JTM JURNAL TEKNIK MESIN
JOURNAL OF MECHANICAL ENGINEERING
JTM
(Edisi Spesial SNPPT 2017)
ISSN 2549-2888
Volume 06, Edisi Spesial SNPPT 2017
ISSN 2549 - 2888
JTM JURNAL TEKNIK MESIN Jurnal Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi
Volume 06, Edisi Spesial 2017
1
KAJI EKSPERIMENTAL PENGGUNAAN LIQUID GAS FOR VEHICLE (LGV) DENGAN PERTAMAX TERHADAP PERFORMA DAN EMISI GAS BUANG MOTOR BENSIN 2000 cc Muhamad As’adi, Yuhani Djaja
2
PEMBELAJARAN DASAR ALGORITMA DAN PEMROGRAMAN MENGGUNAKAN ELGORITMA BERBASIS WEB Gun Gun Maulana
3
PENERAPAN AUGMENTED REALITY UNTUK PEMASARAN PRODUK MENGGUNAKAN SOFTWARE UNITY 3D DAN VUFORIA Gun Gun Maulana
4
STUDI PEMBUATAN BAHAN ALTERNATIF PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI UBI JALAR DENGAN PLASTICIZER GLISEROL DENGAN METODE MELT INTERCALATION Samsul Aripin, Bungaran Saing, Elvi Kustiyah
5
ANALISIS AUDIT ENERGI UNTUK PENCAPAIAN EFISIENSI ENERGI DI GEDUNG AB, KABUPATEN TANGERANG, BANTEN Agung Wahyudi Biantoro, Dadang S. Permana
6
KAJIAN FAKTOR PENYEBAB COST OVERRUN PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG Fahadila F. Remi
7
EVALUASI PENURUNAN GEDUNG DAN METODE PERBAIKANNYA (STUDI KASUS: KANTOR POS BALIKPAPAN) Yudi Pranoto, Riza Setiabudi
8
MORPHOLOGICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF MT. KELUD VOLCANIC ASH REINFORCED POLYESTER AND EPOXY COMPOSITES Henny Pratiwi
9
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Sindi Martina Hastuti, Ganjar Samudro, Sri Sumiyati
10
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE OPEN WINDROW Vaneza Citra Kurnia, Sri Sumiyati, Ganjar Samudro
11
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODA TAKAKURA Dian Asri Puspa Ratna, Ganjar Samudro, Sri Sumiyati
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017 12
OPTIMASI PENGGUNAAN BIOSORBENT BERBASIS BIOMASSA: PENGARUH KONSENTRASI AKTIVATOR TERHADAP LUAS PERMUKAAN KARBON AKTIF BERBAHAN ECENG GONDOK (EICHORNIA CROSSIPES) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS AIR Moh. Mualliful Ilmi, Naimatul Khoiroh, Trisna Bagus Firmansyah, Eko Santoso
13
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERDAMPAK PADA RISIKO DAN KETIDAKPASTIAN PERMINTAAN JALAN TOL DI INDONESIA Nurrela Arifah Munggarani
14
ASESMEN MATURITAS MANAJEMEN RISIKO PERUSAHAAN PADA KONTRAKTOR KECIL DAN MENENGAH Misbah
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
KATA PENGANTAR Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT karena dengan karunia dan hidayah-Nya, maka Jurnal Teknik Mesin (JTM), Volume 06 Edisi Spesial 2017 dapat diterbitkan. Edisi Spesial JTM adalah edisi yang diterbitkan satu kali setiap tahun dan edisi tahun ini berisi artikel ilmiah dari Seminar Nasional Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Mercu Buana. Edisi jurnal edisi spesial kali ini menyajikan empat belas karya ilmiah yang dari bebeberapa penulis dengan latar belakang Teknik Mesin dan juga dari disiplin ilmu teknik yang lain. Dalam jurnal edisi ini, beberapa penulis mempresentasikan judul yang berhubungan dengan hasil eksperimen, pemrograman, perancangan, analisis, dan simulasi. Beberapa judul yang disajikan antara lain: Kaji eksperimen penggunaan Liquid Gas for Vehicle (LGV) dengan Pertamax terhadap performa dan emisi gas buang motor bensin 2000 cc, Studi pembuatan bahan alternatif plastik biodegradable dari pati ubi jalar dengan plasticizer gliserol dengan metode melt intercalation, Morphological and mechanical properties of Mt. Kelud Volcanic ash reinforced polyester and epoxy composites, dan Pengaruh kadar air terhadap hasil pengomposan sampah organik dengan metode open windrow. Kami mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada seluruh anggota Dewan Redaksi, Redaktur Pelaksana serta semua pihak yang telah memberikan kontribusinya selama proses penyiapan, penyusunan sampai penerbitan. Semoga keberadaan Jurnal Teknik Mesin Edisi Spesial 2017 ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh civitas akademika secara umum dan semua kolega di Universitas Mercu Buana secara khususnya.
Jakarta, Maret 2017
Prof. (Em.) Dr.-Ing. Ir. Darwin Sebayang Pemimpin Redaksi
ISSN 2549 - 2888
ISSN 2549 - 2888
JTM JURNAL TEKNIK MESIN Jurnal Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi
Pemimpin Redaksi
:
Prof. (Em.) Dr.-Ing. Ir. Darwin Sebayang (UMB)
Dewan Redaksi
: : : : : : : : : : : :
Prof. Dr. Ir. Chandrasa Soekardi (UMB) Dr. Kontan Tarigan (UMB) Dr. Nurdin Ali (Unsyiah) Dr. Poempida Hidayatullah (UMB) Prof. Dr. Bambang Suharno (Universitas Indonesia) Dr. Nasrudin (Universitas Indonesia) Dr.-Ing. Puji Untoro (Universitas Surya) Dr.-Ing Kusnanto (Universitas Gajah Mada) Dr. Sagir Alva (UMB) Ir. Yuriadi Kusuma (UMB) Dr. Sulistyo (Universitas Diponegoro) Dr. Abdul Hamid (UMB)
Redaktur Pelaksana
: : :
Ir. Haris Wahyudi, M.Sc (UMB) Nur Indah, S. ST. MT (UMB) Edijon Nopian (UMB)
Alamat Redaksi
:
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Kampus Menara Bhakti, Universitas Mercu Buana Jl. Meruya Selatan No. 01, Kembangan, Jakarta Barat 11650, Indonesia Email:
[email protected] Telp/Fax: +62 21 5871335
Jurnal Teknik Mesin (JTM) adalah Peer-reviewed Jurnal tentang hasil Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi. JTM tersedia dalam dua versi yaitu cetak (p-ISSN: 20897235) dan online (e-ISSN: 2549-2888), diterbitkan 3 (tiga) kali dalam setahun pada bulan Februari, Juni dan Oktober. Redaksi menerima artikel ilmiah dalam bidang Teknik Mesin dan yang berkaitan melalui halaman web berikut: http://publikasi.mercubuana.ac.id/index.php/jtm.
ISSN 2549 - 2888
ISSN 2549 - 2888
JTM JURNAL TEKNIK MESIN Jurnal Penelitian, Karsa Cipta, Penerapan dan Kebijakan Teknologi
Volume 06, Edisi Spesial 2017 DAFTAR ISI 1
KAJI EKSPERIMENTAL PENGGUNAAN LIQUID GAS FOR VEHICLE (LGV) DENGAN PERTAMAX TERHADAP PERFORMA DAN EMISI GAS BUANG MOTOR BENSIN 2000 cc Muhamad As’adi, Yuhani Djaja
62-68
2
PEMBELAJARAN DASAR ALGORITMA MENGGUNAKAN EL-GORITMA BERBASIS WEB Gun Gun Maulana
69-73
3
PENERAPAN AUGMENTED REALITY UNTUK PEMASARAN MENGGUNAKAN SOFTWARE UNITY 3D DAN VUFORIA Gun Gun Maulana
PRODUK
74-78
4
STUDI PEMBUATAN BAHAN ALTERNATIF PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI UBI JALAR DENGAN PLASTICIZER GLISEROL DENGAN METODE MELT INTERCALATION Samsul Aripin, Bungaran Saing, Elvi Kustiyah
79-84
5
ANALISIS AUDIT ENERGI UNTUK PENCAPAIAN EFISIENSI ENERGI DI GEDUNG AB, KABUPATEN TANGERANG, BANTEN Agung Wahyudi Biantoro, Dadang S. Permana
85-93
6
KAJIAN FAKTOR PENYEBAB COST OVERRUN PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG Fahadila F. Remi
94-101
7
EVALUASI PENURUNAN GEDUNG DAN METODE PERBAIKANNYA (STUDI KASUS: KANTOR POS BALIKPAPAN) Yudi Pranoto, Riza Setiabudi
102-107
8
MORPHOLOGICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF MT. KELUD VOLCANIC ASH REINFORCED POLYESTER AND EPOXY COMPOSITES Henny Pratiwi
108-113
9
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Sindi Martina Hastuti, Ganjar Samudro, Sri Sumiyati
114-118
10
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE OPEN WINDROW Vaneza Citra Kurnia, Sri Sumiyati, Ganjar Samudro
119-123
DAN
PEMROGRAMAN
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
11
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODA TAKAKURA Dian Asri Puspa Ratna, Ganjar Samudro, Sri Sumiyati
124-128
12
OPTIMASI PENGGUNAAN BIOSORBENT BERBASIS BIOMASSA: PENGARUH KONSENTRASI AKTIVATOR TERHADAP LUAS PERMUKAAN KARBON AKTIF BERBAHAN ECENG GONDOK (EICHORNIA CROSSIPES) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS AIR Moh. Mualliful Ilmi, Naimatul Khoiroh, Trisna Bagus Firmansyah, Eko Santoso
129-136
13
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERDAMPAK PADA RISIKO KETIDAKPASTIAN PERMINTAAN JALAN TOL DI INDONESIA Nurrela Arifah Munggarani
DAN
137-146
14
ASESMEN MATURITAS MANAJEMEN KONTRAKTOR KECIL DAN MENENGAH Misbah
PADA
147-154
ISSN 2549 - 2888
RISIKO
PERUSAHAAN
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
62
KAJI EKSPERIMENTAL PENGGUNAAN LIQUID GAS FOR VEHICLE (LGV) DENGAN PERTAMAX TERHADAP PERFORMA DAN EMISI GAS BUANG MOTOR BENSIN 2000 cc 1,2Program
Muhamad As’adi1, Yuhani Djaja2 Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Pembangunan Nasional Jakarta Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK -- APBN 2015 mengisyaratkan bahwa Pemerintah akan mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter, implikasi dari hal ini jelas akan berdampak pada kebijakan penggunaan BBM dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan sektor transportasi dan industri. Salah satu bahan bakar yang cadangannya masih cukup banyak dan pemanfaatannya masih terbatas pada kebutuhan rumah tangga serta usaha sector kuliner adalah Liquid Petrolium Gas (LPG). LPG mempunyai produk turunan dengan merk dagang Elpiji dan Liquid Gas for Vehicle (LGV atau sering disebut dengan Vigas). LGV mempunyai RON 98 setara dengan bahan bakar Pertamax dan mudah disimpan dalam tangki portabel karena tekanan nya relative rendah yaitu 8-15 bar, sedangakan tekanan bahan bakar Compressed Natural Gas (CNG) yang sering disebut dengan Bahan Bakar Gas (BBG) sekitar 200 bar. Perkembangan penggunaan LGV di masyarakat cenderung lambat hal ini disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur yang ada dan pemahaman masyarakat tentang penggunaan LGV untuk sektor transportasi masih kurang. Tujuan dan target penelitian ini adalah didapatkannya konstanta performa dari motor bensin yang berbahan bakar LGV dan Pertamax, sehingga dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa LGV bisa digunakan sebagai bahan bakar pada sector transportasi dan lebih ekonomis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksprimen dengan mesin uji motor bensin 2000 cc yang berbahan bakar LGV dan Pertamax. Pengujian dilakukan dengan uji static diatas Dyno Test. Luaran data yang dihasilkan berupa performa mesin yang meliputi torsi, daya, konsumsi bahan bakar, selain uji static juga dilakukan uji emisi gas buang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa enggunaan Liquid Gas For Vehicle (LGV) dengan merk dagang Vigas mampu menaikkan Daya mesin maksimum sebesar 20,86% dan daya rata-rata sebesar 14,1%, torsi maksimum yang dihasilkan oleh Motor berbahan bakar Vigas lebih kecil dari motor yang berbahan bakar pertamax, penurunannya sebesar 0.94% Penggunaan Vigas pada motor mampu menaikkan jarak tepuh sebesar 6,9% bila dibanding dengan motor berbahan bakar pertama Air Fuel Ratio (AFR) untuk kedua bahan bakar masih dibawah standar, sehingga terjadi pemborosan bahan bakar, khusunya pada putaran rendah. Penggunaan Vigas pada kendaraan bermotor mampu meurunkan emisi gas buang khususnya CO2. Kata Kunci: Motor Bensin, Vigas, Pertamax, Performa mesin, Emisi 1. PENDAHULUAN Jumlah kendaraan yang menggunakan BBM di Indonesia semakin meningkat, data Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit, naik 11 persen dari tahun sebelumnya (2012) yang cuma 94,299 juta unit. Dengan kenaikan jumlah kendaraan, menyebabkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) meningkat. Dengan semakin besarnya konsumsi BBM maka diperlukan produksi minyak yang lebih besar, tetapi dalam kenyataannya produksi minyak di dalam negeri sejak tahun 2000 mengalami penurunan, sehingga sejak tahun 2005, Indonesia menjadi importir minyak. Tingginya harga minyak mentah dunia, menyebabkan pemerintah harus memberikan subsidi BBM. Untuk tahun 2013. Menurut rencana, pemerintah pusat akan meningkatkan nilai subsidi BBM dalam APBN-Perubahan 2013 sebesar 46 juta kilo liter atau senilai dengan Rp 200. Sehingga semakin banyak populasi
kendaraan di Indonesia dimasa mendatang, menjadi semakin besar juga subsidi BBM yang harus dialokasikan pemerintah setiap tahunnya. Selain masalah sumber energi dan subsidi tersebut juga muncul permasalahan pencemaran lingkungan dari hasil pembakaran BBM pada kendaraan, seperti gas CO2, PM10, dan Pb. Data dari Departemen Perhubungan, polusi CO2 yang dihasilkan pada tahun 2003 dari sistem transportasi sebesar 168 juta ton, jika sejalan dengan bertambahnya kendaraan pada tahun 2007 menjadi sekitar 324 juta ton. Perkembangan pencemaran lingkungan tersebut memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan penduduk. Sektor penyumbang emisi terbesar adalah sektor pembangkit listrik dan transportasi, sehingga diperlukan penanganan khusus. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada pertemuan negara-negara berkembang (Group of 77), berjanji akan mengurangi emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Untuk tindak lanjut dari pidato Presiden tersebut perlu kejelasan pembagian kontribusi pengurangan emisi disetiap sektor. Dari sektor ISSN 2549 - 2888
63
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
transportasi sumber masalah emisi adalah bahan bakarnya, BBM yang digunakan menghasilkan polusi yang besar. Untuk itulah perlu adanya penggantian bahan bakar yang ramah lingkungan, salah satunya adalah Liquid Petrolium Gas (LPG). Gas yang dimaksud di sini adalah Liquid Gas for Vehicle (LGV). LGV dipilih karena cadangannya yang masih sangat banyak seperti yang diutarakan dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan cadangan gas alam sekitar 165 TCF. Dilihat dari cadangan gas yang banyak dan harganya yang murah, polusi yang dihasilkan oleh LGV lebih kecil dibandingkan dengan bensin. Maka alternative untuk menggunakan LGV sebagai pengganti BBM merupakan salah satu pilihan yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah kendaraan berbahan bakar gas terus meningkat dari tahun 1987 sekitar 300 kendaraan dan pada tahun 2000 mencapai 6633 buah kendaraan, tetapi sejak tahun 2001 jumlahnya mulai menurun hingga mencapai 500 kendaraan pada tahun 2004, karena kurang siapnya infrastruktur yang ada. Oleh sebab itu Pemerintah pada tahun 2007 mulai mencanangkan lagi konversi BBM ke LGV pada kendaraan taksi, bus, dan bajaj dengan memberikan bantuan konveter kit khususnya di daerah Jakarta tetapi hasilnya belum sesuai dengan harapan sehingga pada tahun 2012 pemerintah mencanangkan kembali konversi dari BBM ke LGV untuk kendaraan roda empat. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Motor Bakar Motor bakar adalah salah satu jenis mesin kalor, yaitu mesin yang mengubah energi thermal menjadi energi mekanis. Sebelum menjadi tenaga mekanis energi kimia bahan bakar diubah dulu menjadi energi panas melalui pembakaran bahan bakar dengan udara . Pembakaran ini ada yang dilakukan di dalam mesin kalor itu sendiri dan ada pula yang dilakukan di luar mesin kalor. Motor bakar 4 langkah ini termasuk dalam kategori motor pembakaran dalam dimana mesin yang gerakanya dihasilkan dari pembakaran yang di hasilkan di dalam silinder. Mesin 4 langkah disebut juga spark ignition engine yaitu mesin yang penyalaanya campuran bahan bakar-udara menggunakan bunga api dari busi. 2.2 Liquid Gas for Vehicle (LGV) Liquid Gas for Vehicle (LGV) merupakan bahan bakar gas yang diformulasikan untuk kendaraan bermotor yang menggunakan Spark Ignition Engine, yang terdiri dari campuran propane (C3) ISSN 2549 - 2888
dan butane (C4). Beberapa kajian menyatakan bahwa LGV sangat sesuai digunakan pada kendaraan yang volume silindernya kecil seperti Bajaj, Taksi, angkot, kendaraan operasional kantor maupun pribadi, karena kapasitas tangkinya mempunyai daya muat yang banyak untuk menempuh jarak yang sama dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). Serta mempunyai tekanan yang rendah (low pressure) lebih kurang 15 kg/cm2. Keunggulan LGV bila disbanding dengan CNG antara lain: LGV tersedia cukup banyak di dalam negeri, mempercepat program penggunaan gas di sektor transportasi, menghemat subsidi BBM Premium yang digantikan oleh LGV, pertumbuhan SPBG LGV lebih mudah daripada SPBG CNG/BBG memungkinkan diaplikasikan pada wilayah yang tidak atau belum terjangkau jaringan pipa gas, harga conversion kit LGV lebih murah daripada CNG atau BBG, tekanan kerja di mobil dan SPB LGV lebih rendah (maksimum 15 dari pada CNB atau BBG (200 bar). LGV sejak lama telah digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor di berbagai negara, antara lain America, Mexico, Rusia, Belanda, Jerman, Irlandia, Swedia, Finlandia, Italis, India, Turky, Jepang, China, Philipina, Thailand, Korea, Australia, dan New Zeland. Sedangkan di Indonesia LGV lebih cepat dapat dikembangkan sebagai energi subtitusi BBM guna mendukung percepatan Program Langit Biru dan diversifikasi energi di samping CNG/BBG. 2.3 Teori Pembakaran Pembakaran merupakan reaksi cepat antara bahan bakar dan oksigen yang menghasilkan panas dan cahaya. Salah satu syarat terjadinya pembakaran sempurna bahan bakar adalah tersedianya pasokan oksigen yang tepat. Ketersediaan Oksigen (O2) di alam bebas jumlahnya mencapai 20,9% dari udara. Bahan bakar padat atau cair harus diubah ke bentuk gas dahulu sebelum dibakar di runag bakar. Biasanya diperlukan panas untuk mengubah cairan atau padatan menjadi gas. BBG akan terbakar pada keadaan normal jika terdapat udara yang cukup. Tujuan dari pembakaran yang baik adalah melepaskan seluruh panas yang terdapat dalam bahan bakar. Hal ini dilakukan dengan pengontrolan tiga T pembakaran yaitu: a) Temperature/ suhu yang cukup tinggi untuk menyalakan dan menjaga penyalaan bahan bakar,
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
b) Turbulence/ Turbulensi atau pencampuran oksigen dan bahan bakar yang baik, dan c) Time/ Waktu yang cukup untuk pembakaran yang sempurna.
64
lebih sedikit karbon per kg daripada bahan bakar minyak, sehingga akan memproduksi lebih banyak uap air. Sebagai akibatnya, akan lebih banyak panas yang terbawa pada pembuangan saat membakar gas alam. Terlalu banyak, atau terlalu sedikit nya bahan bakar pada jumlah udara pembakaran tertentu, dapat mengakibatkan tidak terbakarnya bahan bakar dan terbentuknya karbon monoksida. Jumlah O2 tertentu diperlukan untuk pembakaran yang sempurna dengan tambahan sejumlah udara (udara berlebih) diperlukan untuk menjamin pembakaran yang sempurna. Walau demikian, terlalu banyak udara berlebih akan mengakibatkan kehilangan panas dan efisiensi. Gambaran tipe-tipe pembakaran seperti ditunjukkan pada Gambar 1. 2.4 Performa Mesin
Gambar 1a. Pembakaran sempurna
Gambar 1b. Pembakaran sempurna
Performa suatu mesin merupakan ukuran seberapa besar efisiensi yang dihasilkan oleh mesin tersebut, sedangkan parameter performa nya terdiri dari : a) torsi, b) daya, dan c) konsumsi bahan bakar spesifik. Untuk mengukur torsi dilakukan test bed pada dinometer dan dinyaatakan dengan gaya (force) di kalikan dengan jarak dalam satuan N.m. Daya adalah besarnya kerja yang dihasilkan suatu sistem per satuan waktu yang dinyatakan dalam satuan Watt (SI) dan hp (British). Laju konsumsi bahan bakar pada suatu mesin per satuan keluaran daya disebut juga dengan specific fuel consumption (sfc) dan dinyatakan dalam jumlah massa bahan bakar per satuan daya atau kg/kWh, dan ini juga merupakan indikator nilai nilai ekonomis dari operasi suatu mesin dalam menggunakan bahan bakar, semakin kecil nilai sfc nya maka kecil biaya yang diperlukan dan sebaliknya. 2.5 Emsisi Bas Buang
Gambar 1c. Pembakaran tidak sempurna Bahan bakar yang umum digunakan seperti gas alam dan propan biasanya terdiri dari karbon dan hidrogen. Uap air merupakan produk samping pembakaran hidrogen, yang dapat mengambil panas dari gas buang, yang mungkin dapat digunakan untuk transfer panas lebih lanjut. Gas alam mengandung lebih banyak hidrogen dan
Emisi gas buang pada motor konvensional merupakan sesuatu yang mendapatkan perhatian yang cukup serius dari berbagai kalangan di dunia. Hal ini disebabkan efek dari gas buang yang dapat merusak lingkungan hidup. Efek dari gas buang ini juga dapat menimbulkan efek rumah kaca yang tidak kita harapkan. Pada motor bakar konvensional emisi gas buang yang dihasilkan berupa HC, CO, CO2, O2, NOx dan partikulat lain. Berbagai penelitian dilakukan untuk menurunkan kandungan emisi gas buang motor bakar konvensional itu sendiri. Emisi gas buang dihasilkan dari proses tidak sempurnanya pembakaran di ruang bakar, dimana hanya sebagian bahan bakar bereaksi dengan oksigen terutama di dekat dinding silinder antara torak dan silinder, hal ini pada umumnya disebabkan karena lemahnya api dan rendahnya temperatur pembakaran. Jika suhu pembakaran ISSN 2549 - 2888
65
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
rendah dan perambatan nyala api lemah serta luasan dinding ruang bakarnya yang bersuhu rendah agak besar, kondisi ini akan dijumpai pada saat motor baru dihidupkan atau pada putaran langsam (idle), secara alamiah motor akan banyak menghasilkan emisi gas buang yang dapat menyebabkan dampak negatif bagi kesehatan. Beberapa parameter yang dapat ditimbulkan dari gas buang kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: Hidrokarbon (HC) adalah gas buang yang diakibatkan karena bahan bakar yang tidak terbakar dan diukur dalam satuan part per million (ppm), massa molekulnya ringan, tidak dapat dilihat. Karena mempunyai sifat yang mampu mengikat hemoglobin sehingga berbahaya bagi kesehatan. Kandungan Hidrokarbon didalam gas buang senakin kecil atau sedikit akan semakin baik. Karbon dioksida (CO2) adalah unsur yang mengindikasikan derajat panas pembakaran dan diukur dalam persentase, batas ideal jumlah persentase sekitar (11 – 16) %. Karbon dioksida ini mempunyai massa yang ringan tidak terlihat dan tidak berbahaya, tetapi berpotensi untuk menjadi gas kaca, tumbuuhtumbuhan dan biota laut serta tanaman gambut memerlukan gas ini. Karbon monoksida (CO) adalah gas yang timbul sebagai reaksi dari pembakaran yang tidak sempurna, massanya ringan, tidak terlihat sehingga melayang di udara, berbahaya bagi kesehatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), pemicu kanker, dan dapat mengakibatkan penurunan kecerdasan. Ukuran idealnya sekitas (0,3 – 3) %. Oksigen (O2) adalah indikator dari kualitas pembakaran, nilainya idealnya kurang dari 2 %, bila nilai semakin kecil maka pembakarannya semakin baik, dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Nitrogen Oksida (NOx) adalah gas buang yang ditimbulkan oleh nitrogen yang teroksidasi karena tekanan dan panas pada saat proses kompresi. Gas ini bersifat racun sehingga berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan Partikulat. Partikulat ini cenderung akan mengendap dalam sel lapisan paru – paru sehingga fungsi fisiologis-nya terganggu dan menimbulkan warna hitam.
ISSN 2549 - 2888
Metode untuk mengurangi dampak negatif dari emisi gas buang terhadap kualitas pembakaran, kesehatan, dan lingkungan yaitu: perbaikan desain dan sistem pembakaran, peningkatan kualitas bahan bakar. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak negatif dari emisi gas buang adalah dengan menggunakan bahan bakar gas yang salah satunya adalah LGV. 2.6 Penelitian Terdahulu Penggunaan LGV pada motor bensin tanpa melakukan penyesuain pada injection pressure dan injection timing menghasilkan karbon mono oksida, hidro karbon, oksigen yang lebih tinggi dibanding dengan bahan bakar premium, tetapi kadar lamda dan karbon dioksidanya lebih tinggi (Qadri Munzir, et.al. 2013). Penggunaan bahan bakar ganda (CNG-Solar) dapat menghasilkan daya keluaran mesin menyamai daya mesin diesel aslinya. Disamping itu dengan penggunaan bahan bakar ganda (CNG-Solar) dapat menurunkan emisi smoke, namun emisi hydrokarbon (HC) dan Nox meningkat dibandingkan dengan mesin ber-bahan bakar 100 % solar (Sumartono, H 2003), penelitian lainnya menyatakan penggunaan CNG sistem injeksi langsung dengan pengontrolan pembakaran, pengurangan ukuran nosel orifis dan sudut injeksi dapat memperbaiki kwalitas percampuran bahan bakar. Hal ini menghasilkan efisiensi pembakaran yang meningkat meskipun menimbulkan knocking karena adanya sebagian campuran Udara-Bahan Bakar yang kaya pada daerah tertentu di dalam ruang bakar (Ishiyama,T et.al. 2005). 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini berbentuk eksperimen, dengan menggunakan mesin mobil yang identic kapasitas 2000 cc berteknologi karburator. Setelah dipasang converter kit mobil ini bersifat dual fuel artinya bisa menggunakan Bahan Bakar Cair dan Bahan Bakar Elpiji. Set Up mesin dilakukan pada kondisi optimum untuk kedua jenis bahan bakar, agar pada saat penggantian bahan bakar satu ke bahan bakar yang lain bisa berjalan dengan baik. Langkah selanjutnya melakukan uji performa dan emsisi gas buang, uji performa dilakukan diatas Static Dyno, sedangkan uji kosumsi bahan bakar dilakukan dengan rod test. Alur Penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
66
Gambar 2. Diagram alir penelitian 3.1 Spesifikasi Mesin Uji Tabel 1. Spesifikasi mesin uji Type 4 Volume silinder Tenaga Torsi Sistim pendingin Berat
Silinder (in line),SOHC 2000 cc 102 HP/136 PS/5000 rpm 200 Nm/18,6 kgm/4000 rpm Radiator 1.480 kg
3.2 Alat Ukur Peralatan pengukuran sebelumnya telah dikalibrasi, masing-masing alat ukur yang digunakan adalah sebagai berikut: Static dynometer Alat ukur emisi, Stopwatch digital, Buret / alat ukur konsumsi bahan bakar solar dengan kapasitas 30 ml
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Daya Merujuk hasil pengujian yang dilakukan diatas static dyno test, kecenderungan daya yang dihasilkan dapat dijelaskan bahwa daya maksimum yang terjadi pada motor dengan bahan bakar vigas sebesar 42,3 HP pada putaran 4782 rpm, sedangkan pada motor dengan bahan bakar pertamax daya maksimum sebesar 35 HP pada putaran 4211 rpm. Sehingga penggunaan bahan bakar vigas mampu menaikkan daya maksimum sebesaar 20,86%, dan secara rata-rata penggunaan bahan bakar vigas mampu menaikkan daya sebesar 14,1%. Kecenderungan Daya yang terjadi dapat ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik daya motor berbahan bakar Vigas dan Pertamax 4.2 Torsi Torsi rata-rata yang terjadi pada motor dengan bahan bakar vigas lebih besar dari motor dengan bahan bakar pertamax hal ini disebabkan oleh pembakaran yang cenderung stabil dan putaran
mesin bisa lebih tinggi dengan tidak menimbulkan knocking. Kenaikan torsi-ratanya sebesar 7,573%, tetapi torsi maksimum yang terjadi pada motor berbahan bakar vigas lebih kecil dibanding motor deengan bahan bakar pertamax, hasil pengujian menunjukkan penurunan torsi sebesar ISSN 2549 - 2888
67
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
0,94%, dan kecenderungan torsi yang terjadi seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Torsi motor berbahan bakar vigas dan pertamax 4.3 Konsumsi Bahan Bakar
vigas langsung bisa disemprotkan ke karburator tanpa melalui pengabutan.
Setelah melakukan pengujian dan melakukan perhitungan terhadap alat pengering ikan yang menggunakan variasi waktu yaitu: 1 jam, 2 jam, dan 3 jam serta variasi konsumsi bahan bakar yaitu: 1 kg, 2 kg, dan 3 kg. Maka dapat ditabelkan untuk mempermudah langkah dan selanjutnya dalam membuat kurva karakteristik. Pengukuran konsumsi bahan bakar seperti ditunjukkan pada Tabel 3 dibawah ini: Tabel 3. Konsumsi bahan bakar Pengukuran
Vigas (km/l)
Pertamax 92 (km/l)
1
7.5
7.3
2
7.8
7.2
3
7.7
7.4
4
7.9
7.2
5
7.8
7.3
6
7.8
7.2
7
7.6
7
8
7.8
7.2
9
7.9
7.2
10
7.5
7.3
Total
77.3
72.3
Rata-rata
7.73
Kenaikan
7.23 6.9
Penggunaan Vigas mempunyai jarak tempuh lebih jauh dibanding dengan pertamax. Rata-rata jarak tempuh yang bisa dicapai oleh motor berbahan bakar Vigas sebesar 7,73 km/l, sedangakan bahan bakar pertamax mempunyai jarak tempuh 7,23 km/l, sehingga apabila dibandingkan kenaaikan jarak tempuh mtr berbahan bakar vigas sebesar 6,9%. Hal ini bisa dimaklumi karena dalam proses pembakaran ISSN 2549 - 2888
4.4 Air Fuel Ratio Air Fuel Ratio (AFR) yang terjadi pada kedua bahan bakar baik itu vigas maupun pertamax, masih dibawah standar yang ditentukan artinya terjadi pembakaran gemuk (too rich mixture), artinya masih terjadi pemborosan bahan bakar khususnya pada putaran rendah. 4.5 Emisi Hasil pengujian emisi gas buang seperti diunjukkan apada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4. Uji emisi Vigas
Pertamax 92
Ambang batas (Permen LH 04/2009)
CO (g/km
0.95
0.12
2.2
HC (g/km)
0.01
0.006
NOx (g/km)
0
0.027
CO2 (g/km)
182.5
206.8
Parameter
Penggunaan Vigas pada kendaraan bermotor mampu menurunkan gas rumah kaca CO2 13,3% dibanding motor dengan bahan bakar pertamax 5. KESIMPULAN Merujuk dari hasil pengujian dapat disimpulkan sebagai berikut: Penggunaan Liquid Gas For Vehicle (LGV) dengan merk dagang Vigas mampu menaikkan daya mesin maksimum sebesar 20,86% dan daya rata-rata sebesar 14,1%. Torsi maksimum yang dihasilkan oleh Motor berbahan bakar Vigas lebih kecil dari motor
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
yang berbahan bakar pertamax, penurunannya sebesar 0.94%. Penggunaan Vigas pada motor mampu menaikkan jarak tepuh sebesar 6,9% bila dibanding dengan motor berbahan bakar pertamax. Air Fuel Ratio (AFR) untuk kedua bahan bakar masih dibawah standar, sehingga terjadi pemborosan bahan bakar, khusunya pada putaran rendah. Penggunaan Vigas pada kendaraan bermotor mampu meurunkan emisi gas buang khususnya CO2.
DAFTAR PUSTAKA [1]. Chalilullah Rangkuti, (1995), Perbandingan Udara Bahan-bakar dari Analisa Gas-buang pada Suatu Motor-bakar, ISSN :0853.5175, Edisi No. 002. [2]. Ishiyama. T, H Kawanabe, K Ohashi, M Shioji, S Nakai, (2005), A study on premixed charge compression ignition combustion of natural gas with direct injection. International Journal of Engine Research ISSN: 1468-0874 DOI: 10.1243/146808705X30459 Volume 6, Number 5, Pages: 443 – 451 [3]. John B Heywood, (1988), Internal Combustion Engine Fundamental, Mc Graw Hill, Singapore. [4]. LIM Pei Li, (2004), The Effect of Compression Ratio on the CNG-Diesel Engine. University of Southern Queensland Faculty of Engineering and Surveying. http://www.usq.edu.au/, diakses September 2006. [5]. Mangindaan, E.E, Penggunaan Bahan Bakar Gas Jenis Compressed Natural Gas (CNG) pada Kendaraan Bermotor, (2012), Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor : PM 39.
68
[6]. Newnan. D G. (1991), Engineering Economic Analysis, Binarupa Aksara, Jakarta, Qadri Munzir, et.all (2013), Analisa Perbandingan Emisi Gas Buang Bahan Bakar LGV Dengan Premium Pada Daihatsu Grand Max Standar, Simposium Nasional RAPI XII, UMS. [7]. Roger A. Strehlow, (1985), Combustion Fundamentals, Mc Graw Hill Book Company. [8]. Susanti. V, Hartanto. A, Subekti. R. A, Saputra.H.M, (2011), Kebijakan Nasional Konversi BBM ke BBG Untuk Kendaraan, LIPI Press . [9]. Sumartono, H, (2003), Studi Pengaruh Waktu Injeksi Solar Terhadap Performa Mesin Diesel Ber-bahan Bakar Ganda CNG-Solar, Tesis Program Studi Teknik Mesin Universitas Indonesia. [10]. Widodo B Santoso, Achmad Praptiyanto, Arifin Nur, (2006), Pengaruh CNG-Ratio Terhadap Proses Pembakaran Pada Motor Diesel Berbahan bakar Ganda Solar-CNG, Prosiding Seminar Nasional Tenaga Listrik dan Mekatronik, hal. 283-287, ISBN :979-26- 24414. [11]. Yusaf T.F., Abd. Halim S., Yusoff A. & Ahmad Faris I. (1999), A study of dual fuel system using compressed natural gas for commercial diesel engine, International Journal of Power and Energy Systems, Vol. 19, No. 2. (ms 163-167) [12]. Zhiqiang Lin and Wanhua Su, (2011), A study on the amount of pilot injection and its effects on rich and lean boundaries of the premixed CNG/air mixture for a CNG/diesel dual-fuel engine, International Journal of Global Energy Issues, Vol. 20, Number 3/2003, Pages 290301
ISSN 2549 - 2888
69
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
PEMBELAJARAN DASAR ALGORITMA DAN PEMROGRAMAN MENGGUNAKAN EL-GORITMA BERBASIS WEB 1Teknik
Gun Gun Maulana1,2 Elektromekanik, Program Studi Teknik Mesin dan Manufaktur 2Teknik Otomasi Manufaktur dan Mekatronika Politeknik Manufaktur Negeri Bandung E-mail:
[email protected]
ABSTRAK -- Algoritma adalah metode efektif yang diekspresikan sebagai rangkaian terbatas. Algoritma juga merupakan kumpulan perintah untuk menyelesaikan suatu masalah dimana masalah di selesaikan di tuntut secara sistematis, terstruktur dan logis. Dalam penyelesaian lagoritma itu sendiri, tak jarang sering terdapat berbagai masalah yang timbul contohnya struktur yang tidak tepat, algoritma yang tidak logis, serta kebingungan dalam menyelesaikan algortma itu sendiri. Metode yang penulis buat di berinama “EL-Goritma” atau singkatan dari e-learning algoritma. EL-Goritma itu sendiri penulis memasukkan beberapa fasilitas yang nantinya akan menunjang pembelajaran seperti lve chat, video call, room diskusi, dan uang belajar.Target dari metode ini adalah mampu mempermudah mahasiswa maupun pelajar dalam menyelesaikan tugas-tugas algoritma dengan mendapatkan referensi dan sumber-sumber dari para dosen maupun pengajar lain. Kata kunci: Elearning, website, algoritma, program, pemrograman, metode pembelajaran 1. PENDAHULUAN Algoritma adalah metode efektif yang diekspresikan sebagai rangkaian terbatas. Algoritma juga merupakan kumpulan perintah untuk menyelesaikan suatu masalah. Perintahperintah ini dapat diterjemahkan secara bertahap dari awal hingga akhir. Masalah tersebut dapat berupa apa saja, dengan syarat untuk setiap permasalahan memiliki kriteria kondisi awal yang harus dipenuhi sebelum menjalankan sebuah algoritma. Algoritma juga memiliki pengulangan proses (iterasi), dan juga memiliki keputusan hingga keputusan selesai. Dalam cabang disiplin ini, algoritma dipelajari secara abstrak, terlepas dari system komputer atau bahasa pemrograman yang dipergunakan. Algoritma yang berbeda dapat diterapkan untuk suatu permasalahan dengan kriteria yang sama. Kompleksitas dari suatu algoritma merupakan ukuran seberapa banyak komputasi yang diterapkan pada algoritma tersebut untuk menyelesaikan permasalahannya. Secara informal, algoritma yang dapat menyelesaikan permasalahan dalam waktu yang relative singkat memiliki tingkat kompleksitas yang rendah, sementara untuk algoritma yang menyelesaikan permasalahan dalam waktu yang lebih lama memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi pula. Dalam mata kuliah logika dan algoritma, kita telah mempelajari tentang algoritma dan penerapannya dalam pemrograman computer. Kesulitan yang dihadapi dalam permasalahan ini adalah susahnya kita mengerti algoritma dan penyelesaian dari permasalahan yang dihadapi, serta sulitnya membayangkan struktur data yang akan digunakan. Dalam memahami penyelesaian ISSN 2549 - 2888
suatu permasalahan, kita akan lebih mudah untuk mengingat dan memahaminya apabila permasalahan itu dapat ditampilkan dalam bentuk visual dan gambar, sehingga penyajian nya menjadi lebih menarik. Dari permasalahan diatas, penulis ingin membantu mempermudah penyelesaian algoritma untuk mempermudah penyelesaian matematika dengan membuat perangkat lunak alat bantu logika dan algoritma. 1.1 Rumusan Masalah a. Apa masalah yang sering ditemui dalam mengerjakan algortma? b. Bagaimana solusi mengerjakan algoritma? c. Apa metode alat yang bisa mempermudah dalam mengerjakan algoritma? 1.2 Batasan Masalah Adapun batasan masalah yang diberikan agar pembahasan tidak keluar terlalu jauh adalah: a. Pembuatan web e-learning berbasis html, css, php, mysql. b. Penyelesaian masalah pada mata kuliah dasar algoritma dan pemrograman c. Tahapan-tahapan pembuatan EL-Goritma (alat) 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan karya ini adalah: a. Mempermudah pelajar dalam mencari informasi tekait dengan algoritma dan semacamnya. b. Akses yang mudah di berikan karena terkoneksi dengan internet
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
c. Sebagai tempat sharing informasi d. Media pembelajaran jarak jauh e. Menjadi metode pembelajaran yang mudah dipahami f. Menjadikan daya tarik dengan tenik pembelajaran yang menarik. 1.4 Manfaat Manfaat dari pembuatan e-learning ini adalah: a. Mahasiswa dapat mencari sumber referensi terbaru dalam mengerjakan soal-soal algoritma. b. Sebagai media yang interaktif dalam melakukan diskusi algoritma. c. Sebagai media dalam mengasah kemampuan dengan mengerakan soal-soal yang tersedia. d. Media pembelajaran dimana saja dan kapan saja. e. Sebagai tempat diskusi terbaru antara guru dan mahasiswa f. Mengatasi masalah yang di hadapi mahasiswa dalam mengerjakan algoritma g. Media mempermudah mahasiswa dalam berinterkasi antar mahasiswa dan dosen. 2. KAJIAN PUSTAKA
70
Adapun struktur dasar pada algoritma adalah sebagai berikut: a. Sekuensial (runtunan) Pada struktur sekuensial ini langkah-langkah yang dilakukan dalam algoritma diproses secara berurutan. Dimulai dari langkah pertama, kedua, dan seterusnya. Pada dasarnya suatu program memang menjalankan suatu proses dari yang dasar seperti struktur ini. b. Struktur seleksi Struktur seleksi menyatakan pemilihan langkah yang didasarkan oleh suatu kondisi atau pengambilan suatu keputusan. Struktur ini ditandai selalu dengan bentuk flowcart decision (flowcart yang berbentuk belah ketupat). Banyak contoh yang dapat kita terapkan pada struktur jenis ini jika itu menyangkut keputusan, diantaranya: diskon yang berbeda berdasarkan jumlah barang yang ingin dibeli. c. Struktur perulangan Struktur ini memberikan suatu perintah atau tindakkan yang dilakukan beberapa kali. Misalnya jika teman mau menuliskan kata “belajar c” sebanyak sepuluh kali. Akan lebih efisien jika teman menggunakan sturktur ini dari pada sekedar menuliskannya berturut-turut sebanyak sepuluh kali
2.1 Penjelasan Algoritma 2.3 Hakikat E-Learning Algoritma adalah sistim kerja komputer memiliki brainware, hardware, dan software. Tanpa salah satu dari ketiga sistim tersebut, komputer tidak akan berguna. Kita akan lebih fokus pada softwareckomputer. Software terbangun atas susunan program) dan syntax (cara penulisan/pembuatan program). Untuk menyusun program atau syntax, diperlukannya langkahlangkah yang sistematis dan logis untuk dapat menyelesaikan masalah atau tujuan dalam proses pembuatan suatu software. Maka, algoritma berperan penting dalam penyusunan program atau syntax tersebut. Pengertian algoritma adalah susunan yang logis dan sistematis untuk memecahkan suatu masalah atau untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam dunia komputer, algoritma sangat berperan penting dalam pembangunan suatu software. Dalam dunia sehari-hari, mungkin tanpa kita sadari algoritma telah masuk dalam kehidupan kita. Algoritma berbeda dengan logaritma. Logaritma merupakan operasi matematika yang merupakan kebalikan dari eksponen atau pemangkatan. Contoh logaritma seperti bc= a ditulis sebagai blog a = c (b disebut basis). 2.2 Struktur Dasar Algoritma
E-learning adalah suatu sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar. Berikut beberapa pengertian e-learning dari berbagai sumber. Pembelajaran yang disusun dengan tujuan menggunakan sistem elektronik atau komputer sehingga mampu mendukung proses pembelajaran. Proses pembelajaran jarak jauh dengan menggabungkan prinsip-prinsip dalam proses pembelajaran dengan teknologi (chandrawati, 2010). Sistem pembelajaran yang digunakan sebagai sarana untuk proses belajar mengajar yang dilaksanakan tanpa harus bertatap muka secara langsung antara guru dengan siswa (ardiansyah, 2013) 2.4 Karakterisitik E-learning Menurut Rosenberg (2001) karakteristik elearning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Karakteristik e-learning menurut nursalam (2008:135) adalah: a. Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. b. Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan komputer networks) ISSN 2549 - 2888
71
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
c.
Menggunakan bahan ajar yang bersifat mandiri (self learning materials) kemudian disimpan di komputer, sehingga dapat diakses oleh doesen dan mahasiswa kapan saja dan dimana saja. d. Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar, dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer. 2.5 Manfaat E-Learning Adapun beberapa manfaat penggunaan elearningadalah: a. Fleksibel. E-learning memberi fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses perjalanan. b. Belajar mandiri. E-learning memberi kesempatan bagi pembelajar secara mandiri memegang kendali atas keberhasilan belajar. c. Efisiensi biaya. E-learning memberi efisiensi biaya bagi administrasi penyelenggara, efisiensi penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar dan efisiensi biaya bagi pembelajar adalah biaya transportasi dan akomodasi. Manfaat e-learning menurut pranoto, dkk (2009:309) adalah: a. Penggunaan e-learning untuk menunjang pelaksanaan proses belajar dapat meningkatkan daya serap mahasiswa atas materi yang diajarkan. b. Meningkatkan partisipasi aktif dari mahasiswa. c. Meningkatkan partisipasi aktif dari mahasiswa. d. Meningkatkan kemampuan belajar mandiri mahasiswa. e. Meningkatkan kualitas materi pendidik dan pelatihan. f. Meningkatkan kemampuan menampilkan informasi dengan perangkat teknologi informasi, dimana dengan perangkat bisaa sulit dilakukan. 3. METODE PENELITIAN Responden dari penelitian nantinya akan Penulis sampaikan melalui laporan penelitian. Penilaian terhadap SAT EL-Goritma telah di jalankan dan masuk kedalam tahapan uji coba dengan hasil.
Keterangan TERTARIK CUKUP TERTARIK
78 32
TERTARIK
18
BIASA
5
TIDAK TERTARIK
2
Mayoritas dari responden menilai bahwa elgoritma memberikan dampa yang signifikan terhadap metode-metode pembelajaran serta cukup membantu. Diharapkan dengan adanya elgoritma ini bisa lebih membantu dan meningkatkan peran mahasiswa dalam lingkup pembelajaran. Para responden menginginkan agar El-Goritma bisa dikembangkan dan memperbaiki kesalahan yang terdapat didalam ElGoritma. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan Ide Pembuatan EL-Goritma ini di dasarkan oleh kurangnya referensi yang nyata terhadap algoritma itu sendiri. Selama ini beberapa pemula mengalami kesulitan di tahap awal pembuatan algoritma, dasar-dasar penyelesaian masalah, serta aturan-aturan yang tentunya ada didalam algoritma itu sendiri. Alat ini nantinya akan beri nama “EL-Goritma”. Oleh karena itu, penulis mendiskusikan beberapa hal dan metode yang nantinya bisa sedikit mempermudah para pemula dengan menggunakan sebuah buku bebasis html atau web maupun android. 4.2 Metode Pembuatan Alat Metode pembuatan yang Penulis lakukan ialah dengan menggunakan coding berbasis html, php, dan jika dimungkinkan akan dipermudah dengan mengaitkannya dengan database. Beberapa tampilan dari pembuatan ELGoritma penulis memanfaatkan beberapa template free yang tersedia di internet. Adapun alasan penggunaan template adalah untuk mempermudah penulis dalam menyelesaikan ELGoritma dengan tepat waktu. Adapun database yang Penulis maksudkan ialah dengan meningkatkan performa atau informasi terkait dengan algoritma itu sendiri. Dengan memberi layanan input informasi untuk di pubilakasikan dan di dunia maya. 4.3 Tahapan-Tahapan Pembuatan a. Alat Alat yang Penulis akan gunakan untuk pembuatan “algoritma e-learning” adalah Laptop dan perangkatnya.
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
72
b. Bahan 1) Aplikasi coding html (sublime) 2) Web browsing 3) Template 4) Refrensi materi 5) Free hosting c. Proses kerja Proses kerja yang nantinya akan Penulis lakukan adalah bekerja sama untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekpektasi Penulis. Adapaun untuk menambah wawasan terkait dengan hal yang tidak Penulis ketahui ke depannya, Penulis akan meminta bantuan kepada orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya. 4.4 Tampilan EL-Goritma Adapun dari beberapa tahapan yang telah pembuat kerjakan, di dapatlah gambaran awal yang bersifat tidak tetap dalam perancangan ELGoritma. Tampilan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan kebutuhan.
Gambar 4.1 Tampilan form login
Gambar 4.2 Tampilan penjelasan algoritma
Gambar 4.5 Halaman student (materi)
Gambar 4.6 Form ipload materi dosen Dari gambar di atas terdapat sketsa kasar mengenai tampilan EL-Goritma. Adapun rancangan mengenai isi EL-Goritma adalah sebagai berikut: a. Header Header berfungsi sebagai tampilan atau judul ELGoritma. b. Halaman materi Halaman materi berisi isi dari materi yang akan di tampilkan. Isi dari materi hanya bisa di masukkan melalui kases portal dosen. Sedangkan mahasiswa hanya dapat melihat dari isi materi tersebut. c. Sub menu Isi dari sub menu adalah beberapa menu yang berkaitan dengan bagian EL-Goritma. Sub menu tersebut nantinya akan diisi berupa papan engumuman, halaman kuis, dan sebagainya. d. Online chat Salah satu fasilitas yang disediakan adalh fasilitas untuk chat kepada dosen atau pengajar. Nantinya fasilitas ini akan bersifat multi chat. Maksud dari multi chat adalah, 1 room chat akan berisi banyak orang namun hanya ada 1 dosen yang menjadi pembicara utama.
Gambar 4.3 Tampilan form register
Gambar 4.4 Dashborad admin
e. Akun Untuk mengakses EL-Goritma pengguna terlebih dahulu harus mendaftarkan dirinya. Pendaftaran terbagi menjadi 2 yaitu portal guru dan portal siswa. Portal guru bersifat sebagai tim pengajar dimana akses yang di berikan berupa menginputkan materi, memberi kuis dan memberi pengumuman. Sedangkan portal siswa hanya sebatas mengakses dan menjawab.
ISSN 2549 - 2888
73
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Adapun untuk isi dari EL-Goritma itu sendiri akan di sesuaikan dengan kebutuhan serta akan di lakukan pengembangan di kemudian hari jika di perlukan.
beberapa pengertian e-learning dari berbagai sumber. Pembelajaran yang disusun dengan tujuan menggunakan sistem elektronik atau komputer sehingga mampu mendukung proses pembelajaran.
5. KESIMPULAN 5.2 Saran 5.1 Kesimpulan Algoritma adalah metode efektif yang diekspresikan sebagai rangkaian terbatas. Algoritma juga merupakan kumpulan perintah untuk menyelesaikan suatu masalah. Perintahperintah ini dapat diterjemahkan secara bertahap dari awal hingga akhir. Masalah tersebut dapat berupa apa saja, dengan syarat untuk setiap permasalahan memiliki kriteria kondisi awal yang harus dipenuhi sebelum menjalankan sebuah algoritma. Algoritma juga memiliki pengulangan proses (iterasi), dan juga memiliki keputusan hingga keputusan selesai. Ada pun kesimpulan dari pembuatan karya ini adalah sebagai berikut: a. Mempermudah pelajar dalam mencari informasi tekait dengan algrotma dan semacamnya, b. Akses yang mudah di berikan karena terkonksi dengan internet, c. Sebagai tempat sharing informasi, d. Media pembelajaran jarak jauh. Pengertian algoritma adalah susunan yang logis dan sistematis untuk memecahkan suatu masalah atau untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam dunia komputer, algoritma sangat berperan penting dalam pembangunan suatu software. Dalam dunia sehari-hari, mungkin tanpa kita sadari algoritma telah masuk dalam kehidupan kita E-learning adalah suatu sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar. Berikut
ISSN 2549 - 2888
Adapun saran yang kam berikan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah: a. Peran aktif mahasiswa di perlukan dalam proses pemberian tugas karya ilmah ini. b. Dosen sebaiknya memberikan pemahaman yang lebih mengenai struktur penuisan karya imiah c. Inovasi terbari di perlukan dalam pembuatan karya ilmiah, sehingga mahasiswa memerlukan bimbingan terkait dengan inovasi yang akan di buat. DAFTAR PUSTAKA [1]. Ardiansyah, ivan. 2013. Eksplorasi pola komunikasi dalam diskusi menggunakan moddle pada perkuliahan simulasi pembelajaran kimia, universitas pendidikan indonesia, bandung-indonesia. [2]. Chandrawati, sri rahayu. 2010. Pemanfaatan e-learning dalam pembelajaran. No 2 vol. 8. Http://jurnal.untan.ac.id/ [3]. L. Tjokro, sutanto. 2009. Presentasi yang mencekam. Jakarta: elex media komputindo. [4]. L. Gavrilova, marina. 2006. Computational science and its applications - iccsa 2006: 6th international conference. Glasgow, uk: springer. [5]. Pranoto, alvini.dkk. 2009. Sains dan teknologi. Jakarta: pt gramedia pustaka utama. [6]. Sujana, janti gristinawati dan yuyu yulia. 2005. Perkembangan perpustakaan di indonesia. Bogor: ipb press..
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
74
PENERAPAN AUGMENTED REALITY UNTUK PEMASARAN PRODUK MENGGUNAKAN SOFTWARE UNITY 3D DAN VUFORIA 1Teknik
Gun Gun Maulana1,2 Elektromekanik, Program Studi Teknik Mesin dan Manufaktur 2Teknik Otomasi Manufaktur dan Mekatronika Politeknik Manufaktur Negeri Bandung E-mail:
[email protected]
Abstrak -- Pada saat ini, bidang industri sedang berkembang dengan pesat. Banyak perusahaan khususnya yang bergerak dibidang otomotive dan property berlomba lomba untuk memasarkan produknya. Produsen melakukan berbagai cara supaya para konsumen tertarik pada produknya. Umumnya produsen memasarkan produknya dengan media seperti brosur karena pertimbangan biaya yang murah, namun brosur saat ini hanya menampilkan berupa gambar dua dimensi hal ini tentu saja membuat konsumen yang melihat brosur seperti itu merasa tidak menarik dan tidak puas karena tampilan brosur yang terbatas. Dengan adanya kendala tersebut diperlukan metode pemasaran produk brosur dengan gambar 3D yang dapat membuat konsumen tertarik untuk melihat produknya dan bisa lebih detail lagi melihat tampilannya. Dalam penelitian ini Penulis yang mengambil judul “Penerapan Augmented Reality Untuk Pemasaran Produk Menggunakan Sotware Unity 3D Berbasis Android” bertujuan untuk mengenalkan motode pemasaran produk menggunakan Augmented Reality berbasis android untuk menunjang pemasaran produk. Diharapkan dengan diberdayakan applikasi ini dapat membantu para produsen untuk memasarkan produknya dengan cara menampilkan produknya berupa gambar 3D menggunakan Augmented Reality. Kata Kunci: Augmanted Relity, Brosured produk, Gambar 3D 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern seperti saat ini, media informasi dan teknologi selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak perusahaan yang berlomba lomba untuk menyajikan teknologi yang semakin modern dan semakincanggih terutama dalam bidang informasi. Pada saat ini banyak perusahaan yang membutuhkan kemajuan di bidang informasi, khususnya untuk pemasaran produk yang di tawarkan kepada konsumen agar menarik perhatian konsumen terhadap produk perusahaan tersebut. Banyak perusahaan yang mempromosikan produknya hanya dengan memberikanbrosur gambar 2D. Dalam penelitian ini Penulis menyediakan solusi atau inovasi dalam pemasaran produk agar paraperusahaan bisa mempromosikan produknya dengan lebih atraktif. Yakni dengan menggunakan aplikasi Augmented Realitydenganbantuan software unity3D sebagai alat bantu promosi yang mengubah gambar dalam bentuk 2D menjadi gambar 3Dsecara realtime, ketika produk dimunculkan secara 3D Kita tidak hanya melihat produk dalam gambar 3D saja,namun kita juga bisa mendengarkan indentifikasi barang dari suara yang di keluarkan lewat pembacaan marker, kita juga bisa melihat detail struktur dalam produk tersebut dan bisa juga menganti warna-warna produk yang sudah ditentukan olehperusahaan dan itu dilakukan bersamaan dengan penampilan produk dalam
gambar 3D. Aplikasi ini menggunakan brosur sebagai media pengidentifikasian marker yang sudah diatur untuk memunculkan produk dalam gambar 3D, pengidentifikasian marker inimenggunakan kamera smartphone android. Dengan menggunakan Augmented Reality, konsumen akan lebih mudah untuk memahami dalam menggambarkan suatu model objek atau produk yang akan di beli. Judul penelitian ini sengaja dipilih karena Penulis merasa masih banyak perusahaan yang kurang menyadari akan pentingnya keunggulan teknologi ini untuk pemasaran produk. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Unversitas Dian Nuswantoro (UDINUS) dengan menggunakan software 3D max dan marker yang dibuat hanya untuk gedung kampusnya, sedangkan yang penulis lakukan saat ini menggunakan 3d unity, dimana kelebihan 3d unity selain bisa membuat animasi juga bisa dikembangkan untuk unsur gamification. 1.2 Perumusan Masalah Dalam penelitian ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dikaji, yaitu: 1) Apa manfaat dari penggunaan Augmented Reality dalam pemasaran produk? 2) Bagaimana membangun aplikasi Augmented Reality dalam pemasaran produk? 1.3 Tujuan Penelitian 1) Membangun aplikasi augmented reality
dengan
teknologi
ISSN 2549 - 2888
75
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
2) Mengimplementasi aplikasi augmented reality ke smartphone android 3) Menggunakan aplikasi augmented reality untuk pemasaran dan penjualan produk 1.4 Pembatasan Masalah Adapun beberapa batasan masalah yang Penulis lakukan pada penulisan penelitian ini, sehingga dapat menghindari persepsi yang berbeda dan meluasnya pembahasan topik, permasalahan adalah sebagai berikut: 1) Aplikasi ini di jalankan dengan bantuan carmera smartphone android. 2) Aplikasi ini di buat dengan menggunakan software unity 3D, v foria, android sdk. 3) Penggabungan obyek virtual 3D yang di buat menggunakan program Blender3D. 1.5 Manfaat Penelitian 1) Dapat memanfaat dari penggunaan Augmented Reality dalam pemasaran produk. 2) Mengetahui definisi Augmented Reality dan cara kerjanya. 3) Membantu agar perusahaan bisa memromosikan produknya dengan brosur yang mennampilkan gambar 3D. 4) Mengetahui pengimplementasi Augmented Reality pada android pohon. 2. LANDASAN TEORI Augmented Reality (AR) mengacu pada penelitian komputer yang bertujuan untuk menghasilkan sistem informasi yang menggabungkan informasi dunia nyata dengan informasi digital. Tujuan utama dari sistem Augmented Reality akan berwujud sebagai sebuah kacamata atau proyektor retina yang akan menyediakan tampilan informasi yang relevan, dipetakan ke lingkungan sekitar secara realtime. Misalnya, saat melihat sebuah restoran dengan kacamata Augmented Reality, maka satu panggilan otomatis langsung ke database review, atau menu dari website restoran tersebut. Seorang ilmuwan yang bekerja pada perusahaan farmasi bisa menggunakan kacamata untuk menampilkan model 3D dari berbagai molekul dan menggunakannya untuk memvisualisasikan obat yang lebih baik. kalau Anak-anak mungkin menggunakan jaringan yang terhubung dengan kacamata AR untuk bermain video game kehidupan nyata yang memungkinkan menembakkan “laser” dari tangan mereka. Meski kemungkinannya agak terbatas. 2.1 Prinsip Kerja Sistem Augmented Reality Sistem augmented reality pada umumnya bekerja berdasarkan pendeteksian citra, yang sering disebut dengan istilah marker. Prinsip kerjanya ISSN 2549 - 2888
sebenarnya cukup sederhana. Kamera atau webcam akan mendeteksi marker yang diberikan, kemudian sistem akan mengenali dan menandai pola marker, citra yang tertangkap kamera atau webcam akan diolah oleh sistem dengan melakukan perhitungan apakah marker sesuai dengan database yang dimiliki. Informasi citra yang diterima tidak akan diolah bila marker tidak sesuai dengan database yang dimiliki sistem, tetapi bila sesuai maka informasi tersebut akan digunakan untuk menampilkan teks, video, objek 3 dimensi atau animasi yang telah dibuat sebelumnya. 2.2 Augmented Produk
Reality Pada Pemasaran
Dalam bidang pemasaran perusahaan sering menggunakan beberapa cara untuk mengiklankan produknya, pemasaran dengan menggunakan augmented reality salah satunya yaitu memunculkan gambar3D suatu produk, media yang digunakan bisa berupa brosur yang diberi marker untuk memunculkan gambaran 3D pada brosur. 3. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Metode yang Penulis gunakan pada karya tulis ilmiah ini adalah Augmented Reality berbasis marker atau bisa disebut single marker. Marker dalam augmented reality merupakan bagian terpenting dalam aplikasi ini, karena dengan markerlah kamera dapat membaca objek yang telah dibuat sebelumnya. Ada beberapa metode yang digunakan pada Augmented Reality salah satunya adalah single marker yang Penulis gunakan ini dimana marker hanya dapat menampilkan 1 object 3D dan tidak dapat membaca lebih dari satu marker, cara kerja metode ini kita harus menentukan image dalam format JPG atau PNG, lalu image yang telah ditentukan kemudian diupload ke website vuforia untuk dijadikan sebuah marker, kemudian vuforia akan melakukan tracking image terhadap marker tersebut. Kita harus mengupload satu persatu image yang kitamiliki ke website Developer vuforia untuk kemudian kita akan mendapatkan penilaian marker mana yang menurut website developer vuforia tersebut mempunyai kontras tinggi dan pola yang baik sehingga bagus untuk dilakukan tracking. Setelah menemukan marker yang berkontras tinggi sehingga bagus untuk di tracking kita harus download marker tersebut yang kita upload ke vuforia, dan import ke unity 3D untuk pengaturan pemposisian letak animasi yang akan dimunculkan, dan pembuatan animasi sudah dilakukan sebelumnya di Blender 3D.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Tracking yang dilakukan oleh website tersebut adalah mengubah image yang sebelumnya berwarna menjadi grayscale atau abu-abu bertujuan mengetahui node-node pada image tersebut yang nantinya image tersebut akan didownload menjadi library image-target unity, karena library image target unity android menggunakan media tracking yang sifatnya tertutup, sehingga tidak dapat digunakan engine tracker yang sifatnya stand alone melainkan harus melalui website Developer vuforia. Tracking akan lebih baik jika memiliki pola yang bertekstur tajam dan detail sehingga akan memiliki banyak node atau titik pada marker yang akan dijadikan sebuah media tracking sehingga apabila telah terdeteksi marker maka akan muncul objek 3D. 3.2 Rancangan pembuatan Augmented Reality
76
Gambar 3.1 the image successfully uploaded and being a marker 2. Import marker yang sudah di upload dan plugin vuforia SDK ke dalam Unity 3D
Pada penelitian Augmented Reality Penulis mengunakan software unity3D, blender serta plugin-plugin lainnya seperti vuforia SDK dan android SDK.
Gambar 3.2 pengimportan marker pada Unity3D
Langkah 1. Pembuatan marker pada home vuforia, vuforia akan meneria inputan sebuah gambar dari user yang akan digunakan sebagai marker, vuforia menggunakan teknologi Computer Vision untuk mengenali dan melacak gambar planar (Gambar Target) dan objek 3D.
Gambar 3.3 hasil import plugin voforia dan marker 3. Import animasi 3D kedalam Unity, serta mengatur posisi dan ukuran animasi 3D pada marker, posisi kemunculan animasi 3D pada saat Aplikasi dijalankan sesuai dengan posisi yang telah diatur.
Gambar 3. Objek tracking Gambar 3.4 animasi 3D sebuah mobil
ISSN 2549 - 2888
77
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Gambar 3.5 animasi 3D sebuah bangunan rumah
Gambar 4.1 hasil Augmented Reality yang dijalankan pada webcam laptop
4. Pembangunan aplikasi Augmented Reality pada smartphone android dengan plugin Android SDK dan USB Debugging yang terinstal di smartphone, untuk pembangunan aplikasi android PC/Laptop harus terhubung pada satu jaringan.
Gambar 4.2 hasil Augmented Reality yang dijalankan pada webcam laptop
Gambar 3.6 Logo USB debugging pada play store
Untuk selanjutnya kita ujicobakan mengcapture gambar pada kertas yang telah dimarker tadi pada smarphone berbasis android, dan hasilnya tampak seperti gambar dibawah ini, mobil dan rumah yang di caputre menjadi tampak lebih nyata. Dan dapat dilihat dari berbagai sudut ketika kita memutarkan kamera pada smarhponenya, dan kita juga dapat melihat dalam ruangannya lebih nyata, Sehingga konsumen yang ingin membeli rumah atau kendaraan akan lebih detail lagi melihat produk yang ditawarkan oleh produsen.
Gambar 3.7 Pengaturan Build di Android 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.4 Aplikasi Augmented Reality yang dijalankan pada smartphone
4.1 Hasil Setelah kertas yang dimarker dibuat selanjutnya diujicobakan dengan mendekatkan pada kamera laptop kurang lebih 15-45 cm, untuk dicapture, untuk melihat apakah marker pada kertas tadi berfungsi, hasilnya tampak seperti gambar dibawah ini. Gambar mobil dan rumah yang dimarker muncul dalam bentuk 3 dimensi. Dan Gambar 4.1 dimensi tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut dengan memutar atau menggerakgerakan kertas yang telah dimarker. ISSN 2549 - 2888
Gambar 4.3 Aplikasi Augmented Reality yang di jalankan pada smartphone.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
4.2 Pembahasan Melakukan pengujian terhadap aplikasi yang akan dijalankan mulai dari proses pendeteksian marker sampai pada tahap rendering objek. Dalam pengujian ini, sebuah marker akan dideteksi terlebih dahulu oleh kamera. Pendeteksian marker dilakukan dengan cara mengarahkan marker tepat didepan webcam sehingga seluruh permukaan marker dapat terlihat oleh webcam. Marker yang akan di deteksi harus di sediakan terlebih karena objek adalah brosur. Pengujian dilakukan dengan menggunakan webcam Laptop atau kamera smarthphone. Berdasarkan penelitian yang Penulis lakukan dalam membangun aplikasi Augmented Reality dimana pada prinsipnya menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia virtual, maka Augmented Reality ini sangat membatu bagi pihak konsumen untuk bisa melihat detail bangunan property/kendaraaan yang akan dibeli dengan menggunakan kamera smartphone berbasis android yang mampu menangkap gambar pada brosur/kertas yang telah di marker. Tidak hanya itu kita pun dapat melihat gambar yang di marker dari berbagai sudut dengan hanya memutarkan kertas yang dimarker tadi. 5. KESIMPULAN Dari penerapan hasil pembahasan dapat disimpulakan sebagai berikut: 1. Augmented reality dapat meampilkan gambaran benda dalam bentuk 3 dimensi
78
dengan bentuk kemiripan hampir menyerupai bentuk aslinya 2. Marker akan dapat dibaca dan akan dapat menampilakn gambaran 3 dimensi jika kapasitas cahaya yang mencakupi dan marker dapat di baca dalam jarak 15-45 cm. jika cahaya yang kurang dan jarak yang cukup jauh ataupun dekat maka marker tidak akan dapat menampilakn gambaran 3 dimensi 3. Dalam penilaian Penulis aplikasi augmented reality sangat mendukung dalam bidang promosi dimana brosur sebagai marker. Daftar Pustaka [1]. http://www.wikipedia.org Chafied Muhammad, 2010. “Brosur Interaktif Berbasis [2]. Augmented Reality’’ . PDF Inovasi maxi, (2012, 22 April), “Pengenalan Augmented Reality Android”, http://maxiandroid.blogspot.co.id/ [3]. Auliyarahma,(2015,16januari),“SingleMarker Pada Augmented Reality”, http://pengetahuanduniait.blogspot.co.id/ [4]. AshoriAchmad, (2014, 27maret), “Pengenalan Vuforia, http://achmad-asrori.blogspot.co.id/ [5]. Azharahmadsaiffudin,(2015,13september),“Me mbuat Simple Augmented Reality Berbasis Android Menggunakan Unity 5.1.1 dan Vuforia5.0.5” [6]. http://duniadigit.blogspot.co.id/ [7]. https://wisuda.unud.ac.id / “BAB II Kajian Pustaka”.
ISSN 2549 - 2888
79
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
STUDI PEMBUATAN BAHAN ALTERNATIF PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI UBI JALAR DENGAN PLASTICIZER GLISEROL DENGAN METODE MELT INTERCALATION Samsul Aripin1, Bungaran Saing2, Elvi Kustiyah3 1,2,3Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Jakarta E-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak -- Masalah lingkungan dari pembuangan limbah plastik turunan minyak bumi telah menjadi isu penting karena sifatnya yang sulit diuraikan. Oleh karena itu, upaya telah dilakukan untuk mempercepat tingkat degradasi material polimer dengan mengganti beberapa atau seluruh polimer sintetis dengan polimer alami. Pati merupakan salah satu polimer alami yang dapat digunakan untuk produksi material biodegradable karena sifatnya yang mudah terdegradasi, melimpah, dan terjangkau namun memiliki kekurangan seperti kuatnya perilaku hidrofilik dan sifat mekanis yang lebih buruk. Untuk meningkatkan kekuatan mekanis pada pati, sejumlah kecil pegisi (filler) berupa bahan penguat biasanya ditambahkan ke dalam matriks polimer. Oleh karena itu, bioplastik disiapkan dengan pencampuran pati ubi jalar sebagai matriks, gliserol sebagai pemlastis, dan kitosan sebagai pengisi (filler) melalui metode melt intercalation. Variasi konsentrasi gliserol dan kitosan mempengaruhi sifat mekanis dan biodegradabilitas bioplastik. Ketika gliserol divariasikan dari 0,5% menjadi 1,5% kekuatan tarik menurun dari 19,23 MPa menjadi 8,83 Mpa, sedangkan niali elongasi meningkat dari 0% menjadi 39,16%. Sebaliknya pada saat variasi konsentrasi Kitosan dari 1% menjadi 2% kekuatan tarik meningkat dari 4,90 MPa menjadi 5,60 MPa, dan pada saat konsentrasi kitosan 3% nilai kuat tarik menurun menjadi 4,22 MPa, sedangkan nilai elongasi mengalami penurunan yaitu 32,62%, 16,60% dan 8,35%. Biodegradabilitas bioplastik dengan variasi plasticizer gliserol mencapai 2,50 % dalam waktu 8 hari. Sedangkan bioplastik pada variasi konsentrasi kitosan mempunyai biodegradabilitas 1,63% dalam waktu 8 hari. Kata kunci : biodegradabel, bioplastik, pelt intercalation, pati, pemlastis 1.
PENDAHULUAN
Plastik adalah bahan yang banyak sekali di gunakan dalam kehidupan manusia. Plastik dapat di gunakan sebagai peralatan dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat relatif kuat, ringan, dan mempunyai harga yang murah. Dalam bidang pertanian, plastikpun tidak ketinggalan mengambil peran seperti untuk mulse, green house dan polybag sehingga terjadi peningkatan produksi pertanian. Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan plastik sebagai packaging seperti botol, lunch box, kantong plastik dan berbagai jenis kemasan lainnya. Plastik merupakan bahan yang relatif nondegradable sehingga pemanfaatan plastik harus diperhatikan mengingat besarnya limbah yang dihasilkannya. Plastik merupakan material baru yang secara luas dikembangkan dan digunakan sejak abad ke-20 (Kyrikou, 2007). Plastik yang digunakan saat ini merupakan polimer sintetis dari bahan baku minyak bumi yang terbatas jumlahnya dan tidak dapat diperbaharui. Maka, dibutuhkan adanya alternatif bahan plastik yang diperoleh dari bahan yang mudah didapat dan tersedia di alam dalam jumlah besar dan murah tetapi mampu menghasilkan produk dengan kekuatan yang sama yaitu bioplastik (Martaningtiyas, 2004). Bioplastik adalah plastik atau polimer yang secara alamiah dapat dengan mudah terdegradasi baik melalui serangan mikroorganisme maupun oleh cuaca ISSN 2549 - 2888
(kelembapan dan radiasi sinar matahari). Bioplastik dapat diperoleh dengan cara pencampuran pati dengan selulosa, gelatin dan jenis biopolimer lainnya yang dapat memperbaiki kekurangan dari sifat plastik berbahan pati (Ban, 2006 dalam Ummah Al Nathiqoh). Pada penelitian ini akan dipreparasi plastik biodegradable berbahan pati ubi jalar dan plasticizer gliserol. Plastik berbahan pati ubi jalar, penguat kitosan dan plasticizer gliserol diharapkan dapat memberikan dampak baik bagi lingkungn dan mengurangi plastik sintetis.
Gambar 1. Grafik Penggunaan Plastik dibeberapa Negara (kg/orang/tahun) (Sumber: Kyrikou, 2007) 2. PENELITIAN SEBELUMNYA Biodegradable dapat diartikan dari tiga kata yaitu bio yang berarti makhluk hidup, degra yang berarti terurai dan able berarti dapat. Jadi, film
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
biodegradable plastik adalah film plastik yang dapat terurai oleh mikroorganisme. Film plastik ini, biasanya digunakan untuk pengemasan. Kelebihan film plastik antara lain tidak mudah ditembus uap air sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengemas (Mahalik, 2009 dalam Agustina Putri Serly, 2014). (Griffin, 1994 dalam Aryani Riski, 2014), plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya karena pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, alga). Menurut (Seal, 1994 dalam Aryani Putri, 2014), kemasan plastik biodegradable adalah suatu material polimer yang merubah pada senyawa yang berat molekul rendah dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami. Plastik biodegradable berbahan dasar pati/amilum dapat didegradasi oleh bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer – monomernya. Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Plastik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah. Tabel 1. Hasil pengujian komposisi kandungan dari Pati Ubi Jalar (Zulfa, 2011) Parameter Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Amilosa Amilopektin
Hasil (%) 11.4 0.48 0.50 0.07 87.5 11.6 76.2
Pati (amilum) mempunyai rumus molekul (C6H10O5)n, banyak terdapat dalam biji, umbi, akar dan jaringan batang tanaman (Pasaribu, 2009). Komponen-komponen yang menyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air. Amilosa terdiri dari satuan glukosa yang bergabung melalui ikatan α(1,4)-D- glukosa. Amilosa memberi sifat keras, dan memiliki berat molekul rata rata 10.000 – 60.000. Sedangkan amilopektin merupakan komponen pati yang mempunyai rantai cabang,
80
amilopektin menyebabkan sifat lengket, tidak larut dalam air dingin, dan mempunyai berat molekul 60.000-100.000 (Zulfa, 2011). Amilopektin terdiri dari satuan glukosa yang bergabung melalui ikatan _-(1,4)-D-glukosa dan _-(1,6)-D-glukosa (Ben & Z., 2007). Plasticizer gliserol berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hydrogen dan meningkatkan jarak antara molekul dari polimer. Semakin banyak penggunaan plasticizer maka akan meningkatkan kelarutan terutama yang bersifat hidrofilik akan meningkatkan kelarutan dalam air. Gliserol memberikan kelarutan yang tinggi dibandingkan sorbitol pada bioplastik berbasis pati (Bourtoom, 2007). Interaksi antara polimer dengan pemlastis dipengaruhi oleh sifat afinitas kedua komponen, apabila afinitas polimer pemlastis tidak kuat maka akan terjadi plastisasi antara struktur (Molekul pemlastis hanya terdistribusi diantara struktur). Plastisasi ini hanya mempengaruhi gerakan dan mobilitas struktur. Jika terjadi interaksi polimer– polimer cukup kuat, maka molekul pemlastis akan terdifusi kedalam rantai polimer. Gelatinisasi adalah perubahan yang terjadi pada granula pada waktu terjadi kenaikan yang luar biasa dan tidak dapat kembali kebentuk semula. (Winarno, 2002). Suhu gelatinisai adalah suhu pada saat granula pati pecah dan berbedabeda bagi setiap pati serta merupakan suatu kisaran. Viskometer suhu gelatinisasi dapat ditentukan, misalnya pada jagung 62-70 ºC, kentang 58-66ºC dan Ubi jalar 80-90ºC (Winarno, 2002). 3. METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Pati ubi jalar, kitosan, plasticizer gliserol, asam asetat 1%, aquades. 3.2 Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: magnetic stirrer, ayakan mesh, oven, neraca analitik, gelas beker, cawan, spatula, termometer, cetakan ukuran 20x20 cm. 3.3 Prosedur Penelitian a. Pembuatan Bahan Baku Pembuatan bahan baku dimulai dari memisahkan pati ubi jalar dengan ampasnya yaitu dengan cara mengekstraksi pati. Pengambilan kandungan pati dari pati ubi jalar dapat dilakukan dengan mengupas ubi jalar, kemudian mencuci bagian ubi jalarnya kemudian memarut daging ubi jalar hingga halus. Setelah halus menambahkan air ISSN 2549 - 2888
81
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
pada bahan yang sudah diparut dengan perbandingan 1 kg bahan: 2 liter air. Melakukan penyaringan menggunakan kain saring sampai diperoleh ampas dan cairan (suspensi pati), setelah itu mengekstraksi kembali ampas yang diperoleh dari proses penyaringan dengan penambahan air (1 kg ampas: 2 liter air), kemudian menyaring kembali untuk mendapatkan pati. Mencampurkan cairan pati yang diperoleh dari penyaringan pertama dan kedua dan mengendapkannya selama 1 jam, kemudian air hasil pengendapan dibuang sehingga diperoleh pati basah, tahap terakhir yaitu mengeringkan pati. b. Pembuatan Bioplastik Pembuatan bioplastik menggunakan metode pembuatan film plastik biodegradable yaitu melt intercalation yaitu teknik inversi fasa dengan penguapan pelarut setelah proses pencetakkan yang dilakukan pada plat kaca. Metode pembuatan film plastik biodegradable ini didasarkan pada prinsip termodinamika larutan dimana keadaan awal larutan stabil kemudian mengalami ketidakstabilan pada proses perubahan fase (demixing), dari air menjadi padat. Proses pemadatannya (solidifikasi) diawali transisi fase cair satu ke fase dua cairan (liquidliquid demixing) sehingga pada tahap tertentu fase (polimer konsentrasi tinggi) akan membentuk padatan. Proses pembuatan bioplastik dengan variasi konsentrasi gliserol dilakukan dengan mencampurkan 2% kitosan dengan gliserol yang massanya divariasikan 0,5, 1, dan 1,5 (%v/v)) dan 100 ml aquadest, menambahkan Asama setat 1 % kedalam campuran tersebut agar kitosan larut sempurna. Kemudian menambahkan pati ubi jalar 5 gram, lalu memanaskan pada suhu 80-90ºC, dan melakukan pengadukan dengan stirrer selama 40 menit. Sebelum campuran dilakukan pencetakan didiamkan terlebih dahulu selama 5 menit untuk menghindari adanya gelembunggelembung pada plastic. Menuangkan campuran yang telah diaduk pada cetakan ukuran 20x20 cm, lalu mengeringkan campuran dalam oven dengan suhu 40-50º C selama 5 jam. Tahap terakhir adalah mengeluarkan campuran dari oven, kemudian membiarkan pada suhu kamar hingga campuran dapat dilepas dari cetakan. Proses pembuatan bioplastik dengan variasi kitosan dilakukan dengan mencampurkan gliserol 2% dengan kitosan yang massanya divariasikan 1, 2, dan 3 (%w/v) dan 100 ml aquades. Setelah itu menambahkan Asam asetat 1% kedalam campuran tersebut agar kitosan larut sempurna, lalu menambahkan pati ubi jalar 5 gram kemudian memanaskan pada suhu 80-90ºC, dan melakukan pengadukan dengan stirrer selama 40 menit. Sebelum campuran dilakukan pencetakan didiamkan terlebih dahulu selama 5 menit untuk ISSN 2549 - 2888
menghindari adanya gelembung-gelembung pada plastik, lalu menuangkan campuran yang telah diaduk pada cetakan ukuran 20x20 cm. tahap selanjutnya mengeringkan campuran dalam oven dengan suhu 40-50º C selama 5 jam, tahap terakhir yaitu mengeluarkan campuran dari oven, kemudian membiarkan pada suhu kamar hingga campuran dapat dilepas dari cetakan. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini meliputi hasil analisa yang dilakukan dalam penelitian pembuatan bioplastik. Analisa tersebut meliputi uji mekanik yang terdiri dari kuat tarik dan elongasi, serta analisa uji biodegradability. 45 40
KUAT TARIK
35
ELONGASI (%)
30 25 20 15 10 5 0 A
B
C
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi Gliserol sebagai Plasticizer terhadap Kuat Tarik dan Elongasi Bioplastik Dari Gambar 2, pengaruh penambahan konsentrasi plasticizer gliserol terhadap sifat mekanik bioplastik yang dihasilkan menunjukan sifat yang berkebalikan antara kuat tarik dan elongasi. Hal ini ditunjukan dengan peningkatan nilai elongasi seiring dengan penambahan konsentrasi gliserol, yaitu gliserol 0,5 % tidak mempunyai nilai elongasi, diikuti dengan gliserol 1% dengan nilai elongasi 21,66% dan terakhir gliserol 1,5% dengan nilai elongasi 39,16%. Sedangkan nilai kuat tarik bioplastik menunjukan hal yang berlawanan dengan nilai elongasi bioplastik. Hasil kuat tarik bioplastik mengalami penurunan seiring bertambahnya konsentrasi gliserol. Bioplastik dengan plasticizer 0,5% gliserol mempunyai kuat tarik sebesar 19,23 MPa. Penambahan konsentrasi gliserol selanjutnya menyebabkan penuruan nilai kuat
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
tarik menjadi 11,58 Mpa pada bioplastik dengan konsentrasi 1% gliserol dan terakhir penambahan konsentrasi bioplastik menjadi 1,5% gliserol nilai kuat tariknya menjadi 8,83 MPa. 35 30 25 20 KUAT TARIK 15
ELONGASI(%)
10 5 0 D
E
F
82
Sedangkan nilai elongasi bioplastik menunjukan hal yang berlawanan dengan niali kuat tarik bioplastik. Nilai elongasi mengalami penurunan seiring penambahan konsentrasi kitosan sebagai penguat. Nilai elongasi bioplastik pada saat konsentrasi 1% adalah 32,62 %, diikuti dengan penurunan nilai elongasi pada saat konsentrasi kitosan 2% menjadi 16,60 % dan terakhir nilai elongasi menjadi 8,35 % pada saat konsentrasi kitosan 3%. Terjadinya perubahan sifat mekanik bioplastik dengan penguat kitosan tersebut disebabkan oleh pengaruh banyaknya penguat yang digunakan. Konsentrasi penguat yang semakin meningkat mengakibatkan kuat tarik yang semakin meningkat sebaliknya niali elongasi menjadi menurun.
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi Kitosan sebagai Penguat terhadap Kuat Tarik dan Elongasi Bioplastik Pada Gambar 3 pengaruh penambahan kosentrasi penguat kitosan terhadap sifat mekanik bioplastik yang dihasilkan menunjukan sifat yang berlawanan anatara kuat tarik dan elongasinya. Nilai kuat tarik meningkat seiring bertambahnya konsentrasi kitosan, akan tetapi pada konsentrasi kitosan 3% nilai kuat tarik justru menurun lebih kecil dibanding dengan konsentrasi sebelumnya yaitu 1% dan 2% kitosan. Kuat tarik bioplastik pada konsentrasi 1% kitosan yaitu 4,90 MPa, kemudian terjadi penambahan nilai kuat tarik pada konsentrasi 2% kitosan menjadi 5,60 MPa. Pada konsentrasi kitosan 3% nilai kuat tarik justru mengalami penurunan menjadi 4,22 MPa, hal ini tidak sesuai dengan literatur yang ada bahwa penambahan konsentrasi kitosan sebagai penguat akan meningkatkan nilai kuat tarik. Ada beberapa faktor dalam penelitian ini yang menjadikan penurunan nilai kuat tarik pada saat konsentrasi 3% yaitu pada saat proses pengadukan dan pemanasan diatas stirrer larutan bioplastik sangat kental sekali dibanding dengan bioplastik dengan konsentrasi dibawah 3% sehingga pada saat pengadukan oleh magnetic stirrer susah diaduk dan menjadi kurang homogen, pada saat dicetak bioplastik juga susah dicetak karena larutan sangat kental. Selain itu proses pemanasan dan pengeringan bioplastik juga mempengaruhi terhadap sifat mekanik dan morfologi bioplastik.
Gambar 4. Pengaruh Waktu Degradasi Bioplastik di dalam Tanah Terhadap Berat Residual (%) Variasi Gliserol dan Kitosan Gambar 4 menunjukan tingkat biodegradabilitas dari bioplastik dengan variasi konsentrasi gliserol dan variasi konsentrasi kitosan. Pada bioplastik C, D dengan variasi kitosan 1 dan 2% serta variable tetapnya gliserol 2 % menunjukan tingkat degradability yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bioplastik A,B dengan variasi gliserol 0,5 dan 1% dengan variable tetap kitosan 2%. Pada saat variasi kitosan 1% dan 2% dengan variable tetap gliserol yang lebih besar yaitu 2% lebih cepat terdegradasi didalam tanah, hal ini terjadi karena pati yang ISSN 2549 - 2888
83
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
terdiri dari amilosa dan amilopektin serta gliserol sama sama mempunya gugus hidroksil OH yang menginisiasi reaksi hidrolisis setelah mengabsorbsi air dari tanah. Pati yang merupakan gugus hidroksil OH akan terdekomposisi menjadi potongan-potongan kecil hingga menghilang dalam tanah. Polimer akan terdegradasi karena proses kerusakan atau penurunan mutu karena putusnya ikatan rantai pada polimer (Marhamah, 2008). Sedangkan kitosan sebagai penguat dalam bioplastik akan lebih lama terdegradasi dibanding dengan pati dan gliserol. Proses dekomposisi tidak membutuhkan waktu yang cukup lama karena selain matrik pati ubi jalar, dan penguat kitosan, terdapat gliserol sebagai plasticizer yang menyumbangkan gugus OH karena sifatnya hidrofilik dengan pati (Ardiansyah, 2001). Gambar 5 adalah gambar dari bioplastik setelah terdegradasi didalam tanah setelah beberapa hari. Bioplastik mengalami pengurangan masa dan secara visual mengalami perubahan warna dan bentuk.
Mpa menjadi 5,60 Mpa tetapi pada saat konsentrasi kitosan 3% nilai kuat tarik menurun menjadi 4,22 Mpa. Dari hasil uji biodegradabilitas, tingkat biodegradabilitas bioplastik Pada variasi kitosan lebih optimal jika dibandingkan dengan bioplastik pada variasi gliserol. Biodegradabilitas bioplastik dengan variasi plasticizer gliserol mencapai 2,50 % dalam waktu 8 hari. Sedangkan bioplastik pada variasi konsentrasi kitosan mempunyai biodegradabilitas 1,63% dalam waktu 8 hari. 4.2 Saran Pengujian bioplastik yang baik sebaiknya menggunakan waktu lama pengeringan sampel bioplastik yang sama. Misalnya, jika lama pengeringan bioplastik selama 5 hari maka semua sampel bioplastik setelah 5 hari pengeringan segera diuji sifat mekaniknya. Karena jika tidak langsung diuji dan didiamkan dulu selama beberapa hari akan berpengaruh terhadap nilai mekaniknya, kemudian untuk penelitian selanjutnya sebaiknya mengganti penguat kitosan dengan bahan yang lain untuk menghasilkan bioplastik yang mempunyai nilai mekanik yang optimal. Sebaiknya juga dicari cara untuk menjernihkan warna bioplastik yang dihasilkan, dari berwarna kecoklatan menjadi transparan. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 5. Bioplastik setelah terdegradasi didalam tanah setelah beberapa hari 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Sifat mekanik terbaik dari bioplastik dengan variasi konsentrasi plasticizer gliserol diperoleh pada konsentrasi gliserol 0,5%, yaitu kuat tarik 19,23 MPa, sedangkan nilai elongasi terbaik diperoleh pada saat variasi gliserol 1,5 % yaitu 39,16%. Bioplastik pada saat variasi konsentrasi kitosan diperoleh sifat mekanik terbaik yaitu nilai kuat terbaik pada saat konsentrasi kitosan 2% yaitu 5,60 MPa, sedangkan nilai elongasi terbaik pada saat konsentrasi kitosan 1% yaitu 32,62%. Nilai elongasi bioplastik akan meningkat seiring bertambahnya konsentrasi gliserol (0.5, 1 dan 1.5%), yaitu 0, 21,66% dan 39,16%, kemudian akan menurun seiring bertambahnya konsentrasi kitosan (1%, 2% dan 3%) yaitu 32,62%, 16,60% dan 8,35%. Sedangkan nilai kuat tarik sebaliknya pada saat penambahan konsentrasi gliserol nilai kuat tarik semakin menurun yaitu 19,23 Mpa, 11,58 Mpa dan 8,83 Mpa, sedangkan pada saat variasi kitosan semakin banyak kitosan yang ditambahkan nilai kuat tarik meningkat dari 4,90 ISSN 2549 - 2888
[1]. Zulfa, Z. (2011). Pemanfaatan Pati Ubi Jalar untuk Pembuatan Biokomposit Semikonduktor. Depok: Universitas Indonesia. [2]. Ardiansyah, R. (2011). Pemanfaatan Pati Umbi Garut untuk Pembuatan Plastik Biodegradable. Depok: Universitas Indonesia. [3]. Pasaribu, F. (2009). Peranan Gliserol Sebagai Plastisiser Dalam Film Pati Jagung Dengan Pengisi Serbuk Halus Tongkol Jagung. Medan: Sekolah PascaSarjana Universitas Sumatera Utara. [4]. Wirjosentono, B. (1995). Perkembangan Industri Polimer di Indonesia. Medan: FMIPA USU. [5]. Ani Purwanti. (2010). Analisis Kuat Tarik dan Elongasi Plastik Kitosan Terplastisasi Sorbitol. Yogyakarta: Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta. [6]. Ganda, M dan Lizda, M. (2013). Pengembangan Plastik Photobiodegradable Berbahan dasar Umbi Ubi Jalar. Surabaya: Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). [7]. Ben, E., & Z., H. A. (2007). Studi Awal Pemisahan Amilosa dan Amilopektin Pati Singkong Dengan Fraksinasi Butanol-Air. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 12, 1-11.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
84
[8]. Rinaldi, B & Gita, M. (2014). Pengaruh dan Hidrofobisitas Bioplastik dari Pati Sorgum. Penambahan Gliserol Terhadap Sifat Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, 7(4): Kekuatan Tarik dan Pemanjangan Saat Putus 88-93. [9]. Bioplastik dari Pati Umbi Talas. Jurnal Teknik [12]. Sanjaya, I Gede M.H. dan Tyas Puspita, 2009. Kimia US, Vol.3, No 2. Pengaruh penambahan Kitosan dan [10]. Darni, Y., Utami, H., & Asriah, S. N. (2009). Plasticizer gliserol pada Karakterisasi Plastik Peningkatan Hidrofobisitas dan Sifat Fisik Biodegradable Dari Pati Limbah Kulit Platik Biodegradabel Pati Tapioka dengan Singkong. Jurnal FTII-ITS. Penambahan Selulosa Residu Rumput Laut [13]. Seigel, Emma and Lisa Barrow. 2007. Euchema spinossum. Universitas Lampung, Biodegradable Plastics. Online. Artikel diunduh Teknik Kimia. Bandar Lampung: Universitas tanggal 8 Agustus 2016. Lampung. [14]. Seigel, Emma and Lisa Barrow. 2007. [11]. Darni Y. dan Herti Utami. 2010. Studi Biodegradable Plastics. Online. Artikel diunduh Pembuatan dan Karakterisitik Sifat Mekanik tanggal 8 Agustus 2016.
ISSN 2549 - 2888
85
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
ANALISIS AUDIT ENERGI UNTUK PENCAPAIAN EFISIENSI ENERGI DI GEDUNG AB, KABUPATEN TANGERANG, BANTEN Agung Wahyudi Biantoro1, Dadang S. Permana2 Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana, Jakarta E-mail:
[email protected],
[email protected]
1,2Program
Abstrak -- Hingga saat ini energi memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan peradaban manusia. Salah satu persoalan yang muncul dalam penggunaan energi adalah masih banyaknya penggunaan energi fosil, padahal energi ini sangat terbatas di muka bumi. Oleh karena itu perlunya efisiensi penggunaan energi di seluruh lini bidang kehidupan, termasuk pada lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat. Gedung AB, Kabupaten Tangerang merupakan salah satu institusi pemerintah yang terus berbenah dan mengambil peran aktif dalam menyukseskan program penghematan energy, yaitu dengan melakukan audit energy. Salah satu parameter yang digunakan dalam audit energy adalah intensitas konsumsi energi (IKE). IKE adalah istilah yang digunakan untuk menentukan konsumsi energi dari sistem (bangunan). Nilai EUI dapat ditemukan dengan membagi total energi yang dikonsumsi oleh bangunan dalam satu tahun dengan total luas lantai kotor bangunan. Berdasarkan hasil perhitungan, IKE pada Gedung AB, Kabupaten Tangerang adalah 48,33 kWh/m2/tahun, masuk dalam kategori sangat efisien. Gedung ini masuk dalam kategori sangat efisien karena sebagian besar ruang menggunakan ventilasi alami, banyak AC yang tidak bekerja karena rusak, banyak ruang yang kapasitas AC nya terlalu kecil, dan Intensitas pencahayaan (Lux) kurang terang (dibawah standar SNI). Kondisi lampu penerangan rata-rata dibawah standar SNI pencahayaan buatan dan kondisi ini akan mempengaruhi kenyamanan kerja karyawan. Intensitas pencahayaan rata-rata tiap ruangan dibawah 210 Lux. Kondisi AC secara umum dibawah kinerjanya yang berpotensi pemborosan energi listrik, dengan nilai RH antara 48,1% – 78,8% (dibawah standar SNI). Usia AC sudah tidak efisien karena sudah melebihi batas usia ekonomis maupun teknis (˃10 tahun), dengan suhu ruang kerja rata-rata diatas 260C. Kondisi ini diduga akan mempengaruhi kenyamanan kerja dan kinerja karyawan. Kata Kunci: Intensitas Konsumsi Energi (IKE), audit energi, beban penerangan, beban
pendingin I.
PENDAHULUAN
Salah satu hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa Indonesia tergolong negara pengguna energi yang boros. Parameter yang digunakan untuk mengukur pemborosan energi adalah elastisitas dan intensitas energi. Elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi. Elastisitas energi Indonesia berada pada kisaran 1,04 – 1,35 dalam kurun waktu 1985 – 2000, sementara negara-negara maju berada pada kisaran 0,55 – 0,65 pada kurun waktu yang sama. Sebenarnya sudah sejak lama Pemerintah Indonesia peduli dengan keadaan krisis energi yang berlarut-larut seperti sekarang terjadi. Pada tanggal 7 April 1982, melalui keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 1982, Pemerintah Republik Indonesia sudah mulai mengeluarkan kebijakan tentang Penghematan/Konservasi Energi. Inpres ini terutama ditujukan terhadap pencahayaan gedung, AC, peralatan dan perlengkapan kantor yang menggunakan listrik, dan kendaraan dinas. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk selalu menjadikan hemat energi sebagai budaya di masyarakat. Dengan hemat energi maka pengeluaran pemerintah dan ISSN 2549 - 2888
masyarakat akan energi bisa dikurangi, dan ini membuat energi dapat digunakan dalam waktu yang panjang dan efisien. Bangunan Gedung AB Kabupaten Tangerang berlokasi di jalan Kadu Agung, Tigaraksa, Tangerang, Banten. Bangunannya terdiri dari satu gedung berlantai 3, yang berfungsi sebagai Gedung AB Kabupaten Tangerang. Bidang Lantai 1 diisi oleh Bagian BM, Tenaga Kerja, Cipta Karya, Lantai 2, Bagian Tata Ruang, Kesejahteraan, Bagian BM dan Lantai 3, Aula Parakan, Bagian Kesatuan Bangsa, dan Satuan P. Sumber energi listrik yang digunakan berasal dari PLN dan Emergency Genset Diesel, PLN dengan kontrak daya sebesar 415 kVA golongan tarif P2. Gedung ini memiliki Trafo Distribusi 1 x 400 kVA, dengan emergency genset diesel, merk Siemens, kapasitas 1 x 400 kVA, 400 Volt, 50 Hz, Cos Phi 0,8. Sedang data arsitektur berupa jumlah blok adalah 1 blok, 3 lantai, luas Bangunan, 13.942,10 m2. Material secara umum berupa dinding bata, struktur beton bertulang, dengan kaca, dan jendela dan atap dari genteng keramik. Dengan kondisi gedung yang berumur lebih dari 10 tahun, maka diduga terjadi penurunan efisiensi peralatan kelistrikkan, kenaikan konsumsi energi. Bila ini dibiarkan maka akan
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
berpengaruh pada keamanan dan kenyamanan gedung, efisiensi energi, produktivitas, dan kinerja karyawan yang bekerja, serta masyarakat yang datang pada gedung tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan konsumsi energi gedung, beban pencahayaan dan beban pendingin ruangan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat intensitas konsumsi energi (IKE) lembaga pemerintah tersebut, khususnya bidang kelistrikkan, kondisi beban pencahayaan dan kondisi beban pendingin di Gedung AB, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. 2. KAJIAN PUSTAKA Penelitian mengenai Audit Energi maupun Audit Elektrikal di Indonesia termasuk hal yang baru dipublikasikan. Beberapa penelitian yang dapat dihimpun oleh penulis yaitu Ricky Salpanio (2007) yang melakukan penelitian tentang audit energi listrik pada gedung kampus Undip Peleburan Semarang, pada tahun 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan energi listrik setiap pelanggan di gedung kampus sebagian termasuk kriteria efisien. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai penggunaan energi pada masing-masing ruangan yang ada di gedung kampus sehingga penelitian ini membutuhkan implementasi dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya adalah Asnal effendi dan Ahsanul (2013) melakukan penelitian mengenai IKE atau intensitas konsumsi energi listrik merupakan istilah yang digunakan untuk mengetahui besarnya pemakaian energi pada suatu sistem (bangunan). Nilai IKE ini diketahui dengan membandingkan total penggunaan energi listrik dengan luas bangunan gedung. Proses evaluasi dilakukan dengan mengumpulkan data historis gedung RSJ. Prof. HB. Saanin Padang berupa data luas bangunan gedung, data penggunaan energi listrik, serta anggaran yang dikeluarkan untuk kebutuhan energi listrik. Dari hasil perhitungan, Nilai IKE Listrik tahun 2013 adalah sebesar 155,857 kWh/ m2 per tahun, nilai IKE tahun 2014 adalah 29,291 kWh/ m2 per tahun, dan tahun 2015 adalah 33,216 kWh/ m2 per tahun. Hasil ini termasuk kategori efisien karena tidak melewati standar IKE listrik untuk gedung rumah sakit sebesar 380 kWh/ m2 per tahun. Kemudian Catur, Dian dan Herwin (2013) melakukan penelitian Audit energi di Gedung Kampus Dian Nuswantoro, Semarang pada tahun 2013. Dari hasil audit, diketahui bahwa
86
intensitas konsumsi energi pendingin atau AC Universitas berada di angka 23,10 kwh/m² dan pada pencahayaan pemakaian energi sebesar 25,04 kWh hanya dapat memberikan pencahayaan rata-rata tiap ruang sebesar 114,76 E(lux). Sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah angka tersebut masuk dalam kategori boros. Deepak (2013) menyatakan: “In any industry, the three top operating expenses are often found to be energy (both electrical and thermal), labour and materials. Energy auditing will not only save money but it also improves the quality of electrical energy supply. The most of the saving is possible without any investmen, just by modification and proper tuning. Depak menyebutkan bahwa dalam industri apapun, tiga biaya operasional atas sering ditemukan untuk menjadi energi (baik listrik dan termal), tenaga kerja dan bahan. Energi audit tidak hanya akan menghemat uang tetapi juga meningkatkan kualitas pasokan energi listrik. Kebanyakan dari penghematan dimungkinkan tanpa perlu investasi, hanya dengan modifikasi dan pemasangan yang tepat. 2.1 Indeks Konsumsi Energi (IKE)
Intensitas Konsumsi Energi (Energy Use Intensity) atau IKE (EUI) berdasarkan formula perhitungan dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 38 tahun 2012 adalah besar energi yang digunakan suatu bangunan gedung perluas area yang dikondisikan dalam satu bulan atau satu tahun. Area yang dikondisikan adalah area yang diatur temperatur ruangannya sedemikian rupa sehingga memenuhi standar kenyamanan dengan udara sejuk disuplai dari sistem tata udara gedung. IKE dijadikan acuan untuk melihat seberapa besar konservasi energi yang dilakukan gedung tersebut. Bila diindustri/pabrik, istilah yang digunakan dan serupa tujuannya adalah konsumsi energi spesifik (Spesific Energy Consumption) yaitu besar penggunaan energi untuk satuan produk yang dihasilkan. Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 38 tahun 2012, standar IKE untuk berbagai tipe/fungsi bangunan adalah sebagai berikut. Pada hakekatnya Intensitas Konsumsi Energi ini adalah hasil bagi antara konsumsi energi total selama periode tertentu (satu tahun) dengan luasan bangunan. Satuan IKE adalah kWh/m2 per tahun. Dan pemakaian IKE ini telah ditetapkan di berbagai negara antara lain ASEAN dan APEC. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh ASEAN-USAID pada tahun 1987 yang laporannya baru dikeluarkan tahun 1992, target besarnya Intensitas Konsumsi Energi (IKE) listrik untuk Indonesia adalah sebagai berikut: ISSN 2549 - 2888
87
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
(Direktorat Pengembangan Energi) IKE untuk perkantoran (komersil) adalah 240 kWh/m2 per tahun, pusat belanja 330 kWh/ m2 per tahun, hotel/ apartemen: 300 kWh/ m2 per tahun dan untuk rumah sakit: 380 kWh/ m2 per tahun. Jika nilai IKE lebih rendah daripada batas bawah, maka bangunan gedung tersebut dikatakan hemat energi sehingga perlu dipertahankan dengan melaksanakan aktivitas dan pemeliharaan sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan perusahaan. Jika nilai IKE berada di antara batas bawah dan acuan, maka bangunan gedung tersebut dikatakan agak hemat sehingga perlu meningkatkan kinerja dengan melakukan tuning up. Jika di antara acuan dan batas atas, maka bangunan gedung tersebut dikatakan agak boros sehingga perlu melakukan beberapa perubahan. Bila di atas batas atas, maka perlu dilakukan retrofitting atau replacement. 2.2 Pengertian Audit Energi
Manajemen energi didefinisikan sebagai pendekatan sistematis dan terpadu untuk melaksanakan pemanfaatan sumber daya energi secara efektif, efisien dan rasional tanpa mengurangi kuantitas maupun kualitas fungsi utama gedung. Langkah pelaksanaan manajemen energi yang paling awal adalah audit energi. Audit energi ini meliputi analisis profil penggunaan energi, mengidentifikasi pemborosan energi dan menyusun langkah pencegahan. Dengan audit energi, dapat diperkirakan energi yang akan dikonsumsi sehingga dapat diketahui penghematan yang bisa dilakukan (Hilmawan, 2009). Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, diperoleh indikasi yang menunjukkan peluang penghematan energi di sektor bangunan gedung komersial cukup besar, yaitu mencapai 10% sampai dengan 30%. Bangunan gedung merupakan salah satu sektor negara dengan konsumsi energi 23% dari konsumsi energi total seluruh sektor (Saptono, 2010). Konsumsi energi kategori bangunan gedung di negara Indonesia masih tergolong boros, dikarenakan berbagai hal baik secara teknis maupun non teknis. Secara teknis berasal dari banyaknya pemakaian alat-alat pengkonsumsi energi listrik teknologi tinggi yang pada umumnya menggunakan piranti elektronika dan masih menggunakan alat-alat listrik yang boros energi. Adapun secara non teknis adalah berasal dari perilaku konsumen PLN yang mengabaikan aspek-aspek hemat energi sederhana, seperti memakai energi listrik secara berlebihan, jorok dalam menggunakan alat-alat listrik dan banyak lagi yang lain. Audit energi yang paling mudah dilakukan adalah pada penggunaan listrik suatu bangunan. Data yang dibutuhkan adalah luas total bangunan, ISSN 2549 - 2888
tingkat pencahayaan ruang, intensitas daya terpasang, konsumsi energi, juga biaya energi bangunan. Dari prosedur audit yang telah dilakukan selama ini, ada sejumlah aksi yang direkomendasikan. Misalnya dengan menseting thermostat ke angka tertentu untuk mendapatkan penghematan pada suatu ruangan dengan AC. Atau langkah sederhana lain, mengganti lampu pijar dengan lampu fluorescence bisa menekan 15-20 persen penggunaan listrik (Magdalena, 2009). 3. METODOLOGI 3.1 Pengumpulan Data Pada tahapan audit ini dibagi menjadi 2 tahap pelaksanaan pengumpulan data yaitu: a) Pengumpulan data sekunder berupa data sejarah energi pada gedung tersebut b) Pengumpulan data primer dengan melakukan pengukuran/pemeriksaan setiap ruangan. Variabel yang diukur/diperiksa dalam penelitian ini adalah Kwh, biaya tagihan, Temperatur, Kelembapan, Kuat cahaya ruangan, luas ruangan dan kapasitas AC. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Gedung AB, Kabupaten Tangerang, Tiga Raksa, Tangerang. Gedung ini merupakan bangunan yang di design dengan void dibagian tengah gedung untuk mendapatkan pancaran sinar matahari agar masuk kedalam ruangan. Sistem vegetasi sudah baik, dengan terlihatnya banyak sekali tumbuhan/pohon yang melingkupi gedung disepanjang sisi gedung dan pagarnya, sehingga menyebabkan udara sekitar cukup sejuk. Waktu penelitian adalah Oktober 2016 hingga November 2016 3.3 Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan perhitungan energi yaitu IKE. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Power Quality Equalizer, Environment meter, camera digital, tang ampere dan multimeter. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Audit Energi Awal Hasil audit energi awal dari Gedung X dapat disebutkan bahwa pemakaian energi terbanyak adalah berasal dari pemakaian daya AC, komputer dan lampu. Dengan demikian pengukuran diutamakan pada ketiga beban tersebut. Pendekatan historis penggunaan atau konsumsi energi dilakukan untuk mengetahui pola
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
88
penggunaan energi dari kurun waktu tertentu hingga kurun waktu terakhir atau saat ini, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan penggunaan energi yang mengalami peningkatan atau penurunan, atau mungkin sudah stabil. Historis penggunaan energi ini cukup penting untuk mengontrol penggunaan energi pada masa-masa yang akan datang, kemudian menentukan base line penggunaan energi apabila penggunaan energi terus mengalami peningkatan cukup signifikan. Dengan base line energi ini penggunaan energi akan terus dapat dipantau dan dikontrol terus menerus. Dari hasil pengumpulan data penggunaan energi yang dilakukan pada saat audit energi di Gedung AB, Kabupaten Tangerang memiliki satu rekening PLN yaitu Rekening dengan Daya 415 kVA. Berikut ini adalah data konsumsi energi bulanan untuk periode 6 (enam) bulan terakhir.
Berikut ini adalah nilai standar IKE untuk jenis bangunan perkantoran pemerintah berdasarkan Permen ESDM No. 13/2012.
Tabel 4.1 Penggunaan energy listrik Gedung AB, Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang
Tabel 4.3 Nilai Intensitas Konsumsi Energi di Gedung AB, Kabupaten Tangerang
BULAN TRP MEI P2 JUNI P2 JULI P2 AGUSTUS P2 SEPTEMBER P2 OKTOBER P2
DAYA 415.000 415.000 415.000 415.000 415.000 415.000 Total
KWH 61.278 58.710 54.690 46.338 58.242 57.624 336.882
Tabel 4.2 Nilai IKE Standar di Bangunan Gedung Perkantoran Pemerintah Berdasarkan Permen ESDM No. 13/2012
Selanjutnya berikut adalah jumlah Kwh perbulan, luas bangunan serta perhitungan IKE per bulan dan per tahun pada bangunan tersebut.
BIAYA Rp 63.826.060 Rp 64.190.433 Rp 59.422.459 Rp 55.413.068 Rp 63.720.737 Rp 64.735.428 Rp 371.308.185
Gambar 4.1. Grafik Konsumsi Energi Listrik Gedung AB, Kabupaten Tangerang, tahun 2016 4.2 Intesitas Konsumsi Energy (IKE) Intensitas konsumsi energi (IKE) pada bangunan merupakan suatu nilai/besaran yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat pemanfaatan energi di suatu bangunan. Intensitas konsumsi energi di bangunan/gedung didefinisikan dalam besaran energi per satuan luas area pada bangunan yang dilayani oleh energi (kWh/m2/tahun atau kWh/m2/bulan).
Gambar 4.2. Grafik Intensitas Konsumsi Energi dibangunan Gedung AB Kabupaten Tangerang Nilai intensitas konsumsi energi (IKE) untuk Gedung AB Kabupaten Tangerang berdasarkan perhitungan dari total rekapitulasi rekening PLN per luas bangunan ber-AC enam bulan terakhir adalah 56.147 kWh dengan luas lantai 13.942,10 m2 maka Intensitas Konsumsi Energi adalah 4,03 kWh/m2/bulan atau 48,33 kWh/m2/tahun. Berikut adalah rujukan nilai standar Konsumsi Energi Standart di Bangunan / Gedung berdasarkan aktifitas dari referensi “ASEAN USAID tahun 1987.
ISSN 2549 - 2888
89
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Tabel 4.4 Nilai Intensitas Konsumsi Energi Standart di Bangunan / Gedung berdasarkan aktifitas (Referensi “ASEAN USAID th 1987”)
Tabel 4.5 Tingkat Pencahayaan pada tiap-tiap Ruangan di Gedung AB: BM Keuangan dan Sumber daya Air
Dari Tabel 4.4 tersebut maka dapat dibandingkan antara nilai aktual IKE di lapangan dengan referensi nilai standar Permen ESDM No. 13/2012 dan ASEAN USAID tahun 1987. Berdasarkan nilai standar Permen ESDM No. 13/2012 mengenai pemakaian energi pada gedung ber AC dan Intensitas Konsumsi Energi Standart di Bangunan berdasarkan rujukan ASEAN USAID th 1987, maka nilai IKE Gedung AB, Kabupaten Tangerang sebagai Gedung BerAC, masuk dalam kategori sangat efisien. 4.3 Perhitungan Beban Pencahayaan Berdasarkan hasil survei di lapangan dan data yang diperoleh dari pengelola gedung, dikombinasikan dengan hasil observasi ketika survey, pencahayaan buatan di Gedung Gedung AB Kabupaten Tangerang di seluruh lantai menggunakan lampu jenis TL 2 x 36 W, Down Light 14 W dan 18 W. Pengukuran dilakukan disetiap ruangan. Apabila ditinjau dari hasil observasi secara visual, terdapat sumber-sumber pencahayaan alami pada Gedung AB, Kabupaten Tangerang yaitu dari jendela. Berdasarkan hasil observasi tersebut, pemanfaatan sumber pencahayaan alami sudah ada yang termanfaatkan namun belum secara optimal, banyak cahaya alami yang masuk terhalang dan juga belum adanya pengetahuan mengenai hal tersebut. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kualitas pencahayaan yang ada di Gedung AB Kabupaten Tangerang, tim audit energi telah melakukan pengukuran tingkat pencahayaan dengan menggunakan lux meter. Pengukuran dilakukan dengan pengambilan sampel data kuat pencahayaan pada tiap-tiap titik didalam ruangan kerja. Di bawah ini adalah tabel tingkat pencahayaan pada tiap-tiap ruangan hasil survey secara langsung yang dapat dipakai sebagai perbaikan kuat penerangan sehingga standar kenyamanan untuk ruang kerja dan secara terus menerus dapat dicapai.
ISSN 2549 - 2888
Pada Tabel 4.5 terlihat bahwa rentang tingkat Pencahayaan pada tiap-tiap Ruangan di Gedung AB : BM Keuangan dan Sumber daya Air berada pada 45 Lux – 146,5 Lux. Data diatas untuk semua pencahayaan ruangan menunjukkan bernilai dibawah 150 Lux (masih dibawah standart SNI yaitu 350 Lux). Kondisi ini secara penggunaan energi dapat menjadi hemat, namun kenyamanan orang bekerja menjadi berkurang. Tabel 4.6 Tingkat Pencahayaan pada tiap-tiap Ruangan di Gedung AB: Sie Perencanaan dan Respsionis
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
90
lebih hemat energi, seperti LED. Keunggulan lampu LED yaitu selain hemat dalam konsumsi energi juga lebih tahan lama karena memiliki lifetime /umur pemakaian selama 50.000 jam. Untuk intensitas daya penerangan sudah sesuai standar, dibawah 12 watt/m². Hal ini disebabkan oleh luas ruangan dan pemakaian lampu yang sesuai. Akan tetapi, untuk kuat pencahayaan ratarata tiap ruangan (terutama ruang kerja) masih dibawah standar yang ditetapkan direkomendasikan SNI. Tabel 4.8 Standarisasi Daya Listrik Maksimum untuk Pencahayaan
Dari Tabel 4.6 di atas untuk semua pencahayaan ruangan rata-rata dibawah 210 Lux (masih dibawah standart SNI yaitu 350 Lux). Kondisi ini secara penggunaan energi dapat menjadi hemat, namun kenyamanan orang bekerja menjadi berkurang. Mengingat konsumsi energi gedung ini masih dalam kategori sangat efisien maka penambahan titik lampu untuk meningkatkan pencahayaan masih dimungkinkan untuk dilakukan. Berikut tabel standart tingkat pencahayaan (Lux). Tipe lampu yang digunakan rata-rata menggunakan lampu TL-T8 2 x 36 watt dan Down Light tipe neon compact dimana jenis lampu ini pada saat ini dianggap masih agak boros. Untuk meningkatkan efisiensi energi sebaiknya kedepan lampu tersebut bisa diganti menggunakan tipe LED.
Perincian dari potensi konservasi energi di sistem tata cahaya adalah sebagai berikut.
Tabel 4.7 Standarisasi SNI 6197 – 2011 Tingkat Pencahayaan (Lux)
Terdapat potensi penghematan energi pada sistem tata cahaya, yaitu dengan penggantian lampu TL/Essential /Tornado/PLC ke lampu yang
Dari analisis diatas terlihat bahwa dengan menggunakan lampu LED, investasi awal adalah Rp. 134.400.000, dan akan terjadi penghematan biaya listrik sebesar Rp 35.819.888 per tahun, dengan nilai payback periode adalah 3,75 tahun. ISSN 2549 - 2888
91
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
4.4 Perhitungan Beban Pemakaian AC Jenis AC (Tata Udara) yang digunakan pada Gedung AB Kabupaten Tangerang adalah jenis AC split dan AC Cassete. Kapasitas AC split yang digunakan adalah 1 PK, 2 PK dan ½ PK. jenis refrigerant yang digunakan masih refrigerant sintetik R-22 dengan sistem pengoperasian secara manual oleh si pengguna. Berikut merupakan pengecekan visual untuk penggunaan AC pada masing-masing ruangan di Gedung AB Kabupaten Tangerang.
Tabel 4.10. Hasil pengukuran kelembaban dan temperatur udara ruangan: Sie Perencanaan dan Resepsionis
Tabel 4.9. Hasil pengukuran kelembapan dan temperatur udara ruangan: Sie Keuangan dan Sumber daya air
Pada Tabel 4.9 diatas terlihat bahwa Gedung AB BM Keuangan dan Sumber Daya air memiliki suhu rata-rata rata 27,81 °C. Disimpulkan bahwa sebaran distribusi temperatur mendekati standar SNI ( 24°C - 27°C) dari total ruangan yang dilakukan pengukuran. Untuk nilai sebaran kelembaban di ruangan Gedung AB. Dimana kelembaban terendah yang diukur sebesar 59,3 % dan kelembaban tertinggi sebesar 75,8 %. Disimpulkan bahwa sebaran distribusi kelembaban tidak memenuhi standart SNI yaitu (55 %- 65 %). Selanjutnya pada Gedung AB Perencanaan dan Resepsionis adalah sebagai berikut:
ISSN 2549 - 2888
Pada Tabel 4.10 diatas terlihat bahwa Gedung AB Sie Perencanaan dan Resepsionis memiliki suhu rata-rata rata 27,3 °C. Disimpulkan bahwa sebaran distribusi temperatur mendekati standar SNI (24°C - 27°C) dari total ruangan yang dilakukan pengukuran. Sedangkan pada rentang kelembaban antara 54,3% - 75,5%. Sebaran distribusi kelembaban dalam ruangan ini juga tidak memenuhi standart SNI yaitu (55 %- 65 %). Data diatas merupakan sebagian dari ruangan yang mewakili Gedung AB Kabupaten Tangerang. Dari hasil pengukuran Gedung Lingkup AB Kabupaten Tangerang nilai temperatur rata-rata 27,5°C. Disimpulkan bahwa sebaran distribusi temperatur masih mendekati standar SNI ( 24 °C - 27°C) dari total ruangan yang dilakukan pengukuran.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Untuk nilai sebaran kelembaban di ruangan Gedung AB. Dimana kelembaban terendah yang diukur sebesar 48.1 % dan kelembaban tertinggi sebesar 78,8 %. Disimpulkan bahwa sebaran distribusi kelembaban tidakmemenuhi standart SNI yaitu (55 %- 65 %). Untuk ruangan yang tidak sesuai standar bisa disebabkan oleh kurangnya kesadaran pengguna untuk menutup pintu/ jendela sehingga masih adanya infiltrasi udara luar ke dalam ruangan ataupun penyetelan Remote AC yang berlebihan, serta menurunnya performa AC sehingga tidak tercapai temperatur dan kelembaban ruangan yang memenuhi standar (Sulistyono, 2016). Untuk usia AC Split banyak ditemukan lebih dari 7 tahun, kondisi ini berpotensi menurunkan tingkat efisiensi AC sehingga akan meningkatkan pemborosan energi listrik. Dari hasil kajian data, dimana potensi penghematan energi di klasifikasikan berdasarkan pada sistem kelistrikan, sistem penerangan, dan sistem tata udara pada bagian berikut ini akan disajikan secara lebih detail, kajian/analisa potensi penghematan energi pada masing-masing sektor tersebut. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1
Kesimpulan
Nilai intensitas konsumsi energi (IKE) untuk Gedung AB Kabupaten Tangerang adalah 48,33 kWh/m2/tahun, masuk dalam kategori sangat efisien. Gedung ini masuk dalam kategori sangat efisien karena sebagian besar ruang menggunakan ventilasi alami, banyak AC yang tidak bekerja karena rusak, banyak ruang yang kapasitas AC nya terlalu kecil, dan Intensitas pencahayaan (Lux) kurang terang (dibawah standar SNI). Kondisi lampu penerangan rata-rata dibawah standar SNI pencahayaan buatan dan kondisi ini akan mempengaruhi kenyamanan kerja karyawan. Kuat pencahayaan rata-rata tiap ruangan di bawah 150 Lux. Kondisi AC secara umum dibawah performance nya yang berpotensi pemborosan energi listrik. Penurunan performance ini diakibatkan Karena kurangnya perawatan dan usia AC sebagian sudah melebihi batas usia ekonomis maupun teknis (˃10 tahun). Suhu ruang kerja rata-rata diatas 260C. Kondisi ini akan mempengaruhi kenyamanan kerja karyawan. 5.2 Saran Untuk meningkatkan efisiensi energi pada system AC perlu untuk mengganti refrigerant R-22 ke refrigan jenis R-410 atau R-32 pada seluruh unit – unit AC Split yang akan dipasang baru.
92
Penggunaan tipe inverter akan meningkatkan efisiensi energi juga. Mengganti AC yang usia nya sudah melebihi batas usia maksimum (>10 Tahun). Menutup celah – celah dinding keluarnya pipa refrigerant. Melakukan perawatan rutin seperti pembersihan filter dan menambah freon jika tekanan freon sudah berkurang sekaligus memperbaiki kebocoran pipa freon. Memperbaiki kebiasaan buruk tiap karyawan yang terbiasa merokok didalam ruang ber –AC dan membiarkan kondisi pintu dan jendela terbuka. Kondisi ini berpotensi terjadinya pemborosan listrik. Penyempurnaan pemasangan instalasi AC sebaiknya jarak indoor ke outdoor maksimum 15 meter, jarak indoor ke dinding minimal 10 cm, posisi depan outdoor tidak boleh terhalang (blocking), posisi indoor sebaiknya berlawanan dengan posisi jendela kaca, dan setting temperature pada remot AC 240C. Selain itu perlu diperhatikan agar jam operasi AC disesuaikan dengan jam kerja kantor (segera matikan jika sudah tidak ada kegiatan), kapasitas AC disesuaikan dengan luas ruangan (600 BTU/H/m2). Lindungi jendela kaca dengan sunscreen/ gorden tembus pandang untuk mengurangi panas matahari dari luar ruangan dan biasakan menutup pintu dan jendela ketika AC beroperasi. Untuk meningkatkan efisiensi energi pada sistem tata cahaya, sebaiknya perusahaan melakukan penggantian lampu yang ada saat ini dengan lampu jenis LED yang menghasilkan iluminansi sama tetapi lebih hemat energi, memperbaiki tingkat pencahayaan di titik kerja dengan menambah titik lampu, kebiasaan mematikan lampu jika sudah meninggalkan kantor dan membagi group lampu dengan saklar agar lampu bisa dimatikan sebagian ketika tidak dibutuhkan. DAFTAR PUSTAKA [1]. Asnal Effendi, Miftahul. 2013. Evaluasi Intensitas Konsumsi energi Listrik melalui audit awal energy listrik di RS Prof. HB Saanin, Padang. JTE - ITP ISSN NO. 22523472 https://ejournal.itp.ac.id/index.php/telektro/arti cle [2]. Catur Trimunandar, Dian Retno Sawitri, Herwin Suprijono, 2015. Audit Energy Untuk efisiensi di Gedung B, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Dian Nuswantoro, Semarang [3]. Deepak Rathod, Ranjana Khandare and Asutosh Kumar Pandey. 2013. Electrical Energy Audit (A Case a study of Tobbaco Industry). Rishiraj Institute of Technology, Indore India. International Journal of ISSN 2549 - 2888
93
[4].
[5].
[6].
[7].
[8].
[9].
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Engineering and Applied Sciences. www.eaas-journal.org Direktorat Pengembangan Energi. 2010. Petunjuk teknis konservasi energi : Prosedur Audit Energi Pada Bangunan Gedung. Jakarta. Departemen Pertambangan dan Energi. Direktorat Jendral Pengembangan Energi Harjanto, 2016. Shell Indonesia Technology Conference 2016 di Jakarta. Tanggal 17-18 Februari 2016 - JIBI. Hilmawan Edy. 2009. Energy Eficiency standard dan Labelling in Indonesia. International Cooporation for energy Efficiency Standard and Labelling Policy. Tokyo. Japan. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Tingkat Pencahayaan Lingkungan Kerja. Sumber: KEPMENKES RI. No. 1405/MENKES/SK/XI/02. http://perpustakaan.depkes.go.id:8180 Magdalena, M, 2009. Menekan Konsumsi dengan Audit Energi. 13 Juni 2009. Diakses 13 November 2016 dari http://puspiptek.info/?q=id/node/359 Menteri Energy Sumber Daya Mineral Indonesia. 2012. Nilai IKE Standar di
ISSN 2549 - 2888
Bangunan Gedung Perkantoran Pemerintah Berdasarkan Permen ESDM No. 13/2012. Sumber : http://prokum.esdm.go.id/permen/2012/.pdf [10]. Salpanio, Ricky. (2007). Audit Energi Listrik Pada Gedung Kampus Undip Pleburan Semarang. Jurnal Ilmiah pada Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro [11]. Saptono, H D, 2010. Analisis Kebutuhan Energi Kalor pada Industri Tahu. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi [12]. Suhendar, Ervan efendi dan Herudin. 2013. Audit Sistem Pencahayaan dan Sistem pendingin di Gedung Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cilegon. Jurnal Setrum. Jurusan Teknik elektro. Universitas Ageng Tirtayasa, Cilegon, Banten. ISSN : 2301-4652. [13]. Sulistyono, 2016. Data Audit energy Gedung AB, Kabupaten Tangerang. PT Cometindo. Jakarta [14]. Hidayat, Arief Rahman. 2014. “Pengendalian Ketinggian Air Pada Distilasi Air Laut Menggunakan Kontroler On-Off”. Jurnal Universitas Brawijaya.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
94
KAJIAN FAKTOR PENYEBAB COST OVERRUN PADA PROYEK KONSTRUKSI GEDUNG Fahadila F. Remi Program Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung Email:
[email protected] Abstrak--Pembangunan konstruksi gedung di Indonesia semakin pesat sejalan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Proyek kontruksi gedung memiliki beberapa batasan, diantaranya adalah batasan biaya. Salah satu permasalahan yang timbul pada pelaksanaan konstruksi gedung adalah terjadinya pembengkakan biaya atau cost overrun. Usaha awal yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya cost overrun adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dan mengetahui upaya untuk memitigasi terjadinya cost overrun. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya cost overrun, mengidentifikasi faktor utama penyebab terjadinya cost overrun dan mengetahui upaya memitigasi terjadinya cost overrun. Metodologi penelitian ini adalah melakukan kajian literatur terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan tujuan penelitian. Hasil penelitian ini adalah terdapat 52 faktor penyebab terjadinya cost overrun yang terbagi atas sepuluh kelompok. Faktor dominan penyebab cost overrun diantaranya adalah kelompok faktor aspek keuangan proyek, material tenaga kerja dan kelayakan ekonomi. Dihasilkan beberapa upaya memitigasi terhadap faktor dominan yaitu pengelolaan keuangan dengan cash flow, memaksimalkan uang muka, konsistensi kontrol, pemilihan estimator profesional, membangun hubungan antar pihak, dan penyusunan konsep sistem manajemen proyek. Kata Kunci: cost overrun, mitigasi, konstruksi gedung, faktor dominan 1. PENDAHULUAN Perkembangan industri konstruksi berhubungan erat dengan pelaksanaan pembangunan di segala bidang yang saat ini masih terus giat dilaksanakan. Kegiatan konstruksi terdiri dari berbagai tahap, dimana tahap yang paling menentukan adalah tahap perencanaan dan pelaksanaan konstruksi karena kualitas keseluruhan proyek sangat bergantung pada pembuatan dan manajemen pada tahap tersebut. Setiap proyek kontruksi memiliki batasan dan tujuan yang umumnya disebut triple constrain yaitu mutu, waktu dan biaya. Hal ini menuntuk setiap proyek konstruksi dapat mencapai batasan dan tujuan tersebut. Ketidaksesuaian realisasi dengan espetktasi pada proyek kontruksi berpotensi menimbulkan kerugian pada pemilik, kontraktor pelaksana atau keduanya [1]. Proyek konstruksi merupakan proses hasil desain oleh perencana yang kemudian dikonversikan menjadi fisik kosntruksi gedung. Pelaksanaan proyek konstruksi banyak dijumpai proyek mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) maupun keterlambatan [2]. Pada proses ini akan melibatkan organisasi proyek dan melibatkan koordinasi dari semua sumber daya proyek seperti tenaga kerja, peralatan konstruksi, material, dana, teknologi, dan metode serta waktu untuk menyelesaikan proyek tepat waktu sesuai dengan anggaran yang telah ditentukan, serta sesuai dengan standar mutu dan kinerja yang dispesifikasikan oleh perencana. Semakin besar ukuran suatu proyek, maka semakin banyak masalah yang harus dihadapi. Jika tidak ditangani dengan baik, masalah-masalah tersebut akan
menimbulkan dampak yang yang salah satunya berupa pembengkakan biaya (cost overrun). Untuk meminimumkan terjadinya nilai pembengkakan biaya pada proyek yang akan dilaksanakan, perlu mengetahui penyebab terjadinya cost overrun. Oleh karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya cost overrun pada proyek konstruksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya overrun, mengidentifikasi faktor dominan penyebab terjadinya cost overrun dan mengetahui upaya mitigasi terhadap faktor penyebab terjadinya cost overrun. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi dan pengetahuan dari beberapa penelitian terdahulu berkaitan dengan cost overrun (pembengkakan biaya) pelaksanaan konstruksi gedung kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kontruksi gedung. 2. KAJIAN LITERATUR 2.1 Proyek Konstruksi Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan proyek. Dalam proyek kontruksi terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu waktu, biaya dan mutu [3]. Pada industri konstruksi sebagaimana layaknya pelayanan jasa, ketentuan mengenai biaya, kualitas, dan waktu penyelesaian kontruksi sudah diikat didalam kontrak dan ditetapkan sebelum pelaksanaan konstruksi dimulai [4]. Setiap proyek ISSN 2549 - 2888
95
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
konstruksi memiliki tujuan tertentu yang memiliki kriteria batasan tertentu yang harus dipenuhi diantaranya adalah sesuai dengan anggaran, sesuai jadwal serta tepat mutu. Ketiga hal inilah yang menjadikan batasan utama dalam penyelenggaraan sebuah proyek konstruksi atau dikenal dengan sebutan triple constraints. 2.2 Rencana Anggaran a) Rencana Anggaran Biaya Rencana anggaran biaya (RAB) adalah besarnya biaya yang diperkirakan akan digunakan dalam pekerjaan suatu proyek konstruksi yang disusun berdasarkan gambar atau bestek. RAB bukan merupakan biaya yang sebenarnya, melainkan biaya yang dipakai kontraktor untuk menetapkan harga penawaran, sehingga dalam pelaksanaan nantinya tidak menghabiskan biaya yang lebih tinggi dari penawaran dan bila memungkinkan biaya kurang dari penawaran yang di tetapkan. b) Rencana Anggaran Pelaksanaan (RAP) Pengertian anggaran pelaksanaan adalah suatu perencanaan tentang besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proyek konstruksi. Rencana anggaran pelaksanaan direncanakan dan digunakan sebagai pedoman agar pengeluaran biaya tidak melampaui anggaran batas yang disediakan, tetapi dapat mencapai kualitas mutu dan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak [5]. 2.3 Konsep Biaya Proyek Dalam pembangunan suatu proyek konstruksi diperlukan sejumlah biaya yang dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu [6]: Biaya Langsung (Direct Cost) Biaya Tak Langsung (Indirect Cost) Dalam penyajian akhir biaya konstruksi, biasanya kedua kelompok besar tersebut digabung menjadi satu yang disebut sebagai biaya proyek, walaupun dalam proses yang sebenamya terdiri dari dua kelompok. Namun demikian, dalam cost accounting (proses intern), hal tersebut diuraikan kembali menjadi kelompok biaya langsung dan biaya tak langsung. a) Biaya Langsung (Direct Cost) Biaya langsung (direct cost) dalam biaya proyek adalah seluruh biaya yang berkaitan langsung dengan fisik proyek, yaitu meliputi seluruh biaya dari kegiatan yang dilakukan proyek (dari persiapan hingga penyelesaian) dan biaya mendatangkan seluruh sumber daya yang diperlukan oleh proyek tersebut. Komponen
ISSN 2549 - 2888
utama dari biaya langsung ini adalah material, tenaga kerja, sub kontraktor dan alat. Ditinjau dari hasil kegiatan, maka yang termasuk dalam kelompok biaya langsung adalah biaya-biaya untuk kegiatan pekerjaan persiapan, pekerjaan struktur bawah, pekerjaan struktur atas, pekerjaan finishing, pekerjaan mekanikal dan elektrikal, yang di dalam item-item pekerjaan tersebut pada dasarnya terkandung biaya upah, biaya bahan dan biaya alat. Biaya overhead lapangan yang terdiri dari biaya pegawai proyek, biaya administrasi proyek, biaya telpon/ listrik proyek dan lain-lain, juga dimasukkan kedalam kelompok biaya langsung. b) Biaya Tak Langsung (Indirect Cost) Biaya tidak langsung (indirect cost) dalam proyek adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan yang tidak berkaitan secara langsung dengan proyek yang bersangkutan, yang hasilnya tidak berbentuk fisik, melainkan bersifat mendukung pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, besar kecilnya biaya ini kurang atau tidak dipengaruhi oleh kegiatan proyek. Biaya indirect cost bukanlah komponen biaya konstruksi yang aktual tetapi dapat menimbulkan problem bagi kontraktor dalam mendukung pekerjaan proyek, biaya ini biasanya dikategorikan sebagai biaya overhead. 2.4 Manajemen Biaya Proyek (Total Cost Management) Total Cost Management merupakan kemampuan professional dan keahlian teknis untuk merencanakan dan mengendalikan sumber daya, biaya dan profitability serta resiko. Total Cost Management merupakan dasar bagi manajemen biaya yaitu untuk mengatur dan menurunkan biaya proyek sebelum terjadi pembengkakan biaya. Manajemen Biaya Proyek termasuk dari proses yang diperlukan untuk memastikan bahwa proyek telah lengkap dan sesuai dengan biaya yang disetujui. a) Mengestimasi Biaya (Estimate Costs) Mengestimasi biaya proyek merupakan proses analisa perhitungan berdasarkan pada metode konstruksi, volume pekerjaan, dan ketersediaan berbagai sumber daya, sedemikian rupa sehingga membentuk operasi pelaksanaan yang optimal terhadap kebutuhan pembiayaan. Estimasi biaya merupakan proses perkiraan yang digunakan untuk memperkirakan kualitas, biaya dan harga dari sumber daya yang diperlukan baik untuk kegiatan pelaksanaan suatu proyek. Gambar 1 memaparkan siklus kegiatan estimasi biaya proyek konstruksi.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
96
- Kontrak - Persyaratan - Gambar
Survey Lokasi Proyek
Work Breakdown Structure (WBS) A -
Time Schedule Metode Konstruksi Harga Satuan Sumber Daya dan Produktivitas Cash Flow
Direct Cost Material Peralatan Tenaga Kerja Subkontrak Overead Lapangan
Bill of Quantity Item Unit Price Item Pekerjaan
Biaya Proyek
Indirect Cost MarkUp B
C
Gambar 1. Siklus Estimasi Biaya Proyek (Sumber: Asiyanto, 2005) Proses pengulangan perhitungan ada tiga jalur Perencanaan program penyesesaian proyek yaitu A, B dan C, dimana satu jalur untuk versi harus akurat.
owner yaitu jalur A, dua jalur untuk versi kontraktor Perkiraan yang tepat terhadap waktu dan yaitu jalur B dan C. biaya.
Komunikasi yang jelas dan tegas terhadap b) Menentukan Budget (Determine Budget) tujuan yang
ditentukan.
Tujuan dari menentukan budget adalah untuk Disiplin dalam otorisasi penggunaan mematok biaya pelaksanaan, atau memberi anggaran.
batasan anggaran yang tersedia untuk keperluan bahan, upah, alat, subkontraktor dan lain-lain Pelaporan program pisik dan penyelesaian biaya tepat waktu.
dalam total biaya proyek. Cost Budget berfungsi juga sebagai tolok ukur atau alat kendali biaya dan Perkiraan kembali secara periodic terhadap dipakai sebagai dasar dalam pembuatan program biaya, guna
penyelesaian pekerjaan. pengendalian biaya. Melakukan secara periodik, perbandingan prosentasi (%) atau
biaya perencanaan c) Mengendalikan Biaya (Control Costs) (RAB) dengan biaya aktual.
Pengendalian biaya adalah proses pengawasan terhadap biaya yang keluar, mencatat keterangan 2.5 Cost Overrun yang berkaitan dengan biaya proyek, melakukan pengawasan terhadap kinerja biaya selama Pembengkakan biaya (cost overrun) adalah biaya pelaksanaan proyek berlangsung dengan konstruksi suatu proyek yang pada saat tahap melakukan perbandingan antara biaya actual pelaksanaan, melebihi (budget) anggaran proyek dengan biaya yang direncanakan [7]. Mekanisme yang ditetapkan di tahap awal (estimasi biaya), pengendalian biaya proyek pada dasarnya sehingga menimbulkan kerugian yang signifikan meliputi tiga langkah proses [3], yaitu: bagi pihak kontraktor (Santoso, 2002). Cost Measuring: Melakukan pengukuran terhadap overrun yang terjadi pada suatu proyek konstruksi tingkat kemajuan yang telah dilaksanakan dapat disebabkan oleh faktor internal maupun Evaluating: Melakukan perbandingan antara faktor eksternal dari proyek konstruksi itu sendiri. kemajuan yang telah dilaksanakan dengan Pembengkakan biaya (cost overrun) itu sendiri rencana kerja yang diharapkan. dibagi dalam tiga bagian, yaitu: Correcting: Melakukan tindakan koreksi Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) Pada dalam hal yang tidak menguntungkan atau Tahap Awal Proyek Konstruksi mengambil keuntungan dari hal yang tidak Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) Pada biasanya. Saat Proses Proyek Konstruksi Pengendalian biaya disini adalah aspek biaya pelaksanaan proyek yang mengacu pada urutan kerja, sumber daya dan peralatan, sistem pengendalian biaya yang efektif dan efisien harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
ISSN 2549 - 2888
Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) Pasca Konstruksi
3. METODOLOGI PENELITIAN Metode pada penelitian ini adalah studi literatur terhadap penelitian-penelitain terdahulu yang
97
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
memiliki relevansi dengan tujuan penelitian. Setelah mendapatkan literatur-literatur tersebut maka selanjutnya dilakukan perbandingan, pengumpulan dan penginventarisasian faktor penyebab serta upaya mitigasi terjadinya cost overrun yang terdapat pada penelitian-penelitian tersebut. Untuk memenuhi tujuan penelitian maka diberikan batasan terhadap penelitian terdahulu yang akan dikaji, diantaranya adalah pembahasan cost overrun untuk bangunan gedung serta informasi yang akan diambil dari penelitian terdahulu yaitu fokus pada faktor-faktor penyebab dan upaya mitigasi cost overrun. 4. HASIL DAN DISKUSI 4.1 Faktor-Faktor Penyebab Cost Overrun Identifikasi faktor penyebab dilakukan terhadap literatur dan penelitian yang dianggap relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Menurut Santoso [2], faktor penyebab terjadinya cost overrun terbagi kedalam delapan kelompok diantaranya adalah estimasi biaya, pelaksanaan dan hubungan kerja, material, tenaga kerja, peralatan, aspek keuangan, waktu pelaksanaan, dan kebijaksanaan politik. Dalam penelitian ini menghasilkan tingkat persetujuan dengan persentase tinggi (diatas 80%) yaitu lompok faktor estimasi biaya, material dan kebijaksanaan politik. Dalam Sahusilawane [8], delapan kelompok faktor tersebut inventarisir kedalam tiga kelompok utama menurut filosofi manajemen konstruksi yaitu bagian perencanaan (pelaksanaan dan hubungan kerja serta estimasi biaya), bagian koordinasi (material, tenaga kerja dan peralatan) dan bagian
pengendalian (aspek keuangan proyek, waktu pelaksanaan dan kebijaksanaan politik). Dalam penelitian Fahira [9], terdapat 38 faktor penyebab terjadinya cost overrun dengan hasil penelitian faktor-faktor yang paling mempengaruhi terjadinya overrun (pembengkakan) biaya pada proyek konstruksi gedung adalah adanya kenaikan harga material, harga/sewa peralatan yang tinggi, kerusakan material, terjadi fluktuasi upah tenaga kerja, pengendalian biaya yang buruk di lapangan, ketidak tepatan estimasi biaya, dan adanya kebijaksana keuangan yang baru dari pemerintah. Sedangkan dalam Memon [10], 35 faktor penyebab dikategorikan dalam enam kelompok yaitu hubungan manajerial site, desain dan dokumentasi, manajemen keuangan, informasi dan komunikasi, sumber daya manusia, sumber daya lainnya, dan lingkup proyek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok faktor hubungan manajerial site berkontribusi besar terhadap cost overrun. Dari uraian di atas terlihat adanya kesamaan pada beberapa penelitian dalam mengidentifikasi dan menetapkan faktor-faktor penyebab terjadinya cost overrun pada proyek konstruksi. Sehingga untuk memudahkan dalam mengidentifikasi fator-faktor tersebut, maka dilakukan tahap inventarisir yang disajikan dalam Tabel 1. Tahap inventarisasi faktor penyebab tersebut dikelompokkan kedalam sepuluh kelompok faktor. Persentase pada Tabel 1 merupakan persentase seringnya faktor penyebab rework yang teridentifikasi menjadi faktor penyebab pada enam penelitian rework yang dikaji dalam penelitian ini.
Tabel 1. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Cost Overrun Referensi No
Faktor Penyebab
Santoso (1999)
A. ESTIMASI BIAYA Menggunakan teknik estimasi 1 yang salan Tidak memperhitungkan biaya 2 tak terduga (contigencies) 3 Ketidak tepatan estimasi biaya Data dan informasi proyek 4 kurang lengkap B. PELAKSANAAN DAN HUBUNGAN KERJA Manager proyek tidak 5 kompeten/cakap Hubungan kurang baik antara 6 owner-perencana-kontraktor Konsultan kurang mampu 7 dalam pengawasan proyek
ISSN 2549 - 2888
Fahira et.al (2005)
Sahusil awane et.al (2011)
Memon et.al (2013)
Hadinata et.al (2013)
Wattimurry et.al (2015)
17%
17%
17%
17%
50%
67%
17%
Persenta se
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Kurangnya kordinasi antara construction managerperencana kontraktor Terlalu banyak pengulangan 9 pekerjaan karena mutu jelek Tingginya frekuensi perubahan 10 pelaksanaan Terlalu banyak proyek yang 11 ditangani dalam waktu yang sama Kurangnya kordinasi antara 12 kontraktor utama dan sub kontraktor 13 Subkontraktor tidak kompeten 14 Persaingan yang tidak sehat C. ASPEK DOKUMEN PROYEK Dokumen kontrak yang tidak 15 lengkap Penunjukan subkontraktor dan 16 suplier yang tidak tepat Keterlambatan pembuatan dan 17 persetujuan gambar Desain gambar dan gambar 18 kerja 19 Perubahan lingkup proyek 20 Kontrol kualitas E. MATERIAL 21 Pencurian bahan/material Adanya kenaikan harga 22 material Keterlambatan pengiriman 23 bahan 24 Pemilihan material Kesalahn dalam mengatur 25 penyimpanan material 26 Kekurangan bahan konstruksi F. TENAGA KERJA Terjadi fluktuasi upah tenaga 27 kerja 28 Kekurangan tenaga kerja Kualitas tenaga kerja yang 29 buruk 30 Produktifitas tenaga kerja Kurang tepat dalam 31 penempatan personil proyek pada stuktur organisasi G. PERALATAN/EQUIPMENT Harga/sewa peralatan yang 32 tinggi Biaya mobilisasi/demobilisasi 33 peralatan yang tinggi Keterlambatan pengiriman 34 peralatan 35 Pemilihan alat berat Kesalahan dalam mengatur 36 penyimpanan peralatan H. ASPEK KEUANGAN PROYEK Pengendalian biaya yang buruk 37 dilapangan Cara pembanyaran yang tidak 38 tepat waktu Tingginya suku bunga 39 pinjaman bank Kurangnya kemampuan sub 40 kontraktor dalam hal pendanaan/finansial 41 Pendanaan dari owner I. WAKTU PELAKSANAAN Keterlambatan jadwal karena 42 pengaruh cuaca Sering terjadi penundaan 43 pekerjaan 44 Persyaratan jadwal lembur 8
98
50%
33%
33%
17%
33%
17% 17%
17%
17%
17%
17%
17% 17%
17%
17%
17%
17%
17%
17%
33%
33%
33%
17%
17%
50%
33%
17%
17%
17%
50%
50%
33%
17%
17%
17%
33%
17%
ISSN 2549 - 2888
99
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
45 Penjadwalan yang kurang baik 46 Terjadi percepatan jadwal J. KELAYAKAN EKONOMI Terjadi huru-hara/kerusuhan di 47 sekitar lokasi proyek Adanya kebijaksanaan 48 keuangan yang baru dari pemerintah Perubahan hukum dan 49 peraturan K. LINGKUNGAN ALAM 50 Bencana alam 51 Cuaca buruk diluar perkiraan Pemcemaran lingkungan akibat 52 kegiatan proyek
17% 17%
17%
33%
17%
17% 17%
17%
Pada Tabel 1 terdapat 52 faktor penyebab terjadinya cost overrun, enam faktor diantaranya memiliki nilai frekuensi kemunculan pada setiap penelitian dengan angka persentase diatas 50%. Keenam faktor dominan yang teridentifikasi dari penelitian terdahulu, tiga diantaranya terdapat dalam kelompok faktor pelaksaaan dan hubungan kerja yaitu manajer proyek tidak kompeten, hubungan kurang baik antara owner-perencanakontraktor, dan kurangnya koordinasi antar kontraktor pengawas perencana. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut berkontribusi secara konsisten terhadap terjadinya cost overrun padaproyek konstruksi, terlepas dari hasil penelitian apakah tiga faktor tersebut termasuk dalam faktor dominan masingmasing penelitian.
4.2 Diagram Fishbone Berdasarkan hasil dari identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya cost overrun terdapat 52 faktor yang terdiri dari sepuluh kelompok, maka untuk memudahkan identifikasi faktor penyebab maka dapat dibuat dalam diagram fishbone, yang menunjukkan hubungan sebab akibat terjadinya cost overrun pada pekerjaan konstruksi bangunan gedung. Gambar 2 menunjukkan hubungan sebab akibat dari terjadinya cost overrun pada proyek konstruksi bangunan gedung dengan menggunakan metode diagram fishbone .
Gambar 2. Hubungan Sebab Akibat Terjadinya Cost Overrun pada Proyek Konstruksi Gedung Dari uraian pada Gambar 2, selain terdapat faktor internal proyek adapula faktor ekstrenal proyek diantaranya adalah faktor lingkungan, kenaikan suku bunga bank faktor kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Kelompok faktor pelaksanaan dan hubungan kerja berkontribusi besar menyebabkan terjadinya cost ISSN 2549 - 2888
overrun, hal ini dikarenakan faktor-faktor dalam kelompok ini merupakan faktor yang berkaitan dengan para pihak pada level top management. Kelompok faktor internal proyek diantaranya adalah aspek keuangan proyek, tenaga kerja, material, peralatan dan lain sebagainya.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
4.3 Faktor Dominan Dalam penulisan ini, faktor dominan didapatkan berdasarkan identifikasi terhadap lima peringkat teratas hasil pengolahan data dan kesimpulan pada masing-masing penelitian. Namun dikarenakan adanya perbedaan cara pengolahan
100
dan pembahasan pada masing-masing penelitian, maka faktor dominan dikategorikan berdasarkan kelompok faktor penyebab terjadinya cost overrun. Tabel 2 menunjukkan inventarisasi terhadap faktor-faktor dominan pada setiap penelitian yang ditinjau.
Tabel 2. Faktor Dominan Penyebab Terjadinya Cost Overrun pada Penelitian Terdahulu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kelompok Faktor Estimasi Biaya Pelaksanaan dan hubungan pekerjaan Aspek Dokumen Proyek Material Tenaga Kerja Peralatan Aspek Keuangan Proyek Waktu Pelaksanaan Kelayakan Ekonomi Lingkungan
Santoso et.al (1999)
Fahira et.al (2005)
Sahusila wane et.al (2011)
Memon et.al (2013)
Hadinata et.al (2013)
Dari Tabel 2, faktor dominan penyebab terjadinya cost overrun diantaranya adalah aspek keuangan proyek, material, tenaga kerja dan kelayakan ekonomi. Bila ditinjau nilai modus maka aspek keuangan proyek menjadi faktor yang paling dominan. Kelompok faktor aspek keuangan proyek ditentukan oleh faktor cara pembayaran pekerjaan dan kondisi keuangan perusahaan/kontraktor. Kemampuan finansial perusahaan akan mempengaruhi terhadap kebijakan perusahaan dalam proses pelaksanaan diantaranya kebijakan pembayaran material menggunakan pembayaran tunai atau kredit yang akan mempengaruhi harga material. Pada beberapa jenis kontrak pekerjaan maka keuangan proyek ditentukan pula oleh cara pembayaran pekerjaan dari pemilik pekerjaan yang akan menpengaruhi cash flow proyek. 4.4 Upaya overrun
mengurangi
terjadinya
cost
Beberapa cara efektif untuk dapat memitigasi terjadinya cost overrun pada proyek konstruksi gedung, diantaranya adalah: 1) Melakukan pengelolaan kebijakan pembiayaan melalui kebijakan arus kas keuangan atau cash flow yang disesuaikan dengan sistem pembayaran. 2) Memaksimalkan uang muka dari pemilik pekerjaan 3) Konsistensi untuk melakukan kontrol terhadap cost control, jadwal pekerjaan, material dan tenaga kerja. 4) Pemilihan estimator yang profesional dan berpengalaman untuk mendapatkan rencana anggaran yang akurat dan tepat. 5) Membangun koordinasi, komunikasi dan
Wattimurry et.al (2015)
Modus
1
2
2
4 3 2
5
2 3 0
informasi yang baik antar pihak terutama antar owner-kontraktor-konsultan. 6) Menyusun konsep sistem manamen proyek yang lengkap terutama manajemen sumber daya tenaga kerja, material, peralatan serta penentuan metode kerja yang tepat. 5. KESIMPULAN Dari hasil kajian literatur dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Teridentifikasinya 52 faktor penyebab terjadinya Cost Overrun yang terbagi dalam sepuluh kelompok yaitu estimasi biaya, pelaksanaan dan hubungan pekerjaan, aspek dokumen proyek, material, tenaga kerja, peralatan, aspek keuangan proyek, waktu pelaksanaan, kelayakan ekonomi, dan lingkungan. 2) Dari enam penelitian yang ditinjau, kelompok faktor pelaksanaan dan hubungan pekerjaan menjadi kelompok faktor yang secara konsisten digunakan dalam penelitian tentang cost overrun proyek konstruksi gedung. 3) Faktor dominan penyebab terjadinya cost overrun ditentukan berdasarkan nilai modus dari lima peringkat teratas hasil penelitian yang dikaji adalah sebanyak empat kelompok faktor yaitu aspek keuangan proyek, material, tenaga kerja dan kelayakan ekonomi. 4) Terdapat enam cara upaya memitigasi terjadinya cost overrun yang direkomendasikan dalam kajian ini dengan meninjau dari hasil poin 2 dan 3 pada kesimpulan kajian ini. Diantaranya adalah pengelolaan keuangan dengan cash flow, memaksimalkan uang muka, konsistensi ISSN 2549 - 2888
101
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
kontrol, pemilihan estimator profesional, membangun hubungan antar pihak, dan penyusunan konsep sistem manajemen proyek. DAFTAR PUSTAKA [1]. Andreas Wibowo, “Survei Persepsi Pengajuan Klaim Atas Keterlambatan Akibat Pihak Pemilik Pada Proyek Konstruksi Pemerintah”, Jurnal, 2008. [2]. Indriani Santoso, “Analisa Overruns Biaya pada Beberapa Tipe Proyek Konstruksi”, Dimensi teknik sipil volume 1, no. 1 maret 1999. [3]. Kerzner, H., “Project Management, A System Approach to Planning, Scheduling and Controlling, Tenth Edition”, John Wiley & Sons Inc, (2009). [4]. Istimawan Dipohusodo, “Manajemen Proyek dan Konstruksi, jilid 2”. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, (1996). [5]. Kadek Dewi Yunita Mentalini, “Analisis Penyebab Perubahan Realisasi Biaya Proyek pada Konstruksi Bangunan Gedung di Kota Gianyar”. Tugas Akhir, Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana (2010) [6]. Asiyanto, “Construction Project Cost Managemen”, Jakarta, Pradya Paramita; (2005) [7]. George J. Ritz,. “Total Construction Project Management”, McGraw-Hill, Inc. New York. (1994)
ISSN 2549 - 2888
[8]. Tonny Sahusilawane, Mohammad Bisri, Arif Rachmansyah (2009). “Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) Pada Proyek Konstruksi Gedung di Kota Ambon”. Jurnal Rekayasa Sipil, Volume 5, no 2-2011 ISSN 1978-5658, pp. 118-128 [9]. Fahriah F, “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Overrun Biaya pada Proyek Konstruksi Gedung di Makassar”. Jurnal SMARTek, Vol. 3 No.3 Agustus 2005, pp 160168 [10]. A Aftab Hameed Memon, Ismail Abdul Rahman, “Analysis of Cost Overrun Factors for Small Scale Construction Projects in Malaysia Using PLS-SEM Method”. Modern applied science Vol. 7 No 8;2013 ISSN 19131844 E-ISSN 1913-1852, pp. 78-88 [11]. Gede Wira Hadinata, Mayun Nadiasa, Ida Ayu Rai Widhiawati. “Analisis Faktor-Faktor Penyebab Pembengkakan Realisasi Biaya Terhadap Rencana Anggaran Pelaksanaan pada Proyek Konstruksi Gedung”, Jurnal Ilmiah Elektronik Infrastruktur Tehnik Sipil, volume 2, no 2, April 2013, pp. 260-267 [12]. Henry Wattimury, D.R.O. Walangitan, Mochtar Sibili. “Identifikasi Faktor-Faktor Cost Overrun Biaya Overhead pada Proyek Pembangunan Manado Town Square III”, Jurnal Sipil Statistik Vol. 3 no. 4. April 2015 ISSN:2337-6732.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
102
EVALUASI PENURUNAN GEDUNG DAN METODE PERBAIKANNYA (STUDI KASUS: KANTOR POS BALIKPAPAN) Yudi Pranoto1, Riza Setiabudi2 Teknik Sipil POLNES, Kampus Gunung Lipan Samarinda E-mail:
[email protected],
[email protected]
1,2Jurusan
Abstrak -- Kantor Pos Pusat Balikpapan berlantai 3, dibangun tahun 1994 dan diresmikan penggunaannya tahun 1995. Seiring dengan berjalannya waktu gedung tersebut mengalami penurunan (konsolidasi) sehingga mengalami kerusakan baik struktural maupun arsitektural. Oleh karena itu, diperlukan analisa struktur untuk menentukan metode yang tepat untuk dilakukan perbaikan pada gedung tersebut. Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data sekunder, rekapitulasi kondisi gedung, pengujian NDT (Non Destructive Test) dan DT (Destructive Test) serta pengujian laboratorium. Pengujian NDT terdiri dari pengujian hammer test dan rebar detector, sedangkan pengujian DT sondir dan boring. Pengujian di laboratorium sendiri adalah pengujian tanah. Dari hasil pengujian yang dilakukan tersebut kemudian dilakukan analisis untuk menentukan metode perbaikan pada gedung tersebut. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa Penyebab utama penurunan gedung disebabkan karena tidak adanya pondasi dalam. Struktur utama gedung tersebut masih mampu menahan beban yang ada. Gedung kantor pos balikpapan harus segera dilakukan perkuatan pada pondasi gedung tersebut, Metode perbaikan dilakukan dengan memasang borepile disekitar gedung tersebut kemudian menyatukan dengan gedung utama. Kata kunci: Metode Perbaikan; Non Destructive Test; Destructive Test, Kantor Pos Balikpapan
1. PENDAHULUAN Kuat dan aman merupakan syarat mutlak berdirinya suatu konstruksi. Semua konstruksi yang direncanakan akan ditopang oleh tanah. Meneruskan beban struktur yang ada di atas muka tanah dan gaya – gaya lain yang bekerja ke tanah pendukung bangunan, merupakan fungsi utama dari struktur bangunan yang biasanya disebut pondasi. Menurut Bowles (1983) pondasi dapat didefinisikan sebagai bagian bawah bangunan tanah dan daerah tanah dan/ atau batuan yang berdekatan yang akan di pengaruhi oleh kedua elemen bagian bangunan bawah tanah dan beban – bebannya. Untuk itu jenis tanah dengan segala sifat teknis tanah merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan suatu pondasi agar tidak terjadi kegagalan konstruksi pada suatu bangunan. Salah satu kegagalan konstruksi yang sangat sering terjadi adalah penurunan tanah yang disebabkan karena proses konsolidasi. Konsolidasi adalah proses berkurangnya volume atau berkurangnya rongga pori dari tanah jenuh berpermeabilitas rendah akibat pembebanan, dimana prosesnya dipengaruhi oleh kecepatan terperasnya air keluar dari rongga tanah (Hardiyatmo, 2007). Kegagalan konstruksi tersebut di atas yang terjadi pada Bangunan Kantor Pos pusat Balikpapan. Bangunan Kantor Pos pusat Balikpapan yang terdiri dari dua segmen, yaitu segmen 1 dan 2. Segmen/section 1 adalah bangunan yang mengalami penurunan sedangkan segmen 2 adalah bangujnan induk. Penurunan yang terjadi pada bangunan
tersebut merupakan penurunan (differential settlement).
setempat
Gambar 1. Pola Penurunan Segera pada Pondasi 2. LANDASAN TEORI 2.1 Penurunan Tanah Jika suatu lapisan tanah dibebani, maka tanah akan mengalami regangan atau penurunan (settlement), atau boleh dikatakan tanah yang mengalami tegangan akan mengalami regangan dalam tanah tersebut. Pada tanah berbutir halus yang berada dibawah muka air tanah terjadi penurunan konsolidasi (consolidation settlement). Penurunan yang terjadi memerlukan ISSN 2549 - 2888
103
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
waktu yang lama. Penurunan tanah merupakan peristiwa termampatnya suatu lapisan tanah, dapat dikarenakan karena beban luar atau pemompaan air. Jenis penurunan ada beberapa: a) Penurunan Segera (Immediate Settlement); Se Merupakan penurunan yang terjadi seketika pada saat pembebanan terjadi atau dalam jangka waktu yang pendek Terjadi karena sifat elastisitas tanah Pada tanah lempung umumnya sangat kecil jika dibandingkan dengan penurunan konsolidasi sehingga seringkali diabaikan. b) Penurunan Konsolidasi; Sc Saat tanah lunak ompresif (lempung) menerima beban maka sebagian besar beban dipikul oleh air tanah sehingga timbul tegangan air pori berlebih. Konsolidasi adalah proses terdisipasinya tegangan air pori berlebih ini seiring dengan berjalannya waktu. Penurunan konsolidasi dapat berupa normal consolidation ataupun over consolidation. Normal consolidation adalah tanah dasar dalam kondisi alamiah (belum mengalami pembebanan sebelumnya) sedangkan over consolidation adalah tanah dasar sudah pernah dibebani/terkena beban sebelumnya.
Normal consolidation
.
∆
(3)
Dimana: ep = angka pori pada saat konsolidasi primer selesai tp = waktu ketika konsolidasi primer selesai ∆t = pertambahan waktu t2 = tp +∆t S = Se + Sc + Ss
(4)
Beberapa penyebab terjadinya penurunan akibat pembebanan yang bekerja diatas tanah antara lain: Kegagalan atau keruntuhan geser akibat terlampauinya kapasitas dukung tanah, Kerusakan atau terjadi defleksi yang besar pada pondasi, Distorsi geser (shear distorsion) dari tanah pendukungnya, Turunnya tanah akibat perubahan angka pori 2.2 Penurunan Bangunan Penurunan bangunan di bagian belakang gedung adalah permasalahan pokok dalam kasus ini. Beberapa kajian teoritis di dalam literatur menyebutkan penurunan pada bangunan dapat terjadi setempat, sebagian atau secara keseluruhan dan dapat diakibatkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
=1
Pc=Po atau =
=
.
Over consolidation Po+∆P
∆
(1)
(2)
Dimana: eo = angka pori awal yang didapat dari indeks test Cc = indeks kompresi, didapat dari percobaan konsolidasi Cs = indeks swelling, didapat dari percobaan konsolidasi pc = tegangan prakonsolidasi, didapat dari percobaan konsolidasi po = Σ γ’.z ∆p = tegangan akibat beban luar dihitung melalui metode boussinesq, Westergaard atau Newmark c) Penurunan Sekunder (Rangkak); Ss Penurunan sekunder terjadi sesudah penurunan konsolidasi terjadi, didefinisikan sebagai penyesuaian kerangka tanah sesudah tekanan pori yang berlebih menghilang. Penurunan sekunder tergantung pada waktu dan dapat berlangsung dalam waktu yang lama. ISSN 2549 - 2888
a) Penurunan yang merata (Uniform Settlement) Tanah di suatu lokasi mempunyai kepadatan tertentu yang tergantung pada jenis tanah dan kandungan air yang ada di dalam tanah atau air di lingkungannya. Tanah akan berubah kepadatannya bila mengalami pembebanan atau dengan kata lain tanah akan terkonsolidasi. Bila tanah memiliki sifat yang seragam, maka akan menghasilkan penurunan akibat terkonsolidasi dengan besaran yang sama atau seragam. Kondisi ini tidak akan mempengaruhi stabilitas struktur, hanya bila besaran penurunan tidak diperhitungkan akan dapat mempengaruhi penampilan bangunan dari segi arsitektur. b) Penurunan yang tidak merata (Differential Settlement) Penurunan yang tidak merata dapat terjadi bila sifat tanah di bawah bangunan tidak homogen, baik akibat proses pembentukannyas secara alamiaj ataupun akibat proses galian dan timbunan (cut and fill), dan reklamasi. Kondisi ini akan sangat berbahaya bila menggunakan pondasi langsung yang tidak mencapai tanah asli/ tanah keras, atau penggunaan tiang pancang yang hanya memperhitungkan kemampuan lekatannya (friction tipe) saja, karena pemancangan tiang
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
tidak mencapai tanah keras. Tiang dipancang disamping kemampuan lekatannya, kemampuan daya dukung ujung tiang (end bearing tipe) juga turut diperhitungkan. Dengan demikian untuk kondisi sifat tanah yang tidak homogen, komponen pondasi harus dipasang hingga mencapai tanah keras, baik pada pondasi langsung maupun tidak langsung. Bila terjadi proses penurunan yang tidak merata, akan timbul tegangan ekstra pada komponen bangunan atas maupun bangunan bawah. Bila tegangan yang timbul melampaui tegangan ijin, maka komponen bangunan mengalami retakan atau patah, tergantung pada besaran tegangan yang dilampaui. c) Liquifaksi (Liquifaction) Penurunan bangunan gedung kantor pos Balikpapan hampir pasti tidak berkaitan dengan liquifaksi karena kerusakan gedung tidak disebabkan oleh gempa. Kerusakan liquifaksi merupakan pengaruh ikutan peristiwa gempa sebagaimana gelombang tsumani. Phenomena ini biasanya terjadi bila gempa terjadi dengan besaran intensitas lebih besar dari pada 7 Skala Richter. Liquifaksi adalah peristiwa dimana tanah di bawah bangunan berubah menjadi bubur akibat terlampuinya tegangan air tanah ketika gempa tejadi. Tanah yang mengalami liqufaksi biasanya adalah tanah berpasir dengan gradasi butiran yang halus dan seragam. 2.3 Kerusakan Komponen Tiang Pancang Kerusakan pada komponen tiang pancang dapat dimulai pada saat pelaksanaan. Kerusakan tiang pancang paling sulit diketahui karena tertanam dalam tanah sehingga tidak dapat terlihat secara kasat mata. Bangunan yang didirikan di atas tanah lunak memerlukan tiang yang panjangnya lebih dari satu buah tiang untuk satu titik pemancangan sehingga memerlukan penyambungan antar tiang. Kualitas sambungan yang tidak baik, dapat mengakibatkan rusaknya tiang. Konstruksi kepala tiang dan mutu beton yang kurang memenuhi persyaratan dapat mengakibatkan retakan pada tiang. Kondisi ini sering ditemui pada komponen tiang yang dicetak di lapangan (cast insitu). Akibat gempa, sering mengakibatkan patahnya tiang akibat kegagalan dalam menerima gaya geser dan momen pada kepala tiang. Kerusakan lebih diperburuk lagi akibat beban tumpukan (punching) dari getaran gempa dalam arah vertikal, sehingga memperbesar pengaruh gaya aksial (gaya gravitasi) yang diterima oleh tiang. Pengaruh gempa memberikan phenomena yang menarik, bila bangunan berdiri di atas tanah lepas (loose land) dengan gradasi butiran dan
104
besaran (magnitude) gempa tertentu. Pada kondisi ini tanah akan mencair / mendidih (boiled) akibat tekanan air pori yang tinggi sehingga tanah kehilangan sifat aslinya dan kehilangan daya dukungnya. Akibatnya daya lekatan dan daya dukung tanah menjadi hilang. Bila sifat tanah adalah homogeny, bangunan akan mengalami ambles, dan bila tidak seragam akan mengalami guling. Pada kondisi ini biasanya komponen bangunan atas tidak mengalami kerusakan yang berarti, namun bangunan tidak dapat lagi dipergunakan. Fenomena gempa lain yang menarik adalah bila gempa dengan besaran tertentu dan pusat gema terjadi di laut, biasanya akan mengakibatkan timbulnya gelombang besar (tidal wave/ tsunami). Tsunamai akan menimbulkan gerusan setempat (local scouring) pada tanah di sekitar bangunan dan merusak pondasi. Kerusakan pada tiang sering terjadi akibat kesalahan dalam proses pemotongan sisa ujung tiang dengan cara yang tidak memenuhi persyaratan. a) Kerusakan tiang pancang baja Bahan baja sangat rentan terhadap korosi, terutama bila terpengaruh larutan yang reaktif, seperti air laut dan bahan cairan buangan industri yang mengandung bahan kimia. Selain itu kondisi lingkungan laut atau pegunungan yang mengandung udara garam atau belerang juga merupakan penyebab terjadinya korosi. Korosi sebenarnya dapat dicegah bila bahan baja terlindung dari pengaruh oksigen. Komponen baja pada bangunan bawah, biasanya adalah tiang pancang, baik yang menggunakan tiang baja atau tiang beton bertulang, serta komponen sloof. Untuk memberikan perlindungan komponen baja pada bangunan bawah dapat dilakukan dengan menggunakan bahan yang tahan karat atau diberi perlindungan yang dapat diperbaharui seperti perlindungan katoda (catodic protection) b) Kerusakan tiang pancang beton Kerusakan pada tiang pancang dapat dimulai pada saat pelaksanaan antara lain akibat kualitas beton yang digunakan kurang baik atau penggunaan drop hammer yang kurang tepat. Penyebab lain adalah cara pemotongan yang kurang baik, dimana pemotongan dilakukan secara manual, sehingga dinding tiang yang terlalu tipis tidak mampu menahan beban pukulan yang terjadi. Seharusnya pemotongan dilakukan dengan alat khusus untuk pemotong tiang. menahan beban geser maupun beban aksial yang terlalu besar dapat mengakibatkan tiang pancang mengalami keruntuhan. c) Kerusakan pondasi dari bahan beton Sebagaimana halnya bahan beton, kerusakan ISSN 2549 - 2888
105
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
pada pondasi dapat terjadi pada saat pelaksanaan. Kualitas bahan yang rendah, cetakan yang kurang baik, kurang sempurnanya pemadatan dan pemeliharaan, merupakan penyumbang terbesar pengaruh kerusakan yang mungkin terjadi. Bila massa pondasi terlalu besar, masalah tegangan thermal akibat pelepasan panas hidrasi ketika beton mengeras juga banyak ditemui sebagai penyebab kerusakan pada komponen ini. 2.4 Tingkat Kerusakan Pengklasifikasian tingkat kerusakan bangunan dapat ditentukan dengan cepat berdasarkan penurunan (settlement), kemiringan/ inklinasi, dan tingkat kerusakan komponen bangunan seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Peringkat Kerusakan Komponen Struktur Beton dan Beton Pracetak (Sjafei Amri, 2006). Tingkat I
II
III
IV
V
Deskripsi Kerusakan Komponen Struktur Retak rambut di permukaan beton terlihat dari jarak tidak terlalu jauh (lebar retakan < 0.2 mm Retakan di permukaan beton terlihat dengan mata telanjang (lebar retakan kira-kira 0.2 – 1.0 mm) Selimut beton hancur di sebagian tempat Retakan besar meluas (lebar retakan E1 – 2 mm) Selimut beton hancur dalam jumlah besar dan baja tulangan terlihat Selimut beton meletus (spalling)
Baja tulangan tertekuk Beton pada inti penampang hancur Deformasi pada kolom dan dinding terlihat Settlement dan / atau inklinasi pada lantai terlihat
Tabel 2. Pengklasifikasian Kerusakan (Sjafei Amri, 2006)
Gambar 2. Flowchart Penelitian 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Survei Pendahuluan a) Pengumpulan data sekunder Dalam tahapan ini peneliti mengumpulkan data sekunder terutama gambar as built drawing kondisi eksisting bangunan, tes tanah pada saat gedung belum dibangun dan data lain seperti hasil uji tekan beton dan tarik baja serta spesifikasi teknis material. Gambar inilah yang kemudian dipergunakan sebagai acuan untuk analisa perhitungan struktur kondisi gedung. Dari gambag as built drawing diperoleh dimensi baik balok, kolom, plat, pondasi dan lain sebaginya (Tabel 3). Tabel 3. Rekapitulasi ukuran dari gambar as built drawing dan pengukuran langsung di lapangan
3. METODOLOGI PENELITIAN Tahapan-tahapan dari penyelidikan yang telah diuraikan di atas dapat djelaskan dengan diagram alir pada Gambar 2 di bawah ini.
ISSN 2549 - 2888
No
Item (Lantai 1, 2 dan 3)
1
Pondasi
2 3 4 5
Sloof Balok Kolom Plat
Dimensi (cm) Pondasi Dangkal Ukuran 200 x 200 35 x 50 40 x 50 60 x 60 12
Keterangan Tidak ada pondasi dalam
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
106
b) Pengujian tidak merusak (Non destructive test) Pengujian non destructive yang dimaksud adalah hammer test dan rebar detector untuk mengetahui kuat tekan beton kondisi gedung sekarang dan penulangan pada balok, kolom dan plat. Dari hasil pengujian didapat kuat tekan rata rata 283,67 kg/cm2. c) Pengujian tanah Pengujian yang dilakukan adalah pengujian di lokasi gedung langsung yang terdiri dari sondir dan boring. Kemudian pengujian di laboratorium yang terdiri dari pengujian geser langsung, berat jenis, kadar air, bobot isi dll. Dari hasil sondir dan boring diperoleh data sebagai berikut: Tanah merupakan tanah pasir Kedalaman tanah keras pada kedalaman 20 meter. 4.2 Analisa Struktur kondisi eksisting a) Analisis struktur atas Dari data yang diperoleh baik data sekunder maupun data sekunder kemudian dilakukan analisa terhadap kondisi struktur yang ada. Analisa struktur menggunakan program bantu SAP 2000.
Gambar 4. Pemodelan Pondasi menggunakan SAP 2000. 5. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan kajian gedng kantor pos balikpapan dapat disimpulkan bahwa: 1) Penyebab utama penurunan gedung disebabkan karena tidak adanya pondasi dalam pada gedung tersebut, 2) Gedung kantor pos balikpapan harus segera dilakukan perkuatan pada pondasi gedung tersebut, 3) Metode perbaikan dilakukan dengan memasang borepile disekitar gedung tersebut kemudian menyatukan dengan gedung utama. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 3. Pemodelan Gedung menggunakan SAP 2000 Dari hasil analisa SAP 200 didapatkan bahwa struktur atas masih mampu menahan beban yang ada, baik beban hidup, mati maupun angin. b) Analisis struktur bawah Dari hasil perhitungan pondasi dengan data awal yang ada disimpulkan bahwa pondasi tidak mampu menahan beban yang ada. Hal inilah yang mengakibatkan gedung mengalami penurunan. c) Rencana perbaikan Banyak metode yang dapat dilakukan untuk melakukan perbaikan terhadap gedung yang mengalami menurunan. Namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan bor pile untuk perbaikan gedung agar gedung tidak mengalami penurunan lebih lanjut.
[1]. Bowles J.E, 1979, Foundation Analysis and Design, Fifth Edition. New York: The McGraw – Hill Companies, Inc. [2]. Bowles, J.E. (1983), Alih Bahasa Ir.Johan Kelana Putra Edisi Kedua, Sifat-Sifat Fisis Dan Geoteknis Tanah, Penerbit Erlangga, Jakarta. [3]. Craig, R.F. (1991), Mekanika Tanah. Diterjemahkan oleh Budi Susilo. Penerbit Erlangga, Jakarta. [4]. Das Braja M, 1995, Mekanika Tanah Jilid 2.Surabaya: Penerbit Erlangga. [5]. Das Braja M, 1998, Principles of Foundation Engineering. California: PWS Publishing. [6]. Hardiiyatmo C, Hary, 2007, Teknik Pondasi 1, Yogyakarta: Penerbit Beta Offset. [7]. Irsyam. M., Rekayasa Pondasi, Bandung: ITB [8]. Marto, A. dan Othman, B. A., (2011), The Potential use of Bambu as Green Material for Soft Clay Reinforcement System. International Conference on Environment Science and Engineering IPCBEE vol.8. IACSIT Press, Singapore, pp. 124-143. [9]. Rahardjo, P. P. dan Handoko S.G., 2005, ISSN 2549 - 2888
107
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Manual Pondasi Tiang, Jilid 3, Bandung:GEC [10]. Sardjono, H. S., 1988, Pondasi Tiang Pancang, Jilid 1, Surabaya: Sinar Jaya Wijaya [11]. Sardjono, H. S., 1988, Pondasi Tiang Pancang, Jilid 2, Surabaya: Sinar Jaya Wijaya
ISSN 2549 - 2888
[12]. Titi, H. H. dan Farsakh, M. A. Y., 1999, Evaluation of Bearing Capacity of Piles from Cone Penetration Test, Lousiana Transportation Research Center
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
108
MORPHOLOGICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF MT. KELUD VOLCANIC ASH REINFORCED POLYESTER AND EPOXY COMPOSITES Henny Pratiwi Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto, Yogyakarta E-mail:
[email protected] Abstract -- The use of suitable waste products as raw materials has become an interesting matter in composite industry nowadays due to the environmental issues. Volcanic ash is one of the waste materials containing a high number of silica. The aim of this study is to examine the morphological and mechanical properties of Mt. Kelud volcanic ash reinforced polyester and epoxy composites. The volcano ash was dried and sieved into 50 mesh then mixed with polyester or epoxy manually for 10 minutes. The ash added into the matrix was varied by 0%, 10%, 20%, 30% and 40% from matrix volume content. For epoxy matrix, the composite with 40 vol. % particles has the highest tensile strength. However, for the polyester/ash composites, the tensile strength continues to decrease with the addition of particles. There is a significant increasing of 47.04 % for polyester and 5.62 % for epoxy in impact strength when 40 vol. % of volcanic ash added into both polymers. The Scanning Electron Microscopy result shows that there is void and agglomeration contained in epoxy/ash composites and crack propagation along the surface of polyester/ash composites that could be the cause of the failure. Keywords: volcanic ash; composite; epoxy; polyester; mechanical properties 1. INTRODUCTION Nowadays, the use of particulate reinforced composites has been growing interest in many varying applications. The difficulties of the fabrication of fiber reinforced composites which have the high costs sometimes limit their use in many applications. Particulate reinforced composites can be thought as an alternative. Their advantage is the low cost and easily processed that could improve the stiffness, strength and fracture toughness. The addition of solid particles could improve the mechanical properties of the composite material, compared to the polymer material alone. Numerous studies have been published in recent years focusing on the use of silica and other particles as reinforcing agents in polymers [1-5]. Adhesive bonding is one of the most used techniques for joining materials latetly. Adhesives can join a wide range of materials (polymers, ceramics, and metals) and the combinations of them [6], [7]. The adhesives are widely used in industry where epoxy resin is the most common structural adhesives used due to their good mechanical, thermal and chemical properties [6]. Because of the high modulus of elasticity and strength, low creep, and good thermal strength, epoxy microstructure is very useful for applications in structural engineering [7], [8]. Nevertheless, the structure of these thermoset polymers also causes brittleness, with a low resistance to the initiation of cracks and their propagation [9], [10]. Toughening of these adhesives has been widely studied in the past forty years, and nowadays represents a large field of scientific and technological concern [11-15]. There are some solutions available to improve the
mechanical properties of brittle adhesives, like the inclusion of particles, inorganic or organic [16], [17]. Since the 19th century some particles such as carbon black, silica, clay, etc. have been important reinforcing factors for polymers. Silica has attracted considerable attention recently due to the alternative non-black reinforcing filler that can be used to produce wide range of products with excellent control of vibrations and noise. Silica, however, is less compatible with some polymers and small-sized silica is difficult to disperse. Therefore, an understanding of reinforcing is critical to maximize the potential of silica as reinforcing filler and expand the applications of the polymers [18]. The disadvantage of thermosetting resins is their poor resistance to crack growth, but inorganic particles have been found to be effective in toughen the thermosetting resins. Although they do not increase the toughness as significantly as rubber particle inclusions, they increase the elastic modulus and hardness much better than rubber particles. In contrast, most studies on thermoplastics filled with rigid particulates reported a significant decrease of fracture toughness compared to the neat polymers. Enhancement of impact properties of some pseudo-ductile polymers by the introduction of inorganic particles has also been achieved. A number of researches have evaluated the dependence of the mechanical properties of particulate reinforced polymer composites, including strength, toughness, rigidity, wear properties, etc., on the particle size and particle spatial distributions. Recently, a researcher [2] reviewed the effects of the particle size, particle/matrix interface adhesion and particle ISSN 2549 - 2888
109
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
loading on the stiffness, strength and toughness of particulate-polymer composites by comparing the published experimental results with theoretical models. They stated that the composite strength and toughness are strongly affected by all three factors: particle size, particle/matrix adhesion, and volume content. The mechanical properties of particulate reinforced elastomer composites are also affected by three factors. Since Hall–Petch [19] reported that the strength of metals and composites was dependent on d−1/2 (where d is the diameter of particles), many studies have been performed analytically and numerically to predict the strength of particulate reinforced polymer composites [20-22]. In general, hard particles in particulate reinforced polymer composites have two effects: weakening due to stress concentrations and reinforcing due to crack growth barriers. Even though in many studies, a prediction of the strength of these materials is difficult because of a range of parameters, such as interface adhesion, stress concentration and defects or cluster sizes, and their spatial distribution, etc., there is no universally accepted theory to predict the strength of particulate reinforced polymer composites. Using suitable waste products as raw materials has become an interesting matter in composite industry recently due to the environmental issues, cost reduction and energy saving. Besides, the composition of these waste materials is similar with the natural raw materials when used in composite or ceramic applications [23]. Volcanic ash is one of the waste materials that containing a high number of silica and alumina [24]. Some researchers have reported about the improvement of the addition silica into polymers [25-27]. Therefore, the objective of the present study is to investigate the morphological and mechanical properties of Mt. Kelud volcanic ash reinforced polyester and epoxy composites. 2. EXPERIMENTAL METHOD The volcano ash, which is from the eruption of Mt. Kelud, was dried and sieved into 50 mesh using vibrating screener at Mechanical Engineering Department Gadjah Mada University. The sieved volcanic ash then mixed with polyester or epoxy manually for 10 minutes. For polyester, the ash was blended with the curing catalyst, methyl ethyl ketone peroxide (MEKP), at a concentration of 0.01 w/w of the matrix, supplied by Sigma-Aldrich. For the other type of matrix, Epoxy resin Bakelite EPR 174 and hardener Versamid 140 were supplied by Sinar Kimia Corp., Indonesia with the ratio of 2:1. The mixing process was the same with polyester. The ash added into the matrix was varied by 0%, 10%, 20%, 30% and 40% from matrix vol. content. The mixtures then poured into the mold and were allowed to cure for 15 days at ISSN 2549 - 2888
room temperature inside the mold. The plates were kept in open air for 15 days to obtain a complete polymerization of the polymers. The specimens were then cut from the plates using a saw based. The dimensions of the manufactured plates are 200 × 200 × 4 mm. The tensile specimens were evaluated using an ultimate tensile machine (Torsee AMU-5-DE) according to the ASTM D638-91 standard at the specified loading rate of 10 mm/min. The composite specimens were tested to failure and, the average value of 5 tensile-tested specimens was reported for each sample. Fracture surfaces of tensile test specimens were examined by scanning electron microscope (JEOL 7800F SEM), operated at 5 kV, to investigate the effects of particles on fiber–matrix interfacial adhesion. The Charpy impact test was conducted to determine the impact resistance of material and the energy absorbed by the material during fracture according to the ASTM D790-02 standard. 3. RESULTS AND DISCUSSIONS There are some studies that have been conducted on the mechanical properties of the particulatefilled polymer composites [16], [18]. Tensile and impact strength can be improved by adding either micro- or nano-particles since rigid inorganic particles generally have a much higher stiffness than polymer matrices. The mechanical properties depend on the particle geometry, shape, size distribution and porosity, as well as on the nature of the polymer/filler interaction. However, strength strongly depends on the stress transfer between the particles and the matrix. For well-bonded particles, the applied stress can be effectively transferred to the particles from the matrix; this clearly improves the strength. It is then expected that high-volume fractions of particles will lead to composites with higher tensile strength, compared with the unfilled material. The effect of the particle volume fraction on the tensile properties of epoxy/volcanic ash and polyester/volcanic ash is shown in Fig. 1. It is seen that the optimum tensile strength is obtained when 10 vol. % volcanic ash is added into the polyester matrix and 40 vol. % for epoxy matrix. However, the addition of the ash is decreased the tensile strength of polyester matrix. This could be because of some factors, such as the uneven distribution of particles, porosity, void and particle/matrix interface adhesion. For poorly bonded micro-particles, strength reductions occur by adding particles. The voids are weak points where failures initiate. Poorly wetted filler surfaces and air entrapment in the mixture lead to the creation of voids around the particles. When the material is under stress, it will reduce its strength. On the other hand, it could be said that the
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
epoxy/volcanic ash has better stability than the polyester/volcanic ash in term of the tensile properties. There is slightly different result with the tensile strength of epoxy/ash composites. The strength decreases at first then increases gradually. The improvement of the maximum strength (40% vol. content of ash) is 1.87% if compared with the unfilled materials. It could also
110
be seen from the figure that the trend between polyester/ash and epoxy/ash is almost the same. When added the 10 vol. % until 30 vol. % particles into both polymers, the strength tends to decrease and increase again when 40 vol. % particles was added.
40
Tensile Strength (MPa)
35 30 25 20
Polyester
15
Epoxy
10 5 0 Ash 0% Ash 10% Ash 20% Ash 30% Ash 40%
Figure 1. Effect of Mt. Kelud volcanic ash addition on tensile strength of polymer composites
Impact Strength (Joule/mm2)
0.07 0.06 0.05 0.04
Polyester
0.03
Epoxy
0.02 0.01 0 Ash 0% Ash 10% Ash 20% Ash 30% Ash 40%
Figure 2. Effect of Mt. Kelud volcanic ash addition on impact strength of polymer composites The properties of the reinforced adhesive are not only based on the properties of adhesive matrix or reinforcing particles, but also the other parameters that contribute to the toughness process, which largely influence the outcome of the composite material. The parameters considered in this research are the volume fraction (amount) of particles. The amount of particles dispersed in a structural adhesive matrix is a very important parameter in the toughening properties of the adhesive [28-31]. The volume of particles is directly related to the nature of the particles and their mechanical properties, so it is crucial have full knowledge of the particles nature and properties. Typically, for ductile particles, the critical strain energy release rate raise very slowly with the increased volume fraction and then reaches a plateau value [32] and [33].
Toughness can be described as the resistance of the material to fracture when stressed, or could be said that, the ability of a material to absorb energy and plastically deform without breaking. Toughness is one of the main aspects that determine the strength of materials. The assessment of toughness of an epoxy reinforced with particles can be made by using impact toughness test which results could be seen in Fig. 2. It could be concluded that the optimum particle content for both matrices is 40 vol. %. Impact strength of epoxy/volcanic ash and polyester/volcanic ash is way better than that unfilled materials but the impact strength of polyester is higher than the epoxy. A major percent increase of 47.04 % was achieved when 40 vol. % of volcanic ash particles were incorporated. This behavior was attributed to the ISSN 2549 - 2888
111
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
cross-linked effect within the polymer. The mechanical properties of polymers are often linked directly to its crosslink density. Some changes in crosslink density invariably lead to changes in mechanical properties. When perfectly dispersed
and wetted in the matrix, filler particles can maximize the possible attachment points with the polymer, that is the apparent crosslink density of the matrix, and then maximize the hardness and modulus [34].
Figure 3. The SEM Micrograph of tensile fracture surface of Mt. Kelud volcanic ash particle composites on: (a) polyester matrix with 10 vol. % volcanic ash, (b) epoxy matrix with 40 vol. % volcanic ash Scanning electron microscopy (SEM) is the most common methods used in the morphology evaluation. From SEM Micrograph of epoxy/ash and polyester/ash (Fig. 3a), it is seen that there are some voids (arrow sign) contained in the composite of epoxy/ash. This result supports the tensile result that there is the decreasing of tensile properties of material with the addition of the particles. There is also agglomeration (circle sign) found in the surface morphology of epoxy/ash composite. Agglomeration is the particles that stick to each other in adhesive due to chemical binding, surface energy reduction or particle segregation. It leads to a non-homogeneous behavior and lower macroscopic mechanical properties. Particle clusters act as crack or decohesion nucleation sites at stresses lower than the matrix yield strength, causing the composite to fail at unpredictable low stress levels [35]. The ISSN 2549 - 2888
polyester/ash fracture (Fig. 3b) shows that the brittle morphology found in the surface and the crack propagated along the surface. This crack could lead into the material failure if working under stress. 4. CONCLUSIONS In general, the mechanical properties of epoxy or polyester resin increased by adding volcanic ash that contains silica particles. For tensile test, the epoxy/ash composites with 40 vol. % particles has the highest tensile strength compared with the other variations. However, for the polyester/ash composites, the tensile strength continues to decrease with the addition of particles, which could be caused by some factors: uneven distribution of particles, porosity, void and the surface adhesion between particles and matrices.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
It is different with the results of the impact test. There is a significant increasing of 47.04 % for polyester and 5.62 % for epoxy in impact strength when 40 vol. % of volcanic ash added into both polymers. This behavior was attributed to the cross-linked effect within the polymer that could enhance its properties. The SEM Micrograph result shows that there are voids and agglomeration contained in the epoxy/ash composites that could be the cause of the failure. There is also crack propagation along the surface of polyester/ash composites, which contributes to the failure mechanism of polyester reinforced volcanic ash particles composites. ACKNOWLEDGEMENT The author would like to thank the Adisutjipto College of Technology for funding this project. The authors would like to thank Agus Rianto and Djoko Kurniawan for their support to this work. REFERENCES [1]. Danusso F, Tieghi G. Strength versus composition of rigid matrix particulate composites in Polymer Journal, pages 1385– 1390. 1985. [2]. [2] Shao-Yun Fu, Xi-Qiao Feng, Bernd Lauke, Yiu-Wing Mai. Effects of particle size, particle/matrix interface adhesion and particle loading on mechanical properties of particulate–polymer composites in Composites Part B: Engineering, pages 933 – 961. 2008. [3]. Nafar Dastgerdi, G. Marquis, S. Sankaranarayanan, M. Gupta. Fatigue crack growth behavior of amorphous particulate reinforced composites in Composite Strcuctures Journal, pages 782 – 790, 2016. [4]. Dong-Joo Lee. Fracture mechanical model for tensile strength of particle reinforced elastomeric composites in Mechanics of Materials Journal, pages 54 – 60. 2016. [5]. Debnath S, Ranade R, Wunder SL, McCool J, Boberick K, Baran G. Interface effects on mechanical properties of particle-reinforced composites in Dental Materials Journal, pages 677 – 686. 2004. [6]. D.E. Packham. Handbook of adhesion. John Wiley & Sons, Ltd, England, 2005. [7]. [7] R.D. Adams. Adhesive bonding - science, technology and applications. Woodhead Publishing Limited, Cambridge, 2000. [8]. A. Kinloch, J.H. Lee, A.C. Taylor, S. Sprenger, C. Eger, D. Egan. Toughening structural adhesives via nano-and micro-phase inclusions in The Journal of Adhesive, pages 867–873, 2003. [9]. C.B. Bucknall. Toughened plastics. Springer Science+Business Media, London, 1977.
112
[10]. Y. Huang, D.L. Hunston, A.J. Kinloch, C.K. Riew. Mechanisms of toughening thermoset resins in Toughened plastics I: Science and engineering, American Chemical Society, Washington, pages 1–35. 1993. [11]. V.D. Ramos, H.M. Costa, V.L.P. Soares, R.S.V. Nascimento. Modification of epoxy resin: a comparison of different types of elastometer in Polymer Testing Journal, pages 387–394. 2005. [12]. B. Cardwell, A.F. Yee. Toughening of epoxies through thermoplastic crack bridging in Journal of Material Science, pages 5473–5484. 1998. [13]. G.P. Tandon, G.J. Weng A theory of particlereinforced plasticity in Journal of Applied Mechanics, pages 126–135. 1988. [14]. A.D. Jenkins. Advanced routes for polymer toughening. Polymer Science Library, Elsevier, Amsterdam. 1996. [15]. G. Gkikas, N.M. Barkoula, A.S. Paipetis. Effect of dispersion conditions on the thermomechanical and toughness properties of multi walled carbon nanotubes-reinforced epoxy in Composite Part B: Engineering Journal, pages 2697–2705. 2012. [16]. A.Q. Barbosa, L.F.M. da Silva, M.D. Banea, A. Öchsner. Methods to increase the toughness of structural adhesives with micro particles: an overview with focus on cork particles in Materialwissenschaft und Werkstofftechnik Journal, pages 307–325. 2016. [17]. G.J. Withers, Y. Yu, V.N. Khabashesku, L. Cercone, V.G. Hadjiev, J.M. Souza, et al. Improved mechanical properties of an epoxy glass–fiber composite reinforced with surface organomodified nanoclays in Composite Part B: Engineering Journal, pages 175–182. 2015. [18]. Marjetka Conradi. Nanosilica-reinforced polymer composites in Materials and Technology Journal, pages 285 – 293. 2013. [19]. Anderson, T.L., Fracture Mechanics, 2nd Edition, CRC Press, Boca Raton, FL, 1995. [20]. P.A. Tzika, M.C. Boyce, D.M. Parks. Micromechnics of deformation in particletoughened polyamide in Journal of Mechanical Phys. Solids, pages 1893–1929. 2001. [21]. M. Quaresimin, M. Zappalorto Salviato. A multi-scale and multi mechanism approach for the fracture toughness assessment of polymer nanocomposites in Composites Science and Technology Journal, pages 16 – 21. 2014. [22]. J Cho, M.S. Joshi, C.T. Sun. Effect of inclusion size on mechanical properties of polymeric composites with micro and nano particles in Composites Science and Technology Journal, pages 1941–1952. 2006. [23]. M.F. Serra, M.S. Conconi, G. Suareza, E.F. Agliettia, N.M. Rendtorff. Volcanic ash as flux in clay based triaxial ceramic materials, effect of the firing temperature in phases and
ISSN 2549 - 2888
113
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
mechanical properties in Ceramic International Journal, pages 6169 – 6177. 2015. [24]. Mohammed Seddik Meddah. Durability performance and engineering properties of shale and volcanic ashes concretes in Construction and Building Materials Journal, pages 73 – 82. 2015. [25]. Youngchan Shin, Deokkyu Lee, Kangtaek Lee, Kyung Hyun Ahn, Bumsang Kim. Surface properties of silica nanoparticles modified with polymers for polymer nanocomposite applications in Journal of Industrial and Engineering Chemistry, pages 515 – 519. 2008. [26]. Alisa Boonyapookana, Anchalee Saengsai, Supachai Surapunt, Kohsoku Nagata, Yoshiharu Mutoh. Time dependent fatigue crack growth behavior of silica particle reinforced epoxy resin composite in International Journal of Fatigue, pages 288 – 293. 2016.
ISSN 2549 - 2888
[27]. Rubens Bagni Torres, Júlio Cesar dos Santos, Túlio Hallak Panzera, André Luis Christoforo, Paulo H. Ribeiro Borges, Fabrizio Scarpa. Hybrid glass fibre reinforced composites containing silica and cement microparticles based on a design of experiment in Polymer Testing Journal, pages 87 – 93. 2016. [28]. Z. Minfeng, S. Xudong, X. Huiquan, J. Genzhong, J. Xuewen, W. Baoyi. Investigation of free volume and the interfacial, and toughening behavior for epoxy resin/rubber composites by positron annihilation in Radiation Physics and Chemistry Journal, pages 245 – 251. 2008. [29]. Y. Huang, A.J. Kinloch. The toughness of epoxy polymers containing microvoids in Polymer Journal, pages 1330 – 1332. 1992. [30]. A.J. Kinloch, D. Hunston. Effect of volume fraction of dispersed rubbery phase on the toughness of rubber-toughened epoxy polymers in Journal of Materials Science, pages 137 – 139. 1987
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
114
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Sindi Martina Hastuti1, Ganjar Samudro2, Sri Sumiyati3 Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Semarang Email:
[email protected]
1,2,3Departemen
Abstrak -- Pengelolaan terhadap sampah harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak mencemari lingkungan. Banyaknya pepohonan yang ada di sekitar kita menyebabkan banyaknya sampah daun yang dihasilkan. Sampah daun merupakan salah satu sampah organik yang dapat dijadikan kompos. Pengomposan dapat dilakukan dengan memvariasikan faktor-faktor yang mempengaruhi prosesnya, diantaranya adalah kadar air, ukuran bahan dan metode pengomposan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kadar air terhadap pengomposan sampah organik yaitu sampah daun kering dan menentukan kadar air optimum untuk pengomposan sampah organik berupa daun kering. Pengomposan dilakukan dengan menggunakan MOL tetes tebu dan memvariasikan kadar air (kadar air 40%, 50%, 60%). Ukuran bahan dicacah menjadi ukuran 1 cm. Waktu pengomposan berlangsung selama 30 hari menggunakan metode composter tub. Pengukuran suhu, pH dan kadar air dilakukan setiap hari. Berdasarkan hasil penelitian, kadar air yang optimum adalah 50% dengan hasil kadar COrganik sebesar 31,883%, kadar N-Total sebesar 1,908%, rasio C/N sebesar 16,714, kadar P-Total sebesar 0,162%, dan kadar K-Total sebesar 1,276%. Sedangkan untuk hasil pengujian toksisitas menggunakan uji GI, nilai GI pada kadar air 50% adalah 104,69 yang menunjukkan bahwa kompos bebas toksik, sudah matang dan stabil. Kemudian dari hasil uji mikrobiologi menunjukan bahwa jumlah total koliform yang ada pada kompos tidak lebih dari 1000 MPN/gr yaitu 27 MPN/gr. Kata kunci: Kompos; MOL; kadar air; tetes tebu; sampah organik. 1. PENDAHULUAN Saat ini sampah organik yang dihasilkan oleh masyarakat masih banyak yang tidak ditangani dengan baik. Masih banyak sampah organik yang hanya dibiarkan terkumpul, ditimbun atau bahkan dibakar, hal tersebut dapat menyebabkan pencemaran dalam jangka waktu yang lama. Sampah organik dapat memberikan manfaat apabila dikelola dengan baik. Misalnya sampah organik berupa daun-daunan dapat menambah kandungan unsur hara di dalam tanah. Variasi perlakuan terhadap kompos dapat dilakukan untuk melihat variasi mana yang paling baik untuk melakukan pengomposan. Variasi perlakuan yang dapat dilakukan diantaranya adalah jenis reaktor, pembalikan, aerasi, ukuran bahan, kadar air dan aktivator. 2.
METODOLOGI PENELITIAN
Langkah pertama dalam penelitian ini adalah melakukan identifikasi karakteristik bahan kompos yang akan digunakan yaitu sampah daun kering, meliputi kandungan C-Organik, N-Total, PTotal, K-Total, kadar air dan pH. Identifikasi karakteristik dilakukan melalui uji pendahuluan di Laboratorium Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. Selanjutnya dilakukan pembuatan tumpukan kompos dengan variasi sebagai berikut: a) (A1) Sampah daun ukuran 1 cm + MOL tetes tebu + 40% kadar air b) (A2) Sampah daun ukuran 1 cm + MOL tetes tebu + 50% kadar air
c) (A3) Sampah daun ukuran 1 cm + MOL tetes tebu + 60% kadar air Ukuran bahan yang digunakan merupakan ukuran bahan optimum untuk pengomposan aerobik menurut Cahaya (2008) [1]. Pengomposan dilakukan selama 30 hari secara aerobik menggunakan composter tub (komposter berupa ember dengan lubang disekelilingnya). Selama proses pengomposan terdapat beberapa perlakuan pada tumpukan kompos yaitu pengukuran temperatur, pH, dan kadar air setiap harinya. 3.
HASIL DAN ANALISIS
3.1 Hasil Uji Pendahuluan Uji pendahuluan bahan kompos dilakukan sebelum dilakukannya proses pengomposan. Uji pendahuluan bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan kompos yang digunakan, yaitu sampah daun dan MOL tetes tebu. Parameter yang diuji adalah kandungan C-organik, N-total, P-total, K-total, rasio C/N, pH, dan kadar air. Berdasarkan hasil uji pendahuluan diketahui bahwa kadar air dari sampah daun yaitu 6,09 %, menurut Mulyono (2016) [2] nilai kadar air tersebut belum memenuhi, nilai kadar air yang memenuhi adalah 40 – 60%. Hal tersebut dikarenakan sampah daun yang berada di TPST Universitas Diponegoro dalam keadaan kering sehingga kandungan air di dalamnya rendah. Untuk nilai rasio C/N sampah berdasarkan hasil uji pendahuluan yaitu 53,316 %, nilai tersebut di atas ISSN 2549 - 2888
115
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
standar rasio C/N yaitu 25 – 40% (Ministry of Agriculture and Food, 1998) [3]. Sedangkan rasio C/N dari MOL tetes tebu sudah sesuai yaitu 34,059 %. Tabel 1. Hasil Uji Pendahuluan Kualitas Bahan Kompos Sampah Daun 5,98 6,09 42,140 0,79 0.000121 0.012 53,316
pH Kadar air (%) C-Organik (%) N-Total (%) P (%) K (%) Rasio C/N
MOL Tetes Tebu 6,28 6,573 0,071 0.0018 0 92,9
3.2 Hasil Uji Kompos Berdasarkan SNI 19-7030-2004 [4], kompos yang telah matang memiliki ciri-ciri yaitu nilai rasio C/N 10-20, suhu sesuai dengan suhu air tanah, berwarna kehitaman, tekstur menyerupai tanah dan berbau tanah. Secara keseluruhan, kompos telah memenuhi standar kualitas kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004. Berdasarkan wujud fisik dari kompos, sebagian besar sudah berwarna kehitaman dan memiliki tekstur menyerupai tanah. Tetapi, untuk kompos dengan kadar air 40% masih memiliki bentuk seperti
a) Analisis kadar air pengomposan Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari agar kadar air tetap terjaga. Apabila kadar air kurang dari yang ditentukan dilakukan penambahan air, sedangkan apabila kadar air melebihi dari yang ditentukan maka dilakukan pembalikan agar udara masuk ke dalam tumpukan dan mengeringkan bahan. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40–60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Widarti, dkk. 2015) [5]. Kadar air yang ditentukan adalah 40%, 50% dan 60%. Kadar air yang berbeda-beda tersebut memiliki pengaruh yang tidak jauh berbeda atau tidak signifikan. Gambar 1 berikut ini merupakan grafik hubungan antara kadar air, temperatur dan pH selama proses pengomposan.
70.000
50
Kadar Air (%)
1cm-40%
45
60.000
40
50.000
35
40.000
30 25
30.000
20
20.000
15 10
10.000
Temperatur (°C) dan pH
Parameter
cacahan daun dan warnanya masih kecoklatan, namun sudah lapuk.
5
0.000
0
1cm-50% 1cm-60% 1cm-40% 1cm-50% 1cm-60% 1cm-40% 1cm-50% 1cm-60%
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Hari keGambar 1. Grafik Hubungan Kadar Air, temperatur dan pH Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa pada hari pertama pengomposan, kadar air seluruhnya menurun sedangkan temperatur naik hingga suhu termofilik yaitu di atas 45°C dan pH menurun menjadi asam. Setelah itu, pada hari kedua, suhu akan menurun hingga kurang dari 45°C. Karena suhu menurun maka kadar air tidak berkurang karena tidak ada penguapan dari air yang ada di dalam kompos. Menurut Yulianto
ISSN 2549 - 2888
(2009)[6], pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi NH3+, CO2, uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
116
Tabel 2. Gabungan Hasil Akhir Pengomposan Kompos
Suhu maksimal (°C)
pH (ratarata)
C-Organik (%)
N-Total (%)
Rasio C/N
P-Total (%)
K-Total (%)
Warna
(1 cm – 40%) (1 cm – 50%) (1 cm – 60%)
47 47 47
7,48 7,39 7,28
30,309 31.883 31.897
2,216 1,908 1,689
13,680 16,714 18,889
0,123 0,162 0,121
1,316 1,276 2,848
Coklat Kehitaman Kehitaman
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa suhu tertinggi yang dapat dicapai oleh kompos dengan kadar air 40% adalah 47°C, begitu pula dengan kadar air 50% dan 60%,. Menurut Kusuma (2012) [7], kadar air mempengaruhi laju dekomposisi kompos dan parameter suhu. Kadar air mempengaruhi laju dekomposisi dan suhu karena mikroorganisme membutuhkan kadar air yang optimal untuk menguraikan material organik. Pada penelitian ini pengaruh kadar air terhadap suhu kompos tidak begitu terlihat karena kadar air yang ditentukan masuk dalam skala kadar air optimum untuk pengomposan. Setelah fase termofilik berakhir, maka fase mesofilik akan dimulai, pada fase mesofilik, kadar air tidak menunjukan pengaruh yang besar terhadap suhu, pada fase mesofilik yang terlihat adalah kondisi fisik dari kompos yang semakin rapuh dan perubahan warnanya. Pada kadar air 40% warna dari kompos tidak banyak berubah yaitu menjadi coklat, namun pada kadar air 50% dan 60% perubahan warna kompos terlihat menjadi kehitaman. Pada kadar air 40%, pH-nya lebih tinggi daripada kadar air 50% dan 60%. Sedangkan pada kompos dengan kadar air 60% memiliki pH terendah. Namun, perbedaan kedua rata-rata pH tersebut tidak jauh berbeda. Menurut Kusuma (2012), pH tidak dipengaruhi oleh kadar air namun dipengaruhi oleh keberadaan nitrogen dan kondisi anaerobik. Menurut Isroi (2008) [8], hal ini dikarenakan pada awal pengomposan pH kompos akan menjadi asam yang disebabkan oleh terjadi pelepasan asam, sedangkan produksi ammonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH. Berdasarkan Gambar 1 pada fase termofilik, pH akan berubah menjadi asam dan kemudian naik menjadi basa ketika fasenya berubah menjadi mesofilik. b) Analisis hasil akhir pengomposan Hasil akhir pengomposan merupakan hasil dari kadar C-Organik, N-Total, rasio C/N, kadar PTotal, kadar K-Total, toksisitas dan total koliform. Analisis C-Organik, N-Total, rasio C/N, kadar PTotal, dan kadar K-Total dilakukan di awal pengomposan dan di akhir pengomposan. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar C-Organik mengalami penurunan, penurunan kadar C-Organik dalam proses pengomposan terjadi karena karbon digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk mendegradasi bahan organik. Selama proses
pengomposan, CO2 akan menguap sehingga kadar karbon akan berkurang juga (Pandebesie, 2012) [9]. Dalam pengomposan aerobik kurang lebih dua pertiga unsur karbon (C) menguap menjadi CO2 dan sisanya satu pertiga bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup (Setyorini et al, 2006) [10]. Kadar C-Organik dari seluruh kompos telah memenuhi standar SNI 197030-2004 dimana C-Organik kompos adalah 9,832. Pada kadar air 40%, kadar C-Organik menurun hingga sebanyak kurang lebih 11% menjadi 30,309%. Pada kadar air 50%, kadar COrganik mengalami penurunan sebanyak kurang lebih 10% menjadi 31,883%. Sedangkan untuk kadar air 60%, kadar C-Organik menurun sebanyak kurang lebih 10% menjadi 31,897%. Penurunan kadar C-Organik paling banyak pada kadar air 40%. Analisis N-Total dilakukan pada bahan kompos dan setelah pengomposan selesai. Kandungan N-Total pada bahan kompos yaitu daun kering sebesar 0,79%. Berdasarkan Tchobanoglous (1993) [11], kandungan N-Total dari daun kering adalah 0,5-1%. Berdasarkan hasil pengujian akhir, semua variasi kompos telah memenuhi standar SNI 19-7030-2004 karena kadar N-Total seluruh variasi berada di atas 0,4%. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar N-Total. Meningkatnya presentase N-Total pada masa pengomposan dikarenakan proses dekomposisi bahan kompos oleh mikroorganisme mengubah ammonia menjadi nitrit. Nitrogen merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam tanah yang berperan penting dalam proses pelapukan bahan organik. Nitrogen ini diperlukan dalam proses fotosintesis (Hajama, 2014) [12]. N-Total pada kadar air 40% naik hingga mencapai kadar N-Total sebesar 2,216%. Sedangkan pada kadar air 50%, N-Total yang dicapai yaitu sebesar 1,908% dan untuk kadar air 60%, kadar N-Total mencapai 1,689%. Berdasarkan hasil tersebut, kadar N-Total paling tinggi adalah pada kadar air 40%. Nilai N-Total untuk kadar air 40%, 50% dan 60% tidak jauh berbeda. Hal ini berarti kadar air tidak mempengaruhi kadar N-Total akhir dari kompos. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kusuma (2012), bahwa kadar N-Total lebih dipengaruhi oleh kondisi bahan baku kompos. Analisis rasio C/N pada pengomposan ini dilakukan pada bahan kompos dan hasil akhir ISSN 2549 - 2888
117
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
kompos. Rasio C/N awal bahan kompos adalah 53,316. Berdasarkan tabel 2, apabila dibandingkan dengan SNI 19-7030-2004, seluruh variasi telah memenuhi standar rasio C/N yaitu 10-20. Penurunan rasio C/N disebabkan oleh penurunan kandungan C-Organik dan kenaikan N-Total pada kompos. Rasio C/N pada kadar air 40% memiliki nilai terendah yaitu 13,680%. Pada kadar air 50%, rasio C/N yang dihasilkan adalah 16,714%. Sedangkan pada kadar air 60% rasio C/N yang dihasilkan adalah 18,889%. Berdasarkan hasil penelitian, rasio C/N yang paling rendah dihasilkan pada kadar air 40%. Kadar N-Total yang tinggi menyebabkan rasio C/N menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kadar air 50% dan 60%. Analisa P-Total dilakukan dua kali yaitu pada bahan kompos dan setelah kompos jadi. Hasil PTotal pada bahan kompos yaitu 0,013%. Berdasarkan standar SNI 19-7030-2004, secara keseluruhan kadar P-Total kompos sudah melebihi standar minimalnya yaitu >0,1%. Suswardany, et al. (2006) [13] menjelaskan pada proses pengomposan sebagian fosfor dihisap oleh mikroorganisme untuk membentuk zat putih telur dalam tubuhnya. Semakin banyak mikroorganisme akan membuat kompos cepat matang sehingga mikroorganisme memiliki kesempatan untuk menghisap fosfor pada kompos yang telah matang tersebut. Pada kadar air 40%, kadar P-Total kompos adalah 0,123%. Sedangkan pada kadar air 50%, kadar P-Totalnya adalah 0,162% dan pada kadar air 60% P-Total komposnya adalah 0,121%. Berdasarkanhasil tersebut kadar tertinggi untuk PTotal pada kadar air 50%. Analisis K-Total dilakukan pada bahan kompos dan setelah proses pengomposan selesai. Persyaratan minimal kadar K-Total untuk kompos menurut SNI 19-7030-2004 adalah >0,2%. Kadar K-Total bahan sebelum dikomposkan sebesar 0,115%, nilai tersebut masih berada di bawah standar. Setelah dilakukan pengomposan, seluruh variasi kompos mengalami kenaikan kadar K-Total. Kadar K-Total pada kadar air 40% yang paling tinggi adalah 1,316. Sedangkan untuk kadar air 50%, kadar KTotalnya adalah 1,276% dan untuk kadar air 60% nilai kadar K-Totalnya adalah 2,848%. Berdasarkan hasil tersebut, kadar K-Total paling tinggi dihasilkan oleh kompos dengan kadar air 60. Kenaikan kadar K-Total disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menguraikan bahan organik. Menurut Ayunin (2016) [14], kalium digunakan oleh mikroorganisme dalam bahan subtrat sebagai katalisator. Aktivitas mikroba akan berpengaruh terhadap peningkatan kandungan kalium.
ISSN 2549 - 2888
3.3 Hasil Uji Karakteristik Kompos Matang a) Analisa toksisitas kompos Analisa toksisitas kompos dilakukan untuk mengetahui apakah kompos beracun bagi tanaman atau tidak. Nilai GI lebih dari 80% menunjukkan hilangnya senyawa fitotoksin pada kompos (Zucconi dkk, 1981) [15]. Nilai ini tidak hanya sebagai indikasi hilangnya fitotoksisitas pada kompos tetapi juga sebagai indikasi kematangan kompos (Selim dkk, 2012) [16]. Analisa toksisitas dilakukan menggunakan uji Germination Index (GI) atau indeks perkecambahan. Tabel 8 berikut merupakan hasil dari uji toksisitas kompos: Tabel 8. Hasil Uji Indeks Perkecambahan Kompos
GI
A1 (1 cm – 40%)
102,34
A2 (1 cm – 50%)
104,69
A3 (1 cm – 60%)
113,28
Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa nilai GI tertinggi sebesar 113,28 berada pada kompos variasi kadar air 60%. Sedangkan nilai GI terendah sebesar 102,34 berada pada kompos variasi kadar air 40%. Berdasarkan data hasil rasio C/N, kadar P-Total dan K-Total kompos, hasil yang optimum adalah pada kadar air 50%, pada kadar air tersebut nilai GI yang dihasilkan telah memenuhi yaitu sebesar 104,69. Nilai GI tersebut menunjukkan bahwa kompos tidak toksik dan telah matang serta stabil. b) Analisis Kandungan Mikrobiologi Pengomposan Pada analisis keberadaan total koliform pada kompos, diketahui bahwa sampel uji mengandung total koliform berada di bawah baku mutu SNI 197030-2004 yaitu tidak lebih dari 1000 MPN/gram. Termasuk kompos dengan kadar air 50% memiliki kandungan total koliform yang berada di bawah baku mutu SNI 19-7030-2004 dengan nilai tidak lebih dari 1000 MPN/gram yaitu 27 MPN/gram. 4. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah kadar air mempengaruhi suhu dan laju dekomposisi kompos dalam pengomposan sampah organik. Berdasarkan hasil penelitian ini, kadar air yang optimum adalah kadar air 50%. Pada kadar air 50%, memiliki kandungan C-Organik sebesar 31,883%, N-Total sebesar 1,908%, rasio C/N sebesar 16,714%, PTotal sebesar 0,175, K-Total 1,276% dan nilai GI sebesar 104,69.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
DAFTAR PUSTAKA [1]. Cahaya, T. S. Andhika. dan Dody A.N. 2008. Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran dan Ampas Tebu). Semarang: Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. [2]. Mulyono. 2016. Membuat Mikroorganisme Lokal (MOL) dan Kompos dari Sampah Rumah Tangga. Jakarta : Agromedia. [3]. Ministry of Agriculture and Food. 1998. Composting Factsheet - BC Agricultural Composting Handbook (Second Edition 2nd Printing). Canada: BC Ministry of Agriculture, Food and Fisheries. [4]. Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Jakarta: Badan Standar Nasional Indonesia. [5]. Widarti, B. N, dkk. 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku pada Pembuatan Kompos dari Kubis dan Kulit Pisang. Samarinda: Teknik Lingkungan Unmul. [6]. Yulianto, A. A, dkk. 2009. Pengolahan Sampah Terpadu : Konversi Sampah Pasar Menjadi Kompos Berkualitas Tinggi. Jakarta: Yayasan Danamon Peduli. [7]. Kusuma, M.A. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air terhadap Laju Dekomposisi Kompos Sampah Organik di Kota Depok. (Tesis). Depok: Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia [8]. Isroi. 2008. Kompos. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.
118
[9]. Pandebesie, E. S., Rayuanti, D. 2013. Pengaruh Penambahan Sekam pada Proses Pengomposan Sampah Domestik.Jurnal Lingkungan Tropis. [10]. Setyorini, et al. 2006.Kompos. Bogor: Balitbang Sumber Daya Lahan Pertanian. [11]. Tchobanoglous, G., H. Theisen, and S. Vigil. 1993, Integrated Solid Waste Management (Engineering Principles and Management Issues). McGraw- Hill, Inc.: Singapore. [12]. Hajama, N. 2014. Studi Pemanfaatan Eceng Gondok sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Kompos dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL serta Prospek Pengembangannya. Makassar: Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin [13]. Suswandany, D.L., Ambarwati, dan Y. Kusumawati. 2006. Peran Effective Microorganism-4 (EM-4) dalam Meningkatkan Kualitas Kimia Kompos Ampas Tahu. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. [14]. Ayunin, R. 2016. Pengaruh Penambahan Pupuk Urea dalam Pengomposan Sampah Organik secara Aerobik Menjadi Kompos Matang dan Stabil Diperkaya. Semarang: Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. [15]. Zucconi, F ., A. Pera, M. Forte and M. de Bertoldi. 1981. Evaluating Toxicity of Immature Compost. Biocycle [16]. Selim, Sh. M., Zayed, M. S., Atta, H. M., (2012), Evaluation of Phytotoxicity of Compost During Composting Process. Nature and Science 10(2).
ISSN 2549 - 2888
119
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE OPEN WINDROW Vaneza Citra Kurnia1, Sri Sumiyati2, Ganjar Samudro3 Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro E-mail:
[email protected]
1,2,3Departemen
Abstrak -- Banyaknya jumlah daun yang berguguran di suatu wilayah atau pemukiman merupakan potensi yang pantas diperhitungkan agar menjadi bahan yang bernilai guna, Salah satunya dengan melakukan pengomposan. Kadar air mempunyai peran yang kritis dalam rekayasa pengomposan karena dekomposisi material organik bergantung pada ketersediaan kandungan air. Kadar air menjadi kunci penting pada proses pengomposan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kadar air terhadap pengomposan sampah organik yaitu sampah daun kering dan menentukan kadar air optimum untuk pengomposan sampah organik berupa daun kering. Penelitian ini menggunakan variasi kadar air (40%, 50%, dan 60%) dan perlakuan ukuran bahan dicacah menjadi ukuran 1cm dan menggunakan MOL tetes tebu sebagai bioaktivator.Waktu pengomposan berlangsung selama 30 hari dengan metode pengomposan secara open windrow. Berdasarkan penelitian ini kadar air yang optimal untuk proses pengomposan sampah organik daun kering adalah kadar air 60% dilihat dari Kadar C-Organik terendahnya sesbesar 27,324%, kandungan N-Total yang paling tinggi 2,441%,Rasio C/N terendahnya sebesar 11,194%, kandungan P-Total sebesar 0,211%, kandungan KTotal sebesar 1,7776% dan Nilai GI yang paling tinggi sebesar 125,58% dan kemudian hasil uji mikrobiologi menunjukan bahwa jumlah total koliform yang ada pada kompos tidak lebih dari 1000 MPN/g. Kata kunci: kompos, kadar air, ukuran bahan 1. PENDAHULUAN Pengomposan secara Ekologi adalah proses dekomposisi dimana substrat terus menerus dipecah oleh suksesi populasi organisme. Suksesi ini dimulai dengan cara pemecahan molekul kompleks dalam substrat baku menjadi bentuk yang lebih sederhana oleh mikroba. Produk dari pengomposan adalah kompos. Salah satu bahan yang ditambahakan dalam proses pengomposan adalah Mol Tetes. Tetes tebu merupakan limbah dari industri gula yang apabila tidak adanya pemanfaatan dengan baik limbah ini akan terbuang begitu saja, maka dilakukan pemanfaatan tetes tebu menjadi MOL (Mikoroorganisme Lokal), yang mana MOL ini akan digunakan sebagai bioaktivator dalam proses pengomposan. Menurut Som et al., (2009) salah satu faktor kunci yang menunjukkan pengomposan berjalan dengan cepat adalah kadar air. Sedangkan menurut Lua et al., (2007), kadar air mempunyai peran yang kritis dalam rekayasa pengomposan karena dekomposisi material organik bergantung pada ketersediaan kandungan air. Kadar air menjadi kunci penting pada proses pengomposan. Pentingnya kadar air sebagai faktor penting kematangan dan kualitas kompos. pengomposan sistem windrow merupakan sistem yang cocok dengan kondisi Indonesia karena fleksibilitasnya. 2. METODOLOGI PENELITIAN Bahan yang digunkan dalam proses pengomposan adalah Sampah daun kering yang ISSN 2549 - 2888
kemudian dicacah dan diayak sesuai ukuran yang diinginkan yaitu 1cm, menurut Cahaya dan Nugroho (2008) ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik berkisar 1-7,5 cm , Pembuatan kompos dilakukan dengan metode Open Windrow. Setelah sampah siap ditambahkan mol tetes tebu sebagai bioactivator kompos. Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari untuk mengontrol kadar air agar sesuai yang diinginkan yaitu 40%, 50%, 60%. Selanjutnya melakukan identifikasi karakteristik bahan kompos yang akan digunakan yaitu sampah daun kering, meliputi kandungan C-Organik, N-Total, PTotal, K-Total, kadar air dan pH. Identifikasi karakteristik dilakukan melalui uji pendahuluan di Laboratorium Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro Selanjutnya dilakukan pembuatan tumpukan kompos dengan langkah sebagai berikut: a) Sampah daun ukuran 1 cm + MOL tetes tebu + 40% kadar air b) Sampah daun ukuran 1 cm + MOL tetes tebu + 50% kadar air c) Sampah daun ukuran 1 cm + MOL tetes tebu + 60% kadar air Pengomposan dilakukan selama 30 hari menggunakan metode open windrow. Pengomposan sistem open windrow adalah cara pembuatan kompos di tempat terbuka beratap (bukan di dalam reaktor yang tertutup) dengan aerasi alamiah. Selama proses pengomposan terdapat beberapa perlakuan pada tumpukan kompos yaitu pengukuran temperatur, pH, dan kadar air setiap harinya.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Uji Pendahuluan Pendahuluan bahan kompos dilakukan sebelum dilakukannya proses pengomposan. Uji pendahuluan bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan kompos yang digunakan, yaitu sampah daun dan MOL tetes tebu. Parameter yang diuji adalah kandungan C-organik, N-total, P-total, K-total, rasio C/N, pH, dan kadar air. Tabel 1. Hasil Uji Pendahuluan Kualitas Bahan Kompos Parameter pH Kadar air (%) C-Organik (%) N-Total (%) P (%) K (%) Rasio C/N
Sampah Daun 5,98 6,09 42,140 0,79 0.000121 0.012 53,316
MOL Tetes Tebu 6,28 6,573 0,071 0.0018 0 92,9
Berdasarkan hasil uji pendahuluan diketahui bahwa kadar air dari sampah daun yaitu 6,09 %, menurut Mulyono (2016) nilai kadar air tersebut belum memenuhi, nilai kadar air yang memenuhi adalah 40 – 60%. Hal tersebut dikarenakan sampah daun yang digunakan dalam proses pengomposan dalam keadaan kering sehingga kandungan air di dalamnya rendah. Untuk nilai rasio C/N sampah berdasarkan hasil uji pendahuluan yaitu 53,316 %, nilai tersebut di atas standar rasio C/N yaitu 25 – 40% (Ministry of Agriculture and Food, 1998) [5]. Sedangkan rasio C/N dari MOL tetes tebu sudah sesuai yaitu 34,059 %.
120
Berdasarkan SNI 19-7030-2004, kompos yang telah matang memiliki ciri-ciri yaitu nilai rasio C/N 10-20, suhu sesuai dengan suhu air tanah, berwarna kehitaman, tekstur menyerupai tanah dan berbau tanah. Secara keseluruhan, kompos telah memenuhi standar kualitas kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004. Berdasarkan wujud fisik dari kompos, sebagian besar sudah berwarna kehitaman dan memiliki tekstur menyerupai tanah. a) Analisis Kadar Air Pengomposan Kadar air menjadi kunci penting pada proses pengomposan. Hal tersebut terjadi apabila kandungan air terlalu rendah atau tinggi akan mengurangi efisiensi proses pengomposan (Luo dan Chen. 2007). Kadar air yang optimal adalah 45% - 55% (Hoitink, 2008). Apabila kadar air melebihi 60% maka volume udara berkurang, bau akan dihasilkan (karena kondisi anaerobik), dan dekomposisi diperlambat. Salah satu permasalahan kadar air kompos adalah berkurangnya kadar air tumpukan kompos selama proses pengomposan, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan air dan pengadukan (Suehara et al., 1999). Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari agar kadar air tetap terjaga. Apabila kadar air kurang dari yang ditentukan dilakukan penambahan air, sedangkan apabila kadar air melebihi dari yang ditentukan maka dilakukan pembalikan agar udara masuk ke dalam tumpukan dan mengeringkan bahan. Kadar air yang ditentukan adalah 40%, 50% dan 60%. Kadar air yang berbeda-beda tersebut memiliki pengaruh yang tidak jauh berbeda atau tidak signifikan. Gambar 1 berikut ini merupakan grafik hubungan antara kadar air, temperatur dan pH selama proses pengomposan.
3.2 Hasil Uji Kompos Matang 70.0
50 45
60.0
30
20.0
15
40.0
25
30.0
20
Temperatur dan pH
35
Kadar Air
40 50.0
K1 40 K1 50 K1 60 K1 .40
10 10.0 5 0.0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728293031 Har
Gambar 1. Grafik hubungan kadar air, pH, dan temperatur Berdasarkan grafik di atas, diketahui bahwa pada hari pertama pengomposan, temperatur naik hingga suhu termofilik yaitu di atas 45°C dan pH
menurun menjadi asam. Setelah itu, pada hari kedua, suhu akan menurun hingga kurang dari 45°C. Karena suhu menurun maka kadar air tidak ISSN 2549 - 2888
121
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
berkurang karena tidak ada penguapan dari air yang ada di dalam kompos. Menurut Yulianto (2009), pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi NH3+, CO2, uap air dan panas
melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah.
Tabel 2. Gabungan Hasil Akhir Pengomposan Kompos
Suhu Maksimal
C-Organik
NTotal
Rasio C/N
PTotal
KTotal
GI (%)
warna
1Cm Kadar Air 40%
48
27.406
1.569
17.467
0.11
1.263
133.43
1 cm Kadar Air 50%
47
29.7
2.641
11.246
0.12
1.730
102
1 cm Kadar Air 60%
47
27.324
2.441
11.194
0.211
1.776
125.58
Coklat Coklat Kehitaman Kehitaman
Menurut Tuomela et al., (2000), faktor yang mempengaruhi pengomposan antara lain kadar air, suhu, pH, karbon, nitrogen, lignin, oksigen, kalium, nitrogen, fosfor, jenis mikroba dan fungi. Tabel.2 menunjukkan perubahan temperatur selama pengomposan. Temperatur puncak yang dialami variasi kompos ukuran kadar air 40 %; ukuran kadar air 50 %; ukuran kadar air 60 %; berturut-turut adalah 47.5°C, 47 °C, 47°C temperature puncak terjadi setelah satu hari proses pengomposan Setelah mencapai temperatur puncak, pengomposan mulai memasuki tahap pematangan dan pendinginan. Pada tahap ini, jumlah mikroorganisme termofilik berkurang karena bahan makanan bagi mikroorganisme ini juga berkurang, hal ini mengakibatkan organisme mesofilik mulai beraktivitas kembali. Organisme mesofilik tersebut akan merombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya menjadi gula yang lebih sederhana, tetapi kemampuanya tidak sebaik organisme termofilik. Bahan yang telah didekomposisi menurun jumlahnya dan panas yang dilepaskan Peningkatan temperatur pada tumpukan kompos menunjukkan mikroorganisme sedang beraktivitas dengan baik dalam menguraikan bahan organik. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka temperatur akan berangsurangsur mengalami penurunan (Isroi, 2008). Pengamatan pH kompos juga dilakukan selama 30 hari. Berdasarkan pH tersebut dapat menggambarkan tahapan pengomposan dan kematangan kompos. Pada awal pengomposan, pH awal kompos untuk kadar 40%,50% dan 60% berturut-turut adalah 5,9; 5,9;5.8 Pada penelitian ini terjadi peningkatan nilai pH, hal tersebut menandakan dekomposisi nitrogen oleh bakteri untuk menghasilkan amonia. Apabila sudah terjadi pembentukan amonia, maka pH akan meningkat menjadi basa. Menurut Baharuddin, et al., (2009). Menurut penelitian Kusuma (2012), kadar air mempengaruhi laju dekomposisi kompos dan paramater suhu kecuali untuk pH dan kadar nitrogen. Kadar air mempengaruhu laju ISSN 2549 - 2888
dekomposisi kompos dan suhu disebabkan oleh mikroorganisme membutuhkan kadar air yang optimal untuk menguraikan material organik. Sedangkan pH dipengaruhi oleh keberadaan nitrogen dan kondisi anaerobik. Selanjutnya nitrogen lebih dipengaruhi oleh kondisi bahan baku kompos. Peningkatan nilai pH, hal tersebut menandakan dekomposisi nitrogen oleh bakteri untuk menghasilkan amonia. Apabila sudah terjadi pembentukan amonia, maka pH akan meningkat menjadi basa. Menurut Baharuddin, et al., (2009) penurunan pH pada akhir pengomposan terjadi karena adanya oksidasi enzimatik senyawa inorganik hasil proses dekomposisi. b) Analisis Hasil Akhir Pengomposan Hasil akhir pengomposan merupakan hasil dari kadar C-Organik, N-Total, rasio C/N, kadar PTotal, kadar K-Total, toksisitas dan total koliform. Analisis C-Organik, N-Total, rasio C/N, kadar PTotal, dan kadar K-Total dilakukan di awal pengomposan dan di akhir pengomposan. Berdasarkan Tabel 2 Analisis C-organik dilakukan pada akhir proses pengomposan. Di awal proses pengomposan kandungan C-organik sampah daun adalah sebesar 42,140%. Secara keseluruhan, nilai C-organik kompos cenderung turun hingga pada keadaan matang yang berada diantara 9,9-32% sesuai yang tertera dalam Standar Nasional Indonesia (SNI): 19-7030-2004. Hal tersebut terjadi karena selama proses pengomposan karbon digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan sebagai sumber energy. Menurut Lu et al., (2009), kadar air dan kadar karbon organik mempunyai hubungan berbanding negatif/ terbalik Dimana kadar air meningkat, maka kandungan karbon organik menurun. Sehingga pada variasi kadar air 40% memiliki kecederungan C-organik lebih tinggi dibandingkan dengan variasi kadar air 60%. Analisis kandungan N-total dilakukan pada akhir proses pengomposan. Di awal proses pengomposan kandungan N-total sampah daun adalah sebesar 0.790% Secara keseluruhan, nilai
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
kandungan N-total kompos cenderung naik hingga pada keadaan matang yang berada > 0,4 sesuai yang tertera dalam Standar Nasional Indonesia (SNI): 19-7030-2004. Hal tersebut terjadi karena peningkatan kadar nitrogen dapat terjadi karena padatan tervolatil atau bahan organik yang terdegradasi lebih besar dibandingkan NH3 yang tervolatilisasi (Bernal, et al., 1998). Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terjadi kenaikan N-total di semua viariasi dan keseluruhan variasi memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI): 19-7030-2004 karena kadar NTotal seluruh variasi berada di atas 0,4%. N-Total pada kadar air 40% naik hingga mencapai kadar N-Total sebesar 1,569%. Sedangkan pada kadar air 50%, N-Total yang dicapai yaitu sebesar 2,641% dan untuk kadar air 60%, kadar N-Total tertingginya mencapai 2,441%. Berdasarkan hasil tersebut, kadar N-Total paling tinggi adalah pada kadar air 50%. Di awal pengomposan nilai rasio C/N bahan kompos adalah 53,316%, setelah proses pengomposan seluruh variasi kompos telah mencapai nilai rasio C/N yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004 yaitu diantara 10 – 20. Rasio C/N mempunyai peran penting dalam proses dekomposisi kompos. C/N menggambarkan mikroorganisme dalam kompos mengoksidasi karbon sebagai sumber energi, dan memakan nitrogen untuk sintesis protein (Bernal et al., 1998). Menurut Lu et al., (2009), kadar air dan kadar karbon organik mempunyai hubungan berbanding negatif. Dimana kadar air meningkat, maka kandungan karbon organik menurun. Sehingga pada variasi kadar air 40% memiliki kecederungan C-organik lebih tinggi dibandingkan dengan variasi kadar air 60%. Sehingga variasi kadar air 40% memiliki kecenderungan memiliki rasio C/N yang lebih tinggi dibandingkan dengan variasi kadar air 60% karena C-Organik variasi kadar air 40% lebih tinggi dibandingkan kadar air 60%. Rasio C/N pada kadar air 40% memiliki nilai terendah yaitu 17.467%. Pada kadar air 50%, rasio C/N terendah adalah 11,246%. Sedangkan pada kadar air 60% rasio C/N terendah adalah 11,194%. Berdasarkan hasil penelitian, rasio C/N yang paling rendah dihasilkan pada kadar air 60%. Kandungan P-total bahan kompos adalah 0,013%, setelah proses pengomposan seluruh variasi kompos telah mencapai nilai kandungan Ptotal yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004 yaitu > 0,1 Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa keseluruhan variasi mengalami kenaikan kandungan P-total sebelum dan sesudah proses pengomposan dan seluruh variasi pengomposan memenuhi SNI 19-70302004 yaitu lebih dari 0,1%,. Nurdiansyah (2015), melaporkan, bahwa kandungan unsur P semakin tinggi dengan terjadinya pelapukan bahan organic
122
yang dikomposkan, dalam tahap pematangan mikroorganisme akan mati dan kandungan P di dalam mikroorganisme akan bercampur dalam bahan kompos yang secara langsung akan meningkatkan kandungan fosfor dalam kompos. Pada kadar air 40%, kadar P-Total kompos paling tinggi adalah 0,110%. Sedangkan pada kadar air 50%, kadar P-Total tertinggi adalah 0,120% dan pada kadar air 60% P-Total kompos tertinggi adalah 0,211%. Kadar tertinggi P-total tertinggi dihasilkan oleh kompos dengan kadar air 60%. Pada awal pengomposan nilai kandungan Ktotal bahan kompos adalah 0,115%, setelah proses pengomposan seluruh variasi kompos telah mencapai nilai kandungan K-total yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004 yaitu > 0,2. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua variasi mengalami kenaikan kandungan K-total sebelum dan sesudah proses pengomposan dan seluruh variasi pengomposan memenuhi SNI 19-70302004 yaitu lebih dari 0,2%. Kadar K-Total pada kadar air 40% yang paling tinggi adalah 1,263%. Sedangkan untuk kadar air 50%, kadar K-Total tertinggi adalah 1,730% dan untuk kadar air 60% nilai kadar K-Total paling tinggi adalah 1,776%. Berdasarkan hasil tersebut, kadar K-Total paling tinggi dihasilkan oleh kompos dengan kadar air 60%. 3.3 Hasil Uji Karakteristik Kompos Matang a) Analisis Toksisitas Analisa toksisitas kompos dilakukan untuk mengetahui apakah kompos beracun bagi tanaman atau tidak.Analisa toksisitas dilakukan menggunakan uji Germination Index (GI) atau indeks perkecambahan. Tabel 3. Nilai GI (%) Hasil Kompos Kompos Ukuran 1 cm kadar Air 40% Ukuran 1 cm kadar Air 50% Ukuran 1 cm kadar Air 60%
GI (%) 133.43 102 125.58
Nilai GI lebih dari 80% menunjukkan hilangnya senyawa fitotoksin pada kompos (Zucconi dkk, 1981).Nilai ini tidak hanya sebagai indikasi hilangnya fitotoksisitas pada kompos tetapi juga sebagai indikasi kematangan kompos (Selim dkk, 2012).Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai GI tertinggi sebesar 133,43 berada pada kompos variasi kadar air 40%. Sedangkan nilai GI terendah sebesar 102 berada pada kompos variasi kadar air 50%. Pada kadar air 60% tersebut nilai GI yang dihasilkan telah memenuhi yaitu sebesar 125,58. Nilai GI tersebut menunjukkan bahwa kompos tidak toksik dan telah matang serta stabil.
ISSN 2549 - 2888
123
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
b) Analisis Kandungan Mikrobiologi Pengomposan Pada analisis keberadaan total koliform pada kompos, diketahui bahwa seluruh sampel uji mengandung total koliform berada di bawah baku mutu SNI 19-7030-2004 yaitu tidak lebih dari 1000 MPN/gram. Termasuk kompos dengan kadar air 60% memiliki kandungan total koliform yang berada di bawah baku mutu SNI 19-7030-2004 dengan nilai tidak lebih dari 1000 MPN/gram. 6. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah kadar air mempengaruhi suhu dan laju dekomposisi kompos dalam pengomposan sampah organik. Berdasarkan hasil penelitian ini, kadar air yang optimum adalah kadar air 60%. Pada kadar air 60%, memiliki kandungan C-Organik sebesar 27,324%, N-Total sebesar 2,441%, rasio C/N sebesar 11,194%, PTotal sebesar 0,211, K-Total 1,776% dan nilai GI sebesar 125,58 kemudian untuk Total Koliformnya sebsar 27 MPN/g. DAFTAR PUSTAKA [1]. Som, M et al.,(2009). Stability and maturity of a green waste and biowaste compost assessed on the basis of a molecular study using spectroscopy, thermal analysis, thermodesorption and thermochemolysis. Science Direct. [2]. Lua, S.Y et al., (2007). Biodegradation of phthalate esters in compost-amended soil., dari NTU Taiwan. Ntur.lib.ntu.edu.tw/bitstream/246246/176909/ 1/68.pdf [3]. Cahaya,A.T.S dan Nugroho, A.D, 2008. Pembuatan Kompos Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran dan Ampas Tebu). Semarang : Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. [4]. Mulyono. 2016. Membuat Mikroorganisme Lokal (MOL) dan Kompos dari Sampah Rumah Tangga. Jakarta : Agromedia. [5]. Ministry of Agriculture and Food. 1998. Composting Factsheet - BC Agricultural Composting Handbook (Second Edition 2nd Printing). Canada: BC Ministry of Agriculture, Food and Fisheries. [6]. Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 197030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Jakarta: Badan Standar Nasional Indonesia
ISSN 2549 - 2888
[7]. Luo, W dan Chen, T.B. (2007). Effect of moisture adjustments on vertical temperature distribution during forced-aeration static-pile composting of sewage sludge. Science Direct. [8]. Hoitink, Harry A.J (2008). Control of the Composting Process: Product Quality. dari The Ohio State University. www.annualreviews.org/doi/pdf/10.11 [9]. Suehara, Ken-Ichoro et al.,(1999). Rapid Measurement and Control of the Moisture Content of Compost Using Near-Infrared Spectroscopy. Science Direct. [10]. Yulianto, A. A, dkk. 2009. Pengolahan Sampah Terpadu : Konversi Sampah Pasar Menjadi Kompos Berkualitas Tinggi. Jakarta: Yayasan Danamon Peduli. [11]. Tuomela,M et al., (2000). Biodegradation of lignin in a compost environment: a review. Science Direct. [12]. Isroi. 2008. Kompos. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. [13]. Baharuddin, A.S., M. Wakisaka, Y. Shirai, S. Abd-Aziz, N.A.A. Rahman, and M.A. Hassan. 2009. Co-Composting of Empty Fruit Bunches and Partially Treated Palm Oil Mill Effluents in Pilot Scale. International Journal of Agricultural Research. 4 (2) : 69 – 78. [14]. Kusuma, M. A. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air Terhadap Laju Dekomposisi Kompos Sampah Organik di Kota Depok. (Tesis). Depok: Fakultas Teknik Program Studi Teknik Lingkugan Universitas Indonesia. [15]. Lu Y., Wu X. and Guo J. (2009), Characteristics of municipal solid waste and sewage sludge cocomposting. The National Engineering Research Center, Tongji University. [16]. Bernal, M.P et al., (2009). Composting of animal manures and chemical criteria of compost maturity assessment. Science Direct. [17]. Nurdiansyah, A. B. 2015. Pengaruh Berbagai Tingkat Dosis Effective Microorganism 4 terhadap Rasio C/N, Rasio C/P, pH dan Fosfor Kompos Pelepah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.). (Skripsi). Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat. [18]. Zucconi, F ., A. Pera, M. Forte and M. de Bertoldi. 1981. Evaluating Toxicity of Immature Compost. Biocycle [19]. Selim, Sh. M., Zayed, M. S., Atta, H. M., (2012), Evaluation of Phytotoxicity of Compost During Composting Process. Nature and Science 10(2).
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
124
PENGARUH KADAR AIR TERHADAP PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE TAKAKURA Dian Asri Puspa Ratna1, Ganjar Samudro2, Sri Sumiyati3 Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Email:
[email protected]
1,2,3Departemen
Abstrak -- Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Kegiatan perkuliahan yang memiliki tenaga pengajar, karyawan serta mahasiswa setiap hari berkontribusi menghasilkan sampah. Sampah yang banyak dihasilkan berupa daun kering, cara untuk mengurangi permasalahan sampah adalah melakukan proses pengomposan.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kadar air terhadap pengomposan sampah daun kering dan menentukan kadar air optimum untuk pengomposan sampah daun kering. Proses pengomposan berlangsung selama 30 hari dengan metode keranjang takakura. Penelitian ini menggunakan variasi kadar air (40%, 50%, dan 60%) dan perlakuan ukuran bahan dicacah menjadi ukuran 1.5cm. Activator berupa mol tetes tebu terlebih dahulu dibuat dengan cara fermentasi. Bahan baku kompos dan mol tetes tebu dilakukan uji pendahuluan untuk mengetahui karakteristik awal. Kadar air, suhu dan pH diukur setiap hari. Uji toksisitas dilakukan setelah kompos matang, uji ini digunakan untuk menentukan kadar bakteri pathogen dalam kompos, dalam penelitian ini kompos dinyatakan bebas bakteri pathogen. Berdasarkan hasil analisis kadar air optimum untuk penelitian ini adalah 60% dilihat dari Rasio C/N paling rendah yaitu 15.222% pada K1.5-60, kandungan N-Total paling tinggi 1.924% Pada K1.5-60, KTotal pada K1.5-60 sebesar 1.425% dan nilai GI paling tinggi 113.82% pada K1.5-60. Kata kunci: kompos, activator, kadar air, mol tetes Tebu, uji toksisitas 1. PENDAHULUAN
2.2 Tahap Pelaksanaan
Kompos adalah bahan organik yang dibusukkan pada suatu tempat yang terlindung dari matahari dan hujan, diatur kelembabannya dengan menyiram air bila terlalu kering (Roidah, 2013). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengomposan yaitu C/N bahan baku, jenis dan ukuran bahan baku, aerasi, kelembaban, suhu, mikroorganisme dan activator. Ukuran bahan baku dan kadar air merupakan salah satu factor keberhasilan proses pengomposan. Penentuan kadar air dan ukuran bahan baku optimum diperlukan untuk mengetahui kondisi optimum yang dapat mempercepat proses pengomposan. Penambahan activator juga dapat mempengaruhi proses pengomposan. Penambahan aktifator berupa mikroorganisme lokal (mol) tetes tebu diharapkan mampu mempercepat proses pengomposan.
Sebelum dilakukan proses pengomposan, terlebih dahulu dilakukan pembuatan MOL tetes tebu. Tahapan pembuatannya adalah sebagai berikut: 1) Mempersiapkan bahan berupa tetes tebu (molase) 150 ml, bioaktivator EM4 150 ml, air kelapa 1500 ml, dan air tajin 3000 ml. 2) Mencampurkan bahan-bahan tersebut kemudian diaduk hingga merata. 3) Memasukkan bahan yang telah tercampur ke dalam botol kemudian ditutup rapat dan difermentasi selama 7 hari. MOL yang sudah matang ditandai dengan bau alkohol yang tajam. Pembuatan tumpukan kompos dilakukan dengan variasi sebagai berikut:
2.
K1.5-40
METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Tahap Persiapan Sebelum dilakukan proses pengomposan, bahan baku sampah organic berupa daun kering dan mol tetes tebu diidentifikasi karakteristiknya. Identifikasi karakteristik bahan kompos yang akan digunakan meliputi kandungan C-Organik, NTotal, P-Total, K-Total, kadar air dan pH. Identifikasi karakteristik dilakukan melalui uji pendahuluan di Laboratorium Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro.
Tabel 1. Variasi Perbandingan Bahan Kompos Kode Variasi K1.5-50 K1.5-60
Berat Sampah (Kg)
Ukuran Bahan (cm)
Mol Tetes Tebu (ml)
Kadar Air (%)
1.5
1:4 (Mol Tetes Tebu : Air)
40
1.5
50 60
Pengomposan dilakukan selama 30 hari secara aerobik menggunakan keranjang Takakura. Bahan kompos dicacah menjadi ukuran 1.5cm. Menurut Cahaya T.S., Andhika (2008) ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm. Hal ini untuk mempercepat proses penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran bahan. Selama pengomposan dilakukan pengukuran suhu dan pH, serta kadar air. Kadar air ISSN 2549 - 2888
125
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
diusahakan sesuai dengan variasi yang ditentukan yaitu 40%, 50%, dan 60%. Setelah 30 hari dan kompos sudah matang, dilakukan uji COrganik, N-Total, P-Total, K-Total, Rasio C/N, serta uji toksisitas kompos. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Uji Pendahuluan Uji pendahuluan bahan kompos dilakukan sebelum dilakukannya proses pengomposan. Uji pendahuluan bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan kompos yang digunakan, yaitu sampah daun dan MOL tetes tebu. Parameter yang diuji adalah kandungan C-organik, N-total, P-total, K-total, rasio C/N, pH, dan kadar air.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan diketahui bahwa kadar air dari sampah daun yaitu 6,09 %, menurut Jannah (2003) nilai kadar air tersebut belum memenuhi, nilai kadar air yang memenuhi adalah 40 – 60%. Hal tersebut dikarenakan sampah daun yang berada di TPST Universitas Diponegoro dalam keadaan kering sehingga kandungan air di dalamnya rendah. Untuk nilai rasio C/N sampah berdasarkan hasil uji pendahuluan yaitu 53,316 %, nilai tersebut di atas standar rasio C/N yaitu 25 – 40% (Ministry of Agriculture and Food, 1998) [4]. Sedangkan rasio C/N dari MOL tetes tebu sudah sesuai yaitu 34,059 %. 3.2 Hasil Uji Kompos a) Analisis Kadar Air
Tabel 2 Hasil Uji Pendahuluan Kualitas Bahan Kompos. Parameter pH Kadar air (%) C-Organik (%) N-Total (%) P (%) K (%) Rasio C/N
Sampah Daun 5,98 6,09 42,140 0,79 0.000121 0.012 53,316
MOL Tetes Tebu 6,28 6,573 0,071 0.0018 0 92,9
Pengukuran kadar air, temperature dan pH dilakukan selama proses pengomposan berlangsung yaitu selama 30 hari. Kadar air diusahakan sesuai dengan variasi yang diinginkan. Apabila terjadi kelebihan air maka dilakukan pembalikan, bila kekurangan air maka ditambahkan air sesuai dengan kebutuhan air tersebut. Berikut grafik hubungan antara kadar air, temperatur dan pH selama proses pengomposan.
70
60
K1.5-40 K1.5-50
60
K1.5-60
50
K1.5-40 K1.5-40
50
K1.5-50 K1.5-50
40 30 30 20 20
Temperatur dan pH
Kadar Air (%)
40
K1.5-60 K1.5-60
10
10
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hari
Gambar 1. Grafik Hubungan Kadar Air, Temperatur dan pH Proses Pengomposan Gambar 1 menunjukkan perubahan temperatur, pH dan kadar air selama 30 hari waktu pengomposan. Suhu termofilik tidak berlangsung lama, rata-rata hanya berlangsung 2 hari. Waktu termofilik yang singkat dapat diakibatkan karena kemungkinan tinggi tumpukkan yang rendah mengakibatkan panas yang terbentuk tidak dapat tertahan lama di dalam ISSN 2549 - 2888
tumpukkan dan langsung keluar (Indrasti dan Wimbanu, 2006). Pada awal pengomposan pH semua kompos masih berada pada rentang yang relatif sama yaitu range 5.9-6.5. Awal pengomposan merupakan fase terjadinya hidrolisis molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana. Setelah hari ke 1 pengomposan, terjadi penurunan pH menjadi asam untuk semua
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
reaktor. Turunnya pH disebabkan oleh pembentukan asam organik seperti asam asetat, hidrogen dan karbondioksida pada fase asidogenesis dan asetogenesis. Meningkatnya pH pada kompos hingga akhir waktu pengomposan terjadi karena aktivitas bakteri metanogen yang megonversi asam organik
126
menjadi senyawa lain seperti metana, amoniak dan karbon dioksida. pH akhir dari pengomposan dari masing-masing variasi yaitu K1.5-40, K1.550, K1.5-60, secara berturut-turut yaitu 7.4; 7.4; 7.3. Semua variasi kompos telah memenuhi standar SNI 19-7030-2004.
Table 3. Hasil Akhir Proses Pengomposan Kompos
Suhu (̊C)
pH
COrganik (%)
NTotal (%)
Rasio C/N (%)
PTotal (%)
KTotal (%)
GI (%)
K1.5-40
50
7.5
20.977
1.125
18.646
0.105
1.012
98.1
Coklat
K1.5-50
47
7.5
28.142
1.604
17.545
0.113
1.169
86.34
Coklat Kehitaman
K1.5-60
48
7.4
29.287
1.924
15.222
0.124
1.425
113.82
Kehitaman
Kompos dengan kadar air 40% mencapai suhu optimum tertinggi yaitu 50̊ C, kadar air 50% mencapai suhu optimum yaitu 47̊ C dan kadar air 60% mencapai suhu optimumnya sebesar 48̊ C. Kadar air yang berkurang dihari pertama pengomposan diakibatkan kenaikan suhu yang menandakan adanya aktivitas mikroba. Namun karena tumpukan terlalu rendah maka panas tidak dapat tertahan oleh bahan kompos tersebut, sehingga bakteri termofilik yang menyukai panas akan berangsur mati. Penurunan kadar air sehingga menyebabkan kelembaban dibawah 40% aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan bakteri pengurai tidak dapat berfungsi. Menurut Kusuma (2012), kadar air mempengaruhi laju dekomposisi kompos dan parameter suhu. Kadar air mempengaruhi laju dekomposisi dan suhu karena mikroorganisme membutuhkan kadar air yang optimal untuk menguraikan material organik. Pada penelitian ini pengaruh kadar air terhadap suhu kompos tidak begitu terlihat karena kadar air yang ditentukan masuk dalam skala kadar air optimum untuk pengomposan. Kompos dengan kadar air 40%, 50% dan 60% memiliki nilai pH rata-rata yang hampir sama. Menurut Kusuma (2012), pH tidak dipengaruhi oleh kadar air namun dipengaruhi oleh keberadaan nitrogen dan kondisi anaerobik. Hal ini diakibatkan oleh karena sejumlah jasad renik jenis tertentu akan mengubah sampah organik menjadi asam organik. Proses selanjutnya jasad renik jenis lainnya akan memakan asam organik tersebut sehingga menyebabkan tingkat pH naik kembali, mendekati netral. Selanjutnya mengalami kenaikan hingga pH menjadi basa. Kenaikkan pH disebabkan karena dekomposisi protein yang menghasilkan amonium disertai pelepasan ion OH- yang dapat menaikkan pH tumpukkan. Kelebihan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan, sehingga akan membatasi kadar oksigen dalam tumpukan tersebut. Kekurangan udara ini akan menyebabkan mikroorganisme aerobik mati
Warna
sehingga akan mengurangi populasi mikroorganisme. Dengan demikian, aktivitas mikroorganisme yang hanya sedikit dan energi/panas yang dihasilkan akan berkurang (Septianingrum, R. 2006). Apabila mikroorganisme berkurang maka proses dekomposisi akan berkurang sehingga tidak mampu mendekomposisi protein. Kondisi fisik akhir pada kadar air 40% warna dari kompos tidak banyak berubah yaitu menjadi coklat, namun pada kadar air 50% dan 60% perubahan warna kompos terlihat menjadi coklat kehitaman dan kehitaman. b) Analisis Hasil Akhir Pengomposan Menurut SNI 19-7030-2004, kompos matang ditentukan dari nilai rasio C/N yaitu 10 – 20, temperatur sesuai dengan temperatur air tanah, berwarna kehitaman, tekstur seperti tanah, serta berbau tanah. Hasil akhir pengomposan dapat dilihat pada table berikut: Tabel 4 Hasil Akhir Pengomposan COrganik (%)
NTotal (%)
Rasio C/N (%)
PTotal (%)
KTotal (%)
K1.5-40
20.977
1.125
18.646
0.105
1.012
K1.5-50
28.142
1.604
17.545
0.113
1.169
K1.5-60
29.287
1.924
15.222
0.124
1.425
Kompos
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa kadar COrganik mengalami penurunan, karena karbon digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk mendegradasi bahan organik. Selama proses pengomposan, CO2 akan menguap sehingga kadar karbon akan berkurang juga (Pandebesie, 2012). Dalam pengomposan aerobik kurang lebih dua pertiga unsur karbon (C) menguap menjadi CO2 dan sisanya satu pertiga bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup (Setyorini et al, 2006). Kadar C-Organik dari seluruh kompos telah memenuhi standar SNI 197030-2004 dimana C-Organik kompos adalah 9,832. ISSN 2549 - 2888
127
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Pada kadar air 40%, kadar C-Organik menurun menjadi 20.977%. Pada kadar air 50%, kadar COrganik mengalami penurunan menjadi 28.142%. Sedangkan untuk kadar air 60%, kadar C-Organik menurun menjadi 29.287%. Penurunan COrganik terendah terdapat pada kompos dengan kadar air 40%. Menurut Lu et al (2009), kadar air dan karbon organik mempunyai hubungan berbanding terbalik, dimana kadar air meningkat, maka kandungan karbon organik menurun. Analisis N-Total dilakukan pada bahan kompos dan setelah pengomposan selesai. Berdasarkan hasil pengujian akhir, semua variasi kompos telah memenuhi standar SNI 19-70302004 karena kadar N-Total seluruh variasi berada di atas 0,4%. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar N-Total. Meningkatnya presentase N-Total pada masa pengomposan dikarenakan proses dekomposisi bahan kompos oleh mikroorganisme mengubah ammonia menjadi nitrit. Nitrogen merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam tanah yang berperan penting dalam proses pelapukan bahan organik. Nitrogen ini diperlukan dalam proses fotosintesis (Hajama, 2014). N-Total pada kadar air 40% naik hingga mencapai kadar N-Total sebesar 1.125%. Sedangkan pada kadar air 50%, N-Total yang dicapai yaitu sebesar 1.604%, dan untuk kadar air 60% dengan ukuran bahan 1.5cm kadar N-Total tertingginya mencapai 1,924%. Berdasarkan hasil tersebut, kadar N-Total paling tinggi adalah pada kompos 1.5-60 (kadar air 60% dan ukuran bahan 1.5cm). Rata-rata dari nilai N-Total untuk kadar air 40%, 50% dan 60% tidak jauh berbeda. Hal ini berarti kadar air tidak mempengaruhi kadar NTotal akhir dari kompos. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kusuma (2012), bahwa kadar N-Total lebih dipengaruhi oleh kondisi bahan baku kompos. Analisis rasio C/N pada pengomposan ini dilakukan pada bahan kompos dan hasil akhir kompos. Berdasarkan Tabel 2, apabila dibandingkan dengan SNI 19-7030-2004, seluruh variasi telah memenuhi standar rasio C/N yaitu 10-20. Penurunan rasio C/N disebabkan oleh penurunan kandungan C-Organik dan kenaikan N-Total pada kompos. Rasio C/N pada kadar air 60% dengan ukuran bahan 1.5cm memiliki nilai terendah yaitu 15.222%. Pada kadar air 50%, rasio C/N terendah adalah 17.545%. Sedangkan pada kadar air 40% nilai rasio C/N adalah 18.646%. Berdasarkan hasil penelitian, rasio C/N yang paling rendah dihasilkan pada kadar air 60%. Kadar N-Total yang tinggi menyebabkan rasio C/N menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kadar air 40% dan 50%. Analisa P-Total dilakukan dua kali yaitu pada bahan kompos dan setelah kompos jadi. Hasil PTotal pada bahan kompos yaitu 0,013%. Berdasarkan standar SNI 19-7030-2004, secara keseluruhan kadar P-Total kompos sudah ISSN 2549 - 2888
melebihi standar minimalnya yaitu >0,1%. Suswardany, et al. (2006) mengatakan pada proses pengomposan sebagian fosfor dihisap oleh mikroorganisme untuk membentuk zat putih telur dalam tubuhnya. Semakin banyak mikroorganisme akan membuat kompos cepat matang sehingga mikroorganisme memiliki kesempatan untuk menghisap fosfor pada kompos yang telah matang tersebut. Pada kadar air 40%, kadar P-Total kompos paling tinggi adalah 0,105%. Sedangkan pada kadar air 50%, kadar P-Total tertinggi adalah 0,113% dan pada kadar air 60% P-Total kompos tertinggi adalah 0,124%. Analisis K-Total dilakukan pada bahan kompos dan setelah proses pengomposan selesai. Persyaratan minimal kadar K-Total untuk kompos menurut SNI 19-7030-2004 adalah >0,2%. Kadar K-Total pada kadar air 40% yang paling tinggi adalah 1.012%. Sedangkan untuk kadar air 50%, kadar K-Total tertinggi adalah 1.169 % dan untuk kadar air 60% nilai kadar KTotal paling tinggi adalah 1.425 %. Berdasarkan hasil tersebut, kadar K-Total paling tinggi dihasilkan oleh kompos dengan perlakuan kadar air 50%. Kenaikan kadar K-Total disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menguraikan bahan organik. 3.3 Uji Karakteristik Kompos Matang a) Analisa Toksisitas Analisa toksisitas kompos dilakukan untuk mengetahui apakah kompos beracun bagi tanaman atau tidak. Analisa toksisitas dilakukan menggunakan uji Germination Index (GI) atau indeks perkecambahan. Tabel 5 berikut merupakan hasil dari uji toksisitas kompos: Table 5. Hasil Pengukuran GI Setiap Kompos Kompos
K1.5-40
K1.5-50
K1.5-60
GI (%)
98.1
86.34
113.82
Nilai GI lebih dari 80% menunjukkan hilangnya senyawa fitotoksin pada kompos (Zucconi dkk, 1981). Nilai ini tidak hanya sebagai indikasi hilangnya fitotoksisitas pada kompos tetapi juga sebagai indikasi kematangan kompos (Selim dkk, 2012). Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa seluruh variasi kompos memiliki nilai GI di atas 80% sehingga dapat dikatakan bahwa fitotoksisitas kompos telah hilang dan kompos telah matang. Kompos dengan variasi kadar air 60% memiliki nilai GI tertinggi yaitu 113.82%. b) Uji Coliform Pengujian total koliform dilakukan pada kompos bahan sampah daun, sampah sayuran, dan
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
sampah. Pada analisis keberadaan total koliform pada kompos, diketahui bahwa sampel uji mengandung total koliform sebesar 27 MPN/gram dan berada di bawah baku mutu SNI 19-70302004 yaitu 1000 MPN/gram. Proses pengomposan memberikan pengaruh sangat nyata dalam menurunkan jumlah bakteri total dan bakteri koliform. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan suhu yang terjadi selama proses pengomposan. Suhu selama pengomposan mencapai thermoofilic untuk semua reaktor. Peningkatan suhu selama pengomposan merupakan akibat dari perombakan bahan organik pada limbah pasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Dalzell dkk (1987) [16] bahwa sejumlah energi akan dilepaskan dalam bentuk panas langsung pada perombakan bahan organic, ini mengakibatkan naiknya suhu dalam tumpukan kompos. Mikrobamikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air, dan panas. Bakteri yang tidak tahan panas, termasuk koliform, akan mati sehingga menghasilkan jumlah bakteri total dan koliform yang rendah dalam kompos, aktivitas mikroba selama pengomposan memberikan pengaruh yang sama dalam menurunkan jumlah bakteri total dan bakteri koliform. 4. KESIMPULAN
[4].
[5].
[6].
[7].
[8].
[9].
[10].
Kompos sudah memenuhi standard kompos [11]. matang menurut SNI 19-7030-2004 dari rasio C/N, P-Total, dan K-Total. Kadar air mempengaruhi laju dekomposisi kompos dan parameter suhu namun tidak mempengaruhi pH. Berdasarkan penilitian ini kadar air optimum untuk [12]. pengomposan pada perlakuan ukuran bahan 1.5cm dan kadar air 60% pada perlakuan tersebut memiliki rasio C/N yang paling rendah sebesar 15.222%, kandungan C-organik 29.287%, kandungan N-Total paling besar 1.924%, kandungan P-Total 0.124% dan K-Total 1.425%, nilai GI paling besar yaitu 113.82%. Total coliform [13]. menunjukkan angka 27 MPN/gram dan masih dibawah standard SNI 19-7030-2004 yaitu 1000 MPN/gram. DAFTAR PUSTAKA [1]. Roidah, Ida Syamsu. 2013. Manfaat [14]. Penggunaan Pupuk Organik Untuk Kesuburan Tanah. Jurnal Universitas Tulungagung BONOROWO. Vol. 1.No.1. [15]. [2]. Cahaya T.S., Andhika dan Nugroho, A.D., 2008. Pembuatan Kompos dengan Mengunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran dan Ampas Tebu). Semarang. [16]. Universitas Diponegoro. [3]. Jannah, M. 2003. Evaluasi Kualitas Kompos dari Berbagai Kota sebagai Dasar dalam Pembuatan SOP (Standard Operating
128
Procedure) Pengomposan. (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ministry of Agriculture and Food. 1998. Composting Factsheet - BC Agricultural Composting Handbook (Second Edition 2nd Printing). Canada: BC Ministry of Agriculture, Food and Fisheries. Indrasti NS dan Wimbanu O. 2006. Campuran Jerami dan Ampas Batang Sagu dengan Kotoran Sapi. J Tek Ind Pert. 16 (2): 51-90. Kusuma, M. A. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air Terhadap Laju Dekomposisi Kompos Sampah Organik di Kota Depok. (Tesis). Depok: Fakultas Teknik Program Studi Teknik Lingkugan Universitas Indonesia. Septianingrum, Riskha, dan Purwanti, I.F. 2006. Pengaruh Penambahan Kotoran Ayam dan Mikroorganisme M-16 Pada Proses Pengomposan Sampah Kota Secara Aerobik. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan ITS Surabaya. Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 197030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Jakarta: Badan Standar Nasional Indonesia. Pandebesie, E. S., Rayuanti, D. 2013. Pengaruh Penambahan Sekam pada Proses Pengomposan Sampah Domestik.Jurnal Lingkungan Tropis. Setyorini, et al. 2006.Kompos. Bogor : Balitbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Lu, Y., Wu, X., and Guo, J. 2009. Characteristics of Municipali Solid Waste and Sewage Sludge Cocomposting. The National Engineering Research Center. Tongji University. Hajama, Nursyakia. 2014. Studi Pemanfaatan Eceng Gondok sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Kompos dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL serta Prospek Pengembangannya. Makassar : Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Suswandany, D.L., Ambarwati, dan Y. Kusumawati. 2006. Peran Effective Microorganism-4 (EM-4) dalam Meningkatkan Kualitas Kimia Kompos Ampas Tahu. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Zucconi, F ., A. Pera, M. Forte and M. de Bertoldi. 1981. Evaluating Toxicity of Immature Compost. Biocycle. Selim, Sh. M., Zayed, M. S., Atta, H. M., (2012), Evaluation of Phytotoxicity of Compost During Composting Process. Nature and Science 10(2). Dalzell, H.W., K. Gray, J. Biddlestone, and K. Thurairajan. 1987. Soil Management: Compost Production and Use In Tropical and Subtropical Environment. FAO Soils Bulletin No. 56. ISSN 2549 - 2888
129
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
OPTIMASI PENGGUNAAN BIOSORBENT BERBASIS BIOMASSA: PENGARUH KONSENTRASI AKTIVATOR TERHADAP LUAS PERMUKAAN KARBON AKTIF BERBAHAN ECENG GONDOK (EICHORNIA CROSSIPES) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS AIR Moh. Mualliful Ilmi1, Naimatul Khoiroh2, Trisna Bagus Firmansyah3, Eko Santoso4 1Departemen Kimia FMIPA Keputih, ITS Surabaya Email:
[email protected],
[email protected] [email protected],
[email protected] Abstrak -- Pencemaran lingkungan, terutama pada air sangat banyak terjadi, hal ini dapat diatasi salah satunya melalui proses adsorpsi menggunakan biosorbent berupa karbon aktif. Salah satu bahan yang melimpah dan dapat dimanfaatkan untuk karbon aktif adalah biomassa eceng gondok. Kualitas karbon aktif ditentukan oleh luas permukaan yang dapat dipengaruhi dari aktivatornya. Oleh karena itu pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi aktivator HCl terhadap luas permukaan karbon aktif dari eceng gondok. Diharapkan dengan penelitian ini didapat luas permukaan maksimum, sehingga dapat menjadi langkah optimasi untuk menghasilkan biosorbent berbasis biomassa sehingga dapat mengurangi akumulasi limbah organik pada perairan. Beberapa tahapan yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah pembuatan karbon aktif yang terdiri dari proses dehidrasi, karbonasi, dan aktivasi menggunakan variasi konsentrasi HCl; dan proses pengujian luas permukaan karbon aktif menggunakan methylene blue. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin besar konsentrasi HCl maka akan semakin kecil luas permukaan karbon aktif. Luas permukaan paling besar didapat pada konsentrasi aktivator HCl 1 M yakni sebesar 45487.55 10-3km2 kg-1 di mana proses adsorpsi yang terjadi mengikuti pola grafik isothermal Langmuir. Kata kunci: Karbon aktif, biosorbent, biomassa, eceng gondok, adsorpsi, luas permukaan, activator 1. PENDAHULUAN Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Pemenuhan kebutuhan air bersih sudah menjadi masalah yang sangat umum dan belum diatasi disebagian besar wilayah Negara Indonesia pada umumnya terutama di daerahdaerah pedesaan dan daerah terpencil. Sulitnya pemenuhan kebutuhan air bersih mengakibatkan masalah lain yang lebih kompleks. Salah satu penyebabnya adalah lingkungan ekosistem yang saat ini seringkali terdapat zat berbahaya. Zat berbahaya tersebut di antaranya adalah logam berat yang terdiri dari Pb, Zn, Cd, Ni dan Cu. Logam berat merupakan polutan yang berbahaya dan sangat toksik karena sifatnya yang sukar terurai. Sifat inilah yang menyebabkan logam berat dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh makhluk hidup sehingga dapat menyebabkan keracunan secara akut (Darmodo, 1994). Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh logam berat, masalah pencemaran lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan mendapat perhatian penting. Logam berat dapat dipisahkan dengan berbagai cara seperti pengendapan kimia, elektrodeposisi, ekstraksi pelarut, ultraflitrasi dan penukar ion (Effendi, 2003). Penggunaan karbon aktif dan resin penukar ion sebagai adsorben polutan telah umum digunakan. Namun kedua bahan tersebut tidak mudah didapatkan dan harganya juga relatif mahal, oleh karena itu para peneliti mulai mencari alternatif material yang dapat digunakan sebagai bahan penyerap yang ramah lingkungan, mudah ISSN 2549 - 2888
didapatkan serta ekonomis, salah satunya adalah seperti biosorbent dari karbon aktif (R. Chen, 2015). Karbon aktif merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi. Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan tidak terjadi kebocoran udara didalam ruangan pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi (T.A. Kurniawan, 2006). Banyak bahan yang digunakan sebagai karbon aktif, salah satunya adalah penggunaan adsorben dari eceng gondok. Menurut Wilbraham (1992), eceng gondok dapat digunakan sebagai adsorben material berbahaya pada lingkungan. Hal ini karena kandungan serat eceng gondok tinggi, yaitu 72,63% selulosa. Kandungan selulosa ini sangat berpotensi untuk digunakan sebagai penyerap bahan tertentu. Selulosa termasuk ke dalam polisakarida pembangun yang paling penting pada tumbuhan. Selulosa merupakan material padatan berpori yang memiliki kemampuan untuk menyerap bahan-bahan lain di sekelilingnya. Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai material penyerap bahan berbahaya bagi lingkungan. Selain itu, eceng gondok juga merupakan tanaman yang sangat melimpah, pertumbuhannya sangat banyak di sungai-sungai sehingga dapat mempersempit sungai. Oleh karena itu perlu adanya pemanfaatan eceng gondok.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Efektivitas karbon aktif dinilai dari besar kapasitas adsorpsinya. Proses adsorbsi pada karbon aktif dipengaruhi oleh luas permukaan karbon aktif. Pemilihan jenis aktivator akan berpengaruh terhadap luas permukaan karbon aktif, sehingga jenis activator secara langsung juga akan sangat memengaruhi kualitas karbon aktif. Beberapa jenis senyawa kimia yang sering digunakan aktivator adalah ZnCl2, KOH, H2SO4, dan HCl. Masing-masing jenis activator dapat menyebabkan perbedaan luas permukaan dan volume pori-pori masing-masing karbon aktif yang dihasilkan. Pada penelitian ini, karbon aktif diaktivasi menggunakan HCl dengan beberapa variasi konsentrasi sehingga dapat diketahui pengaruh dari konsentrasi activator terhadap luas permukaan karbon aktif. 2.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Furnace, ember plastik, saringan 120 mesh, pisau, aluminium foil, gelas beker, oven, cawan, gelas ukur, kertas saring, magnetic stirer, corong, neraca analitik, labu ukur, erlenmeyer, pipet volume, pipet tetes, spatula, spektrofotometer uvvis, kaca arloji, alu + mortar. Sedangkan bahan yang dibutuhkan antara lain eceng gondok, HCl, aquadest, methylene blue. 2.2 Prosedur Penelitian a) Pembuatan Karbon Pembuatan karbon terdiri dari tiga taha, yakni preparasi, dehidrasi, dan karbonasi. Preparasi eceng gondok dilakukan dengan mengambil bonggol dari eceng gondok dan memisahkannya dari bagian lainnya, kemudian dibersihkan menggunakan air untuk menghilangkan tanah atau kotoran lain yang masih menempel. Bonggol Eceng Gondok dipotong kecil-kecil. Tahapan selanjutnya adalah proses dehidrasi. Hal ini dilakukan dengan mengeringkan eceng gondok pada sinar matahari selama 12 jam. Namun agar eceng gondok yang dihasilkan lebih kering maka dilakukan pengovenan pada suhu 105oC selama 24 Jam di mana sebelum dioven potongan eceng gondokhasil pengeringan pada sinar matahari dihaluskan dengan blender hingga berbentuk serat-serat halus. Setelah proses dehidrasi selesai, Setelah kandungan air dalam eceng gondok sudah habis, dilanjutkan tahap karbonasi, yakni serabut eceng gondok yang telah kering difurnace pada suhu 300oC selama 2 Jam. Kemudian hasil furnace ditumbuk menggunakan alu dan mortar agar lebih halus dan diseragakan ukurannya dengan melakukan penyaringan menggunakan saringan 125 mesh.
130
b) Aktivasi Karbon Aktif Ditimbang karbon aktif hasil karbonasi sebanyak empat kali penimbangan (sesuai dengan variasi konsentrasi aktivator HCl). Dimasukkan ke dalam beaker glass. ditambahkan masing-masing larutan HCl dengan konsentrasi 2 M, 1.5 M, 1 M dan 0,5 M. Kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 Jam. Campuran ini selanjutnya dipisahkan dengan melakukan penyaringan menggunakan saringan whatman sehingga terpisah antara karbon aktif dan filtrat. Karbon aktif yang dihasilkan dicuci berkali-kali menggunakan aquades dan kemudian dioven pada suhu 105oC selama 30 menit agar didapatkan karbon aktif yang kering. c) Pembuatan Kurva Kalibrasi Methylene Blue Dibuat variasi konsentrasi methylene blue sebesar 10 ppm, 8 ppm, 6 ppm, 4 ppm dan 2 ppm. Kemudian absorbansi masing-masing larutan diukur menggunakan UV-Vis. Hasil absorbansi ini selanjutnya diplot dalam kurva kalibrasi sebagai sumbu y dan Konsentrasi Methylene Blue (ppm) sebagai sumbu X. d) Pengukuran Kapasitas Adsorpsi Dibuat methylene blue yang akan digunakan sebagai adsorbat dengan 5 varias konsentrasi, yakni 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, dan 250 ppm. Ditimbang 0,02 gram sebanyak 5 kali dari masing-masing karbon aktif yang sudah diaktivasi dengan 2 M, 1.5 M, 1 M dan 0.5 M HCl. Sehingga ada 20 kali penimbangan. Karbon aktif kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker dan masing-masing ditambahkan 5 mL larutan methylene blue seseuai dengan jumlah variasi konsentrasi yang ada. Sehingga masing-masing konsentrasi methylene blue terdapat 4 beaker perendaman. Direndam masing-masing campuran selama 24 jam kemudian dipisahkan residu dan filtrat malalui penyarinagn menggunakan kertas saring whatman. Diukur absorbansi filtrat menggunakan UV-Vis dan dihitung konsentrasi masing-masing filtrat dengan kurva kalibrasi. Hasil pengukuran UV-Vis digunakan untuk plot grafik isothermal Langmuir dan freundlich agar diketahui adsorpsi mengikuti pola penyerapan apa. Dari grafik ini juga akan dapat dihitung pula kapasitas adsorbsi dan luas permukaan masing-masing karbon aktif yang divariasi aktivasi. 3. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Morfologi Adsorben Untuk mengetahui morfologi dari karbon aktif digunakan uji scanning electron microscopy (SEM). Hasil uji tersebut, yag dapat dilihat pada Gambar 1, menunjukkan bahwa material adsorbent memiliki beberapa pori yang sangat ISSN 2549 - 2888
131
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
heterogen dan berbentuk seperti sarang lebah dengan ukuran yang berbeda (Tarapitakcheevin, 2013).
2
y = 0.1657x + 0.0388 R² = 0.9927
1.5 1 0.5 0 0
2
4
6
8
10
Gambar 3. Kurva Kalibrasi Methylene Blue Gambar 1. Morfologi karbon aktif berbahan dasar eceng gondok diaktivasi NaCl 0.1 M 3.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi
Absorbance
Untuk membuat kurva kalibrasi dilakukan pengukuran λ maks methylene blue yang akan digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi. Hasil pengukuran λ maks methylene blue diperoleh hasil sebagai berikut: 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
590 610 630 650 670 690 710 wavelength
10 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm 2 ppm
Gambar 2. Spektra UV-Vis Methylene Blue dengan variasi konsentrasi Dilakukan pembuatan kurva kalibrasi methylene blue dari variasi konsentrasi metilen blue dan diukur menggunakan Spektroskopi UVVis sebagai berikut:
Gambar 4. Struktur Senyawa Methylene Blue 3.3 Absorpsi Pada percobaan abosrpsi karbon aktif dari biomassa eceng gondok dengan menggunakan activating agent HCl. Kemudian dilakukan pengujian masing-masing variasi konsentrasi methylene Blue 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm dan 250 ppm dengan masing-masing karbon aktif yang diaktivasi dengan 0.5 M, 1 M, 1.5 M, 2 M dan 2.5 M HCl. Karbon aktif direndam dalam sampel selama 24 jam agar mencapai adsorpsi kesetimbangan, dan dicapai adsorpsi maksimal. Kemudian dipisahkan Antara karbon aktif dengan filtrate menggunakan kertas saring whatmann. Kemudian filtrate yang didapatkan diukur absorbansinya menggunakan UV-Vis dan digunakan persamaan kurva kalibrasi untuk menentukan konsentrasi dari masing-masing filtrate dan diperoleh data sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1. Data Hasil Percobaan No
Kons. Massa Karbon Aktivator (M) Aktif (g)
Co (ppm)
Abs. Akhir (ppm)
Ce (ppm)
Qe (mg/g)
1
0.50
0.0195
50
0.026
0.151
2.556
2
0.50
0.0195
100
0.215
1.251
5.064
3
0.50
0.0195
150
0.496
2.885
7.544
4
0.50
0.0195
200
1.338
7.784
9.857
5
0.50
0.0195
250
4.074
23.700
11.605
6
1.00
0.0200
50
0.019
0.111
2.492
7
1.00
0.0201
100
0.185
1.076
4.924
8
1.00
0.0200
150
0.401
2.333
7.394
9
1.00
0.0200
200
1.111
6.463
9.677
10
1.00
0.0168
250
4.024
23.409
13.456
11
1.50
0.0200
50
0.016
0.093
2.495
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
132
12
1.50
0.0200
100
0.179
1.041
4.948
13
1.50
0.0200
150
0.383
2.228
7.389
14
1.50
0.0200
200
1.056
6.143
9.693
15
1.50
0.0200
250
3.960
23.037
11.348
16
2.00
0.0220
50
0.010
0.058
2.270
17
2.00
0.0223
100
0.111
0.646
4.455
18
2.00
0.0219
150
0.352
2.048
6.756
19
2.00
0.0221
200
1.021
5.939
8.781
20
2.00
0.0223
250
3.322
19.325
10.344
3.4 Efek Konsentrasi Awal
Kapasitas Adsorpsi
10 5 0 0
200 Konsentrasi Awal (a)
400
Kapasitas Adsorpsi
15 10 5 0 0
100
200
Konsentrasi Awal (b)
300
10 5 0 0
100
200
300
Konsentrasi Awal (c) 15
Kapasitas Adsorpsi
Efek konsentrasi awal dari proses adsorbsi dianalisis dengan melakukan plot kapasitas adsorpsi sebagai sumbu X dan Konsentrasi awal sebagai sumbu Y, untuk menghitung kapasitas adorpsi digunakan persamaan kapasitas adsorpsi Vanderborght-Van Griekenm: ( )× = (1) Di mana Qe = jumlah mg yang teradsorps dalam setiap gram adsorbent atau kapasitas adsorpsi, V= Volume adsorbat, Ci= konsentrasi sebelum adsorpsi, Ce = konsentrasi sesudah adsorpsi and m= massa absorbent yang digunakan. Dari hasil plot di atas di dapat grafik sebagaimana Gambar 5. Hasil tersebut menunjukan menunjukkan bahwa dalam konsentrasi activator yang sama, dengan semakin besarnya konsentrasi mula-mula maka nilai kapasitas adsorpsi menjadi semakin besar. Dimana hasil yang didapat sesuai teori, secara teoritis Konsentrasi awal memberi kemungkinan adanya driving forces (gaya menembus) untuk menerobos resistansi transfer massa methylene blue antara fasa cair padat (Aroua, 2008). Sehingga dengan naiknya konsentrasi awal maka driving forces akan semakin besar, sehingga kapasitas adsorpsi menjadi semakin besar (El Wakil, 2014). 15
Kapasitas Adsorpsi
15
10 5 0 0
100
200
300
Konsentrasi Awal (d) Gambar 5. Kapasitas Adsorbsi VS Konsentrasi Awal untuk Konsentrasi Aktivator HCl (a) 0.5 M (b) 1 M (c) 1.5 M (d) 2 M 3.5 Adsorpsi Isotermal Studi terhadap pengembangan kapasitas adsorpsi dapat dilakukan dengan melakukan eksperimen terhadap interaksi kimia antara adsorbat dan adsorbent atau dengan menaikkan laju difusi intra partikel dari molekul adosrbat pada pori sebagai hasil dari naiknya viskositas larutan akibat tingginya temperature dan beberapa sisi aktif terbentuk karena adanya beberapa ikatan internal pada ujung sisi aktif pada permukaan sorben (Acharya, 2008; Boudrahem, 2009). Untuk menjelaskan proses interaksi antara adsorben adsorbat, maka seringkali digunakan pendekatan adsorpsi isothermal, dimana pada keadaan tersebut, jumlah adsorbate (molekul teradsorp) merupakan fungsi fungsi dari tekanan (jika molekulnya dalam bentuk gas) atau sebagai fungsi dari konsentrasi pada keadaan temperatur konstan. Di antara model adsorpsi isothermal adalah adsorpsi freundlich dan Langmuir. Untuk mengetahui model adsorpsi karbon aktif dengan masing-masing variasi konsentrasi ISSN 2549 - 2888
133
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
dilakukan fitting curve Langmuir dan Freundlich.
dengan
persamaan
Berikut beberapa tipe persamaan Langmuir pada Tabel 2.
Tabel 2. Tipe Persamaan Langmuir
=
×
2
Ce/Qe
1
1.5
Ce (b) y = 14.182x - 1.791 R² = 0.9905
20 15 10 5 0 -5 0
1
2
Ce (c) 1.5
Ce/Qe
1 0.5
y = 3.0717x - 2.1773 R² = 0.9902
0 -0.5 0
0.5
1
1.5
-1 -1.5
Ce (d)
25 20
y = 12.05x - 1.2405 R² = 0.9945
Log Qe
Ce/Qe
0.5
25
25 15
0
-2
kemudian persamaan tersebut direorganisasi dengan mengubahnya menjadi persamaan logaritma agar didapat persamaan kurva yang linier sebagai berikut: = + (3)
20
0 -1
(2)
Di mana nilai Kf adalah Konstanta Isoterm Freundlich (mg/g), Qe = jumlah mg yang teradsorps dalam setiap gram adsorbent atau kapasitas adsorpsi, C_e = konsentrasi sesudah adsorpsi dan n = intensitas adsorpsi (Dada, A.O., 2012).
y = 4.1445x - 3.0939 R² = 0.9765
1
Ce/Qe
Persamaan Langmuir mengasumsikan bahwa adsorpsi terjadi pada permukaan specifik adsorben yang bersifat homogen (Langmuir I. 1918) (Ho, 2002). Pada percobaan ini digunakan persamaan Langmuir tipe 1, agar nilai Qm dapat langsung ditentukan dari 1/slope dari kurva yang didapat. Sedang Persamaan Adsorbsi isothermal freundlich merupakan persamaan empiris yang digunakan untuk menjelaskan adsorpsi yang terjadi pada permukaan yang bersifat heterogen (Freundlich, 1906) persamaan freundlich juga menunjukkan proses adsoprsi yang bersifat reversible dan reversible adsorption. Dan tetap tidak terlarang untuk membentuk proses adsorpsi yang monolayer (Tarapitakcheevin, 2013). Untuk fitting curve dengan persamaan Freundlich digunakan persamaan freundlich berikut:
10 5 0 -5 0
1
2
Ce (a)
ISSN 2549 - 2888
3
15 y = 11.81x - 1.0809 R² = 0.9977
10 5 0 -5 0
1
2
Log Ce (e)
3
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Log Qe
1.5 1 y = 3.3511x - 2.3849 R² = 0.9688 0.5 0 -0.5 0
0.5
1
1.5
-1
Log Qe
-1.5
Log Ce (f)
25 20 y = 10.684x - 0.8462 R² = 0.997 15 10 5 0 1 -5 0
Log Ce (h)
(
2
Log Qe
y = 3.6308x - 2.565 R² = 0.9851
0 -1
0
0.5
1
model adsorbsi karbon aktif berbahan dasar eceng gondok untuk menghilangkan pewarna methylene blue dalam larutan. Saltabas et. Al di tahun 2012 yang mempelajari kapasitas biosorpsi pada eceng gondok terhadap pewarna kation methylene blue dimana pada kondisi kesetimbangan keduanya menemukan bahwa model adsobrsinya sangat sesuai dengan model adsorbsi Langmuir (Priya, 2014). 3.6 Penghitungan Luas Permukaan Spesifik Absorben Untuk melakukan penghitungan luas permukaan masing-masing adsorben dengan masing-masing variasi konsentrasi digunakan persamaan sebagai berikut:
2 1
134
1.5
-2
Log Ce (i) Gambar 6. (a), (c), (e) dan (g) Plot Persamaan langmuir pada hasil adsorbsi dengan adsorbent yang diaktivasi berturut-turut 0.5 M, 1 M, 1.5 M dan 2 M Larutan HCl. (b), (d), (f) dan (h) Plot Persamaan Freundlich pada hasil adsorbsi dengan adsorbent yang diaktivasi berturut-turut 0.5 M, 1 M, 1.5 M dan 2 M Larutan HCl Dari data tersebut didapatkan bahwa adsorpsi karbon aktif menggunakan biomassa eceng gondok dengan aktivasi HCl lebih mengikuti pola grafik isotermal Langmuir dibanding pola grafik isotermal Freundlich di mana nilai koefisien regresi R2 Langmuir lebih mendekati 1 dibanding dengan nilai regresi kurva Freundlich Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa proses adsorpsi yang terjadi merupakan proses adsorpsi homogen monolayer bukan adsorpsi heterogen. Dimana pada asorpsi ini ikatan yang terbentuk adalah ikatan kovalen Antara adosrbat dengan adsorben bukan gaya vander walls. Hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Low et.al (1995) dimana pada percobannya melukan eksperimen pada biomassa dari akar eceng gondok yang dikeringkan digunakan untuk menghilangkan pewarna methylene blue dan Victoria blue dalam larutan. Dan data adsorbs yang diperoleh mengikuti model Isotermal Langmuir. Pada publikasi yang dilakukan Kanwade dan Gaikwad (2011) dimana keduanya mempelajari
)
= (4) SMB = luas area spesifik 10-3km2 kg-1; Qm = jumlah molekul yang teradsorp pada monolayer dalam mg/g. aMB = luas permukaan yang dapat terisi dengan satu molekul Methylene Blue =197.2 Ų (Graham, 1955; Ardizzone et al., 2003) NA = Bilangan Avogadro, 6.02x1023 partikel/mol ; M = berat molekul dari methylene blue, 373.9 g mol-1 (Chongrak et al.,1998; Itodo et al., 2010a,b) Di mana nilai Qm adalah kapsitas adsorbsi maksimal dan didapat dari 1/Slope dari kurva Langmuir di atas. Tabel 3. Hasil Penghitungan Luas permukaan spesifik
1
HCl Slope (M) 0.50 0.0825
Qm (mg/g) 12.12
Luas Permukaan Spesifik (103m2 kg-1) 38485.22
2
1.00 0.0698
14.33
45487.55
3
1.50 0.0845
11.83
37574.33
4
2.00 0.0933
10.72
34030.34
No
Dari hasil data tersebut, diperoleh bahwa Semakin besar Konsentrasi aktivator (HCl), secara umum menunjukkan bahwa, semakin pekat konsentrasi activator maka akan membuat luas permukaan karbon aktif semakin kecil. Pada Proses adsorpsi Pada pH yang tinggi, maka muatan positif pada antarmuka larutan menjadi turun dan menjadikan permukaan adsorben menjadi penuh dengan muatan negatif, sehingga meningkatkan adospsi pada cationic dye (pewarna yang bermuatan positif). Sebaliknya pada pH rendah, muatan positif akan mengalami kenaikan pada antarmuka larutan sehinga menjadikan permukaan adsorben dipenuhi oleh muatan positif sehingga menyebabkan naiknya adsorpsi pewarna anion dan menurunnya adsorpsi zat pewarna kation (Salleh, 2011)(Auta, 2011)(Ozcan, 2007)(Aboul-Fetouh et al., 2010).
ISSN 2549 - 2888
135
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Pada eskperimen ini memang tidak dilakukan treatmen pH dalam proses adsorpsinya, tetapi dalam proses aktivasi karbon aktif prinsip tersebut dapat digunakan, dimana konsentrasi HCl yang tinggi koheren dengan rendahnya pH dan rendahnya konsentrasi HCl koheren dengan tingginya pH. Pada percobaan ini semakin tinggi konsentrasi HCl maka akan menyebabkan semakin banyak ion H+ sehingga membuat permukaan adsorben menjadi lebih positif dan dapat menyebakan semakin kuat tolakan elektrostatik pada permukaan Methylene Blue yang bermuatan positif. Sehingga methylene Blue maksimal yang teradsorp (Qm) semakin kecil. Sehingga data yang didapatkan sesuai dengan teori dimana luas permukaan spesifik menjadi semakin kecil. Melalui fonemena tersebut dapat disimpulkan bahwa konsentrasi activator dapat berpengaruh pada adsorpsi methylene blue. Karena dengan semakin tinginya pH (konsentrasi activator yang rendah) akan tersedia lebih banyak sisi aktif (high surface area) sedangkan pada pH rendah (konsentrasi activator yang tinggi) akan menyebabkan menurunnya sisi aktif. Pada konsentrasi HCl 1 M, diperoleh luas permukaan maksimum adsorbent, sehingga pada konsisi tersebut diperoleh sisi aktif maksimum yang dapat digunakan untuk mengadosrb methylene blue dalam larutan sampel.
[2].
[3].
[4].
[5].
[6].
[7]. 4. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah diakukan, dapat disimpulkan beberapa hal di bawah ini: 1) Proses adsorbsi mengikuti persamaan Langmuir, sehingga adsorbsi terjadi pada permukaan homogeny monolayer. 2) Dalam Konsentrasi Aktivator yang sama, Kapasitas Adsorbsi semakin besar dengan semakin besarnya Konsentrasi awal adsorbat. 3) Semakin besar Konsentrasi aktivator (HCl), secara umum semakin kecil luas permukaan spesifik adsorben. hal tersebut disebabkan semakin tinggi konsentrasi HCl, semakin besar tolakan permukaan Methylene Blue sehingga semakin kecil luas permukaan spesifik adsorben. 4) Pada konsentrasi HCl 1 M, diperoleh konsentrasi HCl maksimum yang dapat digunakan sebagai aktivator untuk memperoleh Luas permukaan adsorbent maksimum untuk mengadsorb methylene blue.
[8].
[9].
[10].
[11].
[12].
[13].
DAFTAR PUSTAKA [14]. [1]. Acharya J, Sahu JN, Mohanty CR, Meikap BC (2009) Removal of lead (II) from wastewater by activated carbon developed from Tamarind ISSN 2549 - 2888
wood by zinc chloride activation. Chemical Engineering Journal 149: 249-262. Adnan Ozcan, Cigdem Omeroglu, Yunus Erdogan, A Safa Ozcan. (2007)Modification of bentonite with a cationic surfactant: An adsorption study of textile dye Reactive Blue 19. Journal of Hazardous Materials, 140:173179. Ardizzone, S., G. Gabrielli, and P. Lazzari. (1993). Adsorption of methylene blue at solid/liquid and water/air interfaces. Colloids Surfaces76:149–157. Aroua MK, Leong SP, Teo LY, Yin CY, Daud WM (2008) Real-time determination of kinetics of adsorption of lead(II) onto palm shell-based activated carbon using ion selective electrode. Bioresour Technol 99: 5786-5792. Auta M, Hameed BH. Preparation of waste tea activated carbon using potassium acetate as an activating agent for adsorption of Acid Blue 25 dye. Chemical Engineering Journal 2011, 171:502-509. Boudrahem F, Aissani-Benissad F, Ait-Amar H (2009) Batch sorption dynamics and equilibrium for the removal of lead ions from aqueous phase using activated carbon developed from coffee residue activated with zinc chloride. Journal of environmental management 90: 3031-3039 Chongrak K; Eric H; Noureddine A; and Jean P. (1998).Application of Methylene Blue Adsorption to Fiber Specific Surface Area Measurement. J. Cotton Sci. 2:164-173 Darmodo, Stator dan Seagar. (1994). Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Dwivedi CP, Sahu JN, Mohanty CR, Mohan BR, Meikap BC (2008) Column performance of granular activated carbon packed bed for Pb(II) removal. J Hazard Mater 156: 596-603. Effendi, Hefni. (2003). Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius. E. Sanmuga Priya , P. Senthamil Selvan (2014) Water hyacinth (Eichhornia crassipes) – An efficient and economic adsorbent for textile effluent treatment – A review. Arabian Journal of Chemistry El-Wakil AM, Abou El-Maaty WM and Awad FS (2014) Removal of Lead from Aqueous Solution on Activated Carbon and Modified Activated Carbon Prepared from Dried Water Hyacinth Plant. J Anal Bioanal Tech 2014, 5:2 Freundlich HMF. (1906) Über die adsorption in lösungen, Zeitschrift für Physikalische Chemie (Leipzig);57A:385-470. Graham, D. (1955). Characterization of physical adsorption systems. III. The separate effects of pore size and surface acidity upon
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
[15]. [16].
[17].
[18].
[19].
the adsorbent capacities of activated carbons. Phys. Chem. 59:896–900 Hardjono, Sastrohamdjojo. (1991). Spektroskopi. Yogyakarta : Liberty. Ho YS, Huang CT, Huang HW. (2002) Equilibrium sorption isotherm for metal ions on tree fern, Process Biochem.;37:1421-1430. Itodo A.U, Abdulrahman F.W, Hassan L.G, Maigandi S.A.4, Itodo H.U. (2010). Application of Methylene Blue and Iodine Adsorption in the Measurement of Specific Surface Area by four Acid and Salt Treated Activated Carbons. New York Science Journal ; 3 (5) Langmuir I. (1918) The adsorption of gases on plane surfaces of glass, mica and platinum, Journal of American Chemical Society;40:1361-1403. P. Tarapitakcheevin, P. Weerayutsil, and K. Khuanmar (2013) Adsorption of Acid Dye on Activated Carbon Prepared from Water Hyacinth by Sodium Chloride Activation. GMSARN International Journal 7, 83 – 90
136
[20]. R. Chen, Y. Zhang, L. Shen, X. Wang, J. Chen ,A. Mad, W. Jiang. (2015). Chem. Eng. J. 268-348. [21]. Salleh MAM, Mahmoud DK, Karim WAWA, Idris A. Cationic and anionic dye adsorption by agricultural solid wastes: A comprehensive review. Desalination 2011, 280:1-13. [22]. Shofiyani, A & Gusrizal. (2006). Pengaruh pH dan Penentuan Kapasitas Adsorpsi Logam Berat Pada Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia crassipes). Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Tanjung Pura, Pontianak. [23]. Sugito, Heri, Wahyu SB, K. Sofjan Firdausi, Siti Mahmudah. (2005). Pengukuran Panjang Gelombang Sumber Cahaya Berdasarkan Pola Interferensi Celah Banyak. [24]. T.A. Kurniawan, G.Y.S. Chan, W.H. Lo, S.Babel,. (2006). Chem. Eng. J. 118 83 [25]. Tjitrosoepomo G. (1996). Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Cet.Kelima. Yogyakarta [26]. Wilbraham, A. (1992). Kimia Organik dan Hayati. Penerbit ITB. Bandung.
ISSN 2549 - 2888
137
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERDAMPAK PADA RISIKO DAN KETIDAKPASTIAN PERMINTAAN JALAN TOL DI INDONESIA Nurrela Arifah Munggarani Program Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung E-mail:
[email protected] Abstrak -- Pemerintah saat ini tengah mencanangkan berbagai pembangunan infrastruktur termasuk jalan tol. Namun, rencana pembangunan tersebut tidak didukung oleh dana yang memadai sehingga dibutuhkan peran serta badan usaha melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Lebih lanjut, risiko dan ketidakpastian yang besar didalam investasi jalan tol mengurangi minat badan usaha untuk ikut berpartisipasi. Salah satu risiko paling signifikan, sulit diprediksi dan sulit dikendalikan adalah risiko permintaan, i.e. volume lalu lintas. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini melakukan identifikasi profil volume lalu lintas beberapa jalan tol di Indonesia untuk delapan tahun terakhir, identifkasi faktor-faktor yang berdampak terhadap risiko dan ketidakpastian volume lalu lintas tersebut dilanjutkan dengan pembobotan faktor. Pembobotan faktor dilakukan dengan menggunakan analisis Skala Likert dan metoda Analitical Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis kedua metoda akan danalisis kembali secara deskriptif sehingga mendapatkan kesimpulan yang lebih matang. Profil volume lalu lintas didapatkan dari laporan badan usaha jalan tol tahun 2008-2015. Sementara itu, faktor-faktor yang berdampak terhadap risiko dan ketidakpastian volume lalu lintas jalan tol di Indonesia yang menjadi variable penelitian didapatkan dari hasil kajian literatur penelitian terdahulu baik di dalam maupun di luar negeri serta validasi terhadap pakar. Melalui penelitian ini diharapkan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dan Pemerintah (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama-PJPK) mendapatkan gambaran mengenai faktor-faktor yang berdampak terhadap ketidakpastian volume lalu lintas jalan tol di Indonesia sehingga memudahkan dalam melakukan mitigasi risiko dan ketidakpastian dengan lebih terperinci serta sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Pada gilirannya, hasil yang diperoleh dapat meningkatkan minat BUJT dalam berinvestasi sehingga rencana pemerintah dapat berjalan dengan sukses dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kata kunci: risiko dan ketidakpastian; volume lalu lintas; jalan tol; Skala Likert, AHP 1. PENDAHULUAN Saat ini sampah organik yang dihasilkan oleh Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019, Pemerintah telah mencanangkan pembangunan jalan tol sepanjang 1000 km. Padahal jika dilihat secara historis, selama 36 tahun (1978–2014), jalan tol yang dapat dibangun di Indonesia hanya sepanjang 820,2 km. Berdasarkan data Jasa Marga, dana yang dibutuhkan untuk membangun jalan tol sepanjang 1.153 km itu mencapai sebesar Rp 132,9 triliun, atau sekitar Rp 115,27 miliar per km. Sementara itu, di sisi keuangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2015 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 menyebutkan bahwa total kebutuhan pendanaan untuk keseluruhan infrastruktur sebesar Rp. 5.519,4 Triliun dengan kebutuhan pendanaan infrastruktur prioritas mencapai Rp. 4.796 Triliun. Jumlah itu termasuk kebutuhan pendanaan infrastruktur bidang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebanyak Rp 1.915 triliun. Sementara itu, total anggaran yang tersedia dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Kementerian PUPR adalah sebesar
ISSN 2549 - 2888
Rp. 1.289 Triliun. Terdapat ketimpangan keuangan (financial gap) senilai Rp. 626 Triliun. Oleh karena itu, dibutuhkan peran badan usaha melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam berbagai bidang infrastruktur termasuk pembangunan dan pengelolaan jalan tol demi tercapainya RPJMN 2015-2019. Namun, risiko dan ketidakpastian di dalam proyek infrastruktur khususnya proyek jalan tol yang sangat besar mengakibatkan kurangnya minat dari pihak Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk ikut berinvestasi. Salah satu risiko yang menjadi bahan pertimbangan mendalam para investor jalan tol adalah risiko permintaan, di mana dalam konteks jalan tol adalah risiko volume lalu lintas. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa di dalam investasi jalan tol, risiko permintaan merupakan risiko yang paling signifikan (Chung et al, 2010; Li dan Henser, 2010; Viegas, 2010 dan Yescombe, 2002 dalam Vajdic dan Damnjanovic, 2011; Wibowo, 2015). Selain itu, risiko permintaan merupakan risiko yang tidak dapat dikendalikan oleh para pihak, baik Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) maupun badan usaha (Thomas et al., 2003). Selanjutnya, risiko ini pun sulit diprediksi secara akurat baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang (Bain, 2009[5]; Flyvbjerg et al. 2006,; Wibowo, 2015). Kesulitan dalam mengatasi risiko tersebut terjadi
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
akibat banyak faktor yang berpengaruh terhadap jumlah permintaan (Wibowo, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi profil pertumbuhan permintaan (i.e. volume lalu lintas) jalan tol di Indonesia dan melakukan identifikasi faktor-faktor risiko yang berdampak pada risiko dan ketidakpastian permintaan dalam pengusahaan jalan tol. Selanjutnya, dilakukan pembobotan faktor-faktor tersebut dengan mengunakan analisis Skala Likert dan metoda Analitical Hierarchy Process (AHP) di mana hasil dari kedua metoda tersebut akan dianalisis secara deskriptif sehingga didapatkan kesimpulan yang lebih matang. Penelitian ini penting untuk memudahkan BUJT dan PJPK dalam melakukan mitigasi dengan lebih terperinci sehingga tujuan mitigasi tercapai. Selanjutnya, informasi dari hasil penelitian ini dapat pula dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan keputusan alokasi risiko volume lalu lintas yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, penelitian ini memberikan informasi agar terdapat kejelasan alokasi risiko sehingga dapat diatur lebih detail dalam klausul kontrak sehingga mudah menerapkan aturan mengenai “sanksi” maupun “penghargaan” bagi partisipan. Pada gilirannya, investasi di bidang jalan tol diharapkan dapat menjadi lebih atraktif bagi calon BUJT. Meningkatnya minat BUJT untuk berinvestasi akan mengakibatkan banyak jalan tol yang dapat terbangun. Dengan demikian, rencana pemerintah dapat berjalan dengan sukses dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. 2. TINJAUAN PUSTAKA
138
Jalan tol di Indonesia mulai dibangun pada tahun 1975 dan mulai beroperasi pada tahun 1978 dimana seluruh pengelolaan diserahkan kepada PT. Jasa Marga (persero) Tbk. Mulai tahun 1987 pihak swasta mulai ikut berpartisipasi dalam investasi jalan tol sebagai operator jalan tol dengan menandatangani perjanjian kuasa pengusahaan (PKP) dengan PT. Jasa Marga. Selanjutnya pada tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang jalan yang merupakan langkah pemerintah untuk melakukan pemisahan fungsi regulator dan operator di bidang jalan tol yang sebelumnya keduanya dipegang oleh PT. Jasa Marga. Adanya pemisahan fungsi operator dan regulator ini dimaksudkan untuk memberikan peluang yang lebih besar kepada badan usaha untuk dapat ikut serta dalam investasi jalan tol. Penyertaan kerjasama pihak swasta biasa dikenal sebagai bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) yang sekarang berkembang menjadi Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP). Alasan utama beberapa negara memberlakukan KPBU adalah karena adanya keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah dalam melakukan pengembangan ekonomi negara (Regan et al, 2011). Dari berbagai model KPS, bentuk kerjasama yang terkenal dan paling sering digunakan di Indonesia adalah pola Built-Operate-Transfer (BOT) karena dianggap paling baik dalam pembagian risiko antara pemerintah dan badan usaha (Rosadin, 2011). Skema BOT ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses KPS Skema BOT (Novianti, 2011) Risiko investasi seringkali menjadi kendala dalam penyelenggaraan jalan tol karena investasi infrastruktur (termasuk jalan tol) menurut Nope (2007) yang telah dikutip oleh Widiatmoko (2008) memiliki karakteristik umum sebagai berikut: a) Proyek infrastruktur membutuhkan dana besar di awal (high up-front capital requirement) b) Aset yang dimiliki investor bersifat mengendap (sunk) c) Jangka waktu investasi lama d) Lambatnya kecepatan pemulihan (slow rate of recovery)
jalan tol dengan investasi di sektor infrastruktur lainnya adalah adanya pertumbuhan volume lalu lintas yang abnormal. Pada masa tertentu sejak pertama pengoperasian jalan tol, volume lalu lintas mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang biasa disebut dengan ramp-up periode. Selanjutnya volume lalu lintas akan mengalami penurunan hingga mencapai suatu kestabilan yang kurang lebih sama dengan pertumbuhan lalu lintas di jalan-jalan tol sekitarnya yang telah mapan (Widiatmoko, 2008).
Lebih lanjut, (Wibowo, 2015) menyebutkan bahwa hal spesifik yang membedakan investasi
Penelitian dilakukan menggunakan data primer dan data sekunder. Data sekunder digunakan
3. METODE PENELITIAN
ISSN 2549 - 2888
139
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
untuk mengidentifikasi profil volume lalu lintas pada beberapa jalan tol dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berdampak terhadap risiko dan ketidakpastian volume lalu lintas jalan tol di Indonesia. Sementara itu, data primer dilakukan untuk mem-validasi faktor-faktor hasil kajian literatur melalui wawancara dan menentukan
tingkat pengaruh dan perbandingan berpasangan faktor-faktor tersebut melalui kuesioner kepada para pakar investasi jalan tol baik BUJT maupun pemerintah (i.e. PJPK). Design penelitian lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
3.1 Posisi Penelitian Berdasarkan pengetahuan penulis penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia setelah sebelumnya dilakukan oleh Alasad et al.
140
(2014) di luar negeri. Gambar 3 menunjukkan posisi penelitian ini terhadap penelitian lain yang telah dilakukan terkait faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko permintaan jalan tol.
Gambar 3. Posisi Penelitian Tabel 1. Kriteria dan Sub Kriteria Yang Berdampak Terhadap Risiko Permintaan Jalan Tol Kriteria
Kode
Faktor
Referensi
U1
User wealth (Kesejahteraan calon pengguna jalan tol)
Edward (1996), Bensoll dan Kelly (2005) dalam Alasad et al. (2014)
User acceptance (Penerimaan calon pengguna jalan tol)
Pahlman (1996), Abdul Azis (2001), Calvo dan Cariola (2004) dalam Alasad et al. (2014), Jungbecker dan Alfen (2010), (Bain, 2009)
Karakteristik pengguna (User characteristic)
U2
Keterangan User wealth dalam penggunaan jalan tol berarti kemampuan seseorang untuk membayar yang biasa juga disebut dengan Ability To Pay (ATP). Kemampuan untuk membayar yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Pendapatan setiap individu yang berbeda satu sama lain dan tidak selalu konstan dapat mempengaruhi kemampuan membayar tarif jalan tol yang berdampak terhadap ketidakpastian volume lalu lintas.
Ketidakpastian penerimaan masyarakat terhadap keberadaan jalan tol, teknologi yang digunakan pada jalan tol, manfaat yang akan diterima, konsekuensi yang harus diterima dan dampak lainnya akan berpengaruh pada ketidakpastian volume lalu lintas
ISSN 2549 - 2888
141
Kriteria
Karakteristik fasilitas (facility characteristic)
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Kode
Faktor
Referensi
U3
Paying experience (Pengalaman membayar tarif tol sebelumnya)
Bain (2002) dalam Alasad et al. (2014), Jungbecker dan Alfen (2010), (Bain, 2009)
U4
Tolling tradition (kebiasaan menggunakan jalan tol)
Jungbecker dan Alfen (2010), (Bain, 2009)
U5
Willingness to pay –WTP (Kesediaan membayar)
Edward (1996), Delmon (2005), Mugabi (2010) dalam Alasad et al (2014)
F1
Quality of service awareness (Kesadaran terhadap kualitas pelayanan jalan tol)
Abdul- Aziz (2001), Debande (2002) dalam Alasad et al (2014), Jungbecker dan Alfen (2010), Novianti (2011), (Bain, 2009)
F2
Quality of service competing facility (Kualitas pelayanan fasilitas moda perjalanan lain)
Baxandall et al. (2009), Harding (2005), dalam Alasad et al. (2014)
Level of fee (Tarif jalan tol)
Hodge (2000), Lemos (2004), Raje et al. (2004a, b), Zhou et al. (2008), Choi et al.(2010), Menzie and Perotte (2010), Yu et al.(2013) dalam Alasad et al. (2014), Jungbecker dan Alfen (2010), (Bain, 2009
Tarif harus ditetapkan pada tingkat yang wajar yang sesuai dengan kesejahteraan calon pengguna jalan tol. Selain itu, tarif yang dikenakan harus seimbang dengan kualitas dan manfaat yang akan diberikan namun tetap harus bersaing dengan moda transportasi alternatif. Selanjutnya, kepentingan BUJT dan calon pengguna jalan tol yang berbeda juga menjadi penyebab terjadinya kesulitan penentuan nilai tarif yang dapat diterima oleh calon pengguna jalan tol. Tarif yang sangat tinggi dapat menimbulkan beragam reaksi bagi pengguna untuk membayar, namun tarif yang rendah dapat menimbulkan kerugian bagi BUJT. Perbedaan penilaian terhadap besaran nilai tarif dari setiap calon pengguna membuat ketidakpastian penerimaan individu dalam menggunakan jalan tol.
Harding (2005) dalam Alasad et al. (2014)
Tidak ada yang dapat mengetahui secara pasti perubahan harga moda transportasi alternatif yang akan terjadi. Jika saat ini harga moda transportasi lainnya rendah, bisa saja pada masa yang akan datang menjadi tinggi karena perubahan dan peningkatan kualitas atau alasan lainnya. Sebaliknya jika tarif moda transportasi lainnya saat ini tinggi, kemungkinan dapat berubah menjadi rendah karena subsidi pemerintah atau kebijakan lainnya. Semua kemungkinan bisa saja terjadi dan tidak dapat diprediksi secara pasti.
F3
F4
ISSN 2549 - 2888
Alternatif facilities fee (Pembayaran fasilitas alternatif)
Keterangan Perbedaan pengalaman individu dalam melakukan pembayaran terhadap infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah akan menimbulkan ketidakpastian penerimaan calon pengguna di mana pada akhirnya berpengaruh terhadap kesediaan membayar. Jika pada awalnya publik tidak diharuskan membayar untuk infrastruktur yang telah dibangun pemerintah, sehingga ketika kemudian dibangun jalan tol dan publik diharuskan membayar jasa layanan tersebut, maka akan timbul reaksi yang berbeda dari setiap individu untuk membayar. Jika pada awalnya di daerah tersebut tidak pernah dibangun jalan tol, sehingga ketika jalan tol dibangun akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Beberapa diantaranya kemungkinan merasa asing terhadap jalan tol tersebut sehingga menimbulkan keengganan penggunaan jalan tol, atau bahkan beberapa diantaranya merasa tertarik untuk mencobanya. Banyak kemungkinan kesediaan membayar pengguna jalan tol seperti misalnya seseorang bersedia membayar mahal tarif tol asalkan kualitas dan manfaat dapat dirasakan secara maksimal, atau kasus lainnya adalah seseorang tetap tidak mau membayar karena dia sudah merasa membayar pajak dan berhak menggunakan infrastruktur dengan gratis, atau seseorang bersedia membayar dengan tarif yang lebih rendah, dan lain sebagainya. Segala kemungkinan tersebut sangat tidak pasti dan sulit diprediksi secara akurat. Kesadaran individu terhadap kualitas layanan juga bervariasi. Banyak diantara individu yang berfikir bahwa kualitas adalah paling utama, tapi sebagian diantaranya bahkan menganggap kualitas nomor sekian yang terpenting adalah harga murah dan lain sebagainya. Hal ini sulit untuk diprediksi secara akurat karena banyak faktor yang mendorong timbulnya kesadaran individu terhadap kualitas. Kesadaran calon pengguna jalan tol terhadap kualitas pelayanan dapat mempengaruhi WTP, jika kesadaran kualitas pelayanan rendah maka akan mengurangi WTP sehingga menimbulkan pengurangan permintaan. Salah satu pertimbangan penggunaan jalan tol adalah kualitas yang ditawarkan. Namun di saat yang sama, moda transportasi lainnya juga berlomba-lomba menawarkan kualitas produk mereka dan perubahan kualitas itu sangat mungkin terjadi namun tidak pasti karena dipengaruhi oleh pengelolaan pihak terkait. Perubahan itulah yang kemudian menjadi pemicu perubahan pembuatan keputusan penggunaan moda transportasi.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Kriteria
Kode
F5
Karakteristik wilayah (Area characteristic)
Faktor
Competition (adanya infrastruktur lain yang menjadi competitor)
Referensi Walker and Smith (1995), Lang (1998), Lemos (2004), Delmon (2005), Shen and Wu (2005), Ng (2007), Cabral and Junior (2010), Choi et al.(2010), Menzie and Perotte (2010), Yu et al. (2013) dalam Alasad et al. (2014), Jungbecker dan Alfen (2010), (Bain, 2009)
F6
Konektivitas
Penulis
F7
Keterlambatan Pengoperasian
Penulis
A1
Population (Populasi)
Lang (1998), Delmon (2005) dalam Alasad et al. (2014), Jungbecker dan Alfen (2010), (Bain, 2009)
A2
Gross Domestic Product (GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB)
Zhou et al. (2008), Yu et al.(2013) dalam Alasad et al. (2014)
A3
Level of infrastructure development (tingkat pertumbuhan infrastruktur)
Jungbecker dan Alfen (2010)
A4
Infrastructure policy (kebijakan infrastruktur)
Jungbecker dan Alfen (2010)
142
Keterangan
Kemungkinan dibangunnya moda transportasi lain atau bahkan jalan lainnya sebagai kompetitor jalan tol cukup terbuka dan tidak dapat diprediksi secara pasti bergantung pada kebijakan pemerintah yang juga tidak pasti akibat pergantian pemerintahan atau adanya tujuan tertentu seperti event nasional/internasional dan lainnya.
Konektivitas yang dimaksud adalah jalan/jembatan penghubung baik diantara jalan tol dengan jalan biasa atau jalan tol dengan jalan tol atau jalan tol dengan fasilitas lainnya. Pada saat jalan/jembatan penghubung tersebut terjadi keterlambatan dalam pembangunan atau bahkan terbengkalai akibat satu dan lain hal, maka tujuan pembangunan jalan tol menjadi tidak maksimal atau bahkan menjadi tidak tercapai. Keterlambatan pengoperasian jalan tol bisa terjadi karena berbagai macam hal seperti misalnya keterlambatan pembebasan tanah, masalah pelaksanaan konstruksi, masalah birokrasi, dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut tidak dapat diprediksi karena bergantung pada banyak hal baik secara internal maupun eksternal. Pertumbuhan populasi suatu daerah sebenarnya dapat diprediksi dengan berbagai perhitungan dan data historis daerah tersebut. Namun, terdapat saat-saat dimana pertumbuhan daerah menjadi tidak lazim sehingga tidak dapat diprediksi dengan pasti salah satunya yaitu pada saat adanya event tertentu baik nasional maupun internasional termasuk adanya masa liburan sekolah dan tradisi mudik lebaran. GDP/PDB merupakan indikator perekonomian suatu negara yang digunakan untuk menilai apakah perekonomian berlangsung dengan baik atau buruk. Perekonomian yang baik meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dapat mengukur kemampuan membayar calon pengguna jalan tol. Volatilitas ekonomi yang tinggi menyebabkan ketidakpastian volume lalu lintas menjadi tinggi pula. Tingkat pertumbuhan infrastruktur berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara karena dengan infrastruktur yang mantap akan mempermudah pengolahan dan distribusi barang dan jasa serta perpindahan penduduk sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdampak terhadap kemampuan membayar jalan tol. Selain itu, tingkat pertumbuhan infrastruktur meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas sehingga meningkatkan kemungkinan penggunaan jalan tol. Namun, pertumbuhan infrastruktur memiliki sifat tidak pasti karena dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah kebijakan pemerintah atau bahkan unsur politik yang juga memiliki sifat tidak pasti. Salah satu bentuk dari kebijakan infrastruktur adalah adanya klausul mengenai persaingan moda transportasi yang terdapat didalam perjanjian konsesi jalan tol. Klausul tersebut membatasi kemampuan pemerintah untuk membangun atau meningkatkan fasilitas/moda transportasi lain pada lokasi yang berdekatan dengan jalan tol yang dapat merusak volume lalu lintas dan kemampuan sektor swasta dalam memulihkan modal investasinya. Namun, kebijakan infrastruktur bersifat tidak pasti karena kebijakan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah tujuan pembuat kebijakan, adanya pergantian pembuat kebijakan, atau bahkan unsur politik yang juga memiliki sifat yang tidak pasti
ISSN 2549 - 2888
143
Kriteria
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Kode
Faktor
Referensi
A5
Mobility policy (Kebijakan mobilitas)
Jungbecker dan Alfen (2010)
A6
Construction activities (aktifitas konstruksi)
Jungbecker dan Alfen (2010)
A7
Congestion (kemacetan)/cl osing (penutupan)
(Bain, 2009)
A8
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Penulis
A9
Growing car ownership (pertumbuhan kepemilikan kendaraan)
(Bain, 2009)
3.2 Identifikasi Kriteria Pengukuran Penelitian
Dan
Sub
Adanya proses jual beli kendaraan di masyarakat membuat tingkat kepemilikan kendaraan menjadi tidak pasti karena bergantung pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri dimana pendapatan yang diterima juga bervariasi dan tidak pasti.
Kriteria
Kriteria dan sub kriteria didapatkan melalui pengolahan tiga jurnal utama yang berhubungan dengan analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko permintaan ditambah dengan faktor-faktor pada Traffic Risk Index-TRI (Bain, 2009). TRI sejatinya digunakan untuk mengidentifikasi penyebab kesalahan prediksi volume lalu lintas jalan tol, namun karena beberapa faktor dianggap memiliki kesamaan dengan faktor-faktor yang berdampak terhadap risiko dan ketidakpastian volume lalu lintas jalan tol maka TRI dapat disertakan dalam pengolahan. Pengolahan dilakukan dengan cara menggabungkan variabel yang sama dan menambahkan variabel yang berbeda. Selanjutnya, ditambahkan sub kriteria yang sesuai dengan kondisi di Indonesia berdasarkan pengetahuan penulis berdasarkan hasil kajian literatur, bimbingan dan wawancara kepada pakar. ISSN 2549 - 2888
Keterangan Salah satu contoh kebijakan mobilitas yaitu berupa pembatasan kendaraan seperti yang terjadi di Jakarta mengenai kebijakan genap ganjil dimana pada tanggal ganjil hanya mobil bernomor ganjil saja yang boleh melewati jalan tertentu pada waktu tertentu di sekitar jalan tol dan begitu pula pada kendaraan bernomor genap. Kebijakan semacam ini bersifat tidak pasti karena dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu tujuan pembuat kebijakan, adanya pergantian pembuat kebijakan, atau bahkan unsur politik yang memiliki sifat tidak pasti pula. Pelaksanaan pekerjaan konstruksi di jalan menjadi salah satu penyebab terjadinya kemacetan atau bahkan pengalihan jalan. Pelaksanaan pekerjaan konstruksi sering terjadi dalam waktu yang cukup lama dan biasanya terjadi karena adanya kebijakan dari pemerintah daerah tersebut yang berada pada kondisi yang tidak pasti pula akibat adanya kemungkinan pergantian pembuat kebijakan dan unsur politik. Kemacetan yang terjadi akibat adanya kejadian yang tidak terduga seperti adanya aktifitas konstruksi, kecelakaan, event tertentu (nasional/internasional), pasar tumpah, upacara adat, demo, dll dapat menyebabkan volume lalu lintas menjadi tidak pasti RTRW dilakukan dengan mempertimbangkan azaz keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan; aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang. Perencanaan tata ruang juga mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya. Namun faktanya, RTRW tidak selalu dijadikan pedoman didalam pembangunan wilayah. Oleh karena itu, adanya perubahan RTRW suatu wilayah dapat mengakibatkan ketidakpastian volume lalu lintas karena keselarasan, keseimbangan dan keserasian menjadi terganggu. Seperti misalnya RTRW menentukan bahwa di sekitar jalan tol akan dibangun bandara, tempat rekreasi ataupun fasilitas lainnya, namun ternyata tidak jadi dibangun akibat satu dan lain hal sehingga hilang satu tujuan yang dapat menarik minat pengguna jalan tol dan mengakibatkan ketidakpastian volume lalu lintas.
4. ANALISIS DATA Teknik analisis data terdiri dari dua model analisis yaitu statistik parametrik dan metode AHP. 4.1 Analisis Statistik Parametrik Teknik analisa statistik parametrik dilakukan dengan menggunakan Skala Likert untuk memperoleh tingkat pengaruh faktor-faktor yang berdampak terhadap risiko dan ketidakpastian volume lalu lintas jalan tol di Indonesia. Skala Likert yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala 1 sampai dengan 5, sebagai berikut: 1) Sangat Tidak Berpengaruh (STB): dampak terhadap volume lalu lintas kecil, ketidakpastian kecil (Skor = 1) 2) Tidak Berpengaruh (TB): dampak terhadap volume lalu lintas kecil, ketidakpastian sedang atau sebaliknya (Skor =2)
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
3) Cukup Berpengaruh (CB) : dampak terhadap volume lalu lintas kecil, ketidakpastian sedang (Skor = 3) 4) Berpengaruh (B): dampak terhadap volume lalu lintas besar, ketidakpastian sedang atau sebaliknya (Skor = 4) 5) Sangat Berpengaruh (SB): dampak terhadap volume lalu lintas besar, ketidakpastian tinggi (Skor = 5)
nilai interpretasi skor total hasil pengumpulan data (Σx) = x 100 % skor ideal tertinggi
Nilai interpretasi skor masing-masing item instrumen dapat dirata-ratakan untuk mencari nilai akhir interpretasi bobot. Nilai rata-rata interpretasi ini akan dipakai untuk menentukan tingkat pengaruh dengan Skala Likert seperti pada Tabel 3.2.
Berikut ini adalah urutan analisis dengan menggunakan skala Likert: 1) Hasil dari setiap pertanyaan yang telah dikumpulkan kemudian dihitung skor masingmasing skala, dari skala yang terkecil hingga skala terbesar, dengan Persamaan 1.
Tabel 1 Interpretasi Skala Pengaruh Likert (Sumber: Riduwan, 2013)
Jumlah Skor = skala x jumlah responden (1) 2) Tentukan jumlah skor ideal untuk setiap item pertanyaan dengan persamaan 1 di mana jumlah responden dianggap seluruhnya memilih jawaban yang sama. 3) Interpretasikan skor masing-masing instrumen, dengan menggunakan Persamaan 2:
Sangat Lemah 0% 20%
Lemah
144
Nilai
Pengaruh
Angka 20% - 36% Angka 37% - 52% Angka 53% - 68% Angka 69% - 84% Angka 85% - 100%
Sangat lemah Lemah Cukup Kuat Sangat Kuat
Dari jawaban responden terendah sampai tertinggi, dijumlahkan berdasarkan kelompok responden dan dibuat persentasenya dengan membuat skala interval (Skala Likert) tingkat pengaruh terhadap risiko dan ketidakpastian volume lalu lintas jalan tol di Indonesia, seperti pada Gambar 3.
Cukup 40%
Kuat 60%
Sangat Kuat 80%
100%
Gambar 3. Skala Likert Untuk Skor Pengaruh (Riduwan, 2013) 4.2 Analisis Metode AHP Selanjutnya, analisis data dilakukan menggunakan metoda Analitical Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan aplikasi Excel. Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty seorang Guru Besar Matematika dari University of Pittsburgh pada tahun 1970. Yusuff, PohYee & Hashmi (2001) dalam Wibowo (2010) [14] mengatakan bahwa metode ini dapat digunakan untuk struktur yang kompleks, problem hirarki yang multi person, multi atribut, dan multi periode. Tahapan-tahapan yang dilakukan dengan menggunakan metoda AHP sebagai berikut: a) Pembuatan struktur hierarki variable penelitian b) Menghitung rata-rata geometrik untuk data berkelompok dengan Persamaan 3. n
aij
n
a
ijk
(3)
k 1
dengan aij= rata-rata geometrik, n= banyak data (i.e. total responden), aijk= skor yang diberikan atau besar data.
c) Menyusun matriks resiprokal berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner dengan persamaan (2). Matriks resiprokal dibuat berdasarkan hasil dari jawaban kuesioner dimana perbandingan berpasangan yang dilakukan terdiri dari perbandingan kelompok/kriteria dan perbandingan sub kriteria. Penilaian dilakukan oleh responden menggunakan skala perbandingan yang dibuat Saaty (1999) [14] dengan nilai 1 s.d 9. Nilai aij merepresentasikan nilai kepentingan relatif dari elemen pada baris (i) terhadap elemen pada kolom (j), misalkan aij = wi/wj. Jika ada n elemen yang dibandingkan, maka matriks perbandingan A didefinisikan sebagai Persamaan 4. ⎡ ⎢ =⎢ ⎢ ⎣
⎤ ⎥ ⎥= ⎥ ⎦
1 1
(4) 1
d) Menghitung perkalian matriks A dengan bobot … vector =( ) melalui Persamaan 5.
ISSN 2549 - 2888
145
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
w1 w1 w1 w2 w1 wn w1 w1 w w w w w w w w 2 2 2 n 2 Aw 2 1 n 2 nw wn w1 wn w2 wn wn wn wn
Karena
(5)
tidak dijamin 100% konsisten,
maka bila ′ adalah estimasi A dan ′ adalah bobot yang diperoleh, maka nilai ′ dapat diketahui melalui Persamaan 6. ′ ′ = ′ (6) dengan λmax adalah eigen value terbesar pada matriks A dan ′ adalah eigen vector. e) Analisis konsistensi Menghitung nilai Indeks Konsistensi/ Consistency Index (CI) dan Consistency Ratio (CR) dari matriks perbandingan berpasangan dengan Persamaan 7 dan 8 untuk mengetahui tingkat konsistensi jawaban responden. ( – ) = (7) = (8) dengan CI = consistency index, λ max = nilai eigen terbesar, n = jumlah elemen yang dibandingkan, CR = consistency ratio, RI = random index, dimana nilai RI ditentukan pada Tabel 3.4 Tabel 2 Tabel Nilai Random Index Orde matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
Saaty menerapkan bahwa suatu matriks perbandingan adalah konsisten bila nilai CR tidak lebih dari 10% dan CI < 0,1. 5. PENUTUP Berdasarkan rancangan yang telah disusun, dari penelitian ini diharapkan dapat: a) Teridentifikasi profil volume lalu lintas jalan tol di Indonesia untuk meyakinkan bahwa penelitian ini akan memberikan manfaat sesuai dengan harapan. b) Teridentifikasi faktor-faktor yang berdampak pada risiko dan ketidakpastian volume lalu lintas jalan tol yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik negara Indonesia yang telah tervalidasi oleh pakar. c) Diperoleh tingkat pengaruh setiap faktor terhadap risiko dan ketidakpastian jalan tol melalui hasil dari kedua metoda analisis ISSN 2549 - 2888
sehingga mendapatkan kesimpulan yang lebih matang mengenai faktor dengan pengaruh yang cukup signifikan. Hasil ini penting untuk memudahkan dalam melakukan mitigasi risiko dan pembagian risiko antara BUJT dengan pemerintah. d) Meningkatkan minat BUJT untuk ikut serta dalam investasi jalan tol di Indonesia UCAPAN TERIMA KASIH Rasa terima kasih penulis sampaikan khusus kepada Prof. Dr. –Ing. Habil Andreas Wibowo atas bimbingan serta pengarahan dalam pembuatan karya ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA [1]. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. (2015). Prioritas Pembangunan Infrastruktur 2016. Jakarta. [2]. Vajdic, N., & Damnjanovic, I. (2011). Risk Management in Public-Private Partnership Road Projects Using the Real Options Theory. International Simposium Engineering Management And Competitiveness, 155-160. [3]. Wibowo, A. (2015). Opsi Terminasi Sebagai Instrumen Dukungan Pememrintah untuk Proyek Infrastruktur Berisiko Permintaan Tinggi. Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil, Vol. 22, No. 3 , 191-200. [4]. Thomas, A.V., Kalidindi, S.N., dan Ananthanarayanan, K. (2003). “Risk Perception Analysis of BOT Road Project Participants in India”. Construction Management and Economics, Vol. 21, No. 4, 393 – 407. [5]. Bain, R. (2009). Error and Optimism Bias in Toll Road Traffic Forecasts. Transportation, Vol. 36, No. 5, 469-482. [6]. Flyvbjerg, B., Holm, M., & Buhl, S. (2006). Inacuracy in Traffic Forecasts. Transport Review, Vol. 26, No. 1, 1-24. [7]. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2004. Jalan. Jakarta. [8]. Regan, M., Smith, J., & Love, P. E. (2011). Impact Of The Capital Market Collapse On Public Private Partnership Infrastructure Projects. Journal Of Construction Engineering And Management, 6-16. [9]. Rosadin, M. I. (2011). Optimasi Skema Kerjasama Pemerintah Swasta Dalam Pembangunan Jalan Tol Study Kasus : Jalan Tol Bandara Juanda-Tanjung Perak. Tesis, Universitas Indonesia, Depok. [10]. Novianti, T. (2011). Pemodelan Risiko Pendapatan Proyek Infrastruktur Jalan Tol dengan Pendekatan Fault Tree Analysis. Jurnal Teknik dan Manajemen Industri, Vol. 6, No. 2, 138-149.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
146
[11]. Widiatmoko, D. (2008). Model Stokastik Concessions. TG72 - Special Track 18th CIB Kelayakan Finansial Proyek Jalan Tol World Building Congress, pp. 133-148. Berbasis Adjusted Present Value (APV) Studi Salford, United Kingdom: CIB Publication. Kasus Ruas Jalan Tol Dalam Kota Bandung. [14]. Wibowo, M. R. (2010). Perancangan Model Universitas Katolik Parahyangan, Bandung Pemilihan MItra Kerja Dalam Penyediaan Rig [12]. Alasad, R., Motawa, I., Ogunlana, S. O., & Darat Dengan Metode Analitic Network Boateng, P. (2014). Prioritization of Demand Process (ANP). Tesis, Universitas Indonesia, Risk Factors in PPP Infrastructure Projects. Depok. Construuction Reaserch Congress, 1359- [15]. Saaty, L.T. (1999). Fundamental of The 1368. Analitycal Network Process. ISAHP 1999, [13]. Jungbecker, A. F., & Alfen, H. (2010). Kobe, Japan, August 12-14, 1999, University Analysing Traffic Demand Risk in Road of Pittsburgh, Pittsburgh, PA: 15260. USA
ISSN 2549 - 2888
147
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
ASESMEN MATURITAS MANAJEMEN RISIKO PERUSAHAAN PADA KONTRAKTOR KECIL DAN MENENGAH Misbah Program Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung E-mail:
[email protected] Abstrak -- Perusahaan konstruksi (kontraktor) memiliki peranan penting dan tanggung jawab dalam kesuksesan proyek. Sampai saat ini masih ditemukan adanya keterlambatan pelaksanaan proyek, salah satu penyebabnya kurangnya penanganan risiko pada perusahaan. Oleh karena itu kontraktor dituntut harus menyadari dan memperhatikan potensi risiko atas proyek yang ditanganinya agar dapat meminimalisasi risiko dan membantu pencapaian tujuan.Tata kelola manajemen risiko yang baik akan memberikan informasi dan indikasi terhadap kemungkinan risiko yang akan terjadi pada perusahaan, sehingga dapat dilakukan pencegahan dan evaluasi dini untuk meminimalisasi kerugian dan meningkatkan profitabilitas perusahaan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kriteria, mengukur tingkat maturitas serta memberikan rekomendasi terhadap kelemahan penerapan manajemen risiko. Hal ini dilakukan agar dapat mengidentifikasi area yang membutuhkan perbaikan, sehingga dapat dilakukan tindakan untuk meningkatkan peforma perusahaaan. Model penilaian maturitas diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Zhao. Model ini dilakukan berdasarkan pendekatan manajemen risiko perusahaan (ERM) yang menekankan bahwa risiko harus dikelola oleh semua pihak perusahaan dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Terdapat 16 kriteria untuk mengukur level maturitas pada kontraktor kecil dan menengah, yang dikukur kedalam lima level, yaitu; sangat lemah, lemah, menengah, baik dan optimal. Kata kunci: maturitas, manajemen risiko perusahaan, kontraktor kecil dan menengah 1. PENDAHULUAN Kabupaten Pinrang merupakan daerah dengan pembangunan wilayah yang semakin berkembang, pada tahun 2012 pertumbuhan sektor industri konstruksi di daerah ini semakin meningkat sampai 10,04% (BPS daerah Kabupaten Pinrang, 2014). Peran serta penyedia jasa (kontraktor) dibutuhkan untuk mendukung pembangunan di wilayah ini, dalam hal menyukseskan kegiatan proyek dengan memperhatikan biaya waktu dan kualitas pekerjaan. Namun, faktanya masih terdapat adanya keterlambatan proyek yang terjadi di Kabupaten Pinrang salah satu penyebabnya kurangnya penanganan risiko yang baik. Dalam rangka menyukseskan kegiatan proyek konstruksi, banyak hal yang harus diperhatikan oleh penyedia jasa salah satunya adalah pengelolaan manajemen risiko yang baik dan efektif. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi semakin kompleksnya risiko pada proyek konstruksi. Proyek konstruksi merupakan salah satu jenis pekerjaan yang memiliki potensi risiko relatif tinggi dibandingkan pekerjaan nonkonstruksi (Oe, 2012). Hal ini dikarenakan karakteristik proyek bersifat unik, tim proyek dengan keahlian yang bervariasi dan memiliki tingkat ketidakpastian (Tserng et al. 2009). Proyek konstruksi dipengaruhi oleh banyak variabel dan faktor yang tidak terduga yang memerlukan banyak keahlian, material, alat, dan sumber daya yang berbeda (Burtonshaw-Gunn, 2009). Mengelola faktor-faktor tersebut bukanlah hal yang mudah terlebih dalam pelaksanaan ISSN 2549 - 2888
proyek banyak terjadi perubahan, untuk itu diperlukan adanya proses identifikasi dan analisis terhadap risiko proyek. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan efek positif kesempatan dan meminimalkan konsekuensi dari efek negatif yang biasa disebut manajemen risiko proyek (Project Management Institute; PMI, 1996). Pada awal perkembangannya manajemen risiko hanya bertujuan untuk meminimalisir biaya risiko yang harus ditanggung perusahaan. Namun seiring perkembangan dan cara pandang mengelola risko sudah semakin kompleks maka muncul isitilah baru yakni Integrated Risk Management atau Enterprise Risk Management (ERM). Oleh karena itu, perusahaan dapat mengidentifikasi dan mengukur besarnya risiko yang selanjutnya dapat diputuskan bagaimana cara menangani risiko yang seharusnya dan terhindar dari kerugian yang disebabkan dari risiko tersebut (Prakoso, 2013). Penerapan manajemen risiko yang terkelola dengan baik dapat memberikan konstribusi terhadap pencapaian tujuan, perbaikan kinerja maupun kualitas pekerjaan. Namun dalam beberapa hal sebelum menerapkan ERM pada perusahaan sebaiknya dilakukan suatu survei mengenai tingkat kematangan (maturitas) kondisi manajemen risiko saat ini (existing of risk management implementation) guna, mengetahui kesenjangan yang ada sehingga rencana penerapan manajemen risiko dapat lebih terarah. Apabila maturitas pada suatu perushaan relatif tinggi, maka dapat langsung dilakukan perencanaan pelaksanaan proses ERM (Komite Nasional Kebijakan Governance; KNKG, 2011).
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kriteria maturitas manajemen risiko perusahaan (ERM) yang akan dijadikan bahan pernyataan buat responden untuk mengukur tingkat maturitas dari kontraktor kecil dan menengah yang berada di wilayah Kabupaten Pinrang. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada awal perkembangannya manajemen risiko dinamakan dengan Enterprise Risk Management (ERM) yang merupakan dobrakan paradigma terhadap manajemen risiko yang dikenal secara tradisional. Manajemen risiko dilakukan secara tersegmentasi oleh perusahaan pada suatu unit atau divisi. Pendekatan manajemen risiko secara tradisional mendapat banyak kritik karena dianggap mengabaikan hubungan di antara berbagai risiko, koordinasi yang tidak efisien, dan duplikasi pembiayaan. Sebaliknya ERM memperlakukan setiap risiko sebagai portopolio risiko secara keseluruhan. Oleh karena itu, ERM dianggap sebagai pendekatan manajemen risiko yang menyeluruh dan terintegrasi (Zhao et al. 2015). ERM biasa juga disebut dalam istilah lain seperti (i) strategic risk management, (ii) integrated risk management, atau (iii) holistic risk
148
management. Semua istilah tersebut mengacu pada konsep yang sama yaitu bahwa semuanya memandang risiko dan manajemen risiko secara komprehensif, bukan lagi dengan pendekatan berbasis silo di mana risiko dikelola secara terpisah dan berbeda-beda di dalam organisasi/perusahaan (CAS, 2003). Manajemen risiko didefinisikan sebagai upaya terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan-kegiatan organisasi terkait dengan risiko (ISO Guide 73). Berdasarkan berbagai definisi tersebut, walaupun dari sisi redaksional berbeda, namun dapat diambil beberapa hal yang relatif sama yang membedakannya dengan manajemen risiko tradisional, yaitu bahwa: a) Proses dan sistem dari ERM bersifat komprehensif, integratif, dan lintas divisional. Pada manajemen risiko tradisional risiko dikelola secara parsial (silo based). b) Tujuan dari ERM bersifat strategis yaitu pencapaian tujuan perusahaan yang lebih baik dan pada akhirnya menciptakan, menambah, dan atau melindungi nilai perusahaan. Pada manajemen risiko tradisional, tujuan terbatas pada mitigasi risiko terbatas pada kegiatan atau unit bisnis tertentu.
Gambar 1. Posisi Penelitian 3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sumber data primer maupun sekunder. Data primer dilakukan untuk mendapatkan tingkat maturitas manajemen risiko perusahaan melalui kuesioner yang didapatkan langsung dari responden. Sedangkan data
sekunder berupa kajian literatur dari penelitian terdahulu. Selanjutnya perancangan kuesioner dilakukan dengan menggunakan Skala Likert, tujuannya agar memudahkan responden dalam memberikan jawaban. Data kuesioner yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga menghasilkan kesimpulan yang sesuai ISSN 2549 - 2888
149
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
dengan kondisi yang sebenarnya. dan dilakukan pembahasan untuk menjawab tujuan penelitian.
3.2 Identifikasi Kriteria Pengukuran Penelitian
Dan
Sub
Kriteria
3.1 Posisi Penelitian Posisi penelitian menunjukkan letak posisi penelitian ini di antara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, serta mengisi celah dari pembahasan penelitian terdahulu. Kajian literatur yang membahas maturitas manajemen risiko pada perusahaan konstruksi di antaranya Zou et al. (2010) mengembangkan model untuk mengukur tingkat maturitas manajemen risiko pada organisasi konstruksi di Australia. Sun et al. (2009) yang melakukan penelitian dengan membuat model maturitas pada organisasi proyek konstruksi di Inggris dan Ongel (2009)[13] yang menilai dan membuat sebuah kerangka maturitas manajemen risiko untuk perusahaan konstruksi dengan skala besar di Turki. Di Indonesia, Hermawan (2016), melakukan kajian tentang asesmen maturitas manajemen risiko untuk organisasi publik dan korelasinya terhadap kinerja yang mengacu pada penelitian Taufik (2015), yang melakukan penilaian dan membuat model maturitas manajemen risiko pada organisasi pengguna jasa konstruksi pemerintah di wilayah kementerian PUPR. Berdasarkan kajian, belum ada penelitian yang didedikasikan untuk mengkaji ERM pada kontraktor kecil dan menengah. Oleh karena itu penelitian ini mengisi kekosongan tersebut.
Identifikasi awal dilakukan dengan mengumpulkan beberapa kajian literatur yang terkait dengan maturitas ERM. Selanjutnya dari hasil kajian literatur ditentukan kriteria untuk mengukur tingkat maturitas manajemen risiko yaitu dari penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al. (2013). Penelitian ini berfokus pada implementasi ERM di perusahaan konstruksi. Penelitian tersebut telah secara komprehensif mencakup kerangka kerja ERM ISO 31000:2009 yang merupakan standar manajemen risiko. Selain itu kriteria yang teridentifikasi pada penelitian tersebut juga telah tervalidasi melalui wawancara pakar yang dianggap profesional di bidang manajemen risiko, sehingga kriteria pada penelitian oleh Zhao et al. (2013) dianggap dapat dimanfaatkan untuk diterapkan di kontraktor kecil dan menengah di Indonesia. Pada penelitian ini, kriteria tersebut akan dielaborasi berdasarkan karateristik daerah lokus penelitian, hal ini dilakukan untuk memudahkan responden memahami isi dari kuesioner dan tidak menjadi bias ketika menjawab pernyataan dari kuesioner tersebut. Adapun kriteria tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Maturitas Manajem Risiko Kode
Kriteria Zhao et al. (2013)
Kriteria Penelitian ini
Justifikasi
M01
Komitmen Dewan Direksi dan Manajemen Senior
Komitmen pemilik perusahaan
M02
Kepemilikan ERM
Pelaksana Lapangan dan atau petugas K3
Selera Risiko dan Toleransi
Tingkat risiko yang bisa diterima dan tingkat risiko
M03
ISSN 2549 - 2888
Secara umum di Indonesia, struktur pada perusahaan kontraktor kecil dan menengah yang setara kedudukannya dengan dewan direksi yaitu pemilik perusahaan tersebut.
Belum ada bagian khusus pada perusahaan (kecil dan menengah) yang menangani ERM. Namun, yang biasanya melakukan monitoring dan pengawasan pelaksanaan langsung dilapangan sehingga dapat mengetahui kemungkinan risiko yang terjadi yaitu pelaksana lapangan dan atau petugas K3. Istilah selera dan toleransi risiko masih awam bagi kontraktor kecil dan menengah sehingga kata yang
Keterangan Komitmen pemilik perusahaan merupakan hal pertama yang harus diperhatikan dalam penerapan ERM. Pemilik perusahaan juga sebagai penentu dalam pengambil keputusan untuk menjadikan ERM sebagai acuan dan dalam pelaksanaan proyek. Selanjutnya komitmen dewan atau pemilik perusahaan harus terus menerus dilaksanakan karena proses ERM adalah praktek yang berkelanjutan. Karena tanpa adanya komitmen dari pemilik perusahaan sulit pula bagi staf untuk menjalankan ERM oleh karena itu ERM harus menjadi prioritas bagi pemilik perusahaan . Kepemilikan ERM (Risk Owner) adalah orang yang bertanggung jawab untuk melakukan monitoring atas risiko dan melakukan respon atas risiko yang terjadi pada suatu perusahaan. Sejatinya pada setiap perusahaan atau seluruh unit kerja yang terlibat langsung dengan risiko juga bertindak sebagai pemilik risiko yang sesungguhnya, dari setiap kegiatan yang dilakukannya. Setiap risiko harus memiliki pemilik risiko dan pemilik risiko harus memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengawasi tindakan terkait risiko. Wewenang dan tanggung jawab dari pemilik risiko definisinya harus lebih jelas dan diketahui oleh seluruh perusahaan. Selera risiko (risk appetite) adalah jumlah dan jenis risiko yang siap dijalankan, diambil, ditangani atau diterima oleh organisasi (ISO GUIDE 73:2009). Sementara risiko toleransi adalah kesiapan organisasi atau stakeholder untuk menanggung risiko setelah
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Kode
Kriteria Zhao et al. (2013)
Kriteria Penelitian ini yang bisa ditoleransi
Justifikasi digunakan disesuaikan dengan pengertian istilah tersebut. Hal ini terkait bagaimana ketika perusahaan memutuskan untuk mengambil pekrjaan yang lebih dari satu kegiatan dengan mempertimbangkan kemampuan dan batas perusahaan dapat menyelesaikan proyek tersebut.
M04
Budaya Sadar Risiko
Budaya Sadar Risiko
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah
Sumber Daya
Sumber Daya
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah
Identifikasi, Analisis dan Tanggapan Risiko
Identifikasi, Analisis dan Tanggapan Risiko
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah
Tahapan Proses manajemen risiko perusahaan yang berkelanjutan dan selalu diperbarui
Istilah iteratif dan dinamis masih awam bagi kontraktor kecil dan menengah sehingga kata yang digunakan disesuaikan dengan pengertian istilah tersebut
Pemanfaatan Risiko sebagai Peluang
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah. Hal ini biasa dilakukan oleh kontraktor ketika memutuskan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan mereka. (Ada risiko peluang jika mengambil pekerjaan lebih dari satu paket)
M05
M06
M07 Tahapan Proses Iteratif dan Dinamis ERM
M08
Pemanfaatan Risiko sebagai Peluang
M09
Komunikasi Risiko
Komunikasi Risiko
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah
150
Keterangan perlakuan risiko dalam upaya mencapai sasaran. (ISO GUIDE 73:2009). Selera risiko juga sebagai alat yang dapat memberikan petunjuk untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan untuk investasi, perusahaan dapat mempertimbangkan ketika memilih pilihan untuk investasi dengan pertimbangan antara keuntungan dengan risiko yang didapat. Sedangkan toleransi memperhitungkan batasan atau level risiko yang dapat diambil juga dengan memperhitungkan keuntungan dan terhadap pencapaian tujuan. Selera risiko dan toleransi risiko harus jelas didefinisikan dan diketahui oleh semua staf dalam suatu perusahaan.
Budaya/prilaku risiko (Risk culture) merupakan hal yang penting dalam mendukung keberhasilan ERM. Tujuannya adalah agar setiap orang sadar akan adanya risko, dan mengambil keputusan tertentu dengan mempertimbangkan aspek risikonya. Selanjutnya agar lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan. Budaya sadar risiko juga memungkinkan untuk mengenali dan memahami pentingnya identifiksi risiko, penilaian risiko, dan komunikasi risiko. Budaya sadar risiko perlu dukungan dari semua pihak. Perlu pengetahuan akan manfaat dari ERM keseluruh pelaksana agar setiap orang yang terlibat diperusahaan sadar akan pentingnya budaya risiko. Sumber daya dalam hal ini meliputi anggaran, waktu, SDM, sistem dan teknologi. Perencanaan sumber daya perlu dukungan dan komitmen dari pemilik perusahaan. Setiap perusahaan perlu mengidentifikasi semua kategori potensi risiko baik dari sumber risiko internal maupun eksternal yang akan dihadapi oleh perusahaan. Teknik analisis risiko membantu perusahaan memprioritaskan identifikasi risiko dan faktor utama dalam identifikasi risiko selanjutnya adalah memberikan tanggapan teradap risiko yang teridentifikasi. Langkah-langkah iteratif yang dimaksud adalah proses perulangan terhadap kegiatan ERM atau proses ERM dilakukan secara berulang-ulang. Langkah/tahapan tersebut terdiri dari siklus perbaikan yang dilakukan secara terus menerus. Proses yang dimaksud meliputi kegiatan pemantauan, identifikasi, maupun penilaian risiko yang kemungkinan muncul karena perubahan lingkungan. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk menangani risiko dan memperbaharui risiko secara proaktif Risiko mencakup baik ancaman maupun peluang (Ward dan Chapman, 2003)[18]. Selain fokus pada risiko ancaman (downside) ERM juga memanfaatkan dan mengeksploitasi risiko peluang (upside) untuk meningkatkan keunggulan yang kompetitif (Zhao, 2015). Semakin sering perusahaan memahami potret risiko maka semakin mudah memanfaatkan peluang. RIMS (2008)[19], menyarankan bahwa perusahaan harus secara rutin mengidentifikasi dan mengeksplorasi peluang strategis untuk perencanaan dampak yang terjadi. Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko. Informasi diidentifikasi, diperoleh, dan dikomunikasikan dalam bentuk dan kerangka waktu yang tepat dan sesuai sehingga memungkinkan setiap orang untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.Tujuannya adalah memberikan informasi yang relevan dan akurat dalam rangka pengambilan keputusan. Semua yang terlibat dalam proyek melakukan komunikasi secara berjenjang.
ISSN 2549 - 2888
151
Kode
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Kriteria Zhao et al. (2013)
Kriteria Penelitian ini
Justifikasi
M10
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah.
Bahasa Risiko Umum
Bahasa Risiko Umum
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Program Pelatihan
Program Pelatihan
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah
Indikator Risiko Kunci (KRI)
Indikasi peluang adanya terjadinya risiko melalui penetapan ambang batas
Istilah indikator risiko kunci asing bagi kontraktor kecil dan menengah sehingga kata yang digunakan disesuaikan dengan pengertian istilah tersebut
Integrasi ERM pada Proses Bisnis
Memasukkan manajemen risiko perusahaan pada proses usaha konstruksi
Istilah Integrasi asing bagi kontraktor kecil dan menengah sehingga kata yang digunakan disesuaikan dengan pengertian istilah tersebut.
Kejelasan tujuan perusahaan
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah Biasa dikerjakan oleh kontraktor sebelum memulai melaksanakan pekerjaan, contoh: metode yang dilakukan dalam pelaksanaan proyek.
M11
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah.
M12
M13
M14
M15
Pengaturan Tujuan
ISSN 2549 - 2888
Keterangan Bahasa risiko umum menjelaskan terminologi dan metodologi yang akan digunakan secara umum dalam organisasi dan memberikan konstribusi pemahaman umum dari makna dan konteks risiko. Hal ini dipandang sebagai kualitas yang efektif dalam program ERM (Duckert, 2011)[20]. Untuk memudahkan penerimaan bahasa risiko, dibuatkan daftar yang merupakan kumpulan istilah- istilah dari bahasa risiko kemudian disebar luaskan diseluruh perusahaan. Bahasa risiko juga menjadi dasar budaya risiko organisasi karena memfasilitasi komunikasi yang terbuka, yang merupakan komponen budaya sadar risiko (Hopkin, 2010)[21]. Bahasa risiko sebaiknya menggunakan bahasa umum agar semua staf bisa mengerti. Penerapan sistem informasi manajemen risiko pada suatu perusahaan dapat menigkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Dengan berkembangnya teknologi saat ini perusahaan harus mempertimbangkan menggunakan teknologi informasi dalam menjalankan usahanya. Hal ini mempermudah pihak perusahaan merespon secara cepat dan tepat setiap kegiatan yang dilaksanakan. Dengan catatan setiap personil dalam suatu perusahaan mampu menerapkan teknologi informasi. Misalnya sistem informasi berbasis komputer memungkinkan semua pengolahan data menggunakan aplikasi. Program pelatihan merupakan hal yang penting untuk mengsukseskan penerapan ERM. oleh karena itu dengan adanya program pelatihan dapat membantu setiap personil dalam suatu perusahaan memahami filosopi dan kebijakan ERM, proses ERM dan niali ERM. Selain itu dengan dilaksanakaanya program pelatihan, dapat meningkatkan kesadaran risiko dari setiap personil untuk menerapkan ERM KRI adalah peristiwa yang mengindikasikan terjadinya peristiwa risiko dan juga peluang. KRI digunakan oleh perusahaan dalam aktivitas pemantauan risiko guna memberikan sinyal awal terkait tindakan-tindakan apa saja yang penting dilakukan untuk mengatasinya. Pada prakteknya KRI bertindak sebagai peringatan dini (early warning system). Agar dapat menjadi indikator terukur dan mudah dipantau. KRI ditetapkan beserta parameter-parameternya yaitu: (i) Ambang batas bawah, merupakan ambang batas awal yang memberikan indikasi suatu peristiwa risiko dapat terjadi dengan kemungkinan kecil. (ii) Ambang batas atas, merupakan ambang maksimum yang memberikan indikasi peristiwa risiko dapat terjadi dengan kemungkinan besar. (iii) Satuan ukur atau ambang batas (CMRS, 2011)[22]. Integrasi dimaksudkan agar perusahaan memasukkan seluruh kegiatan ERM kedalam proses konstruksi, artinya setiap kegiatan yang dilakukan berpedoman terhadap kerangka kerja ERM. prinsipprinsip dari ERM diterapkan kedalam kegiatan pelaksanaan. Hal ini harus dilakukan secara konsisten oleh seluruh staf maupun pemilik perusahaan Pengaturan tujuan merupakan salah satu dari komponen kerangka kerja ERM COSO, dan juga sebagai prasyarat sebelum melakukan identifikasi risiko, penilaian risiko dan respon risiko. Oleh karena itu tujuan dari perusahaan dalam menjalankan bisnisnya harus jelas dipahami oleh semua staf/karyawan. Semua tujuan harus memiliki ukuran kinerja, dan semua langkah-langkah kinerja dikaitkan dengan tujuan. Dengan demikian penyimpangan dari rencana atau harapan harus dinilai terhadap tujuan perusahaan dan tujuan proyek (Hopkinson, 2011)[23]. Tahapan dan tujuan juga harus dimengerti oleh seluruh karyawan, karena dengan ERM dapat membantu pencapaian tujuan.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Kode
Kriteria Zhao et al. (2013)
Kriteria Penelitian ini
Pengawasan, Peninjauan, dan Peningkatan Kerangka Kerja ERM
Pengawasan, Peninjauan, dan Peningkatan Kerangka Kerja manajemen risiko perusahaan
M16
4.
Justifikasi
Bisa dimengerti oleh kontraktor kecil dan menengah
ANALISIS DATA
4.1 Skala Likert Setiap kriteria dan sub kriteria akan ditransformasi kedalam bentuk pernyataan. Dalam penelitian ini digunakan alat ukur dengan tipe ordinal dan penilaian variabel menggunakan Skala Likert. Skala Likert yang digunakan pada penelitian adalah lima tingkatan yaitu skala 1 sampai dengan 5. Jawaban dari setiap pertanyaan memiliki Skala Likert dengan nilai gradasi dari sangat negatif sampai dengan sangat positif. Sistem penilaian yang digunakan untuk mengetahui persepsi kontraktor dan responden diminta memberikan nilai sesuai fakta yang berlaku pada perusahaanya. Responden diminta untuk memilih satu alternatif jawaban yang telah disediakan seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Skala Pengukuran Tingkat Penerapan Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Netral Setuju Sangat Setuju
Keterangan Untuk mendukung kinerja organisasi dalam menerapkan manajemen risisko yang efektif maka penting dilakukan pemantauan dan peninjauan terhadap kerangka kerja ERM. Menurut ISO 31000:2009, manajemen perusahaan harus secara berkala mengukur kemajuan ERM dengan cara merencanakan selanjutnya memantau apakah kebijakan dan rencana sudah sesuai kerangka kerja dari manajemen risiko.
=
Pengolahan analisis data dilakukan dengan bantuan piranti lunak Statistical Product for Service Solution (SPSS) versi 22, kemudian hasil pengukuran dilakukan dengan analisis deskriptif.
Penilaian
152
…
4.2 Statistik Deskriptif Kriteria dalam penelitian ini selanjutnya akan dihitung dengan menggunakan uji statistik deskriptif. Metode ini merupakan transformasi data penelitian dalam bentuk tabel sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan, atau dimaksudkan untuk peringkasan kedalam bentuk yang lebih sederhana. Selanjutnya deskripsi data dilakukan pengukuran nilai statistiknya dengan menggunakan mean (nilai rata-rata). Berdasarkan data rata-rata dapat diungkap kecendrungan nilai tengah dari data tersebut. Jika memiliki ukuran sample n dan masing-masing menunjukkan data , , … … , maka ratarata dapat dihitung dengan rumus:
∑
(1)
Hasil dari nilai mean digunakan untuk menentukan tingkat maturitas ERM pada masingmasing kriteria maupun sub kriteria secara menyeluruh. Untuk mengetahui tingkatan/level dari maturitas ERM, maka dasar penentuan level tersebut menggunakan kerangka pengukuran kematangan manajemen risiko yang diperkenalkan oleh Ciorciari dan Blattner (2008), yang telah dimodifikasi oleh CRMS Indonesia (2016). Dalam kerangka tersebut terdapat lima tingkatan seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Klaisifikasi Nilai Rata-rata Maturitas ERM Interval Nilai
Tingkat Maturitas
4,21 − 5,00
Level 5 − Optimal
3,41 − 4,20
Level 4 − Baik
2,61 − 3,40
Level 3 − Menengah
1,81 2,60
Level 2 − Lemah
1,00 − 1,81
Level 1 – Sangat Lemah
Nilai 1 2 3 4 5
+
Keterangan Manajemen risiko dijalankan secara optimal, dengan prinsip dan proses yang telah terintegrasi dalam proses bisnis Terdapat sistem pengawasan terhadap implementasi manajemen risiko, prinsip-prinsip sudah dijalankan, disertai perbaikan secara priodik. Manajemen risiko telah distandardisasi, terdapat prinsip-prinsip tertulis disertai pelatihan dasar. Manajemen risiko telah diatur secara informal, tetapi belum terdapat pelatihan maupun komunikasi. Manajemen risiko dilakukan secara intuitif dan belum terdapat upaya formalisasi manajemen risiko.
4.3 Uji Beda Persepsi responden Data hasil jawaban responden selanjutnya akan dilakukan uji beda (komparasi) menggunakan uji Mann-Whitney atau U test, pengujian ini digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang independen yaitu perbedaan persepsi antara kelompok kontraktor kecil dan menengah terhadap tingkat maturitas manajemen risiko perusahaan.
ISSN 2549 - 2888
153
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Hipotesis hubungan perbedaan persepsi antara kelompok responden kontraktor kecil dan menengah dengan tingkat maturitas ERM. a) H0 = Tidak ada perbedaan yang signifikan antara responden kontraktor kecil dan menengah terhadap tingkat maturitas ERM b) H1 = Ada perbedaan persepsi yang signifikan antara responden kontraktor kecil dan menengah terhadap tingkat maturitas ERM Dasar pengambilan keputusan dalam uji MannWhitney U Test: a) Jikan nilai Asympotic Significance ≥ 0,05; maka H0 diterima, H1 ditolak b) Jikan nilai Asympotic Significance < 0,05; maka H0 ditolak, H1 diterima 5. PENUTUP Berdasarkan rancangan yang telah disusun, dari penelitian ini diharapkan dapat: a) Teridentifikasi kriteria maturitas manajemen risiko perusahaan yang relevan digunakan pada kontraktor kecil dan menengah. b) Diketahui tingkat/level maturitas manajemen risiko perusahaan. c) Menjadi bahan masukan pada kontraktor kecil menengah dalam penerapan manajemen risiko yang lebih efektif. UCAPAN TERIMA KASIH Rasa terima kasih penulis sampaikan khusus kepada Prof. Dr. –Ing. Habil Andreas Wibowo atas bimbingan serta pengarahan dalam pembuatan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA [1]. Badan Pusat Statistik (BPS), 2015. Kabupaten Pinrang; (online; https://pinrangkab.bps.go.id/. Diakses 7 juli 2016). [2]. Oe, Y. (2012) Manajemen risiko proyek konstruksi (online; http://konstruksimania.blogspot.co.id/. Diakses 26 september 2016) [3]. Tserng, HP., Yin, SYL., Dzeng, R., Wou, B., Tsai, M., Chen, W. (2009) “A Study of Ontology-Based Risk Management Framework of Construction Projects Through Project Life Cycle”, Autom Constr 18 (7):994– 1008. [4]. Burtonshaw-Gunn, S.A. (2009), “Risk And financial Management In Construction” Gower, Burlington. [5]. Project Management Institute (PMI), 1996, “A Guide To The Project Management Body of Knowledge”, Project Management Institute, USA. ISSN 2549 - 2888
[6]. Prakoso, A. (2013) “ Analisis Penerapan Manajemen Risiko Operasional Berdasarkan Pendekatan COSO Enterprise Risk Management Pada Perusahaan Kontraktor Pertambangan Batubara Studi Kasus Di PT XYZ. [7]. Komite nasional kebijakan governance (KNKG), 2011, “Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Berbasis Governance” (online; https:/konsep-pedoman-penerapanmanajemen-risiko-berbasis-governanceknkg-2011.pdf. Diakses 10 september 2016) [8]. Zhao, X., Hwang, B., G., and Low, S., P. (2015), “Enterprise Risk Management in International Construction Operations”. Springer Singapore Heidelberg New York Dordrecht London. [9]. CAS (The Casualty Actuarial Society). “Enterprise Risk Management Committee” (2003), Overview of Enterprise Risk Management. (http://www.casact.org. Diakses 10 september 2016) [10]. ISO (2009) Guide 73:2009, Risk Management—Vocabulary. “International Organization for Standardization”, Geneva. [11]. Zou, P.X.W., Chen, Y., dan Chan, T.Y. (2010),”Understanding & inproving your risk management capability: assessment model for construction organizations”, Journal of Construction Engineering & Management, ASCE/August 2010, Vol 136 (8), 854-863. [12]. Sun, M., Vidalakis, C., dan Oza, T. (2009),”A Change Management Maturity Model for Construction Project”, Proceeding of 25th Annual ARCOM Conference, 7-9 September 2009, Nottingham, UK. [13]. Öngel, B. (2009),”Assessing Risk Management Maturity: A Framework for The Construction Companies”, Master Thesis, Middle East Technical University, Ankara, Turki. [14]. Hermawan, V. (2016), “Asesmen Maturitas Manajemen Risiko Untuk Organisasi Publik Pengguna Jasa Dan Korelasinya Terhadap Kinerja” Tesis, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan. [15]. Taufik, J. (2015), “Model Asesmen Maturitas Manajemen Risiko Untuk Organisasi Pengguna Jasa Konstruksi Pemerintah”. Tesis, Bandung; Program Pascasarjana Teknik Sipil. Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi; Universitas Katolik Parahyangan. [16]. Zhao, X., Hwang, B., G., and Low, S., P. (2013), “Developing Fuzzy Enterprise Risk Management Maturity Model for Construction Firms”, Journal of Construction Engineering and Management, 139 (9), 1179-1189. [17]. International Organization for Standardization (ISO). (2009), ISO 31000:2009; Risk Management-Principles & Guidelines, Geneva, Switzerland.
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
154
[18]. Ward, S., and Chapman, C. (2003), (http://crmsindonesia.org/programs/research/ “Transforming Project Risk Management into peran-indikator-risiko-kunci-dalamProject Uncertainty Management”. Int J Proj manajemen-risiko-role-key-risk-indicatorsManage 21(2):97–105. risk. Diakses 25 September 2016) [19]. RIMS (2008), “RIMS State of ERM Report”. [23]. Hopkinson M (2011), “The Project Risk Risk and Insurance Management Society, Maturity Model: Measuring And Improving New York. Risk Management Capability”. Gower, [20]. Duckert, G.H. (2011), Practical Enterprise Burlington. Risk Management: “A Business Process [24]. Ciorciari M, Blattner P (2008), “Enterprise Risk Approach. Wiley”, Hoboken, NJ. Management Maturity-Level Assessment [21]. Hopkin, P. (2010), “Fundamentals Of Risk Tool”. Enterprise Risk Management Management”. Kogan Page, London. Symposium, 14–16 April, Chicago. [22]. Wahyudi, I. (2011), “Peran Indikator Risiko [25]. Survey Nasional Manajemen Risiko (2016), Kunci dalam Manajemen Risiko. (The Role “CRMS Indonesia Center for Risk Key Risk Indicators in Risk Management” Management Studies”
ISSN 2549 - 2888
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
PANDUAN PENULISAN JURNAL ILMIAH TEKNIK MESIN Penulis01, Penulis02, dan Penulis03 Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jakarta E-mail:
[email protected];
[email protected], Penulis
[email protected] Abstrak -- (intisari) memuat inti permasalahan, metodologi pemecahannya dan hasil yang diperoleh. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, disertai kata kunci (keyword) di bawahnya. Tulisan asli berupa softcopy yang dikirim penulis akan langsung dicetak sebagai isi JURNAL TEKNIK MESIN apabila telah memenuhi panduan penulisan. Untuk menjamin keseragaman dan kelancaran proses pencetakan, serta format tulisan maka dibuat panduan penulisan. Panduan ini sebagai acuan yang diperlukan untuk penulisan dan pengiriman tulisan JURNAL TEKNIK MESIN. Panduan ini ditulis sebagai format baku JURNAL TEKNIK MESIN dan untuk kemudahan panduan dalam bentuk softcopy ini dapat langsung dijadikan template bagi penulis. Kata kunci: panduan, tulisan, format, judul Abstract -- contains the main of the problems, the solution of methodology and the results obtained. Abstract written in Indonesian and English, accompanied by keywords (keywords) below. The original text in the form of soft copy sent direct writer will be printed as JURNAL TEKNIK MESIN contents if it has met the writing guide. To ensure uniformity and smoothness of the printing process, as well as the format of the writing made the posting. This guide as a reference is required for the writing and delivery of writings JURNAL TEKNIK MESIN. This guide is written as a standard format for ease JURNAL TEKNIK MESIN and guidelines in softcopy format can be directly used as a template for writers. Keywords: guidance, writing, format, title
1. PENGIRIMAN TULISAN Tulisan asli yang dikirim ke Redaksi JURNAL TEKNIK MESIN harus dalam bentuk softcopy siap cetak yang dicopy-kan langsung kepada Redaksi atau dikirimkan via email dalam format *.doc atau *.docx dengan dilampiri pernyataan bahwa tulisan tersebut belum diterbitkan dan tidak sedang menunggu untuk diterbitkan di media mana pun. Penulis juga diminta untuk melampirkan biografi ringkas, afisiliasi dan alamat lengkap, termasuk alamat email. 2. TULISAN Tulisan akan dicetak dengan tinta hitam pada satu muka kertas HVS putih ukuran A4. Setiap halaman diberi nomor dan panjang tulisan maksimal 8 (delapan) halaman. Untuk menjamin keseragaman format, tulisan hendaknya mempunyai marjin minimum sebagai berikut: a. Marjin atas 2.5 cm, kiri 3 cm, bawah dan kanan 2 cm. b. Badan tulisan ditulis dalam dua kolom dengan jarak antar kolom 0.5 cm. 2.1 Huruf dan Spasi Tulisan menggunakan huruf Arial 10 dengan jarak antar baris satu spasi, kecuali judul. Judul ISSN 2549 - 2888
menggunakan huruf besar Arial 12 yang dicetak tebal (bold), dan abstrak ditulis miring (Italic) dengan huruf Arial 10. 2.2
Judul
Judul Tulisan: Judul tulisan dicetak tebal dengan huruf besar (12) dan diletakkan di tengah halaman. Judul tulisan diikuti nama dan afisiliasi penulis serta abstrak, seperti pada panduan ini. Judul Bagian: Judul bagian dicetak tebal (bold) dengan huruf besar dan diberi nomor. Judul Subbagian: judul sub-bagian dicetak tebal, dengan gabungan huruf besar dan kecil, dimulai dari sisi kiri kolom. Jarak Tabs dalam paragraf adalah 0.6 cm. 2.3 Bahasa, Satuan dan Persamaan Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penggunaan bahasa dan istilah asing sedapat mungkin dihindari, kecuali untuk “abstrak”. Penggunaan singkatan dan tanda-tanda diusahakan untuk mengikuti aturan nasional atau internasional. Satuan yang digunakan hendaknya mengikuti sistem satuan internasional (SI). Persamaan atau hubungan matematik harus dicetak dan diberi nomor seperti ini: =2 (2.1)
Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017
Di dalam teks, persamaan 1 dinyatakan dengan “Pers. (1)” atau “Persamaan (1)”. 2.4
Tabel
Tabel yang rapi dan jelas disertakan dalam teks serta harus dirujuk pada teks. Keterangan tabel ditulis di atas tabel sebagai berikut: “Tabel 2.1”. Di dalam teks, t abel tersebut dinyatakan dengan “Tabel 2.1”. Tabel 2.1 Contoh nomor dan judul tabel Symbol
Quantity
magnetic flux
4M m
magnetization magnetic moment
m
magnetic moment
B
magnetic flux density, magnetic induction magnetic field strength magnetization magnetic moment
H 4M m
M
magnetization
4M 4M 4M
magnetization magnetization magnetization specific magnetization magnetic moment
m
4M j
2.5
magnetization magnetic dipole moment
Conversion from Gaussian and CGS EMU to SI a 1 Mx 108 Wb = 108 V·s 1 G 103/(4) A/m 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 G 104 T = 104 Wb/m2
Gambar 2.1 Penulisan nomor dan judul gambar 2.6
Nomenclature
Simbol dan Definisi kosa kata sebaiknya dikumpulkan dan di tulis disini (sebelum Daftar Pustaka). Sebagai contoh: APT = Available Production Time Cmax = Maximum Consumption DT = Design Time KD = Design Coefficient
1 Oe 103/(4) A/m 1 G 103/(4) A/m 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 erg/(G·cm3) = 1 emu/cm3 103 A/m 1 G 103/(4) A/m 1 G 103/(4) A/m 1 G 103/(4) A/m 1 erg/(G·g) = 1 emu/g 1 A·m2/kg 1 erg/G = 1 emu 103 A·m2 = 103 J/T 1 G 103/(4) A/m 1 erg/G = 1 emu 4 1010 Wb·m
Gambar
Gambar dituliskan menggunakan format rata tengah. Setiap gambar haruslah diberi nomor dan judul serta diacu pada tulisan. Nomor dan judul gambar diletakkan di bawah gambar, seperti terlihat pada Gambar 1.
Di dalam teks, persamaan 1 dinyatakan dengan “Pers. (1)” atau “Persamaan (1)”. 3.
DAFTAR PUSTAKA
Penyitiran pustaka dilakukan dengan menyebutkan sumber penulis dan tahun, contoh: (Chapman, 2008). Daftar Pustaka hanya memuat pustaka yang secara langsung menjadi sumber kutipan. Penulisan Daftar Pustaka dilakukan dengan pengurutan berdasarkan nama belakang penulis, dicantumkan pada bagian akhir tulisan. Berikut adalah beberapa contoh penulisan daftar pustaka. [1]. Casadei D, Serra G, Tani K. Implementation of a Direct Control Algorithm on Discrete Space Vector Modulation. IEEE Transactions on Power Electronics. 2007; 15(4): 769-777. [2]. Calero C, Piatiini M, Pascual C, Serrano MA. Towards Data Warehouse Quality Metrics. Proceedings of the 3rd Int’l. Workshop on Design and Management. Interlaken. 2009; 39: 2-11. [3]. Ward J, Peppard J. Strategic planning for Information Systems. Fourth Edition. West Susse: John Willey & Sons Ltd. 2007: 102104.
ISSN 2549 - 2888
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MERCU BUANA Jl. Meruya Selatan, Kembangan, Jakarta Barat 11650 Telp: 021-5840816 (Hunting), Pesawat: 5200 Fax: 021-5871335