002),
dan disebut Bapak Hak Asasi Manusia oleh
Kementerian Hukum dan HAM (2008). 3. Tanggung Jawab Kaum Intelektual Indonesia Kini dan Esok Kaum intelegensia mempunyai tanggungjawab untuk melanjutkan perjuangan para pereintis kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia untuk membuat Indonesia menjadi negara besar dan rakyatnya berharkat-martabat tinggi. Untuk itu, kaum intelektual Indonesia harus peka dan tanggap terhadap kondisi sosialbudaya, ekonomi dan politik serta ekologi negara kita, mampu melihat keganjilan yang terjadi dan segera mencari solusi. Singkatnya, kaum intelektual Indonesia harus tetap memegang teguh prinisp nasionalisme dalam perjuangan, pekerjaan dan karir mereka. Sebagai warganegara, seharusnya kaum intelektual Indonesia tidak saja bekerja untuk mencari nafkah, tetapi sekaligus bekerja dengan prinsip meningkatkan kesejahteraan sosial. Pertama, kaum intelektual Indonesia harus memahami penduduk Indonesia yang berjumlah 237 juta jiwa dan bersifat pluralistik dan multikultural. Apa yang akan terjadi kalau penduduk sebanyak itu dan berbeda sukubangsa dan kebudayaannya tidak mempunyai perasaan kebersamaan dan bersatu sebagai bangsa, lebih-lebih ketika saat ini pengaruh luar yang dibawa proses globalisasi dan kemajuan iptek dan informatika telah masuk begitu pesat? Kedua, penduduk Indonesia setara jumlahnya dari segi gender (perimbangan antara laki-laki dan perempuan). Apa jadinya kalau perempuan tidak diberdayakan dan indeks pembangunan manusianya rendah? Pasti akan menjadi beban berat bagi laki-laki untuk menanggung kehidupan kaum perempuan yang kualitas kesehatannya rendah, tidak cukup berpendidikan dan tidak mampu ikut mencari nafkah sehingga hidup dalam kondisi miskin. Ketiga, Indonesia adalah negara maritim, 2/3 wilayahnya berupa laut. Apa yang terjadi kalau 80.000 km pesisir berikut penduduknya tidak diberdayakan sehingga menjadi beban pembangunan nasional? Bagaimana jika untuk menggali potensi lautan kita yang begitu luas dan bervariasi ekosistemnya kita harus 10
tergantung pada pengetahuan, teknologi, strategi pemberdayaan ekonomi dan kegiatan ekonomi bangsa lain yang mencari untung di tanah air kita? Seharusnya kitalah sumber pengetahuan kelautan bagi bangsa lain dan Berjaya dalam bisnis kelautan di negara kita sendiri. Keempat, sumberdaya alam Indonesia dengan kekayaan hayatinya dan sumberdaya manusia Indonesia dengan kebudayaannya yang kaya akan kearifan lokal suku-sukubangsanya merupakan modal sosial-kultural dan alam. Apakah yang akan terjadi bila potensi-potensi ini tidak diperhatikan dan didayagunakan sehingga menghilang karena terabaikan? Kelima, kaum intelegensia Indonesia wajib memahami sejarah nasional, agar tertanam nasionalisme pada diri mereka. Nasionalisme inilah yang menjadi dasar bagi mereka untuk membangun Indonesia, dan membedakan diri mereka dari bangsa lain dalam melihat Indonesia. Bangsa lain bekerja di Indonesia untuk kepentingan dirinya dan negaranya, dalam kerjasama berdasarkan persahabatan (berbentuk kerjasama bilateral), atau mencari keuntungan yang tentunya ditujukan terutama bagi kepentingan diri mereka dan negaranya sendiri. Bangsa Indonesia, termasuk kaum intelektual Indonesia, bekerja untuk hidup namun tidak terlepas dari kewajiban moral dan spiritual untuk membangun bangsa Indonesia. Artinya kita sendirilah yang harus bekerja membangun negara dan bangsa, bukan bangsa lain. Tidak berarti bahwa kita harus menolak kerjasama dengan asing. Kita tidak boleh mengabaikan tanggungjawab global, namun kita harus tetap mengutamakan kepentingan nasional. Kaum intelektual atau kaum intelegensia Indonesia, khususnya mahasiswa yang hadir pada seminar ini, harus memahami proses pembentukan negara RI secara cermat, bahwa NKRI terbentuk melalui proses yang panjang yang saling terkait dalam hubungan sebab-akibat dan saling dukung dan saling melanjutkan, dimulai dari: (1) era Kebangkitan Nasional yang dicetuskan Budi Utomo yang mendorong terbentuknya gerakan-gerakan pemuda di tanah air (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, dll); (2) Deklarasi Manifesto Politik 11
dari Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, yang menanamkan kedaulatan rakyat, kemandirian dan kesatuan; (3) Deklarasi
Sumpah Pemuda yang
mencanangkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa; (4) tumbuhnya gerakangerakan kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka, yang diwarnai dengan penangkapan sejumlah tokoh perintis kemerdekaan Pemerintah Hindia-Belanda untuk diinternir ke sejumlah tempat pembuangan di tanah air; (5) perjuangan penuh perhitungan seksama di masa pendudukan Jepang, menghadapi penguasa Jepang yang kejam; dan (5) persiapan kemerdekaan Indonesia dan tercapainya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Hatta di Jakarta. Tanpa memahami sejarah, kaum intelektual Indonesia, khususnya mahasiswa yang muda-muda, tidak akan tahu, ke arah mana membangun Indonesia, apa tanggungjawab moral dan fisiknya sebagai warganegara dan anak bangsa, dan bagaimana caranya untuk membangun masa depan Indonesia yang cerah dan penuh martabat tinggi kelak di kemudian hari. Pemuda harus paham mengenai
nasionalisme. Apa itu nasionalisme?
Menurut Sri-Edi Swasono, nasionalisme adalah rasa cinta kepada tanah air, nusa dan bangsa. Nasionalisme adalah patriotisme. Nasionalisme adalah doktrin ideologis untuk mengutamakan kepentingan nasional. Nasionalisme adalah suatu gerakan untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan, independency dan kemandirian. Nasionalisme adalah kesadaran kebangsaan, harga-diri, dan identitas diri sebagai suatu bangsa” (Swasono, 2011: 4). Bagaimana kita menunjukkan nasionalisme dalam era reformasi ini? 1. Menanamkan kebanggaan pada diri kita dan lingkungan kita sesama orang Indonesia melalui kebiasaan memakai produk-produk industri nasional, seperti tekstil, asesori, teknologi dan peralatan sehari-hari buatan Indonesia. 2. Mengutamakan konsumsi makanan dan minuman serta obat-obatan Indonesia. 3. Menghasilkan temuan-temuan inovatif berupa teknologi tepat guna, dll
12
4. Berperilaku modern dan tertib (belajar keras, memanfaatkan waktu, berbudaya bersih, sebagai bagian dari upaya meningkatkan karakter dan jati diri bangsa Indonesia) 5. Menghasilkan temuan-temuan yang berasal dari potensi-potensi sosial-kultural masyarakat untuk didayagunakan lebih lanjut bagi kepentingan rakyat. 6. Menanamkan pola pikir bahwa ilmu adalah untuk diamalkan bagi masyarakat, serta mencari solusi terhadap permasalahan bangsa dan negara. 7. Memahami
bahwa
pembangunan
nasional
harus bersifat humanistik,
mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan membuat rakyat menjadi tuan di negerinya sendiri. Hanya dengan melakukan hal-hal di atas maka kaum intelektual Indonesia masa kini mampu untuk meneruskan perjuangan para pahlawan dan pendiri negara untuk mendisain dan mencapai masa depan Indonesia yang cerah serta mampu untuk ikut mengukir peradaban dunia sebagai pemimpin global sejati. --o0o--
13
“Langkah Menuju Kesetaraan Gender” Oleh Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si. Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia/ KOWANI President of ASEAN Confederation of Women Organization/ ACWO Coordinator Sustainable Development of International Council’s of Women/ ICW
Pendahuluan Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya baik lakilaki maupun perempuan dalam dinamikanya akan terus ditingkatkan kualitasnya dan kuantitasnya Konstitusi Nasional di Indonesia tidak mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum dan sektor pembangunan lainnya, dengan demikian keduanya dapat berperan aktif di dalam pembangunan Perjuangan Bangsa Indonesia Para perintis pergerakan perjuangan perempuan sejak dulu yang bekerjasama dengan kaum laki-laki bahu membahu memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia Kongres Perempuan Indonesia pertama tanggal 28 Desember 1928 merupakan sejarah dan langkah awal bagi persatuan dan kesatuan pergerakan wanita Indonesia Perjuangan Perempuan Indonesia Perempuan Indonesia di era baru Indonesia tidak terlepas dari perjuangan para pendahulu kita, seperti: Cut Nyak Dien Dewi Sartika Christina Marta Tiahahu Nyi Ageng Serang Kartini dll
Perempuan dan Era Baru Indonesia Perempuan Indonesia harus berani menjadi motor penggerakan perubahan, namun upaya ini tidak semudah 14
seperti membalikkan telapak tangan, apalagi bila kita melihat sejumlah tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia.
Kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang pembangunan Pendidikan : pendidikan tinggi : laki-laki 12,5% dan perempuan 11,0%, angka buta aksara : laki-laki 26,9% dan perempuan : 5,38% Kesehatan : Angka Kematian Ibu (AKI) : 228/100.000 KH pd thn 2007, Angka Kematian Bayi : 34/1000 KH pd thn 2007, partisipasi KB Pria masih rendah, kasus narkoba sebagian besar terjadi pada remaja laki-laki, pengetahuan ttg HIV/AIDS pada remaja putri usia 15-24 thn : 94% dan laki-laki : 77% Ekonomi : Angka pengangguran perempuan: 10,8%, laki-laki : 8,1%, daya beli perempuan lebih rendah dari laki-laki, TPAK laki-laki : 62% dan perempuan : 38,26%, tindak kekerasan terkait ekonomi terhadap perempuan 2,27 juta orang Politik : Pemilu 2009, partisipasi perempuan di lembaga legislatif (DPR RI) komposisi P : 18,6% dan L : 81,4%, DPD komposisi P: 27% dan L : 73%. Di bidang eksekutif perempuan yang menduduki jabatan Eselon I : 8,7%, Eselon II : 7,1%, Eselon III : 14,5% dan eselon IV : 23,3%. Kepala Desa : perempuan: 2.888 dan laki-laki : 73.842. Hukum : Masih banyak peraturan perundang-undangan yang bias gender, masih tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak (prevalensi 3,1 % perempuan dan anak 7,6%), maraknya kasus perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi. Budaya : Pemahaman masyarakat yang lebih mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan (budaya patriakhi)
Nasionalisme untuk Kesejahteraan Bangsa Konsensus dasar tentang Negara kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika) harus menjadi pegangan perjuangan seluruh bangsa Indonesia sepanjang masa.
15
Pemberantasan KKN, sehingga tercipta Indonesia baru yang dicita-citakan maju, aman, adil, dan makmur. Pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender yang sejalan dengan nilainilai budaya yang berkembang dimasyarakat Menyiapkan generasi penerus bangsa yang lebih sadar akan kebangsaannya Meningkatkan kualitas SDM di Indonesia
Melatih kepemimpinan dari awal Anak dapat dilatih menjadi pemimpin di kelas dengan cara bergantian menjadi ketua kelas setiap minggu
Diadakan pameran hasil karya anak sehingga sehingga anak dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan hasil karya tersebut
Anak diajarkan untuk dapat mengekspresikan mengenai orang tua atau orang dilingkungannya, baik melalui gambar ataupun tulisan seperti cerita, syair/puisi
Hal – Hal yang sudah dilakukan Kowani Melaksanakan peningkatan life skill, keaksaraan fungsional, PAUD 7 organisasi wanita (SIKIP, Kowani, Dharma Pertiwi,Dharma Wanita Persatuan, Bhayangkari, T.P PKK, APPB) melakukan gerakan perempuan menanam dan memelihara 10 juta pohon diseluruh Indonesia secara serentak Kowani bersama LSM peduli terhadap peningkatan keterwakilan perempuan dibidang politik Cinta Indonesia Jiwa dan Raga untuk Indonesia
16
“Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga serta Komunitas Untuk Penghapusan Kemiskinan” Oleh: Erna Surjadi, Dr, Drg., MS.APBI, PhD Pendahuluan: Dunia
berkembang
terus,
penduduk
bertambah
dengan
segenap
permasalahan sosial, ekonomi, budaya dan politiknya; dan waktu berjalan tanpa dapat dihentikan. Tidak terasa sudah 83 tahun lamanya sejak Indonesia menyatakan tanggal 10 Nopember menjadi Hari Pahlawan bangsa. Kata pahlawan kerap dikonotasikan sebagai perbuatan heroik yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun diantara nama-nama para pahlawan juga ada sederet nama kaum perempuan zaman dahulu yang telah membuktikan diri dan kontribusinya untuk kemajuan bangsa; antara lain: Kartini, Dewi Sartika, Martha Kristina Tiahahu, Tjoet Nyak Dien dan lain sebagainya. Zaman sekarang kita telah pernah memiliki perempuan sebagai presiden, menteri, ahli hokum, kedokteran dan diberbagai bidang lainnya, termasuk dibidang antariksa dan penerbangan yang dulu dikonotasikan menjadi arena kaum laki-laki. Dahulu kita berjuang untuk merdeka, harkat suatu bangsa yang bebas dari penjajahan karena tidak sesuai dengan hak asazi manusia, demikian dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; untuk persatuan Indonesia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang dicanangkan dalam sila ke-3 dan ke-5 Pancasila; yang telah dinyatakan sebagai pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia. Maka tak pelak lagi kita harus menjaga konsistensi spirit kepahlawanan sebagai dasar
pengembangan
nasionalisme bangsa
Indonesia. Melibatkan
kaum
perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki dalam pembangunan nasional telah
menjadi
Instruksi
Presiden
(INPRES)
no
9
tahun
2000, melalui
Pengarusutamaan Gender di semua bidang pembangunan nasional. Tahun 2010, dunia mencatat perkembangan bangsa yang dikaitkan dengan Tujuan Pengembangan millennium global (Millennium Development Goals= MDG). Ada sekitar 18% penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan dibawah 1$/hari 17
dan ada sebanyak 49,8% yang memiliki penghasilan dibawah 2$/hari. (lk RP 17.500,-). Kemiskinan dan kelaparan kini menjadi perhatian dunia terutama di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, India dan lainnya di Asia Pacific; namun karena berlanjutnya krisis keuangan (financial crisis) yang juga menyerang Negara-negara di Eropa dan bagian lain di dunia; hal ini telah menjadikan dunia memiliki wajah lain. Orang bilang kemiskinan itu lekat dengan wajah perempuan. Perempuan yang tidak berdaya terjebak dalam perdagangan orang, pekerjaan seks komersial, gizi buruk, kematian ibu dan lain sebagainya. Perempuan yang miskin memiliki kondisi dan situasi yang lebih buruk dibandingkan kaum lelaki yang miskin. Perempuan sebagai sentra kehidupan keluarga, apabila tidak terdidik, tidak paham sanitasi dan kesehatan; dengan mudah
menularkan
ketidakberdayaannya,
termasuk
penyakit
kepada
permasalahan dan atau kemunduran keluarga; namun sebaliknya perempuan yang memiliki pengetahuan akan menyebarkannya kepada seisi rumah tangga serta memiliki semangat kehidupan memerangi kemiskinan dan menggapai kemajuan yang didambakan. Di pihak lain; perempuan yang suaminya terkena Tuberculoses (TBC) tidak menyadari dirinya mudah terkena penularan melalui udara di sekitar suaminya; pengabaian kesehatan diri telah membawa seluruh anak-anaknya terkena penyakit TBC. Masih dijumpai perempuan yang rela berkorban untuk keluarganya; ketika anak dan suami sakit maka sakitnyapun dikebelakangkan dan tidak juga diobati karena mendahulukan suami dan anak-anaknya. Mereka tidak menyadari hak untuk hidup sehat dan umumnya terbelenggu dengan budaya patriarki yang menomorsatukan laki-laki. Diperlukan dukungan kaum laki-laki untuk meningkatkan akses, partisipasi dan control kaum perempuan di berbagai bidang pembangunan untuk memberikan manfaat yang setinggi-tingginya untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Hal ini perlu dimulai dari kaum intelektual Indonesia, menyebarkan spirit nasionalisme kemitrasejajaran kaum laki-laki dan perempuan untuk mendukung kesejahteraan sosial dimulai dari pengentasan kemiskinan di Indonesia. Gerakan 18
ini perlu dimulai dari spirit keluarga dan berlanjut kepada komunitas dan kepada seluruh komponen bangsa. Menimbang realita kehidupan kaum perempuan diantara mitranya kaum lakilaki di Indonesia, mari kita simak berita berikut ini:
Berita 7 Nopember 2011; Lebak (ANTARA) – yahoo.news: Menteri PDT Resmikan SDN dan Jembatan Gunungkencana Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini akan meresmikan SDN 1 Kramat Jaya dan jembatan gantung di Kecamatan Gunungkencana, Kabupaten Lebak, Senin. "Kunjungan kerja Menteri PDT itu akan meresmikan pembangunan yang ada di desa tertinggal di Lebak," kata Kepala Seksi Pemberitaan Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Lebak, Icah di Rangkasbitung, Senin. Ia mengatakan, kunjungan kerja Menteri ke Kabupaten Lebak meninjau dan meresmikan pembangunan jembatan gantung dan SDN di Kecamatan Gunungkencana. Sebab sarana infrastuktur itu, kini sudah dibangun dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Jembatan gantung tersebut bisa dilintasi ribuan warga antardesa terpencil di wilayah itu. Kegiatan masyarakat setempat, kata dia, satu-satunya yang menghubungkan akses lalu lintas warga. "Dengan berfungsinya jembatan gantung itu diharapkan perekonomian masyarakat meningkat," katanya. Menurut dia, pembangunan jembatan gantung bantuan pemerintah kabupaten dan provinsi kini sudah dilintasi masyarakat setempat. Pekerjaan pembangunan melibatkan masyarakat cukup bagus dan bisa bertahan puluhan tahun. "Saya berharap jembatan itu kondisi fisiknya bisa bertahan lama," ujarnya. Ia mengatakan, peresmian jembatan gantung dilaksanakan pukul 10.00 WIB setelah menginap di Hotel Bagedur Kecamatan Malingping.Selama dua hari kunjungan Menteri PDT, kata dia, melaksanakan shalat Idul Adha di Alun-alun Rangkasbitung dan silatuhrahmi dengan masyarakat. "Kemungkinan siang ini Pak Menteri PDT langsung kembali ke Jakarta," katanya.
Pembicaraan: Sangat dihargai perhatian Menteri dan jajarannya serta dipahami nilai nurani dan dukungan fisik yang dibutuhkan masyarakat tertinggal di Lebak. Saya jadi teringat gambar kaum anak perempuan yang menyebrang dengan jembatan
19
gantung dari satu daerah ke daerah seberang lainnya untuk mencapai sekolahnya. Resiko dan perlu pemikiran dari sudut gender. Kebutuhan perempuan lebih spesifik dengan kebutuhan laki-laki termasuk perbedaan kebutuhan anak perempuan dan anak laki-laki. Tidak dapat kita bayangkan kalau anak perempuan tersebut sedang menalankan kodrat bulanannya; tenaga yang lemah dan kondisi yang tidak memberikan banyak pilihan. Mungkin ini bukan gambaran Lebak; moga-moga disana
jembatannya
punya
sedikit penjejak
untuk anak-anak/perempuan
menyebrang dengan lebih santai - namun pesannya adalah: pemberian fasilitas apapun
dari
pemerintah
untuk
publik
hendaknya
memperhatikan
perspektif/kebutuhan gender; sesuai spirit Instruksi Presiden No 9/2000 tentang pengarusutamaan gender.
Tidak diketahui, berapa perbedaan biaya untuk menambahkan kayu/papan pada jembatan gantung ini untuk kenyamanan dan keselamatan anak-anak tersebut. Untuk orang dewasa mungkin tidak apa-apa, namun untuk anak-anak dan kaum perempuan rasanya ini menyentuh keadilan sosial. Satu lagi potret kemiskinan yang harus diderita rakyat yang dibagian lain sudah berkelimpahan
20
dengan pesawat jet pribadi dan elevator di mall-mall yang tersebar di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Kesadaran Berkeadilan sosial: Alexander Solzhenitsyn menulis: “Justice is concience not a personal consience but the concience of the whole comunity. Those who clearly recognize the voice of their own consience usually recognize also the voice of justice” Keadilan adalah suatu kesadaran; bukanlah kesadaran perorangan namun kesadaran dari seluruh komunitas. Orang-orang yang mengenali suara dari kesadaran
dirinya
biasanya
permasalahan, apakah
mengenali
kesadaran
pula suara keadilan. Yang jadi
tersebut ‘born’/’given’ atau
sebaliknya
‘acquired’/perlu dilatih? Sensitivitas adalah suatu proses; hubungan dan interaksi manusia adalah proses; maka keharmonisan adalah juga suatu proses; termasuk di dalamnya rasa menghargai, menghormati, perhatian, empati dan keinginan untuk menolong orang lain. Pada dasarnya tiada satupun manusia yang sempurna, maka secara rasional kita akan saling membutuhkan satu sama lain. Peringatan Hari Pahlawan yang notabene telah mengikutsertakan nam-nama kaum perempuan sebagai pahlawan, hendaknya membawa kesadaran pula kepada kita semua untuk membangun spirit kebangsaan yang juga memperhatikan kondisi perempuan dan anak-anak yang menjadi kelompok rentan di kala kemiskinan datang mendera bahkan ketika bencana alam, persaingan bisnis dan lain-lain yang membawa
mereka
menjadi
pelacuran, pekerjaan
obyek/korban
komersial, kekerasan
perdagangan orang (trafficking, dan
lain
sebagainya). Spirit
nasionalisme yang membuka akses dan peluang kemudahan transportasi, peningkatan ketrampilan, ekonomi kecil dan menengah dan lain sebagainya dapat meningkatkan partisipasi kaum perempuan untuk menjadi pahlawan dalam keluarga dan komunitasnya. It is said – Dignity of work, person and life is the fundamental of Human rights (HOME – Humanitarian Organization for Migrant Economices: www.home.org.sg)
21
Berapa banyak saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita di Indonesia yang masih hidup terpencil dan tidak/belum dapat menikmati alam kemerdekaan yang dirintis para pahlawan? Akankah mereka tertinggal terus dibandingkan saudara-saudara sebangsanya di daerah lain hanya karena mereka tinggal di daerah yang terpencil
dan jauh dari
kota besar? Mereka memerlukan
kunjungan/visit untuk perbaikan kehidupan bebas kemiskinan baik untuk keluarga maupun untuk komunitas yang tidak setengah-setengah namun sebagai satu paket kemajuan, memberikan pemberdayaan keluarga dan komunitas.
Beberapa snapshot di daerah Citarum, Jawa Barat
“Reaching out”; jangkaulah mereka; hormati, penuhi dan protek hak-hak mereka untuk hidup layak - lihatlah gambar di atas; maka kita tahu betapa pekerjaan sosial
bukan semata-mata kehidupan keluarga; karena mereka
‘powerless’ - namun secara nyata menjadi wajah kebutuhan bangsa yang menginginkan Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia dan dengan konsisten menjalankan hak asazi manusia. Pesan menyentuh untuk uluran tangan para pengambil keputusan selaku duty bearers (pemangku kepentingan) dan suara
22
bagi pemegang hak (right holders): para orang-orang miskin, termasuk kaum perempuan dan anak-anak; karena kita percaya bahwa Hak ‘dignity’ (harkat) terkait pekerjaan, orang dan kehidupan merupakan dasar dari Hak asazi Manusia. The right to Dignity of work, person and life are fundamental human rights. Panggilan dalam alam kemerdekaan perlu dilanjutkan untuk menjadi pahlawan bangsa; hal ini perlu dimulai dari kaum pemuda/i dan seluruh rakyat yang mencintai negara, bangsa dan tanah airnya, sang mutiara di katulistiwa – agar tidak berubah menjadi batu tak berharga yang tidak kita harapkan. Gerakan penghapusan kemiskinan dan kelaparan (poverty and hunger) yang diusung Millennium Development Goals (MDG ke 1) dapat didukung dengan meningkatkan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol secara setara (equality bagi kaum perempuan dan laki-laki), seperti yang dinyatakan juga dalam MDG-3 (Promoting gender equality and women’s empowerment) dengan memperhatikan disparitas
gender
masing-masing
untuk
mendapatkan
keadilan
(equity).
Pemberdayaan keluarga dalam usaha ekonomi rumah tangga, pengentasan kemiskinan dan kehidupan harmonis antara pasangan dan keluarga menjadi tuntutan bangsa untuk membentuk keluarga mandiri, maju, sehat dan sejahtera Selamat Hari Pahlawan ke-83! PEMBERDAYAAN PEREMPUAN ADALAH KEMAJUAN KELUARGA UNTUK INVESTASI MASA DEPAN (Women’s empowerment is family advancement towards future investment)
Daftar Pustaka: Klein, David M and White, James M, 1996, Family Theories, an introduction understanding families, SAGE publications, International Educational and Professional Publisher, USA Losh-Hesselbart, Susan, 2001, Development of Gender Roles, Florida State University, USA, Department of Sociology, Handbook of Marriage and the Family , h 535-564 MDG report, UNDP, 2000 23
Surjadi, E dkk, Public Policy Forum Indonesia, Gender Harmony, Pustaka Sinar Harapan, 2010
Jakarta, 8 Nopember 2011, TMI
24
Aktualisasi Spirit Nasionalisme Oleh: Al-Zastrouw Ng*)
Manifesto Politik 1925 yang dicetuskan oleh para generasi muda Indonesia (waktu itu disebut Hindia Belanda) yang belajar di Belanda merupakan peristiwa monumental dalam sejarah Nasionalisme Indonesia. Manifesto politik yang dipimpin oleh Moh. Hatta tersebut tidak saja menjadi cermin bangkitnya kesadaran nasionalisme, tetapi juga menjadi sumber inspirasi gerakan nasionalisme pada masa selanjutnya, seperti peristiwa sumpah pemuda tahun 1928 dan puncaknya adalah proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945. Satu hal yang perlu dicatat, munculnya manifesto politik 1925 bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan ujung dan kristalisasi dari suatu perjuangan panjang yang sudah dirintis para tokoh pergerakan sebelumnya, khususnya para aktivis Boedi Oetomo yang berdiri pada tahun 1908. Artinya ada rentang waktu antara sosialisasi dan kristalisasi kesadaran nasionalisme dengan munculnya berbagai momentum puncak nasionalisme sebagaimana tercermin dalam peristiwa Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda. Sejarah
menunjukkan, terjadi
sektarianisme yang kuat di
kalangan
masyarakat Indonesia, ini terjadi karena kesadaran nasionalisme bersarang pada identitas etnis, budaya dan ideologi. Mereka memiliki kesamaan keinginan untuk meredeka, tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengorganisir diri menjadi suatu gerakan. Kesamaan etnis, tradisi dan idoelogi menjadi pengikat yang paling mudah untuk membangun gerakan bersama. Hal inilah yang menjadi sebab kuatnya gerakan
sektarianisme
dalam
kesadaran
nasionalisme
awal
Indonesia,
sebagaimana tercermin dalam organisasi Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamic Bond, dan Pasoendan. Seiring dengan dengan perjalanan waktu, *)
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) PBNU, Alumni Sosiologi S-3 UI.
25
kesadaran sektarianisme yang berbasis pada etinisitas, lokalitas dan ideologi akhirnya bisa melebur manjadi gerakan nasionalisme Indonesia. Sebagai upaya membangun spirit nasionalisme kaum intelektual saat ini, rasanya perlu melakukan analisis terhadap sejarah gerakan nasionalisme secara cermat. Bagaimana gerakan tersebut bisa tumbuh dan berkembang? Apa yang menjadi akar dan pijakan dari tumbuhnya spirit nasionalisme? Bagaimana spirit tersebut bisa mentransendensikan kesadaran sehingga melampaui sekat-sekat etnis dan ideologis yang sempit dan lokal? Upaya membongkar sejarah ini bukan dimaksudkan untuk mengidealisir masa lalu atau sekedar melakukan romantisme historis. Sebaliknya, dengan mencermati dan memahami sejarah kita akan dapat mengetahui nilai-nilai dan hal-hal apa yang bisa dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut dalam konteks kekinian dan sebaliknya. Selain itu, dengan pemahaman historis ini kita memiliki pijakan untuk melakukan rekonstruksi dan aktualisasi nilai-nilai dan spirit nasionalisme. Tanpa melakukan ini, kesadaran nasionalisme kaum intelektual akan rapuh, karena tidak manapak pada akar dan rujukan yang kokoh. Alih-alih mempertahankan spirit nasionalisme, mereka jadi “generasi hilang” hanyut dalam arus globalisasi yang tidak lagi mengakui pentingnya nasionalisme. Konsep Nasionalisme Nasionalisme adalah sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengaan demikian merasakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu (Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4; hal 2338). Definisi ini menyiratkan bahwa inti dari nasionalisme adalah soal rasa dan kesetiaan. Kesamaan bahasa, kebudayaan dan woyah hanya menjadi alat, sementara kesamaan cita-cita dan tujuan merupakan implikasi dari persamaan rasa dan kesetiaan. Meskipun ada perbedaan kebudayaan, bahasa dan wilayah namun semua itu dapat terlampaui jika ada kesamaan rasa dan kesetiaan,
26
demikian sebaliknya. Kesamaan rasa dan kesetiaan ini pula yang pada ujungnya dapat melahirkan kesamaan cita-cita dan tujuan. Kekuatan rasa dan kesetiaan ini dapat melahirkan proses kreatif suatu masyarakat, sehingga tidak saja menumbuhkan cita-cita dan tujuan bersama, tetapi juga melahirkan kesadaran untuk menerima suatu perbedaan yang ada. Dalam konteks ini bisa dilihat kasus nasionalisme Indonesia. Secara faktual, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam tradisi, budaya, bahasa dan etnis. Tetapi karena adanya kesamaan rasa dan kesetiaan akhirnya berbagai perbedaan itu dapat diatasi bahkan mampu melahirkan konsensus untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kesatuan rasa dan kesetiaan ini pulalah yang melahirkan sebuah cita-cita dan tujuan bersama, yaitu membentuk Negara yang merdeka dan berdaulat. Artinya kemerdekaan merupakan suatu bentuk masyarakat yang diimaginasikan bersama oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia saat itu. Mereka tidak lagi mengimaginasikan terbentuknya masyarakat Jawa, Batak, Islam, Sunda, Ambon dan sebagainya, tetapi mereka mengimaginasikan suatu masyarakat besar yang bernama Indonesia. Konsep nasionalisme seperti ini sama dengan apa didefinisikan oleh Ben Anderson yang menyatakan nasionalisme sebagai "sebuah komunitas politik yang dibayangkan”. Sebuah komunitas yang dibayangkan berbeda dari yang sebenarnya, karena tidak berdasarkan kenyataan riil dimana setiap anggotanya bisa berinteraksi secara langsung setiap hari. Sebaliknya mereka diikat oleh suatu citra yang ada dalam pikiran sehingga tumbuh pesan sama diantara mereka. Perasaaan inilah yang selanjutnya membentuk “komunitas imajiner” yang membedakan mereka dengan kelompok lain (Ben Anderson, 1991). Ini artinya, kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari warga bangsa
mungkin tidak pernah
mengenal satu sama lain, bertemu dan bertatap muka, namun mereka memiliki minat yang sama atau mengidentifikasi diri dan kelompok sebagai bagian dari bangsa yang sama.
27
Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya dipengaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosio kultural yang ada di masingmasing negara. Nasionalisme akan muncul ketika suatu kelompok suku yang hidup di suatu wilayah tertentu dan masih bersifat primordial berhadapan dengan manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Sikap nasionalisme akan tumbuh ketika proses interaksi antar kelompok masyarakat terjadi secara tidak seimbang, ada proses kooptasi dan eksploitasi antara yang satu terhadap yang lain. Ketika hal ini terjadi, lambat laun akan muncul tuntutan persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakat (demokrasi politik dan demokrasi sosial) serta adanya persamaan kepentingan ekonomi. Munculnya tuntutan inilah yang ikatan emosional
kemudian melahirkan
diantara anggota kelompok masyarakat yang akhirnya
melahirkan imaginasi bersama. Imaginasi kolektif tentang bangunan masyarakat inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah nasionalisme modern. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa munculnya nasionalisme merupakan respon terhadap suasana politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama respon terhadap penjajahan. Dilihat dari sejarah perkembangannya, nasionalisme mula-mula muncul menjadi kekuatan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Latin pada abad ke-18. Di Amerika
Utara
misalnya, nasionalisme lahir karena perluasan dibidang
perdagangan kira-kira pada tahun 1000. Ada pula yang berpendapat bahwa manifestasi nasionalisme muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Namun dari beberapa pendapat tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa munculnya nasionalisme berawal dari Barat (yang diistilahkan oleh Soekarno sebagai nasionalisme Barat) yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan
(http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-
nasionalisme.html).
28
Di Indonesia, gerakan nasionalisme mulai bangkit pada tahun 1908 yang ditandai dengan berdirinya organisasi “Boedi Oetomo (Akira Nagazumi; 1989). Nasionalisme yang tumbuh masa itu masih bersifat lokal, kedaerahan dan kelompok, belum pada tataran kenegaraan sebagaimana tercermin dalam gerakan Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamiten Bond dan sebagainya. Meski konsep nasionalisme ini berasal dari Barat, namun para aktivis gerakan nasionalis saat itu tetap melakukan konstruksi terhadap pemikiran nasionalisme Barat yang materialistis tersebut, sehingga menjadi nasionalisme antikolonialisme yang kemudian menjadi spirit kemerdekaan (Partha Chatterjee dalam http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-nasionalisme.html). Nasionalisme antikolonialisme ini memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh spirit dunia Timur. Pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Dalam domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat. Definisi
lain menyebutkan, nasionalisme adalah suatu paham yang
menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Wikipedia, 2006). Dalam konteks Indonesia, pengertian ini dapat kita cocokkan dengan sejarah Indonesia ketika tahun 1945, yang pada saat itu para pendiri bangsa berusaha membuat sebuah nasionalisme yang dapat mempersatukan seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah jajahan Belanda. Nasionalisme yang kemudian dihasilkan adalah sebuah nasionalisme yang berdasarkan kepada
29
kesamaan nasib. Konsep yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut berhasil untuk mempersatukan wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia pada saat ini. Paparan di atas menunjukkan bahwa pengalaman bersama sebagai bangsa yang dijajah dan ditindas telah
menimbulkan perasaan senasib yang pada
ujungnya menumbuhkan suatu imajinasi kolektif tentang Indonesia yang merdeka dan
berdaulat
yang
merupakan
puncak
dari
bentuk
masyarakat yang
diimaginasikan bersama. Dalam konteks kekinian, apakah pengalaman bersama itu masih dirasakan oleh seluruh warga bangsa? Apakah seluruh komponen bangsa Indonesia saat itu masih memiliki perasaan senasib? Lalu apa yang bisa dijadikan sebagai pengikat nasionalisme jika pengalaman hidup mereka sudah berbeda? Apa yang bisa menyatukan seleuruh warga bangsa sehingga mereka merasa memiliki perasaan senasib? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab jika kita hendak melakukan aktualisasi terhadap spirit nasionalisme kita saat ini.
Politik Etis Sebagai Pembuka Kesadaran Nasionalisme. Dalam upaya menjawab pertanyaan di atas kita perlu melacak jejak tumbuh kembangnya nasionalisme Indonesia. Melalui jejak sejarah ini kita dapat melihat bagaimana proses kebangkitan nasionalisme tumbuh. Bagaimana para founding fathers yang menjadi motor gerakan nasionalis dapat mengintegrasikan berbagai gerakan nasional yang fragmented (terjebak dalam spirit kedaerahan, suku dan aliran) bisa terintegrasi secara utuh menjadi gerakan semesta nasionalisme Indonesia. Dari sini kita belajar sekaligus menganalisa aspek apa saja yang bisa ditiru dan dipertahankan, sehingga kita memiliki referensi yang jelas, relevan dan sesuai dengan akar-akar sosiologis masyarakat Indoensia. Kebangkitan spirit nasionalisme Indonesia tidak bisa lepas dari kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda. Melalui kebijakan politik etis yang diusung oleh van Deventer, Abendanon dan sebagainya, akses pendidikan Barat untuk kaum pribumi mulai terbuka. Sejak tahun 1891 diputuskan untuk mengizinkan semua pemuda yang menyatakan berminat pada pendidikan 30
“dokter Jawa” untuk mengikuti sekolah dasar Eropa tanpa dipungut bayaran (Robert van Niel, 1984; hal. 76). Pada awalnya, kebijakan politik etis ini dimaksudkan sebagai balas jasa pemerintah kolonial Belanda terhadap Negara Hindia Belanda yang telah dikuras kekayaannya. Selain itu juga dimaksudkan untuk merekrut tenaga kerja pribumi. Krisis ekonomi yang menimpa pemerintahan Belanda pada akhir abad 19 mengharuskan dilakukannya penghematan anggaran. Untuk itu perlu dilakukan pengurangan pengiriman ekspatriat ke negara-negara jajahan karena gajinya terlalu tinggi dan ongkosnya mahal. Jalan keluar untuk mengatasi masalah ini adalah mendidik orang-orang Indonesia sampai pada batas memiliki ketrampilan untuk menjalankan tugas sebagai pegawai. Ini perlu dilakukan karena ongkosnya lebih murah juga gaji yang diberikan kepada pribumi tidak setinggi para ekspatriat. Sejak saat itu dilakukan reorganisasi besar-besaran terhadap sistem pendidikan Barat di Indonesia. Untuk memenuhi tuntutan profesionalitas pekerjaan, beberapa jenis sekolahan model barat yang menggunakan bahasa Belanda dibuka sampai ke desa. Misalnya, Sekolah Dokter Hewan dibuka pada 1907, Sekolah Hukum didirikan pada tahun 1908. Sekolah menengah pertanian dimulai pada tahun 1903 dan Sekolah Keguruan dibuka tahun 1909 (Van Niel, Ibid, hal. 81). Pada awalnya kebijakan ini hanya diberikan kepada anak-anak muda priyayi yang tidak mendapat tempat dalam pemerintahan, namun keterbukaan ini pada akhirnya juga dapat dinikmati oleh anak muda yang bukan dari golongan ningrat. Semua sekolah model Barat yang dibuka olejh Belanda ini akhirnya melahirkan para elit intelektual Indonesia. Kebijakan politik etis ini ternyata menumbuhkan arus balik. Kebijakan politik yang bertujuan membangun kader loyalis kepada pemerintah kolonial dengan cara menjadikan mereka sebagai pegawai pemerintah kolonial dengan gaji dan fasilitas yang memadai, ternyata justru membangkitkan kesadaran nasionalisme kaum terpelajar. Alih-alih menjaadi tenaga kerja yang loyal pada pemerintah kolonial, meningkatnya taraf pendidikan justru membuat membuat para mahasiswa menjadi 31
bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang pada akhirnya berujung pada munculnya sentimen primordial sebagai basis terbentuknya spirit nasionalisme. Salah satu kebijakan yang membuat sentimen kebangsaan mereka bangkit adalah kebijakan diskriminatif yang dilakukan pemerintah kolonial antara mahasiswa pribumi dengan orang-orang Eropa. Para mahasiswa Indonesia yang belajar di STOVIA,
misalnya, merasa tidak puas oleh aturan diskrimatif yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial terhadap mereka, karena menganggap hal ini sebagai tanda rendahnya kedudukan mereka dimata orang Eropa. Pendidikan Barat tidak saja membuka kesadaran kritis mahasiswa, di sisi lain juga menimbulkan terjadinya benturan dalam diri para mahasiswa Indonesia. Tata cara Barat yang dipaksakan pada asas ke-Timur-an ternyata mengundang pertikaian. Hal ini, diantaranya, terlihat pada sosok Dr. Rajiman Wediodiningrat. Dia menerima gelar “Dokter Jawa” pada tahun 1899, kemudian pada tahun 1909 berangkat ke negeri Belanda dan menjadi dokter yang diakui penuh dengan standar Barat. Rajiman adalah sosok yang mempelajari dan menguasai pemikiran dan filsafat Barat seperti Immanuel Kant, Bergson, dan Karl Marx. Bahkan dia mendalami teosofi Annie Besant, yang mengajarkan tentang persaudaraan universal, agama yang sinkretis serta potensi mistis kehidupan dan kebendaan. Namun dokter Rajiman tidak menelan mentah-mentah semua pemikiran Barat tersebut. Sebagai seorang Jawa yang mengenal tradisi, budaya dan nilai-nilai Jawa, dia tetap menggunakan akar kosmologi jawa dalam kerangka pikir dan membangun kekuatan batinnya. Hal seperti ini tidak dilakukan Rajiman sendirian, hampir seluruh intelektual pribumi produk politik etis menggunakan cara pikir seperti Rajiman. Hampir semua intelektual pribumi produk politik etis memiliki cara pikir yang sama dengan Rajiman, seperti Abdul Muis yang tidak dapat berdamai dengan Indo-Indo Eropa yang dijumpainya di tempat dia bekerja. Dia lebih baik pindah kerja ke tempat lain, memilih menjadi penerjemah di Majalah Bintang Hindia asuhan Dr. Rivai. Bahkan 32
ketikan majalah ini bangkrut, dia tidak mau kembali bekerja menjadi pegawai pemerintah Belanda, karena merasa tidak cocok, dia akhirnya memilih mencari tempat kerja lain. Semua ini menunjukkan para intelektual pribumi tetap menggunakan akar-akar tradisi dan kosmologis Jawa dalam tata pikir dan bersikap, Menurut Duevendak, mereka para intelektual pribumi tetap menggunakan akar kosmos Jawa dan hanya secara dangkal saja berakar pada tradisi Barat, dimana pendidikan dan tinjauan mereka terhadap pemikiran Barat hanya mungkin menjangkau segi-segi materinya saja (Niel, Ibid; 80). Apa yang terjadi menunjukkan bahwa para aktivis gerakan nasionalis adalah para intelektual yang memiliki integritas dan karakter yang kuat dalam menghadapi berbagai tekanan, baik politis maupun ideologis. Mereka memiliki daya tahan diri yang kokoh sehingga tidak mudah hanyut oleh gemerlap pemikiran Barat modern yang menyilaukan dan tawaran materi pemerintah kolonial yang menggiurkan. Kalau diukur dengan realitas zamannya, para intelektual itu adalah mereka yang sudah masuk dalam pergaulan global, berinteraksi dengan masyarakat internasional secara intens, bersinggungan dengan berbagai konsep dan pemikiran Barat yang rasional, tapi mengapa mereka bisa bertahan dari gempuran rasionalitas Barat? Apa yang menumbuhkan sikap kreatif mereka sehingga bisa mengkritik Barat kemudian membuat konsep baru yang memadukan cara pikir Barat yang rasional dengan nilai-nilai dan akar kosmologi Timur yang mistik dan spiritual? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan penulis paparkan dalam bagian berikut.
Akar Nasionalisme dan Peranan Kaum Intelektual Muda Ada dua faktor yang membuat kaum intelektual pribumi memiliki kekebalan kultural (cultural immunity) ketika menghadapi gempuran dan tekanan paradigma intelektual dan kebudayaan Barat modern. Pertama, pemahaman sejarah yang kuat. Pemahaman terhadap sejarah inilah yang membuat mereka merasa percaya diri 33
dan memiliki martabat. Kebesaran sejarah masa lalu sebagaimana tercermin dalam kerajaan-kerajaan merupakan cermin bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan peradaban besar. Oleh karenanya tidak layak kalau bangsa besar ini harus tunduk pada penjajah. Kesadaran seperti inilah yang lambat laun melahirkan sikap sentimen anti penjajah. Sebagaimana dinyatakan oleh Kahin, hal-hal yang melandasi tumbuh dan berkembangnya nasionalisme adalah kebanggaan pada kejayaan tradisi masa lalu. Kesadaran akan kekuatan politis yang sudah ada sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh garis batas wilayah pengawasan kerajaan-kerajaan Indonesia pada masa lalu dan kejadian-kejadian seperti dikalahkannya anagkatan perang Kubilai Khan yang sedang memperluas kerajaannya oleh orang Jawa, berbarengan dengan kenang-kenangan akan keagungan kebudayaan masa lalu, seperti misalnya Sriwijaya yang sudah menjadi pusat pendidikan agama Buddha internasional (George Mc. Turnan Kahin; 1995; hal. 50). Kedua, faktor pemahaman terhadap akar-akar tradisi yang berkembang di masyarakat. Tradisi adalah tempat bersarangnya suatu kesadaran. Tanpa mengenal tradisi seseorang akan kehilangan jatidiri sehingga mudah diombangambingkan oleh kenyataan karena mereka tidak memiliki tempat berpijak yang jelas. Sebaliknya, seseorang yang memiliki pemahaman terhadap akar tradisi yang yang kuat, mereka akan memiliki pijakan yang kokoh ketika berhadapan dengan berbagai macam tekanan. Para elite intelektual produk politis merupakan contoh konkrit mengenai
hal
ini. Mereka mempelajari
konsep pemikiran Barat,
bersinggungan dengan kebudayaan Barat, tetapi mereka tidak hanyut dan lebur. Sebaliknya, seluruh pemikiran dan kebudayaan Barat hanya dijadikan referensi untuk merekonstruksi berbagai akar tradisi yang dimilikinya, sehingga lahir berbagai pemikiran yang menggunakan cara pikir Barat namun tetap berakar pada akar tradisi. Hal itu tercermin dalam konsep nasionalisme Indonesia, ekonomi gotong royong (koperasi), sebagaimana dirumuskan Hatta, Gerakan Murba dan
34
Marhaen yang merupakan konstruksi pemikiran sosialisme ala Indonesia yang dirumuskan oleh Tan Malaka, Soekarno, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada para pemikir keagamaan. Pada zaman kolonial, banyak ulama Indonesia yang belajar ke Timur Tengah, seperti Syech Nawawi al Bantani, Abu Shomad al-Falembangi, Syech Arsyad al-Banjari, Kyai Mahfudz Termas, Kyai Hayim As’ari, KH Ahmad Dahlan dan sebagainya. Tetapi setelah pulang ke Indonesia, mereka tidak melakukan arabisasi atas nama Islam. Mereka
tetap
membangun
konstruksi
pemikiran
Islam Nusantara
yang
mengakomodasi adat dan tradisi sebagai sarana pengembangan Islam. Bahkan mereka menulis beberapa kitab dengan memasukkan berbagai unsur tradisi dalam pemikiran keagamaan mereka. Misalnya Syceh Arsyad al-Banjari memasukkan konsep gono-gini dalam hukum fiqih. Semua kitab karangan ulama Indonesia menjadi rujukan di Timur Tengah hingga saat ini. Ini membuktikan dengan pemahaman tradisi dan akar budaya yang kokoh, para ulama berhasil meempertahankan diri dari tekanan wahabi yang hendak menghancurkan berbagai tradisi atas nama agama. Sebaliknya, dengan kekuatan tradisi mereka membuat perlawanan melalui berbagai pemikiran keagamaan yang lebih kreatif dan mudah diterima oleh umat, sehingga tidak mengganggu integrasi sosial yang sudah terjadi di masyarakat. Selain faktor kesadaran historis dan pemahaman tradisi, ada faktor lain mendukung tumbuhnya nasionalisme Indonesia, yaitu munculnya kesadaran identitas kultural yang bisa menjadi budaya tandingan (counter culture) yaitu identitas Islam Nusantara. Menurut Kahin, Islam sebagai mayoritas menjadi identitas kultural membangkitkan perlawanan kaum penjajah yang beragama Kristen. Dalam derajat tertentu Islam menjadi identitas pembeda antara kelompok nasionalis pribumi dengan kaum penjajah. Di sini Islam tidak semata-mata menjadi ideologi keagamaan tetapi sekaligus juga menjadi simbol dan identitas kultural kaum pribumi yang terjajah. Sebagaimana dinyatakan Wertheim:
35
“Seseorang memang dapat menunjang paradoks bahwa perluasan Islam di kepulauan Indonesia adalah akibat ulah orang-orang Barat. Datangnya Portugis ke wilayah Nusantara mendorong sejumlah besar bangsawan Indonesia untuk memeluk kepercayaan Islam sebagai suatu pergerakan politis untuk melawan penetrasi Kristen (WF. Wertheim, 1950; 52)”. Kesadaran historis dan pemahaman tradisi ini tidak saja bisa melahirkan ketahanan budaya yang menghasilkan sosok yang berkarakter dan memiliki integritas, lebih dari itu juga melahirkan kesadaran kreatif yang mampu melampaui sekat-sekat primordial yang ada pada saat itu. Hal ini dibuktikan dengan dicetuskannya bahasa kesatuan yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan yang ada. Dalam hal ini Kahin menyatakan integrasi nasionalisme Indonesia terjadi karena adanya
bahasa kesatuan. Sebagaimana dinyatakan
Bousquet: “Karena orang Belanda tidak membiarkan pemakaian bahasanya meluas sebelum nasionalisme lahir, kini kaum nasionalis memakai bahasa Melayu sebagai sesuatu senjata melawan pengaruh Belanda…. Mereka percaya diri mampu menempa suatu rantai untuk mencapai tujuan-tujuannya, namun kini mereka melihat, bahwa mereka telah menyediakan suatu senjata, senjata psikologis yang menggetarkan, yaitu suatu bahasa nasional umum yang dipakai untuk mengungkapkan asapirasi-aspirasi nasonal umum mereka” (Bousquet dalam Kahin, Ibid; 51). Fakta sejarah di atas menunjukkan bahwa motor gerakan nasionalisme adalah para pemuda dan intelektual. Integritas dan komitmen para intelektual muda ini mampu meruntuhkan kemapanan para ningrat dan raja-raja lokal sering dipakai pemerintah kolonial untuk melemahkan semangat kesatuan. Ketika gerakan nasionalisme makin menguat, para ningrat akhirnya ikut dalam gerakan ini. Tidak hanya itu, kelas menangah yang terdiri dari para pedagang pribumi dan Cina akhirnya ikut mendukung gerakan kaum nasionalis. Peran para intelektual dalam gerakan nasionalisme ini juga diakui oleh Shil yang menyatakan: “Persiapan kemerdekaan, kelahiran dan kelangsungan hidup Negara-negara baru di Asia dan Afrika dengan segala perubahannya pada dasarnya merupakan hasil karya kaum cendekiawan. Belum pernah dalama sejarah manusia kaum cendekiawan begitu berperan dalam pembentukan Negara seperti yang mereka lakukan di dalam peristiwa-peristiwa abad 36
ini……..Keunggulan kaum cendekiawan dalam politik di Negara-negara baru baik di Asia dan Afrika sebagian disebabkan oleh karena adanya hubungan antara orientasi cendekiawan modern dengan pelaksanaan politik revolusioner atau politik yang tidak konstitusional dan dengan pelaksanaan politik yng non militer” (Edward A. Shils dalam Aidit Alwi dan Zainal AKSP (ed.), 1989; hal. 33 dan 34). Pernyataan Shills ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan Kahin yang melakukan penelitian sejarah gerakan nasionalisme Indonesia. Dalam hal ini Kahin menyatakan: “Satu-satunya yang mungkin dapat dijadikan dasar keberhasilan gerakan kebangsaan Indonesia yang cukup kuat untuk mencapai tujuan politiknya, hanyalah pembentukan hubungan efektif antara kepemimpinan nasionalis yang terutama berasal dari unsur-unsur cendekiawan Indonesia serta kelas menengah yang sangat sedikit jumlahnya, dan massa Indonesia” (Kahin, Ibid; 78-79). Secara spesifik, peran kaum muda dalam revolusi kemerdekaan Indoensia dipaparkan oleh Ben Anderson. Dalam bukunya “Revolusi Pemuda” Anderson menjelaskan karakteristik revolusi Indonesia yang menyimpang dari pola sosiopolitik revolusi-revolusi modern lainnya. Menurut Anderson pusat daya dorong kekuatan revolusi dalam perjuangan merebut kemerdekaan terletak, bahkan dengan tingkat yang menentukan, berada di tangan pemuda Indonesia. Yang menarik dari penjelasan Anderson, para pemuda ini tidak hanya yang berasal dari kaum intelektual pendidikan Barat, tetapi juga intelektual pesantren yang bekerjasama dengan para aktivis gerakan nasional yang berpendidikan Barat. Mereka bahu membahu melakukan revolusi merebut kemerdekaan (Benedict Anderson; 1988).
Memudarnya Spirit Nasionalisme Dalam konteks kekinian kita menyaksikan terjadinya fragmentasi di kalangan masyarakat. Konflik sosial terjadi dimana-mana, kesenjangan antara yang miskin dan kaya menjadi semakin tajam dan apatisme masyarakat terhadap simbol dan persoalan kenegaraan semakin meningkat. Pertanyaan yang muncul adalah, masih 37
adakah kesamaan imaginasi di kalangan masyarakat Indonesia saat ini sebagaimana yang terjadi pada era pergerakan nasional? Apakah konsep masyarakat
yang
diimaginasikan
masih
relevan
untuk
dijadikan
dasar
terbentuknya nasionalisme dalam konteks kekinian? Melihat fenomena sosial yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia saat ini, jelas terlihat telah terjadi peluruhan nilai-nilai kebangsaan, jika ukuran kebangsaan adalah masyarakat yang diimaginasikan yang berpijak dari kesamaan nasib dan pengalaman. Sebagaimana kita lihat, saat ini muncul berbagai macam imaginasi
komunitas
di
kalangan
masyarakat.
Sekelompok
orang
mengimaginasikan munculnya komunitas Islam yang kokoh, sebagian lagi mengimaginasikan adanya komunitas etnik yang solid dan mandiri sebagaimana tercermin dalam tuntutan otonomi daerah yang berlebihan. Perbedaan imaginasi komunitas ini menyebabkan terjadinya keretakan dalam relasi sosial. Ini artinya nasionalisme era pergerakan sudah tidak sesuai dengan realitas kekinian. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah ini. Menurut Irwan Abdullah faktor tersebut adalah adanya proses eksklusi dan inklusi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Selain itu, juga karena adanya unifikasi (penyeragaman) (Irwan Abdullah, 2006; h. 65-66). Proses penyeragaman agama telah menghancurkan keyakinan lokal karena para pemeluknya dipaksa menganut agama resmi yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Kuatnya pengaruh agama resmi
bahkan
telah
menghancurkan
berbagai
jenis kebudayaan daerah.
Kebudayaan Jawa yang sangat kaya dengan berbagai aktivitas dan kebudayaan materian
perlahan-lahan
berubah
menjadi
kebudayaan
agama
yang
mengelompokkan masyarakat menjadi Jawa Islam atau Kristen (Abdullah dan Kutanegara; 2005). Hal yang sama juga terjadi dalam univikasi tradisi dan kebudayaan yang menyebabkan hancurnya berbagai kebudayaan lokal. Proses eksklusi-inklusi dan univikasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
telah menyebabkan terjadinya perbedaan pengalaman di
kalangan
masyarakat Indonesia. Mereka yang diuntungkan oleh proses tersebut akan 38
memiliki imaginasi yang berbeda dengan mereka yang menjadi korban. Serpihanserpihan imaginasi ini menjadi semakin kecil dan sempit ketika berhadapan dengan berbagai kepentingan pragamatis yang dangkal dan sesaat. Akibatnya masyarakat menjadi
terfragmentasi
dan menjadi
komunitas yang rentan
perpecahan (fragile society). Selain itu, proses eksklusi-inklusi dan univikasi yang didukung oleh pragmatisme telah menghilangkan empati dan solidaritas yang menjadi sendi utama terbentuknya spirit nasionalisme. Pragmatisme ini muncul debagai dampak dari kuatnya desakan arus modernisme yang diterima secara artifisial dan fragmented, tidak secara holistik dan substantif. Modernisme yang artifisial hanya menawarkan sikap hidup hedonis, materialis dan konsumtif. Akibatnya membuat orang mudah terlena dan hanyut, sehingga tercerabut dari akar tradisi yang menjadi pijakan. Karena tidak memiliki akar kultural, maka mudah diombang ambingkan oleh keadaan, tidak memiliki identitas kultural yang jelas sehingga timbul krisis identitas. Inilah yang terjadi pada generasi muda Indonesia saat ini termasuk para elite intelektual. Mayoritas kaum intelektual sudah terbuai oleh arus globlisasi yang menempatkan mereka menjadi bagian dari masyarakat dunia, kemudian mengunyah seluruh konsep dan pemikiran global tanpa melakukan refleksi dan komparasi. Ini terjadi karena mereka sudah tidak memiliki referensi kultural yang bisa dijadikan sebagai pembanding terhadap berbagai teori dan konsep yang datang dari luar. Bahkan mereka cenderung mengabaikan dan memandang rendah konsep-konsep yang berasal dari tradisi lokal yang sebenarnya kaya makna. Alih-alih melakukan rekonstruksi
teoritik dan konsepsional
sebagaimana yang dilakukan oleh founding fathers mereka justru menolak pemikiran lokal karena dianggap tradisinoal. Inilah yang menyebabkan hancurnya kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh para pendahulu. Selain kehilangan akar kultural yang bisa menjadi pijakan dan kerangka acuan berpikir, mayoritas kaum muda dan elite intelektual Indonesia juga kahilangan pemahaman sejarah. Mereka hampir tidak mengenal sejarah 39
bangsanya. Karena
tidak
memiliki
referensi
sejarah bangsanya, mereka
menggunakan referensi bangsa lain yang belum tentu cocok dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia untuk diterapkan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Akibatnya terjadi benturan kultural yang menyebabkan terjadinya goncangan sosial secara terus menerus. Proses reformasi yang terjadi saat ini merupakan cerminan dari terjadinya benturan kultural ini. Apa yang terjadi menunjukkan imaginasi masyarakat yang dibangun oleh kaum pergerakan sudah tidak relevan dengan realitas kekinian. Jika demikian, lalu apa yang bisa menjadi dasar terbentuknya imaginasi masyarakat dalam konteks kekinian? Dengan kata lain bagaimana konsep nasionalisme diaktualisasikan? Atau nasionalisme sudah tidak dibutuhkan lagi?
Aktualisasi Spirit Nasionalisme Kaum Intelektual Nasionalisme tetap penting sebagai jangkar dalam kehidupan sosial manusia, karena secara faktual eksistensi negara bangsa masih tetap diakui dan berlaku dalam relasi sosial antar umat manusia. Meski batas-batas teritorial makin kabur karena kemajuan tehnologi komunikasi dan informasi, namun kesadaran nasionalisme tetap dibutuhkan sebagai identitas kultural dan formal suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia nasionalisme yang berkaitan dengan persoalan
teritorial, kedaulatan
dan
kenegaraan
sudah selesai. Artinya
nasionalisme yang berdasar pada imaginasi masyarakat yang memiliki negara yang berdaulat sudah tercapai dengan perwujudan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks Indonesia saat ini, aktualisasi nasionalisme Indonesia diarahkan pada tegaknya harkat dan martabat kemanusiaan. Sebagaimana kita ketahui, kuatnya tarikan pragmatisme telah menjerumuskan manusia pada penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Hampir seluruh aspek kehidupan terjadi secara transaksional dengan mengabaikan harkat kemanusiaan. Politik yang mestinya menjadi instrumen untuk mengorganisasikan kepentingan bersama telah 40
menjadi alat transaksi untuk mengamankan kepentingan kelompok. Hukum telah menjadi alat untuk menjaga kepentingan kekuasaan dan ekonomi menjadi sarana akumulasi materi. Dalam kondisi seperti ini, nasionalisme akan kehilangan arti jika hanya berorientasi pada upaya menjaga keutuhan teritorial Indonesia. Dalam kondisi seperti ini upaya menjaga dan menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan menjadi penting, karena inilah yang bisa melampaui sekat-sekat kepentingan pragmatisme yang sedang terjadi. Kedua, nasionalisme harus berpijak pada kesejahteraan manusia. Upaya membangun perasaan bersama dan kesetiaan akan sia-sia jika sebagian dari warga bangsa ada yang merasa diabaikan nasibnya, tidak ikut merasakan kesejahteraan dan keadilan dari masyarakat yang diimajinasikan. Jika hal ini terjadi
maka
nasionalisme akan mengalami
keretakan. Kesulitan hidup,
penderitaan dan kemiskinan akan memancing tumbuhnya imaginasi masyarakat yang bisa menjadi alternatif dari imajinasi awal yang ternyata tidak memberikan manfaat apapun dalam kehidupan mereka. Pendeknya, penegakan harkat dan martabat kemanusiaan serta mewujudkan kesejahteraan manusia merupakan pilar dasar terbentuknya nasiaonalisme Indonesia saat ini. Dengan kemikian kedua hal ini harus menjadi acuan dan standar dalam seluruh aspek kehidupan bernegara; politik, ekonomi, hukum, budaya. Penerapan demokrasi harus berpijak pada kedua tersebut. Kedua aspek ini juga bisa menumbuhkan sikap empati yang bisa mengikat kesadaran dalam suatu kebersamaan secara sukarela. Masyarakat tidak akan mencari alternatif imaginer jika harkat dan martabatnya ditegakkan dan kesejahteraannya dijamin. Sebagaimana dinyatakan Shils, kaum inteletual memiliki peran penting dan strategis dalam upaya melakukan sosialisasi atas aktualisasi nilai-nilai kebangsaan. Harus ada perubahan orientasi dan transformasi kaum intelektual. Kaum intelektual tidak bisa menjadi menara gading yang sibuk membuat konsep sambil memandang dari jauh reliatas yang ada dan menjaga jarak dengan problem sosial atas nama independensi dan obyektivitas. Dalam istilah Antonio Gramsci, 41
harus ada kesadaran menjadi intelektual partisipan, bagi kalangan akademisi kampus, yaitu intelektual yang terlibat dalam gerak bersama dengan massa rakyat untuk pembaharuan masyarakat dengan seluruh aksi politis dan pendidikan penyadaran (Antonio Gramscy, 1971).
*)
Gambaran intelektual partisipan terlihat jelas pada sosok para aktivis gerakan nasionalisme Indonesia. Mereka tidak tersekat oleh latar belakang akademik, disiplin ilmu dan profesi. Mereka disatukan oleh komitmen dan tanggung jawab
untuk
memperjuangkan
kemanusiaan. Menurut Eyerman,
intelektual memiliki peran yang sangat penting dalam setiap penggal sejarah kehidupan suatu bangsa (Ron Eyerman, 1996). Agar para intelektual tetap memiliki karakter dan integritas, maka mereka perlu memahami akar tradisi dan sejarah bangsanya sendiri. Selain itu, melalui pemahaman tradisi
dan sejarah para inteletual
akan dapat melakukan
rekonstruksi konsepsional dan teoritik atas berbagai ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Artinya ada proses aktualisasi terhadap teori yang dipelajari sehingga memiliki koneksitas dan kesesuaian dengan kondisi sosiologis masyarakatnya. Tanpa adanya ini, seorang intelektual hanya menjadi pemulung ide; mencomot suatu gagasan dari tempat lain kemudian diterapkan secara paksa dalam suatu konteks sosial, meski konsep tersebut ditolak oleh kenyataan kerena kondisi sosial yang tidak cocok. Selain itu, intelektual seperti ini mudah hanyut dalam pusaran arus kehidupan karena tidak memiliki pijakan yang kokoh dan pegangan yang kuat *)
Menurut Gramscy ada lima tipologi intelektual; pertama, tipologi intelektual tradisional yaitu penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dan kelas atasnya; kedua, intelektual organic yaitu kelompok intelektual dengan badan penelitian dan studynya berusaha untuk member refleksi atas keadaan namun terbatas untuk kepentingan kelompoknya sendiri; ketiga, intelektual kritis, mereka yang mampu melepaskan diri dari hegemoni elit kekuasaan yang sedang memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif untuk proses pemerdekaan; keempat intelektual universal yaitu intelektual yang mampu memperjuangkan tegaknya harkat dan martabat kemanusiaan; kelima, intelektual partisan, sebagaimana dijelaskan di atas.
42
dalam menghadapi gempuran peradaban. Semoga ini tidak terjadi pada diri intelektual Indonesia saat ini.***
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan (2006). Pustaka Pelajar
Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta;
-------------------- dan Pande Made Kutanegara (2005). Otonomi dan Hak-hak Budaya Daerah, dalam Ki Supriyoko (ed.), Pendidikan Multicultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah, Jakarta; Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Anderson, Bennedict (1991). Imagined Communities, London, Verso ------------------- (1988). Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Yogyakarta; Pustaka Sinar Harapan. Eyerman, Ron (1996). Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik Dalam Masyarkat Modern, Terjemahan Matheos Nalle, Jakarta; Yayasan Obor. Gramscy, Antonio (1971). Selections from the Prison Nootebooks, New York; International Publishers. Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Jilid 4, Jakarta; Ichtiar Baru-Van Hoeve http://kafeilmu.com/2011/04/sejarah-dan-perkembangan-nasionalisme.html Kahin, George Mc. Turnan (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta: Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan Nagazumi, Akira (1989). Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Jakarta: Graffiti Press. Shils, Edward A (1989). Para Cendekiawan dalam Pembangunan Politik di Negara Baru, dalam Aidit Alwi dan Zainal AKSP (ed.), Elite dan Modernisasi, Yogyakarta; Liberty. Robert van Niel (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta; Pustaka Jaya. Wertheim W.F. (1950). Effects of Western Civilization on Indonesian Society, New York.
43
Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual Mendukung Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Tinjauan Sosiologis) Oleh Dr. Edy Siswoyo* Kesatuan penelitian yang dibahas dalam makalah ini adalah kaum intelektual. Dalam istilah yang sangat umum, seseorang intelektual, adalah orang yang cerdas. Cerdas mampu untuk berpikir secara mendalam. Intelektual juga berarti orang yang memiliki kekuasaan yang superior intelek. Seorang intelektual, mungkin bukan hanya sekedar seseorang yang cerdas tetapi orang yang sangat cerdas, sehingga di masyarakat atau diorganisasi statusnya sering ditempatkan di tempat terhormat atau tempat yang disegani. Mungkin itulah sebabnya mengapa intelektual sering melihat ke bawah pada non-intelektual (Kitao, 1998). Variabel yang hendak ditelaah adalah spirit nasionalisme, profesionalisme dan dukungan terhadap pembangunan kesejahteraan sosial. Dalam telaah ini, spirit nasionalisme ditempatkan sebagai harapan yang mewakili kepentingan negara
(state),
profesionalisme
mewakili
tuntutan
pasar
(market),
dan
pembangunan kesejahteraan sosial mewakili kepentingan masyarakat (society). Sosiologi pada dasarnya menelaah hubungan-hubungan sosial, di mana faktor power yang signifikan terlibat di dalamnya. Karena itu yang dimaksud dengan tinjauan sosiologis dalam konteks ini adalah tinjauan yang hendak menempatkan kaum intelektual dalam power relation atau tepatnya dinamika relasi antara state, market and society. Secara empirik memang benar bahwa kaum intelektual telah mengambil peranan melakukan perubahan demi perubahan; mulai dari masa pra kemerdekaan Indonesia yang dipelopori oleh kaum pemuda yang mendapat pendidikan baik yang diselenggarakan oleh Belanda maupun oleh Jepang, dilanjutkan pada masa revolusi yang bergulir, lalu masa pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru yang melibatkan peran kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa, dan terakhir adalah masa Orde Reformasi yang juga dimotori oleh kaum intelektual kampus. Begitulah 44
ramainya panggung besar sejarah yang menampilkan peranan kaum intelektual saat itu, dengan peran memang sebagai intelektual yang relatif bebas dari kepentingan penguasa, pasar atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Pertanyaan untuk masa kini adalah: Di mana dan kemanakah mereka sekarang ini? Apakah mereka masih perform di panggung besar sejarah Indonesia masa kini, atau menjadi aktor di balik layar saja, ataukah mereka tampil dengan kostum lain? Atau menjadi penonton saja? Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, pembahasan dalam makalah ini akan dimulai dengan memahami kembali arti atau makna yang tekandung di balik kata intellectual. Dengan demikian selanjutnya akan lebih mudah menempatkan di mana sebaiknya poisisi kaum intelektual ini dalam konteks pembangunan kesejahteraan sosial berwawasan nasionalisme dan profesionalisme. Pokok bahasan dalam makalah ini meliputi: Terminologi Intelektual, Peran Sosial Politik Kaum Intelektual, Peran Kontekstual Kaum Intelektual: sebagai peneliti, sebagai pendidik, dan sebagai penasihat politik; Dinamika Peran Kaum Intelektual di Indonesia, Nasionalisme dan Sektarianisme Kaum Intelektual; Jurnalis dan Pekerja Sosial sebagai Intelektual Publik; Nasionalisme dan Profesionalime Intelektual Kampus; peluang dan tantangan. * Dr. Edy Siswoyo, Kepala P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) STISIP Widuri.
45
Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil: Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia Oleh: Retor AW Kaligis *) "Dan agar yang tidak murni terbakar mati!" (Bung Karno, 1959) Latar Belakang Nasionalisme di Indonesia pernah berhasil mendapatkan loyalitas dan pengorbanan besar dari rakyat. Pada saat Perang Kemerdekaan 1945-1949, rakyat rela berkorban harta benda dan bahkan nyawa demi keyakinan untuk memiliki negara dan pemerintahan sendiri. Nasionalisme di
negeri bekas jajahan tidak hanya berbeda dengan
nasionalisme di negara-negara Barat. Di antara sesama bekas jajahan sendiri terdapat perbedaan karakteristiknya. Meski ekspansi kolonial Eropa pasca renaissance memiliki pola tertentu, yakni berkaitan dengan sistem pertukaran ekonomi dari kapitalisme modern, di mana daerah-daerah jajahan merupakan ekonomi-ekonomi satelit yang menghasilkan pertukaran yang tidak adil dan tidak seimbang, terdapat perbedaan cara kolonialisme yang tergantung pada basis material penjajah serta kondisi kemasyarakatan dan kultural negeri jajahan. Belanda memiliki industri yang kurang maju dan menjajah untuk mencari bahan baku. Karena itu, kekayaan alam dieksploitasi dan rakyat Indonesia diperas. Pada umumnya, sekolah-sekolah modern barat baru didirikan seiring dengan dimulai liberalisasi ekonomi sejak paruh kedua abad ke 19 dalam rangka mengisi tenaga di pemerintahan dan lapangan swasta. Kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat dari strata tertentu: keluarga priyayi dan pedagang luar Jawa.1 Dari kalangan terdidik tersebut, *)
1
Doktor Sos i ol ogi UI, Dos en STISIP Wi duri . Di ta hun 1900, penda pa ta n bumi putera per kepa l a s eta hun s eki ta r 63 gul den, s eda ng gol onga n Eropa 2.100 gul den, da n Ti mur As i ng s eki ta r 250 gul den. Pa da ta hun i tu ha nya 3 ora ng da ri s eti a p 1.000 penduduk bumi putera ya ng bers ekol a h.
46
nasionalisme sebagai ideologi yang bersumber dari dunia Barat masuk dan berkembang. Kondisi masyarakat kolonial di Hindia Belanda tidak memunculkan kelas menengah kuat memerlukan kesatuan kekuatan dengan seluruh rakyat, sehingga melahirkan gerakan nasionalisme yang diarahkan untuk mengangkat derajat rakyat kecil. Hal ini berbeda dengan keadaan masyarakat di India. Negeri yang dijajah Inggris itu menjadi pasar karena overproduksi di negeri induk. Imperialisme dagang Inggris menjual berbagai barang ke India, seperti gunting, pisau, pakaian, sepeda, hingga mesin jahit. Karena itu sejak awal imperialisme Inggris sudah membuka sekolah dan universitas agar rakyat India punya kemauan dan kemampuan membeli. Implikasinya, corak perjuangan bangsa India untuk melawan kolonial Inggris tak terlepas dari kepentingan kelas borjuasi. Kalangan pengusaha India merasa tersaingi dengan kehadiran kolonial Inggris, sehingga tampil para tokoh pergerakan dari kalangan pengusaha seperti Nehru, Tata, dan Birla. Salah satu semboyan untuk melawan imperialisme Inggris adalah swadesi (gerakan yang menganjurkan agar menggunakan barang-barang buatan bangsa sendiri), yang merupakan kepentingan kaum pengusaha India dalam usaha memenangkan persaingan dagangnya.2 Gerakan swadesi membuat imperialisme dagang Inggris
2
Da ri s eki ta r 100.000 bumi putera ya ng bers ekol a h, ha nya 13 ora ng ya ng duduk di s ekol a h menenga h (HB). Li ha t Si mbol on, Pa ra ki tri T. Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, Ja ka rta : Kompa s -Gra s i ndo, 1995, h. 222. Soeka rno memba ndi ngka n i mperi a l i s me l i bera l da ri Ameri ka Seri ka t, i mperi a l i s me s emi l i bera l da ri Inggri s , i mperi a l i s me s emi ortodoks da ri Bel a nda , da n i mperi a l i s me ortodoks da ri Spa nyol da n Portuga l . Imperi a l i s me l i bera l terha da p ra kya t ya ng di kol oni s i r i tu l i bera l , i ni bol eh, i tu bol eh. Ya ng s emi l i bera l i tu s etenga h meni nda s s etenga h l a pa ng da da . Ya ng s emi orti doks memberi ja l a n s edi ki t-s edi ki t untuk berpi ki r. Ya ng ortodoks i tu s a nga t meni nda s kepa da ra kya t ya ng di kol oni s i r. Perbeda a n ca ra kol oni a l i s me i tu, menurut Soeka rno, ka rena a da nya a da nya perbeda a n ba s i s ma teri a l da ri penja ja h i tu. Mi s a l nya , berbeda denga n Bel a nda ya ng memi l i ki i ndus tri kura ng ma ju da n menja ja h untuk menca ri ba ha n ba ku (rempa h-rempa h), Inggri s menja ja h Indi a memi l i ki tujua n untuk memperl ua s pa s a r s ehi ngga Inggri s berkepenti nga n untuk memperta ha nka n da ya bel i ma s ya ra ka t Indi a . Kel a s menenga h Indi a di perta ha nka n pa da s a a t i tu. Li ha t Suka rno. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Ja ka rta : Inti Inda yu Pres s , 1984, h. 5-19.
47
menjadi
lumpuh dan hal
ini
berperan besar bagi India untuk meraih
kemerdekaannya tahun 1947. Adapun di wilayah Indo Cina, tak lama setelah Perang Dunia Kedua, pada 29 Agustus
1945,
bekas
jajahan
Perancis
tersebut
memproklamasikan
kemerdekaannya melalui revolusi nasional mengusir penjajah asing sekaligus perjuangan kelas. Hal itu menyebabkan sebagian besar kaum borjuasi dan ningrat berpihak Perancis. Sisa dari perjuangan kelas itu masih terasa Vietnam, Laos, dan terutama di Kamboja hingga penghujung abad ke-20, dengan adanya faksi-faksi Sihanouk, Son San, dan Kiu Sampan. Berlainan dengan di Indocina, para pemimpin bangsa di Indonesia lebih mementingkan perjuangan nasional tanpa perjuangan kelas. Keanekaragaman masyarakat, baik horizontal maupun vertikal, menjadi realita yang berusaha diakomodir gerakan nasionalisme di Indonesia. Untuk mengorganisir gerakan nasionalisme, sejak zaman kolonial para pemimpin gerakan nasionalis yang berasal dari kelas strata atas berpendidikan modern (barat) menyalurkannya melalui pembentukan organisasi-organisasi nasionalis. Sulit dibayangkan apakah Yogyakarta dapat menjadi kota perjuangan tanpa keterlibatan pihak kraton? Demikian halnya dengan kalangan pengusaha yang memiliki jaringan sampai ke luar negeri seperti Singapura dan India- tentu tak mau membantu membiayai keuangan negara Indonesia melalui perdagangan gelap atau penyelundupan di tengah blokade tentara Belanda, jika diberlakukan perjuangan kelas. Bambu runcing menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penjajahan. Negeri ini mewarisi wilayah kolonial yang dihuni beraneka ragam suku, agama, ras, dan golongan dengan batas-batas sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tidak sama. Di tengah sistem ekonomi kapitalisme berkembang pada era kemerdekaan, masih ada komunitas yang hidup terpencil di pedalaman. Selain demokrasi modern yang tumbuh di negeri ini, terdapat pula berbagai kerajaan dan suku dengan berbagai hak tradisionalnya. 48
Semboyan bhinneka tunggal ika sesungguhnya masih merupakan suatu citacita yang harus diperjuangkan. Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik, sehingga tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleransi, dan damai. Hingga sekarang, hubungan antar golongan seringkali tidak berlangsung sinergis. Konflik sosial terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Perbedaan pendapat kerap disikapi dengan reaktif serta membuat distingsi tajam “kami” dan “mereka”. Kaum
nasionalis
seringkali
mengedepankan
persatuan
bangsa
dan
menggaungkan isu kesejahteraan rakyat. Namun, seberapa solid kekuatannya mengatasi persoalan ketidakadilan sosial jika berhadapan dengan kepentingan akumulasi modal? Padahal isu keadilan sosial merupakan masalah sosietal yang harus diatasi kaum nasionalis agar warga negara umumnya merasa cocok untuk hidup dalam bangunan politik bernama Indonesia. Peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke penguasa bangsa sendiri belum mendorong bertumbuhnya keadilan sosial. Meski negeri Indonesia memiliki tanah-air yang luas dan kekayaan alam berlimpah, warisan sosial kolonialisme masih berlanjut dengan dilestarikannya ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Sejak masa kolonial, kemajuan teknologi juga sudah berkembang di nusantara. HW Dick menjelaskan, pada tahun 1900 Jawa merupakan ekonomi yang paling terintegrasi dan modern secara teknologis antara Benggala dan Jepang. Teknologi revolusi industri telah diterapkan pada jaringan komunikasi dan transportasi, pabrik-pabrik raksasa berorientasi ekspor yang membutuhkan sebagian besar tanah terbaik di Pulau Jawa, sistem irigasi, pengerjaan logam, industri bermesin berat, produksi barang-barang konsumsi kelas menengah perkotaan, konstruksi bahan-bahan seperti batu bata dan kayu, serta fasilitas
49
umum seperti gas dan listrik. Di luar Singapura dan Penang, di tempat-tempat lain manapun di Asia Tenggara tidak ada hal semacam itu.3 Di tengah modernisasi tersebut, rakyat bumiputera umumnya tetap berada dalam posisi
subordinat yang mengalami
pemiskinan dan pembodohan.
Kepentingan kolonialisme membuat teknologi lebih digunakan untuk menunjang sarana eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Pada era kemerdekaan, kemajuan teknologi sebagaimana tercermin dari perkembangan industri manufaktur, pertambangan, dan sebagainya, juga tidak membuat Indonesia menjadi sejahtera. Negeri ini masih saja menjadi penjaja sumber daya alam dan sumber tenaga murah. Jika ekonomi kolonial memanfaatkan kekuasaan feodal sehingga operasinya menjangkau hingga ke desa, kini pemodal besar, yang banyak dikuasai asing, dengan didukung elite bangsa sendiri terus mendominasi sumber-sumber ekonomi. Pada era 1950-an elite nasionalis mulai terjun menjadi pengusaha nasional melalui fasilitas lisensi impor dan proteksi, adapun pembangunan ekonomi rakyat seperti koperasi bagi kaum tani kalah prioritas. Di satu sisi, cita-cita Soekarno sejak 1927 agar bangsa Indonesia mengurus diri sendiri (self-help) terwujud pada 1957 melalui nasionalisasi berbagai perusahaan asing. Di sisi lain, banyak hasil nasionalisasi dikuasai militer yang menjadi cikal bakalnya memasuki dunia bisnis. Orde Baru menyuburkan kaum pemodal yang melakukan kegiatan besarbesaran di sektor perkebunan, pertambangan, industri, dan kehutanan. Banyak petani dan golongan adat kehilangan tanah. Peluang sektor informal perkotaan dibatasi melalui penggusuran. Banyak rakyat kecil mengalami proletarisasi yang terjebak lingkaran kemiskinan. Hak-hak adat atas sumber daya ekonomi kian termarginalkan, sebagaimana tercermin dari segi penguasaan tanah oleh pemodal 3
Li ha t tul i s a n HW Di ck, dos en s eja ra h ekonomi di Mel bourne Uni vers i ty, berjudul “Muncul nya Ekonomi Na s i ona l , 1808-1990-a n” da l a m Li ndbl a d, J. Thoma s (ed).
50
besar yang mengabaikan keberadaan tanah adat. Di Papua, Aceh, dan Riau yang terus diambil kekayaan alam pertambangannya, banyak anggota masyarakatnya bergelut dalam kemiskinan. Di Kalimantan, hak penguasaan hutan (HPH), izin perkebunan, dan kuasa pertambangan diberikan ke sejumlah pengusaha lokal dan asing tanpa mempertimbangkan hak-hak adat yang ada di masyarakat lokal. Adapun di Pulau Jawa sejak zaman kolonial tanah-tanah komunal kian hilang. Di era reformasi bangsa ini semakin menjajakan kekayaan alamnya ke pihak asing, aset negara dijual, dan tetap menjadikan penduduknya sebagai sumber tenaga murah. Otonomi daerah cenderung baru menggeser pola pembangunan top down dari tingkat pusat ke daerah. Aspirasi masyarakat adat tetap tersumbat karena seluruh desa di Indonesia menjadi komunitas tunggal dan seragam. Birokratisasi negara di tingkat desa tidak memberi tempat bagi para pemimpin adat, seperti kuria (kepala negeri) di Sumatera Utara, ninik mamak di Sumatera Barat, marga di Sumatera Selatan, dan kepala-kepala suku. Indonesia belum dapat mengonsolidasi diri untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang berpihak rakyat kecil. Persoalan penguasaan sumber-sumber ekonomi yang berkeadilan sosial dan penyaluran aspirasi berbagai komponen masyarakat kurang mampu diperjuangkan organisasi kaum nasionalis yang menyatakan
pengakuan
akan
kebhinnekaan.
Secara
sosiologis,
hal
ini
menyebabkan terputusnya hubungan kaum nasionalis dan organisasi nasionalis dengan rakyat kecil. Dari perbandingan ideologi dan praktik nasionalisme terlihat adanya problem relasi kekuasaan antara kaum nasionalis dengan rakyat, sehingga pertarungan meraih kekuasaan politik hanya merupakan rotasi aktor hegemoni politik dan ekonomi. Rakyat kecil, seperti petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh di berbagai daerah terus mengalami marginalisasi ekonomi. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogya ka rta : Pus ta ka Pel a ja r-Pus a t Studi Sos i a l As i a Tengga ra UGM, 2002, h. 37.
51
Eklektis Nasionalisme dan demokrasi modern mewarisi tradisi Revolusi Perancis abad ke 18. Revolusi Perancis menempatkan bangsa dan rakyat sebagai merupakan unit terpenting dengan menolak gagasan tradisional yang “disucikan” agama tentang klaim-klaim dinasti kerajaan untuk memerintah atas suatu wilayah. Loyalitas terhadap raja dan kerajaan yang ada pada masa sebelumnya bergeser dan ditransformasikan menjadi gagasan nasionalisme dan demokrasi modern yang berkaitan dengan negara-bangsa. Namun perjalanan Revolusi Perancis melenceng dari tujuan karena rakyat hanya memperoleh kebebasan (liberté), sedangkan persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) cuma menjadi slogan. Feodalisme diganti borjuisme, yakni kekuasaan politik yang menghambakan diri bagi kepentingan lapisan sosialekonomi atas. Meski rakyat diberi hak dalam pemilihan, kaum buruh, petani, dan si miskin lainnya senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan parlemen. Aspirasi mereka terkepung pengaruh pikiran borjuis yang berkembang di masyarakat, dan terlebih lagi mereka kekurangan alat-alat propaganda. Kondisi ini memicu kekacauan di Perancis sehingga melahirkan kediktatoran Napoleon Bonaparte. Para pendiri bangsa sekaliber Soekarno dan Mohammad Hatta belajar dari kesalahan Revolusi Perancis untuk membangun Indonesia yang bersatu dan merdeka. Kemerdekaan yang dicita-citakan merupakan kemerdekaan bangsa sekaligus kemerdekaan rakyat dari marginalisasi dan eksploitasi. Kemerdekaan mencakup baik bentuk maupun isi, sebagai usaha bersama merombak struktur sosial yang menyebabkan rakyat terdesak dari sumber kehidupannya berupa alam subur dan kaya, sehingga dapat tercapai persamaan dan menumbuhkan persaudaraan sesama anak bangsa. 52
Pada koran Fikiran Ra’jat tahun 1932 Soekarno menyatakan, “Sosionasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak burdjuisme jang mendjadi sebabnja kepintjangan masjarakat itu.” 4 Adapun
Hatta
menyebutkan,
“Demokrasi
politik
saja
tidak
dapat
melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan tidak ada.” 5 Tujuan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas. Hal itu dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”6 Keinginan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas itu merupakan antitesa dari kolonialisme yang melakukan pemiskinan, pembodohan, penindasan, dan ketidakadilan, sehingga apa yang ingin dicapai dari kehidupan kebangsaan yang bebas itu sebagaimana disebut dalam Pembukaan UUD 1945 adalah: “...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”7 Artinya, kehidupan kebangsaan yang bebas adalah bebas dari (freedom from) pemiskinan, pembodohan, dan penindasan, sekaligus bebas untuk (freedom for) menggapai keadilan dan kemakmuran yang merata. Nilai yang menjadi dasar dari 4
5
6
7
Soeka rno. Dibawah Bendera Revolusi (Ji l i d Perta ma ), Dja ka rta : Pa ni tya Penerbi t Di ba wa h Bendera Revol us i , 1964. Li ha t pi da to Ha tta berjudul “La mpa u da n Da ta ng” da l a m Ha tta , Moha mma d. Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 2): Kemerdekaan dan Demokrasi, Ja ka rta : LP3ES, 2000. Li ha t a l i nea keti ga Pembuka a n UUD 1945. Penul i s a n huruf mi ri ng di l a kuka n ol eh penul i s . Li ha t a l i nea keempa t Pembuka a n UUD 1945.
53
kehidupan kebangsaan yang bebas adalah Pancasila.8 Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 Soekarno menempatkan Pancasila sebagai pandangan hidup (philosofische grondslag) bagi Indonesia merdeka.9 Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan ikatan persatuan keanekaragaman bangsa diambil dari kitab zaman Majapahit. Memang, terdapat keuniversalan gagasan dari barat, termasuk ide tentang nasionalisme modern dan penyebarannya, sebagaimana disebutkan Ben Anderson, yang lalu diadopsi kaum elite nasionalis di Asia dan Afrika. 10 Akan tetapi, dalam konteks Indonesia, gagasan itu lebih bersifat intellectual fact untuk kemudian dikoreksi dan dikaitkan dengan kondisi masyarakat negeri ini. Para tokoh pergerakan, terutama Soekarno dan Mohammad Hatta, menolak pelaksanaan revolusi Perancis yang hanya mengedepankan kebebasan (liberté), adapun prinsip persamaan (egalité), dan persaudaraan (fraternité) tidak terjamin secara praktik. Keruntuhan feodalisme di Eropa menyisakan ketimpangan masyarakat. Borjuasi modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal berkepentingan dalam pembentukan negara-bangsa sebagai “benteng pertahanannya”. Artinya, mereka melihat pelaksanaan revolusi Perancis tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai modul karena hanya menimbulkan pergeseran aktor kelompok dominan, dari kaum feodal ke kaum borjuasi. Secara konseptual, nasionalisme Indonesia bersifat eklektis yang khas setempat dan adanya keuniversalan gagasan dari barat tentang kedaulatan bangsa. Faktor kekhasan setempat dapat dilihat dari fenomena kondisi masyarakat Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang, di mana tidak seperti dikatakan 8
Kel i ma s i l a da ri Pa nca s i l a di tua ngka n da l a m a l i nea keempa t Pembuka a n UUD 1945 denga n uruta n: Ketuha na n Ya ng Ma ha Es a , Kema nus i a a n ya ng a di l da n bera da b, Pers a tua n Indones i a , Kera kya ta n ya ng di pi mpi n ol eh hi kma t kebi ja ks a na a n da l a m Permus ya wa ra ta n/ Perwa ki l a n, da n Kea di l a n s os i a l ba gi s el uruh ra kya t Indones i a . 9 Is i pi da to s el engka pnya da pa t di l i ha t da l a m Soeka rno. Lahirnya Pantja-Sila, Jogja ka rta : Oes a ha Penerbi ta n Goentoer, 1947. 10 Li ha t Anders on, Bennedi ct. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Vers o, 1991, Chapter 3: The Origins of National Consciousness, Chapter 6: Official Nationalism and Imperialism, a nd Chapter 7: The Last Wave.
54
Karl Marx bahwa struktur kekuasaan di bidang ekonomi menentukan strukturstruktur kekuasaan politis dan ideologis. Di Indonesia, faktor ideologis eksploitatif justru berperan mengubah struktur kekuasaan di bidang ekonomi. Adapun bangkitnya perlawanan terhadap operasi ideologi eksploitatif terjadi dalam dua hal: kehidupan nyata yang menentukan kesadaran kita dan kesadaran kita yang menentukan kehidupan nyata di sekeliling kita Kondisi Pascakolonial dan Rakyat Kecil Sebagai bekas jajahan, Indonesia menghadapi kondisi pascakolonial yang berpengaruh pada usaha menegakkan keadilan sosial. Hal tersebut berkaitan dengan dampak kolonialisme yang perlu dikoreksi terlebih dulu pada masa kemerdekaan. Ania Loomba menjelaskan bahwa negara-bangsa yang baru merdeka hanya menyediakan buah pembebasan secara selektif dan timpang, dibongkarnya peraturan kolonial tidak secara otomatis membawa perbaikan status perempuan, kelas pekerja, atau petani pada banyak negara jajahan. Menurutnya, ”’Colonialism’ is not just something that happens with the collusion of forces inside, but a version of it can be duplicated from within”.11 Di Indonesia, kondisi pascakolonial berkaitan adanya pelestarian eksploitasi sumber daya ekonomi dan penempatan penduduk sebagai sumber tenaga kerja murah di negeri yang luas dan kaya raya ini. Negara yang lebih dari enam puluh tahun merdeka ini mengizinkan kekayaan alamnya diambil dengan pembagian hasil yang lebih menguntungkan kepentingan pemodal besar dan menempatkan rakyat pada posisi lemah. Upah tenaga kerja yang murah menjadi faktor penarik agar para perusahaan transnasional berminat berinvestasi, tanpa adanya upaya sistematis untuk meningkatkan keahlian dan produktivitas buruh, serta lompatan strategi industrialisasi. 11
Loomba , Ani a . Colonialism/Postcolonialism, London: Routl edge, 1998, h. 12.
55
Kaum
nasionalis
otoriter
sering
mengatasnamakan
rakyat
sebagai
pembenaran bentuk-bentuk ekstrem dari tuntutan kepentingan nasional. Persatuan di era kemerdekaan kerap dilakukan melalui penyeragaman dan bukan sebagai bagian membangun suatu struktur sosial yang adil di tengah rakyat yang bhinneka. Negeri ini terus jadi penjaja sumber daya alam dan sumber tenaga murah. Kekayaan alam lebih banyak dinikmati segelintir pemodal dalam dan luar negeri. Kebijakan eksploitatif di sektor perkebunan, pertambangan, industri, dan kehutanan terus memarjinalkan penguasaan tanah rakyat. Rakyat tak dipupuk oleh cita-cita mengelola sumber daya alamnya secara mandiri. Terpisahnya rakyat desa dari sumber kehidupannya mendorong proletarisasi masif. Dengan angkatan kerja berpendidikan rendah, arus urbanisasi kian menambah kaum miskin perkotaan. Sebagian besar penanaman modal asing (PMA) di Indonesia bersifat footloose industry, dengan lebih mempertimbangkan biaya produksi murah dan lokasi pabriknya mudah dipindahkan ke negara lain, seperti tekstil dan sepatu. Buruh hanya berperan sebagai tukang atau operator mesin. Dengan karakter tersebut, posisi buruh menjadi rentan karena ketika gerakan buruh semakin kuat serta terjadi tuntutan kenaikan kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja, maka investasi itu dipandang kurang kondusif sehingga ordernya dipindahkan ke tempat lain, yang mengakibatkan para buruh di pabrik bersangkutan mengalami pemutusan hubungan kerja.12 Mayoritas dari sekitar 7 juta warga Indonesia yang 12
Kecenderunga n ters ebut, mi s a l nya , terl i ha t pa da pa bri k ya ng memproduks i merk Nike, di ma na pi ha k Nike Inc. menutup pa bri knya di PT Dos on Indones i a , Ta ngera ng, ya ng memi l i ki s eri ka t pekerja kua t da n upa h buruhnya di a ta s ra ta ra ta pa bri k-pa bri k ya ng memproduks i merk Nike di Indones i a . Pol a footloose industry membua t Nike Inc. ti da k memi l i ki buruh di Indones i a , ta pi buruh ters ebut di mi l i ki pa ra kontra ktor l oka l ya ng di beri order ol eh Nike Inc. Keti ka terja di pemutus a n hubunga n kerja , Nike Inc. l epa s ta nga n da l a m pemba ya ra n pes a ngon ka rena mera s a ti da k memi l i ki buruh. Nike Inc. l a l u memi nda hka n order ke pa bri k l a i n ya ng di pa nda ng l ebi h menguntungka n. Li ha t Ka l i gi s , Retor AW. Hubungan Antara Kemiskinan, Persyaratan Kondisional, dan Tingkat Konflik Serta Strategi Peningkatan Produktivitas Buruh Pada Industri Sepatu “Nike” di PT Doson Indonesia dan PT Pratama Abadi Industri, Kabupaten Tangerang, tes i s Progra m Ma gi s ter Pemba nguna n Sos i a l , Sos i ol ogi , FISIP-Uni vers i ta s Indones i a , 2003.
56
bekerja di luar negeri menjadi buruh kasar dan pekerja rumah tangga tanpa kemampuan memadai (unskilled). Di sisi lain, di samping masih terdapat petani yang memiliki sepetak tanah dan peralatan produksi sederhana, ada pula perajin dengan industri rumah tangganya, pedagang kecil di kaki lima, pinggir jalan, dan pasar tradisional, serta nelayan dengan perahu dan peralatan terbatas, yang tidak dapat dikategorikan kelas proletar. Dalam terminologi Marxisme, mereka disebut transitional classsebuah kelas yang akan punah. Padahal di Indonesia, mereka tidak terlihat tandatanda mengalami kepunahan melainkan kian terdesak sektor modern. Antonio Gramsci menyoroti bahwa ideologi bukan hanya sekadar refleksi dari realitas material, karena ideologi merupakan konsepsi kehidupan yang tampak pada segala aspek eksistensi individual dan kolektif. Ideologi “menggerakkan“ massa manusia, dan menciptakan ruang bagi manusia untuk bergerak, memperoleh kesadaran atas posisi dan perjuangan mereka, dan sebagainya.13 Gramsci melanjutkan, ideologi tiap kelas memiliki tujuan yang berbeda karena bagi kelas penguasa ideologi bertujuan mempertahankan kohesi sosial dan kepentingan dominan, adapun sikap perlawanan akibat eksploitasi ditunjukkan oleh kelas tertindas. Ia mengacu pada politik Machiavelli bahwa selain memperoleh dominasi dengan kekuatan dan paksaan, kelas berkuasa juga menciptakan pihak-pihak yang “sukarela” mau dikuasai di mana ideologi adalah sesuatu yang penting untuk menciptakan “kerelaan” tersebut.14 Max Weber melihat adanya fenomena penutupan sosial (social closure), yakni proses yang dibentuk kolektivitas sosial untuk memaksimalkan ganjaran melalui pembatasan kesempatan kepada segelintir pihak saja. Pemonopolian kesempatan tertentu, biasanya
kesempatan
ekonomi, dengan membatasi
jalan untuk
memperoleh sumber daya dan kesempatan kepada segelintir orang yang memenuhi 13
Gra ms ci , Antoni o. Selections from the Prison Notebooks. London: La wrence & Wi s ha rt, 1995, h. 327. 14 Ibid, h. 125-136.
57
syarat. Proses ini memerlukan penetapan atribut sosial atau fisik tertentu sebagai dalihnya, seperti ras, bahasa, asal usul sosial, dan agama.15 Frank Parkin memperjelas ide Weber dengan melihat penutupan dengan pengucilan merupakan cara utama pembentukan kelas. Secara historis, kemunculan dan konsolidasi kelompok penguasa telah terjadi melalui kontrol monopolistis terhadap sumber daya yang bernilai seperti tanah, pengetahuan khusus, atau persenjataan oleh segelintir orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Dominasi dan reproduksi aristokrasi melalui sistem keturunan adalah contoh paling nyata dari jenis penutupan seperti ini dalam sejarah Eropa. Dalam masyarakat kapitalis modern, ada dua cara pengucilan utama yang digunakan borjuasi untuk membentuk dan mempertahankan dirinya sebagai suatu kelas. Pertama, berkaitan dengan lembaga pemilikan dan, kedua, berkaitan dengan keahlian akademis atau profesional. Masing-masing mencerminkan seperangkat pengaturan legal yang membatasi jalan untuk mendapatkan ganjaran dan hak istimewa. Pemilikan adalah bentuk penutupan yang dimaksud untuk membatasi jalan terhadap alat-alat produksi dan hasilnya. Persyaratan keahlian atau profesionalisme adalah bentuk penutupan yang dimaksud untuk mengontrol dan memantau penerimaan ke dalam posisi kunci dalam pembagian kerja. Kedua jenis penerima keuntungan praktik pengucilan yang dipaksakan negara ini, dapat dianggap sebagai komponenkomponen utama dari kelas dominan di bawah sistem kapitalisme modern.16 Menurut Parkin, ciri menonjol penutupan yang mengucilkan adalah upaya yang
dilancarkan
satu
kelompok
untuk
mempertahankan
posisi
yang
menguntungkan diri mereka sendiri dengan mengorbankan kelompok lain melalui proses penundukan (subordinasi). Inilah bentuk tindakan kolektif, yang disengaja atau tidak, melahirkan kategori orang yang tidak memenuhi syarat atau orang luar. 15
Roth, G. a nd C. Wi tti ch (eds ). Max Weber: Economy and Society, New York: Bedmi ns ter Pres s , 1968, h. 342. 16 Li ha t penda pa t Fra nk Pa rki n “Penutupa n da n Pembentuka n Kel a s ” da l a m Gi ddens , Anthony da n Da vi d Hel d (eds ). Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, Ja ka rta : CV Ra ja wa l i , 1987, h. 147-8.
58
Jika dinyatakan secara kiasan, penutupan yang mengucilkan mencerminkan penggunaan kekuasaan yang diarahkan “ke bawah” karena mengharuskan penciptaan suatu kelompok, kelas atau stratum yang didefinisikan secara legal sebagai inferior. Di pihak lain, tindakan balasan mereka yang mempunyai “hak-hak negatif”, mencerminkan penggunaan kekuasaan yang diarahkan “ke atas”, dalam arti, upaya kolektif yang diarahkan untuk memperoleh bagian sumber daya dan kesempatan yang lebih besar itu, selalu mengancam merampas hak istimewa mereka yang secara legal didefinisikan sebagai superior. Dengan kata lain, ini adalah suatu bentuk tindakan yang bertujuan untuk merampas. Karena itu, pengucilan dan perampasan dapat dipandang sebagai dua jenis penutupan sosial yang umum, yang mana perampasan selalu merupakan konsekuensi dari, atau tanggapan terhadap pengucilan.17 Strategi pengucilan, lanjut Parkin, adalah cara penutupan paling dominan dalam semua sistem stratifikasi. Mereka yang dikucilkan, pada gilirannya juga akan berhasil menutup jalan bagi pihak lain dalam upaya mendapatkan ganjaran dan kesempatan lain yang tersisa. Dengan demikian, jumlah substrata akan menjadi berlipat-ganda, dan tatanan stratifikasi mendekati titik yang paling jauh perbedaannya dari model polarisasi kelas yang dikemukakan Marx. Sistem kasta tradisional dan stratifikasi etnis di Amerika Serikat, menyediakan contoh paling jelas mengenai pola penutupan ini, meskipun proses-proses serupa juga mudah terlihat pada
masyarakat yang menonjolkan susunan kelasnya. Strategi
perampasan yang bertujuan untuk menciptakan redistribusi marginal, berbeda skalanya dari yang bertujuan untuk menghasilkan perampasan total. Apapun skalanya, ke dua strategi ini hampir selalu mengandung tantangan potensial terhadap sistem alokasi yang berlaku dan terhadap versi resmi dari keadilan distributif. Parkin lalu menyimpulkan, pembedaan yang terkenal antara borjuasi dan proletariat, dalam bentuk klasik maupun modern, dapat dibayangkan sebagai pencerminan konflik antar kelas yang tidak didefinisikan secara khusus dalam 17
Ibid, h. 144.
59
kaitannya dengan tempatnya dalam proses produksi, melainkan dalam kaitannya dengan cara-cara penutupannya yang berlaku, yakni berturut-turut: pengucilan dan perampasan. Sejauh bentuk-bentuk pengucilan dari penutupan mengakibatkan penggunaan kekuasaan yang diarahkan ke bawah, sehingga menciptakan formasi sosial yang disubordinasikan, menurut definisi dapat dianggap sebagai bersifat eksploitasi. Eksploitasi di sini menetapkan kaitan antara kelas-kelas atau kolektivitas lain yang berada dalam hubungan dominasi dan subordinasi, atau basis sosial apapun.18 Konsep Frank Parkin tentang penutupan sosial dengan pengucilan sebetulnya mendekati realita fenomena rakyat kecil dan pemiskinan di Indonesia, yang melahirkan istilah marhaen dan belakangan populer pengertian wong cilik. Nasionalisme bagi rakyat kecil berbeda dengan komunisme di mana pertentangan kelas sosial-ekonomi sebagaimana diajarkan Karl Marx tidak dikedepankan. Penolakan terhadap borjuisme bukan berarti meniadakan kaum borjuasi. Hak milik pribadi atas aset produksi diakui, sepanjang hak milik pribadi yang dimiliki suatu golongan itu tidak menindas dan menghisap golongan lain. Orang dapat saja menjadi kaya sepanjang kekayaannya tidak membuat orang lain menjadi miskin. Meski serba terbatas, banyak anggota kelas kepemilikan negatif justru memiliki aset produksi. Dengan demikian, solusinya bukan penguasaan aset produksi oleh negara karena akan merugikan rakyat kecil sendiri, melainkan pembebasan dari sistem yang menindasnya. Hubungan antar kelas dihindari cara penutupan dengan pengucilan agar kelas kepemilikan negatif tidak mengalami marginalisasi ekonomi. Dalam struktur penguasaan tanah, hak milik tanah dibatasi dan hak adat atas tanah diakui, serta penguasaan tanah lebih diperuntukan kaum tani, agar warga masyarakat tidak terpisah dari sumber kehidupannya. Kaum buruh ditingkatkan posisi tawarnya dihadapan para pemilik modal, baik menyangkut hak berorganisasi dan 18
Ibid, h. 145-6.
60
mengeluarkan pendapat, hak memperoleh kesejahteraan, serta peningkatan kemampuannya. Nelayan tradisional dan buruh nelayan dibuka aksesnya untuk memperoleh kredit agar memiliki perlengkapan modern, serta dibangun jaringan pemasaran yang baik dan perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya (seperti pembatasan peralatan tangkap yang diperbolehkan beroperasi oleh pemodal besar di daerah pesisir). Demikian halnya pedagang dan industri kecil yang memerlukan peningkatan kemampuan, modal, dan jaringan modern di bidang perdagangan. Dengan demikian, pertentangan yang diperjuangkan oleh nasionalisme bagi rakyat kecil bukanlah pertentangan kelas antara kelas borjuasi dan kelas proletar, melainkan antara kaum penindas dan tertindas. Artinya, apa yang diperlukan adalah kerjasama antara kaum miskin, kelas menengah, serta kelas atas yang bukan termasuk kaum penindas untuk menghadapi kaum penindas. Tujuannya bukan masyarakat tanpa kelas, melainkan masyarakat tanpa penindasan.
Penutup Dalam mengkaji fenomena berbangsa, Ernest Renan menyebut syarat “bangsa” adalah kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble).19 Artinya, Renan membahas bangsa dari sisi emosi (afeksi). Adapun Bennedict Anderson melihat bangsa dari segi kognisi, yakni komunitas politis yang terbayang (imagined political community). Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas politis yang terbayang –dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa merupakan sesuatu yang “dibayangkan” karena para anggotanya tidak tahu, kenal, bertemu, atau mendengar sebagian anggota lain, tapi pada benak mereka hidup sebuah bayangan
tentang
kebersamaan
mereka.
Bangsa
adalah
sesuatu
yang
19
Rena n menga ngga p kunci fenomena “ba ngs a ” a da l a h emos i ya ng mendorong pengorba na n untuk kepenti nga n bers a ma . Ha l i tu merenta ng da ri ma s a l a l u
61
“dibayangkan” karena pada dasarnya bersifat terbatas, memiliki batas-batas yang pasti meski elastis, diluar perbatasan itu adalah bangsa lain. Selanjutnya, bangsa “dibayangkan” sebagai sesuatu yang berdaulat sebab konsep ini lahir pada masa pencerahan dan revolusi Perancis menghancurkan legitimasi alam dinastik berjenjang yang bersifat ketuhanan. Terakhir, bangsa “dibayangkan” sebagai komunitas tanpa memperdulikan adanya ketidakadilan dan eksploitasi yang mungkin tidak terhapuskan pada setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu mengandung kesetiakawanan horisontal yang mendalam dan meluas.20 Pengertian Ernest Renan tentang bangsa tidak menjelaskan hubungan manusia dengan tempat (tanah air). “Kehendak untuk bersatu” tak dapat terjadi tanpa ada tanah air yang diklaim, meski tempat tersebut masih dikuasai pihak (bangsa) lain pada saat kehendak itu muncul. Adapun pengertian Anderson tentang bangsa sebagai imagine community lebih menekankan bangsa dan nasionalisme dari segi doktrin dan kebudayaan dan kurang mengaitkannya dengan persoalan distribusi penguasaan
sumber-sumber
ekonomi
yang
membuat
“bayangan
tentang
kebersamaan” dapat berbeda pemaknaannya antar kelas sosial dan etnis dalam suatu bangsa. Hubungan bangsa dengan tempat tidak hanya menyangkut klaim kedaulatan wilayah suatu bangsa dan negara dalam urusannya dengan bangsa dan negara lain, tapi juga berkaitan persoalan distribusi penguasaan sumber-sumber ekonomi di dalam tanah air tersebut yang membuat bangsa dan nasionalisme dapat berkembang. Dengan demikian, bangsa seharusnya dipahami sebagai fenomena sosio-makro politik tentang keinginan dan gambaran tentang kebersamaan hi ngga ma s a depa n ya ng ti da k di tentuka n. Li ha t Scott, John. Sociology: The Key Concepts, London: Routl edge, 2006, h. 117. 20 Anders on menol a k penda pa t Seton-Wa ts on ya ng menga ngga p ba ngs a menga da keti ka s ejuml a h ora ng da l a m juml a h cukup bes a r di s ua tu ma s ya ra ka t menga ngga p di ri membentuk s ua tu ba ngs a a ta u berperi l a ku s eol a h-ol a h mereka s uda h membentuk s ebua h ba ngs a . Fra s e “menga ngga p di ri mereka ” s eha rus nya di uba h menja di “memba ya ngka n di ri mereka ”. Li ha t Anders on, Bennedi ct. Imagined Communities: op.cit., h. 6-7.
62
berdasarkan alasan sosio-historis tertentu dan klaim tentang wilayah yang menjadi tanah air bersama, di mana keinginan dan gambaran kebersamaan itu bertahan dan berkembang dengan dipengaruhi oleh harapan akan keadilan sosial dari anggota-anggota di dalamnya. Nasionalisme bagi rakyat kecil memerlukan kekuatan korelasi antara nasionalisme dan keadilan sosial. Nasionalisme tidak hanya pada bingkai juga mencakup isi, yakni usaha bangsa merombak ketimpangan penguasaan sumbersumber ekonomi di tengah masyarakat yang bineka Pemerintahan yang bersih dan efisien merupakan keharusan. Pengoreksian penguasaan sumber-sumber ekonomi yang adil dilakukan, mulai reforma agraria, pemerataan infrastruktur, penataan jaringan perdagangan, prioritas kredit bagi berbagai profesi rakyat (petani, nelayan, usaha kecil, dan koperasi), hingga pemerataan akses pendidikan berkualitas untuk melakukan lompatan strategi industrialiasi. Peninjauan ulang kontrak juga dijalankan di sektor pertambangan yang banyak merugikan negara dan memarjinalkan masyarakat setempat. Jűrgen Habermas mengingatkan, di masyarakat yang memiliki banyak ketimpangan
terjadi
apa
yang
disebut
sebagai
systematically
distorted
communication, di mana komunikasi cenderung terdistorsi dan semu sehingga orang-orang hanya mampu berkomunikasi dengan distorsi-distorsi tersebut. 21 Kegagalan nasionalisme mengelaborasi persoalan keadilan sosial ke arah kerja-kerja konkrit membuat keberlanjutan kehidupan bersama dalam bangsa yang bineka ini menjadi mengkhawatirkan.
DAFTAR PUSTAKA •
Anderson, Bennedict (1991). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso.
21
Ha berma s , Jűrgen. Communication and the Evolution of Society, Bos ton: Bea con Pres s , 1979.
63
•
Giddens, Anthony
dan David Held (eds) (1987). Perdebatan Klasik dan Kontemporer
Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, Jakarta: CV Rajaw ali. •
Gramsci, Antonio (1995). Selections from the Prison Notebooks. London: Law rence & Wishart.
•
Habermas, Jőrgen (1979). Communication and the Evolution of Society, Boston: Beacon Press.
•
Hatta, Mohammad (2000). Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 2): Kemerdekaan dan Demokrasi, Jakarta: LP3ES.
•
Kaligis, Retor AW. Bangsa yang Belum Memerdekakan Diri, Harian Kompas, 11 Juni 2011, h. 7
•
Kaligis, Retor AW (2003). Hubungan Antara Kemiskinan, Persyaratan Kondisional, dan Tingkat Konflik Serta Strategi Peningkatan Produktivitas Buruh Pada Industri Sepatu “Nike” di PT Doson Indonesia dan PT Pratama Abadi Industri, Kabupaten Tangerang, tesis Program Magister Pembangunan Sosial, Sosiologi, FISIP-Universitas Indonesia.
•
Kaligis, Retor AW. Keluar dari Jeratan Bangsa Kuli, Harian Kompas, 6 Desember 2010, h. 6
•
Lindblad, J. Thomas (ed) (2002). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM.
•
Loomba, Ania (1998). Colonialism/Postcolonialism, London: Routledge.
•
Roth, G. and C. Wittich (eds) (1968). Max Weber: Economy and Society, New York: Bedminster Press.
•
Simbolon, Parakitri T (1995). Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas-Grasindo.
•
Scott, John (2006). Sociology: The Key Concepts, London: Routledge.
•
Sukarno (1984). Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Indayu Press.
•
Soekarno (1964). Dibawah Bendera Revolusi (Jilid Pertama), Djakarta: Panitya Penerbit Dibaw ah Bendera Revolusi.
•
Soekarno (1988). “Indonesia Menggugat”, dalam Soenario, Prof, SH. Banteng Segitiga, Jakarta: Yayasan Marinda.
•
Soekarno (1947). Lahirnya Pantja-Sila, Jogjakarta: Oesaha Penerbitan Goentoer.
64
NOTULENSI NOTULENSI SEMINAR NASIONAL MEMPERINGATI HARI PAHLAWAN 2011 11 NOPEMBER 2011
Pada seminar ini dihadiri oleh 103 orang yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan undangan. Acara dimulai pk 10.00 diawali dengan beberapa sambutan-sambutan, antara lain sambutan dari Ketua Panitia, sambutan dari Kapolsek, dan sambutan dari Ketua YKW-PPS sekaligus membuka acara seminar.
Isi Ringkas Sambutan Ketua YKW-PPS Ibu Leony Radius Prawiro Generasi berikut saya boleh merasakan sesudah menjadi mahasiswa masih dengan Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi sesudah menjadi istri Pak Radius Prawiro kami banyak dilibatkan di dalam pembangunan selama orba itu tapi tidak terlepas. Saya melihat kekaguman generasi itu masih begitu melekat para pahlawan. Apa yang ditanyakan mahasiswa saat ini, pahlawan itu apa sih? Pahlawan memberikan segala-galanya bagi bangsa dan Negara. Saya ingin membuka kembali sejarah kelahiran kemerdekaan Indonesia, di situ sudah eksplisit bagaimana beliau ini memberikan jiwa raganya apa yang ia miliki, yang saat itu ia dimiliki tidak ada mobil Mercy, tidak ada gedung bertingkat sebagai rumah mereka. Itu tidak ada, itupun diberikan. Inilah saya ingin supaya para intelektual mengembalikan semangat para intelektual Indonesia seperti itu, apa yang harus dirasakan khususnya untuk Widuri. Sejarah Indonesia sudah hampir dilupakan, saya tanya kamu masih tahu tidak cerita Bung Hatta, jawabnya yang ada setiap 17 Agustus. Tolong Kopertis, pemerintah beritahukan kepada sekolah-sekolah internasional. Pendidikan pembangunan kemerdekaan Indonesia harus menjadi satu pelajaran yang utama. Saya berterima kasih ibu Meutia, saya boleh hidup bersama mengenal dari dekat bapak pembangunan kita, kebanggaan mereka akan negaranya, Bapak Bung Hatta dan Bung Karno. Generasi berikut saya masih boleh menikmati bahkan menjadi teman di salon di Bogor dengan Ibunda Ibu Meutia. Aktif dan di sinilah kami bisa melihat keturunan-keturunan yang akan diturunkan sekarang kepada ibu Meutia dan kepada adik-adiknya. Kepada keturunan Bung karno dan seluruh keluarga masih tetap untuk bangsa dan Negara dalam bentuk dan karakter masing-masing. Kami bersyukur dan terimakasih dengan ibunda selalu bersama, kalau ibu mau tahu yang sangat menarik sebagai wanita Indonesia adalah Ibu Rahmi Hatta. Sayang, 65
dengan ibu Fatmawati kami hanya sedikit bertemu, tapi sangat erat karena mendampingi seorang ibu yang perlu kami kaum wanita selalu dampingi dan hibur. Kalau tidak salah dengan ibu Hutabarat kami masih dapat mengunjungi ibunda terkasih waktu terbaring di rumah sakit kira-kira 3 -4 minggu sebelum beliau dipanggil keharibaan illahi. Luar biasa ibu, persis penampilan ibu Meutia manis, ramah, senyum tapi tegas. Itulah yang kami rasakan dan masih dalam umur uzur saya tidak tahu kapan dipanggil kembali ke hadapan illahi, masih boleh sering bergaul kembali berhadapan dengan ibu Meutia. Ini adalah keluarga yang luar biasa. Saya bersyukur kepada Tuhan. Kadang-kadang saya kira hidup di kaki yang mana, yang lama, tengah atau yang ujung. Kalau disampaikan ke Pak Edy, pemuda di sini nanti andalah yang akan mengganti tokoh-tokoh kita, pahlawan-pahlawan kita, karena kebanyakan dari anda kembali lagi hidup seperti tokoh-tokoh kita hidup jauh dari rantau, jauh dari orang tua, mengais bukan mengais seperti pemulung, tetapi mengais ilmu dengan kondisi yang pas-pasan, tetapi anda tetap berjuang. Kiranya pendidikan karakter dapat dinikmati . Kita harus bercermin apakah sudah melekat pada dosen dengan doa yang tulus tidak akan meninggalkannya. Dengan mengucap syukur, kami hanya berserah, saya akan buka seminar hari ini dengan para tokoh. Selamat berdiskusi. KEYNOTE SPEECH: Prof. Dr. Meutia Hatta-Swasono “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual Indonesia Meneruskan Cita-Cita Para Pendiri dan Pahlawan Bangsa” Moderator : Isaac Julius Ruryama Litaay Waktu: Pukul 10.45 – 11.45
Ringkasan materi: Untuk mengemban tanggung jawab melanjutkan perjuangan perintis kemerdekaan dan pahlawan bangsa, kaum intelektual Indonesia harus memahami jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237 juta yang pluralistik dan multikultural. Selain itu, juga memahami Indonesia sebagai Negara mariti, sumber daya alam Indonesia yang melimpah serta wajib memahami sejarah nasional agar tertanam nasionalisme pada diri mereka. Kaum intelektual atau kaum intelegensia Indonesia, khususnya mahasiswa yang hadir pada seminar ini, harus memahami proses pembentukan negara RI secara cermat, bahwa NKRI terbentuk melalui proses yang panjang yang saling terkait dalam hubungan sebab-akibat dan saling dukung dan saling melanjutkan, dimulai 66
dari: (1) era Kebangkitan Nasional yang dicetuskan Budi Utomo yang mendorong terbentuknya gerakan-gerakan pemuda di tanah air (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, dll); (2) Deklarasi Manifesto Politik dari Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, yang menanamkan kedaulatan rakyat, kemandirian dan kesatuan; (3) Deklarasi Sumpah Pemuda yang mencanangkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa; (4) tumbuhnya gerakan-gerakan kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka, yang diwarnai dengan penangkapan sejumlah tokoh perintis kemerdekaan Pemerintah Hindia-Belanda untuk diinternir ke sejumlah tempat pembuangan di tanah air; (5) perjuangan penuh perhitungan seksama di masa pendudukan Jepang, menghadapi penguasa Jepang yang kejam; dan (5) persiapan kemerdekaan Indonesia dan tercapainya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Hatta di Jakarta. Tanpa memahami sejarah, kaum intelektual Indonesia, khususnya mahasiswa yang muda-muda, tidak akan tahu, ke arah mana membangun Indonesia, apa tanggungjawab moral dan fisiknya sebagai warganegara dan anak bangsa, dan bagaimana caranya untuk membangun masa depan Indonesia yang cerah dan penuh martabat tinggi kelak di kemudian hari. Pada sesi ini terdapat 2 pertanyaan dari peserta: 1. Paulus, Mahasiswa STMIK Widuri Bagaimana menyatukan tujuan untuk membangun Negara ini dan bagamana menyingkirkan perbedaan tersebut? Bentuk perjuangan adalah menurut saya ada dua hal saya mengalahkan diri sendiri, artinya mengalahkan segala sifat dan ego yang sangat mendominasi dalam diri lalu melawan lingkungan yang tidak baik, tetapi pada kenyataannya kalau kita melawan lingkungan yang tidak baik terkadang kita dimusuhi. Pertanyaanya bagaimana kaum muda bisa melewati porsi seperti ini, toh kenyataannya kita butuh dukungan orangtua? 2.
Retor AW Kaligis, Dosen STISIP Bagaimana nasionalisme para pahlawan bisa ditularkan dalam pemerintahan? Lalu, bagaimana ibu bisa memberikan masukan kepada pemerintahan sekarang untuk aktualisasinya?
Jawaban Prof. Dr. Meutia Hatta-Swasono: Jadi sebetulnya harus terus menerus menanamkan bentuk-bentuk jaringan, bahwa kita harus bersatu. Negara kita negara maritim, kita harus bersatu menghargai perbedaan suku bangsa, agama. Kemiskinan adalah musuh besar, kita
67
harus mendayagunakan nilai-nilai yang ada. Kita harus mempunyai penghidupan yang layak. Kemiskinan dan pengangguran tidak boleh ada. Bagaimana kita membentuk karakter bangsa? Menjadi orang berbeda itu baik. Kalau ada yang korupsi, kita tidak boleh ikut korupsi. Kita harus memberi contoh. Nasionalisme memang harus ditularkan di dalam pemerintahan. Sebetulnya Pak SBY sudah banyak mengingatkan menteri-menterinya dalam sidang kabinet. Nah ini yang harus dilakukan. Waktu saya jadi menteri, banyak menteri-menteri yang turun. Semoga sekarang juga sama. Tapi tentu tidak mudah. Permasalahan kita juga tantangannya besar, yaitu kekuasaan partai. Aturlah agar partai tidak terlalu besar kekuasaannya. Bagaimana partai ini diharapkan dari kaum intelektual. Juga rekrutmen di parlemen, DPD. Parpol yang baik juga ada. Jangan meniru yang tidak baik. Nah, kenapa yang jelek gampang menular, Karena komando yang paling bawah adalah parpol. Kaum intelektual agar melakukan secara bertanggung jawab. Komando jangan sampai terputus, jadi dengan otak, bukan dengan otot atau omong kosong. Jadi itulah tugas kaum intelektual. Ada banyak kekurangan harus diakui, tapi bagaimana kita mengatasi kekurangan itu. Di cabinet juga masih mengalami kekurangan, namun ya manusiawi. Hal-hal yang sudah terjadi harus dikoreksi. Kadan-kadang kaum intelektual lebih pintar. Kesimpulan: 1. Secara moral kaum intelektual Indonesia meneruskan cita-cita pendiri bangsa ini. Tanggung jawab moral tersebut, antara lain: a. Memahami dan menghayati nasionalisme sebagai pemersatu dalam meraih cita-cita. b. Berkaitan pemahaman yang sudah disampaikan, bahwa tidak mungkin dilakukan jika tidak memahami sejarah bagaimana para perintis merintis negara ini. 2. Menjadi pelopor pembangunan nasional berasas keadilan sosial dan berbasis sumber daya manusia. 3. Mampu berlayar di tengah arus globalisasi yang mampu menguasai perkembangan ilmu dan teknologi, termasuk bidang komunikasi dan informasi. 4. Bersama menjaga modal sosial bangsa Indonesia menuju masyarakat adil, sejahtera dengan tetap mengembangkan etos kerja nasionalis, mampu bekerja dalam berbagai bidang dan selalu mengembangkan suasana kepedulian. Berkaitan dengan kesimpulan tersebut di atas, Ibu Meutia menanggapi kembali: satu hal yang penting, amandemen itu perlu tapi bukan untuk pasal-pasal begitu saja, tapi bagaimana mengembalikan roh kebersamaan sesuai dengan roh yang ada waktu didesain para pendiri bangsa. Roh itu hilang sekarang karena itu terjadi dualisme, tidak peduli pada rakyat sehingga rakyat merasa tidak terlindungi, tidak aman. Itu terjadi karena roh itu tidak ada lagi dan inilah harus dikembalikan lagi. Kalau UUD 1950 disebut UUD Negara RI itu salah, melenceng dari tujuan proklamasi, karena itu Bung Karno pun menyebut kembali ke UUD 1945.
68
Jadi, kalau diubah harus ada gerakan yang besar dan jika dibahas belum tentu semua setuju. Jadi yang penting rohnya kembali dan UUD-nya tetap UUD 1945. Melalui forum ini juga, moderator menyampaikan kepada Ibu Dr Erna Surjadi, PhD satu paket sosialisasi Tap MPR/MPRS yang sampai hari ini sebagian masyarakat belum mengetahui Tap MPR/MPRS mana yang masih berlaku. Diharapkan kaum intelektual muda di kampus bisa memberi kontribusi aspirasi apakah mengamandemen lagi yang ke lima/enam, karena ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.
SESI I PK. 13.15 – 14.15 Pembicara I Judul Pembicara II Judul
: Dr. Zastrouw Ngatawi (Sosiolog/NGO) : Aktualisasi Spirit Nasionalisme : Dr. Retor AW Kaligis (Dosen STISIP Widuri) : Nasionalisme bagi Rakyat Kecil: Tinjauan dari Perspektif Perkembangan Masyarakat Indonesia.
Moderator : Dr. Evie Douren
Ringkasan materi: Dr. Zastrouw Ngatawi: Mempertanyakan keindonesiaan kita apa yang membuat dulu keindonesiaan itu bisa ada. Ternyata itu didasarkan atas dua hal, yaitu dia berakar tradisi dan kesadaran akan sejarah dan inilah yang membuat wajah Indonesia. Lalu masalah multikulturalisme itu sudah ada. Yang sekarang terjadi keretakan, meskipun dikatakan teror adalah keretakan imajinasi, tapi masih menyimpan harapan karena kita masih mempunyai UUD 1945 dan Pancasila. Pertanyaannya bagaimana memperbaiki keretakan ini dan di sinilah tugas atau fungsi dari intelektual dengan membuat strategi kebudayaan. Dr. Retor AW Kaligis: Pada materi ini menyoroti apa arti nasionalisme bagi rakyat kecil dengan membedakan nasionalisme di Indonesia dengan negara lain dan bahkan diantara sesama Negara jajahan terdapat perbedaan karakteristik nasionalisme. Kita ketahuai India dijajah oleh bangsa Inggris, nasionalisme di India berwajah bermuatan kepentingan kaum pemilik modal atau industriawan yang berada pada kelas yang tinggi. Sementara nasionalisme dalam konteks Indonesia lebih berwajah keadilan sosial. Jadi diciptakan oleh nasionalisme Indonesia, masyarakat yang berkeadilan dan masyarakat yang berkeadilan dan masyarakat berkesejahteraan.
69
Pada sesi ini terdapat 4 pertanyaan dari peserta, antara lain; 1. Dwiyantari (Dosen STISIP Widuri) Pertanyaan untuk Pak Zastrouw: Bagaimana untuk kontek kekinian saat ini aktualisasi dari spirit nasionalisme yang tumbuh kita harapkan? Saya melihat masalah-masalah sosial di luar sangat luar biasa dari keluarga-keluarga miskin yang tidak mempunyai kemampuan apapun, mereka seperti para buruh dan pembantu rumah tangga. Latar belakang bukan saja mereka tidak mampu membiayai, tapi karena sikap dan lingkungan yang tumbuh berpengaruh pada sikap-sikap tidak mau belajar, main, lebih suka menikmati TV dan sebagainya. 2. Ihwan Saga (Mhs STISIP Widuri) Nasionalisme pemerintah itu bagaimana? 3. Tidak ada janji pemerintah yang ditepati dan tidak ada satupun yang terwujud. Korupsi dimana-mana dan banyak anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Apa yang harus kita lakukan akan hal ini? 4. Atik (Mhs S2 STISIP Widuri) Bagaimana menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap lingkungan, apa yang harus kita lakukan dan bentuknya seperti apa? 5. Rihana (Mhs STISIP Widuri) Untuk saat ini banyak orantua menyarankan untuk sekolah di sekolah yang bergengsi Bagaimana cara menanggapi akan hal ini? Jawaban: Dr. Zastrouw Ngatawi: Indonesia sudah bersatu, berdaulat, adil belum, makmur sebagian. Kita aktualisasikan nasionalisme dalam bentuk penciptaan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran. Aktualisasinya, bagaimana memperhatikan nasib mereka yang terlunta-lunta, miskin, yang kesusahan. Kalau itu bisa kita perhatikan, kalau kita bisa selesaikan, kalau bisa kita penuhi kebutuhannya, mereka akan kembali pada imajinasi awal di Indonesia ini. Karena pemerintahan dulu mengimajinasikan Indonesia ini kemerdekaan yang bersatu, berdaulat, keluar dari penjajahan dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya dan tidak ada yang dieksploitasi. Sekarang sudah terwujud NKRI. Dr Retor AW Kaligis: Kalau konsisten, kita lihat UUD 45 Pasal 33, semua kebijakan pembangunan bagi rakyat harus mengacu pada hal tersebut. Kesimpulan:
70
Wajah nasionalisme Indonesia yang berkeadilan adalah misi dari wajah keseluruhan masyarakat Indonesia.
SESI II PK. 14.15 – 15.00 Pembicara : Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si (Ketua Umum KOWANI) Judul : Langkah Menuju Kesetaraan Gender Moderator : Dr. Evie Douren Ringkasan Materi : Setiap manusia yang mempunyai karya yang menghargai pekerjaan dan dihargai orang banyak itu namanya kesetaraan gender. Apapun yang kita buat baik agama apapun juga adalah banyak gunanya bagi orang banyak. Jadi bagaimana kita harus berkarya mulai dari hal-hal sederhana. Kalau kita banyak berbuat sesuatu, banyak orang menikmati pasti akan maju dan sukses. Contoh Sila Ketuhanan yang Maha Esa, apa kejadiannya orang beribadah diusir-usir. Kalau orang bunuh-bunuhan boleh diusir. Orang mau lihat karyanya apa. Kita harus mendidik anak kita yang kita didik harus jauh lebih pintar dari kita. Itu namanya intelektual. Contoh banyak dosen-dosen senang kalau dikatakan “killer”. Dosen adalah pendidik, mengupayakan supaya anak didiknya mengerti apa yang diajarkan. Kemudian, bagaimana memanfaatkan ICT (Information Communication and Tecnology) dan berkomitmen serta berdisiplin menjalankan apa yang sudah direncanakan. Pada sesi ini terdapat dari peserta sebagai berikut: 1. Aditya (Mhs STISIP Widuri) Mengapa setiap perusahaan menerima pegawai mengutamakan wanita daripada pria? 2.
Ari (Mhs STISIP Widuri) Bagaimana/apa tips dari ibu Motik untuk orang-orang di sekitar kita yang tidak mau berbagi pengetahuannya/kepandaiannya yang dimiliki orang di sekitar kita?
Jawaban: Kita harus berbagi “all out” untuk seluruh orang di sekitar kita dengan catatan kita juga harus menambahkan pengetahuan dari sumber lain. Kesimpulan: Meskipun judul dalam pemaparannya adalah Langkah Menuju Kesetaraan Gender, namun dengan latar belakang kewiraswastaan yang kental dikerucutkan kepada persoalan kewirausahaan, Dewi Motik memberikan butir-butir terutama 71
buat generasi muda untuk menggali segala potensi yang dimilki dalam mencapai yang diinginkan. Personal Politik kalau dikaitkan dengan kesetaraan gender Dewi Motik memberikan pemecahan yang lain. Buat dirimu berkarya sehingga orang memilihmu.
SESI III PK. 15.00 – 15.45 Pembicara I : Dr. Erna Surjadi, PhD (Dosen STISIP Widuri) Judul : Spirit Nasionalisme dan Pemberdayaan Keluarga serta Komunitas untuk Penghapusan Kemiskinan Pembicara II Judul
: Dr. Edy Siswoyo (Dosen STISIP Widuri) : Spirit Nasionalisme dan Profesionalisme Kaum Intelektual Mendukung Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Tinjauan Sosiologis)
Moderator : Dr. Evie Douren Ringkasan Materi : Dr. Erna Surjadi, PhD: Panggilan dalam alam kemerdekaan perlu dilanjutkan untuk menjadi pahlawan bangsa yang dimulai dari kaum pemuda/i. Gerakan penghapusan kemiskinan dan kelaparan (poverty and hunger) yang diusung Millennium Development Goals (MDG ke 1) dapat didukung dengan meningkatkan akses, partisipasi, manfaat dan kontrol secara setara (equality bagi kaum perempuan dan laki-laki), dan seperti yang dinyatakan juga dalam MDG-3 (Promoting gender equality and women’s empowerment) dengan memperhatikan disparitas gender masing-masing untuk mendapatkan keadilan (equity). Dr. Edy Siswoyo: Kaum intelektual adalah pemikir, tugas utamanya sebagai peneliti, guru, dan penasihat. Tidak harus menjadi pelaku (pelaku politik, pelaku pasar, dan birokrat). Karir kaum intektual justru bukan jabatan birokrat/ struktural tapi fungsional sehingga mentalitasnya bukan mentalitas pejabat tapi mentalitas wirausaha. Kaum intelektual tidak meminta-minta pekerjaan, namun dia harus berkarya (hasil penelitian dan pengajaran) serta memiliki semangat enterpreuner, Ia harus berkarya terus. Pada sesi ini terdapat 2 pertanyaan dari peserta, antara lain; 1. Rihana (Mhs STISIP Widuri)
72
Bagaimana kita bisa merayu orang tua teman untuk dapat kuliah, karena tidak diijinkan orang tuanya? 2.
Kirsamso (Mhs STISIP Widuri) Bagaimana mencegah disitegrasi yang terjadi di Papua?
Jawaban: - Kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam keluarga harus ditekankan untuk mendapatkan keadilan. - Persoalan disintegrasi itu juga menyangkut masalah-masalah sosial, kemiskinan, isu-isu keadilan sosial yang harus diatasi pemerintah dan bangsa Indonesia. Apalagi Papua merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kesimpulan: - Pemberdayaan keluarga dalam usaha ekonomi rumah tangga, pengentasan kemiskinan dan kehidupan harmonis antara pasangan dan keluarga menjadi tuntutan bangsa untuk membentuk keluarga mandiri, maju, sehat dan sejahtera. - Kaum intelektual harus berkarya di masyarakat dengan semangat enterpreuner, sehingga dari hal itu berperan memajukan masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial.
PENUTUPAN Seminar Nasional ini berakhir pukul 16.00
73
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dari
seminar
ini
mengemuka
perlunya
pemahaman
tentang spirit
nasionalisme dan kesejahteraan sosial bagi rakyat kecil berdasarkan Manifesto Politik 1925, Sumpah Pemuda 1928, dan UUD 1945. Kalangan sivitas akademika dituntut untuk melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian pada masyarakat kecil yang harus diberdayakan sesuai disiplin ilmunya. Kalangan perguruan tinggi harus menanamkan pola pikir bahwa ilmu adalah untuk diamalkan bagi masyarakat, serta mencari solusi terhadap permasalahan bangsa dan negara. Dari segi historis, gerakan nasionalisme Indonesia tidak tersekat oleh latar belakang akademik, disiplin ilmu dan profesi. Mereka disatukan oleh komitmen dan tanggung jawab untuk memperjuangkan kemanusiaan. Mengacu pada Ron Eyerman (1996), intelektual memiliki peran yang sangat penting dalam setiap penggal sejarah kehidupan suatu bangsa. Agar kaum intelektual tetap memiliki karakter dan integritas, maka mereka perlu memahami akar tradisi dan sejarah bangsanya sendiri. Selain itu, melalui pemahaman tradisi
dan sejarah para inteletual
akan dapat melakukan
rekonstruksi konsepsional dan teoritik atas berbagai ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Artinya ada proses aktualisasi terhadap teori yang dipelajari sehingga memiliki koneksitas dan kesesuaian dengan kondisi sosiologis masyarakatnya. Tanpa itu, seorang intelektual hanya menjadi pemulung ide, mencomot suatu gagasan dari tempat lain kemudian diterapkan secara paksa dalam suatu konteks sosial, meski konsep tersebut ditolak oleh kenyataan kerena kondisi sosial yang tidak cocok. Selain itu, intelektual seperti ini mudah hanyut dalam pusaran arus kehidupan karena tidak memiliki pijakan yang kokoh dan pegangan yang kuat dalam menghadapi gempuran peradaban.
74
Kaum intelektual telah
mengambil peranan melakukan perubahan demi
perubahan; mulai dari masa pra kemerdekaan Indonesia yang dipelopori oleh kaum pemuda yang mendapat pendidikan baik yang diselenggarakan oleh Belanda maupun oleh Jepang, dilanjutkan pada masa revolusi yang bergulir, lalu masa pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru yang melibatkan peran kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa, dan terakhir adalah masa Orde Reformasi yang juga dimotori oleh kaum intelektual kampus. Begitulah ramainya panggung besar sejarah yang menampilkan peranan kaum intelektual saat itu, dengan peran memang sebagai intelektual yang relatif bebas dari kepentingan penguasa, pasar atau kelompokkelompok kepentingan lainnya. Pertanyaan untuk masa kini adalah: Di mana dan kemanakah mereka sekarang ini? Apakah mereka masih perform di panggung besar sejarah Indonesia masa kini, atau menjadi aktor di balik layar saja, ataukah mereka tampil dengan kostum lain? Atau menjadi penonton saja? Untuk menghidupkan kembali nasionalisme di era reformasi, kita perlu menanamkan kebanggaan pada diri kita dan lingkungan kita sesama orang Indonesia. Tidak hanya dengan kebiasaan memakai produk-produk industri nasional,
seperti tekstil,
asesori, teknologi, peralatan sehari-hari buatan
Indonesia, konsumsi makanan dan minuman serta obat-obatan Indonesia. Selain aspek konsumsi, kita perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sehingga dapat digalakkan aspek produksi melalui temuan-temuan inovatif, berupa teknologi tinggi, teknologi tepat guna, atau temuan-temuan yang berasal dari potensi-potensi sosial-kultural masyarakat untuk didayagunakan lebih lanjut bagi kepentingan rakyat. Hal yang tak kalah penting adalah berperilaku modern, tertib, dan disiplin sebagai bagian dari upaya meningkatkan karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Di sini kaum intelektual harus berperan mendorong pembangunan nasional yang bersifat humanistik, mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan membuat rakyat menjadi tuan di negerinya sendiri.
75
Hubungan bangsa dengan tempat tidak hanya menyangkut klaim kedaulatan wilayah suatu bangsa dan negara dalam urusannya dengan bangsa dan negara lain, tapi juga berkaitan persoalan distribusi penguasaan sumber-sumber ekonomi di dalam tanah air tersebut yang membuat bangsa dan nasionalisme dapat berkembang. Dengan demikian, bangsa seharusnya dipahami sebagai fenomena sosio-makro politik tentang keinginan dan gambaran tentang kebersamaan berdasarkan alasan sosio-historis tertentu dan klaim tentang wilayah yang menjadi tanah air bersama, di mana keinginan dan gambaran kebersamaan itu bertahan dan berkembang dipengaruhi harapan akan keadilan sosial dari para anggota di dalamnya. Nasionalisme bagi rakyat kecil memerlukan kekuatan korelasi antara nasionalisme dan keadilan sosial. Nasionalisme tidak hanya pada bingkai juga mencakup isi, yakni usaha bangsa merombak ketimpangan penguasaan sumbersumber ekonomi di tengah masyarakat yang bineka. Peringatan Hari Pahlawan yang notabene telah mengikutsertakan nama-nama kaum perempuan sebagai pahlawan, hendaknya juga membawa kesadaran pula kepada kita semua untuk membangun spirit kebangsaan yang juga memperhatikan kondisi perempuan dan anak-anak yang menjadi kelompok rentan di kala kemiskinan datang mendera bahkan ketika bencana alam, persaingan bisnis dan lain-lain yang membawa mereka menjadi obyek/korban perdagangan orang (trafficking, pelacuran, pekerjaan komersial, kekerasan dan lain sebagainya). Spirit nasionalisme yang membuka akses dan peluang kemudahan transportasi, peningkatan ketrampilan, ekonomi kecil dan menengah dan lain sebagainya dapat meningkatkan partisipasi kaum perempuan untuk menjadi pahlawan dalam keluarga dan komunitasnya. Jűrgen Habermas (1979) mengingatkan, di masyarakat yang memiliki banyak ketimpangan
terjadi
apa
yang
disebut
sebagai
systematically
distorted
communication, di mana komunikasi cenderung terdistorsi dan semu sehingga orang-orang hanya mampu berkomunikasi dengan distorsi-distorsi tersebut. 76
Kegagalan nasionalisme mengelaborasi persoalan keadilan sosial ke arah kerjakerja konkrit membuat keberlanjutan kehidupan bersama dalam bangsa yang bineka ini menjadi mengkhawatirkan.
2. Saran Adapun saran yang mengemuka dalam seminar ini sebagai berikut: a. Konsensus dasar tentang Negara kebangsaan
(Pancasila, UUD 1945, NKRI,
Bhinneka Tunggal Ika) harus menjadi pegangan perjuangan seluruh bangsa Indonesia sepanjang masa. Berkaitan dengan itu, perlu disiapkan generasi penerus bangsa yang lebih sadar akan kebangsaannya. b. Pemerintahan yang bersih dan efisien merupakan keharusan. Pengoreksian penguasaan sumber-sumber ekonomi yang adil dilakukan, mulai reforma agraria, pemerataan infrastruktur, penataan jaringan perdagangan, prioritas kredit bagi berbagai profesi rakyat (petani, nelayan, usaha kecil, dan koperasi), hingga pemerataan akses pendidikan berkualitas untuk melakukan lompatan strategi industrialiasi. Peninjauan ulang kontrak juga dijalankan di sektor pertambangan yang banyak merugikan negara dan memarjinalkan masyarakat setempat. c. Kaum intelektual Indonesia memiliki tanggung jawab meneruskan cita-cita pendiri bangsa. Tanggung jawab itu harus diwujudkan, antara lain: 1. Memahami dan menghayati nasionalisme sebagai pemersatu dalam meraih cita-cita dengan berangkat dari akar sosio-historis bangsa dan sejarah bagaimana para perintis merintis negara ini. 2. Menjadi pelopor pembangunan nasional berasas keadilan sosial dan berbasis sumber daya manusia, serta berkarya di masyarakat dengan semangat enterpreuner untuk memajukan masyarakat Indonesia. 3. Mampu berlayar di tengah arus globalisasi untuk menguasai perkembangan ilmu dan teknologi, termasuk bidang komunikasi dan informasi.
77
4. Bersama menjaga modal sosial bangsa Indonesia menuju masyarakat adil, sejahtera dengan tetap mengembangkan etos kerja nasionalis, mampu bekerja dalam berbagai bidang dan selalu mengembangkan suasana kepedulian. d. Perlunya warga masyarakat meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender yang sejalan dengan nilai-nilai budaya yang berkembang. Berkaitan dengan itu, diperlukan usaha melanjutkan pemberdayaan kaum perempuan dalam berbagai bidang, serta pemberdayaan keluarga melalui usaha ekonomi rumah tangga, pengentasan kemiskinan dan kehidupan harmonis antara pasangan dan keluarga agar tuntutan bangsa untuk membentuk keluarga mandiri, maju, sehat dan sejahtera.
78
KEPANITIAAN Susunan Panitia Seminar Nasional “Membangun Spirit Nasionalisme Intelektual Indonesia Meneruskan Cita-Cita Para Pahlawan Demi Mewujudkan Kesejahteraan Sosial” Pelindung: Ny Leonie R. Prawiro (Ketua Yayasan “Widuri” Untuk Pendidikan Pembangunan Sosial)
Penasihat: Dr. Erna Surjadi, PhD (Ketua STISIP Widuri)
Organizing Comittee: Ketua: Dr. Edy Siswoyo, M.Si. (Kepala P3M STISIP Widuri) Sekretariat: Harni Dahniar, S.Kom
-
Koordinator Materi
: Dr. Retor AW Kaligis, M.Si.
-
Koordinator Perlengkapan/ Umum
: Flores Mayaut, S.Sos.
-
Koordinator Acara
: BEM STISIP Widuri Ferdy Wibowo
-
Koordinator Konsumsi
: Rumingtyas Oca
-
Koordinator Dokumentasi
: Sujoto AMD
-
Anggota
: Mahasiswa/i
79
KLIPING BERITA
Harian Sinar Harapan, Jumat, 18 November 2011, halaman 16
80
Harian Suara Pembaruan, Sabtu, 12 November 2011, halaman 6
81