Jokowi Memunggungi Rakyat Diskusi Tatiana - Nesare From: Nesare Sent: Friday, February 6, 2015 3:42 AM To:
[email protected] Subject: RE: [GELORA45] Re: [temu_eropa] PT Newmont Pilih Numpang Smelter Freeport di Gresik
Akan saya tanggapi secara objektif. Semoga tidak terkesan saya pendukung buta Jokowi. Saya mendukung Jokowi krn melihat ada harapan dari sosok krempeng ini. Kejujurannya adalah basis penerapan prinsip2 demokrasi. Itu sudah kita alami shg kasus2 seperti KPK vs Polri dapat mencuat kepermukaan dan diikuti kita bersama. Harus diingat dijaman sebelumnya saya yakin pasti akan ditutup2i. Mari kita mulai dengan masalah BBM. Saya dulu mengharapkan BBM jangan dinaikkan. Asumsi saya adalah coba cari duit dari sector lain. Duit hasil efisiensi misalnya dari sector pajak dan BUMN dapat digunakan utk mengurangi subsidi BBM. Tapi sayang korupsinya terlalu parah. Tidak bisa langsung diterapkan oleh Jokowi. Jadi harus ngobok2 sektor lain yg bisa cetak duit langsung. Jokowi pilih naikin BBM. Inilah modal pertama dan utama dalam menjalankan rejim Jokowi. Ini saya dukung krn ada keseriusan. Alternatif bisa jadi ada misalnya, cari duit gak halal (model hambalang, minta upeti dari konglomerat dll). Ini sudah dilakukan oleh rejim SBY. Saya akan pilih naikan BBM dgn harapan duitnya bisa dipakai Jokowi utk dialokasikan ke sektor2 produktif lainnya. Kita jangan melihat hasil akhirnya. Kalau kita lihat proses nya, kita akan melihat alasannya. Ini umumnya perbedaan orang kanan dan orang kiri. Sekurang2nya di USA orang republican itu melihat hasil akhir (ini berkesan decisive/cepat mengambil keputusan). Orang democrat lebih melihat prosesnya makanya kesannya lamban. Kedua kesan ini tidak benar. Ketika bung bertanya: “Apakah itu menunjukkan kenaifan Jokowi yang mengharapkan “mengangkat kelompok menengah bawah dan kelompok berpendapatan rendah sebagai pilar pertumbuhan Indonesia” sejalan dengan tujuan negara-negara imperialis di G20?” Saya berani menjawab bahwa Jokowi mengharapkan mengangkat derajat rakyat banyak miskin dengan menerapkan prinsip2 kapitalisme. Masalah kerja sama dengan berbagai negara itu adalah ekses dari globalisasi yg tidak bisa dihindari sekarang ini. Korut adalah satu2nya negara yang menutupi dirinya dari duniapun supply kehidupannyapun
1
didatangkan dari RRT. Indonesia jangan menutup dirinya. Soekarno muda pun bermain lincah dalam foreign policy dunia saat itu. seharusnya pandai2 lah bermain dalam dunia internasional dengan tujuan memakmurkan bangsa sesuai dengan pancasila. Kan ini tujuan NKRI. Kalau misalnya keluar dari G20 malah bikin Indonesia mundur ya ‘kan tidak produktif. Rejim Jokowi jelas menerapkan kapitalisme seperti juga negara2 Eropa barat yang menerapkan welfare state. Di USA pun yang terkenal sbg gembongnya kapitalisme itu sosial democrat sangat kuat baik diparpol republican maupun democrat. Setelah bung menulis ttg Mao dan Stalin pembela rakyat, saya merasakan kerinduan bung atas kedua tokoh ini. Sayangnya kerinduan bung itu menghilangkan fakta bahwa secara langsung maupun tidak langsung kedua tokoh itu mengakibatkan banyak rakyat yang meninggal. Faham kedua orang ini sudah mati. Saya ulangi mati! Sudah tidak bisa diterapkan secara murni didunia sekarang ini. Terbukti dari runtuhnya komunisme dikedua negaranya. Suka tidak suka ini realitas dunia sekarang. Ketika Jokowi menjadi presiden inilah realitas yang harus dihadapi nya. Andaikatapun Jokowi penganut komunisme, dia akan dibantai habis termasuk oleh rakyatnya sendiri. Prinsip2 sosialisme yg tidak pernah mati itulah yang harus kita pelihara utk mengimbangi kerakusan kapitalisme. Disinilah saya berharap sosok Jokowi bisa menerapkan prinsip2 sosialisme dalam dunia kapitalisme. Di Indonesia sendiri kita lihat 2 sosok PRD, Budiman soedjadmiko dan Andi Arief yang suaranya sangat keras dulunya akhirnya juga sedikit demi sedikit berkurang radikalismenya setelah masuk kedunia politik riil. Saya sangat menghargai kritik2 bung atas suara2 kiri ini jangan terlalu menyimpang kekanan. Saya sendiri mengalami banyak temen yang idealismenya (jangankan napas kiri) hilang setelah masuk dunia birokrat yang kotor. Mereka2 ini ikut arus. Tidak tahan godaan. Ini yang harus dijaga oleh Jokowi. Bung mengutip pendapat James Petra ttg mitos investasi asing itu memang semuanya benar. Itu dari satu dimensi. Tetapi ada dimensi lain yang positif dari investasi asing yang bung tidak kupas dan abaikan. Sama saja ketika bung meninggi2kan faham sosialisme dan merendah2kan kapitalisme, bung tidak sadar telah mengabaikan kedua dimensinya. Bung hanya melihat dari satu dimensi saja. Bung mungkin tidak sadar ketika bung beli susu ditoko, harga yg bung bayar adalah harga terendah akibat persaingan pasar. Harga diskon menunjukkan efisiensi pasar yg kadang kala harga nya lebih rendah drpd harga pokok yg artinya penjual rugi krn menjual lebih rendah drpd biaya memproduksinya. Belum tentu system sosialisme dapat menciptakan harga susu serendah ini krn adanya persaingan. Orang2 yg sekolah apapun termasuk ekonomi dan bisnis melihat kedua dimensi. Tetapi saya yakin kalau ditanya orang sekolahan ini, mayoritas akan menjawab setuju dgn investasi asing. Sayapun termasuk kelompok ini. tetapi harus
2
dikontrol investasi asing itu. tujuannya utk memajukan bangsa dan negara. Investasi asing hanyalah alat saja. Alat bisa distel. Ya mesti distel sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara. Akhir kata kalau Indonesia disuruh keluar dari IMF, G20, tolak investasi asing itu terlalu radikal dan bikin runyam Indonesia. Mestinya foreign policy diberesin, negosiasi yg lebih baik, atur investasi asing demi majunya industry dalam negeri, ambil teknologinya dst. Bukannya musuhin negara lain dan investor asing. Itu tidak pintar namanya. Itu saja garis besarnya. Kurang mendetail tetapi intinya sudah ditanggapi.
From: Tatiana Lukman Sent: Thursday, February 5, 2015 4:09 PM
Mengapa Jokowi-JK Tega Memunggungi Rakyat? “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” adalah judul visi, misi, dan program aksi yang dijanjikan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014. Dengan kata lain Trisakti diambil sebagai solusi terhadap masalah “merosotnya kewibawaan negara”, “melemahnya sendi-sendi ekonomi nasional”, dan “merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa”. Selanjutnya, dalam “Berdaulat Dalam Politik” dinyatakan “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965”. Belum tampaknya langkah konkret untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan melawan kemanusiaan membuat tak sedikit relawan dan korban serta keluarga, yang semula mendukung Jokowi, kini menjadi tersadar dan berbalik menentang pemerintahan Jokowi-JK. Walaupun demikian, ada juga yang meski kecewa, namun ideologi reformis membuatnya tetap berilusi bahwa keadilan dan kesejahteraan akhirnya akan dicapai oleh pemerintahan Jokowi-JK. Segera Berpaling Seratus hari sudah berlalu sejak Jokowi-JK memegang kendali Republik Indonesia.
3
Rentang waktu yang dianggap para pendukung Jokowi masih terlalu pendek untuk menagih janji atau melakukan penilaian terhadap kebijakan pemerintah. Sebaliknya, Jokowi tidak menunggu lama-lama untuk mengeluarkan kebijakan yang langsung berdampak negatif terhadap kehidupan massa rakyat jelata: penghapusan subsidi BBM, subsidi bibit dan pupuk bagi kaum tani, dan subsidi tiket kereta api kelas ekonomi. Sebagian orang “kiri” pendukung buta Jokowi berupaya meyakinkan bahwa “sebetulnya harga BBM tidak naik”, yang terjadi adalah “‘penghapusan subsidi”. Permainan kata-kata itu diharapkan bisa mengelabuhi atau menghibur rakyat. Apa pun istilahnya, yang jelas orang harus membayar BBM lebih mahal dari sebelumnya. Mereka sama sekali tidak bisa menjawab argumentasi dan kenyataan bahwa penghapusan segala macam subsidi adalah kebijakan yang biasa dituntut oleh lembaga-lembaga imperialis seperti IMF dan Bank Dunia. Serahkan semuanya kepada pasar. Bukti pertama pengabdian Jokowi-JK pada kapitalisme dan imperialisme. Berita-berita tentang semakin tercekiknya rakyat oleh harga kebutuhan pokok dan ongkos transportasi yang terus membubung, begitu juga semakin seriusnya konflik tanah di segala pelosok Tanah Air, adalah kenyataan yang juga tidak dapat dibantah oleh orang-orang “kiri” pendukung Jokowi. Jokowi tidak menunggu lama untuk menghapus berbagai subsidi, tapi ia tidak terburu-buru untuk memperhatikan konlik tanah yang sudah berlangsung bulanan, bahkan tahunan. Tak satu pun dari ratusan konflik tanah mendapat perhatian, apalagi solusi. Kacamata Kiri Orang-orang “kiri” pendukung Jokowi sangat tidak suka pada mereka yang mengkritik dan menelanjangi watak sesungguhnya pemerintahan Jokowi-JK. Tuntutan dan tagihan rakyat dan mereka yang dulu turut mengantar Jokowi ke singgasana kekuasaan, dianggap keterlaluan. Rakyat diminta untuk “sabar”, “mengerti”, dan “memaafkan” Jokowi karena pemerintahannya memang bukan pemerintahan rakyat, jadi bisanya ya cuma segitu! Secara sadar atau tidak sadar, para pendukung membuta ini berdiri di pihak penguasa dan menutup mata dan telinga terhadap perjuangan rakyat yang menuntut perbaikan nyata dalam kehidupannya. Inilah “jasa” Jokowi yang mampu membuat orang-orang “kiri” ikut membenarkan penaikan harga BBM dan tidak peduli akan dampak langsungnya yang membuat kehidupan rakyat semakin sulit (kenaikan harga transportasi umum dan biaya kehidupan sehari-hari).
4
Begitulah mentalitas orang-orang “kiri’ reformis dan sosial demokrasi yang hidup dalam puri gading! Mereka meremehkan dan sama sekali tidak mampu melihat bahwa rakyat eksis, mempunyai pendapat, dan terus berusaha mengorganisasi diri untuk memperjuangkan hak-hak demokratis dan kehidupan layak manusia. Dari situ juga datangnya tuduhan “mendukung Prabowo” terhadap mereka yang tidak mendukung Jokowi. Bagi mereka hanya ada dua pilihan, Jokowi atau Prabowo. Tidak terlintas di otak mereka untuk berpihak pada rakyat! Barangkali di mata mereka, rakyat terlalu lemah dan tidak punya apa-apa, maka tidak dipilih. Pelajaran Mao dan Stalin Frustrasi karena tidak dapat membantah argumentasi dan fakta adanya kebijakan pemerintah yang memang merugikan rakyat, satu-satunya yang bisa dilakukan sebagian pendukung buta Jokowi adalah menyerang pribadi orang yang mengkritik Jokowi. Atau membuat perbandingan yang absurd dan ahistoris. Pertemuan Jokowi dengan Soros dibandingkan dengan pertemuan Mao Tse-tung - Nixon dan Stalin - Hitller (pernahkah Stalin bicara dengan Hitler?). Jokowi seorang borjuasi nasional yang begitu menjadi presiden langsung di Konferensi APEC dan G20 minta-minta penanaman modal asing. Soros dikenal sebagai miliarder dan investor global. Lha kan, cocok kedua tokoh itu! Sebaliknya Mao dan Stalin adalah pemimpin komunis, pembela setia kepentingan rakyatnya. Sedangkan Nixon, tokoh imperialis, terlibat dalam Perang Vietnam, dan Hitler tokoh fasisme. Mao dan Stalin tidak mengkhianati rakyatnya dalam perundingan mereka. Bagaimana dengan Jokowi? Tidakkah ia mengkhianati kepentingan rakyat Indonesia dengan memberi fasilitas yang menguntungkan kaum pemilik modal asing? Hal yang membuat orang “kiri” pendukung Jokolwi bereuforia adalah tindakan penenggelaman kapal pencuri ikan Vietnam, Papua New Guinea, dan baru-baru ini Filipina. Jika mengamati foto kapal Vietnam yang ditenggelamkan, ukuran “kapal” itu memberikan kesan seperti perahu yang besar (atau mata saya yang sudah rabun, barangkali?). Tak ada keragu-raguan untuk menenggelamkan “kapal” yang dikelola 8-10 orang dari ketiga negeri itu. Namun, kapal Tiongkok yang jauh lebih besar (yang pernah saya lihat di berita internet), tak langsung ditenggelamkan; sebagai ganti dilayangkan surat protes kepada Kementerian Luar Negeri Tiongkok. Apakah perbedaan sikap itu ada hubungannya dengan posisi Tiongkok sebagai negara besar (dan kini terkaya) yang diharapkan menanamkan modal di Indonesia? Yang lolos dari perhatian umum adalah usul Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti supaya Indonesia keluar dari G20. Sebuah usul yang seharusnya didukung
5
Jokowi. Namun, JK dengan cepat menentang. (Logis!). Saya tidak akan heran jika sebagian orang “kiri” juga akan membenarkan sikap JK. Mereka akan mengingatkan pada “kesalahan” Sukarno dalam sikapnya yang menantang imperialisme dan semua lembaganya. Imperialisme itu masih besar dan kuat, lho. Jangan kamu sok-sokan mau melawannya. Begitu reaksi pendukung Jokowi-JK. Lantas kapan kita akan melawan imperialisme? Berapa lama kita harus menunggu hingga imperialisme menjadi lemah? Apakah imperialisme bisa lemah dan jatuh dengan sendirinya? Kenaifan Jokowi Saya jadi ingat kampanye pendidikan nasional dan internasional yang diorganisasi Indonesian People’s Alliance dan Liga Internasional Perjuangan Rakyat selama satu tahun melawan APEC dan WTO yang mencapai puncaknya dengan People’s Global Camp di Denpasar, Bali, Desember 2013. Lho, kok ada berpuluh-puluh ormas nasional dan internasional yang bangkit dan berani mengorganisasi massa dari berbagai sektor penduduk dan kelas pekerja untuk melawan imperialisme? Padahal, risikonya adalah ditangkap polisi atau diculik! Sedangkan Jokowi-JK punya tentara (Angkatan Darat, Laut, Udara) dan kepolisian. Kok tidak berani keluar dari G20? Cobalah dianalisis di mana pokok masalahnya. Masak beraninya hanya menenggelamkan kapal kecil, menembaki dan memenjarakan rakyat Papua dan kaum tani yang mempertahankan tanah dari perampasan negara dan tuan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur sesuai dengan MP3EI? Dalam pidato di APEC, Jokowi berkata, ”Agenda prioritas yang saya jalankan bukan saja akan menjaga pertumbuhan kelompok berpendapatan menengah itu, tapi justru menjadikan kelompok lainnya yang lebih besar lagi, yaitu kelompok menengah bawah dan kelompok berpendapatan rendah sebagai pilar pertumbuhan Indonesia yang akan lebih besar lagi ke depan. Pola pertumbuhan yang menyeluruh dan bertumpu pada kelompok-kelompok yang selama ini belum memiliki akses yang cukup terhadap pembangunan, saya pandang sejalan dengan tujuan kita bersama negara-negara G20, yaitu pertumbuhan yang kuat, berkelanjutatan, seimbang, dan inklusif. Itu adalah sumbangan Indonesia lima tahun ke depan memulihkan perekonomiannya, dan pada gilirannya kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi global.” Apakah itu menunjukkan kenaifan Jokowi yang mengharapkan “mengangkat kelompok menengah bawah dan kelompok berpendapatan rendah sebagai pilar pertumbuhan Indonesia” sejalan dengan tujuan negara-negara imperialis di G20?
6
Berkaitan dengan program ekonomi pemerintah Jokowi-JK, Muhammad Taufiqqurahman, dalam detikfinance 22 Agustus 2014, memberitakan Tim Transisi Jokowi-JK menyatakan untuk mencapai angka pertumbuhan 7%, dibutuhkan investasi infrakstruktur setidaknya Rp 6.500 triliun di mana hanya 25% atau berkisar Rp 1.638 trilliun kebutuhan investasi dapat disediakan dari APBN. Sedangkan 75% lainnya harus dicarikan pembiayaannya dari pihak lain, baik BUMN maupun pihak swasta. Tak heran melihat kegairahan Jokowi dalam memohon kaum pemilik modal asing supaya datang menanam kapital di Indonesia, bukan? Mitos Modal Asing Tentang baik atau buruk investasi asing, ada baiknya kita simak tulisan James Petra tentang enam mitos investasi asing, yang selalu disebarkan kaum intelektual dan para ahli ekonomi yang mengabdi pada kepentingan multinasional. Mitos pertama, investasi asing menciptakan perusahaan baru, melahirkan keuntungan atau memperluas pasar, mendorong penelitian baru, dan mengembangkan kapasitas teknologi lokal. Namun, dalam praktik, investasi asing ditujukan untuk membeli perusahaan publik yang sehat dan kemudian memprivatisasikannya, dan juga perusahaan swasta; mengambil alih pasar, menjual atau menyewakan teknologi yang dirancang dan dikembangkan di negeri asal modal tersebut. Sejak akhir tahun 1980-an, lebih dari setengah investasi asing di Amerika Latin digunakan untuk membeli perusahaan publik dengan harga di bawah nilai pasar. Yang terjadi kemudian, kapital asing bukan melengkapi kapital lokal, melainkan justru menyingkirkannya dan menghalangi perkembangan pusat-pusat penelitian teknologi lokal. Berkaitan dengan perluasan pasar, terdapat banyak pengalaman yang beragam. Di beberapa sektor di mana perusahaan publik kekurangan dana, seperti telekomunikasi, pemilik asing baru mungkin memperbesar jumlah pengguna jasa perusahaan dan dengan demikian dapat memperluas pasar. Namun, dalam kasus lain, seperti air, listrik, dan transportasi, pemilik asing baru justru memperkecil pasar, akibat peningkatan tarif di atas kemampuan sebagian konsumen, terutama yang berpenghasilan rendah. Anggapan bahwa investasi asing akan menghasilkan transfer dalam teknologi terbukti sama sekali tidak benar. Lebih dari 80% dari penelitian dan pengembangan dilakukan di
7
negeri asal modal asing. Apa yang disebut “alih teknologi” adalah penyewaan atau penjualan teknologi yang dikembangkan di tempat lain, bukannya desain lokal. Bisa saya tambahkan di sini, pengalaman di Tiongkok juga menunjukkan gagalnya harapan alih teknologi melalui penyerahan pasar pada investasi asing.[1] Mitos kedua, investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor dan merangsang ekonomi lokal melalui pembelian dan penjualan yang terjadi di pasar kedua dan pasar ketiga. Dalam kenyataannya, modal asing menguasai sumber mineral untuk kemudian mengekspornya dengan sedikit atau sama sekali tanpa nilai tambah. Mayoritas mineral itu diproses menjadi barang jadi atau setengah jadi di negeri asal modal asing atau di negeri lain. Contoh yang diajukan James Petras adalah swastanisasi tambang besi raksasa Valle del Doce di Brasil pada tahun 1990-an yang mendatangkan keuntungan luar biasa besar bagi pemilik baru dari hasil penjualannya terutama ke Tiongkok. Tiongkok mengubahnya menjadi baja untuk transportasi, mesin-mesin industry, dan sekelompok perusahaan metalurgi. Mitos ketiga, investasi asing akan meningkatkan pendapatan lokal melalui pajak dan memperkuat mata uang untuk membiayai import. Namun, yang terjadi investor asing terlibat penipuan pajak, penipuan dalam pembelian perusahaan-perusahaan publik, dan pencucian uang dalam skala besar. James Petras menyebutkan contoh, pada Mei 2005 pemerintah Venezuela menemukan perusahaan-perusahaan minyak asing terpenting berhasil menipu dan menghindari pembayaran pajak senilai miliaran dolar. Perusahaan-perusahan tersebut menandatangani kontrak sejak tahun 1990-an. Contoh lain, di Rusia di mana sektor minyak dan gas praktis dirampok oleh para biliuner baru melalui kerja sama dengan investor asing untuk menghindari pembayaran pajak. Dampak dari korporasi multinasional terhadap keseimbangan neraca pembayaran jangka panjang juga negatif. Misalnya, sebagian besar pabrik perakitan di zona ekspor mengimpor semua input seperti mesin, desain, dan teknologi, kemudian mengekspor produk jadi atau setengah jadi. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan karena biaya impor tergantung secara relatif pada nilai ekspor. Dalam banyak kasus, komponen yang diimpor yang dibebankan pada ekonomi lokal jauh lebih besar daripada nilai tambah di zona ekspor. Di samping itu, kaum kapitalislah yang menikmati sebagian besar dari pemasukan di zona ekspor, karena kunci keberhasilan
8
terletak pada upah murah buruh lokal. Mitos keempat, pembayaran utang luar negeri sangat penting untuk memperkuat reputasi keuangan di pasar internasional dan menjaga integritas dari sistem keuangan. Keduanya sangat penting untuk perkembangan yang solid. Namun, catatan sejarah mengungkapkan, mengambil utang di bawah kondisi yang meragukan dan membayar utang-utang sebelumnya yang dibuat secara ilegal oleh pemerintahan yang tidak representatif, membahayakan posisi keuangan jangka panjang dan integritas sistem domestik dan mengakibatkan keruntuhan keuangan. Contohnya pengalaman Argentina selama 1976-2001. Mitos kelima, sebagian besar negara Dunia Ketiga bergantung pada investasi asing untuk mendapatkan modal yang diperlukan bagi pembangunan karena sumber keuangan lokal tak tersedia atau tak memadai. Bertentangan dengan pendapat sebagian besar ahli ekonomi neoliberal, mayoritas investasi asing sesungguhnya adalah tabungan nasional yang dipinjam investor itu untuk membeli perusahaan lokal dan membiayai investasinya. Investor asing dan korporasi multinasional melindungi pinjaman luar negeri yang didukung pemerintah negeri itu atau langsung menerima pinjaman dari dana pensiun lokal atau bank yang menggunakan deposito lokal dan pensiun dari kaum pekerja dan para pensiunan. Laporan terbaru tentang dana pensiun yang dibiayai perusahaan multinasional Amerika Serikat di Meksiko menunjukkan Banamex (yang dibeli pada abad ke-21) mengamankan pinjaman 289 milliar pesos (sekitar US$ 26 miliar); American Movil (Telcel) mengamankan 13 miliar pesos (US$ 1,2 miliar); Ford Motor mendapatkan pinjaman jangka panjang 9.556 miliar pesos dan 1 miliar pesos untuk pinjaman jangka pendek; dan General Motors (sektor keuangan) menerima 6.555 miliar pesos. [2]. Pola pinjaman luar negeri untuk mengambil alih pasar lokal dan fasilitas produktif adalah praktik yang umum, dan dengan demikian menghilangkan gagasan bahwa investor asing mendatangkan “modal segar” ke suatu negara. Dengan begitu juga terbantah gagasan bahwa negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan investasi asing karena kelangkaan modal. Undangan pada investor asing untuk mengalihkan uang tabungan lokal dari investor publik dan swasta lokal mendorong keluar peminjam lokal dan memaksa mereka mencari pinjaman pada sumber kredit “informal” dengan suku bunga yang lebih tinggi. Hasilnya adalah investor lokal harus bersaing dengan investor asing yang mempunyai posisi lebih kuat dalam pasar kredit untuk mendapatkan uang tabungan lokal. Lembaga donor lokal lebih suka meminjamkan uang pada investor asing karena adanya aset lebih
9
besar di luar negeri dan pengaruh politik sebagai jaminan keamanan pinjaman itu. Mitos keenam, para pendukung investasi asing menyatakan masuknya investasi asing berfungsi sebagai jangkar untuk menarik investasi lebih banyak lagi, dengan demikian akan membawa perkembangan dan pertumbuhan yang akhirnya akan membuat negara itu sebagai "kutub pertumbuhan". Kenyataan justru menunjukkan betapa tidak benar pendapat itu. Pengalaman pabrik-pabrik perakitan milik asing di Karibia, Amerika Tengah, dan Meksiko menunjukkan timbulnya ketidakstabilan dan ketidakamanan yang besar sebagai akibat munculnya sumber tenaga kerja yang lebih murah di Asia, terutama Tiongkok dan Vietnam. Investor asing, dibandingkan dengan produsen lokal, cenderung merelokasi pabriknya ke wilayah yang menyediakan tenaga kerja dengan upah lebih rendah, dan dengan demikian menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Satu periode dengan perkembangan ekonomi pesat, kemudian datang periode kebangkrutan. Dalam menghadapi persaingan dengan Asia, yang dilakukan investor asing di Karibia, Meksiko, dan Amerika Tengah adalah merelokasi investasinya, bukan meningkatkan teknologi dan keterampilan atau meningkatkan kualitas produk. Akhirnya James Petra merujuk pada studi Tanushree Mazundar “Capital Flow into India” yang membahas dampak investasi asing pada pembangunan di India, tak ditemukan korelasi antara pertumbuhan dan investasi asing. [3] Kesimpulannya, kebergantungan pada investasi asing merupakan strategi pembangunan yang terbatas, berisiko, dan mahal. Manfaat dan biayanya dibagi secara tidak adil antara si "pengirim" dan “penerima” investasi. Ketika kita meneliti sejarah perkembangan negara-negara industri maju, tidak mengherankan jika kita menemukan fakta tak satu pun dari negara-negara itu yang menempatkan investasi asing di pusat skema pembangunan mereka. Baik Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang pada abad ke-19 dan ke-20, maupun Rusia, Tiongkok (pada zaman Mao), Korea, dan Taiwan pada abad ke-20 bergantung pada investasi asing untuk memajukan industri dan lembaga keuangan mereka. Mengingat efek dan hasil negatif dari investasi asing tersebut, James Petras berpendapat bahwa jalan perkembangan bagi negara-negara Dunia Ketiga adalah meminimalkan investasi asing dan memaksimalkan kepemilikan nasional dan investasi yang bersandar pada sumber daya, keterampilan, dan keuangan lokal serta memperbesar dan memperdalam pasar lokal dan pasar luar negeri melalui diversifikasi ekonomi.
10
Celakanya, kebijakan ekonomi yang disarankan James Petras itu, menurut saya, hanya dapat dikeluarkan dan dijalankan oleh pemerintahan demokratis yang seratus persen memihak pada kepentingan rakyat. Hanya pemerintahan demikian yang akan mampu mempertahankan dan membela diri di hadapan segala macam tekanan kaum imperialis melalui korporasi multinasional serta lembaga keuangan dan perdagangan internasionalnya. Bahkan negara-negara Amerika Latin yang ingin membangun “sosialisme abad XXI” tak mampu membebaskan diri dari mentalitas yang berdasarkan pada enam mitos keuntungan investasi asing. Catatan kaki: [1] Surat 170 kader dan anggota Partai kepada Sekjen PKT, Hu Jintao, dan Kongres PKT ke XVII, 17 September 2007. Terjemahan INDIES, Maret 2008. [2] La Jornada, 7 Juni, 2005 [3] Tanushree Mazumbar, “Capital Flows into India”, Economic and Political Weekly, Vol XL No 21, p 2183-2189 From: Nesare Sent: Thursday, February 5, 2015 12:05 AM
Kritik Tatiana ini perlu diperhatikan oleh rejim Jokowi! Tapi perlu diingat Jokowi itu baru bbrp bulan jadi presiden. Urusan dan problemnya banyak. Bung Tatiana jangan terlalu radikal bersikap bahwa seharusnya Jokowi langsung membatalkan kontrak Newmont misalnya. Dunia kapitalis gak berjalan begitu. Seorang Jokowi yg walaupun mau membatalkan kontrak Newmont pun gak akan feasible. Namanya kontrak yg dilakukan oleh negara dan Newmont. Gak boleh sembarangan dibatalkan. Ada hukumnya. Ada sangsinya. Kejujuran dan kekirian Jokowi perlu didukung! Kasih dia waktu. Waktunya hanya 2 periode maksimum. Dukung dia supaya bikin basis yg kuat buat Indonesia yg merakyat setelah masanya habis.
11
Dukung calon penggantinya yg juga merakyat dan dapat memajukan Indonesia sesuai dengan pancasila. Dstnya….dstnya….. Jangan kesusu. Sabar. Orang sabar itu dikasihani Tuhan. Orang emosional biasanya bikin keputusan yang salah. Jangan dicelah. Silahkan dikritisi. Jangan maunya instan instan saja. Babat sini babat situ. Tutup ini tutup itu. Indonesia bisa runtuh. Kita harus belajar dari kesalahan bung Karno. Idealisme itu mahal harganya.
From: Tatiana Sent: Wednesday, February 04, 2015 4:39 AM Baru tahu kalau pemerintah Jokowi-JK tidak ada niat dan memang tidak mungkin menerapkan Trisakti Bung Karno? Proyek MP3EI yang diteruskan oleh pemerintah sekarang ini 100% bertolak belakang dengan prinsip berdikari dalam ekonomi dan berkedaulatan dalam politik. Trisakti hanya bisa diterapkan oleh sebuah pemerintahan Rakyat di mana wakil sejati rakyat betul-betul memegang kendali pemerintahan. Penerapan Trisakti membawa resiko berhadap-hadapan langsung dengan kaum Imperialis seperti yang dulu dilakukan oleh Sukarno. Akibatnya, kita lihat sendiri, Sukarno digulingkan oleh Suharto, antek Imperialis AS. Mereka yang mengerti betul apa hakekat Trisakti bung Karno pasti tahu bahwa Trisakti di mulut Jokowi hanyalah slogan kosong dan penipuan! Lho wong menghapus KTKLN yang dituntut massa buruh migran saja tidak jadi/ tidak berani, padahal sebelumnya sudah dihapuskan sesuai dengan tuntutan itu! Pasti, ada orang yang akan mengejek dan menuduh: mengharapkan berdirinya pemerintahan Rakyat adalah mimpi di tengah hari bolong! Logis, ejekan dan tuduhan dari orang-orang yang nangkring di puri gadingnya! Orang-orang yang mengejek itu tidak bisa membayangkan perjuangan masa rakyat jangka panjang .Sudah kebiasaan makan mie instan, barangkali, sehingga perubahan juga diharapkan bisa direalisasi secara "instan"!! On Wednesday, February 4, 2015 3:34 AM, "Demi Tanah Air
[email protected] [temu_eropa]"
wrote:
12
PT Newmont Pilih Numpang Smelter Freeport di Gresik Rabu, 04 Februari 2015 Tambang Emas Newmont di NTB (Ist)JAKARTA- Sementara PT Freeport Indonesia sedang bermasalah dalam pembangunan smelter dan pengiriman konsentratnya, perusahaan tambang emas Amerika yang lain PT Newmont Nusa Tenggara di Nusa Tenggara Barat masih menolak pembangunan smelter untuk kebutuhannya. Newmont NTB memilih numpang di smelter milik PT Freeport Indonesia di Gresik ketimbang membangun sendiri. Hal ini disampaikan oleh Salamuddin Daeng dari Institute For Global Justice (IGJ) kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (4/2). “Jadi memang semua perusahan tambang emas milik Amerika memang tidak punya niat untuk bangun smelter. Dan pemerintah Jokowi mendiamkan mereka, tak berdaya. Semua janji Trisakti Joko Widodo adalah kebohongan,” tegasnya. Menurut sumber pekerja PT Newmont Nusa Tenggara yang tidak mau disebut namanya, perusahaan tambang emas Amerika ini keberatan membangun smelter sendiri. “Sebanyak 20 persen konsentrat setiap bulan di kirim ke smelter milik Freeport di Gresik. Sisanya yang 80 persen konsentrat langsung dikirim ke smelter di Jepang dan China,” ujarnya kepada Bergelora.com secara terpisah. Ia menjelaskan bahwa saat ini Freeport juga sedang memperluas lahan smelternya di Gresik. Pertimbangannya lebih mahal membangun smelter sendiri di Indonesia. “Saat ini, Newmont sedang melobby pemerintah Indonesia untuk mengurangi pajak eksport konsentrat langsung ke luar negeri,” jelasnya lagi. Baca Lengkap: http://www.bergelora.com/nasional/ekonomi-indonesia/1685-pt-newmont-pilih-numpan g-smelter-freeport-di-gresik.html
13