JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
JUMLAH ERITROSIT KADAR HEMOGLOBIN DAN NILAI HEMATOKRIT KAMBING KACANG BETINA DI KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN Total Number of Erythrochyte, Haemoglobin Concentration and Haematocrit Level In Female Kacang Goats of Reared Semi Intensive in Koto XI Tarusan Sub-Distric Pesisir Selatan Regency Hesty Rahayu1, Roslizawaty2, Amiruddin2, Zuhrawaty2, T. Fadrial Karmil2 1
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif di Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan. Sampel penelitian ini terdiri dari 15 ekor kambing kacang betina dengan kisaran umur 1-2 tahun. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-10.00 wib darah diambil dengan spuit 3 ml pada vena jugularis. Darah dimasukkan melalui dinding tabung vacutainer tube yang berisi anti koagulan EDTA. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Bukittinggi, Sumatera Barat menggunakan hematology analyzer (exigoeos vet Boule Medical, Swedia). Data yang diperoleh ditabulasikan dan kemudian dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan hasil pemeriksaan rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif diperoleh sebesar 10,3±3,1 x 106/µL darah, 8,4±1,8 g/dL, dan 22,3±3,5%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif di Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan masih berada pada kisaran nilai normal meskipun sudah mendekati batas nilai minimal. Kata kunci: Kambing kacang betina, semi intensif, eritrosit, hemoglobin, hematokrit ABSTRACT This study aims to determine the total number of erythrocyte, haemoglobin concentration, and haematocrit level in female kacang goats of reared semi intensive in Koto XI Tarusan SubDistric Pesisir Selatan Regency. In the research used 15 female kacang goats with 1-2 years old. Sample were takes in the morning on 07.00-10.00 wib. Blood was obtained from the jugular vein of all the animals into sample bottles containing ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) as anticoagulant. The blood examination was done in Parasitology Laboratorium, Balai Veteriner Bukittinggi, West Sumatera with used hematology analyzer (exigoeos vet Boule Medical, Swedia). The data was analyzed using descriptively. Based on the examination results, the total number of erythrocytes, hemoglobin concentration, and haematocrit level which were 10,3±3,1 x 106/µL, 8,4±1,8 g/dL, and 22,3±3,5%. The results of this study concluded that the total number of erythrocyte, haemoglobin concentration, and haematocrit value in female kacang goats of reared semi intensive in Koto XI Tarusan Sub-Distric Pesisir Selatan Regency, as a normal although close to the limit value of at least. Keywords: Female kacang goats, semi intensive, erythrocyte, haemoglobin, haematocrit
PENDAHULUAN Salah satu ternak yang berpotensi besar untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani adalah ternak kambing. Ternak kambing relatif lebih mudah dipelihara, cepat berkembang, dan tidak memerlukan lahan yang luas dalam pemeliharaannya. Populasi kambing di Indonesia sampai tahun 2015 mencapai 19.012,79 ekor dengan angka pertumbuhan sekitar 3,13% (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2016).
101
JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
Kambing kacang merupakan jenis kambing dengan populasi terbanyak di Indonesia. Kambing kacang bersifat prolifik atau dapat menghasilkan banyak anak sehingga sangat menguntungkan bagi peternak. Kambing kacang pada umur 15 sampai 18 bulan sudah bisa menghasilkan keturunan (Ginting, 2008). Kondisi induk kambing juga merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan anak kambing yang sehat. Pakan menjadi salah satu hal penting yang berperan dalam memelihara tubuh, baik untuk kebutuhan pokok hidup, reproduksi, dan produksi (Angraeny, 2013). Ansar (2015), menyatakan bahwa peternak di pedesaan pada umumnya memelihara kambing secara semi intensif. Menurut Anggara dkk. (2014), bahwa ternak yang dipelihara secara semi intensif hanya memperoleh pakan dari rumput yang dimakan ketika digembalakan. Rata-rata jenis pakan yang tersedia di ladang pengembalaan adalah rumput ladang dan sedikit jenis leguminosa. Hal ini dikhawatirkan tidak mencukupi pakan yang dibutuhkan oleh induk kambing. Kondisi induk kambing yang sehat perlu diperhatikan untuk menunjang reproduksi yang baik. Pemeriksaan gambaran darah diperlukan untuk mengetahui kondisi anemia dan status kesehatan ternak (Guyton dan Hall, 1997). Menurut Ganong (2003), darah merupakan salah satu komponen tubuh yang sangat penting dan berfungsi sebagai sistem transportasi nutrisi, oksigen, sisa-sisa metabolisme, dan hormon. Calon induk pada kondisi pra kawin, bunting, dan pada saat laktasi sering mengalami anemia atau pun kesehatan yang menurun karena pada kondisi tersebut induk harus berbagi dengan fetus dan untuk produksi susu. Oleh karena itu, kambing betina pada kondisi tersebut membutuhkan asupan nutrisi dengan jumlah yang lebih banyak. Menurut Raguati dan Rahmatanang (2012), ternak yang sehat mendapat nutrisi yang cukup dapat terlihat dari gambaran darahnya yaitu jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit yang stabil atau normal. Menurut Weiss dan Wardrop (2010), jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit normal pada kambing berkisar antara 8-18 x 106/µL, 8-12 g/dL, dan 22-38%. Piccione dkk. (2009), menyatakan bahwa umur dan lingkungan berpengaruh terhadap gambaran darah Tibbo dkk. (2004), menyatakan bahwa gambaran darah pada beberapa spesies hewan dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, kualitas pakan, dan manajemen pemeliharaan. Informasi tentang jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kambing kacang betina penting untuk menentukan penanganan dan pencegahan yang tepat agar tidak terjadi gejala anemia, gangguan pertumbuhan, dan kegagalan produksi pada ternak kambing yang secara tidak langsung memberikan dampak negatif dan kerugian materil bagi peternak. MATERIAL DAN METODE Penelitian ini menggunakan 15 ekor kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif dengan kisaran umur 1 sampai 2 tahun. Setiap ekor kambing kacang betina diambil darahnya sebanyak 3 cc melalui vena jugularis, dimasukkan ke dalam tabung vacutainer tube yang telah berisi antikoagulan EDTA dan kemudian disimpan didalam termos lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisa jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit menggunakan hematology analyzer (Exigoeos Vet Boule Medical, Swedia).
102
JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan dan standar deviasi hasil pemeriksaan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai rataan dan standar deviasi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif Parameter n Jumlah Rataan ± SD 6 Eritrosit (x10 /µL) 15 155, 4 10,3±3,1 Hemoglobin (g/dL) 15 126,4 8,4±1,8 Hematokrit (%) 15 334,7 22,3±3,5 Menurut Weiss dan Wardrop (2010), jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit normal pada kambing berkisar antara 8-18 x 106/µL, 8-12 g/dL, dan 22-38%. Jumlah Eritrosit Kambing Kacang Betina Hasil pemeriksaan jumlah eritrosit pada kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif di Kecamatan Koto XI Tarusan secara keseluruhan diperoleh rata-rata jumlah eritrosit sebesar 10,3±3,1 x 106/µL. Tabel 4. Jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif di Kecamatan Koto XI Tarusan No. Lokasi pengambilan Eritrosit Hemoglobin Hematokrit sampel (g/dL) (%) (x106/µL) 1. Kapuh 9,3 7,6 19,9 2. Kapuh 13,8 8,6 24,3 3. Kapuh 16,7 10,6 29,4 4. Kapuh 8,8 5,4 15,8 5. Kapuh 12,4 8,2 22,8 6. Nanggalo 10,4 8,5 22,4 7. Nanggalo 8,0 5,9 15,6 8. Nanggalo 9,3 7,8 20,9 9. Nanggalo 11,5 8,7 23,4 10. Nanggalo 14,5 9,2 26,0 11. Batu hampar 6,0 5,6 22,0 12. Ampang pulai 7,2 9,0 21,0 13. Batu hampar 7,4 9,0 24,0 14. Batu hampar 12,7 10,3 24,2 15. Batu hampar 6,8 12,0 23,0 Jumlah eritrosit pada 15 ekor kambing kacang betina dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 jumlah eritrosit pada tiap ekor kambing kacang betina yang diperiksa berada pada kisaran jumlah normal, namun ada 4 ekor kambing kacang betina dengan jumlah eritrosit dibawah normal yaitu pada kambing nomor 11, kambing nomor 12, kambing nomor 13, dan kambing nomor 15. Jumlah eritrosit dibawah normal dari 4 kambing tersebut menyebabkan ratarata jumlah eritrosit secara keseluruhan pada kambing kacang betina hampir mendekati batas minimal jumlah normal eritrosit. Rata-rata jumlah eritrosit hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyono dkk. (2014) dan Bijanti (2011). Penelitian Widyono dkk. (2014), pada kambing kacang betina yang dipelihara secara intensif, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit sebesar 13,23±1,74 x 103
JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
6
10 /µL. Sementara itu dari penelitian Bijanti (2011), pada kambing kacang betina di Desa mojosarirejo driyorejo Gresik diperoleh rata-rata jumlah eritrosit sebesar 14,57±2,3 x 106/µL. Variasi jumlah eritrosit pada kambing kacang betina ini umumnya dipengaruhi oleh kondisi fisiologis masing-masing kambing. Kondisi fisiologis pada hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur lingkungan, manajemen pemeliharaan, kualitas pakan, dan keseimbangan cairan tubuh (Ciaramella, 2005). Notopoero (2007), juga menyatakan bahwa perbedaan jumlah eritrosit dapat dipengaruhi oleh produksi hormon eritropoietin. Eritropoietin merupakan regulator humoral eritropoiesis yang dihasilkan oleh ginjal. Produksi eritropoietin dalam tubuh bergantung pada tekanan oksigen jaringan. Prenggono (2015), menyatakan hipoksia meningkatkan produksi eritropoetin sedangkan hiperoksia menurunkan eritropoietin dan menurunkan produksi eritrosit. Tibbo dkk. (2004), menyatakan bahwa jumlah eritrosit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, dan manajemen pemeliharaan. Peternak kambing kacang betina di Kecamatan Koto XI Tarusan rata-rata menggunakan sistem pemeliharaan semi intensif. Kambing dikandangkan pada malam hari kemudian peternak melepaskan kambingnya pada pagi hari dan membiarkan kambing mencari makan sendiri di ladang pengembalaan, pematang sawah, lapangan bola, dan tepi jalan disekitar lokasi pemeliharaan. Menurut Devendra dan Burns (1971) yang disitasi oleh Ningsih (2010), di daerah tropis yang lembab dan kering ruminansia kecil biasanya dipelihara dalam kawanan kecil di bawah sistem peternakan semi intensif. Penurunan jumlah eritrosit pada kambing kacang betina yang berhubungan dengan manajemen pemeliharaan dapat disebabkan oleh kekurangan protein dan beberapa mineral yang berasal dari pakan yang dibutuhkan pada proses pembentukan eritrosit seperti Besi (Fe), Kobalt (Co), dan Cuprum (Cu). Kekurangan mineral tersebut disebabkan karena asupan nutrisi dari konsumsi pakan yang tidak mencukupi untuk ternak kambing betina yang dipelihara secara semi intensif. Kebutuhan pakan ternak kambing menurut Prabowo (2010), adalah pakan hijaun 10% dari berat badan dan 0,5% pakan konsentrat. Pemanfaatan pakan hijauan sebagai makanan pada ternak kambing harus disuplementasikan dengan makanan penguat atau konsentrat agar kebutuhan nutrisi terhadap pakan dapat terpenuhi (Murtidjo, 1993). Pemberian konsentrat tidak dilakukan peternak karena membutuhkan biaya yang lebih, peternak hanya memanfaatkan hijauan sebagai pakan karena lebih ekonomis dan tidak membutuhkan biaya yang lebih. Anggara (2014), menyatakan bahwa ternak yang dipelihara secara semi intensif hanya memperoleh pakan dari rumput yang dimakan ketika digembalakan. Pakan kambing secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu pakan hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan dapat berupa rumput alam, rumput yang dibudidayakan, dan daun kacang-kacangan sedangkan pakan konsentrat dapat berupa dedak padi dan bungkil kelapa. Jenis pakan yang tersedia di ladang pengembalaan dan lokasi pemeliharaan ternak pada penelitian ini adalah rumput ladang dan sedikit jenis leguminosa. Rumput ladang yang terdapat seperti rumput geriting, brachiaria, dan digitaria. Jenis tanaman leguminosa yang merupakan sumber protein untuk ternak seperti lamtoro, kaliandra, gamal, dan kelor. Susilawati (2008), menyatakan bahwa leguminosa pohon khususnya kaliandra dan gamal merupakan tanaman yang ideal untuk pakan ternak karena memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sekitar 16% sampai 20%. Rekwot (1987), menyebutkan hasil penelitiannya pada kambing yang diberi pakan dengan kandungan protein 14,45% jumlah eritrositnya lebih tinggi dibandingkan dengan kambing yang diberi pakan dengan kandungan 8,51%. 104
JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
Kondisi dimana terjadinya penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, dan nilai hematokrit dari nilai normalnya disebut dengan anemia (Dunn, 2000). Menurut Anumol (2011), kambing dikatakan anemia dengan kadar hemoglobin dibawah 7,5 g/dL dan nilai hematoktrit dibawah 22%. Kondisi anemia terjadi karena jumlah eritrosit dewasa yang beredar dalam darah rendah. Kegagalan pematangan eritrosit dapat disebabkan oleh rendahnya daya absorpsi saluran pencernaan terhadap vitamin B12 (Guyton dan Hall, 2006). Kadar Hemoglobin Kambing Kacang Betina Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin pada kambing kacang betina dapat dilihat pada Tabel 3. Rata-rata kadar hemoglobin pada kambing kacang betina adalah sebesar 8,4 g/dL. Kadar hemoglobin yang diperoleh ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Widiyono dkk. (2014) dan Bijanti (2011), yaitu sebesar 9,09 g/dL dan 8,7 g/dL. Kadar hemoglobin yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan nilai yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan literatur yang ada. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan terhadap pembentukan hemoglobin sehingga kadar hemoglobin cenderung rendah. Tharar (1983), menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa kerbau yang diberi pakan tinggi konsentrat akan memperlihatkan kadar hemoglobin yang lebih tinggi. Kadar hemoglobin yang cenderung lebih rendah ini dapat disebabkan karena pakan kambing kacang betina pada penelitian ini hanya berupa hijauan yang diperoleh pada saat digembalakan, berbeda dengan pakan berupa konsentrat yang diberikan pada kerbau penelitian Tharar (1983). Kadar hemoglobin juga berhubungan dengan kandungan zat besi (Fe) dalam pakan. Zat besi terutama diperlukan dalam proses pembentukan eritrosit, yaitu dalam sintesa hemoglobin (Arifin, 2008). Unsur zat besi merupakan komponen utama dari hemoglobin, sehingga kekurangan zat besi akan mempengaruhi pembentukan hemoglobin. Berkurangnya penyerapan zat besi menyebabkan jumlah feritin (zat besi yang tersimpan dalam tubuh) juga akan berkurang yang akan berdampak pada menurunnya jumlah zat besi yang akan digunakan untuk sintesa hemoglobin sehingga dapat menimbulkan anemia. Andryanto dkk. (2010), menyatakan bahwa kadar hemoglobin juga dipengaruhi oleh musim, aktifitas tubuh, ada atau tidaknya kerusakan eritrosit, penanganan darah saat pemeriksaan, dan nutrisi pada pakan. Nilai Hematokrit Kambing Kacang Betina Hasil pemeriksaan nilai hematokrit pada kambing kacang betina dapat dilihat pada Tabel 3. Rata-rata nilai hematokrit pada kambing kacang betina adalah sebesar 22,3%. Nilai hematokrit yang diperoleh ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan Widiyono dkk. (2014), dan lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Bijanti (2011). Penelitian Widiyono dkk. (2014), diperoleh nilai hematokrit sebesar 28,58%. Hasil penelitian Bijanti (2011), diperoleh nilai hematokrit sebesar 15,32%. Perbedaan nilai hematokrit tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, aktivitas ternak, konsumsi air, suhu lingkungan serta kandungan nutrisi dalam pakan terutama protein, mineral, dan vitamin sangat dibutuhkan dalam menjaga normalitas dan nilai hematokrit (Weiss dan Wardrop, 2010). Nilai hematokrit memiliki hubungan yang sangat erat dengan jumlah eritrosit. Penurunan jumlah eritrosit umumnya diikuti dengan penurunan nilai hematokrit. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada penelitian ini menunjukkan nilai yang tidak sesuai pada beberapa kambing. Pada kambing nomor 1, 4, dan 7 didapatkan jumlah eritrosit normal, namun nilai hematokritnya dibawah normal. Berbeda dengan kambing nomor 11, 13, dan 15 yang didapatkan jumlah eritrositnya dibawah normal, namun nilai hematokritnya normal. 105
JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit yang tidak sesuai dengan pola kenaikan dan penurunan eritrisot ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penurunan nilai hematokrit diduga terjadi karena nilai MCV pada kambing yang rendah. Rendahnya nilai MCV disebabkan oleh kekurangan Fe dan vitamin B6 pada hewan (Benjamin, 1979). Selain itu penurunan nilai hematokrit tanpa disertai penurunan jumlah eritrosit dapat disebabkan oleh kadar hemoglobin yang rendah. Salam (2012), dalam penelitiannya menyatakan ukuran eritrosit yang kecil dan kadar hemoglobin yang rendah menyebabkan nilai hematokrit kerbau lumpur betina mengalami penurunan. Rendahnya jumlah eritrosit pada kambing nomor 11, 13, dan 15 namun tidak diikuti dengan rendahnya nilai hematokrit diduga kambing tersebut mengalami anemia makrositik. Anemia jenis ini menunjukkan ukuran sel darah merah besar dari ukuran normalnya. Hal ini didukung oleh nilai MCV pada kambing yang berada diatas normal setelah dilakukan pengukuran. Anemia makrositik disebabkan oleh defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, dan penyakit intestinal kronis (Benjamin, 1979). Peningkatan nilai hematokrit juga dapat terjadi karena volume plasma darah yang menurun seperti pada kondisi dehidrasi. Pada kondisi dehidrasi perbandingan sel darah merah dengan plasma darah berada diatas normal. Banyak penyebab yang dapat membuat tubuh mengalami kondisi dehidrasi seperti aktivitas yang berlebih, kurang mengkonsumsi cairan, muntah, dan diare (Narendra, 2007). Chotiah (2010), menyatakan bahwa dehidrasi juga dapat disebabkan oleh nutrisi yang tidak cukup dan lingkungan yang tidak memadai. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit kambing kacang betina yang dipelihara secara semi intensif di Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan masih berada pada kisaran nilai normal meskipun sudah mendekati batas nilai minimal. DAFTAR PUSTAKA Andriyanto, Y.S. Rahmadani, A.S. Satyaningsih, dan S. Abadi. 2010. Gambaran hematologi domba selama transportasi: peran multivitamin dan meniran. Jurnal Ilmu Peternakan Indonesia. 15(3): 134-136. Anggara, E.B., M. Nasich, H. Nugroho, dan Kuswati. 2014. Produktivitas Induk Kambing Kacang di Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro. Skripsi. Fakultas peternakan, Universitas Brawijaya, Malang. Angraeny, A. 2013. Penambahan Minyak Biji Bunga Matahari Terhadap Profil Darah Domba Garut Betina pada Status Faal Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ansar. 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemudahan Pemeliharaan Ternak Kambing Kacang dengan Sistem Semi Intensif di Desa Borongtala Kecamatan Talamalatea, Kabupaten Jeneponto. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Anumol, J., M.G. Saranya, P.V. Tresamol, K. Vijayakumar, and M.R. Saseendranath. 2011. A study on a etiology of anemia in goats. J. Vet. Anim. Sci. 42: 61-63. Arifin, Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. J. Litbang. Pertanian. 27(1): 99-105. Benjamin, M.M. 1979. Outline of Vetrinary Clinical Pathology. Lowa, The Lowa 106
JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
State University Press. Bijanti, R., H. Eliyani, dan Soeharsono. 2011. Parameter hematologi kambing kacang Desa Mojosarirejo Driyorejo Gresik. J. Vet. Med. 4 (3): 187-190. Chotiah, S. 2010. Diare pada anak sapi: agen penyebab, diagnosa dan penanggulangan. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas. Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Ciaramella, P., M. Corona, R. Ambrosio, F. Consalvo, and A. Persechino. 2005. Haematological profil or non lacting mediterranean buffaloes (bubalus bubalis) ranging in age from 24 months to 14 years. Research in veterynary science. 79: 77-80. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Populasi Kambing di Indonesia.http://www.dirjennak.go.id/infoeksekutif/nak/2015/popkambin.1 November 2016. Dunn, J.K. 2000. Textbook of Small Animal Medicine. WB Saunders, New York. Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). (Diterjemahkan oleh: Andrianto P). Edisi 14. EGC, Jakarta. Ginting, S.P dan F. Mahmilia. 2008. Kambing boerka: kambing tipe pedaging hasil persilangan boer x kacang. Jurnal Wartazoa. 18(3): 115-125. Guyton A.C dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. (Diterjemahkan oleh: Irawati). Edisi 9. EGC, Jakarta. Guyton, A.C. and J.E. Hall. 2006. Textbok of Medical Physiology. Saunders Elevier, Philadelphia. Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Domba. Penerbit Kanisius, Jakarta. Narendra, D.W. 2007. Pengaruh Dehidrasi dengan Pemberian Bisacodyl terhadap Gambaran Hematokrit Tikus Putih Jantan (Rattus Norvegicus). Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ningsih, A.S. 2010. Pola Penyediaan Hijauan Makanan Ternak Domba dan Kambing di Desa Sidoharjo dan Sumberharjo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Propinsi Jawa Timur. Skripsi. Fakultas peternakan, Institut Pertanian Bogor. Notopoero, P.B. 2007. Eritropoitin fisiologi, aspek klinik, dan laboratorik. Indonesian journal of clinical pathology and medical laboratory. 14(1): 28-36. Piccione, G., S. Casella, and L. Lutri. 2009. Reference values for some haematological, haematochemical, and electrophoretic parameters in the girgentana goat. J. Vet. Anim. 34(2): 197-204. Prabowo, A. 2010. Budidaya Ternak Kambing. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan, Palembang. Prenggono, M.D. 2015. Eritropoetin dan penggunaan eritropoietin pada pasien kanker dengan anemia. J. Med. 42(1): 21-25. Raguati dan Rahmatanang. 2012. Suplementasi urea multinutrien blok plus terhadap hemogram darah kambing peranakan ettawa. Jurnal Peternakan Sriwijaya (JPS). 1(1): 55-64. Rekwot P.I., J.D. Kumi, O. Akerejola, and O. Oyedipe. 1987. Haematological values of bunaji and fresian x bunaji bulls fed two levels of protein diets. Vet. J. 18: 63-72. Salam, S.W. 2012. Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Kadar Hemoglobin, Nilai Hematokrit, dan Indeks Eritrosit Pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Susilawati, T. 2008. Pedoman Agribisnis Kambing. Departemen Sosial Republik Indonesia. Tharar, A., J.B. Moran, and J.T. Wood. 1983. Hematology of Indonesia large ruminants. Tropical animal health and production. 15: 76-82. Tibbo., M. Jibril, Y, Woldesmelkel, M. Dawo, F. Aragaw, and K. Rege. 2004. 107
JIMVET. 01(2): 101-108 (2017)
ISSN : 2540-9492
Faktor affecting hematological profiles in three ethiopian indigenous goat breeds. Intern J Appl Res Vet Med. 2(4): 297-309. Weiss, D.J and K.J. Wadrobe. 2010. Schlam’s Veterinary Hematology. 6th ed. Blackwell Publishing, USA. Widyono, I., Sarmin, T. Susmiyati, B, dan Suwignyo. 2014. Studi nilai hematologik kambing kacang. Prosiding KIVNAS Ke-13 PDHI. Palembang.
108