JUDUL BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sistem Administrasi Pertanahan (SAP) merupakan suatu proses pencatatan (administrasi) dan diseminasi informasi yang berhubungan dengan: (a) penguasaan Hak Atas Tanah (HAT), (b) nilai tanah, (c) penggunaan tanah, (d) pembangunan tanah (Dale dan McLaughlin, 1988; Enemark, 2001; Enemark, 2004; Williamson dkk., 2010) yang diterapkan untuk mengimplementasikan kebijakan pengelolaan pertanahan (UNECE, 1996). Kebijakan pengelolaan pertanahan di suatu negara pada umumnya mengatur 3 aspek, yaitu: aspek fisik, aspek fiskal dan aspek legal (Jonsson, 2008; Mukupa, 2011; Steudler dkk., 2004; Williamson dkk., 2010). Kebijakan aspek fisik dimaksudkan untuk pengaturan penggunaan tanah (land use) dan pembangunan tanah (land development). Kebijakan aspek legal dimaksudkan untuk pengaturan secara yuridis tentang penguasaan tanah (land tenureship). Kebijakan aspek fiskal dimaksudkan untuk pengaturan nilai ekonomis pemanfaatan suatu bidang tanah (land valuation). Pengelolaan tiga aspek tersebut umumnya dipisahkan pada institusi yang berbeda (Enemark, 2010; Williamson dkk., 2010). Di Indonesia pengelolaan informasi pertanahan dengan menggunakan Data Geospasial (DG) atau Informasi Geospasial (IG) secara terpisah sudah ada sejak jaman Belanda sampai saat ini (Rusmawar dkk., 2012). Pengelolaan aspek fisik yang menyangkut penggunaan tanah dan penatagunaan tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan yang berhubungan dengan teknis perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pertanahan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (PEMDA). Pengelolaan aspek fiskal, yang menyangkut penilaian tanah dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun sejak berlakunya Undang-undang (UU) No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah pengelolaan PBB dilimpahkan ke pemerintah kabupaten/kota. Pengelolaan aspek legal, antara lain pemberian HAT diselenggarakan oleh BPN.
1
Kebijakan pemisahan aspek legal, fiskal dan fisik dalam pengelolaan informasi pertanahan berpengaruh pada pengelolaan dan pemanfaatan IG untuk Sistem Informasi Pertanahan (SIP) dalam SAP. Perbedaan ini membawa konsekuensi bervariasinya proses pengadaan DG/IG pada lingkup tiga aspek SAP tersebut. Akibatnya ditemukan banyak ragam jenis IG yang digunakan dalam membangun SAP. Keberagaman IG tersebut mencakup penggunaan format, skala, sistem referensi koordinat, pendefinisian objek dan struktur dalam membangun IG (Diyono dan Subaryono, 2013; Fichtinger dkk., 2011; Gedrange dkk., 2011). Kondisi ini menjadikan IG di salah satu fungsi SAP tidak dapat secara langsung digunakan pada fungsi SAP yang lain. Selain itu, masih banyak ditemui adanya tumpang tindih pengadaan IG untuk objek yang sama oleh institusi yang berbeda, sehingga menjadikan penggunaan IG tidak optimal (Silalahi dkk., 2002). Perkembangan Teknologi Informasi (TI) dalam penyelenggaraan IG dapat mendorong terwujudnya penggunaan IG yang efisien antar fungsi SAP. Upaya tersebut dapat difasilitasi dengan terbangunnya Infrastruktur Informasi Geospasial (IIG). IIG dibangun dengan tujuan utama memfasilitasi pengguna data melakukan akses dan tukar-guna DG/IG untuk berbagai keperluan perencanaan pembangunan maupun penatakelolaan tema pertanahan, kehutanan, transportasi dan kebencanaan. IIG yang digunakan dalam lingkup penyelenggaraan SAP disebut Infrastruktur Informasi Pertanahan (IIP) (Enemark, 2004; Williamson dkk., 2008a). Adanya IIP diharapkan IG pertanahan yang ada diberbagai SIP pada fungsi SAP yang berbeda dapat diakses dan dibagi-pakai. Dampaknya tercipta efisiensi dalam pengadaan IG, tidak terjadi duplikasi IG dan penggunaan IG menjadi optimal (Enemark, 2005c). Oleh sebab itu IG pertanahan yang dikelola dalam SIP harus memiliki interoperabilitas terhadap penggunaan pada berbagai fungsi SAP yang ada. Berbagai upaya untuk membangun interoperabilitas DG/IG telah dilakukan diantaranya adalah menetapkan standar pada penyelenggaraan data. Tujuannya adalah untuk menjamin konsistensi produk data dan mengoptimalkan fungsi data (Kresse dkk., 2012). Penggunaan standar yang sama pada penyelenggaraan DG/IG dapat meminimalkan kesulitan dalam berbagi-pakai data dan memudahkan 2
pengguna data dalam menentukan kecocokan DG/IG pada berbagai pemanfaatan yang berbeda (Budic dan Pinto, 1999). Standar IG yang mendukung interoperabilitas data di Indonesia masih terus dikembangkan dan belum sepenuhnya teraplikasikan. Oleh sebab itu masih ditemui banyak DG/IG yang dibangun dengan standar yang berbeda-beda. Perbedaan penggunaan standar tersebut berakibat pada tidak cocoknya DG/IG jika dipadukan dengan IG yang lain. Dalam lingkup IIP, untuk menentukan bahwa DG/IG yang diakses pengguna cocok dengan kebutuhannya, dapat dilakukan dengan asesmen tingkat kecocokan data tersebut terhadap data lain. Asesmen kecocokan data dapat dilakukan pada DG/IG sebagai objek dan konsep untuk diases interoperabilitasnya (Schwering, 2008). DG/IG sebagai konsep menjelaskan cara mengabstraksikan fenomena dunia nyata ke dalam fitur geografis berupa geometri objek yang memiliki hubungan spasial dengan objek lain dan memiliki koordinat yang didefinisikan oleh sistem referensi koordinat (Henriksson dkk., 2008). DG/IG sebagai objek interoperabilitas merupakan penyajian model dari fenomena dunia nyata. Oleh karena itu pada saat menyajikan kategori informasi dipengaruhi oleh pemilihan model data yang digunakan. Pemilihan model data mencakup penggunaan sintak dalam memilih format penyajian IG dan pemilihan struktur data berdasarkan mental model untuk mengklasifikasikan hierarki objek dunia nyata ke dalam basisdata (Bishr, 1998; Sheth, 1999). Oleh sebab itu objek dari keberagaman penyajian IG dan interoperabilitasnya dipengaruhi oleh cara pemodelan sintak dan struktur IG. Interoperabilitas sintak tergantung pada model logikal saat IG disusun dan dikelola dalam basisdata (misalnya pemilihan format dan pendefinisian fitur). Interoperabilitas
struktur
tergantung
pada
model
konseptual
saat
mengklasifikasikan objek dunia nyata ke dalam desain basisdata (misalnya penggunaan data untuk aplikasi tertentu, penggunaan datum, sistem koordinat proyeksi peta) (Bishr, 1998; Brodeur dan Bedard, 2003). Aspek sintak dan struktur tersebut berpengaruh pada interoperabilitas data sehingga untuk menilai kecocokan DG/IG dari sumber yang berbeda dapat diukur dari kesamaan komponen pada aspek sintak dan struktur pembentuk data tersebut.
3
Mengingat bahwa sebagian fungsi SAP diotonomikan ke daerah sesuai Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2007, maka penggunaan IG pertanahan sangat dibutuhkan oleh PEMDA. Pentingnya IG pertanahan bagi PEMDA maka penelitian ini difokuskan pada pemanfaatan IG tersebut untuk kegiatan pengelolaan penggunaan tanah dan pembangunan di daerah. Daerah yang dijadikan objek kajian adalah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pentingnya kegiatan penataan dan pengendalian penggunaan tanah di Kabupaten Sleman, maka dibentuklah Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD). DPPD berwenang untuk melakukan penatakelolaan kegiatan tersebut. Namun dalam konteks SAP dan pengelolaan pertanahan untuk pembangunan, sudah ada institusi yang menyelenggarakan, yaitu: (1) Kantor Pertanahan sebagai perwakilan pemerintah pusat (BPN RI) yang mengelola aspek legal dan fisik penatagunaan tanah, dan (2) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten yang salah satu tugasnya melakukan penatakelolaan aspek fisik perencanaan dan penataan penggunaan tanah untuk pembangunan. Adanya tiga institusi berbeda dan menggunakan IG yang berbeda dalam mengelola informasi pertanahan berakibat pada bertambahnya kompleksitas pengelolaan IG di daerah tersebut. Sebagai contoh dalam proses pemberian izin perubahan penggunaan tanah diperlukan IG bidang tanah yang dimohonkan izin, IG penggunaan tanah, dan IG rencana tata ruang daerah. Ketiga IG tersebut dikelola oleh institusi yang berbeda dan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan internal, misalnya IG penggunaan tanah digunakan di lingkungan BPN RI berbeda dengan yang digunakan di DPPD. Ketiga IG tersebut juga dibangun dengan menggunakan standar berbeda serta disusun dengan sintak dan struktur yang berbeda. Misalnya skala, format dan sistem koordinat proyeksi peta yang digunakan berbeda-beda (Diyono dan Subaryono, 2013), sehingga tidak selaras jika dipadukan. Ketidakselarasan IG tersebut menjadi kendala jika digunakan untuk proses pengambilan keputusan. Oleh sebab itu perlu diupayakan agar IG yang ada dapat dibuat selaras dan dioptimalkan pemanfaatannya melalui tukar-guna IG antar institusi. Penelitian ini berkontribusi pada upaya penyelesaian masalah tersebut 4
dengan cara membangun interoperabilitas sintak dan struktur IG agar dapat selaras jika ditukar-gunakan antar institusi dalam lingkup penyelenggaraan IIP. I.2. Rumusan Masalah Pengelolaan pertanahan memerlukan dukungan SAP yang handal dan mampu untuk memadukan tiga aspek utama, yaitu aspek fisik, fiskal dan legal. Secara teknis, dalam SAP ketiga aspek tersebut direpresentasikan sebagai IG pertanahan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa realitas DG/IG yang tersedia dan dikelola oleh berbagai institusi masih belum selaras untuk menyediakan layanan IG yang dapat dipadukan. Ketidakselarasan tersebut disebabkan karena: (1) IG dibangun dengan menggunakan standar yang tidak sama, (2) IG dibangun hanya untuk memenuhi kebutuhan internal institusi, (3) IG dibangun menggunakan sintak dan struktur berbeda. Untuk itu permasalahan yang muncul adalah bagaimana IG yang berbeda tersebut dapat diakses, ditukar-gunakan dan selaras jika dipadukan untuk mendukung proses pengambilan keputusan. I.3. Batasan Masalah Batasan masalah yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Data geospasial yang digunakan berupa: (a) IG tema bidang-bidang tanah dan tema lain yang diperoleh dari Peta Dasar Pendaftaran (PDP), (b) IG tema penggunaan tanah, dan (c) IG tema rencana pola ruang daerah. Setiap tema DG/IG dibangun dalam format vektor dengan cakupan wilayah satu kecamatan. 2. Informasi geospasial yang dikaji dan digunakan untuk perancangan basisdata repository IG dibatasi pada format dan platform untuk pemenuhan kebutuhan pada aplikasi SIP untuk kegiatan perizinan perubahan penggunaan tanah di Kabupaten Sleman. 3. Standar IG yang dikaji adalah standar tentang layanan data yang digunakan dalam penyelenggaraan IIP. 4. Standar yang digunakan dalam penyusunan metadata IG berbasis ISO 19115: 2003 dengan format XML yang dibangun dengan menggunakan perangkat lunak CatMDEdit. 5
5. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan IG, perancangan basisdata repository IG, server data dan pemrograman plugin berbasis open source. 6. Model dan purwarupa perangkat asesmen interoperabilitas DG/IG yang dibangun masih terbatas pada aspek sintak dan struktur IG, dengan parameternya berupa: (a) skala peta dasar, (b) sistem koordinat proyeksi peta, datum dan cakupan area, (c) format data, dan (d) fitur data. 7. Proses penyelarasan IG hasil asesmen (seperti: transformasi datum dan sistem koordinat
proyeksi
peta,
penyelarasan
format,
penambahan
atribut,
geoprosesing) memanfaatkan fasilitas dari perangkat lunak SIG yang ada. I.4. Keaslian Penelitian Berbagai penelitian yang terkait dengan interoperabilitas DG untuk mendukung aktivitas pengelolaan IG sudah banyak dilakukan di berbagai negara. Namun, penelitian tentang interoperabilitas DG untuk menyediakan IG pertanahan dalam lingkup pengembangan IIP pada tataran lokal di Indonesia belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Khususnya pada kegiatan tukar-guna DG/IG yang mendukung aplikasi SIP untuk kegiatan perizinan dalam pengendalian pertanahan. Hal ini menjadi penting karena kegiatan perizinan dalam pengendalian pertanahan di daerah pada umumnya memanfaatkan DG/IG yang beragam yang dikelola oleh institusi yang berbeda. Pengelolaan DG/IG di institusi daerah meskipun sudah dilakukan secara digital, namun belum selalu dilengkapi informasi metadata dan belum menerapkan standar interoperabilitas DG/IG yang mendukung fungsi layanan data. Penelitian ini menjadi menarik dan merupakan hal baru di Indonesia, karena memanfaatkan informasi elemen metadata untuk digunakan dalam melakukan proses asesmen interoperabilitas DG/IG. Interoperabilitas DG/IG yang dikelola dan disimpan dalam basisdata repository IG diperlukan sebelum IG tersebut diakses, ditukar-gunakan dan dipadukan pada sebuah aplikasi SIP di daerah kajian. Penggunaan standar metadata DG/IG dalam sepuluh tahun terakhir ini sedang menjadi salah satu bahan topik kajian di berbagai negara (Ahonen-Rainio, 2005; Batcheller dkk., 2009; Callejo dkk., 2009; Devillers dkk., 2007; Monica dkk., 2009; Najar dan Giger, 2006; Olfat dkk., 2010; Taussi, 2007), tak terkecuali juga di 6
Indonesia (Aditya dkk., 2012) dengan maksud untuk dapat mengoptimalkan penggunaan DG/IG melalui penyelenggaraan IIG. Beberapa penelitian yang terkait dengan interoperabilitas DG, pemanfaatan informasi metadata DG, dan proses layanan tukar-guna DG antar institusi dilakukan oleh beberapa peneliti berikut ini. Penelitian Muhammadi (2008) dan dilanjutkan Muhammadi, dkk. (2010) membuat perangkat pemaduan (integration) data spasial dalam konteks Infrastruktur Data Spasial (IDS). Penelitian tersebut menguji konsep dengan menggunakan DG yang ada di negara bagian New South Wales dan Victoria sebagai respon kebutuhan alat validasi untuk penyelarasan data. Metodologi yang dilakukan adalah mendesain perangkat pemaduan DG yang dapat digunakan untuk membandingkan kriteria teknis dan kriteria non teknis DG institusi berbasis pada informasi metadata. Hasilnya adalah pemenuhan kebutuhan DG dalam proses pemaduan data sesuai acuan dan konteks yang berlaku di lingkup IDS Australia. Wujud hasil penelitian adalah purwarupa perangkat pemaduan DG dengan menggunakan platform open source perangkat lunak uDig dan GeoTools. Penelitian dalam rangka membuat perangkat analisis informasi kualitas DG telah dilakukan oleh Devillers, dkk. (2007). Perangkat analisis ini disebut Multidimensional User Manual (MUM) yang didesain untuk tujuan membantu para pakar dalam melakukan asesmen kualitas DG dari informasi yang terkandung dalam metadata. MUM dikembangkan untuk membantu para pakar dalam meningkatkan pengetahuan tentang kualitas DG dan pemahaman dalam melakukan asesmen kecocokan data untuk penggunaan tertentu. Penelitian tentang interoperabilitas DG di Indonesia pernah dilakukan Santoso (2005) untuk membuat purwarupa sinkronisasi basisdata PBB dan basisdata BPN. Basisdata ini berisi IG bidang tanah dan informasi atribut tentang HAT dan wajib pajak yang dihubungkan melalui jaringan internet pada platform perangkat lunak Oracle Spatial. Penelitian eksperimental ini difokuskan pada desain basisdata dan belum menggunakan informasi metadata. Hasilnya adalah mensinkronkan basisdata IG pertanahan di Kantor Pelayanan PBB dan Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman. (Santoso, 2005).
7
Kajian teknis proses tukar-guna DG dan pemaduan DG dalam aplikasi perencanaan wilayah perkotaan dilakukan oleh Wang, dkk. (2007a). Penelitian ini diselenggarakan oleh Badan Lingkungan Wilayah England dan Wales di Inggris bekerjasama dengan beberapa universitas di Inggris, Perancis dan Jerman. Desain kerangka kerja tukar-guna DG dan pemaduan DG berbasis pada sistem mediator yang tidak saling memiliki ketergantungan satu dengan yang lain (loosely-coupled) dan belum menggunakan informasi metadata. Arsitektur sistem layanan DG berbasis web dibuat dengan menggunakan standar Open Geospatial Consortium (OGC) menggunakan Web Feature Service (WFS) dan format Geographical Markup Language (GML) serta dilengkapi dengan fitur bangunan Building Feature Service (BFS). Hasil penelitian berupa model dan
proof of concept yang
diaplikasikan untuk perencanaan kota dan diujicobakan di Rosensteinviertel sebuah kawasan perkotaan di Stuttgart, Jerman. Penelitian
untuk
membangun
contoh baik model
pertukaran
data
menggunakan perangkat lunak ArcGIS, MapInfo dan Oracle pernah dilakukan Zhao, dkk. (2008). Model pertukaran data ini diujicobakan pada jaringan intranet untuk pengguna dalam institusi dan internet untuk pengguna di beberapa institusi dengan cara studi kasus. Penelitian ini berfokus pada interoperabilitas sistem dan belum memanfaatkan informasi metadata. Studi kasus I: menguji model pertukaran data antara ArcGIS dan MapInfo pada institusi Wuhan Urban Planning and Land Administration Information Center, China. Studi kasus II: menguji model pertukaran data antar dua portal Web Map Service pada institusi the Emeregency Response Department of Beijing. Hasil dari model pertukaran data berbasis Oracle spasial dapat mewujudkan interoperabilitas DG untuk memenuhi kebutuhan dalam institusi dan antar institusi lokal. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini bertujuan untuk membentuk model asesmen interoperabilitas DG/IG dalam pengembangan IIP yang dapat digunakan untuk memfasilitasi kemudahan dalam proses penyelarasan dan pemaduan IG pada aplikasi SIP di Indonesia. Proses asesmen dimaksudkan untuk menilai kecocokan sintak dan struktur IG dengan memanfaatkan informasi elemen metadata yang dibangun berbasis standar ISO 19115:2003. Hal ini berbeda dengan 8
penelitian Muhammadi (2010) tentang pengembangan perangkat pemaduan DG yang dirancang untuk asesmen keselarasan DG/IG dengan cara mengkomparasikan datasetnya yang telah diakses terlebih dahulu dan metadatanya jika tersedia hanya digunakan sebagai pelengkap informasi. Standar ISO 19115:2003 tentang metadata IG sudah diadopsi menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 19115:2012 untuk menggantikan SNI 7335:2008 (BIG, 2013; BSN, 2014). Standar ISO 19115:2003 diadopsi menjadi SNI dalam upaya memenuhi kebutuhan metadata yang standar untuk dapat dibagipakai pada penyelenggaraan IIG. Oleh sebab itu peran dan fungsi metadata ISO 19115:2003 yang secara internasional dan nasional sudah menjadi rujukan perlu dikaji pemanfaatannya lebih lanjut agar dapat digunakan untuk melakukan asesmen interoperabilitas IG. Penelitian yang terkait dengan topik metadata saat ini banyak dilakukan, sebagai contoh: (a) kajian dalam rangka melakukan pendekatan otomasi pembuatan metadata yang terpadu dengan pengelolaan dan dokumentasi data (Batcheller dkk., 2009; Monica dkk., 2009), (b) kajian dalam upaya memadukan metadata ISO 19115 dengan proses pengelolaan DG dengan maksud mengefektifkan proses penyediaan metadata (Najar dan Giger, 2006; Olfat dkk., 2012), (c) penggunaan metadata untuk asesmen kualitas DG sebelum digunakan pada proses pengambilan keputusan (Devillers dkk., 2007). Berbagai kajian tersebut dimaksudkan untuk mempersiapkan DG/IG yang efektif dikelola, mudah diakses dan digunakan pada lingkup penyelenggaraan IIG diberbagai tataran lokal, nasional maupun global. Namun penggunaan metadata untuk melakukan asesmen interoperabilitas sintak dan struktur DG/IG sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah terbentuknya model asesmen interoperabilitas DG/IG dalam lingkup pengembangan IIP yang mendukung proses penyelarasan aspek sintak dan struktur data dengan berbasis informasi metadata.
9
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sehingga diperlukan tujuan penelitian yang lebih spesifik dalam kegiatan penelitian ini, yaitu: 1. Teridentifikasinya hasil analisis kebutuhan standar data yang mendukung terwujudnya interoperabilitas DG/IG dalam lingkup penyelenggaraan IIP di daerah kajian; 2. Terbentuknya desain model asesmen interoperabilitas DG/IG yang dapat dipakai untuk memberikan rekomendasi proses penyelarasan data sebelum digunakan oleh berbagai pengguna institusi di daerah kajian; 3. Diperolehnya hasil analisis implementasi model asesmen interoperabilitas DG/IG dalam pengembangan IIP di Indonesia. I.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pembangunan negara maupun pengembangan IPTEK. 1. Untuk pembangunan negara. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi untuk: a. memberikan masukan kepada pengelola DG/IG di institusi tentang perlunya metadata yang dikelola bersama dengan pengelolaan data dalam mempersiapkan DG/IG yang interoperable; b. menyediakan perangkat asesmen interoperabilitas DG/IG yang dapat membantu pengguna data dalam menaksir kelayakan DG/IG tersebut sebelum diakses untuk diselaraskan dan dipadukan pada sebuah aplikasi untuk mendukung pengambilan keputusan. c. memberikan contoh arti pentingnya penyelenggaraan IIP dalam mengelola IG pertanahan yang dapat dimanfaatkan oleh SIP pada fungsi SAP yang berbeda. 2. Untuk IPTEK. Khususnya di bidang geodesi dan geomatika, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan: a. pentingnya standar data dalam penyelenggaraan IG pertanahan yang ada di berbagai institusi;
10
b. pentingnya informasi metadata yang dapat digunakan pada berbagai keperluan dalam penyelenggaraan IG; c. pentingnya keselarasan sintak dan struktur IG untuk penyelenggaraan IIP di Indonesia.
11