JTM JOURNAL OF MECHANICAL ENGINEERING
JTM
JURNAL TEKNIK MESIN
ISSN 2549-2888
Volume 06, Nomor 1, Februari 2017
ISSN 2549 - 2888
JTM JURNAL TEKNIK MESIN Jurnal Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi
Volume 06, Nomor 1, Februari 2017 1
PENGEMBANGAN FORMULA COMPOUND RUBBER DALAM PEMBUATAN SOL SEPATU Suliknyo
2
PERENCANAAN DAN ANALISA SISTEM SPRINKLER OTOMATIS DAN KEBUTUHAN AIR PEMADAMAN FIRE FIGHTING HOTEL XX Rahesa Dwi Putri
3
DESAIN DAN PERANCANGAN ALAT PENGEPRES GERAM SAMPAH MESIN PERKAKAS Nur Indah, Mus Baehaqi
4
STUDI BANDING PELAPISAN MATERIAL SKD11 DENGAN METODE PHYSICAL VAPOUR DEPOSITION DAN THERMAL DIFUSION PADA KOMPONEN INSERT DIES MESIN STAMPING PRESS Robertus Suryo Bisono
5
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KERAMIK MAGNESIUM ALUMINA SILIKA DARI ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG Tri Exaudi Sidabutar
6
STUDI KARAKTERISASI LAJU KOROSI LOGAM ALUMINIUM DAN PELAPISAN DENGAN MENGGUNAKAN MEMBRAN SELLULOSA ASETAT Andarany Kartika Sari
7
ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SUDUT PIPA SIPHON TERHADAP PERFORMASI TURBIN HYDROCOIL DENGAN MENGGUNAKAN METODE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC (CFD) Alief Avicenna Luthfie
8
ANALISIS POSISI PELAT PEREDAM G ERAK LATERAL CAIRAN DI DALAM TRUK TANGKI OVAL YANG DIMODIFIKASI MENGGUNAKAN KOMPUTASI DINAMIKA FLUIDA Iwan Kurniawan
9
PEMBUATAN PARTIKEL SELULOSA MENGGUNAKAN LARUTAN ALKALIN Edy Hermawan
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
KATA PENGANTAR Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT karena dengan karunia dan hidayah-Nya, maka Jurnal JTM, Volume 06, Nomor 1 Bulan Februari Tahun 2017 kembali dapat diterbitkan. Edisi jurnal kali ini menyajikan sembilan makalah hasil tulisan dosen dan mahasiswa Prodi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana. Dalam makalahnya, beberapa mahasiwa mempresentasikan judul yang erat kaitannya dengan hasil ekperimen, analisis proses, desain dan perancangan. Beberapa judul yang disajikan antara lain: Pengembangan forumula compound rubber dalam pembuatan sol sepatu, Desain dan perancangan alat pengepres geram sampah mesin perkakas, Studi banding pelapisan material SKD11 dengan metode physical vapour deposition dan thermal diffusion pada komponen insert dies mesin stamping press, dan Studi karakterikasi laju korosi logam aluminium dan pelapisan dengan menggunakan membrane sellulosa asetat, Analisis pengaruh perubahan sudut pipa siphon terhadap performasi turbin hydrocoil dengan menggunakan metoda computational fluid dynamic (CFD) dan Pembuatan partikel selulosa menggunakan larutan alkalin. Kami mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada seluruh anggota Dewan Redaksi, Redaktur Pelaksana serta semua pihak yang telah memberikan kontribusinya selama proses penyiapan, penyusunan sampai penerbitan. Semoga keberadaan Jurnal Teknik Mesin ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh civitas akademika secara umum dan semua kolega di Universitas Mercu Buana secara khususnya.
Jakarta, Februari 2017
Prof. (Em.) Dr.-Ing. Ir. Darwin Sebayang Pemimpin Redaksi
ISSN 2549 - 2888
ISSN 2549 - 2888
JTM JURNAL TEKNIK MESIN Jurnal Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi
Pemimpin Redaksi
:
Prof. (Em.) Dr.-Ing. Ir. Darwin Sebayang (UMB)
Dewan Redaksi
: : : : : : : : : : : :
Prof. Dr. Ir. Chandrasa Soekardi (UMB) Dr. Kontan Tarigan (UMB) Dr. Nurdin Ali (Unsyiah) Dr. Poempida Hidayatullah (UMB) Prof. Dr. Bambang Suharno (Universitas Indonesia) Dr.-Ing. Ir. Nasruddin, M.Eng. (Universitas Indonesia) Dr.-Ing. Pudji Untoro (Universitas Surya) Dr.-Ing. Ir. Kusnanto (Universitas Gadjah Mada) Dr. Sagir Alva (UMB) Ir. Yuriadi Kusuma (UMB) Dr. Sulistyo (Universitas Diponegoro) Dr. Abdul Hamid (UMB)
Redaktur Pelaksana
: : : :
Ir. Haris Wahyudi, M.Sc (UMB) Nur Indah, S. ST. MT (UMB) Swandya Eka Pratiwi, ST, M.Sc (UMB) Edijon Nopian (UMB)
Alamat Redaksi
:
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Kampus Menara Bhakti, Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan No. 01, Kembangan, Jakarta Barat 11650, Indonesia Email:
[email protected] Telp/Fax: +62 21 5871335
Jurnal Teknik Mesin (JTM) adalah Peer-reviewed Jurnal tentang hasil Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi. JTM tersedia dalam dua versi yaitu cetak (p-ISSN: 20897235) dan online (e-ISSN: 2549-2888), diterbitkan 3 (tiga) kali dalam setahun pada bulan Februari, Juni dan Oktober. Redaksi menerima artikel ilmiah dalam bidang Teknik Mesin dan yang berkaitan melalui halaman web berikut: http://publikasi.mercubuana.ac.id/index.php/jtm.
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
ISSN 2549 - 2888
ISSN 2549 - 2888
JTM JURNAL TEKNIK MESIN Jurnal Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi
Volume 06, Nomor 1, Februari 2017
DAFTAR ISI 1
PENGEMBANGAN FORMULA COMPOUND RUBBER DALAM PEMBUATAN SOL SEPATU Suliknyo
1-5
2
PERENCANAAN DAN ANALISA SISTEM SPRINKLER KEBUTUHAN AIR PEMADAMAN FIRE FIGHTING HOTEL XX Rahesa Dwi Putri
DAN
6-12
3
DESAIN DAN PERANCANGAN ALAT PENGEPRES GERAM SAMPAH MESIN PERKAKAS Nur Indah, Mus Baehaqi STUDI BANDING PELAPISAN MATERIAL SKD11 DENGAN METODE PHYSICAL VAPOUR DEPOSITION DAN THERMAL DIFUSION PADA KOMPONEN INSERT DIES MESIN STAMPING PRESS Robertus Suryo Bisono
13-20
5
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KERAMIK MAGNESIUM ALUMINA SILIKA DARI ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG Tri Exaudi Sidabutar
28-35
6
STUDI KARAKTERISASI LAJU KOROSI LOGAM ALUMINIUM DAN PELAPISAN DENGAN MENGGUNAKAN MEMBRAN SELLULOSA ASETAT Andarany Kartika Sari ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SUDUT PIPA SIPHON TERHADAP PERFORMASI TURBIN HYDROCOIL DENGAN MENGGUNAKAN METODE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC (CFD) Alief Avicenna Luthfie ANALISIS POSISI PELAT PEREDAM G ERAK LATERAL CAIRAN DI DALAM TRUK TANGKI OVAL YANG DIMODIFIKASI MENGGUNAKAN KOMPUTASI DINAMIKA FLUIDA Iwan Kurniawan PEMBUATAN PARTIKEL SELULOSA MENGGUNAKAN LARUTAN ALKALIN Edy Hermawan
36-40
4
7
8
9
OTOMATIS
21-27
41-47
48-55
56-61
ISSN 2549 - 2888
1
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
PENGEMBANGAN FORMULA COMPOUND RUBBER DALAM PEMBUATAN SOL SEPATU Suliknyo Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta E-mail:
[email protected] Abstrak -- Sol sepatu adalah bagian terbawah dari bagian sepatu yang kontak langsung dengan tanah. Sol ini harus memiliki sifat fisik yang baik seperti tegangan putus, perpanjangan putus, Modulus, kekerasan, dan ketahanan. Sifat fisik barang jadi karet sangat dipengaruhi oleh perancangan awal formula kompon karet sol sepatu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemakaian IR 2200 dan KNB 40H sebanyak 10, 10.25, 10.5 phr terhadap sifat mekanik. Bahan digiling menggunakan dua rol terbuka, sedangkan pencetakan digunakan mesin hydraulic press. Hasil uji menunjukan bahwa vulkanisat karet dengan hasil terbaik diperoleh dengan pemakaian IR 2200 dan KNB 40H sebanyak 10.5 phr dengan nilai tegangan putus 13.42 MPa, perpanjangan putus 713,86%, kekerasan 67.8 shore A, ketahanan sobek 16.34 MPa, dan abrasi 0.22 cc. Hasil uji tersebut memenuhi persyaratan Nike Test Method. Kata kunci: formula, compound rubber, sol sepatu
1. PENDAHULUAN Sol sepatu adalah salah satu bagian bawahan sepatu yang merupakan unsur penentu kualitas sepatu. Kualitas sol karet sebagai komponen bawahan sepatu atau alas kaki yang sangat ditentukan oleh sifat –sifat fisisnya, antara lain: tegangan putus, perpanjangan putus, kekerasan, pampatan tetap, bobot jenis, dan ketahanan retak lentur (Rahmawati, 2009). Ikatan utama dari karet adalah ikatan tidak jenuh (ikatan rangkap) sehingga menyebabkan tidak tahan terhadap oksigen, ozon, cahaya, dan panas. Karet alam tidak tahan terhadap minyak, asam pengoksidasi dan memiliki ketahanan terbatas terhadap asam mineral serta akan mengembang jika terkena senyawa hidrokarbon aromatik, alifatik dan hidrokarbon halogen. Namun, karet alam tahan terhadap beberapa bahan kimia anorganik selain bahan tersebut. Karet alam dapat dibuat ikatan silang (vulkanisasi) dengan menggunakan metode sulfur, sistem donor sulfur, peroksida, vulkanisasi dan radiasi isosianat, tetapi sulfur adalah yang paling banyak digunakan. Dalam proses pembuatan barang jadi karet, karet alam harus dibuat menjadi kompon terlebih dahulu (compounding). Kompon karet adalah karet alam padat yang ditambah dengan berbagai bahan kimia untuk memberikan sifat barang jadi karet yang diinginkan (Barlow, 1993). 2. METODOLOGI PENELITIAN Metode pengambilan sampel untuk di uji laboratorium dilakukan dengan cara mengikuti kajian Nike Test Method yaitu: a) Nike G76 Tensile, Elongation dan Modulus b) Nike G9 untuk uji abrasi ISSN 2549 - 2888
c) Nike G45 untuk uji kekerasan d) ASTM D-624 untuk uji kekuatan sobek Tabel 2.1 Standar pengujian Nike
Untuk mendapatkan hasil fisik vulkanisat karet perlu diperhitungkan perbandingan formula pada kompon. Komposisi kompon berupa phr (per hundred rubber). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pembuatan Sampel Setelah bahan-bahan yang dibutuhkan diperoleh kemudian dilakukan penimbangan dengan menggunakan timbangan sesuai dengan formulasi masing-masing sampel yaitu sampel I, sampel II dan sampel III. Sampel I menggunakan data original produksi, sampel II menambah polymer IR2200 + KNB 40H sebanyak 0,25 phr dan sampel III penambahan sebanyak 0,5 phr dari data formula original. Satuan yang biasa digunakan Phr yaitu per hundred rubber, dimana untuk penimbangan dikonversi kedalam berat bagian komponen penyusun kompon.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
2
Tabel 3.1 Formula sampel I, Sampel II dan Sampel III
Untuk proses pencampuran bahan-bahan penyusun kompon dicampur menggunakan mesin 2 rol terbuka dengan baik. Setelah bahan tercampur semua dan menjadi lembaran kompon kemudian bahan didinginkan minimal 4 jam. Untuk proses pencampuran karet pada mesin dua rol dapat dilihat pada Gambar 3.1
Gambar 3.3 Grafik hasil uji rheometer formula original produksi
Gambar 3.4 Grafik hasil uji rheometer formula sampel II Gambar 3.1 Proses pencampuran pada mesin 2 rol terbuka 3.2 Pengujian Rheometer Dari ketiga formula kompon karet yang sudah dicampur menggunakan mesin rol terbuka, karet kemudian di uji hasil kematangannya menggunakan rheometer untuk mengetahui kecepatan vulkanisasi karet. Proses pengujian dengan rheometer ODR2000 dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Pada Gambar 3.4 pengujian kematangan kompon menggunakan mesin rheometer dengan temperatur 150˚C didapat Time considering atau Tc10 2 menit 26 detik dan Tc90 3 menit 41 detik. Waktu kematangan pada Tc90 atau kematangan 90% sebagai acuan produksi yaitu 3 menit 41 detik.
Gambar 3.5 Grafik hasil uji rheometer sample III
Gambar 3.2 Pengujian kompon menggunakan mesin Rheometer ODR2000 Hasil pengujian sampel I dapat dilihat pada Gambar 3.3, sampel II pada Gambar 3.4 dan sampel III pada Gambar 3.5. Pada Gambar 3.3 pengujian kematangan kompon sampel I menggunakan mesin rheometer dengan temperatur 150˚C didapat Time considering atau Tc10 2 menit 22 detik dan Tc90 3 menit 50 detik. Waktu kematangan pada Tc90 atau kematangan 90% sebagai acuan produksi yaitu 3 menit 50 detik.
Pada Gambar 3.5 pengujian kematangan kompon menggunakan mesin rheometer dengan temperatur 150˚C didapat Time considering atau Tc10 2 menit 26 detik dan Tc90 3 menit 41 detik. Waktu kematangan pada Tc90 atau kematangan 90% sebagai acuan produksi yaitu 3 menit 41 detik. Dari hasil pengukuran rheometer pada sampel I, sampel II dan sampel III didapat data seperti pada Tabel 3.2 Tabel 3.2 Hasil tes rheometer
ISSN 2549 - 2888
3
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Pada Tabel 3.2 sampel I didapat tingkat kematangan 90% selama 3 menit 50 detik lebih lama dibandingkan pada sampel II dan sampel III. Sampel II hasil penambahan IR200 dan KNB 40H sebanyak 0,25 phr (per hundred rubber) dengan jumlah phr bahan pengisi lainya sama dengan jumlah phr formula original didapatkan hasil kematangan lebih cepat 9 detik dari sampel I. Pada sampel III dengan menambahakan IR200 dan KNB 40H sebanyak 0,5 phr dari jumlah phr bahan pengisi lainya sama dengan jumlah phr formula original didapatkan hasil kematangan lebih cepat 45 detik dari sampel I.
pembuatan sol sepatu terdapat 2 warna karet sehingga dilakukan pembetukan warna pertama kemudian cetakan dibuka untuk membersihkan batas warna, setelah bersih warna kedua dimasukan kedalam cetakan kemudian cetakan masuk ke mesin hot press. 3.4 Pengujian Sifat Mekanik (Pengujian Tensile Strength, Strain dan Modulus elastic) a) Sampel I (Formula original produksi) Tabel 3.3 Hasil uji tensile, strain dan modulus elastic sampel 1
3.3 Pemberian Bentuk (Molding) Proses vulkanisasi kompon ini dilakukan menggunakan alat hot press dengan membentuknya serperti lembaran flat. Kompon dibentuk lembaran dan dipotong seperti ukuran cetakan (mold). Mesin hot press diset pada suhu 150˚C. Untuk proses vulkanisasi kompon karet dapat dilihat pada Gambar 3.6
Berdasarkan Tabel 3.3 dengan pengujian tiga kali tarikan didapat nilai uji tarik yang kedua sangat tinggi nilainya karena pada saat proses buffing/dibuka pori-pori menggunakan gerinda batu kurang rata. Pada formula original produksi ini didapat tegangan rata-rata 57,60 kgf/cm², regangan rata-rata 580.61% dan modulus ratarata 28.13 kgf/cm². b) Sampel 2 (penambahan polymer IR2200 dan KNB 40H 0,25 phr)
Gambar 3.6 Pemasukan kompon kedalam cetakan Sampel kompon yang berada didalam cetakan kemudian di press dengan tekanan 100 kgf/cm² selama 7 menit. Sampel yang telah terbentuk merupakan kompon yang telah mengalami vulkanisasi (karet vulkanisat). Untuk proses vulkanisasi kompon dapat dilihat pada Gambar 3.7
Tabel 3.4 Hasil uji tensile, strain dan modulus elastic sampel II
Berdasarkan Tabel 3.4 menggunakan komposisi formula sampel II didapat tegangan rata-rata 133.15 kgf/cm², regangan rata-rata 743.51% dan modulus rata-rata 40.79 kgf/cm² lebih baik nilainya dibandingkan pada sampel I. c) Sampel 3 (penambahan polymer IR2200 dan KNB 40H 0,5 phr) Tabel 3.5 Hasil pengujian sampel III
Gambar 3.7 Pemasukan cetakan kompon ke mesin hot press Proses pemasakan kompon menggunakan mesin hot press dengan temparatur 150˚C selama 7 menit. Dilakukan 7 menit karena dalam ISSN 2549 - 2888
Berdasarkan Tabel 3.5 menggunakan komposisi formula sampel III didapat tegangan rata-rata 136.89 kgf/cm², regangan rata-rata 713.86% dan
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
modulus rata-rata 43.33 kgf/cm² lebih baik nilai tegangan dan modulusnya dibanding sampel I dan sampel II.
4
Hasil uji sampel III didapat kekuatan sobek ratarata 166.8 kgf/cm² dengan maksimum beban 34.19 kgf lebih baik dari standar ASTM D624 yaitu minimal 35 kgf/cm².
3.5 Pengujian Sobek (ASTM D624) 3.6 Pengujian Hardness (kekerasan) Ketahanan sobek adalah parameter untuk mengetahui ketahanan vulkanisat terhadap robekan atau sobekan. Ketahanan sobek merupakan salah satu faktor penting dalam parameter uji sol sepatu. Katahanan sobek yang tinggi menghasilkan vulkanisat sol sepatu yang semakin baik sehingga waktu pakai produk semakin lama. Hasil analisa penambahan polymer IR2200 dan KNB 40H terhadap ketahanan sobek dapat dilihat pada Tabel 3.6 sampel I, Tabel 3.7 sampel II dan Tabel 3.8 sampel III. a)
Kekerasan merupakan ukuran kekakuan dari kompon karet. Semakin lentur produk karet maka semakin rendah kekerasan produk tersebut. Untuk mengukur kekerasan karet yang sudah di vulkanisasi digunakan alat Durometer Shore A. Pada pengukuran kekerasan karet dilakukan 5 kali pengukuran pada tempat yang berbeda. Untuk hasil pengukuran kekerasan dapat dilihat pada Tabel 3.9. Tabel 3.9 Hasil pengujian kekerasan sampel I, II dan III.
Pengujian sobek sampel I Tabel 3.6 Hasil pengujian sobek sampel I spesimen 1-3
Dari Tabel 3.9 didapat hasil sampel II dan III dengan penambahan polymer IR2200 dan KNB 40H sebanyak 0,25 dan 0,5 phr menambah nilai kekerasan pada karet. Hasil uji sampel I didapat kekuatan sobek ratarata 31.59 kgf/cm² dengan maksimum beban 6.8 kgf kurang dari standar ASTM D624 yaitu minimal 35 kgf/cm². b)
Pengujian sobek sampel II Tabel 3.7 Hasil pengujian sobek sampel II spesimen 1-3
3.7 Pengujian Gravity
Berat
Jenis
atau
Specific
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai ketahanan kikis pada karet vukanisat karena nilai pembagi hasil abrasinya adalah berat jenis. Berikut adalah hasil nilai berat jenis sampel I sampai dengan sampel III. Tabel 3.10 Hasil pengujian berat jenis Model Sampel I Sampel II Sampel III
Hasil uji sampel II didapat kekuatan sobek ratarata 63.39 kgf/cm² lebih baik karena melebihi standar ASTM D624 yaitu minimal 35 kgf/cm². c)
Pengujian sobek sampel III Tabel 3.8 Hasil pengujian sobek sampel III spesimen 1-3
Specify Gravity Nike G43 1,14-1,18 (g/cc) Avg 1,17 1,17 1,17 1,17 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11 1,11
3.8 Pengujian Abrasi Ketahanan kikis merupakan kemampuan produk jadi karet untuk menahan abrasi akibat adanya gaya gerak. Berikut adalah hasil dari pengujian ketahanan kikis karet vulkanisat. Tabel 3.11 Hasil ketahanan abrasi Model Sampel I Sampel II Sampel III
Ketahanan Abrasi Nike G9 Max 0.35 (cc loss) Avg 0,31 0,32 0,33 0,32 0,26 0,25 0,25 0,25 0,22 0,21 0,23 0,22
ISSN 2549 - 2888
5
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari hasil analisa pengembangan formula compound rubber dalam pembuatan sol sepatu di peroleh kesimpulan, yaitu: Penambahan polymer IR2200 dan KNB 40H sebanyak 0,5 phr memperbaiki nilai tensile strength 136.89 kgf/cm², elongation at break 713,86 % dan modulus elastic 43.33 kgf/cm² pada sampel III. Pengaruh pengembangan formula terhadap kekuatan sobek menjadi lebih baik yaitu 166.8 kgf/cm² pada sampel III. Pengaruh pengembangan formula sampel III terhadap kekerasan menjadi lebih baik yaitu 67,8 shore A sehingga semakin tinggi nilai kekerasan maka nilai abrasi semakin kecil yaitu 0.22 cc. 4.2 Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada formula yang sudah ada (sampel I) memiliki sifat mekanik yang lebih rendah. Untuk meningkatkan
ISSN 2549 - 2888
sifat mekanik maka disarankan untuk menggunakan formula yang sudah ditambahkan polymer IR2200 dan KNB 40H sebesar 0,5 phr. DAFTAR PUSTAKA [1]. Barlow, F.W. (1993). Rubber Compounding. New York : Marcel Dekker Inc. [2]. Callister Jr.,William D. 1997. Materials Science and Engineering an Introduction 4th Edition. Canada : John Willey & Sons, Inc. [3]. Heinisch, K. F. (1994). "Vulcanisation" Dictionary of Rubber, Applied Science Publisher Ltd. [4]. Rahmawati. (2009). Pengaruh Komposisi Arang Cangkang Kelapa Sawit dan Hitam Arang (Carbon Black) Terhadap Kualitas Kompon Karet Sol Sepatu. Universitas Sumatera Utara. Medan. [5]. Rodgers, Brendan. (2004). Rubber Compounding, Chemistry and Applications. New York Marcel Dekker, Inc. [6]. Sommer, John G. (2009). Engineered Rubber Product, Introduction to Design, Manufacture and Testing. German: Hanser Publications.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
6
PERENCANAAN DAN ANALISA SISTEM SPRINKLER OTOMATIS DAN KEBUTUHAN AIR PEMADAMAN FIRE FIGHTING HOTEL XX Rahesa Dwi Putri Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana, Jakarta E-mail:
[email protected] Abstrak -- Dalam pembangunan sebuah gedung terdapat suatu utilitas keamanan salah satunya adalah sistem instalasi sprinkler yang dirancang sesuai dengan standar proteksi kebakaran yang disiapkan untuk mencegah, memadamkan dan menanggulangi kebakaran dalam bangunan gedung. Pada perencanaan sistem sprinkler ini bertujuan untuk memahami dan melakukan perhitungan pada kecepatan aliran dan tekanan serta merencanakan kebutuhan air pada pemadaman fire fighting gedung hotel. Penulis melakukan penganalisaan dan perhitungan dengan menentukan discharge coefficient of the sprinkler k-factor pada kecepatan aliran fluida, selanjutnya menggunakan presure loss dari HazenWilliams dan dilakukan kebutuhan air dengan mengacu pada Azas Bernoulli, yang penulis sebut dengan metode Step by Step. Dari hasil perhitungan ini didapat bahwa hubungan antara kecepatan aliran pada sprinkler otomatis ini dengan pressure loss yang terjadi dipengaruhi oleh area yang direncanakan, diameter pipa yang digunakan serta panjang pipa. Dimana perencanaan ini mengacu pada standar yang berlaku seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) dan National Fire Protection Association (NFPA) yang harus dipakai dalam perencanaan siste sprinkler otomatis pada sebuah gedung. Kata kunci: sprinkler, fire fighting, discharge, pressure loss, National Fire Protection Association 1. PENDAHULUAN Dalam pembangunan terdapat suatu utilitas atau perlengkapan yang ada didalam gedung yang digunakan untuk menunjang tercapainya unsurunsur kenyamanan, kesehatan, keselamatan dalam sebuah gedung itu sendiri. Salah satunya adalah adanya sistem instalasi pemadam kebakaran (fire fighting), dimana instalasi ini dirancang untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran pada bangunan gedung. Salah satu alat atau sistem instalasi untuk memadamkan api adalah sistem instalasi sprinkler. Dimana sistem instalasi sprinkler ini merupakan suatu sistem instalasi pemadam kebakaran yang dipasang secara tetap/permanen didalam bangunan yang dapat memadamkan kebakaran secara otomatis dengan menyemprotkan air di tempat mula terjadi kebakaran (NFPA 13, 2002). Sistem sprinkler ini dirancang sesuai dengan rekayasa standar proteksi kebakaran dimana sistem ini biasanya aktif oleh panas yang bersumber dari api. Pada tulisan ini akan dilakukan perencanaan dan analisa sistem sprinkler otomatis dan kebutuhan air pemadaman fire fighting yang digunakan pada Proyek Hotel XX. Dengan perencanaan yang mengacu pada standarstandar yang berlaku di Indonesia bahkan internasional, seperti: Standar Nasional Indonesia (SNI) dan National Fire Protection Association (NFPA). 1.1 Rumusan Masalah Dalam perencanaan sistem sprinkler otomatis fire fighting ini permasalahan utama yang dihadapi adalah:
1) Melakukan penganalisaan dan perhitungan dengan menentukan faktor k (discharge coefficient of the sprinkler k-factor) dan aliran fluida yang diperlukan dari sprinkler pertama. 2) Menggunakan formula prssure loss dari Hazen williams untuk menghitung pressure drop pipa diantara sprinkler. 3) Merencanakan kebutuhan air yang digunakan untuk pemadaman fire fighting Proyek Hotel XX. 4) Melakukan perencanaan sesuai standarstandar yang berlaku dalam perencanaan sistem sprinkler fire fighting. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah: 1) Memahami perencanaan dalam instalasi sistem sprinkler otomatis Hotel XX. 2) Melakukan analisa dari tekanan pada sistem sprinkler otomatis fire fighting Hotel XX. 3) Merencanakan kebutuhan air pemadaman fire fighting Hotel XX. 1.3 Batasan Masalah Adapun batasan masalah dalam penulisan Tugas Akhir “Perencanaan Dan Analisa Sistem Sprinkler Otomatis Dan Kebutuhan Air Pemadaman Fire Fighting Hotel XX” adalah: 1) Perhitungan pada perencanaan Hotel XX ini hanya dilakukan untuk 10 lantai yang pada gambar perencanaan itu terdiri dari 13 lantai. 2) Tidak dilakukan perhitungan pada konstruksi pompa yang digunakan pada perencanaan instalasi sistem sprinkler ini.
ISSN 2549 - 2888
7
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
=( =
) (
) (1)
Sistem Sprinkler Otomatis
Sistem sprinkler adalah suatu sistem yang bekerja secara otomatis dengan memancarkan air bertekanan ke segala arah untuk memadamkan kebakaran atau setidak-tidaknya mencegah meluasnya kebakaran (NFPA 13, 1999). Instalasi sprinkler ini dipasang secara tetap/permanen di dalam bangunan yang dapat memadamkan kebakaran secara otomatis dengan menyemprotkan air di tempat mula terjadi kebakaran. Sistem sprinkler secara otomatis dianggap cara yang paling efektif dan ekonomis untuk manerapkan air bagi pemadaman api. Sistem sprinkler ini akan bekerja bila segelnya pecah akibat adanya panas dari api kebakaran. Sistem sprinkler terdiri dari beberapa jenis, yaitu (NFPA 13, 1999): 1) Sistem basah (wet pipe system) 2) Sistem kering (dry pipe system) 3) Sistem curah (deluge system) 4) Sistem pra aksi (preaction system) 5) Sistem kombinasi (combined system) Sebelum penulis menganalisa secara keseluruhan sistem pemadam kebakaran fire fighting ini terlebih dahulu penulis mengkaji sistem sprinkler sederhana pada 3 batang pipa dengan 3 head sprinkler dengan metoda “Step By Step” seperti terlihat pada sistem sprinkler gambar 2.6 panjang l dan diamter pipa Ø masing-masing. Serta posisi sprinkler head masing-masing diperlihatkan pada gambar 2.6 Pada posisi gambar diambil posisi area 1 yang penulis asumsikan sebagai area yang sangat terpencil (Most Remote Area), sedangkan posisi sprinkler n terletak di ujung pipa yang sangat terpencil (Most Remote Head) atau penulis definisikan sebgai MRH.
Dimana: = Kecepatan aliaran fluida/ debit aliran (liter/menit) = design density (mm/min) = head area (area per sprinkler) (m2) Selanjutnya hasil perhitungan kecepatan aliran fluida pada Persamaan 1 diatas dibandingkan dengan kebutuhan kecepatan minimum aliran fluida hasil perhitungan dengan menggunakan K faktor dan minimum pressure head pada Persamaan 2 seperti di bawah ini. =
.
(2)
Dimana: = Kecepatan aliaran fluida / debit aliran (liter/menit) k = k-factor koefisien discharge sprinkler = tekanan yang dibutuhkan atau required pressure (N/m2) Hasil perhitungan dari Persamaan 1 dan Persamaan 2 diambil dimana dari kedua persamaan tersebut mempunyai hasil nilai yang tertinggi. Bagaimanapun asumsi tekanan p (required pressure) pada Persamaan 2 di atas masih perlu dikaji ulang lagi dengan membandingkan hasil dari Persamaan 3 di bawah ini: =( )
(3)
Dimana: = kecepatan aliran fluida dengan nilai tertinggi dari kajian pers. 2.19 dan 2.20 (l/min) k = k-faktor koefisien discharge sprinkler Dengan didapatkannya hasil perhitungan aliran minimum pressure dan aliran (flow) di posisi sprinkler head MRH head n, maka perlu dikaji atau dihitung pressure drop dalam pipa antara node (n) dan node (n-1), dengan menggunakan persamaan pressure loss Hazen-Williams seperti yang tertulis dibawah ini: = 6.05
. .
∅ .
10
(4)
Dimana: Gambar 2.1 Sistem Sprinkler Bila design density dan head area (area per sprinkler) telah diketahui mengacu pada NFPA 13. Maka kecepatan aliran fluida yang dibutuhkan di posisi MRH node n dapat dihitung dengan persamaan seperti dibawah ini: ISSN 2549 - 2888
= Kehilangan tekanan dalam 10-3 bar/m panjang pipa. = kecepatan aliran fluida dengan nilai tertinggi dari Persamaan 1 dan 2 (liter/min) Ø = diameter pipa (mm) C = koefisien friction loss
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
8
Tabel 2.1 Hazen Williams C values Pipe or Tube
C Value
Unlined cast or ductile iron Black steel (dry systems including preaction) Black steel (wet systems including deluge) Galvanized (all)
100
Plastic (listed) all
150
Cement-lined cast or ductile iron
140
Copper tube or stainless steel
150
Asbestos cement
140
Concrete
140
100 120
Gambar 2.3 Ilustrasi format perhitungan tekanan di node (n-2)
120
Kemudian aliran (flow) di pipa (n-2) didapat dengan menambahkan hasil hitungan dari persamaan 2.23 dari sprinkler head (n-2) oleh aliran antara node (n-1) dan node (n-2) seperti yang terilustrasi pada gambar 2.9.
Tabel 2.2 Equivalent panjang pipa for C=120
Gambar 2.4 Ilustrasi format perhitungan tekanan dan flow pada pipa antara node (n-2) dan node (n-3)
Dengan menambahkan pressure loss pipa (Persamaan 4) dengan tekanan dari sprinkler head pada node n Persamaan 3 maka dapat ditentukan tekanan pada node n-1. Langkah berikutnya adalah menetukan aliran dari sprinkler head pada node (n-1), untuk melakukan hal ini penulis menggunakan rumus Kfaktor yang diturunkan dari persamaan sebagai berikut: =
.
(5)
Semua format perhitungan dari MRH node (n) sampai dengan aliran fluida dalam pipa antara node (n-1) dan node (n-2) diilustrasikan seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Ilustrasi format perhitungan system sprinkler dari MRH node (n) sampai pipa (n-1) Untuk menghitung pressure di node (n-2) digunakan Persamaan 4 yang ditambahkan dengan tekanan di node (n-1) seperti yang terilustrasi pada Gambar 2.3.
Langkah terakhir adalah menetukan pressure loss dalam pipa ketiga antara node (n-2) dan node (n-3) yaitu dengan menggunakan pressure loss formula Hazen Williams, Persamaan 4. Kajian dengan metoda “Step By Step” di atas tersebut dapat disusun sebagai berikut: 1) Hitunglah aliran minimum dari MRH (Most Remote Head) dengan tekanan minimum sprinkler dan k-faktor. 2) Hitunglah aliran minimum pada sistim dengan density design dan head sprinkler area yang diberikan. 3) Jika perhitungan pada langkah 2 didapat dan adalah permintaan aliran tertinggi, kemudian hitunglah head pressure yang diperlukan, jika tidak didapat menggunakan tekanan sprinkler minimum pada langkah 1. 4) Hitunglah pressure loss di pipa. 5) Tambahkan head pressure ke pressure loss pada langkah 4 untuk menentukan tekanan pada sprinkler berikutnya. 6) Gunakan rumus k-faktor untuk menentukan aliran dari head sprinkler. Ulangi langkah 4 sampai 6 sampai tidak ada lagi sprinkler ataupun pipa yang tersisa. 3. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan tahapantahapan langkah kerja yang terstruktur dan sistematis untuk menyelesaikan permasalahanISSN 2549 - 2888
9
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Adanya pembuatan kerangka pemikiran dan pola kerja ini diharapkan akan dapat memberikan hasil yang maksimal.
jumlah detail sebenarnya dapat dilakukan pada gambar denah dengan mengikuti aturan jarak sprinkler dengan acuan tidak lebih dari jumlah yang dihitung secara gross tersebut. Tabel 3.1 Jumlah Sprinkler Lantai Lantai 1 Lantai 2 Lantai 3 Lantai 4 Lantai 5 Lantai 6 Lantai 7 Lantai 8 Lantai 9 Lantai 10 Jumlah
Luas (m²) 576 1168 1360 1360 1360 1360 1360 1360 1360 1360 12624
Jumlah Sprinkler 47 97 93 93 93 93 93 93 93 93 889
b) Penentuan kecepatan aliran Untuk menentukan kecepatan aliran pada kepala sprinkler terjauh node MRH dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Qp = Density x area coverage by sprinkler Nilai density didapat berdasarkan grafik area/density curves pada NFPA-13 yang mana bangunan gedung Hotel XX ini termasuk kedalam ordinary hazard yang memiliki nilai 0.15 gm/ft2 = 6.1 L/min/m2.
Gambar 3.1 Diagram alir perencanaan 3.1 Pengolahan Data Pada perencanaan dirancang sebagai bangunan gedung perhotelan dan berdasarkan NFPA-13 dan SNI 03-1745-2000, area tersebut termasuk dalam klasifikasi Ordinary Hazard dengan luasan seperti Tabel 3. a) Penentuan jumlah kepala sprinker Untuk menghitung jumlah kepala sprinkler (head Sprinkler) terlebih dahulu menentukan klasifikasi dari bangunan tersebut apakah termasuk bahaya kebakaran ringan (light hazard) atau bahaya kebakaran sedang (ordinary hazard).dimana untuk luasan maksimum luas pengaman per head sprinkler bahaya kebakaran ringan (ordinary hazard) adalah sebesar 12.1 m2. Untuk perhitungan jumlah head sprinkler secara gross dapat dilakukan dengan cara membagi antara luasan gedung masing-masing lantai tersebut dibagi dengan luasan maksimum luas pengaman per head sprinkler sedangkan untuk menghitung ISSN 2549 - 2888
Gambar 3.2 Density curve (Area) Untuk kecepatan aliran pada node selanjutnya dilakukan perhitungan dengan persamaan: qs = k x (p)0.5 Nilai k = 80 didapat pada Tabel 2 Konstanta “K” dengan ukuran nominal lubang kepala sprinkler 15 mm. c) Penentuan pressure loss Setelah kecepatan aliran sudah didapat maka selanjutnya dilakukan perhitungan pada tekanan dengan menggunakan persamaan dari Hazen Williams:
Q1.85 p f 6.05 1.85 4.87 x105 xL C
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Untuk nilai C didapat pada Tabel 2.1 Hazen Williams, dimana pipa yang digunakan yaitu Black steel dengan C value = 120.
10
= 6.1 L/min/m² x 12.1 m² = 73.81 L/min qs= Qp
d) Menentukan kebutuhan air Sebelum menentukan kebutahan air, kita harus mengetahui sumber air yang dizinkan berdasarkan SNI 03-1475-2000, yaitu: 1) Suatu sistem pengairan umum yang tekanan dan laju alirannya mencukupi. 2) Pompa air otomatis yang dihubungkan dengan sumber air yang telah disetujui sesuai standar yang diisyaratkan. 3) Pompa pemadam api manual yang dapat dioperasikan dengan peralatan kendali jarak jauh. 4) Tangki-tangki grafitasi yang dipasang sesuai standar. Pada gedung ini sumber air diambil dari PDAM dan dari Sumur Dalam yang terlebih dahulu ditampung pada tangki khusus untuk pemadaman kebakaran (Ground water tank). Kapasitas ground water tank ditentukan oleh debit terbesar yang diperlukan untuk sistem proteksi kebakaran yang ada pada bangunan dan waktu menunggu kedatangan pasukan pemadam kebakaran. Waktu menunggu adalah 60 menit. Secara jelas, rumus yang digunakan: Kapasitas = lpm x waktu. Maka untuk menentukan kebutuhan air tiap lantai yaitu: V=QxT Dimana: Q = Q tiap sprinkler (liter/menit) x jumlah sprinkler yang pecah T = Waktu operasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perhitungan Sprinkler Otomatis 1) Lantai 1 Data perencanaan:
Required Data : Ref to NFPA 13-10 : 4.1 Hazard classification : Ordinary Hazard Group 1 Area coverage by Sprinkler : 12.1 m² Density : 6.1 L/min/m² Total area protection : 576 m² K Factor : 80 Number of Sprinkler : 47 Flow rate per Sprinkler : 73.81 L/min Pipe material : Galvanized Steel Hazen-Williams C Values : 120
a) Node [1] MRH Kecepatan aliran pada posis MRH node 1: Qp = Density x Area coverage by sprinkler
Diameter = 25 mm Panjang = 3.6 m Kehilangan Tekanan (Persamaan 2.21):
Q pt K
2
2
73.81 pt 80 p t 0.8512 Bar Pressure loss Hazen Williams:
Q 1.85 p f 6.05 1.85 4.87 C
x10 5 xL
73.811.85 x10 5 xL p f 6.05 1.85 4.87 120 25 p f 0.0383 Bar/m x 3.6m p f 0.1379 Bar Jumlah tekanan Pt = 0.8512 Bar + 0.1379 Bar = 0.9892 Bar b) Node [2] Kecepatan aliran pada head sprinkler (Persamaan 2): qs = 80 x (Pt)0.5 = 80 x (0.9892)0.5 = 79.56 L/min Qp = 73.81 L/min + 79.56 L/min = 153.37 L/min Diameter = 25 mm Panjang = 3.7 m Pressure loss Hazen Williams:
Q 1.85 p f 6.05 1.85 4.87 C
x10 5 xL
153.37 1.85 x10 5 xL p f 6.05 1.85 4.87 120 25 p f 0.1482 Bar/m x 3.7 m p f 0.8153Bar Jumlah tekanan Pt = 0.9892 Bar + 0.8153 Bar = 1.8044 Bar c) Node [3] qs = 79.56 L/min Qp = 153.37 L/min ISSN 2549 - 2888
11
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Diameter = 25 mm Panjang = 3.4 m Pressure loss Hazen Williams:
Q 1.85 p f 6.05 1.85 4.87 x10 5 xL C 1.85 153.37 x10 5 xL p f 6.05 1.85 4.87 120 25 p f 0.1482 Bar /m x 3.4m p f 0.5040 Bar Jumlah tekanan Pt =1.8044 Bar - 0.5040 Bar = 1.3004 Bar
3) Lantai 3-10 Data perencanaan: Required Data: Ref to NFPA 13-10 : 4.1 Hazard clasification: Ordinary Hazard Group 1 Area coverage by Sprinkler : 12.1 m² Density : 6.1 L/min/m² Total area protection : 1360 m² K Factor : 80 Number of Sprinkler : 9 Flow rate per Sprinkler : 73.81 L/min Pipe material : Galvanized Steel Hazen-Williams C Values : 120
Pressure (Bar)
Hydraulic Graph Lantai 1 3.00 2.00 1.00 0.00
0.60 0.40 Nilai Data
0.20 0.00 73.856.044.319.511.2 6.8 3.1 2.4
73.8 82.1 80.1 117.2 91.0 69.5 76.6
Waterflow (Lpm)
Gambar 4.1 Grafik hydrolik hubungan antara pressure (bar) dengan waterflow (Lpm) pada lantai 1 2) Lantai 2 Data Perencanaan: Required Data: Ref to NFPA 13-10 : 4.1 Hazard classification: Ordinary Hazard Group 1 Area coverage by Sprinkler : 12.1 m² Density : 6.1 L/min/m² Total area protection : 1168 m² K Factor : 80 Number of Sprinkler : 97 Flow rate per Sprinkler : 73.81 L/min Pipe material : Galvanized Steel Hazen-Williams C Values : 120
Hydraulic Graph Lantai 2 20.00 10.00 Nilai Data
0.00 74 73 87 74 137236
Waterflow (Lpm)
Gambar 4.2 Grafik hydrolik hubungan antara pressure (bar) dengan waterflow (Lpm) pada lantai 2 ISSN 2549 - 2888
Waterflow (Lpm) Gambar 4.3 Grafik hydrolik hubungan antara pressure (bar) dengan waterflow (Lpm) pada lantai 3-10
Nilai Data
Pressure (Bar)
Pressure (Bar)
Hydraulic Graph Lantai 3-10
0.80
4.1 Perencanaan Persediaan Air Sprinkler Pada gedung ini sumber air diambil dari PDAM dan dari Sumur Dalam yang terlebih dahulu ditampung pada tangki khusus untuk pemadaman kebakaran (Ground water tank). Kapasitas ground water tank ditentukan oleh debit terbesar yang diperlukan untuk sistem proteksi kebakaran yang ada pada bangunan dan waktu menunggu kedatangan pasukan pemadam kebakaran. Waktu menunggu adalah 60 menit. Secara jelas, rumus yang digunakan : Kapasitas = lpm x waktu. Bak penampungan air sistem hidran kebakaran tersebut, bila diperlukan pengisiannya bisa dibantu dari tangki penyimpanan air atau mobil tangki pemadam kebakaran atau melalui sambungan dinas pemadam kebakaran. Bak penampungan direncanakan dengan kapasitas 171 m3 untuk menangani gedung dengan 10 lantai. Arah pancaran pada sprinkler yaitu ke bawah karena kepala sprinkler di letakkan pada atap ruangan, sprinkler yang dipakai ukuran ½ “ dengan kapasitas (Q) = 80 Liter/menit. Maka untuk menentukan kebutuhan air tiap lantai yaitu: V = Volume kebutuhan air (m3) Q = Kapasitas air (dm3/menit) Q = Q tiap sprinkler x jumlah sprinkler yang pecah = 80 liter/menit x 48 Sprinkler (lantai 1) = 3840 liter/menit T = waktu operasi sistem = 30 menit
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
V=QxT = 3840 liter/menit x 30 menit = 115200 liter = 115.2 m3 (lantai 1) V=QxT = 7760 liter/menit x 30 menit = 232800 liter = 232.8 m3 (lantai 2)
V=QxT = 7440 liter/menit x 30 menit = 232200liter = 232.2 m3 (lantai 3-10)
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1) Pada perencanaan awal dalam instalasi sistem sprinkler otomatis kita harus menetukan Hazard clasification pada bangunan. Pada bangunan hotel XX ini termasuk kedalam Ordinary Hazard Group 1, mempunyai density = 6.1 L/min/m2, K faktor = 80, Flow rate per sprinkler = 73.81 L/min, Jenis pipa yang digunakan Galvanized Steel sehingga kita dapat menentukan Hazen Williams C values = 120. Pada perencanaan ini sprinkler yang dibutuhkan berjumlah 889 buah untuk 10 lantai dengan jumlah luasan 12.624 m2. 2) Setelah data-data yang dibutuhkan sudah didapat sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dan National Fire Protection Association maka dilakukan perhitungan untuk mendapatkan kecepatan aliran pada titik MRH node 1 sampai titik sprinkler yang dibutuhkan pada tiap lantai, selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan pressure loss Hazen williams. Analisa dari tekanan yang terjadi kita hubungkan dengan kecepatan aliran pada setiap titik sprinkler yang memiliki nilai yang berbeda-beda yang di sebabkan adanya perbedaan pada diameter pada pipa serta panjang pipa yang digunakan untuk menghubungan antara satu sprinkler dengan sprinkler lainnya. 3) Perencanaan air yang dibutuhkan untuk sistem sprinkler otomatis ini memiliki bak penampungan dengan kapasitas 171 m3 untuk menangani 10 lantai, utnuk sprinkler yang digunakan memiliki kecepatan pancaran 80 liter/menit. 5.2 Saran Kepada pihak yang ingin melakukan perencanaan pada sistem sprinkler otomatis maka hal utama yang harus diperhatikan adalah penggunaan
12
standar dan peraturan yang berlaku sebagai acuan dalam perhitungan antara lain: a) Standar Nasional Indonesia, pedoman teknik dan rekomendasi dari instansi yang berwenang mengenai jenis perencanaan yang akan dipakai. SNI 03-1745-2000 tentang Tata Cara Perancangan dan Pemasangan Sistem Pipa Tegak dan Slang Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan. SNI 03-3989-2000 tentang Tata Cara Perancangan dan Pemasangan Sistem Sprinkler Otomatik Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan. SNI 03-6570-2001 tentang Instalasi Pompa Yang Dipasanga Tetap Untuk Proteksi Kebakaran. b) National Fire Protection Association (NFPA) sebagai standar internasional yang digunakan antara lain: NFPA 13-2002 tentang Standard for Fire Installation of Sprinkler System. NFPA 14-2013 tentang Standard for the Installation of Standpipe and Hose Systems. NFPA 20-2010 tentang Standard for Fire Installation of Stationary Pumps for Fire Protection. Penggunaan standar ini akan mempermudah pada saat melakukan perizinan dalam perencanaan pembangunan gedung. Serta menjadikan acuan yang sangat berguna sebelum melakukan perencanaan sprinkler pada sebuah gedung. DAFTAR PUSTAKA [1]. Fleming, P. R. (2007). Automatic Sprinkler System Calculations. National Fire Sprinkler Association. New York, USA: Patterson [2]. Huda, S. (2011). Perancangan Instalasi Pemadam Kebakaran Gedung Kantor Central Park. Universitas Mercu Buana. Jakarta. [3]. Global Asset Protection. (2015). Estimating Fire Protection Water Demands. Hartford. Connecticut 06103. USA: 100 Constitution Plaza. [4]. Global Asset Protection. (2015). Fire Protection Hydraulics. Hartford. Connecticut 06103. USA: 100 Constitution Plaza [5]. Global Asset Protection. (2015). Sprinkler System Hydraulics. Hartford. Connecticut 06103. USA: 100 Constitution Plaza. [6]. Johnston, A. (2011). Principles of Hydraulic Analysis for Fire Protection Sprinkler Systems. USA: Autodesk University. [7]. Moinuddin, K., & Thomas, I. (2013). Reliability of Sprinkler System in Australian High Rise Office Buildings. Fire Safety Journal.
ISSN 2549 - 2888
13
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
DESAIN DAN PERANCANGAN ALAT PENGEPRES GERAM SAMPAH MESIN PERKAKAS Nur Indah1, Mus Baehaqi2 Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta E-mail:
[email protected],
[email protected]
1,2Program
Abstrak -- Sayatan geram tidak beraturan diruang lingkup perusahaan jasa permesinan dapat membahayakan para operator dan karyawan yang ada diruang lingkup perusahaan jasa permesinan, peralatan yang dirancang membantu proses mengepresan geram sampah mesin perkakas sehingga geram sampah mesin perkakas setelah di press terlihat rapih, tidak perlu mennggunakan tempat luas dan memudahkan pada saat dipindahkan atau pengangkutan lebih lanjut. Perancangan ini menggunakan solidworks dengan spesifikasi Kapasitas maksimal 2 ton Perancangan alat pengepres geram ini berukuran 24,4 cm × 24,4 cm × 61,9 cm untuk blok ruang pengepresan 24,4 cm × 24,4 cm × 30 cm. Tinggi kaki penyangga atau kaki rangka 6 cm, hal ini bertujuan agar pada saat dioperasikan alat lebih kokoh tidak bergoyang. Tinngi sampah geram sebelum di pres 30 cm, maka volume awal 331,89 m3 dan tinggi sampah geram setelah di pres 13 cm, maka volume akhir menjadi 68,77 m3, Dengan penurunan sampah geram pada alat pengepres perubahan bentuk sampai 14,64 %. Kata kunci: sampah geram bubutan, alat pengepres, hydraulic jack 1. PENDAHULUAN Dalam rangka memenuhi kebutuhan peralatan untuk menunjang pekerjaan produksi, khususnya pada pekerjaan permesinan yang menggunakan mesin-mesin perkakas, maka perlu adanya suatu alat bantu produksi untuk mempermudah pekerjaan yang dilakukan. Pada proses pengerjaan konvensional dengan mesin perkakas meliputi proses bubut proses milling dan proses sekrap, pada proses permesinan tersebut merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengubah bentuk suatu produk (benda kerja komponen mesin) dari logam dan pengerjaan benda kerja pada permesinan selalu akan menghasilkan geram hasil dari proses penyayatan benda kerja oleh alat potong atau pahat mesin perkakas, geram hasil sayatan ini merupakan sampah produksi yang tidak dilakukan penanganan dengan benar akan dapat menimbulkan masalah karena bentuk geram yang tidak beraturan, ada yang berbentuk serbuk, serpiah-serpiah kecil, bentuk sprial memanjang, bentuk kawat memanjang ataupun berbentuk ulir. Untuk menangani sampah hasil pekerjaan mesin bubut, miling, sekrap perlu adanya suatu peralatan yang dapat digunakan untuk mengepres geram hasil proses permesinan tersebut, sehingga akan terlihat rapih, tidak berbahaya dan tidak menggunakan tempat luas diruang lingkup perusahaan jasa permesinan ataupun dilap proses produksi Teknik Mesin UMB. Maka dari itu pada tugas akhir ini sayah merencanakan membuat suatu peralatan bantu produksi yaitu “Perancangan Alat Pengepres Geram Sampah Mesin Perkakas” alat tersebut berfungsi untuk mengepres geram sampah hasil mesin-mesin, input dari alat maka sampah geram sayatan bubut bisa langsung dimasukan ke dalam ISSN 2549 - 2888
alat yang dirancang, hasil output sayatan geram bubut yang sudah dipress dengan ukuran lebar 23 cm dan tinggi 13 cm, geram yang sudah dipadatkan akan berbentuk kotak (blok) yang sederhana sehingga geram yang tidak beraturan dapat menjadi suatu bentuk, menghemat tempat, tidak berbahaya dan memudahkan dalam hal pengangkutan ke tempat pengolahan daur ulang atau peleburan sampah geram lebih lanjut.
Gambar 1.1 Sampah Geram di Ruang Lingkup Perusahaan Jasa Permesinan. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geram Dalam proses pembubutan geram merupakan bagian dari material yang terbuang yang dihasilkan dari proses permesinan. Selama proses pembubutan berlangsung bahan dibuang akibat perputaran benda kerja sebagai suatu geram tunggal, tergantung pada parameter kerja mesin (Adriansyah, 2007). a) Proses pembentukan geram Geram yang dihasilkan berupa suatu tali berkelanjutan atau berupa potongan-potongan, dalam banyak kasus formasi geram yang menunjukkan bahwa pemotongan adalah proses
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
diskontinu dan gaya antara geram dan alat potong tidak Konstan (Ibnu, 2016). Formasi geram yang dihasilkan juga dapat dilakukan dengan pendekatan model permesinan Orthogonal sebagaimana yang dikemukakan oleh Merchant, model ini mengasumsikan formasi geram dengan dua dimensi. Teori tentang terjadinya geram dapat dilihat pada gambar. Logam yang biasanya bersifat ulet, apabila mendapat tekanan akan timbul tegangan (stress) didaerah sekitar konsentrasi gaya penekanan dari mata potong pahat, tegangan pada benda kerja tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser (shear stess) yang maksimum. Apabila tegangan geser itu melebihi kekuatan logam yang bersangkutan, maka akan terjadi perubahan bentuk yang menggeser dan memutuskan logam atau benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser. Bidang mempunyai lokasi tertentu yang membuat sudut terhadap vektor kecepatan dan dinamakan sudut gese (shear angle) (Ibnu, 2016).
14
Gambar 2.3 Continous Chip (Sumber: Colton, 2007) 3) Geram Kontinu dengan Tepi Yang Terbangun (continous with a built up edge)
Gambar. 2.4 Gram Continous Tepi Yang Terbangun (Sumber: Ibnu, 2016) 2.2 Mesin Pres Hidrolik
Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Geram (Sumber: Ibnu, 2016) b) Bentuk-Bentuk Geram dan Jenis Geram 1) Geram Tidak Kontinu Atau Putus-Putus (Discontinuous Chips)
Gambar 2.2 Discontinous Chips (Sumber: Colton, 2007) 2) Geram Kontinyu (Continuous Chips)
Mesin press hidrolik adalah suatu mesin industri yang mempunyai sistem hidrolik yang dapat bekerja secara mandiri dengan menggunakan pompa yang terletak terpisah untuk setiap mesin (Rahmi, 2015). Komponen utama pada Mesin Press Hidrolik ini adalah Dongkrak Hidrolik, dan didukung oleh komponen-komponen lain yaitu Tabung Pengepressan, plat penekan (Piston Pengepress), Handle, Frame dan ruang pengepressan. 1) Dongkrak Hidrolik Merupakan suatu alat utama yang digunakan pada Mesin Press Hidrolik untuk memberikan tekanan pada bahan melalui Piston Penekan. 2) Ruang Pengepressan Merupakan tempat untuk menampung sampah yang akan dipress. 3) Plat Penekan (Piston Pengepress) Merupakan sumbat geser yang terpasang presisi di dalam tabung pengepressan. Plat penekan ini berfungsi untuk mengubah volume dari ruang pengepressan. 4) Handle ( Ulir ) Merupakan bagian mesin press hidrolik yang digunakan untuk mengatur batas maksimal bawah. 5) Pegas Tarik Merupakan bagian mesin press hidrolik yang digunakan untuk menaikkan batang luncur secara otomatis dan dapat juga ISSN 2549 - 2888
15
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
digunakan untuk mengembalikan batang luncur pada posisi semula. a) Sistem Hidrolik Prinsip dasar kerja Sistem Hidrolik adalah suatu sistem dimana gaya dan tenaga dipindahkan melalui cairan, biasanya menggunakan minyak.
Gambar 2.5 Prinsip Hydraulic Jack (Sumber: Ahmet, 2014) Sistem hidrolik dapat dibagi menjadi dua kelompok sistem antara lain: 1) Sistem Hidrostatik Sistem ini merupakan sebuah sistem dimana fungsi utama dari cairan hidrolik adalah memindahkan gaya dan tenaga dengan menggunakan tekanan.Sistem hidrostatik biasanya terdiri dari dua elemen dasar yaitu: 6) Unit Pompa untuk mengubah kerja mekanis menjadi energi hidrolik 7) Unit Hidrolik untuk mengubah energi cairan menjadi kerja mekanis Unit pompa mengoperasikan mesin press hidrolik. Kerja yang dilakukan oleh pompa digunakan untuk perpindahan minyak untuk melawan gaya yang ditimbulkan dari gerakan plunger pada mesin press hidrolik. 2) Sistem Hidrokinetik Sistem ini biasanya terdiri dari pompa sentrifugal atau impeller yang terpasang pada tangkai pendorong atau piston (Fortek, 2013). Berdasarkan dalam hal ini jenis mesin Press Hidrolik yang digunakan yaitu Mesin Press Hidrolik dengan menggunakan pompa manual. Mesin Press Hidrolik ini menggunakan pompa yang digerakkan secara manual misalnya dengan menggunakan pompa dongkrak (Hydraulic Jack). Dengan menggunakan sistem diskontinyu (Fortek, 2013). b) Cara Kerja Mesin Pres Hidrolik Sebuah Mesin press hidrolik adalah mesin yang memiliki dudukan atau plat dimana bahan logam ditempatkan sehingga dapat dipres, dihancurkan, diluruskan atau dibentuk (Budi, 2014). Konsep mesin pres hidrolik didasarkan pada teori Pascal, yang menyatakan bahwa ketika ISSN 2549 - 2888
tekanan diterapkan pada cairan dalam sistem tertutup, tekanan di seluruh sistem selalu tetap atau konstan. Dengan kata lain,mesin pres hidrolik adalah mesin yang memanfaatkan tekanan yang diberikan pada cairan untuk menekan, mengepres, membentuk sesuatu (Budi, 2014). Sejak press hidrolik bekerja berdasarkan Hukum Pascal, cara kerjanya menggunakan sistem hidrolik. Sebuah mesin press hidrolik terdiri dari komponen dasar yang digunakan dalam sistem hidrolik yang mencakup silinder, piston, pipa hidrolik, dll. Prinsip kerja mesin pres ini sangat sederhana. Sistem ini terdiri dari dua silinder, cairan (biasanya minyak) dituangkan dalam silinder memiliki diameter kecil. Piston dalam silinder ini didorong sehingga memampatkan cairan di dalamnya yang mengalir melalui pipa ke dalam silinder yang lebih besar. Silinder yang lebih besar silinder dikenal sebagai master silinder. Tekanan yang diberikan pada silinder yang lebih besar dan piston dalam master silinder mendorong cairan kembali ke silinder asli.
Gambar 2.6 Peningkatan Kekuatan Hydraulic (Sumber: Rakesh & Suryawanshi, 2015) Gaya yang diterapkan pada cairan silinder yang lebih kecil dalam kekuatan yang lebih besar ketika mendorong master silinder. Hidrolik press banyak digunakan untuk keperluan industri dimana tekanan yang besar diperlukan untuk mengompresi logam menjadi lembaran tipis. Sebuah press hidrolik industri menggunakan bahan yang akan bekerja atas bersama dengan bantuan pelat tekan untuk menghancurkan atau pukulan materi menjadi lembaran tipis. c) Mesin Press Penekan Benda penekanan ini biasanya digunakan ketika pekerjaan yang terlibat tidak bersifat tugas berat. Menekan ini datang dalam berbagai ukuran dan spesifikasi . Tapi dibandingkan dengan penekan hidrolik lainnya , sistemtidak memampatkan sejumlah besar tekanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan lebih banyak output. Menekan Arbor digunakan dalam proses seperti menusuk lubang ke logam , stamping , untuk meratakan logam , merobek , menandai (Budi, 2014).
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
d) Gaya dan Tekanan Pada Sisitem Hidrolik Salah satu sifat zat cair adalah meneruskan tekanan ke semua arah. Definisi itu juga bisa mengartikan bahwa zat cair dapat meningkatkan gaya dan tekanan. Semua itu bisa dijabarkan melalui rumus yang ditampilkan melalui gambar di bawah.
16
2.3 Bantalan Bantalan merupakan salah satu bagian dari elemen mesin yang memegang peranan cukup penting karena fungsi dari bantalan yaitu untuk menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerakan bolak-baliknya dapat berlangsung secara halus, aman tanpa mengalami gesekan yang berlebihan. Bantalan harus mempunyai ketahanan terhadap getaran maupun hentakan. Jika suatu sistem menggunakan konstruksi bantalan, sedangkan bantalannya tidak berfungsi dengan baik maka seluruh sistem akan menurun prestasinya dan tidak dapat bekerja secara semestinya (Putra, 2011).
Gambar 2.7 Gaya Dan Tekanan Pada Sisitem Hydraulic Jack (Sumber: Sudibjo, 2015) e) Instruksi Cara Untuk Menggunakan Hydraulic Jack 1) Dengan sempit dan pegangan jack, dekat katup pelepasan ketat - dengan memutarnya searah jarum jam. (Fig. 1) 2) menempatkan jack dirangka segi tiga untuk penahanan poros sekrup Hydraulic Jack menggunakan bering units, jika poros sekrup Hydraulic Jack diperlukan, putar sekrup perpanjangan jack berlawanan sampai pengepresan berlanjut. (Fig. 2) 3) Masukkan jack pegangan dalam pegangan socket. Pompa pegangan untuk meneken atau pengepresan geram untuk penekenan yang diinginkan. (Fig. 3)
Gambar 2.8 Hydraulic jack (Sumber: Teknik, 2016)
Gambar 2.9 Bantalan 3. METODELOGI PELAKSANAAN
Gambar 3.1 Diagram alir pembuatan alat ISSN 2549 - 2888
17
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
3.1 Perancangan Konsep Produk
c) Drawing View
Dengan perancangan alat pengepresan geram sampah mesin perkakas dengan memanfaatkan sistem hydraulic jack merupakan rancangan sebuah alat yang sederhana dan sangat bermanfaat bagi perusahaan jasa permesinan (bengkel mesin perkakas) dengan perancangan desain yang ringan. a) Struktur Fungsi Produk
Gambar 3.1 Drawing View d) Exploded View dan Assembly View Gambar 3.2 dan 3.3 adalah desain dari alat pengepresan geram yang sudah disatukan seperti gambar di bawah ini:
b) Morfologi Rencana (Morphology Chart) Tabel 3.1 Morphology Chart Gambar 3.2 Exploded View
Gambar 3.3 Assembly View
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
4. PEMBAHASAN DAN PENGUJIAN 4.1 Desain Alat
18
Desain alat pengepres geram ini berukuran 24,4 cm × 24,4 cm × 61,9 cm. Dengan blok ruang pengepresan 24,4 cm × 24,4 cm × 30 cm. Tinggi kaki penyangga atau kaki rangka 6 cm. Pada tahap penentuan blok ruang pengepresan, disepakati ruang pengepresan berukuran 24,4 cm × 24,4 cm × 30 cm dengan menggunakan konsep awal yaitu perancangan alat pengepresan geram sampah mesin perkakas dan pemanfaatan sistem hydraulic jack untuk diaplikasikan pada lab prodiuksi teknik mesin. Penentuan tinggi rangka kaki 6 cm, hal ini bertujuan agar pada saat dioperasikan alat lebih kokoh tidak bergoyang. 4.2 Produk Alat Pengepres Geram Sampah Mesin Perkakas
Gambar 4.1 Desain Alat Pengepresan Geram Sampah Mesin Perkakas Tabel 4.1 Keterangan Part Number Desain
Gambar 4.2 Prodak Alat Pengepresan Geram a) Spesifikasi Alat Pengepres Geram Tabel 4.2 Spesifikasi Alat Pengepres G
ISSN 2549 - 2888
19
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
b) Pengujian dan Hasil Pengujian Tabel 4.3 Pengujian dan Hasil Pengujian
4.3 Data Hasil Pengujian Alat Pengepresan Tabel 4.4 Data Hasil Pengujian Alat Pengepres Geram Sampah Mesin Perkakas
4.4 Grafik Perbandingan Volume Sampah Awal vs Volume Sampah Akhir
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
5. KESIMPULAN Dalam perancangan alat pengepres geram sampah mesin perkakas ini maka didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Perancangan ini menggunakan solidworks dengan dimensi alat pengepres geram ini berukuran 24,4 cm × 24,4 cm × 61,9 cm untuk blok ruang pengepresan 24,4 cm × 24,4 cm × 30 cm. Tinggi kaki penyangga atau kaki rangka 6 cm hal ini bertujuan agar pada saat dioperasikan alat lebih kokoh tidak bergoyang. 2) Perancangan ini didasarkan pada kebutuhan perusahaan jasa mesin perkakas yang mengasilkan sayatan geram. 3) Dengan penurunan sampah geram pada alat pengepres, perubahan volume sampai 14,64 %. 4) Hasil perancangan alat ini mampu menampung sampah geram mesin perkakas dengan jumlah maksimal 8,72 kg. DAFTAR PUSTAKA [1]. Adriansyah, J. 2007. Pengaruh Radius Pemutus Geram Pahat Bubut Hss Terhadap Panjang Geram Pada Proses Pembubutan. Jurnal Ilmiah Poli Rekayasa Volume. (ISSN : 1858-3706), 10. [2]. Ahmet, M. S. 2014. Design of Mechanical Hydraulic Jack. IOSR Jurnal of Engineering (IOSRJEN), 12. [3]. Bambode, A. e. 2015. Hydraulic Jack For Heavy Vehicles . International Journal of Research In Science & Engineering , 8. [4]. Budi, F. 2014. Cara Kerja Mesin Press Hidraulik. http://infokitabersama123.blogspot.co.id/201 4/01/cara-kerja-mesin-pres- hidrolik.html [5]. Colton, J. S. 2007. Machinig. http://www.me.gatech.edu/jonat han.colton/me4210/machinig.pdf. [6]. Comporation, H. N. 2008. High Speed Hydraulic Press. US 5957046, 10. [7]. Dharmawan, Harsokusoemo. 2006. Pengantar Perancangan Teknik Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. [8]. Fortek, Pembangunan. 2013. Sitem hidrolik dan pompa hidrilik. http://fortekpembangunan.blogspot.co.id/2013/05/sistem -hidrolilk-dan-pompa-hidrolik.html
20
[9]. Ginting, A. 2006. Karakteristik Pemotongan Ortogonal Kering Paduan Titanium Ti6Al4V Menggunakan Pahat Karbida. Jurnal Departemen Teknik Mesin Fak Teknik Industri, Universitas Kristen Petra. 37 – 43. [10]. Heri, Sunaryo. 2008. Teknik Pengelasan Kapal Jilid 1. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah kejuruan, Depatemen Pendidikan Nasional. [11]. Ibnu, A. 2016. Manufactur Mekanisme Pembentukan Geram. http://kedepankanpena.blogspot.co.id/2016/0 1/mekanisme-pembentukan-geram.html [12]. Pedoman Penulisan Proposal Dan Laporan Skripsi. 2016. Fakultas Teknik Universitas Mercu Buana. [13]. Putra, Iriansah. 2011. Bantalan dan Pengertian. http://irianpo.blogspot.co.id/2011/04/bantalan -dan-pengertian.html [14]. Rakesh Y. Suryawanshi, N. P. 2015. Design and Fabrication of Hydraulic jack Bearing .IJIRST –International Journal for Innovative Research in Science & Technology, 10. [15]. Ribback, E. 2006. Hydraulic Press. US 3358493 A, 8. [16]. Rahmi, F. 2015. mesin press mengunakan tenaga hydraulic jack. hhtp://mesinpressku.blogspot.co.id/2015/12/p engertian-mesin-press.html [17]. Sebayang, Darwin. Hendi, S. 2016. Proses Desain Elemen Mesin Menggunakan SolidWorks. Jakarta: Andi, Universitas Mercu Buana. [18]. Schneider, George. 2007. Cutting Tool Aplications. Pdf. [19]. Sudibjo, I. 2015. Gaya dan Tekanan Pada Sistem Hidrolik. http://www.otopos.net/2015/03/gaya-dantekanan-pada-sistem-hidrolik.html [20]. Teknik, Jaya. A. 20016. Hydraulic Jack. Jakarta. [21]. Varadarajan, et. al. 2008. Different mechanisms of oxidative stress and. [22]. Wikipedia, 2007. http :// id. wikipedia.org/ neurotoxicity for Alzheimer’s Ab(1–42) and Ab(25–35). [23]. Wahyudi, D. 2015. Komponen Gaya Mekanisme Pembentukan Geram. http//id.scribd.com/document/157185679/Me kanisme Pembentukan-Geram
ISSN 2549 - 2888
21
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
STUDI BANDING PELAPISAN MATERIAL SKD11 DENGAN METODE PHYSICAL VAPOUR DEPOSITION DAN THERMAL DIFUSION PADA KOMPONEN INSERT DIES MESIN STAMPING PRESS Robertus Suryo Bisono Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta E-mail:
[email protected] Abstrak -- Telah dilakukan pelapisan menggunakan Titanium Alumunium Nitrid (TIAlN) dengan metode PVD Coating (Physical Vapour Diposition) dan TD (Thermal Difusion) untuk perlakuan permukaan baja perkakas SKD11 sebagai material Insert Die komponen mesin Stamping Press setelah perlakuan hardening. Perlakuan permukaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas permukaan khususnya kekerasan dan perubahan struktur mikro yang terjadi. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari perlakuan permukaan tersebut dilakukan dengan memvariasi waktu proses, masing masing 2 sample diproses pada 4 jam, 5 jam dan 6 jam dengan temperatur proses masing-masing 400ᴼ C. Kemudian satu dari tiap variable sample tersebut di panaskan pada suhu 1000ᴼ C selama 1 jam, pendinginan dilalukan dengan udara bebas tanpa proses quenching Untuk mengetahui hasilnya dilakukan uji kekerasan mikro Vickers, pengamatan struktur mikro Scanning Eectron Microscope (SEM), dan pengujian komposisi dengan Energy Defersif Sepectroscopy (EDS) untuk mengetahui tingkat penyerapan material terdifusi. Hasil menunjukan bahwa SKD11 yang dilapisi TiAlN dengan metode PVD selama 6 jam menghasilkan lapisan yang paling keras yaitu 1363 HV dengan ketebalan lapisan 5,3µm. Proses pemanasan 1000⁰C selama 1 jam pada sample mengakibatkan penurunan kekerasan sample dan lapisan permukaan sample menjadi lebih tebal hingga 50µm. Penambahan lapisan diakibatkan oleh terdifusinya atom atom yang menyusun lapisan TiAlN ke dalam substrat serta keluarnya atom atom penyusun lapisan hingga membentuk lapisan kompleks. Kata kunci: SKD11, physical vapour deposition, thermal deposition, stamping press 1. PENDAHULUAN Insert dies adalah salah satu komponen penting pada Stamping Press Dies, merupakan begian yang mengalami kontak dengan material Sheet metal. Stamping Press Dies merupakan alat yang diletakkan pada mesin stamping press yang berfungsi sebagai penekan Sheet metal sehingga mengalami perubahan bentuk, antara lain piercing (pelubangan), bending (pembengkokan), sharing (pemotongan). Sheet metal coil dimasukkan kedalam dies kemudian ditekan sehingga tercapai bentuk yang diinginkan. Saat kondisi operasi komponen Insert Dies mengalami tumbukan dan gesekan dengan Material Sheet Metal dan juga bagian Base pada dies. Untuk itu diperlukan sifat ketahanan aus, kuat, tangguh, dan tidak mengalami penurunan kekerasan terhadap material SKD11 sebagai komponen insert dies sehingga tahan lama dan hasil stamping tetap sesuai dengan tuntutan. Untuk mengatasi kebutuhan ini, diperlukan bahan yang memiliki kefisien gesek yang rendah dan temperatur kerja yang tinggi. Setelah diproduksi menjadi komponen insert die dilakukan perlakuan hardening dan khususnya perlakuan permukaan (surface treatment). Pada umumnya Insert Dies sebagai komponen Pada Stamping press press Dies dibentuk dari material SKD 11 dengan kekerasan hasil hardening adalah 48-55 HRC (600-680 HV). ISSN 2549 - 2888
Namun tuntutan terhadap kualitas dari permukaan dewasa ini tidak cukup hanya pada perlakuan hardening saja, untuk mengurangi gaya gesek diperlukan bahan yang memiliki permukaan yang halus dan koefisien gesek yang rendah, maka setelah diproduksi menjadi komponen insert die dilakukan proses polish untuk menjaga kehalusan permukaannya kemudian pada permukaannya diberikan lapisan tambahan untuk meningkatkan kualitasnya.
Gambar 1.1 Stamping Dies pada industri Otomotif Insert dies diberi lapisan Chromium dengan metode Thermal Difusion dimana material Cr terdifusi ke dalam Substrat karena suhu yang tinggi. Dengan kemajuan teknologi untuk memperbaiki sifat mekanik permukaan logam, saat ini mulai dikembangkan metode lain dalam membentuk lapisan tipis dan memperbaik sifat-
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
sifat pada permukaannya. Cara tersebut meliputi metode Desposisi material Secara Fisik atau yang biasa disebut Physical Vapour Deposition (PVD Coating). Dengan teknologi ini mempunyai banyak keuntungan dibandingkan dengan teknologi perlakuan permukaan lain. Keuntungan ini diantaranya adalah: Lapisan yang terbentuk sangat tipis yaitu antara 1µm-8πm sehingga tidak mengubah ukuran produk, dapat dilakukan berkali kali karena tidak mengubah struktur substrat, dapat menambah kehalusan permukaan sehingga mengurangi gaya gesek yang timbul selama proses, relatif tahan pada suhu tinggi.
22
permukaannya mengunakan Pengujian kekerasan dengan menggunakan alat uji kekerasan Vicker`s. (Sudjadi, dkk: 2012) sehingga kita bisa tau pengaruh pelapisan terhadap kekerasan permukaan. Samples kemudian di mounting, grinding, cleaning, polishing. Pengamatan mikro struktur dan ketebalan lapisan menggunakan alat optical microscope dan SEM (Scanning Electron Microscope).Pengujian komposisi kimia di dalam matrix menggunakan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
2. METODOLOGI PENELITIAN Berdasarkan latar belakang di atas, perlu diuji kinerja dari lapisan Film yang didesposisikan terhadap material baja perkakas SKD11 maupun komponen insert Dies dengan material yang sama. Adapun dipilihnya material ini karena banyak digunakan sebagai komponen Insert Dies komponen mesin Stamping Press. Material SKD11 yang akan diteliti diuji komposisi kimianya di cek kesesuaiannya dengan data dari pabrik, diuji juga kekerasan makro strukturnya mengunakan alat uji rockwell, dipotong menjadi 7 specimen dengan menggunakan mesin potong kemudian di grinda kedua sisinya . Proses hardening dengan metode Vacuum Hardening dilakukan pada spesimen dan komponen Insert Dies dengan memanaskan sampai temperatur austenisasi (1030°C) secara bertahap kemudian mendinginkan dengan media gas N2 diikuti proses tempering pada temperatur 580°C, dan 600°C. Setelah di hardening material di cek kekerasannya. Penandaan diberikan pada setiap specimen. Dari 7 sempel yang yang di potong hanya 6 sample yang akan diuji, 1 sample dijadikan acuan specimen. Penandaan terdiri dari: A (Awal), PVD4, PVD5, PVD6, dan TD4, TD 5, TD 6 yang menyatakan metode pelapisan dan waktu proses. Temperatur proses PVD pada sample adalah 400 °C. Kemudian keenam sampel diproses PVD coating selama 4, 5 dan 6 jam. Bahan yang telah dikeraskan ditempatkan pada pemegang sample sebagai katoda, kemudian pada ruangan vacum -8 bar ion ion Titanium dan Alumunium ditarik dan dipercepat menuju sample oleh pengaruh medan listrik menggunakan tegangan tinggi sehingga ion-ion positif Titanium dan Alumunium dan ion-ion positif Nitrogen yang terbentuk terdeposisi pada permukaan sample. Ion-ion yang terdeposisi pada permukaan sample selanjutnya satu dari masing masing sample di panaskan pada suhu 1000 derajat celcius selama 1 jam, diharapkan ion Titanium Alumunium terdifusi ke dalam substrat. Setelah proses PVD coating dan Thermal difusion selesai maka samples duji kekerasan
Berdasarkan hasil Uji komposisi dengan menggunakan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy), material yang dikeluarkan PT Astra Daido Steel dengan kode DC11 pada tanggal 14 – 11 - 2016, sumber material SKD11 atau Daido DC 11 yang peneliti peroleh memiliki spesifikasi sebagai berikut: C 5.4 – Si 0.30 – Mo 1.0 – Cr 12,9 – V 0.9
Gambar 3.1 Foto Area penelitian uji komposisi material awal SKD11
Gambar 3.2 Hasil Uji Komposisi material SKD11 Awal dengan mesin EDS ISSN 2549 - 2888
23
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
a) Pengujian kekerasan Specimen SKD11 Pengujian kekerasan dilakukan dengan teknik Vickers pada mesin mikro Vickers AKASHI MVK– E load (g) 10 - 1000. Besarnya pembebanan adalah 300g. Pengujian Vickers dilakukan pada masing- masing sampel uji setelah di hardening menggunakan vacum hardening dan di Tempering intuk mengurangi tegangannya. Pengujian kekerasan dengan teknik Vickers untuk sampel uji awal (A) SKD11 setelah proses hardening beban penjejakan 300gram seperti ditunjukkan pada Table 3.1
b) Hasil SEM-EDS Sample PVD4 Gambar dibawah ini menunjukan hasil pengindraan menggunakan Scaning Electron Microscope pada sample PVD4 dengan perbesaran sebanyak 10.000 kali.
Tabel 3.1 Hasil pengukuran kekerasan sampel uji SKD11 setelah proses Hardening No
d (mm)
1 2 3 4 5 Average
28,5 29 29 28,5 29 28,8
Hardness (HV 300g) 684.74 661.36 661.36 684,74 661.36 670.57
Perhitungan HV dengan rumus dasar HV =
.
/
Perbandingan kekerasan rata-rata dari asingmasing sample dari asing-masing proses dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.4 Hasil Penginderaan SEM PVD4 perbesaran 10.000 kali Pada gambar tersebut terlihat dengn jelas lapisan TiAlN yang terbentuk ketebalannya diperkiakan 2 mikron dengan homogenitas ketebalan yang cukup baik, terlhat bahwa lapisan TiAlN tersebut terpisah dari substrat SKD 11 yang ada dibawahnya dan tidak terdifusi kedalam. Untuk mengetahui konsentasi unsur pada lapisan TiAlN dan lapisan Substrat inti, kita bisa melihat pada grafik analisa dibawah ini
Kekerasan Rata Rata Benda kerja
Kekerasan HV
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Awal PVD
5 Jam
6jam
911.67 1192.13 1363.1
Thermal Difusion Uncoat
4 Jam 415.21
475.53
550.01
670.57
Gambar 3.3 Grafik kekerasan Vickers rata rata Hasil pengujian menunjukkan bahwa proses PVD mempengaruhi kekerasan permukaan benda kerja, semakin lama proses maka semain keras juga permukaan benda kerja pada titik lapisan yang sama. Akan tetapi, kekerasan permukaan menurun ketika benda yang telah dicoating, dipanaskan hingga 1000 derajat celcius selama 1 jam. Hal ini dikarenakan struktur substrat yang mengalami normalising, proses pembakaran meningkatkan jumlah matrix ferit dan mengubah sebagian matrix austenit menjadi ferit (Van Vlack, 1985). ISSN 2549 - 2888
Gambar 3.5 Grafik analisis kualitatif lapisan TiAlN pada sample PVD4 Dari hasil pengujian diperoleh fakta bahwa untuk setelah diproses PVD pada temperature 400ºC selama 4 jam Substrat SKD11 terlapis secara homogen dengan ketebalan +/- 2 micron, lapisan PVD memiliki 3 unsur dominan yaitu kandungan nitrogen sebesar 19.6% massa, Titanium 16.1% massa dan Alumunium 13.4%. Munculnya atom O dalam data EDS disebabkan oleh adanya oksigen yang terperangkap di dalam ruang nitridasi pada saat proses PVD berlangsung. Senyawa – senyawa lain yang
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
mungkin terbentuk adalah Cr2N sehingga pada EDS data unsur Cr terdeteksi (Sujadi, Sujitno, & Suprapto, 2012). Sementara pada analisa substrat tidak terdapat Atom Titanium, Alumunium dan Nitrogen sama sekali. Unsur yang ada pada Substrat SKD11 mirip dengan material SKD11 awal. membuktikan bahwa atomatom tersebut tidak terdifusi kedalam substrat. c) Hasil SEM-EDS Sample PVD5 Gambar dibawah ini menunjukan hasil pengindraan menggunakan Scaning Electron Microscope pada sample PVD4 dengan perbesaran sebanyak 10.000 kali.
24
Dari hasil pengujian diperoleh fakta bahwa untuk setelah diproses PVD pada temperature 400ºC selama 5 jam Substrat SKD11 terlapis secara homogen dengan ketebalan +/- 3.3 micron, lapisan PVD memiliki unsur dominan yaitu kandungan Carbon sebesar 47,4% massa, Titanium 10.9% massa dan Alumunium 9 %. Munculnya atom O dalam data EDS disebabkan oleh adanya oksigen yang terperangkap di dalam ruang nitridasi pada saat proses PVD berlangsung. Senyawa – senyawa lain yang mungkin terbentuk adalah Cr2N, Al2O3 dan SiO2 sehingga pada EDS data unsur Cr dan Si terdeteksi. Sementara pada analisa substrat tidak terdapat Atom Titanium, Alumunium dan Nitrogen sama sekali. Unsur yang ada pada substrat SKD11 mirip dengan material SKD11 awal. membuktikan bahwa atomatom tersebut tidak terdifusi ke dalam substrat. d) Hasil SEM-EDS Sample PVD6 Gambar di bawah ini menunjukan hasil pengindraan menggunakan Scaning Electron Microscope pada sample PVD6 dengan perbesaran sebanyak 10.000 kali.
Gambar 3.6 Hasil Penginderaan SEM PVD5 perbesaran 10.000 kali Pada gambar tersebut terlihat dengn jelas lapisan TiAlN yang terbentuk ketebalannya diperkiakan 3,3 mikron dengan homogenitas ketebalan yang cukup baik, terlhat bahwa lapisan TiAlN tersebut terpisah dari substrat SKD 11 yang ada dibawahnya dan tidak terdifusi kedalam. Untuk mengetahui konsentrasi unsur pada lapisan TiAlN dan lapisan substrat inti, kita bisa melihat pada grafik analisa di bawah ini.
Gambar 3.7 Grafik analisis kualitatif lapisan TiAlN pada sampel PVD5
Gambar 3.8 Hasil Penginderaan SEM PVD6 perbesaran 10.000 kali
Gambar 3.9 Grafik analisis kualitatif lapisan TiAlN pada sampel PVD6
ISSN 2549 - 2888
25
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Pada Gambar 3.8 tersebut terlihat dengn jelas lapisan TiAlN yang terbentuk ketebalannya diperkirakan 5,3 mikron dengan homogenitas ketebalan yang cukup baik, terlhat bahwa lapisan TiAlN tersebut terpisah dari substrat SKD 11 yang ada dibawahnya dan tidak terdifusi kedalam. Untuk mengetahui konsentrasi unsur pada lapisan TiAlN dan lapisan substrat inti, kita bisa melihat pada grafik analisa pada Gambar 3.9. Dari hasil pengujian diperoleh fakta bahwa untuk setelah diproses PVD pada temperature 400ºC selama 6 jam Substrat SKD11 terlapis secara homogen dengan ketebalan +/- 5.3 micron, lapisan PVD memiliki unsur dominan yaitu kandungan Carbon sebesar 37.1% massa, Titanium 23% massa dan Alumunium 13.5%. Munculnya atom O dalam data EDS disebabkan oleh adanya oksigen yang terperangkap di dalam ruang nitridasi pada saat proses PVD berlangsung. Senyawa – senyawa lain yang mungkin terbentuk adalah Cr2N, Al2O3 sehingga pada EDS data unsur Cr terdeteksi. Sementara pada analisa substrat tidak terdapat Atom Titanium, Alumunium dan Nitrogen sama sekali. Unsur yang ada pada Substrat SKD11 mirip dengan material SKD11 awal. membuktikan bahwa atomatom tersebut tidak terdifusi kedalam substrat (Sujadi, Sujitno, & Suprapto, 2012). e) Hasil SEM-EDS Sample TD4 Gambar dibawah ini menunjukan hasil pengindraan menggunakan Scaning Electron Microscope pada sample TD4 dengan perbesaran sebanyak 3.000 kali.
inti, kita bisa melihat pada grafik analisa di bawah ini.
Gambar 3.11 Grafik analisis kualitatif lapisan permukaan pada sample TD4 Dari hasil pengujian diperoleh fakta bahwa untuk setelah spesimen diproses TD pada temperatur 1000ºC selama 1 jam substrat SKD11 lapisan yang terbentuk tidak lagi homogen dengan ketebalan 10- 15 mikron, lapisan TD pada Sample TD4 memiliki unsur dominan yaitu Besi sebesar 48,9% massa, dan Cr sebesar 15,1 % terdapat unsur Oksigen yang timbul dari oksidasi karena kontak dengan udara bebas, pemanasan tidak dilakukan pada ruang vacum. Unsur Ti yang semula ada di permukaan menjadi tidak terlihat, terdapat 2 kemungkinan yaitu insur Ti mengalami out difusion atau pair dengan unsur lain seperti Alumunium menjadi unsur komplex yang tidak terbaca. Sementara unsur yang ada pada substrat SKD11 mirip dengan material SKD11 awal. Proses pemanasan tidak mempengaruhi unsur yang ada di dalam hanya mempengaruhi pola susunannya sehingga kekerasan material menurun. f) Hasil SEM-EDS Sample TD5 Gambar dibawah ini menunjukan hasil pengindraan menggunakan Scaning Electron Microscope pada sample TD5 dengan perbesaran sebanyak 3.000 kali.
Gambar 3.10 Hasil Penginderaan SEM TD4 perbesaran 3,000 kali Pada gambar tersebut terlihat dengn jelas terdapat lapisan yang terbentuk namun lapian tidak homogen ketebalannya diperkiakan antara 10 - 15 mikron, terlihat bahwa lapisan tersebut menebal dan terdifusi masuk ke dalam substrat SKD 11, selain lapisan yang awalnya TiAlN itu terdifusi juga terlihat lapisan substrat yang bergerak keluar. Untuk mengetahui konsentasi unsur pada lapisan tersebut dan lapisan Substrat ISSN 2549 - 2888
Gambar 3.12 Hasil Pengindraan SEM TD5 perbesaran 3.000 kali
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
26
Pada gambar tersebut terlihat dengn jelas terdapat lapisan yang terbentuk namun lapian tidak homogen ketebalannya diperkiakan antara 10 - 15 mikron, ketebalan lapisan tidak berbeda dengan sample TD5.seperti sample sebelumnya terlhat bahwa lapisan tersebut menebal dan terdifusi masuk kedalam substrat SKD 11, selain lapisan yang awalnya TiAlN itu terdifusi juga terlihat lapisan substrat yang bergerak keluar. Untuk mengetahui konsentasi unsur pada lapisan tersebut dan lapisan Substrat inti, kita bisa melihat pada grafik analisa di bawah ini.
Gambar 3.14 Hasil Pengindraan SEM TD6 perbesaran 1.000 kali
Gambar 3.13 Grafik analisis kualitatif lapisan permukaan pada sample TD5 Dari hasil pengujian diperoleh fakta bahwa untuk setelah spesimen diproses TD pada temperature 1000ºC selama 1 jam Substrat SKD11 lapisan yang terbentuk tidak lagi homogen dengan ketebalan 10- 15 micron, lapisan TD pada Sample TD5 memiliki unsur dominan yaitu Karbon sebesar 38,9% massa, Fe sebesar 27,3 % massa dan Cr sebesar 12,8 % terdapat unsur Oksigen yang timbul dari oksidasi karena kontak dengan udara bebas, pemanasan tidak dilakukan pada ruang vacum. Lapisan TD pada TD 5 terdapat banyak sekali unsur C kemungkinan atom c yang bebas di udara terdifusi masuk namun tidak merata di seluruh area( tidak homogen) Unsur Ti yang semula ada di permukaan menjadi tidak terlihat, terdapat 2 kemungkinan yaitu insur Ti mengalami out difusion atau pair dengan unsur lain seperti Carbon, Alumunium atau oksigen menjadi unsur komplex yang tidak terbaca. Sementara unsur yang ada pada substrat SKD11 mirip dengan material SKD11 awal. Proses pemanasan tidak mempengaruhi unsur yang ada di dalam hanya mempengaruhi pola susunannya sehingga kekerasan material menurun. g) Hasil SEM-EDS Sample TD6 Gambar di bawah ini menunjukan hasil penginderaan menggunakan Scaning Electron Microscope pada sample TD5 dengan perbesaran sebanyak 1.000 kali.
Pada gambar tersebut terlihat dengn jelas terdapat lapisan yang terbentuk namun lapian tidak homogen ketebalannya diperkiakan antara 30 - 45 mikron,berbeda denga 2 sample sebelumnya lapisan TD yang terbentuk jauh lebih tebal .seperti sample sebelumnya terlhat bahwa lapisan tersebut menebal dan terdifusi masuk kedalam substrat SKD 11, selain lapisan yang awalnya TiAlN itu terdifusi juga terlihat lapisan substrat yang bergerak keluar. Untuk mengetahui konsentasi unsur pada lapisan tersebut dan lapisan Substrat inti, kita bisa melihat pada grafik analisa dibawah ini :
Gambar 3.15 Grafik analisis kualitatif lapisan permukaan pada sample TD6 Dari hasil pengujian diperoleh fakta bahwa untuk setelah Specimen diproses TD pada temperature 1000ºC selama 1 jam Substrat SKD11 lapisan yang terbentuk tidak lagi homogen dengan ketebalan 30- 45 micron, lapisan TD pada Sample TD5 memiliki unsur dominan yaitu Besi (Fe) sebesar 40,8% Carbon sebesar 10,5% massa, dan Cr sebesar 7,1 % terdapat unsur Oksigen yang timbul dari oksidasi karena kontak dengan udara bebas, pemanasan tidak dilakukan pada ruang vacum. Lapisan TD ISSN 2549 - 2888
27
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
pada TD 6 terdapat banyak sekali unsur C kemungkinan atom c yang bebas di udara terdifusi masuk namun tidak merata di seluruh area( tidak homogen).berbeda dengan sample sebelumya Unsur Ti masih ada pada lapisan sebesar 5,1% massa, ada 2 kemungkinan menurunnya konsentrasi TI yaitu insur Ti mengalami out difusion atau pair dengan unsur lain seperti Carbon, Alumunium atau oksigen menjadi unsur komplex yang tidak terbaca. Akan tetapi karena Ti yang ada di permukaan PVD6 cukup banyak maka tidak seluruh unsur Ti mengalami out difusion atau tersubtitusi menjadi unsur kompleks. Sementara Unsur yang ada pada Substrat SKD11 mirip dengan material SKD11 awal. Proses pemanasan tidak mempengaruhi unsur yang ada di dalam hanya mempengaruhi pola susunannya sehingga kekerasan material menurun. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan
menjadi atom kompleks yang tidak terbaca oleh EDS. Terlihat dari konsentrasi atom Ti dan Al yang menurun drastis pada pengindraan menggunakan EDS. 7) Pengaruh PVD Coating terbukti bisa meningkatkan kualitas permukaan bahan SKD11 khususnya kekerasan permukaan, sementara metode pemanasan tambahan 1000 C selama 1 jam mengurangi tingkat kekerasan tidak hanya permukaan melainkan seluruh Specimen. 8) Pengamatan metalografi SEM-EDS menunjukkan bahwa Waktu proses PVD mempengaruhi terhadap konsentrasi dan ketebalan lapisan TiAl yang terbentuk yang ada dalam bahan SKD11. 4.2 Saran Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan kajian yang lebih dalam tentang bagaimana cara material dapat terdifusi kedalam Substrat. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian mengenai kemungkinan lapisan yang timbul karena PVD menjadi senyawa kompleks.
1) Proses PVD menghasilkan lapisan tipis yang homogen dengan ketebalan yang relatif sama DAFTAR PUSTAKA di seluruh permukaan substrat. 2) Terbentuknya lapisan TiAl yang terbaik pada [1]. Amstead, B. (1995). Teknologi Mekanik jilid 1 versi S1. Jakarta: Erlangga. SKD11 adalah pada saat proses PVD coating temperature 400ºC selama 6 jam dengan [2]. Callister, W. D. (1997). Material Science and Engginering an Introduction. konsentrasi Titanium yang diperoleh adalah 23% massa dan konsentrasi Alumunium 13,5 [3]. Koswara, E. (1999). Pengujian Bahan Logam. Bandung: Humaniora Utama Press. % massa, dengan lapisan TiAl yang homogen [4]. Schonmetz, A., & Gruber, K. (1985). setebal 5,3 mikron. Pengetahuan Bahan dalam pengerjaan 3) Pengujian kekerasan Vickers PVD pada Logam. Bandung: Angkasa. temperatur 400ºC selama 6jam mempunyai nilai kekerasan paling tinggi dibandingkan [5]. Smallman, R. (1999). Metalurgi Fisik Edisi Kelima. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. spesimen yang lain yaitu sebesar VHN [6]. Smallman, R. (1991). Metalurgy Fisik Edisi 1.363,1 / dengan ketebalan 5,3μm. Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 4) Adanya proses pemanasan sebesar 1000 C selama 1 jam mengakibatkan menebalnya [7]. Sujadi, U., Sujitno, T., & Suprapto. (2012). Penelitian kekerasan Permukaan pada Bahan lapisan permukaan dari specimen. Lapisan Stainless Steel 316L Dengan ALat RFyang awalnya kurang dari 10 μm menebal Plasma Nitrocarburizing , 50-119. secara tidak homogen hingga ketebalan 50 [8]. Suprapto. (2010). Pengaruh Nidtridasi μm. Plasma terhadap Kekerasan ANSI 304. 5) Penebalan lapisan permukaan disebabkan oleh bergeraknya atom atom penyusun dari [9]. Surdia, T., & S, S. (2000). Pengetahuan Bahan Teknik Cetakan Kelima. Jakarta: lapisan TiAl yang ada pada proses Pradnya Paramita. sebelumnya yang terdifusi masuk kedalam Substrat, atom atom yang ada di substrat juga [10]. Totten, G., Bates, C., & Clinston, N. (1993). Handbook of Tuenchhantsand Quenching sebagian bergerak keluar sehingga beberapa Technology. USA: ASM International . atom Fe dan Cr terdeteksi di lapisan TD. 6) Sebagian atom Ti keluar dari material [11]. Van Vlack, L. (1985). Elements of Material Science and Engineering 5th. (outdifusion) atau terikat dengan oksigen
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
28
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KERAMIK MAGNESIUM ALUMINA SILIKA DARI ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG Tri Exaudi Sidabutar Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana, Jakarta Email:
[email protected] Abstrak - Berlimpahnya material abu vulkanik Gunung Sinabung merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, khusunya tentang kelayakan penggunaan abu vulkanik tersebut sebagai bahan dasar untuk membuat material keramik magnesium alumina silika. Sebagian besar abu vulkanik tersebut belum termanfaatkan sama sekali. Material keramik dibuat dari bahan dasar yang tersusun atas abu vulkanik, alumina silika (Al2O3) dan Magnesium Oksida (MgO). Keberadaan abu vulkanik hasil dari letusan Gunung Sinabung merupakan hal yang cukup potensial sebagai pembuatan bahan keramik.Tujuan dari penelitian ini adalah membuat keramik yang keras dan kuat dari abu vulkanik Gunung Sinabung dan untuk mengetahui pengaruh penambahan Al2O3 dan MgO pada pada sampel material keramik. Sekaligus untuk mengetahui proses pembakaran (sintering) yang optimal terhadap karakterisasi dari sampel keramik yang meliputi sifat fisik, kekerasan dan struktur Kristal dari material.Adapun hasil dari penelitian yang telah dilakukan untuk memnuhi tujuan tersebut adalah nilai densitas tertinggi dengan komposisi abu (80%), Al2O3 (10%) dan MgO (10%) adalah 2.06 gr/cm2 dengan suhu pembakaran 1200 0C, morfologi yang baik pada komposisi yang sama dengan suhu pembakaran 1200 0C, fasa yang dominan terbentuk adalah Silika oksida (SiO2), dan fasa lainnya MgSiO3, Al₂MgO₄ dan hasil kekerasan yang diperoleh sebesar 768.21 kgf/mm2. Kata kunci: Abu Vulkanik, Alumina, Magnesium, Keramik . 1. PENDAHULUAN sedikit. Hal tersebut yang mendasari penelitian ini tentang kelayakan abu vulkanik sebagai bahan Gunung Sinabung merupakan salah satu Gunung dalam pembuatan material refraktori yang akan di dataran tinggi Kabupaten Karo Sumatera Utara, dilakukan, dimana abu vulkanik yang akan Indonesia. Koordinat puncak Gunung Sinabung digunakan berasal dari letusan gunung berapi adalah 03º 10’ LU dan 98º 23’BT dengan puncak yaitu Gunung Sinabung yang berada di Dataran tertinggi gunung sinabung ini adalah 2.460 meter Tinggi Tanah Karo, Kabupaten Karo, Sumatera dari permukaan laut yang menjadi puncak Utara, Indonesia. Dengan kata lain refraktori tertinggi di Sumatera Utara. Gunung ini belum merupakan material yang dapat mempertahankan pernah tercatat meletus sejak tahun 1600. sifat-sifatnya dalam kondisi yang sangat berat Pada tahun 2010 hingga 2014 kabupaten karena temperatur tinggi dan kontak dengan Tanah Karo dilanda bencana meletusnya Gunung bahan-bahan yang korosif. Berdasarkan Sinabung yang mengakibatkan kerusakan sektor komposisi kimia penyusun nya, material refraktori pertanian, permukiman warga, bahkan letusan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu gunung merapi yang berada didaerah laukawar ini refraktori asam seperti silika, refraktori netral telah memakan korban jiwa, ini telah menjadi seperti alumina dan refraktori basa seperti berita Nasional di Negara kita dan Indonesia magnesit, serta refraktori khusus seperti karbon, berkabung atas peritiwa tersebut. Dalam kurun silikon karbida, dan lainnya. Masing-masing jenis waktu tersebut daerah disekitar gunung sinabung refraktori mempunyai keunggulan yang bisa di depenuhi oleh abu yang cukup tebal. Pernah aplikasikan dalam industri pengecoran logam. tercatat letusan gunung sinabung mengeluarkan Dengan pertimbangan pertimbangan di atas, abu yang mencapai ketinggian 6000 m. Akibatnya maka abu vulkanik telah memenuhi syarat untuk abu mencapai daerah dalam jarak yang cukup dijadikan bahan dasar refraktori. luas. Berawal dari latar belakang ini saya mencoba untuk mengambil hikmah dari bencana 2. TINJAUAN PUSTAKA tersebut dengan cara memanfaatkan material yang dimuntahkan oleh gunung sinabung yaitu 2.1 Abu Vulkanik untuk membuat material refraktori. Dimana seperti yang kita ketahui penelitian lain mengenai Abu vulkanik merupakan bahan material vulkanik material refraktori pada umumnya menggunakan jatuhan yang disemburkan ke udara pada saat pasir silika, abu batu bara, limbah pasir cetak terjadi letusan. Secara umum komposisi abu sebagai bahan dasarnya. vulkanik terdiri atas Silika.Bahan letusan gunung Penelitian-penelitian tentang bahan material api yang berupa padatan dapat disebut sebagai refraktori berbasis abu terbang (fly ash) banyak bahan piroklastik (pyro= api, klastik = bongkahan). yang telah dipublikasikan. Sedangkan publikasi Bahan padatan ini berdasarkan diameter tentang refraktori berbahan dasar lain masih relatif partikelnya terbagi atas debu vulkanik (< 0.26 mm) ISSN 2549 - 2888
29
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
yang berupa bahan lepas dan halus, pasir (0.25 – 4 mm) yang lepas dan tumpul, lapilli atau little stone (4 – 32 cm) yang berbentuk bulat hingga persegi dan bom (> 32 mm) yang bertekstur kasar. Batuan hasil erupsi gunung api berdasarkan kadar silika dapat dikelompokkan menjadi batu vulkanis masam (kadar SiO2> 65%), sedang (35 – 65%) dan basa /alkali (<35%). Abu vulkanik mengandung mineral yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman dengan komposisi total unsur tertinggi yaitu Ca, Na, K dan Mg, unsur makro lain berupa P dan S, sedangkan unsur mikro terdiri dari Fe, Mn, Zn, Cu. Mineral tersebut berpotensi sebagai penambah cadangan mineral tanah, memperkaya susunan kimia dan memperbaiki sifat fisik tanah sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tanah-tanah miskin hara atau tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut (Fiantis, 2006). Menurut Balitbangtan (2014), hasil analisis abu vulkanik Sinabung mengandung unsur Si berkisar antara 0,05-0,32 %, Fe berkisar antara 0,58-3,1 %, Pb berkisar antara 1,5-5,3 %,sedangkan untuk kandungan logam berat seperti Cd, As, Ag dan Ni tidak terdeteksi ataupun sangat rendah sehingga tidak membahayakan. Unsur S (belerang) tinggi pada abu segar, tetapi saat terjadi pencucian (terkena air hujan) nilai S akan berkurang. Sedangkan hasil pengujian lapangan yang dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur yang terdapat didalam abu vulkanik yang di ambil dari Desa Berastepu dan berjarak 3 Kilometer dari kaki Gunung Sinabung dengan taraf kedalaman pengambilan yaitu 0-8 cm dan analisis abu vulkanik Gunung Sinabung tersebut dilakukan di Pusat penelitian Fisika (LIPI) Serpong Tangerang Selatan, maka abu vulkanik tersebut di uji dengan menggunakan alat X-Ray Fluorescence (XRF). Adapun kandungan unsur yang terdapat didalam abu vulkanik tersebut, yaitu: Tabel 1 Komposisi Abu Gunung Sinabung
ISSN 2549 - 2888
2.2 Silika Silika dengan nama mineral silika (SiO2) dapat diperoleh dari silika mineral, silika nabati dan silika sintesis kristal. Silika mineral adalah senyawa yang banyak ditemui dalam bahan tambang/galian yang berupa mineral seperti pasir kuarsa, granit, dan feldsfar yang mengandung kristal-kristal silika (SiO2). Silika mineral biasanya diperoleh melalui proses penambangan yang dimulai dari penambang kemudian dilakukan proses pencucian untuk membuang pengotor yang kemudian dipisahkan dan dikeringkan kembali sehingga diperoleh kadar silika yang lebih besar bergantung dengan keadaan tempat penambangan. Saat ini mineral-mineral tersebut susah didapatkan maka diperlukan alternatif lain dalam pencarian silika seperti silika sintesis dan silika nabati. Silika sintesis kristal didapatkan menggunakan bahan Fumed silika, TEOS dan TMOS (Naskar dan Chartterjee, 2004) dapat mengunakan metode pelelehan (melting). Proses dari pelelehan dimulai dengan pendinginan (cooling) dan kekristalisasi yang bersesuaian dengan mineral tersebut. Pelelehan tergantung pada pereduksian suhu leleh, perubahan dalam medium (Pitak, 1997) dan membutuhkan suhu yang sangat tinggi. 2.3 Magnesium Magnesium adalah unsur kedelapan yang paling berlimpah dan merupakan sekitar 2% dari berat kerak bumi dan merupakan unsur yang paling banyak ketiga terlarut dalam air laut. Magnesium sangat melimpah di alam dan ditemukan dalam bentuk mineral penting didalam bebatuan, seperti dolomit, magnetit, dan olivine. ini juga ditemukan dalam air laut, asin bawah tanah dan lapisan asin. Ini adalah logam structural ketiga yang paling melimpah dikerak bumi, hanya dilampaui oleh aluminium dan besi. Amerika Serikat secara umum menjadi pemasok utama dunia logam ini. Amerika Serikat memasok 45% dari produksi dunia, bahkan pada tahun 1995 Dolomit dan magnesit ditambang sampai sebatas 10 juta ton per tahun, di negaranegara seperti Cina, Turki, Korea Utara, Slowakia, Austria, Rusia dan Yunani. Aplikasi senyawa Magnesium digunakan sebagai bahan tahan api dalam lapisan dapur api untuk menghasilkan logam (besi dan baja, logam nonferrous), kaca, dan semen. Magnesium adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Mg dan nomor atom 12 serta berat atom 24,31. Magnesium adalah elemen terbanyak kedelapan yang membentuk 2% berat kulit bumi, serta merupakan unsur terlarut ketiga terbanyak pada air laut. Logam alkali tanah ini terutama digunakan sebagai zat
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
campuran (alloy) untuk membuat campuran alumunium-magnesium yang sering disebut "magnalium" atau "magnelium". Magnesium merupakan salah satu jenis logam ringan dengan karakteritik sama dengan aluminium tetapi magnesium memiliki titik cair yang lebih rendah dari pada aluminium. 2.4 Alumina Alumina (Al2O3) merupakan material keramik nonsilikat yang paling penting. Material ini meleleh pada suhu 2051 °C dan mempertahankan kekuatannya bahkan pada suhu 1500 sampai 1700°C. Alumina mempunyai ketahanan listrik yang tinggi dan tahan terhadap kejutan termal dan korosi. Alumina (Al2O3) diperoleh dari pengolahan biji bauksit yang mengandung 50-60% Al2O3; 120% Fe2O3; 1-10% silika; sedikit sekali titanium, zirkonium dan oksida logam transisi lain; dan sisanya (20-30%) adalah air. Aluminium oksida (Al2O3) atau yang lebih dikenal dengan alumina insulator (penghantar) panas dan listrik yang baik.Aluminium oksida (Al2O3) berperan penting dalam ketahanan logam aluminum terhadap perkaratan dengan udara, Logam aluminium sebenarnya amat mudah bereaksi dengan oksigen di udara. Aluminium bereaksi dengan oksigen membentuk aluminium oksida yang terbentuk sebagai lapisan tipis yang dengan cepat menutupi permukaan aluminium, Lapisan ini melindungi logam aluminium dari oksidasi lebih lanjut.
30
Keramik modern memiliki sifat-sifat listrik, sifat mekanik, dam sifat termal yang baik, sehingga digunakan untuk teknologi canggih. Keunggulan keramik dibanding logam sebagai bahan industri antara lain tidak korosif, ringan, keras, kuat, dan stabil pada suhu tinggi. Keramik pada awalnya diproduksi secara tradisional dari mineral alam, namun sekarang kegunaan keramik bermacam-macam fungsinya, dahulu hanya digunakan sebagai barang pecah belah, gerabah, namun sekarang telah menjadi industri yang cukup besar dengan aplikasi kegunaan seperti keramik porselin sebagai salah satu bahan isolator listrik, peralatan pabrik dan lain sebagainya 3. METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas breaker, spatula, neraca digital, alat penggiling (Ball mill), alumina ball, saringan, oven (pengering), cetakan (molding), alat cetak tekan (Hydraulic press), tungku (Furnance), jangka sorong (Vernier caliper), (Microscope Optical), alat uji kekerasan (Microhardness Tester), Alat Uji XRD (X-Ray Diffractometer), dan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah abu vulkanik Gunung Sinabung, Magnesium Oksida (MgO), Alumina (Al2O3) dan air (H2O).
2.5 Keramik 3.2 Pembuatan Sampel Keramik Keramik berasal dari bahasa Yunani “keramos” yang memiliki arti yang berbeda-beda. Definisi keramik itu sendiri ada iga macam, yaitu: a) Bahan atau mineral yang terbuat dari tanah liat yang dibakar. b) Material anorganik yang tersusun atas unsur logam dan non logam yang berkaitan ionik atau kovalen. c) Semua material yang bersifat keras, rapuh, tahan panas, dan tahan korosi serta mengandung satu atau lebih unsur logam termasuk oksigen. Keramik merupakan paduan logam yang terikat secara ionik dan kovalen. Berdasarkan fungsinya keramik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Keramik tradisional, yaitu: keramik yang banyak digunakan untuk produk-produk yang sederhana, seperti: bahan-bahan abrasif refraktori (tahan panas), gelas, porselin dan bahan bangunan seperti beton, lantai dal lainlain. 2) Keramik modern, penggunaannya pada teknologi canggih atau alat-alat teknik.
Proses pembuatan sampel keramik yang dilakukan dalam penelitian ini yang pertama yaitu pada penentuan komposisi sampel uji yang akan dibentuk, dimana sesuai tujuan penelitian ini, komposisi sampel uji dibuat secara bervariasai, yaitu: Sampel 1, abu vulkanik 90%, Al2O3 5% dan MgO 5%, dan pada sampel 2, abu vulkanik 80%, Al2O3 10% dan MgO 10% setelah dilakukan penimbangan komposisi tersebut, tambahkan air pada setiap bahan sampel yang telah ditimbang sebanyak 25 ml, selanjutnya adalah penggilingan dengan menggunakan mesin penggiling (ball mill) dengan durasi (waktu) selama 4 jam yang bertujuan untuk membuat keseragaman pada bentuk ukuran partikelnya atau dengan kata lain membuat homogenisasi pada bahan sampel keramik tersebut, setelah proses penggilingan selesai maka langkah selanjutnya adalah pengeringan (Oven) yang bertujuan untuk menghilangkan kadar air atau melepas molekul air yang terdapat pada bahan sampel keramik tersebut yaiti selama ± 12 jam dengan Temperature 100 °C, setelah proses pengeringan selesai dilakukan maka proses selanjutnya adalah pencetakan bahan sampel uji tersebut dimana ISSN 2549 - 2888
31
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
pada proses ini sampel akan dibentuk dengan berbentuk pellet dengan metode cetak tekan (dry Pressing) dengan tekanan 80 kg/cm2, dan setelah proses pencetakan pada sampel telah selesai dilakukan maka langkah selanjutnya adalah proses pembakaran (sintering), dimana sintering merupakan suatu proses pembakaran yang bertujuan untuk saling mengikat butiran-butiran dan menurunkan porositas yang dilakukan pada suhu tinggi dan untuk memperoleh benda menjadi keramik yang kompak dan kuat sesuai spesifikasi yang diinginkan, dan pada penelitian ini suhu pembakaran (sintering) juga dilakukan secara bervariasi yaitu dari suhu 600 °C, 800 °C, 1000 °C, 1100 °C, 1200 °C, hal ini bertujuan untuk mengetahui suhu pembakaran yang optimum pada sampel uji keramik tersebut.
sama memiliki berat yang berbeda, dan dalam hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut
3.3 Pengujian Sampel (Karakterisasi)
d) Struktur Morfologi (Microscope Optical) Pada peneltian ini untupengamatan Struktur Morfologi dilakukan dengan menggunakan alat Mikroskop BS-6000AT digital, dimana alat ini memiliki kemampuan memperbesar benda dari 40x hingga 1400x dan juga pencahayaan dapat diatur dengan mudah. Dan tujuan dilakukan pengamatan struktur morfologi pada penelitian ini adalah untuk mengamati persebaran material pada material keramik.
a) X-Ray Diffraction (XRD) Dalam penelitian ini, karakterisasi struktur kristal sampel uji dilakukan dengan metode difraksi sinar-X. Tujuan dilakukannya pengujian analisa struktur kristal adalah untuk mengetahui perubahan fasa struktur bahan dan mengetahui fasa-fasa apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji. XRD adalah suatu peralatan yang dapat memberikan data-data difraksi suatu bahan dan besar kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi 2θ. Ada dua karakteristik utama dari difraksi yaitu geometri dan intensitas. Geometri dari difraksi secara sederhana dijelaskan oleh Bragg’s Law. Misalkan ada dua pantulan sinar α dan β. Secara matematis sinar β tertinggal dari sinar α sejauh xy + yz yang sama dengan 2d sinθ secara geometris. Agar dua sinar ini dalam fasa yang sama maka jarak ini harus berupa kelipatan bilangan bulat dari panjang gelombang sinar λ. Maka didapatkanlah Hukum Bragg: nλ = 2 dhkl sin θ
=
(2)
c) Uji Kekerasan (Hardness Vickers) Kekerasan didefenisikan sebagai ketahanan bahan terhadap penetrasi pada suatu permukaan sampel uji. Pengujian kekerasan dengan metode Vickers dilakukan dengan menggunakan Microhardness Tester. Prinsip dari uji kekerasan Vickers adalah besar beban dibagi dengan luas daerah indentasi atau dapat dirumuskan sebagai berikut; = 1.854 ×
(3)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil pengujian XRD (X-Ray diffraction) Anlisa XRD dilakukan untuk mengetahui perubahan fasa struktur bahan dan mengetahui fasa-fasa apa saja yang terbentuk dalam selama proses pembuatan sampel uji. Sampel yang digunakan dalam analisa ini adalah sampel 1 yang berkomposisi Abu sinabung 90%, Al2O3 5% dan MgO 5% di sintering pada suhu 1100°C.
(1)
XRD adalah suatu peralatan yang dapat memberikan data-data difraksi suatu bahan dan besar kuantitas intensitas difraksi pada sudutsudut difraksi 2θ. b) Uji densitas (Massa Jenis) Pada pnelitian ini pengkuran densitas dilakukan dengan menggunakan metode langsung, pengukuran densitas diperlukan untuk mengetahui karakteristik dari bahan material keramik dan untuk mengetahui suatu besaran kerapatan massa benda yang dinyatakan dalam berat benda persatuan volume benda tersebut. Besaran massa jenis dapat membantu menerangkan mengapa benda yang berukuran
ISSN 2549 - 2888
Gambar 1 Hasil Pengujian XRD sampel 1 suhu 1100 °C
pada
Dari Gambar 1 di atas dapat kita lihat terdapat 16 puncak tertinggi yang diperoleh dari sampel 1 tersebut, dan yang paling tertinggi diantara puncak-puncak nya terdapat pada puncak yang ke 6, hal ini menunjukkan bahwa struktur kristal yang paling murni yang terbentuk pada sampel uji 1 ini terdapat pada puncak yang ke 6 dan yang akan menjadi acuan kita untuk mencari fasa-fasa
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
apa saja yang terbentuk pada puncak-puncak tersebut dengan menggunakan software macth. Hasil pencarian fasa-fasa yang terbentuk pada sampel tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
32
Tabel 3. Hasil Pengujian XRD sampel 2 pada suhu 1200 °C
Tabel 2. Hasil Pengujian XRD sampel 1 pada suhu 1100 °C
Dari Tabel 2 di atas dapat kita lihat bahwa fasa yang dominan terbentuk dalam sampel 1 ini adalah SiO2, sekaligus fasa yang struktur kristalnya murni terbentuk pada sampel ini dan untuk fasa yang minor atau fasa yang paling sedikit terbentuk pada sampel 1 ini adalah fasa Al₂SiO₅. Berikut ini akan disajikan hasil pengujian XRD pada sampel 2 dimna seperti yang sudah dijelaskan diatas pada sampel 2 ini ada perbedaan persentase komposisi yaitu menjadi, abu 80%, Al2O3 10% dan MgO 10% dan di sintering pada suhu 1200 °C.
Dari Tabel 3 diatas dapat kita lihat bahwa penambahan persentase komposisi pada Al2O3 dan MgO sangat berpengaruh pada fasa yang terbentuk dalam sampel uji ini, walupun fasa tertinggi pada sampel ini yang ditunjjukan pada no 4 yaitu SiO2, tetapi fasa-fasa yang lain terbentuk pada sampel 2 ini terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan sampel 1 yang mendominasi hanya SiO2, dan pada pengujian sampel 2 ini juga menunjjukkan bahwa semakin bertambah nya persentase komposisi pada Al2O3 dan MgO sangat berpengaruh pada fasa baru yang terbentuk pada sampel 2 ini, dimana bisa kita lihat perubahannya yaitu ketiga bahan tersebut sudah saling bereaksi seperti yang kita lihat pada puncak yang ke 5 dan ke 10, dan pada puncak no 12 dan puncak no 13 disana dapat kita lihat terbentuknya Al₂MgO₄ (Spinel), dan jika kita bandingkan ke hasil pengujian XRD sampel 1, pada sampel tersebut Al2O3 tidak bereaksi dengan MgO, jadi dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa penambahan persentase komposisi pada sampel 2 sangat berpengaruh pada fasa-fasa yang terbentuk pada sampel uji tersebut. 4.2 Hasil Pengujian densitas (Massa Jenis)
Gambar 2 Hasil pengujian XRD sampel 2 pada suhu1200 °C Dari Gambar 2 diatas dapat kita lihat bahwa pada gambar tersebut terdapat 13 puncak yang tertinggi, dan puncak yang paling tinggi diantara ke 13 puncak tersebut terdapat pada puncak yang ke 4 dan struktur kristal yang paling murni terbentuk pada sampel ke 2 ini adalah terdapat pada puncak yang ke 4. Berikut ini hasil dari pengolahan data yang telah dilakukan pada sampel yang ke 2.
Pengukuran densitas dilakukan untuk mengetahui pada suhu sintering berapa densitas maksimum terjadi dan pengujian pada penelitian ini dilakukan dengan metode biasa atau langsung yaitu dengan memabagikan langsung massa dengan volume dari sampel tersebut. Berikut ini akan di jelaskan hasil pengujian densitas bahan material keramik sampel 1 dengan komposisi abu vulkanik 90%, Al2O3 5% dan MgO 5%, dan untuk sampel 2 komposisi abu vulkanik 90%, Al2O3 10% dan MgO 10% dapat kita lihat pada Tabel 4 dan Gambar 3 berikut.
ISSN 2549 - 2888
33
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Tabel 4. Hasil perbandingan nilai densitas pada setiap sampel uji
kekerasan yang terdapat pada setiap sampel uji dengan menggunakan alat Microhardness tester. Berikut ini akan di jelaskan hasil pengujian kekerasan bahan material keramik sampel 1 dengan komposisi abu vulkanik 90%, Al2O3 5% dan MgO 5%, dan untuk sampel 2 komposisi abu vulkanik 90%, Al2O3 10% dan MgO 10% dapat kita lihat pada Tabel 5 dan Gambar 6 berikut. Tabel 5 Perbandingan hasil nilai uji kekerasan pada setiap sampel uji No
2
2.06 1.91 1.71 1.81
2.1 1.9 1.7 1.66
1.5 500
1.69
1.70
sa… sa…
1.73
700 900 1100 1300 Suhu°C (Sintering)
Gambar 3 Hasil perbandingan nilai densitas pada setiap sampel uji Dari Tabel 4 dan Gambar 3 diatas dapat dilihat perbandingan hasil nilai denistas pada sampel 1 dan sampel 2, dimana dari data hasil pengujian diatas pada sampel 1 dari suhu 600 °C sampai dengan suhu 1100 °C nilai densitas mengalami kenaikan nilai densitasnya, sementara pada suhu 1200 °C nilai denistas mengalami penururan, hal ini menunjukkan bahwa pada sampel 1 pada suhu 1200 °C ini mengalami perubahan bentuk dan telah mendejati titik leburnya (deformasi, dari hasil pengujian diatas dapat disimpulkan bahwa suhu optimum pada sampel 1 ini adalah pada suhu 1100 °C. Dan pada sampel 2 dapat dilihat bahwa ada perubahan pada hasil pengujian densitas pada sampel 2 tersebut dimana semakin tinggi suhu sintering, dan jika dibandingkan dengan sampel 1 nilai yang densitas yang cenderung baik itu berada pada sampel 2, hal ini bisa dipengaruhi karena pada sampel 2 ini terbentuknya fasa Al₂MgO₄ (Spinel) dimana seperti yang kita ketahui bahwa nilai densitas pada keramik spinel ini memiliki nilai densitas yang cukup tinggi. 4.3 Hasil Vickers)
Pengujian
Kekerasan
(Hardness
Uji kekerasan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan metode Kekerasan Vickers yang mengacu pada standard JIS Z 2251. (Somiya,1989), Dan tujuan dilakukan pengujian kekerasan adalah untuk mengetahui nilai ISSN 2549 - 2888
HV (Kgf/mm²)
1100
364.92
1200
567.28
1100
385.69
1200
768.21
Dari Tabel 5 diatas dapat kita lihat nilai perbandingan antara sampel 1 dan sampel 2, dimana dapat kita lihat bahwa nilai densitas yang cukup tinggi berada pada sampel 2, untuk lebih jelas, akan disajikan dalam bentuk Gambar 6 berikut.
Hardness Vickers (Kgf/mm²)
Densitas (Kg/cm3)
1
Suhu °C
Perbandingan nilai kekerasan pada sampel uji 800 768.21 700 600 567.28 500 385.69 400 364.92 300 1050 1100 1150 1200 1250 Suhu °C (Sintering)
Gambar 6. Perbandingan Hasil Nilai uji Kekerasan pada setiap sampel uji Dari Gambar di atas dapat kita dilihat perbandingan hasil nilai kekerasan yang diperoleh pada setiap sampelnya, dimana pada garis yang berwarna biru adalah sampel 1 dan garis yang berwarna merah adalah sampel 2. Dan dapat dilihat kenaikan nilai kekerasannya, dimana gambar tersebut menunjjukkan nilai kekerasan yang cenderung tinggi ada pada ssmpel 2 yang mencapai 768.21 kgf/mm2 pada suhu 1200 °C, sementara pada sampel 1 pada suhu yang sama yaitu pada suhu 1200 °C, nilai kekerasan yang diperoleh sampel 1 ini hanya mencapai 567.28 kgf/mm2 . hal ini menunjjukan bahwa penambahan persentase komposisi pada sampel 2 sangat berpengaruh pada nilai kekerasan yang dihasilkan oleh sampel tersebut, dimana setelah dilakukan penambahan persentase komposisi pada unsur Al2O3 dan MgO sebanyak 5% per unsurnya maka nilai kekerasan yang didapatkan juga semakin baik.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
4.4 Hasil Pengamatan (Optical Microscope)
Struktur
Morfologi
Pengamatan struktur morfologi dilakukan untuk melihat perbesaran yang terjadi pada sampel keramik atau melihat perbesaran pori pori yang terdapat pada permukaan sampel tersebut, dengan melakukan pemangamatan struktur morfologi ini kita akan bisa melihat langsung apakah campuran bahan yang ada pada sampel tersebut sudah terlihat merata atau belum sama sekali. Hasil pengamatan struktur morfologi dengan menggunakan Microscope BS-6000 AT pada sampel keramik yang pertama dengan komposisi Abu Vulkanik gunung sinabung 90%, Al2O3 5%, MgO 5% di sintering pada suhu 1100 °C dan pada suhu 1200 °C ditunjukkan pada Gambar 7 berikut. 1100 °C
1200 °C
Gambar 7. Hasil Foto Optical Microscope pada sampel 1 di sentering pada suhu 1100 °C dan 1200 °C Dari hasil foto optical microscope dengan perbesaran 40 kali, permukaan struktur sampel 1 dengan komposisi Abu 90%, Al2O3 5%, dan MgO 5% di sintering pada suhu 1100 °C dapat kita amati dari Gambar. 4.1 diatas, terlihat dengan jelas bahwa yang masih sangat kelihatan dari gambar tersebut diatas adalah aluminanya yaitu yang ditunjjukkan pada warna putih kilat, dan yang berwarna abu-abu itu adalah warna dari abu vulkanik gunung sinabung itu sendiri. Seperti yang terlihat dari gambar diatas juga abu vukanik dan unsur Alumina dan juga MgO belum menyatu atau belum bisa dikatakan kompak, dan yang berwarna hitam itu disebut pori-pori yang ada pada sampel tersebut. Namun jika kedua hasil tersebut kita bandingkan terlihat bahwa yang lebih dominan terlihat merata adalah pada suhu sintering 1200 °C. Hal ini di karenakan kandungan unsur yang ada pada bahan material keramik tersebut belum tercampur dengan rata ataupun pada saat proses homogenisasinya juga masih kurang optimal. Untuk hasil pengamatan struktur morfologi pada sampel 2 yang berkomposisi Abu 80%, Al2O3 10% dan MgO 10% di sintering pada suhu 1100 °C dan 1200 °C ditunjukkan pada Gambar 8 berikut ini.
34
1100 °C
1200 °C
Gambar 8 Hasil Foto Optical Microscope pada sampel 2 di sentering pada suhu 1100 °C dan 1200 °C Dari hasil foto optical microscope dengan perbesaran 40 kali, permukaan struktur sampel yang ke 2 dengan komposisi Abu vulkanik gunung sinabung 80%, Al2O3 10%, dan MgO 10% di sintering pada suhu 1100 °C dapat kita amati dari Gambar 8 diatas. Pada hasil foto optical microscope diatas terlihat permukaan struktur sampel yang ke 2 pada suhu sintering 1100 °C sudah merata dibandingkan dengan sampel 1 dengan komposisi Abu 90%, Al2O3 5%, dan MgO 5% walaupun pada foto hasil pengamatan diatas masih ada terlihat pori-pori tetapi tidak terlalu banyak. Hal ini menunjukkan bahwa persentase campuran juga sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil yang optimal. Untuk hasil pengamatan struktur morfologi pada sampel 2 pada suhu sintering 1200 °C Seperti yang kita lihat pada gambar 4.6 diatas terlihat bahwa bahan sampel keramik Abu Vulkanik, Al2O3 dan MgO sudah hampir bisa dikatakan menyatu atau sudah merata walaupun masih banyak juga terdapat pori-pori pada permukaan sampel, dan yang paling kelihatan pada pengamatan ini masih pada alumina dan abu gunung sinabungnya dan juga belum bisa dikatakan bahwa ketiga bahan material keramik tersebut menyatu. Hal ini menunjukkan bahwa pesentase komposisi sampel uji dan suhu sintering sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil yang optimal, dimna pada saat suhu sintering dinaikkan maka hasil pengamatan strukturnya terlihat lebih merata. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pembuatan keramik magnesium alumina silika dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1) Telah berhasil dibuat keramik magnesium alumina silika dari bahan dasar abu vulkanik Gunung sinabung khususnya pada sampel 1 dengan komposisi Abu Vulkanik 90%, Al2O3 5%, dan MgO 5% di sintering pada suhu 1100 °C, sedangkan pada sampel 2 dengan komposisi Abu Vulkanik Gunung sinabung 80%, Al2O3 10% dan MgO 10% fasa lain yang terbentuk adalah fasa Al₂MgO₄ (spinel). 2) Pada pembuatan keramik magnesium alumina silika dari bahan abu vulkanik gunung ISSN 2549 - 2888
35
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
sinabung, suhu pembakaran (sintering) yang optimum pada sampel 1 dengan komposisi abu 90%, Al2O3 5% dan MgO 5% adalah pada suhu sintering 1100 °C dengan hasil nilai densitas sebesar 1.81 gr/cm2 dan untuk hasil nilai kekerasannya sebesar 567.28 kgf/mm2 Sedangkan pada sampel 2 abu 80%, Al2O3 10% dan MgO 10% suhu pembakaran (sintering) yang optimum adalah pada suhu 1200 °C dengan hasil nilai densitas sebesar 2.06 gr/cm2 dan hasil nilai kekerasannya sebesar 768.21 kgf/mm2.
[6].
[7].
[8].
DAFTAR PUSTAKA [1]. Ajie, N. G. 2008. Sintesis & Karakterisasi [9]. Keramik Struktural Alumina Pada Sintering Temperatur Rendah Untuk Aplikasi Armorf Facing. Tugas Akhir Sarjana, ITB Bandung. [10]. [2]. Astuti, A. 2008. Keramik: Ilmu dan Proses Pembuatannya. Yogyakarta: Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa, ISI. [3]. Chartterjee, M and Naskar M.K. 2004. Sol-Gel Synthesis of Lithium Aluminium Silicate Powders; The Effect of Silica Sources. Ceramic International. 32. p. 623 – 632. [11]. [4]. Etty, M.W. & Muljadi. 1997. kajian pembuatan keramik kordirit sebagai media katalis. Jakarta: puslitbang fisika terapan-LIPI. [5]. Fiantis, D., 2006. Laju Pelapukan Kimia Debu [12]. Vulkanis G. Talang Dan Pengaruhnya Terhadap Proses Pembentukan Mineral Liat
ISSN 2549 - 2888
Non-Kristalin.Fakultas Pertanian/Jurusan Tanah. Universitas Andalas. Padang Firman, L. 2016. Pengaruh suhu sintering pada magnet NdFeB terhadap sifat fisis, magnetic dan struktur kristalin. Hari Subiyanto., Subowo., (2008). Pengaruh Temperatur Penuangan Aluminium A- 356 Pada Proses Pengecoran Terhadap Sifat Mekanis Dan Struktur Mikro Coran, Jakarta, Indonesia. Jamaluddin, K. 2010. X-Rays Difractions. Makalah Fisika Material. Departemen Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halueleo. Kendari Llu, M.O. 1998 ”Mechanical Alloying and Milling ”(Boston,kluever Academic publishers. Lin C. W., Et All., 1998, Production Of Silicacarbida Al 2124 Alloy Functionally Gradded Materials By Mechanical Powder Metallurgy Technique, Department Of Material, Imperial College Of Science Tehnology And Medicine, Prince Consort Road, London SW7 2BP. Nurul, T.R., Agus, S.W. & Suryadi,D. 2007. HEM type E3D. Alat penghancur pembuat fungsional nanometer dan gerakan elips 3 dimensi paten no p00200700207. Pitak, N.V and Ansimova, T. A. 1977. Mechanism of Destruction of MulliteCorundum Products in a Variable Redox Medium. Refractories. 15. P. 38-41
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
36
STUDI KARAKTERISASI LAJU KOROSI LOGAM ALUMINIUM DAN PELAPISAN DENGAN MENGGUNAKAN MEMBRAN SELLULOSA ASETAT Andarany Kartika Sari Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta Email:
[email protected] Abstrak -- Korosi terjadi akibat adanya reaksi oksidasi dan reduksi antara material dengan lingkungannya. Reaksi oksidasi diartikan sebagai reaksi yang menghasilkan elektron dan reduksi adalah antara dua unsur yang mengikat elektron . Korosi merupakan peristiwa yang tidak mungkin dielakan dalam kehidupan baik dalam lingkungan industri maupun rumah tangga. Korosi tidak dapat dihilangkan, namun dapat dikendalikan lajunya. Secara teoritis, menurut tabel deret volta, Aluminium merupakan logam yang mudah terkorosi. Pada penelitian ini dilakukan upaya untuk mengkarakterisasikan jenis korosinya dengan menggunakan media asam lemah (asetat), asam kuat (HCl), dan basa kuat (KOH). Pada percobaan dengan menggunakan media asam lemah (asetat), korosi yang terjadi adalah korosi sumuran (pitting corrosion). Pada percobaan menggunakan media asam kuat (HCl), pada konsentrasi rendah yang terjadi adalah korosi sumuran, sedangkan pada konsentrasi tinggi yang terjadi adalah korosi erosi. Salah satu metode pencegahan terjadinya korosi yaitu dengan menggunakan metode pelapisan (coating). Pada penelitian ini, upaya yang dilakukan untuk memperlambat laju korosinya adalah dengan cara melapisi logam dengan “Sellulosa Asetat”(CA). Sellulosa asetat terdiri dari powder sellulosa dilarutkan dengan asam asetat 99%, kemudian diaplikasikan pada logam aluminium. Hasil percobaan perendaman dengan media asam asetat, yang terjadi adalah bahwa sellulosa asetat membuat laju korosi semakin meningkat sebesar 54% dibanding sebelum dilapisi. Pada percobaan perendaman dengan menggunakan asam HCl, sellulosa asetat mampu memperlambat laju korosi sebesar 47.479%. Dan pada percobaan perendaman dengan larutan KOH, efisiensi inhibisinya mencapai 255% lajunya lebih cepat dibandingkan sebelum dilapisi. Hal ini terjadi dikarenakan adanya proses deasetilasi dimana proses ini adalah proses terputusnya gugus asetil pada membran sellulosa asetat sehingga kemampuan menempel pada permukaan logam menjadi menurun. Kata kunci: laju korosi, deasetilasi, Aluminium 1. PENDAHULUAN Secara umum, baterai logam udara mempunyai tiga komponen utama, pertama yaitu anoda yang berupa bahan logam. Kedua adalah elektrolit, dimana elektrolit yang paling umum adalah KOH. Sementara yang ketiga adalah katoda yang berupa karbon berpori (Vincenzo dkk, 2014), Walaupun begitu, pada beberapa jenis baterai logam udara ada yang menambahkan suatu komponen tambahan yaitu bahan pemisah di dalam sistem baterai logam udara tersebut (Jang dkk, 2011). Pada proses ini aluminium sebagai logam anodanya bersentuhan dengan elektrolit, yang umumnya akan terjadi korosi pada logam tersebut. Peristiwa korosi pada logam merupakan hal yang tidak bisa dielakan lagi keberadaannya, namun korosi dapat dikendalikan keberadaannya, dalam hal ini maksudnya adalah diperlambat lajunya. Korosi sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik dibenda-benda rumah tangga sampai ke benda-benda industri. Korosi adalah reaksi logam dengan zat-zat sekitarnya, misalkan udara dan air sehingga menimbulkan senyawa baru. Dalam perkaratan senyawa baru ialah zat padat berwarna coklat kemerahan yang bersifat rapuh serta berpori. Korosi dapat menimbulkan kerugian dan dapat mengurangi umur dari pada suatu benda yang terbuat dari
logam yang tingkat korosifnya tinggi. Proses korosi memerlukan oksigen dan air, oleh sebab itu maka prinsip untuk mencegah terjadinya korosi yaitu dengan menghindari kontak dengan salah satunya (air dan oksigen). 2. METODE PENELITIAN 2.1 Bahan Penelitian Sampel yang digunakan didapat dari kaleng minuman bekas yang diamplas kemudian dibersihkan dengan alkohol 70% sampai bersih kemudian disimpan dalam wadah kedap udara. Bahan perendaman untuk percobaan laju korosi adalah Asetat, HCl, dan KOH. 2.2 Persiapan Material Kaleng bekas minuman dipotong kemudian diampelas dan dipotong kembali menjadi ukuran 2cm x 2cm, 1 konsentrasi sebanyak 3 sampel. Sampel diuji dengan menggunakan metode sederhana yaitu metode kehilangan berat (Weightloss). 2.3 Eksperimen Eksperimen dilakukan dengan cara merendam sampel dalam larutan selama waktu yang ISSN 2549 - 2888
37
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
ditentukan. Dalam hal ini perendaman dilakukan dengan menggunakan Asetat, HCl, KOH, perendaman dengan Asetat dilakukan selama 24 jam, dengan HCl selama 5 menit dan perendaman dengan KOH selama 5 menit. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada perendaman dengan menggunakan asam asetat, laju korosi yang terjadi adalah antara 0.0003 sampai 0.0021 mm/tahun. Pada perendaman konsentrasi 0.1molar, kehilangan berat yang terjadi sebesar 0.0004gr dan laju korosinya sebesar 0.0006 mm/tahun. Begitupun yang terjadi pada konsentrasi 0,5 molar, terjadi kehilangan berat sebanyak 0.0006 gram. Pada konsentrasi 1 molar sampai dengan 4 molar terjadi penambahan berat pada logam sampai dengan sebesar 0.0013 gram, hal ini terjadi dikarenakan terdapat endapan pada permukaan logam. Pada konsentrasi 5 molar terjadi pengurangan berat sebanyak 0.0004 gram, hal ini terjadi karena titik lelah lapisan pelindung berada pada konsentrasi 4 molar, sehingga pada konsentrasi 5 molar lapisan sudah tidak dapat melindungi sehingga kembali terjadi kehilangan berat begitu pun pada konsentrasi 6 molar laju korosi semakin meningkat dan terjadi kehilangan berat juga. Selain karena factor pelindung logam aluminium yang sudah tidak dapat melindungi, hal ini juga disebabkan pada konsentrasi tinggi, endapan-endapan yang terbentuk pada permukaan logam akan terlarut.
Efisiensi Inhibisi = Efisiensi Inhibisi =
. 100% .
. .
. 100%
= 54% Vk0 = Nilai rata-rata laju korosi tanpa inhibitor Vki = Nilai rata-rata laju korosi dengan inhibitor Pada eksperimen perendaman dengan asam asetat ini, reaksi yang terjadi pada Aluminium adalah: Al³⁺ + 3CH₃COO⁻ + 2H₂O → Al(OH)₂CH₃COO ↓ + 2CH₃COOH
Sebelum Pelapisan LAJU KOROSI (mm/year)
maka konsentrasi asam asetat akan meningkat, dan mengakibatkan laju korosi menjadi lebih cepat. Sedangkan pada konsentrasi 1M terjadi laju korosi yang sama kecepatannya yaitu 0.00013 mm/tahun. Di konsentrasi 2 sampai 4M, laju korosi pada aluminium yang sudah dilapisi juga lebih cepat (logam bertambah berat) dibandingkan aluminium yang belum dilapisi. Dari kedua eksperimen ini, titik lelah daripada kedua logam berada sama-sama pada konsentrasi 4M, kemudian pada konsentrasi 5M dan 6M kembali terjadi pengurangan berat pada logam yang secara grafis terlihat menurun drastis, namun secara teoritis hal tersebut merupakan peristiwa dimana lapisan pelindung dari aluminium sudah tidak dapat berfungsi sebagai pelindung logam. Efisiensi laju korosi terjadi 54% lebih cepat daripada sebelum dilapisi, berikut uraiannya:
Aluminium bereaksi dengan asam akan menghasilkan gas hidrogen. Reaksi yang semula berjalan lambat, namun setelah lapisan oksidanya habis reaksi akan berlangsung cepat. Berikut adalah formulanya:
0.000 0.000 0.000
Al(s) + 3H+(aq) → Al3+(aq) + 3/2H2(g)
0.000 0
2
4
6
8
KONSENTRASI (Molar)
Korosi yang terjadi pada percobaan perendaman dengan larutan asam asetat ini adalah korosi sumuran (pitting corrosion).
Gambar 1. Grafik Laju Korosi dengan Larutan Asetat Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada perendaman 0.1M dan 0.5M laju korosi pada aluminium yang telah diproteksi membran sellulosa asetat lebih cepat dibandingkan dengan laju korosi sebelum diproteksi. Hal ini terjadi karena bahan pelarut sellulosanya menggunakan asam asetat 99%, sedangkan pada proses perngujiannya dilakukan pada media asam asetat. Dengan adanya pelarut asetat dan juga media perendamannya menggunakan asam asetat ISSN 2549 - 2888
0,1M
0,5M
1M
2M
3M
4M
5M
6M
Gambar 2. Logam yang direndam dengan Larutan Asetat (sebelum dilapisi CA).
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
0,5M
3M
1M
4M
2M
5M
0,1M
Gambar 3. Logam yang direndam dengan larutan Asetat (sesudah dilapisi CA) Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi maka logam aluminium semakin berkilau. Pada eksperimen dengan larutan HCl ini dilakukan perendaman selama 5 menit. Laju korosi yang terjadi sangat cepat dimana pada konsentrasi terendahnya sudah mencapai 0.05324 mm/tahun, ini dikarenakan larutan HCl merupakan larutan asam kuat. Dan laju korosi yang terjadi pun berangsur semakin cepat, semakin besar konsentrasinya laju korosinya semakin cepat. Pada perendaman menggunakan larutan HCl laju korosi tercepat pada saat logam sebelum dilapisi adalah sebesar 1.67956 mm/tahun. Sedangkan laju korosi tercepat pada saat logam sudah dilapisi sebesar 0.80831 mm/tahun. Adapun reaksi kimianya sebagai berikut: 2Al + 6HCl → 2Al³⁺ + 3H₂ ↑ + 6Cl⁻
LAJU KOROSI (mm/year)
Sebelum Pelapisan
Setelah Pelapisan
20.000 15.000 10.000 5.000 0.000 0
2
4
KONSENTRASI (Molar)
Gambar 4. Grafik Laju Korosi dengan Larutan HCl Dari table perbandingan diatas, dapat dilihat bahwa membran sellulosa asetat mampu memperlambat laju korosi sebesar 47.479%.
0,1M
0,5M
0,5M
1M
2M 3M Gambar 6. Logam yang direndam dengan Larutan HCl (sesudah dilapisi CA)
6M
Eksperimen perendaman dengan larutan KOH dilakukan selama 5 menit. Pada larutan basa kuat terjadi abrasi dipermukaan logam akibat dari reaksi ion aluminium dengan ion KOH yang diformulasikan sebagai berikut: Al³⁺ + 3OH⁻ → Al(OH)₃ ↓ Pada reaksi ini terjadi endapan kehitamhitaman pada aluminium hiroksida. Namun endapan tersebut melarut dalam reagensia yang berlebih, dimana ion-ion terhidroksoaluminat terbentuk: Al(OH)₃ + OH⁻ → [Al(OH)]⁻ Sebelum Pelapisan LAJU KOROSI (mm/year)
0,1M
38
Setelah Pelapisan
3.000 2.000 1.000 0.000 0
2
4
6
8
KONSENTRASI (Molar)
Gambar 7. Grafik Laju Korosi dengan Larutan KOH Laju korosi setelah logam dilapisi lebih cepat dibanding sebelum dilapisi dan efisiensi inhibisinya mencapai 255% lajunya lebih cepat dibandingkan sebelum dilapisi. Hal ini terjadi dikarenakan adanya proses deasetilasi dimana proses ini adalah proses terputusnya gugus asetil pada membran sellulosa asetat sehingga kemampuan menempel pada permukaan logam menjadi menurun.
1M
2M 3M Gambar 5. Logam yang direndam dengan Larutan HCl (sebelum dilapisi CA)
Gambar 8. Ilustrasi proses deasetilasi ISSN 2549 - 2888
39
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Dengan terjadinya proses deasetilasi mengakibatkan membran selulosa terlepas dari logam aluminium sehingga mengakibatkan logam bereaksi dengan oksigen dengan menghasilkan padatan Al₂O₃ yang berwarna putih ke-abuabuan, mengikut reaksi sebagai berikut: Al + 0₂ → Al₂O₃ ↓
0,1M
0,5M
1M
2M
erosi, dimana terjadi abrasi pada permukaan logam aluminium. 4) Sellulosa Asetat tidak dapat memprotek logam aluminium pada saat perendaman dengan larutan asetat dan KOH. Sedangkan pada larutan HCl, sellulosa asetat mampu memperlambat laju korosi pada logam aluminium. 5) Pada saat percobaan perendaman logam aluminium yang sudah dilapisi sellulosa asetat pada larutan KOH, terjadi proses deasetilasi yang menyebabkan logam banyak kehilangan berat. DAFTAR PUSTAKA
3M
4M
5M
6M
Gambar 8. Logam yang direndam dengan KOH
0,1M
0,5M
1M
2M
3M 4M 5M 6M Gambar 9. Logam yang direndam dengan KOH (sesudah dilapisi) Pada Gambar 9 dapat kita lihat pada gambar berikut, pada konsentrasi 3M sudah terlihat lepasnya membran dari logam, namun logam tampak berwarna putih keabu-abuan, berbeda dengan pada saat logam direndam pada KOH sebelum dilapisi, logam tampak lebih kehitamhitaman. Semakin tinggi konsentrasinya, proses deastilisasi semakin meningkat dan logam semakin tampak putih ke-abu-abuan (tampak bersih), menandakan ciri dari karakteristik korosi sumuran pada Aluminium. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada laporan tugas akhir Studi Karakterisasi Laju Korosi logam Aluminium dan pelapisan dengan menggunakan membran Sellulosa Asetat, maka dapat diambil beberapa kesimpulan berikut: 1) Pada saat logam direndam pada media atau lingkungan asam lemah, makan yang terjadi adalah korosi sumuran atau pitting corrosion. 2) Lapisan pelindung (film) pada aluminium titik lelahnya terdapat pada konsentrasi 4M pada perendaman larutan asetat. 3) Logam aluminium yang direndam pada media atau lingkungan asam kuat dan basa kuat (HCl dan KOH), yang terjadi adalah korosi
ISSN 2549 - 2888
[1]. Gelman. D., Shvartsev.B, and Ein.E.Y. (2014). Aluminum–Air Battery Based On An Ionic Liquid Electrolyte. Journal of Materials Chemistry A. doi: 10.1039/c4ta04721d. [2]. Gita Anggaretno., Imam Rochani., Heri Supomo. 2012. Korosi pada Pengelasan Pipa API 5L Grade X65 dengan Media Korosi FeCl3. Jurnal Teknik ITS, Vol. 1, No. 1, ISSN: 2301-9271. [3]. In-Joon Son, Nakano Hiroaki, Satoshi Oue, Shigeo Kobayashi, Hisaaki Fukushima, Zenji Horita. (2008). Pitting Corrosion Resistance of Anodized Auminum-Copper Alloy Processed by Severe Plastic Deformation. Jurnal The Japan Institute of Metal, Vol. 49, No. 11 pp. 2648 to 2655, doi: 10.2320/matertrans.MRA2008216. [4]. J.J. Martin, V. Neburchilov, H. Wang, and W. Qu., 2009. Air cathodes for metal-air batteries and fuel cells. In Electrical Power Energy Conference (EPEC), pages 1 –6. [5]. J.R. Davis. (1999). Corrosion of Aluminum and Aluminum Alloys (#06787G). ASMS specialty Handbook International. [6]. Jake.C. Paul.A., Roel.S.S.C. Timm.L. Boris.K., Ralf. Jasim.A. Aleksandar.K. (2012). A Critical Review of Li/Air Batteries. Journal of The Electrochemical Society. doi: 10.1149/2.086202jes. [7]. Jang-Soo Lee, Sun Tai Kim, Ruiguo Cao, Nam-Soon Choi, Meilin Liu, Kyu Tae Lee, and Jaephil Cho. (2011). Metal–Air Batteries with High Energy Density: Li–Air versus Zn–Air. Advanced Energy Materials. doi: 10.1002/aenm.201000010. [8]. Joseph Wang. (2006). Analytical Electrochemistry. 3rd Edition, John Wiley & Sons.Inc, New Jersey. [9]. Kirsi Yliniemi., Benjamin. P. Wilson., Ferdinand Singer., Sarah HÖhn., Eero Kontturi., Sannakaisa Virtanen. 2014. Dissolution Control of Mg by Cellulose Acetate-Polyelectrolyte Membranes. Journal
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
[10].
[11].
[12].
[13].
[14].
American Chemical Society, Vol. 6, pp 2239322399. doi: 10.102/am5063597. Mohamad, A.A. (2008). Electrochemical Properties of Aluminum Anodes in Gel Electrolyte Based Aluminum-Air Batteries. Corrosion Science. Doi: 10.1016/j.corsci.2008.09.001. Natishan, P. M. & O’Grady, W. E. O. (2014). Chloride Ion Interaction with Oxide-Covered Aluminum Leading to Pitting Corrosion: A Review. Journal of The Electrochemical Society, 161 (9) C421-C432, doi: 10.1149/2.1011409jes. Prihandoko Bambang,. & Achmad Subhan. 2011. Pemanfaatan Soda Lime Silica Dalam Pembuatan Komposit Elektrolit Baterai Lithium. Disertasi Fakultas Teknik: Universitas Indonesia. Sagir Alva dan Mohd Rais Ahmad. (2011). Metal-Air Cell and Method of Fabricating Thereof, Patents, WIPO, WO 2011/139140 A2. Sumarji, 2012. Evaluasi Korosi Baja Karbon Rendah ASTM A36 Pada Lingkungan Atmosferik Dikabupaten Jember. Jurnal ROTOR.
40
[15]. Suratman Rochim, (2001). Karakteristik Korosi Aluminium dan Baja Tahan Karat. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, Vol. II, No 1, 27-38. [16]. Tamborim, S. M., Dias, S. L. P., Silva, S. N., Dick, L. F. P., Azambuja, D. S. 2011. Preparation and Electrochemical Caracterization of Amoxicilin-doped Cellulose Acetate Films for AA2024-T3 Aluminum Alloy Coatings. Corrosion Science Elsevier, 53, doi: 10.1016/j.corci.2011.01.034. [17]. Vincenzo. C., & Benedetto.B. (2014). Materials Science Aspects of Zinc–Air Batteries: A Review. Mater Renew Sustain Energy. doi: 10.1007/s40243-014-0028-3. [18]. Yoichiro Yamashita., Takeshi Endo. 2003. Deterioration Behavior of Cellulose Acetate Films in Acidic or Basic Aqueous Solutions. Journal of Applied Polymer Science, Vol. 91, 3354-3361. [19]. Yugang Sun. (2013). Lithium Ion Conducting Membranes for Lithium-Air Batteries. Nano Energy. [20]. Zheng, J.P.,Liang, R.Y.,Hendrickson,M., Plichta,E.J. (2008). Theoretical Energy Density of Li–Air Batteries. J. Electrochem. Soc.
ISSN 2549 - 2888
41
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SUDUT PIPA SIPHON TERHADAP PERFORMASI TURBIN HYDROCOIL DENGAN MENGGUNAKAN METODE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC (CFD) Alief Avicenna Luthfie Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta Email:
[email protected] Abstrak -- Dengan dibangunnya waduk, dibangun pula saluran irigasi untuk lahan pertanian. Saluran tersebut dapat diintegerasikan dengan pemanfaatan waduk sebagai sumber energi listrik tenaga air dengan menggunakan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), dengan catatan tidak boleh mengganggu atau merusak waduk, terutama tanggul waduknya. Pemanfaatan tersebut dapat dicapai menggunakan konfigurasi pipa siphon sebagai penstock. Turbin yang digunakan dalam sistem PLTMH tersebut adalah turbin hydrocoil, turbin ulir dengan panjang pitch yang berubah searah aliran air. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh perubahan sudut pipa siphon terhadap performasi turbin hydrocoil. Pada penelitian ini, variasi sudut pipa siphon adalah 45o dan 90o. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Computational Fluid Dynamic (CFD). Hasil penelitian didapatkan bahwa sudut kemiringan pipa siphon 45o memberikan performasi turbin hydrocoil yang lebih baik dibandingkan sudut kemiringan pipa siphon 90o. Kata kunci: Turbin hydrocoil, pipa siphon, sudut kemiringan, CFD Abstract -- With the construction of reservoirs, irrigation canals are also built. The canals can be integrated with the use of the reservoir as a source of hydroelectric energy by using a system of Micro Hydro Power (MHP), but should not interfere with or damage the reservoir, especially reservoir’s embankment. The utilization can be achieved using the siphon pipe configuration as a penstock. Turbines used in the MHP system is hydrocoil turbine, the screw turbine with pitch that changes the direction of the water flow. This study focused on the effect of changes in the siphon pipe angle to the hydrocoil turbine performance. In this study, the variation siphon pipe angle is 45o and 90o. This research was conducted by using Computational Fluid Dynamics (CFD). The result showed that the tilt angle of 45o provides better turbine performance than tilt angle of 90o. Keywords: Hydrocoil turbine, siphon pipe, tilt angle, CFD 1. LATAR BELAKANG Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan kunci sukses dalam percepatan pembangunan suatu negara, baik pembangunan ekonomi maupun sosial. Pembangunan infrastruktur di sektor pangan salah satunya adalah penambahan jumlah waduk. Dengan dibangunnya waduk, dibangun pula saluran irigasi untuk lahan pertanian. Saluran tersebut dapat diintegerasikan dengan pemanfaatan waduk sebagai sumber energi listrik tenaga air dengan menggunakan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), dengan catatan tidak boleh mengganggu atau merusak waduk, terutama tanggul waduknya. Pemanfaatan tersebut dapat dicapai menggunakan konfigurasi pipa siphon sebagai penstock karena dengan konfigurasi pipa siphon, air dapat dialirkan keluar dari waduk melewati bagian atas tanggul waduk tersebut baru kemudian air dialirkan turun menyusuri tanggul dan dialirkan menuju turbin air. Dengan demikian, kemiringan pipa siphon ada hubungannya dengan kemiringan waduknya. Turbin yang digunakan dalam sistem PLTMH tersebut adalah turbin hydrocoil, turbin ulir yang ISSN 2549 - 2888
memiliki panjang pitch semakin mengecil searah aliran air yang melaluinya. Gambar skematik pemanfaatan embung atau waduk sebagai sumber energi listrik yang terintegrasi dengan system PLTMH ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Pada Gambar 1.1 tampak bahwa θ merepresentasikan sudut kemiringan pipa siphon.
Gambar 1.1 Skematik Sistem PLTMH yang Menggunakan Turbin Hydrocoil dan Konfigurasi Pipa Siphon Sebagai Penstocknya
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Keterangan Gambar 1.1 adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Tanggul Waduk Pipa Siphon Pompa Vakum Turbin Hydrocoil
5. Generator 6. Draft Tube 7. Tailrace
Sebelum sistem PLTMH tersebut diaplikaiskan di waduk, perlu diadakan penelitian dalam skala laboratorium dan analisa simulasi menggunakan kompuuter atau lebih dikenal dengan istilah Computational Fluid Dynamics (CFD). Berkaitan dengan hal ini, maka penelitian ini dititikberatkan pada analisa pengaruh perubahan sudut kemiringan pipa siphon terhadap performasi turbin hydrocoil. Tujuan penelitian ini adalah untuk pengaruh perubahan sudut kemiringan pipa siphon terhadap performasi turbin hydrocoil.
42
Sistem pembangkit listrik tenaga air yang mampu menghasilkan kapasitas daya listrik yang relatif besar biasanya dihubungkan dengan jaringan listrik yang sudah ada guna menunjang jaringan tersebut dalam memenuhi kebutuhan listrik. Jika kapasitas daya listrik yang dihasilkan sistem tersebut relatif kecil, biasanya sistem tersebut tidak dihubungkan ke jaringan dan dipakai sebagai sistem stand-alone. Terdapat perbedaan di berbagai negara mengenai klasifikasi sistem pembangkit listrik tenaga air berdasarkan kapasitas daya yang dihasilkan. Meski demikian, menurut Singh (2009), klasifikasi yang secara umum digunakan dapat ditunjukkan oleh Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air Tipe Large-Scale
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkit Listrik tenaga Mikro Hidro
MediumScale Small-Scale
Tenaga air (Hydropower) adalah salah satu sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan yang dapat digunakan untuk membangkitkan energi listrik. Konsep sistem pembangkit listrik yang menggunakan tenaga air telah digunakan sejak lama karena kesederhanaannya. Sistem pembangkit listrik tenaga air ini pertama kali dikomersialkan pada tahun 1882. Sistem tersebut menggunakan kincir air sebagai alat untuk menggerakkan generator dan dipasang di Sungai Fox di Wisconsin. Sistem pembangkit listrik tenaga air biasanya bekerja berdasarkan kombinasi head dan debit. Aliran air dialirkan melalui pipa yang diarahkan menurun lalu menghantam sudu turbin dan memutar turbin. Tekanan air pada ujung pipa sebelum menghantam turbin dihadapatkan dari vertical drop atau head. Tekanan ini kemudian menghasilkan gaya yang akan memutar turbin. Putaran turbin ini kemudian dihubungkan dengan generator untuk menghasilkan listrik. Jika dilihat dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa semakin deras aliran air dan semakin tinggi head maka akan menghasilkan listrik yang lebih banyak. Menurut Leon dan Zhu (2014), daya listrik potensial yang dapat dihasilkan oleh sistem pembangkit listrik tenaga air dapat dihitung menggunakan persamaan (2.1). Pada persamaan tersebut, ρ adalah masa jenis air; Q adalah debit air; H adalah Head; dan η adalah efisiensi dari sistem yang melipitu efisiensi sistem perpipaan yang digunakan, efisiensi turbin, dan efisiensi generator. PT = ρ x Q x H x η
(2.1)
Mini-Scale Micro-Scale Pico-Scale
Kapasitas >100 MW, biasanya dihubungkan dengan jaringan listrik skala besar 15 – 100 MW, biasanya dihubungkan ke jaringan 1 – 15 MW, biasanya dihubungkan ke jaringan 100 kW – 1 MW, biasanya standalone, tetapi lebih sering dihubungkan ke jaringan 5 – 100 kW, biasanya digunakan di daerah-daerah terpencil <5 kW
Dewasa ini, kebutuhan akan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) semakin meningkat, khususnya di daerah-daerah pedesaan dan daerah-daerah terpencil. Listrik yang dihasilkan biasanya digunakan untuk penerangan dan penunjang kegiatan ekonomi di daerah-daerah tersebut. Komponen-komponen penting dalam sebuah sistem PLTMH antara lain adalah forebay, penstock, turbin, generator, dan tailrace. Forebay adalah penampungan air sebelum air dialirkan menuju turbin guna mendapatkan head yang diinginkan. Penstock adalah saluran pipa yang menghubungkan forebay dengan turbin. Secara umum, penstock dibuat pendek, lurus, dan menurun. Turbin adalah sebuah mesin mekanik yang terdiri atas stasioner dan runner. Stasioner adalah bagian turbin yang diam sementara runner adalah bagian turbin yang berputar. Generator adalah alat untuk membangkitkan energi listrik. Pada sistem PLTMH, generator dapat bekerja membangkitkan listrik karena dihubungkan dengan runner turbin. Tailrace adalah saluran keluaran yang dihubungkan dengan sisi keluaran (outlet) turbin. Energi yang dimiliki oleh aliran air saat melewati tailrace tidak dapat dimanfaatkan kembali, oleh karenanya sebelum air mengalir melalui tailrace, energi yang dimiliki aliran air tersebut harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
ISSN 2549 - 2888
43
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Putaran turbin akan berpengaruh pada daya turbin yang dihasilkan. Hubungan antara keduanya ditunjukkan oleh persamaan (2.2). Persamaan tersebut disebut Persamaan Euler oleh karenanya daya turbin yang dihitung dengan persamaan tersebut disebut juga Daya Euler (PEU). Dari persamaan (2.2) tampak bahwa daya turbin sebanding dengan putaran turbin per menit (N) dan juga sebanding dengan Torsi Euler (TEU) yang bekerja pada turbin. Pada persamaan tersebut, r1 dan vθ1 masing-masing adalah jari-jari sudu sisi masukan dan kecepatan tangensial air di sisi masukan semenetara r2 dan vθ2 masingmasing adalah jari-jari sudu sisi keluaran dan kecepatan tangensial air di sisi keluaran. Komponen kecepatan tangensial pada persamaan tersebut dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.9 melalui segitiga kecepatan yang terbentuk pada sudu individual turbin berdasarkan penelitian Stark dkk (2011).
pompa. Pompa hanya dibutuhkan saat pertama kali pipa siphon dioperasikan agar cairan mampu naik sampai ke “punuk” pipa siphon, setelah itu air dibiarkan jatuh bebas mengalir menuju bejana yang lebih rendah. Tekanan total (Ptot) suatu titik di dalam pipa berhubungan dengan tekanan statis titik tersebut dan kecepatan aliran air yang melewati titik tersebut. Secara matematis, persamaan tekanan total ditunjukkan oleh persamaan (2.3) dengan ρ dan v masing-masing adalah masa jenis air dan kecepatan rata-rata air yang melewati titik tersebut. Tekanan statis (Pstat) pada persamaan (2.3) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.4) dengan g dan h masing-masing adalah percepatan gravitasi dan kedalaman titik tersebut. Ptot = Pstat =
=
.
=
+ ρgh
1 2
(2.3) (2.4)
̇ .( −
)
2 60
(2.2)
2.2 Pipa Siphon Konfigurasi pipa siphon secara sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Pipa Siphon adalah konfigurasi pipa yang dapat digunakan untuk memindahkan air dari satu bejana ke bejana lain yang lebih rendah dengan terlebih dahulu menaikkannya sampai ke level tertentu sehingga membentuk “punuk”.
Menurut Sniegocki dan Reed (1963), analisis aliran di dalam Pipa Siphon sebagaimana tampak pada Gambar 2.1 dapat dilakukan dengan menggunakan Persamaan Bernoulli. Jika semua rugi-rugi aliran diabaikan, maka Persamaan Bernoulli yang terbentuk ditunjukkan oleh persamaan (2.5) dengan v adalah P adalah tekanan fluida, ρ adalah massa jenis fluida, g adalah percepatan gravitasi, v adalah kecepatan rata-rata fluida, dan z adalah beda ketinggian fluida terhadap suatu referensi. Permukaan cairan di Bejana A dianggap sebagai kondisi 1 dan diberi subscript 1 sementara permukaan cairan di Bejana B dianggap sebagai kondisi 2 dan diberi subscript 2. +
2
+
=
+
2
+
(2.5)
2.3 Turbin Hydrocoil
Gambar 2.1 Konfigurasi Pipa Siphon (Sniegocki dan Reed, 1963) Pada prinsipnya, ketika pipa siphon terisi cairan, maka cairan di dalam pipa siphon tersebut akan terus mengalir walaupun tanpa bantuan ISSN 2549 - 2888
Jenis turbin yang digunakan pada penelitian ini adalah turbin reaksi yang dinamakan turbin hydrocoil. Turbin hydrocoil juga dikenal sebagai helical drive power generator karena turbin tersebut memiliki sudu yang berbentuk helical coil. Secara skematis, bentuk Turbin Hydrocoil ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Turbin hydrocoil mampu bekerja pada head dan laju alir yang rendah. Turbin air jenis lain, misalnya turbin pelton, turbin francis, dan turbin kaplan, tidak mampu bekerja pada kedua kondisi tersebut, karena turbin-turbin tersebut memerlukan head yang tinggi atau debit yang tinggi.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Gambar 2.2 Gambar Skematis Turbin Hydrocoil (Aprilliyanto dkk, 2013) 2.4
Computational Fluid Dynamic
Menurut Lomax dkk (1999), Computational Fluid Dynamic (CFD) adalah sebuah metode yang digunakan untuk memahami fenomena-fenomena fisis yang terjadi di sekitar benda uji dan di dalam benda uji. Fenomena-fenomena fisis tersebut antara lain disipasi, difusi, konveksi, gelombang kejut, slip surfaces, boundary layers, dan turbulensi. Fenomena-fenomena tersebut adalah fenomena-fenomena non-linear, sehingga tidak memiliki solusi analitik. Hal inilah yang mendasari solusi yang dikeluarkan oleh CFD adalah solusi numeris. Dengan menggunakan metode CFD, fenomena-fenomena fisis yang terjadi di sekitar dan di dalam benda uji dapat dengan mudah dianalisis. Fenomena-fenomena tersebut sulit dideteksi dengan metode ekssperimental, oleh karenanya CFD banyak digunakan untuk analisa mendetail berkaitan dengan fenomena-fenomena tersebut. Metode CFD juga mampu menekan biaya dan waktu yang diperlukan dalam menganalisis fenomena-fenomena tersebut karena metode CFD dilakukan secara komputerisasi. Berdasarkan Lomax dkk (1999), langkahlangkah yang dilakukan dalam penggunaan metode CFD adalah sebagai berikut: 1. Pendefinisian masalah dan persiapan geometri, 2. Pemilihan governing equations dan boundary conditions, 3. Pemilihan gridding strategy dan metode numeris, dan 4. Penilaian dan interpretasi hasil. Langkah pertama, pendefinisian masalah dan persiapan geometri, adalah langkah mendefinisikan masalah yang akan dianalisa dan persiapan bentuk geometri dari benda uji. Bentuk geometri dari benda uji dapat berasal dari benda yang sudah ada ataupun dari rancangan. Kondisi aliran seperti nilai bilangan Reynold dari aliran yang melewati benda uji juga didefinisikan di tahap ini. Pada perangkat lunak ANSYS, tahap ini dinamakan Geomatry dan dikerjakan dengan menggunakan Design Modeller.
44
Langkah kedua, pemilihan governing equation dan boundary conditions, adalah langkah dalam memilih governing equation yang akan digunakan dan memilih boundary conditions yang diperlukan. Governing equation dalam hal ini adalah persamaan konservasi masa, momentum, dan energi. Pemilihan governing equation dapat berupa penyederhanaan dari tiga persamaan konservasi tersebut. Pemilihan governing equation juga berkaitan dengan perhitungan turbulensi yang diperlukan. Pemilihan boundary condition berkaitan dengan kondisi pada batas domain yang terjadi. Berdasarkan ANSYS (2013), boundary condition pada domain fluida yang dipilih dapat berupa aliran masuk (inlet), aliran keluar (outlet), bukaan (opening), wall, dan symmetry plane. Boundary condition berupa inlet, outlet, dan opening biasanya digunakan pada sisi masukan dan keluaran domain yang diuji. Pemilihan boundary condition juga sangat penting. Berdasarkan ANSYS (2013), ANSYS menyediakan urutan 5 macam kemungkinan boundary condition berdasarkan ketahanannya (robustness) dalam perhitungan, yaitu: 1. Paling tahan: kecepatan/laju alir masa di bagian sisi masukan dan tekanan statis di bagian sisi keluaran. 2. Tahan: Tekanan total di sisi masukan dan kecepatan/laju alir masa di sisi keluaran. 3. Sensitif terhadap asumsi awal: Tekanan total di sisi masukan dan tekanan statis di sisi keluaran. 4. Sangat tidak handal: Tekanan statis di sisi masukan dan tekanan statis di sisi keluaran. 5. Tidak mungkin: Tekanan total di sisi keluaran. Langkah ketiga, yaitu pemilihan gridding strategy dan metode numeris, adalah langkah dalam memilih model pencacahan benda uji atau biasa disebut sebagai mesh. Pada ANSYS CFX 15.0, berbagai metode strategi dalam meshing adalah tetrahedrons, hex dominant, sweep, dan multizone. Metode numeris dalam CFD antara lain finite-difference, finite-volume, finite-element, dan sebagainya. Berdasarkan ANSYS (2013), ANSYS CFX menggunakan metode finite-volume. Hal ini karena analisa ANSYS CFX berdasarkan mesh yang merupakan finite-volume. Langkah keempat, yaitu penilaian dan interpretasi hasil, adalah langkah saat hasil simulasi yang dilakukan dengan metode CFD didapatkan dan dianalisa. Pada langkah ini, biasanya terdapat visualisasi dari aliran yang dianalisa. Pada tahap ini pula dilakukan verifikasi dengan kondisi yang sebenarnya agar data yang didapatkan dari hasil simulasi dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
ISSN 2549 - 2888
45
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Urutan langkah-langkah tersebut tidak mutlak, karena pada perangkat lunak ANSYS, langkah kedua dan langkah ketiga saling bertukar tempat, sehingga, pemilihan gridding strategy dilakukan lebih dahulu sebelum melakukan pemilihan governing equation dan boundary layer. 3.
tampak pada Gambar 3.2.
METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 3.1 menunjukkan diagram alir penelitian ini.
Gambar 3.2 Gambar Skematik Desain Penelitian Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, variasi nilai θ adalah 45o dan 90o. Dimensi turbin hydrocoil yang digunakan ditunjukkan oleh Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Dimensi Turbin Hydrocoil Pada penelitian inivariasi kecepatan putar untuk mendapatkan grafik performasi turbin hydrocoil adalah 500 rpm, 800 rpm, 1.100 rpm, dan 1.400 rpm. Model turbulensi yang digunakan pada penelitian ini adalah k-ε. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 4.1 sampai 4.4 menunjukkan contour kecepatan fluida yang terjadi pada turbin hydrocoil dengan sudut kemiringan pipa siphon sebesar 45o.
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Konfigurasi pipa siphon pada penelitian ini menggunakan skala laboratorium, sebagaimana
ISSN 2549 - 2888
Gambar 4.1 Contour Kecepatan Fluida Pada Turbin Hydrocoil Dengan Kecepatan Putar 500 rpm
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
46
Tabel 4.1 Nilai Torsi, Daya, dan Efisiensi Turbin Hydrocoil Hasil Simulasi Dengan Sudut Kemiringan Pipa Siphon Sebesar 45o
Gambar 4.2 Contour Kecepatan Fluida Pada Turbin Hydrocoil Dengan Kecepatan Putar 800 rpm
Kecepatan Putar (RPM) 500
Torsi [Nm]
Daya (Watt)
Efisiensi (%)
21,740
1.138,293
39,607
800
14,916
1.249,583
43,480
1.100
10,760
1.239,486
43,128
1.400
7,042
1.032,460
35,925
Sudut kemiringan pipa sebagaimana disimbolkan dengan θ pada Gambar 3.2, memberikan pengaruh pada performasi turbin hydrocoil. Variasi sudut kemiringan tersebut adalah 45o dan 90o. Desain Pipa Siphon dengan sudut kemiringan sebesar 90o tampak seperti Gambar 4.5.
Gambar 4.3 Contour Kecepatan Fluida Pada Turbin Hydrocoil Dengan Kecepatan Putar 1.100 rpm
Gambar 4.4 Contour Kecepatan Fluida Pada Turbin Hydrocoil Dengan Kecepatan Putar 1.400 rpm Torsi turbin dapat diketahui dari hasil simulasi CFD. Daya turbin dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.2). Daya potensial yang mampu dibangkitkan oleh turbin dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.1) dengan mengasumsikan efisiensi turbin sebesar 80%. Perbandingan daya turbin dan daya potensial akan menunjukkan efisiensi turbin hasil simulasi. Tabel 4.1 menunjukkan nilai torsi, daya turbin, dan efisiensi turbin hasil simulasi CFD dengan sudut kemiringan pipa siphon sebesar 45o.
Gambar 4.5 Desain Pipa Siphon Dengan Sudut Kemiringan 90o Sebagai Penstock Turbin Hydrocoil Gambar 4.6 menunjukkan streamline kecepatan air yang terjadi. Pada gambar tersebut tampak bahwa sebelum memasuki turbin, air mengalami turbulensi dan menimbulkan efek swirl, sehingga air memiliki kecepatan arah tangensial lebih besar di sisi inlet turbin dibandingkan dengan pipa siphon dengan sudut 45o. Berdasarkan persamaan (2.2) hal ini tentu berpengaruh pada torsi yang diserap oleh turbin. Dengan meningkatnya kecepatan tangensial pada sisi masukan turbin, torsi yang diserap oleh turbin akan mengecil, karena perbedaan kecepatan tangensial antara sisi masukan turbin dan sisi keluaran menjadi semakin kecil. ISSN 2549 - 2888
47
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
dan sisi outlet turbin. Semakin kecil perbedaan kecepatan tersebut, maka akan semakin kecil pula nilai torsinya. Semakin kecil nilai torsi akan berakibat semakin kecil daya yang dihasilkan. NOMENKLATUR Adapun simbol dan definisi kosakata pada penelitian ini adalah:
Gambar 4.6 Efek Swirl yang Terjadi Di Sisi Masukan Turbin Pada Pipa Siphon Dengan Sudut Kemiringan 90o Tabel 4.2 menunjukkan nilai torsi, daya turbin, dan efisiensi turbin hasil simulasi CFD dengan sudut kemiringan pipa siphon sebesar 90o. Tabel 4.2 Nilai Torsi, Daya, dan Efisiensi Turbin Hydrocoil Hasil Simulasi Dengan Sudut Kemiringan Pipa Siphon Sebesar 90o Kecepatan Putar (RPM) 500 800 1.100 1.400
Torsi [Nm]
Daya (Watt)
Efisiensi (%)
20,644 14,612 10,250 6,387
1.080,912 1.224,107 1.180,750 936,393
37,611 42,593 41,085 32,582
Dengan membandingkan nilai-nilai pada Tabel 4.1 dan tabel 4.2 tampak bahwa pipa siphon dengan sudut kemiringan sebesar 90o akan menurunkan performasi turbin hydrocoil. 5. KESIMPULAN Sudut kemiringan Pipa Siphon memberikan pengaruh terhadap performasi turbin hydrocoil. Hasil simulasi menunjukkan bahwa performasi turbin hydrocoil (yang ditandai dengan torsi, daya, dan efisiensi turbin) pada pipa siphon dengan sudut kemiringan sebesar 90o lebih buruk dibandingkan performasi turbin hydrocoil pada pipa siphon dnegan sudut kemiringan sebesar 90o. Hal ini berkaitan dengan mengecilnya perbedaan kecepatan tangensial antara sisi inlet
ISSN 2549 - 2888
CFD PT PEU ρ g H η TEU ω r vθ v Ptot Pstat h z
Computational Fluid Dynamic Daya potensial turbin Daya Euler Massa jenis fluida Percepatan gravitasi Head sistem Efisiensi turbin Torsi euler Kecepatan sudut runner turbin Jari-jari runner turbin Kecepatan tangensial fluida Kecepatan rata-rata fluida Tekanan total Tekanan statik Kedalaman titik pada fluida diam Beda ketinggian tterhadap referensi
DAFTAR PUSTAKA [1]. ANSYS, 2013, ANSYS CFX-Solver Modelling Guide. [2]. Aprilliyanto, A., Indarto, Prajitno, 2013, Design of A Prototype Hydrocoil Turbine Applied As Micro Hydro Solution, ASEAN Journal of System Engineering, Vol. 1, 72-76. [3]. Leon, A. S., Zhu, L., 2014, A Dimensional Analysis for Determining Optimal Discharge and Penstock Diameter in Impulse and Reaction Turbine, Renewable Energy Elsevier, Vol. 00, 1-14. [4]. Lomax, H., Pulliam, T. H., Zingg, D. W., 1999, Fundamentals of Computational Fluid Dynamics, Toronto, NASA Anes Research Centre. [5]. Sniegocki, R.T. dan Reed, J.E., 1963, Principles of Siphons With Respect to the Artificial-Recharge Studies in the Grand Prairie Region Arkansas, Geological Survey Water-Supply Paper. [6]. Stark, B.H., Ando, E., Hartley, G., 2011, Modelling and Performance of A Small Siphonic Hydropower System, Renewable Energy, Vol. 36, 2.451-2.464.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
48
ANALISIS POSISI PELAT PEREDAM G ERAK LATERAL CAIRAN DI DALAM TRUK TANGKI OVAL YANG DIMODIFIKASI MENGGUNAKAN KOMPUTASI DINAMIKA FLUIDA Iwan Kurniawan Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta Email:
[email protected] Abstrak -- Dalam operasinya, truk tangki yang membawa beban cair memiliki resiko kecelakaan yang tinggi dibandingkan kendaraan yang mengangkut benda padat, mayoritas terguling saat melewati tikungan. Salah satu penyebab utama truk tangki terguling adalah adanya gerak periodik permukaan bebas cairan dalam tangki yang tidak terisi penuh atau yang dikenal dengan sloshing. Besarnya gaya yang timbul akibat gerakkan cairan dan pergeseran koordinat pusat massa cairan yang diangkut mempengaruhi momen guling yang terjadi pada truk tangki. Besarnya momen guling mengakibatkan nilai ambang batas terguling atau rollover threshold akan lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan dengan muatan padat. Semakin rendah nilai ambang batas terguling maka kecenderungan kendaraan untuk terguling akan semakin tinggi. Pelat peredam atau baffle dalam tangki biasa digunakan sebagai cara yang efektif untuk meredam gerakan cairan sehingga momen guling dapat diredam. Penelitian dilakukan dengan simulasi model tangki dengan program komputasi dinamika fluida FLUENT untuk mengetahui posisi baffle yang paling optimal untuk meredam gaya sloshing dan momen guling yang dihasilkan. Simulasi dilakukan pada satu kompartemen tangki penampang oval yang dimodifikasi dengan variasi ketinggian air dalam tangki 30%, 50%, 70% dan 90% dan besar percepatan lateral 0,3g. Desain baffle yang dibandingkan terdiri dari H-V Baffle, Diagonal Baffle, H-V-D Baffle, V-D Baffle, Baffle A dan Baffle B. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelat peredam H-V-D Baffle adalah pelat peredam terbaik untuk truk tangki oval yang dimodifikasi, karena mampu meredam momen guling lebih baik dari pelat peredam lain pada tinggi cairan 30%,70% dan 90%. Pelat peredam V-D Baffle bisa menjadi alternatif, karena dengan jumlah pelat peredam yang lebih sedikit dari H-V-D Baffle, mampu meredam momen guling dengan redaman yang optimal pada semua ketinggian cairan dengan selisih yang tidak signifikan, bahkan redaman momen guling pada tinggi cairan 50% lebih baik dari H-V-D Baffle. Kata kunci: Sloshing, Baffle, gaya sloshing, momen guling, FLUENT Abstract -- In the operation, tanker truck carrying amount of liquid has a high risk of accidents if compared to the vehicle transporting solid objects, mainly happen when the truck passing the radius turn. One of the main causes rollover on the truck is the periodic motion of the free surface of the liquid in partially filled tank or known by sloshing. The amount of force that arises as a result of fluid motion and shifting the coordinates of the center of mass of the fluid being transported affect roll moment that occured in the tank. The amount of roll moment resulting rollover threshold value will be lower compared to a vehicle with a solid load. The lower rollover threshold value, the risk of vehicle rollover wil be higher. Baffles in the tank is used as an effective way to reduce the movement of the liquid so that the rollover moment can be reduced. The study was conducted with a simulation model of the tank using the computational fluid dynamics software FLUENT to determine the most optimal baffle position to dampen the sloshing force and the generated moment. Simulations performed on a single compartment tank modified oval cross-section with a variation fill level of water in the tank 30%, 50%, 70% and 90% and lateral acceleration 0,3g. Compared baffle position that consists of H-V Baffle, Diagonal Baffle, H-V-D Baffle, V-D Baffle, Baffle A and Baffle B. The study result showed that H-V-D Baffle is the best for the modified oval tank, as capable of reducing roll moment better than another baffle positions at fill level 30%, 70% and 90%. V-D Baffle can be an alternative, because of the number of plates damper less than H-V-D Baffle, able to dampen the roll moment optimally on all fluid levels, even damping roll moment at 50% liquid level better than H-V-D Baffle. Keywords: Sloshing, Baffle, sloshing force, roll moment, FLUENT 1. PENDAHULUAN Dalam operasinya, truk tangki memiliki resiko kecelakaan yang tinggi dibandingkan kendaraan kargo yang mengangkut benda padat, mayoritas terguling saat melewati tikungan. Salah satu penyebab utama truk tangki terguling adalah adanya gerak periodik permukaan bebas cairan
dalam tangki atau kontainer yang tidak terisi penuh atau yang dikenal dengan sloshing yang menyebabkan ketidakstabilan pada kendaraan (Koli, 2010). Besarnya gaya yang timbul akibat gerakan cairan dan pergeseran koordinat pusat massa cairan yang diangkut mempengaruhi momen guling yang terjadi pada truk tangki. Momen guling akibat gaya sloshing ISSN 2549 - 2888
49
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
mengakibatkan nilai ambang batas guling atau rollover threshold akan lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan dengan muatan padat. Semakin rendah nilai ambang batas guling maka kecenderungan kendaraan untuk terguling akan semakin tinggi (Romero, 2005). Pelat peredam atau baffle dalam tangki biasa digunakan sebagai cara yang efektif untuk meredam gerakan cairan selain berfungsi memperkuat struktur tangki (Kandasamy, 2010). Dengan demikian diperlukan penelitian untuk mengetahui posisi pelat peredam yang optimal untuk tangki penampang oval yang dimodifikasi untuk meredam momen guling yang terjadi. Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah: 1) Belum diketahui besar redaman pelat peredam terhadap momen guling yang timbul akibat gerak lateral cairan pada truk tangki oval yang dimodifikasi ketika melewati tikungan. 2) Belum diketahui posisi pelat peredam yang optimal untuk meredam momen guling dalam tangki oval yang dimodifikasi.
vertikal (H-V Baffle), pelat peredam diagonal (Diagonal Baffle), dan pelat peredam horisontalvertikal-diagonal (H-V-D Baffle) dengan rasio panjang 0,75. Pelat peredam dari dua perusahaan manufaktur truk tangki di Indonesia, yaitu Baffle A dan Baffle B, dan usulan posisi pelat peredam yaitu pelat peredam vertikal-diagonal (V-D Baffle) juga akan dianalisa dan dibahas lebih rinci di pembahasan.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui besar redaman pelat peredam terhadap momen guling yang disebabkan oleh gerakan lateral cairan di dalam tangki oval yang dimodifikasi. 2) Mengetahui posisi pelat peredam yang optimal dari beberapa posisi yang dianalisa untuk meredam momen guling pada tangki oval yang dimodifikasi.
2.1 Level Pengisian Cairan di Dalam Tangki
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah desainer truk tangki dapat menggunakan posisi pelat peredam yang optimal yang ditemukan untuk diterapkan pada tangki dengan penampang oval yang dimodifikasi. Dengan demikian momen guling yang terjadi dapat diredam secara optimal, dan resiko kecelakaan truk tangki dapat diantisipasi lebih awal ketika proses desain dilakukan. Untuk membandingkan kinerja beberapa posisi pelat peredam pada tangki penampang oval yang dimodifikasi, penelitian dilakukan pada satu kompartemen tangki dengan panjang 1480 mm. Dimensi Tangki yang diteliti adalah tangki yang diproduksi oleh sebuah perusahaan di Tangerang-Banten. Fluida yang diangkut oleh truk tangki adalah air, dengan ketinggian air dalam tangki pada 30%, 50%, 70% dan 90%. Penelitian dilakukan pada truk tangki yang sedang melewati tikungan dengan percepatan lateral 0,3g, yang merupakan percepatan kritis kendaraan yang bergerak kearah ketidakstabilan. Posisi pelat peredam yang dibandingkan kinerjanya adalah pelat peredam horisontalISSN 2549 - 2888
2. TINJAUAN PUSTAKA Manuver yang dilakukan pada truk tangki yang terisi sebagian menyebabkan gerakan muatan cair atau sloshing dalam tangki, yang merupakan ancaman serius bagi kestabilan truk tangki tersebut (Romero, 2005). Gerakan muatan cair dalam tangki yang terisi sebagian ditentukan oleh sejumlah parameter yang berhubungan dengan desain tangki dan pengoperasian seperti geometri tangki, kapasitas tangki, level pengisian cairan di dalam tangki, sifat cairan, dan sifat eksitasi yang ditentukan oleh konfigurasi kendaraan, kecepatan dan manuver (Dasgupta, 2011).
Truk tangki yang beroperasi untuk mensuplai beberapa lokasi, akan mengangkut muatan dalam kondisi terisi sebagian. Level cairan di dalam tangki secara langsung berhubungan dengan inersia fluida, tinggi pusat massa dan potensi pergeseran beban sehingga mempengaruhi gaya dan momen akibat gerakan cairan dalam tangki. Karakteristik gerakan cairan dalam tangki memiliki ketergantungan yang kuat terhadap level cairan dan bentuk penampang tangki. Semakin tinggi cairan di dalam tangki akan menyebabkan momen guling semakin besar karena inersia fluida dan pusat massa yang lebih tinggi. Tangki yang terisi sebagian dengan penampang tangki yang lebih lebar seperti modified oval dan elips menyebabkan kondisi tunak pergeseran muatan semakin tinggi dan dengan demikian momen guling semakin besar tapi dengan pusat massa yang lebih rendah. Sedangkan tangki dengan penampang bundar akan menyebabkan pusat massa relatif lebih tinggi tapi pergesaran muatan yang relatif lebih rendah. Sebaliknya, semakin rendah cairan di dalam tangki akan menghasilkan variasi yang lebih besar pada momen guling yang disebabkan peningkatan pergeseran pusat massa dan gerakan cairan yang lebih besar (Dasgupta, 2011). 2.2 Geometri Tangki Besarnya gerakan cairan sangat dipengaruhi oleh batas yang dibentuk oleh geometri tangki. Adanya pelat peredam di dalam tangki membentuk batas
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
tambahan sehingga mempengaruhi gerakan cairan secara signifikan. Bentuk penampang dan panjang tangki bersama bentuk dan jumlah pelat peredam mempengaruhi gerakan cairan dan dengan demikian mempengaruhi batas kestabilan truk tangki yang terisi sebagian. Penelitian pada tangki yang diskala dengan bentuk penampang bundar, elips dan modified oval mengungkapakan bentuk tangki modified oval menghasilkan redaman tertinggi dan tangki bundar menghasilkan redaman terendah terhadap gerakan cairan dalam tangki (Romero, 2005).
50
mengetahui pengaruh pelat peredam terhadap redaman gerakan cairan, gaya dan momen pada dinding tangki. Penelitian tersebut mensimulasikan truk tangki sedang melewati tikungan radius konstan dengan percepatan lateral 0,3g.
Gambar 2.2 Posisi Baffle yang diteliti (Tanugula, 2001)
Gambar 2.1 Bentuk penampang tangka (Kang, 1999) Dalam penelitiannya (Kang, 1999) menyatakan bahwa, tangki penampang bundar menghasilkan lokasi pusat massa yang tinggi, tetapi transfer beban lateral yang kecil pada level pengisian cairan rendah ketika mendapatkan percepatan lateral akibat melewati tikungan. Sedangkan tangki modified oval menghasilkan pusat massa yang lebih rendah dan transfer beban lateral yang lebih besar pada level pengisian yang rendah, bila dibandingkan dengan tangki penampang bundar. Dari penelitianpenelitian yang telah dilakukan pada batas kestabilan guling truk tangki yang terisi sebagian diungkapkan bahwa penampang tangki bundar lebih disukai untuk level pengisian rendah, sedangkan tangki modified oval lebih disukai untuk level pengisian tinggi. 2.3 Alat Peredam Sloshing Pelat peredam atau baffle dalam tangki biasa digunakan sebagai cara yang efektif untuk meredam gerakan cairan selain berfungsi memperkuat struktur tangki (Kandasamy, 2010). Penelitian yang dilakukan (Tanugula, 2001) pada tangki bundar dan tangki elips dengan 4 desain pelat peredam dengan rasio panjang pelat peredam terhadap jari-jari tangki yang berbeda yaitu 0, 0,25, 0,5, dan 0,75. Penelitian tersebut dilakukan untuk tinggi cairan dalam tangki yang berbeda yaitu 30%, 50%, 70% dan 90%. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk
Kesimpulan akhir dari penelitian tersebut adalah pelat peredam horisontal-vertikal adalah konfigurasi terbaik untuk mengurangi momen puncak dan gerakan cairan pada level pengisian 30%, 50%, 70%, dan 90%, bentuk tangki bundar dan elips pada saat melewati tikungan dengan radius konstan. 2.4 Gaya Sloshing dan Momen Guling pada Kondisi Quasi Static Penelitian yang dilakukan (Tehrani, 2005), gerakan muatan cair di dalam truk tangki bundar yang terisi sebagian diasumsikan pada kondisi quasi static. Momen guling yang terjadi ,Mz, terhadap titik O pada dasar tangki akibat gerakan cairan di dalam tangki bundar dengan jari-jari R yang bergerak dengan percepatan lateral ax dan percepatan gravitasi g di rumuskan sebagai berikut: Mz = Fx,qs.(R-y) + Fy,qs.x
(2.1)
Gaya sloshing lateral Fx dan Gaya sloshing vertikal Fy pada kondisi quasi static dihitung dengan persamaan: Fx,qs = m.ax Fy,qs = m.g Dimana Mz : Momen Guling terhadap titik O, N.m Fx,qs : Gaya Sloshing Lateral kondisi static, N Fy,qs : Gaya Sloshing Vertikal kondisi static, N R : Jari-jari tangki, m x : Pusat massa cairan arah sumbu-x, m y : Pusat massa cairan arah sumbu-y, m m : Massa cairan dalam tangki, kg ax : Percepatan lateral, m/s2 g : Percepatan gravitasi bumi, m/s2
(2.2) (2.3)
quasi quasi
ISSN 2549 - 2888
51
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Dari persamaan 2.1 terlihat bahwa momen guling dipengaruhi oleh besar gaya lateral dan gaya vertikal, disamping itu juga dipengaruhi oleh besarnya pergeseran pusat massa pada sumbu-x dan tinggi pusat massa dari titik O. Dengan demikian, semakin besar gaya sloshing lateral dan vertikal yang terjadi, dan semakin besar pergeseran pusat massa cairan, maka momen guling akan semakin besar. Ranganathan (1990) meneliti pergeseran muatan ke arah lateral di dalam tangki yang terisi sebagian yang diberi percepatan lateral, menyimpulkan bahwa analisis pada kondisi quasi static memberikan hasil yang akurat dibandingkan nilai rata-rata yang diperoleh dari hasil penelitiannya. Tehrani (2005) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa nilai rata-rata dari analisis transien berbanding sangat baik dengan nilai hasil analisis pada kondisi quasi static. Begitu juga dengan (Kandasamy, 2010) dalam penelitiannya menyatakan nilai rata-rata analisis transien identik dengan nilai analisa pada kondisi quasi static. Hasil penelitian ini akan menjadi dasar untuk memvalidasi nilai rata-rata hasil simulasi terhadap nilai dari analisis quasi static. Berdasarkan hasil penelitian (Ranganathan, 1990), (Tehrani, 2005), dan (Kandasamy, 2010), nilai rata-rata gaya sloshing hasil simulasi memiliki hasil yang akurat dibandingkan nilai dari analisis quasi static. Fx,qs ≈ Fx rata-rata Fy,qs ≈ Fy rata-rata
sesuai berat gross yang diijinkan. Hasil yang diperoleh adalah 7 dari 17 truk tangki atau 41% memiliki nilai SRT di bawah 0,35g, dan 14 dari 17 truk tangki atau 83% memiliki nilai SRT di bawah 0,40g (Billing, 2006). 3. METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Proses Penelitian Tahapan proses yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
(2.4) (2.5)
Jika nilai Fx,rata-rata mendekati nilai Fx,qs, dan nilaiFy,rata-rata mendekati nilai Fy,qs atau diperoleh deviasi yang kecil maka simulasi valid. 2.5 Ambang Batas Guling Statis Static Rollover Threshold (SRT) atau ambang batas guling statis kendaraan adalah ukuran yang menunjukan potensi kendaraan tersebut untuk terguling ke samping. SRT dinyatakan sebagai percepatan lateral dalam satuan percepatan gravitasi (g). Semakin rendah nilai SRT kendaraan, maka kendaraan semakin kurang stabil dan lebih mudah terguling. Dengan demikian untuk meningkatkan kestabilan kendaraan, maka kendaraan harus memenuhi atau melebihi minimum SRT (NZ Transport Agency, 2010). Sejumlah standar SRT diberbagai negara telah ditetapkan. Tampaknya ada konsensus bahwa SRT 0,35g menjadi batas minimal SRT untuk semua kendaraan, dan 0,4g untuk truk tangki. Hal tersebut didukung pula oleh hasil pengujian kestabilan truk tangki dengan tilt test oleh Pusat Teknologi Transportasi-Badan Riset Nasional Kanada (NRC/CSTT). Pengujian dilakukan pada 17 jenis truk tangki yang terisi ISSN 2549 - 2888
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Penelitian 3.2 Penentuan Dimensi Tangki dan Posisi Pelat Peredam Truk Tangki yang akan dipergunakan dalam simulasi merupakan salah satu produk dari perusahaan fabrikasi alat transportasi yang berada di daerah Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Truk tangki berkapasitas 30000 Liter, yang terbagi menjadi 4 kompartemen. Dalam penelitian ini, simulasi pada FLUENT akan dibatasi pada satu kompartemen dengan panjang 1480 mm.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
52
3.3 Nilai Maksimal dan Rata-Rata Sloshing dan Momen Guling
Gaya
Hasil simulasi yang diperoleh berupa gaya sloshing pada arah lateral (Fx), gaya pada arah vertikal (Fy) dan momen guling (Mz) yang berubahrubah terhadap waktu diolah menggunakan program Microsoft Excel 2007 untuk memperoleh nilai maksimal dan rata-rata gaya sloshing arah lateral, arah vertikal dan momen guling yang akan dipergunakan dalam proses validasi simulasi dan pembahasan hasil penelitian. 3.4 Perhitungan Gaya Analisis Quasi Static Gambar 3.2 Penampang Tangki yang Akan Disimulasi Menggunakan FLUENT
Sloshing
Dengan
Gaya sloshing lateral pada kondisi quasi static dihitung dengan persamaan 2.2, sehingga diperoleh nilai Fx,qs. Sedangkan Gaya sloshing vertikal dihitung dengan persamaam 2.3, sehingga diperoleh nilai Fy,qs. Gaya sloshing pada kondisi quasi static diperlukan untuk memvalidasi hasil simulasi dengan membandingkannya dengan nilai rata-rata gaya sloshing selama rentang waktu simulasi. 3.5 Validasi Gaya Sloshing Hasil Simulasi FLUENT
Gambar 3.3 Posisi Pelat Peredam Di Dalam Tangki Oval yang Dimodifikasi yang Akan Dibandingkan Kinerjanya Posisi pelat peredam yang dibandingkan kinerjanya pada tangki oval yang dimodifikasi adalah pelat peredam horisontal-vertikal (H-V Baffle) dan pelat peredam diagonal (Diagonal Baffle) dengan rasio panjang 0,75 yang merupakan pelat peredam yang optimal untuk tangki bundar dan elips yang telah diteliti oleh (Tanugula, 2001). Gabungan dua desain pelat peredam tersebut yaitu pelat peredam horisontalvertikal-diagonal (H-V-D Baffle) juga akan dianalisa, dengan harapan pelat peredam akan memiliki kinerja gabungan antara H-V Baffle dan Diagonal Baffle. Pelat peredam dari dua perusahaan manufaktur truk tangki di Indonesia, yaitu Baffle A dan Baffle B, dan usulan desain pelat peredam yaitu pelat peredam vertikaldiagonal (V-D Baffle) juga akan dianalisa. V-D Baffle merupakan gabungan dari Baffle B dan Diagonal Baffle, dengan harapan kinerja yang dihasilkan akan saling melengkapi, sehingga diperoleh desain yang lebih baik untuk meredam gaya dan momen yang terjadi.
Nilai rata-rata gaya sloshing pada arah lateral Fx,rata-rata dan gaya sloshing pada arah vertikal Fy,rata-rata dibandingkan dengan nilai gaya sloshing dengan analisa quasi static Fx,qs dan Fy,qs . Jika nilai Fx,rata-rata memiliki deviasi yang cukup besar dibanding Fx,qs maka simulasi harus diulang dengan merubah variabel-variabel dalam pengaturan FLUENT. Jika nilai Fx,rata-rata mendekati nilai Fx,qs, dan nilai Fy,rata-rata mendekati nilai Fy,qs maka simulasi valid dan data-data hasil simulasi bisa dipergunakan untuk pembahasan hasil penelitian yang dilakukan dan variabelvariabel yang digunakan dalam pengaturan FLUENT dapat digunakan untuk posisi pelat peredam lain yang dianalisa. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Tangki oval yang dimodifikasi pada Gambar 3.2 disimulasikan dengan berbagai posisi pelat peredam, yaitu H-V Baffle, Diagonal Baffle, H-V-D Baffle, V-D Baffle, Baffle A, dan Baffle B. Hasil simulasi berupa data-data gaya sloshing lateral, gaya sloshing vertikal, dan momen guling akan dibandingkan untuk mengetahui desain pelat peredam yang optimal untuk meredam gaya sloshing dan momen guling. 4.1 Validasi Hasil Simulasi Validasi hasil simulasi FLUENT dilakukan dengan membandingkan gaya sloshing rata-rata hasil ISSN 2549 - 2888
53
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
simulasi FLUENT yang terjadi selama waktu simulasi terhadap nilai gaya yang dihitung dengan analisa quasi static.
Tabel 4.3 Gaya Sloshing Lateral Maksimal Hasil Simulasi FLUEN
Tabel 4.1 Perbandingan Gaya Sloshing Lateral Rata-Rata Hasil Simulasi FLUENT dan Hasil Analisa Quasi Static
Tabel 4.4 Redaman gaya sloshing lateral maksimal hasil simulasi FLUENT
Tabel 4.5 Gaya sloshing vertikal maksimal hasil simulasi FLUENT
Tabel 4.2 Perbandingan Gaya Sloshing Vertikal Rata-Rata Hasil Simulasi FLUENT dan Hasil Analisa Quasi Static
Tabel 4.6 Redaman gaya sloshing vertikal maksimal hasil simulasi FLUENT
4.2 Gaya Sloshing dan Redaman Sloshing Hasil Simulasi FLUENT
Gaya
Pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.5 gaya sloshing lateral dan vertikal maksimal meningkat dengan meningkatnya ketinggian cairan, karena bertambahnya ketinggian air dalam tangki menyebabkan semakin besarnya massa cairan. ISSN 2549 - 2888
Pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.6, pada ketinggian cairan 30%, H-V-D Baffle memberikan hasil yang terbaik dalam meredam gaya sloshing lateral dan vertikal yang terjadi. Ada tiga pelat peredam yang berfungsi optimal meredam sloshing cairan yang terjadi. Pada ketinggian cairan 50%, H-V Baffle memberikan hasil yang terbaik dalam meredam gaya sloshing lateral dan vertikal yang terjadi, karena pada ketinggian cairan 50%, dua pelat peredam horisontal dan satu pelat peredam vertikal tetap berfungsi optimal meredam sloshing cairan yang terjadi. Baffle B meredam gaya
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
sloshing lateral dan vertikal yang hampir sama besarnya dengan H-V Baffle. Pada ketinggian cairan 70%, H-V-D Baffle tetap memberikan hasil yang terbaik dalam meredam gaya sloshing lateral dan vertikal yang terjadi, meskipun dua pelat horisontal, dua pelat diagonal dan satu pelat vertikal sudah berada di bawah permukaan air, tetapi dua pelat peredam diagonal yang berada di bagian atas tangki tetap mampu meredam gaya sloshing dengan baik. Pada ketinggian cairan 90%, H-V-D Baffle tetap memberikan hasil yang terbaik dalam meredam gaya sloshing lateral dan vertikal yang terjadi. 4.3 Momen Guling dan Redaman Momen Guling Hasil Simulasi FLUENT Besarnya gaya sloshing lateral dan pergeseran pusat masa cairan dalam tangki mempengaruhi momen guling yang terjadi (Romero, 2005). Sementara momen guling yang terjadi secara langsung mempengaruhi batas kestabilan guling truk tangki (Ranganathan, 1990). Dengan demikian maka penggunaan pelat peredam untuk meredam momen guling sangat besar peranannya untuk menghindari truk tangki terguling. Tabel 4.7 Momen Guling Maksimal Hasil Simulasi FLUENT
Tabel 4.8 Redaman Momen Guling Maksimal Hasil Simulasi FLUENT
Dari Tabel 4.7 dan Tabel 4.8, pada ketinggian cairan 30% redaman momen guling sangat signifikan pada beberapa posisi pelat peredam. Redaman terbesar terjadi pada H-V-D Baffle, yaitu 76%. Hal ini disebabkaan oleh gaya sloshing yang terjadi pada tangki dengan H-V-D Baffle lebih kecil dibanding posisi pelat peredam lainnya. Disamping itu, adanya tiga pelat peredam di dasar
54
tangki membagi cairan di dasar tangki menjadi empat ruang, dengan demikian pergesaran pusat massa dibatasi dengan baik. Pada ketinggian cairan 50%, Baffle B memberikan hasil redaman momen guling yang lebih baik dari posisi pelat peredam lainnya. Hal ini tidak terlepas dari redaman gaya sloshing yang dihasilkan Baffle B yang lebih baik dari posisi pelat peredam lainnya, meskipun tidak lebih baik dari HV Baffle. Akan tetapi dengan adanya dua pelat peredam di dasar tangki dengan Baffle B membatasi pergeseran pusat massa cairan lebih baik dibandingkan H-V Baffle yang hanya satu pelat peredam di dasar tangki, sehingga Baffle B menjadi lebih baik redamannya. Pada ketinggian cairan 70%, pelat perdam HV-D Baffle kembali menjadi yang terbaik dalam meredam momen guling yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya untuk meredam gaya sloshing lebih baik dari pelat peredam lainnya dan adanya tiga pelat peredam di bagian atas tangki mampu membatasi pergeseran pusat massa cairan dengan baik, sehingga momen guling dapat diredam dengan baik. Pada tinggi cairan 90%, H-V-D Baffle tetap menjadi yang terbaik dalam meredam momen guling yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya meredam gaya sloshing yang terjadi pada tinggi air 90% lebih baik dari posisi pelat peredam lain dan jumlah pelat peredam yang lebih banyak sehingga mampu membatasi pergeseran pusat massa. Dari Tabel 4.8 menunjukkan bahwa pelat peredam H-V-D Baffle menghasilkan redaman momen guling yang lebih baik dari pelat peredam lainnya pada tinggi air 30%, 70% dan 90%, sedangkan pada tinggi air 50%, hasil redaman yang dihasilkan masih lebih baik dibandingkan Diagonal Baffle dan Baffle A. Dengan demikian maka H-V-D Baffle merupakan posisi baffle terbaik untuk Tangki oval yang dimodifikasi. V-D Baffle merupakan gabungan antara Baffle B dan Diagonal Baffle, sehingga kekurangan Diagonal Baffle pada tinggi air 30% dan 50% untuk meredam momen guling dapat diatasi oleh Baffle B, begitu juga kekurangan Baffle B pada ketinggian air 70% dan 90% dapat diatasi oleh Diagonal Baffle. Dengan demikian V-D Baffle meredam momen guling dengan baik untuk semua tinggi cairan, dan dapat menjadi alternatif lain dari H-V-D Baffle untuk meredam momen guling pada tangki oval yang dimodifikasi. Disamping itu jumlah pelat V-D Baffle lebih sedikit, sehingga akan lebih murah dalam hal biaya. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisa dan pembahasan pada Bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
ISSN 2549 - 2888
55
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
1) Hasil simulasi penggunaan pelat peredam pada tangki oval yang dimodifikasi pada tinggi cairan 30% dalam tangki, momen guling dapat diredam sampai 76% oleh H-V-D Baffle, momen guling pada tinggi cairan 50% dapat diredam 46% oleh Baffle B. Pada tinggi cairan 70% dan 90%, H-V-D Baffle mampu meredam momen guling lebih baik dari desain lain, masing-masing sebesar 43% dan 18%. 2) Pelat peredam H-V-D Baffle adalah pelat peredam terbaik untuk truk tangki oval yang dimodifikasi, karena mampu meredam momen guling lebih baik dari pelat peredam lain pada tinggi cairan 30%,70% dan 90%. 3) Pelat peredam V-D Baffle bisa menjadi alternatif, karena dengan jumlah pelat peredam yang lebih sedikit dari H-V-D Baffle, mampu meredam momen guling dengan redaman yang optimal pada semua ketinggian cairan dengan selisih yang tidak signifikan, bahkan redaman momen guling pada tinggi cairan 50% lebih baik dari H-V-D Baffle. Penelitian yang telah dilakukan terbatas pada mengetahui besar gaya sloshing, momen guling dan besar redaman yang dihasilkan oleh pelat peredam di dalam tangki, sehingga diketahui desain pelat peredam terbaik. Penelitian selanjutnya bisa dikembangkan lagi seperti analisa pengaruh gaya sloshing dan momen guling terhadap kekuatan struktur tangki, kestabilan guling truk tangki dan juga hal-hal yang berkaitan dengan proses produksi tangki dengan pelat peredam yang digunakan, sehingga diperoleh data yang lengkap untuk selanjutnya bisa diaplikasikan oleh perusahaan dalam membuat produk truk tangki. DAFTAR PUSTAKA [1]. Billing, J.R., & Patten, J.D. (2006). An Assessment of Tank Truck Roll Stability. Procidings of 9th International Symposium on Heavy Vehicle Weights and Dimensions, IFRTT (pp:1,4 &10). USA.
ISSN 2549 - 2888
[2]. Dasgupta, A.(2011). Effect of Tank CrossSection and Longitudinal Baffles on Transient Liquid Slosh in Partly-Filled Road Tankers. (Master Thesis, Concordia University, Kanada). Diambil dari http://citeseerx.ist.psu.edu. [3]. Kang, X., Rakheja, S., & Stiharu, I. (1999). Optimal Tank Geometry to Enhance Static Roll Stability of Partially Filled Tank Vehicles. SAE Technical Paper Series, 1999-013730,1-3. [4]. Kandasamy, T., Rakheja, S., & Ahmed, A.K.W. (2010). An Analysis of Baffles Designs for Limiting Fluid Slosh in Partly Filled Tank Trucks”, The Open Transportation Journal, 4, 23 & 26. [5]. Koli, G.C., & Kulkarni, V.V. (2010).Simulation of Fluid Sloshing in a Tank.Proceedings of The World Congress On Engineering, Vol. 2 (pp.1). London, UK. [6]. NZ Transport Agency. (2010). Static Roll Thresholds. Diambil dari website : http://www.nzta.govt.nz/resources/factsheets/ 13e/ [7]. Ranganathan, R.(1990), “Stability Analysis and Directional Response Characteristics of Heavy Vehicles Carrying Liquid Cargo (Disertasi, Concordia University, Kanada). Diambil dari http://spectrum.library.concordia.ca [8]. Romero, J.A., Ramirez, O., Fortanell, J.M., Martinez, M., & Lozano, A. (2005). Analysis of Lateral Sloshing Forces Within Road Containers With High Fill Levels. Journal of Automobile Engineer,220,.303-304. [9]. Tanugula, R. (2001). Effects of Baffles on Damping Lateral Fluid Sloshing Oscillations in Tanker Trucks (Master Thesis, West Virginia University, United States). Diambil dari http://oatd.org/ [10]. Tehrani, K.M. (2005). Analysis of Overturning Moment Caused By Transient Liquid Slosh Inside A Partly Filled Moving Tank. Concordia University Journal, Kanada, 220 (3), 290-291.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
56
PEMBUATAN PARTIKEL SELULOSA MENGGUNAKAN LARUTAN ALKALIN Edy Hermawan Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta Email:
[email protected] Abstrak -- Selulosa adalah biopolimer terbanyak jumlahnya di alam dan memiliki arti yang sangat penting untuk industri serat dan kertas. Partikel selulosa dicirikan memiliki tingkat kekristalan yang tinggi dan mempunyai ukuran dari beberapa ratus nanometer (nm) sampai 100 mikrometer (μm). Partikel selulosa ini banyak digunakan dalam bentuk murninya sebagai filler pada industri makanan untuk menambah konsistensi dan tekstur makanan. Tujuan utama penelitian ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah untuk mempelajari pembuatan larutan selulosa dengan menggunakan larutan selulosasodium hidroksida. Kedua, mempelajari proses pembuatan partikel nano dengan metode sol-gel dengan menggunakan larutan selulosa-sodium hidroksida yang dipersiapkan sebelumnya. Bahan kimia yang dipakai untuk pembuatan larutan garam adalah Sodium hidroksida (NaOH), sodium klorida (NaCl), sodium sulfat (NaSO4), seng klorida (ZnCl), seng sulfat (ZnSO4), amonium klorida (NH4Cl), amonium sulfat ((NH4)2SO4). Pertama menentukan tingkat kelarutan pulp, pembuatan larutan basa-selulosa, proses ultrasonication dan dialysis, analisis SEM dan Flow Cytometry. Hasil eksperimen didapatkan enzyme-treated pulp menghasilkan tingkat kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan untreated pulp,ukuran partikel selulosa terkecil dihasilkan dari proses koagulasi di larutan NaCl yaitu sekitar 300 nm, dan perlakuan ultrasonication cukup efektif untuk menghasilkan ukuran dan jumlah partikel berukuran nanometer. Metode ini bisa menjadi metode alternatif yang ramah lingkungan untuk menghasilkan produk selulosa. Proses koagulasi yang diikuti dengan perlakuan ultrasonication menghasilkan ukuran rata-rata partikel 200 nm dan jumlah rata-rata partikel sekitar 25,000. Kata kunci: selulosa biopolimer, membrane dialylis, koagulasi, ultrasonication 1. LATAR BELAKANG Selulosa adalah salah satu biopolimer yang terbanyak jumlahnya di alam. Selulosa memiliki arti yang sangat penting untuk industri serat dan kertas [1, 2, 13]. Selulosa dan beberapa turunannya juga banyak dipakai di berbagai cabang industri lain seperti makanan, cat dan biopolimer. Salah satu turunan dari produk selulosa yang semakin banyak digunakan adalah partikel selulosa. Partikel selulosa dicirikan memiliki tingkat kekristalan yang tinggi dan mempunyai ukuran dari beberapa ratus nanometer (nm) sampai 100 mikrometer (μm) [8]. Partikel selulosa ini banyak digunakan dalam bentuk murninya sebagai filler pada industri makanan untuk menambah konsistensi dan tekstur makanan [4]. Industri palstik menggunakan partikel selulosa sebagai coating pada pembuatan komposit thermoplastic [3]. Pada penelitian ini, partikel selulosa diperoleh dengan melarutkan serat selulosa di larutan sodium hidroksida dan diikuti dengan proses solgel untuk mendapatkan partikel nano. Proses pelarutan serat selulosa dengan sodium hidroksida adalah salah satu metode mutakhir yang dikembangkan akhir-akhir ini sebagai upaya untuk menemukan proses alternatif untuk menggantikan proses-proses sebelumnya yang menggunakan zat beracun karbon disulfida yang berbahaya untuk alam [5, 6, 15]. Tujuan utama penelitian ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah untuk mempelajari pembuatan larutan selulosa dengan
menggunakan larutan selulosa-sodium hidroksida. Pada tahap ini persentase terlarutnya selulosa pada larutan sodium hidroksida dipelajari. Kedua, mempelajari proses pembuatan partikel nano dengan metode sol-gel dengan menggunakan larutan selulosa-sodium hidroksida yang dipersiapkan sebelumnya. Pada tahap ini diteliti keefektifan proses koagulasi (sol-gel) larutan selulosa-sodium hidroksida pada larutan garam dan larutan asam untuk membentuk partikel selulosa. 2. BAHAN AND METODE PENELITIAN 2.1 Bahan Untreated dissolving pulp diperoleh dalam bentuk lembaran dari Domsjö Fabriker Ab dan pulp yang sudah mendapat perlakuan enzym diperoleh dari Departemen Ilmu Material Serat, Universitas Teknologi Tampere. Bahan kimia yang dipakai untuk pembuatan larutan garam adalah Sodium hidroksida (NaOH), sodium klorida (NaCl), sodium sulfat (NaSO4), seng klorida (ZnCl), seng sulfat (ZnSO4), amonium klorida (NH4Cl), amonium sulfat ((NH4)2SO4). 2.2 Metode a) Menentukan tingkat kelarutan pulp (yang sudah mendapat perlakuan enzym ataupun yang belum)
ISSN 2549 - 2888
57
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Larutan 20 ml NaOH 8.5 wt% disiapkan. 0.70 g selulosa kering dibasahkan dengan air dan kemuadian direndam di dalam larutan NaOH. Kemudian campuran tersebut diaduk pada suhu 5 oC selama 10 menit pada 2000 rpm. Campuran yang dihasilkan disentrifugasi selama 10 menit. Setelah sentrifugasi endapan yang ada dipisahkan dengan supernatant. Endapan yang ada direaksikan dengan 10% asam sulfat, kemudian dicuci dengan air distilasi dan dikeringkan pada 120 oC. Kelarutan selulosa dihitung dengan persamaan berikut [33]: S = 100 x [(0.70 - Wi )/ 0.70] Dimana Wi adalah berat selulosa yang tidak terlarut. b) Pembuatan larutan basa-selulosa untuk proses presipitasi (koagulasi) Selulosa 2 g diendapkan di 53.8 ml air. Campuran selulosa dan air tersebut kemudian didinginkan pada 2 oC. 5 g NaOH kemudian ditambahkan dan diaduk merata. Campuran tersebut kemudian didinginkan kembali pada suhu -20 oC sampai membeku. Setelah itu campuran beku tersebut dicairkan kembali pada suhu ruang sampai terlihat seperti gel. Langkah terakhir adalah menambahkan 41.2 ml air [32]. c) Koagulasi dengan larutan garam Enam jenis garam digunakan sebagai larutan presipitasi yaitu NaCl, Na2SO4, ZnCl, ZnSO4, NH4Cl, (NH4)2 SO4. Setiap larutan garam disiapkan dengan menambah 10 g garam pada 90 ml air. Larutan garam kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik sampai garam terlarut sempurna. Koagulasi atau presipitasi dilakukan dengan menambah tetesan larutan selulosasodium hidroksida pada larutan garam sedikit demi sedikit, sehingga dihasilkan suspensi putih. d) Ultrasonication Sampel hasil koagulasi kemudian mendapatkan perlakuan gelombang ultrasonik. Perlakuan gelombang ultrasonik akan menghasilkan gelombang ultrasonik yang merambat melalui medium dan sampel. Energi gelombang yang dihasilkan tersebut akan memecahkan struktur sampel menjadi bagian-bagian yang lebih kecil [23]. Perlakuan ultrasonik ini dilakukan dengan menggunakan ultrasonic disrupter (UD-21; Tomi Seiko, Tokyo, Japan) pada 20 kHz. Perlakuan dilaksanakan selama 30 menit dengan interval 5 menit sebanyak 6 kali dengan 30 detik istirahat diantara interval. e) Dialysis Beberapa sampel koagulasi dicuci menggunakan membran dialysis. Membran dialysis yang digunakan adalah jenis D-9527 Sigma. Sampel ISSN 2549 - 2888
koagulasi selulosa ditaruh di dalam kantong dialysis dan kantong tersebut diletakkan di dalam bak air dengan pengaduk magnetik. Air bak diganti setiap 15 menit sebanyak 8 kali [4]. f) Scanning Electron Microscope (SEM) SEM digunakan untuk melihat struktur dan ukuran asli dari partikel selulosa yang terbentuk. Untuk karakterisasi dengan SEM tersebut suspensi partikel selulosa harus dikeringkan terlebih dahulu dan kemudian dilapisi dengan serbuk emas agar bersifat konduktif. Peralatan SEM yang digunakan adalah JEOL SEM T-100 dengan tegangan listrik 15 kV. g) Analisis Flow Cytometry Analisis flow cytometry dilakukan untuk menentukan jumlah partikel yang melayang di dalam suspensi selulosa. Untuk keperluan tersebut suspensi selulosa diencerkan 10 kali. Pengujian ini menggunakan Becton Dickinson FACSCalibur Flow Cytometers di Laboratorium Kimia Kayu dan Kertas, Åbo Akademi University. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a) Tingkat kelarutan enzyme-treated pulp dan untreated pulp Tingkat kelarutan diperlihatkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Tingkat kelarutan pulp Weight of celulose (g)
Percentage of solubility (%) (Enzymetreated pulp)
Percentage of solubility (%) (Untreated pulp)
1
83
75
3
78
72
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa tingkat kelarutan pulp yang telah mendapatkan perlakuan enzim lebih tinggi dibandingkan pulp yang tidak mendapatkan perlakuan apapun. Secara umum, untuk masing-masing pulp, penambahan konsentrasi selulosa akan diikuti dengan penurunan tingkat kelarutan [9]. Salah satu yang menyebabkan sulitnya selulosa untuk dilarutkan adalah adanya ikatan hidrogen yang membentuk makromolekul secara keseluruhan [10, 25]. Untuk memutuskan rantai hidrogen ini hal pertama yang perlu dilakukan adalah meyisipkan molekul air diantara molekul-molekul selilosa. Proses ini disebut swelling. Proses swelling dibantu dengan adanya molekul sodium hidroksida. Metode pembekuan yang dilakukan pada percobaan ini terbukti cukup efektif untuk memutuskan ikatan hidrogen yang ada. Ketika air membeku volume air bertambah dan hal ini menyebabkan semakin terdorongnya ikatan antara molekul selulosa.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Pada akhirnya ikatan tersebut akan terputus [10, 11, 12, 14]. b) Morfologi partikel selulosa Morfologi dan ukuran partikel selulosa dipelajari dengan menggunakan Scanning Electron Microssope (SEM). Sampel yang dipelajari diambil dari proses presipitasi pada larutan garam. Dikarenakan sampel pada pengujian SEM tersebut dalam keadaan kering, maka gambar yang dihasilkan besar kemungkinan berbeda dengan gambar sampel dalam keadaan di dalam campuran (suspensi).
58
Gambar 3.1a dan 3.2b menunjukkan morfologi partikel selulosa hasil koagulasi di larutan Na2SO4 dan ZnSO4. Partikel selulosa pada Gambar 3.1 memiliki porositas yang tinggi dan bentuk yang tidak beraturan. Partikel tersebut berukuran kirakira kurang dari 5 μm. Kemungkinan besar pada saat proses pengeringan sampel, partikel selulosa bergabung dengan kristal garam. Gambar 3.2 memperlihatkan partikel selulosa hasil koagulasi di larutan asam. Ketiga gambar tersebut tidak bisa dijadikan data mengenai morfologi dan ukuran partikel selulosa dikarenakan data tersebut diambil dari sampel yang telah dikeringkan, yang keadaannya berbeda pada saat sampel masih berupa suspensi. c) Pengaruh perlakuan ultrasonication dan dialysis pada ukuran dan jumlah partikel selulosa
(a)
Gambar 3.3 Jumlah partikel vs ukuran partikel selulosa
(b) Gambar 3.1 Morfologi partikel selulosa hasil koagulasi di (a) larutan Na2SO4 dan (b) larutan ZnSO4 (Pembesaran 3500 X)
Gambar 3.2 Morfologi partikel selulosa hasil koagulasi di larutan asam (Pembesaran 2000 X)
Gambar 3.3 menunjukkan bahwa sampel yang mendapat perlakuan ultrasonication atau dialysis memiliki ukuran rata-rata partikel terkecil yaitu sekita 200 nm sampai 300 nm. Sampel yang mengalami perlakuan ultrasonication dan dialysis memiliki ukuran partikel lebih besar yaitu sekitar 1 μm. Ukuran terbesar dimiliki oleh partikel dari sampel yang tidak mendapatkan perlakuan apapun, yaitu sekitar 3 μm. Gambar 3.3 juga menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda menghasilkan jumlah partikel yang berbeda pula. Jumlah rata-rata partikel terbanyak dihasilkan dari sampel yang mendapat perlakuan ultrasonication, yaitu 25000 partikel. Sampel yang mendapat perlakuan dialysis mempunyai jumlah partikel sekitar 10.000. Sampel yang tidak mendapat perlakuan apapun memiliki jumlah partikel terkecil yaitu kurang dari 5000. Dari hasil ini terlihat bahwa perlakuan ultrasonication dan dialysis memiliki dampak dalam pembentukan ukuran partikel yang lebih kecil pada sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua perlakuan ini menghasilkan sejumlah besar partikel berukuran kecil [27, 28]. Tujuan utama dari dialysis adalah untuk membuang ion yan berlebih dan partikel yang tidak terlarut di larutan. Campuran dispersi ditaruh ISSN 2549 - 2888
59
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
di dalam kantong yang memiliki lubang yang cukup kecil dimana partikel yang tidak terlarut bisa lolos keluar. Pemisahan ini disebut pemisahan selektif [20]. Jumlah partikel selulosa dari sampel perlakuan dialysis berjumlah sekitar 10.000. Pada perlakuan ultrasonication, getaran ultrasonik memecahkan gumpalan partikel menjadi bagian-bagian yang lebih kecil [21, 22]. Sampel yang hanya mengalami perlakuan ultrasonication memiliki ukuran partikel rata-rata sekitar 100 nm. Jumlah partikel selulosa dari sampel yang mengalami hanya ultrasonication adalah 23.000. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan ultrasonication cukup efektif untuk menghasilkan jumlah yang besar partikel berukuran nano. Sampel yang mengalami perlakuan dialysis dan ultrasonication juga menunjukkan menurunnya jumlah partikel jika dibandingkan dengan sampel dialysis atau ultrasonication, yaitu sekitar 7.000 partikel. Ukuran partikel rata-rata dari sampel yang mengalami dialysis dan ultrasonication adalah 1 μm. Ukuran ini lebih besar dibandingkan dengan sampel yang mengalami ultrasonication atau dialysis. Partikel yang lebih besar yang dihasilkan oleh proses dialysis tidak efektif untuk dipecahkan oleh proses ultrasonication. Proses ripening juga mungkin bisa terjadi dimana tumbukan antar partikel menghasilkan penyatuan partikel menjadi partikel yang lebih besar [23, 24]. d) Proses Koagulasi Pada Larutan Garam Pada bagian ini larutan selulosa dikoagulasikan di larutan garam. Terdapat 6 jenis larutan garam yang dapat dibagi menjadi 2 jenis anion yaitu: Cldan SO42- . Setiap anion ini digabung dengan 3 jenis kation: Na+, Zn+ dan NH4+. Larutan selulosaNaOH dikoagulasikan pada suhu ruang. Pengaduk magnet digunakan untuk mengaduk campuran dan untuk memecahkan koagulasi yang dihasilkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
Gambar 3.4 Jumlah dan ukuran partikel pada larutan garam Gambar 3.4 menunjukkan larutan NaCl paling efektif untuk menghasilkan ukuran partikel yang berukuran nano. Ukuran rata-rata partikel adalah ISSN 2549 - 2888
300 nm dan kurva menunjukkan ada distibusi jumlah partikel yang merata. Yang terbaik kedua adalah NH4Cl yang mengasilkan ukuran rata-rata partikel sekitar 400 nm. Untuk larutan garam yang lain, ukuran partikel masih dibawah 1 μm. Tabel 3.2 Ukuran rata-rata partikel hasil koagulasi di larutan garam NaCl
Na2SO4
(NH4)2SO4
ZnSO4
ZnCl2
300 nm
400 nm
700 nm
2 µm
10 µm
Sampel yang nenunjukkan hasil yang baik adalah NaCl, Na2SO4 dan (NH4)2SO4. Ini adalah sampel yang menghasilkan ukuran rata-rata partikel di bawah 1 μm dan jumlah partikel antara 3000 dan 5000. Dari hasil ini bisa diasumsi bahwa morfologi partikel selulosa bervariasi tergantung dari tingkat koagulasi, kecepatan adukan dan konsentrasi garam [21]. Partikel-partikel yang berukuran lebih kecil dapat dihasilkan dari kombinasi tingkat koagulasi yang rendah dan kecepatan adukan yang tinggi [21, 34]. Dari bentuk fisik koagulasi yang terjadi maka dapat diasumsi bahwa konsentrasi garam yang dipakai cukup tinggi. Oleh karena itu pada kasus ZnSO4 dan ZnCl2 koagulasi yang cukup besar dan kasar dihasilkan. Pada kasus tersebut kecepatan adukan tidak menghasilkan ukuran-ukuran partikel yang lebih kecil karena tidak cukup kuat untuk memecahkan koagulasi yang terjadi. Hal lain yang terjadi adalah proses koagulasi yang terjadi sangat cepat dikarenakan konsentrasi larutan garam yang tinggi [18, 19]. Terlihat larutan selulosa yang dimasukkan langsung mengeras ketika menyentuh larutan garam. Ketika larutan selulosa ditambahkan pada larutan tanpa diaduk maka koagulan yang terjadi sama dengan bentuk pada waktu larutan dimasukkan berbentuk tetesan, benang panjang atau film [27, 28]. Dari penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa bilangan kation juga berpengaruh pada proses koagulasi. Larutan garam yang bervalensi tinggi memiliki daya koagulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang bervalensi rendah. [29]. Hal ini dapat terlihat pada koagulasi larutan selulosa pada larutan garam ZnCl2 dan ZnSO4, yang menghasilkan ukuran partikel yang cukup besar. Sedangkan koagulasi pada larutan garam bervalensi rendah menghasilkan ukuran rata-rata partikel selulosa antara 100 sampai 700 nm. 4. KESIMPULAN 1) Enzyme-treated pulp menghasilkan tingkat kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan untreated pulp. Walaupun demikian, tingkat kelarutan untreated pulp masih cukup baik ketika dilarutkan di 8,5% NaOH yang
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
diikuti dengan pembekuan larutan pada suhu -20 oC. Metode ini bisa menjadi metode alternatif yang ramah lingkungan untuk menghasilkan produk selulosa. 2) Partikel selulosa dapat dibuat dengan menggunakan larutan garam sebagai media untuk koagulasi. Ukuran partikel selulosa terkecil dihasilkan dari proses koagulasi di larutan NaCl yaitu sekitar 300 nm. 3) Perlakuan ultrasonication cukup efektif untuk menghasilkan ukuran dan jumlah partikel berukuran nanometer. Proses koagulasi yang diikuti dengan perlakuan ultrasonication menghasilkan ukuran rata-rata partikel 200 nm dan jumlah rata-rata partikel sekitar 25,000. DAFTAR PUSTAKA [1]. P. H. Hermans, “Physics and chemistry of cellulose fibers,” Amsterdam, Netherlands: Elsevier, 1949, pp. 500-515. [2]. Y. N. Kuo and J. Hong, "Investigation of solubility of microcrystalline cellulose in aqueous NaOH," Polym. Adv. Technol., vol. 16, pp. 425-427, 2005. [3]. N. Artzi, "Why nanocomposites are in?A glimpse into polymer based nanocomposites," Reviews in Chemical Engineering, vol. 21, pp. 307-345, 2005. [4]. X. M. Dong, J. Revol and D. G. Gray, "Effect of microcrystallite preparation conditions on the formation of colloid crystals of cellulose," Cellulose, vol. 5, pp. 19-32, 03/01. 1998. [5]. A. Isogai and R.H. Atalla,"Dissolution of cellulose in aqueous NaOH solutions," Cellulose, vol. 5, pp. 309-319, 1998. [6]. Y. Kuo and J. Hong, "Investigation of solubility of microcrystalline cellulose in aqueous NaOH," Polym. Adv. Technol., vol. 16, pp. 425-428, 2005. [7]. J. G. Cook, "Handbook of textile fibers.I. Natural fibers," in ,5th ed.Anonymous 993, pp. 10-30. [8]. E. Heuser, The Chemistry of Cellulose. ,3rd ed. New York: Wiley, 1947, pp. 1-40. [9]. S. A. Rydholm, Pulping Process. John Wiley & Sons, 1965, pp. 100-118. [10]. J. W. Ellis and J. Bath, J. Am. Chem. Soc., vol. 62, pp. 2859, 1940. [11]. H. Hatakeyama, T. Hatakeyama and K. Nakamura, "Relationship Between Hydrogen Bonding and Water in Cellulose," Journal of Applied Polymer Science, pp. 979- 992, 1982. [12]. O. Ant-Wuorinen, "The effect on cellulose of swelling solutions of alkaline or neutral character," Tiedotus / Valtion Teknillinen Tutkimuslaitos 60, pp. 30, 1964. [13]. D. Klemm, B. Philipp, T. Heinze and W. Wagenknecht, "Comprehensive cellulose
60
chemistry," in, vol. 1, Anonymous New York: Wiley-VCH, 1998, pp. 10-60. [14]. J. Crawshaw, W. Bras, G. R. Mant and R. E. Cameron, "Simultaneous SAXS and WAXS investigations of changes in native cellulose fiber microstructure on swelling in aqueous sodium hydroxide," J Appl Polym Sci, vol. 83, pp. 1209-1218, 2002. [15]. T. Heinze and A. Koschella, "Solvents applied in the field of cellulose chemistry – a mini review," Polimeros: Ciencia e Tecnologia, vol. 15, pp. 84-89, 2005. [16]. C. Woodings, Regenerated Cellulose Fibres. Cambridge: Woodhead, 2001. [17]. Y. Wang, Y. Zhao and Y. Deng, "Effect of enzymatic treatment on cotton fiber dissolution in NaOH/urea solution at cold temperature," Carbohydrate Polymers, Volume 70, Issue 1,, Pages 8-14, 2007. [18]. M. Inamoto, I. Miyamoto, T. Hongo, M. Iwata and K. Okajima, "Morphological formation of the regenerated cellulose membranes recovered from its cuprammonium solution using various coagulants," Polymer Journal, vol. 28, pp. 507-512, 2003. [19]. L. Zhang, Y. Mao, J. Zhou and J. Cai, "Effects of Coagulation Conditions on the Properties of Regenerated Cellulose Films Prepared in NaOH/Urea Aqueous Solution," Ind. Eng. Chem. Res., vol. 44, pp. 522-529, 2005. [20]. D. Ruan, L. Zhang, Y. Mao, M. Zeng and X. Li, "Microporous membranes prepared from cellulose in NaOH/thiourea aqueous solution," Journal of Membrane Science, vol. 241, pp. 265-274, 10/1. 2004. [21]. R. Evans and P. Luner, "Coagulation of microcrystalline cellulose dispersions," Journal of Colloid and Interface Science, vol. 128, pp. 464-476, 3/15. 1989. [22]. Zeta meter Inc. http://www.mtec.or.th/th/labs/powder/book/c oagulation.pdf, "Coagulation and Floccultaion," pp. Retrieved 10.07.2007, 1993. [23]. H. B. Weiser, Colloid Chemistry. ,1st ed.New York: Wiley, 1949, pp. 97-103. [24]. A. Johnson, Colloid Science. ,1st ed.Fair Lawn, N.J.: Oxford University Press, 1950, pp. 202-207. [25]. L. Rahkamo, L. Viikari, J. Buchert, T. Paakkari and T. Suorttidoi, "Enzymatic and alkaline treatments of hardwood dissolving pulp," Cellulose, vol. 5, pp. 79-88, 1998. [26]. G. R. Armando, L. de la Torre, L. A. GarcíaSerrano and A. Aguilar-Elguézabal, "Effect of dialysis treatment on the aggregation state of montmorillonite clay," Journal of Colloid and Interface Science, vol. 274, pp. 550-554, 2004. [27]. R. Nyström, M. Lindén and J. B. Rosenholm, "The Influence of Na+, Ca2+, Ba2+, and ISSN 2549 - 2888
61
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
La3+ on the ζ Potential and the Yield Stress of Calcite Dispersions," Journal of Colloid and Interface Science, vol. 242, pp. 259-263, 2001. [28]. University of Maryland hompage. Department of Chemical & Biomolecular Engineering http://www.eng.umd.edu/~nsw/ench485/lab4 .htm#Objectives, Cellulose degradation, retrieved 01.12.2007. [29]. C.A. King, "Cellulose Fiber-to-Fiber and Fines-to-Fiber Interactions: Their Coagulation and Flocculation Tendencies as Affected by Electrolytes and Polymers in and Agitated Water Slurry, " Ph.D. Thesis, The Institute of Paper Chemistry, 1975, pp. 50-58. [30]. L. Rahkamo, M. Siika-aho, M. Vehviläinen, M. Dolk, L. Viikari, P. Nousiainen and J. Buchert, "Modification of hardwood
ISSN 2549 - 2888
dissolving pulp with purified trichoderma reesei cellulase”, Cellulose, vol.3, pp. 153163, 1996. [31]. F. Fushimi, T. Watanabe, T. Hiyoshi, Y. Yamashita and T. Osakai, "Role of interfacial potential in coagulation of cuprammonium cellulose solution, " Applied Polymer Science, vol.59, issue 1, pp. 15-21, 1995. [32]. M. Vehviläinen and P. Nousiainen, "Improving the solubility of enzyme-treated pulp for cellulosic fibre spinning, " Akzo Nobel Surface’s Seminar: Cellulosic Man-made Fibers in the new Millenium, Sweden, 2000. [33]. M. Vehvilainen, P. Nousiainen, H. Strusczyk and G. East,” Celsol-Biotransformation of cellulose for fibre spinning, Proc. Cellucon International Cellulose Conference, Ellis Horwood Series in Polymer Science and Technology, Wales, 1994.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
62
PANDUAN PENULISAN JURNAL ILMIAH TEKNIK MESIN Penulis1, Penulis2, dan Penulis3 Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta Email:
[email protected];
[email protected],
[email protected]
1,2,3Program
Abstrak -- (intisari) memuat inti permasalahan, metodologi pemecahannya dan hasil yang diperoleh. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, disertai kata kunci (keyword) di bawahnya. Tulisan asli berupa softcopy yang dikirim penulis akan langsung dicetak sebagai isi JURNAL TEKNIK MESIN apabila telah memenuhi panduan penulisan. Untuk menjamin keseragaman dan kelancaran proses pencetakan, serta format tulisan maka dibuat panduan penulisan. Panduan ini sebagai acuan yang diperlukan untuk penulisan dan pengiriman tulisan JURNAL TEKNIK MESIN. Panduan ini ditulis sebagai format baku JURNAL TEKNIK MESIN dan untuk kemudahan panduan dalam bentuk softcopy ini dapat langsung dijadikan template bagi penulis. Kata kunci: panduan, tulisan, format, judul Abstract -- contains the main of the problems, the solution of methodology and the results obtained. Abstract written in Indonesian and English, accompanied by keywords (keywords) below. The original text in the form of soft copy sent direct writer will be printed as JURNAL TEKNIK MESIN contents if it has met the writing guide. To ensure uniformity and smoothness of the printing process, as well as the format of the writing made the posting. This guide as a reference is required for the writing and delivery of writings JURNAL TEKNIK MESIN. This guide is written as a standard format for ease JURNAL TEKNIK MESIN and guidelines in softcopy format can be directly used as a template for writers. Keywords: guidance, writing, format, title
1. PENGIRIMAN TULISAN Tulisan asli yang dikirim ke Redaksi JURNAL TEKNIK MESIN harus dalam bentuk softcopy siap cetak yang dicopy-kan langsung kepada Redaksi atau dikirimkan via email dalam format *.doc atau *.docx dengan dilampiri pernyataan bahwa tulisan tersebut belum diterbitkan dan tidak sedang menunggu untuk diterbitkan di media mana pun. Penulis juga diminta untuk melampirkan biografi ringkas, afisiliasi dan alamat lengkap, termasuk alamat email. 2. TULISAN Tulisan akan dicetak dengan tinta hitam pada satu muka kertas HVS putih ukuran A4. Setiap halaman diberi nomor dan panjang tulisan maksimal 8 (delapan) halaman. Untuk menjamin keseragaman format, tulisan hendaknya mempunyai marjin minimum sebagai berikut: a. Marjin atas 2.5 cm, kiri 3 cm, bawah dan kanan 2 cm. b. Badan tulisan ditulis dalam dua kolom dengan jarak antar kolom 0.5 cm. 2.1 Huruf dan Spasi Tulisan menggunakan huruf Arial 10 dengan jarak antar baris satu spasi, kecuali judul. Judul
menggunakan huruf besar Arial 12 yang dicetak tebal (bold), dan abstrak ditulis miring (Italic) dengan huruf Arial 10. 2.2
Judul
Judul Tulisan: Judul tulisan dicetak tebal dengan huruf besar (12) dan diletakkan di tengah halaman. Judul tulisan diikuti nama dan afisiliasi penulis serta abstrak, seperti pada panduan ini. Judul Bagian: Judul bagian dicetak tebal (bold) dengan huruf besar dan diberi nomor. Judul Subbagian: judul sub-bagian dicetak tebal, dengan gabungan huruf besar dan kecil, dimulai dari sisi kiri kolom. Jarak Tabs dalam paragraf adalah 0.6 cm. 2.3 Bahasa, Satuan dan Persamaan Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penggunaan bahasa dan istilah asing sedapat mungkin dihindari, kecuali untuk “abstrak”. Penggunaan singkatan dan tanda-tanda diusahakan untuk mengikuti aturan nasional atau internasional. Satuan yang digunakan hendaknya mengikuti sistem satuan internasional (SI). Persamaan atau hubungan matematik harus dicetak dan diberi nomor seperti ini: =2 (2.1)
ISSN 2549 - 2888
63
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, No. 1, Februari 2017
Di dalam teks, persamaan 1 dinyatakan dengan “Pers. (1)” atau “Persamaan (1)”. 2.4
Tabel
Tabel yang rapi dan jelas disertakan dalam teks serta harus dirujuk pada teks. Keterangan tabel ditulis di atas tabel sebagai berikut: “Tabel 2.1”. Di dalam teks, t abel tersebut dinyatakan dengan “Tabel 2.1”. Tabel 2.1 Contoh nomor dan judul tabel Symbol
Quantity
magnetic flux
4M m
magnetization magnetic moment
m
magnetic moment
B
magnetic flux density, magnetic induction magnetic field strength magnetization magnetic moment
H 4M m
M
magnetization
4M 4M 4M
magnetization magnetization magnetization specific magnetization magnetic moment
m
4M j
2.5
magnetization magnetic dipole moment
Conversion from Gaussian and CGS EMU to SI a 1 Mx 108 Wb = 108 V·s 1 G 103/(4) A/m 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 G 104 T = 104 Wb/m2
2.6
Nomenclature
Simbol dan Definisi kosa kata sebaiknya dikumpulkan dan di tulis disini (sebelum Daftar Pustaka). Sebagai contoh: APT = Available Production Time Cmax = Maximum Consumption DT = Design Time KD = Design Coefficient
1 Oe 103/(4) A/m 1 G 103/(4) A/m 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 erg/(G·cm3) = 1 emu/cm3 103 A/m 1 G 103/(4) A/m 1 G 103/(4) A/m 1 G 103/(4) A/m 1 erg/(G·g) = 1 emu/g 1 A·m2/kg 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 G 103/(4) A/m 1 erg/G = 1 emu 4 1010 Wb·m
Gambar
Gambar dituliskan menggunakan format rata tengah. Setiap gambar haruslah diberi nomor dan judul serta diacu pada tulisan. Nomor dan judul gambar diletakkan di bawah gambar, seperti terlihat pada Gambar 1.
ISSN 2549 - 2888
Gambar 2.1 Penulisan nomor dan judul gambar
Di dalam teks, persamaan 1 dinyatakan dengan “Pers. (1)” atau “Persamaan (1)”. 3.
DAFTAR PUSTAKA
Penyitiran pustaka dilakukan dengan menyebutkan sumber penulis dan tahun, contoh: (Chapman, 2008). Daftar Pustaka hanya memuat pustaka yang secara langsung menjadi sumber kutipan. Penulisan Daftar Pustaka dilakukan dengan pengurutan berdasarkan nama belakang penulis, dicantumkan pada bagian akhir tulisan. Berikut adalah beberapa contoh penulisan daftar pustaka. [1]. Casadei D, Serra G, Tani K. Implementation of a Direct Control Algorithm on Discrete Space Vector Modulation. IEEE Transactions on Power Electronics. 2007; 15(4): 769-777. [2]. Calero C, Piatiini M, Pascual C, Serrano MA. Towards Data Warehouse Quality Metrics. Proceedings of the 3rd Int’l. Workshop on Design and Management. Interlaken. 2009; 39: 2-11. [3]. Ward J, Peppard J. Strategic planning for Information Systems. Fourth Edition. West Susse: John Willey & Sons Ltd. 2007: 102104.
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MERCU BUANA Jl. Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat 11650 Telp: 021-5840816 (Hunting), Pesawat: 5200 Fax: 021-5871335