Pengaruh Derajat Sosoh terhadap Daya Cerna Pati, Kadar Serat Kasar dan Derajat Cerah serta Sifat Organoleptik Beras Merah The Side Effect Milling Degree of Stacrh Digestibility, Crude Fiber, Degree of Bright and Organolpetic of Brown Rice Sonni Kurniawana) Nurrahmanb) dan Nurhidajahb) a,b)
Program Studi S1 Teknologi Pangan, Universitas Muhammadiyah Semarang Jl Kedungmundu Raya No 22 Semarang 50273 Telp (024) 76740296 Penulis korespondensi:
[email protected] ABSTRACT
Besides as carbohydrate source, brown rice has a functional content. Process of hulling rice was able to influence the functional quality of it. This research was conducted to determine the effect of milling degree nutritional components rice brain such as starch digestibility, crude fiber, and the bright degree of brown rice. Organoleptik testing was investigated to determine acceptable brown rice of meal such as mildness, color and its aromatic.This research experiment and using RAL methods. The analyze of data used ANOVA and post hoc test Bonferroni (P<0.05) then organoleptic used Wilcoxon. DS is determined based on the time and expense milling is used. The decision of starch digestibility is done enzymatically. The decision of crude fiber extraction using by sulphate acid, and the decision of the bright degree using by chromamter method and organoleptik test is done with performed panelis involved. The analysis result of yield, water content, and crude fiber are showed the lowest percentage such as 87,02 %, 8, 58 % and 2,52 % in stage of DS 15 second. The analysis result of starch digestibility and the bright degree of brown rice are showed the highest percentage such as 48,14 % and 55,22 % in stage DS 15 second. The analysis result of organoleptik are showed the highest average of acceptabel in stage of DS 15 second. So, the result of this research able to conclusion that DS has higher milling degree caused of yield, water content and crude fiber were lower. Altough, the higher milling degree able to increasing of starch digestibility, the bright degree and organoletik of brown rice. Key words : milling degree, starch digestibility, crude fiber, brown rice yang tinggi. Salah satunya adalah warna merah pada beras merah (antosianin) yang mampu berperan sebagai antioksidan dan antihiperglisemik (Suda et al, 2003). Beras merah Segreng merupakan jenis beras merah bervarietas unggul. Beras jenis inilah yang kini tengah masif berkembang di Kabupaten Gunung Kidul, bahkan kini telah menjadi salah satu identitas daerahnya (Kristamtini dan Prajitno, 2009). Beras ini juga yang telah dilepas sebagai beras beravarietas unggul oleh Balai Benih
PENDAHULUAN Beras merupakan komoditas pangan yang memiliki peran strategis dan penting di masyarakat Indonesia. Beras putih adalah jenis beras yang umum dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat dibanding beras merah. Konsumsi beras merah sebagai makanan pokok oleh masyarakat hingga kini masih sangat terbatas, padahal nilai gizi beras merah jauh lebih unggul dibandingkan dengan beras putih. Beras merah juga dinilai memiliki sifat fungsional 1
Tanaman Pangan dan Hortikultura (BTPH) Dinas Pertanian Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini dimaksudkan untuk melestarikan sumber daya genetik lokal agar tidak punah (Kristamtini dan Purwaningsih, 2009). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Purwaningsih et al. (2008), beras merah Segreng memiliki komposisi kimia meliputi kadar air 14,38 %, serat kasar 3,97 %, amilosa 29,55 %, dan pati 70,03 %. Nilai gizi merah akan semakin turun akibat perlakuan penanganan, salah satunya adalah penyosohan. Antosianin pada beras merah adalah salah satu komponen gizi yang telah terkena dampak langsung dari penyosohan. Hal ini dikarenakan antosianin terletak pada bagian terluar dari beras merah. Derajat sosoh (DS) ditengarai akan bisa berpengaruh terhadap ketahanan gizi dari beras merah seperti kadar serat kasar, kadar air dan daya cerna patinya. Semakin tinggi DS, maka kadar serat beras merah semakin menurun. Hal demikian disebabkan lapisan aleuron pada beras banyak yang terkelupas. Kadar air beras merah juga akan semakin menurun akibat pengaruh dari peningkatan suhu di setiap DS (Juliano, 2003). Berbeda pada daya cerna pati yang justru akan meningkat akibat dari granula- granula pati sebagai pelindung endosperm semakin rusak. DS yang semakin tinggi pun berakibat pada warna beras merah yang semakin putih. Hal ini disebabkan oleh komponenkomponen non pati yang banyak terbuang akibat dari penyosohan. DS yang semakin tinggi juga dapat menyebabkan rendemen yang dihasilkan semakin rendah. Kondisi ini justru dapat berakibat pada rendahnya daya terima konsumen terhadap beras merah tersebut (Aryunis, 2010).
2. Penentuan Derajat Sosoh Gabah beras merah dilakukan pemecahan kulit untuk mendapatkan beras pecah kulit (PK). Beras merah PK selanjutnya disosoh dengan menggunakan alat penyosoh skala laboratorium. Penentuan DS berdasar pada lamanya waktu per sekian detik yang akan digunakan yaitu DS 0 detik (tanpa disosoh), DS 5 detik, DS 10 detik dan DS 15 detik. Beras merah tersosoh (giling) kemudian disimpan untuk analisis selanjutnya. 3. Penentuan Daya Cerna Pati Enzimatis (Sudarmaji et al., 2003) Daya cerna pati ditentukan dengan metode enzimatis secara spektofotometri. Analisis dilakukan dengan dua tahap yaitu penentuan amilum dan glukosa yang setiap tahapan, masing- masing sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Tahap pertama, tiap sampel dimasukan kedalam erlemeyer kemudian direfluks selama 2 jam hingga dalam kondisi asam. Masing- masing selanjutnya dicuplik sebanyak 1 mL kedalam tabung reaksi dengan pelarut reagen Nelson dan panaskan kemudian ditambahkan larutan Arsenomolybdat selanjutnya dibaca dengan spektofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Tahap kedua yaitu, tiap sampel dimasukan kedalam erlenmeyer, ditambah dengan enzim α-amilase lalu diinkubasi selama 2 jam. Masing- masing selanjutnya dicuplik 1 mL kedalam tabung reaksi lalu ditambah reagen Nelson dan dinginkan lalu dibaca menggunakan spektofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Replikasi tiap tahap dan sampel dilakukan sebanyak 4 kali. 4. Kadar Serat Kasar (Sudarmaji et al., 2003) Kadar serat kasar ditentukan dengan metode ekstraksi. Masing- masing sampel ditimbang sebanyak 2 g, lalu dimasukan kedalam erlenmyer. Panaskan dan direfluks selama 30 menit. Residu lalu dipindahkan kedalam erlenmeyer dengan pelarut NaoH 3,25 % dan direfluks selama 30 menit.
METODOLOGI 1. Bahan Beras merah yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras merah dengan varietas Segreng. Beras merah ini diperoleh dari UPT Balai Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Gunung Kidul. 2
Sampel disaring dan dicuci dengan pelarut K2SO4 10 % lalu denfan alkohol 95 %. Keringkan dalam oven pada suhu konstan 105oC, dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Replikasi dilakukan sebanyak 4 kali di masing- masing sampel.
Mutu suatu beras dapat dilihat berdasarkan dari rendemen yang dihasilkan. Mutu beras yang diisyaratkan oleh SNI No.0835 (2008) berkisar antara 85- 95 %. Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rendemen beras merah Segreng tergolong pada beras yang bermutu baik karena telah memenuhi standard yang diisyaratkan SNI. DS berpengaruh pada rendemen beras merah yang dihasilkan. Penurunan mutu beras terjadi karena disebabkan oleh faktor DS (Wijaya, 2009). Semakin tinggi DS nya, maka semakin rendah rendemen beras yang dihasilkan. Semakin tinggi DS, juga dapat menyebabkan beras patah menjadi semakin lebih banyak. DS yang semakin tinggi akan mendorong peningkatan suhu pada saat penyosohan. Suhu yang semakin meningkat menyebabkan sel- sel pati menjadi rusak, akibatnya beras menjadi patah (Juliano, 2003). DS juga mengakibatkan langsung hilangnya antosianin yang terletak di bagian terluar aleuron. Antosianin yang terbuang tersebut terkumpul dalam bentuk bekatul. Hasil pada Tabel 1 menunjukkan, bahwa semakin tinggi DS menyebabkan bekatul yang dihasilkan semakin banyak. Artinya, kandungan antosianin yang terbuang makin banyak. Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara DS dengan hasil dari rendemen beras merah. Pengujian beda dilakukan menggunakan uji ANOVA satu arah dan bila terdapat perbedaan dilakukan uji lanjut Bonfferoni. Hasil perhitungan ANOVA, ternyata menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01). Hasil uji lanjut juga menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan, tetapi antara DS 10 detik dengan DS 15 detik tidak berbeda nyata (P>0.05).
5. Derajat Cerah (Nielsen 2003) Derajat cerah (putih) ditentukan dengan metode chromameter. Masing- masing dari sampel ditimbang sebanyak ± 7 g kedalam wadah berwarna gelap. Tembak dengan alat detektor digital sehingga hasil terbaca yang dinotasikan dengan L*, a* dan b*. Nilai angka masing- masing notasi selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mengukur derajat putih (DP) dengan rrumus: DP= 100-[(100- L)2 + (a2 + b2)]0,5 Replikasi masing- masing sampel dilakukan sebanyak 4 kali. 6. Sifat Organoleptik (Winarno, 2004) Pengujian sifat organoleptik ditentukan dengan bantuan panelis tidak terlatih. Tiap sampel diolah hingga menjadi nasi secara bersama tanpa ada perbedaan perlakuan. Pengujian meliputi tingkat kepulenan, warna dan aroma. Panelis diminta menilai dari masing- masing sampel yang disajikan. Skor terndah 1 dan tertinggi 4 untuk setiap pengujian. Penilaian organoleptik dilakukan sebanyak 20 orang panelis. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penentuan Rendemen Hasil persentase rendemen beras merah didapatkan berdasarkan tingkat penyosohan (DS). Berdasarkan pada Tabel 1, persentase beras merah giling tertinggi pada DS 15 detik (91,06 %) dan terendah pada DS 5 detik (87,02 %). Persentase bekatul beras merah tertinggi dihasilkan pada DS 15 detik (12,9 %) dan terendah pada DS 0 detik (8,94 %). 3
2. Hasil Penentuan Kadar Air Kadar air dari beras merah ditentukan degan cara pengeringan menggunakan oven selama 2 jam pada suhu 105 oC (Horwitz, 2000). Hal ini dimaksudkan bahwa, suhu tersebut merupakan suhu ketika air sedang menguap. Kadar air dalam beras merah dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil pada Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air beras merah tertinggi terjadi pada DS 0 detik (13,04 %), sedangkan terendah pada DS 15 detik (8,58 %). Parameter kadar air optimal pada beras umumnya sebesar 14 % (Bulog, 2003). Gambar 1 menunjukkan bahwa beras merah Segreng telah memenuhi standar kadar air yang diisyaratkan oleh Bulog yaitu kadar air optimum masih dibawah 14 %. Hasil berbeda ditunjukkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan Purwaningsih et al. (2008) pada varietas beras merah yang sama yaitu 14,38 %. Penurunan kadar air beras merah merupakan bukti bahwa DS berpengaruh terhadap kadar air dalam beras merah. Faktor yang menyebabkan semakin turunnya kadar air dalam beras merah karena disebabkan suhu disetiap tingkatan waktu penyosohan mengalami peningkatan (Juliano, 2003). Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara DS dengan kadar air dalam beras merah. Pengujian beda yang digunakan ialah uji ANOVA satu arah dan bila terdapat perbedaan dilakukan uji lanjut Bonferroni dan. Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). Hasil uji lanjut pun menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (P<0.05).
konsentrasi dan nilai absorbansinya. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil pada Gambar 2, dapat diperoleh persamaan regresi linear yaitu: y = 6,227x + 0,059 dengan nilai R2 = 0,998. Nilai R2 = 0,998 telah memenuhi syarat penggunaan sebagai kurva kalibrasi, karena nilai R2 terletak pada interval 0,9 < R2 < 1. Nilai ini menunjukan bahwa terdapat korelasi linear antara data absorbansi dengan konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi, maka semakin tinggi pula nilai absorbansinya. Artinya, kadar glukosa dapat ditentukan berdasarkan dari nilai absorbansinya. Berdasarkan hasil dari kadar amilum dan glukosa enzimatis, maka hasil daya cerna pati beras merah dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil Tabel 2 menunjukan bahwa kadar amilum tertinggi pada DS 15 detik, dan terendah pada DS 0 detik. Kadar glukosa enzimatis tertinggi pada DS 0 detik dan terendah pada DS 15 detik. Daya cerna pati tertinggi terjadi pada DS 15 detik (48,14 %), dan terendah pada DS 0 detik (39,27 %). DS yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar amilum dan daya cerna pati beras merah dan menurunkan kadar glukosa enzimatis. Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara DS dengan kadar amilum, kadar glukosa enzimatis dan daya cerna pati dari beras merah. Pengujian beda yang digunakan ialah uji ANOVA satu arah dan apabila terdapat perbedaan, dilakukan uji lanjut Bonferroni. Hasil perhitungan ANOVA menunjukkan tedapat perbedaan sangat nyata (P<0.01). Hasil uji lanjut juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05).
3. Daya Cerna Pati Penentuan daya cerna pati beras merah dilakukan melalui dua tahapan yaitu tahap penentuan kadar amilum dan glukosa. Daya cerna pati merupakan selisih nilai dari kadar amilum dengan glukosa. Penentuan glukosa sebelumnya harus membuat kurva kalibrasi terlebih dahulu dan telah diketahui
4. Kadar Serat Kasar Penentuan kadar serat kasar beras merah dilakukan dengan metode ekstraksi. Hasil serat kasar beras merah tidak identik serat pangan. Serat kasar juga belum bisa dikatakan mewakili nilai fungsional beras merah itu sendiri. Hasil analisis serat kasar beras merah ditunjukkan pada Tabel 3. 4
Hasil Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar serat kasar tertinggi terjadi pada DS 0 (3,60 %) , sedangkan yang terendah pada DS 15 detik (2,52 %). Hasil penelitian lain dari beras merah pada varietas yang sama, didapatkan nilai serat kasar optimum yaitu sebesar 3,97 % (Purwaningsih et.al., 2008). Perlakuan DS pada beras merah, terbukti mempengaruhi nilai dan mutu serat kasar yang terkandung dalam beras merah. Semakin tinggi DS nya, maka semakin rendah nilai dan mutu serat kasar tersebut. Menurut Harland dan Oberleas (2001), mutu serat dapat dilihat dari nilai komposisi antara serat larut dengan serat tidak larut. Perlakuan penyosohan memberikan dampak pada salah satu dari nilai komposisi tersebut yaitu serat tidak larut meliputi kandungan selulosa dan hemiselulosa. Perlakuan DS, mengakibatkan hilangnya kedua komponen tersebut akibat dari dampak secara langsung dari penyosohan. Hal ini dikarenakan, letak komponen tersebut berada dilapisan aleuron yang akan semakin menipis seiring dengan semakin tinggi tingkat DS nya. Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara DS dengan kadar serat kasar yang terkandung dalam beras merah. Uji beda menggunakan uji ANOVA satu arah, dan bilamana terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut Bonferroni. Hasil perhitungan ANOVA telah menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata (P<0.01). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh uji lanjut, bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.05).
pada alat tersebut menghasilkan nilai dalam notasi L*, a* dan b*. Adapun hasil analisis pengukuran pada berasa merah dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil pada Tabel 4 menunjukkan, bahwa nilai tertinggi untuk L* terjadi pada DS 15 detik (58,46), sedangkan terendah pada DS 0 detik (21,58). Nilai tertinggi a* dan b* terjadi pada DS 0 detik (18,08 dan 15,09), sedangkan yang terendah pada DS 15 detik (8,96 dan 14,11). Nilai L* menunjukan kecerahan pada sampel. Semakin tinggi nilai dari L*, maka semakin mendekati warna cerah (optimum). Nilai a* dan b* masing- masing merupakan warna kromatik kearah merah dan kuning bila bernilai positif, dan kearah hijau dan biru bila bernilai negatif (Argasamita, 2008). Nilai derajat cerah didapatkan dengan cara melakukan perhitungan menggunakan suatu persamaan. Perhitungan dimaksudkan untuk mendapatkan tingkat kecerahan pada setiap perlakuan DS. Artinya, semakin tinggi perlakuan DS maka semakin tinggi pula derajat cerahnya. Hal ini lebih disebabkan pigmen antosianin beras merah pada lapisan aleuron, banyak yang terkelupas atau hilang seiring dengan semakin tingginya DS. Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara DS dengan derajat cerah yang dihasilkan dari beras merah. Uji beda menggunakan uji ANOVA satu arah, bila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut Bonferroni. Perhitungan ANOVA menunjukkan hasil beda sangat nyata pada nilai L*, a* dan derajat cerah (P<0.01). Berbeda pada nilai b* yang menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil uji lanjut juga menyatakan terdapat perbedaan nyata untuk semua nilai (P<0.05). Hasil tidak berbeda nyata (P>0.05) ditunjukkan pada DS 5 detik dengan DS 10 detik (nilai L* dan derajat cerah) dan DS 10 detik dengan 15 detik untuk nilai a*.
5. Derajat Cerah Pengukuran terhadap perubahan warna pada beras merah, penting untuk dilakukan secara obyektif setelah proses penyosohan. Hal ini bertujuan untuk mengenali tingkat penurunan kualitas warna akibat dari proses penyosohan. Pemanfaatan alat pengukuran warna secara digital, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal dan seobyektif mungkin. Pengukuran warna 5
terdapat perbedaan, selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon. Hasil perhitungan Friedman, menunjukkan ada beda yang sangat nyata (P<0.01). Hasil perhitungan uji lanjut juga terdapat perbedaan sangat nyata antar perlakuan (P<0.01), namun tidak berbeda nyata pada DS 10 detik dengan DS 15 detik (P>0.05).
6. Sifat Organoleptik a. Kepulenan Kepulenan suatu nasi merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh kepada konsumen dalam menentukan pilihannya. Pulen diklaim menjadi identitas mutu yang dihasilkan dari suatu beras. Semakin pulen nasi, maka semakin bermutu beras tersebut. Hasil penilaian sejumlah panelis terhadap tingkat kepulenan nasi beras merah dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan pada Gambar 3, sejumlah panelis memberikan penilaian bahwa DS 15 detik dapat menghasilkan nasi beras merah dengan kepulenan optimal (sangat pulen). Gambar 3 juga menunjukan bahwa seiring dengan semakin tingginya DS, maka nasi yang dihasilkan pun semakin lebih pulen. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan DS dan kadar air beras merah yang semakin rendah akibat dari semakin tingginya DS, ditengarai menjadi faktor- faktor yang dapat menyebabkan nasi beras merah menjadi pulen. Perlakuan DS yang semakin tinggi, mengakibatkan kadar air dalam beras merah semakin rendah, sedangkan kadar air yang semakin rendah menyebabkan semakin rendahnya kadar amilosa. Amilosa yang rendah inilah yang menyebabkan nasi terasa lebih pulen (Yusof et al., 2005). Menurut Hariyadi (2006), karakteristik dari suatu nasi yang dihasilkan bergantung pada kandungan amilosa dan amilopektin. Nasi dengan amilopektin yang tinggi, dapat menghasilkan nasi lebih pulen. Kepulenan nasi beras merah yang dihasilkan, memiliki kaitan dengan sifat pati yang terkandung didalamnya. Sifat pati sendiri berhubungan dengan rasio amilosa dan amilopektin. Sifat pati yang cenderung memiliki kemampuan menyerap air rendah, menyebabkan amilosa menjadi rendah. Amilosa yang rendah dapat menghasilkan nasi yang lebih pulen (Yusof et al., 2005). Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan antara DS dengan kepulenan nasi beras merah yang dihasilkan. Uji beda dilakukan dengan menggunakan uji Friedman. Bila
b. Warna Faktor penting dalam menetukan mutu suatu produk pangan adalah kualitas warna yang dihasilkan dari produk tersebut. Bagi sebagian orang, warna menjadi perihal yang sering menjadi pertimbangan menentukan suatu produk. Alasan ini dapat diterima, karena warna merupakan indikator respon yang paling cepat dan mudah memberikan kesan. Hasil penilaian dari sejumlah panelis terhadap warna nasi beras merah, disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan pada Gambar 4, sejumlah panelis memberikan penilaian bahwa DS 0 detik menghasilkan nasi dengan masih tetap mempertahankan warna merah optimum. Gambar 4 juga menunjukan, semakin tinggi DS nya justru menyebabkan warna merah menjadi semakin hilang (putih). Warna merah pada nasi, disebabkan masih adanya kandungan pigmen antosianin. Kandungan antosianin yang masih terjaga dalam nasi, dikarenakan pigmen tersebut tidak larut hilang akibat dari penyosohan. Berdasarkan Gambar 4, pigmen antosianin masih terjaga maksimal pada DS 5 detik, setelahnya pigmen tersebut banyak yang hilang akibat dari perlakuan DS yang semakin tinggi, sehingga menyebabkan warna nasi yang semakin putih (Afni, 2012). Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan antara DS dengan warna dari nasi beras merah yang dihasilkan. Uji beda dilakukan dengan menggunakan uji Friedman. Bila terdapat perbedaan, selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon. Hasil perhitungan Friedman, menunjukan adanya perbedaan sangat nyata (P<0.01). Hasil yang sama juga ditunjukan 6
perhitungan uji lanjut, bahwa terdapat beda sangat nyata antar perlakuan (P<0.01).
13,04 % (DS 0 detik), 48,14 % (DS 15 detik), 3,61 % (DS 0 detik) dan 55,22 % (DS 15 detik) serta DS 15 detik. Penelitian ini menunjukan bahwa DS berpengaruh terhadap daya cerna pati, kadar serat kasar, dan derajat cerah serta sifat organoleptik beras merah. Semakin tinggi DS, maka akan semakin meningkatkan persentase dari rendemen, daya cerna pati, dan derajat cerah serta sifat organoleptik beras merah. Sebaliknya, DS yang semakin tinggi justru mengakibatkan penurunan persentase dari kadar air dan kadar serat kasar beras merah.
c. Aroma Aroma merupakan salah satu indikator mutu diterima atau tidaknya suatu produk pangan. Aroma identik dengan bau khas yang ditimbulkan dari suatu produk. Aroma sering menjadi penentu tingkat kelezatan produk. Hasil penilaian sejumlah panelis terhadap aroma dari nasi beras merah yang dihasilkan, disajikan sebagaimana pada Gambar 5. Berdasarkan pada Gambar 5, sejumlah panelis memberikan penilaian bahwa DS 15 detik menghasilkan aroma nasi yang sangat harum. Gambar 5, juga menunjukan bahwa semakin tinggi DS nya, akan menghasilkan aroma yang semakin harum. Artinya, proses penyosohan berdampak pada aroma yang akan dihasilkan. Aroma pada nasi timbul, dikarenakan adanya senyawa yang bersifat volatile (Marliyati, 2002). Senyawa volatile timbul akibat dari adanya prose penguapan yang melibatkan air dan suhu pada saat pengolahan. Pendekatan dengan statistika dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan antara DS dengan aroma dari nasi beras merah yang dihasilkan. Uji beda dilakukan dengan menggunakan uji Friedman. Bila terdapat perbedaan, selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon. Hasil perhitungan Friedman, menunjukan adanya perbedaan sangat nyata (P<0.01). Hasil yang sama juga ditunjukan perhitungan uji lanjut, bahwa terdapat beda sangat nyata antar perlakuan (P<0.05).
DAFTAR PUSTAKA Afni RA. 2012. Pengaruh lama pengukusan dan cara penanakan beras pratanak terhadap mutu nasi pratanak. (Skripsi). Bogor. Fakultas Teknik Pertanian Insititut Pertanian Bogor. Argasasmitha TU. 2008. Karakteristik sifat fisikokimia dan indeks glikemik varietas beras beramilosa rendah dan tinggi. (Skripsi). Bogor. Fakultas Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor. Aryunis. 2010. Karakteristik dan identifikasi mutu beras dari ladang lokal asal Kabupaten Tanjung Jabung Barat. J ISSN:0854-8986 vol 111 (4):21-27. Bulog. 2003. Persyaratan kualitas beras pengadaan dalam negeri tahun 2003. Di dalam: Lampiran surat keputusan bersama Departemen Pertanian dan Badan Urusan Logistik. Jakarta: Badan Urusan Logistik. Hariyadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: UGM Press. Harland BF dan Oberleas D. 2001. Effect of Dietary Fiber and Phytate on the Homeostatis and Bioavailability of Mineral. CRC handbook of Dietary Fiber on Human Nutrition. Ed III. GA Spiller (ed). Boca Raton: CRC Press. Horwitz W. 2000. Official Methods of Analysis of AOAC International Ke-
KESIMPULAN Derajat sosoh (DS) benar dan terbukti memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0.01) terhadap rendemen, kadar air, daya cerna pati, derajat cerah dan kadar serat kasar serta sifat organoleptik dari beras merah. Persentase tertinggi (optimal) dari rendemen, kadar air, daya cerna pati, kadar serat kasar dan derajat cerah serta sifat organoleptik dari beras merah secara berturut- turut yaitu 91,06 % (DS 5 detik), 7
17. AOAC International (ed). Gaithersburg. Juliano BO. 2003. Rice Chemistry and Quality. Manila. Philipine Rice Research Institute. Kobori M. 2003. In vitro screening for cancer suppersive effect of food components. J ARQ 37(3):159-165. Kristamtini dan Prajitno. 2009. Karakteristik padi beras merah segreng varietas unggul lokal gunung kidul. J Ilmu Pert 5(1):45-51. Kristamtini dan Purwaningsih H. 2009. Potensi pengembangan beras merah sebagai plasma nutfah yogyakarta. J Lit Pert 28(3):88-95. Marliyati SA. 2002. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Depdikbud. Bogor; Institut Pertanian Bogor. Miller JC. 1991. Statistika untuk Kimia Analitik. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Nielsen SS. 2003. Food analysis. New York: Kluwer Academic/ Plenum Publisher. Purwaningsih H, Kristamtini, dan Widyanti S. 2008. Mutu Fisik, Kimia dan Organoleptik Padi Beras Merah Varietas Lokal (cempo merah, Mandel dan Segreng) sebagai Plasma Nutfah Padi Provinsi DIY. Didalam: Makalah Seminar Pekan Padi Nasional (PPN) III. Sukamandi. SNI 0835. 2008. Mesin Penyosoh Beras, Petunjuk Kerja dan Cara Uji. ICS 65.060.50. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. Suda IT, Oki M, Masuda M, Kobayashi Y, Nishiba dan Furuta S. 2003. Physiological functionality of purple fleshed sweet potatoes containing anthocyannis and their utilization in food. J ARQ 37(3):167-173. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 2003. Prosedur analisa untuk bahan
makanan dan pertanian. Ed IV. Yogyakarta: Liberty. Wijaya. 2009. Pengaruh Kadar Air terhadap Mutu Fisik Beras Giling. http://faperta-usnwagati.com (diakses 21 Maret 2014). Winarno FG. 2004a. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Yusof BNM, Talib RA dan Karim NA. 2005. Glycemic index of eight types of commercial rice. Mal J Nutr 11(2):151163
8
LAMPIRAN Tabel 4. Nilai derajat putih beras merah
Tabel 1. Persentase rendemen beras merah Derajat sosoh (DS)
Beras giling
Derajat sosoh (DS)
Bekatul
L*
a*
b*
Derajat putih/ cerah
(%)
(%)
-
-
5 detik
91,06 ± 1,61a
8,94 ± 1,61a
5 detik
46,11b 12,52b 14,84a 42,70b
10 detik
88,12 ± 1,01b
11,88 ± 1,01b
10 detik
48,82b 10,11c 13,83a 46,02b
15 detik
87,02 ± 1,48b
12,98 ± 1,29b
15 detik
58,46c
0 detik (tanpa disosoh)
0 detik (tanpa 21,58a 18,08a 15,09a 18,02a disosoh)
Ket: Angka- angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05).
8,96c 14,11a 55,22c
Ket: Angka- angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05).
Tabel 2. Daya cerna pati beras merah Derajat sosoh (DS)
Kadar amilum (%)
Kadar glukosa enzimatis (%)
Daya cerna pati (%)
0 detik (tanpa disosoh)
72,61 ± 0,11a
33,34 ± 0,09a
39,27 ± 0,09a
5 detik
76,39 ± 0,06b
32,25 ± 0,06b
44,15 ± 0,12b
10 detik
78,87 ± 0,13c
31,16 ± 0,11c
47,72 ± 0,24c
15 detik
79,40 ± 0,19d
31,26 ± 0,06c
48,14 ± 0,18d
Ket: huruf- huruf berbeda pada setiap bar menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0.01)
Gambar 1. Persentase kadar air beras merah
Ket: Angka- angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 3. Kadar serat kasar beras merah Derajat sosoh Serat Kasar (%) (DS) 0 detik (tanpa disosoh)
3,60 ± 0,04a
5 detik
3,25 ± 0,01b
10 detik
2,99 ± 0,02c
15 detik
2,52 ± 0,11d
Ket: huruf- huruf berbeda pada setiap bar menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0.01)
Ket: Angka- angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 2. Kurva kalibrasi glukosa 9
Ket: huruf- huruf berbeda pada setiap bar menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0.01)
Gambar 3. Kepulenan nasi beras merah
Ket: huruf- huruf berbeda pada setiap bar menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0.01)
Gambar 4. Warna nasi beras merah
Ket: huruf- huruf berbeda pada setiap bar menunjukan perbedaan sangat nyata (P<0.01)
Gambar 5. Aroma nasi beras merah 10