JPP JURNAL PEMBANGUNAN PEDESAAN JOURNAL OF RURAL DEVELOPMENT ISSN. 1411-9250 Volume 11 Nomor 1, Juni 2011 DAFTAR ISI 1. Kajian Pertumbuhan dan Hasil Cendawan Tiram Putih Pleurotus Ostreatus pada Berbagai Komposisi Medium Tanam (Study of Growth and Yield of Oyster Mushroom Pleurotus Ostreatus at Various Growth Medium Compositions ............................................................. Oleh: Hartati, Etik Wukir Tini, dan Ajeng Rezka Ayu WPD 2. Upaya Pemanfaatan Limbah untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Unsur Hara P dari Batuan Fosfat Alam pada Budidaya Kedelai di Tanah Liat Aktivitas Rendah (The Application of Liquid Waste to Increase P Nutrient Use Efficiency of Rock Phosphate on Soybean Cultivation in Low Activity Clay Soil) ................................................................................... Oleh: Muhammad Rif'an dan Suwardi 3. Pengaruh Pupuk P dan K Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau Vigna Radiata L pada Media Tanah Pasir Pantai (The Effects of P and K Fertilizers to The Development and Yields of Green Bean Plants Vigna Radiata L in The Beach Sand Soil Media) ..................................................................................................................................... Oleh: Rosi Widarawati dan Tri Harjoso 4. Ekstrak Biji Nimba Azadirachta Indica A Juss Pengaruhnya Terhadap Peletakan dan Penetasan Telur Ulat Hati Kubis Crocidolomia Pavonana F (The Effects of Neem Seed Extract Azadirachta Indica A Juss to The Oviposition and Suppressing Eggs Fertility of Crocidolomia Pavonana F) ..................................................................................................... Oleh: Agus Suyanto dan Abdul Manan 5. Orientasi Pelayanan Publik Melalui Pendekatan New Public Service untuk Mengatasi Problem Kesehatan pada Program Jamkesmas di Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas (Public Service Orientation Through a New Public Service Approach to Overcome Health Problems in The Jamkesmas Program in Kembaran Sub District, Banyumas Regency) Oleh: Andi Antono 6. Produksi Telur dan Pendapatan Peternak Itik pada Pemeliharaan Secara Gembala dan Terkurung di Daerah Pertanian dan Perikanan (Duck Egg Production and Farmers' Income Under Extensive and Intensive Systems in Agricultural and Fishery Centers) .......................... Oleh: Ismoyowati dan Imam Suswoyo 7. Variasi Morfologi Macrobrachium idae Asal Sungai Kawung Kabupaten Banyumas dan Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen (Morphology Variations of Macrobrachium idae Taken from Kawung River in Banyumas Regency and Luk Ulo River in Kebumen Regency) ............... Oleh: Elly Tuti Winarni, A.E. Pulungsari, dan Kusbiyanto 8. Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang Solzum Tuberosum L di Dataran Tinggi Dieng Kajian dari Aspek Ekonomi dan Lingkungan (A Study in Economical and Environemental Aspects to The Cultivation of Potatoes Solzum Tuberosum L in Dieng Plateu) ........................ Oleh : Bondansari, Kusmantoro Edy Sularso, dan, Eko Dewanto
1-8
9 - 20
21 - 28
29 - 34
35 - 44
45 - 54
55 - 62
63 - 74
1 EKSTRAK BIJI NIMBA Azadirachta Indica A Juss PENGARUHNYA TERHADAP PELETAKAN DAN PENETASAN TELUR ULAT HATI KUBIS Crocidolomia Pavonana F (THE EFFECTS OF NEEM SEED EXTRACT Azadirachta Indica A Juss TO THE OVIPOSITION AND SUPPRESSING EGGS FERTILITY OF Crocidolomia Pavonana F) Oleh: Agus Suyanto dan Abdul Manan Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed (Diterima: 5 April 2011, disetujui 27 Mei 2011)
ABSTRACT This research aims to determine the effective concentration of neem seed extract in suppressing the oviposition of C. pavonana. This research was conducted at the Laboratory of Pest and Plant Diseases Faculty of Agriculture Unsoed at Purwokerto. The design used was randomized block design. The treatments tested were concentration of neem seed extract 0, 2.5%, 5.0%, 7.5%, and 10.0%. The variables measured were the number of clusters of eggs laid and number of eggs that hatched. The results showed that neem seed extract concentration of 2.5% was effective in suppressing the oviposition of C. pavonana amounted to 84.87% and concentration of 5% was effective in suppressing egg fertility of C. pavonana of 95%. Key words: neem, C. pavonana, oviposition, egg fertility
PENDAHULUAN Kubis (Brassica oleracea var. capitata) merupakan tanaman sayuran yang banyak disukai masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kubis banyak digunakan sebagai bahan masakan sehari-hari, bahan obat tradisional, sebagai bahan baku beberapa industri makanan, serta industri kosmetika (Cahyono, 2001). Saat ini senyawa aktif yang dikandung kubis banyak diteliti sebagai obat anti kanker (Hugdon et al. 2007; Anastasia, 2004). Produksi tanaman kubis di Indonesia masih rendah. Menurut data BPS (2010), produksi nasional kubis pada tahun 2009 mencapai 1.358.113 ton dengan luas panen mencapai 62.792 Ha serta produksi rata-rata 20,03 ton/ha. Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi kubis adalah adanya serangan ulat hati kubis (Crocidolomia pavonana F.). Serangan hama tersebut dapat mengakibatkan kuantitas dan kualitas hasil berkurang, bahkan dapat mengakibatkan kegagalan panen (Sastrosiswojo
dan Setiawati, 1993; Saucke et al., 2000). Pengendalian C. pavonana oleh petani lebih ditekankan kepada penggunaan pestisida. Cara tersebut tidak ekonomis dan mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan (Suyanto, 1994). Kerugian yang diakibatkan oleh cara tersebut mendorong perlunya dicari cara pengendalian efektif tetapi ramah lingkungan yaitu pemanfaatan pestisida nabati. Tanaman nimba (Azadirachta indica) merupakan salah satu pestisida nabati yang paling banyak diteliti untuk mengendalikan hama ini (Prijono dan Hassan, 1993; Prijono et al., 1995; Wiyantono et al., 2009). Namun demikian, upaya pengendalian dengan menggunakan ekstrak nimba di lapangan masih belum memuaskan, karena hama ini berada di dalam krop kubis sehingga sulit dikenai ekstrak. Oleh karena itu sasaran pengendalian harus diubah, yaitu lebih ditekankan kepada upaya menggagalkan imago hama untuk meletakkan telur dan menekan penetasan telurnya sebelum
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 1 - 6
2 larva masuk ke dalam krop. Namun demikian informasi mengenai konsentrasi yang efektif untuk menekan peletakan dan penetasan telur ulat hati kubis relatif kurang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: konsentrasi ekstrak biji nimba yang efektif menekan peletakan telur C. Pavonana. Konsentrasi ekstrak biji nimba yang efektif menekan penetasan telur C. pavonana. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menyusun strategi pengendalian hama C. pavonana secara efektif, efisien, dan ramah lingkungan serta melengkapi komponen Pengendalian Hama Terpadu yang sudah ada. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto selama 4 (empat) bulan, dari bulan Juli sampai bulan Oktober 2010. C. pavonana yang digunakan diperoleh dari pertanaman kubis di desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga (± 1100 m dpl) yang kemudian dikembangbiakkan di Laboratorium. Biji nimba diperoleh dari pulau Madura, sedangkan pembuatan ekstrak biji nimba menggunakan metode Kardinan dan Dhalimi (2003) yang sudah dimodifikasi. Pengujian peletakan telur menggunakan sangkar kain kasa berukuran 100x40x40 cm; sedangkan pengujian penetasan telur menggunakan cawan petri diameter 12 cm. Penelitian ini dilakukan dalam dua set. Penelitian pertama adalah uji kemempanan ekstrak biji nimba terhadap peletakan telur C. pavonana. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan yang dicoba adalah konsentrasi ekstrak biji nimba 0% (0 g nimba/100 ml air), 2,5% (2,5 g nimba/100 ml air), 5% (5 g nimba/100 ml air), 7,5% (7,5 g nimba/100 ml
Ekstrak Biji Nimba ... (A. Suyanto & A. Manan)
air), dan 10% (10 g nimba/100 ml air). Daun kubis diolesi ekstrak biji nimba sesuai perlakuan dan dikeringanginkan. Selanjutnya dimasukkan ke dalam sangkar kain kasa yang berisi 200 pasang dewasa C. pavonana yang baru keluar dari pupa. Daun kubis diinkubasikan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah kelompok telur yang menempel pada daun kubis. Penelitian kedua adalah uji kemempanan ekstrak biji nimba terhadap penetasan telur C. pavonana. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan yang dicoba adalah konsentrasi ekstrak biji nimba 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%. Satu kelompok telur C. pavonana ditetesi 0,5 µm ekstrak biji nimba sesuai perlakuan. Kelompok telur tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri. Jumlah telur yang menetas selama 3, 4, 5, dan 6 hari setelah perlakuan kemudian diamati. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji kemempanan ekstrak biji nimba terhadap peletakan telur C. pavonana Jumlah kelompok telur yang diletakkan C. pavonana bervariasi. Kelompok telur terbanyak didapatkan pada perlakuan kontrol yaitu 97,8 kelompok telur; sedangkan jumlah kelompok telur pada perlakuan ekstrak nimba pada berbagai konsentrasi lebih sedikit. Pada perlakuan ekstrak nimba jumlah kelompok telur yang diletakkan semakin sedikit dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak biji nimba yang diperlakukan. Pada perlakuan ekstrak nimba 2,5% mencapai 14,8 kelompok telur dan semakin turun sampai pada perlakuan tertinggi yaitu ekstrak nimba 10% hanya mencapai 0,8 kelompok telur (Tabel 1). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa semua perlakuan ekstrak biji nimba berpengaruh nyata terhadap jumlah kelompok telur yang diletakkan dibandingkan dengan
3 Tabel 1. Jumlah kelompok telur C. pavonana yang diletakkan pada perlakuan konsentarsi ekstrak biji nimba Perlakuan Kontrol Ekstrak nimba 2,5% Ekstrak nimba 5,0% Ekstrak nimba 7,5% Ekstrak nimba 10%
Ulangan (kelompok telur) I II III IV 35 59 153 144 7 11 16 25 7 7 9 14 4 1 5 11 2 0 0 1
Rerata 97,8 a 14,8 b 9,3 bc 5,3 bc 0,8 c
antipeletakan telur (%) 84,87 90,49 94,58 99,18
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf kecil sama tidak berbeda nyata menurut DMRT. kelompok kontrol. Hal ini membuktikan ekstrak biji nimba mempunyai efek antipeletakan telur terhadap C. pavonana. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Kardinan dan Dhalimi (2003), nimba mengandung melantriol yang berfungsi sebagai penolak sehingga serangga dewasa enggan meletakkan telurnya. Efektivitas anti peletakan telur sudah terlihat pada perlakuan 2,5 % ekstrak nimba dengan penekanan peletakan telur sampai 84,87%. Efektivitas antipeletakan telur tersebut meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak nimba yang diperlakukan. Antipeletakan telur tertinggi dicapai pada perlakuan 10 % ekstrak nimba dengan antipeletakan telur mencapai 99,18%. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Pelealu (2006), ekstrak nimba konsentarsi 7 g/l mampu menghambat peletakan telur C. pavonana sampai 100%; sedangkan perlakuan ekstrak nimba konsentrasi 1 g/l sampai 6 g/l belum mampu menekan peletakan telur secara nyata. Ekstrak nimba juga dilaporkan mampu menekan peletakan telur pada beberapa serangga hama lainnya. Gajmer et al. (2002), melaporkan perlakuan 4, 6, 8, dan 10% ekstrak nimba mampu menekan peletakan telur secara nyata Earias vittella, bahkan serangga dewasa yang diberi ekstrak nimba pada pakannya tidak mampu menghasilkan telur sama sekali. Demikian juga dilaporkan Bruce et al. (2004),
bahwa perlakuan ekstrak nimba 0,15 ml/tanaman mampu menekan peletakan telur penggerek tongkol jagung Sesamia calamistis sampai 88% dan Eldana saccharina sampai 49%. Peletakan telur oleh serangga betina dewasa merupakan proses yang rumit dan melibatkan faktor fisik dari tanaman inang. Ada tidaknya senyawa kimia tertentu yang dapat menarik serangga dewasa untuk meletakkan telur merupakan faktor yang paling menentukan (Bukovinszky et al., 2005; Najmeh et al., 2008). Tanaman Famili Brassisacea, termasuk kubis, diketahui mengandung senyawa glukosinolat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap hama sekaligus juga senyawa penarik beberapa hama tanaman (Simmonds et al., 1994; Huang et al., 1993). Kelompok senyawa glukosinolat tersebut oleh Sarikami et al. (2009) dianalisis sebagai glucobrassisin (sebagian besar), kemudian sebagai glukoiberin, glukorapanin, sinigrin, dan neoglucobrassisin. Selanjutnya Halkier dan Gershenzon (2006), melaporkan senyawa glukosinolat merupakan senyawa dengan kandungan sulfur tinggi, adanya enzim mirosinase mengurai senyawa glukosinolat menjadi isothiosianat, tiosianat, dan nitril yang mempunyai aktivitas biologi yang berbeda. Selanjutnya, isothiosianat dapat dikenali oleh alat indera serangga hama kubis sehingga tertarik untuk meletakkan telur. Pada penelitian
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 1 - 6
4 ini, perlakuan ekstrak biji nimba pada daun kubis diduga menghalangi efektivitas organ penerima rangsang kimia serangga sehingga senyawa glukosinolat tidak mampu terdeteksi dengan baik. Akibatnya, serangga dewasa C. pavonana tidak meletakkan telur pada daun kubis yang diberi perlakuan ekstrak nimba, sehingga pada semua perlakuan ekstrak nimba terdapat jumlah kelompok telur yang lebih sedikit dibandingkan kontrol. B. Uji kemempanan ekstrak biji nimbi terhadap penetasan telur C. pavonana Persentase telur C. pavonana yang menetas bervariasi. Persentase telur menetas tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 80%; sedangkan persentase telur menetas pada perlakuan ekstrak nimba pada berbagai konsentrasi lebih sedikit. Pada perlakuan ekstrak nimba persentase telur menetas semakin sedikit dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak biji nimba yang diperlakukan. Pada perlakuan ekstrak nimba 2,5% mencapai 36 % telur menetas dan semakin turun sampai pada perlakuan 7,5% dan 10 % persentase telur menetas mencapai 0% (Tabel 2). Hasil pengamatan menunjukkan kelompok telur yang diperlakukan dengan ekstrak nimba mengalami perubahan warna menjadi kekuningan, kemudian kecokelatan,
dan pada akhirnya pada kelompok telur yang sudah mati tersebut ditumbuhi jamur saprofitik. Namun demikian, mekanisme ekstrak nimba untuk dapat mematikan telur serangga masih belum diinformasikan, sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa semua perlakuan ekstrak biji nimba berpengaruh nyata terhadap persentase telur menetas dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hal ini membuktikan ekstrak biji nimba mempunyai efek anti penetasan telur C. pavonana. Efektivitas anti penetasan telur sudah terlihat pada perlakuan 2,5 % ekstrak nimba dengan penekanan peletakan telur sampai 55 %. Efektivitas anti penetasan telur tersebut meningkat tajam dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak nimba yang diperlakukan. Pada perlakuan 5 % ekstrak nimba antipenetasan telur sudah mencapai 95%. Sedangkan antipenetasan telur tertinggi dicapai pada perlakuan 7,5 % dan 10 % ekstrak nimba dengan anti penetasan telur mencapai 100%. Pengaruh ekstrak nimba terhadap antipenetasan telur serangga sudah dilaporkan beberapa peneliti dengan hasil beragam. Ma et al. (2005), melaporkan bahwa perlakuan azadirachtin konsentrasi 60, 120, dan 180 ppm belum mampu menimbulkan mortalitas telur secara nyata, tetapi perlakuan azadirachtin
Tabel 2. Persentase telur C. pavonana yang menetas pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji nimba Perlakuan
Ulangan (persentase telur menetas) I II III IV V
Rerata
Antipenetasan telur (%)
Kontrol 80 90 70 80 80 80 a Ekstrak nimba 2,5% 0 70 30 40 40 36 b 55 Ekstrak nimba 5,0% 0 0 0 20 0 4 c 95 Ekstrak nimba 7,5% 0 0 0 0 0 0 c 100 Ekstrak nimba 10% 0 0 0 0 0 0 c 100 Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti yang diikuti huruf kecil sama tidak berbeda nyata menurut DMRT.
Ekstrak Biji Nimba ... (A. Suyanto & A. Manan)
5 konsentrasi 240 ppm mampu menimbulkan mortalitas telur antara 25-37% pada walang sangit (Leptocoriza chinensis). Residu azadirachtin diduga mampu bertahan pada kulit telur dan membunuh embrio atau larva yang baru menetas. Kemudian, Bruce et al. (2004) melaporkan, perlakuan azadirachtin 0,15 ml/ tanaman mampu menimbulkan mortalitas telur sampai 70% Sesamia calamistis dan Eldana saccharina. Menurut Singh (2003), perlakuan azadirachtin 0,015% menimbulkan mortalitas 15-46% telur lalat buah Bactrocera cucurbitae dan Bactrocera dorsalis. Ekstrak nimba juga pernah dicoba pengaruhnya terhadap penetasan telur predator. Medina et al. (2001 melaporkan, azadirachtin 3,2% tidak berpengaruh terhadap penetasan telur dan perkembangan pupa predator Chrysoperla carnea. Hasil penelitian yang beragam ini diduga disebabkan perbedaan morfologi dan fisiologi dari telur serangga uji. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: ekstrak biji nimba konsentrasi 2,5% efektif menekan peletakan telur C. pavonana sebesar 84,87%; ekstrak biji nimba konsentrasi 5% efektif menekan penetasan telur C. pavonana sebesar 95%. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terselenggara atas dukungan dana Dipa Fakultas Pertanian 2010 dengan Surat perjanjian Kerja Penelitian No. 148/H23.4FP/ DT.01.00/2010 Tanggal 20 Mei 2010. DAFTAR PUSTAKA Anatasia, S., 2004. Cababge: Common crucifer that combat cancer, Environmental Nutrition 27(3):8. Bukovinszky, T., R.P.J. Potting., Y. Clough., J.C.
van Lenteren and L.E.M. Vet, 2005. The role of pre- and post-alighting detection mechanisms in the responses to patch size by specialist herbivores. Oikos, 109: 435446. Bruce, Y. A., S. Gounou, A. C. Olaye, H. Smith, and F. Schulthess, 2004. The effect of neem (Azadirachta indica A. Juss) oil on oviposition, development and reproductive potentials of Sesamia calamistis Hampson (Lepidoptera: Noctuidae) and Eldana saccharina Walker (Lepidoptera: Pyralidae), Agricultural and Forest Entomology 6: 223–232 BPS,2010. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kubis, 2009 , http:// w w w. b p s . g o . i d / t a b _ s u b - / v i e w. php?tabel=1&daftar=1&id_ subyek=55¬ab=11. (Diakses tanggal 10 Oktober 2010). Cahyono, B. 2001. Kubis dan Brokoli Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. Gajmer, T. , R. Singh , R. K. Saini and S. B. Kalidhar, 2002. Effect of methanolic extracts of neem (Azadirachta indica A. Juss) and bakain (Melia azedarach L) seeds on oviposition and egg hatching of Earias vittella (Fab.) (Lep., Noctuidae) Journal of Applied Entomology 126 (5):238 – 243. Halkier, B.A. dan J. Gershenzon, 2006. Biology and Biochemistry of Glucosinolate, Annual Review of Plant Biology 57(1): 303-330. Huang, X., J.A.A Renwick, and K. S. Gupta, 1993. Oviposition stimulants and deterrents regulating differential acceptance of Iberis amara by Pieris rapae and P. napi oleracea. Journal of Chemical Ecology 19: 1645–1662. Hudgon, J.V., B. Delage, D.E. Williams, and R.H. Dashwood, 2007. Cruciferous vegetables and human cencer risk: epidemiologic, evidence, and mechanistic basis: Pharmacological Research 55(3):224-236. Kardinan, A dan A. Dhalimi, 2003. Mimba (Azadirachta indica A.Juss) Tanaman
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 1 - 6
6 Multi Manfaat, Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 15(1): 1-8. MA D.L., Y. Suzuki, H. Takeuchi, T. Watanabe, and M. Ishizaki, 2005. Ovicidal and ovipositional effects of neem (Azadirachta indica A. Juss.) extracts on rice bug, Leptocorisa chinensis (Dallas), International Journal of Pest Management 51(4): 265 – 271. Medina P., F. Budia. L. Tirry, G. Smagghe, and E. Vinuela, 2001. Compatibility of Spinosad, Tebufenozide and Azadirachtin with Eggs and Pupae of the Predator Chrysoperla carnea (Stephens) Under Laboratory Conditions, Biocontrol Science and Technology 11: 597- 610. Najmeh E., A. A. Talebi, Y. Fathipour, and A. A. Zamani, 2008. Host Plants Effect on Preference, Development and Reproduction of Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) Under Laboratory Conditions, Advances in Environmental Biology, 2(3): 108-114. Pelealu, Y. 2006. Pengaruh ekstrak nimba (Azadirachta indica) A. Juss terhadap oviposisi Crocidolomia binotalis Zell pada tanaman kubis Brassica oleracea var. capitata, Eugenia 12(2): 122-125. Prijono. D, and E. Hassan, 1993. Laboratory and field efficacy of neem extract against two broccoli pests. Zeitschrift für Pflanzenkrankheiten und Pflanzenschutz 100: 354-370. Prijono, D., M.S. Gani,dan E. Syahputra, 1995. Screening of insecticidal activity of annonaceous, fabaceous and meliaceous seed extracts against cabbage head cat erpillar, Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 8: 74-77. Sarıkamı G., A. Balkaya, and R.Yanmaz, 2009. Glucosinolates within a collection of white head cabbages (Brassica oleracea var. capitata sub.var. alba) from Turkey, African Journal of Biotechnology 8 (19): 5046-5052.
Ekstrak Biji Nimba ... (A. Suyanto & A. Manan)
Sastrosiswojo, S. & W. Setiawati. 1993. Biology and control of Crocidolomia binotalis in Indonesia, pp. 81-87. In N. S. Talekar (ed.), Diamonback Moth and other Crucifer Pests, Proceding of the Second International Workshop of cabbage pest. 10 - 14 Dec. 1990. AVRDC. Taipei, Taiwan. Saucke, H., F. Dori, and H. Schmutterer, 2000. Biological and Integrated Control of Plutella xylostella (Lep., Yponomeutidae) and Crocidolomia pavonana (Lep., Pyralidae) in Brassica Crops in Papua New Guinea, Biocontrol Science and Technology 10 (5): 595 – 606. Simmonds, M.S.J.,.M. Blaney, R. Mithen, A.N.E Birch, and J. Lewis, 1994. Behavioural and chemosensory responses of the turnip root fly (Delia floralis) to glucosinolates. Entomologia Experimentalis et Applicata 71: 41–57. Singh S., 2003. Effects of aqueous extract of neem seed kernel and azadirachtin on the fecundity, fertility and post-embryonic development of the melonfly, Bactrocera cucurbitae and the oriental fruit fly, Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae), Journal Applied Entomology 127: 540– 547. Sujanto, A., 1994. Hama Sayur dan Buah, Seri PHT, Penebar Swadaya. Yogyakarta. Wiyantono, A. Manan, dan E. W. Minarni, 2009. Formulasi kombinasi nimba dan asap cair untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman pada tanaman kubis, Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Fakultas Pertanian Unsoed, 50 hal.
7 ORIENTASI PELAYANAN PUBLIK MELALUI PENDEKATAN NEW PUBLIC SERVICE UNTUK MENGATASI PROBLEM KESEHATAN PADA PROGRAM JAMKESMAS DI KECAMATAN KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS (PUBLIC SERVICE ORIENTATION THROUGH A NEW PUBLIC SERVICE APPROACH TO OVERCOME HEALTH PROBLEMS IN THE JAMKESMAS PROGRAM IN KEMBARAN SUB DISTRICT, BANYUMAS REGENCY) Oleh: Andi Antono Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (Diterima: 29 April 2011, disetujui: 3 Juni 2011) ABSTRACT The aim of this study was to describe health problems in implementing Jamkesmas (public health insurance) programme in Kembaran sub-distric of Banyumas Regency. To achieve this aim, this study explained how policy implementation based on the New Public Service overcoming the health problems of Jamkesmas. The study was conducted by using a qualitative method. Data was collected by in-depth interview with the beneficiaries of Jamkesmas offering village medical doctors of Puskesmas (public healts services) and officials of Kecamatan (sub-distric) in which that information was collected by using purposive sampling. The finding above showed that health problems were still difficult. The results indicated that the membership of health problems has not been completed; besides there were data inaccuracies, such as not following the procedures; bureaucratic; and social gaps. To overcome these problems, the orientation of policy action on the citizen; strategic thinking; and accountability services should be conducted. Key words: New Public Service, Jamkesmas, Puskesmas PENDAHULUAN New Public Service (NPS) merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab problem kesehatan termasuk problem dalam Jamkesmas yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin, karena itu NPS merupakan bentuk reformasi birokrasi untuk pelayanan publik yang berdimensi pada human dignity. Kontruksi pemikiran yang terkandung dalam NPS adalah bahwa pelayanan publik dapat berjalan dengan baik jika publik didudukan sebagai publik, bukan customer sehingga pemerintah seharusnya mendesain pelayanan yang bermuara pada kepuasan publik. Gagasan the New Public Service meliputi 7 prinsip menurut Denhart dan Denhart (2007: 42-43) 1. Serve Citizens, Not Customer (melayani warga negara, bukan pelanggan) 2. Seek the Public Intererest (mengenali kepentingan publik).
3. Value Citizenship over Entrepreneurship (lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan) 4. Think Strategiccally, Act Democratically (berfikir strategis dan bertindak demokratis 5. Recognize that Accountability Isn’t Simple (menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah). 6. Serve Rather than Steer (melayani daripada mengendalikan), 7. Value People, Not Just Productivity (menghargai orang bukan produktivitas). Sebelum gagasan New Public Service muncul Denhart terlebih dahulu mengemukakan paradigma pelayanan publik dalam prespektif Old Public Administration dan kemudian paradigma pelayanan publik dalam perspektif New Public Management (NPM). Pelayanan publik dalam perpektif Old Public Administration dikembangkan oleh client yaitu
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 7 - 16
8 bahwa warga negara lah yang membutuhkan pelayanan, membutuhkan bantuan birokrasi sehingga pelayanan yang dikembangkan adalah pelayanan yang menciptakan dependensi bagi warga negara. Warga negara dianggap sebagai follower dalam setiap kebijakan, program atau pelayanan publik. Paradigma ini mendapat kritik dari Huges (2000: 249) yang mengatakan sebagai berikut: Since 1970s, the old administration model has been under severe criticism for its inability to deliver goods and service to the people. Fiscal crisis of governments, poor performance of the public in different arenas, imperious bureaucracy, lack of accountability, corruption, changes of people’s expectations, and the emergence of the NPM model. Kemudian Peters (2001; 42) menambahkan, inti dari munculnya pendekatan New Public Management dalam organisasi sektor publik adalah “that private sector techniques and practices are directly transferable to the public sector. Adanya keinginan untuk mentransfer teknis dan praktis manajemen yang ada di perusahaan swasta lebih baik dibanding dengan praktek manajemen pada sektor publik. Oleh karena itu untuk memperbaiki kinerja sektor publik, perlu diadopsi beberapa praktek dan teknik manajemen yang ditetapkan di sektor swasta ke dalam sektor publik. Dalam praktek pemerintahan, paradigma NPM juga mendapat tanggapan yang baik dari Robin (2004: 13), sebagai berikut: NPM movement that has had a huge impact in most western democracy during the past decade or so has been driven largely by the two fold aim of enhancing, the efficiency and the accountability of governmental institution. Namun praktek NPM dalam pemerintahan tidak selamanya berdampak
Orientasi Pelayanan Publik ... (A. Antono)
positif. Pelaksanaan NPM sektor kesehatan di Amerika Serikat misalnya, justru menjauhkan masyarakat miskin untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang baik. Film yang digarap Michel Moore berjudul Bowling for Columbine sebagai film dokumenter terbaik ini menelanjangi praktik busuk industri asuransi kesehatan di AS yang membuat banyak warga AS perserta asuransi kesehatan dipersulit memperoleh layanan kesehatan yang semestinya. Jasa dokter, tarif rumah sakit, dan harga obat yang amat mahal adalah barang mewah di AS. Perusahaan asuransi kesehatan yang besar justru mengeruk keuntungan amat besar yang sebagian disumbangkan atau sebagai upeti untuk para senator. Michael Moore selanjutnya mencoba membandingkan pelayanan kesehatan di AS dengan Kanada, Inggris dan Perancis, yang terbukti jauh lebih baik. Bahkan Moore membawa serombongan pasien AS yang ditolak asuransinya untuk berobat ke Kuba yang komunis (Julianto, 2009: 50). Liberalisasi layanan kesehatan memberi peran minimal pada negara, peranan yang minimal ini justru dieksploitasi dan dimanfaatkan habis-habisan oleh industri asuransi kesehatan, penyedia jasa kesehatan seperti rumah sakit, dokter, dan industri diagnostik dan farmasi dengan mengorbankan kepentingan konsumen/ pasien atau masyarakat. Kegagalan praktik NPM di AS dalam sektor kesehatan tersebut nampaknya tidak disadari oleh negara berkembang. Di Indonesia, pemerintah kita saat ini bisa membanggakan diri dengan layanan kesehatan gratis bagi keluargakeluarga miskin, seperti halnya sekolah gratis yang gencar diiklankan akhir-akhir ini. Namun terbukti program asuransi kesehatan untuk rakyat miskin (Askeskin) telah gagal karena meninggalkan beban utang diberbagai rumah sakit pemerintah. Karena itu melalui pendekatan
9 NPS, pemerintah tidak lagi mendayung melainkan menyetir, artinya pemerintah tetap menyediakan dana bagi layanan kelompok miskin, adapun masyarakat perlu dilibatkan
dalam memilih kebutuhan mereka sendiri. Secara teoritis ketiga paradigma pelayanan publik tersebut digambarkan secara baik oleh Denhart sebagai berikut:
Tabel 1. Comparing Perspectives: Old Public Administration, New Public Management, and New Public Service Old Public Administration New Public Management Primary theoretical and epistemological foundations
Political theory social and political commentary augmented by naïve social science
Economic theory, more sophisticated dialogue based on positivist social science
Prevailing rationality and associated models of human behavior
Synoptic rationality, administrative man”
Technical and economic rationality, “economic man” of the self interested decision maker
Conception of the public interest To whom are public servants response Role of government
Mechanism for achieving policy objectives Approach to accountability
Administrative discretion Assumed organizational structure
Assume motivational basis of public servants and administrators
Public interest is politically defined and expressed in law Clients and constituents
New Public Service Democratic theory, varies approaches to knowledge including positive, interpretative and critical
Strategic or formal rationality, multiple test of rationality (political, economic and organizational) Public interest represents Public interest is the result the aggregation of of a dialogue about shared values individual interest Customers Citizens
Steering (acting as a Serving (negotiating and catalyst to unleash market brokering interest among forces) citizens and community groups, creating shared values) Creating mechanisms and Building coalitions of public, nonprofit, and incentive structures to achieve policy objectives private agencies to meet through private and mutually agreed upon needs nonprofit agencies Hierarchical Markets driven. The Multifaceted – Public administrations accumulation of self servants must attend are responsible to interest will result in to law, community democratically elected outcomes desired by values, political norm, political leaders broad groups of citizens professional standards and citizen interests Limited discretion Wide latitude to meet Discretion needed allowed administrative entrepreneurial goals but constrained and officials accountable Bureaucratic Decentralized public Collaborative structures organizations marked by organizations with with leadership shared top down authority within primary control internality and externality agencies and control or remaining within the regulation of clients agency
Rowing (designing and implementing policies focusing on a simple, politically defined objective) Administering programs through existing government agencies
Pay and benefits, civil service protections
Entrepreneurial sprit, ideological desire to reduce size of government
Sumber: Denhart & Denhart, 2009.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 7 - 16
Public service, desire to contribute to society
10 Berdasarkan pendapat Denhart tersebut di atas, dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan indikator orientasi warga negara (citizen), berfikir strategis dan akuntabilitas pelayanan. 1. Orientasi Warga Negara (citizen) Negara sebagai suatu entitas adalah abstrak, yang tampak adalah unsur-unsur negara yang berupa rakyat, wilayah, dan pemerintah. Salah satu unsur negara adalah rakyat. Rakyat yang tinggal di wilayah negara menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Warga negara adalah bagian dari penduduk suatu negara. Warga negara memiliki hubungan dengan negaranya. Kedudukannya sebagai warga negara menciptakan hubungan berupa peranan, hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik. Kewarganegaraan memiliki keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara. Kewarganegaraan adalah segala hal ikhwal yang berhubungan dengan negara. 2. Berfikir Strategis Menurut Peter Senge (1994) bahwa berfikir secara strategis berangkat dari refleksi atas inti utama yang terdapat dalam suatu persoalan yang ditangani dan tantangan-tantangan utama yang dihadapi. Dengan demikian berfikir strategis lebih berupa proses untuk memahami dua hal pokok yang saling terkait yaitu fokus dan kesadaran atas waktu. 3. Akuntabilitas Pelayanan Menurut Wikipedia bahasa Indonesia (ensiklopedia bebas), bahwa Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif ”Pemerintah”, lembaga legislatif ”Parlemen” dan lembaga yudikatif ”Kehakiman”) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang
Orientasi Pelayanan Publik ... (A. Antono)
dapat dipertanggungjawabkan (responsibility), yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problematika di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan. Akuntabilitas merupakan istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan sebenarnya agak terlalu luas untuk dapat didefinisikan, akan tetapi hal ini sering dapat digambarkan sebagai hubungan antara yang berkaitan saat sekarang ataupun masa depan, antar individu ataupun kelompok sebagai sebuah pertanggungjawaban kepentingan. Merupakan sebuah kewajiban untuk memberitahukan, menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui maupun ditolak atau dapat diberikan hukuman bilamana diketemukan adanya penyalahgunaan kewenangan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Sasaran dalam penelitian ini adalah kepala rumah tangga penerima Jamkesmas, Pamong Desa, Dokter Puskesmas, dan Perangkat Kecamatan. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas. Lokasi penelitian dipilih secara seksama setelah peneliti melakukan pra survei beberapa kecamatan di Kabupaten Banyumas. Fokus penelitian ini adalah pada tindakan kebijakan yang berbasis pada new public service yaitu melayani warga negara (bukan pelanggan), mengenali kepentingan publik, lebih menghargai warga negara daripada
11 kewirausahaan, berfikir strategis dan bertindak demokratis, menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah, melayani daripada mengendalikan, dan menghargai orang bukan produktivitas. Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: teknik purposive sampling, yaitu peneliti memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Teknik ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui permasalahan yang dihadapi aparat pelaksana yang mengimplementasikan kebijakan untuk menganalisis kelebihan dan kelemahan kebijakan. Tiga proses kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu: proses memasuki lokasi penelitian (getting in), ketika berada di lokasi penelitian (getting along), mengumpulkan data (logging the data) meliputi: wawancara mendalam (indepth interview), analisis dokumentasi, dan observasi langsung. Dalam penelitian ini, digunakan analisis data seperti yang telah dikembangkan oleh Strauss dan Corbin (1990), dengan prosedur sebagai berikut: Open coding, Axial Coding, Selective coding. Menurut Lincoln dan Guba (1985), paling sedikit ada empat standar atau kriteria utama guna menjamin keabsahan hasil penelitian kualitatif, yaitu 1) derajat kepercayaan (credibility); 2) keteralihan (transferability), 3)
tidak mampu untuk Provinsi Jawa Tengah adalah sejumlah 3.171.201 kepala keluarga (KK), atau 11.715.681 jiwa. Sementara itu Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang melakukan kerja sama dengan Departemen Kesehatan untuk melayani masyarakat miskin di Jawa Tengah sebanyak 135 rumah sakit / RSJD / BP4 / BKIM dan semua (847) puskesmas di provinsi ini, bersama jejaringnya seperti puskesmas pembantu dan poliklinik kesehatan desa. Di Kabupaten Banyumas sendiri jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu yang ditangani oleh Jamkesmas adalah 173,487 kepala keluarga (KK), atau 658,945 jiwa (Depkes RI 2008). Dalam perkembangannya sampai saat ini telah banyak hasil yang dicapai dari pemanfaatan program tersebut oleh masyarakat miskin. Pemerintah pun telah meningkatkan kuota jumlah masyarakat yang dijamin maupun tingkat pendanaannya. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya program Jamkesmas memiliki sejumlah kendala. Berdasarkan hasil penelitian yang dilaukan di Kecamatan Kembaran ini terdapat setidaknya lima problem layanan kesehatan dalam penyelenggaraan program Jamkesmas yakni: 1. Problem kepesertaan yang belum tuntas. Jumlah sasaran peserta jamkesmas masih mengalami perubahan namun sulit untuk diperbarui karena terbatasnya kuota. Hal ini
kebergantungan (dependability), 4) kepastian (comfirmability).
kemudian berakibat pada banyaknya warga miskin yang tidak tercakup oleh Jamkesmas padahal sebetulnya jika dilihat dari kondisi riilnya berhak untuk menjadi peserta Jamkesmas. Dalam hal kepesertaan Jamkesmas ini perangkat desa sering merasa terpojok karena merekalah yang ditugasi untuk mengusulkan warga yang berhak mendapat Jamkesmas padahal pamong desa telah menggunakan data sebelumnya, jika ada perubahan jumlah tentu akan mendapat protes, sedangkan jika data kepesertaan
HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat miskin dan tidak mampu yang ditangani Jamkesmas di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 76,4 juta jiwa. Untuk itu Kementerian Kesehatan telah menyediakan dana senilai Rp 4,6 triliun, dimana Rp 1 triliun digunakan untuk pelayanan kesehatan dasar. Adapun jumlah sasaran masyarakat miskin dan
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 7 - 16
12 ditambah akan melebihi kuota. Perangkat desa juga mengalami kendala personal dan sosial saat harus memverivikasi warga yang saat ini tidak lagi masuk dalam kriteria miskin namun dahulu sudah masuk dalam basis data jaminan kesehatan. Mereka tidak enak hati untuk mencoret warga tersebut dari daftar usulan kepesertaan Jamkesmas. Selain dapat menimbulkan persoalan relasi sosial yang tidak baik juga memungkinkan terjadinya konflik. 2. Ketidak akuratan data. Persoalan ini disebabkan oleh sulitnya pihak pemerintah desa yang berperan dalam mengusulkan peserta Jamkesmas dalam menerapkan kriteria miskin karena ada cukup banyak kriteria. Menurut mereka, kriteria miskin tersebut sulit dijadikan patokan dalam menentukan warga yang mendapatkan Jamkesmas, karena cukup banyak warga yang kelihatannya mampu namun sebenarnya sangat membutuhkan program Jamkesmas seperti warga yang mempunyai penyakit kronis. Selain itu ada pula sedikit penyimpangan pendataan yang dilakukan oleh pemerintah desa terkait dengan pengusulan beberapa perangkat desa untuk mendapat Jamkesmas. 3. Kurang diindahkannya prosedur oleh warga. Prosedur yang mestinya dijalankan adalah warga harus ke Puskesmas dahulu untuk
berbelit-belit. Warga merasa pelayanan Jamkesmas terlalu rumit. Hal ini terutama bagi yang pertama kali menggunakan kartu Jamkesmas untuk pengobatan. Persoalan ini kemudian menjadi beban tambahan bagi perangkat desa. Persepsi yang sudah tertanam tentang proses yang berbelit-belit ini membuat pihak desa diminta oleh warga untuk mengawal dan mengantarkan langsung warga yang sakit untuk mendapat pelayanan RS sampai proses kepulangannya. Kaur Kesra Hal serupa disampaikan oleh Teguh, Kepala Desa Sambeng Wetan: ”Jamkesmas dirasa warga terlalu rumit prosedurnya. Oleh karena itu banyak warga yang meminta pihak desa untuk mendampingi. Ya kami jadinya setiap ada warga sakit bertugas mengantarkan ke RS, menguruskan prosesnya bahkan sampai menjemput kepulangannya juga.” 5. Timbulnya kecemburuan sosial dan menipisnya integrasi warga. Akibat dari ketidakmerataan kepesertaan Jamkesmas menimbulkan kecemburuan sosial di dalam masyarakat pedesaan. Hubungan sosial yang dulu berjalan baik antara sesama warga dan antara warga dengan perangkat desa tidak lagi berlangsung harmonis. Warga yang tidak mendapat Jamkesmas misalnya tidak mau lagi kerja bakti dan terlibat aktif dalam urusanurusan lingkungan.
mendapat rujukan baru kemudian ke Rumah sakit namun banyak yang potong kompas. ke Rumah Sakit (RS) dulu baru rujukannya disusulkan padahal bukan untuk kasus gawat/ mendesak. Padahal jika memang kasus gawat, Puskesmas akan mengantarkan pasien sampai ke Rumah Sakit. Dalam hal ini petugas kesehatan di Puskesmas merasa kurang begitu dihargai. Seakan-akan mereka diposisikan hanya sebagai pemberi rujukan. 4. Birokrasi pelayanan kesehatan dirasakan
PEMBAHASAN 1. Pendekatan Citizen Sejalan dengan spirit new public service, bahwa pelayanan kesehatan hendaknya didasari oleh keseriusan para pejabat publik, karena tugas utama birokrasi adalah melayani warga negaranya. Secara normatif dalam paham negara kesejahteraan tugas-tugas negara adalah (1) Negara harus memberikan perlindungan terhadap ancaman dari luar negeri dan dalam
Orientasi Pelayanan Publik ... (A. Antono)
13 negeri; perlindungan terhadap ancaman penyakit termasuk di dalamnya adalah bahaya-bahaya lalu lintas. (2) Negara mendukung atau langsung menyediakan pelbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Di sini termasuk pelayanan kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan dan pengadaan sarana lalu lintas lainnya. (3) Negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam lingkungan sosial masyarakat. Dalam bidang pelayanan kesehatan, salah satu program pemerintah yang sangat populis dan menjadi tumpuan harapan masyarakat miskin dalam program Jamkesmas. Seperti yang dijelaskan pada bab terdahulu, Program Jamkesmas merupakan program sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program yang dinilai gratis dapat memberikan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah sungguh-sungguh dalam membantu masyarakat miskin dalam pelayanan kesehatan. Yang agak krusial adalah penentuan terhadap kelompok miskin dan tidak miskin, orang yang sebenarnya dianggap mampu menuntut hak untuk mendapatkan porsi pelayanan kesehatan gratis. Sikap seperti ini justru dapat menjadi
tetap bisa melayani kendati disadari adanya penyimpangan. Diskresi pada kondisi yang sangat mendesak apalagi menyangkut sisi kemanusiaan perlu dilakukan, karena kondisi sakit tidak saja menghantam kondisi fisik melainkan juga pada kejiwaan. Obsesi seorang kepala Puskesmas adalah bagaimana agar pasien datang bukan karena biaya murah atau gratis melainkan karena pelayanan yang memuaskan. Kondisi masyarakat Jamkesmas sebenarnya cukup memprihatinkan karena mereka dengan segala keterbatasannya menggantungkan aksesnya terhadap pelayanan medis dari kartu sehat. Di tingkat desa merupakan gerbang utama agar orang mendapatkan kartu, di sinilah kemudian kesulitan bermula. Saat Jamkesmas digulirkan kriteria penerima kartu sehat kurang jelas, akibatnya desa menggunakan data Askeskin. Penggunaan data lama pastilah sangat banyak perubahan, misalnya orang yang semula dianggap miskin beberapa tahun kemudian ekonominya membaik, atau sebaliknya mereka yang belum tercantum sebagai kelompok penerima kartu sehat karena kondisinya memang miskin tidak bisa dilayani karena terkendala kuota, atau bahkan data pendukung yang dibutuhkan tidak lengkap. Cerita tentang kesulitan tersebut. Pelayanan kesehatan yang melibatkan dua instansi berbeda memerlukan koordinasi
situasi yang kontra produktif, karena adanya kepura-puraan dan menyembunyikan kondisi yang sebenarnya dapat memunculkan sistem nilai yang merendahkan martabat diri sendiri. Menentukan kriteria miskin berdasarkan pengamatan, melihat tampilan fisik seseorang memang terkesan sangat subyektif, tetapi karena pasien tersebut beberapa kali datang maka anggapan tersebut menjadi benar adanya. Karenanya saat ada orang yang berobat dengan tidak membawa kartu identitas Jamkesmas dia
yang baik. Kecamatan memiliki kewenangan sentral bagi desa-desa di sekitarnya. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan dari kecamatan, desa melakukan pendataan warga miskin penerima kartu sehat. Dalam pendataan selain didasarkan atas data Aseskin, pada saat sekarang kalangan Rukun Tetangga (RT) juga dilibatkan. Rembug warga RT tersebut dianggap lebih faktual dan obyektif. Sedangkan Puskesmas merupakan lembaga yang melakukan pelayanan pengobatan. Saat warga datang ke Puskesmas biasanya tidak
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 7 - 16
14 mendapatkan rintangan, tetapi saat datang ke rumah sakit seringkali pamong desa melakukan pengawalan agar mereka mendapat perlakuan yang semestinya. Kelompok beneficiaries dalam Program Jamkesmas adalah kelompok penerima kartu sehat. Dari sini informasi yang aktual dapat digali secara baik. Pada umumnya mereka merasakan bahwa pelayanan Puskesmas sudah cukup baik karena mereka telah diperlakukan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Dimulai dari pendaftaran di loket, menunggu giliran diperiksa hingga diberi obat dinilai oleh informan cukup baik, 2. Berfikir Strategis Berfikir strategis dimaknai sebagai proses pengambilan keputusan secara tepat disertai solusi yang tidak menyimpang dari esensi ketetapan yang ada. Agar pemecahan masalah dan pengambilan putusan dapat berjalan lancar tanpa menunggu lama, sangat dianjurkan aktivitas itu dilakukan oleh pejabat eselon bawah atas dasar pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang telah ditetapkan. Dengan demikian, hal ini mengurangi beban bagi pejabat eselon di atasnya, sehingga dapat mencurahkan waktu dan kesempatan untuk memikirkan halhal yang bersifat strategis konsepsional. Di lain pihak bagi pejabat di bawahnya berkesempatan untuk mengambil inisiatif dan terlatih bersikap bertanggung jawab. Berfikir strategis sangat
baru mereka tidak berkategori miskin, di sini akan menimbulkan masalah serius, akhirnya jalan yang ditempuh adalah agar masyarakat sendiri yang menentukan layak tidak anggota masyarakatnya mendapat kartu sehat pada tingkat RT. Kreativitas dalam memberikan pelayanan juga terjadi saat masyarakat yang datang ke Puskesmas tidak dibekali dengan persyaratan yang cukup. Bagi peserta JKM syarat utama harus mempunyai kartu sehat, tetapi apa yang harus dilakukan jikalau calon pasien mengaku miskin tidak punya uang untuk berobat dan kondisinya sakit, maka diperlukan keputusan cepat dan tepat sehingga benarbenar dapat menyelesaikan masalah dan tidak menimbulkan masalah sampingan. Fungsi utama Puskesmas adalah promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, namun pada prakteknya fungsi kuratif yang lebih menonjol dibanding fungsi lainnya, di sini peranan dokter dipertaruhkan. Staregi untuk mengatasi masalah kesehatan bagi para peserta JKM juga terjadi saat pelayanan kuratif dilakukan sementara obat tidak tersedia dan kalaupun tersedia untuk keperluan pasien non JKM. Perihal penggunan obat bagi peserta JKM dialami hampir setiap hari sehingga diperlukan keputusan yang lugas dan berfikir yang strategis. Upaya mengatasi problem pelayanan
cocok untuk pelaksanaan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelayanan publik. Tuntutan publik seringkali tidak bisa diprediksi termasuk keadaan yang mengelilinginya. Jika pejabat hanya terpaku pada pakem yang ada maka akan menghasilkan ketidakpuasan dalam pelayanan. Yang paling rumit saat menentukan kriteria miskin di sini menggunakan 12 item, jika hal tersebut diterapkan maka banyak masyarakat yang sebelumnya terdaftar sebagai peserta Askeskin, sementara untuk kriteria yang
kesehatan program JKM juga terjadi di tingkat desa. Pamong desa dalam melayani warganya sampai mendapatkan kartu JKM merupakan tugas yang telah diberikan secara maksimal. Bagi pamong desa sendiri terbersit pemikiran bahwa sebenarnya pamong desa secara ekonomi juga tidak mampu karena gaji diwujudkan dalam bentuk bengkok. Seorang kepala desa yang tergolong tanah bengkoknya luas bisa mendapatkan tanah garapan bengkok 7 bau (sekitar 4 ha) sedangkan Sekdes mendapat
Orientasi Pelayanan Publik ... (A. Antono)
15 sekitar 4 bau (1,5 ha), para kaur mendapat 2 bau (sekitar 1,5 ha) dan para staf desa mendapat 1,25 bau (sekitar 0,75 ha). Jika dirupiahkan seorang staf hanya memperoleh penghasilan sekitar Rp 500.000,00 per bulan ditambah dengan insentif dari kabupatan sebesar Rp 300.000,00 per bulan sehingga total Rp 900.000,00 per bulan. Pendapatan sebesar itu untuk ukuran staf di desa tergolong sangat kecil, sehingga pantaslah bila mereka mendapatkan JKM, tetapi tidak diperbolehkan oleh Pemda karena menyalahi aturan. 3. Akuntabilitas Pelayanan Akuntabilitas dalam tulisan ini dimaknai sebagai kesesuaian antara kebijakan yang dibuat para penyelenggara negara dan perilaku yang ditunjukkan mereka dengan nilai-nilai yang dikendaki dan berlaku dalam masyarakat. Dalam pelayanan Jamkesmas nilai-nilai tersebut sangat penting karena misi sosial dalam pelayanan kesehatan menjadi acuan penting. Pelayanan publik bukanlah mencari keuntungan melainkan bentuk kewajiban dan pertanggung jawaban birokrasi terhadap pengguna layanan. Dasar pertama kewajiban negara untuk secara khusus menjamin prasyarat-prasayarat kesejahteraan golongan lemah. Maka masyarakat melalui negara, merasa wajib untuk menjamin bahwa karena syarat-syarat obyektif bagi suatu kehidupan yang wajar tidak tersedia. Birokrasi
sumpah. Ini tentu saja sejalan dengan dasar moral kewajiban negara yang bertugas membantu kelompok masyarakat yang lemah. Dasar utama itu telah diletakkan pada perumusan kesejahteraan umum sebagai tujuan negara. Program Jamkesmas merupakan pengejawantahan dari tujuan negara tersebut, di sini tugas seorang dokter dan para penyelenggara kesehatan dipertaruhkan. Menjalani tugas social sebagaimana yang terjadi pada Program Jamkesmas memang tidak lepas dari sorotan masyarakat. Fenomena ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan tentang perbedaan perlakuan terhadap pasien memang bukan isapan jempol. Ada rumor yang berkembang di masyarakat “jika hendak ke rumah sakit (berobat) jangan menggunakan kartu JKM karena tidak akan segera ditangani. Rumor ini wajar karena secara sosiologis pada prinsipnya masyarakat tertata secara kelas, yang dalam perspektif ekonomi ada golongan kaya dan golongan miskin. Dalam pelayanan Rumah sakit terpengaruh strata seperti tersebut di atas, sehingga jamak dijumpai bahwa di rumah sakit ada pelayanan yang dibedakan secara bertingkat. Semakin tinggi tingkatannya semakin baik pelayanannya dan semakin tinggi biayanya. Akuntabilitas pelayanan publik juga nampaknya diperjuangkan secara baik terutama dalam pelayanan Jamkesmas pada tataran
merupakan aparatur yang telah dibayar oleh negara bahkan dengan sejumlah fasilitas tertentu, di sini pelayanan birokrasi merupakan tugas dan kewajiban yang di dalamnya memuat tanggung jawab social yang tinggi karenanya birokrasi dilarang keras untuk mendapatkan fasilitas dari masyarakat yang dilayani. Secara normatif seorang dokter ditugasi untuk mengemban tugas sosial dibalik profesionalitas yang dimiliki, sebagaimana yang telah diamanatkan saat dokter mengucap
pemerintahan desa. Untuk menjadi pimpinan di desa terutama kepala desa merupakan proses politik lokal aktual. Masyarakat secara langsung memilih kepala desa, dan dalam tugas seharihari antara masyarakat desa dengan pimpinannya berbaur dalam aktivitas sosial di desa. Kepala desa yang menjauh dari komunitasnya sudah barang tentu rentan dalam membangun partisipasi masyarakatnya yang pada gilirannya kepala desa akan tidak efektif dalam menjalankan pemerintahan desa.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 7 - 16
16 SIMPULAN DAN SARAN 1. Problem kesehatan yang masih sulit dibenahi adalah penentuan kategori miskin dan administrasi desa. Adapun ketersediaan obat untuk penerima Jamkesmas bukan merupakan problem utama 2. Tindakan kebijakan kebijakan melalui pendekatan citizen telah diterapkan dengan baik. 3. Dalam mengatasi problem pasien sakit yang tidak memiliki identitas yang mencukupi tindakan kebijakan yang berdasar pada berfikir strategis telah dilakukan dalam rangka menyelesaikan masalah yang berulang. 4. Akuntabilitas pelayanan dilakukan melalui prinsip tanggung jawab sosial sebagai aparat birokrasi di desa baik melalui pelayanan kesehatan maupun melalui pelayanan administrasi DAFTAR PUSTAKA Azizah, Yulia., Triawanti, Adi Nugroho. 2007. The Changing Of Body Weight of Children With Undernutrition After Treatment Using Positive Deviance Approach. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 6 No1. 60. Anonim, 2009. Jamkesmas Jakarta.
Pedoman Departemen
Pelaksanaan Kesehatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Petunjuk Teknis Pengelolaan Makanan Pendamping ASI Program JPSBK. Direktor Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Jakarta : . Dwiyanto, Agus.2004. Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Galang Printika. Yogyakarta Dunn, N, William. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Diterjemahkan oleh Samodra Wibawa dkk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Orientasi Pelayanan Publik ... (A. Antono)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal. Direktor Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, Jakarta. Denhart, Janet V. and Denhart, RobertB. 2007. The New Public Service, Serving, Not Steering, Expand Edition, New York Huges, E Owen. 2000. Public Management and Administration. St. Martin’s Press. London Handayani, Lina., Surahma Asti Mulasari, Nani Nurdianis. 2008. Evaluasi Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Balita (on-line). Volume 11 No.01. Protokol Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Diakses 3 Juli 2009. Judiono. 2003. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Anak Usia Prasekolah (On-line). URL : http//litbang.depkes.go.id. Diakses 21 Oktober 2009. Julianto, Irawan. 2009. Pelayanan Kesehatan: Reformasi atau Liberalisasi. Gramedia. Jakarta. Kusumawati, Erna., Condro Wibowo, dan Setiyowati Rahardjo. 2008. Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Balita di Kabupaten Banyumas. Jurnal Inovasi. 1. 86-92. Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Peter B, Guy, and Donald Savoire. 1996. Managing Incoherence: The Coordination and Empowerment Conundrum. Public Administration Review. The New Realities, London. Parsons, Wayne. 2005. Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana. Jakarta. Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Winarno. Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Media Pressindo. Yogyakarta.
17 STUDI TENTANG BUDIDAYA TANAMAN KENTANG Solzum Tuberosum L DI DATARAN TINGGI DIENG KAJIAN DARI ASPEK EKONOMI DAN LINGKUNGAN (A STUDY IN ECONOMICAL AND ENVIRONEMENTAL ASPECTS TO THE CULTIVATION OF POTATOES Solzum Tuberosum L IN DIENG PLATEU) Oleh : Bondansari, Kusmantoro Edy Sularso, dan, Eko Dewanto Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (Diterima: 9 Mei 2011, disetujui 20 Juni 2011) ABSTRACT Dieng Plateau is a region that is suitable for the development potatoes (Solanum tuberosum L.). Potato farming system is implemented on the sloping land, but conservation technologies are insufficient, so the productivity has decreased. Seemingly, the farming management also causes environmental disturbances, such as erosion, and excessive use of pesticides impact. This research aims were identifying the use of farm inputs used to anticipate the decrease of soybean productivities, and assessing the sustainability of potato farming from the economic aspect into account environmental factors. The research was conducted using a descriptive analytical method with a simple cluster sampling. Data were collected from the farm inputs and supporting data such as, product prices and saprodi, receipts and related information with potato farming activities. The results showed that used of seed, labor and inorganic fertilizer in the planting season in 2008 was more than the planting season in 2009. Used of organic fertilizers in the planting season in 2009 was more than the season planting in 2008. Potato productivity in the planting season in 2008 was higher than that in the planting season in 2009. Monoculture cropping pattern with very intensive in the use of pesticides, cropping system in the direction of the slope and bench terraces that have not been introduced well often caused environmental problems, such as landslides, floods with mud, erosion and declining productivity of potato. Potato farming was still profitable in financial terms but economically (socially), it was not feasible to be commercialized. Keywords: potatoes plant, economic aspects, environmental aspects PENDAHULUAN Dataran Tinggi Dieng terletak di wilayah perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Ketinggian tempat mencapai 2.000 meter di atas permukaan air laut (dpal), yang banyak dibudidayakan untuk tanaman sayuran, khususnya kentang (Solanum tuberosum L.). Frekuensi tanam sayuran di dataran tinggi Dieng pada umumnya dua sampai tiga kali dalam setahun, dengan pola tanam kentang-kentang-kentang. Usahatani kentang di dataran tinggi Dieng merupakan usaha pokok sebagian besar masyarakat petani di Dataran Tinggi Dieng
bagian timur. Budidaya tanaman kentang diperkenalkan sejak tahun 1970 dan memberikan hasil yang sangat menguntungkan (Wildan, 2004). Kenyataan ini mengakibatkan luas areal tanam kentang di kawasan Dataran Tinggi Dieng dari tahun 1975 sampai tahun 1990 mengalami kenaikan sangat tinggi. Pada saat itu produkstivitas kentang mencapai 20 – 25 ton per hektar. Pada tahun 2007, produktivitas tanaman kentang telah mengalami penurunan, yaitu hanya 16 ton per hektar (Sularso, 2009). Kenyataan ini disebabkan karena teknik pengelolaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, sehingga secara berangsur
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
18 produktivitasnya menurun. Permasalahan pokok usahatani tanaman sayuran dataran tinggi, seperti di wilayah dataran tinggi Dieng adalah sangat rentan terjadinya gangguan keseimbangan lingkungan. Gangguan tersebut diantaranya adalah terjadinya erosi, menurunnya tingkat kesuburan tanah, menurunnya produktivitas lahan, banjir dan tanah longsor, dan pendangkalan sungai serta waduk. Kawasan dataran tinggi Dieng yang bertopografi berbukit sampai bergunung dengan kemiringan lahan yang relatif besar berpotensi erosi tinggi, sehingga aktivitas usahatani tanaman pangan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi sumbardaya lahan akan mempercepat laju erosi. Lahan yang tererosi secara terus-menerus menyebabkan lapisan permukaan tanah yang subur akan semakin hilang sehingga zonasi perakaran, unsur hara dan bahan organik tanah semakin berkurang (Arsyad, 1989). Kondisi demikian apabila berlanjut akan menyebabkan tanah menjadi rusak dan lahan menjadi kritis, sehingga produkstivitas lahan semakin menurun dan menyebabkan pendapatan petani juga semakin menurun (Pakpahan dan Syafa’at, 1991). Upaya mendapatkan dan meningkatkan produksi kentang dilakukan dengan pendekatan intensifikasi, yaitu menerapkan sistem pertanian dengan masukan ekternal tinggi (high external input agriculture system). Pendekatan ini sering dilakukan tanpa kajian yang mendalam terhadap aspek lingkungan, sehingga sering menimbulkan biaya lingkungan yang tidak diperhitungkan sebagai komponen biaya yang sebenarnya harus dihitung secara ekonomi. Usahatani kentang menciptakan biaya lingkungan dalam bentuk erosi dan pencemaran lingkungan, diantaranya akibat penggunaan pestisida yang berlebihan dan timbulnya emisi gas methane (bau) dari
pupuk kandang. Metode penyemprotan pestisida secara terjadwal dengan pola “kosong 2” atau “kosong 3” menyebabkan penggunaan pestisida secara berlebihan. Pestisida yang berlebihan menyebabkan pencemaran lingkungan karena adanya residu yang ditinggalkan dan menimbulkan penyakit bagi petani. Petani melakukan tindakan seperti di atas karena nilai ekonomi yang tinggi dari tanaman kentang. Bila dibandingkan dengan tanaman pangan, maka tanaman kentang masih dinilai lebih menguntungkan, sehingga dalam budidayanya dilakukan sangat intensif. Khususnya penggunaan pestisida, para petani kentang bermodal besar akan menggunakan pestisida yang berharga mahal dengan keyakinan bahwa semakin mahal harga pestisida semakin kuat bahan aktifnya untuk memberantas hama dan penyakit tanaman kentang. Sebagian besar usahatani kentang dilaksanakan pada kemiringan di atas 30% bahkan ada yang lebih dari 100%, tapi umumnya kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Petani tidak mau membuat guludan searah garis kontur dengan alasan bahwa air larian (run off) dari lereng atas tidak lancar dan menyebabkan lengas tanah atau kelembaban tanahnya tinggi, sehingga mengakibatkan umbi mudah busuk. Akibat cara pengelolaan lahan seperti di atas, jika terjadi hujan lebat akan menimbulkan aliran permukaan (run off) yang cukup banyak, dan sering menimbulkan banjir di beberapa tempat, terjadi kerusakan sarana dan prasarana. Secara umum, hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bersangkutan. Akibat praktek pengelolaan lahan kentang yang cenderung menimbulkan berbagai kerusakan sumberdaya yang ada, maka para petani yang bertanam kentang di wilayah tersebut seharusnya
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
19 mempunyai kewajiban membayar biaya lingkungan. Penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air menjadi bagian yang sangat penting dalam strategi pengembangan budidaya tanaman kentang dataran tinggi ramah lingkungan. Konservasi tanah pada dasarnya merupakan usaha pemanfaatan tanah dalam usahatani dengan memperhatikan tingkat kemampuannya, dan senantiasa menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar tanah tidak mengalami kerusakan untuk dapat digunakan secara lestari. Kegiatan usahatani kentang dilakukan petani secara perorangan, tetapi sebagian tergabung dalam kelompok tani. Dalam kegiatan usahatani tersebut, ada biaya ataupun manfaat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut menyangkut kepentingan masyarakat. Dengan demikian, perlu dilakukan analisis biaya manfaat secara ekonomi atau sosial, selain analisis biaya manfaat secara finansial. Analisis biaya manfaat secara ekonomi atau sosial diperlukan untuk melihat suatu kegiatan apabila menyangkut kepentingan masyarakat. Analisis biaya manfaat merupakan metode sistematis untuk menentukan serta mengukur manfaat dan biaya ekonomi suatu proyek atau program. Manfaat suatu proyek atau program adalah nilai tambah hasil barang dan jasa, termasuk jasa lingkungan, yang dimungkinkan karena adanya proyek. Biaya produksi secara finansial terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel (variable cost) merupakan biaya produksi yang besarnya tergantung pada jumlah produksi, diantaranya biaya input bibit, pupuk, dan pestisida. Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak tergantung pada besarnya produksi, yaitu mencakup biaya sewa lahan, biaya penyusutan peralatan dan mesin-mesin. Perhitungan manfaat dan biaya proyek/
program pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, tergantung pada pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek/program. Perhitungan privat atau analisis finansial terjadi bila yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek/program adalah individu atau pengusaha. Dalam hal ini yang dihitung sebagai manfaat adalah apa yang diperoleh orang-orang atau badan-badan swasta yang menanamkan modalnya dalam proyek/program tersebut. Sebaliknya, perhitungan sosial atau ekonomi dilakukan bila yang berkepentingan langsung dalam manfaat dan biaya proyek/program adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Pada dasarnya, perbedaan perhitungan dalam analisis privat atau finansial dan analisis ekonomi ada lima hal, yaitu dalam penggunaan harga, perhitungan pajak, subsidi, biaya investasi, pelunasan pinjaman, serta bunga. Harga pasar yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial seringkali terdistorsi oleh pasar persaingan yang tidak sempurna, berbagai kebijakan pemerintah seperti pajak dan subsidi, dan juga dampak lingkungan yang belum diperhitungkan atau eksternalitas. Distorsi harga ini menyebabkan harga pasar tidak menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya. Dalam analisis ekonomi digunakan harga-harga bayangan (shadow prices) atau accounting prices, yaitu hargaharga yang disesuaikan sedemikian rupa untuk menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya dari barang dan jasa. Harga bayangan (shadow price) untuk suatu produk atau faktor produksi adalah berupa social opportunity cost. Tujuan penelitian ini adalah : 1) mengindentifikasi penggunaan input dalam usahatani kentang dalam rangka mengantisipasi penurunan produktivitas dari tahun ke tahun yang cenderung semakin menurun; dan 2)
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
20 mengkaji keberlanjutan usahatani kentang dari aspek ekonomi yang memperhitungkan faktor lingkungan, yaitu dengan pendekatan analisis biaya manfaat secara finansial; dan analisis biaya manfaat secara ekonomi (sosial) yang memperhitungkan faktor lingkungan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di wilayah Dataran Tinggi Dieng yang merupakan sentra produksi kentang di Jawa Tengah. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif analitis yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah yang terjadi pada masa sekarang, sedangkan masalah yang dipecahkan adalah masalah yang aktual. Metode pengambilan sampel menggunakan pengambilan contoh kelompok sederhana (simple cluster sampling), dengan populasi yang diteliti dibagi dalam kelompokkelompok sebagai satuan-satuan contoh (sampel) yang diteliti. Populasi yang diteliti dibagi dalam kelompok desa, kemudian menjadi dusun. Dusun dijadikan sebagai kelompok sampel yang diteliti karena dapat memberikan gambaran terhadap kelompok populasi yang lebih besar. Hasil survei pendahuluan menunjukkan bahwa ada tiga desa sebagai sampel yang mewakili populasi, yaitu Desa Setieng, Desa Patak Banteng dan Desa Kejajar. Hasil analisis penentuan sampel diperoleh 70 petani sebagai responden. Identifikasi penggunaan input dilakukan dengan bantuan daftar pertanyaan, meliputi berapa produktivitas lahan yang dicapai petani saat ini, berapa bibit, tenaga kerja, pupuk anorganik, pupuk organik, dan pestisida yang digunakan petani per satuan luas (hektar); kemudian dilakukan tabulasi untuk diketahui berapa besar produkvitas lahan yang diperoleh dan banyaknya input yang digunakan petani untuk budidaya kentang selama dua musim
tanam, yaitu musim tanam (MT) I tahun 2008 dan MT II tahun 2009. Untuk mendukung data primer tersebut maka diperlukan data sekunder yang bersumber dari instansi terkait. Gabungan data primer dan sekunder digunakan untuk mengetahui perkembangan produktivitas lahan dan perubahan penggunaan input. Analisis biaya dan manfaat finansial dilakukan dengan menghitung nilai penerimaan dan juga biaya-biaya dengan harga pasar. Kemudian, dilakukan analisis biaya manfaat sebagaimana ditulis oleh Suhartini (2007), yaitu dengan menghitung rasio antara penerimaan/ revenue (R) dan biaya/cost (C). R/C ratio = R/C; R adalah revenue/penerimaan, C adalah biaya (cost) yang merupakan jumlah total biaya produksi, yaitu biaya variabel usahatani kentang (biaya bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja luar keluarga dan biaya lainnya) + biaya tetap (biaya sewa lahan dan biaya pajak tanah) + bunga modal + upah tenaga kerja dalam keluarga. Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut layak untuk dilakukan bersifat sustainable secara finansial. Analisis biaya dan manfaat ekonomi (sosial) dihitung menggunakan harga bayangan. Dalam penelitian ini, dimasukkan juga manfaat dan biaya lingkungan. Untuk membedakan dengan rasio manfaat biaya secara finansial (BCR), analisis biaya manfaat ekonomi yang diperluas ini disebut sebagai analisis biaya manfaat sosial (socisal benefit cost ratio) dengan menggunakan model : SCBR = ∑SB/∑SC; SBCR : social benefit cost ratio, SB = manfaat sosial, dan SC = biaya sosial. SBCR > 1, berarti kegiatan tersebut layak dilaksanakan (acceptable), atau dengan kata lain usahatani tersebut layak secara ekonomi (sosial) dan bersifat berkelanjutan. Harga-harga yang digunakan dalam analisis biaya manfaat ekonomi adalah hargaharga bayangan. Sebelum dilakukan analisis
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
21 tersebut, dilakukan terlebih dahulu penilaian biaya lingkungan dan penentuan metode penghitungan harga bayangan. Biaya lingkungan yang dihitung dalam penelitian ini adalah biaya pemulihan lingkungan yang sudah terdegradasi karena pencemaran pupuk kimia berlebihan dipandang dari sisi produsen atau petani. Biaya ini dihitung dengan metode biaya pemulihan (replacement cost), yaitu biaya rata-rata yang diperlukan untuk penggunaan pupuk organik sampai tercapai kualitas lahan menjadi baik. Penentuan harga bayangan output dan input dibedakan atas output atau input yang diperdagangkan internasional (tradeable) dan tidak (non tradeable). Harga bayangan output atau input yang tradeable adalah harga ekonomi atau sosial di tingkat lokasi usaha petani (farm gate price); sedangkan untuk output atau input yang non tradeable diestimasi dengan social opportunity cost-nya. Untuk mendapatkan nilai tukar yang sesungguhnya, digunakan nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate) dengan menggunakan standard convertion factor (SCF),
dengan rumus : SCF = (x + m)/{(x-Tx)+(m+Tm)}; x adalah total nilai ekspor, m adalah total nilai impor, Tx adalah total nilai pajak ekspor, dan Tm adalah total nilai pajak impor. Hubungan antara SCF dan SER digambarkan sebagai SER = OER/SCF; SER: shadow exchange rate (harga bayangan nilai tukar), dan OER = official exchange rate (harga resmi nilai tukar). HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Produksi dan Produktivitas Tanaman Kentang Hasil perhitungan penggunaan faktor produksi dan produktivitas usahatani kentang tahun 2008 dan tahun 2009, tersaji pada Tabel 1. 1. Benih Penggunaan benih untuk usahatani kentang pada musim tanam (MT) I tahun 2008 sebanyak 1.737,41 kg per hektar; sedangkan pada MT II tahun 2009 sebanyak 1.461,75 kg per hektar. Varietas benih kentang yang digunakan adalah varietas granola. Asal benih kentang
Tabel 1. Penggunaan faktor produksi rata-rata per hektar dan produktivitas usahatani kentang berdasarkan musim tanam di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo Musim Tanam (MT) No. Variabel MT I (2008) MT II (2009) 1 Benih (kg) 1,737.41 1.461,75 2 Tenaga Kerja luar keluarga (HOK) 301,00 280,00 3 Tenaga kerja dalam keluarga (HOK) 129,00 120,00 4 Pupuk Anorganik (kg): 1,017,74 840,30 5 Urea (kg) 375,26 212,12 6 SP36 (kg) 255,66 119,19 7 KCl (kg) 64,88 38,65 8 ZA (kg) 58,16 63,49 9 Phonska (kg) 285,63 326,85 10 Pupuk Organik (kg) 15,712,17 16,021.50 11 Pestisida Padat (kg) 41,64 54,98 12 Pestisida Cair (liter) 10,42 25,15 13 Produktivitas (kg) 16.433,27 13.471,493 Sumber : Hasil analisis data primer tahun 2009.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
22 yang dibudidayakan yaitu berasal dari beberapa sumber, yaitu hasil panen, penangkar, kelompok tani, atau pedagang. Benih kentang yang digunakan pada umumnya benih berukuran sedang (S) berisi kurang lebih 20 knol/kg disebut kategori kelas DN. Benih kentang terbanyak berasal dari menangkar sendiri dan kelompok tani (33,50%). Pada umumnya, petani lebih memilih menggunakan benih turunan daripada dari penangkar. Petani membeli benih G3 dari penangkar, kemudian dibudidayakan sampai G5. Hal ini karena benih yang langsung dari penangkar harganya mahal dan terbatas. 2. Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan untuk usahatani kentang sebagian besar berasal dari luar keluarga. Tenaga kerja wanita digunakan untuk tanam, perbaikan guludan, dan perbaikan plastik mulsa. Jumlah tenaga kerja terbanyak adalah MT I, yaitu sebanyak 430 HOK yang terdiri 301 HOK tenaga luar keluarga, dan 129 HOK tenaga kerja keluarga. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada MT II sebanyak 400 HOK yang terdiri atas 280 HOK tenaga kerja luar keluarga, dan 129 HOK tenaga kerja keluarga. Pada musim kemarau, dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk penyiraman tanaman kentang, menyulam/mengganti tanaman yang mati akibat kekurangan air, serta akibat adanya embun upas (frost). Musim kemarau terjadi pada bulan Agustus/September sampai Oktober/ Desember, curah hujan sangat rendah, bahkan jarang terjadi hujan pada awal tanam. 3. Pupuk anorganik Pupuk anorganik yang digunakan yaitu campuran phonska + urea + KCl + ZA. Sebagian lagi menggunakan komposisi Urea + Phonska, atau Urea + KCl + ZA dan ada yang hanya Urea. Perbandingan penggunaan sangat bervariasi. Jumlah penggunaan pupuk terbanyak pada MT
I yaitu sebesar 1.017,75 kg/hektar, sedangkan pada MT II sebesar 840,88 kg/hektar. Dilihat dari penggunaan pupuk anorganik maka terjadi penurunan penggunaan pupuk anorganik pada MT II, yaitu dari 1.017,74 kg/ha menjadi 840,30 kg/ha atau sebesar 177,44 kg/ha. Penggunaan pupuk Phonska cenderung naik cukup banyak sebesar 61,40 kg/ha. 4. Pupuk organik Pupuk organik yang digunakan berupa pupuk kandang, terutama kotoran ternak ayam. Ketergantungan terhadap pupuk kandang sangat tinggi. Jumlah penggunaan pupuk organik pada MT I sebesar 15.712,17 kg/ha; sedangkan pada MT II sebesar 16.021,50 kg/hektar. Penggunaan pupuk organik dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini untuk menjaga kesuburan tanah Andisols (Andosol), terutama kandungan bahan organik tanah yang harus cukup tinggi karena terkait dengan ketersediaan unsur hara fosfor. Penurunan bahan organik tanah yang cepat dimungkinkan karena pada setiap musim tanah terjadi proses erosi yang tinggi. Penggunaan pupuk organik merupakan salah satu cara memperbaiki kerusakan lingkungan, terutama sumberdaya tanah sebagai media tumbuh tanaman. Oleh karena itu, biaya pupuk organik dapat dianggap sebagai biaya lingkungan. 5. Pestisida Penggunaan pestisida pada usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng tanpa memperhitungkan nilai ambang ekonomi. Metode yang mereka jalankan adalah penyemprotan terjadwal, yaitu 2 hari sekali, 3 hari sekali, atau 4 hari sekali. Merk pestisida yang digunakan cukup banyak. Pada umumnya, penyemprotan dilakukan dengan mencampur antara insektisida dan fungisida, meskipun seringkali diantara keduanya tidak diperlukan. Penggunaan pestisida padat pada MT
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
23 I sebanyak 41,64 kg/ha, dan MT II sebanyak 54,98 kg/ha. Penggunaan pestisida cair pada MT I sebanyak 25,15 lt/ha, dan MT II sebanyak 10,42 lt/ha. Penggunaan pestisida yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya resistensi organisme pengganggu tanaman (OPT); resurjensi hama sasaran; ledakan hama sekunder; matinya organisme berguna dan musuh alami; residu pada hasil panen; pencemaran lingkungan; dan keracunan bahkan kematian manusia (Oka,
1995). 6. Produktivitas Hasil analisis produktivitas (Tabel 2) menunjukan bahwa produktivitas kentang pada MT I lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas kentang MT II. Produktivitas kentang MT I sebesar 16.433,27 kg/ha; sedangkan pada MT II sebesar 13.471,49 kg/ha. Produk kentang terbagi menjadi tiga ukuran yaitu Rindil, DN dan AB. Ukuran Rindil
Tabel 2. Produktivitas kentang berdasarkan musim tanam dan ukuran kentang No.
Ukuran Kentang
Produktivitas (kg/ha) MT I (2008) MT II (2009)
1.
Rindil
1.331,36
654,59
2.
DN
2.270,53
2.571,94
3.
AB
12.831,38
10.244,96
16.433,27
13.471,49
Jumlah Sumber : Hasil analisis data primer, 2009. ditentukan berdasarkan ukuran umbi kentang (knol), yaitu setiap knol beratnya dibawah 21 gram. Ukuran DN ditentukan berdasarkan diameter knol yaitu, setiap umbi kentang dengan diameter 3,8 cm sampai 5,6 cm, atau setiap kilogram berisi 14 umbi sampai 20 umbi kentang. Ukuran AB ditentukan berdasarkan diameter dan jumlah knol per kilogramnya, yaitu dengan diameter 7,6 cm sampai 10,2 cm atau setiap kilogram berisi 5 umbi sampai 7 umbi kentang. Keuntungan Finansial Usahatani Kentang. Hasil perhitungan keuntungan usahatani berdasarkan musim tanam (Tabel 3) menunjukkan bahwa nilai produksi atau penerimaan dari hasil usahatani kentang pada MT I sebesar Rp 35.502.051,00; dan pada MT II sebesar Rp 37.066.508,00. Nilai produksi atau penerimaan pada MT II lebih besar dari pada MT I. Harga per kilogram kentang pada MT I
antara Rp 2.600,00 sampai Rp 3.000,00 dan pada MT II harga kentang per kilogramnya antara Rp 2.800,00 sampai Rp 3.300,00. Total biaya variabel pada MT II yang dikeluarkan lebih besar dari pada MT I. Total biaya variable pada MT II sebesar Rp 28.940.569,00; dan pada MT I sebesar Rp 24.125.826,00. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan upah buruh, harga benih, dan harga pestisida. Pada MT I, upah buruh masih berkisar antara Rp 15.000,00 sampai Rp 20.000,00 per HOK; sedangkan pada MT II berkisar antara Rp 20.000,00 sampai Rp 25.000,00 per HOK. Harga benih juga mengalami kenaikan dibandingkan MT I. Pada MT I harga benih berkisar antara Rp 5.000,00 sampai Rp 6.500,00 per kg; dan pada MT II berkisar antara Rp 6.000,00 sampai Rp 8.000,00 per kg. Pendapatan dari usaha kentang MT I sebesar Rp 7.272.352,00 dan pada MT II sebesar
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
24 Tabel 3. Keuntungan finansial usahatani kentang per hektar pada musim tanam (MT) I (2008) dan musim tanam (MT) II (2009) di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo (dalam Rp) No
Uraian
1 2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
Nilai produksi Total biaya variabel : Biaya benih Biaya tenaga kerja luar keluarga Biaya pupuk anorganik Biaya pupuk organik
2.5.
Biaya pestisida
2.6. 2.7. 3. 3.1. 3.2.
Biaya Penyemprotan Biaya pengairan Total biaya tetap Biaya Pajak Biaya sewa lahan Biaya penyusutan alat: 3.3. Biaya Mulsa 4 Total biaya variabel & tetap 5 Bunga modal 6 Tenaga kerja dalam keluarga 7 Total biaya : 4+5+6 Pendapatan usahatani : 1-4 Keuntungan usahatani : 1-7 R/C ratio : 1/7 Sumber : Hasil analisis data primer, 2009 Rp 4.100.473,00. Keuntungan usahatani kentang pada MT I lebih besar dari MT II, disebabkan karena total biaya MT II jauh lebih besar dari MT I. Selisih biaya total mencapai Rp 6.122.052,00. Berdasarkan nilai R/C ratio, maka usahatani kentang pada MT I masih menguntungkan secara finansial, tetapi pada MT II hanya mencapai Break Event Point (BEP). Berdasarkaan urian di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa usahatani kentang semakin tahun semakin kurang menguntungkan ditinjau dari analisis finansial. Penggunaan pupuk organik merupakan salah satu usaha petani untuk meningkatkan kesuburan tanah. Ada sebagian kecil petani yang sudah menyadari bahwa usahatani kentang di Dataran Tinggi
Musim Tanam MT I (2008) MT II (2009) 35.502.051,00 37.066.508,00 24.125.826,00 28.940.569,00 10.878.869,00 11.445.989,00 3.387.294,00 3.911.270,00 1.015.033,00 1.433.452,00 2.428.889,00 2.711.248,00 3.854.140,00
7.66.653,00
2.005.261,00 556.340,00 4.103.873,00 86.667,00 2.337.207,00 1.680.000,00
1.245.957,00 524.000,00 4,025,466.01 106.000,00 2.359.466,00 1.560.000,00
28.229.699,00 1.411.485,00 1.451.698,00 30.810.585,00 7.272.352,00 4.691.466,00 1,15
33.977.235,00 1.698.862,00 2.607.513,00 37,237,400.00 4.100.473,00 -170.891,00 1,00
Dieng merusak lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan mulai mengurangi masa tanam, yang sebelumnya 3 kali tanam menjadi 2 kali tanam kentang. Selain itu, petani mulai memperkuat terasnya dengan cara membuat teras bangku dengan penguat dari batu, yang sebelumnya hanya dari tanah. Analisis Keuntungan Ekonomi (Sosial) Usahatani Kentang Analisis biaya dan manfaat ekonomi (sosial) dihitung menggunakan harga bayangan. Dalam penelitian ini dimasukkan juga manfaat dan biaya lingkungan. Untuk membedakan dengan rasio manfaat biaya secara finansial (BCR), analisis biaya manfaat ekonomi yang diperluas
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
25 ini disebut sebagai analisis biaya manfaat sosial (socisal benefit cost ratio=SBCR). Kriteria yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan adalah bahwa apabila SBCR > 1 berarti kegiatan tersebut layak dilaksanakan (acceptable). Dengan kata lain, usahatani tersebut layak secara ekonomi (sosial) atau bersifat berkelanjutan. Biaya lingkungan yang dihitung dalam penelitian ini adalah biaya pemulihan lingkungan yang sudah terdegradasi karena pencemaran pupuk kimia yang berlebihan dipandang dari sisi produsen atau petani. Biaya ini dihitung dengan metode biaya pemulihan (replacement cost), yaitu biaya rata-rata yang diperlukan untuk penggunaan pupuk organik. Penentuan harga bayangan output dan input dibedakan atas output atau input yang diperdagangkan internasional (tradeable) dan tidak (non tradeable). Harga bayangan output atau input yang tradeable adalah harga ekonomi atau sosial di tingkat lokasi usaha petani (farm gate price); sedangkan untuk output atau input yang non tradeable diestimasi dengan social opportunity cost-nya. Untuk mendapatkan nilai tukar yang sesungguhnya, digunakan nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate) menggunakan standard convertion factor (SCF). Harga bayangan output adalah harga sosial atau ekonomi kentang di tingkat lokasi usaha petani (farm gate price) dihitung menggunakan harga perbatasan yaitu cost insurance freight (CIF) ditambah biaya transportasi dan penanganan dari pelabuhan pengimpor ke lokasi usaha. Dari hasil perhitungan (Tabel 4), diketahui bahwa harga bayangan output sebesar Rp 2.822,19. Harga bayangan pupuk yaitu harga aktual pupuk dikalikan konversi pupuk. Harga bayangan pupuk Urea, ZA, SP36, KCl dan Phonska berturut-turut sebesar Rp 1.580,00, Rp 1.514,00, Rp 2.892,00, Rp 2.325,00 dan Rp
2.229,00. Harga bayangan sewa lahan adalah sewa lahan yang berlaku di lokasi penelitian. Harga bayangan upah tenaga kerja adalah upah minimum regional yang berlaku di Kabupaten Wonosobo. Harga bayangan pestisida adalah harga pestisida yang berlaku di Kabupaten Wonosobo. Karena jenis pestisida yang digunakan petani cukup banyak maka harga bayangan pestisida tidak dikonversi. Pendapatan usahatani kentang musim I (MT I) dengan menggunakan harga bayangan menunjukan nilai positif sebesar Rp 3.637.586,00 dan keuntungan sebesar Rp 1.056.700,00. Pada MT II, pendapatan dari usahatani kentang juga positif sebesar Rp 3.398.812,00; sedangkan keuntungannya negatif sebesar Rp 93.633,00. Hasil perhitungan Social Benefit Cost Ratio (SBCR) menunjukkan bahwa nilai SBCR usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng pada MT I sebesar 0,99 (SBCR < 1), berarti secara ekonomi (sosial) sudah tidak menguntungkan. Nilai SBCR tahun 2008 sebesar 1,01 (SBCR > 1). Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi (sosial) usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng masih menguntungkan walau sangat kecil. Hasil identifikasi di lapangan dan analisis data yang diperoleh menunjukan bahwa: 1. Usahatani kentang yang dilakukan belum sepenuhnya memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air, ditandai antara lain adanya praktek usahatani intensif pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15 % dengan komoditas tanaman semusim yaitu sayuran tanpa disertai penerapan metode konservasi tanah dan air secara fisik mekanik yang baik. 2. Tanaman kentang ditanam dua sampai tiga kali setahun secara monokultur, sehingga menyebabkan potensi erosi yang tinggi. Hasil penelitian Tim Kerja Pemulihan
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
26 Tabel 4. Keuntungan ekonomi usahatani kentang per hektar pada MT I dan MT II di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo (dalam Rp) No
1 2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 4 5 6 7
Uraian Nilai produksi Total biaya variabel : Biaya benih Biaya tenaga kerja luar keluarga Biaya pupuk anorganik Biaya pupuk organik Biaya pestisida Biaya Penyemprotan Biaya pengairan Total biaya tetap Biaya Pajak Biaya sewa lahan Biaya penyusutan alat Total biaya variabel & tetap Bunga modal Tenaga kerja dalam keluarga Total biaya : 4+5+6 Pendapatan usahatani : 1-4 Keuntungan usahatani : 1-7 SBCR : 1/7
Musim Tanam MT I (2008) MT II (2009) 36,627,951.17 38,030,025.00 28,886,490.26 30,594,834.43 12,671,667.74 11,445,989.00 4,977,829.92 4,977,829.92 2,392,362.60 2,021,157.52 2,428,889.00 2,711,248.00 3,854,140.00 7,668,653.00 2,005,261.00 1,245,957.00 556,340.00 524,000.00 4,103,874.00 4,025,466.01 86,667.00 106,000.00 2,337,207.00 2,359,466.01 1,680,000.00 1,560,000.00 34,620,300.44 32,990,364.26 1,649,518.21 1,731,015.02 1,451,698.00 2,133,355.68 38,484,671.14 36,091,580.47 3,637,586.91 3,409,724.56 536,370.70 - 454,646.14 1.01 0.99
Sumber : Hasil analisis data primer, 2009 Dieng (2007) menunjukkan bahwa tingkat erosi yang terjadi sudah mencapai angka 10,7 mm/tahun. 3. Dikhawatirkan, terjadi pencemaran berbahan pestisida, karena penggunaan pestisida cukup banyak yaitu mencapai 54,98 kg/ha pestisida padat dan 25,15 liter/ ha pestisida cair. 4. Teras bangku ditemukan di beberapa tempat, namun sistem penanaman masih tetap searah lereng. Petani enggan menanam dengan sistem searah kontur karena air sulit terbuang dengan cepat, menyebabkan naiknya kelembaban di sekitar perakaran yang memacu perkembangan penyakit busuk umbi. Keadaan tanah yang telah rusak atau tidak sehat, terutama karena proses
erosi yang cukup tinggi, mengakibatkan semakin banyak pemakaian pupuk kandang pada setiap kali penanaman. 5. Terjadinya pencemaran (polusi) udara akibat pupuk kandang (kotoran ayam) yang masih basah menimbulkan bau tidak sedap, serta banyak lalat di mana-mana. 6. Hasil analisis produktivitas kentang musim tanam (MT II) tahun 2009 lebih rendah dibandingkan musim tanam (MT I) tahun 2008. Hal ini patut diduga disebabkan oleh menurunnya kualitas tanah karena diantaranya disebabkan terjadinya erosi, dan hama penyakit tanaman kentang. 7. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa usahatani kentang di Dataran Tinggi Dieng musim tanam (MT I) tahun 2008 secara
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
27 finansial masih mendapatkan keuntungan, tetapi pada musim tanam (MT II) tahun 2009 secara finasial hanya kembali modal (BEP). Hal ini menunjukan bahwa usahatani kentang sudah mulai tidak menguntungkan petani. Faktor utama penyebab menurunnya keuntungan antara lain produktivitas yang menurun, biaya produksi yang semakin meningkat, dan serangan hama penyakit yang semakin sulit diatasi. 8. Hasil analisis keuntungan sosial/ekonomi menunjukkan bahwa usahatani kentang musim tanam (MT II) tahun 2009 secara ekonomi/sosial sudah tidak menguntungkan. Hal ini ditandai oleh biaya recovery lahan yang cukup besar. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Penggunaan benih, tenaga kerja dan pupuk anorganik pada musim tanam (MT) I tahun 2008 lebih banyak dari pada musim tanam (MT) II tahun 2009. Penggunaan pupuk organik lebih banyak pada musim tanam (MT) II tahun 2009 daripada musim tanam (MT) I tahun 2008. Produktivitas kentang di Dataran Tinggi Dieng pada musim tanam (MT) I tahun 2008 lebih tinggi dari pada musim tanam (MT) II tahun 2009. 2. Pola tanam monokultur dengan sangat intensif dalam penggunaan pestisida, jalur penanaman masih searah lereng dan beberapa bentukan teras bangku yang diintroduksikan ke dalam lahan usahatani kentang belum disertai penguat teras yang baik sering menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, seperti longsor, banjir disertai lumpur, erosi dan penurunan produktivitas kentang.
3. Usahatani kentang secara finansial masih menguntungkan, tetapi secara ekonomi (sosial) tidak layak untuk diusahakan. Saran yang diajukan adalah: Perlu dilakukan pengkajian kemungkinan diterapkannya pertanian terpadu dengan menempatkan tanaman kentang sebagai tanaman primadona, tetapi model simulasi sebagai berikut : 1. Lahan usahatani kentang pada kemiringan lebih dari 15 % harus diintegrasikan metode fisik mekanik, yaitu berupa teras bangku dengan penguat teras (seperti misalnya: batu), disertai tanaman rumput pakan ternak. 2. Guludan jalur/larikan penanaman dibuat memotong lereng atau searah kontur disertai pembuatan rorak, lubang resapan dan saluran drainase untuk mencegah tingkat kelembaban tanah yang besar. 3. Dilakukan pengenalan tanaman kayu dan ternak ruminansia ke dalam sistem usahatani tanaman kentang Dataran Tinggi Dieng. 4. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan dengan pemantauan dini dengan prinsip ambang ekonomi, dan menggunakan biopestisida/ pestisida nabati. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendiknas di Jakarta atas pengalokasian anggaran untuk penelitian dan disetujuinya Penelitian Hibah Bersaing ini; dan Ketua Lembaga Penelitian Unsoed Purwokerto atas segala perannya sehingga penelitian ini dapat
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 17 - 28
28 dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 255 hal. Pakpahan, A., dan N. Syafaat, 1991. Hubungan Konservasi Tanah danAir dengan Komoditas Yang diusahakan, Struktur Pendapatan Serta karakteristik Rumah Tangga (Kasus DAS Cimanuk dan Citanduy). Jurnal Agro Ekonomi. 1(1): 1-15 Sularso, K.E.,2009. Produktivitas Pendapatan Dan Risiko Usahatani Kentang Pada Berbagai Teknologi Konservasi Tipe Teras Di Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Makalah Seminar Disertasi. Program Pasca Sarjana, UGM, Jogjakarta. Unpublish.
Suhartini, 2008. Kajian Keberlanjutan Sistem Usahatani Padi Semi Organik Di Kabupaten Sragen . Disertasi S3. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. (unpublished). Tim Kerja Pemulihan Dieng, 2007. Mengapa Dieng Harus Diselamatkan? http:// savedieng.org/2007/06/14/mengapadieng-harus-diselamatkan/ savedieng.org (Diakses tanggal 10 April 2008) Wildan. 2004. Harga Rendah Jadi Ancaman. Suara Merdeka (On-line), http://www. suaramerdeka.com/harian/nas21.htm. (Diakses 27 Februari 2005). Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Studi Tentang Budidaya Tanaman Kentang ... (Bondansari et al)
29 VARIASI MORFOLOGI Macrobrachium idae ASAL SUNGAI KAWUNG KABUPATEN BANYUMAS DAN SUNGAI LUK ULO KABUPATEN KEBUMEN (MORPHOLOGY VARIATIONS OF Macrobrachium idae TAKEN FROM KAWUNG RIVER IN BANYUMAS REGENCY AND LUK ULO RIVER IN KEBUMEN REGENCY) Oleh: Elly Tuti Winarni, A.E. Pulungsari, dan Kusbiyanto Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soediman Purwokerto Jln. Dr.Soeparno 63 Purwokerto Jawa Tengah
(Diterima 3 Mei 2011, disetujui 7 Juni 2011)
ABSTRACT Many researches on Macrobrachium shrimp in Indonesia focus more on Macrobrachium rosenbergii, because other Macrobrachium shrimps are smaller, including M. idae. The previous study showed that M. idae spread widely as it could be found in the rivers, but the number and the size were relatively small. Possibly in the future, the existence of this shrimp cannot be found anymore, so the prevention has to be conducted through biological and ecological scientific information. As a preliminary, a biological study is carried out to see the morphological characteristics of M. idae shrimp with the purpose of knowing the differences between the shrimps taken from Kawung river in Banyumas regency and Luk Ulo river in Kebumen regency. This information can be used as a foundation of other researches aims at conserving M. idae shrimps. This research used a survey method with a simple random sampling. Variables observed were color design and truss distance. There were 21 characteristics of truss to figure out the shape of the whole body. The measurement of truss ratio compared to the standard length of the shrimp was analyzed using t test. The result showed that male M. idae shrimp had a bigger size than that of the female one. There was a different color design and 2 truss ratio distance in comparison to the length standard, between M. idae taken from Kawung and Luk Ulo rivers. Kata kunci: morphological variation, M. idae, Kawung river, Luk Ulo river PENDAHULUAN
kontinyu serta substrat dasar sungai dari
Genus Macrobrachium terdistribusi di daerah tropik dan subtropik (Anonymus, 2007). Terdapat sekitar 150 spesies udang Macrobrachium di dunia dan 49 diantaranya memiliki nilai komersial. Sebanyak 27 spesies udang komersial tersebut ditemukan di Asia dan Pasifik (Tayamen, 2001). Indonesia memiliki 30 spesies udang Macrobrachium yang hidup di perairan umum seperti sungai dan rawa-rawa di daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi bahkan terdapat juga di Irian Jaya (Holthuis, 1955). Menurut Darbohoesodo (1989), habitat udang Macrobrachium berada dari hulu sampai muara sungai, baik pada sungai kecil maupun sungai yang besar, dengan arus yang mengalir
berlumpur sampai berbatu. Hasil penelitian Sari (2008) menemukan 2 spesies udang Macrobrachium di Sungai Luk Ulo kabupaten Kebumen. Nurhayati (2009) menemukan spesies udang yang sama di Sungai Kawung Kabupaten Banyumas. Menurut Darbohoesodo (1989) dan Amri (2003), penelitian tentang Macrobrachium di Indonesia belum banyak dilakukan karena udang air tawar mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil jika dibandingkan dengan udang laut. Namun demikian, beberapa spesies udang Macrobrachium cukup potensial untuk dibudidayakan seperti jenis M. oenone, M. idae, M. cowlesi dan M. rosenbergii (Udang galah). Menurut Budihardjo dan Murtijo
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 29 - 36
30 (1992), potensi udang sangat menjanjikan jika dikelola dan dikembangkan dengan baik, sehingga memberikan manfaat dan tetap lestari keberadaannya. Diantara anggota genus Macrobrachium, maka M. idae penyebarannya relatif luas. Udang tersebut dapat ditemukam dibeberapa sungai daerah Banyumas dan sekitarnya. Sebagai langkah awal, akan dilakukan karaterisasi morfologi udang M. idae yang tertangkap di Sungai Kawung Kabupaten Banyumas dan Sungai Lul Ulo Kabupaten Kebumen, yaitu variasi morfologi berdasarkan pola warna dan teknik truss morfometrics. Menurut Winfield & Nelson (1991), tujuan spesifik pendekatan morfometrik yang utama yaitu menentukan pilihan metode yang tepat. Tujuan dasarnya adalah mendiskripsikan bentuk. Penerapan metode ini mencari perbedaan yang nyata dari obyek, sebagai dasar penunjuk untuk membedakan bentuk individu dengan populasi, species atau komunitas. Mengadopsi teknik pengukuran morfometrik pada ikan yang mampu menggambarkan morfologi secara lebih menyeluruh yang dikenal dengan teknik truss morphometrics, maka akan dilakukan kajian penerapan teknik tersebut untuk melakukan karakterisasi morfologi udang M. idae yang berasal dari habitat berbeda. Strauss and Bookstein (1982) memperkenalkan pengukuran karakter morfometrik dengan pola truss network, yang mampu memberikan gambaran tubuh lebih menyeluruh. Teknik truss morphometrics merupakan salah satu metode untuk menggambarkan bentuk ikan dengan cara mengukur bagian-bagian dari tubuhnya atas dasar titik-titik patokan. Kelebihan dari teknik ini dibandingkan teknik lainnya adalah lebih konsisten dalam pengukuran. Titik-titik patokan
yang digunakan dapat mendekati suatu gambaran bentuk yang sebenarnya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa teknik truss morphometrics dapat digunakan sebagai dasar pembeda beberapa species ikan, udang dan kepiting. Gambaran morfologi yang diperoleh lebih menyeluruh dibandingkan dengan menggunakan karakater morfometrik baku. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan karakter morfologi M. idae yang berasal dari Sungai Kawung Kab. Banyumas dan Sungai Luk Ulo Kab. Kebumen berdasarkan perbedaan pola warna dan ukuran morfologi dengan teknik truss morfometrics. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang variasi morfologi udang M idae. Informasi yang diperoleh diharapkan juga dapat digunakan sebagai dasar penelitian yang mengarah kepada usaha konservasi sumberdaya udang M. idae. METODE PENELITIAN 1) Materi Penelitian Materi penelitian adalah M. idae yang tertangkap di Sungai Kawung Kab. Banyumas dan Sungai Luk Ulo Kab. Kebumen. Bahan dan alat yang digunakan adalah: akuades, alkohol 70%, elektroshocker 12 volt (jarak operasi +1 m2), anco dan seser ukuran mata jala ½ cm, kantong plastik tebal ukuran 5 kg, botol koleksi, kertas label dan kamera. 2) Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Sungai Kawung Kabupaten Banyumas dan Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. Pengamatan morfologi dan pengukuran jarak truss dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Fakultas Biologi Unsoed. Penelitian dilakukan pada bulan
Variasi Morfologi Macrobrachium idae ... (E.T. Winarni et al)
31 September - Oktober 2009. Metode survai yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan secara “simpel random sampling”. Sampel udang diambil pada stasiun terpilih di sepanjang Sungai dari hulu hingga hilir. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari sebelum
matahari terbit dan sore hari menjelang malam dibantu oleh masyarakat setempat pencari ikan. Variabel yang diamati adalah pola warna dan jarak truss. Ditentukan 21 karakter trus untuk menggambarkan bentuk tubuh secara menyeluruh (Hadie et al., 2002)
Gambar 1. Jarak Truss yang diamati pada udang M. idae Keterangan: A1 : Jarak antara bagian terlebar dari kepala ventral sampai dengan bagian bawah tangkai mata A2 : Jarak vertikal antara pangkal rostrum sampai dengan bagian bawah tangkai mata A3 : Jarak antara pangkal rostrum sampai dengan pertengahan kepala dorsal A4 : Jarak vertikal bagian terlebar dari kepala ventral sampai dengan pertengahan kepala dorsal A5 : Jarak antara bagian terlebar dari kepala ventral sampai dengan pangkal rostrum A6 : Jarak antara pertengahan kepala dorsal sampai dengan bagian bawah tangkai mata B1 : Jarak antara bagian terlebar dari kepala ventral sampai dengan batas belakang kepala ventral B3 : Jarak antara pertengahan kepala dorsal sampai dengan belakang kepala dorsal B4 : Jarak vertikal antara batas belakang kepala ventral sampai dengan bagian dorsal B5 : Jarak antara batas belakang kepala ventral sampai dengan pertengahan kepala dorsal B6 : Jarak antara batas belakang kepala dorsal sampai dengan bagian terlebar kepala ventral C1 : Jarak antara batas depan segmen 1 abdomen ventral sampai dengan batas belakang segmen 3 abdomen ventral C3 : Jarak antara batas depan segmen 1 abdomen dorsal sampai dengan batas belakang segmen 3 abdomen dorsal C4 : Jarak antara batas belakang segmen abdomen 3 ventral sampai dengan belakang dorsal C5 : Jarak antara batas belakang segmen abdomen 3 ventral sampai dengan batas depan segmen 1 abdomen dorsal C6 : Jarak antara batas belakang segmen 3 abdomen dorsal sampai dengan batas segmen 1 abdomen ventral D1 : Jarak antara batas depan segmen abdomen 4 ventral sampai dengan batas belakang segmen 6 abdomen ventral D3 : Jarak antara batas depan segmen abdomen 4 dorsal sampai dengan batas belakang segmen 6 abdomen dorsal D4 : Jarak antara batas belakang segmen 6 abdomen ventral sampai dengan belakang dorsal D5 : Jarak antara batas belakang segmen 6 abdomen ventral sampai dengan batas depan segmen 4 abdomen dorsal D6 : Jarak antara batas belakang segmen 6 abdomen dorsal sampai dengan batas segmen 4 abdomen ventral
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 29 - 36
32 3) Analisis Data Hasil pengukuran rasio truss dibandingkan dengan panjang baku selanjutnya dianalisis dengan uji “t” menggunakan soft wera SPSS versi15. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan September- Oktober 2009 terhadap
udang M. idae yang berasal dari Sungai Kawung Kab. Banyumas dan Sungai Luk Ulo Kab. Kebumen, menunjukkan terdapat perbedaan pola warna. Udang M. idae yang berasal dari Sungai Kawung memiliki tubuh transparan dengan warna kehijauan, sedangkan udang yang berasal dari dari Sungai Luk Ulo berwarna kehitaman. Udang M. idae yang diperoleh mempunyai ciri-
Tabel 1. Rasio Truss Morphometrics udang M. idae secara keseluruhan No
Karakter
Asal Sungai Kawung
Luk Ulo
Kaidah keputusan
1
A1
0.245 + 0.035
0.243 +0.019
ns
2
A2
0.099 + 0.007
0.122 + 0.152
**
3
A3
0.117 + 0.01
0.111 + 0.011
**
4
A4
0.204 + 0.021
0.184 + 0.015
**
5
A5
0.241 + 0.027
0.214 + 0.025
**
6
A6
0.201 + 0.013
0.213 + 0.014
**
7
B1
0.127 + 0.009
0.142 + 0.027
**
8
B3
0.123 + 0.008
0.105 + 0.015
**
9
B4
0.178 + 0.009
0.143 + 0.02
**
10
B5
0.218 + 0.021
0.243 + 0.055
**
11
B6
0.225 + 0.019
0.214 + 0.018
**
12
C1
0.247 + 0.034
0.244 + 0.022
ns
13
C3
0.263 + 0.015
0.275 + 0.022
**
14
C4
0.172 + 0.015
0.137 + 0.016
**
15
C5
0.294 + 0.02
0.293 + 0.022
ns
16
C6
0.308 + 0.022
0.291 + 0.024
**
17
D1
0.198 + 0.013
0.219 + 0.018
**
18
D3
0.262 +0.018
0.223 + 0.021
**
19
D4
0.077 + 0.014
0.077 + 0.009
ns
20
D5
0.269 + 0.015
0.246 + 0.02
**
21
D6
0.231 + 0.013
0.252 + 0.02
**
Keterangan : ns = tidakberbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata
Variasi Morfologi Macrobrachium idae ... (E.T. Winarni et al)
33 ciri, periopod II panjang dan langsing, Carpus lebih panjang dari merus, ukuran pereiopod II, kanan dan kiri sama, chela pereiopod II, terdapat tuberkel, tidak berbulu, tidak terdapat gigi rostrum bawah, gigi rostrum: 9 – 11, 3 buah di belakang lingkar mata. Ciriciri tersebut sesuai dengan yang dideskripsikan oleh Cai and Ng (2001).
Udang M idae jantan yang berasal dari Sungai Luk Ulo mempunyai ukuran panjang total baku berkisar antara 40,5 mm – 63,3 mm dan udang M idae betina berkisar antara 39,4 mm – 49,7 mm. Udang M. idae jantan yang berasal dari Sungai Kawung mempunyai ukuran panjang total baku berkisar antara 41,7 mm – 59,3 mm dan udang M. idae betina berkisar
Tabel 2. Rasio Truss Morphometrics udang M. idae Jantan No
Karakter
Kawung
Asal Sungai
Luk Ulo
Kaidah keputusan
1
A1
0.277 + 0.021
0.249 + 0.019
ns
2
A2
0.099 + 0.007
0.1 + 0.017
*
3
A3
0.125 + 0.006
0.112 + 0.012
**
4
A4
0.214 + 0.024
0.19 + 0.011
ns
5
A5
0.262 + 0.022
0.226 + 0.025
*
6
A6
0.206 + 0.014
0.215 + 0.015
**
7
B1
0.131 + 0.006
0.158 + 0.026
**
8
B3
0.126 + 0.008
0.111 + 0.013
*
9
B4
0.178 + 0.007
0.15 + 0.023
*
10
B5
0.229 + 0.021
0.246 + 0.048
**
11
B6
0.234 + 0.022
0.219 + 0.016
ns
12
C1
0.224 + 0.025
0.234 + 0.013
**
13
C3
0.265 + 0.007
0.269 + 0.016
*
14
C4
0.164 + 0.013
0.134 + 0.017
ns
15
C5
0.28 + 0.013
0.286 + 0.015
**
16
C6
0.297 + 0.01
0.283 + 0.016
*
17
D1
0.203 + 0.007
0.217 + 0.019
**
18
D3
0.255 + 0.016
0.222 + 0.025
ns
19
D4
0.076 + 0.02
0.074 + 0.009
*
20
D5
0.265 + 0.015
0.243 + 0.022
ns
21
D6
0.233 + 0.012
0.248 + 0.024
*
Keterangan : ns = tidakberbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 29 - 36
34 antara 32,7 mm – 43,55 mm. Secara umum udang M. idae yang berasal dari Sungai Luk Ulo mempunyai ukuran lebih panjang dari pada yang berasal dari Sungai Kawung. Berdasarkan ukuran panjang total baku udang M. idae jantan lebih besar dari udang betina. Hal ini dapat terjadi karena udang betina yang tertangkap sebagian sedang mengerami telur, yang berarti
telah memasuki tahap bereproduksi sehingga makanan yang dikonsumsi tidak lagi digunakan untuk pertumbuhan namun untuk perkembangan telur. Hasil uji ”t” terhadap 21 rasio jarak truss dengan panjang total baku yang diukur secara keseluruhan tanpa membedakan jenis kelamin, menunjukkan terdapat 17 karakter yang berbeda
Tabel 3. Rasio Truss Morphometrics udang M. idae Betina No
Karakter
Asal Sungai Kawung
Luk Ulo
Kaidah keputusan
1
A1
0.214 + 0.008
0.237 + 0.016
**
2
A2
0.098 + 0.008
0.145 + 0.214
ns
3
A3
0.11 + 0.007
0.109 + 0.011
ns
4
A4
0.193 + 0.005
0.177 +0.015
**
5
A5
0.221 + 0.011
0.201 + 0.019
**
6
A6
0.197 + 0.009
0.21 + 0.013
**
7
B1
0.123 + 0.01
0.126 + 0.016
ns
8
B3
0.12 +0.007
0.099 + 0.015
**
9
B4
0.179 + 0.011
0.137 + 0.014
**
10
B5
0.206 + 0.013
0.24 + 0.062
*
11
B6
0.217 + 0.01
0.208 + 0.02
ns
12
C1
0.27 + 0.026
0.254 + 0.024
ns
13
C3
0.26 + 0.019
0.281 + 0.026
**
14
C4
0.181 + 0.014
0.139 + 0.015
**
15
C5
0.308 + 0.016
0.299 + 0.026
ns
16
C6
0.318 + 0.025
0.298 + 0.028
*
17
D1
0.193 + 0.016
0.22 + 0.017
**
18
D3
0.268 + 0.017
0.224 + 0.015
**
19
D4
0.078 + 0.005
0.08 + 0.009
ns
20
D5
0.273 + 0.013
0.248 + 0.019
**
21
D6
0.229 + 0.014
0.255 + 0.016
**
Keterangan : ns = tidakberbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata
Variasi Morfologi Macrobrachium idae ... (E.T. Winarni et al)
35 antara udang M. idae yang berasal dari Sungai Kawung dengan udang yang berasal dari Sungai Luk Ulo (Tabel 1). Karakter tersebut terdapat pada bagian cephalothorax baian depan dan belakang serta bagian abdomen depan tengah dan belakang. Banyaknya karakter yang berbeda secara umum tersebut belum dapat memberikan ciri yang spesifik terhadap perbedaan lokasi. Oleh karena itu perbandingan berdasarkan jenis kelamin perlu dilakukan karena udang Macrobrachium mempunyai perbedaan jenis kelamin. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 15 perbedaan rasio jarak truss dengan panjang total baku pada M. idae jantan (Tabel 2) dan 14 perbedaan rasio jarak truss dengan panjang total baku pada M. idae betina (Tabel 3). Hasil analisis yang telah dilakukan secara umum dan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang nyata terdapat pada jarak 2 jarak truss yaitu, antara pertengahan kepala dorsal sampai dengan bagian bawah tangkai mata (A6) dan jarak antara batas depan segmen abdomen 4 ventral sampai dengan batas belakang segmen 6 abdomen ventral (D1). Menurut Hadie et al. (2002) perbedaan ukuran tubuh yang terjadi pada udang dapat disebabkan karena stress lingkungan tempat hidup udang. Hal ini merupakan indikasi bahwa perbedaan habitat dapat mempengaruhi ukuran tertentu pada udang. Perbedaan karakter morfologi udang M. idae yang telah diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai informasi ilmiah untuk penelitian lebih lanjut yang ber kaitan dengan usaha konervasinya, antara lain menentukan sumber induk yang berkualitas.Perbedaan karakter morfologi udang M. idae yang telah diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai informasi ilmiah untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan usaha konervasinya,
antara lain menentukan sumber induk yang berkualitas. SIMPULAN 1. Terdapat variasi pola warna udang Macrobrachium idae yaitu transparan dengan warna kehijauan yang berasal dari Sungai Kawung dan berwarna kehitaman yang berasal dariSungai Luk Ulo. 2. Udang Macrobrachium idae yang berasal dari Sungai kawung dan dari Sungai Luk Ulo dapat dibedakan berdasarkan: - Rasio jarak antara bagian bawah tangkai mata dengan bagian terlebar kepala dengan panjang baku. - Rasio jarak antara bagian abdomen dengan pangkal uropod bagian dorso ventral dengan panjang baku. DAFTAR PUSTAKA Amri, K. 2003 Budidaya Udang Windu secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta. Anonymus, 2007. Prawns: Biology.http/:www. msuucares.com/aquaculture/prawns/ Biology.html. (Diakses Januari 2009) Budihardjo, A dan Murtidjo. 1992. Budidaya Udang Galah Sistem Monokultur. Kanisius. Yogyakarta. Cai, Y and Peter. K. L. Ng. 2001. The Freshwater Decapod Crustaceans of Halmahera, Indonesia. Journal of Crustacean of Biology, 21(3): 665-695. Darbohoesodo. R.B. 1989. Potensi Sumberdaya Udang Air Tawar di Daerah Banyumas. Makalah Workshop tentang Potensi Macrobrachium spp. Pusat Antar Universitas – Ilmu Hayati Institut Teknologi Bogor – Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 20-30 November 1989. Hadie, W. K, Sumantadinata. O.C dan L. E. Hadie. 2002. Pendugaan Jarak Genetik Populasi Udang Galah (Macrobrachium
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 29 - 36
36 rosenbergii) dari Sungai Musi, Sungai Kapuas dan Sungai Citandui dengan Truss Morfometrics untuk Mendukung Program Pemuliaan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2(2). Holthuis, L.B. 1955. Kunci Determinasi Genera dan Sub Genera Palaemonidae. Diterjemahkan dari “The Palaemonidae Collected by The Siboga and Snellius Expedition with Remack On Other Species I”. Universtat Leiden. Leiden. Nurhayti, I.A. 2009. Morfometri Udang yang Tertangkap di Sungai Kawung Kabipaten Banyumas. Laporan (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi Unsoed. Purwokerto. Sari, V.P. 2008. Teknik Truss Morfometrics Sebagai Pembeda Species Macrobrachium spp. Yang Tertangkap di Sungai Luk Ulo Kabupaten Kebumen. Laporan (tidak
dipublikasikan). Fakultas Biologi Unsoed. Purwokerto. Strauss, R.E., and F.L. Bookstein. 1982. The Truss: Body Form Reconstruction morphometrics. Syst. Zoology, 31 (2), 113135. Tayamen, M.M. 2001. Biology and Hatchery Management of The Giant Frashwater Prawn. Departement of Agriculture. http.// www.ppk.pkm.my/udang/ugalahj.jpg. (Diakses 24 Januari 2008) Winfield, I. J & J.S. Nelson. 1991. Cyprinid Fishes Systematics, Biology and Exploitation. Fish and Fisheries series 3. Chapman & Hall. UK, Japan, Australia & India.
Variasi Morfologi Macrobrachium idae ... (E.T. Winarni et al)
37 KAJIAN PERTUMBUHAN DAN HASIL CENDAWAN TIRAM PUTIH Pleurotus Ostreatus PADA BERBAGAI KOMPOSISI MEDIUM TANAM (STUDY OF GROWTH AND YIELD OF OYSTER MUSHROOM Pleurotus Ostreatus AT VARIOUS GROWTH MEDIUM COMPOSITIONS) Oleh: Hartati, Etik Wukir Tini, dan Ajeng Rezka Ayu WPD Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (Diterima: 4 Agustus 2010, disetujui: 12 Januari 2011)
ABSTRACT The purpose of this study was to assess the growth and yield of white oyster mushroom on different planting medium composition and the composition of the planting medium that could generate the highest white oyster mushroom. The experiment was conducted at the home of fungi (kumbung) located in Agro Baturaden, District Baturaden, Banyumas, with altitude of approximately 325 m above sea level for 4 months (December 2009 - March 2010). The experimental design was Completely Randomized Design (CRD) with 9 treatments: 75% sawdust + 25% compost weeds; 50% sawdust + 50% compost weeds; 25% sawdust + 75% compost weeds; 75% sawdust + 25% compost dry banana leaf banana , 50% sawdust + 50% compost dry banana leaf banana, 25% sawdust + 75% compost dry banana leaf banana, 100% sawdust, 100% compost weeds and 100% compost banana dried banana leaves. Each treatment consisted of 7 baglog and took 3 baglog as samples per treatment. The variables measured were initial mycelium growth, early fruiting bodies grow, the number of fruiting bodies, clumps of fruiting bodies, the volume of fruit body, the weight of fresh mushroom, mushroom dry weight, and Biological Efficiency Ratio (BER). Based on F test and Duncan test at 5% level of error, it was found that the treatment composition 100% sawdust and dried banana leaf banana mycelium showed initial growth between 20.7 up to 26. days after inoculation or 3 days sooner. The composition of the planting medium that could produce the highest white oyster mushroom was 75% sawdust + 25% compost weeds with 171.153 g fresh weight; dry weight of 15.380 g and BER (Biological Efficiency Ratio) 24.453% and 50% sawdust + 50 % compost dry banana leaf banana with 187.230 g fresh weight, dry weight of 13.007 g and 26.747% BER. Keywords: Fungus Oyster white, reeds, dried banana Leaf, and Results
PENDAHULUAN Indonesia mempunyai kekayaan berbagai jenis cendawan yang bermanfaat. Saat ini perkembangan budidaya cendawan mulai meningkat pesat karena harganya cukup tinggi. Bisnis ini menguntungkan karena permintaan pasar lokal terbuka lebar, dan waktu panen yang singkat, sehingga perputaran modalnya cepat. Budidaya cendawan sangat mudah dilakukan karena bahan baku mudah didapat, tidak membutuhkan lahan luas, serta cendawan sangat bermanfaat untuk kesehatan karena kualitas gizinya tinggi, selain banyak digemari konsumen karena rasanya yang lezat.
Salah satu cendawan yang sangat digemari oleh konsumen dan mempunyai khasiat bagi kesehatan tubuh adalah cendawan tiram (Cahyana et al., 2005). Hasil penelitian Sumarmi (2006) menunjukkan bahwa kadar asam lemak tak jenuh pada cendawan tiram/100 g mencapai 72, sehingga baik bagi penderita gangguan metabolisme kolesterol. Cendawan juga mengandung mineral penting dan tanpa logam berat, sehingga aman untuk dikonsumsi. Cendawan tiram merupakan salah satu jenis cendawan kayu karena cendawan ini banyak tumbuh pada medium kayu yang sudah lapuk. Cendawan tiram putih, abu-abu, dan
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 37 - 44
38 coklat paling banyak dibudidayakan karena mempunyai sifat adaptasi dengan lingkungan yang baik dan tingkat produktivitasnya juga tinggi (Cahyana et al., 2005). Budidaya cendawan tiram putih pada umumnya menggunakan serbuk gergaji sebagai medium dasar dan sumber karbon (Suriawiria, 2006). Serbuk gergaji yang umum digunakan untuk budidaya cendawan tiram yaitu serbuk gergaji kayu Albasia. Pertumbuhan dan hasil cendawan tiram yang dibudidayakan sangat dipengaruhi oleh medium tanam yang digunakan
yang dapat menghasilkan cendawan tiram putih paling tinggi.
dan ketersediaan bahan baku utama, sehingga upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil adalah mencari komposisi medium terbaik atau bahkan medium alternatifnya. Penggunaan medium dasar atau bahan baku utama juga perlu memperhatikan ketersediannya di daerah budidaya, seperti daun pisang kering dan alang-alang. Pemanfaatan kedua bahan tersebut masih terbatas, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif medium tanam. Pemanfaatan limbah pertanian perlu diperhatikan untuk didayagunakan, sehingga dipilih alang-alang dan daun pisang kering sebagai alternatif medium tanam karena sampai saat ini pemanfaatannya masih kurang. Kedua medium tanam ini banyak terdapat di lingkungan sekitar. Selain itu, pemanfaatan kedua bahan ini dapat meningkatkan nilai tambah alang-alang dan daun pisang kering yang selama ini masih sebatas untuk campuran pakan ternak. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu pengujian perlakuan beberapa jenis medium dengan susunan komposisi serbuk gergaji, kompos alang-alang, dan daun pisang kering yang berbeda. Tujuan penelitian ini yaitu mengkaji pertumbuhan dan hasil cendawan tiram putih pada berbagai komposisi medium tanam dan mengetahui komposisi medium tanam
percobaan dalam rumah cendawan (kumbung) dengan menggunakan baglog. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuannya adalah susunan komposisi medium tanam. Perlakuan A adalah (75% serbuk gergaji + 25% alang-alang), B (50% serbuk gergaji + 50% alang-alang), C (25% serbuk gergaji + 75% alang-alang), D (75% serbuk gergaji + 25% daun pisang kering), E (50% serbuk gergaji + 50% daun pisang kering), F (25% serbuk gergaji + 75% daun pisang kering), G (100% serbuk gergaji), H (100% alang-alang), dan I (100% daun pisang kering). Perlakuan yang dicobakan masing-masing terdiri atas 7 baglog dan diambil 3 baglog sebagai sampel untuk masing-masing perlakuan yang dijadikan ulangan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di rumah cendawan (kumbung) yang terletak di Agrowisata Baturaden, Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas, dengan ketinggian tempat lebih kurang 325 m di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan selama empat bulan, yaitu mulai bulan Desember 2009 sampai Maret 2010. Penelitian ini merupakan penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Awal penelitian dilakukan dengan melakukan pengomposan yang bertujuan untuk mengetahui kandungan N, protein, dan serat kasar pada kompos alang-alang dan daun pisang kering sebagai medium tanam cendawan tiram putih. Analisis kandungannya dilakukan di Laboratorium Tanah/Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian, UNSOED. Hasil analisisnya adalah: Tabel 1 menunjukkan bahwa alang-alang
Kajian Pertumbuhan dan Hasil Cendawan Tiram Putih ... (Hartati et al.)
39 Tabel 1. Kandungan N-total, protein, dan serat kasar kompos alang-alang dan daun pisang kering Parameter N total Protein Serat kasar
Alang-alang (%) 1,21 7,58 29,83
Daun pisang kering (%) 1,07 6,66 33,68
dan daun pisang kering memiliki kandungan N total, protein, dan serat kasar yang dijadikan medium cendawan tiram putih, sesuai kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan cendawan tiram putih. Cendawan dalam pertumbuhannya membutuhkan bahan pokok, seperti selulosa, lignin, serta unsur lain (Santoso, 2008). Selulosa dan lignin terdapat pada serat kasar. Serat kasar yang dimiliki daun pisang
macam medium tanam ini memiliki komposisi unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh cendawan tiram putih. Awal miselium tumbuh dan berat cendawan kering cendawan tiram sangat dipengaruhi oleh penggunaan berbagai susunan komposisi medium tanam. Hal ini terlihat pada Tabel 2. Berat cendawan segar dan rasio keefisienan biologi/Biological Eficiency ratio
kering lebih tinggi dibandingkan dengan alangalang, sehingga selulosa yang dimiliki daun pisang kering lebih tinggi dibandingkan alangalang. Chang dan Miles (1989) menambahkan bahwa cendawan membutuhkan unsur esensial, seperti C, N, S, dan P. Oleh karena itu, kedua
(BER) nampak berbeda akibat penggunaan berbagai susunan komposisi medium tanam, sedangkan komposisi medium tanam nampaknya tidak memengaruhi variabel saat pertama muncul tubuh buah, jumlah tubuh buah, jumlah rumpun tubuh buah, kadar air cendawan, dan volume
Tabel 2. Hasil analisis pengaruh komposisi medium tanam terhadap pertumbuhan dan hasil cendawan tiram putih Perlakuan
A B C D E F G H I F hitung F tabel
AMT (hsi)
23,7 b 25,3 ab 26,7 a 25,7 ab 24,0 ab 25,3 ab 20,7 c 26,0 ab 20,7 c 7,24** 2,51
ATTB (hsi)
40,0 42,7 47,0 38,0 39,7 37,7 44,0 48,7 34,7 1,92 2,51
JTB (buah)
28,0 25,0 26,0 15,7 27,0 15,3 13,3 16,3 14,7 2,39 2,51
JRTB (buah)
6,3 5,3 5,0 6,0 5,0 5,3 4,0 5,0 3,0 0,59 2,51
VTB (ml)
124,043 129,733 104,100 78,923 78,890 71,150 104,567 88,783 84,767 1,09 2,51
BJS (gram)
171,153 a 122,120 abc 133,897 abc 163,277 ab 187,230 a 96,967 bc 121,740 abc 76,823 c 79,797 c 3,67* 2,51
BJK (gram)
15,380 a 7,680 cd 7,233 cd 10,487 bc 13,007 ab 7,473 cd 8,090 cd 4,283 d 4,397 d 7,03** 2,51
BER (%)
24,453 a 17,443 abc 19,127 abc 23,327 ab 26,747 a 13,853 bc 17,390 abc 10,973 c 11,400 c 3,68* 2,51
Keterangan: AMT = awal miselium tumbuh; ATTB = awal tumbuh tubuh buah; JTB = jumlah tubuh buah; JRTB = jumlah rumpun tubuh buah; VTB = volume tubuh buah; BJS = berat cendawan segar; BJK = berat cendawan kering; BER = Biological Efficiency Ratio (Rasio Keefisienan Biologi); A = 75% serbuk gergaji + 25% alang-alang; B = 50% serbuk gergaji + 50% alang-alang; C = 25% serbuk gergaji + 75% alang-alang; D = 75% serbuk gergaji + 25% daun pisang kering; E = 50% serbuk gergaji + 50% daun pisang kering; F = 25% serbuk gergaji + 75% daun pisang kering; G = 100% serbuk gergaji; H = 100%alang-alang; I = daun pisang kering 100%. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) 5%. Alang-alang dan daun pisang kering pisang dalam bentuk kompos.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 37 - 44
40 tubuh buah. Pertumbuhan Cendawan Tiram Putih Cahyana et al. (2005) menyatakan bahwa pemunculan tubuh buah ditandai dengan medium tanam cendawan yang telah dipenuhi miselium atau setelah berumur 40-60 hari. Rata-rata pertumbuhan miselium secara merata pada penelitian ini menunjukkan umur yang lebih cepat dibandingkan umur yang disebutkan Winarni dan Rahayu. (2002) dan Cahyana et al (2005), yaitu antara 20-27 hari setelah inokulasi baglog sudah dilingkupi miselium (Tabel 2). Pertumbuhan miselium pada komposisi medium tanam G (100% serbuk gergaji) dan I (100% daun pisang kering) lebih cepat dibandingkan medium tanam A, B, C, D, E, F, dan H, yaitu selama 20,7 hari setelah inokulasi (hsi). Miselium pada komposisi medium tanam G dan I dapat tumbuh lebih cepat karena kandungan serat kasarnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan 100% alang-alang. Cendawan membutuhkan selulosa, lignin, serta unsur lain dalam pertumbuhannya. Hasil analisis kompos menunjukkan bahwa serat kasar daun pisang kering lebih tinggi dibandingkan serat kasar alang-alang (Tabel 1). Hal ini yang menyebabkan 100% daun pisang kering menunjukkan awal miselium tumbuh lebih cepat karena serat kasar terdiri atas selulosa dengan sedikit lignin dan pentosan (Sudarmadji et al., 1984). Hal lain yang menyebabkan pertumbuhan miselium pada 100% kompos alang-alang terhambat, yaitu karena 100% kompos alang-alang masih mempunyai struktur medium yang kasar, sehingga tulang daunnya yang masih belum begitu lunak dapat menusuk baglog. Saat pensterilan, diduga baglog terkontaminasi dengan cendawan lain, seperti Trichoderma dan Coprinus, sehingga ada beberapa baglog yang tidak ditumbuhi miselium (Suriawiria, 2000) dan (Kartika, et al., 1995).
Seratus persen serbuk gergaji juga mampu mempercepat pertumbuhan miselium yaitu 20,7 hsi, disebabkan kandungan serbuk gergaji kayu alba, menurut Santoso (2008), yaitu selulosa yang tinggi dan lignin 18 sampai 33%. Hasil perombakan lignin dan selulosa dimanfaatkan oleh cendawan untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan miselium cendawan. Jumlah kandungan selulosa yang tinggi pada medium tanam dapat menyokong pertumbuhan miselium dan tubuh buah. Pertumbuhan miselium dan tubuh buah tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan lignin. Menurut Chang dan Miles (1989), kandungan C yang tinggi pada medium tanam diperlukan cendawan untuk pertumbuhan miselium (vegetatif), sedangkan N yang tinggi dibutuhkan untuk perkembangan tubuh buah (generatif). Kandungan C yang cukup tingi disertai dengan kandungan N yang rendah akan menyebabkan fase vegetatif menjadi lebih panjang sehingga memperlambat pembentukan tubuh buah. Pengaruh Komposisi Medium Tanam Terhadap Hasil Cendawan Tiram Putih
Berat segar cendawan pada medium tanam A (75% serbuk gergaji + 25% alangalang) dan E (50% serbuk gergaji + 50% daun pisang kering) meningkat 49,41 g sampai 65,49 g dibandingkan medium tanam G (100% serbuk gergaji). Hal ini berarti alangalang dan daun pisang kering dapat dijadikan alternatif campuran medium dengan serbuk gergaji pada budidaya cendawan tiram putih. Sementara itu, medium tanam H (100% alang-alang) dan I (100% daun pisang kering) menurunkan berat segar cendawan 41,94 g sampai 44,92 g dibandingkan medium tanam G (100% serbuk gergaji). Hal ini berarti medium tanam 100% alang-alang dan 100%
Kajian Pertumbuhan dan Hasil Cendawan Tiram Putih ... (Hartati et al.)
41
200 175 150 125
Hasil 100
Berat Jamur Segar (g)
75 50 25 0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Perlakuan Gambar 1. Diagram berat cendawan segar pada berbagai perlakuan.
daun pisang kering tidak dapat digunakan tanpa campuran serbuk gergaji (Gambar 1)
salah satu jenis cendawan penyebab terjadinya dekomposisi. Hal ini berkaitan dengan kemampuannya untuk memproduksi enzim selulase yang dapat memecah selulosa menjadi gula sederhana bagi sumber energi cendawan. Komposisi medium 100% alang-alang (H) dan 100% daun pisang kering (I) memperlihatkan hasil paling rendah. Selain dikarenakan baglog terkontaminasi jamur lain, susunan medium ini tidak ditambahkan serbuk gergaji. Menurut data dari Hendrarto, et al., (2008), dan Parlindungan, (2001) jumlah lignoselulosa, lignin, dan serat pada serbuk gergaji lebih tinggi dibandingkan medium alang-alang dan serbuk gergaji (untuk
Hasil panen (berat cendawan segar) tertinggi diperoleh pada perlakuan E (50 % serbuk gergaji + 50% daun pisang kering), yaitu 187,230 g dan berikutnya medium tanam A (75% serbuk gergaji + 25% alang-alang). yaitu 171,153 g. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan selanjutnya setelah pembentukan miselium, didukung oleh nutrisi yang terkandung pada serbuk gergaji kayu alba. Menurut Chang dan Hayes (1978), cendawan tiram putih yang termasuk klas Basidiomycetes selain merupakan cendawan yang dapat dimakan juga merupakan 30
20
Hasil
BER (%)
10
0
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Perlakuan
Gambar 2. Diagram BER cendawan tiram putih pada berbagai perlakuan.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 37 - 44
42 lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 1). Berat cendawan segar merupakan komponen penting dalam menentukan nilai BER cendawan tiram putih. Nilai BER menunjukkan kemampuan medium tanam dalam mencukupi kebutuhan nutrisi selama pertumbuhan dan perkembangan cendawan tiram atau perbandingan antara berat hasil cendawan tiram dengan berat berat medium tanam cendawan tiram Wahyuadi, (2004). Berdasarkan Gambar 2, nilai BER pada perlakuan A dan E berbeda nyata dengan komposisi medium tanam F, H, dan I. Hal ini disebabkan berat cendawan segar yang dihasilkan pada perlakuan A dan E lebih tinggi, sehingga menyebabkan nilai BER pada perlakuan A dan E lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil BER pada perlakuan A yaitu 24,453% dan perlakuan E yaitu 26,747%, sedangkan BER terendah pada perlakuan H yaitu 10,973%. Medium tanam A (75% serbuk gergaji + 25% alang-alang), D (75% serbuk gergaji + 25% daun pisang kering) dan E (50% serbuk gergaji + 50% daun pisang kering) dapat meningkatkan
berat kering cendawan sebesar 2,39 sampai 7,71 g dibandingkan medium tanam G (100% serbuk gergaji). Hal ini berarti alang-alang dan daun pisang kering dapat dijadikan alternatif campuran medium dengan serbuk gergaji karena berat kering cendawannya lebih tinggi dibandingkan pada medium tanam G (100% serbuk gergaji). Sementara itu, medium tanam H (100% alang-alang) dan I (100% daun pisang kering) berat keringnya turun 3,8 g dibandingkan medium tanam G (100% serbuk gergaji). Hal ini berarti medium tanam 100% alang-alang dan 100% daun pisang kering tidak dapat digunakan tanpa campuran serbuk gergaji. Hal ini terlihat pada Gambar 3. Berat kering diperoleh dari cendawan segar yang telah dikeringkan pada suhu 60oC selama 48 jam (Yuliasari, 2008). Berat kering merupakan biomassa hasil metabolisme yang tersimpan dalam tubuh buah cendawan (Parlindungan, 2003). Kemampuan produksi cendawan tiram putih dipengaruhi oleh faktor penting medium tempat tumbuhnya. Yuliastuti dan Susilo (2003), menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh sebagian medium dikonsumsi oleh cendawan
20
15
Hasil 10
Berat Jamur Kering (g)
5
0 A
B
C
D
E
F
G
H
I
Pe rlakuan
Gambar 3. Diagram berat cendawan kering.
Kajian Pertumbuhan dan Hasil Cendawan Tiram Putih ... (Hartati et al.)
43 sebagai energi metabolisme dan sisanya tersimpan berupa medium bersama miselium. Medium setelah diinokulasi cendawan, sedikit demi sedikit medium tersebut akan mengalami dekomposisi, kemudian akan ditumbuhi miselium dan selanjutnya menjadi tubuh buah cendawan yang dinyatakan dengan rasio efisiensi biologi. Banyaknya sisa medium (spent compost) tersebut beragam tergantung pada jenis bahan medium dan jenis cendawannya yaitu lebih kurang 20 % dari medium semula. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Berbagai macam komposisi medium tanam meningkatkan awal miselium tumbuh, berat cendawan segar, berat cendawan kering dan rasio keefisienan biologi/Biological Efficiency Ratio (BER). 2. Perlakuan dengan komposisi medium tanam (100% serbuk gergaji dan 100% kompos daun pisang kering) menunjukkan awal miselium tumbuh yang paling cepat yaitu 20,7 hari setelah inokulasi. 3. Komposisi medium tanam yang dapat menghasilkan berat cendawan segar dan berat cendawan kering paling tinggi, yaitu (75% serbuk gergaji + 25% kompos alang-alang) dengan berat segar 171,153 gram, berat kering 15,380 gram dan BER (Biological Efficiency Ratio) 24,453 % serta medium tanam (50% serbuk gergaji + 50% kompos daun pisang kering) dengan berat segar 187,230 gram, berat kering 13,007 gram, dan BER 26,747 %. 4. Kompos daun pisang kering pisang dan alang-alang dapat dijadikan alternatif campuran medium dengan serbuk gergaji karena dapat meningkatkan berat segar cendawan sebesar 44,92 g dan berat kering
cendawan 7,71 g dibandingkan yang medium tanamnya 100% serbuk gergaji. Saran 1. Pada daerah yang ketersediaan serbuk gergajinya terbatas, dapat menggunakan komposisi medium tanam (75% serbuk gergaji + 25% alang-alang) atau (50% serbuk gergaji + 50% daun pisang kering) untuk meningkatkan hasil dan frekuensi panen. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan komposisi medium tanam dari limbah pertanian, yang kandungannya sesuai dengan kebutuhan cendawan tiram putih dengan tahapan budidaya yang sesuai, sehingga dapat lebih meningkatkan pertumbuhan dan hasil cendawan tiram putih serta dapat mendayagunakan limbah pertanian. DAFTAR PUSTAKA Cahyana, Y.A, Muchrodji, dan M.Bakrun. 2005. Pembibitan, Pembudidayaan, Analisis Usaha Cendawan Tiram. Penebar Swadaya, Jakarta. Chang, S.T dan P.G Miles. 1989. Edible Mushroom and their Cultivation. CRC press, Florida. Chang, S.T dan W.A Hayes. 1978. The Biology of Cultivation of Edibele Mushroom. Academic Press, New York Hendrarto M., R. Kastaman, dan T. Pujianto. 2008. Modifikasi Tata Letak Fasilitas Produksi Jamur Tiram. Studi Kasus pada Petani Jamur Cita Lestari Cisarua Kabupaten Bandung. Jurnal Teknotan 1(3):1-13. Kartika, L., Y. M.P.D. Pudyastuti, and A.W. Gunawan. 1995. Mixture of Sawdust of Sengon Wood and Corn Cob as Medium for White Oyster Mushrooms Cultivation. Hayati Journal of Biosciences, 2( 1):2126
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 37 - 44
44 Laununa. 2010. Cendawan Tiram : Teknik Pengeringan Cendawan Tiram (Online). http://laulunakerinci,wordpress. com/2010/02/10/cendawan-tiram-teknikpengeri ngan-cendawan-tiram/ diakses tanggal 28 Mei 2010. Parlindungan, A.K. 2003. Karakteristik Pertumbuhan dan Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) dan Jamur Tiram Kelabu (Pleurotus sajor Caju). Jurnal Natur Indonesia 5(2)152-156. Parlindungan, A.K. 2001. Karakteristik Pertumbuhan dan Produksi Jamur Tiram Merah (Auricularia yudae) pada Baglog Alang-alang. Jurnal Natur Indonesia 9(2)15-22. Santoso, M.E. 2008. Pengaruh Penambahan EM 4 pada Medium Tanam terhadap Pertumbuhan Miselium Beberapa Spesies Cendawan Tiram (Pleurotus spp.). Skripsi Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto (tidak dipublikasikan). Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sumarmi. 2006. Botani dan Tinjauan Gizi Cendawan Tiram Putih. Jurnal Inovasi Pertanian 4(2):124-130.
Suriawiria, H. U. 2000. Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu: Shiitake-Kuping-Tiram. Penebar Swadaya. Yogyakarta. Yuliasari, A. 2008. Produksi Cendawan Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) pada Berbagai Susunan Medium Tanam dan Dosis Pupuk Organik Cair. Skripsi Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto (tidak dipublikasikan). Yuliastuti, E.E.S., dan A. Susilo. 2003. Studi Kandungan Nutrisi Limbah Media TanamJamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) untuk Pakan Ternak Ruminansia. Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi 4(1):3135. Wahyuadi, D. 2004. Produksi Cendawan Tiram Putih (Pleurotus ostreatus (Jack. Ex. fr) Kummer) pada Medium Serbuk Gergaji Kayu Alba dan Jerami Padi dengan Perbandingan dan Lama Pengomposan yang Berbeda. Skripsi Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto (tidak dipublikasikan). Winarni, I. dan U. Rahayu. 2002. Pengaruh Formulasi Media Tanam dengan Bahan Dasar Serbuk Gergaji terhadap Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi 3(2):20-27.
Kajian Pertumbuhan dan Hasil Cendawan Tiram Putih ... (Hartati et al.)
45 PRODUKSI TELUR DAN PENDAPATAN PETERNAK ITIK PADA PEMELIHARAAN SECARA GEMBALA DAN TERKURUNG DI DAERAH PERTANIAN DAN PERIKANAN (DUCK EGG PRODUCTION AND FARMERS’ INCOME UNDER EXTENSIVE AND INTENSIVE SYSTEMS IN AGRICULTURAL AND FISHERY CENTERS) Oleh: Ismoyowati dan Imam Suswoyo Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Kontak Person:
[email protected] (Diterima 20 April 2011, disetujui 7 Juni 2011) ABSTRACT The purpose of this research was to study the differences of egg production and income of duck farming in agriculural and fishery areas. Accordingly, the areas had different altitude natural resourches to support the existing duck farming. Survey method was applied with respondents of extensive and intensive duck farmers in Purbalingga Regency as a center of agricultural area and Cilacap Regency as a center of fishery area. Data consisted of primary data as a result of direct observation and discusion with respondents. Parameters observed were egg production, farm size, costs of production, farm revenue and income. Data were analysed using variance analysed based on the nested classification and honestly significance different. The results showed that the intensive farming in the agricultural area (Purbalingga) had a higher egg production (60.42%) than that in the fishery area (Cilacap). Farm revenue and production cost under intensive system in agricultural area was higher; consequenlty the income of both sysems in the area relatively similar. It can be concluded that egg production was higher in the agricultural area, but the farm revenue under extensive and intensive systems in the both areas relatively similar. Key words: egg production, income, production cost, agriculural and fishery centers. PENDAHULUAN Usaha peternakan itik merupakan salah satu usaha peternakan unggas yang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Jenis usaha ini banyak dijumpai tidak hanya di daerah pantai tetapi juga di daerah pegunungan, dan merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga yang utama bagi banyak anggota masyarakat. Pada umumnya, peternakan itik berkembang di daerah lumbung padi, karena peternak itik memanfaatkan areal persawahan sebagai ladang penggembalaan itik, dan juga di daerah sekitar pantai yang banyak dihasilkan ikan. Jenis itik yang dipelihara pada umumnya adalah itik petelur. Produksi dan kualitas telur itik sangat dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan yang dilakukan peternak (Balitbang Deptan,
2010). Dalam usaha peternakan itik, dikenal berbagai sistem pemeliharaan dan sistem gembala ekstensif yang masih merupakan sistem pemeliharaan yang masih banyak diterapkan peternak sekarang ini. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada sistem pemeliharaan seperti ini produktivitas itik sangat rendah. Produksi telur rata-rata pada sistem gembala berkisar antara 26,9 – 41,3 persen (Setioko et al., 1985); sedangkan pada sistem terkurung rata-rata 78,00 ± 19,00 persen (Ismoyowati et al., 2009) Rendahnya tingkat produksi telur itik pada sistem pemeliharaan ekstensif karena itik sangat tergantung pada ketersediaan pakan alami yang ada di sawah pasca panen. Bahan pakan yang dimanfaatkan adalah butir-butir padi
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 45 - 54
46 yang tercecer, keong, katak kecil, belalang, dan serangga (Setioko et al.,1985). Kemampuan itik beradaptasi dan kemampuannya bertelur dalam jumlah banyak menyebabkan unggas ini cocok dalam sistem pertanian khususnya padi. Itik membantu memangsa berbagai hewan pengganggu tanaman padi dan memanfaatkan butir-butir padi yang jatuh pada saat panen (Powell, 2004). Pada sisi lain, pemeliharaan secara terkurung menghadapi tantangan tersendiri dari sudut kenyamanan ternak (animal welfare) karena itik tidak lagi hidup secara alami, tidak dapat berkeliaran dan makan secara bebas. Sebaliknya dengan sistem terkurung kehidupan itik menjadi terbatas serta pakan tergantung sepenuhnya kepada peternak. Itik memiliki peran sebagai penghasil telur dan daging yang cukup baik, sebanyak 19,35% dari 793.800 ton kebutuhan telur di Indonesia yang dipenuhi dari telur itik setelah telur ayam niaga. Perananannya sebagai penghasil daging masih rendah yaitu baru sekitar 0,5% dari 3 juta ton kebutuhan daging nasional (Ditjennak, 2007). Tingkat produktivitas itik lokal Indonesia baik telur maupun daging masih rendah dan berpeluang besar untuk ditingkatkan. Perbedaan sistem pemeliharaan menyebabkan tingkat produksi telur yang dihasilkan berbeda pula. Perbedaan sistem pemeliharaan dan topografi daerah dalam usaha ternak itik akan berpengaruh terhadap produksi telur. Daerah sentra pertanian dan perikanan memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, mengakibatkan perbedaan pada ketersediaan sumber daya alam. Daerah pertanian merupakan daerah dengan komoditas utama hasil pertanian sehingga ketersediaan pakan untuk ternak sebagian besar berasal dari limbah pertanian; sedangkan daerah perikanan dekat dengan pantai yang ketersediaan sumber daya alam berasal dari limbah pertanian dan
perikanan. Ketersediaan pakan yang berbeda akan berpengaruh pada pola komposisi pakan yang diberikan, produksi dan pendapatan peternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perbedaan produksi telur dan tingkat pendapatan sistem pemeliharaan gembala dan terkurung di daerah pertanian dan perikanan. METODE PENELITIAN Sasaran penelitian adalah peternak yang memelihara itik dengan sistem pemeliharaan gembala dan terkurung di Kabupaten Purbalingga yang merupakan daerah sentra pertanian yaitu kecamatan Kaligondang dan Bukateja; dan Kabupaten Cilacap yang merupakan daerah sentra perikanan yaitu kecamatan Kroya dan Adipala. Penelitian dilakukan dengan metode survai. Sumber data terdiri dari data primer dan sekunder, data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan peternak menggunakan daftar pertanyaan, khususnya mengenai data produksi, jenis pakan, biaya, penerimaan, dan manajemen pemeliharaan. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait dengan penelitian (Dinas Peternakan, Bappeda, BPS Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Cilacap), pustaka, dan hasil penelitian terdahulu. Penetapan sampel menggunakan metode Cluster Sampling (daerah), dengan lokasi ternak yaitu daerah pertanian dan perikanan sebagai cluster dan sub cluster adalah sistem pemeliharaan (terkurung dan gembala). Pemilihan sampel di kecamatan secara purposive sampling dengan kriteria daerah yang terdapat peternak itik baik sistem pemeliharaan gembala maupun terkurung. Kabupaten Purbalingga terpilih untuk mewakili daerah sentra pertanian; sedangkan Kabupaten Cilacap untuk wilayah daerah perikanan. Pemilihan sampel peternak
Produksi Telur dan Pendapatan Peternak Itik ... (Ismoyowati & I. Suswoyo)
47 sistem pemeliharaan gembala pada kedua daerah diambil dengan metode random sampling sebanyak 25% dari populasi 80 orang, sehingga responden terpilih sebanyak 20 orang untuk masing-masing kabupaten. Pemilihan sampel peternak sistem pemeliharaan terkurung diambil dengan metode sensus yaitu semua peternak yang memelihara itik secara terkurung dari seluruh populasi yang terpilih yaitu sebesar 15 orang untuk masing-masing wilayah. Variabel penelitian yang diamati meliputi: 1. Produksi telur adalah jumlah telur yang dihasilkan selama periode satu bulan pencatatan produksi pada usaha peternakan itik responden. 2. Hen day production (HDP) adalah perbandingan jumlah telur yang diproduksi dengan jumlah itik betina hidup dalam satu periode pencatatan dengan satuan persen. 3. Penerimaan adalah jumlah penjualan produk berupa telur itik dinyatakan dalam satuan rupiah selama satu bulan. 4. Pendapatan adalah jumlah keseluruhan penerimaan dikurangi biaya produksi yang telah dikeluarkan dinyatakan dalam satuan rupiah dalam kurun waktu satu bulan. 5. Biaya Produksi merupakan jumlah dari biaya tetap (biaya peralatan, itik, kandang dan penyusutan) dan biaya variabel (biaya pakan, tenaga kerja, transportasi, dan rehabilitasi kandang) dinyatakan dalam rupiah per satu bulan. Pendapatan dianalisis model analisis cashflow; dengan menggunakan rumus sebagai berikut: I = TR – TC; TC = TVC + TFC dan TR = Y Py (Moleong, 2004). Keterangan: I = Pendapatan TVC = Biaya variabel total TR = Total penerimaan
TFC = Biaya tetap total TC = Biaya total yang dikeluarkan Y = Jumlah produk telur Py = Harga produk yang dihasilkan Perbedaan produksi telur dan pendapatan antara sistem gembala dan sistem terkurung di daerah sentra pertanian dan perikanan dianalisis dengan nested clasification (pola tersarang) dengan daerah sebagai grup, sistem pemeliharaan sebagai sub grup, dan peternak sebagai sampel. Uji lanjut yang digunakan adalah uji BNJ (beda nyata jujur) untuk mengetahui perbedaan antar sub grub yang dibandingkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pemeliharaan Itik Sistem pemeliharaan yang dilakukan pada usaha itik di Kabupaten Purbalingga dan Cilacap yang mewakili daerah daerah pertanian dan perikanan menunjukkan adanya perbedaan, baik untuk sistem pemeliharaan gembala maupun terkurung. Pada sistem pemeliharaan gembala di Kabupaten Purbalingga, ternak dilepaskan untuk mencari pakan mulai jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Peternak di Kabupaten Cilacap melepaskan itik ke padang gembalaan dalam dua kali frekuensi yaitu mulai jam 8-10 dan jam 1-4 sore. Persamaan dari kedua kabupaten ini, masing-masing peternak tidak memberi pakan tambahan, tetapi beberapa peternak memberi obat yang dicampur pada minuman ketika ternak sakit. Pemeliharaan itik secara gembala tidak memperhatikan jenis bahan pakan yang digunakan. Peternak gembala hanya mengandalkan pakan dari sumber daya yang tersedia di areal penggembalaan. Peternak terkurung memberikan pakan disesuaikan dengan kebutuhan itik untuk mencapai produksi yang optimal. Peternak di Kabupaten
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 45 - 54
48 Purbalingga yang memelihara itik secara terkurung memberikan pakan berupa bekatul, nasi aking, dedak dan konsentrat. Pada sistem terkurung di Kabupaten Cilacap, peternak memberikan pakan berupa bekatul, jagung, konsentrat, dedak, nasi aking, ikan laut, dan kerang (lancang) yang memiliki kadar kalsium dan protein yang cukup. Hasil penghitungan kandungan protein kasar dan energi pada sistem terkurung di Kabupaten Purbalingga masingmasing sebesar 15,46% dan 2769,9 kkal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Saleh (2004) bahwa protein yang dibutuhkan pada periode bertelur sebesar 15-17%. Prasetyo dan Muryanto (2006) menyatakan bahwa kandungan energi yang dibutuhkan itik umur > 16 minggu adalah sebesar 2800 kkal. Kandungan protein kasar dan energi yang diberikan pada sistem terkurung di Kabupaten Cilacap masing-masing sebesar 13,33 % dan 2777,53 kkal. Kebutuhan nutrisi itik periode produksi telur yang utama adalah kadar protein ransum sebesar 17-19 persen dan tingkat energi metabolis sebesar 2900 kkal/kg (Sinurat dkk., 2000). Jumlah Kepemilikan Itik Jumlah kepemilikan itik betina berkisar antara 40 - 1400 ekor dengan rata-rata sebanyak 226,5 ekor. Ranto dan Maloedyn (2008) menyatakan jumlah kepemilikan rata-rata pada
sistem terkurung berkisar antara 200-3000 ekor yang termasuk skala usaha sedang. Jumlah kepemilikan itik pada sistem gembala kurang dari 1000 ekor. Rata-rata kepemilikan itik betina pada masing-masing daerah dan sistem pemeliharaan tersaji pada Tabel 1. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa kepemilikan jumlah itik antara sistem pemeliharaaan berbeda nyata (P<0,05); sedangkan jumlah kepemilikan antara kabupaten berbeda tidak nyata (P>0,05). Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan itik betina pada sistem terkurung lebih banyak daripada sistem gembala. Hal tersebut dipengaruhi oleh kemampuan seorang penggembala dalam menggembala itik terbatas. Banyaknya jumlah itik yang dipelihara dapat berpengaruh terhadap pendapatan peternak. Semakin banyak itik yang dipelihara maka dapat meningkatkan pendapatan, tetapi dengan konsekuensi meningkatnya biaya pakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gusasi dan Saade (2006) bahwa skala usaha yang lebih besar akan memperoleh penerimaan yang cukup. Semakin besar skala usaha, maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai usaha tersebut. Produksi Telur Usaha ternak itik dalam penelitian ini
Tabel 1. Rataan Jumlah Itik Betina di Daerah Pertanian (Kabupaten Purbalingga) dan Perikanan (Kabupaten Cilacap)
Daerah Pertanian (Purbalingga) Perikanan(Cilacap) Rata-rata
Terkurung 293,73±326,69ab 269,13±88,49a 281,43±235,50
Jumlah Itik Betina (ekor) Gembala Rata-rata b 163,95 ±58,71 228,84±223,87 ab 179,35±45,43 224,24±80,06 171,65±52,40 226,54±160,89
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)
Produksi Telur dan Pendapatan Peternak Itik ... (Ismoyowati & I. Suswoyo)
49 memiliki produk utama berupa telur dan tidak ada produk sampingan yang dihasilkan. Sebagian besar peternak baik pada sistem pemeliharaan gembala maupun terkurung di daerah pertanian (Purbalingga) dan perikanan (Cilacap) menjual telur itik sebagai telur konsumsi, dan hanya satu orang saja yang melakukan penjulan telur sebagai telur konsumsi dan telur tetas. Produksi telur sangat berpengaruh terhadap pendapatan sebab penerimaan hanya berasal dari penjualan telur. Prasetyo dan Ketaren (2005) menyatakan bahwa kemampuan produksi telur itik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah kualitas bibit, umur ternak, kondisi lingkungan, dan yang utama adalah kualitas pakan. Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi telur itik selama satu bulan pada sistem pemeliharaan terkurung baik di daerah pertanian maupun perikanan lebih pertanian dibandingkan dengan sistem pemeliharaan gembala. Hal tersebut disebabkan oleh rataan jumlah ternak di Kabupaten Purbalingga sistem pemeliharaan terkurung lebih pertanian dibandingkan dengan sistem pemeliharaan yang lain. Dilihat dari HDP, sistem pemeliharaan terkurung baik di Kabupaten Purbalingga maupun Kabupaten Cilacap lebih tinggi daripada sistem pemeliharaan gembala seperti yang terlihat pada Tabel 2. Selain itu, faktor umur itik juga mempengaruhi produksi
telur. Umur pertama bertelur itik adalah pada umur 23 minggu. Itik memiliki kemampuan produksi telur sampai umur 74 minggu (Saleh, 2004). Puncak produksi itik dicapai pada umur 3 bulan dari awal produksi, berlangsung selama 2 bulan, dan setelah itu produksi telur mulai menurun (Hardjosworo, 2001). HDP telur itik berkisar antara 5,18% sampai 82,13% dengan rata-rata HDP sebesar 47,85%. Rataan hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Ismoyowati, et al. (2009) yang melaporkan HDP telur itik Tegal pada umur 6 bulan sebesar 78,00 ± 19 %. Produksi telur dipengaruhi pakan yang diberikan dan kondisi lingkungan. Kandungan protein dan energi pakan pada sistem terkurung di daerah pertanian (Purbalingga) yaitu sebesar 15,46% dan 2769,9 kkal/kg, lebih tinggi dibandingkan dengan sistem terkurung di daerah perikanan (Cilacap) yaitu sebesar 13,33% dan 2777,53 kkal/kg. Rendahnya HDP pada sistem gembala diduga karena rendahnya kualitas pakan. Itik pada sistem gembala tidak diberi pakan tambahan oleh peternak. Itik hanya mendapatkan pakan dari area penggembalaan tanpa diketahui kecukupan kebutuhan nutriennya. Nutrien pakan yang tinggi di daerah pertanian disebabkan karena pemberian konsentrat yang cukup sebagai sumber protein; sedangkan di daerah perikanan
Tabel 2. Rataan Produksi Telur, Jumlah Ternak dan Umur Ternak Sistem Gembala dan Terkurung di Daerah Pertanian dan Perikanan Daerah Sistem Pemeliharaan Produksi Telur (butir/bulan) Jumlah Ternak (ekor) Umur Ternak (bulan) HDP (%)
Pertanian (Purbalingga) Terkurung Gembala 4967,93 2055,71 337,00 168,00 12,20 13,18 a 60,42 43,39b
Perikanan (Cilacap) Terkurung Gembala 4729,00 2419,00 279,00 182,00 12,55 10,33 a 57,79 45,92b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 45 - 54
50 meskipun diberikan pakan ikan segar tetapi jumlahnya sangat terbatas. Pendapatan Usaha Ternak Itik Penelitian ini menggunakan analisis pendapatan secara cash out flow selama satu bulan yaitu bunga modal, biaya tenaga kerja keluarga, dan sewa lahan (lahan sendiri) tidak diperhitungkan. Perhitungan pendapatan diperoleh dari selisih antara penerimaan dan biaya. (1) Penerimaan Penerimaan dalam usaha tani dapat dibagi menjadi dua: penerimaan tunai yaitu diperoleh dari penjualan produk; dan penerimaan tidak tunai yang diperoleh dari selain penjualan produk (Soekartawi, 2004). Rataan penerimaan usaha itik sistem pemeliharaan gembala dan terkurung di daerah pertanian dan perikanan dapat dilihat di Tabel 3. Penerimaan tertinggi usaha itik sistem pemeliharaan terkurung di daerah sentra pertanian (Kabupaten Purbalingga) sebesar Rp 7.321.847,00. Demikian juga, penerimaan yang terendah sebesar Rp 2.055.705,88 pada pemeliharaan secara gembala. Hal tersebut disebabkan produksi telur itik pada sistem pemeliharaan terkurung di Kabupaten Purbalingga lebih tinggi dibandingkan sistem pemeliharaan lainnya. Rataan harga jual telur/butir paling tinggi juga terdapat pada sistem pemeliharaan terkurung di Kabupaten Purbalingga. Semakin besar produksi dan harga
jual yang tinggi maka penerimaan yang diperoleh peternak juga semakin besar. Besar kecilnya penerimaan yang diperoleh oleh peternak akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh oleh peternak. Semakin besar penerimaan yang diperoleh maka akan semakin besar pendapatan yang diperoleh didukung dengan biaya produksi yang dikeluarkan dapat ditekan. Penerimaan diperoleh dari hasil penjualan produk berupa telur konsumsi dan telur tetas selama satu bulan. Dari lima belas peternak sistem pemeliharaan terkurung di Kabupaten Purbalingga, seorang peternak melakukan diversifikasi usaha yaitu selain menjual telur konsumsi, dan juga menjual DOD hasil penetasan sendiri. Skala usaha dari peternak diversifikasi ini mencapai 1400 ekor itik dengan HDP sebesar 46,45%. Sebanyak ±90% dari telur yang dihasilkan digunakan sebagai telur tetas dan sisanya ±10% atau telur yang tidak layak sebagai telur tetas dijual sebagai telur konsumsi. Daya tetas di peternakan ini cukup tinggi yaitu mencapai ±70% dengan sex ratio jantan betina 1:1. Penerimaan dari penjualan DOD juga lebih menguntungkan dari pada menjual telur konsumsi. Harga jual DOD jantan sebesar Rp 3.000,00 dan DOD betina sebesar Rp 6.000,00. Oleh karena itu, rataan penerimaan sistem pemeliharaan terkurung di Kabupaten Purbalingga lebih baik pada daerah pertanian dibandingkan sistem pemeliharaan lainnya.
Tabel 3. Rataan Penerimaan Peternak Itik Sistem Gembala dan Terkurung di Daerah Pertanian dan Perikanan (selama 1 bulan) Daerah Sistem Pemeliharaan Penerimaan (Rp) Penerimaan/ekor (Rp) Produksi (butir) Jumlah Ternak (ekor) Harga telur/butir (Rp)
Pertanian Terkurung Gembala 7.321.846,67 2.055.705,88 21.726,55 12.236,34 4967,93 2055,71 337,00 168,00 1223,33 1000,00
Perikanan Terkurung Gembala 4.526.086,36 2.193.187,50 16.222,53 12.050,48 4729,00 2419,00 279,00 182,00 966,67 920,00
Produksi Telur dan Pendapatan Peternak Itik ... (Ismoyowati & I. Suswoyo)
51 Rataan penerimaan per ekor per bulan pada sistem pemeliharaan terkurung di Kabupaten Purbalingga juga lebih tinggi dibandingkan sistem pemeliharaan yang lain yaitu sebesar Rp 21.726,55 ± 38.892,77. Rataan penerimaan per ekor per bulan paling rendah terdapat pada sistem pemeliharaan gembala di Kabupaten Cilacap sebesar Rp 12.050,48 ± 6.347,32. Hal tersebut disebabkan oleh rataan harga telur pada sistem pemeliharaan gembala di Kabupaten Cilacap paling baik di daerah perikanan dibandingkan dengan sistem pemeliharaan lainnya meskipun skala usaha dan produksinya lebih baik di daerah pertanian dari pada sistem pemeliharaan gembala di Kabupaten Purbalingga.
2. Biaya Produksi Berdasarkan hasil penelitian, biaya produksi dibagi menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak berubah dengan atau tidak adanya itik yang dipelihara di kandang. Sekalipun peternakan dalam masa istirahat, biaya ini tetap dikeluarkan. Biaya tetap dalam penelitian ini meliputi biaya penyusutan dari kandang, peralatan, ternak, iuran desa (pajak bagi sistem pemeliharaan gembala) dan sewa lahan. Biaya variabel merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah itik yang dipelihara. Semakin banyak itik yang dipelihara maka semakin besar biaya variabel yang dikeluarkan (Rasyaf, 1996). Biaya variabel dalam penelitian
Tabel 4. Rataan Biaya Produksi Sistem Gembala dan Terkurung di Kabupaten Purbalingga dan Cilacap (Bulan) Rataan Biaya Tetap: Sewa lahan Penyusutan Makan peternak Iuran warga Tenaga kerja Total biaya tetap Biaya variabel: Rapid/cat Obat Pakan Transport Perbaikan kandang Perbaikan mesin tetas Minyak Tempat DOD Listrik Total biaya variabel Biaya total Skala usaha Biaya per ekor
Kabupaten Purbalingga (Rp) Gembala
%
Terkurung
Kabupaten Cilacap (Rp) %
Gembala
%
150.000 61.372 540.294 85.294 836.960
15,47 6,33 55,72 8,80 86,31
302.378 244.000 546.378
6,79 5,47 12,26
121.125 60.110 465.250 74.150 720.635
14,18 7,04 54,48 8,68
5.353 5.588 4.706 117.059 132.706 969.666
0,55 0,58 0,49 12,07 13,69 100,00 168 5.772
5.267 3.489.320 91.000 114.000 13.333 180.000 30.000 4.333 3.910.087 4.456.464
0,09 77,95 2,04 2,56 0,30 4,04 0,67 0,09 87,74 100,00 337 13.224
5.300 1.500 13.000 113.000 133.400 854.035
0,63 0,18 1,52 13,29 15,62 100 182 4.693
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 45 - 54
84,38
Terkurung
%
258.750
8,75
246.061
8,75
2.530.818 86.364 81.818 2.699.000 2.957.750
85,57 2,92 2,77 91,25 100 279 10.601
52 meliputi biaya pakan, obat, listrik dan transportasi yang dianalisis selama satu bulan. Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan biaya produksi per ekor per bulan tertinggi dikeluarkan pada sistem pemeliharaan terkurung di Kabupaten Purbalingga sebesar Rp 13.224,00 dan biaya yang terendah pada sistem pemeliharaan gembala di Kabupaten Cilacap sebesar Rp 4.693,00. Biaya produksi tertinggi pada sistem pemeliharaan terkurung di Kabupaten Purbalingga dan Cilacap adalah biaya pakan mencapai 77,95% dan 85,57% dari total biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut sesuai dengan temuan Mangisah dkk (2009) bahwa semakin banyak jumlah ternak yang dimiliki maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan khususnya untuk pakan yang merupakan biaya terbesar dari total biaya yang dikeluarkan yaitu mencapai 60 – 80%. Rataan biaya produksi pada sistem pemeliharaan gembala di Kabupaten Purbalingga dan Cilacap relatif sama. Pada sistem pemeliharaan gembala biaya terbesar yang dikeluarkan adalah untuk kebutuhan penggembalaan tetapi biaya ini tidak terpengaruh jumlah ternak yang digembalakan. Rataan biaya produksi pada sistem pemeliharaan gembala di Kabupaten Purbalingga dan Cilacap memiliki selisih yang berbeda jauh. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain: (1).
hujan. (2). Jumlah pemberian pakan terkait dengan jumlah ternak yang dimiliki. Semakin banyak jumlah ternak yang dimiliki maka jumlah pakan yang diberikan juga semakin banyak. Selisih harga pakan yang berbeda antar kabupaten akan berpengaruh pada biaya pakan yang dikeluarkan. Biaya sangat mempengaruhi pendapatan, semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin kecil pendapatan yang diterima.
Harga bahan pakan yang berbeda di Kabupaten Purbalingga dan Cilacap. Perbedaan yang nyata pada rataan harga konsentrat di Kabupaten Purbalingga sebesar Rp 6239,29 ± 978,84; sedangkan di Kabupaten Cilacap sebesar Rp 6714,29 ± 453,80. Harga bahan pakan juga dipengaruhi iklim. Bahan pakan harganya lebih di daerah pertanian pada musim hujan dibandingkan pada musim kemarau, sehingga peternak bisa melakukan teknik pengawetan bahan pakan untuk penimbunan pakan di musim
terkurung di Purbalingga lebih besar berkisar antara 337 ± 425 ekor; sedangkan pada sistem terkurung di Cilacap berkisar 279 ± 98,68 ekor. Jumlah kepemilikan ternak akan berpengaruh pada banyaknya produksi telur. Gusasi dan Saade (2006) bahwa pendapatan pertanian dapat dicapai dengan penambahan sumbersumber usaha antara lain dengan penanaman modal yang lebih besar, dalam hal ini adalah jumlah ternak itik. Peningkatan produksi telur akan meningkatkan penerimaan. Semakin besar
3. Pendapatan Berdasarkan hasil penelitian rataan pendapatan peternak itik sistem gembala di daerah sentra pertanian (Kabupaten Purbalingga) adalah Rp 1.086.039,95 ± 1.102.006,37 dengan kisaran pendapatan per responden yaitu Rp 704.000,00 sampai Rp 4.323.000,00; sedangkan pada sistem pemeliharaan terkurung sebesar Rp 2.865.382,22 ± 5.370.459,01 dengan kisaran Rp 77.750,00 sampai Rp 21.559.666,67. Tabel 5 menunjukkan rataan pendapatan per ekor per bulan tertinggi adalah usaha itik dengan sistem pemeliharaan terkurung di daerah pertanian (Purbalingga) sebesar Rp 8.502,62 ± 15.936,08 dan rataan pendapatan terendah pada sistem pemeliharaan terkurung di daerah perikanan (Cilacap) sebesar Rp 5.621,28 ± 4.498,89. Hal tersebut karena rataan jumlah kepemilikan ternak pada sistem pemeliharaan
Produksi Telur dan Pendapatan Peternak Itik ... (Ismoyowati & I. Suswoyo)
53 Tabel 5. Rataan Pendapatan, Penerimaan dan Biaya Usaha Ternak Itik Sistem Gembala dan Terkurung di Daerah Pertanian dan Perikanan (Rupiah) Daerah Sistem Pemeliharaan Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Pendapatan/ekor (Rp) ∑ Ternak
Pertanian (Purbalingga) Terkurung Gembala 7.321.846,67 2.055.705,88 4.456.464,00 969.666,00 a 2.865.382,22 1.086.039,95a 8.502,62 6.464,52 337,00 168,00
Perikanan (Cilacap) Terkurung Gembala 4.526.086,36 2.193.187,50 2.957.750,00 854.035,00 a 1.568.336,36 1.339.152,63a 5.621,28 7.357,98 279,00 182,00
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan perbedaan nyata (P<0,05).
penerimaan yang diperoleh maka akan semakin besar pendapatan yang diperoleh didukung biaya yang dapat ditekan. Pendapatan tidak hanya dipengaruhi oleh perbedaan topografi kedua daerah dan sistem pemeliharaan yang berbeda tetapi juga dipengaruhi beberapa faktor lain antara lain jumlah kepemilikan ternak, umur ternak, produksi ternak, harga bahan pakan dan harga jual produk. Sistem pemeliharaan terkurung di daerah pertanian memiliki jumlah ternak lebih tinggi dibanding sistem pemeliharaan gembala. Penerimaan yang diperoleh pada sistem pemeliharaan terkurung lebih besar, tetapi juga diimbangi dengan pengeluaran yang besar pula khususnya untuk biaya pakan. Pada sistem pemeliharaan gembala, peternak dapat memperoleh penerimaan lebih besar sebab tidak perlu mengeluarkan biaya pakan. Oleh karena itu, pendapatan pada kedua sistem pemeliharaan di kedua daerah relatif sama. SIMPULAN Performams produksi telur itik tertinggi adalah pada sistem pemeliharaan terkurung di daerah sentra pertanian (Purbalingga) dengan HDP sebesar 60,42%. Akan tetapi, pendapatan usaha ternak itik pada sistem pemeliharaan
terkurung dan gembala di daerah pertanian dan perikanan relatif sama karena produksi yang tinggi membutuhkan biaya yang tinggi pula. DAFTAR PUSTAKA Balitbang Departemen Pertanian. 2010. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Gusasi, A. dan M. A. Saade. 2006. Analysis of Income and Efficiency of Effort Chicken Livestock at Small Industry Scale. Jurnal Agrisistem, 2 (1): 1-9. Hardjosworo, P. S., A. Setioko, P. P. Ketaren, L. H. Prasetyo, A. P. Sinurat dan Rukmiasih. 2001. Perkembangan Teknologi Peternakan Unggas Air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Bogor, 6-7 Agustus 2001. Ismoyowati., I. Suswoyo., A. T. A. Sudewo dan S. A. Santosa. 2009. Peningkatan Produktivitas Itik Tegal Melalui Seleksi Individu. Animal production 11 (3).2.183188. Mangisah, I., B. Sukamto dan M. H. Nasution. 2009. Implementasi Daun Eceng Gondok Fermentasi Dalam Ransum Itik. www.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 45 - 54
54 pustaka-deptan.go.id. diakses 5 Januari 2011.
Rasyaf, M. 1996. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 67
Moleong, L. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi IV. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Saleh, E. 2004. Pengelolaan Ternak Itik di Pekarangan Rumah. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara. Tersedia di website http://library.usu.ac.id/ download/fp/ternak-eniza.pdf. (Diakses 17 Januari 2011)
Powell, J. C. 2004. Modern Depelopments in a Traditional System : Egg Layer Ducks in Asia. World Poultry (12). 10 :12-13. Prasetyo, A. dan Muryanto. 2006. Profil Usahatani Unggas di Kabupaten Brebes (Studi Kasus). Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing. Hal 40-46.
Setioko, A.R., D.J.S. Hetzel and A.J. Evans. 1985. ‘Duck Production in Indonesia’. Dalam: Duck Production: Science and World Practice (Editor D.J. Farrell dan P. Stapleton). University of New England. Armidale.
Prasetyo, H. P. dan P. Ketaren. 2005. Interaksi Antara Itik dan Kualitas Ransum pada Produksi dan Kualitas Telur Itik Lokal. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Sinurat, A. P., Miftah dan Pasaribu. 2000. Pengaruh Sumber dan Tingkat Energi Ransum Terhadap penampilan Itik Lokal. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Ranto dan Maloedyn, S. 2008. Panduan Lengkap Beternak Itik. Edisi Revisi III. Agro Media Pustaka. Tanggerang.
Soekartawi. 2004. Agribisnis: Teori dan Apilikasinya. Cetakan ke-8. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Produksi Telur dan Pendapatan Peternak Itik ... (Ismoyowati & I. Suswoyo)
55 UPAYA PEMANFAATAN LIMBAH UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PENGGUNAAN UNSUR HARA P DARI BATUAN FOSFAT ALAM PADA BUDIDAYA KEDELAI DI TANAH LIAT AKTIVITAS RENDAH (THE APPLICATION OF LIQUID WASTE TO INCREASE P NUTRIENT USE EFFICIENCY OF ROCK PHOSPHATE ON SOYBEAN CULTIVATION IN LOW ACTIVITY CLAY SOIL) Oleh: Muhammad Rif’an dan Suwardi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Unsoed, Purwokerto Alamat korespondensi: Muhammad Rif’an (
[email protected]) HP.08164282541 (Diterima: 28 Februari 2011, disetujui 6 April 2011) ABSTRACT The research was aimed to investigating the effects of liquid waste of agriculture and rock phosphate on soil chemical properties, phosphor uptaken by crop tissue, nutrient use efficiency of P, soybean growth and yield in Low Activity Clay Soil. The research was a pot experiment and conducted in the green house, Agricultute Faculty, General Soedirman University. The research was used Copletely Randomized Design (CRD). The treatments were phosphate rock consisting of 5 levels equivalent to : 100 kg P/ha, 200 kg P/ha, 300 kg P/ha, 400 kg P/ha and 500 kg P/ha; and kind of liquid waste of agriculture consisting of 3 kind, i.e.: not liquid waste, liquid waste of rubber sheet equal to 0,1 ppm of H+ ions and liquid waste of tapioca equal to 0,1 ppm of H+ ions. The treatments were arranged factorially with combination of treatment 5x3 or 15 combinations and three replication so that there were 45 experiment units. The results of research showed that the application of liquid waste of agriculture decreased soil reactions. The most effective solvent of rock phospate was the liquid waste rubber sheet. The application of rock phosphate increased pH (H2O), available P, total P, P absorption by plant, plant height, number of productive brunch of plant, while it decreased exchangeable Al of soil. The increasing of P absorption by plant did not increase nutrient use efficiency of P; the opposite decreased nutrient use efficiency of P. The interaction of liquid waste of agriculture and rock phosphate was available on P of soil. Combination liquid waste of agriculture and rock phosphate increased available P of soil. Key words : waste, nutrient use efficiency, rock phosphate, low activity clay soil PENDAHULUAN Strategi peningkatan produksi kedelai nasional dapat ditempuh melalui perluasan areal tanam ke luar Pulau Jawa. Lahan di luar Jawa sebagian besar merupakan lahan marginal yang terdiri atas tanah masam. Tanah masam yang paling dominan adalah dari jenis Ultisol yang luasnya mencapai 47,5 juta hektar. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang banyak mengandung Liat Aktivitas Rendah (LAR). Tanah LAR merupakan tanah yang didominasi oleh liat kaolinit dan sesquioksida sehingga nilai kapasitas tukar kation (KTK)
serta daya ionisasi yang rendah. Tanah tersebut mempunyai tingkat kesuburan kimia rendah, tetapi mempunyai prospek yang cukup potensial untuk pengembangan lahan pertanian karena mencakup wilayah yang sangat luas. Pemanfaatan tanah LAR akan dihadapkan pada kendala sifat kimia tanah yang jelek, yaitu tanah bereaksi masam, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, kekahatan unsur hara makro N, P, K, S, Ca dan Mg, kekahatan unsur hara mikro Zn, Cu, B dan Mo, kejenuhan basa rendah, serta kejenuhan aluminium yang tinggi sehingga dapat bersifat toksik bagi tanaman.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 55 - 66
56 Upaya perbaikan sifat kimia tanah LAR dapat ditempuh dengan pemberian Batuan Fosfat Alam (BFA). Penggunaan BFA mempunyai kendala yaitu tingkat kelarutannya yang sangat rendah sehingga kurang efektif untuk meningkatkan kesuburan tanah. Efektifitas BFA dapat diperbaiki melalui proses asidulasi sebagian (partially acidulated rock phosphate) dengan limbah cair pertanian, sehingga akan meningkatkan efisiensi penggunaan unsur hara P. Limbah cair pertanian yang diduga mempunyai potensi sebagai bahan untuk asidulasi BFA adalah limbah cair tapioka dan limbah cair karet sit. Limbah cair tapioka mempunyai pH antara 3,4 – 4,2; mengandung N-amonia : 0 – 4,7 mg.L-1, N-organik: 19,0 – 38,9 mg.L-1 dan fosfor: 5,60 – 8,50 mg.L-1. Limbah cair karet sit mempunyai pH 5,6; kandungan unsur hara N: 21,0 mg.L-1, unsur hara P: 75,0 mg.L-1, unsur hara K : 23,5 mg.L-1 dan Mg : 10,82 mg.L-1 (Suda, 1984 dlm. Harsoyo, 1987). Limbah pertanian tersebut mempunyai sifat kemasaman yang tinggi sehingga cukup potensial sebagai agensia asidulasi BFA. Ion-ion H+ yang dilepaskan dari limbah cair mempunyai kemampuan untuk meningkatkan rektifitas BFA sehingga akan mudah melepaskan unsur hara P dalam tanah. Keuntungan lainnya adalah limbah cair pertanian mempunyai efek residu yang banyak mengandung unsur hara makro yang mudah tersedia dalam tanah dan diserap oleh akar tanaman. Perlakuan dengan limbah cair pertanian dapat meningkatkan kelarutan fosfat alam dalam tanah sehingga akan meningkatkan ketersediaan unsur hara P dalam tanah, serta unsur hara makro lainnya, khususnya N, K dan Mg yang akan dilepaskan dari residu limbah cair pertanian. Pemberian BFA dapat meningkatkan pH tanah, KTK, kejenuhan basa, ketersediaan unsur hara P, Ca dan Mg, menurunkan kejenuhan Al tanah
sehingga tidak bersifat toksik (meracun) tanaman. Beberapa tanaman memerlukan penurunan kejenuhan Al sampai di bawah 20 %, termasuk kedelai (Widjaja-Adhi, 1985). Keracunan Al merupakan hambatan yang penting untuk diatasi, karena keracunan Al dapat menyebabkan akar tanaman menjadi rusak sehingga penyerapan unsur hara dan air tidak efisien (Somaatmadja, 1987 dlm. Sunarto, 1996). Upaya pemanfaatan BFA dapat digunakan sebagai pupuk fosfor sehingga diharapkan dapat mengurangi pemakaian pupuk pabrik yang harganya relatif mahal. Mahalnya harga pupuk akhir-akhir ini berdampak pada rendahnya daya beli petani, sehingga penyediaan pupuk pabrik sebagai sarana produksi merupakan suatu kendala bagi petani. Kondisi demikian memerlukan suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam yang depositnya melimpah dan pengolahannya dapat dikerjakan dengan teknologi sederhana, sehingga harganya relatif murah. Deposit BFA mempunyai potensi yang sangat besar sebagai pupuk P karena kandungan unsur hara tersebut cukup tinggi. Hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan tim peneliti (2000) menunjukkan bahwa kandungan P total fosfat alam cukup tinggi. Kandungan P total fosfat alam deposit Ajibarang dapat mencapai 32,34 % P2O5; sedang kandungan P total fosfat alam deposit Gombong mempunyai nilai yang lebih rendah, yaitu 15,77 % P2O5. Kandungan P total yang cukup tinggi tersebut, memberikan peluang pada BFA untuk diupayakan sebagai pupuk P. Penggunaan BFA sebagai pupuk tidak mempunyai dampak terhadap lingkungan, sehingga merupakan pupuk yang ramah lingkungan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah dan rumah kaca Fakultas Pertanian,
Upaya Pemanfaatan Limbah ... (M. Rif’an & Suwardi)
57 Universitas Jenderal Soedirman, kampus Karangwangkal, Purwokerto. Materi penelitian meliputi tanah LAR, fosfat alam deposit Ajibarang, limbah cair tapioka, limbah cair karet sit serta pupuk dasar yang mengandung unsur hara makro dan mikro. Tanah mineral masam yang digunakan termasuk dalam ordo Ultisol diambil dari daerah Krumput, Banyumas. Pupuk dasar yang digunakan terdiri atas unsur hara makro N, K dan unsur hara mikro Zn, Cu, Mo dan B yang masing-masing diberikan dengan takaran 50 kg N/ha, 40 kg K/ha, 15 kg Zn/ha, 15 kg Cu/ha, 0,33 kg Mo/ha dan 2,6 kg B/ha. Penelitian ini merupakan percobaan pot di rumah kaca dengan tanaman kedelai varietas Slamet yang merupakan tanaman kedelai toleran tanah masam. Faktor yang dicoba pada penelitian ini terdiri atas 2 faktor yaitu (1) batuan fosfat alam terdiri atas 5 aras: F1=100 kg P/ha, F2=200 kg P/ha, F3=300 kg P/ ha, F4=400 kg P/ha, dan F5=500 kg P/ha, dan (2) jenis limbah cair pertanian: L0=tanpa limbah cair pertanian, L1=limbah cair karet sit dengan konsentrasi ion H+ = 0,1 ppm, dan L2=limbah cair tapioka dengan konsentrasi ion H+ = 0,1 ppm. Faktor-faktor tersebut dirancang dalam bentuk perlakuan faktorial dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL), diulang tiga kali sehingga diperoleh 5x3x3 atau 45 unit percobaan. Variabel tanah yang diamati meliputi: pertumbuhan dan hasil tanaman, sifat-sifat kimia tanah, serapan P dalam jaringan tanaman dan efisiensi penggunaan unsur hara P. Data yang diperoleh diuji dengan F test. Apabila efek perlakuan berpengaruh nyata, pengujian dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf kesalahan 5 %. Penentuan efisiensi penggunaan unsur hara P dengan persamaan sebagai berikut: E = (B/N)x 100 % E : Efisiensi penggunaan unsur hara P
B : Berat Kering tanaman (mg) N : Unsur hara P yang diserap oleh tanaman (µg)
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Kimia Tanah Hasil Analisis Ragam (Tabel 1) menujukkan bahwa pemberian limbah cair pertanian berpengaruh terhadap pH (H2O) dan P tersedia tanah. Pemberian limbah cair pertanian yang berupa limbah cair karet sit dan tapioka berpengaruh pada penurunan pH tanah, yaitu dari 5,41 menjadi 5,16 dan 5,20 (Tabel 2). Limbah cair pertanian cukup banyak mengandung ion H+ sehingga akan berpengaruh pada penurunan pH tanah. Limbah cair karet sit mempunyai kemampuan yang lebih tinggi sebagai agensia pelarut fosfat alam karena mempunyai kemampuan melepaskan ion-ion H+ yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair tapioka. Limbah cair karet sit lebih efektif dibandingkan dengan limbah cair tapioka sebagai bahan pelarut fosfat alam. Kelarutan fosfat alam dapat meningkat lagi dengan adanya peningkatan kemasaman tanah, akibatnya efektifitas BFA cukup tinggi di tanah masam (Hammond dkk., 1986 dalam Odongo dkk., 2007). Pemberian limbah cair pertanian mengakibatkan penurunan P tersedia tanah, karena meningkatnya konsentrasi ion H+ dan Al3+ dalam larutan tanah. Ion-ion Al akan mengikat P dalam larutan tanah sehingga P akan mengendap dalam bentuk Al-P, akibatnya P dalam larutan tanah akan menurun jumlahnya. Pemberian limbah cair karet sit berpengaruh pada penurunan P tersedia tanah dari 4,87 ppm menjadi 2,74 ppm, sedang pemberian limbah cair tapioka mengakibatkan penurunan P tersedia tanah menjadi 2,29 ppm (Tabel 2). Pengaruh limbah cair tapioka lebih kuat dibandingkan
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 55 - 66
58 Tabel 1. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Beberapa Variabel Kimia Tanah Sumber Keragaman
pH (H2O)
P tersedia
Pengaruh Mandiri * * L F * * Interaksi LxF ns * Keterangan : ns : tidak nyata, * : nyata L : Jenis limbah cair pertanian; F : Fosfat alam dengan limbah cair karet sit terhadap penurunan P tersedia tanah. Hal ini diduga akibat kandungan unsur hara P dalam limbah cair tapioka lebih rendah dibandingkan dengan kandungan unsur hara P dalam limbah cair karet sit. Menurut Ciptadi ( 1985) kandungan unsur hara P dalam limbah cair tapioka hanya berkisar antara 5,60 – 8,50 ppm, sedang kandungan unsur hara P dalam limbah cair karet sit dapat mencapai 75,00 ppm (Suda, 1984 dalam Harsoyo, 1987). Pemberian fosfat alam berpengaruh pada pH(H2O), P tersedia, P total dan Al dapat ditukar dalam tanah (Tabel 1). Pemberian fosfat alam meningkatkan pH(H2O), P tersedia, P total, sedang Aldd akan mengalami penurunan.
P total
Al dapat ditukar
ns
ns
*
*
ns
ns
Pemberian fosfat alam dengan takaran 500 kg P/ ha dapat meningkatkan pH tanah sampai 5,45; P tersedia meningkat menjadi 6,10 ppm P2O5 dan P total tanah menjadi 986,65 ppm P2O5; sedang Aldd tanah menurun menjadi 0,05 cmol(+).kg-1 (Tabel 2). Pemberian fosfat alam dapat berpengaruh pada peningkatan pH tanah, P tersedia tanah dan penurunan Aldd tanah. Fosfat alam mempunyai rumus kimia Ca3(PO4)2. Batuan fosfat alam telah diketahui sebagai pupuk P alternatif. Pupuk tersebut tidak tersedia untuk tanaman jika pH tanah lebih tinggi dari 5,5 – 6,0 (Reddy dkk., 2002, dalam Singh dan Reddy, 2010). Batuan fosfat alam dalam tanah akan melepaskan ion kalsium
Tabel 2. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Faktor Perlakuan terhadap Beberapa Variabel Kimia Tanah Al dapat ditukar (cmol(+)kg-1) 5,41a 1. 4,87a L0 799,80a 0,07a L1 5,16b 2. 2,72b 723,13a 0,08a L2 5,20b 3. 2,29b 709,73a 0,08a F1 4,92c 4. 0,85c 645,78b 0,15a F2 5,24b 5. 2,51b 608,04b 0,10b F3 5,23b 6. 3,27b 788,58ab 0,05c F4 5,43ab 7. 3,73b 692,06b 0,04c F5 5,45a 8. 6,10a 986,65a 0,05c Keterangan : Angka-angka pada kolom dan macam faktor yang sama, bila diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kesalahan 5 %
No.
Pengaruh Mandiri
pH (H2O)
P tersedia (ppm)
Upaya Pemanfaatan Limbah ... (M. Rif’an & Suwardi)
P total (ppm)
59 dan fosfat. Ion fosfat yang terlepas tersebut sebagian akan diikat oleh ion Al 3+ membentuk ikatan Al-P yang tidak larut, sehingga akan mengendap dalam koloid tanah. Penurunan ion Al3+ dalam larutan tanah akan berpengaruh pada peningkatan pH tanah dan penurunan Aldd tanah. Hal ini sesuai pendapat Toma dkk.(1999) yang mengatakan bahwa pemberian fosfat alam pada tanah LAR dapat meningkatkan meningkatkan pH tanah, ketersediaan P, Ca serta menurunkan kejenuhan Al dalam tanah (Toma dkk., 1999). Unsur hara P yang dilepaskan dari fosfat alam sebagian tetap memberikan kontribusi pada peningkatan ketersediaan P dalam tanah. Hal ini akibat terjadinya proses pelepasan ion P yang berlangsung cukup tinggi sehingga kelarutannya mampu menurunkan konsentrasi ion Al3+ dan sebagian tetap dalam bentuk P tersedia. Bentuk P tersedia tersebut terdapat pada kompleks jerapan tanah dan dalam larutan tanah yang tidak terikat dengan Al3+.
Hasil analisis ragam (Tabel 3) menunjukkan bahwa pemberian limbah cair pertanian berpengaruh terhadap Na tertukar dan KTK tanah. Pemberian limbah cair menurunkan Na tertukar, yaitu dari 0,57 cmol(+).kg-1 menjadi 0,52 cmol (+).kg-1 (Tabel 4). Penurunan Na tertukar tanah tersebut akibat pengaruh reaksi tanah yang cenderung masam dengan pemberian limbah cair pertanian. Pada pH yang rendah, tanah LAR muatan positifnya akan bertambah sehingga kation yang dapat dipertukarkan akan menurun. Pemberian limbah cair tapioka meningkatkan KTK tanah, yaitu dari 14,90 menjadi 15,57 cmol(+).kg-1. Pemberian limbah cair tapioka akan meningkatkan muatan negatif tanah. Limbah cair tapioka cukup diduga banyak mengandung asam humat yang mempunyai gugus karboksil dan fenol. Gugus tersebut dapat mempertukarkan ion (ion exchange), sehingga akan meningkatkan KTK tanah (Sinesi, 1992).
Tabel 3. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap K Tertukar, Na Tertukar, Ca Tertukar dan KTK Tanah K Na Tertukar Sumber Keragaman Tertukar Pengaruh Mandiri L ns * F ns ns Interaksi LxF ns ns Keterangan : ns : tidak nyata, * : nyata L : Jenis limbah cair pertanian; F : Fosfat alam Pemberian fosfat alam berpengaruh terhadap peningkatan Ca tertukar tanah. Pemberian fosfat alam dengan takaran 500 kg P/ha meningkatkan Ca tertukar tanah dari 0,58 menjadi 0,72 cmol(+).kg-1. Fosfat alam merupakan mineral yang mengandung berbagai macam unsur hara, terutama P, Ca dan Mg.
Ca Tertukar
KTK
ns *
* ns
ns
ns
Pemberian fosfat alam akan meningkatkan ketersediaan unsur tersebut, baik dalam larutan tanah maupun kompleks jerapan tanah. Peningkatan Ca pada kompleks jerapan tanah akan berpengaruh juga terhadap peningkatan Ca tertukar tanah.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 55 - 66
60 Tabel 4. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Faktor PerlakuanTerhadap Na Tertukar, Ca Tertukar dan KTK Tanah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengaruh Mandiri L0 L1 L2 F1 F2 F3 F4 F5
Ca Tertukar (cmol(+). kg-1) 0,67a 0,68a 0,67a 0,58b 0,65ab 0,68a 0,71a 0,72a
Na Tertukar (cmol(+). kg-1) 0,57a 0,58a 0,52b 0,54a 0,56a 0,55a 0,56a 0,57a
KTK (cmol(+).kg-1) 14,90ab 12,67b 15,57a 13,19a 14,61a 13,54a 14,99a 15,56a
Keterangan : Angka-angka pada kolom dan macam faktor yang sama, bila diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kesalahan 5 % B. Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap beberapa variabel pertumbuhan dan produksi tanaman menunjukkan bahwa pemberian limbah cair pertanian tidak berpengaruh secara langsung terhadap semua variabel tersebut. Pemberian fosfat alam berpengaruh pada tinggi tanaman dan jumlah cabang produktif tanaman (Tabel 5). Pemberian fosfat alam meningkatkan tinggi tanaman dan
jumlah cabang produktif tanaman. Pemberian fosfat alam dengan takaran 400 kg P/ha meningkatkan tinggi tanaman sampai 73,9 cm, sedang jumlah cabang produktif tanaman meningkat menjadi 9,4 buah (Tabel 6). Pemberian limbah cair pertanian tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah dan bobot kering tanaman, baik bagian atas maupun bagian bawah tanaman (Tabel 7). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian limbah cair pertanian berpengaruh
Tabel 5. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Beberapa Variabel Pertumbuhan dan Produksi Setelah Tanaman Berumur 60 Hari
Sumber Keragaman
Variabel pertumbuhan tanaman Tinggi tanaman
Jumlah daun
Jumlah cabang produktif
Jumlah cabang tidak produktif
Pengaruh Mandiri L ns ns ns F * ns * Interaksi LxF ns ns ns Keterangan : ns : tidak nyata, * : nyata L : Jenis limbah cair pertanian; F : Fosfat alam
Upaya Pemanfaatan Limbah ... (M. Rif’an & Suwardi)
Variabel produksi tanaman Bobot Bobot basah kering tanaman tanaman
ns ns
ns ns
ns ns
ns
ns
ns
61 Tabel 6. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Faktor PerlakuanTerhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang Produktif, Serapan P dan Keefisienan Penggunaan Unsur Hara P oleh Tanaman Keefisienan penggunaan unsur hara P (%) Tinggi Pengaruh Serapan P No. tanaman (mg BK (mg BK tanaman/ (% P2O5) Mandiri (cm) tanaman/µg ppm unsur hara P) unsur hara P) 69,7a 1. 8,9a L0 1,00a 23,43a 40,64a L1 70,6a 2. 9,0a 1,05a 21,99ab 35,87a L2 69,8a 3. 8,7a 1,12a 20,93b 38,92a F1 63,3b 4. 7,1b 0,93c 24,85a 41,01a F2 71,4a 5. 8,6a 1,04abc 22,56ab 41,54a F3 72,2a 6. 9,4a 1,02bc 22,58ab 40,21a F4 73,9a 7. 9,4a 1,12ab 20,68b 33,22a F5 69,4a 8. 9,9a 1,19a 19,88b 36,40a Keterangan : Angka-angka pada kolom dan macam faktor yang sama, bila diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kesalahan 5 %. Jumlah cabang produktif (buah)
Tabel 7. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tanaman Bagian Atas dan Bagian Bawah Tanaman. Sumber Keragaman
BB Tanaman
BK Tanaman
BB Bagian Atas
Pengaruh Mandiri L ns ns ns F ns ns ns Interaksi LxF ns ns ns Keterangan : ns : tidak nyata, * : nyata L : Jenis limbah cair pertanian; F : Fosfat alam
BK Bagian Atas
BB Bagian Bawah
BK Bagian Bawah
ns ns
ns ns
ns ns
ns
ns
ns
Tabel 8. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Bintil Tanaman, Polong Tanaman serta Biji Tanaman Sumber BB Bintil BK Bintil BB Polong BK Polong Keragaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Pengaruh Mandiri L ns ns ns * F ns ns ns ns Interaksi LxF ns ns ns ns Keterangan : ns : tidak nyata, * : nyata L : Jenis limbah cair pertanian; F : Fosfat alam
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 55 - 66
BB Biji Tanaman
BK Biji Tanaman
* ns
* ns
ns
ns
62 Tabel 9. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Kering Biji Baik, Biji Jelek, Jumlah Polong Tanaman Hampa dan Bernas serta Bobot Kering Polong Kosong Sumber Keragaman
BK Biji Baik
BK Biji Jelek
Pengaruh Mandiri L * ns F ns ns Interaksi LxF ns ns Keterangan : ns : tidak nyata, * : nyata L : Jenis limbah cair pertanian; F : Fosfat alam
Jumlah Polong Hampa
Jumlah Polong Bernas
* *
ns ns
ns ns
ns
ns
ns
BK Polong Kosong
terhadap bobot kering polong, bobot basah biji, bobot kering biji, bobot kering biji baik dan
sit terhadap variabel produksi tanaman tersebut. Pemberian batuan fosfat alam cenderung
jumlah polong hampa (Tabel 8 dan 9). Pemberian limbah cair pertanian cenderung menurunkan bobot kering polong tanaman, bobot basah tanaman, bobot kering biji tanaman dan bobot kering biji baik tanaman (Tabel 10). Hal ini diduga pemberian limbah cair pertanian cukup berpengaruh terhadap penurunan reaksi tanah, akibatnya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Tabel 2). Pengaruh limbah cair tapioka lebih baik dibandingkan dengan limbah cair karet
meningkatkan bobot kering polong tanaman, bobot basah biji tanaman, bobot kering biji tanaman dan bobot kering biji baik tanaman. Pemberian fosfat alam dengan takaran 400 kg P/ha dapat meningkatkan bobot kering polong tanaman sampai 8,00 g/tanaman, bobot basah biji tanaman sampai 6,27 g/tanaman, bobot kering biji tanaman sampai 4,49 g/tanaman dan bobot kering biji baik sampai 3,55 g/tanaman (Tabel 10).
Tabel 10. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Faktor PerlakuanTerhadap Beberapa Variabel Hasil Tanaman BK Polong BB Biji BK Biji BK Biji Baik Jumlah Polong Tanaman Tanaman Tanaman (g) Hampa (g) (g) (g) 8,29a 1. 6,62a L0 4,90a 4,07a 8,40b L1 6,54b 2. 4,47b 3,40b 2,71b 14,47a L2 7,16ab 3. 5,58ab 3,73b 2,80b 13,13a F1 6,87a 4. 5,21a 4,01a 3,16a 7,89b F2 7,49a 5. 5,74a 4,10a 3,14a 10,33ab F3 7,58a 6. 5,55a 4,01a 3,29a 15,44a F4 8,00a 7. 6,27a 4,49a 3,55a 10,89ab F5 6,70a 8. 5,01a 3,44a 2,83a 15,44a Keterangan : Angka-angka pada kolom dan macam faktor yang sama, bila diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kesalahan 5 % No.
Pengaruh Mandiri
Upaya Pemanfaatan Limbah ... (M. Rif’an & Suwardi)
63 C. Pengaruh Perlakuan Terhadap Serapan P dan Keefisienan Penggunaan Unsur Hara Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap serapan P dan keefisienan penggunaan unsur hara menunjukkan bahwa pemberian limbah cair pertanian tidak berpengaruh secara langsung terhadap variabel tersebut. Pemberian batuan fosfat alam berpengaruh pada serapan P dan keefisienan penggunaan unsur hara P yang dinyatakan dalam besarnya mg bobot kering tanaman pada setiap µg unsur hara P yang diserap oleh tanaman (Tabel 11). Pemberian fosfat alam dengan takaran 500 kg P/ha dapat meningkatkan serapan P sampai
1,19 % P2O5. Peningkatan serapan P tersebut tidak diikuti dengan peningkatan keefisienan penggunaan unsur hara P, justru sebaliknya ada kecenderungan penurunan keefisienan penggunaan unsur hara P (Tabel 6). Hal ini diduga akibat kelarutan fosfat alam yang masih rendah dengan perlakuan sebesar 0,1 ppm ionion H+, sehingga perlu dilakukan penambahan konsentrasi ion H+ agar keefisienan penggunaan unsur hara P meningkat. Keefisienan penggunaan unsur hara P dapat dinyatakan ke dalam jumlah mg BK tanaman pada setiap ppm unsur hara P yang diserap tanaman. Perhitungan keefisienan penggunaan unsur hara dengan cara yang kedua ternyata tidak menunjukkan beda nyata.
Tabel 11. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Serapan P dan Keefisienan Penggunaan Unsur Hara P oleh Tanaman
Sumber Keragaman
Serapan P (% P2O5)
Serapan P (µg/ tanaman)
Keefisienan penggunaan unsur hara P (%) (mg BK tanaman/µg unsur hara P)
Pengaruh Mandiri L ns ns F * ns Interaksi LxF ns ns Keterangan : ns : tidak nyata, * : nyata L : Jenis limbah cair pertanian; F : Fosfat alam Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ada interaksi perlakuan antara limbah cair pertanian dan batuan fosfat alam terhadap P tersedia tanah. Pemberian limbah cair pertanian berpengaruh pada penurunan ketersediaan P karena terjadi penurunan pH tanah, sedang pemberian fosfat alam akan meningkatkan ketersediaan P tersedia tanah. Kelarutan P dari BFA dapat ditingkatkan dengan penambahan
(mg BK tanaman/ ppm unsur hara P)
ns *
ns ns
ns
ns
bahan yang menghasikan asam (Aria dan Lakzian, 2010). Salah satu bahan tersebut adalah limbah cir pertanian. Kondisi demikian akan berpengaruh pada kombinasi perlakuan antara limbah cair pertanian dan batuan fosfat alam, yaitu dapat meningkatkan P tersedia tanah. Kombinasi fosfat alam dengan limbah cair karet sit meningkatkan P tersedia tanah, sedang kombinasi antara fosfat alam
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 55 - 66
64 dengan limbah cair tapioka cenderung tidak meningkatkan ketersediaan P dalam tanah (Tabel 12). Hal ini diduga akibat limbah cair karet sit mengandung P lebih besar dibandingkan dengan limbah cair tapioka. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kandungan P dalam limbah cair karet sit dapat mencapai 75 ppm P, sedang dalam limbah cair tapioka kandungannya hanya berkisar antara 5,6 sampai 8,5 ppm P. Kombinasi fosfat alam dengan takaran 400 kg P/ha dengan limbah cair karet sit dapat meningkatkan P tersedia tanah dari 0,57 ppm sampai 3,67 ppm; sedang kombinasi fosfat alam dengan takaran 400 kg P/ha dengan limbah cair tapioka dapat meningkatkan P tersedia tanah sampai 2,76 ppm (Tabel 12). Pada takaran fosfat alam yang sama
tersebut dapat mengindikasikan bahwa limbah cair karet sit mempunyai kemampuan melepaskan unsur hara P lebih besar dibandingkan dengan limbah cair tapioka. Keefisienan penggunaan unsur hara tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu faktor tersebut adalah ketersediaan dan serapan unsur hara tanaman. Serapan unsur hara P pada tanaman kedelai kurang berpengaruh pada peningkatan bobot kering tanaman, sehingga akan berpengaruh pada keefisienan penggunaan unsur hara. Keefisienan penggunaan unsur hara tanaman merupakan perbandingan antara bobot kering tanaman terhadap unsur hara yang diserap tanaman. Peningkatan serapan unsur hara P oleh tanaman kedelai tidak diikuti dengan
Tabel 12. Hasil Uji Berganda Duncan Pengaruh Kombinasi Perlakuan Terhadap P Tersedia Tanah dan Keefisienan Penggunaan Unsur Hara P oleh Tanaman No.
Perlakuan
P Tersedia Tanah (ppm)
Keefisienan Penggunaan Unsur Hara P oleh Tanaman (mg BK tanaman/µg P tanaman)
1. Kontrol 0,57f 21,64abc 2. F1L0 0,68def 26,49a 3. F2L0 3,07bcd 26,08ab 4. F3L0 4,93b 23,12abc 5. F4L0 4,75b 20,91abc 6. F5L0 10,92a 20,52abc 7. F1L1 0,62ef 23,93abc 8. F2L1 3,00bcde 20,86abc 9. F3L1 3,30bc 22,80abc 10. F4L1 3,67bc 21,05abc 11. F5L1 2,99bcde 21,25abc 12. F1L2 1,26cdef 24,10abc 13. F2L2 1,46cdef 20,72abc 14. F3L2 1,58cdef 21,85abc 15. F4L2 2,76bcdef 20,07bc 16. F5L2 4,39b 19,83c Keterangan : Angka-angka pada kolom dan macam faktor yang sama, bila diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kesalahan 5 %.
Upaya Pemanfaatan Limbah ... (M. Rif’an & Suwardi)
65 peningkatan bobot kering tanaman, sehingga keefisienan penggunaan unsur hara tanaman akan menurun. Unsur hara P terutama diperlukan untuk pertumbuhan generatif tanaman, yaitu pada pembentukan bunga dan polong tanaman kedelai, sehingga pengaruhnya terhadap bobot kering tanaman tidak nyata (Tabel 5). SIMPULAN 1. Pemberian limbah cair pertanian berpengaruh pada penurunan pH tanah, yaitu dari 5,41 menjadi 5,16 dan 5,20. 2. Limbah cair karet sit mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair tapioka dalam menurunkan pH tanah, sehingga lebih efektif digunakan sebagai pelarut fosfat alam. 3. Pemberian fosfat alam meningkatkan pH(H2O), P tersedia, P total, sedang Aldd akan mengalami penurunan. Pemberian fosfat alam dengan takaran 500 kg P/ha dapat meningkatkan pH tanah LAR sampai 5,45; P tersedia meningkat menjadi 6,10 ppm P2O5 dan P total tanah menjadi 986,65 ppm P2O5; Aldd akan menurun menjadi 0,05 cmol(+).kg-1 4. Pemberian fosfat alam meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah cabang produktif tanaman. Pemberian fosfat alam dengan takaran 400 kg P/ha meningkatkan tinggi tanaman sampai 73,9 cm, sedang ratarata jumlah cabang produktif tanaman meningkat menjadi 9,4 buah. 5. Pemberian batuan fosfat alam berpengaruh pada peningkatan serapan P. Pemberian fosfat alam dengan takaran 500 kg P/ha dapat meningkatkan serapan P sampai 1,19 % P2O5.
6. Interaksi perlakuan antara limbah cair pertanian dan batuan fosfat alam meningkatkan P tersedia tanah, yaitu pada perlakuan limbah cair karet sit dengan batuan fosfat alam. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian Universitas Jenderal Soedirman yang telah menyediakan dana penelitian, serta kepada mahasiswa PS Ilmu Tanah, yaitu Iis Iskandar dan Ratna Ayu atas kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aria, M.M. dan A. Lakzian. 2010. Effect of Thiobacillus, sulfur, and vermicompost on the water-soluble phosphorus of hard rock phosphate. Bioresource Technology. 101:551-554. Harsoyo, W. 1987. Pengaruh Limbah Pabrik Karet Sit Terhadap Beberapa Sifat Kimia dan Fisika Tanah Sawah. Fakultas Pertanian Unsoed. Purwokerto. Odongo, N.E., K.Hyoung-Ho, Hee-ChulChoi, P. Van Straaten, B.W. McBride dan D.L. Romney. 2007. Improving rock phosphate availability through feeding, mixing and processing with composting manure. Bioresource Technology 98:2911-2918. Sinesi, N.1992. Humic Substance. Lecturer Note. Pascasarjana UGM. Yogyakarta. Singh, H. dan M.S. Reddy. 2010. Effect of inoculation with phosphate solubilizing fungus on growth and nutrient uptake of wheat and maize plants fertilized with rock phosphate in alkaline soils. European Journal of Soil Biology. XXX:1-5. Sunarto. 1996. Unsoed 1 (Slamet), Unsoed 2 (Sindoro) Kedelai Toleran Tanah Masam dan Berdaya Hasil Tinggi. Prosiding Seminar Nasional Kedelai. Lembaga Penelitian Unsoed. Purwokerto.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 55 - 66
66 Toma, M., M.E. Sumner, G. Weeks, dan M. Saigusa. 1999. Long-term Effects of Gypsum on Crop Yield and Subsoil Chemical Properties. Soil Sci. Soc. Am. J. 39:891-895.
Widjaja-Adhi, I.P.G. 1985. Pengapuran Tanah Masam untuk Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Upaya Pemanfaatan Limbah ... (M. Rif’an & Suwardi)
67 PENGARUH PUPUK P DAN K TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG HIJAU Vigna Radiata L PADA MEDIA TANAH PASIR PANTAI (THE EEFECTS OF P AND K FERTILIZERS TO THE DEVELOPMENT AND YIELDS OF GREEN BEAN PLANTS Vigna Radiata L IN THE BEACH SAND SOIL MEDIA) Oleh: Rosi Widarawati dan Tri Harjoso Fakultas Pertanian Jurusan BudidayaPertanian, Universitas Jenderal Soedirman Jl.dr. Soeparno Karangwangkal Purwokerto 53122 Email :
[email protected]/Hp.08121568446 (Diterima: 15 Maret 2011; disetujui 26 Mei 2011) ABSTRACT The purposes of this study were to see the effect of P fertilizer on the growth and yield of green beans in the highest dose, the effect of K fertilizer on growth and yield of green beans in the highest dose, the interaction effect of fertilizer P and K on growth and yield of green beans in the best treatment combination. The experiment was conducted in the plastic house experiment station Faculty of Agriculture, Unsoed from February 2010-April 2010. The design was Randomized Block Design with three replications. Factors tested the P fertilizer consisted of four levels: without P fertilizer (P0), P fertilization at 45 kg P2O5/ha (P1), P fertilization at a dose of 90 kg P2O5/ha (P2), P fertilization at a dose of 135 P2O5/ha kg (P3). K fertilizer consisted of four levels: without fertilizer K (K0), K fertilization at a dose of 50 kg K2O/ha (K1), K fertilization at a dose of 75 kg K2O/ha (K2), K fertilization with 100 kg K2O (K3). The combination of the two factors was 16. The observed variables were plant height, leaf number trifoliat, leaf area, canopy dry weight, root dry weight, total root length, number of pods per plant, seed number per pod, 100 seed weight, seed weight per plant and harvest index. The results showed that P fertilizer affected on plant height, leaf area, canopy dry weight, root dry weight, and weight of seeds per plant. Fertilizer K did not affect all variables. Interactions between fertilizer P and K to produce 135 kg of fertilizer P P2O5/ha to provided the highest root dry weight (7.79 g) when given fertilizer K 50 kg K2O. Provision of 90 kg fertilizer P P2O5/ha to provided the highest number of pods per plant (12.57 pieces) when given 50 kg K2O K fertilizer. Provision of 90 kg fertilizer P P2O5/ha to provided the highest seed weight per plant (7.66 g) when given 50 kg K2O K fertilizer. Key words: P and K fertilizers, green bean plants PENDAHULUAN Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu tanaman Leguminoceae yang cukup penting di Indonesia. Namun, perhatian masyarakat terhadap tanaman kacang hijau masih kurang. Hal ini di tunjukkan pada hasil panen per hektarnya masih sangat rendah dibandingkan kedelai dan kacang tanah. Walaupun demikian, tanaman kacang hijau memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan yang lain,
yaitu: (a) lebih tahan terhadap kekeringan, menurut Kasno (2007), kebutuhan air untuk pertumbuhan kacang hijau sebesar 700 sampai 900 mm per tahun; (b) hama dan penyakit relatif sedikit; (c) panen relatif cepat pada umur 54-54 hari; (d) cara tanam dan pengelolaan di lapangan serta perlakuan pasca panen relatif mudah; (e) kegagalan panen total relatif kecil; (f) harga jual tinggi dan stabil; serta (g) dapat dikonsumsi langsung dengan pengolahan relatif mudah (Sumarno, 1992).
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 67 - 74
68 Faktor-faktor yang menyebabkan hasil kacang hijau rendah di lahan pertanian antara lain tanaman kekeringan ataupun kelebihan air, teknik bercocok tanam belum optimal, gangguan hama, penyakit dan gulma, serta kendala sosial ekonomis (Nurjen dan Nugroho, 2002). Kondisi tersebut diperparah dengan produktivitas kacang hijau yang tidak stabil (Supeno dan Sujudi, 2004). Produksi kacang hijau di Indonesia masih rendah, tetapi setiap tahunnya meningkat berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2009) Menurut Hakim et al.(1986), yang menjadi permasalahan unsur hara yang diserap tanaman kacang hijau adalah unsur N, P, dan K. Unsur-unsur ini sering mengalami defisiensi hara di dalam tanah pasir karena di dalam tanah pasir unsur hara tersebut tercuci, sehingga ditambahkan ke dalam tanah melalui pemberian pupuk. Lahan pertanian tanaman pangan banyak mengalami penyempitan akibat konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian seperti pemukiman, industri, dan transportasi. Hal tersebut menjadi dasar perlunya ekstensifikasi pertanian melalui pemanfaatan lahan marginal, misalnya lahan pasir pantai. Permasalahan lahan pasir pantai antara lain: (1) secara fisika, tekstur pasiran, fraksi lempung dan bahan organik rendah, didominasi pori makro yang mengakibatkan daya simpan lengas rendah, (2) secara kimia, kandungan koloid rendah, bahan organik yang dimiliki kecil, yaitu kurang dari 1%, sehingga daya mengikat hara dan KTK rendah, mengandung P yang belum siap diserap tanaman, dan memiliki kandungan N serta K yang rendah, dan (3) secara biologi, daya dukung terhadap kuantitas dan aktivitas organisme rendah. Permasalahan kompleks pada lahan pasir pantai menjadi faktor pembatas dalam budidaya pertanian, sehingga perlu
pemanfaatan teknologi spesifik lokasi untuk meningkatkan kesuburan tanah. Lahan pasir pantai merupakan jenis lahan yang sangat porous dan miskin unsur hara sehingga penggunaan lahan jenis ini untuk budidaya tanaman harus diberi penambahan pupuk kandang atau bahanbahan lain yang berfungsi sebagai pengikat air dan sebagai sumber unsur hara bagi tanaman (Puspowardoyo, 2003). Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh pupuk P terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau. 2. Mengetahui pengaruh pupuk K terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau. 3. Mengetahui pengaruh interaksi dosis pupuk P dan K terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau dan mengetahui kombinasi perlakuan yang paling baik. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di rumah plastik (screen house) kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Karangwangkal, Kecamatan Purwokerto Utara Kabupaten Banyumas, pada ketinggian tempat ±110 mdpl. Penelitian dilaksanakan pada Februari 2010 sampai April 2010. Bahan yang digunakan adalah benih kacang hijau varietas Kutilang (lampiran 2), tanah pasir pantai, pupuk kandang Ayam, pupuk N (Urea), pupuk fosfat (SP-18), pupuk K (KCl), Insektisida Decis 2,5, Furadan 3G dan bendas 50 WP, rumah plastik, bakteri Rhizobium, kertas label, polybag dan aquades. Alat yang digunakan adalah alat tulis, timbangan elektrik, mistar, sprayer, cangkul, pisau, gembor, meteran, cutter dan oven. Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimental di rumah screen house dengan menggunakan pot
Pengaruh Pupuk P dan K ... (R. Widarawati & T. Harjoso)
69 (polybag). 1. Faktor yang dicoba a. Dosis pupuk P berupa pupuk SP-18 yang terdiri atas 4 taraf, yaitu: P0 = Tanpa pemupukan P P1 = Pemupukan P dengan dosis 45 kg P2O5/ha P2 = Pemupukan P dengan dosis 90 kg P2O5/ha P3 = Pemupukan P dengan dosis 135 kg P2O5/ha b. Dosis pupuk K berupa pupuk KCl yang terdiri atas 4 taraf, yaitu: K0 = Tanpa pemupukan K K1 = Pemupukan K dengan dosis 50 kg K2O/ha
K2 = Pemupukan K dengan dosis 75 kg K2O/ha K3 = Pemupukan K dengan dosis 100 kg K2O/ha 2. Bentuk Perlakuan Bentuk perlakuan adalah faktorial, dengan kombinasi perlakuan dari dua faktor yang diujikan sejumlah 16 macam, ulangan digunakan 3 kali maka diperoleh 48 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri 3 polibag, sehingga keseluruhan ada 144 polibag. Tiap polibag ditanam 1 tanaman. 3. Bentuk Rancangan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan ulangan tiga kali. Data diambil dari rata-rata setiap unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji F pada taraf nyata 5% untuk mengetahui tingkat signifikasi masingmasing faktor perlakuan dan interaksinya. Pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% dan regresi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Matriks hasil analisis varian ditunjukkan pada Tabel 4. Perlakuan pupuk Fosfat menunjukkan sangat nyata terhadap luas daun, dan berpengaruh nyata dan terhadap tinggi tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering akar dan bobot biji per tanaman. Pemupukan Kalium tidak berpengaruh nyata terhadap semua variabel yang diamati. Interaksi antara pupuk P dan K berpengaruh nyata terhadap variabel bobot kering akar, jumlah polong per tanaman dan bobot biji per tanaman. 1. Pengaruh dosis pupuk P terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk P berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan berpengaruh sangat nyata terhadap variabel luas daun, serta tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun trifoliat, total panjang akar, jumlah polong per tanaman, jumlah biji per polong, bobot 100 biji, bobot biji per tanaman, dan indeks panen. Tinggi tanaman tertinggi dicapai pada perlakuan P2O5 45 kg/ha yaitu 70,75 cm (tabel
5). Hal ini karena fosfor diperlukan untuk pembentukan struktur tanaman, termasuk pertumbuhan vegetatif, seperti dinyatakan oleh Hakim et al. (1986) fosfor merupakan penyusun setiap sel hidup dan penyusun fosfolipid. Ratarata bobot kering tajuk dan bobot biji per tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan P2O5 45 kg/ha (Tabel 5), namun tidak sesuai dengan penelitian Marsono et al.(2003) bahwa pemberian pupuk P mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau yang optimal pada dosis 90 kg P2O5/ha. Bobot kering akar teringgi diperoleh pada perlakuan dosis 90 kg P2O5/ha. Hal ini sesuai dengan penelitian Marsono et al. (2003) bahwa hasil tertinggi dicapai pada pemupukan dosis 90
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 67 - 74
70 Tabel 4. Matriks uji F pengaruh pemberian jenis dosis pupuk fosfat dan dosis pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau di tanah pasir pantai No Variabel Pengamatan P K PxK 1 Tinggi tanaman (cm) n tn tn 2 Jumlah daun trifoliat (helai) tn tn tn sn tn tn 3 Luas Daun (cm2) 4 Bobot kering tajuk (g) n tn tn 5 Bobot kering akar (g) n tn n 6 Total panjang akar (cm) tn tn tn 7 Jumlah polong per tanaman (buah) tn tn n 8 Jumlah biji per polong (buah) tn tn tn 9 Bobot 100 biji (g) tn tn tn 10 Bobot biji per Tanaman (g) n tn n 11 Indeks Panen (g) tn tn tn Keterangan : P : Dosis pupuk P (kg/ha) S : Dosis pupuk K (kg/ha) P x S: Interaksi antara fosfat dengan kalium n : Berpengaruh nyata pada taraf kesalahan 5% sn : Berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 5% tn : Berpengaruh tidak nyata pada taraf kesalahan 5%.
kgP2O5/ha.
Kurva penduga pengaruh dosis pupuk fosfat terhadap bobot kering akar meningkat secara kuadratik (Gambar 1). Sumbangan pupuk fosfat terhadap bobot kering akar sebesar 99,4%. Pemberian pupuk fosfat paling tinggi diperoleh pada perlakuan dosis 90 kg P2O5/ha. Pemberian
pupuk fosfat yang ditingkatkan sampai melebihi dosis tertinggi bobot kering akar akan mengalami penurunan. Pemberian pupuk fosfat yang lebih banyak dapat menyebabkan keracunan pada tanaman. Pemberian pupuk P berpengaruh nyata terhadap bobot biji per tanaman karena tanaman
Gambar 1. Kurva pengaruh dosis fosfor terhadap bobot kering akar
Pengaruh Pupuk P dan K ... (R. Widarawati & T. Harjoso)
71 mampu menyerap unsur hara sesuai dengan kebutuhan, dan fosfat sangat penting dalam proses pembentukan biji. Kacang-kacangan membutuhkan fosfat dalam jumlah banyak pada saat setelah berbunga dan saat pembentukan biji
(Kahlil, 2000). Mendasarkan persamaan regresi, kurva penduga pengaruh perlakuan dosis pupuk P terhadap bobot biji per tanaman meningkat secara kuadratik (Gambar 2). Perlakuan pupuk
Gambar 2. Kurva pengaruh dosis fosfor terhadap bobot biji per tanaman fosfor berpengaruh 70,2% terhadap bobot biji per tanaman. Hal ini berarti masih ada faktor lain yang berpengaruh terhadap bobot biji per tanaman misalnya faktor lingkungan seperti air, suhu dan cahaya matahari. 2. Pengaruh dosis pupuk K terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau Dosis pupuk K tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah daun trifoliat, luas daun, bobot kering tajuk, bobot kering akar, total panjang akar, jumlah polong per tanaman, jumlah biji per polong, bobot 100 biji, bobot biji per tanaman, dan indeks panen. Perlakuan tanpa pemupukan K menghasilkan rerata tertinggi pada tinggi tanaman 68,67 cm, jumlah daun trifoliate 6,31 helai, luas daun 675,208 cm2, bobot kering tajuk 11,37 g, total panjang akar 42,46 cm, bobot 100 biji 7,49 g, dan bobot biji per tanaman 6,04. 3. Pengaruh Interaksi antara pupuk P dan K terhadap pertumbuhan kacang hijau Hasil penelitian menunjukkan adanya
interaksi antara pupuk P dan K terhadap bobot kering akar, bobot biji per tanaman dan jumlah polong per tanaman. Bobot kering akar pada perlakuan P3K1 (135 kg P2O5/ha, 50 kg K2O/ha) menghasilkan bobot paling tinggi sebesar 7,79 g (Tabel 4). Interaksi terjadi pada perlakuan P3 dan P0, pada perlakuan P3 peningkatan dosis sampai K1 (90 kg P2O5/ha dan 50 kg K2O/ha) dapat meningkatan bobot kering akar, sedangkan pada perlakuan P0K0 menunjukan adanya peningkatan, dengan meningkatnya dosis P tidak mempengaruhi penambahan bobot kering akar. Bobot biji per tanaman pada perlakuan P2K1 (90 kg P2O5/ha, 50 kg K2O/ha) menghasilkan bobot paling tinggi sebesar 7,66 gram (Tabel 5). Interaksi terjadi pada perlakuan P2 dan P0, pada perlakuan P2 peningkatan dosis sampai K1 (90 kg P2O5/ha dan 50 kg K2O/ha) dapat meningkatan bobot biji pertanaman, sedangkan pada perlakuan P0K2 menunjukan adanya penurunan, dengan meningkatnya dosis P mempengaruhi penambahan bobot biji per tanaman.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 67 - 74
72 Tabel 4. Bobot Kering Akar pada pemberian dosis pupuk P dan K Perlakuan
K0
K1
K2
K3
P0
2,48 bcA(bc)
4,35 bA(b)
3,12 bA(bc)
2,63 bA(bc)
P1
5,71 aA(a)
4,21 bB(b)
6,2 aA(a)
3,61 aB(b)
P2
7,2 aA(a)
7,72 aA(a)
5,68 aB(a)
3,63 aBC(b)
P3
4,28 bB(b)
7,79 aA(a)
6,39 aA(a)
4,76 aB(b)
Tabel 5. Bobot Biji per Tanaman pada pemberian dosis pupuk P dan K Perlakuan
K0
K1
K2
K3
P0
5,88 aA(bcd)
5,27 bA(bcde)
3,14 bB(g)
3,40 aB(fg)
P1
6,56 aA(ab)
5,27 bA(bcde)
6,39 aA(abc)
5,06 aA(bcde)
P2
4,40 bB(defg)
7,66 aA(a)
4,83 aB(cdef)
4,27 aB(efg)
P3
4,22 bA(efg)
5,99 aA(bcd)
5,62 aA(bcde)
5,29 aA(bcde)
Tabel 6. Jumlah Polong per tanaman pada pemberian dosis pupuk P dan K Perlakuan
K0
K1
K2
K3
P0
11,30 aA(ab)
9,43 aAB(abc)
5,57 bB(d)
6,23 aB(cd)
P1
10,33 aA(ab)
8,13 bA(abcd)
10,67 aA(ab)
8,57 aA(abcd)
P2
8,13 aB(abcd)
12,57 aA(a)
7,67 abB(cd)
7,90aB (cd)
P3
8,10 aA(abcd)
8,77 abA(abcd)
9,87 aA(ab)
10,03 aA(ab)
Keterangan: 1. Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada dosis pupuk K yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% 2. Angka-angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada dosis pupuk P yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. 3. Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama di dalam tanda kurung tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Pengaruh Pupuk P dan K ... (R. Widarawati & T. Harjoso)
73 Jumlah polong per tanaman pada perlakuan P2K1 (dipupuk 90 kg P2O5/ha, 50 kg K2O/ha) menghasilkan bobot paling tinggi sebesar 12,57 g (Tabel 6). Interaksi ini terjadi pada perlakuan P2 dan P0, pada perlakuan P2 peningkatan dosis sampai K1 (90 kg P2O5/ha dan 50 kg K2O/ha) dapat meningkatan jumlah polong per tanaman, sedangkan pada perlakuan P0K0 menunjukan adanya peningkatan, dengan meningkatnya dosis P tidak mempengaruhi penambahan jumlah polong per tanaman. Interaksi pupuk P dan K tidak berpengaruh terhadap bobot 100 biji. Hal ini diduga karena bobot 100 biji dipengaruhi oleh sifat genetis tanaman dan kelancaran pengisian polong. Banyaknya biji per polong dan berat biji dipengaruhi oleh sifat genetis tanaman. Pembentukan dan pengisian polong dibutuhkan unsur N, P dan K yang cukup, dimana unsur N, P dan K sangat diperlukan untuk pembentukan protein pada biji. Menurut Evans dalam Waluyo (1985), sesudah selesai pembungaan fiksasi N secara simbiotik oleh bakteri rhizobium telah dapat mencukupi kebutuhan nitrogen tanaman. Jadi kemungkinan kebutuhan unsur N yang tercukupi dari hasil fiksasi N secara simbiotik, sedangkan unsur P dan K kemungkinan telah tercukupi dari pupuk kandang ayam. Disamping itu kebutuhan air dan cahaya matahari selama pengisian polong terpenuhi, sehingga kelancaran pengisian polong tidak terganggu. SIMPULAN 1. Pemupukan P berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, bobot kering tajuk, luas daun bobot kering akar dan bobot biji per tanaman. Hasil bobot biji per tanaman tertinggi sebesar 5,82 g, sedangkan pada luas daun tertinggi sebesar 749,543 cm2, dan bobot kering akar dosis tertinggi sebesar 60,06 g. 2. Pemupukan K tidak berpengaruh nyata
terhadap semua variabel yang diamati. 3. Pemberian pupuk P sangat ditentukan oleh pupuk K dalam mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Pemberian pupuk P 135 kg P2O5/ha memberikan bobot kering akar tertinggi (7,79 g) bila diberi pupuk K 50 kg K2O/ha. Pemberian pupuk P 90 kg P2O5/ ha memberikan jumlah polong per tanaman tertinggi (12,57 buah) bila diberi pupuk K 50 kg K2O/ha. Pemberian pupuk P 90 kg P2O5/ ha dapat memberikan bobot biji per tanaman tertinggi (7,66 g) bila diberi pupuk K 50 kg K2O/ha. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statisik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2007. Produksi Kacang Hijau Menurut Propinsi (On line). http:// www.deptan.go.id /infoeksekutif/tan/ TPARAMI-07/Prod%20Kc%20Hijau.htm. (Diakses tanggal 30 Mei 2007). Hakim, N., Y. Nyakpa, Lubis, GH. Sutopo., R. Saul, A. Diha, G. B. Hong dan Bailey. 1986. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. 488 hal. Kasno, A. 2007. Kacang Hijau, Alternatif yang Menguntungkan Ditanam di LahanKering. http://www.baliprov.go.id/lomba_ti/ gianyar/web/Artikel3.htm (On-line) (Diakes tanggal 23 Juni 2008). Marsono dan Lingga. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya : Jakarta. 150 hal. Nurjen, Sudiarso dan Nugroho. 2002. Peranan Pupuk Kotoran Ayam dan Pupuk Nitrogen (Urea) Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau (Phaseolus vulgaris L.) Varietas Sriti. Agrivita. 9 hal. Puspowardoyo, S. 2003. Pengaruh Pemberian Daun Krenyu dan Jerami Kering sebagai Pupuk Organik terhadap Hasil Budidaya Tanaman Bawang Merah, Jagung Manis
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 11 Nomor 1, Juni 2011, hal. 67 - 74
74 dan Kacang Tanah di Lahan Pasir. Prosiding seminar Teknologi Untuk Negeri. Vol. 2: 44-47. Sumarno. 1992. Arti Ekonomis dan Kegunaan Kacang Hijau. Dalam T. Adisarwanto, Sunardi, A. Winarto, dan Sugiyono (Ed). Kacang Hijau. Monograf No. 9. Balai Penelitian Tanaman Pangan. 11 hal.
Lahan Sawah. 20 Buletin Teknik Pertanian. Vol. 9, Nomor 1. 2 hal. Waluyo. 1985. Pengaruh Jarak Tanam dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Varietas Lokon. Tesis Sarjana, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. 66 hal
Supeno, Agus dan Sujudi. 2004. Teknik Pengujian Adaptasi Galur Harapan Kacang Hijau Di
Pengaruh Pupuk P dan K ... (R. Widarawati & T. Harjoso)