Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Rekonfigurasi hutan Jawa : sebuah peta jalan usulan CSO / tim penyusun, Ronald Muh. Ferdaus ... [et al.]. ‐‐ Yogyakarta : Biro Penerbitan ARuPA, 2014. xii + 94 hlm. ; 16.3 x 24 cm Diterbitkan atas kerja sama dengan Koalisi Pemulihan Hutan Jawa dan Kemitraan ISBN 978‐979‐96513‐7‐2 1. Hutan ‐‐ Pelestarian – Jawa. I. Ronald Muh. Ferdaus. 333. 751 509 598 2 Judul Rekonfigurasi Hutan Jawa: Sebuah Peta Jalan Usulan CSO Penulis Ronald Muh Ferdaus, Paramitra Iswari, Erwin Dwi Kristianto, Mumu Muhajir, Totok Dwi Diantoro, Sugging Septivianto Diterbitkan oleh Biro Penerbitan ARuPA Foto & Ilustrasi Dokumen ARuPA Cover & Layout
[email protected] Alamat Penerbit Ds. Karanganyar RT10 RW 29 No. 201 Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta Telp./ Fax : 0274 551571 e‐Mail:
[email protected] http://www.arupa.or.id
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Berawal dari pertemuan penggiat Hutan Jawa yang diselenggarakan ARuPA dan dihadiri 10 organisasi masyarakat sipil dan LSM pada tanggal 16 November 2011 di Yogyakarta, munculah ide “Rekonfigurasi Hutan Jawa”. Ide ini tidak semata‐mata muncul begitu saja. Keprihatinan pengelolaan hutan jawa yang kian carut marut, bahkan bisa dikatakan gagal menjadi salah satu mengapa kemudian 10 organisasi tersebut membentuk Koalisi Pemulihan Hutan Jawa (KPH Jawa). Di sisi lain, kebutuhan untuk melakukan advokasi secara bersama‐sama didasari evaluasi bahwa selama ini LSM di Jawa cenderung melakukan kegiatan sendiri‐sendiri, tanpa ada koordinasi agenda dan strategi sehingga tidak mampu memberikan dampak yang signifikan. Kemudian, dalam perkembangannya, kini anggota KPH Jawa mencapai sebanyak 38 Organisasi Masyarakat Sipil yakni ARuPA, FKKM, FPPK, FPPKS, FWI, HuMa, Javlec, JPIK Jateng, Karsa, Kompleet, KpSHK, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Surabaya, Lidah Tani, LPH Yaphi, LPPSLH, Ortaja, Paguyuban Petani Turi, Paramitra, PPHJ, PPLH Mangkubumi, RMI, Rumah Aspirasi Budiman, SD INPERS, Sepkuba, SPP, SPPT, Stan Balong, Suphel, Telapak, Walhi DIY, Walhi Jabar, Yayasan Koling, Yayasan Sitas Desa, Yayasan Trukajaya, LBH Yogyakarta, dan Epistema Dalam waktu 1 tahun (2013) KPH Jawa telah menyelesaikan naskah akademis dan naskah kebijakan rekonfigusi hutan jawa. Dokumen ini disusun oleh Tim Substansi yang terdiri dari Ronald Ferdaus (ARuPA), Paramita Iswari (KARSA), Erwin Dwi Kristianto (HuMa), Mumu Muhajir (Epistema), Totok Dwi diantoro (ARuPA), dan Sungging Septivianto (Kompleet) yang disupervisi oleh R. Yando Zakaria. Terdapat juga Tim Expert yang berkontribusi dalam pembahasan awal draf roadmap meliputi: Asep Suntana (Surya University), Hariadi Kartodihardjo (IPB), Yando Zakaria (Karsa), Martua T Sirait (Kemitraan), Mia Siscawati (Sajogyo Institute), Noer Fauzi (Sajogyo Institute), Agustiana (SPP), Heri Santoso (Javlec), Rahmanto Setiadi (Javlec). Serta Tim Reviewer, para pakar yang diminta untuk mereview dokumen roadmap: Yando Zakaria (Karsa), Myrna Safitri (Epistema), Martua Sirait (ICRAF), Hariadi Kartodihardjo (IPB) dan Suryanto Sadiyo (ARuPA). Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pimpinan lembaga serta tim substansi, tim expert dan tim reviewer atas kerjasama dalam penyusunan “rekonfigurasi hutan jawa”. Dokumen ini menggambarkan bagaimana kondisi faktual dan rancangan masa depan pengelolaan hutan Jawa yang diusulukan oleh kalangan CSO. Harapannya dokumen ini dapat digunakan untuk membangun kesepahaman para pihak
iii
terhadap kebijakan pengelolaan hutan jawa. Akhirnya, kepada seluruh Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam KPH jawa, Tim substansi, Tim Expert dan reviewer, serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dokumen ini hingga tercetak dengan baik, kami sampaikan penghargaan dan terima kasih atas kerja keras. Yogyakarta, Maret 2014 Dwi Nugroho Direktur Eksekutif ARuPA
iv
RINGKASAN EKSEKUTIF Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Kepadatan pulau Jawa tentu saja berimplikasi pada besarnya tekanan pada sumberdaya alam demi kelangsungan hidup sehari‐hari. Tekanan ini terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan. Pada sisi lain besarnya tekanan pada sumberdaya alam di pulau Jawa ini hanya didukung oleh sejumlah kecil luasan lahan hutan.Data yang dipublikasikan oleh BPKH Wilayah XI, Jawa‐Madura (2012) menunjukkan bahwa dari 98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya sekitar 3.38% saja yang tercatat berada di pulau ini. Dengan luasan sekitar 2.4 juta ha sebanyak 85,37% hutan di Jawa diserahkan pengelolaannya pada Perum Perhutani. Penguasaan hutan dalam skala masif oleh Perhutani ini pada sisi lain kemudian diiringi dengan meningkatnya krisis ekologis di pulau Jawa. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan hutan Jawa tiap tahunnya. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun pada tahun 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800an ribu hektar. Perubahan tutupan hutan ini terjadi karena deforestasi, baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi hutan. Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi pada percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan, seperti kepentingan pembangunan dan ekonomi; ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam; pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya; tingginya permintaan pasar akan kayu dan produk kayu; tingginya permintaan dan harga komoditas perkebunan dan pertambangan; kepemilikan lahan yang tidak jelas; kepentingan politik; dan buruknya tata kepengurusan (bad governance) sumberdaya hutan. Berkurangnya luasan tutupan hutan ini secara drastis berdampak pada terganggunya daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Data dari Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan sebanyak 123 titik DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Hal ini kian menegaskan terancamnya Jawa oleh krisis ekologis. Ancaman bencana yang terjadi di Pulau Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat mencolok jika dibandingkan dengan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya.
v
Di samping mengalami krisis ekologis, salah urus Pulau Jawa juga diwarnai krisis sosial. Yang paling menonjol tentu saja kemiskinan yang akut. Data BPS (2012)menunjukkan jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 jiwa. Sejauh ini diyakini bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa terutama disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki.Dalam data Sensus Pertanian (1993)RACA Intitute menyebutkan bahwa penguasaan tanah petani di Jawa rata‐rata 0,3 ha/KK. Sedangkan berdasarkan data yang dikumpulkan dari sebuah pertemuan organisasi petani pada tahun 2012, fakta mengenai kepemilikan tanah oleh masyarakat ini cenderung mengalami penurunan menjadi 0,1 – 0,25 ha/KK. Selain sejumlah faktor yang telah disebutkan diatas, kemiskinan juga disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya.Dalam pengelolaan hutan Jawa yang berlaku selama ini kawasan hutan adalah bukan kekayaan alam yang seharusnya juga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya hak pengelolaan sebagian besar hutan Jawa diserahkan kepada Perhutani sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2010. Dengan karakteristik kerja Perhutani, alih‐alih mengatasi krisis sosial yang terjadi selama ini konflik dan eksploitasi terhadap masyarakat justru semakin tajam. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 (empat puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Rekonfigurasi hutan Jawa dengan demikian diperlukan untuk melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa, serta perluasan ruang kelola rakyat guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Perubahan dilakukan terhadap beberapa aspek penting yaitu: Paradigma, Tata Kuasa, Tata Guna, dan Kebijakan. Rekonfigurasi hutan Jawa harus dimulai dari perubahan paradigma dengan memaknai hutan sebagai satu kesatuan utuh atau holistik, tidak hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu ataupun non kayu. Rekonfigurasi hutan Jawa juga memerlukan perubahan paradigma pada tataran pengelolaannya, dari hanya sekedar bisnis lahan ataupun pengusahaan hutan, dikembalikan menjadi pengelolaan hutan (bukan sekedar lahan, dan bukan sekedar pengusahaan).Proses perubahan paradigma pengelolaan hutan seharusnya dimulai dengan merevisi Undang‐undang Kehutanan sebagai dasar kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia.
vi
Hal mendasar yang paling mendesak untuk ditata ulang adalah persoalan tata kuasa atas lahan hutan Jawa, mengingat dalam satu dekade terakhir ini banyak terdapat konflik lahan yang menimbulkan korban jiwa. Sejumlah opsi rekonfigurasi tata kuasa hutan Jawa akan mengurangi luasan hutan negara karena sebagian luasan akan berubah dengan kondisi sebagai berikut: (1)Dikembalikan ke individu pemilik sah (sebelum tanah dikuasai oleh negara) atau ahli warisnya (2)Berubah status menjadi aset desa berupa hutan milik desa dan (3)Menjadi Hutan Adat berdasarkan penetapan oleh Perda. Adapun tata guna hutan Jawa di waktu yang akan datang cukup dibedakan menjadi 2 pola pemanfaatan ruang, yaitu: hutan pada kawasan lindung dan hutan pada kawasan budidaya. Perubahan tata guna lahan hutan Jawa juga harus didukung dengan perubahan kelembagaan pengelola hutan Jawa. Di masa depan, diperlukan ada 3 macam kelembagaan yaitu: (1)Kelembagaan Perencanaan Kehutanan Jawa; (2)Kelembagaan Pengelola Hutan Jawa; (3)Kelembagaan Penyelesaian Konflik Hutan Jawa. Untuk menuju realisasi gagasan rekonfigurasi tersebut di atas, langkah penting yang pertama kali harus dilakukan adalah mengkerangkainya—baik pada level paradigma hingga teknis operasional—melalui rekonstruksi kebijakan mulai dari Undang‐ undang sampai Peraturan Pelaksanaan. Pada ranah Undang‐undang, yang mesti dilakukan adalah mengganti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Undang‐undang yang baru. Penggantian UUK 41/1999 ini setidak‐tidaknya dengan merevisi Pasal 6 ayat (1) UUK 41/1999 terutama terkait dengan pengklasifikasian hutan menurut fungsi konservasi, lindung dan produksi. Sedangkan pada ranah Peraturan Pelaksanaan, mencabut PP 72 Tahun 2010 tentang Perum Perhutani adalah konsekuensi yang tidak bisa dielakkan. Rekonstruksi basis kebijakan yang dimulai dengan mencabut PP No. 72/2010, selanjutnya perlu dilanjutkan denganpenerbitan regulasi pengelolaan hutan Jawa yang mendukung disain kepengurusan melalui model kelembagaan KPH. Penerbitan regulasi tersebut dilakukansebagaimana mandat PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008, di mana unit usaha milik negara (mungkin sebagai ganti Perhutani) tidak lebih merupakan salah satu pihak penerima konsesi sejajar dengan masyarakat dan harus tetap tunduk dalam garis koordinasi dan supervisi KPH.
vii
DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih |ii Ringkasan Eksekutif |v Daftar Gambar, Tabel dan Box |ix Daftar Singkatan |x BAB I Keniscayaan Rekonfigurasi Hutan Jawa |1 1.1 Krisis Sosial‐Ekologis Hutan Jawa : Mengancam Keselamatan Hidup Ratusan Juta Manusia dan Mahluk Hidup Lainnya |2 1.2 Metodologi |16 1.2.1 Kerangka Pemikiran |16 1.2.2 Proses Kerja |18 1.2.3 Tujuan dan Ruang Lingkup |20 1.3 Sistematika Pembahasan |20 BAB II Salah Urus Hutan Jawa |22 2.1 Paradigma Pengelolaan Hutan Jawa |23 2.2 Tata Kelola |22 2.2.1 Tata Guna |22 2.2.2 Tata Kuasa |31 2.2.3 Tata Usaha |34 2.2.4. Pengelolaan Hutan Jawa dan Konflik Agraria |40 BAB III Rekonfigurasi Hutan Jawa |49 3.1 Hutan Rakyat: katup penyelamat ekologi dan kehidupan ekonomi masyarakat di Jawa |50 3.2 Rekonfigurasi Hutan Jawa |55 3.2.1 Perubahan Paradigma Pengelolaan Hutan |55 3.2.2 Perubahan Tata Kuasa Hutan Jawa |57 3.2.3 Perubahan Tata Guna Hutan Jawa |65 3.2.4 Perubahan Kebijakan Pengelolaan Hutan Jawa |67 BAB IV Langkah Konsolidasi dan Tahapan Kerja |71 4.1 Tujuan dan Tenggat Waktu |72 4.2 Kebijakan dan Inisiatif Kerja yang Sejalan |75 4.3 Rekonfigurasi Hutan Jawa |77 Cara membaca matrik rekonfigurasi Hutan Jawa |78 Daftar Pustaka |105
viii
DAFTAR GAMBAR, TABEL dan BOX Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Box 1 Box 2 Box 3 Box 4
Pengelolaan Kawasan Hutan Negara di Pulau Jawa |3 Persentase Luasan Kawasan Hutan dan perairan pada Pulau Besar di Indonesia |5 Peta Kejadian Bencana Kekeringan di Indonesia Tahun 1979‐2009 |8 Perbandingan Bencana Pada 33 Provinsi di Indonesia |10 Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia |12 Perbandingan Luasan Kawasan Hutan dan Perairan |6 Kehilangan Hutan Jawa antara Tahun 2000‐2009 |6 Indeks Rawan Bencana Kabupaten/Kota (25 Tertinggi) |9 Model Matrik Kerangka Analisis Rekonfigurasi Hutan Jawa |17 Kelompok Hutan yang Telah Disahkan Berdasarkan Berita Acara Tata Batas |28 Luas Kawasan Hutan Negara Jawa – Madura |30 Luas Kepemilikan Tanah Masyarakat |33 Pendapatan, Biaya, dan Laba Sebelum Pajak Perum Perhutani |38 Potensi Kayu dan Karbon Pada Hutan Rakyat di Jawa Madura |54 Opsi‐opsi rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas SDH |61 Tahapan rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas SDH |64 Matrik Tahapan Konsolidasi |74 Matrik Program Rekonfigurasi Hutan Jawa |80 Kemiskinan Desa Hutan di Jawa Tengah |13 Konflik Sektor Kehutanan di Kasus Mandalawangi‐Jawa Barat |41 Sekilas Kasus eks Perkebunan Ankola, Cianjur, Jawa Barat |45 Kasus Rencana Penambangan di Kawasan Hutan dan Kawasan Kars |47
ix
DAFTAR SINGKATAN AMAN
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
ARuPA
Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam
BAPPEDA
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
BAPPENAS
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BKSDA
Balai Konservasi Sumber Daya Alam
BNPB
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPKH
Balai Pemantapan Kawasan Hutan
BPN
Badan Pertanahan Nasional
BPS
Badan Pusat Statistik
BULOG
Badan Urusan Logistik
BUMN
Badan Usaha Milik Negara
CSO
Civil Society Organization
DAS
Daerah Aliran Sungai
DPD
Dewan Perwakilan Daerah
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
FAO
Food and Agriculture Organization
FKKM
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat
FWI
Forest Watch Indonesia
HD
Hutan Desa
HKM
Hutan Kemasyarakatan
HTR
Hutan Tanaman Rakyat
HUMA
Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis
JAVLEC
Java Learning Center
JKPP
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
KARSA
Lingkar Pembaruan Pedesaan dan Agraria
KemenBUMN
Kementerian Badan Usaha Milik Negara
Kemendagri
Kementerian Dalam Negeri
KemenESDM
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
Kemenhut
Kementerian Kehutanan
Kemenkeu
Kementerian Keuangan
KemenPU
Kementerian Pekerjaan Umum
x
KLH KNUPKA
Kementerian Lingkungan Hidup Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria
KOLING
Konservasi Lingkungan
Komnas
HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KOMPLEET
Komunitas Peduli Slamet
KPH
Koalisi Pemulihan Hutan
KPH
Kesatuan Pengelolaan Hutan
KPH
Kesatuan Pemangkuan Hutan
KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi
KSO
Kerjasama Operasional
LBH
Lembaga Bantuan Hukum
LESEHAN
Lembaga Studi Ekologi Hutan
LMDH
Lembaga Masyarakat Desa Hutan
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
MP3EI
Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
NKB
Nota Kesepahaman Bersama
PERUM
Perusahaan Umum
PHBM
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
PHKA
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
PMDHI
Perhimpunan Masyarakat Desa Hutan Indonesia
PP
Peraturan Pemerintah
PPHJ
Paguyuban Petani Hutan Jawa
PPLH
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Pusdalbanghut
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan
RAB
Rumah Aspirasi Budiman
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJMD
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJMP
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Propinsi
RTRW
Rencana Tata Ruang Wilayah
SDA
Sumberdaya Alam
SDH
Sumberdaya Hutan
SEPKUBA
Serikat Petani untuk Kedaulatan Bangsa
xi
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
SPP
Serikat Petani Pasundan
Stan Balong
Serikat Petani Banyumas Pekalongan
SUPHEL
Solidaritas Masyarakat untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup
SVLK
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
TGHK
Tata Guna Hutan Kesepakatan
TN
Taman Nasional
UKP4
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
UU
Undang‐Undang
VOC
Vereenigde Oostindische Compagnie
WALHI
Wahana Lingkungan Hidup
xii
| 3
Pemanfaatan hutan di Jawa bukan semata‐mata hanya bermanfaat dalam hal produk hasil hutan berupa kayu. Sebagaimana juga terdapat di daerah lainnya, dalam kehidupan masyarakat, hutan mempunyai fungsi holistik. Dari hutan masyarakat bisa memperoleh produk berupa pangan (food), energi (energy), serat (fiber), obat‐obatan (medicine), dan karbon (carbon). Hutan sebagai tempat bertumbuhnya berjuta tanaman berfungsi sebagai penyedia air bagi kehidupan. Tidak dipungkiri pula jika hutan kontribusi penting bagi kehidupan masyarakat di perkotaan. Dalam situasi krisis energi berbasis fosil, hutan menyediakan sejumlah sumber energi alternatif. Di daerah di Jawa saat ini sudah mulai memanfaatkan tanaman jarak, nyamplung, sorgum atau jagung cantle, maupun tetes tebu sebagai bahan bakar nabati. Hutan juga menghasilkan serat yang dapat digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Hutan juga adalah sumber penting dari mana masyarakat memperoleh obat‐ obatan. Masyarakat Jawa sudah sejak lama memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan yang dapat diolah menjadi ramuan tradisional (jamu).5 Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kehutanan, sebagian besar tumbuhan obat di Indonesia (78%) diperoleh melalui ekstraksi (pengambilan langsung) kawasan 5
Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia yang terbuat dari bahan‐bahan alami, baik dari tumbuhan maupun hewan (Departemen Kesehatan). Istilah ini memang identik dengan budaya Jawa, sedangkan wilayah lain memiliki obat tradisional dengan sebutannya sendiri.
4|
hutan. Hanya sebagian kecil dari tanaman obat tersebut yang telah dibudidayakan, sebagaimana juga terjadi di Pulau Jawa.6 Potensi karbon hutan rakyat di Pulau Jawa patut pula diperhitungkan. Berdasarkan luasan indikator yang didapat melalui penafsiran citra satelit yang dilakukan oleh BPKH Wilayah XI Jawa dan Madura, potensi karbon pada tahun 2009 adalah sebesar 40.724.689,17 ton atau 15,75 ton/ha.7 Hal ini tentunya menunjukkan bahwa hutan rakyat memberikan peran luar biasa dalam konteks mitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Di luar manfaat yang bersifat fisik tersebut, dalam banyak komunitas masyarakat adat di Jawa seperti Wong Sikep di Blora,8 Suku Baduy di Lebak,9 Kasepuhan Banten Kidul di Taman Nasional Gunung Halimun, Wong Tengger di Bromo, dan lainnya, hubungan dengan hutan bukan sekedar hubungan kebendaan semata melainkan juga memiliki makna spiritualitas tertentu. Terganggunya keberadaan hutan secara tidak langsung akan menganggu kelangsungan tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri. Dengan berbagai manfaat yang dipaparkan diatas jelas bahwa hutan Jawa memiliki nilai strategis bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup yang ada di pulau ini, termasuk 136 juta manusia yang hidup di dalamnya. Meski demikian, wacana krisis kehutanan di Indonesia selama ini nyaris tidak menyertakan hutan Jawa di dalamnya. Boleh jadi, luasan hutan Jawa yang tidak seberapa dan jauh berada di bawah angka luasan hutan di wilayah Indonesia lain menjadi penyebabnya. Luasan kawasan hutan dan perairan di Pulau Jawa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, sebagaimana ditunjukkan oleh diagram berikut, hanya sekitar 2,43% dari total di Indonesia. Bandingkan dengan Kalimantan yaitu 28,12% maupun Papua yang mencapai 31.01%. Lebih jauh lagi, persentase hutan di Pulau Jawa sangat
6
Hal ini disampaikan dalam sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Iman Santoso, dalam Seminar Internasional “Hutan dan Tumbuhan Obat untuk Kesejahteraan Masyarakat”, yang diselenggarakan pada 10‐12 September 2013 di Bogor. 7 BPKH Wilayah XI Jawa dan Madura, 2009. 8 Wong Sikep atau sering disebut juga sedulur Sikep adalah para pengikut ajaran Agama Adam, yakni ajaran yang dikembangkan Samin Surosentiko pada akhir abad XIX di Klopoduwur, Blora. Komunitas ini memiliki konsep ketuhanan yang berimplikasi terhadap kehidupan sehari‐hari, misalnya dalam hubungannya dengan tanah pertanian dan hutan. Wong Sikep memandang bahwa mengolah lahan pertanian sama halnya dengan “perkawinan manusia” dengan alam. Kesatuan yang serasi antara suami dan istri dalam ikatan suci perkawinan ini akan menghasilkan kedamaian dan kesuburan. Penghargaan terhadap tanah sebagai faktor yang suci menjadikan “perkawinan” tersebut dijaga dengan sepenuh hati. (lihat Purwanto, 2009) 9 Urang Baduy, yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten berpendapat bahwa dirinya diciptakan untuk menjaga tanah larangan yang merupakan pusatnya bumi. Mereka dituntut untuk menyelamatkan hutan tutupannya dengan menerapkan pola hidup seadanya yang diatur oleh norma adat. Oleh karena itu, kegiatan utama masyarakat Baduy, pada hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan pengelolaan serta pemeliharaan hutan untuk perlindungan lingkungan. (Jurnal Humaniora, Vol.23. No.1 Februari 2011). Bahkan saat ini tanah adat Baduy telah didaftarkan di BPN dan dilindungi sebagai tanah adat berdasarkan Permen Agraria No. 5 Tahun 1999.
| 5
rendah, yaitu hanya 14 % dari total luas daratannya. Sementara di pulau besar lainnya masih terdapat 35‐81 % hutan.10
Sumber : Diolah dari Statistik Kehutanan, 2011
Dibalik minimnya luasan hutan tersebut orang sering lupa bahwa lebih dari 50 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Tekanan atas daya dukung lingkungan pun menjadi sangat besar, sebagaimana dapat terlihat pada Tabel 1 berikut. Pada tabel ini tergambarkan betapa beban Pulau Jawa sangatlah tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Hal ini diikuti oleh pembiaran atas salah urus hutan Jawa selama berpuluh‐puluh tahun selama ini telah menyebabkan Pulau Jawa terancam krisis ekologis.11 10
Statistik Kehutanan, 2011. Mengutip apa yang disampaikan Forest Watch Indonesia, jika hutan di pulau lain masuk dalam kategori‘rusak parah’, maka hutan Jawa masuk dalam kategori ‘telanjur dibiarkan rusak parah terlalu lama’ (FWI, Maret 2003)
11
6|
Tabel 1 Perbandingan Luasan Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dengan Kepadatan Penduduk di Pulau Besar Indonesia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pulau Sumatera Jawa Bali‐NTT‐NTB Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Total
Luas Kawasan Hutan dan Perairan (Ha) 28.313.781 3.313.547,97 2.986.635,01 38.285.659 13.784.678 7.264.707 42.224.840 136.173.847,98
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 105 1055 179 25 92 33 9 124
Sumber : Diolah dari Data Statistik Kehutanan, 2011 dan Data BPS, 2013
Gejala telah terjadinya krisis ekologis terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan hutan Jawa tiap tahunnya. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun pada tahun 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800an ribu hektar. Sehingga dalam rentang waktu sembilan tahun (2000‐2009) tutupan hutan di Jawa mengalami pengurangan sekitar 60%. Jika laju deforestasi di Jawa tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan hutan di Jawa akan habis.12 Rincian pengurangan tutupan hutan Jawa antara tahun 2000 – 2009 ini secara lebih detail dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 Kehilangan Hutan Jawa antara Tahun 2000‐2009 Provinsi Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Total
Tutupan Hutan Tahun 2000 (ha) 128.337,80 953.984,29 507.949,60 690.912,09 2.281.183,78
Tutupan Hutan Tahun 2009 (ha) 91.478,63 357.240,88 127.878,48 321.380,83 897.978,82
Deforestasi (ha) 36.859,18 596.743,40 380.071,12 369.531,26 1.383.204,96
Sumber : Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000‐2009,FWI (2011)
12
Potret Keadaan Hutan Indonesia, Periode 2000‐2009, FWI 2011.
Laju Deforestasi (ha) 3.685,92 59.674,34 38.007,11 36.953,13 138.320,50
| 7
Menurut kajian CIFOR (2013), perubahan tutupan hutan ini terjadi karena deforestasi, baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi hutan. Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi pada percepatan laju deforestasi dan degradasi hutan, seperti kepentingan pembangunan dan ekonomi; ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam; pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya; tingginya permintaan pasar akan kayu dan produk kayu; tingginya permintaan dan harga komoditas perkebunan dan pertambangan; kepemilikan lahan yang tidak jelas; kepentingan politik; dan buruknya tata kelola pengelolaan sumberdaya hutan.13 Perlu pula dicatat, pengembangan Koridor Ekonomi Jawa dalam kerangka Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak 2011 harus juga diwaspadai menjadi potensi ancaman atas daya dukung lingkungan Pulau Jawa ke depan. Untuk menjelaskan tentang menurunnya tutupan hutan ini sesungguhnya bukanlah hal yang sederhana. Berbagai faktor sosial‐politik‐ekonomi yang saling kait mengait. Namun yang jelas, sebagian dari persoalan ini tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa ada berbagai pihak yang punya kepentingan berbeda dengan hutan, dimana antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya tidaklah selalu berjalan seiring. Pada saat yang bersamaan terjadi pula kepengurusan yang buruk (bad governance). Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa penyerahan pengurusan sebagian besar hutan Jawa kepada satu pihak tertentu saja pada kenyataannya mengalami kegagalan. Berkurangnya luasan tutupan hutan ini secara drastis bukan tanpa dampak. Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan, khusus di Pulau Jawa, selama 1984 – 2005 jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis bertambah berlipat‐lipat dengan cepat. Sebanyak 123 titik DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa akan terancam kualitas fungsi ekologisnya secara serius.14 Pengaruh yang jelas nyata sebagai akibat dari masalah tersebut adalah terkait ketersediaan air. Saat ini ketersediaan air di Indonesia mencapai 16.800 m per‐ kapita per‐tahun. Jumlah ini sebenarnya jauh lebih besar dari ketersediaan air rata‐ rata di dunia, yang hanya 8.000 m3 per kapita per tahun (KLH, 2011). Namun, ketersediaan air ini tidak tersebar merata, baik secara spasial maupun temporal. Bagaimana dengan Pulau Jawa? Kementerian Pekerjaan Umum (2012) menyebutkan bahwa Pulau Jawa dengan populasi yang besar ternyata total potensi 13
Lihat misalnya Sunderlin dan Resosudarmo, 1996; FWI/ GFW 2002. Sinar Harapan, 8 Februari 2006
14
8|
air yang dimilikinya sangat kecil. Hal ini secara langsung menunjukkan Pulau Jawa menghadapi masalah ketersediaan air yang serius. Hal ini ditegaskan oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, yang menyebutkan bahwa pada tahun 2000 ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.750 m3 per kapita per‐ tahun. Angka itu akan terus menurun hingga diperkirakan pada 2020, hingga tersisa 1.200 m3 per kapita. Padahal, standar kecukupan minimal sebanyak 2.000 m3 per kapita (Kementrian Lingkungan Hidup, 2012). Terkait dengan masalah ketersediaan air ini, Kementrian Lingkungan Hidup mencatat bahwa kekeringan terjadi di 6 provinsi di Indonesia. 5 dari 6 provinsi dimaksud adalah seluruh propinsi yang berada di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah adalah wilayah dengan kekeringan terluas, yaitu meliputi 472 desa. Peringkat kedua adalah Provinsi Jawa Timur, dimana tercatat 141 desa yang tersebar di 6 kabupaten (Kementrian Pekerjaan Umum, 2013).Peta Kejadian Bencana Kekeringan di Indonesia 1979‐2009berikut juga menunjukkan fenomena yang sama (BNPB, 2010). Gambar3 Peta kejadian bencana kekeringan di Indonesia tahun 1979‐2009
Sumber : BNPB, 2010
Ironisnya, masa musim yang lain, bencana banjir dan tanah longsor justru menjadi ancaman kehidupan di Jawa. Berkurangnya tutupan hutan telah mengakibatkan jumlah hujan yang menjadi air larian (run‐off) jauh lebih besar daripada air hujan
| 9
yang masuk ke dalam tanah (air tanah) dan aliran mantap (baseflow). Hal tersebut berarti jumlah air di permukaan semakin besar. Akibatnya, meningkatkan potensi bencana banjir dan tanah longsor (Kodoatie R. J, 2011). Peta potensi rawan bencana dan risiko banjir serta longsor di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa 82,4 persen Pulau Jawa rawan banjir dan 20,8 persen berisiko longsor. Menurut Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, hal ini erat kaitannya dengan tutupan vegetasi hutan di pulau Jawa yang tinggal sekitar tujuh persen saja. Menurutnya Pulau Jawa beresiko tenggelam.15 Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendukung perkiraan itu. Faktanya dalam periode hampir satu tahun terakhir (1 Januari – 31 Oktober 2013) Pulau Jawa telah mengalami 58 kali banjir, yang tersebar di 30 kabupaten dan 5 propinsi. Dalam periode tahun yang sama juga terjadi 29 kejadian longsor di 14 kabupaten dan 5 propinsi. Peristiwa ini menelan korban 69 orang meninggal dunia, 18 orang luka‐ luka dan memaksa 211.697 orang mengungsi. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel berikut, berdasarkan indeks rawan bencana kabupaten/kota di Indonesia, dari 25 Kabupaten dengan indeks tertinggi, 18 Kabupaten terletak di Pulau Jawa (BNPB, 2011). Tabel 3 Indeks Rawan Bencana Kabupaten/Kota (25 Tertinggi) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 15
Provinsi Jawa Barat Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Maluku Jawa Tengah Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Jawa Barat Jawa Tengah Aceh Sulawesi Utara Aceh Jawa Barat
Tempo. Rabu 26 November 2008
Kabupaten Garut Tasikmalaya Cilacap Bandung Bogor Sukabumi Kota Ambon Banyumas Sikka Kota Padang Cianjur Kebumen Aceh Timur Kota Manado Kota Banda Aceh Majalengka
Skor 139 133 132 131 129 126 124 123 123 119 118 113 112 112 111 111
Kelas Rawan Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
10 | 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
NusaTenggara Barat Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah
Lombok Barat Malang Klaten Wonosobo Jepara Ciamis Semarang Karanganyar Brebes
111 111 106 105 105 104 103 102 101
Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Sumber : Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, 2011
Ancaman bencana yang terjadi di Pulau Jawa menjadi sangat mencolok jika dibandingkan dengan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya, sebagaimana yang dapat dilihat dalam diagram berikut. Terlihat bahwa Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami jumlah kejadian bencana yang sangat tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.16 Gambar 4 Perbandingan Bencana Pada 33 Provinsi di Indonesia
Sumber : BNPB, 2013 dalam Kartodihardjo, 2013
Sebagaimana dilaporkan beberapa pihak, kekeringan, banjir, dan berbagai bencana itu telah mengancam ketahanan pangan nasional. Kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan bermuara pada gagal panen. Selama tahun 2013 saja misalnya, ratusan ribu hektar lahan sawah di Jawa terendam banjir, seperti 19.481 hektar sawah di empat kabupaten/kota di Banten (Dinas Pertanian Provinsi Banten, 2013), 460 hektar sawah di Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur (BAPPEDA Provinsi Jawa Timur, 2013), 490 hektar sawah di Rancaekek, Kabupaten Bandung, 16
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2013.
| 11
Jawa Barat (Dinas Tanaman Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013), 1.081 hektar sawah di Mijen dan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Suara Merdeka, 17 April 2013). Dampaknya tidak hanya terjadi Pulau Jawa namun juga mengganggu persediaan bahan pangan untuk Indonesia secara keseluruhan. Walaupun pemerintah menafikan kemungkinan terjadinya krisis pangan, namun FAO mengingatkan mengenai hal ini (Surabaya Post, September 2012). Bahkan Direktur Utama Perum Bulog mengkhawatirkan pengaruh kekeringan di Jawa kepada target produksi beras nasional, mengingat pengadaan beras dalam negeri terbesar berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Mongabay, 10 September 2012). Selain itu, deforestasi dan degradasi hutan berdampak pula pada terancamnya spesies khas yang hidup di hutan Jawa. Satwa endemik Jawa yang terancam punah akibat rusaknya hutan di Jawa antara lain Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Macan Tutul (Panthera pardus), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Merak (Pavo muticus) (Pro Fauna, 2010). Kerusakan fungsi ekologis karena adanya deforestasi dan degradasi hutan yang berdampak pada DAS dan kerusakan berbagai sektor ekonomi karena bencana alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan di Pulau Jawa ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp 136,2 triliun per tahun (Greenomics, 2006).17 Disamping mengalami krisis ekologis, salah urus Pulau Jawa juga diwarnai krisis sosial. Yang paling menonjol tentu saja kemiskinan yang akut. Peluso (2010) menunjukkan bahwa penggunaan kekuasaan oleh negara dalam memonopoli eksploitasi sumber daya hutan dalam kerangka politik dan penguasaan ruang kawasan kehutanan (produksi dan konservasi) telah berakibat langsung pada proses penghilangan otonomi relatif dan memperparah kemiskinan akses masyarakat pinggiran hutan atas sumber daya hutannya. Menurut Rahman (2012), menyempitnya ruang hidup rakyat dan lepasnya alat produksi berupa tanah dan sumber daya alam lainnya telah menyebabkan banyak penduduk hanya mampu masuk ke dalam pasar buruh murah dan akhirnya terbelenggu dalam proses kemiskinan struktural. Menurut data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), besarnya persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Hal ini didukung oleh pernyataan 17
Bahkan untuk saat ini saja, kerugian ekonomi akibat degradasi hutan Pulau Jawa diperkirakan tidak kurang dari Rp 8,37 triliun per‐tahun. Angka ini merupakan nilai kehilangan subsidi langsung ekologis dari kawasan konservasi dan hutan lindung untuk sektor ekonomi dan sosial kemasyarakatan (Tempo, 8 Februari 2006).
12 |
Ketua Perhimpunan Masyarakat Desa Hutan Indonesia (PMDHI), dimana di Jawa Madura saat ini terdapat 5.400 LMDH yang terdiri atas 5 juta kepala keluarga, dan 60 % di antaranya masuk kategori desa miskin dan tertinggal. Sementara itu, Kementrian Kehutanan menyebutkan bahwa di Jawa, 99,45% desa hutan yang berada di dalam kawasan hutan, dan 97,08% desa hutan yang berada di tepi kawasan hutan, sumber penghasilan utama masyarakatnya adalah pertanian. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat desa hutan adalah petani gurem yang tidak memiliki lahan pertanian namun menggantungkan seluruh hidupnya dari usaha pertanian. 18 Kemiskinan yang terjadi pada penduduk desa di Jawa ini juga ditunjukkan oleh data BPS (2012), dimana jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 jiwa.19 Jumlah penduduk miskin ini sangat menonjol jika dibandingkan pulau‐pulau besar lain di Indonesia, seperti tampak pada diagram berikut : Gambar 5 Jumlah Penduduk Miskin Indonesia
Sumber : BPS, 2013
Salah satu indikator yang mendukung kenyataan kemiskinan tersebut adalah dari angka kematian ibu dan bayi yang juga dapat mencerminkan derajat kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Sangat menyedihkan mendapati data Kementrian Kesehatan tahun 2012 yang menyebutkan bahwa lima provinsi dengan angka kematian ibu dan anak tertinggi di Indonesia empat provinsi teratas berlokasi di Pulau Jawa, yaitu : Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra Utara. Hanya Provinsi DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta yang tidak dalam posisi kritis.20 18
Herwati, SRM, Hutan Jawa : Manajemen, Knoblike dan Solusi, 2013 Walaupun tidak ditemukan data khusus mengenai jumlah penduduk miskin di desa yang berada di dalam dan sekitar hutan, namun setidaknya narasi ini sudah dapat menyuarakan kemiskinan pada penduduk di wilayah ini. 20 Kementrian Kesehatan, 2012. 19
| 13
Angka kematian ibu dan anak inipun cenderung menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2010 kasus kematian ibu di Jawa Barat tercatat sebanyak 794 kasus dan bayi sekitar 4.987 kasus. Pada tahun 2011 angka kematian ibu meningkat menjadi 837 kasus; dan angka kematian bayi meningkat menjadi 5.201 kasus. Betapapun, kemiskinan yang dialami masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa terutama disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki. Berdasarkan data Sensus Pertanian (1993) RACA Intitute menyebutkan bahwa penguasaan tanah petani di Jawa rata‐rata 0,3 ha/KK.21 Fakta mengenai kepemilikan tanah oleh masyarakat ini cenderung mengalami penurunan menjadi 0,1 – 0,25 ha/KK berdasarkan data yang dikumpulkan dari sebuah pertemuan organisasi petani pada tahun 2012.22 Tim Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah (2006) menyebutkan bahwa pendapatan masyarakat desa di dalam dan sekitar hutan di Jawa Tengah hanya cukup untuk membiayai hidup keluarganya selama satu bulan, bahkan seringkali harus mencari pinjaman untuk dapat menutupi kebutuhan keluarganya. Beberapa gambaran kemiskinan di beberapa desa di Jawa Tengah dapat dilihat dalam box berikut. Box 1 Kemiskinan Desa Hutan di Jawa Tengah
Desa Windujaya, Kab. Banyumas
Desa Cacaban, Kab. Kendal
21
Windujaya adalah desa sekitar hutan, persisnya di Selatan lereng Gunung Slamet. Secara kewilayahan ia bagian dari kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Desa ini termasuk dalam wilayah Perhutani Unit I Jawa Tengah, KPH Banyumas Timur. Pada tahun 2002 penduduk desa Windujaya berjumlah 2.436 jiwa. Lebih dari 80% atau 445 dari 528 kepala keluarganya (KK) adalah Keluarga Pra Sejahtera. Ironis, mengingat sumber daya alam yang melimpah di desa ini. Penggarapan di lahan Perhutani dilakukan sejak tahun 1997/1998. Tetapi semua ini hanya berlangsung sekitar tiga sampai empat tahun. Setelah itu bibit‐bibit baru pohon jati telah tumbuh sekitar satu sampai dua meter dan tanpa disuruh petani menghentikan penggarapan. Memaksakan diri menggarap lahan hanya akan merugikan diri. Kualitas palawija yang ditanam bersanding dengan pohon jati akan menurun kualitasnya. Penderitaan masyarakat Cacaban terjadi ketika usia pohon‐pohon jati mencapai tiga atau
RACA Institute, 2003. Lihat notulensi Diskusi Kelompok Terfokus di Wonosobo pada tanggal 4 Oktober 2012 yang diselenggarakan oleh HuMA dan dihadiri berbagai organisasi tani.
22
14 | empat tahun. Mereka tak bisa menggarap lahan pohon jati, menjadi pengangguran dan mencari kerja di luar daerah. Misalnya, menjadi buruh di Kecamatan Kangkung, Kendal. Ada juga yang menjadi kuli bangunan atau kerja serabutan di Jakarta. Bahkan ada yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Desa Kalirejo Kab. Kendal
Desa Kuripan, Kab. Batang
Kebanyakan petani hanya memiliki sedikit lahan yang tak cukup untuk hidup. Karena itu banyak masyarakat menjadi buruh tani atau mencari pekerjaan di kota. Banyak pula yang menjadi TKI, khususnya perempuan, di luar negeri: Arab Saudi dan Korea. Namun, ketika mereka berhasil menguasai lagi lahan‐lahan milik mereka, perekonomian merekapun membaik. Mereka dapat menjual hasil panen: jagung, cabe, rambutan, dan durian. Mereka yang tinggal di sekitar lahan yang dikuasai Perhutani adalah petani miskin tak berlahan. Namun sebagian besar dari tempat tinggal mereka, yakni Desa Kuripan, Desa Gondang, dan Desa Sengonan, telah tertutup oleh pohon ‐ pohon jati dan mahoni milik Perhutani. Akibatnya, setelah kehilangan lahan garapan, para petani menjadi penganggur, buruh tani, buruh Perhutani, perantau di kota besar atau TKI.
Kebanyakan petani di Desa Sigayam tak memiliki tanah. Mereka bekerja di lahan Perhutani. Pada tahun 2000/2001, para petani dapat kembali menggarap tanahnya yang pernah diklaim sebagai lahan Perhutani. Sebelumnya ‐ saat Perhutani melarang masyarakat Desa Sigayam, menggarap lahan itu ‐ banyak di antara mereka yang menganggur. Kab. Batang Banyak di antara mereka yang mencari kerja di luar desa. Bahkan ada yang menjadi buruh bangunan dan buruh serabutan di Jakarta atau menjadi TKI di Malaysia, Saudi Arabia, dan lain‐lain. Semua jenis pekerjaan rendah itu dikarenakan kebanyakan dari mereka hanya lulus Sekolah Dasar. Sumber : Rahma Mary Herwati (2007)
Selain itu, kemiskinan ini juga disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya. Dalam pengelolaan hutan Jawa yang berlaku selama ini kawasan hutan adalah bukan kekayaan alam yang seharusnya juga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Hak pengelolaan sebagian besar hutan Jawa diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang kehutanan yaitu Perhutani, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara.
16 |
Demikianlah. Salah urus telah membawa hutan Jawa ke dalam keadaan genting. Dibutuhkan tindakan nyata untuk memperbaiki salah urus yang telah berlangsung berpuluh tahun itu. Rekonfigurasi tata kelola hutan Jawa adalah sebuah keniscayaan.
1.2 Metodologi 1.2.1 Kerangka Pemikiran Dokumen ini memuat kondisi faktual hutan Jawa dan analisisnya serta agenda rekonfigurasi hutan Jawa di masa yang akan datang, berikut dengan peta jalan perubahannya. Agar dokumen ini lebih mudah dipahami maka pada bagian berikut akan dijelaskan secara singkat kerangka pikir dan beberapa konsep yang digunakan. Konfigurasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’. Dalam konteks pengelolaan hutan Jawa, ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’ itu merujuk pada dua tataran yang saling berbeda tingkat abstraksinya. Pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi, ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’ merujuk pada paradigma dalam melihat hutan Jawa. Hal ini menyangkut asumsi‐asumsi dasar yang menjadi pedoman dalam mengembangkan tata kelola hutan Jawa itu sendiri. Sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh dalam bagian lain, selama ini hutan Jawa – seperti institusi kehutanan lainnya di Asia – lebih cenderung bersifat state centric. Paradigma ini percaya bahwa pengelolaan hutan akan lebih efektif dan efisien jika hutan bersifat kompartemen, dalam arti terbagi‐bagi ke dalam sejumlah fungsi, tidak holistik, dan dikuasai oleh negara. Pada tingkatan yang lebih operasional, ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’ itu merujuk pada tata kelola itu sendiri. Tata kelola ini sendiri terdiri dari 3 ranah, yaitu Tata Kuasa, Tata Guna, dan Tata Usaha. Tata Kuasa berkaitan dengan tenurial system dari lahan atau kawasan hutan yang bersangkutan. Tata Guna merujuk pada cara‐cara penggunaan dari kawasan hutan yang bersangkutan. Sesuai dengan Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, tata guna ini merujuk pada hutan berdasarkan fungsinya yakni hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Termasuk juga konsepsi berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, dimana terdapat Kawasan Lindung sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan, serta kawasan budi daya sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
| 17
Sedangkan Tata Usaha adalah moda produksi, yang terdiri dari aspek kebijakan, kelembagaan, serta pengusahaan (dalam arti bagaimana mendapatkan fungsi tertentu dengan cara tertentu pada tata guna tertentu, seperti PHBM). Dengan demikian rekonfigurasi yang dimaksud dalam dokumen ini adalah usulan perubahan atas ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’ hutan Jawa, baik dalam tataran paradigma maupun pada tataran tata kelola hutan Jawa, demi ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’ hutan Jawa yang lebih baik di masa‐masa yang akan datang. Baik dalam rangka memahami persoalan yang dihadapi dalam tata kelola hutan Jawa saat ini, maupun untuk menemukan tindakan‐tindakan perbaikan di masa depan, kajian yang dilakukan untuk menyusun dokumen ini dengan sengaja pula mengembangkan sebuah bagan analisis sebagai alat bantu sebagaimana yang ditunjukkan oleh tabel berikut. Tabel 4. Model matrik kerangka analisis rekonfigurasi hutan Jawa TATA KELOLA Tata Kuasa Tata Guna
Kebijakan
Tata Usaha Kelembagaan
Pengusahaan
Bagan tersebut adalah alat bantu untuk mengenali persoalan serta memulai sebuah penataan yang lebih menyeluruh. Apa yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa suatu penataan yang komprehensif (menyeluruh), setidaknya harus memuat penataan kembali beberapa segi dasar, yaitu Tata Kuasa, Tata Guna dan Tata Usaha. Dengan menata ulang hal‐hal yang mendasar diharapkan krisis sosial dan ekologis sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu dapat teratasi. Krisis ekologis yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan kemampuan pelayanan alam dan daya dukung lingkungan karena kerusakan ekologi sebagai akibat dari praktek eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam besar‐ besaran. Sedangkan yang dimaksudkan dengan krisis sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi negara‐isasi tanah dan sumber daya alam lain milik penduduk, kemudian diikuti dengan terbitnya hak‐hak baru di atasnya dan diberikan kepada pihak lain (baca: badan usaha skala raksasa), yang berakibat munculnya sengketa serta merosotnya kemampuan rakyat untuk memproduksi barang kebutuhan hidup dan komoditas yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Krisis sosial dan ekologis ini bersifat genting dan membutuhkan penanganan segera karena mengancam keselamatan hidup rakyat.
18 |
1.2.2 Proses Kerja Inisiatif ini berawal dari sebuah Sarasehan Hutan Jawa yang diselenggarakan pada tanggal 16 November 2011 di Yogyakarta. Sarasehan yang dihadiri oleh berbagai organisasi, seperti LBH Semarang, FKKM, PPHJ, Stan Balong, RAB, Javlec, Koling, Paramitra, Lesehan, Sepkuba, Kompleet dan ARuPA ini menghasilkan kesepakatan bersama untuk membangkitkan kembali gerakan yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat terutama yang terdapat di dalam dan sekitar hutan Jawa. Berdasarkan inisiatif tersebut, pada tanggal 16‐17 Januari 2012 diselenggarakan sebuah lokakarya di Yogyakarta, yang dihadiri oleh 24 organisasi. Masing‐masing adalah ARuPA, Javlec, PPHJ, SPP, Stan Balong, FKKM, Paramitra, SUPHEL, Rumah Aspirasi Budiman, Lidah Tani, LBH Semarang, LBH Surabaya, WALHI Jabar, Walhi Jogja, Kompleet, Telapak, KARSA, HUMA, Sitas Desa Blitar, Koling, SEPKUBA, PPLH Tulungagung, Paguyuban Petani Turi, dan Forest Watch Indonesia. Pada lokakarya kali ini dideklarasikan berdirinya Koalisi Pemulihan Hutan Jawa (KPH Jawa). KPH Jawa adalah koalisi yang saat ini terdiri dari 36 organisasi masyarakat sipil di Jawa yang peduli pada upaya pemulihan hutan Jawa. Selain deklarasi lahirnya koalisi dalam lokakarya ini disepakati pula agenda prioritas KPH Jawa,yang kemudian dibungkus dalam tajuk “Rekonfigurasi Hutan Jawa”. Salah satu output yang harus segera dihasilkan adalah dokumen peta jalan (road map) “Rekonfigurasi Hutan Jawa” itu sendiri. Pertemuan berikutnya berlangsung pada tanggal 1‐2 Februari 2012 di Yogyakarta. Dalam pertemuan ini disepakati kerangka dasar peta jalan, sekaligus merancang agenda aksi jangka pendek dan menyusun sebuah kertas posisi. Tidak berhenti di sini, pertemuan (Focus Group Discussion) untuk memberikan input terkait dokumen peta jalan, yang difasilitasi oleh HuMA juga dilakukan pada 3‐5 Oktober 2012 di Wonosobo. FGD yang diselenggarakan oleh HuMa dilakukan 2 (dua) kali dengan peserta FGD dari unsur: pertama organisasi tani, yaitu: Paguyuban Petani Wonosari (PPW) – Kendal; Paguyuban Petani Penggarap Tanah Rakyat (P3TR) – Bandungan; Serikat Tani Indramayu (STI) – Indramayu; Serikat Petani Pasundan (SPP); Serikat Petani Kedaulatan Bangsa (Sepkuba) – Wonosobo; Serikat Petani Ankola (SPA) – Cianjur; Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ). Serta kedua organisasi mahasiswa, yaitu: Forum Pemuda Mahasiswa Untuk Rakyat Tasikmalaya (FPMR); Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci); unsur LSM: LBH Semarang; LBH Bandung; LBH Jogja; LBH Surabaya; Telapak; Komiter Riset Aksi Agraria; HuMa; Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) – Banyumas; AGRA, ARuPA dan Javlec. Berdasarkan input dari FGD dimaksud, HuMA menyelenggarakan Workshop Penulisan Peta Jalan Hutan Jawa di Depok, 19‐20 Desember 2012. Pada kegiatan ini dihasilkan draft awal dokumen ini. Draft awal ini kemudian dipresentasikan kepada seluruh anggota KPH Jawa pada 22‐23 Januari 2013 di Yogyakarta. Di akhir pertemuan sebuah Tim Kecil diberi mandat untuk melakukan penyempurnaan
| 19
dokumen. Tim kecil terdiri dari Erwin Dwi Kristianto, Ronald Muh. Ferdaus, Mumu Muhajir, Paramita Iswari, Totok Dwi Diantoro, dan Sungging Septivianto. Pada tahap berikutnya, di bawah supervisi R. Yando Zakaria, Tim Kecil menjalani serangkaian proses. Rangkaian proses yang ditempuh oleh tim kecil dalam rangka memfinalisasi dokumen ini adalah sebagai berikut: 1) Menyelenggarakan expert meeting pada tanggal 24 Oktober 2013 di Yogyakarta, yaitu pertemuan dengan ahli hutan Jawa untuk mendapatkan masukan dari berbagai sudut pandang untuk menyempurnakan dokumen. Pertemuan ini dihadiri oleh Agustiana, Asep Sugih Suntana, Diah Rahardjo, Hariadi Kartodihardjo, Heri Santoso, Martua Sirait, Mia Siscawati, Noer Fauzi, Rahmanta Setiahadi, R. Yando Zakaria dan Yuli Nugroho; 2) Melakukan writing workshop 1, penulisan dalam kerangka finalisasi dokumen; 3) Meminta expert review untuk dokumen terkait bagi penyempurnaan isi. Reviewer dalam hal ini adalah Hariadi Kartodihardjo, Myrna Savitri, Martua Sirait serta R.Yando Zakaria; 4) Menyelenggarakan writing workshop 2, kerja penulisan dalam kerangka menyempurnakan dokumen; 5) Menyelenggarakan lokakarya dengan anggota KPH Jawa untuk mendapatkan masukan dari anggota KPH Jawa; 6) Menyelenggarakan writing workshop 3 sekaligus memfinalisasi pengemasan dokumen, untuk menjadi alat negosiasi atau lobby. EXPERT REVIEW
EXPERT MEETING
WORKSH OP KPH JAWA
Atas dokumen peta jalan terkait
24 Oktober 2013
7 Januari 2014
WRITING WORKSHOP
WRITING WORKSHOP
PENULISAN DOKUMEN PETA JALAN 1
PENULISAN DOKUMEN PETA JALAN 2
25‐27 Oktober 2013
29 November – 1 Desember 2013
WRITING WORKSHO P PENULISAN DOKUMEN PETA JALAN 4 (Pengemas an menjadi Dokumen Gerakan dan Publik) 8‐10 Januari 2014
20 |
1.2.3 Tujuan dan Ruang Lingkup Dokumen ini disusun sebagai alat bantu untuk membuka dialog dengan berbagai pihak, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung, dengan pengurusan hutan Jawa. Selain itu dokumen ini juga dapat digunakan sebagai bahan dalam melakukan lobby pada pengambil keputusan, demi menyelamatkan ratusan juta jiwa manusia maupun ekosistem yang hidup di Pulau Jawa. Pada dasarnya usulan rekonfigurasi yang dimaksudkan oleh KPH Jawa mencakup seluruh jenis fungsi hutan Jawa. Namun, karena adanya sejumlah keterbatasan, untuk pertama kalinya dokumen ini hanya akan fokus pada rencana rekonfigurasi yang terkait dengan hutan produksi, khususnya yang dikelola Perum Perhutani. Dengan kata lain, dokumen ini akan menjadi dokumen rekonfigurasi bagian pertama, dan akan dilanjutkan dengan dokumen‐dokumen usulan rekonfigurasi pada fungsi‐fungsi lainnya. Tenggat waktu yang ditentukan dalam dokumen ini adalah mengikuti tenggat waktu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah, yakni selama 5 (lima) tahun, yaitu 2015‐1019. Hal ini dimaksudkan agar usulan‐usulan yang terkandung dalam dokumen ini dapat segera diintegrasikan ke dalam dokumen‐ dokumen perencanaan yang sesuai dengan alur kerja pengambil kebijakan. 1.3 Sistematika Pembahasan Dokumen ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab. Bab I memuat tentang latar belakang masalah yang menggambarkan perlunya rekonfigurasi hutan Jawa, metodologi serta penjelasan ringkas kandungan dokumen ini. Bab II berisi pembahasan tentang konfigurasi hutan Jawa saat ini. Bab ini terbagi kedalam dua bagian pembahasan. Bagian pertama bahasan pada tataran paradigma; dan bagian kedua adalah uraian rinci tentang tata kelola. Bab III secara khusus akan dimulai dengan antitesis pengelolaan hutan Jawa, yaitu keberadaan hutan rakyat sebagai wilayah kelola rakyat yang dalam kenyataannya semakin meluas dari waktu ke waktu. Hutan rakyat ini telah pula berfungsi sebagai katup penyelamat ekologi dan kehidupan ekonomi masyarakat di Jawa. Bahasan selanjutnya adalah tentang tawaran agenda rekonfigurasi yang harus dilakukan ke depan.
| 21
Sementara Bab IV berisikan uraian tentang tahapan dan rincian kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujukan rekonfigurasi hutan Jawa dimaksud. Bagian ini juga dilengkapi dengan para aktor yang harus berperan dalam masing‐masing kegiatan yang ditetapkan.
24 |
Bab ini akan menguraikan konfigurasi hutan Jawa sebagaimana yang diterapkan hingga hari ini. Pada intinya Bab ini akan terbagi ke dalam dua bagian bahasan. Pada bagian pertama terlebih dahulu menguraikan paradigma yang dianut Pemerintah dalam mengelola hutan Jawa. Baik oleh Pemerintah Kolonial maupun Nasional. Bagian kedua berisikan uraian yang lebih rinci pada tataran tata kelola, yang terbagi‐bagi lagi ke dalam sub‐bagian, tata guna, tata kuasa, dan tata usaha. Dalam bagian ini juga akan diuraikan dampak dari pilihan paradigma dan tata kelola hutan Jawa yang diterapkan itu, yakni konflik dengan warga masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan Hutan Jawa. 2.1 Paradigma Pengelolaan Hutan Jawa Institusi kehutanan di banyak negara di Asia merupakan suatu “kerajaan” (empire) yang begitu solid, kuat, yang menguasai tanah, hutan, dan masyarakat hutan dan menjalankan kebijakannya hanya dalam interpretasi tunggal yaitu scientific school of forestry.26 Lebih lanjut, Vandergeest & Peluso (2006) menyatakan, “These schools had the effect of transferring some of basic elements of how to make forests ʻvisibleʼ and ʻcalculableʼ to middle‐level local staff. In other words, they introduced European ways of seeing through a professional lens, including the idea of ʻforestsʼ as a resource to be understood scientifically and managed.”27 School subjects included forest mensuration, forest law, forest protection, forest management and silviculture, botany and timber identification, surveying and levelling, and architectural drawing.28 Konsep scientific school of forestry yang banyak diberlakukan adalah German forestry school and British forestry school. Meski begitu, terdapat perbedaan yang tegas antara model German forestry school and British forestry school dalam aspek penguasaan tanah. German forestry school kental dengan penguasaan kawasan hutan oleh negara. Sementara, British forestry school juga bersifat segregatif, tetapi bersifat liberal dan mempercayakan penguasaan hutan kepada privat. Kepemilikan hutan oleh tuan‐tuan tanah swasta, untuk produksi maupun untuk perburuan.29
26
Lihat Vandergeest & Peluso. 2006. Empires of Forestry: Professional Forestry and State Power in Southeast Asia, Part 1 dan 2, Environment and History 12, Hal. 31‐64. Tentang prinsip‐prinsip Scientific School of Forestry, lihat: Cotta’s Preference, dicetak ulang dalam Forestry Quarterly, Vol 1. 1902‐1903. 27 Vandergeest & Peluso, 2001, Genealogies of Forest Law and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and Thailandʼ. Journal of Asian Studies, Hal 761–812. 28 Lihat Vandergeest & Peluso. 2006. Op. Cit, Hal 367. 2006, 29 Martua T. Sirait, 2008, Pluralisme Paradigma Pemikiran dalam Dunia Kehutanan: Kajian Sosio‐Historis atas Perdebatan Kebijakan Kehutanan di Indonesia Sejak Jaman Kolonial Hingga Saat ini, Paper dipresentasikan pertama kali dalam MUNAS Ikatan Alumni Fahutan UNMUL, 8 Februari 2008, Samarinda.
| 25
Model German forestry school mendominasi perjalanan panjang hutan di Indonesia khususnya hutan Jawa. Eksploitasi jati30 pada masa kerajaan‐kerajaan, masa VOC (Verenigde Oost‐Indische Compagnie),31 masa penguasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, pemerintah nasional pasca kolonial, orde lama, orde baru, hingga orde reformasi adalah rentang periode‐periode penting riwayat perjalanan German school of forestry. German forestry school mengasumsikan: negara harus menguasai hutan. Kecenderungan itu dimungkinkan karena pada masa pemerintah Kolonial Belanda banyaknya amtenar‐amtenar Belanda yang belajar ilmu kehutanan di Jerman. Mereka membawa dan mempraktekkan German school of forestry di Hindia Belanda. Mereka menerapkan model German forestry of school pada pola pengelolaan hutan di Indonesia secara perlahan tapi pasti dengan menggunakan momentum banjir di Jawa tahun 1849. Model tersebut lalu tetap dilanjutkan setelah masa kemerdekaan Indonesia sampai sekarang.32 Menurut Cotta dalam Rajan Ravi,33 terdapat 3 (tiga) prinsip utama German forestry school, yaitu: a. Minimum diversity, keanekaragaman yang terbatas dengan tujuan mendapatkan hasil yang optimal dari beberapa species yang terbatas. Pendekatan ini jelas terlihat dengan definisi lesser known species, economical species, jenis‐jenis komersial. Konsekuensi dari konsep penting ini menihilkan jenis‐jenis species lain yang belum dikenal dan dikorbankan untuk ditebang atau tidak diberikan hidup dalam rumpang (gap) yang ada. b. Balance sheet, bertujuan mengkonversi tegakan (khususnya dari jenis‐jenis komersial diatas) ke dalam nilai dan dihitung umur masak tebangnya. c. Sustained yield, bertujuan untuk mendapatkan keberlanjutan hasil dalam suatu rotasi tebang dan membaginya dalam blok‐blok tebangan yang dapat menghasilkan sepanjang tahun. Maka dikenal dengan Jatah Tebang Tahunan (AAC).
30
Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Jati diakses 18 Januari 2014 31 VOC memiliki hak istimewa yaitu hak octroy layaknya negara yang berdaulat untuk mencetak uang dan memiliki tentara serta diberi hak monopoli dagang. 32 Ahli kehutanan Jerman yang pertama‐ tama datang yaitu; Bennich and Mollier, Balzar (ahli pemetaan hutan tiba tahun 1849),diikuti oleh Van Roessler (dari Jerman tahun 1855) diikuti oleh Ahli kehutanan berkebangsaan Belanda denan didikan Jerman ; Beijerinck, Noodt, Stuffken, dan de Sturler tahun 1857, sesuai dengan saran Van Hogendrop bahwa professional foresters harus dikerahkan untuk bekerja di Hindia Belanda. 33 Rajan Ravi, 1998, Imperial Environmentalism of EnvironmentalImperialism? European Forestry, Colonial Forestrers and the Agendas for Forest Management in British India 1800‐1900. in Grove, Damodaran & Sangwan eds. Nature and the Orient: the Environmental History of South and Southeast Asia, Ed.s Grove, Danodaram & Sangwan, Oxford University Press, Delhi, Hal. 324‐333.
26 |
Dengan tiga prinsip utama itu, hutan menjadi dapat diprediksi dan dihitung secara matematis (mathematical predictive) dan dapat diperlakukan dengan berbagai perlakuan silviculture (prescriptive).34 Dua syarat utama dari penerapan konsep ini adalah pemisahan hutan dari aktifitas pertanian dan perlunya kepastian penguasaan hutan dalam skala luas. Lebih jauh, konsep ini memisahkan hutan berdasarkan kategori‐kategori lindung, konservasi dan produksi. Syarat ini disebut syarat segregatif yang menolak konsep hutan dengan fungsi intergratif ‐ pada saat yang sama berfungsi hutan dan pertanian, konservasi lindung dan produksi secara sekaligus.35 Dalam rentang periode praktek dan penerapan German school of forestry – termaktub dalam Bosch Ordonantie dan seterusnya – diskursus segregatif masih terbawa ke dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UUK 41/1999). Syarat segregatif yang menolak konsep hutan dengan fungsi integratif ditunjukkan dalam Pasal 6 UUK/1999 yang menyebutkan: 1. Hutan mempunya tiga fungsi, yaitu: a. Fungsi konservasi b. Fungsi lindung, dan c. Fungsi produksi 2. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a. Hutan konservasi, b. Hutan lindung, dan c. Hutan produksi. Untuk dapat mempraktekkan system (mathematically predictable and prescribed) hutan tidak saja disegregasikan dari usaha pertanian yang bersifat budidaya, tetapi hutan juga harus disegregasikan untuk tujuan produksi, konservasi dan lindung. Hutan dibagi‐bagi ke dalam blok fungsi dan tebangan, serta penugasan aparat kehutanan beserta alat‐alat pengamanannya. Akan tetapi, untuk dapat mengalokasikan hutan dalam skala besar, diperlukan negara yang kuat dan mampu menetapkan secara sepihak bahwa semuanya adalah kawasan hutan negara.36 Tidak heran jika definisi kawasan hutan dalam Pasal 1 Angka (3)37 UUK 41/1999 34
Rajan, 1999, Ibid, hal. 333. Lihat: Noordwijk Meine, Tomich Thomas, de Foresta, Michon Genevieve, 1997, To Segregate or Integrate; The Question of Balance Between Production and Biodiversity Conservation in Complex Agroforestry System, Agroforestry Today, 9 (1), ICRAF, Nairobi. 36 Martua T. Sirait, 2008, Ibid. 37 Telah berubah dengan Putusan MK Perkara Nomor 45/PUU‐IX/2011. MK menghasilkan putusan yang tidak hanya merubah rumusan definisi hutan, tetapi juga memberikan pandangan‐pandangan tentang kebijakan terkait kawasan hutan seharusnya dilaksanakan. Putusan tersebut merubah bagaimana hutan didefinisikan melalui intepretasi terhadap Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 yang sebelumnya dirumuskan: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap menjadi: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Mengacu pada putusan tersebut, kawasan hutan harus 35
28 |
kebutuhan para raja.40 Ketika VOC berkuasa, VOC mengekploitasi hutan secara besar‐besaran. Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1808. Daendels mendirikan administrasi kehutanan (Administratie der Bosschen).41 Negara melalui Administratie der Bosschen memonopoli hutan. Negara juga memberlakukan pelbagai peraturan untuk membatasi masyarakat menebangs pohon hutan. Pada masa Raffles, Jawatan Kehutanan – yang didirikan Daendels – diubah dan disederhanakan. Fungsi Superintendant atau Pengawas Utama Hutan mulai diterapkan. Pada masa itu pemerintah juga tidak memonopoli perdagangan kayu jati, sehingga perusahaan swasta bisa tumbuh kembali. Pada tahun 1815 Inggris menyerahkan kembali pulau Jawa kepada Belanda. Pada waktu Belanda mengambil alih pemerintahan dari Inggris, pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Masyarakat kehilangan lahan garapannya. Sebagai gantinya mereka membuka hutan untuk mendapatkan lahan garapan baru. Pada masa ini banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan‐perkebunan untuk komoditi ekspor. Semua ini memperparah kerusakan hutan.42 Pada masa ini pula untuk pertama kalinya lahir undang‐undang kehutanan untuk Jawa dan Madura, yaitu Boschordonantie voor Java en Madoera 1865. Pada tahun 1870 Belanda mengeluarkan Undang‐undang Agraria (Agrarische Wet) yang didalamnya terdapat bab mengenai Domeinverklaring. Sejak itu muncul konsep hutan negara yang digunakan sampai sekarang. Pemerintah kolonial menerbitkan Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874 yang berisi: (1) pengusahaan hutan jati diserahkan pada swasta, (2) pengelolaan hutan rimba (non jati) diserahkan pada Residen, dan (3) hutan jati dikelola secara teratur melalui pemetaan, penataan kawasan hutan dan penetapan batas‐batas hutan yang jelas dengan memasang patok batas wilayah hutan. Selanjutnya, Boschwezen (Jawatan Kehutanan), membatasi akses dan pemanfaatan hutan bagi kepentingan masyarakat. Pengambilan kayu dari hutan harus seijin polisi hutan. Penataan batas dan petak hutan dilakukan dengan memindahkan permukiman penduduk yang semula tersebar didalam hutan ke satu daerah. Perluasan hutan jati dilakukan dengan mengambil alih tanah‐tanah kerajaan dan merampas tanah‐tanah penduduk. Dampaknya adalah pengelompokan rumah‐ rumah penduduk dan sempitnya lahan pertanian/pekarangan di desa‐desa sekitar hutan.43 40
Nancy Lee Peluso, 2006, Hutan Kaya, Rakyat Melarat, Jakarta, Konphalindo, Hal 47. Semacam Jawatan Kehutanan, dan merupakan lembaga baru di Hindia Belanda. 42 Edi Suprapto dkk (eds.). 2004. Konflik Hutan Jawa. Yogyakarta: BP ARuPA. hal 6. 43 Ibid. hal 7. 41
| 29
Sementara itu, penatabatasan di Jawa Barat dan Banten (Lihat pada table 5) menyebabkan tumpang tindih pengelolaan dengan lahan garapan masyarakat. Hal ini nampak dari konflik di wilayah‐wilayah yang sudah ditata batas. Hingga tahun 1934, kelompok hutan Bongkok, kelompok hutan Sanggabuana Utara dan kelompok hutan Sanggabuana Selatan serta 22 kelompok hutan lainnya di Keresidenan Banten, masih bertumpang tindih dengan huma‐huma (ladang) milik masyarakat setempat. Tabel 5. Kelompok Hutan Yang Telah Disahkan Berdasarkan Berita Acara Tata Batas Kelompok Hutan Jasinga I Jasinga II Nanggung Salak Utara Salak Sanggabuana Utara Sanggabuana Selatan Bongkok
Tanggal Pengesahan Berita Acara Tata Batas 13 Juli 1934 23 Mei 1934; 14 September 1939 28 Maret 1934 1 Maret 1926 1 Agustus 1906 4 Januari 1933 30 September 1924; 11 November 1935 9 Oktober 1919
Luas (ha) 5.800 2.865 4.568 30.023 6.646
Sumber: Data sekunder44
Ketika Jepang berkuasa fokus utamanya adalah mencukupi kebutuhan pangan tentara Jepang. Petani menjadi romusha yang menanam tanaman‐tanaman pangan. Sebagian besar tanah‐tanah yang sempat dirampas pada masa penjajahan Belanda dikembalikan pada rakyat, karena ditinggalkan pemiliknya dan terlantar. Jepang juga terus mengeksploitasi hasil hutan di bawah wewenang Sangyobu (Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku (Departemen Perkapalan), dan juga pembukaan lahan hutan secara besar‐besaran untuk menanam palawija, kopi, dan lain‐lain. Pasca kemerdekaan, pada tahun 1952, pemerintah membentuk Jawatan Kehutanan. Jawatan Kehutanan berwenang menguasai tanah‐tanah negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Tahun 1960, keluar Undang‐undang Pokok Agraria yang memberi akses masyarakat pada sumber daya alam dan mengamanatkan landreform.
44
Lihat: Data hasil olahan dari Arsip Perum Perhutani, 1906‐1939 dalam Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 2005, Vo.XI No. 1: Hal. 1‐15.
30 |
Pada tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64/1957. PP tersebut menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya, terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I, kecuali cagar alam dan suaka alam yang tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat. Penyerahan pengelolaan ini mencakup pengaturan ijin kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh masyarakat termaksud. Pada masa itu, petugas pemerintah daerah mengijinkan masyarakat setempat yang telanjur menggarap kawasan hutan ini dengan mewajibkan mereka memberikan sebagian hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah. Di masa Orde Baru, pada tahun 1961 didirikan Perusahaan Negara Perhutani (PN Perhutani) untuk mengelola hutan di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.45 Pada tahun 1972, Perusahaan Negara (PN) Perhutani berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Perhutani.46 Pada masa reformasi 1998 terjadi ”penjarahan” hutan besar‐besaran. Penjarahan hutan oleh masyarakat ini terjadi dalam bentuk kegiatan pengambilan kayu dari hutan yang identik dengan balas dendam masyarakat sekitar terhadap perlakuan Perhutani selama ini.47 Pada tahun 1999 Pemerintah mengeluarkan Undang‐Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menggantikan Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐pokok Kehutanan. Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kembali membatasi masyarakat pinggir hutan untuk mengakses hutan. Saat ini, Data Kementerian Kehutanan mencatat kawasan hutan di Jawa adalah seluas 3.315.445,914 Ha. Dari sisi tata guna, luasan tersebut terbagi menjadi: pertama hutan konservasi seluas 273.135,000 ha; kedua, hutan produksi seluas 1.812.186,050 ha; dan ketiga, hutan lindung seluas 735.194,560 ha Sementara untuk hutan rakyat, hingga tahun 2009 tumbuh cukup pesat hingga mencapai luas 2.584.911,25.48 45
N. Juni Adi dkk (eds.), 2005, Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang Tersendat, Yogyakarta, BP Arupa, hal.9 Di dalam portal resmi Perhutani disebutkan dasar hukum Perhutani ditetapkan dalam PP No. 15/1972 juncto PP No. 2/1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut‐turut dengan PP No. 36/1986, PP No. 53/1999, PP No. 14/2001, dan terakhir dengan PP No. 30/2003. Saat ini pengelolaan perusahaan Perhutani dilaksanakan berdasarkan PP No. 72/2010. 47 Edi Suprapto dkk (eds.), 2004, Op.cit., hal 11. 48 Data BPKH wilayah XI Jawa‐Madura – MFP II. 46
| 31
Tabel 6. Luas Kawasan Hutan Negara Jawa ‐ Madura Luas kawasan Hutan dan Perairan (Ha) Hutan Konservasi Hutan Produksi
Provinsi
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Jumlah
Perairan
Daratan
Jumlah
51.467,000 108.045,000 ‐ 110.117,000 ‐ 3.506,000 237.135,000
112.991,000 227,340 132.180,000 126.530,000 2.992,964 230.126,000 494.930,304
164.458,000 158,350 393.117,000 546.290,000 13.411,700 782772,000 1.812.186,050
76.437,000 158,350 291.306,000 84.430,000 2.312,800 344.742,000 735.194,560
Hutan Lindung
12.359,000 44,760 291.306,000 84.430,000 2.312,800 344.742,000 735.194,560
Jumlah
253.254,000 108.475,450 816.603,000 757.250,000 18.717.464 1.361.146,000 3.315.445,914
Sumber: SK penunjukan kawasan Hutan Lingkup Jawa‐Madura
Saat ini Perhutani memperoleh mandat dari negara untuk menguasai 2,4 juta ha lahan kawasan hutan di seluruh Pulau Jawa, dengan komposisi unit pengelolaan Jawa Tengah: 630,7 ribu ha; Jawa Timur: 1,136 juta ha; dan Jawa Barat‐Banten: 659,1 ribu ha. Dengan luasan itu berarti Perhutani menguasai 85,37% hutan di Jawa. Luas daratan Pulau Jawa adalah 13.210.700 ha, sedangkan Perhutani menguasai 18% dari luas daratan. Kawasan hutan yang dikelola Perhutani seluas 2.442.101 Ha, terdiri dari hutan produksi seluas 1.750.860 Ha dan hutan lindung seluas 691.241 Ha. Wilayah kerja perusahaan terbagi menjadi 3 (tiga) Unit dengan 57 (limapuluh tujuh) Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Di bawah penguasaan Perhutani kondisi hutan Jawa memprihatinkan. Fakta di lapangan menunjukkan hampir sepertiga hutan lindung yang dikelola tidak memiliki tutupan hutan, sedangkan setengah hutan produksi terbatas tidak berpenutupan hutan. Hanya 1.872.607 ha hutan yang dikelola Perhutani yang memiliki tutupan hutan.49 Sementara itu, Perhutani tidak mengelola hutan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memang memiliki kekhasan dalam pengelolaan hutan yaitu kawasan hutan negara dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas hutan negara di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari hasil kegiatan padu‐serasi antara Keputusan Penunjukan Hutan oleh Menteri Kehutanan, Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY No. 188.4/3710 tanggal 22 Oktober 2003, dan hasil pengukuran di lapangan adalah 18.715,0640 ha atau 5,9 % dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogykarta.
49
BPKH XI, 2003,
32 |
Kawasan hutan negara di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut tersebar di 4 (empat) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman. Dari keempat kabupaten yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogykarta itu, Kabupaten Gunungkidul merupakan kabupaten yang memiliki wilayah hutan paling luas yaitu 14.895,50 ha. Selanjutnya, Kabupaten Sleman dengan luas hutan seluas 1.729,46 ha, Kabupaten Bantul seluas 1.052,60 ha, dan Kabupaten Kulonprogo dengan luas hutan 1.037,50 ha.50 Dalam pengelolaannya, hutan negara di Propinsi Daerah Istimewa Yogykarta dibagi menjadi 6 (enam) Bagian Daerah Hutan (BDH), yaitu: BDH Karangmojo, BDH Paliyan, BDH Panggang, BDH Playen, BDH Yogyakarta, dan BDH Kulon Progo. Empat BDH, yaitu BDH Karangmojo, BDH Paliyan, BDH Panggang dan BDH Playen terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul. BDH Yogyakarta terletak di wilayah Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, sedangkan BDH Kulon Progo terletak di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Untuk hutan konservasi, di Jawa terdapat 12 (duabelas) taman nasional yaitu: (1.) Taman Nasional Alas Purwo, (2.) Taman Nasional Baluran, (3.) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, (4.) Taman Nasional Gunung Ciremai, (5.) Taman Nasional Gede Pangrango, (6.) Taman Nasional Gunung Halimun Salak, (7.) Taman Nasional Gunung Merapi, (8.) Taman Nasional Gunung Merbabu, (9.) Taman Nasional Karimunjawa, (10.) Taman Nasional Kepulauan Seribu, (11.) Taman Nasional Meru Betiri, (12.) Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan cagar alam di Jawa berjumlah 74 (tujuh puluh empat) cagar alam yang tesebar 30 (tiga puluh) di Jawa Barat, 25 (dua puluh lima) di Jawa Tengah, 3 (tiga) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan 16 (enam belas) di Jawa Timur. Selain itu untuk kawasan produksi, lindung, dan konservasi, dari tahun 2006 hingga 2011 terdapat 62 ijin dengan luas 3000,16 ha untuk kegiatan non kehutanan.51 2.2.2 Tata Kuasa Dokumen Sejarah Kehutanan Indonesia mencatat bahwa tahun 1897 adalah titik awal penguasaan hutan oleh negara. Penguasaan hutan oleh negara dilegitimasi oleh kebijakan kolonial “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op Java en Madoera ” Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”). Paradigma pengelolaan hutan oleh negara di era kolonial merupakan cerminan dari model German forestry school. Di era kemerdekaan, penguasaan hutan oleh negara masih mendapat legitimasi melalui pemberlakuan Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada pasal 4 ayat 1, 2 dan 3 disebutkan bahwa : 50
BPKH XI, 2008, Hal. 16‐17. Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan 2011.
51
| 33
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk : a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan‐hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan‐perbuatan hukum mengenai kehutanan. (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sejak kemerdekaan Indonesia, Kementerian Kehutanan mencatat luas kawasan hutan negara di Jawa mencapai 3.315.445,914 ha. Sementara untuk hutan rakyat, hingga tahun 2009 tumbuh cukup signifikan mencapai luas 2.584.911,25.52 Untuk kawasan hutan negara, aspek legalitas dan pengaturan tata kuasanya dibawah otoritas Menteri Kehutanan. Upaya pengesahan kembali kawasan hutan negara di Jawa sudah mulai dilakukan sejak tahun 1999 melalui penerbitan SK penunjukan kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan. Kawasan hutan negara di Jawa dibagi ke dalam beberapa model hak. Untuk hutan lindung dan produksi, PP 72 tahun 2010 telah menetapkan Perum Perhutani sebagai pemegang hak pengelolaannya. Luas konsesinya mencapai 2.531.656 ha atau 76,4% dari luas kawasan hutan negara di pulau Jawa. Untuk kawasan hutan dengan fungsi konservasi dengan luas 713.715,144 hektar, pengaturan dan pengelolaannya masih tetap dipegang oleh Pemerintah (cq. Kementerian Kehutanan). Khusus kawasan hutan negara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta otoritas pengaturannya telah didelegasikan oleh Kementerian Kehutanan kepada pemerintah daerah (cq.Dinas Kehutanan). Sesuai SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 171 tahun 2000, luas hutan negara di DIY sejumlah 16.819,52 hektar. Selain hak pengelolaan yang langsung diberikan kepada Perhutani, juga terdapat beberapa hak lain yang diberikan oleh pemerintah. Perhutani menerbitkan hak kerjasama kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan atau biasa disebut PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Selain bermitra dengan masyarakat, Perhutani juga mengembangkan model Kerjasama Operasional (KSO) dengan perusahaan swasta, misalnya dalam bidang pariwisata, pertambangan, dan lainnya. 52
Data BPKH wilayah XI Jawa‐Madura – MFP II
34 |
Untuk pengelolaan kawasan konservasi, Kementerian Kehutanan juga menerbitkan ijin pengusahaan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan dan pariwisata kepada pihak ketiga. Sedangkan untuk wilayah hutan negara di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan/KPH memberikan skema ijin usaha pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) kepada kelompok masyarakat disekitar hutan. Untuk mendorong Hkm, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan SK.438/Menhut‐II/2007 tentang Penetapan Kerja Areal Hutan Kemasyarakat di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 1.087, 45 hektar. Jika melihat luasan wilayah konsesi Perhutani di Jawa, tampak ada perlakuan yang “istimewa” yang diberikan oleh pemerintah (pusat). Namun demikian, pemberian hak pengelolaan yang luas serta mandat sebagai perusahaan pelayan publik, tidak digunakan secara optimal oleh Perhutani untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945. Sebagai penguasa tanah dan hutan yang luas Perhutani berdiri di tengah ketimpangan penguasaan sumber daya agraria. Gambaran ketimpangan kepemilikan tanah di Jawa dapat dilihat melalui hasil FGD perkumpulan HuMa di Wonosobo pada tanggal 4 Oktober 2012 berikut ini: Tabel 7. Luas Kepemilikan Tanah Masyarakat Daerah Rata‐rata luas kepemilikan tanah/kk Kec. Sukadana, Kab. Ciamis 0,2 Ha Kec. Cibinong, Kab. Cianjur 0,1 Ha Ngrimpak, Kec. Bejen, Kab. Temanggung 0,2 Ha Blantang, Kec. Kradenan, Kab. Blora 0,25 Ha Kec. Subah, Kab. Batang 0,25 Ha Kec. Pangalengan, Kab. Bandung 0,25 Ha Bogor Nanggung – Cigombong 0,2 Ha Desa Maitan, Kab. Pati 0,2 Ha Sumber: Data primer yang diolah.
Selain pemanfaatan oleh sektor kehutanan, kawasan hutan negara di Jawa juga menjadi sasaran pembangunan non kehutanan, seperti Pertambangan, Jalan Tol dan Bendungan. Tercatat dari tahun 2006 hingga 2011 terdapat 62 ijin dengan luas 3.000,16 ha untuk kegiatan non kehutanan di Jawa.53 Dengan melihat luas pulau dan pertumbuhan penduduk yang pesat, kebijakan ini bisa telah mengganggu 53
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan 2011
| 35
keseimbangan ekologi yang berdampak pada terancamnya kehidupan masyarakat. Pola relasi stakeholder yang berjalan sekarang ini masih didominasi oleh birokrasi dan korporasi. Masih sangat sedikit alokasi sumberdaya hutan di Jawa yang diperuntukkan bagi rakyat. 2.2.3 Tata Usaha Hutan Jawa juga memiliki sejarah yang panjang dalam hal pengusahaan kayu jati. Adalah Vereenigde Oost‐Indische Compagnie (VOC) sebuah persekutuan dagang Belanda untuk kawasan Hindia Barat yang mulai masuk ke nusantara pada tahun 1603.54 Dengan masuknya perusahaan ini di Nusantara, model tata niaga modern mulai diperkenalkan, meskipun dengan cara‐cara yang tak ubahnya penjajahan oleh suatu negara. Setelah berkuasa 4 abad, VOC mengalami kebangkrutan yang disebabkan oleh beberapa masalah. Selanjutnya sistem penguasaan dan perdagangan hasil hutan diteruskan oleh kolonial Belanda melalui de Dienst v/h Boswezen (Jawatan Kehutanan) pada tahun 1865. Untuk merealisasikan usaha kehutanan khususnya kayu jati, pada tahun 1925 Boswezen membentuk badan usaha baru yang bernama Djatibedrief.55 Agar eksploitasi melalui sistem perdagangan di Indonesia berjalan mulus, Belanda menetapkan beberapa kebijakan, diantaranya: (1) Undang‐Undang Perbendaharaan Hindia Belanda (Indische Comptabiliteitswet) tahun 1867 yang menyatakan bahwa anggaran belanja Hindia Belanda harus ditetapkan dengan Undang‐undang, jadi dengan persetujuan Parlemen Belanda; (2) Undang‐Undang Gula (Suikerwet) tahun 1870, berisi ketetapan bahwa tanaman tebu adalah tanaman monopoli pemerintah berangsur‐angsur akan dihilangkan sehingga di Pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta; dan (3) Undang‐Undang Agraria (Agrarichwet) yang pada intinya berisi pengaturan bahwa tanah di Hindia Belanda (Indonesia) dibedakan atas dua, yakni tanah rakyat dan tanah pemerintah. Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifatnya bebas dan tanah desa yang miliknya tidak bebas. Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada bangsa asing, hanya boleh disewakan. Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah dijadikan tanah milik atau disewakan selama 75 tahun.56 Masa kolonialisme di Indonesia mulai dari Portugis hingga Jepang mengalami masa akhir akibat perlawanan dari para tokoh‐tokoh daerah dan kesultanan di Nusantara. Dalam catatan sejarah Indonesia dikenal Perjuangan Rakyat Malaka melawan Portugis yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah 1 (1511) dan Pangeran Diponegoro pada abad 19 (1825 ‐ 1830) serta beberapa tokoh nasional lainnya. 54
http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie Lihat Lisman Sumardjani. 2007. Konflik Sosial Kehutanan. Bogor: WG Tenure. http://id.wikipedia.org
55 56
36 |
Perang yang terus‐menerus berdampak pada jatuhnya korban jiwa dan kerugian finansial yang dialami bangsa penjajah khususnya Belanda dan Jepang. Diawal abad ke 19 mulai bermunculan organisasi kepemudaan, ormas dan partai politik. Organisasi pemuda pertama yang cukup dikenal adalah Budi Oetomo (1908), kemudian berdiri Sarekat Islam (1911) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada 14 Juli 1927. Organisasi‐organisasi ini merubah strategi perjuangan para pendahulunya yang semula menggunakan peperangan, berganti melalui pendekatan organisasi, intelektual dan berskala nasional. Cara‐cara itu ternyata cukup efektif membuat penjajah tersudut. Dimasa‐masa krisis pendudukan Jepang di Indonesia akibat Pasukan Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, golongan muda mendesak Ir. Soekarno untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Dimasa transisi kemerdekaaan, Pemerintahan Nasional memang masih mengalami beberapa kendala, satu diantaranya adalah perangkat hukum. Sumberdaya alam khususnya tanah dan hutan yang selama ini dikuasai melalui perangkat hukum kolonial ternyata tidak mudah untuk dilakukan perubahan. Celah ini yang kemudian digunakan oleh para kaum intelektual hasil didikan Belanda untuk tetap mempergunakan perangkat hukum produk kolonial. Kini, meskipun secara normatif produk hukum itu sudah tidak berlaku, namun roh kolonialismenya masih bisa dirasakan pada kebijakan sektoral seperti Undang‐Undang Kehutanan, Undang‐ Undang Pertambangan, dan bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2010 tentang Perum Perhutani. Upaya penyingkiran rakyat dari sumber‐sumber penghidupannya serta kesewenang‐wenangan atas nama negara masih tampak jelas terlihat. Sebagai sebuah perusahaan, Perum Perhutani memiliki otoritas penuh atas pengelolaan hutan negara di seluruh Pulau Jawa. Pada Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2010 disebutkan : “Dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik”.57 Selanjutnya pada ayat (3), disebutkan: Pengelolaan Hutan di Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. tata hutan dan penyusunan rencana Pengelolaan Hutan; b. pemanfaatan hutan; 57
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 124
| 37
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d. perlindungan hutan dan konservasi alam. Dengan melihat kewenangan penuh atas pengelolaan hutan di Pulau Jawa, kebijakan yang mengatur Perhutani telah mereduksi peran pemerintah daerah. Menurut aturan tata ruang, seharusnya setiap rencana pembangunan termasuk pengembangan sektor usaha harus tunduk pada kebijakan tersebut, namun pada prakteknya Perhutani cenderung menunjukkan sikap arogan. Sehingga bencana lingkungan kerap menimpa daerah‐daerah di mana Perhutani beroperasi. Contoh kasus yang cukup mengemuka adalah bencana tanah longsor di Mandalawangi Jawa Barat dan Sijeruk di Jawa Tengah. Sikap arogan Perhutani di tingkat lapangan juga terlihat dari praktek kontrakan lahan. Kontrakan adalah sebuah usaha menyewakan lahan hutan oleh oknum Perhutani kepada petani hutan, baik untuk usaha kehutanan maupun pertanian. Untuk mendapatkan kontrakan, petani hutan diwajibkan membayar biaya sewa kepada oknum Perhutani ditingkat lapangan. Untuk melakukan pemungutan sewa lahan hutan, oknum Perhutani biasanya menggunakan pengurus LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan).58 Praktek sewa‐menyewa lahan ini merupakan wujud dari perilaku koruptif yang telah berjalan bertahun‐tahun. Berdasarkan laporan tahunan Perhutani tahun 2012, kontribusi dari kayu tebangan menyumbang 41% dari total pendapatan, kayu olahan 8%, industri non kayu 37%, agroforestry dan wisata 11% serta dari usaha lain 3%. Dengan melihat komposisi sumber pendapatan Perhutani, dapat terlihat bahwa sektor kayu masih mendominasi pendapatan, sementara jumlah tegakan terus menurun akibat penebangan ilegal, penurunan daur tebang dan kegagalan reboisasi. Dalam jangka panjang, situasi ini akan mengancam keberlanjutan Perhutani. Sebagai badan usaha negara yang mendapat mandat usaha dibidang kehutanan dan fungsi pelayanan publik semestinya kewenangan Perhutani mendapat batasan. Namun pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2010 tentang Perhutani menyebutkan : (1) Apabila terdapat kegiatan pembangunan diluar kegiatan kehutanan pada lahan di dalam wilayah kerja Perusahaan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Perusahaan mendapatkan: a. kompensasi atas nilai investasi; dan/atau b. manfaat lain atas nilai hak Pengelolaan Hutan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Teknis. 58
Wawancara dengan Amin Haryanto (Petani Hutan Purbalingga) 20 Desember 2013.
38 |
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha untuk mencari keuntungan, manfaat dan/atau kompensasi dapat dipakai sebagai penyertaan Perusahaan pada kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. (3) Kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. kepentingan religi; b. pertambangan; c. pembangunan ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan; d. pembangunan jaringan telekomunikasi; e. pembangunan jaringan instalasi air; f. jalan khusus/jalan tol; g. saluran air bersih dan/atau air limbah; h. pengairan; i. bak penampungan air; j. fasilitas umum; k. alat pancar ulang telekomunikasi; l. stasiun pemancar radio; m. stasiun relai televisi; dan n. sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara. Artinya pasal di atas memberikan jalan pada Perhutani untuk membentuk bentuk Kerjasama Operasi (KSO). KSO adalah bentuk kerjasama antara Perum Perhutani dengan pihak lain untuk bersama‐sama melakukan usaha guna mencapai tujuan tertentu. Kerjasama operasional bisa berbagai bentuk, mulai dari Pertambangan hingga energi. Meskipun maksud kerjasama ini adalah untuk mendukung pembiayaan Perusahaan dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan, namun telah menyimpang dari mandat sebagai perusahaan kehutanan.59 Sebagai ilustrasi, kini terdapat setidak‐tidaknya 39 perusahaan yang tersebar di 15 Kabupaten di Jawa Barat yang telah melakukan Kerjasama Operasi dengan Perum Perhutani. Dari ke‐39 perusahaan yang melakukan kerjasama tersebut, satu perusahaan bergerak di bidang usaha pemanfaatan air (PT. Aqua), satu Perusahaan bergerak di bidang usaha rehabilitasi tanaman dan sisanya merupakan Kerjasama Operasi Penambangan baik galian B maupun Galian C. Atas tindakan tersebut, Perhutani diduga telah melanggar mandat pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik di bidang Kehutanan. Dalam kasus KSO Pertambangan galian C 59
Penyimpangan yang dilakukan Perhutani berupa pengingkaran terhadap PP 72 tahun 2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, khususnya pada bagian menimbang huruf (a) yang menjelaskan “bahwa dalam rangka pengadaan usaha produktif sesuai kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan pendapatan Nasional dengan cara melakukan kegiatan produksi dibidang kehutanan, berupa penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan”
| 39
dengan pihak ketiga, Walhi Jawa Barat menemukan indikasi penyimpangan kewenangan yang mengarah pada korupsi dan merugikan kekayaan negara.60 Bentuk penyimpangan yang ditemukan Walhi Jabar yaitu Perhutani telah melangkahi kewenangan Menteri Kehutanan seperti yang ditegaskan didalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 38 ayat (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan”. Sejak berdiri 52 tahun yang lalu Perhutani telah mengalami pergantian kebijakan beberapa kali. Bergantinya kebijakan dari waktu ke waktu tidak membawa perubahan terhadap perbaikan tata kelola pada hutan Jawa. Menurut laporan yang dirilis Perhutani, posisi neraca keuangan selalu menunjukkan laba. Namun secara umum tingkat laba yang diperoleh memiliki kecenderungan menurun dari waktu ke waktu, lihat Tabel 8. (Tahun 1998 laba sebelum pajak 581,101 miliar, Tahun 2007 laba sebelum pajak 67,346 Miliar). Penurunan laba disebabkan oleh menurunnya stok kayu yang menjadi penyumbang dominan pendapatan Perhutani. Agar tetap bisa mempertahankan stabilitas perusahaan, beberapa KPH terpaksa menurunkan daur tebang, dampak jangka panjang keputusan itu dapat mengancam kelestarian hutan. Tabel 8. Pendapatan, Biaya, dan Laba Sebelum Pajak Perum Perhutani Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Pendapatan 1.550.965 1.727.133 2.008.146 1.994.150 2.003.420 1.636.526 1.700.251 1.562.217 1.752.451 2.302.771
Biaya 963.864 1.149.116 1.749.474 1.663.937 1.869.588 1.632.711 1.502.601 1.448.011 1.650.599 2.235.452
Laba Sebelum Pajak 581.101 578.017 258.672 330.213 133.832 3.815 197.650 114.206 101.852 67.346
Sumber : Perum Perhutani (2005, 2008)
Untuk menjalankan usahanya di hutan produksi, Perhutani mengandalkan kayu jati. Lebih lanjut, keberhasilan atau kegagalan Perum Perhutani dalam menjaga kelestarian produksinya dapat dilihat pada kemampuannya mempertahankan standing stock (potensi tegakan berdiri). Selama 2003‐2007 kontribusi kayu jati 60
http://news.detik.com/bandung/read/2013/01/21/124024/2148215/486/diduga‐korupsi‐rp‐49‐m‐walhi‐akan‐ laporkan‐perhutani‐ke‐kpk?g771108fvt (diakses 16 Januari 2014)
40 |
kepada industri komersial Perhutani sebesar 52%, sedangkan non kayu 23%, industri kayu 14,8%, dan kayu rimba 10%. Akan tetapi selama 1998‐2007 terjadi penurunan tegakan kayu jati dari 36,2 juta m3 tahun 1998 menjadi 27,5 juta m3 ditahun 2003 dan menjadi 18,9 juta m3 pada tahun 2007. Penurunan volume tegakan jati tersebut melebihi penurunan volume tegakan akibat produksi tahunan. Artinya, dalam 7 tahun standing stock jati Perhutani merosot sekira 16 juta m3, atau rata‐rata 2,7 juta m3 setiap tahunnya. Ini adalah salah satu tanda terbesar dan paling nyata dari tidak lestarinya pengelolaan hutan produksi oleh Perum Perhutani. Selain persoalan kelestarian, Perhutani juga menghadapi masalah inefisiensi penggunaan lahan. Berdasarkan data yang dirilis Perhutani, dari kawasan hutan produksi seluas 1,767 juta ha, kini hanya mampu menghasilkan kayu sejumlah 889.858 m361, jauh dibawah produksi kayu dari hutan rakyat yang mencapai 18.523.433 m3/tahun62. Jumlah produksi kayu tersebut bersumber dari hutan rakyat63 dengan luas mencapai 2.871.675,31 Ha64. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan dan produktifitas hutan rakyat jauh lebih tinggi 6.54 m3/Ha/tahun dibanding lahan hutan Perhutani yang hanya mampu memproduksi 0.50 m3/Ha/tahun. Atas kondisi ini, negara telah kehilangan potensi produktifitas lahan berkisar 6.04 m3/Ha/tahun.65 Dengan pendapatan rata‐rata per tahun antara 1998‐2007 adalah 1,823 trilyun rupiah, artinya untuk setiap hektar lahan Perhutani hanya mampu menghasilkan pendapatan rata‐rata kurang lebih satu juta rupiah per tahun. Sementara, jika dibandingkan dengan pendapatan dari hutan rakyat, bisa mencapai pendapatan tiga juta rupiah per hektar.66 Jika kita lihat dari sisi produktifitas lahan dapat disimpulkan bahwa Perhutani bukan hanya telah melakukan praktek pemborosan atas sumber daya lahan yang sangat langka di Pulau Jawa, tapi juga telah melakukan penghianatan terhadap rakyat perdesaan yang membutuhkan lahan sekedar untuk mempertahankan hidupnya.67 Jika melihat fakta di atas, jelas terlihat bagaimana keadaan bisnis Perhutani berbanding terbalik dengan bisnis hutan rakyat. Saat ini saja tercatat luasan hutan rakyat di Pulau Jawa lebih dari 2,7 juta hektar. Tersebar di Yogyakarta, Jawa Timur, 61
Laporan Tahunan Perum Perhutani 2010 Dinas Kehutanan Propinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur (data diolah). 63 Hutan rakyat adalah pengistilahan dari hutan hak berdasarkan UU 41 tahun 1999. Status penguasaan tanah di hutan rakyat pada umumnya dimiliki oleh para petani yang tinggal disekitar hutan. Hutan Rakyat yang berkembang di Jawa memiliki keberagaman jenis tanaman kayu seperti Jati, Mahoni, Sengon dan Rimba Campur. Meskipun dibangun tidak berdasarkan teori kehutanan, namun hutan rakyat telah mampu menumbuhkan perekonomian perdesaan. 64 Statistik Ditjen Planologi Kehutanan 2011 65 Laporan Perhutani 2010 dan Data Dinas Kehutanan Provinsi yang telah diolah. 66 Dihitung dari harga jual rata‐rata kayu Sengon yang berlaku dipasaran. Jika dihitung berdasarkan jenis kayu yang dibudidayakan oleh Perhutani, nilainya bisa jauh lebih tinggi. 67 Sudarsono Sudomo “Perhutani Dikala Senja” 62
| 41
Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. Luas ini melebihi hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani yang hanya sekitar 2,5 juta hektar. Pengelolaan hutan oleh rakyat ini juga telah meraih berbagai penghargaan seperti PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari) maupun SVLK (Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu).68 Hal ini menjadi bukti bahwa rakyat lebih mampu mengelola hutan. Pesatnya perkembangan hutan rakyat di Jawa juga turut mendorong tumbuhnya industri pengolahan kayu, baik primer maupun lanjutan. Menurut data yang dirilis pemerintah, paling sedikit 1.168 industri primer dan 86.786 industri lanjutan tumbuh di Jawa.69 Industri‐industri tersebut mengolah beragam jenis kayu keras seperti Jati dan Mahoni dan juga kayu lunak seperti Sengon. Kayu tersebut diolah menjadi bermacam‐macam produk, seperti furniture, Plywood, Veneer, Barecore serta beragam produk lainnya. Produk tersebut mewarnai kegiatan eksport indonesia dari sektor kehutanan untuk tujuan Asia, Eropa, Amerika dan Timur Tengah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, nilai ekspor untuk 4 produk hasil hutan seperti Kayu Gergajian, Kayu Lapis, Veneer, Partikel mencapai lebih dari US $ 1 miliar70. Dengan menyimak gambaran diatas, tampak jelas bahwa strategi bisnis kehutanan yang melibatkan partisipasi masyarakat memiliki prospek yang lebih baik dibanding model pengelolaan hutan monopoli Perhutani yang cenderung sentralistik, eksplotatif dan menutup peran rakyat. Paradigma lama pengelolaan hutan di Jawa terbukti tidak lagi relevan untuk kondisi saat ini. Sudah saatnya pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat desa melalui kelompok‐kelompok usaha kecil untuk dapat mengelola hutan negara secara lebih memadai. Kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan di Jawa. 2.2.4. Pengelolaan Hutan Jawa dan Konflik Agraria Sejak digunakannya model German forestry school oleh kolonial di masa lalu dan dilanjutkan oleh pemerintah nasional, yang menerapkan syarat segregatif dalam German school of forestry yang menolak konsep hutan dengan fungsi integratif pada saat yang sama berfungsi hutan dan pertanian, konservasi lindung dan produksi secara sekaligus, serta praktek penunjukan kawasan hutan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah melalui atas nama Negara telah mengakibatkan 68
SVLK adalah sebuah kebijakan Kementerian Kehutanan yang bersifat wajib yang bertujuan untuk menjamin keabsahan dan kelestarian atas produk kayu yang dihasilkan dari hutan hak dan hutan negara. SVLK diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38 tahun 2009 serta perubahannya yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 68 tahun 2011. 69 Data Bina Usaha Kehutanan 2011 70 Statistik Kehutanan 2011
42 |
rakyat banyak kehilangan tanah dan hutannya. Akibatnya konflik dengan masyarakat pun tidak bisa terhindarkan. Perkumpulan HuMa melalui database HuMawin mencatat 41 (empat puluh satu) konflik hutan di Jawa, dengan mayoritas lawan sengketa adalah Perhutani. Sebagai ilustrasi, adalah konflik kehutanan di kasus Mandalawangi – Jawa Barat. Dalam kasus tersebut Menteri Kehutanan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas.Uraian lebih lanjut tentang kasus Mandalawangi – Jawa Barat ini dapat dilihat dalam Box 2 berikut. Box 2. Konflik Sektor Kehutanan di Kasus Mandalawangi – Jawa Barat Delapan orang melakukan gugatan oleh terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut di Pengadilan Negeri Bandung. Para Penggugat dan orang‐orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya (No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain mengatakan bahwa negara memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggungjawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing‐masing berdasarkan peraturan perundang‐undangan yang berlaku, khususnya Undang‐Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi – juga memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat‐akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para Penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak
| 43
perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan No. 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor.
Sumber: Data Sekunder71
Penguasaan kawasan hutan oleh Negara juga telah menimbulkan ketimpangan kepemilikan lahan. Dengan melihat rata‐rata kepemilikan lahan 0,25 ha/keluarga petani, sangat jelas terlihat ketimpangan penguasaan aset produksi antara rakyat, pemerintah, dan Perhutani di Jawa. Kesenjangan yang tajam telah pula memicu konflik para pihak yang berkepentingan dengan tanah dan hutan Jawa. Masyarakat yang turun‐temurun tinggal dan hidup di dalam kawasan hutan negara merasa telah memiliki hak yang kuat untuk mengakses hutan dan lahan. Disisi lain, pemerintah sebagai representasi negara merasa memiliki posisi paling kuat atas penguasaan tanah dan hutan. Kegaduhan persoalan kehutanan di Jawa bisa dilihat dari beberapa tipologi konflik berikut : 1. Konflik antara masyarakat desa vs Perhutani. Ini terjadi akibat dimasukkannya tanah‐tanah masyarakat kedalam kawasan hutan negara yang dikuasai Perhutani, baik atas wilayah yang telah ditata batas maupun belum; 2. Konflik antara masyarakat desa vs Perhutani yang dilatarbelakangi oleh pengusiran masyarakat yang semula menggarap tanah‐tanah hutan negara karena dituduh terlibat DI/TII maupun PKI; 3. Konflik antara masyarakat desa vs Perhutani karena tukar menukar kawasan hutan yang belum tuntas prosesnya. 4. Konflik antara masyarakat desa vs Perhutani. Konflik ini terjadi karena Perhutani menghalangi akses masyarakat masuk dan memanfaatkan sumber daya hutan; 5. Konflik antara masyarakat desa dengan Perhutani, karena tanah timbul yang diklaim Perhutani sebagai tanah dibawah kekuasaannya; 6. Konflik antara masyarakat desa dengan Perhutani karena masyarakat melakukan pendudukan tanah‐tanah yang dikuasai Perhutani; 7. Konflik antara masyarakat desa vs Perhutani, berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hutan lindung ;
71
Prof.Dr.Takdir Rahmadi, SH., LLm,Perkembangan Hukum Lingkungan Di http://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=3328, diakses 1 Desember 2013.
Indonesia,
dalam
44 |
8. Konflik antara masyarakat desa/adat vs Taman Nasional dan Cagar Alam, terkait dengan klaim tenurial terhadap kawasan hutan konservasi ; 9. Konflik antara masyarakat desa vs kegiatan non kehutanan di kawasan hutan, misalkan dengan perusahaan tambang dan galian C, pengambilan air untuk air kemasan; 10. Konflik antara Kemenhut dan Perum Perhutani atas ketidakjelasan batas Kawasan Konservasi yang dikelola BKSDA dan TN serta Hutan Produksi dan Lindung; 11. Konflik antara Perum Perhutani dengan Pemda akan kewenangan pengelolaan Hutan Lindung; 12. Konflik antara Perum Perhutani dan Kementrian Kehutanan atas pelanggaran penggunaan Hutan Lindung, yang sering kali ditebang dan digunakan sebagai hutan Produksi. Untuk mengatasi konflik dengan masyarakat sekitar hutan Jawa, Perhutani meluncurkan program kemitraan PHBM. Secara konsep, PHBM dikembangkan untuk mengatasi konflik dan menanggulangi persoalan kemiskinan yang terjadi di desa‐desa didalam dan sekitar hutan. Melalui PHBM, Perhutani juga berharap terjadi peningkatan keamanan hutan dari penjarahan. Dilihat dari level strategi, PHBM adalah sebuah arena negosiasi antara masyarakat dengan Perhutani. Di mana Pemerintah terlanjur “mempercayakan” hampir seluruh tanah dan hutan negara kepada Perhutani. Tidak dipungkiri bahwa PHBM turut berperan dalam membuka akses masyarakat terhadap hutan dan menyumbang pendapatan petani melalui bagi hasil produksi mencapai 160,279 milyar72. Namun sejalan dengan itu, tindak kekerasan dan penangkapan petani oleh aparat gabungan Kepolisian dan Polhut juga masih terus berlangsung. Penangkapan dan tindak kekerasan dilakukan terutama pada saat Operasi Hutan Lestari digelar di Jawa. Memorandum of Understanding (MoU) PHBM dan rencana kerja tahunan Perhutani memiliki kecenderungan tidak sinergis. Salah satu contoh kasus yang cukup mengemuka adalah penangkapan dua orang petani hutan di Desa Ketenger dan seorang anak petani hutan di Desa Panusupan Banyumas. Aksi penangkapan itu dilakukan pada saat proses kerjasama PHBM masih berjalan. Di dalam MoU disebutkan, mekanisme penyelesaian konflik akan mengedepankan musyawarah di desa, namun Perhutani malah memilih penggunaan jalur hukum formal.73 72
Potret Hutan Jawa BPKH Wilayah XI Jawa‐Madura Dokumentasi Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) 2011
73
| 45
Dengan melihat kasus diatas, dapat dianalisa bahwa PHBM sebagai program yang dibangun oleh Perhutani sejak tahun 2001 melalui SK Dewan Pengawas No. 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Masyarakat, tidak secara substansial menyelesaikan akar masalah dan cenderung menjadi bagian yang justru mempertajam konflik dengan masyarakat. Mengapa hal ini terjadi? Pertama, dalam PHBM Perhutani hanya mengakui secara sepihak kelembagaan masyarakat yang dapat mengakses sumberdaya hutan yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Namun LMDH ternyata gagal menjadi arena intermediary yang mencerminkan kepentingan masyarakat. Dengan proses pembentukan dan kepengurusan yang tidak dilahirkan dari kesepakatan bersama masyarakat, maka realitanya LMDH dikuasai oleh sejumlah elit seperti perangkat desa, pengurus Badan Permusyawaratan Desa, guru, birokrat, dan lainnya. Tidak jarang pula preman desa menjadi bagian dari LMDH. Walhasil banyak yang merasakan bahwa LMDH tidak lebih dari kepanjangan tangan Perum Perhutani daripada menjadi institusi yang merepresentasikan masyarakat. Selain itu, sebagai lembaga yang memiliki klaim otoritatif atas keterwakilan masyarakat dalam proses produksi, pemasaran dan industri serta keuangan hasil hutan, LMDH justru menjadi arena korupsi dan pemburu rente baru. Banyak kasus menunjukkan, bagi hasil yang ada tidak pernah dikomunikasikan secara transparan serta tidak memiliki mekanisme akuntabilitas sehingga praktik korupsi tidak terhindarkan. Bagi hasil ini menjadi ajang rebutan diantara pengurus sehingga aktivitas‐aktivitas buru rente (rent seeking) tidak terhindarkan. Dalam beberapa kasus, LMDH terkesan hanya menjadi penyalur tenaga kerja (pesanggem) daripada melakukan pemberdayaan dan penguatan kapasitas petani hutan serta tidak jarang hanya menjadi pemborong pekerjaan Perhutani. Tenaga kerja yang diorganisir oleh LMDH untuk menjalankan pekerjaan pembersihan lahan (land clearing), penanaman, perawatan, pengamanan dan pemanenan dengan upah murah. LMDH juga tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan mediasi konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan. LMDH justru terkesan menghindari proses negosiasi dalam mengelola konflik keseharian. Kesan kuat yang justru muncul adalah LMDH merupakan “mata‐mata” Perhutani yang masih menggunakan cara‐ cara kriminalisasi dan koersif untuk menyelesaikan masalah konflik. Kedua, dari sisi tata kelola hutan, realitas pelaksanaan PHBM yang jauh memenuhi prinsip kesetaraan. Misalnya nota kesepahaman (MoU) yang kerangka umumnya lebih banyak ditentukan sepihak oleh Perhutani. Dalam upaya negosiasi membangun MoU PHBM, tekanan‐tekanan terhadap masyarakat yang tergabung dalam LMDH juga cukup kuat. Tekanan tersebut pada umumnya berlatar belakang Rencana Teknik Tahunan (RTT) perusahaan. Selain itu, pengingkaran kesepakatan PHBM juga dipicu oleh pergantian pejabat, bagi hasil yang tidak sesuai nilai dan proporsi kontribusi masing‐masing pihak, sampai kepada tidak transparannya perhitungan nominal bagi hasil.
46 |
Ketiga, kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani hutan juga terus berlangsung. Dalam desain normatif PHBM, istilah keamanan masih dikemukakan sedangkan istilah transformasi dan resolusi konflik tidak pernah digunakan. Realitasnya, dalam praktek PHBM ketika konflik termanifestasikan maka pilihan kriminalisasi dan intimidasi yang didahulukan. HuMa (2013) mencatat konflik nomor dua tertinggi adalah di sektor kehutanan dengan jumlah 72 konflik atau 31,03 % dari seluruh konflik di Indonesia. Dari 72 konflik kehutanan tersebut, 41 (empat puluh satu) kasus terjadi di Jawa, dengan relasi konflik terjadi antara masyarakat dengan Perhutani. Berdasarkan data ARuPA dan LBH Semarang, dalam satu dasawarsa terakhir ini Perhutani telah menganiaya, mencederai dan menembak setidak‐tidaknya 108 warga desa hutan yang diduga mencuri kayu atau merusak hutan. Dari total korban tersebut, 34 orang diantaranya tewas tertembak atau dianiaya petugas keamanan hutan dan 74 orang lainnya luka‐luka. Dari 64 kasus penganiayaan dan penembakan ini sebagian besar diselesaikan tanpa proses hukum. Ironisnya, negara seolah absen dan tidak pro‐aktif membantu warga negara yang mengalami ketidakadilan dan kemiskinan kronis. Keempat, sebagai sebuah konsep, PHBM tidak memiliki kekuatan untuk menyelesaikan konflik agraria. Contohnya adalah kasus Ngrimpak di Temanggung dan Ankola di Cianjur (lebih lanjut lihat Box 3). Atas dasar itu, PHBM masih jauh dikatakan berhasil mengatasi persoalan tenurial di desa‐desa hutan. Box 3. Sekilas Kasus eks Perkebunan Ankola, Cianjur, Jawa Barat Kasus sengketa tanah Angkola bermula dari kedatangan PT. Hortindo di lahan perkebunan Desa Sukajadi dan Desa Girijaya Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Lahan perkebunan yang telah digarap masyarakat sejak tahun 1955 diambil alih secara paksa oleh perusahaan tersebut. Pengusiran menimpa penduduk setempat berikut permukiman dan sekolah. Setelah melakukan pengusiran, PT Hortindo secara resmi mengelola lahan eks perkebunan Ankola mulai tahun 1984 dengan memakai dasar SK HGU dari Badan Pertanahan Cianjur. Akibat tata kelola perusahaan yang kurang baik, perusahaan mengalami kebangkrutan pada tahun 1986. Selang waktu 2 tahun kemudian, PT. Hortindo meninggalkan lahan eks perkebunan Ankola dalam kondisi terlantar. Setelah lahan ditinggal oleh perusahaan, petani kembali menggarap lahan. Tiba‐tiba pada tahun 1996 PT. Bahana Sukma Sejati mengklaim lahan eks perkebunan Ankola dan melakukan tukar guling dengan kawasan hutan di KPH Purwakarta. Menurut informasi yang diterima penduduk, PT. Bahana Sukma Sejati membutuhkan lahan dikawasan hutan Purwakarta untuk proyek mobil nasional. Sejak saat itu, lahan di Ankola yang semula berstatus perkebunan berubah menjadi kawasan hutan.
| 47
Dengan alasan tersebut, Perhutani KPH Cianjur mulai masuk ke Desa Girijaya dan Desa Sukajadi untuk menanami lahan dengan tanaman kehutanan. Sejak saat itu, konflik di Ankola terus terjadi hingga 1 orang warga terpaksa harus dipenjara dengan tuduhan menduduki lahan. Tidak hanya itu, intimidasi terhadap petani juga terus terjadi hingga kini. Sumber : Dokumentasi LBH Bandung
Selain dengan Perhutani, konflik agraria di Jawa juga melibatkan institusi konservasi seperti Balai Taman Nasional dan BKSDA. Masyarakat adat/lokal yang hidup turun temurun di wilayah hutan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi menjadi terganggu kehidupannya. Hal itu dapat dilihat dari kasus masyarakat adat Cigugur vs Balai Taman Nasional Gunung Ceremai di Kabupaten Kuningan dan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul vs Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pola‐pola “penyingkiran” masyarakat dari ruang hidupnya seringkali demi alasan perlindungan hutan. Namun, disisi lain kalangan CSO Indonesia melihat adanya praktek pemberian ijin konsesi konservasi dan usaha jasa lingkungan oleh pemerintah kepada LSM Internasional dan perusahaan pariwisata. Hal ini jelas menimbulkan kekecewaan masyarakat kepada pemerintah. Untuk penyelesaian konflik agraria di kawasan konservasi, perangkat kebijakan yang digunakaan adalah Permenhut No. P. 19/2004 tentang Kolaborasi di Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang kemudian dipertegas dengan Permenhut No. P.56/2005 tentang Zonasi di Taman Nasional. Kedua kebijakan ini disiapkan untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak) misalnya mengeluarkan Model Kampung Konservasi (MKK) sebagai salah satu program kolaborasi bersama masyarakat di zona khusus dengan mengedepankan Kesepakatan Pengelolaan Bersama di zona khusus melalui Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK). Namun, kelemahannya adalah kesepakatan bersama ini berlaku hanya 5 tahun dan masyarakat tidak diperbolehkan memanfaatkan kayu kampung yang sudah ditanam dan dikelola sejak lama, seperti Sengon. Ini yang kemudian membuat masyarakat berfikir kembali untuk melakukan kerjasama dengan TNGHS. Negosiasi yang dibangun kemudian adalah dengan memasukkan kayu kampung untuk bisa dimanfaatkan masyarakat dan seharusnya tidak ada batasan waktu kerjasama pengelolaan. Penggunaan kawasan hutan yang dikuasai Perhutani untuk kegiatan pertambangan juga telah memicu konflik dengan warga yang tinggal disekitar tapak proyek. Salah satu contoh konflik agraria berbasis usaha pertambangan yang menggunakan kawasan hutan terjadi di Kabupaten Pati. Masyarakat yang tinggal disekitar Pegunungan Kendeng merasa terancam terkait rencana pertambangan batu kapur dan tanah liat oleh PT. Sahabat Mulia Sakti – Anak Perusahaan PT. Indocement.
48 |
Untuk mengatasi masalah yang terjadi, pihak pemerintah daerah cenderung menekan masyarakat daripada memberikan kesempatan untuk berdialog. Selain itu, pihak perusahaan juga menggunaan cara‐cara kekerasan dengan pelibatan preman. Akibatnya, beberapa kali potensi bentrok fisik horisontal nyaris terjadi. Selain tambang untuk bahan baku semen, kawasan hutan negara di Jawa juga tidak luput dari eksploitasi tambang emas. Di Banyuwangi Jawa Timur, tambang emas seluas 11.6 ribu hektar membuat hutan jati gundul dan limbahnya mengotori laut74. Di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, PT. Aneka Tambang melakukan penambangan emas dan PT. Chevron Geotermal Indonesia melakukan penambangan panas bumi, yang tentu berpengaruh pada kondisi kawasan konservasi itu. Selain memiliki fungsi ekonomi, hutan juga berperan dalam menjaga keseimbangan lingkungan seperti tata air, mitigasi bencana banjir dan longsor. Selain hutan, kawasan kars75 juga memiliki peran yang besar dalam tata air. Potensinya sebagai daerah tangkapan dan penyimpan air dapat menyumbang tambahan potensi air yang ada di Pulau Jawa. Akan tetapi kelestarian kawasan kars terancam dengan kegiatan penambangan marmer, semen, fosfat, hingga guano (kotoran kelelawar dan walet) yang dilakukan di kawasan tersebut. Kawasan karst ini ada yang terletak di dalam kawasan hutan (negara) dan ada pula yang diluar kawasan hutan (lihat Box 4). Box 4. Kasus Rencana Penambangan di Kawasan Hutan dan Kawasan Karst Di akhir Tahun 2011, potensi alam di Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara kembali menjadi incaran perusahaan pertambangan, kali ini melalui PT. Indocement Tunggal Prakarsa melalui anak perusahaannya bernama PT. SMS (Sahabat Mulia Sakti). Sebelum rencana PT. SMS ini, PT. Semen Gresik telah gagal melakukan penambangan di Kawasan Karst Pegunungan Kendeng Utara karena adanya penolakan secara aktif dari masyarakat dan kondisi kekalahan Pemerintah Kabupaten Pati di Mahkamah Agung (MA) terkait digugatnya Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) yang dikeluarkan untuk PT. Semen Gresik, Tbk. Rencana PT SMS (Sahabat Mulia Sakti) ini telah menimbulkan keresahan sosial dan berpotensi menimbulkan dampak kerawanan pangan, ketersediaan lahan dan kerusakan
74
Sumber: http://www2.tempo.co/read/news/2012/10/22/092437009/Rebutan‐Tambang‐Emas‐Hutan‐ Banyuwangi‐Jadi‐Korban. 75 Kawasan Karst di Pulau Jawa antara lain: Sukabumi Selatan, Citatah‐Rajamandala (Bandung Barat), Pangkalan (Karawang ‐ Jawa Barat), Cibinong‐Ciampea‐Cigudeg (Bogor ‐ Jawa Barat), Pangandaran‐Green Canyon (Ciamis – Jawa Barat), Gombong (Kebumen – Jawa Tengah), Pegunungan Kapur Utara (Pati, Jawa Tengah ‐ Lamongan – Jawa Timur), Pegunungan Kendeng (Grobogan, Jawa Tengah – Jombang, Jawa Timur), Pegunungan Sewu (Yogyakarta dan Wonogiri, Jawa Tengah – Tulungagung, Jawa Timur).
| 49
lingkungan khususnya sumber‐sumber air, polusi udara, kerusakan struktur tanah. Saat ini ada 2 (dua) perijinan telah dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan dan Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Pati untuk PT. SMS (Sahabat Mulia Sakti), yaitu: Pertama, ijin pinjam pakai kawasan hutan produksi tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 5.000 ha dengan surat ijin dengan nomor SK. 642/Menhut ‐ II/2010 untuk kegiatan eksplorasi dan penambangan tanah liat atas nama PT. Sahabat Mulia Sakti (PT. SMS). Lahan untuk keperluan ini berada di dua wilayah pemangkuan hutan yang berbeda. Lahan seluas 3.600 ha berada di wilayah KPH Pati, tepatnya di wilayah Kecamatan Kayen, sedangkan 1.400 ha lainnya berada di hutan Grobogan yang termasuk wilayah KPH. Purwodadi. Kedua, Pemerintah Kabupaten Pati kepada PT. SMS telah mengeluarkan ijin eksplorasi. Pertama, Surat Kepala Kantor Pelayanan Terpadu (KAYANDU) Nomor 545/002 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi batu kapur kepada PT SMS. Lahan yang akan menjadi target eksplorasi adalah wilayah di Kecamatan Kayen (Desa Brati, Sumbersari dan Purwokerto) lalu di wilayah Kecamatan Tambakromo (Desa Larangan, Keben, Maitan, Pakis, Karangawen, Mojomulyo dan Wukirsari) dengan total lahan seluas 2.025 hektar. Kedua, surat nomor 545/003 tentang IUP eksplorasi tanah liat kepada PT. SMS yang memerlukan lahan seluas 663 hektar yang berada di wilayah Kecamatan Tambakromo (Desa Larangan, Maitan, Pakis dan Wukirsari).
Sumber : Erwin Dwi Kristianto, catatan lapangan
Tidak adanya kepastian penguasaan Sumber daya hutan dan wilayah kelola masyarakat ditengarai sebagai akar dari konflik di kawasan hutan Jawa. Akibatnya hak‐hak masyarakat lokal/adat di dalam dan sekitar hutan menjadi terpinggirkan. Selain itu, konflik agraria muncul akibat dari pengurangan akses masyarakat terhadap hutan yang berdampak hilangnya hak ekonomi, sosial, budaya dan politik. Masih maraknya konflik agraria yang terjadi di kawasan hutan di Jawa merupakan isyarat dari buruknya tata kelola kehutanan. Asas Domein Verklaring yang dikembangkan Pemerintah Hindia Belanda selalu dijadikan argumentasi oleh negara tiap kali ada gugatan masyarakat. Lebih jauh dari persoalan tersebut, konflik yang berkembang di kawasan hutan Jawa adalah sebuah perebutan ruang penghidupan antara rakyat dan negara. Pola tata kuasa hutan Jawa tidak beranjak dari model German school of forestry, model yang gagal mengelola hutan Indonesia.
52 |
3.1 Hutan Rakyat: katup penyelamat ekologi dan kehidupan ekonomi masyarakat di Jawa Berbicara mengenai pengelolaan hutan di Jawa, mau tidak mau harus menyinggung keberadaan Perum Perhutani sebagai satu kelembagaan tunggal yang hingga saat ini eksis. Sebagai badan usaha milik negara yang memegang otoritas pengelolaan hutan negara di seluruh Pulau Jawa (kecuali kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan negara di Provinsi DIY), Perhutani mengantongi kewenangan melalui PP No. 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara. Secara kesejarahan, otoritas terhadap teritori tersebut menurun dari warisan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Melalui mandat dari negara untuk mengelola 2,4 juta ha lahan kawasan hutan negara (1,7 juta ha hutan produksi dan 700 ribu ha hutan lindung), dengan komposisi unit pengelolaan Jawa Tengah: 630,7 ribu ha; Jawa Timur: 1,136juta ha; dan Jawa Barat & Banten: 659,1 ribu ha. Dengan jumlah tersebut Perhutani menguasai 85,37% dari seluruh kawasan hutan negara di Jawa. Sementara apabila dibandingkan dengan daratan Pulau Jawa yang seluas 13,3 juta ha, dapat dikatakan bahwa Perhutani menguasai 18% dari jumlah keseluruhan. Dengan kata lain, dengan mempercayakan pengelolaan hutan negara di Jawa hanya kepada Perum Perhutani maka sedikit banyak kelangsungan nasib ekologis Pulau Jawa adalah taruhan. Lebih‐lebih mengingat sepak terjang Perhutani selama ini yang tidak becus dalam mengemban mandat sebagaimana diuraikan di dalam bab II, sehingga persoalan ekologis dan masalah sosial (isu kemiskinan) menjadi fenomena endemik di semua desa hutan di Jawa. Mandat negara kepada Perhutani melalui Peraturan Pemerintah (terakhir PP 72/2010) yang menyebutkan bahwa sifat usaha dari Perum Perhutani yaitu menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan kelestarian sumberdaya hutan, pada kenyataannya tidak pernah dapat terwujud. Oleh sebab itu tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Perhutani tidak saja gagal dalam menjalankan mandatnya untuk mewujudkan tata ekologi, tetapi juga gagal untuk mewujudkan target devisa pemasukan negara. Alih‐alih merealisasikan keuntungan, mempertahankan aset/kekayaan negara pun ternyata juga gagal. Fokus manajemen yang berorientasi profit seringkali mengorbankan tujuan‐tujuan lain termasuk didalamnya adalah kondisi sumber daya hutan adalah fenomena umum yang dijumpai sebagai karakteristik sepak terjang Perhutani. Sudah sejak lama eksploitasi hutan yang dilakukan Perhutani melebihi “kemampuan hutan”. Tren eksploitasi berlebihan (over cutting) terus berjalan dan mencapai puncaknya di awal reformasi. Dilaporkan bahwa antara 1998‐1999 terjadi total over cutting mencapai kurang lebih 1juta m3. Walaupun di beberapa daerah terdapat
| 53
kecenderungan peningkatan luasan produktif dan volume tegakan, secara umum telah terjadi kemerosotan volume dan kualitas tegakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Hariadi K dan Sudarsono S yang menyatakan bahwa tegakan jati menurun dari 36,2 juta m3 pada tahun 1998 menjadi 27,5 juta m3 pada tahun 2003, dan menjadi 18,9 juta m3 pada tahun 2007. Penurunan selama periode 1998‐2003 sebesar 8,8 juta m3 atau 1,7 juta m3 per tahun, periode 2003‐2007 sebesar 8,5 juta m3 atau 2,1 juta m3 per tahun. Penurunan volume tegakan jati tersebut melebihi penurunan volume tegakan akibat produksi tahunan, yaitu antara 370 ribu m3 sampai 697 ribu m3 per tahun. Hal ini berarti bahwa hutan jati tidak dikelola secara lestari. Kondisi demikian juga ditunjukkan oleh komposisi tegakan jati pada tahun 2007 (18,9 juta m3) yang didominasi oleh tanaman muda (Kelas Umur I dan II sebesar 76%). Kecenderungan penurunan kualitas tegakan yang sudah berlangsung lama ini menggambarkan pendzaliman hutan secara sistemik. Sekitar lima belas tahun silam pun sesungguhnya telah diingatkan bahwa hanya 12% luas tutupan hutan Jawa — jauh di bawah ambang keselamatan ekologi — yang benar‐benar berfungsi baik untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Namun tetap saja ekploitasi terus berjalan. Penerapan konsep perencanaan hutan yang berbasis perhitungan etat (jatah tebang) sudah lama menyimpang dari konsep‐konsep hakiki pengaturan hasil. Metode pengaturan yang diterapkan hingga saat ini tidak mengakomodasi dinamika tegakan, seperti pencurian kayu dan bencana alam. Bahkan ada kesan “lomba tebang” antara Perhutani dan pencuri kayu. Lebih mengkhawatirkan lagi, metode pengaturan hasil lebih menekankan pada “pemaksaan tebangan” untuk mengisi kekosongan tebangan dengan menurunkan daur. Kemerosotan sumberdaya hutan juga digambarkan oleh fenomena kelas hutan yang tidak produktif (khususnya tanah kosong), yang sebenarnya telah terjadi sejak awal operasionalisasi Perhutani. Konsekuensi logis dari eksploitasi yang berlebihan (baik legal maupun illegal) yaitu semakin parahnya kondisi hutan. Hingga beberapa tahun terakhir, problem kawasan tidak produktif belum bisa diselesaikan. Proporsi kelas hutan tidak produktif pun cukup besar. Tercatat luasan tanah kosong Perhutani dari 2001‐2004 mencapai 400 ribu ha atau 25%. Data termutakhir pada 2009 menunjukkan tidak ada perubahan positif karena kelas hutan tidak produktif di Unit I Jawa Tengah masih mencapai 25% dari total kawasan hutan produksi. Kontras dengan gambaran kondisi lahan di luar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat. Masyarakat pedesaan pada saat yang sama ternyata berhasil membangun dan mengembangkan hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan dengan konsep yang sederhana, yaitu dengan menanami tanah dengan tanaman kayu dan membiarkannya tumbuh berkembang. Petani mengupayakan perbanyakan tanaman dengan berbagai metode seperti stek, sambung, cangkok,
54 |
dan teknik dengan persemaian, di mana upaya tersebut telah cukup akrab di kalangan petani hutan rakyat. Dalam strategi penanaman, petani biasanya menggunakan model penanaman multilayer yang dimaksudkan untuk ketahanan tanaman terhadap hama maupun manifestasi kebutuhan jangka pendek, kebutuhan jangka menengah, maupun kebutuhan jangka panjang. Pengusahaan hutan rakyat di Jawa telah berlangsung cukup lama sehingga sering dikatakan sebagai usaha turun‐temurun. Keberlangsungan usaha hutan rakyat ditentukan oleh faktor kesesuaian lahan atau faktor lingkungan alamiah yang mendukung. Karakteristik umum pengelolaan hutan rakyat di wilayah Jawa antara lain:76 • Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja yang terbatas, kemudahan pemeliharaan, faktor risiko kegagalan yang kecil, dan lain sebagainya. • Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani. • Basis pengelolaan berada pada tingkat keluarga, setiap keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah. • Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat diperoleh berdasarkan perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman. • Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat. • Belum ada rencana pengelolaan hutan rakyat, sehingga belum ada petani hutan rakyat berani memberikan jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. • Mekanisme perdagangan kayu hutan rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat. Hutan rakyat, khususnya hutan rakyat di Pulau Jawa dewasa ini telah menjadi sebuah fenomena sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang sangat luar biasa. Data Ditjen RLPS, Kementerian Kehutanan 2009 menyebutkan bahwa luas total hutan rakyat di seluruh Indonesia mencapai 3.589.343 ha, dimana 2,799,181 ha atau 77, 98% diantaranya terdapat di Pulau Jawa. Berdasarkan data BPKH Wilayah XI tahun 2009, komposisi sebaran tersebut adalah: Jawa Barat dan Banten 1,2 juta ha, Jawa Tengah 747ribu ha, DIY 111 ribu ha, Jawa Timur 641 ribu ha. Sementara itu dari sisi sebaran berdasarkan daerah aliran sungai (DAS), sebaran hutan rakyat di 76
Anonim, Potret Hutan Jawa‐Madura, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Wilayah Jawa‐Madura, Yogyakarta, 2012. h. 88
| 55
Jawa adalah sebagai berikut: seluas 375.730 ha berada di bagian hilir DAS, seluas 1.010.192 ha berada di bagian tengah DAS, dan seluas 1.198.990 ha berada di bagian hulu DAS. Persebaran hutan rakyat yang juga merata dari hulu sampai hilir tersebut, menunjukkan perannya dalam konservasi air yang tidak hanya untuk mengurangi laju limpasan, tetapi juga berperan dalam daerah tangkapan air untuk menjaga konservasi tanah dan menjadi penyangga terhadap bahaya abrasi, dan (bahkan) tsunami. Secara sosial ekonomi, hutan rakyat di Jawa terbukti telah mampu menjadi salah satu katup solutif sekaligus penopang roda perekonomian rakyat pedesaan melalui kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan‐kebutuhan penting dan mendesak yang bersifat jangka panjang. Melalui sebuah terminologi kearifan lokal yang disebut dengan “tebang butuh”, masyarakat pemilik hutan rakyat mampu beradaptasi dengan tekanan ekonomi yang menghimpitnya. Sementara secara sosio‐kultural, hutan rakyat telah mampu menumbuhkan semangat menanam sekaligus kewirausahaan (entrepreneurship) berbasis kayu. Produksi kayu bulat dari hutan rakyat di wilayah Jawa Madura menurut Statistik Kehutanan tahun 2011 dan data Dinas Kehutanan Provinsi Lingkup Jawa Madura mencapai 4.690.684m3.77 Produksi kayu bulat dari hutan rakyat tersebut didominasi oleh jenis jati, sengon, mahoni, akasia, dan jenis campuran.78 Secara proporsional sebaran data produksi kayu bulat tersebut sebagai berikut: Banten 40.878m3, Jawa Barat 2.331.460m3, Jawa Tengah 952.199m3, DI Yogyakarta 238.180m3, dan Jawa Timur 1.127.931m3. Terakhir, secara ekologis hutan rakyat telah mampu meningkatkan kualitas lingkungan hidup melalui keberhasilan meningkatkan luasan tutupan lahan yang tentu akan membawa dampak positif bagi meningkatnya daya dukung lingkungan. Sebagaimana peta luasan, tegakan, dan karbon pada areal hutan rakyat di wilayah Jawa Madura berikut: 77
Ibid, Anonim, h. 72 Ibid.
78
56 |
Tabel 9. Potensi kayu dan karbon pada Hutan Rakyat di Jawa Madura
*) Pekerjaan Inventarisasi dan Pendataan Potensi Hutan Rakyat di Pulau Jawa (Dirjen BP DAS dan Perhutanan Sosial bekerjasama dengan Surveyor Indonesia (2010) **) Penyusunan Basis Data Potensi Hutan dan Dinamika Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa sebagai Prakondisi Proyek Karbon Hutan (BPKH Wil XI dan MFP‐II, 2009)
Peranan hutan rakyat baik secara ekonomi maupun ekologi di wilayah Jawa telah menunjukkan kontribusinya yang nyata. Oleh karena itu, pengembangan dan perlindungan hutan rakyat di wilayah Jawa sangat penting dalam rangka menjaga eksistensi yang mendukung peningkatan potensi hutan rakyat di wilayah Jawa. Dan mereplikasikannya kedalam kawasan hutan negara adalah satu gagasan yang cukup relevan untuk diwacanakan. Melihat kenyataan tersebut, dimana secara vis a vis model kelola hutan rakyat jauh “menjanjikan” ketimbang pengelolaan hutan negara oleh Perhutani, maka cukup rasional apabila dalam upaya menyelamatkan masa depan hutan Jawa perlu mereplikasi kisah keberhasilan hutan rakyat ke dalam kawasan hutan negara. Dengan merujuk pada pernyataan Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Desa Hutan Indonesia (PMDHI) bahwa di Jawa dan Madura terdapat 5.400 LMDH yang terdiri atas sekitar 5 juta KK, dimana 60% diantaranya masuk kategori desa miskin dan tertinggal. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa posisi tawar LMDH dalam skema PHBM Perhutani teramat lemah, yang membuktikan bahwa problem akut kemiskinan tak akan pernah terselesaikan. Maka dengan mengasumsikan 5 juta KK ke depan diposisikan sebagai pelaku utama pada desain replikasi hutan rakyat di dalam kawasan hutan negara, praktis persoalan ekonomi, sosial dan ekologi di Jawa sedikit banyak akan tertanggulangi.
| 57
Namun demikian, mengingat pentingnya kebutuhan untuk tetap menghadirkan peran negara dalam mengawal terwujudnya pengelolaan hutan Jawa yang mampu mendukung fungsi sosial, ekonomi, dan ekologis, pemerintah perlu menetapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Penetapan KPH tersebut dilakukan pada kawasan hutan setelah terlebih dahulu dilaksanakan tahap penunjukan, pemetaan, dan penataan batas. Seiring dengan berjalannya proses tersebut, penting juga untuk dipikirkan upaya penyelesaian sengketa tenurial yang selama ini ada. Selanjutnya, legitimasi masyarakat di dalam kawasan hutan negara dapat dianalogikan dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) dengan KPH sebagai fasilitator sekaligus supervisor bagi berlangsungnya tata kepengaturan sumberdaya hutan. Terkait dengan posisi BUMN Kehutanan yang ada, dalam hal ini maka posisi Perhutani harus dirasionalisasi. Sebagai unit bisnis negara, Perhutani tetap dimungkinkan eksis melalui rekalkulasi cakupan wilayah kelola maupun aktivitas usaha utamanya (core business activity). Namun demikian dalam konteks kelembagaan yang mengusahakan sumberdaya hutan, Perhutani harus berada di dalam rejim tata kepengaturan KPH sebagaimana halnya unit‐unit kelola masyarakat. 3.2 Rekonfigurasi Hutan Jawa Dalam konteks rekonfigurasi hutan Jawa, rekonfigurasi diartikan sebagai perubahan bentuk/ wujud pengelolaan hutan Jawa ke arah yang lebih baik. Rekonfigurasi hutan Jawa ditujukan untuk melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa, serta perluasan ruang kelola rakyat guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Perubahan dilakukan terhadap beberapa aspek penting yaitu: Paradigma, Tata Kuasa, Tata Guna, dan Kebijakan. 3.2.1 Perubahan Paradigma Pengelolaan Hutan Dalam Undang‐undang Kehutanan No. 41/1999 Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa hutan mempunyai 3 fungsi yaitu konservasi, lindung, dan produksi. Sampai disini hutan masih dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, dengan 3 fungsi yang ada didalamnya. Namun sayangnya pada ayat selanjutnya (Pasal 6 ayat (2)), dinyatakan bahwa Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok. Penetapan hutan berdasarkan fungsi pokok tersebut dilakukan dengan membagi‐bagi area hutan menjadi 3 macam yaitu: Hutan konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
58 |
satwa serta ekosistemnya; terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Pembagian hutan menjadi 3 berdasarkan fungsi pokok tersebut dalam prakteknya menimbulkan pemahaman seolah‐olah pada hutan konservasi dan hutan lindung tidak boleh ada fungsi produksi, dan sebaliknya pada hutan produksi tidak perlu ada fungsi konservasi dan lindung. Dengan menetapkan hutan hanya berdasarkan salah satu fungsi pokoknya, maka telah terjadi pereduksian makna hutan. Misalnya pada hutan produksi, dari yang seharusnya hutan dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai gabungan dari fungsi konservasi, lindung, dan produksi; saat ini hutan produksi hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu dan non kayu. Untuk merekonfigurasi hutan Jawa, harus dimulai dari perubahan paradigma dengan memaknai hutan sebagai satu kesatuan utuh, tidak hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu ataupun non kayu. Perubahan paradigma juga dilakukan pada tataran pengelolaannya. Praktek pengelolaan hutan produksi di Jawa yang saat ini terjadi sesungguhnya bukanlah merupakan bentuk pengelolaan hutan, tapi lebih tepat disebut sebagai pengusahaan hutan mengingat pengelolaannya yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang maksimal. Dalam tingkat yang lebih ekstrem pengelolaan hutan di Jawa lebih tepat disebut sebagai pengusahaan lahan. Degradasi filosofi pengelolaan hutan menjadi hanya sekedar pengusahaan lahan terjadi karena pengelola (Perhutani) dibebani target untuk mendapatkan laba perusahaan. Untuk mencapai target laba perusahaan yang tinggi, Perhutani kemudian berinovasi mengoptimalkan aset perusahaan (lahan dan bangunan) yang sebagian dikerjasamakan dengan pihak ketiga (investor) melalui perjanjian kerjasama operasional (KSO). Beragam bentuk pengusahaan lahan yang dilakukan oleh Perhutani antara lain berupa pengembangan obyek wisata, persewaan lahan, dan bahkan sampai ke usaha pertambangan bahan galian. Untuk merekonfigurasi hutan Jawa, perlu dilakukan perubahan paradigma pada tataran pengelolaannya, dari hanya sekedar bisnis lahan ataupun pengusahaan hutan, dikembalikan menjadi pengelolaan hutan (bukan sekedar lahan, dan bukan sekedar pengusahaan). Perubahan paradigma pengelolaan hutan yang mengarahkan pengelolaannya pada petani kecil pada akhirnya akan berdampak pada perubahan sistem silvikutur. Perubahan yang dimaksud yaitu dari hutan tanaman yang homogen menjadi sistem agroforestri kompleks yang bersifat dinamis, mirip dengan struktur hutan alam
| 59
sebagaimana telah dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola hutan rakyat (Van Der Ploe, 2013). Proses perubahan paradigma pengelolaan hutan seharusnya dimulai dengan merevisi Undang‐undang Kehutanan sebagai dasar kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia. Dengan demikian, maka tugas untuk melakukan perubahan paradigma ini ada di tangan Pemerintah dan DPR. Peran organisasi masyarakat sipil adalah mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU Kehutanan melalui proses yang aspiratif. 3.2.2 Perubahan Tata Kuasa Hutan Jawa Hal mendasar yang paling urgen untuk direkonfigurasi adalah persoalan tata kuasa atas lahan hutan Jawa, mengingat dalam satu dekade terakhir ini banyak terdapat konflik lahan yang bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Tidak ada pihak yang diuntungkan dengan adanya konflik lahan hutan Jawa, selain bahwa hutan Jawa menjadi rusak dan berdampak pada menurunnya daya dukung lingkungan Pulau Jawa. Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan, berkelanjutan, dan bertanggung gugat. Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan. Selanjutnya Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.79 Dengan frasa “...dipergunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan, berkelanjutan, dan bertanggung gugat”; maka bisa dimaknai bahwa wewenang Pemerintah untuk mengatur, mengurus, dan memberikan izin kepada pihak lain seharusnya diprioritaskan bagi rakyat. Menjadi ironis jika melihat dari keseluruhan hutan produksi di Jawa (selain DIY) seluas hampir 1.9 juta hektar semuanya diserahkan pengelolaannya kepada Perhutani, tidak ada satupun izin pengelolaan diberikan untuk rakyat. Padahal disekitar hutan terdapat ribuan desa dengan jutaan rakyat yang hidup miskin dan membutuhkan lahan untuk penghidupan sehari‐hari. Persoalan tata kuasa erat hubungannya dengan akses atas sumber daya hutan. Maraknya konflik kehutanan di Jawa yang terjadi sejak awal masa reformasi tahun 79
Dikutip dari penjelasan umum UU 41/2009.
60 |
1998 hingga saat ini bisa dibedakan menjadi 2 jenis konflik utama yaitu konflik klaim hak atas tanah dan konflik karena ketiadaan akses atas sumberdaya hutan; dengan 2 pihak utama yang bersengketa adalah masyarakat dan Perhutani. Sebagai upaya penyelesaian konflik‐konflik tersebut, Perhutani telah melakukan berbagai upaya antara lain dengan melaksanakan program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat atau PHBM. Namun demikian PHBM telah gagal menyelesaikan konflik yang terjadi, karena program tersebut sama sekali tidak menyentuh persoalan yang mendasar yaitu soal tata kuasa dan hak akses atas sumberdaya hutan. Untuk memperbaiki pengelolaan hutan Jawa agar terbebas dari konflik, maka persoalan tata kuasa dan hak akses ini terlebih dahulu harus diselesaikan. Model rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas sumber daya hutan tidak bisa disamakan antara lokasi yang satu dengan yang lainnya. Diperlukan telaah mendalam terhadap kondisi faktual dan kesejarahan atas lahan hutan negara yang ada di setiap lokasi. Adanya perbedaan kondisi faktual dan kesejarahan tersebut akan menentukan bagaimana model rekonfigurasi yang tepat untuk setiap lokasi. Beberapa opsi ingin ditawarkan disini untuk merekonfigurasi tata kuasa dan akses atas sumberdaya hutan di Jawa, yang sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar‐ besar kemakmuran rakyat. Selengkapnya beberapa opsi tersebut dipaparkan sebagai berikut: 1. Pada Hutan Negara dimana rakyat punya sejarah pemilikan atas lahan tersebut tapi kemudian diusir karena dituduh terlibat dalam gerakan DI/TII, PKI, ataupun sebab lain. Terdapat banyak kasus di Jawa terkait dengan klaim ganda atas kepemilikan lahan, dimana lahan yang oleh Pemerintah telah dinyatakan sebagai Hutan Negara juga diklaim oleh warga setempat sebagai lahan miliknya. Klaim warga setempat terhadap lahan tersebut didasarkan pada pernyataan kesejarahan bahwa lahan tersebut dulunya adalah milik keluarganya (orangtua/kakek nenek/nenek moyangnya), yang kemudian diusir dari lahan tersebut karena dituduh terlibat gerakan DI/TII, PKI, serta sebab‐sebab lainnya. Sebagian dari warga yang terusir tersebut sampai saat ini masih ada yang menyimpan girik (bukti pemilikan lahan). Namun demikian banyak juga warga yang sudah tidak memiliki bukti‐bukti pemilikan lahan, karena seiring dengan aksi pengusiran yang terjadi, bukti‐bukti pemilikan lahan tersebut juga dirampas oleh orang‐orang yang mengusir mereka. Telaah terhadap sejarah pemilikan lahan yang berkonflik tersebut sebenarnya tidak hanya bisa didasarkan pada ada tidaknya dokumen bukti pemilikan lahan saja, tapi juga bisa dibuktikan dengan adanya bekas‐bekas pemukiman pada lahan tersebut.
| 61
Untuk kasus seperti ini, terdapat 2 (dua) opsi yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan konflik kepemilikan lahan (yang berada di hutan negara) yaitu: Jika pemilik sah sebelumnya atau ahli warisnya bisa membuktikan bahwa tanah tersebut adalah miliknya, maka tanah tersebut diserahkan kembali menjadi hak milik pemilik sah sebelumnya atau ahli warisnya. Jika tidak bisa dibuktikan bahwa tanah tersebut adalah milik individu‐individu, tapi bisa dibuktikan bahwa tanah tersebut adalah bekas pemukiman ataupun areal budidaya warga yang dulu terusir, maka penguasaan tanah tersebut diserahkan ke Desa setempat sebagai tanah kas Desa, dan hak kelolanya diprioritaskan untuk warga yang dulu terusir atau ahli warisnya. 2. Pada Tanah Timbul yang oleh Pemerintah ditunjuk sebagai Hutan Negara, dan masyarakat setempat juga berkehendak memanfaatkan tanah tersebut. Tanah Timbul adalah tanah negara berstatus bebas yang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja. Namun di banyak lokasi (contohnya di Segara Anakan dan Pantai Utara Jawa Tengah), kebanyakan tanah timbul oleh Pemerintah ditetapkan secara sepihak sebagai Hutan Negara dan dikelola oleh Perhutani. Padahal masyarakat setempat juga membutuhkan lahan tersebut untuk budidaya pertanian. Perbedaan kepentingan tersebut telah menimbulkan konflik antara masyarakat setempat dengan Perhutani. Untuk menyelesaikan konflik pada Tanah Timbul, bisa diambil jalan tengah dengan 2 (dua) opsi rekonfigurasi berikut: Tanah Timbul dikuasai oleh Negara, ditetapkan sebagai Hutan Negara, dan dikelola oleh Desa terdekat/setempat dengan skema ijin Hutan Desa. Menjadi aset desa berupa hutan milik desa. 3. Pada Tanah Negara (GG/Government Ground) yang oleh Pemerintah ditunjuk sebagai Hutan Negara, dan masyarakat setempat juga berkehendak memanfaatkan tanah tersebut. Kasus konflik lahan di Ngrimpak (Temanggung), Kauman (Wonosobo), dan Penawaran (Banjarnegara) menjadi contoh aktual pada opsi ini. Di ketiga lokasi tersebut, masyarakat dan Pemerintah Desa setempat mengklaim bahwa ada lahan‐ lahan yang di dalam peta desa disebut tanah GG (government ground), namun oleh Perhutani dan Kementrian Kehutanan dinyatakan sebagai kawasan Hutan Negara. Sebagaimana pada kasus Tanah Timbul, rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas sumber daya hutan pada tanah GG ini bisa menggunakan 2 (dua) opsi berikut: Tanah Negara dikuasai oleh Negara, ditetapkan sebagai Hutan Negara, dan dikelola oleh Desa terdekat/setempat dengan skema ijin Hutan Desa. Menjadi aset desa berupa hutan milik desa.
62 |
4. Pada Hutan Negara yang secara de facto telah dikuasai oleh masyarakat setempat untuk budidaya pertanian, atau pada Hutan Negara dengan tekanan penduduk tinggi sehingga Perhutani selalu mengalami gagal tanam ataupun gagal panen. Kondisi ini terjadi di banyak tempat mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Karena masyarakat membutuhkan lahan untuk pemenuhan kebutuhan sehari‐hari, mereka memanfaatkan hutan negara yang ada di sekitarnya untuk budidaya tanaman pangan. Dampak dari tingginya tekanan penduduk terhadap hutan secara umum bisa dibedakan menjadi 2 (dua) kondisi utama yaitu: Pada daerah dimana Perhutani masih mempunyai kontrol yang cukup kuat terhadap kawasan hutan yang dikelolanya, kegiatan penanaman tetap bisa berjalan, tapi tidak pernah jadi karena pertumbuhan bibit pohon yang ditanam kalah bersaing dengan tanaman pangan yang dibudidayakan oleh masyarakat. Dan banyak juga terjadi kasus dimana Perhutani gagal melakukan panen kayu pada petak‐petak yang sudah direncanakan untuk ditebang, disebabkan karena pohon‐pohon sudah ditebang oleh masyarakat sekitarnya. Pada daerah dimana Perhutani sudah kehilangan kontrol atas kawasan hutan yang dikelolanya, maka lahan‐lahan tersebut sepenuhnya secara de facto sudah dikelola oleh masyarakat untuk budidaya pertanian, sehingga Perhutani tidak bisa melakukan kegiatan pengelolaan hutan pada kawasan tersebut. Model rekonfigurasi untuk konflik lahan semacam ini bisa menggunakan 2 (dua) opsi sebagai berikut: Lahan dikuasai oleh Negara, ditetapkan sebagai hutan negara, dikelola oleh Desa atau kelompok masyarakat setempat dengan skema ijin Hutan Desa atau HKm. Menjadi aset desa berupa hutan milik desa. 5. Pada kawasan hutan negara yang selama ini dikelola oleh Perhutani dengan tekanan penduduk rendah. Dengan tekanan penduduk yang rendah, maka Perhutani bisa melakukan kegiatan pengelolaan hutan tanpa ada konflik dengan masyarakat. Untuk kawasan hutan negara yang ‘aman’ ini, sesungguhnya pengelolaan hutan bisa sepenuhnya diserahkan ke Perhutani. Namun demikian, seiring dengan adanya kebijakan Pemerintah agar dimasa mendatang pengelolaan hutan negara dilakukan oleh KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang mandiri, maka untuk hutan negara di Jawa yang tekanan penduduknya rendah ini sebaiknya pengelolaan juga dilakukan oleh KPH bekerjasama dengan masyarakat.
| 63
Dengan hutan negara di Jawa dikelola oleh KPH (tingkat Provinsi ataupun tingkat Kabupaten), keberadaan Perhutani bisa tetap dipertahankan dengan beberapa opsi berikut: Menjadi KPH yang mengelola kawasan hutan negara lintas provinsi. Menjadi BUMN yang bekerja sama dengan KPH dalam mengelola hutan negara, atau mendapat ijin dari KPH untuk mengelola hutan negara. Menjadi BUMN yang berorientasi usaha pada pengolahan dan pemasaran hasil hutan baik kayu ataupun non kayu. 6. Pada Hutan Adat yang oleh pemerintah diklaim sebagai hutan negara. Di beberapa daerah di Jawa masih terdapat komunitas‐komunitas masyarakat adat yang tentu saja juga mempunyai wilayah adat, termasuk hutan adat. Namun demikian, karena dalam Undang‐Undang Kehutanan disebutkan bahwa hutan adat termasuk sebagai hutan negara, maka hampir semua hutan adat di Jawa saat ini oleh Pemerintah dinyatakan sebagai hutan negara. Seiring dengan terbitnya Putusan MK No. 35 Th. 2012, maka hutan‐hutan adat di Jawa yang oleh Pemerintah telah dinyatakan sebagai hutan negara tersebut sebaiknya juga dikembalikan ke masyarakat adat setempat. Sesuai dengan Putusan MK tersebut, pengembalian hutan negara menjadi hutan adat tidak bisa serta merta dilakukan sebelum keberadaan masyarakat adat diakui oleh Pemerintah Daerah setempat. Untuk mempercepat pengembalian hutan negara menjadi hutan adat, maka Pemerintah Daerah perlu menerbitkan Peraturan Daerah tentang pengakuan komunitas masyarakat adat setempat dan wilayah adatnya. Deskripsi ringkas dari sejumlah opsi yang ditawarkan di atas untuk rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas sumberdaya hutan di Jawa dapat dilihat dalam Tabel 10 di bawah ini: Tabel 10 Opsi‐opsi rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas SDH Rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas SDH Hutan Negara dimana rakyat punya sejarah Jika pemilik sah sebelumnya atau ahli pemilikan atas lahan tersebut tapi kemudian warisnya bisa membuktikan bahwa tanah diusir karena dituduh terlibat gerakan DI/TII, tersebut adalah miliknya, maka tanah PKI, ataupun sebab lain. tersebut diserahkan kembali menjadi hak milik pemilik sah sebelumnya atau ahli warisnya. Jika tidak bisa dibuktikan bahwa tanah tersebut adalah milik individu‐individu, tapi bisa dibuktikan bahwa tanah tersebut adalah bekas pemukiman ataupun areal budidaya warga yang dulu terusir, maka penguasaan Kondisi lahan yang berkonflik
64 | tanah tersebut diserahkan ke Desa setempat sebagai tanah kas Desa, dan hak kelolanya diprioritaskan untuk warga yang dulu terusir atau ahli warisnya.
Dikuasai oleh Negara, dikelola oleh Desa terdekat/setempat dengan skema ijin Hutan Desa. Menjadi Aset Desa berupa hutan milik desa80.
Hutan Negara yang secara de facto telah Dikuasai oleh Negara, dikelola oleh Desa atau dikuasai oleh masyarakat setempat untuk kelompok masyarakat setempat dengan skema budidaya pertanian. ijin HD atau HKm. 81 Hutan Negara dengan tekanan penduduk Menjadi Aset Desa berupa hutan milik desa . tinggi sehingga Perhutani selalu mengalami gagal tanam ataupun gagal panen. Hutan Negara yang selama ini dikelola oleh Dikuasai oleh Negara, dikelola oleh KPH (Kesatuan Perhutani dengan tekanan penduduk rendah. Pengelolaan Hutan) bekerjasama dengan masyarakat setempat. Hutan Adat yang oleh negara diklaim sebagai Dikuasai dan dikelola oleh Kesatuan Masyarakat Hutan Negara82. Hukum Adat setempat, yang dikukuhkan dengan Perda.
Selanjutnya, untuk menentukan opsi yang paling tepat untuk dilakukan guna merekonfigurasi tata kuasa dan akses atas sumberdaya hutan pada setiap lokasi, perlu dilakukan tahapan‐tahapan rekonfigurasi sebagai berikut: Tahap I. Identifikasi dan inventarisasi konflik lahan Tahapan ini meliputi kegiatan inventarisasi lokasi dan luasan lahan yang berkonflik, identifikasi tipologi konfliknya, dan rekomendasi untuk menjadi prioritas dalam mediasi penyelesaian konflik. Tahapan kegiatan ini akan dilakukan oleh KPH Jawa sebagai wujud kontribusi masyarakat sipil di Jawa dalam proses rekonfigurasi hutan Jawa. 80
Lihat UU Desa Tahun 2013, Pasal 76 dan 26 ayat 1 huruf c. Ini peluang hukum baru yang dapat dimanfaatkan didalam konteks rekonfigurasi hutan Jawa. Meskipun begitu perlu ditelaah lebih lanjut oleh KPH Jawa, bagaimana peraturan perundang‐undangan turunannya. 81 Lihat UU Desa Tahun 2013, Pasal 76 dan 26 ayat 1 huruf c. Ini peluang hukum baru yang dapat dimanfaatkan didalam konteks rekonfigurasi hutan Jawa. Meskipun begitu perlu ditelaah lebih lanjut oleh KPH Jawa, bagaimana peraturan perundang‐undangan turunannya. 82 Sebagai konsekuensi atas terbitnya Putusan MK No. 35 Th. 2012.
| 65
Tahap II. Mediasi penyelesaian konflik Dewan Kehutanan Nasional – dalam berbagai kesempatan – telah direkomendasikan untuk menjadi mediator penyelesaian konflik lahan hutan di Jawa. Namun demikian masih perlu dibahas lebih lanjut, bagaimana agar proses dan hasil mediasi bisa melembaga dan ditaati oleh semua pihak. Output dari tahapan mediasi ini setidaknya akan ada 2 (dua) hal yang harus disepakati yaitu menyepakati status penguasaan lahan, dan menyepakati model pengelolaannya. Tahap III. Penata‐batasan hutan sesuai hasil kesepakatan mediasi Dengan adanya tata batas yang jelas dan disepakati oleh semua pihak, maka dimasa mendatang tidak akan ada lagi konflik tata batas hutan. Pekerjaan penatabatasan hutan ini dilakukan oleh BPKH XI Jawa Madura, dengan diawasi oleh pihak‐pihak yang berkepentingan. Tahap IV. Pelepasan status hutan negara sesuai kesepakatan mediasi Salah satu output dari kesepakatan mediasi ialah kemungkinan adanya sebagian kawasan hutan yang disepakati untuk tidak lagi menjadi hutan negara. Setelah penatabatasan selesai, maka Menteri Kehutanan harus menerbitkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan negara menjadi peruntukan lain sesuai dengan kesepakatan mediasi. Tahap V. Pembentukan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) di Jawa Setelah tahapan mediasi dan penatabatasan hutan selesai, maka bisa diketahui secara pasti dimana saja lokasinya dan berapa luasan kawasan hutan negara di Jawa. Tahapan selanjutnya adalah pembentukan KPH selaku instansi pengelola hutan negara. Pembentukan KPH bisa dilakukan di tingkat Kabupaten (untuk mengelola kawasan hutan negara yang ada dalam wilayah satu kabupaten) ataupun di tingkat Provinsi (untuk mengelola kawasan hutan negara yang lintas kabupaten tapi masih dalam satu provinsi). Tahap VI. Penerbitan ijin pengelolaan hutan untuk masyarakat Penerbitan ijin pengelolaan hutan untuk masyarakat ini bisa dilakukan dengan skema‐skema yang sudah ada di Kementrian Kehutanan; misalnya: Ijin Hutan Desa, Ijin Hutan Kemasyarakatan, Ijin Hutan Tanaman Rakyat, ataupun dengan skema Kemitraan Kehutanan. Pilihan skema ijin pengelolaan hutan untuk masyarakat tergantung pada model pengelolaan hutan yang telah disepakati dalam mediasi.
66 |
Tahap VII: Monitoring proses mediasi konflik dan hasilnya Guna memastikan bahwa proses mediasi berjalan dengan fair, dan semua pihak melaksanakan kesepakatan‐kesepakatan dalam mediasi, maka perlu ada monitoring terhadap proses mediasi dan pelaksanaan hasil mediasi. KPH Jawa selaku jaringan organisasi masyarakat sipil di Jawa yang peduli pada upaya pemulihan hutan Jawa bisa melakukan fungsi monitoring ini guna memastikan agar proses mediasi berjalan dengan fair, dan hasil‐hasil mediasi ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak. Secara ringkas tahapan tahapan untuk melakukan rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas sumberdaya hutan di Jawa dapat dilihat dalam Tabel 11 di bawah ini: Tabel 11. Tahapan rekonfigurasi tata kuasa dan akses atas SDH Tahapan Identifikasi dan inventarisasi konflik lahan: Inventarisasi lokasi dan luasan Identifikasi tipologi konfliknya Rekomendasi konflik untuk dimediasi Mediasi penyelesaian konflik: Menyepakati status penguasaan lahan Menyepakati model pengelolaannya di masa depan Penatabatasan hutan sesuai hasil kesepakatan mediasi Pelepasan status hutan negara sesuai kesepakatan mediasi
83
Pelaksana
KPH Jawa
Dewan Kehutanan Nasional83
BPKH XI Jawa Madura
Menteri Kehutanan
Harus ada mekanisme penyelesaian konflik yang melembaga, misalnya dengan Perpres. Supaya memiliki kekuatan hukum, hasil mediasi didaftarkan ke pengadilan.
| 67
Pembentukan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) di Jawa Penerbitan ijin pengelolaan hutan untuk masyarakat
Pemda Kabupaten atau Provinsi Menteri Kehutanan
Monitoring proses mediasi konflik dan KPH Jawa hasilnya
Dengan berbagai opsi rekonfigurasi tata kuasa diatas, maka akan terjadi pengurangan luasan hutan negara dikarenakan: Ada sebagian luasan hutan negara yang dikembalikan ke individu pemilik sah sebelumnya atau ahli warisnya. Ada sebagian luasan hutan negara yang berubah status menjadi Aset Desa berupa hutan milik desa. Ada sebagian kawasan hutan yang berubah status dari hutan negara menjadi hutan adat karena oleh Perda ditetapkan sebagai Hutan Adat. Namun demikian, pengurangan luasan hutan negara tidak perlu dikhawatirkankarena selain sebagian hanya berubah status menjadi Hutan Adat ataupun hutan milik desa, disisi lain justru Hutan Rakyat akan berkembang dengan pesat sehingga daya dukung lingkungan Pulau Jawa akan tetap terpelihara. Dan dengan tata kuasa yang adil, maka konflik lahan hutan Jawa akan bisa dihilangkan sehingga kondisi hutan akan membaik. 3.2.3 Perubahan Tata Guna Hutan Jawa Penatagunaan hutan Jawa bukanlah bagian terpisah dari pola pemanfaatan ruang di Jawa, sehingga pola pemanfaatannya seharusnya mengacu pada berbagai peraturan tentang penataan ruang, antara lain: UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Perpres No. 28/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa‐Bali, serta berbagai Perda Provinsi dan Kabupaten di Jawa tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).84 Dengan mengacu pada berbagai aturan tentang penataan ruang tersebut, maka seharusnya tata guna hutan Jawa cukup dibedakan menjadi 2 pola pemanfaatan ruang, yaitu: hutan pada kawasan lindung dan hutan pada kawasan budidaya.
84
Proses yang saat ini terjadi justru terbalik, yaitu TGHK (tata guna hutan kesepakatan) menjadi acuan dalam penyusunan RTRW. Kalau tata guna hutan didorong mengacu pada RTRW, maka di masa depan penyusunan RTRW harus diperbaiki dengan tidak menempatkan kawasan hutan sebagai faktor pembatas.
68 |
Pengelolaan hutan pada kawasan lindung menjadi kewenangan Pemerintah untuk menjaga hutan pada kawasan tersebut agar terus terpelihara kelestarian fungsi dan manfaatnya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan. Pada kawasan budidaya, keberpihakan kepada rakyat merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek‐praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Pengelolaan kawasan budidaya ini dilakukan oleh KPH dan masyarakat melalui kerjasama kemitraan. Dominasi pengelolaan hutan Jawa selama ini dilakukan untuk memproduksi kayu, sehingga terjadilah upaya untuk memaksimalkan produksi kayu jenis komersial (khususnya jati). Konsekuensi dari adanya target produksi kayu tersebut, maka komposisi hutan Jawa berubah dari yang tadinya berupa hutan alam tropis (multi jenis dan multi layers) menjadi hanya sekedar kebun kayu dengan jenis tanaman yang sejenis dan seumur. Dengan perubahan filosofi pengelolaan hutan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, maka di masa mendatang dalam setiap jengkal hutan Jawa tidak ada yang khusus hanya ditujukan untuk produksi kayu ataupun satu jenis produk tertentu, tapi hutan dikelola untuk mendapatkan semua manfaat yang mungkin didapat dari hutan. Faktor penting dalam perubahan tata produksi ini adalah bahwa hutan Jawa tidak lagi dibebani target untuk menghasilkan laba finansial sebesar‐besarnya, tapi lebih diutamakan untuk memproduksi jasa lingkungan yang berguna bagi keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan daya dukung lingkungan Pulau Jawa. Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan memberikan Ijin Pemanfaatan. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan yang dipercayakan kepadanya. Distribusi manfaat hasil hutan baik tangible (produk fisik yang mempunyai nilai value tertentu) maupun intangible (nilai tak berwujud) dilakukan secara adil, dengan prioritas penerima manfaat adalah masyarakat rentan (miskin desa dan miskin kota), stakeholder utama yang berinteraksi langsung dengan hutan, dan masyarakat umum (publik). Perubahan tata guna lahan hutan Jawa juga harus didukung dengan perubahan kelembagaan pengelola hutan Jawa. Di masa depan, diperlukan ada 3 macam kelembagaan yaitu: Kelembagaan perencanaan kehutanan Jawa, Kelembagaan pengelola hutan Jawa, dan Kelembagaan penyelesaian konflik hutan Jawa.
| 69
Kelembagaan perencanaan kehutanan Jawa adalah lembaga negara yang mempunyai otoritas untuk merencanakan pengelolaan hutan secara sinergis dan terintegrasi dengan sektor‐sektor pembangunan lainnya. Beberapa alternatif instansi yang mungkin mendapat mandat untuk perencanaan hutan Jawa antara lain Bappenas, Kementrian Lingkungan Hidup, atau Badan Planologi Kementrian Kehutanan. Kelembagaan pengelola hutan Jawa adalah lembaga yang berperan mengelola hutan Jawa sesuai yang telah direncanakan oleh kelembagaan perencanaan kehutanan Jawa. Mengacu pada model‐model rekonfigurasi tata kuasa hutan Jawa dengan opsi‐opsi yang telah ditawarkan sebelumnya, di masa depan akan terdapat beberapa kelembagaan pengelola hutan Jawa, yaitu: KPH Kabupaten, mengelola kesatuan pengelolaan hutan yang ada di dalam wilayah satu kabupaten. KPH Provinsi, mengelola kesatuan pengelolaan hutan yang mempunyai area kerja antar kabupaten. Desa, mengelola hutan negara dengan skema ijin Hutan Desa. Kelompok Tani HKm, mengelola hutan negara dengan skema ijin HKm. Kelompok Tani HTR, mengelola hutan negara dengan skema ijin HTR. Perhutani, mengelola kesatuan pengelolaan hutan yang mempunyai area kerja antar provinsi; yang tidak dikelola oleh masyarakat dengan skema ijin Hutan Desa, HKm, ataupun HTR. Kelembagaan penyelesaian konflik kehutanan penting untuk dibangun, guna menghindari dan menyelesaikan konflik jika di masa depan masih terjadi konflik kehutanan di Jawa. Lembaga penyelesaian konflik ini harus mempunyai otoritas yang kuat dan diterima oleh semua pihak. 3.2.4 Perubahan Kebijakan Pengelolaan Hutan Jawa Untuk menuju realisasi gagasan rekonfigurasi tersebut di atas, langkah penting yang pertama kali harus dilakukan adalah merangkainya — baik level paradigma hingga teknis operasional — melalui rekonstruksi kebijakan mulai dari Undang‐undang sampai Peraturan Pelaksanaan. Pada ranah Undang‐undang, maka tidak ada cara lain kecuali mengganti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Undang‐ undang yang baru. Karena toh realitanya UU Kehutanan 41/1999 sendiri telah banyak mengalami gugatan dan perubahan mulai dari hasil putusan MK mengenai uji meteriil No. 45/PUU‐IX/2011 terkait isu kawasan hutan dan No. 35/PUU‐X/2012 terkait dengan isu hutan adat, serta UU No. 19 Tahun 2004 tentang Perubahan UUK itu sendiri. Perubahan tersebut setidak‐tidaknya merevisi Pasal 6 ayat (1) UUK 41/1999 terutama terkait dengan pengklasifikasian hutan menurut fungsi konservasi, lindung, dan produksi yang di dalam Pasal 6 ayat (2) lebih lanjut dinyatakan bahwa “pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok
70 |
sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi”. Dalam prakteknya selama ini penetapan hutan berdasarkan fungsi pokok tersebut mengakibatkan distorsi paradigma hutan yang seharusnya secara holistik setiap hutan memuat ketiga fungsi tersebut secara utuh sekaligus.85 Distorsi itu sendiri mungkin sudah disadari oleh penyusun UUK 41/1999 yang menggarisbawahi di dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2), bahwa yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan. Artinya, dalam kawasan hutan yang sudah ditentukan berdasarkan suatu fungsi pokoknya tersebut, mustinya dua fungsi yang lain tetap melekat berjalan simultan di dalam entitas hutan yang bersangkutan. Sedangkan pada ranah Peraturan Pelaksanaan, mencabut PP 72 Tahun 2010 tentang Perum Perhutani adalah konsekuensi yang tidak bisa dielakkan. Pilihan langkah untuk mencabut PP 72/2010 merupakan keharusan sebagai pondasi utama untuk melakukan rekonfigurasi hutan Jawa. Dengan dicabutnya PP 72/2010, selanjutnya hutan Jawa kepengurusannya diperlakukan secara sama sebagaimana status hutan di luar Jawa selama ini. Tidak diperlukan lagi keistimewaan karena dengan dicabutnya PP 72/2010 tidak lagi ada institusi tunggal yang mempunyai wewenang penuh atas tata kepengurusan hutan di Jawa. Dengan keluarnya kebijakan baru yang menjadi basis kebijakan kepengurusan hutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar‐besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat, perlu kembali dilakukan penataan ulang mengenai mekanisme perencanan kehutanan, pengelolaan hutan, dan pengawasan. PP No. 72/2010 akhirnya sering disebut sebagai sumber masalah hutan Jawa, mengingat mandat yang kerap kontradiktif sebagaimana dilihat dalam pasal pasalnya. Maksud dan tujuan pengusahaan hutan adalah untuk penyelenggaraan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.86 Namun pada saat yang sama Perhutani juga dibebani untuk harus menghasilkan keuntungan bagi pendapatan nasional.87 Sebagai konsekuensi dari beban yang harus ditanggung tersebut, belakangan Perhutani bahkan lebih mengedepankan aktivitas‐aktivitas di luar core business kehutanan di dalam kawasan hutan yang dikelolanya.88 85
Sebagaimana fakta misalnya suatu hutan sudah ditetapkan sebagai hutan produksi — di mana seharusnya hutan merupakan satu kesatuan fungsi yang utuh: konservasi, lindung, produksi — maka terhadap hutan tersebut hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu dan non‐kayu. 86 Pasal 11 ayat (1) PP No. 72/2010 87 Lihat konsideran menimbang huruf a PP No. 72/2010 88 Karena pada saat yang sama memang didorong ke arah sana oleh kebijakan yang mengaturnya, sebagaimana pernyataan Pasal 11 ayat (3) PP No. 72/2010 yang menyebutkan bahwa, ”[s]elain usaha utama kehutanan, Perusahaan [Perum Perhutani] dapat menyelenggarakan kegiatan usaha lain berupa: usaha optimalisasi potensi sumber daya yang agrobisnis, properti, pergudangan, pariwisata, hotel, resort, rest area, rumah sakit,
| 71
Kembali ke kesadaran bahwa pengelolaan hutan Jawa hanya bisa dilakukan semata‐ mata oleh badan usaha milik negara adalah mitos, maka pembaruan kebijakan sebagai basis legitimasi adalah keniscayaan. Terdapat sejumlah fakta yang menguatkan pendapat bahwa fakta Perhutani sebagai pemegang otoritas tunggal atas hutan produksi di Jawa telah gagal melakukan pengelolaan hutan di Jawa. Pada saat yang sama keberhasilan model kelola hutan rakyat adalah realita yang mesti diterima bersama. Dengan kondisi tersebut maka tidak perlu ada alasan untuk menolak rekonstruksi basis kebijakan hutan Jawa. Rekonstruksi basis kebijakan yang dimulai dengan mencabut PP No. 72/2010 setelahnya perlu dilanjutkan dengan penerbitan regulasi pengelolaan hutan Jawa. Regulasi yang dimaksudkan disini adalah regulasi yang mendukung desain kepengurusan melalui model kelembagaan KPH – sebagaimana mandat PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 di mana unit usaha milik negara (mungkin sebagai ganti Perhutani) tidak lebih merupakan salah satu pihak penerima konsesi yang sejajar dengan masyarakat, sehingga harus tetap tunduk dalam garis koordinasi dan supervisi KPH.
pertambangan galian C, prasarana telekomunikasi, pemanfaatan sumber daya air, dan sumber daya alam lainnya; dan kegiatan lain.”
74 |
4.1 Tujuan, tenggat waktu kerja Rekonfigurasi hutan Jawa diartikan sebagai perubahan bentuk wujud pengelolaan hutan Jawa ke arah yang lebih baik. Tujuan yang ingin dicapai adalah: pertama, melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa; kedua, perluasan ruang kelola rakyat guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan. Dua tujuan ini melingkupi semua kegiatan yang diusulkan termasuk didalamnya rekonfigurasi Perhutani sebagai pengelola hutan terluas di Pulau Jawa. Dokumen ini memiliki beberapa peranan. Masing‐masing adalah (a) menjadi dokumen konsolidasi pengetahuan tentang kondisi dan masa depan Hutan Jawa; dan menjadi bahan bacaan yang dapat menjadi rujukan dalam melakukan (b) dialog dengan berbagai pihak yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pengurusan hutan Jawa, maupun (c) dalam melakukan lobi dengan para pengambil keputusan. Tenggat waktu kerja Tenggat waktu yang ditentukan adalah mengikuti tenggat waktu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah, yakni selama 5 (lima) tahun (2015‐ 2019). Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa dokumen peta jalan rekonfigurasi hutan Jawa ini pada dasarnya adalah dokumen lobi kepada pihak pengambil keputusan dan mengandung materi perencanaan pengelolaan hutan. Pada titik itu, mengikuti alur kerja pengambil keputusan menjadi masuk akal agar usulan sebagai tercantum dalam dokumen ini dapat diterima oleh para pihak, terutama pengambil keputusan. Konsolidasi internal Agar berbagai agenda yang disusun ini dapat berjalan, sebelum dilakukan dialog dan lobi dengan pihak pengambil keputusan, perlu dilakukan serangkaian langkah untuk konsolidasi ke dalam lingkungan internal CSO dan juga kalangan lain yang dinilai sepaham. Hal ini diperlukan untuk memperkuat legitimasi gagasan dan langkah kerjanya. Konsolidasi internal ini tidak berhenti ketika dokumen peta jalan selesai disusun saja, melainkan terus berlanjut untuk mengakomodasi berbagai kemungkinan‐kemungkinann perubahan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang dihadapi. Pemilihan agenda dan langkah strategis yang diperlukan telah melalui sejumlah pemikiran dan pertimbangan yang matang. Meski begitu, keterbatasan cara pandang dan keinginan melibatkan sebanyak mungkin para pihak yang sepaham, tidak tertutup kemungkinan adanya sejumlah kekurangan dan kelemahan. Kekurangan dan kelemahan ini akan terus disempurnakan seiring dengan perkembangan kegiatan.
| 75
Tahapan konsolidasi Sebelum masuk pada tahap konsolidasi, kegiatan bisa saja diawali dengan tahapan pra‐konsolidasi dengan melakukan sejumlah dialog dengan pihak CSO dan kalangan lain yang sepaham. Setelah itu langkah ini bisa dilanjutkan dengan agenda‐agenda konsolidasi antar CSO/kalangan lain yang sepaham yang memiliki perhatian, pengalaman dan pengetahuan dalam soal pengurusan hutan Jawa yang lebih mengikat. Tujuannya adalah untuk memperkaya dan mempertajam agenda dan langkah strategi dalam peta jalan. Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan paralel adalah dengan melakukan dialog dengan CSO/kalangan lain yang sepaham yang memiliki perhatian pada situasi dan kondisi di Pulau Jawa yang tidak terkait dengan hutan tapi memiliki relevansi dengan pengurusan hutan di Jawa. Pada akhir masa pra konsolidasi ini diharapkan dapat dihasilkan materi‐materi yang dapat digunakan untuk melakukan lobi ataupun untuk keperluan penyebarluasan di media massa. Materi itu antara lain berupa: 1) Dokumen final peta jalan rekonfigurasi Hutan Jawa. Dokumen ini akan dibawa ke berbagai pihak, sebagai posisi kalangan CSO dan kalangan lain yang sepaham dalam melihat permasalahan Hutan Jawa. 2) Ringkasan eksekutif (yang diperlakukan sebagai kertas politik). Ditujukan bagi para pembuat kebijakan 3) Flyer ditujukan bagi kalangan media dan masyarakat umum Tahapan konsolidasi selanjutnya adalah dengan memanfaatkan dua peristiwa penting di tahun 2014: Penyusunan RPJMN 2015‐2019, serta Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yang diselenggarakan April sampai dengan Oktober 2014 mendatang. Dua peristiwa ini tidak boleh dilewatkan. Proses penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015‐2019 merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden terpilih. Walaupun bersifat makro, Dokumen RPJM menjadi landasan bagi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun per tahun dan juga Rencana Strategis masing‐masing Kementerian atau Lembaga, terutama Kementerian/Lembaga yang berkaitan dengan pengurusan hutan. Selain itu, ia juga akan mewarnai Rencana Pembangunan Jangka Menengah di tingkat Daerah (RPJMD) dan Renja masing‐ masing SKPD di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada titik itu, pendekatan kepada berbagai pihak yang menyusun dokumen ini perlu dilakukan, antara lain kepada Bappenas atau konsultan penyusun dokumen RPJM tersebut. Peristiwa politik yang perlu diintervensi secara serius adalah Pemilu legislatif dan Presiden yang berlangsung antara Bulan April sampai dengan Oktober 2014. Momentum ini harus bisa dimanfaatkan karena pada saat itu mereka yang sedang mencalonkan diri (baik jadi anggota legislatif maupun presiden) membutuhkan
76 |
dukungan suara dari masyarakat. Pada titik ini permasalahan yang terkait dengan pengurusan hutan Jawa dapat disuarakan. Banyaknya calon anggota legislatif yang berasal dari CSO sebenarnya dapat mempermudah proses ini. Secara lebih ringkas kegiatan‐kegiatan yang perlu dilakukan pada Tahap Konsolidasi ini, sasaran, pihak yang terlibat, dan waktu pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12. Matrik Tahapan Konsolidasi Tahapan konsolidasi Internal CSO
Intervensi dalam proses Pemilu legislative & pilpres 2014
Sasaran
Pihak terlibat Dialog dengan KPH Jawa CSO/kalangan lain yang sepaham (UKP, KPK,dll) Pembuatan dokumen penyerta (media kit, dll) Dialog dengan KPH Jawa, calon legislatif& Partai capres yang Politik mewakili daerah pemilihan Jawa Dialog dengan KPH Jawa, partai politik Partai yang mewakili Politik konstituen kuat di Pulau Jawa Kegiatan
Memperkaya dan mempertajam agenda dan langkah strategi dalam peta jalan
1.
Terbukanya ruang politik bagi perbincangan soal pengurusan hutan Jawa dalam pemilihan umum tahun 2014
1.
2.
2.
Waktu November 2013 – Januari 2014
Januari – Mei 2014
Januari – Oktober 2014
| 77
Intervensi pada penyusunan RPJMN 2015‐2019
Terakomodirnya usulan rekonfigurasi Hutan Jawa
1.
2.
Terlibat dalam KPH Jawa, Januari – penyusunan Bappenas Desember Rencana Awal 201489 RPJM Terlibat dalam Musrenbang penyusunan RPJM
4.2 Kebijakan dan inisiatif kerja yang sejalan Sebelum melangkah pada penjelasan langkah lanjutan pasca‐penyusun peta jalan, perlu kiranya secara singkat diperlihatkan posisi peta jalan rekonfigurasi Hutan Jawa ini dalam konstelasi gerakan perubahan lain terkait dengan kehutanan. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Penjelasan posisi peta ini penting untuk memperlihatkan keterhubungan dan jalan bersama yang bisa ditempuh. Kondisi yang mendukung yang terkait langsung dengan rekonfigurasi Hutan Jawa ini antara lain: 1) Adanya dua putusan Mahkamah Konstitusi: Putusan MK No. 45/PUU‐IX/2011 dan Putusan MK No. 35/PUU‐X/2012. Putusan MK. No 45/PUU‐X/2011 menegaskan kawasan hutan hanya berupa yang sudah ada penetapannya. Putusan MK ini membuka ruang perubahan bagi lebih dari 90,4% lahan hutan yang baru ditunjuk. Sementara Putusan MK No. 35/PUU‐X/2012 menegaskan posisi hutan adat berada di luar hutan Negara dan berkonsekuensi pada perlunya pengakuan pada wilayah adat dan masyarakat hukum adat. Dua Putusan MK ini dapat dijadikan landasan penting dalam melihat posisi hukum kawasan hutan serta perluasan wilayah kelola masyarakat di dalam kawasan hutan di Pulau Jawa. 2) Adanya kebijakan “satu peta” dan perbaikan proses pengukuhan kawasan hutan yang didorong oleh pemerintah (dalam hal ini UKP4 dan Kementrian terkait Kehutanan, Badan Informasi Geospasial, BPN, dan sebagainya) yang hadir dalam berbagai program, seperti percontohan percepatan pengukuhan kawasan hutan di Barito Selatan. Dua kebijakan ini sejauh ini sudah memberikan harapan baru akan lebih tertata baiknya pengurusan hutan (dan lahan) di Indonesia setidaknya dalam bentuk makin terbangunnya kesepahaman di antara instansi pemerintah akan pentingnya suatu kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan. 3) Disusunnya dokumen peta jalan tenurial kehutanan yang disusun oleh masyarakat sipil yang kemudian dijadkan alat negosiasi dengan Kementrian 89
RPJM 2015‐2019 sudah mulai disusun oleh Bappenas. Draft dokumennya masih harus dikonsultasikan dengan berbagai pihak dan kemudian ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik.
78 |
Kehutanan pada tahun 2011. Beberapa kemajuan lahir akibat dokumen peta jalan tenurial hutan ini antara lain berupa: pembentukan satu unit penyelesaian konflik tenurial di internal Kemenhut (bernama Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan, yang berada di bawah Dirjen Planologi Kehutanan), adanya tim kerja multipihak untuk menyusun dokumen resmi Kementerian Kehutanan terkait dengan tenurial kehutanan, dan piloting kasus konflik tenurial kehutanan untuk diselesaikan. 4) Adanya Nota Kesepahaman Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Pemerintah untuk mempercepat (dan memperbaiki) pengukuhan kawasan hutan yang didorong oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan Maret 2013. Dokumen kesepakatan ini, walaupun masih dalam tahap awal, telah memberikan dorongan baru bagi gerakan perubahan kebijakan penggunaan hutan (dan lahan) karena tidak hanya menargetkan perubahan pada satu Kementerian saja, tetapi juga berbagai Kementerian dan lembaga yang terkait dengan pengurusan hutan. 5) Terbitnya kebijakan sertifikasi atas produk hutan baik yang dikerjakan secara swadaya maupun kewajiban, baik dikerjakan oleh swasta maupun pemerintah. Kriteria dalam sertifikasi ini tidak hanya soal legalitas kayu, tetapi juga hubungannya dengan tata kelola lahan, pengelolaan konflik dan peran masyarakat sekitar hutan atau terkena dampak. 6) Terkait dengan pengurusan Hutan Jawa, Perhutani sudah memiliki Pedoman Penanganan dan Penyelesaian konflik tenurial dalam Kawasan Hutan pada tahun 2012. Walaupun belum begitu terlihat implementasinya di lapangan, pedoman ini memperlihatkan kemauan dan kesiapan Perhutani dalam berdialog dan menyelesaian konflik tenurial hutan di dalam kawasan hutan. Sementara itu, tidak boleh dilupakan juga inisiatif lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan persoalan kehutanan. Inisiatif ini antara lain berupa: 1) Dorongan transparansi dalam penerimaan Negara dari industri ekstraktif (sekarang masih terbatas pada industri migas dan tambang, tapi kehutanan terus didorong untuk diikutkan dalam inisiatif ini), dan review perijinan dalam bidang sumber daya alam. 2) Inisiatif lain yang layak untuk diajak kerjasama adalah gerakan keterbukaan informasi di tingkat perdesaan, seperti Gerakan Desa Membangun. Selain persoalan membuka akses informasi, gerakan seperti ini merupakan usaha untuk lebih memperlebar keterlibatan berbagai pihak dalam menangani pengurusan hutan di Jawa. 3) Kebijakan lain yang perlu dilihat adalah dengan lahirnya UU 4 tahun 2009 tentang Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang keduanya memberikan jaminan harus adanya dan dlindunginya wilayah kelola yang dikerjakan oleh para
| 79
petani. Inisiatif perubahan itu memberikan lahan yang subur bagi berbagai langkah strategis rekonfigurasi Hutan Jawa sebagaimana disebutkan di bawah ini. 4.3 Rekonfigurasi hutan Jawa Usulan rekonfigurasi Hutan Jawa diarahkan pada empat program perubahan, yakni: 1) Perubahan paradigma pengelolaan Hutan Jawa 2) Perubahan tata kuasa 3) Perubahan tata guna 4) Perubahan kebijakan pengelolaan Hutan Jawa Rekonfigurasi dalam aras perubahan paradigma pengelolaan Hutan Jawa bersifat fundamental dan melingkupi ke dalam 3 pokok perubahan lainnya. Sasaran pokok dari perubahan paradigma ini adalah: (1) memaknai hutan sebagai satu kesatuan utuh, tidak lagi hanya dilihat sebagai sumber produksi hasil hutan kayu ataupun non kayu atau hanya melihat hutan dari segi ekonominya, dan (2) Memperkuat pengelolaan pengelolaan hutan yang tidak sekedar pengusahaan hutan dan lahan; tetapi benar‐benar pengelolaan yang berarti bertujuan pada konservasi. Dengan demikian, program yang diusulkan berada pada 3 program perubahan, yakni perubahan tata kuasa, tata guna dan kebijakan pengelolaan Hutan Jawa.
80 |
Cara membaca matrik rekonfigurasi Hutan Jawa Matrik yang disusun di bagian selanjutnya merupakan penjabaran dari usulan rekonfigurasi hutan Jawa yang disusun dalam Bab III dokumen ini. Bentuk matrik sendiri mengikuti bentuk matrik dalam RPJMN dengan sedikit sekali perubahan; dengan harapan intervensi ke dalam kegiatan RPJMN (dan seterusnya ke Renstra, RKP, RPJMN, Renja K/L atau SKPD) dapat dengan mudah dijalankan, karena setidaknya prosesnya berada pada “halaman” yang sama; setidaknya para pengambil keputusan sudah akrab dengan bentuk matriknya dan karenanya bisa lebih cepat melihat tujuan dari isi yang ada di dalam matrik. Karena yang menjadi fokus sasaran adalah perbaikan pada kegiatan pengurusan sesuatu yang berdimensi luas, melibatkan semua tingkatan pemerintah dan berbagai kepentingan, maka usulan program dan kegiatan merata ada di tingkat nasional dan daerah. Dengan pemikiran itu pula, ada banyak program dan kegiatan yang diusulkan yang merupakan kelanjutan, penambahan dan atau perbaikan pada program dan kegiatan selanjutnya yang terkait erat dengan pengurusan kehutanan di Indonesia. Usulan kegiatan ada yang memerlukan terbitnya suatu kebijakan (dan atau peraturan perundang‐undangan) sebagai prasyaratnya dan bahkan kebijakan itu tidak terlalu terkait dengan pengurusan hutan (Jawa). Ini menjadi penanda bahwa yang akan dilakukan mesti lintas isu, lintas perspektif dan akhirnya membutuhkan kerja sama lintas aktor. Program dan kegiatan yang diusulkan pada dasarnya disusun sebagai sebuah rangkaian kegiatan yang saling berkaitan. Ada kegiatan yang sifatnya menjadi prasyarat bagi kegiatan lainnya, namun sebenarnya lebih banyak kegiatan yang bersifat paralel dengan kegiatan lain. Perlu juga diingat, perubahan yang diinginkan mau tidak mau harus berhadapan dengan jalur birokrasi yang ada. Tanpa perubahan pada cara kerja di jalur birokrasi itu akan menjadi tantangan dan mungkin halangan dalam mewujudkan sasaran dan tujuan dari dokumen ini. Untuk memperjelas maksud, keterkaitan, prasyarat, di dalam matrik ini di beberapa program dan kegiatan dibuatkan catatan penjelas. Misalnya dalam pemilihan lokasi contoh untuk penyelesaian konflik agraria yang ada di dalam program “Mendorong penyelesaian konflik tenurial hutan di pulau Jawa”. Di dalam catatan penjelas disebutkan lokasi contoh itu dikerjakan di tingkat kabupaten, kriteria dan persyaratan untuk lokasi contoh. Program yang diusulkan terdiri dari 9 (sembilan) program yang dimasukkan ke dalam 3 program perubahan.Masing‐masing program tersebut kemudian diperinci dalam rangkaian kegiatan. Adapun program‐program yang diusulkan adalah sebagai berikut:
| 81
1. Perubahan tata kuasa 1. Mendorong penyelesaian konflik tenurial hutan di pulau Jawa, 2. Mendorong lahirnya kebijakan dan atau peraturan di tingkat pemerintah daerah (Kabupaten/Provinsi) yang melindungi hak masyarakat hukum adat, 3. Melaksanakan penataan batas ulang kawasan hutan di Jawa dengan berdasarkan pada pertimbangan ekologi dan sosial/ekonomi masyarakat, 4. Memperkuat dan memperluas lahan kelola rakyat. 2. Perubahan tata guna 1. Penguatan pada kewenangan dan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola kawasan hutan, 2. Perluasan akses masyarakat dalam memanfaatkan hutan, 3. Perubahan kelembagaan. 3. Perubahan kebijakan pengelolaan Hutan Jawa 1. Mendorong Perubahan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, 2. Mencabut PP 72/2010 tentang Perhutani. Rincian sasaran, kegiatan, pihak terlibat dan target yang harus dicapai per tahun dari masing‐masing program di atas diperlihatkan dalam Tabel 13.
Sasaran
Mendorong 1. Berkurangnya penyelesaian konflik lahan di konflik tenurial Pulau Jawa hutan di pulau 2. Kepastian Jawa lahan kelola masyarakat sekitar hutan
Program KPH Jawa, Pusdalbanghut Kemenhut, Komnas HAM, Perhutani, Komisi informasi
BPN, Kemenhut, Dishut pemda prov/kab/kota, Kantor Pertanahan Prov/kab, Pusdalbanghut, Perhutani, KPK, Bappenas, komisi informasi, Koalisi Pemulihan Hutan Jawa, Kemeneg BUMN
Pemilihan lokasi contoh untuk penyelesaian konflik lahan1
Pihak Yang Terlibat
verifikasi lapangaan dan Literature review tipologi konflik dan best practice penyelesaian konflik tenurial di Pulau Jawa
Kegiatan
Adanya inventarisasi lokasi, luasan dan tipologi konflik
2014 Pembentukan tim verifikasi dan literature review Hasil verifikasi lapangan
2015 Adanya dokumen kajian
Target 2016
2017
2018
2019
Lokasi contoh ini berada di tingkat kabupaten. Lokasi contoh yang diusulkan setidaknya dapat mewakili tipologi konflik kehutanan. Misalnya Lebak untuk konflik dengan kawasan konservasi dan melibatkan masyarakat adat. Blora, Temanggung untuk kasus dengan Perhutani. Pemilihan lokasi kasus sebaiknya memerlukan kesepakatan semua pihak terutama CSO dan pemerintah.
1
1
No
Perubahan Tata Kuasa Tujuan: Meluasnya hak akses kelola rakyat dan pengembangaan hutan adat
Tabel 13. MATRIK PROGRAM REKONFIGURASI HUTAN JAWA
Melaksanak i. an penataan batas ulang kawasan hutan di Jawa dengan berdasarka n pada pertimbang an ekologi dan sosial/ekon omi masyarakat4 i.
Program
sebagian hutan negara yang dikemba likan ke individu pemilik sah sebelum nya atau ahli warisnya . Sebagian
Sasaran
Mempercepat proses pemetaan
Tersusunnya kajian tentang posisi hukum penataan batas kawasan hutan di Jawa, baik yang dilakukan pada masa pra maupun pasca kemerdekaan Indonesia
Kegiatan
JKPP, AMAN, KPH Jawa, Pemda
Pihak Yang Terlibat KPH Jawa, Akademisi, BPKH XI Jawa Madura, Ditkuh Kemenhut, Perhutani
2015 Tersebarluas kannya hasil kajian posisi hukum penataan batas kawasan hutan ke semua stakeholder yang terkait dengan pengurusan hutan Jawa Ada peta‐peta kawasan masyarakat adat dan lahan kelola masyarakat
2014 Ada kajian tentang posisi hukum penataan batas kawasan hutan di Jawa, baik yang dilakukan pada masa pra maupun pasca kemerdekaan Indonesia
Pemda, DPRD, KPH Jawa
Pada kegiatan ini dimensinya tidak hanya masyarakat adat, tetapi juga masyarakat lokal.
4
3
No
Penyusunan legal drafting
Target 2016
an
2017
dokumen draft peraturan perundang‐ an
2. Adanya
2018
2019
Peraturan perundangan di tingkat kabupaten
Memperkuat dan memperluas lahan kelola rakyat
4
1. Meluasnya hutan hak 2. Terjaminnya lahan hutan yang
Sasaran
Identifikasi luasan dan subyek pemilik hutan hak di Jawa dan penguatan hak
Kegiatan
Pihak Yang Terlibat KPH Jawa, BPKH Wilayah IX, Pemda
Kemenhut, Kemendagri, PTB, BPKH Wilayah IX, KPH Jawa, KPK
Mempercepat penetapan kawasan hutan di Jawa yang sudah clean and clear oleh Kementerian Kehutanan
2014
2015 dokumen identifikasi, tipologi dan karakteristik hutan hak
Doku‐ men pembe‐ lajaran pelaksa‐ naan tata batas di kabupa‐ ten pilot
Peng‐ ang‐ garan dan pem‐ ben‐ tukan PTB berita acara tata batas surat peneta‐ pan dari Mente‐ ri Kehuta‐ nan
Target 2016 2017 2018 2019 Terbitnya sertifikat hak milik untuk hutan hak Terbitnya HGU bagi koperasi/kelompok masyarakat7
Walau rejim pengaturan HGU bukan ranah hutan, tetapi melihat kenyataan banyaknya ekosistem hutan di luar kawasan hutan melatar belakangi kegiatan ini. Penerbitan HGU bagi kelompok masyarakat ini mengantisipasi beberapa kondisi: lemahnya klaim hak milik masyarakat atas kawasan, kebijakan selanjutnya dari proses pelepasan kawasan hutan yang menyerahkan pengurusannya kepada Pemda yang seringnya tidak memberikan manfaat optimal kepada masyarakat sekitar, menghindari pencaloaan dan jual beli kepemilikan tanah (jika semua kawasan yang dilepas dari kawasan hutan jadi menjadi hak milik pribadi). Sehingga ada Hutan Hak yang berdiri di atas tanah negara dan bukan di atas tanah hak.
7
Program
No
BPKH wilayah IX, Dirjen Planologi Kemenhut, Pemda Kabupaten, Perhutani, KPH Jawa
Memperluas pelaksanaan penataan batas kawasan hutan pada kabupaten lain di Jawa
dilepaskan dari kawasan hutan menjadi lahan kelola masyarakat
atas tanah bagi hutan hak Penguatan hak atas tanah bagi hutan hak dan tanah pertanian (yang berasal dari pelepasan kawasan hutan) yang dikelola masyarakat KPH Jawa, BPKH Wilayah IX, BPN/Kantor Pertanahan
Identifikasi dan pendampingan pada kelompok masyarakat
Mengawal proses advokasi untuk terbitnya HGU bagi kelompok masyarakat
Sasaran
1. Masyarakat mendapatkan manfaat optimal dari pemanfaatan hutan 2. Terbitnya izin pengelolaan hutan untuk masyarakat 3. Terbitnya izin pemanfaatan tanah negara kepada masyarakat 4. Terjaminnya akses masyarakat untuk memanfaatka n hutan
Program
6 Perluasan akses masyarakat dalam memanfaatkan hutan
Peningkatan alokasi anggaran bagi
Perbaikan dan percepatan pelayanan perijinan perhutanan sosial (HTR, Hkm, Hutan Desa, Kemitraan) Mengakui dan memperkuat hak masyarakat untuk mengakses lahan di kawasan hutan8
Kegiatan
Pemda Kab/prov, Kemenhut,
Perbaikan Meningkatnya mekanisme alokasi Musrenbang anggaran bagi
Terbitnya perjanjian kerjasama Terwujudnya pola‐pola pemberdayaan masyarakat sekitar hutan (seperti desa konservasi,dll)
Identifikasi dan pendampingan kepada masyarakat sekitar hutan Identifikasi wilayah hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat
KPH Jawa, Perhutani, Dinas Kehutanan, Pemda, Pemdes, Balai Besar Taman Nasional, Dirjen PHKA
Penyusunan bentuk dan isi perjanjian kerjasama yang adil dan bermartabat
Target 2014 2015 2016 2017 2018 Pendampingan Terbitnya Izin perhutanan sosial kepada masyarakat kepada Masyarakat yang hendak mengajukan Perizinan Perhutanan sosial
Pihak Yang Terlibat KPH Jawa, Dirjen RLPS, Pemda Kab/prov
2019
Sebagai antisipasi jika wilayah yang dimanfaatkan masyarakat tersebut tumpang tindih dengan wilayah yang ada ijinnya atau masyarakat tidak memiliki hak atas tanah yang kuat, masyarakat sudah memanfaatkan lahan hutan secara intensif. Pemberian jaminan hukum itu antara lain berupa tapi tidak terbatas pada desa konservasi atau kerja sama.
8
mengelola hutan di Jawa
No
7
Perubahan Kelembagaa n
Program
1. Lembaga perencana kehutanan Jawa yang terintegrasi 2. Hutan desa dan hutan milik desa terkelola dengan baik 3. Pengelolaan hutan negara di Jawa hanya berada di bawah kewenanga n Pemerintah , tidak ada
Sasaran
Penguatan kelembagaan di tingkat Desa dalam mengelola kekayaan
Penguatan kelembagaan perencanaan hutan Jawa
Kegiatan 2014
Adanya Identifikasi dan assesment pada desa sekitar hutan
KPH Jawa
Pihak Yang Terlibat Bappenas, ESDM, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Planologi Kementrian Kehutanan, Dirjen PHKA Kementerian Kehutanan, KemenPU, Perhutani, Dinas Kehutanan, Pemdes, KPH Jawa Kemendagri, Kemenhut, Pemda Kabupaten, Pemdes, KPH Jawa
pendampingan dan modal dalam pemanfaatan lahan kelola masyarakat
Adanya daftar kekayaan desa berupa hutan Terbentuknya BUMDES
2015 Assessment pada lembaga perencana kehutanan terkait Hutan Jawa
Adanya model pengelola‐ an hutan desa yang lestari dan
Target 2016 2017 2018 2019 Sinergi antara instansi terkait dan masyarakat dalam merencanakan Hutan Jawa Adanya dokumen perencanaan hutan Jawa yang terintegrasi
bantuan modal bagi masyarakat
Terbitnya perizinan hutan desa Terbitnya peraturan di
2.
1.
dalam menerima aspirasi masyarakat
9
Mencabut PP 72/2010 tentang Perhutani
Pengurusan hutan negara di Jawa (hutan produksi dan hutan lindung) tidak dilakukan oleh institusi tunggal seperti Perhutani
Penyusunan opini hukum atas PP 72 tahun 2010 tentang Perhutani Penyebarluasan opni hukum atas PP 72 tahun 2010 Mengawal proses pencabutan PP 72 tahun 2010
Perhutani, Kemenhukham, Kemenhut, Kemen‐BUMN, KPH Jawa
Tersebarluaskannya opini hukum atas PP 72 tahun 2010 Adanya tim yang Pencabutan PP 72 memantau proses tahun 2010 pencabutan PP 72 tahun 2010
opini
Terbitnya hukum
dan DPR tentang perubahan UU 41 tahun 1999
DAFTAR PUSTAKA Adi, N. Juni dkk (eds.). 2005.Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang Tersendat. Yogyakarta: BP ARuPA. Anonim. 2010. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2007 dan 2009. Jakarta: Kementrian Kehutanan. Anonim. 2011. Laporan Tahunan Perum Perhutani Tahun 2010. Jakarta: Perum Perhutani. Anonim. 2012. Laporan Tahunan Perum Perhutani Tahun 2011. Jakarta: Perum Perhutani. Anonim. 2013. Laporan Tahunan Perum Perhutani Tahun 2012. Jakarta: Perum Perhutani. Herwati, Rahma Mary dkk. 2007. Dominasi & Resistensi Pengelolaan Hutan di Jawa Tengah. Jakarta: HuMa. Noordwijk Meine, Tomich Thomas, de Foresta, Michon Genevieve. 1997.To Segregate or Integrate; The Question of Balance Between Production and Biodiversity Conservation in Complex Agroforestry System, Agroforestry Today, 9 (1), ICRAF, Nairobi. Peluso, Nancy Lee. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Jakarta: Konphalindo. Rahman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa: Perjalanan Kebijakan Pertanahan 1945‐ 2009. Yogyakarta: Tanah Air Beta. Rajan, Ravi. 1998.Imperial Environmentalism of EnvironmentalImperialism? European Forestry, ColonialForestrers and the Agendas for Forest Management in British India 1800‐1900,dalam Grove, Damodaran & Sangwan eds. Nature and the Orient: the Environmental History of South and Southeast Asia, Ed.sGrove, Danodaram & Sangwan, Oxford University Press, Delhi. Sumardjani, Lisman. 2007. Konflik Sosial Kehutanan. Bogor: WG Tenure. Suprapto, Edi dkk (eds.). 2004. Konflik Hutan Jawa. Yogyakarta: BP ARuPA. Suprapto & Purwanto (eds.). 2013. Hutan Jawa: Kontestasi dan Kolaborasi. Yogyakarta: BP ARuPA. Sirait, Martua T. 2008.Pluralisme Paradigma Pemikiran dalam Dunia Kehutanan: Kajian Sosio‐Historis atas Perdebatan Kebijakan Kehutanan di Indonesia Sejak Jaman Kolonial Hingga Saat ini, Paper dipresentasikan pertama kali dalam MUNAS Ikatan Alumni Fahutan UNMUL, 8 Februari 2008, Samarinda. Tidak diterbitkan. Vandergeest & Peluso. 2001.Genealogies of Forest Law and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and Thailandʼ. Journal of Asian Studies, Hal 761–812 Vandergeest & Peluso. 2006. Empires of Forestry: Professional Forestry and State Power in Southeast Asia, Part 1 dan 2, Environment and History 12, Hal. 31‐64. Wirendro Sumargo dkk. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000‐2009. Bogor: Forest Watch Indonesia. Situs Internet dephut.go.id | perumperhutani.com | bps.go.id | menlh.go.id | pu.go.id | bnpb.go.id